Minggu, 30 November 2025

Aksiologi dalam Teknologi: Telaah Nilai, Etika, dan Tanggung Jawab Moral di Era Digital

Aksiologi dalam Teknologi

Telaah Nilai, Etika, dan Tanggung Jawab Moral di Era Digital


Alihkan ke: Aksiologi.


Abstrak

Artikel ini mengkaji hubungan antara teknologi dan nilai melalui pendekatan aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas hakikat, sumber, dan hierarki nilai. Dengan melihat bahwa teknologi tidak netral secara moral maupun budaya, artikel ini menelusuri bagaimana inovasi teknologis selalu membawa muatan nilai yang memengaruhi kehidupan sosial, politik, dan etika manusia modern. Kajian dimulai dengan pemaparan konsep dasar aksiologi dan bagaimana teknologi merepresentasikan produk budaya dan ideologi tertentu. Selanjutnya, artikel ini membahas kerangka evaluatif etika teknologi melalui pendekatan utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan, serta menekankan pentingnya tanggung jawab moral para ilmuwan dan insinyur sebagai agen perubahan. Implikasi sosial dari kemajuan teknologi, seperti disrupsi nilai, ketimpangan digital, dan ancaman terhadap privasi, dianalisis dari perspektif aksiologis. Artikel ini juga menyoroti pentingnya integrasi nilai-nilai lokal dalam menghadapi globalisasi teknologi serta meninjau prospek masa depan untuk pengembangan teknologi yang lebih etis melalui konsep ethics by design. Dengan pendekatan filosofis yang kritis dan interdisipliner, artikel ini menawarkan kontribusi penting dalam membangun kesadaran akan perlunya keseimbangan antara kemajuan teknis dan tanggung jawab moral di era digital.

Kata Kunci: Aksiologi, teknologi, etika digital, tanggung jawab moral, nilai, globalisasi, etika desain, kecerdasan buatan, keadilan sosial, filsafat teknologi.


PEMBAHASAN

Aksiologi dalam Teknologi


1.           Pendahuluan

Perkembangan teknologi di era digital telah membawa perubahan mendasar dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari cara berkomunikasi, bekerja, belajar, hingga berinteraksi sosial. Inovasi-inovasi seperti kecerdasan buatan (AI), big data, teknologi biomedis, dan Internet of Things (IoT) tidak hanya merevolusi sistem teknis dan ekonomi, tetapi juga memunculkan persoalan nilai dan etika yang kompleks. Dalam konteks ini, filsafat aksiologi—yang mengkaji tentang hakikat nilai, kebaikan, dan tujuan hidup manusia—menjadi sangat relevan untuk digunakan sebagai kerangka kritis dalam memahami dan menilai arah serta dampak teknologi terhadap kemanusiaan.

Teknologi, pada hakikatnya, bukanlah sesuatu yang netral. Ia selalu lahir dari nilai-nilai tertentu dan dalam banyak kasus menjadi medium yang membawa serta kepentingan ideologis, politis, dan ekonomis. Pandangan ini dikemukakan oleh Langdon Winner, yang menyatakan bahwa artefak teknologi memiliki “muatan politik” karena dapat mendukung atau membatasi bentuk-bentuk kehidupan sosial tertentu, baik secara disengaja maupun tidak disadari.¹ Teknologi, dengan demikian, tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan etis: nilai apa yang diusungnya? Kepada siapa manfaat dan mudaratnya ditujukan?

Lebih jauh, Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility mengajukan tesis bahwa dalam era teknologi maju, manusia dituntut untuk mengembangkan etika baru—etika tanggung jawab—yang mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan teknologis terhadap kelangsungan umat manusia dan alam semesta.² Etika klasik yang berfokus pada hubungan antarindividu kini tidak lagi cukup, karena dampak teknologi melampaui ruang dan waktu, memengaruhi generasi mendatang yang bahkan belum lahir.

Oleh karena itu, studi tentang aksiologi dalam teknologi bertujuan bukan hanya untuk menilai apakah suatu inovasi teknologis efektif secara teknis atau menguntungkan secara ekonomis, melainkan juga apakah ia adil, manusiawi, dan sejalan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Diskursus ini tidak hanya menjadi domain para filsuf, tetapi juga penting bagi ilmuwan, insinyur, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas sebagai pengguna dan penyambut teknologi. Ketika teknologi terus melaju tanpa kendali etik, kita berisiko kehilangan arah dalam pembangunan peradaban yang berkeadaban.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji teknologi dari perspektif aksiologis secara menyeluruh. Kajian ini akan membahas konsep dasar aksiologi, memetakan nilai-nilai yang terkandung dalam teknologi, serta menelaah tanggung jawab moral dari para pelaku dan pengguna teknologi di era digital. Melalui pendekatan ini, diharapkan muncul kesadaran kritis akan pentingnya menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan keberlangsungan nilai-nilai kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Langdon Winner, The Whale and the Reactor: A Search for Limits in an Age of High Technology (Chicago: University of Chicago Press, 1986), 19–39.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 7–10.


2.           Hakikat Aksiologi dan Posisi Cabangnya dalam Filsafat

Aksiologi merupakan salah satu cabang utama filsafat yang berfokus pada studi tentang nilai (values), baik nilai moral, estetika, maupun nilai-nilai instrumental lainnya dalam kehidupan manusia. Dalam ranah filsafat, aksiologi menempati posisi yang sejajar dengan ontologi (kajian tentang hakikat realitas) dan epistemologi (kajian tentang pengetahuan), membentuk trinitas fundamental dalam struktur pemikiran filosofis. Secara etimologis, istilah "aksiologi" berasal dari bahasa Yunani: axios yang berarti "bernilai" dan logos yang berarti "ilmu" atau "kajian". Dengan demikian, aksiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kriteria, dan hierarki nilai dalam kehidupan.¹

Aksiologi tidak hanya terbatas pada pengenalan terhadap nilai-nilai itu sendiri, tetapi juga menelaah bagaimana nilai-nilai tersebut dijustifikasi dan direalisasikan dalam praksis hidup manusia. Dalam konteks ini, aksiologi terbagi menjadi dua cabang utama: etika, yang mempelajari nilai baik dan buruk dalam tindakan manusia, serta estetika, yang mengkaji nilai keindahan dalam ekspresi artistik maupun pengalaman estetis.² Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban dan kompleksitas problematika kontemporer, aksiologi meluas hingga mencakup nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, bahkan teknologi.

Etika, sebagai subbidang utama dalam aksiologi, menempati posisi sentral dalam merespons berbagai problem moral yang muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika tidak hanya mempersoalkan norma tindakan individu, tetapi juga mengarah pada refleksi filosofis yang mendalam mengenai tanggung jawab kolektif dan keberlanjutan nilai-nilai manusiawi dalam sistem sosial yang semakin bergantung pada teknologi.³ Di sinilah aksiologi berfungsi sebagai medan kritis untuk menilai apakah suatu tindakan, kebijakan, atau inovasi teknologi benar-benar mendukung kemaslahatan manusia atau justru mereduksi nilai-nilai luhur yang mendasari kemanusiaan itu sendiri.

Di sisi lain, posisi aksiologi dalam filsafat kontemporer mengalami revitalisasi seiring dengan munculnya tantangan baru dalam bentuk relativisme nilai, nihilisme, dan instrumentalisasi ilmu. Banyak filsuf, seperti Max Scheler dan Nicolai Hartmann, mencoba mengembalikan nilai pada tempat yang sejati sebagai realitas objektif yang dapat diketahui dan dijadikan landasan normatif dalam tindakan manusia.⁴ Pandangan ini penting dalam menjawab krisis nilai yang mengiringi revolusi teknologi saat ini, di mana sering kali efisiensi dan kecepatan dijadikan ukuran utama, tanpa mempertimbangkan aspek moral dan humanistik.

Dalam konteks teknologi modern, pemahaman terhadap aksiologi menjadi semakin urgen. Ketika inovasi teknologis tidak hanya memengaruhi aspek praktis kehidupan, tetapi juga membentuk ulang nilai, preferensi, dan orientasi hidup manusia, maka refleksi aksiologis menjadi mutlak diperlukan. Aksiologi, dengan demikian, bukan sekadar wacana abstrak filosofis, tetapi alat analisis yang vital untuk menimbang arah dan dampak perkembangan teknologi terhadap harkat dan martabat manusia.


Footnotes

[1]                James O. Urmson dan Jonathan Rée, The Concise Encyclopedia of Western Philosophy (London: Routledge, 2005), 12.

[2]                John Hospers, An Introduction to Philosophical Analysis, 4th ed. (London: Routledge, 1997), 244–246.

[3]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–4.

[4]                Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values: A New Attempt Toward the Foundation of an Ethical Personalism, trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973), 15–18.


3.           Teknologi sebagai Produk Budaya dan Nilai

Teknologi sering kali dipahami secara sempit sebagai hasil dari pengetahuan ilmiah yang diimplementasikan dalam bentuk alat, sistem, atau prosedur guna mempermudah kehidupan manusia. Namun, pendekatan aksiologis menuntut pemahaman yang lebih dalam, yaitu bahwa teknologi bukan sekadar produk netral yang bebas nilai, melainkan sebuah konstruksi sosial dan budaya yang sarat dengan kepentingan, nilai, dan makna. Teknologi lahir dari konteks historis, budaya, dan ideologis tertentu, serta turut membentuk cara manusia memandang dunia dan dirinya sendiri.

Salah satu pemikir penting yang menekankan keterkaitan antara teknologi dan nilai adalah Langdon Winner. Ia mengkritik pandangan “instrumentalis” terhadap teknologi—yang menganggap teknologi sebagai alat netral yang bisa digunakan untuk tujuan apa pun tergantung penggunaannya. Menurut Winner, teknologi memiliki “sifat politis” karena desain dan implementasinya dapat secara implisit mengandung struktur kekuasaan, mendukung sistem sosial tertentu, atau bahkan menciptakan ketimpangan.¹ Sebagai contoh, desain arsitektur jalan layang rendah di New York pada awal abad ke-20 yang mencegah akses bus umum ke taman pinggiran kota dinilai sebagai bentuk diskriminasi kelas melalui teknologi.²

Di sisi lain, filsuf Jerman Martin Heidegger dalam esainya The Question Concerning Technology menekankan bahwa teknologi modern bukan hanya alat, tetapi cara manusia "mengungkapkan" (revealing) dunia. Dalam kerangka ini, teknologi adalah wujud dari suatu Gestell (enframing), yaitu kecenderungan untuk melihat alam dan manusia sebagai sumber daya yang dapat diatur, dioptimalkan, dan dieksploitasi.³ Dengan kata lain, teknologi memengaruhi struktur pemikiran manusia dan nilai-nilai yang melekat padanya. Dunia tidak lagi dilihat sebagai ciptaan sakral, melainkan sebagai obyek material yang dapat dikendalikan demi efisiensi dan produktivitas.

Selain itu, teknologi juga merupakan hasil konstruksi budaya yang mencerminkan nilai dan prioritas suatu masyarakat. Teknologi komunikasi seperti media sosial, misalnya, tidak hanya mencerminkan hasrat manusia untuk terhubung, tetapi juga memperlihatkan nilai-nilai zaman seperti kebutuhan akan pengakuan, aktualisasi diri, dan ekspresi kebebasan. Namun, ia juga membuka celah terhadap nilai-nilai negatif seperti narsisisme digital, disinformasi, dan pengawasan masif.⁴ Maka, dalam setiap inovasi teknologi, selalu tersembunyi narasi nilai yang perlu diurai dan dievaluasi secara kritis.

Peter-Paul Verbeek dalam studinya tentang hubungan antara manusia dan teknologi mengemukakan bahwa teknologi tidak hanya menjadi medium pasif, tetapi juga aktor yang ikut membentuk subjektivitas dan moralitas manusia.⁵ Dengan kata lain, teknologi memiliki “agency” dalam menentukan bagaimana manusia bertindak dan berpikir. Oleh karena itu, memahami teknologi sebagai produk budaya dan nilai adalah langkah awal yang penting dalam kajian aksiologis untuk menimbang arah etis dari perkembangan teknologi itu sendiri.

Teknologi tidak pernah berada dalam ruang hampa nilai. Ia mengandung, mencerminkan, dan bahkan memperkuat struktur nilai tertentu dalam masyarakat. Dengan menyadari hal ini, kita diajak untuk tidak hanya mengagumi kecanggihan teknologi, tetapi juga mengkritisi konsekuensi nilai yang terkandung di dalamnya, demi memastikan bahwa perkembangan teknologi tetap sejalan dengan martabat dan keberlanjutan kehidupan manusia.


Footnotes

[1]                Langdon Winner, The Whale and the Reactor: A Search for Limits in an Age of High Technology (Chicago: University of Chicago Press, 1986), 19–39.

[2]                Ibid., 23.

[3]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–35.

[4]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 153–180.

[5]                Peter-Paul Verbeek, What Things Do: Philosophical Reflections on Technology, Agency, and Design (University Park, PA: Pennsylvania State University Press, 2005), 117–140.


4.           Etika Teknologi: Kerangka Evaluasi Aksiologis

Etika teknologi merupakan bidang interdisipliner yang mengkaji dimensi moral dari pengembangan dan penggunaan teknologi. Dalam konteks filsafat aksiologi, etika teknologi memainkan peran vital sebagai kerangka evaluatif terhadap nilai-nilai yang melekat dalam inovasi teknologis, serta dampaknya terhadap individu, masyarakat, dan lingkungan. Dengan semakin meluasnya intervensi teknologi dalam kehidupan manusia, pertanyaan mengenai apa yang “baik”, “benar”, dan “adil” menjadi semakin mendesak untuk dijawab melalui pendekatan etis yang sistematis.

Salah satu pendekatan utama dalam etika teknologi adalah utilitarianisme, yang menilai suatu tindakan atau teknologi berdasarkan konsekuensinya terhadap kebahagiaan atau manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Misalnya, penggunaan algoritma dalam sistem layanan publik atau transportasi dinilai etis jika meningkatkan efisiensi dan kenyamanan masyarakat luas. Namun, pendekatan ini kerap dikritik karena cenderung mengabaikan hak individu demi keuntungan kolektif.¹ Dalam praktiknya, sistem pengawasan digital berbasis AI yang meningkatkan keamanan nasional, tetapi sekaligus melanggar privasi warga negara, menjadi contoh nyata dari dilema etis ini.

Sebaliknya, deontologi menekankan pentingnya prinsip moral universal yang tidak boleh dilanggar, terlepas dari konsekuensinya. Dalam konteks ini, pelanggaran terhadap martabat manusia, seperti melalui manipulasi data pribadi atau diskriminasi algoritmik, tidak dapat dibenarkan meskipun hasilnya menguntungkan.² Pendekatan ini menyoroti pentingnya hak asasi manusia dan keadilan prosedural dalam desain dan implementasi teknologi. Oleh karena itu, deontologi menuntut agar nilai-nilai moral menjadi bagian dari struktur internal teknologi, bukan sekadar dampak eksternalnya.

Selain itu, pendekatan etika kebajikan (virtue ethics) berfokus pada karakter moral para pengembang dan pengguna teknologi.³ Alih-alih hanya mengevaluasi tindakan atau dampak, pendekatan ini mempertanyakan: apakah inovasi ini lahir dari motivasi yang luhur? Apakah para insinyur, ilmuwan, dan pebisnis yang terlibat menunjukkan integritas, kebijaksanaan, dan tanggung jawab? Dalam dunia teknologi yang sangat kompetitif dan berorientasi keuntungan, pendekatan ini mengingatkan kita akan pentingnya pembentukan pribadi-pribadi bermoral di balik mesin dan sistem yang canggih.

Untuk menilai teknologi secara menyeluruh, kerangka aksiologis harus mengintegrasikan ketiga pendekatan tersebut dalam suatu model etika reflektif dan kontekstual. Luciano Floridi mengusulkan konsep “Information Ethics” sebagai paradigma etika baru yang memperluas lingkup moral tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada entitas informasi seperti data, sistem, dan lingkungan digital.⁴ Dengan paradigma ini, pelanggaran terhadap integritas data atau manipulasi digital tidak hanya dilihat sebagai kejahatan teknis, tetapi sebagai pelanggaran etis terhadap “ekosistem informasi” yang menopang kehidupan modern.

Dalam dunia nyata, sejumlah dilema etis muncul dari inovasi teknologi mutakhir. Penggunaan deepfake untuk kepentingan politik, kecenderungan bias rasial dalam algoritma rekrutmen, atau dominasi perusahaan teknologi besar terhadap data pengguna—semuanya mencerminkan urgensi untuk menerapkan evaluasi aksiologis yang tajam.⁵ Maka dari itu, etika teknologi tidak boleh bersifat reaktif atau sekadar normatif; ia harus menjadi bagian dari proses desain dan pengambilan keputusan sejak tahap awal pengembangan teknologi (ethics by design).

Melalui kerangka evaluasi aksiologis, kita diajak untuk menimbang apakah suatu teknologi benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan, otonomi, solidaritas, dan keberlanjutan. Teknologi yang etis bukan hanya yang canggih atau efisien, tetapi yang memperkuat harkat dan martabat manusia dalam seluruh dimensinya.


Footnotes

[1]                Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 10–15.

[2]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 36–40.

[3]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016), 5–30.

[4]                Luciano Floridi, Information Ethics: On the Philosophical Foundation of Computer Ethics, Ethics and Information Technology 1, no. 1 (1999): 37–56.

[5]                Virginia Eubanks, Automating Inequality: How High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St. Martin’s Press, 2018), 83–110.


5.           Tanggung Jawab Moral Ilmuwan dan Insinyur

Dalam konteks revolusi teknologi dan transformasi digital yang meluas, tanggung jawab moral para ilmuwan dan insinyur tidak dapat lagi dipahami secara sempit hanya sebagai kewajiban profesional atau teknis. Sebaliknya, mereka memegang peran strategis sebagai arsitek peradaban baru, di mana nilai-nilai manusiawi dapat ditegakkan atau justru diabaikan melalui keputusan desain, rekayasa, dan inovasi teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab moral ilmuwan dan insinyur mencakup dimensi etis yang mendalam: komitmen terhadap kebaikan bersama, keadilan sosial, dan keberlanjutan kehidupan.

Filsuf Hans Jonas dalam karya monumentalnya The Imperative of Responsibility menegaskan bahwa etika tradisional tidak lagi memadai dalam era teknologi modern. Teknologi memiliki daya transformatif yang melampaui ruang dan waktu, dan oleh karenanya diperlukan “imperatif baru” yang menuntut tanggung jawab antisipatif terhadap generasi mendatang dan seluruh ekosistem kehidupan.¹ Menurut Jonas, prinsip moral harus bergeser dari orientasi "di sini dan sekarang" ke cakrawala "di sana dan nanti". Etika ilmuwan dan insinyur tidak cukup hanya dengan tidak melakukan kesalahan (non-maleficence), tetapi juga harus proaktif dalam memastikan bahwa hasil kerjanya tidak mengancam kelangsungan hidup manusia dan planet.

Prinsip tanggung jawab ini juga ditekankan dalam kode etik profesi ilmiah dan teknik. American Society of Civil Engineers, misalnya, menyatakan bahwa insinyur harus “mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan umum” dalam segala keputusan dan tindakannya.² Dalam praktiknya, hal ini berarti ilmuwan dan insinyur memiliki kewajiban moral untuk menolak proyek yang secara jelas melanggar hak asasi manusia, merusak lingkungan, atau memperparah ketimpangan sosial, walaupun secara teknis dapat dilakukan.

Tanggung jawab moral juga mencakup kejujuran intelektual dan transparansi. Di tengah era disinformasi dan manipulasi data, integritas ilmiah menjadi fondasi penting bagi kepercayaan publik terhadap sains dan teknologi.³ Kasus-kasus manipulasi data riset farmasi, rekayasa algoritma untuk keuntungan ekonomi semata, atau kolusi antara akademisi dan korporasi teknologi menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dapat disalahgunakan ketika nilai-nilai moral dilepaskan dari praktik profesional.

Selain itu, para ilmuwan dan insinyur harus menyadari bahwa inovasi mereka tidak terjadi dalam ruang vakum, melainkan dalam konteks sosial-politik yang kompleks. Hal ini menuntut mereka untuk mengembangkan moral imagination—kemampuan untuk memproyeksikan dampak sosial dari inovasi teknis yang mereka ciptakan, termasuk dampak tak terduga.⁴ Dalam hal ini, keterlibatan ilmuwan dalam dialog lintas disiplin dengan etikus, filsuf, dan masyarakat sipil sangatlah penting guna memperkaya perspektif nilai dalam proses inovasi.

Peter-Paul Verbeek menekankan bahwa teknologi tidak netral dan tidak sepenuhnya berada di luar kendali manusia. Justru karena manusia berperan dalam merancang dan mengarahkan teknologi, maka tanggung jawab etis atas dampaknya tidak dapat dilepaskan dari mereka yang mengembangkannya.⁵ Dengan demikian, moralitas bukanlah sesuatu yang eksternal terhadap teknologi, tetapi harus ditanamkan dalam seluruh proses—mulai dari perumusan masalah, desain sistem, hingga implementasi dan distribusinya.

Sebagai penjaga nilai dan agen perubahan, ilmuwan dan insinyur dituntut untuk mengintegrasikan pertimbangan moral ke dalam seluruh dimensi kerjanya. Di era ketika kecanggihan teknologi sering kali mendahului refleksi etis, tanggung jawab moral menjadi titik tumpu untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 4–6.

[2]                American Society of Civil Engineers, Code of Ethics (Reston, VA: ASCE, 2020), ethics.

[3]                Sheila Jasanoff, Science at the Bar: Law, Science, and Technology in America (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 71–95.

[4]                Carl Mitcham, Thinking Through Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 178–185.

[5]                Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 45–67.


6.           Implikasi Aksiologis terhadap Masyarakat

Perkembangan teknologi digital tidak hanya mengubah struktur teknis kehidupan, tetapi juga secara fundamental memengaruhi nilai-nilai sosial, cara berpikir, dan struktur kekuasaan dalam masyarakat. Teknologi bukan sekadar alat bantu yang netral, melainkan sistem nilai yang memiliki daya performatif terhadap tatanan sosial. Oleh karena itu, refleksi aksiologis atas teknologi harus mencakup analisis mendalam terhadap dampaknya terhadap masyarakat, termasuk isu-isu keadilan, privasi, relasi sosial, dan keberlanjutan.

Salah satu implikasi aksiologis yang paling kentara adalah pergeseran nilai dalam kehidupan sosial, di mana efisiensi, kecepatan, dan otomatisasi sering kali menggeser nilai-nilai humanistik seperti kesabaran, dialog, dan solidaritas. Misalnya, platform digital yang dirancang untuk kenyamanan sering kali mengorbankan ruang interaksi manusia yang bermakna. Sherry Turkle menyebut fenomena ini sebagai “alone together”—situasi di mana individu tampak terkoneksi secara teknis tetapi terasing secara emosional.¹

Implikasi lainnya adalah penguatan ketimpangan sosial melalui teknologi. Teknologi digital, alih-alih menjadi instrumen pemerataan, justru sering memperdalam kesenjangan akses dan peluang. Masyarakat yang memiliki akses terhadap perangkat dan literasi digital akan semakin maju, sementara kelompok marginal semakin tertinggal.² Fenomena ini dikenal dengan istilah digital divide. Dalam kerangka aksiologi, ketimpangan akses ini mencerminkan pelanggaran terhadap nilai keadilan dan inklusivitas yang seharusnya menjadi dasar dari kemajuan teknologi.

Lebih jauh lagi, teknologi dapat mempengaruhi bentuk-bentuk kontrol sosial dan kekuasaan. Michel Foucault, dalam analisisnya tentang teknologi kekuasaan, menunjukkan bahwa teknologi informasi dan pengawasan telah mengubah cara negara dan korporasi mengatur populasi melalui praktik surveillance.³ Dalam era big data, pengumpulan informasi personal oleh perusahaan teknologi menimbulkan pertanyaan aksiologis serius: siapa yang memiliki kendali atas data? Bagaimana data digunakan, dan untuk kepentingan siapa? Privasi sebagai nilai dasar otonomi manusia berada dalam tekanan yang semakin berat.

Tidak hanya itu, teknologi juga dapat mengubah konsep kerja dan ekonomi secara mendasar. Otomatisasi dan kecerdasan buatan telah menggantikan sejumlah besar pekerjaan manual dan bahkan kognitif.⁴ Hal ini menciptakan disrupsi sosial yang serius: meningkatnya pengangguran struktural, pergeseran keterampilan yang dibutuhkan, dan perubahan relasi kerja. Dalam perspektif aksiologis, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah kemajuan teknologi mendukung kehidupan yang bermartabat bagi semua warga, atau hanya menguntungkan segelintir elite teknokrat?

Namun demikian, teknologi juga menawarkan peluang untuk memperkuat nilai-nilai sosial yang positif. Ketika dikembangkan dan digunakan dengan pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan, teknologi dapat menjadi alat pemberdayaan sosial, inklusi, dan partisipasi demokratis. Misalnya, teknologi blockchain dapat meningkatkan transparansi dalam pemerintahan; platform pendidikan digital dapat menjangkau daerah terpencil; dan aplikasi pertanian berbasis AI dapat membantu petani kecil menghadapi perubahan iklim.⁵

Karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengembangkan budaya kritis terhadap teknologi—bukan untuk menolak kemajuan, tetapi untuk memastikan bahwa nilai-nilai dasar seperti keadilan, martabat manusia, solidaritas, dan tanggung jawab ekologis tetap menjadi fondasi pembangunan teknologi. Aksiologi membantu kita untuk tidak hanya bertanya “apakah teknologi ini mungkin?”, tetapi juga “apakah ia pantas?”, “adakah ia adil?”, dan “apakah ia bermakna dalam kerangka kehidupan bersama?


Footnotes

[1]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 11–23.

[2]                Jan van Dijk, The Deepening Divide: Inequality in the Information Society (Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, 2005), 65–88.

[3]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 195–228.

[4]                Erik Brynjolfsson and Andrew McAfee, The Second Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies (New York: W. W. Norton & Company, 2014), 111–142.

[5]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 164–179.


7.           Aksiologi Teknologi dalam Konteks Global dan Kearifan Lokal

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terhubung, teknologi tidak hanya berfungsi sebagai instrumen kemajuan, tetapi juga sebagai agen globalisasi nilai. Produk-produk teknologi digital membawa serta nilai-nilai yang inheren dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi tempat teknologi tersebut dikembangkan. Dengan demikian, teknologi global pada hakikatnya tidak netral secara budaya—ia memuat bias epistemologis dan aksiologis dari masyarakat penghasilnya, terutama dari dunia Barat.¹

Proses ini menimbulkan tantangan aksiologis bagi masyarakat non-Barat. Teknologi yang diimpor secara utuh tanpa penyaringan nilai sering kali menggeser norma dan kebijaksanaan lokal. Dalam kerangka ini, aksiologi berperan untuk membongkar “nilai-nilai tersembunyi” dalam teknologi global dan menilai kesesuaiannya dengan nilai-nilai lokal. Misalnya, sistem algoritmik media sosial yang mengedepankan keterlibatan emosional tinggi bisa bertentangan dengan nilai-nilai ketenangan, etika sopan santun, atau prinsip musyawarah dalam tradisi lokal.²

Sebagai respons atas dominasi nilai global dalam teknologi, berbagai pendekatan telah dikembangkan untuk menegaskan kembali pentingnya konteks lokal dan kearifan budaya. Salah satunya adalah pendekatan interkultural information ethics yang dikembangkan oleh Rafael Capurro. Ia menekankan bahwa etika informasi harus berakar pada dialog antarbudaya, sehingga nilai-nilai etis dalam teknologi tidak bersifat hegemonik, melainkan inklusif terhadap keragaman budaya.³ Dalam konteks ini, setiap masyarakat perlu mengembangkan kemampuan kritis untuk menyesuaikan teknologi dengan nilai-nilai luhur yang telah mengakar dalam sejarah dan budaya mereka.

Di Indonesia, misalnya, konsep kearifan lokal (local wisdom) seperti gotong royong, musyawarah, dan keseimbangan alam dapat dijadikan lensa aksiologis untuk mengevaluasi dan membentuk arah pemanfaatan teknologi. Teknologi yang berorientasi pada kolaborasi, keberlanjutan, dan keseimbangan sosial lebih sejalan dengan karakter nilai-nilai Pancasila daripada teknologi yang mendorong individualisme ekstrem dan konsumerisme.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal bukanlah hambatan terhadap modernitas, melainkan sumber alternatif nilai yang dapat memperkaya arah etis teknologi.

Lebih dari itu, dalam konteks global yang penuh ketimpangan, muncul pula dorongan untuk mengembangkan teknologi yang berkeadilan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menekankan pentingnya teknologi yang inklusif dan berkelanjutan sebagai bagian dari tanggung jawab global.⁵ Oleh karena itu, aksiologi teknologi juga menuntut refleksi lintas batas—yakni bahwa setiap bangsa, komunitas ilmiah, dan korporasi teknologi memiliki tanggung jawab etis untuk mengembangkan dan mendistribusikan teknologi yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil, berkeadaban, dan kontekstual.

Keterhubungan global yang difasilitasi oleh teknologi digital harus menjadi titik awal bagi perjumpaan nilai, bukan penyeragaman nilai. Dialog antara nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia, keadilan, dan kebebasan, dengan nilai-nilai partikular yang lahir dari kearifan lokal adalah landasan bagi pengembangan teknologi yang etis dan berakar. Dalam semangat inilah, aksiologi teknologi memainkan peran penting untuk menjaga agar kemajuan teknologi tidak menjadi instrumen dominasi, tetapi menjadi sarana kolaborasi dan pembebasan umat manusia secara global.


Footnotes

[1]                Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), 78–83.

[2]                Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press, 2017), 235–249.

[3]                Rafael Capurro, Intercultural Information Ethics: Foundations, Developments and Challenges, Journal of Information, Communication and Ethics in Society 6, no. 2 (2008): 87–106.

[4]                Ahmad Tafsir, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno (Bandung: Rosdakarya, 2014), 95–103.

[5]                United Nations, The Sustainable Development Goals Report 2023 (New York: UN Publications, 2023), 46–52.


8.           Tantangan dan Prospek Aksiologi Teknologi di Masa Depan

Memasuki era pasca-digital dan revolusi teknologi yang kian canggih, tantangan aksiologis tidak hanya bertambah kompleks, tetapi juga lebih mendesak. Kemajuan pesat dalam bidang seperti kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, robotika, dan komputasi kuantum menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang menyentuh inti kemanusiaan. Di satu sisi, teknologi membawa harapan besar bagi peningkatan kualitas hidup; namun di sisi lain, ia menimbulkan risiko-risiko etis dan eksistensial yang belum pernah dihadapi sebelumnya.

Salah satu tantangan utama adalah munculnya paradigma transhumanisme, yaitu gerakan yang mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan kemampuan biologis manusia—dari memperpanjang usia, meningkatkan kecerdasan, hingga menyatukan otak dengan mesin.¹ Meski menjanjikan “kemajuan” evolusi manusia, transhumanisme sering dikritik karena mengabaikan dimensi moral dan spiritual manusia serta membuka peluang terjadinya ketimpangan ekstrem antarindividu. Dalam perspektif aksiologi, pertanyaannya bukan hanya apakah kita bisa, tetapi apakah kita seharusnya melampaui batas-batas kodrat manusia.

Selain itu, hadir pula tantangan etis dari otonomi mesin, terutama dalam pengembangan AI yang mampu mengambil keputusan secara independen. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa keputusan yang diambil AI sejalan dengan nilai-nilai moral manusia, terutama jika AI mulai terlibat dalam domain sensitif seperti peradilan, militer, atau pengambilan kebijakan publik?² Di sinilah muncul urgensi mendesain AI ethics yang tidak hanya teknis, tetapi juga reflektif dan kontekstual. Luciano Floridi menyebut ini sebagai “AI for good”, yakni pengembangan kecerdasan buatan yang berorientasi pada kesejahteraan manusia secara menyeluruh.³

Tantangan lain adalah pergeseran makna tanggung jawab dan otonomi dalam era teknologi otonom. Ketika sistem algoritma semakin kompleks dan tidak lagi sepenuhnya dapat dijelaskan (black box systems), siapa yang harus bertanggung jawab atas konsekuensi yang ditimbulkannya?⁴ Dalam konteks ini, konsep tradisional tentang akuntabilitas perlu diperluas untuk mencakup desain teknologi itu sendiri sebagai objek evaluasi moral. Hal ini memerlukan pembaruan etika hukum dan kebijakan publik agar selaras dengan realitas baru.

Namun, di tengah tantangan tersebut, terbuka pula prospek baru bagi penguatan peran aksiologi dalam teknologi. Meningkatnya kesadaran akan etika digital, lahirnya pusat-pusat riset etika teknologi, dan inisiatif global seperti Ethics Guidelines for Trustworthy AI dari Komisi Eropa menunjukkan bahwa dunia mulai menyadari pentingnya menyeimbangkan inovasi dengan nilai.⁵ Aksiologi tidak lagi dianggap sebagai pelengkap normatif, tetapi sebagai bagian integral dari inovasi teknologi itu sendiri—sebuah paradigma yang dikenal sebagai ethics by design.

Lebih jauh, kemajuan teknologi memberikan peluang untuk mengembangkan nilai-nilai baru yang sebelumnya sulit diwujudkan, seperti transparansi radikal, kolaborasi global melalui sistem terbuka (open source), atau distribusi pengetahuan yang merata lewat platform daring. Teknologi blockchain, misalnya, memungkinkan sistem pengambilan keputusan yang lebih demokratis dan terdesentralisasi, yang dapat memperkuat nilai-nilai keadilan dan partisipasi.⁶ Maka, tantangan ke depan bukan hanya bagaimana menghindari sisi gelap teknologi, tetapi bagaimana mengarahkan potensinya untuk memperkuat nilai-nilai luhur umat manusia.

Di masa depan, aksiologi teknologi harus bergerak dari pendekatan reaktif ke pendekatan proaktif—tidak hanya merespons dampak, tetapi juga mengantisipasi dan membentuk masa depan berdasarkan nilai. Filsafat aksiologi tidak cukup hanya sebagai kritik terhadap dampak teknologi, tetapi juga sebagai visi normatif yang menuntun arah perkembangan teknologi secara lebih etis, manusiawi, dan berkeadaban.


Footnotes

[1]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 205–227.

[2]                Virginia Dignum, Responsible Artificial Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 45–63.

[3]                Luciano Floridi, The Ethics of Artificial Intelligence, The Oxford Handbook of Ethics of AI, eds. Markus D. Dubber, Frank Pasquale, and Sunit Das (Oxford: Oxford University Press, 2020), 3–19.

[4]                Frank Pasquale, The Black Box Society: The Secret Algorithms That Control Money and Information (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 24–46.

[5]                European Commission, Ethics Guidelines for Trustworthy AI (Brussels: High-Level Expert Group on AI, 2019), ethics-guidelines-trustworthy-ai.

[6]                Primavera De Filippi and Aaron Wright, Blockchain and the Law: The Rule of Code (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 89–107.


9.           Kesimpulan

Kajian aksiologi dalam konteks teknologi menawarkan pendekatan filosofis yang mendalam terhadap pertanyaan paling mendasar tentang arah, makna, dan tujuan dari kemajuan teknologis. Teknologi, sebagaimana telah dibahas secara komprehensif dalam bagian-bagian sebelumnya, bukanlah entitas netral yang bebas nilai. Ia adalah produk dari konstruksi budaya, keputusan etis, dan sistem nilai yang kompleks. Teknologi membentuk dan dibentuk oleh masyarakat; oleh karena itu, evaluasi terhadap teknologi harus dilakukan tidak hanya dari aspek fungsional, tetapi juga dari aspek moral dan aksiologis.

Melalui lensa aksiologi, kita dapat memahami bahwa kemajuan teknologi—baik dalam bentuk kecerdasan buatan, digitalisasi sistem sosial, atau rekayasa biologis—senantiasa membawa serta nilai-nilai tertentu yang perlu dipertanyakan secara kritis. Apakah teknologi tersebut memperkuat keadilan sosial, otonomi individu, solidaritas, dan keberlanjutan lingkungan? Ataukah sebaliknya, ia memperdalam ketimpangan, mengikis nilai-nilai kemanusiaan, dan menciptakan struktur kekuasaan baru yang tidak akuntabel?

Tanggung jawab etis tidak hanya berada di tangan pengguna akhir, tetapi terutama di tangan para pengembang teknologi—ilmuwan, insinyur, dan pembuat kebijakan—yang memiliki kuasa besar dalam menentukan arah inovasi. Seperti yang ditegaskan oleh Hans Jonas, etika masa depan menuntut tanggung jawab antisipatif yang mempertimbangkan generasi mendatang dan kelangsungan hidup planet ini.¹ Maka, setiap inovasi teknologis harus diawali dengan refleksi aksiologis: apa nilai yang kita perjuangkan? dan siapa yang terdampak oleh pilihan kita?

Di tengah globalisasi teknologi, muncul pula kebutuhan untuk mempertahankan keberagaman nilai dan kearifan lokal. Pendekatan universal dalam etika teknologi harus diimbangi dengan sensitivitas terhadap konteks budaya dan nilai-nilai lokal, seperti gotong royong, keseimbangan, dan harmoni alam dalam konteks Indonesia.² Dialog antara nilai-nilai global dan lokal merupakan jalan tengah yang produktif dalam mengembangkan teknologi yang tidak hanya canggih, tetapi juga beradab.

Tantangan masa depan memang besar: dari transhumanisme dan otonomi AI hingga pengawasan massal dan krisis tanggung jawab digital. Namun demikian, prospeknya juga menjanjikan. Ketika nilai-nilai aksiologis diintegrasikan secara sistematis dalam desain, distribusi, dan regulasi teknologi—apa yang dikenal sebagai ethics by design—maka kita tidak hanya menghindari dampak buruk teknologi, tetapi juga membentuk teknologi sebagai alat untuk memperkuat nilai-nilai luhur umat manusia.³

Aksiologi teknologi, dengan demikian, bukan sekadar cabang filsafat teoretis, tetapi panduan praktis bagi arah peradaban digital. Ia menuntut refleksi, tanggung jawab, dan visi moral yang luas agar teknologi tetap berada dalam kendali manusia—dan bukan sebaliknya. Dalam dunia yang terus berubah oleh teknologi, nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi kompas yang menuntun langkah kita.


Footnotes

[1]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 9–10.

[2]                Rafael Capurro, Intercultural Information Ethics: Foundations, Developments and Challenges, Journal of Information, Communication and Ethics in Society 6, no. 2 (2008): 92–94.

[3]                Luciano Floridi, The Ethics of Artificial Intelligence, in The Oxford Handbook of Ethics of AI, eds. Markus D. Dubber, Frank Pasquale, and Sunit Das (Oxford: Oxford University Press, 2020), 12–14.


Daftar Pustaka

American Society of Civil Engineers. (2020). Code of ethics. ethics

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2014). The second machine age: Work, progress, and prosperity in a time of brilliant technologies. W. W. Norton & Company.

Capurro, R. (2008). Intercultural information ethics: Foundations, developments and challenges. Journal of Information, Communication and Ethics in Society, 6(2), 87–106. doi.org

De Filippi, P., & Wright, A. (2018). Blockchain and the law: The rule of code. Harvard University Press.

Dignum, V. (2019). Responsible artificial intelligence: How to develop and use AI in a responsible way. Springer.

Feenberg, A. (1999). Questioning technology. Routledge.

Floridi, L. (1999). Information ethics: On the philosophical foundation of computer ethics. Ethics and Information Technology, 1(1), 37–56. doi.org

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2020). The ethics of artificial intelligence. In M. D. Dubber, F. Pasquale, & S. Das (Eds.), The Oxford handbook of ethics of AI (pp. 3–19). Oxford University Press.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books. (Original work published 1975)

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Hospers, J. (1997). An introduction to philosophical analysis (4th ed.). Routledge.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1997). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Mitcham, C. (1994). Thinking through technology: The path between engineering and philosophy. University of Chicago Press.

Pasquale, F. (2015). The black box society: The secret algorithms that control money and information. Harvard University Press.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values: A new attempt toward the foundation of an ethical personalism (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.). Northwestern University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Tafsir, A. (2014). Filsafat Pancasila menurut Bung Karno. Rosdakarya.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Tufekci, Z. (2017). Twitter and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale University Press.

Urmson, J. O., & Rée, J. (2005). The concise encyclopedia of Western philosophy (3rd ed.). Routledge.

United Nations. (2023). The Sustainable Development Goals report 2023. UN Publications. sdgs-report-2023

Van Dijk, J. (2005). The deepening divide: Inequality in the information society. SAGE Publications.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Verbeek, P.-P. (2005). What things do: Philosophical reflections on technology, agency, and design. Pennsylvania State University Press.

Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing technology: Understanding and designing the morality of things. University of Chicago Press.

Winner, L. (1986). The whale and the reactor: A search for limits in an age of high technology. University of Chicago Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar