Aksiologi dalam Teknologi
Telaah Nilai, Etika, dan Tanggung Jawab Moral di Era
Digital
Alihkan ke: Aksiologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji hubungan antara teknologi dan
nilai melalui pendekatan aksiologi sebagai cabang filsafat yang membahas
hakikat, sumber, dan hierarki nilai. Dengan melihat bahwa teknologi tidak
netral secara moral maupun budaya, artikel ini menelusuri bagaimana inovasi
teknologis selalu membawa muatan nilai yang memengaruhi kehidupan sosial,
politik, dan etika manusia modern. Kajian dimulai dengan pemaparan konsep dasar
aksiologi dan bagaimana teknologi merepresentasikan produk budaya dan ideologi
tertentu. Selanjutnya, artikel ini membahas kerangka evaluatif etika teknologi
melalui pendekatan utilitarianisme, deontologi, dan etika kebajikan, serta
menekankan pentingnya tanggung jawab moral para ilmuwan dan insinyur sebagai
agen perubahan. Implikasi sosial dari kemajuan teknologi, seperti disrupsi
nilai, ketimpangan digital, dan ancaman terhadap privasi, dianalisis dari
perspektif aksiologis. Artikel ini juga menyoroti pentingnya integrasi
nilai-nilai lokal dalam menghadapi globalisasi teknologi serta meninjau prospek
masa depan untuk pengembangan teknologi yang lebih etis melalui konsep ethics
by design. Dengan pendekatan filosofis yang kritis dan interdisipliner,
artikel ini menawarkan kontribusi penting dalam membangun kesadaran akan
perlunya keseimbangan antara kemajuan teknis dan tanggung jawab moral di era
digital.
Kata Kunci: Aksiologi, teknologi, etika digital, tanggung jawab
moral, nilai, globalisasi, etika desain, kecerdasan buatan, keadilan sosial,
filsafat teknologi.
PEMBAHASAN
Aksiologi dalam Teknologi
1.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi di era digital telah membawa
perubahan mendasar dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari
cara berkomunikasi, bekerja, belajar, hingga berinteraksi sosial.
Inovasi-inovasi seperti kecerdasan buatan (AI), big data, teknologi biomedis,
dan Internet of Things (IoT) tidak hanya merevolusi sistem teknis dan ekonomi,
tetapi juga memunculkan persoalan nilai dan etika yang kompleks. Dalam konteks
ini, filsafat aksiologi—yang mengkaji tentang hakikat nilai, kebaikan, dan
tujuan hidup manusia—menjadi sangat relevan untuk digunakan sebagai kerangka
kritis dalam memahami dan menilai arah serta dampak teknologi terhadap
kemanusiaan.
Teknologi, pada hakikatnya, bukanlah sesuatu yang
netral. Ia selalu lahir dari nilai-nilai tertentu dan dalam banyak kasus
menjadi medium yang membawa serta kepentingan ideologis, politis, dan ekonomis.
Pandangan ini dikemukakan oleh Langdon Winner, yang menyatakan bahwa artefak
teknologi memiliki “muatan politik” karena dapat mendukung atau membatasi
bentuk-bentuk kehidupan sosial tertentu, baik secara disengaja maupun tidak
disadari.¹ Teknologi, dengan demikian, tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan
etis: nilai apa yang diusungnya? Kepada siapa manfaat dan mudaratnya ditujukan?
Lebih jauh, Hans Jonas dalam The Imperative of
Responsibility mengajukan tesis bahwa dalam era teknologi maju, manusia
dituntut untuk mengembangkan etika baru—etika tanggung jawab—yang
mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan teknologis terhadap
kelangsungan umat manusia dan alam semesta.² Etika klasik yang berfokus pada
hubungan antarindividu kini tidak lagi cukup, karena dampak teknologi melampaui
ruang dan waktu, memengaruhi generasi mendatang yang bahkan belum lahir.
Oleh karena itu, studi tentang aksiologi dalam
teknologi bertujuan bukan hanya untuk menilai apakah suatu inovasi teknologis
efektif secara teknis atau menguntungkan secara ekonomis, melainkan juga apakah
ia adil, manusiawi, dan sejalan dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Diskursus
ini tidak hanya menjadi domain para filsuf, tetapi juga penting bagi ilmuwan,
insinyur, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas sebagai pengguna dan penyambut
teknologi. Ketika teknologi terus melaju tanpa kendali etik, kita berisiko kehilangan
arah dalam pembangunan peradaban yang berkeadaban.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji teknologi dari
perspektif aksiologis secara menyeluruh. Kajian ini akan membahas konsep dasar
aksiologi, memetakan nilai-nilai yang terkandung dalam teknologi, serta
menelaah tanggung jawab moral dari para pelaku dan pengguna teknologi di era
digital. Melalui pendekatan ini, diharapkan muncul kesadaran kritis akan
pentingnya menyeimbangkan kemajuan teknologi dengan keberlangsungan nilai-nilai
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Langdon Winner, The Whale and the Reactor: A
Search for Limits in an Age of High Technology (Chicago: University of
Chicago Press, 1986), 19–39.
[2]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 7–10.
2.
Hakikat Aksiologi dan Posisi Cabangnya dalam
Filsafat
Aksiologi merupakan salah satu cabang utama
filsafat yang berfokus pada studi tentang nilai (values), baik nilai moral,
estetika, maupun nilai-nilai instrumental lainnya dalam kehidupan manusia.
Dalam ranah filsafat, aksiologi menempati posisi yang sejajar dengan ontologi
(kajian tentang hakikat realitas) dan epistemologi (kajian tentang
pengetahuan), membentuk trinitas fundamental dalam struktur pemikiran
filosofis. Secara etimologis, istilah "aksiologi" berasal dari
bahasa Yunani: axios yang berarti "bernilai" dan logos
yang berarti "ilmu" atau "kajian". Dengan
demikian, aksiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari hakikat,
kriteria, dan hierarki nilai dalam kehidupan.¹
Aksiologi tidak hanya terbatas pada pengenalan
terhadap nilai-nilai itu sendiri, tetapi juga menelaah bagaimana nilai-nilai
tersebut dijustifikasi dan direalisasikan dalam praksis hidup manusia. Dalam
konteks ini, aksiologi terbagi menjadi dua cabang utama: etika, yang
mempelajari nilai baik dan buruk dalam tindakan manusia, serta estetika,
yang mengkaji nilai keindahan dalam ekspresi artistik maupun pengalaman
estetis.² Namun, seiring dengan berkembangnya peradaban dan kompleksitas
problematika kontemporer, aksiologi meluas hingga mencakup nilai-nilai sosial,
ekonomi, politik, bahkan teknologi.
Etika, sebagai subbidang utama dalam aksiologi,
menempati posisi sentral dalam merespons berbagai problem moral yang muncul
akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Etika tidak hanya mempersoalkan
norma tindakan individu, tetapi juga mengarah pada refleksi filosofis yang
mendalam mengenai tanggung jawab kolektif dan keberlanjutan nilai-nilai
manusiawi dalam sistem sosial yang semakin bergantung pada teknologi.³ Di
sinilah aksiologi berfungsi sebagai medan kritis untuk menilai apakah suatu
tindakan, kebijakan, atau inovasi teknologi benar-benar mendukung kemaslahatan
manusia atau justru mereduksi nilai-nilai luhur yang mendasari kemanusiaan itu
sendiri.
Di sisi lain, posisi aksiologi dalam filsafat
kontemporer mengalami revitalisasi seiring dengan munculnya tantangan baru
dalam bentuk relativisme nilai, nihilisme, dan instrumentalisasi ilmu. Banyak
filsuf, seperti Max Scheler dan Nicolai Hartmann, mencoba mengembalikan nilai
pada tempat yang sejati sebagai realitas objektif yang dapat diketahui dan
dijadikan landasan normatif dalam tindakan manusia.⁴ Pandangan ini penting
dalam menjawab krisis nilai yang mengiringi revolusi teknologi saat ini, di
mana sering kali efisiensi dan kecepatan dijadikan ukuran utama, tanpa
mempertimbangkan aspek moral dan humanistik.
Dalam konteks teknologi modern, pemahaman terhadap
aksiologi menjadi semakin urgen. Ketika inovasi teknologis tidak hanya
memengaruhi aspek praktis kehidupan, tetapi juga membentuk ulang nilai,
preferensi, dan orientasi hidup manusia, maka refleksi aksiologis menjadi
mutlak diperlukan. Aksiologi, dengan demikian, bukan sekadar wacana abstrak
filosofis, tetapi alat analisis yang vital untuk menimbang arah dan dampak
perkembangan teknologi terhadap harkat dan martabat manusia.
Footnotes
[1]
James O. Urmson dan Jonathan Rée, The Concise
Encyclopedia of Western Philosophy (London: Routledge, 2005), 12.
[2]
John Hospers, An Introduction to Philosophical
Analysis, 4th ed. (London: Routledge, 1997), 244–246.
[3]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 1–4.
[4]
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal
Ethics of Values: A New Attempt Toward the Foundation of an Ethical Personalism,
trans. Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1973), 15–18.
3.
Teknologi sebagai Produk Budaya dan Nilai
Teknologi sering kali dipahami secara sempit
sebagai hasil dari pengetahuan ilmiah yang diimplementasikan dalam bentuk alat,
sistem, atau prosedur guna mempermudah kehidupan manusia. Namun, pendekatan
aksiologis menuntut pemahaman yang lebih dalam, yaitu bahwa teknologi bukan
sekadar produk netral yang bebas nilai, melainkan sebuah konstruksi sosial dan
budaya yang sarat dengan kepentingan, nilai, dan makna. Teknologi lahir dari
konteks historis, budaya, dan ideologis tertentu, serta turut membentuk cara
manusia memandang dunia dan dirinya sendiri.
Salah satu pemikir penting yang menekankan
keterkaitan antara teknologi dan nilai adalah Langdon Winner. Ia mengkritik
pandangan “instrumentalis” terhadap teknologi—yang menganggap teknologi
sebagai alat netral yang bisa digunakan untuk tujuan apa pun tergantung
penggunaannya. Menurut Winner, teknologi memiliki “sifat politis” karena desain
dan implementasinya dapat secara implisit mengandung struktur kekuasaan,
mendukung sistem sosial tertentu, atau bahkan menciptakan ketimpangan.¹ Sebagai
contoh, desain arsitektur jalan layang rendah di New York pada awal abad ke-20
yang mencegah akses bus umum ke taman pinggiran kota dinilai sebagai bentuk diskriminasi
kelas melalui teknologi.²
Di sisi lain, filsuf Jerman Martin Heidegger dalam
esainya The Question Concerning Technology menekankan bahwa teknologi
modern bukan hanya alat, tetapi cara manusia "mengungkapkan" (revealing)
dunia. Dalam kerangka ini, teknologi adalah wujud dari suatu Gestell
(enframing), yaitu kecenderungan untuk melihat alam dan manusia sebagai sumber
daya yang dapat diatur, dioptimalkan, dan dieksploitasi.³ Dengan kata lain,
teknologi memengaruhi struktur pemikiran manusia dan nilai-nilai yang melekat
padanya. Dunia tidak lagi dilihat sebagai ciptaan sakral, melainkan sebagai
obyek material yang dapat dikendalikan demi efisiensi dan produktivitas.
Selain itu, teknologi juga merupakan hasil
konstruksi budaya yang mencerminkan nilai dan prioritas suatu masyarakat.
Teknologi komunikasi seperti media sosial, misalnya, tidak hanya mencerminkan
hasrat manusia untuk terhubung, tetapi juga memperlihatkan nilai-nilai zaman
seperti kebutuhan akan pengakuan, aktualisasi diri, dan ekspresi kebebasan.
Namun, ia juga membuka celah terhadap nilai-nilai negatif seperti narsisisme
digital, disinformasi, dan pengawasan masif.⁴ Maka, dalam setiap inovasi
teknologi, selalu tersembunyi narasi nilai yang perlu diurai dan dievaluasi
secara kritis.
Peter-Paul Verbeek dalam studinya tentang hubungan
antara manusia dan teknologi mengemukakan bahwa teknologi tidak hanya menjadi
medium pasif, tetapi juga aktor yang ikut membentuk subjektivitas dan moralitas
manusia.⁵ Dengan kata lain, teknologi memiliki “agency” dalam menentukan
bagaimana manusia bertindak dan berpikir. Oleh karena itu, memahami teknologi
sebagai produk budaya dan nilai adalah langkah awal yang penting dalam kajian
aksiologis untuk menimbang arah etis dari perkembangan teknologi itu sendiri.
Teknologi tidak pernah berada dalam ruang hampa
nilai. Ia mengandung, mencerminkan, dan bahkan memperkuat struktur nilai
tertentu dalam masyarakat. Dengan menyadari hal ini, kita diajak untuk tidak
hanya mengagumi kecanggihan teknologi, tetapi juga mengkritisi konsekuensi
nilai yang terkandung di dalamnya, demi memastikan bahwa perkembangan teknologi
tetap sejalan dengan martabat dan keberlanjutan kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Langdon Winner, The Whale and the Reactor: A
Search for Limits in an Age of High Technology (Chicago: University of
Chicago Press, 1986), 19–39.
[2]
Ibid., 23.
[3]
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper &
Row, 1977), 12–35.
[4]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 153–180.
[5]
Peter-Paul Verbeek, What Things Do:
Philosophical Reflections on Technology, Agency, and Design (University
Park, PA: Pennsylvania State University Press, 2005), 117–140.
4.
Etika Teknologi: Kerangka Evaluasi Aksiologis
Etika teknologi merupakan bidang interdisipliner
yang mengkaji dimensi moral dari pengembangan dan penggunaan teknologi. Dalam
konteks filsafat aksiologi, etika teknologi memainkan peran vital sebagai
kerangka evaluatif terhadap nilai-nilai yang melekat dalam inovasi teknologis,
serta dampaknya terhadap individu, masyarakat, dan lingkungan. Dengan semakin
meluasnya intervensi teknologi dalam kehidupan manusia, pertanyaan mengenai apa
yang “baik”, “benar”, dan “adil” menjadi semakin mendesak
untuk dijawab melalui pendekatan etis yang sistematis.
Salah satu pendekatan utama dalam etika teknologi
adalah utilitarianisme, yang menilai suatu tindakan atau teknologi
berdasarkan konsekuensinya terhadap kebahagiaan atau manfaat terbesar bagi
sebanyak mungkin orang. Misalnya, penggunaan algoritma dalam sistem layanan
publik atau transportasi dinilai etis jika meningkatkan efisiensi dan
kenyamanan masyarakat luas. Namun, pendekatan ini kerap dikritik karena cenderung
mengabaikan hak individu demi keuntungan kolektif.¹ Dalam praktiknya, sistem
pengawasan digital berbasis AI yang meningkatkan keamanan nasional, tetapi
sekaligus melanggar privasi warga negara, menjadi contoh nyata dari dilema etis
ini.
Sebaliknya, deontologi menekankan pentingnya
prinsip moral universal yang tidak boleh dilanggar, terlepas dari
konsekuensinya. Dalam konteks ini, pelanggaran terhadap martabat manusia,
seperti melalui manipulasi data pribadi atau diskriminasi algoritmik, tidak
dapat dibenarkan meskipun hasilnya menguntungkan.² Pendekatan ini menyoroti
pentingnya hak asasi manusia dan keadilan prosedural dalam desain dan
implementasi teknologi. Oleh karena itu, deontologi menuntut agar nilai-nilai
moral menjadi bagian dari struktur internal teknologi, bukan sekadar dampak
eksternalnya.
Selain itu, pendekatan etika kebajikan
(virtue ethics) berfokus pada karakter moral para pengembang dan pengguna
teknologi.³ Alih-alih hanya mengevaluasi tindakan atau dampak, pendekatan ini
mempertanyakan: apakah inovasi ini lahir dari motivasi yang luhur? Apakah para
insinyur, ilmuwan, dan pebisnis yang terlibat menunjukkan integritas,
kebijaksanaan, dan tanggung jawab? Dalam dunia teknologi yang sangat kompetitif
dan berorientasi keuntungan, pendekatan ini mengingatkan kita akan pentingnya
pembentukan pribadi-pribadi bermoral di balik mesin dan sistem yang canggih.
Untuk menilai teknologi secara menyeluruh, kerangka
aksiologis harus mengintegrasikan ketiga pendekatan tersebut dalam suatu model
etika reflektif dan kontekstual. Luciano Floridi mengusulkan konsep “Information
Ethics” sebagai paradigma etika baru yang memperluas lingkup moral tidak
hanya kepada manusia, tetapi juga kepada entitas informasi seperti data,
sistem, dan lingkungan digital.⁴ Dengan paradigma ini, pelanggaran terhadap
integritas data atau manipulasi digital tidak hanya dilihat sebagai kejahatan
teknis, tetapi sebagai pelanggaran etis terhadap “ekosistem informasi”
yang menopang kehidupan modern.
Dalam dunia nyata, sejumlah dilema etis muncul dari
inovasi teknologi mutakhir. Penggunaan deepfake untuk kepentingan politik,
kecenderungan bias rasial dalam algoritma rekrutmen, atau dominasi perusahaan
teknologi besar terhadap data pengguna—semuanya mencerminkan urgensi untuk menerapkan
evaluasi aksiologis yang tajam.⁵ Maka dari itu, etika teknologi tidak boleh
bersifat reaktif atau sekadar normatif; ia harus menjadi bagian dari proses
desain dan pengambilan keputusan sejak tahap awal pengembangan teknologi
(ethics by design).
Melalui kerangka evaluasi aksiologis, kita diajak
untuk menimbang apakah suatu teknologi benar-benar mencerminkan nilai-nilai
keadilan, otonomi, solidaritas, dan keberlanjutan. Teknologi yang etis bukan
hanya yang canggih atau efisien, tetapi yang memperkuat harkat dan martabat
manusia dalam seluruh dimensinya.
Footnotes
[1]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 10–15.
[2]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
36–40.
[3]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A
Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University
Press, 2016), 5–30.
[4]
Luciano Floridi, Information Ethics: On the Philosophical
Foundation of Computer Ethics, Ethics and Information Technology 1,
no. 1 (1999): 37–56.
[5]
Virginia Eubanks, Automating Inequality: How
High-Tech Tools Profile, Police, and Punish the Poor (New York: St.
Martin’s Press, 2018), 83–110.
5.
Tanggung Jawab Moral Ilmuwan dan Insinyur
Dalam konteks
revolusi teknologi dan transformasi digital yang meluas, tanggung jawab moral
para ilmuwan dan insinyur tidak dapat lagi dipahami secara sempit hanya sebagai
kewajiban profesional atau teknis. Sebaliknya, mereka memegang peran strategis
sebagai arsitek peradaban baru, di mana nilai-nilai manusiawi dapat ditegakkan
atau justru diabaikan melalui keputusan desain, rekayasa, dan inovasi
teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab moral ilmuwan dan insinyur mencakup
dimensi etis yang mendalam: komitmen terhadap kebaikan bersama, keadilan
sosial, dan keberlanjutan kehidupan.
Filsuf Hans Jonas
dalam karya monumentalnya The Imperative of Responsibility
menegaskan bahwa etika tradisional tidak lagi memadai dalam era teknologi
modern. Teknologi memiliki daya transformatif yang melampaui ruang dan waktu,
dan oleh karenanya diperlukan “imperatif baru” yang menuntut tanggung jawab
antisipatif terhadap generasi mendatang dan seluruh ekosistem kehidupan.¹
Menurut Jonas, prinsip moral harus bergeser dari orientasi "di sini dan
sekarang" ke cakrawala "di sana dan nanti". Etika
ilmuwan dan insinyur tidak cukup hanya dengan tidak melakukan kesalahan
(non-maleficence), tetapi juga harus proaktif dalam memastikan bahwa hasil
kerjanya tidak mengancam kelangsungan hidup manusia dan planet.
Prinsip tanggung
jawab ini juga ditekankan dalam kode etik profesi ilmiah dan teknik. American
Society of Civil Engineers, misalnya, menyatakan bahwa insinyur harus “mengutamakan
keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan umum” dalam segala keputusan dan
tindakannya.² Dalam praktiknya, hal ini berarti ilmuwan dan insinyur memiliki
kewajiban moral untuk menolak proyek yang secara jelas melanggar hak asasi
manusia, merusak lingkungan, atau memperparah ketimpangan sosial, walaupun
secara teknis dapat dilakukan.
Tanggung jawab moral
juga mencakup kejujuran intelektual dan transparansi. Di tengah era
disinformasi dan manipulasi data, integritas ilmiah menjadi fondasi penting
bagi kepercayaan publik terhadap sains dan teknologi.³ Kasus-kasus manipulasi
data riset farmasi, rekayasa algoritma untuk keuntungan ekonomi semata, atau
kolusi antara akademisi dan korporasi teknologi menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan dapat disalahgunakan ketika nilai-nilai moral dilepaskan dari
praktik profesional.
Selain itu, para
ilmuwan dan insinyur harus menyadari bahwa inovasi mereka tidak terjadi dalam
ruang vakum, melainkan dalam konteks sosial-politik yang kompleks. Hal ini
menuntut mereka untuk mengembangkan moral imagination—kemampuan untuk
memproyeksikan dampak sosial dari inovasi teknis yang mereka ciptakan, termasuk
dampak tak terduga.⁴ Dalam hal ini, keterlibatan ilmuwan dalam dialog lintas
disiplin dengan etikus, filsuf, dan masyarakat sipil sangatlah penting guna
memperkaya perspektif nilai dalam proses inovasi.
Peter-Paul Verbeek
menekankan bahwa teknologi tidak netral dan tidak sepenuhnya berada di luar
kendali manusia. Justru karena manusia berperan dalam merancang dan mengarahkan
teknologi, maka tanggung jawab etis atas dampaknya tidak dapat dilepaskan dari
mereka yang mengembangkannya.⁵ Dengan demikian, moralitas bukanlah sesuatu yang
eksternal terhadap teknologi, tetapi harus ditanamkan dalam seluruh
proses—mulai dari perumusan masalah, desain sistem, hingga implementasi dan
distribusinya.
Sebagai penjaga
nilai dan agen perubahan, ilmuwan dan insinyur dituntut untuk mengintegrasikan
pertimbangan moral ke dalam seluruh dimensi kerjanya. Di era ketika kecanggihan
teknologi sering kali mendahului refleksi etis, tanggung jawab moral menjadi
titik tumpu untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tetap berpihak pada
nilai-nilai kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 4–6.
[2]
American Society of Civil Engineers, Code of Ethics (Reston,
VA: ASCE, 2020), ethics.
[3]
Sheila Jasanoff, Science at the Bar: Law, Science, and Technology
in America (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 71–95.
[4]
Carl Mitcham, Thinking Through Technology: The Path between
Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994),
178–185.
[5]
Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and
Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press,
2011), 45–67.
6.
Implikasi Aksiologis terhadap Masyarakat
Perkembangan teknologi digital tidak hanya mengubah
struktur teknis kehidupan, tetapi juga secara fundamental memengaruhi
nilai-nilai sosial, cara berpikir, dan struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Teknologi bukan sekadar alat bantu yang netral, melainkan sistem nilai yang
memiliki daya performatif terhadap tatanan sosial. Oleh karena itu, refleksi
aksiologis atas teknologi harus mencakup analisis mendalam terhadap dampaknya
terhadap masyarakat, termasuk isu-isu keadilan, privasi, relasi sosial, dan
keberlanjutan.
Salah satu implikasi aksiologis yang paling kentara
adalah pergeseran nilai dalam kehidupan sosial, di mana efisiensi,
kecepatan, dan otomatisasi sering kali menggeser nilai-nilai humanistik seperti
kesabaran, dialog, dan solidaritas. Misalnya, platform digital yang dirancang
untuk kenyamanan sering kali mengorbankan ruang interaksi manusia yang bermakna.
Sherry Turkle menyebut fenomena ini sebagai “alone together”—situasi di
mana individu tampak terkoneksi secara teknis tetapi terasing secara
emosional.¹
Implikasi lainnya adalah penguatan ketimpangan
sosial melalui teknologi. Teknologi digital, alih-alih menjadi instrumen
pemerataan, justru sering memperdalam kesenjangan akses dan peluang. Masyarakat
yang memiliki akses terhadap perangkat dan literasi digital akan semakin maju,
sementara kelompok marginal semakin tertinggal.² Fenomena ini dikenal dengan istilah
digital divide. Dalam kerangka aksiologi, ketimpangan akses ini
mencerminkan pelanggaran terhadap nilai keadilan dan inklusivitas yang
seharusnya menjadi dasar dari kemajuan teknologi.
Lebih jauh lagi, teknologi dapat mempengaruhi
bentuk-bentuk kontrol sosial dan kekuasaan. Michel Foucault, dalam
analisisnya tentang teknologi kekuasaan, menunjukkan bahwa teknologi informasi
dan pengawasan telah mengubah cara negara dan korporasi mengatur populasi
melalui praktik surveillance.³ Dalam era big data, pengumpulan informasi
personal oleh perusahaan teknologi menimbulkan pertanyaan aksiologis serius:
siapa yang memiliki kendali atas data? Bagaimana data digunakan, dan untuk
kepentingan siapa? Privasi sebagai nilai dasar otonomi manusia berada dalam
tekanan yang semakin berat.
Tidak hanya itu, teknologi juga dapat mengubah
konsep kerja dan ekonomi secara mendasar. Otomatisasi dan kecerdasan buatan
telah menggantikan sejumlah besar pekerjaan manual dan bahkan kognitif.⁴ Hal
ini menciptakan disrupsi sosial yang serius: meningkatnya pengangguran
struktural, pergeseran keterampilan yang dibutuhkan, dan perubahan relasi
kerja. Dalam perspektif aksiologis, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah
kemajuan teknologi mendukung kehidupan yang bermartabat bagi semua warga, atau
hanya menguntungkan segelintir elite teknokrat?
Namun demikian, teknologi juga menawarkan peluang
untuk memperkuat nilai-nilai sosial yang positif. Ketika dikembangkan dan
digunakan dengan pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan, teknologi dapat menjadi
alat pemberdayaan sosial, inklusi, dan partisipasi demokratis. Misalnya,
teknologi blockchain dapat meningkatkan transparansi dalam pemerintahan;
platform pendidikan digital dapat menjangkau daerah terpencil; dan aplikasi
pertanian berbasis AI dapat membantu petani kecil menghadapi perubahan iklim.⁵
Karena itu, penting bagi masyarakat untuk
mengembangkan budaya kritis terhadap teknologi—bukan untuk menolak kemajuan,
tetapi untuk memastikan bahwa nilai-nilai dasar seperti keadilan, martabat
manusia, solidaritas, dan tanggung jawab ekologis tetap menjadi fondasi
pembangunan teknologi. Aksiologi membantu kita untuk tidak hanya bertanya “apakah
teknologi ini mungkin?”, tetapi juga “apakah ia pantas?”, “adakah
ia adil?”, dan “apakah ia bermakna dalam kerangka kehidupan bersama?”
Footnotes
[1]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 11–23.
[2]
Jan van Dijk, The Deepening Divide: Inequality
in the Information Society (Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, 2005),
65–88.
[3]
Michel Foucault, Discipline and Punish: The
Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995),
195–228.
[4]
Erik Brynjolfsson and Andrew McAfee, The Second
Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies
(New York: W. W. Norton & Company, 2014), 111–142.
[5]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 164–179.
7.
Aksiologi Teknologi dalam Konteks Global dan Kearifan
Lokal
Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan
terhubung, teknologi tidak hanya berfungsi sebagai instrumen kemajuan, tetapi
juga sebagai agen globalisasi nilai. Produk-produk teknologi digital membawa
serta nilai-nilai yang inheren dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi tempat
teknologi tersebut dikembangkan. Dengan demikian, teknologi global pada
hakikatnya tidak netral secara budaya—ia memuat bias epistemologis dan
aksiologis dari masyarakat penghasilnya, terutama dari dunia Barat.¹
Proses ini menimbulkan tantangan aksiologis
bagi masyarakat non-Barat. Teknologi yang diimpor secara utuh tanpa penyaringan
nilai sering kali menggeser norma dan kebijaksanaan lokal. Dalam kerangka ini,
aksiologi berperan untuk membongkar “nilai-nilai tersembunyi” dalam teknologi
global dan menilai kesesuaiannya dengan nilai-nilai lokal. Misalnya, sistem
algoritmik media sosial yang mengedepankan keterlibatan emosional tinggi bisa
bertentangan dengan nilai-nilai ketenangan, etika sopan santun, atau prinsip
musyawarah dalam tradisi lokal.²
Sebagai respons atas dominasi nilai global dalam
teknologi, berbagai pendekatan telah dikembangkan untuk menegaskan kembali
pentingnya konteks lokal dan kearifan budaya. Salah satunya adalah
pendekatan interkultural information ethics yang dikembangkan oleh
Rafael Capurro. Ia menekankan bahwa etika informasi harus berakar pada dialog
antarbudaya, sehingga nilai-nilai etis dalam teknologi tidak bersifat
hegemonik, melainkan inklusif terhadap keragaman budaya.³ Dalam konteks ini,
setiap masyarakat perlu mengembangkan kemampuan kritis untuk menyesuaikan
teknologi dengan nilai-nilai luhur yang telah mengakar dalam sejarah dan budaya
mereka.
Di Indonesia, misalnya, konsep kearifan lokal
(local wisdom) seperti gotong royong, musyawarah, dan keseimbangan alam dapat
dijadikan lensa aksiologis untuk mengevaluasi dan membentuk arah pemanfaatan
teknologi. Teknologi yang berorientasi pada kolaborasi, keberlanjutan, dan
keseimbangan sosial lebih sejalan dengan karakter nilai-nilai Pancasila
daripada teknologi yang mendorong individualisme ekstrem dan konsumerisme.⁴ Hal
ini menunjukkan bahwa kearifan lokal bukanlah hambatan terhadap modernitas,
melainkan sumber alternatif nilai yang dapat memperkaya arah etis teknologi.
Lebih dari itu, dalam konteks global yang penuh
ketimpangan, muncul pula dorongan untuk mengembangkan teknologi yang
berkeadilan global. Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (SDGs) menekankan pentingnya teknologi yang inklusif dan
berkelanjutan sebagai bagian dari tanggung jawab global.⁵ Oleh karena itu,
aksiologi teknologi juga menuntut refleksi lintas batas—yakni bahwa setiap
bangsa, komunitas ilmiah, dan korporasi teknologi memiliki tanggung jawab etis
untuk mengembangkan dan mendistribusikan teknologi yang tidak hanya efisien,
tetapi juga adil, berkeadaban, dan kontekstual.
Keterhubungan global yang difasilitasi oleh
teknologi digital harus menjadi titik awal bagi perjumpaan nilai, bukan
penyeragaman nilai. Dialog antara nilai-nilai universal seperti hak asasi
manusia, keadilan, dan kebebasan, dengan nilai-nilai partikular yang lahir dari
kearifan lokal adalah landasan bagi pengembangan teknologi yang etis dan
berakar. Dalam semangat inilah, aksiologi teknologi memainkan peran penting
untuk menjaga agar kemajuan teknologi tidak menjadi instrumen dominasi, tetapi
menjadi sarana kolaborasi dan pembebasan umat manusia secara global.
Footnotes
[1]
Andrew Feenberg, Questioning Technology
(London: Routledge, 1999), 78–83.
[2]
Zeynep Tufekci, Twitter and Tear Gas: The Power
and Fragility of Networked Protest (New Haven: Yale University Press,
2017), 235–249.
[3]
Rafael Capurro, Intercultural Information
Ethics: Foundations, Developments and Challenges, Journal of
Information, Communication and Ethics in Society 6, no. 2 (2008): 87–106.
[4]
Ahmad Tafsir, Filsafat Pancasila Menurut Bung
Karno (Bandung: Rosdakarya, 2014), 95–103.
[5]
United Nations, The Sustainable Development
Goals Report 2023 (New York: UN Publications, 2023), 46–52.
8.
Tantangan dan Prospek Aksiologi Teknologi di
Masa Depan
Memasuki era
pasca-digital dan revolusi teknologi yang kian canggih, tantangan aksiologis
tidak hanya bertambah kompleks, tetapi juga lebih mendesak. Kemajuan pesat
dalam bidang seperti kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, robotika,
dan komputasi kuantum menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru
yang menyentuh inti kemanusiaan. Di satu sisi, teknologi membawa harapan besar
bagi peningkatan kualitas hidup; namun di sisi lain, ia menimbulkan
risiko-risiko etis dan eksistensial yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
Salah satu tantangan
utama adalah munculnya paradigma transhumanisme,
yaitu gerakan yang mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan kemampuan
biologis manusia—dari memperpanjang usia, meningkatkan kecerdasan, hingga
menyatukan otak dengan mesin.¹ Meski menjanjikan “kemajuan” evolusi
manusia, transhumanisme sering dikritik karena mengabaikan dimensi moral dan
spiritual manusia serta membuka peluang terjadinya ketimpangan ekstrem
antarindividu. Dalam perspektif aksiologi, pertanyaannya bukan hanya apakah
kita bisa,
tetapi apakah kita seharusnya melampaui batas-batas
kodrat manusia.
Selain itu, hadir
pula tantangan
etis dari otonomi mesin, terutama dalam pengembangan AI yang
mampu mengambil keputusan secara independen. Bagaimana kita bisa memastikan
bahwa keputusan yang diambil AI sejalan dengan nilai-nilai moral manusia,
terutama jika AI mulai terlibat dalam domain sensitif seperti peradilan,
militer, atau pengambilan kebijakan publik?² Di sinilah muncul urgensi
mendesain AI
ethics yang tidak hanya teknis, tetapi juga reflektif dan
kontekstual. Luciano Floridi menyebut ini sebagai “AI for good”, yakni
pengembangan kecerdasan buatan yang berorientasi pada kesejahteraan manusia
secara menyeluruh.³
Tantangan lain
adalah pergeseran
makna tanggung jawab dan otonomi dalam era teknologi otonom.
Ketika sistem algoritma semakin kompleks dan tidak lagi sepenuhnya dapat
dijelaskan (black box systems), siapa yang
harus bertanggung jawab atas konsekuensi yang ditimbulkannya?⁴ Dalam konteks
ini, konsep tradisional tentang akuntabilitas perlu diperluas untuk mencakup
desain teknologi itu sendiri sebagai objek evaluasi moral. Hal ini memerlukan
pembaruan etika hukum dan kebijakan publik agar selaras dengan realitas baru.
Namun, di tengah
tantangan tersebut, terbuka pula prospek baru bagi penguatan peran aksiologi
dalam teknologi. Meningkatnya kesadaran akan etika digital,
lahirnya pusat-pusat riset etika teknologi, dan inisiatif global seperti Ethics
Guidelines for Trustworthy AI dari Komisi Eropa menunjukkan bahwa
dunia mulai menyadari pentingnya menyeimbangkan inovasi dengan nilai.⁵
Aksiologi tidak lagi dianggap sebagai pelengkap normatif, tetapi sebagai bagian
integral dari inovasi teknologi itu sendiri—sebuah paradigma yang dikenal
sebagai ethics
by design.
Lebih jauh, kemajuan
teknologi memberikan peluang untuk mengembangkan nilai-nilai
baru yang sebelumnya sulit diwujudkan, seperti transparansi
radikal, kolaborasi global melalui sistem terbuka (open source), atau
distribusi pengetahuan yang merata lewat platform daring. Teknologi blockchain,
misalnya, memungkinkan sistem pengambilan keputusan yang lebih demokratis dan
terdesentralisasi, yang dapat memperkuat nilai-nilai keadilan dan partisipasi.⁶
Maka, tantangan ke depan bukan hanya bagaimana menghindari sisi gelap teknologi,
tetapi bagaimana mengarahkan potensinya untuk memperkuat nilai-nilai luhur umat
manusia.
Di masa depan,
aksiologi teknologi harus bergerak dari pendekatan reaktif ke pendekatan
proaktif—tidak hanya merespons dampak, tetapi juga mengantisipasi dan membentuk masa depan
berdasarkan nilai. Filsafat aksiologi tidak cukup hanya sebagai kritik terhadap
dampak teknologi, tetapi juga sebagai visi normatif yang menuntun arah
perkembangan teknologi secara lebih etis, manusiawi, dan berkeadaban.
Footnotes
[1]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 205–227.
[2]
Virginia Dignum, Responsible Artificial Intelligence: How to
Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 45–63.
[3]
Luciano Floridi, The Ethics of Artificial Intelligence, The
Oxford Handbook of Ethics of AI, eds. Markus D. Dubber, Frank Pasquale,
and Sunit Das (Oxford: Oxford University Press, 2020), 3–19.
[4]
Frank Pasquale, The Black Box Society: The Secret Algorithms That
Control Money and Information (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2015), 24–46.
[5]
European Commission, Ethics Guidelines for Trustworthy AI
(Brussels: High-Level Expert Group on AI, 2019), ethics-guidelines-trustworthy-ai.
[6]
Primavera De Filippi and Aaron Wright, Blockchain and the Law: The
Rule of Code (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2018), 89–107.
9.
Kesimpulan
Kajian aksiologi dalam konteks teknologi menawarkan
pendekatan filosofis yang mendalam terhadap pertanyaan paling mendasar tentang
arah, makna, dan tujuan dari kemajuan teknologis. Teknologi, sebagaimana telah
dibahas secara komprehensif dalam bagian-bagian sebelumnya, bukanlah entitas
netral yang bebas nilai. Ia adalah produk dari konstruksi budaya, keputusan
etis, dan sistem nilai yang kompleks. Teknologi membentuk dan dibentuk oleh
masyarakat; oleh karena itu, evaluasi terhadap teknologi harus dilakukan tidak
hanya dari aspek fungsional, tetapi juga dari aspek moral dan aksiologis.
Melalui lensa aksiologi, kita dapat memahami bahwa
kemajuan teknologi—baik dalam bentuk kecerdasan buatan, digitalisasi sistem
sosial, atau rekayasa biologis—senantiasa membawa serta nilai-nilai tertentu
yang perlu dipertanyakan secara kritis. Apakah teknologi tersebut memperkuat
keadilan sosial, otonomi individu, solidaritas, dan keberlanjutan lingkungan?
Ataukah sebaliknya, ia memperdalam ketimpangan, mengikis nilai-nilai
kemanusiaan, dan menciptakan struktur kekuasaan baru yang tidak akuntabel?
Tanggung jawab etis tidak hanya berada di tangan
pengguna akhir, tetapi terutama di tangan para pengembang teknologi—ilmuwan,
insinyur, dan pembuat kebijakan—yang memiliki kuasa besar dalam menentukan arah
inovasi. Seperti yang ditegaskan oleh Hans Jonas, etika masa depan menuntut
tanggung jawab antisipatif yang mempertimbangkan generasi mendatang dan
kelangsungan hidup planet ini.¹ Maka, setiap inovasi teknologis harus diawali
dengan refleksi aksiologis: apa nilai yang kita perjuangkan? dan siapa
yang terdampak oleh pilihan kita?
Di tengah globalisasi teknologi, muncul pula
kebutuhan untuk mempertahankan keberagaman nilai dan kearifan lokal. Pendekatan
universal dalam etika teknologi harus diimbangi dengan sensitivitas terhadap
konteks budaya dan nilai-nilai lokal, seperti gotong royong, keseimbangan, dan
harmoni alam dalam konteks Indonesia.² Dialog antara nilai-nilai global dan
lokal merupakan jalan tengah yang produktif dalam mengembangkan teknologi yang
tidak hanya canggih, tetapi juga beradab.
Tantangan masa depan memang besar: dari
transhumanisme dan otonomi AI hingga pengawasan massal dan krisis tanggung
jawab digital. Namun demikian, prospeknya juga menjanjikan. Ketika nilai-nilai
aksiologis diintegrasikan secara sistematis dalam desain, distribusi, dan regulasi
teknologi—apa yang dikenal sebagai ethics by design—maka kita tidak
hanya menghindari dampak buruk teknologi, tetapi juga membentuk teknologi
sebagai alat untuk memperkuat nilai-nilai luhur umat manusia.³
Aksiologi teknologi, dengan demikian, bukan sekadar
cabang filsafat teoretis, tetapi panduan praktis bagi arah peradaban digital.
Ia menuntut refleksi, tanggung jawab, dan visi moral yang luas agar teknologi
tetap berada dalam kendali manusia—dan bukan sebaliknya. Dalam dunia yang terus
berubah oleh teknologi, nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi kompas yang
menuntun langkah kita.
Footnotes
[1]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 9–10.
[2]
Rafael Capurro, Intercultural Information
Ethics: Foundations, Developments and Challenges, Journal of
Information, Communication and Ethics in Society 6, no. 2 (2008): 92–94.
[3]
Luciano Floridi, The Ethics of Artificial
Intelligence, in The Oxford Handbook of Ethics of AI, eds. Markus D.
Dubber, Frank Pasquale, and Sunit Das (Oxford: Oxford University Press, 2020),
12–14.
Daftar Pustaka
American Society of Civil
Engineers. (2020). Code of ethics. ethics
Bostrom, N. (2014). Superintelligence:
Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.
Brynjolfsson, E., &
McAfee, A. (2014). The second machine age: Work, progress, and prosperity
in a time of brilliant technologies. W. W. Norton & Company.
Capurro, R. (2008).
Intercultural information ethics: Foundations, developments and challenges. Journal
of Information, Communication and Ethics in Society, 6(2), 87–106. doi.org
De Filippi, P., &
Wright, A. (2018). Blockchain and the law: The rule of code. Harvard
University Press.
Dignum, V. (2019). Responsible
artificial intelligence: How to develop and use AI in a responsible way.
Springer.
Feenberg, A. (1999). Questioning
technology. Routledge.
Floridi, L. (1999).
Information ethics: On the philosophical foundation of computer ethics. Ethics
and Information Technology, 1(1), 37–56. doi.org
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Floridi, L. (2020). The
ethics of artificial intelligence. In M. D. Dubber, F. Pasquale, & S. Das
(Eds.), The Oxford handbook of ethics of AI (pp. 3–19). Oxford
University Press.
Foucault, M. (1995). Discipline
and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
(Original work published 1975)
Heidegger, M. (1977). The
question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.).
Harper & Row.
Hospers, J. (1997). An
introduction to philosophical analysis (4th ed.). Routledge.
Jonas, H. (1984). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1997). Groundwork
for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University
Press.
Mitcham, C. (1994). Thinking
through technology: The path between engineering and philosophy.
University of Chicago Press.
Pasquale, F. (2015). The
black box society: The secret algorithms that control money and information.
Harvard University Press.
Scheler, M. (1973). Formalism
in ethics and non-formal ethics of values: A new attempt toward the foundation
of an ethical personalism (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.).
Northwestern University Press.
Singer, P. (2011). Practical
ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.
Tafsir, A. (2014). Filsafat
Pancasila menurut Bung Karno. Rosdakarya.
Turkle, S. (2011). Alone
together: Why we expect more from technology and less from each other.
Basic Books.
Tufekci, Z. (2017). Twitter
and tear gas: The power and fragility of networked protest. Yale
University Press.
Urmson, J. O., & Rée,
J. (2005). The concise encyclopedia of Western philosophy (3rd ed.).
Routledge.
United Nations. (2023). The
Sustainable Development Goals report 2023. UN Publications. sdgs-report-2023
Van Dijk, J. (2005). The
deepening divide: Inequality in the information society. SAGE
Publications.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford
University Press.
Verbeek, P.-P. (2005). What
things do: Philosophical reflections on technology, agency, and design.
Pennsylvania State University Press.
Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing
technology: Understanding and designing the morality of things. University
of Chicago Press.
Winner, L. (1986). The
whale and the reactor: A search for limits in an age of high technology.
University of Chicago Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar