Kamis, 06 November 2025

Antara Struktur dan Keberuntungan: Rasionalitas, Realitas, dan Paradoks Kesuksesan Tanpa Pendidikan Formal

Antara Struktur dan Keberuntungan

Rasionalitas, Realitas, dan Paradoks Kesuksesan Tanpa Pendidikan Formal


Alihkan ke: Definisi dan Batasan Sukses.

Goal Orientation Theory, Solusi Mengejar Karir.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara filosofis dan interdisipliner tentang cara berpikir dalam memandang jalan kesuksesan antara dua paradigma besar: proses yang terstruktur melalui pendidikan formal dan keberhasilan yang lahir dari jalur non-formal atau keberuntungan. Fenomena para miliarder dunia seperti Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg, Larry Ellison, Jan Koum, dan Amancio Ortega dijadikan studi reflektif untuk menelaah bagaimana kesuksesan dapat dicapai di luar kerangka institusional, namun tetap rasional dan realistis. Pendekatan yang digunakan bersifat filsafat komprehensif, mencakup dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, psikologis, sosial, dan kultural, serta dilengkapi dengan analisis rasionalitas dan realisme.

Secara ontologis, kesuksesan dipahami sebagai modus keberadaan manusia yang sedang menjadi (being-in-becoming), bukan sekadar hasil akhir. Epistemologisnya, kesuksesan lahir dari integrasi antara pengetahuan reflektif dan pembelajaran non-formal yang bersifat praktis serta terbuka terhadap pengalaman. Aksiologisnya, kesuksesan menuntut orientasi etis, tanggung jawab sosial, dan makna kemanusiaan. Secara psikologis dan kognitif, keberhasilan ditentukan oleh growth mindset, grit, dan kesadaran metakognitif, bukan semata oleh kecerdasan intelektual. Sementara itu, dimensi sosial, ekonomi, dan kultural menunjukkan bahwa kesuksesan bukanlah fenomena individual semata, melainkan konstruksi sosial yang lahir dari interaksi antara modal sosial, nilai budaya, dan sistem ekonomi global.

Analisis terhadap rasionalitas dan realisme memperlihatkan bahwa kesuksesan sejati merupakan sintesis antara struktur rasional dan peluang kontingensial. Kritik filosofis mengungkap perlunya membebaskan narasi kesuksesan dari determinisme pendidikan maupun mitos keberuntungan semata, dengan menegaskan bahwa manusia adalah subjek reflektif yang mampu mengubah realitas melalui kesadaran dan nilai. Dalam relevansi kontemporer, artikel ini menyoroti tantangan masa depan: kesuksesan harus dimaknai secara inklusif, etis, dan berkelanjutan di tengah disrupsi teknologi dan krisis kemanusiaan.

Secara sintetis, kesuksesan dirumuskan sebagai proses integral yang menggabungkan rasionalitas, makna, dan nilai—yakni keberhasilan yang rasional dalam metode, realistis dalam tindakan, etis dalam orientasi, dan humanistik dalam tujuan. Kesuksesan sejati bukanlah penaklukan dunia, tetapi penemuan diri di dalam dunia melalui refleksi, kebajikan, dan kontribusi terhadap kemaslahatan bersama.

Kata Kunci: kesuksesan; pendidikan formal; keberuntungan; filsafat kesuksesan; rasionalitas; realisme; etika; humanisme; mindset; pembelajaran non-formal.


PEMBAHASAN

Apakah kesuksesan lebih bergantung pada proses terstruktur atau keberuntungan?


1.           Pendahuluan

Kesuksesan merupakan konsep yang kompleks, multidimensional, dan sering kali dipahami secara beragam tergantung pada konteks sosial, budaya, dan historisnya. Dalam masyarakat modern, terutama sejak berkembangnya kapitalisme industri dan kemudian ekonomi digital, kesuksesan kerap dikaitkan dengan pencapaian ekonomi, inovasi teknologi, dan kemampuan individu menembus batas-batas sistem yang ada. Namun demikian, muncul pula perdebatan filosofis dan empiris mengenai jalan menuju kesuksesan: apakah keberhasilan lebih ditentukan oleh proses yang terstruktur—seperti pendidikan formal, disiplin, dan kerja sistematis—atau oleh faktor keberuntungan dan intuisi individual yang muncul secara kontingensial di luar sistem yang mapan.

Fenomena sejumlah miliarder dunia yang sukses tanpa menyelesaikan pendidikan formal memperkuat perdebatan tersebut. Nama-nama seperti Bill Gates (pendiri Microsoft), Steve Jobs (pendiri Apple), Mark Zuckerberg (pendiri Facebook), Larry Ellison (pendiri Oracle), Jan Koum (pendiri WhatsApp), dan Amancio Ortega (pendiri Zara) sering dikutip sebagai bukti bahwa pendidikan formal bukan satu-satunya kunci sukses. Mereka menjadi ikon dari narasi “dropout success”, yaitu kisah keberhasilan luar biasa yang tampak menentang logika meritokratis yang selama ini menjunjung pendidikan sebagai syarat utama mobilitas sosial dan ekonomi.¹

Namun, narasi tersebut menimbulkan sejumlah pertanyaan filosofis yang penting. Apakah kesuksesan mereka benar-benar hasil keberuntungan ataukah manifestasi dari struktur berpikir yang terarah dan rasional meskipun di luar sistem pendidikan formal? Apakah sistem pendidikan formal kehilangan relevansinya dalam dunia yang kini ditentukan oleh kreativitas, inovasi, dan kemampuan adaptif terhadap perubahan teknologi?² Dengan kata lain, persoalannya tidak semata-mata terletak pada pendidikan atau ketiadaannya, tetapi pada cara berpikir yang melandasi setiap pilihan dan strategi dalam menghadapi realitas.

Dalam konteks ini, filsafat memegang peranan penting untuk menelaah dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari kesuksesan. Filsafat membantu mengurai hakikat (ontologi) dari “sukses,” cara manusia mengetahui dan mempelajarinya (epistemologi), serta nilai-nilai yang mendasari dan menuntunnya (aksiologi).³ Pendekatan filosofis ini membuka ruang bagi analisis yang tidak sekadar menilai kesuksesan dari hasil akhir, tetapi juga dari rasionalitas proses yang menyertainya.

Lebih jauh lagi, refleksi terhadap fenomena “kesuksesan tanpa pendidikan formal” mengandung implikasi sosial dan etis. Ia menantang peran lembaga pendidikan dalam membentuk manusia produktif dan berintegritas, serta menggugat persepsi masyarakat tentang korelasi linear antara pendidikan dan kemakmuran.⁴ Dalam era digital dan disrupsi teknologi, ketika akses terhadap informasi dan keterampilan semakin terbuka, proses pembelajaran tidak lagi eksklusif bagi institusi akademik. Fenomena ini menunjukkan perlunya redefinisi terhadap arti pendidikan, bukan sebagai sekadar sistem transmisi pengetahuan, melainkan sebagai proses pembentukan cara berpikir kritis, kreatif, dan reflektif yang dapat berlangsung di dalam maupun di luar institusi formal.⁵

Kajian ini bertujuan untuk mengurai rasionalitas dan realitas di balik dua paradigma berpikir tersebut: jalan kesuksesan melalui proses yang terstruktur dan jalan kesuksesan melalui peluang non-formal atau keberuntungan. Dengan membandingkan dan menganalisis berbagai dimensi—filosofis, psikologis, sosial, dan empiris—kajian ini berupaya menjawab pertanyaan mendasar: mana yang lebih rasional dan realistis sebagai jalan kesuksesan manusia modern?


Footnotes

[1]                ¹ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 42–55.

[2]                ² Clayton M. Christensen, The Innovator’s Dilemma (Boston: Harvard Business Review Press, 1997), 21–29.

[3]                ³ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 215–218.

[4]                ⁴ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 99–104.

[5]                ⁵ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1998), 17–23.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Kesuksesan

Konsep kesuksesan tidak lahir dalam ruang hampa; ia memiliki akar historis yang panjang dan mengalami transformasi sesuai dinamika sosial, ekonomi, dan kultural manusia. Dalam peradaban awal, kesuksesan lebih banyak dikaitkan dengan status sosial dan kehormatan, bukan dengan prestasi individual. Dalam masyarakat feodal atau agraris, kesuksesan ditentukan oleh kelahiran, garis keturunan, dan relasi dengan kekuasaan.¹ Namun, sejak Revolusi Industri dan lahirnya kapitalisme modern, paradigma kesuksesan mengalami pergeseran mendasar: dari status yang diwariskan menuju pencapaian yang diusahakan (achieved status).²

Max Weber, dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, menjelaskan bahwa etos kerja dan rasionalitas ekonomi modern berakar pada semangat Protestan, terutama ajaran mengenai panggilan hidup (Beruf) dan kerja keras sebagai manifestasi iman.³ Etika ini melahirkan pandangan bahwa kesuksesan ekonomi adalah bukti moral dari kerja rasional dan kedisiplinan spiritual. Dengan demikian, pendidikan dan pembelajaran sistematis menjadi instrumen penting dalam membentuk individu produktif dan rasional, sesuai dengan tuntutan masyarakat industri.⁴

Memasuki abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II, pendidikan formal menjadi simbol utama mobilitas sosial dan pembangunan ekonomi. Negara-negara maju menjadikan pendidikan sebagai motor penggerak meritokrasi—sebuah sistem yang diyakini memberikan kesempatan setara berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan keturunan.⁵ Dalam konteks ini, kesuksesan dianggap hasil dari proses terstruktur yang mencakup perencanaan, disiplin, dan pendidikan tinggi. Paradigma ini didukung oleh teori fungsionalisme dalam sosiologi pendidikan, yang memandang sekolah sebagai lembaga reproduksi nilai-nilai kerja, rasionalitas, dan kompetensi yang dibutuhkan masyarakat industri.⁶

Namun, sejak akhir abad ke-20 hingga kini, dengan munculnya ekonomi digital dan gelombang disrupsi teknologi, muncul narasi tandingan terhadap hegemoni pendidikan formal. Kisah sukses para inovator seperti Steve Jobs, Bill Gates, Larry Ellison, dan Mark Zuckerberg menandai perubahan genealogis dalam cara pandang terhadap kesuksesan. Mereka menjadi simbol dari entrepreneurial individualism—etos baru yang menekankan kreativitas, keberanian mengambil risiko, dan ketidakterikatan pada struktur formal.⁷ Dalam konteks ini, kesuksesan dipahami bukan lagi sebagai hasil kepatuhan terhadap sistem, melainkan kemampuan melampaui sistem.

Munculnya ekonomi digital dan startup culture memperkuat pergeseran ini. Sistem pendidikan formal yang dulunya dianggap prasyarat kesuksesan kini dinilai lamban dalam mengikuti laju inovasi dan transformasi industri.⁸ Pembelajaran menjadi lebih terdesentralisasi melalui teknologi informasi, sumber terbuka, dan komunitas daring. Genealogi kesuksesan pun bergerak dari paradigma industrial ke paradigma kreatif, dari credentialism menuju competency-based achievement.⁹

Meski demikian, analisis genealogis yang lebih dalam memperlihatkan bahwa keberhasilan tokoh-tokoh tanpa pendidikan formal tetap bertumpu pada struktur tertentu, meskipun non-formal. Struktur tersebut berupa jaringan sosial, akses teknologi, kemampuan berpikir sistemik, serta kesediaan untuk terus belajar secara mandiri. Dengan kata lain, meskipun mereka menolak struktur pendidikan konvensional, mereka membangun struktur alternatif yang berbasis pada visi, pengalaman, dan eksperimen.¹⁰

Dengan demikian, secara historis, kesuksesan telah mengalami pergeseran makna dari bentuk-bentuk deterministik menuju bentuk-bentuk reflektif dan kreatif. Namun genealoginya menunjukkan bahwa baik sistem pendidikan maupun keberuntungan pribadi tidak berdiri sebagai kutub yang terpisah, melainkan sebagai dialektika yang saling mengandaikan. Pendidikan memberi landasan sistematis bagi berpikir rasional, sedangkan kebetulan atau kreativitas menyediakan ruang bagi penemuan dan inovasi.¹¹


Footnotes

[1]                ¹ R. H. Tawney, Religion and the Rise of Capitalism (London: John Murray, 1926), 33–41.

[2]                ² Anthony Giddens, The Class Structure of the Advanced Societies (London: Hutchinson, 1973), 57–59.

[3]                ³ Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 87–92.

[4]                ⁴ Émile Durkheim, Education and Sociology (New York: Free Press, 1956), 22–28.

[5]                ⁵ Raymond Aron, Main Currents in Sociological Thought, vol. 2 (New York: Doubleday Anchor, 1967), 145–148.

[6]                ⁶ Talcott Parsons, The Social System (New York: Free Press, 1951), 210–214.

[7]                ⁷ Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002), 5–7.

[8]                ⁸ Thomas L. Friedman, Thank You for Being Late: An Optimist’s Guide to Thriving in the Age of Accelerations (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2016), 89–94.

[9]                ⁹ Daniel H. Pink, A Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule the Future (New York: Riverhead Books, 2006), 47–53.

[10]             ¹⁰ Howard Gardner, Five Minds for the Future (Boston: Harvard Business School Press, 2007), 21–25.

[11]             ¹¹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 132–135.


3.           Ontologi Kesuksesan: Hakikat dan Dimensinya

Untuk memahami kesuksesan secara mendalam, diperlukan telaah ontologis terhadap hakikatnya sebagai fenomena manusiawi yang kompleks. Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas “apa yang ada” (being qua being), membantu mengurai pertanyaan mendasar: apa itu kesuksesan? Apakah ia suatu realitas objektif yang dapat diukur secara universal, ataukah suatu konstruksi subjektif yang maknanya berbeda bagi setiap individu dan masyarakat?¹

Secara historis dan konseptual, kesuksesan sering dipahami dalam dua horizon besar: ontologi empiris dan ontologi eksistensial. Dalam horizon empiris, kesuksesan dianggap sebagai hasil yang dapat diobservasi—seperti kekayaan, jabatan, atau pengaruh sosial.² Kesuksesan di sini memiliki karakter kuantitatif dan dapat diverifikasi melalui indikator ekonomi maupun prestasi sosial. Dalam kerangka ini, kesuksesan tampak sebagai sesuatu yang ada di luar subjek, bersifat eksternal dan terukur.

Sebaliknya, dalam horizon eksistensial, kesuksesan dipandang sebagai realitas yang melekat pada modus keberadaan manusia (Dasein) sebagaimana dikemukakan oleh Martin Heidegger.³ Ia bukan sekadar hasil, melainkan suatu cara berada di dunia yang autentik. Dalam pandangan ini, seseorang dikatakan sukses ketika mampu mengaktualisasikan potensi dirinya secara otentik dan sadar terhadap makna keberadaannya. Kesuksesan bukan sekadar “memiliki,” tetapi “menjadi”—yakni menjadi manusia yang utuh dan bermakna.⁴

Kedua horizon ini saling melengkapi dalam menjelaskan hakikat kesuksesan. Dalam konteks sosial modern, kesuksesan empiris sering kali menjadi ukuran dominan karena masyarakat kapitalistik menilai individu berdasarkan hasil yang tampak. Namun, kesuksesan eksistensial tetap menjadi dasar yang tak dapat diabaikan, sebab tanpa kesadaran makna, kesuksesan eksternal kehilangan nilai intrinsiknya.⁵ Dengan kata lain, kesuksesan sejati bersifat relasional—ia muncul dari pertemuan antara dunia objektif (struktur sosial, ekonomi, pendidikan) dan dunia subjektif (kesadaran, makna, dan tujuan hidup).

Jika dilihat secara ontologis, kesuksesan dapat dipahami melalui tiga dimensi utama: (1) dimensi faktual, (2) dimensi potensial, dan (3) dimensi nilai.

1)                  Dimensi faktual menunjuk pada realitas empiris kesuksesan: pencapaian ekonomi, karya nyata, inovasi, dan pengaruh sosial. Tokoh seperti Bill Gates atau Amancio Ortega merepresentasikan keberhasilan pada tingkat ini, di mana kesuksesan tampak sebagai realisasi objektif dari kemampuan adaptasi terhadap struktur ekonomi dan peluang pasar.⁶

2)                  Dimensi potensial berkaitan dengan kapasitas manusia untuk menjadi lebih dari dirinya sekarang. Dalam kerangka Aristotelian, ini disebut sebagai aktualisasi dari potentia menuju actus.⁷ Kesuksesan, dalam arti ini, bukanlah keadaan final, melainkan proses menjadi (becoming) yang terus berkembang melalui pembelajaran, refleksi, dan pengalaman.

3)                  Dimensi nilai mengandung aspek teleologis, yakni tujuan dan orientasi moral dari kesuksesan. Tanpa dimensi ini, kesuksesan menjadi nihilistik—sekadar akumulasi materi tanpa makna. Dalam filsafat eksistensial, terutama menurut Viktor Frankl, makna (meaning) adalah inti dari eksistensi manusia; seseorang baru dapat disebut sukses bila hidupnya selaras dengan nilai yang diyakininya.⁸

Dengan demikian, ontologi kesuksesan tidak dapat direduksi menjadi satu dimensi tunggal. Ia adalah realitas ganda (dual ontology): empiris sekaligus eksistensial, objektif sekaligus subjektif. Pandangan ini memungkinkan kita memahami mengapa seseorang dapat gagal secara sosial tetapi berhasil secara eksistensial, atau sebaliknya. Steve Jobs, misalnya, pernah mengalami kegagalan bisnis pada awal kariernya, tetapi secara eksistensial ia justru menemukan makna dan kreativitas melalui pengalaman tersebut.⁹

Lebih jauh, ontologi kesuksesan juga terkait dengan hubungan manusia terhadap struktur dan kontingensi. Kesuksesan bukan hanya hasil dari sistem rasional yang dapat direkayasa, melainkan juga peristiwa yang bersifat kontingen—dalam arti dipengaruhi oleh faktor-faktor tak terduga seperti waktu, keberuntungan, atau peluang sosial tertentu.¹⁰ Namun, faktor kontingensi ini tidak menghapus rasionalitas manusia; justru menunjukkan bahwa kesuksesan merupakan pertemuan antara struktur (proses terencana) dan kontingensi (kejadian tak terduga).¹¹

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa hakikat kesuksesan bersifat ontologis-relasional dan dialektis: ia terbentuk dari dialog antara struktur rasional dan dinamika eksistensial, antara determinasi sosial dan kebebasan individu. Maka, memahami kesuksesan secara filosofis berarti menembus permukaan hasil lahiriah untuk melihat modus keberadaan manusia dalam perjuangannya menata hidup secara bermakna.¹²


Footnotes

[1]                ¹ Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1025b–1030a.

[2]                ² Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973), 42–46.

[3]                ³ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–71.

[4]                ⁴ Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1989), 46–49.

[5]                ⁵ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 14–19.

[6]                ⁶ Walter Isaacson, Steve Jobs (New York: Simon & Schuster, 2011), 115–120.

[7]                ⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1098a–1099b.

[8]                ⁸ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 101–104.

[9]                ⁹ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 58–61.

[10]             ¹⁰ Nassim Nicholas Taleb, The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable (New York: Random House, 2007), 27–30.

[11]             ¹¹ Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 278–282.

[12]             ¹² Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–317.


4.           Epistemologi Kesuksesan: Pengetahuan, Strategi, dan Pembelajaran Non-formal

Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat, sumber, dan batas-batas pengetahuan, memberikan kerangka untuk memahami bagaimana manusia mengetahui dan memaknai kesuksesan. Dalam konteks ini, kesuksesan tidak semata hasil dari tindakan praktis, tetapi merupakan konsekuensi dari struktur kognitif dan epistemik yang membentuk cara berpikir seseorang terhadap realitas.¹ Setiap individu yang mencapai kesuksesan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non-formal, pada dasarnya mengoperasikan suatu sistem pengetahuan tertentu yang menuntun pengambilan keputusan, pengelolaan risiko, serta kemampuan untuk memaknai pengalaman.

Dalam paradigma klasik, pengetahuan dianggap sebagai hasil dari proses pembelajaran yang terstruktur, sistematis, dan berbasis pada otoritas institusi.² Model ini menekankan pendidikan formal sebagai sumber legitimasi epistemik—yaitu kerangka yang mengesahkan suatu pengetahuan sebagai benar dan sahih. Pendidikan formal memfasilitasi transfer pengetahuan melalui kurikulum, metodologi ilmiah, dan pembentukan rasionalitas logis.³ Namun, sejarah modern menunjukkan bahwa kesuksesan tidak selalu lahir dari jalur epistemik yang demikian. Para miliarder seperti Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, Larry Ellison, dan Jan Koum justru menunjukkan bentuk lain dari epistemologi praksis, yakni pembelajaran melalui pengalaman, eksplorasi, dan refleksi diri yang tidak selalu mengikuti tatanan akademik konvensional.⁴

Steve Jobs, misalnya, menggambarkan proses pembelajarannya sebagai perpaduan antara pengalaman intuitif dan estetika: ia belajar tipografi bukan karena kebutuhan akademik, melainkan karena rasa ingin tahu terhadap keindahan bentuk huruf, yang kemudian memengaruhi desain produk Apple.⁵ Bill Gates, di sisi lain, memanfaatkan pattern recognition—kemampuan mengenali pola-pola peluang ekonomi dan teknologi—sebagai landasan epistemiknya.⁶ Dalam kasus Mark Zuckerberg, pembelajaran bersifat iteratif, yaitu melalui percobaan, kegagalan, dan revisi berulang (trial and error) dalam membangun Facebook.⁷ Dengan demikian, epistemologi kesuksesan di sini bukan bersifat deduktif seperti dalam tradisi akademik, tetapi bersifat induktif dan eksperimental.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan yang relevan bagi kesuksesan bersifat kontekstual, situasional, dan reflektif, bukan sekadar proposisional. Michael Polanyi menyebut jenis pengetahuan ini sebagai tacit knowledge—pengetahuan implisit yang terinternalisasi dalam pengalaman dan tidak mudah ditransfer melalui bahasa formal.⁸ Tacit knowledge memainkan peran penting dalam kreativitas dan inovasi, karena memungkinkan individu bertindak efektif dalam situasi baru tanpa harus merujuk pada aturan eksplisit. Dalam hal ini, pembelajaran non-formal, seperti pengalaman kerja, jaringan sosial, dan eksperimen pribadi, berfungsi sebagai ladang epistemik yang menumbuhkan intuisi, kebijaksanaan praktis (phronesis), dan pengetahuan kontekstual.⁹

Epistemologi kesuksesan juga berkaitan erat dengan teori learning by doing yang dikemukakan oleh John Dewey.¹⁰ Menurutnya, belajar adalah proses aktif yang melibatkan interaksi langsung dengan lingkungan dan refleksi atas tindakan. Kesuksesan lahir dari kemampuan individu untuk mengonversi pengalaman menjadi pengetahuan, bukan sekadar mengakumulasi informasi. Dewey menolak dikotomi antara teori dan praktik; bagi dia, pengetahuan sejati adalah hasil dari proses eksperimental yang terus-menerus, yang menjembatani keduanya.¹¹ Dengan demikian, kesuksesan bukan semata hasil kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan reflektif dan adaptif terhadap perubahan.

Dalam era digital, epistemologi kesuksesan semakin menekankan pentingnya pembelajaran otonom (self-directed learning) dan keterampilan metakognitif—yakni kemampuan untuk memahami dan mengatur proses berpikir sendiri.¹² Para inovator modern memanfaatkan sumber daya terbuka, jaringan daring, dan komunitas global sebagai ruang belajar non-formal yang mempercepat pertumbuhan pengetahuan. Fenomena ini sejalan dengan teori connectivism dari George Siemens, yang menegaskan bahwa pengetahuan kini bersifat terdistribusi dan dinamis, bukan lagi tersentralisasi dalam lembaga pendidikan.¹³ Oleh karena itu, individu sukses di abad ke-21 bukanlah mereka yang hanya menguasai pengetahuan statis, melainkan yang mampu mengakses, menilai, dan menghubungkan berbagai sumber pengetahuan secara efektif.

Epistemologi kesuksesan, pada akhirnya, bersifat plural dan evolutif. Ia tidak dapat direduksi menjadi model tunggal—baik formal maupun informal—karena selalu bergantung pada konteks sosial dan struktur peluang yang tersedia.¹⁴ Dalam pengertian ini, kesuksesan lebih tepat dipahami sebagai hasil dari proses epistemik terbuka: perpaduan antara disiplin rasional dan spontanitas kreatif, antara struktur pengetahuan dan kebebasan berpikir.¹⁵ Dengan kata lain, pengetahuan yang menuntun kesuksesan adalah pengetahuan yang hidup—yang terus tumbuh bersama pengalaman manusia dalam mengarungi ketidakpastian dunia.


Footnotes

[1]                ¹ Bertrand Russell, Human Knowledge: Its Scope and Limits (London: George Allen and Unwin, 1948), 1–4.

[2]                ² Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–305.

[3]                ³ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 243–245.

[4]                ⁴ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 50–56.

[5]                ⁵ Walter Isaacson, Steve Jobs (New York: Simon & Schuster, 2011), 124–128.

[6]                ⁶ Bill Gates, The Road Ahead (New York: Penguin Books, 1995), 42–44.

[7]                ⁷ David Kirkpatrick, The Facebook Effect: The Inside Story of the Company That Is Connecting the World (New York: Simon & Schuster, 2010), 63–67.

[8]                ⁸ Michael Polanyi, The Tacit Dimension (New York: Doubleday & Company, 1966), 4–9.

[9]                ⁹ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1140a–1141b.

[10]             ¹⁰ John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–29.

[11]             ¹¹ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 68–72.

[12]             ¹² Albert Bandura, Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1986), 391–394.

[13]             ¹³ George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3–10.

[14]             ¹⁴ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–113.

[15]             ¹⁵ Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 146–150.


5.           Aksiologi: Nilai, Etika, dan Orientasi Kesuksesan

Aksiologi, sebagai cabang filsafat yang menelaah nilai dan orientasi moral dari tindakan manusia, menempatkan kesuksesan dalam dimensi etisnya: bukan hanya apa yang dicapai, tetapi bagaimana dan untuk apa pencapaian itu diperoleh.¹ Dalam konteks ini, kesuksesan tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai yang melandasinya—baik nilai personal (etos kerja, integritas, tanggung jawab) maupun nilai sosial (keadilan, kemaslahatan, solidaritas).² Setiap bentuk kesuksesan mengandung muatan aksiologis tertentu yang mencerminkan cara individu menilai dirinya, masyarakatnya, dan dunia tempat ia berkiprah.

Secara historis, nilai-nilai kesuksesan banyak dipengaruhi oleh tradisi etika kerja Protestan sebagaimana diuraikan oleh Max Weber: kerja keras, rasionalitas, dan pengendalian diri dianggap sebagai cerminan moralitas tinggi dan tanda “panggilan ilahi.”³ Dalam kerangka ini, kesuksesan ekonomi menjadi simbol kedisiplinan moral dan tanggung jawab spiritual. Akan tetapi, di era sekular dan digital, orientasi nilai tersebut bergeser dari panggilan etis menuju pembuktian personal. Keberhasilan kini sering dipahami sebagai ekspresi kebebasan individu untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.⁴

Namun, pergeseran ini membawa problem etis tersendiri. Ketika kesuksesan didefinisikan semata sebagai akumulasi hasil tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang menyertainya, maka ia berisiko berubah menjadi bentuk nihilisme pragmatis, di mana segala cara menjadi sah selama menghasilkan keuntungan.⁵ Fenomena ini tampak dalam budaya populer dan korporasi modern, yang sering menonjolkan figur “self-made billionaire” sebagai lambang otonomi mutlak, tanpa meninjau dimensi sosial dan moral dari keberhasilannya. Dalam hal ini, filsafat moral berfungsi sebagai koreksi terhadap penyempitan makna kesuksesan menjadi sekadar efisiensi ekonomi.⁶

Etika kesuksesan menuntut keseimbangan antara tujuan pribadi dan kewajiban sosial. Aristoteles menekankan bahwa eudaimonia (kebahagiaan sejati) tidak dapat dicapai tanpa kebajikan (virtue), karena tindakan yang baik adalah tindakan yang selaras dengan kebaikan universal.⁷ Kesuksesan yang etis bukanlah yang menguntungkan secara material semata, melainkan yang membawa kontribusi pada kebaikan bersama (common good). Dalam konteks modern, hal ini berarti bahwa inovasi, kekayaan, dan prestasi hanya memiliki nilai moral bila disertai tanggung jawab sosial—seperti komitmen terhadap keberlanjutan, pendidikan, atau kesejahteraan masyarakat.⁸

Tokoh-tokoh seperti Bill Gates dan Warren Buffett menunjukkan dimensi aksiologis ini melalui filantropi yang terorganisasi, sementara Steve Jobs dan Mark Zuckerberg menampilkan bentuk lain dari etika kreatif, yaitu pencarian makna melalui inovasi dan pemberdayaan manusia melalui teknologi.⁹ Meskipun mereka memiliki latar pendidikan yang tidak linear, mereka menunjukkan bahwa kesuksesan yang sejati bukanlah anti-pendidikan, melainkan trans-pendidikan—yakni melampaui batas formalitas akademik demi pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan pengetahuan praktis yang berguna bagi dunia.¹⁰

Dalam tataran sosial, aksiologi kesuksesan juga menuntut kesadaran akan relasi kuasa dan keadilan distribusi. Pierre Bourdieu menunjukkan bahwa kesuksesan sering kali bukan sekadar hasil kerja keras individual, tetapi juga hasil dari modal simbolik, sosial, dan kultural yang tidak merata dalam masyarakat.¹¹ Maka, etika kesuksesan yang sejati harus disertai kesadaran struktural terhadap ketimpangan dan upaya untuk menciptakan kesempatan yang lebih inklusif. Tanpa keadilan sosial, kesuksesan individual mudah menjadi bentuk reproduksi privilese yang meneguhkan dominasi ekonomi dan budaya.¹²

Aksiologi kesuksesan, dengan demikian, menuntut integrasi antara tiga orientasi nilai: (1) integritas personal, (2) tanggung jawab sosial, dan (3) kesadaran spiritual atau eksistensial. Integritas personal menjaga agar proses menuju sukses tidak kehilangan moralitasnya; tanggung jawab sosial memastikan bahwa kesuksesan memberi manfaat bagi orang lain; dan kesadaran eksistensial mengembalikan kesuksesan pada makna terdalamnya—yakni realisasi potensi manusia secara utuh.¹³

Dalam pandangan filsafat humanistik, khususnya menurut Erich Fromm, keberhasilan sejati tidak diukur dari “memiliki” (having), tetapi dari “menjadi” (being).¹⁴ Kesuksesan yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya menciptakan individu unggul, tetapi juga memperkuat peradaban yang etis, reflektif, dan solidaristik. Karenanya, orientasi nilai dalam kesuksesan masa kini harus diarahkan pada pembentukan manusia kreatif yang beretika—bukan hanya cerdas secara teknis, tetapi juga bijak secara moral.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy (New York: Ronald Press, 1953), 297–299.

[2]                ² Robert S. Hartman, The Structure of Value: Foundations of Scientific Axiology (Carbondale: Southern Illinois University Press, 1967), 11–14.

[3]                ³ Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 97–101.

[4]                ⁴ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 302–307.

[5]                ⁵ Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 35–38.

[6]                ⁶ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 203–208.

[7]                ⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1099a–1100a.

[8]                ⁸ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 45–48.

[9]                ⁹ Bill Gates, The Road Ahead (New York: Penguin Books, 1995), 189–194.

[10]             ¹⁰ Howard Gardner, Five Minds for the Future (Boston: Harvard Business School Press, 2007), 33–36.

[11]             ¹¹ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 114–117.

[12]             ¹² Iris Marion Young, Justice and the Politics of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 27–30.

[13]             ¹³ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 103–106.

[14]             ¹⁴ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 21–25.

[15]             ¹⁵ Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.


6.           Dimensi Psikologis dan Kognitif Cara Berpikir Sukses

Cara berpikir yang melandasi kesuksesan tidak dapat dilepaskan dari dimensi psikologis dan kognitif manusia. Kesuksesan bukan sekadar hasil keberuntungan atau struktur eksternal, tetapi manifestasi dari pola pikir, keyakinan diri, dan strategi mental yang mengarahkan tindakan menuju pencapaian tertentu.¹ Dalam perspektif psikologi kognitif, pikiran manusia berfungsi sebagai sistem pemroses informasi yang membentuk cara individu memersepsi dunia, menafsirkan peluang, serta menilai risiko dan kegagalan.² Dengan demikian, cara berpikir sukses adalah hasil dari interaksi antara struktur kognitif internal dan dinamika eksternal yang terus berubah.

Salah satu konsep kunci dalam psikologi modern yang relevan adalah mindset, sebagaimana dikemukakan oleh Carol S. Dweck. Ia membedakan dua tipe utama: fixed mindset (pola pikir tetap) dan growth mindset (pola pikir berkembang).³ Individu dengan fixed mindset meyakini bahwa kemampuan adalah sifat bawaan yang tidak dapat diubah, sedangkan mereka yang memiliki growth mindset memandang kemampuan sebagai sesuatu yang dapat dikembangkan melalui usaha, latihan, dan ketekunan. Dweck menunjukkan bahwa growth mindset merupakan prediktor utama kesuksesan jangka panjang karena membentuk ketahanan psikologis (resilience) dan kesiapan menghadapi kegagalan sebagai bagian dari proses belajar.⁴

Dalam konteks para miliarder yang sukses tanpa pendidikan formal, pola pikir berkembang ini tampak nyata. Bill Gates, misalnya, menekankan pentingnya curiosity-driven learning—semangat belajar yang didorong rasa ingin tahu, bukan sekadar kebutuhan akademik.⁵ Steve Jobs mempraktikkan creative intuition, yaitu kemampuan menghubungkan pengalaman lintas bidang secara spontan untuk menghasilkan inovasi baru.⁶ Jan Koum, pendiri WhatsApp, menunjukkan bentuk resilient cognition—kemampuan mental untuk tetap fokus dan adaptif meskipun menghadapi keterbatasan sosial-ekonomi.⁷ Dalam seluruh kasus ini, kesuksesan berakar pada struktur mental fleksibel yang memungkinkan individu belajar dari pengalaman tanpa kehilangan arah dan motivasi.

Dimensi psikologis lainnya yang berperan penting adalah grit, istilah yang dipopulerkan oleh Angela Duckworth. Grit mencakup kombinasi antara ketekunan (perseverance) dan hasrat terhadap tujuan jangka panjang (passion for long-term goals).⁸ Individu dengan grit tinggi tidak hanya bekerja keras, tetapi juga mampu mempertahankan fokus dan komitmen meski menghadapi hambatan berulang. Duckworth menegaskan bahwa keberhasilan bukan ditentukan oleh bakat, melainkan oleh konsistensi upaya yang disertai motivasi intrinsik.⁹ Ini sejalan dengan teori self-determination dari Deci dan Ryan, yang menekankan pentingnya otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sosial sebagai fondasi motivasi manusia.¹⁰

Dalam ranah kognitif, kesuksesan juga berkaitan dengan metakognisi, yakni kemampuan individu untuk memahami dan mengatur proses berpikirnya sendiri.¹¹ Para inovator sukses sering kali menunjukkan tingkat kesadaran metakognitif tinggi: mereka mampu mengevaluasi keputusan, meninjau kesalahan, dan menyesuaikan strategi berpikir secara dinamis. Hal ini menjelaskan mengapa banyak tokoh non-lulusan universitas tetap mampu menciptakan produk revolusioner—mereka tidak sekadar berpikir cepat, tetapi juga berpikir tentang berpikir (thinking about thinking).¹²

Psikologi positif menambahkan dimensi lain melalui konsep optimisme realistis dan efikasi diri (self-efficacy) sebagaimana dikembangkan oleh Albert Bandura.¹³ Efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya menyelesaikan tugas tertentu. Keyakinan ini bukan ilusi, tetapi sumber motivasi yang mendorong eksplorasi, inovasi, dan keberanian mengambil risiko. Individu dengan tingkat efikasi diri tinggi cenderung melihat hambatan sebagai tantangan, bukan ancaman. Dalam konteks kesuksesan, hal ini berfungsi sebagai kekuatan internal yang menopang daya tahan psikologis dan adaptasi kreatif.¹⁴

Namun, dimensi psikologis kesuksesan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan budaya. Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa cara berpikir sukses di masyarakat Barat cenderung individualistik—menekankan kemandirian dan otonomi pribadi—sementara dalam konteks Timur, kesuksesan sering dipahami secara relasional, yakni sebagai keberhasilan yang selaras dengan harmoni sosial.¹⁵ Dengan demikian, konstruksi psikologis kesuksesan tidak universal, tetapi dipengaruhi oleh norma budaya yang membentuk persepsi tentang “diri” dan “tujuan.”

Secara kognitif, keberhasilan berpikir sukses menuntut kemampuan menyeimbangkan dua sistem berpikir sebagaimana dijelaskan Daniel Kahneman: System 1 (intuitif, cepat, otomatis) dan System 2 (analitis, lambat, reflektif).¹⁶ Tokoh-tokoh inovatif seperti Jobs dan Gates mengintegrasikan keduanya: intuisi kreatif (System 1) digunakan untuk menemukan peluang, sementara analisis rasional (System 2) digunakan untuk mewujudkan ide menjadi strategi konkret. Kesuksesan, dalam arti ini, adalah hasil dari harmoni antara spontanitas kreatif dan disiplin reflektif.¹⁷

Dengan demikian, dimensi psikologis dan kognitif kesuksesan memperlihatkan bahwa keberhasilan bukanlah peristiwa kebetulan, tetapi hasil dari struktur mental yang terlatih untuk belajar, beradaptasi, dan bertahan.¹⁸ Kesuksesan sejati lahir dari proses internalisasi nilai-nilai ketekunan, kesadaran reflektif, dan kemampuan berpikir strategis dalam menghadapi ketidakpastian.¹⁹ Ia menuntut sintesis antara rasionalitas dan emosi, antara intuisi dan analisis, serta antara individualitas dan kesadaran sosial. Dalam pengertian ini, kesuksesan tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga eksistensial—menyentuh inti kemanusiaan sebagai makhluk berpikir dan berjuang untuk makna.²⁰


Footnotes

[1]                ¹ Jean Piaget, The Psychology of Intelligence, trans. Malcolm Piercy and D. E. Berlyne (London: Routledge, 1950), 5–8.

[2]                ² Ulric Neisser, Cognitive Psychology (New York: Appleton-Century-Crofts, 1967), 45–48.

[3]                ³ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 7–10.

[4]                ⁴ Ibid., 111–114.

[5]                ⁵ Bill Gates, The Road Ahead (New York: Penguin Books, 1995), 39–41.

[6]                ⁶ Walter Isaacson, Steve Jobs (New York: Simon & Schuster, 2011), 112–116.

[7]                ⁷ Brian Chen, Always On: How the iPhone Unlocked the Anything-Anytime World (New York: Da Capo Press, 2011), 88–90.

[8]                ⁸ Angela Duckworth, Grit: The Power of Passion and Perseverance (New York: Scribner, 2016), 8–12.

[9]                ⁹ Ibid., 102–105.

[10]             ¹⁰ Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness (New York: Guilford Press, 2017), 32–35.

[11]             ¹¹ John Flavell, “Metacognition and Cognitive Monitoring,” American Psychologist 34, no. 10 (1979): 906–911.

[12]             ¹² Daniel Goleman, Focus: The Hidden Driver of Excellence (New York: HarperCollins, 2013), 84–88.

[13]             ¹³ Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New York: W. H. Freeman, 1997), 11–15.

[14]             ¹⁴ Ibid., 182–185.

[15]             ¹⁵ Hazel R. Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–226.

[16]             ¹⁶ Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 19–23.

[17]             ¹⁷ Ibid., 235–238.

[18]             ¹⁸ Carol S. Dweck, Mindset, 178–180.

[19]             ¹⁹ Angela Duckworth, Grit, 190–193.

[20]             ²⁰ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 112–115.


7.           Dimensi Sosial, Ekonomi, dan Kultural

Kesuksesan, selain memiliki akar ontologis, epistemologis, dan psikologis, juga beroperasi dalam medan sosial, ekonomi, dan kultural yang kompleks. Ia bukan sekadar hasil dari kecerdasan individual atau keberuntungan personal, melainkan produk dari relasi sosial, struktur ekonomi, dan konteks budaya yang membentuk kesempatan serta arah perkembangan seseorang.¹ Dengan demikian, kesuksesan tidak dapat dipahami secara atomistik, melainkan sebagai fenomena yang selalu terkait dengan sistem sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku.

Secara sosiologis, struktur sosial memainkan peran signifikan dalam menentukan siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya yang memungkinkan keberhasilan. Pierre Bourdieu menjelaskan hal ini melalui konsep modal sosial, modal ekonomi, dan modal kultural—tiga bentuk kapital yang bekerja secara simultan dalam membentuk peluang sosial.² Kesuksesan tidak hanya memerlukan modal ekonomi (uang atau aset), tetapi juga modal kultural (pendidikan, selera, kompetensi simbolik) dan modal sosial (jaringan dan kepercayaan sosial).³ Dalam konteks para miliarder tanpa pendidikan formal, meskipun mereka tampak menentang tatanan akademik, banyak dari mereka sesungguhnya memiliki atau menciptakan bentuk modal sosial dan kultural alternatif: jaringan teknologi, komunitas inovatif, dan akses terhadap modal ventura.⁴ Dengan kata lain, keberhasilan mereka tetap berakar pada struktur sosial non-konvensional yang memfasilitasi kreativitas dan mobilitas.

Dari perspektif ekonomi, kesuksesan individu juga tidak dapat dilepaskan dari logika sistem kapitalisme global. Anthony Giddens dan Ulrich Beck menyebut masyarakat kontemporer sebagai risk society—masyarakat yang membangun kemajuan melalui pengelolaan ketidakpastian dan inovasi berisiko tinggi.⁵ Dalam sistem semacam ini, kesuksesan bukan lagi hasil dari stabilitas institusional, melainkan dari kemampuan individu untuk mengambil risiko dan menciptakan peluang baru di tengah disrupsi. Ekonomi digital, misalnya, membuka ruang bagi entrepreneurial capitalism yang menghargai ide, kreativitas, dan kecepatan adaptasi lebih daripada gelar akademik.⁶ Fenomena startup teknologi menjadi contoh nyata bagaimana keberhasilan ekonomi dapat lahir dari inovasi konseptual dan keberanian eksperimental, bukan semata dari latar pendidikan formal.

Namun, dari perspektif makro, narasi “self-made billionaire” yang populer dalam budaya kapitalistik mengandung ambiguitas ideologis. Ia mempromosikan etos meritokrasi—gagasan bahwa siapa pun dapat sukses melalui kerja keras dan kreativitas—namun sering kali menutupi ketimpangan struktural yang membatasi sebagian besar orang untuk mengakses peluang serupa.⁷ Dalam masyarakat neoliberal, kesuksesan cenderung dikaitkan dengan individual agency, sementara dimensi struktural seperti ketimpangan ekonomi, akses pendidikan, dan kebijakan publik sering diabaikan.⁸ Akibatnya, kesuksesan tampil sebagai prestasi personal, padahal secara sosiologis ia merupakan hasil interaksi antara individu dan sistem.

Dimensi kultural kesuksesan juga tidak kalah penting. Clifford Geertz berpendapat bahwa budaya berfungsi sebagai sistem makna yang menafsirkan pengalaman manusia.⁹ Cara masyarakat memahami kesuksesan bergantung pada nilai-nilai budaya yang mendasarinya. Dalam masyarakat Barat yang individualistik, kesuksesan sering dimaknai sebagai otonomi, kebebasan, dan pencapaian pribadi (achievement orientation).¹⁰ Sementara dalam masyarakat Timur atau kolektivistik, seperti Asia, kesuksesan dipandang dalam kerangka relasional: keberhasilan individu dianggap bermakna sejauh ia memberikan kontribusi pada keluarga, komunitas, atau harmoni sosial.¹¹ Oleh karena itu, meskipun kesuksesan para tokoh global tampak universal, makna simboliknya berbeda di tiap konteks kultural.

Kebudayaan digital memperkenalkan paradigma baru: kesuksesan sebagai performativitas.¹² Di era media sosial, kesuksesan tidak hanya diukur dari substansi capaian, tetapi juga dari kemampuan menampilkan citra diri di ruang publik digital. Hal ini melahirkan “ekonomi pengakuan” (economy of recognition) di mana legitimasi sosial diperoleh melalui visibilitas, bukan semata produktivitas.¹³ Fenomena ini menciptakan ambivalensi baru—antara autentisitas dan pencitraan, antara makna dan popularitas. Dalam kerangka ini, kesuksesan menjadi konstruksi sosial yang terus dinegosiasikan melalui simbol, narasi, dan teknologi komunikasi.

Sementara itu, dimensi sosial-ekonomi kesuksesan juga menimbulkan pertanyaan etis dan politis. Ketimpangan distribusi kekayaan global memperlihatkan bahwa hanya sebagian kecil populasi dunia yang menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi.¹⁴ Artinya, sistem sosial-ekonomi saat ini masih memproduksi kesuksesan secara eksklusif, bukan inklusif. Hal ini menantang konsep keadilan distributif sebagaimana diajukan oleh John Rawls, yang menegaskan bahwa ketimpangan hanya dapat dibenarkan jika memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling lemah dalam masyarakat.¹⁵ Dengan demikian, kesuksesan yang sah secara moral bukanlah kesuksesan yang menumpuk kekayaan pribadi, tetapi yang ikut memperluas kesempatan sosial dan kesejahteraan kolektif.¹⁶

Pada akhirnya, dimensi sosial, ekonomi, dan kultural kesuksesan menunjukkan bahwa keberhasilan individu tidak dapat dipahami secara terisolasi. Ia adalah produk dari struktur sosial yang memungkinkan, konteks budaya yang menafsirkan, dan sistem ekonomi yang mengarahkan perilaku manusia. Kesuksesan yang sejati, dalam arti filosofis dan humanistik, adalah yang mampu mentransformasikan bukan hanya diri individu, tetapi juga tatanan sosial di sekitarnya menuju kehidupan yang lebih adil, reflektif, dan berkelanjutan.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 55–59.

[2]                ² Pierre Bourdieu, The Forms of Capital, in Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, ed. John G. Richardson (New York: Greenwood Press, 1986), 241–258.

[3]                ³ Ibid., 252–255.

[4]                ⁴ Richard Florida, The Rise of the Creative Class (New York: Basic Books, 2002), 9–13.

[5]                ⁵ Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity (London: Sage Publications, 1992), 33–37.

[6]                ⁶ Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2000), 77–80.

[7]                ⁷ Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020), 12–16.

[8]                ⁸ David Harvey, A Brief History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press, 2005), 40–43.

[9]                ⁹ Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 87–89.

[10]             ¹⁰ Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations across Nations, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2001), 82–85.

[11]             ¹¹ Hazel R. Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 227–230.

[12]             ¹² Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 139–143.

[13]             ¹³ Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 92–95.

[14]             ¹⁴ Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 257–261.

[15]             ¹⁵ John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 65–68.

[16]             ¹⁶ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 35–38.

[17]             ¹⁷ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 214–218.


8.           Analisis Rasionalitas dan Realisme Kesuksesan

Kajian mengenai kesuksesan tidak akan lengkap tanpa menelaah dua aspek fundamental yang saling melengkapi: rasionalitas dan realisme. Rasionalitas berkaitan dengan logika berpikir, sistem pengambilan keputusan, dan struktur sebab-akibat yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual.¹ Sementara itu, realisme menyangkut tingkat kesesuaian antara ide atau harapan dengan kondisi faktual di dunia nyata.² Dengan demikian, analisis terhadap kesuksesan menuntut keseimbangan antara idealitas rasional dan kenyataan empiris.

Dalam kerangka rasionalitas, kesuksesan sering dipandang sebagai hasil dari perencanaan yang sistematis, pengendalian diri, dan penilaian probabilistik terhadap risiko.³ Rasionalitas instrumental (dalam istilah Max Weber) berperan penting dalam konteks ini: tindakan manusia diarahkan oleh tujuan yang jelas dan cara-cara efisien untuk mencapainya.⁴ Dalam dunia bisnis dan teknologi, misalnya, rasionalitas ini tampak pada kemampuan membaca pasar, menganalisis data, serta mengoptimalkan strategi dengan kalkulasi yang presisi. Tokoh seperti Bill Gates dan Larry Ellison memperlihatkan bahwa keberhasilan mereka bukanlah kebetulan semata, melainkan hasil dari strategic rationality—kemampuan merumuskan tujuan yang terukur dan bertindak secara kalkulatif di bawah ketidakpastian.⁵

Namun, kesuksesan tidak dapat direduksi hanya menjadi rasionalitas instrumental. Seperti diingatkan oleh Jürgen Habermas, rasionalitas sejati mencakup pula dimensi komunikatif dan reflektif, yang memungkinkan manusia menilai tindakannya tidak hanya dari segi efisiensi, tetapi juga dari segi makna dan legitimasi moral.⁶ Artinya, keberhasilan sejati tidak hanya “benar secara logis” tetapi juga “benar secara etis.” Dalam konteks ini, rasionalitas kesuksesan yang semata teknokratis dapat mengarah pada dehumanisasi—di mana individu dipandang hanya sebagai sarana produktivitas, bukan subjek yang bermakna.⁷

Dari sisi realisme, kesuksesan harus dipahami dalam keterkaitannya dengan struktur sosial-ekonomi yang nyata. Realisme menolak pandangan idealistik bahwa setiap orang memiliki peluang yang sama untuk sukses tanpa mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual seperti kelas sosial, modal ekonomi, atau akses terhadap pendidikan.⁸ Thomas Piketty menunjukkan bahwa ketimpangan struktural menciptakan kondisi di mana peluang kesuksesan tidak terdistribusi secara merata, sehingga mitos meritokrasi sering kali berfungsi menutupi realitas ketidakadilan sosial.⁹ Dengan demikian, analisis realistis terhadap kesuksesan menuntut kesadaran kritis terhadap batas-batas sistemik yang memengaruhi mobilitas individu.

Dalam tradisi filsafat ilmiah, Karl Popper menekankan bahwa setiap teori rasional harus terbuka terhadap falsifikasi; demikian pula, setiap narasi kesuksesan harus diuji oleh realitas empiris.¹⁰ Mengidealkan kisah sukses para dropout miliarder tanpa menimbang konteks strukturalnya dapat menjadi bentuk irasionalitas populer—yakni ketika individu menyimpulkan kausalitas dari kasus luar biasa (exception fallacy) dan mengabaikan data mayoritas.¹¹ Secara statistik, sebagian besar orang yang meninggalkan pendidikan formal tidak mencapai kesuksesan ekonomi seperti Gates atau Jobs; karena itu, realisme menuntut pembedaan antara “kemungkinan” dan “kecenderungan.”¹²

Dalam pandangan filsafat eksistensial, khususnya Jean-Paul Sartre, rasionalitas tidak dapat dilepaskan dari kebebasan manusia untuk bertindak dalam situasi faktual.¹³ Kesuksesan realistis, dengan demikian, adalah kesuksesan yang mengakui keterbatasan tetapi tetap berusaha melampauinya. Rasionalitas di sini bukan sekadar kalkulasi logis, tetapi rasionalitas praksis—yakni kemampuan menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab dalam situasi konkret. Dalam hal ini, kesuksesan yang rasional sekaligus realistis adalah hasil dialektika antara determinasi dan kebebasan, antara struktur dan agensi.¹⁴

Analisis interdisipliner juga memperlihatkan bahwa kesuksesan memiliki dua wajah epistemik: rasionalitas reflektif (kemampuan berpikir sistematis dan analitis) dan realisme empiris (kemampuan beradaptasi terhadap fakta dan peluang aktual).¹⁵ Kesuksesan tanpa rasionalitas mudah terjebak dalam ilusi keberuntungan, sementara rasionalitas tanpa realisme mudah terperangkap dalam idealisme steril yang tidak relevan dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, individu sukses adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara rasionalitas konseptual dan kepekaan empiris.¹⁶

Dalam konteks pendidikan dan kebijakan sosial, analisis ini memiliki implikasi penting: sistem pendidikan tidak boleh hanya menanamkan rasionalitas formal (logika dan metodologi), tetapi juga realisme praktis—yakni kemampuan membaca konteks, memahami keterbatasan, dan bertindak adaptif.¹⁷ Dunia kerja dan inovasi modern menuntut rasionalitas yang fleksibel dan reflektif, bukan dogmatis. Kesuksesan yang realistis berarti menerima bahwa keberhasilan merupakan kombinasi antara upaya rasional yang terencana dan faktor-faktor kontingensi yang tak terprediksi.¹⁸

Dengan demikian, dari sudut pandang filosofis, rasionalitas kesuksesan harus dilihat sebagai proses berpikir yang konsisten, reflektif, dan terbuka terhadap koreksi, sedangkan realisme kesuksesan adalah kesadaran terhadap keterbatasan empiris dan peluang faktual yang membentuk hidup manusia.¹⁹ Kesuksesan yang sejati bukanlah kemenangan logika tanpa konteks, tetapi sintesis antara intelektualitas dan keberadaan, antara strategi dan situasi, antara kalkulasi dan kenyataan.²⁰


Footnotes

[1]                ¹ Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 21–25.

[2]                ² Hilary Putnam, Reason, Truth, and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 120–122.

[3]                ³ Herbert A. Simon, Models of Bounded Rationality, vol. 1 (Cambridge, MA: MIT Press, 1982), 67–70.

[4]                ⁴ Max Weber, Economy and Society, trans. Ephraim Fischoff et al. (Berkeley: University of California Press, 1978), 85–88.

[5]                ⁵ Walter Isaacson, Steve Jobs (New York: Simon & Schuster, 2011), 142–145.

[6]                ⁶ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 286–290.

[7]                ⁷ Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 93–96.

[8]                ⁸ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 117–120.

[9]                ⁹ Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 231–236.

[10]             ¹⁰ Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 45–49.

[11]             ¹¹ Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 183–185.

[12]             ¹² Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 32–36.

[13]             ¹³ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 478–481.

[14]             ¹⁴ Anthony Giddens, Central Problems in Social Theory (Berkeley: University of California Press, 1979), 53–57.

[15]             ¹⁵ Karl R. Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 144–148.

[16]             ¹⁶ Daniel Dennett, Intuition Pumps and Other Tools for Thinking (New York: W. W. Norton & Company, 2013), 77–80.

[17]             ¹⁷ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1998), 26–29.

[18]             ¹⁸ Nassim Nicholas Taleb, Fooled by Randomness: The Hidden Role of Chance in Life and in the Markets (New York: Random House, 2001), 101–104.

[19]             ¹⁹ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–316.

[20]             ²⁰ Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 56–59.


9.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Analisis mengenai kesuksesan, baik dari sudut pandang struktur maupun keberuntungan, tidak dapat dilepaskan dari upaya kritik dan klarifikasi filosofis. Kritik diperlukan untuk menyingkap bias, reduksi, dan mitos yang menyelimuti narasi kesuksesan modern; sementara klarifikasi berfungsi untuk menata kembali pengertian-pengertian konseptual yang sering tumpang tindih atau disalahpahami.¹ Filsafat, dalam pengertian ini, berperan sebagai disiplin reflektif yang menilai bukan hanya hasil empiris, melainkan juga kerangka berpikir yang mendasarinya.

Salah satu bentuk reduksionisme yang perlu dikritisi adalah pandangan deterministik terhadap kesuksesan. Pandangan ini menganggap bahwa keberhasilan merupakan hasil mutlak dari sistem tertentu—baik sistem pendidikan formal maupun sistem ekonomi.² Dalam bentuk ekstrem, pandangan tersebut melahirkan dua dogma yang berlawanan: pertama, dogma institusional, yang menempatkan pendidikan formal sebagai satu-satunya jalur sah menuju kesuksesan; kedua, dogma anti-institusional, yang mengagungkan figur-figur “dropout sukses” sebagai bukti bahwa sistem pendidikan adalah penghalang kreativitas.³ Kedua posisi ini sama-sama menyederhanakan kompleksitas realitas manusia.

Secara filosofis, kedua pandangan tersebut dapat dikoreksi melalui perspektif non-deterministik dan dialektis, sebagaimana ditekankan oleh Hegel dan Marx.⁴ Manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya ditentukan oleh struktur, tetapi juga bukan agen yang berdiri di luar struktur. Kesuksesan muncul sebagai hasil dialektika antara kebebasan subjektif dan determinasi objektif. Steve Jobs atau Bill Gates, misalnya, tidak dapat dipahami semata sebagai “pemberontak sistem,” melainkan sebagai individu yang mampu membaca dan menyesuaikan diri dengan logika zaman (Zeitgeist).⁵ Dengan demikian, filsafat mengingatkan bahwa kesuksesan tidak dapat diidealkan secara ahistoris; ia selalu tertanam dalam konteks sosial, ekonomi, dan historis tertentu.

Kritik kedua diarahkan pada rasionalitas instrumental yang berlebihan dalam paradigma kesuksesan modern. Seperti diungkapkan oleh Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment, rasionalitas modern yang menekankan efisiensi dan hasil sering kali mengabaikan dimensi moral dan humanistik tindakan manusia.⁶ Kesuksesan kemudian direduksi menjadi kemampuan menguasai, bukan memahami; menghasilkan, bukan memaknai. Paradigma ini melahirkan apa yang Habermas sebut sebagai distorsi komunikatif, yaitu ketika tindakan manusia kehilangan orientasi dialogisnya dan menjadi semata-mata strategis.⁷ Oleh karena itu, kritik filosofis terhadap rasionalitas teknokratis membuka ruang bagi bentuk rasionalitas baru—yakni rasionalitas komunikatif yang menilai keberhasilan dari kemampuan untuk berinteraksi secara etis, reflektif, dan inklusif dalam masyarakat.⁸

Selain itu, perlu pula diklarifikasi bahwa “kesuksesan tanpa pendidikan” tidak identik dengan “anti-intelektualisme.” Banyak tokoh yang sukses tanpa gelar akademik tetap memiliki etos belajar seumur hidup (lifelong learning).⁹ Mereka tidak menolak pengetahuan, melainkan menolak birokratisasi pengetahuan. Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan sejati tidak bergantung pada institusi, melainkan pada kesadaran kritis (conscientização) yang memungkinkan manusia memahami realitasnya dan mentransformasinya secara sadar.¹⁰ Maka, kritik terhadap pendidikan formal seharusnya bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk mereformasinya agar lebih dialogis, adaptif, dan membebaskan.

Kritik berikutnya menyentuh dimensi epistemologis kesuksesan, khususnya kecenderungan masyarakat modern yang mengkultuskan keberhasilan individu tanpa memahami konteks kolektif yang mendukungnya. Michel Foucault menunjukkan bahwa di balik narasi sukses terdapat relasi kuasa dan wacana yang menstrukturkan pengetahuan: siapa yang dianggap “berhasil” dan siapa yang tidak.¹¹ Kesuksesan, dalam hal ini, bukan hanya fakta ekonomi, tetapi juga konstruksi diskursif yang diproduksi oleh institusi media, pendidikan, dan ekonomi.¹² Klarifikasi filosofis terhadap hal ini penting agar kesuksesan tidak dilihat sebagai “takdir pribadi,” melainkan sebagai bagian dari dispositif sosial yang dapat direfleksikan dan diubah.

Dari sisi ontologis, kritik dapat diarahkan terhadap pandangan yang menganggap kesuksesan sebagai entitas tetap dan final. Heidegger menolak pandangan demikian dengan menegaskan bahwa manusia adalah Sein-zum-Werden—makhluk yang selalu berada dalam proses menjadi.¹³ Kesuksesan, dalam pengertian ontologis, bukanlah kondisi yang telah selesai, melainkan gerak eksistensial menuju aktualisasi diri yang autentik. Karenanya, klarifikasi filosofis mengembalikan makna kesuksesan kepada proses eksistensial, bukan hasil akhir.

Terakhir, kritik aksiologis perlu diberikan terhadap logika kapitalistik yang menilai kesuksesan semata-mata dari akumulasi material. Nietzsche memperingatkan bahwa sistem nilai modern sering kali menciptakan “moralitas budak,” di mana manusia mengejar validasi eksternal alih-alih pencapaian autentik diri.¹⁴ Dalam konteks ini, filsafat eksistensial dan humanistik mengusulkan revaluasi nilai-nilai kesuksesan—yakni mengembalikan kesuksesan pada dimensi makna, kebijaksanaan, dan kebaikan.¹⁵

Dengan demikian, kritik dan klarifikasi filosofis menegaskan bahwa kesuksesan sejati tidak dapat dipahami sebagai produk tunggal dari rasionalitas, keberuntungan, atau sistem sosial, melainkan sebagai proses reflektif yang terus-menerus antara diri, dunia, dan nilai. Filsafat tidak menolak kesuksesan, tetapi mengajarkan cara berpikir yang menempatkan kesuksesan dalam horizon kemanusiaan yang lebih luas—sebagai sarana pembentukan diri yang etis, rasional, dan bermakna.¹⁶


Footnotes

[1]                ¹ Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 43–46.

[2]                ² Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans. Harriet Martineau (London: John Chapman, 1853), 71–74.

[3]                ³ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 88–91.

[4]                ⁴ Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 109–112.

[5]                ⁵ Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers, 1970), 121–123.

[6]                ⁶ Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 94–97.

[7]                ⁷ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 312–316.

[8]                ⁸ Ibid., 320–323.

[9]                ⁹ Howard Gardner, Five Minds for the Future (Boston: Harvard Business School Press, 2007), 39–42.

[10]             ¹⁰ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 65–68.

[11]             ¹¹ Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–135.

[12]             ¹² Ibid., 140–143.

[13]             ¹³ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 107–110.

[14]             ¹⁴ Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 215–219.

[15]             ¹⁵ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 98–101.

[16]             ¹⁶ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 45–48.


10.       Relevansi Kontemporer dan Tantangan Masa Depan

Dalam lanskap global abad ke-21, konsep kesuksesan menghadapi transformasi mendasar yang dipicu oleh revolusi teknologi, globalisasi ekonomi, dan perubahan nilai-nilai sosial.¹ Paradigma lama yang mengaitkan kesuksesan dengan stabilitas karier dan akumulasi kapital kini digantikan oleh paradigma baru yang menekankan inovasi, fleksibilitas, dan kreativitas lintas disiplin.² Fenomena para miliarder tanpa pendidikan formal seperti Bill Gates, Steve Jobs, dan Mark Zuckerberg menjadi simbol perubahan epistemologis dan aksiologis dalam masyarakat modern—yakni pergeseran dari credential-based success menuju competency-based success.³ Namun, perubahan ini membawa dilema filosofis baru: bagaimana menyeimbangkan antara rasionalitas perencanaan dengan kontingensi peluang, antara kebebasan individu dengan keadilan sosial, serta antara teknologi dengan kemanusiaan.

Relevansi kesuksesan dalam konteks kontemporer terletak pada kebutuhan untuk menata ulang makna kerja, pendidikan, dan pencapaian diri. Dunia kerja yang didominasi oleh otomasi dan kecerdasan buatan menuntut manusia untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, etika reflektif, dan kreativitas interdisipliner—bukan sekadar keterampilan teknis.⁴ Pendidikan formal yang kaku dan hierarkis semakin ditantang oleh model pembelajaran terbuka (open learning systems) yang memungkinkan setiap individu mengakses pengetahuan tanpa batas institusional.⁵ Dalam hal ini, kesuksesan tidak lagi dipandang sebagai hasil dari kepatuhan terhadap sistem, tetapi sebagai kemampuan navigatif untuk menavigasi kompleksitas dunia yang cair dan tidak pasti.⁶

Selain itu, kesuksesan masa kini semakin ditentukan oleh kemampuan adaptif terhadap perubahan teknologi. Alvin Toffler telah lama memprediksi bahwa “buta huruf masa depan bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, melainkan mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar kembali.”⁷ Pandangan ini semakin relevan di era disrupsi digital, di mana inovasi berlangsung dengan kecepatan eksponensial. Tokoh-tokoh sukses modern menunjukkan bahwa lifelong learning menjadi kunci keberlanjutan eksistensial di tengah perubahan cepat.⁸ Namun, di sisi lain, ketergantungan pada teknologi juga menimbulkan risiko baru: dehumanisasi, ketimpangan digital, dan komodifikasi data pribadi yang mengaburkan batas antara manusia dan mesin.⁹

Dari perspektif sosial, tantangan terbesar kesuksesan kontemporer adalah membangun keseimbangan antara meritokrasi dan solidaritas. Meritokrasi yang tidak disertai kesadaran etis dapat berubah menjadi bentuk baru dari elitisasi, di mana hanya individu dengan akses teknologi dan modal sosial tinggi yang mampu bertahan.¹⁰ Oleh karena itu, filsafat sosial kontemporer menekankan pentingnya inclusive innovation—yakni model kesuksesan yang tidak hanya menumbuhkan individu berprestasi, tetapi juga memperluas kesempatan bagi masyarakat luas.¹¹ Hal ini sejalan dengan pandangan Amartya Sen bahwa pembangunan sejati bukanlah akumulasi kekayaan, melainkan perluasan kebebasan substantif yang memungkinkan setiap orang mengaktualisasikan potensinya.¹²

Relevansi kesuksesan juga dapat dilihat dalam konteks ekologi dan keberlanjutan. Di tengah krisis lingkungan global, kesuksesan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya tanpa batas tidak lagi dapat dibenarkan secara moral.¹³ Paradigma baru yang muncul adalah sustainability-oriented success, yaitu kesuksesan yang menempatkan keseimbangan ekologis sebagai bagian dari tanggung jawab etis manusia terhadap planetnya.¹⁴ Model bisnis hijau, ekonomi sirkular, dan investasi berkelanjutan menjadi bentuk konkret dari pergeseran ini. Kesuksesan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan pada akhirnya bersifat kontradiktif—sebab keberhasilan ekonomi yang menghancurkan ekosistem tidak dapat disebut sebagai kemajuan manusiawi.¹⁵

Dari sudut pandang eksistensial, tantangan masa depan kesuksesan adalah menemukan kembali makna kemanusiaan dalam dunia yang semakin terotomatisasi. Martin Heidegger telah memperingatkan bahaya Gestell—kerangka teknologis yang menjadikan manusia sekadar komponen dalam sistem produksi efisiensi.¹⁶ Untuk menghindari hal ini, manusia perlu memulihkan kesadaran reflektif dan nilai-nilai autentisitas dalam berkreasi. Kesuksesan masa depan harus kembali pada hakikatnya sebagai proses pembentukan diri yang utuh, bukan sekadar instrumen untuk dominasi ekonomi.¹⁷

Dalam konteks global, kesuksesan juga harus dipahami sebagai fenomena interdependensi, bukan kompetisi murni. Dunia yang saling terhubung menuntut model kesuksesan kolaboratif—di mana keberhasilan seseorang bergantung pada kemampuan membangun jejaring sosial, lintas budaya, dan lintas bangsa.¹⁸ Model ini menantang paradigma lama yang memuja individualisme ekstrem dan menggantikannya dengan paradigma collective intelligence.¹⁹ Dengan demikian, masa depan kesuksesan manusia tidak akan ditentukan oleh siapa yang paling kaya atau paling cerdas, tetapi oleh siapa yang paling mampu berkontribusi terhadap kebaikan bersama.²⁰

Akhirnya, kesuksesan di era kontemporer menuntut rekonstruksi nilai: dari kesuksesan material menuju kesuksesan bermakna.²¹ Ia harus berakar pada rasionalitas reflektif, keberanian moral, serta kesadaran ekologis dan sosial. Tantangan terbesar masa depan bukanlah bagaimana manusia menjadi lebih kaya atau berpengaruh, tetapi bagaimana ia tetap manusiawi dalam dunia yang serba efisien dan terotomatisasi.²² Dengan demikian, relevansi kesuksesan masa kini terletak bukan pada pencapaian tanpa batas, melainkan pada kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan kebijaksanaan, antara produktivitas dan kemanusiaan.²³


Footnotes

[1]                ¹ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 10–14.

[2]                ² Richard Sennett, The Culture of the New Capitalism (New Haven, CT: Yale University Press, 2006), 25–28.

[3]                ³ Daniel H. Pink, Drive: The Surprising Truth About What Motivates Us (New York: Riverhead Books, 2009), 67–70.

[4]                ⁴ Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 15–17.

[5]                ⁵ George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and Distance Learning 2, no. 1 (2005): 4–6.

[6]                ⁶ Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge: Polity Press, 2009), 54–57.

[7]                ⁷ Alvin Toffler, Future Shock (New York: Random House, 1970), 403–406.

[8]                ⁸ Peter Senge, The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 12–14.

[9]                ⁹ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 118–122.

[10]             ¹⁰ Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020), 49–52.

[11]             ¹¹ Mariana Mazzucato, The Value of Everything: Making and Taking in the Global Economy (New York: PublicAffairs, 2018), 105–108.

[12]             ¹² Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–38.

[13]             ¹³ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 52–55.

[14]             ¹⁴ Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 86–89.

[15]             ¹⁵ Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Development (London: Zed Books, 1989), 121–125.

[16]             ¹⁶ Martin Heidegger, “The Question Concerning Technology,” in Basic Writings, ed. David Farrell Krell (New York: Harper & Row, 1977), 311–313.

[17]             ¹⁷ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 33–37.

[18]             ¹⁸ Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2000), 355–358.

[19]             ¹⁹ Pierre Lévy, Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in Cyberspace (New York: Perseus Books, 1997), 52–56.

[20]             ²⁰ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 71–74.

[21]             ²¹ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 111–113.

[22]             ²² Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 154–157.

[23]             ²³ Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 331–334.


11.       Sintesis Filosofis

Kesuksesan, dalam terang analisis filosofis yang komprehensif, bukanlah entitas tunggal yang dapat dijelaskan oleh satu disiplin atau teori, melainkan fenomena multidimensional yang terjalin antara struktur sosial, kesadaran individual, nilai moral, dan konteks historis.¹ Sintesis ini bertujuan mengintegrasikan dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, psikologis, dan sosial ke dalam suatu kerangka reflektif yang menjelaskan bagaimana manusia memaknai keberhasilan hidupnya secara rasional sekaligus eksistensial.

Secara ontologis, kesuksesan adalah modus eksistensi manusia yang sedang menjadi (being-in-becoming).² Ia tidak sekadar “hasil akhir” yang statis, melainkan proses dinamis aktualisasi potensi dalam keterbatasan dunia empiris. Dalam arti Heideggerian, kesuksesan sejati adalah bentuk authentic being—keberhasilan menjadi diri sendiri di tengah arus impersonalisasi modernitas.³ Maka, ontologi kesuksesan berakar pada kesadaran akan keberadaan yang terbuka, yang senantiasa menafsirkan dan memperbarui makna dirinya.

Dari sisi epistemologis, kesuksesan mencerminkan cara manusia mengetahui, memahami, dan mengonstruksi strategi hidupnya. Epistemologi kesuksesan bukan hanya tentang akumulasi informasi atau gelar akademik, tetapi tentang kemampuan mengonversi pengalaman menjadi kebijaksanaan (phronesis).⁴ Pengetahuan yang melandasi kesuksesan bersifat reflektif, praktis, dan terbuka terhadap koreksi—sejalan dengan prinsip Popperian tentang fallibilism bahwa setiap pengetahuan manusia bersifat sementara dan dapat disempurnakan.⁵ Dengan demikian, orang sukses bukanlah mereka yang berhenti belajar, tetapi yang mampu mempertahankan kesadaran kritis dalam proses menjadi.

Secara aksiologis, kesuksesan menemukan nilai sejatinya ketika diarahkan kepada kebaikan bersama dan makna hidup yang lebih luas. Nilai moral menjadi parameter etis agar kesuksesan tidak jatuh ke dalam nihilisme atau dominasi ekonomi semata.⁶ Dalam kerangka Aristotelian, eudaimonia hanya dapat tercapai melalui kebajikan, sementara dalam pandangan Viktor Frankl, makna hidup ditemukan bukan dalam pencapaian eksternal, tetapi dalam kemampuan memberi makna pada penderitaan dan tanggung jawab.⁷ Oleh karena itu, kesuksesan sejati bersifat humanistik: ia mengandung etika solidaritas dan tanggung jawab sosial.

Dalam dimensi psikologis dan kognitif, kesuksesan merupakan buah dari interaksi antara mindset berkembang, grit, dan kesadaran metakognitif.⁸ Individu yang sukses adalah mereka yang memiliki daya lenting menghadapi kegagalan dan kemampuan merefleksikan proses berpikirnya sendiri.⁹ Hal ini memperlihatkan bahwa kesuksesan bukan sekadar soal intelegensi, tetapi soal kebijaksanaan adaptif—yakni keseimbangan antara rasionalitas dan intuisi, antara ketekunan dan kreativitas.

Secara sosial dan kultural, kesuksesan adalah konstruksi yang selalu dinegosiasikan dalam jaringan makna masyarakat. Clifford Geertz menyebut kebudayaan sebagai “jaring makna” yang ditenun oleh manusia sendiri, dan kesuksesan adalah salah satu benang utama dalam jaringan itu.¹⁰ Dalam masyarakat individualistik, ia dimaknai sebagai otonomi; dalam masyarakat kolektivistik, ia diartikan sebagai keharmonisan. Kesuksesan modern menuntut sintesis di antara keduanya: manusia harus otonom tanpa kehilangan kepedulian terhadap komunitasnya.¹¹

Adapun dalam kerangka rasionalitas dan realisme, kesuksesan menuntut keseimbangan antara idealisme reflektif dan kesadaran empiris. Rasionalitas memberikan arah dan struktur, sementara realisme menanamkan kerendahan hati terhadap fakta dan keterbatasan.¹² Dalam pandangan Habermas, rasionalitas yang komunikatif melengkapi rasionalitas instrumental: keberhasilan bukan hanya diukur dari efisiensi tindakan, tetapi dari legitimasi moral dan konsensus sosial yang dihasilkannya.¹³ Dengan demikian, kesuksesan tidak boleh berhenti pada “apa yang berhasil,” tetapi harus menimbang “apa yang benar dan adil.”

Dalam perspektif sintesis hermeneutis, seluruh dimensi tersebut saling menafsirkan dan memperkaya. Ontologi memberi dasar eksistensial; epistemologi memberi arah rasional; aksiologi memberi nilai normatif; psikologi memberi dinamika internal; dan sosiologi memberi konteks eksternal.¹⁴ Kesuksesan sejati adalah titik temu antara refleksi diri dan partisipasi sosial—antara kebebasan individu dan tanggung jawab kolektif.

Filsafat akhirnya mengajarkan bahwa kesuksesan bukan objek yang dapat dimiliki, melainkan proses menjadi yang harus dijalani dengan kesadaran penuh.¹⁵ Ia adalah dialektika antara kehendak untuk berkembang dan kesadaran akan keterbatasan; antara rasionalitas dan keajaiban, antara kerja keras dan kebetulan. Kesuksesan yang sejati bersifat integral: rasional secara metode, realistis secara tindakan, etis secara orientasi, dan humanistik secara tujuan.¹⁶

Dengan demikian, sintesis filosofis mengenai kesuksesan mengarah pada satu tesis utama: kesuksesan yang sejati bukanlah penaklukan dunia, melainkan penemuan diri di dalam dunia.¹⁷ Ia bukanlah puncak piramida sosial, melainkan proses reflektif yang menghubungkan pengetahuan, kebajikan, dan makna. Dalam horizon ini, kesuksesan adalah ekspresi tertinggi dari kemanusiaan yang berpikir, berjuang, dan mencipta—suatu praxis humanistik yang menjadikan keberhasilan tidak hanya mungkin, tetapi juga bermakna.¹⁸


Footnotes

[1]                ¹ Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 85–87.

[2]                ² Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1025b–1030a.

[3]                ³ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–69.

[4]                ⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1140a–1142a.

[5]                ⁵ Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 144–147.

[6]                ⁶ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 210–213.

[7]                ⁷ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 110–113.

[8]                ⁸ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 111–114.

[9]                ⁹ Angela Duckworth, Grit: The Power of Passion and Perseverance (New York: Scribner, 2016), 190–193.

[10]             ¹⁰ Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–7.

[11]             ¹¹ Geert Hofstede, Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations across Nations, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2001), 81–83.

[12]             ¹² Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 235–238.

[13]             ¹³ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 286–289.

[14]             ¹⁴ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 306–309.

[15]             ¹⁵ Søren Kierkegaard, Either/Or, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1992), 33–36.

[16]             ¹⁶ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 35–37.

[17]             ¹⁷ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 302–305.

[18]             ¹⁸ Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven, CT: Yale University Press, 1952), 178–180.


12.       Kesimpulan

Kesuksesan, sebagaimana terurai dalam keseluruhan kajian ini, merupakan fenomena yang multidimensional, dialektis, dan reflektif, yang tidak dapat dipahami secara reduktif melalui satu faktor tunggal seperti pendidikan formal, keberuntungan, atau bakat alami.¹ Ia merupakan hasil dari interaksi kompleks antara struktur sosial, kemampuan kognitif, nilai moral, serta konteks historis dan kultural yang membentuk orientasi eksistensial manusia terhadap dunia. Dalam pengertian filosofis, kesuksesan bukanlah suatu keadaan akhir (final state), melainkan proses ontologis menjadi (process of becoming), yang selalu terbuka untuk ditafsir ulang sesuai dengan perubahan pengalaman dan horizon makna manusia.²

Kajian ini menunjukkan bahwa pandangan dikotomis antara “kesuksesan melalui proses terstruktur” dan “kesuksesan melalui keberuntungan atau jalur non-formal” adalah penyederhanaan yang menyesatkan.³ Kesuksesan tidak berada sepenuhnya di bawah determinasi rasionalitas instrumental, tetapi juga tidak sepenuhnya bergantung pada kontingensi dan peluang. Sebaliknya, ia lahir dari dialektika antara rasionalitas dan kontingensi—antara perencanaan sistematis dan kesiapan eksistensial menghadapi ketidakpastian.⁴ Dengan demikian, keberhasilan sejati bukan sekadar hasil dari kalkulasi logis, melainkan ekspresi dari kebijaksanaan adaptif yang menggabungkan refleksi, intuisi, dan tindakan kreatif.

Dari perspektif ontologi, kesuksesan dapat dipahami sebagai aktualisasi potensi manusia untuk menjadi dalam arti eksistensial.⁵ Ia bukan entitas eksternal yang harus dikejar, melainkan kondisi internal yang tumbuh dari kesadaran diri terhadap makna dan tujuan hidup. Dari sisi epistemologi, kesuksesan bergantung pada kemampuan manusia mengubah pengalaman menjadi pengetahuan praktis dan reflektif, di mana pembelajaran non-formal dan autodidak memainkan peran sama pentingnya dengan pendidikan formal.⁶ Sementara itu, dalam dimensi aksiologis, kesuksesan yang sejati tidak diukur dari akumulasi material atau status sosial, tetapi dari nilai moral dan kontribusi terhadap kebaikan bersama.⁷

Kesuksesan juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi sosial dan kultural. Ia merupakan konstruksi sosial yang lahir dari relasi antarindividu dan jaringan makna budaya yang mengatur definisi tentang apa yang dianggap “berhasil.”⁸ Karena itu, narasi “self-made success” perlu dikritisi secara realistis agar tidak mengaburkan ketimpangan struktural yang nyata. Dalam masyarakat digital dan ekonomi jaringan, kesuksesan memerlukan solidaritas, kolaborasi, dan keterbukaan terhadap keragaman nilai.⁹

Dari dimensi psikologis, cara berpikir sukses bergantung pada mindset berkembang (growth mindset), resilience, dan grit, yang menegaskan bahwa kegagalan bukan akhir, tetapi bagian dari proses pembelajaran.¹⁰ Kesuksesan dengan demikian menuntut kesadaran metakognitif: kemampuan untuk berpikir tentang cara berpikir, serta kemampuan untuk mengatur motivasi dan arah tindakan berdasarkan refleksi diri yang mendalam.¹¹

Secara rasional dan realistis, kesuksesan sejati menuntut kesadaran akan keterbatasan manusia di tengah sistem global yang kompleks. Rasionalitas memberi struktur terhadap tindakan, sementara realisme mengingatkan pada faktisitas dan ketidaksempurnaan dunia empiris.¹² Kesuksesan yang berkelanjutan adalah yang mampu berdiri di tengah keduanya—rasional dalam metode, tetapi realistis dalam ekspektasi.¹³

Dari segi relevansi kontemporer, kesuksesan masa kini tidak lagi diukur melalui pencapaian individual semata, tetapi juga melalui kontribusi terhadap keberlanjutan sosial dan ekologis.¹⁴ Dunia modern menuntut model kesuksesan yang inklusif, etis, dan berorientasi pada keseimbangan antara inovasi teknologi dan kemanusiaan.¹⁵ Oleh karena itu, kesuksesan masa depan hanya akan bermakna apabila disertai kesadaran reflektif terhadap nilai-nilai keberlanjutan, keadilan sosial, dan solidaritas global.¹⁶

Dalam horizon sintesis filosofis, kesuksesan dapat dirumuskan sebagai keterpaduan antara rasionalitas, makna, dan nilai.¹⁷ Ia mencerminkan kemampuan manusia untuk menata hidup secara sadar, berpikir secara reflektif, dan bertindak secara etis dalam menghadapi kompleksitas dunia. Kesuksesan bukan lagi sekadar pencapaian eksternal, tetapi pencapaian eksistensial: kemampuan manusia untuk menjadi autentik, kreatif, dan bermakna di tengah dunia yang terus berubah.¹⁸

Dengan demikian, kesimpulan utama dari kajian ini ialah bahwa kesuksesan sejati bersifat integral dan humanistik—lahir dari sintesis antara nalar dan nilai, antara sistem dan kebebasan, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.¹⁹ Ia bukanlah kemenangan individu atas dunia, melainkan kemenangan kesadaran manusia atas dirinya sendiri. Dalam kerangka ini, filsafat tidak hanya menafsirkan kesuksesan, tetapi juga menuntun manusia untuk menghidupi kesuksesan secara etis, reflektif, dan bermakna, sehingga pencapaian menjadi jalan menuju kemanusiaan yang lebih utuh.²⁰


Footnotes

[1]                ¹ Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 54–57.

[2]                ² Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 108–110.

[3]                ³ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 42–46.

[4]                ⁴ Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 277–281.

[5]                ⁵ Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1030a–1032a.

[6]                ⁶ John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 23–25.

[7]                ⁷ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 205–208.

[8]                ⁸ Pierre Bourdieu, The Forms of Capital, in Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, ed. John G. Richardson (New York: Greenwood Press, 1986), 241–243.

[9]                ⁹ Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020), 73–77.

[10]             ¹⁰ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 112–116.

[11]             ¹¹ John H. Flavell, “Metacognition and Cognitive Monitoring,” American Psychologist 34, no. 10 (1979): 906–911.

[12]             ¹² Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 183–185.

[13]             ¹³ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–316.

[14]             ¹⁴ Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways to Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 84–86.

[15]             ¹⁵ Mariana Mazzucato, Mission Economy: A Moonshot Guide to Changing Capitalism (London: Allen Lane, 2021), 101–104.

[16]             ¹⁶ Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 37–39.

[17]             ¹⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 307–310.

[18]             ¹⁸ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 1959), 112–115.

[19]             ¹⁹ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York: Harper & Row, 1976), 35–37.

[20]             ²⁰ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 49–52.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. W. H. Freeman.

Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new modernity. Sage Publications.

Beck, U. (2009). World at risk. Polity Press.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality. Anchor Books.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste. Harvard University Press.

Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. G. Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of education (pp. 241–258). Greenwood Press.

Castells, M. (2000). The rise of the network society (2nd ed.). Blackwell.

Chen, B. (2011). Always on: How the iPhone unlocked the anything-anytime world. Da Capo Press.

Christensen, C. M. (1997). The innovator’s dilemma. Harvard Business Review Press.

Comte, A. (1853). The positive philosophy (H. Martineau, Trans.). John Chapman.

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2017). Self-determination theory: Basic psychological needs in motivation, development, and wellness. Guilford Press.

Dennett, D. (2013). Intuition pumps and other tools for thinking. W. W. Norton & Company.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. Macmillan.

Dewey, J. (1938). Experience and education. Macmillan.

Duckworth, A. (2016). Grit: The power of passion and perseverance. Scribner.

Durkheim, É. (1956). Education and sociology. Free Press.

Florida, R. (2002). The rise of the creative class. Basic Books.

Flavell, J. H. (1979). Metacognition and cognitive monitoring. American Psychologist, 34(10), 906–911.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics, democracy, and civic courage (P. Clarke, Trans.). Rowman & Littlefield.

Fromm, E. (1976). To have or to be? Harper & Row.

Gadamer, H.-G. (1989). Truth and method (2nd rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Gates, B. (1995). The road ahead. Penguin Books.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Giddens, A. (1973). The class structure of the advanced societies. Hutchinson.

Giddens, A. (1979). Central problems in social theory. University of California Press.

Gladwell, M. (2008). Outliers: The story of success. Little, Brown and Company.

Goleman, D. (2013). Focus: The hidden driver of excellence. HarperCollins.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The theory of communicative action (Vol. 2). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Hartman, R. S. (1967). The structure of value: Foundations of scientific axiology. Southern Illinois University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology. In D. F. Krell (Ed.), Basic writings (pp. 311–341). Harper & Row.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.

Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations (2nd ed.). Sage.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts. Polity Press.

Isaacson, W. (2011). Steve Jobs. Simon & Schuster.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kattsoff, L. O. (1953). Elements of philosophy. Ronald Press.

Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.

Kierkegaard, S. (1992). Either/or (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.

Kirkpatrick, D. (2010). The Facebook effect: The inside story of the company that is connecting the world. Simon & Schuster.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Lévy, P. (1997). Collective intelligence: Mankind’s emerging world in cyberspace. Perseus Books.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98(2), 224–253.

Marx, K. (1970). Theses on Feuerbach. In C. J. Arthur (Ed.), The German ideology (pp. 121–123). International Publishers.

Mazzucato, M. (2018). The value of everything: Making and taking in the global economy. PublicAffairs.

Mazzucato, M. (2021). Mission economy: A moonshot guide to changing capitalism. Allen Lane.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books.

Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Parsons, T. (1951). The social system. Free Press.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century. Harvard University Press.

Pink, D. H. (2006). A whole new mind: Why right-brainers will rule the future. Riverhead Books.

Pink, D. H. (2009). Drive: The surprising truth about what motivates us. Riverhead Books.

Piaget, J. (1950). The psychology of intelligence (M. Piercy & D. E. Berlyne, Trans.). Routledge.

Pope Francis. (2015). Laudato si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Polanyi, M. (1966). The tacit dimension. Doubleday & Company.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. Routledge.

Popper, K. (1972). Objective knowledge: An evolutionary approach. Clarendon Press.

Putnam, H. (1981). Reason, truth, and history. Cambridge University Press.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven ways to think like a 21st-century economist. Random House.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human sciences (J. B. Thompson, Trans.). Cambridge University Press.

Ricoeur, P. (1986). Fallible man (C. Kelbley, Trans.). Fordham University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Russell, B. (1948). Human knowledge: Its scope and limits. George Allen and Unwin.

Sandel, M. (2020). The tyranny of merit: What’s become of the common good? Farrar, Straus and Giroux.

Schwab, K. (2016). The fourth industrial revolution. World Economic Forum.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values (M. Frings & R. Funk, Trans.). Northwestern University Press.

Senge, P. (1990). The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. Doubleday.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Alfred A. Knopf.

Sennett, R. (2006). The culture of the new capitalism. Yale University Press.

Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology, and development. Zed Books.

Simon, H. A. (1982). Models of bounded rationality (Vol. 1). MIT Press.

Siemens, G. (2005). Connectivism: A learning theory for the digital age. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3–10.

Taleb, N. N. (2001). Fooled by randomness: The hidden role of chance in life and in the markets. Random House.

Taleb, N. N. (2007). The black swan: The impact of the highly improbable. Random House.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Toffler, A. (1970). Future shock. Random House.

Tawney, R. H. (1926). Religion and the rise of capitalism. John Murray.

Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Scribner.

Young, I. M. (1990). Justice and the politics of difference. Princeton University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar