Antara Struktur dan Keberuntungan
Rasionalitas, Realitas, dan Paradoks Kesuksesan Tanpa
Pendidikan Formal
Alihkan ke: Definisi dan Batasan Sukses.
Goal Orientation Theory, Solusi Mengejar Karir.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara filosofis dan
interdisipliner tentang cara berpikir dalam memandang jalan kesuksesan
antara dua paradigma besar: proses yang terstruktur melalui pendidikan
formal dan keberhasilan yang lahir dari jalur non-formal atau keberuntungan.
Fenomena para miliarder dunia seperti Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg,
Larry Ellison, Jan Koum, dan Amancio Ortega dijadikan studi reflektif untuk
menelaah bagaimana kesuksesan dapat dicapai di luar kerangka institusional,
namun tetap rasional dan realistis. Pendekatan yang digunakan bersifat filsafat
komprehensif, mencakup dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis,
psikologis, sosial, dan kultural, serta dilengkapi dengan analisis rasionalitas
dan realisme.
Secara ontologis, kesuksesan dipahami
sebagai modus keberadaan manusia yang sedang menjadi (being-in-becoming),
bukan sekadar hasil akhir. Epistemologisnya, kesuksesan lahir dari
integrasi antara pengetahuan reflektif dan pembelajaran non-formal yang
bersifat praktis serta terbuka terhadap pengalaman. Aksiologisnya,
kesuksesan menuntut orientasi etis, tanggung jawab sosial, dan makna
kemanusiaan. Secara psikologis dan kognitif, keberhasilan ditentukan
oleh growth mindset, grit, dan kesadaran metakognitif, bukan
semata oleh kecerdasan intelektual. Sementara itu, dimensi sosial, ekonomi,
dan kultural menunjukkan bahwa kesuksesan bukanlah fenomena individual
semata, melainkan konstruksi sosial yang lahir dari interaksi antara modal
sosial, nilai budaya, dan sistem ekonomi global.
Analisis terhadap rasionalitas dan realisme
memperlihatkan bahwa kesuksesan sejati merupakan sintesis antara struktur
rasional dan peluang kontingensial. Kritik filosofis mengungkap perlunya
membebaskan narasi kesuksesan dari determinisme pendidikan maupun mitos keberuntungan
semata, dengan menegaskan bahwa manusia adalah subjek reflektif yang mampu
mengubah realitas melalui kesadaran dan nilai. Dalam relevansi kontemporer,
artikel ini menyoroti tantangan masa depan: kesuksesan harus dimaknai secara
inklusif, etis, dan berkelanjutan di tengah disrupsi teknologi dan krisis
kemanusiaan.
Secara sintetis, kesuksesan dirumuskan
sebagai proses integral yang menggabungkan rasionalitas, makna, dan nilai—yakni
keberhasilan yang rasional dalam metode, realistis dalam tindakan, etis dalam
orientasi, dan humanistik dalam tujuan. Kesuksesan sejati bukanlah penaklukan
dunia, tetapi penemuan diri di dalam dunia melalui refleksi, kebajikan, dan
kontribusi terhadap kemaslahatan bersama.
Kata Kunci: kesuksesan;
pendidikan formal; keberuntungan; filsafat kesuksesan; rasionalitas; realisme;
etika; humanisme; mindset; pembelajaran non-formal.
PEMBAHASAN
Apakah kesuksesan lebih bergantung pada proses
terstruktur atau keberuntungan?
1.
Pendahuluan
Kesuksesan merupakan konsep yang kompleks,
multidimensional, dan sering kali dipahami secara beragam tergantung pada
konteks sosial, budaya, dan historisnya. Dalam masyarakat modern, terutama
sejak berkembangnya kapitalisme industri dan kemudian ekonomi digital,
kesuksesan kerap dikaitkan dengan pencapaian ekonomi, inovasi teknologi, dan
kemampuan individu menembus batas-batas sistem yang ada. Namun demikian, muncul
pula perdebatan filosofis dan empiris mengenai jalan menuju kesuksesan:
apakah keberhasilan lebih ditentukan oleh proses yang terstruktur—seperti
pendidikan formal, disiplin, dan kerja sistematis—atau oleh faktor
keberuntungan dan intuisi individual yang muncul secara kontingensial di
luar sistem yang mapan.
Fenomena sejumlah miliarder dunia yang sukses tanpa
menyelesaikan pendidikan formal memperkuat perdebatan tersebut. Nama-nama
seperti Bill Gates (pendiri Microsoft), Steve Jobs (pendiri
Apple), Mark Zuckerberg (pendiri Facebook), Larry Ellison
(pendiri Oracle), Jan Koum (pendiri WhatsApp), dan Amancio Ortega
(pendiri Zara) sering dikutip sebagai bukti bahwa pendidikan formal bukan
satu-satunya kunci sukses. Mereka menjadi ikon dari narasi “dropout success”,
yaitu kisah keberhasilan luar biasa yang tampak menentang logika meritokratis
yang selama ini menjunjung pendidikan sebagai syarat utama mobilitas sosial dan
ekonomi.¹
Namun, narasi tersebut menimbulkan sejumlah
pertanyaan filosofis yang penting. Apakah kesuksesan mereka benar-benar hasil
keberuntungan ataukah manifestasi dari struktur berpikir yang terarah dan
rasional meskipun di luar sistem pendidikan formal? Apakah sistem pendidikan
formal kehilangan relevansinya dalam dunia yang kini ditentukan oleh
kreativitas, inovasi, dan kemampuan adaptif terhadap perubahan teknologi?²
Dengan kata lain, persoalannya tidak semata-mata terletak pada pendidikan atau
ketiadaannya, tetapi pada cara berpikir yang melandasi setiap pilihan
dan strategi dalam menghadapi realitas.
Dalam konteks ini, filsafat memegang peranan
penting untuk menelaah dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari
kesuksesan. Filsafat membantu mengurai hakikat (ontologi) dari “sukses,”
cara manusia mengetahui dan mempelajarinya (epistemologi), serta nilai-nilai
yang mendasari dan menuntunnya (aksiologi).³ Pendekatan filosofis ini membuka
ruang bagi analisis yang tidak sekadar menilai kesuksesan dari hasil akhir,
tetapi juga dari rasionalitas proses yang menyertainya.
Lebih jauh lagi, refleksi terhadap fenomena “kesuksesan
tanpa pendidikan formal” mengandung implikasi sosial dan etis. Ia menantang
peran lembaga pendidikan dalam membentuk manusia produktif dan berintegritas,
serta menggugat persepsi masyarakat tentang korelasi linear antara pendidikan
dan kemakmuran.⁴ Dalam era digital dan disrupsi teknologi, ketika akses
terhadap informasi dan keterampilan semakin terbuka, proses pembelajaran tidak
lagi eksklusif bagi institusi akademik. Fenomena ini menunjukkan perlunya
redefinisi terhadap arti pendidikan, bukan sebagai sekadar sistem transmisi
pengetahuan, melainkan sebagai proses pembentukan cara berpikir kritis,
kreatif, dan reflektif yang dapat berlangsung di dalam maupun di luar
institusi formal.⁵
Kajian ini bertujuan untuk mengurai rasionalitas
dan realitas di balik dua paradigma berpikir tersebut: jalan kesuksesan
melalui proses yang terstruktur dan jalan kesuksesan melalui peluang
non-formal atau keberuntungan. Dengan membandingkan dan menganalisis
berbagai dimensi—filosofis, psikologis, sosial, dan empiris—kajian ini berupaya
menjawab pertanyaan mendasar: mana yang lebih rasional dan realistis sebagai
jalan kesuksesan manusia modern?
Footnotes
[1]
¹ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of
Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 42–55.
[2]
² Clayton M. Christensen, The Innovator’s
Dilemma (Boston: Harvard Business Review Press, 1997), 21–29.
[3]
³ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 215–218.
[4]
⁴ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social
Critique of the Judgement of Taste (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1984), 99–104.
[5]
⁵ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics,
Democracy, and Civic Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman
& Littlefield, 1998), 17–23.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Kesuksesan
Konsep kesuksesan tidak lahir dalam ruang hampa; ia
memiliki akar historis yang panjang dan mengalami transformasi sesuai dinamika
sosial, ekonomi, dan kultural manusia. Dalam peradaban awal, kesuksesan lebih
banyak dikaitkan dengan status sosial dan kehormatan, bukan dengan
prestasi individual. Dalam masyarakat feodal atau agraris, kesuksesan
ditentukan oleh kelahiran, garis keturunan, dan relasi dengan kekuasaan.¹
Namun, sejak Revolusi Industri dan lahirnya kapitalisme modern,
paradigma kesuksesan mengalami pergeseran mendasar: dari status yang diwariskan
menuju pencapaian yang diusahakan (achieved status).²
Max Weber, dalam karyanya The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism, menjelaskan bahwa etos kerja dan rasionalitas
ekonomi modern berakar pada semangat Protestan, terutama ajaran mengenai
panggilan hidup (Beruf) dan kerja keras sebagai manifestasi iman.³ Etika
ini melahirkan pandangan bahwa kesuksesan ekonomi adalah bukti moral dari kerja
rasional dan kedisiplinan spiritual. Dengan demikian, pendidikan dan
pembelajaran sistematis menjadi instrumen penting dalam membentuk individu
produktif dan rasional, sesuai dengan tuntutan masyarakat industri.⁴
Memasuki abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia
II, pendidikan formal menjadi simbol utama mobilitas sosial dan pembangunan
ekonomi. Negara-negara maju menjadikan pendidikan sebagai motor penggerak
meritokrasi—sebuah sistem yang diyakini memberikan kesempatan setara
berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan keturunan.⁵ Dalam konteks ini,
kesuksesan dianggap hasil dari proses terstruktur yang mencakup
perencanaan, disiplin, dan pendidikan tinggi. Paradigma ini didukung oleh teori
fungsionalisme dalam sosiologi pendidikan, yang memandang sekolah sebagai
lembaga reproduksi nilai-nilai kerja, rasionalitas, dan kompetensi yang
dibutuhkan masyarakat industri.⁶
Namun, sejak akhir abad ke-20 hingga kini, dengan
munculnya ekonomi digital dan gelombang disrupsi teknologi, muncul narasi
tandingan terhadap hegemoni pendidikan formal. Kisah sukses para inovator
seperti Steve Jobs, Bill Gates, Larry Ellison, dan Mark
Zuckerberg menandai perubahan genealogis dalam cara pandang terhadap
kesuksesan. Mereka menjadi simbol dari entrepreneurial individualism—etos
baru yang menekankan kreativitas, keberanian mengambil risiko, dan
ketidakterikatan pada struktur formal.⁷ Dalam konteks ini, kesuksesan dipahami
bukan lagi sebagai hasil kepatuhan terhadap sistem, melainkan kemampuan
melampaui sistem.
Munculnya ekonomi digital dan startup culture
memperkuat pergeseran ini. Sistem pendidikan formal yang dulunya dianggap
prasyarat kesuksesan kini dinilai lamban dalam mengikuti laju inovasi dan
transformasi industri.⁸ Pembelajaran menjadi lebih terdesentralisasi melalui
teknologi informasi, sumber terbuka, dan komunitas daring. Genealogi kesuksesan
pun bergerak dari paradigma industrial ke paradigma kreatif, dari credentialism
menuju competency-based achievement.⁹
Meski demikian, analisis genealogis yang lebih
dalam memperlihatkan bahwa keberhasilan tokoh-tokoh tanpa pendidikan formal
tetap bertumpu pada struktur tertentu, meskipun non-formal. Struktur
tersebut berupa jaringan sosial, akses teknologi, kemampuan berpikir sistemik,
serta kesediaan untuk terus belajar secara mandiri. Dengan kata lain, meskipun
mereka menolak struktur pendidikan konvensional, mereka membangun struktur
alternatif yang berbasis pada visi, pengalaman, dan eksperimen.¹⁰
Dengan demikian, secara historis, kesuksesan telah
mengalami pergeseran makna dari bentuk-bentuk deterministik menuju
bentuk-bentuk reflektif dan kreatif. Namun genealoginya menunjukkan bahwa baik
sistem pendidikan maupun keberuntungan pribadi tidak berdiri sebagai kutub yang
terpisah, melainkan sebagai dialektika yang saling mengandaikan. Pendidikan
memberi landasan sistematis bagi berpikir rasional, sedangkan kebetulan atau
kreativitas menyediakan ruang bagi penemuan dan inovasi.¹¹
Footnotes
[1]
¹ R. H. Tawney, Religion and the Rise of
Capitalism (London: John Murray, 1926), 33–41.
[2]
² Anthony Giddens, The Class Structure of the
Advanced Societies (London: Hutchinson, 1973), 57–59.
[3]
³ Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 87–92.
[4]
⁴ Émile Durkheim, Education and Sociology
(New York: Free Press, 1956), 22–28.
[5]
⁵ Raymond Aron, Main Currents in Sociological
Thought, vol. 2 (New York: Doubleday Anchor, 1967), 145–148.
[6]
⁶ Talcott Parsons, The Social System (New
York: Free Press, 1951), 210–214.
[7]
⁷ Richard Florida, The Rise of the Creative
Class (New York: Basic Books, 2002), 5–7.
[8]
⁸ Thomas L. Friedman, Thank You for Being Late:
An Optimist’s Guide to Thriving in the Age of Accelerations (New York:
Farrar, Straus and Giroux, 2016), 89–94.
[9]
⁹ Daniel H. Pink, A Whole New Mind: Why
Right-Brainers Will Rule the Future (New York: Riverhead Books, 2006),
47–53.
[10]
¹⁰ Howard Gardner, Five Minds for the Future
(Boston: Harvard Business School Press, 2007), 21–25.
[11]
¹¹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 132–135.
3.
Ontologi
Kesuksesan: Hakikat dan Dimensinya
Untuk memahami kesuksesan secara mendalam,
diperlukan telaah ontologis terhadap hakikatnya sebagai fenomena manusiawi yang
kompleks. Ontologi, sebagai cabang filsafat yang membahas “apa yang ada”
(being qua being), membantu mengurai pertanyaan mendasar: apa itu
kesuksesan? Apakah ia suatu realitas objektif yang dapat diukur secara
universal, ataukah suatu konstruksi subjektif yang maknanya berbeda bagi setiap
individu dan masyarakat?¹
Secara historis dan konseptual, kesuksesan sering
dipahami dalam dua horizon besar: ontologi empiris dan ontologi
eksistensial. Dalam horizon empiris, kesuksesan dianggap sebagai hasil yang
dapat diobservasi—seperti kekayaan, jabatan, atau pengaruh sosial.² Kesuksesan
di sini memiliki karakter kuantitatif dan dapat diverifikasi melalui indikator
ekonomi maupun prestasi sosial. Dalam kerangka ini, kesuksesan tampak sebagai
sesuatu yang ada di luar subjek, bersifat eksternal dan terukur.
Sebaliknya, dalam horizon eksistensial, kesuksesan
dipandang sebagai realitas yang melekat pada modus keberadaan manusia (Dasein)
sebagaimana dikemukakan oleh Martin Heidegger.³ Ia bukan sekadar hasil,
melainkan suatu cara berada di dunia yang autentik. Dalam pandangan ini,
seseorang dikatakan sukses ketika mampu mengaktualisasikan potensi dirinya
secara otentik dan sadar terhadap makna keberadaannya. Kesuksesan bukan sekadar
“memiliki,” tetapi “menjadi”—yakni menjadi manusia yang utuh dan
bermakna.⁴
Kedua horizon ini saling melengkapi dalam
menjelaskan hakikat kesuksesan. Dalam konteks sosial modern, kesuksesan empiris
sering kali menjadi ukuran dominan karena masyarakat kapitalistik menilai
individu berdasarkan hasil yang tampak. Namun, kesuksesan eksistensial tetap
menjadi dasar yang tak dapat diabaikan, sebab tanpa kesadaran makna, kesuksesan
eksternal kehilangan nilai intrinsiknya.⁵ Dengan kata lain, kesuksesan sejati
bersifat relasional—ia muncul dari pertemuan antara dunia objektif
(struktur sosial, ekonomi, pendidikan) dan dunia subjektif (kesadaran, makna,
dan tujuan hidup).
Jika dilihat secara ontologis, kesuksesan dapat
dipahami melalui tiga dimensi utama: (1) dimensi faktual, (2) dimensi
potensial, dan (3) dimensi nilai.
1)
Dimensi faktual menunjuk
pada realitas empiris kesuksesan: pencapaian ekonomi, karya nyata, inovasi, dan
pengaruh sosial. Tokoh seperti Bill Gates atau Amancio Ortega merepresentasikan
keberhasilan pada tingkat ini, di mana kesuksesan tampak sebagai realisasi
objektif dari kemampuan adaptasi terhadap struktur ekonomi dan peluang pasar.⁶
2)
Dimensi potensial berkaitan
dengan kapasitas manusia untuk menjadi lebih dari dirinya sekarang. Dalam
kerangka Aristotelian, ini disebut sebagai aktualisasi dari potentia menuju
actus.⁷ Kesuksesan, dalam arti ini, bukanlah keadaan final, melainkan
proses menjadi (becoming) yang terus berkembang melalui pembelajaran,
refleksi, dan pengalaman.
3)
Dimensi nilai mengandung
aspek teleologis, yakni tujuan dan orientasi moral dari kesuksesan. Tanpa
dimensi ini, kesuksesan menjadi nihilistik—sekadar akumulasi materi tanpa
makna. Dalam filsafat eksistensial, terutama menurut Viktor Frankl, makna (meaning)
adalah inti dari eksistensi manusia; seseorang baru dapat disebut sukses bila
hidupnya selaras dengan nilai yang diyakininya.⁸
Dengan demikian, ontologi kesuksesan tidak dapat
direduksi menjadi satu dimensi tunggal. Ia adalah realitas ganda (dual
ontology): empiris sekaligus eksistensial, objektif sekaligus subjektif.
Pandangan ini memungkinkan kita memahami mengapa seseorang dapat gagal secara
sosial tetapi berhasil secara eksistensial, atau sebaliknya. Steve Jobs,
misalnya, pernah mengalami kegagalan bisnis pada awal kariernya, tetapi secara
eksistensial ia justru menemukan makna dan kreativitas melalui pengalaman
tersebut.⁹
Lebih jauh, ontologi kesuksesan juga terkait dengan
hubungan manusia terhadap struktur dan kontingensi. Kesuksesan bukan
hanya hasil dari sistem rasional yang dapat direkayasa, melainkan juga
peristiwa yang bersifat kontingen—dalam arti dipengaruhi oleh faktor-faktor tak
terduga seperti waktu, keberuntungan, atau peluang sosial tertentu.¹⁰ Namun,
faktor kontingensi ini tidak menghapus rasionalitas manusia; justru menunjukkan
bahwa kesuksesan merupakan pertemuan antara struktur (proses terencana) dan
kontingensi (kejadian tak terduga).¹¹
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa hakikat
kesuksesan bersifat ontologis-relasional dan dialektis: ia
terbentuk dari dialog antara struktur rasional dan dinamika eksistensial,
antara determinasi sosial dan kebebasan individu. Maka, memahami kesuksesan
secara filosofis berarti menembus permukaan hasil lahiriah untuk melihat modus
keberadaan manusia dalam perjuangannya menata hidup secara bermakna.¹²
Footnotes
[1]
¹ Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1025b–1030a.
[2]
² Max Scheler, Formalism in Ethics and
Non-Formal Ethics of Values, trans. Manfred Frings and Roger Funk
(Evanston, IL: Northwestern University Press, 1973), 42–46.
[3]
³ Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–71.
[4]
⁴ Søren Kierkegaard, The Sickness Unto Death,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1989), 46–49.
[5]
⁵ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 14–19.
[6]
⁶ Walter Isaacson, Steve Jobs (New York:
Simon & Schuster, 2011), 115–120.
[7]
⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1098a–1099b.
[8]
⁸ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 101–104.
[9]
⁹ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of
Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 58–61.
[10]
¹⁰ Nassim Nicholas Taleb, The Black Swan: The
Impact of the Highly Improbable (New York: Random House, 2007), 27–30.
[11]
¹¹ Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 278–282.
[12]
¹² Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–317.
4.
Epistemologi
Kesuksesan: Pengetahuan, Strategi, dan Pembelajaran Non-formal
Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang menelaah
hakikat, sumber, dan batas-batas pengetahuan, memberikan kerangka untuk
memahami bagaimana manusia mengetahui dan memaknai kesuksesan.
Dalam konteks ini, kesuksesan tidak semata hasil dari tindakan praktis, tetapi
merupakan konsekuensi dari struktur kognitif dan epistemik yang membentuk cara
berpikir seseorang terhadap realitas.¹ Setiap individu yang mencapai
kesuksesan, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non-formal, pada
dasarnya mengoperasikan suatu sistem pengetahuan tertentu yang menuntun
pengambilan keputusan, pengelolaan risiko, serta kemampuan untuk memaknai
pengalaman.
Dalam paradigma klasik, pengetahuan dianggap
sebagai hasil dari proses pembelajaran yang terstruktur, sistematis, dan
berbasis pada otoritas institusi.² Model ini menekankan pendidikan formal
sebagai sumber legitimasi epistemik—yaitu kerangka yang mengesahkan
suatu pengetahuan sebagai benar dan sahih. Pendidikan formal memfasilitasi
transfer pengetahuan melalui kurikulum, metodologi ilmiah, dan pembentukan
rasionalitas logis.³ Namun, sejarah modern menunjukkan bahwa kesuksesan tidak
selalu lahir dari jalur epistemik yang demikian. Para miliarder seperti Steve
Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, Larry Ellison, dan Jan
Koum justru menunjukkan bentuk lain dari epistemologi praksis, yakni
pembelajaran melalui pengalaman, eksplorasi, dan refleksi diri yang tidak
selalu mengikuti tatanan akademik konvensional.⁴
Steve Jobs, misalnya, menggambarkan proses
pembelajarannya sebagai perpaduan antara pengalaman intuitif dan estetika: ia
belajar tipografi bukan karena kebutuhan akademik, melainkan karena rasa ingin
tahu terhadap keindahan bentuk huruf, yang kemudian memengaruhi desain produk
Apple.⁵ Bill Gates, di sisi lain, memanfaatkan pattern recognition—kemampuan
mengenali pola-pola peluang ekonomi dan teknologi—sebagai landasan
epistemiknya.⁶ Dalam kasus Mark Zuckerberg, pembelajaran bersifat iteratif,
yaitu melalui percobaan, kegagalan, dan revisi berulang (trial and error)
dalam membangun Facebook.⁷ Dengan demikian, epistemologi kesuksesan di sini
bukan bersifat deduktif seperti dalam tradisi akademik, tetapi bersifat
induktif dan eksperimental.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan
yang relevan bagi kesuksesan bersifat kontekstual, situasional, dan
reflektif, bukan sekadar proposisional. Michael Polanyi menyebut jenis
pengetahuan ini sebagai tacit knowledge—pengetahuan implisit yang
terinternalisasi dalam pengalaman dan tidak mudah ditransfer melalui bahasa
formal.⁸ Tacit knowledge memainkan peran penting dalam kreativitas dan
inovasi, karena memungkinkan individu bertindak efektif dalam situasi baru
tanpa harus merujuk pada aturan eksplisit. Dalam hal ini, pembelajaran
non-formal, seperti pengalaman kerja, jaringan sosial, dan eksperimen pribadi,
berfungsi sebagai ladang epistemik yang menumbuhkan intuisi, kebijaksanaan
praktis (phronesis), dan pengetahuan kontekstual.⁹
Epistemologi kesuksesan juga berkaitan erat dengan
teori learning by doing yang dikemukakan oleh John Dewey.¹⁰ Menurutnya,
belajar adalah proses aktif yang melibatkan interaksi langsung dengan
lingkungan dan refleksi atas tindakan. Kesuksesan lahir dari kemampuan individu
untuk mengonversi pengalaman menjadi pengetahuan, bukan sekadar mengakumulasi
informasi. Dewey menolak dikotomi antara teori dan praktik; bagi dia,
pengetahuan sejati adalah hasil dari proses eksperimental yang terus-menerus,
yang menjembatani keduanya.¹¹ Dengan demikian, kesuksesan bukan semata hasil
kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan reflektif dan
adaptif terhadap perubahan.
Dalam era digital, epistemologi kesuksesan semakin
menekankan pentingnya pembelajaran otonom (self-directed learning)
dan keterampilan metakognitif—yakni kemampuan untuk memahami dan
mengatur proses berpikir sendiri.¹² Para inovator modern memanfaatkan sumber
daya terbuka, jaringan daring, dan komunitas global sebagai ruang belajar
non-formal yang mempercepat pertumbuhan pengetahuan. Fenomena ini sejalan
dengan teori connectivism dari George Siemens, yang menegaskan bahwa
pengetahuan kini bersifat terdistribusi dan dinamis, bukan lagi tersentralisasi
dalam lembaga pendidikan.¹³ Oleh karena itu, individu sukses di abad ke-21
bukanlah mereka yang hanya menguasai pengetahuan statis, melainkan yang mampu
mengakses, menilai, dan menghubungkan berbagai sumber pengetahuan secara
efektif.
Epistemologi kesuksesan, pada akhirnya, bersifat plural
dan evolutif. Ia tidak dapat direduksi menjadi model tunggal—baik formal
maupun informal—karena selalu bergantung pada konteks sosial dan struktur
peluang yang tersedia.¹⁴ Dalam pengertian ini, kesuksesan lebih tepat dipahami
sebagai hasil dari proses epistemik terbuka: perpaduan antara disiplin
rasional dan spontanitas kreatif, antara struktur pengetahuan dan kebebasan
berpikir.¹⁵ Dengan kata lain, pengetahuan yang menuntun kesuksesan adalah
pengetahuan yang hidup—yang terus tumbuh bersama pengalaman manusia dalam mengarungi
ketidakpastian dunia.
Footnotes
[1]
¹ Bertrand Russell, Human Knowledge: Its Scope
and Limits (London: George Allen and Unwin, 1948), 1–4.
[2]
² Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–305.
[3]
³ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 243–245.
[4]
⁴ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of
Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 50–56.
[5]
⁵ Walter Isaacson, Steve Jobs (New York:
Simon & Schuster, 2011), 124–128.
[6]
⁶ Bill Gates, The Road Ahead (New York:
Penguin Books, 1995), 42–44.
[7]
⁷ David Kirkpatrick, The Facebook Effect: The
Inside Story of the Company That Is Connecting the World (New York: Simon
& Schuster, 2010), 63–67.
[8]
⁸ Michael Polanyi, The Tacit Dimension (New
York: Doubleday & Company, 1966), 4–9.
[9]
⁹ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1140a–1141b.
[10]
¹⁰ John Dewey, Experience and Education (New
York: Macmillan, 1938), 25–29.
[11]
¹¹ John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 68–72.
[12]
¹² Albert Bandura, Social Foundations of Thought
and Action: A Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1986), 391–394.
[13]
¹³ George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory
for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and
Distance Learning 2, no. 1 (2005): 3–10.
[14]
¹⁴ Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–113.
[15]
¹⁵ Karl Popper, Objective Knowledge: An
Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 146–150.
5.
Aksiologi:
Nilai, Etika, dan Orientasi Kesuksesan
Aksiologi, sebagai cabang filsafat yang menelaah
nilai dan orientasi moral dari tindakan manusia, menempatkan kesuksesan dalam
dimensi etisnya: bukan hanya apa yang dicapai, tetapi bagaimana
dan untuk apa pencapaian itu diperoleh.¹ Dalam konteks ini, kesuksesan
tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai yang melandasinya—baik nilai personal
(etos kerja, integritas, tanggung jawab) maupun nilai sosial (keadilan,
kemaslahatan, solidaritas).² Setiap bentuk kesuksesan mengandung muatan
aksiologis tertentu yang mencerminkan cara individu menilai dirinya,
masyarakatnya, dan dunia tempat ia berkiprah.
Secara historis, nilai-nilai kesuksesan banyak
dipengaruhi oleh tradisi etika kerja Protestan sebagaimana diuraikan oleh Max
Weber: kerja keras, rasionalitas, dan pengendalian diri dianggap sebagai
cerminan moralitas tinggi dan tanda “panggilan ilahi.”³ Dalam kerangka
ini, kesuksesan ekonomi menjadi simbol kedisiplinan moral dan tanggung jawab
spiritual. Akan tetapi, di era sekular dan digital, orientasi nilai tersebut
bergeser dari panggilan etis menuju pembuktian personal.
Keberhasilan kini sering dipahami sebagai ekspresi kebebasan individu untuk
menentukan jalan hidupnya sendiri.⁴
Namun, pergeseran ini membawa problem etis
tersendiri. Ketika kesuksesan didefinisikan semata sebagai akumulasi hasil
tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang menyertainya, maka ia berisiko
berubah menjadi bentuk nihilisme pragmatis, di mana segala cara menjadi
sah selama menghasilkan keuntungan.⁵ Fenomena ini tampak dalam budaya populer
dan korporasi modern, yang sering menonjolkan figur “self-made billionaire”
sebagai lambang otonomi mutlak, tanpa meninjau dimensi sosial dan moral dari
keberhasilannya. Dalam hal ini, filsafat moral berfungsi sebagai koreksi terhadap
penyempitan makna kesuksesan menjadi sekadar efisiensi ekonomi.⁶
Etika kesuksesan menuntut keseimbangan antara tujuan
pribadi dan kewajiban sosial. Aristoteles menekankan bahwa eudaimonia
(kebahagiaan sejati) tidak dapat dicapai tanpa kebajikan (virtue),
karena tindakan yang baik adalah tindakan yang selaras dengan kebaikan
universal.⁷ Kesuksesan yang etis bukanlah yang menguntungkan secara material
semata, melainkan yang membawa kontribusi pada kebaikan bersama (common
good). Dalam konteks modern, hal ini berarti bahwa inovasi, kekayaan, dan
prestasi hanya memiliki nilai moral bila disertai tanggung jawab sosial—seperti
komitmen terhadap keberlanjutan, pendidikan, atau kesejahteraan masyarakat.⁸
Tokoh-tokoh seperti Bill Gates dan Warren Buffett
menunjukkan dimensi aksiologis ini melalui filantropi yang terorganisasi,
sementara Steve Jobs dan Mark Zuckerberg menampilkan bentuk lain dari etika
kreatif, yaitu pencarian makna melalui inovasi dan pemberdayaan manusia melalui
teknologi.⁹ Meskipun mereka memiliki latar pendidikan yang tidak linear, mereka
menunjukkan bahwa kesuksesan yang sejati bukanlah anti-pendidikan,
melainkan trans-pendidikan—yakni melampaui batas formalitas akademik
demi pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan pengetahuan praktis yang berguna
bagi dunia.¹⁰
Dalam tataran sosial, aksiologi kesuksesan juga
menuntut kesadaran akan relasi kuasa dan keadilan distribusi. Pierre
Bourdieu menunjukkan bahwa kesuksesan sering kali bukan sekadar hasil kerja
keras individual, tetapi juga hasil dari modal simbolik, sosial, dan kultural
yang tidak merata dalam masyarakat.¹¹ Maka, etika kesuksesan yang sejati harus
disertai kesadaran struktural terhadap ketimpangan dan upaya untuk menciptakan
kesempatan yang lebih inklusif. Tanpa keadilan sosial, kesuksesan individual
mudah menjadi bentuk reproduksi privilese yang meneguhkan dominasi ekonomi dan
budaya.¹²
Aksiologi kesuksesan, dengan demikian, menuntut
integrasi antara tiga orientasi nilai: (1) integritas personal, (2)
tanggung jawab sosial, dan (3) kesadaran spiritual atau eksistensial.
Integritas personal menjaga agar proses menuju sukses tidak kehilangan
moralitasnya; tanggung jawab sosial memastikan bahwa kesuksesan memberi manfaat
bagi orang lain; dan kesadaran eksistensial mengembalikan kesuksesan pada makna
terdalamnya—yakni realisasi potensi manusia secara utuh.¹³
Dalam pandangan filsafat humanistik, khususnya
menurut Erich Fromm, keberhasilan sejati tidak diukur dari “memiliki” (having),
tetapi dari “menjadi” (being).¹⁴ Kesuksesan yang berakar pada
nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya menciptakan individu unggul, tetapi juga
memperkuat peradaban yang etis, reflektif, dan solidaristik. Karenanya,
orientasi nilai dalam kesuksesan masa kini harus diarahkan pada pembentukan
manusia kreatif yang beretika—bukan hanya cerdas secara teknis, tetapi juga
bijak secara moral.¹⁵
Footnotes
[1]
¹ Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy
(New York: Ronald Press, 1953), 297–299.
[2]
² Robert S. Hartman, The Structure of Value:
Foundations of Scientific Axiology (Carbondale: Southern Illinois
University Press, 1967), 11–14.
[3]
³ Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 97–101.
[4]
⁴ Charles Taylor, Sources of the Self: The
Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1989), 302–307.
[5]
⁵ Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of
Morals, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1989), 35–38.
[6]
⁶ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981),
203–208.
[7]
⁷ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1099a–1100a.
[8]
⁸ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
45–48.
[9]
⁹ Bill Gates, The Road Ahead (New York:
Penguin Books, 1995), 189–194.
[10]
¹⁰ Howard Gardner, Five Minds for the Future
(Boston: Harvard Business School Press, 2007), 33–36.
[11]
¹¹ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social
Critique of the Judgement of Taste (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1984), 114–117.
[12]
¹² Iris Marion Young, Justice and the Politics
of Difference (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1990), 27–30.
[13]
¹³ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 103–106.
[14]
¹⁴ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York:
Harper & Row, 1976), 21–25.
[15]
¹⁵ Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.
6.
Dimensi
Psikologis dan Kognitif Cara Berpikir Sukses
Cara berpikir yang melandasi kesuksesan tidak dapat
dilepaskan dari dimensi psikologis dan kognitif manusia. Kesuksesan bukan
sekadar hasil keberuntungan atau struktur eksternal, tetapi manifestasi dari pola
pikir, keyakinan diri, dan strategi mental yang mengarahkan
tindakan menuju pencapaian tertentu.¹ Dalam perspektif psikologi kognitif,
pikiran manusia berfungsi sebagai sistem pemroses informasi yang membentuk cara
individu memersepsi dunia, menafsirkan peluang, serta menilai risiko dan kegagalan.²
Dengan demikian, cara berpikir sukses adalah hasil dari interaksi antara
struktur kognitif internal dan dinamika eksternal yang terus berubah.
Salah satu konsep kunci dalam psikologi modern yang
relevan adalah mindset, sebagaimana dikemukakan oleh Carol S. Dweck. Ia
membedakan dua tipe utama: fixed mindset (pola pikir tetap) dan growth
mindset (pola pikir berkembang).³ Individu dengan fixed mindset
meyakini bahwa kemampuan adalah sifat bawaan yang tidak dapat diubah, sedangkan
mereka yang memiliki growth mindset memandang kemampuan sebagai sesuatu
yang dapat dikembangkan melalui usaha, latihan, dan ketekunan. Dweck
menunjukkan bahwa growth mindset merupakan prediktor utama kesuksesan
jangka panjang karena membentuk ketahanan psikologis (resilience) dan
kesiapan menghadapi kegagalan sebagai bagian dari proses belajar.⁴
Dalam konteks para miliarder yang sukses tanpa
pendidikan formal, pola pikir berkembang ini tampak nyata. Bill Gates,
misalnya, menekankan pentingnya curiosity-driven learning—semangat
belajar yang didorong rasa ingin tahu, bukan sekadar kebutuhan akademik.⁵ Steve
Jobs mempraktikkan creative intuition, yaitu kemampuan menghubungkan
pengalaman lintas bidang secara spontan untuk menghasilkan inovasi baru.⁶ Jan
Koum, pendiri WhatsApp, menunjukkan bentuk resilient cognition—kemampuan
mental untuk tetap fokus dan adaptif meskipun menghadapi keterbatasan
sosial-ekonomi.⁷ Dalam seluruh kasus ini, kesuksesan berakar pada struktur
mental fleksibel yang memungkinkan individu belajar dari pengalaman tanpa
kehilangan arah dan motivasi.
Dimensi psikologis lainnya yang berperan penting
adalah grit, istilah yang dipopulerkan oleh Angela Duckworth. Grit
mencakup kombinasi antara ketekunan (perseverance) dan hasrat terhadap
tujuan jangka panjang (passion for long-term goals).⁸ Individu dengan grit
tinggi tidak hanya bekerja keras, tetapi juga mampu mempertahankan fokus dan
komitmen meski menghadapi hambatan berulang. Duckworth menegaskan bahwa
keberhasilan bukan ditentukan oleh bakat, melainkan oleh konsistensi upaya yang
disertai motivasi intrinsik.⁹ Ini sejalan dengan teori self-determination
dari Deci dan Ryan, yang menekankan pentingnya otonomi, kompetensi, dan
keterhubungan sosial sebagai fondasi motivasi manusia.¹⁰
Dalam ranah kognitif, kesuksesan juga berkaitan
dengan metakognisi, yakni kemampuan individu untuk memahami dan mengatur
proses berpikirnya sendiri.¹¹ Para inovator sukses sering kali menunjukkan
tingkat kesadaran metakognitif tinggi: mereka mampu mengevaluasi keputusan,
meninjau kesalahan, dan menyesuaikan strategi berpikir secara dinamis. Hal ini
menjelaskan mengapa banyak tokoh non-lulusan universitas tetap mampu
menciptakan produk revolusioner—mereka tidak sekadar berpikir cepat, tetapi
juga berpikir tentang berpikir (thinking about thinking).¹²
Psikologi positif menambahkan dimensi lain melalui
konsep optimisme realistis dan efikasi diri (self-efficacy)
sebagaimana dikembangkan oleh Albert Bandura.¹³ Efikasi diri adalah keyakinan
seseorang terhadap kemampuannya menyelesaikan tugas tertentu. Keyakinan ini
bukan ilusi, tetapi sumber motivasi yang mendorong eksplorasi, inovasi, dan
keberanian mengambil risiko. Individu dengan tingkat efikasi diri tinggi
cenderung melihat hambatan sebagai tantangan, bukan ancaman. Dalam konteks
kesuksesan, hal ini berfungsi sebagai kekuatan internal yang menopang daya
tahan psikologis dan adaptasi kreatif.¹⁴
Namun, dimensi psikologis kesuksesan tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial dan budaya. Penelitian lintas budaya menunjukkan
bahwa cara berpikir sukses di masyarakat Barat cenderung
individualistik—menekankan kemandirian dan otonomi pribadi—sementara dalam
konteks Timur, kesuksesan sering dipahami secara relasional, yakni sebagai
keberhasilan yang selaras dengan harmoni sosial.¹⁵ Dengan demikian, konstruksi
psikologis kesuksesan tidak universal, tetapi dipengaruhi oleh norma budaya
yang membentuk persepsi tentang “diri” dan “tujuan.”
Secara kognitif, keberhasilan berpikir sukses
menuntut kemampuan menyeimbangkan dua sistem berpikir sebagaimana dijelaskan
Daniel Kahneman: System 1 (intuitif, cepat, otomatis) dan System 2
(analitis, lambat, reflektif).¹⁶ Tokoh-tokoh inovatif seperti Jobs dan Gates
mengintegrasikan keduanya: intuisi kreatif (System 1) digunakan untuk
menemukan peluang, sementara analisis rasional (System 2) digunakan
untuk mewujudkan ide menjadi strategi konkret. Kesuksesan, dalam arti ini,
adalah hasil dari harmoni antara spontanitas kreatif dan disiplin reflektif.¹⁷
Dengan demikian, dimensi psikologis dan kognitif
kesuksesan memperlihatkan bahwa keberhasilan bukanlah peristiwa kebetulan,
tetapi hasil dari struktur mental yang terlatih untuk belajar, beradaptasi,
dan bertahan.¹⁸ Kesuksesan sejati lahir dari proses internalisasi
nilai-nilai ketekunan, kesadaran reflektif, dan kemampuan berpikir strategis
dalam menghadapi ketidakpastian.¹⁹ Ia menuntut sintesis antara rasionalitas dan
emosi, antara intuisi dan analisis, serta antara individualitas dan kesadaran
sosial. Dalam pengertian ini, kesuksesan tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga
eksistensial—menyentuh inti kemanusiaan sebagai makhluk berpikir dan berjuang
untuk makna.²⁰
Footnotes
[1]
¹ Jean Piaget, The Psychology of Intelligence,
trans. Malcolm Piercy and D. E. Berlyne (London: Routledge, 1950), 5–8.
[2]
² Ulric Neisser, Cognitive Psychology (New
York: Appleton-Century-Crofts, 1967), 45–48.
[3]
³ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of
Success (New York: Random House, 2006), 7–10.
[4]
⁴ Ibid., 111–114.
[5]
⁵ Bill Gates, The Road Ahead (New York:
Penguin Books, 1995), 39–41.
[6]
⁶ Walter Isaacson, Steve Jobs (New York:
Simon & Schuster, 2011), 112–116.
[7]
⁷ Brian Chen, Always On: How the iPhone Unlocked
the Anything-Anytime World (New York: Da Capo Press, 2011), 88–90.
[8]
⁸ Angela Duckworth, Grit: The Power of Passion
and Perseverance (New York: Scribner, 2016), 8–12.
[9]
⁹ Ibid., 102–105.
[10]
¹⁰ Edward L. Deci and Richard M. Ryan, Self-Determination
Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness
(New York: Guilford Press, 2017), 32–35.
[11]
¹¹ John Flavell, “Metacognition and Cognitive
Monitoring,” American Psychologist 34, no. 10 (1979): 906–911.
[12]
¹² Daniel Goleman, Focus: The Hidden Driver of
Excellence (New York: HarperCollins, 2013), 84–88.
[13]
¹³ Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise
of Control (New York: W. H. Freeman, 1997), 11–15.
[14]
¹⁴ Ibid., 182–185.
[15]
¹⁵ Hazel R. Markus and Shinobu Kitayama, “Culture
and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological
Review 98, no. 2 (1991): 224–226.
[16]
¹⁶ Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 19–23.
[17]
¹⁷ Ibid., 235–238.
[18]
¹⁸ Carol S. Dweck, Mindset, 178–180.
[19]
¹⁹ Angela Duckworth, Grit, 190–193.
[20]
²⁰ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 112–115.
7.
Dimensi
Sosial, Ekonomi, dan Kultural
Kesuksesan, selain memiliki akar ontologis,
epistemologis, dan psikologis, juga beroperasi dalam medan sosial, ekonomi, dan
kultural yang kompleks. Ia bukan sekadar hasil dari kecerdasan individual atau
keberuntungan personal, melainkan produk dari relasi sosial, struktur
ekonomi, dan konteks budaya yang membentuk kesempatan serta arah
perkembangan seseorang.¹ Dengan demikian, kesuksesan tidak dapat dipahami
secara atomistik, melainkan sebagai fenomena yang selalu terkait dengan sistem
sosial dan nilai-nilai budaya yang berlaku.
Secara sosiologis, struktur sosial memainkan peran
signifikan dalam menentukan siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya yang
memungkinkan keberhasilan. Pierre Bourdieu menjelaskan hal ini melalui konsep modal
sosial, modal ekonomi, dan modal kultural—tiga bentuk kapital
yang bekerja secara simultan dalam membentuk peluang sosial.² Kesuksesan tidak
hanya memerlukan modal ekonomi (uang atau aset), tetapi juga modal kultural
(pendidikan, selera, kompetensi simbolik) dan modal sosial (jaringan dan
kepercayaan sosial).³ Dalam konteks para miliarder tanpa pendidikan formal,
meskipun mereka tampak menentang tatanan akademik, banyak dari mereka
sesungguhnya memiliki atau menciptakan bentuk modal sosial dan kultural
alternatif: jaringan teknologi, komunitas inovatif, dan akses terhadap modal
ventura.⁴ Dengan kata lain, keberhasilan mereka tetap berakar pada struktur
sosial non-konvensional yang memfasilitasi kreativitas dan mobilitas.
Dari perspektif ekonomi, kesuksesan individu juga
tidak dapat dilepaskan dari logika sistem kapitalisme global. Anthony
Giddens dan Ulrich Beck menyebut masyarakat kontemporer sebagai risk society—masyarakat
yang membangun kemajuan melalui pengelolaan ketidakpastian dan inovasi berisiko
tinggi.⁵ Dalam sistem semacam ini, kesuksesan bukan lagi hasil dari stabilitas
institusional, melainkan dari kemampuan individu untuk mengambil risiko dan
menciptakan peluang baru di tengah disrupsi. Ekonomi digital, misalnya, membuka
ruang bagi entrepreneurial capitalism yang menghargai ide, kreativitas,
dan kecepatan adaptasi lebih daripada gelar akademik.⁶ Fenomena startup
teknologi menjadi contoh nyata bagaimana keberhasilan ekonomi dapat lahir dari
inovasi konseptual dan keberanian eksperimental, bukan semata dari latar
pendidikan formal.
Namun, dari perspektif makro, narasi “self-made
billionaire” yang populer dalam budaya kapitalistik mengandung ambiguitas
ideologis. Ia mempromosikan etos meritokrasi—gagasan bahwa siapa pun dapat
sukses melalui kerja keras dan kreativitas—namun sering kali menutupi ketimpangan
struktural yang membatasi sebagian besar orang untuk mengakses peluang
serupa.⁷ Dalam masyarakat neoliberal, kesuksesan cenderung dikaitkan dengan individual
agency, sementara dimensi struktural seperti ketimpangan ekonomi, akses
pendidikan, dan kebijakan publik sering diabaikan.⁸ Akibatnya, kesuksesan
tampil sebagai prestasi personal, padahal secara sosiologis ia merupakan hasil
interaksi antara individu dan sistem.
Dimensi kultural kesuksesan juga tidak kalah
penting. Clifford Geertz berpendapat bahwa budaya berfungsi sebagai sistem
makna yang menafsirkan pengalaman manusia.⁹ Cara masyarakat memahami kesuksesan
bergantung pada nilai-nilai budaya yang mendasarinya. Dalam masyarakat Barat
yang individualistik, kesuksesan sering dimaknai sebagai otonomi, kebebasan,
dan pencapaian pribadi (achievement orientation).¹⁰ Sementara dalam
masyarakat Timur atau kolektivistik, seperti Asia, kesuksesan dipandang dalam
kerangka relasional: keberhasilan individu dianggap bermakna sejauh ia
memberikan kontribusi pada keluarga, komunitas, atau harmoni sosial.¹¹ Oleh
karena itu, meskipun kesuksesan para tokoh global tampak universal, makna
simboliknya berbeda di tiap konteks kultural.
Kebudayaan digital memperkenalkan paradigma baru: kesuksesan
sebagai performativitas.¹² Di era media sosial, kesuksesan tidak hanya
diukur dari substansi capaian, tetapi juga dari kemampuan menampilkan citra
diri di ruang publik digital. Hal ini melahirkan “ekonomi pengakuan” (economy
of recognition) di mana legitimasi sosial diperoleh melalui visibilitas,
bukan semata produktivitas.¹³ Fenomena ini menciptakan ambivalensi baru—antara
autentisitas dan pencitraan, antara makna dan popularitas. Dalam kerangka ini,
kesuksesan menjadi konstruksi sosial yang terus dinegosiasikan melalui simbol,
narasi, dan teknologi komunikasi.
Sementara itu, dimensi sosial-ekonomi kesuksesan
juga menimbulkan pertanyaan etis dan politis. Ketimpangan distribusi kekayaan
global memperlihatkan bahwa hanya sebagian kecil populasi dunia yang menguasai
sebagian besar sumber daya ekonomi.¹⁴ Artinya, sistem sosial-ekonomi saat ini
masih memproduksi kesuksesan secara eksklusif, bukan inklusif. Hal ini
menantang konsep keadilan distributif sebagaimana diajukan oleh John Rawls,
yang menegaskan bahwa ketimpangan hanya dapat dibenarkan jika memberikan
manfaat terbesar bagi mereka yang paling lemah dalam masyarakat.¹⁵ Dengan
demikian, kesuksesan yang sah secara moral bukanlah kesuksesan yang menumpuk
kekayaan pribadi, tetapi yang ikut memperluas kesempatan sosial dan
kesejahteraan kolektif.¹⁶
Pada akhirnya, dimensi sosial, ekonomi, dan
kultural kesuksesan menunjukkan bahwa keberhasilan individu tidak dapat
dipahami secara terisolasi. Ia adalah produk dari struktur sosial yang
memungkinkan, konteks budaya yang menafsirkan, dan sistem ekonomi yang
mengarahkan perilaku manusia. Kesuksesan yang sejati, dalam arti filosofis
dan humanistik, adalah yang mampu mentransformasikan bukan hanya diri individu,
tetapi juga tatanan sosial di sekitarnya menuju kehidupan yang lebih adil,
reflektif, dan berkelanjutan.¹⁷
Footnotes
[1]
¹ Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The
Social Construction of Reality (New York: Anchor Books, 1966), 55–59.
[2]
² Pierre Bourdieu, The Forms of Capital, in Handbook
of Theory and Research for the Sociology of Education, ed. John G.
Richardson (New York: Greenwood Press, 1986), 241–258.
[3]
³ Ibid., 252–255.
[4]
⁴ Richard Florida, The Rise of the Creative
Class (New York: Basic Books, 2002), 9–13.
[5]
⁵ Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New
Modernity (London: Sage Publications, 1992), 33–37.
[6]
⁶ Manuel Castells, The Rise of the Network
Society, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2000), 77–80.
[7]
⁷ Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s
Become of the Common Good? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020),
12–16.
[8]
⁸ David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 40–43.
[9]
⁹ Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books, 1973), 87–89.
[10]
¹⁰ Geert Hofstede, Culture’s Consequences:
Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations across Nations,
2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2001), 82–85.
[11]
¹¹ Hazel R. Markus and Shinobu Kitayama, “Culture
and the Self: Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological
Review 98, no. 2 (1991): 227–230.
[12]
¹² Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 139–143.
[13]
¹³ Axel Honneth, The Struggle for Recognition:
The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995),
92–95.
[14]
¹⁴ Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First
Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 257–261.
[15]
¹⁵ John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed.
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 65–68.
[16]
¹⁶ Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 35–38.
[17]
¹⁷ Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice:
Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2006), 214–218.
8.
Analisis
Rasionalitas dan Realisme Kesuksesan
Kajian mengenai kesuksesan tidak akan lengkap tanpa
menelaah dua aspek fundamental yang saling melengkapi: rasionalitas dan realisme.
Rasionalitas berkaitan dengan logika berpikir, sistem pengambilan keputusan,
dan struktur sebab-akibat yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual.¹
Sementara itu, realisme menyangkut tingkat kesesuaian antara ide atau harapan
dengan kondisi faktual di dunia nyata.² Dengan demikian, analisis terhadap
kesuksesan menuntut keseimbangan antara idealitas rasional dan kenyataan
empiris.
Dalam kerangka rasionalitas, kesuksesan sering
dipandang sebagai hasil dari perencanaan yang sistematis, pengendalian diri,
dan penilaian probabilistik terhadap risiko.³ Rasionalitas instrumental
(dalam istilah Max Weber) berperan penting dalam konteks ini: tindakan manusia
diarahkan oleh tujuan yang jelas dan cara-cara efisien untuk mencapainya.⁴
Dalam dunia bisnis dan teknologi, misalnya, rasionalitas ini tampak pada
kemampuan membaca pasar, menganalisis data, serta mengoptimalkan strategi dengan
kalkulasi yang presisi. Tokoh seperti Bill Gates dan Larry Ellison
memperlihatkan bahwa keberhasilan mereka bukanlah kebetulan semata, melainkan
hasil dari strategic rationality—kemampuan merumuskan tujuan yang
terukur dan bertindak secara kalkulatif di bawah ketidakpastian.⁵
Namun, kesuksesan tidak dapat direduksi hanya
menjadi rasionalitas instrumental. Seperti diingatkan oleh Jürgen Habermas,
rasionalitas sejati mencakup pula dimensi komunikatif dan reflektif,
yang memungkinkan manusia menilai tindakannya tidak hanya dari segi efisiensi,
tetapi juga dari segi makna dan legitimasi moral.⁶ Artinya, keberhasilan sejati
tidak hanya “benar secara logis” tetapi juga “benar secara etis.”
Dalam konteks ini, rasionalitas kesuksesan yang semata teknokratis dapat
mengarah pada dehumanisasi—di mana individu dipandang hanya sebagai sarana
produktivitas, bukan subjek yang bermakna.⁷
Dari sisi realisme, kesuksesan harus dipahami dalam
keterkaitannya dengan struktur sosial-ekonomi yang nyata. Realisme
menolak pandangan idealistik bahwa setiap orang memiliki peluang yang sama
untuk sukses tanpa mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual seperti kelas
sosial, modal ekonomi, atau akses terhadap pendidikan.⁸ Thomas Piketty
menunjukkan bahwa ketimpangan struktural menciptakan kondisi di mana peluang
kesuksesan tidak terdistribusi secara merata, sehingga mitos meritokrasi sering
kali berfungsi menutupi realitas ketidakadilan sosial.⁹ Dengan demikian,
analisis realistis terhadap kesuksesan menuntut kesadaran kritis terhadap batas-batas
sistemik yang memengaruhi mobilitas individu.
Dalam tradisi filsafat ilmiah, Karl Popper
menekankan bahwa setiap teori rasional harus terbuka terhadap falsifikasi;
demikian pula, setiap narasi kesuksesan harus diuji oleh realitas empiris.¹⁰
Mengidealkan kisah sukses para dropout miliarder tanpa menimbang konteks
strukturalnya dapat menjadi bentuk irasionalitas populer—yakni ketika individu
menyimpulkan kausalitas dari kasus luar biasa (exception fallacy) dan
mengabaikan data mayoritas.¹¹ Secara statistik, sebagian besar orang yang
meninggalkan pendidikan formal tidak mencapai kesuksesan ekonomi seperti Gates
atau Jobs; karena itu, realisme menuntut pembedaan antara “kemungkinan”
dan “kecenderungan.”¹²
Dalam pandangan filsafat eksistensial, khususnya
Jean-Paul Sartre, rasionalitas tidak dapat dilepaskan dari kebebasan manusia
untuk bertindak dalam situasi faktual.¹³ Kesuksesan realistis, dengan demikian,
adalah kesuksesan yang mengakui keterbatasan tetapi tetap berusaha
melampauinya. Rasionalitas di sini bukan sekadar kalkulasi logis, tetapi rasionalitas
praksis—yakni kemampuan menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab
dalam situasi konkret. Dalam hal ini, kesuksesan yang rasional sekaligus
realistis adalah hasil dialektika antara determinasi dan kebebasan, antara
struktur dan agensi.¹⁴
Analisis interdisipliner juga memperlihatkan bahwa
kesuksesan memiliki dua wajah epistemik: rasionalitas reflektif
(kemampuan berpikir sistematis dan analitis) dan realisme empiris
(kemampuan beradaptasi terhadap fakta dan peluang aktual).¹⁵ Kesuksesan tanpa
rasionalitas mudah terjebak dalam ilusi keberuntungan, sementara rasionalitas
tanpa realisme mudah terperangkap dalam idealisme steril yang tidak relevan
dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, individu sukses adalah mereka yang
mampu menjaga keseimbangan antara rasionalitas konseptual dan kepekaan
empiris.¹⁶
Dalam konteks pendidikan dan kebijakan sosial,
analisis ini memiliki implikasi penting: sistem pendidikan tidak boleh hanya
menanamkan rasionalitas formal (logika dan metodologi), tetapi juga realisme
praktis—yakni kemampuan membaca konteks, memahami keterbatasan, dan bertindak
adaptif.¹⁷ Dunia kerja dan inovasi modern menuntut rasionalitas yang fleksibel
dan reflektif, bukan dogmatis. Kesuksesan yang realistis berarti menerima bahwa
keberhasilan merupakan kombinasi antara upaya rasional yang terencana dan
faktor-faktor kontingensi yang tak terprediksi.¹⁸
Dengan demikian, dari sudut pandang filosofis, rasionalitas
kesuksesan harus dilihat sebagai proses berpikir yang konsisten, reflektif,
dan terbuka terhadap koreksi, sedangkan realisme kesuksesan adalah
kesadaran terhadap keterbatasan empiris dan peluang faktual yang membentuk
hidup manusia.¹⁹ Kesuksesan yang sejati bukanlah kemenangan logika tanpa
konteks, tetapi sintesis antara intelektualitas dan keberadaan, antara strategi
dan situasi, antara kalkulasi dan kenyataan.²⁰
Footnotes
[1]
¹ Immanuel Kant, Critique of Practical Reason,
trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 21–25.
[2]
² Hilary Putnam, Reason, Truth, and History
(Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 120–122.
[3]
³ Herbert A. Simon, Models of Bounded
Rationality, vol. 1 (Cambridge, MA: MIT Press, 1982), 67–70.
[4]
⁴ Max Weber, Economy and Society, trans.
Ephraim Fischoff et al. (Berkeley: University of California Press, 1978),
85–88.
[5]
⁵ Walter Isaacson, Steve Jobs (New York:
Simon & Schuster, 2011), 142–145.
[6]
⁶ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 286–290.
[7]
⁷ Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic
of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University
Press, 2002), 93–96.
[8]
⁸ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social
Critique of the Judgement of Taste (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1984), 117–120.
[9]
⁹ Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First
Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2014), 231–236.
[10]
¹⁰ Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 45–49.
[11]
¹¹ Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 183–185.
[12]
¹² Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of
Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 32–36.
[13]
¹³ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1992), 478–481.
[14]
¹⁴ Anthony Giddens, Central Problems in Social
Theory (Berkeley: University of California Press, 1979), 53–57.
[15]
¹⁵ Karl R. Popper, Objective Knowledge: An
Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 144–148.
[16]
¹⁶ Daniel Dennett, Intuition Pumps and Other
Tools for Thinking (New York: W. W. Norton & Company, 2013), 77–80.
[17]
¹⁷ Paulo Freire, Pedagogy of Freedom: Ethics,
Democracy, and Civic Courage, trans. Patrick Clarke (Lanham, MD: Rowman
& Littlefield, 1998), 26–29.
[18]
¹⁸ Nassim Nicholas Taleb, Fooled by Randomness:
The Hidden Role of Chance in Life and in the Markets (New York: Random
House, 2001), 101–104.
[19]
¹⁹ Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–316.
[20]
²⁰ Paul Ricoeur, Fallible Man, trans.
Charles Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 56–59.
9.
Kritik
dan Klarifikasi Filosofis
Analisis mengenai kesuksesan, baik dari sudut
pandang struktur maupun keberuntungan, tidak dapat dilepaskan dari upaya kritik
dan klarifikasi filosofis. Kritik diperlukan untuk menyingkap bias, reduksi,
dan mitos yang menyelimuti narasi kesuksesan modern; sementara klarifikasi
berfungsi untuk menata kembali pengertian-pengertian konseptual yang sering
tumpang tindih atau disalahpahami.¹ Filsafat, dalam pengertian ini, berperan
sebagai disiplin reflektif yang menilai bukan hanya hasil empiris,
melainkan juga kerangka berpikir yang mendasarinya.
Salah satu bentuk reduksionisme yang perlu
dikritisi adalah pandangan deterministik terhadap kesuksesan. Pandangan ini
menganggap bahwa keberhasilan merupakan hasil mutlak dari sistem tertentu—baik
sistem pendidikan formal maupun sistem ekonomi.² Dalam bentuk ekstrem,
pandangan tersebut melahirkan dua dogma yang berlawanan: pertama, dogma
institusional, yang menempatkan pendidikan formal sebagai satu-satunya
jalur sah menuju kesuksesan; kedua, dogma anti-institusional, yang
mengagungkan figur-figur “dropout sukses” sebagai bukti bahwa sistem
pendidikan adalah penghalang kreativitas.³ Kedua posisi ini sama-sama
menyederhanakan kompleksitas realitas manusia.
Secara filosofis, kedua pandangan tersebut dapat
dikoreksi melalui perspektif non-deterministik dan dialektis,
sebagaimana ditekankan oleh Hegel dan Marx.⁴ Manusia bukanlah makhluk yang
sepenuhnya ditentukan oleh struktur, tetapi juga bukan agen yang berdiri di
luar struktur. Kesuksesan muncul sebagai hasil dialektika antara kebebasan
subjektif dan determinasi objektif. Steve Jobs atau Bill Gates, misalnya, tidak
dapat dipahami semata sebagai “pemberontak sistem,” melainkan sebagai
individu yang mampu membaca dan menyesuaikan diri dengan logika zaman (Zeitgeist).⁵
Dengan demikian, filsafat mengingatkan bahwa kesuksesan tidak dapat diidealkan
secara ahistoris; ia selalu tertanam dalam konteks sosial, ekonomi, dan
historis tertentu.
Kritik kedua diarahkan pada rasionalitas
instrumental yang berlebihan dalam paradigma kesuksesan modern. Seperti
diungkapkan oleh Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment,
rasionalitas modern yang menekankan efisiensi dan hasil sering kali mengabaikan
dimensi moral dan humanistik tindakan manusia.⁶ Kesuksesan kemudian direduksi
menjadi kemampuan menguasai, bukan memahami; menghasilkan, bukan memaknai.
Paradigma ini melahirkan apa yang Habermas sebut sebagai distorsi
komunikatif, yaitu ketika tindakan manusia kehilangan orientasi dialogisnya
dan menjadi semata-mata strategis.⁷ Oleh karena itu, kritik filosofis terhadap
rasionalitas teknokratis membuka ruang bagi bentuk rasionalitas baru—yakni rasionalitas
komunikatif yang menilai keberhasilan dari kemampuan untuk berinteraksi
secara etis, reflektif, dan inklusif dalam masyarakat.⁸
Selain itu, perlu pula diklarifikasi bahwa “kesuksesan
tanpa pendidikan” tidak identik dengan “anti-intelektualisme.”
Banyak tokoh yang sukses tanpa gelar akademik tetap memiliki etos belajar
seumur hidup (lifelong learning).⁹ Mereka tidak menolak pengetahuan,
melainkan menolak birokratisasi pengetahuan. Paulo Freire menegaskan bahwa
pendidikan sejati tidak bergantung pada institusi, melainkan pada kesadaran
kritis (conscientização) yang memungkinkan manusia memahami realitasnya
dan mentransformasinya secara sadar.¹⁰ Maka, kritik terhadap pendidikan formal
seharusnya bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk mereformasinya agar lebih
dialogis, adaptif, dan membebaskan.
Kritik berikutnya menyentuh dimensi epistemologis
kesuksesan, khususnya kecenderungan masyarakat modern yang mengkultuskan
keberhasilan individu tanpa memahami konteks kolektif yang mendukungnya. Michel
Foucault menunjukkan bahwa di balik narasi sukses terdapat relasi kuasa dan
wacana yang menstrukturkan pengetahuan: siapa yang dianggap “berhasil”
dan siapa yang tidak.¹¹ Kesuksesan, dalam hal ini, bukan hanya fakta ekonomi,
tetapi juga konstruksi diskursif yang diproduksi oleh institusi media,
pendidikan, dan ekonomi.¹² Klarifikasi filosofis terhadap hal ini penting agar
kesuksesan tidak dilihat sebagai “takdir pribadi,” melainkan sebagai
bagian dari dispositif sosial yang dapat direfleksikan dan diubah.
Dari sisi ontologis, kritik dapat diarahkan
terhadap pandangan yang menganggap kesuksesan sebagai entitas tetap dan final.
Heidegger menolak pandangan demikian dengan menegaskan bahwa manusia adalah Sein-zum-Werden—makhluk
yang selalu berada dalam proses menjadi.¹³ Kesuksesan, dalam pengertian
ontologis, bukanlah kondisi yang telah selesai, melainkan gerak eksistensial
menuju aktualisasi diri yang autentik. Karenanya, klarifikasi filosofis
mengembalikan makna kesuksesan kepada proses eksistensial, bukan hasil
akhir.
Terakhir, kritik aksiologis perlu diberikan
terhadap logika kapitalistik yang menilai kesuksesan semata-mata dari akumulasi
material. Nietzsche memperingatkan bahwa sistem nilai modern sering kali
menciptakan “moralitas budak,” di mana manusia mengejar validasi
eksternal alih-alih pencapaian autentik diri.¹⁴ Dalam konteks ini, filsafat
eksistensial dan humanistik mengusulkan revaluasi nilai-nilai kesuksesan—yakni
mengembalikan kesuksesan pada dimensi makna, kebijaksanaan, dan kebaikan.¹⁵
Dengan demikian, kritik dan klarifikasi filosofis
menegaskan bahwa kesuksesan sejati tidak dapat dipahami sebagai produk tunggal
dari rasionalitas, keberuntungan, atau sistem sosial, melainkan sebagai proses
reflektif yang terus-menerus antara diri, dunia, dan nilai. Filsafat tidak
menolak kesuksesan, tetapi mengajarkan cara berpikir yang menempatkan
kesuksesan dalam horizon kemanusiaan yang lebih luas—sebagai sarana pembentukan
diri yang etis, rasional, dan bermakna.¹⁶
Footnotes
[1]
¹ Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human
Sciences, trans. John B. Thompson (Cambridge: Cambridge University Press,
1981), 43–46.
[2]
² Auguste Comte, The Positive Philosophy, trans.
Harriet Martineau (London: John Chapman, 1853), 71–74.
[3]
³ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of
Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 88–91.
[4]
⁴ Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Phenomenology
of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977),
109–112.
[5]
⁵ Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The
German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers,
1970), 121–123.
[6]
⁶ Theodor W. Adorno and Max Horkheimer, Dialectic
of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University
Press, 2002), 94–97.
[7]
⁷ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 2 (Boston: Beacon Press, 1987), 312–316.
[8]
⁸ Ibid., 320–323.
[9]
⁹ Howard Gardner, Five Minds for the Future
(Boston: Harvard Business School Press, 2007), 39–42.
[10]
¹⁰ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 65–68.
[11]
¹¹ Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 131–135.
[12]
¹² Ibid., 140–143.
[13]
¹³ Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
107–110.
[14]
¹⁴ Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin Books, 1978), 215–219.
[15]
¹⁵ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 98–101.
[16]
¹⁶ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 45–48.
10. Relevansi Kontemporer dan Tantangan Masa Depan
Dalam lanskap global abad ke-21, konsep kesuksesan
menghadapi transformasi mendasar yang dipicu oleh revolusi teknologi,
globalisasi ekonomi, dan perubahan nilai-nilai sosial.¹ Paradigma lama yang
mengaitkan kesuksesan dengan stabilitas karier dan akumulasi kapital kini
digantikan oleh paradigma baru yang menekankan inovasi, fleksibilitas, dan
kreativitas lintas disiplin.² Fenomena para miliarder tanpa pendidikan formal
seperti Bill Gates, Steve Jobs, dan Mark Zuckerberg menjadi simbol perubahan
epistemologis dan aksiologis dalam masyarakat modern—yakni pergeseran dari credential-based
success menuju competency-based success.³ Namun, perubahan ini
membawa dilema filosofis baru: bagaimana menyeimbangkan antara rasionalitas
perencanaan dengan kontingensi peluang, antara kebebasan individu dengan
keadilan sosial, serta antara teknologi dengan kemanusiaan.
Relevansi kesuksesan dalam konteks kontemporer
terletak pada kebutuhan untuk menata ulang makna kerja, pendidikan, dan
pencapaian diri. Dunia kerja yang didominasi oleh otomasi dan kecerdasan
buatan menuntut manusia untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, etika
reflektif, dan kreativitas interdisipliner—bukan sekadar keterampilan teknis.⁴
Pendidikan formal yang kaku dan hierarkis semakin ditantang oleh model
pembelajaran terbuka (open learning systems) yang memungkinkan setiap
individu mengakses pengetahuan tanpa batas institusional.⁵ Dalam hal ini,
kesuksesan tidak lagi dipandang sebagai hasil dari kepatuhan terhadap sistem,
tetapi sebagai kemampuan navigatif untuk menavigasi kompleksitas dunia
yang cair dan tidak pasti.⁶
Selain itu, kesuksesan masa kini semakin ditentukan
oleh kemampuan adaptif terhadap perubahan teknologi. Alvin Toffler telah
lama memprediksi bahwa “buta huruf masa depan bukanlah mereka yang tidak
bisa membaca dan menulis, melainkan mereka yang tidak bisa belajar, melupakan,
dan belajar kembali.”⁷ Pandangan ini semakin relevan di era disrupsi
digital, di mana inovasi berlangsung dengan kecepatan eksponensial. Tokoh-tokoh
sukses modern menunjukkan bahwa lifelong learning menjadi kunci
keberlanjutan eksistensial di tengah perubahan cepat.⁸ Namun, di sisi lain,
ketergantungan pada teknologi juga menimbulkan risiko baru: dehumanisasi,
ketimpangan digital, dan komodifikasi data pribadi yang mengaburkan batas
antara manusia dan mesin.⁹
Dari perspektif sosial, tantangan terbesar
kesuksesan kontemporer adalah membangun keseimbangan antara meritokrasi dan
solidaritas. Meritokrasi yang tidak disertai kesadaran etis dapat berubah
menjadi bentuk baru dari elitisasi, di mana hanya individu dengan akses
teknologi dan modal sosial tinggi yang mampu bertahan.¹⁰ Oleh karena itu,
filsafat sosial kontemporer menekankan pentingnya inclusive innovation—yakni
model kesuksesan yang tidak hanya menumbuhkan individu berprestasi, tetapi juga
memperluas kesempatan bagi masyarakat luas.¹¹ Hal ini sejalan dengan pandangan
Amartya Sen bahwa pembangunan sejati bukanlah akumulasi kekayaan, melainkan
perluasan kebebasan substantif yang memungkinkan setiap orang mengaktualisasikan
potensinya.¹²
Relevansi kesuksesan juga dapat dilihat dalam
konteks ekologi dan keberlanjutan. Di tengah krisis lingkungan global,
kesuksesan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya tanpa batas tidak
lagi dapat dibenarkan secara moral.¹³ Paradigma baru yang muncul adalah sustainability-oriented
success, yaitu kesuksesan yang menempatkan keseimbangan ekologis sebagai
bagian dari tanggung jawab etis manusia terhadap planetnya.¹⁴ Model bisnis
hijau, ekonomi sirkular, dan investasi berkelanjutan menjadi bentuk konkret
dari pergeseran ini. Kesuksesan yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan pada
akhirnya bersifat kontradiktif—sebab keberhasilan ekonomi yang menghancurkan
ekosistem tidak dapat disebut sebagai kemajuan manusiawi.¹⁵
Dari sudut pandang eksistensial, tantangan masa
depan kesuksesan adalah menemukan kembali makna kemanusiaan dalam dunia yang
semakin terotomatisasi. Martin Heidegger telah memperingatkan bahaya Gestell—kerangka
teknologis yang menjadikan manusia sekadar komponen dalam sistem produksi
efisiensi.¹⁶ Untuk menghindari hal ini, manusia perlu memulihkan kesadaran
reflektif dan nilai-nilai autentisitas dalam berkreasi. Kesuksesan masa depan
harus kembali pada hakikatnya sebagai proses pembentukan diri yang utuh, bukan
sekadar instrumen untuk dominasi ekonomi.¹⁷
Dalam konteks global, kesuksesan juga harus
dipahami sebagai fenomena interdependensi, bukan kompetisi murni. Dunia
yang saling terhubung menuntut model kesuksesan kolaboratif—di mana
keberhasilan seseorang bergantung pada kemampuan membangun jejaring sosial,
lintas budaya, dan lintas bangsa.¹⁸ Model ini menantang paradigma lama yang
memuja individualisme ekstrem dan menggantikannya dengan paradigma collective
intelligence.¹⁹ Dengan demikian, masa depan kesuksesan manusia tidak akan
ditentukan oleh siapa yang paling kaya atau paling cerdas, tetapi oleh siapa
yang paling mampu berkontribusi terhadap kebaikan bersama.²⁰
Akhirnya, kesuksesan di era kontemporer menuntut
rekonstruksi nilai: dari kesuksesan material menuju kesuksesan bermakna.²¹
Ia harus berakar pada rasionalitas reflektif, keberanian moral, serta kesadaran
ekologis dan sosial. Tantangan terbesar masa depan bukanlah bagaimana manusia
menjadi lebih kaya atau berpengaruh, tetapi bagaimana ia tetap manusiawi dalam
dunia yang serba efisien dan terotomatisasi.²² Dengan demikian, relevansi
kesuksesan masa kini terletak bukan pada pencapaian tanpa batas, melainkan pada
kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara inovasi dan kebijaksanaan, antara
produktivitas dan kemanusiaan.²³
Footnotes
[1]
¹ Zygmunt Bauman, Liquid Modernity
(Cambridge: Polity Press, 2000), 10–14.
[2]
² Richard Sennett, The Culture of the New
Capitalism (New Haven, CT: Yale University Press, 2006), 25–28.
[3]
³ Daniel H. Pink, Drive: The Surprising Truth
About What Motivates Us (New York: Riverhead Books, 2009), 67–70.
[4]
⁴ Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution
(Geneva: World Economic Forum, 2016), 15–17.
[5]
⁵ George Siemens, “Connectivism: A Learning Theory
for the Digital Age,” International Journal of Instructional Technology and
Distance Learning 2, no. 1 (2005): 4–6.
[6]
⁶ Ulrich Beck, World at Risk (Cambridge:
Polity Press, 2009), 54–57.
[7]
⁷ Alvin Toffler, Future Shock (New York:
Random House, 1970), 403–406.
[8]
⁸ Peter Senge, The Fifth Discipline: The Art and
Practice of the Learning Organization (New York: Doubleday, 1990), 12–14.
[9]
⁹ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 118–122.
[10]
¹⁰ Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s
Become of the Common Good? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020),
49–52.
[11]
¹¹ Mariana Mazzucato, The Value of Everything:
Making and Taking in the Global Economy (New York: PublicAffairs, 2018),
105–108.
[12]
¹² Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 36–38.
[13]
¹³ Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 52–55.
[14]
¹⁴ Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways
to Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 86–89.
[15]
¹⁵ Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology,
and Development (London: Zed Books, 1989), 121–125.
[16]
¹⁶ Martin Heidegger, “The Question Concerning
Technology,” in Basic Writings, ed. David Farrell Krell (New York:
Harper & Row, 1977), 311–313.
[17]
¹⁷ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York:
Harper & Row, 1976), 33–37.
[18]
¹⁸ Manuel Castells, The Rise of the Network
Society, 2nd ed. (Oxford: Blackwell, 2000), 355–358.
[19]
¹⁹ Pierre Lévy, Collective Intelligence:
Mankind’s Emerging World in Cyberspace (New York: Perseus Books, 1997),
52–56.
[20]
²⁰ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities:
The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 71–74.
[21]
²¹ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 111–113.
[22]
²² Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 154–157.
[23]
²³ Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 331–334.
11. Sintesis Filosofis
Kesuksesan, dalam terang analisis filosofis yang
komprehensif, bukanlah entitas tunggal yang dapat dijelaskan oleh satu disiplin
atau teori, melainkan fenomena multidimensional yang terjalin antara
struktur sosial, kesadaran individual, nilai moral, dan konteks historis.¹
Sintesis ini bertujuan mengintegrasikan dimensi ontologis, epistemologis,
aksiologis, psikologis, dan sosial ke dalam suatu kerangka reflektif yang
menjelaskan bagaimana manusia memaknai keberhasilan hidupnya secara rasional
sekaligus eksistensial.
Secara ontologis, kesuksesan adalah modus
eksistensi manusia yang sedang menjadi (being-in-becoming).² Ia
tidak sekadar “hasil akhir” yang statis, melainkan proses dinamis aktualisasi
potensi dalam keterbatasan dunia empiris. Dalam arti Heideggerian, kesuksesan
sejati adalah bentuk authentic being—keberhasilan menjadi diri sendiri
di tengah arus impersonalisasi modernitas.³ Maka, ontologi kesuksesan berakar
pada kesadaran akan keberadaan yang terbuka, yang senantiasa menafsirkan dan
memperbarui makna dirinya.
Dari sisi epistemologis, kesuksesan
mencerminkan cara manusia mengetahui, memahami, dan mengonstruksi strategi
hidupnya. Epistemologi kesuksesan bukan hanya tentang akumulasi informasi atau
gelar akademik, tetapi tentang kemampuan mengonversi pengalaman menjadi
kebijaksanaan (phronesis).⁴ Pengetahuan yang melandasi kesuksesan
bersifat reflektif, praktis, dan terbuka terhadap koreksi—sejalan dengan
prinsip Popperian tentang fallibilism bahwa setiap pengetahuan manusia
bersifat sementara dan dapat disempurnakan.⁵ Dengan demikian, orang sukses
bukanlah mereka yang berhenti belajar, tetapi yang mampu mempertahankan
kesadaran kritis dalam proses menjadi.
Secara aksiologis, kesuksesan menemukan
nilai sejatinya ketika diarahkan kepada kebaikan bersama dan makna hidup yang
lebih luas. Nilai moral menjadi parameter etis agar kesuksesan tidak jatuh ke
dalam nihilisme atau dominasi ekonomi semata.⁶ Dalam kerangka Aristotelian, eudaimonia
hanya dapat tercapai melalui kebajikan, sementara dalam pandangan Viktor
Frankl, makna hidup ditemukan bukan dalam pencapaian eksternal, tetapi dalam
kemampuan memberi makna pada penderitaan dan tanggung jawab.⁷ Oleh karena itu,
kesuksesan sejati bersifat humanistik: ia mengandung etika solidaritas dan
tanggung jawab sosial.
Dalam dimensi psikologis dan kognitif,
kesuksesan merupakan buah dari interaksi antara mindset berkembang, grit,
dan kesadaran metakognitif.⁸ Individu yang sukses adalah mereka yang memiliki
daya lenting menghadapi kegagalan dan kemampuan merefleksikan proses
berpikirnya sendiri.⁹ Hal ini memperlihatkan bahwa kesuksesan bukan sekadar
soal intelegensi, tetapi soal kebijaksanaan adaptif—yakni keseimbangan
antara rasionalitas dan intuisi, antara ketekunan dan kreativitas.
Secara sosial dan kultural, kesuksesan
adalah konstruksi yang selalu dinegosiasikan dalam jaringan makna masyarakat.
Clifford Geertz menyebut kebudayaan sebagai “jaring makna” yang ditenun
oleh manusia sendiri, dan kesuksesan adalah salah satu benang utama dalam
jaringan itu.¹⁰ Dalam masyarakat individualistik, ia dimaknai sebagai otonomi;
dalam masyarakat kolektivistik, ia diartikan sebagai keharmonisan. Kesuksesan
modern menuntut sintesis di antara keduanya: manusia harus otonom tanpa
kehilangan kepedulian terhadap komunitasnya.¹¹
Adapun dalam kerangka rasionalitas dan realisme,
kesuksesan menuntut keseimbangan antara idealisme reflektif dan kesadaran
empiris. Rasionalitas memberikan arah dan struktur, sementara realisme menanamkan
kerendahan hati terhadap fakta dan keterbatasan.¹² Dalam pandangan Habermas,
rasionalitas yang komunikatif melengkapi rasionalitas instrumental:
keberhasilan bukan hanya diukur dari efisiensi tindakan, tetapi dari legitimasi
moral dan konsensus sosial yang dihasilkannya.¹³ Dengan demikian, kesuksesan
tidak boleh berhenti pada “apa yang berhasil,” tetapi harus menimbang “apa yang
benar dan adil.”
Dalam perspektif sintesis hermeneutis,
seluruh dimensi tersebut saling menafsirkan dan memperkaya. Ontologi memberi
dasar eksistensial; epistemologi memberi arah rasional; aksiologi memberi nilai
normatif; psikologi memberi dinamika internal; dan sosiologi memberi konteks
eksternal.¹⁴ Kesuksesan sejati adalah titik temu antara refleksi diri dan
partisipasi sosial—antara kebebasan individu dan tanggung jawab kolektif.
Filsafat akhirnya mengajarkan bahwa kesuksesan
bukan objek yang dapat dimiliki, melainkan proses menjadi yang
harus dijalani dengan kesadaran penuh.¹⁵ Ia adalah dialektika antara kehendak
untuk berkembang dan kesadaran akan keterbatasan; antara rasionalitas dan
keajaiban, antara kerja keras dan kebetulan. Kesuksesan yang sejati bersifat
integral: rasional secara metode, realistis secara tindakan, etis secara
orientasi, dan humanistik secara tujuan.¹⁶
Dengan demikian, sintesis filosofis mengenai
kesuksesan mengarah pada satu tesis utama: kesuksesan yang sejati bukanlah
penaklukan dunia, melainkan penemuan diri di dalam dunia.¹⁷ Ia bukanlah
puncak piramida sosial, melainkan proses reflektif yang menghubungkan
pengetahuan, kebajikan, dan makna. Dalam horizon ini, kesuksesan adalah
ekspresi tertinggi dari kemanusiaan yang berpikir, berjuang, dan mencipta—suatu
praxis humanistik yang menjadikan keberhasilan tidak hanya mungkin,
tetapi juga bermakna.¹⁸
Footnotes
[1]
¹ Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 85–87.
[2]
² Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1025b–1030a.
[3]
³ Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 67–69.
[4]
⁴ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1140a–1142a.
[5]
⁵ Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary
Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 144–147.
[6]
⁶ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981),
210–213.
[7]
⁷ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 110–113.
[8]
⁸ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of
Success (New York: Random House, 2006), 111–114.
[9]
⁹ Angela Duckworth, Grit: The Power of Passion
and Perseverance (New York: Scribner, 2016), 190–193.
[10]
¹⁰ Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–7.
[11]
¹¹ Geert Hofstede, Culture’s Consequences:
Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations across Nations,
2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Sage, 2001), 81–83.
[12]
¹² Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 235–238.
[13]
¹³ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 286–289.
[14]
¹⁴ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
1989), 306–309.
[15]
¹⁵ Søren Kierkegaard, Either/Or, trans.
Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1992), 33–36.
[16]
¹⁶ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York:
Harper & Row, 1976), 35–37.
[17]
¹⁷ Charles Taylor, Sources of the Self: The
Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1989), 302–305.
[18]
¹⁸ Paul Tillich, The Courage to Be (New
Haven, CT: Yale University Press, 1952), 178–180.
12. Kesimpulan
Kesuksesan, sebagaimana terurai dalam keseluruhan
kajian ini, merupakan fenomena yang multidimensional, dialektis, dan
reflektif, yang tidak dapat dipahami secara reduktif melalui satu faktor
tunggal seperti pendidikan formal, keberuntungan, atau bakat alami.¹ Ia
merupakan hasil dari interaksi kompleks antara struktur sosial, kemampuan
kognitif, nilai moral, serta konteks historis dan kultural yang membentuk
orientasi eksistensial manusia terhadap dunia. Dalam pengertian filosofis,
kesuksesan bukanlah suatu keadaan akhir (final state), melainkan proses
ontologis menjadi (process of becoming), yang selalu terbuka untuk
ditafsir ulang sesuai dengan perubahan pengalaman dan horizon makna manusia.²
Kajian ini menunjukkan bahwa pandangan dikotomis
antara “kesuksesan melalui proses terstruktur” dan “kesuksesan
melalui keberuntungan atau jalur non-formal” adalah penyederhanaan yang
menyesatkan.³ Kesuksesan tidak berada sepenuhnya di bawah determinasi
rasionalitas instrumental, tetapi juga tidak sepenuhnya bergantung pada
kontingensi dan peluang. Sebaliknya, ia lahir dari dialektika antara
rasionalitas dan kontingensi—antara perencanaan sistematis dan kesiapan
eksistensial menghadapi ketidakpastian.⁴ Dengan demikian, keberhasilan sejati
bukan sekadar hasil dari kalkulasi logis, melainkan ekspresi dari kebijaksanaan
adaptif yang menggabungkan refleksi, intuisi, dan tindakan kreatif.
Dari perspektif ontologi, kesuksesan dapat
dipahami sebagai aktualisasi potensi manusia untuk menjadi dalam arti
eksistensial.⁵ Ia bukan entitas eksternal yang harus dikejar, melainkan kondisi
internal yang tumbuh dari kesadaran diri terhadap makna dan tujuan hidup. Dari
sisi epistemologi, kesuksesan bergantung pada kemampuan manusia mengubah
pengalaman menjadi pengetahuan praktis dan reflektif, di mana pembelajaran
non-formal dan autodidak memainkan peran sama pentingnya dengan pendidikan
formal.⁶ Sementara itu, dalam dimensi aksiologis, kesuksesan yang sejati
tidak diukur dari akumulasi material atau status sosial, tetapi dari nilai
moral dan kontribusi terhadap kebaikan bersama.⁷
Kesuksesan juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi
sosial dan kultural. Ia merupakan konstruksi sosial yang lahir dari relasi
antarindividu dan jaringan makna budaya yang mengatur definisi tentang apa yang
dianggap “berhasil.”⁸ Karena itu, narasi “self-made success”
perlu dikritisi secara realistis agar tidak mengaburkan ketimpangan struktural
yang nyata. Dalam masyarakat digital dan ekonomi jaringan, kesuksesan
memerlukan solidaritas, kolaborasi, dan keterbukaan terhadap keragaman nilai.⁹
Dari dimensi psikologis, cara berpikir
sukses bergantung pada mindset berkembang (growth mindset), resilience,
dan grit, yang menegaskan bahwa kegagalan bukan akhir, tetapi bagian
dari proses pembelajaran.¹⁰ Kesuksesan dengan demikian menuntut kesadaran
metakognitif: kemampuan untuk berpikir tentang cara berpikir, serta kemampuan
untuk mengatur motivasi dan arah tindakan berdasarkan refleksi diri yang
mendalam.¹¹
Secara rasional dan realistis, kesuksesan
sejati menuntut kesadaran akan keterbatasan manusia di tengah sistem global
yang kompleks. Rasionalitas memberi struktur terhadap tindakan, sementara
realisme mengingatkan pada faktisitas dan ketidaksempurnaan dunia empiris.¹²
Kesuksesan yang berkelanjutan adalah yang mampu berdiri di tengah
keduanya—rasional dalam metode, tetapi realistis dalam ekspektasi.¹³
Dari segi relevansi kontemporer, kesuksesan
masa kini tidak lagi diukur melalui pencapaian individual semata, tetapi juga
melalui kontribusi terhadap keberlanjutan sosial dan ekologis.¹⁴ Dunia modern
menuntut model kesuksesan yang inklusif, etis, dan berorientasi pada
keseimbangan antara inovasi teknologi dan kemanusiaan.¹⁵ Oleh karena itu,
kesuksesan masa depan hanya akan bermakna apabila disertai kesadaran reflektif
terhadap nilai-nilai keberlanjutan, keadilan sosial, dan solidaritas global.¹⁶
Dalam horizon sintesis filosofis, kesuksesan
dapat dirumuskan sebagai keterpaduan antara rasionalitas, makna, dan nilai.¹⁷
Ia mencerminkan kemampuan manusia untuk menata hidup secara sadar, berpikir
secara reflektif, dan bertindak secara etis dalam menghadapi kompleksitas
dunia. Kesuksesan bukan lagi sekadar pencapaian eksternal, tetapi pencapaian
eksistensial: kemampuan manusia untuk menjadi autentik, kreatif, dan bermakna
di tengah dunia yang terus berubah.¹⁸
Dengan demikian, kesimpulan utama dari kajian ini
ialah bahwa kesuksesan sejati bersifat integral dan humanistik—lahir
dari sintesis antara nalar dan nilai, antara sistem dan kebebasan, antara
pengetahuan dan kebijaksanaan.¹⁹ Ia bukanlah kemenangan individu atas dunia,
melainkan kemenangan kesadaran manusia atas dirinya sendiri. Dalam kerangka
ini, filsafat tidak hanya menafsirkan kesuksesan, tetapi juga menuntun manusia
untuk menghidupi kesuksesan secara etis, reflektif, dan bermakna,
sehingga pencapaian menjadi jalan menuju kemanusiaan yang lebih utuh.²⁰
Footnotes
[1]
¹ Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles
Kelbley (New York: Fordham University Press, 1986), 54–57.
[2]
² Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
108–110.
[3]
³ Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of
Success (New York: Little, Brown and Company, 2008), 42–46.
[4]
⁴ Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 277–281.
[5]
⁵ Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 1030a–1032a.
[6]
⁶ John Dewey, Experience and Education (New
York: Macmillan, 1938), 23–25.
[7]
⁷ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981),
205–208.
[8]
⁸ Pierre Bourdieu, The Forms of Capital, in Handbook
of Theory and Research for the Sociology of Education, ed. John G.
Richardson (New York: Greenwood Press, 1986), 241–243.
[9]
⁹ Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s
Become of the Common Good? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2020),
73–77.
[10]
¹⁰ Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology
of Success (New York: Random House, 2006), 112–116.
[11]
¹¹ John H. Flavell, “Metacognition and Cognitive
Monitoring,” American Psychologist 34, no. 10 (1979): 906–911.
[12]
¹² Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 183–185.
[13]
¹³ Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 314–316.
[14]
¹⁴ Kate Raworth, Doughnut Economics: Seven Ways
to Think Like a 21st-Century Economist (London: Random House, 2017), 84–86.
[15]
¹⁵ Mariana Mazzucato, Mission Economy: A
Moonshot Guide to Changing Capitalism (London: Allen Lane, 2021), 101–104.
[16]
¹⁶ Amartya Sen, Development as Freedom (New
York: Alfred A. Knopf, 1999), 37–39.
[17]
¹⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed., trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum,
1989), 307–310.
[18]
¹⁸ Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 1959), 112–115.
[19]
¹⁹ Erich Fromm, To Have or To Be? (New York:
Harper & Row, 1976), 35–37.
[20]
²⁰ Charles Taylor, The Ethics of Authenticity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 49–52.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (2002). Dialectic
of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity
Press.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise
of control. W. H. Freeman.
Beck, U. (1992). Risk society: Towards a new
modernity. Sage Publications.
Beck, U. (2009). World at risk. Polity
Press.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The
social construction of reality. Anchor Books.
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social
critique of the judgement of taste. Harvard University Press.
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. G.
Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of
education (pp. 241–258). Greenwood Press.
Castells, M. (2000). The rise of the network
society (2nd ed.). Blackwell.
Chen, B. (2011). Always on: How the iPhone
unlocked the anything-anytime world. Da Capo Press.
Christensen, C. M. (1997). The innovator’s
dilemma. Harvard Business Review Press.
Comte, A. (1853). The positive philosophy
(H. Martineau, Trans.). John Chapman.
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2017). Self-determination
theory: Basic psychological needs in motivation, development, and wellness.
Guilford Press.
Dennett, D. (2013). Intuition pumps and other
tools for thinking. W. W. Norton & Company.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
Macmillan.
Dewey, J. (1938). Experience and education.
Macmillan.
Duckworth, A. (2016). Grit: The power of passion
and perseverance. Scribner.
Durkheim, É. (1956). Education and sociology.
Free Press.
Florida, R. (2002). The rise of the creative
class. Basic Books.
Flavell, J. H. (1979). Metacognition and cognitive
monitoring. American Psychologist, 34(10), 906–911.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning.
Beacon Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Freire, P. (1998). Pedagogy of freedom: Ethics,
democracy, and civic courage (P. Clarke, Trans.). Rowman & Littlefield.
Fromm, E. (1976). To have or to be? Harper
& Row.
Gadamer, H.-G. (1989). Truth and method (2nd
rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Gates, B. (1995). The road ahead. Penguin
Books.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. Basic Books.
Giddens, A. (1973). The class structure of the
advanced societies. Hutchinson.
Giddens, A. (1979). Central problems in social
theory. University of California Press.
Gladwell, M. (2008). Outliers: The story of
success. Little, Brown and Company.
Goleman, D. (2013). Focus: The hidden driver of
excellence. HarperCollins.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1). Beacon Press.
Habermas, J. (1987). The theory of communicative
action (Vol. 2). Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT
Press.
Hartman, R. S. (1967). The structure of value:
Foundations of scientific axiology. Southern Illinois University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology. In D. F. Krell (Ed.), Basic writings (pp. 311–341). Harper
& Row.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences:
Comparing values, behaviors, institutions, and organizations across nations
(2nd ed.). Sage.
Honneth, A. (1995). The struggle for
recognition: The moral grammar of social conflicts. Polity Press.
Isaacson, W. (2011). Steve Jobs. Simon &
Schuster.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kattsoff, L. O. (1953). Elements of philosophy.
Ronald Press.
Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death
(A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
Kierkegaard, S. (1992). Either/or (A.
Hannay, Trans.). Penguin Books.
Kirkpatrick, D. (2010). The Facebook effect: The
inside story of the company that is connecting the world. Simon &
Schuster.
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Lévy, P. (1997). Collective intelligence:
Mankind’s emerging world in cyberspace. Perseus Books.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture
and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological
Review, 98(2), 224–253.
Marx, K. (1970). Theses on Feuerbach. In C.
J. Arthur (Ed.), The German ideology (pp. 121–123). International
Publishers.
Mazzucato, M. (2018). The value of everything:
Making and taking in the global economy. PublicAffairs.
Mazzucato, M. (2021). Mission economy: A
moonshot guide to changing capitalism. Allen Lane.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra
(W. Kaufmann, Trans.). Penguin Books.
Nietzsche, F. (1989). On the genealogy of morals
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Parsons, T. (1951). The social system. Free
Press.
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first
century. Harvard University Press.
Pink, D. H. (2006). A whole new mind: Why
right-brainers will rule the future. Riverhead Books.
Pink, D. H. (2009). Drive: The surprising truth
about what motivates us. Riverhead Books.
Piaget, J. (1950). The psychology of
intelligence (M. Piercy & D. E. Berlyne, Trans.). Routledge.
Pope Francis. (2015). Laudato si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Polanyi, M. (1966). The tacit dimension.
Doubleday & Company.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Popper, K. (1972). Objective knowledge: An
evolutionary approach. Clarendon Press.
Putnam, H. (1981). Reason, truth, and history.
Cambridge University Press.
Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev.
ed.). Harvard University Press.
Raworth, K. (2017). Doughnut economics: Seven
ways to think like a 21st-century economist. Random House.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human
sciences (J. B. Thompson, Trans.). Cambridge University Press.
Ricoeur, P. (1986). Fallible man (C.
Kelbley, Trans.). Fordham University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Russell, B. (1948). Human knowledge: Its scope
and limits. George Allen and Unwin.
Sandel, M. (2020). The tyranny of merit: What’s
become of the common good? Farrar, Straus and Giroux.
Schwab, K. (2016). The fourth industrial
revolution. World Economic Forum.
Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and
non-formal ethics of values (M. Frings & R. Funk, Trans.). Northwestern
University Press.
Senge, P. (1990). The fifth discipline: The art
and practice of the learning organization. Doubleday.
Sen, A. (1999). Development as freedom.
Alfred A. Knopf.
Sennett, R. (2006). The culture of the new
capitalism. Yale University Press.
Shiva, V. (1989). Staying alive: Women, ecology,
and development. Zed Books.
Simon, H. A. (1982). Models of bounded
rationality (Vol. 1). MIT Press.
Siemens, G. (2005). Connectivism: A learning theory
for the digital age. International Journal of Instructional Technology and
Distance Learning, 2(1), 3–10.
Taleb, N. N. (2001). Fooled by randomness: The
hidden role of chance in life and in the markets. Random House.
Taleb, N. N. (2007). The black swan: The impact
of the highly improbable. Random House.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity.
Harvard University Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Toffler, A. (1970). Future shock. Random
House.
Tawney, R. H. (1926). Religion and the rise of
capitalism. John Murray.
Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Scribner.
Young, I. M. (1990). Justice and the politics of
difference. Princeton University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar