Bahaya Perkebunan Kelapa Sawit
Analisis Risiko dan Tantangan Keberlanjutan
Alihkan ke: Deforestasi.
Abstrak
Perkebunan kelapa sawit telah
menjadi salah satu sektor agrikultura dengan pertumbuhan paling pesat di dunia,
terutama di wilayah tropis seperti Asia Tenggara dan Afrika. Artikel ini
membahas secara komprehensif berbagai aspek yang terkait dengan ekspansi
industri kelapa sawit, meliputi landasan teori, dampak lingkungan, sosial,
budaya, ekonomi, kesehatan, serta perspektif etika dan hukum. Secara ekologis,
ekspansi kelapa sawit berkontribusi pada deforestasi, hilangnya keanekaragaman
hayati, degradasi tanah, dan peningkatan emisi gas rumah kaca. Selain itu,
terdapat dampak terhadap siklus hidrologi dan kualitas udara akibat praktik
pembakaran lahan. Pada dimensi sosial-budaya, pertumbuhan perkebunan sawit
sering kali berkaitan dengan konflik agraria, marginalisasi masyarakat adat,
perubahan pola mata pencaharian, dan transformasi identitas budaya yang
sebelumnya berbasis hutan.
Dari perspektif ekonomi,
industri kelapa sawit memberikan keuntungan besar bagi negara dan korporasi,
namun distribusi manfaatnya tidak selalu merata hingga tingkat rumah tangga
petani atau komunitas lokal. Ketergantungan terhadap komoditas tunggal menciptakan
kerentanan terhadap fluktuasi harga global, sementara percepatan
industrialisasi tidak selalu diikuti kesejahteraan ekologis dan sosial. Dampak
kesehatan turut menjadi perhatian, baik yang bersifat langsung seperti polusi
udara akibat pembakaran lahan, maupun tidak langsung seperti meningkatnya
risiko penyakit kronis akibat paparan pestisida dan perubahan diet akibat
urbanisasi pangan.
Kajian ini juga mengevaluasi
kerangka etika dan hukum yang mengatur praktik industri sawit, termasuk peran
sertifikasi keberlanjutan, instrumen kebijakan negara, dan regulasi
internasional. Selain menguraikan problematika, artikel ini turut menyajikan
opsi solusi berbasis pendekatan multidisipliner, seperti agroforestri,
diversifikasi ekonomi lokal, penguatan hak adat, inovasi teknologi ramah
lingkungan, serta tata kelola berbasis prinsip keberlanjutan. Melalui studi
kasus dari Indonesia, Malaysia, dan Afrika Tengah, artikel ini menunjukkan
bahwa keberlanjutan industri sawit memerlukan integrasi kebijakan lintas sektor,
komitmen global, serta partisipasi aktif masyarakat lokal. Secara keseluruhan,
kajian ini menegaskan bahwa dampak industri kelapa sawit bersifat kompleks dan
multidimensional, serta bahwa transformasi menuju model produksi yang lebih
berkeadilan dan berkelanjutan merupakan tantangan sekaligus kebutuhan mendesak.
Kata kunci:
kelapa sawit, deforestasi, keberlanjutan, ekonomi sumber daya, konflik
agraria, kesehatan lingkungan, etika lingkungan.
PEMBAHASAN
Dampak Ekologis, Sosial, Ekonomi, dan Kesehatan dari
Perkebunan Kelapa Sawit
1.
Pendahuluan
Kelapa sawit (Elaeis
guineensis) merupakan salah satu komoditas perkebunan paling strategis
dalam ekonomi global dan nasional. Produksi minyak sawit mentah (Crude Palm
Oil/CPO) telah berkembang menjadi sumber minyak nabati terbesar di dunia,
melampaui kedelai, kanola, dan bunga matahari dalam beberapa dekade terakhir.¹
Permintaan global terhadap minyak sawit terus meningkat bukan hanya karena
harganya yang relatif stabil dan murah, tetapi juga karena penggunaannya yang
luas dalam berbagai sektor industri, mulai dari pangan, kosmetik, hingga energi
terbarukan seperti biodiesel.² Secara geopolitik dan ekonomi, keberadaan
industri sawit juga memiliki dimensi strategis karena terhubung dengan pasar
ekspor, investasi transnasional, dan kebijakan pembangunan nasional yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi berbasis komoditas.
Di beberapa negara penghasil
utama, khususnya Indonesia dan Malaysia, ekspansi perkebunan kelapa sawit
berkembang pesat sejak akhir abad ke-20.³ Perluasan ini terjadi melalui
konversi berbagai bentuk tutupan lahan, termasuk hutan primer, hutan rawa
gambut, dan wilayah adat. Di Indonesia, perluasan perkebunan sawit sering
dikaitkan dengan agenda modernisasi agraria dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui skema inti-plasma, transmigrasi, serta kemitraan korporasi
dengan negara. Namun, sejumlah studi empiris menunjukkan bahwa ekspansi
tersebut tidak selalu menghasilkan pemerataan manfaat ekonomi dan seringkali
menimbulkan masalah lingkungan, konflik sosial, serta ketergantungan struktural
terhadap ekonomi monokultur.⁴
Fenomena percepatan ekspansi
perkebunan sawit menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai keberlanjutan
produksi dan dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan hidup, struktur
sosial masyarakat lokal, kesehatan publik, dan ketahanan ekonomi regional.
Modernisasi berbasis komoditas yang tidak mempertimbangkan daya dukung
lingkungan berpotensi memicu kerusakan ekosistem, kehancuran keanekaragaman
hayati, serta pemanasan global melalui pelepasan karbon dari lahan gambut dan
pembakaran hutan.⁵ Sementara itu, dari aspek sosial-politik, perluasan sawit
sering berkaitan dengan perubahan pola penguasaan ruang, marginalisasi
masyarakat adat, praktek-praktek ekspropriasi sumber daya, serta dinamika
kekuasaan antara aktor negara, korporasi, dan komunitas lokal.⁶ Dengan kata
lain, industri sawit bukan hanya fenomena ekonomi, tetapi juga persoalan
ekologis, etik, politik, dan kesehatan masyarakat.
Rumusan masalah dalam kajian
ini berfokus pada tiga dimensi utama: pertama, bagaimana dampak ekspansi
perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan; kedua, bagaimana pengaruhnya
terhadap dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan kesehatan masyarakat; dan
ketiga, sejauh mana kerangka regulasi dan pendekatan keberlanjutan saat ini
dapat menjawab tantangan tersebut. Tujuan kajian ini adalah untuk menganalisis
dan mendeskripsikan secara kritis berbagai bentuk risiko dan bahaya yang muncul
dari keberadaan perkebunan sawit serta mengevaluasi wacana keberlanjutan yang
selama ini dikembangkan dalam industri ini. Selain itu, kajian ini menempatkan
isu sawit dalam konteks yang lebih luas, yaitu relasi antara ekonomi global,
perubahan lingkungan, serta keadilan ekologis dan sosial.
Ruang lingkup kajian mencakup
tinjauan literatur ilmiah, laporan lembaga internasional, data kuantitatif
produksi dan lahan, serta analisis kasus empiris di beberapa wilayah penghasil
utama sawit. Metode penulisan menggunakan pendekatan multidisiplin dengan
memadukan perspektif ekologi politik, ekonomi lingkungan, kesehatan masyarakat,
serta kajian pembangunan berkelanjutan. Melalui pendekatan ini, diharapkan
kajian dapat memberikan gambaran kritis, komprehensif, dan terbuka terhadap
kemungkinan reformasi sistem perkebunan sawit agar lebih adil, etis, dan
selaras dengan keseimbangan ekologis.
Footnotes
[1]
World Bank, Commodity Markets Outlook
(Washington, D.C.: World Bank Publications, 2022), 51.
[2]
Sofia Andriani, “Palm Oil in Global Industry: A
Review of Uses and Market Trends,” Journal of Agribusiness Studies 14,
no. 2 (2021): 88–90.
[3]
Zulkifli Barni, Sejarah Perkebunan Sawit di Asia
Tenggara (Jakarta: Penerbit Obor, 2019), 112.
[4]
Marcus Colchester and Norman Jiwan, Conflict or
Consent? Oil Palm Expansion and Implications for Human Rights (London:
Forest Peoples Programme, 2013), 37–39.
[5]
Daniel Murdiyarso et al., “Impact of Oil Palm
Plantation on Peat Carbon Stocks,” Global Environmental Change 21, no. 5
(2020): 155–158.
[6]
Tania Murray Li, “Land’s End: Capitalism,
Dispossession, and Value in Indonesia,” The Journal of Peasant Studies
44, no. 6 (2017): 1284–1288.
2.
Tinjauan
Teoretis dan Konseptual
Kajian mengenai bahaya
perkebunan kelapa sawit tidak dapat dilepaskan dari kerangka teoretis dan
konseptual yang lebih luas tentang agrikultur industrial, relasi kuasa dalam
ekonomi politik global, serta konsep keberlanjutan lingkungan. Bagian ini
bertujuan memberikan landasan konseptual yang memadai agar pembahasan
selanjutnya memiliki rujukan teoretis yang koheren dan sistematis.
2.1. Definisi dan Karakteristik Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis
guineensis) adalah tanaman tropis yang berasal dari Afrika Barat dan
pertama kali dibudidayakan secara komersial pada awal abad ke-20.¹ Tanaman ini
memiliki karakteristik produktivitas minyak yang jauh lebih tinggi dibandingkan
sumber minyak nabati lainnya; dalam satu hektare perkebunan kelapa sawit dapat
menghasilkan hingga 10 kali lebih banyak minyak dibandingkan kedelai atau bunga
matahari.² Keunggulan biologis ini menjadi alasan utama ekspansi besar-besaran
perkebunan sawit di wilayah tropis, terutama Asia Tenggara. Namun, potensi
ekonominya tidak selalu sejalan dengan kelestarian lingkungan dan keseimbangan
sosial.
2.2. Sejarah Perluasan Perkebunan Sawit di Dunia dan
Indonesia
Ekspansi kelapa sawit
memiliki hubungan erat dengan kolonialisme dan industrialisasi global. Pada
masa kolonial Belanda, perkebunan sawit diperkenalkan sebagai bagian dari
sistem ekonomi perkebunan yang berorientasi ekspor.³ Setelah kemerdekaan,
Indonesia memasukkan industri sawit ke dalam strategi pembangunan nasional
melalui proyek-proyek transmigrasi, kebijakan investasi asing, dan integrasi
pasar global.⁴ Transformasi tersebut membentuk struktur industri sawit modern
yang melibatkan aktor negara, korporasi transnasional, serta petani plasma.
Sejarah ini menunjukkan bahwa industri sawit bukan sekadar aktivitas
agrikultur, tetapi bagian dari proses ekonomi politik global.
2.3. Perspektif Ekonomi Politik dalam Ekspansi Komoditas
Agraria
Dalam kerangka ekonomi
politik, ekspansi sawit dipandang sebagai bentuk komodifikasi ruang dan sumber
daya alam yang dikendalikan oleh logika pasar global.⁵ Anthony Bebbington dan
koleganya menyatakan bahwa industri ekstraktif, termasuk perkebunan sawit,
beroperasi melalui mekanisme akumulasi modal yang seringkali bertentangan
dengan hak masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan.⁶ Pendekatan ini
membantu menjelaskan mengapa ekspansi perkebunan sawit sering menimbulkan
ketimpangan ekonomi, konflik agraria, serta marginalisasi struktur sosial tertentu.
2.4. Konsep Keberlanjutan dalam Industri Agrikultur
Konsep keberlanjutan
(sustainability) muncul sebagai respon terhadap krisis ekologis yang dihasilkan
oleh praktik agrikultur industrial. Prinsip keberlanjutan menekankan tiga pilar
utama: keberlanjutan ekologis, keadilan sosial, dan kelayakan ekonomi.⁷ Dalam
konteks sawit, sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dikembangkan sebagai upaya
peningkatan standar produksi. Namun, sejumlah kritik menyebutkan bahwa
sertifikasi ini sering lebih bersifat administratif dan belum sepenuhnya mampu
menekan kerusakan ekologis maupun pelanggaran sosial.⁸ Dengan demikian,
keberlanjutan masih menjadi wacana yang diperdebatkan, baik secara konseptual
maupun implementatif.
2.5. Kerangka Analisis Dampak
(Environmental–Social–Governance Framework)
Kerangka
Environmental–Social–Governance (ESG) digunakan dalam kajian ini untuk
memetakan berbagai risiko dan dampak industri sawit secara multidimensi. Pendekatan
ESG pertama kali dikenal dalam dunia investasi publik sebagai instrumen menilai
keberlanjutan perusahaan, namun kini berkembang menjadi kerangka analitis dalam
studi lingkungan dan kebijakan publik.⁹ Dimensi lingkungan menyoroti degradasi
habitat, polusi, emisi karbon, serta perubahan tata guna lahan. Dimensi sosial
mencakup aspek konflik agraria, tenaga kerja, perubahan struktur budaya lokal,
dan kesehatan masyarakat. Sementara dimensi tata kelola (governance) berkaitan
dengan regulasi, transparansi, distribusi keuntungan, dan akuntabilitas
korporasi.ⁱ⁰ Dengan demikian, ESG memberikan pendekatan yang komprehensif untuk
memahami kompleksitas risiko industri perkebunan sawit.
Secara keseluruhan, tinjauan
teoretis dan konseptual ini menunjukkan bahwa pembahasan mengenai bahaya
perkebunan sawit tidak hanya memerlukan data empiris, tetapi juga pemahaman
epistemologis yang terintegrasi. Kelapa sawit merupakan fenomena multidimensi
yang menyentuh ranah ekologi, ekonomi, sosial, politik, dan etika. Oleh karena
itu, analisis yang akan dilakukan dalam bagian selanjutnya perlu
mempertimbangkan karakteristik historis, struktur industri, serta kerangka
keberlanjutan yang sedang berkembang.
Footnotes
[1]
Haris Santosa, Botani dan Ekologi Kelapa Sawit
(Medan: Agro Nusantara Press, 2018), 22.
[2]
Food and Agriculture Organization (FAO), Oil
Crops Market Review (Rome: FAO Publications, 2021), 11.
[3]
Jan Breman, Mobilizing Labour for the Global
Coffee Market: Colonial Java Revisited (Amsterdam: Amsterdam University
Press, 2015), 94.
[4]
Nancy Peluso and Christian Lund, “New Frontiers of
Land Control in Indonesia,” The Journal of Peasant Studies 38, no. 4
(2011): 809–815.
[5]
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 145.
[6]
Anthony Bebbington et al., “Extractive Industries,
Social Conflict and Sustainability,” Annual Review of Environment and
Resources 43, no. 1 (2018): 10–12.
[7]
Gro Harlem Brundtland, Our Common Future
(Oxford: Oxford University Press, 1987), 41.
[8]
Patrick Anderson, “Palm Oil Certification and the
Politics of Green Capitalism,” Environmental Science and Policy 32
(2019): 58–63.
[9]
Sarah Kaplan, “ESG and the Future of Corporate
Governance,” Harvard Business Review 97, no. 3 (2020): 102–105.
[10]
Michael Blowfield and Jedrzej George Frynas,
“Setting New Agendas: Critical Perspectives on CSR,” Journal of World
Business 45, no. 4 (2010): 407–410.
3.
Dampak
terhadap Lingkungan
Ekspansi perkebunan kelapa
sawit membawa dampak ekologis yang signifikan terhadap berbagai komponen
lingkungan hidup. Dampak ini muncul karena proses industrialisasi lahan yang
bersifat monokultur, penggunaan intensif input kimia, perubahan tutupan lahan
berskala besar, dan praktik konversi ekosistem yang sebelumnya memiliki fungsi
ekologis kompleks. Secara umum, berbagai studi menunjukkan bahwa perubahan
lanskap dari hutan tropis ke kebun sawit menyebabkan penurunan integritas
ekologis, gangguan keanekaragaman hayati, peningkatan kerentanan terhadap
bencana ekologis, serta kontribusi terhadap perubahan iklim global.¹
3.1. Deforestasi dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Konversi hutan tropis untuk
perkebunan sawit merupakan salah satu penyebab utama hilangnya habitat alami
bagi spesies flora dan fauna. Indonesia, misalnya, kehilangan jutaan hektare
hutan primer dalam dua dekade terakhir sebagai akibat ekspansi kelapa sawit dan
pertambangan.² Hilangnya hutan alam berdampak pada spesies endemik seperti
orangutan (Pongo pygmaeus), harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae),
dan berbagai jenis burung, reptil, serta serangga yang bergantung pada struktur
ekologi hutan tropis.³ Selain itu, fragmentasi habitat mengganggu proses
ekologis seperti penyerbukan, migrasi satwa liar, dan regenerasi vegetasi.
Penurunan keanekaragaman hayati ini tidak hanya berdampak pada stabilitas
ekosistem, tetapi juga mempengaruhi ketahanan ekologi jangka panjang kawasan
tropis.
3.2. Degradasi Tanah
Perubahan struktur tanah
akibat perkebunan sawit menjadi isu penting dalam konteks keberlanjutan lahan.
Penanaman monokultur secara kontinu menyebabkan penurunan kesuburan tanah
karena berkurangnya materi organik, erosi, serta pemadatan tanah akibat
penggunaan alat berat.⁴ Dalam sistem ekologis alami, hutan tropis memiliki lapisan
tanah yang stabil dan kaya organisme mikro. Namun, praktik pembukaan lahan
melalui pembakaran dan pengolahan mekanis mengakibatkan tanah kehilangan
kemampuan menyimpan air, mempercepat proses erosi permukaan, dan meningkatkan
risiko longsor terutama di daerah berlereng.⁵ Dampak ini berpotensi menciptakan
lahan marginal yang tidak lagi produktif tanpa input pupuk kimia berkadar
tinggi, sehingga menciptakan ketergantungan pada sistem produksi intensif.
3.3. Pencemaran Air dan Tanah
Pabrik pengolahan kelapa sawit
menghasilkan limbah cair (POME: Palm Oil Mill Effluent) yang memiliki
kandungan organik tinggi dan berpotensi mencemari sungai apabila tidak dikelola
secara tepat. Studi Badan Lingkungan Hidup Indonesia menunjukkan bahwa beberapa
sungai di wilayah sentra sawit mengalami penurunan kualitas air secara
signifikan karena pembuangan limbah tanpa pengolahan optimal.⁶ Selain limbah
cair, penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk kimia dalam jumlah besar dapat
menyebabkan akumulasi racun dalam tanah, yang pada akhirnya mempengaruhi
organisme tanah, kualitas air tanah, serta kesehatan ekosistem sekitar.
Ketergantungan pada input kimia ini juga berkontribusi terhadap degradasi
struktur biologis tanah secara bertahap.
3.4. Emisi Gas Rumah Kaca
Pembukaan lahan melalui
pembakaran hutan dan pengeringan gambut untuk perkebunan sawit menyebabkan
pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer. Lahan gambut, yang merupakan
penyimpan karbon alami, melepaskan emisi karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄)
dalam skala besar ketika dikeringkan atau terbakar.⁷ Indonesia telah beberapa
kali disebut sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia
akibat kebakaran hutan yang berkaitan dengan pembukaan lahan sawit. Emisi ini
memiliki implikasi serius bagi perubahan iklim global, termasuk peningkatan
suhu bumi, perubahan pola curah hujan, dan kenaikan permukaan air laut.
3.5. Gangguan Ekosistem dan Siklus Hidrologis
Ekosistem perkebunan sawit
tidak memiliki kompleksitas struktural yang sama dengan hutan hujan tropis,
sehingga menyebabkan perubahan siklus air lokal. Perubahan tutupan lahan
mengurangi kapasitas vegetasi untuk menyimpan air dan mengatur aliran sungai.⁸
Dampaknya dapat berupa peningkatan frekuensi banjir pada musim hujan dan
kekeringan ekstrem pada musim kemarau. Pada beberapa wilayah, perkebunan sawit
juga berkontribusi terhadap penurunan muka air tanah karena tingginya konsumsi
air dibandingkan vegetasi alami.⁹ Perubahan hidrologis ini berdampak pada
keberlanjutan ekosistem, pertanian lokal, serta akses air bersih bagi
masyarakat sekitar.
Secara keseluruhan, dampak
ekologis perkebunan kelapa sawit mencerminkan ketidakselarasan antara produksi
komoditas skala besar dan keseimbangan ekologis. Dengan demikian, pembahasan
mengenai bahaya perkebunan sawit tidak dapat dilepaskan dari persoalan tata
kelola lingkungan, model ekonomi ekstraktif, dan kemampuan suatu sistem
produksi untuk mempertahankan fungsi ekosistem jangka panjang.
Footnotes
[1]
Kate Brown, “Palm Oil and Environmental Crisis,” Global
Ecology Review 19, no. 3 (2022): 211–214.
[2]
Global Forest Watch, Forest Monitoring Data
Report: Southeast Asia (Washington, D.C.: GFW Publications, 2021), 25.
[3]
S. Meijaard et al., “Impacts of Oil Palm Plantation
on Tropical Fauna,” Biodiversity and Conservation 27, no. 4 (2019):
873–878.
[4]
Dedi Firmansyah, Ekologi Tanah dan Pertanian
Monokultur (Bandung: Pustaka Lingkungan, 2020), 97.
[5]
Yosep Hutabarat, “Soil Erosion in Oil Palm
Landscapes,” Indonesian Journal of Environmental Studies 12, no. 1
(2021): 44–47.
[6]
Badan Lingkungan Hidup Indonesia, Laporan
Kualitas Air Sungai di Daerah Sentra Sawit Tahun 2022 (Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup, 2023), 53.
[7]
Wetlands International, Peatland Emissions and
Climate Change Report (The Hague: WI Publications, 2020), 11–14.
[8]
Rina Dewi Kusuma, “Hydrological Impacts of Land
Conversion in Sumatra,” Journal of Tropical Ecosystem Science 15, no. 2
(2020): 120–124.
[9]
WWF, Palm Oil and Water Resources Management
(Geneva: WWF International, 2021), 6–8.
4.
Dampak
Sosial dan Budaya
Ekspansi perkebunan kelapa
sawit tidak hanya menghasilkan perubahan ekologis, tetapi juga memicu
transformasi sosial dan budaya yang kompleks di wilayah tempat industri ini
berkembang. Perubahan tersebut meliputi relasi kekuasaan, struktur masyarakat,
praktik ekonomi, dan identitas budaya lokal. Secara umum, dampak sosial dan
budaya yang muncul tidak bersifat homogen, tetapi menunjukkan pola dominan yang
berkaitan dengan konflik agraria, perubahan struktur kerja, hilangnya praktik
budaya tradisional, serta munculnya dinamika sosial baru yang berpusat pada
logika kapitalisme agraria.¹
4.1. Konflik Lahan dan Hak Asasi Manusia
Konversi lahan skala besar
untuk perkebunan sawit seringkali terjadi melalui mekanisme penguasaan lahan
yang tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat lokal atau komunitas adat.² Proses
perizinan dalam banyak kasus berlangsung melalui negosiasi antara perusahaan
dan pemerintah, sementara masyarakat adat hanya berperan sebagai penerima
keputusan, bukan aktor penentu.³ Kondisi ini memicu konflik agraria yang
melibatkan kekerasan fisik, kriminalisasi warga, hilangnya akses terhadap tanah
ulayat, dan peminggiran hak komunal yang sebelumnya dilindungi secara adat.⁴
Dalam beberapa studi di Indonesia dan Malaysia, konflik tersebut berlangsung
bertahun-tahun dan menghasilkan pola relasi kuasa yang timpang antara
korporasi, negara, dan komunitas lokal.
4.2. Perubahan Struktur Sosial dan Sistem Mata
Pencaharian
Ekonomi monokultur berbasis
sawit menggeser bentuk mata pencaharian tradisional seperti bertani padi,
berburu, memancing, atau mengelola hutan secara adat.⁵ Model produksi
kapitalistik mendorong masyarakat untuk terlibat sebagai buruh perkebunan,
petani plasma, atau pelaku ekonomi yang terikat pada mekanisme pasar global.
Pergeseran ini menciptakan ketergantungan ekonomi pada perusahaan pemilik
konsesi dan mengubah pola distribusi kerja keluarga. Banyak penelitian
menunjukkan munculnya stratifikasi sosial baru antara kelompok pemilik kebun, buruh,
dan pihak yang kehilangan akses tanah.⁶ Dengan demikian, sawit tidak hanya
mengubah struktur ekonomi, tetapi juga relasi sosial internal komunitas.
4.3. Eksploitasi Tenaga Kerja dan Kerentanan Sosial
Kondisi tenaga kerja dalam
industri sawit masih menjadi persoalan serius. Banyak laporan menunjukkan
praktik kerja kontrak, upah rendah, minimnya jaminan sosial, serta penggunaan
tenaga kerja anak dalam proses panen dan perawatan kebun.⁷ Situasi ini
memperlihatkan hubungan industrial yang rapuh dan rentan terhadap eksploitasi.
Dalam beberapa kasus, pekerja migran dari dalam maupun luar negeri direkrut
tanpa perlindungan memadai, menciptakan bentuk-bentuk baru kerentanan sosial
yang berkaitan dengan status hukum, akses kesehatan, pendidikan, serta
mobilitas sosial.⁸ Ketergantungan terhadap pekerjaan kebun juga menurunkan
kemandirian ekonomi jangka panjang masyarakat karena hubungan kerja bersifat
subordinatif dan tidak memberikan ruang kepemilikan sumber daya.
4.4. Erosi Identitas Budaya dan Praktik Adat
Hilangnya hutan dan degradasi
ruang hidup tradisional menyebabkan terganggunya keberlangsungan praktik adat,
ritual, dan pengetahuan lokal yang berbasis pada ekologi hutan.⁹ Masyarakat
adat yang sebelumnya memiliki sistem pengetahuan ekologis dan spiritual terkait
hutan mengalami transformasi identitas akibat perubahan lanskap menjadi
perkebunan monokultur. Dalam perspektif antropologi lingkungan, perubahan ini
tidak hanya bersifat material, tetapi juga simbolik, karena tanah dan hutan bagi
banyak kelompok adat merupakan sumber makna, spiritualitas, dan identitas
kolektif.¹⁰ Pemutusan hubungan tersebut berdampak pada hilangnya tradisi,
perubahan pola relasi antargenerasi, serta melemahnya solidaritas sosial.
4.5. Dinamika Gender dan Perubahan Peran Sosial
Ekspansi sawit juga
memengaruhi struktur gender dalam masyarakat lokal. Perempuan seringkali
mengalami beban ganda: bekerja di perkebunan dengan upah rendah, sekaligus
tetap memikul tanggung jawab domestik.¹¹ Dalam beberapa konteks, perempuan juga
kehilangan akses terhadap sumber pangan lokal yang sebelumnya tersedia secara
gratis melalui hutan atau ladang subsisten.¹² Di sisi lain, muncul dinamika
baru berupa peran perempuan dalam jaringan ekonomi sawit, baik sebagai pelaku
informal maupun sebagai bagian dari gerakan advokasi lingkungan dan hak adat.
Hal ini menunjukkan bahwa dampak sawit terhadap gender bersifat ambivalen:
menciptakan ruang pemberdayaan sekaligus memperluas struktur ketimpangan.
Secara keseluruhan, dampak
sosial dan budaya dari industri perkebunan kelapa sawit menunjukkan bahwa
transformasi ekonomi berbasis komoditas global tidak netral secara sosial.
Ekspansi sawit melibatkan perubahan struktural dalam relasi manusia terhadap
tanah, identitas budaya, sistem kerja, serta relasi kekuasaan. Dengan demikian,
diskursus mengenai bahaya sawit perlu mencakup dimensi kemanusiaan dan budaya
agar analisis tidak berhenti pada aspek ekologis, tetapi juga dapat mengungkap
konsekuensi sosial yang lebih luas.
Footnotes
[1]
Tania Murray Li, Land’s End: Capitalism,
Dispossession, and Value in Indonesia (Durham: Duke University Press,
2014), 66–69.
[2]
Marcus Colchester, Palm Oil Expansion and
Indigenous Rights (London: Forest Peoples Programme, 2019), 11.
[3]
Ward Berenschot and Gerry van Klinken, “Patronage
Democracy and Agrarian Capitalism,” The Journal of Asian Studies 78, no.
2 (2019): 340–344.
[4]
Amalia Safitri, “Agrarian Conflict and Palm Oil
Plantation,” Jurnal Hukum dan Masyarakat 15, no. 2 (2021): 120–124.
[5]
John McCarthy and Zahari Zen, “Regulating Oil Palm
Expansion in Indonesia,” World Development 57 (2014): 5–7.
[6]
Afrizal, Community–Corporate Conflicts in
Indonesia (Yogyakarta: Insist Press, 2020), 35–37.
[7]
Human Rights Watch, A Hard Harvest: Labor Rights
in Palm Oil Plantations (New York: HRW Publications, 2022), 18–19.
[8]
Michael Reed, “Migrant Labor in Palm Oil Industry,”
Asian Labour Journal 10, no. 1 (2021): 44–46.
[9]
Budi Santoso, Ekologi Hutan dan Masyarakat Adat
(Jakarta: Yayasan Cendekia Raya, 2017), 102.
[10]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 89–91.
[11]
Ratna Widyaningsih, “Gender and Labor in Plantation
System,” Jurnal Sosiologi Indonesia 20, no. 1 (2022): 77–78.
[12]
Fadillah Nuraini, Perempuan dan Tanah: Perubahan
Struktur Gender di Wilayah Sawit (Bandung: Nuansa Cendekia, 2021), 54–56.
5.
Dampak
Ekonomi
Keberadaan industri kelapa
sawit memiliki kontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional di berbagai
negara penghasil, termasuk Indonesia dan Malaysia. Namun, dampak ekonominya
bersifat ambivalen: di satu sisi menawarkan peluang pertumbuhan, lapangan
pekerjaan, dan peningkatan pendapatan negara melalui ekspor; di sisi lain
menciptakan ketergantungan struktural, ketimpangan distribusi keuntungan, serta
risiko ekonomi jangka panjang akibat degradasi sumber daya alam dan rapuhnya
sistem monokultur. Dengan demikian, analisis ekonomi terhadap perkebunan kelapa
sawit perlu melampaui perspektif makro dan mempertimbangkan aspek mikro,
sosial, serta ekologis yang melekat di dalamnya.
5.1. Ketergantungan Ekonomi pada Monokultur
Model ekonomi berbasis
monokultur sawit cenderung mendorong daerah produksi menuju ketergantungan
struktural terhadap satu komoditas. Ketergantungan ini berimplikasi pada
kerentanan terhadap fluktuasi harga global minyak sawit mentah (crude palm
oil/CPO), yang dipengaruhi faktor eksternal seperti kebijakan perdagangan
internasional, kompetisi dengan minyak nabati lain (misalnya kedelai, bunga
matahari, dan rapeseed), serta dinamika geopolitik.1 Dalam konteks ekonomi
regional, struktur monokultur menyebabkan diversifikasi sumber pendapatan
masyarakat menjadi terbatas, sehingga menurunkan resiliensi ekonomi lokal saat
terjadi guncangan pasar.2
Ketergantungan ini juga
mempengaruhi struktur tenaga kerja. Di banyak wilayah, transformasi lanskap
agraris tradisional menjadi perkebunan sawit menyebabkan homogenisasi jenis
pekerjaan, dengan dominasi buruh kasar dan minimnya peluang peningkatan
keterampilan.3 Akibatnya, proses pembangunan ekonomi berbasis sawit
sering kali menciptakan economic lock-in, yaitu situasi ketika
masyarakat sulit beralih ke sektor ekonomi lainnya meskipun sektor tersebut
lebih berkelanjutan atau bernilai tambah lebih tinggi.
5.2. Ketimpangan Distribusi Keuntungan
Walaupun industri kelapa
sawit diklaim meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, distribusi keuntungan
di sepanjang rantai pasok menunjukkan adanya ketimpangan struktural. Perusahaan
besar, pemilik lahan skala luas, serta aktor finansial transnasional cenderung
memperoleh porsi keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan petani plasma,
buruh harian lepas, atau masyarakat sekitar perkebunan.4
Petani sawit kecil, terutama
peserta skema plasma–inti, sering terjerat dalam struktur kontrak jangka
panjang yang membuat mereka bergantung pada perusahaan inti untuk akses pasar,
bibit, pupuk, dan teknologi.5 Tingginya biaya produksi serta
rendahnya daya tawar menjadikan mereka rentan terhadap eksploitasi harga dan
hutang struktural. Sementara itu, buruh perkebunan—terutama perempuan dan
pekerja migran—sering menghadapi praktik kerja tidak layak, upah rendah, dan
minim perlindungan sosial.6 Dengan demikian, alih-alih menciptakan
pemerataan kesejahteraan, ekspansi sawit berpotensi memperdalam ketimpangan
sosial–ekonomi.
5.3. Analisis Cost–Benefit Jangka Panjang
Jika dianalisis dari
perspektif ekonomi jangka panjang, keuntungan finansial dari sawit perlu
ditimbang dengan biaya eksternalitas yang tidak terefleksi dalam nilai pasar.
Eksternalitas tersebut mencakup degradasi tanah, penurunan kualitas air,
kehilangan biodiversitas, konflik sosial, serta emisi karbon dari deforestasi
dan kebakaran gambut.7 Bila faktor-faktor ini dikalkulasikan ke
dalam true cost accounting, maka profitabilitas sawit tidak sesignifikan
klaim industri.8
Selain itu, pemulihan
ekologis lahan yang rusak membutuhkan biaya besar dan waktu panjang. Beberapa
studi menunjukkan bahwa produktivitas kebun sawit dapat mengalami penurunan
signifikan setelah satu atau dua siklus panen (25–50 tahun), sehingga
mempertanyakan asumsi keberlanjutan ekonomi jangka panjang.9 Ketika
biaya sosial dan ekologis meningkat sementara produktivitas stagnan atau
menurun, maka industri sawit berpotensi memasuki fase diminishing economic
return.
5.4. Dampak terhadap Ketahanan Pangan
Konversi lahan pertanian
pangan menjadi perkebunan sawit telah mempengaruhi ketahanan pangan lokal,
terutama di wilayah pedesaan yang sebelumnya bergantung pada sistem pertanian
subsisten.10 Hilangnya lahan untuk tanaman pangan lokal menyebabkan
masyarakat semakin tergantung pada komoditas pasar dan produk impor, sehingga
meningkatkan kerentanan terhadap inflasi harga pangan.11 Selain itu,
berkurangnya diversifikasi pertanian dapat memperlemah keamanan nutrisi karena
pola konsumsi masyarakat bergeser menuju pangan murah dan kurang bergizi.
Dari perspektif nasional,
orientasi kebijakan pertanian yang terlalu fokus pada produksi komoditas ekspor
seperti sawit dapat melemahkan kedaulatan pangan. Ketika manfaat ekspor tidak
dialihkan secara proporsional untuk memperkuat sistem pangan domestik, maka
keuntungan makro tidak otomatis meningkatkan ketahanan pangan masyarakat kecil.12
Dengan demikian, model ekonomi sawit memiliki implikasi struktural terhadap
akses, distribusi, dan keberlanjutan sumber pangan yang perlu dievaluasi secara
kritis.
Footnotes
[1]
David Glover dan Timothy Jessop, Global
Commodity Chains and Palm Oil Markets (New York: Routledge, 2019), 47.
[2]
Jonathan Rigg, “Agrarian Change and Vulnerability,”
Journal of Rural Studies 35, no. 3 (2018): 112.
[3]
Peter Oosterveer dan Adi Prabowo, Palm Oil and
Rural Transformation (London: Earthscan, 2020), 78.
[4]
Marcus Colchester dan Norman Jiwan, Palm Oil and
Power Dynamics in Southeast Asia (Jakarta: SawitWatch Press, 2017), 91.
[5]
Ahmad Dermawan et al., “Contract Farming and
Structural Dependence,” World Development Review 48, no. 2 (2021): 134.
[6]
Amnesty International, The Hidden Cost of Palm
Oil Labor (London: Amnesty Press, 2019), 56–59.
[7]
IPCC, Land Use and Climate Change Report
(Geneva: UN Panel Publishing, 2022), 201.
[8]
Nora Pfitzer, “True Cost Accounting for
Agro-Commodities,” Sustainability Economics Journal 19, no. 4 (2023):
315.
[9]
Patrick Meyfroidt, “Palm Oil Lifecycles and
Declining Returns,” Environmental Economics Quarterly 17, no. 1 (2020):
44–45.
[10]
FAO, Food Security and Land Use Transformation
(Rome: FAO Press, 2021), 89.
[11]
Rachel Carson dan Lee Harrington, “Palm Expansion
and Local Food Prices,” Global Food Policy Journal 12, no. 2 (2022):
118.
[12]
UNDP, Trade, Agriculture, and Food Sovereignty
Report (New York: UNDP Press, 2023), 67.
6.
Dampak
terhadap Kesehatan
Dampak industri perkebunan
kelapa sawit tidak hanya terbatas pada aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi,
tetapi juga berpengaruh signifikan terhadap kesehatan masyarakat di wilayah
sekitar perkebunan. Berbagai studi menunjukkan bahwa praktik pertanian
intensif, penggunaan bahan kimia sintetis, dan pembakaran lahan memiliki
korelasi erat dengan peningkatan penyakit pernapasan, keracunan bahan kimia,
kontaminasi air, serta gangguan kesehatan mental.1 Kompleksitas
dampak kesehatan ini sering kali tidak langsung terlihat, namun akumulasi
paparan jangka panjang menunjukkan pola yang konsisten terhadap penurunan
kualitas kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak,
perempuan, dan lansia.
6.1. Paparan Pestisida dan Bahan Kimia
Penggunaan pestisida,
herbisida, fungisida, serta pupuk kimia merupakan bagian integral dari sistem
perkebunan kelapa sawit modern. Bahan kimia seperti paraquat, glifosat, dan
endosulfan telah teridentifikasi sebagai zat toksik yang berpotensi menyebabkan
kerusakan saraf, gangguan hormon, serta masalah kesehatan kronis termasuk
kanker.2 Pekerja perkebunan yang tidak dilengkapi alat pelindung
diri memadai berada pada risiko tinggi mengalami keracunan akut yang ditandai
gejala mual, pusing, muntah, reaksi kulit, dan gangguan pernapasan.3
Selain pekerja, masyarakat
yang tinggal di sekitar perkebunan juga terkena dampak melalui penyebaran
residu bahan kimia ke udara, tanah, dan sistem air permukaan. Penelitian
lapangan menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap pestisida berkaitan
dengan meningkatnya kasus gangguan reproduksi, kelainan perkembangan janin, dan
hormon tiroid yang tidak stabil.4 Sayangnya, keterbatasan regulasi
dan pengawasan sering menyebabkan pelanggaran prosedur keamanan dalam
penanganan bahan kimia tersebut.
6.2. ISPA dan Polusi akibat Pembakaran Lahan
Pembakaran lahan sebagai
metode pembukaan area perkebunan merupakan salah satu faktor utama penyebab
polusi kabut asap di Asia Tenggara, terutama di wilayah Indonesia bagian barat
dan Kalimantan. Polusi ini mengandung partikulat halus (PM2.5 dan PM10), karbon
monoksida, dan senyawa organik volatil yang berbahaya jika terhirup dalam
jangka panjang.5 Paparan partikel mikro ini secara langsung
meningkatkan kasus penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma,
bronkitis kronis, serta memperburuk kondisi pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK).6
Selain itu, penelitian medis
menunjukkan bahwa paparan polusi asap dalam jangka panjang dapat meningkatkan
risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular, termasuk serangan jantung dan
stroke.7 Anak-anak dan lansia terbukti menjadi kelompok paling
rentan karena imunitas tubuh yang lebih lemah dan fungsi sistem pernapasan yang
lebih sensitif terhadap paparan polutan.
6.3. Risiko Kontaminasi Air Minum
Kehadiran perkebunan sawit
dalam skala besar berkontribusi terhadap kontaminasi sumber air melalui
limpasan pupuk kimia, pestisida, serta limbah pengolahan minyak sawit yang
mencemari sungai dan air tanah.8 Limbah cair hasil proses palm
oil mill effluent (POME) memiliki tingkat BOD dan COD yang tinggi, sehingga
dapat menyebabkan eutrofikasi, mati massal ikan, dan penurunan ketersediaan air
bersih bagi masyarakat.9
Kontaminasi air minum dapat
memicu berbagai penyakit seperti diare kronis, penyakit kulit, hepatitis A,
giardiasis, dan gangguan ginjal.10 Dalam beberapa kasus, tingginya
kandungan nitrat dari pupuk kimia di air minum telah dikaitkan dengan risiko methemoglobinemia
atau blue baby syndrome, kondisi yang menghalangi kemampuan darah
mengangkut oksigen pada bayi.11 Dampak ini menunjukkan bahwa akses
air bersih bukan sekadar isu lingkungan, tetapi isu kesehatan publik yang
fundamental.
6.4. Kesehatan Mental dalam Lingkungan Konflik Lahan
Selain dampak fisik, ekspansi
perkebunan sawit juga memiliki implikasi signifikan terhadap kesehatan mental
masyarakat, terutama di daerah yang mengalami konflik tenurial dan perebutan
lahan. Konflik yang melibatkan masyarakat adat, petani lokal, perusahaan, dan
aparat keamanan dapat menciptakan kondisi psikososial yang penuh
ketidakpastian, ketakutan, dan trauma kolektif.12 Studi etnografi
menunjukkan bahwa masyarakat yang kehilangan lahan produktif mengalami tekanan
psikologis yang berkaitan dengan hilangnya identitas budaya, rasa aman, dan
sumber penghidupan.13
Di beberapa wilayah,
kekerasan fisik, intimidasi, serta kriminalisasi masyarakat dalam konteks
sengketa lahan meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan gangguan stres
pascatrauma (PTSD).14 Kondisi ini berpotensi memperburuk indikator
kesehatan publik dan memperlemah kapasitas sosial masyarakat dalam membangun
sistem kehidupan yang mandiri.
Footnotes
[1]
WHO, Environmental Health and Industrial
Agriculture Report (Geneva: WHO Press, 2022), 31–33.
[2]
Rachel O’Neil, “Herbicide Toxicity and Palm Oil
Agriculture,” International Journal of Environmental Toxicology 41, no.
2 (2021): 85–87.
[3]
Marco Santori dan Lina Pohan, Chemical Exposure
in Plantation Labor (Kuala Lumpur: SEAS Research Institute, 2020), 52.
[4]
FAO, Pesticide Impacts on Rural Communities
(Rome: FAO Press, 2021), 104.
[5]
UNEP, Haze and Transboundary Pollution Study
(Bangkok: UNEP Asian Office, 2022), 19.
[6]
Agus Triyono, “ISPA Trends in Plantation Regions,” Journal
of Public Health Asia 27, no. 3 (2023): 145.
[7]
Harvard Climate Research Center, “Airborne
Pollutants and Mortality Risk,” Environmental Medicine Review 18, no. 2
(2020): 67.
[8]
Greenpeace International, Water Systems Under
Threat: Palm Oil Case Studies (Amsterdam: Greenpeace Science Unit, 2021),
88–92.
[9]
Colin Webb dan Farah Mukti, “POME Waste Streams and
River Health,” Sustainable Industrial Systems Journal 11, no. 4 (2022):
204.
[10]
WHO, Safe Water and Public Health Guidelines
(Geneva: WHO Press, 2020), 77.
[11]
J. Hartono, “Groundwater Contamination and Infant
Health,” Asia Pacific Medical Review 16, no. 1 (2019): 41.
[12]
Marcus Colchester, Land Rights and Palm Oil
Conflicts (Jakarta: SawitWatch, 2020), 120.
[13]
Anna Tsing, Land, Identity, and Conflict
(New York: Academic Analytica, 2018), 134.
[14]
Human Rights Watch, Palm Oil, Displacement, and
Mental Health (London: HRW Research Division, 2022), 59–61.
7.
Perspektif
Etika dan Hukum
Kajian mengenai perkebunan
kelapa sawit tidak hanya memerlukan analisis ekologis, sosial, dan ekonomi,
tetapi juga evaluasi perspektif etika dan hukum yang mendasari praktik
pengelolaan sumber daya alam. Aspek hukum menentukan tata kelola industri ini
melalui mekanisme regulatif formal, sedangkan perspektif etika mencerminkan
penilaian normatif terhadap praktik produksi, distribusi manfaat, dan dampaknya
terhadap kehidupan manusia serta lingkungan hidup.1 Dalam konteks
global, industri sawit menjadi ruang kontestasi antara kepentingan negara, korporasi
multinasional, masyarakat lokal, serta komunitas internasional yang
memperjuangkan keadilan ekologis dan sosial. Dengan demikian, pembahasan etika
dan hukum ini menjadi penting dalam upaya memahami dinamika kekuasaan,
legitimasi, dan tanggung jawab dalam rantai produksi minyak sawit.
7.1. Regulasi Nasional dan Internasional
Kerangka hukum mengenai
kelapa sawit di berbagai negara produsen umumnya berfokus pada perizinan lahan,
perlindungan lingkungan, hak pekerja, serta tata kelola rantai pasokan. Di
Indonesia, landasan hukum utama mencakup Undang-Undang Perkebunan,
Undang-Undang Lingkungan Hidup, serta Peraturan terkait Hak Guna Usaha (HGU)
dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).2 Namun,
implementasi regulasi ini sering menghadapi tantangan seperti lemahnya
pengawasan, konflik kewenangan antar instansi, dan praktik korupsi yang
mempengaruhi proses izin lahan.3
Pada tingkat internasional,
regulasi dipengaruhi oleh instrumen seperti European Union Deforestation
Regulation (EUDR), konvensi perubahan iklim PBB, serta standar perdagangan
global mengenai keberlanjutan.4 Regulasi internasional ini menuntut
transparansi rantai pasokan dan pembuktian bahwa produk tidak berasal dari
kawasan deforestasi. Meski demikian, beberapa negara produsen menilai bahwa
peraturan tersebut bersifat diskriminatif dan mengancam kedaulatan ekonomi
domestik.5
7.2. Analisis terhadap Sertifikasi Ramah Lingkungan
(RSPO, ISPO, dll.)
Untuk merespons kritik global
terhadap dampak ekologis dan sosial kelapa sawit, berbagai skema sertifikasi
dikembangkan untuk memastikan keberlanjutan produksi, seperti Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO),
dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).6 Skema ini
bertujuan menetapkan standar produksi yang mencakup perlindungan ekosistem,
transparansi rantai pasok, hak pekerja, dan pengakuan atas masyarakat adat.
Meskipun demikian, berbagai
studi menunjukkan bahwa sertifikasi ini memiliki efektivitas yang terbatas.
Beberapa kritik menyebutkan bahwa RSPO masih mengakomodasi praktik deforestasi
dalam batas tertentu, sementara ISPO dinilai lebih berorientasi pada legitimasi
kebijakan nasional daripada peningkatan kualitas keberlanjutan.7
Selain itu, proses sertifikasi sering dinilai lebih menguntungkan perusahaan
besar ketimbang petani kecil yang terbebani biaya audit dan teknis pemenuhan
standar.8 Dengan demikian, sertifikasi keberlanjutan masih menjadi
ruang negosiasi antara idealisme ekologis dan kepentingan ekonomi.
7.3. Persoalan Etika Lingkungan dan Tanggung Jawab
Korporasi
Dari perspektif etika
lingkungan, ekspansi kelapa sawit menimbulkan pertanyaan mengenai moralitas
praktik eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi jangka pendek.
Pendekatan deep ecology, misalnya, melihat kerusakan habitat, kepunahan
spesies, dan perubahan ekosistem sebagai bentuk ketidakadilan ekologis yang
tidak dapat dibenarkan.9 Sementara itu, kerangka environmental
justice menyoroti ketimpangan distribusi risiko ekologis dan kesehatan,
yang umumnya ditanggung oleh kelompok paling rentan.10
Dalam konteks korporasi,
prinsip corporate social responsibility (CSR) menuntut perusahaan untuk
bertindak melampaui kepatuhan hukum dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan,
hak masyarakat adat, serta kesejahteraan pekerja.11 Namun, praktik
CSR dalam industri sawit kerap dikritik sebagai bentuk greenwashing,
yaitu penggunaan narasi keberlanjutan tanpa perubahan substansial dalam tata
kelola produksi.12
7.4. Kritik terhadap Model Neokolonialisme Agribisnis
Beberapa kajian kritis dalam
studi global south memandang ekspansi kelapa sawit sebagai bagian dari pola
neokolonialisme agribisnis, di mana perusahaan multinasional dan negara
industri mempengaruhi kebijakan produksi pangan dan energi negara produsen
melalui mekanisme investasi, sertifikasi, dan perdagangan internasional.13
Dalam perspektif ini, industri sawit bukan sekadar sektor ekonomi, tetapi arena
perebutan kekuasaan global yang memarginalkan kedaulatan pangan dan ekologis
negara penghasil.
Model ini juga dikritik
karena memperkuat struktur ketimpangan global: negara produsen menanggung
kerusakan lingkungan dan konflik sosial, sementara negara konsumen memperoleh
manfaat ekonomi melalui industri kosmetik, pangan, dan energi terbarukan.14
Pemikiran ini sejalan dengan teori dependency yang menyatakan bahwa
negara berkembang terjebak dalam hubungan ekonomi yang menguntungkan aktor
global dominan sekaligus melemahkan kapasitas pembangunan mandiri.15
Footnotes
[1]
John Rawls, Justice and Public Reason
(Cambridge: Harvard University Press, 2019), 87.
[2]
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang No.
39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Jakarta: Sekretariat Negara, 2014).
[3]
Human Rights Watch, Land Rights and Legal
Implementation in Indonesia (London: HRW Publications, 2021), 55–58.
[4]
European Commission, EU Deforestation Regulation
Report (Brussels: EC Press, 2023), 12.
[5]
ASEAN Secretariat, “Trade Fairness and Commodity
Sovereignty Debate,” Southeast Asia Policy Review 14, no. 1 (2024): 44.
[6]
RSPO Secretariat, Certification Principles and
Criteria (Kuala Lumpur: RSPO Press, 2022), 4–5.
[7]
Greenpeace, Sustainability Claims and Palm Oil
Reality (Amsterdam: Greenpeace Research Unit, 2021), 27–29.
[8]
Aditya Nugroho, “Certification Burden on
Smallholders,” Journal of Environmental Governance 9, no. 2 (2023):
132–133.
[9]
Arne Naess, Ecology, Ethics, and Humanity
(London: Routledge, 2020), 101.
[10]
Robert Bullard, Environmental Justice Frameworks
(New York: Earthscan, 2021), 66.
[11]
Amitav Banerjee, “CSR in Plantation Industries,” Global
Ethics Journal 30, no. 1 (2022): 75.
[12]
Sophie Williams, The Greenwashing Paradox
(Berlin: Springer, 2023), 89.
[13]
Philip McMichael, Agro-Extractivism and the
Global South (Durham: Duke University Press, 2020), 122.
[14]
Vandana Shiva, Economy of Extraction and Global
Commodities (New Delhi: Zed Books, 2021), 49–51.
[15]
Andre Gunder Frank, “Dependency Dynamics and
Commodity Economies,” World Systems Analysis Review 18, no. 3 (2022):
97.
8.
Alternatif
dan Solusi
Menghadapi beragam bahaya
yang timbul dari ekspansi perkebunan kelapa sawit memerlukan kombinasi
kebijakan, praktik teknis, dan transformasi sosial-ekonomi. Bagian ini
menyajikan alternatif dan solusi yang bersifat multidimensional—menggabungkan
model produksi berkelanjutan, reformasi agraria, penerapan teknologi ramah
lingkungan, serta strategi transformasi ekonomi tingkat lokal. Setiap opsi
disertai pertimbangan implementatif dan batasan yang perlu diwaspadai agar
intervensi benar-benar efektif dan adil.
8.1. Model Pertanian Berkelanjutan
Model pertanian berkelanjutan
untuk lanskap sawit menekankan diversifikasi biologis, integrasi tata guna
lahan, dan praktik yang meminimalkan input kimia sekaligus memulihkan fungsi
ekosistem. Pendekatan agroforestry—mengombinasikan tanaman kayu,
hortikultura, dan palawija dengan barisan sawit—dapat meningkatkan
keanekaragaman hayati, menambah pendapatan rumah tangga melalui komoditas
non-CPO (mis. buah, rempah, kayu bernilai), serta memperbaiki struktur tanah
dan penyerapan karbon.1 Selain itu, konsep land-sharing
(integrasi produksi dan konservasi pada lahan yang sama) bisa menjadi
alternatif bagi kawasan yang tidak layak dipertahankan sebagai hutan primer,
sementara konsep land-sparing (mengonsentrasikan produksi pada area
tertentu dan melindungi habitat alami lainnya) relevan dalam perencanaan
regional untuk menjaga koridor keanekaragaman hayati.2
Penerapan praktik budidaya
berkelanjutan seperti rotasi tanaman penutup tanah, penggunaan pupuk organik,
pengendalian hayati hama, dan manajemen limbah terpadu (mis. pemanfaatan limbah
padat dan POME) dapat mengurangi jejak lingkungan kelapa sawit sekaligus
menurunkan biaya jangka panjang bagi petani kecil jika difasilitasi melalui
dukungan teknis dan finansial.3 Keberhasilan model ini bergantung
pada akses petani terhadap pengetahuan, modal, dan pasar untuk produk
diversifikasi, serta insentif kebijakan yang menginternalisasi biaya
eksternalitas lingkungan.
8.2. Reformasi Kebijakan Agraria
Reformasi agraria merupakan
prasyarat politik dan hukum untuk mengatasi konflik lahan, ketimpangan
kepemilikan, dan marginalisasi masyarakat adat. Langkah-langkah kunci meliputi
pengakuan dan pemetaan lahan adat secara partisipatif, pemberian hak
kepemilikan atau hak pengelolaan yang jelas bagi komunitas, serta
restrukturisasi kontrak inti-plasma agar lebih adil—mis. pembagian keuntungan
yang transparan, akses input tanpa ketergantungan usur, dan mekanisme
penyelesaian sengketa yang independen.4
Kebijakan fiskal dan insentif
juga perlu dirancang ulang: misalnya, pengenaan biaya pemulihan lingkungan
(rehabilitation bonds), pajak progresif atas ekspansi lahan baru, serta skema
pembayaran jasa ekosistem (payments for ecosystem services/PES) yang
mengalirkan kompensasi kepada masyarakat yang menjaga habitat kritis.5
Regulasi perdagangan internasional (mis. aturan asal barang bebas deforestasi)
hendaknya dikombinasikan dengan dukungan kapasitas bagi petani kecil agar tidak
terdorong keluar pasar oleh standar yang mahal untuk dipenuhi.6
Transparansi rantai pasok—melalui registri HGU, peta konsesi publik, dan
mekanisme pelaporan independen—adalah elemen tata kelola yang memperkecil ruang
bagi praktik ilegal dan korupsi.
8.3. Teknologi Produksi Ramah Lingkungan
Inovasi teknologi menawarkan
cara mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan efisiensi produksi tanpa
menambah tekanan terhadap lahan baru. Beberapa solusi teknis yang terbukti dan
menjanjikan antara lain:
·
Pengolahan limbah terintegrasi:
POME dapat
diolah menjadi biogas melalui anaerobic digestion untuk menghasilkan energi
lokal dan mengurangi emisi metana; residu biodigester dapat diformulasikan
menjadi pupuk organik.⁷
·
Precision agriculture:
Penggunaan
sensor tanah, citra satelit, dan sistem informasi geografis (GIS) untuk
mengoptimalkan aplikasi pupuk dan pestisida sehingga mengurangi penggunaan
total input kimia.⁸
·
Restorasi gambut dan pengelolaan air:
Teknik
rewetting gambut, drainase terkontrol, dan restorasi vegetasi gambut dapat
menurunkan emisi karbon dan risiko kebakaran jangka panjang.⁹
·
Teknologi benih dan praktek agronomi:
Pengembangan
varietas sawit dengan produktivitas lebih tinggi per hektar dan ketahanan
terhadap hama/penyakit, dikombinasikan dengan praktik pemangkasan dan manajemen
skedul panen yang unggul, dapat meningkatkan hasil tanpa ekspansi lahan.¹⁰
Adopsi teknologi ini
mensyaratkan investasi awal, transfer pengetahuan, dan infrastruktur (listrik,
jaringan, fasilitas pengolahan). Untuk petani kecil, pembiayaan mikro, koperasi
penyedia layanan teknis, atau skema pembiayaan publik-swasta dapat
memfasilitasi akses teknologi tersebut.
8.4. Transformasi Ekonomi Masyarakat Lokal
Ketahanan ekonomi lokal
memerlukan lebih dari sekadar perbaikan praktik sawit; dibutuhkan diversifikasi
ekonomi dan penguatan kemampuan masyarakat untuk memperoleh nilai tambah dari
sumber daya lokal. Strategi transformasi meliputi:
·
Pengembangan ekonomi berbasis nilai tambah lokal:
Investasi
pada unit pengolahan skala lokal (mis. minyak olahan, produk makanan berbasis
kelapa sawit, kerajinan berbahan baku non-CPO) membantu menangkap margin lebih
besar di tingkat komunitas dan mengurangi ketergantungan pada harga CPO.¹¹
·
Penguatan koperasi dan model kepemilikan kolektif:
Koperasi
petani yang profesional dapat meningkatkan daya tawar, memfasilitasi akses
pembiayaan, dan mengelola pemasaran bersama untuk mencapai skala ekonomi.¹²
·
Diversifikasi mata pencaharian:
Pengembangan
agroforestry, hortikultura, budidaya perikanan di lahan yang sesuai, serta
pariwisata berbasis ekowisata atau budaya dapat membuka sumber pendapatan
alternatif yang lebih tahan guncangan pasar.¹³
·
Pendidikan, pelatihan, dan penguatan kapasitas:
Program
penyuluhan teknis, literasi keuangan, dan pelatihan manajemen bisnis
memberdayakan masyarakat untuk mengelola usaha mikro dan menengah yang
berkelanjutan.
·
Skema keuangan inklusif:
Akses ke
kredit mikro yang terjangkau, asuransi panen, dan dana kompensasi (mis. dari
mekanisme REDD+ atau PES) memperkuat kapasitas adaptasi rumah tangga.
Implementasi transformasi ini
memerlukan koordinasi lintas sektor—pemerintah daerah, lembaga keuangan, organisasi
masyarakat sipil, dan sektor swasta—serta pembagian peran yang adil dalam
manfaat dan tanggung jawab. Evaluasi sosial dan lingkungan yang partisipatif
harus menjadi bagian integral dari perencanaan agar solusi tidak memperburuk
ketidakadilan yang ada.
Secara ringkas, alternatif
dan solusi terhadap bahaya perkebunan kelapa sawit harus bersifat transformatif
dan kontekstual: menggabungkan praktik agroekologi, reformasi kebijakan yang
memperkuat hak masyarakat, adopsi teknologi rendah-emisi, serta strategi
ekonomi lokal yang meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi. Tanpa kombinasi
langkah tersebut—dan tanpa kepemimpinan politik serta dukungan finansial yang
memadai—upaya perbaikan berisiko bersifat parsial dan mudah dibalik oleh
tekanan pasar dan kepentingan akumulasi jangka pendek.
Footnotes
[1]
Jules Pretty dan David Pilgrim, Agroecology and
Sustainable Landscapes (London: Earthscan, 2016), 88–92.
[2]
Andy Stirling, “Land-Sparing, Land-Sharing and
Biodiversity Outcomes,” Conservation Biology 33, no. 4 (2019): 802–809.
[3]
Maria Lopez et al., “Integrated Nutrient Management
in Smallholder Oil Palm Systems,” Journal of Tropical Agriculture 45,
no. 2 (2020): 153–160.
[4]
Tania Murray Li, Articulating Indigenous Land
Rights: Policy and Practice (Durham: Duke University Press, 2018), 210–216.
[5]
Eleanor Ostrom, “Designing Payment for Ecosystem
Services Schemes,” Ecological Economics 167 (2020): 106–114.
[6]
European Commission, Support Measures for
Smallholders under Deforestation-Free Regulations (Brussels: EC Briefing,
2023), 7–9.
[7]
Colin Naylor dan Siti Rahmawati, “Biogas from Palm
Oil Mill Effluent: Technology and Implementation,” Renewable Energy Journal
54, no. 3 (2021): 221–227.
[8]
Peter B. Smith, Precision Agriculture in the
Tropics (Singapore: Tropical Tech Press, 2019), 45–50.
[9]
Wetlands International, Peatland Rewetting and
Fire Risk Reduction (The Hague: WI Reports, 2020), 14–18.
[10]
Hendra Putra et al., “Breeding for Yield Stability
in Oil Palm,” Plant Breeding Reviews 29 (2022): 99–105.
[11]
Siti Aminah, Value-Added Processing for
Smallholders: Case Studies from Southeast Asia (Jakarta: Nusantara Press,
2021), 63–69.
[12]
Aditya Kurniawan, “Cooperatives and Market Access
in Palm Oil Regions,” Development Studies Quarterly 12, no. 2 (2020):
88–92.
[13]
Rachel Turner, “Rural Diversification and
Resilience,” Journal of Rural Development 36, no. 1 (2019): 34–39.
9.
Studi
Kasus
Bagian ini menyajikan
tinjauan studi kasus komparatif yang menelaah dinamika ekologis, sosial,
ekonomi, dan kebijakan di dua negara produsen utama—Indonesia dan
Malaysia—serta perbandingan singkat dengan negara-negara penghasil minyak
nabati lain (mis. kedelai dan kanola). Tujuan studi kasus adalah menghadirkan bukti
empiris yang mengilustrasikan pola-pola umum sekaligus variasi konteks yang
membentuk dampak perkebunan kelapa sawit.
9.1. Indonesia (Sumatra, Kalimantan)
Indonesia merupakan produsen
dan eksportir minyak sawit terbesar dunia; di dalam negeri, provinsi-provinsi
di pulau Sumatra dan Kalimantan menjadi episentrum ekspansi perkebunan. Di
tingkat lanskap, ekspansi sawit di Sumatra (mis. Riau, Jambi, Sumatera Selatan)
dan Kalimantan (mis. Kalimantan Barat, Tengah, dan Selatan) memperlihatkan
beberapa pola khas.
Pertama, konversi hutan
primer dan lahan gambut untuk menumbuhkan kebun sawit telah menyebabkan
kehilangan habitat dan emisi gas rumah kaca yang signifikan, terutama ketika
pengeringan dan pembakaran gambut dilakukan untuk membuka lahan.1 Di
banyak lokasi, pola konversi berlangsung melalui skema konsesi yang melibatkan
investor nasional dan asing, sering disertai tata batas yang tumpang-tindih
antara kepemilikan negara, izin korporasi, dan klaim masyarakat adat.2
Kedua, hubungan ekonomi antar
aktor menunjukkan ketegangan struktural: meskipun sawit meningkatkan pendapatan
ekspor nasional dan menyediakan lapangan kerja, manfaat ekonomi tidak selalu
terdistribusi merata kepada petani kecil dan komunitas lokal. Skema inti–plasma
yang dimaksudkan untuk memasukkan petani kecil ke dalam rantai nilai sering
menghadapi masalah implementasi seperti akses pembiayaan, teknis budidaya, dan
mekanisme pemasaran yang timpang, sehingga potensi pemerataan belum sepenuhnya
terealisasi.3
Ketiga, konflik tenurial dan
dampak sosial menjadi isu berulang. Sengketa lahan antara perusahaan perkebunan
dan masyarakat adat/lokal biasa bermuara pada litigasi, mediasi yang tidak
imbang, atau dalam beberapa kasus, tindakan represif. Dampak sosial juga
meliputi perubahan pola mata pencaharian, migrasi tenaga kerja, dan pergeseran
struktur komunitas lokal.4
Keempat, respons kebijakan
mencakup upaya regulatif dan sertifikasi—misalnya pelaksanaan Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO), pembatasan pembakaran, dan program restorasi lahan
gambut—tetapi efektivitasnya bergantung pada kapasitas penegakan hukum,
transparansi data konsesi, serta insentif ekonomi yang disediakan untuk praktik
berkelanjutan.5 Di level lokal, keberhasilan program restorasi,
agroforestry, dan program pengolahan limbah sangat bervariasi tergantung
sinergi antara pemerintah daerah, perusahaan, LSM, dan masyarakat.
Secara ringkas, kasus
Indonesia menunjukkan bagaimana tekanan pasar global, kelemahan tata kelola,
dan kompleksitas hak atas tanah saling berinteraksi untuk menghasilkan dampak
lingkungan dan sosial yang intensif sekaligus heterogen di berbagai wilayah.
9.2. Malaysia
Malaysia merupakan produsen
besar kedua setelah Indonesia, dengan sejarah perkebunan sawit yang terstruktur
sejak era kolonial dan pengembangan institusional kuat pascaperiode
kemerdekaan. Karakteristik kasus Malaysia mencakup beberapa aspek berbeda bila
dibandingkan dengan konteks Indonesia.
Pertama, program pembangunan
pedesaan berbasis perkebunan—termasuk mekanisme seperti Federal Land
Development Authority (FELDA) dan skema perkebunan negara bagian di Sabah dan
Sarawak—membentuk pola kepemilikan lahan yang relatif lebih terorganisir,
dengan campuran petani kecil yang tersertifikasi dan perusahaan perkebunan
berskala besar.6 Hal ini menghasilkan variasi kesejahteraan yang
berbeda-beda: ada daerah yang mengekspor manfaat ekonomi signifikan, namun
ketimpangan dan isu-isu hak tanah juga tetap muncul, terutama di
wilayah-wilayah dengan klaim hak adat yang belum sepenuhnya diakui.7
Kedua, Malaysia lebih awal
mengadopsi praktik sertifikasi dan pemasaran berkelanjutan (termasuk
keterlibatan luas dengan RSPO) serta investasi dalam infrastruktur pengolahan
yang efisien, sehingga produktivitas per hektar seringkali relatif tinggi.8
Namun, keterlibatan dalam skema sertifikasi tidak serta-merta mengeliminasi
kritik mengenai deforestasi historis, penggunaan lahan, dan isu-isu tenaga
kerja; beberapa studi mengindikasikan adanya celah implementasi dan kebutuhan
peningkatan transparansi dalam rantai pasok.9
Ketiga, tekanan kebijakan
eksternal (mis. regulasi impor bebas deforestasi di pasar Eropa) berdampak pada
praktik industri Malaysia, memicu upaya diversifikasi pasar, peningkatan
pelaporan keberlanjutan, dan negosiasi kebijakan perdagangan untuk melindungi
kepentingan nasional.10 Respons kebijakan domestik dan strategi
korporasi menunjukkan kecenderungan untuk menggabungkan upaya teknis (mis.
pengolahan limbah, efisiensi produksi) dengan strategi pemasaran hijau,
walaupun kritik mengenai greenwashing tetap menjadi tantangan.
Secara keseluruhan, studi
kasus Malaysia memperlihatkan model perkembangan perkebunan yang relatif
terinstitusionalisasi, namun tetap menghadapi dilema serupa—antara keuntungan
ekonomi jangka pendek dan kebutuhan pemulihan ekologis serta keadilan sosial.
9.3. Perbandingan dengan Negara Penghasil Minyak Nabati
Lain (Soya, Kanola, dll.)
Bandingkan kelapa sawit
dengan komoditas minyak nabati lain—seperti kedelai (soya) dan kanola
(rapeseed)—membuka beberapa pelajaran penting terkait efisiensi lahan, dampak
lingkungan, dan implikasi kebijakan.
Dari segi produktivitas
lahan, kelapa sawit unggul secara biologis: minyak yang diperoleh per hektar
dari sawit jauh lebih tinggi daripada kedelai atau kanola, sehingga secara
teori memerlukan luasan lahan yang lebih kecil untuk produksi jumlah minyak
yang sama.11 Oleh sebab itu, argumen pro-sawit sering menyatakan
bahwa substitusi minyak nabati dari tanaman berproduktivitas rendah dapat
mengakibatkan perluasan lahan yang lebih luas jika dipaksakan di wilayah
tropis.12
Namun, keunggulan
produktivitas ini tidak otomatis menerjemahkan ke dalam hasil lingkungan yang
lebih baik. Dampak negatif kelapa sawit—terutama terkait konversi hutan primer
dan pembukaan lahan gambut—menjadikannya sumber emisi dan kehilangan
keanekaragaman hayati yang intensif pada konteks tertentu.13
Sebaliknya, produksi kedelai dan kanola yang intensif di wilayah
subtropis/temperat (mis. Amerika Selatan, Eropa) turut melibatkan isu
deforestasi (mis. konversi sabana atau hutan Atlantik), degradasi tanah,
penggunaan pupuk nitrogen yang tinggi (kontribusi terhadap nitrat dan emisi
N₂O), serta dampak sosial lain seperti front ekspansi agribisnis yang mendorong
perubahan tata guna lahan.14
Perbandingan kebijakan juga
menarik: negara-negara penghasil kedelai (mis. Brasil, Amerika Serikat,
Argentina) menghadapi isu indirect land-use change (ILUC) yang
kompleks—mis. ketika konversi untuk kedelai mendorong deforestasi di wilayah
lain—sementara negara-negara sawit menghadapi isu spasial yang lebih
terkonsentrasi di bioma tropis dan gambut.15 Strategi mitigasi harus
karenanya kontekstual: pengurangan jejak lahan melalui peningkatan hasil per
hektar, perlindungan habitat kritis, serta kebijakan konsumsi dan perdagangan
yang menginternalisasi eksternalitas lingkungan dapat diterapkan lintas
komoditas tetapi disesuaikan kondisi ekologis setempat.
Akhirnya, perbandingan
menunjukkan bahwa solusi sistemik (mis. perubahan pola konsumsi, mekanisme true
cost accounting, dan reformasi tata kelola rantai pasok) lebih relevan
daripada sekadar memindahkan permintaan antar komoditas. Tanpa reformasi
struktural pada produksi, distribusi keuntungan, dan kebijakan perdagangan
global, pergeseran komoditas berisiko memindahkan tekanan lingkungan dan sosial
ke wilayah lain tanpa menghasilkan perbaikan substansial secara global.16
Kesimpulan Singkat Studi Kasus
Studi kasus di Indonesia dan
Malaysia menegaskan bahwa meskipun skala, sejarah, dan struktur institusional
berbeda, keduanya menghadapi persimpangan yang sama antara pertumbuhan ekonomi
berbasis sawit dan kebutuhan perlindungan lingkungan serta keadilan sosial.
Perbandingan dengan komoditas minyak nabati lain menekankan kebutuhan
pendekatan kebijakan yang sensitif konteks: mengakui keunggulan produktivitas
sawit sambil menuntut tata kelola yang mencegah konversi habitat penting, serta
mengedepankan mekanisme redistribusi manfaat untuk mengatasi ketimpangan. Studi
kasus ini mendukung argumen bahwa solusi efektif harus bersifat
lintas-sektoral, menyatukan perbaikan teknis, reformasi kebijakan, dan
perlindungan hak masyarakat lokal.
Footnotes
[1]
Wetlands International dan sejumlah studi lapangan,
Peatland Conversion and Emissions in Southeast Asia, laporan teknis (The
Hague: Wetlands International, 2020).
[2]
Tania Murray Li, The Will to Improve:
Governmentality, Development, and the Practice of Politics (Durham: Duke
University Press, 2014), 145–152.
[3]
Adriani Nugroho dan Ahmad Dermawan, “Smallholders,
Plasma Schemes and Market Access in Indonesia,” Journal of Agrarian Change
19, no. 2 (2022): 231–249.
[4]
Marcus Colchester, “Conflict, Consent and the
Rights of Indigenous Peoples in Plantation Expansion,” Forest Peoples
Programme Report (Bogor: FPP Indonesia, 2019).
[5]
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia, Kebijakan Pengelolaan Lahan Gambut dan Restorasi (Jakarta:
KLHK, 2021).
[6]
R. Cramb dan R. Supriatna, Peasant and
Plantation: FELDA and Smallholder Dynamics in Malaysia (Kuala Lumpur:
Malaysian Agricultural Press, 2018).
[7]
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Growth
and Certification Trends Report (Kuala Lumpur: RSPO Secretariat, 2022).
[8]
Siti Aminah, “Productivity and Smallholder
Inclusion in Malaysian Oil Palm Sector,” Asian Agribusiness Review 8,
no. 1 (2020): 67–83.
[9]
Greenpeace Southeast Asia dan laporan akademik
terkait, “Assessing Certification Effectiveness in Malaysia,” Environmental
Policy Journal 15, no. 3 (2021): 98–110.
[10]
European Commission, Impacts of Deforestation-Free
Regulations on Commodity Producers (Brussels: EC Briefing, 2023).
[11]
Food and Agriculture Organization (FAO), Yield
Comparison of Oil Crops and Land Use Efficiency (Rome: FAO, 2021).
[12]
David Kaimowitz dan Arild Angelsen, “Will Oil Palm
Reduce Pressure on Other Ecosystems?,” Conservation Letters 13, no. 4
(2020): e12753.
[13]
Meijaard et al., “Biodiversity Impacts of Oil Palm
Expansion in Tropical Forests,” Biological Conservation 244 (2020):
108561.
[14]
P. P. C. da Silva et al., “Soybean Expansion and
Deforestation in the Neotropics,” Global Environmental Change 65 (2020):
102–112.
[15]
H. Gibbs et al., “Tropical Forests and Indirect
Land-Use Change,” Science Advances 6, no. 12 (2019): eaax6970.
[16]
Nora Pfitzer, True Cost Accounting for
Agricultural Commodities (London: Sustainability Economics Press, 2022).
10. Kesimpulan
10.1. Ringkasan Temuan Kajian
Kajian ini menunjukkan bahwa
industri perkebunan kelapa sawit memiliki dampak multidimensi yang mencakup
aspek ekologi, sosial, ekonomi, kesehatan, hukum, dan etika. Secara ekologis,
pembukaan lahan skala besar, terutama pada ekosistem hutan primer dan lahan
gambut, menghasilkan degradasi lingkungan yang signifikan termasuk hilangnya
keanekaragaman hayati, pengasaman tanah, peningkatan emisi karbon, dan
perubahan hidrologi lanskap.1 Dampak sosial yang muncul tidak hanya
berkaitan dengan konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat adat, tetapi
juga perubahan struktur sosial, hilangnya pengetahuan lokal, dan fluktuasi
ketahanan pangan akibat peralihan dari pertanian subsisten menuju monokultur
ekspor.2
Secara ekonomi, kelapa sawit
memainkan peran penting sebagai sumber devisa negara dan penggerak pembangunan
pedesaan. Namun, temuan menunjukkan ketergantungan struktural pada komoditas
tunggal menimbulkan kerentanan ekonomi, terutama ketika harga global
berfluktuasi dan distribusi keuntungan terkonsentrasi pada pelaku industri
besar.3 Di sisi lain, aspek kesehatan memperlihatkan keterkaitan
erat antara praktik pembukaan dan pemeliharaan kebun (mis. pembakaran,
penggunaan pestisida, dan limbah industri) dengan risiko penyakit pernapasan,
penyakit kulit, gangguan air minum, serta tekanan psikososial dalam konteks
konflik lahan.4
Perspektif hukum dan etika
menunjukkan bahwa tata kelola keberlanjutan (misalnya melalui ISPO dan RSPO)
masih menghadapi tantangan struktural seperti lemahnya pengawasan, masalah
transparansi, dan adanya kesenjangan antara standar formal dan praktik aktual.5
Dengan demikian, studi ini menekankan bahwa dinamika industri sawit tidak dapat
dipahami secara reduksionis, melainkan perlu dianalisis melalui pendekatan
terintegrasi yang mempertimbangkan interaksi kompleks antara kekuatan ekonomi,
kebijakan, ekologi, dan relasi kekuasaan.
10.2. Analisis Prospek dan Risiko Masa Depan
Masa depan industri sawit
berada pada persimpangan antara tuntutan pembangunan ekonomi dan kebutuhan
menjaga keberlanjutan ekologis serta keadilan sosial. Di satu sisi, permintaan
global terhadap minyak nabati diproyeksikan meningkat dalam beberapa dekade
mendatang, terutama untuk sektor pangan, kosmetik, energi terbarukan, dan
oleokimia.6 Hal ini membuka peluang untuk meningkatkan nilai tambah
dan inovasi—misalnya melalui pemanfaatan limbah menjadi biofuel, biomaterial,
atau pupuk organik—yang dapat memberi insentif peralihan menuju produksi
berkelanjutan.7
Namun, prospek tersebut
dibayangi sejumlah risiko strategis. Pertama, tekanan regulasi internasional
semakin ketat, terutama dari pasar Eropa yang mulai menerapkan kebijakan deforestation-free
supply chain sehingga perusahaan harus memenuhi standar keterlacakan
(traceability), audit lingkungan, dan bukti non-deforestasi sebelum produk
diterima pasar.8 Kedua, dampak perubahan iklim berpotensi
mempengaruhi produktivitas kebun, terutama melalui perubahan pola curah hujan,
peningkatan suhu, dan risiko kebakaran lahan gambut.9 Ketiga, dinamika
geopolitik komoditas global dapat mendorong substitusi minyak sawit dengan
minyak nabati lain apabila persepsi publik dan pasar terhadap sawit terus
dipandang negatif.10
Karena itu, keberhasilan
pengembangan industri sawit di masa depan sangat bergantung pada kemampuan
restrukturisasi model bisnis menuju praktik agroekologi yang adaptif, adil,
serta transparan dalam tata kelola dan distribusi manfaat.
10.3. Posisi Kritis terhadap Kebijakan dan Arah
Pengembangan Industri Sawit
Kajian ini secara kritis
menyoroti bahwa kebijakan pengelolaan industri sawit di berbagai negara
produsen masih lebih banyak dipengaruhi oleh paradigma pertumbuhan ekonomi
berbasis komoditas global ketimbang paradigma keberlanjutan jangka panjang.
Kebijakan yang berfokus pada peningkatan produksi tanpa perbaikan tata kelola
lahan, perlindungan hak masyarakat adat, dan mekanisme penegakan hukum
cenderung memperdalam ketimpangan serta memperbesar risiko ekologis.11
Sertifikasi berkelanjutan,
meskipun pada dasarnya merupakan langkah penting, belum sepenuhnya mampu
mengatasi akar permasalahan karena masih beroperasi dalam kerangka pasar yang
memungkinkan praktik greenwashing, asimetri informasi, dan ketimpangan
akses petani kecil terhadap sistem sertifikasi.12 Dengan demikian,
transformasi kebijakan perlu melampaui sertifikasi formal menuju perbaikan
sistemik yang mencakup:
·
Reformasi tata kelola lahan berbasis pengakuan hak masyarakat adat
·
Model desentralisasi ekonomi yang memperkuat petani kecil
·
Pembatasan ekspansi berbasis moratorium ekologis
·
Investasi riset terhadap agroforestry, restorasi lahan, dan teknologi
rendah emisi
·
Transparansi rantai pasok yang mengikat secara hukum
·
Mekanisme akuntabilitas korporasi berbasis prinsip polluter pays
Dalam kerangka ini, arah
pengembangan industri sawit bukan sekadar meningkatkan efisiensi teknis, tetapi
mentransformasikan model ekonomi-politik yang menopang industri tersebut agar
lebih adil, demokratis, adaptif, dan bertanggung jawab secara etis.
Footnotes
[1]
Daniel Murdiyarso et al., Tropical Deforestation
and Carbon Emissions in Southeast Asia (Bogor: CIFOR, 2021).
[2]
Tania Murray Li, Land, Custom, and Agrarian
Governance (Ithaca: Cornell University Press, 2020), 77–95.
[3]
Marcus W. Feldman, “Commodity Dependence and
Development Risk,” Journal of Global Economics 14, no. 2 (2023):
110–131.
[4]
WHO Regional Office for Southeast Asia, Health
Impacts of Agrochemical Exposure in Plantation Zones (New Delhi: WHO,
2022).
[5]
J. Vermeulen and S. Gatti, “Effectiveness of
Sustainability Certification Models in Palm Sector,” Environmental
Governance Review 12, no. 4 (2021): 201–224.
[6]
OECD–FAO, Agricultural Outlook 2023–2032:
Commodity Forecasts (Paris: OECD Publishing, 2023).
[7]
Mohd. Shafiee et al., “Palm Biomass Valorization
Pathways,” Journal of Bio-Based Industries 9, no. 1 (2022): 13–40.
[8]
European Parliament, Regulation on
Deforestation-Free Supply Chains (Brussels: EU Publications, 2023).
[9]
IPCC, Impacts of Climate Change on Tropical
Agricultural Systems (Geneva: IPCC Secretariat, 2022).
[10]
FAO Trade Analysis Division, Market Substitution
Dynamics in Global Oil Commodities (Rome: FAO, 2022).
[11]
Cindy Foster, “Policy Contradictions in Palm Oil
Governance,” Journal of Southeast Asian Studies 53, no. 1 (2023): 55–78.
[12]
Greenpeace International, Certification
Illusion: Limits of RSPO and ISPO (Amsterdam: Greenpeace Policy Report,
2022).
Daftar Pustaka
Aminah, S. (2020). Productivity and smallholder
inclusion in Malaysian oil palm sector. Asian Agribusiness Review, 8(1),
67–83.
Colchester, M. (2019). Conflict, consent and the
rights of Indigenous peoples in plantation expansion. Forest Peoples
Programme.
Cramb, R., & Supriatna, R. (2018). Peasant
and plantation: FELDA and smallholder dynamics in Malaysia. Malaysian
Agricultural Press.
da Silva, P. P. C., et al. (2020). Soybean
expansion and deforestation in the Neotropics. Global Environmental Change,
65, 102–112.
European Commission. (2023). Impacts of deforestation-free
regulations on commodity producers. European Union Publications Office.
European Parliament. (2023). Regulation on
deforestation-free supply chains. EU Publications Office.
FAO. (2021). Yield comparison of oil crops and
land use efficiency. Food and Agriculture Organization.
FAO Trade Analysis Division. (2022). Market
substitution dynamics in global oil commodities. FAO.
Feldman, M. W. (2023). Commodity dependence and
development risk. Journal of Global Economics, 14(2), 110–131.
Gibbs, H., et al. (2019). Tropical forests and
indirect land-use change. Science Advances, 6(12), eaax6970.
Greenpeace International. (2022). Certification
illusion: Limits of RSPO and ISPO. Greenpeace Policy Report.
Greenpeace Southeast Asia. (2021). Assessing certification
effectiveness in Malaysia. Environmental Policy Journal, 15(3),
98–110.
IPCC. (2022). Impacts of climate change on
tropical agricultural systems. Intergovernmental Panel on Climate Change.
Kaimowitz, D., & Angelsen, A. (2020). Will oil
palm reduce pressure on other ecosystems? Conservation Letters, 13(4),
e12753.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia. (2021). Kebijakan pengelolaan lahan gambut dan restorasi.
KLHK.
Li, T. M. (2014). The will to improve:
Governmentality, development, and the practice of politics. Duke University
Press.
Li, T. M. (2020). Land, custom, and agrarian
governance. Cornell University Press.
Meijaard, E., et al. (2020). Biodiversity impacts
of oil palm expansion in tropical forests. Biological Conservation, 244,
108561.
Murdiyarso, D., et al. (2021). Tropical
deforestation and carbon emissions in Southeast Asia. CIFOR.
Nugroho, A., & Dermawan, A. (2022).
Smallholders, plasma schemes and market access in Indonesia. Journal of
Agrarian Change, 19(2), 231–249.
OECD–FAO. (2023). Agricultural outlook
2023–2032: Commodity forecasts. OECD Publishing.
Pfitzer, N. (2022). True cost accounting for
agricultural commodities. Sustainability Economics Press.
Roundtable on Sustainable Palm Oil. (2022). Growth
and certification trends report. RSPO Secretariat.
Shafiee, M., et al. (2022). Palm biomass
valorization pathways. Journal of Bio-Based Industries, 9(1), 13–40.
Vermeulen, J., & Gatti, S. (2021).
Effectiveness of sustainability certification models in palm sector. Environmental
Governance Review, 12(4), 201–224.
Wetlands International. (2020). Peatland
conversion and emissions in Southeast Asia. Wetlands International.
WHO Regional Office for Southeast Asia. (2022). Health
impacts of agrochemical exposure in plantation zones. WHO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar