Minggu, 30 November 2025

Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan: Antara Nilai, Etika, dan Tanggung Jawab Ilmiah

Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan

Antara Nilai, Etika, dan Tanggung Jawab Ilmiah


Alihkan ke: Aksiologi.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif dimensi aksiologis dalam ilmu pengetahuan, yakni aspek nilai, etika, dan tanggung jawab sosial yang melekat dalam proses produksi dan penerapan pengetahuan ilmiah. Berangkat dari kritik terhadap pandangan positivistik yang menganggap ilmu bersifat netral dan bebas nilai, kajian ini menekankan bahwa seluruh kegiatan ilmiah—dari pemilihan topik riset hingga dampaknya terhadap masyarakat—tidak dapat dilepaskan dari konteks moral, sosial, dan budaya. Melalui pendekatan interdisipliner dan analisis filosofis, artikel ini menjelaskan hubungan antara ilmu dan nilai, pentingnya etika ilmiah, serta urgensi tanggung jawab ilmuwan terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Sejumlah studi kasus, seperti Proyek Manhattan, pengeditan genetik CRISPR, serta respons ilmiah terhadap pandemi COVID-19, digunakan untuk menunjukkan bagaimana aksiologi ilmu berperan dalam menentukan arah dan makna perkembangan sains modern. Artikel ini juga menyoroti perlunya reformasi pendidikan sains yang berlandaskan nilai-nilai etis dan kemanusiaan sebagai fondasi ilmu yang beradab dan berkelanjutan. Kesimpulannya, aksiologi tidak hanya penting bagi filsafat ilmu, tetapi juga menjadi kunci dalam menjamin bahwa ilmu pengetahuan benar-benar melayani kehidupan dan bukan sebaliknya.

Kata Kunci: Aksiologi, ilmu pengetahuan, etika ilmiah, tanggung jawab ilmuwan, filsafat ilmu, nilai moral, pendidikan sains.


PEMBAHASAN

Nilai Etis dan Moral dalam Ilmu Pengetahuan


1.           Pendahuluan

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu pilar utama dalam peradaban manusia modern. Ia tidak hanya menjadi alat dalam memahami realitas alam, tetapi juga menjadi fondasi bagi pengembangan teknologi dan transformasi sosial. Namun, di balik objektivitas dan ketepatan metodologisnya, ilmu pengetahuan bukanlah entitas yang bebas nilai. Dalam prosesnya, ilmu senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek aksiologis, yakni nilai-nilai moral, sosial, dan kemanusiaan yang menyertainya.

Dalam struktur filsafat ilmu, terdapat tiga cabang utama: epistemologi (ilmu tentang pengetahuan), ontologi (ilmu tentang keberadaan), dan aksiologi (ilmu tentang nilai). Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam memahami hakikat ilmu pengetahuan secara utuh. Bila epistemologi menjelaskan bagaimana pengetahuan diperoleh dan ontologi membahas apa yang dapat diketahui, maka aksiologi mengkaji untuk apa ilmu digunakan dan nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya.¹ Dengan demikian, aksiologi berperan penting dalam menjembatani antara pengetahuan ilmiah dan tanggung jawab sosialnya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah tidak selalu steril dari motif-motif ideologis, politis, atau bahkan destruktif. Sejarah mencatat, misalnya, bagaimana ilmu fisika dikembangkan dalam Proyek Manhattan untuk menciptakan bom atom yang justru membawa malapetaka kemanusiaan di Hiroshima dan Nagasaki.² Di sinilah pentingnya dimensi aksiologi: ia menghadirkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan tidak cukup hanya benar secara metodologis, tetapi juga harus etis secara moral dan bertanggung jawab secara sosial.

Menurut Jürgen Habermas, ilmu tidaklah netral, karena sejak awal ia terbentuk dari kepentingan manusia yang beragam: teknis, praktis, dan emansipatoris.³ Pendapat ini menentang pandangan positivistik yang melihat ilmu sebagai aktivitas bebas nilai (value-free). Bahkan Helen Longino, dalam perspektif feminis kritis, menegaskan bahwa komunitas ilmiah secara tak langsung membawa serta nilai-nilai sosial dalam proses seleksi teori dan metodologi.⁴ Maka, penting untuk menyadari bahwa di dalam setiap formulasi teori, pemilihan topik penelitian, hingga publikasi hasil ilmiah, terdapat jejak-jejak nilai yang tidak selalu disadari.

Dalam konteks inilah, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam aspek aksiologis dalam ilmu pengetahuan. Pembahasan akan mencakup hubungan antara nilai dan ilmu, etika dalam praktik ilmiah, serta tanggung jawab ilmuwan terhadap masyarakat dan masa depan umat manusia. Dengan pendekatan interdisipliner, artikel ini mengajak pembaca untuk merefleksikan bagaimana nilai-nilai aksiologis semestinya menjadi bagian integral dalam setiap pengembangan ilmu.


Footnotes

[1]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 133.

[2]                Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb (New York: Simon & Schuster, 1986), 676–678.

[3]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–303.

[4]                Helen E. Longino, Science as Social Knowledge: Values and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1990), 76–78.


2.           Konsep Dasar Aksiologi

Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas secara sistematis mengenai nilai, baik yang bersifat etis (moral), estetis (keindahan), maupun nilai-nilai lain yang menjadi dasar dalam kehidupan manusia. Kata “aksiologi” berasal dari bahasa Yunani: axios yang berarti “layak” atau “bernilai”, dan logos yang berarti “ilmu” atau “kajian”. Dengan demikian, secara etimologis aksiologi adalah ilmu yang membahas tentang nilai.¹ Dalam konteks filsafat ilmu, aksiologi menempati posisi penting karena menyoal tujuan, manfaat, serta dimensi etis dan tanggung jawab dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

Menurut ahli filsafat K. Bertens, aksiologi tidak hanya terbatas pada pertanyaan "apa yang dianggap bernilai?", tetapi juga mencakup "mengapa sesuatu dianggap bernilai?" serta "bagaimana nilai itu memengaruhi tindakan manusia".² Oleh karena itu, aksiologi tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung erat dengan etika (nilai moral) dan estetika (nilai keindahan). Ketiga ranah ini menyusun keseluruhan perspektif nilai yang mewarnai cara manusia berinteraksi dengan dunia, termasuk dalam proses berpikir ilmiah.

Dalam filsafat ilmu, aksiologi menempati salah satu dari tiga landasan fundamental selain ontologi dan epistemologi. Ontologi menjawab pertanyaan tentang “apa yang ada?”, epistemologi menelaah “bagaimana kita mengetahui?”, sedangkan aksiologi menjawab pertanyaan “untuk apa pengetahuan itu digunakan?”³ Tanpa kajian aksiologis, ilmu pengetahuan berisiko menjadi instrumen yang netral secara moral, yang bisa diarahkan untuk tujuan konstruktif maupun destruktif, tergantung pada siapa yang menggunakannya dan dengan maksud apa.

Sebagai contoh, pemanfaatan teknologi nuklir dapat menjadi berkah jika digunakan untuk kepentingan medis atau energi, tetapi menjadi ancaman besar bila diarahkan untuk senjata pemusnah massal.⁴ Di sinilah letak urgensi kajian aksiologis dalam ilmu: ia menyadarkan bahwa nilai tidak hadir di luar ilmu, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari motivasi, proses, dan implikasi keilmuan itu sendiri.

Lebih lanjut, nilai-nilai dalam ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk: (1) nilai internal ilmu, seperti kejujuran ilmiah, keterbukaan terhadap kritik, dan objektivitas; dan (2) nilai eksternal, yaitu nilai-nilai sosial, budaya, politik, dan etika yang membentuk konteks di mana ilmu itu berkembang.⁵ Oleh karena itu, pemahaman terhadap aksiologi bukan hanya menambah wawasan filsafat, tetapi juga membentuk kesadaran etis dalam praktik keilmuan sehari-hari, baik dalam penelitian, pendidikan, maupun pengambilan kebijakan berbasis sains.


Footnotes

[1]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 133.

[2]                K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX (Jakarta: Gramedia, 2001), 321.

[3]                The Liang Gie, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Yogyakarta: Liberty, 1996), 17.

[4]                David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction (New York: Routledge, 1998), 14–16.

[5]                Larry Laudan, Science and Values: The Aims of Science and Their Role in Scientific Debate (Berkeley: University of California Press, 1984), 63–65.


3.           Relasi Aksiologi dan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan sering kali diposisikan sebagai sebuah aktivitas rasional yang bebas dari nilai. Pandangan ini khas dalam tradisi positivisme logis, yang berpendapat bahwa ilmu harus menjauhkan diri dari pertimbangan-pertimbangan normatif agar dapat mencapai objektivitas murni.¹ Namun, pendekatan tersebut telah banyak dikritik dalam perkembangan filsafat ilmu kontemporer karena mengabaikan kenyataan bahwa aktivitas ilmiah selalu berlangsung dalam konteks sosial, historis, dan kultural yang sarat nilai.

Aksiologi hadir untuk menyoroti bahwa nilai bukan hanya produk sampingan dari ilmu, tetapi merupakan bagian integral dari keseluruhan proses keilmuan—dari pemilihan topik, penyusunan hipotesis, penggunaan metode, hingga aplikasi hasil penelitian.² Menurut Larry Laudan, bahkan tujuan utama dari ilmu pengetahuan itu sendiri adalah aksiologis: yakni untuk menghasilkan teori-teori yang dapat menjelaskan dan memprediksi fenomena secara akurat dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.³

Dalam konteks ini, nilai-nilai internal dalam ilmu pengetahuan seperti kejujuran, objektivitas, keterbukaan terhadap kritik, dan ketekunan ilmiah, merupakan fondasi dari integritas keilmuan.⁴ Namun, nilai-nilai eksternal—seperti nilai-nilai moral, sosial, budaya, bahkan politik—juga memengaruhi bagaimana ilmu dikembangkan dan diarahkan. Misalnya, penelitian dalam bidang energi terbarukan sering kali didorong oleh nilai ekologis dan keberlanjutan yang berakar pada kepedulian terhadap masa depan planet ini. Sebaliknya, riset militer atau komersial bisa terdorong oleh nilai-nilai kuasa atau profit ekonomi yang berisiko mengabaikan dimensi kemanusiaan.

Helen Longino, dalam pendekatan feminisme epistemologis, menegaskan bahwa semua kegiatan ilmiah terjadi dalam jaringan nilai yang kompleks, dan objektivitas ilmiah hanya dapat dicapai melalui proses dialog yang terbuka dalam komunitas ilmiah yang pluralistik.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa nilai tidak meniadakan objektivitas, tetapi justru memperkaya dan mengarahkan objektivitas ke arah yang lebih bertanggung jawab dan manusiawi.

Lebih jauh lagi, nilai aksiologis dalam ilmu pengetahuan juga tampak dalam bagaimana hasil-hasil ilmu digunakan dalam kehidupan nyata. Misalnya, penerapan teknologi pengenalan wajah (facial recognition) dapat memberikan manfaat keamanan, namun sekaligus menimbulkan ancaman terhadap privasi dan kebebasan individu.⁶ Ini menegaskan bahwa pertimbangan aksiologis harus hadir dalam setiap fase pengembangan dan penerapan ilmu, agar ilmu tidak sekadar menjadi alat, tetapi juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan demikian, aksiologi tidak menafikan keilmuan, tetapi memberikan arah dan makna terhadap pengetahuan yang dihasilkan. Ilmu yang tidak disertai dengan pertimbangan nilai berisiko kehilangan relevansi moral dan sosialnya. Oleh karena itu, relasi antara aksiologi dan ilmu bukanlah hubungan subordinatif, melainkan relasi simbiosis yang saling memperkuat dalam membentuk ilmu yang bernilai secara epistemik dan bermartabat secara etis.


Footnotes

[1]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 41–43.

[2]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 139–141.

[3]                Larry Laudan, Science and Values: The Aims of Science and Their Role in Scientific Debate (Berkeley: University of California Press, 1984), 13–15.

[4]                David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction (New York: Routledge, 1998), 24–26.

[5]                Helen E. Longino, Science as Social Knowledge: Values and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1990), 76–82.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 219–223.


4.           Nilai Etis dan Moral dalam Kegiatan Ilmiah

Ilmu pengetahuan bukanlah kegiatan yang berlangsung dalam ruang hampa nilai. Ia senantiasa berinteraksi dengan pertimbangan-pertimbangan moral yang membentuk arah, metode, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia. Dalam konteks inilah etika ilmiah berperan sebagai perangkat normatif yang mengatur perilaku ilmuwan dan institusi keilmuan agar tetap berada dalam koridor tanggung jawab sosial, integritas, dan kemaslahatan umat manusia.¹

4.1.       Kejujuran Ilmiah dan Integritas Penelitian

Salah satu nilai fundamental dalam kegiatan ilmiah adalah kejujuran. Tanpa kejujuran, sains kehilangan kredibilitasnya. Bentuk pelanggaran etika seperti plagiarisme, fabrication (pemalsuan data), dan falsification (pengubahan data) merupakan ancaman serius terhadap integritas ilmiah.² Kasus manipulasi data yang terjadi dalam studi-studi medis, misalnya, tidak hanya merusak reputasi ilmuwan, tetapi juga dapat mengancam keselamatan pasien dan publik luas. Oleh karena itu, setiap peneliti wajib memegang prinsip scientific integrity sebagai landasan moral dalam praktik keilmuannya.³

Menurut David B. Resnik, integritas dalam sains mencakup tanggung jawab untuk menyampaikan hasil penelitian secara akurat, terbuka terhadap peninjauan ulang (peer review), serta menghormati kontribusi intelektual orang lain.⁴ Tanpa integritas, komunitas ilmiah tidak akan mampu membangun kepercayaan, yang merupakan modal sosial penting bagi kemajuan ilmu.

4.2.       Etika Penelitian terhadap Subjek Manusia dan Hewan

Kegiatan ilmiah yang melibatkan makhluk hidup, terutama manusia, membawa dimensi etis yang lebih kompleks. Dalam bidang biomedis, misalnya, prinsip-prinsip bioetika seperti respek terhadap otonomi, nonmaleficence (tidak mencelakakan), beneficence (memberi manfaat), dan keadilan, menjadi landasan moral bagi setiap eksperimen.⁵ Sejarah mencatat eksperimen tidak etis seperti Studi Tuskegee (1932–1972), di mana ratusan pria Afrika-Amerika penderita sifilis dibiarkan tanpa pengobatan hanya demi observasi ilmiah, sebagai pelanggaran etik berat yang menodai sejarah medis modern.⁶

Sejak itu, muncul berbagai kode etik internasional seperti Nuremberg Code (1947), Declaration of Helsinki (1964), dan Belmont Report (1979) yang menekankan pentingnya informed consent, perlindungan hak subjek, dan evaluasi etik yang ketat terhadap desain penelitian.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa dimensi moral dalam riset ilmiah tidak dapat dinegosiasikan, melainkan harus menjadi prioritas utama.

4.3.       Konflik Kepentingan dan Etika Publikasi

Nilai moral dalam ilmu juga menuntut kejelasan dan keterbukaan dalam mengelola conflict of interest, yaitu situasi di mana tujuan pribadi atau institusional berpotensi memengaruhi objektivitas ilmiah.⁸ Misalnya, dalam industri farmasi, ilmuwan yang dibiayai oleh perusahaan tertentu kadang menghadapi tekanan untuk menghasilkan data yang menguntungkan sponsor. Oleh karena itu, transparansi dalam pendanaan, afiliasi, dan kontribusi menjadi syarat mutlak dalam publikasi ilmiah yang etis.⁹

Etika publikasi juga menuntut pengakuan yang adil terhadap kontribusi, larangan duplikasi publikasi tanpa justifikasi, serta kewajiban melaporkan hasil secara jujur, termasuk hasil yang negatif atau tidak signifikan secara statistik.⁽¹⁰⁾ Dengan demikian, publikasi bukan hanya ajang eksistensi akademik, tetapi juga bentuk pertanggungjawaban ilmiah kepada masyarakat dan komunitas pengetahuan global.


Ilmuwan sebagai Agen Moral

Sebagai pelaku utama dalam dunia sains, ilmuwan tidak cukup hanya menjadi "penghasil fakta". Mereka juga adalah agen moral yang memiliki tanggung jawab terhadap implikasi sosial dan ekologis dari hasil temuan mereka. Menurut Hans Jonas dalam etika tanggung jawab (ethics of responsibility), semakin besar daya transformasi yang dimiliki oleh ilmu, semakin besar pula tanggung jawab moral yang harus ditanggung ilmuwan.¹¹

Dalam era teknologi tinggi seperti bioteknologi, kecerdasan buatan, dan eksplorasi luar angkasa, pertimbangan etis tidak dapat ditunda. Ilmu yang dijalankan tanpa kehati-hatian moral dapat berujung pada dehumanisasi, eksploitasi alam, dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, pendidikan sains di semua level perlu mengintegrasikan penguatan nilai etis sebagai bagian integral dari kurikulum.


Footnotes

[1]                David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction (New York: Routledge, 1998), 2–5.

[2]                Shamoo, Adil E., and David B. Resnik, Responsible Conduct of Research (New York: Oxford University Press, 2009), 18–22.

[3]                Ibid., 35–37.

[4]                Resnik, The Ethics of Science, 28.

[5]                Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013), 101–104.

[6]                Susan M. Reverby, Examining Tuskegee: The Infamous Syphilis Study and Its Legacy (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2009), 1–4.

[7]                National Commission for the Protection of Human Subjects of Biomedical and Behavioral Research, The Belmont Report (Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office, 1979), 3–4.

[8]                Shamoo and Resnik, Responsible Conduct of Research, 57–60.

[9]                Committee on Publication Ethics (COPE), Ethical Guidelines for Peer Reviewers (London: COPE, 2013), 2.

[10]             ICMJE, Recommendations for the Conduct, Reporting, Editing, and Publication of Scholarly Work in Medical Journals (Vancouver: ICMJE, 2019), 4–5.

[11]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 127–130.


5.           Netralitas dan Keterlibatan Nilai dalam Ilmu

Salah satu perdebatan klasik dalam filsafat ilmu adalah persoalan apakah ilmu pengetahuan bersifat netral terhadap nilai, atau justru sarat dengan keterlibatan nilai-nilai moral, sosial, dan politis. Pandangan tradisional yang berakar dalam positivisme logis menyatakan bahwa ilmu harus bersifat value-free (bebas nilai). Artinya, pengetahuan ilmiah harus dihasilkan melalui metode objektif yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan subjektif atau ideologis apa pun.¹

Pandangan ini secara historis dimantapkan oleh tokoh seperti Max Weber, yang menggarisbawahi pentingnya pemisahan antara penilaian faktual (Sein) dan penilaian normatif (Sollen) dalam sains.² Bagi Weber, ilmuwan hanya boleh menyajikan fakta dan menjauhkan diri dari memberikan penilaian nilai dalam kapasitas keilmuannya. Hal serupa juga dikemukakan oleh Hans Reichenbach, yang membedakan antara konteks penemuan (context of discovery) dan konteks pembenaran (context of justification) sebagai cara mempertahankan objektivitas ilmiah.³

Namun, dalam perkembangan filsafat ilmu kontemporer, klaim netralitas nilai ini telah ditantang secara serius. Banyak filsuf dan sosiolog ilmu menyatakan bahwa ilmu tidak pernah bebas nilai, karena nilai-nilai hadir dalam setiap aspek kegiatan ilmiah—baik dalam pemilihan topik, penyusunan metodologi, interpretasi data, maupun penerapan hasil penelitian.⁴

Thomas S. Kuhn, misalnya, melalui konsep paradigma, menunjukkan bahwa komunitas ilmiah tidak bekerja secara netral, melainkan dipengaruhi oleh kerangka nilai bersama yang membentuk cara berpikir dan bertindak dalam satu komunitas ilmiah tertentu.⁵ Artinya, apa yang dianggap sebagai “kebenaran ilmiah” sering kali merupakan hasil dari konsensus nilai-nilai internal dalam komunitas tersebut, bukan semata hasil logika formal atau eksperimen empiris.

Lebih jauh, Jürgen Habermas mengkritik pemisahan ilmu dan nilai sebagai bentuk ideologi teknokratis. Ia menegaskan bahwa ilmu senantiasa dibentuk oleh kepentingan manusia—baik teknis, praktis, maupun emansipatoris—dan oleh karena itu, keterlibatan nilai adalah keniscayaan dalam praksis ilmiah.⁶ Bagi Habermas, menyadari keterlibatan nilai bukan berarti kehilangan objektivitas, tetapi justru mengarah pada rasionalitas komunikatif yang lebih inklusif dan reflektif.

Demikian pula Helen Longino menyatakan bahwa nilai sosial dan gender sangat memengaruhi praktik ilmiah, dan bahwa objektivitas justru diperoleh bukan dengan menghindari nilai, tetapi dengan memastikan bahwa ilmu terbuka terhadap kritik dari berbagai perspektif nilai.⁷ Objektivitas dalam ilmu, menurut Longino, adalah produk dari proses sosial yang pluralistik dan dialogis, bukan isolasi dari nilai-nilai eksternal.

Secara aksiologis, gagasan tentang “ilmu netral” kini dinilai sebagai mitos modernitas yang mengabaikan fakta bahwa ilmu dikembangkan, dibiayai, dan digunakan dalam struktur kekuasaan tertentu. Sebagai contoh, banyak penelitian ilmiah di bidang militer atau industri farmasi didorong oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik yang sarat nilai.⁸ Oleh karena itu, menilai ilmu secara etis—menganalisis siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan dalam kerangka nilai apa ilmu dikembangkan—merupakan bagian penting dari tanggung jawab ilmiah kontemporer.

Dengan demikian, keterlibatan nilai dalam ilmu bukanlah sebuah cacat atau gangguan, tetapi suatu keniscayaan yang perlu disadari, diawasi, dan dikelola secara etis. Ilmu tidak dapat berkembang dalam kevakuman moral. Justru dengan mengintegrasikan refleksi nilai secara sadar, ilmu pengetahuan dapat menjadi sarana yang lebih bermartabat dalam mewujudkan kesejahteraan umat manusia.


Footnotes

[1]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover Publications, 1952), 44–46.

[2]                Max Weber, “Objectivity in Social Science and Social Policy”, in The Methodology of the Social Sciences, trans. Edward A. Shils and Henry A. Finch (New York: Free Press, 1949), 50–54.

[3]                Hans Reichenbach, Experience and Prediction: An Analysis of the Foundations and the Structure of Knowledge (Chicago: University of Chicago Press, 1938), 6–8.

[4]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from Women’s Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 140–142.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 77–78.

[6]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–307.

[7]                Helen E. Longino, Science as Social Knowledge: Values and Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1990), 80–82.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 137–140.


6.           Aksiologi Ilmu dalam Konteks Global dan Sosial

Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, ilmu pengetahuan telah menjadi kekuatan utama yang membentuk lanskap sosial, politik, ekonomi, dan budaya umat manusia. Namun, kemajuan tersebut tidak selalu disertai dengan refleksi etis dan tanggung jawab sosial yang memadai. Di sinilah peran aksiologi ilmu menjadi sangat penting, yakni untuk menilai bagaimana ilmu digunakan, siapa yang diuntungkan atau dirugikan, serta dampaknya terhadap keadilan global, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial.

6.1.       Ilmu Pengetahuan dan Keadilan Sosial

Ilmu tidak dapat dipisahkan dari struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya yang tidak merata. Dalam banyak kasus, hasil-hasil riset dan inovasi teknologi cenderung dinikmati oleh kalangan negara maju atau kelompok elite, sementara negara-negara berkembang atau masyarakat marjinal tetap terpinggirkan dari akses terhadap pengetahuan, pendidikan, dan teknologi.¹ Fenomena ini disebut oleh Vandana Shiva sebagai bentuk “kolonialisme pengetahuan”, di mana ilmu dikendalikan oleh struktur epistemik yang mengabaikan pengetahuan lokal dan tradisional.²

Sebagai contoh, dalam industri farmasi global, paten obat-obatan sering kali menutup akses bagi masyarakat miskin terhadap pengobatan yang layak, meskipun penelitian tersebut kadang bersumber dari eksplorasi biodiversitas negara-negara selatan. Hal ini mencerminkan ketimpangan aksiologis dalam ilmu—yakni ketika pengetahuan dijadikan komoditas yang menguntungkan segelintir pihak dan merugikan banyak lainnya.³ Oleh karena itu, keadilan dalam distribusi manfaat ilmu pengetahuan harus menjadi bagian dari pertimbangan aksiologis yang mendasar.

6.2.       Ilmu dan Tanggung Jawab Ekologis

Perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan krisis keanekaragaman hayati menjadi tantangan global yang tidak bisa diabaikan oleh komunitas ilmiah. Dalam konteks ini, aksiologi mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan dengan orientasi ekologis, bukan hanya untuk eksploitasi alam, tetapi untuk menjamin keberlanjutan kehidupan di bumi.⁴

Menurut Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, kemajuan teknologi telah melampaui etika tradisional, sehingga kita memerlukan bentuk etika baru yang mengakui dampak masa depan dari tindakan kita hari ini.⁵ Ilmu dan teknologi harus digunakan bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk melindungi hak generasi yang akan datang atas lingkungan hidup yang layak.

Ilmu lingkungan, energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan teknologi hijau merupakan contoh nyata dari pengetahuan yang berorientasi pada nilai keberlanjutan. Namun demikian, kebijakan ilmiah yang berpihak pada lingkungan sering kali terganjal oleh kepentingan politik-ekonomi jangka pendek. Di sinilah pentingnya pengarusutamaan aksiologi dalam kebijakan publik berbasis sains.

6.3.       Ilmu dalam Pengambilan Keputusan Publik

Ilmu pengetahuan memainkan peran strategis dalam perumusan kebijakan publik, mulai dari kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga mitigasi bencana. Namun, ilmu tidak boleh dikaburkan oleh kepentingan ideologis atau ekonomi, melainkan harus menjadi dasar pengambilan keputusan yang rasional, transparan, dan etis.⁶

Pengalaman global selama pandemi COVID-19 menunjukkan bagaimana keputusan berbasis sains (evidence-based policy) dapat menyelamatkan jutaan nyawa, tetapi juga menyoroti bagaimana politik sering kali memengaruhi interpretasi dan penerapan sains.⁷ Dalam konteks inilah, integrasi antara sains, etika, dan kebijakan publik menjadi kunci penting bagi pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang bertanggung jawab.


Ilmu, Budaya, dan Dialog Antarperadaban

Aksiologi ilmu juga mencakup pengakuan terhadap keragaman epistemik. Dalam dunia global yang multikultural, ilmu tidak boleh bersifat hegemonik dan mengklaim kebenaran tunggal. Sebaliknya, ilmu harus terbuka terhadap dialog antarperadaban dan menghargai bentuk-bentuk pengetahuan alternatif seperti ilmu lokal, tradisional, dan spiritual.⁸

Boaventura de Sousa Santos menyebut pentingnya “epistemologi dari Selatan” untuk membebaskan ilmu dari dominasi barat-sentris, serta mendorong inklusivitas dalam produksi pengetahuan.⁹ Dengan demikian, aksiologi menuntut agar ilmu dikembangkan bukan sekadar untuk kuasa, tetapi untuk dialog dan solidaritas antarmanusia.


Footnotes

[1]                Sheila Jasanoff, The Fifth Branch: Science Advisers as Policymakers (Cambridge: Harvard University Press, 1990), 135–138.

[2]                Vandana Shiva, Monocultures of the Mind: Perspectives on Biodiversity and Biotechnology (London: Zed Books, 1993), 1–3.

[3]                Peter Drahos and John Braithwaite, Information Feudalism: Who Owns the Knowledge Economy? (London: Earthscan, 2002), 97–99.

[4]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 237–239.

[5]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–12.

[6]                Roger A. Pielke Jr., The Honest Broker: Making Sense of Science in Policy and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 24–26.

[7]                Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton University Press, 2019), 159–162.

[8]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 47–50.

[9]                Ibid., 65.


7.           Studi Kasus dan Aplikasi Aksiologi Ilmu

Penerapan prinsip-prinsip aksiologis dalam ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga dapat diamati secara konkret melalui berbagai studi kasus yang menunjukkan keterkaitan antara nilai, ilmu, dan tanggung jawab ilmiah. Bagian ini menyajikan beberapa contoh kasus historis dan kontemporer yang menggambarkan bagaimana dimensi moral dan sosial mewarnai praktik keilmuan serta dampaknya terhadap kemanusiaan.

7.1.       Proyek Manhattan dan Etika Fisika Nuklir

Salah satu studi kasus paling dramatis dalam sejarah sains adalah Proyek Manhattan, sebuah proyek rahasia Amerika Serikat yang menghasilkan bom atom pertama selama Perang Dunia II.⁽¹⁾ Proyek ini melibatkan para ilmuwan terkemuka seperti Robert Oppenheimer dan Enrico Fermi, yang awalnya digerakkan oleh kekhawatiran bahwa Nazi Jerman mungkin mengembangkan senjata serupa terlebih dahulu. Namun, keberhasilan proyek ini berujung pada pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan lebih dari 200.000 jiwa.

Kasus ini menjadi ilustrasi klasik dari konflik antara pencapaian ilmiah dan pertanggungjawaban moral. Banyak ilmuwan pasca-perang, termasuk Oppenheimer sendiri, menyatakan penyesalan mendalam dan menyerukan pengawasan etis terhadap riset militer.⁽²⁾ Dari perspektif aksiologi, proyek ini menyoroti bahwa kemajuan ilmu tanpa kendali etika dapat mengarah pada bencana kemanusiaan, dan bahwa ilmuwan tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas dampak aplikatif dari pengetahuan yang mereka hasilkan.

7.2.       Penelitian Genetika dan Bioetika

Kemajuan dalam bidang genetika, terutama proyek Human Genome Project (1990–2003), membuka potensi besar bagi ilmu kedokteran dan bioteknologi, seperti diagnosis dini penyakit genetik dan terapi genetik. Namun, pencapaian ini juga menimbulkan kekhawatiran etis, misalnya terkait privasi genetika, diskriminasi biologis, dan “eugenika baru”.⁽³⁾

Kasus CRISPR-Cas9, teknik editing gen, menjadi kontroversial ketika seorang ilmuwan Tiongkok, He Jiankui, mengklaim telah menciptakan bayi hasil rekayasa genetika untuk resistensi HIV. Tindakan tersebut dikutuk secara luas oleh komunitas ilmiah karena dianggap melanggar prinsip informed consent, keselamatan pasien, dan integritas ilmiah.⁽⁴⁾ Dari sudut pandang aksiologi, kasus ini menunjukkan bahwa ilmu yang menyangkut kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral dan regulasi etik yang ketat.

7.3.       Ilmu Sosial dan Penelitian di Komunitas Adat

Dalam ilmu sosial, isu aksiologis muncul terutama dalam penelitian yang melibatkan komunitas adat atau kelompok rentan. Penelitian yang tidak sensitif terhadap nilai dan budaya lokal dapat berdampak pada ekspose berlebihan, eksploitasi informasi, dan stigmatisasi masyarakat.⁽⁵⁾

Sebagai contoh, sejumlah riset antropologis di Papua atau Kalimantan pada masa kolonial kerap menggambarkan masyarakat lokal secara eksotis atau primitif tanpa pemahaman kontekstual, yang kemudian digunakan untuk membenarkan dominasi kolonial. Aksiologi menuntut agar peneliti menghormati nilai-nilai lokal, melibatkan partisipasi masyarakat, dan memberikan manfaat timbal balik (benefit sharing) dalam penelitian.⁽⁶⁾

7.4.       Pandemi COVID-19 dan Kebijakan Berbasis Sains

Pandemi COVID-19 menjadi arena nyata di mana aksiologi ilmu diuji secara global. Ilmu epidemiologi, virologi, dan kesehatan masyarakat menjadi tumpuan utama dalam pengambilan keputusan yang menyangkut jutaan manusia. Namun, dinamika yang terjadi memperlihatkan adanya ketegangan antara sains, politik, dan nilai sosial.

Sebagai contoh, keputusan untuk memberlakukan lockdown atau vaksinasi massal menghadapi dilema etis antara kesehatan publik dan kebebasan individu, serta kesejahteraan ekonomi dan keselamatan jiwa.⁽⁷⁾ Di sisi lain, ketimpangan distribusi vaksin antara negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa akses terhadap hasil riset ilmiah juga merupakan persoalan aksiologis global.⁽⁸⁾

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya kebijakan berbasis sains yang berpijak pada nilai-nilai keadilan, transparansi, dan solidaritas global, bukan hanya efisiensi teknokratik.


Penutup Subbagian

Keempat studi kasus ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah entitas netral yang bebas dari nilai, melainkan sarat dengan konsekuensi moral yang harus dipertimbangkan secara kritis. Aksiologi menjadi instrumen penting dalam membentuk kesadaran etik ilmuwan dan institusi ilmu, agar kemajuan pengetahuan benar-benar berkontribusi pada martabat dan kesejahteraan manusia secara menyeluruh.


Footnotes

[1]                Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb (New York: Simon & Schuster, 1986), 615–621.

[2]                Kai Bird and Martin J. Sherwin, American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (New York: Vintage, 2006), 583–586.

[3]                Francis S. Collins et al., “A Vision for the Future of Genomics Research,” Nature 422, no. 6934 (2003): 835–847.

[4]                Antonio Regalado, “Chinese Scientist Who Edited Babies’ Genes Sentenced to Three Years in Prison,” MIT Technology Review, December 30, 2019.

[5]                Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples, 2nd ed. (London: Zed Books, 2012), 9–10.

[6]                Creswell, John W., and Cheryl Poth, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches, 4th ed. (Los Angeles: Sage Publications, 2018), 47–48.

[7]                Devi Sridhar, Preventable: The Politics of Pandemics and How to Stop the Next One (London: Penguin, 2022), 103–106.

[8]                Mariana Mazzucato, Mission Economy: A Moonshot Guide to Changing Capitalism (London: Penguin, 2021), 188–191.


8.           Implikasi Aksiologi terhadap Pendidikan dan Pengembangan Ilmu

Aksiologi sebagai kajian tentang nilai memiliki implikasi strategis terhadap sistem pendidikan dan arah pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu tidak hanya perlu diajarkan sebagai akumulasi pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga sebagai bagian dari formasi moral dan tanggung jawab sosial peserta didik. Dalam konteks ini, pendidikan sains dan teknologi memerlukan penanaman nilai-nilai etis, reflektif, dan humanistik agar hasil keilmuan tidak kehilangan orientasi kemanusiaannya.

8.1.       Pendidikan Ilmu yang Berbasis Nilai

Pendidikan ilmu pengetahuan selama ini cenderung mengedepankan pendekatan positivistik yang menekankan objektivitas, kuantifikasi, dan netralitas nilai. Meskipun pendekatan ini bermanfaat dalam mengembangkan keterampilan analitis dan teknis, ia berisiko mengabaikan dimensi moral dan sosial dari pengetahuan.⁽¹⁾ Oleh karena itu, muncul kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan nilai-nilai aksiologis ke dalam kurikulum pendidikan sains, termasuk etika keilmuan, tanggung jawab ekologis, serta kepedulian terhadap keadilan sosial.

Jujun S. Suriasumantri menekankan pentingnya menjadikan ilmu sebagai bagian dari kebudayaan yang mengandung nilai-nilai luhur masyarakat.⁽²⁾ Artinya, pendidikan sains tidak boleh dilepaskan dari konteks sosial dan budaya di mana ia dikembangkan dan diterapkan. Pengetahuan ilmiah yang tidak dibarengi dengan kesadaran nilai akan cenderung menghasilkan lulusan yang cakap secara teknis tetapi tumpul secara moral.

8.2.       Penguatan Etika Ilmiah dalam Pendidikan Tinggi

Tingkat pendidikan tinggi menjadi ruang strategis untuk menginternalisasi etika penelitian dan integritas akademik. Praktik akademik seperti plagiarisme, manipulasi data, atau penyalahgunaan dana riset sering kali berakar dari lemahnya kesadaran etis dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, etika ilmiah tidak boleh hanya menjadi materi pelengkap, tetapi perlu ditanamkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pembinaan karakter ilmiah secara menyeluruh.⁽³⁾

Menurut David B. Resnik, pengajaran etika ilmiah yang efektif harus mencakup pembahasan kasus nyata, analisis dilema moral, dan pelatihan pengambilan keputusan etis dalam konteks ilmiah.⁽⁴⁾ Melalui pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya memahami norma, tetapi juga mampu menginternalisasi nilai dan menerapkannya dalam situasi kompleks.

8.3.       Peran Ilmu dalam Pendidikan Kemanusiaan

Aksiologi mendorong paradigma bahwa ilmu bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk membangun peradaban yang manusiawi. Maka, pendidikan ilmu seharusnya tidak terjebak dalam utilitarianisme sempit, seperti sekadar menyiapkan tenaga kerja untuk pasar, tetapi juga membentuk pribadi yang kritis, peduli, dan bertanggung jawab.⁽⁵⁾ Dalam kerangka ini, ilmu harus diajarkan bersamaan dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, empati, dan solidaritas.

Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyerukan agar pendidikan membebaskan manusia melalui dialog dan kesadaran kritis (conscientização).⁽⁶⁾ Ilmu yang diajarkan tanpa kesadaran akan nilai-nilai struktural yang memengaruhi masyarakat akan cenderung mengukuhkan status quo dan ketimpangan. Maka, pendidikan sains harus berorientasi pada transformasi sosial yang adil dan inklusif.

8.4.       Arah Baru Pengembangan Ilmu: Interdisipliner dan Transformatif

Implikasi aksiologi terhadap pengembangan ilmu juga mendorong pendekatan interdisipliner dan transformatif. Kompleksitas persoalan global seperti perubahan iklim, kecerdasan buatan, dan ketimpangan sosial tidak dapat dipecahkan hanya oleh satu cabang ilmu.⁽⁷⁾ Oleh karena itu, pengembangan ilmu perlu melibatkan kolaborasi lintas disiplin yang dibingkai oleh nilai-nilai keberlanjutan, keadilan, dan tanggung jawab jangka panjang.

Fritjof Capra mengusulkan pendekatan sistemik dalam sains yang menggabungkan logika ilmiah dengan wawasan ekologis, etika, dan kesadaran spiritual.⁽⁸⁾ Pendekatan ini menempatkan manusia bukan sebagai penguasa atas alam, melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang saling tergantung. Hal ini sejalan dengan semangat aksiologi yang tidak hanya menilai apa yang benar, tetapi juga apa yang baik dan patut.


Penutup Subbagian

Pendidikan dan pengembangan ilmu harus dijalankan dalam kerangka aksiologi yang mengintegrasikan pengetahuan, nilai, dan tanggung jawab. Tanpa kesadaran aksiologis, ilmu berisiko kehilangan arah dan berkontribusi pada krisis multidimensi yang melanda dunia kontemporer. Oleh karena itu, mengarusutamakan nilai dalam pendidikan sains adalah langkah strategis dalam membangun ilmu yang beradab dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Hugh Lacey, Is Science Value Free? Values and Scientific Understanding (London: Routledge, 2005), 44–46.

[2]                Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), 9–10.

[3]                Shamoo, Adil E., and David B. Resnik, Responsible Conduct of Research, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2015), 27–31.

[4]                David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction (New York: Routledge, 1998), 75–78.

[5]                Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–9.

[6]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.

[7]                Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 197–199.

[8]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 273–275.


9.           Kesimpulan

Ilmu pengetahuan telah menjadi kekuatan transformatif yang sangat besar dalam sejarah umat manusia. Ia mampu mengungkap rahasia alam semesta, menciptakan teknologi revolusioner, serta mengubah wajah sosial dan politik dunia. Namun, kekuatan tersebut tidak bersifat netral; ia senantiasa beroperasi dalam kerangka nilai yang eksplisit maupun implisit, serta memiliki konsekuensi etis yang tak terhindarkan. Di sinilah aksiologi memainkan peran fundamental: sebagai pengingat bahwa ilmu harus diarahkan tidak hanya untuk mengetahui, tetapi juga untuk berbuat baik.

Aksiologi dalam ilmu pengetahuan mengajarkan bahwa ilmu tidak berdiri di atas menara gading, tetapi berakar pada kebutuhan manusia dan bertanggung jawab terhadap implikasinya bagi kehidupan sosial, moral, dan ekologis. Ilmu yang dikembangkan tanpa refleksi nilai akan kehilangan arah dan berpotensi menjadi alat dominasi, eksploitasi, atau bahkan kehancuran. Sebaliknya, ilmu yang berpijak pada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keadilan, empati, dan tanggung jawab, akan menjadi kekuatan yang memanusiakan dan membebaskan.¹

Kesadaran ini semakin penting di tengah tantangan global abad ke-21—seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, krisis kesehatan, dan konflik geopolitik—yang tidak dapat diatasi oleh kecakapan teknis semata. Diperlukan rekontekstualisasi ilmu dalam bingkai etika global dan tanggung jawab kolektif.² Hal ini mensyaratkan adanya reformasi mendalam dalam cara ilmu diajarkan, dikembangkan, dan diterapkan, termasuk dalam sistem pendidikan formal maupun dalam kebijakan publik berbasis sains.

Sebagaimana ditegaskan oleh Hans Jonas, kemajuan ilmu dan teknologi membawa serta “imperatif tanggung jawab” baru: bahwa apa yang mungkin secara teknis harus diimbangi oleh pertimbangan apakah hal itu layak secara moral dan bermanfaat secara sosial.³ Dengan kata lain, semakin besar kekuatan ilmu, semakin besar pula tanggung jawab etik yang menyertainya.

Untuk itu, diperlukan upaya kolektif lintas disiplin—antara ilmuwan, pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil—untuk membangun paradigma keilmuan yang humanis, inklusif, dan berkelanjutan. Aksiologi tidak lagi menjadi ranah refleksi filosofis semata, tetapi menjadi peta moral yang membimbing arah ilmu agar tetap berpihak pada kemanusiaan dan kehidupan.

Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa aksiologi adalah jantung dari filsafat ilmu yang memberikan orientasi normatif terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh ilmu. Melalui pengintegrasian nilai dan etika dalam seluruh proses keilmuan—dari pendidikan hingga aplikasi—diharapkan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjalankan fungsinya sebagai sarana pembebasan dan pemuliaan martabat manusia, bukan sebaliknya.


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 25–27.

[2]                Jürgen Habermas, The Future of Human Nature, trans. Hella Beister and William Rehg (Cambridge: Polity Press, 2003), 105–107.

[3]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–12.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover Publications.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.). Oxford University Press.

Bird, K., & Sherwin, M. J. (2006). American Prometheus: The triumph and tragedy of J. Robert Oppenheimer. Vintage.

Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge University Press.

Collins, F. S., Morgan, M., & Patrinos, A. (2003). A vision for the future of genomics research. Nature, 422(6934), 835–847. nature01626

Creswell, J. W., & Poth, C. N. (2018). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five approaches (4th ed.). Sage Publications.

Drahos, P., & Braithwaite, J. (2002). Information feudalism: Who owns the knowledge economy? Earthscan.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (2003). The future of human nature (H. Beister & W. Rehg, Trans.). Polity Press.

Harding, S. (1991). Whose science? Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Cornell University Press.

ICMJE. (2019). Recommendations for the conduct, reporting, editing, and publication of scholarly work in medical journals. International Committee of Medical Journal Editors. icmje-recommendations.pdf

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Jasanoff, S. (1990). The fifth branch: Science advisers as policymakers. Harvard University Press.

Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity: History, theory, and practice. Wayne State University Press.

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Laudan, L. (1984). Science and values: The aims of science and their role in scientific debate. University of California Press.

Lacey, H. (2005). Is science value free? Values and scientific understanding. Routledge.

Longino, H. E. (1990). Science as social knowledge: Values and objectivity in scientific inquiry. Princeton University Press.

Mazzucato, M. (2021). Mission economy: A moonshot guide to changing capitalism. Penguin Books.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Oreskes, N. (2019). Why trust science? Princeton University Press.

Pielke Jr., R. A. (2007). The honest broker: Making sense of science in policy and politics. Cambridge University Press.

Regalado, A. (2019, December 30). Chinese scientist who edited babies’ genes sentenced to three years in prison. MIT Technology Review. technologyreview.com

Reichenbach, H. (1938). Experience and prediction: An analysis of the foundations and the structure of knowledge. University of Chicago Press.

Resnik, D. B. (1998). The ethics of science: An introduction. Routledge.

Rhodes, R. (1986). The making of the atomic bomb. Simon & Schuster.

Santos, B. de S. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.

Shamoo, A. E., & Resnik, D. B. (2015). Responsible conduct of research (3rd ed.). Oxford University Press.

Shiva, V. (1993). Monocultures of the mind: Perspectives on biodiversity and biotechnology. Zed Books.

Smith, L. T. (2012). Decolonizing methodologies: Research and indigenous peoples (2nd ed.). Zed Books.

Sridhar, D. (2022). Preventable: The politics of pandemics and how to stop the next one. Penguin Books.

Suriasumantri, J. S. (2005). Ilmu dalam perspektif. Yayasan Obor Indonesia.

Weber, M. (1949). Objectivity in social science and social policy. In E. A. Shils & H. A. Finch (Eds. & Trans.), The methodology of the social sciences (pp. 50–112). Free Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar