Aksiologi dalam Ilmu Pengetahuan
Antara Nilai, Etika, dan Tanggung Jawab Ilmiah
Alihkan ke: Aksiologi.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif dimensi
aksiologis dalam ilmu pengetahuan, yakni aspek nilai, etika, dan tanggung jawab
sosial yang melekat dalam proses produksi dan penerapan pengetahuan ilmiah.
Berangkat dari kritik terhadap pandangan positivistik yang menganggap ilmu
bersifat netral dan bebas nilai, kajian ini menekankan bahwa seluruh kegiatan
ilmiah—dari pemilihan topik riset hingga dampaknya terhadap masyarakat—tidak
dapat dilepaskan dari konteks moral, sosial, dan budaya. Melalui pendekatan
interdisipliner dan analisis filosofis, artikel ini menjelaskan hubungan antara
ilmu dan nilai, pentingnya etika ilmiah, serta urgensi tanggung jawab ilmuwan
terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Sejumlah studi kasus, seperti Proyek
Manhattan, pengeditan genetik CRISPR, serta respons ilmiah terhadap pandemi
COVID-19, digunakan untuk menunjukkan bagaimana aksiologi ilmu berperan dalam menentukan
arah dan makna perkembangan sains modern. Artikel ini juga menyoroti perlunya
reformasi pendidikan sains yang berlandaskan nilai-nilai etis dan kemanusiaan
sebagai fondasi ilmu yang beradab dan berkelanjutan. Kesimpulannya, aksiologi
tidak hanya penting bagi filsafat ilmu, tetapi juga menjadi kunci dalam
menjamin bahwa ilmu pengetahuan benar-benar melayani kehidupan dan bukan
sebaliknya.
Kata Kunci: Aksiologi, ilmu pengetahuan, etika ilmiah, tanggung
jawab ilmuwan, filsafat ilmu, nilai moral, pendidikan sains.
PEMBAHASAN
Nilai Etis dan Moral dalam Ilmu Pengetahuan
1.
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan
merupakan salah satu pilar utama dalam peradaban manusia modern. Ia tidak hanya
menjadi alat dalam memahami realitas alam, tetapi juga menjadi fondasi bagi pengembangan
teknologi dan transformasi sosial. Namun, di balik objektivitas dan ketepatan
metodologisnya, ilmu pengetahuan bukanlah entitas yang bebas nilai. Dalam
prosesnya, ilmu senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek aksiologis, yakni
nilai-nilai moral, sosial, dan kemanusiaan yang menyertainya.
Dalam struktur
filsafat ilmu, terdapat tiga cabang utama: epistemologi (ilmu tentang
pengetahuan), ontologi (ilmu tentang
keberadaan), dan aksiologi (ilmu tentang nilai).
Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam memahami hakikat ilmu pengetahuan secara
utuh. Bila epistemologi menjelaskan bagaimana pengetahuan diperoleh dan
ontologi membahas apa yang dapat diketahui, maka aksiologi mengkaji untuk apa
ilmu digunakan dan nilai-nilai apa yang terkandung di dalamnya.¹ Dengan
demikian, aksiologi berperan penting dalam menjembatani antara pengetahuan
ilmiah dan tanggung jawab sosialnya.
Perkembangan ilmu
pengetahuan dalam sejarah tidak selalu steril dari motif-motif ideologis,
politis, atau bahkan destruktif. Sejarah mencatat, misalnya, bagaimana ilmu
fisika dikembangkan dalam Proyek Manhattan untuk menciptakan bom atom yang
justru membawa malapetaka kemanusiaan di Hiroshima dan Nagasaki.² Di sinilah
pentingnya dimensi aksiologi: ia menghadirkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan
tidak cukup hanya benar secara metodologis, tetapi juga harus etis
secara moral dan bertanggung jawab secara sosial.
Menurut Jürgen
Habermas, ilmu tidaklah netral, karena sejak awal ia terbentuk
dari kepentingan manusia yang beragam: teknis, praktis, dan emansipatoris.³
Pendapat ini menentang pandangan positivistik yang melihat ilmu
sebagai aktivitas bebas nilai (value-free). Bahkan Helen
Longino, dalam perspektif feminis kritis, menegaskan bahwa
komunitas ilmiah secara tak langsung membawa serta nilai-nilai sosial dalam
proses seleksi teori dan metodologi.⁴ Maka, penting untuk menyadari bahwa di
dalam setiap formulasi teori, pemilihan topik penelitian, hingga publikasi
hasil ilmiah, terdapat jejak-jejak nilai yang tidak selalu disadari.
Dalam konteks
inilah, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam aspek aksiologis
dalam ilmu pengetahuan. Pembahasan akan mencakup hubungan antara nilai dan
ilmu, etika dalam praktik ilmiah, serta tanggung jawab ilmuwan terhadap
masyarakat dan masa depan umat manusia. Dengan pendekatan interdisipliner,
artikel ini mengajak pembaca untuk merefleksikan bagaimana nilai-nilai
aksiologis semestinya menjadi bagian integral dalam setiap pengembangan ilmu.
Footnotes
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), 133.
[2]
Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb (New York: Simon
& Schuster, 1986), 676–678.
[3]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–303.
[4]
Helen E. Longino, Science as Social Knowledge: Values and
Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press,
1990), 76–78.
2.
Konsep Dasar Aksiologi
Aksiologi
merupakan cabang filsafat yang membahas secara sistematis mengenai nilai,
baik yang bersifat etis (moral), estetis (keindahan), maupun nilai-nilai lain
yang menjadi dasar dalam kehidupan manusia. Kata “aksiologi” berasal
dari bahasa Yunani: axios yang berarti “layak”
atau “bernilai”, dan logos yang berarti “ilmu”
atau “kajian”. Dengan demikian, secara etimologis aksiologi adalah ilmu
yang membahas tentang nilai.¹ Dalam konteks filsafat ilmu, aksiologi menempati
posisi penting karena menyoal tujuan, manfaat, serta dimensi etis dan
tanggung jawab dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Menurut ahli
filsafat K. Bertens, aksiologi tidak hanya terbatas pada pertanyaan "apa
yang dianggap bernilai?", tetapi juga mencakup "mengapa
sesuatu dianggap bernilai?" serta "bagaimana nilai itu
memengaruhi tindakan manusia".² Oleh karena itu, aksiologi tidak berdiri
sendiri, melainkan terhubung erat dengan etika (nilai moral) dan estetika
(nilai keindahan). Ketiga ranah ini menyusun keseluruhan perspektif nilai yang
mewarnai cara manusia berinteraksi dengan dunia, termasuk dalam proses berpikir
ilmiah.
Dalam filsafat ilmu,
aksiologi menempati salah satu dari tiga landasan fundamental selain ontologi
dan epistemologi.
Ontologi menjawab pertanyaan tentang “apa yang ada?”, epistemologi
menelaah “bagaimana kita mengetahui?”, sedangkan aksiologi menjawab
pertanyaan “untuk apa pengetahuan itu digunakan?”³ Tanpa kajian
aksiologis, ilmu pengetahuan berisiko menjadi instrumen yang netral secara moral,
yang bisa diarahkan untuk tujuan konstruktif maupun destruktif, tergantung pada
siapa yang menggunakannya dan dengan maksud apa.
Sebagai contoh,
pemanfaatan teknologi nuklir dapat menjadi berkah jika digunakan untuk
kepentingan medis atau energi, tetapi menjadi ancaman besar bila diarahkan
untuk senjata pemusnah massal.⁴ Di sinilah letak urgensi kajian aksiologis
dalam ilmu: ia menyadarkan bahwa nilai tidak hadir di luar ilmu, tetapi menjadi
bagian tak terpisahkan dari motivasi, proses, dan implikasi keilmuan itu
sendiri.
Lebih lanjut, nilai-nilai
dalam ilmu pengetahuan dapat diklasifikasikan ke dalam dua
bentuk: (1) nilai internal ilmu, seperti
kejujuran ilmiah, keterbukaan terhadap kritik, dan objektivitas; dan (2) nilai
eksternal, yaitu nilai-nilai sosial, budaya, politik, dan etika
yang membentuk konteks di mana ilmu itu berkembang.⁵ Oleh karena itu, pemahaman
terhadap aksiologi bukan hanya menambah wawasan filsafat, tetapi juga membentuk
kesadaran
etis dalam praktik keilmuan sehari-hari, baik dalam penelitian,
pendidikan, maupun pengambilan kebijakan berbasis sains.
Footnotes
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), 133.
[2]
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX (Jakarta: Gramedia, 2001),
321.
[3]
The Liang Gie, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
(Yogyakarta: Liberty, 1996), 17.
[4]
David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction (New
York: Routledge, 1998), 14–16.
[5]
Larry Laudan, Science and Values: The Aims of Science and Their
Role in Scientific Debate (Berkeley: University of California Press,
1984), 63–65.
3.
Relasi Aksiologi dan Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan
sering kali diposisikan sebagai sebuah aktivitas rasional yang bebas dari
nilai. Pandangan ini khas dalam tradisi positivisme logis, yang
berpendapat bahwa ilmu harus menjauhkan diri dari pertimbangan-pertimbangan
normatif agar dapat mencapai objektivitas murni.¹ Namun, pendekatan tersebut
telah banyak dikritik dalam perkembangan filsafat ilmu kontemporer karena
mengabaikan kenyataan bahwa aktivitas ilmiah selalu berlangsung dalam
konteks sosial, historis, dan kultural yang sarat nilai.
Aksiologi hadir
untuk menyoroti bahwa nilai bukan hanya produk sampingan dari ilmu,
tetapi merupakan bagian integral dari keseluruhan proses keilmuan—dari
pemilihan topik, penyusunan hipotesis, penggunaan metode, hingga aplikasi hasil
penelitian.² Menurut Larry Laudan, bahkan tujuan
utama dari ilmu pengetahuan itu sendiri adalah aksiologis: yakni untuk
menghasilkan teori-teori yang dapat menjelaskan dan memprediksi fenomena secara
akurat dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.³
Dalam konteks ini, nilai-nilai
internal dalam ilmu pengetahuan seperti kejujuran,
objektivitas, keterbukaan terhadap kritik, dan ketekunan ilmiah, merupakan
fondasi dari integritas keilmuan.⁴ Namun, nilai-nilai eksternal—seperti
nilai-nilai moral, sosial, budaya, bahkan politik—juga memengaruhi bagaimana
ilmu dikembangkan dan diarahkan. Misalnya, penelitian dalam bidang energi
terbarukan sering kali didorong oleh nilai ekologis dan keberlanjutan yang
berakar pada kepedulian terhadap masa depan planet ini. Sebaliknya, riset militer
atau komersial bisa terdorong oleh nilai-nilai kuasa atau profit ekonomi yang
berisiko mengabaikan dimensi kemanusiaan.
Helen
Longino, dalam pendekatan feminisme epistemologis, menegaskan
bahwa semua kegiatan ilmiah terjadi dalam jaringan nilai yang kompleks, dan
objektivitas ilmiah hanya dapat dicapai melalui proses dialog yang terbuka
dalam komunitas ilmiah yang pluralistik.⁵ Hal ini menunjukkan bahwa nilai
tidak meniadakan objektivitas, tetapi justru memperkaya dan
mengarahkan objektivitas ke arah yang lebih bertanggung jawab dan manusiawi.
Lebih jauh lagi, nilai
aksiologis dalam ilmu pengetahuan juga tampak dalam bagaimana
hasil-hasil ilmu digunakan dalam kehidupan nyata. Misalnya, penerapan teknologi
pengenalan wajah (facial recognition) dapat memberikan manfaat keamanan, namun
sekaligus menimbulkan ancaman terhadap privasi dan kebebasan individu.⁶ Ini
menegaskan bahwa pertimbangan aksiologis harus hadir dalam
setiap fase pengembangan dan penerapan ilmu, agar ilmu tidak
sekadar menjadi alat, tetapi juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan demikian,
aksiologi tidak menafikan keilmuan, tetapi memberikan arah dan makna
terhadap pengetahuan yang dihasilkan. Ilmu yang tidak disertai dengan
pertimbangan nilai berisiko kehilangan relevansi moral dan sosialnya. Oleh
karena itu, relasi antara aksiologi dan ilmu bukanlah hubungan subordinatif,
melainkan relasi simbiosis yang saling memperkuat dalam membentuk ilmu yang bernilai
secara epistemik dan bermartabat secara etis.
Footnotes
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 41–43.
[2]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), 139–141.
[3]
Larry Laudan, Science and Values: The Aims of Science and Their
Role in Scientific Debate (Berkeley: University of California Press,
1984), 13–15.
[4]
David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction (New
York: Routledge, 1998), 24–26.
[5]
Helen E. Longino, Science as Social Knowledge: Values and
Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press,
1990), 76–82.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 219–223.
4.
Nilai Etis dan Moral dalam Kegiatan Ilmiah
Ilmu pengetahuan
bukanlah kegiatan yang berlangsung dalam ruang hampa nilai. Ia senantiasa
berinteraksi dengan pertimbangan-pertimbangan moral yang membentuk arah,
metode, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia. Dalam konteks inilah etika
ilmiah berperan sebagai perangkat normatif yang mengatur
perilaku ilmuwan dan institusi keilmuan agar tetap berada dalam koridor
tanggung jawab sosial, integritas, dan kemaslahatan umat manusia.¹
4.1.
Kejujuran Ilmiah dan Integritas Penelitian
Salah satu nilai
fundamental dalam kegiatan ilmiah adalah kejujuran. Tanpa kejujuran,
sains kehilangan kredibilitasnya. Bentuk pelanggaran etika seperti plagiarisme,
fabrication
(pemalsuan data), dan falsification (pengubahan data)
merupakan ancaman serius terhadap integritas ilmiah.² Kasus manipulasi data
yang terjadi dalam studi-studi medis, misalnya, tidak hanya merusak reputasi
ilmuwan, tetapi juga dapat mengancam keselamatan pasien dan publik luas. Oleh
karena itu, setiap peneliti wajib memegang prinsip scientific
integrity sebagai landasan moral dalam praktik keilmuannya.³
Menurut David B. Resnik,
integritas dalam sains mencakup tanggung jawab untuk menyampaikan hasil
penelitian secara akurat, terbuka terhadap peninjauan ulang (peer review),
serta menghormati kontribusi intelektual orang lain.⁴ Tanpa integritas,
komunitas ilmiah tidak akan mampu membangun kepercayaan, yang merupakan modal
sosial penting bagi kemajuan ilmu.
4.2.
Etika Penelitian terhadap Subjek Manusia dan
Hewan
Kegiatan ilmiah yang
melibatkan makhluk hidup, terutama manusia, membawa dimensi etis yang lebih
kompleks. Dalam bidang biomedis, misalnya, prinsip-prinsip bioetika
seperti respek terhadap otonomi, nonmaleficence
(tidak mencelakakan), beneficence (memberi manfaat),
dan keadilan,
menjadi landasan moral bagi setiap eksperimen.⁵ Sejarah mencatat eksperimen
tidak etis seperti Studi Tuskegee (1932–1972), di
mana ratusan pria Afrika-Amerika penderita sifilis dibiarkan tanpa pengobatan
hanya demi observasi ilmiah, sebagai pelanggaran etik berat yang menodai
sejarah medis modern.⁶
Sejak itu, muncul
berbagai kode etik internasional seperti
Nuremberg
Code (1947), Declaration of Helsinki (1964), dan
Belmont
Report (1979) yang menekankan pentingnya informed
consent, perlindungan hak subjek, dan evaluasi etik yang ketat
terhadap desain penelitian.⁷ Hal ini menunjukkan bahwa dimensi
moral dalam riset ilmiah tidak dapat dinegosiasikan, melainkan
harus menjadi prioritas utama.
4.3.
Konflik Kepentingan dan Etika Publikasi
Nilai moral dalam
ilmu juga menuntut kejelasan dan keterbukaan dalam mengelola conflict
of interest, yaitu situasi di mana tujuan pribadi atau
institusional berpotensi memengaruhi objektivitas ilmiah.⁸ Misalnya, dalam
industri farmasi, ilmuwan yang dibiayai oleh perusahaan tertentu kadang
menghadapi tekanan untuk menghasilkan data yang menguntungkan sponsor. Oleh
karena itu, transparansi dalam pendanaan, afiliasi, dan kontribusi menjadi
syarat mutlak dalam publikasi ilmiah yang etis.⁹
Etika publikasi juga
menuntut pengakuan yang adil terhadap kontribusi,
larangan duplikasi publikasi tanpa justifikasi, serta kewajiban melaporkan
hasil secara jujur, termasuk hasil yang negatif atau tidak signifikan secara
statistik.⁽¹⁰⁾ Dengan demikian, publikasi bukan hanya ajang eksistensi
akademik, tetapi juga bentuk pertanggungjawaban ilmiah kepada masyarakat dan
komunitas pengetahuan global.
Ilmuwan sebagai Agen Moral
Sebagai pelaku utama
dalam dunia sains, ilmuwan tidak cukup hanya menjadi "penghasil fakta".
Mereka juga adalah agen moral yang memiliki
tanggung jawab terhadap implikasi sosial dan ekologis dari hasil temuan mereka.
Menurut Hans Jonas dalam etika tanggung jawab (ethics of responsibility), semakin
besar daya transformasi yang dimiliki oleh ilmu, semakin besar pula tanggung
jawab moral yang harus ditanggung ilmuwan.¹¹
Dalam era teknologi
tinggi seperti bioteknologi, kecerdasan buatan, dan eksplorasi luar angkasa, pertimbangan
etis tidak dapat ditunda. Ilmu yang dijalankan tanpa
kehati-hatian moral dapat berujung pada dehumanisasi, eksploitasi alam, dan
ketimpangan sosial. Oleh karena itu, pendidikan sains di semua level perlu
mengintegrasikan penguatan nilai etis sebagai bagian integral dari kurikulum.
Footnotes
[1]
David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction (New
York: Routledge, 1998), 2–5.
[2]
Shamoo, Adil E., and David B. Resnik, Responsible Conduct of
Research (New York: Oxford University Press, 2009), 18–22.
[3]
Ibid., 35–37.
[4]
Resnik, The Ethics of Science, 28.
[5]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical
Ethics, 7th ed. (New York: Oxford University Press, 2013), 101–104.
[6]
Susan M. Reverby, Examining Tuskegee: The Infamous Syphilis Study
and Its Legacy (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2009),
1–4.
[7]
National Commission for the Protection of Human Subjects of Biomedical
and Behavioral Research, The Belmont Report (Washington, D.C.: U.S.
Government Printing Office, 1979), 3–4.
[8]
Shamoo and Resnik, Responsible Conduct of Research, 57–60.
[9]
Committee on Publication Ethics (COPE), Ethical Guidelines for Peer
Reviewers (London: COPE, 2013), 2.
[10]
ICMJE, Recommendations for the Conduct, Reporting, Editing, and
Publication of Scholarly Work in Medical Journals (Vancouver: ICMJE,
2019), 4–5.
[11]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 127–130.
5.
Netralitas dan Keterlibatan Nilai dalam Ilmu
Salah satu
perdebatan klasik dalam filsafat ilmu adalah persoalan apakah
ilmu pengetahuan bersifat netral terhadap nilai, atau justru
sarat dengan keterlibatan nilai-nilai moral, sosial, dan politis. Pandangan
tradisional yang berakar dalam positivisme logis menyatakan
bahwa ilmu harus bersifat value-free (bebas nilai). Artinya,
pengetahuan ilmiah harus dihasilkan melalui metode objektif yang tidak
dipengaruhi oleh kepentingan subjektif atau ideologis apa pun.¹
Pandangan ini secara
historis dimantapkan oleh tokoh seperti Max Weber, yang menggarisbawahi
pentingnya pemisahan antara penilaian faktual (Sein) dan penilaian normatif (Sollen)
dalam sains.² Bagi Weber, ilmuwan hanya boleh menyajikan fakta dan menjauhkan diri
dari memberikan penilaian nilai dalam kapasitas keilmuannya. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Hans Reichenbach, yang
membedakan antara konteks penemuan (context of discovery) dan konteks
pembenaran (context of justification) sebagai
cara mempertahankan objektivitas ilmiah.³
Namun, dalam
perkembangan filsafat ilmu kontemporer, klaim netralitas nilai ini telah ditantang
secara serius. Banyak filsuf dan sosiolog ilmu menyatakan bahwa
ilmu
tidak pernah bebas nilai, karena nilai-nilai hadir dalam setiap
aspek kegiatan ilmiah—baik dalam pemilihan topik, penyusunan metodologi,
interpretasi data, maupun penerapan hasil penelitian.⁴
Thomas
S. Kuhn, misalnya, melalui konsep paradigma, menunjukkan bahwa
komunitas ilmiah tidak bekerja secara netral, melainkan dipengaruhi oleh
kerangka nilai bersama yang membentuk cara berpikir dan bertindak dalam satu
komunitas ilmiah tertentu.⁵ Artinya, apa yang dianggap sebagai “kebenaran
ilmiah” sering kali merupakan hasil dari konsensus nilai-nilai internal dalam
komunitas tersebut, bukan semata hasil logika formal atau eksperimen empiris.
Lebih jauh, Jürgen
Habermas mengkritik pemisahan ilmu dan nilai sebagai bentuk ideologi
teknokratis. Ia menegaskan bahwa ilmu senantiasa dibentuk oleh
kepentingan manusia—baik teknis, praktis, maupun emansipatoris—dan oleh karena
itu, keterlibatan nilai adalah keniscayaan dalam praksis ilmiah.⁶ Bagi
Habermas, menyadari keterlibatan nilai bukan berarti kehilangan objektivitas,
tetapi justru mengarah pada rasionalitas komunikatif yang
lebih inklusif dan reflektif.
Demikian pula Helen
Longino menyatakan bahwa nilai sosial dan gender sangat memengaruhi
praktik ilmiah, dan bahwa objektivitas justru diperoleh bukan
dengan menghindari nilai, tetapi dengan memastikan bahwa ilmu terbuka terhadap
kritik dari berbagai perspektif nilai.⁷ Objektivitas dalam ilmu, menurut
Longino, adalah produk dari proses sosial yang pluralistik dan dialogis, bukan
isolasi dari nilai-nilai eksternal.
Secara aksiologis,
gagasan tentang “ilmu netral” kini dinilai sebagai mitos modernitas
yang mengabaikan fakta bahwa ilmu dikembangkan, dibiayai, dan digunakan dalam
struktur kekuasaan tertentu. Sebagai contoh, banyak penelitian ilmiah di bidang
militer atau industri farmasi didorong oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik
yang sarat nilai.⁸ Oleh karena itu, menilai ilmu secara etis—menganalisis siapa
yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan dalam kerangka nilai apa ilmu
dikembangkan—merupakan bagian penting dari tanggung jawab ilmiah kontemporer.
Dengan demikian,
keterlibatan nilai dalam ilmu bukanlah sebuah cacat atau gangguan, tetapi suatu
keniscayaan yang perlu disadari, diawasi, dan dikelola secara etis.
Ilmu tidak dapat berkembang dalam kevakuman moral. Justru dengan
mengintegrasikan refleksi nilai secara sadar, ilmu pengetahuan dapat menjadi
sarana yang lebih bermartabat dalam mewujudkan kesejahteraan umat manusia.
Footnotes
[1]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover
Publications, 1952), 44–46.
[2]
Max Weber, “Objectivity in Social Science and Social Policy”,
in The Methodology of the Social Sciences, trans. Edward A. Shils and
Henry A. Finch (New York: Free Press, 1949), 50–54.
[3]
Hans Reichenbach, Experience and Prediction: An Analysis of the
Foundations and the Structure of Knowledge (Chicago: University of Chicago
Press, 1938), 6–8.
[4]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge? Thinking from
Women’s Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 140–142.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 77–78.
[6]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy
J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–307.
[7]
Helen E. Longino, Science as Social Knowledge: Values and
Objectivity in Scientific Inquiry (Princeton: Princeton University Press,
1990), 80–82.
[8]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 137–140.
6.
Aksiologi Ilmu dalam Konteks Global dan Sosial
Dalam era
globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, ilmu pengetahuan telah menjadi
kekuatan utama yang membentuk lanskap sosial, politik, ekonomi, dan budaya umat
manusia. Namun, kemajuan tersebut tidak selalu disertai dengan refleksi etis
dan tanggung jawab sosial yang memadai. Di sinilah peran
aksiologi ilmu menjadi sangat penting, yakni untuk menilai
bagaimana ilmu digunakan, siapa yang diuntungkan atau dirugikan, serta
dampaknya terhadap keadilan global, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan
sosial.
6.1.
Ilmu Pengetahuan dan Keadilan Sosial
Ilmu tidak dapat
dipisahkan dari struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya yang tidak
merata. Dalam banyak kasus, hasil-hasil riset dan inovasi teknologi cenderung
dinikmati oleh kalangan negara maju atau kelompok elite, sementara
negara-negara berkembang atau masyarakat marjinal tetap terpinggirkan dari
akses terhadap pengetahuan, pendidikan, dan teknologi.¹ Fenomena ini disebut
oleh Vandana
Shiva sebagai bentuk “kolonialisme pengetahuan”, di mana
ilmu dikendalikan oleh struktur epistemik yang mengabaikan pengetahuan lokal
dan tradisional.²
Sebagai contoh,
dalam industri farmasi global, paten obat-obatan sering kali menutup akses bagi
masyarakat miskin terhadap pengobatan yang layak, meskipun penelitian tersebut
kadang bersumber dari eksplorasi biodiversitas negara-negara selatan. Hal ini
mencerminkan ketimpangan aksiologis dalam ilmu—yakni ketika pengetahuan
dijadikan komoditas yang menguntungkan segelintir pihak dan merugikan banyak
lainnya.³ Oleh karena itu, keadilan dalam distribusi manfaat ilmu pengetahuan
harus menjadi bagian dari pertimbangan aksiologis yang
mendasar.
6.2.
Ilmu dan Tanggung Jawab Ekologis
Perubahan iklim,
degradasi lingkungan, dan krisis keanekaragaman hayati menjadi tantangan global
yang tidak bisa diabaikan oleh komunitas ilmiah. Dalam konteks ini, aksiologi
mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan dengan
orientasi ekologis, bukan hanya untuk eksploitasi alam, tetapi
untuk menjamin keberlanjutan kehidupan di bumi.⁴
Menurut Hans
Jonas, dalam The Imperative of Responsibility,
kemajuan teknologi telah melampaui etika tradisional, sehingga kita memerlukan
bentuk etika baru yang mengakui dampak masa depan dari tindakan kita hari ini.⁵
Ilmu dan teknologi harus digunakan bukan hanya untuk kepentingan generasi
sekarang, tetapi juga untuk melindungi hak generasi yang akan datang
atas lingkungan hidup yang layak.
Ilmu lingkungan,
energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan teknologi hijau merupakan
contoh nyata dari pengetahuan yang berorientasi pada nilai
keberlanjutan. Namun demikian, kebijakan ilmiah yang berpihak
pada lingkungan sering kali terganjal oleh kepentingan politik-ekonomi jangka
pendek. Di sinilah pentingnya pengarusutamaan aksiologi dalam kebijakan
publik berbasis sains.
6.3.
Ilmu dalam Pengambilan Keputusan Publik
Ilmu pengetahuan
memainkan peran strategis dalam perumusan kebijakan publik, mulai dari
kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga mitigasi bencana. Namun, ilmu
tidak boleh dikaburkan oleh kepentingan ideologis atau ekonomi,
melainkan harus menjadi dasar pengambilan keputusan yang rasional, transparan,
dan etis.⁶
Pengalaman global
selama pandemi COVID-19 menunjukkan bagaimana keputusan berbasis sains
(evidence-based policy) dapat menyelamatkan jutaan nyawa, tetapi juga menyoroti
bagaimana politik sering kali memengaruhi interpretasi dan penerapan sains.⁷
Dalam konteks inilah, integrasi antara sains, etika, dan kebijakan publik
menjadi kunci penting bagi pembangunan berkelanjutan dan tata kelola
pemerintahan yang bertanggung jawab.
Ilmu, Budaya, dan Dialog Antarperadaban
Aksiologi ilmu juga
mencakup pengakuan terhadap keragaman epistemik. Dalam
dunia global yang multikultural, ilmu tidak boleh bersifat hegemonik dan
mengklaim kebenaran tunggal. Sebaliknya, ilmu harus terbuka terhadap dialog
antarperadaban dan menghargai bentuk-bentuk pengetahuan alternatif seperti ilmu
lokal, tradisional, dan spiritual.⁸
Boaventura
de Sousa Santos menyebut pentingnya “epistemologi dari
Selatan” untuk membebaskan ilmu dari dominasi barat-sentris, serta
mendorong inklusivitas dalam produksi pengetahuan.⁹ Dengan demikian, aksiologi
menuntut agar ilmu dikembangkan bukan sekadar untuk kuasa, tetapi untuk dialog
dan solidaritas antarmanusia.
Footnotes
[1]
Sheila Jasanoff, The Fifth Branch: Science Advisers as Policymakers
(Cambridge: Harvard University Press, 1990), 135–138.
[2]
Vandana Shiva, Monocultures of the Mind: Perspectives on
Biodiversity and Biotechnology (London: Zed Books, 1993), 1–3.
[3]
Peter Drahos and John Braithwaite, Information Feudalism: Who Owns
the Knowledge Economy? (London: Earthscan, 2002), 97–99.
[4]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 237–239.
[5]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 11–12.
[6]
Roger A. Pielke Jr., The Honest Broker: Making Sense of Science in
Policy and Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 24–26.
[7]
Naomi Oreskes, Why Trust Science? (Princeton: Princeton
University Press, 2019), 159–162.
[8]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (Boulder: Paradigm Publishers, 2014), 47–50.
[9]
Ibid., 65.
7.
Studi Kasus dan Aplikasi Aksiologi Ilmu
Penerapan
prinsip-prinsip aksiologis dalam ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat
teoritis, tetapi juga dapat diamati secara konkret melalui berbagai studi kasus
yang menunjukkan keterkaitan antara nilai, ilmu, dan tanggung jawab ilmiah.
Bagian ini menyajikan beberapa contoh kasus historis dan kontemporer yang
menggambarkan bagaimana dimensi moral dan sosial mewarnai praktik keilmuan
serta dampaknya terhadap kemanusiaan.
7.1.
Proyek Manhattan dan Etika Fisika Nuklir
Salah satu studi
kasus paling dramatis dalam sejarah sains adalah Proyek
Manhattan, sebuah proyek rahasia Amerika Serikat yang
menghasilkan bom atom pertama selama Perang Dunia II.⁽¹⁾ Proyek ini melibatkan
para ilmuwan terkemuka seperti Robert Oppenheimer dan Enrico Fermi, yang
awalnya digerakkan oleh kekhawatiran bahwa Nazi Jerman mungkin mengembangkan
senjata serupa terlebih dahulu. Namun, keberhasilan proyek ini berujung pada
pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan lebih dari 200.000 jiwa.
Kasus ini menjadi
ilustrasi klasik dari konflik antara pencapaian ilmiah dan
pertanggungjawaban moral. Banyak ilmuwan pasca-perang, termasuk
Oppenheimer sendiri, menyatakan penyesalan mendalam dan menyerukan pengawasan
etis terhadap riset militer.⁽²⁾ Dari perspektif aksiologi, proyek ini menyoroti
bahwa kemajuan ilmu tanpa kendali etika dapat mengarah pada bencana
kemanusiaan, dan bahwa ilmuwan tidak dapat melepaskan diri dari
tanggung jawab atas dampak aplikatif dari pengetahuan yang mereka hasilkan.
7.2.
Penelitian Genetika dan Bioetika
Kemajuan dalam
bidang genetika, terutama proyek Human Genome Project (1990–2003),
membuka potensi besar bagi ilmu kedokteran dan bioteknologi, seperti diagnosis
dini penyakit genetik dan terapi genetik. Namun, pencapaian ini juga
menimbulkan kekhawatiran etis, misalnya terkait privasi genetika, diskriminasi
biologis, dan “eugenika baru”.⁽³⁾
Kasus CRISPR-Cas9,
teknik editing gen, menjadi kontroversial ketika seorang ilmuwan Tiongkok, He
Jiankui, mengklaim telah menciptakan bayi hasil rekayasa genetika untuk
resistensi HIV. Tindakan tersebut dikutuk secara luas oleh komunitas ilmiah
karena dianggap melanggar prinsip informed consent, keselamatan pasien,
dan integritas ilmiah.⁽⁴⁾ Dari sudut pandang aksiologi, kasus
ini menunjukkan bahwa ilmu yang menyangkut kehidupan manusia tidak
bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral dan regulasi etik yang ketat.
7.3.
Ilmu Sosial dan Penelitian di Komunitas Adat
Dalam ilmu sosial,
isu aksiologis muncul terutama dalam penelitian yang melibatkan komunitas
adat atau kelompok rentan. Penelitian yang tidak sensitif
terhadap nilai dan budaya lokal dapat berdampak pada ekspose
berlebihan, eksploitasi informasi, dan stigmatisasi
masyarakat.⁽⁵⁾
Sebagai contoh,
sejumlah riset antropologis di Papua atau Kalimantan pada masa kolonial kerap
menggambarkan masyarakat lokal secara eksotis atau primitif tanpa pemahaman
kontekstual, yang kemudian digunakan untuk membenarkan dominasi kolonial.
Aksiologi menuntut agar peneliti menghormati nilai-nilai lokal, melibatkan
partisipasi masyarakat, dan memberikan manfaat timbal balik (benefit sharing)
dalam penelitian.⁽⁶⁾
7.4.
Pandemi COVID-19 dan Kebijakan Berbasis Sains
Pandemi COVID-19
menjadi arena nyata di mana aksiologi ilmu diuji secara global.
Ilmu epidemiologi, virologi, dan kesehatan masyarakat menjadi tumpuan utama
dalam pengambilan keputusan yang menyangkut jutaan manusia. Namun, dinamika
yang terjadi memperlihatkan adanya ketegangan antara sains, politik, dan nilai
sosial.
Sebagai contoh,
keputusan untuk memberlakukan lockdown atau vaksinasi massal menghadapi dilema
etis antara kesehatan publik dan kebebasan individu,
serta kesejahteraan
ekonomi dan keselamatan jiwa.⁽⁷⁾ Di sisi lain, ketimpangan
distribusi vaksin antara negara maju dan berkembang menunjukkan
bahwa akses terhadap hasil riset ilmiah juga merupakan persoalan aksiologis
global.⁽⁸⁾
Kasus ini
menggarisbawahi pentingnya kebijakan berbasis sains yang berpijak pada
nilai-nilai keadilan, transparansi, dan solidaritas global,
bukan hanya efisiensi teknokratik.
Penutup Subbagian
Keempat studi kasus
ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah entitas netral yang
bebas dari nilai, melainkan sarat dengan konsekuensi moral yang
harus dipertimbangkan secara kritis. Aksiologi menjadi instrumen penting dalam
membentuk kesadaran etik ilmuwan dan
institusi ilmu, agar kemajuan pengetahuan benar-benar berkontribusi pada
martabat dan kesejahteraan manusia secara menyeluruh.
Footnotes
[1]
Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb (New York: Simon
& Schuster, 1986), 615–621.
[2]
Kai Bird and Martin J. Sherwin, American Prometheus: The Triumph
and Tragedy of J. Robert Oppenheimer (New York: Vintage, 2006), 583–586.
[3]
Francis S. Collins et al., “A Vision for the Future of Genomics
Research,” Nature 422, no. 6934 (2003): 835–847.
[4]
Antonio Regalado, “Chinese Scientist Who Edited Babies’ Genes Sentenced
to Three Years in Prison,” MIT Technology Review, December 30, 2019.
[5]
Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies: Research and
Indigenous Peoples, 2nd ed. (London: Zed Books, 2012), 9–10.
[6]
Creswell, John W., and Cheryl Poth, Qualitative Inquiry and
Research Design: Choosing Among Five Approaches, 4th ed. (Los Angeles:
Sage Publications, 2018), 47–48.
[7]
Devi Sridhar, Preventable: The Politics of Pandemics and How to
Stop the Next One (London: Penguin, 2022), 103–106.
[8]
Mariana Mazzucato, Mission Economy: A Moonshot Guide to Changing
Capitalism (London: Penguin, 2021), 188–191.
8.
Implikasi Aksiologi terhadap Pendidikan dan
Pengembangan Ilmu
Aksiologi sebagai
kajian tentang nilai memiliki implikasi strategis terhadap sistem pendidikan
dan arah pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu tidak hanya perlu
diajarkan sebagai akumulasi pengetahuan dan keterampilan teknis, tetapi juga
sebagai bagian dari formasi moral dan tanggung jawab sosial peserta didik.
Dalam konteks ini, pendidikan sains dan teknologi memerlukan penanaman
nilai-nilai etis, reflektif, dan humanistik agar hasil keilmuan
tidak kehilangan orientasi kemanusiaannya.
8.1.
Pendidikan Ilmu yang Berbasis Nilai
Pendidikan ilmu
pengetahuan selama ini cenderung mengedepankan pendekatan positivistik yang
menekankan objektivitas, kuantifikasi, dan netralitas nilai. Meskipun
pendekatan ini bermanfaat dalam mengembangkan keterampilan analitis dan teknis,
ia berisiko mengabaikan dimensi moral dan sosial dari pengetahuan.⁽¹⁾ Oleh
karena itu, muncul kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan nilai-nilai aksiologis ke
dalam kurikulum pendidikan sains, termasuk etika keilmuan,
tanggung jawab ekologis, serta kepedulian terhadap keadilan sosial.
Jujun S.
Suriasumantri menekankan pentingnya menjadikan ilmu sebagai
bagian dari kebudayaan yang mengandung nilai-nilai luhur masyarakat.⁽²⁾
Artinya, pendidikan sains tidak boleh dilepaskan dari konteks sosial dan budaya
di mana ia dikembangkan dan diterapkan. Pengetahuan ilmiah yang tidak dibarengi
dengan kesadaran nilai akan cenderung menghasilkan lulusan yang cakap secara
teknis tetapi tumpul secara moral.
8.2.
Penguatan Etika Ilmiah dalam Pendidikan Tinggi
Tingkat pendidikan
tinggi menjadi ruang strategis untuk menginternalisasi etika penelitian dan
integritas akademik. Praktik akademik seperti plagiarisme,
manipulasi data, atau penyalahgunaan dana riset sering kali berakar dari
lemahnya kesadaran etis dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, etika
ilmiah tidak boleh hanya menjadi materi pelengkap, tetapi perlu
ditanamkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pembinaan karakter ilmiah
secara menyeluruh.⁽³⁾
Menurut David B.
Resnik, pengajaran etika ilmiah yang efektif harus mencakup pembahasan kasus
nyata, analisis dilema moral, dan pelatihan pengambilan keputusan etis dalam
konteks ilmiah.⁽⁴⁾ Melalui pendekatan ini, mahasiswa tidak hanya memahami
norma, tetapi juga mampu menginternalisasi nilai dan menerapkannya dalam
situasi kompleks.
8.3.
Peran Ilmu dalam Pendidikan Kemanusiaan
Aksiologi mendorong
paradigma bahwa ilmu bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk
membangun peradaban yang manusiawi. Maka, pendidikan ilmu
seharusnya tidak terjebak dalam utilitarianisme sempit, seperti sekadar menyiapkan
tenaga kerja untuk pasar, tetapi juga membentuk pribadi yang kritis, peduli, dan
bertanggung jawab.⁽⁵⁾ Dalam kerangka ini, ilmu harus diajarkan
bersamaan dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan, empati, dan
solidaritas.
Paulo
Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed,
menyerukan agar pendidikan membebaskan manusia melalui dialog dan kesadaran
kritis (conscientização).⁽⁶⁾
Ilmu yang diajarkan tanpa kesadaran akan nilai-nilai struktural yang
memengaruhi masyarakat akan cenderung mengukuhkan status quo dan ketimpangan.
Maka, pendidikan sains harus berorientasi pada transformasi sosial yang adil dan inklusif.
8.4.
Arah Baru Pengembangan Ilmu: Interdisipliner
dan Transformatif
Implikasi aksiologi
terhadap pengembangan ilmu juga mendorong pendekatan interdisipliner dan transformatif.
Kompleksitas persoalan global seperti perubahan iklim, kecerdasan buatan, dan
ketimpangan sosial tidak dapat dipecahkan hanya oleh satu cabang ilmu.⁽⁷⁾ Oleh
karena itu, pengembangan ilmu perlu melibatkan kolaborasi lintas disiplin yang
dibingkai oleh nilai-nilai keberlanjutan, keadilan, dan tanggung jawab jangka
panjang.
Fritjof
Capra mengusulkan pendekatan sistemik dalam sains yang
menggabungkan logika ilmiah dengan wawasan ekologis, etika, dan kesadaran
spiritual.⁽⁸⁾ Pendekatan ini menempatkan manusia bukan sebagai penguasa atas
alam, melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang saling tergantung. Hal ini
sejalan dengan semangat aksiologi yang tidak hanya menilai apa yang benar,
tetapi juga apa yang baik dan patut.
Penutup Subbagian
Pendidikan dan
pengembangan ilmu harus dijalankan dalam kerangka aksiologi yang
mengintegrasikan pengetahuan, nilai, dan tanggung jawab. Tanpa kesadaran
aksiologis, ilmu berisiko kehilangan arah dan berkontribusi pada krisis
multidimensi yang melanda dunia kontemporer. Oleh karena itu, mengarusutamakan
nilai dalam pendidikan sains adalah langkah strategis dalam membangun ilmu yang
beradab dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Hugh Lacey, Is Science Value Free? Values and Scientific
Understanding (London: Routledge, 2005), 44–46.
[2]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), 9–10.
[3]
Shamoo, Adil E., and David B. Resnik, Responsible Conduct of
Research, 3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2015), 27–31.
[4]
David B. Resnik, The Ethics of Science: An Introduction (New
York: Routledge, 1998), 75–78.
[5]
Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 6–9.
[6]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.
[7]
Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and
Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 197–199.
[8]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 273–275.
9.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan
telah menjadi kekuatan transformatif yang sangat besar dalam sejarah umat
manusia. Ia mampu mengungkap rahasia alam semesta, menciptakan teknologi
revolusioner, serta mengubah wajah sosial dan politik dunia. Namun, kekuatan
tersebut tidak bersifat netral; ia senantiasa beroperasi dalam
kerangka nilai yang eksplisit maupun implisit, serta memiliki konsekuensi etis
yang tak terhindarkan. Di sinilah aksiologi memainkan peran fundamental:
sebagai pengingat bahwa ilmu harus diarahkan tidak hanya untuk mengetahui,
tetapi juga untuk berbuat baik.
Aksiologi dalam ilmu
pengetahuan mengajarkan bahwa ilmu tidak berdiri di atas menara gading,
tetapi berakar pada kebutuhan manusia dan bertanggung jawab terhadap
implikasinya bagi kehidupan sosial, moral, dan ekologis. Ilmu yang dikembangkan
tanpa refleksi nilai akan kehilangan arah dan berpotensi menjadi alat dominasi,
eksploitasi, atau bahkan kehancuran. Sebaliknya, ilmu yang berpijak pada
nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keadilan, empati, dan tanggung jawab, akan
menjadi kekuatan yang memanusiakan dan membebaskan.¹
Kesadaran ini
semakin penting di tengah tantangan global abad ke-21—seperti perubahan iklim,
ketimpangan ekonomi, krisis kesehatan, dan konflik geopolitik—yang tidak dapat
diatasi oleh kecakapan teknis semata. Diperlukan rekontekstualisasi
ilmu dalam bingkai etika global dan tanggung jawab kolektif.²
Hal ini mensyaratkan adanya reformasi mendalam dalam cara ilmu diajarkan,
dikembangkan, dan diterapkan, termasuk dalam sistem pendidikan formal maupun
dalam kebijakan publik berbasis sains.
Sebagaimana
ditegaskan oleh Hans Jonas, kemajuan ilmu dan
teknologi membawa serta “imperatif tanggung jawab” baru: bahwa apa yang mungkin
secara teknis harus diimbangi oleh pertimbangan apakah hal itu layak secara
moral dan bermanfaat secara sosial.³ Dengan kata lain, semakin
besar kekuatan ilmu, semakin besar pula tanggung jawab etik yang menyertainya.
Untuk itu, diperlukan
upaya
kolektif lintas disiplin—antara ilmuwan, pendidik, pembuat
kebijakan, dan masyarakat sipil—untuk membangun paradigma keilmuan yang
humanis, inklusif, dan berkelanjutan. Aksiologi tidak lagi menjadi ranah
refleksi filosofis semata, tetapi menjadi peta moral yang membimbing arah ilmu
agar tetap berpihak pada kemanusiaan dan kehidupan.
Dengan demikian,
artikel ini menegaskan bahwa aksiologi adalah jantung dari filsafat ilmu
yang memberikan orientasi normatif terhadap apa yang seharusnya dilakukan oleh
ilmu. Melalui pengintegrasian nilai dan etika dalam seluruh proses
keilmuan—dari pendidikan hingga aplikasi—diharapkan bahwa ilmu pengetahuan
dapat menjalankan fungsinya sebagai sarana pembebasan dan pemuliaan martabat
manusia, bukan sebaliknya.
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 25–27.
[2]
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature, trans. Hella
Beister and William Rehg (Cambridge: Polity Press, 2003), 105–107.
[3]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 11–12.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1952). Language,
truth and logic. Dover Publications.
Beauchamp, T. L., &
Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.).
Oxford University Press.
Bird, K., & Sherwin, M.
J. (2006). American Prometheus: The triumph and tragedy of J. Robert
Oppenheimer. Vintage.
Capra, F., & Luisi, P.
L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge
University Press.
Collins, F. S., Morgan, M.,
& Patrinos, A. (2003). A vision for the future of genomics research. Nature,
422(6934), 835–847. nature01626
Creswell, J. W., &
Poth, C. N. (2018). Qualitative inquiry and research design: Choosing among
five approaches (4th ed.). Sage Publications.
Drahos, P., &
Braithwaite, J. (2002). Information feudalism: Who owns the knowledge
economy? Earthscan.
Freire, P. (2000). Pedagogy
of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Habermas, J. (1971). Knowledge
and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (2003). The
future of human nature (H. Beister & W. Rehg, Trans.). Polity Press.
Harding, S. (1991). Whose
science? Whose knowledge? Thinking from women’s lives. Cornell University
Press.
ICMJE. (2019). Recommendations
for the conduct, reporting, editing, and publication of scholarly work in
medical journals. International Committee of Medical Journal Editors. icmje-recommendations.pdf
Jonas, H. (1984). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Jasanoff, S. (1990). The
fifth branch: Science advisers as policymakers. Harvard University Press.
Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity:
History, theory, and practice. Wayne State University Press.
Kuhn, T. S. (1970). The
structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago
Press.
Laudan, L. (1984). Science
and values: The aims of science and their role in scientific debate.
University of California Press.
Lacey, H. (2005). Is
science value free? Values and scientific understanding. Routledge.
Longino, H. E. (1990). Science
as social knowledge: Values and objectivity in scientific inquiry.
Princeton University Press.
Mazzucato, M. (2021). Mission
economy: A moonshot guide to changing capitalism. Penguin Books.
Nussbaum, M. C. (2010). Not
for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton University
Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
Oreskes, N. (2019). Why
trust science? Princeton University Press.
Pielke Jr., R. A. (2007). The
honest broker: Making sense of science in policy and politics. Cambridge
University Press.
Regalado, A. (2019,
December 30). Chinese scientist who edited babies’ genes sentenced to three
years in prison. MIT Technology Review. technologyreview.com
Reichenbach, H. (1938). Experience
and prediction: An analysis of the foundations and the structure of knowledge.
University of Chicago Press.
Resnik, D. B. (1998). The
ethics of science: An introduction. Routledge.
Rhodes, R. (1986). The
making of the atomic bomb. Simon & Schuster.
Santos, B. de S. (2014). Epistemologies
of the South: Justice against epistemicide. Paradigm Publishers.
Shamoo, A. E., &
Resnik, D. B. (2015). Responsible conduct of research (3rd ed.).
Oxford University Press.
Shiva, V. (1993). Monocultures
of the mind: Perspectives on biodiversity and biotechnology. Zed Books.
Smith, L. T. (2012). Decolonizing
methodologies: Research and indigenous peoples (2nd ed.). Zed Books.
Sridhar, D. (2022). Preventable:
The politics of pandemics and how to stop the next one. Penguin Books.
Suriasumantri, J. S.
(2005). Ilmu dalam perspektif. Yayasan Obor Indonesia.
Weber, M. (1949).
Objectivity in social science and social policy. In E. A. Shils & H. A.
Finch (Eds. & Trans.), The methodology of the social sciences (pp.
50–112). Free Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar