Kamis, 06 November 2025

Ilmu Mantik II: Analisis Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis terhadap Tashawwur dan Tashdiq

Ilmu Mantik II

Analisis Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis terhadap Tashawwur dan Tashdiq


Alihkan ke: SKS Kuliah S1 Filsafat Islam.

Logika dalam FilsafatLogika dalam Filsafat Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif pembagian Ilmu Mantiq berdasarkan tipe pengetahuan, yaitu tashawwur (pemahaman konseptual tanpa penghakiman) dan tashdiq (penetapan proposisional atau pembenaran terhadap suatu konsep). Kajian ini menelusuri akar historis, struktur ontologis, dan landasan epistemologis dari kedua bentuk pengetahuan tersebut, serta menjelaskan relevansi aksiologis dan sosial-intelektualnya dalam tradisi keilmuan Islam. Secara historis, mantiq berperan sebagai alat berpikir rasional yang diadopsi, disistematisasi, dan diislamkan oleh para pemikir besar seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī. Secara ontologis, pembagian ini merepresentasikan dua bentuk keberadaan pengetahuan dalam akal—konseptual dan proposisional—yang saling melengkapi dalam proses intelektual manusia.

Dari segi epistemologi, tashawwur berfungsi sebagai dasar bagi pembentukan makna dan konsep, sedangkan tashdiq berfungsi untuk memverifikasi dan mengafirmasi kebenaran konsep tersebut melalui struktur silogistik. Aksiologinya terletak pada nilai-nilai moral dan etika berpikir yang ditanamkan oleh mantiq, seperti kejujuran intelektual, kehati-hatian rasional, dan tanggung jawab ilmiah. Dimensi sosial dan intelektual mantiq tampak dalam peranannya membentuk tradisi berpikir kritis di dunia Islam, serta dalam kemampuannya menyeimbangkan antara wahyu dan akal.

Secara filosofis, mantiq mencerminkan kesatuan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara struktur berpikir dan tatanan wujud. Dalam konteks kontemporer, pembagian tashawwur–tashdiq tetap relevan sebagai dasar bagi pendidikan kritis, epistemologi integral, dan etika berpikir di era digital. Dengan demikian, mantiq bukan sekadar logika formal, tetapi metodologi rasional dan etis yang membimbing manusia menuju kebenaran dan kebijaksanaan.

Kata kunci: mantiq, tashawwur, tashdiq, epistemologi Islam, logika Islam, rasionalitas, filsafat pengetahuan, al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazālī.


PEMBAHASAN

Pembagian Ilmu Mantiq Berdasarkan Tipe Pengetahuan


1.           Pendahuluan

Ilmu mantiq merupakan salah satu cabang pengetahuan paling fundamental dalam tradisi intelektual Islam. Ia berfungsi sebagai alat (ālah) bagi seluruh cabang ilmu lainnya untuk memastikan kebenaran berpikir dan kesahihan argumentasi. Dalam konteks epistemologi Islam, mantiq menempati posisi sentral sebagai disiplin yang menata proses berpikir agar terhindar dari kekeliruan dalam menyusun konsep (tashawwur) maupun dalam menetapkan kebenaran proposisi (tashdiq). Secara historis, para pemikir Muslim mengadopsi, mengadaptasi, dan mengislamkan struktur logika Aristotelian untuk menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip rasionalitas Islam yang berlandaskan tauhid dan wahyu.¹

Pembahasan tentang pembagian Ilmu Mantiq berdasarkan tipe pengetahuan berakar pada asumsi bahwa pengetahuan manusia memiliki dua bentuk utama: pengetahuan konseptual dan pengetahuan proposisional. Dalam istilah mantiq, keduanya dikenal sebagai tashawwur (pemahaman konseptual tanpa penghakiman) dan tashdiq (penetapan atau pembenaran terhadap proposisi).² Struktur ini tidak hanya menjadi kerangka logis dalam proses berpikir, tetapi juga menunjukkan bagaimana akal manusia bekerja dalam memahami realitas — dari membentuk konsep hingga membuat penilaian terhadapnya.

Setiap dari dua bentuk pengetahuan tersebut memiliki dua cabang turunan yang merepresentasikan tingkat kealamiahan dan kebutuhan berpikir manusia, yaitu dharūrī (naluriah atau langsung) dan nadhārī (diperoleh melalui penalaran dan berpikir mendalam).³ Klasifikasi ini menegaskan bahwa tidak semua pengetahuan diperoleh melalui proses intelektual aktif; sebagian di antaranya bersifat intuitif, spontan, dan langsung ditangkap oleh akal tanpa perantara argumentasi. Namun, sebagian lainnya memerlukan perenungan, pembuktian, dan proses berpikir yang sistematis.

Dalam kerangka keilmuan Islam, pembagian mantiq berdasarkan tipe pengetahuan tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga filosofis. Ia mencerminkan pandangan Islam tentang struktur pengetahuan manusia yang berakar pada keteraturan ciptaan dan keteraturan akal.⁴ Dengan memahami perbedaan antara tashawwur dan tashdiq, seorang pelajar tidak hanya mempelajari cara berpikir yang benar, tetapi juga memahami hubungan mendasar antara konsep, proposisi, dan realitas. Oleh karena itu, pembahasan tentang pembagian Ilmu Mantiq ini memiliki relevansi besar, baik dalam pendidikan logika klasik di madrasah dan pesantren, maupun dalam pengembangan epistemologi Islam kontemporer yang berupaya mengintegrasikan rasionalitas dan spiritualitas.⁵

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan struktur dan makna pembagian Ilmu Mantiq berdasarkan tipe pengetahuan, meliputi aspek ontologis (hakikat bentuk pengetahuan), epistemologis (cara pengetahuan diperoleh dan divalidasi), serta aksiologis (nilai dan fungsi praktisnya bagi keilmuan Islam). Dengan pendekatan sistematis dan filosofis, tulisan ini berupaya menelusuri landasan, perkembangan, dan relevansi pembagian mantiq dalam kerangka berpikir Islami yang integral dan humanistik.


Footnotes

[1]                ¹ Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 7.

[2]                ² Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 43.

[3]                ³ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 22.

[4]                ⁴ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 11–13.

[5]                ⁵ Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 25–28.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Ilmu mantiq dalam tradisi Islam memiliki akar historis yang kuat, bermula dari upaya kaum Muslimin untuk mengintegrasikan warisan filsafat Yunani dengan kerangka epistemologi Islam. Secara genealogis, mantiq diperkenalkan ke dunia Islam melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya di bawah naungan Bayt al-Hikmah di Baghdad pada abad ke-9 M.¹ Karya-karya Aristoteles seperti Organon menjadi pondasi utama bagi para filsuf Muslim untuk mengembangkan sistem logika yang selaras dengan prinsip-prinsip tauhid dan keimanan. Namun, perkembangan mantiq di tangan para pemikir Islam tidak bersifat imitasi, melainkan asimilatif dan kreatif.²

Tokoh penting pertama yang mengembangkan mantiq secara sistematis dalam konteks Islam adalah al-Fārābī (w. 950 M), yang dijuluki al-Mu‘allim al-Thānī (Guru Kedua) setelah Aristoteles.³ Melalui karya-karyanya seperti Kitāb al-Qiyās dan Iḥṣā’ al-‘Ulūm, al-Fārābī menegaskan posisi mantiq sebagai alat berpikir universal yang membimbing akal menuju kebenaran. Ia membedakan antara pengetahuan konseptual (tashawwur) dan pengetahuan proposisional (tashdiq), dan menegaskan bahwa kebenaran logis hanya dapat dicapai melalui keterpaduan keduanya.⁴ Dalam pandangan al-Fārābī, logika bukan sekadar cabang filsafat, tetapi merupakan metodologi universal untuk seluruh ilmu.

Pemikiran al-Fārābī kemudian dikembangkan oleh Ibn Sīnā (Avicenna, w. 1037 M), yang mengarahkan mantiq ke arah lebih sistematis dan metafisik. Dalam Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt dan Al-Najāt, Ibn Sīnā membangun kerangka epistemologis di mana tashawwur menjadi fondasi tashdiq, sebagaimana konsep tidak dapat dihakimi sebelum dipahami.⁵ Ia juga memperkenalkan klasifikasi penting antara pengetahuan dharūrī (naluriah) dan nadhārī (diskursif), yang kemudian menjadi landasan utama bagi logika dan filsafat Islam. Dengan Ibn Sīnā, mantiq mengalami transformasi dari sekadar alat teknis menjadi epistemologi rasional yang berakar pada realitas intelektual manusia.

Setelah Ibn Sīnā, al-Ghazālī (w. 1111 M) memainkan peran penting dalam meneguhkan mantiq dalam sistem pendidikan Islam. Dalam Mi‘yār al-‘Ilm dan Miḥakk al-Naẓar, ia membela mantiq dari tuduhan sebagai produk asing, dan menegaskan bahwa logika adalah syarat sahnya berpikir ilmiah dan beragama.⁶ Al-Ghazālī bahkan menjadikan mantiq sebagai prasyarat bagi studi ushūl al-fiqh dan kalam, dengan menegaskan bahwa siapa yang tidak menguasai logika “tidak dapat dipercaya dalam ilmunya.”⁷ Melalui upayanya, mantiq masuk ke dalam kurikulum madrasah dan pesantren, serta menjadi bagian dari tradisi ilmiah Islam hingga berabad-abad berikutnya.

Pada masa setelahnya, mantiq dikembangkan lebih lanjut oleh Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī (w. 1274 M) dalam Asās al-Iqtibās, yang memperhalus struktur silogisme dan memperjelas pembedaan antara proposisi yang bersifat tasawwuriyyah dan tasdiqiyyah.⁸ Al-Ṭūsī berperan dalam menjembatani warisan logika Avicenna dengan tradisi madrasah di Iran dan Asia Tengah. Pada masa modern, karya-karya klasik tersebut dikaji ulang oleh para peneliti seperti Khaled El-Rouayheb dan Nicholas Rescher, yang menyoroti kesinambungan rasionalitas Islam melalui tradisi mantiq.⁹

Secara genealogis, pembagian mantiq menjadi tashawwur dan tashdiq merefleksikan dinamika panjang antara filsafat, teologi, dan pendidikan dalam Islam. Ia menunjukkan bagaimana logika diadaptasi, diislamkan, dan dijadikan instrumen untuk menjaga integritas berpikir umat Islam. Tradisi ini tidak hanya melahirkan sistem berpikir yang rasional, tetapi juga membentuk etos ilmiah Islam yang menghargai keteraturan, kehati-hatian, dan pencarian kebenaran yang berlandaskan akal dan wahyu.¹⁰


Footnotes

[1]                ¹ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th Centuries) (London: Routledge, 1998), 36–38.

[2]                ² F. E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 45–47.

[3]                ³ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 117.

[4]                ⁴ Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 22–25.

[5]                ⁵ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 41–43.

[6]                ⁶ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 12.

[7]                ⁷ Al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Ḥamzah bin Zayn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 9.

[8]                ⁸ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 27–31.

[9]                ⁹ Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 18–22; Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 56–58.

[10]             ¹⁰ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 36–38.


3.           Ontologi Ilmu Mantiq dan Tipe Pengetahuan

Secara ontologis, mantiq dipahami sebagai ilmu tentang bentuk dan struktur pengetahuan akal manusia, bukan tentang substansi realitas eksternal.¹ Dalam hal ini, mantiq berbeda dari ilmu empiris atau metafisika karena tidak berurusan langsung dengan hakikat benda, melainkan dengan cara akal mengabstraksikan, menyusun, dan menilai makna. Al-Fārābī menjelaskan bahwa logika adalah ‘ilm al-qawānīn al-‘aqliyyah — ilmu tentang hukum-hukum rasional yang mengatur proses berpikir agar sesuai dengan kebenaran.² Dengan demikian, ontologi mantiq bersifat formal dan normatif: ia tidak menentukan “apa yang ada,” melainkan “bagaimana berpikir tentang yang ada dengan benar.”

Dalam konteks ontologi pengetahuan, mantiq beroperasi pada dua tataran realitas intelektual: ma‘qūl awwal (konsep pertama) dan ma‘qūl tsānī (konsep kedua).³ Ma‘qūl awwal berkaitan dengan pengenalan langsung terhadap hakikat sesuatu sebagaimana dipahami oleh akal, misalnya konsep “manusia,” “keadilan,” atau “kehidupan.” Sedangkan ma‘qūl tsānī adalah konsep reflektif yang timbul ketika akal memikirkan hubungan antar-konsep, seperti “universalitas,” “genus,” atau “predikasi.”⁴ Pembagian ini menegaskan bahwa setiap pengetahuan memiliki lapisan ontologis ganda: pertama, sebagai isi konseptual (substansi makna), dan kedua, sebagai bentuk relasional (struktur logis).

Dalam kerangka tersebut, pembagian mantiq menjadi tashawwur dan tashdiq menunjukkan dua modus keberadaan pengetahuan dalam akal. Tashawwur adalah eksistensi pengetahuan dalam bentuk ma‘nā (makna murni tanpa penilaian), sementara tashdiq adalah eksistensi pengetahuan dalam bentuk qaul syarīf (pernyataan yang menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain).⁵ Dengan kata lain, tashawwur merepresentasikan sisi ontologis dari konsep (being-as-conceived), sedangkan tashdiq merepresentasikan sisi ontologis dari proposisi (being-as-asserted). Ibn Sīnā menegaskan bahwa keduanya merupakan dua bentuk eksistensi pengetahuan yang saling melengkapi: “Tak mungkin ada penetapan tanpa konsep, dan tak berarti ada konsep tanpa kemungkinan penetapan.”⁶

Lebih lanjut, dalam kerangka mantiq Islam, setiap bentuk pengetahuan — baik tashawwur maupun tashdiq — memiliki dua dimensi keberadaan: dharūrī (naluriah, langsung) dan nadhārī (diskursif, diperoleh melalui penalaran).⁷ Pengetahuan dharūrī memiliki keberadaan ontologis yang melekat pada akal, muncul secara spontan tanpa perantara pembuktian; contohnya kesadaran akan keberadaan diri atau prinsip bahwa “seluruh lebih besar dari bagian.” Sementara itu, pengetahuan nadhārī menuntut proses berpikir aktif dan deduktif, seperti menyimpulkan hukum-hukum alam dari observasi. Pembagian ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam, struktur pengetahuan manusia mencerminkan gradasi ontologis dari yang fitri hingga yang reflektif.⁸

Ontologi mantiq juga berkaitan dengan konsep ‘aql sebagai entitas rasional yang memiliki potensi untuk menangkap hakikat realitas. Dalam pandangan para filsuf Muslim, akal bukan sekadar alat berpikir, tetapi juga bagian dari tatanan kosmik yang merefleksikan keteraturan ciptaan Ilahi.⁹ Oleh sebab itu, hukum-hukum mantiq dipandang selaras dengan tatanan realitas objektif; berpikir secara logis berarti berpikir sejalan dengan tatanan wujud yang ditetapkan Allah. Dalam pandangan al-Ghazālī, keteraturan akal dan keteraturan ciptaan merupakan dua manifestasi dari satu prinsip kebenaran Ilahi, sehingga pelanggaran terhadap logika berarti penyimpangan terhadap fitrah intelektual manusia.¹⁰

Dengan demikian, ontologi mantiq menempatkan pengetahuan sebagai bentuk keberadaan mental yang mencerminkan realitas rasional. Ia tidak sekadar alat berpikir, tetapi juga cerminan dari struktur ontologis dunia yang teratur. Melalui tashawwur dan tashdiq, manusia mengaktualkan potensi intelektualnya untuk memahami, menilai, dan menegaskan realitas secara benar. Maka, mantiq tidak hanya berbicara tentang cara berpikir benar, tetapi juga tentang bagaimana berpikir itu sendiri merupakan bagian dari eksistensi manusia sebagai makhluk rasional (al-insān al-nāṭiq).¹¹


Footnotes

[1]                ¹ Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 21.

[2]                ² Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 9.

[3]                ³ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Muhyī al-Dīn Ṣabrī (Cairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1938), 35.

[4]                ⁴ Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 258–260.

[5]                ⁵ Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1968), 74.

[6]                ⁶ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 43.

[7]                ⁷ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 18–19.

[8]                ⁸ Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 62.

[9]                ⁹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 97–99.

[10]             ¹⁰ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 14.

[11]             ¹¹ Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 32–34.


4.           Epistemologi Pembagian Ilmu Mantiq

Epistemologi mantiq berfokus pada bagaimana pengetahuan diperoleh, dibentuk, dan divalidasi oleh akal. Ia mengatur hukum-hukum berpikir yang menjamin transisi dari ketidaktahuan menuju pengetahuan yang benar.¹ Dalam kerangka ini, mantiq membagi seluruh bentuk pengetahuan menjadi dua kategori utama: tashawwur (konsepsi) dan tashdiq (asersi atau pembenaran). Keduanya bukan hanya tahap-tahap berpikir, tetapi juga struktur epistemologis yang membentuk keseluruhan aktivitas intelektual manusia.²

4.1.       Tashawwur (Pemahaman Konseptual)

Tashawwur secara epistemologis adalah bentuk pengetahuan yang tidak mengandung penetapan benar atau salah, melainkan sekadar pemahaman terhadap hakikat sesuatu sebagaimana ditangkap oleh akal.³ Ia merupakan proses idrak ma‘nā, yakni penangkapan makna tanpa penghakiman. Misalnya, ketika akal memahami makna “pohon,” “manusia,” atau “keadilan,” maka ia sedang berada dalam ranah tashawwur. Menurut Ibn Sīnā, pengetahuan pada tahap ini bersifat ṣūrah ma‘qūlah—yakni bentuk mental yang merepresentasikan objek eksternal di dalam akal tanpa menilai kebenarannya.⁴

Secara epistemologis, tashawwur dapat diperoleh melalui dua cara:

1)                  Tashawwur Dharūrī, yaitu pemahaman langsung yang bersifat naluriah dan tidak membutuhkan penalaran, seperti pengetahuan tentang eksistensi diri atau konsep “ada.” Pengetahuan jenis ini bersifat intuitif dan universal, karena akal secara spontan menangkapnya.⁵

2)                  Tashawwur Nadhārī, yaitu pemahaman yang diperoleh melalui proses berpikir, penalaran, dan definisi. Misalnya, ketika seseorang mendefinisikan “manusia” sebagai “hewan rasional,” ia telah melakukan aktivitas konseptual yang menuntut analisis dan pembatasan makna.⁶

Al-Fārābī menegaskan bahwa tugas logika dalam ranah tashawwur adalah menyusun ta‘rīf (definisi) yang sahih untuk menghindari kekacauan makna.⁷ Definisi merupakan instrumen epistemologis untuk memastikan bahwa konsep yang dipahami memiliki batasan esensial yang jelas, sehingga dapat digunakan sebagai dasar bagi penalaran yang benar. Dengan demikian, tashawwur menjadi prasyarat bagi setiap bentuk tashdiq, sebab penilaian tidak mungkin dilakukan tanpa adanya konsep yang terlebih dahulu dipahami.⁸

4.2.       Tashdiq (Penetapan atau Pembenaran)

Tashdiq adalah bentuk pengetahuan yang melibatkan penetapan benar atau salah terhadap suatu proposisi.⁹ Dalam istilah mantiq, tashdiq terjadi ketika akal menyusun dua konsep dalam satu proposisi dan menegaskan adanya hubungan di antara keduanya. Misalnya, pernyataan “manusia adalah makhluk hidup” mengandung dua tashawwur—tentang “manusia” dan “makhluk hidup”—yang dihubungkan oleh penetapan tashdiq.¹⁰

Sebagaimana tashawwur, tashdiq juga terbagi menjadi dua tingkatan epistemologis:

1)                  Tashdiq Dharūrī, yaitu keyakinan yang tidak membutuhkan pembuktian karena kebenarannya langsung diterima oleh akal, seperti “seluruh lebih besar dari sebagian,” atau “dua lebih banyak dari satu.”¹¹ Pengetahuan jenis ini muncul dari intuisi rasional dan pengalaman universal.

2)                  Tashdiq Nadhārī, yaitu keyakinan yang diperoleh melalui penalaran (istidlāl) dan pembuktian (burhān).¹² Ia memerlukan struktur silogistik di mana premis-premis saling terkait untuk menghasilkan kesimpulan yang sahih. Dengan demikian, tashdiq nadhārī merupakan bentuk pengetahuan yang paling tinggi dalam mantiq karena melibatkan deduksi rasional dan pembenaran intelektual.

Ibn Sīnā menegaskan bahwa tashdiq adalah tujuan akhir dari seluruh aktivitas berpikir; ia mengubah pengetahuan konseptual menjadi kebenaran proposisional.¹³ Dalam logika, proses ini dilakukan melalui silogisme (qiyās), yakni penyusunan proposisi yang membawa akal dari premis-premis yang telah diketahui menuju kesimpulan baru yang pasti.

4.3.       Hubungan antara Tashawwur dan Tashdiq

Secara epistemologis, tashawwur dan tashdiq memiliki hubungan hierarkis dan fungsional. Tashawwur menjadi syarat bagi tashdiq, karena proposisi tidak dapat disusun tanpa adanya konsep yang jelas. Namun, tashdiq memberi makna epistemologis yang lebih tinggi, karena ia menegaskan relasi logis antara dua konsep dan membuka jalan bagi pengetahuan yang teruji.¹⁴ Al-Tūsī menjelaskan bahwa tashawwur berperan dalam memahami “apa sesuatu itu,” sedangkan tashdiq berperan dalam mengetahui “apakah sesuatu itu ada” atau “benarkah sesuatu itu demikian.”¹⁵

Hubungan dialektis ini menggambarkan mekanisme berpikir manusia yang bergerak dari persepsi menuju penilaian, dari konsep menuju kebenaran, dari pengetahuan murni menuju pengetahuan yang bernilai. Dalam konteks ini, mantiq tidak hanya berfungsi sebagai alat berpikir, tetapi juga sebagai disiplin epistemologis yang menuntun akal untuk mengenali validitas pengetahuan, baik yang bersifat intuitif maupun inferensial.¹⁶

Dengan demikian, epistemologi pembagian Ilmu Mantiq menunjukkan bahwa struktur berpikir manusia bersifat dua lapis — konseptual dan proposisional — yang saling melengkapi. Tashawwur memastikan kejelasan makna, sedangkan tashdiq memastikan kebenaran hubungan. Keduanya membentuk fondasi epistemik bagi semua ilmu dalam Islam, dari fiqh hingga falsafah, dari kalam hingga tasawuf, karena semua ilmu memerlukan kejelasan konsep dan ketepatan penetapan.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 10.

[2]                ² Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 27.

[3]                ³ Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 11.

[4]                ⁴ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 42–43.

[5]                ⁵ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 17.

[6]                ⁶ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Muhyī al-Dīn Ṣabrī (Cairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1938), 32.

[7]                ⁷ Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1968), 76.

[8]                ⁸ Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 260.

[9]                ⁹ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 121.

[10]             ¹⁰ Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 35.

[11]             ¹¹ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, 13.

[12]             ¹² Ibn Sīnā, Al-Shifā’: Al-Burhān, ed. Abū al-‘Alā Afīfī (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1952), 28–30.

[13]             ¹³ Ibid., 35.

[14]             ¹⁴ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 104.

[15]             ¹⁵ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, 21.

[16]             ¹⁶ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 42.

[17]             ¹⁷ M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: Octagon Press, 1982), 57–58.


5.           Aksiologi Pembagian Ilmu Mantiq

Aksiologi mantiq berkaitan dengan nilai, tujuan, dan fungsi praktis dari pembagian pengetahuan ke dalam tashawwur dan tashdiq bagi kehidupan intelektual manusia. Secara umum, mantiq tidak hanya menata cara berpikir agar benar, tetapi juga membimbing manusia menuju pemahaman yang bernilai—yakni pengetahuan yang tidak berhenti pada tataran teoritis, melainkan berfungsi untuk mengantarkan akal kepada kebenaran dan kebijaksanaan (ḥikmah).¹ Dengan demikian, pembagian mantiq bukan sekadar klasifikasi epistemologis, tetapi juga memiliki dimensi etis dan edukatif yang mengarahkan akal agar berfungsi sesuai fitrahnya sebagai instrumen pencari kebenaran.²

5.1.       Nilai dan Tujuan Praktis Pembagian Mantiq

Tujuan utama pembagian mantiq adalah untuk menegakkan disiplin berpikir yang teratur, terarah, dan bebas dari kekeliruan logis (safasāt).³ Tashawwur berfungsi menjaga kejernihan konsep sehingga tidak terjadi kekaburan makna (iltibās), sedangkan tashdiq menjaga ketepatan dalam menghubungkan konsep agar kesimpulan yang dihasilkan sahih.⁴ Dengan demikian, mantiq mengajarkan bahwa berpikir benar tidak hanya berarti berargumentasi logis, tetapi juga membentuk mentalitas intelektual yang hati-hati, sistematis, dan objektif.

Dalam pendidikan Islam klasik, nilai praktis ini terlihat dalam adab berpikir ilmiah yang diajarkan di madrasah dan pesantren: seorang pelajar diwajibkan memahami konsep (taṣawwur) sebelum mengeluarkan penilaian (taṣdīq).⁵ Kedisiplinan intelektual semacam ini mencerminkan nilai moral dari mantiq sebagai ilmu yang menumbuhkan ketepatan (accuracy), kejujuran intelektual (intellectual honesty), dan tanggung jawab rasional. Dalam konteks ini, mantiq bukan hanya instrumen kognitif, tetapi juga sarana pembentukan karakter ilmiah.⁶

5.2.       Fungsi Etis dan Pedagogis

Secara aksiologis, mantiq mengandung fungsi etis, karena ia mengajarkan manusia untuk berpikir dengan cara yang adil dan seimbang. Ibn Sīnā menegaskan bahwa kebenaran logis adalah cerminan dari keteraturan alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan; maka berpikir secara logis berarti berpartisipasi dalam tatanan Ilahi.⁷ Oleh sebab itu, kesalahan berpikir tidak hanya merupakan cacat intelektual, tetapi juga bentuk penyimpangan dari fitrah rasional yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Dalam hal ini, nilai etis mantiq terletak pada upayanya untuk menegakkan integritas berpikir sebagai bagian dari tanggung jawab moral seorang ilmuwan.⁸

Selain itu, fungsi pedagogis mantiq juga sangat menonjol. Al-Ghazālī menjadikan logika sebagai pintu masuk menuju seluruh cabang ilmu, karena hanya dengan berpikir logis seseorang dapat memahami struktur argumentasi dalam fiqh, kalam, dan falsafah.⁹ Pembagian tashawwur dan tashdiq berfungsi sebagai panduan pedagogis untuk menata kurikulum keilmuan: peserta didik harus terlebih dahulu memahami definisi dan konsep, baru kemudian menelaah argumentasi dan pembuktian.¹⁰ Pendekatan ini menunjukkan bagaimana mantiq berperan dalam membangun metodologi ilmiah yang berakar pada tatanan moral dan spiritual Islam.

5.3.       Relevansi Aksiologis terhadap Akal dan Iman

Dalam perspektif filsafat Islam, nilai tertinggi dari mantiq terletak pada kemampuannya untuk menyatukan rasionalitas dan iman.¹¹ Akal yang teratur dan benar adalah sarana untuk memahami wahyu secara tepat, sedangkan iman yang disertai logika yang sehat melahirkan kebijaksanaan. Oleh karena itu, pembagian mantiq menjadi tashawwur dan tashdiq juga mencerminkan dua dimensi manusia: dimensi konseptual yang memahami hakikat kebenaran, dan dimensi evaluatif yang menegaskan kebenaran tersebut dalam keyakinan.¹²

Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī menyebut bahwa “ilmu tanpa mantiq seperti tubuh tanpa jiwa,” karena tanpa aturan berpikir, pengetahuan mudah tergelincir pada kekacauan dan kontradiksi.¹³ Nilai praktis dari mantiq adalah membimbing akal untuk tetap seimbang antara spontanitas (dharūrīyah) dan refleksi rasional (naẓarīyah). Keseimbangan ini merupakan manifestasi dari prinsip Islam tentang wasatiyyah (moderasi), yang juga merupakan nilai etis dalam berpikir ilmiah.¹⁴

5.4.       Dimensi Humanistik dan Peradaban Ilmu

Aksiologi pembagian mantiq juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan peradaban ilmu dalam Islam. Para pemikir Muslim seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā menganggap bahwa mantiq adalah fondasi bagi semua cabang pengetahuan, mulai dari ilmu alam hingga teologi, karena semua memerlukan kejelasan konsep dan ketepatan penetapan.¹⁵ Nilai humanistiknya terletak pada kemampuannya menumbuhkan ta‘aqqul (aktivitas rasional) dan tafakkur (refleksi mendalam), dua bentuk keutamaan yang sering disebut dalam Al-Qur’an. Dengan berpikir logis dan sistematis, manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga memahami dirinya sebagai makhluk berakal yang memiliki tanggung jawab moral dan spiritual.¹⁶

Oleh karena itu, mantiq memiliki nilai aksiologis yang integral: ia menyatukan kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam satu kesatuan rasionalitas yang berorientasi pada kebenaran Ilahi. Pembagian tashawwur dan tashdiq menjadi refleksi konkret dari bagaimana Islam memandang akal—bukan sebagai entitas yang bebas dari nilai, tetapi sebagai sarana etis untuk mengarahkan manusia menuju kebenaran dan kebijaksanaan sejati.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 102.

[2]                ² Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1968), 75.

[3]                ³ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 9–10.

[4]                ⁴ Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 33.

[5]                ⁵ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 39.

[6]                ⁶ M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: Octagon Press, 1982), 59.

[7]                ⁷ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 44.

[8]                ⁸ Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 26.

[9]                ⁹ Al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Ḥamzah bin Zayn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 12.

[10]             ¹⁰ Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 40.

[11]             ¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 121.

[12]             ¹² Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 126.

[13]             ¹³ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 31.

[14]             ¹⁴ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, 15.

[15]             ¹⁵ Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, 78.

[16]             ¹⁶ Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 65.

[17]             ¹⁷ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 2nd ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 58–60.


6.           Dimensi Sosial dan Intelektual

Ilmu mantiq dalam Islam tidak hanya berperan sebagai instrumen individual untuk berpikir benar, tetapi juga memiliki dimensi sosial dan intelektual yang luas. Ia menjadi fondasi bagi pembentukan budaya ilmiah dan tradisi berpikir kritis dalam peradaban Islam.¹ Melalui pembagian tashawwur dan tashdiq, mantiq berfungsi sebagai sistem rasional yang mengatur interaksi manusia dengan pengetahuan, sekaligus membangun tatanan sosial yang berlandaskan pada nalar, argumentasi, dan kebenaran.

6.1.       Mantiq sebagai Fondasi Tradisi Intelektual Islam

Sejak abad ke-10, mantiq telah menjadi bagian integral dari kurikulum keilmuan di madrasah dan pesantren.² Para ulama seperti al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī menegaskan bahwa logika merupakan prasyarat bagi semua ilmu (muqaddimah li-kulli ‘ilm), baik dalam fiqh, kalam, maupun falsafah.³ Tradisi ini melahirkan generasi cendekiawan yang berpikir sistematis dan metodologis. Dalam konteks ini, tashawwur melatih kejernihan konsep dan keakuratan definisi, sedangkan tashdiq menanamkan kemampuan bernalar dan berargumentasi yang benar. Keduanya membentuk dasar epistemik bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam klasik.⁴

Institusionalisasi mantiq di dunia Islam juga menunjukkan pergeseran penting dalam sejarah intelektual: dari hafalan menuju rasionalitas.⁵ Di madrasah-madrasah seperti Nizāmiyyah di Baghdad atau Mustansiriyyah, pengajaran mantiq dijadikan bagian dari pembentukan adab al-‘aql (etika berpikir).⁶ Ini menunjukkan bahwa berpikir benar tidak hanya merupakan kemampuan intelektual, tetapi juga bentuk akhlāq ‘ilmiyyah—moralitas intelektual yang memuliakan kebenaran di atas kepentingan pribadi.

6.2.       Peranan Sosial Mantiq dalam Kehidupan Keilmuan dan Keagamaan

Dalam kehidupan sosial-intelektual umat Islam, mantiq berperan sebagai jembatan antara wahyu dan akal.⁷ Ia memungkinkan umat memahami teks-teks keagamaan secara rasional dan sistematis tanpa kehilangan kedalaman spiritual. Misalnya, dalam ushūl al-fiqh, konsep tashawwur digunakan untuk merumuskan definisi hukum dan kategori normatif, sementara tashdiq digunakan dalam proses istidlāl (penalaran hukum).⁸ Dengan demikian, logika menjadi alat untuk menyeimbangkan antara otoritas wahyu dan kebebasan akal dalam memahami hukum Tuhan.

Dalam konteks sosial, pembagian mantiq juga berkontribusi terhadap etos dialogis dalam tradisi Islam. Para ulama mutakallimūn (teolog) menggunakan struktur tashawwur dan tashdiq untuk menyusun argumen rasional dalam diskusi antar mazhab.⁹ Dengan demikian, logika berperan sebagai bahasa universal yang memungkinkan terjadinya komunikasi intelektual lintas tradisi dan mazhab. Hal ini memperkuat kohesi sosial umat melalui rasionalitas dan etika dialog.¹⁰

6.3.       Pengaruh Mantiq terhadap Perkembangan Ilmu dan Pendidikan

Secara historis, mantiq berperan penting dalam membentuk metode ilmiah Islam yang bercorak deduktif.¹¹ Al-Ghazālī, misalnya, menyusun Mi‘yār al-‘Ilm untuk mengajarkan prinsip berpikir rasional sebagai fondasi seluruh ilmu, termasuk teologi dan hukum.¹² Di dunia Timur Islam, al-Ṭūsī memperdalam struktur silogistik dan menanamkannya dalam tradisi pendidikan di madrasah Persia dan Asia Tengah, sehingga logika menjadi bagian dari pembentukan intelektualitas kolektif masyarakat Muslim.¹³

Pada era modern, dimensi sosial mantiq kembali muncul dalam konteks reformasi pendidikan Islam. Fazlur Rahman dan Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa pembelajaran logika perlu dihidupkan kembali untuk melawan fragmentasi berpikir modern yang terlepas dari nilai dan moral.¹⁴ Mereka melihat mantiq bukan hanya sebagai alat akademik, tetapi juga sebagai sarana etis untuk menumbuhkan budaya berpikir kritis dan reflektif di kalangan umat Islam.¹⁵ Dengan demikian, mantiq menjadi sarana rekonstruksi intelektual yang relevan dengan tantangan kontemporer, terutama dalam menghadapi krisis rasionalitas dan informasi di era digital.

6.4.       Sinergi antara Rasionalitas dan Spiritualitas

Dimensi sosial dan intelektual mantiq mencapai puncaknya ketika rasionalitas dipadukan dengan spiritualitas. Dalam pandangan para filosof Muslim klasik, berpikir logis adalah bentuk ibadah, karena ia mencerminkan kesadaran akan keteraturan ciptaan Allah.¹⁶ Oleh karena itu, aktivitas tashawwur dan tashdiq bukan hanya kegiatan kognitif, tetapi juga spiritual: yang pertama melatih kejernihan akal, dan yang kedua meneguhkan kejujuran hati dalam menilai kebenaran.¹⁷

Maka, mantiq berperan sebagai pilar peradaban yang menyatukan intelektualitas dan moralitas. Ia menanamkan kesadaran bahwa berpikir adalah bagian dari tanggung jawab sosial, dan bahwa kebenaran bukan milik individu, melainkan milik komunitas rasional yang berorientasi pada nilai-nilai Ilahi.¹⁸ Dengan begitu, pembagian tashawwur dan tashdiq bukan hanya struktur logis, tetapi juga simbol keseimbangan antara akal dan iman, antara individu dan masyarakat, antara ilmu dan adab.¹⁹


Footnotes

[1]                ¹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 106.

[2]                ² Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 38.

[3]                ³ Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1968), 77–78.

[4]                ⁴ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 128.

[5]                ⁵ Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 72.

[6]                ⁶ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 86.

[7]                ⁷ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 118.

[8]                ⁸ Al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Ḥamzah bin Zayn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 14.

[9]                ⁹ Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 41.

[10]             ¹⁰ Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 262.

[11]             ¹¹ Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 70.

[12]             ¹² Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 11–13.

[13]             ¹³ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 34.

[14]             ¹⁴ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 44–46.

[15]             ¹⁵ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 2nd ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 63.

[16]             ¹⁶ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 45.

[17]             ¹⁷ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, 16.

[18]             ¹⁸ M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: Octagon Press, 1982), 62.

[19]             ¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen & Unwin, 1981), 93.


7.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Kajian tentang pembagian Ilmu Mantiq ke dalam tashawwur dan tashdiq telah menjadi tema perdebatan filosofis yang panjang dalam tradisi Islam maupun dalam studi logika modern. Sebagai kerangka epistemologis klasik, struktur ini dinilai memiliki kekuatan konseptual yang tinggi, tetapi juga menimbulkan sejumlah problem filosofis, terutama ketika dihadapkan pada teori pengetahuan kontemporer yang lebih empiris, linguistik, dan psikologis.¹ Oleh karena itu, diperlukan kritik dan klarifikasi filosofis untuk memahami kedudukan tashawwur–tashdiq secara lebih proporsional, baik dalam konteks historis maupun dalam horizon filsafat ilmu modern.

7.1.       Kritik terhadap Dualisme Epistemologis

Salah satu kritik utama terhadap pembagian mantiq klasik datang dari sebagian filsuf modern yang menganggap pembedaan antara tashawwur (pemahaman konseptual) dan tashdiq (penetapan proposisional) bersifat artifisial dan terlalu dikotomis.² Dalam pandangan epistemologi empiris dan linguistik, pengetahuan tidak pernah hadir sebagai konsep murni tanpa konotasi proposisional; setiap konsep sudah mengandung bentuk pengakuan implisit terhadap suatu realitas.³ Dengan demikian, klaim bahwa tashawwur sepenuhnya bebas dari penghakiman dipandang tidak realistis secara psikologis maupun linguistik.

Namun, para logikawan Islam seperti Ibn Sīnā dan al-Fārābī sebenarnya tidak bermaksud memisahkan keduanya secara ontologis, melainkan secara fungsional.⁴ Tashawwur dan tashdiq adalah dua modus operandi akal, bukan dua substansi yang terpisah. Clarifikasi ini penting, karena dalam mantiq Islam, akal bekerja secara bertingkat: memahami makna terlebih dahulu, lalu menetapkan kebenaran. Kritik modern yang menolak dualisme ini seringkali berangkat dari salah tafsir terhadap struktur logika Islam yang bersifat hierarkis, bukan dualistik.⁵

7.2.       Klarifikasi terhadap Konsep Dharūrī dan Naẓarī

Aspek lain yang sering dikritik adalah pembagian tashawwur dan tashdiq ke dalam kategori dharūrī (naluriah) dan naẓarī (diskursif). Dalam pandangan sebagian epistemolog modern, kategori “naluriah” dianggap problematik karena tidak memiliki dasar empiris yang kuat.⁶ Akan tetapi, bagi para filosof Muslim klasik, pengetahuan dharūrī bukanlah bentuk insting buta, melainkan intuisi rasional (fitrah ‘aqliyyah) yang merupakan bagian dari struktur bawaan akal manusia.⁷

Al-Ghazālī, misalnya, menegaskan bahwa pengetahuan seperti “dua lebih besar dari satu” atau “seluruh lebih besar dari sebagian” tidak memerlukan pembuktian karena merupakan pengetahuan yang badīhī (self-evident).⁸ Sementara naẓarī adalah bentuk pengetahuan yang diperoleh melalui pembuktian silogistik (burhān). Dalam konteks modern, pembagian ini sejajar dengan distingsi antara a priori dan a posteriori dalam epistemologi Kantian.⁹ Dengan demikian, apa yang tampak sebagai dikotomi metafisik dalam logika Islam sebenarnya mencerminkan intuisi epistemologis universal tentang sumber dan proses pengetahuan.¹⁰

7.3.       Kritik dari Perspektif Filsafat Bahasa dan Logika Modern

Filsafat analitik abad ke-20 juga memberikan kritik terhadap struktur logika klasik, termasuk mantiq. Tokoh seperti Ludwig Wittgenstein dan Bertrand Russell berpendapat bahwa makna (konsep) tidak dapat dipisahkan dari bentuk pernyataannya dalam bahasa.¹¹ Ini berarti setiap tashawwur pada hakikatnya sudah bersifat tashdiqiyyah dalam konteks linguistik. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, sistem mantiq Islam justru lebih dekat dengan pandangan Wittgensteinian awal yang menganggap bahwa bahasa merupakan cerminan dari struktur realitas; tashawwur adalah pemahaman struktur tersebut, sementara tashdiq adalah afirmasi terhadap kebenarannya.¹²

Kritik modern juga menyoroti bahwa mantiq klasik terlalu berorientasi pada deduksi dan mengabaikan aspek induksi dan probabilitas.¹³ Namun, pemikir Islam seperti al-Tūsī dan al-Ghazālī sudah menyadari keterbatasan deduksi murni, sehingga mereka mengembangkan konsep qiyās tamthīlī (analogi) dan istiqrā’ (induksi) sebagai bagian dari metode berpikir.¹⁴ Hal ini menunjukkan bahwa logika Islam lebih fleksibel daripada asumsi sebagian kritikus modern.

7.4.       Klarifikasi Filosofis terhadap Relevansi Kontemporer

Klarifikasi penting dalam konteks kontemporer adalah bahwa pembagian tashawwur–tashdiq tidak hanya berkaitan dengan struktur berpikir formal, tetapi juga dengan etika pengetahuan.¹⁵ Dalam mantiq Islam, berpikir yang benar bukan sekadar logis, tetapi juga ṣādiq (benar dalam makna moral). Setiap tashdiq yang sahih harus berakar pada tashawwur yang jernih dan jujur.¹⁶ Maka, kesalahan dalam berpikir tidak hanya merupakan kekeliruan logis, tetapi juga cacat moral karena menunjukkan ketidaktulusan dalam mencari kebenaran.

Seyyed Hossein Nasr menyebut hal ini sebagai “rasionalitas suci” (sacred rationality), yakni rasionalitas yang menyatukan pengetahuan dan nilai.¹⁷ Dengan kerangka ini, pembagian mantiq tetap relevan dalam dunia modern: tashawwur menuntun pada pemahaman konseptual yang bersih dari distorsi, sementara tashdiq mengarahkan pada pembenaran rasional yang etis. Epistemologi ini menghindari relativisme postmodern sekaligus mempertahankan integritas spiritual dalam proses berpikir ilmiah.¹⁸


Sintesis Klarifikasi

Kritik dan klarifikasi di atas menunjukkan bahwa pembagian Ilmu Mantiq ke dalam tashawwur dan tashdiq bukanlah konstruksi statis, tetapi struktur dinamis yang dapat berinteraksi dengan berbagai paradigma pengetahuan. Jika ditafsirkan secara tepat, ia mampu menjembatani rasionalitas klasik dengan epistemologi modern tanpa kehilangan akar spiritualnya.¹⁹ Dengan demikian, pembagian ini bukan sekadar warisan intelektual masa lalu, melainkan metodologi rasional yang masih hidup — sebuah sistem berpikir yang menuntut keterpaduan antara kejelasan konseptual, kejujuran epistemik, dan tanggung jawab moral.²⁰


Footnotes

[1]                ¹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 111.

[2]                ² Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 130.

[3]                ³ Nicholas Rescher, The Development of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1964), 47.

[4]                ⁴ Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 24.

[5]                ⁵ Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 50.

[6]                ⁶ Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 263.

[7]                ⁷ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Muhyī al-Dīn Ṣabrī (Cairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1938), 41.

[8]                ⁸ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 13.

[9]                ⁹ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 137–139.

[10]             ¹⁰ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 47.

[11]             ¹¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 19–20.

[12]             ¹² Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 113.

[13]             ¹³ Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 49.

[14]             ¹⁴ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 38–39.

[15]             ¹⁵ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, 15–16.

[16]             ¹⁶ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 46.

[17]             ¹⁷ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 120.

[18]             ¹⁸ Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 73.

[19]             ¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 2nd ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 66–67.

[20]             ²⁰ M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: Octagon Press, 1982), 63.


8.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks kontemporer, pembagian Ilmu Mantiq ke dalam tashawwur dan tashdiq tetap memiliki relevansi yang signifikan, baik dalam ranah akademik, pendidikan, maupun filsafat ilmu modern. Meskipun lahir dalam tradisi klasik Islam, struktur logika ini dapat diadaptasi untuk menjawab tantangan berpikir kritis di era digital dan post-truth yang ditandai oleh derasnya arus informasi dan krisis rasionalitas.¹

8.1.       Relevansi dalam Filsafat Ilmu dan Logika Modern

Dalam filsafat ilmu kontemporer, pembagian mantiq dapat dipandang sebagai fondasi epistemik yang selaras dengan konsep logika proposisional modern dan teori kognisi.² Tashawwur merepresentasikan domain konseptual yang sejajar dengan representasi mental atau mental models dalam kognitifisme modern, sedangkan tashdiq berkaitan dengan proses verifikasi dan validasi pengetahuan.³ Dengan demikian, pembagian ini memberikan kerangka sistematik untuk memahami bagaimana pengetahuan terbentuk dari representasi menuju pengakuan kebenaran.

Lebih jauh, dalam konteks analytic philosophy, struktur tashawwur–tashdiq dapat dihubungkan dengan pembedaan antara understanding dan judgment.⁴ Sebagaimana dalam logika Fregean dan Kantian, proses mengetahui selalu bergerak dari pembentukan konsep menuju pernyataan kebenaran. Ibn Sīnā dan al-Fārābī telah merumuskan kerangka yang secara fungsional serupa lebih dari sembilan abad sebelumnya.⁵ Oleh karena itu, mantiq Islam memiliki posisi strategis untuk memperkaya wacana filsafat ilmu modern dengan perspektif non-Barat yang tetap rasional namun berakar pada spiritualitas.

8.2.       Relevansi dalam Pendidikan dan Literasi Intelektual

Di dunia pendidikan modern, pembagian mantiq menjadi tashawwur dan tashdiq dapat dijadikan model pedagogis dalam membangun kemampuan berpikir kritis dan sistematis.⁶ Banyak krisis dalam dunia pendidikan hari ini berakar pada kegagalan membedakan antara pemahaman (knowing what) dan penilaian (knowing that). Struktur mantiq klasik membantu pelajar untuk memahami bahwa setiap pengetahuan harus melalui tahap konseptualisasi yang jelas sebelum melakukan penilaian.⁷

Dalam sistem pendidikan Islam kontemporer, penerapan prinsip tashawwur dan tashdiq dapat memperkuat kurikulum integratif antara ilmu rasional dan ilmu wahyu.⁸ Tashawwur melatih kejelasan konseptual dalam memahami nilai-nilai Islam, sementara tashdiq menumbuhkan kemampuan argumentatif untuk menegakkan kebenaran melalui alasan rasional dan etika. Dengan demikian, logika tidak hanya melatih berpikir benar, tetapi juga berpikir bermakna dan bertanggung jawab.⁹

8.3.       Relevansi terhadap Krisis Rasionalitas dan Etika Pengetahuan

Era postmodern dan digital ditandai oleh munculnya epistemic fragmentation—keretakan antara data, informasi, dan kebenaran.¹⁰ Dalam kondisi ini, relevansi mantiq justru semakin besar. Pembagian tashawwur–tashdiq menegaskan bahwa setiap klaim pengetahuan harus melalui dua tahap: pemahaman yang jernih dan pembenaran yang sahih.¹¹ Prinsip ini menjadi antidot terhadap penyebaran disinformasi dan logika bias dalam komunikasi publik.

Fazlur Rahman menegaskan bahwa kebangkitan rasionalitas Islam tidak mungkin terjadi tanpa rehabilitasi ilmu mantiq sebagai disiplin dasar berpikir.¹² Begitu pula Seyyed Hossein Nasr menilai bahwa krisis pengetahuan modern bukan disebabkan oleh kekurangan informasi, melainkan oleh kehilangan prinsip keteraturan akal yang mengakar dalam metafisika kebenaran.¹³ Oleh karena itu, mantiq klasik menawarkan model berpikir yang integral, menggabungkan ketelitian logis dengan tanggung jawab moral.

8.4.       Relevansi terhadap Dialog Antarperadaban dan Integrasi Ilmu

Di tengah dialog antara sains modern dan tradisi keagamaan, mantiq berfungsi sebagai jembatan epistemologis antara dua paradigma pengetahuan: rasionalitas ilmiah dan kebijaksanaan spiritual.¹⁴ Pembagian tashawwur dan tashdiq mengajarkan bahwa setiap pengetahuan harus dimulai dari pemahaman yang objektif sebelum menghasilkan penghakiman, sebuah prinsip universal yang juga diakui dalam metode ilmiah modern.

Dalam diskursus filsafat global, para pemikir seperti Mohammed Abed al-Jabiri dan Osman Bakar melihat bahwa kebangkitan rasionalitas Islam harus dimulai dari rekonstruksi mantiq sebagai perangkat berpikir kritis yang kontekstual.¹⁵ Melalui mantiq, tradisi Islam dapat berkontribusi terhadap pembentukan epistemologi global yang berakar pada keseimbangan antara rasio, etika, dan wahyu.¹⁶

8.5.       Relevansi di Era Kecerdasan Buatan (AI) dan Teknologi Digital

Dalam era kecerdasan buatan, struktur tashawwur–tashdiq menemukan relevansi baru. Tashawwur dapat dianalogikan dengan tahap representasi data dan konseptualisasi dalam sistem AI, sementara tashdiq menyerupai proses inferensi dan validasi keputusan algoritmik.¹⁷ Namun, berbeda dengan logika komputasional yang bersifat mekanistik, mantiq menekankan aspek etis dan ontologis dari proses berpikir, yakni keterpaduan antara kebenaran dan kebijaksanaan.¹⁸

Dengan demikian, penerapan prinsip mantiq dalam konteks teknologi modern dapat membantu membangun paradigma ethical reasoning dalam pengembangan AI, memastikan bahwa keputusan algoritmik tidak hanya logis, tetapi juga adil dan bernilai.¹⁹


Kesimpulan Relevansi

Relevansi kontemporer Ilmu Mantiq terletak pada kemampuannya untuk menjembatani masa lalu dan masa kini, antara tradisi klasik dan modernitas. Pembagian tashawwur dan tashdiq bukan hanya struktur logika internal, melainkan kerangka etis-rasional bagi umat manusia untuk menata kembali cara berpikir di tengah disorientasi epistemik modern.²⁰ Dengan menghidupkan kembali mantiq sebagai ilmu berpikir yang integral, dunia Islam dapat menawarkan model rasionalitas yang tidak terjebak pada materialisme, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai transendental dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                ¹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 118.

[2]                ² Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 55.

[3]                ³ George Lakoff and Mark Johnson, Philosophy in the Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought (New York: Basic Books, 1999), 92.

[4]                ⁴ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 134.

[5]                ⁵ Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 28–29.

[6]                ⁶ Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 56.

[7]                ⁷ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 14.

[8]                ⁸ Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 40.

[9]                ⁹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 48.

[10]             ¹⁰ Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 37.

[11]             ¹¹ Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 264.

[12]             ¹² Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 74.

[13]             ¹³ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 123.

[14]             ¹⁴ Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 1985), 141.

[15]             ¹⁵ Mohammed Abed al-Jabiri, The Formation of Arab Reason, trans. Farah Abdel-Malek (London: I.B. Tauris, 2011), 101–102.

[16]             ¹⁶ Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 89–90.

[17]             ¹⁷ Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 56.

[18]             ¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 2nd ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 69.

[19]             ¹⁹ Virginia Dignum, Responsible Artificial Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way (Cham: Springer, 2019), 45.

[20]             ²⁰ M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: Octagon Press, 1982), 65.


9.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis dari pembagian Ilmu Mantiq ke dalam tashawwur dan tashdiq menegaskan bahwa logika dalam Islam bukan sekadar teknik berpikir formal, melainkan representasi dari struktur rasionalitas manusia yang berakar pada keteraturan kosmik dan prinsip ketauhidan.¹ Melalui pembagian ini, filsafat Islam menggabungkan tiga dimensi utama pengetahuan: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ketiganya berpadu untuk menunjukkan bahwa berpikir benar tidak dapat dipisahkan dari keberadaan (wujud) dan nilai (akhlaq) yang mendasarinya.

9.1.       Keterpaduan Ontologi dan Epistemologi

Dari sisi ontologis, tashawwur dan tashdiq mencerminkan dua modus keberadaan pengetahuan di dalam akal manusia: pemahaman terhadap ma‘nā (makna) dan afirmasi terhadap realitas.² Ontologi mantiq dengan demikian menegaskan bahwa pengetahuan tidak bersifat pasif, melainkan aktif dan kreatif—akal membentuk representasi konseptual (tashawwur) dan kemudian menegaskannya sebagai benar (tashdiq).³

Epistemologinya mengajarkan bahwa jalan menuju kebenaran memerlukan proses yang bertingkat: dari persepsi menuju pemahaman, dari pemahaman menuju penilaian, dan dari penilaian menuju keyakinan rasional.⁴ Hal ini memperlihatkan kesinambungan antara struktur akal dan struktur wujud; berpikir benar berarti menyesuaikan akal dengan tatanan realitas yang objektif sebagaimana diciptakan oleh Tuhan.⁵ Dengan demikian, mantiq menjadi simbol keterpaduan antara “akal yang teratur” dan “alam yang teratur,” dua refleksi dari kebijaksanaan Ilahi yang sama.

9.2.       Sintesis Rasionalitas dan Spiritualitas

Sintesis filosofis mantiq juga terletak pada penyatuan antara rasionalitas dan spiritualitas. Bagi para filosof Muslim seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā, akal bukan hanya alat berpikir, tetapi juga cermin dari cahaya intelektual yang bersumber dari ‘aql fa‘‘āl (intelek aktif).⁶ Maka, aktivitas berpikir logis merupakan bentuk partisipasi manusia dalam tatanan Ilahi yang rasional. Dalam kerangka ini, tashawwur adalah proses kontemplatif untuk memahami esensi, sedangkan tashdiq adalah tindakan afirmatif yang menyatukan pengetahuan dengan keyakinan.⁷

Seyyed Hossein Nasr menyebut bentuk rasionalitas semacam ini sebagai intellectus sacer, yakni rasionalitas yang berakar pada kesadaran transendental.⁸ Dengan demikian, berpikir logis tidak hanya berarti berpikir benar secara formal, tetapi juga berpikir dengan kesadaran akan nilai, tujuan, dan kesucian pengetahuan itu sendiri. Sintesis inilah yang membedakan mantiq Islam dari logika sekuler modern: ia tidak memisahkan antara kebenaran rasional dan kebenaran moral.⁹

9.3.       Keterkaitan Aksiologis dan Etis

Dalam dimensi aksiologis, mantiq menegaskan bahwa berpikir benar adalah tindakan yang memiliki nilai moral. Al-Ghazālī menekankan bahwa akal adalah amanah Ilahi, sehingga menggunakannya dengan benar adalah bagian dari ibadah intelektual.¹⁰ Oleh karena itu, setiap kesalahan berpikir bukan hanya kesalahan logis, tetapi juga kekeliruan etis. Struktur tashawwur dan tashdiq mengajarkan manusia untuk berhati-hati dalam memahami dan menilai, sehingga melatih kebajikan intelektual seperti ketelitian, kejujuran, dan keterbukaan terhadap kebenaran.¹¹

Dari perspektif etika pengetahuan (akhlaq al-‘ilm), pembagian ini memperlihatkan keseimbangan antara spontanitas akal dan disiplin rasional: tashawwur dharūrī menunjukkan aspek intuisi dan kecepatan tangkap akal, sedangkan tashdiq nadhārī menunjukkan aspek kehati-hatian dan pembuktian.¹² Dengan demikian, mantiq mengajarkan kesadaran etis untuk menimbang antara kecepatan berpikir dan ketepatan penilaian.

9.4.       Relevansi Filosofis bagi Epistemologi Global

Sintesis ini memiliki relevansi global karena memperluas pemahaman tentang rasionalitas di luar paradigma Barat yang cenderung empiris dan positivistik.¹³ Pembagian tashawwur dan tashdiq menunjukkan bahwa pengetahuan tidak bisa direduksi hanya pada data empiris, melainkan melibatkan intuisi intelektual dan nilai moral. Fazlur Rahman menegaskan bahwa Islam memandang ilmu sebagai proses penyatuan antara fakta, makna, dan nilai—suatu proses yang dijaga oleh struktur logika mantiq.¹⁴

Dalam dunia akademik modern, konsep ini dapat berfungsi sebagai landasan bagi pengembangan epistemologi integral (integral epistemology), yang menggabungkan pengetahuan rasional, empiris, dan spiritual secara harmonis.¹⁵ Melalui pendekatan ini, mantiq dapat berkontribusi terhadap pembentukan paradigma pengetahuan yang lebih manusiawi dan etis di era teknologi dan kecerdasan buatan.¹⁶


Kesimpulan Sintesis

Secara filosofis, tashawwur dan tashdiq bukan hanya kategori logis, tetapi dua wajah dari satu proses intelektual yang menyatukan pengetahuan dan keberadaan. Tashawwur menghadirkan realitas dalam bentuk makna, sedangkan tashdiq menegaskan kebenaran makna itu dalam struktur proposisi.¹⁷ Sintesis keduanya melahirkan pandangan bahwa berpikir adalah bentuk eksistensi, dan pengetahuan adalah jalan menuju penyempurnaan manusia.

Dengan demikian, mantiq menjadi jembatan antara akal dan wahyu, antara ilmu dan nilai, antara rasio dan iman. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak berhenti pada kejelasan konsep, tetapi mencapai kebenaran yang menuntun pada kebijaksanaan.¹⁸ Maka, pembagian mantiq bukan hanya konstruksi akademis, melainkan juga refleksi filosofis atas hakikat manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual — yang mencari kebenaran, mengafirmasinya, dan menghidupinya.¹⁹


Footnotes

[1]                ¹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 122.

[2]                ² Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 30.

[3]                ³ Ibn Sīnā, Al-Najāt, ed. Muhyī al-Dīn Ṣabrī (Cairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah, 1938), 46.

[4]                ⁴ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 15–16.

[5]                ⁵ Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 59.

[6]                ⁶ Al-Fārābī, Iḥṣā’ al-‘Ulūm, ed. ‘Uthmān Amīn (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1968), 80.

[7]                ⁷ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 49.

[8]                ⁸ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 125.

[9]                ⁹ Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 132.

[10]             ¹⁰ Al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Ḥamzah bin Zayn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 18.

[11]             ¹¹ M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: Octagon Press, 1982), 67.

[12]             ¹² Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, Asās al-Iqtibās, ed. Muhammad Khwājawī (Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran, 1970), 41.

[13]             ¹³ Mohammed Abed al-Jabiri, The Formation of Arab Reason, trans. Farah Abdel-Malek (London: I.B. Tauris, 2011), 105.

[14]             ¹⁴ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 51.

[15]             ¹⁵ Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 93–95.

[16]             ¹⁶ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 2nd ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 71.

[17]             ¹⁷ Tony Street, “Arabic Logic,” in The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson and Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 265.

[18]             ¹⁸ Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 77.

[19]             ¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen & Unwin, 1981), 95.


10.       Kesimpulan

Pembagian Ilmu Mantiq ke dalam tashawwur (pemahaman konseptual) dan tashdiq (penetapan proposisional) merupakan struktur rasional yang fundamental dalam tradisi intelektual Islam. Secara filosofis, pembagian ini tidak hanya menjelaskan cara akal manusia memahami dan menilai realitas, tetapi juga menggambarkan bagaimana proses pengetahuan berlangsung dari bentuk yang paling sederhana menuju kesimpulan yang rasional dan bernilai etis.¹ Dengan tashawwur, akal menangkap hakikat sesuatu tanpa penghakiman; dengan tashdiq, akal menetapkan hubungan benar-salah berdasarkan argumentasi dan bukti.² Keduanya membentuk dua sisi dari satu proses intelektual yang utuh: dari penangkapan makna menuju afirmasi kebenaran.³

Dari segi ontologis, struktur ini menunjukkan bahwa pengetahuan adalah cermin keteraturan wujud. Akal tidak menciptakan kebenaran, tetapi menemukan dan menyelaraskan dirinya dengan tatanan realitas yang telah diatur oleh Tuhan.⁴ Secara epistemologis, mantiq berfungsi menata jalan berpikir agar akal tidak terjebak dalam kekeliruan (safasāt) dan kontradiksi (tanāquḍ).⁵ Ia menjadi mi‘yār al-‘ilm—ukuran ilmu yang memastikan kesahihan antara konsep dan proposisi, antara makna dan realitas.⁶ Sementara secara aksiologis, mantiq menanamkan nilai moral dan etika intelektual: berpikir dengan benar berarti berpikir secara jujur, teratur, dan bertanggung jawab terhadap kebenaran.⁷

Dari sisi sosial dan intelektual, mantiq telah membentuk peradaban ilmu dalam Islam. Ia menjadi alat utama bagi para ulama dan filosof dalam menyusun argumentasi teologis, hukum, dan filsafat.⁸ Melalui pembagian tashawwur dan tashdiq, tradisi keilmuan Islam melahirkan sistem berpikir yang seimbang antara wahyu dan rasio, antara iman dan nalar. Relevansinya terus berlanjut hingga era modern, ketika manusia menghadapi tantangan epistemologis berupa krisis rasionalitas, banjir informasi, dan disorientasi nilai.⁹ Dalam situasi ini, mantiq menawarkan jalan tengah—yakni berpikir secara kritis tanpa kehilangan akar spiritual dan etika.

Sintesis filosofis dari pembagian ini menegaskan bahwa mantiq adalah jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara ilmu dan kebijaksanaan.¹⁰ Tashawwur melatih kejernihan makna, tashdiq menumbuhkan kepekaan terhadap kebenaran; keduanya membentuk kesadaran intelektual yang integral. Dalam konteks kontemporer, prinsip-prinsip ini dapat diadaptasi ke dalam pendidikan kritis, logika modern, dan bahkan etika kecerdasan buatan, asalkan tetap berlandaskan pada nilai-nilai humanistik dan tauhidik yang menjadi inti tradisi Islam.¹¹

Akhirnya, Ilmu Mantiq tidak hanya membekali manusia dengan kemampuan berpikir benar, tetapi juga dengan cara berpikir yang bermakna. Ia mengajarkan bahwa setiap pengetahuan harus lahir dari kesungguhan memahami, menilai dengan adil, dan mengafirmasi kebenaran dengan hati yang jujur.¹² Dengan demikian, mantiq bukan sekadar ilmu rasional, melainkan juga refleksi etis dan spiritual tentang martabat manusia sebagai makhluk berakal—yang berpikir bukan hanya untuk mengetahui, tetapi juga untuk menjadi bijaksana.¹³


Footnotes

[1]                ¹ Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 126.

[2]                ² Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1968), 32.

[3]                ³ Ibn Sīnā, Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1957), 47.

[4]                ⁴ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 128.

[5]                ⁵ Nicholas Rescher, Studies in Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 60.

[6]                ⁶ Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah, 1961), 18.

[7]                ⁷ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 53.

[8]                ⁸ George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 88–89.

[9]                ⁹ Mohammed Abed al-Jabiri, The Formation of Arab Reason, trans. Farah Abdel-Malek (London: I.B. Tauris, 2011), 110.

[10]             ¹⁰ Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 2nd ed. (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 72.

[11]             ¹¹ Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), 98–99.

[12]             ¹² Al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Ḥamzah bin Zayn (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 20.

[13]             ¹³ M. Saeed Sheikh, Islamic Philosophy (London: Octagon Press, 1982), 70.


Daftar Pustaka

Al-Fārābī. (1968). Iḥṣā’ al-‘Ulūm (U. Amīn, Ed.). Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī.

Al-Fārābī. (1968). Kitāb al-Qiyās (M. Mahdi, Ed.). Beirut: Dār al-Mashriq.

Al-Ghazālī. (1961). Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq (S. Dunyā, Ed.). Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah.

Al-Ghazālī. (1993). Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Ḥ. bin Zayn, Ed.). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Bakar, O. (1992). Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Dignum, V. (2019). Responsible Artificial Intelligence: How to Develop and Use AI in a Responsible Way. Cham: Springer.

El-Rouayheb, K. (2010). Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900. Leiden: Brill.

Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Floridi, L. (2011). The Philosophy of Information. Oxford: Oxford University Press.

Ghazālī, A. H. (1961). Mi‘yār al-‘Ilm fī Fan al-Mantiq (S. Dunyā, Ed.). Cairo: al-Maṭba‘ah al-Amīriyyah.

Gutas, D. (1998). Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th Centuries). London: Routledge.

Ibn Sīnā. (1938). Al-Najāt (M. Ṣabrī, Ed.). Cairo: Maktabat al-Nahḍah al-Miṣriyyah.

Ibn Sīnā. (1952). Al-Shifā’: Al-Burhān (A. Afīfī, Ed.). Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Ibn Sīnā. (1957). Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt (S. Dunyā, Ed.). Cairo: Dār al-Ma‘ārif.

Jabiri, M. A. (2011). The Formation of Arab Reason (F. Abdel-Malek, Trans.). London: I.B. Tauris.

Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1999). Philosophy in the Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought. New York: Basic Books.

Leaman, O. (1985). Islamic Philosophy: An Introduction. Cambridge: Polity Press.

Leaman, O. (2002). An Introduction to Classical Islamic Philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Nasr, S. H. (1987). Science and Civilization in Islam (2nd ed.). Cambridge: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1981). Islamic Life and Thought. London: George Allen & Unwin.

Rahman, F. (1958). Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rescher, N. (1963). Studies in Arabic Logic. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.

Rescher, N. (1964). The Development of Arabic Logic. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.

Sheikh, M. S. (1982). Islamic Philosophy. London: Octagon Press.

Street, T. (2005). Arabic logic. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge Companion to Arabic Philosophy (pp. 256–268). Cambridge: Cambridge University Press.

Ṭūsī, N. al-D. (1970). Asās al-Iqtibās (M. Khwājawī, Ed.). Tehran: Intishārāt-i Dānishgāh-i Tehran.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus Logico-Philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar