Filsafat Kognitif
Telaah Filosofis tentang Pikiran, Pengetahuan, dan
Kesadaran dalam Era Kecerdasan Buatan
Alihkan ke: Ilmu
Kognitif.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat
kognitif sebagai kajian interdisipliner yang berupaya memahami hakikat
pikiran, kesadaran, dan pengetahuan manusia dalam konteks historis, ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Berawal dari warisan metafisika klasik mengenai
hubungan antara jiwa dan tubuh, filsafat kognitif berkembang melalui revolusi
ilmiah abad ke-20 yang menandai pertemuan antara filsafat, psikologi,
linguistik, dan ilmu komputer. Melalui pendekatan historis-genealogis, artikel
ini menelusuri transformasi pemikiran dari rasionalisme dan empirisme menuju
paradigma embodied dan enactive cognition, yang menempatkan
pikiran sebagai fenomena yang menubuh dan berinteraksi secara dinamis dengan
dunia.
Secara ontologis, filsafat kognitif menolak
reduksionisme komputasional dan memandang kesadaran sebagai entitas fenomenal
yang bersifat emergen. Secara epistemologis, ia menyoroti bahwa pengetahuan
tidak semata hasil pemrosesan simbolik, melainkan konstruksi aktif yang
melibatkan pengalaman, konteks sosial, dan nilai-nilai interpretatif. Pada
dimensi aksiologis, filsafat kognitif menegaskan bahwa proses berpikir tidak
bebas nilai dan menuntut tanggung jawab etis dalam penggunaan pengetahuan,
terutama di era digital dan kecerdasan buatan.
Kajian ini juga menguraikan relevansi kontemporer
filsafat kognitif terhadap tantangan etis dan eksistensial di zaman teknologi,
termasuk persoalan kesadaran buatan, perubahan struktur kognitif akibat
digitalisasi, dan krisis kemanusiaan akibat reduksi manusia menjadi data.
Sebagai sintesis, artikel ini menawarkan perspektif humanisme kognitif—yakni
pandangan yang mengintegrasikan sains dan refleksi filosofis dalam bingkai
etika kemanusiaan. Humanisme kognitif menegaskan bahwa memahami pikiran berarti
juga memahami makna menjadi manusia: makhluk yang berpikir, berperasaan, dan
bertanggung jawab.
Kata Kunci: filsafat
kognitif, kesadaran, epistemologi, etika kognitif, embodied cognition,
kecerdasan buatan, humanisme kognitif, fenomenologi, tanggung jawab epistemik,
etika informasi.
PEMBAHASAN
Filsafat Kognitif sebagai Jembatan antara Filsafat dan
Ilmu Kognitif
1.
Pendahuluan
Filsafat kognitif merupakan salah satu cabang
filsafat kontemporer yang berupaya memahami hakikat pikiran (mind),
kesadaran (consciousness), dan proses berpikir manusia dalam kaitannya
dengan ilmu kognitif modern. Ia lahir dari kesadaran akan keterbatasan
pendekatan tradisional dalam menjelaskan kompleksitas aktivitas mental manusia
yang tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga biologis, emosional, sosial,
dan komputasional. Dalam konteks ini, filsafat kognitif berfungsi sebagai medan
refleksi kritis yang menelaah fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis
dari teori-teori kognitif yang berkembang dalam sains kontemporer, seperti psikologi
kognitif, neurosains, linguistik, dan kecerdasan buatan (AI).
Perkembangan filsafat kognitif tidak dapat
dilepaskan dari revolusi kognitif pada paruh kedua abad ke-20 yang menandai
pergeseran paradigma dalam memahami pikiran manusia. Sebelumnya, behaviorisme
mendominasi psikologi dengan menolak studi tentang kesadaran dan proses mental
karena dianggap tidak dapat diamati secara empiris. Namun, kemunculan teori
informasi, linguistik generatif Noam Chomsky, serta kemajuan dalam ilmu
komputer mengubah cara manusia memahami aktivitas mental. Pikiran mulai dilihat
sebagai sistem pemrosesan informasi yang dapat dimodelkan secara komputasional,
suatu gagasan yang membuka ruang bagi munculnya filsafat kognitif sebagai upaya
reflektif atas dasar-dasar konseptual dari “komputasionalisme pikiran” (computational
theory of mind) dan perdebatan filosofis tentang representasi mental serta
kesadaran subjektif.¹
Secara historis, akar filsafat kognitif dapat
ditelusuri hingga ke filsafat pikiran klasik yang dipelopori oleh Plato,
Aristoteles, Descartes, dan Kant. Plato menganggap pengetahuan sebagai hasil
dari ide-ide bawaan yang bersifat rasional dan abadi, sementara Aristoteles
melihat jiwa sebagai bentuk (form) dari tubuh yang mewujud dalam
aktivitas aktual. Descartes dengan dualisme substansinya memisahkan pikiran dan
tubuh sebagai dua entitas yang berbeda namun saling berinteraksi, sedangkan
Kant menempatkan pikiran sebagai struktur apriori yang membentuk pengalaman.²
Tradisi-tradisi ini kemudian diolah kembali dalam abad ke-20 oleh para filsuf
analitik seperti Hilary Putnam, Jerry Fodor, dan Daniel Dennett yang menekankan
pemahaman pikiran melalui lensa logika, bahasa, dan model komputasi.³
Namun demikian, muncul pula kritik terhadap
pandangan yang terlalu mekanistik tentang pikiran manusia. Para fenomenolog
seperti Edmund Husserl dan Maurice Merleau-Ponty menolak gagasan bahwa
kesadaran dapat direduksi menjadi sekadar pemrosesan informasi simbolik. Mereka
menegaskan bahwa pengalaman sadar selalu terwujud secara embodied
(menubuh) dan berakar dalam dunia kehidupan (Lebenswelt).⁴ Perspektif
ini kemudian menginspirasi pendekatan baru seperti embodied cognition
dan enactive cognition, yang melihat kognisi bukan hanya sebagai
representasi internal, melainkan sebagai proses yang timbul dari interaksi
dinamis antara tubuh, otak, dan lingkungan.⁵
Dalam konteks kontemporer, filsafat kognitif
memperoleh relevansi yang semakin besar seiring dengan kemajuan teknologi
kecerdasan buatan, neuroteknologi, dan ilmu kognitif komputasional. Pertanyaan
klasik tentang hakikat kesadaran kini muncul kembali dalam bentuk baru: apakah
mesin dapat berpikir? Apakah kecerdasan buatan dapat memiliki kesadaran atau
niat (intentionality)? Apakah representasi informasi dalam sistem
digital dapat disamakan dengan pengalaman subjektif manusia?⁶
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga menyentuh
dimensi etis dan eksistensial: bagaimana manusia mendefinisikan dirinya di
tengah sistem yang semakin “cerdas”?
Dengan demikian, tujuan utama kajian filsafat
kognitif adalah menggali secara kritis landasan konseptual dan normatif dari
pemahaman kita tentang pikiran dan pengetahuan. Melalui pendekatan
interdisipliner—menggabungkan filsafat, sains kognitif, dan humaniora—kajian
ini berusaha menegaskan kembali dimensi humanistik dari kognisi manusia.
Pendekatan ini menolak reduksionisme ekstrem yang memandang pikiran sebagai
mesin, sembari mengakui potensi analisis komputasional untuk memperluas wawasan
tentang kesadaran. Oleh karena itu, filsafat kognitif bukan sekadar refleksi
teoritis, tetapi juga medan dialog antara manusia, teknologi, dan nilai-nilai
kemanusiaan yang perlu dijaga dalam menghadapi era kecerdasan buatan yang kian
kompleks.⁷
Footnotes
[1]
¹ Jerry A. Fodor, The Modularity of Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 12–18.
[2]
² Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 102–110.
[3]
³ Hilary Putnam, Representation and Reality
(Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 1–5.
[4]
⁴ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 58–62.
[5]
⁵ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor
Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience
(Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.
[6]
⁶ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[7]
⁷ Daniel C. Dennett, Consciousness Explained
(Boston: Little, Brown, 1991), 22–27.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Filsafat kognitif memiliki akar yang panjang dan
kompleks, berawal dari refleksi filsafat klasik mengenai hakikat pengetahuan,
pikiran, dan kesadaran manusia. Sejarahnya merupakan hasil evolusi konseptual
yang melibatkan filsafat pikiran, epistemologi, psikologi, dan ilmu pengetahuan
modern. Genealogi pemikirannya memperlihatkan bagaimana gagasan tentang “pikiran”
bergeser dari pandangan metafisis menuju model empiris dan komputasional.
Evolusi ini mencerminkan transformasi epistemik manusia dalam memahami dirinya
sebagai makhluk berpikir (homo cogitans) yang berinteraksi dengan dunia
melalui mekanisme kognitif dan simbolik.
Pada masa klasik, Plato dan Aristoteles menjadi dua
figur utama yang meletakkan dasar bagi pemikiran kognitif. Plato dalam Phaedo
dan Theaetetus menegaskan bahwa pengetahuan sejati (episteme)
bersumber dari dunia ide yang abadi dan hanya dapat dijangkau oleh rasio
murni.¹ Dalam pandangan ini, kognisi dipahami sebagai proses anamnesis—yakni
mengingat kembali bentuk-bentuk ideal yang telah dikenal jiwa sebelum bersatu
dengan tubuh.² Sebaliknya, Aristoteles menolak pemisahan radikal antara jiwa
dan tubuh; baginya, jiwa (psyche) adalah bentuk aktual dari tubuh yang
hidup, dan aktivitas kognitif tidak dapat dipisahkan dari struktur biologis dan
empiris manusia.³ Konsep ini kemudian menjadi landasan awal bagi teori embodied
cognition, yang berargumen bahwa pikiran selalu terwujud melalui pengalaman
tubuh.
Memasuki era modern, René Descartes memberikan
fondasi baru bagi filsafat pikiran melalui dualisme substansialnya. Dalam Meditations
on First Philosophy, Descartes memisahkan secara tajam substansi pikiran (res
cogitans) dari substansi materi (res extensa), menegaskan bahwa
hakikat manusia terletak pada aktivitas berpikir: cogito ergo sum.⁴
Pandangan ini menempatkan pikiran sebagai realitas otonom yang bersifat
non-fisik dan rasional. Namun, sekaligus membuka problem ontologis besar yang
dikenal sebagai mind-body problem, yakni bagaimana entitas mental dapat
berinteraksi dengan tubuh yang bersifat material.⁵ Perdebatan ini menjadi titik
awal bagi seluruh diskursus filsafat kognitif modern.
Pada abad ke-18, Immanuel Kant memperluas horizon
tersebut dengan memadukan rasionalisme dan empirisme. Dalam Critique of Pure
Reason, Kant menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah hasil pasif dari
pengalaman, melainkan terbentuk melalui struktur apriori pikiran yang
mengorganisasi pengalaman inderawi.⁶ Dengan demikian, kognisi manusia bukan
sekadar penerimaan data, melainkan aktivitas sintetik yang menata dunia melalui
kategori rasional. Pemikiran Kant ini mempengaruhi perkembangan psikologi
kognitif modern yang melihat pikiran sebagai sistem pemrosesan informasi.
Revolusi kognitif abad ke-20 menjadi fase
genealogis paling signifikan dalam perkembangan filsafat kognitif. Ia muncul
sebagai reaksi terhadap dominasi behaviorisme, yang menolak studi tentang
proses mental karena dianggap tidak dapat diamati secara empiris. Tokoh-tokoh
seperti Noam Chomsky, Allen Newell, dan Herbert Simon menolak pandangan
reduksionis tersebut dengan menekankan bahwa perilaku manusia hanya dapat
dijelaskan melalui mekanisme internal pikiran.⁷ Dalam kritiknya terhadap B.F.
Skinner, Chomsky menunjukkan bahwa bahasa manusia tidak dapat dijelaskan
semata-mata melalui penguatan stimulus-respons, melainkan melalui struktur
mental yang bersifat generatif.⁸ Kritik ini memicu lahirnya “revolusi kognitif”
dan membuka jalan bagi pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat,
linguistik, psikologi, dan ilmu komputer.
Salah satu ciri utama filsafat kognitif modern
adalah upayanya mengembangkan model konseptual pikiran sebagai sistem
representasional dan komputasional. Hilary Putnam dan Jerry Fodor berperan
penting dalam merumuskan computational theory of mind, yakni gagasan
bahwa pikiran bekerja seperti program komputer yang memanipulasi simbol-simbol
logis.⁹ Putnam berargumen bahwa keadaan mental dapat diidentifikasi melalui
fungsi kausalnya, bukan substansi fisiknya—sebuah pandangan yang dikenal
sebagai fungsionalisme.¹⁰ Sementara Fodor menekankan bahwa pikiran memiliki
“bahasa internal” (language of thought) yang mendasari semua bentuk
representasi dan inferensi kognitif.¹¹
Namun demikian, pada akhir abad ke-20 muncul kritik
terhadap model komputasional yang terlalu menekankan simbolisme dan
representasi. Aliran connectionism dan embodied cognition menegaskan
bahwa kognisi tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga muncul dari interaksi
kompleks antara neuron, tubuh, dan lingkungan.¹² Francisco Varela, Evan
Thompson, dan Eleanor Rosch dalam The Embodied Mind (1991)
memperkenalkan pendekatan enaktif yang melihat pikiran sebagai proses yang
lahir dari keterlibatan aktif makhluk hidup dalam dunia kehidupannya.¹³
Pandangan ini mengembalikan dimensi fenomenologis dan eksistensial ke dalam
studi kognitif yang sebelumnya terabaikan oleh paradigma komputasional.
Secara genealogis, filsafat kognitif dapat dilihat
sebagai hasil dialektika antara dua kecenderungan besar: rasionalisme
representasional dan fenomenologi embodied. Keduanya terus berinteraksi dan
saling mengoreksi, membentuk lanskap intelektual yang dinamis di mana filsafat
tidak lagi hanya menjadi penonton bagi sains, tetapi juga mitra kritis dalam
memahami hakikat kesadaran dan pengetahuan. Melalui perjalanan historis ini,
filsafat kognitif menjadi wadah bagi upaya manusia untuk menjawab pertanyaan klasik
dengan cara-cara baru—tentang siapa kita sebagai makhluk berpikir, bagaimana
kita mengetahui, dan apa arti kesadaran dalam dunia yang semakin diwarnai oleh
teknologi dan kecerdasan buatan.¹⁴
Footnotes
[1]
¹ Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett
(New York: Dover Publications, 2008), 145–147.
[2]
² Plato, Phaedo, trans. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1977), 72–73.
[3]
³ Aristotle, De Anima, trans. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1908), 414a–415b.
[4]
⁴ René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.
[5]
⁵ Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London:
Hutchinson, 1949), 11–12.
[6]
⁶ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 136–141.
[7]
⁷ Allen Newell and Herbert A. Simon, “Computer
Science as Empirical Inquiry: Symbols and Search,” Communications of the ACM
19, no. 3 (1976): 113–126.
[8]
⁸ Noam Chomsky, Review of B.F. Skinner’s Verbal
Behavior, Language 35, no. 1 (1959): 26–58.
[9]
⁹ Hilary Putnam, Mind, Language, and Reality:
Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975),
211–214.
[10]
¹⁰ Hilary Putnam, The Nature of Mental States,
in Mind, Language, and Reality (Cambridge: Cambridge University Press,
1975), 429–440.
[11]
¹¹ Jerry A. Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 57–60.
[12]
¹² Paul Smolensky, “On the Proper Treatment of
Connectionism,” Behavioral and Brain Sciences 11, no. 1 (1988): 1–74.
[13]
¹³ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor
Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience
(Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.
[14]
¹⁴ Daniel C. Dennett, Kinds of Minds: Toward an
Understanding of Consciousness (New York: Basic Books, 1996), 23–26.
3.
Ontologi
Pikiran dan Kesadaran
Pertanyaan ontologis
dalam filsafat kognitif berfokus pada hakikat eksistensi pikiran dan kesadaran:
apa yang
dimaksud dengan “pikiran”, bagaimana ia ada, dan bagaimana
hubungannya dengan tubuh dan dunia fisik. Filsafat kognitif tidak
hanya berupaya menjelaskan mekanisme berpikir manusia, tetapi juga mencari
dasar metafisis yang menopang keberadaan kesadaran itu sendiri. Dalam kerangka
ini, filsafat kognitif menjadi kelanjutan dari problem klasik filsafat pikiran
yang telah lama diperdebatkan sejak zaman Descartes hingga era kecerdasan
buatan (AI).
3.1. Masalah Ontologis Pikiran
Ontologi pikiran
berangkat dari problem dualisme yang dikemukakan oleh René Descartes, yang
memisahkan dua substansi: pikiran (res cogitans) dan materi (res
extensa).¹ Menurut Descartes, pikiran bersifat non-material, sadar,
dan reflektif, sementara tubuh bersifat material dan tunduk pada hukum mekanis.
Pemisahan ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana entitas non-fisik
seperti pikiran dapat memengaruhi tubuh fisik? Masalah ini, yang dikenal
sebagai mind-body
problem, menjadi pusat perdebatan metafisis dalam filsafat modern.²
Sebagai reaksi
terhadap dualisme, muncul pandangan materialisme yang menyatakan bahwa
segala sesuatu, termasuk pikiran, pada dasarnya bersifat fisik. Menurut
materialisme eliminatif, konsep “pikiran” hanyalah cara lama untuk
menjelaskan fenomena neurologis yang kelak akan digantikan oleh bahasa
neurosains.³ Patricia dan Paul Churchland, misalnya, berargumen bahwa istilah
seperti “keinginan” atau “keyakinan” hanyalah konstruksi psikologis yang
tidak memiliki dasar ilmiah dalam struktur otak.⁴ Dalam pandangan ini, pikiran
tidak lebih dari aktivitas saraf yang kompleks, dan kesadaran hanyalah
epifenomena dari proses biologis.
Namun, reduksi
semacam itu ditentang oleh kaum fungsionalis seperti Hilary Putnam
dan Jerry Fodor.⁵ Mereka berpendapat bahwa keadaan mental dapat didefinisikan
bukan oleh substansi fisiknya, melainkan oleh fungsinya dalam sistem kausal. Analogi
yang sering digunakan adalah perangkat lunak dan perangkat keras: pikiran
seperti program komputer yang dapat berjalan pada berbagai substrat fisik,
selama hubungan fungsional antar komponen tetap sama.⁶ Dengan demikian, pikiran
bersifat “real” sejauh ia memainkan peran kausal tertentu dalam sistem
kognitif, tanpa harus terikat pada bentuk material tertentu.
3.2. Kesadaran dan Masalah “Hard Consciousness”
Masalah ontologis
menjadi lebih kompleks ketika membahas kesadaran (consciousness). David Chalmers membedakan
dua jenis problem kesadaran: easy problems—yang berkaitan dengan
penjelasan fungsi kognitif seperti persepsi dan memori—dan hard
problem, yakni mengapa dan bagaimana proses fisik dapat
menghasilkan pengalaman subjektif (qualia).⁷ Pertanyaan ini mengungkap
jurang antara deskripsi objektif tentang otak dan pengalaman subjektif manusia.
Beberapa filsuf
seperti John Searle menolak baik dualisme maupun reduksionisme ekstrem. Dalam biological
naturalism, Searle menyatakan bahwa kesadaran memang bersifat biologis,
namun tidak dapat direduksi menjadi proses neurofisiologis murni.⁸ Kesadaran
adalah sifat emergen dari aktivitas otak yang memiliki kualitas fenomenal khas.
Sementara itu, Daniel Dennett dalam Consciousness Explained mengambil
pendekatan berbeda dengan menolak gagasan qualia sebagai entitas metafisis,
dan menyatakan bahwa kesadaran hanyalah hasil dari proses interpretatif dan
naratif otak yang kompleks.⁹
Persoalan ini juga
membuka ruang bagi teori panpsikisme yang kini mengalami
kebangkitan dalam filsafat kontemporer.¹⁰ Panpsikisme berpendapat bahwa
kesadaran bukanlah fenomena yang muncul hanya pada organisme kompleks, tetapi
merupakan sifat fundamental realitas yang hadir dalam setiap bentuk eksistensi,
dari partikel hingga manusia. Pandangan ini mencoba menjembatani jurang antara
fisikalitas dan pengalaman subjektif dengan menyatakan bahwa kesadaran
merupakan dimensi ontologis dasar yang tidak dapat direduksi.
3.3. Pikiran, Tubuh, dan Dunia
Filsafat kognitif
modern berusaha mengatasi dikotomi tradisional antara pikiran dan tubuh melalui
konsep embodied
cognition dan enactivism.¹¹ Dalam paradigma ini,
pikiran tidak dipahami sebagai entitas terpisah yang berada “di dalam”
otak, tetapi sebagai proses yang terwujud melalui keterlibatan tubuh dengan
lingkungan.¹² Francisco Varela dan Evan Thompson menekankan bahwa kognisi
bersifat enaktif, artinya pengetahuan tidak direpresentasikan secara pasif,
tetapi dibangun melalui tindakan tubuh yang aktif berinteraksi dengan dunia.¹³
Konsep ini mengubah
ontologi pikiran dari representasional ke relasional. Pikiran tidak lagi
dianggap sebagai “cermin realitas”, tetapi sebagai jaringan relasi
antara organisme dan lingkungannya.¹⁴ Hal ini sejalan dengan pandangan
fenomenolog Maurice Merleau-Ponty, yang menegaskan bahwa kesadaran selalu
bersifat being-in-the-world—menubuh
dan mengada dalam dunia, bukan entitas yang berdiri di luar pengalaman.¹⁵
Dengan demikian, ontologi pikiran berpindah dari substansialisme menuju
prosesualisme: pikiran adalah dinamika hidup yang muncul dari hubungan antara
tubuh, lingkungan, dan makna.
3.4. Implikasi Ontologis di Era Digital
Dalam konteks
teknologi modern, terutama kecerdasan buatan, persoalan ontologi pikiran
mendapatkan dimensi baru. Apakah sistem buatan yang mampu belajar dan
beradaptasi memiliki “pikiran”? Dapatkah mesin mengalami kesadaran,
ataukah ia hanya meniru perilaku kognitif tanpa pengalaman subjektif?¹⁶
Filsafat kognitif memandang bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita
harus membedakan antara simulasi kesadaran dan kesadaran
sejati. Seperti yang ditunjukkan oleh Searle dalam Chinese
Room Argument, pemrosesan simbol tidak serta-merta menghasilkan
pemahaman makna; mesin mungkin “berperilaku seolah-olah paham”, tetapi tidak
benar-benar memahami.¹⁷
Pertanyaan ini
menuntut refleksi ulang terhadap ontologi manusia. Jika pikiran dapat
dimodelkan, apakah itu berarti kesadaran hanyalah algoritma kompleks? Ataukah
ada dimensi eksistensial yang tidak dapat direplikasi oleh sistem buatan?
Filsafat kognitif menegaskan bahwa meskipun kecerdasan buatan dapat meniru
fungsi kognitif, ia belum tentu memiliki subjective experience yang menjadi
inti dari eksistensi mental.¹⁸ Ontologi pikiran, dengan demikian, tetap berakar
pada pengalaman manusia sebagai makhluk sadar yang menubuh dan berelasi secara
etis dengan dunia.
Dengan menelusuri
berbagai posisi ontologis ini—dualisme, materialisme, fungsionalisme,
fenomenologi, hingga embodied cognition—dapat
disimpulkan bahwa hakikat pikiran dan kesadaran tidak dapat direduksi pada satu
bentuk penjelasan tunggal. Pikiran adalah fenomena multidimensional yang
mencakup aspek fisik, biologis, dan fenomenologis sekaligus. Ia adalah bentuk
eksistensi yang terus berproses, menyeberangi batas antara tubuh dan dunia,
antara materi dan makna. Dalam konteks filsafat kognitif, ontologi pikiran
bukan sekadar upaya untuk “menemukan” apa itu kesadaran, melainkan untuk
memahami bagaimana kesadaran mengada—sebagai dinamika reflektif
yang meneguhkan kemanusiaan di tengah realitas yang semakin digital dan
artifisial.
Footnotes
[1]
¹ René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. John Cottingham
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.
[2]
² Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 15–18.
[3]
³ Paul M. Churchland, Matter
and Consciousness (Cambridge, MA:
MIT Press, 1988), 44–46.
[4]
⁴ Patricia S. Churchland, Neurophilosophy:
Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 7–10.
[5]
⁵ Hilary Putnam, The Nature of Mental
States, in Mind, Language, and Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 429–440.
[6]
⁶ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975),
59–61.
[7]
⁷ David J. Chalmers, The
Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–7.
[8]
⁸ John R. Searle, The Rediscovery of the
Mind (Cambridge, MA: MIT Press,
1992), 114–118.
[9]
⁹ Daniel C. Dennett, Consciousness
Explained (Boston: Little, Brown,
1991), 22–25.
[10]
¹⁰ Philip Goff, Galileo’s Error:
Foundations for a New Science of Consciousness (New York: Pantheon, 2019), 32–35.
[11]
¹¹ Andy Clark, Being There: Putting
Brain, Body, and World Together Again
(Cambridge, MA: MIT Press, 1997), 67–70.
[12]
¹² Shaun Gallagher, How
the Body Shapes the Mind (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 3–5.
[13]
¹³ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.
[14]
¹⁴ Evan Thompson, Mind in Life: Biology,
Phenomenology, and the Sciences of Mind
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 45–48.
[15]
¹⁵ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 1962), 84–86.
[16]
¹⁶ Thomas Metzinger, Being
No One: The Self-Model Theory of Subjectivity (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 23–27.
[17]
¹⁷ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[18]
¹⁸ Susan Schneider, Artificial
You: AI and the Future of Your Mind
(Princeton: Princeton University Press, 2019), 88–93.
4.
Epistemologi
Kognitif
Epistemologi
kognitif merupakan cabang kajian dalam filsafat kognitif yang berfokus pada
hakikat, sumber, dan validitas pengetahuan dalam konteks proses mental manusia.
Jika epistemologi klasik menyoroti relasi antara subjek dan objek pengetahuan
secara abstrak, maka epistemologi kognitif mengajukan pertanyaan yang lebih
empiris dan interdisipliner: bagaimana pengetahuan terbentuk dalam sistem
kognitif manusia? Bagaimana pikiran merepresentasikan realitas, memproses informasi,
dan menghasilkan makna? Dengan demikian, epistemologi kognitif menjadi jembatan
antara refleksi filosofis tentang pengetahuan dan temuan empiris dari ilmu
kognitif, psikologi, linguistik, dan neuroscience.
4.1. Representasi Mental dan Realitas
Konsep dasar
epistemologi kognitif adalah bahwa pikiran manusia tidak menerima realitas
secara langsung, melainkan melalui proses representasi mental.¹ Pandangan ini
berakar pada tradisi rasionalisme dan empirisme modern—Descartes menekankan
bahwa ide-ide merupakan bentuk representasi internal dari dunia luar, sementara
Locke berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi yang
disimpan dalam pikiran sebagai impressions dan ideas.²
Dalam filsafat kognitif kontemporer, representasi ini dipahami sebagai simbol-simbol
internal yang digunakan otak untuk mengorganisasi dan menafsirkan data
sensorik.³
Jerry Fodor melalui
teori language
of thought hypothesis menyatakan bahwa pikiran manusia bekerja
dengan menggunakan sistem representasional yang menyerupai bahasa internal (mentalese).⁴
Representasi ini berfungsi sebagai struktur simbolik yang memungkinkan
inferensi logis, pembentukan konsep, dan proses pengambilan keputusan. Dengan
demikian, pengetahuan dianggap sebagai hasil manipulasi simbol berdasarkan
aturan sintaksis tertentu. Pandangan ini dikenal sebagai representasionalisme
simbolik, yang menjadi fondasi awal psikologi kognitif dan
kecerdasan buatan berbasis logika.⁵
Namun, pendekatan
simbolik tersebut tidak luput dari kritik. Para pendukung embodied
cognition dan enactivism menolak gagasan bahwa
pengetahuan adalah hasil manipulasi simbol yang terpisah dari dunia.⁶ Mereka
menegaskan bahwa kognisi bersifat situated dan enacted—yakni
muncul dari interaksi langsung antara organisme dan lingkungannya.⁷ Francisco
Varela dan Evan Thompson, misalnya, berpendapat bahwa pengetahuan tidak
merepresentasikan dunia secara pasif, melainkan dibentuk secara aktif melalui
tindakan tubuh dan persepsi yang kontekstual.⁸ Dengan demikian, epistemologi
kognitif mengalami pergeseran dari model “representasional” menuju model
“interaktif”.
4.2. Proses Persepsi, Memori, dan Inferensi
Dalam epistemologi
kognitif, pengetahuan dipahami sebagai hasil dari proses mental yang melibatkan
persepsi, memori, dan inferensi. Persepsi berfungsi sebagai pintu masuk bagi
pengalaman empiris, tetapi ia bukan sekadar penerimaan data sensorik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Immanuel Kant, persepsi selalu disusun oleh bentuk
apriori dari ruang dan waktu serta kategori intelektual.⁹ Dengan kata lain,
manusia tidak melihat dunia “sebagaimana adanya”, melainkan sebagaimana
dunia itu ditata oleh struktur kognitifnya sendiri.¹⁰
Memori berperan
sebagai mekanisme penyimpanan dan rekonstruksi pengetahuan. Dari perspektif
filsafat kognitif, memori bukan sekadar “gudang data”, melainkan sistem
dinamis yang memediasi antara pengalaman masa lalu dan tindakan masa kini.¹¹
Richard Semon memperkenalkan istilah engram untuk menggambarkan jejak
biologis dari pengalaman yang tersimpan di otak,¹² sementara dalam psikologi
modern, memori dipandang sebagai proses konstruktif yang selalu melibatkan
penafsiran ulang terhadap pengalaman.¹³ Proses inferensi kemudian menjadi dasar
dari kemampuan berpikir dan bernalar, memungkinkan manusia menghubungkan data
sensorik dengan pengetahuan konseptual dan nilai-nilai kognitif.¹⁴
Epistemologi
kognitif, dengan demikian, menegaskan bahwa pengetahuan tidak bersifat statis
atau final, melainkan hasil dari proses dinamis antara persepsi, representasi,
dan inferensi. Hal ini menegaskan posisi manusia sebagai cognitive
agent—makhluk yang aktif membangun makna, bukan sekadar menyalin
realitas.
4.3. Intentionalitas dan Makna
Salah satu konsep
kunci dalam epistemologi kognitif adalah intentionality, yaitu kemampuan
pikiran untuk “berarah kepada” sesuatu, baik nyata maupun imajiner.
Franz Brentano pertama kali menegaskan bahwa semua fenomena mental bersifat
intensional, artinya selalu memiliki objek atau isi yang dituju.¹⁵ Dalam
konteks filsafat kognitif, intentionalitas menjadi persoalan penting: bagaimana
struktur otak yang bersifat fisik dapat memiliki makna atau mengacu pada
sesuatu di luar dirinya?
John Searle
menjelaskan hal ini melalui teori biological intentionality, bahwa
makna muncul dari sistem biologis yang memiliki orientasi tujuan (goal-directed
system).¹⁶ Artinya, intentionalitas bukan hasil komputasi simbolik
semata, melainkan manifestasi dari fungsi biologis yang memunculkan arah dan
tujuan. Di sisi lain, Daniel Dennett mengajukan intentional stance—yakni pendekatan
interpretatif yang memungkinkan kita memahami perilaku entitas (baik manusia
maupun mesin) dengan mengasumsikan bahwa ia memiliki keyakinan dan keinginan
tertentu.¹⁷ Dengan demikian, intentionalitas dapat dipahami sebagai jembatan
epistemologis antara dunia fisik dan dunia makna.
4.4. Epistemologi Kognitif dan Kecerdasan Buatan
Dalam era kecerdasan
buatan, epistemologi kognitif mendapatkan relevansi baru. Pertanyaan utama yang
muncul adalah: apakah sistem buatan dapat “mengetahui” sesuatu
sebagaimana manusia mengetahui? Apakah pengetahuan buatan hanya sekadar
pengolahan data, ataukah ia mengandung pemahaman sejati?¹⁸
Model kecerdasan
buatan generatif, seperti neural networks dan deep
learning, menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengenali pola dan
menghasilkan informasi baru. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Hubert
Dreyfus, kemampuan tersebut tidak serta-merta menunjukkan adanya pengetahuan
dalam arti epistemologis.¹⁹ Menurut Dreyfus, sistem AI tidak memiliki understanding
karena tidak beroperasi dalam konteks makna yang dialami secara eksistensial
oleh manusia.²⁰ Dengan kata lain, mesin dapat “meniru” pengetahuan,
tetapi tidak dapat “memahami” dalam arti fenomenologis.
Filsafat kognitif
memandang bahwa pengetahuan sejati memerlukan kesadaran reflektif—kemampuan
untuk mengetahui bahwa seseorang sedang mengetahui.²¹ Inilah aspek yang
membedakan epistemologi manusia dari epistemologi algoritmik. AI dapat
memproses informasi, tetapi tidak memiliki dimensi intensional atau pengalaman
subjektif yang membentuk makna. Oleh karena itu, epistemologi kognitif
mengingatkan bahwa pengetahuan bukan hanya akumulasi data, melainkan proses
reflektif yang meneguhkan eksistensi manusia sebagai makhluk sadar dan
bermakna.²²
4.5. Implikasi Humanistik
Epistemologi
kognitif juga memiliki dimensi humanistik yang penting. Ia mengajarkan bahwa
pengetahuan manusia bersumber dari kesatuan antara tubuh, emosi, dan kesadaran,
bukan dari rasionalitas murni yang terpisah dari kehidupan.²³ Dengan memahami
bahwa pengetahuan terbentuk secara embodied dan situated, manusia dapat
menghindari ilusi objektivitas absolut dan membuka diri terhadap pluralitas
pengalaman. Dalam konteks ini, filsafat kognitif mendorong lahirnya epistemologi
reflektif yang mengakui keterbatasan, kebertubuhan, dan
intersubjektivitas sebagai bagian dari cara manusia mengetahui dunia.²⁴
Footnotes
[1]
¹ Hilary Putnam, Representation and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press,
1988), 3–6.
[2]
² John Locke, An Essay Concerning
Human Understanding (London: Thomas
Basset, 1690), 12–15.
[3]
³ Jerry A. Fodor, Psychosemantics: The
Problem of Meaning in the Philosophy of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 10–13.
[4]
⁴ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975),
57–60.
[5]
⁵ Hilary Putnam, Mind, Language, and
Reality: Philosophical Papers, Vol. 2
(Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 217–219.
[6]
⁶ Andy Clark, Being There: Putting
Brain, Body, and World Together Again
(Cambridge, MA: MIT Press, 1997), 75–77.
[7]
⁷ Alva Noë, Action in Perception (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 2–4.
[8]
⁸ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 173–178.
[9]
⁹ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
136–140.
[10]
¹⁰ Wilfrid Sellars, Empiricism
and the Philosophy of Mind
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 43–45.
[11]
¹¹ Endel Tulving, “Episodic and Semantic Memory,” in Organization of Memory,
ed. E. Tulving and W. Donaldson (New York: Academic Press, 1972), 381–403.
[12]
¹² Richard Semon, The Mneme (London: Allen & Unwin, 1921), 47–51.
[13]
¹³ Frederic Bartlett, Remembering:
A Study in Experimental and Social Psychology (Cambridge: Cambridge University Press, 1932),
202–204.
[14]
¹⁴ Susan Haack, Evidence and Inquiry (Oxford: Blackwell, 1993), 27–30.
[15]
¹⁵ Franz Brentano, Psychology from an
Empirical Standpoint, trans. Antos
C. Rancurello et al. (London: Routledge, 1995), 88–91.
[16]
¹⁶ John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 19–22.
[17]
¹⁷ Daniel C. Dennett, The
Intentional Stance (Cambridge, MA:
MIT Press, 1987), 9–11.
[18]
¹⁸ Margaret Boden, Artificial
Intelligence: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 32–36.
[19]
¹⁹ Hubert L. Dreyfus, What
Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 72–75.
[20]
²⁰ Hubert L. Dreyfus and Stuart Dreyfus, Mind over Machine: The Power of Human Intuition and Expertise in
the Era of the Computer (New York:
Free Press, 1986), 23–26.
[21]
²¹ Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review
83, no. 4 (1974): 435–450.
[22]
²² Susan Schneider, Artificial
You: AI and the Future of Your Mind
(Princeton: Princeton University Press, 2019), 103–107.
[23]
²³ Mark Johnson, The Meaning of the
Body: Aesthetics of Human Understanding
(Chicago: University of Chicago Press, 2007), 12–15.
[24]
²⁴ Evan Thompson, Mind in Life: Biology,
Phenomenology, and the Sciences of Mind
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 89–92.
5.
Aksiologi
dan Etika Kognitif
Aksiologi kognitif
menyoroti dimensi nilai (value dimension) yang melekat dalam
seluruh proses kognitif manusia dan implikasinya terhadap tanggung jawab etis
dalam penggunaan pengetahuan. Jika epistemologi kognitif berfokus pada
bagaimana pengetahuan diperoleh, maka aksiologi kognitif bertanya untuk
apa pengetahuan itu digunakan dan bagaimana pengetahuan tersebut
harus diarahkan agar tidak kehilangan makna kemanusiaannya. Dalam kerangka
filsafat kognitif, aksiologi tidak sekadar berbicara tentang nilai moral,
melainkan juga tentang orientasi normatif dari seluruh aktivitas berpikir,
menilai, dan memahami. Dengan demikian, filsafat kognitif tidak hanya bersifat
deskriptif—menjelaskan cara kerja pikiran—tetapi juga normatif, mengarahkan
bagaimana manusia seharusnya menggunakan kesadarannya dalam dunia yang semakin
dipengaruhi oleh teknologi dan kecerdasan buatan (AI).
5.1. Nilai dalam Proses Kognitif
Setiap aktivitas
kognitif mengandung dimensi nilai karena berpikir tidak pernah bersifat netral.
Proses pengenalan, pemilihan, dan penilaian informasi selalu dipandu oleh preferensi,
tujuan, dan makna yang diyakini subjek.¹ Hal ini menegaskan bahwa kognisi tidak
sekadar kegiatan rasional, tetapi juga tindakan evaluatif. Antonio Damasio
menunjukkan bahwa emosi memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan dan
pembentukan makna, sehingga pemisahan antara kognisi dan afeksi adalah keliru
secara empiris maupun etis.² Dalam konteks ini, kognisi manusia tidak hanya
mengolah data, tetapi juga menilai nilai moral, sosial, dan eksistensial yang
terkandung di dalamnya.
Aksiologi kognitif
menolak pandangan value-free science yang sering
mendominasi sains kognitif modern.³ Proses berpikir manusia, termasuk dalam
sains, selalu diarahkan oleh nilai-nilai tertentu seperti kebenaran, keadilan,
dan kemanusiaan. Dengan demikian, kesadaran reflektif menjadi penting: manusia
perlu menyadari nilai-nilai yang membimbing cara berpikirnya agar tidak
terjebak pada kognisi instrumental semata—yakni berpikir untuk efisiensi tanpa
mempertimbangkan implikasi etisnya.⁴
5.2. Etika Pengetahuan dan Tanggung Jawab Epistemik
Dalam tradisi
aksiologis, setiap bentuk pengetahuan membawa tanggung jawab epistemik (epistemic
responsibility).⁵ Mengetahui berarti juga bertanggung jawab
terhadap cara pengetahuan itu digunakan dan dampaknya terhadap sesama makhluk.
Hal ini relevan dalam konteks filsafat kognitif karena pemahaman tentang
pikiran dan kesadaran tidak hanya memiliki nilai teoritis, tetapi juga aplikasi
praktis dalam bidang pendidikan, teknologi, dan kebijakan publik.
Miranda Fricker
memperkenalkan konsep epistemic injustice, yaitu bentuk
ketidakadilan yang terjadi ketika seseorang dirugikan dalam kapasitasnya
sebagai subjek pengetahuan, misalnya karena bias kognitif, prasangka sosial,
atau ketimpangan informasi.⁶ Dalam kerangka ini, etika kognitif menuntut
pengakuan terhadap pluralitas bentuk pengetahuan dan cara berpikir, sehingga
menghindari dominasi epistemik yang mengalienasi kelompok tertentu. Keadilan
epistemik menjadi nilai sentral dalam etika kognitif, karena ia menjaga agar
pengetahuan tidak menjadi alat kekuasaan, tetapi sarana pembebasan dan dialog.⁷
Selain itu, tanggung
jawab epistemik juga menuntut integritas intelektual: berpikir secara jujur,
kritis, dan terbuka terhadap koreksi.⁸ Filsafat kognitif menegaskan bahwa
kesadaran reflektif adalah etika dalam dirinya sendiri, sebab berpikir tanpa
refleksi dapat melahirkan kesalahan persepsi, bias, dan manipulasi kognitif.
Dalam dunia yang dipenuhi informasi dan algoritma, kemampuan reflektif menjadi
bentuk kebajikan epistemik yang menjaga otonomi dan kemanusiaan manusia.
5.3. Etika Kesadaran Buatan dan Moralitas Digital
Kemajuan teknologi
kecerdasan buatan memunculkan persoalan etika baru dalam ranah filsafat
kognitif. Apabila mesin dapat berpikir atau belajar secara mandiri, apakah ia
memiliki tanggung jawab moral? Dapatkah entitas buatan menjadi subjek etis?
Pertanyaan ini menuntut analisis aksiologis yang mendalam.
John Searle
berpendapat bahwa kesadaran buatan hanyalah simulasi dari kesadaran sejati,
karena mesin tidak memiliki intentionality—yakni kemampuan
untuk memiliki makna intrinsik terhadap sesuatu.⁹ Namun, Daniel Dennett
berargumen bahwa perilaku sistem kognitif (baik manusia maupun mesin) dapat
dianalisis melalui intentional stance, yaitu dengan
memperlakukan entitas tersebut seolah-olah memiliki keyakinan dan tujuan.¹⁰
Dalam konteks ini, etika kognitif menghadapi dilema: apakah moralitas
didasarkan pada kesadaran subjektif atau pada perilaku rasional yang dapat
diprediksi?
Persoalan etika AI
juga menyangkut tanggung jawab manusia sebagai penciptanya. Luciano Floridi
memperkenalkan konsep information ethics, yaitu etika
yang memperlakukan informasi dan agen informasi (termasuk AI) sebagai entitas
moral yang perlu diperlakukan secara adil dan bertanggung jawab.¹¹ Dalam
kerangka aksiologi kognitif, penggunaan AI harus diarahkan pada pengembangan
nilai-nilai humanistik: memperluas empati, meningkatkan kualitas hidup, dan
melindungi martabat manusia.¹²
5.4. Kognisi, Moralitas, dan Empati
Dimensi moral dalam
kognisi juga mencakup bagaimana manusia memahami dan menilai tindakan baik atau
buruk. Kajian moral cognition menunjukkan bahwa
kemampuan moral berakar pada struktur kognitif dan afektif manusia yang
terintegrasi.¹³ Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg mengembangkan teori
perkembangan moral yang menjelaskan bahwa penalaran moral berkembang seiring
dengan kapasitas kognitif individu.¹⁴ Namun, temuan neurosains modern—misalnya
oleh Joshua Greene—menunjukkan bahwa moralitas juga melibatkan reaksi emosional
cepat yang terhubung dengan sistem limbik otak.¹⁵
Etika kognitif
menegaskan pentingnya keseimbangan antara rasionalitas dan empati. Tanpa
empati, kognisi menjadi dingin dan instrumentalis; tanpa rasionalitas,
moralitas menjadi impulsif.¹⁶ Dalam kerangka humanistik, berpikir etis berarti
berpikir dengan hati yang sadar—sebuah kesatuan antara pengetahuan dan nilai,
antara pemahaman dan kasih.¹⁷ Hal ini menjadi dasar bagi pengembangan cognitive
ethics yang tidak hanya mengatur perilaku berpikir, tetapi juga
mengarahkan manusia menuju kebijaksanaan reflektif (reflective wisdom).
5.5. Aksiologi Kognitif di Era Digital dan Post-Human
Dalam era digital
dan post-human, aksiologi kognitif menghadapi tantangan baru terkait batas
antara manusia dan mesin. Jika sistem buatan mampu memproses informasi dan
meniru perilaku manusia, bagaimana kita menilai keotentikan pengetahuan dan
kesadaran? Susan Schneider menegaskan bahwa penggabungan antara manusia dan
mesin melalui antarmuka neuro-digital menimbulkan dilema identitas: apakah
ekspansi kognitif berarti peningkatan kemanusiaan atau justru penghapusannya?¹⁸
Etika kognitif di
era ini menuntut prinsip keseimbangan: penggunaan teknologi harus diarahkan
untuk memperluas potensi reflektif manusia, bukan menggantikannya.¹⁹ Kognisi
digital seharusnya tidak mengurangi otonomi, tetapi memperkaya pengalaman
kesadaran. Dengan demikian, nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, tanggung
jawab, dan kebijaksanaan harus menjadi pusat dari perkembangan teknologi
kognitif.²⁰
5.6. Menuju Etika Kognitif Humanistik
Etika kognitif
humanistik menegaskan bahwa puncak dari aktivitas berpikir bukanlah efisiensi
komputasional, melainkan kebijaksanaan eksistensial.²¹ Pengetahuan yang sejati
adalah pengetahuan yang memanusiakan, yang tidak hanya menghasilkan kebenaran
teoretis, tetapi juga kebaikan praktis dan keindahan moral.²² Filsafat kognitif
dengan demikian mengarahkan manusia untuk memahami bahwa berpikir adalah
tindakan etis: setiap proses kognitif melibatkan pilihan nilai dan tanggung
jawab moral terhadap dunia.
Aksiologi kognitif,
pada akhirnya, bukan sekadar studi tentang nilai dalam kognisi, melainkan juga
panduan untuk mengembangkan kesadaran reflektif yang berkeadilan, berempati,
dan terbuka terhadap keberagaman pengetahuan. Dengan mengintegrasikan dimensi
etis ke dalam struktur berpikir, filsafat kognitif membentuk kerangka menuju human-centered
cognition, yakni bentuk kognisi yang mengabdi pada martabat manusia
dan keseimbangan dunia.
Footnotes
[1]
¹ Nicholas Rescher, Cognitive
Pragmatism: The Theory of Knowledge in Pragmatic Perspective (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2001),
23–25.
[2]
² Antonio Damasio, Descartes’ Error:
Emotion, Reason, and the Human Brain
(New York: Putnam, 1994), 128–132.
[3]
³ Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy J. Shapiro
(Boston: Beacon Press, 1971), 308–312.
[4]
⁴ Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Oxford University Press, 1947), 79–82.
[5]
⁵ Lorraine Code, What Can She Know?
Feminist Theory and the Construction of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 16–18.
[6]
⁶ Miranda Fricker, Epistemic Injustice:
Power and the Ethics of Knowing
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–4.
[7]
⁷ José Medina, The Epistemology of
Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant
Imaginations (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 9–12.
[8]
⁸ Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An
Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–48.
[9]
⁹ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[10]
¹⁰ Daniel C. Dennett, The
Intentional Stance (Cambridge, MA:
MIT Press, 1987), 12–15.
[11]
¹¹ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 45–49.
[12]
¹² Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 90–93.
[13]
¹³ Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why
Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon, 2012), 124–128.
[14]
¹⁴ Lawrence Kohlberg, Essays
on Moral Development: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 56–59.
[15]
¹⁵ Joshua Greene, Moral Tribes: Emotion,
Reason, and the Gap Between Us and Them
(New York: Penguin Press, 2013), 34–38.
[16]
¹⁶ Martha C. Nussbaum, Upheavals
of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 18–22.
[17]
¹⁷ Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 112–115.
[18]
¹⁸ Susan Schneider, Artificial
You: AI and the Future of Your Mind
(Princeton: Princeton University Press, 2019), 91–96.
[19]
¹⁹ Andy Clark, Natural-Born Cyborgs:
Minds, Technologies, and the Future of Human Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2003), 101–104.
[20]
²⁰ Peter-Paul Verbeek, Moralizing
Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 67–70.
[21]
²¹ Martha Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–29.
[22]
²² Raimon Panikkar, The
Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 201–205.
6.
Dimensi
Interdisipliner
Filsafat kognitif,
sejak awal kelahirannya, tidak pernah berdiri sendiri sebagai disiplin yang
tertutup. Ia tumbuh di tengah arus besar cognitive revolution pada
pertengahan abad ke-20, yang melibatkan sinergi antara filsafat, psikologi,
linguistik, ilmu komputer, neurosains, dan antropologi.¹ Oleh karena itu, untuk
memahami kognisi secara utuh, diperlukan pendekatan interdisipliner yang
mengintegrasikan aspek biologis, psikologis, linguistik, sosial, dan
fenomenologis. Filsafat kognitif menjadi ruang reflektif di mana berbagai
disiplin ilmu bertemu untuk menafsirkan kembali hakikat pikiran dan kesadaran,
bukan sebagai entitas terisolasi, melainkan sebagai jaringan proses yang
dinamis dan saling berhubungan.
6.1. Hubungan dengan Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif
merupakan mitra empiris utama bagi filsafat kognitif. Ia mempelajari secara
sistematis bagaimana manusia mempersepsi, memproses, dan menyimpan informasi.
George A. Miller, salah satu pelopor psikologi kognitif, berpendapat bahwa
pikiran manusia bekerja seperti sistem pemrosesan informasi yang memiliki
kapasitas terbatas dan struktur hierarkis.² Penelitian psikologi kognitif
tentang persepsi, memori, dan pemecahan masalah menjadi basis empiris bagi
refleksi filosofis mengenai hakikat kesadaran dan rasionalitas.
Namun, filsafat
kognitif tidak hanya menerima hasil-hasil psikologi, tetapi juga mengajukan
kritik konseptual terhadap asumsi-asumsinya. Misalnya, aliran embodied
cognition menolak pandangan psikologi kognitif klasik yang terlalu
menekankan pemrosesan simbol internal dan mengabaikan peran tubuh serta
lingkungan dalam membentuk pikiran.³ Dalam pandangan ini, kognisi bukanlah
representasi pasif dari dunia, melainkan interaksi aktif antara organisme dan
konteksnya.⁴ Dengan demikian, hubungan antara filsafat dan psikologi kognitif
bersifat dialektis: yang satu memberi data empiris, yang lain memberi refleksi
konseptual atas makna data tersebut.
6.2. Hubungan dengan Linguistik
Linguistik modern,
terutama melalui karya Noam Chomsky, memberikan sumbangan besar terhadap
pembentukan paradigma kognitif.⁵ Chomsky menolak behaviorisme dengan
menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa tidak dapat dijelaskan melalui stimulus
dan respons semata, melainkan bergantung pada struktur mental bawaan yang
disebut universal
grammar.⁶ Bagi filsafat kognitif, bahasa bukan hanya alat
komunikasi, tetapi juga struktur yang membentuk cara manusia berpikir. Ludwig
Wittgenstein sebelumnya telah menegaskan bahwa “batas-batas bahasaku adalah
batas-batas duniaku,” yang menunjukkan bahwa bahasa dan kognisi tidak dapat
dipisahkan.⁷
Kajian kontemporer
juga memperluas hubungan antara linguistik dan filsafat kognitif melalui
pendekatan cognitive
linguistics, yang dikembangkan oleh George Lakoff dan Mark Johnson.
Mereka berargumen bahwa makna linguistik bersifat embodied—tertanam dalam pengalaman
tubuh manusia.⁸ Konsep-konsep abstrak seperti “waktu” atau “moralitas”
dimaknai melalui metafora yang berasal dari interaksi sensorimotor.⁹ Hal ini
menunjukkan bahwa struktur kognitif tidak hanya bersifat logis, tetapi juga
metaforis dan pengalamanal. Dengan demikian, linguistik memperkaya epistemologi
kognitif melalui analisis tentang bagaimana bahasa membentuk dunia makna dan
persepsi manusia.
6.3. Hubungan dengan Neurosains
Neurosains
menyediakan dimensi biologis bagi filsafat kognitif dengan menjelaskan dasar
neural dari proses mental. Antonio Damasio, misalnya, menekankan bahwa
kesadaran muncul dari interaksi kompleks antara otak, tubuh, dan lingkungan,
bukan dari satu area otak tertentu.¹⁰ Temuan neuroscience modern memperlihatkan
bahwa aktivitas kognitif—seperti atensi, persepsi, dan emosi—melibatkan
jaringan neural yang tersebar, yang beroperasi secara paralel dan dinamis.¹¹
Bagi filsafat
kognitif, hal ini menimbulkan pertanyaan ontologis dan epistemologis: apakah
kesadaran dapat direduksi menjadi aktivitas neural semata, ataukah ia memiliki
kualitas fenomenal yang tidak dapat dijelaskan secara biologis?¹² Daniel
Dennett mengusulkan pendekatan heterophenomenology untuk
menjembatani antara pengalaman subjektif dan data empiris, dengan memahami
kesadaran sebagai narasi interpretatif yang dihasilkan oleh otak.¹³ Di sisi
lain, peneliti seperti Evan Thompson menolak reduksionisme biologis dan
menekankan perlunya pendekatan fenomenologis terhadap kesadaran, di mana data
neuroscientific harus diinterpretasikan dalam konteks pengalaman sadar.¹⁴
Dengan demikian, dialog antara filsafat dan neurosains menghasilkan perspektif
yang lebih holistik terhadap pikiran—sebagai fenomena biologis sekaligus
eksistensial.
6.4. Hubungan dengan Ilmu Komputer dan Kecerdasan Buatan
Hubungan antara
filsafat kognitif dan ilmu komputer bersifat fundamental, terutama sejak
munculnya gagasan computational theory of mind.¹⁵
Teori ini menyatakan bahwa pikiran manusia berfungsi seperti komputer, yakni
sebagai sistem yang memproses simbol berdasarkan aturan sintaksis tertentu.¹⁶
Hilary Putnam dan Jerry Fodor mengembangkan model ini sebagai kerangka untuk
memahami fungsi mental secara formal dan sistematis.¹⁷
Namun, kemunculan connectionism
dan deep
learning menggeser paradigma tersebut. Jaringan saraf tiruan (neural
networks) meniru pola pembelajaran otak dengan cara non-simbolik,
menekankan adaptasi dan asosiasi daripada manipulasi simbol.¹⁸ Hal ini
menimbulkan refleksi filosofis baru: apakah kecerdasan buatan dapat “memahami”
sebagaimana manusia memahami, ataukah ia sekadar meniru proses kognitif tanpa
kesadaran? John Searle melalui Chinese Room Argument menegaskan
bahwa pemrosesan simbol tidak identik dengan pemahaman makna.¹⁹
Dialog antara
filsafat dan ilmu komputer mengantarkan pada munculnya machine
ethics dan AI epistemology, yaitu kajian
tentang nilai dan pengetahuan dalam sistem buatan.²⁰ Filsafat kognitif
memainkan peran penting dalam menilai batas-batas antara pengetahuan algoritmik
dan kesadaran reflektif manusia, serta menekankan pentingnya pendekatan
humanistik dalam pengembangan teknologi cerdas.²¹
6.5. Hubungan dengan Fenomenologi dan Humaniora
Fenomenologi memberi
kontribusi kritis terhadap filsafat kognitif dengan menekankan dimensi
pengalaman sadar yang tidak dapat direduksi menjadi mekanisme komputasional.
Edmund Husserl dan Maurice Merleau-Ponty menegaskan bahwa kesadaran selalu
bersifat intentional
dan embodied—ia
hadir dalam dunia, bukan di luar dunia.²² Dalam konteks ini, fenomenologi
berfungsi sebagai koreksi terhadap kecenderungan reduksionis ilmu kognitif yang
sering mengabaikan subjektivitas manusia.
Filsafat kognitif
juga berinteraksi dengan bidang humaniora seperti antropologi, etika, dan
estetika. Clifford Geertz memandang kebudayaan sebagai sistem simbolik yang
membentuk cara berpikir dan memahami dunia.²³ Sementara dalam estetika
kognitif, Mark Johnson dan George Lakoff menunjukkan bahwa kreativitas dan
makna artistik lahir dari mekanisme kognitif yang sama dengan pemikiran
sehari-hari.²⁴ Dengan demikian, pendekatan humaniora memperkaya filsafat
kognitif dengan dimensi nilai, makna, dan pengalaman yang bersifat eksistensial
dan intersubjektif.
6.6. Sinergi dan Ketegangan Antar-Disiplin
Hubungan
interdisipliner ini tidak selalu harmonis. Terdapat ketegangan antara
pendekatan reduksionis (yang menekankan aspek biologis dan komputasional) dan
pendekatan holistik (yang menekankan pengalaman subjektif dan sosial).²⁵ Namun,
ketegangan tersebut justru memperkaya filsafat kognitif sebagai arena dialog
reflektif. Ia memfasilitasi integrasi antara “ilmu keras” (hard
sciences) dan “ilmu lunak” (soft sciences), serta menegaskan
bahwa memahami pikiran berarti memahami manusia dalam totalitasnya—sebagai
makhluk biologis, sosial, dan moral.²⁶
Filsafat kognitif
dengan demikian berfungsi sebagai meta-discipline, yakni disiplin
yang merefleksikan dan menyatukan pengetahuan lintas bidang untuk menjawab
pertanyaan mendasar tentang kesadaran, pengetahuan, dan nilai.²⁷ Dalam era
digital dan post-human, pendekatan interdisipliner ini menjadi semakin penting:
hanya melalui dialog antara filsafat dan sains, manusia dapat memahami hakikat
pikirannya sendiri secara komprehensif sekaligus menjaga nilai kemanusiaan di
tengah kemajuan teknologi kognitif yang pesat.²⁸
Footnotes
[1]
¹ Howard Gardner, The Mind’s New Science:
A History of the Cognitive Revolution
(New York: Basic Books, 1985), 12–15.
[2]
² George A. Miller, “The Magical Number Seven, Plus or Minus Two,” Psychological Review
63, no. 2 (1956): 81–97.
[3]
³ Shaun Gallagher, How the Body Shapes the
Mind (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 4–6.
[4]
⁴ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 173–176.
[5]
⁵ Noam Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 1–3.
[6]
⁶ Ibid., 27–29.
[7]
⁷ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C.K.
Ogden (London: Routledge, 1922), 5.6–5.62.
[8]
⁸ George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors
We Live By (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 3–5.
[9]
⁹ Mark Johnson, The Body in the Mind:
The Bodily Basis of Meaning, Imagination, and Reason (Chicago: University of Chicago Press, 1987), 14–17.
[10]
¹⁰ Antonio Damasio, The
Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 125–129.
[11]
¹¹ Jean-Pierre Changeux, Neuronal
Man: The Biology of Mind (Princeton:
Princeton University Press, 1985), 62–65.
[12]
¹² David J. Chalmers, The
Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 9–11.
[13]
¹³ Daniel C. Dennett, Consciousness
Explained (Boston: Little, Brown,
1991), 21–23.
[14]
¹⁴ Evan Thompson, Mind in Life: Biology,
Phenomenology, and the Sciences of Mind
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 87–90.
[15]
¹⁵ Hilary Putnam, Mind, Language, and
Reality (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 212–214.
[16]
¹⁶ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975),
57–60.
[17]
¹⁷ Hilary Putnam, Representation and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press,
1988), 5–8.
[18]
¹⁸ Paul Smolensky, “On the Proper Treatment of Connectionism,” Behavioral and Brain Sciences 11, no. 1 (1988): 1–74.
[19]
¹⁹ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[20]
²⁰ Wendell Wallach and Colin Allen, Moral
Machines: Teaching Robots Right from Wrong (Oxford: Oxford University Press, 2009), 19–22.
[21]
²¹ Susan Schneider, Artificial
You: AI and the Future of Your Mind
(Princeton: Princeton University Press, 2019), 88–92.
[22]
²² Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 1962), 56–59.
[23]
²³ Clifford Geertz, The
Interpretation of Cultures (New
York: Basic Books, 1973), 89–91.
[24]
²⁴ Mark Johnson, The Meaning of the
Body: Aesthetics of Human Understanding
(Chicago: University of Chicago Press, 2007), 31–34.
[25]
²⁵ Owen Flanagan, The Science of the Mind, 2nd ed. (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 102–105.
[26]
²⁶ Francisco J. Varela, “Neurophenomenology: A Methodological Remedy
for the Hard Problem,” Journal of
Consciousness Studies 3, no. 4
(1996): 330–349.
[27]
²⁷ Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The
Phenomenological Mind (London:
Routledge, 2008), 9–11.
[28]
²⁸ Andy Clark, Surfing Uncertainty:
Prediction, Action, and the Embodied Mind (Oxford: Oxford University Press, 2016), 195–198.
7.
Kritik
terhadap Filsafat Kognitif
Filsafat kognitif,
meskipun menawarkan kerangka interdisipliner yang kaya untuk memahami pikiran
dan kesadaran, tidak lepas dari berbagai kritik konseptual dan metodologis.
Kritik tersebut datang dari beragam aliran filsafat—terutama fenomenologi,
hermeneutika, eksistensialisme, postmodernisme, dan juga dari dalam tradisi
ilmu kognitif sendiri. Kritik-kritik ini menggarisbawahi keterbatasan pandangan
representasional dan komputasional tentang pikiran, serta menyoroti risiko
dehumanisasi dan reduksionisme yang mengancam dimensi eksistensial manusia.
7.1. Kritik Fenomenologis: Penolakan terhadap
Reduksionisme Representasional
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap filsafat kognitif datang dari tradisi fenomenologi
yang dipelopori oleh Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Maurice
Merleau-Ponty. Mereka menolak asumsi dasar ilmu kognitif yang memahami pikiran
sebagai sistem representasi simbolik yang terpisah dari dunia.¹ Menurut
fenomenologi, kesadaran selalu bersifat intentional—yakni kesadaran yang
mengarah kepada sesuatu dalam dunia yang dialami, bukan sistem yang memproses
simbol internal.²
Merleau-Ponty
menegaskan bahwa kesadaran tidak dapat dipahami tanpa menempatkannya dalam
konteks tubuh yang menubuh (embodied subjectivity) dan dunia
kehidupan (Lebenswelt).³
Kritik ini menyoroti bahwa pendekatan representasionalisme dalam filsafat
kognitif cenderung mengabaikan dimensi pengalaman hidup, makna, dan
keterlibatan langsung manusia dengan dunia. Dengan menjadikan pikiran sebagai “mesin
pemroses simbol,” filsafat kognitif berisiko menghilangkan sifat
eksistensial kesadaran yang dinamis dan kontekstual.⁴
Sebagai tanggapan
atas kritik ini, muncul pendekatan embodied cognition dan enactive
cognition yang berusaha mengintegrasikan pandangan fenomenologis
dengan ilmu kognitif empiris.⁵ Namun, para fenomenolog berpendapat bahwa upaya
tersebut sering kali masih bersifat kompromistis dan belum sepenuhnya mengatasi
paradigma representasional yang mendasari filsafat kognitif itu sendiri.⁶
7.2. Kritik Hermeneutik dan Postmodern: Konteks, Bahasa,
dan Makna
Dari perspektif
hermeneutik, terutama yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer dan Paul
Ricoeur, filsafat kognitif dikritik karena mengabaikan dimensi interpretatif
dan historis dari pengetahuan manusia.⁷ Gadamer berargumen bahwa pemahaman
tidak pernah bersifat objektif atau mekanis, tetapi selalu terjadi dalam
konteks sejarah dan bahasa yang membentuk horizon makna individu.⁸ Dengan
demikian, pendekatan kognitif yang menekankan struktur formal pikiran gagal
memahami bahwa mengetahui adalah tindakan penafsiran (Verstehen),
bukan sekadar pemrosesan informasi.
Kaum postmodernis
seperti Jean-François Lyotard dan Richard Rorty menambah kritik ini dengan
menolak klaim universalitas ilmu kognitif. Mereka menilai bahwa proyek filsafat
kognitif, yang berambisi menjelaskan kesadaran melalui kerangka ilmiah,
merupakan bentuk metanarasi baru yang menggantikan
metafisika klasik.⁹ Bagi Rorty, filsafat kognitif adalah lanjutan dari “filsafat
kesadaran” yang berusaha menemukan fondasi objektif bagi pengetahuan,
padahal pengetahuan manusia selalu bersifat kontingen dan kontekstual.¹⁰
Kritik hermeneutik
dan postmodern ini menegaskan bahwa kognisi tidak bisa dilepaskan dari bahasa,
budaya, dan sejarah. Dengan kata lain, setiap teori tentang pikiran harus
memperhitungkan dimensi penafsiran yang melekat dalam pengalaman manusia.
7.3. Kritik Eksistensialis dan Humanistik: Reduksi
terhadap Subjektivitas
Filsafat
eksistensialis, melalui tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Buber,
mengkritik filsafat kognitif karena cenderung meniadakan kebebasan dan
subjektivitas manusia.¹¹ Sartre menolak pandangan bahwa kesadaran dapat
dijelaskan secara objektif, sebab kesadaran pada hakikatnya adalah “ada-untuk-dirinya”
(être-pour-soi),
yang terbuka, bebas, dan tak dapat direduksi menjadi struktur mekanistik.¹²
Kritik ini juga
menyoroti bahaya etis dari reduksi manusia menjadi sekadar “sistem informasi.”
Jika manusia dipandang sebagai mesin pemroses simbol, maka aspek moral,
spiritual, dan eksistensialnya diabaikan. Carl Rogers dan Abraham Maslow, dalam
psikologi humanistik, menegaskan bahwa kognisi manusia tidak dapat dipisahkan
dari kehendak untuk makna (will to meaning) dan aktualisasi
diri.¹³ Dengan demikian, etika kognitif harus menolak kecenderungan teknokratis
yang menjadikan kecerdasan buatan atau algoritma sebagai model utama kesadaran.
7.4. Kritik Internal: Keterbatasan Model Komputasional
dan Neurosentrisme
Dari dalam ilmu
kognitif sendiri, muncul kritik terhadap paradigma computational theory of mind dan neuroscientific
reductionism. Hubert Dreyfus, misalnya, menolak gagasan bahwa
seluruh bentuk pengetahuan dapat direpresentasikan secara simbolik dan diproses
melalui aturan formal.¹⁴ Dalam What Computers Can’t Do, Dreyfus
menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersifat kontekstual, intuitif, dan
prareflektif—sesuatu yang tidak dapat ditiru oleh mesin.¹⁵
Kritik ini terbukti
relevan dalam perkembangan AI modern: meskipun sistem deep
learning mampu meniru perilaku cerdas, mereka tetap tidak memiliki
kesadaran fenomenal (phenomenal consciousness).¹⁶ Hal
ini menunjukkan bahwa ada jurang ontologis antara kecerdasan fungsional dan
kesadaran reflektif.
Selain itu, neuroscientific
reductionism—pandangan yang menganggap bahwa seluruh fenomena
mental dapat dijelaskan sepenuhnya oleh aktivitas otak—juga menuai kritik. Alva
Noë dan Evan Thompson menegaskan bahwa pengalaman sadar tidak dapat direduksi
menjadi korelasi neural, karena kesadaran merupakan hasil dari interaksi aktif
antara organisme dan dunia.¹⁷ Dengan demikian, filsafat kognitif yang terlalu
bergantung pada neurosains berisiko kehilangan kedalaman filosofisnya dan
terjerumus dalam “biologisme epistemik.”¹⁸
7.5. Kritik Sosial dan Etis: Ideologi Teknologis dan
Krisis Kemanusiaan
Dari perspektif
kritis dan etika sosial, filsafat kognitif juga dikritik karena berpotensi
menjadi ideologi yang melegitimasi dominasi teknologi atas manusia. Jürgen
Habermas menilai bahwa rasionalitas instrumental yang mendasari ilmu kognitif
sering mengabaikan dimensi komunikasi dan intersubjektivitas manusia.¹⁹ Dalam The
Theory of Communicative Action, Habermas mengingatkan bahwa
pengetahuan sejati harus berorientasi pada pemahaman (Verständigung),
bukan sekadar kontrol dan efisiensi.²⁰
Herbert Marcuse menambahkan
bahwa teknologi kognitif dapat memperdalam “masyarakat satu dimensi,” di
mana manusia menjadi pasif dan kehilangan kemampuan reflektif kritis terhadap
sistem yang mengaturnya.²¹ Dalam konteks AI dan digitalisasi, kritik ini
menjadi sangat relevan: filsafat kognitif dapat digunakan untuk melegitimasi
pandangan teknokratis yang menilai manusia semata sebagai agen komputasional.²²
Etika kognitif
karenanya perlu menegaskan kembali nilai kemanusiaan—bahwa berpikir bukan
sekadar menghitung, tetapi juga menimbang, memahami, dan bertanggung jawab.²³
Kritik sosial ini mengingatkan bahwa filsafat kognitif tanpa orientasi
humanistik berpotensi menjadi instrumen dehumanisasi.
7.6. Menuju Paradigma Integratif dan Reflektif
Kritik-kritik di
atas tidak meniadakan nilai filsafat kognitif, tetapi justru menunjukkan
perlunya paradigma yang lebih integratif dan reflektif. Filsafat kognitif harus
bergerak melampaui reduksionisme komputasional dan membuka diri terhadap
pendekatan fenomenologis, etis, dan sosial.²⁴ Dengan mengakui pluralitas cara
mengetahui—baik empiris, interpretatif, maupun eksistensial—filsafat kognitif
dapat menjadi jembatan antara sains dan humaniora.²⁵
Sebagaimana
ditegaskan oleh Evan Thompson, masa depan filsafat kognitif terletak pada
kemampuannya untuk mengintegrasikan sains dengan pengalaman hidup manusia,
dalam kerangka neurophenomenology yang menghormati
baik data empiris maupun kedalaman subjektif.²⁶ Kritik, dalam konteks ini,
bukanlah penolakan, melainkan sarana pembaruan filosofis yang menjaga agar
studi tentang pikiran tetap manusiawi, reflektif, dan terbuka terhadap
kompleksitas eksistensi.
Footnotes
[1]
¹ Edmund Husserl, The Crisis of European
Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970),
104–107.
[2]
² Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–82.
[3]
³ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 1962), 84–87.
[4]
⁴ Hubert L. Dreyfus, What
Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 99–103.
[5]
⁵ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.
[6]
⁶ Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The
Phenomenological Mind (London:
Routledge, 2008), 25–27.
[7]
⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–273.
[8]
⁸ Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II (Evanston:
Northwestern University Press, 1991), 83–85.
[9]
⁹ Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), 3–7.
[10]
¹⁰ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 132–136.
[11]
¹¹ Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, trans. Hazel Barnes
(New York: Philosophical Library, 1956), 52–56.
[12]
¹² Ibid., 98–101.
[13]
¹³ Abraham Maslow, Motivation and
Personality, 3rd ed. (New York:
Harper & Row, 1987), 21–23.
[14]
¹⁴ Hubert L. Dreyfus, What
Computers Can’t Do: The Limits of Artificial Intelligence (New York: Harper & Row, 1972), 112–115.
[15]
¹⁵ Ibid., 130–133.
[16]
¹⁶ Thomas Metzinger, Being
No One: The Self-Model Theory of Subjectivity (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 14–16.
[17]
¹⁷ Alva Noë, Action in Perception (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 6–9.
[18]
¹⁸ Evan Thompson, Mind in Life: Biology,
Phenomenology, and the Sciences of Mind
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 92–95.
[19]
¹⁹ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 295–298.
[20]
²⁰ Ibid., 312–315.
[21]
²¹ Herbert Marcuse, One-Dimensional
Man (Boston: Beacon Press, 1964),
145–148.
[22]
²² Shoshana Zuboff, The
Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 37–40.
[23]
²³ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 43–45.
[24]
²⁴ Evan Thompson, Waking, Dreaming,
Being: Self and Consciousness in Neuroscience, Meditation, and Philosophy (New York: Columbia University Press, 2015), 204–207.
[25]
²⁵ Andy Clark, Surfing Uncertainty:
Prediction, Action, and the Embodied Mind (Oxford: Oxford University Press, 2016), 197–200.
[26]
²⁶ Francisco J. Varela, “Neurophenomenology: A Methodological Remedy
for the Hard Problem,” Journal of
Consciousness Studies 3, no. 4
(1996): 330–349.
8.
Relevansi
Kontemporer: Filsafat Kognitif di Era Digital dan Kecerdasan
Buatan
Filsafat kognitif
memasuki babak baru di abad ke-21, ketika kemajuan teknologi digital dan
kecerdasan buatan (AI) menantang pengertian tradisional tentang pikiran,
kesadaran, dan pengetahuan. Jika pada awalnya filsafat kognitif berupaya
menjelaskan mekanisme berpikir manusia melalui model komputasional, kini ia
menghadapi pertanyaan yang lebih mendalam dan eksistensial: apakah mesin dapat
berpikir dan mengetahui sebagaimana manusia? Apakah kecerdasan buatan mampu
memiliki kesadaran, moralitas, atau intensionalitas? Dan lebih jauh lagi,
bagaimana perubahan teknologi digital mengubah cara manusia berpikir, merasa,
dan memahami dirinya sendiri?
Dalam konteks
kontemporer, filsafat kognitif tidak lagi hanya menjadi refleksi teoretis,
melainkan juga alat kritis untuk menilai implikasi sosial, etis, dan humanistik
dari perkembangan teknologi yang meniru atau bahkan menandingi kemampuan
kognitif manusia.
8.1. Transformasi Kognitif di Era Digital
Era digital telah
mengubah struktur dan fungsi kognisi manusia secara mendasar. Nicholas Carr
berpendapat bahwa penggunaan internet dan media digital telah memodifikasi cara
manusia memproses informasi, dari berpikir mendalam menuju perhatian yang
terfragmentasi dan dangkal.¹ Fenomena ini disebut sebagai neuroplasticity
digital, di mana kebiasaan berpikir cepat dan multitasking
membentuk ulang pola neural otak manusia.² Dalam perspektif filsafat kognitif,
hal ini menunjukkan bahwa kognisi bukanlah sistem tetap, melainkan proses yang
adaptif terhadap lingkungan teknologisnya.
Andy Clark, dalam Natural-Born
Cyborgs, mengemukakan bahwa manusia selalu memperluas kapasitas
kognitifnya melalui alat, bahasa, dan teknologi, sehingga batas antara pikiran
dan lingkungan menjadi kabur.³ Menurutnya, teknologi digital adalah bentuk extended
mind, yaitu perpanjangan kognisi manusia yang memperluas kemampuan
memori, persepsi, dan pengambilan keputusan.⁴ Namun, pandangan ini juga
menimbulkan dilema etis: apakah ketergantungan pada sistem eksternal seperti
algoritma dan mesin pembelajar akan memperkuat atau justru melemahkan otonomi
kognitif manusia?
8.2. AI, Pengetahuan, dan Kesadaran Buatan
Kehadiran kecerdasan
buatan menimbulkan perdebatan mendasar mengenai sifat pengetahuan dan
kesadaran. Filsafat kognitif, khususnya melalui paradigma computational
theory of mind, telah lama menyamakan proses berpikir dengan
pemrosesan simbol oleh komputer.⁵ Namun, sistem AI modern yang berbasis machine
learning dan neural networks menunjukkan kemampuan
adaptif yang jauh melampaui pendekatan simbolik tradisional. Sistem ini tidak
lagi “diprogram” secara ketat, melainkan “belajar” dari data,
meniru cara otak manusia membangun pola.⁶
Meskipun demikian,
banyak filsuf berpendapat bahwa kemampuan belajar mesin tidak identik dengan
kesadaran. John Searle melalui Chinese Room Argument menegaskan
bahwa manipulasi simbol tidak menghasilkan pemahaman makna—mesin dapat “meniru”
pengetahuan tanpa benar-benar mengetahui.⁷ David Chalmers
menambahkan bahwa bahkan jika mesin berfungsi secara identik dengan otak
manusia, belum tentu ia memiliki qualia, yaitu pengalaman subjektif
yang menjadi inti kesadaran.⁸
Namun, muncul juga
pandangan baru seperti synthetic phenomenology yang
berusaha memahami bagaimana sistem buatan dapat meniru atau mengonstruksi
bentuk pengalaman sadar secara artifisial.⁹ Pendekatan ini, yang dikembangkan
oleh Thomas Metzinger dan Susan Schneider, memperluas horizon filsafat kognitif
menuju wilayah post-biological cognition, di mana
kesadaran tidak lagi dipandang eksklusif sebagai fenomena biologis, tetapi
sebagai fungsi emergen dari sistem kompleks.¹⁰
8.3. Revolusi Kognitif Sosial dan Budaya
Selain aspek
teknologi, filsafat kognitif kontemporer juga menyoroti transformasi sosial dan
budaya yang dipicu oleh digitalisasi. Fenomena seperti media sosial, realitas
virtual, dan algoritma rekomendasi telah menciptakan bentuk-bentuk baru dari
kesadaran kolektif dan konstruksi pengetahuan.¹¹
Pierre Lévy
memperkenalkan gagasan tentang collective intelligence, yaitu
kemampuan masyarakat digital untuk memproduksi dan menyebarkan pengetahuan
melalui jaringan global.¹² Dalam konteks ini, filsafat kognitif mempelajari
bagaimana struktur sosial, ekonomi, dan politik membentuk arsitektur berpikir
masyarakat. Sebaliknya, Jaron Lanier mengingatkan bahwa digitalisasi juga
membawa risiko “penghilangan subjektivitas,” ketika individu direduksi menjadi
data dan perilaku manusia dikendalikan oleh sistem prediktif.¹³
Filsafat kognitif
kontemporer dengan demikian menekankan perlunya epistemic agency—kemampuan individu
untuk tetap berpikir reflektif dan kritis di tengah banjir informasi dan
automatisasi keputusan.¹⁴ Tanpa kesadaran kritis, kognisi manusia dapat dengan
mudah tergantikan oleh mekanisme algoritmik yang mengatur atensi, preferensi,
dan bahkan emosi.
8.4. Implikasi Etis dan Humanistik
Kemajuan teknologi
kognitif menimbulkan persoalan aksiologis mendalam. Bagaimana memastikan bahwa
sistem AI dan teknologi neurokomputasional dikembangkan dengan menghormati
nilai-nilai kemanusiaan? Luciano Floridi menekankan perlunya information
ethics, yakni etika yang menilai setiap bentuk interaksi informasi
berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan informasi (infosphere).¹⁵
Dalam kerangka ini, kesadaran bukan hanya fenomena biologis, melainkan juga
entitas moral yang harus dijaga agar tidak tereduksi menjadi data
kuantitatif.¹⁶
Shannon Vallor
menambahkan bahwa manusia perlu mengembangkan “kebajikan teknologi” (technomoral
virtues), seperti kehati-hatian, empati, dan keadilan, untuk
menavigasi kompleksitas dunia digital.¹⁷ Etika kognitif di era ini menuntut
manusia untuk bertanggung jawab terhadap penggunaan teknologi yang dapat
memengaruhi persepsi, keputusan, dan kesadaran kolektif.¹⁸
Relevansi humanistik
filsafat kognitif terletak pada kemampuannya untuk mempertahankan pandangan
integral tentang manusia: bukan sekadar sistem kognitif yang efisien, tetapi
makhluk sadar yang bermoral dan reflektif.¹⁹ Teknologi harus memperluas
kapasitas kemanusiaan, bukan menggantikannya.
8.5. Filsafat Kognitif dan Masa Depan Pengetahuan
Di tengah revolusi
digital, filsafat kognitif juga menjadi arena refleksi epistemologis baru
tentang pengetahuan. Dengan munculnya kecerdasan buatan generatif, seperti
sistem bahasa besar (large language models), batas
antara penciptaan pengetahuan manusia dan mesin semakin kabur.²⁰ Hal ini
menimbulkan pertanyaan tentang orisinalitas, kreativitas, dan tanggung jawab
intelektual.
Sebagaimana
diingatkan oleh Hubert Dreyfus, pengetahuan sejati tidak dapat direduksi
menjadi sekadar akumulasi data, karena ia membutuhkan pemahaman kontekstual dan
keterlibatan eksistensial.²¹ Oleh sebab itu, filsafat kognitif kontemporer
harus mempertahankan distingsi antara knowing that (pengetahuan
proposisional) dan knowing how (pengetahuan praktis
dan reflektif).²²
Dengan pendekatan
reflektif, filsafat kognitif dapat membantu masyarakat memahami bahwa teknologi
hanyalah alat dalam perjalanan panjang manusia untuk mengenali dirinya sendiri.
Kesadaran digital harus disertai kesadaran moral, dan pengetahuan harus
diiringi kebijaksanaan (phronesis), sebagaimana diajarkan
dalam tradisi filsafat klasik.²³
8.6. Menuju Paradigma Integral dan Transhumanistik
Filsafat kognitif
kini berada pada persimpangan antara humanisme dan transhumanisme. Kaum
transhumanis melihat potensi teknologi untuk memperluas kapasitas kognitif
manusia melalui integrasi bioteknologi, antarmuka otak-komputer, dan kecerdasan
buatan.²⁴ Namun, kritik humanistik menegaskan bahwa ekspansi kemampuan kognitif
tanpa refleksi etis dapat mengarah pada hilangnya makna kemanusiaan itu
sendiri.²⁵
Oleh karena itu,
relevansi kontemporer filsafat kognitif bukan hanya dalam memahami sistem
berpikir buatan, tetapi juga dalam membimbing manusia untuk mengembangkan
bentuk kognisi yang integral—yang menggabungkan rasionalitas, emosi, tubuh, dan
nilai-nilai spiritual.²⁶ Filsafat kognitif di abad ke-21 dengan demikian
menjadi medan reflektif antara dua kutub: antara mesin dan manusia, antara data
dan makna, antara efisiensi dan kebijaksanaan.²⁷
Footnotes
[1]
¹ Nicholas Carr, The Shallows: What the
Internet Is Doing to Our Brains (New
York: W. W. Norton, 2010), 119–122.
[2]
² Susan Greenfield, Mind
Change: How Digital Technologies Are Leaving Their Mark on Our Brains (New York: Random House, 2015), 32–36.
[3]
³ Andy Clark, Natural-Born Cyborgs:
Minds, Technologies, and the Future of Human Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2003), 44–48.
[4]
⁴ Andy Clark and David Chalmers, “The Extended Mind,” Analysis 58, no. 1 (1998):
7–19.
[5]
⁵ Hilary Putnam, Mind, Language, and
Reality (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 211–214.
[6]
⁶ Yann LeCun, Yoshua Bengio, and Geoffrey Hinton, “Deep Learning,” Nature 521 (2015):
436–444.
[7]
⁷ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[8]
⁸ David J. Chalmers, The
Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 4–6.
[9]
⁹ Thomas Metzinger, “Artificial Suffering: An Argument for a Global
Moratorium on Synthetic Phenomenology,” Journal
of Artificial Intelligence and Consciousness 7, no. 1 (2020): 1–28.
[10]
¹⁰ Susan Schneider, Artificial
You: AI and the Future of Your Mind
(Princeton: Princeton University Press, 2019), 75–79.
[11]
¹¹ Manuel Castells, The
Rise of the Network Society (Oxford:
Blackwell, 1996), 402–405.
[12]
¹² Pierre Lévy, Collective
Intelligence: Mankind’s Emerging World in Cyberspace (Cambridge, MA: Perseus Books, 1997), 13–17.
[13]
¹³ Jaron Lanier, You Are Not a Gadget: A
Manifesto (New York: Knopf, 2010),
31–33.
[14]
¹⁴ José Medina, The Epistemology of
Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant
Imaginations (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 16–20.
[15]
¹⁵ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 57–60.
[16]
¹⁶ Floridi, Information: A Very
Short Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 82–85.
[17]
¹⁷ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 101–104.
[18]
¹⁸ Peter-Paul Verbeek, Moralizing
Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 54–57.
[19]
¹⁹ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 43–45.
[20]
²⁰ Margaret Boden, AI: Its Nature and
Future (Oxford: Oxford University
Press, 2016), 66–70.
[21]
²¹ Hubert L. Dreyfus, What
Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 130–133.
[22]
²² Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 29–31.
[23]
²³ Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1981), 222–225.
[24]
²⁴ Nick Bostrom, Superintelligence: Paths,
Dangers, Strategies (Oxford: Oxford
University Press, 2014), 43–48.
[25]
²⁵ Yuval Noah Harari, Homo
Deus: A Brief History of Tomorrow
(London: Harvill Secker, 2015), 282–285.
[26]
²⁶ Evan Thompson, Waking, Dreaming,
Being: Self and Consciousness in Neuroscience, Meditation, and Philosophy (New York: Columbia University Press, 2015), 198–203.
[27]
²⁷ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 245–249.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Humanisme Kognitif
Filsafat kognitif,
setelah melalui perdebatan panjang antara paradigma komputasional, biologis,
dan fenomenologis, kini menghadapi kebutuhan mendesak untuk menyusun sintesis
yang mampu menyeimbangkan antara rasionalitas ilmiah dan kemanusiaan reflektif.
Sintesis ini dapat disebut sebagai humanisme kognitif—sebuah
pendekatan filosofis yang berupaya mengintegrasikan pemahaman ilmiah tentang
pikiran dengan nilai-nilai humanistik tentang kesadaran, moralitas, dan eksistensi.
Humanisme kognitif
bukanlah penolakan terhadap sains kognitif atau teknologi, tetapi upaya untuk
menempatkan keduanya dalam horizon etis dan filosofis yang menghormati martabat
manusia sebagai makhluk berpikir, berperasaan, dan bertanggung jawab. Dalam
konteks ini, filsafat kognitif berfungsi sebagai jembatan antara knowing
dan being,
antara analisis fungsional otak dan makna eksistensial kesadaran.
9.1. Dari Rasionalisme ke Refleksivitas
Salah satu langkah
kunci menuju humanisme kognitif adalah mengubah orientasi filsafat kognitif
dari rasionalisme
mekanistik menuju refleksivitas eksistensial.
Pandangan klasik tentang kognisi sebagai pemrosesan informasi telah memberikan
kontribusi besar bagi kemajuan ilmu dan teknologi, tetapi sekaligus membatasi
pemahaman tentang manusia hanya pada fungsi komputasional.¹ Dalam paradigma
ini, kesadaran diperlakukan sebagai output dari proses neural, bukan
sebagai pusat makna kehidupan.
Humanisme kognitif mengusulkan
pendekatan yang lebih reflektif: bahwa berpikir bukan semata perhitungan,
melainkan tindakan memahami diri dan dunia secara sadar.² Dalam tradisi
fenomenologis, Maurice Merleau-Ponty menegaskan bahwa kesadaran selalu menubuh
dan terikat pada dunia yang dialami.³ Kesadaran bukan entitas abstrak yang
mengamati dunia dari luar, melainkan bentuk keterlibatan aktif manusia dalam
realitas. Dalam kerangka ini, kognisi harus dipahami bukan hanya sebagai
aktivitas mental, tetapi juga sebagai ekspresi keberadaan manusia yang sadar
akan makna dan nilai.
9.2. Integrasi antara Tubuh, Pikiran, dan Dunia
Humanisme kognitif
juga berangkat dari pemahaman bahwa pikiran tidak dapat dipisahkan dari tubuh
dan dunia. Teori embodied cognition menegaskan bahwa
kognisi bersumber dari interaksi dinamis antara tubuh, lingkungan, dan sistem
saraf.⁴ Hal ini sejalan dengan pandangan eksistensialis bahwa manusia adalah
makhluk yang “berada-di-dunia” (being-in-the-world), sebagaimana
dikemukakan oleh Heidegger.⁵
Dalam perspektif
ini, pengetahuan tidak lagi dianggap sebagai representasi pasif dari realitas,
melainkan sebagai hasil keterlibatan manusia dalam dunia melalui tindakan dan
pengalaman.⁶ Humanisme kognitif, dengan demikian, mengakui bahwa berpikir dan
memahami tidak hanya terjadi dalam otak, tetapi dalam keseluruhan jaringan
kehidupan—di mana tubuh, dunia, dan makna saling menubuh. Ini menandai
pergeseran dari epistemologi objektif menuju epistemologi partisipatif, di mana
subjek dan objek pengetahuan saling berinteraksi secara dialogis.
9.3. Dimensi Aksiologis: Etika Kesadaran dan Tanggung
Jawab
Sintesis humanisme
kognitif juga melibatkan dimensi aksiologis yang menempatkan nilai dan tanggung
jawab moral sebagai inti dari kesadaran reflektif. Pengetahuan tanpa etika
berisiko menjadi kekuatan yang destruktif, sebagaimana terlihat dalam
penggunaan teknologi informasi dan AI yang mengabaikan nilai kemanusiaan.⁷ Oleh
karena itu, filsafat kognitif perlu dikembangkan menjadi etika
kognitif, yakni pandangan bahwa berpikir itu sendiri adalah tindakan
moral—karena setiap proses kognitif mengandung pilihan nilai.⁸
Dalam konteks ini,
Emmanuel Levinas menawarkan pandangan penting tentang tanggung jawab sebagai
dimensi utama kesadaran.⁹ Menurutnya, kesadaran sejati bukanlah kesadaran yang
berpusat pada diri sendiri (egological), tetapi kesadaran yang
terbuka terhadap yang lain. Pandangan ini memberi dasar bagi humanisme
kognitif: pengetahuan dan teknologi harus diarahkan untuk memelihara relasi
etis antara manusia, bukan mengobjektifikasi keberadaan.
Humanisme kognitif
karenanya menekankan reflective responsibility—tanggung
jawab reflektif untuk menyadari konsekuensi moral dari setiap bentuk
pengetahuan dan teknologi kognitif.¹⁰ Di sinilah filsafat kognitif berperan
sebagai penjaga dimensi etis dari rasionalitas manusia.
9.4. Kognisi Sosial dan Intersubjektivitas
Aspek penting lain
dari humanisme kognitif adalah pemahaman bahwa pikiran manusia bersifat sosial
dan intersubjektif. Penelitian dalam social cognition menunjukkan bahwa
kemampuan untuk mengenali niat, emosi, dan kesadaran orang lain (theory
of mind) merupakan fondasi dari moralitas dan komunikasi.¹¹
Filsafat kognitif menegaskan bahwa kesadaran tidak dapat eksis secara
terisolasi; ia selalu dibentuk melalui interaksi dan dialog.
Habermas menegaskan
bahwa rasionalitas sejati adalah rasionalitas komunikatif—yakni kemampuan untuk
membangun pemahaman melalui dialog yang bebas dari dominasi.¹² Dalam kerangka
humanisme kognitif, komunikasi bukan hanya pertukaran informasi, tetapi bentuk
tertinggi dari kognisi reflektif, di mana manusia saling mengenali sebagai
subjek.¹³ Dengan demikian, kesadaran manusia tidak hanya berpikir tentang
dunia, tetapi juga berpikir bersama dunia—dalam komunitas,
bahasa, dan nilai-nilai bersama.
9.5. Humanisme Kognitif dan Teknologi: Menuju Kesadaran
Integral
Dalam era kecerdasan
buatan dan realitas digital, humanisme kognitif menempati posisi strategis
untuk menyeimbangkan antara inovasi teknologi dan kebijaksanaan kemanusiaan.
Nick Bostrom memperingatkan bahwa peningkatan kemampuan kognitif melalui
teknologi tanpa pengendalian etis dapat mengancam eksistensi manusia sendiri.¹⁴
Namun, Andy Clark berpendapat bahwa manusia sejatinya adalah “cyborg alami,”
yang selalu memperluas dirinya melalui alat dan teknologi.¹⁵
Sintesis humanisme
kognitif berupaya menjembatani dua pandangan ini: mengakui teknologi sebagai
perpanjangan kemampuan manusia, namun menegaskan bahwa nilai kemanusiaan tidak
dapat direduksi menjadi fungsionalitas digital.¹⁶ Teknologi harus diarahkan
untuk memperkaya pengalaman manusia, bukan menggantikannya. Dalam hal ini,
integrasi antara technological intelligence dan moral
consciousness menjadi syarat mutlak bagi masa depan kognitif yang
berkeadilan dan berkelanjutan.¹⁷
9.6. Humanisme Kognitif sebagai Paradigma Reflektif
Humanisme kognitif
pada akhirnya dapat dilihat sebagai paradigma reflektif yang menempatkan
kesadaran sebagai inti dari eksistensi manusia. Dalam paradigma ini, berpikir
berarti terlibat secara aktif dalam proses penciptaan makna; mengetahui berarti
bertanggung jawab; dan memahami berarti mengakui keterkaitan dengan yang
lain.¹⁸
Filsafat kognitif
dalam bingkai humanistik bukan lagi sekadar teori tentang pikiran, melainkan
praksis reflektif tentang kehidupan. Ia menuntut keseimbangan antara logos
(rasionalitas), pathos (emosi), dan ethos (nilai moral).¹⁹ Melalui sintesis
ini, filsafat kognitif dapat menjadi fondasi bagi etika baru—etika kesadaran
reflektif—yang tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia berpikir, tetapi juga
bagaimana ia seharusnya berpikir demi kebaikan bersama.²⁰
Dengan demikian, humanisme
kognitif merupakan arah evolusi filosofis yang menegaskan kembali
martabat manusia di tengah revolusi teknologi dan digital. Ia mengajak manusia
untuk tidak sekadar memahami pikirannya, tetapi juga untuk menyadari makna
eksistensinya: bahwa berpikir adalah bertanggung jawab, dan mengetahui adalah
mengasihi.
Footnotes
[1]
¹ Jerry A. Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 19–21.
[2]
² Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a
Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff,
1983), 112–115.
[3]
³ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 1962), 90–94.
[4]
⁴ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.
[5]
⁵ Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 79–81.
[6]
⁶ Evan Thompson, Mind in Life: Biology,
Phenomenology, and the Sciences of Mind
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 83–87.
[7]
⁷ Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 56–59.
[8]
⁸ Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An
Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 33–37.
[9]
⁹ Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 102–106.
[10]
¹⁰ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 47–50.
[11]
¹¹ Chris Frith and Uta Frith, “Mechanisms of Social Cognition,” Annual Review of Psychology 63 (2012): 287–313.
[12]
¹² Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[13]
¹³ Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 114–118.
[14]
¹⁴ Nick Bostrom, Superintelligence:
Paths, Dangers, Strategies (Oxford:
Oxford University Press, 2014), 213–217.
[15]
¹⁵ Andy Clark, Natural-Born Cyborgs:
Minds, Technologies, and the Future of Human Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2003), 68–72.
[16]
¹⁶ Sherry Turkle, Reclaiming
Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 120–124.
[17]
¹⁷ Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 97–100.
[18]
¹⁸ Raimon Panikkar, The
Rhythm of Being: The Gifford Lectures
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 245–248.
[19]
¹⁹ Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 109–112.
[20]
²⁰ Francisco J. Varela, “Neurophenomenology: A Methodological Remedy
for the Hard Problem,” Journal of
Consciousness Studies 3, no. 4
(1996): 330–349.
10. Kesimpulan
Filsafat kognitif, sebagai medan reflektif antara
filsafat dan ilmu pengetahuan modern, menandai salah satu upaya paling penting
dalam sejarah intelektual manusia untuk memahami hakikat pikiran, kesadaran,
dan pengetahuan. Ia berawal dari tradisi metafisis dan epistemologis yang membahas
hubungan antara jiwa dan tubuh, berkembang melalui revolusi kognitif abad
ke-20, dan kini mencapai tahap refleksi interdisipliner yang mencakup
neurosains, linguistik, psikologi, hingga kecerdasan buatan.¹ Dalam keseluruhan
lintasan tersebut, filsafat kognitif memperlihatkan pergeseran besar dari
pandangan dualistik dan mekanistik menuju pemahaman yang lebih integratif dan
humanistik tentang pikiran sebagai fenomena biologis, sosial, dan
eksistensial.²
Ontologinya menegaskan bahwa pikiran tidak dapat direduksi
menjadi sekadar sistem komputasional, sebab kesadaran mengandung dimensi
fenomenal dan reflektif yang unik.³ Epistemologinya menunjukkan bahwa
pengetahuan bukan hanya hasil pemrosesan simbolik, melainkan konstruksi aktif
yang berakar dalam tubuh, konteks sosial, dan pengalaman hidup.⁴ Aksiologinya
memperluas wacana kognisi ke wilayah etika, menegaskan bahwa berpikir bukanlah
tindakan netral, tetapi sarat dengan nilai dan tanggung jawab moral.⁵ Melalui
tiga dimensi tersebut, filsafat kognitif tidak hanya menjelaskan bagaimana
manusia mengetahui, melainkan juga bagaimana manusia seharusnya
menggunakan pengetahuannya demi kemanusiaan.
Dalam perspektif historis dan metodologis, filsafat
kognitif telah berhasil mempertemukan dua tradisi besar yang sebelumnya
terpisah: rasionalisme filosofis dan empirisme ilmiah.⁶ Namun, pertemuan ini
bukan tanpa ketegangan. Kritik fenomenologis menyoroti kecenderungan
reduksionis ilmu kognitif yang menafsirkan kesadaran sebagai representasi
internal, sedangkan pendekatan hermeneutik dan eksistensial mengingatkan bahwa
pikiran selalu tertanam dalam dunia pengalaman dan bahasa.⁷ Ketegangan inilah
yang justru memperkaya filsafat kognitif sebagai disiplin reflektif yang
terbuka terhadap koreksi dan pengembangan berkelanjutan.
Dalam konteks kontemporer, relevansi filsafat
kognitif semakin besar di tengah revolusi teknologi dan munculnya kecerdasan
buatan.⁸ Pertanyaan klasik tentang “apa itu pikiran?” kini
bertransformasi menjadi problem etis dan eksistensial baru: “apakah mesin
dapat berpikir?” dan “apa yang membedakan manusia dari sistem buatan?”
Perkembangan AI menantang filsafat kognitif untuk menegaskan kembali dimensi
kemanusiaan yang tak tergantikan—yakni kesadaran reflektif, empati, dan
tanggung jawab moral.⁹ Dalam dunia yang semakin terotomatisasi, filsafat
kognitif menjadi benteng humanistik yang menjaga agar rasionalitas tidak
terlepas dari kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak terpisah dari etika.
Menuju masa depan, arah perkembangan filsafat
kognitif tampak mengarah pada paradigma integral yang menggabungkan sains,
fenomenologi, dan etika.¹⁰ Pendekatan ini dikenal sebagai humanisme kognitif,
yang menempatkan manusia bukan sebagai objek pasif dalam sistem kognitif,
tetapi sebagai subjek reflektif yang terus menafsirkan makna keberadaannya.¹¹
Humanisme kognitif tidak menolak sains, melainkan mengembalikannya pada tujuan
semula: memahami manusia bukan hanya sebagai makhluk yang berpikir, tetapi juga
yang merasakan, bertindak, dan bertanggung jawab.¹²
Dengan demikian, filsafat kognitif bukan sekadar
teori tentang bagaimana pikiran bekerja, melainkan wacana filosofis yang
menegaskan makna berpikir itu sendiri. Ia mengajarkan bahwa berpikir adalah
tindakan eksistensial—suatu bentuk kesadaran diri yang menghubungkan pengetahuan
dengan nilai, logika dengan empati, dan individu dengan dunia.¹³ Di tengah era
digital dan post-human, filsafat kognitif mengingatkan bahwa kemajuan teknologi
hanya memiliki makna sejauh ia memperluas cakrawala kemanusiaan, bukan
menggantikannya.¹⁴
Oleh karena itu, kesimpulan utama dari kajian ini
adalah bahwa filsafat kognitif, dalam bentuknya yang paling reflektif dan
integral, bukanlah upaya untuk meniru pikiran melalui mesin, tetapi
untuk memahami pikiran sebagai cermin dari kemanusiaan itu sendiri. Ia meneguhkan
kembali semboyan kuno nosce te ipsum—“kenalilah dirimu sendiri”—dalam
konteks modern: kenalilah pikiranmu, agar engkau tidak kehilangan jiwamu di
tengah lautan data dan algoritma.¹⁵
Footnotes
[1]
¹ Howard Gardner, The Mind’s New Science: A
History of the Cognitive Revolution (New York: Basic Books, 1985), 21–25.
[2]
² Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor
Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience
(Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.
[3]
³ David J. Chalmers, The Conscious Mind: In
Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996),
3–5.
[4]
⁴ Jerry A. Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 57–60.
[5]
⁵ Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–49.
[6]
⁶ Hilary Putnam, Representation and Reality
(Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 1–3.
[7]
⁷ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 84–86.
[8]
⁸ Nick Bostrom, Superintelligence: Paths,
Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 19–23.
[9]
⁹ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[10]
¹⁰ Evan Thompson, Mind in Life: Biology,
Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2007), 89–93.
[11]
¹¹ Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The
Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 240–245.
[12]
¹² Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities:
The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2011), 41–44.
[13]
¹³ Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 110–113.
[14]
¹⁴ Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The
Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 119–122.
[15]
¹⁵ Edmund Husserl, The Crisis of European
Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston:
Northwestern University Press, 1970), 273–276.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1908). De Anima (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.
Bartlett, F. C. (1932). Remembering: A Study in Experimental and Social Psychology.
Cambridge University Press.
Boden, M. A. (2016). AI: Its Nature and Future. Oxford University Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies. Oxford
University Press.
Brentano, F. (1995). Psychology from an Empirical Standpoint (A. C.
Rancurello, D. B. Terrell, & L. L. McAlister, Trans.). Routledge.
Carr, N. (2010). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains.
W. W. Norton.
Castells, M. (1996). The Rise of the Network Society. Blackwell.
Chalmers, D. J. (1996). The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory.
Oxford University Press.
Changeux, J.-P. (1985). Neuronal Man: The Biology of Mind. Princeton University
Press.
Chomsky, N. (1959). Review of B. F. Skinner’s Verbal Behavior. Language,
35(1), 26–58.
Chomsky, N. (1965). Aspects of the Theory of Syntax. MIT Press.
Churchland, P. M. (1988). Matter and Consciousness. MIT Press.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain.
MIT Press.
Clark, A. (1997). Being There: Putting Brain, Body, and World Together Again.
MIT Press.
Clark, A. (2003). Natural-Born Cyborgs: Minds, Technologies, and the Future of
Human Intelligence. Oxford University Press.
Clark, A. (2016). Surfing Uncertainty: Prediction, Action, and the Embodied
Mind. Oxford University Press.
Clark, A., & Chalmers, D. (1998). The extended mind. Analysis, 58(1),
7–19.
Code, L. (1991). What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of
Knowledge. Cornell University Press.
Damasio, A. R. (1994). Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain.
Putnam.
Damasio, A. R. (1999). The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making
of Consciousness. Harcourt Brace.
Dennett, D. C. (1987). The Intentional Stance. MIT Press.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness Explained. Little, Brown.
Descartes, R. (1996). Meditations on First Philosophy (J. Cottingham, Trans.).
Cambridge University Press.
Dreyfus, H. L. (1972). What Computers Can’t Do: The Limits of Artificial
Intelligence. Harper & Row.
Dreyfus, H. L. (1992). What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial
Reason. MIT Press.
Dreyfus, H. L., & Dreyfus, S. E. (1986). Mind over Machine: The Power of Human
Intuition and Expertise in the Era of the Computer. Free Press.
Fodor, J. A. (1975). The Language of Thought. Harvard University Press.
Fodor, J. A. (1983). The Modularity of Mind. MIT Press.
Fodor, J. A. (1987). Psychosemantics: The Problem of Meaning in the Philosophy of
Mind. MIT Press.
Floridi, L. (2010). Information: A Very Short Introduction. Oxford
University Press.
Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford University Press.
Fricker, M. (2007). Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing.
Oxford University Press.
Frith, C., & Frith, U. (2012). Mechanisms of social cognition. Annual
Review of Psychology, 63, 287–313.
Gallagher, S. (2005). How the Body Shapes the Mind. Oxford University Press.
Gallagher, S., & Zahavi, D. (2008). The Phenomenological Mind.
Routledge.
Gardner, H. (1985). The Mind’s New Science: A History of the Cognitive
Revolution. Basic Books.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall,
Trans.). Continuum.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.
Goff, P. (2019). Galileo’s Error: Foundations for a New Science of
Consciousness. Pantheon.
Greene, J. D. (2013). Moral Tribes: Emotion, Reason, and the Gap Between Us and
Them. Penguin Press.
Greenfield, S. (2015). Mind Change: How Digital Technologies Are Leaving Their Mark
on Our Brains. Random House.
Habermas, J. (1971). Knowledge and Human Interests (J. J. Shapiro, Trans.).
Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action (Vol. 1). Beacon
Press.
Haidt, J. (2012). The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics
and Religion. Pantheon.
Harari, Y. N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harvill Secker.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). Harper & Row.
Horkheimer, M. (1947). Eclipse of Reason. Oxford University Press.
Husserl, E. (1970). The Crisis of European Sciences and Transcendental
Phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.
Husserl, E. (1983). Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.
Johnson, M. (1987). The Body in the Mind: The Bodily Basis of Meaning,
Imagination, and Reason. University of Chicago Press.
Johnson, M. (2007). The Meaning of the Body: Aesthetics of Human Understanding.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (N. Kemp Smith, Trans.).
Macmillan.
Kohlberg, L. (1981). Essays on Moral Development: The Philosophy of Moral
Development. Harper & Row.
Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors We Live By. University of
Chicago Press.
Lanier, J. (2010). You Are Not a Gadget: A Manifesto. Knopf.
LeCun, Y., Bengio, Y., & Hinton, G. (2015). Deep learning. Nature, 521(7553),
436–444.
Levinas, E. (1969). Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (A.
Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Lévy, P. (1997). Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in
Cyberspace. Perseus Books.
Lyotard, J.-F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (G.
Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1981). After Virtue. University of Notre Dame Press.
Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man. Beacon Press.
Maslow, A. H. (1987). Motivation and Personality (3rd ed.). Harper & Row.
Medina, J. (2013). The Epistemology of Resistance: Gender and Racial
Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant Imaginations. Oxford
University Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of Perception (C. Smith, Trans.).
Routledge.
Metzinger, T. (2003). Being No One: The Self-Model Theory of Subjectivity. MIT
Press.
Metzinger, T. (2020). Artificial suffering: An argument for a global moratorium on
synthetic phenomenology. Journal of Artificial Intelligence and
Consciousness, 7(1), 1–28.
Miller, G. A. (1956). The magical number seven, plus or minus two. Psychological
Review, 63(2), 81–97.
Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4),
435–450.
Newell, A., & Simon, H. A. (1976). Computer science as empirical inquiry:
Symbols and search. Communications of the ACM, 19(3), 113–126.
Noë, A. (2004). Action in Perception. MIT Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions.
Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities: The Human Development Approach.
Harvard University Press.
Panikkar, R. (2010). The Rhythm of Being: The Gifford Lectures. Orbis Books.
Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children (M. Cook,
Trans.). International Universities Press.
Plato. (1977). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.
Plato. (2008). Theaetetus (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.
Putnam, H. (1975). Mind, Language, and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2.
Cambridge University Press.
Putnam, H. (1988). Representation and Reality. MIT Press.
Rescher, N. (2001). Cognitive Pragmatism: The Theory of Knowledge in Pragmatic
Perspective. University of Pittsburgh Press.
Ricoeur, P. (1991). From Text to Action: Essays in Hermeneutics II (K.
Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as Another (K. Blamey, Trans.). University of
Chicago Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton
University Press.
Ryle, G. (1949). The Concept of Mind. Hutchinson.
Sartre, J.-P. (1956). Being and Nothingness (H. Barnes, Trans.). Philosophical
Library.
Schneider, S. (2019). Artificial You: AI and the Future of Your Mind.
Princeton University Press.
Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences,
3(3), 417–424.
Searle, J. R. (1983). Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind.
Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1992). The Rediscovery of the Mind. MIT Press.
Sellars, W. (1997). Empiricism and the Philosophy of Mind. Harvard
University Press.
Semon, R. (1921). The Mneme. Allen & Unwin.
Smolensky, P. (1988). On the proper treatment of connectionism. Behavioral and
Brain Sciences, 11(1), 1–74.
Taylor, C. (1989). Sources of the Self: The Making of the Modern Identity.
Harvard University Press.
Thompson, E. (2007). Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of
Mind. Harvard University Press.
Thompson, E. (2015). Waking, Dreaming, Being: Self and Consciousness in Neuroscience,
Meditation, and Philosophy. Columbia University Press.
Tulving, E. (1972). Episodic and semantic memory. In E. Tulving & W. Donaldson
(Eds.), Organization of Memory (pp. 381–403). Academic Press.
Turkle, S. (2015). Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age.
Penguin Press.
Vallor, S. (2016). Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a
Future Worth Wanting. Oxford University Press.
Varela, F. J. (1996). Neurophenomenology: A methodological remedy for the hard
problem. Journal of Consciousness Studies, 3(4), 330–349.
Varela, F. J., Thompson, E., & Rosch, E. (1991). The Embodied Mind: Cognitive Science
and Human Experience. MIT Press.
Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing Technology: Understanding and Designing the
Morality of Things. University of Chicago Press.
Wallach, W., & Allen, C. (2009). Moral Machines: Teaching Robots Right
from Wrong. Oxford University Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus Logico-Philosophicus (C. K. Ogden, Trans.).
Routledge.
Zagzebski, L. (1996). Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue
and the Ethical Foundations of Knowledge. Cambridge University Press.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar