Minggu, 30 November 2025

Filsafat Kognitif: Telaah Filosofis tentang Pikiran, Pengetahuan, dan Kesadaran dalam Era Kecerdasan Buatan

Filsafat Kognitif

Telaah Filosofis tentang Pikiran, Pengetahuan, dan Kesadaran dalam Era Kecerdasan Buatan


Alihkan ke: Ilmu Kognitif.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat kognitif sebagai kajian interdisipliner yang berupaya memahami hakikat pikiran, kesadaran, dan pengetahuan manusia dalam konteks historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Berawal dari warisan metafisika klasik mengenai hubungan antara jiwa dan tubuh, filsafat kognitif berkembang melalui revolusi ilmiah abad ke-20 yang menandai pertemuan antara filsafat, psikologi, linguistik, dan ilmu komputer. Melalui pendekatan historis-genealogis, artikel ini menelusuri transformasi pemikiran dari rasionalisme dan empirisme menuju paradigma embodied dan enactive cognition, yang menempatkan pikiran sebagai fenomena yang menubuh dan berinteraksi secara dinamis dengan dunia.

Secara ontologis, filsafat kognitif menolak reduksionisme komputasional dan memandang kesadaran sebagai entitas fenomenal yang bersifat emergen. Secara epistemologis, ia menyoroti bahwa pengetahuan tidak semata hasil pemrosesan simbolik, melainkan konstruksi aktif yang melibatkan pengalaman, konteks sosial, dan nilai-nilai interpretatif. Pada dimensi aksiologis, filsafat kognitif menegaskan bahwa proses berpikir tidak bebas nilai dan menuntut tanggung jawab etis dalam penggunaan pengetahuan, terutama di era digital dan kecerdasan buatan.

Kajian ini juga menguraikan relevansi kontemporer filsafat kognitif terhadap tantangan etis dan eksistensial di zaman teknologi, termasuk persoalan kesadaran buatan, perubahan struktur kognitif akibat digitalisasi, dan krisis kemanusiaan akibat reduksi manusia menjadi data. Sebagai sintesis, artikel ini menawarkan perspektif humanisme kognitif—yakni pandangan yang mengintegrasikan sains dan refleksi filosofis dalam bingkai etika kemanusiaan. Humanisme kognitif menegaskan bahwa memahami pikiran berarti juga memahami makna menjadi manusia: makhluk yang berpikir, berperasaan, dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: filsafat kognitif, kesadaran, epistemologi, etika kognitif, embodied cognition, kecerdasan buatan, humanisme kognitif, fenomenologi, tanggung jawab epistemik, etika informasi.


PEMBAHASAN

Filsafat Kognitif sebagai Jembatan antara Filsafat dan Ilmu Kognitif


1.           Pendahuluan

Filsafat kognitif merupakan salah satu cabang filsafat kontemporer yang berupaya memahami hakikat pikiran (mind), kesadaran (consciousness), dan proses berpikir manusia dalam kaitannya dengan ilmu kognitif modern. Ia lahir dari kesadaran akan keterbatasan pendekatan tradisional dalam menjelaskan kompleksitas aktivitas mental manusia yang tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga biologis, emosional, sosial, dan komputasional. Dalam konteks ini, filsafat kognitif berfungsi sebagai medan refleksi kritis yang menelaah fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari teori-teori kognitif yang berkembang dalam sains kontemporer, seperti psikologi kognitif, neurosains, linguistik, dan kecerdasan buatan (AI).

Perkembangan filsafat kognitif tidak dapat dilepaskan dari revolusi kognitif pada paruh kedua abad ke-20 yang menandai pergeseran paradigma dalam memahami pikiran manusia. Sebelumnya, behaviorisme mendominasi psikologi dengan menolak studi tentang kesadaran dan proses mental karena dianggap tidak dapat diamati secara empiris. Namun, kemunculan teori informasi, linguistik generatif Noam Chomsky, serta kemajuan dalam ilmu komputer mengubah cara manusia memahami aktivitas mental. Pikiran mulai dilihat sebagai sistem pemrosesan informasi yang dapat dimodelkan secara komputasional, suatu gagasan yang membuka ruang bagi munculnya filsafat kognitif sebagai upaya reflektif atas dasar-dasar konseptual dari “komputasionalisme pikiran” (computational theory of mind) dan perdebatan filosofis tentang representasi mental serta kesadaran subjektif.¹

Secara historis, akar filsafat kognitif dapat ditelusuri hingga ke filsafat pikiran klasik yang dipelopori oleh Plato, Aristoteles, Descartes, dan Kant. Plato menganggap pengetahuan sebagai hasil dari ide-ide bawaan yang bersifat rasional dan abadi, sementara Aristoteles melihat jiwa sebagai bentuk (form) dari tubuh yang mewujud dalam aktivitas aktual. Descartes dengan dualisme substansinya memisahkan pikiran dan tubuh sebagai dua entitas yang berbeda namun saling berinteraksi, sedangkan Kant menempatkan pikiran sebagai struktur apriori yang membentuk pengalaman.² Tradisi-tradisi ini kemudian diolah kembali dalam abad ke-20 oleh para filsuf analitik seperti Hilary Putnam, Jerry Fodor, dan Daniel Dennett yang menekankan pemahaman pikiran melalui lensa logika, bahasa, dan model komputasi.³

Namun demikian, muncul pula kritik terhadap pandangan yang terlalu mekanistik tentang pikiran manusia. Para fenomenolog seperti Edmund Husserl dan Maurice Merleau-Ponty menolak gagasan bahwa kesadaran dapat direduksi menjadi sekadar pemrosesan informasi simbolik. Mereka menegaskan bahwa pengalaman sadar selalu terwujud secara embodied (menubuh) dan berakar dalam dunia kehidupan (Lebenswelt).⁴ Perspektif ini kemudian menginspirasi pendekatan baru seperti embodied cognition dan enactive cognition, yang melihat kognisi bukan hanya sebagai representasi internal, melainkan sebagai proses yang timbul dari interaksi dinamis antara tubuh, otak, dan lingkungan.⁵

Dalam konteks kontemporer, filsafat kognitif memperoleh relevansi yang semakin besar seiring dengan kemajuan teknologi kecerdasan buatan, neuroteknologi, dan ilmu kognitif komputasional. Pertanyaan klasik tentang hakikat kesadaran kini muncul kembali dalam bentuk baru: apakah mesin dapat berpikir? Apakah kecerdasan buatan dapat memiliki kesadaran atau niat (intentionality)? Apakah representasi informasi dalam sistem digital dapat disamakan dengan pengalaman subjektif manusia?⁶ Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga menyentuh dimensi etis dan eksistensial: bagaimana manusia mendefinisikan dirinya di tengah sistem yang semakin “cerdas”?

Dengan demikian, tujuan utama kajian filsafat kognitif adalah menggali secara kritis landasan konseptual dan normatif dari pemahaman kita tentang pikiran dan pengetahuan. Melalui pendekatan interdisipliner—menggabungkan filsafat, sains kognitif, dan humaniora—kajian ini berusaha menegaskan kembali dimensi humanistik dari kognisi manusia. Pendekatan ini menolak reduksionisme ekstrem yang memandang pikiran sebagai mesin, sembari mengakui potensi analisis komputasional untuk memperluas wawasan tentang kesadaran. Oleh karena itu, filsafat kognitif bukan sekadar refleksi teoritis, tetapi juga medan dialog antara manusia, teknologi, dan nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dijaga dalam menghadapi era kecerdasan buatan yang kian kompleks.⁷


Footnotes

[1]                ¹ Jerry A. Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 12–18.

[2]                ² Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 102–110.

[3]                ³ Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 1–5.

[4]                ⁴ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 58–62.

[5]                ⁵ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.

[6]                ⁶ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[7]                ⁷ Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 22–27.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Filsafat kognitif memiliki akar yang panjang dan kompleks, berawal dari refleksi filsafat klasik mengenai hakikat pengetahuan, pikiran, dan kesadaran manusia. Sejarahnya merupakan hasil evolusi konseptual yang melibatkan filsafat pikiran, epistemologi, psikologi, dan ilmu pengetahuan modern. Genealogi pemikirannya memperlihatkan bagaimana gagasan tentang “pikiran” bergeser dari pandangan metafisis menuju model empiris dan komputasional. Evolusi ini mencerminkan transformasi epistemik manusia dalam memahami dirinya sebagai makhluk berpikir (homo cogitans) yang berinteraksi dengan dunia melalui mekanisme kognitif dan simbolik.

Pada masa klasik, Plato dan Aristoteles menjadi dua figur utama yang meletakkan dasar bagi pemikiran kognitif. Plato dalam Phaedo dan Theaetetus menegaskan bahwa pengetahuan sejati (episteme) bersumber dari dunia ide yang abadi dan hanya dapat dijangkau oleh rasio murni.¹ Dalam pandangan ini, kognisi dipahami sebagai proses anamnesis—yakni mengingat kembali bentuk-bentuk ideal yang telah dikenal jiwa sebelum bersatu dengan tubuh.² Sebaliknya, Aristoteles menolak pemisahan radikal antara jiwa dan tubuh; baginya, jiwa (psyche) adalah bentuk aktual dari tubuh yang hidup, dan aktivitas kognitif tidak dapat dipisahkan dari struktur biologis dan empiris manusia.³ Konsep ini kemudian menjadi landasan awal bagi teori embodied cognition, yang berargumen bahwa pikiran selalu terwujud melalui pengalaman tubuh.

Memasuki era modern, René Descartes memberikan fondasi baru bagi filsafat pikiran melalui dualisme substansialnya. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes memisahkan secara tajam substansi pikiran (res cogitans) dari substansi materi (res extensa), menegaskan bahwa hakikat manusia terletak pada aktivitas berpikir: cogito ergo sum.⁴ Pandangan ini menempatkan pikiran sebagai realitas otonom yang bersifat non-fisik dan rasional. Namun, sekaligus membuka problem ontologis besar yang dikenal sebagai mind-body problem, yakni bagaimana entitas mental dapat berinteraksi dengan tubuh yang bersifat material.⁵ Perdebatan ini menjadi titik awal bagi seluruh diskursus filsafat kognitif modern.

Pada abad ke-18, Immanuel Kant memperluas horizon tersebut dengan memadukan rasionalisme dan empirisme. Dalam Critique of Pure Reason, Kant menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah hasil pasif dari pengalaman, melainkan terbentuk melalui struktur apriori pikiran yang mengorganisasi pengalaman inderawi.⁶ Dengan demikian, kognisi manusia bukan sekadar penerimaan data, melainkan aktivitas sintetik yang menata dunia melalui kategori rasional. Pemikiran Kant ini mempengaruhi perkembangan psikologi kognitif modern yang melihat pikiran sebagai sistem pemrosesan informasi.

Revolusi kognitif abad ke-20 menjadi fase genealogis paling signifikan dalam perkembangan filsafat kognitif. Ia muncul sebagai reaksi terhadap dominasi behaviorisme, yang menolak studi tentang proses mental karena dianggap tidak dapat diamati secara empiris. Tokoh-tokoh seperti Noam Chomsky, Allen Newell, dan Herbert Simon menolak pandangan reduksionis tersebut dengan menekankan bahwa perilaku manusia hanya dapat dijelaskan melalui mekanisme internal pikiran.⁷ Dalam kritiknya terhadap B.F. Skinner, Chomsky menunjukkan bahwa bahasa manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata melalui penguatan stimulus-respons, melainkan melalui struktur mental yang bersifat generatif.⁸ Kritik ini memicu lahirnya “revolusi kognitif” dan membuka jalan bagi pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat, linguistik, psikologi, dan ilmu komputer.

Salah satu ciri utama filsafat kognitif modern adalah upayanya mengembangkan model konseptual pikiran sebagai sistem representasional dan komputasional. Hilary Putnam dan Jerry Fodor berperan penting dalam merumuskan computational theory of mind, yakni gagasan bahwa pikiran bekerja seperti program komputer yang memanipulasi simbol-simbol logis.⁹ Putnam berargumen bahwa keadaan mental dapat diidentifikasi melalui fungsi kausalnya, bukan substansi fisiknya—sebuah pandangan yang dikenal sebagai fungsionalisme.¹⁰ Sementara Fodor menekankan bahwa pikiran memiliki “bahasa internal” (language of thought) yang mendasari semua bentuk representasi dan inferensi kognitif.¹¹

Namun demikian, pada akhir abad ke-20 muncul kritik terhadap model komputasional yang terlalu menekankan simbolisme dan representasi. Aliran connectionism dan embodied cognition menegaskan bahwa kognisi tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga muncul dari interaksi kompleks antara neuron, tubuh, dan lingkungan.¹² Francisco Varela, Evan Thompson, dan Eleanor Rosch dalam The Embodied Mind (1991) memperkenalkan pendekatan enaktif yang melihat pikiran sebagai proses yang lahir dari keterlibatan aktif makhluk hidup dalam dunia kehidupannya.¹³ Pandangan ini mengembalikan dimensi fenomenologis dan eksistensial ke dalam studi kognitif yang sebelumnya terabaikan oleh paradigma komputasional.

Secara genealogis, filsafat kognitif dapat dilihat sebagai hasil dialektika antara dua kecenderungan besar: rasionalisme representasional dan fenomenologi embodied. Keduanya terus berinteraksi dan saling mengoreksi, membentuk lanskap intelektual yang dinamis di mana filsafat tidak lagi hanya menjadi penonton bagi sains, tetapi juga mitra kritis dalam memahami hakikat kesadaran dan pengetahuan. Melalui perjalanan historis ini, filsafat kognitif menjadi wadah bagi upaya manusia untuk menjawab pertanyaan klasik dengan cara-cara baru—tentang siapa kita sebagai makhluk berpikir, bagaimana kita mengetahui, dan apa arti kesadaran dalam dunia yang semakin diwarnai oleh teknologi dan kecerdasan buatan.¹⁴


Footnotes

[1]                ¹ Plato, Theaetetus, trans. Benjamin Jowett (New York: Dover Publications, 2008), 145–147.

[2]                ² Plato, Phaedo, trans. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1977), 72–73.

[3]                ³ Aristotle, De Anima, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1908), 414a–415b.

[4]                ⁴ René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.

[5]                ⁵ Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 11–12.

[6]                ⁶ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 136–141.

[7]                ⁷ Allen Newell and Herbert A. Simon, “Computer Science as Empirical Inquiry: Symbols and Search,” Communications of the ACM 19, no. 3 (1976): 113–126.

[8]                ⁸ Noam Chomsky, Review of B.F. Skinner’s Verbal Behavior, Language 35, no. 1 (1959): 26–58.

[9]                ⁹ Hilary Putnam, Mind, Language, and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 211–214.

[10]             ¹⁰ Hilary Putnam, The Nature of Mental States, in Mind, Language, and Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 429–440.

[11]             ¹¹ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 57–60.

[12]             ¹² Paul Smolensky, “On the Proper Treatment of Connectionism,” Behavioral and Brain Sciences 11, no. 1 (1988): 1–74.

[13]             ¹³ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.

[14]             ¹⁴ Daniel C. Dennett, Kinds of Minds: Toward an Understanding of Consciousness (New York: Basic Books, 1996), 23–26.


3.           Ontologi Pikiran dan Kesadaran

Pertanyaan ontologis dalam filsafat kognitif berfokus pada hakikat eksistensi pikiran dan kesadaran: apa yang dimaksud dengan “pikiran”, bagaimana ia ada, dan bagaimana hubungannya dengan tubuh dan dunia fisik. Filsafat kognitif tidak hanya berupaya menjelaskan mekanisme berpikir manusia, tetapi juga mencari dasar metafisis yang menopang keberadaan kesadaran itu sendiri. Dalam kerangka ini, filsafat kognitif menjadi kelanjutan dari problem klasik filsafat pikiran yang telah lama diperdebatkan sejak zaman Descartes hingga era kecerdasan buatan (AI).

3.1.       Masalah Ontologis Pikiran

Ontologi pikiran berangkat dari problem dualisme yang dikemukakan oleh René Descartes, yang memisahkan dua substansi: pikiran (res cogitans) dan materi (res extensa).¹ Menurut Descartes, pikiran bersifat non-material, sadar, dan reflektif, sementara tubuh bersifat material dan tunduk pada hukum mekanis. Pemisahan ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana entitas non-fisik seperti pikiran dapat memengaruhi tubuh fisik? Masalah ini, yang dikenal sebagai mind-body problem, menjadi pusat perdebatan metafisis dalam filsafat modern.²

Sebagai reaksi terhadap dualisme, muncul pandangan materialisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu, termasuk pikiran, pada dasarnya bersifat fisik. Menurut materialisme eliminatif, konsep “pikiran” hanyalah cara lama untuk menjelaskan fenomena neurologis yang kelak akan digantikan oleh bahasa neurosains.³ Patricia dan Paul Churchland, misalnya, berargumen bahwa istilah seperti “keinginan” atau “keyakinan” hanyalah konstruksi psikologis yang tidak memiliki dasar ilmiah dalam struktur otak.⁴ Dalam pandangan ini, pikiran tidak lebih dari aktivitas saraf yang kompleks, dan kesadaran hanyalah epifenomena dari proses biologis.

Namun, reduksi semacam itu ditentang oleh kaum fungsionalis seperti Hilary Putnam dan Jerry Fodor.⁵ Mereka berpendapat bahwa keadaan mental dapat didefinisikan bukan oleh substansi fisiknya, melainkan oleh fungsinya dalam sistem kausal. Analogi yang sering digunakan adalah perangkat lunak dan perangkat keras: pikiran seperti program komputer yang dapat berjalan pada berbagai substrat fisik, selama hubungan fungsional antar komponen tetap sama.⁶ Dengan demikian, pikiran bersifat “real” sejauh ia memainkan peran kausal tertentu dalam sistem kognitif, tanpa harus terikat pada bentuk material tertentu.

3.2.       Kesadaran dan Masalah “Hard Consciousness”

Masalah ontologis menjadi lebih kompleks ketika membahas kesadaran (consciousness). David Chalmers membedakan dua jenis problem kesadaran: easy problems—yang berkaitan dengan penjelasan fungsi kognitif seperti persepsi dan memori—dan hard problem, yakni mengapa dan bagaimana proses fisik dapat menghasilkan pengalaman subjektif (qualia).⁷ Pertanyaan ini mengungkap jurang antara deskripsi objektif tentang otak dan pengalaman subjektif manusia.

Beberapa filsuf seperti John Searle menolak baik dualisme maupun reduksionisme ekstrem. Dalam biological naturalism, Searle menyatakan bahwa kesadaran memang bersifat biologis, namun tidak dapat direduksi menjadi proses neurofisiologis murni.⁸ Kesadaran adalah sifat emergen dari aktivitas otak yang memiliki kualitas fenomenal khas. Sementara itu, Daniel Dennett dalam Consciousness Explained mengambil pendekatan berbeda dengan menolak gagasan qualia sebagai entitas metafisis, dan menyatakan bahwa kesadaran hanyalah hasil dari proses interpretatif dan naratif otak yang kompleks.⁹

Persoalan ini juga membuka ruang bagi teori panpsikisme yang kini mengalami kebangkitan dalam filsafat kontemporer.¹⁰ Panpsikisme berpendapat bahwa kesadaran bukanlah fenomena yang muncul hanya pada organisme kompleks, tetapi merupakan sifat fundamental realitas yang hadir dalam setiap bentuk eksistensi, dari partikel hingga manusia. Pandangan ini mencoba menjembatani jurang antara fisikalitas dan pengalaman subjektif dengan menyatakan bahwa kesadaran merupakan dimensi ontologis dasar yang tidak dapat direduksi.

3.3.       Pikiran, Tubuh, dan Dunia

Filsafat kognitif modern berusaha mengatasi dikotomi tradisional antara pikiran dan tubuh melalui konsep embodied cognition dan enactivism.¹¹ Dalam paradigma ini, pikiran tidak dipahami sebagai entitas terpisah yang berada “di dalam” otak, tetapi sebagai proses yang terwujud melalui keterlibatan tubuh dengan lingkungan.¹² Francisco Varela dan Evan Thompson menekankan bahwa kognisi bersifat enaktif, artinya pengetahuan tidak direpresentasikan secara pasif, tetapi dibangun melalui tindakan tubuh yang aktif berinteraksi dengan dunia.¹³

Konsep ini mengubah ontologi pikiran dari representasional ke relasional. Pikiran tidak lagi dianggap sebagai “cermin realitas”, tetapi sebagai jaringan relasi antara organisme dan lingkungannya.¹⁴ Hal ini sejalan dengan pandangan fenomenolog Maurice Merleau-Ponty, yang menegaskan bahwa kesadaran selalu bersifat being-in-the-world—menubuh dan mengada dalam dunia, bukan entitas yang berdiri di luar pengalaman.¹⁵ Dengan demikian, ontologi pikiran berpindah dari substansialisme menuju prosesualisme: pikiran adalah dinamika hidup yang muncul dari hubungan antara tubuh, lingkungan, dan makna.

3.4.       Implikasi Ontologis di Era Digital

Dalam konteks teknologi modern, terutama kecerdasan buatan, persoalan ontologi pikiran mendapatkan dimensi baru. Apakah sistem buatan yang mampu belajar dan beradaptasi memiliki “pikiran”? Dapatkah mesin mengalami kesadaran, ataukah ia hanya meniru perilaku kognitif tanpa pengalaman subjektif?¹⁶ Filsafat kognitif memandang bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus membedakan antara simulasi kesadaran dan kesadaran sejati. Seperti yang ditunjukkan oleh Searle dalam Chinese Room Argument, pemrosesan simbol tidak serta-merta menghasilkan pemahaman makna; mesin mungkin “berperilaku seolah-olah paham”, tetapi tidak benar-benar memahami.¹⁷

Pertanyaan ini menuntut refleksi ulang terhadap ontologi manusia. Jika pikiran dapat dimodelkan, apakah itu berarti kesadaran hanyalah algoritma kompleks? Ataukah ada dimensi eksistensial yang tidak dapat direplikasi oleh sistem buatan? Filsafat kognitif menegaskan bahwa meskipun kecerdasan buatan dapat meniru fungsi kognitif, ia belum tentu memiliki subjective experience yang menjadi inti dari eksistensi mental.¹⁸ Ontologi pikiran, dengan demikian, tetap berakar pada pengalaman manusia sebagai makhluk sadar yang menubuh dan berelasi secara etis dengan dunia.


Dengan menelusuri berbagai posisi ontologis ini—dualisme, materialisme, fungsionalisme, fenomenologi, hingga embodied cognition—dapat disimpulkan bahwa hakikat pikiran dan kesadaran tidak dapat direduksi pada satu bentuk penjelasan tunggal. Pikiran adalah fenomena multidimensional yang mencakup aspek fisik, biologis, dan fenomenologis sekaligus. Ia adalah bentuk eksistensi yang terus berproses, menyeberangi batas antara tubuh dan dunia, antara materi dan makna. Dalam konteks filsafat kognitif, ontologi pikiran bukan sekadar upaya untuk “menemukan” apa itu kesadaran, melainkan untuk memahami bagaimana kesadaran mengada—sebagai dinamika reflektif yang meneguhkan kemanusiaan di tengah realitas yang semakin digital dan artifisial.


Footnotes

[1]                ¹ René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.

[2]                ² Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 15–18.

[3]                ³ Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 44–46.

[4]                ⁴ Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 7–10.

[5]                ⁵ Hilary Putnam, The Nature of Mental States, in Mind, Language, and Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 429–440.

[6]                ⁶ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 59–61.

[7]                ⁷ David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–7.

[8]                ⁸ John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 114–118.

[9]                ⁹ Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 22–25.

[10]             ¹⁰ Philip Goff, Galileo’s Error: Foundations for a New Science of Consciousness (New York: Pantheon, 2019), 32–35.

[11]             ¹¹ Andy Clark, Being There: Putting Brain, Body, and World Together Again (Cambridge, MA: MIT Press, 1997), 67–70.

[12]             ¹² Shaun Gallagher, How the Body Shapes the Mind (Oxford: Oxford University Press, 2005), 3–5.

[13]             ¹³ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.

[14]             ¹⁴ Evan Thompson, Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 45–48.

[15]             ¹⁵ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 84–86.

[16]             ¹⁶ Thomas Metzinger, Being No One: The Self-Model Theory of Subjectivity (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 23–27.

[17]             ¹⁷ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[18]             ¹⁸ Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 88–93.


4.           Epistemologi Kognitif

Epistemologi kognitif merupakan cabang kajian dalam filsafat kognitif yang berfokus pada hakikat, sumber, dan validitas pengetahuan dalam konteks proses mental manusia. Jika epistemologi klasik menyoroti relasi antara subjek dan objek pengetahuan secara abstrak, maka epistemologi kognitif mengajukan pertanyaan yang lebih empiris dan interdisipliner: bagaimana pengetahuan terbentuk dalam sistem kognitif manusia? Bagaimana pikiran merepresentasikan realitas, memproses informasi, dan menghasilkan makna? Dengan demikian, epistemologi kognitif menjadi jembatan antara refleksi filosofis tentang pengetahuan dan temuan empiris dari ilmu kognitif, psikologi, linguistik, dan neuroscience.

4.1.       Representasi Mental dan Realitas

Konsep dasar epistemologi kognitif adalah bahwa pikiran manusia tidak menerima realitas secara langsung, melainkan melalui proses representasi mental.¹ Pandangan ini berakar pada tradisi rasionalisme dan empirisme modern—Descartes menekankan bahwa ide-ide merupakan bentuk representasi internal dari dunia luar, sementara Locke berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi yang disimpan dalam pikiran sebagai impressions dan ideas.² Dalam filsafat kognitif kontemporer, representasi ini dipahami sebagai simbol-simbol internal yang digunakan otak untuk mengorganisasi dan menafsirkan data sensorik.³

Jerry Fodor melalui teori language of thought hypothesis menyatakan bahwa pikiran manusia bekerja dengan menggunakan sistem representasional yang menyerupai bahasa internal (mentalese).⁴ Representasi ini berfungsi sebagai struktur simbolik yang memungkinkan inferensi logis, pembentukan konsep, dan proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, pengetahuan dianggap sebagai hasil manipulasi simbol berdasarkan aturan sintaksis tertentu. Pandangan ini dikenal sebagai representasionalisme simbolik, yang menjadi fondasi awal psikologi kognitif dan kecerdasan buatan berbasis logika.⁵

Namun, pendekatan simbolik tersebut tidak luput dari kritik. Para pendukung embodied cognition dan enactivism menolak gagasan bahwa pengetahuan adalah hasil manipulasi simbol yang terpisah dari dunia.⁶ Mereka menegaskan bahwa kognisi bersifat situated dan enacted—yakni muncul dari interaksi langsung antara organisme dan lingkungannya.⁷ Francisco Varela dan Evan Thompson, misalnya, berpendapat bahwa pengetahuan tidak merepresentasikan dunia secara pasif, melainkan dibentuk secara aktif melalui tindakan tubuh dan persepsi yang kontekstual.⁸ Dengan demikian, epistemologi kognitif mengalami pergeseran dari model “representasional” menuju model “interaktif”.

4.2.       Proses Persepsi, Memori, dan Inferensi

Dalam epistemologi kognitif, pengetahuan dipahami sebagai hasil dari proses mental yang melibatkan persepsi, memori, dan inferensi. Persepsi berfungsi sebagai pintu masuk bagi pengalaman empiris, tetapi ia bukan sekadar penerimaan data sensorik. Sebagaimana dijelaskan oleh Immanuel Kant, persepsi selalu disusun oleh bentuk apriori dari ruang dan waktu serta kategori intelektual.⁹ Dengan kata lain, manusia tidak melihat dunia “sebagaimana adanya”, melainkan sebagaimana dunia itu ditata oleh struktur kognitifnya sendiri.¹⁰

Memori berperan sebagai mekanisme penyimpanan dan rekonstruksi pengetahuan. Dari perspektif filsafat kognitif, memori bukan sekadar “gudang data”, melainkan sistem dinamis yang memediasi antara pengalaman masa lalu dan tindakan masa kini.¹¹ Richard Semon memperkenalkan istilah engram untuk menggambarkan jejak biologis dari pengalaman yang tersimpan di otak,¹² sementara dalam psikologi modern, memori dipandang sebagai proses konstruktif yang selalu melibatkan penafsiran ulang terhadap pengalaman.¹³ Proses inferensi kemudian menjadi dasar dari kemampuan berpikir dan bernalar, memungkinkan manusia menghubungkan data sensorik dengan pengetahuan konseptual dan nilai-nilai kognitif.¹⁴

Epistemologi kognitif, dengan demikian, menegaskan bahwa pengetahuan tidak bersifat statis atau final, melainkan hasil dari proses dinamis antara persepsi, representasi, dan inferensi. Hal ini menegaskan posisi manusia sebagai cognitive agent—makhluk yang aktif membangun makna, bukan sekadar menyalin realitas.

4.3.       Intentionalitas dan Makna

Salah satu konsep kunci dalam epistemologi kognitif adalah intentionality, yaitu kemampuan pikiran untuk “berarah kepada” sesuatu, baik nyata maupun imajiner. Franz Brentano pertama kali menegaskan bahwa semua fenomena mental bersifat intensional, artinya selalu memiliki objek atau isi yang dituju.¹⁵ Dalam konteks filsafat kognitif, intentionalitas menjadi persoalan penting: bagaimana struktur otak yang bersifat fisik dapat memiliki makna atau mengacu pada sesuatu di luar dirinya?

John Searle menjelaskan hal ini melalui teori biological intentionality, bahwa makna muncul dari sistem biologis yang memiliki orientasi tujuan (goal-directed system).¹⁶ Artinya, intentionalitas bukan hasil komputasi simbolik semata, melainkan manifestasi dari fungsi biologis yang memunculkan arah dan tujuan. Di sisi lain, Daniel Dennett mengajukan intentional stance—yakni pendekatan interpretatif yang memungkinkan kita memahami perilaku entitas (baik manusia maupun mesin) dengan mengasumsikan bahwa ia memiliki keyakinan dan keinginan tertentu.¹⁷ Dengan demikian, intentionalitas dapat dipahami sebagai jembatan epistemologis antara dunia fisik dan dunia makna.

4.4.       Epistemologi Kognitif dan Kecerdasan Buatan

Dalam era kecerdasan buatan, epistemologi kognitif mendapatkan relevansi baru. Pertanyaan utama yang muncul adalah: apakah sistem buatan dapat “mengetahui” sesuatu sebagaimana manusia mengetahui? Apakah pengetahuan buatan hanya sekadar pengolahan data, ataukah ia mengandung pemahaman sejati?¹⁸

Model kecerdasan buatan generatif, seperti neural networks dan deep learning, menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengenali pola dan menghasilkan informasi baru. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Hubert Dreyfus, kemampuan tersebut tidak serta-merta menunjukkan adanya pengetahuan dalam arti epistemologis.¹⁹ Menurut Dreyfus, sistem AI tidak memiliki understanding karena tidak beroperasi dalam konteks makna yang dialami secara eksistensial oleh manusia.²⁰ Dengan kata lain, mesin dapat “meniru” pengetahuan, tetapi tidak dapat “memahami” dalam arti fenomenologis.

Filsafat kognitif memandang bahwa pengetahuan sejati memerlukan kesadaran reflektif—kemampuan untuk mengetahui bahwa seseorang sedang mengetahui.²¹ Inilah aspek yang membedakan epistemologi manusia dari epistemologi algoritmik. AI dapat memproses informasi, tetapi tidak memiliki dimensi intensional atau pengalaman subjektif yang membentuk makna. Oleh karena itu, epistemologi kognitif mengingatkan bahwa pengetahuan bukan hanya akumulasi data, melainkan proses reflektif yang meneguhkan eksistensi manusia sebagai makhluk sadar dan bermakna.²²

4.5.       Implikasi Humanistik

Epistemologi kognitif juga memiliki dimensi humanistik yang penting. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan manusia bersumber dari kesatuan antara tubuh, emosi, dan kesadaran, bukan dari rasionalitas murni yang terpisah dari kehidupan.²³ Dengan memahami bahwa pengetahuan terbentuk secara embodied dan situated, manusia dapat menghindari ilusi objektivitas absolut dan membuka diri terhadap pluralitas pengalaman. Dalam konteks ini, filsafat kognitif mendorong lahirnya epistemologi reflektif yang mengakui keterbatasan, kebertubuhan, dan intersubjektivitas sebagai bagian dari cara manusia mengetahui dunia.²⁴


Footnotes

[1]                ¹ Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 3–6.

[2]                ² John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 12–15.

[3]                ³ Jerry A. Fodor, Psychosemantics: The Problem of Meaning in the Philosophy of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 10–13.

[4]                ⁴ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 57–60.

[5]                ⁵ Hilary Putnam, Mind, Language, and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 217–219.

[6]                ⁶ Andy Clark, Being There: Putting Brain, Body, and World Together Again (Cambridge, MA: MIT Press, 1997), 75–77.

[7]                ⁷ Alva Noë, Action in Perception (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 2–4.

[8]                ⁸ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 173–178.

[9]                ⁹ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 136–140.

[10]             ¹⁰ Wilfrid Sellars, Empiricism and the Philosophy of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 43–45.

[11]             ¹¹ Endel Tulving, “Episodic and Semantic Memory,” in Organization of Memory, ed. E. Tulving and W. Donaldson (New York: Academic Press, 1972), 381–403.

[12]             ¹² Richard Semon, The Mneme (London: Allen & Unwin, 1921), 47–51.

[13]             ¹³ Frederic Bartlett, Remembering: A Study in Experimental and Social Psychology (Cambridge: Cambridge University Press, 1932), 202–204.

[14]             ¹⁴ Susan Haack, Evidence and Inquiry (Oxford: Blackwell, 1993), 27–30.

[15]             ¹⁵ Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint, trans. Antos C. Rancurello et al. (London: Routledge, 1995), 88–91.

[16]             ¹⁶ John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 19–22.

[17]             ¹⁷ Daniel C. Dennett, The Intentional Stance (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 9–11.

[18]             ¹⁸ Margaret Boden, Artificial Intelligence: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2018), 32–36.

[19]             ¹⁹ Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 72–75.

[20]             ²⁰ Hubert L. Dreyfus and Stuart Dreyfus, Mind over Machine: The Power of Human Intuition and Expertise in the Era of the Computer (New York: Free Press, 1986), 23–26.

[21]             ²¹ Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450.

[22]             ²² Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 103–107.

[23]             ²³ Mark Johnson, The Meaning of the Body: Aesthetics of Human Understanding (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 12–15.

[24]             ²⁴ Evan Thompson, Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 89–92.


5.           Aksiologi dan Etika Kognitif

Aksiologi kognitif menyoroti dimensi nilai (value dimension) yang melekat dalam seluruh proses kognitif manusia dan implikasinya terhadap tanggung jawab etis dalam penggunaan pengetahuan. Jika epistemologi kognitif berfokus pada bagaimana pengetahuan diperoleh, maka aksiologi kognitif bertanya untuk apa pengetahuan itu digunakan dan bagaimana pengetahuan tersebut harus diarahkan agar tidak kehilangan makna kemanusiaannya. Dalam kerangka filsafat kognitif, aksiologi tidak sekadar berbicara tentang nilai moral, melainkan juga tentang orientasi normatif dari seluruh aktivitas berpikir, menilai, dan memahami. Dengan demikian, filsafat kognitif tidak hanya bersifat deskriptif—menjelaskan cara kerja pikiran—tetapi juga normatif, mengarahkan bagaimana manusia seharusnya menggunakan kesadarannya dalam dunia yang semakin dipengaruhi oleh teknologi dan kecerdasan buatan (AI).

5.1.       Nilai dalam Proses Kognitif

Setiap aktivitas kognitif mengandung dimensi nilai karena berpikir tidak pernah bersifat netral. Proses pengenalan, pemilihan, dan penilaian informasi selalu dipandu oleh preferensi, tujuan, dan makna yang diyakini subjek.¹ Hal ini menegaskan bahwa kognisi tidak sekadar kegiatan rasional, tetapi juga tindakan evaluatif. Antonio Damasio menunjukkan bahwa emosi memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan dan pembentukan makna, sehingga pemisahan antara kognisi dan afeksi adalah keliru secara empiris maupun etis.² Dalam konteks ini, kognisi manusia tidak hanya mengolah data, tetapi juga menilai nilai moral, sosial, dan eksistensial yang terkandung di dalamnya.

Aksiologi kognitif menolak pandangan value-free science yang sering mendominasi sains kognitif modern.³ Proses berpikir manusia, termasuk dalam sains, selalu diarahkan oleh nilai-nilai tertentu seperti kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan. Dengan demikian, kesadaran reflektif menjadi penting: manusia perlu menyadari nilai-nilai yang membimbing cara berpikirnya agar tidak terjebak pada kognisi instrumental semata—yakni berpikir untuk efisiensi tanpa mempertimbangkan implikasi etisnya.⁴

5.2.       Etika Pengetahuan dan Tanggung Jawab Epistemik

Dalam tradisi aksiologis, setiap bentuk pengetahuan membawa tanggung jawab epistemik (epistemic responsibility).⁵ Mengetahui berarti juga bertanggung jawab terhadap cara pengetahuan itu digunakan dan dampaknya terhadap sesama makhluk. Hal ini relevan dalam konteks filsafat kognitif karena pemahaman tentang pikiran dan kesadaran tidak hanya memiliki nilai teoritis, tetapi juga aplikasi praktis dalam bidang pendidikan, teknologi, dan kebijakan publik.

Miranda Fricker memperkenalkan konsep epistemic injustice, yaitu bentuk ketidakadilan yang terjadi ketika seseorang dirugikan dalam kapasitasnya sebagai subjek pengetahuan, misalnya karena bias kognitif, prasangka sosial, atau ketimpangan informasi.⁶ Dalam kerangka ini, etika kognitif menuntut pengakuan terhadap pluralitas bentuk pengetahuan dan cara berpikir, sehingga menghindari dominasi epistemik yang mengalienasi kelompok tertentu. Keadilan epistemik menjadi nilai sentral dalam etika kognitif, karena ia menjaga agar pengetahuan tidak menjadi alat kekuasaan, tetapi sarana pembebasan dan dialog.⁷

Selain itu, tanggung jawab epistemik juga menuntut integritas intelektual: berpikir secara jujur, kritis, dan terbuka terhadap koreksi.⁸ Filsafat kognitif menegaskan bahwa kesadaran reflektif adalah etika dalam dirinya sendiri, sebab berpikir tanpa refleksi dapat melahirkan kesalahan persepsi, bias, dan manipulasi kognitif. Dalam dunia yang dipenuhi informasi dan algoritma, kemampuan reflektif menjadi bentuk kebajikan epistemik yang menjaga otonomi dan kemanusiaan manusia.

5.3.       Etika Kesadaran Buatan dan Moralitas Digital

Kemajuan teknologi kecerdasan buatan memunculkan persoalan etika baru dalam ranah filsafat kognitif. Apabila mesin dapat berpikir atau belajar secara mandiri, apakah ia memiliki tanggung jawab moral? Dapatkah entitas buatan menjadi subjek etis? Pertanyaan ini menuntut analisis aksiologis yang mendalam.

John Searle berpendapat bahwa kesadaran buatan hanyalah simulasi dari kesadaran sejati, karena mesin tidak memiliki intentionality—yakni kemampuan untuk memiliki makna intrinsik terhadap sesuatu.⁹ Namun, Daniel Dennett berargumen bahwa perilaku sistem kognitif (baik manusia maupun mesin) dapat dianalisis melalui intentional stance, yaitu dengan memperlakukan entitas tersebut seolah-olah memiliki keyakinan dan tujuan.¹⁰ Dalam konteks ini, etika kognitif menghadapi dilema: apakah moralitas didasarkan pada kesadaran subjektif atau pada perilaku rasional yang dapat diprediksi?

Persoalan etika AI juga menyangkut tanggung jawab manusia sebagai penciptanya. Luciano Floridi memperkenalkan konsep information ethics, yaitu etika yang memperlakukan informasi dan agen informasi (termasuk AI) sebagai entitas moral yang perlu diperlakukan secara adil dan bertanggung jawab.¹¹ Dalam kerangka aksiologi kognitif, penggunaan AI harus diarahkan pada pengembangan nilai-nilai humanistik: memperluas empati, meningkatkan kualitas hidup, dan melindungi martabat manusia.¹²

5.4.       Kognisi, Moralitas, dan Empati

Dimensi moral dalam kognisi juga mencakup bagaimana manusia memahami dan menilai tindakan baik atau buruk. Kajian moral cognition menunjukkan bahwa kemampuan moral berakar pada struktur kognitif dan afektif manusia yang terintegrasi.¹³ Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg mengembangkan teori perkembangan moral yang menjelaskan bahwa penalaran moral berkembang seiring dengan kapasitas kognitif individu.¹⁴ Namun, temuan neurosains modern—misalnya oleh Joshua Greene—menunjukkan bahwa moralitas juga melibatkan reaksi emosional cepat yang terhubung dengan sistem limbik otak.¹⁵

Etika kognitif menegaskan pentingnya keseimbangan antara rasionalitas dan empati. Tanpa empati, kognisi menjadi dingin dan instrumentalis; tanpa rasionalitas, moralitas menjadi impulsif.¹⁶ Dalam kerangka humanistik, berpikir etis berarti berpikir dengan hati yang sadar—sebuah kesatuan antara pengetahuan dan nilai, antara pemahaman dan kasih.¹⁷ Hal ini menjadi dasar bagi pengembangan cognitive ethics yang tidak hanya mengatur perilaku berpikir, tetapi juga mengarahkan manusia menuju kebijaksanaan reflektif (reflective wisdom).

5.5.       Aksiologi Kognitif di Era Digital dan Post-Human

Dalam era digital dan post-human, aksiologi kognitif menghadapi tantangan baru terkait batas antara manusia dan mesin. Jika sistem buatan mampu memproses informasi dan meniru perilaku manusia, bagaimana kita menilai keotentikan pengetahuan dan kesadaran? Susan Schneider menegaskan bahwa penggabungan antara manusia dan mesin melalui antarmuka neuro-digital menimbulkan dilema identitas: apakah ekspansi kognitif berarti peningkatan kemanusiaan atau justru penghapusannya?¹⁸

Etika kognitif di era ini menuntut prinsip keseimbangan: penggunaan teknologi harus diarahkan untuk memperluas potensi reflektif manusia, bukan menggantikannya.¹⁹ Kognisi digital seharusnya tidak mengurangi otonomi, tetapi memperkaya pengalaman kesadaran. Dengan demikian, nilai-nilai kemanusiaan seperti empati, tanggung jawab, dan kebijaksanaan harus menjadi pusat dari perkembangan teknologi kognitif.²⁰

5.6.       Menuju Etika Kognitif Humanistik

Etika kognitif humanistik menegaskan bahwa puncak dari aktivitas berpikir bukanlah efisiensi komputasional, melainkan kebijaksanaan eksistensial.²¹ Pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang memanusiakan, yang tidak hanya menghasilkan kebenaran teoretis, tetapi juga kebaikan praktis dan keindahan moral.²² Filsafat kognitif dengan demikian mengarahkan manusia untuk memahami bahwa berpikir adalah tindakan etis: setiap proses kognitif melibatkan pilihan nilai dan tanggung jawab moral terhadap dunia.

Aksiologi kognitif, pada akhirnya, bukan sekadar studi tentang nilai dalam kognisi, melainkan juga panduan untuk mengembangkan kesadaran reflektif yang berkeadilan, berempati, dan terbuka terhadap keberagaman pengetahuan. Dengan mengintegrasikan dimensi etis ke dalam struktur berpikir, filsafat kognitif membentuk kerangka menuju human-centered cognition, yakni bentuk kognisi yang mengabdi pada martabat manusia dan keseimbangan dunia.


Footnotes

[1]                ¹ Nicholas Rescher, Cognitive Pragmatism: The Theory of Knowledge in Pragmatic Perspective (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 2001), 23–25.

[2]                ² Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Putnam, 1994), 128–132.

[3]                ³ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–312.

[4]                ⁴ Max Horkheimer, Eclipse of Reason (New York: Oxford University Press, 1947), 79–82.

[5]                ⁵ Lorraine Code, What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 16–18.

[6]                ⁶ Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–4.

[7]                ⁷ José Medina, The Epistemology of Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant Imaginations (Oxford: Oxford University Press, 2013), 9–12.

[8]                ⁸ Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–48.

[9]                ⁹ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[10]             ¹⁰ Daniel C. Dennett, The Intentional Stance (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 12–15.

[11]             ¹¹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–49.

[12]             ¹² Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 90–93.

[13]             ¹³ Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon, 2012), 124–128.

[14]             ¹⁴ Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development: The Philosophy of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1981), 56–59.

[15]             ¹⁵ Joshua Greene, Moral Tribes: Emotion, Reason, and the Gap Between Us and Them (New York: Penguin Press, 2013), 34–38.

[16]             ¹⁶ Martha C. Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 18–22.

[17]             ¹⁷ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 112–115.

[18]             ¹⁸ Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 91–96.

[19]             ¹⁹ Andy Clark, Natural-Born Cyborgs: Minds, Technologies, and the Future of Human Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2003), 101–104.

[20]             ²⁰ Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 67–70.

[21]             ²¹ Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 25–29.

[22]             ²² Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 201–205.


6.           Dimensi Interdisipliner

Filsafat kognitif, sejak awal kelahirannya, tidak pernah berdiri sendiri sebagai disiplin yang tertutup. Ia tumbuh di tengah arus besar cognitive revolution pada pertengahan abad ke-20, yang melibatkan sinergi antara filsafat, psikologi, linguistik, ilmu komputer, neurosains, dan antropologi.¹ Oleh karena itu, untuk memahami kognisi secara utuh, diperlukan pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan aspek biologis, psikologis, linguistik, sosial, dan fenomenologis. Filsafat kognitif menjadi ruang reflektif di mana berbagai disiplin ilmu bertemu untuk menafsirkan kembali hakikat pikiran dan kesadaran, bukan sebagai entitas terisolasi, melainkan sebagai jaringan proses yang dinamis dan saling berhubungan.

6.1.       Hubungan dengan Psikologi Kognitif

Psikologi kognitif merupakan mitra empiris utama bagi filsafat kognitif. Ia mempelajari secara sistematis bagaimana manusia mempersepsi, memproses, dan menyimpan informasi. George A. Miller, salah satu pelopor psikologi kognitif, berpendapat bahwa pikiran manusia bekerja seperti sistem pemrosesan informasi yang memiliki kapasitas terbatas dan struktur hierarkis.² Penelitian psikologi kognitif tentang persepsi, memori, dan pemecahan masalah menjadi basis empiris bagi refleksi filosofis mengenai hakikat kesadaran dan rasionalitas.

Namun, filsafat kognitif tidak hanya menerima hasil-hasil psikologi, tetapi juga mengajukan kritik konseptual terhadap asumsi-asumsinya. Misalnya, aliran embodied cognition menolak pandangan psikologi kognitif klasik yang terlalu menekankan pemrosesan simbol internal dan mengabaikan peran tubuh serta lingkungan dalam membentuk pikiran.³ Dalam pandangan ini, kognisi bukanlah representasi pasif dari dunia, melainkan interaksi aktif antara organisme dan konteksnya.⁴ Dengan demikian, hubungan antara filsafat dan psikologi kognitif bersifat dialektis: yang satu memberi data empiris, yang lain memberi refleksi konseptual atas makna data tersebut.

6.2.       Hubungan dengan Linguistik

Linguistik modern, terutama melalui karya Noam Chomsky, memberikan sumbangan besar terhadap pembentukan paradigma kognitif.⁵ Chomsky menolak behaviorisme dengan menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa tidak dapat dijelaskan melalui stimulus dan respons semata, melainkan bergantung pada struktur mental bawaan yang disebut universal grammar.⁶ Bagi filsafat kognitif, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga struktur yang membentuk cara manusia berpikir. Ludwig Wittgenstein sebelumnya telah menegaskan bahwa “batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku,” yang menunjukkan bahwa bahasa dan kognisi tidak dapat dipisahkan.⁷

Kajian kontemporer juga memperluas hubungan antara linguistik dan filsafat kognitif melalui pendekatan cognitive linguistics, yang dikembangkan oleh George Lakoff dan Mark Johnson. Mereka berargumen bahwa makna linguistik bersifat embodied—tertanam dalam pengalaman tubuh manusia.⁸ Konsep-konsep abstrak seperti “waktu” atau “moralitas” dimaknai melalui metafora yang berasal dari interaksi sensorimotor.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa struktur kognitif tidak hanya bersifat logis, tetapi juga metaforis dan pengalamanal. Dengan demikian, linguistik memperkaya epistemologi kognitif melalui analisis tentang bagaimana bahasa membentuk dunia makna dan persepsi manusia.

6.3.       Hubungan dengan Neurosains

Neurosains menyediakan dimensi biologis bagi filsafat kognitif dengan menjelaskan dasar neural dari proses mental. Antonio Damasio, misalnya, menekankan bahwa kesadaran muncul dari interaksi kompleks antara otak, tubuh, dan lingkungan, bukan dari satu area otak tertentu.¹⁰ Temuan neuroscience modern memperlihatkan bahwa aktivitas kognitif—seperti atensi, persepsi, dan emosi—melibatkan jaringan neural yang tersebar, yang beroperasi secara paralel dan dinamis.¹¹

Bagi filsafat kognitif, hal ini menimbulkan pertanyaan ontologis dan epistemologis: apakah kesadaran dapat direduksi menjadi aktivitas neural semata, ataukah ia memiliki kualitas fenomenal yang tidak dapat dijelaskan secara biologis?¹² Daniel Dennett mengusulkan pendekatan heterophenomenology untuk menjembatani antara pengalaman subjektif dan data empiris, dengan memahami kesadaran sebagai narasi interpretatif yang dihasilkan oleh otak.¹³ Di sisi lain, peneliti seperti Evan Thompson menolak reduksionisme biologis dan menekankan perlunya pendekatan fenomenologis terhadap kesadaran, di mana data neuroscientific harus diinterpretasikan dalam konteks pengalaman sadar.¹⁴ Dengan demikian, dialog antara filsafat dan neurosains menghasilkan perspektif yang lebih holistik terhadap pikiran—sebagai fenomena biologis sekaligus eksistensial.

6.4.       Hubungan dengan Ilmu Komputer dan Kecerdasan Buatan

Hubungan antara filsafat kognitif dan ilmu komputer bersifat fundamental, terutama sejak munculnya gagasan computational theory of mind.¹⁵ Teori ini menyatakan bahwa pikiran manusia berfungsi seperti komputer, yakni sebagai sistem yang memproses simbol berdasarkan aturan sintaksis tertentu.¹⁶ Hilary Putnam dan Jerry Fodor mengembangkan model ini sebagai kerangka untuk memahami fungsi mental secara formal dan sistematis.¹⁷

Namun, kemunculan connectionism dan deep learning menggeser paradigma tersebut. Jaringan saraf tiruan (neural networks) meniru pola pembelajaran otak dengan cara non-simbolik, menekankan adaptasi dan asosiasi daripada manipulasi simbol.¹⁸ Hal ini menimbulkan refleksi filosofis baru: apakah kecerdasan buatan dapat “memahami” sebagaimana manusia memahami, ataukah ia sekadar meniru proses kognitif tanpa kesadaran? John Searle melalui Chinese Room Argument menegaskan bahwa pemrosesan simbol tidak identik dengan pemahaman makna.¹⁹

Dialog antara filsafat dan ilmu komputer mengantarkan pada munculnya machine ethics dan AI epistemology, yaitu kajian tentang nilai dan pengetahuan dalam sistem buatan.²⁰ Filsafat kognitif memainkan peran penting dalam menilai batas-batas antara pengetahuan algoritmik dan kesadaran reflektif manusia, serta menekankan pentingnya pendekatan humanistik dalam pengembangan teknologi cerdas.²¹

6.5.       Hubungan dengan Fenomenologi dan Humaniora

Fenomenologi memberi kontribusi kritis terhadap filsafat kognitif dengan menekankan dimensi pengalaman sadar yang tidak dapat direduksi menjadi mekanisme komputasional. Edmund Husserl dan Maurice Merleau-Ponty menegaskan bahwa kesadaran selalu bersifat intentional dan embodied—ia hadir dalam dunia, bukan di luar dunia.²² Dalam konteks ini, fenomenologi berfungsi sebagai koreksi terhadap kecenderungan reduksionis ilmu kognitif yang sering mengabaikan subjektivitas manusia.

Filsafat kognitif juga berinteraksi dengan bidang humaniora seperti antropologi, etika, dan estetika. Clifford Geertz memandang kebudayaan sebagai sistem simbolik yang membentuk cara berpikir dan memahami dunia.²³ Sementara dalam estetika kognitif, Mark Johnson dan George Lakoff menunjukkan bahwa kreativitas dan makna artistik lahir dari mekanisme kognitif yang sama dengan pemikiran sehari-hari.²⁴ Dengan demikian, pendekatan humaniora memperkaya filsafat kognitif dengan dimensi nilai, makna, dan pengalaman yang bersifat eksistensial dan intersubjektif.

6.6.       Sinergi dan Ketegangan Antar-Disiplin

Hubungan interdisipliner ini tidak selalu harmonis. Terdapat ketegangan antara pendekatan reduksionis (yang menekankan aspek biologis dan komputasional) dan pendekatan holistik (yang menekankan pengalaman subjektif dan sosial).²⁵ Namun, ketegangan tersebut justru memperkaya filsafat kognitif sebagai arena dialog reflektif. Ia memfasilitasi integrasi antara “ilmu keras” (hard sciences) dan “ilmu lunak” (soft sciences), serta menegaskan bahwa memahami pikiran berarti memahami manusia dalam totalitasnya—sebagai makhluk biologis, sosial, dan moral.²⁶

Filsafat kognitif dengan demikian berfungsi sebagai meta-discipline, yakni disiplin yang merefleksikan dan menyatukan pengetahuan lintas bidang untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang kesadaran, pengetahuan, dan nilai.²⁷ Dalam era digital dan post-human, pendekatan interdisipliner ini menjadi semakin penting: hanya melalui dialog antara filsafat dan sains, manusia dapat memahami hakikat pikirannya sendiri secara komprehensif sekaligus menjaga nilai kemanusiaan di tengah kemajuan teknologi kognitif yang pesat.²⁸


Footnotes

[1]                ¹ Howard Gardner, The Mind’s New Science: A History of the Cognitive Revolution (New York: Basic Books, 1985), 12–15.

[2]                ² George A. Miller, “The Magical Number Seven, Plus or Minus Two,” Psychological Review 63, no. 2 (1956): 81–97.

[3]                ³ Shaun Gallagher, How the Body Shapes the Mind (Oxford: Oxford University Press, 2005), 4–6.

[4]                ⁴ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 173–176.

[5]                ⁵ Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 1–3.

[6]                ⁶ Ibid., 27–29.

[7]                ⁷ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C.K. Ogden (London: Routledge, 1922), 5.6–5.62.

[8]                ⁸ George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–5.

[9]                ⁹ Mark Johnson, The Body in the Mind: The Bodily Basis of Meaning, Imagination, and Reason (Chicago: University of Chicago Press, 1987), 14–17.

[10]             ¹⁰ Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 125–129.

[11]             ¹¹ Jean-Pierre Changeux, Neuronal Man: The Biology of Mind (Princeton: Princeton University Press, 1985), 62–65.

[12]             ¹² David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 9–11.

[13]             ¹³ Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 21–23.

[14]             ¹⁴ Evan Thompson, Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 87–90.

[15]             ¹⁵ Hilary Putnam, Mind, Language, and Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 212–214.

[16]             ¹⁶ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 57–60.

[17]             ¹⁷ Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 5–8.

[18]             ¹⁸ Paul Smolensky, “On the Proper Treatment of Connectionism,” Behavioral and Brain Sciences 11, no. 1 (1988): 1–74.

[19]             ¹⁹ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[20]             ²⁰ Wendell Wallach and Colin Allen, Moral Machines: Teaching Robots Right from Wrong (Oxford: Oxford University Press, 2009), 19–22.

[21]             ²¹ Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 88–92.

[22]             ²² Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 56–59.

[23]             ²³ Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89–91.

[24]             ²⁴ Mark Johnson, The Meaning of the Body: Aesthetics of Human Understanding (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 31–34.

[25]             ²⁵ Owen Flanagan, The Science of the Mind, 2nd ed. (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 102–105.

[26]             ²⁶ Francisco J. Varela, “Neurophenomenology: A Methodological Remedy for the Hard Problem,” Journal of Consciousness Studies 3, no. 4 (1996): 330–349.

[27]             ²⁷ Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The Phenomenological Mind (London: Routledge, 2008), 9–11.

[28]             ²⁸ Andy Clark, Surfing Uncertainty: Prediction, Action, and the Embodied Mind (Oxford: Oxford University Press, 2016), 195–198.


7.           Kritik terhadap Filsafat Kognitif

Filsafat kognitif, meskipun menawarkan kerangka interdisipliner yang kaya untuk memahami pikiran dan kesadaran, tidak lepas dari berbagai kritik konseptual dan metodologis. Kritik tersebut datang dari beragam aliran filsafat—terutama fenomenologi, hermeneutika, eksistensialisme, postmodernisme, dan juga dari dalam tradisi ilmu kognitif sendiri. Kritik-kritik ini menggarisbawahi keterbatasan pandangan representasional dan komputasional tentang pikiran, serta menyoroti risiko dehumanisasi dan reduksionisme yang mengancam dimensi eksistensial manusia.

7.1.       Kritik Fenomenologis: Penolakan terhadap Reduksionisme Representasional

Salah satu kritik paling mendasar terhadap filsafat kognitif datang dari tradisi fenomenologi yang dipelopori oleh Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Maurice Merleau-Ponty. Mereka menolak asumsi dasar ilmu kognitif yang memahami pikiran sebagai sistem representasi simbolik yang terpisah dari dunia.¹ Menurut fenomenologi, kesadaran selalu bersifat intentional—yakni kesadaran yang mengarah kepada sesuatu dalam dunia yang dialami, bukan sistem yang memproses simbol internal.²

Merleau-Ponty menegaskan bahwa kesadaran tidak dapat dipahami tanpa menempatkannya dalam konteks tubuh yang menubuh (embodied subjectivity) dan dunia kehidupan (Lebenswelt).³ Kritik ini menyoroti bahwa pendekatan representasionalisme dalam filsafat kognitif cenderung mengabaikan dimensi pengalaman hidup, makna, dan keterlibatan langsung manusia dengan dunia. Dengan menjadikan pikiran sebagai “mesin pemroses simbol,” filsafat kognitif berisiko menghilangkan sifat eksistensial kesadaran yang dinamis dan kontekstual.⁴

Sebagai tanggapan atas kritik ini, muncul pendekatan embodied cognition dan enactive cognition yang berusaha mengintegrasikan pandangan fenomenologis dengan ilmu kognitif empiris.⁵ Namun, para fenomenolog berpendapat bahwa upaya tersebut sering kali masih bersifat kompromistis dan belum sepenuhnya mengatasi paradigma representasional yang mendasari filsafat kognitif itu sendiri.⁶

7.2.       Kritik Hermeneutik dan Postmodern: Konteks, Bahasa, dan Makna

Dari perspektif hermeneutik, terutama yang dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur, filsafat kognitif dikritik karena mengabaikan dimensi interpretatif dan historis dari pengetahuan manusia.⁷ Gadamer berargumen bahwa pemahaman tidak pernah bersifat objektif atau mekanis, tetapi selalu terjadi dalam konteks sejarah dan bahasa yang membentuk horizon makna individu.⁸ Dengan demikian, pendekatan kognitif yang menekankan struktur formal pikiran gagal memahami bahwa mengetahui adalah tindakan penafsiran (Verstehen), bukan sekadar pemrosesan informasi.

Kaum postmodernis seperti Jean-François Lyotard dan Richard Rorty menambah kritik ini dengan menolak klaim universalitas ilmu kognitif. Mereka menilai bahwa proyek filsafat kognitif, yang berambisi menjelaskan kesadaran melalui kerangka ilmiah, merupakan bentuk metanarasi baru yang menggantikan metafisika klasik.⁹ Bagi Rorty, filsafat kognitif adalah lanjutan dari “filsafat kesadaran” yang berusaha menemukan fondasi objektif bagi pengetahuan, padahal pengetahuan manusia selalu bersifat kontingen dan kontekstual.¹⁰

Kritik hermeneutik dan postmodern ini menegaskan bahwa kognisi tidak bisa dilepaskan dari bahasa, budaya, dan sejarah. Dengan kata lain, setiap teori tentang pikiran harus memperhitungkan dimensi penafsiran yang melekat dalam pengalaman manusia.

7.3.       Kritik Eksistensialis dan Humanistik: Reduksi terhadap Subjektivitas

Filsafat eksistensialis, melalui tokoh seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Buber, mengkritik filsafat kognitif karena cenderung meniadakan kebebasan dan subjektivitas manusia.¹¹ Sartre menolak pandangan bahwa kesadaran dapat dijelaskan secara objektif, sebab kesadaran pada hakikatnya adalah “ada-untuk-dirinya” (être-pour-soi), yang terbuka, bebas, dan tak dapat direduksi menjadi struktur mekanistik.¹²

Kritik ini juga menyoroti bahaya etis dari reduksi manusia menjadi sekadar “sistem informasi.” Jika manusia dipandang sebagai mesin pemroses simbol, maka aspek moral, spiritual, dan eksistensialnya diabaikan. Carl Rogers dan Abraham Maslow, dalam psikologi humanistik, menegaskan bahwa kognisi manusia tidak dapat dipisahkan dari kehendak untuk makna (will to meaning) dan aktualisasi diri.¹³ Dengan demikian, etika kognitif harus menolak kecenderungan teknokratis yang menjadikan kecerdasan buatan atau algoritma sebagai model utama kesadaran.

7.4.       Kritik Internal: Keterbatasan Model Komputasional dan Neurosentrisme

Dari dalam ilmu kognitif sendiri, muncul kritik terhadap paradigma computational theory of mind dan neuroscientific reductionism. Hubert Dreyfus, misalnya, menolak gagasan bahwa seluruh bentuk pengetahuan dapat direpresentasikan secara simbolik dan diproses melalui aturan formal.¹⁴ Dalam What Computers Can’t Do, Dreyfus menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersifat kontekstual, intuitif, dan prareflektif—sesuatu yang tidak dapat ditiru oleh mesin.¹⁵

Kritik ini terbukti relevan dalam perkembangan AI modern: meskipun sistem deep learning mampu meniru perilaku cerdas, mereka tetap tidak memiliki kesadaran fenomenal (phenomenal consciousness).¹⁶ Hal ini menunjukkan bahwa ada jurang ontologis antara kecerdasan fungsional dan kesadaran reflektif.

Selain itu, neuroscientific reductionism—pandangan yang menganggap bahwa seluruh fenomena mental dapat dijelaskan sepenuhnya oleh aktivitas otak—juga menuai kritik. Alva Noë dan Evan Thompson menegaskan bahwa pengalaman sadar tidak dapat direduksi menjadi korelasi neural, karena kesadaran merupakan hasil dari interaksi aktif antara organisme dan dunia.¹⁷ Dengan demikian, filsafat kognitif yang terlalu bergantung pada neurosains berisiko kehilangan kedalaman filosofisnya dan terjerumus dalam “biologisme epistemik.”¹⁸

7.5.       Kritik Sosial dan Etis: Ideologi Teknologis dan Krisis Kemanusiaan

Dari perspektif kritis dan etika sosial, filsafat kognitif juga dikritik karena berpotensi menjadi ideologi yang melegitimasi dominasi teknologi atas manusia. Jürgen Habermas menilai bahwa rasionalitas instrumental yang mendasari ilmu kognitif sering mengabaikan dimensi komunikasi dan intersubjektivitas manusia.¹⁹ Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas mengingatkan bahwa pengetahuan sejati harus berorientasi pada pemahaman (Verständigung), bukan sekadar kontrol dan efisiensi.²⁰

Herbert Marcuse menambahkan bahwa teknologi kognitif dapat memperdalam “masyarakat satu dimensi,” di mana manusia menjadi pasif dan kehilangan kemampuan reflektif kritis terhadap sistem yang mengaturnya.²¹ Dalam konteks AI dan digitalisasi, kritik ini menjadi sangat relevan: filsafat kognitif dapat digunakan untuk melegitimasi pandangan teknokratis yang menilai manusia semata sebagai agen komputasional.²²

Etika kognitif karenanya perlu menegaskan kembali nilai kemanusiaan—bahwa berpikir bukan sekadar menghitung, tetapi juga menimbang, memahami, dan bertanggung jawab.²³ Kritik sosial ini mengingatkan bahwa filsafat kognitif tanpa orientasi humanistik berpotensi menjadi instrumen dehumanisasi.

7.6.       Menuju Paradigma Integratif dan Reflektif

Kritik-kritik di atas tidak meniadakan nilai filsafat kognitif, tetapi justru menunjukkan perlunya paradigma yang lebih integratif dan reflektif. Filsafat kognitif harus bergerak melampaui reduksionisme komputasional dan membuka diri terhadap pendekatan fenomenologis, etis, dan sosial.²⁴ Dengan mengakui pluralitas cara mengetahui—baik empiris, interpretatif, maupun eksistensial—filsafat kognitif dapat menjadi jembatan antara sains dan humaniora.²⁵

Sebagaimana ditegaskan oleh Evan Thompson, masa depan filsafat kognitif terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan sains dengan pengalaman hidup manusia, dalam kerangka neurophenomenology yang menghormati baik data empiris maupun kedalaman subjektif.²⁶ Kritik, dalam konteks ini, bukanlah penolakan, melainkan sarana pembaruan filosofis yang menjaga agar studi tentang pikiran tetap manusiawi, reflektif, dan terbuka terhadap kompleksitas eksistensi.


Footnotes

[1]                ¹ Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 104–107.

[2]                ² Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–82.

[3]                ³ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 84–87.

[4]                ⁴ Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 99–103.

[5]                ⁵ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.

[6]                ⁶ Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The Phenomenological Mind (London: Routledge, 2008), 25–27.

[7]                ⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 269–273.

[8]                ⁸ Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II (Evanston: Northwestern University Press, 1991), 83–85.

[9]                ⁹ Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 3–7.

[10]             ¹⁰ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 132–136.

[11]             ¹¹ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 52–56.

[12]             ¹² Ibid., 98–101.

[13]             ¹³ Abraham Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 21–23.

[14]             ¹⁴ Hubert L. Dreyfus, What Computers Can’t Do: The Limits of Artificial Intelligence (New York: Harper & Row, 1972), 112–115.

[15]             ¹⁵ Ibid., 130–133.

[16]             ¹⁶ Thomas Metzinger, Being No One: The Self-Model Theory of Subjectivity (Cambridge, MA: MIT Press, 2003), 14–16.

[17]             ¹⁷ Alva Noë, Action in Perception (Cambridge, MA: MIT Press, 2004), 6–9.

[18]             ¹⁸ Evan Thompson, Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 92–95.

[19]             ¹⁹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 295–298.

[20]             ²⁰ Ibid., 312–315.

[21]             ²¹ Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (Boston: Beacon Press, 1964), 145–148.

[22]             ²² Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 37–40.

[23]             ²³ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 43–45.

[24]             ²⁴ Evan Thompson, Waking, Dreaming, Being: Self and Consciousness in Neuroscience, Meditation, and Philosophy (New York: Columbia University Press, 2015), 204–207.

[25]             ²⁵ Andy Clark, Surfing Uncertainty: Prediction, Action, and the Embodied Mind (Oxford: Oxford University Press, 2016), 197–200.

[26]             ²⁶ Francisco J. Varela, “Neurophenomenology: A Methodological Remedy for the Hard Problem,” Journal of Consciousness Studies 3, no. 4 (1996): 330–349.


8.           Relevansi Kontemporer: Filsafat Kognitif di Era Digital dan Kecerdasan Buatan

Filsafat kognitif memasuki babak baru di abad ke-21, ketika kemajuan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) menantang pengertian tradisional tentang pikiran, kesadaran, dan pengetahuan. Jika pada awalnya filsafat kognitif berupaya menjelaskan mekanisme berpikir manusia melalui model komputasional, kini ia menghadapi pertanyaan yang lebih mendalam dan eksistensial: apakah mesin dapat berpikir dan mengetahui sebagaimana manusia? Apakah kecerdasan buatan mampu memiliki kesadaran, moralitas, atau intensionalitas? Dan lebih jauh lagi, bagaimana perubahan teknologi digital mengubah cara manusia berpikir, merasa, dan memahami dirinya sendiri?

Dalam konteks kontemporer, filsafat kognitif tidak lagi hanya menjadi refleksi teoretis, melainkan juga alat kritis untuk menilai implikasi sosial, etis, dan humanistik dari perkembangan teknologi yang meniru atau bahkan menandingi kemampuan kognitif manusia.

8.1.       Transformasi Kognitif di Era Digital

Era digital telah mengubah struktur dan fungsi kognisi manusia secara mendasar. Nicholas Carr berpendapat bahwa penggunaan internet dan media digital telah memodifikasi cara manusia memproses informasi, dari berpikir mendalam menuju perhatian yang terfragmentasi dan dangkal.¹ Fenomena ini disebut sebagai neuroplasticity digital, di mana kebiasaan berpikir cepat dan multitasking membentuk ulang pola neural otak manusia.² Dalam perspektif filsafat kognitif, hal ini menunjukkan bahwa kognisi bukanlah sistem tetap, melainkan proses yang adaptif terhadap lingkungan teknologisnya.

Andy Clark, dalam Natural-Born Cyborgs, mengemukakan bahwa manusia selalu memperluas kapasitas kognitifnya melalui alat, bahasa, dan teknologi, sehingga batas antara pikiran dan lingkungan menjadi kabur.³ Menurutnya, teknologi digital adalah bentuk extended mind, yaitu perpanjangan kognisi manusia yang memperluas kemampuan memori, persepsi, dan pengambilan keputusan.⁴ Namun, pandangan ini juga menimbulkan dilema etis: apakah ketergantungan pada sistem eksternal seperti algoritma dan mesin pembelajar akan memperkuat atau justru melemahkan otonomi kognitif manusia?

8.2.       AI, Pengetahuan, dan Kesadaran Buatan

Kehadiran kecerdasan buatan menimbulkan perdebatan mendasar mengenai sifat pengetahuan dan kesadaran. Filsafat kognitif, khususnya melalui paradigma computational theory of mind, telah lama menyamakan proses berpikir dengan pemrosesan simbol oleh komputer.⁵ Namun, sistem AI modern yang berbasis machine learning dan neural networks menunjukkan kemampuan adaptif yang jauh melampaui pendekatan simbolik tradisional. Sistem ini tidak lagi “diprogram” secara ketat, melainkan “belajar” dari data, meniru cara otak manusia membangun pola.⁶

Meskipun demikian, banyak filsuf berpendapat bahwa kemampuan belajar mesin tidak identik dengan kesadaran. John Searle melalui Chinese Room Argument menegaskan bahwa manipulasi simbol tidak menghasilkan pemahaman makna—mesin dapat “meniru” pengetahuan tanpa benar-benar mengetahui.⁷ David Chalmers menambahkan bahwa bahkan jika mesin berfungsi secara identik dengan otak manusia, belum tentu ia memiliki qualia, yaitu pengalaman subjektif yang menjadi inti kesadaran.⁸

Namun, muncul juga pandangan baru seperti synthetic phenomenology yang berusaha memahami bagaimana sistem buatan dapat meniru atau mengonstruksi bentuk pengalaman sadar secara artifisial.⁹ Pendekatan ini, yang dikembangkan oleh Thomas Metzinger dan Susan Schneider, memperluas horizon filsafat kognitif menuju wilayah post-biological cognition, di mana kesadaran tidak lagi dipandang eksklusif sebagai fenomena biologis, tetapi sebagai fungsi emergen dari sistem kompleks.¹⁰

8.3.       Revolusi Kognitif Sosial dan Budaya

Selain aspek teknologi, filsafat kognitif kontemporer juga menyoroti transformasi sosial dan budaya yang dipicu oleh digitalisasi. Fenomena seperti media sosial, realitas virtual, dan algoritma rekomendasi telah menciptakan bentuk-bentuk baru dari kesadaran kolektif dan konstruksi pengetahuan.¹¹

Pierre Lévy memperkenalkan gagasan tentang collective intelligence, yaitu kemampuan masyarakat digital untuk memproduksi dan menyebarkan pengetahuan melalui jaringan global.¹² Dalam konteks ini, filsafat kognitif mempelajari bagaimana struktur sosial, ekonomi, dan politik membentuk arsitektur berpikir masyarakat. Sebaliknya, Jaron Lanier mengingatkan bahwa digitalisasi juga membawa risiko “penghilangan subjektivitas,” ketika individu direduksi menjadi data dan perilaku manusia dikendalikan oleh sistem prediktif.¹³

Filsafat kognitif kontemporer dengan demikian menekankan perlunya epistemic agency—kemampuan individu untuk tetap berpikir reflektif dan kritis di tengah banjir informasi dan automatisasi keputusan.¹⁴ Tanpa kesadaran kritis, kognisi manusia dapat dengan mudah tergantikan oleh mekanisme algoritmik yang mengatur atensi, preferensi, dan bahkan emosi.

8.4.       Implikasi Etis dan Humanistik

Kemajuan teknologi kognitif menimbulkan persoalan aksiologis mendalam. Bagaimana memastikan bahwa sistem AI dan teknologi neurokomputasional dikembangkan dengan menghormati nilai-nilai kemanusiaan? Luciano Floridi menekankan perlunya information ethics, yakni etika yang menilai setiap bentuk interaksi informasi berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan informasi (infosphere).¹⁵ Dalam kerangka ini, kesadaran bukan hanya fenomena biologis, melainkan juga entitas moral yang harus dijaga agar tidak tereduksi menjadi data kuantitatif.¹⁶

Shannon Vallor menambahkan bahwa manusia perlu mengembangkan “kebajikan teknologi” (technomoral virtues), seperti kehati-hatian, empati, dan keadilan, untuk menavigasi kompleksitas dunia digital.¹⁷ Etika kognitif di era ini menuntut manusia untuk bertanggung jawab terhadap penggunaan teknologi yang dapat memengaruhi persepsi, keputusan, dan kesadaran kolektif.¹⁸

Relevansi humanistik filsafat kognitif terletak pada kemampuannya untuk mempertahankan pandangan integral tentang manusia: bukan sekadar sistem kognitif yang efisien, tetapi makhluk sadar yang bermoral dan reflektif.¹⁹ Teknologi harus memperluas kapasitas kemanusiaan, bukan menggantikannya.

8.5.       Filsafat Kognitif dan Masa Depan Pengetahuan

Di tengah revolusi digital, filsafat kognitif juga menjadi arena refleksi epistemologis baru tentang pengetahuan. Dengan munculnya kecerdasan buatan generatif, seperti sistem bahasa besar (large language models), batas antara penciptaan pengetahuan manusia dan mesin semakin kabur.²⁰ Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang orisinalitas, kreativitas, dan tanggung jawab intelektual.

Sebagaimana diingatkan oleh Hubert Dreyfus, pengetahuan sejati tidak dapat direduksi menjadi sekadar akumulasi data, karena ia membutuhkan pemahaman kontekstual dan keterlibatan eksistensial.²¹ Oleh sebab itu, filsafat kognitif kontemporer harus mempertahankan distingsi antara knowing that (pengetahuan proposisional) dan knowing how (pengetahuan praktis dan reflektif).²²

Dengan pendekatan reflektif, filsafat kognitif dapat membantu masyarakat memahami bahwa teknologi hanyalah alat dalam perjalanan panjang manusia untuk mengenali dirinya sendiri. Kesadaran digital harus disertai kesadaran moral, dan pengetahuan harus diiringi kebijaksanaan (phronesis), sebagaimana diajarkan dalam tradisi filsafat klasik.²³

8.6.       Menuju Paradigma Integral dan Transhumanistik

Filsafat kognitif kini berada pada persimpangan antara humanisme dan transhumanisme. Kaum transhumanis melihat potensi teknologi untuk memperluas kapasitas kognitif manusia melalui integrasi bioteknologi, antarmuka otak-komputer, dan kecerdasan buatan.²⁴ Namun, kritik humanistik menegaskan bahwa ekspansi kemampuan kognitif tanpa refleksi etis dapat mengarah pada hilangnya makna kemanusiaan itu sendiri.²⁵

Oleh karena itu, relevansi kontemporer filsafat kognitif bukan hanya dalam memahami sistem berpikir buatan, tetapi juga dalam membimbing manusia untuk mengembangkan bentuk kognisi yang integral—yang menggabungkan rasionalitas, emosi, tubuh, dan nilai-nilai spiritual.²⁶ Filsafat kognitif di abad ke-21 dengan demikian menjadi medan reflektif antara dua kutub: antara mesin dan manusia, antara data dan makna, antara efisiensi dan kebijaksanaan.²⁷


Footnotes

[1]                ¹ Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 119–122.

[2]                ² Susan Greenfield, Mind Change: How Digital Technologies Are Leaving Their Mark on Our Brains (New York: Random House, 2015), 32–36.

[3]                ³ Andy Clark, Natural-Born Cyborgs: Minds, Technologies, and the Future of Human Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2003), 44–48.

[4]                ⁴ Andy Clark and David Chalmers, “The Extended Mind,” Analysis 58, no. 1 (1998): 7–19.

[5]                ⁵ Hilary Putnam, Mind, Language, and Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 211–214.

[6]                ⁶ Yann LeCun, Yoshua Bengio, and Geoffrey Hinton, “Deep Learning,” Nature 521 (2015): 436–444.

[7]                ⁷ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[8]                ⁸ David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 4–6.

[9]                ⁹ Thomas Metzinger, “Artificial Suffering: An Argument for a Global Moratorium on Synthetic Phenomenology,” Journal of Artificial Intelligence and Consciousness 7, no. 1 (2020): 1–28.

[10]             ¹⁰ Susan Schneider, Artificial You: AI and the Future of Your Mind (Princeton: Princeton University Press, 2019), 75–79.

[11]             ¹¹ Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 1996), 402–405.

[12]             ¹² Pierre Lévy, Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in Cyberspace (Cambridge, MA: Perseus Books, 1997), 13–17.

[13]             ¹³ Jaron Lanier, You Are Not a Gadget: A Manifesto (New York: Knopf, 2010), 31–33.

[14]             ¹⁴ José Medina, The Epistemology of Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant Imaginations (Oxford: Oxford University Press, 2013), 16–20.

[15]             ¹⁵ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 57–60.

[16]             ¹⁶ Floridi, Information: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2010), 82–85.

[17]             ¹⁷ Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 101–104.

[18]             ¹⁸ Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 54–57.

[19]             ¹⁹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 43–45.

[20]             ²⁰ Margaret Boden, AI: Its Nature and Future (Oxford: Oxford University Press, 2016), 66–70.

[21]             ²¹ Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 130–133.

[22]             ²² Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 29–31.

[23]             ²³ Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 222–225.

[24]             ²⁴ Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 43–48.

[25]             ²⁵ Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (London: Harvill Secker, 2015), 282–285.

[26]             ²⁶ Evan Thompson, Waking, Dreaming, Being: Self and Consciousness in Neuroscience, Meditation, and Philosophy (New York: Columbia University Press, 2015), 198–203.

[27]             ²⁷ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 245–249.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Humanisme Kognitif

Filsafat kognitif, setelah melalui perdebatan panjang antara paradigma komputasional, biologis, dan fenomenologis, kini menghadapi kebutuhan mendesak untuk menyusun sintesis yang mampu menyeimbangkan antara rasionalitas ilmiah dan kemanusiaan reflektif. Sintesis ini dapat disebut sebagai humanisme kognitif—sebuah pendekatan filosofis yang berupaya mengintegrasikan pemahaman ilmiah tentang pikiran dengan nilai-nilai humanistik tentang kesadaran, moralitas, dan eksistensi.

Humanisme kognitif bukanlah penolakan terhadap sains kognitif atau teknologi, tetapi upaya untuk menempatkan keduanya dalam horizon etis dan filosofis yang menghormati martabat manusia sebagai makhluk berpikir, berperasaan, dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, filsafat kognitif berfungsi sebagai jembatan antara knowing dan being, antara analisis fungsional otak dan makna eksistensial kesadaran.

9.1.       Dari Rasionalisme ke Refleksivitas

Salah satu langkah kunci menuju humanisme kognitif adalah mengubah orientasi filsafat kognitif dari rasionalisme mekanistik menuju refleksivitas eksistensial. Pandangan klasik tentang kognisi sebagai pemrosesan informasi telah memberikan kontribusi besar bagi kemajuan ilmu dan teknologi, tetapi sekaligus membatasi pemahaman tentang manusia hanya pada fungsi komputasional.¹ Dalam paradigma ini, kesadaran diperlakukan sebagai output dari proses neural, bukan sebagai pusat makna kehidupan.

Humanisme kognitif mengusulkan pendekatan yang lebih reflektif: bahwa berpikir bukan semata perhitungan, melainkan tindakan memahami diri dan dunia secara sadar.² Dalam tradisi fenomenologis, Maurice Merleau-Ponty menegaskan bahwa kesadaran selalu menubuh dan terikat pada dunia yang dialami.³ Kesadaran bukan entitas abstrak yang mengamati dunia dari luar, melainkan bentuk keterlibatan aktif manusia dalam realitas. Dalam kerangka ini, kognisi harus dipahami bukan hanya sebagai aktivitas mental, tetapi juga sebagai ekspresi keberadaan manusia yang sadar akan makna dan nilai.

9.2.       Integrasi antara Tubuh, Pikiran, dan Dunia

Humanisme kognitif juga berangkat dari pemahaman bahwa pikiran tidak dapat dipisahkan dari tubuh dan dunia. Teori embodied cognition menegaskan bahwa kognisi bersumber dari interaksi dinamis antara tubuh, lingkungan, dan sistem saraf.⁴ Hal ini sejalan dengan pandangan eksistensialis bahwa manusia adalah makhluk yang “berada-di-dunia” (being-in-the-world), sebagaimana dikemukakan oleh Heidegger.⁵

Dalam perspektif ini, pengetahuan tidak lagi dianggap sebagai representasi pasif dari realitas, melainkan sebagai hasil keterlibatan manusia dalam dunia melalui tindakan dan pengalaman.⁶ Humanisme kognitif, dengan demikian, mengakui bahwa berpikir dan memahami tidak hanya terjadi dalam otak, tetapi dalam keseluruhan jaringan kehidupan—di mana tubuh, dunia, dan makna saling menubuh. Ini menandai pergeseran dari epistemologi objektif menuju epistemologi partisipatif, di mana subjek dan objek pengetahuan saling berinteraksi secara dialogis.

9.3.       Dimensi Aksiologis: Etika Kesadaran dan Tanggung Jawab

Sintesis humanisme kognitif juga melibatkan dimensi aksiologis yang menempatkan nilai dan tanggung jawab moral sebagai inti dari kesadaran reflektif. Pengetahuan tanpa etika berisiko menjadi kekuatan yang destruktif, sebagaimana terlihat dalam penggunaan teknologi informasi dan AI yang mengabaikan nilai kemanusiaan.⁷ Oleh karena itu, filsafat kognitif perlu dikembangkan menjadi etika kognitif, yakni pandangan bahwa berpikir itu sendiri adalah tindakan moral—karena setiap proses kognitif mengandung pilihan nilai.⁸

Dalam konteks ini, Emmanuel Levinas menawarkan pandangan penting tentang tanggung jawab sebagai dimensi utama kesadaran.⁹ Menurutnya, kesadaran sejati bukanlah kesadaran yang berpusat pada diri sendiri (egological), tetapi kesadaran yang terbuka terhadap yang lain. Pandangan ini memberi dasar bagi humanisme kognitif: pengetahuan dan teknologi harus diarahkan untuk memelihara relasi etis antara manusia, bukan mengobjektifikasi keberadaan.

Humanisme kognitif karenanya menekankan reflective responsibility—tanggung jawab reflektif untuk menyadari konsekuensi moral dari setiap bentuk pengetahuan dan teknologi kognitif.¹⁰ Di sinilah filsafat kognitif berperan sebagai penjaga dimensi etis dari rasionalitas manusia.

9.4.       Kognisi Sosial dan Intersubjektivitas

Aspek penting lain dari humanisme kognitif adalah pemahaman bahwa pikiran manusia bersifat sosial dan intersubjektif. Penelitian dalam social cognition menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengenali niat, emosi, dan kesadaran orang lain (theory of mind) merupakan fondasi dari moralitas dan komunikasi.¹¹ Filsafat kognitif menegaskan bahwa kesadaran tidak dapat eksis secara terisolasi; ia selalu dibentuk melalui interaksi dan dialog.

Habermas menegaskan bahwa rasionalitas sejati adalah rasionalitas komunikatif—yakni kemampuan untuk membangun pemahaman melalui dialog yang bebas dari dominasi.¹² Dalam kerangka humanisme kognitif, komunikasi bukan hanya pertukaran informasi, tetapi bentuk tertinggi dari kognisi reflektif, di mana manusia saling mengenali sebagai subjek.¹³ Dengan demikian, kesadaran manusia tidak hanya berpikir tentang dunia, tetapi juga berpikir bersama dunia—dalam komunitas, bahasa, dan nilai-nilai bersama.

9.5.       Humanisme Kognitif dan Teknologi: Menuju Kesadaran Integral

Dalam era kecerdasan buatan dan realitas digital, humanisme kognitif menempati posisi strategis untuk menyeimbangkan antara inovasi teknologi dan kebijaksanaan kemanusiaan. Nick Bostrom memperingatkan bahwa peningkatan kemampuan kognitif melalui teknologi tanpa pengendalian etis dapat mengancam eksistensi manusia sendiri.¹⁴ Namun, Andy Clark berpendapat bahwa manusia sejatinya adalah “cyborg alami,” yang selalu memperluas dirinya melalui alat dan teknologi.¹⁵

Sintesis humanisme kognitif berupaya menjembatani dua pandangan ini: mengakui teknologi sebagai perpanjangan kemampuan manusia, namun menegaskan bahwa nilai kemanusiaan tidak dapat direduksi menjadi fungsionalitas digital.¹⁶ Teknologi harus diarahkan untuk memperkaya pengalaman manusia, bukan menggantikannya. Dalam hal ini, integrasi antara technological intelligence dan moral consciousness menjadi syarat mutlak bagi masa depan kognitif yang berkeadilan dan berkelanjutan.¹⁷

9.6.       Humanisme Kognitif sebagai Paradigma Reflektif

Humanisme kognitif pada akhirnya dapat dilihat sebagai paradigma reflektif yang menempatkan kesadaran sebagai inti dari eksistensi manusia. Dalam paradigma ini, berpikir berarti terlibat secara aktif dalam proses penciptaan makna; mengetahui berarti bertanggung jawab; dan memahami berarti mengakui keterkaitan dengan yang lain.¹⁸

Filsafat kognitif dalam bingkai humanistik bukan lagi sekadar teori tentang pikiran, melainkan praksis reflektif tentang kehidupan. Ia menuntut keseimbangan antara logos (rasionalitas), pathos (emosi), dan ethos (nilai moral).¹⁹ Melalui sintesis ini, filsafat kognitif dapat menjadi fondasi bagi etika baru—etika kesadaran reflektif—yang tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia berpikir, tetapi juga bagaimana ia seharusnya berpikir demi kebaikan bersama.²⁰

Dengan demikian, humanisme kognitif merupakan arah evolusi filosofis yang menegaskan kembali martabat manusia di tengah revolusi teknologi dan digital. Ia mengajak manusia untuk tidak sekadar memahami pikirannya, tetapi juga untuk menyadari makna eksistensinya: bahwa berpikir adalah bertanggung jawab, dan mengetahui adalah mengasihi.


Footnotes

[1]                ¹ Jerry A. Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 19–21.

[2]                ² Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 112–115.

[3]                ³ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 90–94.

[4]                ⁴ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.

[5]                ⁵ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 79–81.

[6]                ⁶ Evan Thompson, Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 83–87.

[7]                ⁷ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 56–59.

[8]                ⁸ Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 33–37.

[9]                ⁹ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 102–106.

[10]             ¹⁰ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 47–50.

[11]             ¹¹ Chris Frith and Uta Frith, “Mechanisms of Social Cognition,” Annual Review of Psychology 63 (2012): 287–313.

[12]             ¹² Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[13]             ¹³ Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 114–118.

[14]             ¹⁴ Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 213–217.

[15]             ¹⁵ Andy Clark, Natural-Born Cyborgs: Minds, Technologies, and the Future of Human Intelligence (Oxford: Oxford University Press, 2003), 68–72.

[16]             ¹⁶ Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 120–124.

[17]             ¹⁷ Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 97–100.

[18]             ¹⁸ Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 245–248.

[19]             ¹⁹ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 109–112.

[20]             ²⁰ Francisco J. Varela, “Neurophenomenology: A Methodological Remedy for the Hard Problem,” Journal of Consciousness Studies 3, no. 4 (1996): 330–349.


10.       Kesimpulan

Filsafat kognitif, sebagai medan reflektif antara filsafat dan ilmu pengetahuan modern, menandai salah satu upaya paling penting dalam sejarah intelektual manusia untuk memahami hakikat pikiran, kesadaran, dan pengetahuan. Ia berawal dari tradisi metafisis dan epistemologis yang membahas hubungan antara jiwa dan tubuh, berkembang melalui revolusi kognitif abad ke-20, dan kini mencapai tahap refleksi interdisipliner yang mencakup neurosains, linguistik, psikologi, hingga kecerdasan buatan.¹ Dalam keseluruhan lintasan tersebut, filsafat kognitif memperlihatkan pergeseran besar dari pandangan dualistik dan mekanistik menuju pemahaman yang lebih integratif dan humanistik tentang pikiran sebagai fenomena biologis, sosial, dan eksistensial.²

Ontologinya menegaskan bahwa pikiran tidak dapat direduksi menjadi sekadar sistem komputasional, sebab kesadaran mengandung dimensi fenomenal dan reflektif yang unik.³ Epistemologinya menunjukkan bahwa pengetahuan bukan hanya hasil pemrosesan simbolik, melainkan konstruksi aktif yang berakar dalam tubuh, konteks sosial, dan pengalaman hidup.⁴ Aksiologinya memperluas wacana kognisi ke wilayah etika, menegaskan bahwa berpikir bukanlah tindakan netral, tetapi sarat dengan nilai dan tanggung jawab moral.⁵ Melalui tiga dimensi tersebut, filsafat kognitif tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, melainkan juga bagaimana manusia seharusnya menggunakan pengetahuannya demi kemanusiaan.

Dalam perspektif historis dan metodologis, filsafat kognitif telah berhasil mempertemukan dua tradisi besar yang sebelumnya terpisah: rasionalisme filosofis dan empirisme ilmiah.⁶ Namun, pertemuan ini bukan tanpa ketegangan. Kritik fenomenologis menyoroti kecenderungan reduksionis ilmu kognitif yang menafsirkan kesadaran sebagai representasi internal, sedangkan pendekatan hermeneutik dan eksistensial mengingatkan bahwa pikiran selalu tertanam dalam dunia pengalaman dan bahasa.⁷ Ketegangan inilah yang justru memperkaya filsafat kognitif sebagai disiplin reflektif yang terbuka terhadap koreksi dan pengembangan berkelanjutan.

Dalam konteks kontemporer, relevansi filsafat kognitif semakin besar di tengah revolusi teknologi dan munculnya kecerdasan buatan.⁸ Pertanyaan klasik tentang “apa itu pikiran?” kini bertransformasi menjadi problem etis dan eksistensial baru: “apakah mesin dapat berpikir?” dan “apa yang membedakan manusia dari sistem buatan?” Perkembangan AI menantang filsafat kognitif untuk menegaskan kembali dimensi kemanusiaan yang tak tergantikan—yakni kesadaran reflektif, empati, dan tanggung jawab moral.⁹ Dalam dunia yang semakin terotomatisasi, filsafat kognitif menjadi benteng humanistik yang menjaga agar rasionalitas tidak terlepas dari kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak terpisah dari etika.

Menuju masa depan, arah perkembangan filsafat kognitif tampak mengarah pada paradigma integral yang menggabungkan sains, fenomenologi, dan etika.¹⁰ Pendekatan ini dikenal sebagai humanisme kognitif, yang menempatkan manusia bukan sebagai objek pasif dalam sistem kognitif, tetapi sebagai subjek reflektif yang terus menafsirkan makna keberadaannya.¹¹ Humanisme kognitif tidak menolak sains, melainkan mengembalikannya pada tujuan semula: memahami manusia bukan hanya sebagai makhluk yang berpikir, tetapi juga yang merasakan, bertindak, dan bertanggung jawab.¹²

Dengan demikian, filsafat kognitif bukan sekadar teori tentang bagaimana pikiran bekerja, melainkan wacana filosofis yang menegaskan makna berpikir itu sendiri. Ia mengajarkan bahwa berpikir adalah tindakan eksistensial—suatu bentuk kesadaran diri yang menghubungkan pengetahuan dengan nilai, logika dengan empati, dan individu dengan dunia.¹³ Di tengah era digital dan post-human, filsafat kognitif mengingatkan bahwa kemajuan teknologi hanya memiliki makna sejauh ia memperluas cakrawala kemanusiaan, bukan menggantikannya.¹⁴

Oleh karena itu, kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa filsafat kognitif, dalam bentuknya yang paling reflektif dan integral, bukanlah upaya untuk meniru pikiran melalui mesin, tetapi untuk memahami pikiran sebagai cermin dari kemanusiaan itu sendiri. Ia meneguhkan kembali semboyan kuno nosce te ipsum—“kenalilah dirimu sendiri”—dalam konteks modern: kenalilah pikiranmu, agar engkau tidak kehilangan jiwamu di tengah lautan data dan algoritma.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ Howard Gardner, The Mind’s New Science: A History of the Cognitive Revolution (New York: Basic Books, 1985), 21–25.

[2]                ² Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 172–176.

[3]                ³ David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 3–5.

[4]                ⁴ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 57–60.

[5]                ⁵ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–49.

[6]                ⁶ Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 1–3.

[7]                ⁷ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 84–86.

[8]                ⁸ Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 19–23.

[9]                ⁹ John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[10]             ¹⁰ Evan Thompson, Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 89–93.

[11]             ¹¹ Raimon Panikkar, The Rhythm of Being: The Gifford Lectures (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2010), 240–245.

[12]             ¹² Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 41–44.

[13]             ¹³ Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 110–113.

[14]             ¹⁴ Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin Press, 2015), 119–122.

[15]             ¹⁵ Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 273–276.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1908). De Anima (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Bartlett, F. C. (1932). Remembering: A Study in Experimental and Social Psychology. Cambridge University Press.

Boden, M. A. (2016). AI: Its Nature and Future. Oxford University Press.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies. Oxford University Press.

Brentano, F. (1995). Psychology from an Empirical Standpoint (A. C. Rancurello, D. B. Terrell, & L. L. McAlister, Trans.). Routledge.

Carr, N. (2010). The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains. W. W. Norton.

Castells, M. (1996). The Rise of the Network Society. Blackwell.

Chalmers, D. J. (1996). The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory. Oxford University Press.

Changeux, J.-P. (1985). Neuronal Man: The Biology of Mind. Princeton University Press.

Chomsky, N. (1959). Review of B. F. Skinner’s Verbal Behavior. Language, 35(1), 26–58.

Chomsky, N. (1965). Aspects of the Theory of Syntax. MIT Press.

Churchland, P. M. (1988). Matter and Consciousness. MIT Press.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain. MIT Press.

Clark, A. (1997). Being There: Putting Brain, Body, and World Together Again. MIT Press.

Clark, A. (2003). Natural-Born Cyborgs: Minds, Technologies, and the Future of Human Intelligence. Oxford University Press.

Clark, A. (2016). Surfing Uncertainty: Prediction, Action, and the Embodied Mind. Oxford University Press.

Clark, A., & Chalmers, D. (1998). The extended mind. Analysis, 58(1), 7–19.

Code, L. (1991). What Can She Know? Feminist Theory and the Construction of Knowledge. Cornell University Press.

Damasio, A. R. (1994). Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain. Putnam.

Damasio, A. R. (1999). The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness. Harcourt Brace.

Dennett, D. C. (1987). The Intentional Stance. MIT Press.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness Explained. Little, Brown.

Descartes, R. (1996). Meditations on First Philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Dreyfus, H. L. (1972). What Computers Can’t Do: The Limits of Artificial Intelligence. Harper & Row.

Dreyfus, H. L. (1992). What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason. MIT Press.

Dreyfus, H. L., & Dreyfus, S. E. (1986). Mind over Machine: The Power of Human Intuition and Expertise in the Era of the Computer. Free Press.

Fodor, J. A. (1975). The Language of Thought. Harvard University Press.

Fodor, J. A. (1983). The Modularity of Mind. MIT Press.

Fodor, J. A. (1987). Psychosemantics: The Problem of Meaning in the Philosophy of Mind. MIT Press.

Floridi, L. (2010). Information: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The Ethics of Information. Oxford University Press.

Fricker, M. (2007). Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing. Oxford University Press.

Frith, C., & Frith, U. (2012). Mechanisms of social cognition. Annual Review of Psychology, 63, 287–313.

Gallagher, S. (2005). How the Body Shapes the Mind. Oxford University Press.

Gallagher, S., & Zahavi, D. (2008). The Phenomenological Mind. Routledge.

Gardner, H. (1985). The Mind’s New Science: A History of the Cognitive Revolution. Basic Books.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and Method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.

Goff, P. (2019). Galileo’s Error: Foundations for a New Science of Consciousness. Pantheon.

Greene, J. D. (2013). Moral Tribes: Emotion, Reason, and the Gap Between Us and Them. Penguin Press.

Greenfield, S. (2015). Mind Change: How Digital Technologies Are Leaving Their Mark on Our Brains. Random House.

Habermas, J. (1971). Knowledge and Human Interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action (Vol. 1). Beacon Press.

Haidt, J. (2012). The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion. Pantheon.

Harari, Y. N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harvill Secker.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Horkheimer, M. (1947). Eclipse of Reason. Oxford University Press.

Husserl, E. (1970). The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.

Husserl, E. (1983). Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Johnson, M. (1987). The Body in the Mind: The Bodily Basis of Meaning, Imagination, and Reason. University of Chicago Press.

Johnson, M. (2007). The Meaning of the Body: Aesthetics of Human Understanding. University of Chicago Press.

Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (N. Kemp Smith, Trans.). Macmillan.

Kohlberg, L. (1981). Essays on Moral Development: The Philosophy of Moral Development. Harper & Row.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors We Live By. University of Chicago Press.

Lanier, J. (2010). You Are Not a Gadget: A Manifesto. Knopf.

LeCun, Y., Bengio, Y., & Hinton, G. (2015). Deep learning. Nature, 521(7553), 436–444.

Levinas, E. (1969). Totality and Infinity: An Essay on Exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Lévy, P. (1997). Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in Cyberspace. Perseus Books.

Lyotard, J.-F. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After Virtue. University of Notre Dame Press.

Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man. Beacon Press.

Maslow, A. H. (1987). Motivation and Personality (3rd ed.). Harper & Row.

Medina, J. (2013). The Epistemology of Resistance: Gender and Racial Oppression, Epistemic Injustice, and Resistant Imaginations. Oxford University Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of Perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Metzinger, T. (2003). Being No One: The Self-Model Theory of Subjectivity. MIT Press.

Metzinger, T. (2020). Artificial suffering: An argument for a global moratorium on synthetic phenomenology. Journal of Artificial Intelligence and Consciousness, 7(1), 1–28.

Miller, G. A. (1956). The magical number seven, plus or minus two. Psychological Review, 63(2), 81–97.

Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4), 435–450.

Newell, A., & Simon, H. A. (1976). Computer science as empirical inquiry: Symbols and search. Communications of the ACM, 19(3), 113–126.

Noë, A. (2004). Action in Perception. MIT Press.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities: The Human Development Approach. Harvard University Press.

Panikkar, R. (2010). The Rhythm of Being: The Gifford Lectures. Orbis Books.

Piaget, J. (1952). The Origins of Intelligence in Children (M. Cook, Trans.). International Universities Press.

Plato. (1977). Phaedo (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.

Plato. (2008). Theaetetus (B. Jowett, Trans.). Dover Publications.

Putnam, H. (1975). Mind, Language, and Reality: Philosophical Papers, Vol. 2. Cambridge University Press.

Putnam, H. (1988). Representation and Reality. MIT Press.

Rescher, N. (2001). Cognitive Pragmatism: The Theory of Knowledge in Pragmatic Perspective. University of Pittsburgh Press.

Ricoeur, P. (1991). From Text to Action: Essays in Hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as Another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton University Press.

Ryle, G. (1949). The Concept of Mind. Hutchinson.

Sartre, J.-P. (1956). Being and Nothingness (H. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Schneider, S. (2019). Artificial You: AI and the Future of Your Mind. Princeton University Press.

Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3), 417–424.

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1992). The Rediscovery of the Mind. MIT Press.

Sellars, W. (1997). Empiricism and the Philosophy of Mind. Harvard University Press.

Semon, R. (1921). The Mneme. Allen & Unwin.

Smolensky, P. (1988). On the proper treatment of connectionism. Behavioral and Brain Sciences, 11(1), 1–74.

Taylor, C. (1989). Sources of the Self: The Making of the Modern Identity. Harvard University Press.

Thompson, E. (2007). Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind. Harvard University Press.

Thompson, E. (2015). Waking, Dreaming, Being: Self and Consciousness in Neuroscience, Meditation, and Philosophy. Columbia University Press.

Tulving, E. (1972). Episodic and semantic memory. In E. Tulving & W. Donaldson (Eds.), Organization of Memory (pp. 381–403). Academic Press.

Turkle, S. (2015). Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age. Penguin Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting. Oxford University Press.

Varela, F. J. (1996). Neurophenomenology: A methodological remedy for the hard problem. Journal of Consciousness Studies, 3(4), 330–349.

Varela, F. J., Thompson, E., & Rosch, E. (1991). The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience. MIT Press.

Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things. University of Chicago Press.

Wallach, W., & Allen, C. (2009). Moral Machines: Teaching Robots Right from Wrong. Oxford University Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus Logico-Philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.

Zagzebski, L. (1996). Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge. Cambridge University Press.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar