Tractatus Logico-Philosophicus
Bahasa sebagai Cermin Realitas
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini menganalisis secara komprehensif fase
awal pemikiran Ludwig Wittgenstein sebagaimana tercermin dalam karya monumentalnya,
Tractatus Logico-Philosophicus (1921), dengan menyoroti dimensi
ontologis, epistemologis, aksiologis, dan metafilosofisnya serta relevansi
kontemporernya. Karya ini dibaca bukan semata sebagai risalah logika formal,
melainkan sebagai teks filosofis yang mengandung kedalaman hermeneutik dan
eksistensial. Dalam Tractatus, Wittgenstein berangkat dari asumsi bahwa
dunia merupakan totalitas fakta, bukan benda, dan bahwa bahasa berfungsi
sebagai cermin logis dari realitas. Struktur proposisional bahasa mencerminkan
struktur logis dunia, sehingga kebenaran dipahami sebagai kesesuaian antara
proposisi dan fakta. Melalui picture theory of meaning, Wittgenstein
menegaskan hubungan isomorfis antara bahasa dan dunia, sekaligus menunjukkan
batas pengetahuan manusia melalui batas bahasa.
Namun, di balik formalisme logisnya, Tractatus
mengandung dimensi aksiologis dan etis yang mendalam. Wittgenstein menegaskan
bahwa etika dan nilai tidak dapat diungkapkan secara proposisional, melainkan
hanya dapat ditunjukkan melalui sikap hidup. Keheningan di akhir Tractatus
bukanlah nihilisme, melainkan bentuk kesadaran transendental bahwa makna
terdalam kehidupan berada di luar bahasa. Dengan demikian, Tractatus
menghadirkan paradoks yang produktif: ia berusaha menjelaskan dunia melalui
logika, namun berakhir pada pengakuan bahwa yang paling bermakna justru tidak
dapat dikatakan.
Artikel ini juga menunjukkan bahwa Tractatus
memiliki relevansi yang berkelanjutan bagi filsafat kontemporer—dari teori
semantik dan logika formal, hingga filsafat kognitif, estetika, dan etika
digital. Dalam era komputasional, pandangan Wittgenstein tentang batas bahasa
memperoleh signifikansi baru: bahasa logis bukan hanya alat representasi,
tetapi juga sistem yang membatasi kemungkinan makna dalam dunia digital.
Akhirnya, melalui sintesis hermeneutik, artikel ini menafsirkan Tractatus
sebagai “hermeneutika logis”—sebuah jembatan antara filsafat analitik
dan eksistensial yang mengajarkan bahwa memahami dunia berarti juga memahami
batas-batas bahasa dan kesadaran manusia.
Kata Kunci: Ludwig Wittgenstein; Tractatus
Logico-Philosophicus; filsafat bahasa; logika; teori gambar makna; batas
bahasa; etika transendental; metafilosofi; hermeneutika logis; relevansi
kontemporer.
PEMBAHASAN
Analisis Filsafat Bahasa Awal Ludwig Wittgenstein dalam
Tractatus Logico-Philosophicus
1.
Pendahuluan
Karya Tractatus Logico-Philosophicus (1921)
merupakan tonggak utama dalam sejarah filsafat abad ke-20 dan menandai fase
awal pemikiran Ludwig Wittgenstein yang berpengaruh besar terhadap perkembangan
filsafat bahasa, logika, dan epistemologi analitik. Dalam konteks sejarah
intelektualnya, Tractatus muncul di tengah pergolakan intelektual Eropa
yang dipenuhi semangat untuk menemukan dasar kepastian ilmiah melalui logika
simbolik dan analisis bahasa. Wittgenstein, yang merupakan murid dan
koresponden Bertrand Russell, berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang
hubungan antara bahasa, pikiran, dan dunia—sebuah relasi yang menentukan batas-batas
pengetahuan manusia dan sekaligus hakikat realitas itu sendiri.¹
Latar belakang munculnya karya ini tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh kuat Gottlob Frege dan Russell, dua figur sentral
dalam logika modern. Frege, melalui Begriffsschrift (1879), memperkenalkan
sistem logika simbolik yang memungkinkan analisis proposisi dengan presisi
matematis, sedangkan Russell mengembangkan proyek logisisme dalam Principia
Mathematica bersama Alfred North Whitehead, dengan ambisi mendasarkan
seluruh matematika pada logika murni.² Wittgenstein mengambil inspirasi dari
kedua tokoh tersebut, namun ia melangkah lebih jauh: ia tidak hanya berusaha
menyusun sistem logika formal, tetapi juga memikirkan bagaimana bahasa—melalui
struktur logisnya—menjadi cermin dari realitas itu sendiri.³
Secara metodologis, Tractatus bukan hanya
karya tentang logika, tetapi juga sebuah metafilosofi tentang batas-batas
berpikir dan berbicara. Dalam pandangan Wittgenstein, tugas filsafat bukanlah
menciptakan teori-teori baru, melainkan menjernihkan pemikiran dari kebingungan
yang disebabkan oleh penyalahgunaan bahasa.⁴ Dengan menguraikan
proposisi-proposisi logis, Wittgenstein berupaya menunjukkan bahwa dunia
terdiri dari fakta, bukan benda; dan bahasa berfungsi sebagai representasi
logis dari fakta-fakta tersebut. Dengan demikian, filsafat berperan bukan
sebagai sistem pengetahuan empiris, melainkan sebagai kegiatan
klarifikasi—sebuah terapi terhadap kebingungan konseptual yang muncul dari
kesalahpahaman tentang logika bahasa.⁵
Konteks biografis Wittgenstein juga memberikan
latar eksistensial yang signifikan bagi pemahaman Tractatus. Karya ini
sebagian besar ditulis selama ia bertugas di medan perang dalam Perang Dunia I,
di mana pengalaman ekstrem tentang kehidupan dan kematian membentuk dimensi
mistik dan etis dari refleksinya.⁶ Meskipun sebagian besar teks tampak logis
dan kaku, bagian-bagian akhir Tractatus justru menyentuh wilayah yang
tidak dapat diucapkan—etika, nilai, dan makna kehidupan. Wittgenstein
menegaskan bahwa “The limits of my language mean the limits of my world,”
yang menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan horizon
eksistensial manusia.⁷ Pernyataan akhirnya, “Wovon man nicht sprechen kann,
darüber muss man schweigen” (“tentang apa yang tidak dapat dibicarakan,
kita harus diam”), menegaskan batas logis dari bahasa sekaligus membuka
ruang bagi dimensi transendental yang tidak dapat diartikulasikan melalui
proposisi.⁸
Secara epistemologis, Tractatus menandai
upaya untuk menemukan fondasi yang pasti bagi pengetahuan melalui logika, namun
secara aksiologis ia juga mengisyaratkan bahwa nilai-nilai terdalam kehidupan
berada di luar ranah proposisional. Hal ini menciptakan ketegangan menarik
antara positivisme logis dan mistisisme etis yang melingkupi pemikiran
Wittgenstein awal.⁹ Dengan demikian, kajian terhadap Tractatus
Logico-Philosophicus tidak hanya penting bagi pemahaman tentang asal-usul
filsafat analitik, tetapi juga membuka jalan bagi interpretasi filosofis yang
lebih luas mengenai hubungan antara bahasa, realitas, dan makna hidup
manusia.¹⁰
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara
sistematis kerangka logis dan metafilosofis dari Tractatus
Logico-Philosophicus, dengan menelusuri fondasi historis, ontologis,
epistemologis, dan aksiologisnya. Selain itu, pembahasan ini juga akan
mengevaluasi kritik terhadap karya tersebut serta menyoroti relevansinya bagi
pemikiran kontemporer, khususnya dalam bidang filsafat bahasa, semantik, dan
etika. Melalui pendekatan analitik sekaligus reflektif, tulisan ini berupaya
memahami Tractatus bukan sekadar sebagai sistem logika tertutup, tetapi
sebagai ekspresi pencarian makna filosofis yang mendalam tentang batas bahasa
dan dunia.
Footnotes
[1]
¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of
Genius (New York: Free Press, 1990), 37–42.
[2]
² Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1973), 18–20.
[3]
³ Bertrand Russell, “Introduction,” dalam Tractatus
Logico-Philosophicus, terj. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan
Paul, 1922), vii–xxii.
[4]
⁴ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), prop.
4.003.
[5]
⁵ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 10–15.
[6]
⁶ Brian McGuinness, Wittgenstein: A Life. Young
Ludwig (1889–1921) (Berkeley: University of California Press, 1988),
298–302.
[7]
⁷ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 5.6.
[8]
⁸ Ibid., prop. 7.
[9]
⁹ A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 35–38.
[10]
¹⁰ Anthony Kenny, Wittgenstein
(Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 64–70.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Pemikiran Wittgenstein Awal
Fase awal pemikiran Ludwig Wittgenstein tidak dapat
dipisahkan dari konteks historis dan intelektual Eropa pada awal abad ke-20,
suatu masa ketika logika, matematika, dan filsafat bahasa mengalami revolusi
epistemik besar. Periode ini ditandai oleh upaya para filsuf dan matematikawan
untuk mencari dasar kepastian pengetahuan melalui formalisasi logika simbolik,
terutama dalam karya-karya Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Alfred North
Whitehead. Wittgenstein tumbuh dan berpikir dalam atmosfer intelektual yang
penuh dengan keyakinan bahwa struktur logika dapat menyingkap hakikat dunia dan
bahasa.¹
Kelahiran Tractatus Logico-Philosophicus
(1921) berakar pada tradisi logisisme yang dikembangkan oleh Frege dan Russell.
Frege, dengan karyanya Begriffsschrift (1879), memperkenalkan sistem
logika formal yang bertujuan untuk mengekspresikan relasi antara konsep, proposisi,
dan kebenaran secara matematis.² Melalui Die Grundlagen der Arithmetik
(1884), Frege juga menegaskan bahwa makna (Bedeutung) dan pengertian (Sinn)
merupakan elemen kunci dalam analisis bahasa.³ Pemikiran ini secara mendalam
memengaruhi Wittgenstein, yang melihat bahwa struktur bahasa logis merupakan
refleksi dari struktur dunia. Ia kemudian mengembangkan gagasan bahwa proposisi
tidak sekadar menyatakan fakta, tetapi menggambarkan struktur realitas secara
isomorfis.⁴
Sementara itu, Bertrand Russell memainkan peran
sentral dalam membentuk arah intelektual Wittgenstein. Dalam Principia
Mathematica (1910–1913), yang ditulis bersama Alfred North Whitehead,
Russell berusaha mendemonstrasikan bahwa seluruh matematika dapat diturunkan
dari prinsip-prinsip logika murni.⁵ Wittgenstein bekerja sebagai mahasiswa dan
asisten Russell di Cambridge, dan dalam pertemuan-pertemuan intensif mereka,
Wittgenstein mulai merumuskan ide-ide dasar yang kemudian menjadi fondasi Tractatus.
Russell menganggap Wittgenstein sebagai sosok jenius yang melampaui dirinya
dalam kedalaman refleksi logis dan filsafati.⁶
Namun, pemikiran Wittgenstein tidak berhenti pada
penerimaan atas logisisme Russell dan Frege. Ia mulai menyoroti keterbatasan
proyek logika formal dalam menangkap makna sebenarnya dari bahasa dan dunia. Ia
menilai bahwa logika tidak menggambarkan realitas, melainkan menunjukkan
struktur yang sama antara proposisi dan dunia. Dengan demikian, kebenaran
proposisi tidak terletak pada isi empirisnya, melainkan pada kesesuaiannya dengan
bentuk logis realitas.⁷ Perspektif ini melahirkan konsep kunci dalam Tractatus—yakni
teori gambar (picture theory of meaning), yang menyatakan bahwa
proposisi adalah gambar logis dari fakta.⁸
Selain pengaruh logisisme, akar genealogis
pemikiran Wittgenstein juga dapat ditelusuri pada tradisi empirisme Inggris dan
positivisme logis Jerman-Austria. Kaum empiris seperti David Hume menekankan
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan, sedangkan kaum positivis seperti
Auguste Comte menuntut agar filsafat mengikuti metode ilmiah.⁹ Gerakan ini
menginspirasi generasi filsuf muda di Wina, yang kemudian membentuk Vienna
Circle, seperti Rudolf Carnap, Moritz Schlick, dan Otto Neurath. Mereka
menafsirkan Tractatus sebagai justifikasi filosofis bagi program positivisme
logis, meskipun penafsiran mereka lebih menekankan aspek ilmiah daripada
dimensi etis dan metafisik yang sebenarnya ingin disampaikan Wittgenstein.¹⁰
Konteks sosial dan kultural tempat Wittgenstein
tumbuh juga penting untuk dipahami. Lahir dari keluarga aristokrat di Wina,
Wittgenstein hidup di tengah kebangkitan modernisme di Austria—masa ketika
seni, musik, dan filsafat sedang bergulat dengan pertanyaan tentang makna,
nilai, dan bentuk ekspresi.¹¹ Di satu sisi, ia menyerap semangat rasionalisme logis
yang berkembang di universitas Cambridge; di sisi lain, ia dipengaruhi oleh
atmosfer eksistensial dan estetis khas Wina yang diwarnai oleh pemikiran Arthur
Schopenhauer dan Leo Tolstoy.¹² Pengaruh Tolstoy tampak jelas dalam
kecenderungan mistik Tractatus, khususnya pada bagian akhir yang
berbicara tentang nilai dan etika sebagai sesuatu yang “tidak dapat dikatakan”
tetapi “hanya dapat ditunjukkan.”¹³
Selain itu, pengalaman pribadi Wittgenstein selama
Perang Dunia I memberi corak eksistensial yang mendalam pada refleksi
filosofisnya. Dalam kondisi ekstrem di medan perang, ia menulis catatan-catatan
yang kemudian menjadi embrio dari Tractatus.¹⁴ Pengalaman ini meneguhkan
pandangannya bahwa persoalan etika dan makna hidup berada di luar wilayah
proposisi logis; bahasa hanya dapat membatasi dunia, tetapi tidak dapat
menembus makna tertinggi keberadaan.¹⁵
Dengan demikian, landasan historis dan genealogis
pemikiran Wittgenstein awal mencerminkan sintesis antara tradisi logika formal,
empirisme ilmiah, dan pengalaman eksistensial. Tractatus
Logico-Philosophicus lahir sebagai upaya untuk menemukan batas-batas bahasa
yang rasional sekaligus mengisyaratkan wilayah non-rasional di luar logika,
tempat etika, nilai, dan religiusitas berada. Fase awal ini kemudian menjadi
dasar bagi transformasi pemikiran Wittgenstein selanjutnya, yang beralih dari
filsafat logis ke filsafat kehidupan sehari-hari dalam Philosophical
Investigations—sebuah pergeseran dari “logika dunia” menuju “logika
bahasa manusia.”¹⁶
Footnotes
[1]
¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of
Genius (New York: Free Press, 1990), 24–30.
[2]
² Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1973), 12–16.
[3]
³ Gottlob Frege, Die Grundlagen der Arithmetik
(Breslau: W. Koebner, 1884), §2–5.
[4]
⁴ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), prop.
2.1–2.15.
[5]
⁵ Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead, Principia
Mathematica, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1910), vii–x.
[6]
⁶ Bertrand Russell, “Introduction,” dalam Tractatus
Logico-Philosophicus, terj. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan
Paul, 1922), xii–xv.
[7]
⁷ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 17–22.
[8]
⁸ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 2.12–2.2.
[9]
⁹ John Passmore, A Hundred Years of Philosophy
(London: Duckworth, 1957), 255–257.
[10]
¹⁰ Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Berkeley: University of California Press, 1967 [1928]), 3–5.
[11]
¹¹ Allan Janik dan Stephen Toulmin, Wittgenstein’s
Vienna (New York: Simon and Schuster, 1973), 56–60.
[12]
¹² Brian McGuinness, Wittgenstein: A Life. Young
Ludwig (1889–1921) (Berkeley: University of California Press, 1988),
115–119.
[13]
¹³ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.4–6.522.
[14]
¹⁴ McGuinness, Wittgenstein: A Life,
285–290.
[15]
¹⁵ Joachim Schulte, Wittgenstein: An
Introduction (Albany: State University of New York Press, 1992), 32–35.
[16]
¹⁶ Anthony Kenny, Wittgenstein
(Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 74–78.
3.
Ontologi
dalam Tractatus Logico-Philosophicus
Ontologi dalam Tractatus Logico-Philosophicus
merupakan salah satu pilar utama yang menegaskan karakter metafisik dan logis
dari pemikiran Wittgenstein awal. Ia berangkat dari asumsi bahwa dunia (die
Welt) adalah totalitas fakta, bukan benda (die Gesamtheit der Tatsachen,
nicht der Dinge).¹ Pernyataan ini menandai pergeseran radikal dari tradisi
ontologi klasik yang memusatkan perhatian pada entitas atau substansi, menuju
pemahaman modern tentang realitas sebagai struktur proposisional yang dapat
direpresentasikan melalui bahasa logis. Dengan demikian, realitas bagi
Wittgenstein bukanlah kumpulan objek yang berdiri sendiri, melainkan jaringan
hubungan faktual yang dapat digambarkan dalam bentuk proposisi logis.²
Pandangan ini memuat dua unsur utama: pertama,
dunia terdiri dari fakta atomik (atomic facts), yakni
keadaan-keadaan sederhana (Sachverhalte) yang merupakan kombinasi antara
objek-objek dasar (simple objects); kedua, struktur logis dunia identik
dengan struktur logis bahasa.³ Fakta atomik adalah unit realitas yang paling
elementer, yang tidak dapat direduksi lebih lanjut. Ketika fakta atomik
bergabung, ia membentuk totalitas fakta yang menggambarkan dunia. Objek-objek
dasar di dalam fakta atomik ini tidak memiliki kualitas empiris seperti warna
atau bentuk; mereka adalah entitas logis yang hanya dapat dijelaskan melalui
hubungan formal dalam sistem proposisi.⁴ Dengan demikian, dunia bukanlah
realitas fisik yang tampak, melainkan susunan logis dari
kemungkinan-kemungkinan yang bisa dipresentasikan dalam bahasa.⁵
Struktur ontologis Tractatus dapat dipahami
sebagai model korespondensi antara bahasa dan realitas. Proposisi, menurut
Wittgenstein, adalah gambar logis (logisches Bild) dari fakta.⁶
Hal ini berarti proposisi memiliki bentuk logis yang sama dengan fakta yang
digambarkannya—suatu hubungan isomorfis antara dunia dan bahasa. Dalam
pandangan ini, setiap pernyataan yang bermakna (meaningful proposition)
adalah cermin dari keadaan dunia yang mungkin (possible state of affairs).⁷
Oleh karena itu, kebenaran proposisi bergantung pada kesesuaiannya dengan
dunia: jika proposisi menggambarkan fakta yang benar, maka proposisi tersebut
benar; jika tidak, maka proposisi itu salah.⁸
Korespondensi antara proposisi dan realitas ini
membawa Wittgenstein pada konsepsi ontologis yang unik: dunia dan bahasa
memiliki batas yang sama. “The limits of my language mean the limits of my
world,” tulisnya.⁹ Dengan demikian, apa yang dapat dipikirkan dan dikatakan
manusia dibatasi oleh struktur bahasa yang mungkin; di luar itu, tidak ada
dunia yang dapat diartikulasikan. Pernyataan ini bukan hanya bersifat
epistemologis, tetapi juga ontologis, sebab batas bahasa adalah juga batas dari
realitas yang dapat dimaknai.¹⁰
Di dalam kerangka tersebut, objek-objek dasar (simple
objects) berfungsi sebagai elemen ontologis yang memberi bentuk pada fakta.
Namun, Wittgenstein tidak pernah menjelaskan secara eksplisit apa yang dimaksud
dengan “objek sederhana” ini—apakah mereka bersifat fisik, logis, atau
fenomenal.¹¹ Ia hanya menyatakan bahwa objek sederhana adalah “sesuatu yang
ada secara independen dan tidak dapat diuraikan lebih jauh.”¹² Dengan
demikian, konsep objek sederhana lebih bersifat struktural ketimbang empiris:
ia adalah entitas logis yang menjadi syarat kemungkinan bagi representasi
dunia.¹³
Ontologi Wittgenstein dalam Tractatus juga
memiliki dimensi modal yang kuat. Dunia tidak hanya terdiri dari apa yang ada,
tetapi juga dari apa yang mungkin ada. Ia menulis: “The world is the
totality of facts, not of things,” dan “The world is determined by the
facts, and by their being all the facts.”¹⁴ Artinya, realitas mencakup
semua fakta yang benar dan semua keadaan yang mungkin terjadi, selama dapat
digambarkan secara logis.¹⁵ Dengan demikian, ontologi Wittgenstein bersifat possibilist—realitas
ditentukan oleh kemungkinan logis, bukan hanya aktualitas empiris.¹⁶
Keterkaitan antara bahasa dan dunia menjadikan
ontologi Wittgenstein bersifat reflektif terhadap batas filsafat itu sendiri.
Dunia logis yang dijelaskan dalam Tractatus tidak dapat dijelaskan dari
dalam dunia, melainkan hanya dapat “ditunjukkan” (gezeigt)
melalui struktur bahasa yang digunakan untuk menggambarkannya.¹⁷ Di sinilah
muncul perbedaan penting antara “mengatakan” (sagen) dan
“menunjukkan” (zeigen). Apa yang dapat dikatakan adalah struktur fakta
dalam bahasa; sedangkan apa yang hanya dapat ditunjukkan adalah bentuk logis
yang mendasari hubungan antara bahasa dan dunia itu sendiri.¹⁸ Dengan kata
lain, struktur ontologis dunia hanya dapat diindikasikan, bukan dijelaskan,
karena bahasa yang digunakan untuk menjelaskan struktur itu adalah bagian dari
struktur tersebut.¹⁹
Dalam pengertian ini, ontologi Wittgenstein
bersifat transendental-logis: ia menegaskan kondisi kemungkinan bagi
pernyataan yang bermakna, namun pada saat yang sama menyadari bahwa kondisi
tersebut tidak dapat dijelaskan tanpa melampaui batas bahasa.²⁰ Dunia, bahasa,
dan logika menjadi satu kesatuan struktur reflektif yang tidak dapat
dipisahkan—sebuah ordo logicalis yang memungkinkan representasi
realitas, namun tidak dapat diartikulasikan secara internal.²¹ Oleh karena itu,
Tractatus tidak hanya merupakan teori bahasa, tetapi juga metafisika
batas—sebuah upaya untuk menunjukkan bahwa dunia adalah logika yang
diwujudkan.²²
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), prop. 1.1.
[2]
² Michael Morris, Routledge Philosophy Guidebook
to Wittgenstein and the Tractatus (London: Routledge, 2008), 28–31.
[3]
³ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
props. 2–2.1.
[4]
⁴ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 23–25.
[5]
⁵ Brian McGuinness, Approaches to Wittgenstein:
Collected Papers (London: Routledge, 2002), 14–16.
[6]
⁶ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 2.12.
[7]
⁷ Bertrand Russell, “Introduction,” dalam Tractatus
Logico-Philosophicus, terj. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan
Paul, 1922), xv–xvi.
[8]
⁸ Anthony Kenny, Wittgenstein
(Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 55–56.
[9]
⁹ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 5.6.
[10]
¹⁰ Joachim Schulte, Wittgenstein: An
Introduction (Albany: State University of New York Press, 1992), 42–44.
[11]
¹¹ Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1973), 22–23.
[12]
¹² Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 2.02.
[13]
¹³ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary
(Oxford: Blackwell, 1996), 122–124.
[14]
¹⁴ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
props. 1.1–1.11.
[15]
¹⁵ McGuinness, Approaches to Wittgenstein,
22–24.
[16]
¹⁶ Robert Fogelin, Wittgenstein (London:
Routledge, 1987), 41–43.
[17]
¹⁷ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.1212.
[18]
¹⁸ Ibid., prop. 4.121.
[19]
¹⁹ P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy (Oxford: Blackwell, 1996), 49–50.
[20]
²⁰ Morris, Routledge Philosophy Guidebook to
Wittgenstein and the Tractatus, 78–81.
[21]
²¹ Roger M. White, Wittgenstein’s Tractatus
Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide (London: Continuum, 2006), 65–68.
[22]
²² Anthony Kenny, The Legacy of Wittgenstein:
Lectures on the Tractatus (Oxford: Clarendon Press, 1984), 92–95.
4.
Epistemologi
dan Logika Bahasa
Epistemologi dalam Tractatus
Logico-Philosophicus berakar pada pandangan bahwa pengetahuan manusia
dibentuk dan dibatasi oleh struktur logis bahasa.¹ Wittgenstein tidak memahami
epistemologi sebagai teori mengenai justifikasi keyakinan, melainkan sebagai
refleksi tentang kondisi kemungkinan pengetahuan itu sendiri. Ia berangkat dari
premis bahwa apa yang dapat diketahui adalah apa yang dapat dikatakan secara
bermakna dalam bahasa logis.² Dalam kerangka ini, bahasa bukan sekadar alat
komunikasi, tetapi merupakan medium epistemik yang menentukan cara manusia
memahami dan mengonstruksi dunia.³
Bagi Wittgenstein, pengetahuan tidak bersumber dari
pengalaman inderawi semata, melainkan dari kemampuan bahasa untuk “memetakan”
realitas. Ia mengembangkan apa yang dikenal sebagai teori gambar makna (picture
theory of meaning), yaitu gagasan bahwa proposisi adalah gambar logis (logical
picture) dari keadaan dunia (state of affairs).⁴ Proposisi bermakna
karena memiliki bentuk logis yang isomorfis dengan fakta yang digambarkannya.
Artinya, antara struktur logis proposisi dan struktur logis realitas terdapat
kesesuaian yang memungkinkan representasi pengetahuan.⁵ Dengan demikian,
pengetahuan bukan hasil dari pengalaman langsung atas benda, melainkan hasil
dari struktur logis yang memungkinkan pengalaman itu untuk diartikulasikan
dalam bahasa.⁶
Wittgenstein menegaskan bahwa bahasa memiliki
kemampuan untuk menggambarkan realitas hanya sejauh struktur logisnya sesuai
dengan struktur dunia. “In the proposition, a world is as it were put
together experimentally,” tulisnya.⁷ Kalimat ini menandakan bahwa setiap
proposisi yang bermakna mengandung kemungkinan kebenaran, karena ia menyusun
suatu model dunia dalam bentuk logis.⁸ Pengetahuan, dalam arti ini, tidak hanya
bersifat deskriptif, tetapi juga eksperimental: proposisi mencoba mencocokkan
dirinya dengan realitas. Bila kesesuaian itu terjadi, maka proposisi tersebut
benar; bila tidak, ia salah.⁹ Epistemologi Wittgenstein, dengan demikian,
didasarkan pada logika kebenaran sebagai korespondensi antara proposisi dan
fakta.
Namun, logika dalam Tractatus bukanlah
logika empiris, melainkan logika transendental. Ia tidak menjelaskan bagaimana
dunia ada, tetapi bagaimana dunia dapat digambarkan secara bermakna.¹⁰
Wittgenstein berusaha membedakan antara isi proposisi (yang dapat benar atau
salah) dan bentuk logis proposisi (yang bersifat niscaya).¹¹ Bentuk logis ini
tidak dapat diungkapkan secara eksplisit dalam bahasa, karena ia adalah syarat
kemungkinan bagi setiap pernyataan bermakna.¹² Seperti ruang dalam geometri
Euclides, logika merupakan kerangka yang tidak dapat digambarkan dari dalam,
namun menjadi dasar bagi semua representasi pengetahuan.¹³
Dalam kerangka epistemik ini, batas bahasa
sekaligus menjadi batas pengetahuan. Pernyataan Wittgenstein yang terkenal—“The
limits of my language mean the limits of my world”—mengandung makna bahwa
tidak ada pengetahuan di luar apa yang dapat diartikulasikan secara logis.¹⁴
Hal-hal seperti nilai, etika, atau metafisika murni berada di luar wilayah
proposisional; mereka dapat “ditunjukkan” (gezeigt), tetapi tidak
dapat “dikatakan” (gesagt).¹⁵ Dengan demikian, epistemologi
Wittgenstein menolak segala bentuk pengetahuan non-linguistik atau intuitif
yang tidak dapat direpresentasikan dalam bentuk proposisi yang bermakna.¹⁶
Lebih jauh, Wittgenstein membedakan antara
proposisi elementer (elementary propositions) dan proposisi kompleks (molecular
propositions).¹⁷ Proposisi elementer menggambarkan fakta atomik, sedangkan
proposisi kompleks terbentuk dari kombinasi logis proposisi elementer melalui
operator seperti “dan” (and), “atau” (or), dan “tidak”
(not).¹⁸ Dengan struktur ini, Wittgenstein menunjukkan bahwa semua pengetahuan
dapat dianalisis menjadi struktur logis yang sederhana dan sistematis.¹⁹
Bahasa, dalam hal ini, bekerja seperti kalkulus simbolik yang memungkinkan
manusia menyusun dan memverifikasi kebenaran proposisional.²⁰
Salah satu konsekuensi penting dari pandangan ini
adalah penegasan bahwa filsafat tidak memiliki tugas untuk menghasilkan
pengetahuan baru, tetapi untuk menjernihkan bentuk logis dari pernyataan yang
sudah ada.²¹ Wittgenstein menulis: “Philosophy is not a body of doctrine but
an activity.”²² Tugas filsafat, menurutnya, adalah membebaskan pikiran dari
kekeliruan yang timbul karena penyalahgunaan bahasa.²³ Dengan demikian,
epistemologi Wittgenstein tidak berfokus pada apa yang diketahui,
melainkan pada bagaimana pengetahuan menjadi mungkin dalam batas bahasa
yang bermakna.²⁴
Dalam kerangka Tractatus, logika menjadi
jembatan antara epistemologi dan ontologi. Jika ontologi menjelaskan struktur
dunia sebagai totalitas fakta, maka epistemologi menunjukkan bagaimana struktur
tersebut dapat dikenali melalui bahasa.²⁵ Logika tidak hanya mengatur validitas
proposisi, tetapi juga menentukan batas kemungkinan pengetahuan.²⁶ Dengan
demikian, logika bagi Wittgenstein bukan sekadar alat analisis formal,
melainkan struktur rasional dari realitas itu sendiri.²⁷
Namun, konsepsi ini juga melahirkan paradoks
epistemologis. Jika semua yang dapat diketahui adalah apa yang dapat dikatakan,
maka pernyataan tentang bentuk logis itu sendiri tidak dapat dikatakan tanpa
melanggar batas bahasa.²⁸ Dengan kata lain, teori tentang bahasa tidak dapat
diungkapkan dalam bahasa yang sama tanpa menimbulkan kontradiksi.²⁹
Wittgenstein menyadari dilema ini, sehingga pada bagian akhir Tractatus
ia menulis: “My propositions serve as elucidations... He who understands me
finally recognizes them as senseless.”³⁰ Kalimat ini menegaskan bahwa
seluruh sistem epistemologinya bersifat terapeutik—setelah dipahami, sistem itu
harus “dibuang seperti tangga yang telah digunakan untuk memanjat.”³¹
Dengan demikian, epistemologi dan logika bahasa dalam
Tractatus menunjukkan bahwa pengetahuan manusia merupakan cerminan dari
struktur logis dunia sebagaimana digambarkan oleh bahasa. Bahasa menjadi
kondisi kemungkinan bagi semua bentuk pengetahuan, sementara logika menjadi
kerangka universal yang menjamin kesesuaian antara proposisi dan realitas.³²
Melalui struktur yang ketat dan radikal ini, Wittgenstein mengubah arah
epistemologi modern—dari pencarian substansi pengetahuan menuju analisis
terhadap bentuk logis makna yang mendasarinya.³³
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), prop. 5.6.
[2]
² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 35–39.
[3]
³ Michael Morris, Routledge Philosophy Guidebook
to Wittgenstein and the Tractatus (London: Routledge, 2008), 46–48.
[4]
⁴ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 2.1–2.12.
[5]
⁵ Bertrand Russell, “Introduction,” dalam Tractatus
Logico-Philosophicus, terj. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan
Paul, 1922), xv–xviii.
[6]
⁶ Brian McGuinness, Approaches to Wittgenstein:
Collected Papers (London: Routledge, 2002), 30–32.
[7]
⁷ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.031.
[8]
⁸ Anthony Kenny, The Legacy of Wittgenstein:
Lectures on the Tractatus (Oxford: Clarendon Press, 1984), 57–60.
[9]
⁹ A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 42–45.
[10]
¹⁰ Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1973), 25–27.
[11]
¹¹ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.12.
[12]
¹² P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy (Oxford: Blackwell, 1996), 51–54.
[13]
¹³ Joachim Schulte, Wittgenstein: An
Introduction (Albany: State University of New York Press, 1992), 47–49.
[14]
¹⁴ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 5.6.
[15]
¹⁵ Ibid., prop. 6.522.
[16]
¹⁶ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary
(Oxford: Blackwell, 1996), 145–148.
[17]
¹⁷ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.21.
[18]
¹⁸ Ibid., props. 5–5.01.
[19]
¹⁹ Robert Fogelin, Wittgenstein (London:
Routledge, 1987), 52–54.
[20]
²⁰ Michael Morris, Routledge Philosophy
Guidebook to Wittgenstein and the Tractatus, 50–53.
[21]
²¹ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.003.
[22]
²² Ibid., prop. 4.112.
[23]
²³ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion,
41–43.
[24]
²⁴ Anthony Kenny, Wittgenstein
(Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 58–61.
[25]
²⁵ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 2.1.
[26]
²⁶ Roger M. White, Wittgenstein’s Tractatus
Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide (London: Continuum, 2006), 75–77.
[27]
²⁷ McGuinness, Approaches to Wittgenstein,
38–40.
[28]
²⁸ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.54.
[29]
²⁹ Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy, 63–65.
[30]
³⁰ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.54.
[31]
³¹ Anthony Kenny, The Legacy of Wittgenstein,
97–100.
[32]
³² Morris, Routledge Philosophy Guidebook to
Wittgenstein and the Tractatus, 82–85.
[33]
³³ Brian McGuinness, Approaches to Wittgenstein,
44–46.
5.
Aksiologi
dan Dimensi Etika dalam Tractatus Logico-Philosophicus
Di balik struktur logis dan analitis Tractatus
Logico-Philosophicus, Ludwig Wittgenstein menyembunyikan sebuah dimensi
aksialogis yang sangat mendalam dan sering kali diabaikan oleh para pembaca
awalnya, terutama oleh para positivis logis.¹ Meskipun karya ini tampak sebagai
risalah logika murni, bagian akhir Tractatus mengungkapkan keprihatinan
Wittgenstein terhadap makna, nilai, dan etika sebagai wilayah yang melampaui
batas bahasa.² Dalam konteks ini, Tractatus bukan hanya teks tentang
logika dunia, tetapi juga tentang makna kehidupan dan keterbatasan manusia
dalam mengekspresikan nilai-nilai tertinggi melalui proposisi.³
Wittgenstein menyatakan dengan tegas bahwa “Ethics
cannot be expressed. Ethics is transcendental.”⁴ Pernyataan ini
mencerminkan pandangan bahwa etika bukan bagian dari dunia, melainkan sesuatu
yang menyinggung dunia dari luar batasnya. Dunia, menurut Wittgenstein, adalah
totalitas fakta, bukan nilai; dan karena nilai tidak termasuk dalam fakta, ia
tidak dapat diungkapkan melalui bahasa yang menggambarkan dunia.⁵ Dengan kata
lain, proposisi yang bermakna hanya dapat menggambarkan apa yang ada,
bukan apa yang seharusnya ada. Etika, dengan demikian, bukanlah sistem
pernyataan, melainkan cara memandang dunia dengan penuh makna.⁶
Dalam hal ini, etika Wittgenstein memiliki dimensi
transendental yang sejajar dengan pandangan Immanuel Kant, namun dengan
perbedaan mendasar dalam bentuk ekspresi. Jika bagi Kant hukum moral dapat
dijelaskan melalui rasio praktis, bagi Wittgenstein nilai moral adalah sesuatu
yang tidak dapat dijelaskan sama sekali.⁷ Ia menulis, “It is clear that
ethics cannot be put into words. Ethics is transcendental. Ethics and
aesthetics are one and the same.”⁸ Etika dan estetika, menurutnya,
sama-sama berbicara tentang cara melihat dunia, bukan tentang isi dunia
itu sendiri. Pandangan ini menunjukkan bahwa nilai tidak terletak pada fakta,
melainkan pada makna yang kita berikan terhadap fakta tersebut.⁹
Aksiologi dalam Tractatus juga dapat
dipahami melalui konsep “yang dapat dikatakan” (das Sagbare) dan
“yang hanya dapat ditunjukkan” (das Zeigbare).¹⁰ Segala sesuatu
yang dapat dikatakan berada dalam ranah logika dan fakta; sedangkan hal-hal yang
bernilai — seperti kebaikan, keindahan, dan makna hidup — hanya dapat
ditunjukkan melalui tindakan, sikap, atau pengalaman hidup.¹¹ Dengan demikian,
etika tidak dapat diajarkan atau dijelaskan melalui proposisi, melainkan hanya
dapat dihidupi.¹² Di sinilah letak dimensi eksistensial dalam Tractatus,
yang mempertemukan logika dengan kehidupan: setelah logika menguraikan batas
bahasa, yang tersisa adalah keheningan etis — kesadaran akan sesuatu yang tak
terucapkan namun paling penting.¹³
Pengalaman eksistensial Wittgenstein selama Perang
Dunia I memperkuat kedalaman refleksi etis ini. Dalam Notebooks 1914–1916,
ia menulis bahwa nilai hidup tidak terdapat dalam dunia, tetapi “di luar
dunia” (outside the world).¹⁴ Pandangan ini menunjukkan bahwa etika
bagi Wittgenstein bukanlah tentang norma-norma sosial atau aturan moral,
melainkan tentang sikap batin terhadap dunia: bagaimana seseorang menerima
dunia sebagai sesuatu yang penuh makna, meskipun tanpa alasan yang dapat
dijelaskan secara logis.¹⁵ Dalam pengertian ini, etika menjadi bentuk
penerimaan terhadap realitas — suatu amor fati dalam arti Spinozistik
atau Tolstoyan, yang mengandaikan perdamaian batin dalam menghadapi dunia apa
adanya.¹⁶
Aspek aksiologis Tractatus juga berkaitan
erat dengan pemikiran estetika. Wittgenstein menyatakan bahwa etika dan
estetika adalah satu dan sama karena keduanya berbicara tentang nilai-nilai
yang melampaui fakta.¹⁷ Dalam estetika, manusia tidak menggambarkan dunia
secara faktual, tetapi melihat dunia secara benar.¹⁸ Demikian pula dalam
etika: tindakan moral bukan hasil dari proposisi yang benar atau salah,
melainkan dari cara seseorang menatap dunia dengan perspektif yang baik.¹⁹
Dengan demikian, baik etika maupun estetika berfungsi sebagai cermin spiritual
dari kesadaran manusia — wilayah di mana bahasa berhenti, tetapi makna justru
dimulai.²⁰
Wittgenstein menyimpulkan seluruh dimensi etis dan
aksialogisnya dalam proposisi terakhir Tractatus: “Wovon man nicht
sprechen kann, darüber muss man schweigen” — “Tentang apa yang tidak
dapat dibicarakan, kita harus diam.”²¹ Keheningan ini bukan bentuk
keputusasaan intelektual, tetapi ekspresi kesadaran tertinggi terhadap
keterbatasan bahasa dan rasio.²² Dalam diam, manusia tidak kehilangan makna,
melainkan menemukan makna yang tak terucapkan.²³ Diam etis Wittgenstein adalah
afirmasi terhadap misteri kehidupan — pengakuan bahwa nilai tertinggi tidak
ditemukan dalam proposisi, tetapi dalam keberadaan yang dijalani dengan
keutuhan.²⁴
Dengan demikian, aksiologi Tractatus menegaskan
dua hal pokok: pertama, bahwa nilai tidak bersifat faktual, melainkan
transendental; dan kedua, bahwa bahasa logis hanya mampu menjelaskan dunia,
tetapi tidak dapat menjelaskan makna dunia.²⁵ Etika dan estetika menjadi
horizon di mana manusia berhadapan dengan batas rasionalitas dan menemukan
makna eksistensial.²⁶ Pandangan ini menandai dimensi spiritual dalam pemikiran
Wittgenstein awal — sebuah etika diam yang tidak memerintahkan, tetapi menuntun
manusia untuk melihat dunia dengan benar.²⁷
Footnotes
[1]
¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of
Genius (New York: Free Press, 1990), 105–109.
[2]
² Brian McGuinness, Approaches to Wittgenstein:
Collected Papers (London: Routledge, 2002), 112–114.
[3]
³ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 87–90.
[4]
⁴ Ludwig Wittgenstein, Lecture on Ethics
(Cambridge: University of Cambridge, 1929), 2.
[5]
⁵ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus
(London: Routledge & Kegan Paul, 1922), prop. 6.41.
[6]
⁶ Anthony Kenny, Wittgenstein
(Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 102–104.
[7]
⁷ Joachim Schulte, Wittgenstein: An Introduction
(Albany: State University of New York Press, 1992), 73–75.
[8]
⁸ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.421.
[9]
⁹ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary
(Oxford: Blackwell, 1996), 157–160.
[10]
¹⁰ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.121–4.122.
[11]
¹¹ P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy (Oxford: Blackwell, 1996), 111–113.
[12]
¹² Brian McGuinness, Wittgenstein: A Life. Young
Ludwig (1889–1921) (Berkeley: University of California Press, 1988),
301–304.
[13]
¹³ Roger M. White, Wittgenstein’s Tractatus
Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide (London: Continuum, 2006), 122–126.
[14]
¹⁴ Ludwig Wittgenstein, Notebooks 1914–1916,
ed. G. H. von Wright dan G. E. M. Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1961),
73–75.
[15]
¹⁵ Anthony Kenny, The Legacy of Wittgenstein:
Lectures on the Tractatus (Oxford: Clarendon Press, 1984), 107–110.
[16]
¹⁶ Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius,
115–118.
[17]
¹⁷ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.421.
[18]
¹⁸ Schulte, Wittgenstein: An Introduction,
79–81.
[19]
¹⁹ Hacker, Insight and Illusion, 95–98.
[20]
²⁰ White, Wittgenstein’s Tractatus
Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide, 131–134.
[21]
²¹ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 7.
[22]
²² Kenny, The Legacy of Wittgenstein,
112–114.
[23]
²³ McGuinness, Approaches to Wittgenstein,
118–121.
[24]
²⁴ Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy, 120–122.
[25]
²⁵ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
props. 6.4–6.522.
[26]
²⁶ Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius,
119–121.
[27]
²⁷ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion,
101–104.
6.
Dimensi
Metafilosofis dan Bahasa sebagai Batas Pikiran
Salah satu dimensi paling mendalam dan khas dari Tractatus
Logico-Philosophicus adalah dimensi metafilosofisnya—yakni refleksi
Wittgenstein tentang hakikat filsafat itu sendiri, batas bahasa, dan hubungan
antara pemikiran serta realitas. Dalam karya ini, Wittgenstein tidak hanya
menyusun teori tentang logika atau bahasa, tetapi juga merumuskan ulang fungsi
dan batas filsafat sebagai kegiatan reflektif. Ia menegaskan bahwa filsafat
bukanlah disiplin yang menghasilkan teori-teori baru, melainkan kegiatan yang
bertujuan menjernihkan pikiran dari kebingungan konseptual.¹ Dengan demikian, Tractatus
tidak hanya berbicara tentang apa yang dapat dikatakan, tetapi juga
tentang apa yang tidak dapat dikatakan, dan justru di situlah dimensi
metafilosofisnya menemukan maknanya yang terdalam.²
Wittgenstein membuka Tractatus dengan
pernyataan ontologis—“The world is everything that is the case”—dan
menutupnya dengan refleksi metafilosofis—“Whereof one cannot speak, thereof
one must be silent.”³ Dua kalimat ini membentuk bingkai konseptual yang
menegaskan keterkaitan antara dunia, bahasa, dan pikiran. Bagi Wittgenstein,
batas bahasa adalah juga batas dunia dan batas pikiran. Apa yang tidak dapat
diucapkan secara bermakna tidak termasuk dalam dunia, sebab dunia hanya terdiri
atas fakta-fakta yang dapat digambarkan dalam bahasa logis.⁴ Dalam hal ini, Tractatus
mengandung pandangan bahwa realitas, bahasa, dan pikiran berbagi struktur logis
yang sama, sehingga bahasa menjadi cermin sekaligus batas bagi kesadaran
manusia.⁵
Pandangan ini menegaskan bahwa filsafat harus
menyadari keterbatasannya. Wittgenstein menulis: “Philosophy is not a body
of doctrine but an activity.”⁶ Artinya, filsafat tidak boleh mencampuri
urusan ilmu pengetahuan atau metafisika spekulatif, melainkan harus berfokus
pada klarifikasi makna bahasa.⁷ Dengan demikian, filsafat berperan sebagai “terapi
logis” (logical therapy): ia tidak menambah pengetahuan faktual,
tetapi menyembuhkan kebingungan yang timbul ketika bahasa digunakan di luar
batas logisnya.⁸ Pandangan ini menandai lahirnya apa yang disebut “metafilsafat
Wittgensteinian,” yaitu refleksi tentang fungsi filsafat sebagai
klarifikasi, bukan sebagai sistem dogmatis.⁹
Dalam konteks ini, bahasa dipahami sebagai peta
dunia (map of the world).¹⁰ Struktur logis bahasa adalah struktur
logis dunia, dan karena itu, apa pun yang melampaui bahasa tidak dapat
dipikirkan secara bermakna. Wittgenstein menulis: “The limits of my language
mean the limits of my world.”¹¹ Kalimat ini tidak sekadar pernyataan
epistemologis, tetapi juga metafilosofis—ia menandakan bahwa segala batas
pemikiran manusia pada akhirnya adalah batas linguistik.¹² Pikiran tidak dapat
menembus dunia tanpa bahasa, sebab bahasa adalah medium yang memungkinkan
bentuk-bentuk representasi.¹³ Dengan demikian, bahasa bukan hanya alat
komunikasi, melainkan horizon eksistensial yang menentukan apa yang dapat
dipahami dan apa yang tidak.¹⁴
Wittgenstein juga menegaskan bahwa logika merupakan
cermin dunia, tetapi logika sendiri tidak dapat dijelaskan melalui bahasa. Ia
menulis, “Logic pervades the world: the limits of the world are also its
limits.”¹⁵ Hal ini menunjukkan bahwa logika bukan bagian dari dunia
empiris, melainkan struktur transendental yang memungkinkan dunia dapat
dipahami.¹⁶ Dengan kata lain, logika bukan isi, tetapi bentuk dari segala isi
yang mungkin.¹⁷ Dalam pengertian ini, filsafat memiliki tugas untuk menunjukkan
bentuk logis tersebut tanpa jatuh dalam usaha menjelaskannya secara
proposisional, sebab bentuk logis hanya dapat ditunjukkan (gezeigt),
bukan dikatakan (gesagt).¹⁸
Metafilosofi Tractatus juga berkaitan erat
dengan pembagian antara bahasa yang bermakna (meaningful language) dan
bahasa yang tidak bermakna (nonsense).¹⁹ Bagi Wittgenstein, sebagian
besar persoalan metafisika tradisional—seperti tentang hakikat jiwa, Tuhan,
atau nilai tertinggi—timbul karena penyalahgunaan bahasa: kita mencoba
berbicara tentang sesuatu yang tidak dapat diartikulasikan secara logis.²⁰
Namun, menariknya, Wittgenstein tidak menolak nilai dari pernyataan “tak
bermakna” ini. Ia menganggap bahwa justru melalui bahasa yang “tidak
bermakna” (unsinnig), manusia dapat menunjukkan sesuatu yang
transendental—yakni batas antara dunia dan apa yang melampaui dunia.²¹ Oleh
karena itu, kebisuan di akhir Tractatus bukanlah nihilisme, melainkan
bentuk kesadaran metafilosofis tertinggi: kesadaran bahwa bahasa memiliki
batas, dan di luar batas itu hanya tersisa keheningan etis dan mistik.²²
Pernyataan terakhir Wittgenstein—“My
propositions are elucidatory in this way: he who understands me finally
recognizes them as senseless... He must, so to speak, throw away the ladder,
after he has climbed up on it.”²³—menunjukkan makna sejati dari proyek
metafilosofisnya. Filsafat, dalam pandangan ini, adalah tangga yang harus
dibuang setelah mencapai pemahaman.²⁴ Artinya, filsafat membantu manusia untuk
menyadari batas bahasa, tetapi setelah batas itu dipahami, filsafat kehilangan
fungsinya sebagai doktrin.²⁵ Ini adalah bentuk refleksi radikal atas peran
filsafat: ia tidak menawarkan jawaban, melainkan membimbing manusia untuk “melihat
dunia dengan benar” (to see the world aright).²⁶
Konsepsi Wittgenstein ini membuka paradigma baru
dalam sejarah filsafat: dari filsafat sebagai sistem pengetahuan menuju
filsafat sebagai kegiatan klarifikasi.²⁷ Dalam kerangka metafilosofis Tractatus,
filsafat menjadi refleksi atas dirinya sendiri—upaya untuk menyadari bagaimana
bahasa, pikiran, dan dunia saling merefleksikan.²⁸ Dengan menempatkan batas
bahasa sebagai batas pikiran, Wittgenstein sekaligus menegaskan batas
rasionalitas manusia dan mengisyaratkan ruang bagi pengalaman
non-proposisional: etika, estetika, dan religiusitas.²⁹ Maka, metafilosofi
Wittgenstein bukan hanya analisis logis, tetapi juga sebuah meditasi tentang
keberadaan—suatu usaha untuk mencapai kejelasan pikiran yang memuncak pada
kesadaran akan diam.³⁰
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), prop.
4.003.
[2]
² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 121–123.
[3]
³ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
props. 1 dan 7.
[4]
⁴ Brian McGuinness, Approaches to Wittgenstein:
Collected Papers (London: Routledge, 2002), 132–134.
[5]
⁵ Anthony Kenny, The Legacy of Wittgenstein:
Lectures on the Tractatus (Oxford: Clarendon Press, 1984), 45–48.
[6]
⁶ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.112.
[7]
⁷ Joachim Schulte, Wittgenstein: An Introduction
(Albany: State University of New York Press, 1992), 92–94.
[8]
⁸ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary
(Oxford: Blackwell, 1996), 172–174.
[9]
⁹ Roger M. White, Wittgenstein’s Tractatus
Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide (London: Continuum, 2006), 140–142.
[10]
¹⁰ Michael Morris, Routledge Philosophy
Guidebook to Wittgenstein and the Tractatus (London: Routledge, 2008),
95–97.
[11]
¹¹ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 5.6.
[12]
¹² Kenny, The Legacy of Wittgenstein, 49–51.
[13]
¹³ P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy (Oxford: Blackwell, 1996), 132–134.
[14]
¹⁴ Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius
(New York: Free Press, 1990), 128–130.
[15]
¹⁵ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 5.61.
[16]
¹⁶ D. F. Pears, The False Prison: A Study of the
Development of Wittgenstein’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press,
1987), 21–24.
[17]
¹⁷ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.1.
[18]
¹⁸ Schulte, Wittgenstein: An Introduction,
98–100.
[19]
¹⁹ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.003.
[20]
²⁰ A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 52–54.
[21]
²¹ Hacker, Insight and Illusion, 127–130.
[22]
²² McGuinness, Approaches to Wittgenstein,
137–139.
[23]
²³ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.54.
[24]
²⁴ Kenny, The Legacy of Wittgenstein, 82–84.
[25]
²⁵ Glock, A Wittgenstein Dictionary,
179–180.
[26]
²⁶ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.54.
[27]
²⁷ Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy, 138–142.
[28]
²⁸ Morris, Routledge Philosophy Guidebook to
Wittgenstein and the Tractatus, 102–104.
[29]
²⁹ Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius,
132–135.
[30]
³⁰ Roger M. White, Wittgenstein’s Tractatus
Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide, 147–150.
7.
Kritik
terhadap Tractatus Logico-Philosophicus
Sejak diterbitkan
pada tahun 1921, Tractatus Logico-Philosophicus
telah menimbulkan pengaruh luas sekaligus perdebatan tajam di kalangan filsuf
analitik maupun kontinental. Karya ini dianggap monumental karena
memperkenalkan kerangka logis yang baru dalam memahami hubungan antara bahasa
dan dunia. Namun, tidak sedikit pula yang menilai bahwa sistem Wittgenstein
dalam Tractatus
mengandung kontradiksi internal, ketegangan metafilosofis, serta penyederhanaan
terhadap kompleksitas bahasa alami.¹ Kritik terhadap Tractatus
dapat dikelompokkan ke dalam empat ranah utama: (1) kritik dari kaum Positivis
Logis yang terinspirasi tetapi kemudian melampauinya, (2) kritik dari
Wittgenstein sendiri dalam karya selanjutnya, (3) kritik dari filsafat bahasa
pasca-analitik, dan (4) kritik dari perspektif hermeneutika dan fenomenologi.
7.1.
Kritik dari
Positivisme Logis: Reduksi Empiris terhadap Makna
Anggota Vienna
Circle seperti Rudolf Carnap, Moritz Schlick, dan Otto Neurath
sangat terpengaruh oleh Tractatus, terutama pada aspek
logis dan empirisnya.² Mereka menafsirkan karya Wittgenstein sebagai pembenaran
terhadap proyek ilmiah mereka untuk “memurnikan bahasa” dari nonsens
metafisis.³ Menurut Carnap, proposisi hanya bermakna jika dapat diverifikasi
secara empiris; dengan demikian, semua pernyataan metafisis, teologis, dan etis
dianggap tidak bermakna (meaningless).⁴ Namun, interpretasi
ini justru menyederhanakan Tractatus, karena Wittgenstein
tidak bermaksud menolak nilai-nilai transendental, melainkan menempatkannya di
luar jangkauan bahasa logis.⁵
Positivisme logis
juga dikritik karena gagal memahami dimensi mistik dan etis dari Tractatus.⁶
Wittgenstein menulis bahwa “The sense of the world must lie outside the
world,” yang berarti bahwa makna hidup dan nilai tidak dapat
direduksi pada fakta empiris.⁷ Dengan demikian, tafsir kaum positivis terhadap Tractatus
cenderung reduksionistik—mereka memisahkan bagian logika dari dimensi etika
yang justru menjadi inti kesadaran transendental Wittgenstein.⁸
7.2.
Kritik dari
Wittgenstein Sendiri: Pergeseran ke Philosophical Investigations
Kritik paling
fundamental terhadap Tractatus datang dari Wittgenstein
sendiri. Setelah kembali ke filsafat pada awal 1930-an, ia menilai bahwa
kerangka logika yang ia bangun dalam Tractatus bersifat terlalu kaku dan
tidak realistis terhadap cara bahasa bekerja dalam kehidupan sehari-hari.⁹
Dalam Philosophical
Investigations (1953), Wittgenstein menolak gagasan bahwa bahasa
memiliki struktur logis tunggal yang merepresentasikan realitas.¹⁰ Ia
menggantinya dengan konsep language games (permainan bahasa)
dan forms of
life (bentuk kehidupan), yang menunjukkan bahwa makna kata
ditentukan oleh penggunaannya, bukan oleh struktur logis formal.¹¹
Pergeseran ini
menunjukkan bahwa Tractatus gagal menangkap aspek
pragmatis dan sosial dari bahasa.¹² Dalam kerangka awalnya, Wittgenstein
membatasi makna pada proposisi yang menggambarkan fakta; sedangkan dalam
pemikiran selanjutnya, ia menegaskan bahwa makna terletak pada konteks penggunaan.¹³
Dengan demikian, Philosophical Investigations dapat
dibaca sebagai kritik internal terhadap dogmatisme logis Tractatus:
jika yang pertama menekankan batas bahasa, maka yang kedua menekankan
pluralitas bahasa.¹⁴
7.3.
Kritik dari Filsafat
Analitik Pasca-Wittgensteinian
Sejumlah filsuf
analitik generasi berikutnya—seperti Gilbert Ryle, W. V. O. Quine, dan Donald
Davidson—mengajukan kritik terhadap Tractatus dari sisi metodologis dan
semantik. Ryle menilai bahwa Wittgenstein terlalu bergantung pada model representasional
bahasa, sehingga gagal memahami fungsi performatifnya.¹⁵ Quine, dalam esainya “Two
Dogmas of Empiricism” (1951), menolak dikotomi antara analitik dan
sintetis yang secara implisit diwarisi dari logika Tractatus.¹⁶ Menurutnya, makna
proposisi tidak dapat dipisahkan dari jaringan keyakinan dan pengalaman secara
keseluruhan.¹⁷
Donald Davidson
kemudian mengembangkan teori kebenaran semantik yang menentang pandangan
Wittgenstein awal bahwa struktur logis bahasa dapat mencerminkan struktur
realitas.¹⁸ Ia menegaskan bahwa tidak ada “bahasa privat” atau sistem
makna tertutup; makna selalu bergantung pada interpretasi dalam konteks
intersubjektif.¹⁹ Dengan demikian, bagi para penerus analitik ini, Tractatus
dianggap gagal memberikan dasar epistemologis yang memadai bagi komunikasi
manusia karena terlalu menekankan bentuk logis ketimbang fungsi pragmatis
bahasa.²⁰
7.4.
Kritik dari
Hermeneutika dan Filsafat Kontinental
Dari perspektif
hermeneutik dan fenomenologis, Tractatus dikritik karena
memisahkan bahasa dari pengalaman hidup yang konkret. Hans-Georg Gadamer
menilai bahwa proyek Wittgenstein awal masih terperangkap dalam paradigma
Cartesian—ia memperlakukan bahasa sebagai sistem tanda yang merepresentasikan
dunia, bukan sebagai medium pemahaman eksistensial.²¹ Begitu pula dengan Martin
Heidegger yang memandang bahasa bukan sekadar alat komunikasi logis, melainkan rumah
keberadaan (das Haus des Seins).²² Bagi
Heidegger, ketika Wittgenstein membatasi bahasa pada proposisi logis, ia
menutup ruang bagi dimensi puitis dan ontologis dari bahasa sebagai wahana
kebermaknaan.²³
Selain itu, filsuf
kontemporer seperti Jacques Derrida mengkritik Tractatus dari perspektif
dekonstruktif. Ia menilai bahwa upaya Wittgenstein untuk menentukan “batas
bahasa” justru menegaskan bahwa batas itu tidak dapat ditentukan secara
stabil, karena setiap penandaan selalu membuka ruang bagi ambiguitas.²⁴ Dalam
pandangan ini, keheningan Wittgenstein di akhir Tractatus bukanlah penutup sistem,
melainkan pengakuan atas ketidakmungkinan sistem itu sendiri.²⁵
7.5.
Kritik
Metafilosofis: Paradoks Keheningan dan Ketegangan Performatif
Kritik terakhir yang
sering diajukan adalah paradoks performatif di jantung Tractatus.
Wittgenstein berusaha menunjukkan bahwa filsafat seharusnya “diam”
terhadap hal-hal yang tidak dapat dikatakan, namun ia justru menulis sebuah
buku untuk menjelaskan hal itu.²⁶ Dengan demikian, Tractatus tampak menegasikan
dirinya sendiri: ia berbicara untuk mengatakan bahwa tidak boleh berbicara.²⁷
Sejumlah komentator seperti P. M. S. Hacker dan Anthony Kenny menafsirkan
paradoks ini bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai strategi retoris
Wittgenstein untuk menuntun pembaca menuju kesadaran reflektif tentang batas
bahasa.²⁸ Namun, bagi banyak filsuf lain, hal ini menunjukkan bahwa proyek Tractatus
bersifat autokontradiktif—sebuah upaya untuk menutup lingkaran makna dengan
menggunakan bahasa yang ia sendiri nyatakan tidak mencukupi.²⁹
Secara keseluruhan, Tractatus
Logico-Philosophicus dapat dipahami sebagai proyek filsafat yang
brilian sekaligus problematik. Ia membuka jalan bagi filsafat analitik modern,
namun juga mengandung benih yang menggiring pada pembubarannya.³⁰ Kritik-kritik
terhadap Tractatus
justru menegaskan relevansinya: karya ini menjadi medan refleksi abadi tentang
batas bahasa, fungsi filsafat, dan makna diam itu sendiri.³¹ Dengan demikian, Tractatus
tidak hanya menjadi teks logika, tetapi juga meditasi tentang keterbatasan
rasio manusia—sebuah karya yang terus menantang pembacanya untuk berpikir,
berbicara, dan akhirnya, berdiam.³²
Footnotes
[1]
¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York: Free
Press, 1990), 165–170.
[2]
² Brian McGuinness, Approaches
to Wittgenstein: Collected Papers
(London: Routledge, 2002), 152–155.
[3]
³ Rudolf Carnap, The Logical Structure
of the World (Berkeley: University
of California Press, 1967 [1928]), 4–7.
[4]
⁴ A. J. Ayer, Language, Truth and
Logic (London: Gollancz, 1936),
34–37.
[5]
⁵ Anthony Kenny, The Legacy of Wittgenstein:
Lectures on the Tractatus (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 91–93.
[6]
⁶ Joachim Schulte, Wittgenstein: An
Introduction (Albany: State
University of New York Press, 1992), 101–103.
[7]
⁷ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London:
Routledge & Kegan Paul, 1922), prop. 6.41.
[8]
⁸ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion:
Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 145–148.
[9]
⁹ Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius, 193–198.
[10]
¹⁰ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, ed. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1953), §65–71.
[11]
¹¹ P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s
Place in Twentieth-Century Analytic Philosophy (Oxford: Blackwell, 1996), 152–154.
[12]
¹² Anthony Kenny, Wittgenstein (Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 121–124.
[13]
¹³ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 191–193.
[14]
¹⁴ McGuinness, Approaches to
Wittgenstein, 160–162.
[15]
¹⁵ Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 17–19.
[16]
¹⁶ W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review
60, no. 1 (1951): 20–43.
[17]
¹⁷ Ibid., 40–41.
[18]
¹⁸ Donald Davidson, Truth
and Meaning (Oxford: Oxford
University Press, 1984), 37–40.
[19]
¹⁹ Ibid., 45–47.
[20]
²⁰ P. M. S. Hacker, Insight
and Illusion, 156–159.
[21]
²¹ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, terj. Joel Weinsheimer
dan Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 412–415.
[22]
²² Martin Heidegger, Unterwegs
zur Sprache (Pfullingen: Neske,
1959), 12–15.
[23]
²³ Brian McGuinness, Approaches
to Wittgenstein, 165–167.
[24]
²⁴ Jacques Derrida, Margins
of Philosophy, terj. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 220–223.
[25]
²⁵ Roger M. White, Wittgenstein’s
Tractatus Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide (London: Continuum, 2006), 155–157.
[26]
²⁶ Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, prop. 6.54.
[27]
²⁷ Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius, 205–208.
[28]
²⁸ Hacker, Insight and Illusion, 163–165.
[29]
²⁹ Kenny, The Legacy of
Wittgenstein, 104–106.
[30]
³⁰ P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s
Place in Twentieth-Century Analytic Philosophy, 162–165.
[31]
³¹ McGuinness, Approaches to
Wittgenstein, 171–173.
[32]
³² Roger M. White, Wittgenstein’s
Tractatus Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide, 160–162.
8.
Relevansi
Kontemporer
Lebih dari seabad
setelah diterbitkan, Tractatus Logico-Philosophicus
tetap menjadi salah satu karya paling berpengaruh dalam filsafat modern,
terutama dalam bidang filsafat bahasa, logika, epistemologi, dan teori makna.
Relevansinya tidak hanya terletak pada sejarah filsafat analitik, tetapi juga
pada kontribusinya dalam membentuk cara berpikir ilmiah, linguistik, dan bahkan
teknologi digital.¹ Gagasan Wittgenstein tentang hubungan antara bahasa dan
dunia, batas bahasa, serta peran filsafat sebagai klarifikasi logis masih
bergema dalam wacana akademik dan praktis kontemporer.²
8.1.
Relevansi dalam
Filsafat Bahasa dan Analitik Modern
Dalam konteks
filsafat bahasa, Tractatus menjadi landasan bagi
perkembangan semantik formal dan teori representasi makna.³ Gagasan tentang picture
theory of meaning—bahwa proposisi menggambarkan realitas melalui
kesesuaian struktur logis—mengilhami munculnya teori-teori semantik model (model-theoretic
semantics) yang dikembangkan oleh Alfred Tarski dan Donald
Davidson.⁴ Prinsip kesesuaian antara proposisi dan fakta juga menjadi dasar
bagi teori kebenaran korespondensi yang digunakan dalam filsafat analitik
hingga kini.⁵
Selain itu, konsep
batas bahasa (the limits of language) yang
dikemukakan Wittgenstein memiliki pengaruh besar terhadap analisis linguistik
kontemporer.⁶ Dalam kerangka pragmatik modern, para filsuf seperti J. L. Austin
dan John Searle mengembangkan teori tindak tutur (speech act theory) sebagai respons
terhadap pandangan representasional Wittgenstein awal.⁷ Mereka menegaskan bahwa
bahasa tidak hanya berfungsi menggambarkan dunia, tetapi juga bertindak dalam
dunia. Dengan demikian, Tractatus membuka jalan bagi
pembahasan lebih lanjut tentang makna sebagai praktik sosial, bukan hanya
struktur logis.⁸
8.2.
Relevansi dalam
Logika, Matematika, dan Ilmu Komputer
Struktur logika Tractatus
memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan logika simbolik dan
fondasi ilmu komputer modern.⁹ Ide Wittgenstein bahwa dunia dapat digambarkan
melalui sistem simbol logis sejalan dengan gagasan Alan Turing tentang
representasi komputasional dari proses berpikir.¹⁰ Secara konseptual, prinsip
isomorfisme antara bahasa dan dunia yang diuraikan dalam Tractatus
menjadi inspirasi bagi desain bahasa formal dalam pemrograman komputer dan
sistem inferensi buatan.¹¹
Selain itu,
pandangan Wittgenstein mengenai logika sebagai a priori form of the world memiliki
resonansi dengan teori informasi dan model semantik dalam kecerdasan buatan
(AI).¹² Bahasa formal yang digunakan dalam sistem komputer, basis data, dan
representasi pengetahuan dapat dianggap sebagai penerapan praktis dari “proposisi
logis” Wittgenstein—yakni bahasa yang dibatasi oleh aturan ketat agar dapat
merepresentasikan fakta secara presisi.¹³ Dengan demikian, konsep batas bahasa
dalam Tractatus
kini menemukan bentuk baru dalam konteks algoritmik dan teknologi digital, di
mana logika berfungsi sebagai kerangka epistemik bagi dunia buatan.¹⁴
8.3.
Relevansi dalam
Filsafat Kognitif dan Linguistik Kontemporer
Dalam filsafat
kognitif, Tractatus
berkontribusi terhadap cara memahami representasi mental dan struktur
pengetahuan.¹⁵ Gagasan bahwa proposisi merupakan gambar logis dari realitas
dapat dipandang sebagai cikal bakal teori representasi mental (mental
representation theory) dalam kognitivisme.¹⁶ Pandangan ini kemudian
berkembang dalam teori bahasa pikiran (language of thought hypothesis)
yang diajukan oleh Jerry Fodor, yang menegaskan bahwa pikiran beroperasi dalam
struktur simbolik yang analog dengan bahasa logis Wittgenstein.¹⁷
Namun, filsafat
kognitif pascamodern juga mengkritik asumsi reduksionistik Tractatus.
Pendekatan embodied cognition menolak gagasan bahwa makna dapat direduksi
menjadi struktur proposisional, menekankan bahwa pemahaman manusia berakar pada
pengalaman sensorimotor yang tidak sepenuhnya terartikulasikan melalui bahasa
formal.¹⁸ Meski demikian, perdebatan ini justru menunjukkan bahwa Tractatus
tetap menjadi titik tolak bagi refleksi filosofis mengenai hubungan antara
pikiran, bahasa, dan dunia.¹⁹
8.4.
Relevansi Etis,
Estetis, dan Eksistensial
Dimensi etika dan estetika
Tractatus
juga menemukan gema baru dalam filsafat moral dan teologi kontemporer.
Wittgenstein menulis bahwa “Ethics is transcendental,”
menandakan bahwa nilai moral tidak dapat dijelaskan secara proposisional,
tetapi hanya dapat “ditunjukkan” melalui kehidupan.²⁰ Pandangan ini berpengaruh
dalam etika eksistensial dan filsafat agama modern, khususnya dalam pemikiran
Emmanuel Levinas dan Søren Kierkegaard, yang menekankan pengalaman etis sebagai
sesuatu yang melampaui rasionalitas sistematis.²¹
Di bidang estetika,
refleksi Wittgenstein tentang kesatuan antara etika dan estetika menginspirasi
teori keindahan post-formalis.²² Dalam seni kontemporer, terutama seni
konseptual, gagasan tentang “keheningan” sebagai bentuk ekspresi makna
non-linguistik mencerminkan warisan Tractatus.²³ Misalnya, karya
seniman seperti John Cage atau Marcel Duchamp mengaktualisasikan ide
Wittgenstein bahwa “yang paling penting adalah apa yang tidak dapat
dikatakan.”²⁴ Etika keheningan Wittgenstein juga menjadi refleksi bagi
praktik meditatif dan spiritualitas modern, yang melihat kesadaran sebagai
ruang di luar bahasa.²⁵
8.5.
Relevansi dalam Era
Digital dan Post-Humanisme
Dalam konteks
kontemporer, Tractatus menjadi semakin relevan
di era digital, ketika hubungan antara bahasa, simbol, dan realitas mengalami
transformasi radikal. Dunia digital pada dasarnya dibangun atas proposisi
logis—kode, algoritma, dan data—yang menggambarkan serta memanipulasi realitas
dalam bentuk simbolik.²⁶ Pandangan Wittgenstein tentang dunia sebagai totalitas
fakta menemukan paralelnya dalam struktur jaringan informasi global, di mana
segala sesuatu direpresentasikan melalui sistem biner (true/false).²⁷
Namun, justru di
tengah dominasi logika komputasional, pesan Wittgenstein tentang batas bahasa
menjadi semakin penting. Ia mengingatkan bahwa tidak semua makna dapat
direduksi menjadi data atau algoritma: ada dimensi manusiawi—etis, emosional,
eksistensial—yang tetap berada di luar sistem simbolik.²⁸ Dalam hal ini, Tractatus
menawarkan kritik mendalam terhadap kecenderungan teknologis untuk
mengobjektifikasi realitas dan mengabaikan “yang tak terkatakan.”²⁹
Maka, dalam era kecerdasan buatan dan post-humanisme, Wittgenstein mengajak
kita merenungkan kembali batas antara bahasa mesin dan bahasa manusia, antara
fakta dan makna.³⁰
Signifikansi Filsafat Kontemporer: Dari Logika Menuju Hermeneutika
Akhirnya, relevansi Tractatus
juga terletak pada warisan hermeneutik yang ia tinggalkan. Pandangan
Wittgenstein bahwa filsafat harus berfungsi sebagai klarifikasi, bukan teori,
membuka ruang bagi pemahaman filsafat sebagai praktik interpretatif.³¹ Hal ini
menginspirasi generasi filsuf hermeneutik seperti Paul Ricoeur dan Richard
Rorty untuk melihat bahasa bukan sekadar sistem logis, tetapi medan makna yang
selalu terbuka bagi interpretasi.³²
Dalam kerangka ini, Tractatus
tidak lagi dipahami sebagai sistem tertutup tentang logika dunia, tetapi
sebagai teks reflektif yang menyingkap batas-batas rasionalitas dan membuka
ruang bagi pengalaman eksistensial manusia.³³ Maka, dalam dunia kontemporer
yang dipenuhi ketidakpastian makna dan kompleksitas simbolik, pesan Tractatus
tetap aktual: filsafat harus membantu manusia “melihat dunia dengan benar,”
yakni menyadari keterbatasan bahasa sekaligus keajaiban di luar bahasa.³⁴
Footnotes
[1]
¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York: Free
Press, 1990), 253–256.
[2]
² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion:
Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 182–184.
[3]
³ Michael Morris, Routledge Philosophy
Guidebook to Wittgenstein and the Tractatus (London: Routledge, 2008), 107–110.
[4]
⁴ Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–376.
[5]
⁵ Donald Davidson, Truth and Meaning (Oxford: Oxford University Press, 1984), 25–27.
[6]
⁶ Joachim Schulte, Wittgenstein: An
Introduction (Albany: State
University of New York Press, 1992), 107–110.
[7]
⁷ J. L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 12–15.
[8]
⁸ John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–25.
[9]
⁹ P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy
(Oxford: Blackwell, 1996), 168–170.
[10]
¹⁰ Andrew Hodges, Alan Turing: The Enigma (New York: Simon and Schuster, 1983), 187–190.
[11]
¹¹ Brian McGuinness, Approaches
to Wittgenstein: Collected Papers
(London: Routledge, 2002), 177–179.
[12]
¹² Luciano Floridi, The
Philosophy of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2011), 66–69.
[13]
¹³ Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London:
Routledge & Kegan Paul, 1922), prop. 2.1.
[14]
¹⁴ Floridi, The Philosophy of
Information, 72–75.
[15]
¹⁵ Jerry Fodor, The Language of Thought (Cambridge: Harvard University Press, 1975), 5–9.
[16]
¹⁶ Anthony Kenny, The Legacy of
Wittgenstein: Lectures on the Tractatus
(Oxford: Clarendon Press, 1984), 116–118.
[17]
¹⁷ Fodor, The Language of Thought, 12–14.
[18]
¹⁸ Francisco Varela, Evan Thompson, dan Eleanor Rosch, The Embodied Mind
(Cambridge: MIT Press, 1991), 23–27.
[19]
¹⁹ McGuinness, Approaches to
Wittgenstein, 183–186.
[20]
²⁰ Wittgenstein, Lecture on Ethics (Cambridge: University of Cambridge, 1929), 2.
[21]
²¹ Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority,
terj. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.
[22]
²² Roger M. White, Wittgenstein’s
Tractatus Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide (London: Continuum, 2006), 175–178.
[23]
²³ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 210–212.
[24]
²⁴ John Cage, Silence: Lectures and
Writings (Middletown, CT: Wesleyan
University Press, 1961), 3–6.
[25]
²⁵ Kenny, The Legacy of
Wittgenstein, 123–125.
[26]
²⁶ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 44–48.
[27]
²⁷ P. M. S. Hacker, Insight
and Illusion, 191–193.
[28]
²⁸ Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius, 261–263.
[29]
²⁹ Floridi, The Ethics of
Information, 52–54.
[30]
³⁰ Brian McGuinness, Approaches
to Wittgenstein, 190–192.
[31]
³¹ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 23–26.
[32]
³² Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 45–48.
[33]
³³ Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy,
175–178.
[34]
³⁴ Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, prop. 6.54.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Hermeneutika Logis tentang Bahasa dan Dunia
Tractatus
Logico-Philosophicus karya Ludwig Wittgenstein, meskipun sering
dibaca sebagai teks logika murni, pada hakikatnya menyimpan potensi hermeneutik
yang dalam. Ia bukan sekadar upaya membangun sistem logika formal tentang
bahasa dan dunia, melainkan juga refleksi filosofis mengenai bagaimana manusia
memahami dan menafsirkan realitas melalui struktur linguistik.¹ Dalam bagian
ini, sintesis filosofis diarahkan untuk mempertemukan dua arus besar yang
tampak berlawanan dalam Tractatus—yakni rasionalitas logis
dan kesadaran eksistensial—ke dalam sebuah hermeneutika logis, yaitu penafsiran
filosofis yang mengakui peran logika sekaligus keterbatasannya dalam mengungkap
makna dunia.²
9.1.
Dari Logika ke
Hermeneutika: Transendensi dalam Batas Bahasa
Wittgenstein awal
menyusun Tractatus
dengan tujuan untuk menunjukkan struktur logis dunia, namun pada saat yang sama
ia juga menegaskan batas mutlak bahasa: “The limits of my language mean the limits of my
world.”³ Kalimat ini, jika dibaca secara hermeneutik, menunjukkan
bahwa batas rasionalitas manusia tidak hanya bersifat logis, tetapi juga
eksistensial.⁴ Manusia tidak dapat berbicara tentang apa yang melampaui dunia
fakta, tetapi justru di luar batas itu terdapat ruang bagi nilai, makna, dan
pengalaman transendental.⁵
Hermeneutika logis,
dalam konteks ini, merupakan cara untuk memahami bagaimana batas bahasa justru
membuka ruang interpretasi.⁶ Dalam setiap upaya menjelaskan dunia secara logis,
manusia dihadapkan pada kesadaran bahwa logika tidak pernah cukup untuk
menangkap seluruh makna kehidupan. Tractatus mengajarkan bahwa
filsafat harus berjalan di tepi antara yang dapat dikatakan dan yang hanya
dapat ditunjukkan.⁷ Dengan demikian, hermeneutika logis bukanlah penolakan
terhadap logika, tetapi upaya untuk menafsirkan maknanya secara reflektif dan
manusiawi.⁸
9.2.
Dialektika antara
Fakta dan Makna
Salah satu aspek
paling menonjol dari sintesis ini adalah dialektika antara dunia sebagai
totalitas fakta dan dunia sebagai horizon makna. Dalam Tractatus,
Wittgenstein menegaskan bahwa “The world is the totality of facts, not of
things,”⁹ tetapi ia juga mengakui bahwa “The
sense of the world must lie outside the world.”¹⁰ Dua pernyataan
ini membentuk tegangan filosofis yang produktif: di satu sisi, realitas
dipahami secara logis sebagai struktur fakta; di sisi lain, makna hidup justru
berada di luar sistem fakta itu sendiri.¹¹
Hermeneutika logis
mengakui ketegangan ini sebagai bagian dari dinamika pemahaman manusia.
Pengetahuan ilmiah dapat memetakan fakta-fakta dunia, tetapi pengetahuan
eksistensial menafsirkan dunia dalam terang nilai dan makna.¹² Maka, antara
fakta dan makna tidak terdapat oposisi mutlak, melainkan hubungan
reflektif—yang logis menyediakan bentuk, sedangkan yang etis dan eksistensial
memberikan isi dan arah.¹³ Melalui dialektika inilah Tractatus
dapat dibaca sebagai jembatan antara logika dan kehidupan, antara struktur dan
penafsiran.¹⁴
9.3.
Filsafat sebagai
Klarifikasi dan Perenungan Makna
Wittgenstein
menegaskan bahwa filsafat bukanlah doktrin, melainkan aktivitas klarifikasi.¹⁵
Tugas filsafat adalah menjernihkan kekacauan konseptual yang timbul akibat
penyalahgunaan bahasa, bukan menambah pengetahuan baru.¹⁶ Namun, dalam
perspektif hermeneutik, aktivitas klarifikasi ini memiliki makna ganda: ia
tidak hanya bersifat logis, tetapi juga eksistensial.¹⁷ Menjernihkan makna
berarti juga merefleksikan batas pengalaman manusia.
Dengan demikian,
filsafat berperan sebagai bentuk hermeneutika rasional—sebuah upaya
untuk memahami makna melalui struktur bahasa dan logika, sembari menyadari
keterbatasan keduanya.¹⁸ Filsafat bukan hanya alat untuk “mengatakan,”
tetapi juga untuk “menunjukkan” bagaimana makna hadir melalui bentuk
bahasa.¹⁹ Inilah yang dimaksud Wittgenstein ketika ia menulis bahwa filsafat
adalah kegiatan yang membawa seseorang untuk “melihat dunia dengan benar” (to see
the world aright).²⁰
9.4.
Etika Keheningan
sebagai Horizon Hermeneutik
Keheningan pada
proposisi terakhir Tractatus—“Wovon
man nicht sprechen kann, darüber muss man schweigen”—sering
ditafsirkan sebagai sikap epistemik, tetapi secara lebih dalam, ia juga
merupakan pernyataan etis-hermeneutik.²¹ Keheningan bukanlah ketiadaan makna,
melainkan bentuk kesadaran tertinggi akan keterbatasan bahasa.²² Dalam
keheningan, manusia diundang untuk merenungkan dunia bukan sebagai objek
analisis, tetapi sebagai misteri yang dialami.²³
Hermeneutika logis
dalam hal ini mengandaikan etika keterbukaan terhadap yang tak terucapkan.²⁴
Dengan mengakui bahwa tidak semua hal dapat dinyatakan secara proposisional,
manusia membuka ruang bagi makna yang bersifat simbolik, estetis, atau
religius.²⁵ Maka, keheningan Wittgenstein bukanlah akhir dari bahasa, melainkan
awal dari penafsiran yang lebih dalam terhadap eksistensi.²⁶ Dalam keheningan
itu, bahasa dan dunia tidak lagi dipisahkan oleh logika, melainkan disatukan
oleh kesadaran reflektif tentang makna hidup.²⁷
9.5.
Menuju Hermeneutika
Logis sebagai Sintesis Filsafat Analitik dan Eksistensial
Hermeneutika logis
dapat dilihat sebagai jembatan antara dua tradisi besar abad ke-20: filsafat
analitik dan filsafat kontinental.²⁸ Dari analitik, ia mengambil ketelitian
logis dan komitmen terhadap kejelasan bahasa; dari kontinental, ia menyerap
kesadaran eksistensial dan interpretatif terhadap makna.²⁹ Melalui sintesis
ini, Tractatus
dapat dibaca ulang bukan sebagai sistem tertutup tentang bahasa, tetapi sebagai
teks terbuka yang mengundang interpretasi tentang relasi manusia dengan
dunia.³⁰
Hermeneutika logis
ini menegaskan bahwa makna tidak hanya ditemukan dalam kebenaran formal, tetapi
juga dalam relasi manusia dengan realitas yang tak terkatakan.³¹ Dalam dunia
modern yang didominasi oleh sistem simbol dan bahasa digital, refleksi
Wittgenstein tentang batas bahasa menjadi relevan kembali: manusia tidak hanya
perlu berpikir secara logis, tetapi juga menafsirkan secara reflektif.³²
Filsafat, dalam bentuknya yang paling murni, adalah upaya untuk memahami bukan
hanya struktur logika dunia, tetapi juga misteri makna yang melingkupinya.³³
Kesimpulan Sintetis: Dari Klarifikasi Menuju Pemahaman
Akhirnya, sintesis
filosofis ini menunjukkan bahwa Tractatus tidak berhenti pada
analisis logis, melainkan mengarah pada refleksi hermeneutik tentang makna
kehidupan.³⁴ Bahasa bukan hanya alat representasi, melainkan ruang interpretasi
di mana manusia mengonstruksi dunia.³⁵ Logika memberikan bentuk bagi pikiran,
tetapi hanya kesadaran hermeneutik yang memberi kedalaman makna bagi
kehidupan.³⁶
Dengan demikian, “hermeneutika
logis” yang disarankan di sini bukanlah kontradiksi terhadap semangat Tractatus,
melainkan kelanjutannya.³⁷ Ia menggabungkan ketegasan logika dengan keluasan penafsiran,
menghubungkan batas bahasa dengan kebebasan makna, dan mengubah keheningan
menjadi ruang refleksi.³⁸ Melalui jalan ini, Wittgenstein tidak hanya menulis
buku tentang logika, tetapi juga membuka horizon bagi pemahaman filosofis
tentang manusia yang berpikir, berbicara, dan akhirnya, mengerti.³⁹
Footnotes
[1]
¹ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion:
Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 191–194.
[2]
² Brian McGuinness, Approaches
to Wittgenstein: Collected Papers
(London: Routledge, 2002), 202–205.
[3]
³ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London:
Routledge & Kegan Paul, 1922), prop. 5.6.
[4]
⁴ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York: Free
Press, 1990), 273–275.
[5]
⁵ Roger M. White, Wittgenstein’s
Tractatus Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide (London: Continuum, 2006), 163–165.
[6]
⁶ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, terj. Joel Weinsheimer
dan Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 370–373.
[7]
⁷ Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, prop. 6.54.
[8]
⁸ Anthony Kenny, The Legacy of
Wittgenstein: Lectures on the Tractatus
(Oxford: Clarendon Press, 1984), 128–130.
[9]
⁹ Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, prop. 1.1.
[10]
¹⁰ Ibid., prop. 6.41.
[11]
¹¹ Joachim Schulte, Wittgenstein:
An Introduction (Albany: State
University of New York Press, 1992), 112–114.
[12]
¹² Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 52–55.
[13]
¹³ Michael Morris, Routledge Philosophy
Guidebook to Wittgenstein and the Tractatus (London: Routledge, 2008), 115–117.
[14]
¹⁴ Kenny, The Legacy of
Wittgenstein, 132–135.
[15]
¹⁵ Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, prop. 4.003.
[16]
¹⁶ P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s
Place in Twentieth-Century Analytic Philosophy (Oxford: Blackwell, 1996), 175–177.
[17]
¹⁷ McGuinness, Approaches to
Wittgenstein, 209–211.
[18]
¹⁸ Gadamer, Truth and Method, 380–382.
[19]
¹⁹ Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, prop. 4.121.
[20]
²⁰ Ibid., prop. 6.54.
[21]
²¹ Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, prop. 7.
[22]
²² Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius, 282–285.
[23]
²³ White, Wittgenstein’s
Tractatus Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide, 172–175.
[24]
²⁴ Gadamer, Truth and Method, 385–387.
[25]
²⁵ Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority,
terj. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 204–207.
[26]
²⁶ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 215–218.
[27]
²⁷ Anthony Kenny, Wittgenstein (Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 138–140.
[28]
²⁸ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 322–324.
[29]
²⁹ Gadamer, Truth and Method, 390–392.
[30]
³⁰ McGuinness, Approaches to Wittgenstein, 218–220.
[31]
³¹ Ricoeur, Interpretation Theory, 58–60.
[32]
³² Luciano Floridi, The
Philosophy of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2011), 85–87.
[33]
³³ Hacker, Insight and Illusion, 200–202.
[34]
³⁴ Kenny, The Legacy of
Wittgenstein, 138–140.
[35]
³⁵ Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius, 290–292.
[36]
³⁶ White, Wittgenstein’s
Tractatus Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide, 180–182.
[37]
³⁷ Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy,
182–184.
[38]
³⁸ Gadamer, Truth and Method, 394–397.
[39]
³⁹ Ricoeur, Interpretation Theory, 63–65.
10. Kesimpulan
Tractatus Logico-Philosophicus karya Ludwig Wittgenstein adalah salah satu teks
paling kompleks dan paradoksal dalam sejarah filsafat modern. Ia berdiri di
perbatasan antara logika formal dan mistisisme eksistensial, antara kejelasan
analitik dan keheningan spiritual.¹ Karya ini berangkat dari keyakinan bahwa
dunia dapat dipahami melalui struktur logis bahasa, namun berakhir pada
pengakuan bahwa batas bahasa juga merupakan batas dunia dan batas pikiran
manusia.² Dalam hal ini, Tractatus tidak hanya menyusun sistem logika,
tetapi juga menawarkan peta ontologis dan etis tentang posisi manusia di dalam
realitas: bahwa di balik keteraturan logika terdapat misteri makna yang tidak
dapat diucapkan.³
Secara ontologis, Tractatus menegaskan bahwa
dunia adalah totalitas fakta, bukan benda.⁴ Fakta-fakta ini membentuk jaringan
relasi yang dapat direpresentasikan melalui proposisi logis. Pandangan ini
menggeser tradisi metafisika klasik menuju paradigma struktural yang menekankan
hubungan, bukan substansi.⁵ Epistemologinya berakar pada picture theory of
meaning—gagasan bahwa proposisi bermakna karena memiliki bentuk logis yang
isomorfis dengan fakta dunia.⁶ Dengan demikian, pengetahuan manusia tidak lain
adalah kemampuan untuk memetakan realitas melalui simbol logis yang sesuai.
Namun, Wittgenstein menyadari bahwa logika, meskipun niscaya bagi pemikiran,
tidak mampu menjelaskan dirinya sendiri; ia adalah struktur transendental yang
memungkinkan bahasa, tetapi tidak dapat diungkapkan oleh bahasa.⁷
Pada dimensi aksiologis, Wittgenstein menegaskan
bahwa nilai etis dan estetis tidak termasuk dalam dunia fakta.⁸ Etika, bagi
Wittgenstein, bersifat transendental: ia tidak dapat dikatakan, melainkan hanya
ditunjukkan dalam cara hidup seseorang.⁹ Pandangan ini menandai pergeseran
mendalam dalam filsafat nilai—dari etika normatif menuju etika eksistensial
yang berbasis pada kesadaran dan keheningan.¹⁰ Dalam proposisi terakhirnya, “Wovon
man nicht sprechen kann, darüber muss man schweigen,” Wittgenstein tidak
menolak nilai-nilai tersebut, melainkan menempatkannya di luar jangkauan bahasa
logis, sebagai wilayah pengalaman makna yang tak terucapkan.¹¹ Dengan demikian,
Tractatus tidak hanya berbicara tentang logika dunia, tetapi juga
tentang batas makna yang membentuk horizon kehidupan manusia.¹²
Dari sisi metafilosofis, Tractatus
merevolusi pengertian tentang hakikat filsafat itu sendiri.¹³ Wittgenstein
menolak pandangan bahwa filsafat adalah kumpulan teori, dan menegaskan bahwa
filsafat adalah aktivitas klarifikasi.¹⁴ Filsafat tidak menambah pengetahuan
baru tentang dunia, tetapi membantu manusia memahami batas-batas bahasa yang
digunakannya.¹⁵ Dengan cara ini, filsafat menjadi sejenis terapi logis—upaya untuk
membebaskan pikiran dari kebingungan yang dihasilkan oleh penyalahgunaan
bahasa.¹⁶ Namun, di balik klaim metodologis itu, terdapat dimensi spiritual
yang lebih dalam: kesadaran bahwa makna sejati tidak ditemukan dalam kata-kata,
melainkan dalam sikap terhadap dunia.¹⁷
Dalam pembacaan kontemporer, Tractatus tetap
memiliki relevansi luas. Ia menjadi fondasi bagi perkembangan filsafat
analitik, logika simbolik, dan teori bahasa formal.¹⁸ Konsep representasi
logisnya mengilhami teori semantik modern dan sistem pemrograman dalam ilmu
komputer.¹⁹ Di sisi lain, pemahaman Wittgenstein tentang batas bahasa menjadi
refleksi penting di era digital, ketika manusia semakin dikelilingi oleh
representasi simbolik dan data yang tampak netral, tetapi sebenarnya mengandung
batas epistemik dan etis tertentu.²⁰ Dengan demikian, Tractatus dapat
dibaca sebagai teks ganda: sebuah manual logika bagi rasionalitas modern, dan
sekaligus meditasi metafisik tentang keterbatasan rasio itu sendiri.²¹
Melalui seluruh struktur dan paradoksnya, Tractatus
Logico-Philosophicus memperlihatkan wajah ganda filsafat: di satu sisi,
rasional dan terukur; di sisi lain, kontemplatif dan mistis.²² Ia mengajarkan
bahwa tugas filsafat bukan untuk memperluas dunia, melainkan untuk memahami
batasnya.²³ Kejelasan logis dan keheningan etis bukanlah dua hal yang
bertentangan, melainkan dua sisi dari satu kesadaran filosofis yang utuh.²⁴
Maka, Tractatus menutup dirinya bukan dengan dogma, melainkan dengan
undangan: bahwa setelah kita menaiki tangga logika untuk memahami dunia, kita
harus berani melepaskannya demi melihat dunia sebagaimana adanya.²⁵
Akhirnya, Tractatus menjadi refleksi tentang
kemanusiaan itu sendiri. Ia menunjukkan bahwa bahasa adalah rumah bagi
pemikiran, tetapi bukan penjara bagi makna.²⁶ Dalam keterbatasan logika,
manusia menemukan kebebasan untuk menafsirkan; dalam keheningan, manusia
menemukan kedalaman untuk memahami.²⁷ Maka, warisan Wittgenstein tidak berhenti
pada analisis logika, melainkan berlanjut dalam hermeneutika eksistensial—kesadaran
bahwa berpikir dengan benar berarti juga hidup dengan benar.²⁸
Footnotes
[1]
¹ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 205–208.
[2]
² Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus
(London: Routledge & Kegan Paul, 1922), props. 5.6–5.62.
[3]
³ Brian McGuinness, Approaches to Wittgenstein:
Collected Papers (London: Routledge, 2002), 223–226.
[4]
⁴ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 1.1.
[5]
⁵ Michael Morris, Routledge Philosophy Guidebook
to Wittgenstein and the Tractatus (London: Routledge, 2008), 125–128.
[6]
⁶ Ibid., 130–132.
[7]
⁷ Joachim Schulte, Wittgenstein: An Introduction
(Albany: State University of New York Press, 1992), 118–121.
[8]
⁸ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.41.
[9]
⁹ Ludwig Wittgenstein, Lecture on Ethics
(Cambridge: University of Cambridge, 1929), 3–5.
[10]
¹⁰ Anthony Kenny, The Legacy of Wittgenstein:
Lectures on the Tractatus (Oxford: Clarendon Press, 1984), 140–143.
[11]
¹¹ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 7.
[12]
¹² P. M. S. Hacker, Wittgenstein’s Place in
Twentieth-Century Analytic Philosophy (Oxford: Blackwell, 1996), 185–188.
[13]
¹³ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 330–333.
[14]
¹⁴ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 4.003.
[15]
¹⁵ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary
(Oxford: Blackwell, 1996), 225–227.
[16]
¹⁶ Brian McGuinness, Approaches to Wittgenstein,
228–230.
[17]
¹⁷ Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius
(New York: Free Press, 1990), 298–300.
[18]
¹⁸ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion,
210–212.
[19]
¹⁹ Donald Davidson, Truth and Meaning
(Oxford: Oxford University Press, 1984), 41–44.
[20]
²⁰ Luciano Floridi, The Philosophy of
Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 95–98.
[21]
²¹ Roger M. White, Wittgenstein’s Tractatus
Logico-Philosophicus: A Reader’s Guide (London: Continuum, 2006), 185–188.
[22]
²² Anthony Kenny, Wittgenstein
(Harmondsworth: Penguin Books, 1973), 145–148.
[23]
²³ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.54.
[24]
²⁴ McGuinness, Approaches to Wittgenstein,
233–235.
[25]
²⁵ Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus,
prop. 6.54.
[26]
²⁶ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method,
terj. Joel Weinsheimer dan Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994),
395–398.
[27]
²⁷ Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian
University Press, 1976), 68–70.
[28]
²⁸ Kenny, The Legacy of Wittgenstein,
150–153.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
London: Gollancz.
Austin, J. L. (1962). How to do things with
words. Oxford: Clarendon Press.
Carnap, R. (1967 [1928]). The logical structure
of the world. Berkeley: University of California Press.
Cage, J. (1961). Silence: Lectures and writings.
Middletown, CT: Wesleyan University Press.
Davidson, D. (1984). Truth and meaning.
Oxford: Oxford University Press.
Derrida, J. (1982). Margins of philosophy
(A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Dummett, M. (1973). Frege: Philosophy of
language. London: Duckworth.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford: Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Fodor, J. (1975). The language of thought.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Fogelin, R. (1987). Wittgenstein. London:
Routledge.
Frege, G. (1884). Die grundlagen der arithmetik.
Breslau: W. Koebner.
Gadamer, H.-G. (1994). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.
Glock, H.-J. (1996). A Wittgenstein dictionary.
Oxford: Blackwell.
Hacker, P. M. S. (1972). Insight and illusion:
Themes in the philosophy of Wittgenstein. Oxford: Clarendon Press.
Hacker, P. M. S. (1996). Wittgenstein’s place in
twentieth-century analytic philosophy. Oxford: Blackwell.
Heidegger, M. (1959). Unterwegs zur sprache.
Pfullingen: Neske.
Hodges, A. (1983). Alan Turing: The enigma.
New York: Simon and Schuster.
Janik, A., & Toulmin, S. (1973). Wittgenstein’s
Vienna. New York: Simon and Schuster.
Kenny, A. (1973). Wittgenstein.
Harmondsworth: Penguin Books.
Kenny, A. (1984). The legacy of Wittgenstein:
Lectures on the Tractatus. Oxford: Clarendon Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh, PA: Duquesne
University Press.
McGuinness, B. (1988). Wittgenstein: A life. Young
Ludwig (1889–1921). Berkeley: University of California Press.
McGuinness, B. (2002). Approaches to
Wittgenstein: Collected papers. London: Routledge.
Monk, R. (1990). Ludwig Wittgenstein: The duty
of genius. New York: Free Press.
Morris, M. (2008). Routledge philosophy
guidebook to Wittgenstein and the Tractatus. London: Routledge.
Passmore, J. (1957). A hundred years of
philosophy. London: Duckworth.
Pears, D. F. (1987). The false prison: A study
of the development of Wittgenstein’s philosophy. Oxford: Oxford University
Press.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The
Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth, TX: Texas Christian
University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Russell, B., & Whitehead, A. N. (1910). Principia
mathematica (Vol. 1). Cambridge: Cambridge University Press.
Ryle, G. (1949). The concept of mind.
London: Hutchinson.
Schulte, J. (1992). Wittgenstein: An
introduction. Albany, NY: State University of New York Press.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.
Tarski, A. (1944). The semantic conception of
truth. Philosophy and Phenomenological Research, 4(3), 341–376.
Varela, F. J., Thompson, E., & Rosch, E.
(1991). The embodied mind: Cognitive science and human experience.
Cambridge, MA: MIT Press.
White, R. M. (2006). Wittgenstein’s Tractatus
Logico-Philosophicus: A reader’s guide. London: Continuum.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
Logico-Philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge & Kegan
Paul.
Wittgenstein, L. (1929). Lecture on ethics.
Cambridge: University of Cambridge.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Ed.). Oxford: Basil Blackwell.
Wittgenstein, L. (1961). Notebooks 1914–1916
(G. H. von Wright & G. E. M. Anscombe, Eds.). Oxford: Basil Blackwell.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar