Teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif
Struktur Pikiran dan Bahasa
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori Tata
Bahasa Transformasional-Generatif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky
dalam kerangka filsafat bahasa dan filsafat pikiran. Kajian ini
menelusuri fondasi historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari
teori tersebut serta relevansinya dalam konteks sosial, politik, kultural, dan
digital kontemporer. Secara historis, teori ini lahir sebagai kritik terhadap
strukturalisme dan behaviorisme yang menafsirkan bahasa sebagai perilaku
empiris. Ontologisnya, Chomsky memahami bahasa sebagai struktur mental bawaan (innate
mental structure) yang menampakkan hakikat manusia sebagai makhluk
rasional. Secara epistemologis, teori ini menghidupkan kembali rasionalisme
modern dengan menegaskan bahwa pengetahuan linguistik bersifat a priori
dan berakar pada fakultas bahasa (language faculty) universal.
Dalam tataran aksiologis, teori ini memuat
nilai-nilai humanistik: bahasa dipahami sebagai ekspresi kebebasan,
kreativitas, dan tanggung jawab moral manusia. Bahasa bukan hanya sistem
simbol, tetapi manifestasi dari martabat dan rasionalitas manusia yang
memungkinkan pengetahuan, komunikasi, dan pembebasan. Dimensi sosial dan
politiknya menegaskan bahasa sebagai medan kesadaran kritis terhadap kekuasaan
dan ideologi, sedangkan secara kultural ia menjadi dasar pluralitas makna dan
solidaritas kemanusiaan.
Di era digital dan kecerdasan buatan, teori Chomsky
tetap relevan sebagai kritik terhadap reduksionisme algoritmik yang meniru
bentuk bahasa tanpa memahami makna. Dengan menolak pandangan bahwa kecerdasan
dapat direduksi menjadi pemrosesan statistik, Chomsky menegaskan kembali
pentingnya aspek rasional, moral, dan kreatif dalam memahami bahasa dan
pikiran. Akhirnya, artikel ini menyimpulkan bahwa teori Chomsky mengarah pada konsepsi
humanistik-integral tentang bahasa—bahasa sebagai refleksi ontologis,
sarana epistemologis, dan ruang aksiologis bagi kebebasan manusia untuk
berpikir, berkomunikasi, dan mencipta makna.
Kata Kunci: Noam Chomsky; Tata Bahasa
Transformasional-Generatif; Filsafat Bahasa; Pikiran dan Bahasa; Rasionalisme;
Innateness; Kompetensi Linguistik; Humanisme; Etika Bahasa; Kecerdasan Buatan.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat atas Teori Tata Bahasa
Transformasional-Generatif Noam Chomsky
1.
Pendahuluan
Teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif
yang dikembangkan oleh Noam Chomsky merupakan salah satu tonggak
revolusioner dalam sejarah linguistik modern dan filsafat bahasa. Teori ini
bukan hanya memengaruhi cara ilmuwan memahami struktur dan fungsi bahasa
manusia, tetapi juga mengubah paradigma tentang hakikat pikiran, pengetahuan,
dan kemampuan bawaan manusia. Dalam karya monumentalnya Syntactic Structures
(1957), Chomsky mengajukan pandangan bahwa kemampuan berbahasa tidak dapat
dijelaskan secara memadai oleh pendekatan empiris atau perilakuistik yang
mendominasi linguistik pada masa itu. Ia menolak pandangan bahwa bahasa hanyalah
hasil pembiasaan stimulus–respon seperti yang diyakini oleh B. F. Skinner, dan
sebaliknya menegaskan bahwa manusia memiliki struktur kognitif bawaan (innate
structures) yang memungkinkan penguasaan bahasa secara kreatif dan
produktif sejak masa kanak-kanak.¹
Teori ini muncul pada saat ilmu bahasa didominasi
oleh aliran strukturalisme Bloomfieldian dan behaviorisme psikologis,
yang berfokus pada pengamatan empiris terhadap ujaran nyata (speech behavior)
dan penolakan terhadap spekulasi mentalistik.² Chomsky menganggap pendekatan
tersebut reduksionistik karena gagal menjelaskan kemampuan manusia untuk
menghasilkan kalimat baru yang belum pernah didengar sebelumnya.³ Dengan
demikian, ia memperkenalkan konsep kompetensi linguistik sebagai
kemampuan mental internal yang memungkinkan penutur memahami dan menghasilkan
bahasa, berbeda dari performansi linguistik yang merupakan realisasi
aktual dalam konteks komunikasi.⁴
Dari perspektif filsafat bahasa, teori
Chomsky membawa konsekuensi ontologis dan epistemologis yang mendalam. Secara
ontologis, bahasa dipandang sebagai ekspresi dari struktur mental yang melekat
dalam kodrat manusia—yakni bagian dari fakultas kognitif universal yang disebut
language faculty.⁵ Secara epistemologis, teori ini menghidupkan kembali
semangat rasionalisme Descartes dan Kant dalam menjelaskan bahwa sebagian besar
pengetahuan manusia, termasuk tata bahasa, bersifat bawaan (a priori)
dan bukan semata hasil pengalaman empiris.⁶ Pandangan ini menempatkan Chomsky
dalam garis kontinuitas intelektual dengan tradisi filsafat rasionalis yang
memandang bahasa sebagai cermin dari rasionalitas manusia.
Tujuan utama kajian ini adalah untuk menelaah teori
Chomsky tidak hanya sebagai model linguistik formal, tetapi juga sebagai landasan
filosofis bagi pemahaman tentang hubungan antara bahasa, pikiran, dan
realitas. Kajian ini berupaya menunjukkan bahwa teori tata bahasa
transformasional-generatif dapat dibaca sebagai bentuk filsafat bahasa
rasionalistik-modern, yang mengaitkan struktur linguistik dengan struktur
mental dan moral manusia. Dengan demikian, pembahasan ini tidak hanya bersifat
deskriptif-linguistik, melainkan juga normatif dan reflektif, menyentuh dimensi
ontologis, epistemologis, aksiologis, serta sosial-kultural dari
pemikiran Chomsky.
Melalui pendekatan sistematis ini, artikel akan
menelusuri bagaimana teori Chomsky menantang paradigma empiris, mendukung
pandangan nativistik, dan berkontribusi terhadap pengembangan filsafat pikiran,
etika kebebasan intelektual, serta teori pengetahuan modern. Kajian ini juga
berusaha membuka ruang interpretasi baru yang lebih humanistik, yaitu
melihat bahasa bukan hanya sebagai sistem simbol, melainkan sebagai manifestasi
rasionalitas dan kebebasan manusia dalam memahami dan membentuk dunia.
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Syntactic Structures (The
Hague: Mouton, 1957), 13–14.
[2]
Leonard Bloomfield, Language (New York:
Henry Holt, 1933), 19–20.
[3]
Noam Chomsky, Review of B. F. Skinner’s Verbal
Behavior, Language 35, no. 1 (1959): 26–58.
[4]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax
(Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–4.
[5]
Noam Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature,
Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 12–15.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 132–134.
2.
Landasan Historis dan Genealogis
Teori Tata
Bahasa Transformasional-Generatif yang diperkenalkan oleh Noam
Chomsky tidak lahir dalam ruang hampa intelektual, melainkan
muncul sebagai respons kritis terhadap paradigma linguistik dan psikologi yang
mendominasi pertengahan abad ke-20. Akar genealogi intelektualnya dapat
ditelusuri dari perdebatan antara empirisisme dan rasionalisme,
yang telah lama membentuk fondasi filsafat bahasa dan pengetahuan sejak era
modern.
2.1.
Konteks Linguistik: Dari Strukturalisme ke
Revolusi Generatif
Sebelum kemunculan
Chomsky, linguistik di Amerika Serikat didominasi oleh aliran strukturalisme
Bloomfieldian, yang menekankan analisis empiris terhadap bentuk-bentuk
bahasa tanpa menyinggung aspek mental atau makna.⁽¹⁾ Leonard Bloomfield, tokoh
utama aliran ini, menolak pendekatan introspektif dan menempatkan linguistik
sejajar dengan ilmu alam yang bersifat objektif.⁽²⁾ Pandangan ini berafiliasi
dengan semangat positivisme logis, di mana
pengetahuan sahih harus dapat diverifikasi melalui pengalaman indrawi.
Pada dekade
1940–1950-an, pendekatan ini diperkuat oleh pengaruh behaviorisme
dalam psikologi, khususnya melalui karya B. F. Skinner. Dalam karyanya Verbal
Behavior (1957), Skinner menafsirkan bahasa sebagai perilaku yang
terbentuk melalui proses pengondisian dan penguatan (reinforcement).⁽³⁾ Bahasa,
bagi Skinner, bukanlah sistem mental, melainkan serangkaian respons terhadap
stimulus eksternal.
Chomsky memandang
pendekatan ini tidak memadai untuk menjelaskan kreativitas linguistik manusia.
Ia menolak gagasan bahwa penguasaan bahasa dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
stimulus lingkungan. Dalam tinjauan kritisnya terhadap Verbal
Behavior (1959), Chomsky menunjukkan bahwa penutur mampu
menghasilkan kalimat yang belum pernah didengar sebelumnya, yang tidak dapat
dijelaskan melalui teori pembiasaan.⁽⁴⁾ Dari sini muncul gagasan tentang kompetensi
linguistik—kapasitas mental yang memungkinkan manusia memahami
dan mencipta bahasa secara tak terbatas.
Dengan demikian,
teori Chomsky menjadi titik balik dari linguistik deskriptif menuju linguistik
generatif, di mana tujuan utama bukan lagi sekadar mendeskripsikan
struktur bahasa, tetapi menjelaskan mekanisme kognitif yang memungkinkan bahasa
itu ada. Revolusi ini menandai pergeseran dari linguistik sebagai ilmu empiris
ke linguistik sebagai ilmu mental (mental
science).⁽⁵⁾
2.2.
Akar Filsafat: Tradisi Rasionalisme dan
Cartesian
Secara genealogis,
teori Chomsky berakar kuat pada tradisi rasionalisme yang diwariskan
oleh René
Descartes dan para filsuf kontinental awal modern. Dalam Discourse
on Method (1637), Descartes menyatakan bahwa bahasa merupakan bukti
utama keberadaan akal budi (reason), sebab hanya manusia yang
dapat menggunakan bahasa secara kreatif dan produktif.⁽⁶⁾ Pandangan ini
mengandung asumsi bahwa kemampuan berbahasa merupakan innate
faculty, bukan hasil pembelajaran empiris semata.
Chomsky sendiri
secara eksplisit mengakui inspirasi ini dalam karya Cartesian Linguistics (1966), di
mana ia menafsirkan kembali tradisi linguistik rasionalis abad ke-17.⁽⁷⁾ Ia
melihat kesinambungan antara teori “gagasan bawaan” Descartes, Leibniz,
dan Kant dengan konsepsi universal grammar yang
dikembangkannya. Seperti Kant yang menegaskan adanya bentuk-bentuk pengetahuan a priori
yang mendahului pengalaman, Chomsky berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan
struktur mental bawaan yang membentuk cara kita memahami dan menghasilkan
bahasa.⁽⁸⁾
2.3.
Perkembangan Historis: Dari Standard Theory ke
Minimalism
Secara historis,
teori Chomsky mengalami perkembangan bertahap yang mencerminkan upayanya
menyederhanakan dan memperdalam pemahaman tentang struktur bahasa.
·
Standard
Theory (1965–1970):
Menegaskan hubungan antara deep
structure dan surface structure, yaitu dua
lapisan sintaksis yang menjelaskan bagaimana kalimat bermakna dihasilkan dari
representasi mendalam pikiran.⁽⁹⁾
·
Extended
Standard Theory (1970–1980):
Menambahkan dimensi semantik dan pragmatik untuk
memperbaiki keterbatasan model awal.
·
Government
and Binding Theory (1981):
Memperkenalkan prinsip modularitas, di mana tata
bahasa diatur oleh komponen-komponen otonom dalam faculty of language.¹⁰
·
Minimalist
Program (1990–sekarang):
Bertujuan menemukan prinsip paling sederhana dan
ekonomis dari struktur bahasa, dengan menekankan efisiensi biologis dalam
sistem kognitif manusia.¹¹
Perjalanan
intelektual ini menunjukkan bagaimana teori Chomsky berkembang dari kerangka
linguistik formal menuju suatu program kognitif-filosofis yang
lebih luas. Ia tidak hanya berupaya menjelaskan bahasa, tetapi juga hakikat
pikiran manusia, menegaskan bahwa kapasitas berbahasa adalah
cerminan terdalam dari kodrat rasional manusia itu sendiri.
Dengan demikian,
secara historis dan genealogis, teori tata bahasa transformasional-generatif
berdiri di persimpangan antara linguistik, filsafat, dan psikologi kognitif. Ia
melanjutkan warisan rasionalisme klasik sekaligus menandai lahirnya paradigma
baru dalam filsafat bahasa modern, di mana bahasa bukan hanya
alat komunikasi, melainkan juga struktur pemikiran yang membentuk dunia manusia.
Footnotes
[1]
Leonard Bloomfield, Language (New York: Henry Holt, 1933), 20–21.
[2]
Ibid., 27–28.
[3]
B. F. Skinner, Verbal Behavior (New York: Appleton-Century-Crofts, 1957), 10–12.
[4]
Noam Chomsky, Review of B. F.
Skinner’s Verbal Behavior, Language 35, no. 1
(1959): 26–27.
[5]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 3–5.
[6]
René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1998), 35–36.
[7]
Noam Chomsky, Cartesian Linguistics:
A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 12–15.
[8]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 136–138.
[9]
Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax, 6–7.
[10]
Noam Chomsky, Lectures on Government
and Binding (Dordrecht: Foris
Publications, 1981), 45–47.
[11]
Noam Chomsky, The Minimalist Program (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 3–5.
3.
Ontologi: Struktur Pikiran dan Bahasa
Dalam kerangka
filsafat bahasa Chomsky, dimensi ontologis memainkan peran
fundamental karena menentukan bagaimana bahasa dipahami sebagai entitas yang
melekat pada struktur pikiran manusia. Ontologi Chomsky tidak berangkat dari
bahasa sebagai fenomena sosial eksternal atau sistem tanda arbitrer sebagaimana
dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, melainkan dari asumsi bahwa bahasa
merupakan struktur mental internal yang
bersifat bawaan (innate mental structure).¹ Dengan
demikian, bahasa bukanlah ciptaan eksternal masyarakat, tetapi manifestasi dari
potensi kognitif manusia yang bersumber dari fakultas mental universal.
3.1.
Bahasa sebagai Entitas Mental
Dalam pandangan
Chomsky, bahasa tidak semata-mata sistem simbol eksternal yang digunakan untuk
komunikasi, melainkan bagian dari sistem representasi internal yang dimiliki
manusia secara alami.² Ia membedakan secara ontologis antara kompetensi
linguistik (linguistic competence) dan performansi
linguistik (performance).³ Kompetensi
menunjuk pada kemampuan internal—yakni pengetahuan implisit tentang aturan
bahasa yang dimiliki penutur ideal—sedangkan performansi menunjuk pada realisasi
aktual bahasa dalam konteks sosial dan psikologis. Dengan pembedaan ini,
Chomsky menegaskan bahwa hakikat bahasa terletak pada mind,
bukan pada behavior.
Bahasa dalam diri
manusia berfungsi sebagai alat representasi mental yang memungkinkan
struktur pikiran diartikulasikan dalam bentuk simbolis.⁴ Hal ini menjadikan
bahasa sebagai cermin ontologis dari pikiran: struktur bahasa merefleksikan
struktur berpikir manusia.⁵ Oleh sebab itu, memahami tata bahasa sama artinya
dengan memahami bagaimana pikiran manusia bekerja secara universal. Bahasa
tidak hanya alat berpikir, tetapi juga modus
eksistensial yang memperlihatkan sifat rasional manusia.
3.2.
Struktur Dalam dan Struktur Permukaan
Konsep kunci dalam
ontologi Chomsky adalah pembedaan antara struktur dalam (deep
structure) dan struktur permukaan (surface
structure).⁶ Struktur dalam merupakan
representasi abstrak yang mencerminkan makna dan relasi konseptual antarkata
dalam pikiran, sedangkan struktur permukaan adalah bentuk
aktual yang diwujudkan dalam ujaran.⁷ Transformasi dari struktur dalam ke
struktur permukaan diatur oleh seperangkat aturan transformasional yang
bersifat mental dan universal. Dengan demikian, realitas bahasa terbentuk dari
interaksi antara mekanisme kognitif dan ekspresi formalnya.
Ontologi ini
menempatkan bahasa dalam wilayah yang unik—tidak sepenuhnya material seperti
perilaku, dan tidak pula sepenuhnya ideal seperti ide Platoan. Ia bersifat mentalis-rasional,
di mana bahasa dipahami sebagai realitas psikologis yang diatur oleh
hukum-hukum internal yang universal.⁸ Konsepsi ini menegaskan bahwa setiap
manusia memiliki Language Faculty, yaitu sistem
biologis dalam otak yang memungkinkan pemerolehan bahasa secara alami tanpa
instruksi eksplisit.⁹
3.3.
Universalitas dan Naturalisme Linguistik
Dari sudut pandang
ontologi naturalistik, Chomsky memandang bahasa sebagai bagian dari kodrat
biologis manusia, serupa dengan kemampuan persepsi atau gerak.¹⁰ Dengan
demikian, bahasa memiliki status ontologis sebagai organ mental—sebuah kapasitas
biologis yang berevolusi bersama spesies manusia.¹¹ Namun, sifat universal dari
Language
Faculty tidak berarti bahwa semua bahasa sama; melainkan bahwa
semua bahasa dibangun berdasarkan prinsip-prinsip umum yang sama, atau yang
disebut Tata Bahasa Universal (Universal Grammar).¹²
Universal
Grammar merupakan prinsip bawaan yang menentukan ruang kemungkinan
struktur bahasa manusia.¹³ Secara ontologis, ia berfungsi sebagai matrix
yang menghubungkan pikiran dan dunia: struktur kognitif manusia membatasi,
namun sekaligus memungkinkan, bentuk-bentuk ekspresi linguistik yang mungkin.
Bahasa menjadi jembatan antara mind dan world—antara
dunia konseptual internal dan realitas empiris eksternal.¹⁴
3.4.
Relasi Pikiran, Bahasa, dan Realitas
Dari perspektif metafisik,
ontologi Chomsky menegaskan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan realitas,
tetapi juga mengkonstruksi cara manusia memahami realitas.¹⁵
Pikiran, melalui bahasa, tidak bersifat pasif menerima dunia, melainkan aktif
mengorganisir pengalaman menjadi struktur bermakna.¹⁶ Pandangan ini menunjukkan
kesinambungan antara teori linguistik Chomsky dan epistemologi rasionalistik
Kant, di mana struktur mental manusia menjadi syarat kemungkinan bagi
pengetahuan tentang dunia.¹⁷
Dengan demikian,
realitas linguistik bersifat transendental-mentalistik: ia
berada di antara dunia empiris dan dunia ide. Ontologi bahasa Chomsky menolak
reduksionisme empiris maupun idealisme murni, dengan menegaskan bahwa bahasa
adalah fenomena mental yang dapat diteliti secara ilmiah karena ia berakar pada
struktur biologis manusia.¹⁸
3.5.
Bahasa sebagai Cermin Hakikat Manusia
Akhirnya, dalam
tataran ontologis terdalam, teori Chomsky menunjukkan bahwa bahasa adalah cermin
hakikat manusia sebagai makhluk rasional dan bebas.¹⁹ Kapasitas
berbahasa menandai keunikan manusia di antara makhluk hidup lainnya karena
melibatkan kemampuan untuk membentuk, memahami, dan menilai makna.²⁰ Dengan
demikian, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga ekspresi
eksistensial dari kebebasan berpikir, imajinasi, dan moralitas.²¹
Ontologi Chomsky
mengembalikan bahasa kepada kodratnya sebagai fenomena humanistik
dan rasional, di mana struktur linguistik menjadi pantulan dari
struktur kesadaran manusia itu sendiri.²² Bahasa, dengan segala
kompleksitasnya, memperlihatkan bahwa realitas manusia bukan hanya material
atau sosial, tetapi juga mental dan simbolik—sebuah
dunia yang diciptakan melalui struktur batin yang universal.
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 3–5.
[2]
Ibid., 7–8.
[3]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 4–6.
[4]
John Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 18–19.
[5]
Jerry Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 22–23.
[6]
Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax, 16–18.
[7]
Noam Chomsky, Syntactic Structures (The Hague: Mouton, 1957), 13–15.
[8]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford University Press, 1986), 55–56.
[9]
Noam Chomsky, Knowledge of Language:
Its Nature, Origin, and Use (New
York: Praeger, 1986), 15–16.
[10]
Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 25–27.
[11]
Eric Lenneberg, Biological Foundations
of Language (New York: Wiley, 1967),
45–47.
[12]
Chomsky, Reflections on Language, 12–13.
[13]
Ibid., 14–16.
[14]
Hilary Putnam, Representation and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press,
1988), 8–10.
[15]
Chomsky, Knowledge of Language, 18–20.
[16]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 145–146.
[17]
Ibid., 155.
[18]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 33–34.
[19]
Noam Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 89–90.
[20]
Fodor, The Modularity of Mind, 29–31.
[21]
Chomsky, Reflections on Language, 22–24.
[22]
Pinker, The Language Instinct, 40–42.
4.
Epistemologi: Asal Pengetahuan Linguistik
Dalam kerangka
filsafat bahasa Chomsky, dimensi epistemologis berkaitan dengan
pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui bahasa?
atau lebih tepatnya, bagaimana pengetahuan linguistik dapat muncul
pada manusia meskipun data empiris yang tersedia sangat terbatas?
Pertanyaan ini menjadi inti dari argumen nativistik Chomsky yang menolak
pandangan empirisisme radikal, dan sebaliknya menegaskan bahwa kemampuan
berbahasa bersumber dari pengetahuan bawaan (innate
knowledge) yang merupakan bagian dari struktur kognitif manusia.¹
4.1.
Argumen Kemiskinan Stimulus (Poverty of the
Stimulus)
Salah satu dasar
epistemologis paling terkenal dalam teori Chomsky adalah argumen
kemiskinan stimulus (poverty of the stimulus argument).
Menurutnya, anak-anak dapat memperoleh kemampuan linguistik kompleks meskipun
tidak pernah menerima data empiris yang cukup untuk menjelaskan kemahiran
tersebut.² Data linguistik yang mereka dengar di lingkungan sangat terbatas,
sering tidak sempurna, dan tidak selalu gramatikal, tetapi anak mampu
menghasilkan kalimat baru yang benar secara sintaksis tanpa pengajaran
eksplisit.³
Dari situ, Chomsky
menyimpulkan bahwa kemampuan berbahasa tidak mungkin murni hasil induksi
empiris, melainkan berasal dari seperangkat prinsip dan parameter
bawaan yang membimbing proses pemerolehan bahasa.⁴ Mekanisme ini disebut
sebagai Language Acquisition Device (LAD)—suatu
sistem kognitif dalam otak yang berfungsi mengekstraksi aturan universal dari
data linguistik yang terbatas.⁵ Dengan demikian, epistemologi bahasa Chomsky
bersandar pada rationalist hypothesis: bahwa
pengetahuan linguistik bersumber dari struktur mental a priori yang melekat
pada manusia sejak lahir.⁶
4.2.
Rasionalisme Linguistik dan Pengetahuan A
Priori
Pandangan Chomsky
memiliki akar mendalam dalam tradisi rasionalisme epistemologis yang
diwarisi dari Descartes, Leibniz, dan Kant. Seperti Descartes yang menegaskan
keberadaan “gagasan bawaan” (innate ideas), Chomsky menekankan
bahwa pengetahuan linguistik bukan hasil tabula rasa, melainkan hasil
aktualisasi dari potensi bawaan.⁷ Bagi Chomsky, setiap manusia dilahirkan
dengan kerangka konseptual yang memungkinkan pembentukan makna dan struktur
bahasa secara spontan.⁸
Dalam analogi
Kantian, Language
Faculty berfungsi seperti “kategori-kategori pikiran” (categories
of understanding) yang menyusun pengalaman linguistik menjadi
bentuk yang dapat dipahami.⁹ Artinya, pengalaman linguistik eksternal (empiris)
hanya dapat dimengerti sejauh ia diproses melalui struktur mental internal yang
sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, Universal Grammar berperan sebagai syarat
kemungkinan pengetahuan linguistik, sebagaimana ruang dan waktu
menjadi syarat kemungkinan pengetahuan empiris menurut Kant.¹⁰
Epistemologi
Chomsky, oleh karena itu, tidak sekadar menjelaskan bagaimana kita belajar bahasa,
tetapi juga bagaimana bahasa itu sendiri menjadi bentuk
pengetahuan bawaan tentang dunia.¹¹
4.3.
Intuisi Linguistik dan Pengetahuan Implisit
Aspek lain dari
epistemologi Chomsky adalah peran intuisi penutur asli (native
speaker intuition) dalam memahami tata bahasa.¹² Chomsky
berpendapat bahwa setiap penutur memiliki pengetahuan implisit tentang struktur
bahasa yang ia gunakan, bahkan jika ia tidak dapat menjelaskannya secara
eksplisit.¹³ Dengan kata lain, manusia tahu aturan linguistik tanpa harus mengetahui
bahwa ia tahu (a case of tacit knowledge).¹⁴
Fenomena ini
menunjukkan bahwa pengetahuan linguistik berbeda dari pengetahuan konseptual
biasa. Ia bersifat implisit, tidak disadari, dan otomatis,
tetapi tetap sistematis dan terstruktur.¹⁵ Dari sini, epistemologi Chomsky berdekatan
dengan konsep “tacit knowing” yang dikemukakan
oleh Michael Polanyi—yakni bahwa sebagian besar pengetahuan manusia tidak dapat
direduksi menjadi proposisi eksplisit, melainkan hadir dalam bentuk kemampuan
dan disposisi.¹⁶
Implikasinya,
pengetahuan linguistik tidak bersifat empiris, melainkan bersifat kognitif
dan rasional, yaitu hasil dari operasi struktur internal yang
tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat dijelaskan secara teoretis
melalui model mental.¹⁷
4.4.
Pengetahuan Linguistik dan Ilmu Kognitif
Chomsky menempatkan
teori linguistiknya dalam kerangka revolusi kognitif yang
menentang behaviorisme psikologis.¹⁸ Dengan memandang bahasa sebagai bentuk
pengetahuan internal (knowledge of language), ia
menegaskan bahwa linguistik bukan hanya studi tentang perilaku verbal,
melainkan bagian dari ilmu pengetahuan tentang pikiran (science
of mind).¹⁹
Epistemologi ini
membuka jalan bagi ilmu kognitif modern, di mana
pikiran dipahami sebagai sistem representasional yang memproses informasi
simbolik.²⁰ Dalam konteks ini, pengetahuan linguistik adalah hasil kerja sistem
mental yang bersifat modular dan universal.²¹ Jerry Fodor memperluas pandangan
ini dengan teori modularity of mind, yang menyatakan
bahwa fakultas bahasa beroperasi secara otonom dari sistem kognitif lain,
menunjukkan sifat bawaan dan spesialisasi biologisnya.²²
Melalui pendekatan
ini, epistemologi Chomsky berperan besar dalam memulihkan status
ilmiah rasionalisme, yakni bahwa studi tentang pikiran dan
bahasa dapat dilakukan secara empiris tanpa mengabaikan hakikat mentalnya.²³
4.5.
Implikasi Epistemologis: Pengetahuan,
Kebebasan, dan Rasionalitas
Secara filosofis,
pandangan Chomsky memiliki implikasi epistemologis yang lebih luas. Jika bahasa
adalah sistem pengetahuan bawaan, maka manusia bukanlah makhluk pasif yang
menerima dunia, melainkan subjek aktif yang memiliki perangkat untuk menstrukturkan
pengalaman.²⁴ Hal ini mengarah pada pemahaman humanistik bahwa rasionalitas dan
kebebasan berpikir merupakan konsekuensi alamiah dari struktur kognitif
manusia.²⁵
Dengan demikian,
epistemologi Chomsky menyatukan aspek biologis dan rasional dari
manusia: pengetahuan linguistik merupakan hasil kodrat alami sekaligus ekspresi
kebebasan intelektual.²⁶ Ia menolak baik empirisisme mekanistik maupun idealisme
subjektif, dengan menegaskan bahwa pengetahuan linguistik adalah produk
dari struktur mental yang berakar pada kodrat biologis manusia yang rasional.²⁷
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 4–6.
[2]
Ibid., 7–8.
[3]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 18–20.
[4]
Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax, 9–10.
[5]
Eric Lenneberg, Biological Foundations
of Language (New York: Wiley, 1967),
35–36.
[6]
Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975),
12–13.
[7]
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. Donald A. Cress
(Indianapolis: Hackett, 1993), 44–46.
[8]
Noam Chomsky, Cartesian Linguistics:
A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 12–14.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 145–146.
[10]
Ibid., 150–151.
[11]
Chomsky, Knowledge of Language:
Its Nature, Origin, and Use (New
York: Praeger, 1986), 16–17.
[12]
Noam Chomsky, Rules and
Representations (New York: Columbia
University Press, 1980), 5–7.
[13]
Ibid., 8–9.
[14]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Garden City, NY: Doubleday, 1966), 4–5.
[15]
Chomsky, Reflections on Language, 23–24.
[16]
Polanyi, The Tacit Dimension, 7–8.
[17]
Hilary Putnam, Representation and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press,
1988), 9–10.
[18]
George A. Miller, The Science of Words (New York: Scientific American Library, 1991), 14–15.
[19]
Chomsky, Knowledge of Language, 19–20.
[20]
Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 28–30.
[21]
Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 25–27.
[22]
Ibid., 29–30.
[23]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 55–57.
[24]
Chomsky, Rules and
Representations, 13–15.
[25]
Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 80–82.
[26]
Ibid., 84–86.
[27]
Pinker, The Language Instinct, 42–44.
5.
Aksiologi: Nilai dan Fungsi Teori Bahasa
Dimensi aksiologis
dari teori Tata
Bahasa Transformasional-Generatif Noam Chomsky mengungkapkan
bagaimana teori tersebut tidak hanya berfungsi sebagai model ilmiah linguistik,
tetapi juga memiliki nilai-nilai filosofis, etis, dan humanistik yang luas.
Chomsky tidak sekadar menyusun teori tentang struktur bahasa, melainkan juga
membela gagasan tentang martabat intelektual manusia, kebebasan
berpikir, dan rasionalitas universal sebagai
dasar bagi eksistensi dan pengetahuan.¹
5.1.
Nilai Ilmiah: Penemuan Struktur Rasional Bahasa
Secara ilmiah, teori
Chomsky memberikan nilai revolusioner terhadap linguistik dengan menegaskan
bahwa bahasa harus dipahami sebagai sistem pengetahuan internal (internalized
knowledge system) yang teratur secara rasional.² Ia mengubah
paradigma linguistik dari sekadar deskripsi perilaku verbal menuju penjelasan
mengenai mekanisme kognitif yang
menghasilkan bahasa.³ Pendekatan ini memperluas status linguistik menjadi
bagian dari ilmu tentang pikiran (science
of mind), yang memiliki dampak signifikan bagi psikologi kognitif,
ilmu komputer, dan neurolinguistik.⁴
Teori ini juga
memberikan landasan bagi linguistik komputasional dan
penelitian kecerdasan buatan (AI), karena gagasan tentang universal
grammar menginspirasi pencarian prinsip-prinsip umum yang dapat
memodelkan kemampuan bahasa manusia.⁵ Nilai ilmiah ini menunjukkan bahwa teori
Chomsky tidak hanya berfungsi deskriptif, tetapi juga produktif—menjadi
paradigma yang memicu eksplorasi baru tentang struktur rasional manusia.
5.2.
Nilai Epistemologis dan Pendidikan: Bahasa
sebagai Cermin Kognisi
Dalam konteks
epistemologi, teori Chomsky menegaskan nilai bahwa pengetahuan
linguistik adalah bentuk pengetahuan rasional yang bersumber dari struktur
bawaan manusia.⁶ Dengan demikian, pendidikan bahasa tidak
semata proses pengajaran eksternal, tetapi merupakan proses
aktualisasi potensi intelektual yang telah ada dalam diri
manusia.⁷
Pandangan ini
mengandung nilai aksiologis bagi bidang pendidikan dan filsafat ilmu:
pengetahuan tidak ditransmisikan dari luar ke dalam, melainkan dikembangkan
dari dalam diri melalui kemampuan berpikir dan struktur mental yang telah
tersedia.⁸ Secara praktis, pendekatan ini menumbuhkan penghargaan terhadap kreativitas
dan otonomi
berpikir, dua nilai yang sangat penting dalam pembentukan
manusia rasional dan merdeka.⁹
5.3.
Nilai Etis dan Humanistik: Bahasa sebagai
Ekspresi Kebebasan
Bagi Chomsky, bahasa
memiliki makna etis yang dalam: ia merupakan ekspresi kebebasan dan kreativitas manusia.¹⁰
Tidak seperti mesin atau hewan yang berperilaku berdasarkan stimulus, manusia
mampu menciptakan kalimat yang tak terbatas jumlahnya dan tidak pernah
terdengar sebelumnya.¹¹ Kreativitas linguistik ini menjadi bukti bahwa manusia
adalah makhluk yang bebas, rasional, dan bermoral—mampu menggunakan bahasa
bukan hanya untuk menyampaikan fakta, tetapi juga untuk mengekspresikan nilai,
keadilan, dan solidaritas.¹²
Chomsky menolak
reduksionisme behavioristik yang memandang bahasa sebagai perilaku mekanistik
tanpa kebebasan.¹³ Dengan menempatkan bahasa dalam ranah kognitif dan rasional,
ia menegaskan nilai otonomi intelektual sebagai
hakikat manusia.¹⁴ Secara aksiologis, teori ini mengandung pesan moral bahwa
kebebasan berpikir dan berbicara adalah wujud tertinggi dari potensi manusia,
serta menjadi dasar bagi martabat dan tanggung jawab moral.¹⁵
5.4.
Nilai Sosial-Politik: Bahasa, Kesadaran, dan
Pembebasan
Meskipun teori tata
bahasa generatif awalnya bersifat ilmiah, Chomsky juga mengembangkan implikasi
sosial dan politik dari konsep kebebasan berpikir.¹⁶ Ia menegaskan bahwa bahasa
adalah alat pembebasan, bukan sekadar sarana komunikasi.¹⁷
Kemampuan berbahasa memungkinkan manusia untuk menyadari dan mengkritik struktur kekuasaan,
menolak dominasi ideologis, serta membangun solidaritas kemanusiaan.¹⁸
Dalam karyanya yang
lebih politis, Chomsky mengaitkan linguistik dengan etika
diskursus dan kebebasan publik, di mana kemampuan berbicara dan
berargumen secara rasional merupakan prasyarat bagi demokrasi dan keadilan
sosial.¹⁹ Dengan demikian, teori linguistiknya secara aksiologis memperluas
makna bahasa menjadi fondasi kesadaran kritis dan moralitas sosial.²⁰
5.5.
Nilai Filosofis dan Humanisme Rasional
Secara filosofis,
teori Chomsky menegaskan nilai-nilai humanisme rasional: bahwa
manusia adalah makhluk yang pada dasarnya rasional, kreatif, dan berpotensi
memahami dunia melalui struktur mentalnya.²¹ Bahasa menjadi simbol dari
martabat manusia karena menunjukkan kemampuan untuk berpikir abstrak,
mengungkapkan nilai, dan membangun makna intersubjektif.²²
Pandangan ini
selaras dengan gagasan klasik dalam tradisi rasionalisme bahwa kemampuan
rasional adalah dasar etika dan moralitas.²³ Dengan demikian, teori tata bahasa
generatif bukan hanya penjelasan tentang struktur kalimat, tetapi juga penegasan
tentang struktur moral manusia: bahwa berpikir, berbicara, dan
memahami adalah bentuk kebebasan yang memiliki nilai etis intrinsik.²⁴
Dalam kerangka
aksiologis inilah, Chomsky menghadirkan teori bahasa bukan hanya sebagai sistem
ilmiah, tetapi juga sebagai pembelaan terhadap kemanusiaan—suatu
bentuk rasionalisme moral yang melihat bahasa sebagai cermin dari kebebasan dan
tanggung jawab manusia terhadap dunia dan sesamanya.²⁵
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 3–4.
[2]
Ibid., 6–7.
[3]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 5–6.
[4]
Jerry A. Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 22–24.
[5]
Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 30–32.
[6]
Chomsky, Knowledge of Language:
Its Nature, Origin, and Use (New
York: Praeger, 1986), 15–17.
[7]
Ibid., 19–20.
[8]
Howard Gardner, The Mind’s New Science:
A History of the Cognitive Revolution
(New York: Basic Books, 1985), 102–104.
[9]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: Continuum,
1970), 72–74.
[10]
Noam Chomsky, Cartesian Linguistics:
A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 27–29.
[11]
Noam Chomsky, Rules and
Representations (New York: Columbia
University Press, 1980), 11–13.
[12]
Chomsky, Reflections on Language, 25–27.
[13]
Noam Chomsky, Review of B. F.
Skinner’s Verbal Behavior, Language 35, no. 1
(1959): 27–28.
[14]
Chomsky, Knowledge of Language, 21–22.
[15]
John Searle, Freedom and
Neurobiology (New York: Columbia
University Press, 2004), 35–37.
[16]
Noam Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988),
42–44.
[17]
Ibid., 55–56.
[18]
Chomsky, Necessary Illusions:
Thought Control in Democratic Societies
(Boston: South End Press, 1989), 10–12.
[19]
Ibid., 13–14.
[20]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.
[21]
Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 91–92.
[22]
Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975),
16–18.
[23]
Immanuel Kant, Groundwork of the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 59–61.
[24]
Chomsky, Reflections on Language, 30–31.
[25]
Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind, 95–96.
6.
Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural
Meskipun teori Tata
Bahasa Transformasional-Generatif awalnya dikembangkan dalam
konteks ilmiah linguistik dan kognitif, pemikiran Noam Chomsky
tidak dapat dilepaskan dari dimensi sosial, politik, dan kultural
yang lebih luas. Chomsky memandang bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi,
tetapi juga sebagai sarana pembentukan kesadaran, ekspresi kebebasan, dan
bahkan resistensi terhadap dominasi ideologis.¹ Dalam kerangka ini, teori
bahasanya memiliki implikasi sosial yang mendalam: bahasa mencerminkan struktur
kognitif manusia sekaligus mempengaruhi struktur sosial di mana manusia hidup
dan berpikir.
6.1.
Bahasa sebagai Alat Kesadaran dan Pembebasan
Bagi Chomsky,
kemampuan berbahasa menandai kapasitas manusia untuk berpikir
kritis dan bertindak bebas.² Melalui bahasa, manusia tidak
hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kesadaran—baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap tatanan sosial yang mengitarinya.³ Bahasa
menjadi medium utama bagi munculnya refleksi moral, kritik terhadap
ketidakadilan, dan artikulasi nilai kemanusiaan.⁴
Dalam konteks ini,
teori kompetensi
linguistik tidak hanya menjelaskan mekanisme mental, tetapi juga
mengandaikan bahwa setiap manusia memiliki potensi rasional yang setara untuk
memahami dan menafsirkan dunia.⁵ Pandangan ini memiliki dimensi egalitarian
yang kuat: jika struktur linguistik bersifat universal, maka potensi berpikir
kritis juga merupakan hak bawaan seluruh umat manusia.⁶
6.2.
Bahasa dan Ideologi: Kritik terhadap Hegemoni
Dalam karya-karya
politiknya, Chomsky menyoroti bagaimana bahasa dapat digunakan secara
manipulatif dalam struktur kekuasaan dan media massa.⁷ Ia memperkenalkan konsep
“manufacturing
consent”—proses di mana bahasa dan wacana digunakan oleh
lembaga-lembaga sosial dan politik untuk membentuk opini publik dan menormalkan
ketimpangan kekuasaan.⁸
Melalui analisis
ini, Chomsky memperluas teori bahasanya ke ranah kritik
ideologi, dengan menegaskan bahwa struktur sintaksis dan
semantik tidak pernah netral, tetapi selalu memiliki potensi ideologis.⁹ Bahasa
dapat menjadi instrumen dominasi ketika digunakan untuk menyamarkan realitas,
mengalihkan perhatian, atau mengaburkan kebenaran moral.¹⁰ Namun, pada saat
yang sama, bahasa juga dapat menjadi alat pembebasan ketika digunakan untuk
membongkar ketidakadilan dan mengungkapkan kebenaran.¹¹
Dengan demikian,
teori bahasa Chomsky berelasi erat dengan etika komunikasi, seperti yang
dikembangkan oleh Jürgen Habermas, di mana penggunaan bahasa yang bebas dari
distorsi menjadi syarat bagi komunikasi yang rasional dan emansipatoris.¹²
6.3.
Dimensi Kultural: Bahasa, Pikiran, dan
Keberagaman
Secara kultural,
teori Chomsky mengandung dua implikasi penting yang tampak paradoksal: universalisme
biologis dan pluralisme kultural.¹³ Di satu
sisi, Universal
Grammar menegaskan adanya struktur bawaan yang sama dalam diri
semua manusia, yang menunjukkan kesatuan biologis dan kognitif umat manusia.¹⁴
Di sisi lain, struktur ini justru menjadi dasar bagi keragaman
linguistik dan budaya karena setiap komunitas merealisasikan
potensi universal itu dalam bentuk yang berbeda-beda.¹⁵
Dengan demikian,
teori Chomsky tidak meniadakan keragaman budaya, melainkan menegaskan bahwa
pluralitas bahasa adalah hasil dari aktualisasi satu potensi rasional
universal.¹⁶ Hal ini sejalan dengan pandangan humanistik bahwa semua kebudayaan
memiliki nilai intrinsik karena bersumber dari kapasitas kognitif yang sama.¹⁷
Selain itu, bahasa
juga menjadi medium utama dalam pembentukan identitas kultural. Ia bukan hanya
alat untuk menggambarkan dunia, tetapi juga cara untuk menciptakan
dunia simbolik tempat manusia hidup bersama.¹⁸ Dalam hal ini,
teori Chomsky membuka jalan bagi dialog antara filsafat bahasa dan antropologi
linguistik, yang sama-sama melihat bahasa sebagai unsur
pembentuk kebudayaan.¹⁹
6.4.
Bahasa, Kekuasaan, dan Etika Diskursus
Dimensi
sosial-politik teori Chomsky juga dapat dibaca dalam kaitannya dengan etika
diskursus publik. Ia menekankan bahwa kebebasan berbicara
adalah syarat dasar bagi kehidupan demokratis yang sehat.²⁰ Dalam masyarakat
yang tertindas oleh kekuasaan ideologis, bahasa menjadi medan perjuangan antara
kontrol dan kebebasan.²¹ Oleh karena itu, Chomsky mengaitkan kemampuan berbahasa
dengan tanggung
jawab moral: setiap individu memiliki kewajiban untuk
menggunakan bahasa secara jujur, kritis, dan rasional demi mempertahankan
kebenaran publik.²²
Konsep ini
beresonansi dengan filsafat komunikasi Habermas dan Arendt yang menempatkan
tindakan berbicara (speech act) sebagai inti dari
tindakan politik.²³ Bahasa bukan sekadar instrumen, melainkan ruang
etis dan dialogis tempat kebenaran dan keadilan
dinegosiasikan.²⁴
Dengan demikian,
teori Chomsky memberikan kontribusi terhadap pemahaman bahwa kebebasan
linguistik adalah prasyarat bagi kebebasan sosial,
dan bahwa pembungkaman atau manipulasi bahasa berarti pembungkaman terhadap
rasionalitas manusia itu sendiri.²⁵
6.5.
Integrasi Humanistik: Bahasa sebagai Struktur
Rasional dan Moral
Akhirnya, dimensi
sosial, politik, dan kultural teori Chomsky mengarah pada suatu visi humanisme
rasional.²⁶ Bahasa, bagi Chomsky, adalah bukti paling nyata
dari kodrat manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan kreatif.²⁷ Ia menjadi
dasar bagi solidaritas kemanusiaan karena memungkinkan manusia untuk saling
memahami melampaui perbedaan budaya dan ideologi.²⁸
Dengan menempatkan
bahasa sebagai fondasi kesadaran kritis dan kebebasan moral, teori Chomsky
menawarkan model filsafat bahasa yang tidak berhenti pada struktur sintaksis,
melainkan menembus ke ranah etika dan politik emansipatoris.²⁹
Bahasa, dengan demikian, bukan hanya cermin pikiran, tetapi juga sarana
perjuangan manusia untuk mempertahankan martabat dan kebebasan
di tengah dunia sosial yang kompleks.³⁰
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 3–5.
[2]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 4–5.
[3]
Chomsky, Knowledge of Language:
Its Nature, Origin, and Use (New
York: Praeger, 1986), 19–21.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: Continuum,
1970), 70–72.
[5]
Chomsky, Reflections on Language, 22–23.
[6]
Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 45–46.
[7]
Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing
Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 1–3.
[8]
Ibid., 5–6.
[9]
Chomsky, Necessary Illusions:
Thought Control in Democratic Societies
(Boston: South End Press, 1989), 10–11.
[10]
Ibid., 13–15.
[11]
Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988),
52–54.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[13]
Noam Chomsky, Cartesian Linguistics:
A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 14–16.
[14]
Eric Lenneberg, Biological Foundations
of Language (New York: Wiley, 1967),
45–46.
[15]
Chomsky, Knowledge of Language, 22–23.
[16]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 89–90.
[17]
Ibid., 95.
[18]
George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors
We Live By (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 3–4.
[19]
Dell Hymes, Foundations in
Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 5–7.
[20]
Chomsky, Language and Politics, 62–63.
[21]
Noam Chomsky, Media Control: The
Spectacular Achievements of Propaganda
(New York: Seven Stories Press, 2002), 10–12.
[22]
John Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 17–19.
[23]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge, MA:
MIT Press, 1990), 88–90.
[24]
Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958),
175–177.
[25]
Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 88–89.
[26]
Ibid., 92–93.
[27]
Chomsky, Reflections on Language, 30–32.
[28]
Habermas, The Theory of
Communicative Action, 90–91.
[29]
Freire, Pedagogy of the
Oppressed, 80–82.
[30]
Chomsky, Language and Politics, 75–77.
7.
Kritik terhadap Teori
Transformasional-Generatif
Sejak awal
kemunculannya pada akhir 1950-an, teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif
Noam Chomsky telah mengubah wajah linguistik modern, namun sekaligus
menimbulkan berbagai perdebatan mendalam di kalangan ilmuwan bahasa, filsuf,
dan psikolog. Teori ini dianggap revolusioner karena menegaskan bahwa bahasa
merupakan sistem kognitif bawaan, tetapi pandangan tersebut juga mengundang
kritik dari berbagai arah: mulai dari strukturalisme dan fungsionalisme,
semantik
dan pragmatik, hingga psikologi empiris, neurolinguistik, serta
filsafat bahasa kontemporer. Kritik-kritik ini tidak hanya
bersifat teknis-linguistik, tetapi juga menyentuh aspek ontologis,
epistemologis, dan ideologis dari teori Chomsky.
7.1.
Kritik Strukturalisme dan Fungsionalisme:
Bahasa sebagai Sistem Sosial, Bukan Mental
Kaum strukturalis
dan fungsionalis,
seperti M. A. K. Halliday dan Dell Hymes, menolak asumsi Chomsky bahwa hakikat
bahasa dapat dipahami semata-mata melalui struktur mental internal.¹ Mereka
menilai bahwa pendekatan Chomsky terlalu menekankan aspek formal dan universal,
sehingga mengabaikan fungsi sosial, konteks komunikasi, dan makna pragmatis
dari bahasa.²
Halliday, melalui
teori Systemic
Functional Linguistics (SFL), menegaskan bahwa bahasa adalah sistem
pilihan makna yang berfungsi untuk menegosiasikan hubungan sosial.³ Ia
berpendapat bahwa “bahasa bukan hanya struktur dalam pikiran, tetapi
tindakan sosial yang menghubungkan individu dengan masyarakatnya.”⁴ Sementara
itu, Dell Hymes memperkenalkan konsep “kompetensi komunikatif” untuk
melengkapi dan mengoreksi konsep kompetensi linguistik Chomsky.⁵
Bagi Hymes, kemampuan berbahasa tidak hanya mencakup tata bahasa, tetapi juga
pengetahuan tentang kapan, di mana, dan kepada siapa suatu ujaran pantas
digunakan.⁶
Kritik ini
menunjukkan bahwa teori generatif dianggap terlalu abstrak dan terlepas dari
kenyataan sosial-kultural bahasa, sehingga gagal menjelaskan keberagaman fungsi
komunikatif dalam kehidupan manusia.⁷
7.2.
Kritik Semantik dan Pragmatik: Kekurangan pada
Dimensi Makna dan Konteks
Para linguis
semantik dan pragmatik, seperti George Lakoff, John Searle, dan Paul Grice,
menilai bahwa teori Chomsky tidak memberikan ruang yang memadai bagi makna,
intensi, dan konteks komunikasi.⁸ Lakoff, yang awalnya bekerja
dalam kerangka generatif, kemudian meninggalkan pendekatan itu dan
mengembangkan linguistik kognitif yang
menekankan metafora konseptual sebagai dasar pemaknaan.⁹ Menurutnya, bahasa
bukanlah kumpulan aturan formal, melainkan refleksi dari cara manusia memahami
dunia melalui pengalaman tubuh dan budaya.¹⁰
John Searle
mengkritik Chomsky karena gagal menjelaskan fungsi tindak tutur (speech
acts) yang bersifat intensional dan sosial.¹¹ Ia menegaskan bahwa
makna ujaran tidak hanya ditentukan oleh struktur sintaksis, tetapi oleh maksud
pembicara dan konvensi sosial yang menyertainya.¹² Paul Grice, dengan teori implicature,
menambahkan bahwa komunikasi selalu bergantung pada prinsip kerja sama (cooperative
principle) yang tidak dapat direduksi menjadi aturan tata bahasa.¹³
Kritik-kritik ini
menyoroti bahwa teori transformasional-generatif terlalu fokus pada bentuk
(form) dan mengabaikan aspek penggunaan (use), padahal bahasa adalah fenomena
yang maknanya muncul dalam konteks sosial interaktif.¹⁴
7.3.
Kritik Empiris dan Neurolinguistik:
Keterbatasan Bukti tentang “Language Faculty”
Dari sudut pandang psikologi
empiris dan neurolinguistik, sejumlah
peneliti mempertanyakan keberadaan Language Faculty dan Universal
Grammar sebagai entitas biologis yang dapat diverifikasi.¹⁵
Pendekatan connectionism
dalam psikologi kognitif, yang dipelopori oleh James McClelland dan David
Rumelhart, berargumen bahwa kemampuan berbahasa dapat dijelaskan melalui pembelajaran
asosiatif dan pemrosesan paralel, bukan
melalui seperangkat aturan bawaan.¹⁶
Selain itu,
penelitian neurolinguistik menunjukkan bahwa pemrosesan bahasa melibatkan
jaringan otak yang dinamis dan adaptif, yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
model modular Chomsky.¹⁷ Michael Tomasello juga mengkritik nativisme Chomsky
melalui teori usage-based learning, dengan
menekankan bahwa anak-anak belajar bahasa melalui interaksi sosial, imitasi,
dan pembentukan pola (pattern formation), bukan melalui
perangkat bawaan.¹⁸
Kritik-kritik ini
mempertanyakan dasar empiris dari klaim Chomsky tentang universalisme bahasa,
sekaligus menantang pandangan bahwa kapasitas linguistik sepenuhnya bersifat
terpisah dari pengalaman sosial dan persepsi sensorik.¹⁹
7.4.
Kritik Filsafat Bahasa: Rasionalisme
Reduksionistik dan Asumsi Mentalistik
Dalam ranah filsafat
bahasa, beberapa pemikir seperti Hilary Putnam, Donald Davidson, dan Hubert
Dreyfus menilai teori Chomsky terlalu mentalis dan reduksionistik.²⁰
Putnam menolak gagasan bahwa makna dapat dijelaskan sepenuhnya melalui struktur
internal, dengan menegaskan bahwa makna bersifat eksternal—bergantung pada
dunia sosial dan praktik penggunaan bahasa.²¹ Davidson, melalui teori radical
interpretation, menganggap bahwa pemahaman bahasa memerlukan
konteks komunikasi nyata, bukan hanya representasi sintaksis abstrak.²²
Sementara itu,
Hubert Dreyfus, dari perspektif fenomenologi Heideggerian, mengkritik Chomsky
karena mengabaikan dimensi eksistensial dari bahasa.²³ Menurut Dreyfus, bahasa
bukan sekadar hasil kalkulasi mental, tetapi cara manusia berada di dunia (being-in-the-world).²⁴
Kritik ini membawa teori Chomsky ke ranah filsafat eksistensial dan
hermeneutik, di mana bahasa dipahami sebagai pengalaman makna yang hidup, bukan
sistem aturan formal.²⁵
7.5.
Kritik Sosio-Politik dan Ideologis: Bahasa,
Kekuasaan, dan Elitisme Rasional
Beberapa kritikus,
seperti Pierre Bourdieu dan Norman Fairclough, menilai teori Chomsky mengandung
bias
rasionalisme Barat yang cenderung mengabaikan dimensi kekuasaan
dalam praktik bahasa.²⁶ Bourdieu, melalui teori linguistic capital, menegaskan
bahwa struktur bahasa tidak netral; ia terkait erat dengan struktur kekuasaan
dan dominasi simbolik.²⁷ Fairclough menambahkan bahwa setiap tata bahasa adalah
bentuk ideologi yang mereproduksi relasi sosial tertentu.²⁸
Meskipun Chomsky
sendiri menentang manipulasi bahasa dalam ranah politik, kritik-kritik ini
menunjukkan bahwa pendekatannya tetap terlalu menekankan universalitas
rasional, dan kurang memperhatikan bagaimana bahasa beroperasi secara konkret
dalam masyarakat yang tidak setara.²⁹
7.6.
Evaluasi Kritis: Antara Validitas Ilmiah dan
Batasan Humanistik
Secara keseluruhan,
kritik terhadap teori Chomsky dapat dirangkum dalam dua kutub utama: (a) keterbatasan
empiris, yakni kurangnya bukti neurologis dan psikologis yang
kuat untuk mendukung Universal Grammar; dan (b) keterbatasan
humanistik, yakni pengabaian terhadap konteks sosial, budaya,
dan moral dalam penggunaan bahasa.³⁰
Namun demikian,
banyak dari kritik tersebut juga memperkaya teori Chomsky sendiri, memunculkan generasi
baru linguistik kognitif, pragmatik, dan studi wacana kritis.³¹ Dalam
perspektif filosofis, kritik-kritik itu tidak meniadakan nilai teori generatif,
tetapi mengajak untuk melihatnya sebagai model parsial dari fenomena
bahasa yang jauh lebih kompleks—yakni fenomena yang melibatkan hubungan antara
struktur mental, interaksi sosial, dan kesadaran historis manusia.³²
Footnotes
[1]
M. A. K. Halliday, Language as Social
Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning (London: Edward Arnold, 1978), 15–17.
[2]
Ibid., 20–21.
[3]
Ibid., 25–26.
[4]
Halliday, An Introduction to
Functional Grammar (London: Arnold,
1985), 10.
[5]
Dell Hymes, Foundations in
Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 75–77.
[6]
Ibid., 80.
[7]
Halliday, Language as Social
Semiotic, 30–32.
[8]
George Lakoff, Linguistics Wars (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1973),
12–13.
[9]
George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors
We Live By (Chicago: University of
Chicago Press, 1980), 3–4.
[10]
Ibid., 8–9.
[11]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–18.
[12]
Ibid., 23–24.
[13]
Paul Grice, Studies in the Way of
Words (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1989), 26–28.
[14]
Lakoff, Linguistics Wars, 19–20.
[15]
Eric Lenneberg, Biological Foundations
of Language (New York: Wiley, 1967),
54–55.
[16]
James L. McClelland and David E. Rumelhart, Parallel Distributed Processing: Explorations in the Microstructure
of Cognition, vol. 1 (Cambridge, MA:
MIT Press, 1986), 45–46.
[17]
Steven Pinker, The Stuff of Thought (New York: Viking, 2007), 42–43.
[18]
Michael Tomasello, Constructing a
Language: A Usage-Based Theory of Language Acquisition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003),
11–13.
[19]
Ibid., 14–15.
[20]
Hilary Putnam, Representation and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press,
1988), 9–10.
[21]
Ibid., 11–12.
[22]
Donald Davidson, Inquiries into Truth
and Interpretation (Oxford:
Clarendon Press, 1984), 125–126.
[23]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason
(New York: Harper & Row, 1972), 99–101.
[24]
Ibid., 103–105.
[25]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 204–205.
[26]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power (Cambridge: Polity Press,
1991), 45–46.
[27]
Ibid., 49–50.
[28]
Norman Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), 23–25.
[29]
Ibid., 30–31.
[30]
Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 95–96.
[31]
George Lakoff, Women, Fire, and
Dangerous Things: What Categories Reveal about the Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1987), 45–47.
[32]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge, MA:
MIT Press, 1990), 88–90.
8.
Relevansi Kontemporer: Teori Chomsky di Era
Digital dan Kecerdasan Buatan
Pemikiran Noam
Chomsky tentang Tata Bahasa Transformasional-Generatif
tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam konteks abad ke-21, terutama
dalam era digital dan kecerdasan
buatan (AI). Di tengah dominasi algoritma, model bahasa besar (large
language models), serta otomatisasi kognitif, teori Chomsky
memberikan landasan konseptual untuk meninjau ulang pertanyaan-pertanyaan
mendasar tentang bahasa, pikiran, dan pengetahuan.¹
Ia menantang pandangan komputasional murni yang menganggap kecerdasan dapat
direduksi menjadi pemrosesan statistik, dengan menegaskan bahwa struktur
rasional dan intensionalitas manusia tidak dapat sepenuhnya ditiru oleh mesin.²
8.1.
Chomsky dan Revolusi Linguistik Komputasional
Dalam sejarah
perkembangan ilmu komputer dan linguistik, kontribusi Chomsky bersifat
fundamental. Chomsky Hierarchy (1956) menjadi
kerangka teoritis yang mendasari perancangan bahasa formal dan algoritma dalam
pemrograman komputer.³ Struktur hirarkis ini—yang mencakup regular,
context-free,
context-sensitive,
dan recursively
enumerable grammars—menjadi dasar bagi pengembangan kompiler,
analisis sintaksis otomatis, dan sistem pemrosesan bahasa alami (natural
language processing, NLP).⁴
Namun demikian,
meskipun teori tata bahasa formal Chomsky memberikan sumbangan besar terhadap
fondasi teknis NLP, ia secara kritis menolak anggapan bahwa bahasa manusia
dapat direduksi menjadi urutan simbol atau probabilitas statistik.⁵ Bahasa,
menurutnya, tidak semata hasil dari kalkulasi algoritmik, melainkan ekspresi
dari kapasitas kreatif dan intensional yang melekat dalam pikiran manusia.⁶
8.2.
Kritik Chomsky terhadap Model Statistik dan AI
Generatif
Chomsky secara
terbuka mengkritik pendekatan modern terhadap kecerdasan buatan, khususnya
model statistik seperti GPT dan BERT, yang belajar bahasa melalui analisis
miliaran kata tanpa pemahaman konseptual.⁷ Dalam artikelnya bersama Ian Roberts
dan Jeffrey Watumull berjudul The False Promise of ChatGPT
(2023), Chomsky menegaskan bahwa sistem seperti ini hanya “meniru bentuk”
(simulate
form) tetapi tidak “memahami makna” (grasp
meaning).⁸
Menurut Chomsky,
model-model tersebut gagal menangkap dimensi rasionalitas dan moralitas yang
menjadi inti dari kecerdasan manusia.⁹ Bahasa manusia tidak hanya bersifat
asosiatif, melainkan generatif dalam arti sejati: ia mencerminkan struktur
pikiran yang kreatif, terbatas secara biologis tetapi tak terbatas secara
ekspresif.¹⁰ AI, sebaliknya, hanya meniru pola empiris tanpa
prinsip normatif yang memandu penggunaannya.¹¹
Dengan demikian,
relevansi teori Chomsky di era digital terletak pada pembedaannya antara kompetensi
linguistik (pengetahuan internal) dan performansi
linguistik (penggunaan eksternal).¹² Model AI hanya mereplikasi
performansi—yakni perilaku bahasa—tanpa memiliki kompetensi sejati yang
mencakup pemahaman semantik dan intensional.¹³
8.3.
Bahasa, Pikiran, dan Keterbatasan Mesin
Dari perspektif
filsafat pikiran, Chomsky berpendapat bahwa pikiran manusia tidak dapat direduksi menjadi
sistem komputasional deterministik.¹⁴ Ia menolak pandangan yang
menganggap otak sebagai komputer yang menjalankan algoritma, karena struktur
kognitif manusia mengandung aspek-aspek kreatif, reflektif, dan nilai moral
yang tidak dapat dihitung secara matematis.¹⁵
Dalam konteks AI
kontemporer, kritik ini memiliki arti penting. Meskipun model-model bahasa
besar dapat menghasilkan teks dengan koherensi tinggi, mereka tetap bekerja
melalui analisis probabilistik tanpa kesadaran semantik.¹⁶
Seperti yang dijelaskan oleh Hubert Dreyfus sejak 1970-an, “mesin tidak hidup
dalam dunia makna seperti manusia; ia hanya memanipulasi tanda tanpa
mengalaminya.”¹⁷
Oleh karena itu,
teori Chomsky membantu menegaskan batas epistemologis antara pemrosesan
simbolik dan pemahaman rasional.¹⁸ Mesin
dapat meniru ujaran, tetapi tidak dapat menafsirkan kebenaran moral, ironi,
atau intensi komunikatif. Bahasa manusia selalu melibatkan kesadaran, tujuan,
dan nilai—dimensi yang tidak dapat diprogram sepenuhnya.¹⁹
8.4.
Relevansi dalam Etika Digital dan Humanisme
Teknologis
Relevansi Chomsky di
era digital juga meluas ke ranah etika teknologi. Ia menekankan
pentingnya mempertahankan nilai-nilai rasionalitas, kebebasan berpikir, dan
tanggung jawab moral dalam menghadapi kemajuan teknologi yang cepat.²⁰ Seperti
dalam kritik politiknya terhadap media dan propaganda, Chomsky memperingatkan
bahwa teknologi linguistik dapat menjadi alat kontrol dan manipulasi ketika
dikuasai oleh kekuatan korporasi atau negara.²¹
Dalam kerangka ini,
teori Chomsky menjadi dasar bagi humanisme digital, yaitu
pandangan bahwa teknologi harus tunduk pada prinsip rasionalitas moral manusia,
bukan sebaliknya.²² Bahasa, yang bagi Chomsky merupakan ekspresi kebebasan dan
kreativitas manusia, tidak boleh direduksi menjadi sekadar data untuk konsumsi
algoritma.²³
Pendekatan ini
sejalan dengan visi etika komunikasi Habermasian,
di mana bahasa dipahami sebagai medium dialog rasional yang menuntut kejujuran,
tanggung jawab, dan keterbukaan.²⁴ Dalam konteks AI, prinsip ini berarti bahwa
pengembangan sistem linguistik cerdas harus mempertimbangkan keadilan,
transparansi, dan martabat manusia sebagai pusatnya.²⁵
8.5.
Sintesis: Chomsky dan Tantangan Filsafat
Pikiran Digital
Akhirnya, relevansi
teori Chomsky di era digital terletak pada kemampuannya untuk menjembatani
ilmu bahasa, kognisi, dan etika teknologi.²⁶ Ia mengingatkan
bahwa bahasa bukan hanya objek formal, tetapi juga fenomena eksistensial yang
mengungkapkan cara manusia memahami dunia.²⁷
Dalam menghadapi era
kecerdasan buatan, warisan Chomsky menantang kita untuk tidak hanya bertanya “Seberapa
pintar mesin dapat berbicara?” tetapi juga “Apakah mesin
benar-benar memahami, bernalar, dan memiliki tanggung jawab moral?”²⁸
Dengan demikian, teori tata bahasa transformasional-generatif menjadi dasar
filosofis bagi refleksi kontemporer tentang batas antara kognisi manusia dan komputasi
buatan, sekaligus penegasan bahwa bahasa
adalah inti dari kemanusiaan itu sendiri.²⁹
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 3–5.
[2]
Noam Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 86–88.
[3]
Noam Chomsky, “Three Models for the Description of Language,” IRE Transactions on Information Theory 2, no. 3 (1956): 113–124.
[4]
Peter Norvig and Stuart Russell, Artificial
Intelligence: A Modern Approach, 4th
ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2021), 678–680.
[5]
Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 8–9.
[6]
Ibid., 11–12.
[7]
Emily Bender et al., “On the Dangers of Stochastic Parrots: Can
Language Models Be Too Big?,” Proceedings
of FAccT ’21 (ACM, 2021), 610–622.
[8]
Noam Chomsky, Ian Roberts, and Jeffrey Watumull, “The False Promise of
ChatGPT,” The New York Times, March 8, 2023.
[9]
Ibid.
[10]
Chomsky, Reflections on Language, 25–27.
[11]
Chomsky, New Horizons, 90–91.
[12]
Noam Chomsky, Knowledge of Language:
Its Nature, Origin, and Use (New
York: Praeger, 1986), 14–16.
[13]
Ibid., 17–18.
[14]
Chomsky, Rules and Representations (New York: Columbia University Press, 1980), 10–11.
[15]
Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975),
19–20.
[16]
Steven Pinker, The Stuff of Thought (New York: Viking, 2007), 39–40.
[17]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still
Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 88–90.
[18]
Hilary Putnam, Representation and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press,
1988), 10–12.
[19]
John Searle, Minds, Brains, and
Programs (Cambridge: MIT Press,
1980), 423–425.
[20]
Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988),
61–63.
[21]
Noam Chomsky, Necessary Illusions:
Thought Control in Democratic Societies
(Boston: South End Press, 1989), 10–11.
[22]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 45–47.
[23]
Chomsky, Reflections on Language, 31–32.
[24]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge, MA:
MIT Press, 1990), 88–89.
[25]
Virginia Dignum, Responsible Artificial
Intelligence (Cham: Springer, 2019),
12–14.
[26]
Chomsky, New Horizons, 93–95.
[27]
Daniel Dennett, Kinds of Minds (New York: Basic Books, 1996), 54–55.
[28]
Hubert Dreyfus, What Computers Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason
(New York: Harper & Row, 1972), 204–206.
[29]
Chomsky, Reflections on Language, 34–36.
9.
Sintesis Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik
tentang Bahasa dan Pikiran
Bagian ini berupaya
merangkum serta mensintesiskan gagasan-gagasan utama dari teori Tata
Bahasa Transformasional-Generatif Noam Chomsky dalam kerangka filsafat
humanistik, yaitu pemahaman yang menempatkan bahasa dan pikiran
sebagai inti dari eksistensi manusia yang rasional, bebas, dan bermoral.
Chomsky tidak hanya merevolusi linguistik secara ilmiah, tetapi juga membuka
kemungkinan untuk membangun antropologi filosofis baru, di
mana bahasa menjadi jendela bagi pemahaman tentang hakikat manusia itu
sendiri.¹
9.1.
Integrasi Ontologis: Bahasa sebagai Struktur
Esensial dari Pikiran
Dari segi ontologis,
Chomsky menegaskan bahwa bahasa adalah bentuk konkret dari struktur
batin manusia.² Bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi
eksternal, melainkan cara pikiran menata dan mengekspresikan dirinya.³ Ia
merupakan manifestasi dari kapasitas kognitif yang bersifat universal, tertanam
secara biologis namun diwujudkan secara kultural.⁴
Dengan demikian,
manusia bukan hanya homo loquens—makhluk yang
berbicara—melainkan homo cogitans linguans, makhluk
yang berpikir melalui bahasa.⁵ Struktur sintaktis yang ditemukan Chomsky
mencerminkan cara rasio manusia bekerja: dari struktur dalam yang konseptual
menuju struktur permukaan yang komunikatif.⁶ Maka, bahasa menjadi jembatan
ontologis antara pikiran dan dunia, antara struktur
batin dan realitas eksternal.⁷
Dalam perspektif
humanistik, hal ini berarti bahwa berbicara bukan sekadar aktivitas mekanis,
melainkan tindakan eksistensial: melalui bahasa, manusia mengada
di dunia (Heideggerian Dasein).⁸ Bahasa menjadi tempat di
mana manusia menyatakan kebebasannya untuk berpikir, mengandaikan, dan
mencipta.⁹
9.2.
Integrasi Epistemologis: Bahasa sebagai Medium
Rasionalitas dan Pengetahuan
Secara
epistemologis, teori Chomsky meneguhkan rasionalisme linguistik—pandangan
bahwa kemampuan berbahasa merupakan bentuk pengetahuan a priori
yang menjadi dasar seluruh pemahaman manusia.¹⁰ Manusia mengetahui dunia bukan
semata melalui pengalaman empiris, tetapi melalui struktur linguistik yang
membentuk cara berpikir dan menafsirkan realitas.¹¹
Dalam hal ini,
bahasa berfungsi sebagai kerangka kognitif universal (universal
cognitive framework) yang memungkinkan terjadinya pengetahuan.¹²
Tanpa kemampuan linguistik bawaan, manusia tidak dapat mengonseptualisasikan
dunia secara sistematis.¹³
Dengan demikian,
epistemologi Chomsky dapat dibaca sebagai bentuk Kantian
modern: sebagaimana Kant menyatakan bahwa kategori pikiran
membentuk pengalaman, Chomsky berpendapat bahwa struktur bahasa membentuk
pengetahuan.¹⁴ Bahasa bukan hanya alat untuk mengungkapkan pengetahuan, tetapi
juga prasyarat
bagi kemungkinan pengetahuan itu sendiri.¹⁵
Pendekatan ini
menempatkan manusia sebagai subjek rasional yang aktif—bukan sekadar penerima
informasi, tetapi pencipta struktur makna melalui kemampuan bawaan yang
bersifat universal dan kreatif.¹⁶
9.3.
Integrasi Aksiologis: Bahasa sebagai Ekspresi
Kebebasan dan Nilai Moral
Dari sudut
aksiologis, bahasa dalam pandangan Chomsky memuat nilai-nilai moral dan
humanistik yang mendalam. Ia adalah ekspresi kebebasan manusia dalam berpikir,
berbicara, dan bertindak.¹⁷ Manusia dapat menciptakan kalimat baru yang belum
pernah didengar sebelumnya—sebuah bukti bahwa bahasa adalah aktivitas
kreatif dan bebas, bukan hasil determinasi lingkungan atau
stimulus.¹⁸
Kreativitas
linguistik ini memiliki dimensi etis: ia menegaskan otonomi
moral manusia untuk mengekspresikan kebenaran, menolak manipulasi,
dan mempertahankan rasionalitas.¹⁹ Dalam konteks sosial-politik, Chomsky
menerjemahkan prinsip ini menjadi kritik terhadap sistem ideologis yang
membatasi kebebasan berpikir.²⁰ Bahasa, bagi Chomsky, bukan hanya struktur
gramatikal, tetapi juga ruang etis di mana manusia menegaskan martabat
dan kesadarannya.²¹
Dalam kerangka
humanistik, nilai tertinggi dari bahasa adalah kemampuannya untuk menyatukan
nalar dan nurani, menyeimbangkan antara rasionalitas dan
empati, antara logika dan moralitas.²²
9.4.
Integrasi Sosial-Kultural: Bahasa sebagai Basis
Dialog dan Solidaritas
Bahasa tidak hanya
menghubungkan pikiran individu, tetapi juga membentuk jaringan
makna intersubjektif yang menopang kehidupan sosial.²³ Teori
Chomsky tentang competence dan performance
dapat diperluas ke dimensi sosial: competence mencerminkan potensi
universal manusia untuk memahami, sementara performance menggambarkan realisasi
komunikatifnya dalam konteks budaya.²⁴
Dari sudut pandang
ini, teori Chomsky memiliki relevansi dengan filsafat komunikasi Habermas,
di mana bahasa menjadi sarana pembentukan rasionalitas komunikatif dan
konsensus moral.²⁵ Bahasa, dengan logika internalnya yang universal,
menyediakan dasar bagi dialog lintas budaya dan solidaritas kemanusiaan.²⁶
Maka, sintesis
filosofis dari teori Chomsky mengarah pada pandangan kosmopolitan-humanistik:
bahwa semua manusia, meski berbeda bahasa dan budaya, berbagi kapasitas
rasional yang sama dalam berkomunikasi, berpikir, dan memahami.²⁷
9.5.
Bahasa sebagai Cermin Kemanusiaan: Menuju Paradigma
Humanistik-Integral
Dalam perspektif
sintesis, bahasa bukan hanya sistem simbolik, melainkan cermin
hakikat manusia yang integral—biologis, rasional, moral, dan
sosial sekaligus.²⁸ Ia menyatukan empat dimensi utama eksistensi:
·
Ontologis,
karena menunjukkan struktur batin manusia;
·
Epistemologis,
karena menjadi dasar pengetahuan;
·
Aksiologis,
karena mengandung nilai kebebasan dan kebenaran; dan
·
Sosiologis,
karena membangun komunikasi dan solidaritas.²⁹
Dengan demikian,
konsepsi humanistik tentang bahasa dan pikiran yang lahir dari sintesis Chomsky
dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Bahasa adalah aktivitas rasional
dan moral yang mengekspresikan kebebasan manusia untuk memahami, mencipta, dan
berelasi dengan dunia.”³⁰
Paradigma ini
membuka ruang bagi filsafat bahasa yang integral dan humanistik—suatu
pendekatan yang tidak memisahkan sains dari nilai, rasio dari moral, dan
individu dari masyarakat.³¹
Di tengah tantangan
era digital dan artifisial, visi humanistik Chomsky mengingatkan bahwa bahasa
tidak dapat direduksi menjadi data atau algoritma; ia adalah ekspresi dari dignitas
manusia, refleksi dari kesadaran yang selalu terbuka terhadap
kebenaran, makna, dan keadilan.³²
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 4–5.
[2]
Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 8–9.
[3]
Ibid., 11–12.
[4]
Eric Lenneberg, Biological Foundations
of Language (New York: Wiley, 1967),
45–47.
[5]
Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975),
15–16.
[6]
Chomsky, Knowledge of Language:
Its Nature, Origin, and Use (New
York: Praeger, 1986), 14–16.
[7]
Hilary Putnam, Representation and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press,
1988), 8–9.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 204–205.
[9]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason
(New York: Harper & Row, 1972), 99–100.
[10]
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. Donald A. Cress
(Indianapolis: Hackett, 1993), 44–46.
[11]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 132–133.
[12]
Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 88–90.
[13]
Ibid., 92–93.
[14]
Kant, Critique of Pure Reason, 145–146.
[15]
Chomsky, Knowledge of Language, 18–19.
[16]
Daniel Dennett, Kinds of Minds (New York: Basic Books, 1996), 55–56.
[17]
Noam Chomsky, Rules and
Representations (New York: Columbia
University Press, 1980), 11–12.
[18]
Ibid., 13–14.
[19]
Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988),
61–63.
[20]
Noam Chomsky, Necessary Illusions:
Thought Control in Democratic Societies
(Boston: South End Press, 1989), 10–11.
[21]
Chomsky, Reflections on Language, 28–30.
[22]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge, MA:
MIT Press, 1990), 89–91.
[23]
Dell Hymes, Foundations in
Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 84–86.
[24]
M. A. K. Halliday, Language as Social
Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning (London: Edward Arnold, 1978), 21–23.
[25]
Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–87.
[26]
Ibid., 90–91.
[27]
Chomsky, New Horizons, 94–95.
[28]
Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 32–34.
[29]
Chomsky, Reflections on Language, 33–35.
[30]
Ibid., 36.
[31]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: Continuum,
1970), 82–83.
[32]
Chomsky, New Horizons, 96–98.
10. Kesimpulan
Teori Tata
Bahasa Transformasional-Generatif yang dikembangkan oleh Noam
Chomsky tidak hanya menandai revolusi dalam bidang linguistik,
tetapi juga memberikan kontribusi mendasar bagi filsafat bahasa, filsafat pikiran,
epistemologi, dan etika humanistik. Dalam pandangan Chomsky,
bahasa bukanlah fenomena empiris yang dapat dijelaskan melalui perilaku atau
kebiasaan semata, melainkan struktur kognitif universal
yang melekat pada kodrat manusia.¹ Bahasa adalah ekspresi dari fakultas mental
yang kreatif, reflektif, dan bebas—suatu kapasitas yang menegaskan martabat
manusia sebagai makhluk rasional.²
10.1.
Kesatuan antara Pikiran, Bahasa, dan
Kemanusiaan
Melalui teori
transformasional-generatif, Chomsky menegaskan kesatuan antara bahasa
dan pikiran.³ Bahasa tidak berdiri di luar diri manusia,
melainkan menjadi bagian dari struktur internal kesadaran yang memungkinkan
manusia berpikir, menilai, dan berkomunikasi.⁴ Dengan demikian, bahasa merupakan
cermin
ontologis dari hakikat manusia itu sendiri—sebuah jembatan
antara dunia batin dan dunia eksternal.⁵
Kreativitas
linguistik, yang memungkinkan manusia menghasilkan kalimat baru tanpa batas,
memperlihatkan bahwa kebebasan dan rasionalitas bukanlah konsep moral abstrak,
tetapi kapasitas biologis dan intelektual yang nyata.⁶ Melalui bahasa, manusia
tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga membentuknya; tidak hanya meniru
realitas, tetapi menciptakan makna baru yang
memperkaya eksistensinya.⁷
10.2.
Fondasi Rasionalisme Modern dan Pengetahuan A
Priori
Dari sudut pandang
epistemologi, teori Chomsky memperbarui tradisi rasionalisme modern yang
diwarisi dari Descartes dan Kant.⁸ Ia menunjukkan bahwa pengetahuan linguistik
bersifat a priori—yakni berasal dari
struktur bawaan manusia yang mendahului pengalaman empiris.⁹ Dengan demikian,
bahasa menjadi syarat bagi kemungkinan pengetahuan itu sendiri.¹⁰
Argumen tentang poverty
of the stimulus menunjukkan bahwa manusia memiliki sistem kognitif
yang memungkinkan pembentukan tata bahasa tanpa bergantung sepenuhnya pada
pengalaman eksternal.¹¹ Pandangan ini menegaskan bahwa pengetahuan
bukan hasil pasif dari pengalaman, melainkan hasil aktif dari
struktur mental yang mengorganisir pengalaman.¹²
Implikasinya sangat
luas: teori Chomsky mendukung pandangan bahwa rasionalitas manusia bersifat universal,
sekaligus menolak relativisme linguistik yang ekstrem.¹³ Dalam hal ini, teori
bahasa Chomsky berdiri sebagai pilar rasionalisme ilmiah yang menegaskan bahwa
berpikir dan berbahasa adalah bentuk partisipasi manusia dalam tatanan rasional
semesta.¹⁴
10.3.
Nilai Humanistik dan Etika Kebebasan
Dalam kerangka
aksiologis, teori Chomsky memiliki makna etis yang mendalam. Ia menempatkan
bahasa sebagai ekspresi kebebasan dan kreativitas moral
manusia.¹⁵ Manusia bukan sekadar makhluk yang menanggapi
stimulus, tetapi agen yang mampu mengatur tindakannya berdasarkan pengetahuan
dan nilai.¹⁶ Bahasa menjadi bukti bahwa manusia dapat berpikir melampaui
konteks empiris, berimajinasi tentang dunia yang lebih adil, dan
mengartikulasikan nilai-nilai moral melalui komunikasi.¹⁷
Chomsky juga
memperluas teori bahasanya ke ranah sosial-politik dengan menegaskan bahwa
kebebasan berbahasa adalah prasyarat bagi kebebasan berpikir dan demokrasi.¹⁸
Melalui kritiknya terhadap manipulasi wacana dan propaganda, ia memperlihatkan
bagaimana bahasa dapat menjadi alat pembebasan atau penindasan, tergantung pada
bagaimana ia digunakan.¹⁹ Dalam hal ini, teori Chomsky mengandung pesan moral universal:
bahwa penguasaan bahasa adalah tanggung jawab etis untuk menjaga kebenaran
dan kebebasan manusia.²⁰
10.4.
Relevansi di Era Digital dan Tantangan
Humanisme Teknologis
Dalam konteks era
digital dan kecerdasan buatan, teori Chomsky tetap relevan sebagai kritik
terhadap reduksionisme algoritmik yang berusaha meniru kemampuan bahasa manusia
melalui statistik dan probabilitas.²¹ Chomsky menegaskan bahwa pemahaman
sejati tidak dapat dicapai tanpa kesadaran, intensionalitas,
dan nilai moral yang menjadi ciri khas manusia.²²
Model AI modern
seperti ChatGPT mungkin mampu meniru pola bahasa, tetapi tidak memahami makna;
ia beroperasi tanpa intensi dan tanpa tanggung jawab moral.²³ Dalam hal ini,
teori Chomsky mengingatkan bahwa teknologi harus dikembangkan dalam kerangka humanisme
digital—yakni menghormati rasionalitas, kreativitas, dan
martabat manusia sebagai pusat dari semua inovasi.²⁴ Bahasa, bagi Chomsky,
bukan sekadar data; ia adalah logos, kekuatan spiritual dan
intelektual yang membentuk dunia manusia.²⁵
10.5.
Sintesis Akhir: Menuju Filsafat Bahasa
Humanistik dan Integral
Secara keseluruhan,
teori Tata
Bahasa Transformasional-Generatif dapat dipahami sebagai proyek rasionalisme
humanistik modern: upaya untuk menegaskan kembali martabat
manusia sebagai makhluk rasional yang bebas dan kreatif melalui bahasa.²⁶ Ia
menggabungkan tiga pilar utama filsafat:
·
Ontologi,
yang menegaskan bahasa sebagai struktur pikiran bawaan;
·
Epistemologi,
yang memandang bahasa sebagai dasar pengetahuan; dan
·
Aksiologi,
yang menempatkan bahasa sebagai ekspresi kebebasan dan nilai moral.²⁷
Teori ini membuka
jalan menuju filsafat bahasa yang integral,
di mana sains, moralitas, dan budaya tidak dipisahkan, tetapi saling melengkapi
dalam pemahaman menyeluruh tentang manusia.²⁸ Dalam konteks global yang
diwarnai oleh teknologi dan fragmentasi makna, pandangan Chomsky menjadi
pengingat bahwa bahasa adalah inti dari kemanusiaan—tempat
di mana rasionalitas, empati, dan kebebasan bersatu.²⁹
Dengan demikian,
warisan filosofis Chomsky tidak hanya terletak pada model sintaktisnya, tetapi
pada pesan
moral universalnya: bahwa memahami bahasa berarti memahami
manusia, dan mempertahankan rasionalitas berarti mempertahankan kemanusiaan itu
sendiri.³⁰
Footnotes
[1]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 3–5.
[2]
Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 22–23.
[3]
Chomsky, Knowledge of Language:
Its Nature, Origin, and Use (New
York: Praeger, 1986), 14–15.
[4]
Jerry A. Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 25–26.
[5]
Hilary Putnam, Representation and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press,
1988), 10–11.
[6]
Chomsky, Reflections on Language, 26–27.
[7]
Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 35–37.
[8]
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. Donald A. Cress
(Indianapolis: Hackett, 1993), 45–46.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 145–146.
[10]
Chomsky, Rules and
Representations (New York: Columbia
University Press, 1980), 9–11.
[11]
Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax, 7–9.
[12]
Chomsky, Reflections on Language, 18–19.
[13]
Noam Chomsky, Cartesian Linguistics:
A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 14–15.
[14]
Chomsky, Knowledge of Language, 18–19.
[15]
Chomsky, Reflections on Language, 28–30.
[16]
John R. Searle, Freedom and
Neurobiology: Reflections on Free Will, Language, and Political Power (New York: Columbia University Press, 2004), 33–35.
[17]
Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed (New York: Continuum,
1970), 70–71.
[18]
Noam Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988),
52–53.
[19]
Noam Chomsky, Necessary Illusions:
Thought Control in Democratic Societies
(Boston: South End Press, 1989), 10–11.
[20]
Ibid., 13–14.
[21]
Noam Chomsky, Ian Roberts, and Jeffrey Watumull, “The False Promise of
ChatGPT,” The New York Times, March 8, 2023.
[22]
Chomsky, New Horizons in the
Study of Language and Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 90–91.
[23]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still
Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 88–89.
[24]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 45–47.
[25]
Chomsky, Reflections on Language, 33–34.
[26]
Chomsky, Knowledge of Language, 21–22.
[27]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge, MA:
MIT Press, 1990), 88–89.
[28]
Daniel Dennett, Kinds of Minds (New York: Basic Books, 1996), 53–54.
[29]
Chomsky, New Horizons, 93–94.
[30]
Chomsky, Reflections on Language, 35–36.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.
Bender, E. M., Gebru, T., McMillan-Major, A., &
Shmitchell, S. (2021). On
the dangers of stochastic parrots: Can language models be too big? Proceedings
of FAccT ’21 (ACM Conference on Fairness, Accountability, and Transparency),
610–622.
Bloomfield, L. (1933). Language. Henry Holt.
Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power. Polity Press.
Chomsky, N. (1956). Three models for the description of language. IRE
Transactions on Information Theory, 2(3), 113–124.
Chomsky, N. (1957). Syntactic structures. Mouton.
Chomsky, N. (1959). Review of B. F. Skinner’s Verbal behavior. Language,
35(1), 26–58.
Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of syntax. MIT Press.
Chomsky, N. (1966). Cartesian linguistics: A chapter in the history of
rationalist thought. Harper & Row.
Chomsky, N. (1975). Reflections on language. Pantheon Books.
Chomsky, N. (1980). Rules and representations. Columbia University Press.
Chomsky, N. (1981). Lectures on government and binding. Foris Publications.
Chomsky, N. (1986). Knowledge of language: Its nature, origin, and use.
Praeger.
Chomsky, N. (1988). Language and politics (C. P. Otero, Ed.). Black Rose
Books.
Chomsky, N. (1989). Necessary illusions: Thought control in democratic
societies. South End Press.
Chomsky, N. (1995). The minimalist program. MIT Press.
Chomsky, N. (2000). New horizons in the study of language and mind.
Cambridge University Press.
Chomsky, N., Roberts, I., & Watumull, J. (2023, March 8). The false promise of ChatGPT. The
New York Times.
Davidson, D. (1984). Inquiries into truth and interpretation. Clarendon
Press.
Dennett, D. C. (1996). Kinds of minds. Basic Books.
Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.).
Hackett Publishing. (Original work published 1641)
Dignum, V. (2019). Responsible artificial intelligence: How to develop and use
AI in a responsible way. Springer.
Dreyfus, H. L. (1972). What computers can’t do: A critique of artificial reason.
Harper & Row.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial
reason. MIT Press.
Fairclough, N. (1989). Language and power. Longman.
Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.
Fodor, J. A. (1975). The language of thought. Harvard University Press.
Fodor, J. A. (1983). The modularity of mind. MIT Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.
Gardner, H. (1985). The mind’s new science: A history of the cognitive
revolution. Basic Books.
Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.
Grice, P. (1989). Studies in the way of words. Harvard University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon
Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action. MIT Press.
Halliday, M. A. K. (1978). Language as social semiotic: The social
interpretation of language and meaning. Edward Arnold.
Halliday, M. A. K. (1985). An introduction to functional grammar.
Edward Arnold.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)
Hymes, D. (1974). Foundations in sociolinguistics: An ethnographic approach.
University of Pennsylvania Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood,
Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor,
Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)
Lakoff, G. (1973). The linguistics wars. Harvard University Press.
Lakoff, G. (1987). Women, fire, and dangerous things: What categories reveal
about the mind. University of Chicago Press.
Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. University of
Chicago Press.
Lenneberg, E. H. (1967). Biological foundations of language. Wiley.
McClelland, J. L., & Rumelhart, D. E. (1986). Parallel distributed processing:
Explorations in the microstructure of cognition (Vol. 1). MIT Press.
Miller, G. A. (1991). The science of words. Scientific American Library.
Nagel, T. (1986). The view from nowhere. Oxford University Press.
Norvig, P., & Russell, S. (2021). Artificial intelligence: A modern
approach (4th ed.). Pearson.
Pinker, S. (1994). The language instinct. William Morrow.
Pinker, S. (2007). The stuff of thought: Language as a window into human
nature. Viking.
Polanyi, M. (1966). The tacit dimension. Doubleday.
Putnam, H. (1988). Representation and reality. MIT Press.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language.
Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech
acts. Cambridge University Press.
Searle, J. R. (2004). Freedom and neurobiology: Reflections on free will,
language, and political power. Columbia University Press.
Skinner, B. F. (1957). Verbal behavior. Appleton-Century-Crofts.
Tomasello, M. (2003). Constructing a language: A usage-based theory of language
acquisition. Harvard University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar