Minggu, 30 November 2025

Teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif: Struktur Pikiran dan Bahasa

Teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif

Struktur Pikiran dan Bahasa


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky dalam kerangka filsafat bahasa dan filsafat pikiran. Kajian ini menelusuri fondasi historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari teori tersebut serta relevansinya dalam konteks sosial, politik, kultural, dan digital kontemporer. Secara historis, teori ini lahir sebagai kritik terhadap strukturalisme dan behaviorisme yang menafsirkan bahasa sebagai perilaku empiris. Ontologisnya, Chomsky memahami bahasa sebagai struktur mental bawaan (innate mental structure) yang menampakkan hakikat manusia sebagai makhluk rasional. Secara epistemologis, teori ini menghidupkan kembali rasionalisme modern dengan menegaskan bahwa pengetahuan linguistik bersifat a priori dan berakar pada fakultas bahasa (language faculty) universal.

Dalam tataran aksiologis, teori ini memuat nilai-nilai humanistik: bahasa dipahami sebagai ekspresi kebebasan, kreativitas, dan tanggung jawab moral manusia. Bahasa bukan hanya sistem simbol, tetapi manifestasi dari martabat dan rasionalitas manusia yang memungkinkan pengetahuan, komunikasi, dan pembebasan. Dimensi sosial dan politiknya menegaskan bahasa sebagai medan kesadaran kritis terhadap kekuasaan dan ideologi, sedangkan secara kultural ia menjadi dasar pluralitas makna dan solidaritas kemanusiaan.

Di era digital dan kecerdasan buatan, teori Chomsky tetap relevan sebagai kritik terhadap reduksionisme algoritmik yang meniru bentuk bahasa tanpa memahami makna. Dengan menolak pandangan bahwa kecerdasan dapat direduksi menjadi pemrosesan statistik, Chomsky menegaskan kembali pentingnya aspek rasional, moral, dan kreatif dalam memahami bahasa dan pikiran. Akhirnya, artikel ini menyimpulkan bahwa teori Chomsky mengarah pada konsepsi humanistik-integral tentang bahasa—bahasa sebagai refleksi ontologis, sarana epistemologis, dan ruang aksiologis bagi kebebasan manusia untuk berpikir, berkomunikasi, dan mencipta makna.

Kata Kunci: Noam Chomsky; Tata Bahasa Transformasional-Generatif; Filsafat Bahasa; Pikiran dan Bahasa; Rasionalisme; Innateness; Kompetensi Linguistik; Humanisme; Etika Bahasa; Kecerdasan Buatan.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat atas Teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif Noam Chomsky


1.           Pendahuluan

Teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky merupakan salah satu tonggak revolusioner dalam sejarah linguistik modern dan filsafat bahasa. Teori ini bukan hanya memengaruhi cara ilmuwan memahami struktur dan fungsi bahasa manusia, tetapi juga mengubah paradigma tentang hakikat pikiran, pengetahuan, dan kemampuan bawaan manusia. Dalam karya monumentalnya Syntactic Structures (1957), Chomsky mengajukan pandangan bahwa kemampuan berbahasa tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh pendekatan empiris atau perilakuistik yang mendominasi linguistik pada masa itu. Ia menolak pandangan bahwa bahasa hanyalah hasil pembiasaan stimulus–respon seperti yang diyakini oleh B. F. Skinner, dan sebaliknya menegaskan bahwa manusia memiliki struktur kognitif bawaan (innate structures) yang memungkinkan penguasaan bahasa secara kreatif dan produktif sejak masa kanak-kanak.¹

Teori ini muncul pada saat ilmu bahasa didominasi oleh aliran strukturalisme Bloomfieldian dan behaviorisme psikologis, yang berfokus pada pengamatan empiris terhadap ujaran nyata (speech behavior) dan penolakan terhadap spekulasi mentalistik.² Chomsky menganggap pendekatan tersebut reduksionistik karena gagal menjelaskan kemampuan manusia untuk menghasilkan kalimat baru yang belum pernah didengar sebelumnya.³ Dengan demikian, ia memperkenalkan konsep kompetensi linguistik sebagai kemampuan mental internal yang memungkinkan penutur memahami dan menghasilkan bahasa, berbeda dari performansi linguistik yang merupakan realisasi aktual dalam konteks komunikasi.⁴

Dari perspektif filsafat bahasa, teori Chomsky membawa konsekuensi ontologis dan epistemologis yang mendalam. Secara ontologis, bahasa dipandang sebagai ekspresi dari struktur mental yang melekat dalam kodrat manusia—yakni bagian dari fakultas kognitif universal yang disebut language faculty.⁵ Secara epistemologis, teori ini menghidupkan kembali semangat rasionalisme Descartes dan Kant dalam menjelaskan bahwa sebagian besar pengetahuan manusia, termasuk tata bahasa, bersifat bawaan (a priori) dan bukan semata hasil pengalaman empiris.⁶ Pandangan ini menempatkan Chomsky dalam garis kontinuitas intelektual dengan tradisi filsafat rasionalis yang memandang bahasa sebagai cermin dari rasionalitas manusia.

Tujuan utama kajian ini adalah untuk menelaah teori Chomsky tidak hanya sebagai model linguistik formal, tetapi juga sebagai landasan filosofis bagi pemahaman tentang hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Kajian ini berupaya menunjukkan bahwa teori tata bahasa transformasional-generatif dapat dibaca sebagai bentuk filsafat bahasa rasionalistik-modern, yang mengaitkan struktur linguistik dengan struktur mental dan moral manusia. Dengan demikian, pembahasan ini tidak hanya bersifat deskriptif-linguistik, melainkan juga normatif dan reflektif, menyentuh dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, serta sosial-kultural dari pemikiran Chomsky.

Melalui pendekatan sistematis ini, artikel akan menelusuri bagaimana teori Chomsky menantang paradigma empiris, mendukung pandangan nativistik, dan berkontribusi terhadap pengembangan filsafat pikiran, etika kebebasan intelektual, serta teori pengetahuan modern. Kajian ini juga berusaha membuka ruang interpretasi baru yang lebih humanistik, yaitu melihat bahasa bukan hanya sebagai sistem simbol, melainkan sebagai manifestasi rasionalitas dan kebebasan manusia dalam memahami dan membentuk dunia.


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Syntactic Structures (The Hague: Mouton, 1957), 13–14.

[2]                Leonard Bloomfield, Language (New York: Henry Holt, 1933), 19–20.

[3]                Noam Chomsky, Review of B. F. Skinner’s Verbal Behavior, Language 35, no. 1 (1959): 26–58.

[4]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–4.

[5]                Noam Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 12–15.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 132–134.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif yang diperkenalkan oleh Noam Chomsky tidak lahir dalam ruang hampa intelektual, melainkan muncul sebagai respons kritis terhadap paradigma linguistik dan psikologi yang mendominasi pertengahan abad ke-20. Akar genealogi intelektualnya dapat ditelusuri dari perdebatan antara empirisisme dan rasionalisme, yang telah lama membentuk fondasi filsafat bahasa dan pengetahuan sejak era modern.

2.1.       Konteks Linguistik: Dari Strukturalisme ke Revolusi Generatif

Sebelum kemunculan Chomsky, linguistik di Amerika Serikat didominasi oleh aliran strukturalisme Bloomfieldian, yang menekankan analisis empiris terhadap bentuk-bentuk bahasa tanpa menyinggung aspek mental atau makna.⁽¹⁾ Leonard Bloomfield, tokoh utama aliran ini, menolak pendekatan introspektif dan menempatkan linguistik sejajar dengan ilmu alam yang bersifat objektif.⁽²⁾ Pandangan ini berafiliasi dengan semangat positivisme logis, di mana pengetahuan sahih harus dapat diverifikasi melalui pengalaman indrawi.

Pada dekade 1940–1950-an, pendekatan ini diperkuat oleh pengaruh behaviorisme dalam psikologi, khususnya melalui karya B. F. Skinner. Dalam karyanya Verbal Behavior (1957), Skinner menafsirkan bahasa sebagai perilaku yang terbentuk melalui proses pengondisian dan penguatan (reinforcement).⁽³⁾ Bahasa, bagi Skinner, bukanlah sistem mental, melainkan serangkaian respons terhadap stimulus eksternal.

Chomsky memandang pendekatan ini tidak memadai untuk menjelaskan kreativitas linguistik manusia. Ia menolak gagasan bahwa penguasaan bahasa dapat dijelaskan sepenuhnya oleh stimulus lingkungan. Dalam tinjauan kritisnya terhadap Verbal Behavior (1959), Chomsky menunjukkan bahwa penutur mampu menghasilkan kalimat yang belum pernah didengar sebelumnya, yang tidak dapat dijelaskan melalui teori pembiasaan.⁽⁴⁾ Dari sini muncul gagasan tentang kompetensi linguistik—kapasitas mental yang memungkinkan manusia memahami dan mencipta bahasa secara tak terbatas.

Dengan demikian, teori Chomsky menjadi titik balik dari linguistik deskriptif menuju linguistik generatif, di mana tujuan utama bukan lagi sekadar mendeskripsikan struktur bahasa, tetapi menjelaskan mekanisme kognitif yang memungkinkan bahasa itu ada. Revolusi ini menandai pergeseran dari linguistik sebagai ilmu empiris ke linguistik sebagai ilmu mental (mental science).⁽⁵⁾

2.2.       Akar Filsafat: Tradisi Rasionalisme dan Cartesian

Secara genealogis, teori Chomsky berakar kuat pada tradisi rasionalisme yang diwariskan oleh René Descartes dan para filsuf kontinental awal modern. Dalam Discourse on Method (1637), Descartes menyatakan bahwa bahasa merupakan bukti utama keberadaan akal budi (reason), sebab hanya manusia yang dapat menggunakan bahasa secara kreatif dan produktif.⁽⁶⁾ Pandangan ini mengandung asumsi bahwa kemampuan berbahasa merupakan innate faculty, bukan hasil pembelajaran empiris semata.

Chomsky sendiri secara eksplisit mengakui inspirasi ini dalam karya Cartesian Linguistics (1966), di mana ia menafsirkan kembali tradisi linguistik rasionalis abad ke-17.⁽⁷⁾ Ia melihat kesinambungan antara teori “gagasan bawaan” Descartes, Leibniz, dan Kant dengan konsepsi universal grammar yang dikembangkannya. Seperti Kant yang menegaskan adanya bentuk-bentuk pengetahuan a priori yang mendahului pengalaman, Chomsky berpendapat bahwa manusia dilahirkan dengan struktur mental bawaan yang membentuk cara kita memahami dan menghasilkan bahasa.⁽⁸⁾

2.3.       Perkembangan Historis: Dari Standard Theory ke Minimalism

Secara historis, teori Chomsky mengalami perkembangan bertahap yang mencerminkan upayanya menyederhanakan dan memperdalam pemahaman tentang struktur bahasa.

·                     Standard Theory (1965–1970):

Menegaskan hubungan antara deep structure dan surface structure, yaitu dua lapisan sintaksis yang menjelaskan bagaimana kalimat bermakna dihasilkan dari representasi mendalam pikiran.⁽⁹⁾

·                     Extended Standard Theory (1970–1980):

Menambahkan dimensi semantik dan pragmatik untuk memperbaiki keterbatasan model awal.

·                     Government and Binding Theory (1981):

Memperkenalkan prinsip modularitas, di mana tata bahasa diatur oleh komponen-komponen otonom dalam faculty of language.¹⁰

·                     Minimalist Program (1990–sekarang):

Bertujuan menemukan prinsip paling sederhana dan ekonomis dari struktur bahasa, dengan menekankan efisiensi biologis dalam sistem kognitif manusia.¹¹

Perjalanan intelektual ini menunjukkan bagaimana teori Chomsky berkembang dari kerangka linguistik formal menuju suatu program kognitif-filosofis yang lebih luas. Ia tidak hanya berupaya menjelaskan bahasa, tetapi juga hakikat pikiran manusia, menegaskan bahwa kapasitas berbahasa adalah cerminan terdalam dari kodrat rasional manusia itu sendiri.

Dengan demikian, secara historis dan genealogis, teori tata bahasa transformasional-generatif berdiri di persimpangan antara linguistik, filsafat, dan psikologi kognitif. Ia melanjutkan warisan rasionalisme klasik sekaligus menandai lahirnya paradigma baru dalam filsafat bahasa modern, di mana bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga struktur pemikiran yang membentuk dunia manusia.


Footnotes

[1]                Leonard Bloomfield, Language (New York: Henry Holt, 1933), 20–21.

[2]                Ibid., 27–28.

[3]                B. F. Skinner, Verbal Behavior (New York: Appleton-Century-Crofts, 1957), 10–12.

[4]                Noam Chomsky, Review of B. F. Skinner’s Verbal Behavior, Language 35, no. 1 (1959): 26–27.

[5]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–5.

[6]                René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35–36.

[7]                Noam Chomsky, Cartesian Linguistics: A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 12–15.

[8]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 136–138.

[9]                Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax, 6–7.

[10]             Noam Chomsky, Lectures on Government and Binding (Dordrecht: Foris Publications, 1981), 45–47.

[11]             Noam Chomsky, The Minimalist Program (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 3–5.


3.           Ontologi: Struktur Pikiran dan Bahasa

Dalam kerangka filsafat bahasa Chomsky, dimensi ontologis memainkan peran fundamental karena menentukan bagaimana bahasa dipahami sebagai entitas yang melekat pada struktur pikiran manusia. Ontologi Chomsky tidak berangkat dari bahasa sebagai fenomena sosial eksternal atau sistem tanda arbitrer sebagaimana dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, melainkan dari asumsi bahwa bahasa merupakan struktur mental internal yang bersifat bawaan (innate mental structure).¹ Dengan demikian, bahasa bukanlah ciptaan eksternal masyarakat, tetapi manifestasi dari potensi kognitif manusia yang bersumber dari fakultas mental universal.

3.1.       Bahasa sebagai Entitas Mental

Dalam pandangan Chomsky, bahasa tidak semata-mata sistem simbol eksternal yang digunakan untuk komunikasi, melainkan bagian dari sistem representasi internal yang dimiliki manusia secara alami.² Ia membedakan secara ontologis antara kompetensi linguistik (linguistic competence) dan performansi linguistik (performance).³ Kompetensi menunjuk pada kemampuan internal—yakni pengetahuan implisit tentang aturan bahasa yang dimiliki penutur ideal—sedangkan performansi menunjuk pada realisasi aktual bahasa dalam konteks sosial dan psikologis. Dengan pembedaan ini, Chomsky menegaskan bahwa hakikat bahasa terletak pada mind, bukan pada behavior.

Bahasa dalam diri manusia berfungsi sebagai alat representasi mental yang memungkinkan struktur pikiran diartikulasikan dalam bentuk simbolis.⁴ Hal ini menjadikan bahasa sebagai cermin ontologis dari pikiran: struktur bahasa merefleksikan struktur berpikir manusia.⁵ Oleh sebab itu, memahami tata bahasa sama artinya dengan memahami bagaimana pikiran manusia bekerja secara universal. Bahasa tidak hanya alat berpikir, tetapi juga modus eksistensial yang memperlihatkan sifat rasional manusia.

3.2.       Struktur Dalam dan Struktur Permukaan

Konsep kunci dalam ontologi Chomsky adalah pembedaan antara struktur dalam (deep structure) dan struktur permukaan (surface structure).⁶ Struktur dalam merupakan representasi abstrak yang mencerminkan makna dan relasi konseptual antarkata dalam pikiran, sedangkan struktur permukaan adalah bentuk aktual yang diwujudkan dalam ujaran.⁷ Transformasi dari struktur dalam ke struktur permukaan diatur oleh seperangkat aturan transformasional yang bersifat mental dan universal. Dengan demikian, realitas bahasa terbentuk dari interaksi antara mekanisme kognitif dan ekspresi formalnya.

Ontologi ini menempatkan bahasa dalam wilayah yang unik—tidak sepenuhnya material seperti perilaku, dan tidak pula sepenuhnya ideal seperti ide Platoan. Ia bersifat mentalis-rasional, di mana bahasa dipahami sebagai realitas psikologis yang diatur oleh hukum-hukum internal yang universal.⁸ Konsepsi ini menegaskan bahwa setiap manusia memiliki Language Faculty, yaitu sistem biologis dalam otak yang memungkinkan pemerolehan bahasa secara alami tanpa instruksi eksplisit.⁹

3.3.       Universalitas dan Naturalisme Linguistik

Dari sudut pandang ontologi naturalistik, Chomsky memandang bahasa sebagai bagian dari kodrat biologis manusia, serupa dengan kemampuan persepsi atau gerak.¹⁰ Dengan demikian, bahasa memiliki status ontologis sebagai organ mental—sebuah kapasitas biologis yang berevolusi bersama spesies manusia.¹¹ Namun, sifat universal dari Language Faculty tidak berarti bahwa semua bahasa sama; melainkan bahwa semua bahasa dibangun berdasarkan prinsip-prinsip umum yang sama, atau yang disebut Tata Bahasa Universal (Universal Grammar).¹²

Universal Grammar merupakan prinsip bawaan yang menentukan ruang kemungkinan struktur bahasa manusia.¹³ Secara ontologis, ia berfungsi sebagai matrix yang menghubungkan pikiran dan dunia: struktur kognitif manusia membatasi, namun sekaligus memungkinkan, bentuk-bentuk ekspresi linguistik yang mungkin. Bahasa menjadi jembatan antara mind dan world—antara dunia konseptual internal dan realitas empiris eksternal.¹⁴

3.4.       Relasi Pikiran, Bahasa, dan Realitas

Dari perspektif metafisik, ontologi Chomsky menegaskan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga mengkonstruksi cara manusia memahami realitas.¹⁵ Pikiran, melalui bahasa, tidak bersifat pasif menerima dunia, melainkan aktif mengorganisir pengalaman menjadi struktur bermakna.¹⁶ Pandangan ini menunjukkan kesinambungan antara teori linguistik Chomsky dan epistemologi rasionalistik Kant, di mana struktur mental manusia menjadi syarat kemungkinan bagi pengetahuan tentang dunia.¹⁷

Dengan demikian, realitas linguistik bersifat transendental-mentalistik: ia berada di antara dunia empiris dan dunia ide. Ontologi bahasa Chomsky menolak reduksionisme empiris maupun idealisme murni, dengan menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena mental yang dapat diteliti secara ilmiah karena ia berakar pada struktur biologis manusia.¹⁸

3.5.       Bahasa sebagai Cermin Hakikat Manusia

Akhirnya, dalam tataran ontologis terdalam, teori Chomsky menunjukkan bahwa bahasa adalah cermin hakikat manusia sebagai makhluk rasional dan bebas.¹⁹ Kapasitas berbahasa menandai keunikan manusia di antara makhluk hidup lainnya karena melibatkan kemampuan untuk membentuk, memahami, dan menilai makna.²⁰ Dengan demikian, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga ekspresi eksistensial dari kebebasan berpikir, imajinasi, dan moralitas.²¹

Ontologi Chomsky mengembalikan bahasa kepada kodratnya sebagai fenomena humanistik dan rasional, di mana struktur linguistik menjadi pantulan dari struktur kesadaran manusia itu sendiri.²² Bahasa, dengan segala kompleksitasnya, memperlihatkan bahwa realitas manusia bukan hanya material atau sosial, tetapi juga mental dan simbolik—sebuah dunia yang diciptakan melalui struktur batin yang universal.


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–5.

[2]                Ibid., 7–8.

[3]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 4–6.

[4]                John Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 18–19.

[5]                Jerry Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 22–23.

[6]                Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax, 16–18.

[7]                Noam Chomsky, Syntactic Structures (The Hague: Mouton, 1957), 13–15.

[8]                Thomas Nagel, The View from Nowhere (New York: Oxford University Press, 1986), 55–56.

[9]                Noam Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 15–16.

[10]             Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 25–27.

[11]             Eric Lenneberg, Biological Foundations of Language (New York: Wiley, 1967), 45–47.

[12]             Chomsky, Reflections on Language, 12–13.

[13]             Ibid., 14–16.

[14]             Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 8–10.

[15]             Chomsky, Knowledge of Language, 18–20.

[16]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 145–146.

[17]             Ibid., 155.

[18]             Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 33–34.

[19]             Noam Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 89–90.

[20]             Fodor, The Modularity of Mind, 29–31.

[21]             Chomsky, Reflections on Language, 22–24.

[22]             Pinker, The Language Instinct, 40–42.


4.           Epistemologi: Asal Pengetahuan Linguistik

Dalam kerangka filsafat bahasa Chomsky, dimensi epistemologis berkaitan dengan pertanyaan mendasar: bagaimana manusia mengetahui bahasa? atau lebih tepatnya, bagaimana pengetahuan linguistik dapat muncul pada manusia meskipun data empiris yang tersedia sangat terbatas? Pertanyaan ini menjadi inti dari argumen nativistik Chomsky yang menolak pandangan empirisisme radikal, dan sebaliknya menegaskan bahwa kemampuan berbahasa bersumber dari pengetahuan bawaan (innate knowledge) yang merupakan bagian dari struktur kognitif manusia.¹

4.1.       Argumen Kemiskinan Stimulus (Poverty of the Stimulus)

Salah satu dasar epistemologis paling terkenal dalam teori Chomsky adalah argumen kemiskinan stimulus (poverty of the stimulus argument). Menurutnya, anak-anak dapat memperoleh kemampuan linguistik kompleks meskipun tidak pernah menerima data empiris yang cukup untuk menjelaskan kemahiran tersebut.² Data linguistik yang mereka dengar di lingkungan sangat terbatas, sering tidak sempurna, dan tidak selalu gramatikal, tetapi anak mampu menghasilkan kalimat baru yang benar secara sintaksis tanpa pengajaran eksplisit.³

Dari situ, Chomsky menyimpulkan bahwa kemampuan berbahasa tidak mungkin murni hasil induksi empiris, melainkan berasal dari seperangkat prinsip dan parameter bawaan yang membimbing proses pemerolehan bahasa.⁴ Mekanisme ini disebut sebagai Language Acquisition Device (LAD)—suatu sistem kognitif dalam otak yang berfungsi mengekstraksi aturan universal dari data linguistik yang terbatas.⁵ Dengan demikian, epistemologi bahasa Chomsky bersandar pada rationalist hypothesis: bahwa pengetahuan linguistik bersumber dari struktur mental a priori yang melekat pada manusia sejak lahir.⁶

4.2.       Rasionalisme Linguistik dan Pengetahuan A Priori

Pandangan Chomsky memiliki akar mendalam dalam tradisi rasionalisme epistemologis yang diwarisi dari Descartes, Leibniz, dan Kant. Seperti Descartes yang menegaskan keberadaan “gagasan bawaan” (innate ideas), Chomsky menekankan bahwa pengetahuan linguistik bukan hasil tabula rasa, melainkan hasil aktualisasi dari potensi bawaan.⁷ Bagi Chomsky, setiap manusia dilahirkan dengan kerangka konseptual yang memungkinkan pembentukan makna dan struktur bahasa secara spontan.⁸

Dalam analogi Kantian, Language Faculty berfungsi seperti “kategori-kategori pikiran” (categories of understanding) yang menyusun pengalaman linguistik menjadi bentuk yang dapat dipahami.⁹ Artinya, pengalaman linguistik eksternal (empiris) hanya dapat dimengerti sejauh ia diproses melalui struktur mental internal yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, Universal Grammar berperan sebagai syarat kemungkinan pengetahuan linguistik, sebagaimana ruang dan waktu menjadi syarat kemungkinan pengetahuan empiris menurut Kant.¹⁰

Epistemologi Chomsky, oleh karena itu, tidak sekadar menjelaskan bagaimana kita belajar bahasa, tetapi juga bagaimana bahasa itu sendiri menjadi bentuk pengetahuan bawaan tentang dunia.¹¹

4.3.       Intuisi Linguistik dan Pengetahuan Implisit

Aspek lain dari epistemologi Chomsky adalah peran intuisi penutur asli (native speaker intuition) dalam memahami tata bahasa.¹² Chomsky berpendapat bahwa setiap penutur memiliki pengetahuan implisit tentang struktur bahasa yang ia gunakan, bahkan jika ia tidak dapat menjelaskannya secara eksplisit.¹³ Dengan kata lain, manusia tahu aturan linguistik tanpa harus mengetahui bahwa ia tahu (a case of tacit knowledge).¹⁴

Fenomena ini menunjukkan bahwa pengetahuan linguistik berbeda dari pengetahuan konseptual biasa. Ia bersifat implisit, tidak disadari, dan otomatis, tetapi tetap sistematis dan terstruktur.¹⁵ Dari sini, epistemologi Chomsky berdekatan dengan konsep “tacit knowing” yang dikemukakan oleh Michael Polanyi—yakni bahwa sebagian besar pengetahuan manusia tidak dapat direduksi menjadi proposisi eksplisit, melainkan hadir dalam bentuk kemampuan dan disposisi.¹⁶

Implikasinya, pengetahuan linguistik tidak bersifat empiris, melainkan bersifat kognitif dan rasional, yaitu hasil dari operasi struktur internal yang tidak dapat diamati secara langsung, tetapi dapat dijelaskan secara teoretis melalui model mental.¹⁷

4.4.       Pengetahuan Linguistik dan Ilmu Kognitif

Chomsky menempatkan teori linguistiknya dalam kerangka revolusi kognitif yang menentang behaviorisme psikologis.¹⁸ Dengan memandang bahasa sebagai bentuk pengetahuan internal (knowledge of language), ia menegaskan bahwa linguistik bukan hanya studi tentang perilaku verbal, melainkan bagian dari ilmu pengetahuan tentang pikiran (science of mind).¹⁹

Epistemologi ini membuka jalan bagi ilmu kognitif modern, di mana pikiran dipahami sebagai sistem representasional yang memproses informasi simbolik.²⁰ Dalam konteks ini, pengetahuan linguistik adalah hasil kerja sistem mental yang bersifat modular dan universal.²¹ Jerry Fodor memperluas pandangan ini dengan teori modularity of mind, yang menyatakan bahwa fakultas bahasa beroperasi secara otonom dari sistem kognitif lain, menunjukkan sifat bawaan dan spesialisasi biologisnya.²²

Melalui pendekatan ini, epistemologi Chomsky berperan besar dalam memulihkan status ilmiah rasionalisme, yakni bahwa studi tentang pikiran dan bahasa dapat dilakukan secara empiris tanpa mengabaikan hakikat mentalnya.²³

4.5.       Implikasi Epistemologis: Pengetahuan, Kebebasan, dan Rasionalitas

Secara filosofis, pandangan Chomsky memiliki implikasi epistemologis yang lebih luas. Jika bahasa adalah sistem pengetahuan bawaan, maka manusia bukanlah makhluk pasif yang menerima dunia, melainkan subjek aktif yang memiliki perangkat untuk menstrukturkan pengalaman.²⁴ Hal ini mengarah pada pemahaman humanistik bahwa rasionalitas dan kebebasan berpikir merupakan konsekuensi alamiah dari struktur kognitif manusia.²⁵

Dengan demikian, epistemologi Chomsky menyatukan aspek biologis dan rasional dari manusia: pengetahuan linguistik merupakan hasil kodrat alami sekaligus ekspresi kebebasan intelektual.²⁶ Ia menolak baik empirisisme mekanistik maupun idealisme subjektif, dengan menegaskan bahwa pengetahuan linguistik adalah produk dari struktur mental yang berakar pada kodrat biologis manusia yang rasional.²⁷


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 4–6.

[2]                Ibid., 7–8.

[3]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 18–20.

[4]                Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax, 9–10.

[5]                Eric Lenneberg, Biological Foundations of Language (New York: Wiley, 1967), 35–36.

[6]                Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 12–13.

[7]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 44–46.

[8]                Noam Chomsky, Cartesian Linguistics: A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 12–14.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 145–146.

[10]             Ibid., 150–151.

[11]             Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 16–17.

[12]             Noam Chomsky, Rules and Representations (New York: Columbia University Press, 1980), 5–7.

[13]             Ibid., 8–9.

[14]             Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Garden City, NY: Doubleday, 1966), 4–5.

[15]             Chomsky, Reflections on Language, 23–24.

[16]             Polanyi, The Tacit Dimension, 7–8.

[17]             Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 9–10.

[18]             George A. Miller, The Science of Words (New York: Scientific American Library, 1991), 14–15.

[19]             Chomsky, Knowledge of Language, 19–20.

[20]             Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 28–30.

[21]             Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 25–27.

[22]             Ibid., 29–30.

[23]             Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 55–57.

[24]             Chomsky, Rules and Representations, 13–15.

[25]             Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 80–82.

[26]             Ibid., 84–86.

[27]             Pinker, The Language Instinct, 42–44.


5.           Aksiologi: Nilai dan Fungsi Teori Bahasa

Dimensi aksiologis dari teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif Noam Chomsky mengungkapkan bagaimana teori tersebut tidak hanya berfungsi sebagai model ilmiah linguistik, tetapi juga memiliki nilai-nilai filosofis, etis, dan humanistik yang luas. Chomsky tidak sekadar menyusun teori tentang struktur bahasa, melainkan juga membela gagasan tentang martabat intelektual manusia, kebebasan berpikir, dan rasionalitas universal sebagai dasar bagi eksistensi dan pengetahuan.¹

5.1.       Nilai Ilmiah: Penemuan Struktur Rasional Bahasa

Secara ilmiah, teori Chomsky memberikan nilai revolusioner terhadap linguistik dengan menegaskan bahwa bahasa harus dipahami sebagai sistem pengetahuan internal (internalized knowledge system) yang teratur secara rasional.² Ia mengubah paradigma linguistik dari sekadar deskripsi perilaku verbal menuju penjelasan mengenai mekanisme kognitif yang menghasilkan bahasa.³ Pendekatan ini memperluas status linguistik menjadi bagian dari ilmu tentang pikiran (science of mind), yang memiliki dampak signifikan bagi psikologi kognitif, ilmu komputer, dan neurolinguistik.⁴

Teori ini juga memberikan landasan bagi linguistik komputasional dan penelitian kecerdasan buatan (AI), karena gagasan tentang universal grammar menginspirasi pencarian prinsip-prinsip umum yang dapat memodelkan kemampuan bahasa manusia.⁵ Nilai ilmiah ini menunjukkan bahwa teori Chomsky tidak hanya berfungsi deskriptif, tetapi juga produktif—menjadi paradigma yang memicu eksplorasi baru tentang struktur rasional manusia.

5.2.       Nilai Epistemologis dan Pendidikan: Bahasa sebagai Cermin Kognisi

Dalam konteks epistemologi, teori Chomsky menegaskan nilai bahwa pengetahuan linguistik adalah bentuk pengetahuan rasional yang bersumber dari struktur bawaan manusia.⁶ Dengan demikian, pendidikan bahasa tidak semata proses pengajaran eksternal, tetapi merupakan proses aktualisasi potensi intelektual yang telah ada dalam diri manusia.⁷

Pandangan ini mengandung nilai aksiologis bagi bidang pendidikan dan filsafat ilmu: pengetahuan tidak ditransmisikan dari luar ke dalam, melainkan dikembangkan dari dalam diri melalui kemampuan berpikir dan struktur mental yang telah tersedia.⁸ Secara praktis, pendekatan ini menumbuhkan penghargaan terhadap kreativitas dan otonomi berpikir, dua nilai yang sangat penting dalam pembentukan manusia rasional dan merdeka.⁹

5.3.       Nilai Etis dan Humanistik: Bahasa sebagai Ekspresi Kebebasan

Bagi Chomsky, bahasa memiliki makna etis yang dalam: ia merupakan ekspresi kebebasan dan kreativitas manusia.¹⁰ Tidak seperti mesin atau hewan yang berperilaku berdasarkan stimulus, manusia mampu menciptakan kalimat yang tak terbatas jumlahnya dan tidak pernah terdengar sebelumnya.¹¹ Kreativitas linguistik ini menjadi bukti bahwa manusia adalah makhluk yang bebas, rasional, dan bermoral—mampu menggunakan bahasa bukan hanya untuk menyampaikan fakta, tetapi juga untuk mengekspresikan nilai, keadilan, dan solidaritas.¹²

Chomsky menolak reduksionisme behavioristik yang memandang bahasa sebagai perilaku mekanistik tanpa kebebasan.¹³ Dengan menempatkan bahasa dalam ranah kognitif dan rasional, ia menegaskan nilai otonomi intelektual sebagai hakikat manusia.¹⁴ Secara aksiologis, teori ini mengandung pesan moral bahwa kebebasan berpikir dan berbicara adalah wujud tertinggi dari potensi manusia, serta menjadi dasar bagi martabat dan tanggung jawab moral.¹⁵

5.4.       Nilai Sosial-Politik: Bahasa, Kesadaran, dan Pembebasan

Meskipun teori tata bahasa generatif awalnya bersifat ilmiah, Chomsky juga mengembangkan implikasi sosial dan politik dari konsep kebebasan berpikir.¹⁶ Ia menegaskan bahwa bahasa adalah alat pembebasan, bukan sekadar sarana komunikasi.¹⁷ Kemampuan berbahasa memungkinkan manusia untuk menyadari dan mengkritik struktur kekuasaan, menolak dominasi ideologis, serta membangun solidaritas kemanusiaan.¹⁸

Dalam karyanya yang lebih politis, Chomsky mengaitkan linguistik dengan etika diskursus dan kebebasan publik, di mana kemampuan berbicara dan berargumen secara rasional merupakan prasyarat bagi demokrasi dan keadilan sosial.¹⁹ Dengan demikian, teori linguistiknya secara aksiologis memperluas makna bahasa menjadi fondasi kesadaran kritis dan moralitas sosial.²⁰

5.5.       Nilai Filosofis dan Humanisme Rasional

Secara filosofis, teori Chomsky menegaskan nilai-nilai humanisme rasional: bahwa manusia adalah makhluk yang pada dasarnya rasional, kreatif, dan berpotensi memahami dunia melalui struktur mentalnya.²¹ Bahasa menjadi simbol dari martabat manusia karena menunjukkan kemampuan untuk berpikir abstrak, mengungkapkan nilai, dan membangun makna intersubjektif.²²

Pandangan ini selaras dengan gagasan klasik dalam tradisi rasionalisme bahwa kemampuan rasional adalah dasar etika dan moralitas.²³ Dengan demikian, teori tata bahasa generatif bukan hanya penjelasan tentang struktur kalimat, tetapi juga penegasan tentang struktur moral manusia: bahwa berpikir, berbicara, dan memahami adalah bentuk kebebasan yang memiliki nilai etis intrinsik.²⁴

Dalam kerangka aksiologis inilah, Chomsky menghadirkan teori bahasa bukan hanya sebagai sistem ilmiah, tetapi juga sebagai pembelaan terhadap kemanusiaan—suatu bentuk rasionalisme moral yang melihat bahasa sebagai cermin dari kebebasan dan tanggung jawab manusia terhadap dunia dan sesamanya.²⁵


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–4.

[2]                Ibid., 6–7.

[3]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 5–6.

[4]                Jerry A. Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 22–24.

[5]                Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 30–32.

[6]                Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 15–17.

[7]                Ibid., 19–20.

[8]                Howard Gardner, The Mind’s New Science: A History of the Cognitive Revolution (New York: Basic Books, 1985), 102–104.

[9]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 72–74.

[10]             Noam Chomsky, Cartesian Linguistics: A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 27–29.

[11]             Noam Chomsky, Rules and Representations (New York: Columbia University Press, 1980), 11–13.

[12]             Chomsky, Reflections on Language, 25–27.

[13]             Noam Chomsky, Review of B. F. Skinner’s Verbal Behavior, Language 35, no. 1 (1959): 27–28.

[14]             Chomsky, Knowledge of Language, 21–22.

[15]             John Searle, Freedom and Neurobiology (New York: Columbia University Press, 2004), 35–37.

[16]             Noam Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988), 42–44.

[17]             Ibid., 55–56.

[18]             Chomsky, Necessary Illusions: Thought Control in Democratic Societies (Boston: South End Press, 1989), 10–12.

[19]             Ibid., 13–14.

[20]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 85–87.

[21]             Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 91–92.

[22]             Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 16–18.

[23]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 59–61.

[24]             Chomsky, Reflections on Language, 30–31.

[25]             Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind, 95–96.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural

Meskipun teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif awalnya dikembangkan dalam konteks ilmiah linguistik dan kognitif, pemikiran Noam Chomsky tidak dapat dilepaskan dari dimensi sosial, politik, dan kultural yang lebih luas. Chomsky memandang bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana pembentukan kesadaran, ekspresi kebebasan, dan bahkan resistensi terhadap dominasi ideologis.¹ Dalam kerangka ini, teori bahasanya memiliki implikasi sosial yang mendalam: bahasa mencerminkan struktur kognitif manusia sekaligus mempengaruhi struktur sosial di mana manusia hidup dan berpikir.

6.1.       Bahasa sebagai Alat Kesadaran dan Pembebasan

Bagi Chomsky, kemampuan berbahasa menandai kapasitas manusia untuk berpikir kritis dan bertindak bebas.² Melalui bahasa, manusia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kesadaran—baik terhadap diri sendiri maupun terhadap tatanan sosial yang mengitarinya.³ Bahasa menjadi medium utama bagi munculnya refleksi moral, kritik terhadap ketidakadilan, dan artikulasi nilai kemanusiaan.⁴

Dalam konteks ini, teori kompetensi linguistik tidak hanya menjelaskan mekanisme mental, tetapi juga mengandaikan bahwa setiap manusia memiliki potensi rasional yang setara untuk memahami dan menafsirkan dunia.⁵ Pandangan ini memiliki dimensi egalitarian yang kuat: jika struktur linguistik bersifat universal, maka potensi berpikir kritis juga merupakan hak bawaan seluruh umat manusia.⁶

6.2.       Bahasa dan Ideologi: Kritik terhadap Hegemoni

Dalam karya-karya politiknya, Chomsky menyoroti bagaimana bahasa dapat digunakan secara manipulatif dalam struktur kekuasaan dan media massa.⁷ Ia memperkenalkan konsep “manufacturing consent”—proses di mana bahasa dan wacana digunakan oleh lembaga-lembaga sosial dan politik untuk membentuk opini publik dan menormalkan ketimpangan kekuasaan.⁸

Melalui analisis ini, Chomsky memperluas teori bahasanya ke ranah kritik ideologi, dengan menegaskan bahwa struktur sintaksis dan semantik tidak pernah netral, tetapi selalu memiliki potensi ideologis.⁹ Bahasa dapat menjadi instrumen dominasi ketika digunakan untuk menyamarkan realitas, mengalihkan perhatian, atau mengaburkan kebenaran moral.¹⁰ Namun, pada saat yang sama, bahasa juga dapat menjadi alat pembebasan ketika digunakan untuk membongkar ketidakadilan dan mengungkapkan kebenaran.¹¹

Dengan demikian, teori bahasa Chomsky berelasi erat dengan etika komunikasi, seperti yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas, di mana penggunaan bahasa yang bebas dari distorsi menjadi syarat bagi komunikasi yang rasional dan emansipatoris.¹²

6.3.       Dimensi Kultural: Bahasa, Pikiran, dan Keberagaman

Secara kultural, teori Chomsky mengandung dua implikasi penting yang tampak paradoksal: universalisme biologis dan pluralisme kultural.¹³ Di satu sisi, Universal Grammar menegaskan adanya struktur bawaan yang sama dalam diri semua manusia, yang menunjukkan kesatuan biologis dan kognitif umat manusia.¹⁴ Di sisi lain, struktur ini justru menjadi dasar bagi keragaman linguistik dan budaya karena setiap komunitas merealisasikan potensi universal itu dalam bentuk yang berbeda-beda.¹⁵

Dengan demikian, teori Chomsky tidak meniadakan keragaman budaya, melainkan menegaskan bahwa pluralitas bahasa adalah hasil dari aktualisasi satu potensi rasional universal.¹⁶ Hal ini sejalan dengan pandangan humanistik bahwa semua kebudayaan memiliki nilai intrinsik karena bersumber dari kapasitas kognitif yang sama.¹⁷

Selain itu, bahasa juga menjadi medium utama dalam pembentukan identitas kultural. Ia bukan hanya alat untuk menggambarkan dunia, tetapi juga cara untuk menciptakan dunia simbolik tempat manusia hidup bersama.¹⁸ Dalam hal ini, teori Chomsky membuka jalan bagi dialog antara filsafat bahasa dan antropologi linguistik, yang sama-sama melihat bahasa sebagai unsur pembentuk kebudayaan.¹⁹

6.4.       Bahasa, Kekuasaan, dan Etika Diskursus

Dimensi sosial-politik teori Chomsky juga dapat dibaca dalam kaitannya dengan etika diskursus publik. Ia menekankan bahwa kebebasan berbicara adalah syarat dasar bagi kehidupan demokratis yang sehat.²⁰ Dalam masyarakat yang tertindas oleh kekuasaan ideologis, bahasa menjadi medan perjuangan antara kontrol dan kebebasan.²¹ Oleh karena itu, Chomsky mengaitkan kemampuan berbahasa dengan tanggung jawab moral: setiap individu memiliki kewajiban untuk menggunakan bahasa secara jujur, kritis, dan rasional demi mempertahankan kebenaran publik.²²

Konsep ini beresonansi dengan filsafat komunikasi Habermas dan Arendt yang menempatkan tindakan berbicara (speech act) sebagai inti dari tindakan politik.²³ Bahasa bukan sekadar instrumen, melainkan ruang etis dan dialogis tempat kebenaran dan keadilan dinegosiasikan.²⁴

Dengan demikian, teori Chomsky memberikan kontribusi terhadap pemahaman bahwa kebebasan linguistik adalah prasyarat bagi kebebasan sosial, dan bahwa pembungkaman atau manipulasi bahasa berarti pembungkaman terhadap rasionalitas manusia itu sendiri.²⁵

6.5.       Integrasi Humanistik: Bahasa sebagai Struktur Rasional dan Moral

Akhirnya, dimensi sosial, politik, dan kultural teori Chomsky mengarah pada suatu visi humanisme rasional.²⁶ Bahasa, bagi Chomsky, adalah bukti paling nyata dari kodrat manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan kreatif.²⁷ Ia menjadi dasar bagi solidaritas kemanusiaan karena memungkinkan manusia untuk saling memahami melampaui perbedaan budaya dan ideologi.²⁸

Dengan menempatkan bahasa sebagai fondasi kesadaran kritis dan kebebasan moral, teori Chomsky menawarkan model filsafat bahasa yang tidak berhenti pada struktur sintaksis, melainkan menembus ke ranah etika dan politik emansipatoris.²⁹ Bahasa, dengan demikian, bukan hanya cermin pikiran, tetapi juga sarana perjuangan manusia untuk mempertahankan martabat dan kebebasan di tengah dunia sosial yang kompleks.³⁰


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 3–5.

[2]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 4–5.

[3]                Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 19–21.

[4]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 70–72.

[5]                Chomsky, Reflections on Language, 22–23.

[6]                Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 45–46.

[7]                Noam Chomsky and Edward S. Herman, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media (New York: Pantheon Books, 1988), 1–3.

[8]                Ibid., 5–6.

[9]                Chomsky, Necessary Illusions: Thought Control in Democratic Societies (Boston: South End Press, 1989), 10–11.

[10]             Ibid., 13–15.

[11]             Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988), 52–54.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[13]             Noam Chomsky, Cartesian Linguistics: A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 14–16.

[14]             Eric Lenneberg, Biological Foundations of Language (New York: Wiley, 1967), 45–46.

[15]             Chomsky, Knowledge of Language, 22–23.

[16]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 89–90.

[17]             Ibid., 95.

[18]             George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–4.

[19]             Dell Hymes, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 5–7.

[20]             Chomsky, Language and Politics, 62–63.

[21]             Noam Chomsky, Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda (New York: Seven Stories Press, 2002), 10–12.

[22]             John Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 17–19.

[23]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.

[24]             Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 175–177.

[25]             Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 88–89.

[26]             Ibid., 92–93.

[27]             Chomsky, Reflections on Language, 30–32.

[28]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 90–91.

[29]             Freire, Pedagogy of the Oppressed, 80–82.

[30]             Chomsky, Language and Politics, 75–77.


7.           Kritik terhadap Teori Transformasional-Generatif

Sejak awal kemunculannya pada akhir 1950-an, teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif Noam Chomsky telah mengubah wajah linguistik modern, namun sekaligus menimbulkan berbagai perdebatan mendalam di kalangan ilmuwan bahasa, filsuf, dan psikolog. Teori ini dianggap revolusioner karena menegaskan bahwa bahasa merupakan sistem kognitif bawaan, tetapi pandangan tersebut juga mengundang kritik dari berbagai arah: mulai dari strukturalisme dan fungsionalisme, semantik dan pragmatik, hingga psikologi empiris, neurolinguistik, serta filsafat bahasa kontemporer. Kritik-kritik ini tidak hanya bersifat teknis-linguistik, tetapi juga menyentuh aspek ontologis, epistemologis, dan ideologis dari teori Chomsky.

7.1.       Kritik Strukturalisme dan Fungsionalisme: Bahasa sebagai Sistem Sosial, Bukan Mental

Kaum strukturalis dan fungsionalis, seperti M. A. K. Halliday dan Dell Hymes, menolak asumsi Chomsky bahwa hakikat bahasa dapat dipahami semata-mata melalui struktur mental internal.¹ Mereka menilai bahwa pendekatan Chomsky terlalu menekankan aspek formal dan universal, sehingga mengabaikan fungsi sosial, konteks komunikasi, dan makna pragmatis dari bahasa.²

Halliday, melalui teori Systemic Functional Linguistics (SFL), menegaskan bahwa bahasa adalah sistem pilihan makna yang berfungsi untuk menegosiasikan hubungan sosial.³ Ia berpendapat bahwa “bahasa bukan hanya struktur dalam pikiran, tetapi tindakan sosial yang menghubungkan individu dengan masyarakatnya.”⁴ Sementara itu, Dell Hymes memperkenalkan konsep “kompetensi komunikatif” untuk melengkapi dan mengoreksi konsep kompetensi linguistik Chomsky.⁵ Bagi Hymes, kemampuan berbahasa tidak hanya mencakup tata bahasa, tetapi juga pengetahuan tentang kapan, di mana, dan kepada siapa suatu ujaran pantas digunakan.⁶

Kritik ini menunjukkan bahwa teori generatif dianggap terlalu abstrak dan terlepas dari kenyataan sosial-kultural bahasa, sehingga gagal menjelaskan keberagaman fungsi komunikatif dalam kehidupan manusia.⁷

7.2.       Kritik Semantik dan Pragmatik: Kekurangan pada Dimensi Makna dan Konteks

Para linguis semantik dan pragmatik, seperti George Lakoff, John Searle, dan Paul Grice, menilai bahwa teori Chomsky tidak memberikan ruang yang memadai bagi makna, intensi, dan konteks komunikasi.⁸ Lakoff, yang awalnya bekerja dalam kerangka generatif, kemudian meninggalkan pendekatan itu dan mengembangkan linguistik kognitif yang menekankan metafora konseptual sebagai dasar pemaknaan.⁹ Menurutnya, bahasa bukanlah kumpulan aturan formal, melainkan refleksi dari cara manusia memahami dunia melalui pengalaman tubuh dan budaya.¹⁰

John Searle mengkritik Chomsky karena gagal menjelaskan fungsi tindak tutur (speech acts) yang bersifat intensional dan sosial.¹¹ Ia menegaskan bahwa makna ujaran tidak hanya ditentukan oleh struktur sintaksis, tetapi oleh maksud pembicara dan konvensi sosial yang menyertainya.¹² Paul Grice, dengan teori implicature, menambahkan bahwa komunikasi selalu bergantung pada prinsip kerja sama (cooperative principle) yang tidak dapat direduksi menjadi aturan tata bahasa.¹³

Kritik-kritik ini menyoroti bahwa teori transformasional-generatif terlalu fokus pada bentuk (form) dan mengabaikan aspek penggunaan (use), padahal bahasa adalah fenomena yang maknanya muncul dalam konteks sosial interaktif.¹⁴

7.3.       Kritik Empiris dan Neurolinguistik: Keterbatasan Bukti tentang “Language Faculty”

Dari sudut pandang psikologi empiris dan neurolinguistik, sejumlah peneliti mempertanyakan keberadaan Language Faculty dan Universal Grammar sebagai entitas biologis yang dapat diverifikasi.¹⁵ Pendekatan connectionism dalam psikologi kognitif, yang dipelopori oleh James McClelland dan David Rumelhart, berargumen bahwa kemampuan berbahasa dapat dijelaskan melalui pembelajaran asosiatif dan pemrosesan paralel, bukan melalui seperangkat aturan bawaan.¹⁶

Selain itu, penelitian neurolinguistik menunjukkan bahwa pemrosesan bahasa melibatkan jaringan otak yang dinamis dan adaptif, yang tidak sepenuhnya sesuai dengan model modular Chomsky.¹⁷ Michael Tomasello juga mengkritik nativisme Chomsky melalui teori usage-based learning, dengan menekankan bahwa anak-anak belajar bahasa melalui interaksi sosial, imitasi, dan pembentukan pola (pattern formation), bukan melalui perangkat bawaan.¹⁸

Kritik-kritik ini mempertanyakan dasar empiris dari klaim Chomsky tentang universalisme bahasa, sekaligus menantang pandangan bahwa kapasitas linguistik sepenuhnya bersifat terpisah dari pengalaman sosial dan persepsi sensorik.¹⁹

7.4.       Kritik Filsafat Bahasa: Rasionalisme Reduksionistik dan Asumsi Mentalistik

Dalam ranah filsafat bahasa, beberapa pemikir seperti Hilary Putnam, Donald Davidson, dan Hubert Dreyfus menilai teori Chomsky terlalu mentalis dan reduksionistik.²⁰ Putnam menolak gagasan bahwa makna dapat dijelaskan sepenuhnya melalui struktur internal, dengan menegaskan bahwa makna bersifat eksternal—bergantung pada dunia sosial dan praktik penggunaan bahasa.²¹ Davidson, melalui teori radical interpretation, menganggap bahwa pemahaman bahasa memerlukan konteks komunikasi nyata, bukan hanya representasi sintaksis abstrak.²²

Sementara itu, Hubert Dreyfus, dari perspektif fenomenologi Heideggerian, mengkritik Chomsky karena mengabaikan dimensi eksistensial dari bahasa.²³ Menurut Dreyfus, bahasa bukan sekadar hasil kalkulasi mental, tetapi cara manusia berada di dunia (being-in-the-world).²⁴ Kritik ini membawa teori Chomsky ke ranah filsafat eksistensial dan hermeneutik, di mana bahasa dipahami sebagai pengalaman makna yang hidup, bukan sistem aturan formal.²⁵

7.5.       Kritik Sosio-Politik dan Ideologis: Bahasa, Kekuasaan, dan Elitisme Rasional

Beberapa kritikus, seperti Pierre Bourdieu dan Norman Fairclough, menilai teori Chomsky mengandung bias rasionalisme Barat yang cenderung mengabaikan dimensi kekuasaan dalam praktik bahasa.²⁶ Bourdieu, melalui teori linguistic capital, menegaskan bahwa struktur bahasa tidak netral; ia terkait erat dengan struktur kekuasaan dan dominasi simbolik.²⁷ Fairclough menambahkan bahwa setiap tata bahasa adalah bentuk ideologi yang mereproduksi relasi sosial tertentu.²⁸

Meskipun Chomsky sendiri menentang manipulasi bahasa dalam ranah politik, kritik-kritik ini menunjukkan bahwa pendekatannya tetap terlalu menekankan universalitas rasional, dan kurang memperhatikan bagaimana bahasa beroperasi secara konkret dalam masyarakat yang tidak setara.²⁹

7.6.       Evaluasi Kritis: Antara Validitas Ilmiah dan Batasan Humanistik

Secara keseluruhan, kritik terhadap teori Chomsky dapat dirangkum dalam dua kutub utama: (a) keterbatasan empiris, yakni kurangnya bukti neurologis dan psikologis yang kuat untuk mendukung Universal Grammar; dan (b) keterbatasan humanistik, yakni pengabaian terhadap konteks sosial, budaya, dan moral dalam penggunaan bahasa.³⁰

Namun demikian, banyak dari kritik tersebut juga memperkaya teori Chomsky sendiri, memunculkan generasi baru linguistik kognitif, pragmatik, dan studi wacana kritis.³¹ Dalam perspektif filosofis, kritik-kritik itu tidak meniadakan nilai teori generatif, tetapi mengajak untuk melihatnya sebagai model parsial dari fenomena bahasa yang jauh lebih kompleks—yakni fenomena yang melibatkan hubungan antara struktur mental, interaksi sosial, dan kesadaran historis manusia.³²


Footnotes

[1]                M. A. K. Halliday, Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning (London: Edward Arnold, 1978), 15–17.

[2]                Ibid., 20–21.

[3]                Ibid., 25–26.

[4]                Halliday, An Introduction to Functional Grammar (London: Arnold, 1985), 10.

[5]                Dell Hymes, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 75–77.

[6]                Ibid., 80.

[7]                Halliday, Language as Social Semiotic, 30–32.

[8]                George Lakoff, Linguistics Wars (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1973), 12–13.

[9]                George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By (Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–4.

[10]             Ibid., 8–9.

[11]             John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–18.

[12]             Ibid., 23–24.

[13]             Paul Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 26–28.

[14]             Lakoff, Linguistics Wars, 19–20.

[15]             Eric Lenneberg, Biological Foundations of Language (New York: Wiley, 1967), 54–55.

[16]             James L. McClelland and David E. Rumelhart, Parallel Distributed Processing: Explorations in the Microstructure of Cognition, vol. 1 (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 45–46.

[17]             Steven Pinker, The Stuff of Thought (New York: Viking, 2007), 42–43.

[18]             Michael Tomasello, Constructing a Language: A Usage-Based Theory of Language Acquisition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003), 11–13.

[19]             Ibid., 14–15.

[20]             Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 9–10.

[21]             Ibid., 11–12.

[22]             Donald Davidson, Inquiries into Truth and Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1984), 125–126.

[23]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (New York: Harper & Row, 1972), 99–101.

[24]             Ibid., 103–105.

[25]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 204–205.

[26]             Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity Press, 1991), 45–46.

[27]             Ibid., 49–50.

[28]             Norman Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), 23–25.

[29]             Ibid., 30–31.

[30]             Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 95–96.

[31]             George Lakoff, Women, Fire, and Dangerous Things: What Categories Reveal about the Mind (Chicago: University of Chicago Press, 1987), 45–47.

[32]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.


8.           Relevansi Kontemporer: Teori Chomsky di Era Digital dan Kecerdasan Buatan

Pemikiran Noam Chomsky tentang Tata Bahasa Transformasional-Generatif tetap memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam konteks abad ke-21, terutama dalam era digital dan kecerdasan buatan (AI). Di tengah dominasi algoritma, model bahasa besar (large language models), serta otomatisasi kognitif, teori Chomsky memberikan landasan konseptual untuk meninjau ulang pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bahasa, pikiran, dan pengetahuan.¹ Ia menantang pandangan komputasional murni yang menganggap kecerdasan dapat direduksi menjadi pemrosesan statistik, dengan menegaskan bahwa struktur rasional dan intensionalitas manusia tidak dapat sepenuhnya ditiru oleh mesin

8.1.       Chomsky dan Revolusi Linguistik Komputasional

Dalam sejarah perkembangan ilmu komputer dan linguistik, kontribusi Chomsky bersifat fundamental. Chomsky Hierarchy (1956) menjadi kerangka teoritis yang mendasari perancangan bahasa formal dan algoritma dalam pemrograman komputer.³ Struktur hirarkis ini—yang mencakup regular, context-free, context-sensitive, dan recursively enumerable grammars—menjadi dasar bagi pengembangan kompiler, analisis sintaksis otomatis, dan sistem pemrosesan bahasa alami (natural language processing, NLP).⁴

Namun demikian, meskipun teori tata bahasa formal Chomsky memberikan sumbangan besar terhadap fondasi teknis NLP, ia secara kritis menolak anggapan bahwa bahasa manusia dapat direduksi menjadi urutan simbol atau probabilitas statistik.⁵ Bahasa, menurutnya, tidak semata hasil dari kalkulasi algoritmik, melainkan ekspresi dari kapasitas kreatif dan intensional yang melekat dalam pikiran manusia.⁶

8.2.       Kritik Chomsky terhadap Model Statistik dan AI Generatif

Chomsky secara terbuka mengkritik pendekatan modern terhadap kecerdasan buatan, khususnya model statistik seperti GPT dan BERT, yang belajar bahasa melalui analisis miliaran kata tanpa pemahaman konseptual.⁷ Dalam artikelnya bersama Ian Roberts dan Jeffrey Watumull berjudul The False Promise of ChatGPT (2023), Chomsky menegaskan bahwa sistem seperti ini hanya “meniru bentuk” (simulate form) tetapi tidak “memahami makna” (grasp meaning).⁸

Menurut Chomsky, model-model tersebut gagal menangkap dimensi rasionalitas dan moralitas yang menjadi inti dari kecerdasan manusia.⁹ Bahasa manusia tidak hanya bersifat asosiatif, melainkan generatif dalam arti sejati: ia mencerminkan struktur pikiran yang kreatif, terbatas secara biologis tetapi tak terbatas secara ekspresif.¹⁰ AI, sebaliknya, hanya meniru pola empiris tanpa prinsip normatif yang memandu penggunaannya.¹¹

Dengan demikian, relevansi teori Chomsky di era digital terletak pada pembedaannya antara kompetensi linguistik (pengetahuan internal) dan performansi linguistik (penggunaan eksternal).¹² Model AI hanya mereplikasi performansi—yakni perilaku bahasa—tanpa memiliki kompetensi sejati yang mencakup pemahaman semantik dan intensional.¹³

8.3.       Bahasa, Pikiran, dan Keterbatasan Mesin

Dari perspektif filsafat pikiran, Chomsky berpendapat bahwa pikiran manusia tidak dapat direduksi menjadi sistem komputasional deterministik.¹⁴ Ia menolak pandangan yang menganggap otak sebagai komputer yang menjalankan algoritma, karena struktur kognitif manusia mengandung aspek-aspek kreatif, reflektif, dan nilai moral yang tidak dapat dihitung secara matematis.¹⁵

Dalam konteks AI kontemporer, kritik ini memiliki arti penting. Meskipun model-model bahasa besar dapat menghasilkan teks dengan koherensi tinggi, mereka tetap bekerja melalui analisis probabilistik tanpa kesadaran semantik.¹⁶ Seperti yang dijelaskan oleh Hubert Dreyfus sejak 1970-an, “mesin tidak hidup dalam dunia makna seperti manusia; ia hanya memanipulasi tanda tanpa mengalaminya.”¹⁷

Oleh karena itu, teori Chomsky membantu menegaskan batas epistemologis antara pemrosesan simbolik dan pemahaman rasional.¹⁸ Mesin dapat meniru ujaran, tetapi tidak dapat menafsirkan kebenaran moral, ironi, atau intensi komunikatif. Bahasa manusia selalu melibatkan kesadaran, tujuan, dan nilai—dimensi yang tidak dapat diprogram sepenuhnya.¹⁹

8.4.       Relevansi dalam Etika Digital dan Humanisme Teknologis

Relevansi Chomsky di era digital juga meluas ke ranah etika teknologi. Ia menekankan pentingnya mempertahankan nilai-nilai rasionalitas, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab moral dalam menghadapi kemajuan teknologi yang cepat.²⁰ Seperti dalam kritik politiknya terhadap media dan propaganda, Chomsky memperingatkan bahwa teknologi linguistik dapat menjadi alat kontrol dan manipulasi ketika dikuasai oleh kekuatan korporasi atau negara.²¹

Dalam kerangka ini, teori Chomsky menjadi dasar bagi humanisme digital, yaitu pandangan bahwa teknologi harus tunduk pada prinsip rasionalitas moral manusia, bukan sebaliknya.²² Bahasa, yang bagi Chomsky merupakan ekspresi kebebasan dan kreativitas manusia, tidak boleh direduksi menjadi sekadar data untuk konsumsi algoritma.²³

Pendekatan ini sejalan dengan visi etika komunikasi Habermasian, di mana bahasa dipahami sebagai medium dialog rasional yang menuntut kejujuran, tanggung jawab, dan keterbukaan.²⁴ Dalam konteks AI, prinsip ini berarti bahwa pengembangan sistem linguistik cerdas harus mempertimbangkan keadilan, transparansi, dan martabat manusia sebagai pusatnya.²⁵

8.5.       Sintesis: Chomsky dan Tantangan Filsafat Pikiran Digital

Akhirnya, relevansi teori Chomsky di era digital terletak pada kemampuannya untuk menjembatani ilmu bahasa, kognisi, dan etika teknologi.²⁶ Ia mengingatkan bahwa bahasa bukan hanya objek formal, tetapi juga fenomena eksistensial yang mengungkapkan cara manusia memahami dunia.²⁷

Dalam menghadapi era kecerdasan buatan, warisan Chomsky menantang kita untuk tidak hanya bertanya “Seberapa pintar mesin dapat berbicara?” tetapi juga “Apakah mesin benar-benar memahami, bernalar, dan memiliki tanggung jawab moral?”²⁸ Dengan demikian, teori tata bahasa transformasional-generatif menjadi dasar filosofis bagi refleksi kontemporer tentang batas antara kognisi manusia dan komputasi buatan, sekaligus penegasan bahwa bahasa adalah inti dari kemanusiaan itu sendiri.²⁹


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 3–5.

[2]                Noam Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 86–88.

[3]                Noam Chomsky, “Three Models for the Description of Language,” IRE Transactions on Information Theory 2, no. 3 (1956): 113–124.

[4]                Peter Norvig and Stuart Russell, Artificial Intelligence: A Modern Approach, 4th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2021), 678–680.

[5]                Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 8–9.

[6]                Ibid., 11–12.

[7]                Emily Bender et al., “On the Dangers of Stochastic Parrots: Can Language Models Be Too Big?,” Proceedings of FAccT ’21 (ACM, 2021), 610–622.

[8]                Noam Chomsky, Ian Roberts, and Jeffrey Watumull, “The False Promise of ChatGPT,” The New York Times, March 8, 2023.

[9]                Ibid.

[10]             Chomsky, Reflections on Language, 25–27.

[11]             Chomsky, New Horizons, 90–91.

[12]             Noam Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 14–16.

[13]             Ibid., 17–18.

[14]             Chomsky, Rules and Representations (New York: Columbia University Press, 1980), 10–11.

[15]             Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 19–20.

[16]             Steven Pinker, The Stuff of Thought (New York: Viking, 2007), 39–40.

[17]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 88–90.

[18]             Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 10–12.

[19]             John Searle, Minds, Brains, and Programs (Cambridge: MIT Press, 1980), 423–425.

[20]             Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988), 61–63.

[21]             Noam Chomsky, Necessary Illusions: Thought Control in Democratic Societies (Boston: South End Press, 1989), 10–11.

[22]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–47.

[23]             Chomsky, Reflections on Language, 31–32.

[24]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–89.

[25]             Virginia Dignum, Responsible Artificial Intelligence (Cham: Springer, 2019), 12–14.

[26]             Chomsky, New Horizons, 93–95.

[27]             Daniel Dennett, Kinds of Minds (New York: Basic Books, 1996), 54–55.

[28]             Hubert Dreyfus, What Computers Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (New York: Harper & Row, 1972), 204–206.

[29]             Chomsky, Reflections on Language, 34–36.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik tentang Bahasa dan Pikiran

Bagian ini berupaya merangkum serta mensintesiskan gagasan-gagasan utama dari teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif Noam Chomsky dalam kerangka filsafat humanistik, yaitu pemahaman yang menempatkan bahasa dan pikiran sebagai inti dari eksistensi manusia yang rasional, bebas, dan bermoral. Chomsky tidak hanya merevolusi linguistik secara ilmiah, tetapi juga membuka kemungkinan untuk membangun antropologi filosofis baru, di mana bahasa menjadi jendela bagi pemahaman tentang hakikat manusia itu sendiri.¹

9.1.       Integrasi Ontologis: Bahasa sebagai Struktur Esensial dari Pikiran

Dari segi ontologis, Chomsky menegaskan bahwa bahasa adalah bentuk konkret dari struktur batin manusia.² Bahasa bukanlah sekadar alat komunikasi eksternal, melainkan cara pikiran menata dan mengekspresikan dirinya.³ Ia merupakan manifestasi dari kapasitas kognitif yang bersifat universal, tertanam secara biologis namun diwujudkan secara kultural.⁴

Dengan demikian, manusia bukan hanya homo loquens—makhluk yang berbicara—melainkan homo cogitans linguans, makhluk yang berpikir melalui bahasa.⁵ Struktur sintaktis yang ditemukan Chomsky mencerminkan cara rasio manusia bekerja: dari struktur dalam yang konseptual menuju struktur permukaan yang komunikatif.⁶ Maka, bahasa menjadi jembatan ontologis antara pikiran dan dunia, antara struktur batin dan realitas eksternal.⁷

Dalam perspektif humanistik, hal ini berarti bahwa berbicara bukan sekadar aktivitas mekanis, melainkan tindakan eksistensial: melalui bahasa, manusia mengada di dunia (Heideggerian Dasein).⁸ Bahasa menjadi tempat di mana manusia menyatakan kebebasannya untuk berpikir, mengandaikan, dan mencipta.⁹

9.2.       Integrasi Epistemologis: Bahasa sebagai Medium Rasionalitas dan Pengetahuan

Secara epistemologis, teori Chomsky meneguhkan rasionalisme linguistik—pandangan bahwa kemampuan berbahasa merupakan bentuk pengetahuan a priori yang menjadi dasar seluruh pemahaman manusia.¹⁰ Manusia mengetahui dunia bukan semata melalui pengalaman empiris, tetapi melalui struktur linguistik yang membentuk cara berpikir dan menafsirkan realitas.¹¹

Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai kerangka kognitif universal (universal cognitive framework) yang memungkinkan terjadinya pengetahuan.¹² Tanpa kemampuan linguistik bawaan, manusia tidak dapat mengonseptualisasikan dunia secara sistematis.¹³

Dengan demikian, epistemologi Chomsky dapat dibaca sebagai bentuk Kantian modern: sebagaimana Kant menyatakan bahwa kategori pikiran membentuk pengalaman, Chomsky berpendapat bahwa struktur bahasa membentuk pengetahuan.¹⁴ Bahasa bukan hanya alat untuk mengungkapkan pengetahuan, tetapi juga prasyarat bagi kemungkinan pengetahuan itu sendiri.¹⁵

Pendekatan ini menempatkan manusia sebagai subjek rasional yang aktif—bukan sekadar penerima informasi, tetapi pencipta struktur makna melalui kemampuan bawaan yang bersifat universal dan kreatif.¹⁶

9.3.       Integrasi Aksiologis: Bahasa sebagai Ekspresi Kebebasan dan Nilai Moral

Dari sudut aksiologis, bahasa dalam pandangan Chomsky memuat nilai-nilai moral dan humanistik yang mendalam. Ia adalah ekspresi kebebasan manusia dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.¹⁷ Manusia dapat menciptakan kalimat baru yang belum pernah didengar sebelumnya—sebuah bukti bahwa bahasa adalah aktivitas kreatif dan bebas, bukan hasil determinasi lingkungan atau stimulus.¹⁸

Kreativitas linguistik ini memiliki dimensi etis: ia menegaskan otonomi moral manusia untuk mengekspresikan kebenaran, menolak manipulasi, dan mempertahankan rasionalitas.¹⁹ Dalam konteks sosial-politik, Chomsky menerjemahkan prinsip ini menjadi kritik terhadap sistem ideologis yang membatasi kebebasan berpikir.²⁰ Bahasa, bagi Chomsky, bukan hanya struktur gramatikal, tetapi juga ruang etis di mana manusia menegaskan martabat dan kesadarannya.²¹

Dalam kerangka humanistik, nilai tertinggi dari bahasa adalah kemampuannya untuk menyatukan nalar dan nurani, menyeimbangkan antara rasionalitas dan empati, antara logika dan moralitas.²²

9.4.       Integrasi Sosial-Kultural: Bahasa sebagai Basis Dialog dan Solidaritas

Bahasa tidak hanya menghubungkan pikiran individu, tetapi juga membentuk jaringan makna intersubjektif yang menopang kehidupan sosial.²³ Teori Chomsky tentang competence dan performance dapat diperluas ke dimensi sosial: competence mencerminkan potensi universal manusia untuk memahami, sementara performance menggambarkan realisasi komunikatifnya dalam konteks budaya.²⁴

Dari sudut pandang ini, teori Chomsky memiliki relevansi dengan filsafat komunikasi Habermas, di mana bahasa menjadi sarana pembentukan rasionalitas komunikatif dan konsensus moral.²⁵ Bahasa, dengan logika internalnya yang universal, menyediakan dasar bagi dialog lintas budaya dan solidaritas kemanusiaan.²⁶

Maka, sintesis filosofis dari teori Chomsky mengarah pada pandangan kosmopolitan-humanistik: bahwa semua manusia, meski berbeda bahasa dan budaya, berbagi kapasitas rasional yang sama dalam berkomunikasi, berpikir, dan memahami.²⁷

9.5.       Bahasa sebagai Cermin Kemanusiaan: Menuju Paradigma Humanistik-Integral

Dalam perspektif sintesis, bahasa bukan hanya sistem simbolik, melainkan cermin hakikat manusia yang integral—biologis, rasional, moral, dan sosial sekaligus.²⁸ Ia menyatukan empat dimensi utama eksistensi:

·                     Ontologis, karena menunjukkan struktur batin manusia;

·                     Epistemologis, karena menjadi dasar pengetahuan;

·                     Aksiologis, karena mengandung nilai kebebasan dan kebenaran; dan

·                     Sosiologis, karena membangun komunikasi dan solidaritas.²⁹

Dengan demikian, konsepsi humanistik tentang bahasa dan pikiran yang lahir dari sintesis Chomsky dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bahasa adalah aktivitas rasional dan moral yang mengekspresikan kebebasan manusia untuk memahami, mencipta, dan berelasi dengan dunia.”³⁰

Paradigma ini membuka ruang bagi filsafat bahasa yang integral dan humanistik—suatu pendekatan yang tidak memisahkan sains dari nilai, rasio dari moral, dan individu dari masyarakat.³¹

Di tengah tantangan era digital dan artifisial, visi humanistik Chomsky mengingatkan bahwa bahasa tidak dapat direduksi menjadi data atau algoritma; ia adalah ekspresi dari dignitas manusia, refleksi dari kesadaran yang selalu terbuka terhadap kebenaran, makna, dan keadilan.³²


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 4–5.

[2]                Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 8–9.

[3]                Ibid., 11–12.

[4]                Eric Lenneberg, Biological Foundations of Language (New York: Wiley, 1967), 45–47.

[5]                Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 15–16.

[6]                Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 14–16.

[7]                Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 8–9.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 204–205.

[9]                Hubert L. Dreyfus, What Computers Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (New York: Harper & Row, 1972), 99–100.

[10]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 44–46.

[11]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 132–133.

[12]             Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 88–90.

[13]             Ibid., 92–93.

[14]             Kant, Critique of Pure Reason, 145–146.

[15]             Chomsky, Knowledge of Language, 18–19.

[16]             Daniel Dennett, Kinds of Minds (New York: Basic Books, 1996), 55–56.

[17]             Noam Chomsky, Rules and Representations (New York: Columbia University Press, 1980), 11–12.

[18]             Ibid., 13–14.

[19]             Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988), 61–63.

[20]             Noam Chomsky, Necessary Illusions: Thought Control in Democratic Societies (Boston: South End Press, 1989), 10–11.

[21]             Chomsky, Reflections on Language, 28–30.

[22]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 89–91.

[23]             Dell Hymes, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 84–86.

[24]             M. A. K. Halliday, Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning (London: Edward Arnold, 1978), 21–23.

[25]             Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–87.

[26]             Ibid., 90–91.

[27]             Chomsky, New Horizons, 94–95.

[28]             Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 32–34.

[29]             Chomsky, Reflections on Language, 33–35.

[30]             Ibid., 36.

[31]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 82–83.

[32]             Chomsky, New Horizons, 96–98.


10.       Kesimpulan

Teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif yang dikembangkan oleh Noam Chomsky tidak hanya menandai revolusi dalam bidang linguistik, tetapi juga memberikan kontribusi mendasar bagi filsafat bahasa, filsafat pikiran, epistemologi, dan etika humanistik. Dalam pandangan Chomsky, bahasa bukanlah fenomena empiris yang dapat dijelaskan melalui perilaku atau kebiasaan semata, melainkan struktur kognitif universal yang melekat pada kodrat manusia.¹ Bahasa adalah ekspresi dari fakultas mental yang kreatif, reflektif, dan bebas—suatu kapasitas yang menegaskan martabat manusia sebagai makhluk rasional.²

10.1.    Kesatuan antara Pikiran, Bahasa, dan Kemanusiaan

Melalui teori transformasional-generatif, Chomsky menegaskan kesatuan antara bahasa dan pikiran.³ Bahasa tidak berdiri di luar diri manusia, melainkan menjadi bagian dari struktur internal kesadaran yang memungkinkan manusia berpikir, menilai, dan berkomunikasi.⁴ Dengan demikian, bahasa merupakan cermin ontologis dari hakikat manusia itu sendiri—sebuah jembatan antara dunia batin dan dunia eksternal.⁵

Kreativitas linguistik, yang memungkinkan manusia menghasilkan kalimat baru tanpa batas, memperlihatkan bahwa kebebasan dan rasionalitas bukanlah konsep moral abstrak, tetapi kapasitas biologis dan intelektual yang nyata.⁶ Melalui bahasa, manusia tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga membentuknya; tidak hanya meniru realitas, tetapi menciptakan makna baru yang memperkaya eksistensinya.⁷

10.2.    Fondasi Rasionalisme Modern dan Pengetahuan A Priori

Dari sudut pandang epistemologi, teori Chomsky memperbarui tradisi rasionalisme modern yang diwarisi dari Descartes dan Kant.⁸ Ia menunjukkan bahwa pengetahuan linguistik bersifat a priori—yakni berasal dari struktur bawaan manusia yang mendahului pengalaman empiris.⁹ Dengan demikian, bahasa menjadi syarat bagi kemungkinan pengetahuan itu sendiri.¹⁰

Argumen tentang poverty of the stimulus menunjukkan bahwa manusia memiliki sistem kognitif yang memungkinkan pembentukan tata bahasa tanpa bergantung sepenuhnya pada pengalaman eksternal.¹¹ Pandangan ini menegaskan bahwa pengetahuan bukan hasil pasif dari pengalaman, melainkan hasil aktif dari struktur mental yang mengorganisir pengalaman.¹²

Implikasinya sangat luas: teori Chomsky mendukung pandangan bahwa rasionalitas manusia bersifat universal, sekaligus menolak relativisme linguistik yang ekstrem.¹³ Dalam hal ini, teori bahasa Chomsky berdiri sebagai pilar rasionalisme ilmiah yang menegaskan bahwa berpikir dan berbahasa adalah bentuk partisipasi manusia dalam tatanan rasional semesta.¹⁴

10.3.    Nilai Humanistik dan Etika Kebebasan

Dalam kerangka aksiologis, teori Chomsky memiliki makna etis yang mendalam. Ia menempatkan bahasa sebagai ekspresi kebebasan dan kreativitas moral manusia.¹⁵ Manusia bukan sekadar makhluk yang menanggapi stimulus, tetapi agen yang mampu mengatur tindakannya berdasarkan pengetahuan dan nilai.¹⁶ Bahasa menjadi bukti bahwa manusia dapat berpikir melampaui konteks empiris, berimajinasi tentang dunia yang lebih adil, dan mengartikulasikan nilai-nilai moral melalui komunikasi.¹⁷

Chomsky juga memperluas teori bahasanya ke ranah sosial-politik dengan menegaskan bahwa kebebasan berbahasa adalah prasyarat bagi kebebasan berpikir dan demokrasi.¹⁸ Melalui kritiknya terhadap manipulasi wacana dan propaganda, ia memperlihatkan bagaimana bahasa dapat menjadi alat pembebasan atau penindasan, tergantung pada bagaimana ia digunakan.¹⁹ Dalam hal ini, teori Chomsky mengandung pesan moral universal: bahwa penguasaan bahasa adalah tanggung jawab etis untuk menjaga kebenaran dan kebebasan manusia.²⁰

10.4.    Relevansi di Era Digital dan Tantangan Humanisme Teknologis

Dalam konteks era digital dan kecerdasan buatan, teori Chomsky tetap relevan sebagai kritik terhadap reduksionisme algoritmik yang berusaha meniru kemampuan bahasa manusia melalui statistik dan probabilitas.²¹ Chomsky menegaskan bahwa pemahaman sejati tidak dapat dicapai tanpa kesadaran, intensionalitas, dan nilai moral yang menjadi ciri khas manusia.²²

Model AI modern seperti ChatGPT mungkin mampu meniru pola bahasa, tetapi tidak memahami makna; ia beroperasi tanpa intensi dan tanpa tanggung jawab moral.²³ Dalam hal ini, teori Chomsky mengingatkan bahwa teknologi harus dikembangkan dalam kerangka humanisme digital—yakni menghormati rasionalitas, kreativitas, dan martabat manusia sebagai pusat dari semua inovasi.²⁴ Bahasa, bagi Chomsky, bukan sekadar data; ia adalah logos, kekuatan spiritual dan intelektual yang membentuk dunia manusia.²⁵

10.5.    Sintesis Akhir: Menuju Filsafat Bahasa Humanistik dan Integral

Secara keseluruhan, teori Tata Bahasa Transformasional-Generatif dapat dipahami sebagai proyek rasionalisme humanistik modern: upaya untuk menegaskan kembali martabat manusia sebagai makhluk rasional yang bebas dan kreatif melalui bahasa.²⁶ Ia menggabungkan tiga pilar utama filsafat:

·                     Ontologi, yang menegaskan bahasa sebagai struktur pikiran bawaan;

·                     Epistemologi, yang memandang bahasa sebagai dasar pengetahuan; dan

·                     Aksiologi, yang menempatkan bahasa sebagai ekspresi kebebasan dan nilai moral.²⁷

Teori ini membuka jalan menuju filsafat bahasa yang integral, di mana sains, moralitas, dan budaya tidak dipisahkan, tetapi saling melengkapi dalam pemahaman menyeluruh tentang manusia.²⁸ Dalam konteks global yang diwarnai oleh teknologi dan fragmentasi makna, pandangan Chomsky menjadi pengingat bahwa bahasa adalah inti dari kemanusiaan—tempat di mana rasionalitas, empati, dan kebebasan bersatu.²⁹

Dengan demikian, warisan filosofis Chomsky tidak hanya terletak pada model sintaktisnya, tetapi pada pesan moral universalnya: bahwa memahami bahasa berarti memahami manusia, dan mempertahankan rasionalitas berarti mempertahankan kemanusiaan itu sendiri.³⁰


Footnotes

[1]                Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–5.

[2]                Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon Books, 1975), 22–23.

[3]                Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger, 1986), 14–15.

[4]                Jerry A. Fodor, The Modularity of Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1983), 25–26.

[5]                Hilary Putnam, Representation and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 10–11.

[6]                Chomsky, Reflections on Language, 26–27.

[7]                Steven Pinker, The Language Instinct (New York: William Morrow, 1994), 35–37.

[8]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 45–46.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 145–146.

[10]             Chomsky, Rules and Representations (New York: Columbia University Press, 1980), 9–11.

[11]             Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax, 7–9.

[12]             Chomsky, Reflections on Language, 18–19.

[13]             Noam Chomsky, Cartesian Linguistics: A Chapter in the History of Rationalist Thought (New York: Harper & Row, 1966), 14–15.

[14]             Chomsky, Knowledge of Language, 18–19.

[15]             Chomsky, Reflections on Language, 28–30.

[16]             John R. Searle, Freedom and Neurobiology: Reflections on Free Will, Language, and Political Power (New York: Columbia University Press, 2004), 33–35.

[17]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 70–71.

[18]             Noam Chomsky, Language and Politics, ed. C. P. Otero (Montreal: Black Rose Books, 1988), 52–53.

[19]             Noam Chomsky, Necessary Illusions: Thought Control in Democratic Societies (Boston: South End Press, 1989), 10–11.

[20]             Ibid., 13–14.

[21]             Noam Chomsky, Ian Roberts, and Jeffrey Watumull, “The False Promise of ChatGPT,” The New York Times, March 8, 2023.

[22]             Chomsky, New Horizons in the Study of Language and Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 90–91.

[23]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 88–89.

[24]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–47.

[25]             Chomsky, Reflections on Language, 33–34.

[26]             Chomsky, Knowledge of Language, 21–22.

[27]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–89.

[28]             Daniel Dennett, Kinds of Minds (New York: Basic Books, 1996), 53–54.

[29]             Chomsky, New Horizons, 93–94.

[30]             Chomsky, Reflections on Language, 35–36.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1958). The human condition. University of Chicago Press.

Bender, E. M., Gebru, T., McMillan-Major, A., & Shmitchell, S. (2021). On the dangers of stochastic parrots: Can language models be too big? Proceedings of FAccT ’21 (ACM Conference on Fairness, Accountability, and Transparency), 610–622.

Bloomfield, L. (1933). Language. Henry Holt.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power. Polity Press.

Chomsky, N. (1956). Three models for the description of language. IRE Transactions on Information Theory, 2(3), 113–124.

Chomsky, N. (1957). Syntactic structures. Mouton.

Chomsky, N. (1959). Review of B. F. Skinner’s Verbal behavior. Language, 35(1), 26–58.

Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of syntax. MIT Press.

Chomsky, N. (1966). Cartesian linguistics: A chapter in the history of rationalist thought. Harper & Row.

Chomsky, N. (1975). Reflections on language. Pantheon Books.

Chomsky, N. (1980). Rules and representations. Columbia University Press.

Chomsky, N. (1981). Lectures on government and binding. Foris Publications.

Chomsky, N. (1986). Knowledge of language: Its nature, origin, and use. Praeger.

Chomsky, N. (1988). Language and politics (C. P. Otero, Ed.). Black Rose Books.

Chomsky, N. (1989). Necessary illusions: Thought control in democratic societies. South End Press.

Chomsky, N. (1995). The minimalist program. MIT Press.

Chomsky, N. (2000). New horizons in the study of language and mind. Cambridge University Press.

Chomsky, N., Roberts, I., & Watumull, J. (2023, March 8). The false promise of ChatGPT. The New York Times.

Davidson, D. (1984). Inquiries into truth and interpretation. Clarendon Press.

Dennett, D. C. (1996). Kinds of minds. Basic Books.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing. (Original work published 1641)

Dignum, V. (2019). Responsible artificial intelligence: How to develop and use AI in a responsible way. Springer.

Dreyfus, H. L. (1972). What computers can’t do: A critique of artificial reason. Harper & Row.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.

Fairclough, N. (1989). Language and power. Longman.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Fodor, J. A. (1975). The language of thought. Harvard University Press.

Fodor, J. A. (1983). The modularity of mind. MIT Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.

Gardner, H. (1985). The mind’s new science: A history of the cognitive revolution. Basic Books.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Grice, P. (1989). Studies in the way of words. Harvard University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action. MIT Press.

Halliday, M. A. K. (1978). Language as social semiotic: The social interpretation of language and meaning. Edward Arnold.

Halliday, M. A. K. (1985). An introduction to functional grammar. Edward Arnold.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)

Hymes, D. (1974). Foundations in sociolinguistics: An ethnographic approach. University of Pennsylvania Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1781)

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1785)

Lakoff, G. (1973). The linguistics wars. Harvard University Press.

Lakoff, G. (1987). Women, fire, and dangerous things: What categories reveal about the mind. University of Chicago Press.

Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors we live by. University of Chicago Press.

Lenneberg, E. H. (1967). Biological foundations of language. Wiley.

McClelland, J. L., & Rumelhart, D. E. (1986). Parallel distributed processing: Explorations in the microstructure of cognition (Vol. 1). MIT Press.

Miller, G. A. (1991). The science of words. Scientific American Library.

Nagel, T. (1986). The view from nowhere. Oxford University Press.

Norvig, P., & Russell, S. (2021). Artificial intelligence: A modern approach (4th ed.). Pearson.

Pinker, S. (1994). The language instinct. William Morrow.

Pinker, S. (2007). The stuff of thought: Language as a window into human nature. Viking.

Polanyi, M. (1966). The tacit dimension. Doubleday.

Putnam, H. (1988). Representation and reality. MIT Press.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (2004). Freedom and neurobiology: Reflections on free will, language, and political power. Columbia University Press.

Skinner, B. F. (1957). Verbal behavior. Appleton-Century-Crofts.

Tomasello, M. (2003). Constructing a language: A usage-based theory of language acquisition. Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar