Psikologi Moral
Fondasi Kognitif, Emosional, Sosial, dan Spiritualitas
dalam Pembentukan Perilaku Etis Manusia
Alihkan ke: Moral Disengagement.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai
psikologi moral melalui pendekatan multidisipliner yang mengintegrasikan
dimensi kognitif, afektif, sosial, biologis, evolusioner, dan spiritual.
Moralitas dipahami sebagai fenomena kompleks yang terbentuk melalui interaksi
antara penalaran moral, emosi moral, norma sosial, predisposisi biologis,
dinamika budaya, serta orientasi makna transendental. Pembahasan dimulai dari
perkembangan historis psikologi moral, kemudian dilanjutkan dengan landasan
konseptual yang mencakup teori-teori utama seperti tahapan moral kognitif,
intuisi moral, pembelajaran sosial, serta perspektif evolusioner tentang kerja
sama dan altruisme. Artikel ini juga menguraikan faktor-faktor yang memengaruhi
pembentukan moral, termasuk genetika, temperamen, pola asuh, lingkungan
pendidikan, kondisi sosial-ekonomi, budaya, dan teknologi digital.
Selanjutnya, artikel ini membahas penyimpangan
moral dan psikologi kejahatan, termasuk mekanisme moral disengagement,
gangguan empati, dan pengaruh situasional terhadap perilaku devian. Model
integratif psikologi moral dipaparkan sebagai kerangka untuk mensinergikan
aspek kognitif, afektif, sosial, dan spiritual dalam memahami moralitas
manusia. Relevansi kontemporer psikologi moral dianalisis dalam konteks
pendidikan, perkembangan teknologi informasi, dilema etis kecerdasan buatan,
polarisasi sosial, dan isu keberlanjutan lingkungan. Melalui studi kasus dan
bukti empiris, artikel ini menunjukkan bagaimana teori psikologi moral dapat
diterapkan dalam konteks pendidikan, organisasi, digital, serta penanganan
perilaku antisosial.
Sintesis teoretis yang ditawarkan menegaskan bahwa
moralitas merupakan ekosistem dinamis yang membutuhkan pendekatan holistik dan
interdisipliner. Artikel ini menutup dengan rekomendasi bahwa pendidikan moral
yang efektif harus mengintegrasikan penalaran moral, empati, penguatan norma
sosial, dan refleksi spiritual untuk membangun karakter manusia yang
berintegritas dan mampu menghadapi tantangan moral era modern.
Kata kunci: psikologi
moral, penalaran moral, empati, moral disengagement, pendidikan moral,
moralitas digital, perkembangan moral, nilai spiritual, etika sosial.
PEMBAHASAN
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Kajian psikologi moral menempati posisi penting
dalam pemahaman perilaku manusia karena ia berupaya menjelaskan bagaimana
individu menilai tindakan sebagai benar atau salah, bagaimana respons emosional
terbentuk dalam konteks etis, serta bagaimana keputusan moral dipengaruhi oleh
dinamika kognitif, sosial, dan budaya. Dalam konteks perkembangan ilmu
pengetahuan modern, kajian ini tidak hanya bergerak dalam wilayah psikologi
semata, tetapi juga berada pada irisan multidisipliner antara filsafat moral,
neurosains, psikologi perkembangan, sosiologi, dan bahkan studi agama.
Pendekatan yang luas ini diperlukan untuk memahami kompleksitas moralitas
manusia, yang tidak dapat direduksi pada satu aspek tunggal seperti
rasionalitas atau emosi saja.¹
Lahir dari tradisi panjang pemikiran moral Barat
dan Timur, psikologi moral berkembang melalui dua arus utama: pendekatan
kognitif-rasional yang menekankan peran penalaran dan refleksi moral, serta
pendekatan afektif-intuisionistik yang menyoroti pengaruh emosi dan intuisi
dalam proses pengambilan keputusan etis.² Perdebatan antara dua pendekatan ini
terus berlanjut dan menghasilkan kerangka teoretis yang semakin kaya. Sementara
tokoh seperti Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg menekankan struktur penalaran
moral bertingkat, penelitian kontemporer—misalnya oleh Jonathan
Haidt—memperlihatkan bahwa penilaian moral sering kali berlangsung secara cepat
dan intuitif, mendahului proses rasionalisasi.³
Signifikansi kajian psikologi moral semakin
meningkat dalam masyarakat modern yang diwarnai perubahan sosial cepat,
kemajuan teknologi, dan interaksi budaya yang semakin intensif. Moralitas tidak
lagi dipandang sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai proses dinamis
yang terus berubah mengikuti konteks sosial, media digital, dan pengalaman
hidup individu. Kehadiran media sosial, misalnya, menciptakan arena baru di
mana perselisihan moral berlangsung secara terbuka dan sering kali emosional,
memperlihatkan bahwa pemahaman mendalam tentang dinamika moral menjadi semakin
penting.⁴
Pada saat yang sama, penelitian dalam neurosains
moral menunjukkan bahwa proses moral berkaitan erat dengan sistem saraf
tertentu, terutama yang berhubungan dengan regulasi emosi, empati, dan
pengambilan keputusan. Hal ini mengarahkan psikologi moral pada level
penjelasan yang lebih mendalam mengenai keterkaitan antara struktur biologis
dan perilaku etis.⁵ Dengan demikian, aspek moral tidak hanya dipahami secara
filosofis atau normatif, tetapi juga secara empiris melalui pemetaan fungsi
otak dan respons emosional.
Dalam konteks pendidikan dan pembentukan karakter,
psikologi moral memberikan dasar teoretis untuk merancang strategi pedagogis
yang lebih efektif. Pendidikan moral yang hanya bertumpu pada penalaran
normatif terbukti tidak cukup untuk mendorong perubahan perilaku; perlu ada
integrasi antara aspek reflektif, emosional, sosial, dan spiritual agar
perkembangan moral berlangsung secara holistik.⁶ Kerangka psikologi moral
membantu memahami bagaimana nilai-nilai dapat ditanamkan melalui pengalaman,
keteladanan, interaksi sosial, dan lingkungan budaya.
Karena itu, artikel ini bertujuan memberikan
gambaran komprehensif tentang fondasi psikologi moral, perkembangan
historisnya, teori-teori utama, kompleksitas faktor yang memengaruhi moralitas,
serta relevansi praktisnya dalam konteks kontemporer. Pembahasan dilakukan
melalui pendekatan multidisipliner dengan menempatkan psikologi moral sebagai
titik temu antara pemikiran normatif dan deskriptif. Dengan menyajikan sintesis
teoretis yang luas, kajian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman mengenai
bagaimana manusia membentuk, mempertahankan, dan mengembangkan komitmen moral
di sepanjang kehidupannya.
Footnotes
[1]
James Rest, Moral Development: Advances in
Research and Theory (New York: Praeger, 1986), 12–15.
[2]
Elliot Turiel, “The Development of Social
Knowledge: Morality and Convention,” Human Development 23, no. 1 (1980):
45–58.
[3]
Jonathan Haidt, “The Emotional Dog and Its Rational
Tail: A Social Intuitionist Approach to Moral Judgment,” Psychological
Review 108, no. 4 (2001): 814–834.
[4]
Candice L. Odgers and Michaeline Jensen, “Annual
Research Review: Adolescents and Social Media,” Journal of Child Psychology
and Psychiatry 61, no. 3 (2020): 362–364.
[5]
Jorge Moll et al., “The Neural Basis of Moral
Cognition,” Nature Reviews Neuroscience 6, no. 10 (2005): 799–809.
[6]
Darcia Narvaez, Moral Development and Moral
Engagement (New York: Cambridge University Press, 2014), 102–109.
2.
Genealogi
dan Perkembangan Historis Psikologi Moral
Kajian psikologi moral memiliki akar historis yang
panjang dan melintasi berbagai disiplin, mulai dari filsafat moral klasik
hingga psikologi empiris modern. Dalam tradisi awal filsafat Yunani, moralitas
dipandang sebagai bagian integral dari upaya manusia mencapai kehidupan yang
baik (eudaimonia). Pemikir seperti Plato dan Aristoteles menekankan
bahwa perilaku etis merupakan hasil perpaduan antara kebijaksanaan rasional,
habituasi, dan pembentukan karakter.¹ Aristoteles, misalnya, memandang
kebajikan moral sebagai kebiasaan yang dibentuk melalui praktik terus-menerus
dan diarahkan oleh penilaian akal budi.² Perspektif ini memberikan landasan
konseptual bahwa moralitas bukan sekadar aturan, melainkan proses perkembangan
yang terjadi dalam diri manusia.
Tradisi keagamaan—baik dalam konteks Yudeo-Kristen,
Islam, maupun ajaran Timur seperti Konfusianisme—juga memberikan kontribusi
signifikan terhadap genealogi psikologi moral. Dalam tradisi Islam, misalnya,
moralitas terkait erat dengan kemurnian hati, pembiasaan amal saleh, dan
kontrol diri, yang semuanya menunjukkan pendekatan psikologis terhadap
pembentukan moral.³ Ajaran-ajaran tersebut memperlihatkan bahwa moralitas
dipahami sebagai proses yang melibatkan dimensi kognitif, emosional, spiritual,
dan sosial secara simultan.
Memasuki era modern, pemikiran moral bergeser ke
arah pemahaman empiris melalui munculnya psikologi perkembangan. Jean Piaget
merupakan tokoh awal yang menyusun teori ilmiah tentang perkembangan penalaran
moral pada anak. Ia menemukan bahwa moralitas berkembang secara bertahap dari
kepatuhan terhadap aturan eksternal menuju pemahaman otonom yang didasarkan
pada persetujuan timbal balik.⁴ Temuan Piaget menandai fase baru dalam studi
moral karena memperlihatkan hubungan antara struktur kognitif dan penilaian
etis.
Gagasan Piaget kemudian dikembangkan lebih
sistematis oleh Lawrence Kohlberg, yang memperkenalkan teori tahapan
perkembangan moral yang terkenal. Menurut Kohlberg, individu melewati enam
tahap perkembangan moral dalam tiga tingkat utama: prakonvensional,
konvensional, dan pascakonvensional.⁵ Model ini menegaskan bahwa moralitas
adalah proses konstruksi penalaran yang semakin kompleks seiring perkembangan
intelektual. Meskipun teori ini menerima banyak kritik—terutama karena
penekanannya pada logika dan pengabaian aspek emosional—ia tetap menjadi
fondasi penting dalam psikologi moral modern.
Pada paruh akhir abad ke-20, kritik terhadap
pendekatan rasionalistik semakin berkembang. Carol Gilligan menyoroti bias
gender dalam model Kohlberg dan memperkenalkan etika kepedulian (ethics of
care) sebagai kerangka moral alternatif yang lebih menekankan empati,
hubungan interpersonal, dan konteks sosial.⁶ Kritik ini membuka ruang bagi
pemahaman yang lebih pluralistik tentang moralitas, yakni bahwa penalaran moral
tidak hanya bertumpu pada keadilan, tetapi juga pada relasi dan kepedulian.
Perkembangan signifikan berikutnya datang dari
pendekatan intuisionistik yang dipelopori Jonathan Haidt. Melalui social
intuitionist model, Haidt berargumen bahwa penilaian moral lebih
dipengaruhi oleh intuisi dan emosi dibandingkan penalaran rasional.⁷ Ia
menunjukkan bahwa reaksi moral sering kali muncul secara cepat dan otomatis,
baru kemudian diikuti oleh argumentasi rasional sebagai justifikasi. Teori ini
menandai pergeseran paradigma dari moralitas sebagai proses kognitif terencana
menuju moralitas sebagai respons intuitif yang sangat terkait dengan struktur
sosial dan budaya.
Pada awal abad ke-21, kemajuan teknologi
menghasilkan perkembangan baru dalam neurosains moral. Penelitian mengenai
hubungan antara fungsi otak—terutama area prefrontal cortex, amygdala, dan sistem
limbik—dengan keputusan moral menunjukkan bahwa moralitas dapat dipahami secara
biologis sekaligus psikologis.⁸ Perspektif ini memperkaya kajian moral karena
menawarkan bukti empiris mengenai bagaimana emosi, empati, dan kontrol kognitif
bekerja dalam penilaian moral.
Di samping itu, psikologi evolusioner memberikan
kontribusi mengenai bagaimana kecenderungan moral seperti altruisme, kerja
sama, dan keadilan memiliki fungsi adaptif dalam perkembangan spesies manusia.
Premis dasarnya adalah bahwa perilaku moral yang mempromosikan keberlangsungan
kelompok telah diwariskan secara biologis dan dipertahankan melalui seleksi
alam.⁹ Walaupun pendekatan ini menuai kritik karena kecenderungannya pada
reduksionisme biologis, ia tetap memberikan kerangka tambahan yang memperdalam
pemahaman tentang genealogi moralitas.
Secara keseluruhan, perkembangan historis psikologi
moral merupakan perjalanan dari pemikiran normatif menuju analisis empiris yang
mencakup aspek kognitif, afektif, sosial, biologis, dan evolusioner. Evolusi
intelektual ini memperlihatkan bahwa moralitas adalah fenomena multidimensi
yang tidak dapat dijelaskan secara tunggal. Melalui integrasi beragam
pendekatan tersebut, psikologi moral kontemporer mampu menawarkan pemahaman
yang lebih menyeluruh tentang bagaimana perilaku etis terbentuk, dipertahankan,
dan dimaknai dalam kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, terj. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett, 1992), 348–354.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), 1103a–1105b.
[3]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 3
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 55–57.
[4]
Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child
(New York: Free Press, 1965), 32–46.
[5]
Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization,”
dalam Moral Development and Behavior, ed. Thomas Lickona (New York:
Holt, Rinehart and Winston, 1976), 31–53.
[6]
Carol Gilligan, In a Different Voice:
Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge: Harvard University
Press, 1982), 18–23.
[7]
Jonathan Haidt, “The Emotional Dog and Its Rational
Tail: A Social Intuitionist Approach to Moral Judgment,” Psychological
Review 108, no. 4 (2001): 814–834.
[8]
Joshua Greene, “The Cognitive Neuroscience of Moral
Judgment,” dalam The Moral Brain, ed. Jean-Pierre Changeux (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 45–79.
[9]
Michael Tomasello, A Natural History of Human
Morality (Cambridge: Harvard University Press, 2016), 12–19.
3.
Landasan
Konseptual Psikologi Moral
Psikologi moral merupakan bidang kajian yang
berfokus pada proses mental, emosional, sosial, dan biologis yang mendasari
bagaimana individu memahami, menilai, dan merespons persoalan moral. Pada
tingkat paling dasar, psikologi moral berusaha menjelaskan bagaimana manusia
membangun konsep benar dan salah, bagaimana mereka mengekspresikan respons
emosional terhadap tindakan bermuatan moral, serta bagaimana keputusan etis
diambil dalam berbagai situasi sosial.¹ Dengan demikian, psikologi moral
bertujuan menjembatani dimensi deskriptif dari perilaku moral (bagaimana orang
benar-benar bertindak dan berpikir) dengan dimensi normatif yang menilai
bagaimana mereka seharusnya bertindak.
3.1.
Definisi dan Ruang Lingkup
Secara konseptual, psikologi moral dapat dipahami
sebagai cabang dari psikologi yang mempelajari dinamika perkembangan moral,
struktur penalaran etis, respons emosional yang menyertai dilema moral, serta
pengaruh lingkungan sosial terhadap pembentukan nilai dan tindakan moral.²
Ruang lingkupnya mencakup empat dimensi utama: kognitif, afektif,
sosial, dan spiritual. Keempat dimensi ini saling berkelindan
dalam membentuk sistem moral individu.
Dimensi kognitif berkaitan dengan kemampuan
penalaran moral, pengambilan keputusan, dan refleksi etis, yang dalam
sejarahnya banyak diperkenalkan oleh Piaget dan Kohlberg.³ Dimensi afektif
mencakup emosi moral seperti rasa bersalah, empati, malu, dan moral disgust,
yang terbukti memainkan peran krusial dalam pengambilan keputusan moral
sebagaimana dijelaskan oleh Haidt dan para peneliti neurosains moral.⁴ Dimensi sosial
meliputi pengaruh keluarga, lingkungan, kelompok sebaya, serta norma budaya
yang mengkonstruksi nilai moral dalam masyarakat.⁵ Sementara itu, dimensi spiritual
mengacu pada nilai-nilai transendental, makna hidup, dan dimensi religiusitas
yang berkontribusi terhadap orientasi moral seseorang. Dalam banyak tradisi
keagamaan, pembentukan moral dipandang sebagai proses penyucian jiwa,
pembiasaan amal kebaikan, dan internalisasi nilai-nilai ketuhanan.⁶
3.2.
Moralitas: Antara
Deskriptif dan Normatif
Salah satu landasan konseptual penting dalam
psikologi moral adalah pemisahan, tetapi bukan pemutusan, antara moralitas
deskriptif dan moralitas normatif. Moralitas deskriptif mempelajari bagaimana
orang benar-benar mengambil keputusan moral dan mengapa mereka melakukannya.
Moralitas normatif, di sisi lain, memeriksa bagaimana orang seharusnya
bertindak menurut prinsip-prinsip etis tertentu.⁷ Psikologi moral lebih banyak
berada pada ranah deskriptif, namun wawasannya sering digunakan untuk memperkaya
teori normatif dan praktik pendidikan moral.
Perbedaan ini penting karena psikologi moral tidak
bermaksud menetapkan aturan moral, tetapi memahami proses yang menyebabkan
seseorang menerima atau melanggar aturan tersebut. Meski demikian, pemahaman
deskriptif mampu memberikan koreksi terhadap teori normatif—misalnya, jika
penalaran moral manusia ternyata lebih dipengaruhi emosi daripada rasionalitas
murni, maka teori moral normatif yang hanya menekankan rasionalitas menjadi
tidak memadai.
3.3.
Hubungan dengan Disiplin
Ilmu Lain
Psikologi moral berdiri di tengah-tengah
persilangan berbagai disiplin. Dengan filsafat moral, ia berbagi
perhatian tentang hakikat tindakan benar dan salah, tetapi psikologi moral
mengambil posisi empiris, sedangkan filsafat moral berposisi normatif.⁸ Dengan psikologi
perkembangan, psikologi moral berbagi metodologi dan fokus pada perubahan
perilaku moral sepanjang siklus kehidupan. Dengan neurosains, bidang ini
mengeksplorasi bagaimana struktur otak mendukung atau menghambat pengambilan
keputusan moral. Terakhir, dengan sosiologi, psikologi moral mempelajari
bagaimana norma budaya, struktur sosial, dan institusi membentuk perilaku moral
individu.
Selain itu, dalam beberapa dekade terakhir,
integrasi nilai-nilai religius dan spiritual ke dalam psikologi moral semakin
berkembang, terutama melalui studi tentang peran agama dalam regulasi diri,
motivasi moral, dan pembentukan karakter.⁹ Meskipun dimensi moral dalam agama
sering kali bersifat normatif, penelitian psikologi moral membantu menjelaskan
bagaimana doktrin religius diterjemahkan menjadi praktik moral sehari-hari.
3.4.
Moralitas sebagai Fenomena
Multidimensi
Landasan konseptual psikologi moral menegaskan
bahwa moralitas adalah fenomena multidimensi yang melibatkan dinamika antara
penalaran, emosi, intuisi, pengalaman sosial, dan nilai kultur. Penelitian
kontemporer menunjukkan bahwa moralitas tidak dapat dipahami hanya dari satu
perspektif. Sebaliknya, moralitas merupakan proses kompleks yang mencakup
interaksi antara faktor internal (kognisi, emosi, spiritualitas) dan faktor
eksternal (sosialisasi, budaya, lingkungan).¹⁰ Pendekatan multidimensi inilah
yang memungkinkan psikologi moral menjelaskan variasi perilaku moral
antarindividu maupun antarkelompok sosial.
Dengan demikian, landasan konseptual psikologi
moral memberikan kerangka pemahaman komprehensif untuk menelaah bagaimana nilai
dan tindakan moral terbentuk. Kerangka ini menjadi dasar bagi pengembangan
teori berikutnya dalam psikologi moral, termasuk perspektif perkembangan, intuisionistik,
neurosains, maupun evolusioner yang akan dibahas dalam bagian-bagian
selanjutnya.
Footnotes
[1]
Darcia Narvaez and Daniel Lapsley, “Moral
Psychology: Themes, Debates, and Directions,” The Cambridge Handbook of
Moral Psychology (Cambridge: Cambridge University Press, 2021), 3–7.
[2]
Elliot Turiel, “The Development of Social
Knowledge: Morality and Convention,” Human Development 23, no. 1 (1980):
45–58.
[3]
Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization,”
dalam Moral Development and Behavior, ed. Thomas Lickona (New York:
Holt, Rinehart and Winston, 1976), 31–53.
[4]
Jonathan Haidt, “The Emotional Dog and Its Rational
Tail,” Psychological Review 108, no. 4 (2001): 814–834.
[5]
Albert Bandura, Social Learning Theory
(Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1977), 22–30.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 3
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 55–60.
[7]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements
of Moral Philosophy, 8th ed. (New York: McGraw-Hill, 2015), 9–14.
[8]
Christine Korsgaard, The Sources of Normativity
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18–23.
[9]
Kenneth I. Pargament, The Psychology of Religion
and Coping (New York: Guilford Press, 1997), 105–120.
[10]
Jorge Moll et al., “The Neural Basis of Moral
Cognition,” Nature Reviews Neuroscience 6, no. 10 (2005): 799–809.
4.
Perspektif
Kognitif dalam Psikologi Moral
Perspektif kognitif dalam psikologi moral berfokus
pada bagaimana manusia menggunakan proses berpikir, penalaran, dan struktur
kognitif untuk menilai suatu tindakan sebagai benar atau salah. Pendekatan ini
menempatkan moralitas sebagai hasil konstruksi intelektual yang berkembang seiring
dengan bertambahnya usia dan kompleksitas cara berpikir individu.¹ Dalam
kerangka ini, moralitas bukan sekadar kepatuhan terhadap aturan, melainkan
pemahaman reflektif tentang prinsip-prinsip etis yang mendasari aturan
tersebut. Perspektif kognitif menekankan bahwa perkembangan moral terjadi
melalui interaksi antara pertumbuhan intelektual dan pengalaman sosial yang
memungkinkan individu menyusun standar moral internal.
4.1.
Teori Perkembangan Moral
Piaget
Jean Piaget merupakan pelopor yang pertama kali
secara sistematis mengkaji hubungan antara perkembangan kognitif dan penalaran
moral. Dalam penelitiannya tentang anak-anak, Piaget menemukan dua tahap utama
dalam perkembangan moral: moralitas heteronom dan moralitas otonom.²
Pada tahap heteronom, anak melihat aturan sebagai sesuatu yang absolut, datang
dari otoritas eksternal, dan tidak dapat diubah. Hukuman dipandang sebagai
konsekuensi langsung dari pelanggaran aturan, tanpa mempertimbangkan niat.³
Sebaliknya, pada tahap otonom, anak mulai memahami
bahwa aturan merupakan hasil kesepakatan sosial dan dapat dinegosiasikan. Niat
dan kondisi subjektif mulai diperhitungkan dalam penilaian moral. Temuan ini
menunjukkan bahwa perkembangan moral tidak terlepas dari perkembangan kognitif,
terutama kemampuan mengambil perspektif dan memahami hubungan sebab-akibat
sosial. Piaget dengan demikian membuka jalan bagi pemahaman bahwa moralitas
merupakan konstruksi sosial-kognitif yang berkembang secara bertahap.
4.2.
Teori Tahapan Moral
Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg memperluas gagasan Piaget dan
mengembangkan teori perkembangan moral yang lebih rinci dan berlapis. Menurut
Kohlberg, perkembangan moral berlangsung melalui enam tahap yang dikelompokkan
dalam tiga tingkat: prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional.⁴
·
Tingkat Prakonvensional: moralitas didasarkan pada kepatuhan terhadap aturan karena takut
hukuman atau demi memperoleh keuntungan pribadi.
·
Tingkat Konvensional: individu
menilai tindakan berdasarkan norma sosial, loyalitas kelompok, serta kepatuhan
terhadap hukum untuk menjaga ketertiban sosial.
·
Tingkat Pascakonvensional: penalaran moral didasarkan pada prinsip-prinsip universal, seperti
keadilan, hak asasi manusia, dan kontrak sosial, meskipun prinsip ini dapat
bertentangan dengan hukum positif.
Kohlberg menekankan bahwa perkembangan tersebut
bersifat hierarkis dan tidak dapat mundur; seseorang hanya dapat maju ke tahap
berikutnya ketika kemampuan kognitifnya memungkinkan refleksi moral yang lebih
kompleks.⁵ Meskipun model Kohlberg dianggap monumental dan sangat berpengaruh,
ia juga mendapat kritik karena terlalu menekankan rasionalitas dan mengabaikan
aspek emosional serta konteks budaya dalam pengambilan keputusan moral.⁶
4.3.
Kritik terhadap Pendekatan
Kognitif-Rasionalistik
Pendekatan kognitif dinilai memberikan kerangka
yang kuat untuk memahami struktur berpikir moral, tetapi sejumlah kritik
menunjukkan bahwa model tersebut kurang mampu menjelaskan dinamika moral dalam
kehidupan nyata. Pertama, penelitian menunjukkan bahwa penalaran moral seseorang
tidak selalu sejalan dengan perilaku aktualnya; seseorang dapat memahami
prinsip moral, tetapi tetap melanggar prinsip tersebut karena tekanan emosional
atau situasional.⁷
Kedua, teori perkembangan moral yang berbasis
rasionalitas dianggap bias budaya karena mengutamakan konsep keadilan
universal, sementara sebagian budaya lebih menekankan hubungan sosial,
kewajiban kolektif, atau harmoni.⁸ Carol Gilligan, misalnya, berpendapat bahwa
model Kohlberg mengabaikan etika kepedulian yang lebih relevan bagi kelompok
tertentu, terutama perempuan.⁹
Ketiga, integrasi riset neurosains moral
menunjukkan bahwa keputusan moral sering kali dikendalikan oleh proses intuitif
dan afektif yang terjadi sebelum proses kognitif bekerja. Penilaian moral
ternyata lebih cepat dan emosional daripada yang diasumsikan oleh model
rasionalistik.¹⁰
4.4.
Peran Nalar, Refleksi
Moral, dan Pengambilan Keputusan
Meskipun kritik tersebut kuat, perspektif kognitif
tetap memainkan peran penting dalam memahami moralitas, terutama dalam aspek
penalaran eksplisit dan refleksi etis. Proses kognitif diperlukan untuk
menafsirkan nilai, mengevaluasi prinsip moral, dan merumuskan keputusan yang
konsisten dengan standar etis tertentu. Dalam situasi dilema moral yang
kompleks—misalnya konflik antara keadilan dan kepedulian—penalaran rasional
membantu individu menimbang alternatif tindakan secara sistematis.¹¹
Selain itu, kemampuan refleksi moral memungkinkan
seseorang meninjau kembali keyakinan moralnya, memperbaiki kesalahan penilaian,
dan mengembangkan komitmen moral yang lebih matang. Proses ini sangat
dipengaruhi oleh pendidikan, dialog, dan pengalaman sosial yang memperluas
kapasitas kognitif.¹² Dengan demikian, perspektif kognitif menyediakan kerangka
untuk memahami bagaimana individu bergerak dari moralitas berbasis kepatuhan
menuju moralitas berbasis prinsip.
4.5.
Signifikansi Perspektif
Kognitif dalam Model Moral Kontemporer
Meskipun pendekatan kognitif bukan lagi
satu-satunya paradigma, ia tetap menjadi komponen esensial dalam model moral
integratif kontemporer. Penelitian modern menunjukkan bahwa moralitas merupakan
interaksi antara intuisi, emosi, dan penalaran.¹³ Penalaran moral tidak selalu
menjadi sumber utama keputusan moral, tetapi ia sering berfungsi untuk
merefleksikan, mengoreksi, atau menguatkan keputusan moral yang lahir dari
intuisi.
Dengan demikian, perspektif kognitif memberikan
sumbangan penting dalam menjelaskan proses rasional yang mendukung penilaian
etis, mengarahkan prinsip moral universal, dan membantu memahami bagaimana pendidikan
moral dapat membangun kemampuan berpikir kritis dalam domain etika. Dalam
konteks psikologi moral secara keseluruhan, perspektif ini menyediakan landasan
intelektual yang esensial bagi pemahaman moralitas sebagai konstruksi yang
dapat dianalisis, diajarkan, dan dikembangkan secara sistematis.
Footnotes
[1]
Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization,”
dalam Moral Development and Behavior, ed. Thomas Lickona (New York:
Holt, Rinehart and Winston, 1976), 31–33.
[2]
Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child
(New York: Free Press, 1965), 32–46.
[3]
Ibid., 55–62.
[4]
Kohlberg, “Moral Stages,” 34–48.
[5]
Ibid., 48–52.
[6]
Elliot Turiel, The Development of Social
Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 76–81.
[7]
Augusto Blasi, “Moral Cognition and Moral Action: A
Theoretical Perspective,” Developmental Review 3, no. 2 (1983): 178–181.
[8]
Richard Shweder et al., “The ‘Big Three’ of
Morality (Autonomy, Community, Divinity),” dalam Morality and Health,
ed. Allan Brandt (New York: Routledge, 1997), 119–169.
[9]
Carol Gilligan, In a Different Voice
(Cambridge: Harvard University Press, 1982), 18–23.
[10]
Jonathan Haidt, “The Emotional Dog and Its Rational
Tail,” Psychological Review 108, no. 4 (2001): 814–816.
[11]
James Rest, Moral Development: Advances in
Research and Theory (New York: Praeger, 1986), 12–18.
[12]
Darcia Narvaez, Moral Development and Moral
Engagement (New York: Cambridge University Press, 2014), 132–145.
[13]
Joshua Greene, “The Cognitive Neuroscience of Moral
Judgment,” dalam The Moral Brain, ed. Jean-Pierre Changeux (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 45–79.
5.
Perspektif
Afektif dan Emosional dalam Moralitas
Perspektif afektif dan emosional menempatkan emosi
sebagai komponen fundamental dalam pembentukan dan pelaksanaan penilaian moral.
Jika perspektif kognitif menekankan peran penalaran dan refleksi rasional, maka
pendekatan afektif berargumen bahwa emosi—baik sebagai respons spontan maupun
sebagai disposisi jangka panjang—lebih dahulu bekerja sebelum proses penalaran
mengambil alih.¹ Dalam banyak situasi, respons moral bersifat cepat, intuitif,
dan tidak sepenuhnya melalui proses deliberasi sadar. Temuan ini menantang
asumsi tradisional bahwa moralitas terutama merupakan domain nalar, serta
membuka ranah baru untuk memahami dinamika moralitas sehari-hari yang lebih
kompleks dan kontekstual.
5.1.
Peran Emosi Moral
Emosi moral mencakup reaksi afektif yang muncul
ketika seseorang menilai tindakan sebagai benar atau salah. Di antara emosi
moral yang paling banyak dibahas adalah empati, rasa bersalah, malu,
dan jijik moral.² Empati berperan penting dalam tindakan prososial,
memungkinkan seseorang merasakan kondisi emosional orang lain dan bertindak
untuk meringankan penderitaan mereka. Rasa bersalah berfungsi sebagai mekanisme
internal yang memperbaiki perilaku menyimpang dan memperkuat komitmen moral
individu.³ Sementara itu, rasa malu berhubungan dengan evaluasi negatif
terhadap diri sendiri sebagai pelaku kesalahan, sehingga menstimulasi koreksi
sosial maupun pribadi.
Jijik moral (moral disgust)—sering dikaitkan
dengan pelanggaran norma kesucian atau kehormatan—menunjukkan bagaimana emosi
tertentu memiliki fungsi adaptif dalam mempertahankan batas moral komunitas.⁴
Emosi-emosi ini tidak hanya memengaruhi penilaian moral, tetapi juga memperkuat
stabilitas sosial dengan menciptakan sanksi psikologis dan sosial yang
memotivasi perilaku etis.
5.2.
Teori Intuisionistik dan
Pendekatan Emosional Jonathan Haidt
Salah satu teori paling berpengaruh dalam
perspektif afektif adalah social intuitionist model yang dikembangkan
oleh Jonathan Haidt. Menurut Haidt, keputusan moral sebagian besar bersifat
intuitif dan emosional, sedangkan penalaran muncul sebagai bentuk justifikasi
pascaperilaku.⁵ Dalam model ini, penilaian moral terjadi secara cepat dan
otomatis, diikuti oleh proses rasionalisasi yang bertujuan mempertahankan
konsistensi sosial dan argumentatif.
Haidt menekankan bahwa intuisi moral dipengaruhi
oleh faktor budaya, hubungan interpersonal, dan norma sosial. Dengan demikian,
moralitas bukanlah hasil rasionalitas murni, melainkan respons afektif yang
dipengaruhi oleh konteks sosial tempat seseorang berada. Temuan ini didukung
oleh penelitian yang menunjukkan bahwa orang sering kali membuat keputusan
moral sebelum mereka mampu menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut.⁶
Model intuisionistik menawarkan koreksi terhadap
pendekatan kognitif yang terlalu menekankan logika moral. Ia menegaskan bahwa
moralitas manusia lebih mirip dengan “reaksi cepat” daripada “kalkulasi
rasional”, meskipun proses reflektif tetap memiliki tempat penting dalam
koreksi moral.
5.3.
Temuan Neurosains tentang
Emosi Moral
Kemajuan neurosains memperkuat argumen bahwa emosi
memainkan peran signifikan dalam penilaian moral. Studi pencitraan otak
menunjukkan bahwa struktur seperti amygdala, insula, dan korteks
prefrontal ventromedial berperan dalam memproses stimulasi moral, khususnya
yang berkaitan dengan empati, rasa bersalah, dan reaksi terhadap pelanggaran
moral.⁷
Misalnya, kerusakan pada korteks prefrontal
ventromedial terbukti mengganggu kemampuan seseorang membuat keputusan moral
yang melibatkan pertimbangan emosional, sementara pemrosesan empati sangat
terkait dengan aktivasi jaringan saraf yang mengatur resonansi emosional.⁸
Penelitian ini memberikan bukti biologis bahwa moralitas tidak dapat dipisahkan
dari sistem emosional manusia.
Neurosains moral juga menunjukkan bahwa integrasi
antara jaringan kognitif dan emosional menentukan apakah seseorang mampu
membuat keputusan etis yang seimbang. Dengan demikian, moralitas bukan semata
hasil reaksi emosional spontan, tetapi juga interaksi dinamis antara emosi dan
regulasi kognitif.
5.4.
Hubungan Emosi,
Sosialisasi, dan Pembentukan Moral
Emosi moral tidak muncul secara tiba-tiba; ia
berkembang melalui proses sosialisasi panjang dalam keluarga dan masyarakat.
Melalui interaksi dengan pengasuh, anak belajar menginternalisasi emosi moral
seperti rasa bersalah dan empati melalui respons sosial, pujian, hukuman, dan
keteladanan.⁹ Teori pembelajaran sosial menegaskan bahwa peniruan model
perilaku moral orang dewasa dan reaksi emosional yang menyertainya sangat
menentukan perkembangan moral anak.¹⁰
Selain itu, budaya sangat mempengaruhi jenis emosi
moral yang dianggap penting. Pada beberapa masyarakat, rasa malu memegang
peranan utama dalam menjaga keharmonisan kelompok, sedangkan pada masyarakat
lain, rasa bersalah menjadi komponen moral utama.¹¹ Variasi ini menunjukkan
bahwa moralitas adalah gabungan antara emosi biologis dan konstruksi sosial
budaya.
5.5.
Implikasi Emosional dalam
Tindakan dan Perilaku Moral
Emosi tidak hanya memengaruhi penilaian moral,
tetapi juga memotivasi tindakan moral. Empati mendorong perilaku menolong, rasa
bersalah mendorong seseorang memperbaiki kesalahan, dan moral outrage dapat
memotivasi tindakan kolektif melawan ketidakadilan.¹² Namun, emosi moral juga
dapat menimbulkan bias, seperti ketika rasa jijik digunakan untuk
menstigmatisasi kelompok tertentu atau ketika kemarahan moral berujung pada
agresi.
Karena itu, pemahaman yang seimbang diperlukan:
emosi moral adalah kekuatan penting dalam pembentukan moralitas, tetapi
membutuhkan regulasi diri kognitif agar respons moral tidak menjadi destruktif.
Dalam struktur psikologi moral kontemporer, keseimbangan antara intuisi
emosional dan refleksi rasional dipandang sebagai ciri moralitas matang.¹³
5.6.
Posisi Perspektif Afektif
dalam Teori Moral Kontemporer
Pendekatan afektif telah mengubah paradigma
psikologi moral dengan menegaskan bahwa moralitas berakar pada dinamika
emosional manusia. Perspektif ini memperluas pemahaman tentang moralitas dari
sekadar proses penalaran menuju fenomena holistik yang melibatkan respons
spontan, disposisi emosional, dan struktur sosial-budaya.
Meskipun demikian, para peneliti sepakat bahwa
emosi tidak berdiri sendiri. Moralitas yang matang memerlukan integrasi antara
intuisi emosional dan refleksi intelektual.¹⁴ Dengan demikian, perspektif
afektif tidak menggantikan tetapi melengkapi pendekatan kognitif, dan
bersama-sama keduanya membentuk dasar bagi pemahaman moralitas manusia yang
lebih komprehensif.
Footnotes
[1]
Jesse Prinz, The Emotional Construction of
Morals (Oxford: Oxford University Press, 2007), 5–9.
[2]
Richard Lazarus, “Emotion and Adaptation,” dalam Handbook
of Personality: Theory and Research, ed. Oliver P. John (New York:
Guilford, 1990), 234–236.
[3]
June Tangney et al., Shame and Guilt (New
York: Guilford Press, 2007), 45–49.
[4]
Paul Rozin et al., “Disgust,” Handbook of
Emotions (New York: Guilford, 2008), 757–776.
[5]
Jonathan Haidt, “The Emotional Dog and Its Rational
Tail,” Psychological Review 108, no. 4 (2001): 814–816.
[6]
Ibid., 820–824.
[7]
Jorge Moll et al., “The Neural Basis of Moral
Cognition,” Nature Reviews Neuroscience 6, no. 10 (2005): 799–809.
[8]
Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion,
Reason, and the Human Brain (New York: Putnam, 1994), 52–54.
[9]
Martin Hoffman, Empathy and Moral Development
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 284–289.
[10]
Albert Bandura, Social Learning Theory
(Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1977), 22–28.
[11]
Hazel Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the
Self,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–253.
[12]
C. Daniel Batson, “Empathy-induced Altruism,” Current
Directions in Psychological Science 2, no. 3 (1991): 75–78.
[13]
Joshua Greene, “The Cognitive Neuroscience of Moral
Judgment,” dalam The Moral Brain, ed. Jean-Pierre Changeux (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 45–79.
[14]
Darcia Narvaez, Moral Development and Moral
Engagement (New York: Cambridge University Press, 2014), 132–146.
6.
Perspektif
Sosial dan Budaya
Perspektif sosial dan budaya dalam psikologi moral
menekankan bahwa moralitas tidak hanya berakar pada proses internal seperti
penalaran kognitif atau reaksi emosional, tetapi juga dibentuk secara mendalam
oleh interaksi sosial, struktur masyarakat, dan nilai-nilai yang hidup dalam
budaya tertentu. Dalam pendekatan ini, moralitas dipahami sebagai konstruksi
sosial: ia diciptakan, dinegosiasikan, dan diperkuat melalui hubungan
antarmanusia serta institusi sosial yang mengatur kehidupan kolektif.¹ Dengan
demikian, pemahaman moral tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial yang
melingkupinya, karena norma, praktik budaya, dan pola interaksi menentukan apa
yang dianggap benar atau salah dalam suatu kelompok masyarakat.
6.1.
Teori Pembelajaran Sosial
dan Internalisasi Moral
Salah satu kontribusi paling penting dalam
perspektif sosial berasal dari teori pembelajaran sosial yang dikembangkan oleh
Albert Bandura. Menurut teori ini, perilaku moral tidak hanya muncul dari
penalaran abstrak, tetapi dipelajari melalui observasi, peniruan,
dan penguatan sosial.² Anak-anak, misalnya, membentuk pemahaman moral
dengan meniru tokoh otoritatif seperti orang tua, guru, dan figur masyarakat.
Mereka juga mempelajari konsekuensi moral dari tindakan tertentu melalui reward
dan punishment sosial.
Bandura juga memperkenalkan konsep moral
disengagement, yakni mekanisme psikologis yang memungkinkan seseorang
bertindak tidak bermoral sambil tetap mempertahankan citra diri sebagai
individu bermoral.³ Mekanisme ini dipengaruhi oleh norma sosial dan pembenaran
budaya yang memungkinkan individu atau kelompok mengabaikan standar moral
tertentu. Temuan ini memperlihatkan bahwa moralitas dapat dipengaruhi secara
kuat oleh dinamika sosial dan legitimasi kelompok.
6.2.
Pengaruh Keluarga,
Pendidikan, dan Lingkungan Sosial
Keluarga merupakan konteks pertama dan utama
pembentukan moral. Melalui pola asuh, komunikasi emosi, regulasi perilaku, dan
keteladanan, keluarga menanamkan nilai moral yang kemudian membentuk disposisi
afektif dan perilaku anak.⁴ Pola pengasuhan otoritatif yang hangat dan
responsif terbukti mendukung perkembangan empati dan disiplin moral internal,
berbeda dengan pola pengasuhan otoriter yang menekankan hukuman fisik atau
ketaatan tanpa penjelasan moral.
Lingkungan sekolah juga memainkan peran vital
melalui proses sosialisasi sekunder. Pendidikan nilai, interaksi sejawat, dan
norma sekolah membentuk cara peserta didik menafsirkan dan merespons isu
moral.⁵ Dalam konteks ini, budaya sekolah yang menekankan dialog, kerja sama,
dan penghargaan terhadap perbedaan terbukti memperkuat kompetensi moral siswa.
6.3.
Moralitas dan Struktur
Sosial
Struktur sosial—termasuk kelas sosial, institusi,
dan aturan masyarakat—menentukan bagaimana moralitas dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Moralitas tidak hanya merupakan fenomena psikologis
individu, tetapi juga sistem yang diatur oleh struktur kekuasaan dan institusi
normatif.⁶ Misalnya, norma hukum, adat, dan agama dalam suatu masyarakat
memengaruhi persepsi tentang perilaku etis.
Sosiolog seperti Émile Durkheim menekankan bahwa
moralitas diperlukan untuk menjaga solidaritas sosial. Menurut Durkheim, nilai
moral yang dianut bersama memungkinkan masyarakat mempertahankan keteraturan
dan kohesi.⁷ Dalam masyarakat modern yang semakin kompleks, pluralitas nilai
moral sering kali menciptakan negosiasi dan konflik, sehingga moralitas menjadi
arena perdebatan sosial yang dinamis.
6.4.
Moralitas dalam Kerangka
Budaya: Kolektivisme vs Individualisme
Kajian lintas budaya menunjukkan bahwa nilai moral
bervariasi secara signifikan antara masyarakat. Markus dan Kitayama, misalnya,
mengidentifikasi perbedaan antara budaya kolektivis dan individualis.
Budaya kolektivis (seperti Asia Timur, sebagian Timur Tengah, dan Afrika) lebih
menekankan harmoni kelompok, kewajiban sosial, dan rasa malu sebagai regulator
moral utama.⁸ Sementara itu, budaya individualis (seperti Amerika dan Eropa
Barat) menekankan kebebasan pribadi, hak individu, dan rasa bersalah sebagai
mekanisme moral.
Pengaruh budaya juga tampak dalam studi Richard
Shweder, yang mengidentifikasi tiga cluster moral universal: autonomy, community,
dan divinity.⁹ Meskipun ketiganya muncul dalam berbagai budaya,
penekanan masing-masing berbeda-beda, menunjukkan bahwa moralitas mencerminkan
nilai budaya yang melatarbelakanginya.
6.5.
Peran Media dan Budaya
Populer
Dalam era modern, media dan budaya populer menjadi
agen sosialisasi moral yang tidak kalah penting dibandingkan keluarga dan
sekolah. Tayangan televisi, film, musik, dan terutama media sosial mempengaruhi
cara individu—terutama remaja—memahami masalah etika, keadilan, dan identitas
moral.¹⁰
Media dapat memperkuat nilai prososial melalui
representasi positif perilaku altruistik atau keadilan. Namun, media juga dapat
distorsi moral, misalnya melalui normalisasi kekerasan, polarisasi moral, atau
penyebaran informasi palsu yang membentuk penilaian moral secara tidak
akurat.¹¹ Fenomena viral outrage di media sosial memperlihatkan
bagaimana emosi moral kolektif dapat terbentuk secara cepat dan sering kali
tidak melalui refleksi mendalam.
6.6.
Relativisme Moral dan
Konstruksi Sosial Nilai
Perspektif budaya mengakui bahwa moralitas tidak
bersifat mutlak, tetapi relatif terhadap nilai-nilai yang hidup dalam suatu
masyarakat. Relativisme moral ini menyoroti bahwa tindakan yang dianggap
bermoral dalam satu budaya mungkin dinilai sebaliknya dalam budaya lain.¹²
Namun, para peneliti menekankan bahwa relativisme tidak berarti nihilisme
moral. Pertama, ada nilai-nilai tertentu yang ditemukan hampir universal,
seperti larangan pembunuhan tanpa alasan, penghargaan terhadap keluarga, dan
keinginan menjaga keadilan. Kedua, universalisme tidak meniadakan variasi
budaya dalam bagaimana nilai tersebut diinterpretasikan.
Dengan demikian, moralitas dalam perspektif
sosial-budaya dipahami sebagai proses negosiasi antara nilai universal dan
interpretasi lokal yang dipengaruhi struktur sosial, sejarah, dan dinamika
kekuasaan.¹³
6.7.
Posisi Perspektif
Sosial-Budaya dalam Psikologi Moral Kontemporer
Dalam kerangka psikologi moral modern, perspektif
sosial-budaya menjadi pilar penting karena ia memperluas pemahaman moralitas
dari fenomena individual ke fenomena kolektif. Perspektif ini menunjukkan bahwa
moralitas terbentuk melalui interaksi berkelanjutan antara individu dan
masyarakat, antara disposisi personal dan norma sosial, serta antara nilai
universal dan konstruksi budaya.
Dengan demikian, perspektif sosial dan budaya
melengkapi kerangka psikologi moral dengan menjelaskan bahwa perilaku etis
tidak hanya lahir dari struktur kognitif atau emosi internal, tetapi juga
merupakan bagian dari ekologi nilai yang membentuk kehidupan manusia dalam
konteks sosialnya.
Footnotes
[1]
Joan Miller, “Cultural Psychology of Moral Development,”
Handbook of Moral Development, ed. Melanie Killen (Mahwah: Erlbaum,
2006), 163–181.
[2]
Albert Bandura, Social Learning Theory
(Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1977), 22–28.
[3]
Albert Bandura, “Selective Moral Disengagement,” Handbook
of Moral and Character Education (New York: Routledge, 2014), 101–129.
[4]
Diana Baumrind, “Current Patterns of Parental
Authority,” Developmental Psychology 4, no. 1 (1968): 1–103.
[5]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 52–68.
[6]
Steven Hitlin and Stephen Vaisey, “The New
Sociology of Morality,” Annual Review of Sociology 36 (2010): 51–70.
[7]
Émile Durkheim, Moral Education (New York:
Free Press, 1961), 25–37.
[8]
Hazel Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the
Self,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–253.
[9]
Richard Shweder et al., “The ‘Big Three’ of
Morality,” dalam Morality and Health, ed. Allan Brandt (New York:
Routledge, 1997), 119–169.
[10]
Candice L. Odgers and Michaeline Jensen, “Annual
Research Review: Adolescents and Social Media,” Journal of Child Psychology
and Psychiatry 61, no. 3 (2020): 362–364.
[11]
S. Iyengar and D. Kinder, News That Matters
(Chicago: University of Chicago Press, 1987), 45–60.
[12]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements
of Moral Philosophy, 8th ed. (New York: McGraw-Hill, 2015), 24–29.
[13]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 89–93.
7.
Perspektif
Evolusioner dan Biologis
Perspektif evolusioner dan biologis dalam psikologi
moral berupaya menjelaskan asal-usul perilaku moral melalui mekanisme seleksi
alam dan struktur biologis yang membentuk kemampuan manusia untuk bekerja sama,
berempati, dan mengembangkan norma sosial. Berbeda dari pendekatan kognitif dan
afektif yang menekankan proses psikologis internal, perspektif ini memandang
moralitas sebagai hasil adaptasi evolusioner yang memungkinkan manusia bertahan
dalam lingkungan sosial yang kompleks.¹ Moralitas dipahami sebagai perangkat
psikologis dan biologis yang berevolusi untuk meningkatkan kohesi kelompok,
mengurangi konflik, serta memperkuat kerja sama yang menguntungkan kelangsungan
hidup dan reproduksi.
7.1.
Moralitas sebagai Adaptasi
Evolusioner
Sejak Charles Darwin mengemukakan bahwa moralitas
memiliki akar biologis dalam The Descent of Man, gagasan bahwa moralitas
berevolusi sebagai adaptasi sosial mendapat perhatian luas dalam psikologi
evolusioner kontemporer.² Darwin berpendapat bahwa kemampuan seperti simpati,
solidaritas, dan rasa kewajiban moral mungkin muncul karena kelompok manusia
yang memiliki kecenderungan prososial lebih mampu bertahan dan berkembang.
Penelitian modern mendukung pandangan ini dengan menunjukkan bahwa perilaku
prososial seperti altruisme, keadilan, dan kerja sama memberikan keuntungan
adaptif dalam konteks kehidupan kelompok.³
Model seleksi kelompok (group selection),
yang dipopulerkan oleh David Sloan Wilson dan Elliott Sober, berargumen bahwa
kelompok yang bekerja sama lebih efektif akan lebih mampu mengalahkan kelompok
lain yang kurang kohesif.⁴ Dalam kerangka ini, perilaku moral dianggap sebagai
strategi adaptif yang menguntungkan pada tingkat kelompok, bukan hanya
individu.
7.2.
Altruisme dan Teori Kerja
Sama
Salah satu fokus utama perspektif evolusioner
adalah altruisme—yakni tindakan menolong orang lain dengan mengorbankan
kepentingan pribadi. Meskipun tampak bertentangan dengan prinsip seleksi alam,
teori evolusi menawarkan beberapa penjelasan tentang bagaimana altruisme dapat
bertahan:
1)
Altruisme Kekerabatan (kin
selection): individu cenderung membantu kerabat dekat karena hal tersebut
secara tidak langsung meningkatkan keberhasilan gen mereka sendiri.⁵
2)
Altruisme Timbal-Balik (reciprocal altruism): perilaku menolong dapat berlanjut apabila
ada peluang bantuan tersebut akan dibalas di masa depan.⁶
3)
Kerja Sama dalam Kelompok: norma moral yang mengutamakan kerja sama memperkuat kepercayaan dan
mengurangi risiko konflik internal.⁷
Penelitian primatologi oleh Frans de Waal menunjukkan
bahwa perilaku empati, saling menolong, dan pembagian sumber daya ditemukan
juga pada simpanse dan bonobo, memperkuat argumen bahwa moralitas memiliki
fondasi biologis yang lebih tua daripada spesies manusia.⁸
7.3.
Neurosains Moral dan
Struktur Biologis
Perkembangan neurosains memberikan wawasan mengenai
substrat biologis yang mendukung moralitas. Penelitian menunjukkan bahwa
struktur otak tertentu, terutama ventromedial prefrontal cortex (vmPFC),
amygdala, insula, dan temporoparietal junction (TPJ), memainkan
peran penting dalam pengambilan keputusan moral, empati, dan respons terhadap
ketidakadilan.⁹
Kerusakan pada vmPFC, misalnya, membuat individu
sulit menimbang pertimbangan emosional dalam dilema moral, sementara aktivasi
amygdala berkaitan dengan reaksi terhadap ancaman moral atau ketidakadilan.¹⁰
Temuan ini menunjukkan bahwa kemampuan moral bergantung pada integritas
struktur neurologis tertentu, sehingga moralitas tidak dapat dilepaskan dari
fondasi biologisnya.
Selain itu, oksitosin—sering disebut hormon
keterikatan—terbukti meningkatkan kepercayaan, empati, dan kerja sama
antarmanusia. Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa oksitosin dapat
memperkuat bias dalam kelompok, sehingga efeknya terhadap moralitas bersifat
ganda: memperkuat prososialitas dalam kelompok sekaligus meningkatkan sikap
defensif terhadap kelompok luar.¹¹
7.4.
Kritik terhadap Perspektif
Evolusioner dan Biologis
Meskipun menawarkan penjelasan penting, perspektif
evolusioner dan biologis tidak lepas dari kritik. Pertama, pendekatan ini
sering dituduh reduksionistik karena terlalu menekankan faktor biologis
dan mengabaikan pengaruh budaya, sejarah, dan agensi manusia dalam menentukan
apa yang dianggap bermoral.¹²
Kedua, banyak argumen evolusioner sulit dibuktikan
secara empiris karena memerlukan rekonstruksi perilaku leluhur manusia tanpa
bukti langsung. Kritik ini biasanya diarahkan pada penjelasan just-so
stories, yaitu dugaan evolusioner yang terdengar masuk akal tetapi sulit
diverifikasi.¹³
Ketiga, moralitas manusia menunjukkan variasi yang
sangat besar antarbudaya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun moralitas mungkin
memiliki landasan biologis, bentuk spesifiknya sangat dipengaruhi oleh
konstruksi sosial dan budaya.¹⁴ Dengan demikian, pendekatan evolusioner perlu
dipahami sebagai salah satu perspektif, bukan penjelasan tunggal.
7.5.
Sinergi antara Perspektif
Evolusioner, Biologis, dan Psikologi Moral Modern
Dalam psikologi moral kontemporer, perspektif
evolusioner dan biologis tidak dipandang sebagai teori yang berdiri sendiri,
melainkan bagian integral dari model moral yang lebih luas. Penelitian modern
menunjukkan bahwa moralitas merupakan hasil interaksi kompleks antara mekanisme
biologis bawaan dan pengalaman sosial-budaya.¹⁵
Emosi moral seperti empati mungkin memiliki dasar
evolusioner, tetapi cara emosi tersebut diekspresikan sangat dipengaruhi oleh
norma budaya dan pengalaman pendidikan. Begitu pula keputusan moral dipengaruhi
oleh struktur neurologis, tetapi tetap dipahami dan dipraktikkan dalam kerangka
nilai sosial.
Dengan demikian, perspektif evolusioner dan
biologis memberikan fondasi penting dalam menjelaskan asal-usul moralitas,
sementara perspektif sosial-budaya menjelaskan variasi dan dinamikanya dalam
konteks kehidupan manusia modern. Dalam integrasinya, kedua perspektif ini
membantu membangun pemahaman komprehensif tentang bagaimana moralitas terbentuk
dan berfungsi sebagai mekanisme adaptif yang sekaligus bersifat psikologis dan
sosial.
Footnotes
[1]
David M. Buss, Evolutionary Psychology: The New
Science of the Mind, 6th ed. (New York: Routledge, 2019), 355–370.
[2]
Charles Darwin, The Descent of Man (London:
John Murray, 1871), 120–135.
[3]
Michael Tomasello, A Natural History of Human
Morality (Cambridge: Harvard University Press, 2016), 5–7.
[4]
Elliott Sober and David Sloan Wilson, Unto
Others: The Evolution and Psychology of Unselfish Behavior (Cambridge:
Harvard University Press, 1998), 45–62.
[5]
W. D. Hamilton, “The Genetical Evolution of Social Behaviour,”
Journal of Theoretical Biology 7, no. 1 (1964): 1–16.
[6]
Robert Trivers, “The Evolution of Reciprocal
Altruism,” Quarterly Review of Biology 46, no. 1 (1971): 35–57.
[7]
Samuel Bowles and Herbert Gintis, A Cooperative
Species (Princeton: Princeton University Press, 2011), 89–105.
[8]
Frans de Waal, Good Natured: The Origins of
Right and Wrong in Humans and Other Animals (Cambridge: Harvard University
Press, 1996), 23–45.
[9]
Jorge Moll et al., “The Neural Basis of Moral
Cognition,” Nature Reviews Neuroscience 6, no. 10 (2005): 799–809.
[10]
Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion,
Reason, and the Human Brain (New York: Putnam, 1994), 52–54.
[11]
Carsten De Dreu et al., “The Neuropeptide Oxytocin
Regulates Parochial Altruism in Intergroup Conflict,” Science 328, no.
5984 (2010): 1408–1411.
[12]
Philip Kitcher, Vaulting Ambition: Sociobiology
and the Quest for Human Nature (Cambridge: MIT Press, 1985), 95–101.
[13]
Stephen Jay Gould and Richard C. Lewontin, “The
Spandrels of San Marco and the Panglossian Paradigm,” Proceedings of the
Royal Society B 205, no. 1161 (1979): 581–598.
[14]
Richard Shweder et al., “The ‘Big Three’ of
Morality,” dalam Morality and Health, ed. Allan Brandt (New York:
Routledge, 1997), 119–169.
[15]
Darcia Narvaez, Neurobiology and the Development
of Human Morality (New York: Norton, 2014), 12–19.
8.
Moralitas
dalam Kerangka Spiritualitas dan Agama
Spiritualitas dan agama memegang peranan mendasar
dalam pembentukan moralitas manusia. Dalam banyak masyarakat, nilai moral tidak
hanya dipahami sebagai konstruksi sosial atau hasil pemikiran rasional, tetapi
juga sebagai ekspresi ketaatan kepada prinsip transendental yang dianggap suci.
Perspektif ini menempatkan moralitas dalam kerangka yang melampaui dimensi
psikologis dan sosial, dengan mengaitkannya pada keyakinan tentang makna hidup,
hubungan dengan Tuhan, serta ajaran etis yang diwariskan oleh tradisi
keagamaan.¹ Dalam konteks psikologi moral, spiritualitas dan agama dipandang
sebagai sumber motivasi moral yang kuat sekaligus kerangka interpretatif yang
memengaruhi bagaimana individu menilai tindakan etis.
8.1.
Spiritualitas sebagai Dasar
Regulasional Moral
Spiritualitas merujuk pada pencarian makna hidup,
pengalaman kehadiran transendental, dan keterhubungan dengan sesuatu yang dianggap
lebih tinggi dari diri manusia.² Penelitian menunjukkan bahwa spiritualitas,
bahkan terlepas dari identitas agama formal, dapat memperkuat regulasi diri
moral melalui peningkatan kesadaran diri, kasih sayang, dan rasa tanggung jawab
universal. Dalam kerangka psikologis, spiritualitas menyediakan motivasi
intrinsik untuk bertindak etis, bukan semata karena aturan eksternal, tetapi
karena orientasi pada nilai luhur seperti kasih, kedamaian, dan kesatuan.³
Selain itu, spiritualitas sering dikaitkan dengan
praktik refleksi diri, meditasi, dan pengendalian diri, yang berkontribusi pada
pembentukan disposisi moral seperti kesabaran, kesederhanaan, dan kerendahan
hati. Keutamaan ini mempengaruhi penilaian moral dengan memberikan kedalaman
emosional dan makna spiritual yang tidak dimiliki oleh pendekatan kognitif
semata.
8.2.
Agama sebagai Kerangka
Normatif Moralitas
Dalam tradisi keagamaan besar, moralitas tidak
hanya dibentuk melalui pengalaman spiritual tetapi juga melalui sistem normatif
yang jelas dalam kitab suci dan ajaran ulama atau tokoh agama. Studi
agama-agama dunia menunjukkan bahwa ajaran moral universal seperti keadilan,
kejujuran, kedermawanan, dan larangan tindak kekerasan memiliki landasan
religius yang kuat.⁴
Dalam Islam, misalnya, moralitas (akhlāq) merupakan
bagian integral dari iman, di mana tindakan baik dipahami sebagai implementasi
dari perintah Tuhan dan refleksi kesucian hati. Al-Ghazali menjelaskan bahwa
moralitas harus berakar pada tazkiyat an-nafs, yaitu penyucian jiwa melalui
kontrol diri, introspeksi, dan penguatan hubungan spiritual dengan Allah.⁵
Demikian pula, tradisi Kristen menekankan kasih sebagai hukum moral tertinggi
yang merangkum seluruh prinsip etika. Dalam Buddhisme, moralitas berakar pada
prinsip sīla, yang bertujuan membebaskan manusia dari penderitaan
melalui kedamaian batin dan disiplin diri.
Kerangka normatif keagamaan ini memberikan
orientasi moral yang kuat karena ia tidak hanya bersifat rasional atau sosial,
tetapi juga transenden dan absolut dalam struktur keyakinan pemeluknya.
8.3.
Agama sebagai Sumber Emosi
Moral dan Motivasi Prososial
Agama memainkan peran signifikan dalam membentuk
emosi moral seperti rasa syukur, takut (dalam arti takzim), cinta, dan harapan,
yang berfungsi sebagai motivator moral.⁶ Rasa syukur, misalnya, meningkatkan
perilaku prososial karena individu merasa terdorong untuk membalas nikmat
melalui kebaikan kepada sesama. Rasa takut dalam tradisi keagamaan bukan
ketakutan patologis, tetapi rasa hormat terhadap norma ilahi yang berfungsi
sebagai mekanisme pengendalian diri.
Penelitian empiris menunjukkan bahwa partisipasi
dalam komunitas keagamaan memperkuat perilaku prososial seperti kerelaan
menolong, kemurahan hati, dan solidaritas sosial.⁷ Hal ini disebabkan oleh
kombinasi pengajaran moral, penguatan norma kelompok, ritual komunal, serta
pengalaman spiritual yang meningkatkan ikatan sosial.
Namun demikian, emosi moral berbasis agama juga
dapat memunculkan ambivalensi. Misalnya, identitas keagamaan dapat memperkuat
altruisme dalam kelompok (ingroup altruism) namun berpotensi menimbulkan bias
terhadap kelompok luar (outgroup).⁸ Temuan ini menunjukkan perlunya pemahaman
kritis tentang peran agama dalam moralitas.
8.4.
Moralitas dan Struktur
Ritual
Ritual keagamaan memainkan fungsi sosial penting
dalam membentuk dan mempertahankan moralitas. Ritual seperti ibadah, doa,
puasa, atau perayaan kolektif berfungsi sebagai sarana internalisasi nilai
moral melalui pengalaman emosional dan komunal. Antropolog Emile Durkheim
berpendapat bahwa ritual memperkuat solidaritas sosial dan memelihara kesadaran
kolektif tentang nilai yang dianggap sakral.⁹
Ritual juga mengajarkan disiplin, pengendalian
diri, dan keteraturan, yang merupakan unsur penting dalam pembentukan keutamaan
moral. Puasa dalam Islam, misalnya, dirancang untuk melatih empati, kesabaran,
dan solidaritas dengan sesama. Dalam perspektif psikologi moral, pengalaman
ritual menciptakan memori emosional yang kuat, sehingga nilai moral lebih mudah
tertanam dalam diri individu.
8.5.
Integrasi Kognitif–Emosional–Spiritual
dalam Moralitas
Salah satu kontribusi besar perspektif spiritual
dan religius adalah kemampuannya mengintegrasikan aspek kognitif, emosional,
dan moral dalam struktur motivasi manusia. Agama tidak hanya menyediakan
perintah normatif (dimensi kognitif), tetapi juga menanamkan makna dan tujuan
hidup (dimensi emosional-spiritual) yang memperkuat kepatuhan moral.¹⁰
Dalam psikologi moral kontemporer, semakin banyak
peneliti berargumen bahwa moralitas tidak dapat dipahami secara lengkap tanpa
mempertimbangkan dimensi spiritual, terutama dalam masyarakat di mana agama
menjadi sistem nilai utama.¹¹ Dimensi spiritual memberikan kerangka
motivasional yang mendalam, mendorong individu berperilaku etis bukan sekadar
untuk kepentingan praktis, tetapi sebagai ekspresi eksistensial dari
nilai-nilai yang diyakininya.
8.6.
Tantangan dan Peluang
Moralitas dalam Tradisi Agama
Meskipun kontribusi agama terhadap moralitas sangat
besar, terdapat pula tantangan yang patut dicatat. Interpretasi tekstual yang
kaku atau bias dapat menimbulkan justifikasi bagi intoleransi atau kekerasan.¹²
Selain itu, konflik antar kelompok keagamaan sering kali berakar pada perbedaan
doktrin moral.
Namun pada sisi lain, agama juga menyediakan
potensi besar untuk rekonsiliasi moral melalui ajaran kasih, perdamaian, dan
pengampunan yang terdapat dalam berbagai tradisi. Dengan demikian, integrasi
agama dalam kajian psikologi moral perlu dilakukan secara kritis dan
kontekstual, dengan mempertimbangkan dinamika sosial dan historis yang menyertainya.
8.7.
Posisi Spiritualitas dan
Agama dalam Psikologi Moral Kontemporer
Dalam perkembangan mutakhir, spiritualitas dan
agama tidak lagi diposisikan semata sebagai fenomena supranatural, tetapi
sebagai aspek integral dari kehidupan psikologis yang memengaruhi moralitas
secara signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa agama dapat memperkuat regulasi
diri moral, memperluas empati, dan menyediakan landasan motivasional untuk
tindakan prososial yang berkelanjutan.¹³
Dengan demikian, perspektif spiritual dan religius
melengkapi dimensi kognitif, afektif, evolusioner, dan sosial dalam psikologi
moral, sekaligus memperkaya pemahaman tentang bagaimana manusia membangun
komitmen moral yang bersifat holistik dan berorientasi pada makna hidup yang
lebih luas.
Footnotes
[1]
James W. Fowler, Stages of Faith (San
Francisco: HarperCollins, 1981), 15–21.
[2]
Kenneth I. Pargament, The Psychology of Religion
and Coping (New York: Guilford Press, 1997), 105–107.
[3]
David R. Williams and Michelle Sternthal,
“Spirituality, Religion, and Health,” American Psychologist 67, no. 8
(2012): 622–626.
[4]
John Hick, The Moral Philosophy of World
Religions (Oxford: Oneworld, 2009), 45–52.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din,
juz 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 55–67.
[6]
Robert C. Roberts, Spiritual Emotions (Grand
Rapids: Eerdmans, 2007), 18–27.
[7]
Ara Norenzayan and Azim F. Shariff, “The Origin and
Evolution of Religious Prosociality,” Science 322 (2008): 58–62.
[8]
Carsten De Dreu et al., “Oxytocin and Parochial
Altruism,” Science 328, no. 5984 (2010): 1408–1411.
[9]
Émile Durkheim, The Elementary Forms of
Religious Life (New York: Free Press, 1995), 254–278.
[10]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind (New
York: Pantheon, 2012), 313–320.
[11]
Jesse Graham and Jonathan Haidt, “Beyond Beliefs:
Religions Bind Individuals into Moral Communities,” Personality and Social
Psychology Review 14, no. 1 (2010): 140–150.
[12]
Scott Atran, Talking to the Enemy (New York:
HarperCollins, 2010), 47–49.
[13]
David M. Schnitker and Robert Emmons, “Spiritual
Striving and Moral Outcomes,” Journal of Personality 81, no. 2 (2013):
110–125.
9.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pembentukan Moral
Pembentukan moral merupakan proses multidimensional
yang melibatkan interaksi antara faktor internal dan eksternal. Moralitas tidak
terbentuk secara spontan, melainkan berkembang melalui dinamika biologis,
psikologis, sosial, dan kultural yang bekerja secara simultan sepanjang
kehidupan manusia.¹ Berbagai faktor tersebut membentuk struktur nilai, motivasi
moral, serta kecenderungan perilaku etis individu. Dalam kerangka psikologi
moral, pemahaman mengenai faktor-faktor ini penting untuk menjelaskan mengapa
individu berbeda dalam kapasitas moralnya dan bagaimana moralitas dapat
dikembangkan melalui pendidikan dan intervensi sosial.
9.1.
Faktor Genetik dan
Temperamen
Penelitian dalam bidang genetika perilaku
menunjukkan bahwa sebagian variasi dalam karakter moral, khususnya
kecenderungan empatik dan kemampuan regulasi emosi, dipengaruhi oleh faktor
hereditas.² Meskipun gen tidak menentukan perilaku moral secara langsung, ia
memengaruhi temperamen—seperti sensitivitas emosional, impulsivitas, dan
kemampuan pengendalian diri—yang kemudian memengaruhi kecenderungan moral
seseorang.³
Temperamen anak, misalnya, dapat memengaruhi
bagaimana mereka merespons disiplin moral: anak dengan temperamen mudah
cenderung lebih responsif terhadap pembinaan moral, sementara mereka yang
temperamentnya sulit memerlukan strategi pengasuhan yang lebih suportif. Namun
demikian, faktor genetik selalu berinteraksi dengan lingkungan sehingga tidak
ada determinisme biologis dalam pembentukan moral.
9.2.
Pola Asuh dan Dinamika
Keluarga
Keluarga merupakan institusi pertama dan paling
berpengaruh dalam pembentukan moral. Pola asuh menentukan cara anak memahami
disiplin, empati, dan nilai-nilai normatif. Diana Baumrind mengidentifikasi
empat gaya pengasuhan utama: otoritatif, otoriter, permisif, dan tidak
terlibat.⁴
·
Pola asuh otoritatif—hangat
namun tegas—terkait dengan perkembangan komitmen moral yang kuat, empati, dan
regulasi diri.
·
Pola asuh otoriter, yang
menekankan kontrol ketat dan hukuman, sering menumbuhkan kepatuhan eksternal
tanpa internalisasi nilai moral.
·
Pola asuh permisif berpotensi
melemahkan kontrol diri moral karena minimnya struktur dan batasan.
Kualitas hubungan dalam keluarga—meliputi
komunikasi, kehadiran emosional, dan keteladanan—juga sangat berpengaruh.
Kesadaran moral sering terbentuk melalui dialog moral dalam keluarga serta
observasi terhadap perilaku orang dewasa yang konsisten dengan nilai yang
diajarkan.⁵
9.3.
Pendidikan dan Lingkungan
Sekolah
Sekolah adalah lingkungan sosialisasi moral
sekunder yang memiliki pengaruh signifikan. Melalui kurikulum, interaksi
sosial, dan budaya sekolah, peserta didik mempelajari norma dan nilai moral.⁶
Program pendidikan karakter, misalnya, efektif ketika diterapkan secara
integratif melalui pengajaran langsung, pembiasaan, dan penguatan perilaku
positif dalam budaya sekolah.
Selain itu, lingkungan sekolah yang demokratis—yang
membuka ruang diskusi moral dan penghargaan pada keberagaman pandangan—dapat
memperkuat kemampuan penalaran moral tingkat tinggi.⁷ Interaksi teman sebaya
pun memiliki dampak kuat, baik dalam memperkuat perilaku prososial maupun
sebaliknya ketika lingkungan pergaulan mendukung perilaku antisosial.
9.4.
Pengalaman Sosial dan
Lingkungan Masyarakat
Pengalaman sosial di luar keluarga dan sekolah juga
sangat mempengaruhi pembentukan moral. Keterlibatan dalam komunitas, organisasi
sosial, atau kegiatan keagamaan biasanya memperluas jaringan empati dan
menguatkan rasa tanggung jawab sosial.⁸
Sebaliknya, lingkungan yang dipenuhi kekerasan,
kemiskinan ekstrem, atau ketidakadilan struktural dapat merusak perkembangan
moral, terutama pada masa anak-anak dan remaja. Paparan terhadap ketidakadilan
dapat menciptakan sikap sinis terhadap norma sosial atau memunculkan mekanisme moral
disengagement sebagai strategi bertahan hidup.⁹ Dengan demikian, moralitas
berkembang dalam konteks sosial yang mendukung keadilan dan kesejahteraan.
9.5.
Faktor Sosial-Ekonomi dan
Keadilan Struktural
Kondisi sosial-ekonomi memengaruhi kesempatan dan
sumber daya yang tersedia untuk perkembangan moral. Anak yang tumbuh dalam
kondisi stabil dan aman cenderung memiliki kemampuan regulasi moral lebih baik
dibandingkan mereka yang hidup dalam kondisi penuh tekanan.¹⁰
Teori ekologi Bronfenbrenner menunjukkan bahwa
faktor ekonomi mempengaruhi moralitas melalui jalur tidak langsung: stres
keluarga, kekurangan waktu pengasuhan, akses pendidikan rendah, dan paparan
lingkungan berisiko.¹¹ Ketidakadilan struktural juga dapat mempengaruhi
persepsi moral individu terhadap lembaga sosial serta memengaruhi rasa
kepercayaan terhadap norma keadilan.
9.6.
Pengalaman Moral Signifikan
Pengalaman moral yang intens atau transformatif
dapat meninggalkan jejak mendalam dalam perkembangan moral. Pengalaman seperti
menyaksikan ketidakadilan, terlibat dalam kegiatan sosial, atau mengalami
penderitaan dapat memicu refleksi moral dan reorganisasi nilai.¹² Komitmen
moral seseorang sering kali dipengaruhi oleh pengalaman afektif yang membawa
makna eksistensial kuat, bukan sekadar pengetahuan normatif.
Dalam konteks perkembangan dewasa muda, pengalaman
karakter-defining—seperti konflik moral, pengabdian sosial, atau kematangan
spiritual—dapat membentuk identitas moral yang stabil.¹³ Dengan demikian,
moralitas juga merupakan hasil perjalanan pengalaman personal yang unik.
9.7.
Norma Budaya dan Sistem
Kepercayaan
Budaya menyediakan kerangka interpretatif bagi
moralitas. Norma budaya menentukan nilai apa yang dianggap penting, emosi moral
mana yang ditonjolkan (rasa bersalah atau rasa malu), serta bagaimana hubungan
sosial diatur.¹⁴ Sistem kepercayaan, termasuk agama atau pandangan dunia,
memberikan dasar normatif dan transendental yang memperkuat orientasi moral
individu.
Perbedaan nilai antara budaya kolektivis dan
individualis juga mempengaruhi orientasi moral. Budaya kolektivis menekankan
kewajiban sosial, harmoni, dan rasa malu, sedangkan budaya individualis
menekankan otonomi, hak individu, dan rasa bersalah.¹⁵
9.8.
Media dan Teknologi Digital
Dalam era kontemporer, media dan teknologi digital
menjadi faktor baru dalam pembentukan moral. Media sosial dapat memperluas
wawasan moral melalui akses terhadap informasi global, tetapi juga dapat
mendistorsi moralitas melalui polarisasi, anonimitas, dan viral outrage.¹⁶
Representasi moral dalam film, musik, dan berita mempengaruhi persepsi tentang
keadilan, kekerasan, dan etika.
Selain itu, paparan informasi yang berlebihan dapat
mengurangi sensitivitas moral atau menciptakan bias persepsi dalam menilai
situasi etis. Karena itu, literasi digital menjadi kemampuan moral baru pada
era modern.
Footnotes
[1]
Darcia Narvaez, Moral Development and Moral
Engagement (New York: Cambridge University Press, 2014), 25–29.
[2]
Robert Plomin et al., Behavioral Genetics,
7th ed. (New York: Worth, 2021), 112–116.
[3]
Nancy Eisenberg, “Temperament, Regulation, and
Moral Development,” Annual Review of Psychology 51 (2000): 665–697.
[4]
Diana Baumrind, “Current Patterns of Parental
Authority,” Developmental Psychology 4, no. 1 (1968): 1–103.
[5]
Martin Hoffman, Empathy and Moral Development
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 187–205.
[6]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 52–84.
[7]
James Rest, Moral Development: Advances in
Research and Theory (New York: Praeger, 1986), 44–49.
[8]
Anne Colby dan William Damon, Some Do Care:
Contemporary Lives of Moral Commitment (New York: Free Press, 1992), 15–27.
[9]
Albert Bandura, “Selective Moral Disengagement,” Handbook
of Moral and Character Education (New York: Routledge, 2014), 101–129.
[10]
Jeanne Brooks-Gunn and Greg Duncan, “The Effects of
Poverty on Children,” The Future of Children 7, no. 2 (1997): 55–71.
[11]
Urie Bronfenbrenner, The Ecology of Human
Development (Cambridge: Harvard University Press, 1979), 20–35.
[12]
Augusto Blasi, “Moral Identity and the Self,” dalam
Handbook of Moral Behavior and Development, ed. William Kurtines
(Hillsdale: Erlbaum, 1991), 229–253.
[13]
William Damon, The Moral Child (New York:
Free Press, 1988), 178–185.
[14]
Joan G. Miller, “Culture and Moral Development,” Annual
Review of Psychology 58 (2007): 591–614.
[15]
Hazel Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the
Self,” Psychological Review 98, no. 2 (1991): 224–253.
[16]
S. Iyengar and D. Kinder, News That Matters
(Chicago: University of Chicago Press, 1987), 45–60.
10. Penyimpangan Moral dan Psikologi Kejahatan
Penyimpangan moral dan perilaku kriminal merupakan
fenomena kompleks yang tidak dapat dijelaskan melalui satu faktor tunggal.
Dalam psikologi moral, penyimpangan moral dipahami sebagai kegagalan dalam
mematuhi standar etis yang diterima secara sosial, sementara psikologi
kejahatan berupaya menjelaskan mekanisme psikologis, biologis, dan sosial yang
mendorong individu melakukan tindakan melanggar hukum.¹ Kedua bidang ini saling
terkait, karena penyimpangan moral sering menjadi landasan psikologis bagi
tindak kriminal, dan sebaliknya, perilaku kriminal sering mencerminkan gangguan
atau kegagalan dalam regulasi moral.
10.1.
Konsep Penyimpangan Moral
Penyimpangan moral merujuk pada perilaku yang
menyimpang dari norma etis atau nilai sosial yang diterima. Dalam perspektif
psikologi, penyimpangan moral bukan hanya pelanggaran aturan, tetapi juga
kegagalan proses internalisasi moral yang mencakup empati, rasa bersalah, dan
prinsip etis.² Individu yang menunjukkan penyimpangan moral cenderung memiliki
kelemahan dalam regulasi diri, ketidakmampuan mengambil perspektif orang lain,
atau mekanisme psikologis yang menjustifikasi perilaku menyimpang.
Selain itu, penyimpangan moral dapat muncul dalam
berbagai bentuk, mulai dari kebohongan, manipulasi, hingga perilaku agresif dan
kekerasan. Ketidaksesuaian antara norma internal dan standar eksternal
menciptakan ruang bagi perilaku antisosial.
10.2.
Mekanisme Moral
Disengagement
Albert Bandura memperkenalkan konsep moral
disengagement untuk menjelaskan bagaimana individu dapat melakukan tindakan
tidak bermoral tanpa mengalami konflik batin.³ Mekanisme ini mencakup delapan
strategi, di antaranya:
1)
Justifikasi moral: pelaku
menafsirkan perilaku salah sebagai tindakan benar demi tujuan lebih besar.
2)
Eufemisme linguistik: penggunaan
bahasa halus untuk mereduksi kesan negatif dari tindakan salah.
3)
Perbandingan menguntungkan: membandingkan tindakan salah dengan tindakan lain yang lebih buruk
agar tampak dapat diterima.
4)
Difusi tanggung jawab: menyebar
tanggung jawab kepada kelompok atau otoritas.
5)
Dehumanisasi: melihat
korban sebagai pihak yang tidak memiliki nilai kemanusiaan.⁴
Mekanisme ini sering ditemukan pada pelaku
kekerasan kolektif, penindasan, dan tindakan kriminal berat, karena memungkinkan
individu mengabaikan nilai moral yang biasa mengatur perilaku mereka.
10.3.
Psikopati dan Gangguan
Empati
Salah satu faktor yang banyak dikaji dalam
psikologi kejahatan adalah psikopati, yaitu kondisi kepribadian yang ditandai
oleh kurangnya empati, ketidakmampuan merasakan rasa bersalah, manipulatif, dan
perilaku antisosial yang berkelanjutan.⁵ Penelitian menunjukkan bahwa individu
dengan ciri psikopatik memiliki gangguan fungsi neurologis pada area seperti amygdala
dan prefrontal cortex, yang berperan dalam regulasi emosi dan
pengambilan keputusan moral.⁶
Meskipun tidak semua psikopat melakukan kejahatan,
gangguan empati dan respons emosional yang tumpul meningkatkan risiko perilaku
agresif. Psikopati menjadi contoh ekstrem penyimpangan moral karena kerusakan
pada fondasi afektif moralitas, yaitu empati dan rasa bersalah.
10.4.
Faktor Sosial dan
Struktural dalam Kejahatan
Penyimpangan moral tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor internal tetapi juga oleh faktor sosial-ekonomi, lingkungan, dan
struktur masyarakat. Kemiskinan, marginalisasi sosial, keluarga disfungsional,
serta paparan kekerasan berulang dapat meningkatkan risiko perilaku kriminal.⁷
Teori strain Robert Merton, misalnya, menyatakan
bahwa kejahatan dapat muncul ketika individu tidak memiliki akses sah untuk
mencapai tujuan sosial yang diinginkan, sehingga mereka mencari alternatif
devian.⁸ Sementara itu, teori kontrol sosial Travis Hirschi menekankan bahwa
kejahatan terjadi ketika ikatan individu dengan masyarakat melemah.⁹
Dengan demikian, kejahatan tidak hanya merupakan
kegagalan moral individu, tetapi juga hasil dari struktur sosial yang tidak
menyediakan kondisi yang mendukung perkembangan moral yang sehat.
10.5.
Dinamika Kejahatan Kolektif
dan Kekerasan Sistematis
Psikologi moral juga mempelajari penyimpangan moral
dalam konteks kolektif, seperti genosida, perang, dan kekerasan politik. Dalam
situasi ini, moralitas individu sering terdistorsi oleh ideologi kelompok,
tekanan sosial, propaganda, serta proses dehumanisasi terhadap kelompok lawan.¹⁰
Penelitian klasik oleh Stanley Milgram tentang
ketaatan pada otoritas menunjukkan bahwa individu dapat melakukan tindakan
kejam ketika diarahkan oleh figur otoritas, terutama jika tanggung jawab moral
dialihkan kepada pemimpin.¹¹ Demikian pula, eksperimen Phil Zimbardo tentang
situasi penjara menunjukkan bahwa norma kelompok dan struktur kekuasaan dapat
memicu perilaku brutal bahkan pada individu yang sebelumnya tidak menunjukkan
kecenderungan kriminal.¹²
Temuan ini menunjukkan bahwa penyimpangan moral bersifat
situasional, bukan hanya personal.
10.6.
Teknologi, Anonimitas, dan
Kejahatan Digital
Dalam era digital, penyimpangan moral mendapat
bentuk baru melalui cyberbullying, penipuan online, penyebaran kebencian, dan
kejahatan siber lainnya. Anonimitas dan jarak sosial di dunia digital
mengurangi hambatan moral dan memungkinkan individu melakukan tindakan yang
tidak akan mereka lakukan dalam interaksi langsung.¹³
Fenomena online disinhibition effect
menjelaskan bagaimana anonimitas mendorong perilaku agresif atau tidak etis
karena lemahnya akuntabilitas sosial dan kurangnya umpan balik emosional dari
korban.¹⁴ Dengan demikian, teknologi menciptakan kondisi moral baru yang
menuntut strategi regulasi moral yang berbeda dari era sebelumnya.
10.7.
Rehabilitasi Moral dan
Pencegahan Kejahatan
Pemahaman penyimpangan moral dalam psikologi sangat
penting bagi upaya pencegahan dan rehabilitasi kriminal. Program intervensi
moral, seperti pelatihan empati, pendidikan nilai, dan penguatan fungsi
eksekutif kognitif, terbukti dapat mengurangi perilaku kriminal, terutama pada
remaja.¹⁵
Pendekatan restoratif—yang menekankan dialog antara
pelaku, korban, dan masyarakat—mendorong internalisasi rasa tanggung jawab
moral dan memfasilitasi reintegrasi sosial.¹⁶ Dengan demikian, pembentukan
moral dapat dipulihkan, meskipun membutuhkan intervensi sistematis yang
mencakup faktor psikologis, sosial, dan struktural.
10.8.
Posisi Perspektif
Penyimpangan Moral dalam Psikologi Moral
Penyimpangan moral dan kejahatan merupakan bagian
penting dalam studi psikologi moral karena keduanya menguji batas-batas
moralitas manusia. Memahami kondisi yang memungkinkan seseorang menyimpang dari
standar moral membantu menjelaskan sifat moralitas itu sendiri, termasuk
kerentanannya terhadap tekanan emosional, sosial, atau biologis.
Dengan memasukkan perspektif penyimpangan moral dan
psikologi kejahatan ke dalam kajian lebih luas tentang moralitas, diperoleh
pemahaman komprehensif tentang bagaimana moralitas dapat dibangun,
dipertahankan, atau dihancurkan—baik pada tingkat individu maupun kolektif.
Footnotes
[1]
John C. Gibbs, Moral Development and Reality,
3rd ed. (New York: Oxford University Press, 2014), 75–82.
[2]
Augusto Blasi, “Moral Cognition and Moral Action,” Developmental
Review 3, no. 2 (1983): 178–181.
[3]
Albert Bandura, “Selective Moral Disengagement,” Handbook
of Moral and Character Education (New York: Routledge, 2014), 101–129.
[4]
Ibid., 110–118.
[5]
Robert D. Hare, Without Conscience: The
Disturbing World of the Psychopaths Among Us (New York: Guilford Press,
1993), 12–17.
[6]
Kent A. Kiehl, “A Cognitive Neuroscience
Perspective on Psychopathy,” Psychiatry Research 142, no. 2–3 (2006):
107–128.
[7]
Jeanne Brooks-Gunn and Greg Duncan, “The Effects of
Poverty on Children,” The Future of Children 7, no. 2 (1997): 55–71.
[8]
Robert K. Merton, “Social Structure and Anomie,” American
Sociological Review 3, no. 5 (1938): 672–682.
[9]
Travis Hirschi, Causes of Delinquency
(Berkeley: University of California Press, 1969), 34–49.
[10]
Ervin Staub, The Roots of Evil (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 101–132.
[11]
Stanley Milgram, Obedience to Authority (New
York: Harper & Row, 1974), 55–75.
[12]
Philip Zimbardo, The Lucifer Effect (New
York: Random House, 2007), 193–221.
[13]
Sameer Hinduja and Justin Patchin, Bullying
Beyond the Schoolyard (Thousand Oaks: Sage, 2014), 63–74.
[14]
John Suler, “The Online Disinhibition Effect,” CyberPsychology
& Behavior 7, no. 3 (2004): 321–326.
[15]
Mark T. Greenberg et al., “Promoting Social and
Emotional Competence,” American Psychologist 59, no. 6 (2004): 466–474.
[16]
Howard Zehr, The Little Book of Restorative
Justice (Intercourse: Good Books, 2002), 33–47.
11. Model Integratif Psikologi Moral
(Kognitif–Afektif–Sosial–Spiritual)
Model integratif dalam psikologi moral berupaya
menggabungkan berbagai perspektif—kognitif, afektif, sosial, dan spiritual—ke
dalam sebuah kerangka holistik yang mampu menjelaskan kompleksitas moralitas
manusia secara menyeluruh. Pendekatan ini berangkat dari pemahaman bahwa tidak
ada satu dimensi pun yang dapat menjelaskan moralitas secara memadai. Moralitas
bukanlah sekadar hasil penalaran rasional, bukan pula semata respons emosional,
tetapi merupakan sistem dinamis yang terbentuk melalui interaksi antara
kemampuan berpikir, disposisi emosional, pengalaman sosial, dan orientasi makna
spiritual.¹ Model integratif menawarkan jalan tengah antara
pendekatan-pendekatan sebelumnya yang sering kali terfragmentasi, dan memberikan
penjelasan komprehensif mengenai bagaimana individu membentuk, mempertahankan,
dan menjalankan komitmen moral.
11.1.
Dimensi Kognitif: Struktur
Penalaran Moral
Dimensi kognitif berperan penting dalam pembentukan
prinsip moral, kemampuan mengambil perspektif, dan proses reflektif dalam
menilai tindakan etis. Penelitian Kohlberg, Rest, dan para penerusnya
menunjukkan bahwa perkembangan moral mencakup peningkatan kemampuan berpikir
abstrak, memahami prinsip keadilan, serta merumuskan norma moral universal.²
Dalam model integratif, penalaran moral tidak
dipandang sebagai determinan tunggal, tetapi sebagai proses reflektif yang
mengarahkan individu untuk mengevaluasi intuisi dan emosi moral, serta untuk
menimbang pilihan etis secara lebih matang. Dengan demikian, dimensi kognitif
berfungsi sebagai mekanisme evaluatif yang memungkinkan individu mempertanyakan
bias, intuisi impulsif, dan tekanan sosial.
11.2.
Dimensi Afektif: Peran
Emosi Moral
Emosi moral seperti empati, rasa bersalah, dan
belas kasih merupakan komponen inti dalam tindakan moral. Melalui penelitian
Haidt, Hoffman, dan Damasio, semakin jelas bahwa keputusan moral sering kali
berlandaskan respons emosional yang cepat dan intuitif.³
Dalam model integratif, emosi tidak dipisahkan dari
penalaran moral, tetapi berfungsi sebagai fondasi motivasional yang membuat
nilai moral bermakna secara personal. Emosi memfasilitasi keterlibatan moral
(moral engagement) dan menjadi pendorong utama perilaku prososial. Namun
demikian, emosi memerlukan regulasi kognitif agar tidak menghasilkan respons
moral yang impulsif atau destruktif. Sinergi ini menunjukkan bahwa moralitas
dewasa adalah hasil keseimbangan antara intuisi afektif dan refleksi kognitif.⁴
11.3.
Dimensi Sosial: Pengaruh
Interaksi dan Struktur Sosial
Moralitas tidak dapat dipahami secara
individualistis, karena ia terbentuk dan diwujudkan dalam konteks sosial. Teori
pembelajaran sosial Bandura, konsep sosialisasi moral, dan studi budaya Miller
dan Shweder menunjukkan bahwa norma sosial, hubungan interpersonal, dan
pengalaman budaya merupakan faktor penentu dalam perkembangan moral.⁵
Dalam model integratif, dimensi sosial mencakup:
·
pembelajaran moral melalui keteladanan,
·
dialog moral dalam keluarga dan sekolah,
·
norma kelompok dan budaya,
·
struktur sosial yang mendukung atau merusak moralitas.
Dimensi ini menekankan bahwa komitmen moral tidak
hanya merupakan pilihan pribadi, tetapi juga dipengaruhi oleh konteks sosial
yang menyediakan atau membatasi peluang untuk berperilaku etis.
11.4.
Dimensi Spiritual:
Orientasi Transendental dan Makna Moral
Dimensi spiritual dalam model integratif mencakup
keyakinan religius, nilai-nilai transendental, serta pencarian makna hidup yang
lebih tinggi. Penelitian Pargament, Fowler, dan Narvaez menunjukkan bahwa
spiritualitas berfungsi sebagai motivasi moral yang kuat dan dapat memperkuat
komitmen terhadap nilai-nilai universal seperti kasih, keadilan, dan
kepedulian.⁶
Spiritualitas memberikan:
·
orientasi moral yang stabil melalui ajaran agama,
·
motivasi intrinsik untuk berbuat baik,
·
makna eksistensial yang memperkuat ketahanan moral,
·
komitmen pada nilai yang melampaui kepentingan diri.
Dalam kerangka integratif, spiritualitas tidak
dipahami sebagai dogma, tetapi sebagai dimensi motivasional dan
kognitif-afektif yang membantu individu menstrukturkan komitmen moral di
sepanjang kehidupan.
11.5.
Interaksi Dinamis
Antar-Dimensi
Model integratif menekankan bahwa keempat
dimensi—kognitif, afektif, sosial, dan spiritual—saling mempengaruhi secara
dinamis. Tidak ada satu dimensi pun yang bekerja secara terpisah. Contohnya:
·
Emosi empatik (afektif) mendorong seseorang untuk menolong, tetapi
keputusan akhir dipandu oleh penalaran moral (kognitif).
·
Norma sosial (sosial) dapat memengaruhi cara seseorang menafsirkan
ajaran agama (spiritual) dan menginternalisasi nilai moral (kognitif-afektif).
·
Keyakinan spiritual dapat memperkuat motivasi emosional untuk berbuat
baik (afektif), serta membentuk identitas moral yang stabil (kognitif).
Interaksi ini menciptakan sistem moral yang
adaptif, fleksibel, dan responsif terhadap tuntutan situasional sekaligus
berakar pada nilai-nilai inti.⁷
11.6.
Model Integratif sebagai
Kerangka Pendidikan Moral
Model integratif memiliki implikasi besar dalam
pendidikan moral. Pendekatan pedagogis yang hanya menekankan penalaran moral
terbukti tidak cukup efektif. Pendidikan karakter yang komprehensif perlu
menyentuh seluruh dimensi moral:
·
kognitif melalui
diskusi dilema moral,
·
afektif melalui
pengembangan empati dan kesadaran emosional,
·
sosial melalui
praktik kolaboratif dan keadilan relasional,
·
spiritual melalui
refleksi makna, nilai, dan tujuan hidup.
Pendekatan yang memadukan keempat dimensi ini
terbukti meningkatkan internalisasi nilai moral dan konsistensi perilaku etis.⁸
11.7.
Signifikansi Model
Integratif dalam Psikologi Moral Kontemporer
Model integratif menjawab kelemahan paradigma
sebelumnya yang cenderung monodimensional. Dengan memadukan pemahaman tentang
cara manusia berpikir, merasakan, berinteraksi, dan mencari makna hidup, model
ini memungkinkan interpretasi moralitas yang lebih mendalam dan relevan dengan
konteks kehidupan modern.
Pendekatan ini juga memungkinkan penjelasan
variabilitas moral antarindividu dan antarbudaya, sekaligus memberikan dasar
teoretis untuk intervensi moral yang lebih efektif. Dengan menempatkan
moralitas sebagai fenomena multidimensional, model integratif memperkuat posisi
psikologi moral sebagai disiplin yang menjembatani antara ilmu pengetahuan
empiris dan nilai-nilai etis yang menjadi dasar kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
Darcia Narvaez, Neurobiology and the Development
of Human Morality (New York: Norton, 2014), 18–23.
[2]
James Rest et al., Postconventional Moral
Thinking (Mahwah: Erlbaum, 1999), 12–19.
[3]
Martin Hoffman, Empathy and Moral Development
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45–63.
[4]
Jonathan Haidt, The Emotional Dog and Its
Rational Tail, Psychological Review 108, no. 4 (2001): 814–834.
[5]
Albert Bandura, Social Learning Theory
(Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1977), 22–30.
[6]
Kenneth I. Pargament, The Psychology of Religion
and Coping (New York: Guilford Press, 1997), 105–121.
[7]
Joan G. Miller, “Culture and Moral Development,” Annual
Review of Psychology 58 (2007): 591–614.
[8]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 85–112.
12. Relevansi Kontemporer Psikologi Moral
Psikologi moral memiliki relevansi yang sangat
tinggi dalam konteks kontemporer yang ditandai oleh kompleksitas sosial,
kemajuan teknologi, pluralisme budaya, dan dinamika politik global. Dalam era
di mana batas moral semakin diperdebatkan dan tantangan etis muncul dalam
bentuk baru—dari interaksi digital hingga perkembangan kecerdasan
buatan—psikologi moral menyediakan kerangka analitis untuk memahami bagaimana
individu maupun kelompok menafsirkan dan mempraktikkan moralitas.¹ Disiplin ini
memberikan landasan untuk menjawab pertanyaan kritis mengenai perilaku
prososial, ketidakadilan sosial, polarisasi politik, serta cara masyarakat
mempertahankan koherensi moral di tengah perubahan cepat.
12.1.
Pendidikan Moral dan
Penguatan Karakter di Era Modern
Pertumbuhan globalisasi dan arus informasi yang
cepat menuntut pendekatan pendidikan moral yang lebih komprehensif. Pendidikan
yang hanya menekankan pengetahuan kognitif tidak lagi memadai untuk membentuk
karakter yang tangguh dan etis. Psikologi moral kontemporer menekankan
pentingnya integrasi aspek kognitif, afektif, sosial, dan spiritual dalam
pendidikan karakter.²
Pendekatan berbasis perkembangan moral (Kohlberg),
empati (Hoffman), dan pembelajaran sosial (Bandura) telah digunakan sebagai
fondasi untuk merancang kurikulum pendidikan karakter di sekolah.³ Selain itu,
metode pedagogis berbasis pengalaman, seperti diskusi dilema moral, proyek
prososial, dan pembelajaran reflektif, terbukti efektif memperkuat
internalisasi nilai moral.⁴
12.2.
Literasi Moral dalam Era
Digital
Perkembangan teknologi digital membawa tantangan
baru dalam penilaian moral. Media sosial menciptakan ruang interaksi tanpa
batas yang dapat memperkuat perilaku prososial melalui solidaritas virtual,
tetapi juga memicu fenomena seperti cyberbullying, polarisasi moral,
ujaran kebencian, dan viral outrage.⁵
Fenomena online disinhibition effect
menunjukkan bahwa anonimitas dan jarak sosial dalam ruang digital dapat
melemahkan regulasi moral.⁶ Oleh karena itu, literasi moral digital menjadi
kebutuhan penting—meliputi kemampuan untuk menilai informasi secara etis,
memahami konsekuensi moral dari perilaku online, serta mempertahankan empati di
ruang virtual.
Psikologi moral membantu merancang strategi
pendidikan dan kebijakan yang dapat menumbuhkan kompetensi moral dalam
penggunaan teknologi, termasuk pengembangan empati digital, kesadaran privasi,
dan regulasi diri dalam interaksi online.
12.3.
Tantangan Moral dalam
Teknologi Kecerdasan Buatan
Kecerdasan buatan (AI) memunculkan dilema moral
yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti pengambilan keputusan otomatis,
bias algoritmik, tanggung jawab moral mesin, dan implikasi etis penggunaan data
pribadi.⁷ Psikologi moral berkontribusi dalam memahami bagaimana manusia
menilai tindakan algoritma, sejauh mana mereka mempercayai sistem otomatis, dan
bagaimana keputusan moral manusia dapat diintegrasikan ke dalam desain
teknologi.
Dalam konteks ini, penelitian tentang intuisi
moral, bias kognitif, dan aturan normatif menjadi sangat relevan untuk
mengembangkan AI yang etis. Model moral berbasis empati atau harm-reduction,
misalnya, dapat menjadi dasar pengembangan AI yang lebih sensitif terhadap
nilai manusia.⁸
12.4.
Polarisasi Sosial dan
Konflik Moral
Polarisasi politik dan konflik sosial merupakan
fenomena kontemporer yang meningkat. Psikologi moral menjelaskan bahwa konflik
tersebut sering kali berakar pada perbedaan kerangka moral (moral foundations)
yang dianut oleh kelompok sosial berbeda. Jonathan Haidt menunjukkan bahwa
kelompok liberal, konservatif, dan komunitarian berbeda dalam penekanan fondasi
moral seperti keadilan, otoritas, kesetiaan, dan kesucian.⁹
Dengan memahami fondasi moral yang mendasari
pandangan politik, psikologi moral memberikan jalan untuk dialog lintas
kelompok yang lebih produktif dan mengurangi demonisasi lawan politik.
Pendekatan ini penting dalam menciptakan ruang deliberatif yang menghargai
keberagaman nilai moral dalam masyarakat demokratis.
12.5.
Keberlanjutan Lingkungan
dan Moralitas Ekologis
Isu perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan
krisis ekologis memerlukan paradigma moral baru yang tidak hanya berfokus pada
hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan alam.¹⁰ Psikologi
moral membantu menjelaskan mengapa sebagian individu dan kelompok bertindak
pro-lingkungan, sementara yang lain tidak merasakan tanggung jawab ekologis.
Emosi moral seperti rasa bersalah ekologis (eco-guilt)
dan empati terhadap makhluk hidup dapat mendorong perubahan perilaku.¹¹ Norma
sosial dan pendidikan lingkungan juga memainkan peran penting dalam membentuk
komitmen moral terhadap keberlanjutan. Dengan demikian, psikologi moral
memperluas cakupan etika tradisional untuk mencakup domain ekologis.
12.6.
Multikulturalisme dan
Pluralisme Moral
Masyarakat kontemporer semakin pluralistik, baik
dari sisi etnis, agama, maupun ideologi. Pluralisme ini menuntut kemampuan
untuk memahami bahwa moralitas bersifat berlapis dan dipengaruhi oleh konteks
budaya. Perspektif lintas budaya dalam psikologi moral menunjukkan bahwa
terdapat variasi signifikan dalam pola emosi moral, struktur norma, dan praktik
etis antarbudaya.¹²
Dalam konteks multikulturalisme, psikologi moral
menyediakan kerangka untuk menghargai keberagaman nilai moral tanpa jatuh pada
relativisme ekstrem. Konsep seperti moral ecology menekankan bahwa
moralitas berkembang dalam lingkungan budaya kompleks yang mempengaruhi cara
individu memaknai nilai universal seperti keadilan, kepedulian, dan
kesetaraan.¹³
12.7.
Keberfungsian Moral dalam
Kesehatan Mental dan Kesejahteraan
Penelitian kontemporer menunjukkan bahwa moralitas
berkaitan erat dengan kesejahteraan psikologis. Komitmen moral yang stabil
berkontribusi pada integritas diri, regulasi emosi yang sehat, dan perasaan
bermakna dalam hidup.¹⁴ Sebaliknya, konflik moral (moral injury),
terutama pada profesi berisiko tinggi seperti tenaga medis atau militer, dapat
menyebabkan gangguan stres, rasa bersalah ekstrem, dan krisis identitas
moral.¹⁵
Dengan demikian, psikologi moral tidak hanya
berkaitan dengan perilaku etis tetapi juga kesehatan mental dan kualitas hidup
individu, termasuk strategi untuk mengatasi dilema moral yang menimbulkan
tekanan psikologis.
12.8.
Peran Psikologi Moral dalam
Kebijakan Publik
Kebijakan publik modern, seperti regulasi sosial,
program anti-korupsi, penanganan kekerasan, dan promosi kesehatan masyarakat,
membutuhkan pemahaman mendalam tentang dinamika moral manusia. Psikologi moral
membantu perancang kebijakan memahami faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan
aturan, motivasi moral masyarakat, dan resistensi terhadap kebijakan
tertentu.¹⁶
Dengan pendekatan berbasis bukti (evidence-based),
psikologi moral dapat memperkuat implementasi kebijakan melalui strategi yang
mempertimbangkan bias psikologis, emosi moral, serta norma sosial yang
mengarahkan perilaku kolektif.
12.9.
Relevansi Psikologi Moral
bagi Identitas dan Etika Profesional
Dalam banyak profesi—seperti kedokteran, hukum,
pendidikan, dan kepemimpinan publik—etika profesional bergantung pada kapasitas
moral yang kuat. Psikologi moral membantu menjelaskan bagaimana nilai
profesional diinternalisasi dan bagaimana individu menavigasi dilema etika
dalam praktik.¹⁷
Dengan meningkatnya kompleksitas profesional,
pemahaman tentang bias moral, tekanan situasional, dan dinamika
kognitif-afektif sangat penting untuk memastikan integritas dan tanggung jawab
etis dalam setiap bidang pekerjaan.
12.10. Moralitas dalam
Masyarakat Global yang Berubah Cepat
Di tengah krisis global, pandemi, migrasi
internasional, dan ketidakstabilan geopolitik, psikologi moral berfungsi
sebagai alat untuk memahami bagaimana masyarakat merespons ketidakpastian
moral, ketakutan kolektif, dan perubahan nilai secara cepat.¹⁸
Dalam masyarakat global yang semakin terhubung,
psikologi moral membantu mengidentifikasi prinsip moral universal yang dapat
menjadi dasar kerja sama lintas budaya, seperti keadilan, martabat manusia, dan
solidaritas. Pemahaman ini sangat penting untuk memperkuat kohesi sosial dan
menavigasi tantangan moral yang terus berkembang.
Footnotes
[1]
Darcia Narvaez, Moral Development and Moral
Engagement (New York: Cambridge University Press, 2014), 301–309.
[2]
James Rest et al., Postconventional Moral
Thinking (Mahwah: Erlbaum, 1999), 22–27.
[3]
Albert Bandura, Social Learning Theory
(Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1977), 22–33.
[4]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 89–112.
[5]
Candice L. Odgers and Michaeline Jensen, “Annual
Research Review: Adolescents and Social Media,” Journal of Child Psychology
and Psychiatry 61, no. 3 (2020): 362–364.
[6]
John Suler, “The Online Disinhibition Effect,” CyberPsychology
& Behavior 7, no. 3 (2004): 321–326.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 87–94.
[8]
Patrick Lin et al., Robot Ethics (Cambridge:
MIT Press, 2012), 15–25.
[9]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind (New
York: Pantheon, 2012), 125–138.
[10]
Stephen Gardiner, A Perfect Moral Storm
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 27–35.
[11]
Sabine Pahl and Judith M. Holdsworth, “The
Eco-Guilt Phenomenon,” Environment and Behavior 39, no. 2 (2007):
235–247.
[12]
Joan G. Miller, “Culture and Moral Development,” Annual
Review of Psychology 58 (2007): 591–614.
[13]
Darcia Narvaez, “Moral Ecology and Moral Cultures,”
Journal of Moral Education 45, no. 4 (2016): 399–412.
[14]
Martin Seligman and Christopher Peterson, Character
Strengths and Virtues (New York: Oxford University Press, 2004), 55–62.
[15]
Brett Litz et al., “Moral Injury and Psychological
Trauma,” Clinical Psychology Review 29, no. 8 (2009): 695–706.
[16]
Dan Ariely, The (Honest) Truth About Dishonesty
(New York: HarperCollins, 2012), 132–148.
[17]
Rest & Narvaez, Moral Development in the
Professions (Hillsdale: Erlbaum, 1994), 14–21.
[18]
Richard Shweder et al., Culture Theory: Essays
on Mind, Self, and Emotion (Cambridge: Cambridge University Press, 1984),
327–335.
13. Model Pendidikan Moral Berbasis Psikologi Moral
Model pendidikan
moral berbasis psikologi moral dirancang untuk mengintegrasikan dimensi
kognitif, afektif, sosial, dan spiritual dalam proses pembelajaran sehingga
peserta didik tidak hanya memahami konsep moral, tetapi juga
menginternalisasikan dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata. Dalam konteks
pendidikan kontemporer, pendekatan ini menekankan bahwa moralitas bukan sekadar
hafalan nilai, melainkan kompetensi yang dibentuk melalui pengalaman,
penalaran, interaksi sosial, dan refleksi spiritual.¹ Model pendidikan moral
demikian berupaya menjawab tantangan pendidikan masa kini yang menuntut
pembelajaran etis yang lebih komprehensif, relevan, dan aplikatif.
13.1.
Landasan Teoretis Model
Pendidikan Moral
Model pendidikan
moral berbasis psikologi moral mengacu pada berbagai teori utama perkembangan
moral. Pertama, teori perkembangan moral kognitif Kohlberg menekankan
pentingnya kemampuan menilai dilema moral melalui penalaran tingkat tinggi.²
Kedua, teori empati Hoffman menegaskan bahwa emosi empatik merupakan fondasi
tindakan prososial.³ Ketiga, teori pembelajaran sosial Bandura menggarisbawahi
peran keteladanan, penguatan sosial, dan observasi dalam pembentukan moral.⁴
Sementara itu,
perspektif spiritual dan humanistik, seperti yang dikembangkan dalam tradisi
pendidikan karakter dan psikologi agama, menekankan internalisasi nilai melalui
makna hidup, refleksi batin, dan orientasi transendental.⁵ Gabungan seluruh
landasan ini menghasilkan model pendidikan moral yang utuh dan multidimensi.
13.2.
Komponen Utama Model
Pendidikan Moral
Model pendidikan moral
berbasis psikologi moral umumnya mencakup empat komponen inti yang saling
terkait:
13.2.1. Komponen Kognitif:
Penalaran Moral dan Pengambilan Keputusan
Pembelajaran moral harus melibatkan pengembangan
kemampuan berpikir kritis dan analitis terhadap persoalan etis. Hal ini dapat
dilakukan melalui analisis kasus, diskusi dilema moral, debat etis, dan
pembelajaran berbasis masalah.⁶
Kegiatan ini mendorong siswa untuk mengevaluasi
alternatif tindakan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip moral secara rasional.
13.2.2. Komponen Afektif:
Empati, Kesadaran Emosional, dan Pembentukan Kepekaan Moral
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa empati dan
regulasi emosional memainkan peran penting dalam tindakan moral. Oleh karena
itu, pendidikan moral melibatkan latihan kesadaran emosi, permainan peran, dan
kegiatan reflektif yang membantu peserta didik memahami perasaan sendiri dan
orang lain.⁷
13.2.3. Komponen Sosial:
Pembelajaran Kolaboratif dan Keadilan Relasional
Lingkungan sosial sekolah merupakan arena utama
pengembangan moral. Model pendidikan moral menekankan pentingnya aktivitas
kerja kelompok, komunikasi etis, penyelesaian konflik secara konstruktif, dan
pembentukan norma kelas yang adil dan suportif.⁸
Hal ini membantu peserta didik mengembangkan
kemampuan sosial yang mendukung tindakan moral.
13.2.4. Komponen Spiritual:
Makna Hidup, Nilai Kebajikan, dan Refleksi Diri
Komponen spiritual memberikan kedalaman makna
dalam internalisasi nilai. Melalui praktik reflektif, meditasi, dan pembiasaan
kebajikan (virtue habituation), peserta didik mengembangkan motivasi intrinsik
dalam berbuat baik, bukan sekadar mengikuti aturan.⁹
Dimensi spiritual memperkuat komitmen moral
jangka panjang melalui orientasi nilai yang stabil.
13.3.
Strategi Pedagogis dalam
Pendidikan Moral
Pendidikan moral
berbasis psikologi moral menggunakan berbagai strategi pedagogis yang dapat
disesuaikan dengan konteks dan jenjang pendidikan:
13.3.1. Pembelajaran
Berbasis Pengalaman (Experiential Learning)
Siswa dilibatkan dalam pengalaman langsung
seperti proyek sosial, kerja bakti, layanan masyarakat, dan simulasi etis untuk
memahami makna tindakan moral.¹⁰
13.3.2. Diskusi Dilema Moral
Teknik ini—yang berasal dari tradisi
Kohlbergian—dirancang untuk menstimulasi perkembangan moral melalui pertukaran
perspektif dan argumentasi etis.¹¹
13.3.3. Keteladanan
(Modeling)
Guru dan figur otoritatif lain memberikan contoh
konkret perilaku bermoral. Bandura menegaskan bahwa keteladanan adalah salah
satu faktor paling efektif dalam pembentukan moral anak.¹²
13.3.4. Pembiasaan dan Penguatan
Positif
Kebiasaan kecil seperti kejujuran dalam tugas,
budaya antre, dan sikap saling menghargai diperkuat melalui penguatan positif
sehingga menjadi bagian dari etos sekolah.¹³
13.3.5. Refleksi Personal
dan Spiritual
Kegiatan refleksi harian, jurnal moral, dan
dialog tentang nilai hidup membantu peserta didik memahami dan
menginternalisasi nilai moral secara mendalam.¹⁴
13.4.
Integrasi Pendidikan Moral
dalam Kurikulum Sekolah
Model pendidikan
moral tidak terbatas pada mata pelajaran tertentu, melainkan melibatkan seluruh
ekosistem sekolah. Guru dari berbagai mata pelajaran dapat mengintegrasikan
nilai etika dan refleksi moral dalam pembelajaran.¹⁵
Selain itu,
kurikulum perlu memuat kompetensi moral yang jelas, seperti:
·
kemampuan mengambil keputusan
etis,
·
kemampuan berempati dan
berkomunikasi etis,
·
kemampuan menghadapi dilema
moral,
·
kemampuan mengelola konflik
secara damai.
Integrasi ini
memastikan bahwa pendidikan moral tidak hanya bersifat normatif atau
seremonial, tetapi menjadi bagian dari keterampilan hidup yang esensial.
13.5.
Peran Keluarga dan
Komunitas dalam Model Pendidikan Moral
Pendidikan moral
yang efektif membutuhkan sinergi antara sekolah, keluarga, dan komunitas. Orang
tua berperan sebagai role model utama, sedangkan komunitas menyediakan ruang
bagi peserta didik untuk menerapkan nilai moral dalam situasi nyata.¹⁶
Ketidaksesuaian
antara norma moral di sekolah dan nilai yang dianut keluarga dapat melemahkan
internalisasi moral anak, sehingga kerja sama antara kedua pihak sangat
penting.
13.6.
Tantangan dan Prospek
Pendidikan Moral Kontemporer
Beberapa tantangan
pendidikan moral masa kini meliputi:
·
polarisasi moral dalam
masyarakat,
·
pengaruh media sosial
terhadap perilaku remaja,
·
relativisme nilai pada
masyarakat pluralistik,
·
tekanan akademik yang
mengurangi ruang pendidikan karakter.
Meski demikian,
psikologi moral kontemporer menyediakan berbagai wawasan teoretis dan praktis
untuk mengatasi tantangan tersebut. Strategi berbasis empati, refleksi,
pembelajaran sosial, dan integrasi nilai spiritual menunjukkan efektivitas
tinggi dalam pengembangan moral.¹⁷
Dengan memahami
dinamika kognitif, afektif, sosial, dan spiritual, pendidikan moral dapat
dirancang sebagai proses transformasional yang tidak hanya membentuk perilaku
etis, tetapi juga membangun karakter manusia secara utuh.
Footnotes
[1]
Darcia Narvaez, Moral Development and
Moral Engagement (New York:
Cambridge University Press, 2014), 215–219.
[2]
Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization,” dalam Moral Development and Behavior, ed. Thomas Lickona (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1976), 31–53.
[3]
Martin Hoffman, Empathy and Moral
Development (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000), 284–289.
[4]
Albert Bandura, Social Learning Theory (Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1977), 22–27.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character (New York: Bantam Books, 1991), 43–51.
[6]
Larry Nucci, Education in the Moral
Domain (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), 92–105.
[7]
Nancy Eisenberg, “Empathy and Moral Action,” Annual Review of Psychology 59 (2007): 655–675.
[8]
Anne Colby dan William Damon, Some
Do Care (New York: Free Press,
1992), 45–58.
[9]
James Fowler, Stages of Faith (San Francisco: HarperCollins, 1981), 117–123.
[10]
David Kolb, Experiential Learning (New York: Prentice Hall, 1984), 38–45.
[11]
Kohlberg, “Moral Stages,” 48–52.
[12]
Bandura, Social Learning Theory, 28–33.
[13]
Lickona, Educating for Character, 221–239.
[14]
Pargament, The Psychology of
Religion and Coping, 105–121.
[15]
Nucci, Education in the Moral
Domain, 112–128.
[16]
Hoffman, Empathy and Moral
Development, 301–312.
[17]
Narvaez, Moral Development, 252–260.
14. Studi Kasus dan Aplikasi Empiris
Studi kasus dan aplikasi empiris dalam psikologi
moral memainkan peran penting untuk menghubungkan teori dengan realitas
perilaku manusia dalam konteks sehari-hari. Melalui penelitian empiris,
pengamatan lapangan, eksperimen laboratorium, dan analisis fenomena sosial,
psikologi moral memperoleh bukti yang memperkuat pemahaman tentang bagaimana
moralitas berkembang, bagaimana penyimpangan moral muncul, dan bagaimana
intervensi dapat mendukung pembentukan karakter.¹ Bagian ini membahas beberapa
aplikasi empiris utama dari teori psikologi moral dalam konteks perkembangan
anak dan remaja, perilaku prososial, moralitas digital, serta intervensi
pendidikan.
14.1.
Studi Perkembangan Moral
pada Anak dan Remaja
Penelitian perkembangan moral pada anak dan remaja
menunjukkan bahwa moralitas terbentuk melalui interaksi antara pertumbuhan
kognitif, pematangan emosional, dan pengalaman sosial.² Salah satu studi
longitudinal klasik oleh Colby dan Damon menunjukkan bahwa perkembangan moral
tingkat tinggi (seperti orientasi pada prinsip universal) muncul sangat jarang
dan membutuhkan lingkungan yang mendukung refleksi moral mendalam.³
Selain itu, penelitian Hoffman menunjukkan bahwa
perkembangan empati anak dipengaruhi oleh pola asuh induktif—yaitu teknik
disiplin yang menekankan konsekuensi emosional dari tindakan terhadap orang lain.⁴
Anak yang dibesarkan dengan pendekatan ini cenderung memiliki perilaku
prososial lebih kuat. Temuan empiris ini memperkuat teori bahwa dimensi afektif
memainkan peran penting dalam perkembangan moral sejak usia dini.
14.2.
Kasus Perilaku Prososial
dan Altruisme
Perilaku prososial—seperti menolong, berbagi, dan
bekerja sama—telah diteliti secara luas dalam psikologi moral. Eksperimen
klasik oleh C. Daniel Batson membuktikan bahwa motivasi empatik merupakan
pendorong utama altruisme sejati (altruism hypothesis).⁵ Dalam eksperimen
tersebut, peserta yang merasakan empati tinggi menunjukkan kecenderungan lebih
kuat untuk menolong, meskipun tidak ada keuntungan pribadi.
Penelitian lain oleh Warneken dan Tomasello
menunjukkan bahwa bahkan anak usia dua tahun telah menunjukkan perilaku
menolong spontan tanpa penguatan sosial.⁶ Studi ini mendukung argumen bahwa
moralitas awal memiliki dasar biologis, tetapi kemudian dibentuk melalui
pengalaman sosial.
14.3.
Moralitas dalam Konteks
Pendidikan dan Sekolah
Studi kasus di lingkungan sekolah menunjukkan bahwa
budaya sekolah yang demokratis dan kolaboratif mempengaruhi pembentukan
karakter. Dalam sebuah penelitian oleh Nucci dan Narvaez, sekolah yang
menerapkan pendekatan Just Community—yakni sekolah yang mempraktikkan
pengambilan keputusan kolektif—menunjukkan peningkatan signifikan dalam
kemampuan penalaran moral siswa.⁷
Selain itu, penelitian meta-analisis oleh Durlak
dkk. tentang Social and Emotional Learning (SEL) menunjukkan bahwa
intervensi yang mengintegrasikan latihan emosional, kesadaran sosial, dan
pemecahan masalah moral meningkatkan perilaku prososial dan mengurangi perilaku
bermasalah secara signifikan.⁸ Temuan ini mendukung model integratif pendidikan
moral berbasis psikologi moral.
14.4.
Kejahatan Remaja dan Moral
Disengagement
Beberapa studi empiris menunjukkan hubungan kuat
antara mekanisme moral disengagement dan perilaku kriminal pada remaja.
Penelitian oleh Bandura dan Caprara menemukan bahwa remaja dengan skor moral
disengagement tinggi cenderung lebih terlibat dalam perilaku agresif dan
kenakalan remaja.⁹ Faktor lingkungan seperti pergaulan negatif, paparan
kekerasan, dan lemahnya ikatan keluarga memperkuat mekanisme ini.
Studi lain menunjukkan bahwa pelatihan regulasi
emosi dan peningkatan empati dapat mengurangi perilaku kriminal remaja,
menegaskan bahwa penyimpangan moral dapat diintervensi melalui pendekatan
psikologis yang tepat.¹⁰
14.5.
Moralitas Digital dan
Fenomena Cyberbullying
Dalam era digital, banyak studi yang mengkaji
bagaimana moralitas bekerja dalam interaksi daring. Hinduja dan Patchin
menemukan bahwa cyberbullying banyak dipengaruhi oleh anonimitas, lemahnya
pengawasan moral, dan kurangnya empati digital.¹¹
Selain itu, studi oleh Suler menunjukkan efek online
disinhibition yang membuat individu lebih mudah melanggar norma moral
ketika berinteraksi melalui layar.¹² Beberapa program pendidikan empati
digital—seperti pengajaran literasi digital etis—telah terbukti mengurangi
perilaku agresi online dan meningkatkan kesadaran moral dalam penggunaan
teknologi.
14.6.
Studi Kasus Moralitas dalam
Perilaku Organisasi
Dalam konteks organisasi dan dunia kerja,
penelitian mengenai etika profesional menjelaskan bagaimana moralitas dapat
dipengaruhi oleh budaya kerja, kepemimpinan, dan dinamika kekuasaan. Treviño
dan Brown menemukan bahwa kepemimpinan etis (ethical leadership) meningkatkan
perilaku etis karyawan melalui keteladanan dan pembentukan norma kelompok.¹³
Penelitian dalam bidang behavioral ethics
oleh Ariely menunjukkan bahwa individu lebih mungkin berperilaku tidak jujur
ketika mereka merasa dapat membenarkan tindakan mereka secara moral atau ketika
hukuman sosial terlihat lemah.¹⁴ Studi ini penting untuk merancang kebijakan
anti-korupsi berbasis perilaku.
14.7.
Moral Injury dan Kesehatan
Mental pada Profesi Berisiko Tinggi
Konsep moral injury banyak dikaji dalam
profesi militer, medis, dan penegakan hukum. Litz dkk. menemukan bahwa ketika
individu melakukan atau menyaksikan tindakan yang bertentangan dengan nilai
moral dasar mereka, hal tersebut dapat menimbulkan trauma psikologis berat.¹⁵
Studi ini menjadi dasar bagi intervensi yang
menekankan pemulihan moral melalui konseling spiritual, rekonsiliasi nilai
pribadi, dan dukungan kelompok. Fenomena ini memperlihatkan bahwa moralitas
tidak hanya berdampak pada perilaku, tetapi juga kesehatan mental.
14.8.
Aplikasi Intervensi Moral
Berbasis Empati dan Refleksi
Berdasarkan temuan empiris, berbagai intervensi
yang menargetkan peningkatan empati dan refleksi moral terbukti efektif dalam
berbagai setting pendidikan dan sosial. Program seperti Roots of Empathy,
yang melibatkan interaksi anak dengan bayi, menunjukkan peningkatan empati dan
penurunan perilaku agresif di antara siswa.¹⁶
Studi lain menunjukkan bahwa intervensi berbasis
meditasi dan kesadaran spiritual meningkatkan regulasi diri moral serta
mengurangi perilaku impulsif.¹⁷ Hal ini menunjukkan bahwa integrasi dimensi
afektif dan spiritual memberikan hasil empiris yang signifikan dalam
pembentukan karakter.
14.9.
Relevansi Studi Kasus bagi
Pemahaman Moralitas
Keseluruhan studi kasus dan penelitian empiris di
atas menggambarkan bahwa moralitas adalah fenomena multidimensi yang bersifat
kontekstual dan dinamis. Studi empiris memperlihatkan bahwa:
·
perilaku prososial dapat ditingkatkan melalui empati,
·
penyimpangan moral dapat diprediksi melalui mekanisme psikologis
tertentu,
·
pendidikan moral memerlukan pendekatan integratif,
·
moralitas digital membutuhkan perhatian khusus,
·
kebijakan organisasi dapat membentuk perilaku moral,
·
moralitas berkaitan erat dengan kesehatan mental.
Dengan menghubungkan teori dan evidence-based
practice, psikologi moral kontemporer dapat memberikan kontribusi signifikan
bagi pendidikan, kebijakan publik, intervensi sosial, dan kesejahteraan
manusia.¹⁸
Footnotes
[1]
Darcia Narvaez, Neurobiology and the Development
of Human Morality (New York: Norton, 2014), 89–93.
[2]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 52–72.
[3]
Anne Colby dan William Damon, Some Do Care
(New York: Free Press, 1992), 11–17.
[4]
Martin Hoffman, Empathy and Moral Development
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45–63.
[5]
C. Daniel Batson, “Empathy-Induced Altruism,” Current
Directions in Psychological Science 2, no. 3 (1991): 75–78.
[6]
Felix Warneken and Michael Tomasello, “Altruistic
Helping in Toddlers,” Science 311, no. 5765 (2006): 1301–1303.
[7]
Larry Nucci & Darcia Narvaez, Handbook of
Moral and Character Education (New York: Routledge, 2014), 173–189.
[8]
Joseph A. Durlak et al., “The Impact of Enhancing
Students' Social and Emotional Learning,” Child Development 82, no. 1
(2011): 405–432.
[9]
Albert Bandura et al., “Mechanisms of Moral
Disengagement,” Journal of Personality and Social Psychology 71, no. 2
(1996): 364–374.
[10]
Mark T. Greenberg et al., “Promoting Social and
Emotional Competence,” American Psychologist 59, no. 6 (2004): 466–474.
[11]
Sameer Hinduja & Justin Patchin, Bullying
Beyond the Schoolyard (Thousand Oaks: Sage, 2014), 63–74.
[12]
John Suler, “The Online Disinhibition Effect,” CyberPsychology
& Behavior 7, no. 3 (2004): 321–326.
[13]
Linda Klebe Treviño & Michael E. Brown,
“Ethical Leadership,” Annual Review of Organizational Psychology, 1
(2014): 39–61.
[14]
Dan Ariely, The (Honest) Truth About Dishonesty
(New York: HarperCollins, 2012), 132–148.
[15]
Brett Litz et al., “Moral Injury and Psychological
Trauma,” Clinical Psychology Review 29, no. 8 (2009): 695–706.
[16]
Mary Gordon, Roots of Empathy (New York: The
Experiment, 2005), 12–29.
[17]
Richard J. Davidson & John D. Dunne,
“Mindfulness and Moral Development,” Mindfulness 6, no. 1 (2015): 57–63.
[18]
Narvaez, Neurobiology, 123–130.
15. Sintesis Teoretis
Sintesis teoretis dalam psikologi moral berupaya
mengintegrasikan temuan dari berbagai pendekatan—kognitif, afektif, sosial,
evolusioner, biologis, dan spiritual—ke dalam suatu kerangka konseptual yang
koheren dan saling melengkapi. Upaya integratif ini penting karena moralitas
tidak dapat dipahami secara reduksionistik melalui satu dimensi saja. Moralitas
manusia adalah hasil interaksi kompleks antara proses penalaran, respons
emosional, dinamika sosial, kecenderungan biologis, serta orientasi makna dan
nilai transendental.¹ Dengan demikian, sintesis teoretis berfungsi sebagai
jembatan untuk menyatukan perspektif yang sebelumnya berkembang secara terpisah
dalam studi moralitas.
15.1.
Moralitas sebagai Sistem
Multidimensi
Sintesis teoretis memandang moralitas sebagai
sistem multidimensi, di mana setiap dimensi memainkan peran penting dan tidak
dapat dieliminasi. Dimensi kognitif memberikan struktur aturan dan prinsip
moral; dimensi afektif menyuplai motivasi dan energi emosional; dimensi sosial
membentuk ruang praktik moral melalui interaksi dan norma kolektif; dimensi
biologis menawarkan dasar evolusioner dan predisposisi bawaan; sementara
dimensi spiritual memberikan arah makna yang memperkuat komitmen moral jangka
panjang.²
Pemahaman ini sejalan dengan kerangka moral
ecology Narvaez yang menekankan bahwa moralitas berkembang dalam jaringan
faktor yang saling memengaruhi.³ Melalui kerangka multidimensi, moralitas
dipahami tidak sebagai sistem tunggal, melainkan sebagai ekosistem nilai dan
respons manusia yang terkoordinasi.
15.2.
Hubungan Komplementer
antara Penalaran dan Emosi Moral
Salah satu kontribusi utama sintesis teoretis
adalah rekonsiliasi antara perspektif kognitif dan afektif, yang dahulu sering
dipandang bertentangan. Kohlberg menekankan bahwa moralitas berkembang melalui
tahapan penalaran, sementara Haidt dan Hoffman menunjukkan bahwa intuisi dan
empati sering mendahului refleksi rasional.⁴
Sintesis teoretis memandang bahwa kedua dimensi ini
tidak perlu dipertentangkan. Emosi memberikan arah, kepekaan, dan motivasi,
sementara penalaran memberikan kerangka reflektif untuk menilai, mengoreksi,
dan memperhalus dorongan moral. Dengan demikian, dilema moral dalam praktik
sehari-hari diselesaikan melalui interaksi dua sistem ini—intuisi moral yang
cepat dan evaluasi rasional yang lebih lambat.⁵
Kerangka ini sejalan dengan model kognitif-afektif
kontemporer yang memandang moralitas sebagai hasil kerja simultan antara sistem
emosional bawah sadar dan sistem reflektif berbasis eksekutif di otak.
15.3.
Integrasi Perspektif Sosial
dan Budaya
Sintesis teoretis menekankan bahwa moralitas tidak
pernah terbentuk secara terisolasi, melainkan selalu berakar dalam jaringan
sosial. Budaya menyediakan kategori moral, nilai-nilai inti, dan cara-cara
individu mengekspresikan emosi moral seperti rasa bersalah atau malu.⁶
Oleh karena itu, sintesis teoretis menggabungkan
temuan antropologi moral (Shweder, Miller) dengan teori psikologi perkembangan
untuk menunjukkan bahwa moralitas berkembang dalam ekologi budaya yang
berbeda-beda. Norma sosial, keteladanan, dan praktik budaya menjadi konteks
yang memediasi ekspresi moral.⁷
Dengan demikian, meskipun beberapa prinsip moral
bersifat universal (seperti keadilan dan peduli sesama), bentuk spesifiknya
sangat dipengaruhi oleh tradisi budaya dan struktur sosial.
15.4.
Sinergi Pendekatan Evolusioner
dan Biologis dengan Moralitas Modern
Pendekatan evolusioner dan biologis memberikan
pemahaman mengenai asal-usul moralitas sebagai hasil adaptasi sosial yang
memperkuat kerja sama dalam kelompok. Perspektif ini melengkapi studi psikologi
moral dengan menunjukkan bahwa empati, keadilan, dan kerja sama bukan hanya
konstruksi sosial, tetapi juga memiliki dasar biologis dan evolusioner.⁸
Namun sintesis teoretis tidak berhenti pada
penjelasan biologis. Ia menempatkan predisposisi bawaan ini dalam dialog dengan
faktor pendidikan, budaya, dan spiritualitas yang membentuk variasi moral
antarindividu. Dengan demikian, moralitas dipahami sebagai hasil interaksi
antara nature dan nurture, bukan sebagai penjelasan deterministik
dari salah satu faktor saja.⁹
15.5.
Peran Spiritualitas dalam
Struktur Moralitas
Sintesis teoretis juga menekankan kontribusi
dimensi spiritual, baik dalam bentuk agama formal maupun spiritualitas
non-dogmatis. Dimensi spiritual memberikan makna, orientasi hidup, serta
motivasi moral yang melampaui kepentingan diri.¹⁰
Penelitian menunjukkan bahwa nilai spiritual dapat
memperkuat motivasi moral intrinsik, meningkatkan empati, dan menyediakan
kerangka transendental untuk keadilan dan kebajikan.¹¹ Hal ini memperkaya
pemahaman moralitas manusia, yang tidak hanya berdasar pada kalkulasi logis
atau insting emosional, tetapi juga pada komitmen eksistensial yang mendalam.
15.6.
Moralitas sebagai Interaksi
Sistemik antar-Dimensi
Synthese teoretis memandang moralitas sebagai hasil
interaksi sistemik. Artinya, perubahan dalam satu dimensi moral akan
mempengaruhi dimensi lain. Misalnya:
·
penguatan kemampuan regulasi emosi (afektif) dapat memperkuat penalaran
moral (kognitif),
·
perubahan norma budaya (sosial) dapat memengaruhi ekspresi empati
(afektif),
·
proses meditasi spiritual (spiritual) dapat meningkatkan fungsi
eksekutif otak (kognitif-biologis),
·
tekanan sosial atau ketidakadilan struktural (sosial) dapat melemahkan
komitmen moral internal.
Pendekatan sistemik ini menunjukkan bahwa moralitas
bukan entitas statis, tetapi dinamika psikologis yang terus berubah sepanjang
waktu.¹²
15.7.
Kontribusi Sintesis
Teoretis bagi Pendidikan dan Kebijakan Moral
Sintesis teoretis memiliki implikasi praktis yang
sangat luas, terutama dalam pendidikan moral, intervensi sosial, pengembangan
kebijakan publik, dan penelitian moral.
Dalam pendidikan, sintesis teoretis memungkinkan
perancangan model pendidikan moral yang mengintegrasikan penalaran kritis,
empati, norma sosial, dan refleksi spiritual.¹³
Dalam kebijakan publik, pendekatan integratif
membantu merumuskan intervensi yang mempertimbangkan bias kognitif, dinamika
budaya, dan motivasi moral intrinsik masyarakat.
Dalam penelitian, sintesis teoretis mendorong
penggunaan pendekatan multidisipliner yang menggabungkan psikologi, neurosains,
sosiologi, antropologi, dan teologi.¹⁴
15.8.
Menuju Paradigma Moral yang
Holistik
Sintesis teoretis dalam psikologi moral mendorong
lahirnya paradigma moral yang holistik dan komprehensif. Paradigma ini tidak
hanya berupaya menjelaskan perilaku moral, tetapi juga mempromosikan
pengembangan karakter, kesejahteraan psikologis, dan kohesi sosial.¹⁵
Melalui integrasi berbagai perspektif, psikologi
moral dapat menjawab tantangan moral kontemporer seperti polarisasi sosial, kejahatan
digital, krisis ekologis, dan degradasi empati. Paradigma holistik ini
menegaskan bahwa moralitas tidak hanya merupakan produk kognisi atau emosi,
tetapi ekspresi integral dari manusia sebagai makhluk sosial dan spiritual.
Footnotes
[1]
Darcia Narvaez, Neurobiology and the Development
of Human Morality (New York: Norton, 2014), 310–316.
[2]
James Rest et al., Postconventional Moral
Thinking (Mahwah: Erlbaum, 1999), 12–19.
[3]
Narvaez, Neurobiology, 78–83.
[4]
Lawrence Kohlberg, “Moral Stages and Moralization,”
dalam Moral Development and Behavior, ed. Thomas Lickona (New York:
Holt, Rinehart and Winston, 1976), 31–53; Jonathan Haidt, The Emotional Dog
and Its Rational Tail, Psychological Review 108, no. 4 (2001):
814–834.
[5]
Antonio Damasio, Descartes’ Error (New York:
Putnam, 1994), 52–54.
[6]
Joan G. Miller, “Culture and Moral Development,” Annual
Review of Psychology 58 (2007): 593–601.
[7]
Richard Shweder et al., “The ‘Big Three’ of
Morality,” dalam Morality and Health, ed. Allan Brandt (New York:
Routledge, 1997), 119–169.
[8]
Elliott Sober & David Sloan Wilson, Unto
Others (Cambridge: Harvard University Press, 1998), 45–62.
[9]
Robert Plomin et al., Behavioral Genetics,
7th ed. (New York: Worth, 2021), 112–116.
[10]
Kenneth Pargament, The Psychology of Religion
and Coping (New York: Guilford Press, 1997), 105–121.
[11]
James Fowler, Stages of Faith (San
Francisco: HarperCollins, 1981), 117–123.
[12]
Narvaez, Neurobiology, 289–301.
[13]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 112–128.
[14]
Darcia Narvaez & Larry Nucci, Handbook of
Moral and Character Education (New York: Routledge, 2014), 15–28.
[15]
Martin Seligman & Christopher Peterson, Character
Strengths and Virtues (New York: Oxford University Press, 2004), 55–62.
16. Kesimpulan
Kajian psikologi moral menawarkan pemahaman
komprehensif mengenai bagaimana manusia membentuk, mempertahankan, dan
merefleksikan nilai-nilai moral dalam konteks individual maupun sosial.
Moralitas bukan fenomena tunggal yang dapat dijelaskan secara linear, melainkan
sistem multidimensi yang melibatkan interaksi antara aspek kognitif, afektif,
sosial, biologis, evolusioner, dan spiritual.¹ Pemahaman ini menegaskan bahwa
perilaku moral tidak hanya dibentuk oleh kemampuan berpikir rasional, tetapi
juga oleh respons emosional, pengalaman sosial, predisposisi neurobiologis,
serta orientasi makna yang bersifat transendental.
Perkembangan moral berlangsung melalui proses
kompleks yang mencakup pertumbuhan kognitif, pembelajaran sosial, pengasuhan,
pengalaman budaya, dan interaksi lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa
moralitas dapat ditumbuhkan melalui pendidikan yang menyeimbangkan penalaran
moral, empati, refleksi sosial, dan pembentukan kebajikan spiritual.² Oleh
karena itu, pendekatan pendidikan moral yang reduksionistik—yang hanya
menekankan satu dimensi, seperti penalaran atau kedisiplinan—tidak lagi memadai
dalam konteks kontemporer. Diperlukan model integratif yang holistik dan
berorientasi pada perkembangan karakter manusia secara utuh.
Di sisi lain, psikologi moral memberikan penjelasan
mendalam mengenai mekanisme penyimpangan moral. Konsep seperti moral
disengagement, gangguan empati, pengaruh situasional, dan tekanan sosial
memperlihatkan bahwa penyimpangan moral tidak selalu merupakan hasil niat
jahat, tetapi juga dapat muncul akibat distorsi kognitif, dinamika kelompok,
atau lingkungan sosial yang disfungsional.³ Pemahaman ini memiliki implikasi
penting bagi upaya pencegahan kejahatan dan rehabilitasi perilaku antisosial,
sekaligus menegaskan bahwa moralitas harus dipahami sebagai hasil interaksi
antara faktor internal dan eksternal.
Dalam konteks kontemporer, psikologi moral memiliki
signifikansi yang semakin besar. Tantangan global seperti polarisasi sosial,
moralitas digital, dilema etis dalam kemajuan teknologi, dan krisis ekologi
menuntut pemahaman moral yang lebih adaptif dan lintas-disiplin.⁴ Penelitian
empiris menunjukkan bahwa strategi berbasis empati, regulasi emosional,
pendidikan karakter, dan literasi moral digital dapat menjadi jalan efektif
untuk memperkuat kohesi sosial serta meningkatkan perilaku prososial di tengah
masyarakat yang semakin kompleks.
Selain itu, dimensi spiritual dan transendental
moralitas memberikan kedalaman makna yang tidak dapat direduksi pada penjelasan
psikologis murni. Orientasi spiritual membantu individu menautkan perilaku
moral dengan tujuan hidup yang lebih luas, memperkuat tekad untuk bertindak
baik secara konsisten, dan membangun komunitas moral yang kokoh.⁵ Dengan
demikian, integrasi perspektif spiritual ke dalam psikologi moral bukan sekadar
pelengkap, tetapi merupakan bagian esensial dari pemahaman moralitas manusia.
Secara keseluruhan, sintesis teoretis dalam
psikologi moral menunjukkan bahwa moralitas merupakan fenomena dinamis yang
berkembang dari interaksi antara mekanisme biologis, pengalaman emosional,
pemikiran reflektif, konteks sosial-budaya, serta pencarian makna hidup.
Pemahaman holistik ini tidak hanya penting bagi pengembangan teori ilmiah,
tetapi juga krusial bagi upaya membangun masyarakat yang adil, empatik, dan
berintegritas. Melalui pendekatan integratif yang berbasis bukti empiris,
psikologi moral memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan manusia
yang bermoral, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan
dunia modern.
Footnotes
[1]
Darcia Narvaez, Neurobiology and the Development
of Human Morality (New York: Norton, 2014), 310–316.
[2]
Larry Nucci, Education in the Moral Domain
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 92–128.
[3]
Albert Bandura, “Selective Moral Disengagement,” Handbook
of Moral and Character Education (New York: Routledge, 2014), 101–129.
[4]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind (New
York: Pantheon, 2012), 125–138.
[5]
Kenneth Pargament, The Psychology of Religion
and Coping (New York: Guilford Press, 1997), 105–121.
Daftar Pustaka
Ariely, D. (2012). The
(honest) truth about dishonesty: How we lie to everyone—Especially ourselves.
HarperCollins.
Bandura, A. (1977). Social
learning theory. Prentice-Hall.
Bandura, A. (2014).
Selective moral disengagement. In L. Nucci & D. Narvaez (Eds.), Handbook
of moral and character education (pp. 101–129). Routledge.
Bandura, A., Caprara, G.
V., Barbaranelli, C., Pastorelli, C., & Regalia, C. (1996). Mechanisms of
moral disengagement in the exercise of moral agency. Journal of Personality
and Social Psychology, 71(2), 364–374.
Batson, C. D. (1991).
Empathy-induced altruism: A growing paradigm. Current Directions in
Psychological Science, 2(3), 75–78.
Baumrind, D. (1968).
Current patterns of parental authority. Developmental Psychology, 4(1),
1–103.
Blasi, A. (1983). Moral
cognition and moral action: A theoretical perspective. Developmental
Review, 3(2), 178–181.
Blasi, A. (1991). Moral
identity and the self. In W. Kurtines (Ed.), Handbook of moral behavior and
development (pp. 229–253). Erlbaum.
Bowles, S., & Gintis,
H. (2011). A cooperative species: Human reciprocity and its evolution.
Princeton University Press.
Brooks-Gunn, J., &
Duncan, G. (1997). The effects of poverty on children. The Future of
Children, 7(2), 55–71.
Colby, A., & Damon, W.
(1992). Some do care: Contemporary lives of moral commitment. Free
Press.
Damasio, A. (1994). Descartes’
error: Emotion, reason, and the human brain. Putnam.
Darwin, C. (1871). The
descent of man. John Murray.
Davidson, R. J., &
Dunne, J. D. (2015). Mindfulness and moral development. Mindfulness, 6(1),
57–63.
De Dreu, C. K., et al.
(2010). The neuropeptide oxytocin regulates parochial altruism in intergroup
conflict. Science, 328(5984), 1408–1411.
De Waal, F. (1996). Good
natured: The origins of right and wrong in humans and other animals.
Harvard University Press.
Durlak, J. A., et al.
(2011). The impact of enhancing students’ social and emotional learning: A
meta-analysis. Child Development, 82(1), 405–432.
Durkheim, É. (1995). The
elementary forms of religious life. Free Press.
Eisenberg, N. (2000).
Emotion, regulation, and moral development. Annual Review of Psychology, 51,
665–697.
Eisenberg, N. (2007).
Empathy and moral action. Annual Review of Psychology, 59, 655–675.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Fowler, J. W. (1981). Stages
of faith. HarperCollins.
Gardiner, S. (2011). A
perfect moral storm: The ethical tragedy of climate change. Oxford
University Press.
Gibbs, J. C. (2014). Moral
development and reality (3rd ed.). Oxford University Press.
Gordon, M. (2005). Roots
of empathy. The Experiment.
Gould, S. J., &
Lewontin, R. (1979). The spandrels of San Marco and the Panglossian paradigm. Proceedings
of the Royal Society B, 205(1161), 581–598.
Greenberg, M. T., et al.
(2004). Promoting social and emotional competence. American Psychologist,
59(6), 466–474.
Haidt, J. (2001). The
emotional dog and its rational tail: A social intuitionist approach to moral
judgment. Psychological Review, 108(4), 814–834.
Haidt, J. (2012). The
righteous mind: Why good people are divided by politics and religion.
Pantheon.
Hamilton, W. D. (1964). The
genetical evolution of social behaviour. Journal of Theoretical Biology, 7(1),
1–16.
Hare, R. D. (1993). Without
conscience: The disturbing world of the psychopaths among us. Guilford
Press.
Hicks, J. (2009). The
moral philosophy of world religions. Oneworld.
Hinduja, S., & Patchin,
J. (2014). Bullying beyond the schoolyard. Sage.
Hirschi, T. (1969). Causes
of delinquency. University of California Press.
Hoffman, M. (2000). Empathy
and moral development. Cambridge University Press.
Iyengar, S., & Kinder,
D. (1987). News that matters. University of Chicago Press.
Kiehl, K. (2006). A
cognitive neuroscience perspective on psychopathy. Psychiatry Research, 142(2–3),
107–128.
Kitcher, P. (1985). Vaulting
ambition: Sociobiology and the quest for human nature. MIT Press.
Kohlberg, L. (1976). Moral
stages and moralization. In T. Lickona (Ed.), Moral development and
behavior (pp. 31–53). Holt.
Lin, P., et al. (2012). Robot
ethics: The ethical and social implications of robotics. MIT Press.
Lickona, T. (1991). Educating
for character. Bantam Books.
Litz, B., et al. (2009).
Moral injury and psychological trauma. Clinical Psychology Review, 29(8),
695–706.
Markus, H., & Kitayama,
S. (1991). Culture and the self. Psychological Review, 98(2), 224–253.
Merton, R. K. (1938).
Social structure and anomie. American Sociological Review, 3(5),
672–682.
Miller, J. (2007). Culture
and moral development. Annual Review of Psychology, 58, 591–614.
Moll, J., et al. (2005).
The neural basis of moral cognition. Nature Reviews Neuroscience, 6(10),
799–809.
Narvaez, D. (2014). Neurobiology
and the development of human morality. Norton.
Narvaez, D., & Nucci,
L. (2014). Handbook of moral and character education. Routledge.
Norenzayan, A., &
Shariff, A. (2008). The origin and evolution of religious prosociality. Science,
322, 58–62.
Nucci, L. (2001). Education
in the moral domain. Cambridge University Press.
Odgers, C., & Jensen,
M. (2020). Annual research review: Adolescents and social media. Journal of
Child Psychology and Psychiatry, 61(3), 362–364.
Pahl, S., & Holdsworth,
M. (2007). The eco-guilt phenomenon. Environment and Behavior, 39(2),
235–247.
Pargament, K. (1997). The
psychology of religion and coping. Guilford Press.
Peterson, C., &
Seligman, M. (2004). Character strengths and virtues. Oxford
University Press.
Plomin, R., et al. (2021). Behavioral
genetics (7th ed.). Worth.
Rest, J. (1986). Moral
development: Advances in research and theory. Praeger.
Rest, J., Narvaez, D.,
Bebeau, M., & Thoma, S. (1999). Postconventional moral thinking.
Erlbaum.
Shweder, R., et al. (1984).
Culture theory: Essays on mind, self, and emotion. Cambridge
University Press.
Shweder, R., Much, N. C.,
Mahapatra, M., & Park, L. (1997). The “big three” of morality. In A. Brandt
(Ed.), Morality and health (pp. 119–169). Routledge.
Sober, E., & Wilson, D.
S. (1998). Unto others: The evolution and psychology of unselfish behavior.
Harvard University Press.
Staub, E. (1999). The
roots of evil. Cambridge University Press.
Suler, J. (2004). The
online disinhibition effect. CyberPsychology & Behavior, 7(3), 321–326.
Tomasello, M. (2016). A
natural history of human morality. Harvard University Press.
Treviño, L. K., &
Brown, M. E. (2014). Ethical leadership. Annual Review of Organizational
Psychology, 1, 39–61.
Turiel, E. (1980). The
development of social knowledge: Morality and convention. Human
Development, 23(1), 45–58.
Warneken, F., &
Tomasello, M. (2006). Altruistic helping in toddlers. Science, 311(5765),
1301–1303.
Williams, D. R., &
Sternthal, M. (2012). Spirituality, religion, and health. American Psychologist,
67(8), 622–626.
Wilson, D. S., & Sober,
E. (1998). Unto others: The evolution and psychology of unselfish behavior.
Harvard University Press.
Zehr, H. (2002). The
little book of restorative justice. Good Books.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar