Bahasa dan Pikiran
Relasi Kognitif, Semiotik, dan Filosofis dalam Filsafat
Bahasa
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif hubungan
antara bahasa dan pikiran sebagai salah satu isu sentral dalam filsafat bahasa.
Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, dan
sosial-psikologis, artikel ini menelusuri bagaimana bahasa tidak hanya
berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai kondisi ontologis dan
epistemik bagi aktivitas berpikir manusia. Kajian dimulai dari akar historisnya
dalam filsafat Yunani kuno—konsep logos sebagai kesatuan antara rasio
dan ujaran—hingga perkembangan teori modern seperti strukturalisme Saussure,
relativitas linguistik Sapir–Whorf, teori penggunaan bahasa Wittgenstein, serta
teori mentalese Fodor.
Analisis ontologis menegaskan bahwa bahasa adalah
rumah bagi Ada (Heidegger), tempat pikiran dan keberadaan manusia
menemukan ekspresi dan makna. Dari sudut epistemologis, bahasa menjadi struktur
konseptual yang memungkinkan pengetahuan dan pemahaman, sementara aksiologinya
menyoroti nilai moral dan humanistik yang melekat dalam setiap praktik
berbahasa. Kajian sosial dan psikologis menunjukkan bahwa bahasa merupakan
sarana pembentukan kesadaran diri dan intersubjektivitas, sebagaimana
dikemukakan oleh Mead, Vygotsky, dan Habermas.
Dalam konteks kontemporer, artikel ini menyoroti
relevansi hubungan bahasa dan pikiran terhadap filsafat kognitif, kecerdasan
buatan, dan budaya digital, di mana persoalan tentang makna, kesadaran, dan
etika komunikasi menjadi semakin kompleks. Pada akhirnya, artikel ini
mengusulkan filsafat bahasa humanistik sebagai sintesis integral yang
memadukan dimensi kognitif, etis, sosial, dan eksistensial. Dalam kerangka ini,
bahasa dipahami sebagai medium humanisasi—tempat manusia berpikir,
berkomunikasi, dan membangun dunia yang bermakna.
Kata Kunci: Bahasa dan
Pikiran; Filsafat Bahasa; Ontologi Bahasa; Epistemologi Linguistik; Aksiologi
Komunikasi; Intersubjektivitas; Humanisme Linguistik; Filsafat Kognitif; Etika
Bahasa; Hermeneutika Humanistik.
PEMBAHASAN
Apakah pikiran mendahului bahasa, ataukah bahasa
membentuk pikiran?
1.
Pendahuluan
Isu tentang hubungan antara bahasa dan pikiran
merupakan salah satu problem sentral dalam filsafat bahasa yang terus menjadi
medan perdebatan lintas disiplin: mulai dari linguistik, filsafat kognitif,
psikologi, hingga ilmu saraf. Sejak masa awal filsafat, manusia telah
bertanya—apakah bahasa merupakan cerminan dari pikiran yang sudah ada
sebelumnya, atau justru bahasalah yang membentuk struktur berpikir manusia?
Pertanyaan ini menyingkap persoalan mendasar tentang bagaimana manusia
mengenal dunia, menafsirkan realitas, dan membangun makna melalui simbol
linguistik. Dalam konteks ini, bahasa tidak sekadar alat komunikasi,
melainkan juga wadah ekspresi kesadaran dan instrumen pembentukan dunia mental
manusia.
Filsafat bahasa memandang bahasa bukan sebagai
sistem netral yang hanya memfasilitasi penyampaian pesan, melainkan sebagai struktur
konseptual yang memengaruhi cara manusia berpikir, berimajinasi, dan
memahami dunia. Hal ini ditegaskan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus
Logico-Philosophicus ketika ia menyatakan bahwa batas bahasa adalah batas
dunia kita—“Die Grenzen meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt.”¹
Pandangan ini menempatkan bahasa sebagai kondisi kemungkinan berpikir dan bukan
sekadar ekspresi hasil berpikir. Dengan kata lain, bahasa dan pikiran bukanlah
dua entitas yang terpisah, melainkan dua aspek dari satu realitas kognitif yang
saling membentuk.
Namun, dalam sejarah filsafat, hubungan antara
bahasa dan pikiran tidak selalu dipahami secara tunggal. Dalam tradisi rasionalisme
klasik, seperti pada René Descartes, pikiran dipandang sebagai substansi
yang otonom dan mendahului bahasa.² Bahasa hanyalah representasi dari
gagasan-gagasan yang sudah terbentuk di dalam pikiran. Sebaliknya, dalam
tradisi empirisme dan relativisme linguistik, seperti yang dikembangkan
oleh Wilhelm von Humboldt dan kemudian dipopulerkan oleh Edward Sapir serta
Benjamin Lee Whorf, bahasa dianggap membentuk batas dan struktur pengalaman
manusia.³ Menurut mereka, manusia tidak hanya menggunakan bahasa untuk
mengekspresikan realitas, tetapi memahami realitas itu sendiri melalui struktur
bahasa yang mereka miliki.
Perdebatan ini kemudian melahirkan dua orientasi
besar dalam filsafat bahasa modern: pertama, pandangan mentalis dan
kognitivis, yang menekankan bahwa bahasa berakar pada representasi mental
dan proses berpikir universal (seperti dalam teori mentalese Jerry
Fodor);⁴ kedua, pandangan relativis dan pragmatis, yang menekankan bahwa
makna dan pikiran hanya dapat dipahami dalam konteks penggunaan bahasa dalam
kehidupan sosial (seperti dalam teori use of language Wittgenstein dan
pendekatan komunikasi Habermas).⁵ Kedua aliran ini memberikan kontribusi
signifikan dalam memahami dimensi ontologis dan epistemologis dari bahasa.
Selain itu, perkembangan ilmu kognitif dan
neurolinguistik modern telah menambah lapisan baru pada perdebatan ini. Temuan
tentang aktivitas otak saat berbahasa menunjukkan bahwa bahasa tidak
sekadar fenomena sosial, tetapi juga berkaitan erat dengan mekanisme biologis
dan neural manusia.⁶ Penelitian dalam bidang ini memperkuat pandangan bahwa
pikiran dan bahasa beroperasi dalam jaringan yang saling memengaruhi secara
timbal balik—bahasa mengarahkan perhatian, membentuk konsep, dan memfasilitasi
kemampuan berpikir abstrak, sementara pikiran menyediakan struktur konseptual
yang memungkinkan lahirnya ekspresi linguistik yang bermakna.
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menelusuri dimensi
filosofis, historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari hubungan
antara bahasa dan pikiran. Melalui pendekatan sistematis, artikel ini berupaya
menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya media eksternal untuk menyampaikan
pikiran, melainkan juga bagian integral dari proses berpikir itu sendiri.
Dengan demikian, memahami hubungan keduanya berarti memahami hakikat manusia
sebagai makhluk berpikir yang berbahasa dan berbahasa untuk berpikir. Analisis
ini juga berupaya membuka ruang bagi pendekatan humanistik dan integral,
yang tidak hanya menyoroti aspek logis dan kognitif, tetapi juga dimensi etis
dan eksistensial dari bahasa sebagai bagian dari kehidupan manusia.
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 5.6.
[2]
² René Descartes, Meditations on First
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 23.
[3]
³ Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and
Reality: Selected Writings (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 212–214.
[4]
⁴ Jerry A. Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 28–32.
[5]
⁵ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 90–93.
[6]
⁶ Steven Pinker, The Language Instinct: How the
Mind Creates Language (New York: HarperCollins, 1994), 42–45.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Hubungan antara bahasa
dan pikiran telah menjadi tema fundamental sejak masa awal
filsafat Barat, terutama karena persoalan ini menyentuh inti dari pertanyaan
tentang apa yang menjadikan manusia sebagai makhluk rasional. Dalam sejarahnya,
relasi ini mengalami evolusi pemahaman yang panjang dan kompleks—dari pandangan
metafisis klasik tentang logos, menuju pendekatan struktural,
pragmatik, dan kognitif modern. Genealogi pemikiran tentang bahasa dan pikiran
menunjukkan perubahan cara manusia memahami hakikat berpikir, berbicara, dan
mengetahui, yang tidak hanya bersifat linguistik tetapi juga ontologis dan
epistemologis.
2.1. Filsafat Yunani Kuno: Logos
dan Akal sebagai Dasar Bahasa
Dalam filsafat
Yunani, konsep logos menjadi titik awal dari
refleksi tentang hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Logos
dalam pengertian Herakleitos merujuk pada prinsip rasional yang mengatur
kosmos, sekaligus menjadi dasar keteraturan dalam berpikir dan berbahasa.¹
Dalam pandangan ini, bahasa tidak terpisah dari akal; keduanya merupakan
ekspresi dari tatanan rasional semesta. Aristoteles kemudian mempertegas relasi
ini dalam De Interpretatione,
ketika ia menyatakan bahwa kata-kata adalah simbol dari keadaan pikiran, dan
pikiran merupakan citra dari benda-benda di dunia.² Bagi Aristoteles, bahasa
menjadi medium yang menjembatani dunia mental dengan dunia realitas melalui
konsep (logos
semantik).
Pemikiran Yunani
juga menunjukkan kesadaran awal akan fungsi representasional bahasa: ia bukan
hanya alat untuk berbicara, tetapi sarana untuk memahami dan membingkai
kenyataan. Pandangan ini membentuk dasar bagi teori-teori representasionalisme
dalam filsafat bahasa modern, di mana pikiran dianggap sebagai sistem ide atau
representasi yang kemudian diartikulasikan melalui simbol linguistik.
2.2.
Zaman Modern: Rasionalisme, Empirisme, dan
Asal-usul Bahasa
Memasuki zaman
modern, problem bahasa dan pikiran dikaji melalui dua arus besar: rasionalisme
dan empirisme.
Dalam tradisi rasionalis, seperti yang diwakili oleh René Descartes dan
Gottfried Wilhelm Leibniz, bahasa dianggap sebagai cerminan dari akal yang
otonom. Descartes berpendapat bahwa berpikir (cogito) adalah dasar eksistensi
manusia, dan bahasa hanyalah ekspresi dari pikiran yang telah terbentuk
sebelumnya.³ Leibniz bahkan membayangkan kemungkinan adanya characteristica
universalis—sebuah bahasa universal rasional yang mampu
mengekspresikan seluruh pikiran manusia dengan presisi logis.⁴
Sebaliknya, tradisi
empirisme—terutama John Locke dan kemudian David Hume—menganggap bahwa bahasa
terbentuk dari pengalaman indrawi. Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding
menjelaskan bahwa ide-ide dalam pikiran berasal dari pengalaman, dan bahasa
adalah tanda dari ide-ide tersebut.⁵ Bahasa, dengan demikian, bersifat
konvensional, bukan bawaan alamiah; ia bergantung pada kesepakatan sosial untuk
menghubungkan kata dengan makna. Pemisahan ini antara ide dan simbol menjadi
awal dari problem filosofis tentang apakah makna bersifat mental atau
linguistik.
2.3.
Wilhelm von Humboldt dan Romantisisme Bahasa
Abad ke-19
menghadirkan titik balik melalui pemikiran Wilhelm von Humboldt, yang menolak
pandangan bahwa bahasa hanya alat representasi pikiran. Menurut Humboldt,
setiap bahasa mengandung Weltanschauung—cara pandang
terhadap dunia yang khas.⁶ Dengan demikian, bahasa tidak hanya mengekspresikan
pikiran, tetapi membentuk struktur berpikir itu sendiri. Dalam pandangan ini,
setiap komunitas linguistik mengonstruksi dunia secara berbeda, sesuai dengan
struktur bahasanya. Gagasan Humboldt menjadi inspirasi bagi teori relativitas
linguistik yang kemudian dikembangkan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf.
2.4.
Ferdinand de Saussure dan Revolusi Strukturalis
Awal abad ke-20
menandai kelahiran linguistik struktural melalui
karya Ferdinand de Saussure, Cours de linguistique générale.
Saussure membedakan antara langue (sistem bahasa) dan parole
(pemakaian bahasa), serta menekankan sifat arbitrer dari tanda linguistik.⁷
Makna tidak bergantung pada hubungan antara kata dan benda, melainkan pada
sistem perbedaan dalam struktur bahasa itu sendiri. Konsep ini mengguncang
pandangan tradisional tentang hubungan langsung antara bahasa dan pikiran,
sebab pikiran dianggap dibentuk oleh struktur simbolik tempat ia beroperasi.
Pandangan Saussure
kemudian menjadi fondasi bagi perkembangan strukturalisme dalam filsafat dan
teori sosial, seperti pada Claude Lévi-Strauss dan Roland Barthes, yang melihat
bahasa sebagai sistem tanda universal yang membentuk kesadaran dan kebudayaan
manusia. Dalam konteks ini, pikiran tidak lagi dipahami sebagai entitas privat,
tetapi sebagai produk dari sistem simbolik kolektif.
2.5.
Wittgenstein dan Pergeseran ke Paradigma
Pragmatis
Ludwig Wittgenstein
menjadi figur kunci dalam pergeseran paradigma dari teori representasional ke
teori pragmatis bahasa. Dalam karya awalnya, Tractatus Logico-Philosophicus, ia
masih mempertahankan pandangan bahwa struktur logis bahasa mencerminkan
struktur realitas.⁸ Namun, dalam Philosophical Investigations,
Wittgenstein mengubah posisi itu dengan menekankan bahwa makna muncul dari
penggunaan dalam konteks sosial—meaning is use.⁹ Dengan demikian,
bahasa bukan cerminan pikiran yang statis, melainkan praktik dinamis yang
membentuk cara berpikir melalui aturan sosial dan kebiasaan berbahasa.
Pergantian pandangan
ini melahirkan dimensi baru dalam memahami hubungan antara bahasa dan pikiran: pikiran
tidak hanya diungkapkan melalui bahasa, tetapi juga dibentuk dan dipelihara
olehnya. Pemikiran ini kemudian diadopsi oleh filsafat
analitik, pragmatisme, dan hermeneutika, serta menjadi landasan bagi teori
komunikasi modern.
2.6.
Filsafat Kontemporer dan Kognitivisme
Dalam filsafat
kontemporer, hubungan bahasa dan pikiran semakin diperluas melalui integrasi
dengan ilmu kognitif. Noam Chomsky, dengan teori universal grammar, menegaskan
adanya struktur bawaan dalam otak manusia yang memungkinkan pemerolehan
bahasa.¹⁰ Sementara itu, Jerry Fodor memperkenalkan gagasan language
of thought, yaitu bahwa pikiran memiliki sistem simbol internal
yang bersifat linguistik.¹¹ Di sisi lain, pandangan relativis seperti yang
muncul dalam linguistik antropologis tetap menegaskan bahwa struktur bahasa
menentukan cara manusia mengonseptualisasikan dunia.¹²
Dengan demikian,
genealogi pemikiran tentang bahasa dan pikiran memperlihatkan perkembangan dari
logos
metafisik menuju struktur linguistik dan akhirnya proses
kognitif. Sejarah ini menunjukkan bahwa hubungan antara bahasa dan pikiran
bukanlah relasi statis, tetapi dialektis—senantiasa berubah seiring
perkembangan pemahaman manusia tentang dirinya sendiri sebagai makhluk
berbahasa.
Footnotes
[1]
¹ Heraclitus, Fragments, trans. T. M. Robinson (Toronto:
University of Toronto Press, 1987), 32.
[2]
² Aristotle, On Interpretation, trans. E. M. Edghill (Mineola,
NY: Dover Publications, 2002), 16a3–8.
[3]
³ René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 27.
[4]
⁴ Gottfried Wilhelm Leibniz, The Monadology and Other Philosophical
Writings, trans. Robert Latta (Oxford: Clarendon Press, 1898), 78–80.
[5]
⁵ John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), II.xi.2.
[6]
⁶ Wilhelm von Humboldt, On Language: The Diversity of Human
Language-Structure and Its Influence on the Mental Development of Mankind,
trans. Peter Heath (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 54–57.
[7]
⁷ Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 67–70.
[8]
⁸ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (London:
Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.12.
[9]
⁹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[10]
¹⁰ Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge,
MA: MIT Press, 1965), 3–4.
[11]
¹¹ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1975), 27–30.
[12]
¹² Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected
Writings (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 214–216.
3.
Ontologi
Bahasa dan Pikiran
Pembahasan ontologis
tentang hubungan antara bahasa dan pikiran menyentuh
inti dari eksistensi manusia sebagai makhluk berkesadaran dan berbahasa. Dalam
konteks filsafat bahasa, ontologi menelaah hakikat keberadaan bahasa dan
pikiran, bukan sekadar fungsi atau penggunaannya. Pertanyaan yang muncul di
sini bersifat mendasar: apakah bahasa dan pikiran merupakan dua entitas yang
berbeda namun saling berhubungan, ataukah keduanya adalah manifestasi dari satu
realitas kesadaran yang sama? Isu ini menuntut pemahaman terhadap bagaimana
bahasa ada,
bagaimana pikiran berada, dan bagaimana keduanya
saling membentuk dalam pengalaman manusia akan dunia.
3.1.
Hakikat Ontologis Bahasa: Antara Realitas dan
Representasi
Secara ontologis,
bahasa dapat dipahami sebagai sistem tanda (sign system) yang tidak hanya
berfungsi untuk menunjuk realitas, tetapi juga membentuknya. Ferdinand de
Saussure menegaskan bahwa bahasa adalah sistem diferensial yang maknanya muncul
dari relasi antar tanda, bukan dari referensi langsung terhadap dunia.¹ Dalam
kerangka ini, bahasa tidak semata merepresentasikan pikiran, melainkan
membentuk medan makna tempat pikiran itu bekerja. Bahasa menjadi “ruang
ontologis” di mana realitas dan makna bertemu.
Martin Heidegger
menambahkan dimensi eksistensial terhadap hal ini dengan pernyataannya yang
terkenal: Die Sprache ist das Haus des Seins
(“Bahasa adalah rumah bagi Ada”).² Bagi Heidegger, bahasa bukan sekadar
alat komunikasi, tetapi tempat di mana keberadaan (Being) menyingkapkan dirinya.
Pikiran manusia hanya dapat memahami keberadaan melalui bahasa; tanpa bahasa,
tidak ada kemungkinan untuk berpikir tentang “Ada”. Dengan demikian,
bahasa memiliki status ontologis primer—ia bukan turunan dari pikiran, tetapi
kondisi kemungkinan bagi berpikir dan penghayatan eksistensi.
3.2.
Pikiran sebagai Aktivitas Ontologis Kesadaran
Sementara itu,
pikiran secara ontologis dapat dipahami sebagai aktivitas kesadaran yang
menyadari dirinya sendiri. Dalam tradisi Cartesian, pikiran dianggap sebagai
substansi immaterial yang eksis secara otonom (res cogitans), terpisah dari dunia
material dan bahasa.³ Namun, pandangan ini mengalami kritik tajam dalam
perkembangan filsafat modern, terutama setelah munculnya fenomenologi Edmund
Husserl dan hermeneutika Heidegger. Bagi Husserl, kesadaran selalu bersifat
intensional, yakni selalu mengarah pada sesuatu—dan arah ini tidak dapat
dilepaskan dari struktur linguistik yang menengahi makna.⁴ Artinya, pikiran
tidak pernah hadir secara murni; ia selalu diartikulasikan melalui
bentuk-bentuk simbolik yang menyerupai bahasa.
Hal ini diperkuat
oleh pandangan Merleau-Ponty, yang menegaskan bahwa berpikir adalah berbicara
dalam potensi (penser, c’est parler intérieurement).⁵
Pikiran tidak dapat dipahami sebagai entitas yang terlepas dari tubuh dan
bahasa, karena keduanya merupakan dimensi keberadaan yang saling mengandaikan.
Ontologi pikiran dengan demikian bersifat inkarnasional—ia berakar pada dunia
melalui bahasa, tubuh, dan pengalaman inderawi.
3.3.
Relasi Ontologis: Monisme Linguistik vs
Dualisme Kognitif
Dari berbagai
pandangan tersebut muncul dua kecenderungan utama dalam memahami relasi
ontologis antara bahasa dan pikiran: monisme linguistik dan dualisme
kognitif.
Dalam monisme
linguistik, seperti pada Wittgenstein dan Heidegger, bahasa dianggap sebagai
bentuk keberadaan yang fundamental—pikiran tidak dapat dipisahkan dari bahasa,
dan berpikir berarti berpartisipasi dalam sistem makna yang bersifat
linguistik.⁶ Pandangan ini menyiratkan bahwa batas bahasa adalah batas dunia,
sebagaimana ditegaskan oleh Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus: “The
limits of my language mean the limits of my world.”⁷ Dengan
demikian, pikiran manusia bersifat linguistik secara ontologis; ia hidup dalam
horizon makna yang dibentuk oleh bahasa.
Sebaliknya, dalam
dualisme kognitif—yang diwakili oleh teori mentalese Jerry Fodor—pikiran
dipandang sebagai sistem simbol internal yang bersifat pra-linguistik.⁸ Bahasa
eksternal hanya merupakan sarana untuk mengekspresikan pikiran yang telah
terbentuk dalam bahasa mental universal. Pandangan ini mempertahankan otonomi
pikiran dari bahasa, namun tetap mengakui adanya struktur formal yang mirip
dengan bahasa dalam aktivitas mental manusia. Perdebatan antara kedua pandangan
ini terus berlanjut dalam filsafat kognitif kontemporer, terutama ketika
neurolinguistik mulai menunjukkan bahwa proses berpikir dan berbahasa
melibatkan jaringan otak yang tumpang tindih namun tidak identik.⁹
3.4.
Bahasa sebagai Kondisi Kemungkinan Pikiran
Dari perspektif
ontologis yang lebih integral, dapat dikatakan bahwa bahasa bukan hanya sarana
bagi pikiran, tetapi juga kondisi kemungkinannya.
Heidegger, Gadamer, dan Habermas menunjukkan bahwa kesadaran manusia selalu
berakar dalam dunia intersubjektif yang diartikulasikan secara linguistik.¹⁰
Bahasa memungkinkan manusia untuk mengkonseptualisasikan pengalaman, mengingat
masa lalu, serta merencanakan masa depan. Ia menjadi medium ontologis yang
meneguhkan eksistensi manusia sebagai makhluk historis dan komunikatif.
Dalam konteks ini,
hubungan antara bahasa dan pikiran tidak dapat dipahami secara hierarkis,
melainkan dialektis dan koeksistensial.
Pikiran memerlukan bahasa agar dapat menampakkan dirinya secara bermakna,
sementara bahasa memperoleh kehidupan dan makna hanya melalui aktivitas
berpikir manusia. Relasi ini bersifat sirkular—sebuah hermeneutic
circle ontologis—di mana makna selalu lahir dari interaksi dinamis
antara berpikir dan berbahasa.
3.5.
Konsekuensi Ontologis bagi Pemahaman Manusia
Pemahaman ontologis
ini memiliki konsekuensi mendalam bagi konsep manusia itu sendiri. Jika bahasa
adalah kondisi kemungkinan berpikir, maka manusia adalah makhluk yang ada
dalam bahasa. Hal ini berarti kesadaran manusia tidak pernah netral
atau bebas dari struktur simbolik yang membentuknya. Melalui bahasa, manusia
membangun dunia, menciptakan nilai, dan mengartikulasikan identitasnya. Bahasa
bukanlah lapisan sekunder dari eksistensi manusia, melainkan inti dari
keberadaannya sebagai makhluk yang berpikir, berkomunikasi, dan bermakna.¹¹
Dengan demikian,
dalam dimensi ontologis, bahasa dan pikiran dapat dipahami sebagai dua momen
dari satu gerak eksistensial yang sama—yakni gerak menuju pengungkapan makna.
Manusia berpikir melalui bahasa, dan bahasa berpikir melalui manusia. Keduanya
tidak dapat dipisahkan tanpa kehilangan hakikat eksistensialnya: bahasa
adalah pikiran yang menubuh, dan pikiran adalah bahasa yang dihayati.
Footnotes
[1]
¹ Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 67–70.
[2]
² Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache (Pfullingen: Neske,
1959), 12.
[3]
³ René Descartes, Meditations on First Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 54–56.
[4]
⁴ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 90–93.
[5]
⁵ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 177.
[6]
⁶ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211–213.
[7]
⁷ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus (London:
Routledge & Kegan Paul, 1922), 5.6.
[8]
⁸ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1975), 27–30.
[9]
⁹ Steven Pinker, The Language Instinct: How the Mind Creates
Language (New York: HarperCollins, 1994), 112–115.
[10]
¹⁰ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 440–444.
[11]
¹¹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.
4.
Epistemologi
Bahasa dan Pikiran
Kajian epistemologis
mengenai bahasa dan pikiran berfokus
pada bagaimana manusia memperoleh, membentuk, dan mengomunikasikan pengetahuan
melalui struktur linguistik dan aktivitas mental. Pertanyaan utamanya bersifat
reflektif: apakah
bahasa merupakan sarana bagi pikiran untuk mengenali dunia, ataukah pikiranlah
yang menciptakan struktur makna yang kemudian diartikulasikan dalam bahasa?
Di dalam pertanyaan ini tersimpan dilema klasik antara bahasa sebagai
representasi pengetahuan dan bahasa sebagai konstruksi pengetahuan,
dua arus besar yang membentuk fondasi filsafat bahasa modern.
4.1.
Bahasa sebagai Alat Pengetahuan
Secara tradisional,
bahasa dipahami sebagai instrumen epistemik, yaitu
sarana untuk menyalurkan pikiran dan pengetahuan. Dalam pandangan ini,
pikiranlah yang menjadi sumber makna, sedangkan bahasa hanya berfungsi sebagai
wadah ekspresinya. John Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding,
menyatakan bahwa kata-kata hanyalah tanda-tanda dari ide yang ada dalam
pikiran; makna bahasa bergantung pada kesesuaian antara tanda linguistik dan
ide mental.¹ Pandangan ini menegaskan posisi epistemologis di mana pikiran
bersifat primer dan bahasa sekunder.
Namun, pemahaman
instrumental ini menghadapi keterbatasan ketika dihadapkan pada fenomena bahwa
pengetahuan manusia sering kali bergantung pada kemampuan linguistiknya. Tanpa
struktur bahasa, sulit bagi pikiran untuk menyusun konsep yang kompleks,
melakukan abstraksi, atau menyampaikan proposisi kognitif. Dengan demikian,
bahasa tidak hanya menyalurkan pengetahuan, tetapi juga menstrukturkan
cara manusia mengetahui dunia.
4.2.
Teori Referensial, Ideasional, dan Penggunaan
(Use Theory)
Dalam tradisi
filsafat analitik, terdapat beberapa teori besar mengenai hubungan antara
bahasa dan pengetahuan. Teori referensial (Frege,
Russell) beranggapan bahwa makna suatu proposisi tergantung pada hubungan
antara bahasa dan objek yang dirujuk di dunia.² Bahasa berfungsi sebagai cermin
realitas eksternal, dan kebenaran ditentukan oleh korespondensi antara
pernyataan dan fakta. Akan tetapi, pendekatan ini mengabaikan konteks sosial
dan kognitif yang memengaruhi cara bahasa digunakan.
Sebagai reaksi
terhadap pendekatan referensial, teori ideasional menekankan bahwa
makna terletak dalam representasi mental yang dikaitkan dengan simbol
linguistik.³ Bahasa menjadi sistem tanda yang menghubungkan kata dengan gagasan
dalam pikiran. Sementara itu, teori penggunaan (use
theory), yang dikembangkan oleh Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical
Investigations, mengalihkan fokus dari hubungan antara bahasa dan
realitas kepada hubungan antara bahasa dan praktik sosial.⁴ Makna suatu kata
tidak ditentukan oleh referensi atau ide, tetapi oleh cara penggunaannya dalam
permainan bahasa (language games). Dari sini muncul
pemahaman baru bahwa pengetahuan bukan sekadar hasil representasi mental,
tetapi hasil dari partisipasi dalam praktik komunikatif yang bermakna.
4.3.
Hipotesis Relativitas Linguistik dan Struktur
Pikiran
Salah satu teori
paling berpengaruh dalam memahami dimensi epistemologis bahasa dan pikiran
adalah hipotesis
relativitas linguistik atau hipotesis Sapir–Whorf. Edward
Sapir dan Benjamin Lee Whorf berpendapat bahwa struktur bahasa membatasi dan
membentuk cara manusia berpikir serta mempersepsi dunia.⁵ Menurut mereka,
bahasa bukan hanya alat untuk mengomunikasikan pengalaman, tetapi juga kerangka
kognitif yang menentukan bagaimana pengalaman itu disusun.
Misalnya, perbedaan gramatikal atau leksikal antarbahasa dapat menciptakan cara
pandang yang berbeda terhadap waktu, ruang, dan hubungan sosial.
Walaupun teori ini
kemudian banyak dikritik karena dianggap terlalu deterministik, penelitian
kontemporer dalam bidang linguistik kognitif (seperti yang dilakukan oleh
George Lakoff dan Mark Johnson) menunjukkan bahwa ada kebenaran dalam pandangan
bahwa konsep-konsep dasar manusia bersifat metaforis dan berakar pada
struktur bahasa.⁶ Dengan demikian, cara kita berpikir tentang dunia tidak
pernah netral—ia selalu terbingkai dalam kategori linguistik tertentu.
4.4.
Bahasa, Representasi Mental, dan Teori
Mentalese
Dalam epistemologi
kognitif modern, Jerry Fodor memperkenalkan teori mentalese—yakni gagasan bahwa
pikiran memiliki “bahasa batin” yang bersifat simbolik dan universal.⁷
Menurut Fodor, sebelum manusia menggunakan bahasa alami seperti Inggris atau
Indonesia, pikiran telah beroperasi dengan sistem representasi internal yang
memiliki sintaks dan semantik tersendiri. Bahasa alami hanya berfungsi sebagai
“kode luar” untuk mengungkapkan mental language ini.
Namun, teori Fodor
dikritik oleh kaum konstruktivis dan hermeneutik karena dianggap mengabaikan
peran historis dan sosial dalam pembentukan makna. Bagi Hans-Georg Gadamer,
pengetahuan tidak pernah bersifat individual atau ahistoris; ia selalu lahir
dalam horizon linguistik dan tradisi tertentu.⁸ Artinya, pikiran manusia tidak
dapat dipisahkan dari bahasa, sebab keduanya selalu berada dalam lingkaran
hermeneutik (hermeneutic circle)—di mana
memahami berarti selalu menafsirkan, dan menafsirkan berarti menggunakan
bahasa.
4.5.
Bahasa dan Pembentukan Konsep
Dari perspektif
epistemologis, bahasa tidak hanya berfungsi untuk menggambarkan dunia, tetapi
juga menciptakan
konsep-konsep yang memungkinkan pemahaman terhadap dunia itu sendiri.
Jean Piaget menunjukkan bahwa perkembangan kognitif anak sangat bergantung pada
kemampuan berbahasa: semakin kompleks struktur bahasanya, semakin abstrak pula
cara berpikirnya.⁹ Hal ini sejalan dengan pandangan Noam Chomsky yang
menyatakan bahwa kemampuan berbahasa merupakan bagian dari struktur bawaan otak
manusia (universal
grammar) yang memungkinkan pembentukan makna.¹⁰ Dengan kata lain,
bahasa menyediakan “peta kognitif” yang menuntun manusia dalam mengenali
dan mengorganisasi pengalaman.
Lebih jauh, dalam
konteks epistemologi pragmatis, seperti yang dikemukakan Jürgen Habermas,
bahasa tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan proposisi kognitif, tetapi
juga medium untuk mencapai pemahaman intersubjektif.¹¹ Melalui komunikasi
rasional, individu membangun kebenaran bersama yang berbasis pada konsensus
linguistik, bukan hanya pada representasi internal. Ini berarti pengetahuan
sejati tidak mungkin dicapai tanpa komunikasi yang jujur dan terbuka dalam
ruang bahasa.
Kesimpulan Epistemologis
Secara epistemologis,
hubungan antara bahasa dan pikiran bersifat saling konstitutif: bahasa
memungkinkan berpikir yang terstruktur, sementara pikiran memberi isi dan arah
bagi bahasa. Bahasa bukan hanya cermin pengetahuan, melainkan juga kerangka
tempat pengetahuan dibangun, diubah, dan dipertukarkan. Dengan demikian, setiap
upaya memahami realitas epistemik manusia harus mengakui bahwa berpikir adalah
tindakan yang selalu berlangsung dalam bahasa—sebuah proses dinamis
di mana makna, pengalaman, dan kebenaran terus dinegosiasikan melalui dialog
antara pikiran dan kata.
Footnotes
[1]
¹ John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), II.xi.2.
[2]
² Gottlob Frege, “On Sense and Reference,” Zeitschrift für
Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[3]
³ John Stuart Mill, A System of Logic, Ratiocinative and Inductive
(London: John W. Parker, 1843), 57–60.
[4]
⁴ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[5]
⁵ Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected
Writings (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 214–216.
[6]
⁶ George Lakoff and Mark Johnson, Metaphors We Live By
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), 3–5.
[7]
⁷ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1975), 27–30.
[8]
⁸ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 445–450.
[9]
⁹ Jean Piaget, The Language and Thought of the Child, trans.
Marjorie Gabain (London: Routledge, 1959), 21–25.
[10]
¹⁰ Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge,
MA: MIT Press, 1965), 3–4.
[11]
¹¹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 90–94.
5.
Aksiologi:
Nilai, Makna, dan Pemahaman
Kajian aksiologis
tentang bahasa dan pikiran menyoroti
dimensi nilai yang melekat pada aktivitas berbahasa dan berpikir. Jika ontologi
menanyakan “apa adanya” bahasa dan pikiran, dan epistemologi menelaah “bagaimana
kita mengetahui” melalui bahasa, maka aksiologi menyingkap “untuk apa”
dan “dengan nilai apa” bahasa dan pikiran itu digunakan. Dalam kerangka
ini, bahasa tidak hanya menjadi instrumen kognitif, tetapi juga sarana etis,
estetis, dan eksistensial yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan
antara bahasa dan pikiran tidak dapat dilepaskan dari orientasi nilai yang
mengarahkan bagaimana manusia menggunakan kemampuan berpikir dan berbahasanya
untuk memahami diri, orang lain, dan dunia.
5.1.
Bahasa sebagai Medium Nilai dan Makna
Bahasa merupakan
medan tempat nilai-nilai manusia diartikulasikan, dinegosiasikan, dan
disepakati. Melalui bahasa, nilai-nilai moral, sosial, dan budaya
ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ludwig Wittgenstein
menegaskan bahwa makna suatu kata terletak dalam penggunaannya dalam kehidupan
sehari-hari (meaning is use), yang berarti bahwa
makna selalu lahir dalam konteks praktik sosial yang mengandung norma dan nilai
tertentu.¹ Bahasa dengan demikian tidak pernah netral; ia selalu memuat horizon
nilai yang mencerminkan struktur moral dan budaya suatu komunitas.
Bahasa juga menjadi
sarana untuk membentuk kesadaran nilai. Melalui struktur linguistik, manusia
belajar membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk,
yang adil dan yang tidak adil.² Dengan demikian, bahasa bukan hanya sistem
tanda, tetapi juga ruang simbolik yang menanamkan orientasi etis dalam diri
manusia. Dalam tradisi hermeneutik, hal ini ditegaskan oleh Hans-Georg Gadamer
yang menyatakan bahwa memahami berarti berpartisipasi dalam tradisi makna yang
sudah sarat nilai (Wertgeladenheit).³
5.2.
Bahasa, Pikiran, dan Moralitas Komunikatif
Dalam konteks
aksiologi, bahasa berperan tidak hanya sebagai sarana menyampaikan pikiran,
tetapi juga sebagai wadah moralitas komunikatif.
Jürgen Habermas, melalui teori tindakan komunikatifnya, mengemukakan bahwa
bahasa mengandung potensi rasionalitas komunikatif—yakni kemampuan untuk
mencapai pengertian melalui dialog yang bebas dari dominasi.⁴ Setiap tindak
tutur yang sahih harus memenuhi tiga klaim validitas: kebenaran (truth),
ketepatan normatif (rightness), dan kejujuran (truthfulness).⁵
Dengan demikian, berbahasa secara etis berarti berpartisipasi dalam komunikasi
yang jujur, terbuka, dan rasional.
Bahasa yang
kehilangan dimensi moralnya berpotensi menjadi alat manipulasi dan kekuasaan.
George Orwell dalam novel 1984 menggambarkan bagaimana
distorsi bahasa—melalui Newspeak—dapat menghancurkan
kemampuan berpikir kritis dan kebebasan manusia.⁶ Kasus ini menunjukkan bahwa
antara bahasa dan moralitas terdapat keterkaitan aksiologis yang mendalam:
degradasi bahasa berimplikasi langsung terhadap degradasi berpikir dan
berperilaku etis. Oleh karena itu, menjaga kemurnian dan kejujuran dalam bahasa
berarti menjaga integritas moral manusia.
5.3.
Dimensi Estetis dan Eksistensial Bahasa
Selain fungsi etis,
bahasa juga memiliki nilai estetis dan eksistensial. Bahasa tidak hanya
menyampaikan makna, tetapi juga membentuk pengalaman keindahan dan
keterpesonaan terhadap dunia. Dalam pandangan Martin Heidegger, bahasa adalah “rumah
bagi Ada,” tempat di mana keberadaan menyingkapkan dirinya melalui puisi
dan metafora.⁷ Melalui bahasa puitik, manusia tidak sekadar menggambarkan
dunia, melainkan ikut serta dalam penciptaan makna eksistensial yang
memperdalam pemahaman tentang hidup.
Bahasa puitik ini
juga mencerminkan cara pikiran manusia menafsirkan kenyataan secara
non-literal. Paul Ricoeur menekankan bahwa bahasa metaforis memiliki kekuatan
produktif untuk membuka horizon makna baru yang tidak dapat dicapai melalui
bahasa proposisional semata.⁸ Dengan demikian, bahasa menjadi sarana
transendensi kognitif: ia menghubungkan manusia dengan realitas yang melampaui
batas empiris dan rasional, serta memperkaya kesadaran eksistensial manusia
terhadap dunia dan dirinya sendiri.
5.4.
Bahasa sebagai Sarana Humanisasi
Bahasa dan pikiran
juga memiliki dimensi aksiologis yang berkaitan dengan humanisasi—yakni
proses menjadikan manusia lebih manusiawi. Melalui bahasa, manusia belajar
mengenali dirinya sebagai makhluk yang sadar, reflektif, dan bertanggung jawab.
Dalam komunikasi, bahasa memungkinkan manusia untuk mengakui keberadaan orang
lain sebagai subjek, bukan objek. Emmanuel Levinas menegaskan bahwa perjumpaan
dengan “yang lain” selalu dimediasi oleh bahasa, dan dalam dialog itu,
manusia dipanggil untuk bertanggung jawab secara etis terhadap sesamanya.⁹
Bahasa yang
digunakan secara manusiawi menumbuhkan empati, pengertian, dan solidaritas.
Sebaliknya, bahasa yang dipenuhi ujaran kebencian atau dehumanisasi
menghancurkan ruang etis dan eksistensial manusia. Oleh karena itu, nilai
tertinggi dalam penggunaan bahasa adalah penghormatan terhadap martabat
manusia—suatu prinsip yang menjadikan berpikir dan berbahasa sebagai tindakan
moral, bukan sekadar aktivitas intelektual.
5.5.
Pemahaman sebagai Proses Aksiologis
Dalam kerangka
hermeneutik, pemahaman bukanlah kegiatan
kognitif yang netral, melainkan proses yang selalu mengandung nilai. Gadamer
menyatakan bahwa memahami berarti “menyatu dengan horizon makna” (fusion
of horizons) antara subjek dan objek.¹⁰ Artinya, pemahaman selalu
bersifat dialogis dan terbuka terhadap koreksi serta penafsiran baru. Di sini,
bahasa menjadi medium utama bagi proses pemahaman itu—suatu medan di mana
makna, nilai, dan kebenaran dinegosiasikan secara terus-menerus.
Proses memahami
melalui bahasa menuntut sikap aksiologis seperti kejujuran, kerendahan hati
intelektual, dan keterbukaan terhadap perbedaan.¹¹ Dalam arti ini, epistemologi
berpadu dengan etika: mengetahui berarti juga menghayati nilai-nilai yang
memungkinkan terjadinya pengetahuan yang otentik. Bahasa, dalam perannya yang
paling luhur, bukan hanya alat berpikir, tetapi sarana untuk membangun
kebijaksanaan—yakni pengetahuan yang bernilai dan bermakna bagi kemanusiaan.
Sintesis Aksiologis
Dari perspektif
aksiologis, hubungan antara bahasa dan pikiran menunjukkan bahwa nilai tidak
pernah berada di luar proses berpikir dan berbahasa; ia inheren di dalamnya.
Bahasa yang baik menuntun pikiran kepada kejelasan, kejujuran, dan kebajikan;
sedangkan pikiran yang bernilai membentuk bahasa yang bermakna dan manusiawi.
Keduanya saling memperkaya dan membentuk horizon etis-eksistensial manusia.
Dalam kesatuan ini, bahasa dan pikiran menjadi fondasi dari kebudayaan dan
moralitas manusia—sebuah ruang di mana makna, nilai, dan pemahaman saling
berkelindan dalam proses menjadi manusia seutuhnya.
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[2]
² Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 32–35.
[3]
³ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 445–447.
[4]
⁴ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.
[5]
⁵ Ibid., 90–93.
[6]
⁶ George Orwell, 1984 (London: Secker & Warburg, 1949),
55–59.
[7]
⁷ Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache (Pfullingen: Neske,
1959), 12–15.
[8]
⁸ Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies of
the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (Toronto:
University of Toronto Press, 1977), 45–47.
[9]
⁹ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 195–200.
[10]
¹⁰ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 451–455.
[11]
¹¹ Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1997), 21–23.
6.
Dimensi
Sosial dan Psikologis
Relasi antara bahasa
dan pikiran tidak dapat dipahami hanya sebagai fenomena
individual yang bersifat mental atau kognitif semata. Ia juga memiliki dimensi
sosial dan psikologis yang mendalam, karena manusia berpikir bukan dalam ruang
hampa, melainkan di dalam dunia interaksi sosial yang diartikulasikan melalui
bahasa. Bahasa menjadi wadah di mana kesadaran pribadi dan kesadaran kolektif
berjumpa; ia menengahi hubungan antara pikiran individu dengan dunia sosial.
Demikian pula, proses psikologis yang melibatkan persepsi, emosi, dan memori
berperan penting dalam membentuk cara manusia menggunakan bahasa dan
memaknainya.
6.1.
Bahasa sebagai Fenomena Sosial
Sejak Ferdinand de
Saussure, bahasa telah dipahami sebagai sistem sosial yang bersifat kolektif (langue),
bukan produk individual (parole).¹ Bahasa hanya dapat
berfungsi karena adanya konvensi sosial yang disepakati bersama oleh para
penuturnya. Pandangan ini diperluas oleh filsuf pragmatis seperti George
Herbert Mead, yang menekankan bahwa pikiran manusia terbentuk melalui interaksi
simbolik dalam masyarakat.² Bagi Mead, kesadaran diri lahir ketika individu
belajar menggunakan simbol (terutama bahasa) untuk berinteraksi dengan orang
lain. Dengan demikian, pikiran bukan entitas privat, melainkan hasil
internalisasi dari proses komunikasi sosial.
Lev Vygotsky
memperkuat pandangan ini melalui teori socio-cultural cognitive development,
yang menyatakan bahwa struktur kognitif seseorang berkembang melalui mediasi
bahasa dalam interaksi sosial.³ Menurutnya, “setiap fungsi psikologis
tingkat tinggi awalnya muncul dalam konteks sosial, kemudian diinternalisasi
oleh individu.” Bahasa, dalam hal ini, berfungsi sebagai alat budaya yang
membentuk pikiran—bukan hanya menyalurkan hasil berpikir, tetapi memengaruhi
cara berpikir itu sendiri.
6.2.
Bahasa dan Intersubjektivitas
Bahasa tidak hanya
menjadi sarana komunikasi, tetapi juga fondasi bagi intersubjektivitas—kemampuan
manusia untuk berbagi makna dan kesadaran bersama. Edmund Husserl menekankan
bahwa pengalaman kesadaran selalu bersifat intersubjektif: subjek tidak hanya
mengetahui dirinya sendiri, tetapi juga mengetahui keberadaan orang lain
sebagai subjek yang sama-sama sadar.⁴ Bahasa menjadi medium utama dalam proses
ini, karena memungkinkan manusia mengekspresikan dan memahami intensionalitas
satu sama lain.
Dalam pandangan
Jürgen Habermas, intersubjektivitas mencapai bentuk rasionalnya dalam
komunikasi.⁵ Ia berargumen bahwa tindakan komunikatif adalah bentuk tertinggi
dari rasionalitas sosial, karena melibatkan pertukaran alasan secara bebas dan
setara antara subjek-subjek yang berkompeten. Dengan demikian, bahasa berfungsi
sebagai infrastruktur sosial bagi rasionalitas, moralitas, dan solidaritas
manusia.
6.3.
Aspek Psikologis Bahasa dan Pikiran
Dari sudut pandang
psikologi, hubungan antara bahasa dan pikiran merupakan inti dari proses
kognitif manusia. Psikologi kognitif memandang bahasa sebagai salah satu
mekanisme representasional utama yang digunakan otak untuk memproses
informasi.⁶ Melalui bahasa, manusia mengorganisasi persepsi, mengingat
pengalaman, dan merencanakan tindakan. Aktivitas berbahasa melibatkan berbagai
proses psikologis seperti atensi, memori kerja, dan asosiasi konseptual.
Jean Piaget
menegaskan bahwa perkembangan bahasa berkaitan erat dengan perkembangan
kognitif anak.⁷ Sebelum anak dapat berpikir abstrak, ia harus terlebih dahulu
menguasai simbol-simbol linguistik yang merepresentasikan objek dan relasi di
dunia. Bahasa berfungsi sebagai jembatan antara pengalaman sensorimotor dan
pemikiran logis. Sementara itu, Lev Vygotsky menambahkan bahwa berbicara kepada
diri sendiri (private speech) merupakan fase
penting dalam internalisasi berpikir.⁸ Ketika anak mulai berbicara untuk
mengatur tindakannya, bahasa eksternal berubah menjadi alat berpikir internal.
Dari sisi
neurolinguistik, penelitian menunjukkan bahwa aktivitas berpikir dan berbahasa
melibatkan jaringan otak yang tumpang tindih—khususnya di area Broca dan
Wernicke yang berperan dalam produksi dan pemahaman bahasa.⁹ Hal ini
menunjukkan bahwa secara psikologis, bahasa tidak hanya memengaruhi cara
berpikir, tetapi juga berakar pada struktur biologis yang memungkinkan
kesadaran linguistik manusia.
6.4.
Bahasa, Emosi, dan Kesadaran Diri
Bahasa juga
memainkan peran penting dalam pembentukan emosi dan kesadaran diri.
Melalui bahasa, manusia menamai pengalaman emosionalnya—sebuah proses yang
disebut affective
labeling. Menurut Lisa Feldman Barrett, pemberian label linguistik
terhadap emosi membantu otak mengatur respons afektif dan meningkatkan
kesadaran diri emosional.¹⁰ Dengan demikian, bahasa tidak hanya mengungkapkan
perasaan, tetapi membentuknya. Orang yang memiliki kosakata emosional yang kaya
cenderung memiliki kontrol diri dan empati yang lebih tinggi.
Lebih jauh lagi,
kemampuan reflektif manusia terhadap dirinya sendiri juga sangat bergantung
pada bahasa. Charles Taylor menjelaskan bahwa kesadaran diri manusia bersifat self-interpreting,
artinya manusia memahami dirinya melalui narasi linguistik yang ia bangun.¹¹
Melalui bahasa, manusia menafsirkan masa lalunya, memproyeksikan masa depannya,
dan memberikan makna terhadap keberadaannya di dunia. Pikiran, dalam hal ini,
berfungsi bukan hanya sebagai instrumen rasionalitas, tetapi juga sebagai ruang
refleksi nilai-nilai, perasaan, dan identitas diri.
6.5.
Bahasa, Pikiran, dan Kekuasaan Sosial
Dimensi sosial
bahasa tidak dapat dilepaskan dari persoalan kekuasaan. Michel Foucault
menegaskan bahwa wacana (discourse) adalah bentuk kekuasaan
yang menentukan apa yang dianggap benar atau salah, rasional atau irasional.¹²
Bahasa tidak hanya menggambarkan realitas sosial, tetapi juga menciptakan dan
membatasinya. Dengan menguasai bahasa, seseorang menguasai struktur makna yang
mengatur kehidupan sosial. Pikiran manusia, dalam konteks ini, tidak sepenuhnya
otonom; ia dibentuk oleh jaringan wacana yang beroperasi dalam masyarakat.
Karenanya, kesadaran
kritis terhadap bahasa menjadi syarat bagi kebebasan berpikir. Paulo Freire menyebut
proses ini sebagai conscientization—yakni pembebasan
manusia melalui refleksi kritis atas bahasa yang menindas.¹³ Bahasa yang
membebaskan memungkinkan pikiran untuk melampaui struktur dominasi sosial dan
mengartikulasikan pengalaman kemanusiaan secara otentik.
Sintesis Sosio-Psikologis
Dimensi sosial dan
psikologis dari hubungan bahasa dan pikiran memperlihatkan bahwa keduanya
saling mengandaikan dan membentuk satu sama lain. Secara sosial, bahasa
merupakan medan interaksi simbolik yang memungkinkan terbentuknya pikiran
kolektif, moralitas, dan kebudayaan. Secara psikologis, bahasa adalah instrumen
mental yang mengorganisasi persepsi, emosi, dan kesadaran diri. Dalam kesatuan
ini, berpikir tidak lagi dipahami sebagai proses internal yang tertutup, melainkan
sebagai aktivitas komunikatif dan intersubjektif yang berakar dalam kehidupan
bersama.
Dengan demikian,
memahami bahasa dan pikiran berarti memahami manusia sebagai makhluk sosial dan
psikis yang berinteraksi melalui simbol, membangun makna bersama, dan menata
dunianya melalui dialog yang terus berlangsung antara individu dan masyarakat.
Footnotes
[1]
¹ Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans.
Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 68–70.
[2]
² George Herbert Mead, Mind, Self, and Society (Chicago:
University of Chicago Press, 1934), 133–135.
[3]
³ Lev S. Vygotsky, Thought and Language, trans. Alex Kozulin
(Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 56–57.
[4]
⁴ Edmund Husserl, Cartesian Meditations: An Introduction to
Phenomenology, trans. Dorion Cairns (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960),
92–95.
[5]
⁵ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.
[6]
⁶ Steven Pinker, The Language Instinct: How the Mind Creates
Language (New York: HarperCollins, 1994), 112–115.
[7]
⁷ Jean Piaget, The Language and Thought of the Child, trans.
Marjorie Gabain (London: Routledge, 1959), 24–26.
[8]
⁸ Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978),
85–87.
[9]
⁹ Eric H. Lenneberg, Biological Foundations of Language (New
York: Wiley, 1967), 184–188.
[10]
¹⁰ Lisa Feldman Barrett, How Emotions Are Made: The Secret Life of
the Brain (New York: Houghton Mifflin Harcourt, 2017), 135–138.
[11]
¹¹ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 33–35.
[12]
¹² Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M.
Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 48–50.
[13]
¹³ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra
Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 81–83.
7.
Kritik
terhadap Pandangan-Pandangan Utama
Pembahasan kritis
mengenai relasi antara bahasa dan pikiran tidak hanya
berfungsi untuk menilai validitas teori-teori yang telah dikemukakan, tetapi
juga untuk memperluas pemahaman tentang batas dan kemungkinan dari setiap
pendekatan filosofis. Berbagai teori besar—mulai dari determinisme linguistik
hingga mentalisme kognitif—telah berupaya menjelaskan keterkaitan antara
berpikir dan berbahasa, namun masing-masing menghadapi tantangan epistemologis,
ontologis, dan metodologis yang signifikan. Kajian ini mencoba menyoroti empat
arus utama dalam filsafat bahasa yang perlu dikritisi: (1)
determinisme linguistik (Sapir–Whorf), (2) mentalisme dan teori mentalese
(Fodor), (3) teori penggunaan bahasa (Wittgenstein), dan (4) strukturalisme
linguistik (Saussure dan penerusnya).
7.1.
Kritik terhadap Determinisme Linguistik
Hipotesis
relativitas linguistik, yang dikembangkan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee
Whorf, menyatakan bahwa struktur bahasa menentukan cara manusia berpikir dan
mempersepsi dunia.¹ Pandangan ini, meskipun membuka kesadaran baru tentang
hubungan antara bahasa dan budaya, sering kali dianggap terlalu
deterministik. Kritik utama terhadap hipotesis ini datang dari
Noam Chomsky dan Steven Pinker, yang berargumen bahwa pikiran manusia memiliki
struktur kognitif universal yang mendahului dan melampaui perbedaan bahasa.²
Pinker, misalnya,
dalam The
Language Instinct, menolak pandangan bahwa bahasa membatasi
pemikiran; menurutnya, bahasa hanyalah “jendela ke dalam pikiran,” bukan
kandang yang membatasi kebebasan berpikir.³ Ia menegaskan bahwa manusia dapat
memahami konsep-konsep yang tidak memiliki padanan kata dalam
bahasanya—misalnya konsep warna atau bentuk yang tidak dikenal secara
linguistik. Hal ini menunjukkan bahwa pikiran tidak sepenuhnya dikonstruksi
oleh bahasa, tetapi memiliki fleksibilitas konseptual yang melampaui sistem
linguistik tertentu.
Namun demikian,
kritik terhadap Sapir–Whorf tidak berarti menafikan pengaruh bahasa terhadap
persepsi. Penelitian kontemporer dalam linguistik kognitif menunjukkan adanya
bentuk relativitas
lemah, di mana bahasa memang memengaruhi cara manusia
memperhatikan aspek-aspek tertentu dari realitas tanpa menentukannya secara
mutlak.⁴ Dengan demikian, hipotesis ini tetap relevan apabila dipahami secara
probabilistik, bukan deterministik.
7.2.
Kritik terhadap Mentalisme dan Teori Mentalese
Pandangan Jerry
Fodor tentang language of thought atau mentalese
berangkat dari asumsi bahwa pikiran beroperasi dalam sistem simbolik internal
yang bersifat universal dan independen dari bahasa alami.⁵ Meskipun menarik
karena memberikan dasar bagi teori kognitif formal, pandangan ini dikritik
karena mengabaikan
dimensi sosial dan historis dari bahasa.
Menurut Hans-Georg
Gadamer, tidak ada pikiran yang bebas dari konteks linguistik dan tradisi
interpretatif.⁶ Pengetahuan manusia selalu ditengahi oleh bahasa yang hidup
dalam sejarah dan kebudayaan. Dengan demikian, gagasan tentang “bahasa
pikiran” yang ahistoris dan universal mengabaikan kenyataan bahwa makna
selalu bersifat dialogis dan kontekstual.
Selain itu, kritik
juga datang dari perspektif neuropsikologi. Antonio Damasio menunjukkan bahwa
aktivitas berpikir tidak dapat direduksi menjadi sistem simbolik formal semata,
melainkan melibatkan proses afektif dan pengalaman tubuh.⁷ Artinya, pikiran
manusia tidak hanya bersifat representasional, tetapi juga emosional dan
embodied. Teori Fodor yang terlalu formalistik gagal menangkap dimensi
eksistensial dan afektif ini, sehingga menjadikan pikirannya seolah-olah mesin
pemroses simbol tanpa kesadaran hidup.
7.3.
Kritik terhadap Teori Penggunaan Bahasa
(Wittgenstein)
Wittgenstein dalam Philosophical
Investigations menolak teori makna sebagai representasi dan
menggantinya dengan teori penggunaan: makna adalah fungsi dari cara suatu kata
digunakan dalam permainan bahasa.⁸ Pendekatan ini membawa terobosan besar
dengan menempatkan makna dalam konteks sosial dan praktik. Namun, pendekatan
tersebut tidak luput dari kritik.
Pertama, teori ini
sering dianggap terlalu relativistik, karena
apabila makna selalu bergantung pada konteks penggunaan, maka tidak ada
kriteria universal untuk menilai kebenaran atau kesalahan suatu pernyataan.⁹
Hal ini menimbulkan problem epistemologis: bagaimana mungkin terjadi komunikasi
lintas konteks atau lintas budaya jika makna hanya sah dalam permainan bahasa
tertentu?
Kedua, teori
penggunaan bahasa dianggap melemahkan peran refleksi individual dan
intensionalitas pikiran. Dalam menekankan dimensi sosial makna,
Wittgenstein cenderung mengabaikan struktur batiniah dari kesadaran dan proses
mental yang mendahului tindakan linguistik.¹⁰ Padahal, kemampuan manusia untuk
menggunakan bahasa secara kreatif dan reflektif menunjukkan adanya ruang
interioritas pikiran yang tidak sepenuhnya ditentukan oleh aturan sosial.
Meskipun demikian,
kekuatan teori Wittgenstein terletak pada pengakuannya terhadap pluralitas
makna dan pentingnya konteks praksis. Kritik yang produktif terhadap pandangan
ini tidak seharusnya menolak prinsip dasarnya, melainkan menyeimbangkannya
dengan dimensi kognitif dan reflektif dari berpikir.
7.4.
Kritik terhadap Strukturalisme Linguistik
Strukturalisme,
sebagaimana dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, menekankan bahwa makna
linguistik bersifat diferensial—yakni bergantung pada relasi antar tanda dalam
sistem bahasa, bukan pada hubungan langsung dengan dunia eksternal.¹¹
Pendekatan ini memberikan dasar metodologis bagi linguistik modern, namun ia
juga menghadirkan problem ontologis dan epistemologis.
Pertama,
strukturalisme cenderung menyingkirkan subjek dan pengalaman hidup
dari analisis bahasa. Dengan menjadikan bahasa sebagai sistem otonom, teori ini
mengabaikan fakta bahwa bahasa selalu dihidupi oleh penuturnya yang sadar dan
berpengalaman.¹² Dalam konteks ini, hermeneutika dan fenomenologi menawarkan
koreksi penting: makna tidak hanya terletak pada struktur, tetapi pada
penyingkapan (disclosure) pengalaman melalui
bahasa.¹³
Kedua,
strukturalisme juga dikritik oleh pascastrukturalisme (Derrida, Foucault) yang
menunjukkan bahwa sistem tanda bersifat terbuka, penuh ketegangan, dan tidak
pernah stabil.¹⁴ Makna tidak tertutup dalam relasi internal sistem, melainkan
terus bergeser (différance). Dengan demikian,
pendekatan yang terlalu struktural kehilangan kemampuan untuk menjelaskan
dinamika historis dan sosial dari bahasa.
Menuju Kritik Sintetis: Integrasi Dimensi Sosial,
Kognitif, dan Eksistensial
Kritik terhadap
keempat paradigma utama di atas menunjukkan bahwa tidak ada satu teori pun yang
mampu menjelaskan hubungan antara bahasa dan pikiran secara utuh. Determinisme
linguistik gagal menjelaskan fleksibilitas kognitif manusia; mentalisme
mengabaikan konteks sosial; teori penggunaan mengabaikan intensionalitas
pikiran; dan strukturalisme menyingkirkan subjek eksistensial.
Pendekatan yang
lebih integral perlu melihat bahasa dan pikiran sebagai fenomena
relasional yang melibatkan dimensi biologis, kognitif, sosial,
dan eksistensial secara bersamaan. Bahasa tidak hanya mencerminkan pikiran atau
masyarakat, tetapi menjadi medan di mana keduanya saling berjumpa dan membentuk
makna bersama. Kritik yang sejati dalam filsafat bahasa bukanlah upaya untuk
meniadakan teori-teori sebelumnya, tetapi untuk mempertemukan dan
menyintesiskannya dalam horizon yang lebih luas dan humanistik.
Footnotes
[1]
¹ Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality: Selected
Writings (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 214–216.
[2]
² Noam Chomsky, Reflections on Language (New York: Pantheon
Books, 1975), 42–45.
[3]
³ Steven Pinker, The Language Instinct: How the Mind Creates
Language (New York: HarperCollins, 1994), 57–60.
[4]
⁴ John A. Lucy, Language Diversity and Thought: A Reformulation of
the Linguistic Relativity Hypothesis (Cambridge: Cambridge University
Press, 1992), 10–12.
[5]
⁵ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1975), 28–30.
[6]
⁶ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 445–447.
[7]
⁷ Antonio Damasio, Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human
Brain (New York: Putnam, 1994), 160–162.
[8]
⁸ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[9]
⁹ Peter Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of
Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1972), 92–94.
[10]
¹⁰ John Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–24.
[11]
¹¹ Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics,
trans. Roy Harris (London: Duckworth, 1983), 67–70.
[12]
¹² Claude Lévi-Strauss, Structural Anthropology, trans. Claire
Jacobson and Brooke Grundfest Schoepf (New York: Basic Books, 1963), 15–18.
[13]
¹³ Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus
of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 88–90.
[14]
¹⁴ Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri
Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 62–65.
8.
Relevansi
Kontemporer
Kajian tentang bahasa
dan pikiran tidak hanya relevan dalam konteks filsafat klasik atau
modern, tetapi juga memiliki signifikansi besar dalam berbagai bidang
kontemporer seperti ilmu kognitif, kecerdasan buatan, psikologi sosial,
komunikasi digital, dan etika linguistik. Dalam era globalisasi dan teknologi
informasi, interaksi antara bahasa, pikiran, dan media baru memunculkan
pertanyaan filosofis baru: bagaimana bahasa membentuk cara manusia
berpikir di dunia digital?; apakah kecerdasan buatan dapat benar-benar
berpikir melalui bahasa?; dan bagaimana bahasa memengaruhi kesadaran sosial
di tengah arus informasi yang masif? Oleh karena itu, relevansi
kontemporer isu ini dapat dibagi menjadi tiga ranah utama: (1)
filsafat kognitif dan AI, (2) komunikasi dan budaya digital, serta (3) dimensi
etis dan humanistik bahasa dalam masyarakat global.
8.1.
Bahasa dan Pikiran dalam Filsafat Kognitif dan
Kecerdasan Buatan
Perkembangan filsafat
kognitif dan artificial intelligence (AI)
telah memperluas perdebatan klasik antara bahasa dan pikiran ke ranah yang
lebih empiris dan interdisipliner. Dalam bidang ini, muncul pertanyaan
mendasar: apakah mesin dapat berpikir, dan jika ya, apakah “berpikir”
itu memerlukan bahasa sebagaimana manusia? Noam Chomsky dan Jerry Fodor
berpendapat bahwa pikiran manusia beroperasi melalui struktur simbolik—suatu language
of thought—yang dapat dimodelkan secara formal.¹ Pandangan ini
menjadi dasar bagi computational theory of mind, yang
melihat proses berpikir sebagai pemrosesan simbol mirip bahasa oleh sistem
logis.
Namun, kritik
terhadap pandangan ini datang dari pendekatan connectionist dan kognisi terwujud
(embodied
cognition), seperti yang dikemukakan oleh Hubert Dreyfus dan George
Lakoff.² Mereka menolak gagasan bahwa pikiran dapat direduksi menjadi
manipulasi simbol linguistik. Menurut Lakoff, pikiran manusia bersifat
metaforis dan berakar pada tubuh; pemahaman linguistik selalu terkait dengan
pengalaman sensorimotor.³ Hal ini memiliki implikasi besar bagi penelitian AI:
model bahasa besar (seperti GPT dan sejenisnya) mungkin mampu menghasilkan
struktur linguistik yang menyerupai manusia, tetapi belum tentu memiliki kesadaran
makna karena tidak berakar pada pengalaman hidup.
Perdebatan ini
menunjukkan bahwa isu klasik bahasa dan pikiran kini telah memasuki tahap baru.
Bahasa tidak lagi dipahami hanya sebagai produk manusia, tetapi juga sebagai
mekanisme yang dapat direkayasa secara artifisial—dan melalui itu, filsafat
ditantang untuk menilai batas antara kecerdasan linguistik dan pemahaman
eksistensial.
8.2.
Bahasa, Pikiran, dan Budaya Digital
Di era komunikasi
digital, bahasa telah berubah menjadi bentuk ekspresi yang hiper-interaktif dan
lintas-batas. Media sosial, platform daring, dan algoritma pencarian
menciptakan ekosistem linguistik baru di mana bahasa bukan lagi sekadar sarana
komunikasi, tetapi juga alat konstruksi realitas sosial. Jean Baudrillard
menyebut fenomena ini sebagai simulacra—situasi di mana
tanda-tanda linguistik tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan pada
tanda-tanda lain.⁴ Akibatnya, pikiran manusia semakin terjerat dalam jaringan
representasi yang berlapis dan sering kali kehilangan orientasi terhadap
kebenaran.
Dari perspektif
psikologi kognitif, penggunaan bahasa digital juga mengubah cara berpikir
manusia. Nicholas Carr menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap teks
digital dan media daring cenderung mempercepat tetapi menurunkan kedalaman
berpikir.⁵ Bahasa yang digunakan dalam konteks digital sering kali bersifat
fragmentaris, emotif, dan pragmatis, sehingga membentuk pola pikir yang cepat
namun dangkal.
Lebih jauh,
algoritma linguistik dalam media digital memiliki kekuatan besar dalam
membentuk opini publik. Melalui language modeling, mesin dapat
memprediksi dan bahkan memanipulasi preferensi manusia. Hal ini menimbulkan
persoalan epistemologis dan etis: siapakah subjek yang sebenarnya
berpikir—manusia, atau sistem linguistik yang ia ciptakan? Dalam konteks ini,
relevansi filsafat bahasa menjadi sangat nyata: memahami bahasa berarti
memahami struktur kekuasaan yang kini tertanam di dalam jaringan komunikasi
global.
8.3.
Dimensi Etis dan Humanistik Bahasa
Dalam konteks sosial
global, bahasa memiliki peran aksiologis dan etis yang semakin krusial. Bahasa
tidak hanya menjadi alat berpikir, tetapi juga arena moralitas dan tanggung
jawab. Jürgen Habermas menegaskan bahwa rasionalitas komunikatif hanya dapat
terwujud jika bahasa digunakan secara jujur dan terbuka untuk mencapai
pemahaman bersama.⁶ Namun di era pasca-kebenaran (post-truth era), bahasa sering
disalahgunakan untuk menutupi fakta, memanipulasi emosi, dan memperkuat
polarisasi sosial.
Kritik kontemporer
terhadap situasi ini datang dari para filsuf etika komunikasi yang menekankan
pentingnya responsibility
of meaning. Emmanuel Levinas berargumen bahwa setiap penggunaan
bahasa adalah perjumpaan etis dengan “yang lain.”⁷ Dalam berbicara, kita
memikul tanggung jawab terhadap dampak dari kata-kata kita, sebab bahasa selalu
memiliki konsekuensi moral.
Selain itu, dalam
ranah multikultural, bahasa menjadi sarana pengakuan terhadap keberagaman.
Charles Taylor menegaskan bahwa identitas manusia bersifat dialogis: kita
memahami diri kita melalui pengakuan linguistik dari orang lain.⁸ Bahasa,
dengan demikian, bukan hanya sarana berpikir atau menamai dunia, tetapi fondasi
bagi kehidupan etis dan politik yang pluralistik.
8.4.
Bahasa dan Pikiran dalam Pendidikan serta
Humaniora
Relevansi
kontemporer hubungan bahasa dan pikiran juga terlihat jelas dalam bidang pendidikan
dan humaniora. Kajian interdisipliner menunjukkan bahwa
kemampuan berbahasa memengaruhi kualitas berpikir kritis, kreativitas, dan
empati. Martha Nussbaum menekankan bahwa pendidikan humanistik harus melatih
kemampuan linguistik sebagai sarana untuk memahami pengalaman orang lain dan
mengembangkan imajinasi moral.⁹ Melalui bahasa, manusia belajar menempatkan
diri dalam perspektif yang berbeda—sebuah kemampuan yang esensial dalam
demokrasi dan keadilan sosial.
Dalam konteks
pendidikan digital, kemampuan berpikir kritis terhadap bahasa menjadi semakin
penting. Literasi bahasa tidak lagi terbatas pada kemampuan membaca dan
menulis, tetapi juga pada kemampuan menafsirkan makna dalam konteks algoritmik,
simbolik, dan visual.¹⁰ Dengan demikian, filsafat bahasa berperan penting dalam
membentuk kesadaran reflektif terhadap cara manusia berkomunikasi dan berpikir
di dunia yang semakin kompleks.
Sintesis Relevansi Kontemporer: Menuju
Linguistik Humanistik
Relevansi
kontemporer hubungan bahasa dan pikiran menunjukkan perlunya pendekatan humanistik-integratif
yang menggabungkan dimensi kognitif, sosial, dan etis. Bahasa bukan lagi
dipahami semata sebagai struktur atau alat, tetapi sebagai ruang
ontologis dan etis tempat manusia menegosiasikan makna dan
identitasnya.
Di tengah
perkembangan teknologi dan krisis makna global, filsafat bahasa berperan
penting dalam mengingatkan manusia bahwa berpikir sejati tidak dapat dilepaskan
dari tanggung jawab berbahasa. Bahasa yang manusiawi bukan hanya menghasilkan
informasi, tetapi menumbuhkan pemahaman, empati, dan kebijaksanaan. Dengan
demikian, dialog antara bahasa dan pikiran harus terus diperbarui agar manusia
tetap menjadi subjek dalam dunia yang kian dikuasai oleh bahasa buatan.
Footnotes
[1]
¹ Jerry A. Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1975), 27–30.
[2]
² Hubert L. Dreyfus, What Computers Can’t Do: A Critique of Artificial
Reason (New York: Harper & Row, 1972), 72–74.
[3]
³ George Lakoff and Mark Johnson, Philosophy in the Flesh: The
Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought (New York: Basic Books,
1999), 5–6.
[4]
⁴ Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila
Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 2–4.
[5]
⁵ Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our
Brains (New York: W. W. Norton, 2010), 64–66.
[6]
⁶ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.
[7]
⁷ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 195–200.
[8]
⁸ Charles Taylor, Multiculturalism and the Politics of Recognition
(Princeton: Princeton University Press, 1992), 33–35.
[9]
⁹ Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 22–25.
[10]
¹⁰ Gunther Kress, Multimodality: A Social Semiotic Approach to
Contemporary Communication (London: Routledge, 2010), 7–9.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Filsafat Bahasa Humanistik
Sintesis antara bahasa
dan pikiran dalam kerangka filsafat kontemporer menuntut
pemahaman yang tidak sekadar analitis, melainkan juga integratif
dan humanistik. Sepanjang sejarahnya, filsafat bahasa sering
terpecah antara pandangan struktural, mentalis, dan pragmatis. Namun, ketiganya
dapat disatukan dalam horizon yang lebih luas: bahwa bahasa dan pikiran
merupakan dua dimensi yang saling menyingkap makna keberadaan manusia di dunia.
Bahasa tidak hanya cerminan kognisi, tetapi juga manifestasi nilai, kesadaran,
dan tanggung jawab etis manusia terhadap sesama. Pendekatan humanistik dalam
filsafat bahasa berupaya memulihkan fungsi bahasa sebagai sarana pemahaman dan humanisasi—bukan
sekadar alat informasi atau logika formal.
9.1.
Integrasi Ontologis dan Epistemologis: Bahasa
sebagai Ruang Keberadaan
Secara ontologis,
bahasa merupakan kondisi kemungkinan berpikir dan sekaligus tempat keberadaan (topos of
being). Martin Heidegger menegaskan bahwa “bahasa adalah rumah
bagi Ada,” karena hanya melalui bahasa manusia dapat menyingkap dan
mengungkapkan realitas.¹ Bahasa tidak hanya menunjuk benda, melainkan
memampukan manusia untuk hadir dan memahami dirinya di dunia. Pikiran tanpa bahasa
hanyalah kesadaran yang belum terbentuk; sebaliknya, bahasa tanpa pikiran
kehilangan makna eksistensialnya.
Secara
epistemologis, bahasa adalah struktur pengetahuan yang dinamis—ia menjadi wadah
bagi penafsiran dan pencarian kebenaran. Hans-Georg Gadamer menjelaskan bahwa
setiap pemahaman adalah hasil dialog antara penafsir dan tradisi linguistik
yang melingkupinya.² Dalam konteks ini, berpikir berarti berdialog dengan dunia
melalui bahasa. Bahasa menjadi medium hermeneutik yang menyeberangkan manusia
dari ketidaktahuan menuju pemahaman, dari subjektivitas menuju
intersubjektivitas.
9.2.
Integrasi Aksiologis: Bahasa, Nilai, dan Etika
Komunikasi
Dalam perspektif
aksiologis, bahasa mengandung dimensi nilai yang tak terpisahkan dari proses
berpikir. Jürgen Habermas, melalui teori tindakan komunikatifnya, menempatkan
bahasa sebagai arena rasionalitas etis di mana manusia membangun konsensus dan
kebenaran melalui komunikasi bebas dari dominasi.³ Bahasa, dalam kerangka ini,
bukan hanya sarana teknis, tetapi juga medium moral yang mengikat manusia dalam
komitmen terhadap kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap “yang lain.”
Filsafat bahasa
humanistik menolak penggunaan bahasa sebagai alat kekuasaan atau manipulasi.
Bahasa yang sejati adalah bahasa yang menegakkan martabat manusia. Emmanuel
Levinas menegaskan bahwa berbicara kepada “yang lain” adalah tindakan
etis yang mengakui wajah kemanusiaan mereka.⁴ Dalam setiap ujaran, manusia
dipanggil untuk bertanggung jawab terhadap makna yang ia ciptakan dan dampak yang
ditimbulkan oleh kata-katanya. Dengan demikian, berpikir dan berbahasa adalah
tindakan moral, bukan sekadar proses kognitif.
9.3.
Integrasi Sosial dan Kultural: Bahasa sebagai
Ruang Dialog Intersubjektif
Pendekatan
humanistik terhadap bahasa juga mengandaikan pemahaman bahwa bahasa adalah
fenomena sosial dan kultural. George Herbert Mead telah menunjukkan bahwa
kesadaran diri terbentuk melalui interaksi simbolik yang dimediasi oleh
bahasa.⁵ Pikiran, dalam pengertian ini, tidak lahir dari kesunyian, melainkan
dari percakapan. Bahasa menjadi fondasi bagi terbentuknya identitas sosial,
kebudayaan, dan solidaritas manusia.
Filsafat bahasa
humanistik menolak pandangan individualistik yang memisahkan pikiran dari
masyarakat. Ia menegaskan bahwa berpikir adalah tindakan dialogis. Charles
Taylor bahkan menyatakan bahwa manusia adalah makhluk self-interpreting:
ia memahami dirinya hanya melalui percakapan dengan orang lain dan tradisinya.⁶
Maka, memperdalam bahasa berarti memperdalam hubungan sosial—sebuah praktik
dialog yang memungkinkan pluralitas tanpa kehilangan kesatuan kemanusiaan.
9.4.
Bahasa dan Kesadaran Eksistensial: Dari
Representasi ke Pemaknaan
Dalam filsafat
modern, bahasa sering direduksi menjadi alat representasi logis. Namun,
pendekatan humanistik mengembalikan bahasa ke dimensi eksistensial
dan fenomenologis. Paul Ricoeur mengingatkan bahwa bahasa tidak
sekadar menggambarkan realitas, tetapi menciptakan horizon makna yang baru.⁷
Melalui metafora, narasi, dan simbol, manusia tidak hanya menyatakan apa yang
ada, tetapi menyingkap kemungkinan apa yang bisa ada.
Dengan demikian,
berpikir melalui bahasa berarti berpartisipasi dalam proses kreatif pembentukan
dunia. Bahasa mengundang manusia untuk tidak hanya memahami dunia secara
objektif, tetapi juga menghidupinya secara reflektif. Dalam bahasa, manusia
mengalami transendensi—melampaui batas-batas empiris menuju kedalaman makna
eksistensial. Inilah inti dari filsafat bahasa humanistik: bahasa sebagai ruang
penciptaan makna, bukan sekadar sistem tanda.
9.5.
Menuju Filsafat Bahasa Humanistik: Sintesis
Integral
Filsafat bahasa
humanistik berusaha mengintegrasikan berbagai pendekatan yang sebelumnya
terfragmentasi. Dari tradisi analitik, ia mengambil kejelasan berpikir dan
logika argumentatif; dari hermeneutika, ia menyerap kesadaran interpretatif dan
historis; dari pragmatisme, ia mengadopsi kesadaran akan konteks sosial dan
tujuan etis komunikasi.
Dalam sintesis ini,
bahasa dipahami sebagai ruang dialektis antara kognisi dan nilai,
antara representasi dan pemaknaan, antara individu dan masyarakat.
Pikiran manusia tidak dapat dipahami tanpa bahasa, dan bahasa tidak memiliki
makna tanpa keterlibatan pikiran yang bernilai. Maka, berpikir berarti
berbicara secara bermakna; dan berbahasa berarti berpikir secara manusiawi.
Pendekatan ini
sejalan dengan gagasan Martha Nussbaum tentang capabilities approach, yang
menempatkan kemampuan berbahasa dan berpikir sebagai bagian dari martabat
manusia.⁸ Bahasa menjadi sarana pengembangan diri dan kebebasan, karena melalui
bahasa manusia dapat menafsirkan dunia, mengekspresikan diri, dan
memperjuangkan keadilan.
Oleh karena itu, filsafat
bahasa humanistik tidak hanya berurusan dengan struktur logis
atau semantik, tetapi juga dengan makna moral dan eksistensial dari
berbicara dan berpikir. Ia mengembalikan bahasa ke fungsinya yang paling
fundamental: membangun pemahaman, memperluas empati, dan menegakkan
kemanusiaan.
Konklusi Sintetis
Sintesis filosofis
antara bahasa dan pikiran mengarah pada pemahaman bahwa manusia adalah makhluk linguistik-rasional
yang hidup dalam ruang makna. Bahasa bukan cermin pasif pikiran, melainkan
aktivitas kreatif dan etis yang membentuk dunia manusia. Dalam filsafat bahasa
humanistik, berpikir berarti berdialog; mengetahui berarti memahami; dan
berbahasa berarti menciptakan dunia bersama.
Dengan demikian,
arah filsafat bahasa masa kini seharusnya tidak hanya mencari kebenaran
konseptual, tetapi juga meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung
dalam bahasa. Hanya dengan memulihkan makna humanistik dari berpikir dan
berbahasa, filsafat dapat kembali menjadi jalan bagi pembebasan dan pencerahan
manusia di tengah kompleksitas dunia modern.
Footnotes
[1]
¹ Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache (Pfullingen: Neske,
1959), 12–15.
[2]
² Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed., trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 2004), 440–445.
[3]
³ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.
[4]
⁴ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 195–200.
[5]
⁵ George Herbert Mead, Mind, Self, and Society (Chicago:
University of Chicago Press, 1934), 133–135.
[6]
⁶ Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 33–35.
[7]
⁷ Paul Ricoeur, The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies of
the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny (Toronto:
University of Toronto Press, 1977), 45–47.
[8]
⁸ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2011),
29–31.
10. Kesimpulan
Kajian tentang bahasa dan pikiran menegaskan
bahwa hubungan keduanya bukanlah relasi yang linear, melainkan dialektis,
dinamis, dan multidimensional. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi yang
menyalurkan pikiran, tetapi juga ruang tempat pikiran itu lahir, terbentuk, dan
berinteraksi dengan dunia. Sebaliknya, pikiran memberikan struktur, arah, dan
nilai pada bahasa, menjadikannya lebih dari sekadar sistem tanda—yakni medium
eksistensial manusia untuk memahami realitas dan dirinya sendiri. Melalui
telaah ontologis, epistemologis, aksiologis, serta sosial-psikologis yang telah
dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa bahasa dan pikiran adalah dua
aspek tak terpisahkan dari modus eksistensi manusia sebagai makhluk yang
berpikir dan berbahasa.
Secara ontologis, bahasa merupakan wadah
pengungkapan eksistensi. Martin Heidegger menyebut bahasa sebagai “rumah bagi
Ada” karena melalui bahasa manusia menyingkapkan keberadaannya.¹ Pikiran tanpa
bahasa hanya akan menjadi kesadaran yang tersembunyi, sementara bahasa tanpa
pikiran hanyalah gema tanpa makna. Relasi ontologis ini menunjukkan bahwa
bahasa dan pikiran berakar pada kesadaran yang sama: kesadaran akan dunia yang
dapat dipahami.
Dari segi epistemologi, bahasa adalah medium
pembentukan pengetahuan. Manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu tanpa
mengartikulasikannya dalam struktur linguistik tertentu. Seperti yang
dikemukakan oleh Ludwig Wittgenstein, batas bahasa adalah batas dunia;² maka,
memperluas bahasa berarti memperluas horizon pengetahuan. Dalam konteks ini,
bahasa berfungsi bukan hanya sebagai representasi realitas, tetapi juga sebagai
instrumen yang membentuk cara kita memahami dan menilai dunia. Setiap kata
mengandung kerangka kognitif, dan setiap struktur kalimat adalah model dari
dunia yang diinterpretasikan.
Secara aksiologis, bahasa membawa nilai dan
tanggung jawab moral. Jürgen Habermas menegaskan bahwa dalam setiap tindakan
komunikatif, manusia menegakkan rasionalitas yang bersifat etis, karena komunikasi
sejati menuntut kejujuran, keadilan, dan keterbukaan terhadap yang lain.³
Bahasa, dengan demikian, bukanlah alat kekuasaan, tetapi medium untuk membangun
dunia bersama berdasarkan pengertian dan keadilan. Emmanuel Levinas menambahkan
bahwa berbicara kepada orang lain adalah tindakan etis yang mengakui keberadaan
dan martabatnya.⁴ Dalam arti ini, berpikir dan berbahasa adalah kegiatan moral
yang mendasar bagi kehidupan manusiawi.
Pada dimensi sosial dan psikologis, bahasa
berperan sebagai jembatan antara individu dan masyarakat. George Herbert Mead
menunjukkan bahwa kesadaran diri terbentuk melalui interaksi simbolik yang
dimediasi oleh bahasa.⁵ Sementara itu, Lev Vygotsky menjelaskan bahwa proses
berpikir seorang individu tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan
historis tempat bahasa itu hidup.⁶ Dengan demikian, bahasa adalah ruang dialog
intersubjektif yang memungkinkan terbentuknya solidaritas, empati, dan
kebudayaan manusia.
Dalam konteks kontemporer, hubungan bahasa
dan pikiran mendapatkan relevansi baru di era digital dan kecerdasan buatan.
Model bahasa besar (large language models) seperti ChatGPT menghadirkan
tantangan filosofis tentang apakah “berbahasa” dapat disamakan dengan “berpikir.”
Hubert Dreyfus mengingatkan bahwa pemikiran sejati selalu berakar pada
pengalaman eksistensial manusia, bukan semata pada manipulasi simbol.⁷ Oleh
karena itu, filsafat bahasa humanistik berperan penting untuk menjaga agar
teknologi tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan—bahwa kemampuan linguistik
tidak boleh menghapus dimensi moral, empatik, dan reflektif dari berpikir
manusia.
Akhirnya, filsafat bahasa humanistik
menawarkan sintesis integral: bahasa dan pikiran tidak hanya bersifat logis
atau kognitif, tetapi juga etis dan eksistensial. Bahasa adalah cermin dan
sekaligus pencipta dunia manusia—ia memampukan kita untuk memahami, berempati,
dan hidup dalam kebersamaan. Filsafat bahasa humanistik mengembalikan bahasa
kepada martabatnya yang sejati: bukan sekadar instrumen berpikir, melainkan modus
humanitatis—cara manusia menjadi manusia.
Dalam kesatuan inilah, berpikir dan berbahasa
menemukan maknanya yang terdalam: keduanya adalah ekspresi dari kebebasan,
kesadaran, dan tanggung jawab manusia untuk membangun dunia yang penuh makna,
adil, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
¹ Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache
(Pfullingen: Neske, 1959), 12–15.
[2]
² Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 5.6.
[3]
³ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.
[4]
⁴ Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 195–200.
[5]
⁵ George Herbert Mead, Mind, Self, and Society
(Chicago: University of Chicago Press, 1934), 133–135.
[6]
⁶ Lev S. Vygotsky, Thought and Language,
trans. Alex Kozulin (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 56–57.
[7]
⁷ Hubert L. Dreyfus, What Computers Can’t Do: A
Critique of Artificial Reason (New York: Harper & Row, 1972), 72–74.
Daftar Pustaka
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Carr, N. (2010). The shallows: What the internet
is doing to our brains. W. W. Norton.
Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of syntax.
MIT Press.
Chomsky, N. (1975). Reflections on language.
Pantheon Books.
Damasio, A. (1994). Descartes’ error: Emotion,
reason, and the human brain. Putnam.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Dreyfus, H. L. (1972). What computers can’t do:
A critique of artificial reason. Harper & Row.
Fodor, J. A. (1975). The language of thought.
Harvard University Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). Pantheon Books.
Frege, G. (1892). On sense and reference. Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (2nd
rev. ed., J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1). Beacon Press.
Heidegger, M. (1959). Unterwegs zur Sprache.
Neske.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie
& E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heraclitus. (1987). Fragments (T. M.
Robinson, Trans.). University of Toronto Press.
Humboldt, W. von. (1988). On language: The
diversity of human language-structure and its influence on the mental development
of mankind (P. Heath, Trans.). Cambridge University Press.
Husserl, E. (1960). Cartesian meditations: An
introduction to phenomenology (D. Cairns, Trans.). Martinus Nijhoff.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Lakoff, G., & Johnson, M. (1980). Metaphors
we live by. University of Chicago Press.
Lakoff, G., & Johnson, M. (1999). Philosophy
in the flesh: The embodied mind and its challenge to Western thought. Basic
Books.
Leibniz, G. W. (1898). The monadology and other
philosophical writings (R. Latta, Trans.). Clarendon Press.
Lenneberg, E. H. (1967). Biological foundations
of language. Wiley.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Locke, J. (1690). An essay concerning human
understanding. Thomas Basset.
Lucy, J. A. (1992). Language diversity and
thought: A reformulation of the linguistic relativity hypothesis. Cambridge
University Press.
Mead, G. H. (1934). Mind, self, and society.
University of Chicago Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Mill, J. S. (1843). A system of logic,
ratiocinative and inductive. John W. Parker.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A
classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Belknap Press of Harvard University Press.
Orwell, G. (1949). 1984. Secker &
Warburg.
Piaget, J. (1959). The language and thought of
the child (M. Gabain, Trans.). Routledge.
Pinker, S. (1994). The language instinct: How
the mind creates language. HarperCollins.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Ricoeur, P. (1977). The rule of metaphor:
Multi-disciplinary studies of the creation of meaning in language (R.
Czerny, Trans.). University of Toronto Press.
Saussure, F. de. (1983). Course in general
linguistics (R. Harris, Trans.). Duckworth.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1992). Multiculturalism and the
politics of recognition. Princeton University Press.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The
development of higher psychological processes. Harvard University Press.
Vygotsky, L. S. (1986). Thought and language
(A. Kozulin, Trans.). MIT Press.
Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and
reality: Selected writings. MIT Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus. Routledge & Kegan Paul.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar