Semantik dalam Filsafat Bahasa
Kajian Filosofis tentang Dimensi Semantik dalam
Filsafat Bahasa
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam dimensi
semantik dalam filsafat bahasa dengan menyoroti hubungan antara makna, referensi,
dan realitas dari perspektif ontologis, epistemologis, aksiologis, serta
sosial-kultural. Kajian ini menelusuri perkembangan historis teori-teori
semantik mulai dari Frege, Russell, dan Tarski hingga Wittgenstein,
Kripke, Putnam, Habermas, dan Ricoeur, untuk
menunjukkan bagaimana pemahaman tentang makna telah berevolusi dari paradigma
logis-representasional menuju paradigma komunikatif dan humanistik.
Pada tataran ontologis, makna dipahami sebagai modus
keberadaan manusia dalam bahasa, bukan sekadar relasi antara tanda dan
dunia. Dari sisi epistemologis, pengetahuan tentang makna merupakan hasil dari proses
hermeneutik dan dialogis, di mana bahasa berfungsi sebagai medium
pemahaman. Aksiologisnya, semantik mengandung dimensi etis karena setiap makna
terikat pada tanggung jawab komunikatif dan penghormatan terhadap sesama.
Dimensi sosial dan kultural memperlihatkan bahwa makna lahir melalui interaksi,
kekuasaan simbolik, dan konteks budaya yang membentuk praktik berbahasa.
Dalam konteks kontemporer, artikel ini menyoroti
tantangan era digital dan globalisasi terhadap stabilitas makna, di mana
bahasa dimediasi oleh algoritme, media digital, dan pergeseran budaya global.
Semantik di era digital menuntut pendekatan baru yang menggabungkan logika,
teknologi, dan etika humanistik, agar bahasa tetap menjadi sarana pemahaman
dan solidaritas manusia, bukan sekadar sistem data.
Melalui sintesis filosofis, artikel ini mengusulkan
kerangka “filsafat bahasa humanistik” yang mengintegrasikan aspek
ontologis (bahasa sebagai keberadaan), epistemologis (makna sebagai pemahaman),
dan aksiologis (komunikasi sebagai etika). Dengan demikian, semantik dipahami
bukan hanya sebagai analisis terhadap struktur makna, tetapi sebagai refleksi
filosofis tentang manusia sebagai makhluk yang hidup dalam dan melalui bahasa.
Kata Kunci: Semantik · Filsafat Bahasa · Makna · Referensi ·
Hermeneutika · Rasionalitas Komunikatif · Etika Bahasa · Filsafat Humanistik ·
Era Digital · Globalisasi
PEMBAHASAN
Makna, Referensi, dan Realitas
1.
Pendahuluan
Dalam khazanah filsafat bahasa, semantik
menempati posisi sentral sebagai bidang yang berupaya memahami makna
(meaning) serta hubungannya dengan bahasa, pikiran, dan realitas.
Semantik tidak hanya mempelajari struktur internal makna dalam bahasa, tetapi
juga menelusuri bagaimana tanda linguistik merepresentasikan dunia dan
mengantarkan manusia pada pemahaman terhadap sesuatu di luar dirinya. Dengan
demikian, semantik bukan sekadar cabang linguistik deskriptif, melainkan juga
medan filsafat yang mempersoalkan hakikat hubungan antara kata, konsep, dan
dunia.¹
Persoalan semantik telah muncul sejak awal sejarah
filsafat Yunani. Plato dalam Cratylus menanyakan apakah nama-nama
memiliki hubungan alamiah dengan benda yang dinamainya ataukah hubungan itu
semata-mata konvensional.² Aristoteles kemudian mengembangkan gagasan
bahwa kata (logos) adalah simbol dari pengalaman mental (pathēmata), yang pada
gilirannya merepresentasikan realitas eksternal.³ Pergulatan antara pandangan naturalis
dan konvensionalis ini terus menjadi dasar bagi seluruh diskursus
semantik dalam sejarah pemikiran Barat.
Memasuki era modern, perdebatan tentang makna
memperoleh bentuk yang lebih sistematis melalui semantik logis dan analisis
bahasa. Gottlob Frege memperkenalkan pembedaan antara Sinn
(sense) dan Bedeutung (reference), yang menjadi tonggak bagi semantik
filosofis modern.⁴ Melalui pembedaan ini, Frege berupaya menjelaskan bagaimana
dua ekspresi yang menunjuk pada objek yang sama dapat tetap memiliki nilai
kognitif berbeda.⁵ Teori ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Bertrand
Russell melalui teori deskripsi dan oleh Rudolf Carnap dalam
semantik logis yang mengaitkan makna dengan kondisi kebenaran.⁶
Pada pertengahan abad ke-20, Ludwig Wittgenstein
menantang pendekatan semantik formal dengan pandangannya bahwa “makna adalah
penggunaan dalam bahasa” (meaning is use).⁷ Pandangan ini menandai
pergeseran besar dari semantik yang bersifat referensial menuju semantik yang
bersifat pragmatis dan kontekstual, di mana makna tidak hanya ditentukan
oleh hubungan antara tanda dan dunia, tetapi juga oleh praktik sosial pengguna
bahasa.⁸ Dengan demikian, semantik tidak dapat dipisahkan dari konteks
komunikasi, niat pembicara, serta konvensi sosial yang mengitarinya.
Dari perspektif filsafat kontemporer,
semantik tidak lagi dipahami sebagai sistem representasi statis, melainkan
sebagai proses dinamis yang terus-menerus dikonstruksi melalui interaksi
manusia.⁹ Dalam kerangka ini, filsafat semantik beririsan dengan epistemologi
(bagaimana manusia mengetahui makna), ontologi (apa yang disebut sebagai “makna”
itu sendiri), dan aksiologi (bagaimana makna mengandung nilai-nilai komunikasi
dan etika).¹⁰
Oleh karena itu, kajian ini berangkat dari asumsi
bahwa semantik tidak hanya berbicara tentang sistem simbolik, tetapi juga
tentang manusia sebagai makhluk pemakna. Dalam era digital dan global
saat ini, di mana bahasa terfragmentasi dalam berbagai bentuk komunikasi daring
dan algoritmik, refleksi semantik menjadi semakin penting untuk mempertahankan dimensi
humanistik dalam bahasa—yakni bagaimana makna dapat tetap mengandung
kejujuran, empati, dan pemahaman lintas budaya.¹¹
Kajian ini bertujuan untuk:
1)
Menelusuri landasan historis dan ontologis semantik dalam filsafat
bahasa;
2)
Menganalisis dimensi epistemologis dan aksiologis makna;
3)
Mengkaji implikasi sosial, politik, dan kultural dari teori semantik;
serta
4)
Menawarkan sintesis filosofis menuju semantik humanistik, yang
tidak hanya logis dan rasional tetapi juga komunikatif dan etis.
Dengan demikian, penelitian ini berupaya memperluas
horizon filsafat bahasa agar mampu menjawab tantangan makna dalam kehidupan
manusia kontemporer—baik dalam ranah komunikasi ilmiah, sosial, maupun
digital—sebagai upaya menuju pemahaman yang integral antara bahasa, makna,
dan realitas.¹²
Footnotes
[1]
Michael Devitt dan Kim Sterelny, Language and
Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT
Press, 1999), 15–16.
[2]
Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 383a–390e.
[3]
Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M.
Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 16a3–8.
[4]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[5]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 35–39.
[6]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493; Rudolf Carnap, Meaning and Necessity (Chicago:
University of Chicago Press, 1947), 9–10.
[7]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[8]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 5–6.
[9]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323.
[10]
Hilary Putnam, Mind, Language and Reality:
Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press,
1975), 227–229.
[11]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–275.
[12]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 12–14.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Kajian tentang semantik dalam filsafat
bahasa memiliki akar yang panjang dalam sejarah pemikiran manusia. Sejak masa
Yunani Kuno, para filsuf telah memperdebatkan hubungan antara kata, pikiran,
dan realitas, serta apakah makna bersifat alami, konvensional, atau hasil
kesepakatan sosial. Genealogi semantik memperlihatkan pergeseran paradigma dari
penjelasan metafisik dan ontologis menuju analisis logis dan linguistik yang
lebih sistematis.¹
2.1.
Masa Klasik: Antara Naturalisme dan
Konvensionalisme
Dalam dialog Cratylus, Plato
menggambarkan perdebatan antara dua posisi mendasar: naturalisme, yang
menganggap nama memiliki hubungan intrinsik dengan benda yang dinamainya, dan konvensionalisme,
yang melihat nama sebagai hasil kesepakatan manusia.² Bagi Plato, nama yang “benar”
(orthotēs onomatōn) adalah nama yang merepresentasikan esensi sesuatu;
tetapi dalam konteks praktis, ia juga mengakui peran konvensi dalam pemakaian
bahasa.³
Sementara itu, Aristoteles mengembangkan
pemikiran yang lebih empiris dalam De Interpretatione. Ia menegaskan
bahwa kata-kata adalah simbol dari pengalaman mental, dan pengalaman
tersebut merupakan representasi dari benda-benda di dunia nyata.⁴ Dengan
demikian, bahasa merupakan sistem mediasi antara pikiran dan realitas.
Pandangan ini menandai pergeseran dari spekulasi metafisik ke arah analisis
psikologis dan epistemologis terhadap makna.
Para Stoa kemudian memperkenalkan konsep lekton,
yakni entitas semantik yang menjadi “makna” dari ujaran dan memiliki
status ontologis menengah antara bahasa dan dunia.⁵ Konsep ini penting karena
memperluas pemahaman makna sebagai entitas abstrak yang dapat dipahami tanpa
bergantung pada bentuk linguistik tertentu. Gagasan ini menjadi cikal bakal
bagi pandangan modern tentang proposisi dan arti kalimat.
2.2.
Tradisi Abad Pertengahan dan Skolastik
Dalam abad pertengahan, semantik berkembang dalam
konteks teologi dan logika skolastik. Para pemikir seperti Thomas Aquinas
dan William of Ockham mengaitkan makna dengan teori signum dan intentio.⁶
Aquinas menegaskan bahwa kata adalah tanda dari konsep (signum conceptuum),
sedangkan Ockham mengembangkan teori terminisme yang membedakan antara
tanda mental (conceptus) dan tanda verbal (vox).⁷ Di sini, makna mulai dipahami
sebagai hasil abstraksi intelektual yang menengahi antara bahasa dan realitas,
namun tetap dalam kerangka teosentris.
2.3.
Masa Modern Awal: Logika dan
Representasi
Pergeseran besar terjadi pada masa modern ketika John
Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding menolak
pandangan bahwa makna bersumber dari dunia luar semata, dan menyatakan bahwa
kata adalah tanda dari ide-ide dalam pikiran manusia.⁸ Locke menekankan dimensi
subjektif dan psikologis dari makna, yang kemudian memicu perdebatan panjang
antara psikologisme dan anti-psikologisme dalam semantik.
Sementara itu, Immanuel Kant menempatkan
bahasa dalam kerangka epistemologi transendental: makna tidak dapat dilepaskan
dari struktur apriori kesadaran yang memungkinkan pengetahuan.⁹ Pemikiran ini
mempersiapkan jalan bagi perkembangan semantik formal di abad ke-20 yang
berupaya menghubungkan struktur logis bahasa dengan struktur pikiran manusia.
2.4.
Abad ke-20: Semantik Logis dan
Analisis Bahasa
Abad ke-20 menjadi masa kelahiran semantik
filosofis modern dengan munculnya karya-karya Gottlob Frege, Bertrand
Russell, Rudolf Carnap, dan Alfred Tarski. Frege
memperkenalkan pembedaan antara Sinn (sense) dan Bedeutung
(reference) untuk menjelaskan nilai kognitif proposisi.¹⁰ Russell mengembangkan
teori deskripsi definitif untuk mengatasi paradoks referensi dan mengaitkan
makna dengan struktur logis kalimat.¹¹
Kemudian, dalam tradisi positivisme logis, Rudolf
Carnap dan Alfred Tarski membangun kerangka semantik formal,
di mana makna dikaitkan dengan kondisi kebenaran suatu proposisi.¹²
Pandangan ini melahirkan paradigma semantik kebenaran-kondisional (truth-conditional
semantics) yang berpengaruh besar dalam linguistik dan logika.
Namun, pergeseran besar terjadi ketika Ludwig
Wittgenstein dalam Philosophical Investigations menolak pandangan
bahwa makna bersifat tetap atau logis. Ia menegaskan bahwa “makna sebuah
kata adalah penggunaannya dalam bahasa” (the meaning of a word is its
use in the language).¹³ Dengan demikian, semantik tidak dapat dilepaskan
dari konteks sosial, aturan permainan bahasa (language games), dan
praktik kehidupan (forms of life).¹⁴
Perkembangan selanjutnya dalam filsafat analitik
dan linguistik generatif menampilkan beragam pendekatan: Donald
Davidson menekankan hubungan antara makna dan kebenaran melalui teori
interpretasi radikal; Noam Chomsky menekankan kapasitas bawaan (innate)
manusia dalam memahami makna; sementara Hilary Putnam dan Saul Kripke
memperkenalkan teori referensi eksternal yang menegaskan peran dunia dalam
menentukan makna.¹⁵
2.5.
Arah Kontemporer: Dari Formalisme ke
Kontekstualisme
Memasuki akhir abad ke-20, muncul kritik terhadap
semantik formal yang dianggap terlalu mengabaikan konteks dan dimensi sosial
bahasa. J. L. Austin dan John Searle melalui teori tindak tutur
memperlihatkan bahwa makna tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga
performatif—yakni melakukan sesuatu melalui ujaran.¹⁶ Di sisi lain, Jacques
Derrida menolak asumsi stabilitas makna, dengan menunjukkan bahwa setiap
makna selalu ditunda (différance) melalui jaringan tanda yang tak
berujung.¹⁷
Dengan demikian, sejarah semantik mencerminkan
perjalanan panjang dari pencarian makna yang absolut menuju pemahaman
makna sebagai konstruksi sosial dan kontekstual. Evolusi ini menunjukkan
bahwa semantik bukan sekadar bidang teknis dalam analisis bahasa, tetapi medan
filosofis yang merefleksikan dinamika pemikiran manusia tentang dunia,
pengetahuan, dan hubungan antar-subjek.
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 11–13.
[2]
Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 383a–390e.
[3]
Ibid., 391d–395c.
[4]
Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M.
Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 16a3–8.
[5]
Long, A. A., Hellenistic Philosophy: Stoics,
Epicureans, Sceptics (London: Duckworth, 1974), 112–115.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 13,
a. 1–2.
[7]
William of Ockham, Summa Logicae, ed.
Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: The Franciscan Institute, 1951),
43–44.
[8]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Penguin, 1997 [1690]), Book III, ch. 2.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A50/B74.
[10]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[11]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[12]
Rudolf Carnap, Meaning and Necessity
(Chicago: University of Chicago Press, 1947), 1–10; Alfred Tarski, “The Concept
of Truth in Formalized Languages,” in Logic, Semantics, Metamathematics
(Oxford: Clarendon Press, 1956), 152–278.
[13]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[14]
Ibid., §§23–25.
[15]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323; Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax
(Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–5; Hilary Putnam, Mind, Language and
Reality: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University
Press, 1975), 219–240; Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1980), 96–98.
[16]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 4–6; John Searle, Speech
Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–17.
[17]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri
Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23–25.
3.
Ontologi:
Hakikat Makna dan Realitas
Persoalan ontologis dalam semantik berakar pada
pertanyaan mendasar: apa hakikat “makna” itu sendiri? Apakah makna
merupakan entitas objektif yang melekat pada kata, entitas mental yang hidup
dalam pikiran, atau relasi dinamis antara bahasa, pikiran, dan dunia?
Pertanyaan ini menempatkan semantik dalam jantung problem metafisika
bahasa—yakni upaya memahami status ontologis dari makna sebagai sesuatu yang
menjembatani simbol dan realitas.¹
3.1.
Makna sebagai Entitas Mental:
Pandangan Idealis dan Psikologis
Dalam tradisi idealisme, makna sering
dipandang sebagai produk kesadaran manusia. Plato menempatkan makna
sebagai refleksi dunia ide yang abadi dan sempurna, sedangkan kata-kata hanya
menjadi bayangan yang tidak sempurna dari hakikat tersebut.² Dalam kerangka
ini, bahasa berfungsi sebagai medium partisipasi jiwa terhadap dunia ide, bukan
sekadar alat penamaan benda-benda empiris.
Di sisi lain, John Locke memandang makna
sebagai hasil asosiasi antara kata dan ide dalam pikiran individu.³
Dengan demikian, bahasa menjadi instrumen komunikasi mental antar-subjek, bukan
representasi langsung dari dunia eksternal. Pandangan ini menegaskan sifat
subyektif makna: setiap kata membawa beban pengalaman dan konsepsi personal.
Namun, pendekatan ini dikritik karena cenderung menjadikan makna sebagai
entitas privat yang sulit diverifikasi secara intersubjektif.⁴
3.2.
Makna sebagai Entitas Linguistik:
Strukturalisme dan Semiotika
Pergeseran terjadi ketika Ferdinand de Saussure
menolak pandangan bahwa makna bersumber dari hubungan antara kata dan objek.⁵
Ia menegaskan bahwa makna lahir dari relasi diferensial antar-tanda dalam
sistem bahasa (langue). Dalam semiologi Saussurean, tanda linguistik
terdiri dari dua sisi: signifiant (penanda) dan signifié
(petanda), dan hubungan antara keduanya bersifat arbitrer.⁶
Dalam perspektif ini, makna tidak memiliki
eksistensi ontologis di luar sistem bahasa; ia merupakan efek relasional
yang muncul dari struktur perbedaan internal. Pendekatan ini membuka jalan bagi
pandangan konstruktivis, yang memandang bahwa realitas linguistik tidak
merepresentasikan dunia secara pasif, melainkan mengkonstruksi realitas
melalui perbedaan makna.⁷
Namun, para filsuf analitik seperti Frege
dan Russell menolak pemisahan makna dari realitas. Bagi Frege, setiap
ungkapan memiliki sense (makna kognitif) dan reference (objek
yang dituju).⁸ Makna bukanlah entitas psikologis atau relasional murni, tetapi
struktur ideal yang memungkinkan pernyataan memiliki nilai kebenaran. Dalam hal
ini, makna bersifat intensional, mengandung cara tertentu dalam menunjuk
pada realitas.⁹
3.3.
Makna sebagai Relasi: Ontologi
Referensial dan Dunia
Dari perspektif realisme semantik, makna
tidak dapat dilepaskan dari hubungan bahasa dengan dunia eksternal.
Setiap proposisi memiliki nilai kebenaran sejauh ia berkorelasi dengan keadaan
faktual (state of affairs) di dunia.¹⁰ Bertrand Russell
menegaskan bahwa bahasa memperoleh makna melalui korespondensinya dengan fakta
atomik, sedangkan Alfred Tarski mengembangkan teori semantik kebenaran (truth-conditional
semantics) untuk menjelaskan hubungan ini secara formal.¹¹
Pandangan ini menempatkan makna dalam konteks ontologi
korespondensial, di mana realitas menjadi penentu akhir validitas
semantik. Akan tetapi, kritik muncul dari kalangan fenomenolog seperti Husserl
dan Merleau-Ponty, yang menekankan bahwa makna bukan sesuatu yang
berdiri di luar kesadaran, melainkan muncul melalui pengalaman intensional
subjek terhadap dunia.¹² Dalam pengertian ini, makna bersifat “terarah”
(intentional) dan selalu mengandaikan horizon pengalaman yang hidup.
3.4.
Makna sebagai Praktik dan
Keberadaan: Ontologi Hermeneutik
Perkembangan selanjutnya membawa semantik ke ranah ontologi
eksistensial. Martin Heidegger memandang bahasa bukan sekadar alat
representasi, melainkan “rumah bagi Ada” (die Sprache ist das Haus
des Seins).¹³ Makna bukan lagi entitas yang melekat pada tanda, tetapi modus
keberadaan manusia yang selalu menafsir dan memahami dirinya serta dunianya
melalui bahasa. Dalam kerangka ini, semantik bersifat ontologis karena
berkaitan dengan cara manusia mengungkapkan dan mengalami Being.¹⁴
Hans-Georg Gadamer melanjutkan pandangan ini dalam hermeneutik
filosofisnya: makna tidak pernah final atau objektif, melainkan terbentuk
melalui proses dialog dan pemahaman historis antara teks, penafsir, dan
tradisi.¹⁵ Dengan demikian, hakikat makna bukanlah “sesuatu yang ada”
secara tetap, tetapi peristiwa pemahaman (Ereignis des Verstehens)
yang terjadi dalam sejarah dan bahasa.
Menuju
Ontologi Relasional: Bahasa, Dunia, dan Inter-Subjektivitas
Dari berbagai pandangan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa makna memiliki ontologi relasional dan emergent, bukan
substansial. Ia tidak berdiri sendiri sebagai objek metafisik, melainkan selalu
lahir dari interaksi antara simbol linguistik, kesadaran manusia, dan
struktur realitas.¹⁶
Pandangan kontemporer dalam filsafat pragmatisme
dan komunikasi humanistik (seperti pada Habermas) memperkuat posisi ini.
Makna dipahami sebagai produk intersubjektivitas, yaitu hasil negosiasi
makna di antara para partisipan rasional dalam situasi komunikasi.¹⁷ Dengan
demikian, ontologi makna bukanlah entitas yang tetap, tetapi proses dialogis
yang mengandaikan keterbukaan, refleksi, dan tanggung jawab etis terhadap dunia
bersama.¹⁸
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 45–47.
[2]
Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 389a–390e.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Penguin, 1997 [1690]), Book III, ch. 2.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 2.1–2.2.
[5]
Ferdinand de Saussure, Course in General
Linguistics, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 67–70.
[6]
Ibid., 111–113.
[7]
Roland Barthes, Elements of Semiology,
trans. Annette Lavers and Colin Smith (New York: Hill and Wang, 1968), 45–48.
[8]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[9]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 39–41.
[10]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no.
56 (1905): 479–493.
[11]
Alfred Tarski, “The Concept of Truth in Formalized
Languages,” in Logic, Semantics, Metamathematics (Oxford: Clarendon
Press, 1956), 152–278.
[12]
Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to
Pure Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (London: Allen & Unwin,
1931), 123–126; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception,
trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 165–168.
[13]
Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache
(Pfullingen: Neske, 1959), 11.
[14]
Ibid., 23–26.
[15]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 296–300.
[16]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica
27, no. 3 (1973): 313–328.
[17]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–275.
[18]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 34–36.
4.
Epistemologi:
Pengetahuan tentang Makna dan Pemahaman
Pertanyaan epistemologis dalam semantik berkisar
pada persoalan: bagaimana manusia mengetahui makna dan bagaimana
pemahaman terhadap bahasa dimungkinkan. Jika ontologi semantik membahas apa
itu makna, maka epistemologi semantik berupaya menjelaskan bagaimana
makna itu diketahui, dibentuk, dan diinterpretasikan. Dalam hal ini,
semantik beririsan erat dengan teori pengetahuan, filsafat pikiran,
dan filsafat komunikasi, karena makna tidak hanya diproduksi oleh sistem
bahasa, tetapi juga oleh kesadaran manusia yang menafsirkan.¹
4.1.
Makna sebagai Pengetahuan Kognitif
Dalam kerangka kognitivisme, makna dipahami
sebagai bentuk representasi mental yang memungkinkan manusia mengenali,
mengklasifikasi, dan menafsirkan dunia. John Locke menegaskan bahwa
pengetahuan bahasa bersumber dari asosiasi antara kata dan ide dalam pikiran.²
Walaupun bersifat empiris, pengetahuan ini menuntut kesamaan persepsi
antarsubjek agar komunikasi dapat berlangsung. Namun, pendekatan ini cenderung
menimbulkan problem privatness of meaning, yakni kesulitan untuk
menjelaskan bagaimana makna yang bersifat mental dapat dipahami secara publik.³
Sebagai tanggapan, Gottlob Frege
memperkenalkan pembedaan antara sense (Sinn) dan reference
(Bedeutung) untuk menjelaskan dimensi kognitif dalam pemahaman makna.⁴ Sense
memungkinkan individu memahami makna suatu ekspresi terlepas dari objek
eksternalnya, sehingga pengetahuan semantik tidak bergantung pada pengalaman
empiris semata, tetapi juga pada struktur logis dan rasional pikiran.⁵ Dengan
demikian, Frege menggeser fokus epistemologi semantik dari pengalaman
individual menuju ranah rasionalitas objektif.
4.2.
Pemahaman sebagai Proses Linguistik
dan Sosial
Epistemologi semantik tidak hanya menyangkut
kapasitas mental individu, tetapi juga praktik sosial penggunaan bahasa.
Dalam pandangan Ludwig Wittgenstein, pemahaman terhadap makna tidak
diperoleh melalui kontemplasi mental, melainkan melalui penguasaan aturan
permainan bahasa (language games).⁶ Untuk memahami makna suatu
ungkapan, seseorang harus mampu mengikuti konvensi dan aturan sosial yang
membentuk konteks penggunaan kata tersebut. Makna, dalam hal ini, adalah produk
dari pembelajaran intersubjektif yang terjadi dalam komunitas bahasa.⁷
Pemahaman semacam ini bersifat performatif, bukan
semata-mata deskriptif. J. L. Austin menegaskan bahwa mengetahui makna
suatu ujaran berarti memahami apa yang dilakukan oleh penuturnya melalui ujaran
itu.⁸ Dalam konteks ini, pengetahuan tentang makna melibatkan kemampuan untuk menafsirkan
intensi komunikatif, bukan sekadar mengenali hubungan antara tanda dan
referensinya. John Searle memperluas gagasan ini dengan menyatakan bahwa
makna adalah hasil dari aturan konstitutif yang menjadikan tindakan linguistik
bermakna dalam struktur sosial.⁹
4.3.
Epistemologi Kontekstual: Makna,
Niat, dan Interpretasi
Makna tidak pernah hadir secara netral; ia selalu terikat
konteks. Pandangan ini diperkuat oleh H. P. Grice, yang menegaskan
bahwa memahami makna suatu ujaran memerlukan pengetahuan tentang niat
pembicara dan asumsi bersama antara pembicara dan pendengar.¹⁰
Dengan demikian, makna dipahami secara epistemologis sebagai inferensi
pragmatis yang melibatkan penalaran sosial dan psikologis.
Dari sisi ini, epistemologi semantik bergeser dari
model “representasi” menuju model interpretasi. Hans-Georg
Gadamer dalam hermeneutik filosofisnya menyatakan bahwa pemahaman bukanlah
reproduksi makna yang telah ada, melainkan fusi horizon (Horizontverschmelzung)
antara penafsir dan teks.¹¹ Proses pemahaman selalu bersifat dialogis dan historis;
ia menuntut keterbukaan terhadap makna yang terus berkembang.
Dalam pandangan hermeneutik ini, pengetahuan
semantik tidak bersifat proposisional melainkan eksistensial. Pemahaman
terhadap makna merupakan cara manusia mengada di dunia—sebuah proses mengungkapkan
diri melalui bahasa.¹² Maka, epistemologi semantik bergeser dari sekadar
mengetahui apa arti suatu kata, menuju bagaimana makna itu
dihayati dalam pengalaman hidup.
4.4.
Pengetahuan Intersubjektif dan
Rasionalitas Komunikatif
Pendekatan kontemporer terhadap epistemologi
semantik banyak dipengaruhi oleh Jürgen Habermas, yang menekankan bahwa
pengetahuan makna bersumber dari rasionalitas komunikatif.¹³ Menurut
Habermas, pemahaman linguistik terjadi ketika para peserta komunikasi mencapai kesepahaman
(Verständigung) melalui argumentasi yang bebas dari dominasi. Dalam
situasi ideal, makna diproduksi secara intersubjektif melalui pertukaran
rasional yang mengakui keabsahan tiga klaim utama: kebenaran, kejujuran, dan
ketepatan.¹⁴
Dengan demikian, epistemologi semantik berlandaskan
pada proses dialogis yang etis. Mengetahui makna berarti berpartisipasi
dalam komunitas diskursif yang memungkinkan evaluasi kritis terhadap pernyataan
dan tindakan. Pandangan ini menempatkan bahasa tidak sekadar sebagai alat pengetahuan,
tetapi juga sebagai medium rasionalitas dan emansipasi.¹⁵
4.5.
Dari Representasi ke Pemahaman
Humanistik
Dalam perkembangan mutakhir, epistemologi semantik
tidak lagi dipandang sebagai teori tentang bagaimana makna “diketahui” secara
objektif, tetapi sebagai refleksi atas bagaimana manusia memahami dunia dan
sesamanya melalui bahasa. Charles Taylor menegaskan bahwa kapasitas
linguistik manusia bukan sekadar kognitif, melainkan juga ekspresif dan etis:
melalui bahasa, manusia membentuk identitas, nilai, dan horizon moralnya.¹⁶
Dengan demikian, pengetahuan tentang makna bukan
hanya persoalan logika atau psikologi, tetapi juga pengalaman kemanusiaan
yang reflektif dan intersubjektif. Makna diketahui bukan dengan memahami
simbol secara abstrak, melainkan dengan menghayati relasi antara diri,
bahasa, dan dunia.¹⁷
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 52–54.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Penguin, 1997 [1690]), Book III, ch. 2.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953),
§§243–256.
[4]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[5]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 46–47.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §§19–23.
[7]
P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in
the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 112–115.
[8]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 6–8.
[9]
John Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
22–23.
[10]
H. P. Grice, “Meaning,” Philosophical Review
66, no. 3 (1957): 377–388.
[11]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.
[12]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 28–30.
[13]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–277.
[14]
Ibid., 285–287.
[15]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge,
1992), 31–33.
[16]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 38–40.
[17]
Hubert L. Dreyfus dan Charles Taylor, Retrieving
Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 112–115.
5.
Aksiologi:
Nilai, Fungsi, dan Tujuan Semantik
Kajian aksiologis dalam semantik berfokus pada
pertanyaan “untuk apa makna itu bernilai?” dan “bagaimana fungsi
semantik berkontribusi terhadap kehidupan manusia dan masyarakat?”. Jika
ontologi menelaah keberadaan makna dan epistemologi membahas cara manusia
mengetahui makna, maka aksiologi menyoroti dimensi nilai, fungsi etis,
dan tujuan praksis dari pemaknaan dalam bahasa.¹ Dalam konteks filsafat
bahasa, semantik tidak hanya merupakan analisis teknis terhadap struktur makna,
tetapi juga refleksi normatif tentang bagaimana bahasa dapat digunakan untuk menghasilkan
pemahaman, kejujuran, dan kemanusiaan.²
5.1.
Nilai Kognitif dan Epistemik dari
Makna
Secara aksiologis, semantik memiliki nilai kognitif
karena ia menjadi sarana utama bagi manusia untuk memahami dunia. Dengan
mengetahui makna, manusia tidak sekadar menamai realitas, melainkan menstrukturkan
dan memberi arti terhadap pengalaman.³ Bahasa memungkinkan penyusunan
pengetahuan secara sistematis, dan semantik menjadi fondasi bagi kegiatan
berpikir yang rasional dan logis.
Dalam tradisi filsafat analitik, Frege dan
Carnap memandang nilai semantik sebagai sarana untuk menegakkan kejelasan
konseptual dan keakuratan logis.⁴ Makna yang jelas dan terstruktur membantu
manusia menghindari kekeliruan berpikir dan memperkuat argumentasi ilmiah.
Dalam hal ini, semantik berfungsi epistemik: ia memelihara koherensi
rasional antara bahasa, pikiran, dan realitas.
Namun, nilai semantik tidak berhenti pada kognisi.
Makna juga memiliki fungsi hermeneutik, yaitu memungkinkan interpretasi
terhadap teks, simbol, dan budaya.⁵ Melalui proses penafsiran, manusia
menemukan makna yang tersembunyi di balik bentuk linguistik, sehingga semantik
menjadi jalan menuju pemahaman eksistensial terhadap diri dan dunia.
5.2.
Nilai Etis dan Komunikatif dari
Makna
Bahasa bukan hanya alat berpikir, tetapi juga alat berhubungan
antar-manusia. Karena itu, makna memiliki nilai etis: ia menjadi dasar bagi
komunikasi yang jujur, terbuka, dan saling menghargai. Jürgen
Habermas menegaskan bahwa setiap tindak komunikasi membawa tiga klaim
validitas—kebenaran, ketepatan, dan kejujuran—yang merupakan landasan moral
bagi rasionalitas komunikatif.⁶ Semantik, dalam perspektif ini, bukan sekadar
sistem tanda, tetapi ruang etis di mana manusia menegosiasikan makna
secara adil dan rasional.⁷
Makna yang disalahgunakan dapat menimbulkan
manipulasi, distorsi, dan dominasi simbolik, sebagaimana dikritik oleh Michel
Foucault dan Pierre Bourdieu, yang menunjukkan bagaimana wacana
dapat menjadi alat kekuasaan.⁸ Oleh karena itu, nilai etis semantik terletak
pada kemampuannya menjaga transparansi dan keadilan linguistik, agar
bahasa tidak menjadi instrumen ideologis yang menindas, melainkan medium
emansipasi dan solidaritas.⁹
Dalam konteks ini, pemahaman makna menjadi bagian
dari tanggung jawab moral. Mengerti makna bukan hanya memahami isi pesan,
tetapi juga mengakui kehadiran dan martabat pihak lain. Emmanuel Levinas
menegaskan bahwa relasi dengan “yang lain” selalu mendahului
representasi; maka, komunikasi bermakna menuntut sikap etis berupa keterbukaan
dan tanggung jawab terhadap alteritas.¹⁰
5.3.
Fungsi Sosial dan Kultural dari
Semantik
Selain nilai epistemik dan etis, semantik juga
memiliki fungsi sosial dan kultural. Bahasa merupakan produk kolektif
masyarakat, dan makna lahir melalui interaksi sosial.¹¹ Setiap budaya memiliki
sistem semantik yang mencerminkan pandangan dunianya (Weltanschauung).
Oleh karena itu, memahami makna dalam konteks lintas budaya berarti memahami
perbedaan cara manusia memaknai dunia.
Dalam kerangka antropologi linguistik, makna
bukan hanya sesuatu yang dipahami, tetapi juga sesuatu yang dihidupi. Ia
menentukan bagaimana masyarakat menamai, mengklasifikasi, dan memberi nilai
pada realitas.¹² Semantik, dengan demikian, menjadi jembatan antara bahasa
dan budaya, antara simbol dan nilai sosial.
Pandangan ini juga relevan di era digital, di mana
makna mengalami transformasi melalui media baru. Bentuk komunikasi daring
menggeser cara manusia memahami dan menafsir pesan, menciptakan semantik baru
yang bersifat visual, interaktif, dan algoritmik.¹³ Dalam konteks ini, semantik
memiliki fungsi reflektif: membantu manusia menyadari perubahan struktur makna
yang terjadi dalam ruang budaya digital.
5.4.
Tujuan Humanistik dari Semantik
Pada tataran terdalam, nilai dan fungsi semantik
bermuara pada tujuan humanistik: menumbuhkan pemahaman antar-manusia dan
memperluas horizon kemanusiaan. Paul Ricoeur memandang makna sebagai “ruang
interpretasi” tempat manusia menghubungkan pengalaman dan harapan melalui
simbol dan narasi.¹⁴ Dengan memahami makna, manusia memperluas dunia kehidupannya
dan membangun kesadaran etis tentang keberadaan yang bersama.
Tujuan semantik bukan sekadar mengurai struktur
bahasa, tetapi memelihara kemampuan manusia untuk berkomunikasi secara
bermakna dan bermoral. Dalam dunia yang sarat polarisasi, makna berperan
sebagai jembatan dialog, bukan dinding perbedaan. Dalam arti ini, semantik
menjadi sarana bagi rekonsiliasi epistemik dan empatik di antara
manusia.¹⁵
Dengan demikian, aksiologi semantik menegaskan
bahwa makna bukan hanya soal “benar atau salah,” melainkan juga soal baik
atau buruk, adil atau menindas, manusiawi atau dehumanistik. Melalui
pemahaman makna yang jujur, reflektif, dan terbuka, bahasa dapat menjadi medium
kemanusiaan, bukan sekadar instrumen logika.¹⁶
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 112–114.
[2]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 41–42.
[3]
Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica
27, no. 3 (1973): 314–315.
[4]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50; Rudolf Carnap,
Meaning and Necessity (Chicago: University of Chicago Press, 1947),
9–11.
[5]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 28–30.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–275.
[7]
Ibid., 287–289.
[8]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 27–28; Pierre
Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew
Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 36–38.
[9]
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social
Text 25/26 (1990): 56–80.
[10]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 194–196.
[11]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the
Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 207–210.
[12]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 134–136.
[13]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman:
Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago:
University of Chicago Press, 1999), 45–47.
[14]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 52–54.
[15]
Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A
Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1997), 83–85.
[16]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 120–123.
6.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Kultural
Dimensi sosial, politik, dan kultural dari semantik
menyoroti bagaimana makna tidak hanya terbentuk secara logis atau mental,
tetapi juga secara sosial-historis. Bahasa bukan entitas netral; ia
merupakan produk interaksi manusia, praktik kekuasaan, dan konstruksi budaya
yang hidup dalam konteks sosial tertentu.¹ Oleh karena itu, pemahaman semantik
yang utuh harus mempertimbangkan bagaimana makna beroperasi di dalam jaringan
institusi, ideologi, dan relasi kuasa yang membentuk kehidupan bersama.²
6.1.
Makna sebagai Produk Sosial dan
Praktik Diskursif
Makna tidak muncul dalam ruang hampa; ia dihasilkan,
dinegosiasikan, dan disebarluaskan melalui praktik sosial. Dalam kerangka interaksionisme
simbolik, Herbert Blumer menegaskan bahwa makna muncul dari
interaksi manusia melalui simbol-simbol bersama.³ Setiap individu menafsirkan
makna berdasarkan pengalaman sosialnya, dan interpretasi itu terus diperbarui
dalam komunikasi. Dengan demikian, semantik tidak dapat dipisahkan dari konteks
sosial yang melingkupinya.
Mikhail Bakhtin memperkuat pandangan ini dengan menyatakan bahwa setiap ujaran bersifat
dialogis: ia selalu menanggapi, menegosiasikan, dan menempatkan diri dalam
relasi terhadap ujaran lain.⁴ Bahasa, dalam pandangan Bakhtin, adalah medan
ideologis di mana makna menjadi arena pertarungan simbolik antar-sudut
pandang sosial.⁵ Maka, memahami semantik berarti juga memahami dinamika sosial
yang melatarbelakangi produksi makna.
6.2.
Semantik dan Kekuasaan: Wacana
sebagai Instrumen Ideologis
Pada ranah politik, semantik tidak lagi sekadar
alat komunikasi, melainkan instrumen kekuasaan. Michel Foucault
menunjukkan bahwa makna dibentuk dalam dan oleh wacana yang beroperasi melalui
jaringan pengetahuan dan kekuasaan.⁶ Melalui wacana, masyarakat menentukan apa
yang dianggap benar, normal, dan sah untuk dikatakan. Dalam hal ini, semantik
bukan hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga mengkonstruksinya
secara normatif.
Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep kekuasaan simbolik (symbolic power)
untuk menjelaskan bagaimana bahasa menjadi sarana legitimasi sosial.⁷
Menurutnya, struktur semantik tidak netral, melainkan mencerminkan distribusi
kekuasaan dan modal simbolik dalam masyarakat. Makna yang dominan—misalnya
dalam politik, media, atau agama—memiliki kapasitas untuk membentuk persepsi
sosial dan mengendalikan kesadaran kolektif.⁸
Dari perspektif ini, semantik berfungsi sebagai arena
ideologis, di mana kelompok-kelompok sosial berjuang untuk menetapkan makna
tertentu sebagai “resmi” atau “benar.” Karena itu, analisis
semantik tidak bisa dilepaskan dari kritik terhadap struktur dominasi
linguistik dan hegemoni wacana.⁹
6.3.
Dimensi Kultural: Relativitas Makna
dan Pandangan Dunia
Makna tidak hanya dipengaruhi oleh struktur sosial,
tetapi juga oleh kerangka budaya yang menjadi wadah simbolik bagi
masyarakat. Setiap bahasa memiliki struktur semantik yang unik, yang mencerminkan
cara pandang dan sistem nilai budaya tertentu. Teori relativitas
linguistik Sapir–Whorf menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat untuk
menamai dunia, melainkan membentuk cara berpikir dan memahami realitas.¹⁰
Dalam konteks ini, semantik memiliki dimensi
antropologis: ia menunjukkan bahwa makna tidak universal, tetapi relatif
terhadap konteks budaya dan historisnya. Misalnya, kata “kebebasan”
dalam budaya Barat modern memiliki muatan individualistik, sedangkan dalam
konteks Timur lebih terkait dengan harmoni sosial.¹¹ Perbedaan semantik ini
bukan sekadar variasi linguistik, melainkan perbedaan paradigma kultural yang
mendasari tindakan sosial dan politik.
Clifford Geertz memperluas pandangan ini dengan menekankan bahwa budaya adalah “jaringan
makna” (web of significance) yang ditenun manusia sendiri.¹² Dalam
kerangka ini, memahami semantik berarti menafsirkan pola makna yang dihasilkan
oleh masyarakat dalam simbol, ritual, dan narasi mereka. Makna adalah hasil
tafsir kolektif atas pengalaman hidup, bukan sekadar produk pikiran individual.
6.4.
Semantik dan Media: Produksi Makna
di Era Digital
Dalam era global dan digital, makna menjadi semakin
kompleks karena diformasikan oleh sistem komunikasi massa dan algoritme
teknologi. Bahasa kini beroperasi dalam ruang siber yang melampaui batas
budaya dan geografi.¹³ Dalam konteks ini, semantik tidak lagi hanya dihasilkan
oleh manusia, tetapi juga oleh mesin dan kode yang menafsirkan data
secara otomatis.
N. Katherine Hayles dan Lev Manovich menunjukkan bahwa transformasi
digital telah mengubah cara manusia menghasilkan dan memahami makna: dari teks
ke citra, dari linearitas ke interaktivitas, dari interpretasi manusia ke
komputasi algoritmik.¹⁴ Makna kini menjadi produk sirkulasi simbolik
yang berlangsung secara cepat, terfragmentasi, dan sering kali kehilangan
konteks humanistiknya.
Namun, dimensi sosial dari semantik digital juga
membuka peluang etis baru: ruang untuk dialog lintas budaya, demokratisasi
informasi, dan kolaborasi global.¹⁵ Maka, tugas filsafat semantik kontemporer
adalah menegaskan kembali nilai kemanusiaan dalam produksi makna digital,
agar komunikasi di era global tidak jatuh ke dalam relativisme nihilistik atau
dominasi teknologi yang dehumanistik.
Menuju
Semantik Sosial-Humanistik
Dengan menelaah dimensi sosial, politik, dan
kultural semantik, menjadi jelas bahwa makna adalah arena pertemuan antara
kekuasaan, budaya, dan kemanusiaan. Semantik tidak dapat direduksi menjadi
sistem logis atau representasi linguistik semata, karena ia juga merupakan medan
perjuangan moral dan sosial untuk menegakkan keadilan dalam komunikasi.¹⁶
Dalam konteks ini, Habermas menawarkan
paradigma rasionalitas komunikatif sebagai dasar semantik yang etis dan
inklusif.¹⁷ Bahasa harus menjadi ruang deliberatif yang memungkinkan
partisipasi setara, bukan alat dominasi simbolik. Dengan demikian, semantik
sosial-humanistik berupaya memulihkan fungsi bahasa sebagai medium pemahaman
dan solidaritas, bukan sekadar sistem tanda yang tunduk pada logika
kekuasaan.¹⁸
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 117–119.
[2]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 72–74.
[3]
Herbert Blumer, Symbolic Interactionism:
Perspective and Method (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1969), 4–6.
[4]
Mikhail Bakhtin, The Dialogic Imagination: Four
Essays, trans. Caryl Emerson and Michael Holquist (Austin: University of
Texas Press, 1981), 259–260.
[5]
Ibid., 272–274.
[6]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 27–28.
[7]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 36–38.
[8]
Ibid., 40–41.
[9]
Norman Fairclough, Discourse and Social Change
(Cambridge: Polity Press, 1992), 67–69.
[10]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 212–214.
[11]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the
Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 210–213.
[12]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5–6.
[13]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society,
2nd ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 403–405.
[14]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman:
Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago:
University of Chicago Press, 1999), 45–47; Lev Manovich, The Language of New
Media (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 38–41.
[15]
Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old
and New Media Collide (New York: New York University Press, 2006), 93–95.
[16]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 319–321.
[17]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–275.
[18]
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality
and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2002), 87–89.
7.
Teori-Teori
Utama dalam Semantik Filosofis
Kajian semantik dalam filsafat bahasa mencakup
beragam teori yang berupaya menjelaskan bagaimana bahasa memperoleh makna,
bagaimana makna berhubungan dengan dunia, dan bagaimana proposisi
dapat bernilai benar atau salah. Secara garis besar, teori-teori semantik
filosofis berkembang dari tiga orientasi utama: teori referensial dan
kebenaran, teori makna sebagai penggunaan, dan teori semantik
kontekstual dan dinamis.¹ Perbedaan di antara ketiganya mencerminkan
pergeseran fokus dari logika formal menuju pemahaman pragmatis dan hermeneutik
tentang bahasa.
7.1.
Teori Kebenaran-Kondisional
(Truth-Conditional Semantics)
Teori ini berakar pada karya Gottlob Frege, Bertrand
Russell, dan Alfred Tarski, yang menekankan hubungan antara makna
dan kondisi kebenaran dari suatu proposisi.² Menurut Frege, setiap
kalimat memiliki sense (makna kognitif) dan reference (acuan
terhadap fakta dunia).³ Makna sebuah kalimat ditentukan oleh kondisi di mana
kalimat itu dapat bernilai benar atau salah. Dengan demikian, memahami makna
berarti mengetahui apa yang harus terjadi di dunia agar pernyataan itu benar.⁴
Tarski kemudian memformalisasi pandangan ini dalam teori semantik kebenaran (semantic
conception of truth), dengan rumus terkenal “T” yang menyatakan
bahwa kalimat “‘Salju berwarna putih’ benar jika dan hanya jika salju
berwarna putih.”⁵ Bagi Tarski, konsep kebenaran semantik bersifat metabahasa,
yaitu aturan logis yang menentukan korespondensi antara kalimat dan realitas.⁶
Dalam perkembangan lanjut, Donald Davidson
menggunakan teori kebenaran Tarskian untuk menjelaskan makna bahasa alamiah.⁷
Baginya, memahami suatu kalimat identik dengan mengetahui kondisi
kebenarannya—suatu pendekatan yang menekankan bahwa semantik dan epistemologi
saling terkait.⁸ Meski demikian, teori ini dikritik karena cenderung
mengabaikan dimensi kontekstual dan sosial dari makna yang tidak dapat
direduksi menjadi struktur logis.⁹
7.2.
Teori Referensi (Referential
Theories of Meaning)
Teori referensial berasumsi bahwa makna kata
terletak pada objek atau entitas yang dirujuknya di dunia. Pandangan ini
mengakar pada filsafat klasik Aristotelian dan diperbarui dalam filsafat
analitik abad ke-20.
Bertrand Russell melalui On Denoting (1905) memperkenalkan teori deskripsi
definitif (definite description theory), yang menjelaskan bahwa
pernyataan seperti “Raja Prancis sekarang botak” memiliki struktur logis
kompleks yang dapat dianalisis tanpa mengandaikan eksistensi aktual objeknya.¹⁰
Makna, bagi Russell, bersumber dari struktur proposisional yang
mengandung fungsi referensial dan logis sekaligus.¹¹
Sebaliknya, Gottlob Frege mengajukan
perbedaan antara Bedeutung (referensi) dan Sinn (sense), di mana sense
menjelaskan cara suatu objek diberikan kepada pikiran.¹² Dengan demikian, dua
istilah yang menunjuk objek sama—misalnya “Bintang Fajar” dan “Bintang
Senja”—tetap memiliki makna berbeda karena sense-nya berbeda,
meskipun referensinya identik (planet Venus).¹³
Teori referensi modern dikembangkan lebih jauh oleh
Saul Kripke dan Hilary Putnam, yang menolak teori deskriptif
Frege-Russell dan mengajukan teori referensi kausal (causal theory of
reference).¹⁴ Kripke menegaskan bahwa referensi tidak ditentukan oleh
deskripsi, melainkan oleh rantai kausal penamaan yang menghubungkan
ujaran pertama dengan pengguna berikutnya.¹⁵ Putnam menambahkan dimensi
eksternal dengan konsep semantic externalism, yakni bahwa makna suatu
istilah tergantung pada lingkungan eksternal dan komunitas linguistik, bukan
hanya isi mental individu.¹⁶
Pendekatan ini menegaskan bahwa makna bersifat relasional
dan sosial, sekaligus menyoroti keterlibatan dunia eksternal dalam
pembentukan makna.¹⁷ Namun, teori ini sering dikritik karena kurang
memperhatikan aspek pragmatis dan kontekstual dari komunikasi manusia yang
kompleks.¹⁸
7.3.
Teori Makna sebagai Penggunaan
(Meaning-as-Use Theory)
Sebagai reaksi terhadap pendekatan logis dan
referensial, Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations
mengemukakan pandangan bahwa “makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam
bahasa” (the meaning of a word is its use in the language).¹⁹ Ia
menolak gagasan bahwa makna bersifat tetap dan dapat direduksi menjadi hubungan
antara tanda dan objek. Sebaliknya, makna adalah hasil dari praktik sosial
penggunaan bahasa dalam berbagai language games yang diatur oleh
aturan tertentu.²⁰
Dalam teori ini, makna dipahami sebagai aktivitas
sosial dan performatif, bukan entitas metafisik atau logis.²¹ Makna suatu
kata tergantung pada konteks penggunaannya dan pada konvensi komunitas bahasa
yang memakainya.²² Pandangan Wittgenstein kemudian memengaruhi filsafat bahasa
biasa (ordinary language philosophy), yang dikembangkan oleh J. L.
Austin dan John Searle.
Austin memperkenalkan konsep tindak tutur (speech acts), yaitu bahwa
ujaran tidak hanya menyatakan sesuatu (deskriptif), tetapi juga melakukan
sesuatu (performatif).²³ Searle melanjutkan dengan membedakan antara tindak
lokusi, ilokusi, dan perlokusi, serta menjelaskan bagaimana makna
bergantung pada niat komunikatif pembicara dan aturan sosial yang
mendasarinya.²⁴
Pendekatan ini memperluas semantik ke arah pragmatik,
dengan menekankan bahwa memahami makna berarti memahami fungsi dan tujuan
ujaran dalam konteks interaksi sosial.²⁵
7.4.
Teori Semantik Formal dan
Naturalistik
Selain teori penggunaan, berkembang pula pendekatan
semantik formal yang berusaha memodelkan bahasa alami menggunakan logika
dan matematika. Rudolf Carnap melalui Meaning and Necessity
(1947) mengembangkan teori semantik intensional, di mana makna suatu ekspresi
ditentukan oleh kondisi kebenaran dalam berbagai dunia mungkin (possible
worlds).²⁶
Gagasan ini dikembangkan lebih lanjut oleh Richard
Montague dalam semantik Montague (Montague semantics), yang
menunjukkan bahwa bahasa alami dapat dianalisis dengan ketepatan logika
formal.²⁷ Dalam sistem ini, setiap ekspresi linguistik memiliki makna yang
dapat dimodelkan secara fungsi matematis antara dunia dan nilai kebenaran.²⁸
Pendekatan naturalistik terhadap semantik muncul
dari filosofi ilmu kognitif, seperti pada Jerry Fodor, yang
mengaitkan makna dengan representasi mental dalam sistem simbolik
otak.²⁹ Teori ini berusaha menjembatani antara filsafat bahasa dan ilmu saraf,
meski sering dikritik karena reduksionistik dan mengabaikan dimensi sosial
semantik.³⁰
7.5.
Teori Semantik Kontekstual dan
Dinamis
Dalam filsafat bahasa kontemporer, muncul
pendekatan kontekstual dan dinamis yang menolak pandangan bahwa makna
kalimat tetap dan tertutup. David Kaplan membedakan antara character
(aturan umum penggunaan) dan content (makna aktual tergantung konteks),
untuk menjelaskan deiksis dan indeksikalitas dalam bahasa.³¹
Robert Stalnaker dan Irene Heim mengembangkan semantik dinamis, yang
memandang makna sebagai perubahan keadaan informasi antara partisipan
komunikasi.³² Dengan kata lain, makna bukan hanya proposisi statis, tetapi proses
pembaruan konteks bersama (common ground).³³
Pendekatan ini membuka jalan bagi semantik
interaktif, pragmatis, dan bahkan komputasional—di mana makna dapat dipahami
sebagai hasil dari negosiasi informasi dalam dialog, baik antar-manusia
maupun antara manusia dan mesin.³⁴
Refleksi
Sintetis
Dari seluruh teori tersebut tampak bahwa semantik
telah bergerak dari paradigma representasional dan formal menuju paradigma
relasional dan komunikatif. Makna tidak lagi dipahami sebagai entitas
tetap, melainkan sebagai proses dialogis dan dinamis yang melibatkan
dunia, bahasa, dan kesadaran manusia.³⁵
Dengan demikian, teori-teori semantik tidak saling
meniadakan, tetapi justru saling melengkapi: teori kebenaran memberi
dasar logis, teori referensi menjelaskan hubungan dengan realitas, teori
penggunaan mengungkap konteks sosial, sedangkan teori kontekstual menekankan
dinamika interaksi.³⁶ Keseluruhannya membentuk landasan filosofis bagi semantik
humanistik yang integratif—sebuah semantik yang tidak hanya menjelaskan bahasa,
tetapi juga memanusiakan komunikasi.³⁷
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 121–123.
[2]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[3]
Ibid., 27–29.
[4]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 34–36.
[5]
Alfred Tarski, “The Concept of Truth in Formalized
Languages,” in Logic, Semantics, Metamathematics (Oxford: Clarendon
Press, 1956), 152–278.
[6]
Ibid., 270–272.
[7]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323.
[8]
Ibid., 315–318.
[9]
Hilary Putnam, Mind, Language and Reality:
Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press,
1975), 215–217.
[10]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[11]
Ibid., 481–484.
[12]
Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” 30–32.
[13]
Dummett, Frege: Philosophy of Language,
38–39.
[14]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 71–73.
[15]
Ibid., 90–92.
[16]
Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind,
Language and Reality: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 215–271.
[17]
Tyler Burge, “Individualism and the Mental,” Midwest
Studies in Philosophy 4, no. 1 (1979): 73–122.
[18]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 18–20.
[19]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[20]
Ibid., §§19–23.
[21]
P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in
the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 115–118.
[22]
Stanley Cavell, Must We Mean What We Say?
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 54–57.
[23]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 4–6.
[24]
John Searle, Speech Acts (Cambridge:
Cambridge University Press, 1969), 16–18.
[25]
Kent Bach dan Robert M. Harnish, Linguistic
Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 91–94.
[26]
Rudolf Carnap, Meaning and Necessity
(Chicago: University of Chicago Press, 1947), 9–10.
[27]
Richard Montague, “Universal Grammar,” Theoria
36, no. 3 (1970): 373–398.
[28]
Barbara Partee, “Montague Grammar and Linguistic
Semantics,” in Contemporary Research in Philosophical Logic and Linguistic
Semantics, ed. D. Gabbay and F. Guenthner (Dordrecht: Reidel, 1980), 1–25.
[29]
Jerry Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 56–58.
[30]
Paul Churchland, A Neurocomputational
Perspective: The Nature of Mind and the Structure of Science (Cambridge,
MA: MIT Press, 1989), 72–74.
[31]
David Kaplan, “Demonstratives,” in Themes from
Kaplan, ed. Joseph Almog, John Perry, and Howard Wettstein (Oxford: Oxford
University Press, 1989), 481–563.
[32]
Robert Stalnaker, Context and Content: Essays on
Intentionality in Speech and Thought (Oxford: Oxford University Press,
1999), 78–82.
[33]
Irene Heim, File Change Semantics and the
Familiarity Theory of Definites (Cambridge, MA: MIT Press, 1982), 34–37.
[34]
Nicholas Asher dan Alex Lascarides, Logics of
Conversation (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 3–6.
[35]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 58–60.
[36]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1991), 82–84.
[37]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 120–122.
8.
Kritik
terhadap Pandangan-Pandangan Utama
Setiap teori semantik filosofis lahir dari
kebutuhan untuk menjelaskan hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas,
namun tidak ada satu pun yang bebas dari keterbatasan. Kajian kritis terhadap
teori-teori utama dalam semantik menyingkap bahwa persoalan makna jauh lebih
kompleks daripada yang dapat dijelaskan oleh satu kerangka tunggal. Kritik ini
mencakup persoalan reduksionisme logis, abstraksi formal, ketertutupan
terhadap konteks sosial, serta krisis representasionalisme dalam
filsafat bahasa modern.¹
8.1.
Kritik terhadap Teori
Kebenaran-Kondisional
Teori kebenaran-kondisional dianggap memberikan
fondasi logis yang kuat bagi semantik, tetapi juga dikritik karena mereduksi
makna menjadi sekadar hubungan proposisional antara kalimat dan keadaan dunia.²
Donald Davidson dan Alfred Tarski berhasil memformulasikan
struktur logis kebenaran, namun pendekatan mereka mengabaikan aspek penggunaan
nyata bahasa dalam komunikasi.³
Ludwig Wittgenstein mengkritik pandangan ini dengan menegaskan bahwa
makna tidak dapat dijelaskan hanya melalui kondisi kebenaran, sebab bahasa
tidak hanya “menggambarkan” dunia, tetapi juga “melakukan”
sesuatu dalam dunia.⁴ Kalimat seperti “Saya janji datang” atau “Saya
menamai kapal ini Liberty” tidak dapat dievaluasi berdasarkan
kebenaran atau kesalahan, tetapi melalui efek tindakannya.⁵ Dengan demikian,
teori kebenaran gagal menangkap dimensi performatif dan pragmatis bahasa,
yang justru esensial dalam interaksi manusia.
Selain itu, teori ini dianggap terlalu
objektivistik. Dengan mengaitkan makna hanya pada korespondensi dengan
fakta eksternal, ia mengabaikan bahwa pemahaman terhadap makna juga melibatkan pengetahuan
kontekstual dan niat komunikatif.⁶ Dalam komunikasi antar manusia, makna
tidak selalu dapat ditentukan oleh kondisi faktual, tetapi juga oleh konteks
sosial dan interpretasi hermeneutik.⁷
8.2.
Kritik terhadap Teori Referensi
Teori referensi klasik (Frege, Russell) maupun
modern (Kripke, Putnam) mendapat kritik karena memusatkan makna pada
hubungan eksternal antara kata dan objek, seolah-olah bahasa bersifat
transparan terhadap realitas.⁸ Padahal, seperti ditunjukkan oleh Jacques
Derrida, hubungan antara tanda dan referen selalu tertunda dan
terperantarai oleh jaringan diferensial tanda (différance).⁹ Tidak
ada referensi murni yang berdiri sendiri, sebab setiap makna selalu muncul dari
penundaan dan perbedaan dalam sistem simbolik bahasa.¹⁰
Selain itu, teori referensi dianggap mengabaikan
peran subjek dan interaksi sosial dalam produksi makna.¹¹ Kritik dari
perspektif pragmatis dan sosiolinguistik menunjukkan bahwa referensi bukan
relasi tetap antara kata dan dunia, melainkan hasil negosiasi dalam komunitas
bahasa.¹² Bahkan Kripke dan Putnam, yang menekankan rantai kausal dan
eksternalisme semantik, tetap menyisakan persoalan mengenai bagaimana individu
memahami dan menggunakan nama atau istilah secara bermakna dalam praktik
sosial.¹³
Dengan demikian, teori referensi dipandang terlalu
ontologis dan esensialis, karena menempatkan makna seolah-olah memiliki
keberadaan independen dari kesadaran dan sejarah penggunaannya.¹⁴
8.3.
Kritik terhadap Teori Makna sebagai
Penggunaan
Meskipun teori Wittgenstein, Austin,
dan Searle berhasil menegaskan dimensi sosial dan fungsional bahasa,
pendekatan ini pun tidak lepas dari kritik. Salah satu keberatannya adalah
bahwa teori makna sebagai penggunaan cenderung relativistik, karena
bergantung pada aturan permainan bahasa (language games) yang bervariasi
di setiap komunitas.¹⁵ Jika makna hanya ditentukan oleh penggunaan sosial, maka
sulit menjelaskan bagaimana kesepahaman lintas komunitas bahasa dapat
dicapai.¹⁶
Lebih jauh, teori ini kurang memberikan dasar normatif
dan epistemik yang kuat bagi evaluasi makna. Sebagai contoh, dalam konteks
politik atau ideologis, tidak semua praktik penggunaan bahasa dapat dianggap
sahih atau setara.¹⁷ Dalam situasi di mana bahasa menjadi alat dominasi
(seperti propaganda atau ujaran kebencian), teori penggunaan tidak cukup
memberi kriteria etis untuk menilai “penggunaan bahasa yang benar.”¹⁸
Kritik lain datang dari John Searle sendiri,
yang menegaskan bahwa tidak semua makna dapat direduksi menjadi penggunaan
konvensional, karena beberapa struktur makna bersifat universal dan
mentalistik, terkait dengan kemampuan intensional manusia untuk memahami
niat dan proposisi.¹⁹
8.4.
Kritik terhadap Teori Semantik
Formal dan Naturalistik
Teori formal dan naturalistik sering dianggap
terlalu reduksionistik, karena berupaya memformulasikan bahasa alami ke
dalam sistem logis atau model matematis yang kaku.²⁰ Carnap, Montague,
dan Tarski memang berhasil menciptakan semantik presisi tinggi untuk
logika, namun bahasa manusia jauh lebih ambigu, kontekstual, dan metaforis.²¹
Selain itu, pendekatan naturalistik yang berupaya
menjelaskan makna berdasarkan representasi neural atau simbolik otak
(misalnya oleh Fodor atau Churchland) menghadapi problem “kesenjangan
semantik” (semantic gap): bagaimana representasi fisik di otak dapat
bermakna secara fenomenologis dan komunikatif.²² Hubert Dreyfus
mengkritik teori kognitif semacam ini karena gagal memahami dimensi praktis
dan tubuh manusia (embodiment) yang membentuk makna dalam pengalaman
dunia.²³
Dengan kata lain, teori formal-naturalistik
cenderung menghilangkan subjektivitas dan intersubjektivitas manusia
dari analisis semantik, padahal kedua aspek tersebut merupakan sumber makna
yang esensial dalam filsafat bahasa.²⁴
8.5.
Kritik terhadap Teori Semantik
Kontekstual dan Dinamis
Teori kontekstual dan dinamis telah membawa
semantik lebih dekat ke realitas komunikasi aktual, namun pendekatan ini juga
menghadapi problem relativitas makna dan ketidakstabilan semantik.²⁵
Jika makna selalu berubah bergantung pada konteks, bagaimana mungkin kita
berbicara tentang pemahaman universal atau makna yang stabil?²⁶
Selain itu, teori ini terkadang terlalu teknis
dan semantik-komputasional, terutama dalam linguistik formal, sehingga
kehilangan refleksi filosofis tentang makna sebagai pengalaman eksistensial.²⁷
Para pemikir hermeneutik seperti Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur
mengingatkan bahwa konteks bukan sekadar variabel pragmatis, tetapi bagian dari
sejarah pemahaman manusia (Wirkungsgeschichte).²⁸
Karena itu, teori kontekstual perlu dilengkapi oleh
kerangka etis dan hermeneutik, agar makna tidak terfragmentasi oleh
pluralitas kontekstual, tetapi tetap terbuka terhadap dialog antarbudaya dan
rasionalitas komunikatif.²⁹
Menuju
Kritik Integratif: Dari Logika ke Hermeneutika
Kritik terhadap teori-teori semantik utama
menunjukkan bahwa makna tidak dapat dipahami secara tunggal, melainkan melalui
pendekatan multidimensional—logis, sosial, dan eksistensial.³⁰ Jürgen
Habermas mencoba menjembatani jurang ini melalui teori rasionalitas
komunikatif, yang menempatkan makna dalam praktik diskursif yang terbuka,
rasional, dan etis.³¹ Dengan demikian, semantik tidak lagi hanya tentang
representasi kebenaran, tetapi juga tentang pemahaman dan pengakuan timbal
balik antara subjek yang berkomunikasi.³²
Sementara itu, Paul Ricoeur dan Charles
Taylor menawarkan koreksi humanistik dengan menegaskan bahwa makna tidak
berhenti pada sistem tanda, melainkan merupakan bagian dari proses
interpretasi diri manusia dalam dunia simbolik.³³ Dengan memadukan analisis
logis, kritik ideologis, dan refleksi hermeneutik, kajian semantik dapat
menghindari reduksionisme dan menuju pemahaman yang integral dan humanistik.³⁴
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 128–130.
[2]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 92–95.
[3]
Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 3 (1967): 304–323.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953),
§§23–25.
[5]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 5–6.
[6]
H. P. Grice, “Meaning,” Philosophical Review
66, no. 3 (1957): 377–388.
[7]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 293–297.
[8]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[9]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
23–25.
[10]
Ibid., 65–67.
[11]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power,
trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–39.
[12]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 23–24.
[13]
Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind,
Language and Reality: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 253–255.
[14]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 66–68.
[15]
Wittgenstein, Philosophical Investigations,
§65.
[16]
P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in
the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 120–123.
[17]
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social
Text 25/26 (1990): 56–80.
[18]
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge,
trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 47–49.
[19]
John Searle, Speech Acts (Cambridge:
Cambridge University Press, 1969), 23–25.
[20]
Rudolf Carnap, Meaning and Necessity
(Chicago: University of Chicago Press, 1947), 9–10.
[21]
Richard Montague, “Universal Grammar,” Theoria
36, no. 3 (1970): 373–398.
[22]
Jerry Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 59–60.
[23]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
74–76.
[24]
Paul Churchland, A Neurocomputational
Perspective (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 72–74.
[25]
Robert Stalnaker, Context and Content: Essays on
Intentionality in Speech and Thought (Oxford: Oxford University Press,
1999), 84–86.
[26]
Irene Heim, File Change Semantics and the
Familiarity Theory of Definites (Cambridge, MA: MIT Press, 1982), 35–37.
[27]
Nicholas Asher dan Alex Lascarides, Logics of
Conversation (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 5–6.
[28]
Gadamer, Truth and Method, 302–304.
[29]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1991), 84–86.
[30]
Jerrold J. Katz, Language and Other Abstract
Objects (Totowa, NJ: Rowman & Littlefield, 1981), 178–180.
[31]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–275.
[32]
Ibid., 285–287.
[33]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 319–321.
[34]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
35–38.
9.
Relevansi
Kontemporer: Semantik di Era Digital dan Global
Perkembangan teknologi informasi dan globalisasi
telah mengubah secara radikal cara manusia menghasilkan, menyebarkan, dan
memahami makna. Dalam era digital, semantik tidak lagi terbatas pada sistem
simbol manusia, tetapi juga melibatkan mesin, algoritme, dan jaringan
komunikasi global.¹ Hal ini menandai pergeseran dari semantik tradisional
yang berfokus pada struktur bahasa dan kebenaran proposisional menuju semantik
interaktif, multimodal, dan digital yang menembus batas manusia dan teknologi.²
Oleh karena itu, kajian semantik kontemporer tidak
dapat dilepaskan dari refleksi filosofis mengenai bagaimana makna terbentuk,
dinegosiasikan, dan dimediasi dalam ruang digital dan global—suatu ruang di
mana batas antara manusia, bahasa, dan mesin semakin kabur.³
9.1.
Semantik Digital: Makna dalam Era
Algoritmik
Dalam konteks teknologi digital, semantik telah
menjadi dasar bagi pengolahan bahasa alami (Natural Language Processing,
NLP), web semantik, dan kecerdasan buatan (AI).⁴ Di sini,
makna bukan lagi hasil pemahaman manusia, tetapi produk dari representasi
data dan struktur logis yang dapat diproses mesin. Tim Berners-Lee
memperkenalkan konsep Semantic Web untuk menciptakan jaringan informasi
di mana data memiliki struktur semantik yang dapat dimengerti oleh mesin.⁵
Namun, upaya mengotomatisasi makna menghadirkan
persoalan filosofis: apakah makna yang “dibaca” oleh mesin sama dengan
makna yang “dipahami” oleh manusia?⁶ Hubert Dreyfus menolak
asumsi bahwa komputer dapat benar-benar memahami makna karena pemahaman manusia
tidak hanya berbasis simbol, tetapi juga berakar pada konteks tubuh, dunia,
dan pengalaman eksistensial.⁷
Sementara itu, Luciano Floridi mengembangkan
philosophy of information, menegaskan bahwa dalam ekosistem digital,
makna harus dipahami sebagai entitas semantik-informasional, yakni
relasi antara data, konteks, dan nilai yang dihasilkan dalam proses
komunikasi.⁸ Dengan demikian, makna digital bersifat relasional, terbuka,
dan evolutif, bergantung pada interaksi antara manusia dan sistem
informasi.
9.2.
Semantik Global dan Lintas Budaya
Era globalisasi membawa tantangan baru bagi
semantik, karena pergeseran makna melintasi batas budaya dan bahasa.
Dalam komunikasi global, kata atau simbol sering kali kehilangan stabilitas
maknanya ketika berpindah konteks sosial dan ideologis.⁹ Misalnya, istilah “demokrasi,”
“kebebasan,” atau “hak asasi manusia” mengandung interpretasi
berbeda di berbagai budaya. Hal ini memperlihatkan bahwa makna bersifat multivokal
dan polisemik, serta selalu ditentukan oleh horizon kultural tempat
ia beroperasi.¹⁰
Hans-Georg Gadamer menjelaskan bahwa pemahaman lintas budaya
mensyaratkan fusi horizon (Horizontverschmelzung), yaitu proses
dialog antara penafsir dan tradisi lain yang memungkinkan terbentuknya makna
bersama.¹¹ Dalam konteks global, semantik tidak lagi bersifat universal, tetapi
interkultural, yang menuntut keterbukaan hermeneutik dan kesediaan untuk
menafsir secara reflektif terhadap perbedaan makna.¹²
Selain itu, perkembangan teknologi komunikasi
global telah menciptakan hibridisasi semantik, di mana bahasa, simbol,
dan nilai dari berbagai budaya bercampur dalam ruang digital.¹³ Hal ini
memperkaya potensi dialog antarbudaya, tetapi juga menimbulkan risiko reduksi
makna menjadi komoditas, sebagaimana dikritik oleh Jean Baudrillard,
yang melihat dunia modern sebagai “simulakrum”—realitas yang digantikan
oleh representasi tanpa referensi.¹⁴
9.3.
Krisis Makna dan Fragmentasi
Linguistik di Era Digital
Salah satu dampak signifikan dari era digital
adalah fragmentasi makna. Dalam ruang media sosial, bahasa mengalami
perubahan cepat, bersifat instan, emosional, dan sering kali kehilangan
kedalaman konseptual.¹⁵ Makna menjadi fluida dan terfragmentasi,
tergantung pada algoritme, trending topics, dan pola komunikasi jaringan.
Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai “transparansi komunikasi,”
di mana informasi mengalir cepat tanpa proses refleksi makna.¹⁶ Bahasa
kehilangan negativitas, yakni kemampuan untuk menunda, merenung, dan
memberi jarak interpretatif. Akibatnya, makna menjadi dangkal dan konsumtif,
dikendalikan oleh logika kecepatan dan visibilitas digital.¹⁷
Selain itu, algoritme yang mengatur konten di dunia
maya berperan sebagai agen semantik baru yang menentukan apa yang
terlihat, dibicarakan, dan diingat.¹⁸ Dengan demikian, muncul bentuk baru “hegemoni
semantik”—di mana makna tidak lagi dihasilkan oleh rasionalitas manusia,
tetapi oleh logika kapital dan komputasi.¹⁹
9.4.
Semantik, Etika, dan Kemanusiaan
Digital
Dalam situasi semacam itu, relevansi semantik
filosofis menjadi semakin penting, bukan hanya untuk menjelaskan bahasa, tetapi
untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam ekosistem digital. Jürgen
Habermas menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif untuk
mempertahankan ruang publik yang etis, di mana makna diproduksi melalui dialog
bebas dominasi.²⁰ Namun, di era digital, ruang publik sering kali
terfragmentasi menjadi “gelembung informasi” (filter bubbles),
sehingga menimbulkan isolasi semantik antarindividu.²¹
Paul Ricoeur memberikan koreksi dengan menekankan bahwa makna sejati selalu
bersumber dari interpretasi yang etis, yakni pemahaman yang mengandung
tanggung jawab terhadap sesama.²² Dalam konteks digital, ini berarti bahwa
komunikasi bermakna harus diarahkan pada pengakuan intersubjektif, bukan
hanya pertukaran data.²³
Oleh karena itu, semantik kontemporer memiliki
fungsi aksiologis: untuk memulihkan makna sebagai medium pemahaman dan empati
di tengah arus informasi yang serba cepat dan algoritmik.²⁴
Menuju
Semantik Humanistik dan Global
Relevansi kontemporer semantik terletak pada
kemampuannya untuk menjawab krisis makna dan komunikasi yang dihadapi
manusia modern. Dalam konteks global yang kompleks, semantik harus dipahami
sebagai proses penciptaan makna bersama (co-meaning), yang
menekankan dimensi dialogis, etis, dan ekologis dari bahasa.²⁵
Pendekatan Charles Taylor terhadap “the
language animal” menegaskan bahwa manusia tidak hanya menggunakan bahasa,
tetapi “mengada di dalam bahasa” (to be in language).²⁶ Maka,
setiap transformasi linguistik atau digital juga merupakan transformasi dalam
cara manusia memahami diri dan dunia. Semantik humanistik di era digital harus
berupaya mengintegrasikan rasionalitas, teknologi, dan kemanusiaan, agar
makna tidak tereduksi menjadi data, tetapi tetap menjadi ruang refleksi dan
relasi.²⁷
Dengan demikian, tantangan filsafat semantik
kontemporer adalah menegaskan kembali bahasa sebagai ruang kemanusiaan—tempat
di mana logika, etika, dan empati dapat bertemu, bahkan di tengah jaringan
algoritmik global yang serba cepat dan kompleks.²⁸
Footnotes
[1]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 15–16.
[2]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 134–136.
[3]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 77–78.
[4]
Yorick Wilks, Machine Translation: Its Scope and
Limits (Berlin: Springer, 2008), 12–14.
[5]
Tim Berners-Lee, James Hendler, and Ora Lassila,
“The Semantic Web,” Scientific American 284, no. 5 (2001): 34–43.
[6]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
70–72.
[7]
Ibid., 76–78.
[8]
Floridi, The Philosophy of Information,
42–44.
[9]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the
Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 209–210.
[10]
Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and
Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 214–216.
[11]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.
[12]
Ibid., 309–310.
[13]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996), 53–55.
[14]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–3.
[15]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 153–156.
[16]
Byung-Chul Han, The Transparency Society,
trans. Erik Butler (Stanford, CA: Stanford University Press, 2015), 8–9.
[17]
Ibid., 15–16.
[18]
Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression:
How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 25–27.
[19]
Jaron Lanier, Ten Arguments for Deleting Your
Social Media Accounts Right Now (New York: Henry Holt, 2018), 33–35.
[20]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–275.
[21]
Eli Pariser, The Filter Bubble: What the
Internet Is Hiding from You (New York: Penguin, 2011), 13–15.
[22]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen
Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–320.
[23]
Ibid., 324–326.
[24]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 122–124.
[25]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society,
2nd ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 412–415.
[26]
Taylor, The Language Animal, 120–122.
[27]
Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving
Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 109–112.
[28]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1991), 84–86.
10. Sintesis Filosofis: Menuju Filsafat Bahasa
Humanistik
Setelah menelusuri berbagai teori dan perdebatan
dalam semantik filosofis—mulai dari pandangan logis Frege hingga hermeneutika
Gadamer, dari referensialisme Kripke hingga pragmatisme Wittgenstein—maka jelas
bahwa filsafat bahasa tidak dapat direduksi menjadi analisis formal semata.
Bahasa bukan sekadar sistem tanda, melainkan ruang eksistensial di mana
manusia berpikir, berkomunikasi, dan memahami dirinya serta dunia.¹
Sintesis filosofis ini berupaya menyatukan dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dari semantik ke dalam suatu
kerangka humanistik, yakni pemahaman bahwa makna bersumber dari, untuk,
dan demi manusia—sebagai makhluk simbolik, rasional, sekaligus etis.²
10.1.
Integrasi Ontologis: Makna sebagai
Keberadaan dalam Bahasa
Dari sudut pandang ontologis, semantik humanistik mengakui
bahwa makna bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan modus keberadaan
manusia di dalam bahasa.³ Sejalan dengan Martin Heidegger, bahasa
bukan sekadar alat komunikasi, tetapi “rumah bagi Ada” (die
Sprache ist das Haus des Seins).⁴ Dalam bahasa, manusia tidak hanya
menyebut sesuatu, tetapi menghadirkan realitas; bahasa menjadi medium di
mana dunia muncul sebagai dunia yang bermakna.⁵
Dengan demikian, makna tidak terletak di luar
manusia maupun di luar bahasa, melainkan muncul dari pertemuan antara
keberadaan manusia dan dunia melalui tindakan berbahasa.⁶ Semantik, dalam
kerangka ini, berfungsi bukan untuk menjelaskan struktur logis kata, tetapi
untuk memahami bagaimana bahasa memungkinkan kebermaknaan eksistensial.⁷
10.2.
Integrasi Epistemologis: Makna
sebagai Pemahaman dan Dialog
Dari perspektif epistemologis, semantik humanistik
menolak model representasional yang menganggap pengetahuan sebagai pencerminan
dunia oleh bahasa. Sebaliknya, makna adalah hasil dialog antara subjek dan
dunia, yang diperantarai oleh bahasa sebagai medium pemahaman.⁸ Hans-Georg
Gadamer menegaskan bahwa memahami adalah bentuk “fusi horizon” (Horizontverschmelzung)
antara penafsir dan teks atau tradisi lain.⁹
Dengan demikian, pengetahuan semantik bukan sekadar
hasil inferensi logis, tetapi juga peristiwa hermeneutik, di mana makna
selalu terbuka untuk penafsiran baru.¹⁰ Proses pemahaman ini bersifat dialogis:
setiap ujaran mengandaikan respons, setiap makna adalah jembatan antara
kesadaran yang berbeda.¹¹ Maka, semantik humanistik memandang bahasa sebagai arena
komunikasi rasional dan empatik, di mana pengetahuan berkembang melalui
interaksi intersubjektif.¹²
10.3.
Integrasi Aksiologis: Makna sebagai
Ruang Etika dan Kemanusiaan
Secara aksiologis, semantik humanistik menempatkan
makna dalam konteks nilai dan tanggung jawab. Bahasa tidak hanya menyampaikan
informasi, tetapi juga membentuk relasi etis antara manusia.¹³ Jürgen
Habermas menunjukkan bahwa rasionalitas komunikatif menuntut tiga klaim
validitas—kebenaran, ketepatan, dan kejujuran—yang menjadi dasar moral bagi
komunikasi yang autentik.¹⁴
Dalam pandangan ini, memahami makna berarti juga
mengakui martabat pihak lain sebagai subjek penutur, bukan sekadar
penerima pesan.¹⁵ Semantik dengan demikian mengandung dimensi moral: ia menjadi
sarana untuk membangun kepercayaan, solidaritas, dan tanggung jawab dialogis.¹⁶
Emmanuel Levinas memperdalam aspek ini dengan menunjukkan bahwa relasi bahasa selalu
bersifat etis, karena “yang lain” hadir melalui kata dan memanggil kita untuk
bertanggung jawab.¹⁷ Dalam kerangka ini, semantik humanistik tidak hanya
menjelaskan bagaimana makna terbentuk, tetapi bagaimana makna dapat menjadi
dasar bagi kemanusiaan.¹⁸
10.4.
Bahasa sebagai Ruang Humanisasi dan
Rekonsiliasi
Dalam masyarakat global dan digital, di mana bahasa
sering tereduksi menjadi instrumen teknis atau alat propaganda, semantik
humanistik menegaskan kembali fungsi bahasa sebagai ruang humanisasi.¹⁹
Bahasa adalah tempat di mana manusia menemukan kembali dirinya melalui dialog
dan refleksi.
Paul Ricoeur menyebut bahasa sebagai “mediasi simbolik” yang memungkinkan
manusia menafsir pengalaman dan membangun identitas naratif.²⁰ Melalui simbol,
manusia menyeberangi batas subjektivitas menuju pemahaman bersama. Oleh karena
itu, semantik bukan sekadar teori tentang tanda, tetapi seni memahami
manusia melalui bahasa.²¹
Pendekatan ini membuka kemungkinan bagi rekonsiliasi
epistemik dan etis di tengah dunia yang plural. Dalam komunikasi lintas
budaya dan sistem digital yang semakin kompleks, semantik humanistik berperan
menjaga agar makna tidak kehilangan kedalaman reflektif dan nilai
kemanusiaannya.²²
Menuju
Filsafat Bahasa Humanistik dan Integral
Filsafat bahasa humanistik menolak dikotomi lama
antara logika dan eksistensi, antara struktur dan pengalaman, antara kebenaran
dan makna. Ia berupaya mengintegrasikan rasionalitas analitik dengan
pemahaman hermeneutik dan etika komunikatif.²³
Charles Taylor menyatakan bahwa manusia adalah the language animal—makhluk yang
eksistensinya terjalin dalam jaringan makna linguistik.²⁴ Maka, untuk memahami
manusia, kita harus memahami bahasa; dan untuk memahami bahasa, kita harus
memahami manusia. Dalam pandangan ini, semantik bukan hanya studi tentang
simbol, tetapi juga refleksi tentang kemanusiaan itu sendiri.²⁵
Filsafat bahasa humanistik menegaskan tiga prinsip
utama:
1)
Bahasa sebagai keberadaan, bukan alat;
2)
Makna sebagai dialog, bukan
representasi;
3)
Komunikasi sebagai etika, bukan sekadar transmisi informasi.²⁶
Melalui integrasi ketiga dimensi ini, filsafat bahasa
dapat berfungsi sebagai pijakan untuk membangun kebudayaan komunikasi yang
rasional, reflektif, dan manusiawi di tengah kompleksitas dunia
kontemporer.²⁷
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 142–144.
[2]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 83–85.
[3]
Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving
Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 110–112.
[4]
Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache
(Pfullingen: Neske, 1959), 11.
[5]
Ibid., 24–26.
[6]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 168–170.
[7]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1991), 83–84.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.
[9]
Ibid., 310–312.
[10]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 28–30.
[11]
Mikhail Bakhtin, The Dialogic Imagination: Four
Essays, trans. Caryl Emerson and Michael Holquist (Austin: University of
Texas Press, 1981), 273–275.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–275.
[13]
Ibid., 287–289.
[14]
Ibid., 291–292.
[15]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge,
1992), 30–32.
[16]
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social
Text 25/26 (1990): 56–80.
[17]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 194–196.
[18]
Ibid., 199–201.
[19]
Byung-Chul Han, The Expulsion of the Other:
Society, Perception and Communication Today, trans. Wieland Hoban
(Cambridge: Polity Press, 2018), 52–54.
[20]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–320.
[21]
Ibid., 322–324.
[22]
Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural
Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1996), 57–59.
[23]
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge,
MA: MIT Press, 1990), 122–124.
[24]
Taylor, The Language Animal, 115–117.
[25]
Ibid., 130–132.
[26]
Ricoeur, From Text to Action, 87–88.
[27]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
40–42.
11. Kesimpulan
Kajian mengenai dimensi semantik dalam filsafat
bahasa menunjukkan bahwa persoalan makna tidak dapat dipahami hanya dari
satu sudut pandang tunggal. Ia melibatkan dimensi ontologis, epistemologis,
aksiologis, serta sosial-kultural, yang saling berkelindan dalam
struktur pemikiran dan kehidupan manusia.¹ Semantik bukan sekadar bidang teknis
linguistik, melainkan inti dari refleksi filosofis tentang bagaimana manusia
hidup dalam bahasa dan melalui bahasa.²
Sejak Frege dan Russell, semantik
dipahami sebagai hubungan antara tanda dan realitas, antara proposisi dan
kebenaran.³ Namun, perkembangan selanjutnya—melalui Wittgenstein, Austin,
dan Habermas—menunjukkan bahwa makna tidak hanya melekat pada struktur
logis, melainkan juga lahir dalam praktik sosial, konteks budaya, dan
interaksi etis antar-subjek.⁴ Peralihan ini menandai transformasi penting:
dari semantik sebagai teori representasi menuju semantik sebagai teori
komunikasi dan pemahaman.⁵
11.1.
Kesatuan Antara Makna, Bahasa, dan
Kehidupan
Dari sudut pandang ontologis, bahasa tidak lagi
dipandang sebagai alat eksternal bagi manusia, tetapi sebagai ruang keberadaan
tempat manusia mengalami dan mengungkapkan dunia.⁶ Heidegger menegaskan
bahwa manusia “berdiam di dalam bahasa” sebagaimana makhluk hidup
berdiam di dalam dunia.⁷ Oleh karena itu, makna tidak dapat dipisahkan dari
cara manusia “mengada” dalam realitas linguistiknya.
Secara epistemologis, pengetahuan tentang makna
adalah hasil proses hermeneutik, bukan sekadar kalkulasi logis.⁸
Pemahaman muncul melalui dialog dan interpretasi, di mana subjek dan objek
saling berjumpa dalam horizon makna yang terbuka.⁹ Dalam hal ini, semantik
menjadi jantung dari filsafat pemahaman (philosophy of understanding),
bukan sekadar teori tentang kebenaran formal.¹⁰
11.2.
Dimensi Etis dan Sosial dari
Semantik
Dari perspektif aksiologis dan sosial, semantik
mengandung nilai moral dan tanggung jawab komunikatif.¹¹ Bahasa tidak
hanya menyampaikan fakta, tetapi juga membentuk hubungan sosial yang mendasar
bagi kehidupan bersama.¹² Habermas menekankan bahwa komunikasi yang
bermakna menuntut kesetaraan dan kejujuran antara penutur dan pendengar, karena
makna sejati lahir dari proses intersubjektif yang bebas dominasi.¹³
Dalam konteks ini, semantik berfungsi sebagai ruang
etika dialogis, di mana manusia membangun makna bersama berdasarkan
penghormatan terhadap kebenaran dan keadilan.¹⁴ Maka, studi semantik bukan
hanya upaya linguistik, melainkan juga tanggung jawab moral untuk memelihara
bahasa sebagai medium kemanusiaan.¹⁵
11.3.
Relevansi Semantik di Era Digital
dan Global
Dalam era digital dan global, semantik menghadapi
tantangan baru. Makna kini dimediasi oleh teknologi, algoritme, dan jaringan
komunikasi yang melampaui batas-batas manusiawi.¹⁶ Luciano Floridi
menunjukkan bahwa kita hidup dalam “infosfer,” di mana makna menjadi
hasil interaksi antara manusia dan sistem informasi.¹⁷
Fenomena ini memunculkan kebutuhan akan semantik
humanistik, yang menekankan pemulihan nilai reflektif dan etis dalam
penggunaan bahasa digital.¹⁸ Semantik tidak boleh dibiarkan menjadi domain
algoritme semata, tetapi harus tetap berpihak pada pemahaman, empati, dan
tanggung jawab sosial.¹⁹ Dengan demikian, filsafat semantik berperan
penting dalam menjaga keseimbangan antara rasionalitas teknologi dan keutuhan
makna manusiawi.²⁰
11.4.
Sintesis Humanistik: Dari Analisis
ke Refleksi
Arah akhir dari seluruh pembahasan ini adalah
gagasan semantik humanistik, yakni semantik yang tidak berhenti pada
analisis struktur, tetapi berlanjut ke refleksi tentang manusia sebagai
makhluk bermakna.²¹ Bahasa adalah medan di mana manusia mengekspresikan
kebebasan, membangun dunia bersama, dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.²²
Dalam kerangka ini, Paul Ricoeur memandang
makna sebagai “tindakan interpretatif” yang menautkan teks dengan kehidupan.²³
Sementara Charles Taylor menegaskan bahwa manusia adalah the language
animal—makhluk yang hanya dapat memahami dirinya melalui simbol dan
narasi.²⁴ Oleh karena itu, filsafat bahasa humanistik menuntut pandangan
integral: bahasa sebagai keberadaan, makna sebagai pemahaman, dan komunikasi
sebagai etika.²⁵
Penutup
Filsafat semantik, dalam pengertian terdalamnya,
adalah filsafat tentang kemanusiaan itu sendiri. Bahasa membentuk cara
manusia memahami realitas, dan melalui makna manusia menemukan arah hidupnya.²⁶
Maka, tugas utama semantik bukan sekadar menjelaskan relasi tanda dan objek,
tetapi membantu manusia menjaga kemampuan untuk memahami, berdialog, dan
hidup secara bermakna di tengah perubahan zaman.²⁷
Dalam dunia yang sarat disrupsi dan ambiguitas
makna, pendekatan semantik yang humanistik dan reflektif menjadi fondasi
bagi etika komunikasi global.²⁸ Ia membuka jalan bagi rekonsiliasi antara
logika dan empati, antara analisis dan kebijaksanaan, antara teknologi dan
kemanusiaan.²⁹ Dengan demikian, filsafat bahasa tidak hanya berbicara tentang
kata, tetapi juga tentang manusia yang hidup dalam dan melalui kata.³⁰
Footnotes
[1]
Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language
(New York: Harper & Row, 1966), 148–150.
[2]
Charles Taylor, The Language Animal: The Full
Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2016), 89–91.
[3]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953),
§§43–45.
[5]
J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 6–8.
[6]
Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache
(Pfullingen: Neske, 1959), 11–13.
[7]
Ibid., 24–26.
[8]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.
[9]
Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in
Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL:
Northwestern University Press, 1991), 83–84.
[10]
Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving
Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 108–110.
[11]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
273–275.
[12]
Ibid., 289–291.
[13]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 122–124.
[14]
Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality
and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press,
2002), 87–89.
[15]
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social
Text 25/26 (1990): 56–80.
[16]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 42–44.
[17]
Ibid., 46–48.
[18]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books,
2011), 153–155.
[19]
Byung-Chul Han, The Transparency Society,
trans. Erik Butler (Stanford, CA: Stanford University Press, 2015), 15–16.
[20]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society,
2nd ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 412–415.
[21]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–320.
[22]
Ibid., 324–326.
[23]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 28–30.
[24]
Taylor, The Language Animal, 115–117.
[25]
Ibid., 130–132.
[26]
Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving
Realism, 113–115.
[27]
Gadamer, Truth and Method, 310–312.
[28]
Floridi, The Philosophy of Information,
90–92.
[29]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
40–42.
[30]
Paul Ricoeur, From Text to Action, 87–88.
Daftar Pustaka
Appadurai, A. (1996). Modernity at large:
Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.
Asher, N., & Lascarides, A. (2003). Logics
of conversation. Cambridge University Press.
Austin, J. L. (1962). How to do things with
words. Harvard University Press.
Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic
communication and speech acts. MIT Press.
Bakhtin, M. (1981). The dialogic imagination:
Four essays (C. Emerson & M. Holquist, Trans.). University of Texas
Press.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender,
community and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.
Benhabib, S. (2002). The claims of culture:
Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.
Blumer, H. (1969). Symbolic interactionism:
Perspective and method. Prentice-Hall.
Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power
(G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Polity Press.
Burge, T. (1979). Individualism and the mental. Midwest
Studies in Philosophy, 4(1), 73–122.
Byung-Chul Han. (2015). The transparency society
(E. Butler, Trans.). Stanford University Press.
Byung-Chul Han. (2018). The expulsion of the
other: Society, perception and communication today (W. Hoban, Trans.).
Polity Press.
Carnap, R. (1947). Meaning and necessity.
University of Chicago Press.
Castells, M. (2010). The rise of the network
society (2nd ed.). Wiley-Blackwell.
Cavell, S. (1969). Must we mean what we say?
Cambridge University Press.
Churchland, P. (1989). A neurocomputational
perspective: The nature of mind and the structure of science. MIT Press.
Davidson, D. (1967). Truth and meaning. Synthese,
17(3), 304–323.
Davidson, D. (1973). Radical interpretation. Dialectica,
27(3), 313–328.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C.
Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still
can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.
Dreyfus, H. L., & Taylor, C. (2015). Retrieving
realism. Harvard University Press.
Dummett, M. (1981). Frege: Philosophy of
language. Harvard University Press.
Fairclough, N. (1992). Discourse and social
change. Polity Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Fodor, J. (1975). The language of thought.
Harvard University Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. S. Smith, Trans.). Pantheon Books.
Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere. Social
Text, 25/26, 56–80.
Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. Basic Books.
Grice, H. P. (1957). Meaning. Philosophical
Review, 66(3), 377–388.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative
action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.
Hacker, P. M. S. (1986). Insight and illusion:
Themes in the philosophy of Wittgenstein. Clarendon Press.
Han, B.-C. (2015). The transparency society
(E. Butler, Trans.). Stanford University Press.
Han, B.-C. (2018). The expulsion of the other:
Society, perception and communication today (W. Hoban, Trans.). Polity
Press.
Hayles, N. K. (1999). How we became posthuman:
Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics. University of
Chicago Press.
Heidegger, M. (1959). Unterwegs zur Sprache.
Neske.
Heim, I. (1982). File change semantics and the
familiarity theory of definites. MIT Press.
Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where
old and new media collide. New York University Press.
Katz, J. J. (1966). The philosophy of language.
Harper & Row.
Katz, J. J. (1981). Language and other abstract
objects. Rowman & Littlefield.
Kaplan, D. (1989). Demonstratives. In J. Almog, J.
Perry, & H. Wettstein (Eds.), Themes from Kaplan (pp. 481–563).
Oxford University Press.
Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity.
Harvard University Press.
Lanier, J. (2018). Ten arguments for deleting your
social media accounts right now. Henry Holt.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Manovich, L. (2001). The language of new media.
MIT Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Montague, R. (1970). Universal grammar. Theoria,
36(3), 373–398.
Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression:
How search engines reinforce racism. NYU Press.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A
classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.
Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the
internet is hiding from you. Penguin.
Partee, B. (1980). Montague grammar and linguistic
semantics. In D. Gabbay & F. Guenthner (Eds.), Contemporary research in
philosophical logic and linguistic semantics (pp. 1–25). Reidel.
Putnam, H. (1975). Mind, language and reality:
Philosophical papers, Volume 2. Cambridge University Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol.
1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays
in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern
University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56),
479–493.
Sapir, E. (1921). Language: An introduction to
the study of speech. Harcourt, Brace.
Searle, J. (1969). Speech acts. Cambridge
University Press.
Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay
in the philosophy of mind. Cambridge University Press.
Stalnaker, R. (1999). Context and content:
Essays on intentionality in speech and thought. Oxford University Press.
Tarski, A. (1956). The concept of truth in
formalized languages. In Logic, semantics, metamathematics (pp.
152–278). Clarendon Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making
of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (2016). The language animal: The full
shape of the human linguistic capacity. Harvard University Press.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. Basic Books.
Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and
reality. MIT Press.
Wilks, Y. (2008). Machine translation: Its scope
and limits. Springer.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar