Minggu, 30 November 2025

Semantik dalam Filsafat Bahasa: Kajian Filosofis tentang Dimensi Semantik dalam Filsafat Bahasa

Semantik dalam Filsafat Bahasa

Kajian Filosofis tentang Dimensi Semantik dalam Filsafat Bahasa


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam dimensi semantik dalam filsafat bahasa dengan menyoroti hubungan antara makna, referensi, dan realitas dari perspektif ontologis, epistemologis, aksiologis, serta sosial-kultural. Kajian ini menelusuri perkembangan historis teori-teori semantik mulai dari Frege, Russell, dan Tarski hingga Wittgenstein, Kripke, Putnam, Habermas, dan Ricoeur, untuk menunjukkan bagaimana pemahaman tentang makna telah berevolusi dari paradigma logis-representasional menuju paradigma komunikatif dan humanistik.

Pada tataran ontologis, makna dipahami sebagai modus keberadaan manusia dalam bahasa, bukan sekadar relasi antara tanda dan dunia. Dari sisi epistemologis, pengetahuan tentang makna merupakan hasil dari proses hermeneutik dan dialogis, di mana bahasa berfungsi sebagai medium pemahaman. Aksiologisnya, semantik mengandung dimensi etis karena setiap makna terikat pada tanggung jawab komunikatif dan penghormatan terhadap sesama. Dimensi sosial dan kultural memperlihatkan bahwa makna lahir melalui interaksi, kekuasaan simbolik, dan konteks budaya yang membentuk praktik berbahasa.

Dalam konteks kontemporer, artikel ini menyoroti tantangan era digital dan globalisasi terhadap stabilitas makna, di mana bahasa dimediasi oleh algoritme, media digital, dan pergeseran budaya global. Semantik di era digital menuntut pendekatan baru yang menggabungkan logika, teknologi, dan etika humanistik, agar bahasa tetap menjadi sarana pemahaman dan solidaritas manusia, bukan sekadar sistem data.

Melalui sintesis filosofis, artikel ini mengusulkan kerangka “filsafat bahasa humanistik” yang mengintegrasikan aspek ontologis (bahasa sebagai keberadaan), epistemologis (makna sebagai pemahaman), dan aksiologis (komunikasi sebagai etika). Dengan demikian, semantik dipahami bukan hanya sebagai analisis terhadap struktur makna, tetapi sebagai refleksi filosofis tentang manusia sebagai makhluk yang hidup dalam dan melalui bahasa.

Kata Kunci: Semantik · Filsafat Bahasa · Makna · Referensi · Hermeneutika · Rasionalitas Komunikatif · Etika Bahasa · Filsafat Humanistik · Era Digital · Globalisasi


PEMBAHASAN

Makna, Referensi, dan Realitas


1.           Pendahuluan

Dalam khazanah filsafat bahasa, semantik menempati posisi sentral sebagai bidang yang berupaya memahami makna (meaning) serta hubungannya dengan bahasa, pikiran, dan realitas. Semantik tidak hanya mempelajari struktur internal makna dalam bahasa, tetapi juga menelusuri bagaimana tanda linguistik merepresentasikan dunia dan mengantarkan manusia pada pemahaman terhadap sesuatu di luar dirinya. Dengan demikian, semantik bukan sekadar cabang linguistik deskriptif, melainkan juga medan filsafat yang mempersoalkan hakikat hubungan antara kata, konsep, dan dunia

Persoalan semantik telah muncul sejak awal sejarah filsafat Yunani. Plato dalam Cratylus menanyakan apakah nama-nama memiliki hubungan alamiah dengan benda yang dinamainya ataukah hubungan itu semata-mata konvensional.² Aristoteles kemudian mengembangkan gagasan bahwa kata (logos) adalah simbol dari pengalaman mental (pathēmata), yang pada gilirannya merepresentasikan realitas eksternal.³ Pergulatan antara pandangan naturalis dan konvensionalis ini terus menjadi dasar bagi seluruh diskursus semantik dalam sejarah pemikiran Barat.

Memasuki era modern, perdebatan tentang makna memperoleh bentuk yang lebih sistematis melalui semantik logis dan analisis bahasa. Gottlob Frege memperkenalkan pembedaan antara Sinn (sense) dan Bedeutung (reference), yang menjadi tonggak bagi semantik filosofis modern.⁴ Melalui pembedaan ini, Frege berupaya menjelaskan bagaimana dua ekspresi yang menunjuk pada objek yang sama dapat tetap memiliki nilai kognitif berbeda.⁵ Teori ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Bertrand Russell melalui teori deskripsi dan oleh Rudolf Carnap dalam semantik logis yang mengaitkan makna dengan kondisi kebenaran.⁶

Pada pertengahan abad ke-20, Ludwig Wittgenstein menantang pendekatan semantik formal dengan pandangannya bahwa “makna adalah penggunaan dalam bahasa” (meaning is use).⁷ Pandangan ini menandai pergeseran besar dari semantik yang bersifat referensial menuju semantik yang bersifat pragmatis dan kontekstual, di mana makna tidak hanya ditentukan oleh hubungan antara tanda dan dunia, tetapi juga oleh praktik sosial pengguna bahasa.⁸ Dengan demikian, semantik tidak dapat dipisahkan dari konteks komunikasi, niat pembicara, serta konvensi sosial yang mengitarinya.

Dari perspektif filsafat kontemporer, semantik tidak lagi dipahami sebagai sistem representasi statis, melainkan sebagai proses dinamis yang terus-menerus dikonstruksi melalui interaksi manusia.⁹ Dalam kerangka ini, filsafat semantik beririsan dengan epistemologi (bagaimana manusia mengetahui makna), ontologi (apa yang disebut sebagai “makna” itu sendiri), dan aksiologi (bagaimana makna mengandung nilai-nilai komunikasi dan etika).¹⁰

Oleh karena itu, kajian ini berangkat dari asumsi bahwa semantik tidak hanya berbicara tentang sistem simbolik, tetapi juga tentang manusia sebagai makhluk pemakna. Dalam era digital dan global saat ini, di mana bahasa terfragmentasi dalam berbagai bentuk komunikasi daring dan algoritmik, refleksi semantik menjadi semakin penting untuk mempertahankan dimensi humanistik dalam bahasa—yakni bagaimana makna dapat tetap mengandung kejujuran, empati, dan pemahaman lintas budaya.¹¹

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Menelusuri landasan historis dan ontologis semantik dalam filsafat bahasa;

2)                  Menganalisis dimensi epistemologis dan aksiologis makna;

3)                  Mengkaji implikasi sosial, politik, dan kultural dari teori semantik; serta

4)                  Menawarkan sintesis filosofis menuju semantik humanistik, yang tidak hanya logis dan rasional tetapi juga komunikatif dan etis.

Dengan demikian, penelitian ini berupaya memperluas horizon filsafat bahasa agar mampu menjawab tantangan makna dalam kehidupan manusia kontemporer—baik dalam ranah komunikasi ilmiah, sosial, maupun digital—sebagai upaya menuju pemahaman yang integral antara bahasa, makna, dan realitas.¹²


Footnotes

[1]                Michael Devitt dan Kim Sterelny, Language and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1999), 15–16.

[2]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 383a–390e.

[3]                Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 16a3–8.

[4]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[5]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 35–39.

[6]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493; Rudolf Carnap, Meaning and Necessity (Chicago: University of Chicago Press, 1947), 9–10.

[7]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[8]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 5–6.

[9]                Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 3 (1967): 304–323.

[10]             Hilary Putnam, Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 227–229.

[11]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–275.

[12]             Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 12–14.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Kajian tentang semantik dalam filsafat bahasa memiliki akar yang panjang dalam sejarah pemikiran manusia. Sejak masa Yunani Kuno, para filsuf telah memperdebatkan hubungan antara kata, pikiran, dan realitas, serta apakah makna bersifat alami, konvensional, atau hasil kesepakatan sosial. Genealogi semantik memperlihatkan pergeseran paradigma dari penjelasan metafisik dan ontologis menuju analisis logis dan linguistik yang lebih sistematis.¹

2.1.       Masa Klasik: Antara Naturalisme dan Konvensionalisme

Dalam dialog Cratylus, Plato menggambarkan perdebatan antara dua posisi mendasar: naturalisme, yang menganggap nama memiliki hubungan intrinsik dengan benda yang dinamainya, dan konvensionalisme, yang melihat nama sebagai hasil kesepakatan manusia.² Bagi Plato, nama yang “benar” (orthotēs onomatōn) adalah nama yang merepresentasikan esensi sesuatu; tetapi dalam konteks praktis, ia juga mengakui peran konvensi dalam pemakaian bahasa.³

Sementara itu, Aristoteles mengembangkan pemikiran yang lebih empiris dalam De Interpretatione. Ia menegaskan bahwa kata-kata adalah simbol dari pengalaman mental, dan pengalaman tersebut merupakan representasi dari benda-benda di dunia nyata.⁴ Dengan demikian, bahasa merupakan sistem mediasi antara pikiran dan realitas. Pandangan ini menandai pergeseran dari spekulasi metafisik ke arah analisis psikologis dan epistemologis terhadap makna.

Para Stoa kemudian memperkenalkan konsep lekton, yakni entitas semantik yang menjadi “makna” dari ujaran dan memiliki status ontologis menengah antara bahasa dan dunia.⁵ Konsep ini penting karena memperluas pemahaman makna sebagai entitas abstrak yang dapat dipahami tanpa bergantung pada bentuk linguistik tertentu. Gagasan ini menjadi cikal bakal bagi pandangan modern tentang proposisi dan arti kalimat.

2.2.       Tradisi Abad Pertengahan dan Skolastik

Dalam abad pertengahan, semantik berkembang dalam konteks teologi dan logika skolastik. Para pemikir seperti Thomas Aquinas dan William of Ockham mengaitkan makna dengan teori signum dan intentio.⁶ Aquinas menegaskan bahwa kata adalah tanda dari konsep (signum conceptuum), sedangkan Ockham mengembangkan teori terminisme yang membedakan antara tanda mental (conceptus) dan tanda verbal (vox).⁷ Di sini, makna mulai dipahami sebagai hasil abstraksi intelektual yang menengahi antara bahasa dan realitas, namun tetap dalam kerangka teosentris.

2.3.       Masa Modern Awal: Logika dan Representasi

Pergeseran besar terjadi pada masa modern ketika John Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding menolak pandangan bahwa makna bersumber dari dunia luar semata, dan menyatakan bahwa kata adalah tanda dari ide-ide dalam pikiran manusia.⁸ Locke menekankan dimensi subjektif dan psikologis dari makna, yang kemudian memicu perdebatan panjang antara psikologisme dan anti-psikologisme dalam semantik.

Sementara itu, Immanuel Kant menempatkan bahasa dalam kerangka epistemologi transendental: makna tidak dapat dilepaskan dari struktur apriori kesadaran yang memungkinkan pengetahuan.⁹ Pemikiran ini mempersiapkan jalan bagi perkembangan semantik formal di abad ke-20 yang berupaya menghubungkan struktur logis bahasa dengan struktur pikiran manusia.

2.4.       Abad ke-20: Semantik Logis dan Analisis Bahasa

Abad ke-20 menjadi masa kelahiran semantik filosofis modern dengan munculnya karya-karya Gottlob Frege, Bertrand Russell, Rudolf Carnap, dan Alfred Tarski. Frege memperkenalkan pembedaan antara Sinn (sense) dan Bedeutung (reference) untuk menjelaskan nilai kognitif proposisi.¹⁰ Russell mengembangkan teori deskripsi definitif untuk mengatasi paradoks referensi dan mengaitkan makna dengan struktur logis kalimat.¹¹

Kemudian, dalam tradisi positivisme logis, Rudolf Carnap dan Alfred Tarski membangun kerangka semantik formal, di mana makna dikaitkan dengan kondisi kebenaran suatu proposisi.¹² Pandangan ini melahirkan paradigma semantik kebenaran-kondisional (truth-conditional semantics) yang berpengaruh besar dalam linguistik dan logika.

Namun, pergeseran besar terjadi ketika Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations menolak pandangan bahwa makna bersifat tetap atau logis. Ia menegaskan bahwa “makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa” (the meaning of a word is its use in the language).¹³ Dengan demikian, semantik tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, aturan permainan bahasa (language games), dan praktik kehidupan (forms of life).¹⁴

Perkembangan selanjutnya dalam filsafat analitik dan linguistik generatif menampilkan beragam pendekatan: Donald Davidson menekankan hubungan antara makna dan kebenaran melalui teori interpretasi radikal; Noam Chomsky menekankan kapasitas bawaan (innate) manusia dalam memahami makna; sementara Hilary Putnam dan Saul Kripke memperkenalkan teori referensi eksternal yang menegaskan peran dunia dalam menentukan makna.¹⁵

2.5.       Arah Kontemporer: Dari Formalisme ke Kontekstualisme

Memasuki akhir abad ke-20, muncul kritik terhadap semantik formal yang dianggap terlalu mengabaikan konteks dan dimensi sosial bahasa. J. L. Austin dan John Searle melalui teori tindak tutur memperlihatkan bahwa makna tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga performatif—yakni melakukan sesuatu melalui ujaran.¹⁶ Di sisi lain, Jacques Derrida menolak asumsi stabilitas makna, dengan menunjukkan bahwa setiap makna selalu ditunda (différance) melalui jaringan tanda yang tak berujung.¹⁷

Dengan demikian, sejarah semantik mencerminkan perjalanan panjang dari pencarian makna yang absolut menuju pemahaman makna sebagai konstruksi sosial dan kontekstual. Evolusi ini menunjukkan bahwa semantik bukan sekadar bidang teknis dalam analisis bahasa, tetapi medan filosofis yang merefleksikan dinamika pemikiran manusia tentang dunia, pengetahuan, dan hubungan antar-subjek.


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 11–13.

[2]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 383a–390e.

[3]                Ibid., 391d–395c.

[4]                Aristotle, De Interpretatione, trans. E. M. Edghill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 16a3–8.

[5]                Long, A. A., Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (London: Duckworth, 1974), 112–115.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 13, a. 1–2.

[7]                William of Ockham, Summa Logicae, ed. Philotheus Boehner (St. Bonaventure, NY: The Franciscan Institute, 1951), 43–44.

[8]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Penguin, 1997 [1690]), Book III, ch. 2.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A50/B74.

[10]             Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[11]             Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[12]             Rudolf Carnap, Meaning and Necessity (Chicago: University of Chicago Press, 1947), 1–10; Alfred Tarski, “The Concept of Truth in Formalized Languages,” in Logic, Semantics, Metamathematics (Oxford: Clarendon Press, 1956), 152–278.

[13]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[14]             Ibid., §§23–25.

[15]             Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 3 (1967): 304–323; Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–5; Hilary Putnam, Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 219–240; Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 96–98.

[16]             J. L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 4–6; John Searle, Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–17.

[17]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23–25.


3.           Ontologi: Hakikat Makna dan Realitas

Persoalan ontologis dalam semantik berakar pada pertanyaan mendasar: apa hakikat “makna” itu sendiri? Apakah makna merupakan entitas objektif yang melekat pada kata, entitas mental yang hidup dalam pikiran, atau relasi dinamis antara bahasa, pikiran, dan dunia? Pertanyaan ini menempatkan semantik dalam jantung problem metafisika bahasa—yakni upaya memahami status ontologis dari makna sebagai sesuatu yang menjembatani simbol dan realitas.¹

3.1.       Makna sebagai Entitas Mental: Pandangan Idealis dan Psikologis

Dalam tradisi idealisme, makna sering dipandang sebagai produk kesadaran manusia. Plato menempatkan makna sebagai refleksi dunia ide yang abadi dan sempurna, sedangkan kata-kata hanya menjadi bayangan yang tidak sempurna dari hakikat tersebut.² Dalam kerangka ini, bahasa berfungsi sebagai medium partisipasi jiwa terhadap dunia ide, bukan sekadar alat penamaan benda-benda empiris.

Di sisi lain, John Locke memandang makna sebagai hasil asosiasi antara kata dan ide dalam pikiran individu.³ Dengan demikian, bahasa menjadi instrumen komunikasi mental antar-subjek, bukan representasi langsung dari dunia eksternal. Pandangan ini menegaskan sifat subyektif makna: setiap kata membawa beban pengalaman dan konsepsi personal. Namun, pendekatan ini dikritik karena cenderung menjadikan makna sebagai entitas privat yang sulit diverifikasi secara intersubjektif.⁴

3.2.       Makna sebagai Entitas Linguistik: Strukturalisme dan Semiotika

Pergeseran terjadi ketika Ferdinand de Saussure menolak pandangan bahwa makna bersumber dari hubungan antara kata dan objek.⁵ Ia menegaskan bahwa makna lahir dari relasi diferensial antar-tanda dalam sistem bahasa (langue). Dalam semiologi Saussurean, tanda linguistik terdiri dari dua sisi: signifiant (penanda) dan signifié (petanda), dan hubungan antara keduanya bersifat arbitrer.⁶

Dalam perspektif ini, makna tidak memiliki eksistensi ontologis di luar sistem bahasa; ia merupakan efek relasional yang muncul dari struktur perbedaan internal. Pendekatan ini membuka jalan bagi pandangan konstruktivis, yang memandang bahwa realitas linguistik tidak merepresentasikan dunia secara pasif, melainkan mengkonstruksi realitas melalui perbedaan makna.⁷

Namun, para filsuf analitik seperti Frege dan Russell menolak pemisahan makna dari realitas. Bagi Frege, setiap ungkapan memiliki sense (makna kognitif) dan reference (objek yang dituju).⁸ Makna bukanlah entitas psikologis atau relasional murni, tetapi struktur ideal yang memungkinkan pernyataan memiliki nilai kebenaran. Dalam hal ini, makna bersifat intensional, mengandung cara tertentu dalam menunjuk pada realitas.⁹

3.3.       Makna sebagai Relasi: Ontologi Referensial dan Dunia

Dari perspektif realisme semantik, makna tidak dapat dilepaskan dari hubungan bahasa dengan dunia eksternal. Setiap proposisi memiliki nilai kebenaran sejauh ia berkorelasi dengan keadaan faktual (state of affairs) di dunia.¹⁰ Bertrand Russell menegaskan bahwa bahasa memperoleh makna melalui korespondensinya dengan fakta atomik, sedangkan Alfred Tarski mengembangkan teori semantik kebenaran (truth-conditional semantics) untuk menjelaskan hubungan ini secara formal.¹¹

Pandangan ini menempatkan makna dalam konteks ontologi korespondensial, di mana realitas menjadi penentu akhir validitas semantik. Akan tetapi, kritik muncul dari kalangan fenomenolog seperti Husserl dan Merleau-Ponty, yang menekankan bahwa makna bukan sesuatu yang berdiri di luar kesadaran, melainkan muncul melalui pengalaman intensional subjek terhadap dunia.¹² Dalam pengertian ini, makna bersifat “terarah” (intentional) dan selalu mengandaikan horizon pengalaman yang hidup.

3.4.       Makna sebagai Praktik dan Keberadaan: Ontologi Hermeneutik

Perkembangan selanjutnya membawa semantik ke ranah ontologi eksistensial. Martin Heidegger memandang bahasa bukan sekadar alat representasi, melainkan “rumah bagi Ada” (die Sprache ist das Haus des Seins).¹³ Makna bukan lagi entitas yang melekat pada tanda, tetapi modus keberadaan manusia yang selalu menafsir dan memahami dirinya serta dunianya melalui bahasa. Dalam kerangka ini, semantik bersifat ontologis karena berkaitan dengan cara manusia mengungkapkan dan mengalami Being.¹⁴

Hans-Georg Gadamer melanjutkan pandangan ini dalam hermeneutik filosofisnya: makna tidak pernah final atau objektif, melainkan terbentuk melalui proses dialog dan pemahaman historis antara teks, penafsir, dan tradisi.¹⁵ Dengan demikian, hakikat makna bukanlah “sesuatu yang ada” secara tetap, tetapi peristiwa pemahaman (Ereignis des Verstehens) yang terjadi dalam sejarah dan bahasa.


Menuju Ontologi Relasional: Bahasa, Dunia, dan Inter-Subjektivitas

Dari berbagai pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna memiliki ontologi relasional dan emergent, bukan substansial. Ia tidak berdiri sendiri sebagai objek metafisik, melainkan selalu lahir dari interaksi antara simbol linguistik, kesadaran manusia, dan struktur realitas.¹⁶

Pandangan kontemporer dalam filsafat pragmatisme dan komunikasi humanistik (seperti pada Habermas) memperkuat posisi ini. Makna dipahami sebagai produk intersubjektivitas, yaitu hasil negosiasi makna di antara para partisipan rasional dalam situasi komunikasi.¹⁷ Dengan demikian, ontologi makna bukanlah entitas yang tetap, tetapi proses dialogis yang mengandaikan keterbukaan, refleksi, dan tanggung jawab etis terhadap dunia bersama.¹⁸


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 45–47.

[2]                Plato, Cratylus, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 389a–390e.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Penguin, 1997 [1690]), Book III, ch. 2.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), 2.1–2.2.

[5]                Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistics, trans. Wade Baskin (New York: McGraw-Hill, 1966), 67–70.

[6]                Ibid., 111–113.

[7]                Roland Barthes, Elements of Semiology, trans. Annette Lavers and Colin Smith (New York: Hill and Wang, 1968), 45–48.

[8]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[9]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 39–41.

[10]             Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[11]             Alfred Tarski, “The Concept of Truth in Formalized Languages,” in Logic, Semantics, Metamathematics (Oxford: Clarendon Press, 1956), 152–278.

[12]             Edmund Husserl, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W. R. Boyce Gibson (London: Allen & Unwin, 1931), 123–126; Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 165–168.

[13]             Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache (Pfullingen: Neske, 1959), 11.

[14]             Ibid., 23–26.

[15]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 296–300.

[16]             Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3 (1973): 313–328.

[17]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–275.

[18]             Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 34–36.


4.           Epistemologi: Pengetahuan tentang Makna dan Pemahaman

Pertanyaan epistemologis dalam semantik berkisar pada persoalan: bagaimana manusia mengetahui makna dan bagaimana pemahaman terhadap bahasa dimungkinkan. Jika ontologi semantik membahas apa itu makna, maka epistemologi semantik berupaya menjelaskan bagaimana makna itu diketahui, dibentuk, dan diinterpretasikan. Dalam hal ini, semantik beririsan erat dengan teori pengetahuan, filsafat pikiran, dan filsafat komunikasi, karena makna tidak hanya diproduksi oleh sistem bahasa, tetapi juga oleh kesadaran manusia yang menafsirkan.¹

4.1.       Makna sebagai Pengetahuan Kognitif

Dalam kerangka kognitivisme, makna dipahami sebagai bentuk representasi mental yang memungkinkan manusia mengenali, mengklasifikasi, dan menafsirkan dunia. John Locke menegaskan bahwa pengetahuan bahasa bersumber dari asosiasi antara kata dan ide dalam pikiran.² Walaupun bersifat empiris, pengetahuan ini menuntut kesamaan persepsi antarsubjek agar komunikasi dapat berlangsung. Namun, pendekatan ini cenderung menimbulkan problem privatness of meaning, yakni kesulitan untuk menjelaskan bagaimana makna yang bersifat mental dapat dipahami secara publik.³

Sebagai tanggapan, Gottlob Frege memperkenalkan pembedaan antara sense (Sinn) dan reference (Bedeutung) untuk menjelaskan dimensi kognitif dalam pemahaman makna.⁴ Sense memungkinkan individu memahami makna suatu ekspresi terlepas dari objek eksternalnya, sehingga pengetahuan semantik tidak bergantung pada pengalaman empiris semata, tetapi juga pada struktur logis dan rasional pikiran.⁵ Dengan demikian, Frege menggeser fokus epistemologi semantik dari pengalaman individual menuju ranah rasionalitas objektif.

4.2.       Pemahaman sebagai Proses Linguistik dan Sosial

Epistemologi semantik tidak hanya menyangkut kapasitas mental individu, tetapi juga praktik sosial penggunaan bahasa. Dalam pandangan Ludwig Wittgenstein, pemahaman terhadap makna tidak diperoleh melalui kontemplasi mental, melainkan melalui penguasaan aturan permainan bahasa (language games).⁶ Untuk memahami makna suatu ungkapan, seseorang harus mampu mengikuti konvensi dan aturan sosial yang membentuk konteks penggunaan kata tersebut. Makna, dalam hal ini, adalah produk dari pembelajaran intersubjektif yang terjadi dalam komunitas bahasa.⁷

Pemahaman semacam ini bersifat performatif, bukan semata-mata deskriptif. J. L. Austin menegaskan bahwa mengetahui makna suatu ujaran berarti memahami apa yang dilakukan oleh penuturnya melalui ujaran itu.⁸ Dalam konteks ini, pengetahuan tentang makna melibatkan kemampuan untuk menafsirkan intensi komunikatif, bukan sekadar mengenali hubungan antara tanda dan referensinya. John Searle memperluas gagasan ini dengan menyatakan bahwa makna adalah hasil dari aturan konstitutif yang menjadikan tindakan linguistik bermakna dalam struktur sosial.⁹

4.3.       Epistemologi Kontekstual: Makna, Niat, dan Interpretasi

Makna tidak pernah hadir secara netral; ia selalu terikat konteks. Pandangan ini diperkuat oleh H. P. Grice, yang menegaskan bahwa memahami makna suatu ujaran memerlukan pengetahuan tentang niat pembicara dan asumsi bersama antara pembicara dan pendengar.¹⁰ Dengan demikian, makna dipahami secara epistemologis sebagai inferensi pragmatis yang melibatkan penalaran sosial dan psikologis.

Dari sisi ini, epistemologi semantik bergeser dari model “representasi” menuju model interpretasi. Hans-Georg Gadamer dalam hermeneutik filosofisnya menyatakan bahwa pemahaman bukanlah reproduksi makna yang telah ada, melainkan fusi horizon (Horizontverschmelzung) antara penafsir dan teks.¹¹ Proses pemahaman selalu bersifat dialogis dan historis; ia menuntut keterbukaan terhadap makna yang terus berkembang.

Dalam pandangan hermeneutik ini, pengetahuan semantik tidak bersifat proposisional melainkan eksistensial. Pemahaman terhadap makna merupakan cara manusia mengada di dunia—sebuah proses mengungkapkan diri melalui bahasa.¹² Maka, epistemologi semantik bergeser dari sekadar mengetahui apa arti suatu kata, menuju bagaimana makna itu dihayati dalam pengalaman hidup.

4.4.       Pengetahuan Intersubjektif dan Rasionalitas Komunikatif

Pendekatan kontemporer terhadap epistemologi semantik banyak dipengaruhi oleh Jürgen Habermas, yang menekankan bahwa pengetahuan makna bersumber dari rasionalitas komunikatif.¹³ Menurut Habermas, pemahaman linguistik terjadi ketika para peserta komunikasi mencapai kesepahaman (Verständigung) melalui argumentasi yang bebas dari dominasi. Dalam situasi ideal, makna diproduksi secara intersubjektif melalui pertukaran rasional yang mengakui keabsahan tiga klaim utama: kebenaran, kejujuran, dan ketepatan.¹⁴

Dengan demikian, epistemologi semantik berlandaskan pada proses dialogis yang etis. Mengetahui makna berarti berpartisipasi dalam komunitas diskursif yang memungkinkan evaluasi kritis terhadap pernyataan dan tindakan. Pandangan ini menempatkan bahasa tidak sekadar sebagai alat pengetahuan, tetapi juga sebagai medium rasionalitas dan emansipasi.¹⁵

4.5.       Dari Representasi ke Pemahaman Humanistik

Dalam perkembangan mutakhir, epistemologi semantik tidak lagi dipandang sebagai teori tentang bagaimana makna “diketahui” secara objektif, tetapi sebagai refleksi atas bagaimana manusia memahami dunia dan sesamanya melalui bahasa. Charles Taylor menegaskan bahwa kapasitas linguistik manusia bukan sekadar kognitif, melainkan juga ekspresif dan etis: melalui bahasa, manusia membentuk identitas, nilai, dan horizon moralnya.¹⁶

Dengan demikian, pengetahuan tentang makna bukan hanya persoalan logika atau psikologi, tetapi juga pengalaman kemanusiaan yang reflektif dan intersubjektif. Makna diketahui bukan dengan memahami simbol secara abstrak, melainkan dengan menghayati relasi antara diri, bahasa, dan dunia.¹⁷


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 52–54.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Penguin, 1997 [1690]), Book III, ch. 2.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§243–256.

[4]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[5]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 46–47.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, §§19–23.

[7]                P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 112–115.

[8]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 6–8.

[9]                John Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–23.

[10]             H. P. Grice, “Meaning,” Philosophical Review 66, no. 3 (1957): 377–388.

[11]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.

[12]             Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 28–30.

[13]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–277.

[14]             Ibid., 285–287.

[15]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 31–33.

[16]             Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 38–40.

[17]             Hubert L. Dreyfus dan Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 112–115.


5.           Aksiologi: Nilai, Fungsi, dan Tujuan Semantik

Kajian aksiologis dalam semantik berfokus pada pertanyaan “untuk apa makna itu bernilai?” dan “bagaimana fungsi semantik berkontribusi terhadap kehidupan manusia dan masyarakat?”. Jika ontologi menelaah keberadaan makna dan epistemologi membahas cara manusia mengetahui makna, maka aksiologi menyoroti dimensi nilai, fungsi etis, dan tujuan praksis dari pemaknaan dalam bahasa.¹ Dalam konteks filsafat bahasa, semantik tidak hanya merupakan analisis teknis terhadap struktur makna, tetapi juga refleksi normatif tentang bagaimana bahasa dapat digunakan untuk menghasilkan pemahaman, kejujuran, dan kemanusiaan

5.1.       Nilai Kognitif dan Epistemik dari Makna

Secara aksiologis, semantik memiliki nilai kognitif karena ia menjadi sarana utama bagi manusia untuk memahami dunia. Dengan mengetahui makna, manusia tidak sekadar menamai realitas, melainkan menstrukturkan dan memberi arti terhadap pengalaman.³ Bahasa memungkinkan penyusunan pengetahuan secara sistematis, dan semantik menjadi fondasi bagi kegiatan berpikir yang rasional dan logis.

Dalam tradisi filsafat analitik, Frege dan Carnap memandang nilai semantik sebagai sarana untuk menegakkan kejelasan konseptual dan keakuratan logis.⁴ Makna yang jelas dan terstruktur membantu manusia menghindari kekeliruan berpikir dan memperkuat argumentasi ilmiah. Dalam hal ini, semantik berfungsi epistemik: ia memelihara koherensi rasional antara bahasa, pikiran, dan realitas.

Namun, nilai semantik tidak berhenti pada kognisi. Makna juga memiliki fungsi hermeneutik, yaitu memungkinkan interpretasi terhadap teks, simbol, dan budaya.⁵ Melalui proses penafsiran, manusia menemukan makna yang tersembunyi di balik bentuk linguistik, sehingga semantik menjadi jalan menuju pemahaman eksistensial terhadap diri dan dunia.

5.2.       Nilai Etis dan Komunikatif dari Makna

Bahasa bukan hanya alat berpikir, tetapi juga alat berhubungan antar-manusia. Karena itu, makna memiliki nilai etis: ia menjadi dasar bagi komunikasi yang jujur, terbuka, dan saling menghargai. Jürgen Habermas menegaskan bahwa setiap tindak komunikasi membawa tiga klaim validitas—kebenaran, ketepatan, dan kejujuran—yang merupakan landasan moral bagi rasionalitas komunikatif.⁶ Semantik, dalam perspektif ini, bukan sekadar sistem tanda, tetapi ruang etis di mana manusia menegosiasikan makna secara adil dan rasional.⁷

Makna yang disalahgunakan dapat menimbulkan manipulasi, distorsi, dan dominasi simbolik, sebagaimana dikritik oleh Michel Foucault dan Pierre Bourdieu, yang menunjukkan bagaimana wacana dapat menjadi alat kekuasaan.⁸ Oleh karena itu, nilai etis semantik terletak pada kemampuannya menjaga transparansi dan keadilan linguistik, agar bahasa tidak menjadi instrumen ideologis yang menindas, melainkan medium emansipasi dan solidaritas.⁹

Dalam konteks ini, pemahaman makna menjadi bagian dari tanggung jawab moral. Mengerti makna bukan hanya memahami isi pesan, tetapi juga mengakui kehadiran dan martabat pihak lain. Emmanuel Levinas menegaskan bahwa relasi dengan “yang lain” selalu mendahului representasi; maka, komunikasi bermakna menuntut sikap etis berupa keterbukaan dan tanggung jawab terhadap alteritas.¹⁰

5.3.       Fungsi Sosial dan Kultural dari Semantik

Selain nilai epistemik dan etis, semantik juga memiliki fungsi sosial dan kultural. Bahasa merupakan produk kolektif masyarakat, dan makna lahir melalui interaksi sosial.¹¹ Setiap budaya memiliki sistem semantik yang mencerminkan pandangan dunianya (Weltanschauung). Oleh karena itu, memahami makna dalam konteks lintas budaya berarti memahami perbedaan cara manusia memaknai dunia.

Dalam kerangka antropologi linguistik, makna bukan hanya sesuatu yang dipahami, tetapi juga sesuatu yang dihidupi. Ia menentukan bagaimana masyarakat menamai, mengklasifikasi, dan memberi nilai pada realitas.¹² Semantik, dengan demikian, menjadi jembatan antara bahasa dan budaya, antara simbol dan nilai sosial.

Pandangan ini juga relevan di era digital, di mana makna mengalami transformasi melalui media baru. Bentuk komunikasi daring menggeser cara manusia memahami dan menafsir pesan, menciptakan semantik baru yang bersifat visual, interaktif, dan algoritmik.¹³ Dalam konteks ini, semantik memiliki fungsi reflektif: membantu manusia menyadari perubahan struktur makna yang terjadi dalam ruang budaya digital.

5.4.       Tujuan Humanistik dari Semantik

Pada tataran terdalam, nilai dan fungsi semantik bermuara pada tujuan humanistik: menumbuhkan pemahaman antar-manusia dan memperluas horizon kemanusiaan. Paul Ricoeur memandang makna sebagai “ruang interpretasi” tempat manusia menghubungkan pengalaman dan harapan melalui simbol dan narasi.¹⁴ Dengan memahami makna, manusia memperluas dunia kehidupannya dan membangun kesadaran etis tentang keberadaan yang bersama.

Tujuan semantik bukan sekadar mengurai struktur bahasa, tetapi memelihara kemampuan manusia untuk berkomunikasi secara bermakna dan bermoral. Dalam dunia yang sarat polarisasi, makna berperan sebagai jembatan dialog, bukan dinding perbedaan. Dalam arti ini, semantik menjadi sarana bagi rekonsiliasi epistemik dan empatik di antara manusia.¹⁵

Dengan demikian, aksiologi semantik menegaskan bahwa makna bukan hanya soal “benar atau salah,” melainkan juga soal baik atau buruk, adil atau menindas, manusiawi atau dehumanistik. Melalui pemahaman makna yang jujur, reflektif, dan terbuka, bahasa dapat menjadi medium kemanusiaan, bukan sekadar instrumen logika.¹⁶


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 112–114.

[2]                Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 41–42.

[3]                Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no. 3 (1973): 314–315.

[4]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50; Rudolf Carnap, Meaning and Necessity (Chicago: University of Chicago Press, 1947), 9–11.

[5]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 28–30.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–275.

[7]                Ibid., 287–289.

[8]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 27–28; Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 36–38.

[9]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social Text 25/26 (1990): 56–80.

[10]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–196.

[11]             Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 207–210.

[12]             Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 134–136.

[13]             N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 45–47.

[14]             Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 52–54.

[15]             Martha C. Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 83–85.

[16]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 120–123.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural

Dimensi sosial, politik, dan kultural dari semantik menyoroti bagaimana makna tidak hanya terbentuk secara logis atau mental, tetapi juga secara sosial-historis. Bahasa bukan entitas netral; ia merupakan produk interaksi manusia, praktik kekuasaan, dan konstruksi budaya yang hidup dalam konteks sosial tertentu.¹ Oleh karena itu, pemahaman semantik yang utuh harus mempertimbangkan bagaimana makna beroperasi di dalam jaringan institusi, ideologi, dan relasi kuasa yang membentuk kehidupan bersama.²

6.1.       Makna sebagai Produk Sosial dan Praktik Diskursif

Makna tidak muncul dalam ruang hampa; ia dihasilkan, dinegosiasikan, dan disebarluaskan melalui praktik sosial. Dalam kerangka interaksionisme simbolik, Herbert Blumer menegaskan bahwa makna muncul dari interaksi manusia melalui simbol-simbol bersama.³ Setiap individu menafsirkan makna berdasarkan pengalaman sosialnya, dan interpretasi itu terus diperbarui dalam komunikasi. Dengan demikian, semantik tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial yang melingkupinya.

Mikhail Bakhtin memperkuat pandangan ini dengan menyatakan bahwa setiap ujaran bersifat dialogis: ia selalu menanggapi, menegosiasikan, dan menempatkan diri dalam relasi terhadap ujaran lain.⁴ Bahasa, dalam pandangan Bakhtin, adalah medan ideologis di mana makna menjadi arena pertarungan simbolik antar-sudut pandang sosial.⁵ Maka, memahami semantik berarti juga memahami dinamika sosial yang melatarbelakangi produksi makna.

6.2.       Semantik dan Kekuasaan: Wacana sebagai Instrumen Ideologis

Pada ranah politik, semantik tidak lagi sekadar alat komunikasi, melainkan instrumen kekuasaan. Michel Foucault menunjukkan bahwa makna dibentuk dalam dan oleh wacana yang beroperasi melalui jaringan pengetahuan dan kekuasaan.⁶ Melalui wacana, masyarakat menentukan apa yang dianggap benar, normal, dan sah untuk dikatakan. Dalam hal ini, semantik bukan hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga mengkonstruksinya secara normatif.

Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep kekuasaan simbolik (symbolic power) untuk menjelaskan bagaimana bahasa menjadi sarana legitimasi sosial.⁷ Menurutnya, struktur semantik tidak netral, melainkan mencerminkan distribusi kekuasaan dan modal simbolik dalam masyarakat. Makna yang dominan—misalnya dalam politik, media, atau agama—memiliki kapasitas untuk membentuk persepsi sosial dan mengendalikan kesadaran kolektif.⁸

Dari perspektif ini, semantik berfungsi sebagai arena ideologis, di mana kelompok-kelompok sosial berjuang untuk menetapkan makna tertentu sebagai “resmi” atau “benar.” Karena itu, analisis semantik tidak bisa dilepaskan dari kritik terhadap struktur dominasi linguistik dan hegemoni wacana.⁹

6.3.       Dimensi Kultural: Relativitas Makna dan Pandangan Dunia

Makna tidak hanya dipengaruhi oleh struktur sosial, tetapi juga oleh kerangka budaya yang menjadi wadah simbolik bagi masyarakat. Setiap bahasa memiliki struktur semantik yang unik, yang mencerminkan cara pandang dan sistem nilai budaya tertentu. Teori relativitas linguistik Sapir–Whorf menegaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat untuk menamai dunia, melainkan membentuk cara berpikir dan memahami realitas.¹⁰

Dalam konteks ini, semantik memiliki dimensi antropologis: ia menunjukkan bahwa makna tidak universal, tetapi relatif terhadap konteks budaya dan historisnya. Misalnya, kata “kebebasan” dalam budaya Barat modern memiliki muatan individualistik, sedangkan dalam konteks Timur lebih terkait dengan harmoni sosial.¹¹ Perbedaan semantik ini bukan sekadar variasi linguistik, melainkan perbedaan paradigma kultural yang mendasari tindakan sosial dan politik.

Clifford Geertz memperluas pandangan ini dengan menekankan bahwa budaya adalah “jaringan makna” (web of significance) yang ditenun manusia sendiri.¹² Dalam kerangka ini, memahami semantik berarti menafsirkan pola makna yang dihasilkan oleh masyarakat dalam simbol, ritual, dan narasi mereka. Makna adalah hasil tafsir kolektif atas pengalaman hidup, bukan sekadar produk pikiran individual.

6.4.       Semantik dan Media: Produksi Makna di Era Digital

Dalam era global dan digital, makna menjadi semakin kompleks karena diformasikan oleh sistem komunikasi massa dan algoritme teknologi. Bahasa kini beroperasi dalam ruang siber yang melampaui batas budaya dan geografi.¹³ Dalam konteks ini, semantik tidak lagi hanya dihasilkan oleh manusia, tetapi juga oleh mesin dan kode yang menafsirkan data secara otomatis.

N. Katherine Hayles dan Lev Manovich menunjukkan bahwa transformasi digital telah mengubah cara manusia menghasilkan dan memahami makna: dari teks ke citra, dari linearitas ke interaktivitas, dari interpretasi manusia ke komputasi algoritmik.¹⁴ Makna kini menjadi produk sirkulasi simbolik yang berlangsung secara cepat, terfragmentasi, dan sering kali kehilangan konteks humanistiknya.

Namun, dimensi sosial dari semantik digital juga membuka peluang etis baru: ruang untuk dialog lintas budaya, demokratisasi informasi, dan kolaborasi global.¹⁵ Maka, tugas filsafat semantik kontemporer adalah menegaskan kembali nilai kemanusiaan dalam produksi makna digital, agar komunikasi di era global tidak jatuh ke dalam relativisme nihilistik atau dominasi teknologi yang dehumanistik.


Menuju Semantik Sosial-Humanistik

Dengan menelaah dimensi sosial, politik, dan kultural semantik, menjadi jelas bahwa makna adalah arena pertemuan antara kekuasaan, budaya, dan kemanusiaan. Semantik tidak dapat direduksi menjadi sistem logis atau representasi linguistik semata, karena ia juga merupakan medan perjuangan moral dan sosial untuk menegakkan keadilan dalam komunikasi.¹⁶

Dalam konteks ini, Habermas menawarkan paradigma rasionalitas komunikatif sebagai dasar semantik yang etis dan inklusif.¹⁷ Bahasa harus menjadi ruang deliberatif yang memungkinkan partisipasi setara, bukan alat dominasi simbolik. Dengan demikian, semantik sosial-humanistik berupaya memulihkan fungsi bahasa sebagai medium pemahaman dan solidaritas, bukan sekadar sistem tanda yang tunduk pada logika kekuasaan.¹⁸


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 117–119.

[2]                Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 72–74.

[3]                Herbert Blumer, Symbolic Interactionism: Perspective and Method (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1969), 4–6.

[4]                Mikhail Bakhtin, The Dialogic Imagination: Four Essays, trans. Caryl Emerson and Michael Holquist (Austin: University of Texas Press, 1981), 259–260.

[5]                Ibid., 272–274.

[6]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 27–28.

[7]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 36–38.

[8]                Ibid., 40–41.

[9]                Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 67–69.

[10]             Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 212–214.

[11]             Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 210–213.

[12]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[13]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 403–405.

[14]             N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 45–47; Lev Manovich, The Language of New Media (Cambridge, MA: MIT Press, 2001), 38–41.

[15]             Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media Collide (New York: New York University Press, 2006), 93–95.

[16]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 319–321.

[17]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–275.

[18]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 87–89.


7.           Teori-Teori Utama dalam Semantik Filosofis

Kajian semantik dalam filsafat bahasa mencakup beragam teori yang berupaya menjelaskan bagaimana bahasa memperoleh makna, bagaimana makna berhubungan dengan dunia, dan bagaimana proposisi dapat bernilai benar atau salah. Secara garis besar, teori-teori semantik filosofis berkembang dari tiga orientasi utama: teori referensial dan kebenaran, teori makna sebagai penggunaan, dan teori semantik kontekstual dan dinamis.¹ Perbedaan di antara ketiganya mencerminkan pergeseran fokus dari logika formal menuju pemahaman pragmatis dan hermeneutik tentang bahasa.

7.1.       Teori Kebenaran-Kondisional (Truth-Conditional Semantics)

Teori ini berakar pada karya Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Alfred Tarski, yang menekankan hubungan antara makna dan kondisi kebenaran dari suatu proposisi.² Menurut Frege, setiap kalimat memiliki sense (makna kognitif) dan reference (acuan terhadap fakta dunia).³ Makna sebuah kalimat ditentukan oleh kondisi di mana kalimat itu dapat bernilai benar atau salah. Dengan demikian, memahami makna berarti mengetahui apa yang harus terjadi di dunia agar pernyataan itu benar.⁴

Tarski kemudian memformalisasi pandangan ini dalam teori semantik kebenaran (semantic conception of truth), dengan rumus terkenal “T” yang menyatakan bahwa kalimat “Salju berwarna putih’ benar jika dan hanya jika salju berwarna putih.”⁵ Bagi Tarski, konsep kebenaran semantik bersifat metabahasa, yaitu aturan logis yang menentukan korespondensi antara kalimat dan realitas.⁶

Dalam perkembangan lanjut, Donald Davidson menggunakan teori kebenaran Tarskian untuk menjelaskan makna bahasa alamiah.⁷ Baginya, memahami suatu kalimat identik dengan mengetahui kondisi kebenarannya—suatu pendekatan yang menekankan bahwa semantik dan epistemologi saling terkait.⁸ Meski demikian, teori ini dikritik karena cenderung mengabaikan dimensi kontekstual dan sosial dari makna yang tidak dapat direduksi menjadi struktur logis.⁹

7.2.       Teori Referensi (Referential Theories of Meaning)

Teori referensial berasumsi bahwa makna kata terletak pada objek atau entitas yang dirujuknya di dunia. Pandangan ini mengakar pada filsafat klasik Aristotelian dan diperbarui dalam filsafat analitik abad ke-20.

Bertrand Russell melalui On Denoting (1905) memperkenalkan teori deskripsi definitif (definite description theory), yang menjelaskan bahwa pernyataan seperti “Raja Prancis sekarang botak” memiliki struktur logis kompleks yang dapat dianalisis tanpa mengandaikan eksistensi aktual objeknya.¹⁰ Makna, bagi Russell, bersumber dari struktur proposisional yang mengandung fungsi referensial dan logis sekaligus.¹¹

Sebaliknya, Gottlob Frege mengajukan perbedaan antara Bedeutung (referensi) dan Sinn (sense), di mana sense menjelaskan cara suatu objek diberikan kepada pikiran.¹² Dengan demikian, dua istilah yang menunjuk objek sama—misalnya “Bintang Fajar” dan “Bintang Senja”—tetap memiliki makna berbeda karena sense-nya berbeda, meskipun referensinya identik (planet Venus).¹³

Teori referensi modern dikembangkan lebih jauh oleh Saul Kripke dan Hilary Putnam, yang menolak teori deskriptif Frege-Russell dan mengajukan teori referensi kausal (causal theory of reference).¹⁴ Kripke menegaskan bahwa referensi tidak ditentukan oleh deskripsi, melainkan oleh rantai kausal penamaan yang menghubungkan ujaran pertama dengan pengguna berikutnya.¹⁵ Putnam menambahkan dimensi eksternal dengan konsep semantic externalism, yakni bahwa makna suatu istilah tergantung pada lingkungan eksternal dan komunitas linguistik, bukan hanya isi mental individu.¹⁶

Pendekatan ini menegaskan bahwa makna bersifat relasional dan sosial, sekaligus menyoroti keterlibatan dunia eksternal dalam pembentukan makna.¹⁷ Namun, teori ini sering dikritik karena kurang memperhatikan aspek pragmatis dan kontekstual dari komunikasi manusia yang kompleks.¹⁸

7.3.       Teori Makna sebagai Penggunaan (Meaning-as-Use Theory)

Sebagai reaksi terhadap pendekatan logis dan referensial, Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations mengemukakan pandangan bahwa “makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa” (the meaning of a word is its use in the language).¹⁹ Ia menolak gagasan bahwa makna bersifat tetap dan dapat direduksi menjadi hubungan antara tanda dan objek. Sebaliknya, makna adalah hasil dari praktik sosial penggunaan bahasa dalam berbagai language games yang diatur oleh aturan tertentu.²⁰

Dalam teori ini, makna dipahami sebagai aktivitas sosial dan performatif, bukan entitas metafisik atau logis.²¹ Makna suatu kata tergantung pada konteks penggunaannya dan pada konvensi komunitas bahasa yang memakainya.²² Pandangan Wittgenstein kemudian memengaruhi filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy), yang dikembangkan oleh J. L. Austin dan John Searle.

Austin memperkenalkan konsep tindak tutur (speech acts), yaitu bahwa ujaran tidak hanya menyatakan sesuatu (deskriptif), tetapi juga melakukan sesuatu (performatif).²³ Searle melanjutkan dengan membedakan antara tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi, serta menjelaskan bagaimana makna bergantung pada niat komunikatif pembicara dan aturan sosial yang mendasarinya.²⁴

Pendekatan ini memperluas semantik ke arah pragmatik, dengan menekankan bahwa memahami makna berarti memahami fungsi dan tujuan ujaran dalam konteks interaksi sosial.²⁵

7.4.       Teori Semantik Formal dan Naturalistik

Selain teori penggunaan, berkembang pula pendekatan semantik formal yang berusaha memodelkan bahasa alami menggunakan logika dan matematika. Rudolf Carnap melalui Meaning and Necessity (1947) mengembangkan teori semantik intensional, di mana makna suatu ekspresi ditentukan oleh kondisi kebenaran dalam berbagai dunia mungkin (possible worlds).²⁶

Gagasan ini dikembangkan lebih lanjut oleh Richard Montague dalam semantik Montague (Montague semantics), yang menunjukkan bahwa bahasa alami dapat dianalisis dengan ketepatan logika formal.²⁷ Dalam sistem ini, setiap ekspresi linguistik memiliki makna yang dapat dimodelkan secara fungsi matematis antara dunia dan nilai kebenaran.²⁸

Pendekatan naturalistik terhadap semantik muncul dari filosofi ilmu kognitif, seperti pada Jerry Fodor, yang mengaitkan makna dengan representasi mental dalam sistem simbolik otak.²⁹ Teori ini berusaha menjembatani antara filsafat bahasa dan ilmu saraf, meski sering dikritik karena reduksionistik dan mengabaikan dimensi sosial semantik.³⁰

7.5.       Teori Semantik Kontekstual dan Dinamis

Dalam filsafat bahasa kontemporer, muncul pendekatan kontekstual dan dinamis yang menolak pandangan bahwa makna kalimat tetap dan tertutup. David Kaplan membedakan antara character (aturan umum penggunaan) dan content (makna aktual tergantung konteks), untuk menjelaskan deiksis dan indeksikalitas dalam bahasa.³¹

Robert Stalnaker dan Irene Heim mengembangkan semantik dinamis, yang memandang makna sebagai perubahan keadaan informasi antara partisipan komunikasi.³² Dengan kata lain, makna bukan hanya proposisi statis, tetapi proses pembaruan konteks bersama (common ground).³³

Pendekatan ini membuka jalan bagi semantik interaktif, pragmatis, dan bahkan komputasional—di mana makna dapat dipahami sebagai hasil dari negosiasi informasi dalam dialog, baik antar-manusia maupun antara manusia dan mesin.³⁴


Refleksi Sintetis

Dari seluruh teori tersebut tampak bahwa semantik telah bergerak dari paradigma representasional dan formal menuju paradigma relasional dan komunikatif. Makna tidak lagi dipahami sebagai entitas tetap, melainkan sebagai proses dialogis dan dinamis yang melibatkan dunia, bahasa, dan kesadaran manusia.³⁵

Dengan demikian, teori-teori semantik tidak saling meniadakan, tetapi justru saling melengkapi: teori kebenaran memberi dasar logis, teori referensi menjelaskan hubungan dengan realitas, teori penggunaan mengungkap konteks sosial, sedangkan teori kontekstual menekankan dinamika interaksi.³⁶ Keseluruhannya membentuk landasan filosofis bagi semantik humanistik yang integratif—sebuah semantik yang tidak hanya menjelaskan bahasa, tetapi juga memanusiakan komunikasi.³⁷


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 121–123.

[2]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[3]                Ibid., 27–29.

[4]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 34–36.

[5]                Alfred Tarski, “The Concept of Truth in Formalized Languages,” in Logic, Semantics, Metamathematics (Oxford: Clarendon Press, 1956), 152–278.

[6]                Ibid., 270–272.

[7]                Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 3 (1967): 304–323.

[8]                Ibid., 315–318.

[9]                Hilary Putnam, Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 215–217.

[10]             Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[11]             Ibid., 481–484.

[12]             Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” 30–32.

[13]             Dummett, Frege: Philosophy of Language, 38–39.

[14]             Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 71–73.

[15]             Ibid., 90–92.

[16]             Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 215–271.

[17]             Tyler Burge, “Individualism and the Mental,” Midwest Studies in Philosophy 4, no. 1 (1979): 73–122.

[18]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 18–20.

[19]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[20]             Ibid., §§19–23.

[21]             P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 115–118.

[22]             Stanley Cavell, Must We Mean What We Say? (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 54–57.

[23]             J. L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 4–6.

[24]             John Searle, Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–18.

[25]             Kent Bach dan Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 91–94.

[26]             Rudolf Carnap, Meaning and Necessity (Chicago: University of Chicago Press, 1947), 9–10.

[27]             Richard Montague, “Universal Grammar,” Theoria 36, no. 3 (1970): 373–398.

[28]             Barbara Partee, “Montague Grammar and Linguistic Semantics,” in Contemporary Research in Philosophical Logic and Linguistic Semantics, ed. D. Gabbay and F. Guenthner (Dordrecht: Reidel, 1980), 1–25.

[29]             Jerry Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 56–58.

[30]             Paul Churchland, A Neurocomputational Perspective: The Nature of Mind and the Structure of Science (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 72–74.

[31]             David Kaplan, “Demonstratives,” in Themes from Kaplan, ed. Joseph Almog, John Perry, and Howard Wettstein (Oxford: Oxford University Press, 1989), 481–563.

[32]             Robert Stalnaker, Context and Content: Essays on Intentionality in Speech and Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 78–82.

[33]             Irene Heim, File Change Semantics and the Familiarity Theory of Definites (Cambridge, MA: MIT Press, 1982), 34–37.

[34]             Nicholas Asher dan Alex Lascarides, Logics of Conversation (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 3–6.

[35]             Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 58–60.

[36]             Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 82–84.

[37]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 120–122.


8.           Kritik terhadap Pandangan-Pandangan Utama

Setiap teori semantik filosofis lahir dari kebutuhan untuk menjelaskan hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas, namun tidak ada satu pun yang bebas dari keterbatasan. Kajian kritis terhadap teori-teori utama dalam semantik menyingkap bahwa persoalan makna jauh lebih kompleks daripada yang dapat dijelaskan oleh satu kerangka tunggal. Kritik ini mencakup persoalan reduksionisme logis, abstraksi formal, ketertutupan terhadap konteks sosial, serta krisis representasionalisme dalam filsafat bahasa modern.¹

8.1.       Kritik terhadap Teori Kebenaran-Kondisional

Teori kebenaran-kondisional dianggap memberikan fondasi logis yang kuat bagi semantik, tetapi juga dikritik karena mereduksi makna menjadi sekadar hubungan proposisional antara kalimat dan keadaan duniaDonald Davidson dan Alfred Tarski berhasil memformulasikan struktur logis kebenaran, namun pendekatan mereka mengabaikan aspek penggunaan nyata bahasa dalam komunikasi.³

Ludwig Wittgenstein mengkritik pandangan ini dengan menegaskan bahwa makna tidak dapat dijelaskan hanya melalui kondisi kebenaran, sebab bahasa tidak hanya “menggambarkan” dunia, tetapi juga “melakukan” sesuatu dalam dunia.⁴ Kalimat seperti “Saya janji datang” atau “Saya menamai kapal ini Liberty” tidak dapat dievaluasi berdasarkan kebenaran atau kesalahan, tetapi melalui efek tindakannya.⁵ Dengan demikian, teori kebenaran gagal menangkap dimensi performatif dan pragmatis bahasa, yang justru esensial dalam interaksi manusia.

Selain itu, teori ini dianggap terlalu objektivistik. Dengan mengaitkan makna hanya pada korespondensi dengan fakta eksternal, ia mengabaikan bahwa pemahaman terhadap makna juga melibatkan pengetahuan kontekstual dan niat komunikatif.⁶ Dalam komunikasi antar manusia, makna tidak selalu dapat ditentukan oleh kondisi faktual, tetapi juga oleh konteks sosial dan interpretasi hermeneutik.⁷

8.2.       Kritik terhadap Teori Referensi

Teori referensi klasik (Frege, Russell) maupun modern (Kripke, Putnam) mendapat kritik karena memusatkan makna pada hubungan eksternal antara kata dan objek, seolah-olah bahasa bersifat transparan terhadap realitas.⁸ Padahal, seperti ditunjukkan oleh Jacques Derrida, hubungan antara tanda dan referen selalu tertunda dan terperantarai oleh jaringan diferensial tanda (différance).⁹ Tidak ada referensi murni yang berdiri sendiri, sebab setiap makna selalu muncul dari penundaan dan perbedaan dalam sistem simbolik bahasa.¹⁰

Selain itu, teori referensi dianggap mengabaikan peran subjek dan interaksi sosial dalam produksi makna.¹¹ Kritik dari perspektif pragmatis dan sosiolinguistik menunjukkan bahwa referensi bukan relasi tetap antara kata dan dunia, melainkan hasil negosiasi dalam komunitas bahasa.¹² Bahkan Kripke dan Putnam, yang menekankan rantai kausal dan eksternalisme semantik, tetap menyisakan persoalan mengenai bagaimana individu memahami dan menggunakan nama atau istilah secara bermakna dalam praktik sosial.¹³

Dengan demikian, teori referensi dipandang terlalu ontologis dan esensialis, karena menempatkan makna seolah-olah memiliki keberadaan independen dari kesadaran dan sejarah penggunaannya.¹⁴

8.3.       Kritik terhadap Teori Makna sebagai Penggunaan

Meskipun teori Wittgenstein, Austin, dan Searle berhasil menegaskan dimensi sosial dan fungsional bahasa, pendekatan ini pun tidak lepas dari kritik. Salah satu keberatannya adalah bahwa teori makna sebagai penggunaan cenderung relativistik, karena bergantung pada aturan permainan bahasa (language games) yang bervariasi di setiap komunitas.¹⁵ Jika makna hanya ditentukan oleh penggunaan sosial, maka sulit menjelaskan bagaimana kesepahaman lintas komunitas bahasa dapat dicapai.¹⁶

Lebih jauh, teori ini kurang memberikan dasar normatif dan epistemik yang kuat bagi evaluasi makna. Sebagai contoh, dalam konteks politik atau ideologis, tidak semua praktik penggunaan bahasa dapat dianggap sahih atau setara.¹⁷ Dalam situasi di mana bahasa menjadi alat dominasi (seperti propaganda atau ujaran kebencian), teori penggunaan tidak cukup memberi kriteria etis untuk menilai “penggunaan bahasa yang benar.”¹⁸

Kritik lain datang dari John Searle sendiri, yang menegaskan bahwa tidak semua makna dapat direduksi menjadi penggunaan konvensional, karena beberapa struktur makna bersifat universal dan mentalistik, terkait dengan kemampuan intensional manusia untuk memahami niat dan proposisi.¹⁹

8.4.       Kritik terhadap Teori Semantik Formal dan Naturalistik

Teori formal dan naturalistik sering dianggap terlalu reduksionistik, karena berupaya memformulasikan bahasa alami ke dalam sistem logis atau model matematis yang kaku.²⁰ Carnap, Montague, dan Tarski memang berhasil menciptakan semantik presisi tinggi untuk logika, namun bahasa manusia jauh lebih ambigu, kontekstual, dan metaforis.²¹

Selain itu, pendekatan naturalistik yang berupaya menjelaskan makna berdasarkan representasi neural atau simbolik otak (misalnya oleh Fodor atau Churchland) menghadapi problem “kesenjangan semantik” (semantic gap): bagaimana representasi fisik di otak dapat bermakna secara fenomenologis dan komunikatif.²² Hubert Dreyfus mengkritik teori kognitif semacam ini karena gagal memahami dimensi praktis dan tubuh manusia (embodiment) yang membentuk makna dalam pengalaman dunia.²³

Dengan kata lain, teori formal-naturalistik cenderung menghilangkan subjektivitas dan intersubjektivitas manusia dari analisis semantik, padahal kedua aspek tersebut merupakan sumber makna yang esensial dalam filsafat bahasa.²⁴

8.5.       Kritik terhadap Teori Semantik Kontekstual dan Dinamis

Teori kontekstual dan dinamis telah membawa semantik lebih dekat ke realitas komunikasi aktual, namun pendekatan ini juga menghadapi problem relativitas makna dan ketidakstabilan semantik.²⁵ Jika makna selalu berubah bergantung pada konteks, bagaimana mungkin kita berbicara tentang pemahaman universal atau makna yang stabil?²⁶

Selain itu, teori ini terkadang terlalu teknis dan semantik-komputasional, terutama dalam linguistik formal, sehingga kehilangan refleksi filosofis tentang makna sebagai pengalaman eksistensial.²⁷ Para pemikir hermeneutik seperti Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur mengingatkan bahwa konteks bukan sekadar variabel pragmatis, tetapi bagian dari sejarah pemahaman manusia (Wirkungsgeschichte).²⁸

Karena itu, teori kontekstual perlu dilengkapi oleh kerangka etis dan hermeneutik, agar makna tidak terfragmentasi oleh pluralitas kontekstual, tetapi tetap terbuka terhadap dialog antarbudaya dan rasionalitas komunikatif.²⁹


Menuju Kritik Integratif: Dari Logika ke Hermeneutika

Kritik terhadap teori-teori semantik utama menunjukkan bahwa makna tidak dapat dipahami secara tunggal, melainkan melalui pendekatan multidimensional—logis, sosial, dan eksistensial.³⁰ Jürgen Habermas mencoba menjembatani jurang ini melalui teori rasionalitas komunikatif, yang menempatkan makna dalam praktik diskursif yang terbuka, rasional, dan etis.³¹ Dengan demikian, semantik tidak lagi hanya tentang representasi kebenaran, tetapi juga tentang pemahaman dan pengakuan timbal balik antara subjek yang berkomunikasi.³²

Sementara itu, Paul Ricoeur dan Charles Taylor menawarkan koreksi humanistik dengan menegaskan bahwa makna tidak berhenti pada sistem tanda, melainkan merupakan bagian dari proses interpretasi diri manusia dalam dunia simbolik.³³ Dengan memadukan analisis logis, kritik ideologis, dan refleksi hermeneutik, kajian semantik dapat menghindari reduksionisme dan menuju pemahaman yang integral dan humanistik.³⁴


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 128–130.

[2]                Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 92–95.

[3]                Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 3 (1967): 304–323.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§23–25.

[5]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 5–6.

[6]                H. P. Grice, “Meaning,” Philosophical Review 66, no. 3 (1957): 377–388.

[7]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 293–297.

[8]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[9]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 23–25.

[10]             Ibid., 65–67.

[11]             Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–39.

[12]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 23–24.

[13]             Hilary Putnam, “The Meaning of ‘Meaning’,” in Mind, Language and Reality: Philosophical Papers, Volume 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 253–255.

[14]             Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 66–68.

[15]             Wittgenstein, Philosophical Investigations, §65.

[16]             P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 120–123.

[17]             Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social Text 25/26 (1990): 56–80.

[18]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 47–49.

[19]             John Searle, Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 23–25.

[20]             Rudolf Carnap, Meaning and Necessity (Chicago: University of Chicago Press, 1947), 9–10.

[21]             Richard Montague, “Universal Grammar,” Theoria 36, no. 3 (1970): 373–398.

[22]             Jerry Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 59–60.

[23]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 74–76.

[24]             Paul Churchland, A Neurocomputational Perspective (Cambridge, MA: MIT Press, 1989), 72–74.

[25]             Robert Stalnaker, Context and Content: Essays on Intentionality in Speech and Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 84–86.

[26]             Irene Heim, File Change Semantics and the Familiarity Theory of Definites (Cambridge, MA: MIT Press, 1982), 35–37.

[27]             Nicholas Asher dan Alex Lascarides, Logics of Conversation (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 5–6.

[28]             Gadamer, Truth and Method, 302–304.

[29]             Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 84–86.

[30]             Jerrold J. Katz, Language and Other Abstract Objects (Totowa, NJ: Rowman & Littlefield, 1981), 178–180.

[31]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–275.

[32]             Ibid., 285–287.

[33]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 319–321.

[34]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 35–38.


9.           Relevansi Kontemporer: Semantik di Era Digital dan Global

Perkembangan teknologi informasi dan globalisasi telah mengubah secara radikal cara manusia menghasilkan, menyebarkan, dan memahami makna. Dalam era digital, semantik tidak lagi terbatas pada sistem simbol manusia, tetapi juga melibatkan mesin, algoritme, dan jaringan komunikasi global.¹ Hal ini menandai pergeseran dari semantik tradisional yang berfokus pada struktur bahasa dan kebenaran proposisional menuju semantik interaktif, multimodal, dan digital yang menembus batas manusia dan teknologi.²

Oleh karena itu, kajian semantik kontemporer tidak dapat dilepaskan dari refleksi filosofis mengenai bagaimana makna terbentuk, dinegosiasikan, dan dimediasi dalam ruang digital dan global—suatu ruang di mana batas antara manusia, bahasa, dan mesin semakin kabur.³

9.1.       Semantik Digital: Makna dalam Era Algoritmik

Dalam konteks teknologi digital, semantik telah menjadi dasar bagi pengolahan bahasa alami (Natural Language Processing, NLP), web semantik, dan kecerdasan buatan (AI).⁴ Di sini, makna bukan lagi hasil pemahaman manusia, tetapi produk dari representasi data dan struktur logis yang dapat diproses mesin. Tim Berners-Lee memperkenalkan konsep Semantic Web untuk menciptakan jaringan informasi di mana data memiliki struktur semantik yang dapat dimengerti oleh mesin.⁵

Namun, upaya mengotomatisasi makna menghadirkan persoalan filosofis: apakah makna yang “dibaca” oleh mesin sama dengan makna yang “dipahami” oleh manusia?⁶ Hubert Dreyfus menolak asumsi bahwa komputer dapat benar-benar memahami makna karena pemahaman manusia tidak hanya berbasis simbol, tetapi juga berakar pada konteks tubuh, dunia, dan pengalaman eksistensial.⁷

Sementara itu, Luciano Floridi mengembangkan philosophy of information, menegaskan bahwa dalam ekosistem digital, makna harus dipahami sebagai entitas semantik-informasional, yakni relasi antara data, konteks, dan nilai yang dihasilkan dalam proses komunikasi.⁸ Dengan demikian, makna digital bersifat relasional, terbuka, dan evolutif, bergantung pada interaksi antara manusia dan sistem informasi.

9.2.       Semantik Global dan Lintas Budaya

Era globalisasi membawa tantangan baru bagi semantik, karena pergeseran makna melintasi batas budaya dan bahasa. Dalam komunikasi global, kata atau simbol sering kali kehilangan stabilitas maknanya ketika berpindah konteks sosial dan ideologis.⁹ Misalnya, istilah “demokrasi,” “kebebasan,” atau “hak asasi manusia” mengandung interpretasi berbeda di berbagai budaya. Hal ini memperlihatkan bahwa makna bersifat multivokal dan polisemik, serta selalu ditentukan oleh horizon kultural tempat ia beroperasi.¹⁰

Hans-Georg Gadamer menjelaskan bahwa pemahaman lintas budaya mensyaratkan fusi horizon (Horizontverschmelzung), yaitu proses dialog antara penafsir dan tradisi lain yang memungkinkan terbentuknya makna bersama.¹¹ Dalam konteks global, semantik tidak lagi bersifat universal, tetapi interkultural, yang menuntut keterbukaan hermeneutik dan kesediaan untuk menafsir secara reflektif terhadap perbedaan makna.¹²

Selain itu, perkembangan teknologi komunikasi global telah menciptakan hibridisasi semantik, di mana bahasa, simbol, dan nilai dari berbagai budaya bercampur dalam ruang digital.¹³ Hal ini memperkaya potensi dialog antarbudaya, tetapi juga menimbulkan risiko reduksi makna menjadi komoditas, sebagaimana dikritik oleh Jean Baudrillard, yang melihat dunia modern sebagai “simulakrum”—realitas yang digantikan oleh representasi tanpa referensi.¹⁴

9.3.       Krisis Makna dan Fragmentasi Linguistik di Era Digital

Salah satu dampak signifikan dari era digital adalah fragmentasi makna. Dalam ruang media sosial, bahasa mengalami perubahan cepat, bersifat instan, emosional, dan sering kali kehilangan kedalaman konseptual.¹⁵ Makna menjadi fluida dan terfragmentasi, tergantung pada algoritme, trending topics, dan pola komunikasi jaringan.

Byung-Chul Han menyebut fenomena ini sebagai “transparansi komunikasi,” di mana informasi mengalir cepat tanpa proses refleksi makna.¹⁶ Bahasa kehilangan negativitas, yakni kemampuan untuk menunda, merenung, dan memberi jarak interpretatif. Akibatnya, makna menjadi dangkal dan konsumtif, dikendalikan oleh logika kecepatan dan visibilitas digital.¹⁷

Selain itu, algoritme yang mengatur konten di dunia maya berperan sebagai agen semantik baru yang menentukan apa yang terlihat, dibicarakan, dan diingat.¹⁸ Dengan demikian, muncul bentuk baru “hegemoni semantik”—di mana makna tidak lagi dihasilkan oleh rasionalitas manusia, tetapi oleh logika kapital dan komputasi.¹⁹

9.4.       Semantik, Etika, dan Kemanusiaan Digital

Dalam situasi semacam itu, relevansi semantik filosofis menjadi semakin penting, bukan hanya untuk menjelaskan bahasa, tetapi untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam ekosistem digital. Jürgen Habermas menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif untuk mempertahankan ruang publik yang etis, di mana makna diproduksi melalui dialog bebas dominasi.²⁰ Namun, di era digital, ruang publik sering kali terfragmentasi menjadi “gelembung informasi” (filter bubbles), sehingga menimbulkan isolasi semantik antarindividu.²¹

Paul Ricoeur memberikan koreksi dengan menekankan bahwa makna sejati selalu bersumber dari interpretasi yang etis, yakni pemahaman yang mengandung tanggung jawab terhadap sesama.²² Dalam konteks digital, ini berarti bahwa komunikasi bermakna harus diarahkan pada pengakuan intersubjektif, bukan hanya pertukaran data.²³

Oleh karena itu, semantik kontemporer memiliki fungsi aksiologis: untuk memulihkan makna sebagai medium pemahaman dan empati di tengah arus informasi yang serba cepat dan algoritmik.²⁴


Menuju Semantik Humanistik dan Global

Relevansi kontemporer semantik terletak pada kemampuannya untuk menjawab krisis makna dan komunikasi yang dihadapi manusia modern. Dalam konteks global yang kompleks, semantik harus dipahami sebagai proses penciptaan makna bersama (co-meaning), yang menekankan dimensi dialogis, etis, dan ekologis dari bahasa.²⁵

Pendekatan Charles Taylor terhadap “the language animal” menegaskan bahwa manusia tidak hanya menggunakan bahasa, tetapi “mengada di dalam bahasa” (to be in language).²⁶ Maka, setiap transformasi linguistik atau digital juga merupakan transformasi dalam cara manusia memahami diri dan dunia. Semantik humanistik di era digital harus berupaya mengintegrasikan rasionalitas, teknologi, dan kemanusiaan, agar makna tidak tereduksi menjadi data, tetapi tetap menjadi ruang refleksi dan relasi.²⁷

Dengan demikian, tantangan filsafat semantik kontemporer adalah menegaskan kembali bahasa sebagai ruang kemanusiaan—tempat di mana logika, etika, dan empati dapat bertemu, bahkan di tengah jaringan algoritmik global yang serba cepat dan kompleks.²⁸


Footnotes

[1]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 15–16.

[2]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 134–136.

[3]                Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 77–78.

[4]                Yorick Wilks, Machine Translation: Its Scope and Limits (Berlin: Springer, 2008), 12–14.

[5]                Tim Berners-Lee, James Hendler, and Ora Lassila, “The Semantic Web,” Scientific American 284, no. 5 (2001): 34–43.

[6]                Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 70–72.

[7]                Ibid., 76–78.

[8]                Floridi, The Philosophy of Information, 42–44.

[9]                Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, 1921), 209–210.

[10]             Benjamin Lee Whorf, Language, Thought, and Reality (Cambridge, MA: MIT Press, 1956), 214–216.

[11]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.

[12]             Ibid., 309–310.

[13]             Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 53–55.

[14]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–3.

[15]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 153–156.

[16]             Byung-Chul Han, The Transparency Society, trans. Erik Butler (Stanford, CA: Stanford University Press, 2015), 8–9.

[17]             Ibid., 15–16.

[18]             Safiya Umoja Noble, Algorithms of Oppression: How Search Engines Reinforce Racism (New York: NYU Press, 2018), 25–27.

[19]             Jaron Lanier, Ten Arguments for Deleting Your Social Media Accounts Right Now (New York: Henry Holt, 2018), 33–35.

[20]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–275.

[21]             Eli Pariser, The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (New York: Penguin, 2011), 13–15.

[22]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–320.

[23]             Ibid., 324–326.

[24]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 122–124.

[25]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 412–415.

[26]             Taylor, The Language Animal, 120–122.

[27]             Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 109–112.

[28]             Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 84–86.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Filsafat Bahasa Humanistik

Setelah menelusuri berbagai teori dan perdebatan dalam semantik filosofis—mulai dari pandangan logis Frege hingga hermeneutika Gadamer, dari referensialisme Kripke hingga pragmatisme Wittgenstein—maka jelas bahwa filsafat bahasa tidak dapat direduksi menjadi analisis formal semata. Bahasa bukan sekadar sistem tanda, melainkan ruang eksistensial di mana manusia berpikir, berkomunikasi, dan memahami dirinya serta dunia

Sintesis filosofis ini berupaya menyatukan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari semantik ke dalam suatu kerangka humanistik, yakni pemahaman bahwa makna bersumber dari, untuk, dan demi manusia—sebagai makhluk simbolik, rasional, sekaligus etis.²

10.1.    Integrasi Ontologis: Makna sebagai Keberadaan dalam Bahasa

Dari sudut pandang ontologis, semantik humanistik mengakui bahwa makna bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan modus keberadaan manusia di dalam bahasa.³ Sejalan dengan Martin Heidegger, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi “rumah bagi Ada” (die Sprache ist das Haus des Seins).⁴ Dalam bahasa, manusia tidak hanya menyebut sesuatu, tetapi menghadirkan realitas; bahasa menjadi medium di mana dunia muncul sebagai dunia yang bermakna.⁵

Dengan demikian, makna tidak terletak di luar manusia maupun di luar bahasa, melainkan muncul dari pertemuan antara keberadaan manusia dan dunia melalui tindakan berbahasa.⁶ Semantik, dalam kerangka ini, berfungsi bukan untuk menjelaskan struktur logis kata, tetapi untuk memahami bagaimana bahasa memungkinkan kebermaknaan eksistensial.⁷

10.2.    Integrasi Epistemologis: Makna sebagai Pemahaman dan Dialog

Dari perspektif epistemologis, semantik humanistik menolak model representasional yang menganggap pengetahuan sebagai pencerminan dunia oleh bahasa. Sebaliknya, makna adalah hasil dialog antara subjek dan dunia, yang diperantarai oleh bahasa sebagai medium pemahaman.⁸ Hans-Georg Gadamer menegaskan bahwa memahami adalah bentuk “fusi horizon” (Horizontverschmelzung) antara penafsir dan teks atau tradisi lain.⁹

Dengan demikian, pengetahuan semantik bukan sekadar hasil inferensi logis, tetapi juga peristiwa hermeneutik, di mana makna selalu terbuka untuk penafsiran baru.¹⁰ Proses pemahaman ini bersifat dialogis: setiap ujaran mengandaikan respons, setiap makna adalah jembatan antara kesadaran yang berbeda.¹¹ Maka, semantik humanistik memandang bahasa sebagai arena komunikasi rasional dan empatik, di mana pengetahuan berkembang melalui interaksi intersubjektif.¹²

10.3.    Integrasi Aksiologis: Makna sebagai Ruang Etika dan Kemanusiaan

Secara aksiologis, semantik humanistik menempatkan makna dalam konteks nilai dan tanggung jawab. Bahasa tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk relasi etis antara manusia.¹³ Jürgen Habermas menunjukkan bahwa rasionalitas komunikatif menuntut tiga klaim validitas—kebenaran, ketepatan, dan kejujuran—yang menjadi dasar moral bagi komunikasi yang autentik.¹⁴

Dalam pandangan ini, memahami makna berarti juga mengakui martabat pihak lain sebagai subjek penutur, bukan sekadar penerima pesan.¹⁵ Semantik dengan demikian mengandung dimensi moral: ia menjadi sarana untuk membangun kepercayaan, solidaritas, dan tanggung jawab dialogis.¹⁶

Emmanuel Levinas memperdalam aspek ini dengan menunjukkan bahwa relasi bahasa selalu bersifat etis, karena “yang lain” hadir melalui kata dan memanggil kita untuk bertanggung jawab.¹⁷ Dalam kerangka ini, semantik humanistik tidak hanya menjelaskan bagaimana makna terbentuk, tetapi bagaimana makna dapat menjadi dasar bagi kemanusiaan.¹⁸

10.4.    Bahasa sebagai Ruang Humanisasi dan Rekonsiliasi

Dalam masyarakat global dan digital, di mana bahasa sering tereduksi menjadi instrumen teknis atau alat propaganda, semantik humanistik menegaskan kembali fungsi bahasa sebagai ruang humanisasi.¹⁹ Bahasa adalah tempat di mana manusia menemukan kembali dirinya melalui dialog dan refleksi.

Paul Ricoeur menyebut bahasa sebagai “mediasi simbolik” yang memungkinkan manusia menafsir pengalaman dan membangun identitas naratif.²⁰ Melalui simbol, manusia menyeberangi batas subjektivitas menuju pemahaman bersama. Oleh karena itu, semantik bukan sekadar teori tentang tanda, tetapi seni memahami manusia melalui bahasa.²¹

Pendekatan ini membuka kemungkinan bagi rekonsiliasi epistemik dan etis di tengah dunia yang plural. Dalam komunikasi lintas budaya dan sistem digital yang semakin kompleks, semantik humanistik berperan menjaga agar makna tidak kehilangan kedalaman reflektif dan nilai kemanusiaannya.²²


Menuju Filsafat Bahasa Humanistik dan Integral

Filsafat bahasa humanistik menolak dikotomi lama antara logika dan eksistensi, antara struktur dan pengalaman, antara kebenaran dan makna. Ia berupaya mengintegrasikan rasionalitas analitik dengan pemahaman hermeneutik dan etika komunikatif.²³

Charles Taylor menyatakan bahwa manusia adalah the language animal—makhluk yang eksistensinya terjalin dalam jaringan makna linguistik.²⁴ Maka, untuk memahami manusia, kita harus memahami bahasa; dan untuk memahami bahasa, kita harus memahami manusia. Dalam pandangan ini, semantik bukan hanya studi tentang simbol, tetapi juga refleksi tentang kemanusiaan itu sendiri.²⁵

Filsafat bahasa humanistik menegaskan tiga prinsip utama:

1)                  Bahasa sebagai keberadaan, bukan alat;

2)                  Makna sebagai dialog, bukan representasi;

3)                  Komunikasi sebagai etika, bukan sekadar transmisi informasi.²⁶

Melalui integrasi ketiga dimensi ini, filsafat bahasa dapat berfungsi sebagai pijakan untuk membangun kebudayaan komunikasi yang rasional, reflektif, dan manusiawi di tengah kompleksitas dunia kontemporer.²⁷


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 142–144.

[2]                Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 83–85.

[3]                Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 110–112.

[4]                Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache (Pfullingen: Neske, 1959), 11.

[5]                Ibid., 24–26.

[6]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 168–170.

[7]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 83–84.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.

[9]                Ibid., 310–312.

[10]             Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 28–30.

[11]             Mikhail Bakhtin, The Dialogic Imagination: Four Essays, trans. Caryl Emerson and Michael Holquist (Austin: University of Texas Press, 1981), 273–275.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–275.

[13]             Ibid., 287–289.

[14]             Ibid., 291–292.

[15]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 30–32.

[16]             Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social Text 25/26 (1990): 56–80.

[17]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 194–196.

[18]             Ibid., 199–201.

[19]             Byung-Chul Han, The Expulsion of the Other: Society, Perception and Communication Today, trans. Wieland Hoban (Cambridge: Polity Press, 2018), 52–54.

[20]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–320.

[21]             Ibid., 322–324.

[22]             Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 57–59.

[23]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 122–124.

[24]             Taylor, The Language Animal, 115–117.

[25]             Ibid., 130–132.

[26]             Ricoeur, From Text to Action, 87–88.

[27]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 40–42.


11.       Kesimpulan

Kajian mengenai dimensi semantik dalam filsafat bahasa menunjukkan bahwa persoalan makna tidak dapat dipahami hanya dari satu sudut pandang tunggal. Ia melibatkan dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, serta sosial-kultural, yang saling berkelindan dalam struktur pemikiran dan kehidupan manusia.¹ Semantik bukan sekadar bidang teknis linguistik, melainkan inti dari refleksi filosofis tentang bagaimana manusia hidup dalam bahasa dan melalui bahasa

Sejak Frege dan Russell, semantik dipahami sebagai hubungan antara tanda dan realitas, antara proposisi dan kebenaran.³ Namun, perkembangan selanjutnya—melalui Wittgenstein, Austin, dan Habermas—menunjukkan bahwa makna tidak hanya melekat pada struktur logis, melainkan juga lahir dalam praktik sosial, konteks budaya, dan interaksi etis antar-subjek.⁴ Peralihan ini menandai transformasi penting: dari semantik sebagai teori representasi menuju semantik sebagai teori komunikasi dan pemahaman.⁵

11.1.    Kesatuan Antara Makna, Bahasa, dan Kehidupan

Dari sudut pandang ontologis, bahasa tidak lagi dipandang sebagai alat eksternal bagi manusia, tetapi sebagai ruang keberadaan tempat manusia mengalami dan mengungkapkan dunia.⁶ Heidegger menegaskan bahwa manusia “berdiam di dalam bahasa” sebagaimana makhluk hidup berdiam di dalam dunia.⁷ Oleh karena itu, makna tidak dapat dipisahkan dari cara manusia “mengada” dalam realitas linguistiknya.

Secara epistemologis, pengetahuan tentang makna adalah hasil proses hermeneutik, bukan sekadar kalkulasi logis.⁸ Pemahaman muncul melalui dialog dan interpretasi, di mana subjek dan objek saling berjumpa dalam horizon makna yang terbuka.⁹ Dalam hal ini, semantik menjadi jantung dari filsafat pemahaman (philosophy of understanding), bukan sekadar teori tentang kebenaran formal.¹⁰

11.2.    Dimensi Etis dan Sosial dari Semantik

Dari perspektif aksiologis dan sosial, semantik mengandung nilai moral dan tanggung jawab komunikatif.¹¹ Bahasa tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga membentuk hubungan sosial yang mendasar bagi kehidupan bersama.¹² Habermas menekankan bahwa komunikasi yang bermakna menuntut kesetaraan dan kejujuran antara penutur dan pendengar, karena makna sejati lahir dari proses intersubjektif yang bebas dominasi.¹³

Dalam konteks ini, semantik berfungsi sebagai ruang etika dialogis, di mana manusia membangun makna bersama berdasarkan penghormatan terhadap kebenaran dan keadilan.¹⁴ Maka, studi semantik bukan hanya upaya linguistik, melainkan juga tanggung jawab moral untuk memelihara bahasa sebagai medium kemanusiaan.¹⁵

11.3.    Relevansi Semantik di Era Digital dan Global

Dalam era digital dan global, semantik menghadapi tantangan baru. Makna kini dimediasi oleh teknologi, algoritme, dan jaringan komunikasi yang melampaui batas-batas manusiawi.¹⁶ Luciano Floridi menunjukkan bahwa kita hidup dalam “infosfer,” di mana makna menjadi hasil interaksi antara manusia dan sistem informasi.¹⁷

Fenomena ini memunculkan kebutuhan akan semantik humanistik, yang menekankan pemulihan nilai reflektif dan etis dalam penggunaan bahasa digital.¹⁸ Semantik tidak boleh dibiarkan menjadi domain algoritme semata, tetapi harus tetap berpihak pada pemahaman, empati, dan tanggung jawab sosial.¹⁹ Dengan demikian, filsafat semantik berperan penting dalam menjaga keseimbangan antara rasionalitas teknologi dan keutuhan makna manusiawi.²⁰

11.4.    Sintesis Humanistik: Dari Analisis ke Refleksi

Arah akhir dari seluruh pembahasan ini adalah gagasan semantik humanistik, yakni semantik yang tidak berhenti pada analisis struktur, tetapi berlanjut ke refleksi tentang manusia sebagai makhluk bermakna.²¹ Bahasa adalah medan di mana manusia mengekspresikan kebebasan, membangun dunia bersama, dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.²²

Dalam kerangka ini, Paul Ricoeur memandang makna sebagai “tindakan interpretatif” yang menautkan teks dengan kehidupan.²³ Sementara Charles Taylor menegaskan bahwa manusia adalah the language animal—makhluk yang hanya dapat memahami dirinya melalui simbol dan narasi.²⁴ Oleh karena itu, filsafat bahasa humanistik menuntut pandangan integral: bahasa sebagai keberadaan, makna sebagai pemahaman, dan komunikasi sebagai etika.²⁵


Penutup

Filsafat semantik, dalam pengertian terdalamnya, adalah filsafat tentang kemanusiaan itu sendiri. Bahasa membentuk cara manusia memahami realitas, dan melalui makna manusia menemukan arah hidupnya.²⁶ Maka, tugas utama semantik bukan sekadar menjelaskan relasi tanda dan objek, tetapi membantu manusia menjaga kemampuan untuk memahami, berdialog, dan hidup secara bermakna di tengah perubahan zaman.²⁷

Dalam dunia yang sarat disrupsi dan ambiguitas makna, pendekatan semantik yang humanistik dan reflektif menjadi fondasi bagi etika komunikasi global.²⁸ Ia membuka jalan bagi rekonsiliasi antara logika dan empati, antara analisis dan kebijaksanaan, antara teknologi dan kemanusiaan.²⁹ Dengan demikian, filsafat bahasa tidak hanya berbicara tentang kata, tetapi juga tentang manusia yang hidup dalam dan melalui kata.³⁰


Footnotes

[1]                Jerrold J. Katz, The Philosophy of Language (New York: Harper & Row, 1966), 148–150.

[2]                Charles Taylor, The Language Animal: The Full Shape of the Human Linguistic Capacity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2016), 89–91.

[3]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §§43–45.

[5]                J. L. Austin, How to Do Things with Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1962), 6–8.

[6]                Martin Heidegger, Unterwegs zur Sprache (Pfullingen: Neske, 1959), 11–13.

[7]                Ibid., 24–26.

[8]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 305–307.

[9]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 83–84.

[10]             Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 108–110.

[11]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 273–275.

[12]             Ibid., 289–291.

[13]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 122–124.

[14]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2002), 87–89.

[15]             Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social Text 25/26 (1990): 56–80.

[16]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 42–44.

[17]             Ibid., 46–48.

[18]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 153–155.

[19]             Byung-Chul Han, The Transparency Society, trans. Erik Butler (Stanford, CA: Stanford University Press, 2015), 15–16.

[20]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society, 2nd ed. (Oxford: Wiley-Blackwell, 2010), 412–415.

[21]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 318–320.

[22]             Ibid., 324–326.

[23]             Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 28–30.

[24]             Taylor, The Language Animal, 115–117.

[25]             Ibid., 130–132.

[26]             Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism, 113–115.

[27]             Gadamer, Truth and Method, 310–312.

[28]             Floridi, The Philosophy of Information, 90–92.

[29]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 40–42.

[30]             Paul Ricoeur, From Text to Action, 87–88.


Daftar Pustaka

Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.

Asher, N., & Lascarides, A. (2003). Logics of conversation. Cambridge University Press.

Austin, J. L. (1962). How to do things with words. Harvard University Press.

Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic communication and speech acts. MIT Press.

Bakhtin, M. (1981). The dialogic imagination: Four essays (C. Emerson & M. Holquist, Trans.). University of Texas Press.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community and postmodernism in contemporary ethics. Routledge.

Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton University Press.

Blumer, H. (1969). Symbolic interactionism: Perspective and method. Prentice-Hall.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Polity Press.

Burge, T. (1979). Individualism and the mental. Midwest Studies in Philosophy, 4(1), 73–122.

Byung-Chul Han. (2015). The transparency society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.

Byung-Chul Han. (2018). The expulsion of the other: Society, perception and communication today (W. Hoban, Trans.). Polity Press.

Carnap, R. (1947). Meaning and necessity. University of Chicago Press.

Castells, M. (2010). The rise of the network society (2nd ed.). Wiley-Blackwell.

Cavell, S. (1969). Must we mean what we say? Cambridge University Press.

Churchland, P. (1989). A neurocomputational perspective: The nature of mind and the structure of science. MIT Press.

Davidson, D. (1967). Truth and meaning. Synthese, 17(3), 304–323.

Davidson, D. (1973). Radical interpretation. Dialectica, 27(3), 313–328.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.

Dreyfus, H. L., & Taylor, C. (2015). Retrieving realism. Harvard University Press.

Dummett, M. (1981). Frege: Philosophy of language. Harvard University Press.

Fairclough, N. (1992). Discourse and social change. Polity Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Fodor, J. (1975). The language of thought. Harvard University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. S. Smith, Trans.). Pantheon Books.

Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere. Social Text, 25/26, 56–80.

Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Grice, H. P. (1957). Meaning. Philosophical Review, 66(3), 377–388.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Hacker, P. M. S. (1986). Insight and illusion: Themes in the philosophy of Wittgenstein. Clarendon Press.

Han, B.-C. (2015). The transparency society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.

Han, B.-C. (2018). The expulsion of the other: Society, perception and communication today (W. Hoban, Trans.). Polity Press.

Hayles, N. K. (1999). How we became posthuman: Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics. University of Chicago Press.

Heidegger, M. (1959). Unterwegs zur Sprache. Neske.

Heim, I. (1982). File change semantics and the familiarity theory of definites. MIT Press.

Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where old and new media collide. New York University Press.

Katz, J. J. (1966). The philosophy of language. Harper & Row.

Katz, J. J. (1981). Language and other abstract objects. Rowman & Littlefield.

Kaplan, D. (1989). Demonstratives. In J. Almog, J. Perry, & H. Wettstein (Eds.), Themes from Kaplan (pp. 481–563). Oxford University Press.

Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Lanier, J. (2018). Ten arguments for deleting your social media accounts right now. Henry Holt.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Manovich, L. (2001). The language of new media. MIT Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Montague, R. (1970). Universal grammar. Theoria, 36(3), 373–398.

Noble, S. U. (2018). Algorithms of oppression: How search engines reinforce racism. NYU Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.

Pariser, E. (2011). The filter bubble: What the internet is hiding from you. Penguin.

Partee, B. (1980). Montague grammar and linguistic semantics. In D. Gabbay & F. Guenthner (Eds.), Contemporary research in philosophical logic and linguistic semantics (pp. 1–25). Reidel.

Putnam, H. (1975). Mind, language and reality: Philosophical papers, Volume 2. Cambridge University Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol. 1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493.

Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. Harcourt, Brace.

Searle, J. (1969). Speech acts. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.

Stalnaker, R. (1999). Context and content: Essays on intentionality in speech and thought. Oxford University Press.

Tarski, A. (1956). The concept of truth in formalized languages. In Logic, semantics, metamathematics (pp. 152–278). Clarendon Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (2016). The language animal: The full shape of the human linguistic capacity. Harvard University Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality. MIT Press.

Wilks, Y. (2008). Machine translation: Its scope and limits. Springer.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar