Pragmatik dalam Filsafat Bahasa
Makna, Tindakan, dan Konteks dalam Komunikasi Manusia
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif dimensi
pragmatik dalam filsafat bahasa dengan menelusuri landasan historis, ontologis,
epistemologis, aksiologis, sosial, dan relevansi kontemporernya. Pragmatik
dipahami sebagai pergeseran paradigma dari pandangan semantik yang menekankan
makna sebagai representasi, menuju pandangan yang menekankan bahasa sebagai
tindakan (language as action) dan praktik sosial yang bermakna dalam
konteks penggunaannya. Kajian ini menunjukkan bahwa secara ontologis, pragmatik
menempatkan bahasa sebagai realitas intersubjektif yang konstitutif terhadap
dunia sosial; secara epistemologis, ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang
makna bersifat kontekstual dan dialogis; sedangkan secara aksiologis, bahasa
dipandang sebagai tindakan etis yang mengandung nilai kejujuran, tanggung
jawab, dan empati.
Melalui dimensi sosial, politik, dan kultural,
pragmatik dipahami tidak hanya sebagai teori linguistik, tetapi juga sebagai alat
kritis untuk membaca relasi kekuasaan, ideologi, dan identitas dalam wacana
publik. Kritik terhadap teori-teori utama (Austin, Searle, Grice, dan
Habermas) menunjukkan bahwa pragmatik klasik perlu dilengkapi dengan perspektif
humanistik, interkultural, dan reflektif agar dapat menjawab tantangan era
digital dan global. Dalam konteks komunikasi digital, pragmatik menjadi dasar
bagi etika komunikasi yang menghargai pluralitas, empati, dan tanggung jawab
sosial.
Akhirnya, sintesis filosofis artikel ini mengarah
pada filsafat bahasa yang humanistik dan komunikatif, di mana bahasa
dipahami sebagai ruang keberadaan bersama, tempat manusia membangun pengertian,
solidaritas, dan nilai-nilai kemanusiaan. Pragmatik, dengan demikian, bukan
hanya teori makna, tetapi juga filsafat kehidupan—pandangan tentang
bagaimana manusia hidup, berpikir, dan bertindak melalui bahasa.
Kata Kunci: Pragmatik; filsafat bahasa; tindak tutur; makna
kontekstual; komunikasi rasional; etika linguistik; intersubjektivitas;
digitalisasi komunikasi; filsafat humanistik; etika dialogis.
PEMBAHASAN
Pragmatik dalam Filsafat Bahasa
1.
Pendahuluan
Kajian mengenai pragmatik dalam filsafat bahasa
menandai salah satu pergeseran penting dalam pemikiran linguistik dan filosofis
abad ke-20. Jika sebelumnya bahasa dipahami terutama sebagai sistem tanda yang
merepresentasikan realitas melalui struktur dan makna formal (sebagaimana
ditekankan dalam semantik), maka pragmatik menghadirkan pandangan baru: bahasa
sebagai tindakan dan praktik sosial yang bermakna dalam konteks penggunaannya.
Pergeseran ini menempatkan fokus bukan hanya pada “apa yang dikatakan”,
tetapi juga pada “apa yang dilakukan” melalui tuturan serta “kapan
dan kepada siapa” tuturan itu diujarkan.¹
Dalam sejarah pemikiran, kelahiran pragmatik tidak
dapat dilepaskan dari kritik terhadap formalisme logis yang dikembangkan dalam
tradisi positivisme logis dan analisis bahasa pada awal abad ke-20. Ludwig Wittgenstein,
dalam Philosophical Investigations, menggeser pemahaman bahasa dari
sistem logis ke “permainan bahasa” (language-games), di mana makna
ditentukan oleh aturan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.² Dengan
demikian, bahasa bukanlah entitas abstrak yang berdiri sendiri, melainkan
bagian dari kegiatan manusia yang kontekstual dan sosial.
Perkembangan berikutnya dikokohkan oleh para
pemikir seperti J.L. Austin dan John Searle melalui teori tindak tutur
(speech act theory) yang menegaskan bahwa berbicara adalah bentuk tindakan
— “to say something is to do something.”³ Melalui tindak tutur,
pragmatik menjelaskan bagaimana pernyataan tidak hanya menyampaikan informasi,
tetapi juga mengandung fungsi ilokusi (niat penutur) dan perlokusi (efek pada
pendengar). Demikian pula, H.P. Grice memperluas pemahaman ini dengan konsep implikatur
percakapan (conversational implicature) dan prinsip kerja sama
(cooperative principle), yang menjelaskan bagaimana makna tersirat
dihasilkan melalui asumsi rasional dalam percakapan.⁴
Secara filosofis, dimensi pragmatik mempertemukan
aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari bahasa. Secara
ontologis, ia menegaskan bahasa sebagai tindakan nyata dalam dunia sosial;
secara epistemologis, ia menyoroti proses pemahaman makna yang bergantung pada
konteks dan inferensi; dan secara aksiologis, ia menekankan nilai-nilai
komunikasi seperti kejujuran, kesopanan, dan tanggung jawab.⁵ Dengan demikian,
pragmatik bukan sekadar cabang linguistik, melainkan paradigma filsafat bahasa
yang menyatukan makna, tindakan, dan nilai dalam satu horizon interpretatif.
Dalam konteks kontemporer, kajian pragmatik menjadi
semakin relevan, terutama di era komunikasi digital dan globalisasi
linguistik, di mana konteks komunikasi sering kali kabur dan interpretasi
makna dapat berubah secara cepat.⁶ Pemahaman pragmatik membantu menelaah
bagaimana makna dibentuk, dinegosiasikan, atau bahkan dimanipulasi dalam ruang
publik digital. Melalui kerangka ini, pragmatik membuka jalan bagi filsafat
bahasa yang lebih humanistik, yaitu bahasa yang tidak hanya berfungsi
untuk menyampaikan pesan, tetapi juga untuk membangun pemahaman, solidaritas,
dan etika dalam interaksi manusia.
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1983), 5.
[2]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.
[3]
J.L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 12.
[4]
H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax
and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New
York: Academic Press, 1975), 41–58.
[5]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
12–14.
[6]
Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse
2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press,
2013), 3–5.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Dimensi pragmatik
dalam filsafat bahasa berakar pada evolusi panjang pemikiran tentang bahasa,
makna, dan tindakan. Genealogi pragmatik dapat dipahami sebagai reaksi dan
koreksi terhadap kecenderungan formalisme logis yang mendominasi filsafat
bahasa awal abad ke-20. Tradisi semantik logis, yang berupaya
menjelaskan makna melalui struktur proposisional dan kebenaran formal, terbukti
tidak mampu menjawab kompleksitas komunikasi manusia yang bergantung pada
konteks, niat, dan interaksi sosial. Dari sinilah lahir pendekatan
pragmatik—sebuah usaha untuk mengembalikan bahasa ke dunia kehidupan (Lebenswelt)
manusia yang dinamis dan intersubjektif.¹
2.1.
Akar dalam Semiotika Pragmatika: Charles Morris
dan Tiga Dimensi Bahasa
Charles W. Morris
merupakan salah satu figur awal yang mengajukan pemahaman pragmatik dalam
kerangka semiotik. Dalam karyanya Foundations of the Theory of Signs
(1938), Morris membedakan tiga dimensi kajian tanda: sintaktik,
semantik,
dan pragmatik.
Sintaktik membahas hubungan antar-tanda, semantik membahas hubungan antara
tanda dan objek yang dirujuk, sementara pragmatik menyoroti hubungan antara
tanda dengan pengguna tanda tersebut.² Pembagian ini membuka ruang bagi
pemahaman bahasa bukan hanya sebagai sistem formal, melainkan juga sebagai alat
tindakan sosial.
2.2.
Pergeseran dari Semantik ke Pragmatik: Wittgenstein
dan Makna sebagai Penggunaan
Perubahan paradigma
yang lebih mendasar muncul dalam filsafat bahasa pasca-logis, terutama melalui
pemikiran Ludwig Wittgenstein. Dalam Philosophical
Investigations (1953), Wittgenstein mengkritik gagasan bahwa makna
adalah entitas mental atau representasi objektif, dengan menyatakan bahwa “makna
suatu kata adalah penggunaannya dalam bahasa” (the
meaning of a word is its use in the language).³ Dengan konsep “permainan
bahasa” (language-games), ia menunjukkan bahwa bahasa terikat
pada konteks aktivitas manusia: berjanji, bertanya, memerintah, mengkritik, dan
sebagainya. Pandangan ini menjadi fondasi ontologis bagi pragmatik modern yang
memandang bahasa sebagai praktik sosial yang berakar pada tindakan.⁴
2.3.
Teori Tindak Tutur: Austin dan Searle
J.L. Austin
memperluas pemikiran Wittgenstein dengan mengembangkan teori
tindak tutur (speech act theory). Dalam kuliah terkenalnya yang
diterbitkan sebagai How to Do Things with Words (1962),
Austin menegaskan bahwa berbicara bukan sekadar mengucapkan kalimat, melainkan
juga melakukan
tindakan.⁵ Ia membedakan antara tuturan konstatif, yang
menggambarkan fakta dan dapat dinilai benar atau salah, dan tuturan
performatif, yang justru menciptakan tindakan (misalnya, “Saya
berjanji,” “Saya menamai,” “Saya mengumumkan”). Teori ini
menandai pergeseran ontologis besar: makna tidak hanya bersifat deskriptif,
tetapi juga produktif dan konstitutif terhadap realitas sosial.
John R. Searle
kemudian mengembangkan teori ini dalam bentuk yang lebih sistematis melalui
karyanya Speech
Acts (1969) dan Expression and Meaning (1979).⁶
Searle memperkenalkan kategori tindak ilokusi (intensi
penutur) dan tindak perlokusi (efek terhadap
pendengar), yang menunjukkan bahwa komunikasi melibatkan dimensi mental, sosial,
dan normatif secara bersamaan. Pandangan ini menegaskan bahwa bahasa adalah
bagian dari tatanan institusional dan etis
kehidupan manusia.⁷
2.4.
Prinsip Kerja Sama dan Implikatur: H.P. Grice
Kontribusi besar
berikutnya datang dari Herbert Paul Grice, yang mengalihkan
perhatian dari tindakan ilokusi ke mekanisme penalaran dalam komunikasi. Dalam
esainya “Logic and Conversation” (1975), Grice mengemukakan prinsip
kerja sama (cooperative principle), yaitu bahwa partisipan
dalam percakapan secara rasional bekerja sama untuk mencapai pemahaman
bersama.⁸ Dari prinsip ini lahir konsep implikatur percakapan, yaitu
makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi dipahami melalui konteks
dan asumsi tentang kerja sama komunikatif.⁹ Gagasan Grice mengintegrasikan logika,
psikologi, dan etika dalam satu kerangka pragmatik yang menekankan inferensi
sosial sebagai dasar komunikasi bermakna.
2.5.
Menuju Pragmatik Kritis: Habermas dan
Komunikasi Rasional
Dalam tradisi
filsafat kontinental, Jürgen Habermas memberikan
dimensi etis dan sosial pada pragmatik melalui konsep tindakan
komunikatif (communicative action). Dalam The
Theory of Communicative Action (1981), ia menyatakan bahwa
komunikasi sejati tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi, tetapi
juga untuk mencapai pemahaman rasional bersama (mutual
understanding) dalam situasi bebas dominasi.¹⁰ Dengan demikian,
pragmatik tidak hanya membahas bagaimana makna diproduksi, tetapi juga bagaimana
komunikasi dapat menjadi dasar bagi etika dan demokrasi.
Rekontekstualisasi Kontemporer
Perkembangan terkini
pragmatik mencakup pendekatan interdisipliner seperti pragmatik
kognitif (Sperber & Wilson, Relevance Theory), pragmatik
sosial (Brown & Levinson, Politeness Theory), dan pragmatik
budaya (Blum-Kulka & Wierzbicka).¹¹ Semua ini memperkaya
pemahaman pragmatik sebagai dimensi filsafat bahasa yang hidup, terbuka, dan
responsif terhadap kompleksitas komunikasi manusia di berbagai konteks.
Dengan demikian,
secara genealogis, pragmatik lahir dari pertemuan antara filsafat analitik,
semiotik, dan teori sosial, yang bersama-sama membentuk paradigma baru tentang
bahasa sebagai tindakan kontekstual, bernilai, dan etis—suatu
sintesis antara makna dan kehidupan.
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 3–5.
[2]
Charles W. Morris, Foundations of the
Theory of Signs (Chicago: University
of Chicago Press, 1938), 21–23.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[4]
Hans-Johann Glock, A Wittgenstein
Dictionary (Oxford: Blackwell,
1996), 207–210.
[5]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 6–7.
[6]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.
[7]
John R. Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 15–18.
[8]
H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 41–58.
[9]
Stephen Davis, ed., Pragmatics:
A Reader (Oxford: Oxford University
Press, 1991), 67–70.
[10]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
86–88.
[11]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford:
Blackwell, 1986), 32–35; Penelope Brown and Stephen C. Levinson, Politeness: Some Universals in Language Usage (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 55–57.
3.
Ontologi:
Hakikat Pragmatik dan Realitas Bahasa dalam Penggunaan
Dalam dimensi
ontologis, pragmatik mengajukan pertanyaan mendasar tentang hakikat
bahasa sebagai tindakan dan kenyataan komunikatif. Berbeda dengan
pandangan semantik yang memusatkan perhatian pada hubungan antara tanda dan
makna secara abstrak, pragmatik memahami bahasa sebagai bagian dari realitas
praksis manusia—yakni sebagai tindakan yang menubuh dalam dunia
sosial.¹ Bahasa, dalam kerangka ini, bukan sekadar representasi tentang dunia,
melainkan salah satu cara manusia membangun dan mengubah
dunia melalui tindakan linguistik.
3.1.
Bahasa sebagai Tindakan: Dari Deskripsi ke
Performatif
Pandangan ontologis
utama pragmatik berpangkal pada gagasan bahasa sebagai tindakan (language
as action). J.L. Austin melalui karya klasiknya How to
Do Things with Words (1962) memperkenalkan pemikiran bahwa setiap
ujaran tidak hanya menyampaikan informasi (deskriptif), tetapi juga melakukan
sesuatu (performatif).² Ujaran seperti “Saya berjanji,”
“Saya menamai anak ini,” atau “Saya mengumumkan sidang dibuka”
adalah tindakan sosial yang memiliki konsekuensi nyata dalam dunia.³
Ontologi ini
menunjukkan bahwa bahasa tidak netral, melainkan
konstitutif terhadap kenyataan sosial. John Searle memperdalam gagasan tersebut
dengan menyatakan bahwa tindakan ilokusi (niat penutur)
dan tindakan
perlokusi (dampak pada pendengar) merupakan bagian dari tatanan
institusional kehidupan.⁴ Dengan kata lain, realitas sosial sebagian dibangun oleh tindak
tutur—misalnya, dalam deklarasi hukum, transaksi ekonomi, atau
komitmen moral.⁵ Dalam kerangka ini, bahasa bukanlah cermin realitas, melainkan
medium
penciptaan realitas intersubjektif.
3.2.
Konteks dan Intensionalitas: Bahasa sebagai Aktivitas
Bermakna
Dalam ontologi
pragmatik, konteks menjadi syarat
keberadaan makna.⁶ Suatu ujaran hanya memiliki arti dalam relasi dengan
situasi, peran pembicara, pendengar, dan tujuan komunikatifnya. Pandangan ini
menolak esensialisme semantik yang berupaya menemukan makna tetap di luar
penggunaan. Sebaliknya, makna bersifat kontekstual, dinamis, dan terbuka terhadap
interpretasi.⁷
Sementara itu,
dimensi intensionalitas—yakni orientasi
makna terhadap maksud penutur—menjadi fondasi bagi realitas pragmatik. Searle
menegaskan bahwa tindakan linguistik tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan
niat komunikatif (illocutionary intention).⁸ Niat inilah yang memberi struktur
pada tindakan ujaran, membedakannya dari sekadar rangkaian bunyi atau simbol.
Dalam hal ini, makna merupakan hasil relasional antara intensi
penutur dan inferensi pendengar dalam konteks yang disepakati
bersama.⁹
3.3.
Bahasa sebagai Praktik Sosial dan Dunia
Kehidupan
Ontologi pragmatik
tidak dapat dilepaskan dari pandangan fenomenologis dan hermeneutik tentang dunia
kehidupan (Lebenswelt). Dalam perspektif ini, bahasa merupakan modus
eksistensial manusia—cara manusia berada di dunia (being-in-the-world)
sebagaimana ditekankan oleh Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer.¹⁰ Bahasa
tidak hanya mengungkapkan kenyataan, tetapi juga membangun
horizon makna bersama yang memungkinkan pemahaman dan tindakan
sosial.
Habermas kemudian
mengembangkan pandangan ini dalam The Theory of Communicative Action
dengan menegaskan bahwa tindakan komunikatif adalah
bentuk eksistensi sosial manusia yang berorientasi pada pemahaman rasional.¹¹
Bahasa, dalam artian ini, adalah medium etis yang memungkinkan manusia
mengoordinasikan tindakan secara damai melalui argumen dan pengakuan timbal
balik. Dengan demikian, ontologi pragmatik tidak sekadar ontologi
linguistik, tetapi ontologi sosial yang berakar pada intersubjektivitas.¹²
3.4.
Realitas Intersubjektif: Bahasa sebagai Ruang
Etika dan Pengakuan
Realitas bahasa
dalam pragmatik bersifat intersubjektif—tercipta melalui
pertemuan antara dua atau lebih subjek yang saling menafsirkan. Makna tidak
terletak pada penutur atau teks semata, melainkan muncul dalam proses
komunikasi itu sendiri.¹³ Oleh karena itu, pragmatik menegaskan bahwa hakikat
bahasa tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab etis
antarpartisipan dalam percakapan.
Paul Ricoeur, dalam Oneself
as Another, menekankan bahwa bahasa membuka ruang bagi pengakuan
(recognition)—yakni pengakuan terhadap diri dan orang lain
sebagai subjek yang bermakna.¹⁴ Dalam horizon ini, pragmatik bukan hanya teori
linguistik, tetapi juga ontologi relasional yang
menegaskan bahwa menjadi manusia berarti mampu berbicara, mendengar, dan saling
memahami.
Kesimpulan Ontologis
Dengan demikian,
secara ontologis, pragmatik mendefinisikan bahasa sebagai tindakan
sosial yang konstitutif terhadap realitas. Bahasa tidak hanya
menggambarkan dunia, melainkan membentuk dunia sosial dan moral
tempat manusia hidup bersama. Ontologi pragmatik menolak pandangan representasional
yang memisahkan bahasa dari kehidupan, dan menggantikannya dengan pandangan performasional
dan intersubjektif: bahasa sebagai praktik makna, tindakan, dan
etika yang hidup.¹⁵
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 8–10.
[2]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 6–7.
[3]
Marina Sbisà, “Speech Acts in Context,” Language & Communication 22, no. 4 (2002): 421–436.
[4]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 23–25.
[5]
John R. Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 27–33.
[6]
H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45.
[7]
Kent Bach, “Conversational Impliciture,” Mind & Language
9, no. 2 (1994): 124–162.
[8]
Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 7–9.
[9]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford:
Blackwell, 1986), 31–33.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 1994), 383–385.
[11]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
86–90.
[12]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 109–111.
[13]
Thomas A. McCarthy, “Language and Intersubjectivity in Habermas’s
Theory of Communicative Action,” Philosophy
& Social Criticism 11, no. 2
(1986): 139–156.
[14]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 17–18.
[15]
Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 142–145.
4.
Epistemologi:
Pengetahuan tentang Makna dan Konteks
Epistemologi
pragmatik berupaya menjawab pertanyaan fundamental: bagaimana
manusia mengetahui makna dalam komunikasi yang kontekstual dan dinamis?
Jika semantik menitikberatkan pada hubungan antara tanda dan referennya secara
objektif, maka pragmatik menegaskan bahwa pengetahuan tentang makna tidak dapat
dilepaskan dari penggunaan bahasa dalam situasi tertentu,
dari niat
penutur, serta dari asumsi bersama yang dimiliki peserta komunikasi.¹
Dalam pengertian ini, epistemologi pragmatik berlandaskan pada pengetahuan
praktis (practical knowledge)—yakni kemampuan memahami maksud
dan implikasi ujaran berdasarkan inferensi sosial dan pengalaman komunikasi
yang hidup.
4.1.
Makna sebagai Pengetahuan Kontekstual
Dalam perspektif
pragmatik, makna tidak semata-mata tersimpan dalam struktur bahasa, melainkan
muncul melalui proses interpretasi kontekstual. H.P.
Grice, melalui teori implikatur percakapan (conversational implicature),
menunjukkan bahwa makna suatu tuturan sering kali melebihi
apa yang dikatakan secara eksplisit.² Pemahaman ini memerlukan
inferensi berdasarkan konteks, seperti siapa penutur, kepada siapa ia
berbicara, dan dalam situasi apa ujaran itu terjadi. Dengan demikian, mengetahui
makna berarti mampu menafsirkan maksud yang tersirat melalui konteks sosial dan
budaya.³
Dan Sperber dan
Deirdre Wilson mengembangkan gagasan ini melalui Relevance Theory, yang menyatakan
bahwa komunikasi manusia bergantung pada kemampuan kognitif untuk menilai relevansi—yakni
keseimbangan antara upaya penafsiran dan hasil pemahaman.⁴ Pengetahuan
pragmatik di sini bersifat inferensial dan tidak eksplisit; ia bertumpu pada
kemampuan manusia untuk menghubungkan tanda dengan maksud penutur
melalui konteks situasional dan mental.⁵
4.2.
Inferensi Pragmatik dan Rasionalitas
Komunikatif
Epistemologi
pragmatik juga melibatkan proses inferensi rasional, di mana
pendengar menafsirkan ujaran dengan mengandalkan prinsip kerja sama dan
kesalingpahaman.⁶ Dalam kerangka Grice, pendengar tidak sekadar menerima pesan
literal, tetapi aktif membangun makna melalui penalaran berdasarkan empat
maksim percakapan: kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara.⁷ Pengetahuan
tentang makna, dengan demikian, merupakan hasil proses rasional intersubjektif,
bukan sekadar pengenalan simbol.
Jürgen Habermas
memperluas dimensi epistemologis ini dengan menegaskan bahwa pemahaman
makna merupakan hasil tindakan komunikatif yang berorientasi pada kebenaran,
kejujuran, dan ketepatan normatif.⁸ Komunikasi yang sahih
(valid) menuntut bahwa peserta memiliki dasar rasional untuk saling memahami
dan mempercayai. Dalam konteks ini, pragmatik tidak hanya menjelaskan bagaimana
makna dipahami, tetapi juga mengapa pemahaman itu memiliki
legitimasi sosial dan etis.⁹
4.3.
Pengetahuan Praktis dan Kecerdasan Komunikatif
Michael Polanyi
memperkenalkan konsep pengetahuan tacit (tacit knowledge)—pengetahuan
yang tidak sepenuhnya dapat diartikulasikan secara eksplisit, tetapi diwujudkan
melalui keterampilan dan kebiasaan.¹⁰ Dalam komunikasi, bentuk pengetahuan ini
tampak dalam kemampuan intuitif manusia untuk menilai maksud lawan bicara,
memahami sarkasme, humor, atau kesopanan, tanpa perlu merumuskannya secara
formal.¹¹ Dengan demikian, epistemologi pragmatik melibatkan dimensi kognitif-emosional,
bukan hanya logika simbolik.
Selain itu, Noam
Chomsky membedakan antara kompetensi linguistik
(pengetahuan gramatikal) dan kompetensi komunikatif
(kemampuan menggunakan bahasa secara tepat dalam konteks sosial).¹² Dell Hymes
kemudian menegaskan bahwa kompetensi komunikatif ini merupakan pengetahuan
pragmatik yang sesungguhnya—kemampuan memahami kapan, bagaimana, dan kepada
siapa sesuatu dapat diucapkan.¹³ Maka, epistemologi pragmatik memperluas
cakupan “pengetahuan bahasa” dari sekadar struktur ke penggunaan
kontekstual yang etis dan sosial.
4.4.
Interaksi, Pemahaman, dan Validitas Makna
Habermas, dalam
kerangka teori tindakan komunikatifnya, memperkenalkan tiga klaim validitas
universal—kebenaran (truth), ketepatan
normatif (rightness), dan kejujuran (truthfulness)—sebagai
dasar epistemik komunikasi rasional.¹⁴ Setiap tindak tutur yang bermakna
mengandaikan kesediaan penutur dan pendengar untuk mencapai pemahaman bersama (Verständigung).
Dalam konteks ini, pengetahuan pragmatik tidak dapat dipisahkan dari etika
diskursus, sebab memahami makna berarti juga mengakui posisi
dan niat pihak lain secara setara.¹⁵
Dengan demikian, epistemologi
pragmatik menolak pandangan objektivistik yang memisahkan subjek dari bahasa.
Ia menggantikannya dengan pandangan intersubjektif, di mana
pengetahuan tentang makna selalu terwujud melalui hubungan sosial.¹⁶ Proses
mengetahui di sini adalah proses berdialog—sebuah tindakan yang
menuntut keterbukaan, empati, dan refleksi.
4.5.
Pengetahuan Pragmatik dalam Era Digital
Dalam konteks
komunikasi digital, epistemologi pragmatik menghadapi tantangan baru. Media
sosial, algoritma, dan komunikasi multimodal menciptakan ruang di mana konteks
sering kali tereduksi—penutur dan pendengar tidak selalu
berbagi latar sosial yang sama, dan tanda-tanda nonverbal tergantikan oleh
emoji, meme, atau simbol virtual.¹⁷ Oleh karena itu, pengetahuan tentang makna
kini memerlukan kompetensi pragmatik digital—kemampuan
menafsirkan maksud dan emosi melalui isyarat yang terbatas, serta kesadaran
kritis terhadap distorsi konteks oleh media.¹⁸
Kesimpulan Epistemologis
Secara
epistemologis, pragmatik memahami pengetahuan bahasa sebagai pengetahuan
dialogis, inferensial, dan kontekstual. Mengetahui makna
berarti terlibat dalam proses intersubjektif yang menggabungkan niat, konteks,
dan inferensi. Ia bukan sekadar mengetahui “apa arti kata”, tetapi mengetahui
kapan, mengapa, dan untuk siapa kata itu diucapkan. Dalam
pengertian ini, epistemologi pragmatik memperluas horizon pengetahuan menjadi
praksis sosial yang hidup—suatu bentuk pengetahuan yang tidak hanya kognitif,
tetapi juga etis dan komunikatif.¹⁹
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 11–13.
[2]
H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45–47.
[3]
Kent Bach, “Conversational Impliciture,” Mind & Language
9, no. 2 (1994): 124–162.
[4]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford:
Blackwell, 1986), 33–38.
[5]
Robyn Carston, Thoughts and
Utterances: The Pragmatics of Explicit Communication (Oxford: Blackwell, 2002), 21–25.
[6]
Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 12–14.
[7]
Grice, “Logic and Conversation,” 46–47.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
86–90.
[9]
Maeve Cooke, Language and Reason: A
Study of Habermas’s Pragmatics
(Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 54–56.
[10]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 4–6.
[11]
Hubert L. Dreyfus, Mind over Machine (New York: Free Press, 1986), 28–30.
[12]
Noam Chomsky, Aspects of the Theory
of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press,
1965), 3–4.
[13]
Dell Hymes, “On Communicative Competence,” in Sociolinguistics: Selected Readings, ed. J. B. Pride and Janet Holmes (Harmondsworth:
Penguin, 1972), 277–285.
[14]
Habermas, The Theory of
Communicative Action, 99–101.
[15]
Seyla Benhabib, Situating the Self:
Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 29–31.
[16]
Thomas McCarthy, “Language, Intersubjectivity, and Rationality in
Habermas’s Theory,” Philosophy & Social
Criticism 11, no. 2 (1986): 141–143.
[17]
Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013),
6–8.
[18]
Crispin Thurlow, “Digital Discourse: Language in the New Media,” Language and Communication 31, no. 1 (2011): 1–6.
[19]
Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1991), 142–145.
5.
Aksiologi:
Nilai, Etika, dan Fungsi Pragmatik
Dimensi aksiologi
pragmatik menyoroti nilai-nilai dan fungsi etis yang terkandung
dalam penggunaan bahasa. Jika ontologi pragmatik menegaskan bahasa sebagai
tindakan, dan epistemologinya menekankan pemahaman makna dalam konteks, maka
aksiologi pragmatik membahas bagaimana bahasa menjadi sarana nilai, tanggung
jawab, dan etika komunikasi manusia. Dalam perspektif ini,
bahasa bukan sekadar alat penyampai informasi, melainkan praktik
moral yang mencerminkan penghargaan terhadap sesama, kesopanan, kejujuran, dan
empati.¹
5.1.
Nilai Komunikasi dan Tanggung Jawab Tuturan
Setiap tindak tutur
memiliki nilai moral implisit karena ia
melibatkan hubungan antar-subjek yang memerlukan pengakuan dan kepercayaan.²
Dalam komunikasi yang sehat, penutur tidak hanya bertanggung jawab atas
kebenaran proposisinya, tetapi juga atas niat dan dampak ucapannya terhadap
pendengar. John Searle menekankan bahwa tindakan ilokusi—seperti berjanji,
meminta maaf, atau menyatakan sesuatu—selalu terikat pada komitmen
normatif yang mengandung tuntutan etis.³
Dengan demikian,
pragmatik mengandung dimensi tanggung jawab: berbicara berarti mengambil
posisi etis dalam dunia sosial. Paul Ricoeur menyebut hal ini
sebagai “etika pengakuan” (ethics of recognition), di mana
setiap tindakan linguistik mengandaikan pengakuan terhadap orang lain sebagai
subjek yang otonom dan bermartabat.⁴ Oleh karena itu, nilai
utama dalam pragmatik adalah tanggung jawab komunikatif—yakni
kesediaan untuk berbicara dengan jujur dan mendengarkan dengan terbuka.
5.2.
Etika Tuturan dan Prinsip Kesopanan
Pragmatik juga
memiliki fungsi etis dalam menjaga kehormatan dan keharmonisan sosial
melalui prinsip kesopanan. Geoffrey Leech mengembangkan teori prinsip
kesopanan (politeness principle) untuk melengkapi prinsip kerja
sama Grice.⁵ Prinsip ini menegaskan bahwa komunikasi tidak hanya mengejar
efisiensi makna, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai kehormatan, kesantunan, dan harmoni
relasional.
Dalam kerangka
budaya, Brown dan Levinson menjelaskan bahwa strategi kesopanan (politeness
strategies) berakar pada konsep “wajah” (face)—yakni citra diri yang ingin
dijaga oleh setiap individu.⁶ Maka, tindakan linguistik harus memperhatikan “wajah
positif” (kebutuhan untuk dihargai) dan “wajah negatif” (kebutuhan
untuk otonomi). Pelanggaran terhadap prinsip ini sering kali
menimbulkan konflik komunikasi. Secara aksiologis, kesopanan
berfungsi sebagai nilai normatif yang menjaga kohesi sosial melalui
penghormatan linguistik.⁷
5.3.
Nilai Kejujuran dan Keautentikan
Selain kesopanan,
nilai lain yang fundamental dalam pragmatik adalah kejujuran
(truthfulness). Jürgen Habermas menempatkan kejujuran sebagai
salah satu dari tiga klaim validitas universal yang menjadi dasar etika
komunikasi: kebenaran, ketepatan normatif, dan kejujuran.⁸
Suatu komunikasi hanya dapat mencapai pemahaman rasional apabila para
partisipan menganggap bahwa penutur jujur terhadap maksudnya dan tidak
menyembunyikan informasi penting.
Habermas menegaskan
bahwa keautentikan
(authenticity) merupakan dasar moral dari tindakan
komunikatif.⁹ Dengan kata lain, tindakan linguistik memiliki nilai bukan karena
isinya semata, melainkan karena kejujuran penutur dan keterbukaan terhadap
koreksi. Maka, pragmatik bukan sekadar teori makna tersirat,
tetapi juga kerangka etika yang menuntut transparansi dan kepercayaan dalam
wacana publik.
5.4.
Fungsi Sosial: Bahasa sebagai Ruang Etika
Publik
Dari segi sosial,
pragmatik memiliki fungsi sebagai ruang etika publik, di mana
nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan solidaritas diwujudkan melalui percakapan
rasional.¹⁰ Dalam konteks ini, teori tindakan komunikatif Habermas mengajukan
gagasan masyarakat komunikatif (communicative
society), di mana legitimasi sosial dibangun bukan melalui
kekuasaan, tetapi melalui dialog terbuka dan argumentasi rasional.¹¹
Bahasa yang
digunakan secara etis dapat menjadi alat emansipasi sosial—membebaskan
manusia dari dominasi dan manipulasi simbolik.¹² Namun sebaliknya, ketika
bahasa digunakan secara dogmatis, propaganda, atau manipulatif, ia kehilangan
nilai pragmatik-etisnya. Oleh karena itu, fungsi pragmatik tidak dapat dilepaskan dari
nilai-nilai moral dan politik yang menopang ruang publik yang
adil dan komunikatif.
5.5.
Pragmatik dan Nilai Empati dalam Komunikasi
Secara aksiologis,
pragmatik menekankan empati linguistik—kemampuan
memahami posisi dan perasaan orang lain melalui bahasa.¹³ Dalam setiap
interaksi, penutur tidak hanya menyampaikan proposisi, tetapi juga
menegosiasikan makna emosional dan sosial. Deborah Tannen menyebut fenomena ini
sebagai “rapport talk”, yaitu cara berbicara yang berorientasi pada
relasi dan perasaan, bukan sekadar pada informasi.¹⁴
Nilai empati ini
memperluas horizon pragmatik dari analisis logis menuju etika
relasional. Komunikasi yang baik tidak hanya menuntut
kebenaran, tetapi juga kepekaan terhadap konteks afektif dan sosial dari lawan
bicara. Dengan demikian, fungsi pragmatik adalah membangun ruang saling
pengertian yang berlandaskan empati dan pengakuan timbal balik.¹⁵
Kesimpulan Aksiologis
Secara aksiologis,
pragmatik menunjukkan bahwa bahasa merupakan praktik etis yang membentuk hubungan sosial dan
moral manusia. Nilai-nilai seperti kejujuran, kesopanan,
tanggung jawab, dan empati menjadi inti dari fungsi pragmatik sebagai dasar
komunikasi yang bermartabat.¹⁶ Bahasa bukan hanya sistem tanda, tetapi juga mediasi
nilai-nilai kemanusiaan—suatu sarana untuk membangun pengakuan,
solidaritas, dan keadilan komunikatif. Dalam pengertian ini, pragmatik
menjadi jantung dari etika kebahasaan yang menegaskan peran
bahasa sebagai tindakan moral dan sosial yang humanistik.¹⁷
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 15–18.
[2]
Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 46.
[3]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 66–70.
[4]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 131–134.
[5]
Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 80–81.
[6]
Penelope Brown and Stephen C. Levinson, Politeness: Some Universals in Language Usage (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 62–63.
[7]
Stephen Davis, ed., Pragmatics:
A Reader (Oxford: Oxford University
Press, 1991), 109–111.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
86–88.
[9]
Maeve Cooke, Language and Reason: A
Study of Habermas’s Pragmatics
(Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 92–94.
[10]
Thomas A. McCarthy, “Language and Intersubjectivity in Habermas’s
Theory of Communicative Action,” Philosophy
& Social Criticism 11, no. 2
(1986): 139–156.
[11]
Habermas, The Theory of
Communicative Action, 99–101.
[12]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 110–113.
[13]
Ronald C. Arnett, Dialogic Civility in a
Cynical Age: Community, Hope, and Interpersonal Relationships (Albany: SUNY Press, 1999), 54–56.
[14]
Deborah Tannen, Talking Voices:
Repetition, Dialogue, and Imagery in Conversational Discourse (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 22–24.
[15]
Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 45–48.
[16]
Leech, Principles of
Pragmatics, 82–83.
[17]
Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans.
Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press,
1990), 44–46.
6.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Kultural
Dimensi sosial,
politik, dan kultural dari pragmatik memperluas cakupan
filsafat bahasa ke ranah kehidupan bersama, di mana bahasa berfungsi bukan
hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen
kekuasaan, identitas, dan pembentukan makna sosial. Pragmatik,
dalam pengertian ini, tidak berhenti pada tataran analisis mikro tentang tindak
tutur dan konteks percakapan, tetapi menelaah bagaimana makna dihasilkan, dinegosiasikan,
atau didominasi dalam struktur sosial yang konkret.¹
Bahasa tidak pernah
netral; ia selalu beroperasi dalam jaringan relasi sosial dan kekuasaan.
Dengan demikian, memahami dimensi sosial-politik pragmatik berarti menyingkap fungsi
ideologis dan kultural dari praktik bahasa, sekaligus menyoroti
bagaimana komunikasi dapat menjadi ruang resistensi maupun dominasi.
6.1.
Bahasa sebagai Arena Kekuasaan dan Dominasi
Michel Foucault
menegaskan bahwa bahasa merupakan medium utama dari kekuasaan dan pengetahuan
(power/knowledge).² Melalui wacana (discourse), kekuasaan tidak hanya
menindas, tetapi juga membentuk subjek—menentukan apa
yang boleh dikatakan, siapa yang berhak berbicara, dan bagaimana kebenaran
ditentukan.³ Dalam konteks ini, pragmatik berfungsi sebagai alat kritis untuk
menganalisis bagaimana tindakan linguistik ikut melestarikan
atau menantang struktur kekuasaan.
Pierre Bourdieu
memperdalam pandangan ini melalui konsep habitus linguistik dan kapital simbolik.⁴
Bahasa, menurutnya, bukan sekadar sistem tanda, tetapi arena
pertukaran kekuasaan simbolik di mana status sosial menentukan
legitimasi ujaran.⁵ Misalnya, ujaran seorang pejabat memiliki “otoritas
ilokusioner” yang lebih kuat dibandingkan ujaran warga biasa. Analisis
pragmatik yang peka terhadap konteks sosial ini memperlihatkan bahwa tindak
tutur tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang mengatur nilai dan
otoritas makna.⁶
6.2.
Pragmatik dan Ideologi: Bahasa sebagai
Representasi Sosial
Bahasa juga
berfungsi sebagai medium ideologi, yaitu cara
berpikir dan berbicara yang mereproduksi nilai-nilai tertentu dalam masyarakat.
Norman Fairclough, tokoh utama Critical Discourse Analysis (CDA),
menegaskan bahwa pragmatik berperan penting dalam mengungkap relasi
tersembunyi antara bahasa, ideologi, dan kekuasaan.⁷ Melalui
analisis tindak tutur, implikatur, dan strategi kesopanan, kita dapat melihat
bagaimana bahasa digunakan untuk mempengaruhi persepsi, membentuk opini, atau
melegitimasi dominasi politik.⁸
Sebagai contoh,
ujaran politik seperti “reformasi”, “keamanan nasional”,
atau “keadilan sosial” tidak hanya deskriptif, tetapi juga performatif
secara ideologis—ia mengarahkan tindakan dan membingkai
realitas sosial tertentu.⁹ Dengan demikian, pragmatik menjadi medan etis dan
politis di mana bahasa digunakan untuk mengatur kesadaran
publik.
6.3.
Pragmatik dan Konstruksi Identitas Sosial
Dimensi sosial
pragmatik juga tampak dalam pembentukan identitas linguistik.
Melalui pilihan kata, gaya bicara, dan strategi komunikasi, individu
menegosiasikan identitas sosial, gender, dan budaya.ⁱ⁰ Deborah Tannen dan
Penelope Eckert, misalnya, menunjukkan bahwa perbedaan cara berbicara antara
laki-laki dan perempuan sering kali mencerminkan struktur sosial dan ekspektasi
budaya yang lebih luas.ⁱ¹
Dengan demikian,
pragmatik menjadi sarana untuk memahami identitas sebagai performatif—sebuah
tindakan yang diciptakan dan dinegosiasikan melalui bahasa.ⁱ² Setiap ujaran
adalah momen di mana individu mengafirmasi atau menolak peran sosialnya,
sehingga bahasa berfungsi sebagai praktik sosial yang menciptakan makna diri dan
komunitas.
6.4.
Pragmatik Antarbudaya dan Etika Global
Dalam konteks
multikultural, pragmatik berperan penting dalam menjembatani perbedaan
kultural dalam cara berkomunikasi.ⁱ³ Cross-cultural pragmatics
(pragmatik lintas budaya) menunjukkan bahwa strategi kesopanan, bentuk tindak
tutur, dan struktur percakapan sangat bergantung pada norma budaya. Misalnya,
tindak tutur langsung yang dianggap jujur di satu budaya dapat dipandang kasar
di budaya lain.ⁱ⁴
Hal ini menunjukkan
bahwa pemahaman
pragmatik memerlukan sensitivitas budaya, yang menjadi dasar
bagi etika komunikasi global. Menurut Shoshana Blum-Kulka, perbedaan pragmatik
antarbudaya sering kali menjadi sumber kesalahpahaman lintas bangsa, sehingga
perlu pendekatan pragmatik interkultural yang menekankan
empati dan resiprositas makna.ⁱ⁵ Dalam dunia global dan digital yang saling
terhubung, nilai-nilai ini menjadi semakin penting untuk menghindari konflik
simbolik dan memperkuat solidaritas komunikasi lintas budaya.ⁱ⁶
6.5.
Pragmatik di Era Digital: Kekuasaan, Teknologi,
dan Bahasa
Transformasi digital
membawa implikasi baru terhadap dimensi sosial-politik pragmatik. Komunikasi di
media sosial memperlihatkan bentuk-bentuk baru dari tindak tutur: tweet,
meme, komentar, dan emoji yang semuanya mengandung makna
pragmatik tersirat.ⁱ⁷ Namun, ruang digital juga menjadi arena bagi kekuasaan
algoritmik—di mana platform menentukan visibilitas, makna, dan arah percakapan
publik.ⁱ⁸
Dalam konteks ini, pragmatik
digital harus memeriksa bagaimana teknologi membentuk pola
komunikasi dan distribusi makna. Lucy Suchman menegaskan bahwa interaksi
manusia-mesin melibatkan “tindakan komunikatif teknologis,” di mana
sistem buatan menginterpretasikan konteks pengguna dengan cara pragmatik.ⁱ⁹
Maka, pragmatik tidak lagi terbatas pada manusia, melainkan meluas ke ekologi
komunikasi digital yang kompleks dan bersifat intersemiotik.²⁰
6.6.
Bahasa sebagai Ruang Emansipasi dan Dialog
Sosial
Dalam kerangka etis,
pragmatik membuka kemungkinan bagi komunikasi yang emansipatif—yakni
komunikasi yang membebaskan dari dominasi dan memungkinkan kesetaraan dialogis.
Habermas memandang tindakan komunikatif sebagai fondasi rasionalitas sosial, di
mana konsensus dicapai bukan melalui kekerasan, melainkan melalui argumentasi
yang bebas dari distorsi ideologis.²¹
Bahasa, dengan
demikian, memiliki fungsi sosial-politik yang ganda: ia dapat menindas, tetapi
juga dapat membebaskan.²² Melalui kesadaran pragmatik, manusia dapat menegakkan
etika
dialogis—yaitu kesediaan untuk mendengar, mengakui, dan
menanggapi secara argumentatif dalam ruang publik yang plural.²³ Maka, fungsi
sosial pragmatik tidak hanya bersifat deskriptif, melainkan juga normatif
dan transformasional: bahasa sebagai alat untuk membangun dunia
yang lebih adil, komunikatif, dan manusiawi.²⁴
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 19–21.
[2]
Michel Foucault, The Archaeology of
Knowledge, trans. A. M. Sheridan
Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 49–51.
[3]
Michel Foucault, Discipline and Punish:
The Birth of the Prison, trans. Alan
Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 27–28.
[4]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and
Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–38.
[5]
Ibid., 68–69.
[6]
John E. Joseph, Language and Politics (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2006), 54–56.
[7]
Norman Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), 43–45.
[8]
Ruth Wodak and Michael Meyer, Methods
of Critical Discourse Analysis
(London: SAGE, 2001), 23–24.
[9]
Teun A. van Dijk, Ideology: A
Multidisciplinary Approach (London:
SAGE, 1998), 242–245.
[10]
Mary Bucholtz and Kira Hall, “Identity and Interaction: A Sociocultural
Linguistic Approach,” Discourse Studies 7, no. 4–5 (2005): 585–614.
[11]
Deborah Tannen, Gender and Discourse (New York: Oxford University Press, 1994), 22–24.
[12]
Judith Butler, Excitable Speech: A
Politics of the Performative (New
York: Routledge, 1997), 10–12.
[13]
Anna Wierzbicka, Cross-Cultural
Pragmatics: The Semantics of Human Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 2003), 5–7.
[14]
Helen Spencer-Oatey, Culturally
Speaking: Culture, Communication and Politeness Theory (London: Continuum, 2008), 21–22.
[15]
Shoshana Blum-Kulka, Juliane House, and Gabriele Kasper, eds., Cross-Cultural Pragmatics: Requests and Apologies (Norwood, NJ: Ablex, 1989), 13–15.
[16]
Claire Kramsch, Language and Culture (Oxford: Oxford University Press, 1998), 67–70.
[17]
Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013),
10–12.
[18]
José van Dijck, The Culture of
Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–47.
[19]
Lucy Suchman, Human-Machine
Reconfigurations: Plans and Situated Actions (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 96–99.
[20]
Gunther Kress, Multimodality: A Social
Semiotic Approach to Contemporary Communication (London: Routledge, 2010), 27–29.
[21]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987),
126–130.
[22]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 145–148.
[23]
Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 82–84.
[24]
Charles Taylor, The Ethics of
Authenticity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1992), 45–48.
7.
Kritik
terhadap Pandangan-Pandangan Utama
Dimensi kritik
dalam pragmatik berfungsi sebagai koreksi filosofis terhadap
klaim-klaim teoritis yang terlalu sempit, formalistik, atau ahistoris dalam
memahami bahasa dan makna. Sejak awal kemunculannya, pragmatik telah berupaya
melampaui batas-batas semantik dan sintaksis; namun, seiring perkembangannya,
para filsuf dan linguis menemukan bahwa teori-teori utama seperti Austin,
Searle, Grice, dan Habermas masih menyisakan problem konseptual dan sosiologis
yang signifikan. Kritik ini penting karena membuka jalan bagi pemahaman
pragmatik yang lebih humanistik, interkultural, dan reflektif.¹
7.1.
Kritik terhadap Austin dan Teori Performatif
J.L. Austin melalui How to
Do Things with Words (1962) menandai tonggak penting dalam
pergeseran dari semantik ke pragmatik. Namun, beberapa kritik diarahkan pada ambiguitas
antara dimensi linguistik dan sosial dalam teorinya.² Austin
membedakan antara konstatif (pernyataan faktual) dan performatif
(tindakan melalui ujaran), tetapi kemudian mengakui bahwa perbedaan ini tidak
selalu jelas—setiap ujaran dapat memiliki fungsi performatif tergantung
konteksnya.³
John R. Searle
mencoba menyistematisasi teori Austin melalui klasifikasi tindak tutur
(representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif).⁴ Namun,
pendekatan Searle justru dikritik karena terlalu universalistik
dan formal. Judith Butler, misalnya, menunjukkan bahwa Searle
mengabaikan dimensi sosial dan kekuasaan yang membentuk performativitas.⁵ Bagi
Butler, tindak tutur tidak hanya mengandung niat individual, tetapi juga membentuk
dan dibentuk oleh norma-norma sosial yang hegemonik, terutama
dalam konstruksi gender dan identitas.⁶
Selain itu, para
linguis seperti Marina Sbisà menyoroti bahwa teori tindak tutur klasik gagal
menjelaskan variabilitas budaya dan kekuatan sosial
yang menentukan kapan suatu tuturan dianggap sah atau efektif.⁷ Dengan kata
lain, teori
performatif Austin–Searle masih terlalu “murni” secara linguistik,
tanpa memperhitungkan konteks historis dan institusional dari praktik bahasa.
7.2.
Kritik terhadap Grice dan Prinsip Kerja Sama
H.P. Grice, melalui
teori implikatur
percakapan dan prinsip kerja sama (cooperative principle),
memberikan fondasi bagi analisis inferensial dalam komunikasi. Namun, teori ini
tidak lepas dari kritik epistemologis dan kultural.⁸ Geoffrey Leech dan Robin
Lakoff berpendapat bahwa prinsip kerja sama Grice terlalu rasional dan tidak
memperhitungkan aspek kesopanan, emosi, dan hubungan sosial
yang mempengaruhi cara orang berbicara.⁹
Lebih jauh, para
peneliti pragmatik lintas budaya seperti Anna Wierzbicka dan Shoshana
Blum-Kulka menunjukkan bahwa asumsi kerja sama universal tidak berlaku di semua
budaya.¹⁰ Dalam banyak konteks non-Barat, komunikasi tidak selalu diarahkan
pada efisiensi informasi, melainkan pada pemeliharaan keharmonisan sosial.¹¹
Dengan demikian, prinsip kerja sama Grice terlalu etnosentris,
berakar pada rasionalitas Barat yang individualistik dan kurang peka terhadap
pluralitas kultural.
Kritik lain datang
dari pendekatan postmodern dan feminis, yang menilai teori Grice gagal
menangkap dimensi ketidakseimbangan kekuasaan dalam komunikasi.¹²
Dalam situasi hierarkis (seperti antara atasan-bawahan atau
laki-laki-perempuan), “kerja sama” tidak selalu bersifat bebas atau
setara; sering kali, ia dipaksakan oleh struktur sosial. Karenanya, pragmatik
yang humanistik harus memperluas prinsip kerja sama menjadi prinsip
keadilan komunikatif, yang menjamin partisipasi sejajar di
antara para penutur.¹³
7.3.
Kritik terhadap Habermas dan Rasionalitas
Komunikatif
Jürgen Habermas,
melalui The
Theory of Communicative Action (1981), mengangkat pragmatik ke tingkat
filsafat sosial dengan menekankan rasionalitas komunikatif. Ia
berargumen bahwa komunikasi sejati terjadi ketika partisipan berorientasi pada
pemahaman bersama, bukan pada keberhasilan strategis.¹⁴ Namun, teori ini
dikritik karena mengidealkan komunikasi secara
berlebihan.
Seyla Benhabib
menilai bahwa model Habermas terlalu normatif dan mengabaikan kompleksitas
emosi, budaya, dan ketidakseimbangan sosial dalam interaksi
nyata.¹⁵ Nancy Fraser menambahkan bahwa Habermas cenderung menyamakan
rasionalitas dengan bentuk argumentasi diskursif tertentu yang mencerminkan
nilai-nilai maskulin dan borjuis Barat.¹⁶ Akibatnya, teori
tindakan komunikatif berisiko menjadi eksklusif, tidak cukup
menampung pengalaman komunikatif kelompok marjinal, perempuan, atau masyarakat
non-Barat.¹⁷
Selain itu, beberapa
kritikus seperti Jean-François Lyotard menolak asumsi bahwa konsensus adalah
tujuan tertinggi komunikasi.¹⁸ Menurut Lyotard, dalam masyarakat plural, perbedaan
(differend) sering kali tidak dapat disatukan tanpa kekerasan
simbolik. Oleh karena itu, pragmatik kontemporer perlu mengakui nilai dissensus
dan pluralitas sebagai bagian dari etika komunikasi.¹⁹
7.4.
Kritik terhadap Reduksionisme Linguistik dan
Rasionalitas Formal
Baik teori
Austin–Searle maupun Grice–Habermas dituding masih menyimpan bias
logis-linguistik, yakni kecenderungan untuk memandang bahasa
semata sebagai sistem rasional yang dapat dianalisis secara formal.²⁰ Aliran
pragmatik kognitif (misalnya Relevance Theory dari Sperber dan Wilson) berusaha
mengatasi hal ini dengan menekankan aspek psikologis dan kognitif dalam
komunikasi, tetapi tetap dikritik karena kurang memperhatikan dimensi sosial
dan etis.²¹
Richard Rorty dan
Hans-Georg Gadamer, dari perspektif hermeneutik dan neopragmatis, mengingatkan
bahwa makna tidak dapat direduksi pada struktur logika atau inferensi
kognitif.²² Bahasa adalah praktik interpretatif yang terbuka,
di mana kebenaran bersifat dialogis dan historis.²³ Oleh karena itu, pragmatik
yang murni formal harus dilengkapi oleh pragmatik hermeneutik dan etis
yang menempatkan komunikasi sebagai proses pemahaman manusiawi, bukan sekadar
kalkulasi makna.
7.5.
Menuju Kritik Integratif dan Humanistik
Kritik-kritik
terhadap teori utama pragmatik memperlihatkan perlunya pendekatan
integratif yang memadukan dimensi linguistik, sosial, dan
etis.²⁴ Pragmatik tidak cukup dijelaskan oleh niat penutur (Searle) atau
prinsip kerja sama (Grice), melainkan juga harus memahami struktur
kekuasaan, nilai budaya, dan kondisi material di mana bahasa
digunakan.²⁵
Dengan demikian,
arah perkembangan pragmatik ke depan harus bersifat reflektif
dan humanistik: ia bukan hanya teori komunikasi efektif, tetapi
juga filsafat
kebebasan berbahasa, yang mengakui hak setiap subjek untuk
berbicara dan dimengerti secara setara.²⁶ Kritik terhadap pandangan-pandangan
utama ini membuka jalan menuju pragmatik yang lebih empatik,
plural, dan berkeadilan, sejalan dengan visi etika komunikasi
global di era digital dan multikultural.²⁷
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–24.
[2]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 6–7.
[3]
Marina Sbisà, “Speech Acts in Context,” Language & Communication 22, no. 4 (2002): 421–436.
[4]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 66–70.
[5]
Judith Butler, Excitable Speech: A
Politics of the Performative (New
York: Routledge, 1997), 14–17.
[6]
Ibid., 25–27.
[7]
Marina Sbisà and Ken Turner, eds., Pragmatics
of Speech Actions (Berlin: Mouton de
Gruyter, 2013), 98–100.
[8]
H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45–47.
[9]
Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 80–81.
[10]
Anna Wierzbicka, Cross-Cultural
Pragmatics: The Semantics of Human Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 2003), 5–7.
[11]
Shoshana Blum-Kulka, Juliane House, and Gabriele Kasper, eds., Cross-Cultural Pragmatics: Requests and Apologies (Norwood, NJ: Ablex, 1989), 13–15.
[12]
Sara Mills, Gender and Politeness (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 29–31.
[13]
Nancy Fraser, Justice Interruptus:
Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 49–52.
[14]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
86–90.
[15]
Seyla Benhabib, Situating the Self:
Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 34–37.
[16]
Fraser, Justice Interruptus, 62–64.
[17]
Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 37–40.
[18]
Jean-François Lyotard, The
Differend: Phrases in Dispute,
trans. Georges Van Den Abbeele (Minneapolis: University of Minnesota Press,
1988), 10–12.
[19]
Ibid., 18–19.
[20]
Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic
Communication and Speech Acts
(Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 9–11.
[21]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford:
Blackwell, 1986), 33–35.
[22]
Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 171–174.
[23]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 1994), 383–385.
[24]
Thomas McCarthy, “Language, Intersubjectivity, and Rationality in
Habermas’s Theory,” Philosophy & Social
Criticism 11, no. 2 (1986): 141–143.
[25]
Norman Fairclough, Discourse and Social
Change (Cambridge: Polity Press,
1992), 48–50.
[26]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 109–111.
[27]
Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 45–48.
8.
Relevansi
Kontemporer: Pragmatik di Era Digital dan Global
Perkembangan
teknologi digital dan globalisasi komunikasi telah mengubah secara radikal cara
manusia berinteraksi, berbahasa, dan membangun makna. Dalam
konteks ini, pragmatik menjadi semakin relevan, sebab fokusnya pada makna kontekstual,
niat komunikatif, dan fungsi sosial bahasa mampu menjelaskan
dinamika komunikasi manusia di tengah transformasi digital dan pluralitas
global.¹ Pragmatik kini tidak hanya menjadi teori linguistik, melainkan juga
kerangka reflektif untuk memahami etika, kekuasaan, dan kemanusiaan dalam
komunikasi modern.
8.1.
Bahasa Digital dan Perubahan Mediasi Komunikasi
Era digital telah
memunculkan bentuk-bentuk baru komunikasi yang bersifat multimodal,
interaktif, dan algoritmik.² Bahasa tidak lagi terbatas pada
teks verbal, tetapi mencakup emoji, gambar, video, dan meme—setiap elemen
membawa makna pragmatik tersirat yang
bergantung pada konteks budaya dan platform media.³
Dalam percakapan
daring, makna tidak ditentukan semata oleh isi pesan, tetapi oleh cara
pesan itu ditampilkan dan diterima.⁴ Fenomena seperti “emoji
pragmatics” menunjukkan bagaimana tanda visual kecil dapat menggantikan
ekspresi emosi atau niat penutur.⁵ Namun, keterbatasan konteks dalam media
digital juga menimbulkan ambiguitas, kesalahpahaman, dan potensi konflik
komunikasi.⁶ Oleh karena itu, kompetensi pragmatik digital
menjadi kunci: kemampuan untuk menafsirkan makna tersirat, memahami ironi, dan
menyesuaikan gaya bahasa dengan platform serta audiensnya.⁷
8.2.
Komunikasi di Media Sosial: Dari Wacana ke
Performatif Sosial
Media sosial
menghadirkan bentuk baru dari tindakan tutur publik, di mana
setiap posting, komentar, atau tagar dapat berfungsi sebagai tindak ilokusi
performatif.⁸ Ketika seseorang menulis “Saya mendukung #ClimateJustice”
atau “Saya menolak kekerasan”, ia tidak hanya menginformasikan opini,
tetapi juga melakukan tindakan sosial—berpartisipasi dalam
praktik simbolik yang membentuk opini publik.⁹
Namun, ruang digital
juga membuka peluang bagi distorsi pragmatik. Dalam lingkungan algoritmik,
makna sering kali dimanipulasi oleh mekanisme visibilitas dan viralitas,
bukan oleh rasionalitas atau kejujuran komunikatif.¹⁰ Jürgen Habermas menyebut
hal ini sebagai “kolonisasi dunia kehidupan oleh sistem,” di mana logika
ekonomi dan teknologi mendominasi komunikasi publik.¹¹ Dengan demikian,
tantangan etis bagi pragmatik modern adalah mengembalikan otonomi komunikasi
dari dominasi sistem digital menuju ruang dialog yang reflektif dan
manusiawi.¹²
8.3.
Globalisasi Bahasa dan Pluralitas Pragmatik
Dalam dunia global
yang saling terhubung, pragmatik juga menjadi alat penting untuk memahami perbedaan
budaya dalam pola komunikasi.¹³ Globalisasi bahasa
mempertemukan berbagai sistem nilai, gaya bertutur, dan norma kesopanan.
Misalnya, strategi komunikasi langsung yang umum di Barat sering kali dianggap
tidak sopan di budaya Asia Timur yang mengedepankan harmoni sosial.¹⁴
Cross-cultural
pragmatics (pragmatik lintas budaya) menyoroti bagaimana makna,
kesopanan, dan niat harus ditafsirkan dalam kerangka nilai
kultural.¹⁵ Kesalahpahaman lintas budaya sering kali bukan akibat perbedaan
semantik, melainkan akibat perbedaan pragmatik, yakni cara
orang menafsirkan intensi dan konteks komunikasi.¹⁶ Dalam kerangka ini,
pragmatik menjadi dasar bagi etika komunikasi global, yang
mengedepankan empati, pengakuan timbal balik, dan kesediaan untuk menafsirkan
makna secara lintas batas budaya.¹⁷
8.4.
Algoritma, AI, dan Pragmatik Mesin
Kemajuan kecerdasan
buatan (AI) memperluas relevansi pragmatik ke wilayah interaksi
manusia–mesin. Sistem AI, seperti asisten virtual atau chatbot,
kini dituntut untuk memahami konteks, niat, dan implikatur manusia—sesuatu yang
secara tradisional menjadi domain pragmatik.¹⁸ Namun, pemrosesan makna oleh
mesin masih sangat terbatas karena konteks sosial, niat, dan nilai etis
tidak mudah diprogram secara eksplisit.¹⁹
Lucy Suchman dan
Sherry Turkle menegaskan bahwa interaksi manusia–AI bersifat semi-pragmatik,
karena pengguna menafsirkan respons mesin seolah-olah berasal dari subjek
komunikatif yang berniat.²⁰ Tantangan kontemporer adalah bagaimana
mengembangkan AI yang memiliki kompetensi pragmatik—yakni
memahami makna tersirat dan norma etika komunikasi manusia tanpa menghapus
keunikan intersubjektivitas manusiawi.²¹ Dengan demikian, pragmatik menjadi
kunci untuk merancang teknologi yang komunikatif dan etis,
bukan sekadar efisien secara algoritmik.²²
8.5.
Pragmatik dan Etika Komunikasi Global
Dalam dunia yang
diwarnai misinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi politik, pragmatik
menyediakan landasan filosofis bagi etika komunikasi global.²³ Ia
menuntut agar setiap tindak tutur memperhatikan nilai kejujuran,
relevansi, dan tanggung jawab sosial.²⁴ Konsep “komunikasi
rasional” dari Habermas dan “etika pengakuan” dari Ricoeur dapat
digunakan untuk menilai sejauh mana komunikasi digital tetap menghormati
otonomi dan martabat manusia.²⁵
Dengan menempatkan
makna sebagai hasil dari interaksi kontekstual, pragmatik membantu membangun ruang
publik yang reflektif dan pluralistik, di mana perbedaan
pandangan tidak dihapus, tetapi dikelola melalui dialog yang terbuka.²⁶ Dalam
konteks globalisasi, pragmatik mengajarkan bahwa komunikasi
etis bukanlah tentang keseragaman makna, melainkan kesediaan untuk menafsir dan
dipahami secara timbal balik.²⁷
Kesimpulan Relevansi Kontemporer
Relevansi pragmatik
di era digital dan global terletak pada kemampuannya untuk menyatukan
dimensi teknologis, sosial, dan etis dari komunikasi modern.²⁸
Ia menawarkan kerangka untuk memahami bahasa sebagai tindakan yang mengandung
tanggung jawab moral, bahkan di tengah kecerdasan buatan dan komunikasi
algoritmik.²⁹ Pragmatik membantu manusia untuk menjaga kemanusiaan dalam teknologi—yakni
mengembalikan bahasa kepada fungsinya sebagai jembatan pengertian, bukan
sekadar instrumen informasi.³⁰
Dengan demikian,
pragmatik kontemporer bukan hanya analisis tentang bagaimana manusia berbicara,
tetapi juga refleksi filosofis tentang bagaimana manusia hidup bersama melalui bahasa—baik
di dunia nyata maupun di ruang digital global yang semakin kompleks.³¹
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 25–27.
[2]
Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013),
3–5.
[3]
Gunther Kress, Multimodality: A Social
Semiotic Approach to Contemporary Communication (London: Routledge, 2010), 27–29.
[4]
Crispin Thurlow, “Digital Discourse: Language in the New Media,” Language and Communication 31, no. 1 (2011): 1–6.
[5]
Elena Shulman, “Emoji Pragmatics and Digital Affect,” Journal of Pragmatics
179 (2021): 23–34.
[6]
Susan C. Herring and Dieter Stein, eds., Pragmatics of Computer-Mediated Communication (Berlin: Mouton de Gruyter, 2013), 11–13.
[7]
Douglas N. Walton, Informal Logic: A
Pragmatic Approach (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 92–94.
[8]
Alice Marwick and danah boyd, “To See and Be Seen: Celebrity Practice
on Twitter,” Convergence 17, no. 2 (2011): 139–158.
[9]
Jodi Dean, Blog Theory: Feedback
and Capture in the Circuits of Drive
(Cambridge: Polity Press, 2010), 32–33.
[10]
José van Dijck, The Culture of
Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 47–49.
[11]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, Vol. 2: Lifeworld and System,
trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 125–127.
[12]
Thomas McCarthy, “Rationality and the Public Sphere,” Philosophy & Social Criticism 11, no. 2 (1986): 145–147.
[13]
Anna Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics:
The Semantics of Human Interaction
(Berlin: Mouton de Gruyter, 2003), 9–11.
[14]
Helen Spencer-Oatey, Culturally
Speaking: Culture, Communication and Politeness Theory (London: Continuum, 2008), 21–22.
[15]
Shoshana Blum-Kulka and Gabriele Kasper, eds., Interlanguage Pragmatics
(New York: Oxford University Press, 1993), 4–5.
[16]
Claire Kramsch, Language and Culture (Oxford: Oxford University Press, 1998), 67–70.
[17]
Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 82–84.
[18]
Yorick Wilks, Machine Conversations (Dordrecht: Kluwer Academic, 1999), 14–15.
[19]
John R. Searle, Mind, Language and
Society: Philosophy in the Real World
(New York: Basic Books, 1998), 43–45.
[20]
Lucy Suchman, Human-Machine
Reconfigurations: Plans and Situated Actions (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–97.
[21]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We
Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 54–57.
[22]
Rafael Capurro, Digital Ethics: The
Normative Challenges of New Media
(Hershey, PA: IGI Global, 2010), 102–105.
[23]
Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 45–48.
[24]
Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45–47.
[25]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 131–134.
[26]
Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, 86–90.
[27]
Benhabib, Situating the Self:
Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 39–41.
[28]
Levinson, Pragmatics, 28–29.
[29]
Turkle, Alone Together, 66–67.
[30]
Charles Taylor, The Ethics of
Authenticity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1992), 45–48.
[31]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 1994), 386–388.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Filsafat Bahasa Humanistik dan Komunikatif
Sintesis filosofis
dari seluruh dimensi pragmatik menuntun kita menuju suatu pandangan yang
integral: bahasa sebagai tindakan manusiawi yang
bermakna, bernilai, dan etis. Dalam pandangan ini, pragmatik
tidak hanya dipahami sebagai cabang analisis linguistik, tetapi sebagai filsafat
bahasa humanistik dan komunikatif, yang menjadikan komunikasi
sebagai inti eksistensi manusia dan sarana pembentukan dunia sosial yang
rasional serta berkeadilan.¹
Filsafat bahasa
humanistik berangkat dari kesadaran bahwa berbicara bukan sekadar mengirim
pesan, melainkan menyatakan diri, mengenali orang lain, dan
membangun pemahaman bersama. Bahasa adalah jembatan antara
subjek dan dunia, antara “aku” dan “yang lain”.² Oleh
karena itu, sintesis ini bertujuan untuk mengintegrasikan seluruh dimensi
pragmatik—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan politis—ke dalam
horizon filosofis yang menempatkan manusia sebagai makhluk komunikatif dan
dialogis.
9.1.
Integrasi Ontologis: Bahasa sebagai Eksistensi
Intersubjektif
Secara ontologis,
pragmatik menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar sistem simbol, melainkan modus
keberadaan manusia di dunia.³ Ludwig Wittgenstein dengan
ungkapan “arti sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa” telah
membuka jalan bagi pemahaman bahwa makna lahir dari tindakan sosial.⁴ Austin
dan Searle melanjutkan pandangan ini dengan menegaskan bahwa berbicara
adalah bertindak—suatu tindakan yang menciptakan realitas
sosial.⁵
Namun, sintesis
humanistik menambahkan bahwa tindakan linguistik tidak dapat dilepaskan dari
relasi antar-manusia. Bahasa selalu terjadi dalam ruang
intersubjektivitas, di mana pengakuan dan kesetaraan menjadi
syarat ontologis bagi eksistensi komunikatif.⁶ Dalam arti ini, bahasa merupakan
“tempat” manusia bertemu, saling memahami, dan meneguhkan kemanusiaan
masing-masing.
9.2.
Integrasi Epistemologis: Makna sebagai
Pemahaman Dialogis
Secara
epistemologis, pragmatik mengajarkan bahwa pengetahuan tentang makna tidak bersifat
objektif dan tetap, tetapi dialogis dan kontekstual.⁷ Proses
memahami tidak terjadi secara monologis dalam benak individu, melainkan melalui
pertukaran
argumentatif dan interpretatif antara penutur dan pendengar.⁸
Habermas menyebutnya
sebagai rational
understanding—proses di mana kebenaran muncul bukan dari kekuasaan,
melainkan dari kesediaan untuk berargumentasi dalam ruang yang
bebas dan setara.⁹ Paul Ricoeur melengkapi pandangan ini dengan
gagasan hermeneutics
of the self, di mana pemahaman terhadap teks atau tuturan juga
merupakan proses memahami diri melalui yang lain.¹⁰ Dengan demikian,
epistemologi pragmatik humanistik berpijak pada dialog sebagai modus pengetahuan—mengetahui
berarti berbagi makna dan memperluas horizon pemahaman bersama.¹¹
9.3.
Integrasi Aksiologis: Bahasa sebagai Etika dan
Tanggung Jawab
Dari sisi
aksiologis, bahasa bukanlah alat netral, melainkan arena
etika dan tanggung jawab.¹² Setiap tindakan linguistik
mengandung nilai moral, sebab ia melibatkan pengakuan terhadap orang lain
sebagai subjek yang otonom. Ricoeur menegaskan bahwa etika pengakuan adalah
inti dari tindakan komunikatif: berbicara berarti mengakui keberadaan yang lain
sebagai sahabat dalam dialog, bukan objek dalam monolog.¹³
Habermas melanjutkan
gagasan ini melalui ethics of discourse, yaitu etika
yang menempatkan komunikasi sebagai dasar legitimasi moral.¹⁴ Prinsip
kejujuran, relevansi, dan ketepatan normatif bukan sekadar teori, melainkan nilai-nilai
universal dalam interaksi manusia. Dalam sintesis humanistik,
tindakan berbahasa dipahami sebagai tindakan moral—sebuah tanggung jawab untuk
menjaga kebenaran, menghormati keberagaman, dan membangun solidaritas
komunikasi.¹⁵
9.4.
Integrasi Sosial dan Politik: Bahasa sebagai
Ruang Publik yang Emansipatif
Bahasa memiliki
dimensi sosial-politik yang tak terpisahkan dari perjuangan manusia menuju
kebebasan dan keadilan.¹⁶ Dalam konteks ini, pragmatik menjadi alat
emansipasi, bukan sekadar analisis formal. Habermas memandang
komunikasi sebagai sarana rasionalitas sosial yang mampu menentang kolonisasi
oleh kekuasaan ekonomi dan politik.¹⁷
Michel Foucault,
meski lebih skeptis, mengingatkan bahwa setiap wacana mengandung relasi
kekuasaan; karenanya, etika komunikatif harus selalu disertai kewaspadaan
kritis terhadap dominasi simbolik.¹⁸ Sintesis humanistik di
sini berupaya menyeimbangkan antara pandangan Habermas dan Foucault: membangun komunikasi
rasional yang tetap sadar akan kekuasaan, sekaligus membuka
ruang bagi pluralitas makna dan pengalaman.¹⁹
Bahasa, dengan
demikian, tidak hanya berfungsi sebagai medium konsensus, tetapi juga sebagai arena
perjuangan etis untuk pengakuan dan keadilan.²⁰
9.5.
Integrasi Global dan Digital: Bahasa sebagai
Jembatan Kemanusiaan
Dalam era digital
dan global, pragmatik menemukan relevansi baru sebagai filsafat
komunikasi lintas batas.²¹ Dunia yang diwarnai oleh komunikasi
virtual menuntut kesadaran pragmatik yang lebih tinggi: memahami konteks,
empati terhadap perbedaan, serta tanggung jawab etis dalam ruang publik
digital.²²
Etika komunikasi
global—sebagaimana dikembangkan oleh Clifford G. Christians—menuntut agar
prinsip kejujuran, kasih sayang, dan keadilan diterapkan dalam seluruh bentuk
percakapan manusia, termasuk dalam algoritma dan teknologi informasi.²³ Dengan
demikian, filsafat bahasa humanistik
berperan sebagai pedoman moral dalam menghadapi tantangan komunikasi di era
digital, menjaga agar teknologi tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan
dialog.²⁴
Sintesis Humanistik: Bahasa sebagai Ruang
Keberadaan Bersama
Akhirnya, sintesis
ini menegaskan bahwa bahasa adalah ruang keberadaan bersama—tempat
di mana manusia tidak hanya berpikir, tetapi juga hidup, berelasi, dan
bertumbuh.²⁵ Melalui bahasa, manusia membangun dunia simbolik yang sarat makna,
mengafirmasi nilai-nilai kemanusiaan, dan membuka kemungkinan bagi perdamaian
serta solidaritas universal.²⁶
Filsafat bahasa
humanistik dan komunikatif yang lahir dari dimensi pragmatik bukan sekadar
refleksi teoretis, tetapi komitmen eksistensial: bahwa
berbicara berarti hadir secara etis bagi yang lain, bahwa komunikasi sejati
adalah bentuk tertinggi dari kemanusiaan.²⁷
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 30–33.
[2]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner,
1958), 25–27.
[3]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 1994), 383–386.
[4]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[5]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 6–7.
[6]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 130–133.
[7]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford:
Blackwell, 1986), 32–35.
[8]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
86–88.
[9]
Ibid., 89–91.
[10]
Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1991), 142–144.
[11]
Hans-Herbert Kögler, The
Power of Dialogue: Critical Hermeneutics after Gadamer and Foucault (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 59–61.
[12]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 70–72.
[13]
Ricoeur, Oneself as Another, 133–135.
[14]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans.
Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press,
1990), 44–46.
[15]
Seyla Benhabib, Situating the Self:
Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 49–51.
[16]
Norman Fairclough, Discourse and Social
Change (Cambridge: Polity Press,
1992), 48–50.
[17]
Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987),
126–130.
[18]
Michel Foucault, The Archaeology of
Knowledge, trans. A. M. Sheridan
Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 50–52.
[19]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 109–111.
[20]
Seyla Benhabib, The Claims of Culture:
Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 83–84.
[21]
Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013),
8–10.
[22]
Crispin Thurlow, “Digital Discourse: Language in the New Media,” Language and Communication 31, no. 1 (2011): 1–6.
[23]
Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 47–49.
[24]
Rafael Capurro, Digital Ethics: The
Normative Challenges of New Media
(Hershey, PA: IGI Global, 2010), 102–104.
[25]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 204–207.
[26]
Charles Taylor, The Ethics of
Authenticity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1992), 47–49.
[27]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 386–388.
10. Kesimpulan
Dari seluruh
rangkaian pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pragmatik
dalam filsafat bahasa merupakan puncak dari evolusi pemikiran
linguistik dan filosofis yang berupaya memahami bahasa bukan semata sebagai sistem tanda,
tetapi sebagai tindakan, nilai, dan kehidupan itu sendiri.¹
Melalui kajian ontologis, epistemologis, aksiologis, serta dimensi sosial dan
kulturalnya, pragmatik menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena
eksistensial dan etis—ia menyatukan makna, niat, dan relasi
manusia dalam satu kesatuan komunikasi yang hidup.²
10.1.
Bahasa sebagai Tindakan dan Keberadaan
Secara ontologis,
pragmatik memperlihatkan bahwa berbicara berarti bertindak dan menghadirkan
diri dalam dunia sosial.³ Setiap ujaran bukanlah sekadar representasi realitas,
melainkan juga pencipta realitas baru: janji, deklarasi, perintah, maupun
pengakuan.⁴ Dengan demikian, bahasa tidak berada di luar kehidupan,
tetapi merupakan bagian integral dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang
berkomunikasi dan bertanggung jawab.
10.2.
Bahasa sebagai Pengetahuan Kontekstual dan Dialogis
Epistemologinya
menegaskan bahwa pengetahuan tentang makna bersifat dialogis dan
kontekstual.⁵ Manusia memahami dunia melalui interaksi
linguistik yang disertai niat, inferensi, dan empati. Habermas menegaskan bahwa
rasionalitas sejati tidak bersumber dari logika formal, melainkan dari komunikasi
yang terbuka dan argumentatif.⁶ Pragmatik, dalam hal ini,
menjadi fondasi bagi bentuk pengetahuan yang bersifat intersubjektif
dan reflektif, di mana makna tidak dimonopoli, tetapi
dinegosiasikan secara etis.⁷
10.3.
Bahasa sebagai Praktik Etis dan Nilai
Kemanusiaan
Aksiologi pragmatik
menunjukkan bahwa setiap tindakan berbahasa mengandung nilai
moral: kejujuran, tanggung jawab, kesopanan, dan empati.⁸
Bahasa bukanlah alat netral, melainkan cermin dari orientasi etis manusia
terhadap yang lain. Ricoeur menyebut tindakan linguistik sebagai “praxis
of recognition”—suatu pengakuan terhadap keberadaan sesama melalui
komunikasi yang adil dan jujur.⁹ Maka, etika komunikasi bukan sekadar
norma tambahan, tetapi inti dari praktik berbahasa yang manusiawi.¹⁰
10.4.
Bahasa sebagai Ruang Sosial dan Emansipasi
Dimensi sosial dan
politik pragmatik memperlihatkan bahwa bahasa adalah arena
perjuangan antara kekuasaan dan kebebasan.¹¹ Foucault
mengingatkan bahwa wacana dapat menjadi alat dominasi, sementara Habermas
menegaskan potensi bahasa sebagai sarana emansipasi rasional.¹² Dalam konteks
ini, pragmatik menuntut kesadaran kritis terhadap struktur kekuasaan yang
tersembunyi dalam ujaran, serta keberanian untuk mewujudkan
komunikasi yang setara dan terbuka.¹³ Dengan demikian, bahasa
berfungsi tidak hanya untuk mengungkapkan dunia, tetapi juga untuk mengubahnya
secara etis dan sosial.
10.5.
Bahasa sebagai Tantangan Etis di Era Digital
dan Global
Dalam era digital
dan global, pragmatik menemukan tantangan baru: bagaimana mempertahankan
nilai-nilai humanistik dalam komunikasi yang dimediasi teknologi.¹⁴
Media sosial, algoritma, dan kecerdasan buatan menciptakan konteks baru bagi
tindakan tutur manusia, di mana makna sering kali tergeser oleh kecepatan,
visibilitas, dan kalkulasi teknis.¹⁵ Oleh karena itu, kompetensi
pragmatik digital menjadi kebutuhan etis: kemampuan untuk
menafsir, berempati, dan menjaga kejujuran dalam komunikasi lintas budaya dan
lintas mesin.¹⁶
Pragmatik di sini
berfungsi sebagai penuntun moral bagi teknologi,
memastikan bahwa bahasa tetap menjadi sarana pengakuan dan solidaritas, bukan
sekadar instrumen efisiensi atau manipulasi.¹⁷
Sintesis Humanistik: Bahasa sebagai Rumah bagi
Kemanusiaan
Akhirnya, filsafat
pragmatik yang humanistik dan komunikatif menegaskan bahwa bahasa
adalah rumah bagi kemanusiaan—ruang tempat manusia saling
mengenal, memahami, dan membangun makna bersama.¹⁸ Seperti ditegaskan oleh
Gadamer, pemahaman sejati lahir dari dialog, bukan dominasi; dari
keterbukaan terhadap yang lain, bukan penutupan makna.¹⁹
Bahasa adalah
jembatan yang menghubungkan rasionalitas dengan empati, kebebasan dengan
tanggung jawab, dan individu dengan komunitas. Dalam pengertian ini, pragmatik
melampaui fungsi analitisnya dan menjadi filsafat kehidupan: bahwa
menjadi manusia berarti berbicara secara etis, mendengarkan secara reflektif,
dan memahami secara penuh kasih.²⁰
Footnotes
[1]
Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 30–33.
[2]
Paul Ricoeur, From Text to Action:
Essays in Hermeneutics II, trans.
Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University
Press, 1991), 142–144.
[3]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[4]
J.L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 6–7.
[5]
H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York:
Academic Press, 1975), 45–47.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984),
86–90.
[7]
Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance:
Communication and Cognition (Oxford:
Blackwell, 1986), 32–35.
[8]
Geoffrey Leech, Principles of
Pragmatics (London: Longman, 1983),
80–82.
[9]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 130–134.
[10]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans.
Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press,
1990), 44–46.
[11]
Michel Foucault, The Archaeology of
Knowledge, trans. A. M. Sheridan
Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 49–51.
[12]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, Vol. 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987),
126–130.
[13]
Axel Honneth, The Struggle for
Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 109–111.
[14]
Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013),
8–10.
[15]
José van Dijck, The Culture of
Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 47–49.
[16]
Lucy Suchman, Human-Machine
Reconfigurations: Plans and Situated Actions (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–97.
[17]
Clifford G. Christians, Media
Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 45–48.
[18]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 1994), 383–386.
[19]
Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner,
1958), 25–27.
[20]
Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992),
47–49.
Daftar Pustaka
Austin, J.L. (1962). How to do things with words.
Oxford: Clarendon Press.
Bach, K. (1994). Conversational impliciture. Mind
& Language, 9(2), 124–162.
Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic
communication and speech acts. Cambridge, MA: MIT Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender,
community, and postmodernism in contemporary ethics. New York: Routledge.
Benhabib, S. (2002). The claims of culture:
Equality and diversity in the global era. Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Blum-Kulka, S., & Kasper, G. (Eds.). (1993). Interlanguage
pragmatics. New York: Oxford University Press.
Blum-Kulka, S., House, J., & Kasper, G. (Eds.).
(1989). Cross-cultural pragmatics: Requests and apologies. Norwood, NJ:
Ablex.
Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power
(G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Cambridge: Polity Press.
Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness:
Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith,
Trans.). New York: Scribner.
Bucholtz, M., & Hall, K. (2005). Identity and
interaction: A sociocultural linguistic approach. Discourse Studies, 7(4–5),
585–614.
Butler, J. (1997). Excitable speech: A politics
of the performative. New York: Routledge.
Capurro, R. (2010). Digital ethics: The
normative challenges of new media. Hershey, PA: IGI Global.
Carston, R. (2002). Thoughts and utterances: The
pragmatics of explicit communication. Oxford: Blackwell.
Christians, C. G. (2019). Media ethics and
global justice in the digital age. Cambridge: Cambridge University Press.
Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of
syntax. Cambridge, MA: MIT Press.
Cooke, M. (1994). Language and reason: A study
of Habermas’s pragmatics. Cambridge, MA: MIT Press.
Dean, J. (2010). Blog theory: Feedback and
capture in the circuits of drive. Cambridge: Polity Press.
Dreyfus, H. L., & Taylor, C. (2015). Retrieving
realism. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Dreyfus, H. L., & Dreyfus, S. E. (1986). Mind
over machine. New York: Free Press.
Fairclough, N. (1989). Language and power.
London: Longman.
Fairclough, N. (1992). Discourse and social
change. Cambridge: Polity Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). New York: Pantheon Books.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Pantheon Books.
Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical
reflections on the “postsocialist” condition. New York: Routledge.
Gadamer, H.-G. (1994). Truth and method (2nd
rev. ed.). New York: Continuum.
Grice, H.P. (1975). Logic and conversation. In P.
Cole & J.L. Morgan (Eds.), Syntax and semantics, Vol. 3: Speech acts
(pp. 41–58). New York: Academic Press.
Glock, H.-J. (1996). A Wittgenstein dictionary.
Oxford: Blackwell.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy,
Trans.). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1987). The theory of communicative
action, Vol. 2: Lifeworld and system (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon
Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Herring, S. C., & Stein, D. (Eds.). (2013). Pragmatics
of computer-mediated communication. Berlin: Mouton de Gruyter.
Honneth, A. (1995). The struggle for
recognition: The moral grammar of social conflicts. Cambridge: Polity
Press.
Horn, L. R., & Ward, G. (Eds.). (2004). The
handbook of pragmatics. Oxford: Blackwell.
Hymes, D. (1972). On communicative competence. In
J. B. Pride & J. Holmes (Eds.), Sociolinguistics: Selected readings
(pp. 277–285). Harmondsworth: Penguin.
Joseph, J. E. (2006). Language and politics.
Edinburgh: Edinburgh University Press.
Kögler, H.-H. (1996). The power of dialogue:
Critical hermeneutics after Gadamer and Foucault. Cambridge, MA: MIT Press.
Kramsch, C. (1998). Language and culture.
Oxford: Oxford University Press.
Kress, G. (2010). Multimodality: A social semiotic
approach to contemporary communication. London: Routledge.
Lakoff, R. (1973). The logic of politeness; or
minding your P’s and Q’s. Papers from the Ninth Regional Meeting of the
Chicago Linguistic Society, 292–305.
Leech, G. (1983). Principles of pragmatics.
London: Longman.
Levinson, S. C. (1983). Pragmatics.
Cambridge: Cambridge University Press.
Lyotard, J.-F. (1988). The differend: Phrases in
dispute (G. Van Den Abbeele, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Marwick, A., & boyd, d. (2011). To see and be
seen: Celebrity practice on Twitter. Convergence, 17(2), 139–158.
McCarthy, T. (1986). Language and intersubjectivity
in Habermas’s theory of communicative action. Philosophy & Social
Criticism, 11(2), 139–156.
Mills, S. (2003). Gender and politeness.
Cambridge: Cambridge University Press.
Morris, C. W. (1938). Foundations of the theory
of signs. Chicago: University of Chicago Press.
Polanyi, M. (1966). The tacit dimension.
Chicago: University of Chicago Press.
Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays
in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Evanston, IL:
Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Sbisà, M. (2002). Speech acts in context. Language
& Communication, 22(4), 421–436.
Sbisà, M., & Turner, K. (Eds.). (2013). Pragmatics
of speech actions. Berlin: Mouton de Gruyter.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1979). Expression and meaning:
Studies in the theory of speech acts. Cambridge: Cambridge University
Press.
Searle, J. R. (1995). The construction of social
reality. New York: Free Press.
Searle, J. R. (1998). Mind, language and
society: Philosophy in the real world. New York: Basic Books.
Shulman, E. (2021). Emoji pragmatics and digital
affect. Journal of Pragmatics, 179, 23–34.
Suchman, L. (2007). Human-machine
reconfigurations: Plans and situated actions. Cambridge: Cambridge
University Press.
Sperber, D., & Wilson, D. (1986). Relevance:
Communication and cognition. Oxford: Blackwell.
Spencer-Oatey, H. (2008). Culturally speaking:
Culture, communication and politeness theory. London: Continuum.
Tannen, D. (1994). Gender and discourse. New
York: Oxford University Press.
Tannen, D. (2007). Talking voices: Repetition,
dialogue, and imagery in conversational discourse (2nd ed.). Cambridge:
Cambridge University Press.
Tannen, D., & Trester, A. M. (2013). Discourse
2.0: Language and new media. Washington, DC: Georgetown University Press.
Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Thurlow, C. (2011). Digital discourse: Language in
the new media. Language and Communication, 31(1), 1–6.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. New York: Basic Books.
van Dijk, T. A. (1998). Ideology: A
multidisciplinary approach. London: SAGE.
van Dijck, J. (2013). The culture of
connectivity: A critical history of social media. Oxford: Oxford University
Press.
Walton, D. N. (2008). Informal logic: A pragmatic
approach. Cambridge: Cambridge University Press.
Wierzbicka, A. (2003). Cross-cultural
pragmatics: The semantics of human interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.
Wilks, Y. (1999). Machine conversations.
Dordrecht: Kluwer Academic.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
Wodak, R., & Meyer, M. (2001). Methods of
critical discourse analysis. London: SAGE.
Young, I. M. (2000). Inclusion and democracy.
Oxford: Oxford University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar