Minggu, 30 November 2025

Pragmatik dalam Filsafat Bahasa: Makna, Tindakan, dan Konteks dalam Komunikasi Manusia

Pragmatik dalam Filsafat Bahasa

Makna, Tindakan, dan Konteks dalam Komunikasi Manusia


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif dimensi pragmatik dalam filsafat bahasa dengan menelusuri landasan historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan relevansi kontemporernya. Pragmatik dipahami sebagai pergeseran paradigma dari pandangan semantik yang menekankan makna sebagai representasi, menuju pandangan yang menekankan bahasa sebagai tindakan (language as action) dan praktik sosial yang bermakna dalam konteks penggunaannya. Kajian ini menunjukkan bahwa secara ontologis, pragmatik menempatkan bahasa sebagai realitas intersubjektif yang konstitutif terhadap dunia sosial; secara epistemologis, ia menegaskan bahwa pengetahuan tentang makna bersifat kontekstual dan dialogis; sedangkan secara aksiologis, bahasa dipandang sebagai tindakan etis yang mengandung nilai kejujuran, tanggung jawab, dan empati.

Melalui dimensi sosial, politik, dan kultural, pragmatik dipahami tidak hanya sebagai teori linguistik, tetapi juga sebagai alat kritis untuk membaca relasi kekuasaan, ideologi, dan identitas dalam wacana publik. Kritik terhadap teori-teori utama (Austin, Searle, Grice, dan Habermas) menunjukkan bahwa pragmatik klasik perlu dilengkapi dengan perspektif humanistik, interkultural, dan reflektif agar dapat menjawab tantangan era digital dan global. Dalam konteks komunikasi digital, pragmatik menjadi dasar bagi etika komunikasi yang menghargai pluralitas, empati, dan tanggung jawab sosial.

Akhirnya, sintesis filosofis artikel ini mengarah pada filsafat bahasa yang humanistik dan komunikatif, di mana bahasa dipahami sebagai ruang keberadaan bersama, tempat manusia membangun pengertian, solidaritas, dan nilai-nilai kemanusiaan. Pragmatik, dengan demikian, bukan hanya teori makna, tetapi juga filsafat kehidupan—pandangan tentang bagaimana manusia hidup, berpikir, dan bertindak melalui bahasa.

Kata Kunci: Pragmatik; filsafat bahasa; tindak tutur; makna kontekstual; komunikasi rasional; etika linguistik; intersubjektivitas; digitalisasi komunikasi; filsafat humanistik; etika dialogis.


PEMBAHASAN

Pragmatik dalam Filsafat Bahasa


1.           Pendahuluan

Kajian mengenai pragmatik dalam filsafat bahasa menandai salah satu pergeseran penting dalam pemikiran linguistik dan filosofis abad ke-20. Jika sebelumnya bahasa dipahami terutama sebagai sistem tanda yang merepresentasikan realitas melalui struktur dan makna formal (sebagaimana ditekankan dalam semantik), maka pragmatik menghadirkan pandangan baru: bahasa sebagai tindakan dan praktik sosial yang bermakna dalam konteks penggunaannya. Pergeseran ini menempatkan fokus bukan hanya pada “apa yang dikatakan”, tetapi juga pada “apa yang dilakukan” melalui tuturan serta “kapan dan kepada siapa” tuturan itu diujarkan.¹

Dalam sejarah pemikiran, kelahiran pragmatik tidak dapat dilepaskan dari kritik terhadap formalisme logis yang dikembangkan dalam tradisi positivisme logis dan analisis bahasa pada awal abad ke-20. Ludwig Wittgenstein, dalam Philosophical Investigations, menggeser pemahaman bahasa dari sistem logis ke “permainan bahasa” (language-games), di mana makna ditentukan oleh aturan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.² Dengan demikian, bahasa bukanlah entitas abstrak yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari kegiatan manusia yang kontekstual dan sosial.

Perkembangan berikutnya dikokohkan oleh para pemikir seperti J.L. Austin dan John Searle melalui teori tindak tutur (speech act theory) yang menegaskan bahwa berbicara adalah bentuk tindakan — “to say something is to do something.”³ Melalui tindak tutur, pragmatik menjelaskan bagaimana pernyataan tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mengandung fungsi ilokusi (niat penutur) dan perlokusi (efek pada pendengar). Demikian pula, H.P. Grice memperluas pemahaman ini dengan konsep implikatur percakapan (conversational implicature) dan prinsip kerja sama (cooperative principle), yang menjelaskan bagaimana makna tersirat dihasilkan melalui asumsi rasional dalam percakapan.⁴

Secara filosofis, dimensi pragmatik mempertemukan aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari bahasa. Secara ontologis, ia menegaskan bahasa sebagai tindakan nyata dalam dunia sosial; secara epistemologis, ia menyoroti proses pemahaman makna yang bergantung pada konteks dan inferensi; dan secara aksiologis, ia menekankan nilai-nilai komunikasi seperti kejujuran, kesopanan, dan tanggung jawab.⁵ Dengan demikian, pragmatik bukan sekadar cabang linguistik, melainkan paradigma filsafat bahasa yang menyatukan makna, tindakan, dan nilai dalam satu horizon interpretatif.

Dalam konteks kontemporer, kajian pragmatik menjadi semakin relevan, terutama di era komunikasi digital dan globalisasi linguistik, di mana konteks komunikasi sering kali kabur dan interpretasi makna dapat berubah secara cepat.⁶ Pemahaman pragmatik membantu menelaah bagaimana makna dibentuk, dinegosiasikan, atau bahkan dimanipulasi dalam ruang publik digital. Melalui kerangka ini, pragmatik membuka jalan bagi filsafat bahasa yang lebih humanistik, yaitu bahasa yang tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan pesan, tetapi juga untuk membangun pemahaman, solidaritas, dan etika dalam interaksi manusia.


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 5.

[2]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23.

[3]                J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 12.

[4]                H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[5]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 12–14.

[6]                Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013), 3–5.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Dimensi pragmatik dalam filsafat bahasa berakar pada evolusi panjang pemikiran tentang bahasa, makna, dan tindakan. Genealogi pragmatik dapat dipahami sebagai reaksi dan koreksi terhadap kecenderungan formalisme logis yang mendominasi filsafat bahasa awal abad ke-20. Tradisi semantik logis, yang berupaya menjelaskan makna melalui struktur proposisional dan kebenaran formal, terbukti tidak mampu menjawab kompleksitas komunikasi manusia yang bergantung pada konteks, niat, dan interaksi sosial. Dari sinilah lahir pendekatan pragmatik—sebuah usaha untuk mengembalikan bahasa ke dunia kehidupan (Lebenswelt) manusia yang dinamis dan intersubjektif.¹

2.1.       Akar dalam Semiotika Pragmatika: Charles Morris dan Tiga Dimensi Bahasa

Charles W. Morris merupakan salah satu figur awal yang mengajukan pemahaman pragmatik dalam kerangka semiotik. Dalam karyanya Foundations of the Theory of Signs (1938), Morris membedakan tiga dimensi kajian tanda: sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik membahas hubungan antar-tanda, semantik membahas hubungan antara tanda dan objek yang dirujuk, sementara pragmatik menyoroti hubungan antara tanda dengan pengguna tanda tersebut.² Pembagian ini membuka ruang bagi pemahaman bahasa bukan hanya sebagai sistem formal, melainkan juga sebagai alat tindakan sosial.

2.2.       Pergeseran dari Semantik ke Pragmatik: Wittgenstein dan Makna sebagai Penggunaan

Perubahan paradigma yang lebih mendasar muncul dalam filsafat bahasa pasca-logis, terutama melalui pemikiran Ludwig Wittgenstein. Dalam Philosophical Investigations (1953), Wittgenstein mengkritik gagasan bahwa makna adalah entitas mental atau representasi objektif, dengan menyatakan bahwa “makna suatu kata adalah penggunaannya dalam bahasa” (the meaning of a word is its use in the language).³ Dengan konsep “permainan bahasa” (language-games), ia menunjukkan bahwa bahasa terikat pada konteks aktivitas manusia: berjanji, bertanya, memerintah, mengkritik, dan sebagainya. Pandangan ini menjadi fondasi ontologis bagi pragmatik modern yang memandang bahasa sebagai praktik sosial yang berakar pada tindakan.⁴

2.3.       Teori Tindak Tutur: Austin dan Searle

J.L. Austin memperluas pemikiran Wittgenstein dengan mengembangkan teori tindak tutur (speech act theory). Dalam kuliah terkenalnya yang diterbitkan sebagai How to Do Things with Words (1962), Austin menegaskan bahwa berbicara bukan sekadar mengucapkan kalimat, melainkan juga melakukan tindakan.⁵ Ia membedakan antara tuturan konstatif, yang menggambarkan fakta dan dapat dinilai benar atau salah, dan tuturan performatif, yang justru menciptakan tindakan (misalnya, “Saya berjanji,” “Saya menamai,” “Saya mengumumkan”). Teori ini menandai pergeseran ontologis besar: makna tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga produktif dan konstitutif terhadap realitas sosial.

John R. Searle kemudian mengembangkan teori ini dalam bentuk yang lebih sistematis melalui karyanya Speech Acts (1969) dan Expression and Meaning (1979).⁶ Searle memperkenalkan kategori tindak ilokusi (intensi penutur) dan tindak perlokusi (efek terhadap pendengar), yang menunjukkan bahwa komunikasi melibatkan dimensi mental, sosial, dan normatif secara bersamaan. Pandangan ini menegaskan bahwa bahasa adalah bagian dari tatanan institusional dan etis kehidupan manusia.⁷

2.4.       Prinsip Kerja Sama dan Implikatur: H.P. Grice

Kontribusi besar berikutnya datang dari Herbert Paul Grice, yang mengalihkan perhatian dari tindakan ilokusi ke mekanisme penalaran dalam komunikasi. Dalam esainya “Logic and Conversation” (1975), Grice mengemukakan prinsip kerja sama (cooperative principle), yaitu bahwa partisipan dalam percakapan secara rasional bekerja sama untuk mencapai pemahaman bersama.⁸ Dari prinsip ini lahir konsep implikatur percakapan, yaitu makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi dipahami melalui konteks dan asumsi tentang kerja sama komunikatif.⁹ Gagasan Grice mengintegrasikan logika, psikologi, dan etika dalam satu kerangka pragmatik yang menekankan inferensi sosial sebagai dasar komunikasi bermakna.

2.5.       Menuju Pragmatik Kritis: Habermas dan Komunikasi Rasional

Dalam tradisi filsafat kontinental, Jürgen Habermas memberikan dimensi etis dan sosial pada pragmatik melalui konsep tindakan komunikatif (communicative action). Dalam The Theory of Communicative Action (1981), ia menyatakan bahwa komunikasi sejati tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk mencapai pemahaman rasional bersama (mutual understanding) dalam situasi bebas dominasi.¹⁰ Dengan demikian, pragmatik tidak hanya membahas bagaimana makna diproduksi, tetapi juga bagaimana komunikasi dapat menjadi dasar bagi etika dan demokrasi.


Rekontekstualisasi Kontemporer

Perkembangan terkini pragmatik mencakup pendekatan interdisipliner seperti pragmatik kognitif (Sperber & Wilson, Relevance Theory), pragmatik sosial (Brown & Levinson, Politeness Theory), dan pragmatik budaya (Blum-Kulka & Wierzbicka).¹¹ Semua ini memperkaya pemahaman pragmatik sebagai dimensi filsafat bahasa yang hidup, terbuka, dan responsif terhadap kompleksitas komunikasi manusia di berbagai konteks.

Dengan demikian, secara genealogis, pragmatik lahir dari pertemuan antara filsafat analitik, semiotik, dan teori sosial, yang bersama-sama membentuk paradigma baru tentang bahasa sebagai tindakan kontekstual, bernilai, dan etis—suatu sintesis antara makna dan kehidupan.


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 3–5.

[2]                Charles W. Morris, Foundations of the Theory of Signs (Chicago: University of Chicago Press, 1938), 21–23.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[4]                Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 207–210.

[5]                J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[6]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–19.

[7]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 15–18.

[8]                H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[9]                Stephen Davis, ed., Pragmatics: A Reader (Oxford: Oxford University Press, 1991), 67–70.

[10]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[11]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 32–35; Penelope Brown and Stephen C. Levinson, Politeness: Some Universals in Language Usage (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 55–57.


3.           Ontologi: Hakikat Pragmatik dan Realitas Bahasa dalam Penggunaan

Dalam dimensi ontologis, pragmatik mengajukan pertanyaan mendasar tentang hakikat bahasa sebagai tindakan dan kenyataan komunikatif. Berbeda dengan pandangan semantik yang memusatkan perhatian pada hubungan antara tanda dan makna secara abstrak, pragmatik memahami bahasa sebagai bagian dari realitas praksis manusia—yakni sebagai tindakan yang menubuh dalam dunia sosial.¹ Bahasa, dalam kerangka ini, bukan sekadar representasi tentang dunia, melainkan salah satu cara manusia membangun dan mengubah dunia melalui tindakan linguistik.

3.1.       Bahasa sebagai Tindakan: Dari Deskripsi ke Performatif

Pandangan ontologis utama pragmatik berpangkal pada gagasan bahasa sebagai tindakan (language as action). J.L. Austin melalui karya klasiknya How to Do Things with Words (1962) memperkenalkan pemikiran bahwa setiap ujaran tidak hanya menyampaikan informasi (deskriptif), tetapi juga melakukan sesuatu (performatif).² Ujaran seperti “Saya berjanji,” “Saya menamai anak ini,” atau “Saya mengumumkan sidang dibuka” adalah tindakan sosial yang memiliki konsekuensi nyata dalam dunia.³

Ontologi ini menunjukkan bahwa bahasa tidak netral, melainkan konstitutif terhadap kenyataan sosial. John Searle memperdalam gagasan tersebut dengan menyatakan bahwa tindakan ilokusi (niat penutur) dan tindakan perlokusi (dampak pada pendengar) merupakan bagian dari tatanan institusional kehidupan.⁴ Dengan kata lain, realitas sosial sebagian dibangun oleh tindak tutur—misalnya, dalam deklarasi hukum, transaksi ekonomi, atau komitmen moral.⁵ Dalam kerangka ini, bahasa bukanlah cermin realitas, melainkan medium penciptaan realitas intersubjektif.

3.2.       Konteks dan Intensionalitas: Bahasa sebagai Aktivitas Bermakna

Dalam ontologi pragmatik, konteks menjadi syarat keberadaan makna.⁶ Suatu ujaran hanya memiliki arti dalam relasi dengan situasi, peran pembicara, pendengar, dan tujuan komunikatifnya. Pandangan ini menolak esensialisme semantik yang berupaya menemukan makna tetap di luar penggunaan. Sebaliknya, makna bersifat kontekstual, dinamis, dan terbuka terhadap interpretasi.⁷

Sementara itu, dimensi intensionalitas—yakni orientasi makna terhadap maksud penutur—menjadi fondasi bagi realitas pragmatik. Searle menegaskan bahwa tindakan linguistik tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan niat komunikatif (illocutionary intention).⁸ Niat inilah yang memberi struktur pada tindakan ujaran, membedakannya dari sekadar rangkaian bunyi atau simbol. Dalam hal ini, makna merupakan hasil relasional antara intensi penutur dan inferensi pendengar dalam konteks yang disepakati bersama.⁹

3.3.       Bahasa sebagai Praktik Sosial dan Dunia Kehidupan

Ontologi pragmatik tidak dapat dilepaskan dari pandangan fenomenologis dan hermeneutik tentang dunia kehidupan (Lebenswelt). Dalam perspektif ini, bahasa merupakan modus eksistensial manusia—cara manusia berada di dunia (being-in-the-world) sebagaimana ditekankan oleh Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer.¹⁰ Bahasa tidak hanya mengungkapkan kenyataan, tetapi juga membangun horizon makna bersama yang memungkinkan pemahaman dan tindakan sosial.

Habermas kemudian mengembangkan pandangan ini dalam The Theory of Communicative Action dengan menegaskan bahwa tindakan komunikatif adalah bentuk eksistensi sosial manusia yang berorientasi pada pemahaman rasional.¹¹ Bahasa, dalam artian ini, adalah medium etis yang memungkinkan manusia mengoordinasikan tindakan secara damai melalui argumen dan pengakuan timbal balik. Dengan demikian, ontologi pragmatik tidak sekadar ontologi linguistik, tetapi ontologi sosial yang berakar pada intersubjektivitas.¹²

3.4.       Realitas Intersubjektif: Bahasa sebagai Ruang Etika dan Pengakuan

Realitas bahasa dalam pragmatik bersifat intersubjektif—tercipta melalui pertemuan antara dua atau lebih subjek yang saling menafsirkan. Makna tidak terletak pada penutur atau teks semata, melainkan muncul dalam proses komunikasi itu sendiri.¹³ Oleh karena itu, pragmatik menegaskan bahwa hakikat bahasa tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab etis antarpartisipan dalam percakapan.

Paul Ricoeur, dalam Oneself as Another, menekankan bahwa bahasa membuka ruang bagi pengakuan (recognition)—yakni pengakuan terhadap diri dan orang lain sebagai subjek yang bermakna.¹⁴ Dalam horizon ini, pragmatik bukan hanya teori linguistik, tetapi juga ontologi relasional yang menegaskan bahwa menjadi manusia berarti mampu berbicara, mendengar, dan saling memahami.


Kesimpulan Ontologis

Dengan demikian, secara ontologis, pragmatik mendefinisikan bahasa sebagai tindakan sosial yang konstitutif terhadap realitas. Bahasa tidak hanya menggambarkan dunia, melainkan membentuk dunia sosial dan moral tempat manusia hidup bersama. Ontologi pragmatik menolak pandangan representasional yang memisahkan bahasa dari kehidupan, dan menggantikannya dengan pandangan performasional dan intersubjektif: bahasa sebagai praktik makna, tindakan, dan etika yang hidup.¹⁵


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 8–10.

[2]                J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[3]                Marina Sbisà, “Speech Acts in Context,” Language & Communication 22, no. 4 (2002): 421–436.

[4]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 23–25.

[5]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 27–33.

[6]                H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45.

[7]                Kent Bach, “Conversational Impliciture,” Mind & Language 9, no. 2 (1994): 124–162.

[8]                Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 7–9.

[9]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 31–33.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 383–385.

[11]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.

[12]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 109–111.

[13]             Thomas A. McCarthy, “Language and Intersubjectivity in Habermas’s Theory of Communicative Action,” Philosophy & Social Criticism 11, no. 2 (1986): 139–156.

[14]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 17–18.

[15]             Hubert L. Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 142–145.


4.           Epistemologi: Pengetahuan tentang Makna dan Konteks

Epistemologi pragmatik berupaya menjawab pertanyaan fundamental: bagaimana manusia mengetahui makna dalam komunikasi yang kontekstual dan dinamis? Jika semantik menitikberatkan pada hubungan antara tanda dan referennya secara objektif, maka pragmatik menegaskan bahwa pengetahuan tentang makna tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa dalam situasi tertentu, dari niat penutur, serta dari asumsi bersama yang dimiliki peserta komunikasi.¹ Dalam pengertian ini, epistemologi pragmatik berlandaskan pada pengetahuan praktis (practical knowledge)—yakni kemampuan memahami maksud dan implikasi ujaran berdasarkan inferensi sosial dan pengalaman komunikasi yang hidup.

4.1.       Makna sebagai Pengetahuan Kontekstual

Dalam perspektif pragmatik, makna tidak semata-mata tersimpan dalam struktur bahasa, melainkan muncul melalui proses interpretasi kontekstual. H.P. Grice, melalui teori implikatur percakapan (conversational implicature), menunjukkan bahwa makna suatu tuturan sering kali melebihi apa yang dikatakan secara eksplisit.² Pemahaman ini memerlukan inferensi berdasarkan konteks, seperti siapa penutur, kepada siapa ia berbicara, dan dalam situasi apa ujaran itu terjadi. Dengan demikian, mengetahui makna berarti mampu menafsirkan maksud yang tersirat melalui konteks sosial dan budaya

Dan Sperber dan Deirdre Wilson mengembangkan gagasan ini melalui Relevance Theory, yang menyatakan bahwa komunikasi manusia bergantung pada kemampuan kognitif untuk menilai relevansi—yakni keseimbangan antara upaya penafsiran dan hasil pemahaman.⁴ Pengetahuan pragmatik di sini bersifat inferensial dan tidak eksplisit; ia bertumpu pada kemampuan manusia untuk menghubungkan tanda dengan maksud penutur melalui konteks situasional dan mental.⁵

4.2.       Inferensi Pragmatik dan Rasionalitas Komunikatif

Epistemologi pragmatik juga melibatkan proses inferensi rasional, di mana pendengar menafsirkan ujaran dengan mengandalkan prinsip kerja sama dan kesalingpahaman.⁶ Dalam kerangka Grice, pendengar tidak sekadar menerima pesan literal, tetapi aktif membangun makna melalui penalaran berdasarkan empat maksim percakapan: kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara.⁷ Pengetahuan tentang makna, dengan demikian, merupakan hasil proses rasional intersubjektif, bukan sekadar pengenalan simbol.

Jürgen Habermas memperluas dimensi epistemologis ini dengan menegaskan bahwa pemahaman makna merupakan hasil tindakan komunikatif yang berorientasi pada kebenaran, kejujuran, dan ketepatan normatif.⁸ Komunikasi yang sahih (valid) menuntut bahwa peserta memiliki dasar rasional untuk saling memahami dan mempercayai. Dalam konteks ini, pragmatik tidak hanya menjelaskan bagaimana makna dipahami, tetapi juga mengapa pemahaman itu memiliki legitimasi sosial dan etis.⁹

4.3.       Pengetahuan Praktis dan Kecerdasan Komunikatif

Michael Polanyi memperkenalkan konsep pengetahuan tacit (tacit knowledge)—pengetahuan yang tidak sepenuhnya dapat diartikulasikan secara eksplisit, tetapi diwujudkan melalui keterampilan dan kebiasaan.¹⁰ Dalam komunikasi, bentuk pengetahuan ini tampak dalam kemampuan intuitif manusia untuk menilai maksud lawan bicara, memahami sarkasme, humor, atau kesopanan, tanpa perlu merumuskannya secara formal.¹¹ Dengan demikian, epistemologi pragmatik melibatkan dimensi kognitif-emosional, bukan hanya logika simbolik.

Selain itu, Noam Chomsky membedakan antara kompetensi linguistik (pengetahuan gramatikal) dan kompetensi komunikatif (kemampuan menggunakan bahasa secara tepat dalam konteks sosial).¹² Dell Hymes kemudian menegaskan bahwa kompetensi komunikatif ini merupakan pengetahuan pragmatik yang sesungguhnya—kemampuan memahami kapan, bagaimana, dan kepada siapa sesuatu dapat diucapkan.¹³ Maka, epistemologi pragmatik memperluas cakupan “pengetahuan bahasa” dari sekadar struktur ke penggunaan kontekstual yang etis dan sosial.

4.4.       Interaksi, Pemahaman, dan Validitas Makna

Habermas, dalam kerangka teori tindakan komunikatifnya, memperkenalkan tiga klaim validitas universal—kebenaran (truth), ketepatan normatif (rightness), dan kejujuran (truthfulness)—sebagai dasar epistemik komunikasi rasional.¹⁴ Setiap tindak tutur yang bermakna mengandaikan kesediaan penutur dan pendengar untuk mencapai pemahaman bersama (Verständigung). Dalam konteks ini, pengetahuan pragmatik tidak dapat dipisahkan dari etika diskursus, sebab memahami makna berarti juga mengakui posisi dan niat pihak lain secara setara.¹⁵

Dengan demikian, epistemologi pragmatik menolak pandangan objektivistik yang memisahkan subjek dari bahasa. Ia menggantikannya dengan pandangan intersubjektif, di mana pengetahuan tentang makna selalu terwujud melalui hubungan sosial.¹⁶ Proses mengetahui di sini adalah proses berdialog—sebuah tindakan yang menuntut keterbukaan, empati, dan refleksi.

4.5.       Pengetahuan Pragmatik dalam Era Digital

Dalam konteks komunikasi digital, epistemologi pragmatik menghadapi tantangan baru. Media sosial, algoritma, dan komunikasi multimodal menciptakan ruang di mana konteks sering kali tereduksi—penutur dan pendengar tidak selalu berbagi latar sosial yang sama, dan tanda-tanda nonverbal tergantikan oleh emoji, meme, atau simbol virtual.¹⁷ Oleh karena itu, pengetahuan tentang makna kini memerlukan kompetensi pragmatik digital—kemampuan menafsirkan maksud dan emosi melalui isyarat yang terbatas, serta kesadaran kritis terhadap distorsi konteks oleh media.¹⁸


Kesimpulan Epistemologis

Secara epistemologis, pragmatik memahami pengetahuan bahasa sebagai pengetahuan dialogis, inferensial, dan kontekstual. Mengetahui makna berarti terlibat dalam proses intersubjektif yang menggabungkan niat, konteks, dan inferensi. Ia bukan sekadar mengetahui “apa arti kata”, tetapi mengetahui kapan, mengapa, dan untuk siapa kata itu diucapkan. Dalam pengertian ini, epistemologi pragmatik memperluas horizon pengetahuan menjadi praksis sosial yang hidup—suatu bentuk pengetahuan yang tidak hanya kognitif, tetapi juga etis dan komunikatif.¹⁹


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 11–13.

[2]                H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45–47.

[3]                Kent Bach, “Conversational Impliciture,” Mind & Language 9, no. 2 (1994): 124–162.

[4]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 33–38.

[5]                Robyn Carston, Thoughts and Utterances: The Pragmatics of Explicit Communication (Oxford: Blackwell, 2002), 21–25.

[6]                Laurence R. Horn and Gregory Ward, eds., The Handbook of Pragmatics (Oxford: Blackwell, 2004), 12–14.

[7]                Grice, “Logic and Conversation,” 46–47.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.

[9]                Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 54–56.

[10]             Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of Chicago Press, 1966), 4–6.

[11]             Hubert L. Dreyfus, Mind over Machine (New York: Free Press, 1986), 28–30.

[12]             Noam Chomsky, Aspects of the Theory of Syntax (Cambridge, MA: MIT Press, 1965), 3–4.

[13]             Dell Hymes, “On Communicative Competence,” in Sociolinguistics: Selected Readings, ed. J. B. Pride and Janet Holmes (Harmondsworth: Penguin, 1972), 277–285.

[14]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 99–101.

[15]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 29–31.

[16]             Thomas McCarthy, “Language, Intersubjectivity, and Rationality in Habermas’s Theory,” Philosophy & Social Criticism 11, no. 2 (1986): 141–143.

[17]             Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013), 6–8.

[18]             Crispin Thurlow, “Digital Discourse: Language in the New Media,” Language and Communication 31, no. 1 (2011): 1–6.

[19]             Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 142–145.


5.           Aksiologi: Nilai, Etika, dan Fungsi Pragmatik

Dimensi aksiologi pragmatik menyoroti nilai-nilai dan fungsi etis yang terkandung dalam penggunaan bahasa. Jika ontologi pragmatik menegaskan bahasa sebagai tindakan, dan epistemologinya menekankan pemahaman makna dalam konteks, maka aksiologi pragmatik membahas bagaimana bahasa menjadi sarana nilai, tanggung jawab, dan etika komunikasi manusia. Dalam perspektif ini, bahasa bukan sekadar alat penyampai informasi, melainkan praktik moral yang mencerminkan penghargaan terhadap sesama, kesopanan, kejujuran, dan empati

5.1.       Nilai Komunikasi dan Tanggung Jawab Tuturan

Setiap tindak tutur memiliki nilai moral implisit karena ia melibatkan hubungan antar-subjek yang memerlukan pengakuan dan kepercayaan.² Dalam komunikasi yang sehat, penutur tidak hanya bertanggung jawab atas kebenaran proposisinya, tetapi juga atas niat dan dampak ucapannya terhadap pendengar. John Searle menekankan bahwa tindakan ilokusi—seperti berjanji, meminta maaf, atau menyatakan sesuatu—selalu terikat pada komitmen normatif yang mengandung tuntutan etis.³

Dengan demikian, pragmatik mengandung dimensi tanggung jawab: berbicara berarti mengambil posisi etis dalam dunia sosial. Paul Ricoeur menyebut hal ini sebagai “etika pengakuan” (ethics of recognition), di mana setiap tindakan linguistik mengandaikan pengakuan terhadap orang lain sebagai subjek yang otonom dan bermartabat.⁴ Oleh karena itu, nilai utama dalam pragmatik adalah tanggung jawab komunikatif—yakni kesediaan untuk berbicara dengan jujur dan mendengarkan dengan terbuka.

5.2.       Etika Tuturan dan Prinsip Kesopanan

Pragmatik juga memiliki fungsi etis dalam menjaga kehormatan dan keharmonisan sosial melalui prinsip kesopanan. Geoffrey Leech mengembangkan teori prinsip kesopanan (politeness principle) untuk melengkapi prinsip kerja sama Grice.⁵ Prinsip ini menegaskan bahwa komunikasi tidak hanya mengejar efisiensi makna, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai kehormatan, kesantunan, dan harmoni relasional.

Dalam kerangka budaya, Brown dan Levinson menjelaskan bahwa strategi kesopanan (politeness strategies) berakar pada konsep “wajah” (face)—yakni citra diri yang ingin dijaga oleh setiap individu.⁶ Maka, tindakan linguistik harus memperhatikan “wajah positif” (kebutuhan untuk dihargai) dan “wajah negatif” (kebutuhan untuk otonomi). Pelanggaran terhadap prinsip ini sering kali menimbulkan konflik komunikasi. Secara aksiologis, kesopanan berfungsi sebagai nilai normatif yang menjaga kohesi sosial melalui penghormatan linguistik.⁷

5.3.       Nilai Kejujuran dan Keautentikan

Selain kesopanan, nilai lain yang fundamental dalam pragmatik adalah kejujuran (truthfulness). Jürgen Habermas menempatkan kejujuran sebagai salah satu dari tiga klaim validitas universal yang menjadi dasar etika komunikasi: kebenaran, ketepatan normatif, dan kejujuran.⁸ Suatu komunikasi hanya dapat mencapai pemahaman rasional apabila para partisipan menganggap bahwa penutur jujur terhadap maksudnya dan tidak menyembunyikan informasi penting.

Habermas menegaskan bahwa keautentikan (authenticity) merupakan dasar moral dari tindakan komunikatif.⁹ Dengan kata lain, tindakan linguistik memiliki nilai bukan karena isinya semata, melainkan karena kejujuran penutur dan keterbukaan terhadap koreksi. Maka, pragmatik bukan sekadar teori makna tersirat, tetapi juga kerangka etika yang menuntut transparansi dan kepercayaan dalam wacana publik.

5.4.       Fungsi Sosial: Bahasa sebagai Ruang Etika Publik

Dari segi sosial, pragmatik memiliki fungsi sebagai ruang etika publik, di mana nilai-nilai demokrasi, toleransi, dan solidaritas diwujudkan melalui percakapan rasional.¹⁰ Dalam konteks ini, teori tindakan komunikatif Habermas mengajukan gagasan masyarakat komunikatif (communicative society), di mana legitimasi sosial dibangun bukan melalui kekuasaan, tetapi melalui dialog terbuka dan argumentasi rasional.¹¹

Bahasa yang digunakan secara etis dapat menjadi alat emansipasi sosial—membebaskan manusia dari dominasi dan manipulasi simbolik.¹² Namun sebaliknya, ketika bahasa digunakan secara dogmatis, propaganda, atau manipulatif, ia kehilangan nilai pragmatik-etisnya. Oleh karena itu, fungsi pragmatik tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai moral dan politik yang menopang ruang publik yang adil dan komunikatif.

5.5.       Pragmatik dan Nilai Empati dalam Komunikasi

Secara aksiologis, pragmatik menekankan empati linguistik—kemampuan memahami posisi dan perasaan orang lain melalui bahasa.¹³ Dalam setiap interaksi, penutur tidak hanya menyampaikan proposisi, tetapi juga menegosiasikan makna emosional dan sosial. Deborah Tannen menyebut fenomena ini sebagai “rapport talk”, yaitu cara berbicara yang berorientasi pada relasi dan perasaan, bukan sekadar pada informasi.¹⁴

Nilai empati ini memperluas horizon pragmatik dari analisis logis menuju etika relasional. Komunikasi yang baik tidak hanya menuntut kebenaran, tetapi juga kepekaan terhadap konteks afektif dan sosial dari lawan bicara. Dengan demikian, fungsi pragmatik adalah membangun ruang saling pengertian yang berlandaskan empati dan pengakuan timbal balik.¹⁵


Kesimpulan Aksiologis

Secara aksiologis, pragmatik menunjukkan bahwa bahasa merupakan praktik etis yang membentuk hubungan sosial dan moral manusia. Nilai-nilai seperti kejujuran, kesopanan, tanggung jawab, dan empati menjadi inti dari fungsi pragmatik sebagai dasar komunikasi yang bermartabat.¹⁶ Bahasa bukan hanya sistem tanda, tetapi juga mediasi nilai-nilai kemanusiaan—suatu sarana untuk membangun pengakuan, solidaritas, dan keadilan komunikatif. Dalam pengertian ini, pragmatik menjadi jantung dari etika kebahasaan yang menegaskan peran bahasa sebagai tindakan moral dan sosial yang humanistik.¹⁷


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 15–18.

[2]                Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 46.

[3]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 66–70.

[4]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 131–134.

[5]                Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 80–81.

[6]                Penelope Brown and Stephen C. Levinson, Politeness: Some Universals in Language Usage (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 62–63.

[7]                Stephen Davis, ed., Pragmatics: A Reader (Oxford: Oxford University Press, 1991), 109–111.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[9]                Maeve Cooke, Language and Reason: A Study of Habermas’s Pragmatics (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 92–94.

[10]             Thomas A. McCarthy, “Language and Intersubjectivity in Habermas’s Theory of Communicative Action,” Philosophy & Social Criticism 11, no. 2 (1986): 139–156.

[11]             Habermas, The Theory of Communicative Action, 99–101.

[12]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 110–113.

[13]             Ronald C. Arnett, Dialogic Civility in a Cynical Age: Community, Hope, and Interpersonal Relationships (Albany: SUNY Press, 1999), 54–56.

[14]             Deborah Tannen, Talking Voices: Repetition, Dialogue, and Imagery in Conversational Discourse (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 22–24.

[15]             Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 45–48.

[16]             Leech, Principles of Pragmatics, 82–83.

[17]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 44–46.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural

Dimensi sosial, politik, dan kultural dari pragmatik memperluas cakupan filsafat bahasa ke ranah kehidupan bersama, di mana bahasa berfungsi bukan hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen kekuasaan, identitas, dan pembentukan makna sosial. Pragmatik, dalam pengertian ini, tidak berhenti pada tataran analisis mikro tentang tindak tutur dan konteks percakapan, tetapi menelaah bagaimana makna dihasilkan, dinegosiasikan, atau didominasi dalam struktur sosial yang konkret

Bahasa tidak pernah netral; ia selalu beroperasi dalam jaringan relasi sosial dan kekuasaan. Dengan demikian, memahami dimensi sosial-politik pragmatik berarti menyingkap fungsi ideologis dan kultural dari praktik bahasa, sekaligus menyoroti bagaimana komunikasi dapat menjadi ruang resistensi maupun dominasi.

6.1.       Bahasa sebagai Arena Kekuasaan dan Dominasi

Michel Foucault menegaskan bahwa bahasa merupakan medium utama dari kekuasaan dan pengetahuan (power/knowledge).² Melalui wacana (discourse), kekuasaan tidak hanya menindas, tetapi juga membentuk subjek—menentukan apa yang boleh dikatakan, siapa yang berhak berbicara, dan bagaimana kebenaran ditentukan.³ Dalam konteks ini, pragmatik berfungsi sebagai alat kritis untuk menganalisis bagaimana tindakan linguistik ikut melestarikan atau menantang struktur kekuasaan.

Pierre Bourdieu memperdalam pandangan ini melalui konsep habitus linguistik dan kapital simbolik.⁴ Bahasa, menurutnya, bukan sekadar sistem tanda, tetapi arena pertukaran kekuasaan simbolik di mana status sosial menentukan legitimasi ujaran.⁵ Misalnya, ujaran seorang pejabat memiliki “otoritas ilokusioner” yang lebih kuat dibandingkan ujaran warga biasa. Analisis pragmatik yang peka terhadap konteks sosial ini memperlihatkan bahwa tindak tutur tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang mengatur nilai dan otoritas makna.⁶

6.2.       Pragmatik dan Ideologi: Bahasa sebagai Representasi Sosial

Bahasa juga berfungsi sebagai medium ideologi, yaitu cara berpikir dan berbicara yang mereproduksi nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Norman Fairclough, tokoh utama Critical Discourse Analysis (CDA), menegaskan bahwa pragmatik berperan penting dalam mengungkap relasi tersembunyi antara bahasa, ideologi, dan kekuasaan.⁷ Melalui analisis tindak tutur, implikatur, dan strategi kesopanan, kita dapat melihat bagaimana bahasa digunakan untuk mempengaruhi persepsi, membentuk opini, atau melegitimasi dominasi politik.⁸

Sebagai contoh, ujaran politik seperti “reformasi”, “keamanan nasional”, atau “keadilan sosial” tidak hanya deskriptif, tetapi juga performatif secara ideologis—ia mengarahkan tindakan dan membingkai realitas sosial tertentu.⁹ Dengan demikian, pragmatik menjadi medan etis dan politis di mana bahasa digunakan untuk mengatur kesadaran publik.

6.3.       Pragmatik dan Konstruksi Identitas Sosial

Dimensi sosial pragmatik juga tampak dalam pembentukan identitas linguistik. Melalui pilihan kata, gaya bicara, dan strategi komunikasi, individu menegosiasikan identitas sosial, gender, dan budaya.ⁱ⁰ Deborah Tannen dan Penelope Eckert, misalnya, menunjukkan bahwa perbedaan cara berbicara antara laki-laki dan perempuan sering kali mencerminkan struktur sosial dan ekspektasi budaya yang lebih luas.ⁱ¹

Dengan demikian, pragmatik menjadi sarana untuk memahami identitas sebagai performatif—sebuah tindakan yang diciptakan dan dinegosiasikan melalui bahasa.ⁱ² Setiap ujaran adalah momen di mana individu mengafirmasi atau menolak peran sosialnya, sehingga bahasa berfungsi sebagai praktik sosial yang menciptakan makna diri dan komunitas.

6.4.       Pragmatik Antarbudaya dan Etika Global

Dalam konteks multikultural, pragmatik berperan penting dalam menjembatani perbedaan kultural dalam cara berkomunikasi.ⁱ³ Cross-cultural pragmatics (pragmatik lintas budaya) menunjukkan bahwa strategi kesopanan, bentuk tindak tutur, dan struktur percakapan sangat bergantung pada norma budaya. Misalnya, tindak tutur langsung yang dianggap jujur di satu budaya dapat dipandang kasar di budaya lain.ⁱ⁴

Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman pragmatik memerlukan sensitivitas budaya, yang menjadi dasar bagi etika komunikasi global. Menurut Shoshana Blum-Kulka, perbedaan pragmatik antarbudaya sering kali menjadi sumber kesalahpahaman lintas bangsa, sehingga perlu pendekatan pragmatik interkultural yang menekankan empati dan resiprositas makna.ⁱ⁵ Dalam dunia global dan digital yang saling terhubung, nilai-nilai ini menjadi semakin penting untuk menghindari konflik simbolik dan memperkuat solidaritas komunikasi lintas budaya.ⁱ⁶

6.5.       Pragmatik di Era Digital: Kekuasaan, Teknologi, dan Bahasa

Transformasi digital membawa implikasi baru terhadap dimensi sosial-politik pragmatik. Komunikasi di media sosial memperlihatkan bentuk-bentuk baru dari tindak tutur: tweet, meme, komentar, dan emoji yang semuanya mengandung makna pragmatik tersirat.ⁱ⁷ Namun, ruang digital juga menjadi arena bagi kekuasaan algoritmik—di mana platform menentukan visibilitas, makna, dan arah percakapan publik.ⁱ⁸

Dalam konteks ini, pragmatik digital harus memeriksa bagaimana teknologi membentuk pola komunikasi dan distribusi makna. Lucy Suchman menegaskan bahwa interaksi manusia-mesin melibatkan “tindakan komunikatif teknologis,” di mana sistem buatan menginterpretasikan konteks pengguna dengan cara pragmatik.ⁱ⁹ Maka, pragmatik tidak lagi terbatas pada manusia, melainkan meluas ke ekologi komunikasi digital yang kompleks dan bersifat intersemiotik.²⁰

6.6.       Bahasa sebagai Ruang Emansipasi dan Dialog Sosial

Dalam kerangka etis, pragmatik membuka kemungkinan bagi komunikasi yang emansipatif—yakni komunikasi yang membebaskan dari dominasi dan memungkinkan kesetaraan dialogis. Habermas memandang tindakan komunikatif sebagai fondasi rasionalitas sosial, di mana konsensus dicapai bukan melalui kekerasan, melainkan melalui argumentasi yang bebas dari distorsi ideologis.²¹

Bahasa, dengan demikian, memiliki fungsi sosial-politik yang ganda: ia dapat menindas, tetapi juga dapat membebaskan.²² Melalui kesadaran pragmatik, manusia dapat menegakkan etika dialogis—yaitu kesediaan untuk mendengar, mengakui, dan menanggapi secara argumentatif dalam ruang publik yang plural.²³ Maka, fungsi sosial pragmatik tidak hanya bersifat deskriptif, melainkan juga normatif dan transformasional: bahasa sebagai alat untuk membangun dunia yang lebih adil, komunikatif, dan manusiawi.²⁴


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 19–21.

[2]                Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 49–51.

[3]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 27–28.

[4]                Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–38.

[5]                Ibid., 68–69.

[6]                John E. Joseph, Language and Politics (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2006), 54–56.

[7]                Norman Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), 43–45.

[8]                Ruth Wodak and Michael Meyer, Methods of Critical Discourse Analysis (London: SAGE, 2001), 23–24.

[9]                Teun A. van Dijk, Ideology: A Multidisciplinary Approach (London: SAGE, 1998), 242–245.

[10]             Mary Bucholtz and Kira Hall, “Identity and Interaction: A Sociocultural Linguistic Approach,” Discourse Studies 7, no. 4–5 (2005): 585–614.

[11]             Deborah Tannen, Gender and Discourse (New York: Oxford University Press, 1994), 22–24.

[12]             Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 10–12.

[13]             Anna Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 2003), 5–7.

[14]             Helen Spencer-Oatey, Culturally Speaking: Culture, Communication and Politeness Theory (London: Continuum, 2008), 21–22.

[15]             Shoshana Blum-Kulka, Juliane House, and Gabriele Kasper, eds., Cross-Cultural Pragmatics: Requests and Apologies (Norwood, NJ: Ablex, 1989), 13–15.

[16]             Claire Kramsch, Language and Culture (Oxford: Oxford University Press, 1998), 67–70.

[17]             Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013), 10–12.

[18]             José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 45–47.

[19]             Lucy Suchman, Human-Machine Reconfigurations: Plans and Situated Actions (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 96–99.

[20]             Gunther Kress, Multimodality: A Social Semiotic Approach to Contemporary Communication (London: Routledge, 2010), 27–29.

[21]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 126–130.

[22]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 145–148.

[23]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 82–84.

[24]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 45–48.


7.           Kritik terhadap Pandangan-Pandangan Utama

Dimensi kritik dalam pragmatik berfungsi sebagai koreksi filosofis terhadap klaim-klaim teoritis yang terlalu sempit, formalistik, atau ahistoris dalam memahami bahasa dan makna. Sejak awal kemunculannya, pragmatik telah berupaya melampaui batas-batas semantik dan sintaksis; namun, seiring perkembangannya, para filsuf dan linguis menemukan bahwa teori-teori utama seperti Austin, Searle, Grice, dan Habermas masih menyisakan problem konseptual dan sosiologis yang signifikan. Kritik ini penting karena membuka jalan bagi pemahaman pragmatik yang lebih humanistik, interkultural, dan reflektif

7.1.       Kritik terhadap Austin dan Teori Performatif

J.L. Austin melalui How to Do Things with Words (1962) menandai tonggak penting dalam pergeseran dari semantik ke pragmatik. Namun, beberapa kritik diarahkan pada ambiguitas antara dimensi linguistik dan sosial dalam teorinya.² Austin membedakan antara konstatif (pernyataan faktual) dan performatif (tindakan melalui ujaran), tetapi kemudian mengakui bahwa perbedaan ini tidak selalu jelas—setiap ujaran dapat memiliki fungsi performatif tergantung konteksnya.³

John R. Searle mencoba menyistematisasi teori Austin melalui klasifikasi tindak tutur (representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif).⁴ Namun, pendekatan Searle justru dikritik karena terlalu universalistik dan formal. Judith Butler, misalnya, menunjukkan bahwa Searle mengabaikan dimensi sosial dan kekuasaan yang membentuk performativitas.⁵ Bagi Butler, tindak tutur tidak hanya mengandung niat individual, tetapi juga membentuk dan dibentuk oleh norma-norma sosial yang hegemonik, terutama dalam konstruksi gender dan identitas.⁶

Selain itu, para linguis seperti Marina Sbisà menyoroti bahwa teori tindak tutur klasik gagal menjelaskan variabilitas budaya dan kekuatan sosial yang menentukan kapan suatu tuturan dianggap sah atau efektif.⁷ Dengan kata lain, teori performatif Austin–Searle masih terlalu “murni” secara linguistik, tanpa memperhitungkan konteks historis dan institusional dari praktik bahasa.

7.2.       Kritik terhadap Grice dan Prinsip Kerja Sama

H.P. Grice, melalui teori implikatur percakapan dan prinsip kerja sama (cooperative principle), memberikan fondasi bagi analisis inferensial dalam komunikasi. Namun, teori ini tidak lepas dari kritik epistemologis dan kultural.⁸ Geoffrey Leech dan Robin Lakoff berpendapat bahwa prinsip kerja sama Grice terlalu rasional dan tidak memperhitungkan aspek kesopanan, emosi, dan hubungan sosial yang mempengaruhi cara orang berbicara.⁹

Lebih jauh, para peneliti pragmatik lintas budaya seperti Anna Wierzbicka dan Shoshana Blum-Kulka menunjukkan bahwa asumsi kerja sama universal tidak berlaku di semua budaya.¹⁰ Dalam banyak konteks non-Barat, komunikasi tidak selalu diarahkan pada efisiensi informasi, melainkan pada pemeliharaan keharmonisan sosial.¹¹ Dengan demikian, prinsip kerja sama Grice terlalu etnosentris, berakar pada rasionalitas Barat yang individualistik dan kurang peka terhadap pluralitas kultural.

Kritik lain datang dari pendekatan postmodern dan feminis, yang menilai teori Grice gagal menangkap dimensi ketidakseimbangan kekuasaan dalam komunikasi.¹² Dalam situasi hierarkis (seperti antara atasan-bawahan atau laki-laki-perempuan), “kerja sama” tidak selalu bersifat bebas atau setara; sering kali, ia dipaksakan oleh struktur sosial. Karenanya, pragmatik yang humanistik harus memperluas prinsip kerja sama menjadi prinsip keadilan komunikatif, yang menjamin partisipasi sejajar di antara para penutur.¹³

7.3.       Kritik terhadap Habermas dan Rasionalitas Komunikatif

Jürgen Habermas, melalui The Theory of Communicative Action (1981), mengangkat pragmatik ke tingkat filsafat sosial dengan menekankan rasionalitas komunikatif. Ia berargumen bahwa komunikasi sejati terjadi ketika partisipan berorientasi pada pemahaman bersama, bukan pada keberhasilan strategis.¹⁴ Namun, teori ini dikritik karena mengidealkan komunikasi secara berlebihan.

Seyla Benhabib menilai bahwa model Habermas terlalu normatif dan mengabaikan kompleksitas emosi, budaya, dan ketidakseimbangan sosial dalam interaksi nyata.¹⁵ Nancy Fraser menambahkan bahwa Habermas cenderung menyamakan rasionalitas dengan bentuk argumentasi diskursif tertentu yang mencerminkan nilai-nilai maskulin dan borjuis Barat.¹⁶ Akibatnya, teori tindakan komunikatif berisiko menjadi eksklusif, tidak cukup menampung pengalaman komunikatif kelompok marjinal, perempuan, atau masyarakat non-Barat.¹⁷

Selain itu, beberapa kritikus seperti Jean-François Lyotard menolak asumsi bahwa konsensus adalah tujuan tertinggi komunikasi.¹⁸ Menurut Lyotard, dalam masyarakat plural, perbedaan (differend) sering kali tidak dapat disatukan tanpa kekerasan simbolik. Oleh karena itu, pragmatik kontemporer perlu mengakui nilai dissensus dan pluralitas sebagai bagian dari etika komunikasi.¹⁹

7.4.       Kritik terhadap Reduksionisme Linguistik dan Rasionalitas Formal

Baik teori Austin–Searle maupun Grice–Habermas dituding masih menyimpan bias logis-linguistik, yakni kecenderungan untuk memandang bahasa semata sebagai sistem rasional yang dapat dianalisis secara formal.²⁰ Aliran pragmatik kognitif (misalnya Relevance Theory dari Sperber dan Wilson) berusaha mengatasi hal ini dengan menekankan aspek psikologis dan kognitif dalam komunikasi, tetapi tetap dikritik karena kurang memperhatikan dimensi sosial dan etis.²¹

Richard Rorty dan Hans-Georg Gadamer, dari perspektif hermeneutik dan neopragmatis, mengingatkan bahwa makna tidak dapat direduksi pada struktur logika atau inferensi kognitif.²² Bahasa adalah praktik interpretatif yang terbuka, di mana kebenaran bersifat dialogis dan historis.²³ Oleh karena itu, pragmatik yang murni formal harus dilengkapi oleh pragmatik hermeneutik dan etis yang menempatkan komunikasi sebagai proses pemahaman manusiawi, bukan sekadar kalkulasi makna.


7.5.       Menuju Kritik Integratif dan Humanistik

Kritik-kritik terhadap teori utama pragmatik memperlihatkan perlunya pendekatan integratif yang memadukan dimensi linguistik, sosial, dan etis.²⁴ Pragmatik tidak cukup dijelaskan oleh niat penutur (Searle) atau prinsip kerja sama (Grice), melainkan juga harus memahami struktur kekuasaan, nilai budaya, dan kondisi material di mana bahasa digunakan.²⁵

Dengan demikian, arah perkembangan pragmatik ke depan harus bersifat reflektif dan humanistik: ia bukan hanya teori komunikasi efektif, tetapi juga filsafat kebebasan berbahasa, yang mengakui hak setiap subjek untuk berbicara dan dimengerti secara setara.²⁶ Kritik terhadap pandangan-pandangan utama ini membuka jalan menuju pragmatik yang lebih empatik, plural, dan berkeadilan, sejalan dengan visi etika komunikasi global di era digital dan multikultural.²⁷


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–24.

[2]                J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[3]                Marina Sbisà, “Speech Acts in Context,” Language & Communication 22, no. 4 (2002): 421–436.

[4]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 66–70.

[5]                Judith Butler, Excitable Speech: A Politics of the Performative (New York: Routledge, 1997), 14–17.

[6]                Ibid., 25–27.

[7]                Marina Sbisà and Ken Turner, eds., Pragmatics of Speech Actions (Berlin: Mouton de Gruyter, 2013), 98–100.

[8]                H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45–47.

[9]                Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 80–81.

[10]             Anna Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 2003), 5–7.

[11]             Shoshana Blum-Kulka, Juliane House, and Gabriele Kasper, eds., Cross-Cultural Pragmatics: Requests and Apologies (Norwood, NJ: Ablex, 1989), 13–15.

[12]             Sara Mills, Gender and Politeness (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 29–31.

[13]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 49–52.

[14]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.

[15]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 34–37.

[16]             Fraser, Justice Interruptus, 62–64.

[17]             Iris Marion Young, Inclusion and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 37–40.

[18]             Jean-François Lyotard, The Differend: Phrases in Dispute, trans. Georges Van Den Abbeele (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988), 10–12.

[19]             Ibid., 18–19.

[20]             Kent Bach and Robert M. Harnish, Linguistic Communication and Speech Acts (Cambridge, MA: MIT Press, 1979), 9–11.

[21]             Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 33–35.

[22]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 171–174.

[23]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 383–385.

[24]             Thomas McCarthy, “Language, Intersubjectivity, and Rationality in Habermas’s Theory,” Philosophy & Social Criticism 11, no. 2 (1986): 141–143.

[25]             Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 48–50.

[26]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 109–111.

[27]             Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 45–48.


8.           Relevansi Kontemporer: Pragmatik di Era Digital dan Global

Perkembangan teknologi digital dan globalisasi komunikasi telah mengubah secara radikal cara manusia berinteraksi, berbahasa, dan membangun makna. Dalam konteks ini, pragmatik menjadi semakin relevan, sebab fokusnya pada makna kontekstual, niat komunikatif, dan fungsi sosial bahasa mampu menjelaskan dinamika komunikasi manusia di tengah transformasi digital dan pluralitas global.¹ Pragmatik kini tidak hanya menjadi teori linguistik, melainkan juga kerangka reflektif untuk memahami etika, kekuasaan, dan kemanusiaan dalam komunikasi modern.

8.1.       Bahasa Digital dan Perubahan Mediasi Komunikasi

Era digital telah memunculkan bentuk-bentuk baru komunikasi yang bersifat multimodal, interaktif, dan algoritmik.² Bahasa tidak lagi terbatas pada teks verbal, tetapi mencakup emoji, gambar, video, dan meme—setiap elemen membawa makna pragmatik tersirat yang bergantung pada konteks budaya dan platform media.³

Dalam percakapan daring, makna tidak ditentukan semata oleh isi pesan, tetapi oleh cara pesan itu ditampilkan dan diterima.⁴ Fenomena seperti “emoji pragmatics” menunjukkan bagaimana tanda visual kecil dapat menggantikan ekspresi emosi atau niat penutur.⁵ Namun, keterbatasan konteks dalam media digital juga menimbulkan ambiguitas, kesalahpahaman, dan potensi konflik komunikasi.⁶ Oleh karena itu, kompetensi pragmatik digital menjadi kunci: kemampuan untuk menafsirkan makna tersirat, memahami ironi, dan menyesuaikan gaya bahasa dengan platform serta audiensnya.⁷

8.2.       Komunikasi di Media Sosial: Dari Wacana ke Performatif Sosial

Media sosial menghadirkan bentuk baru dari tindakan tutur publik, di mana setiap posting, komentar, atau tagar dapat berfungsi sebagai tindak ilokusi performatif.⁸ Ketika seseorang menulis “Saya mendukung #ClimateJustice” atau “Saya menolak kekerasan”, ia tidak hanya menginformasikan opini, tetapi juga melakukan tindakan sosial—berpartisipasi dalam praktik simbolik yang membentuk opini publik.⁹

Namun, ruang digital juga membuka peluang bagi distorsi pragmatik. Dalam lingkungan algoritmik, makna sering kali dimanipulasi oleh mekanisme visibilitas dan viralitas, bukan oleh rasionalitas atau kejujuran komunikatif.¹⁰ Jürgen Habermas menyebut hal ini sebagai “kolonisasi dunia kehidupan oleh sistem,” di mana logika ekonomi dan teknologi mendominasi komunikasi publik.¹¹ Dengan demikian, tantangan etis bagi pragmatik modern adalah mengembalikan otonomi komunikasi dari dominasi sistem digital menuju ruang dialog yang reflektif dan manusiawi.¹²

8.3.       Globalisasi Bahasa dan Pluralitas Pragmatik

Dalam dunia global yang saling terhubung, pragmatik juga menjadi alat penting untuk memahami perbedaan budaya dalam pola komunikasi.¹³ Globalisasi bahasa mempertemukan berbagai sistem nilai, gaya bertutur, dan norma kesopanan. Misalnya, strategi komunikasi langsung yang umum di Barat sering kali dianggap tidak sopan di budaya Asia Timur yang mengedepankan harmoni sosial.¹⁴

Cross-cultural pragmatics (pragmatik lintas budaya) menyoroti bagaimana makna, kesopanan, dan niat harus ditafsirkan dalam kerangka nilai kultural.¹⁵ Kesalahpahaman lintas budaya sering kali bukan akibat perbedaan semantik, melainkan akibat perbedaan pragmatik, yakni cara orang menafsirkan intensi dan konteks komunikasi.¹⁶ Dalam kerangka ini, pragmatik menjadi dasar bagi etika komunikasi global, yang mengedepankan empati, pengakuan timbal balik, dan kesediaan untuk menafsirkan makna secara lintas batas budaya.¹⁷

8.4.       Algoritma, AI, dan Pragmatik Mesin

Kemajuan kecerdasan buatan (AI) memperluas relevansi pragmatik ke wilayah interaksi manusia–mesin. Sistem AI, seperti asisten virtual atau chatbot, kini dituntut untuk memahami konteks, niat, dan implikatur manusia—sesuatu yang secara tradisional menjadi domain pragmatik.¹⁸ Namun, pemrosesan makna oleh mesin masih sangat terbatas karena konteks sosial, niat, dan nilai etis tidak mudah diprogram secara eksplisit.¹⁹

Lucy Suchman dan Sherry Turkle menegaskan bahwa interaksi manusia–AI bersifat semi-pragmatik, karena pengguna menafsirkan respons mesin seolah-olah berasal dari subjek komunikatif yang berniat.²⁰ Tantangan kontemporer adalah bagaimana mengembangkan AI yang memiliki kompetensi pragmatik—yakni memahami makna tersirat dan norma etika komunikasi manusia tanpa menghapus keunikan intersubjektivitas manusiawi.²¹ Dengan demikian, pragmatik menjadi kunci untuk merancang teknologi yang komunikatif dan etis, bukan sekadar efisien secara algoritmik.²²

8.5.       Pragmatik dan Etika Komunikasi Global

Dalam dunia yang diwarnai misinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi politik, pragmatik menyediakan landasan filosofis bagi etika komunikasi global.²³ Ia menuntut agar setiap tindak tutur memperhatikan nilai kejujuran, relevansi, dan tanggung jawab sosial.²⁴ Konsep “komunikasi rasional” dari Habermas dan “etika pengakuan” dari Ricoeur dapat digunakan untuk menilai sejauh mana komunikasi digital tetap menghormati otonomi dan martabat manusia.²⁵

Dengan menempatkan makna sebagai hasil dari interaksi kontekstual, pragmatik membantu membangun ruang publik yang reflektif dan pluralistik, di mana perbedaan pandangan tidak dihapus, tetapi dikelola melalui dialog yang terbuka.²⁶ Dalam konteks globalisasi, pragmatik mengajarkan bahwa komunikasi etis bukanlah tentang keseragaman makna, melainkan kesediaan untuk menafsir dan dipahami secara timbal balik.²⁷


Kesimpulan Relevansi Kontemporer

Relevansi pragmatik di era digital dan global terletak pada kemampuannya untuk menyatukan dimensi teknologis, sosial, dan etis dari komunikasi modern.²⁸ Ia menawarkan kerangka untuk memahami bahasa sebagai tindakan yang mengandung tanggung jawab moral, bahkan di tengah kecerdasan buatan dan komunikasi algoritmik.²⁹ Pragmatik membantu manusia untuk menjaga kemanusiaan dalam teknologi—yakni mengembalikan bahasa kepada fungsinya sebagai jembatan pengertian, bukan sekadar instrumen informasi.³⁰

Dengan demikian, pragmatik kontemporer bukan hanya analisis tentang bagaimana manusia berbicara, tetapi juga refleksi filosofis tentang bagaimana manusia hidup bersama melalui bahasa—baik di dunia nyata maupun di ruang digital global yang semakin kompleks.³¹


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 25–27.

[2]                Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013), 3–5.

[3]                Gunther Kress, Multimodality: A Social Semiotic Approach to Contemporary Communication (London: Routledge, 2010), 27–29.

[4]                Crispin Thurlow, “Digital Discourse: Language in the New Media,” Language and Communication 31, no. 1 (2011): 1–6.

[5]                Elena Shulman, “Emoji Pragmatics and Digital Affect,” Journal of Pragmatics 179 (2021): 23–34.

[6]                Susan C. Herring and Dieter Stein, eds., Pragmatics of Computer-Mediated Communication (Berlin: Mouton de Gruyter, 2013), 11–13.

[7]                Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 92–94.

[8]                Alice Marwick and danah boyd, “To See and Be Seen: Celebrity Practice on Twitter,” Convergence 17, no. 2 (2011): 139–158.

[9]                Jodi Dean, Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of Drive (Cambridge: Polity Press, 2010), 32–33.

[10]             José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 47–49.

[11]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 125–127.

[12]             Thomas McCarthy, “Rationality and the Public Sphere,” Philosophy & Social Criticism 11, no. 2 (1986): 145–147.

[13]             Anna Wierzbicka, Cross-Cultural Pragmatics: The Semantics of Human Interaction (Berlin: Mouton de Gruyter, 2003), 9–11.

[14]             Helen Spencer-Oatey, Culturally Speaking: Culture, Communication and Politeness Theory (London: Continuum, 2008), 21–22.

[15]             Shoshana Blum-Kulka and Gabriele Kasper, eds., Interlanguage Pragmatics (New York: Oxford University Press, 1993), 4–5.

[16]             Claire Kramsch, Language and Culture (Oxford: Oxford University Press, 1998), 67–70.

[17]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 82–84.

[18]             Yorick Wilks, Machine Conversations (Dordrecht: Kluwer Academic, 1999), 14–15.

[19]             John R. Searle, Mind, Language and Society: Philosophy in the Real World (New York: Basic Books, 1998), 43–45.

[20]             Lucy Suchman, Human-Machine Reconfigurations: Plans and Situated Actions (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–97.

[21]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 54–57.

[22]             Rafael Capurro, Digital Ethics: The Normative Challenges of New Media (Hershey, PA: IGI Global, 2010), 102–105.

[23]             Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 45–48.

[24]             Paul Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45–47.

[25]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 131–134.

[26]             Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, 86–90.

[27]             Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 39–41.

[28]             Levinson, Pragmatics, 28–29.

[29]             Turkle, Alone Together, 66–67.

[30]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 45–48.

[31]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 386–388.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Filsafat Bahasa Humanistik dan Komunikatif

Sintesis filosofis dari seluruh dimensi pragmatik menuntun kita menuju suatu pandangan yang integral: bahasa sebagai tindakan manusiawi yang bermakna, bernilai, dan etis. Dalam pandangan ini, pragmatik tidak hanya dipahami sebagai cabang analisis linguistik, tetapi sebagai filsafat bahasa humanistik dan komunikatif, yang menjadikan komunikasi sebagai inti eksistensi manusia dan sarana pembentukan dunia sosial yang rasional serta berkeadilan.¹

Filsafat bahasa humanistik berangkat dari kesadaran bahwa berbicara bukan sekadar mengirim pesan, melainkan menyatakan diri, mengenali orang lain, dan membangun pemahaman bersama. Bahasa adalah jembatan antara subjek dan dunia, antara “aku” dan “yang lain”.² Oleh karena itu, sintesis ini bertujuan untuk mengintegrasikan seluruh dimensi pragmatik—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan politis—ke dalam horizon filosofis yang menempatkan manusia sebagai makhluk komunikatif dan dialogis.

9.1.       Integrasi Ontologis: Bahasa sebagai Eksistensi Intersubjektif

Secara ontologis, pragmatik menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar sistem simbol, melainkan modus keberadaan manusia di dunia.³ Ludwig Wittgenstein dengan ungkapan “arti sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa” telah membuka jalan bagi pemahaman bahwa makna lahir dari tindakan sosial.⁴ Austin dan Searle melanjutkan pandangan ini dengan menegaskan bahwa berbicara adalah bertindak—suatu tindakan yang menciptakan realitas sosial.⁵

Namun, sintesis humanistik menambahkan bahwa tindakan linguistik tidak dapat dilepaskan dari relasi antar-manusia. Bahasa selalu terjadi dalam ruang intersubjektivitas, di mana pengakuan dan kesetaraan menjadi syarat ontologis bagi eksistensi komunikatif.⁶ Dalam arti ini, bahasa merupakan “tempat” manusia bertemu, saling memahami, dan meneguhkan kemanusiaan masing-masing.

9.2.       Integrasi Epistemologis: Makna sebagai Pemahaman Dialogis

Secara epistemologis, pragmatik mengajarkan bahwa pengetahuan tentang makna tidak bersifat objektif dan tetap, tetapi dialogis dan kontekstual.⁷ Proses memahami tidak terjadi secara monologis dalam benak individu, melainkan melalui pertukaran argumentatif dan interpretatif antara penutur dan pendengar.⁸

Habermas menyebutnya sebagai rational understanding—proses di mana kebenaran muncul bukan dari kekuasaan, melainkan dari kesediaan untuk berargumentasi dalam ruang yang bebas dan setara.⁹ Paul Ricoeur melengkapi pandangan ini dengan gagasan hermeneutics of the self, di mana pemahaman terhadap teks atau tuturan juga merupakan proses memahami diri melalui yang lain.¹⁰ Dengan demikian, epistemologi pragmatik humanistik berpijak pada dialog sebagai modus pengetahuan—mengetahui berarti berbagi makna dan memperluas horizon pemahaman bersama.¹¹

9.3.       Integrasi Aksiologis: Bahasa sebagai Etika dan Tanggung Jawab

Dari sisi aksiologis, bahasa bukanlah alat netral, melainkan arena etika dan tanggung jawab.¹² Setiap tindakan linguistik mengandung nilai moral, sebab ia melibatkan pengakuan terhadap orang lain sebagai subjek yang otonom. Ricoeur menegaskan bahwa etika pengakuan adalah inti dari tindakan komunikatif: berbicara berarti mengakui keberadaan yang lain sebagai sahabat dalam dialog, bukan objek dalam monolog.¹³

Habermas melanjutkan gagasan ini melalui ethics of discourse, yaitu etika yang menempatkan komunikasi sebagai dasar legitimasi moral.¹⁴ Prinsip kejujuran, relevansi, dan ketepatan normatif bukan sekadar teori, melainkan nilai-nilai universal dalam interaksi manusia. Dalam sintesis humanistik, tindakan berbahasa dipahami sebagai tindakan moral—sebuah tanggung jawab untuk menjaga kebenaran, menghormati keberagaman, dan membangun solidaritas komunikasi.¹⁵

9.4.       Integrasi Sosial dan Politik: Bahasa sebagai Ruang Publik yang Emansipatif

Bahasa memiliki dimensi sosial-politik yang tak terpisahkan dari perjuangan manusia menuju kebebasan dan keadilan.¹⁶ Dalam konteks ini, pragmatik menjadi alat emansipasi, bukan sekadar analisis formal. Habermas memandang komunikasi sebagai sarana rasionalitas sosial yang mampu menentang kolonisasi oleh kekuasaan ekonomi dan politik.¹⁷

Michel Foucault, meski lebih skeptis, mengingatkan bahwa setiap wacana mengandung relasi kekuasaan; karenanya, etika komunikatif harus selalu disertai kewaspadaan kritis terhadap dominasi simbolik.¹⁸ Sintesis humanistik di sini berupaya menyeimbangkan antara pandangan Habermas dan Foucault: membangun komunikasi rasional yang tetap sadar akan kekuasaan, sekaligus membuka ruang bagi pluralitas makna dan pengalaman.¹⁹

Bahasa, dengan demikian, tidak hanya berfungsi sebagai medium konsensus, tetapi juga sebagai arena perjuangan etis untuk pengakuan dan keadilan.²⁰

9.5.       Integrasi Global dan Digital: Bahasa sebagai Jembatan Kemanusiaan

Dalam era digital dan global, pragmatik menemukan relevansi baru sebagai filsafat komunikasi lintas batas.²¹ Dunia yang diwarnai oleh komunikasi virtual menuntut kesadaran pragmatik yang lebih tinggi: memahami konteks, empati terhadap perbedaan, serta tanggung jawab etis dalam ruang publik digital.²²

Etika komunikasi global—sebagaimana dikembangkan oleh Clifford G. Christians—menuntut agar prinsip kejujuran, kasih sayang, dan keadilan diterapkan dalam seluruh bentuk percakapan manusia, termasuk dalam algoritma dan teknologi informasi.²³ Dengan demikian, filsafat bahasa humanistik berperan sebagai pedoman moral dalam menghadapi tantangan komunikasi di era digital, menjaga agar teknologi tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dan dialog.²⁴


Sintesis Humanistik: Bahasa sebagai Ruang Keberadaan Bersama

Akhirnya, sintesis ini menegaskan bahwa bahasa adalah ruang keberadaan bersama—tempat di mana manusia tidak hanya berpikir, tetapi juga hidup, berelasi, dan bertumbuh.²⁵ Melalui bahasa, manusia membangun dunia simbolik yang sarat makna, mengafirmasi nilai-nilai kemanusiaan, dan membuka kemungkinan bagi perdamaian serta solidaritas universal.²⁶

Filsafat bahasa humanistik dan komunikatif yang lahir dari dimensi pragmatik bukan sekadar refleksi teoretis, tetapi komitmen eksistensial: bahwa berbicara berarti hadir secara etis bagi yang lain, bahwa komunikasi sejati adalah bentuk tertinggi dari kemanusiaan.²⁷


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 30–33.

[2]                Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 25–27.

[3]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 383–386.

[4]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[5]                J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[6]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 130–133.

[7]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 32–35.

[8]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–88.

[9]                Ibid., 89–91.

[10]             Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 142–144.

[11]             Hans-Herbert Kögler, The Power of Dialogue: Critical Hermeneutics after Gadamer and Foucault (Cambridge, MA: MIT Press, 1996), 59–61.

[12]             John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 70–72.

[13]             Ricoeur, Oneself as Another, 133–135.

[14]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 44–46.

[15]             Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics (New York: Routledge, 1992), 49–51.

[16]             Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), 48–50.

[17]             Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 126–130.

[18]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 50–52.

[19]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 109–111.

[20]             Seyla Benhabib, The Claims of Culture: Equality and Diversity in the Global Era (Princeton: Princeton University Press, 2002), 83–84.

[21]             Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013), 8–10.

[22]             Crispin Thurlow, “Digital Discourse: Language in the New Media,” Language and Communication 31, no. 1 (2011): 1–6.

[23]             Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 47–49.

[24]             Rafael Capurro, Digital Ethics: The Normative Challenges of New Media (Hershey, PA: IGI Global, 2010), 102–104.

[25]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 204–207.

[26]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 47–49.

[27]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 386–388.


10.       Kesimpulan

Dari seluruh rangkaian pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pragmatik dalam filsafat bahasa merupakan puncak dari evolusi pemikiran linguistik dan filosofis yang berupaya memahami bahasa bukan semata sebagai sistem tanda, tetapi sebagai tindakan, nilai, dan kehidupan itu sendiri.¹ Melalui kajian ontologis, epistemologis, aksiologis, serta dimensi sosial dan kulturalnya, pragmatik menegaskan bahwa bahasa adalah fenomena eksistensial dan etis—ia menyatukan makna, niat, dan relasi manusia dalam satu kesatuan komunikasi yang hidup.²

10.1.    Bahasa sebagai Tindakan dan Keberadaan

Secara ontologis, pragmatik memperlihatkan bahwa berbicara berarti bertindak dan menghadirkan diri dalam dunia sosial.³ Setiap ujaran bukanlah sekadar representasi realitas, melainkan juga pencipta realitas baru: janji, deklarasi, perintah, maupun pengakuan.⁴ Dengan demikian, bahasa tidak berada di luar kehidupan, tetapi merupakan bagian integral dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang berkomunikasi dan bertanggung jawab.

10.2.    Bahasa sebagai Pengetahuan Kontekstual dan Dialogis

Epistemologinya menegaskan bahwa pengetahuan tentang makna bersifat dialogis dan kontekstual.⁵ Manusia memahami dunia melalui interaksi linguistik yang disertai niat, inferensi, dan empati. Habermas menegaskan bahwa rasionalitas sejati tidak bersumber dari logika formal, melainkan dari komunikasi yang terbuka dan argumentatif.⁶ Pragmatik, dalam hal ini, menjadi fondasi bagi bentuk pengetahuan yang bersifat intersubjektif dan reflektif, di mana makna tidak dimonopoli, tetapi dinegosiasikan secara etis.⁷

10.3.    Bahasa sebagai Praktik Etis dan Nilai Kemanusiaan

Aksiologi pragmatik menunjukkan bahwa setiap tindakan berbahasa mengandung nilai moral: kejujuran, tanggung jawab, kesopanan, dan empati.⁸ Bahasa bukanlah alat netral, melainkan cermin dari orientasi etis manusia terhadap yang lain. Ricoeur menyebut tindakan linguistik sebagai “praxis of recognition”—suatu pengakuan terhadap keberadaan sesama melalui komunikasi yang adil dan jujur.⁹ Maka, etika komunikasi bukan sekadar norma tambahan, tetapi inti dari praktik berbahasa yang manusiawi.¹⁰

10.4.    Bahasa sebagai Ruang Sosial dan Emansipasi

Dimensi sosial dan politik pragmatik memperlihatkan bahwa bahasa adalah arena perjuangan antara kekuasaan dan kebebasan.¹¹ Foucault mengingatkan bahwa wacana dapat menjadi alat dominasi, sementara Habermas menegaskan potensi bahasa sebagai sarana emansipasi rasional.¹² Dalam konteks ini, pragmatik menuntut kesadaran kritis terhadap struktur kekuasaan yang tersembunyi dalam ujaran, serta keberanian untuk mewujudkan komunikasi yang setara dan terbuka.¹³ Dengan demikian, bahasa berfungsi tidak hanya untuk mengungkapkan dunia, tetapi juga untuk mengubahnya secara etis dan sosial.

10.5.    Bahasa sebagai Tantangan Etis di Era Digital dan Global

Dalam era digital dan global, pragmatik menemukan tantangan baru: bagaimana mempertahankan nilai-nilai humanistik dalam komunikasi yang dimediasi teknologi.¹⁴ Media sosial, algoritma, dan kecerdasan buatan menciptakan konteks baru bagi tindakan tutur manusia, di mana makna sering kali tergeser oleh kecepatan, visibilitas, dan kalkulasi teknis.¹⁵ Oleh karena itu, kompetensi pragmatik digital menjadi kebutuhan etis: kemampuan untuk menafsir, berempati, dan menjaga kejujuran dalam komunikasi lintas budaya dan lintas mesin.¹⁶

Pragmatik di sini berfungsi sebagai penuntun moral bagi teknologi, memastikan bahwa bahasa tetap menjadi sarana pengakuan dan solidaritas, bukan sekadar instrumen efisiensi atau manipulasi.¹⁷


Sintesis Humanistik: Bahasa sebagai Rumah bagi Kemanusiaan

Akhirnya, filsafat pragmatik yang humanistik dan komunikatif menegaskan bahwa bahasa adalah rumah bagi kemanusiaan—ruang tempat manusia saling mengenal, memahami, dan membangun makna bersama.¹⁸ Seperti ditegaskan oleh Gadamer, pemahaman sejati lahir dari dialog, bukan dominasi; dari keterbukaan terhadap yang lain, bukan penutupan makna.¹⁹

Bahasa adalah jembatan yang menghubungkan rasionalitas dengan empati, kebebasan dengan tanggung jawab, dan individu dengan komunitas. Dalam pengertian ini, pragmatik melampaui fungsi analitisnya dan menjadi filsafat kehidupan: bahwa menjadi manusia berarti berbicara secara etis, mendengarkan secara reflektif, dan memahami secara penuh kasih.²⁰


Footnotes

[1]                Stephen C. Levinson, Pragmatics (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 30–33.

[2]                Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991), 142–144.

[3]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[4]                J.L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 6–7.

[5]                H.P. Grice, “Logic and Conversation,” in Syntax and Semantics, Vol. 3: Speech Acts, ed. Peter Cole and Jerry L. Morgan (New York: Academic Press, 1975), 45–47.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 86–90.

[7]                Dan Sperber and Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (Oxford: Blackwell, 1986), 32–35.

[8]                Geoffrey Leech, Principles of Pragmatics (London: Longman, 1983), 80–82.

[9]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 130–134.

[10]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 44–46.

[11]             Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, trans. A. M. Sheridan Smith (New York: Pantheon Books, 1972), 49–51.

[12]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 2: Lifeworld and System, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1987), 126–130.

[13]             Axel Honneth, The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts (Cambridge: Polity Press, 1995), 109–111.

[14]             Deborah Tannen and Anna Marie Trester, Discourse 2.0: Language and New Media (Washington, DC: Georgetown University Press, 2013), 8–10.

[15]             José van Dijck, The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media (Oxford: Oxford University Press, 2013), 47–49.

[16]             Lucy Suchman, Human-Machine Reconfigurations: Plans and Situated Actions (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–97.

[17]             Clifford G. Christians, Media Ethics and Global Justice in the Digital Age (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 45–48.

[18]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 1994), 383–386.

[19]             Martin Buber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (New York: Scribner, 1958), 25–27.

[20]             Charles Taylor, The Ethics of Authenticity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 47–49.


Daftar Pustaka

Austin, J.L. (1962). How to do things with words. Oxford: Clarendon Press.

Bach, K. (1994). Conversational impliciture. Mind & Language, 9(2), 124–162.

Bach, K., & Harnish, R. M. (1979). Linguistic communication and speech acts. Cambridge, MA: MIT Press.

Benhabib, S. (1992). Situating the self: Gender, community, and postmodernism in contemporary ethics. New York: Routledge.

Benhabib, S. (2002). The claims of culture: Equality and diversity in the global era. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Blum-Kulka, S., & Kasper, G. (Eds.). (1993). Interlanguage pragmatics. New York: Oxford University Press.

Blum-Kulka, S., House, J., & Kasper, G. (Eds.). (1989). Cross-cultural pragmatics: Requests and apologies. Norwood, NJ: Ablex.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Cambridge: Polity Press.

Brown, P., & Levinson, S. C. (1987). Politeness: Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press.

Buber, M. (1958). I and thou (R. G. Smith, Trans.). New York: Scribner.

Bucholtz, M., & Hall, K. (2005). Identity and interaction: A sociocultural linguistic approach. Discourse Studies, 7(4–5), 585–614.

Butler, J. (1997). Excitable speech: A politics of the performative. New York: Routledge.

Capurro, R. (2010). Digital ethics: The normative challenges of new media. Hershey, PA: IGI Global.

Carston, R. (2002). Thoughts and utterances: The pragmatics of explicit communication. Oxford: Blackwell.

Christians, C. G. (2019). Media ethics and global justice in the digital age. Cambridge: Cambridge University Press.

Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of syntax. Cambridge, MA: MIT Press.

Cooke, M. (1994). Language and reason: A study of Habermas’s pragmatics. Cambridge, MA: MIT Press.

Dean, J. (2010). Blog theory: Feedback and capture in the circuits of drive. Cambridge: Polity Press.

Dreyfus, H. L., & Taylor, C. (2015). Retrieving realism. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dreyfus, H. L., & Dreyfus, S. E. (1986). Mind over machine. New York: Free Press.

Fairclough, N. (1989). Language and power. London: Longman.

Fairclough, N. (1992). Discourse and social change. Cambridge: Polity Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge (A. M. Sheridan Smith, Trans.). New York: Pantheon Books.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Pantheon Books.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. New York: Routledge.

Gadamer, H.-G. (1994). Truth and method (2nd rev. ed.). New York: Continuum.

Grice, H.P. (1975). Logic and conversation. In P. Cole & J.L. Morgan (Eds.), Syntax and semantics, Vol. 3: Speech acts (pp. 41–58). New York: Academic Press.

Glock, H.-J. (1996). A Wittgenstein dictionary. Oxford: Blackwell.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1987). The theory of communicative action, Vol. 2: Lifeworld and system (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Herring, S. C., & Stein, D. (Eds.). (2013). Pragmatics of computer-mediated communication. Berlin: Mouton de Gruyter.

Honneth, A. (1995). The struggle for recognition: The moral grammar of social conflicts. Cambridge: Polity Press.

Horn, L. R., & Ward, G. (Eds.). (2004). The handbook of pragmatics. Oxford: Blackwell.

Hymes, D. (1972). On communicative competence. In J. B. Pride & J. Holmes (Eds.), Sociolinguistics: Selected readings (pp. 277–285). Harmondsworth: Penguin.

Joseph, J. E. (2006). Language and politics. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Kögler, H.-H. (1996). The power of dialogue: Critical hermeneutics after Gadamer and Foucault. Cambridge, MA: MIT Press.

Kramsch, C. (1998). Language and culture. Oxford: Oxford University Press.

Kress, G. (2010). Multimodality: A social semiotic approach to contemporary communication. London: Routledge.

Lakoff, R. (1973). The logic of politeness; or minding your P’s and Q’s. Papers from the Ninth Regional Meeting of the Chicago Linguistic Society, 292–305.

Leech, G. (1983). Principles of pragmatics. London: Longman.

Levinson, S. C. (1983). Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.

Lyotard, J.-F. (1988). The differend: Phrases in dispute (G. Van Den Abbeele, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Marwick, A., & boyd, d. (2011). To see and be seen: Celebrity practice on Twitter. Convergence, 17(2), 139–158.

McCarthy, T. (1986). Language and intersubjectivity in Habermas’s theory of communicative action. Philosophy & Social Criticism, 11(2), 139–156.

Mills, S. (2003). Gender and politeness. Cambridge: Cambridge University Press.

Morris, C. W. (1938). Foundations of the theory of signs. Chicago: University of Chicago Press.

Polanyi, M. (1966). The tacit dimension. Chicago: University of Chicago Press.

Ricoeur, P. (1991). From text to action: Essays in hermeneutics II (K. Blamey & J. B. Thompson, Trans.). Evanston, IL: Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Sbisà, M. (2002). Speech acts in context. Language & Communication, 22(4), 421–436.

Sbisà, M., & Turner, K. (Eds.). (2013). Pragmatics of speech actions. Berlin: Mouton de Gruyter.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge: Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1995). The construction of social reality. New York: Free Press.

Searle, J. R. (1998). Mind, language and society: Philosophy in the real world. New York: Basic Books.

Shulman, E. (2021). Emoji pragmatics and digital affect. Journal of Pragmatics, 179, 23–34.

Suchman, L. (2007). Human-machine reconfigurations: Plans and situated actions. Cambridge: Cambridge University Press.

Sperber, D., & Wilson, D. (1986). Relevance: Communication and cognition. Oxford: Blackwell.

Spencer-Oatey, H. (2008). Culturally speaking: Culture, communication and politeness theory. London: Continuum.

Tannen, D. (1994). Gender and discourse. New York: Oxford University Press.

Tannen, D. (2007). Talking voices: Repetition, dialogue, and imagery in conversational discourse (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Tannen, D., & Trester, A. M. (2013). Discourse 2.0: Language and new media. Washington, DC: Georgetown University Press.

Taylor, C. (1992). The ethics of authenticity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Thurlow, C. (2011). Digital discourse: Language in the new media. Language and Communication, 31(1), 1–6.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. New York: Basic Books.

van Dijk, T. A. (1998). Ideology: A multidisciplinary approach. London: SAGE.

van Dijck, J. (2013). The culture of connectivity: A critical history of social media. Oxford: Oxford University Press.

Walton, D. N. (2008). Informal logic: A pragmatic approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Wierzbicka, A. (2003). Cross-cultural pragmatics: The semantics of human interaction. Berlin: Mouton de Gruyter.

Wilks, Y. (1999). Machine conversations. Dordrecht: Kluwer Academic.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.

Wodak, R., & Meyer, M. (2001). Methods of critical discourse analysis. London: SAGE.

Young, I. M. (2000). Inclusion and democracy. Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar