Senin, 01 September 2025

Logika dalam Filsafat Islam: Sejarah, Perkembangan, dan Relevansi Kontemporer

Logika dalam Filsafat Islam

Sejarah, Perkembangan, dan Relevansi Kontemporer


Alihkan ke: Perkembangan dan Sejarah Logika, Logika Dasar, Logika Lanjut,


Abstrak

Artikel ini membahas perjalanan logika dalam tradisi filsafat Islam, mulai dari masuknya melalui gerakan penerjemahan karya-karya Yunani pada masa Abbasiyah hingga relevansinya dalam konteks kontemporer. Logika dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai perangkat teknis untuk menyusun argumen, tetapi juga sebagai instrumen epistemologis yang menopang pengembangan ilmu pengetahuan, teologi (kalam), dan hukum Islam (usul fiqh). Kajian ini menyoroti peran tokoh-tokoh penting seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazālī, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, dan Ibn Taymiyyah, serta menelusuri bagaimana logika Islam dipengaruhi sekaligus memengaruhi tradisi filsafat Barat melalui proses transmisi ke dunia Latin. Artikel ini juga mengulas kritik internal terhadap logika, baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis, serta menekankan relevansi logika dalam pendidikan Islam, dialog antar-peradaban, dan penyikapan terhadap perkembangan sains dan teknologi. Dengan pendekatan historis-filosofis, artikel ini menegaskan bahwa logika Islam adalah warisan intelektual yang dinamis, kritis, dan tetap aktual dalam menjawab tantangan kehidupan modern.

Kata Kunci: Logika Islam; Filsafat Islam; Ilmu Kalam; Usul Fiqh; Avicenna; Al-Ghazālī; Ibn Taymiyyah; Skolastisisme; Pendidikan Islam; Pemikiran Kontemporer.


PEMBAHASAN

Sejarah, Perkembangan, dan Relevansi Logika dalam Filsafat Islam


1.            Pendahuluan

Logika (al-manṭiq) memiliki posisi fundamental dalam tradisi filsafat Islam. Ia dipandang bukan sekadar sebagai perangkat teknis untuk berargumentasi, melainkan juga sebagai instrumen epistemologis yang memungkinkan seorang pemikir menyusun pengetahuan secara sistematis dan sahih. Dalam konteks peradaban Islam klasik, logika diadopsi dari warisan filsafat Yunani, khususnya Aristoteles, lalu diadaptasi, dikembangkan, dan dikritisi oleh para filsuf dan teolog Muslim sesuai dengan kebutuhan intelektual dan keagamaan mereka.¹

Masuknya logika ke dalam dunia Islam bermula dari gerakan penerjemahan besar-besaran pada masa Abbasiyah, terutama di lembaga Bayt al-Ḥikmah di Baghdad. Melalui perantara tokoh-tokoh seperti Hunayn ibn Ishaq dan para penerjemah lainnya, karya-karya Aristoteles, Porphyry, dan komentator Yunani-Neoplatonik lainnya diperkenalkan ke dalam bahasa Arab.² Sejak saat itu, logika menjadi bagian penting dalam diskursus filsafat Islam, baik dalam pengembangan ilmu pengetahuan, filsafat, maupun ilmu kalam.

Para filsuf Muslim seperti al-Kindī, al-Fārābī, dan Ibn Sīnā memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan logika. Al-Fārābī, misalnya, menyusun kerangka logika yang lebih sistematis dan dikenal sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles.³ Ibn Sīnā mengembangkan logika ke tingkat yang lebih maju dengan memandangnya sebagai alat fundamental untuk seluruh cabang ilmu.⁴ Sementara itu, al-Ghazālī kemudian mengintegrasikan logika ke dalam disiplin usul fiqh, sehingga menjadikannya sebagai instrumen metodologis dalam hukum Islam.⁵

Namun, penerimaan logika tidak selalu mulus. Sebagian kalangan fuqaha dan ulama tradisionalis menaruh curiga terhadap logika karena dianggap sebagai produk asing yang berpotensi merusak kemurnian ajaran agama. Kritik paling keras datang dari Ibn Taymiyyah, yang dalam karyanya al-Radd ‘ala al-Manṭiqiyyīn menolak otoritas logika Aristotelian dan mengusulkan kembali pada metode pengetahuan berbasis al-Qur’an dan sunnah.⁶ Hal ini menunjukkan adanya dialektika yang dinamis antara rasionalitas logika dan otoritas wahyu dalam khazanah Islam.

Studi tentang logika dalam filsafat Islam memiliki relevansi kontemporer yang penting. Di satu sisi, ia memperlihatkan kemampuan peradaban Islam dalam mengolah, mengkritisi, dan mengembangkan warisan intelektual asing. Di sisi lain, ia membuka ruang refleksi tentang bagaimana instrumen berpikir kritis dapat diposisikan dalam pendidikan Islam modern dan dialog filsafat global. Dengan demikian, pembahasan mengenai logika dalam filsafat Islam tidak hanya bernilai historis, tetapi juga memberi kontribusi terhadap penguatan tradisi intelektual Islam di era kontemporer.


Footnotes

[1]            Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 3–5.

[2]            Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 41–45.

[3]            Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 118–120.

[4]            Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 248–250.

[5]            Al-Ghazālī, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, ed. Hamid Lahmar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1993), 7–10.

[6]            Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘ala al-Manṭiqiyyīn, ed. Muhammad Rashad Salim (Cairo: Maktabat al-Khanji, 1993), 25–30.


2.            Konsep Dasar Logika

2.1.        Definisi Logika (al-Manṭiq)

Dalam tradisi filsafat Islam, logika dikenal dengan istilah al-manṭiq, yang secara etimologis berasal dari kata naṭaqa (berbicara atau mengungkapkan). Secara terminologis, logika dipahami sebagai ilmu yang mengatur kaidah-kaidah berpikir benar, sehingga akal manusia dapat terhindar dari kekeliruan dalam penalaran.¹ Al-Fārābī mendefinisikan logika sebagai instrumen (ālah) yang berfungsi untuk melindungi pikiran dari kesalahan dalam menyusun silogisme.² Ibn Sīnā memperluas pengertian ini dengan menegaskan bahwa logika merupakan “ilmu yang menuntun akal menuju kebenaran dalam seluruh bidang pengetahuan.”³ Dengan demikian, logika tidak hanya dipandang sebagai seni berargumentasi, tetapi juga sebagai fondasi epistemologis.

2.2.        Logika sebagai Instrumen Epistemologi

Bagi para filsuf Muslim, logika berfungsi sebagai instrumen epistemologi yang menghubungkan antara pengetahuan indrawi, konsepsi akal, dan kepastian intelektual.⁴ Dalam kerangka ini, logika dipandang sebagai alat metodologis yang menjaga proses berpikir agar sesuai dengan hukum-hukum universal penalaran. Al-Ghazālī, misalnya, menegaskan bahwa logika merupakan syarat mutlak untuk mencapai kepastian dalam ilmu; karena tanpa logika, argumentasi bisa jatuh pada kekeliruan dan kerancuan.⁵ Oleh sebab itu, dalam banyak madrasah klasik, logika dijadikan sebagai prasyarat untuk mempelajari filsafat, kalam, dan usul fiqh.

2.3.        Unsur-Unsur Dasar Logika

Struktur logika dalam filsafat Islam sangat dipengaruhi oleh kerangka Aristotelian, tetapi diadaptasi sesuai kebutuhan. Unsur-unsur dasar logika mencakup:

·                Tashawwur (konsepsi): pembentukan pengertian tentang suatu objek tanpa menetapkan kebenaran atau kebohongan.⁶

·                Tashdīq (asersi): penetapan suatu proposisi sebagai benar atau salah.⁷

·                Qiyās (silogisme): metode inferensi yang menyusun premis-premis untuk menghasilkan kesimpulan yang niscaya.⁸

Al-Fārābī dan Ibn Sīnā memberikan kontribusi penting dalam memperjelas perbedaan antara tashawwur dan tashdīq, yang menjadi kerangka dasar berpikir logis dalam tradisi Islam.

2.4.        Perbandingan dengan Logika Yunani

Meskipun tradisi logika Islam sangat dipengaruhi oleh Aristoteles, terdapat perbedaan penting. Aristoteles menekankan pada logika kategoris dan analitika, sedangkan filsuf Muslim berupaya mengintegrasikannya dengan epistemologi Islam.⁹ Ibn Sīnā, misalnya, mengembangkan logika modal (al-manṭiq al-imkānī) yang membahas kemungkinan, keniscayaan, dan kemustahilan.¹⁰ Perluasan ini menunjukkan bahwa logika dalam Islam bukan sekadar adopsi, melainkan juga inovasi intelektual yang melampaui batas warisan Yunani.


Footnotes

[1]            Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 7–8.

[2]            Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās al-Ṣaghīr, ed. Rafīq al-‘Ajam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 12.

[3]            Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 25.

[4]            Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 249–251.

[5]            Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manṭiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 15–16.

[6]            Ibrahim Madkūr, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah: Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1960), 72.

[7]            Ibid., 74.

[8]            Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 19–20.

[9]            Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 122–124.

[10]          Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’ (Leiden: Brill, 2006), 233–236.


3.            Sejarah Masuknya Logika ke Dunia Islam

3.1.        Gerakan Penerjemahan pada Masa Abbasiyah

Masuknya logika ke dalam dunia Islam erat kaitannya dengan gerakan penerjemahan besar-besaran pada masa Abbasiyah, khususnya abad ke-8 hingga ke-10 M. Khalifah al-Ma’mūn (813–833 M) mendirikan Bayt al-Ḥikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad, yang menjadi pusat penerjemahan karya-karya filsafat dan sains Yunani ke dalam bahasa Arab.¹ Di tempat inilah, teks-teks logika Aristoteles seperti Organon, bersama komentar-komentar Porphyry dan Alexander dari Aphrodisias, diterjemahkan dan kemudian menjadi bahan kajian para intelektual Muslim.²

Gerakan ini tidak hanya bersifat penerjemahan teknis, melainkan juga transformasi intelektual. Para penerjemah seperti Ḥunayn ibn Isḥāq (809–873 M), Ishaq ibn Ḥunayn, dan Thābit ibn Qurra berperan besar dalam mentransfer ilmu logika ke dalam bahasa Arab dengan istilah-istilah yang disesuaikan dengan tradisi Islam.³ Hal ini memungkinkan para filsuf Muslim mengakses logika sebagai instrumen berpikir yang sistematis.

3.2.        Asimilasi Logika Yunani dengan Tradisi Islam

Setelah teks-teks Yunani diterjemahkan, para intelektual Muslim berusaha melakukan asimilasi dengan tradisi intelektual Islam. Logika pada awalnya mendapat penolakan dari sebagian fuqaha yang menganggapnya sebagai “ilmu asing” (‘ulūm al-dakhīlah).⁴ Namun, seiring berkembangnya pemikiran kalam dan filsafat, logika mulai diterima sebagai instrumen yang diperlukan untuk memperkuat argumentasi teologis.

Tokoh seperti al-Kindī (w. 873 M) menjadi pionir dalam memperkenalkan logika ke dalam filsafat Islam dengan menekankan kompatibilitasnya dengan prinsip rasionalitas Islam.⁵ Selanjutnya, al-Fārābī (w. 950 M) menyusun kerangka logika yang lebih sistematis, dan kemudian Ibn Sīnā (w. 1037 M) mengembangkan logika sebagai disiplin integral dalam filsafat Islam.⁶

3.3.        Peran Bayt al-Ḥikmah dan Lingkungan Intelektual Abbasiyah

Bayt al-Ḥikmah tidak hanya menjadi pusat penerjemahan, tetapi juga arena perdebatan intelektual. Logika dipelajari bersama dengan matematika, kedokteran, dan astronomi, sehingga membentuk iklim keilmuan yang kosmopolitan.⁷ Penerimaan logika pada akhirnya memperkaya khazanah keilmuan Islam, sekaligus membekali para ulama dan filsuf dengan perangkat berpikir yang kuat untuk menghadapi perdebatan filosofis dan teologis.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa masuknya logika ke dunia Islam bukanlah proses pasif, melainkan interaksi aktif antara tradisi Yunani dan Islam. Dalam proses asimilasi tersebut, logika tidak hanya diadopsi, tetapi juga diadaptasi, dikritisi, dan dikembangkan lebih lanjut, sehingga menjadi bagian integral dari filsafat dan teologi Islam.⁸


Footnotes

[1]            Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 41–45.

[2]            Gerhard Endress, “The Circle of al-Kindī: Early Arabic Translations from the Greek and the Rise of Islamic Philosophy,” dalam The Ancient Tradition in Christian and Islamic Hellenism, ed. Gerhard Endress dan Remke Kruk (Leiden: Research School CNWS, 1997), 43–76.

[3]            F.E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 21–23.

[4]            George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 115–117.

[5]            Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 83–85.

[6]            Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 12–15.

[7]            Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge, MA: Da Capo Press, 2005), 161–163.

[8]            Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 44–47.


4.            Tokoh-Tokoh Awal Pengembang Logika dalam Islam

4.1.        Al-Kindī (801–873 M)

Al-Kindī, yang dikenal sebagai faylasūf al-‘Arab (filosof Arab), merupakan tokoh pertama yang secara serius memperkenalkan filsafat Yunani, termasuk logika, ke dalam dunia Islam.¹ Ia memandang logika sebagai sarana penting untuk menyusun argumen yang benar, sekaligus sebagai instrumen bagi ilmu pengetahuan.² Dalam karyanya Risālah fī al-Falsafah al-Ūlā, ia menekankan bahwa logika membantu manusia mencapai kebenaran universal melalui aturan-aturan berpikir yang sahih.³ Walaupun kontribusinya tidak sedalam al-Fārābī atau Ibn Sīnā, peran Al-Kindī penting sebagai pionir yang membuka jalan bagi pengintegrasian logika ke dalam filsafat Islam.

4.2.        Al-Fārābī (872–950 M)

Al-Fārābī dikenal sebagai al-Mu‘allim al-Thānī (Guru Kedua) setelah Aristoteles karena jasanya dalam menyistematisasi logika.⁴ Ia menulis sejumlah karya penting seperti Kitāb al-Qiyās dan Kitāb al-Ḥurūf, yang menguraikan struktur logika Aristotelian sekaligus memberikan kontribusi orisinal terhadap teori bahasa dan makna.⁵ Menurutnya, logika berfungsi sebagai instrumen universal untuk semua ilmu, sebagaimana tata bahasa berfungsi bagi bahasa.⁶ Ia juga menekankan pembedaan antara tashawwur (konsepsi) dan tasdīq (asersi), yang kemudian menjadi kerangka dasar dalam tradisi logika Islam.⁷ Melalui karya-karyanya, al-Fārābī berhasil membangun fondasi yang kokoh bagi pengembangan logika dalam peradaban Islam.

4.3.        Ibn Sīnā (980–1037 M)

Ibn Sīnā (Avicenna) membawa logika ke tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai inti dari filsafat dan epistemologi.⁸ Dalam al-Shifā’ dan al-Najāt, ia mengembangkan logika tidak hanya sebagai instrumen teknis, melainkan juga sebagai ilmu yang memiliki dimensi teoretis.⁹ Salah satu kontribusinya yang penting adalah pengembangan logika modal (al-manṭiq al-imkānī), yang membahas kategori kemungkinan (imkān), keniscayaan (ḍarūrah), dan kemustahilan (istiḥālah).¹⁰ Selain itu, Ibn Sīnā memperkenalkan konsep burhān (demonstrasi) sebagai bentuk argumentasi paling sahih dalam memperoleh pengetahuan yang pasti.¹¹

4.4.        Signifikansi Awal Perkembangan Logika

Ketiga tokoh ini—Al-Kindī, al-Fārābī, dan Ibn Sīnā—menjadi fondasi utama perkembangan logika dalam filsafat Islam. Mereka tidak hanya mentransmisikan warisan Aristotelian, tetapi juga mengembangkannya sehingga sesuai dengan kebutuhan intelektual Islam. Perkembangan awal ini membuka jalan bagi integrasi logika dengan ilmu kalam, usul fiqh, dan filsafat, sekaligus memberikan dasar bagi tokoh-tokoh berikutnya seperti al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī.¹²


Footnotes

[1]            Peter Adamson, Al-Kindī (Oxford: Oxford University Press, 2007), 5–7.

[2]            F.E. Peters, Aristotle and the Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press, 1968), 33–35.

[3]            Al-Kindī, Risālah fī al-Falsafah al-Ūlā, ed. Roshdi Rashed (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1950), 14–16.

[4]            Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 118.

[5]            Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq al-‘Ajam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 22–25.

[6]            Dimitri Gutas, “Avicenna and the Aristotelian Tradition,” dalam Islamic Philosophy, Science, Culture, and Religion: Studies in Honor of Dimitri Gutas, ed. Felicitas Opwis dan David Reisman (Leiden: Brill, 2012), 71–73.

[7]            Tony Street, “Arabic Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 252–254.

[8]            Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’ (Leiden: Brill, 2006), 231.

[9]            Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 29–30.

[10]          Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 21–23.

[11]          Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. Ibrahim Madkūr (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952), 112–115.

[12]          Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 51–53.


5.            Logika dalam Tradisi Teologi Islam (Ilmu Kalam)

5.1.        Pemanfaatan Logika oleh Mu‘tazilah

Aliran Mu‘tazilah merupakan kelompok teolog awal yang paling intensif menggunakan rasionalitas dalam membela akidah Islam.¹ Mereka menekankan pentingnya al-‘aql (akal) sebagai sumber pengetahuan keagamaan, sejajar dengan wahyu.² Dalam kerangka tersebut, logika menjadi instrumen penting untuk memperkuat argumen tentang keesaan Tuhan, keadilan ilahi, dan kebebasan kehendak manusia.³ Tokoh seperti al-Jubbā’ī (w. 915 M) dan al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār (w. 1025 M) memanfaatkan prinsip-prinsip logika dalam menyusun argumentasi kalam mereka, sehingga menjadikan Mu‘tazilah sebagai pelopor integrasi logika ke dalam teologi Islam.⁴

5.2.        Ahlus Sunnah wal-Jamā‘ah: al-Ash‘arī dan al-Māturīdī

Berbeda dengan Mu‘tazilah, aliran Ahlus Sunnah wal-Jamā‘ah—yang dipelopori oleh Abū al-Ḥasan al-Ash‘arī (w. 936 M) dan Abū Manṣūr al-Māturīdī (w. 944 M)—menerima logika sebagai instrumen, tetapi menempatkannya dalam subordinasi wahyu.⁵ Bagi mereka, akal tidak bisa berdiri sendiri tanpa bimbingan wahyu, meskipun tetap diperlukan untuk memperkuat dalil teologis.⁶ Dalam karya-karyanya, al-Ash‘arī lebih banyak menekankan aspek teologis dibandingkan sistematisasi logika, namun para penerusnya seperti al-Bāqillānī (w. 1013 M) dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1209 M) memperluas pemanfaatan logika dalam pembahasan kalam.⁷

5.3.        Al-Ghazālī dan Integrasi Logika dalam Ilmu Kalam

Al-Ghazālī (w. 1111 M) memainkan peran penting dalam memperkokoh kedudukan logika dalam ilmu kalam. Dalam Mi‘yār al-‘Ilm dan al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ia menegaskan bahwa logika adalah syarat sahihnya ilmu, sehingga seorang ulama tidak sah fatwanya tanpa menguasai logika.⁸ Ia juga mengintegrasikan logika dengan usul fiqh, menjadikannya sebagai instrumen metodologis untuk memahami hukum Islam.⁹ Dengan demikian, al-Ghazālī berhasil menghapus stigma negatif terhadap logika dan melegitimasi penggunaannya dalam diskursus keilmuan Islam ortodoks.

5.4.        Ibn Taymiyyah dan Kritik terhadap Logika Formal

Meskipun banyak teolog Muslim mengadopsi logika, tidak sedikit pula yang mengkritisinya. Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) menolak logika Aristotelian karena dianggap tidak sesuai dengan metode pengetahuan Islam.¹⁰ Dalam karyanya al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ia menilai bahwa logika Yunani terlalu abstrak dan tidak menghasilkan pengetahuan yang lebih pasti daripada metode Qur’ani.¹¹ Ibn Taymiyyah mengusulkan metode alternatif berbasis induksi (istiqrā’) dan pengalaman langsung yang dianggap lebih sesuai dengan epistemologi Islam.¹² Kritik Ibn Taymiyyah menunjukkan adanya dialektika yang sehat dalam tradisi Islam antara penerimaan dan penolakan logika.

5.5.        Signifikansi Logika dalam Ilmu Kalam

Secara keseluruhan, logika memainkan peran ganda dalam tradisi kalam: sebagai alat bantu dalam menyusun argumen teologis, sekaligus sebagai medan perdebatan epistemologis tentang hubungan akal dan wahyu.¹³ Penerimaan dan kritik terhadap logika menunjukkan fleksibilitas intelektual Islam dalam menghadapi ilmu asing, di mana logika bukan sekadar diadopsi, melainkan diposisikan secara kritis sesuai dengan kebutuhan doktrinal dan metodologis umat Islam.¹⁴


Footnotes

[1]            Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam: Mu‘tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997), 22–25.

[2]            Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 143–146.

[3]            Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 2 (Berlin: De Gruyter, 1991), 313–315.

[4]            W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 75–77.

[5]            Frank Griffel, Al-Ghazālī’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–47.

[6]            George Makdisi, Religion, Law, and Learning in Classical Islam (Aldershot: Variorum, 1991), 89–91.

[7]            Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 33–35.

[8]            Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manṭiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 10–12.

[9]            Al-Ghazālī, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ed. Ḥamīd Lahmār (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 7–8.

[10]          Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism (Leiden: Brill, 2007), 102–105.

[11]          Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ed. Muhammad Rashad Salim (Cairo: Maktabat al-Khanji, 1993), 27–29.

[12]          Carl Sharif El-Tobgui, Ibn Taymiyya on Reason and Revelation: A Study of Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa-l-Naql (Leiden: Brill, 2020), 118–121.

[13]          Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 57–59.

[14]          Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 254–256.


6.            Puncak Perkembangan Logika dalam Islam

6.1.        Al-Ghazālī dan Legitimasi Logika

Al-Ghazālī (w. 1111 M) menjadi tokoh kunci dalam menempatkan logika sebagai instrumen sah dalam khazanah keilmuan Islam. Dalam karya Mi‘yār al-‘Ilm dan al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ia menegaskan bahwa logika adalah syarat mutlak bagi keabsahan pengetahuan.¹ Ia bahkan menyatakan bahwa seseorang yang tidak menguasai logika tidak dapat dipercaya dalam berfatwa.² Dengan legitimasi tersebut, logika berhasil menembus batas-batas perdebatan antara filsafat dan teologi, dan diterima sebagai metodologi ilmiah dalam berbagai disiplin, termasuk usul fiqh.³

6.2.        Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Sistematisasi Kalam Logis

Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1209 M) membawa perkembangan logika Islam pada tingkat yang lebih tinggi. Ia mengintegrasikan logika dengan diskursus teologi dan filsafat secara mendalam, terutama dalam karyanya al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uṣūl dan al-Maṭālib al-‘Āliyah.⁴ Al-Rāzī menekankan pentingnya metode silogistik dalam membangun argumen teologis yang ketat, sekaligus memperluas peran logika modal dalam kalam.⁵ Kontribusinya menjadikan logika bukan hanya instrumen, melainkan fondasi epistemologis bagi ilmu kalam generasi setelahnya.

6.3.        Tradisi Madrasah dan Kurikulum Klasik

Pada abad pertengahan, logika telah menjadi bagian integral dari kurikulum madrasah-madrasah Islam. Kitab-kitab ringkas seperti Isāghūjī karya Athīr al-Dīn al-Abharī (w. 1265 M) menjadi teks standar pengajaran logika di dunia Islam.⁶ Kitab ini sederhana namun sistematis, sehingga memudahkan para pelajar pemula memahami prinsip-prinsip logika Aristotelian dalam bingkai Islam.⁷ Seiring waktu, lahir pula syarah (komentar) dan ḥāshiyah (catatan pinggir) atas karya-karya logika yang menunjukkan betapa mapannya tradisi pengajaran logika di lembaga pendidikan Islam klasik.⁸

6.4.        Sintesis antara Filsafat, Kalam, dan Logika

Puncak perkembangan logika Islam ditandai oleh adanya sintesis antara filsafat, kalam, dan ilmu syar‘i. Para ulama menyadari bahwa logika tidak lagi sekadar “ilmu asing” (‘ulūm al-dakhīlah), tetapi telah menjadi bagian dari metodologi Islam sendiri.⁹ Bahkan, banyak ulama fiqh dan tafsir, seperti al-Nasafī dan al-Taftāzānī, menjadikan logika sebagai alat penting dalam menafsirkan teks-teks agama.¹⁰ Dengan demikian, logika pada periode ini mencapai kedudukan yang kokoh, diakui baik oleh kalangan filosof maupun teolog, sekaligus terintegrasi dalam sistem pendidikan Islam.

6.5.        Signifikansi Historis

Periode ini menandai puncak penerimaan logika dalam peradaban Islam. Dari instrumen yang semula dipandang asing, logika bertransformasi menjadi bagian organik dari tradisi keilmuan Islam.¹¹ Ia berfungsi sebagai jembatan antara wahyu dan akal, antara filsafat dan syariah, sekaligus menjadi simbol keterbukaan intelektual Islam terhadap warisan luar yang diolah secara kritis.¹²


Footnotes

[1]            Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manṭiq, ed. Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 11–13.

[2]            Al-Ghazālī, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ed. Ḥamīd Lahmār (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 7.

[3]            Frank Griffel, Al-Ghazālī’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 89–92.

[4]            Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uṣūl, ed. Ṭāhā Jābir al-‘Alwānī (Beirut: Mu’assasat al-Risālah, 1997), 25–30.

[5]            Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 40–43.

[6]            Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq, ed. Muḥammad Ḥasan Ismā‘īl (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 5–7.

[7]            Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 55–57.

[8]            Robert Wisnovsky, “Avicenna’s Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 93–95.

[9]            Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 59–61.

[10]          Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in Medieval Islam (London: Variorum, 1985), 133–135.

[11]          Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 29–31.

[12]          Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 213–215.


7.            Kritik terhadap Logika dalam Islam

7.1.        Kecurigaan terhadap Logika sebagai “Ilmu Asing”

Sejak awal masuknya logika ke dalam dunia Islam, tidak semua kalangan menerima dengan tangan terbuka. Sebagian fuqahā’ dan ahli hadis memandang logika sebagai “ilmu asing” (‘ulūm al-dakhīlah) yang berasal dari tradisi Yunani dan berpotensi menyesatkan umat.¹ Bagi mereka, sumber pengetahuan yang sah adalah wahyu, sedangkan logika hanya akan mengaburkan kesucian teks. Kritik ini umumnya lahir dari kekhawatiran bahwa penalaran rasional dapat mendominasi otoritas nash syar‘i.²

7.2.        Ibn Ḥazm dan Kritik Epistemologis

Ibn Ḥazm (w. 1064 M), seorang fuqahā’ besar dari Andalusia, menolak logika Aristotelian dengan alasan bahwa ia mengandung kesalahan epistemologis.³ Dalam al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, Ibn Ḥazm menilai bahwa kebenaran cukup ditegakkan oleh metode Qur’ani dan induksi (istiqrā’), tanpa perlu bersandar pada kerangka logika Yunani.⁴ Pandangan Ibn Ḥazm mencerminkan skeptisisme awal terhadap relevansi logika dalam studi Islam, khususnya dalam fiqh dan usul fiqh.

7.3.        Ibn Taymiyyah dan Penolakan Sistematis

Tokoh paling menonjol dalam kritik terhadap logika adalah Ibn Taymiyyah (w. 1328 M). Dalam al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ia menyusun bantahan menyeluruh terhadap logika Aristotelian.⁵ Menurut Ibn Taymiyyah, silogisme tidak memberikan kepastian lebih daripada metode induksi dan pengalaman empirik.⁶ Ia juga menganggap penggunaan kategori logis Aristotelian sebagai tidak relevan dengan epistemologi Islam, yang seharusnya bersandar pada al-Qur’an, sunnah, dan akal sehat (‘aql salīm).⁷ Ibn Taymiyyah menggantikan silogisme dengan pendekatan berbasis istiqrā’ (induksi) dan tajriba (pengalaman), yang menurutnya lebih dekat dengan metode ilmiah.⁸

7.4.        Perdebatan antara Rasionalitas dan Wahyu

Kritik terhadap logika pada hakikatnya berakar pada ketegangan epistemologis antara rasionalitas akal dan otoritas wahyu. Bagi kalangan tradisionalis, penerimaan logika secara mutlak berpotensi menggeser supremasi nash.⁹ Sementara bagi pendukung logika, seperti al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī, logika hanyalah alat netral yang memperkuat argumentasi.¹⁰ Perdebatan ini menghasilkan dinamika intelektual yang memperkaya khazanah Islam, di mana logika tidak sekadar diadopsi, tetapi juga dikritisi, diperdebatkan, dan dimodifikasi.

7.5.        Signifikansi Kritik

Kritik terhadap logika menunjukkan bahwa tradisi intelektual Islam tidak menerima ilmu asing secara pasif. Sebaliknya, ada proses seleksi, adaptasi, dan kritik yang membuat logika benar-benar diuji kesahihannya.¹¹ Pandangan Ibn Taymiyyah, misalnya, meski tidak menghentikan tradisi logika di madrasah, tetap berpengaruh dalam membentuk sikap kritis terhadap filsafat asing.¹² Dengan demikian, kritik terhadap logika adalah bagian integral dari perkembangan logika Islam itu sendiri.


Footnotes

[1]            George Makdisi, Religion, Law, and Learning in Classical Islam (Aldershot: Variorum, 1991), 112–114.

[2]            W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 81–83.

[3]            Camilla Adang, Ibn Ḥazm of Cordoba: The Life and Works of a Controversial Thinker (Leiden: Brill, 1992), 165–167.

[4]            Ibn Ḥazm, al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ed. Aḥmad Shākir (Cairo: Maṭba‘at al-Istiqlāl, 1979), 1:45–47.

[5]            Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ed. Muḥammad Rashād Sālim (Cairo: Maktabat al-Khanjī, 1993), 23–26.

[6]            Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism (Leiden: Brill, 2007), 103–105.

[7]            Carl Sharif El-Tobgui, Ibn Taymiyya on Reason and Revelation: A Study of Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa-l-Naql (Leiden: Brill, 2020), 121–123.

[8]            Wael Hallaq, Ibn Taymiyya against the Greek Logicians (Oxford: Clarendon Press, 1993), 56–59.

[9]            Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 65–67.

[10]          Frank Griffel, Al-Ghazālī’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 94–97.

[11]          Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 33–35.

[12]          Yahya Michot, “Ibn Taymiyya’s Critique of Aristotle’s Logic,” Islamic Studies 36, no. 2/3 (1997): 197–219.


8.            Relasi Logika dengan Ilmu-ilmu Lain

8.1.        Logika dan Filsafat (al-Ḥikmah)

Sejak awal, logika dipandang sebagai instrumen fundamental bagi filsafat. Al-Fārābī menekankan bahwa logika berfungsi dalam filsafat sebagaimana tata bahasa berfungsi dalam bahasa, yakni sebagai perangkat yang menata dan menjaga konsistensi berpikir.¹ Ibn Sīnā menganggap logika sebagai fondasi epistemologis yang mengawal seluruh cabang filsafat, baik metafisika, fisika, maupun etika.² Bahkan, logika dalam karya-karya Avicenna berkembang melampaui Aristotelian, dengan pengenalan dimensi modalitas (kemungkinan, keniscayaan, kemustahilan) yang berimplikasi pada diskusi filsafat pertama.³ Dengan demikian, filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari logika sebagai instrumen metodologis dan konseptualnya.

8.2.        Logika dan Ilmu Kalam

Ilmu kalam, sebagai disiplin teologi dialektis, sangat dipengaruhi oleh logika dalam menyusun argumen rasional tentang eksistensi Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan antara akal dan wahyu.⁴ Mu‘tazilah mengadopsi prinsip-prinsip logika untuk menegaskan doktrin kebebasan manusia, sementara Asy‘ariyyah menggunakannya untuk meneguhkan konsep kekuasaan mutlak Allah.⁵ Fakhr al-Dīn al-Rāzī menjadi contoh penting bagaimana logika diserap sepenuhnya dalam diskursus kalam, sehingga menjadikannya lebih sistematis dan ketat.⁶ Dengan demikian, logika berfungsi tidak hanya sebagai instrumen filosofis, tetapi juga sebagai senjata teologis.

8.3.        Logika dan Usul Fiqh

Integrasi logika dengan usul fiqh mencapai puncaknya melalui al-Ghazālī, yang dalam al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl secara eksplisit menekankan logika sebagai syarat sah bagi penalaran hukum.⁷ Dalam konteks ini, logika digunakan untuk menilai validitas qiyās (analogi hukum) dan istidlāl (inferensi hukum).⁸ Para fuqaha setelah al-Ghazālī, seperti al-Āmidī dan al-Juwaynī, melanjutkan tradisi ini dengan memperkaya metodologi usul fiqh dengan perangkat logika.⁹ Hal ini menunjukkan bahwa logika tidak hanya berkaitan dengan filsafat spekulatif, tetapi juga berperan praktis dalam hukum Islam.

8.4.        Logika dan Sains Islam

Selain filsafat dan teologi, logika juga memengaruhi perkembangan sains Islam klasik. Dalam astronomi, kedokteran, dan matematika, metode berpikir logis digunakan untuk menyusun argumen demonstratif (burhān).¹⁰ Ibn al-Haytham (Alhazen), misalnya, memadukan observasi empiris dengan kerangka inferensi logis dalam Kitāb al-Manāẓir, yang dianggap sebagai embrio metode ilmiah modern.¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa logika berkontribusi pada munculnya pola pikir sistematis yang melandasi tradisi ilmiah dalam peradaban Islam.

8.5.        Signifikansi Interdisipliner

Relasi logika dengan berbagai disiplin ilmu memperlihatkan sifatnya yang universal. Ia tidak berdiri sebagai ilmu otonom semata, melainkan menjadi fondasi metodologis bagi filsafat, teologi, hukum, dan sains.¹² Oleh karena itu, logika dalam Islam memiliki posisi strategis sebagai penghubung antar-disiplin, yang memperkaya sekaligus memperkokoh tradisi intelektual Islam.¹³


Footnotes

[1]            Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf, ed. Muhsin Mahdi (Beirut: Dār al-Mashriq, 1969), 90–92.

[2]            Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 25–27.

[3]            Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’ (Leiden: Brill, 2006), 233–236.

[4]            Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 210–213.

[5]            W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 77–79.

[6]            Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 36–38.

[7]            Al-Ghazālī, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ed. Ḥamīd Lahmār (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 7–8.

[8]            Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 95–97.

[9]            Bernard Weiss, The Search for God’s Law: Islamic Jurisprudence in the Writings of Sayf al-Dīn al-Āmidī (Salt Lake City: University of Utah Press, 1992), 103–105.

[10]          George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 55–57.

[11]          A.I. Sabra, “Ibn al-Haytham, Kepler, and the Camera Obscura,” dalam Studies in Perception, ed. David C. Lindberg (Madison: University of Wisconsin Press, 1976), 51–53.

[12]          Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 72–74.

[13]          Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 258–260.


9.            Transmisi Logika Islam ke Dunia Latin

9.1.        Gerakan Penerjemahan di Toledo dan Sisilia

Proses transmisi logika Islam ke dunia Latin terutama terjadi melalui gerakan penerjemahan di Toledo (Spanyol) dan Sisilia pada abad ke-12 M.¹ Di Toledo, tokoh-tokoh seperti Gerard of Cremona dan Dominicus Gundissalinus menerjemahkan karya-karya filsafat dan logika Islam, termasuk karya Ibn Sīnā dan Ibn Rushd.² Sementara itu, di Sisilia, Raja Roger II mendorong interaksi ilmiah antara dunia Islam dan Kristen yang turut membuka jalur masuknya ilmu-ilmu Islam ke Barat.³ Melalui gerakan ini, teks-teks logika Islam menjadi rujukan penting bagi intelektual Eropa abad pertengahan.

9.2.        Peran Ibn Sīnā (Avicenna)

Ibn Sīnā (980–1037 M) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan logika Latin, terutama melalui Kitāb al-Shifā’ dan al-Najāt.⁴ Penerjemahan karya-karya ini memperkenalkan konsep logika modal dan teori burhān (demonstrasi) ke dalam dunia skolastik.⁵ Pemikiran Avicenna memengaruhi tokoh-tokoh seperti Albertus Magnus dan Thomas Aquinas, khususnya dalam membangun fondasi epistemologi skolastik yang menekankan kepastian argumentasi.⁶ Dengan demikian, Avicenna dapat dianggap sebagai jembatan intelektual antara filsafat Islam dan skolastik Kristen.

9.3.        Peran Ibn Rushd (Averroes)

Selain Avicenna, Ibn Rushd (1126–1198 M) juga memainkan peranan penting dalam transmisi logika ke Barat.⁷ Karya komentarnya atas logika Aristoteles—yang dikenal sebagai Long Commentary—diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi otoritas utama bagi pemahaman Aristoteles di Eropa.⁸ Karena itu, Averroes dijuluki The Commentator oleh para skolastik.⁹ Pemikirannya tidak hanya memperkaya tradisi logika, tetapi juga menimbulkan kontroversi, terutama terkait gagasan “kesatuan intelek” yang kemudian diperdebatkan dalam filsafat skolastik akhir abad pertengahan.¹⁰

9.4.        Pengaruh pada Skolastisisme Eropa

Pengaruh logika Islam di dunia Latin terlihat jelas dalam perkembangan skolastisisme.¹¹ Universitas-universitas awal seperti Paris, Bologna, dan Oxford mengajarkan logika berdasarkan karya Avicenna dan Averroes.¹² Bahkan, struktur kurikulum trivium (gramatika, retorika, logika) di Eropa diperkuat dengan pengaruh logika Islam.¹³ Dengan demikian, transmisi logika Islam tidak hanya memperkenalkan metode berpikir baru, tetapi juga membentuk kerangka pendidikan intelektual Eropa.

9.5.        Signifikansi Transmisi

Transmisi logika dari Islam ke Latin menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara dunia Islam dan Barat.¹⁴ Alih-alih sekadar menyalin, para penerjemah dan pemikir skolastik mengasimilasi, mengkritisi, dan mengembangkan pemikiran logis Islam.¹⁵ Proses ini menegaskan bahwa logika Islam merupakan bagian integral dari warisan intelektual global yang membentuk fondasi peradaban modern.


Footnotes

[1]            Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin Translation Program in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context 14, no. 1–2 (2001): 249–288.

[2]            Richard C. Taylor, “The Latin Aristotelian Commentaries,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 256–258.

[3]            Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 181–183.

[4]            Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’ (Leiden: Brill, 2006), 239–242.

[5]            Dag Nikolaus Hasse, Avicenna’s De Anima in the Latin West (London: The Warburg Institute, 2000), 17–20.

[6]            Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 205–208.

[7]            Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 77–80.

[8]            Averroes, Long Commentary on the De Anima of Aristotle, trans. Richard C. Taylor (New Haven: Yale University Press, 2009), xxiii–xxv.

[9]            Roger Ariew dan Eric Watkins, Readings in Modern Philosophy, vol. 1 (Indianapolis: Hackett, 2000), 11.

[10]          Alain de Libera, La querelle des universaux: de Platon à la fin du Moyen Âge (Paris: Éditions du Seuil, 1996), 267–270.

[11]          Fernando Salvatore, Medieval Philosophy (London: Routledge, 1999), 145–147.

[12]          Christopher J. Martin, “Logic,” dalam The Cambridge History of Later Medieval Philosophy, ed. Norman Kretzmann et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 97–99.

[13]          George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 182–185.

[14]          David C. Lindberg, The Beginnings of Western Science (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 235–237.

[15]          Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 261–263.


10.        Isu dan Kritik Kontemporer

10.1.     Relevansi Logika Klasik dalam Era Modern

Di era modern, logika klasik Islam yang berakar pada tradisi Aristotelian menghadapi tantangan serius. Banyak intelektual Muslim mempertanyakan apakah logika silogistik tradisional masih relevan di tengah dominasi logika simbolik dan matematika modern.¹ Logika Aristotelian dianggap terlalu terikat pada struktur bahasa dan tidak mampu mengikuti perkembangan sains modern yang membutuhkan presisi formal.² Meski demikian, beberapa sarjana berpendapat bahwa logika klasik tetap penting sebagai fondasi berpikir kritis dan sebagai bagian dari warisan intelektual Islam yang perlu dipertahankan.³

10.2.     Kritik dari Kalangan Modernis Muslim

Sebagian pemikir Muslim modern, seperti Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M), menilai bahwa logika tradisional terlalu spekulatif dan tidak memberikan manfaat praktis bagi umat Islam.⁴ Abduh menekankan pentingnya pendekatan rasional yang lebih empiris dalam memahami agama, seraya mengkritik kecenderungan madrasah tradisional yang mengajarkan logika tanpa mengaitkannya dengan problem nyata umat.⁵ Kritik serupa muncul dari para reformis lain yang menilai bahwa dominasi kitab-kitab ringkasan logika, seperti Isāghūjī, menghambat kreativitas intelektual.⁶

10.3.     Dialog dengan Logika Barat Modern

Tantangan lain datang dari perkembangan logika modern di Barat, khususnya logika simbolik (Frege, Russell) dan logika matematika.⁷ Dibandingkan dengan silogisme tradisional, logika simbolik menawarkan ketelitian formal yang lebih sesuai untuk ilmu pengetahuan kontemporer.⁸ Hal ini mendorong sebagian sarjana Muslim untuk mencoba mengintegrasikan warisan logika Islam dengan logika modern, meski masih terbatas pada level teoritis.⁹ Beberapa kajian filsafat kontemporer berusaha membandingkan konsep-konsep seperti qiyās (silogisme) dengan deduksi formal modern, untuk menemukan titik temu dan potensi pengembangan.¹⁰

10.4.     Tradisi Pesantren dan Kritik Internal

Dalam tradisi pesantren di dunia Islam, termasuk Nusantara, logika (manṭiq) tetap diajarkan melalui teks klasik seperti Sullam al-Munāwraq karya al-Akhdarī.¹¹ Akan tetapi, pengajaran ini sering dikritik karena terlalu menekankan hafalan teks dan kurang aplikatif.¹² Kritik internal ini menyoroti perlunya pendekatan baru dalam mengajarkan logika, bukan hanya sebagai disiplin mandiri, tetapi juga sebagai alat berpikir kritis yang relevan dengan konteks sosial, politik, dan ilmiah kontemporer.¹³

10.5.     Upaya Revitalisasi

Sejumlah akademisi Muslim kontemporer mendorong revitalisasi logika dengan mengembangkannya sebagai instrumen berpikir kritis dalam pendidikan Islam.¹⁴ Logika tradisional tidak ditolak, tetapi diposisikan sebagai bagian dari khazanah yang perlu dilengkapi dengan logika modern.¹⁵ Dengan demikian, isu kontemporer logika dalam Islam bukanlah antara “menerima atau menolak,” melainkan bagaimana mengintegrasikan tradisi dengan kebutuhan intelektual dan ilmiah masa kini.¹⁶


Footnotes

[1]            Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 211–213.

[2]            Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 37–39.

[3]            Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 91–93.

[4]            Muhammad ‘Abduh, Rasā’il al-Ustād al-Imām, ed. Muhammad Rashid Rida (Cairo: al-Manar, 1907), 45–47.

[5]            Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 132–134.

[6]            Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 221–223.

[7]            Irving M. Copi, Symbolic Logic, 3rd ed. (New York: Macmillan, 1979), 1–3.

[8]            Willard Van Orman Quine, Methods of Logic, 4th ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 12–14.

[9]            Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 221–223.

[10]          Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 264–266.

[11]          Al-Akhdarī, Sullam al-Munāwraq, ed. Muhammad Hasan Ismail (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 3–5.

[12]          M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 142–144.

[13]          Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), 57–59.

[14]          Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 101–103.

[15]          Syed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 314–316.

[16]          Ebrahim Moosa, What Is a Madrasa? (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2015), 174–176.


11.        Relevansi Logika Islam dalam Kehidupan Kontemporer

11.1.     Logika sebagai Instrumen Berpikir Kritis

Di era globalisasi dan digitalisasi, logika memiliki peranan strategis dalam membentuk pola pikir kritis. Dalam konteks pendidikan Islam, logika dapat menjadi instrumen untuk melatih kemampuan analisis, argumentasi, dan evaluasi terhadap informasi yang berlimpah.¹ Dengan dasar logika, generasi muda Muslim dapat lebih selektif dalam menerima wacana publik, termasuk isu-isu keagamaan yang kerap dipengaruhi hoaks atau retorika emosional.² Dengan demikian, logika berperan sebagai filter epistemologis yang menjaga akal dari kekeliruan dan manipulasi.

11.2.     Logika dalam Pendidikan Islam Modern

Logika tradisional masih diajarkan di pesantren dan madrasah melalui kitab-kitab klasik seperti Sullam al-Munāwraq dan Isāghūjī.³ Namun, pembelajaran ini perlu dikontekstualisasikan dengan metode berpikir kontemporer agar tidak berhenti pada hafalan, tetapi berkembang menjadi keterampilan berpikir analitis.⁴ Beberapa universitas Islam modern telah mulai mengintegrasikan logika klasik dengan logika simbolik, filsafat ilmu, dan metodologi penelitian, sehingga menghasilkan kurikulum yang lebih relevan bagi kebutuhan akademik dan profesional.⁵

11.3.     Logika dan Dialog Antar-Peradaban

Logika Islam juga memiliki potensi untuk menjadi jembatan dialog antar-peradaban. Warisan Avicenna dan Averroes dalam logika tidak hanya berpengaruh pada filsafat Islam, tetapi juga pada skolastisisme Barat.⁶ Dalam konteks dunia kontemporer yang penuh ketegangan identitas dan ideologi, logika dapat berfungsi sebagai bahasa universal untuk menjembatani dialog antara dunia Islam dan Barat.⁷ Dengan kerangka berpikir logis, diskusi lintas agama dan filsafat dapat dilakukan secara lebih objektif dan rasional.

11.4.     Logika dalam Menyikapi Sains dan Teknologi

Perkembangan sains dan teknologi modern menuntut umat Islam untuk memiliki kerangka berpikir yang kritis dan metodologis. Logika Islam, yang dahulu berfungsi sebagai landasan bagi ilmu kalam dan usul fiqh, kini dapat diaktualisasikan dalam diskursus etika teknologi, bioetika, dan filsafat sains.⁸ Misalnya, metode qiyās (analogi) dapat diperkaya dengan pendekatan deduktif dan induktif dalam menghadapi problem-problem kontemporer seperti kecerdasan buatan, bioteknologi, dan isu lingkungan.⁹

11.5.     Signifikansi Global dan Lokal

Relevansi logika Islam pada akhirnya bersifat ganda: global dan lokal. Secara global, ia menunjukkan kontribusi peradaban Islam dalam membangun kerangka berpikir universal. Secara lokal, ia membantu masyarakat Muslim memperkuat daya kritis, melawan dogmatisme, serta menghadirkan Islam yang rasional dan kontekstual.¹⁰ Dengan demikian, logika Islam tetap aktual bukan hanya sebagai warisan intelektual, tetapi juga sebagai sarana praksis dalam menghadapi tantangan kehidupan modern.


Footnotes

[1]            M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 142–144.

[2]            Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), 61–63.

[3]            Al-Akhdarī, Sullam al-Munāwraq, ed. Muhammad Hasan Ismail (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 3–5.

[4]            Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 227–229.

[5]            Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 103–106.

[6]            Charles Burnett, “The Transmission of Arabic Philosophy to Medieval Europe,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 370–372.

[7]            Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2006), 315–317.

[8]            Ebrahim Moosa, What Is a Madrasa? (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2015), 172–174.

[9]            Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 145–147.

[10]          Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 101–103.


12.        Penutup

Kajian tentang logika dalam filsafat Islam menunjukkan bahwa disiplin ini menempati posisi penting dalam perkembangan intelektual Islam sepanjang sejarah. Sejak masa penerjemahan karya-karya Yunani pada era Abbasiyah, logika telah diadopsi, disesuaikan, dan dikembangkan oleh para filsuf dan teolog Muslim seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī.¹ Bagi mereka, logika bukan sekadar “ilmu asing,” melainkan instrumen epistemologis yang menjaga validitas penalaran dan memperkuat argumentasi dalam filsafat, kalam, maupun usul fiqh.²

Di satu sisi, logika mengalami penerimaan luas hingga menjadi bagian integral dari kurikulum madrasah klasik.³ Di sisi lain, ia juga menghadapi kritik tajam dari kalangan tradisionalis, terutama Ibn Taymiyyah, yang menolak logika Aristotelian karena dianggap tidak lebih unggul daripada metode Qur’ani dan induktif.⁴ Dinamika ini memperlihatkan bahwa tradisi Islam tidak pernah berhenti pada penerimaan pasif, melainkan melakukan proses seleksi, kritik, dan pengembangan sesuai dengan kebutuhan epistemologis dan keagamaan.⁵

Dalam konteks kontemporer, logika tetap relevan sebagai instrumen berpikir kritis yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan modern, baik dalam pendidikan, dialog antar-peradaban, maupun dalam menyikapi perkembangan sains dan teknologi.⁶ Warisan logika klasik Islam, bila dipadukan dengan logika modern, dapat menjadi fondasi bagi integrasi ilmu, penguatan daya kritis, dan peneguhan rasionalitas dalam kehidupan umat Islam masa kini.⁷

Dengan demikian, logika dalam filsafat Islam memiliki makna historis sekaligus aktual: ia adalah warisan intelektual yang memperlihatkan keterbukaan Islam terhadap pengetahuan luar, dan pada saat yang sama instrumen metodologis yang tetap dapat dimanfaatkan untuk menjawab problem-problem kontemporer.⁸ Perjalanan panjang logika dalam Islam menegaskan bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang dinamis, dialogis, dan kritis—suatu warisan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan di era modern.⁹


Footnotes

[1]            Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 41–45.

[2]            Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 118–120.

[3]            Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 55–57.

[4]            Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ed. Muḥammad Rashād Sālim (Cairo: Maktabat al-Khanjī, 1993), 23–26.

[5]            George Makdisi, Religion, Law, and Learning in Classical Islam (Aldershot: Variorum, 1991), 115–117.

[6]            M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 142–144.

[7]            Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 101–103.

[8]            Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2006), 314–316.

[9]            Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 101–103.


Daftar Pustaka

Adang, C. (1992). Ibn Ḥazm of Cordoba: The life and works of a controversial thinker. Brill.

Adams, C. C. (1933). Islam and modernism in Egypt. Oxford University Press.

Al-Akhdarī. (2002). Sullam al-Munāwraq (M. H. Ismail, Ed.). Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Fārābī. (1969). Kitāb al-Ḥurūf (M. Mahdi, Ed.). Dār al-Mashriq.

Al-Fārābī. (1986). Kitāb al-Qiyās (R. al-‘Ajam, Ed.). Dār al-Mashriq.

Al-Ghazālī. (1961). Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manṭiq (S. Dunyā, Ed.). Dār al-Ma‘ārif.

Al-Ghazālī. (1993). al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl (Ḥ. Lahmār, Ed.). Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Kindī. (1950). Risālah fī al-Falsafah al-Ūlā (R. Rashed, Ed.). Dār al-Fikr al-‘Arabī.

Al-Rāzī, F. al-D. (1997). al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uṣūl (Ṭ. J. al-‘Alwānī, Ed.). Mu’assasat al-Risālah.

Averroes. (2009). Long commentary on the De Anima of Aristotle (R. C. Taylor, Trans.). Yale University Press.

Azra, A. (1994). Jaringan ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII. Mizan.

Bagir, Z. A. (2005). Integrasi ilmu dan agama: Interpretasi dan aksi. Mizan.

Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in Islam. Islamic Texts Society.

Bertolacci, A. (2006). The reception of Aristotle’s Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’. Brill.

Burnett, C. (2001). The coherence of the Arabic-Latin translation program in Toledo in the twelfth century. Science in Context, 14(1–2), 249–288.

Burnett, C. (2005). The transmission of Arabic philosophy to medieval Europe. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 370–372). Cambridge University Press.

Copi, I. M. (1979). Symbolic logic (3rd ed.). Macmillan.

de Libera, A. (1996). La querelle des universaux: De Platon à la fin du Moyen Âge. Éditions du Seuil.

El-Rouayheb, K. (2010). Relational syllogisms and the history of Arabic logic, 900–1900. Brill.

El-Tobgui, C. S. (2020). Ibn Taymiyya on reason and revelation: A study of Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa-l-Naql. Brill.

Endress, G. (1997). The circle of al-Kindī: Early Arabic translations from the Greek and the rise of Islamic philosophy. In G. Endress & R. Kruk (Eds.), The ancient tradition in Christian and Islamic Hellenism (pp. 43–76). Research School CNWS.

Fakhry, M. (1983). A history of Islamic philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.

Gilson, E. (1955). History of Christian philosophy in the Middle Ages. Random House.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazālī’s philosophical theology. Oxford University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʿAbbāsid society (2nd–4th/8th–10th centuries). Routledge.

Hallaq, W. B. (1993). Ibn Taymiyya against the Greek logicians. Clarendon Press.

Hallaq, W. B. (1997). A history of Islamic legal theories. Cambridge University Press.

Hasse, D. N. (2000). Avicenna’s De Anima in the Latin West. The Warburg Institute.

Hoover, J. (2007). Ibn Taymiyya’s theodicy of perpetual optimism. Brill.

Ibn Ḥazm. (1979). al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām (A. Shākir, Ed.). Maṭbaʿat al-Istiqlāl.

Ibn Sīnā. (1952). al-Shifā’: al-Manṭiq (I. Madkūr, Ed.). al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābiʿ al-Amīriyyah.

Ibn Sīnā. (1985). al-Najāt (M. Fakhry, Ed.). Dār al-Āfāq al-Jadīdah.

Kennedy, H. (2005). When Baghdad ruled the Muslim world: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty. Da Capo Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Lindberg, D. C. (2007). The beginnings of Western science. University of Chicago Press.

Madelung, W. (1985). Religious schools and sects in medieval Islam. Variorum.

Madkūr, I. (1960). Fī al-falsafah al-islāmiyyah: Manhaj wa taṭbīq. Dār al-Ma‘ārif.

Makdisi, G. (1981). The rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.

Makdisi, G. (1991). Religion, law, and learning in classical Islam. Variorum.

Martin, C. J. (1982). Logic. In N. Kretzmann, A. Kenny, & J. Pinborg (Eds.), The Cambridge history of later medieval philosophy (pp. 97–99). Cambridge University Press.

Martin, R. C. (1997). Defenders of reason in Islam: Muʿtazilism from medieval school to modern symbol. Oneworld.

Michot, Y. (1997). Ibn Taymiyya’s critique of Aristotle’s logic. Islamic Studies, 36(2/3), 197–219.

Moosa, E. (2015). What is a madrasa? University of North Carolina Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. State University of New York Press.

Nikolaus, D. (2000). Avicenna’s De Anima in the Latin West. The Warburg Institute.

Peters, F. E. (1968). Aristotle and the Arabs: The Aristotelian tradition in Islam. New York University Press.

Quine, W. V. O. (1982). Methods of logic (4th ed.). Harvard University Press.

Rescher, N. (1963). Studies in the history of Arabic logic. University of Pittsburgh Press.

Sabra, A. I. (1976). Ibn al-Haytham, Kepler, and the camera obscura. In D. C. Lindberg (Ed.), Studies in perception (pp. 51–53). University of Wisconsin Press.

Saliba, G. (2007). Islamic science and the making of the European Renaissance. MIT Press.

Salvatore, F. (1999). Medieval philosophy. Routledge.

Shihadeh, A. (2006). The teleological ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī. Brill.

Street, T. (2005). Logic. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 248–266). Cambridge University Press.

Taylor, R. C. (2005). The Latin Aristotelian commentaries. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 256–258). Cambridge University Press.

van Ess, J. (1991). Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Vol. 2). De Gruyter.

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh University Press.

Weiss, B. (1992). The search for God’s law: Islamic jurisprudence in the writings of Sayf al-Dīn al-Āmidī. University of Utah Press.

Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the kalam. Harvard University Press.

Wisnovsky, R. (2005). Avicenna’s logic. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 93–95). Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar