Logika dalam Filsafat Islam
Sejarah, Perkembangan, dan Relevansi Kontemporer
Alihkan ke: Perkembangan dan Sejarah Logika, Logika Dasar, Logika Lanjut,
Abstrak
Artikel ini membahas perjalanan logika dalam tradisi filsafat Islam,
mulai dari masuknya melalui gerakan penerjemahan karya-karya Yunani pada masa
Abbasiyah hingga relevansinya dalam konteks kontemporer. Logika dalam Islam
tidak hanya berfungsi sebagai perangkat teknis untuk menyusun argumen, tetapi
juga sebagai instrumen epistemologis yang menopang pengembangan ilmu
pengetahuan, teologi (kalam), dan hukum Islam (usul fiqh). Kajian ini menyoroti
peran tokoh-tokoh penting seperti al-Kindī, al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazālī,
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, dan Ibn Taymiyyah, serta menelusuri bagaimana logika
Islam dipengaruhi sekaligus memengaruhi tradisi filsafat Barat melalui proses
transmisi ke dunia Latin. Artikel ini juga mengulas kritik internal terhadap
logika, baik dari kalangan tradisionalis maupun modernis, serta menekankan
relevansi logika dalam pendidikan Islam, dialog antar-peradaban, dan penyikapan
terhadap perkembangan sains dan teknologi. Dengan pendekatan
historis-filosofis, artikel ini menegaskan bahwa logika Islam adalah warisan
intelektual yang dinamis, kritis, dan tetap aktual dalam menjawab tantangan
kehidupan modern.
Kata Kunci: Logika
Islam; Filsafat Islam; Ilmu Kalam; Usul Fiqh; Avicenna; Al-Ghazālī; Ibn
Taymiyyah; Skolastisisme; Pendidikan Islam; Pemikiran Kontemporer.
PEMBAHASAN
Sejarah, Perkembangan, dan Relevansi Logika dalam
Filsafat Islam
1.
Pendahuluan
Logika (al-manṭiq) memiliki posisi
fundamental dalam tradisi filsafat Islam. Ia dipandang bukan sekadar sebagai
perangkat teknis untuk berargumentasi, melainkan juga sebagai instrumen
epistemologis yang memungkinkan seorang pemikir menyusun pengetahuan secara
sistematis dan sahih. Dalam konteks peradaban Islam klasik, logika diadopsi
dari warisan filsafat Yunani, khususnya Aristoteles, lalu diadaptasi,
dikembangkan, dan dikritisi oleh para filsuf dan teolog Muslim sesuai dengan
kebutuhan intelektual dan keagamaan mereka.¹
Masuknya logika ke dalam dunia Islam
bermula dari gerakan penerjemahan besar-besaran pada masa Abbasiyah, terutama
di lembaga Bayt al-Ḥikmah di Baghdad. Melalui perantara tokoh-tokoh seperti
Hunayn ibn Ishaq dan para penerjemah lainnya, karya-karya Aristoteles,
Porphyry, dan komentator Yunani-Neoplatonik lainnya diperkenalkan ke dalam
bahasa Arab.² Sejak saat itu, logika menjadi bagian penting dalam diskursus
filsafat Islam, baik dalam pengembangan ilmu pengetahuan, filsafat, maupun ilmu
kalam.
Para filsuf Muslim seperti al-Kindī,
al-Fārābī, dan Ibn Sīnā memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan
logika. Al-Fārābī, misalnya, menyusun kerangka logika yang lebih sistematis dan
dikenal sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles.³ Ibn Sīnā
mengembangkan logika ke tingkat yang lebih maju dengan memandangnya sebagai
alat fundamental untuk seluruh cabang ilmu.⁴ Sementara itu, al-Ghazālī kemudian
mengintegrasikan logika ke dalam disiplin usul fiqh, sehingga menjadikannya
sebagai instrumen metodologis dalam hukum Islam.⁵
Namun, penerimaan logika tidak selalu
mulus. Sebagian kalangan fuqaha dan ulama tradisionalis menaruh curiga terhadap
logika karena dianggap sebagai produk asing yang berpotensi merusak kemurnian
ajaran agama. Kritik paling keras datang dari Ibn Taymiyyah, yang dalam
karyanya al-Radd ‘ala al-Manṭiqiyyīn menolak otoritas logika
Aristotelian dan mengusulkan kembali pada metode pengetahuan berbasis al-Qur’an
dan sunnah.⁶ Hal ini menunjukkan adanya dialektika yang dinamis antara
rasionalitas logika dan otoritas wahyu dalam khazanah Islam.
Studi tentang logika dalam filsafat
Islam memiliki relevansi kontemporer yang penting. Di satu sisi, ia
memperlihatkan kemampuan peradaban Islam dalam mengolah, mengkritisi, dan
mengembangkan warisan intelektual asing. Di sisi lain, ia membuka ruang refleksi
tentang bagaimana instrumen berpikir kritis dapat diposisikan dalam pendidikan
Islam modern dan dialog filsafat global. Dengan demikian, pembahasan mengenai
logika dalam filsafat Islam tidak hanya bernilai historis, tetapi juga memberi
kontribusi terhadap penguatan tradisi intelektual Islam di era kontemporer.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic
Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 3–5.
[2]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 41–45.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 118–120.
[4]
Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion
to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 248–250.
[5]
Al-Ghazālī, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, ed.
Hamid Lahmar (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyya, 1993), 7–10.
[6]
Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘ala al-Manṭiqiyyīn, ed.
Muhammad Rashad Salim (Cairo: Maktabat al-Khanji, 1993), 25–30.
2.
Konsep Dasar Logika
2.1.
Definisi Logika
(al-Manṭiq)
Dalam tradisi filsafat Islam, logika
dikenal dengan istilah al-manṭiq, yang secara etimologis berasal dari
kata naṭaqa (berbicara atau mengungkapkan). Secara terminologis, logika
dipahami sebagai ilmu yang mengatur kaidah-kaidah berpikir benar, sehingga akal
manusia dapat terhindar dari kekeliruan dalam penalaran.¹ Al-Fārābī
mendefinisikan logika sebagai instrumen (ālah) yang berfungsi untuk
melindungi pikiran dari kesalahan dalam menyusun silogisme.² Ibn Sīnā
memperluas pengertian ini dengan menegaskan bahwa logika merupakan “ilmu yang
menuntun akal menuju kebenaran dalam seluruh bidang pengetahuan.”³ Dengan
demikian, logika tidak hanya dipandang sebagai seni berargumentasi, tetapi juga
sebagai fondasi epistemologis.
2.2.
Logika sebagai
Instrumen Epistemologi
Bagi para filsuf Muslim, logika
berfungsi sebagai instrumen epistemologi yang menghubungkan antara pengetahuan
indrawi, konsepsi akal, dan kepastian intelektual.⁴ Dalam kerangka ini, logika
dipandang sebagai alat metodologis yang menjaga proses berpikir agar sesuai
dengan hukum-hukum universal penalaran. Al-Ghazālī, misalnya, menegaskan bahwa
logika merupakan syarat mutlak untuk mencapai kepastian dalam ilmu; karena
tanpa logika, argumentasi bisa jatuh pada kekeliruan dan kerancuan.⁵ Oleh sebab
itu, dalam banyak madrasah klasik, logika dijadikan sebagai prasyarat untuk
mempelajari filsafat, kalam, dan usul fiqh.
2.3.
Unsur-Unsur Dasar
Logika
Struktur logika dalam filsafat Islam
sangat dipengaruhi oleh kerangka Aristotelian, tetapi diadaptasi sesuai
kebutuhan. Unsur-unsur dasar logika mencakup:
·
Tashawwur (konsepsi):
pembentukan pengertian tentang suatu objek tanpa menetapkan kebenaran atau
kebohongan.⁶
·
Tashdīq (asersi):
penetapan suatu proposisi sebagai benar atau salah.⁷
·
Qiyās (silogisme):
metode inferensi yang menyusun premis-premis untuk menghasilkan kesimpulan yang
niscaya.⁸
Al-Fārābī dan Ibn Sīnā memberikan
kontribusi penting dalam memperjelas perbedaan antara tashawwur dan tashdīq,
yang menjadi kerangka dasar berpikir logis dalam tradisi Islam.
2.4.
Perbandingan dengan
Logika Yunani
Meskipun tradisi logika Islam sangat
dipengaruhi oleh Aristoteles, terdapat perbedaan penting. Aristoteles
menekankan pada logika kategoris dan analitika, sedangkan filsuf Muslim
berupaya mengintegrasikannya dengan epistemologi Islam.⁹ Ibn Sīnā, misalnya,
mengembangkan logika modal (al-manṭiq al-imkānī) yang membahas kemungkinan,
keniscayaan, dan kemustahilan.¹⁰ Perluasan ini menunjukkan bahwa logika dalam
Islam bukan sekadar adopsi, melainkan juga inovasi intelektual yang melampaui
batas warisan Yunani.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic
Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 7–8.
[2]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās al-Ṣaghīr, ed. Rafīq
al-‘Ajam (Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 12.
[3]
Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut:
Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 25.
[4]
Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion
to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 249–251.
[5]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manṭiq, ed.
Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 15–16.
[6]
Ibrahim Madkūr, Fi al-Falsafah al-Islāmiyyah:
Manhaj wa Taṭbīq (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1960), 72.
[7]
Ibid., 74.
[8]
Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the
History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 19–20.
[9]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 122–124.
[10]
Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s
Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’ (Leiden: Brill, 2006), 233–236.
3.
Sejarah Masuknya
Logika ke Dunia Islam
3.1.
Gerakan Penerjemahan
pada Masa Abbasiyah
Masuknya logika ke dalam dunia Islam
erat kaitannya dengan gerakan penerjemahan besar-besaran pada masa Abbasiyah,
khususnya abad ke-8 hingga ke-10 M. Khalifah al-Ma’mūn (813–833 M) mendirikan
Bayt al-Ḥikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad, yang menjadi pusat
penerjemahan karya-karya filsafat dan sains Yunani ke dalam bahasa Arab.¹ Di
tempat inilah, teks-teks logika Aristoteles seperti Organon, bersama
komentar-komentar Porphyry dan Alexander dari Aphrodisias, diterjemahkan dan
kemudian menjadi bahan kajian para intelektual Muslim.²
Gerakan ini tidak hanya bersifat
penerjemahan teknis, melainkan juga transformasi intelektual. Para penerjemah
seperti Ḥunayn ibn Isḥāq (809–873 M), Ishaq ibn Ḥunayn, dan Thābit ibn Qurra
berperan besar dalam mentransfer ilmu logika ke dalam bahasa Arab dengan
istilah-istilah yang disesuaikan dengan tradisi Islam.³ Hal ini memungkinkan
para filsuf Muslim mengakses logika sebagai instrumen berpikir yang sistematis.
3.2.
Asimilasi Logika
Yunani dengan Tradisi Islam
Setelah teks-teks Yunani diterjemahkan,
para intelektual Muslim berusaha melakukan asimilasi dengan tradisi intelektual
Islam. Logika pada awalnya mendapat penolakan dari sebagian fuqaha yang
menganggapnya sebagai “ilmu asing” (‘ulūm al-dakhīlah).⁴ Namun,
seiring berkembangnya pemikiran kalam dan filsafat, logika mulai diterima
sebagai instrumen yang diperlukan untuk memperkuat argumentasi teologis.
Tokoh seperti al-Kindī (w. 873 M)
menjadi pionir dalam memperkenalkan logika ke dalam filsafat Islam dengan
menekankan kompatibilitasnya dengan prinsip rasionalitas Islam.⁵ Selanjutnya,
al-Fārābī (w. 950 M) menyusun kerangka logika yang lebih sistematis, dan
kemudian Ibn Sīnā (w. 1037 M) mengembangkan logika sebagai disiplin integral
dalam filsafat Islam.⁶
3.3.
Peran Bayt al-Ḥikmah
dan Lingkungan Intelektual Abbasiyah
Bayt al-Ḥikmah tidak hanya menjadi
pusat penerjemahan, tetapi juga arena perdebatan intelektual. Logika dipelajari
bersama dengan matematika, kedokteran, dan astronomi, sehingga membentuk iklim
keilmuan yang kosmopolitan.⁷ Penerimaan logika pada akhirnya memperkaya
khazanah keilmuan Islam, sekaligus membekali para ulama dan filsuf dengan
perangkat berpikir yang kuat untuk menghadapi perdebatan filosofis dan
teologis.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa
masuknya logika ke dunia Islam bukanlah proses pasif, melainkan interaksi aktif
antara tradisi Yunani dan Islam. Dalam proses asimilasi tersebut, logika tidak
hanya diadopsi, tetapi juga diadaptasi, dikritisi, dan dikembangkan lebih
lanjut, sehingga menjadi bagian integral dari filsafat dan teologi Islam.⁸
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The
Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 41–45.
[2]
Gerhard Endress, “The Circle of al-Kindī: Early Arabic
Translations from the Greek and the Rise of Islamic Philosophy,” dalam The
Ancient Tradition in Christian and Islamic Hellenism, ed. Gerhard Endress
dan Remke Kruk (Leiden: Research School CNWS, 1997), 43–76.
[3]
F.E. Peters, Aristotle and the Arabs: The
Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press,
1968), 21–23.
[4]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions
of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1981), 115–117.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 83–85.
[6]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic
Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 12–15.
[7]
Hugh Kennedy, When Baghdad Ruled the Muslim World:
The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (Cambridge, MA: Da Capo
Press, 2005), 161–163.
[8]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 44–47.
4.
Tokoh-Tokoh Awal
Pengembang Logika dalam Islam
4.1.
Al-Kindī (801–873 M)
Al-Kindī, yang dikenal sebagai faylasūf
al-‘Arab (filosof Arab), merupakan tokoh pertama yang secara serius
memperkenalkan filsafat Yunani, termasuk logika, ke dalam dunia Islam.¹ Ia
memandang logika sebagai sarana penting untuk menyusun argumen yang benar,
sekaligus sebagai instrumen bagi ilmu pengetahuan.² Dalam karyanya Risālah
fī al-Falsafah al-Ūlā, ia menekankan bahwa logika membantu manusia mencapai
kebenaran universal melalui aturan-aturan berpikir yang sahih.³ Walaupun
kontribusinya tidak sedalam al-Fārābī atau Ibn Sīnā, peran Al-Kindī penting
sebagai pionir yang membuka jalan bagi pengintegrasian logika ke dalam filsafat
Islam.
4.2.
Al-Fārābī (872–950
M)
Al-Fārābī dikenal sebagai al-Mu‘allim
al-Thānī (Guru Kedua) setelah Aristoteles karena jasanya dalam
menyistematisasi logika.⁴ Ia menulis sejumlah karya penting seperti Kitāb
al-Qiyās dan Kitāb al-Ḥurūf, yang menguraikan struktur logika
Aristotelian sekaligus memberikan kontribusi orisinal terhadap teori bahasa dan
makna.⁵ Menurutnya, logika berfungsi sebagai instrumen universal untuk semua
ilmu, sebagaimana tata bahasa berfungsi bagi bahasa.⁶ Ia juga menekankan
pembedaan antara tashawwur (konsepsi) dan tasdīq (asersi), yang
kemudian menjadi kerangka dasar dalam tradisi logika Islam.⁷ Melalui
karya-karyanya, al-Fārābī berhasil membangun fondasi yang kokoh bagi
pengembangan logika dalam peradaban Islam.
4.3.
Ibn Sīnā (980–1037
M)
Ibn Sīnā (Avicenna) membawa logika ke
tingkat yang lebih tinggi dengan menjadikannya sebagai inti dari filsafat dan
epistemologi.⁸ Dalam al-Shifā’ dan al-Najāt, ia mengembangkan
logika tidak hanya sebagai instrumen teknis, melainkan juga sebagai ilmu yang
memiliki dimensi teoretis.⁹ Salah satu kontribusinya yang penting adalah
pengembangan logika modal (al-manṭiq al-imkānī), yang membahas kategori
kemungkinan (imkān), keniscayaan (ḍarūrah), dan kemustahilan (istiḥālah).¹⁰
Selain itu, Ibn Sīnā memperkenalkan konsep burhān (demonstrasi) sebagai
bentuk argumentasi paling sahih dalam memperoleh pengetahuan yang pasti.¹¹
4.4.
Signifikansi Awal
Perkembangan Logika
Ketiga tokoh ini—Al-Kindī, al-Fārābī,
dan Ibn Sīnā—menjadi fondasi utama perkembangan logika dalam filsafat Islam.
Mereka tidak hanya mentransmisikan warisan Aristotelian, tetapi juga
mengembangkannya sehingga sesuai dengan kebutuhan intelektual Islam. Perkembangan
awal ini membuka jalan bagi integrasi logika dengan ilmu kalam, usul fiqh, dan
filsafat, sekaligus memberikan dasar bagi tokoh-tokoh berikutnya seperti
al-Ghazālī dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī.¹²
Footnotes
[1]
Peter Adamson, Al-Kindī (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 5–7.
[2]
F.E. Peters, Aristotle and the Arabs: The
Aristotelian Tradition in Islam (New York: New York University Press,
1968), 33–35.
[3]
Al-Kindī, Risālah fī al-Falsafah al-Ūlā, ed.
Roshdi Rashed (Cairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1950), 14–16.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 118.
[5]
Al-Fārābī, Kitāb al-Qiyās, ed. Rafīq al-‘Ajam
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1986), 22–25.
[6]
Dimitri Gutas, “Avicenna and the Aristotelian
Tradition,” dalam Islamic Philosophy, Science, Culture, and Religion:
Studies in Honor of Dimitri Gutas, ed. Felicitas Opwis dan David Reisman
(Leiden: Brill, 2012), 71–73.
[7]
Tony Street, “Arabic Logic,” dalam The Cambridge
Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 252–254.
[8]
Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s
Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’ (Leiden: Brill, 2006), 231.
[9]
Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut:
Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 29–30.
[10]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic
Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 21–23.
[11]
Ibn Sīnā, al-Shifā’: al-Manṭiq, ed. Ibrahim
Madkūr (Cairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābi‘ al-Amīriyyah, 1952),
112–115.
[12]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 51–53.
5.
Logika dalam Tradisi
Teologi Islam (Ilmu Kalam)
5.1.
Pemanfaatan Logika
oleh Mu‘tazilah
Aliran Mu‘tazilah merupakan kelompok
teolog awal yang paling intensif menggunakan rasionalitas dalam membela akidah
Islam.¹ Mereka menekankan pentingnya al-‘aql (akal) sebagai sumber
pengetahuan keagamaan, sejajar dengan wahyu.² Dalam kerangka tersebut, logika
menjadi instrumen penting untuk memperkuat argumen tentang keesaan Tuhan,
keadilan ilahi, dan kebebasan kehendak manusia.³ Tokoh seperti al-Jubbā’ī (w. 915
M) dan al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār (w. 1025 M) memanfaatkan prinsip-prinsip logika
dalam menyusun argumentasi kalam mereka, sehingga menjadikan Mu‘tazilah sebagai
pelopor integrasi logika ke dalam teologi Islam.⁴
5.2.
Ahlus Sunnah
wal-Jamā‘ah: al-Ash‘arī dan al-Māturīdī
Berbeda dengan Mu‘tazilah, aliran Ahlus
Sunnah wal-Jamā‘ah—yang dipelopori oleh Abū al-Ḥasan al-Ash‘arī (w. 936 M) dan
Abū Manṣūr al-Māturīdī (w. 944 M)—menerima logika sebagai instrumen, tetapi
menempatkannya dalam subordinasi wahyu.⁵ Bagi mereka, akal tidak bisa berdiri
sendiri tanpa bimbingan wahyu, meskipun tetap diperlukan untuk memperkuat dalil
teologis.⁶ Dalam karya-karyanya, al-Ash‘arī lebih banyak menekankan aspek
teologis dibandingkan sistematisasi logika, namun para penerusnya seperti
al-Bāqillānī (w. 1013 M) dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1209 M) memperluas
pemanfaatan logika dalam pembahasan kalam.⁷
5.3.
Al-Ghazālī dan
Integrasi Logika dalam Ilmu Kalam
Al-Ghazālī (w. 1111 M) memainkan peran
penting dalam memperkokoh kedudukan logika dalam ilmu kalam. Dalam Mi‘yār
al-‘Ilm dan al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ia menegaskan bahwa logika
adalah syarat sahihnya ilmu, sehingga seorang ulama tidak sah fatwanya tanpa
menguasai logika.⁸ Ia juga mengintegrasikan logika dengan usul fiqh,
menjadikannya sebagai instrumen metodologis untuk memahami hukum Islam.⁹ Dengan
demikian, al-Ghazālī berhasil menghapus stigma negatif terhadap logika dan
melegitimasi penggunaannya dalam diskursus keilmuan Islam ortodoks.
5.4.
Ibn Taymiyyah dan
Kritik terhadap Logika Formal
Meskipun banyak teolog Muslim
mengadopsi logika, tidak sedikit pula yang mengkritisinya. Ibn Taymiyyah (w.
1328 M) menolak logika Aristotelian karena dianggap tidak sesuai dengan metode
pengetahuan Islam.¹⁰ Dalam karyanya al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ia
menilai bahwa logika Yunani terlalu abstrak dan tidak menghasilkan pengetahuan
yang lebih pasti daripada metode Qur’ani.¹¹ Ibn Taymiyyah mengusulkan metode
alternatif berbasis induksi (istiqrā’) dan pengalaman langsung yang
dianggap lebih sesuai dengan epistemologi Islam.¹² Kritik Ibn Taymiyyah
menunjukkan adanya dialektika yang sehat dalam tradisi Islam antara penerimaan
dan penolakan logika.
5.5.
Signifikansi Logika
dalam Ilmu Kalam
Secara keseluruhan, logika memainkan
peran ganda dalam tradisi kalam: sebagai alat bantu dalam menyusun argumen
teologis, sekaligus sebagai medan perdebatan epistemologis tentang hubungan
akal dan wahyu.¹³ Penerimaan dan kritik terhadap logika menunjukkan
fleksibilitas intelektual Islam dalam menghadapi ilmu asing, di mana logika
bukan sekadar diadopsi, melainkan diposisikan secara kritis sesuai dengan kebutuhan
doktrinal dan metodologis umat Islam.¹⁴
Footnotes
[1]
Richard C. Martin, Defenders of Reason in Islam:
Mu‘tazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997),
22–25.
[2]
Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 143–146.
[3]
Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und
3. Jahrhundert Hidschra, vol. 2 (Berlin: De Gruyter, 1991), 313–315.
[4]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 75–77.
[5]
Frank Griffel, Al-Ghazālī’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 45–47.
[6]
George Makdisi, Religion, Law, and Learning in
Classical Islam (Aldershot: Variorum, 1991), 89–91.
[7]
Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr
al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 33–35.
[8]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manṭiq, ed.
Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 10–12.
[9]
Al-Ghazālī, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ed. Ḥamīd
Lahmār (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 7–8.
[10]
Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual
Optimism (Leiden: Brill, 2007), 102–105.
[11]
Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ed.
Muhammad Rashad Salim (Cairo: Maktabat al-Khanji, 1993), 27–29.
[12]
Carl Sharif El-Tobgui, Ibn Taymiyya on Reason and
Revelation: A Study of Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa-l-Naql (Leiden: Brill,
2020), 118–121.
[13]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 57–59.
[14]
Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion
to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 254–256.
6.
Puncak Perkembangan
Logika dalam Islam
6.1.
Al-Ghazālī dan
Legitimasi Logika
Al-Ghazālī (w. 1111 M) menjadi tokoh
kunci dalam menempatkan logika sebagai instrumen sah dalam khazanah keilmuan
Islam. Dalam karya Mi‘yār al-‘Ilm dan al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl,
ia menegaskan bahwa logika adalah syarat mutlak bagi keabsahan pengetahuan.¹ Ia
bahkan menyatakan bahwa seseorang yang tidak menguasai logika tidak dapat
dipercaya dalam berfatwa.² Dengan legitimasi tersebut, logika berhasil menembus
batas-batas perdebatan antara filsafat dan teologi, dan diterima sebagai
metodologi ilmiah dalam berbagai disiplin, termasuk usul fiqh.³
6.2.
Fakhr al-Dīn al-Rāzī
dan Sistematisasi Kalam Logis
Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1209 M)
membawa perkembangan logika Islam pada tingkat yang lebih tinggi. Ia
mengintegrasikan logika dengan diskursus teologi dan filsafat secara mendalam,
terutama dalam karyanya al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uṣūl dan al-Maṭālib
al-‘Āliyah.⁴ Al-Rāzī menekankan pentingnya metode silogistik dalam
membangun argumen teologis yang ketat, sekaligus memperluas peran logika modal
dalam kalam.⁵ Kontribusinya menjadikan logika bukan hanya instrumen, melainkan
fondasi epistemologis bagi ilmu kalam generasi setelahnya.
6.3.
Tradisi Madrasah dan
Kurikulum Klasik
Pada abad pertengahan, logika telah
menjadi bagian integral dari kurikulum madrasah-madrasah Islam. Kitab-kitab
ringkas seperti Isāghūjī karya Athīr al-Dīn al-Abharī (w. 1265 M)
menjadi teks standar pengajaran logika di dunia Islam.⁶ Kitab ini sederhana
namun sistematis, sehingga memudahkan para pelajar pemula memahami
prinsip-prinsip logika Aristotelian dalam bingkai Islam.⁷ Seiring waktu, lahir
pula syarah (komentar) dan ḥāshiyah (catatan pinggir) atas karya-karya logika
yang menunjukkan betapa mapannya tradisi pengajaran logika di lembaga
pendidikan Islam klasik.⁸
6.4.
Sintesis antara
Filsafat, Kalam, dan Logika
Puncak perkembangan logika Islam
ditandai oleh adanya sintesis antara filsafat, kalam, dan ilmu syar‘i. Para
ulama menyadari bahwa logika tidak lagi sekadar “ilmu asing” (‘ulūm
al-dakhīlah), tetapi telah menjadi bagian dari metodologi Islam sendiri.⁹
Bahkan, banyak ulama fiqh dan tafsir, seperti al-Nasafī dan al-Taftāzānī,
menjadikan logika sebagai alat penting dalam menafsirkan teks-teks agama.¹⁰
Dengan demikian, logika pada periode ini mencapai kedudukan yang kokoh, diakui
baik oleh kalangan filosof maupun teolog, sekaligus terintegrasi dalam sistem
pendidikan Islam.
6.5.
Signifikansi
Historis
Periode ini menandai puncak penerimaan
logika dalam peradaban Islam. Dari instrumen yang semula dipandang asing,
logika bertransformasi menjadi bagian organik dari tradisi keilmuan Islam.¹¹ Ia
berfungsi sebagai jembatan antara wahyu dan akal, antara filsafat dan syariah,
sekaligus menjadi simbol keterbukaan intelektual Islam terhadap warisan luar
yang diolah secara kritis.¹²
Footnotes
[1]
Al-Ghazālī, Mi‘yār al-‘Ilm fī al-Manṭiq, ed.
Sulaymān Dunyā (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1961), 11–13.
[2]
Al-Ghazālī, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ed. Ḥamīd
Lahmār (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 7.
[3]
Frank Griffel, Al-Ghazālī’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 89–92.
[4]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Maḥṣūl fī ‘Ilm al-Uṣūl,
ed. Ṭāhā Jābir al-‘Alwānī (Beirut: Mu’assasat al-Risālah, 1997), 25–30.
[5]
Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr
al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 40–43.
[6]
Athīr al-Dīn al-Abharī, Isāghūjī fī al-Manṭiq,
ed. Muḥammad Ḥasan Ismā‘īl (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 5–7.
[7]
Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the
History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 55–57.
[8]
Robert Wisnovsky, “Avicenna’s Logic,” dalam The
Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C.
Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 93–95.
[9]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 59–61.
[10]
Wilferd Madelung, Religious Schools and Sects in
Medieval Islam (London: Variorum, 1985), 133–135.
[11]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic
Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 29–31.
[12]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 1998), 213–215.
7.
Kritik terhadap
Logika dalam Islam
7.1.
Kecurigaan terhadap
Logika sebagai “Ilmu Asing”
Sejak awal masuknya logika ke dalam
dunia Islam, tidak semua kalangan menerima dengan tangan terbuka. Sebagian
fuqahā’ dan ahli hadis memandang logika sebagai “ilmu asing” (‘ulūm
al-dakhīlah) yang berasal dari tradisi Yunani dan berpotensi menyesatkan
umat.¹ Bagi mereka, sumber pengetahuan yang sah adalah wahyu, sedangkan logika
hanya akan mengaburkan kesucian teks. Kritik ini umumnya lahir dari
kekhawatiran bahwa penalaran rasional dapat mendominasi otoritas nash syar‘i.²
7.2.
Ibn Ḥazm dan Kritik
Epistemologis
Ibn Ḥazm (w. 1064 M), seorang fuqahā’
besar dari Andalusia, menolak logika Aristotelian dengan alasan bahwa ia
mengandung kesalahan epistemologis.³ Dalam al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām,
Ibn Ḥazm menilai bahwa kebenaran cukup ditegakkan oleh metode Qur’ani dan
induksi (istiqrā’), tanpa perlu bersandar pada kerangka logika Yunani.⁴
Pandangan Ibn Ḥazm mencerminkan skeptisisme awal terhadap relevansi logika
dalam studi Islam, khususnya dalam fiqh dan usul fiqh.
7.3.
Ibn Taymiyyah dan
Penolakan Sistematis
Tokoh paling menonjol dalam kritik
terhadap logika adalah Ibn Taymiyyah (w. 1328 M). Dalam al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn,
ia menyusun bantahan menyeluruh terhadap logika Aristotelian.⁵ Menurut Ibn
Taymiyyah, silogisme tidak memberikan kepastian lebih daripada metode induksi
dan pengalaman empirik.⁶ Ia juga menganggap penggunaan kategori logis
Aristotelian sebagai tidak relevan dengan epistemologi Islam, yang seharusnya
bersandar pada al-Qur’an, sunnah, dan akal sehat (‘aql salīm).⁷ Ibn Taymiyyah
menggantikan silogisme dengan pendekatan berbasis istiqrā’ (induksi) dan
tajriba (pengalaman), yang menurutnya lebih dekat dengan metode ilmiah.⁸
7.4.
Perdebatan antara
Rasionalitas dan Wahyu
Kritik terhadap logika pada hakikatnya
berakar pada ketegangan epistemologis antara rasionalitas akal dan otoritas
wahyu. Bagi kalangan tradisionalis, penerimaan logika secara mutlak berpotensi
menggeser supremasi nash.⁹ Sementara bagi pendukung logika, seperti al-Ghazālī
dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī, logika hanyalah alat netral yang memperkuat
argumentasi.¹⁰ Perdebatan ini menghasilkan dinamika intelektual yang memperkaya
khazanah Islam, di mana logika tidak sekadar diadopsi, tetapi juga dikritisi,
diperdebatkan, dan dimodifikasi.
7.5.
Signifikansi Kritik
Kritik terhadap logika menunjukkan
bahwa tradisi intelektual Islam tidak menerima ilmu asing secara pasif.
Sebaliknya, ada proses seleksi, adaptasi, dan kritik yang membuat logika
benar-benar diuji kesahihannya.¹¹ Pandangan Ibn Taymiyyah, misalnya, meski
tidak menghentikan tradisi logika di madrasah, tetap berpengaruh dalam
membentuk sikap kritis terhadap filsafat asing.¹² Dengan demikian, kritik
terhadap logika adalah bagian integral dari perkembangan logika Islam itu
sendiri.
Footnotes
[1]
George Makdisi, Religion, Law, and Learning in
Classical Islam (Aldershot: Variorum, 1991), 112–114.
[2]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 81–83.
[3]
Camilla Adang, Ibn Ḥazm of Cordoba: The Life and
Works of a Controversial Thinker (Leiden: Brill, 1992), 165–167.
[4]
Ibn Ḥazm, al-Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām, ed. Aḥmad
Shākir (Cairo: Maṭba‘at al-Istiqlāl, 1979), 1:45–47.
[5]
Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ed.
Muḥammad Rashād Sālim (Cairo: Maktabat al-Khanjī, 1993), 23–26.
[6]
Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual
Optimism (Leiden: Brill, 2007), 103–105.
[7]
Carl Sharif El-Tobgui, Ibn Taymiyya on Reason and
Revelation: A Study of Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa-l-Naql (Leiden: Brill,
2020), 121–123.
[8]
Wael Hallaq, Ibn Taymiyya against the Greek
Logicians (Oxford: Clarendon Press, 1993), 56–59.
[9]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 65–67.
[10]
Frank Griffel, Al-Ghazālī’s Philosophical Theology
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 94–97.
[11]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic
Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 33–35.
[12]
Yahya Michot, “Ibn Taymiyya’s Critique of Aristotle’s
Logic,” Islamic Studies 36, no. 2/3 (1997): 197–219.
8.
Relasi Logika dengan
Ilmu-ilmu Lain
8.1.
Logika dan Filsafat
(al-Ḥikmah)
Sejak awal, logika dipandang sebagai
instrumen fundamental bagi filsafat. Al-Fārābī menekankan bahwa logika
berfungsi dalam filsafat sebagaimana tata bahasa berfungsi dalam bahasa, yakni
sebagai perangkat yang menata dan menjaga konsistensi berpikir.¹ Ibn Sīnā
menganggap logika sebagai fondasi epistemologis yang mengawal seluruh cabang
filsafat, baik metafisika, fisika, maupun etika.² Bahkan, logika dalam
karya-karya Avicenna berkembang melampaui Aristotelian, dengan pengenalan
dimensi modalitas (kemungkinan, keniscayaan, kemustahilan) yang berimplikasi
pada diskusi filsafat pertama.³ Dengan demikian, filsafat Islam tidak dapat
dilepaskan dari logika sebagai instrumen metodologis dan konseptualnya.
8.2.
Logika dan Ilmu
Kalam
Ilmu kalam, sebagai disiplin teologi
dialektis, sangat dipengaruhi oleh logika dalam menyusun argumen rasional
tentang eksistensi Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan antara akal dan wahyu.⁴
Mu‘tazilah mengadopsi prinsip-prinsip logika untuk menegaskan doktrin kebebasan
manusia, sementara Asy‘ariyyah menggunakannya untuk meneguhkan konsep kekuasaan
mutlak Allah.⁵ Fakhr al-Dīn al-Rāzī menjadi contoh penting bagaimana logika
diserap sepenuhnya dalam diskursus kalam, sehingga menjadikannya lebih
sistematis dan ketat.⁶ Dengan demikian, logika berfungsi tidak hanya sebagai
instrumen filosofis, tetapi juga sebagai senjata teologis.
8.3.
Logika dan Usul Fiqh
Integrasi logika dengan usul fiqh
mencapai puncaknya melalui al-Ghazālī, yang dalam al-Mustasfā min ‘Ilm
al-Usūl secara eksplisit menekankan logika sebagai syarat sah bagi
penalaran hukum.⁷ Dalam konteks ini, logika digunakan untuk menilai validitas
qiyās (analogi hukum) dan istidlāl (inferensi hukum).⁸ Para fuqaha setelah
al-Ghazālī, seperti al-Āmidī dan al-Juwaynī, melanjutkan tradisi ini dengan
memperkaya metodologi usul fiqh dengan perangkat logika.⁹ Hal ini menunjukkan
bahwa logika tidak hanya berkaitan dengan filsafat spekulatif, tetapi juga
berperan praktis dalam hukum Islam.
8.4.
Logika dan Sains
Islam
Selain filsafat dan teologi, logika
juga memengaruhi perkembangan sains Islam klasik. Dalam astronomi, kedokteran,
dan matematika, metode berpikir logis digunakan untuk menyusun argumen
demonstratif (burhān).¹⁰ Ibn al-Haytham (Alhazen), misalnya, memadukan
observasi empiris dengan kerangka inferensi logis dalam Kitāb al-Manāẓir,
yang dianggap sebagai embrio metode ilmiah modern.¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa
logika berkontribusi pada munculnya pola pikir sistematis yang melandasi
tradisi ilmiah dalam peradaban Islam.
8.5.
Signifikansi
Interdisipliner
Relasi logika dengan berbagai disiplin
ilmu memperlihatkan sifatnya yang universal. Ia tidak berdiri sebagai ilmu
otonom semata, melainkan menjadi fondasi metodologis bagi filsafat, teologi,
hukum, dan sains.¹² Oleh karena itu, logika dalam Islam memiliki posisi
strategis sebagai penghubung antar-disiplin, yang memperkaya sekaligus
memperkokoh tradisi intelektual Islam.¹³
Footnotes
[1]
Al-Fārābī, Kitāb al-Ḥurūf, ed. Muhsin Mahdi
(Beirut: Dār al-Mashriq, 1969), 90–92.
[2]
Ibn Sīnā, al-Najāt, ed. Majid Fakhry (Beirut:
Dār al-Āfāq al-Jadīdah, 1985), 25–27.
[3]
Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s
Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’ (Leiden: Brill, 2006), 233–236.
[4]
Harry A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1976), 210–213.
[5]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 77–79.
[6]
Ayman Shihadeh, The Teleological Ethics of Fakhr
al-Dīn al-Rāzī (Leiden: Brill, 2006), 36–38.
[7]
Al-Ghazālī, al-Mustasfā min ‘Ilm al-Usūl, ed. Ḥamīd
Lahmār (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 7–8.
[8]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 95–97.
[9]
Bernard Weiss, The Search for God’s Law: Islamic
Jurisprudence in the Writings of Sayf al-Dīn al-Āmidī (Salt Lake City:
University of Utah Press, 1992), 103–105.
[10]
George Saliba, Islamic Science and the Making of
the European Renaissance (Cambridge, MA: MIT Press, 2007), 55–57.
[11]
A.I. Sabra, “Ibn al-Haytham, Kepler, and the Camera
Obscura,” dalam Studies in Perception, ed. David C. Lindberg (Madison:
University of Wisconsin Press, 1976), 51–53.
[12]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 72–74.
[13]
Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion
to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 258–260.
9.
Transmisi Logika
Islam ke Dunia Latin
9.1.
Gerakan Penerjemahan
di Toledo dan Sisilia
Proses transmisi logika Islam ke dunia
Latin terutama terjadi melalui gerakan penerjemahan di Toledo (Spanyol) dan
Sisilia pada abad ke-12 M.¹ Di Toledo, tokoh-tokoh seperti Gerard of Cremona
dan Dominicus Gundissalinus menerjemahkan karya-karya filsafat dan logika
Islam, termasuk karya Ibn Sīnā dan Ibn Rushd.² Sementara itu, di Sisilia, Raja
Roger II mendorong interaksi ilmiah antara dunia Islam dan Kristen yang turut
membuka jalur masuknya ilmu-ilmu Islam ke Barat.³ Melalui gerakan ini,
teks-teks logika Islam menjadi rujukan penting bagi intelektual Eropa abad
pertengahan.
9.2.
Peran Ibn Sīnā
(Avicenna)
Ibn Sīnā (980–1037 M) memiliki pengaruh
besar dalam perkembangan logika Latin, terutama melalui Kitāb al-Shifā’
dan al-Najāt.⁴ Penerjemahan karya-karya ini memperkenalkan konsep logika
modal dan teori burhān (demonstrasi) ke dalam dunia skolastik.⁵
Pemikiran Avicenna memengaruhi tokoh-tokoh seperti Albertus Magnus dan Thomas
Aquinas, khususnya dalam membangun fondasi epistemologi skolastik yang
menekankan kepastian argumentasi.⁶ Dengan demikian, Avicenna dapat dianggap
sebagai jembatan intelektual antara filsafat Islam dan skolastik Kristen.
9.3.
Peran Ibn Rushd
(Averroes)
Selain Avicenna, Ibn Rushd (1126–1198
M) juga memainkan peranan penting dalam transmisi logika ke Barat.⁷ Karya
komentarnya atas logika Aristoteles—yang dikenal sebagai Long Commentary—diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin dan menjadi otoritas utama bagi pemahaman Aristoteles di
Eropa.⁸ Karena itu, Averroes dijuluki The Commentator oleh para
skolastik.⁹ Pemikirannya tidak hanya memperkaya tradisi logika, tetapi juga
menimbulkan kontroversi, terutama terkait gagasan “kesatuan intelek”
yang kemudian diperdebatkan dalam filsafat skolastik akhir abad pertengahan.¹⁰
9.4.
Pengaruh pada
Skolastisisme Eropa
Pengaruh logika Islam di dunia Latin
terlihat jelas dalam perkembangan skolastisisme.¹¹ Universitas-universitas awal
seperti Paris, Bologna, dan Oxford mengajarkan logika berdasarkan karya
Avicenna dan Averroes.¹² Bahkan, struktur kurikulum trivium (gramatika,
retorika, logika) di Eropa diperkuat dengan pengaruh logika Islam.¹³ Dengan
demikian, transmisi logika Islam tidak hanya memperkenalkan metode berpikir
baru, tetapi juga membentuk kerangka pendidikan intelektual Eropa.
9.5.
Signifikansi
Transmisi
Transmisi logika dari Islam ke Latin
menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara dunia Islam dan Barat.¹⁴
Alih-alih sekadar menyalin, para penerjemah dan pemikir skolastik
mengasimilasi, mengkritisi, dan mengembangkan pemikiran logis Islam.¹⁵ Proses ini
menegaskan bahwa logika Islam merupakan bagian integral dari warisan
intelektual global yang membentuk fondasi peradaban modern.
Footnotes
[1]
Charles Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin
Translation Program in Toledo in the Twelfth Century,” Science in Context
14, no. 1–2 (2001): 249–288.
[2]
Richard C. Taylor, “The Latin Aristotelian
Commentaries,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed.
Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press,
2005), 256–258.
[3]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 1998), 181–183.
[4]
Amos Bertolacci, The Reception of Aristotle’s
Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’ (Leiden: Brill, 2006), 239–242.
[5]
Dag Nikolaus Hasse, Avicenna’s De Anima in the
Latin West (London: The Warburg Institute, 2000), 17–20.
[6]
Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in
the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 205–208.
[7]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 77–80.
[8]
Averroes, Long Commentary on the De Anima of
Aristotle, trans. Richard C. Taylor (New Haven: Yale University Press,
2009), xxiii–xxv.
[9]
Roger Ariew dan Eric Watkins, Readings in Modern
Philosophy, vol. 1 (Indianapolis: Hackett, 2000), 11.
[10]
Alain de Libera, La querelle des universaux: de
Platon à la fin du Moyen Âge (Paris: Éditions du Seuil, 1996), 267–270.
[11]
Fernando Salvatore, Medieval Philosophy
(London: Routledge, 1999), 145–147.
[12]
Christopher J. Martin, “Logic,” dalam The Cambridge
History of Later Medieval Philosophy, ed. Norman Kretzmann et al.
(Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 97–99.
[13]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions
of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1981), 182–185.
[14]
David C. Lindberg, The Beginnings of Western
Science (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 235–237.
[15]
Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion
to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 261–263.
10.
Isu dan Kritik
Kontemporer
10.1.
Relevansi Logika
Klasik dalam Era Modern
Di era modern, logika klasik Islam yang
berakar pada tradisi Aristotelian menghadapi tantangan serius. Banyak
intelektual Muslim mempertanyakan apakah logika silogistik tradisional masih
relevan di tengah dominasi logika simbolik dan matematika modern.¹ Logika
Aristotelian dianggap terlalu terikat pada struktur bahasa dan tidak mampu
mengikuti perkembangan sains modern yang membutuhkan presisi formal.² Meski
demikian, beberapa sarjana berpendapat bahwa logika klasik tetap penting
sebagai fondasi berpikir kritis dan sebagai bagian dari warisan intelektual
Islam yang perlu dipertahankan.³
10.2.
Kritik dari Kalangan
Modernis Muslim
Sebagian pemikir Muslim modern, seperti
Muhammad ‘Abduh (w. 1905 M), menilai bahwa logika tradisional terlalu
spekulatif dan tidak memberikan manfaat praktis bagi umat Islam.⁴ Abduh
menekankan pentingnya pendekatan rasional yang lebih empiris dalam memahami
agama, seraya mengkritik kecenderungan madrasah tradisional yang mengajarkan
logika tanpa mengaitkannya dengan problem nyata umat.⁵ Kritik serupa muncul
dari para reformis lain yang menilai bahwa dominasi kitab-kitab ringkasan
logika, seperti Isāghūjī, menghambat kreativitas intelektual.⁶
10.3.
Dialog dengan Logika
Barat Modern
Tantangan lain datang dari perkembangan
logika modern di Barat, khususnya logika simbolik (Frege, Russell) dan logika
matematika.⁷ Dibandingkan dengan silogisme tradisional, logika simbolik
menawarkan ketelitian formal yang lebih sesuai untuk ilmu pengetahuan
kontemporer.⁸ Hal ini mendorong sebagian sarjana Muslim untuk mencoba
mengintegrasikan warisan logika Islam dengan logika modern, meski masih
terbatas pada level teoritis.⁹ Beberapa kajian filsafat kontemporer berusaha
membandingkan konsep-konsep seperti qiyās (silogisme) dengan deduksi
formal modern, untuk menemukan titik temu dan potensi pengembangan.¹⁰
10.4.
Tradisi Pesantren
dan Kritik Internal
Dalam tradisi pesantren di dunia Islam,
termasuk Nusantara, logika (manṭiq) tetap diajarkan melalui teks klasik
seperti Sullam al-Munāwraq karya al-Akhdarī.¹¹ Akan tetapi, pengajaran
ini sering dikritik karena terlalu menekankan hafalan teks dan kurang
aplikatif.¹² Kritik internal ini menyoroti perlunya pendekatan baru dalam
mengajarkan logika, bukan hanya sebagai disiplin mandiri, tetapi juga sebagai
alat berpikir kritis yang relevan dengan konteks sosial, politik, dan ilmiah
kontemporer.¹³
10.5.
Upaya Revitalisasi
Sejumlah akademisi Muslim kontemporer
mendorong revitalisasi logika dengan mengembangkannya sebagai instrumen
berpikir kritis dalam pendidikan Islam.¹⁴ Logika tradisional tidak ditolak,
tetapi diposisikan sebagai bagian dari khazanah yang perlu dilengkapi dengan
logika modern.¹⁵ Dengan demikian, isu kontemporer logika dalam Islam bukanlah
antara “menerima atau menolak,” melainkan bagaimana mengintegrasikan
tradisi dengan kebutuhan intelektual dan ilmiah masa kini.¹⁶
Footnotes
[1]
Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the
History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 211–213.
[2]
Nicholas Rescher, Studies in the History of Arabic
Logic (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1963), 37–39.
[3]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 91–93.
[4]
Muhammad ‘Abduh, Rasā’il al-Ustād al-Imām, ed.
Muhammad Rashid Rida (Cairo: al-Manar, 1907), 45–47.
[5]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt
(London: Oxford University Press, 1933), 132–134.
[6]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 221–223.
[7]
Irving M. Copi, Symbolic Logic, 3rd ed. (New
York: Macmillan, 1979), 1–3.
[8]
Willard Van Orman Quine, Methods of Logic, 4th
ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 12–14.
[9]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the
Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 221–223.
[10]
Tony Street, “Logic,” dalam The Cambridge Companion
to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge:
Cambridge University Press, 2005), 264–266.
[11]
Al-Akhdarī, Sullam al-Munāwraq, ed. Muhammad
Hasan Ismail (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 3–5.
[12]
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 142–144.
[13]
Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), 57–59.
[14]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 101–103.
[15]
Syed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present (Albany: SUNY Press, 2006), 314–316.
[16]
Ebrahim Moosa, What Is a Madrasa? (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 2015), 174–176.
11.
Relevansi Logika
Islam dalam Kehidupan Kontemporer
11.1.
Logika sebagai
Instrumen Berpikir Kritis
Di era globalisasi dan digitalisasi,
logika memiliki peranan strategis dalam membentuk pola pikir kritis. Dalam
konteks pendidikan Islam, logika dapat menjadi instrumen untuk melatih
kemampuan analisis, argumentasi, dan evaluasi terhadap informasi yang berlimpah.¹
Dengan dasar logika, generasi muda Muslim dapat lebih selektif dalam menerima
wacana publik, termasuk isu-isu keagamaan yang kerap dipengaruhi hoaks atau
retorika emosional.² Dengan demikian, logika berperan sebagai filter
epistemologis yang menjaga akal dari kekeliruan dan manipulasi.
11.2.
Logika dalam
Pendidikan Islam Modern
Logika tradisional masih diajarkan di
pesantren dan madrasah melalui kitab-kitab klasik seperti Sullam al-Munāwraq
dan Isāghūjī.³ Namun, pembelajaran ini perlu dikontekstualisasikan
dengan metode berpikir kontemporer agar tidak berhenti pada hafalan, tetapi
berkembang menjadi keterampilan berpikir analitis.⁴ Beberapa universitas Islam
modern telah mulai mengintegrasikan logika klasik dengan logika simbolik,
filsafat ilmu, dan metodologi penelitian, sehingga menghasilkan kurikulum yang
lebih relevan bagi kebutuhan akademik dan profesional.⁵
11.3.
Logika dan Dialog
Antar-Peradaban
Logika Islam juga memiliki potensi
untuk menjadi jembatan dialog antar-peradaban. Warisan Avicenna dan Averroes
dalam logika tidak hanya berpengaruh pada filsafat Islam, tetapi juga pada
skolastisisme Barat.⁶ Dalam konteks dunia kontemporer yang penuh ketegangan
identitas dan ideologi, logika dapat berfungsi sebagai bahasa universal untuk
menjembatani dialog antara dunia Islam dan Barat.⁷ Dengan kerangka berpikir
logis, diskusi lintas agama dan filsafat dapat dilakukan secara lebih objektif
dan rasional.
11.4.
Logika dalam
Menyikapi Sains dan Teknologi
Perkembangan sains dan teknologi modern
menuntut umat Islam untuk memiliki kerangka berpikir yang kritis dan
metodologis. Logika Islam, yang dahulu berfungsi sebagai landasan bagi ilmu
kalam dan usul fiqh, kini dapat diaktualisasikan dalam diskursus etika
teknologi, bioetika, dan filsafat sains.⁸ Misalnya, metode qiyās
(analogi) dapat diperkaya dengan pendekatan deduktif dan induktif dalam
menghadapi problem-problem kontemporer seperti kecerdasan buatan, bioteknologi,
dan isu lingkungan.⁹
11.5.
Signifikansi Global
dan Lokal
Relevansi logika Islam pada akhirnya
bersifat ganda: global dan lokal. Secara global, ia menunjukkan kontribusi
peradaban Islam dalam membangun kerangka berpikir universal. Secara lokal, ia
membantu masyarakat Muslim memperkuat daya kritis, melawan dogmatisme, serta
menghadirkan Islam yang rasional dan kontekstual.¹⁰ Dengan demikian, logika
Islam tetap aktual bukan hanya sebagai warisan intelektual, tetapi juga sebagai
sarana praksis dalam menghadapi tantangan kehidupan modern.
Footnotes
[1]
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), 142–144.
[2]
Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi (Bandung: Mizan, 2005), 61–63.
[3]
Al-Akhdarī, Sullam al-Munāwraq, ed. Muhammad
Hasan Ismail (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002), 3–5.
[4]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 227–229.
[5]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 103–106.
[6]
Charles Burnett, “The Transmission of Arabic
Philosophy to Medieval Europe,” dalam The Cambridge Companion to Arabic
Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), 370–372.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY
Press, 2006), 315–317.
[8]
Ebrahim Moosa, What Is a Madrasa? (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 2015), 172–174.
[9]
Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 145–147.
[10]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 101–103.
12.
Penutup
Kajian tentang logika dalam filsafat
Islam menunjukkan bahwa disiplin ini menempati posisi penting dalam
perkembangan intelektual Islam sepanjang sejarah. Sejak masa penerjemahan
karya-karya Yunani pada era Abbasiyah, logika telah diadopsi, disesuaikan, dan
dikembangkan oleh para filsuf dan teolog Muslim seperti al-Kindī, al-Fārābī,
Ibn Sīnā, dan al-Ghazālī.¹ Bagi mereka, logika bukan sekadar “ilmu asing,”
melainkan instrumen epistemologis yang menjaga validitas penalaran dan
memperkuat argumentasi dalam filsafat, kalam, maupun usul fiqh.²
Di satu sisi, logika mengalami
penerimaan luas hingga menjadi bagian integral dari kurikulum madrasah klasik.³
Di sisi lain, ia juga menghadapi kritik tajam dari kalangan tradisionalis,
terutama Ibn Taymiyyah, yang menolak logika Aristotelian karena dianggap tidak
lebih unggul daripada metode Qur’ani dan induktif.⁴ Dinamika ini memperlihatkan
bahwa tradisi Islam tidak pernah berhenti pada penerimaan pasif, melainkan
melakukan proses seleksi, kritik, dan pengembangan sesuai dengan kebutuhan
epistemologis dan keagamaan.⁵
Dalam konteks kontemporer, logika tetap
relevan sebagai instrumen berpikir kritis yang sangat dibutuhkan untuk
menghadapi tantangan modern, baik dalam pendidikan, dialog antar-peradaban,
maupun dalam menyikapi perkembangan sains dan teknologi.⁶ Warisan logika klasik
Islam, bila dipadukan dengan logika modern, dapat menjadi fondasi bagi
integrasi ilmu, penguatan daya kritis, dan peneguhan rasionalitas dalam
kehidupan umat Islam masa kini.⁷
Dengan demikian, logika dalam filsafat
Islam memiliki makna historis sekaligus aktual: ia adalah warisan intelektual
yang memperlihatkan keterbukaan Islam terhadap pengetahuan luar, dan pada saat
yang sama instrumen metodologis yang tetap dapat dimanfaatkan untuk menjawab
problem-problem kontemporer.⁸ Perjalanan panjang logika dalam Islam menegaskan
bahwa peradaban Islam adalah peradaban yang dinamis, dialogis, dan kritis—suatu
warisan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan di era modern.⁹
Footnotes
[1]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture
(London: Routledge, 1998), 41–45.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
2nd ed. (New York: Columbia University Press, 1983), 118–120.
[3]
Khaled El-Rouayheb, Relational Syllogisms and the
History of Arabic Logic, 900–1900 (Leiden: Brill, 2010), 55–57.
[4]
Ibn Taymiyyah, al-Radd ‘alā al-Manṭiqiyyīn, ed.
Muḥammad Rashād Sālim (Cairo: Maktabat al-Khanjī, 1993), 23–26.
[5]
George Makdisi, Religion, Law, and Learning in
Classical Islam (Aldershot: Variorum, 1991), 115–117.
[6]
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan
Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), 142–144.
[7]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
(Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 101–103.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its
Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY
Press, 2006), 314–316.
[9]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 101–103.
Daftar Pustaka
Adang, C. (1992). Ibn Ḥazm of
Cordoba: The life and works of a controversial thinker. Brill.
Adams, C. C. (1933). Islam and
modernism in Egypt. Oxford University Press.
Al-Akhdarī. (2002). Sullam
al-Munāwraq (M. H. Ismail, Ed.). Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Fārābī. (1969). Kitāb al-Ḥurūf
(M. Mahdi, Ed.). Dār al-Mashriq.
Al-Fārābī. (1986). Kitāb al-Qiyās
(R. al-‘Ajam, Ed.). Dār al-Mashriq.
Al-Ghazālī. (1961). Mi‘yār al-‘Ilm
fī al-Manṭiq (S. Dunyā, Ed.). Dār al-Ma‘ārif.
Al-Ghazālī. (1993). al-Mustasfā
min ‘Ilm al-Usūl (Ḥ. Lahmār, Ed.). Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Kindī. (1950). Risālah fī
al-Falsafah al-Ūlā (R. Rashed, Ed.). Dār al-Fikr al-‘Arabī.
Al-Rāzī, F. al-D. (1997). al-Maḥṣūl
fī ‘Ilm al-Uṣūl (Ṭ. J. al-‘Alwānī, Ed.). Mu’assasat al-Risālah.
Averroes. (2009). Long commentary
on the De Anima of Aristotle (R. C. Taylor, Trans.). Yale University Press.
Azra, A. (1994). Jaringan ulama:
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII & XVIII. Mizan.
Bagir, Z. A. (2005). Integrasi
ilmu dan agama: Interpretasi dan aksi. Mizan.
Bakar, O. (1998). Classification
of knowledge in Islam. Islamic Texts Society.
Bertolacci, A. (2006). The
reception of Aristotle’s Metaphysics in Avicenna’s Kitāb al-Shifā’. Brill.
Burnett, C. (2001). The coherence of
the Arabic-Latin translation program in Toledo in the twelfth century. Science
in Context, 14(1–2), 249–288.
Burnett, C. (2005). The transmission
of Arabic philosophy to medieval Europe. In P. Adamson & R. C. Taylor
(Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 370–372).
Cambridge University Press.
Copi, I. M. (1979). Symbolic logic
(3rd ed.). Macmillan.
de Libera, A. (1996). La querelle
des universaux: De Platon à la fin du Moyen Âge. Éditions du Seuil.
El-Rouayheb, K. (2010). Relational
syllogisms and the history of Arabic logic, 900–1900. Brill.
El-Tobgui, C. S. (2020). Ibn
Taymiyya on reason and revelation: A study of Darʾ Taʿāruḍ al-ʿAql wa-l-Naql.
Brill.
Endress, G. (1997). The circle of
al-Kindī: Early Arabic translations from the Greek and the rise of Islamic
philosophy. In G. Endress & R. Kruk (Eds.), The ancient tradition in
Christian and Islamic Hellenism (pp. 43–76). Research School CNWS.
Fakhry, M. (1983). A history of
Islamic philosophy (2nd ed.). Columbia University Press.
Gilson, E. (1955). History of
Christian philosophy in the Middle Ages. Random House.
Griffel, F. (2009). Al-Ghazālī’s
philosophical theology. Oxford University Press.
Gutas, D. (1998). Greek thought,
Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early
ʿAbbāsid society (2nd–4th/8th–10th centuries). Routledge.
Hallaq, W. B. (1993). Ibn Taymiyya
against the Greek logicians. Clarendon Press.
Hallaq, W. B. (1997). A history of
Islamic legal theories. Cambridge University Press.
Hasse, D. N. (2000). Avicenna’s De
Anima in the Latin West. The Warburg Institute.
Hoover, J. (2007). Ibn Taymiyya’s
theodicy of perpetual optimism. Brill.
Ibn Ḥazm. (1979). al-Iḥkām fī Uṣūl
al-Aḥkām (A. Shākir, Ed.). Maṭbaʿat al-Istiqlāl.
Ibn Sīnā. (1952). al-Shifā’:
al-Manṭiq (I. Madkūr, Ed.). al-Hay’ah al-‘Āmmah li Shu’ūn al-Maṭābiʿ
al-Amīriyyah.
Ibn Sīnā. (1985). al-Najāt (M.
Fakhry, Ed.). Dār al-Āfāq al-Jadīdah.
Kennedy, H. (2005). When Baghdad
ruled the Muslim world: The rise and fall of Islam’s greatest dynasty. Da
Capo Press.
Leaman, O. (2001). An introduction
to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.
Lindberg, D. C. (2007). The
beginnings of Western science. University of Chicago Press.
Madelung, W. (1985). Religious
schools and sects in medieval Islam. Variorum.
Madkūr, I. (1960). Fī al-falsafah
al-islāmiyyah: Manhaj wa taṭbīq. Dār al-Ma‘ārif.
Makdisi, G. (1981). The rise of
colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh
University Press.
Makdisi, G. (1991). Religion, law,
and learning in classical Islam. Variorum.
Martin, C. J. (1982). Logic. In N.
Kretzmann, A. Kenny, & J. Pinborg (Eds.), The Cambridge history of later
medieval philosophy (pp. 97–99). Cambridge University Press.
Martin, R. C. (1997). Defenders of
reason in Islam: Muʿtazilism from medieval school to modern symbol.
Oneworld.
Michot, Y. (1997). Ibn Taymiyya’s
critique of Aristotle’s logic. Islamic Studies, 36(2/3), 197–219.
Moosa, E. (2015). What is a
madrasa? University of North Carolina Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic
philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy.
State University of New York Press.
Nikolaus, D. (2000). Avicenna’s De
Anima in the Latin West. The Warburg Institute.
Peters, F. E. (1968). Aristotle
and the Arabs: The Aristotelian tradition in Islam. New York University
Press.
Quine, W. V. O. (1982). Methods of
logic (4th ed.). Harvard University Press.
Rescher, N. (1963). Studies in the
history of Arabic logic. University of Pittsburgh Press.
Sabra, A. I. (1976). Ibn al-Haytham,
Kepler, and the camera obscura. In D. C. Lindberg (Ed.), Studies in
perception (pp. 51–53). University of Wisconsin Press.
Saliba, G. (2007). Islamic science
and the making of the European Renaissance. MIT Press.
Salvatore, F. (1999). Medieval
philosophy. Routledge.
Shihadeh, A. (2006). The
teleological ethics of Fakhr al-Dīn al-Rāzī. Brill.
Street, T. (2005). Logic. In P.
Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic
philosophy (pp. 248–266). Cambridge University Press.
Taylor, R. C. (2005). The Latin
Aristotelian commentaries. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The
Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 256–258). Cambridge
University Press.
van Ess, J. (1991). Theologie und
Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra (Vol. 2). De Gruyter.
Watt, W. M. (1985). Islamic
philosophy and theology. Edinburgh University Press.
Weiss, B. (1992). The search for
God’s law: Islamic jurisprudence in the writings of Sayf al-Dīn al-Āmidī.
University of Utah Press.
Wolfson, H. A. (1976). The
philosophy of the kalam. Harvard University Press.
Wisnovsky, R. (2005). Avicenna’s
logic. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to
Arabic philosophy (pp. 93–95). Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar