Makna (Sinn) dan Rujukan (Bedeutung)
Analisis Konseptual atas “Über Sinn und Bedeutung”
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif teori
makna (Sinn) dan rujukan (Bedeutung) dalam filsafat bahasa
Gottlob Frege sebagaimana dirumuskan dalam esainya Über Sinn und Bedeutung
(1892). Kajian ini menelusuri latar historis, landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dari pembedaan tersebut, serta mengeksplorasi
implikasinya terhadap struktur bahasa, logika, dan pengetahuan. Dalam kerangka
Fregean, Sinn dipahami sebagai modus penyajian (mode of presentation)
yang memungkinkan pemahaman terhadap suatu rujukan, sedangkan Bedeutung
merupakan objek aktual atau nilai kebenaran yang menjadi sasaran ekspresi
linguistik. Artikel ini menunjukkan bahwa distingsi Frege tidak hanya mengatasi
problem ambiguitas semantik dalam filsafat pra-analitik, tetapi juga meletakkan
dasar bagi semantik formal, filsafat analitik, dan logika modern.
Melalui pendekatan sistematis dan interdisipliner,
pembahasan ini memperluas cakupan teori Frege hingga dimensi sosial,
linguistik, dan kultural, menyoroti relevansinya terhadap konteks komunikasi
intersubjektif serta perkembangan bahasa di era digital. Kritik dari
tokoh-tokoh seperti Russell, Wittgenstein, Quine, dan Kripke diuraikan untuk
memperlihatkan dinamika konseptual dan keterbatasan teori Frege dalam
menjelaskan fungsi pragmatik serta kontekstualitas makna. Selanjutnya, artikel
ini menegaskan bahwa gagasan Frege tetap memiliki relevansi kontemporer dalam
bidang semantik komputasional, filsafat informasi, dan etika komunikasi
digital. Akhirnya, sintesis filosofis yang ditawarkan mengarah pada konsepsi humanistik
tentang makna dan rujukan, yang memadukan rasionalitas logis Frege dengan
pemahaman eksistensial, sosial, dan etis manusia terhadap bahasa sebagai medium
kebenaran dan kemanusiaan.
Kata Kunci: Gottlob
Frege, Sinn, Bedeutung, makna, rujukan, semantik formal, filsafat bahasa,
rasionalitas, humanisme, era digital.
PEMBAHASAN
Makna dan Rujukan dalam Filsafat Bahasa Gottlob Frege
1.
Pendahuluan
Filsafat bahasa modern tidak dapat dilepaskan dari
peran sentral Gottlob Frege, seorang matematikawan dan filsuf Jerman yang pada
akhir abad ke-19 mengubah cara kita memahami hubungan antara bahasa, pikiran,
dan dunia. Sebelum Frege, teori makna banyak didominasi oleh pandangan
psikologis dan empiris yang menganggap makna sebagai asosiasi ide dalam benak
manusia. Pandangan semacam ini tampak, misalnya, dalam Essay Concerning
Human Understanding karya John Locke, di mana kata dianggap sebagai tanda
dari ide yang terdapat dalam pikiran seseorang.¹ Namun, bagi Frege, pendekatan
tersebut gagal menjelaskan bagaimana komunikasi antarindividu bisa berlangsung
dengan objektivitas logis, sebab ide-ide subjektif tidak dapat dijadikan dasar
bagi kesahihan logika dan kebenaran universal.²
Kegelisahan Frege berakar pada usahanya untuk
membangun fondasi yang kokoh bagi aritmetika dan logika. Dalam proyek ini, ia
menemukan bahwa ketidakjelasan semantik dapat menimbulkan kekacauan dalam
penalaran formal.³ Untuk itulah, ia menulis esai monumental berjudul Über
Sinn und Bedeutung (“On Sense and Reference”) pada tahun 1892, yang menjadi
tonggak penting dalam perkembangan filsafat bahasa analitik. Dalam tulisan
tersebut, Frege memperkenalkan distingsi antara Sinn (makna) dan Bedeutung
(rujukan) sebagai dua aspek fundamental dari ekspresi linguistik.⁴ Distingsi
ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan mengapa dua ungkapan yang menunjuk
pada objek yang sama dapat tetap memiliki nilai kognitif (cognitive value)
yang berbeda—seperti pada contoh klasik “Bintang Fajar” (der
Morgenstern) dan “Bintang Senja” (der Abendstern), yang
keduanya merujuk pada planet Venus, tetapi memberikan informasi yang berbeda
bagi pembicara.⁵
Masalah yang diangkat Frege bersifat mendasar:
apakah makna suatu ungkapan identik dengan objek yang ditunjuknya, ataukah
terdapat sesuatu yang lain yang menentukan isi pemahaman kita? Dengan
mengajukan pembedaan antara Sinn dan Bedeutung, Frege berupaya
memisahkan ranah epistemik (bagaimana kita memahami sesuatu) dari ranah
ontologis (apa yang sebenarnya dirujuk oleh bahasa).⁶ Sinn bagi Frege
merupakan cara suatu rujukan disajikan kepada pikiran (the mode of presentation),
sedangkan Bedeutung adalah objek aktual yang dirujuk oleh ungkapan
tersebut.⁷ Melalui pembedaan ini, Frege tidak hanya menyelesaikan persoalan
semantik yang mengganggu logika formal, tetapi juga membuka jalan bagi
pendekatan analitik terhadap bahasa yang kemudian dikembangkan oleh Bertrand
Russell, Ludwig Wittgenstein, Rudolf Carnap, dan para filsuf logika lainnya.⁸
Di sisi lain, distingsi antara Sinn dan Bedeutung
memiliki implikasi luas bagi epistemologi dan teori pengetahuan. Jika kebenaran
proposisi bergantung pada nilai rujukannya (truth-value), maka makna
memainkan peran penting dalam membentuk konteks pemahaman manusia terhadap
dunia.⁹ Dalam konteks ini, Frege menggeser fokus filsafat bahasa dari sekadar
hubungan antara kata dan benda menuju analisis tentang struktur makna,
pemahaman, dan nilai kebenaran.¹⁰ Dengan demikian, Über Sinn und Bedeutung
bukan hanya karya semantik, tetapi juga merupakan refleksi epistemologis dan
logis tentang bagaimana bahasa dapat mengekspresikan pikiran secara objektif
dan rasional.
Kajian ini bertujuan untuk menelaah secara
sistematis konsep perbedaan antara Sinn dan Bedeutung sebagaimana
dikembangkan oleh Frege, dengan menelusuri dimensi historis, ontologis,
epistemologis, dan aksiologisnya. Selain itu, pembahasan ini akan menguraikan
relevansi pandangan Frege terhadap perkembangan linguistik, logika, dan
filsafat bahasa kontemporer, termasuk penerapannya dalam konteks era digital
dan kecerdasan buatan. Pada akhirnya, tujuan mendasar dari penelitian ini
adalah untuk memahami bagaimana teori Frege dapat ditafsirkan secara
humanistik, yaitu sebagai upaya untuk menjembatani antara objektivitas makna
dan dimensi pengalaman manusia yang hidup di dalam bahasa.¹¹
Footnotes
[1]
¹ John Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), 405.
[2]
² Gottlob Frege, The Foundations of Arithmetic,
terj. J. L. Austin (Oxford: Blackwell, 1953), xi–xii.
[3]
³ Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1981), 19–21.
[4]
⁴ Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[5]
⁵ Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” 28.
[6]
⁶ Hans Sluga, Frege: The Philosophy of Language
(London: Routledge, 1980), 43.
[7]
⁷ Gottlob Frege, Translations from the
Philosophical Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach dan Max Black
(Oxford: Blackwell, 1952), 56.
[8]
⁸ Bertrand Russell, Introduction to Mathematical
Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1919), 44–45.
[9]
⁹ Michael Beaney, “Frege and the Origins of
Analytic Philosophy,” dalam The Oxford Handbook of the History of Analytic
Philosophy, ed. Michael Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013),
155.
[10]
¹⁰ Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese
17, no. 1 (1967): 304–305.
[11]
¹¹ Jürgen Habermas, On the Pragmatics of
Communication (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 37.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Untuk memahami secara komprehensif gagasan Gottlob
Frege tentang perbedaan antara Sinn (makna) dan Bedeutung
(rujukan), perlu ditelusuri terlebih dahulu konteks historis dan genealogis
yang melatarbelakangi munculnya teori tersebut. Filsafat bahasa pada masa
sebelum Frege masih sangat dipengaruhi oleh paradigma empirisis dan psikologis
yang cenderung menganggap bahasa sebagai cermin dari ide-ide subjektif dalam
pikiran manusia.¹ Tradisi ini tampak jelas dalam karya John Locke, An Essay
Concerning Human Understanding (1690), yang memandang kata sebagai tanda (sign)
bagi ide yang ada dalam benak individu.² Dalam pandangan semacam ini, makna
bersifat internal, bergantung pada asosiasi psikologis dan pengalaman empiris
pembicara. Namun, pendekatan ini menimbulkan kesulitan ketika dihadapkan pada
masalah komunikasi antarindividu dan validitas universal dalam penalaran
logis.³
Pada abad ke-19, perkembangan logika matematika
memperlihatkan kebutuhan akan bahasa simbolik yang bebas dari ambiguitas
psikologis. Dalam konteks inilah Frege muncul sebagai pelopor logisisme—suatu
gerakan yang berupaya menurunkan seluruh kebenaran matematika dari prinsip
logika murni.⁴ Frege menolak pendekatan empirisis maupun psikologis terhadap
bahasa, dengan alasan bahwa logika tidak dapat direduksi menjadi proses mental
subjektif.⁵ Ia mengemukakan bahwa makna tidak bisa dijelaskan melalui asosiasi
ide, melainkan harus memiliki status objektif yang dapat diakses oleh semua
rasionalitas manusia melalui bahasa.⁶ Pandangan ini pertama kali mendapat
bentuk sistematis dalam karyanya Begriffsschrift (1879), di mana ia
memperkenalkan simbolisasi logika predikat modern.⁷ Namun, pematangan konsep
makna dan rujukan baru terjadi dalam esainya tahun 1892, Über Sinn und
Bedeutung, yang menandai pergeseran mendasar dari logika simbolik menuju
analisis semantik.⁸
Sebelum Frege, hubungan antara bahasa dan dunia
banyak dibahas dalam kerangka metafisik dan epistemologis, bukan dalam struktur
logis formal. Para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas berbicara tentang significatio
(penandaan) dan suppositio (penggantian makna dalam konteks kalimat),
tetapi tidak mengembangkan teori semantik yang sistematis.⁹ Tradisi ini
dilanjutkan oleh empirisis Inggris, seperti George Berkeley dan David Hume,
yang menekankan keterkaitan antara pengalaman indrawi dan pembentukan makna.¹⁰
Akan tetapi, empirisisme semacam ini tidak mampu menjelaskan bagaimana bahasa
bisa mengacu pada entitas abstrak, seperti bilangan atau proposisi, yang
menjadi fokus perhatian Frege sebagai logisis.¹¹ Dengan demikian, genealoginya
menunjukkan transisi dari filsafat bahasa pra-modern yang bersifat psikologis
dan nominalistik menuju paradigma logis dan semantik yang objektif.
Selain itu, konteks intelektual Jerman pada akhir
abad ke-19 juga penting untuk memahami lahirnya teori Frege. Masa itu ditandai
oleh perdebatan antara dua arus besar: positivisme yang diwakili oleh Ernst
Mach, dan idealisme neo-Kantian di universitas-universitas seperti Marburg dan
Heidelberg.¹² Frege, meskipun tidak sepenuhnya mengidentifikasi dirinya dengan
salah satu kubu tersebut, mengambil posisi unik: ia menolak subjektivisme
epistemologis Mach sekaligus menghindari idealisme transendental Kantian.¹³
Melalui upaya ini, ia membangun logika sebagai “ilmu tentang kebenaran” yang
otonom dari psikologi dan metafisika, suatu pandangan yang kemudian dikenal
sebagai anti-psychologism dalam filsafat analitik.¹⁴
Dari sisi genealogis, ide-ide Frege meletakkan
dasar bagi perkembangan lebih lanjut dalam filsafat bahasa abad ke-20. Bertrand
Russell, misalnya, mengembangkan teori deskripsi (Theory of Descriptions)
sebagai penyempurnaan dari gagasan Frege tentang rujukan terhadap entitas yang
tidak ada (non-referring expressions).¹⁵ Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus
Logico-Philosophicus (1922) juga mengadopsi semangat Fregean dalam upaya
menjelaskan struktur logis bahasa dan dunia, meskipun kemudian menggeser fokusnya
ke praktik penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.¹⁶ Rudolf Carnap dan
para anggota Lingkaran Wina meneruskan tradisi ini dengan mengembangkan
semantik formal dan teori verifikasi dalam konteks positivisme logis.¹⁷ Oleh
karena itu, Über Sinn und Bedeutung dapat dipandang sebagai titik
genealogi utama dari seluruh tradisi filsafat analitik dan semantik modern,
yang hingga kini masih menjadi rujukan pokok dalam studi logika bahasa dan
filsafat komunikasi.¹⁸
Dengan demikian, landasan historis dan genealogis
dari konsep Sinn dan Bedeutung menunjukkan bahwa gagasan Frege
bukanlah lahir dalam kekosongan intelektual, melainkan merupakan respons
terhadap ketegangan epistemologis antara subjektivitas ide dan objektivitas
kebenaran. Ia mengubah arah filsafat bahasa dari wilayah psikologis menuju
wilayah logis-semantik yang rasional, universal, dan intersubjektif.¹⁹
Distingsi ini kemudian menjadi kerangka dasar bagi hampir seluruh teori makna
kontemporer—mulai dari semantik formal hingga filsafat pragmatik—serta membuka
kemungkinan baru bagi pemahaman manusia tentang bahasa sebagai medium berpikir
yang objektif dan rasional.²⁰
Footnotes
[1]
¹ John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975),
405–407.
[2]
² Ibid., 410.
[3]
³ Gottlob Frege, The Foundations of Arithmetic,
terj. J. L. Austin (Oxford: Blackwell, 1953), xi–xii.
[4]
⁴ Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1981), 19–21.
[5]
⁵ Frege, The Foundations of Arithmetic,
xiii.
[6]
⁶ Hans Sluga, Gottlob Frege (London:
Routledge, 1980), 42.
[7]
⁷ Gottlob Frege, Begriffsschrift (Halle:
Nebert, 1879), 1–2.
[8]
⁸ Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[9]
⁹ E. J. Ashworth, “Medieval Theories of
Supposition,” dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward
N. Zalta (Fall 2019 Edition).
[10]
¹⁰ David Hume, A Treatise of Human Nature
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 15–16.
[11]
¹¹ Frege, The Foundations of Arithmetic,
23–25.
[12]
¹² Frederick Beiser, German Idealism: The
Struggle Against Subjectivism (Cambridge, MA: Harvard University Press,
2002), 214.
[13]
¹³ Dummett, Frege: Philosophy of Language,
30.
[14]
¹⁴ Tyler Burge, “Frege on Knowing the Foundation,” Mind
100, no. 399 (1991): 451.
[15]
¹⁵ Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[16]
¹⁶ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 5.6–5.7.
[17]
¹⁷ Rudolf Carnap, Meaning and Necessity: A Study
in Semantics and Modal Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1947),
7–8.
[18]
¹⁸ Michael Beaney, “Frege and the Origins of
Analytic Philosophy,” dalam The Oxford Handbook of the History of Analytic
Philosophy, ed. Michael Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013),
155.
[19]
¹⁹ Dummett, Frege: Philosophy of Language,
65–66.
[20]
²⁰ Robert Brandom, Making It Explicit:
Reasoning, Representing, and Discursive Commitment (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1994), 72.
3.
Ontologi
Makna dan Rujukan
Dalam kerangka
filsafat bahasa Gottlob Frege, pembedaan antara Sinn (makna) dan Bedeutung
(rujukan) tidak hanya bersifat semantik, tetapi juga mengandung implikasi
ontologis yang mendalam. Frege memandang bahwa setiap ekspresi linguistik
memiliki dua aspek ontologis yang berbeda namun saling berhubungan: cara
penyajian suatu entitas (mode of presentation) yang disebut Sinn,
dan objek aktual yang ditunjuk oleh ekspresi tersebut yang disebut Bedeutung.¹
Dengan demikian, struktur makna tidak direduksi menjadi sekadar hubungan
eksternal antara kata dan benda, tetapi melibatkan dimensi ideal yang
memungkinkan pemahaman intersubjektif atas dunia.²
3.1. Ontologi Sinn: Makna sebagai Cara Penyajian
Bagi Frege, Sinn
adalah bentuk atau cara suatu rujukan diberikan kepada kesadaran intelektual
manusia. Ia menulis bahwa “cara kita memandang atau mengonseptualisasikan
suatu rujukan berbeda dari rujukan itu sendiri.”³ Dengan kata lain, Sinn
bukanlah ide mental atau citra psikologis, melainkan entitas ideal yang berada
di antara pikiran subjek dan dunia eksternal.⁴ Ia bersifat objektif karena
dapat dipahami secara sama oleh banyak individu, tetapi juga tidak bersifat
material atau empiris.⁵
Contoh klasik yang
digunakan Frege adalah pernyataan “Bintang Fajar adalah Bintang Senja” (Der
Morgenstern ist der Abendstern).⁶ Kedua istilah tersebut memiliki Bedeutung
yang sama—yaitu planet Venus—namun memiliki Sinn yang berbeda karena menyajikan
objek yang sama dalam dua cara konseptual yang berlainan.⁷ Artinya, seseorang
bisa mengetahui makna “Bintang Fajar” tanpa mengetahui bahwa itu identik
dengan “Bintang Senja.” Dengan demikian, Sinn memungkinkan nilai kognitif (cognitive
value) suatu proposisi berbeda dari sekadar kesamaan
referensialnya.⁸
Dari sudut
ontologis, Sinn
berfungsi sebagai jembatan antara bahasa dan realitas: ia adalah “modus
penyajian” yang membuat suatu ekspresi linguistik dapat bermakna.⁹ Oleh
karena itu, Frege menolak pandangan empiris yang mengidentikkan makna dengan
persepsi, serta menolak pandangan nominalis yang menganggap makna sebagai nama
semata.¹⁰ Ia menempatkan Sinn dalam tataran realitas
logis—sebuah “dunia ketiga” sebagaimana kemudian dikatakan oleh
Popper—yang tidak bersifat mental maupun fisik, tetapi dapat diakses melalui
rasionalitas linguistik.¹¹
3.2. Ontologi Bedeutung: Rujukan sebagai Entitas
Eksternal
Sementara itu, Bedeutung
mengacu pada entitas aktual di dunia yang menjadi sasaran dari suatu ekspresi.
Dalam konteks nama diri seperti “Aristoteles,” Bedeutung
adalah individu konkret yang ditunjuk oleh nama tersebut; dalam konteks
proposisi, Bedeutung
adalah nilai kebenaran dari pernyataan itu.¹² Frege menegaskan bahwa setiap
kalimat yang bermakna harus memiliki Bedeutung, dan nilai kebenaran (true
atau false)
itulah rujukan bagi seluruh proposisi.¹³
Dengan demikian,
ontologi Bedeutung
bersifat eksternal dan objektif. Ia tidak bergantung pada keadaan kesadaran
individu, melainkan berdiri dalam dunia faktual yang dapat diverifikasi.¹⁴ Akan
tetapi, hubungan antara bahasa dan realitas melalui Bedeutung tidak langsung, karena
harus dimediasi oleh Sinn. Frege menyatakan bahwa
seseorang tidak dapat menjangkau rujukan tanpa terlebih dahulu memahami
maknanya; pemahaman semantik menjadi prasyarat bagi penentuan referensial.¹⁵
Relasi antara Sinn
dan Bedeutung
dapat dianalogikan sebagai hubungan antara peta dan wilayah yang digambarkan.¹⁶
Peta (makna) memberikan cara pandang tertentu terhadap wilayah (rujukan),
tetapi tidak identik dengannya. Oleh sebab itu, dalam sistem Fregean, makna
memiliki prioritas epistemik—ia memungkinkan seseorang mengetahui apa yang
dirujuk—sementara rujukan memiliki prioritas ontologis—ia menetapkan kebenaran
dari ekspresi tersebut.¹⁷
3.3. Hubungan Ontologis antara Sinn dan Bedeutung
Hubungan antara
kedua entitas ini bersifat hierarkis dan nonreduktif. Sinn
merupakan cara atau bentuk representasi yang memberi arti pada ekspresi
linguistik, sedangkan Bedeutung adalah isi eksternal yang
dirujuk oleh representasi tersebut.¹⁸ Jika suatu ekspresi tidak memiliki
rujukan (misalnya “Pegasus” atau “Raja Prancis saat ini”), maka
ia tetap memiliki Sinn, meskipun Bedeutung-nya
kosong.¹⁹ Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi makna tidak tergantung pada
eksistensi rujukan—sebuah pandangan yang kelak mengilhami teori deskripsi
Bertrand Russell.²⁰
Dalam ontologi
Frege, Sinn
dan Bedeutung
tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga logis dan metafisik. Makna
menyediakan struktur konseptual bagi pikiran manusia, sedangkan rujukan
menjamin keterhubungan bahasa dengan realitas.²¹ Kesatuan keduanya memungkinkan
bahasa berfungsi sebagai medium berpikir yang objektif dan rasional, di mana
setiap pernyataan dapat dinilai benar atau salah berdasarkan relasi antara
makna proposisi dan keadaan dunia.²²
Dengan demikian,
teori ontologis Frege menegaskan bahwa bahasa memiliki dua dimensi realitas:
dimensi ideal yang terletak dalam Sinn, dan dimensi faktual yang
terletak dalam Bedeutung.²³ Melalui pembedaan ini,
Frege mengatasi dualisme antara subjektivitas ide dan objektivitas dunia, serta
meletakkan dasar bagi logika modern dan semantik formal.²⁴
Footnotes
[1]
¹ Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[2]
² Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1981),
60.
[3]
³ Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” 27.
[4]
⁴ Tyler Burge, “Frege on Sense and Linguistic Meaning,” Philosophical Review
90, no. 1 (1981): 49–53.
[5]
⁵ Hans Sluga, Gottlob Frege (London: Routledge, 1980), 44.
[6]
⁶ Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” 28.
[7]
⁷ Michael Beaney, The Frege Reader (Oxford: Blackwell, 1997), 153.
[8]
⁸ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 63.
[9]
⁹ Crispin Wright, Frege’s Conception of
Truth (Oxford: Blackwell, 1992), 42.
[10]
¹⁰ Frege, The Foundations of
Arithmetic, terj. J. L. Austin
(Oxford: Blackwell, 1953), xii.
[11]
¹¹ Karl Popper, Objective Knowledge: An
Evolutionary Approach (Oxford:
Clarendon Press, 1972), 109.
[12]
¹² Frege, Translations from the Philosophical
Writings of Gottlob Frege, ed. Peter
Geach dan Max Black (Oxford: Blackwell, 1952), 57–58.
[13]
¹³ Ibid., 59.
[14]
¹⁴ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 72.
[15]
¹⁵ Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” 29.
[16]
¹⁶ Gottlob Frege, Logical Investigations, ed. Peter Geach (Oxford: Blackwell, 1977), 14.
[17]
¹⁷ Beaney, The Frege Reader, 158.
[18]
¹⁸ Burge, “Frege on Sense and Linguistic Meaning,” 55.
[19]
¹⁹ Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 481–482.
[20]
²⁰ Ibid., 486.
[21]
²¹ Peter Geach, Logic Matters (Oxford: Blackwell, 1972), 139.
[22]
²² Frege, The Foundations of
Arithmetic, 24.
[23]
²³ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 75.
[24]
²⁴ Michael Beaney, “Frege and the Origins of Analytic Philosophy,”
dalam The Oxford Handbook of the History of
Analytic Philosophy, ed. Michael
Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013), 157.
4.
Epistemologi:
Pengetahuan dan Pemahaman Makna
Dalam kerangka
filsafat bahasa Gottlob Frege, epistemologi makna berhubungan erat dengan
persoalan bagaimana manusia mengetahui dan memahami
makna suatu ekspresi linguistik. Bagi Frege, makna (Sinn) bukanlah sekadar representasi
mental yang bersifat subjektif, melainkan sebuah entitas ideal yang
memungkinkan subjek rasional memahami hubungan antara bahasa dan dunia secara
objektif.¹ Oleh karena itu, epistemologi Frege mengenai makna berfokus pada
syarat-syarat pengetahuan yang menjamin komunikasi dan pemikiran yang benar, di
mana bahasa menjadi media perantara antara pikiran dan realitas.²
4.1. Pemahaman Makna sebagai Aktivitas Rasional dan
Intersubjektif
Frege menolak
pandangan psikologistik yang memandang makna sebagai hasil dari asosiasi ide
dalam pikiran individu.³ Baginya, pengetahuan tentang makna tidak dapat
direduksi menjadi pengalaman subjektif karena makna harus memiliki sifat
objektif yang dapat dibagikan antarindividu melalui bahasa.⁴ Dalam esainya Der
Gedanke (“The Thought”), Frege menulis bahwa “isi pikiran
yang dapat dipahami bukanlah bagian dari dunia batin seseorang, tetapi sesuatu
yang objektif dan dapat dimiliki bersama.”⁵ Pernyataan ini menegaskan bahwa
pemahaman makna melibatkan partisipasi dalam ruang rasionalitas bersama (common
rational space), bukan semata-mata hasil introspeksi pribadi.
Dengan demikian,
memahami makna berarti mengakses dimensi ideal yang sama bagi semua pembicara
rasional. Dalam kerangka ini, Sinn berfungsi sebagai kunci
epistemik—sebuah jalan menuju pemahaman akan objek rujukan (Bedeutung)
melalui cara penyajiannya.⁶ Misalnya, ketika seseorang memahami makna “Bintang
Fajar,” ia tidak sekadar mengenali kata itu, tetapi juga mengetahui cara di
mana objek (Venus) disajikan dalam kesadaran linguistiknya.⁷ Pemahaman semacam
ini bersifat konseptual, bukan empiris, karena tidak bergantung pada persepsi
langsung terhadap objek yang dirujuk.⁸
4.2. Pengetahuan tentang Rujukan melalui Makna
Frege menekankan
bahwa pengetahuan tentang rujukan hanya dapat diperoleh melalui makna.⁹
Seseorang tidak dapat mengetahui apa yang dirujuk oleh suatu istilah tanpa
terlebih dahulu memahami maknanya. Hal ini berarti bahwa Sinn
memiliki prioritas epistemik dibandingkan Bedeutung: ia adalah pintu masuk
menuju pengetahuan tentang dunia.¹⁰ Dalam proposisi yang bermakna, pemahaman
terhadap Sinn
memungkinkan subjek menentukan kondisi di mana proposisi itu benar atau salah,
sedangkan Bedeutung
menjamin kebenaran faktualnya.¹¹
Dengan demikian,
epistemologi Frege membedakan dua tingkat pengetahuan: (a) pengetahuan
semantik, yaitu pemahaman terhadap struktur makna dan hubungan antar ekspresi;
dan (b) pengetahuan referensial, yaitu pengetahuan tentang objek aktual yang
dirujuk.¹² Sebagai contoh, dua kalimat “Bintang Fajar adalah Venus” dan
“Bintang Senja adalah Venus” memberikan pengetahuan referensial yang
sama, tetapi berbeda dalam kandungan kognitif karena Sinn-nya
tidak identik.¹³ Perbedaan ini menjadi penting dalam menjelaskan bagaimana
seseorang dapat memperoleh pengetahuan baru dari identitas yang tampaknya
trivial.¹⁴
4.3. Kognisi, Nilai Kebenaran, dan Pemahaman Proposisi
Dalam epistemologi
Frege, pengetahuan proposisional (propositional knowledge) bergantung
pada pemahaman terhadap makna proposisi, bukan semata pada pengenalan terhadap
fakta.¹⁵ Suatu proposisi dapat memiliki Bedeutung berupa nilai kebenaran (truth-value),
tetapi hanya dapat dipahami melalui Sinn-nya yang menghubungkan subjek
dengan kondisi kebenaran tersebut.¹⁶ Dengan demikian, memahami proposisi “Salju
itu putih” berarti mengetahui bahwa proposisi itu akan benar jika dan hanya
jika salju memang putih di dunia faktual.¹⁷ Pengetahuan tentang kebenaran
karenanya bersifat mediatif: ia melalui makna sebagai sarana konseptual antara
bahasa dan realitas.¹⁸
Frege juga
menegaskan bahwa nilai kebenaran merupakan entitas objektif, bukan hasil
keyakinan atau persepsi subjektif.¹⁹ Namun, untuk mencapai kebenaran tersebut,
subjek harus memiliki pemahaman epistemik terhadap Sinn dari kalimat yang digunakan.
Di sini terlihat peran makna sebagai jembatan epistemologis antara pikiran dan
dunia: tanpa memahami makna proposisi, seseorang tidak dapat menilai
kebenarannya.²⁰ Dalam hal ini, epistemologi Frege bersifat rasional dan logis,
bukan empiris atau psikologis.
4.4. Dimensi Intersubjektif dan Rasionalitas Komunikatif
Selain menghubungkan
pengetahuan individu dengan dunia, Frege juga menyiratkan dimensi
intersubjektif dari pemahaman makna. Karena Sinn bersifat objektif, maka ia
dapat menjadi dasar bagi komunikasi dan pembagian pengetahuan antarindividu.²¹
Setiap orang yang memahami bahasa tertentu dapat mengakses Sinn
yang sama, sehingga memungkinkan kesepahaman (Verständigung) dalam diskursus
rasional.²² Dimensi inilah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para
filsuf komunikasi seperti Jürgen Habermas, yang menafsirkan Frege sebagai salah
satu peletak dasar rasionalitas intersubjektif dalam bahasa.²³
Frege, dengan
demikian, menawarkan epistemologi yang menolak baik relativisme makna maupun
reduksi psikologis. Bahasa tidak dipahami sebagai cerminan pengalaman
subjektif, melainkan sebagai struktur rasional yang memungkinkan pertukaran
pengetahuan yang objektif.²⁴ Pengetahuan tentang makna adalah pengetahuan
tentang bagaimana bahasa berfungsi dalam menyingkap dunia melalui representasi
yang dapat diverifikasi dan dibagikan bersama.²⁵
4.5. Implikasi Epistemologis terhadap Filsafat Bahasa
Modern
Konsep epistemologi
makna Frege memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan filsafat bahasa abad
ke-20. Bertrand Russell memanfaatkan pembedaan Frege untuk merumuskan teori
deskripsi dalam menjelaskan bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu yang
mungkin tidak memiliki rujukan aktual, seperti “Raja Prancis saat ini.”²⁶
Ludwig Wittgenstein awal mengembangkan gagasan Frege menjadi teori gambar (picture
theory of meaning), di mana pemahaman makna berarti mengetahui
struktur logis yang memungkinkan representasi dunia.²⁷ Sementara itu, Rudolf
Carnap dan para positivis logis menafsirkan epistemologi Frege dalam kerangka
verifikasi ilmiah dan semantik formal.²⁸
Secara
epistemologis, warisan Frege menegaskan bahwa pengetahuan tentang makna
bukanlah hasil introspeksi psikologis, melainkan bagian dari aktivitas rasional
manusia dalam memahami struktur dunia melalui bahasa.²⁹ Pemahaman makna, dengan
demikian, menjadi dasar dari seluruh proses berpikir, berkomunikasi, dan
membangun kebenaran ilmiah.³⁰
Footnotes
[1]
¹ Gottlob Frege, Über Sinn und Bedeutung, Zeitschrift für
Philosophie und philosophische Kritik
100 (1892): 25–50.
[2]
² Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1981),
82.
[3]
³ Frege, The Foundations of
Arithmetic, terj. J. L. Austin
(Oxford: Blackwell, 1953), xii–xiii.
[4]
⁴ Hans Sluga, Gottlob Frege (London: Routledge, 1980), 42–43.
[5]
⁵ Gottlob Frege, “Der Gedanke,” dalam Logische Untersuchungen
(Leipzig: Felix Meiner, 1918), 59.
[6]
⁶ Frege, Über Sinn und Bedeutung, 27–28.
[7]
⁷ Michael Beaney, The Frege Reader (Oxford: Blackwell, 1997), 154.
[8]
⁸ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 90.
[9]
⁹ Frege, Über Sinn und Bedeutung, 29.
[10]
¹⁰ Tyler Burge, “Frege on Sense and Linguistic Meaning,” Philosophical Review
90, no. 1 (1981): 55.
[11]
¹¹ Frege, Translations from the
Philosophical Writings of Gottlob Frege,
ed. Peter Geach dan Max Black (Oxford: Blackwell, 1952), 61.
[12]
¹² Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 91–92.
[13]
¹³ Frege, Über Sinn und Bedeutung, 28–29.
[14]
¹⁴ Peter Geach, Logic Matters (Oxford: Blackwell, 1972), 142.
[15]
¹⁵ Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 1
(1967): 304.
[16]
¹⁶ Frege, Der Gedanke, 62.
[17]
¹⁷ Crispin Wright, Frege’s Conception of
Truth (Oxford: Blackwell, 1992), 48.
[18]
¹⁸ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 100.
[19]
¹⁹ Frege, The Foundations of
Arithmetic, xiv.
[20]
²⁰ Burge, “Frege on Sense and Linguistic Meaning,” 58.
[21]
²¹ Michael Beaney, “Frege and the Origins of Analytic Philosophy,”
dalam The Oxford Handbook of the History of
Analytic Philosophy, ed. Michael
Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013), 158.
[22]
²² Jürgen Habermas, On
the Pragmatics of Communication
(Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 37.
[23]
²³ Ibid., 39.
[24]
²⁴ Robert Brandom, Making It Explicit:
Reasoning, Representing, and Discursive Commitment (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 77.
[25]
²⁵ Dummett, Frege: Philosophy of Language, 106.
[26]
²⁶ Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 480–493.
[27]
²⁷ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London:
Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.21.
[28]
²⁸ Rudolf Carnap, Meaning and Necessity:
A Study in Semantics and Modal Logic
(Chicago: University of Chicago Press, 1947), 11–12.
[29]
²⁹ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 115.
[30]
³⁰ Michael Beaney, The Frege Reader, 161.
5.
Aksiologi:
Nilai Kebenaran dan Fungsi Logis
Dalam sistem
filsafat bahasa Gottlob Frege, dimensi aksiologis berkaitan dengan nilai dan
fungsi logis dari bahasa sebagai sarana pencapaian kebenaran. Frege memandang
bahwa tujuan utama bahasa bukanlah ekspresi emosional atau komunikasi
subjektif, melainkan pengungkapan proposisi yang dapat bernilai benar (wahr)
atau salah (falsch).¹ Dengan demikian, bahasa
memiliki nilai intrinsik yang terletak pada kemampuannya untuk mengekspresikan
pikiran yang dapat diuji kebenarannya secara objektif. Frege menempatkan
kebenaran (Wahrheit)
sebagai nilai tertinggi dalam tatanan logika dan epistemologi, yang menjadi
dasar aksiologi bahasa dan pemikiran.²
5.1. Kebenaran sebagai Bedeutung dari Proposisi
Frege memperkenalkan
gagasan bahwa nilai kebenaran (truth-value) merupakan Bedeutung
atau rujukan dari suatu proposisi.³ Artinya, setiap kalimat yang lengkap (Satz)
tidak hanya memiliki makna (Sinn) yang menunjukkan bagaimana
dunia disajikan, tetapi juga memiliki rujukan berupa nilai kebenaran itu
sendiri.⁴ Ia membedakan antara Sinn kalimat —yakni isi pikiran
atau Gedanke—
dan Bedeutung-nya,
yang adalah keadaan faktual apakah proposisi tersebut benar atau salah.⁵ Dengan
demikian, proposisi “Salju berwarna putih” memiliki Sinn
tertentu (yakni konsep bahwa salju memiliki warna putih), sementara Bedeutung-nya
adalah nilai “benar” jika memang demikian adanya di dunia.⁶
Pendekatan ini
menegaskan bahwa fungsi utama bahasa adalah untuk menyatakan sesuatu tentang
dunia dengan cara yang dapat dinilai berdasarkan kebenaran objektif.⁷ Dalam
kerangka aksiologis, maka kebenaran bukan sekadar sifat kalimat, tetapi
merupakan nilai logis yang menentukan kebermaknaan bahasa itu sendiri. Kalimat
tanpa nilai kebenaran (misalnya kalimat yang tak dapat diverifikasi) kehilangan
fungsi komunikatif dan epistemiknya.⁸ Oleh karena itu, bagi Frege, kebenaran
adalah “nilai tertinggi” (das höchste Gut) dalam ranah
intelektual dan logis, karena menjadi tujuan akhir dari semua pernyataan
bermakna.⁹
5.2. Nilai Kebenaran sebagai Dasar Objektivitas Logika
Konsepsi Frege
tentang nilai kebenaran memiliki dimensi aksiologis yang sangat penting: ia
menjamin objektivitas logika. Frege menentang pandangan psikologistik yang
mengaitkan kebenaran dengan kepercayaan atau keadaan mental manusia.¹⁰ Ia
menulis dalam Der Gedanke bahwa “kebenaran
tidak bergantung pada siapa pun yang berpikir, tetapi berdiri sendiri,
independen dari subjek.”¹¹ Dengan demikian, kebenaran memiliki status
ontologis yang objektif dan nilai normatif yang mengikat semua pikiran
rasional.¹²
Dalam konteks ini,
nilai kebenaran berfungsi sebagai ukuran universal dalam menilai validitas
argumen dan inferensi.¹³ Logika, menurut Frege, bukanlah deskripsi tentang cara
manusia berpikir, tetapi sistem normatif tentang bagaimana manusia seharusnya
berpikir agar mencapai kebenaran.¹⁴ Aksiologi Fregean dengan demikian berpijak
pada prinsip bahwa nilai kebenaran adalah norma tertinggi dalam kegiatan
rasional. Nilai ini tidak bersifat moral atau estetis, melainkan intelektual—ia
menentukan makna dan fungsi penalaran itu sendiri.¹⁵
5.3. Fungsi Logis Bahasa: Dari Makna ke Kebenaran
Dalam kerangka
fungsionalnya, bahasa bagi Frege memiliki struktur logis yang terdiri atas dua
tingkatan: ekspresi linguistik sebagai wadah makna (Sinn), dan proposisi sebagai
pembawa nilai kebenaran (Bedeutung).¹⁶ Ia menyebut proposisi
sebagai “kendaraan pikiran” (vehicle of thought) yang
memungkinkan manusia mengomunikasikan isi kognitif secara objektif.¹⁷ Oleh
karena itu, bahasa menjalankan fungsi logisnya ketika digunakan untuk menyusun
dan menyampaikan pikiran yang dapat dievaluasi dalam kerangka benar–salah.¹⁸
Kebenaran, dalam
pengertian Frege, bukanlah korespondensi psikologis antara ide dan realitas,
melainkan kesesuaian logis antara Sinn proposisi dan keadaan faktual
di dunia.¹⁹ Di sinilah fungsi logis bahasa menampakkan nilai aksionalnya: ia
menjadi sarana bagi manusia untuk menjangkau realitas melalui pemikiran yang
terstruktur secara semantik dan logis. Bahasa yang berfungsi logis adalah
bahasa yang tunduk pada prinsip-prinsip inferensi yang benar, di mana setiap
langkah deduksi diarahkan pada pelestarian nilai kebenaran.²⁰ Dengan kata lain,
bahasa memperoleh nilai epistemik dan etisnya dari kemampuannya menjaga
integritas kebenaran dalam komunikasi dan penalaran.²¹
5.4. Aksiologi Fregean dan Etika Intelektual
Meskipun Frege tidak
secara eksplisit mengembangkan etika kognitif, implikasi aksiologis dari
sistemnya dapat dipahami sebagai bentuk “etika rasionalitas.”²² Dalam
dunia pemikiran, kebenaran menempati posisi yang analog dengan kebaikan moral:
keduanya merupakan nilai normatif yang membimbing tindakan rasional.²³ Dengan
demikian, komitmen terhadap kebenaran bukan hanya kewajiban epistemik, tetapi
juga tanggung jawab etis bagi setiap subjek berpikir.²⁴
Aksiologi ini dapat
pula dilihat sebagai dasar etika ilmiah dan diskursus rasional modern. Dalam
tradisi filsafat analitik, pandangan Frege tentang nilai kebenaran
menginspirasi gagasan bahwa kegiatan ilmiah dan filosofis harus berorientasi
pada pencapaian kebenaran objektif, bukan pada kepentingan pragmatis atau
relativistik.²⁵ Dalam konteks komunikasi publik, hal ini berarti bahwa
penggunaan bahasa harus diarahkan pada kejelasan, koherensi, dan kejujuran
intelektual—nilai-nilai yang menjadi landasan bagi rasionalitas
intersubjektif.²⁶
5.5. Fungsi Aksiologis Frege dalam Perkembangan Semantik
dan Logika
Warisan aksiologis
Frege dapat dilihat dalam pengaruhnya terhadap teori kebenaran dan logika
modern. Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead mengembangkan sistem Principia
Mathematica dengan mempertahankan prinsip Frege bahwa logika adalah
sarana formal untuk menjamin kebenaran.²⁷ Rudolf Carnap mengadopsi semangat
Fregean dalam semantik formalnya, di mana arti dari ekspresi ditentukan oleh
kondisi kebenaran (truth-conditions).²⁸ Bahkan Tarski,
dalam teorinya tentang kebenaran sebagai kesesuaian formal (semantic
conception of truth), secara eksplisit menyebut Frege sebagai
sumber inspirasi bagi konsep bahwa “benar” dapat didefinisikan secara logis.²⁹
Dengan demikian,
dalam dimensi aksiologis, Frege menegaskan bahwa bahasa memperoleh nilainya
sejauh ia menjadi wahana bagi pencarian kebenaran. Kebenaran merupakan nilai
tertinggi dalam struktur logis bahasa, sedangkan fungsi logis bahasa adalah
alat untuk mencapainya.³⁰ Teori ini bukan hanya mendasari logika formal modern,
tetapi juga memberikan arah etis bagi rasionalitas manusia: bahwa berpikir
dengan benar adalah tindakan bernilai pada dirinya sendiri.³¹
Footnotes
[1]
¹ Gottlob Frege, Über Sinn und Bedeutung, Zeitschrift für
Philosophie und philosophische Kritik
100 (1892): 25–50.
[2]
² Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1981),
113.
[3]
³ Frege, Über Sinn und Bedeutung, 30.
[4]
⁴ Hans Sluga, Gottlob Frege (London: Routledge, 1980), 55.
[5]
⁵ Gottlob Frege, “Der Gedanke,” dalam Logische Untersuchungen
(Leipzig: Felix Meiner, 1918), 60.
[6]
⁶ Michael Beaney, The Frege Reader (Oxford: Blackwell, 1997), 159.
[7]
⁷ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 115.
[8]
⁸ Tyler Burge, “Frege on Sense and Linguistic Meaning,” Philosophical Review
90, no. 1 (1981): 58.
[9]
⁹ Frege, “Der Gedanke,” 63.
[10]
¹⁰ Gottlob Frege, The Foundations of
Arithmetic, terj. J. L. Austin
(Oxford: Blackwell, 1953), xiv.
[11]
¹¹ Frege, “Der Gedanke,” 62.
[12]
¹² Peter Geach, Logic Matters (Oxford: Blackwell, 1972), 143.
[13]
¹³ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 118.
[14]
¹⁴ Frege, The Foundations of
Arithmetic, xv.
[15]
¹⁵ Crispin Wright, Frege’s Conception of
Truth (Oxford: Blackwell, 1992), 47.
[16]
¹⁶ Frege, Über Sinn und Bedeutung, 31.
[17]
¹⁷ Frege, Logical Investigations, ed. Peter Geach (Oxford: Blackwell, 1977), 12.
[18]
¹⁸ Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 1
(1967): 304–305.
[19]
¹⁹ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 120.
[20]
²⁰ Beaney, The Frege Reader, 161.
[21]
²¹ Robert Brandom, Making It Explicit:
Reasoning, Representing, and Discursive Commitment (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 79.
[22]
²² Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 125.
[23]
²³ Jürgen Habermas, On
the Pragmatics of Communication
(Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 37.
[24]
²⁴ Hans Sluga, Gottlob Frege, 61.
[25]
²⁵ Rudolf Carnap, Meaning and Necessity:
A Study in Semantics and Modal Logic
(Chicago: University of Chicago Press, 1947), 10.
[26]
²⁶ Habermas, On the Pragmatics of
Communication, 39.
[27]
²⁷ Bertrand Russell dan Alfred North Whitehead, Principia Mathematica
(Cambridge: Cambridge University Press, 1910), xi.
[28]
²⁸ Carnap, Meaning and Necessity, 12.
[29]
²⁹ Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341.
[30]
³⁰ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 130.
[31]
³¹ Frege, “Der Gedanke,” 64.
6.
Dimensi
Sosial, Linguistik, dan Kultural
Konsep Sinn
(makna) dan Bedeutung (rujukan) yang
dikembangkan Gottlob Frege tidak hanya memiliki implikasi logis dan
epistemologis, tetapi juga membawa dimensi sosial, linguistik, dan kultural
yang mendalam. Walaupun Frege sendiri berangkat dari kerangka logisisme yang
ketat dan berorientasi pada objektivitas logika, pemikirannya secara tidak
langsung membuka ruang bagi pemahaman bahasa sebagai fenomena sosial dan
budaya.¹ Dalam kerangka ini, bahasa tidak lagi dipandang sekadar sebagai sistem
simbol formal, tetapi juga sebagai medium komunikasi intersubjektif yang
membentuk, menstrukturkan, dan mentransmisikan pengetahuan dalam masyarakat.²
6.1. Bahasa sebagai Medium Intersubjektivitas
Bagi Frege, makna (Sinn)
bersifat objektif dan dapat diakses oleh banyak individu yang berbagi bahasa
yang sama.³ Ia menulis dalam Der Gedanke bahwa “isi pikiran
yang dapat dipahami bukanlah milik individu, melainkan sesuatu yang dapat
dimiliki bersama.”⁴ Pernyataan ini menegaskan dimensi sosial bahasa:
pemahaman terhadap makna bergantung pada kemampuan manusia untuk berbagi Sinn
dalam ruang intersubjektif.⁵ Dengan kata lain, ketika dua orang memahami makna
sebuah kalimat, mereka tidak berbagi keadaan mental yang sama, melainkan
mengakses struktur makna objektif yang sama.
Dalam konteks ini,
bahasa berfungsi sebagai jembatan antara kesadaran individual dan rasionalitas
kolektif.⁶ Ia memungkinkan pembentukan pengetahuan sosial melalui struktur
logis yang dapat diuji dan disepakati bersama. Pandangan ini menjadi landasan
awal bagi konsep “rasionalitas komunikatif” (kommunikative Vernunft) yang
dikembangkan kemudian oleh Jürgen Habermas, yang melihat dimensi sosial bahasa
Frege sebagai cikal bakal pemahaman etis dan diskursif dalam masyarakat
modern.⁷
6.2. Struktur Linguistik dan Objektivitas Makna
Meskipun Frege tidak
menulis secara langsung tentang linguistik, teorinya memberikan kontribusi
fundamental terhadap pemahaman struktur bahasa. Ia menunjukkan bahwa hubungan
antara tanda linguistik dan realitas bukanlah hubungan langsung antara kata dan
benda, melainkan dimediasi oleh Sinn.⁸ Setiap ekspresi linguistik
memiliki dua tingkat struktur: bentuk eksternal (linguistic form) dan isi makna (semantic
sense).⁹ Dengan demikian, Frege membedakan bahasa alamiah (natural
language) dari logika formal, tetapi tetap menegaskan bahwa bahasa
alamiah dapat dianalisis dengan prinsip-prinsip semantik objektif.¹⁰
Konsepsi ini
kemudian mengilhami perkembangan linguistik struktural dan semantik modern.
Ferdinand de Saussure, meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, juga
menekankan hubungan arbitrer antara penanda (signifiant) dan petanda (signifié),
yang secara konseptual memiliki kedekatan dengan distingsi Fregean antara Sinn
dan Bedeutung.¹¹
Dalam semantik modern, terutama dalam teori truth-conditional semantics, makna
kalimat dipahami melalui kondisi kebenarannya, sebuah pendekatan yang secara
langsung berakar pada gagasan Frege bahwa nilai kebenaran merupakan Bedeutung
dari proposisi.¹²
Frege juga
menekankan peran struktur sintaktis dalam menentukan makna logis kalimat.¹³
Kalimat seperti “semua manusia fana” dan “manusia semua fana”
mungkin secara linguistik mirip, tetapi memiliki struktur logis berbeda yang
memengaruhi interpretasinya.¹⁴ Dengan demikian, bahasa memiliki sistem internal
yang menyalurkan makna melalui aturan-aturan simbolik yang dapat dipahami
secara objektif oleh komunitas pengguna bahasa.¹⁵
6.3. Bahasa dan Budaya: Makna dalam Konteks
Sosio-Kultural
Dimensi kultural
dari teori Frege dapat dipahami melalui implikasinya terhadap bagaimana makna
beroperasi dalam konteks sosial tertentu. Walaupun Frege berfokus pada struktur
universal logika, penerapan teorinya dalam kehidupan nyata memperlihatkan bahwa
Sinn
tidak pernah terlepas dari horizon budaya yang membentuk pemahaman manusia.¹⁶
Sebagai contoh, istilah seperti “keadilan,” “kebebasan,” atau “Tuhan”
memiliki Bedeutung
yang dapat didefinisikan secara logis, tetapi Sinn-nya selalu diwarnai oleh
sejarah, tradisi, dan nilai-nilai kultural yang melingkupinya.¹⁷
Dalam perspektif
ini, makna menjadi titik pertemuan antara struktur logis dan pengalaman
historis manusia.¹⁸ Bahasa tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga
membentuk cara manusia melihat dan menafsirkan realitasnya. Gagasan Frege
tentang Sinn
sebagai “modus penyajian” dapat dipahami sebagai pengakuan filosofis
terhadap pluralitas perspektif budaya: setiap bahasa menyajikan dunia dengan
cara yang khas.¹⁹ Seperti dikemukakan Hans-Georg Gadamer, pemahaman makna selalu
terjadi dalam “lingkaran hermeneutik” di mana konteks sosial dan sejarah
menentukan horizon interpretasi.²⁰
Dengan demikian,
walaupun Frege menegaskan objektivitas makna, penerapan konsepsinya dalam
kehidupan sosial membuka ruang bagi interpretasi yang bersifat dinamis dan
kontekstual. Makna dapat dipahami sebagai konstruksi intersubjektif yang
terwujud dalam praktik linguistik dan budaya.²¹
6.4. Implikasi Sosial bagi Komunikasi dan Rasionalitas
Teori makna Frege
memiliki implikasi sosial yang luas dalam hal komunikasi dan rasionalitas
publik. Karena makna bersifat objektif, komunikasi yang rasional hanya dapat
terjadi apabila para partisipan berbagi Sinn yang sama atas istilah yang
digunakan.²² Dalam masyarakat modern, di mana bahasa menjadi instrumen utama
dalam politik, hukum, dan ilmu pengetahuan, pembedaan Frege antara makna dan
rujukan membantu menjaga ketepatan dan kejelasan dalam diskursus publik.²³
Frege menolak
relativisme semantik yang menganggap bahwa makna ditentukan sepenuhnya oleh
konteks sosial.²⁴ Namun, ia tidak menolak peran sosial bahasa, sebab justru
melalui interaksi komunikatif manusia dapat mencapai pemahaman objektif
terhadap dunia.²⁵ Dengan demikian, objektivitas logis dan intersubjektivitas
sosial saling melengkapi: logika memberi stabilitas pada makna, sementara
komunikasi memberi dinamika dan relevansi kulturalnya.²⁶
Gagasan ini
menegaskan pentingnya kejujuran linguistik dan kejelasan makna dalam kehidupan
sosial. Dalam diskursus ilmiah maupun politik, penyimpangan makna sering kali
menyebabkan distorsi komunikasi dan manipulasi rasionalitas publik.²⁷ Dengan
menempatkan kebenaran sebagai nilai tertinggi dalam penggunaan bahasa, Frege
memberikan dasar aksiologis bagi etika komunikasi yang berbasis pada kejelasan,
konsistensi, dan keterbukaan intelektual.²⁸
6.5. Kontribusi terhadap Semantik dan Filsafat Bahasa
Kontemporer
Dimensi
sosial-linguistik dari teori Frege terus berpengaruh hingga abad ke-20 dan
21.²⁹ Ludwig Wittgenstein, dalam fase awalnya, mengembangkan teori gambar (picture
theory of meaning) yang mempertahankan hubungan logis antara bahasa
dan dunia, tetapi dalam fase berikutnya (Philosophical Investigations), ia
menekankan peran “permainan bahasa” (language games) dalam konteks
sosial.³⁰ Pergeseran ini menunjukkan bagaimana ide Frege dapat diperluas dari
logika formal menuju praksis sosial bahasa.³¹
Dalam linguistik
modern, teori Frege menjadi fondasi bagi analisis semantik formal, pragmatik,
dan bahkan studi makna dalam komunikasi digital.³² Bahasa tidak hanya dipahami
sebagai sistem simbolis, tetapi juga sebagai jaringan sosial tempat makna
dinegosiasikan dan disebarkan.³³ Dengan demikian, meskipun Frege berfokus pada
struktur logis, warisan pemikirannya menembus batas-batas logika menuju ranah
sosial dan kultural, di mana bahasa menjadi cermin dan pembentuk realitas
manusia.³⁴
Footnotes
[1]
¹ Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1981),
143.
[2]
² Robert Brandom, Making It Explicit:
Reasoning, Representing, and Discursive Commitment (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 77.
[3]
³ Gottlob Frege, Über Sinn und Bedeutung, Zeitschrift für
Philosophie und philosophische Kritik
100 (1892): 28.
[4]
⁴ Gottlob Frege, “Der Gedanke,” dalam Logische Untersuchungen
(Leipzig: Felix Meiner, 1918), 59.
[5]
⁵ Michael Beaney, The Frege Reader (Oxford: Blackwell, 1997), 154.
[6]
⁶ Hans Sluga, Gottlob Frege (London: Routledge, 1980), 65.
[7]
⁷ Jürgen Habermas, On the Pragmatics of
Communication (Cambridge, MA: MIT
Press, 1998), 38.
[8]
⁸ Frege, Über Sinn und Bedeutung, 27.
[9]
⁹ Peter Geach, Logic Matters (Oxford: Blackwell, 1972), 142.
[10]
¹⁰ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 148.
[11]
¹¹ Ferdinand de Saussure, Course
in General Linguistics, ed. Charles
Bally dan Albert Sechehaye (New York: McGraw-Hill, 1959), 66–69.
[12]
¹² Donald Davidson, “Truth and Meaning,” Synthese 17, no. 1
(1967): 304.
[13]
¹³ Frege, Logical Investigations, ed. Peter Geach (Oxford: Blackwell, 1977), 15.
[14]
¹⁴ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 150.
[15]
¹⁵ Beaney, The Frege Reader, 161.
[16]
¹⁶ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 243.
[17]
¹⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, terj. Joel Weinsheimer
dan Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 280.
[18]
¹⁸ Taylor, Philosophical Arguments, 246.
[19]
¹⁹ Frege, Über Sinn und Bedeutung, 30.
[20]
²⁰ Gadamer, Truth and Method, 282.
[21]
²¹ Hubert Dreyfus dan Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 117.
[22]
²² Habermas, On the Pragmatics of
Communication, 39.
[23]
²³ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 153.
[24]
²⁴ Frege, The Foundations of
Arithmetic, terj. J. L. Austin
(Oxford: Blackwell, 1953), xv.
[25]
²⁵ Sluga, Gottlob Frege, 67.
[26]
²⁶ Brandom, Making It Explicit, 82.
[27]
²⁷ Habermas, On the Pragmatics of
Communication, 40.
[28]
²⁸ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 155.
[29]
²⁹ Beaney, The Frege Reader, 162.
[30]
³⁰ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations (Oxford: Blackwell,
1953), §23–25.
[31]
³¹ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 158.
[32]
³² Rudolf Carnap, Meaning and Necessity:
A Study in Semantics and Modal Logic
(Chicago: University of Chicago Press, 1947), 10–12.
[33]
³³ Brandom, Making It Explicit, 90.
[34]
³⁴ Michael Beaney, “Frege and the Origins of Analytic Philosophy,”
dalam The Oxford Handbook of the History of
Analytic Philosophy, ed. Michael Beaney
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 159.
7.
Kritik
terhadap Konsep Frege
Konsep pembedaan
antara Sinn
(makna) dan Bedeutung (rujukan) yang dirumuskan
Gottlob Frege dalam esainya Über Sinn und Bedeutung (1892)
merupakan salah satu tonggak terpenting dalam filsafat bahasa modern. Namun,
sejak awal abad ke-20 hingga kini, teori Frege telah menjadi objek kritik yang
luas dari berbagai aliran pemikiran, baik dari para penerus tradisi analitik
maupun dari perspektif hermeneutik, pragmatis, dan post-positivistik. Kritik
terhadap Frege berfokus pada tiga hal utama: (1) masalah entitas non-rujukan,
(2) status ontologis dari Sinn, dan (3) keterbatasan teori
Frege dalam menjelaskan dimensi pragmatik dan kontekstual dari makna.¹
7.1. Bertrand Russell dan Masalah Deskripsi
Kritik paling awal
dan berpengaruh terhadap Frege datang dari murid dan pengagumnya sendiri,
Bertrand Russell. Dalam artikelnya “On Denoting” (1905), Russell menganggap
bahwa teori Frege tidak memadai untuk menjelaskan ekspresi yang tampak bermakna
tetapi tidak memiliki rujukan aktual, seperti “Raja Prancis saat ini.”²
Menurut Frege, kalimat semacam itu memiliki Sinn yang utuh, meskipun Bedeutung-nya
kosong.³ Russell menilai bahwa pendekatan ini membiarkan proposisi tanpa dasar
empiris, sehingga menimbulkan kesulitan dalam logika dan semantik formal.
Sebagai alternatif,
Russell memperkenalkan Theory of Descriptions, yang
menyatakan bahwa ekspresi seperti “Raja Prancis saat ini” harus
dianalisis secara logis menjadi proposisi eksistensial kompleks yang dapat
bernilai benar atau salah tanpa mengandaikan adanya rujukan aktual.⁴ Dengan
cara ini, Russell berusaha menghindari “entitas fiktif” yang tampaknya
diandaikan oleh teori Frege.⁵ Kritik Russell menyoroti kecenderungan Frege
untuk memperlakukan Sinn sebagai entitas ideal yang
terpisah dari realitas empiris, dan dengan demikian membuka perdebatan baru
tentang batas antara semantik dan ontologi.⁶
7.2. Wittgenstein dan Pergeseran ke Fungsi Bahasa
Ludwig Wittgenstein,
terutama dalam fase awal pemikirannya, sangat dipengaruhi oleh Frege dan
Russell. Dalam Tractatus Logico-Philosophicus
(1922), Wittgenstein mengadopsi gagasan bahwa bahasa memiliki struktur logis
yang mencerminkan realitas: “Kalimat adalah gambar dari fakta.”⁷ Namun,
dalam karyanya yang lebih matang, Philosophical Investigations
(1953), Wittgenstein justru meninggalkan model Fregean dan mengkritik pandangan
bahwa makna adalah sesuatu yang tetap dan abstrak.⁸
Menurut Wittgenstein
kemudian, makna suatu kata bukanlah entitas ideal seperti Sinn,
melainkan “penggunaannya dalam bahasa” (the meaning of a word is its use in the
language).⁹ Dengan menekankan fungsi sosial bahasa, Wittgenstein
memperluas makna dari kerangka semantik formal menjadi praksis komunikatif yang
kontekstual.¹⁰ Ia menilai bahwa Frege, meskipun berhasil memisahkan makna dari
rujukan, masih terjebak dalam pandangan representasionalis yang menganggap
makna sebagai entitas mental atau logis yang statis.¹¹ Kritik ini menandai
pergeseran besar dalam filsafat bahasa dari paradigma logis ke paradigma
pragmatik.
7.3. Quine dan Kritik terhadap Distingsi
Analitik–Sintetik
Willard Van Orman
Quine, dalam esainya yang berpengaruh “Two Dogmas of Empiricism” (1951),
mengkritik gagasan Frege (dan tradisi analitik pada umumnya) tentang adanya
perbedaan yang jelas antara makna dan rujukan.¹² Menurut Quine, pembedaan
Fregean antara Sinn dan Bedeutung
menciptakan asumsi tentang “makna tetap” yang dapat dianalisis secara
terpisah dari pengalaman empiris.¹³ Ia menolak asumsi ini dan berargumen bahwa
makna tidak dapat diisolasi secara logis karena selalu terkait dengan
keseluruhan jaringan kepercayaan dan teori.¹⁴
Kritik Quine juga
menyasar pada kepercayaan Frege akan adanya bahasa ideal yang transparan secara
logis. Ia menegaskan bahwa makna kata atau proposisi tidak pernah dapat
ditentukan secara mutlak, sebab penggunaannya bergantung pada konteks
linguistik dan budaya yang lebih luas.¹⁵ Dengan demikian, teori makna Frege,
menurut Quine, terlalu dogmatis dan tidak mampu menangkap fleksibilitas bahasa
manusia.¹⁶ Kritik ini memperluas horizon filsafat bahasa dengan memperkenalkan
konsep semantic
holism, yang menganggap bahwa makna ditentukan oleh keseluruhan
sistem bahasa, bukan oleh unit kata atau proposisi tunggal.¹⁷
7.4. Kripke dan Teori Penamaan Rigid Designator
Kritik lain datang
dari Saul Kripke, yang melalui Naming and Necessity (1980)
menawarkan koreksi radikal terhadap teori referensi Frege–Russell.¹⁸ Kripke
berpendapat bahwa Frege salah dalam menganggap bahwa rujukan ditentukan
sepenuhnya oleh Sinn.¹⁹ Ia memperkenalkan konsep rigid
designator —penanda yang merujuk pada objek yang sama di semua
kemungkinan dunia—untuk menjelaskan bahwa nama diri memiliki hubungan langsung
dengan objeknya, tanpa perlu perantara makna deskriptif.²⁰
Menurut Kripke,
teori Frege gagal menjelaskan bagaimana suatu nama tetap merujuk pada individu
yang sama meskipun makna atau deskripsi yang diasosiasikan dengannya berubah.²¹
Sebagai contoh, “Aristoteles” tetap merujuk pada individu yang sama,
bahkan jika sebagian besar deskripsi tentang dirinya ternyata salah.²² Dengan
demikian, Kripke menggugat dasar epistemologis teori Frege yang menempatkan Sinn
sebagai penghubung utama antara nama dan objek, dan menggantinya dengan teori
referensi kausal.²³
7.5. Kritik Hermeneutik dan Sosio-Linguistik
Dari luar tradisi
analitik, kritik terhadap Frege datang dari perspektif hermeneutik dan
linguistik budaya. Hans-Georg Gadamer, dalam Truth and Method (1960),
berpendapat bahwa makna tidak dapat dipahami sebagai entitas tetap yang
terlepas dari sejarah dan konteks pemahaman.²⁴ Dalam interpretasi hermeneutik,
makna selalu merupakan hasil dari dialog antara teks dan pembaca, antara
tradisi dan horizon pengalaman.²⁵ Frege, dengan orientasi logisnya, mengabaikan
dimensi historis dan eksistensial dari bahasa yang menjadi inti dari pemahaman
manusia.²⁶
Pandangan serupa
dikemukakan oleh para linguis pragmatik dan sosial seperti J. L. Austin dan
John Searle, yang menilai bahwa teori Frege terlalu sempit karena hanya
berfokus pada proposisi deklaratif dan mengabaikan fungsi ilokusi serta peran
tindak tutur dalam pembentukan makna.²⁷ Dalam kerangka tindak tutur, makna
tidak hanya ditentukan oleh struktur logis, tetapi juga oleh niat, konteks
sosial, dan norma komunikasi.²⁸ Oleh karena itu, Frege dianggap gagal menjelaskan
dinamika makna dalam interaksi sosial yang nyata.²⁹
Evaluasi dan Relevansi Kritik
Kritik-kritik di
atas menunjukkan bahwa teori Frege, meskipun revolusioner, mengandung
keterbatasan konseptual. Ia berhasil memisahkan makna dari rujukan dan memberikan
fondasi bagi semantik formal, tetapi gagal sepenuhnya menjelaskan dimensi
pragmatik, sosial, dan historis dari bahasa.³⁰ Namun demikian, justru melalui
kritik-kritik inilah pengaruh Frege semakin meluas. Setiap kritik bukan sekadar
penolakan, melainkan perluasan terhadap konsep Fregean menuju pemahaman yang
lebih kaya tentang bahasa sebagai fenomena rasional dan kultural.³¹
Warisan Frege tetap
bertahan karena ia memperkenalkan prinsip bahwa bahasa adalah jembatan antara
dunia pikiran dan dunia realitas.³² Para pengkritiknya tidak membatalkan teori
tersebut, tetapi mengembangkannya ke arah yang lebih kontekstual dan
komunikatif.³³ Dengan demikian, meskipun teori Sinn dan Bedeutung
telah mengalami revisi substansial, struktur dasar yang diperkenalkan Frege
masih menjadi kerangka acuan utama dalam filsafat bahasa dan semantik
kontemporer.³⁴
Footnotes
[1]
¹ Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1981),
165.
[2]
² Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.
[3]
³ Gottlob Frege, Über Sinn und Bedeutung, Zeitschrift für
Philosophie und philosophische Kritik
100 (1892): 28–29.
[4]
⁴ Russell, “On Denoting,” 482.
[5]
⁵ Michael Beaney, The Frege Reader (Oxford: Blackwell, 1997), 157.
[6]
⁶ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 167.
[7]
⁷ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (London:
Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1.
[8]
⁸ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations (Oxford: Blackwell,
1953), §23–25.
[9]
⁹ Ibid., §43.
[10]
¹⁰ Hans Sluga, Gottlob Frege (London: Routledge, 1980), 79.
[11]
¹¹ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 172.
[12]
¹² W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” Philosophical Review
60, no. 1 (1951): 20–43.
[13]
¹³ Ibid., 22.
[14]
¹⁴ Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” 28.
[15]
¹⁵ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 180.
[16]
¹⁶ Tyler Burge, “Frege on Sense and Linguistic Meaning,” Philosophical Review
90, no. 1 (1981): 55.
[17]
¹⁷ Donald Davidson, “Radical Interpretation,” Dialectica 27, no.
3–4 (1973): 314.
[18]
¹⁸ Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 48.
[19]
¹⁹ Ibid., 54.
[20]
²⁰ Kripke, Naming and Necessity, 77.
[21]
²¹ Michael Devitt dan Kim Sterelny, Language
and Reality: An Introduction to the Philosophy of Language (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 94.
[22]
²² Kripke, Naming and Necessity, 79.
[23]
²³ Beaney, The Frege Reader, 160.
[24]
²⁴ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, terj. Joel Weinsheimer
dan Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 282.
[25]
²⁵ Ibid., 284.
[26]
²⁶ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 246.
[27]
²⁷ J. L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 6.
[28]
²⁸ John Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 42.
[29]
²⁹ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 186.
[30]
³⁰ Robert Brandom, Making It Explicit:
Reasoning, Representing, and Discursive Commitment (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 92.
[31]
³¹ Michael Beaney, “Frege and the Origins of Analytic Philosophy,”
dalam The Oxford Handbook of the History of
Analytic Philosophy, ed. Michael
Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013), 160.
[32]
³² Hans Sluga, Gottlob Frege, 84.
[33]
³³ Jürgen Habermas, On
the Pragmatics of Communication
(Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 40.
[34]
³⁴ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 190.
8.
Relevansi
Kontemporer: Makna dan Rujukan di Era Digital
Gagasan Gottlob
Frege tentang pembedaan antara Sinn (makna) dan Bedeutung
(rujukan) tetap memiliki relevansi yang sangat besar dalam konteks kontemporer,
terutama di era digital yang ditandai oleh ledakan informasi, komunikasi
virtual, dan perkembangan kecerdasan buatan (AI). Meskipun teori Frege lahir
dari konteks logika abad ke-19, struktur konseptualnya tentang hubungan antara
bahasa, pikiran, dan realitas menawarkan kerangka analisis yang tajam untuk
memahami dinamika makna dan rujukan dalam dunia digital yang kompleks,
interaktif, dan terotomatisasi.¹
8.1. Transformasi Makna dalam Komunikasi Digital
Dalam masyarakat
digital, makna tidak lagi terbentuk melalui interaksi langsung antara subjek
dan dunia faktual, melainkan dimediasi oleh teknologi informasi, algoritma, dan
jaringan simbolik global.² Bahasa di internet—termasuk teks, emoji, hashtag,
dan gambar—mengalami pergeseran fungsi dari penyampaian proposisi menuju bentuk
komunikasi multimodal dan kontekstual.³ Pembedaan Frege antara Sinn
dan Bedeutung
membantu menjelaskan fenomena ini: Sinn dapat diibaratkan sebagai cara
representasi pesan digital (misalnya, bagaimana suatu konsep ditampilkan melalui
meme atau simbol), sedangkan Bedeutung adalah referensi aktual
atau realitas yang dirujuk oleh simbol tersebut di dunia digital atau sosial.⁴
Contoh yang relevan
dapat ditemukan dalam penggunaan kata kunci (keywords) pada mesin pencari. Kata
kunci memiliki Sinn tertentu yang dikonstruksi
oleh pengguna, tetapi Bedeutung-nya ditentukan oleh
algoritma yang menghubungkan istilah tersebut dengan basis data tertentu.⁵
Dengan demikian, rujukan digital tidak bersifat langsung seperti dalam
komunikasi manusia, tetapi bergantung pada mekanisme logis dan matematis yang
meniru fungsi semantik manusia.⁶ Dalam arti ini, sistem informasi modern
bekerja secara “Fregean” karena memediasi hubungan antara tanda dan
objek melalui lapisan makna yang terstruktur dan terstandardisasi secara
logis.⁷
8.2. Ontologi Rujukan dalam Dunia Virtual
Di era digital,
batas antara realitas dan representasi menjadi semakin kabur. Objek-objek
digital—seperti profil media sosial, avatar, atau entitas virtual dalam dunia metaverse—memiliki
status ontologis yang ambigu: mereka dapat dirujuk, tetapi tidak memiliki
eksistensi fisik.⁸ Fenomena ini menimbulkan pertanyaan baru tentang apa yang
dimaksud dengan Bedeutung dalam konteks digital.
Jika dalam kerangka Frege rujukan menunjuk pada objek eksternal yang nyata,
maka dalam ruang digital rujukan dapat mengarah pada entitas virtual yang hanya
eksis dalam sistem simbolik.⁹
Kondisi ini
menunjukkan perluasan dari ontologi rujukan Frege ke arah yang lebih kompleks.
Dalam dunia virtual, Bedeutung tidak selalu berarti
“objek nyata,” tetapi dapat berarti data-entity yang memiliki
keberadaan semantik dalam sistem jaringan.¹⁰ Contohnya, akun media sosial “@PlatoBot”
tidak merujuk pada orang sungguhan, tetapi pada konstruksi algoritmik yang
mewakili identitas tertentu. Namun, bagi pengguna, entitas itu tetap memiliki
makna (Sinn)
dan fungsi komunikatif.¹¹ Oleh karena itu, konsep Frege tetap relevan untuk
menjelaskan bagaimana manusia memahami entitas digital sebagai “objek
bermakna” meskipun rujukannya bersifat fiktif atau terotomatisasi.¹²
8.3. AI, Semantik Formal, dan Rujukan Otomatis
Dalam bidang
kecerdasan buatan, teori makna dan rujukan Frege memiliki pengaruh mendalam,
terutama dalam pengembangan natural language processing (NLP)
dan semantik komputasional.¹³ Model bahasa berbasis AI seperti GPT atau BERT
bekerja dengan prinsip yang serupa dengan struktur Fregean: pemisahan antara
makna simbolik (representasi kata dan konteks) dan referensi aktual (prediksi
atau keluaran logis).¹⁴ Dalam model ini, sistem tidak “mengetahui” objek secara
langsung, melainkan mengoperasikan Sinn melalui relasi semantik
antar-token yang dibangun berdasarkan data empiris.¹⁵
Namun, problem yang
dihadapi AI justru menegaskan kritik terhadap batas teori Frege. Mesin dapat
mengolah Sinn
secara sintaksis dan probabilistik, tetapi kesulitan dalam memahami Bedeutung
dalam pengertian ontologis atau intensional.¹⁶ Artinya, AI dapat mengenali
hubungan antar kata dan membentuk kalimat yang bermakna secara logis, tetapi
tidak memiliki kesadaran terhadap dunia yang dirujuk oleh kalimat tersebut.¹⁷
Dengan demikian, persoalan klasik Frege tentang hubungan antara pikiran,
bahasa, dan dunia kembali muncul dalam bentuk baru: bagaimana sistem digital
dapat memahami makna sejati tanpa pengalaman
eksistensial terhadap realitas.¹⁸
Para filsuf
kontemporer seperti Hubert Dreyfus dan John Searle menegaskan bahwa perbedaan
ini bersumber dari absennya dimensi intensionalitas dan pengalaman dalam sistem
AI.¹⁹ Frege sudah menegaskan bahwa pemahaman makna melibatkan modus penyajian
yang bersifat kognitif—sesuatu yang tidak dapat direduksi menjadi operasi
simbolik belaka.²⁰ Karena itu, meskipun sistem digital dapat meniru pemrosesan
bahasa manusia, mereka tetap berada pada tataran formal tanpa mengakses Sinn
dalam pengertian fenomenologis.²¹
8.4. Krisis Makna dan Overload Informasi
Era digital juga
membawa tantangan aksiologis baru: inflasi makna akibat banjir
informasi.²² Ketika jutaan pesan, citra, dan simbol bersirkulasi tanpa kontrol
semantik, hubungan antara makna dan rujukan menjadi longgar.²³ Fenomena seperti
disinformasi, deepfake, dan propaganda digital
menunjukkan bahwa struktur Fregean—yang menekankan kejelasan logis antara makna
dan referensi—sedang terancam oleh kekacauan semantik dalam ruang publik.²⁴
Dalam konteks ini,
teori Frege dapat digunakan sebagai model normatif untuk menilai kejelasan dan
kejujuran komunikasi digital.²⁵ Distingsi antara Sinn dan Bedeutung
membantu kita membedakan antara pesan yang bermakna (memiliki kejelasan logis
dan referensial) dan pesan yang manipulatif (mengandung distorsi atau rujukan
palsu).²⁶ Relevansi moral dari teori Frege terletak pada seruannya terhadap
rasionalitas bahasa—bahwa komunikasi yang benar adalah komunikasi yang menjaga
keterhubungan antara makna dan kebenaran.²⁷
8.5. Menuju Semantik Humanistik di Dunia Digital
Akhirnya, relevansi
kontemporer dari teori Frege tidak hanya bersifat teknologis, tetapi juga
humanistik. Frege memandang bahasa sebagai jembatan antara kesadaran dan dunia,
sebuah gagasan yang kini dapat diperluas ke ranah digital: bahasa digital bukan
sekadar sistem kode, melainkan medium relasi manusia yang baru.²⁸ Dengan
mengingat distingsi Sinn–Bedeutung, kita dapat
merumuskan etika komunikasi digital yang menuntut kejelasan, transparansi, dan
tanggung jawab dalam penyampaian informasi.²⁹
Dalam konteks ini,
makna tidak boleh direduksi menjadi sekadar data, dan rujukan tidak boleh
dikendalikan semata oleh algoritma.³⁰ Sebaliknya, manusia harus mempertahankan
otonomi rasionalnya dalam memahami, menafsirkan, dan mengaitkan simbol-simbol
digital dengan dunia nyata dan nilai-nilai kemanusiaan.³¹ Maka, warisan Frege
dapat dibaca ulang sebagai dasar bagi “semantik humanistik”—sebuah upaya
untuk mengembalikan makna dan rujukan digital kepada horizon pemahaman manusia
yang rasional, komunikatif, dan etis.³²
Footnotes
[1]
¹ Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1981),
200.
[2]
² Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 1996),
28.
[3]
³ Lev Manovich, The Language of New
Media (Cambridge, MA: MIT Press,
2001), 45.
[4]
⁴ Gottlob Frege, Über Sinn und Bedeutung, Zeitschrift für
Philosophie und philosophische Kritik
100 (1892): 28.
[5]
⁵ Luciano Floridi, The Philosophy of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 86.
[6]
⁶ Floridi, The Philosophy of
Information, 89.
[7]
⁷ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 204.
[8]
⁸ Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation (Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1994), 3.
[9]
⁹ Baudrillard, Simulacra and
Simulation, 5.
[10]
¹⁰ Luciano Floridi, Information:
A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2010), 42.
[11]
¹¹ Hubert Dreyfus, What Computers Still
Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 67.
[12]
¹² Michael Heim, The Metaphysics of
Virtual Reality (New York: Oxford
University Press, 1993), 21.
[13]
¹³ Yorick Wilks, “Artificial Intelligence and the Study of Language,” Linguistics and Philosophy 4, no. 4 (1981): 435–456.
[14]
¹⁴ Jacob Devlin et al., “BERT: Pre-training of Deep Bidirectional Transformers
for Language Understanding,” Proceedings
of NAACL-HLT (2019): 4171.
[15]
¹⁵ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 208.
[16]
¹⁶ John Searle, Minds, Brains, and
Programs, Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417.
[17]
¹⁷ Searle, Minds, Brains, and Programs, 421.
[18]
¹⁸ Floridi, The Philosophy of
Information, 92.
[19]
¹⁹ Dreyfus, What Computers Still
Can’t Do, 70.
[20]
²⁰ Frege, Über Sinn und Bedeutung, 27.
[21]
²¹ Hubert Dreyfus dan Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 112.
[22]
²² Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects (Cambridge, MA: MIT Press,
2017), 24.
[23]
²³ Han, In the Swarm, 26.
[24]
²⁴ Ibid., 30.
[25]
²⁵ Robert Brandom, Making It Explicit:
Reasoning, Representing, and Discursive Commitment (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 101.
[26]
²⁶ Jürgen Habermas, On
the Pragmatics of Communication
(Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 37.
[27]
²⁷ Habermas, On the Pragmatics of
Communication, 39.
[28]
²⁸ Michael Heim, Electric Language: A
Philosophical Study of Word Processing
(New Haven: Yale University Press, 1987), 66.
[29]
²⁹ Floridi, The Philosophy of
Information, 94.
[30]
³⁰ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 211.
[31]
³¹ Habermas, On the Pragmatics of
Communication, 40.
[32]
³² Michael Beaney, “Frege and the Origins of Analytic Philosophy,”
dalam The Oxford Handbook of the History of
Analytic Philosophy, ed. Michael
Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013), 162.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik tentang Makna dan Rujukan
Distingsi antara Sinn
(makna) dan Bedeutung (rujukan) yang
diperkenalkan Gottlob Frege menjadi titik tolak penting bagi seluruh tradisi
filsafat bahasa modern. Namun, untuk menjadikannya relevan dalam konteks
kehidupan manusia yang kompleks dan dinamis, teori tersebut perlu ditafsirkan
kembali dalam kerangka yang lebih humanistik—yakni suatu kerangka yang tidak
hanya mengakui bahasa sebagai sistem logis, tetapi juga sebagai medium
eksistensial, sosial, dan etis.¹ Konsepsi humanistik ini berupaya menjembatani
antara objektivitas semantik Fregean dan pengalaman subjektif manusia, sehingga
bahasa dapat dipahami bukan hanya sebagai instrumen representasi dunia, tetapi
juga sebagai wahana pembentukan makna hidup dan pemahaman antar manusia.²
9.1. Integrasi antara Rasionalitas Logis dan Eksistensi
Manusia
Frege menekankan
bahwa makna memiliki struktur logis yang memungkinkan kebenaran objektif.³
Namun, struktur ini tidak dapat dipisahkan dari subjek yang berbicara dan
memahami. Dalam perspektif humanistik, Sinn bukan hanya modus penyajian
rujukan, tetapi juga cara manusia menata dunia pengalaman melalui bahasa.⁴
Dengan kata lain, makna bukan hanya bersifat logis, tetapi juga eksistensial:
ia memediasi antara dunia objektif dan dunia kehidupan (Lebenswelt).⁵
Edmund Husserl,
dalam karya fenomenologisnya, memperluas gagasan Frege dengan menunjukkan bahwa
makna merupakan hasil intensionalitas kesadaran—yakni arah kesadaran manusia
terhadap dunia yang dihayati.⁶ Frege membuka jalan bagi hal ini ketika
menegaskan bahwa makna mendahului rujukan; Husserl menambahkan bahwa makna juga
mendahului fakta karena ia dibentuk oleh pengalaman makna subjektif yang dapat
dipahami secara intersubjektif.⁷ Dalam konteks ini, bahasa menjadi ruang
perjumpaan antara struktur logika dan dunia kehidupan manusia.
Humanisme semantik
menegaskan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi untuk menyatakan kebenaran (fungsi
logis), tetapi juga untuk mengungkapkan makna kehidupan
(fungsi eksistensial).⁸ Frege menyediakan kerangka objektif bagi logika bahasa,
sementara dimensi humanistik memperkaya kerangka tersebut dengan orientasi
terhadap makna manusiawi yang hidup dalam sejarah, emosi, dan nilai.⁹
9.2. Bahasa sebagai Ruang Intersubjektivitas dan
Pemahaman
Frege memandang Sinn
sebagai entitas objektif yang dapat dipahami bersama oleh semua pengguna bahasa
rasional.¹⁰ Dalam interpretasi humanistik, pandangan ini dapat dikembangkan
menjadi gagasan bahwa bahasa adalah ruang intersubjektivitas, tempat kesadaran
individu saling berjumpa melalui makna yang dibagikan.¹¹ Jürgen Habermas,
misalnya, mengembangkan warisan Frege ke dalam teori tindakan komunikatif
dengan menekankan bahwa kebenaran semantik hanya bermakna jika dikaitkan dengan
kejujuran komunikatif dan pengakuan timbal balik di antara subjek.¹²
Dengan demikian, Sinn
tidak hanya menghubungkan bahasa dengan objek, tetapi juga manusia dengan
manusia. Bahasa menjadi sarana untuk membangun kesepahaman (Verständigung),
yang pada gilirannya membentuk dasar bagi rasionalitas sosial dan etika
dialogis.¹³ Dalam kerangka ini, makna memperoleh dimensi moral dan politis,
karena bahasa bukan sekadar alat berpikir, melainkan juga medium keadilan
komunikatif dan pengakuan terhadap martabat manusia.¹⁴
Filsafat bahasa
humanistik memandang bahwa pemahaman makna sejati tidak dapat dicapai tanpa
keterlibatan etis dan dialogis.¹⁵ Dengan menghidupkan kembali semangat
Frege—bahwa bahasa berakar pada struktur objektif rasional—namun disertai
kesadaran bahwa bahasa digunakan oleh manusia dalam konteks sosial dan historis,
kita memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang makna sebagai fenomena yang
rasional sekaligus manusiawi.¹⁶
9.3. Arah Baru: Dari Semantik Formal ke Semantik
Humanistik
Sintesis humanistik
terhadap teori Frege menghendaki perluasan dari semantik formal ke semantik
humanistik. Dalam semantik formal, makna dipahami sebagai hubungan antara tanda
dan objek melalui aturan logis yang ketat; dalam semantik humanistik, makna
mencakup pula konteks eksistensial, emosi, nilai, dan tujuan manusia.¹⁷
Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Ricoeur, makna tidak hanya “dihasilkan”
oleh struktur bahasa, tetapi juga “diwujudkan” dalam tindakan penafsiran
dan komunikasi antar manusia.¹⁸
Pendekatan ini tidak
menolak rasionalitas logis Frege, tetapi mengintegrasikannya dengan hermeneutika
makna yang memperhatikan horizon sejarah dan budaya.¹⁹ Dengan demikian, Sinn
dipahami sebagai jembatan antara logos dan ethos: antara struktur rasional yang
mengatur bahasa dan nilai-nilai humanistik yang memberi arah pada
penggunaannya.²⁰ Dalam kerangka ini, kebenaran semantik Fregean tetap menjadi
fondasi, tetapi kebenaran itu diperkaya oleh makna humanistik yang mengakar
dalam kehidupan sosial dan moral.²¹
9.4. Reinterpretasi Etis: Kebenaran, Makna, dan Tanggung
Jawab
Frege menempatkan
kebenaran sebagai nilai tertinggi dalam bahasa.²² Dalam kerangka humanistik,
nilai ini dapat diperluas menjadi tanggung jawab etis terhadap penggunaan
bahasa.²³ Bahasa yang benar bukan hanya bahasa yang logis, tetapi juga bahasa
yang jujur, terbuka, dan menghormati keutuhan manusia.²⁴ Dalam masyarakat
informasi kontemporer, di mana makna sering kali dimanipulasi demi kepentingan
politik atau ekonomi, reinterpretasi etis terhadap teori Frege menjadi sangat
penting.²⁵
Dengan menggabungkan
rasionalitas logis Frege dengan etika komunikasi Habermas dan hermeneutika
Gadamer, kita dapat membangun paradigma bahasa yang lebih utuh: bahasa sebagai
medium kebenaran yang bertanggung jawab.²⁶ Makna tidak lagi dipahami sebagai
sesuatu yang statis, melainkan sebagai proses dialogis yang menuntut kejujuran
dan kesetiaan terhadap realitas.²⁷ Rujukan bukan lagi sekadar hubungan antara
kata dan benda, tetapi juga hubungan antara kata dan dunia kehidupan yang
dihuni manusia bersama.²⁸
Menuju Sintesis Humanistik
Konsepsi humanistik
tentang makna dan rujukan berupaya mengembalikan bahasa kepada fungsi asalnya:
sebagai jembatan antara rasionalitas dan kemanusiaan. Bahasa adalah ruang di
mana pikiran bertemu dengan dunia, dan manusia berjumpa dengan sesamanya.²⁹
Dengan menafsirkan teori Frege melalui kacamata humanistik, kita memahami bahwa
kejelasan logis tidak boleh menghapus kedalaman makna, dan objektivitas
semantik harus berjalan seiring dengan empati komunikatif.³⁰
Dalam pengertian
ini, Sinn
dan Bedeutung
tidak lagi dipahami sebagai dua entitas yang terpisah secara kaku, melainkan
sebagai dua dimensi yang saling melengkapi: Sinn mewakili horizon pemahaman
manusia, sementara Bedeutung menjamin keterhubungan
makna dengan realitas.³¹ Melalui sintesis ini, filsafat bahasa Frege menemukan
relevansi baru—yakni sebagai fondasi bagi semantik humanistik yang menegaskan
martabat bahasa sebagai wahana kebenaran, pemahaman, dan kemanusiaan itu
sendiri.³²
Footnotes
[1]
¹ Michael Dummett, Frege: Philosophy of
Language (London: Duckworth, 1981),
195.
[2]
² Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, terj. Joel Weinsheimer
dan Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 273.
[3]
³ Gottlob Frege, Über Sinn und Bedeutung, Zeitschrift für
Philosophie und philosophische Kritik
100 (1892): 25–50.
[4]
⁴ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 197.
[5]
⁵ Edmund Husserl, Logical Investigations, terj. J. N. Findlay (London: Routledge, 1970), 322.
[6]
⁶ Husserl, Logical Investigations, 326.
[7]
⁷ Michael Beaney, The Frege Reader (Oxford: Blackwell, 1997), 154.
[8]
⁸ Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 11.
[9]
⁹ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 245.
[10]
¹⁰ Frege, Der Gedanke, dalam Logische
Untersuchungen (Leipzig: Felix
Meiner, 1918), 59.
[11]
¹¹ Jürgen Habermas, On
the Pragmatics of Communication
(Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 38.
[12]
¹² Habermas, On the Pragmatics of
Communication, 40.
[13]
¹³ Robert Brandom, Making It Explicit: Reasoning,
Representing, and Discursive Commitment
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1994), 78.
[14]
¹⁴ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 201.
[15]
¹⁵ Gadamer, Truth and Method, 280.
[16]
¹⁶ Michael Beaney, “Frege and the Origins of Analytic Philosophy,” dalam
The Oxford Handbook of the History of
Analytic Philosophy, ed. Michael
Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013), 159.
[17]
¹⁷ Hans Sluga, Gottlob Frege (London: Routledge, 1980), 84.
[18]
¹⁸ Ricoeur, Interpretation Theory, 20.
[19]
¹⁹ Gadamer, Truth and Method, 286.
[20]
²⁰ Taylor, Philosophical Arguments, 247.
[21]
²¹ Brandom, Making It Explicit, 82.
[22]
²² Frege, Der Gedanke, 61.
[23]
²³ Habermas, On the Pragmatics of
Communication, 42.
[24]
²⁴ Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 204.
[25]
²⁵ Byung-Chul Han, In the Swarm: Digital
Prospects (Cambridge, MA: MIT Press,
2017), 31.
[26]
²⁶ Gadamer, Truth and Method, 290.
[27]
²⁷ Ricoeur, Interpretation Theory, 23.
[28]
²⁸ Husserl, Logical Investigations, 330.
[29]
²⁹ Beaney, The Frege Reader, 161.
[30]
³⁰ Taylor, Philosophical Arguments, 249.
[31]
³¹ Sluga, Gottlob Frege, 88.
[32]
³² Dummett, Frege: Philosophy of
Language, 210.
10. Kesimpulan
Teori pembedaan antara Sinn (makna) dan Bedeutung
(rujukan) yang dirumuskan oleh Gottlob Frege dalam esainya Über Sinn und
Bedeutung (1892) merupakan salah satu landasan paling berpengaruh dalam
sejarah filsafat bahasa modern. Melalui distingsi tersebut, Frege berhasil
mengatasi reduksionisme semantik yang sebelumnya mengidentikkan makna dengan
ide subjektif atau asosiasi psikologis.¹ Ia menegaskan bahwa bahasa memiliki
struktur objektif yang dapat dianalisis secara logis, di mana makna berfungsi
sebagai modus penyajian suatu rujukan, dan rujukan sendiri menunjuk pada
objek atau nilai kebenaran yang bersifat eksternal terhadap bahasa.² Dengan
cara ini, Frege membangun kerangka rasional yang menegakkan kebenaran dan
komunikasi di atas fondasi yang dapat diverifikasi secara universal.³
Dalam kerangka ontologis, teori Frege
mengimplikasikan bahwa setiap ekspresi linguistik memiliki dua dimensi
realitas: dimensi ideal yang terwujud dalam Sinn, dan dimensi faktual
yang termanifestasi dalam Bedeutung.⁴ Hubungan antara keduanya bersifat
hierarkis namun saling melengkapi—Sinn memberi bentuk bagi pemahaman
konseptual, sedangkan Bedeutung menegaskan eksistensi dan nilai kebenaran
proposisi.⁵ Pandangan ini memperlihatkan keberanian Frege untuk menyatukan
antara logika dan metafisika dalam analisis bahasa, di mana bahasa tidak hanya
dipahami sebagai sistem tanda, tetapi juga sebagai jembatan epistemik antara
pikiran dan dunia.⁶
Dari sisi epistemologis, Frege menolak psikologisme
yang mendominasi abad ke-19 dan menegaskan bahwa makna bersifat objektif serta
dapat diakses melalui rasionalitas bersama.⁷ Pemahaman terhadap Sinn
memungkinkan manusia untuk mengetahui bagaimana dunia disajikan melalui bahasa, sedangkan Bedeutung menjamin
kesesuaian antara bahasa dan realitas.⁸ Dalam hal ini, Frege menempatkan bahasa
sebagai instrumen pengetahuan yang tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga
membentuk struktur berpikir ilmiah dan rasional.⁹
Secara aksiologis, Frege mengangkat kebenaran
sebagai nilai tertinggi dalam bahasa dan pemikiran.¹⁰ Bahasa, dalam pandangan
Frege, bernilai sejauh ia berfungsi untuk mengekspresikan proposisi yang benar
dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis.¹¹ Nilai kebenaran bukanlah
sekadar karakteristik linguistik, tetapi merupakan ukuran normatif bagi setiap
tindakan rasional.¹² Dengan demikian, teori Frege memiliki dimensi etis yang
mendalam: ia menuntut kejujuran intelektual, kejelasan konseptual, dan tanggung
jawab epistemik dalam penggunaan bahasa.¹³
Namun, teori Frege tidak luput dari kritik. Para
penerusnya seperti Russell, Wittgenstein, Quine, dan Kripke menunjukkan
keterbatasan konseptualnya, terutama dalam menjelaskan makna ekspresi
non-rujukan, fungsi sosial bahasa, dan konteks pragmatik.¹⁴ Meski demikian,
kritik-kritik tersebut justru memperkaya warisan Frege dengan membuka jalan
menuju teori-teori baru tentang makna, dari semantik formal hingga pragmatik
dan hermeneutik.¹⁵ Warisan Frege tetap menjadi kerangka dasar bagi filsafat
analitik, linguistik, dan ilmu komputer modern yang berfokus pada representasi
makna dan kebenaran dalam bahasa alami maupun buatan.¹⁶
Dalam konteks kontemporer, pembedaan Frege antara
makna dan rujukan menemukan relevansi baru di era digital.¹⁷ Di tengah ledakan
informasi dan komunikasi algoritmik, distingsi ini membantu memahami bagaimana
simbol, data, dan representasi digital berhubungan dengan realitas dan
pengalaman manusia.¹⁸ Konsep Sinn dapat diterapkan untuk menjelaskan
cara sistem digital memediasi makna, sedangkan Bedeutung menunjukkan
bagaimana rujukan dalam ruang virtual dapat dimodelkan secara logis maupun
etis.¹⁹ Dalam hal ini, Frege dapat dibaca kembali sebagai pelopor semantik
rasional yang mampu menuntun refleksi kritis terhadap teknologi informasi dan
kecerdasan buatan.²⁰
Akhirnya, reinterpretasi humanistik terhadap teori
Frege memperlihatkan bahwa bahasa bukan hanya sistem logis yang berfungsi untuk
menyampaikan proposisi benar, melainkan juga wahana pemahaman manusia terhadap
dunia dan sesamanya.²¹ Dengan mengintegrasikan rasionalitas logis Frege dengan
dimensi eksistensial dan etis manusia, kita memperoleh konsepsi baru tentang
makna dan rujukan yang bersifat intersubjektif, komunikatif, dan humanistik.²²
Bahasa, dalam pengertian ini, adalah rumah kebenaran dan kemanusiaan: di
dalamnya, pikiran menjadi terang, realitas menjadi dapat dimengerti, dan
manusia menemukan dirinya melalui dialog dengan yang lain.²³
Footnotes
[1]
¹ Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1981), 19.
[2]
² Gottlob Frege, Über Sinn und Bedeutung, Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[3]
³ Hans Sluga, Gottlob Frege (London:
Routledge, 1980), 42.
[4]
⁴ Frege, Translations from the Philosophical
Writings of Gottlob Frege, ed. Peter Geach dan Max Black (Oxford:
Blackwell, 1952), 57.
[5]
⁵ Michael Beaney, The Frege Reader (Oxford:
Blackwell, 1997), 153.
[6]
⁶ Dummett, Frege: Philosophy of Language,
65.
[7]
⁷ Frege, The Foundations of Arithmetic,
terj. J. L. Austin (Oxford: Blackwell, 1953), xii–xiii.
[8]
⁸ Dummett, Frege: Philosophy of Language,
91.
[9]
⁹ Peter Geach, Logic Matters (Oxford:
Blackwell, 1972), 139.
[10]
¹⁰ Gottlob Frege, “Der Gedanke,” dalam Logische
Untersuchungen (Leipzig: Felix Meiner, 1918), 61.
[11]
¹¹ Michael Beaney, “Frege and the Origins of
Analytic Philosophy,” dalam The Oxford Handbook of the History of Analytic
Philosophy, ed. Michael Beaney (Oxford: Oxford University Press, 2013),
156.
[12]
¹² Crispin Wright, Frege’s Conception of Truth
(Oxford: Blackwell, 1992), 47.
[13]
¹³ Jürgen Habermas, On the Pragmatics of
Communication (Cambridge, MA: MIT Press, 1998), 39.
[14]
¹⁴ Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[15]
¹⁵ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations (Oxford: Blackwell, 1953), §23–25.
[16]
¹⁶ Rudolf Carnap, Meaning and Necessity: A Study
in Semantics and Modal Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1947),
7.
[17]
¹⁷ Luciano Floridi, The Philosophy of
Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 85.
[18]
¹⁸ Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation
(Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 3.
[19]
¹⁹ Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 70.
[20]
²⁰ Floridi, The Philosophy of Information,
94.
[21]
²¹ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method,
terj. Joel Weinsheimer dan Donald Marshall (London: Continuum, 2004), 280.
[22]
²² Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian
University Press, 1976), 20.
[23]
²³ Jürgen Habermas, On the Pragmatics of
Communication, 42.
Daftar Pustaka
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation.
University of Michigan Press.
Beaney, M. (1997). The Frege reader. Oxford:
Blackwell.
Beaney, M. (2013). Frege and the origins of
analytic philosophy. In M. Beaney (Ed.), The Oxford handbook of the history
of analytic philosophy (pp. 153–163). Oxford University Press.
Brandom, R. (1994). Making it explicit:
Reasoning, representing, and discursive commitment. Harvard University
Press.
Burge, T. (1981). Frege on sense and linguistic
meaning. Philosophical Review, 90(1), 49–90.
Byung-Chul Han. (2017). In the swarm: Digital
prospects. MIT Press.
Carnap, R. (1947). Meaning and necessity: A
study in semantics and modal logic. University of Chicago Press.
Castells, M. (1996). The rise of the network
society. Blackwell.
Davidson, D. (1967). Truth and meaning. Synthese,
17(1), 304–323.
Davidson, D. (1973). Radical interpretation. Dialectica,
27(3–4), 313–328.
Devitt, M., & Sterelny, K. (1987). Language
and reality: An introduction to the philosophy of language. MIT Press.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still
can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.
Dreyfus, H. L., & Taylor, C. (2015). Retrieving
realism. Harvard University Press.
Dummett, M. (1981). Frege: Philosophy of
language. Duckworth.
Floridi, L. (2010). Information: A very short
introduction. Oxford University Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Frege, G. (1879). Begriffsschrift. Halle:
Nebert.
Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.
Frege, G. (1918). Der Gedanke. In Logische
Untersuchungen. Leipzig: Felix Meiner.
Frege, G. (1952). Translations from the
philosophical writings of Gottlob Frege (P. Geach & M. Black, Eds.).
Blackwell.
Frege, G. (1953). The foundations of arithmetic
(J. L. Austin, Trans.). Blackwell.
Frege, G. (1977). Logical investigations (P.
Geach, Ed.). Blackwell.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. Marshall, Trans.). Continuum.
Geach, P. (1972). Logic matters. Blackwell.
Habermas, J. (1998). On the pragmatics of
communication. MIT Press.
Heim, M. (1987). Electric language: A
philosophical study of word processing. Yale University Press.
Heim, M. (1993). The metaphysics of virtual
reality. Oxford University Press.
Husserl, E. (1970). Logical investigations
(J. N. Findlay, Trans.). Routledge.
Kripke, S. (1980). Naming and necessity.
Harvard University Press.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.
Manovich, L. (2001). The language of new media.
MIT Press.
Popper, K. (1972). Objective knowledge: An
evolutionary approach. Clarendon Press.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. Philosophical
Review, 60(1), 20–43.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Texas Christian University Press.
Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56),
479–493.
Russell, B., & Whitehead, A. N. (1910). Principia
mathematica (Vol. 1). Cambridge University Press.
Saussure, F. de. (1959). Course in general
linguistics (C. Bally & A. Sechehaye, Eds.). McGraw-Hill.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral
and Brain Sciences, 3(3), 417–424.
Sluga, H. (1980). Gottlob Frege. Routledge.
Tarski, A. (1944). The semantic conception of
truth. Philosophy and Phenomenological Research, 4(3), 341–376.
Taylor, C. (1995). Philosophical arguments.
Harvard University Press.
Wilks, Y. (1981). Artificial intelligence and the
study of language. Linguistics and Philosophy, 4(4), 435–456.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus. Routledge & Kegan Paul.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations. Blackwell.
Wright, C. (1992). Frege’s conception of truth.
Blackwell.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar