Philosophical Investigations
Dari Gambar ke Permainan Bahasa
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif fase awal
pemikiran Ludwig Wittgenstein sebagaimana termaktub dalam Philosophical
Investigations (1953), yang menandai pergeseran besar dalam filsafat bahasa
abad ke-20 dari paradigma logis-representasional menuju paradigma
praksis-linguistik. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan
aksiologis, tulisan ini menelusuri transformasi pemikiran Wittgenstein dari picture
theory of language dalam Tractatus Logico-Philosophicus menjadi
teori language games yang menekankan makna sebagai penggunaan (meaning
as use). Kajian ini memperlihatkan bahwa bagi Wittgenstein, bahasa bukan
sekadar cermin realitas, melainkan aktivitas sosial yang terikat pada konteks
kehidupan manusia (forms of life). Pemaknaan dan pemahaman bersifat
intersubjektif, dihasilkan melalui partisipasi dalam praktik berbahasa, bukan
melalui korespondensi logis semata.
Selain menguraikan fondasi ontologis dan
epistemologis pemikiran Wittgenstein, artikel ini juga menyoroti dimensi
aksiologis dan etika linguistik yang menekankan tanggung jawab moral dalam
penggunaan bahasa. Bahasa dipahami sebagai ruang etis di mana kejelasan,
kejujuran, dan empati menjadi nilai utama dalam komunikasi. Dalam tataran
sosial dan budaya, konsep permainan bahasa membuka jalan bagi pemahaman
pluralitas makna dan keragaman bentuk kehidupan, serta menjadi dasar bagi
dialog antarbudaya dan kritik terhadap dominasi wacana. Relevansi
kontemporernya tampak dalam filsafat pragmatik, etika komunikasi digital, serta
refleksi terhadap kecerdasan buatan, di mana makna dan pemahaman tidak dapat
direduksi menjadi algoritme, tetapi selalu melekat pada praktik manusia yang
hidup.
Pada akhirnya, sintesis filosofis artikel ini
menyimpulkan bahwa Philosophical Investigations menghadirkan suatu hermeneutika
praksis Wittgensteinian—sebuah paradigma yang menempatkan bahasa sebagai
aktivitas interpretatif yang membentuk realitas sosial dan eksistensial
manusia. Filsafat, bagi Wittgenstein, bukanlah sistem teori, melainkan kegiatan
klarifikasi terhadap cara manusia berbicara dan hidup dalam bahasa. Dengan
demikian, pemikirannya membuka jalan menuju filsafat yang humanistik,
komunikatif, dan terbuka terhadap pluralitas makna dalam kehidupan kontemporer.
Kata Kunci: Ludwig
Wittgenstein, Philosophical Investigations, permainan bahasa, makna sebagai
penggunaan, hermeneutika praksis, etika linguistik, filsafat bahasa, bentuk
kehidupan.
PEMBAHASAN
Analisis Kritis atas Fase Awal Pemikiran Ludwig
Wittgenstein dalam Philosophical Investigations
1.
Pendahuluan
Pemikiran Ludwig Wittgenstein menandai salah satu
titik balik paling signifikan dalam sejarah filsafat abad ke-20, terutama dalam
bidang filsafat bahasa dan logika. Ia dikenal sebagai sosok yang secara unik
memecah dan membangun kembali paradigma tentang bahasa dua kali dalam hidupnya:
pertama melalui Tractatus Logico-Philosophicus (1921), dan kemudian
melalui Philosophical Investigations (diterbitkan pasca-meninggalnya
pada 1953). Peralihan dari pandangan representasional ke praksis-linguistik
menandai perubahan radikal dalam cara manusia memahami hubungan antara bahasa,
pikiran, dan realitas. Jika dalam Tractatus Wittgenstein memandang
bahasa sebagai cermin dunia—sebuah sistem simbol logis yang memetakan
fakta-fakta dunia secara struktural—maka dalam Philosophical Investigations
ia menolak pandangan tersebut dan mengajukan konsepsi baru bahwa makna bahasa
tidak terletak pada struktur logisnya, melainkan pada penggunaannya dalam
konteks kehidupan sehari-hari, yang disebutnya “permainan bahasa” (language
games).¹
Transformasi pemikiran Wittgenstein ini tidak dapat
dilepaskan dari konteks intelektual dan historis yang melingkupinya. Pada masa
awal kariernya, ia sangat dipengaruhi oleh logika simbolik Frege dan Russell,
serta oleh atmosfer positivisme logis dari Lingkaran Wina.² Namun, setelah
kembali ke Cambridge pada 1929 dan mulai berinteraksi kembali dengan
murid-murid serta koleganya, Wittgenstein mulai mempertanyakan asumsi-asumsi
dasar yang ia sendiri bangun dalam Tractatus. Ia menyadari bahwa bahasa
tidak hanya berfungsi sebagai sistem representasi logis, tetapi juga sebagai
aktivitas sosial yang dihidupi oleh manusia dalam berbagai bentuk kehidupan (forms
of life).³ Dengan demikian, bahasa bukanlah semata perangkat deskriptif,
melainkan praktik sosial yang mengandung dimensi normatif, etis, dan budaya.
Dalam konteks filsafat bahasa, Philosophical
Investigations memunculkan paradigma baru yang menggantikan pendekatan
representasional dengan pendekatan pragmatis dan intersubjektif. Wittgenstein
menegaskan bahwa makna bukanlah entitas yang tetap atau tersembunyi di balik
kata-kata, tetapi muncul dari cara kata-kata digunakan dalam permainan bahasa
tertentu.⁴ Setiap permainan bahasa memiliki aturan internal yang hanya dapat
dipahami melalui partisipasi dalam praktik sosial yang bersangkutan. Dari
sinilah muncul pandangan bahwa filsafat seharusnya tidak berusaha menyusun
teori universal tentang makna, melainkan berfungsi sebagai kegiatan klarifikasi
konseptual terhadap cara kita menggunakan bahasa dalam berbagai konteks
kehidupan.⁵
Pendahuluan ini bertujuan untuk memberikan kerangka
dasar bagi pembahasan mendalam tentang Philosophical Investigations
sebagai fase awal pemikiran “Wittgenstein kedua” atau later
Wittgenstein. Fokus kajian diarahkan pada pergeseran konseptual dari teori
gambar bahasa (picture theory of language) menuju teori permainan bahasa
(language-game theory), serta implikasinya terhadap pemahaman ontologis,
epistemologis, dan aksiologis tentang makna. Melalui pendekatan ini, artikel
ini akan menyoroti bagaimana Wittgenstein secara radikal mengubah posisi
filsafat dari pencarian struktur logis dunia menuju pemahaman praksis manusia
dalam kehidupan berbahasa.
Selain memberikan peta intelektual atas pergeseran
ini, pembahasan juga akan memperlihatkan relevansi pemikiran Wittgenstein bagi
teori komunikasi, linguistik, dan bahkan filsafat teknologi digital
kontemporer. Dalam dunia di mana bahasa semakin menjadi medan utama konstruksi
sosial dan politik, gagasan Wittgenstein tentang permainan bahasa memberikan
kontribusi penting untuk memahami dinamika makna, interpretasi, dan interaksi
manusia dalam ruang sosial. Dengan demikian, Philosophical Investigations
tidak hanya merupakan karya filosofis, melainkan juga refleksi mendalam tentang
hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk yang berbahasa dan berkomunikasi.⁶
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, ed. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 43–45.
[2]
² Michael Dummett, Origins of Analytical
Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 87–89.
[3]
³ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of
Genius (New York: Penguin Books, 1990), 320–325.
[4]
⁴ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 102–107.
[5]
⁵ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary
(Oxford: Blackwell, 1996), 195–199.
[6]
⁶ Stanley Cavell, Must We Mean What We Say?
(Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 45–49.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Pemikiran Wittgenstein
Pemikiran Ludwig Wittgenstein tidak dapat
dilepaskan dari konteks historis dan intelektual yang membentuk perjalanan
filsafat abad ke-20. Latar belakang sosial, akademik, dan tradisi logis yang
memengaruhinya menjadi fondasi bagi dua fase pemikirannya yang berbeda: fase
awal dengan Tractatus Logico-Philosophicus dan fase kemudian dengan Philosophical
Investigations. Untuk memahami kedalaman perubahan konseptual dari satu
fase ke fase lainnya, perlu ditelusuri genealoginya dalam arus besar filsafat
analitik, logika simbolik, serta pergulatan antara realitas, bahasa, dan makna.
Wittgenstein lahir di Wina pada tahun 1889, dalam
keluarga kaya yang berorientasi budaya tinggi dan terpapar kuat oleh humanisme
Eropa Tengah. Ia menempuh pendidikan teknik di Berlin dan kemudian studi teknik
mesin di Manchester sebelum berpindah ke filsafat logika atas pengaruh Gottlob
Frege.¹ Frege memperkenalkan kepadanya pandangan bahwa logika merupakan
kerangka dasar bagi bahasa dan pikiran. Namun, pertemuannya dengan Bertrand
Russell di Cambridge pada 1911 menjadi titik balik yang menentukan. Russell,
yang sedang menyusun sistem logika simbolik bersama Alfred North Whitehead
dalam Principia Mathematica, melihat dalam Wittgenstein seorang pemikir
muda dengan bakat luar biasa dalam logika dan bahasa.²
Pada masa inilah Wittgenstein mulai merumuskan gagasannya
tentang struktur logis bahasa yang menjadi dasar Tractatus
Logico-Philosophicus (1921). Karya tersebut merupakan upaya untuk
menunjukkan bahwa dunia terdiri atas fakta-fakta atomik yang dapat
direpresentasikan oleh proposisi logis. Pandangan ini dikenal sebagai picture
theory of language (teori gambar bahasa), yakni bahwa bahasa adalah cermin
logis realitas: kalimat bermakna sejauh ia menggambarkan keadaan fakta di
dunia.³ Namun, seiring waktu, pandangan ini menghadapi berbagai kritik, baik
dari kalangan positivis logis sendiri maupun dari Wittgenstein sendiri.
Setelah menulis Tractatus, Wittgenstein
sempat menganggap bahwa ia telah memecahkan seluruh persoalan filsafat dan
meninggalkan dunia akademik untuk menjadi guru sekolah dasar di Austria.⁴ Namun,
pengalaman hidup di luar universitas justru memperluas pandangannya tentang
bahasa dan kehidupan. Ia menyaksikan bagaimana bahasa digunakan secara beragam
dalam praktik sosial sehari-hari, jauh dari sistem logis yang ideal. Ketika
kembali ke Cambridge pada tahun 1929, ia mulai mengembangkan cara pandang baru
terhadap bahasa—bukan lagi sebagai representasi dunia, melainkan sebagai bentuk
aktivitas manusia yang sarat konteks, aturan, dan kebiasaan sosial.⁵
Peralihan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi
juga metodologis. Wittgenstein meninggalkan ambisi sistematis dan deduktif yang
menjadi ciri positivisme logis. Ia mengkritik Lingkaran Wina (Vienna Circle),
yang mengklaim bahwa Tractatus mendukung pandangan empirisme logis
mereka. Padahal, bagi Wittgenstein, fungsi filsafat bukanlah menyusun teori
ilmiah, melainkan mengklarifikasi makna dan mencegah kekacauan konseptual.⁶
Kritiknya terhadap positivisme logis menandai pergeseran dari logika murni ke
analisis penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan, yang kelak menjadi dasar
dalam Philosophical Investigations.
Selain konteks logika dan positivisme, genealogis
pemikiran Wittgenstein juga terkait dengan tradisi filsafat analitik awal di
Cambridge. Tokoh seperti G. E. Moore turut memengaruhi orientasi etis dan gaya
analitisnya, terutama dalam hal pentingnya kejelasan konseptual dan penolakan
terhadap metafisika spekulatif.⁷ Wittgenstein memanfaatkan metode analisis yang
ketat untuk menunjukkan bahwa persoalan filsafat sering kali muncul karena
penyalahgunaan bahasa. Dengan demikian, ia menggeser peran filsafat dari
pembangun sistem menuju kegiatan terapeutik—yakni membebaskan pikiran dari
“jerat” bahasa.
Landasan historis dan genealogis ini menjelaskan
bahwa Philosophical Investigations bukan sekadar kelanjutan dari Tractatus,
tetapi juga bentuk refleksi diri yang kritis terhadapnya. Pergeseran dari teori
representasional menuju teori praksis-linguistik menandai evolusi filsafat
analitik menuju dimensi humanistik. Bahasa, bagi Wittgenstein, bukan lagi sekadar
alat untuk menggambarkan dunia, tetapi medan di mana manusia berinteraksi,
memahami, dan membentuk makna secara sosial. Perubahan ini merupakan tonggak
yang memengaruhi hampir seluruh arus besar filsafat bahasa modern, mulai dari
pragmatisme hingga hermeneutika, dan menjadikan Wittgenstein figur sentral
dalam transformasi paradigma linguistik abad ke-20.⁸
Footnotes
[1]
¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of
Genius (New York: Penguin Books, 1990), 23–25.
[2]
² Bertrand Russell, My Philosophical Development
(London: George Allen & Unwin, 1959), 160–163.
[3]
³ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan
Paul, 1922), 2.1–2.2.
[4]
⁴ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir
(Oxford: Oxford University Press, 1958), 21–24.
[5]
⁵ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 87–89.
[6]
⁶ A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 34–38.
[7]
⁷ G. E. Moore, “A Defence of Common Sense,” dalam Contemporary
British Philosophy, ed. J. H. Muirhead (London: Allen & Unwin, 1925),
192–193.
[8]
⁸ Hans Sluga, Wittgenstein (London:
Routledge, 1996), 115–118.
3.
Ontologi
Bahasa dalam Philosophical Investigations
Ontologi bahasa
dalam Philosophical
Investigations menandai pergeseran mendasar dari pandangan
representasional yang bersifat atomistik menuju konsepsi praksis-linguistik
yang dinamis dan kontekstual. Wittgenstein menolak pandangan tradisional yang
menganggap bahasa sebagai struktur simbolik yang secara pasif mencerminkan
dunia eksternal. Dalam Tractatus Logico-Philosophicus, ia
sebelumnya berpendapat bahwa dunia terdiri atas fakta-fakta atomik, dan setiap
proposisi memiliki bentuk logis yang menggambarkan struktur realitas.¹ Namun,
dalam Philosophical
Investigations, Wittgenstein merevisi pandangan tersebut dengan
menegaskan bahwa makna tidak melekat pada hubungan logis antara kata dan dunia,
melainkan terletak pada cara kata digunakan dalam praktik kehidupan manusia.²
Dengan demikian, bahasa tidak lagi dilihat sebagai sistem representasi yang
menggambarkan realitas, tetapi sebagai aktivitas sosial yang membentuk dan
sekaligus dibentuk oleh dunia kehidupan.
3.1. Penolakan terhadap Ontologi Representasional
Wittgenstein secara eksplisit
menolak apa yang ia sebut sebagai “gambar bahasa” (picture
theory of language), yang ia sendiri rumuskan dalam karya awalnya.³
Pandangan representasional semacam itu, menurutnya, bersumber dari
kesalahpahaman terhadap fungsi bahasa yang sesungguhnya. Ia menulis: “For a
large class of cases—though not for all—in which we employ the word ‘meaning’
it can be defined thus: the meaning of a word is its use in the language.”⁴
Pernyataan ini menunjukkan bahwa makna tidak bersumber dari relasi ontologis antara
tanda dan objek, melainkan dari aturan penggunaan dalam permainan bahasa
tertentu. Dengan kata lain, makna tidak bersifat statis dan metafisik, tetapi
dinamis dan historis karena senantiasa ditentukan oleh praktik sosial yang
hidup.
Pandangan ini mengimplikasikan
perubahan ontologis yang mendalam: bahasa bukanlah cermin dunia, melainkan
bagian dari dunia itu sendiri.⁵ Dalam pengertian ini, realitas tidak berada “di
luar” bahasa, melainkan termanifestasi melalui cara manusia menggunakan
bahasa dalam konteks kehidupan mereka. Ontologi bahasa Wittgensteinian,
karenanya, bersifat imanen—makna lahir dari dalam praktik sosial, bukan dari
hubungan eksternal dengan realitas objektif.
3.2. Bahasa sebagai “Kehidupan” dan “Permainan”
Dalam Philosophical
Investigations, Wittgenstein memperkenalkan dua konsep kunci yang
menjadi fondasi ontologis pemikirannya: “permainan bahasa” (language
games) dan “bentuk kehidupan” (forms of
life). Kedua istilah ini tidak dimaksudkan sebagai teori metafisis
baru, melainkan sebagai deskripsi terhadap cara bahasa beroperasi dalam
kehidupan sehari-hari.⁶ “Permainan bahasa” mengacu pada beragam
aktivitas linguistik—berbicara, memerintah, bertanya, bercanda, berdoa—yang
memiliki aturan tersendiri dan tidak tunduk pada satu sistem makna universal.⁷
Sementara “bentuk kehidupan” menunjuk pada latar eksistensial, budaya, dan
sosial di mana permainan bahasa itu berlangsung.
Melalui konsep ini,
Wittgenstein menggeser ontologi bahasa dari esensialisme ke praksis. Ia
menegaskan bahwa untuk memahami makna, seseorang harus mengamati bagaimana
bahasa digunakan dalam kehidupan konkret.⁸ Bahasa, dalam kerangka ini, bersifat
publik dan sosial, bukan entitas mental atau batiniah. Itulah sebabnya ia
menolak gagasan tentang private language—bahasa yang hanya
dapat dimengerti oleh satu individu—karena makna hanya muncul melalui interaksi
dalam bentuk kehidupan bersama.⁹ Maka, ontologi bahasa bagi Wittgenstein adalah
ontologi kebersamaan: bahasa ada sejauh manusia hidup dan berinteraksi secara
sosial.
3.3. Realitas sebagai Praktik Linguistik
Implikasi ontologis
dari pemikiran ini adalah bahwa realitas tidak lagi dipahami sebagai sesuatu
yang “ada di luar” bahasa dan kemudian digambarkan, melainkan sebagai
sesuatu yang dikonstruksi dan dialami melalui permainan bahasa.¹⁰ Dengan
demikian, “realitas” dan “makna” saling membentuk secara timbal
balik. Dalam setiap permainan bahasa, manusia bukan sekadar mengomunikasikan
dunia, melainkan secara aktif membangun pemahamannya atas dunia tersebut. Oleh
karena itu, bahasa bersifat produktif dan performatif: ia menciptakan dunia
makna, bukan hanya merefleksikannya.¹¹
Dalam kerangka ini,
filsafat tidak lagi berfungsi untuk menjelaskan hubungan ontologis antara
bahasa dan dunia, tetapi untuk memperjelas cara-cara bahasa digunakan dalam
berbagai praktik kehidupan. Wittgenstein menyebut tugas filsafat sebagai “terapi
linguistik,” yaitu membebaskan pikiran dari jebakan metafisis yang timbul
karena kesalahpahaman terhadap cara kerja bahasa.¹² Ontologi bahasa
Wittgensteinian, dengan demikian, bukanlah doktrin metafisis, melainkan
deskripsi fenomenologis tentang bagaimana makna muncul dari praktik sosial yang
dihidupi manusia.
Konsekuensi Ontologis dan Paradigma Baru
Dengan menempatkan
bahasa di jantung kehidupan sosial, Wittgenstein membangun dasar ontologi baru
yang humanistik dan intersubjektif. Makna tidak lagi dipahami sebagai
representasi dari objek, tetapi sebagai hasil partisipasi dalam permainan
bahasa yang diatur oleh bentuk kehidupan tertentu.¹³ Paradigma ini kemudian
memengaruhi berbagai bidang, mulai dari filsafat analitik pasca-Wittgenstein
(misalnya Austin dan Searle) hingga hermeneutika kontemporer (misalnya Gadamer
dan Rorty).¹⁴
Ontologi bahasa
dalam Philosophical
Investigations menegaskan bahwa keberadaan manusia adalah
keberadaan yang berbahasa—to be is to speak. Melalui bahasa,
manusia tidak hanya mengungkapkan dunia, tetapi juga mengonstruksi identitas,
nilai, dan relasi sosial. Dalam arti ini, bahasa menjadi dimensi ontologis yang
tak terpisahkan dari eksistensi manusia. Wittgenstein dengan demikian telah
mengubah cara filsafat memahami realitas: dari sesuatu yang “ada” di
luar manusia menjadi sesuatu yang “dihidupi” dalam aktivitas berbahasa
yang terus berkembang dan terbuka terhadap interpretasi baru.¹⁵
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K.
Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.12.
[2]
² Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[3]
³ Ibid., §23–25.
[4]
⁴ Ibid., §43.
[5]
⁵ P. M. S. Hacker, Wittgenstein: Meaning
and Mind (Oxford: Blackwell, 1990),
56–59.
[6]
⁶ G. E. M. Anscombe, “An Introduction to Wittgenstein’s Tractatus and Investigations,” Mind 63, no. 251
(1954): 289–293.
[7]
⁷ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A
Memoir (Oxford: Oxford University
Press, 1958), 65–67.
[8]
⁸ Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979),
33–37.
[9]
⁹ Saul A. Kripke, Wittgenstein on Rules
and Private Language (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1982), 9–12.
[10]
¹⁰ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 214–217.
[11]
¹¹ J. L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 94–97.
[12]
¹² Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §133.
[13]
¹³ Peter Winch, The Idea of a Social
Science and Its Relation to Philosophy
(London: Routledge, 1958), 15–19.
[14]
¹⁴ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror
of Nature (Princeton: Princeton
University Press, 1979), 142–145.
[15]
¹⁵ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 102–106.
4.
Epistemologi:
Bahasa, Pemahaman, dan Makna
Epistemologi dalam Philosophical
Investigations mengalami transformasi radikal dari pendekatan
representasional yang menekankan korespondensi antara bahasa dan dunia menuju
pendekatan pragmatis-intersubjektif yang menempatkan pemahaman sebagai hasil
partisipasi dalam praktik berbahasa. Bagi Wittgenstein, bahasa bukan lagi
medium pasif untuk mengungkapkan pengetahuan, melainkan ruang aktif di mana
makna dan pemahaman dibentuk melalui interaksi manusia.¹ Pergeseran ini
menandai peralihan epistemologis dari logika ke kehidupan: dari bahasa sebagai
sistem simbolik menuju bahasa sebagai praktik sosial yang hidup dan
kontekstual.
4.1. Dari Korespondensi ke Intersubjektivitas
Dalam kerangka
awalnya di Tractatus
Logico-Philosophicus, Wittgenstein berpegang pada teori kebenaran
korespondensi: proposisi bermakna sejauh ia memiliki struktur logis yang
sejajar dengan fakta di dunia.² Namun, dalam Philosophical Investigations, ia
menolak asumsi tersebut dan menegaskan bahwa makna tidak ditentukan oleh
hubungan eksternal antara bahasa dan realitas, melainkan oleh cara bahasa
digunakan dalam praktik sosial.³ Ia menulis, “To understand a sentence means
to understand a language. To understand a language means to be master of a
technique.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa memahami bahasa tidak sama
dengan mengenal fakta, tetapi melibatkan penguasaan atas aturan-aturan
penggunaan bahasa dalam konteks sosial tertentu.
Epistemologi
Wittgenstein yang baru bersifat intersubjektif, artinya pengetahuan tidak lahir
dari hubungan individu dengan dunia semata, melainkan dari interaksi
antarindividu yang berbagi bentuk kehidupan (forms of life).⁵ Pengetahuan adalah
produk dari kesepakatan sosial dalam komunitas linguistik, bukan hasil refleksi
solipsistik seorang subjek otonom. Dengan demikian, bahasa bukanlah cermin
kebenaran universal, melainkan jaringan praktik yang memungkinkan manusia
saling memahami dan membangun makna bersama.
4.2. “Meaning as Use”: Makna sebagai Penggunaan
Konsep kunci
epistemologis dalam Philosophical Investigations adalah
meaning
as use—bahwa makna suatu kata ditentukan oleh penggunaannya dalam
bahasa.⁶ Dengan menolak esensialisme makna, Wittgenstein menggeser fokus
epistemologi dari “apa arti suatu kata” menjadi “bagaimana kata itu
digunakan.” Pemahaman terhadap makna, karenanya, tidak dicapai melalui
definisi atau representasi, tetapi melalui keterlibatan praktis dalam permainan
bahasa yang diatur oleh aturan-aturan tertentu.⁷
Pendekatan ini
memiliki konsekuensi epistemologis yang signifikan. Pertama, makna bersifat
kontekstual dan tidak dapat dipisahkan dari praktik sosial yang melingkupinya.
Kedua, memahami makna berarti memahami aturan implisit yang mengatur
penggunaannya.⁸ Dengan kata lain, pengetahuan linguistik bukanlah pengetahuan
proposisional (knowing that), melainkan pengetahuan praktis (knowing how).
Wittgenstein dengan demikian memperluas pengertian epistemologi dari ranah
proposisional ke ranah praksis: pengetahuan bukan sekadar akumulasi proposisi
benar, tetapi kemampuan berpartisipasi secara tepat dalam permainan bahasa yang
relevan.⁹
4.3. Argumen Bahasa Privat dan Sifat Publik Pemahaman
Salah satu aspek
paling terkenal dari epistemologi Wittgenstein adalah private
language argument, yaitu kritik terhadap gagasan bahwa seseorang
dapat memiliki bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh dirinya sendiri.¹⁰
Wittgenstein menegaskan bahwa bahasa bersifat publik karena makna memerlukan
aturan dan kriteria penggunaan yang dapat diverifikasi oleh orang lain. Bahasa
privat tidak mungkin karena tidak ada tolok ukur objektif yang dapat membedakan
antara “benar” dan “salah” dalam penggunaan tanda jika tanda itu
hanya diketahui oleh satu orang.¹¹
Melalui argumen ini,
Wittgenstein mengukuhkan bahwa pemahaman adalah hasil dari partisipasi sosial,
bukan refleksi internal.¹² Pemahaman tidak muncul dari kesadaran batin,
melainkan dari kemampuan mengikuti aturan bersama dalam konteks permainan
bahasa.¹³ Oleh karena itu, epistemologi Wittgenstein bersifat antikartesian: ia
menolak model subjek-objek dan menggantinya dengan model partisipatif di mana
pengetahuan adalah fungsi dari interaksi sosial dan konvensi linguistik.¹⁴
4.4. Pemahaman sebagai Aktivitas dan Kompetensi
Pemahaman, dalam
perspektif Wittgenstein, bukanlah keadaan mental yang statis, melainkan
aktivitas yang dilakukan dalam konteks penggunaan bahasa.¹⁵ Ia menulis bahwa
memahami sebuah kalimat tidak berarti memiliki gambaran mental tertentu, tetapi
mengetahui bagaimana melanjutkan percakapan dengan tepat.¹⁶ Pemahaman bersifat
performatif—ia diwujudkan dalam tindakan linguistik yang sesuai dengan aturan
permainan bahasa.
Dengan demikian,
epistemologi Wittgenstein dapat dikatakan sebagai epistemologi tindakan (epistemology
of practice). Pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai cerminan
realitas objektif, tetapi sebagai kemampuan untuk berperilaku linguistik secara
tepat dalam konteks kehidupan.¹⁷ Inilah yang menjadikan Philosophical
Investigations berpengaruh besar terhadap teori tindak tutur
(speech act theory) dan pragmatik modern, sebagaimana dikembangkan oleh J. L.
Austin dan John Searle.¹⁸
Dimensi Etis dan Intersubjektif Pemahaman
Dalam dimensi yang
lebih luas, epistemologi Wittgenstein juga memiliki implikasi etis: pemahaman
terhadap bahasa orang lain mengandaikan keterbukaan, empati, dan partisipasi
dalam bentuk kehidupan mereka.¹⁹ Setiap bentuk komunikasi mengandung unsur
tanggung jawab epistemik—kita memahami sejauh kita bersedia memasuki dunia
makna yang dibentuk bersama.²⁰ Dengan demikian, epistemologi Wittgenstein
melampaui sekadar teori pengetahuan; ia menjadi refleksi tentang bagaimana
manusia hidup, berkomunikasi, dan membangun dunia bersama melalui bahasa.
Epistemologi dalam Philosophical
Investigations dengan demikian bersifat praksis dan humanistik.
Wittgenstein mengajarkan bahwa mengetahui berarti mampu bertindak dengan tepat
dalam konteks sosial-linguistik yang hidup, dan memahami berarti menjadi bagian
dari dunia kehidupan bersama. Dalam perspektif ini, bahasa bukan hanya medium
pengetahuan, tetapi juga ruang eksistensial tempat manusia membangun relasi,
makna, dan kebenaran bersama.²¹
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–20.
[2]
² Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K.
Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.21.
[3]
³ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §23–25.
[4]
⁴ Ibid., §199.
[5]
⁵ Peter Winch, The Idea of a Social
Science and Its Relation to Philosophy
(London: Routledge, 1958), 32–34.
[6]
⁶ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §43.
[7]
⁷ P. M. S. Hacker, Wittgenstein: Meaning
and Mind (Oxford: Blackwell, 1990),
78–80.
[8]
⁸ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 220–222.
[9]
⁹ Hubert Dreyfus, “The Primacy of Practice,” dalam Mind, Reason, and Being-in-the-World, ed. Joseph K. Schear (London: Routledge, 2013),
14–17.
[10]
¹⁰ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §243–271.
[11]
¹¹ Saul A. Kripke, Wittgenstein on Rules
and Private Language (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1982), 18–23.
[12]
¹² Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979),
39–42.
[13]
¹³ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A
Memoir (Oxford: Oxford University
Press, 1958), 75–77.
[14]
¹⁴ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 147–151.
[15]
¹⁵ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §150.
[16]
¹⁶ Ibid., §154.
[17]
¹⁷ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995),
45–48.
[18]
¹⁸ J. L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 98–102.
[19]
¹⁹ Stanley Cavell, “Knowing and Acknowledging,” dalam Must We Mean What We Say? (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 238–242.
[20]
²⁰ Hilary Putnam, Reason, Truth, and
History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 60–63.
[21]
²¹ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 108–111.
5.
Aksiologi
dan Etika Linguistik
Dimensi aksiologis
dalam Philosophical
Investigations Ludwig Wittgenstein sering kali diabaikan karena
fokus utama karya tersebut tampak terletak pada persoalan bahasa dan makna.
Namun, jika ditelusuri secara mendalam, gagasan Wittgenstein memiliki muatan
etis yang signifikan. Aksiologi dalam konteks ini tidak merujuk pada teori
nilai dalam arti tradisional, melainkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam
praktik berbahasa itu sendiri—yakni, bagaimana manusia menggunakan bahasa secara
benar, jujur, dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosial.¹ Filsafat bahasa
Wittgenstein bukan hanya deskripsi tentang struktur linguistik, melainkan juga
refleksi moral tentang bagaimana penggunaan bahasa dapat memengaruhi pemahaman,
relasi, dan kemanusiaan itu sendiri.
5.1. Bahasa sebagai Ruang Tanggung Jawab Sosial
Wittgenstein menolak
pandangan bahwa bahasa bersifat netral dan bebas nilai. Ia menegaskan bahwa
bahasa selalu tertanam dalam forms of life—bentuk kehidupan yang
sarat norma, kebiasaan, dan nilai sosial.² Artinya, setiap penggunaan bahasa
mengandung konsekuensi moral, karena bahasa bukan hanya alat komunikasi tetapi
juga tindakan sosial. Ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya menyampaikan
proposisi, melainkan juga mengambil posisi dalam jaringan makna dan tanggung
jawab bersama.³
Pandangan ini
menunjukkan bahwa tindakan linguistik memiliki dimensi etis: bahasa dapat
membangun atau menghancurkan kepercayaan, memperjelas atau menyesatkan
pemahaman, memperkuat solidaritas atau menimbulkan alienasi.⁴ Dengan demikian, Philosophical
Investigations dapat dibaca sebagai fondasi bagi suatu etika
komunikasi, di mana tanggung jawab moral tidak lagi dipahami sebagai ketaatan
pada aturan eksternal, tetapi sebagai kesetiaan terhadap praktik bersama dalam
kehidupan berbahasa.⁵
Etika linguistik
Wittgensteinian berakar pada kesadaran bahwa memahami orang lain berarti
menghormati cara mereka menggunakan bahasa. Dalam kerangka ini, bahasa menjadi
medium empati dan pengakuan antarsubjek.⁶ Kesalahpahaman linguistik tidak
sekadar persoalan semantik, tetapi juga kegagalan etis untuk melihat dan
mendengarkan dunia sebagaimana diungkapkan oleh orang lain. Dengan demikian,
keterbukaan terhadap perbedaan makna dan gaya berbahasa menjadi bentuk konkret dari
toleransi epistemik dan moral.⁷
5.2. Kejujuran dan Klarifikasi sebagai Nilai Linguistik
Dalam pandangan
Wittgenstein, filsafat sendiri memiliki fungsi etis, yakni “membebaskan
pikiran dari belenggu bahasa” dengan cara memperjelas cara kita berbicara.⁸
Tugas ini bukan semata analitis, melainkan juga normatif, karena ia menuntut
kejujuran intelektual untuk tidak menipu diri sendiri melalui penyalahgunaan
bahasa. Ia menulis: “Philosophy is a battle against the bewitchment of our
intelligence by means of language.”⁹ Pernyataan ini mencerminkan nilai
moral dari klarifikasi: menghindari kekacauan konseptual bukan hanya tugas
logis, tetapi juga tindakan etis.
Kejujuran dalam
berbahasa berarti berbicara sesuai konteks, menghindari ambiguitas yang
menyesatkan, serta mengakui batasan bahasa.¹⁰ Wittgenstein menunjukkan bahwa
banyak masalah filsafat muncul karena penyalahgunaan bahasa, yakni ketika
kata-kata digunakan di luar permainan bahasa yang sesuai.¹¹ Maka, etika
berbahasa menuntut kesadaran akan “aturan permainan” tersebut, sehingga
seseorang dapat berbicara dengan tepat, terbuka, dan bertanggung jawab.¹²
Dengan demikian,
kejelasan (clarity)
dalam berpikir dan berbicara merupakan nilai aksiologis sentral dalam filsafat
Wittgenstein.¹³ Filsafat bukan sekadar analisis logis, tetapi latihan moral
untuk menjaga integritas berbahasa. Seperti dinyatakan Stanley Cavell,
kejelasan bagi Wittgenstein adalah bentuk kejujuran eksistensial—suatu
keterbukaan terhadap kenyataan sebagaimana adanya, bukan sebagaimana kita ingin
memahaminya.¹⁴
5.3. Etika Bahasa dalam Kehidupan Publik dan Sosial
Wittgenstein tidak
pernah menulis traktat etika formal, tetapi seluruh filsafatnya berakar pada
kesadaran moral terhadap kehidupan sehari-hari.¹⁵ Dalam Philosophical
Investigations, etika muncul secara implisit melalui gagasan bahwa
makna bersifat publik dan intersubjektif.¹⁶ Artinya, setiap ujaran mengandaikan
komunitas pengguna bahasa yang berbagi aturan dan nilai-nilai tertentu. Dalam
hal ini, kejujuran, kesalingpahaman, dan keterbukaan menjadi dasar etis bagi
keberlangsungan komunikasi manusia.
Konsepsi ini sangat
relevan dalam konteks sosial kontemporer, di mana manipulasi bahasa sering
digunakan untuk tujuan politis atau ideologis. Etika Wittgensteinian menuntut
agar bahasa tidak digunakan untuk mendominasi, menipu, atau menutupi makna,
melainkan untuk memperjelas dan menghubungkan manusia satu sama lain.¹⁷ Bahasa
yang etis adalah bahasa yang berfungsi sebagai ruang dialogis—bukan instrumen
kekuasaan, melainkan sarana partisipasi dan pemahaman bersama.¹⁸
Di sinilah aksiologi
bahasa Wittgensteinian berjumpa dengan prinsip humanistik: bahasa harus
memperkuat kapasitas manusia untuk memahami dan hidup bersama, bukan untuk
memperlemah atau mengasingkan. Etika linguistik dengan demikian menjadi bagian
integral dari filsafat kehidupan—sebuah praksis moral yang mengajarkan bahwa
cara kita berbicara mencerminkan siapa kita sebagai manusia.¹⁹
Dari Klarifikasi ke Komunikasi Etis: Sintesis Aksiologis
Secara aksiologis, Philosophical
Investigations memperlihatkan bahwa penggunaan bahasa yang benar
tidak hanya berarti sesuai aturan gramatikal, tetapi juga sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan seperti kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab
sosial.²⁰ Wittgenstein menempatkan filsafat sebagai “terapi” terhadap kesalahpahaman,
yang pada hakikatnya merupakan tindakan etis untuk memulihkan komunikasi yang
rusak.²¹
Melalui pandangan
ini, etika linguistik dapat dirumuskan sebagai etika klarifikasi dan empati:
berbicara dengan kesadaran akan konteks, mendengarkan dengan pengakuan atas
bentuk kehidupan lain, dan berpikir dengan tanggung jawab terhadap makna yang
dihasilkan bersama.²² Dalam kerangka ini, bahasa bukan hanya instrumen
berpikir, tetapi juga cermin nilai-nilai moral yang mengatur kehidupan manusia.
Dengan demikian, aksiologi Wittgensteinian membawa kita pada kesimpulan bahwa
filsafat bahasa sejatinya merupakan filsafat moral yang tersamar—sebuah
refleksi tentang bagaimana manusia hidup secara benar melalui cara mereka
berbicara dan memahami satu sama lain.²³
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.
[2]
² Ibid., §23.
[3]
³ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion:
Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 214–217.
[4]
⁴ Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979),
52–56.
[5]
⁵ Peter Winch, The Idea of a Social
Science and Its Relation to Philosophy
(London: Routledge, 1958), 87–89.
[6]
⁶ Hans Sluga, Wittgenstein (London: Routledge, 1996), 134–136.
[7]
⁷ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 164–166.
[8]
⁸ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §133.
[9]
⁹ Ibid., §109.
[10]
¹⁰ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A
Memoir (Oxford: Oxford University
Press, 1958), 82–84.
[11]
¹¹ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §116.
[12]
¹² P. M. S. Hacker, Wittgenstein:
Meaning and Mind (Oxford: Blackwell,
1990), 102–105.
[13]
¹³ Ludwig Wittgenstein, Culture
and Value, ed. G. H. von Wright
(Oxford: Blackwell, 1980), 31–34.
[14]
¹⁴ Stanley Cavell, Must We Mean What We
Say? (Cambridge: Cambridge
University Press, 1976), 242–245.
[15]
¹⁵ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York:
Penguin Books, 1990), 487–491.
[16]
¹⁶ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §206–208.
[17]
¹⁷ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.
[18]
¹⁸ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995),
112–114.
[19]
¹⁹ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 128–131.
[20]
²⁰ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 230–232.
[21]
²¹ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §255.
[22]
²² Cavell, The Claim of Reason, 60–64.
[23]
²³ Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 129–133.
6.
Dimensi
Sosial dan Budaya dari Permainan Bahasa
Pemikiran Ludwig
Wittgenstein dalam Philosophical Investigations tidak
hanya merevolusi filsafat bahasa secara teoretis, tetapi juga membuka cakrawala
baru bagi pemahaman sosial dan budaya tentang bahasa. Dengan konsep language
games (permainan bahasa) dan forms of life (bentuk kehidupan),
Wittgenstein menggeser paradigma dari pandangan logis-abstrak menuju perspektif
praksis yang menempatkan bahasa di jantung aktivitas manusia.¹ Bahasa, dalam
pandangan ini, bukan sekadar sistem tanda atau sarana representasi, tetapi
fenomena sosial yang melekat pada kebiasaan, nilai, dan interaksi manusia dalam
suatu komunitas budaya.²
6.1. Bahasa sebagai Praktik Sosial
Wittgenstein
menegaskan bahwa setiap penggunaan bahasa selalu berakar dalam suatu form of
life—yakni pola kehidupan bersama yang melibatkan kebiasaan, norma,
dan praktik sosial tertentu.³ Bahasa tidak berdiri sendiri; ia merupakan
ekspresi dari cara hidup manusia dalam komunitasnya. Ia menulis: “To imagine
a language means to imagine a form of life.”⁴ Artinya, memahami suatu
bahasa berarti memahami struktur kehidupan sosial yang menopangnya. Dengan
demikian, setiap permainan bahasa mencerminkan dunia sosialnya masing-masing:
bahasa hukum berbeda dari bahasa agama, bahasa ilmiah berbeda dari bahasa seni,
dan setiap bentuk komunikasi ini hanya dapat dimengerti melalui konteks
sosialnya.⁵
Pandangan ini
membawa implikasi sosial yang kuat: makna bukanlah sesuatu yang universal dan
abstrak, melainkan hasil kesepakatan kolektif yang diatur oleh praktik
komunitas tertentu.⁶ Karena itu, Wittgenstein menolak ide tentang bahasa “murni”
yang bisa dipisahkan dari konteks penggunaannya. Ia menempatkan bahasa dalam
arus sosial yang hidup—sebuah arena tempat manusia membangun, mempertahankan,
dan menegosiasikan makna bersama.⁷
6.2. Permainan Bahasa sebagai Cermin Budaya
Konsep language
games juga berfungsi sebagai jendela untuk memahami keragaman
budaya. Setiap kebudayaan memiliki pola bahasa yang khas, yang membentuk cara
berpikir dan bertindak anggotanya.⁸ Dalam masyarakat tertentu, bahasa ritual,
keagamaan, atau adat menjadi sarana untuk menegaskan identitas kolektif dan
kontinuitas tradisi. Dalam hal ini, permainan bahasa bukan hanya alat
komunikasi, tetapi juga medium pewarisan nilai-nilai dan makna budaya.⁹
Wittgenstein menolak
klaim universalitas makna dengan menunjukkan bahwa penggunaan kata bergantung
pada konteks budaya dan bentuk kehidupan. Misalnya, istilah “iman” atau
“keadilan” tidak memiliki satu makna tunggal yang berlaku di semua
komunitas; maknanya ditentukan oleh aturan permainan bahasa yang berlaku dalam
kehidupan religius atau hukum suatu masyarakat.¹⁰ Dengan demikian, memahami
bahasa berarti memasuki horizon budaya yang melatarinya.¹¹
Dalam konteks ini, Philosophical
Investigations memberikan dasar bagi pendekatan interkultural
terhadap bahasa. Wittgenstein mengajarkan bahwa perbedaan makna bukanlah
hambatan komunikasi, melainkan peluang untuk memahami keberagaman bentuk
kehidupan manusia.¹² Hal ini menjadikan konsep permainan bahasa relevan bagi kajian
antropologi, sosiolinguistik, dan filsafat budaya, yang semuanya menekankan
pentingnya konteks sosial dalam produksi dan interpretasi makna.¹³
6.3. Bahasa, Kekuasaan, dan Struktur Sosial
Dimensi sosial
bahasa dalam pemikiran Wittgenstein juga membuka ruang refleksi kritis tentang
relasi antara bahasa dan kekuasaan. Meskipun Wittgenstein sendiri tidak secara
eksplisit membahas politik bahasa, pemikirannya mengilhami generasi
berikutnya—terutama Michel Foucault dan Pierre Bourdieu—untuk memahami bahasa
sebagai praktik yang membentuk struktur sosial.¹⁴ Dalam perspektif ini, aturan
permainan bahasa tidak netral; ia sering kali mencerminkan distribusi kekuasaan
dalam masyarakat.
Bahasa hukum,
ilmiah, atau administratif, misalnya, memiliki otoritas karena ditopang oleh
institusi sosial yang memonopoli kebenaran.¹⁵ Oleh karena itu, menguasai
permainan bahasa tertentu berarti memiliki posisi sosial yang diakui secara
simbolik.¹⁶ Wittgenstein dengan demikian meletakkan fondasi bagi analisis
kritis terhadap dominasi linguistik, di mana kemampuan untuk “berbicara
dengan benar” menjadi sarana pengendalian sosial dan eksklusi budaya.¹⁷
Namun, dalam
kerangka humanistik, Wittgenstein juga membuka jalan bagi etika komunikasi yang
lebih egaliter. Dengan menekankan sifat publik dan intersubjektif bahasa, ia
menegaskan bahwa makna selalu merupakan hasil partisipasi bersama.¹⁸ Tidak ada
otoritas tunggal yang memiliki monopoli atas kebenaran linguistik; yang ada
hanyalah dialog terbuka antaranggota komunitas. Prinsip ini mengandung nilai
demokratis yang mendalam: bahasa menjadi ruang bersama di mana setiap suara
memiliki potensi untuk membentuk makna.¹⁹
Relevansi Budaya dan Multidisipliner
Dalam konteks
modern, dimensi sosial-budaya dari permainan bahasa Wittgensteinian memiliki relevansi
luas. Di era globalisasi dan digital, manusia hidup di tengah pluralitas
permainan bahasa: bahasa ilmiah, politik, agama, media sosial, dan budaya
populer saling berinteraksi dalam ekosistem komunikasi global.²⁰ Pandangan
Wittgenstein membantu menjelaskan bagaimana konflik makna, misinformasi, atau
disinformasi dapat terjadi ketika aturan permainan bahasa dari satu ranah
diterapkan secara keliru ke ranah lain.²¹
Selain itu, konsep
ini juga menginspirasi teori budaya kontemporer, terutama dalam hermeneutika
dan studi wacana. Hans-Georg Gadamer mengembangkan gagasan “dialog
antar-horizon” yang paralel dengan ide Wittgenstein tentang keragaman
permainan bahasa.²² Demikian pula, Jürgen Habermas mengaitkan dimensi sosial
bahasa dengan etika diskursus, di mana kebenaran bergantung pada konsensus
komunikatif yang dicapai secara rasional dalam komunitas penutur.²³
Dengan demikian,
dimensi sosial dan budaya dari permainan bahasa memperluas cakupan filsafat
bahasa dari sekadar analisis makna ke analisis kehidupan. Bahasa dipahami bukan
sebagai sistem simbol netral, melainkan sebagai fenomena sosial yang sarat
nilai, kekuasaan, dan tradisi. Wittgenstein menunjukkan bahwa memahami bahasa
berarti memahami manusia sebagai makhluk yang hidup bersama dalam dunia yang penuh
makna—dunia yang mereka bentuk melalui kata, tindakan, dan interaksi sosial.²⁴
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.
[2]
² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion:
Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 210–213.
[3]
³ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §23.
[4]
⁴ Ibid., §19.
[5]
⁵ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A
Memoir (Oxford: Oxford University
Press, 1958), 70–73.
[6]
⁶ Peter Winch, The Idea of a Social
Science and Its Relation to Philosophy
(London: Routledge, 1958), 89–91.
[7]
⁷ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 224–226.
[8]
⁸ Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979),
59–61.
[9]
⁹ G. E. M. Anscombe, “An Introduction to Wittgenstein’s Philosophical Investigations,” Mind 63, no. 251 (1954): 300–303.
[10]
¹⁰ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §65–67.
[11]
¹¹ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 182–184.
[12]
¹² Clifford Geertz, The
Interpretation of Cultures (New
York: Basic Books, 1973), 12–14.
[13]
¹³ Dell Hymes, Foundations in
Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 45–49.
[14]
¹⁴ Michel Foucault, The
Archaeology of Knowledge (New York:
Pantheon Books, 1972), 49–52.
[15]
¹⁵ Pierre Bourdieu, Language
and Symbolic Power, trans. Gino
Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–41.
[16]
¹⁶ Ibid., 45–46.
[17]
¹⁷ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 273–276.
[18]
¹⁸ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §206.
[19]
¹⁹ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995),
119–122.
[20]
²⁰ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 135–137.
[21]
²¹ Niklas Luhmann, Social Systems, trans. John Bednarz Jr. (Stanford: Stanford
University Press, 1995), 162–165.
[22]
²² Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 1989), 285–288.
[23]
²³ Jürgen Habermas, Moral
Consciousness and Communicative Action
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 58–61.
[24]
²⁴ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York:
Penguin Books, 1990), 522–525.
7.
Kritik
terhadap Philosophical Investigations
Sejak diterbitkan
pada tahun 1953, Philosophical Investigations karya
Ludwig Wittgenstein telah menjadi salah satu teks paling berpengaruh sekaligus
paling kontroversial dalam filsafat abad ke-20. Karya ini menandai pergeseran
besar dari paradigma logiko-representasional ke paradigma praksis-linguistik,
yang menempatkan bahasa sebagai aktivitas sosial dan bukan sistem simbol abstrak.
Namun, pengaruh besar ini diiringi pula oleh beragam kritik dari berbagai
aliran filsafat—baik dari kalangan positivis logis, analitik, hermeneutik,
hingga poststrukturalis. Kritik-kritik tersebut mencerminkan ketegangan antara
kejelasan analitik dan ambiguitas metodologis dalam proyek Wittgensteinian.
7.1. Kritik dari Positivisme Logis dan Tradisi Analitik
Murni
Salah satu kritik
paling awal datang dari kalangan positivis logis, terutama tokoh-tokoh
Lingkaran Wina seperti Rudolf Carnap dan Moritz Schlick. Mereka awalnya
menganggap Tractatus
Logico-Philosophicus sebagai fondasi logis bagi empirisme modern.
Ketika Wittgenstein beralih ke Philosophical Investigations,
dengan meninggalkan struktur logika universal dan menggantinya dengan deskripsi
permainan bahasa, banyak dari mereka merasa kecewa.¹ Carnap menilai pendekatan
baru Wittgenstein terlalu subjektif dan tidak lagi memberikan kriteria objektif
bagi kebenaran ilmiah.² Dengan menolak gagasan sistematik tentang makna,
Wittgenstein dianggap telah meninggalkan ideal ilmiah yang menjadi ciri khas
filsafat analitik awal.³
Kritik lainnya
datang dari tokoh seperti W. V. O. Quine, yang menilai bahwa konsep “makna
sebagai penggunaan” tidak mampu menjelaskan dasar epistemologis yang stabil
bagi pengetahuan.⁴ Bagi Quine, relativisme penggunaan bahasa berisiko
meniadakan perbedaan antara yang bermakna dan yang tidak bermakna, sehingga
filsafat kehilangan fungsi analitisnya.⁵ Hal ini menimbulkan pertanyaan serius:
apakah Philosophical
Investigations benar-benar menawarkan teori atau sekadar deskripsi
yang tidak dapat diverifikasi secara logis?⁶
7.2. Kritik dari Perspektif Hermeneutik dan
Fenomenologis
Dari sisi
kontinental, para pemikir hermeneutik seperti Hans-Georg Gadamer dan Paul
Ricoeur memberikan kritik yang lebih nuansial. Mereka mengapresiasi penekanan
Wittgenstein pada praktik dan konteks kehidupan, tetapi menilai bahwa Philosophical
Investigations kurang memperhatikan dimensi historis dan
eksistensial dari bahasa.⁷ Gadamer berpendapat bahwa permainan bahasa Wittgensteinian
terlalu statis dan tidak mencerminkan dinamika pemahaman yang berkembang
melalui dialog antartradisi.⁸ Sementara itu, Ricoeur menilai bahwa pendekatan
deskriptif Wittgenstein gagal menyingkap makna simbolik dan imajinatif dari
bahasa, yang justru menjadi sumber produktivitas hermeneutik.⁹
Kritik fenomenologis
juga datang dari mazhab Husserlian. Maurice Merleau-Ponty, misalnya, menganggap
Wittgenstein terlalu menekankan dimensi publik bahasa sehingga mengabaikan
pengalaman subjektif yang menjadi dasar artikulasi makna.¹⁰ Dalam pandangan
fenomenologi, pemahaman terhadap dunia tidak hanya terbentuk melalui konvensi
sosial, tetapi juga melalui persepsi dan intensionalitas individual. Dengan
demikian, Philosophical
Investigations dianggap mengabaikan tubuh, pengalaman, dan ekspresi
sebagai elemen ontologis bahasa.¹¹
7.3. Kritik terhadap Relativisme dan Anti-Teoretisisme
Kritik lain
diarahkan pada aspek metodologis karya ini. Wittgenstein menolak ambisi
filsafat untuk membangun teori universal tentang bahasa; ia memandang tugas
filsafat hanyalah untuk “mengklarifikasi penggunaan.”¹² Namun, penolakan
ini dianggap oleh sebagian kalangan sebagai bentuk anti-teoretisisme yang
ekstrem. Ernest Gellner, dalam karyanya Words and Things, menyebut
pendekatan Wittgenstein sebagai “mistisisme linguistik” yang berbahaya
karena menolak rasionalitas sistematik dalam filsafat.¹³ Menurut Gellner,
Wittgenstein menggantikan penjelasan ilmiah dengan dogma baru tentang “permainan
bahasa” yang tidak dapat diuji secara rasional.¹⁴
Selain itu, beberapa
kritikus menyoroti bahaya relativisme yang terkandung dalam gagasan bahwa makna
hanya bergantung pada konteks penggunaan. Jika setiap permainan bahasa memiliki
aturan sendiri tanpa ukuran universal, bagaimana mungkin kita menilai kebenaran
antarbahasa atau antarbudaya?¹⁵ Hal ini menimbulkan pertanyaan epistemologis
dan etis: apakah segala bentuk wacana sama sahihnya, atau masih ada ruang bagi
kritik rasional lintas konteks? Jürgen Habermas menanggapi persoalan ini dengan
menegaskan perlunya prinsip rasionalitas komunikatif sebagai pelengkap bagi
pluralisme permainan bahasa.¹⁶
7.4. Kritik dari Perspektif Poststruktural dan
Dekonstruktif
Pemikir
poststrukturalis seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault juga memberikan
respons kritis terhadap Philosophical Investigations.
Derrida, misalnya, menghargai penolakan Wittgenstein terhadap metafisika makna
tunggal, tetapi menganggap bahwa konsep “permainan bahasa” masih terlalu
terikat pada komunitas dan aturan yang stabil.¹⁷ Ia mengajukan konsep “différance”
untuk menunjukkan bahwa makna tidak hanya dibentuk oleh aturan permainan
bahasa, tetapi juga oleh ketegangan dan penundaan dalam jaringan tanda.¹⁸
Sementara itu, Foucault memanfaatkan pendekatan Wittgenstein untuk mengkaji
relasi antara bahasa dan kekuasaan, namun menilai bahwa Wittgenstein gagal
menyadari dimensi historis-politis yang membentuk permainan bahasa itu
sendiri.¹⁹
Dari perspektif ini,
Philosophical
Investigations dianggap terlalu “aman” dan normatif: ia
mengakui keragaman bahasa, tetapi tidak cukup radikal untuk membongkar struktur
kekuasaan yang mengatur produksi makna dalam masyarakat.²⁰ Dengan kata lain,
Wittgenstein berhenti pada deskripsi permukaan, tanpa menggali “arsip”
sosial dan ideologis yang melatarinya.
Evaluasi dan Relevansi Kritik
Kritik-kritik
terhadap Philosophical
Investigations memperlihatkan ketegangan antara deskripsi dan
teori, relativisme dan objektivitas, praksis dan sistem. Namun, di sisi lain,
perdebatan ini justru menunjukkan kekuatan dan vitalitas pemikiran
Wittgenstein.²¹ Karya ini menolak memberikan jawaban final, karena tujuan
utamanya bukan menjelaskan dunia, tetapi mengklarifikasi cara kita berbicara
tentang dunia. Dalam hal ini, Wittgenstein memang tidak menawarkan teori
kebenaran universal, tetapi membuka ruang dialog tanpa akhir tentang bagaimana
makna dibentuk dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian,
walaupun Wittgenstein dikritik karena dianggap relativistik, anti-teoretik, dan
deskriptif tanpa arah, Philosophical Investigations tetap
menjadi tonggak penting dalam pergeseran epistemologis dan kultural filsafat
modern.²² Ia memaksa filsafat untuk mengakui keterbatasan bahasanya sendiri,
sekaligus mengajak manusia untuk lebih bertanggung jawab terhadap makna yang
mereka hasilkan dalam percakapan sosial. Kritik-kritik yang ditujukan
kepadanya, pada akhirnya, memperkuat relevansi pemikirannya sebagai refleksi
abadi tentang kondisi manusia yang hidup di tengah bahasa.²³
Footnotes
[1]
¹ Rudolf Carnap, Philosophy and Logical
Syntax (London: Kegan Paul, 1935),
112–114.
[2]
² Moritz Schlick, “Meaning and Verification,” The Philosophical Review
45, no. 4 (1936): 339–341.
[3]
³ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion:
Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 123–126.
[4]
⁴ W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 67–69.
[5]
⁵ Ibid., 71.
[6]
⁶ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 236–238.
[7]
⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 1989), 287–289.
[8]
⁸ Ibid., 291.
[9]
⁹ Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 28–30.
[10]
¹⁰ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 1962), 178–180.
[11]
¹¹ Ibid., 182.
[12]
¹² Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §133.
[13]
¹³ Ernest Gellner, Words and Things (Boston: Beacon Press, 1959), 18–22.
[14]
¹⁴ Ibid., 31–33.
[15]
¹⁵ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 174–178.
[16]
¹⁶ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 272–274.
[17]
¹⁷ Jacques Derrida, Margins
of Philosophy, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1982), 10–12.
[18]
¹⁸ Ibid., 13–14.
[19]
¹⁹ Michel Foucault, The
Archaeology of Knowledge (New York:
Pantheon Books, 1972), 54–57.
[20]
²⁰ Ibid., 59.
[21]
²¹ Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979),
68–72.
[22]
²² Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York:
Penguin Books, 1990), 540–543.
[23]
²³ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 142–145.
8.
Relevansi
Kontemporer
Pemikiran Ludwig
Wittgenstein dalam Philosophical Investigations tetap
memiliki relevansi mendalam dalam konteks intelektual dan sosial abad ke-21.
Meskipun karya ini lahir dari lingkungan filsafat analitik pertengahan abad
ke-20, gagasan-gagasannya mengenai language games (permainan bahasa), forms of
life (bentuk kehidupan), serta makna sebagai penggunaan (meaning
as use) justru menjadi semakin penting dalam era komunikasi global,
digitalisasi, dan pluralitas budaya.¹ Relevansinya meluas ke berbagai bidang:
filsafat bahasa kontemporer, teori komunikasi, linguistik pragmatis, kecerdasan
buatan, filsafat budaya, hingga etika komunikasi digital.
8.1. Pengaruh terhadap Filsafat Bahasa dan Pragmatik Modern
Dalam ranah filsafat
bahasa, pengaruh Wittgenstein sangat terasa pada perkembangan teori tindak
tutur (speech
act theory) yang dikembangkan oleh J. L. Austin dan John Searle.²
Pandangan Wittgenstein bahwa “makna adalah penggunaan” menjadi dasar bagi
pemahaman bahwa berbicara bukan sekadar menyatakan sesuatu, tetapi juga melakukan
sesuatu melalui bahasa.³ Dari sinilah berkembang konsep tindakan lokusioner,
ilokusioner, dan perlokusioner yang menegaskan sifat performatif bahasa.⁴
Teori-teori ini kemudian memperluas cakupan analisis bahasa dari struktur
gramatikal menuju fungsi sosialnya.
Selain itu,
pendekatan Wittgensteinian juga memengaruhi pragmatik kontemporer, termasuk
teori implikatur percakapan yang dirumuskan oleh H. P. Grice.⁵ Prinsip-prinsip
seperti relevansi, kerja sama, dan maksud pembicara dapat dipahami sebagai
elaborasi lebih lanjut dari ide Wittgenstein bahwa makna bahasa selalu
kontekstual dan bergantung pada aturan permainan tertentu.⁶ Dengan demikian, Philosophical
Investigations dapat dianggap sebagai titik awal bagi seluruh
tradisi pragmatis dalam filsafat bahasa modern.
8.2. Relevansi dalam Konteks Sosial dan Budaya
Multiplural
Di tengah masyarakat
global yang semakin majemuk, konsep Wittgenstein tentang forms of
life dan language games menawarkan kerangka
teoritis untuk memahami pluralitas makna antarbudaya. Bahasa tidak lagi
dipandang sebagai sistem tunggal yang universal, tetapi sebagai mosaik praktik
linguistik yang berbeda, masing-masing dengan aturan dan nilai sendiri.⁷ Dalam
konteks ini, Philosophical Investigations
mengajarkan pentingnya sikap hermeneutik—yaitu kesediaan untuk memasuki
permainan bahasa orang lain sebagai cara untuk memahami dan menghormati
perbedaan.⁸
Gagasan ini memiliki
implikasi besar dalam studi lintas budaya, antropologi linguistik, dan teori
komunikasi antarbudaya. Clifford Geertz, misalnya, menggunakan semangat
Wittgensteinian dalam karyanya The Interpretation of Cultures, di
mana ia menafsirkan budaya sebagai jaringan makna yang diciptakan dan
ditafsirkan manusia melalui simbol dan bahasa.⁹ Pemahaman terhadap
bentuk-bentuk kehidupan berbeda menjadi fondasi bagi toleransi epistemik dan
sosial, yang sangat relevan dalam dunia yang ditandai oleh konflik identitas
dan benturan ideologi.¹⁰
8.3. Kontribusi terhadap Etika Komunikasi dan Filsafat
Diskursus
Wittgenstein juga
berkontribusi terhadap lahirnya etika komunikasi modern. Dengan menekankan
sifat publik dan intersubjektif bahasa, ia memberikan dasar bagi teori tindakan
komunikatif Jürgen Habermas.¹¹ Habermas mengembangkan pandangan bahwa kebenaran
dan rasionalitas tidak terletak pada representasi dunia, tetapi pada
kemungkinan mencapai kesepahaman (Verständigung) dalam komunikasi
yang bebas dari dominasi.¹² Prinsip ini berakar langsung pada gagasan
Wittgenstein tentang bahasa sebagai aktivitas sosial yang diatur oleh aturan
permainan bersama.
Dalam dunia digital
dan media sosial, di mana bahasa sering disalahgunakan untuk misinformasi dan
polarisasi, pandangan Wittgenstein menjadi semakin penting. Etika linguistiknya—yang
menekankan kejelasan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam berbicara—menawarkan
panduan moral bagi praktik komunikasi modern.¹³ Dengan memahami bahwa makna
muncul dari penggunaan dalam konteks sosial, kita belajar bahwa setiap ujaran
publik mengandung tanggung jawab epistemik terhadap komunitas pengguna bahasa
lainnya.¹⁴
8.4. Relevansi bagi Filsafat Teknologi dan Kecerdasan
Buatan (AI)
Konsep Wittgenstein
tentang makna sebagai penggunaan juga memiliki relevansi yang semakin besar
dalam filsafat teknologi dan kecerdasan buatan.¹⁵ Dalam perdebatan mengenai
pemahaman bahasa oleh mesin, pandangan Wittgenstein menunjukkan bahwa memahami
bahasa bukan sekadar mengenali pola sintaksis, tetapi melibatkan partisipasi
dalam forms of
life manusia.¹⁶ Ini menjadi kritik terhadap pendekatan
komputasional murni yang berasumsi bahwa kecerdasan linguistik dapat direduksi
menjadi manipulasi simbol.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Hubert Dreyfus dan Charles Taylor, pemahaman linguistik sejati
menuntut keterlibatan dalam dunia praksis dan nilai-nilai manusia yang
hidup—sesuatu yang tidak dapat direduksi menjadi algoritme.¹⁷ Maka, Philosophical
Investigations menjadi rujukan penting bagi filsafat AI etis, yang
menekankan bahwa “mengerti” bukan sekadar memproses informasi, tetapi mengambil
bagian dalam konteks sosial yang bermakna.¹⁸
Relevansi Eksistensial: Bahasa, Kemanusiaan, dan Kebermaknaan Hidup
Akhirnya, relevansi Philosophical
Investigations melampaui batas disiplin akademik. Dalam dunia yang
semakin terfragmentasi oleh sistem simbol, Wittgenstein mengingatkan bahwa
bahasa adalah jantung dari keberadaan manusia. Bahasa bukan sekadar alat
berpikir, tetapi medium di mana manusia menegaskan identitasnya dan
berpartisipasi dalam dunia bersama.¹⁹ Dengan menempatkan makna dalam penggunaan
sehari-hari, Wittgenstein menegaskan bahwa filsafat harus kembali ke kehidupan
konkret—ke “apa yang sebenarnya kita lakukan” dalam berbicara,
mendengar, dan memahami.²⁰
Dalam konteks
eksistensial ini, pemikiran Wittgenstein menawarkan terapi terhadap alienasi
linguistik modern: ia mengembalikan bahasa kepada kehidupan, dan dengan itu,
mengembalikan filsafat kepada manusia.²¹ Dengan demikian, Philosophical
Investigations tidak hanya relevan secara teoretis, tetapi juga
secara etis dan humanistik. Ia mengajarkan bahwa memahami bahasa berarti
memahami diri sendiri sebagai makhluk yang berbicara, berinteraksi, dan hidup
dalam dunia yang dibentuk oleh kata-kata.²²
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe
(Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.
[2]
² J. L. Austin, How to Do Things with
Words (Oxford: Clarendon Press,
1962), 94–99.
[3]
³ P. M. S. Hacker, Wittgenstein: Meaning
and Mind (Oxford: Blackwell, 1990),
56–59.
[4]
⁴ John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–25.
[5]
⁵ H. P. Grice, “Logic and Conversation,” dalam Syntax and Semantics,
vol. 3, ed. Peter Cole and Jerry Morgan (New York: Academic Press, 1975),
41–58.
[6]
⁶ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 220–223.
[7]
⁷ Peter Winch, The Idea of a Social
Science and Its Relation to Philosophy
(London: Routledge, 1958), 93–95.
[8]
⁸ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 1989), 290–293.
[9]
⁹ Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 13–17.
[10]
¹⁰ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995),
113–116.
[11]
¹¹ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 275–278.
[12]
¹² Ibid., 284.
[13]
¹³ Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979),
83–87.
[14]
¹⁴ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton: Princeton
University Press, 1979), 189–191.
[15]
¹⁵ Hubert Dreyfus, What Computers Still
Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 118–121.
[16]
¹⁶ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §23–25.
[17]
¹⁷ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 137–140.
[18]
¹⁸ Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 94–96.
[19]
¹⁹ Ludwig Wittgenstein, Culture
and Value, ed. G. H. von Wright
(Oxford: Blackwell, 1980), 45–48.
[20]
²⁰ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A
Memoir (Oxford: Oxford University
Press, 1958), 92–94.
[21]
²¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York:
Penguin Books, 1990), 532–535.
[22]
²² Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism,
141–143.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Hermeneutika Praksis Wittgensteinian
Sintesis filosofis
dari Philosophical
Investigations Wittgenstein dapat dirumuskan sebagai pergeseran
dari teori representasi menuju paradigma praksis—suatu pendekatan yang memahami
bahasa, makna, dan pengetahuan bukan sebagai sistem proposisi yang
menggambarkan dunia, melainkan sebagai aktivitas manusia yang ditanamkan dalam
konteks kehidupan.¹ Pergeseran ini menghadirkan orientasi baru dalam filsafat
kontemporer yang dapat disebut sebagai hermeneutika praksis Wittgensteinian:
suatu cara menafsirkan bahasa bukan melalui pencarian struktur metafisis atau
logis yang tersembunyi, tetapi melalui pemahaman atas penggunaan bahasa dalam
kehidupan sosial dan budaya manusia.²
9.1. Integrasi Ontologis dan Epistemologis dalam Praksis
Bahasa
Wittgenstein
berhasil menyatukan dimensi ontologis dan epistemologis dalam kerangka praksis
linguistik. Bahasa, bagi Wittgenstein, bukanlah sekadar alat untuk menyatakan
dunia (ontologi representasional) ataupun sekadar sarana memperoleh pengetahuan
(epistemologi korespondensial), melainkan medium di mana manusia mengada
dan mengetahui
secara bersamaan.³ Melalui bahasa, realitas dan pengetahuan saling membentuk
dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini,
setiap bentuk kehidupan (form of life) merupakan horizon di
mana makna dan kebenaran dihasilkan melalui interaksi manusia.⁴ Wittgenstein
menolak pandangan bahwa ada esensi makna yang tunggal dan tetap; sebaliknya, ia
menegaskan bahwa makna adalah “suatu penggunaan” yang bergantung pada
aturan sosial yang dihidupi manusia.⁵ Dengan demikian, pemahaman terhadap makna
tidak dapat dipisahkan dari pemahaman terhadap konteks sosial dan budaya di
mana bahasa itu berfungsi. Integrasi ini menandai kelahiran apa yang dapat
disebut “ontologi praksis”—bahwa ada berarti berpartisipasi dalam
kehidupan berbahasa.⁶
9.2. Hermeneutika Penggunaan: Makna sebagai Pemahaman
yang Terjalin
Konsep hermeneutika
praksis Wittgensteinian dapat dirumuskan sebagai cara menafsirkan makna melalui
keterlibatan aktif dalam permainan bahasa.⁷ Pemahaman bukanlah hasil dari
proses penalaran teoretis, melainkan dari keterampilan dalam menavigasi konteks
sosial yang hidup. Menafsirkan berarti “tahu bagaimana menggunakan,”
bukan “menemukan makna tersembunyi.”⁸ Dalam konteks ini, bahasa menjadi
ruang hermeneutik di mana manusia terus-menerus menafsirkan tindakannya sendiri
dan tindakan orang lain melalui simbol dan praktik.
Gagasan ini
beresonansi dengan hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, yang menekankan
bahwa pemahaman selalu bersifat historis dan partisipatif.⁹ Namun, berbeda dari
Gadamer yang menekankan “dialog antar-horizon,” Wittgenstein menekankan
dimensi praksis dan kebiasaan sosial sebagai sarana pemahaman.¹⁰ Dengan demikian,
hermeneutika Wittgensteinian lebih bersifat deskriptif dan imanen: ia tidak
berusaha menyingkap makna transenden, tetapi menjelaskan bagaimana makna
bekerja dalam kehidupan sehari-hari.¹¹
Hermeneutika ini
juga menolak dualisme antara teori dan praktik. Tidak ada pemahaman yang murni
teoritis tanpa landasan praksis sosial.¹² Bahkan filsafat itu sendiri, menurut
Wittgenstein, bukanlah teori tentang dunia, melainkan “aktivitas” yang
bertujuan mengklarifikasi cara kita berbicara dan berpikir.¹³ Dengan kata lain,
filsafat adalah bentuk refleksi hermeneutik terhadap kehidupan berbahasa.
9.3. Dimensi Etis dan Humanistik dalam Hermeneutika
Praksis
Hermeneutika praksis
Wittgensteinian memiliki dimensi etis yang mendalam. Jika bahasa adalah
aktivitas sosial yang diatur oleh aturan dan kebiasaan, maka memahami bahasa
berarti juga memahami bentuk kehidupan orang lain.¹⁴ Proses ini menuntut
empati, keterbukaan, dan pengakuan terhadap perbedaan. Dalam hal ini, memahami
bukan hanya tindakan intelektual, tetapi juga tindakan moral: ia melibatkan
kepekaan terhadap cara orang lain memberi makna pada dunia mereka.¹⁵
Stanley Cavell
menafsirkan dimensi ini sebagai etika pengakuan (ethics of acknowledgment)—sebuah
sikap untuk menerima keunikan cara orang lain menggunakan bahasa tanpa
memaksakan kerangka makna tunggal.¹⁶ Dengan demikian, hermeneutika
Wittgensteinian menolak dominasi epistemik dan membuka ruang dialog
antarpraktik dan antarbudaya. Dalam konteks dunia yang semakin plural,
pandangan ini memiliki implikasi langsung bagi filsafat komunikasi, politik
bahasa, dan pendidikan multikultural.¹⁷
Etika linguistik
Wittgensteinian juga menegaskan pentingnya “kejujuran berbahasa” (honesty
in speech) sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kebenaran dalam
interaksi sosial.¹⁸ Kejelasan dalam berpikir dan berbicara, sebagaimana
diungkapkan Wittgenstein dalam Philosophical Investigations §133,
adalah tindakan moral karena ia mencegah kesalahpahaman dan kekacauan
konseptual yang dapat merusak hubungan antarindividu.¹⁹ Dengan demikian, hermeneutika
praksis Wittgenstein bukan hanya teori interpretasi, tetapi juga pedoman etika
kehidupan bersama.
9.4. Relevansi Hermeneutika Praksis dalam Filsafat
Kontemporer
Dalam perkembangan
filsafat kontemporer, hermeneutika praksis Wittgensteinian memberikan landasan
bagi pendekatan interdisipliner antara filsafat bahasa, sosiologi, antropologi,
dan teori budaya.²⁰ Ia menginspirasi berbagai tradisi pemikiran—dari
pragmatisme Richard Rorty hingga fenomenologi praksis Hubert Dreyfus—yang
sama-sama menolak pandangan representasionalis tentang makna.²¹
Dalam dunia digital,
di mana bahasa mengalami transformasi melalui teknologi, gagasan Wittgenstein
tentang permainan bahasa menjadi relevan untuk memahami bagaimana makna
diciptakan dan dinegosiasikan dalam ruang virtual.²² Setiap komunitas daring
memiliki “aturan permainan” tersendiri yang menentukan bagaimana simbol,
tanda, dan ujaran dipahami.²³ Hermeneutika praksis Wittgensteinian membantu
kita menafsirkan fenomena ini tanpa terjebak pada klaim kebenaran universal, tetapi
dengan menelusuri makna yang muncul dari praktik sosial yang hidup.²⁴
Sintesis Humanistik: Bahasa sebagai Ruang Hidup Bersama
Pada akhirnya,
sintesis filosofis dari Philosophical Investigations adalah
pengakuan bahwa bahasa merupakan jantung dari kehidupan manusia—ruang di mana
makna, pengetahuan, dan nilai-nilai moral dibangun secara bersama.²⁵ Melalui
bahasa, manusia tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga menciptakan dan
menafsirkan dunianya secara kolektif. Hermeneutika praksis Wittgensteinian
dengan demikian menuntun filsafat menuju orientasi humanistik: bahwa memahami
bahasa berarti memahami kehidupan manusia itu sendiri dalam segala
kerumitannya.²⁶
Filsafat tidak lagi
mencari fondasi metafisis, tetapi mengakar pada kehidupan konkret. Bahasa
bukanlah “kaca bening” yang memantulkan realitas, melainkan jalinan
sosial yang menampung seluruh dinamika eksistensi manusia.²⁷ Dengan demikian,
hermeneutika praksis Wittgensteinian menjadi jembatan antara filsafat analitik
dan humanisme kontemporer—antara klarifikasi rasional dan pemahaman
eksistensial—menuju sebuah pandangan integral tentang manusia sebagai makhluk
berbahasa dan bermakna.²⁸
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M.
Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.
[2]
² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion:
Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 201–204.
[3]
³ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K.
Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.21.
[4]
⁴ Peter Winch, The Idea of a Social
Science and Its Relation to Philosophy
(London: Routledge, 1958), 90–93.
[5]
⁵ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §43.
[6]
⁶ Hans-Johann Glock, A
Wittgenstein Dictionary (Oxford:
Blackwell, 1996), 215–217.
[7]
⁷ Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979),
93–97.
[8]
⁸ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving
Realism (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2015), 118–121.
[9]
⁹ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, 2nd ed. (New York:
Continuum, 1989), 272–274.
[10]
¹⁰ Ibid., 280.
[11]
¹¹ Richard Rorty, Philosophy and the
Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 176–178.
[12]
¹² Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995),
122–125.
[13]
¹³ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §133.
[14]
¹⁴ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A
Memoir (Oxford: Oxford University
Press, 1958), 80–83.
[15]
¹⁵ Stanley Cavell, Must We Mean What We
Say? (Cambridge: Cambridge
University Press, 1976), 240–242.
[16]
¹⁶ Ibid., 245.
[17]
¹⁷ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1 (Boston: Beacon Press, 1984), 276–279.
[18]
¹⁸ Ludwig Wittgenstein, Culture
and Value, ed. G. H. von Wright (Oxford:
Blackwell, 1980), 48–50.
[19]
¹⁹ Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §133.
[20]
²⁰ Hans Sluga, Wittgenstein (London: Routledge, 1996), 142–145.
[21]
²¹ Hubert Dreyfus, What Computers Still
Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 119–121.
[22]
²² Luciano Floridi, The
Ethics of Information (Oxford:
Oxford University Press, 2013), 92–94.
[23]
²³ Niklas Luhmann, Social Systems, trans. John Bednarz Jr. (Stanford: Stanford
University Press, 1995), 160–163.
[24]
²⁴ Clifford Geertz, The
Interpretation of Cultures (New
York: Basic Books, 1973), 20–23.
[25]
²⁵ Ludwig Wittgenstein, Culture
and Value, 52–55.
[26]
²⁶ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein:
The Duty of Genius (New York:
Penguin Books, 1990), 540–543.
[27]
²⁷ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism,
142–145.
[28]
²⁸ Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 50–54.
10. Kesimpulan
Philosophical Investigations karya Ludwig Wittgenstein merupakan tonggak
penting dalam sejarah filsafat bahasa dan secara lebih luas dalam evolusi
pemikiran filsafat abad ke-20. Karya ini menandai transisi dari fase awal
Wittgenstein yang berorientasi pada logika dan representasi menuju fase
praksis-linguistik yang menempatkan bahasa sebagai aktivitas manusia yang sarat
makna sosial, kultural, dan etis.¹ Dalam karya ini, Wittgenstein menggeser
pusat perhatian filsafat dari pencarian struktur logis universal kepada
pemahaman tentang bagaimana bahasa berfungsi dalam kehidupan sehari-hari
melalui konsep language games (permainan bahasa) dan forms of life
(bentuk kehidupan). Pergeseran ini bukan hanya metodologis, tetapi juga
ontologis dan aksiologis, karena mengubah cara kita memahami realitas,
pengetahuan, dan tanggung jawab manusia dalam berbahasa.²
Secara ontologis, Wittgenstein menolak pandangan
representasional bahwa bahasa mencerminkan dunia secara pasif. Sebaliknya, ia
menegaskan bahwa dunia manusia dibentuk melalui praktik berbahasa.³ Dengan
demikian, bahasa tidak berada di luar kehidupan, melainkan melekat di dalamnya;
realitas bukan sesuatu yang “ditemukan,” melainkan “dihidupi”
melalui bentuk-bentuk komunikasi dan simbol sosial.⁴ Dalam kerangka ini,
manusia bukan sekadar pengguna bahasa, tetapi makhluk yang keberadaannya
dijalin melalui aktivitas berbahasa—sebuah “ontologi praksis” yang
menegaskan bahwa menjadi berarti berpartisipasi dalam permainan bahasa yang
hidup.⁵
Secara epistemologis, Wittgenstein mengubah cara
filsafat memahami makna dan pemahaman. Ia menunjukkan bahwa mengetahui bukanlah
sekadar menghubungkan proposisi dengan fakta, melainkan keterampilan untuk
menggunakan bahasa dalam konteks sosial yang tepat.⁶ Pemahaman bukan hasil dari
pengetahuan teoretis, tetapi tindakan praktis—“knowing how” alih-alih
sekadar “knowing that.”⁷ Melalui argumennya tentang bahasa publik dan
penolakannya terhadap private language, Wittgenstein menegaskan bahwa
pengetahuan bersifat intersubjektif dan konstitutif terhadap kehidupan sosial.⁸
Dengan demikian, epistemologi Wittgenstein berakar pada praksis komunikasi yang
menuntut keterlibatan, dialog, dan pengakuan terhadap sesama.
Dari segi aksiologis, Philosophical
Investigations memperlihatkan dimensi etis yang halus namun mendalam.⁹
Kejelasan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam berbahasa merupakan nilai-nilai
moral yang inheren dalam filsafatnya. Wittgenstein menganggap tugas filsafat
sebagai “terapi” terhadap kekacauan konseptual yang sering menyesatkan
manusia.¹⁰ Upaya untuk menjernihkan bahasa bukan sekadar kegiatan intelektual,
melainkan bentuk etika: menghindarkan diri dari kesesatan berpikir, menghormati
makna yang dihasilkan bersama, dan menjaga keutuhan komunikasi antarindividu.¹¹
Dalam hal ini, bahasa bukan hanya sarana berpikir, tetapi juga wadah tanggung
jawab moral manusia dalam hidup bersama.
Lebih jauh, Philosophical Investigations
memiliki relevansi lintas-disiplin yang kuat hingga masa kini. Dalam teori
bahasa dan pragmatik, gagasan tentang meaning as use menjadi dasar bagi
perkembangan teori tindak tutur (Austin dan Searle) serta pragmatik modern
(Grice).¹² Dalam filsafat sosial dan budaya, pandangan Wittgenstein tentang forms
of life membantu memahami pluralitas praktik makna dalam konteks masyarakat
multikultural.¹³ Dalam etika komunikasi dan filsafat digital, konsep permainan
bahasa menegaskan pentingnya tanggung jawab moral di era globalisasi dan media
digital yang dipenuhi misinformasi.¹⁴ Bahkan dalam perdebatan tentang
kecerdasan buatan, pemikiran Wittgenstein menjadi relevan untuk menegaskan
bahwa pemahaman sejati menuntut keterlibatan dalam dunia kehidupan yang tidak
dapat direduksi menjadi algoritme simbolik.¹⁵
Dengan demikian, Philosophical Investigations
dapat dibaca sebagai karya transformatif yang mengembalikan filsafat kepada
kehidupan konkret. Wittgenstein mengajarkan bahwa filsafat bukanlah teori
tentang dunia, melainkan aktivitas untuk memahami dunia sebagaimana kita hidup
di dalamnya.¹⁶ Dalam arti ini, ia mewariskan suatu “hermeneutika praksis”—pemahaman
filosofis yang tidak mencari hakikat di luar pengalaman manusia, tetapi dalam
praktik manusia itu sendiri.¹⁷
Sintesis pemikiran Wittgenstein menunjukkan bahwa
bahasa bukan hanya medium berpikir, melainkan dimensi eksistensial manusia yang
paling mendasar.¹⁸ Melalui bahasa, manusia menemukan dirinya, membangun dunia
sosialnya, dan memaknai keberadaannya. Oleh karena itu, memahami bahasa berarti
memahami kemanusiaan itu sendiri. Filsafat, bagi Wittgenstein, pada akhirnya
adalah “kegiatan pencerahan”—suatu upaya untuk melihat dunia dengan
jernih, sebagaimana kita hidup di dalamnya, tanpa kehilangan rasa hormat
terhadap kompleksitas dan keajaiban kehidupan berbahasa.¹⁹
Footnotes
[1]
¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.
[2]
² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes
in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 210–213.
[3]
³ Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan
Paul, 1922), 2.1–2.12.
[4]
⁴ Peter Winch, The Idea of a Social Science and
Its Relation to Philosophy (London: Routledge, 1958), 89–91.
[5]
⁵ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary
(Oxford: Blackwell, 1996), 215–218.
[6]
⁶ Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, §43.
[7]
⁷ Hubert Dreyfus, “The Primacy of Practice,” dalam Mind,
Reason, and Being-in-the-World, ed. Joseph K. Schear (London: Routledge,
2013), 12–15.
[8]
⁸ Saul A. Kripke, Wittgenstein on Rules and
Private Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 20–24.
[9]
⁹ Stanley Cavell, The Claim of Reason:
Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1979), 83–86.
[10]
¹⁰ Wittgenstein, Philosophical Investigations,
§133.
[11]
¹¹ Ludwig Wittgenstein, Culture and Value,
ed. G. H. von Wright (Oxford: Blackwell, 1980), 31–34.
[12]
¹² J. L. Austin, How to Do Things with Words
(Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–99.
[13]
¹³ Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books, 1973), 12–14.
[14]
¹⁴ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 60–63.
[15]
¹⁵ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving
Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 137–140.
[16]
¹⁶ Wittgenstein, Philosophical Investigations,
§109.
[17]
¹⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
ed. (New York: Continuum, 1989), 283–285.
[18]
¹⁸ Charles Taylor, Philosophical Arguments
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 125–128.
[19]
¹⁹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of
Genius (New York: Penguin Books, 1990), 540–543.
Daftar Pustaka
Anscombe, G. E. M. (1954). An introduction to
Wittgenstein’s Philosophical Investigations. Mind, 63(251), 289–303.
Austin, J. L. (1962). How to do things with
words. Oxford: Clarendon Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
London: Gollancz.
Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power
(G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Cambridge: Polity Press.
Carnap, R. (1935). Philosophy and logical syntax.
London: Kegan Paul.
Cavell, S. (1976). Must we mean what we say?
Cambridge: Cambridge University Press.
Cavell, S. (1979). The claim of reason:
Wittgenstein, skepticism, morality, and tragedy. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Derrida, J. (1982). Margins of philosophy
(A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still
can’t do: A critique of artificial reason. Cambridge, MA: MIT Press.
Dreyfus, H. L., & Taylor, C. (2015). Retrieving
realism. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Dreyfus, H. L. (2013). The primacy of practice. In
J. K. Schear (Ed.), Mind, reason, and being-in-the-world (pp. 12–17).
London: Routledge.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Foucault, M. (1972). The archaeology of
knowledge. New York: Pantheon Books.
Gadamer, H.-G. (1989). Truth and method (2nd
ed.). New York: Continuum.
Gellner, E. (1959). Words and things.
Boston: Beacon Press.
Geertz, C. (1973). The interpretation of
cultures. New York: Basic Books.
Glock, H.-J. (1996). A Wittgenstein dictionary.
Oxford: Blackwell.
Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. In P.
Cole & J. Morgan (Eds.), Syntax and semantics (Vol. 3, pp. 41–58).
New York: Academic Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1). Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action. Cambridge, MA: MIT Press.
Hacker, P. M. S. (1986). Insight and illusion:
Themes in the philosophy of Wittgenstein. Oxford: Clarendon Press.
Hacker, P. M. S. (1990). Wittgenstein: Meaning
and mind. Oxford: Blackwell.
Hymes, D. (1974). Foundations in
sociolinguistics: An ethnographic approach. Philadelphia: University of
Pennsylvania Press.
Kripke, S. A. (1982). Wittgenstein on rules and
private language. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Luhmann, N. (1995). Social systems (J.
Bednarz Jr., Trans.). Stanford: Stanford University Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Malcolm, N. (1958). Ludwig Wittgenstein: A
memoir. Oxford: Oxford University Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.
Monk, R. (1990). Ludwig Wittgenstein: The duty
of genius. New York: Penguin Books.
Moore, G. E. (1925). A defence of common sense. In
J. H. Muirhead (Ed.), Contemporary British philosophy (pp. 192–193).
London: Allen & Unwin.
Putnam, H. (1981). Reason, truth, and history.
Cambridge: Cambridge University Press.
Quine, W. V. O. (1960). Word and object.
Cambridge, MA: MIT Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth: Texas Christian
University Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton: Princeton University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and
solidarity. Cambridge: Cambridge University Press.
Schlick, M. (1936). Meaning and verification. The
Philosophical Review, 45(4), 339–341.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in
the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.
Sluga, H. (1996). Wittgenstein. London:
Routledge.
Taylor, C. (1995). Philosophical arguments.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge & Kegan
Paul.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.
Wittgenstein, L. (1980). Culture and value
(G. H. von Wright, Ed.). Oxford: Blackwell.
Winch, P. (1958). The idea of a social science
and its relation to philosophy. London: Routledge.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar