Minggu, 30 November 2025

Philosophical Investigations: Dari Gambar ke Permainan Bahasa

Philosophical Investigations

Dari Gambar ke Permainan Bahasa


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif fase awal pemikiran Ludwig Wittgenstein sebagaimana termaktub dalam Philosophical Investigations (1953), yang menandai pergeseran besar dalam filsafat bahasa abad ke-20 dari paradigma logis-representasional menuju paradigma praksis-linguistik. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tulisan ini menelusuri transformasi pemikiran Wittgenstein dari picture theory of language dalam Tractatus Logico-Philosophicus menjadi teori language games yang menekankan makna sebagai penggunaan (meaning as use). Kajian ini memperlihatkan bahwa bagi Wittgenstein, bahasa bukan sekadar cermin realitas, melainkan aktivitas sosial yang terikat pada konteks kehidupan manusia (forms of life). Pemaknaan dan pemahaman bersifat intersubjektif, dihasilkan melalui partisipasi dalam praktik berbahasa, bukan melalui korespondensi logis semata.

Selain menguraikan fondasi ontologis dan epistemologis pemikiran Wittgenstein, artikel ini juga menyoroti dimensi aksiologis dan etika linguistik yang menekankan tanggung jawab moral dalam penggunaan bahasa. Bahasa dipahami sebagai ruang etis di mana kejelasan, kejujuran, dan empati menjadi nilai utama dalam komunikasi. Dalam tataran sosial dan budaya, konsep permainan bahasa membuka jalan bagi pemahaman pluralitas makna dan keragaman bentuk kehidupan, serta menjadi dasar bagi dialog antarbudaya dan kritik terhadap dominasi wacana. Relevansi kontemporernya tampak dalam filsafat pragmatik, etika komunikasi digital, serta refleksi terhadap kecerdasan buatan, di mana makna dan pemahaman tidak dapat direduksi menjadi algoritme, tetapi selalu melekat pada praktik manusia yang hidup.

Pada akhirnya, sintesis filosofis artikel ini menyimpulkan bahwa Philosophical Investigations menghadirkan suatu hermeneutika praksis Wittgensteinian—sebuah paradigma yang menempatkan bahasa sebagai aktivitas interpretatif yang membentuk realitas sosial dan eksistensial manusia. Filsafat, bagi Wittgenstein, bukanlah sistem teori, melainkan kegiatan klarifikasi terhadap cara manusia berbicara dan hidup dalam bahasa. Dengan demikian, pemikirannya membuka jalan menuju filsafat yang humanistik, komunikatif, dan terbuka terhadap pluralitas makna dalam kehidupan kontemporer.

Kata Kunci: Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, permainan bahasa, makna sebagai penggunaan, hermeneutika praksis, etika linguistik, filsafat bahasa, bentuk kehidupan.


PEMBAHASAN

Analisis Kritis atas Fase Awal Pemikiran Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations


1.           Pendahuluan

Pemikiran Ludwig Wittgenstein menandai salah satu titik balik paling signifikan dalam sejarah filsafat abad ke-20, terutama dalam bidang filsafat bahasa dan logika. Ia dikenal sebagai sosok yang secara unik memecah dan membangun kembali paradigma tentang bahasa dua kali dalam hidupnya: pertama melalui Tractatus Logico-Philosophicus (1921), dan kemudian melalui Philosophical Investigations (diterbitkan pasca-meninggalnya pada 1953). Peralihan dari pandangan representasional ke praksis-linguistik menandai perubahan radikal dalam cara manusia memahami hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas. Jika dalam Tractatus Wittgenstein memandang bahasa sebagai cermin dunia—sebuah sistem simbol logis yang memetakan fakta-fakta dunia secara struktural—maka dalam Philosophical Investigations ia menolak pandangan tersebut dan mengajukan konsepsi baru bahwa makna bahasa tidak terletak pada struktur logisnya, melainkan pada penggunaannya dalam konteks kehidupan sehari-hari, yang disebutnya “permainan bahasa” (language games).¹

Transformasi pemikiran Wittgenstein ini tidak dapat dilepaskan dari konteks intelektual dan historis yang melingkupinya. Pada masa awal kariernya, ia sangat dipengaruhi oleh logika simbolik Frege dan Russell, serta oleh atmosfer positivisme logis dari Lingkaran Wina.² Namun, setelah kembali ke Cambridge pada 1929 dan mulai berinteraksi kembali dengan murid-murid serta koleganya, Wittgenstein mulai mempertanyakan asumsi-asumsi dasar yang ia sendiri bangun dalam Tractatus. Ia menyadari bahwa bahasa tidak hanya berfungsi sebagai sistem representasi logis, tetapi juga sebagai aktivitas sosial yang dihidupi oleh manusia dalam berbagai bentuk kehidupan (forms of life).³ Dengan demikian, bahasa bukanlah semata perangkat deskriptif, melainkan praktik sosial yang mengandung dimensi normatif, etis, dan budaya.

Dalam konteks filsafat bahasa, Philosophical Investigations memunculkan paradigma baru yang menggantikan pendekatan representasional dengan pendekatan pragmatis dan intersubjektif. Wittgenstein menegaskan bahwa makna bukanlah entitas yang tetap atau tersembunyi di balik kata-kata, tetapi muncul dari cara kata-kata digunakan dalam permainan bahasa tertentu.⁴ Setiap permainan bahasa memiliki aturan internal yang hanya dapat dipahami melalui partisipasi dalam praktik sosial yang bersangkutan. Dari sinilah muncul pandangan bahwa filsafat seharusnya tidak berusaha menyusun teori universal tentang makna, melainkan berfungsi sebagai kegiatan klarifikasi konseptual terhadap cara kita menggunakan bahasa dalam berbagai konteks kehidupan.⁵

Pendahuluan ini bertujuan untuk memberikan kerangka dasar bagi pembahasan mendalam tentang Philosophical Investigations sebagai fase awal pemikiran “Wittgenstein kedua” atau later Wittgenstein. Fokus kajian diarahkan pada pergeseran konseptual dari teori gambar bahasa (picture theory of language) menuju teori permainan bahasa (language-game theory), serta implikasinya terhadap pemahaman ontologis, epistemologis, dan aksiologis tentang makna. Melalui pendekatan ini, artikel ini akan menyoroti bagaimana Wittgenstein secara radikal mengubah posisi filsafat dari pencarian struktur logis dunia menuju pemahaman praksis manusia dalam kehidupan berbahasa.

Selain memberikan peta intelektual atas pergeseran ini, pembahasan juga akan memperlihatkan relevansi pemikiran Wittgenstein bagi teori komunikasi, linguistik, dan bahkan filsafat teknologi digital kontemporer. Dalam dunia di mana bahasa semakin menjadi medan utama konstruksi sosial dan politik, gagasan Wittgenstein tentang permainan bahasa memberikan kontribusi penting untuk memahami dinamika makna, interpretasi, dan interaksi manusia dalam ruang sosial. Dengan demikian, Philosophical Investigations tidak hanya merupakan karya filosofis, melainkan juga refleksi mendalam tentang hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk yang berbahasa dan berkomunikasi.⁶


Footnotes

[1]                ¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, ed. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), 43–45.

[2]                ² Michael Dummett, Origins of Analytical Philosophy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1993), 87–89.

[3]                ³ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin Books, 1990), 320–325.

[4]                ⁴ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 102–107.

[5]                ⁵ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 195–199.

[6]                ⁶ Stanley Cavell, Must We Mean What We Say? (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 45–49.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Pemikiran Wittgenstein

Pemikiran Ludwig Wittgenstein tidak dapat dilepaskan dari konteks historis dan intelektual yang membentuk perjalanan filsafat abad ke-20. Latar belakang sosial, akademik, dan tradisi logis yang memengaruhinya menjadi fondasi bagi dua fase pemikirannya yang berbeda: fase awal dengan Tractatus Logico-Philosophicus dan fase kemudian dengan Philosophical Investigations. Untuk memahami kedalaman perubahan konseptual dari satu fase ke fase lainnya, perlu ditelusuri genealoginya dalam arus besar filsafat analitik, logika simbolik, serta pergulatan antara realitas, bahasa, dan makna.

Wittgenstein lahir di Wina pada tahun 1889, dalam keluarga kaya yang berorientasi budaya tinggi dan terpapar kuat oleh humanisme Eropa Tengah. Ia menempuh pendidikan teknik di Berlin dan kemudian studi teknik mesin di Manchester sebelum berpindah ke filsafat logika atas pengaruh Gottlob Frege.¹ Frege memperkenalkan kepadanya pandangan bahwa logika merupakan kerangka dasar bagi bahasa dan pikiran. Namun, pertemuannya dengan Bertrand Russell di Cambridge pada 1911 menjadi titik balik yang menentukan. Russell, yang sedang menyusun sistem logika simbolik bersama Alfred North Whitehead dalam Principia Mathematica, melihat dalam Wittgenstein seorang pemikir muda dengan bakat luar biasa dalam logika dan bahasa.²

Pada masa inilah Wittgenstein mulai merumuskan gagasannya tentang struktur logis bahasa yang menjadi dasar Tractatus Logico-Philosophicus (1921). Karya tersebut merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa dunia terdiri atas fakta-fakta atomik yang dapat direpresentasikan oleh proposisi logis. Pandangan ini dikenal sebagai picture theory of language (teori gambar bahasa), yakni bahwa bahasa adalah cermin logis realitas: kalimat bermakna sejauh ia menggambarkan keadaan fakta di dunia.³ Namun, seiring waktu, pandangan ini menghadapi berbagai kritik, baik dari kalangan positivis logis sendiri maupun dari Wittgenstein sendiri.

Setelah menulis Tractatus, Wittgenstein sempat menganggap bahwa ia telah memecahkan seluruh persoalan filsafat dan meninggalkan dunia akademik untuk menjadi guru sekolah dasar di Austria.⁴ Namun, pengalaman hidup di luar universitas justru memperluas pandangannya tentang bahasa dan kehidupan. Ia menyaksikan bagaimana bahasa digunakan secara beragam dalam praktik sosial sehari-hari, jauh dari sistem logis yang ideal. Ketika kembali ke Cambridge pada tahun 1929, ia mulai mengembangkan cara pandang baru terhadap bahasa—bukan lagi sebagai representasi dunia, melainkan sebagai bentuk aktivitas manusia yang sarat konteks, aturan, dan kebiasaan sosial.⁵

Peralihan ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga metodologis. Wittgenstein meninggalkan ambisi sistematis dan deduktif yang menjadi ciri positivisme logis. Ia mengkritik Lingkaran Wina (Vienna Circle), yang mengklaim bahwa Tractatus mendukung pandangan empirisme logis mereka. Padahal, bagi Wittgenstein, fungsi filsafat bukanlah menyusun teori ilmiah, melainkan mengklarifikasi makna dan mencegah kekacauan konseptual.⁶ Kritiknya terhadap positivisme logis menandai pergeseran dari logika murni ke analisis penggunaan bahasa dalam konteks kehidupan, yang kelak menjadi dasar dalam Philosophical Investigations.

Selain konteks logika dan positivisme, genealogis pemikiran Wittgenstein juga terkait dengan tradisi filsafat analitik awal di Cambridge. Tokoh seperti G. E. Moore turut memengaruhi orientasi etis dan gaya analitisnya, terutama dalam hal pentingnya kejelasan konseptual dan penolakan terhadap metafisika spekulatif.⁷ Wittgenstein memanfaatkan metode analisis yang ketat untuk menunjukkan bahwa persoalan filsafat sering kali muncul karena penyalahgunaan bahasa. Dengan demikian, ia menggeser peran filsafat dari pembangun sistem menuju kegiatan terapeutik—yakni membebaskan pikiran dari “jerat” bahasa.

Landasan historis dan genealogis ini menjelaskan bahwa Philosophical Investigations bukan sekadar kelanjutan dari Tractatus, tetapi juga bentuk refleksi diri yang kritis terhadapnya. Pergeseran dari teori representasional menuju teori praksis-linguistik menandai evolusi filsafat analitik menuju dimensi humanistik. Bahasa, bagi Wittgenstein, bukan lagi sekadar alat untuk menggambarkan dunia, tetapi medan di mana manusia berinteraksi, memahami, dan membentuk makna secara sosial. Perubahan ini merupakan tonggak yang memengaruhi hampir seluruh arus besar filsafat bahasa modern, mulai dari pragmatisme hingga hermeneutika, dan menjadikan Wittgenstein figur sentral dalam transformasi paradigma linguistik abad ke-20.⁸


Footnotes

[1]                ¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin Books, 1990), 23–25.

[2]                ² Bertrand Russell, My Philosophical Development (London: George Allen & Unwin, 1959), 160–163.

[3]                ³ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.2.

[4]                ⁴ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir (Oxford: Oxford University Press, 1958), 21–24.

[5]                ⁵ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 87–89.

[6]                ⁶ A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 34–38.

[7]                ⁷ G. E. Moore, “A Defence of Common Sense,” dalam Contemporary British Philosophy, ed. J. H. Muirhead (London: Allen & Unwin, 1925), 192–193.

[8]                ⁸ Hans Sluga, Wittgenstein (London: Routledge, 1996), 115–118.


3.           Ontologi Bahasa dalam Philosophical Investigations

Ontologi bahasa dalam Philosophical Investigations menandai pergeseran mendasar dari pandangan representasional yang bersifat atomistik menuju konsepsi praksis-linguistik yang dinamis dan kontekstual. Wittgenstein menolak pandangan tradisional yang menganggap bahasa sebagai struktur simbolik yang secara pasif mencerminkan dunia eksternal. Dalam Tractatus Logico-Philosophicus, ia sebelumnya berpendapat bahwa dunia terdiri atas fakta-fakta atomik, dan setiap proposisi memiliki bentuk logis yang menggambarkan struktur realitas.¹ Namun, dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein merevisi pandangan tersebut dengan menegaskan bahwa makna tidak melekat pada hubungan logis antara kata dan dunia, melainkan terletak pada cara kata digunakan dalam praktik kehidupan manusia.² Dengan demikian, bahasa tidak lagi dilihat sebagai sistem representasi yang menggambarkan realitas, tetapi sebagai aktivitas sosial yang membentuk dan sekaligus dibentuk oleh dunia kehidupan.

3.1.       Penolakan terhadap Ontologi Representasional

Wittgenstein secara eksplisit menolak apa yang ia sebut sebagai “gambar bahasa” (picture theory of language), yang ia sendiri rumuskan dalam karya awalnya.³ Pandangan representasional semacam itu, menurutnya, bersumber dari kesalahpahaman terhadap fungsi bahasa yang sesungguhnya. Ia menulis: “For a large class of cases—though not for all—in which we employ the word ‘meaning’ it can be defined thus: the meaning of a word is its use in the language.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa makna tidak bersumber dari relasi ontologis antara tanda dan objek, melainkan dari aturan penggunaan dalam permainan bahasa tertentu. Dengan kata lain, makna tidak bersifat statis dan metafisik, tetapi dinamis dan historis karena senantiasa ditentukan oleh praktik sosial yang hidup.

Pandangan ini mengimplikasikan perubahan ontologis yang mendalam: bahasa bukanlah cermin dunia, melainkan bagian dari dunia itu sendiri.⁵ Dalam pengertian ini, realitas tidak berada “di luar” bahasa, melainkan termanifestasi melalui cara manusia menggunakan bahasa dalam konteks kehidupan mereka. Ontologi bahasa Wittgensteinian, karenanya, bersifat imanen—makna lahir dari dalam praktik sosial, bukan dari hubungan eksternal dengan realitas objektif.

3.2.       Bahasa sebagai “Kehidupan” dan “Permainan

Dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein memperkenalkan dua konsep kunci yang menjadi fondasi ontologis pemikirannya: “permainan bahasa” (language games) dan “bentuk kehidupan” (forms of life). Kedua istilah ini tidak dimaksudkan sebagai teori metafisis baru, melainkan sebagai deskripsi terhadap cara bahasa beroperasi dalam kehidupan sehari-hari.⁶ “Permainan bahasa” mengacu pada beragam aktivitas linguistik—berbicara, memerintah, bertanya, bercanda, berdoa—yang memiliki aturan tersendiri dan tidak tunduk pada satu sistem makna universal.⁷ Sementara “bentuk kehidupan” menunjuk pada latar eksistensial, budaya, dan sosial di mana permainan bahasa itu berlangsung.

Melalui konsep ini, Wittgenstein menggeser ontologi bahasa dari esensialisme ke praksis. Ia menegaskan bahwa untuk memahami makna, seseorang harus mengamati bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan konkret.⁸ Bahasa, dalam kerangka ini, bersifat publik dan sosial, bukan entitas mental atau batiniah. Itulah sebabnya ia menolak gagasan tentang private language—bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh satu individu—karena makna hanya muncul melalui interaksi dalam bentuk kehidupan bersama.⁹ Maka, ontologi bahasa bagi Wittgenstein adalah ontologi kebersamaan: bahasa ada sejauh manusia hidup dan berinteraksi secara sosial.

3.3.       Realitas sebagai Praktik Linguistik

Implikasi ontologis dari pemikiran ini adalah bahwa realitas tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang “ada di luar” bahasa dan kemudian digambarkan, melainkan sebagai sesuatu yang dikonstruksi dan dialami melalui permainan bahasa.¹⁰ Dengan demikian, “realitas” dan “makna” saling membentuk secara timbal balik. Dalam setiap permainan bahasa, manusia bukan sekadar mengomunikasikan dunia, melainkan secara aktif membangun pemahamannya atas dunia tersebut. Oleh karena itu, bahasa bersifat produktif dan performatif: ia menciptakan dunia makna, bukan hanya merefleksikannya.¹¹

Dalam kerangka ini, filsafat tidak lagi berfungsi untuk menjelaskan hubungan ontologis antara bahasa dan dunia, tetapi untuk memperjelas cara-cara bahasa digunakan dalam berbagai praktik kehidupan. Wittgenstein menyebut tugas filsafat sebagai “terapi linguistik,” yaitu membebaskan pikiran dari jebakan metafisis yang timbul karena kesalahpahaman terhadap cara kerja bahasa.¹² Ontologi bahasa Wittgensteinian, dengan demikian, bukanlah doktrin metafisis, melainkan deskripsi fenomenologis tentang bagaimana makna muncul dari praktik sosial yang dihidupi manusia.


Konsekuensi Ontologis dan Paradigma Baru

Dengan menempatkan bahasa di jantung kehidupan sosial, Wittgenstein membangun dasar ontologi baru yang humanistik dan intersubjektif. Makna tidak lagi dipahami sebagai representasi dari objek, tetapi sebagai hasil partisipasi dalam permainan bahasa yang diatur oleh bentuk kehidupan tertentu.¹³ Paradigma ini kemudian memengaruhi berbagai bidang, mulai dari filsafat analitik pasca-Wittgenstein (misalnya Austin dan Searle) hingga hermeneutika kontemporer (misalnya Gadamer dan Rorty).¹⁴

Ontologi bahasa dalam Philosophical Investigations menegaskan bahwa keberadaan manusia adalah keberadaan yang berbahasa—to be is to speak. Melalui bahasa, manusia tidak hanya mengungkapkan dunia, tetapi juga mengonstruksi identitas, nilai, dan relasi sosial. Dalam arti ini, bahasa menjadi dimensi ontologis yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia. Wittgenstein dengan demikian telah mengubah cara filsafat memahami realitas: dari sesuatu yang “ada” di luar manusia menjadi sesuatu yang “dihidupi” dalam aktivitas berbahasa yang terus berkembang dan terbuka terhadap interpretasi baru.¹⁵


Footnotes

[1]                ¹ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.12.

[2]                ² Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[3]                ³ Ibid., §23–25.

[4]                ⁴ Ibid., §43.

[5]                ⁵ P. M. S. Hacker, Wittgenstein: Meaning and Mind (Oxford: Blackwell, 1990), 56–59.

[6]                ⁶ G. E. M. Anscombe, “An Introduction to Wittgenstein’s Tractatus and Investigations,” Mind 63, no. 251 (1954): 289–293.

[7]                ⁷ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir (Oxford: Oxford University Press, 1958), 65–67.

[8]                ⁸ Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 33–37.

[9]                ⁹ Saul A. Kripke, Wittgenstein on Rules and Private Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 9–12.

[10]             ¹⁰ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 214–217.

[11]             ¹¹ J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–97.

[12]             ¹² Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, §133.

[13]             ¹³ Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (London: Routledge, 1958), 15–19.

[14]             ¹⁴ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 142–145.

[15]             ¹⁵ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 102–106.


4.           Epistemologi: Bahasa, Pemahaman, dan Makna

Epistemologi dalam Philosophical Investigations mengalami transformasi radikal dari pendekatan representasional yang menekankan korespondensi antara bahasa dan dunia menuju pendekatan pragmatis-intersubjektif yang menempatkan pemahaman sebagai hasil partisipasi dalam praktik berbahasa. Bagi Wittgenstein, bahasa bukan lagi medium pasif untuk mengungkapkan pengetahuan, melainkan ruang aktif di mana makna dan pemahaman dibentuk melalui interaksi manusia.¹ Pergeseran ini menandai peralihan epistemologis dari logika ke kehidupan: dari bahasa sebagai sistem simbolik menuju bahasa sebagai praktik sosial yang hidup dan kontekstual.

4.1.       Dari Korespondensi ke Intersubjektivitas

Dalam kerangka awalnya di Tractatus Logico-Philosophicus, Wittgenstein berpegang pada teori kebenaran korespondensi: proposisi bermakna sejauh ia memiliki struktur logis yang sejajar dengan fakta di dunia.² Namun, dalam Philosophical Investigations, ia menolak asumsi tersebut dan menegaskan bahwa makna tidak ditentukan oleh hubungan eksternal antara bahasa dan realitas, melainkan oleh cara bahasa digunakan dalam praktik sosial.³ Ia menulis, “To understand a sentence means to understand a language. To understand a language means to be master of a technique.”⁴ Pernyataan ini menunjukkan bahwa memahami bahasa tidak sama dengan mengenal fakta, tetapi melibatkan penguasaan atas aturan-aturan penggunaan bahasa dalam konteks sosial tertentu.

Epistemologi Wittgenstein yang baru bersifat intersubjektif, artinya pengetahuan tidak lahir dari hubungan individu dengan dunia semata, melainkan dari interaksi antarindividu yang berbagi bentuk kehidupan (forms of life).⁵ Pengetahuan adalah produk dari kesepakatan sosial dalam komunitas linguistik, bukan hasil refleksi solipsistik seorang subjek otonom. Dengan demikian, bahasa bukanlah cermin kebenaran universal, melainkan jaringan praktik yang memungkinkan manusia saling memahami dan membangun makna bersama.

4.2.       Meaning as Use”: Makna sebagai Penggunaan

Konsep kunci epistemologis dalam Philosophical Investigations adalah meaning as use—bahwa makna suatu kata ditentukan oleh penggunaannya dalam bahasa.⁶ Dengan menolak esensialisme makna, Wittgenstein menggeser fokus epistemologi dari “apa arti suatu kata” menjadi “bagaimana kata itu digunakan.” Pemahaman terhadap makna, karenanya, tidak dicapai melalui definisi atau representasi, tetapi melalui keterlibatan praktis dalam permainan bahasa yang diatur oleh aturan-aturan tertentu.⁷

Pendekatan ini memiliki konsekuensi epistemologis yang signifikan. Pertama, makna bersifat kontekstual dan tidak dapat dipisahkan dari praktik sosial yang melingkupinya. Kedua, memahami makna berarti memahami aturan implisit yang mengatur penggunaannya.⁸ Dengan kata lain, pengetahuan linguistik bukanlah pengetahuan proposisional (knowing that), melainkan pengetahuan praktis (knowing how). Wittgenstein dengan demikian memperluas pengertian epistemologi dari ranah proposisional ke ranah praksis: pengetahuan bukan sekadar akumulasi proposisi benar, tetapi kemampuan berpartisipasi secara tepat dalam permainan bahasa yang relevan.⁹

4.3.       Argumen Bahasa Privat dan Sifat Publik Pemahaman

Salah satu aspek paling terkenal dari epistemologi Wittgenstein adalah private language argument, yaitu kritik terhadap gagasan bahwa seseorang dapat memiliki bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh dirinya sendiri.¹⁰ Wittgenstein menegaskan bahwa bahasa bersifat publik karena makna memerlukan aturan dan kriteria penggunaan yang dapat diverifikasi oleh orang lain. Bahasa privat tidak mungkin karena tidak ada tolok ukur objektif yang dapat membedakan antara “benar” dan “salah” dalam penggunaan tanda jika tanda itu hanya diketahui oleh satu orang.¹¹

Melalui argumen ini, Wittgenstein mengukuhkan bahwa pemahaman adalah hasil dari partisipasi sosial, bukan refleksi internal.¹² Pemahaman tidak muncul dari kesadaran batin, melainkan dari kemampuan mengikuti aturan bersama dalam konteks permainan bahasa.¹³ Oleh karena itu, epistemologi Wittgenstein bersifat antikartesian: ia menolak model subjek-objek dan menggantinya dengan model partisipatif di mana pengetahuan adalah fungsi dari interaksi sosial dan konvensi linguistik.¹⁴

4.4.       Pemahaman sebagai Aktivitas dan Kompetensi

Pemahaman, dalam perspektif Wittgenstein, bukanlah keadaan mental yang statis, melainkan aktivitas yang dilakukan dalam konteks penggunaan bahasa.¹⁵ Ia menulis bahwa memahami sebuah kalimat tidak berarti memiliki gambaran mental tertentu, tetapi mengetahui bagaimana melanjutkan percakapan dengan tepat.¹⁶ Pemahaman bersifat performatif—ia diwujudkan dalam tindakan linguistik yang sesuai dengan aturan permainan bahasa.

Dengan demikian, epistemologi Wittgenstein dapat dikatakan sebagai epistemologi tindakan (epistemology of practice). Pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai cerminan realitas objektif, tetapi sebagai kemampuan untuk berperilaku linguistik secara tepat dalam konteks kehidupan.¹⁷ Inilah yang menjadikan Philosophical Investigations berpengaruh besar terhadap teori tindak tutur (speech act theory) dan pragmatik modern, sebagaimana dikembangkan oleh J. L. Austin dan John Searle.¹⁸


Dimensi Etis dan Intersubjektif Pemahaman

Dalam dimensi yang lebih luas, epistemologi Wittgenstein juga memiliki implikasi etis: pemahaman terhadap bahasa orang lain mengandaikan keterbukaan, empati, dan partisipasi dalam bentuk kehidupan mereka.¹⁹ Setiap bentuk komunikasi mengandung unsur tanggung jawab epistemik—kita memahami sejauh kita bersedia memasuki dunia makna yang dibentuk bersama.²⁰ Dengan demikian, epistemologi Wittgenstein melampaui sekadar teori pengetahuan; ia menjadi refleksi tentang bagaimana manusia hidup, berkomunikasi, dan membangun dunia bersama melalui bahasa.

Epistemologi dalam Philosophical Investigations dengan demikian bersifat praksis dan humanistik. Wittgenstein mengajarkan bahwa mengetahui berarti mampu bertindak dengan tepat dalam konteks sosial-linguistik yang hidup, dan memahami berarti menjadi bagian dari dunia kehidupan bersama. Dalam perspektif ini, bahasa bukan hanya medium pengetahuan, tetapi juga ruang eksistensial tempat manusia membangun relasi, makna, dan kebenaran bersama.²¹


Footnotes

[1]                ¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–20.

[2]                ² Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.21.

[3]                ³ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, §23–25.

[4]                ⁴ Ibid., §199.

[5]                ⁵ Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (London: Routledge, 1958), 32–34.

[6]                ⁶ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §43.

[7]                ⁷ P. M. S. Hacker, Wittgenstein: Meaning and Mind (Oxford: Blackwell, 1990), 78–80.

[8]                ⁸ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 220–222.

[9]                ⁹ Hubert Dreyfus, “The Primacy of Practice,” dalam Mind, Reason, and Being-in-the-World, ed. Joseph K. Schear (London: Routledge, 2013), 14–17.

[10]             ¹⁰ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §243–271.

[11]             ¹¹ Saul A. Kripke, Wittgenstein on Rules and Private Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 18–23.

[12]             ¹² Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 39–42.

[13]             ¹³ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir (Oxford: Oxford University Press, 1958), 75–77.

[14]             ¹⁴ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 147–151.

[15]             ¹⁵ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §150.

[16]             ¹⁶ Ibid., §154.

[17]             ¹⁷ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 45–48.

[18]             ¹⁸ J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 98–102.

[19]             ¹⁹ Stanley Cavell, “Knowing and Acknowledging,” dalam Must We Mean What We Say? (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 238–242.

[20]             ²⁰ Hilary Putnam, Reason, Truth, and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 60–63.

[21]             ²¹ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 108–111.


5.           Aksiologi dan Etika Linguistik

Dimensi aksiologis dalam Philosophical Investigations Ludwig Wittgenstein sering kali diabaikan karena fokus utama karya tersebut tampak terletak pada persoalan bahasa dan makna. Namun, jika ditelusuri secara mendalam, gagasan Wittgenstein memiliki muatan etis yang signifikan. Aksiologi dalam konteks ini tidak merujuk pada teori nilai dalam arti tradisional, melainkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam praktik berbahasa itu sendiri—yakni, bagaimana manusia menggunakan bahasa secara benar, jujur, dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosial.¹ Filsafat bahasa Wittgenstein bukan hanya deskripsi tentang struktur linguistik, melainkan juga refleksi moral tentang bagaimana penggunaan bahasa dapat memengaruhi pemahaman, relasi, dan kemanusiaan itu sendiri.

5.1.       Bahasa sebagai Ruang Tanggung Jawab Sosial

Wittgenstein menolak pandangan bahwa bahasa bersifat netral dan bebas nilai. Ia menegaskan bahwa bahasa selalu tertanam dalam forms of life—bentuk kehidupan yang sarat norma, kebiasaan, dan nilai sosial.² Artinya, setiap penggunaan bahasa mengandung konsekuensi moral, karena bahasa bukan hanya alat komunikasi tetapi juga tindakan sosial. Ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya menyampaikan proposisi, melainkan juga mengambil posisi dalam jaringan makna dan tanggung jawab bersama.³

Pandangan ini menunjukkan bahwa tindakan linguistik memiliki dimensi etis: bahasa dapat membangun atau menghancurkan kepercayaan, memperjelas atau menyesatkan pemahaman, memperkuat solidaritas atau menimbulkan alienasi.⁴ Dengan demikian, Philosophical Investigations dapat dibaca sebagai fondasi bagi suatu etika komunikasi, di mana tanggung jawab moral tidak lagi dipahami sebagai ketaatan pada aturan eksternal, tetapi sebagai kesetiaan terhadap praktik bersama dalam kehidupan berbahasa.⁵

Etika linguistik Wittgensteinian berakar pada kesadaran bahwa memahami orang lain berarti menghormati cara mereka menggunakan bahasa. Dalam kerangka ini, bahasa menjadi medium empati dan pengakuan antarsubjek.⁶ Kesalahpahaman linguistik tidak sekadar persoalan semantik, tetapi juga kegagalan etis untuk melihat dan mendengarkan dunia sebagaimana diungkapkan oleh orang lain. Dengan demikian, keterbukaan terhadap perbedaan makna dan gaya berbahasa menjadi bentuk konkret dari toleransi epistemik dan moral.⁷

5.2.       Kejujuran dan Klarifikasi sebagai Nilai Linguistik

Dalam pandangan Wittgenstein, filsafat sendiri memiliki fungsi etis, yakni “membebaskan pikiran dari belenggu bahasa” dengan cara memperjelas cara kita berbicara.⁸ Tugas ini bukan semata analitis, melainkan juga normatif, karena ia menuntut kejujuran intelektual untuk tidak menipu diri sendiri melalui penyalahgunaan bahasa. Ia menulis: “Philosophy is a battle against the bewitchment of our intelligence by means of language.”⁹ Pernyataan ini mencerminkan nilai moral dari klarifikasi: menghindari kekacauan konseptual bukan hanya tugas logis, tetapi juga tindakan etis.

Kejujuran dalam berbahasa berarti berbicara sesuai konteks, menghindari ambiguitas yang menyesatkan, serta mengakui batasan bahasa.¹⁰ Wittgenstein menunjukkan bahwa banyak masalah filsafat muncul karena penyalahgunaan bahasa, yakni ketika kata-kata digunakan di luar permainan bahasa yang sesuai.¹¹ Maka, etika berbahasa menuntut kesadaran akan “aturan permainan” tersebut, sehingga seseorang dapat berbicara dengan tepat, terbuka, dan bertanggung jawab.¹²

Dengan demikian, kejelasan (clarity) dalam berpikir dan berbicara merupakan nilai aksiologis sentral dalam filsafat Wittgenstein.¹³ Filsafat bukan sekadar analisis logis, tetapi latihan moral untuk menjaga integritas berbahasa. Seperti dinyatakan Stanley Cavell, kejelasan bagi Wittgenstein adalah bentuk kejujuran eksistensial—suatu keterbukaan terhadap kenyataan sebagaimana adanya, bukan sebagaimana kita ingin memahaminya.¹⁴

5.3.       Etika Bahasa dalam Kehidupan Publik dan Sosial

Wittgenstein tidak pernah menulis traktat etika formal, tetapi seluruh filsafatnya berakar pada kesadaran moral terhadap kehidupan sehari-hari.¹⁵ Dalam Philosophical Investigations, etika muncul secara implisit melalui gagasan bahwa makna bersifat publik dan intersubjektif.¹⁶ Artinya, setiap ujaran mengandaikan komunitas pengguna bahasa yang berbagi aturan dan nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini, kejujuran, kesalingpahaman, dan keterbukaan menjadi dasar etis bagi keberlangsungan komunikasi manusia.

Konsepsi ini sangat relevan dalam konteks sosial kontemporer, di mana manipulasi bahasa sering digunakan untuk tujuan politis atau ideologis. Etika Wittgensteinian menuntut agar bahasa tidak digunakan untuk mendominasi, menipu, atau menutupi makna, melainkan untuk memperjelas dan menghubungkan manusia satu sama lain.¹⁷ Bahasa yang etis adalah bahasa yang berfungsi sebagai ruang dialogis—bukan instrumen kekuasaan, melainkan sarana partisipasi dan pemahaman bersama.¹⁸

Di sinilah aksiologi bahasa Wittgensteinian berjumpa dengan prinsip humanistik: bahasa harus memperkuat kapasitas manusia untuk memahami dan hidup bersama, bukan untuk memperlemah atau mengasingkan. Etika linguistik dengan demikian menjadi bagian integral dari filsafat kehidupan—sebuah praksis moral yang mengajarkan bahwa cara kita berbicara mencerminkan siapa kita sebagai manusia.¹⁹


Dari Klarifikasi ke Komunikasi Etis: Sintesis Aksiologis

Secara aksiologis, Philosophical Investigations memperlihatkan bahwa penggunaan bahasa yang benar tidak hanya berarti sesuai aturan gramatikal, tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti kejujuran, keterbukaan, dan tanggung jawab sosial.²⁰ Wittgenstein menempatkan filsafat sebagai “terapi” terhadap kesalahpahaman, yang pada hakikatnya merupakan tindakan etis untuk memulihkan komunikasi yang rusak.²¹

Melalui pandangan ini, etika linguistik dapat dirumuskan sebagai etika klarifikasi dan empati: berbicara dengan kesadaran akan konteks, mendengarkan dengan pengakuan atas bentuk kehidupan lain, dan berpikir dengan tanggung jawab terhadap makna yang dihasilkan bersama.²² Dalam kerangka ini, bahasa bukan hanya instrumen berpikir, tetapi juga cermin nilai-nilai moral yang mengatur kehidupan manusia. Dengan demikian, aksiologi Wittgensteinian membawa kita pada kesimpulan bahwa filsafat bahasa sejatinya merupakan filsafat moral yang tersamar—sebuah refleksi tentang bagaimana manusia hidup secara benar melalui cara mereka berbicara dan memahami satu sama lain.²³


Footnotes

[1]                ¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.

[2]                ² Ibid., §23.

[3]                ³ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 214–217.

[4]                ⁴ Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 52–56.

[5]                ⁵ Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (London: Routledge, 1958), 87–89.

[6]                ⁶ Hans Sluga, Wittgenstein (London: Routledge, 1996), 134–136.

[7]                ⁷ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 164–166.

[8]                ⁸ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §133.

[9]                ⁹ Ibid., §109.

[10]             ¹⁰ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir (Oxford: Oxford University Press, 1958), 82–84.

[11]             ¹¹ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §116.

[12]             ¹² P. M. S. Hacker, Wittgenstein: Meaning and Mind (Oxford: Blackwell, 1990), 102–105.

[13]             ¹³ Ludwig Wittgenstein, Culture and Value, ed. G. H. von Wright (Oxford: Blackwell, 1980), 31–34.

[14]             ¹⁴ Stanley Cavell, Must We Mean What We Say? (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 242–245.

[15]             ¹⁵ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin Books, 1990), 487–491.

[16]             ¹⁶ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §206–208.

[17]             ¹⁷ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 285–288.

[18]             ¹⁸ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 112–114.

[19]             ¹⁹ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 128–131.

[20]             ²⁰ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 230–232.

[21]             ²¹ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §255.

[22]             ²² Cavell, The Claim of Reason, 60–64.

[23]             ²³ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 129–133.


6.           Dimensi Sosial dan Budaya dari Permainan Bahasa

Pemikiran Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations tidak hanya merevolusi filsafat bahasa secara teoretis, tetapi juga membuka cakrawala baru bagi pemahaman sosial dan budaya tentang bahasa. Dengan konsep language games (permainan bahasa) dan forms of life (bentuk kehidupan), Wittgenstein menggeser paradigma dari pandangan logis-abstrak menuju perspektif praksis yang menempatkan bahasa di jantung aktivitas manusia.¹ Bahasa, dalam pandangan ini, bukan sekadar sistem tanda atau sarana representasi, tetapi fenomena sosial yang melekat pada kebiasaan, nilai, dan interaksi manusia dalam suatu komunitas budaya.²

6.1.       Bahasa sebagai Praktik Sosial

Wittgenstein menegaskan bahwa setiap penggunaan bahasa selalu berakar dalam suatu form of life—yakni pola kehidupan bersama yang melibatkan kebiasaan, norma, dan praktik sosial tertentu.³ Bahasa tidak berdiri sendiri; ia merupakan ekspresi dari cara hidup manusia dalam komunitasnya. Ia menulis: “To imagine a language means to imagine a form of life.”⁴ Artinya, memahami suatu bahasa berarti memahami struktur kehidupan sosial yang menopangnya. Dengan demikian, setiap permainan bahasa mencerminkan dunia sosialnya masing-masing: bahasa hukum berbeda dari bahasa agama, bahasa ilmiah berbeda dari bahasa seni, dan setiap bentuk komunikasi ini hanya dapat dimengerti melalui konteks sosialnya.⁵

Pandangan ini membawa implikasi sosial yang kuat: makna bukanlah sesuatu yang universal dan abstrak, melainkan hasil kesepakatan kolektif yang diatur oleh praktik komunitas tertentu.⁶ Karena itu, Wittgenstein menolak ide tentang bahasa “murni” yang bisa dipisahkan dari konteks penggunaannya. Ia menempatkan bahasa dalam arus sosial yang hidup—sebuah arena tempat manusia membangun, mempertahankan, dan menegosiasikan makna bersama.⁷

6.2.       Permainan Bahasa sebagai Cermin Budaya

Konsep language games juga berfungsi sebagai jendela untuk memahami keragaman budaya. Setiap kebudayaan memiliki pola bahasa yang khas, yang membentuk cara berpikir dan bertindak anggotanya.⁸ Dalam masyarakat tertentu, bahasa ritual, keagamaan, atau adat menjadi sarana untuk menegaskan identitas kolektif dan kontinuitas tradisi. Dalam hal ini, permainan bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga medium pewarisan nilai-nilai dan makna budaya.⁹

Wittgenstein menolak klaim universalitas makna dengan menunjukkan bahwa penggunaan kata bergantung pada konteks budaya dan bentuk kehidupan. Misalnya, istilah “iman” atau “keadilan” tidak memiliki satu makna tunggal yang berlaku di semua komunitas; maknanya ditentukan oleh aturan permainan bahasa yang berlaku dalam kehidupan religius atau hukum suatu masyarakat.¹⁰ Dengan demikian, memahami bahasa berarti memasuki horizon budaya yang melatarinya.¹¹

Dalam konteks ini, Philosophical Investigations memberikan dasar bagi pendekatan interkultural terhadap bahasa. Wittgenstein mengajarkan bahwa perbedaan makna bukanlah hambatan komunikasi, melainkan peluang untuk memahami keberagaman bentuk kehidupan manusia.¹² Hal ini menjadikan konsep permainan bahasa relevan bagi kajian antropologi, sosiolinguistik, dan filsafat budaya, yang semuanya menekankan pentingnya konteks sosial dalam produksi dan interpretasi makna.¹³

6.3.       Bahasa, Kekuasaan, dan Struktur Sosial

Dimensi sosial bahasa dalam pemikiran Wittgenstein juga membuka ruang refleksi kritis tentang relasi antara bahasa dan kekuasaan. Meskipun Wittgenstein sendiri tidak secara eksplisit membahas politik bahasa, pemikirannya mengilhami generasi berikutnya—terutama Michel Foucault dan Pierre Bourdieu—untuk memahami bahasa sebagai praktik yang membentuk struktur sosial.¹⁴ Dalam perspektif ini, aturan permainan bahasa tidak netral; ia sering kali mencerminkan distribusi kekuasaan dalam masyarakat.

Bahasa hukum, ilmiah, atau administratif, misalnya, memiliki otoritas karena ditopang oleh institusi sosial yang memonopoli kebenaran.¹⁵ Oleh karena itu, menguasai permainan bahasa tertentu berarti memiliki posisi sosial yang diakui secara simbolik.¹⁶ Wittgenstein dengan demikian meletakkan fondasi bagi analisis kritis terhadap dominasi linguistik, di mana kemampuan untuk “berbicara dengan benar” menjadi sarana pengendalian sosial dan eksklusi budaya.¹⁷

Namun, dalam kerangka humanistik, Wittgenstein juga membuka jalan bagi etika komunikasi yang lebih egaliter. Dengan menekankan sifat publik dan intersubjektif bahasa, ia menegaskan bahwa makna selalu merupakan hasil partisipasi bersama.¹⁸ Tidak ada otoritas tunggal yang memiliki monopoli atas kebenaran linguistik; yang ada hanyalah dialog terbuka antaranggota komunitas. Prinsip ini mengandung nilai demokratis yang mendalam: bahasa menjadi ruang bersama di mana setiap suara memiliki potensi untuk membentuk makna.¹⁹


Relevansi Budaya dan Multidisipliner

Dalam konteks modern, dimensi sosial-budaya dari permainan bahasa Wittgensteinian memiliki relevansi luas. Di era globalisasi dan digital, manusia hidup di tengah pluralitas permainan bahasa: bahasa ilmiah, politik, agama, media sosial, dan budaya populer saling berinteraksi dalam ekosistem komunikasi global.²⁰ Pandangan Wittgenstein membantu menjelaskan bagaimana konflik makna, misinformasi, atau disinformasi dapat terjadi ketika aturan permainan bahasa dari satu ranah diterapkan secara keliru ke ranah lain.²¹

Selain itu, konsep ini juga menginspirasi teori budaya kontemporer, terutama dalam hermeneutika dan studi wacana. Hans-Georg Gadamer mengembangkan gagasan “dialog antar-horizon” yang paralel dengan ide Wittgenstein tentang keragaman permainan bahasa.²² Demikian pula, Jürgen Habermas mengaitkan dimensi sosial bahasa dengan etika diskursus, di mana kebenaran bergantung pada konsensus komunikatif yang dicapai secara rasional dalam komunitas penutur.²³

Dengan demikian, dimensi sosial dan budaya dari permainan bahasa memperluas cakupan filsafat bahasa dari sekadar analisis makna ke analisis kehidupan. Bahasa dipahami bukan sebagai sistem simbol netral, melainkan sebagai fenomena sosial yang sarat nilai, kekuasaan, dan tradisi. Wittgenstein menunjukkan bahwa memahami bahasa berarti memahami manusia sebagai makhluk yang hidup bersama dalam dunia yang penuh makna—dunia yang mereka bentuk melalui kata, tindakan, dan interaksi sosial.²⁴


Footnotes

[1]                ¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.

[2]                ² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 210–213.

[3]                ³ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §23.

[4]                ⁴ Ibid., §19.

[5]                ⁵ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir (Oxford: Oxford University Press, 1958), 70–73.

[6]                ⁶ Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (London: Routledge, 1958), 89–91.

[7]                ⁷ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 224–226.

[8]                ⁸ Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 59–61.

[9]                ⁹ G. E. M. Anscombe, “An Introduction to Wittgenstein’s Philosophical Investigations,” Mind 63, no. 251 (1954): 300–303.

[10]             ¹⁰ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, §65–67.

[11]             ¹¹ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 182–184.

[12]             ¹² Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 12–14.

[13]             ¹³ Dell Hymes, Foundations in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), 45–49.

[14]             ¹⁴ Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge (New York: Pantheon Books, 1972), 49–52.

[15]             ¹⁵ Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge: Polity Press, 1991), 37–41.

[16]             ¹⁶ Ibid., 45–46.

[17]             ¹⁷ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 273–276.

[18]             ¹⁸ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §206.

[19]             ¹⁹ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 119–122.

[20]             ²⁰ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 135–137.

[21]             ²¹ Niklas Luhmann, Social Systems, trans. John Bednarz Jr. (Stanford: Stanford University Press, 1995), 162–165.

[22]             ²² Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 1989), 285–288.

[23]             ²³ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 58–61.

[24]             ²⁴ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin Books, 1990), 522–525.


7.           Kritik terhadap Philosophical Investigations

Sejak diterbitkan pada tahun 1953, Philosophical Investigations karya Ludwig Wittgenstein telah menjadi salah satu teks paling berpengaruh sekaligus paling kontroversial dalam filsafat abad ke-20. Karya ini menandai pergeseran besar dari paradigma logiko-representasional ke paradigma praksis-linguistik, yang menempatkan bahasa sebagai aktivitas sosial dan bukan sistem simbol abstrak. Namun, pengaruh besar ini diiringi pula oleh beragam kritik dari berbagai aliran filsafat—baik dari kalangan positivis logis, analitik, hermeneutik, hingga poststrukturalis. Kritik-kritik tersebut mencerminkan ketegangan antara kejelasan analitik dan ambiguitas metodologis dalam proyek Wittgensteinian.

7.1.       Kritik dari Positivisme Logis dan Tradisi Analitik Murni

Salah satu kritik paling awal datang dari kalangan positivis logis, terutama tokoh-tokoh Lingkaran Wina seperti Rudolf Carnap dan Moritz Schlick. Mereka awalnya menganggap Tractatus Logico-Philosophicus sebagai fondasi logis bagi empirisme modern. Ketika Wittgenstein beralih ke Philosophical Investigations, dengan meninggalkan struktur logika universal dan menggantinya dengan deskripsi permainan bahasa, banyak dari mereka merasa kecewa.¹ Carnap menilai pendekatan baru Wittgenstein terlalu subjektif dan tidak lagi memberikan kriteria objektif bagi kebenaran ilmiah.² Dengan menolak gagasan sistematik tentang makna, Wittgenstein dianggap telah meninggalkan ideal ilmiah yang menjadi ciri khas filsafat analitik awal.³

Kritik lainnya datang dari tokoh seperti W. V. O. Quine, yang menilai bahwa konsep “makna sebagai penggunaan” tidak mampu menjelaskan dasar epistemologis yang stabil bagi pengetahuan.⁴ Bagi Quine, relativisme penggunaan bahasa berisiko meniadakan perbedaan antara yang bermakna dan yang tidak bermakna, sehingga filsafat kehilangan fungsi analitisnya.⁵ Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Philosophical Investigations benar-benar menawarkan teori atau sekadar deskripsi yang tidak dapat diverifikasi secara logis?⁶

7.2.       Kritik dari Perspektif Hermeneutik dan Fenomenologis

Dari sisi kontinental, para pemikir hermeneutik seperti Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur memberikan kritik yang lebih nuansial. Mereka mengapresiasi penekanan Wittgenstein pada praktik dan konteks kehidupan, tetapi menilai bahwa Philosophical Investigations kurang memperhatikan dimensi historis dan eksistensial dari bahasa.⁷ Gadamer berpendapat bahwa permainan bahasa Wittgensteinian terlalu statis dan tidak mencerminkan dinamika pemahaman yang berkembang melalui dialog antartradisi.⁸ Sementara itu, Ricoeur menilai bahwa pendekatan deskriptif Wittgenstein gagal menyingkap makna simbolik dan imajinatif dari bahasa, yang justru menjadi sumber produktivitas hermeneutik.⁹

Kritik fenomenologis juga datang dari mazhab Husserlian. Maurice Merleau-Ponty, misalnya, menganggap Wittgenstein terlalu menekankan dimensi publik bahasa sehingga mengabaikan pengalaman subjektif yang menjadi dasar artikulasi makna.¹⁰ Dalam pandangan fenomenologi, pemahaman terhadap dunia tidak hanya terbentuk melalui konvensi sosial, tetapi juga melalui persepsi dan intensionalitas individual. Dengan demikian, Philosophical Investigations dianggap mengabaikan tubuh, pengalaman, dan ekspresi sebagai elemen ontologis bahasa.¹¹

7.3.       Kritik terhadap Relativisme dan Anti-Teoretisisme

Kritik lain diarahkan pada aspek metodologis karya ini. Wittgenstein menolak ambisi filsafat untuk membangun teori universal tentang bahasa; ia memandang tugas filsafat hanyalah untuk “mengklarifikasi penggunaan.”¹² Namun, penolakan ini dianggap oleh sebagian kalangan sebagai bentuk anti-teoretisisme yang ekstrem. Ernest Gellner, dalam karyanya Words and Things, menyebut pendekatan Wittgenstein sebagai “mistisisme linguistik” yang berbahaya karena menolak rasionalitas sistematik dalam filsafat.¹³ Menurut Gellner, Wittgenstein menggantikan penjelasan ilmiah dengan dogma baru tentang “permainan bahasa” yang tidak dapat diuji secara rasional.¹⁴

Selain itu, beberapa kritikus menyoroti bahaya relativisme yang terkandung dalam gagasan bahwa makna hanya bergantung pada konteks penggunaan. Jika setiap permainan bahasa memiliki aturan sendiri tanpa ukuran universal, bagaimana mungkin kita menilai kebenaran antarbahasa atau antarbudaya?¹⁵ Hal ini menimbulkan pertanyaan epistemologis dan etis: apakah segala bentuk wacana sama sahihnya, atau masih ada ruang bagi kritik rasional lintas konteks? Jürgen Habermas menanggapi persoalan ini dengan menegaskan perlunya prinsip rasionalitas komunikatif sebagai pelengkap bagi pluralisme permainan bahasa.¹⁶

7.4.       Kritik dari Perspektif Poststruktural dan Dekonstruktif

Pemikir poststrukturalis seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault juga memberikan respons kritis terhadap Philosophical Investigations. Derrida, misalnya, menghargai penolakan Wittgenstein terhadap metafisika makna tunggal, tetapi menganggap bahwa konsep “permainan bahasa” masih terlalu terikat pada komunitas dan aturan yang stabil.¹⁷ Ia mengajukan konsep “différance” untuk menunjukkan bahwa makna tidak hanya dibentuk oleh aturan permainan bahasa, tetapi juga oleh ketegangan dan penundaan dalam jaringan tanda.¹⁸ Sementara itu, Foucault memanfaatkan pendekatan Wittgenstein untuk mengkaji relasi antara bahasa dan kekuasaan, namun menilai bahwa Wittgenstein gagal menyadari dimensi historis-politis yang membentuk permainan bahasa itu sendiri.¹⁹

Dari perspektif ini, Philosophical Investigations dianggap terlalu “aman” dan normatif: ia mengakui keragaman bahasa, tetapi tidak cukup radikal untuk membongkar struktur kekuasaan yang mengatur produksi makna dalam masyarakat.²⁰ Dengan kata lain, Wittgenstein berhenti pada deskripsi permukaan, tanpa menggali “arsip” sosial dan ideologis yang melatarinya.


Evaluasi dan Relevansi Kritik

Kritik-kritik terhadap Philosophical Investigations memperlihatkan ketegangan antara deskripsi dan teori, relativisme dan objektivitas, praksis dan sistem. Namun, di sisi lain, perdebatan ini justru menunjukkan kekuatan dan vitalitas pemikiran Wittgenstein.²¹ Karya ini menolak memberikan jawaban final, karena tujuan utamanya bukan menjelaskan dunia, tetapi mengklarifikasi cara kita berbicara tentang dunia. Dalam hal ini, Wittgenstein memang tidak menawarkan teori kebenaran universal, tetapi membuka ruang dialog tanpa akhir tentang bagaimana makna dibentuk dalam kehidupan manusia.

Dengan demikian, walaupun Wittgenstein dikritik karena dianggap relativistik, anti-teoretik, dan deskriptif tanpa arah, Philosophical Investigations tetap menjadi tonggak penting dalam pergeseran epistemologis dan kultural filsafat modern.²² Ia memaksa filsafat untuk mengakui keterbatasan bahasanya sendiri, sekaligus mengajak manusia untuk lebih bertanggung jawab terhadap makna yang mereka hasilkan dalam percakapan sosial. Kritik-kritik yang ditujukan kepadanya, pada akhirnya, memperkuat relevansi pemikirannya sebagai refleksi abadi tentang kondisi manusia yang hidup di tengah bahasa.²³


Footnotes

[1]                ¹ Rudolf Carnap, Philosophy and Logical Syntax (London: Kegan Paul, 1935), 112–114.

[2]                ² Moritz Schlick, “Meaning and Verification,” The Philosophical Review 45, no. 4 (1936): 339–341.

[3]                ³ P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 123–126.

[4]                ⁴ W. V. O. Quine, Word and Object (Cambridge, MA: MIT Press, 1960), 67–69.

[5]                ⁵ Ibid., 71.

[6]                ⁶ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 236–238.

[7]                ⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 1989), 287–289.

[8]                ⁸ Ibid., 291.

[9]                ⁹ Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 28–30.

[10]             ¹⁰ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 178–180.

[11]             ¹¹ Ibid., 182.

[12]             ¹² Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §133.

[13]             ¹³ Ernest Gellner, Words and Things (Boston: Beacon Press, 1959), 18–22.

[14]             ¹⁴ Ibid., 31–33.

[15]             ¹⁵ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 174–178.

[16]             ¹⁶ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 272–274.

[17]             ¹⁷ Jacques Derrida, Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 10–12.

[18]             ¹⁸ Ibid., 13–14.

[19]             ¹⁹ Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge (New York: Pantheon Books, 1972), 54–57.

[20]             ²⁰ Ibid., 59.

[21]             ²¹ Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 68–72.

[22]             ²² Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin Books, 1990), 540–543.

[23]             ²³ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 142–145.


8.           Relevansi Kontemporer

Pemikiran Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations tetap memiliki relevansi mendalam dalam konteks intelektual dan sosial abad ke-21. Meskipun karya ini lahir dari lingkungan filsafat analitik pertengahan abad ke-20, gagasan-gagasannya mengenai language games (permainan bahasa), forms of life (bentuk kehidupan), serta makna sebagai penggunaan (meaning as use) justru menjadi semakin penting dalam era komunikasi global, digitalisasi, dan pluralitas budaya.¹ Relevansinya meluas ke berbagai bidang: filsafat bahasa kontemporer, teori komunikasi, linguistik pragmatis, kecerdasan buatan, filsafat budaya, hingga etika komunikasi digital.

8.1.       Pengaruh terhadap Filsafat Bahasa dan Pragmatik Modern

Dalam ranah filsafat bahasa, pengaruh Wittgenstein sangat terasa pada perkembangan teori tindak tutur (speech act theory) yang dikembangkan oleh J. L. Austin dan John Searle.² Pandangan Wittgenstein bahwa “makna adalah penggunaan” menjadi dasar bagi pemahaman bahwa berbicara bukan sekadar menyatakan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu melalui bahasa.³ Dari sinilah berkembang konsep tindakan lokusioner, ilokusioner, dan perlokusioner yang menegaskan sifat performatif bahasa.⁴ Teori-teori ini kemudian memperluas cakupan analisis bahasa dari struktur gramatikal menuju fungsi sosialnya.

Selain itu, pendekatan Wittgensteinian juga memengaruhi pragmatik kontemporer, termasuk teori implikatur percakapan yang dirumuskan oleh H. P. Grice.⁵ Prinsip-prinsip seperti relevansi, kerja sama, dan maksud pembicara dapat dipahami sebagai elaborasi lebih lanjut dari ide Wittgenstein bahwa makna bahasa selalu kontekstual dan bergantung pada aturan permainan tertentu.⁶ Dengan demikian, Philosophical Investigations dapat dianggap sebagai titik awal bagi seluruh tradisi pragmatis dalam filsafat bahasa modern.

8.2.       Relevansi dalam Konteks Sosial dan Budaya Multiplural

Di tengah masyarakat global yang semakin majemuk, konsep Wittgenstein tentang forms of life dan language games menawarkan kerangka teoritis untuk memahami pluralitas makna antarbudaya. Bahasa tidak lagi dipandang sebagai sistem tunggal yang universal, tetapi sebagai mosaik praktik linguistik yang berbeda, masing-masing dengan aturan dan nilai sendiri.⁷ Dalam konteks ini, Philosophical Investigations mengajarkan pentingnya sikap hermeneutik—yaitu kesediaan untuk memasuki permainan bahasa orang lain sebagai cara untuk memahami dan menghormati perbedaan.⁸

Gagasan ini memiliki implikasi besar dalam studi lintas budaya, antropologi linguistik, dan teori komunikasi antarbudaya. Clifford Geertz, misalnya, menggunakan semangat Wittgensteinian dalam karyanya The Interpretation of Cultures, di mana ia menafsirkan budaya sebagai jaringan makna yang diciptakan dan ditafsirkan manusia melalui simbol dan bahasa.⁹ Pemahaman terhadap bentuk-bentuk kehidupan berbeda menjadi fondasi bagi toleransi epistemik dan sosial, yang sangat relevan dalam dunia yang ditandai oleh konflik identitas dan benturan ideologi.¹⁰

8.3.       Kontribusi terhadap Etika Komunikasi dan Filsafat Diskursus

Wittgenstein juga berkontribusi terhadap lahirnya etika komunikasi modern. Dengan menekankan sifat publik dan intersubjektif bahasa, ia memberikan dasar bagi teori tindakan komunikatif Jürgen Habermas.¹¹ Habermas mengembangkan pandangan bahwa kebenaran dan rasionalitas tidak terletak pada representasi dunia, tetapi pada kemungkinan mencapai kesepahaman (Verständigung) dalam komunikasi yang bebas dari dominasi.¹² Prinsip ini berakar langsung pada gagasan Wittgenstein tentang bahasa sebagai aktivitas sosial yang diatur oleh aturan permainan bersama.

Dalam dunia digital dan media sosial, di mana bahasa sering disalahgunakan untuk misinformasi dan polarisasi, pandangan Wittgenstein menjadi semakin penting. Etika linguistiknya—yang menekankan kejelasan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam berbicara—menawarkan panduan moral bagi praktik komunikasi modern.¹³ Dengan memahami bahwa makna muncul dari penggunaan dalam konteks sosial, kita belajar bahwa setiap ujaran publik mengandung tanggung jawab epistemik terhadap komunitas pengguna bahasa lainnya.¹⁴

8.4.       Relevansi bagi Filsafat Teknologi dan Kecerdasan Buatan (AI)

Konsep Wittgenstein tentang makna sebagai penggunaan juga memiliki relevansi yang semakin besar dalam filsafat teknologi dan kecerdasan buatan.¹⁵ Dalam perdebatan mengenai pemahaman bahasa oleh mesin, pandangan Wittgenstein menunjukkan bahwa memahami bahasa bukan sekadar mengenali pola sintaksis, tetapi melibatkan partisipasi dalam forms of life manusia.¹⁶ Ini menjadi kritik terhadap pendekatan komputasional murni yang berasumsi bahwa kecerdasan linguistik dapat direduksi menjadi manipulasi simbol.

Sebagaimana dikemukakan oleh Hubert Dreyfus dan Charles Taylor, pemahaman linguistik sejati menuntut keterlibatan dalam dunia praksis dan nilai-nilai manusia yang hidup—sesuatu yang tidak dapat direduksi menjadi algoritme.¹⁷ Maka, Philosophical Investigations menjadi rujukan penting bagi filsafat AI etis, yang menekankan bahwa “mengerti” bukan sekadar memproses informasi, tetapi mengambil bagian dalam konteks sosial yang bermakna.¹⁸


Relevansi Eksistensial: Bahasa, Kemanusiaan, dan Kebermaknaan Hidup

Akhirnya, relevansi Philosophical Investigations melampaui batas disiplin akademik. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh sistem simbol, Wittgenstein mengingatkan bahwa bahasa adalah jantung dari keberadaan manusia. Bahasa bukan sekadar alat berpikir, tetapi medium di mana manusia menegaskan identitasnya dan berpartisipasi dalam dunia bersama.¹⁹ Dengan menempatkan makna dalam penggunaan sehari-hari, Wittgenstein menegaskan bahwa filsafat harus kembali ke kehidupan konkret—ke “apa yang sebenarnya kita lakukan” dalam berbicara, mendengar, dan memahami.²⁰

Dalam konteks eksistensial ini, pemikiran Wittgenstein menawarkan terapi terhadap alienasi linguistik modern: ia mengembalikan bahasa kepada kehidupan, dan dengan itu, mengembalikan filsafat kepada manusia.²¹ Dengan demikian, Philosophical Investigations tidak hanya relevan secara teoretis, tetapi juga secara etis dan humanistik. Ia mengajarkan bahwa memahami bahasa berarti memahami diri sendiri sebagai makhluk yang berbicara, berinteraksi, dan hidup dalam dunia yang dibentuk oleh kata-kata.²²


Footnotes

[1]                ¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.

[2]                ² J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–99.

[3]                ³ P. M. S. Hacker, Wittgenstein: Meaning and Mind (Oxford: Blackwell, 1990), 56–59.

[4]                ⁴ John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 22–25.

[5]                ⁵ H. P. Grice, “Logic and Conversation,” dalam Syntax and Semantics, vol. 3, ed. Peter Cole and Jerry Morgan (New York: Academic Press, 1975), 41–58.

[6]                ⁶ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 220–223.

[7]                ⁷ Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (London: Routledge, 1958), 93–95.

[8]                ⁸ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 1989), 290–293.

[9]                ⁹ Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 13–17.

[10]             ¹⁰ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 113–116.

[11]             ¹¹ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 275–278.

[12]             ¹² Ibid., 284.

[13]             ¹³ Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 83–87.

[14]             ¹⁴ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 189–191.

[15]             ¹⁵ Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 118–121.

[16]             ¹⁶ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §23–25.

[17]             ¹⁷ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 137–140.

[18]             ¹⁸ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 94–96.

[19]             ¹⁹ Ludwig Wittgenstein, Culture and Value, ed. G. H. von Wright (Oxford: Blackwell, 1980), 45–48.

[20]             ²⁰ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir (Oxford: Oxford University Press, 1958), 92–94.

[21]             ²¹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin Books, 1990), 532–535.

[22]             ²² Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism, 141–143.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Hermeneutika Praksis Wittgensteinian

Sintesis filosofis dari Philosophical Investigations Wittgenstein dapat dirumuskan sebagai pergeseran dari teori representasi menuju paradigma praksis—suatu pendekatan yang memahami bahasa, makna, dan pengetahuan bukan sebagai sistem proposisi yang menggambarkan dunia, melainkan sebagai aktivitas manusia yang ditanamkan dalam konteks kehidupan.¹ Pergeseran ini menghadirkan orientasi baru dalam filsafat kontemporer yang dapat disebut sebagai hermeneutika praksis Wittgensteinian: suatu cara menafsirkan bahasa bukan melalui pencarian struktur metafisis atau logis yang tersembunyi, tetapi melalui pemahaman atas penggunaan bahasa dalam kehidupan sosial dan budaya manusia.²

9.1.       Integrasi Ontologis dan Epistemologis dalam Praksis Bahasa

Wittgenstein berhasil menyatukan dimensi ontologis dan epistemologis dalam kerangka praksis linguistik. Bahasa, bagi Wittgenstein, bukanlah sekadar alat untuk menyatakan dunia (ontologi representasional) ataupun sekadar sarana memperoleh pengetahuan (epistemologi korespondensial), melainkan medium di mana manusia mengada dan mengetahui secara bersamaan.³ Melalui bahasa, realitas dan pengetahuan saling membentuk dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Dalam hal ini, setiap bentuk kehidupan (form of life) merupakan horizon di mana makna dan kebenaran dihasilkan melalui interaksi manusia.⁴ Wittgenstein menolak pandangan bahwa ada esensi makna yang tunggal dan tetap; sebaliknya, ia menegaskan bahwa makna adalah “suatu penggunaan” yang bergantung pada aturan sosial yang dihidupi manusia.⁵ Dengan demikian, pemahaman terhadap makna tidak dapat dipisahkan dari pemahaman terhadap konteks sosial dan budaya di mana bahasa itu berfungsi. Integrasi ini menandai kelahiran apa yang dapat disebut “ontologi praksis”—bahwa ada berarti berpartisipasi dalam kehidupan berbahasa.⁶

9.2.       Hermeneutika Penggunaan: Makna sebagai Pemahaman yang Terjalin

Konsep hermeneutika praksis Wittgensteinian dapat dirumuskan sebagai cara menafsirkan makna melalui keterlibatan aktif dalam permainan bahasa.⁷ Pemahaman bukanlah hasil dari proses penalaran teoretis, melainkan dari keterampilan dalam menavigasi konteks sosial yang hidup. Menafsirkan berarti “tahu bagaimana menggunakan,” bukan “menemukan makna tersembunyi.”⁸ Dalam konteks ini, bahasa menjadi ruang hermeneutik di mana manusia terus-menerus menafsirkan tindakannya sendiri dan tindakan orang lain melalui simbol dan praktik.

Gagasan ini beresonansi dengan hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, yang menekankan bahwa pemahaman selalu bersifat historis dan partisipatif.⁹ Namun, berbeda dari Gadamer yang menekankan “dialog antar-horizon,” Wittgenstein menekankan dimensi praksis dan kebiasaan sosial sebagai sarana pemahaman.¹⁰ Dengan demikian, hermeneutika Wittgensteinian lebih bersifat deskriptif dan imanen: ia tidak berusaha menyingkap makna transenden, tetapi menjelaskan bagaimana makna bekerja dalam kehidupan sehari-hari.¹¹

Hermeneutika ini juga menolak dualisme antara teori dan praktik. Tidak ada pemahaman yang murni teoritis tanpa landasan praksis sosial.¹² Bahkan filsafat itu sendiri, menurut Wittgenstein, bukanlah teori tentang dunia, melainkan “aktivitas” yang bertujuan mengklarifikasi cara kita berbicara dan berpikir.¹³ Dengan kata lain, filsafat adalah bentuk refleksi hermeneutik terhadap kehidupan berbahasa.

9.3.       Dimensi Etis dan Humanistik dalam Hermeneutika Praksis

Hermeneutika praksis Wittgensteinian memiliki dimensi etis yang mendalam. Jika bahasa adalah aktivitas sosial yang diatur oleh aturan dan kebiasaan, maka memahami bahasa berarti juga memahami bentuk kehidupan orang lain.¹⁴ Proses ini menuntut empati, keterbukaan, dan pengakuan terhadap perbedaan. Dalam hal ini, memahami bukan hanya tindakan intelektual, tetapi juga tindakan moral: ia melibatkan kepekaan terhadap cara orang lain memberi makna pada dunia mereka.¹⁵

Stanley Cavell menafsirkan dimensi ini sebagai etika pengakuan (ethics of acknowledgment)—sebuah sikap untuk menerima keunikan cara orang lain menggunakan bahasa tanpa memaksakan kerangka makna tunggal.¹⁶ Dengan demikian, hermeneutika Wittgensteinian menolak dominasi epistemik dan membuka ruang dialog antarpraktik dan antarbudaya. Dalam konteks dunia yang semakin plural, pandangan ini memiliki implikasi langsung bagi filsafat komunikasi, politik bahasa, dan pendidikan multikultural.¹⁷

Etika linguistik Wittgensteinian juga menegaskan pentingnya “kejujuran berbahasa” (honesty in speech) sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kebenaran dalam interaksi sosial.¹⁸ Kejelasan dalam berpikir dan berbicara, sebagaimana diungkapkan Wittgenstein dalam Philosophical Investigations §133, adalah tindakan moral karena ia mencegah kesalahpahaman dan kekacauan konseptual yang dapat merusak hubungan antarindividu.¹⁹ Dengan demikian, hermeneutika praksis Wittgenstein bukan hanya teori interpretasi, tetapi juga pedoman etika kehidupan bersama.

9.4.       Relevansi Hermeneutika Praksis dalam Filsafat Kontemporer

Dalam perkembangan filsafat kontemporer, hermeneutika praksis Wittgensteinian memberikan landasan bagi pendekatan interdisipliner antara filsafat bahasa, sosiologi, antropologi, dan teori budaya.²⁰ Ia menginspirasi berbagai tradisi pemikiran—dari pragmatisme Richard Rorty hingga fenomenologi praksis Hubert Dreyfus—yang sama-sama menolak pandangan representasionalis tentang makna.²¹

Dalam dunia digital, di mana bahasa mengalami transformasi melalui teknologi, gagasan Wittgenstein tentang permainan bahasa menjadi relevan untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dinegosiasikan dalam ruang virtual.²² Setiap komunitas daring memiliki “aturan permainan” tersendiri yang menentukan bagaimana simbol, tanda, dan ujaran dipahami.²³ Hermeneutika praksis Wittgensteinian membantu kita menafsirkan fenomena ini tanpa terjebak pada klaim kebenaran universal, tetapi dengan menelusuri makna yang muncul dari praktik sosial yang hidup.²⁴


Sintesis Humanistik: Bahasa sebagai Ruang Hidup Bersama

Pada akhirnya, sintesis filosofis dari Philosophical Investigations adalah pengakuan bahwa bahasa merupakan jantung dari kehidupan manusia—ruang di mana makna, pengetahuan, dan nilai-nilai moral dibangun secara bersama.²⁵ Melalui bahasa, manusia tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga menciptakan dan menafsirkan dunianya secara kolektif. Hermeneutika praksis Wittgensteinian dengan demikian menuntun filsafat menuju orientasi humanistik: bahwa memahami bahasa berarti memahami kehidupan manusia itu sendiri dalam segala kerumitannya.²⁶

Filsafat tidak lagi mencari fondasi metafisis, tetapi mengakar pada kehidupan konkret. Bahasa bukanlah “kaca bening” yang memantulkan realitas, melainkan jalinan sosial yang menampung seluruh dinamika eksistensi manusia.²⁷ Dengan demikian, hermeneutika praksis Wittgensteinian menjadi jembatan antara filsafat analitik dan humanisme kontemporer—antara klarifikasi rasional dan pemahaman eksistensial—menuju sebuah pandangan integral tentang manusia sebagai makhluk berbahasa dan bermakna.²⁸


Footnotes

[1]                ¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.

[2]                ² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 201–204.

[3]                ³ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.21.

[4]                ⁴ Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (London: Routledge, 1958), 90–93.

[5]                ⁵ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §43.

[6]                ⁶ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 215–217.

[7]                ⁷ Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 93–97.

[8]                ⁸ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 118–121.

[9]                ⁹ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 1989), 272–274.

[10]             ¹⁰ Ibid., 280.

[11]             ¹¹ Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 176–178.

[12]             ¹² Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 122–125.

[13]             ¹³ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §133.

[14]             ¹⁴ Norman Malcolm, Ludwig Wittgenstein: A Memoir (Oxford: Oxford University Press, 1958), 80–83.

[15]             ¹⁵ Stanley Cavell, Must We Mean What We Say? (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), 240–242.

[16]             ¹⁶ Ibid., 245.

[17]             ¹⁷ Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 276–279.

[18]             ¹⁸ Ludwig Wittgenstein, Culture and Value, ed. G. H. von Wright (Oxford: Blackwell, 1980), 48–50.

[19]             ¹⁹ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §133.

[20]             ²⁰ Hans Sluga, Wittgenstein (London: Routledge, 1996), 142–145.

[21]             ²¹ Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 119–121.

[22]             ²² Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 92–94.

[23]             ²³ Niklas Luhmann, Social Systems, trans. John Bednarz Jr. (Stanford: Stanford University Press, 1995), 160–163.

[24]             ²⁴ Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 20–23.

[25]             ²⁵ Ludwig Wittgenstein, Culture and Value, 52–55.

[26]             ²⁶ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin Books, 1990), 540–543.

[27]             ²⁷ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism, 142–145.

[28]             ²⁸ Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 50–54.


10.       Kesimpulan

Philosophical Investigations karya Ludwig Wittgenstein merupakan tonggak penting dalam sejarah filsafat bahasa dan secara lebih luas dalam evolusi pemikiran filsafat abad ke-20. Karya ini menandai transisi dari fase awal Wittgenstein yang berorientasi pada logika dan representasi menuju fase praksis-linguistik yang menempatkan bahasa sebagai aktivitas manusia yang sarat makna sosial, kultural, dan etis.¹ Dalam karya ini, Wittgenstein menggeser pusat perhatian filsafat dari pencarian struktur logis universal kepada pemahaman tentang bagaimana bahasa berfungsi dalam kehidupan sehari-hari melalui konsep language games (permainan bahasa) dan forms of life (bentuk kehidupan). Pergeseran ini bukan hanya metodologis, tetapi juga ontologis dan aksiologis, karena mengubah cara kita memahami realitas, pengetahuan, dan tanggung jawab manusia dalam berbahasa.²

Secara ontologis, Wittgenstein menolak pandangan representasional bahwa bahasa mencerminkan dunia secara pasif. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa dunia manusia dibentuk melalui praktik berbahasa.³ Dengan demikian, bahasa tidak berada di luar kehidupan, melainkan melekat di dalamnya; realitas bukan sesuatu yang “ditemukan,” melainkan “dihidupi” melalui bentuk-bentuk komunikasi dan simbol sosial.⁴ Dalam kerangka ini, manusia bukan sekadar pengguna bahasa, tetapi makhluk yang keberadaannya dijalin melalui aktivitas berbahasa—sebuah “ontologi praksis” yang menegaskan bahwa menjadi berarti berpartisipasi dalam permainan bahasa yang hidup.⁵

Secara epistemologis, Wittgenstein mengubah cara filsafat memahami makna dan pemahaman. Ia menunjukkan bahwa mengetahui bukanlah sekadar menghubungkan proposisi dengan fakta, melainkan keterampilan untuk menggunakan bahasa dalam konteks sosial yang tepat.⁶ Pemahaman bukan hasil dari pengetahuan teoretis, tetapi tindakan praktis—“knowing how” alih-alih sekadar “knowing that.”⁷ Melalui argumennya tentang bahasa publik dan penolakannya terhadap private language, Wittgenstein menegaskan bahwa pengetahuan bersifat intersubjektif dan konstitutif terhadap kehidupan sosial.⁸ Dengan demikian, epistemologi Wittgenstein berakar pada praksis komunikasi yang menuntut keterlibatan, dialog, dan pengakuan terhadap sesama.

Dari segi aksiologis, Philosophical Investigations memperlihatkan dimensi etis yang halus namun mendalam.⁹ Kejelasan, kejujuran, dan tanggung jawab dalam berbahasa merupakan nilai-nilai moral yang inheren dalam filsafatnya. Wittgenstein menganggap tugas filsafat sebagai “terapi” terhadap kekacauan konseptual yang sering menyesatkan manusia.¹⁰ Upaya untuk menjernihkan bahasa bukan sekadar kegiatan intelektual, melainkan bentuk etika: menghindarkan diri dari kesesatan berpikir, menghormati makna yang dihasilkan bersama, dan menjaga keutuhan komunikasi antarindividu.¹¹ Dalam hal ini, bahasa bukan hanya sarana berpikir, tetapi juga wadah tanggung jawab moral manusia dalam hidup bersama.

Lebih jauh, Philosophical Investigations memiliki relevansi lintas-disiplin yang kuat hingga masa kini. Dalam teori bahasa dan pragmatik, gagasan tentang meaning as use menjadi dasar bagi perkembangan teori tindak tutur (Austin dan Searle) serta pragmatik modern (Grice).¹² Dalam filsafat sosial dan budaya, pandangan Wittgenstein tentang forms of life membantu memahami pluralitas praktik makna dalam konteks masyarakat multikultural.¹³ Dalam etika komunikasi dan filsafat digital, konsep permainan bahasa menegaskan pentingnya tanggung jawab moral di era globalisasi dan media digital yang dipenuhi misinformasi.¹⁴ Bahkan dalam perdebatan tentang kecerdasan buatan, pemikiran Wittgenstein menjadi relevan untuk menegaskan bahwa pemahaman sejati menuntut keterlibatan dalam dunia kehidupan yang tidak dapat direduksi menjadi algoritme simbolik.¹⁵

Dengan demikian, Philosophical Investigations dapat dibaca sebagai karya transformatif yang mengembalikan filsafat kepada kehidupan konkret. Wittgenstein mengajarkan bahwa filsafat bukanlah teori tentang dunia, melainkan aktivitas untuk memahami dunia sebagaimana kita hidup di dalamnya.¹⁶ Dalam arti ini, ia mewariskan suatu “hermeneutika praksis”—pemahaman filosofis yang tidak mencari hakikat di luar pengalaman manusia, tetapi dalam praktik manusia itu sendiri.¹⁷

Sintesis pemikiran Wittgenstein menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya medium berpikir, melainkan dimensi eksistensial manusia yang paling mendasar.¹⁸ Melalui bahasa, manusia menemukan dirinya, membangun dunia sosialnya, dan memaknai keberadaannya. Oleh karena itu, memahami bahasa berarti memahami kemanusiaan itu sendiri. Filsafat, bagi Wittgenstein, pada akhirnya adalah “kegiatan pencerahan”—suatu upaya untuk melihat dunia dengan jernih, sebagaimana kita hidup di dalamnya, tanpa kehilangan rasa hormat terhadap kompleksitas dan keajaiban kehidupan berbahasa.¹⁹


Footnotes

[1]                ¹ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §19–24.

[2]                ² P. M. S. Hacker, Insight and Illusion: Themes in the Philosophy of Wittgenstein (Oxford: Clarendon Press, 1986), 210–213.

[3]                ³ Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge & Kegan Paul, 1922), 2.1–2.12.

[4]                ⁴ Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (London: Routledge, 1958), 89–91.

[5]                ⁵ Hans-Johann Glock, A Wittgenstein Dictionary (Oxford: Blackwell, 1996), 215–218.

[6]                ⁶ Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, §43.

[7]                ⁷ Hubert Dreyfus, “The Primacy of Practice,” dalam Mind, Reason, and Being-in-the-World, ed. Joseph K. Schear (London: Routledge, 2013), 12–15.

[8]                ⁸ Saul A. Kripke, Wittgenstein on Rules and Private Language (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 20–24.

[9]                ⁹ Stanley Cavell, The Claim of Reason: Wittgenstein, Skepticism, Morality, and Tragedy (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1979), 83–86.

[10]             ¹⁰ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §133.

[11]             ¹¹ Ludwig Wittgenstein, Culture and Value, ed. G. H. von Wright (Oxford: Blackwell, 1980), 31–34.

[12]             ¹² J. L. Austin, How to Do Things with Words (Oxford: Clarendon Press, 1962), 94–99.

[13]             ¹³ Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 12–14.

[14]             ¹⁴ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 60–63.

[15]             ¹⁵ Hubert Dreyfus and Charles Taylor, Retrieving Realism (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 137–140.

[16]             ¹⁶ Wittgenstein, Philosophical Investigations, §109.

[17]             ¹⁷ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd ed. (New York: Continuum, 1989), 283–285.

[18]             ¹⁸ Charles Taylor, Philosophical Arguments (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1995), 125–128.

[19]             ¹⁹ Ray Monk, Ludwig Wittgenstein: The Duty of Genius (New York: Penguin Books, 1990), 540–543.


Daftar Pustaka

Anscombe, G. E. M. (1954). An introduction to Wittgenstein’s Philosophical Investigations. Mind, 63(251), 289–303.

Austin, J. L. (1962). How to do things with words. Oxford: Clarendon Press.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Cambridge: Polity Press.

Carnap, R. (1935). Philosophy and logical syntax. London: Kegan Paul.

Cavell, S. (1976). Must we mean what we say? Cambridge: Cambridge University Press.

Cavell, S. (1979). The claim of reason: Wittgenstein, skepticism, morality, and tragedy. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Derrida, J. (1982). Margins of philosophy (A. Bass, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. Cambridge, MA: MIT Press.

Dreyfus, H. L., & Taylor, C. (2015). Retrieving realism. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dreyfus, H. L. (2013). The primacy of practice. In J. K. Schear (Ed.), Mind, reason, and being-in-the-world (pp. 12–17). London: Routledge.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1972). The archaeology of knowledge. New York: Pantheon Books.

Gadamer, H.-G. (1989). Truth and method (2nd ed.). New York: Continuum.

Gellner, E. (1959). Words and things. Boston: Beacon Press.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. New York: Basic Books.

Glock, H.-J. (1996). A Wittgenstein dictionary. Oxford: Blackwell.

Grice, H. P. (1975). Logic and conversation. In P. Cole & J. Morgan (Eds.), Syntax and semantics (Vol. 3, pp. 41–58). New York: Academic Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action. Cambridge, MA: MIT Press.

Hacker, P. M. S. (1986). Insight and illusion: Themes in the philosophy of Wittgenstein. Oxford: Clarendon Press.

Hacker, P. M. S. (1990). Wittgenstein: Meaning and mind. Oxford: Blackwell.

Hymes, D. (1974). Foundations in sociolinguistics: An ethnographic approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Kripke, S. A. (1982). Wittgenstein on rules and private language. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Luhmann, N. (1995). Social systems (J. Bednarz Jr., Trans.). Stanford: Stanford University Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Malcolm, N. (1958). Ludwig Wittgenstein: A memoir. Oxford: Oxford University Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.

Monk, R. (1990). Ludwig Wittgenstein: The duty of genius. New York: Penguin Books.

Moore, G. E. (1925). A defence of common sense. In J. H. Muirhead (Ed.), Contemporary British philosophy (pp. 192–193). London: Allen & Unwin.

Putnam, H. (1981). Reason, truth, and history. Cambridge: Cambridge University Press.

Quine, W. V. O. (1960). Word and object. Cambridge, MA: MIT Press.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth: Texas Christian University Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton: Princeton University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge: Cambridge University Press.

Schlick, M. (1936). Meaning and verification. The Philosophical Review, 45(4), 339–341.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge: Cambridge University Press.

Sluga, H. (1996). Wittgenstein. London: Routledge.

Taylor, C. (1995). Philosophical arguments. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). London: Routledge & Kegan Paul.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.

Wittgenstein, L. (1980). Culture and value (G. H. von Wright, Ed.). Oxford: Blackwell.

Winch, P. (1958). The idea of a social science and its relation to philosophy. London: Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar