Minggu, 02 November 2025

Etika Moderasi Islam: Kajian Filosofis atas Konsep Tawasuth, Tawazun, dan Tasamuh dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Etika Moderasi Islam

Kajian Filosofis atas Konsep Tawasuth, Tawazun, dan Tasamuh dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


Alihkan ke: PPG 2019.

Tawasuth, Tawazun, Tasamuh, Tafsir Qur'an Kontemporer.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara filosofis konsep tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits, dengan menelusuri landasan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya serta relevansi sosial, politik, dan pendidikan dalam konteks kontemporer. Ketiga konsep tersebut dipahami sebagai manifestasi dari prinsip wasathiyyah Islam—yakni jalan tengah yang berkeadilan dan berkeadaban. Melalui pendekatan sistematis dan interdisipliner, kajian ini menunjukkan bahwa tawasuth, tawazun, dan tasamuh bukan hanya nilai moral, melainkan paradigma filosofis yang menuntun manusia untuk hidup selaras dengan keteraturan kosmik, rasionalitas wahyu, dan tanggung jawab sosial. Secara ontologis, nilai-nilai ini mencerminkan keseimbangan Ilahi yang menegaskan keesaan Tuhan dan keterhubungan antarciptaan. Secara epistemologis, ia menuntun pada integrasi antara wahyu, akal, dan pengalaman empiris sebagai jalan menuju pengetahuan yang beradab. Secara aksiologis, nilai-nilai tersebut meneguhkan orientasi etika Islam terhadap kemaslahatan universal (maslahah ‘āmmah) dan kemanusiaan global (al-insāniyyah al-kulliyyah). Dalam konteks kontemporer, prinsip moderasi Islam ini menjadi dasar bagi penguatan pluralisme, dialog antaragama, keadilan sosial, dan tanggung jawab ekologis. Sintesis akhirnya menempatkan tawasuth, tawazun, dan tasamuh sebagai pilar etika Islam yang integral dan humanistik—membangun jembatan antara iman dan akal, spiritualitas dan kemanusiaan, serta keilahian dan peradaban.

Kata Kunci: Tawasuth, Tawazun, Tasamuh, Wasathiyyah, Etika Islam, Filsafat Islam, Moderasi, Kemanusiaan, Integralisme, Humanisme.


PEMBAHASAN

Konsep Tawasuth, Tawazun, dan Tasamuh dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


1.           Pendahuluan

Dalam konteks kehidupan keagamaan kontemporer, Islam sering kali dihadapkan pada dua kutub ekstrem: di satu sisi, muncul kecenderungan konservatif yang rigid dan eksklusif; di sisi lain, berkembang arus liberal yang cenderung mengabaikan batas-batas normatif ajaran agama. Di tengah ketegangan tersebut, Islam menawarkan jalan tengah yang dikenal dengan konsep tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) sebagai prinsip etis dan moral dalam kehidupan individu maupun sosial. Ketiga konsep ini tidak hanya bersifat moral, tetapi juga teologis dan filosofis, mencerminkan hakikat Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).¹

Akar konseptual ketiga istilah tersebut berpijak pada Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut umat Islam sebagai “ummatan wasathan”, yaitu umat yang adil, seimbang, dan berada di tengah-tengah antara dua ekstrem (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143).² Istilah wasathiyyah ini menjadi dasar ontologis bagi pengembangan prinsip tawasuth yang berarti moderasi, bukan sekadar kompromi, melainkan sikap adil dan proporsional dalam berpikir serta bertindak.³ Demikian pula tawazun menekankan keseimbangan antara aspek duniawi dan ukhrawi, akal dan wahyu, individu dan masyarakat, sedangkan tasamuh menegaskan sikap lapang dada, menghargai perbedaan, dan membangun harmoni sosial.⁴

Secara historis, nilai-nilai tawasuth, tawazun, dan tasamuh telah menjadi fondasi etika sosial umat Islam sejak masa Rasulullah Saw. Masyarakat Madinah, yang plural baik secara etnis maupun agama, menjadi laboratorium sosial bagi penerapan nilai-nilai ini. Piagam Madinah (Mīthāq al-Madīnah) adalah manifestasi konkret dari etika moderasi Islam: mengakui keragaman, menegakkan keadilan, dan menjamin kebebasan beragama dalam tatanan sosial yang harmonis.⁵ Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menjadi teladan sempurna dalam mengintegrasikan keseimbangan spiritual dan sosial, menampilkan Islam sebagai agama yang menjunjung kemaslahatan dan toleransi universal.⁶

Di era modern, relevansi konsep moderasi Islam semakin penting di tengah dinamika globalisasi, politik identitas, dan disrupsi digital. Fenomena radikalisme agama, polarisasi sosial, serta penyebaran ujaran kebencian di media sosial menuntut umat Islam untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental Al-Qur’an dan Hadits yang mengedepankan keseimbangan dan kasih sayang.⁷ Tawasuth, tawazun, dan tasamuh bukan sekadar wacana teologis, tetapi menjadi kebutuhan epistemologis dan aksiologis bagi pembangunan peradaban yang damai dan berkeadilan.⁸

Penelitian ini berupaya menelusuri dasar-dasar konseptual, filosofis, dan normatif dari ketiga nilai tersebut dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits, serta menelaah bagaimana ia berfungsi sebagai prinsip etik dalam membentuk moderasi Islam yang integral. Kajian ini juga berangkat dari kesadaran bahwa moderasi tidak dapat dipahami secara fragmentaris, melainkan harus diletakkan dalam kerangka sistem nilai Islam yang utuh: menyeimbangkan antara akidah, syariah, dan akhlak; antara kebebasan dan tanggung jawab; serta antara iman dan rasionalitas.⁹ Dengan demikian, tawasuth, tawazun, dan tasamuh bukan hanya konsep normatif, tetapi juga paradigma filosofis yang mengarahkan manusia untuk hidup secara proporsional, inklusif, dan humanistik.¹⁰


Footnotes

[1]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 5.

[2]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.

[3]                M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 45.

[4]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1897), 82.

[5]                W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon Press, 1956), 227–230.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 28–31.

[7]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 114.

[8]                Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 62.

[9]                Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 136.

[10]             Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 29.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Gagasan tentang tawasuth (moderasi), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) tidak muncul secara tiba-tiba dalam khazanah Islam, melainkan berakar dalam struktur historis dan tekstual ajaran Al-Qur’an serta praktik kenabian. Secara terminologis, ketiganya merupakan derivasi dari semangat wasathiyyah yang secara eksplisit disebut dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2] ayat 143: “Wa kadzālika ja‘alnākum ummatan wasathan...”, yang berarti “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan.”¹ Ayat ini secara historis turun untuk menegaskan peran profetik umat Islam sebagai saksi bagi umat manusia—yakni komunitas yang mempraktikkan keadilan, keseimbangan, dan kasih sayang di tengah berbagai perbedaan.²

Dalam tradisi tafsir klasik, para mufasir memberikan penjelasan yang beragam terhadap istilah wasath. Al-Ṭabarī memaknainya sebagai “al-‘adl” (keadilan), menunjukkan keseimbangan moral dan intelektual yang menghindarkan umat dari sikap ekstrem.³ Ibn Kathīr memperluasnya sebagai “ummatan khiyāran,” yakni umat pilihan yang memiliki posisi tengah antara kelebihan dan kekurangan.⁴ Fakhr al-Dīn al-Rāzī menekankan bahwa makna wasath tidak hanya bersifat moral, tetapi juga ontologis: umat Islam menjadi pusat (markaz) yang menjaga keseimbangan antara nilai-nilai spiritual dan duniawi.⁵ Pemaknaan ini menunjukkan bahwa tawasuth tidak semata-mata bersifat praktis, melainkan merupakan struktur dasar bagi epistemologi Islam yang berorientasi pada harmoni.

Dalam konteks sejarah, prinsip-prinsip wasathiyyah telah terinternalisasi sejak masa Nabi Muhammad Saw. Masyarakat Madinah yang plural menjadi cerminan konkret dari penerapan nilai tawazun dan tasamuh. Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah) yang disusun oleh Nabi berfungsi sebagai kontrak sosial pertama yang mengakui hak-hak komunitas non-Muslim dan menetapkan prinsip koeksistensi damai berdasarkan keadilan.⁶ Model sosial ini kemudian menjadi inspirasi bagi sistem sosial Islam yang terbuka dan adaptif terhadap keberagaman.

Dalam sejarah intelektual Islam, gagasan keseimbangan dan moderasi terus berkembang melalui pemikiran para ulama klasik. Abu Hamid al-Ghazālī menegaskan bahwa jalan tengah (al-wasathiyyah) merupakan prinsip utama dalam etika Islam, yang berakar pada teori al-i‘tidāl, yaitu keseimbangan antara kekuatan nafs amarah, nafs syahwah, dan nafs rasional.⁷ Ibn Taymiyyah, dalam konteks lain, mengingatkan bahwa ekstremitas dalam beragama dapat menjauhkan manusia dari maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat) yang sejatinya berorientasi pada kemaslahatan dan keadilan.⁸ Dengan demikian, tawasuth dalam pemikiran klasik bukan hanya sikap sosial, tetapi juga orientasi spiritual dan moral yang mencegah penyimpangan dari jalan lurus (ṣirāṭ al-mustaqīm).

Pada masa modern, para pemikir seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida menghidupkan kembali gagasan wasathiyyah sebagai basis reformasi Islam. Mereka menolak taklid buta terhadap tradisi lama sekaligus menentang sekularisme yang menafikan nilai-nilai spiritual.⁹ Abduh menekankan perlunya rasionalitas yang seimbang dengan iman dalam membangun peradaban Islam yang dinamis.¹⁰ Gagasan ini kemudian diteruskan oleh Yusuf al-Qaradawi yang memperluasnya dalam konsep “moderasi Islam global,” yaitu Islam yang mampu menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan prinsip universalnya.¹¹

Dalam konteks Nusantara, wasathiyyah mendapatkan artikulasi khas melalui Islam moderat Indonesia yang dikembangkan oleh ormas-ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya mempraktikkan tawasuth, tawazun, dan tasamuh sebagai basis ideologis dalam menghadapi tantangan modernitas dan pluralitas bangsa.¹² Azyumardi Azra mencatat bahwa Islam Indonesia tumbuh dalam ruang kebudayaan yang terbuka, toleran, dan adaptif—sebuah bukti bahwa nilai-nilai moderasi telah menjadi bagian integral dari peradaban Islam di Nusantara.¹³

Dengan demikian, secara genealogis, tawasuth, tawazun, dan tasamuh berakar dalam teks suci, diinternalisasi melalui tradisi tafsir dan praksis sejarah, serta terus dikontekstualisasikan oleh para ulama sepanjang zaman. Konsep-konsep ini bukan hasil rekayasa modern, melainkan warisan autentik Islam yang relevan untuk menjawab tantangan global, baik dalam aspek teologis, sosial, maupun kemanusiaan.¹⁴


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.

[2]                Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 37.

[3]                Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, vol. 2 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1954), 6.

[4]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, vol. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 217.

[5]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 4 (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1990), 45.

[6]                W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon Press, 1956), 229–232.

[7]                Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), 68–70.

[8]                Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 11 (Riyadh: Maktabah al-Riyāḍ, 1995), 19.

[9]                Rashid Rida, Tafsīr al-Manār, vol. 1 (Kairo: Dār al-Manār, 1947), 15.

[10]             Muhammad Abduh, Al-Islām wa al-Nashr al-Ma‘ārif (Kairo: Al-Matba‘ah al-Azhariyyah, 1902), 93.

[11]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 22–25.

[12]             Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 48.

[13]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 112.

[14]             Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 31.


3.           Ontologi Konsep Tawasuth, Tawazun, dan Tasamuh

Kajian ontologis terhadap konsep tawasuth, tawazun, dan tasamuh menempatkan ketiganya sebagai dimensi hakiki dalam struktur keberagamaan Islam. Secara ontologis, nilai-nilai tersebut bukan sekadar etika sosial atau norma moral, melainkan merupakan modus eksistensi manusia beriman yang mencerminkan keseimbangan antara aspek ketuhanan (ilahiyyah) dan kemanusiaan (insaniyyah).¹ Dalam pandangan Islam, realitas tidak terbagi secara dikotomis antara yang sakral dan profan; melainkan menyatu dalam satu kesatuan kosmik yang harmonis di bawah kehendak Allah. Oleh karena itu, tawasuth, tawazun, dan tasamuh berfungsi sebagai prinsip ontologis yang menjaga keseimbangan kosmik dan sosial dalam kehidupan manusia.²

3.1.       Ontologi Tawasuth: Eksistensi Jalan Tengah

Konsep tawasuth (moderat) berakar pada istilah wasath dalam Al-Qur’an, yang menandakan “tengah,” “adil,” dan “proporsional.” Ontologinya mengandaikan bahwa keberadaan manusia dalam dunia ini diarahkan untuk menempuh jalan tengah antara dua ekstrem: antara spiritualitas yang berlebihan (ghuluw) dan materialisme yang berlebihan (jafā’).³ Dalam pandangan Al-Ghazālī, keseimbangan moral ini merupakan bentuk kesempurnaan eksistensial manusia, karena hanya dalam keadaan “pertengahan” potensi akal, nafsu, dan spiritual dapat mencapai harmoni.⁴

Tawasuth bukanlah relativisme yang menghapus nilai kebenaran, tetapi orientasi eksistensial terhadap keadilan dan keseimbangan. Ibn ‘Ashur menegaskan bahwa wasathiyyah adalah “titik kesempurnaan” dalam skala moral—bukan kompromi, melainkan puncak kebijaksanaan (ḥikmah) dalam bertindak.⁵ Dengan demikian, secara ontologis, tawasuth menandai posisi eksistensial manusia yang meneladani sifat keadilan Ilahi (al-‘adl) dan menghindari penyimpangan dari fitrah.

3.2.       Ontologi Tawazun: Keseimbangan dalam Realitas

Tawazun berarti keseimbangan, dan dalam kerangka ontologis Islam, ia mencerminkan struktur fundamental dari ciptaan Allah. Al-Qur’an menggambarkan alam semesta sebagai tatanan yang harmonis: “Wa al-samā’a rafa‘ahā wa waḍa‘a al-mīzān” (Dia meninggikan langit dan menetapkan keseimbangan) (QS. Ar-Rahman [55] ayat 7).⁶ Ayat ini menunjukkan bahwa keseimbangan adalah hukum ontologis semesta sekaligus prinsip moral manusia. Seperti halnya alam tunduk pada keseimbangan, manusia pun wajib menjaga keseimbangan dalam dimensi iman, amal, dan akhlak.

Fazlur Rahman memandang bahwa tawazun adalah manifestasi dari tauhid, karena pengakuan atas kesatuan Tuhan menuntut harmoni antara semua aspek kehidupan.⁷ Ketidakseimbangan, baik dalam tindakan individu maupun sistem sosial, mencerminkan disonansi terhadap keteraturan ilahi. Dengan demikian, tawazun mengandung makna eksistensial bahwa setiap tindakan manusia harus selaras dengan prinsip kesetimbangan universal.⁸ Dalam konteks sosial, tawazun juga menegaskan relasi yang adil antara hak dan kewajiban, individu dan komunitas, dunia dan akhirat.⁹

3.3.       Ontologi Tasamuh: Keberadaan yang Mengakui Liyan

Sementara itu, tasamuh (toleransi) memiliki dimensi ontologis yang lebih relasional. Ia lahir dari kesadaran bahwa keberadaan manusia bersifat plural dan saling terkait. Dalam kerangka teologis, pluralitas ini merupakan bagian dari kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Hujurat [49] ayat 13—“Waja‘alnākum syu‘ūban wa qabā’ila lita‘ārafū” (Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal).¹⁰ Ayat ini menunjukkan bahwa keragaman bukan ancaman terhadap kesatuan, melainkan wujud kehendak ilahi yang menuntut sikap saling menghargai.

Ontologinya terletak pada pengakuan terhadap “yang lain” (the Other) sebagai bagian dari eksistensi diri.¹¹ Dalam Islam, pengakuan ini bukan bentuk relativisme teologis, tetapi afirmasi terhadap kemanusiaan universal (al-insāniyyah al-kulliyyah).¹² Dalam praksis Nabi Muhammad Saw., tasamuh diwujudkan melalui penghormatan terhadap non-Muslim, perlindungan hak-hak mereka, serta interaksi sosial yang adil.¹³ Dengan demikian, tasamuh mencerminkan eksistensi yang sadar akan keterikatan ontologis antar-manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan.

3.4.       Kesatuan Ontologis Tawasuth, Tawazun, dan Tasamuh

Ketiga konsep ini saling melengkapi dalam membentuk sistem ontologis Islam. Tawasuth mengatur posisi eksistensial manusia di antara ekstrem, tawazun menegaskan harmoni dalam tatanan kosmik dan sosial, sedangkan tasamuh mengekspresikan kesadaran relasional terhadap keberagaman. Ketiganya bersama-sama membentuk ontologi moderasi Islam—sebuah tatanan keberadaan yang berakar pada tauhid dan berujung pada keadilan.¹⁴ Dalam pengertian ini, moderasi bukan sekadar sikap sosial, tetapi realisasi eksistensial dari tauhid dalam kehidupan manusia: keesaan Tuhan yang memancar menjadi keseimbangan, keadilan, dan kasih sayang di antara makhluk-Nya.¹⁵


Footnotes

[1]                Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006), 56.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88.

[3]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.

[4]                Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), 72.

[5]                Muhammad al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Salām, 2001), 41.

[6]                Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7.

[7]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994), 33–35.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 112.

[9]                M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 52.

[10]             Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat [49] ayat 13.

[11]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 91.

[12]             Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 44.

[13]             W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (Oxford: Oxford University Press, 1961), 213.

[14]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 17.

[15]             Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 39.


4.           Epistemologi: Sumber dan Metode Pemahaman

Kajian epistemologis terhadap tawasuth, tawazun, dan tasamuh menitikberatkan pada cara pengetahuan mengenai nilai-nilai tersebut diperoleh, divalidasi, dan dikembangkan dalam tradisi keilmuan Islam. Dalam konteks ini, epistemologi Islam berakar pada dua sumber utama: wahyu (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumber normatif dan akal (‘aql) sebagai instrumen interpretatif.¹ Relasi antara keduanya bersifat dialektis dan saling melengkapi. Wahyu menyediakan prinsip-prinsip kebenaran absolut, sementara akal berfungsi menafsirkan dan mengaktualisasikannya dalam konteks ruang dan waktu yang berubah.²

4.1.       Al-Qur’an sebagai Sumber Epistemologis Moderasi

Al-Qur’an menjadi sumber primer bagi pemahaman tawasuth, tawazun, dan tasamuh. Dalam kerangka epistemik, Al-Qur’an tidak hanya menyampaikan ajaran dogmatis, tetapi juga menuntun cara berpikir yang seimbang. Ayat seperti “Wa kadzālika ja‘alnākum ummatan wasathan” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143) membentuk fondasi epistemologis bahwa Islam menolak segala bentuk ekstremitas.³ Ayat ini menegaskan bahwa jalan tengah bukan kompromi rasional, melainkan prinsip ilahi yang menuntun akal agar tidak terjebak dalam dikotomi absolut antara iman dan rasionalitas.

Selain itu, Al-Qur’an memuat prinsip keseimbangan dalam struktur kosmik (tawazun) dan moral manusia. QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9 menjelaskan bahwa keseimbangan merupakan hukum dasar alam yang harus dijaga oleh manusia.⁴ Di sisi lain, nilai tasamuh diekspresikan melalui ayat-ayat yang menekankan kebebasan beragama dan penghormatan terhadap perbedaan, seperti QS. Al-Kafirun [109] ayat 6 — “Lakum dīnukum wa liya dīn” (Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku).⁵ Dengan demikian, epistemologi Al-Qur’an menempatkan moderasi sebagai struktur pengetahuan yang inheren dalam ajaran Islam, bukan sebagai respons sosial semata.

4.2.       Hadits sebagai Penjelas Praktis dan Empiris

Hadits Nabi Muhammad Saw. berperan sebagai sumber kedua yang memperjelas dimensi praktis dari nilai-nilai moderasi. Hadits “Khairul umuri awsatuha” (sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan) menjadi landasan etik dan epistemologis bagi konsep tawasuth.⁶ Nabi juga mengingatkan bahaya ekstremitas melalui sabdanya: “Iyyākum wa al-ghuluw fī al-dīn” (hindarilah berlebihan dalam beragama), yang menunjukkan bahwa keseimbangan bukan hanya ajaran moral, tetapi bentuk kebijaksanaan kognitif dalam memahami agama.⁷

Dalam aspek tasamuh, Rasulullah menunjukkan praksis epistemologis melalui dialog, keterbukaan, dan penghormatan terhadap non-Muslim. Piagam Madinah menjadi contoh konkret bagaimana prinsip toleransi dirumuskan bukan atas dasar kompromi teologis, melainkan hasil pemahaman mendalam terhadap maqāṣid al-syarī‘ah: menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.⁸ Dengan demikian, Hadits memperluas horizon epistemik Al-Qur’an dari dimensi normatif menuju dimensi aplikatif dan sosial.

4.3.       Rasionalitas dan Tafsir Maudhu‘i sebagai Metode

Metode tafsir maudhu‘i (tematik) menjadi pendekatan epistemologis yang paling relevan dalam memahami konsep tawasuth, tawazun, dan tasamuh. Melalui pendekatan ini, ayat-ayat yang tersebar di berbagai surah dihimpun dan dianalisis secara integratif untuk menemukan makna konseptual yang utuh.⁹ Quraish Shihab menekankan bahwa tafsir tematik memungkinkan penafsir untuk menangkap pola-pola kesatuan makna Al-Qur’an yang saling berhubungan dan kontekstual dengan dinamika kehidupan modern.¹⁰

Rasionalitas (‘aql) juga berperan penting dalam epistemologi moderasi Islam. Dalam pandangan al-Ghazālī, akal adalah anugerah Tuhan yang berfungsi untuk memahami syariat, bukan untuk menentangnya.¹¹ Dengan demikian, tawasuth dalam epistemologi berarti menjaga keseimbangan antara teks dan konteks, antara normativitas wahyu dan kebutuhan rasionalitas manusia. Pendekatan ini mencegah dua ekstrem: fundamentalisme tekstual yang menutup ruang tafsir dan relativisme rasional yang mengabaikan wahyu.¹²

4.4.       Integrasi Epistemologi Wahyu dan Akal

Integrasi antara wahyu dan akal menjadi puncak epistemologi Islam yang moderat. Fazlur Rahman menyebut pendekatan ini sebagai double movement—gerakan ganda antara teks dan konteks: memahami wahyu dalam konteks sejarahnya, lalu mengaplikasikannya dalam realitas kontemporer.¹³ Melalui gerak epistemik ini, nilai tawasuth, tawazun, dan tasamuh tidak hanya dipahami secara dogmatis, tetapi direaktualisasi secara dinamis sesuai maqāṣid al-syarī‘ah.

Seyyed Hossein Nasr menambahkan bahwa pengetahuan dalam Islam bersifat hierarkis dan integratif; sumbernya tidak hanya rasionalitas empiris, tetapi juga intuisi spiritual (‘ilm ladunnī).¹⁴ Karena itu, epistemologi Islam memandang pengetahuan sebagai bagian dari tatanan kosmik yang memancarkan kebenaran Ilahi. Dalam konteks ini, tawasuth adalah keseimbangan epistemik antara dimensi rasional dan spiritual; tawazun adalah keharmonisan antara ilmu dan amal; dan tasamuh adalah keterbukaan terhadap kebenaran universal tanpa kehilangan prinsip tauhid.¹⁵

Dengan demikian, epistemologi tawasuth, tawazun, dan tasamuh dalam Islam tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui kebenaran, tetapi juga bagaimana pengetahuan itu diorientasikan secara etis dan teologis. Ia mengajarkan bahwa kebenaran sejati hanya dapat diperoleh melalui keseimbangan antara wahyu, akal, dan hati; antara teks suci dan pengalaman manusia; serta antara ortodoksi dan keterbukaan terhadap pluralitas pengetahuan.¹⁶


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Islamic Texts Society, 1992), 19.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 115.

[3]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.

[4]                Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7–9.

[5]                Al-Qur’an, Surah Al-Kafirun [109] ayat 6.

[6]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Adab, Hadis no. 1368.

[7]                Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Manasik, Hadis no. 3029.

[8]                W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon Press, 1956), 232.

[9]                Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī (Kairo: Dār al-Hadith, 1997), 21–23.

[10]             M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005), 34.

[11]             Abu Hamid al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, vol. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 28.

[12]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 8.

[13]             Ibid., 7–8.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 71.

[15]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 31–33.

[16]             Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 47.


5.           Aksiologi: Nilai dan Tujuan Etis

Kajian aksiologis terhadap tawasuth, tawazun, dan tasamuh menyoroti nilai-nilai moral dan tujuan etis yang terkandung dalam ketiganya. Dalam filsafat Islam, aksiologi berhubungan erat dengan al-khayr (kebaikan) dan al-fadl (keutamaan) sebagai orientasi perbuatan manusia.¹ Nilai etis Islam tidak berdiri di atas relativisme moral, melainkan bersumber dari prinsip tauhid yang meniscayakan keseimbangan antara hubungan vertikal dengan Tuhan (ḥabl min Allāh) dan hubungan horizontal dengan manusia (ḥabl min al-nās).² Oleh karena itu, tawasuth, tawazun, dan tasamuh bukan sekadar pedoman perilaku, melainkan sistem nilai yang mengarahkan manusia menuju keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan universal.³

5.1.       Nilai Etis Tawasuth: Keadilan dan Proporsionalitas

Secara aksiologis, tawasuth mengandung nilai keadilan (al-‘adl) dan proporsionalitas dalam berpikir serta bertindak. Al-Qur’an memerintahkan, “Wa idzā qultum fa‘dilū walau kāna dzā qurba” (dan apabila kamu berkata, maka berlaku adillah, sekalipun terhadap kerabatmu sendiri) (QS. Al-An‘am [6] ayat 152).⁴ Nilai tawasuth mengarahkan manusia untuk bersikap seimbang antara kepentingan pribadi dan sosial, antara hak dan kewajiban, antara idealisme dan realitas.

Al-Ghazālī menjelaskan bahwa kebajikan tertinggi dalam akhlak adalah i‘tidāl, yaitu keseimbangan antara tiga kekuatan jiwa: akal, amarah, dan syahwat.⁵ Keadilan, dalam hal ini, muncul ketika ketiganya berfungsi secara harmonis di bawah kendali akal dan bimbingan wahyu. Dengan demikian, tawasuth merupakan manifestasi etis dari keadilan ontologis yang menjadi dasar tatanan moral Islam. Ia melatih manusia untuk menghindari sikap ekstrem dalam beragama maupun dalam berinteraksi sosial.⁶

5.2.       Nilai Etis Tawazun: Keseimbangan dan Keselarasan

Tawazun secara aksiologis merupakan prinsip keselarasan antara aspek spiritual dan material, individu dan komunitas, dunia dan akhirat. Al-Qur’an menegaskan, “Wabtaghi fīmā ātāka Allāh al-dār al-ākhirah wa lā tansa naṣībaka min al-dunyā” (carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, tetapi janganlah lupakan bagianmu di dunia) (QS. Al-Qashash [28] ayat 77).⁷ Ayat ini menegaskan nilai keseimbangan yang menolak asketisme ekstrem maupun materialisme pragmatis.

Dalam etika Islam, tawazun menuntut harmoni antara rasionalitas dan spiritualitas, serta antara kebebasan dan tanggung jawab moral.⁸ Fazlur Rahman menyatakan bahwa tawazun adalah struktur nilai yang memastikan keteraturan sosial dan keberlanjutan moral umat manusia.⁹ Melalui keseimbangan inilah manusia dapat menjaga maqāṣid al-syarī‘ah—yakni perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—sebagai tujuan etis dari hukum Islam.¹⁰ Dalam pengertian ini, tawazun berfungsi sebagai jembatan aksiologis antara keadilan individu dan keadilan sosial, antara kebaikan moral dan kemaslahatan publik.¹¹

5.3.       Nilai Etis Tasamuh: Penghormatan, Empati, dan Cinta Kasih

Nilai tasamuh merupakan ekspresi etis dari kesadaran teologis terhadap keragaman manusia. Islam mengajarkan bahwa perbedaan merupakan kehendak ilahi yang mengandung hikmah bagi peradaban. QS. Al-Hujurat [49] ayat 13 menegaskan bahwa tujuan perbedaan adalah saling mengenal, bukan saling meniadakan.¹² Dalam konteks etika sosial, tasamuh menjadi dasar bagi penghormatan, empati, dan solidaritas kemanusiaan lintas agama dan budaya.¹³

Nabi Muhammad Saw. memperlihatkan nilai tasamuh dalam berbagai peristiwa historis, seperti ketika beliau menerima utusan Nasrani Najran di Masjid Nabawi tanpa menolak ibadah mereka di dalam masjid.¹⁴ Sikap ini menunjukkan bahwa toleransi bukan bentuk kelemahan iman, tetapi kekuatan moral yang berpijak pada keyakinan akan kasih sayang Tuhan (rahmah).¹⁵ Dalam kerangka aksiologis, tasamuh mengajarkan keseimbangan antara komitmen terhadap kebenaran dan keterbukaan terhadap perbedaan.¹⁶

5.4.       Tujuan Etis: Menuju Kemaslahatan dan Humanisme Ilahi

Tujuan akhir dari tawasuth, tawazun, dan tasamuh adalah terwujudnya maslahah (kebaikan universal) dan rahmah (kasih sayang ilahi) dalam kehidupan manusia.¹⁷ Nilai-nilai tersebut membentuk dasar bagi etika humanistik Islam yang menekankan bahwa kesalehan tidak hanya diukur dari hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dari kontribusi terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan sesama.¹⁸

Dalam paradigma ini, tawasuth memastikan proporsionalitas dalam pengambilan keputusan moral; tawazun menjamin keberlanjutan nilai dalam relasi sosial dan ekologi; dan tasamuh memperluas cakrawala moral menuju penghargaan terhadap martabat manusia.¹⁹ Azyumardi Azra menyebut ketiganya sebagai inti “etika kebangsaan Islam” yang menegaskan bahwa keberagamaan sejati harus melahirkan kedamaian dan keadaban publik.²⁰

Dengan demikian, secara aksiologis, ketiga nilai ini membentuk fondasi etika integral Islam: suatu sistem nilai yang berakar pada tauhid, berorientasi pada keadilan, dan bermuara pada kemanusiaan. Moderasi, keseimbangan, dan toleransi bukan hanya instrumen moral, tetapi juga tujuan etis tertinggi dalam mengaktualisasikan ajaran rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan manusia dan masyarakat.²¹


Footnotes

[1]                Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006), 89.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 132.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 99.

[4]                Al-Qur’an, Surah Al-An‘am [6] ayat 152.

[5]                Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), 81.

[6]                Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 52.

[7]                Al-Qur’an, Surah Al-Qashash [28] ayat 77.

[8]                Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1897), 86.

[9]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994), 77.

[10]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 29.

[11]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 55.

[12]             Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat [49] ayat 13.

[13]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 102.

[14]             W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (Oxford: Oxford University Press, 1961), 215.

[15]             Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 211.

[16]             Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005), 213.

[17]             Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya [21] ayat 107.

[18]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 119.

[19]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 75.

[20]             Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 211.

[21]          Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 83.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Pendidikan

Konsep tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) bukan hanya bernilai teologis dan moral, tetapi juga memiliki dimensi sosial, politik, dan pendidikan yang luas. Ketiganya membentuk fondasi bagi tatanan masyarakat Islam yang berkeadaban (madaniyah), yang menolak segala bentuk ekstremisme, kekerasan, dan eksklusivisme.¹ Dalam konteks kehidupan modern, nilai-nilai ini menjadi landasan etika sosial yang menjembatani antara idealisme keagamaan dan realitas pluralitas, serta menjadi mekanisme epistemologis dalam menciptakan perdamaian dan keadilan sosial.²

6.1.       Dimensi Sosial: Moderasi sebagai Basis Kehidupan Bermasyarakat

Secara sosial, tawasuth, tawazun, dan tasamuh berfungsi sebagai prinsip harmonisasi hubungan antarmanusia. Masyarakat yang berlandaskan nilai tawasuth akan mengedepankan keadilan, solidaritas, dan empati sosial. Al-Qur’an menegaskan, “Inna Allāha ya’muru bi al-‘adli wa al-iḥsān” (Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan) (QS. An-Nahl [16] ayat 90).³ Nilai ini mendorong terciptanya masyarakat yang seimbang—tidak berlebihan dalam menuntut hak dan tidak lalai dalam memenuhi kewajiban.

Konsep tawazun juga menuntut keadilan struktural dalam kehidupan sosial. Ia mengajarkan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif, antara hak minoritas dan hak mayoritas.⁴ Dalam konteks masyarakat multikultural seperti Indonesia, nilai tasamuh menjadi fondasi untuk membangun budaya toleransi yang menghormati perbedaan etnis, agama, dan pandangan hidup.⁵ Azyumardi Azra menyebut bahwa pluralitas sosial di Nusantara dapat tetap terjaga karena internalisasi nilai moderasi Islam dalam struktur sosial masyarakat Muslim Indonesia.⁶

Selain itu, praktik sosial Nabi Muhammad Saw. di Madinah menjadi paradigma historis bagi etika moderasi sosial. Melalui Mitsaq al-Madinah, Nabi menegakkan tatanan sosial yang berbasis pada hak setara, keadilan, dan perlindungan bagi seluruh warga tanpa diskriminasi agama.⁷ Prinsip ini menegaskan bahwa moderasi bukan sekadar sikap moral, melainkan basis konstitusional masyarakat Islam yang menjamin ukhuwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).⁸

6.2.       Dimensi Politik: Keadilan dan Keseimbangan Kekuasaan

Dalam ranah politik, tawasuth dan tawazun menjadi prinsip etika kekuasaan dan tata kelola pemerintahan. Politik Islam tidak menghendaki dominasi atau penindasan, melainkan keseimbangan antara otoritas dan partisipasi, antara kepemimpinan dan keadilan.⁹ Al-Qur’an menegaskan prinsip syura (musyawarah) sebagai mekanisme demokratis dalam pengambilan keputusan: “Wa amruhum syūrā bainahum” (dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka) (QS. Asy-Syura [42] ayat 38).¹⁰

Dalam kerangka tawazun, kekuasaan dipahami sebagai amanah yang harus digunakan untuk mewujudkan kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.¹¹ Ibn Khaldun menegaskan bahwa keadilan adalah “asas peradaban,” dan kehancuran suatu negara terjadi ketika keseimbangan kekuasaan digantikan oleh tirani.¹² Nilai tasamuh dalam politik menuntut keterbukaan dan penghormatan terhadap oposisi serta kebebasan berpendapat yang konstruktif.¹³ Dengan demikian, moderasi politik dalam Islam bukanlah kompromi ideologis, tetapi realisasi prinsip maqāṣid al-syarī‘ah dalam tata pemerintahan: keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan sosial.¹⁴

Dalam konteks Indonesia, tawasuth menjadi landasan penting bagi integrasi antara Islam dan Pancasila.¹⁵ Islam moderat menolak politisasi agama yang eksklusif sekaligus menghindari sekularisme yang menyingkirkan agama dari ruang publik.¹⁶ Melalui prinsip tawazun, Islam di Indonesia mampu berperan sebagai kekuatan moral yang menyeimbangkan kepentingan agama dan negara, serta memperkuat demokrasi berbasis etika spiritual.¹⁷

6.3.       Dimensi Pendidikan: Pembentukan Karakter Moderat

Dimensi pendidikan merupakan kunci strategis dalam menanamkan nilai-nilai tawasuth, tawazun, dan tasamuh secara sistemik. Dalam tradisi Islam, pendidikan (tarbiyah) tidak hanya berfungsi mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk kepribadian seimbang antara akal, moral, dan spiritual.¹⁸ Al-Ghazālī menekankan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah tahdzīb al-nafs—penyucian jiwa—yang melahirkan manusia berakhlak adil dan moderat.¹⁹

Dalam konteks modern, pendidikan moderasi Islam diarahkan untuk membangun karakter pelajar yang berpikir kritis, terbuka terhadap perbedaan, dan menolak kekerasan ideologis.²⁰ Lembaga pendidikan Islam (madrasah, pesantren, universitas Islam) memiliki peran strategis dalam mengintegrasikan nilai-nilai wasathiyyah ke dalam kurikulum dan budaya sekolah.²¹ Yusuf al-Qaradawi menyarankan bahwa pendidikan Islam harus menekankan tiga aspek keseimbangan: antara ilmu dan amal, antara dunia dan akhirat, serta antara individu dan masyarakat.²²

Selain itu, pendidikan tasamuh menjadi sarana penting dalam membentuk kesadaran multikultural.²³ Melalui dialog lintas iman, kerja sama sosial, dan kegiatan keagamaan inklusif, peserta didik diajak memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman.²⁴ Pendidikan moderasi juga berperan dalam membangun civil society yang berkeadaban dan demokratis, sebagaimana ditunjukkan dalam praksis sosial Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Indonesia.²⁵

Dengan demikian, dimensi sosial, politik, dan pendidikan dari tawasuth, tawazun, dan tasamuh saling terkait dalam membentuk sistem nilai Islam yang integral. Ketiganya meneguhkan bahwa moderasi bukan hanya doktrin moral, tetapi juga paradigma sosial-politik dan strategi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan masyarakat adil, damai, dan beradab.²⁶


Footnotes

[1]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 67.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 134.

[3]                Al-Qur’an, Surah An-Nahl [16] ayat 90.

[4]                M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 73.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 301.

[6]                Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 124.

[7]                W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon Press, 1956), 229–232.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 52.

[9]                Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 104.

[10]             Al-Qur’an, Surah Asy-Syura [42] ayat 38.

[11]             Rashid Rida, Tafsīr al-Manār, vol. 4 (Kairo: Dār al-Manār, 1947), 58.

[12]             Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, vol. 1 (Beirut: Dār al-Fikr, 2004), 253.

[13]             Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 49.

[14]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 95.

[15]             Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 63.

[16]             Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 211.

[17]             Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Islamisme (Jakarta: Paramadina, 2011), 177.

[18]             Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education (Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), 37.

[19]             Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), 105.

[20]             Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005), 228.

[21]             Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Logos, 2001), 92.

[22]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 71.

[23]             Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York: HarperOne, 2008), 116.

[24]             John L. Esposito, The Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2010), 145.

[25]             Ahmad Najib Burhani, Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (Jakarta: Gramedia, 2019), 201.

[26]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 98.


7.           Dimensi Ilmiah dan Interdisipliner

Kajian tentang tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) tidak dapat dibatasi pada wilayah teologis dan moral semata, melainkan memiliki implikasi luas dalam ranah keilmuan dan interdisipliner. Ketiga konsep ini merepresentasikan paradigma epistemik Islam yang menyatukan antara iman dan ilmu, wahyu dan rasionalitas, serta antara nilai spiritual dan praksis sosial.¹ Dengan demikian, pendekatan interdisipliner menjadi niscaya agar nilai-nilai moderasi Islam dapat diterjemahkan ke dalam berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, psikologi, politik, pendidikan, dan studi perdamaian.²

7.1.       Perspektif Ilmu Sosial: Moderasi sebagai Sistem Sosial dan Kultural

Dalam ilmu sosiologi, tawasuth, tawazun, dan tasamuh dipahami sebagai sistem nilai yang menopang kohesi sosial dan stabilitas masyarakat. Émile Durkheim menegaskan bahwa agama berfungsi sebagai kekuatan integratif yang mengikat individu dalam tatanan moral kolektif.³ Dalam konteks Islam, fungsi integratif itu diwujudkan melalui nilai wasathiyyah yang menjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan, antara konservatisme dan progresivisme.

Nilai tasamuh memperkuat pluralisme sosial dengan mengajarkan pengakuan terhadap perbedaan tanpa kehilangan identitas keagamaan.⁴ Hal ini sejalan dengan teori pluralisme sosial yang dikemukakan oleh Peter L. Berger, di mana toleransi menjadi prasyarat bagi keberlanjutan masyarakat majemuk.⁵ Sementara itu, tawazun berfungsi sebagai “mekanisme sosial” yang menstabilkan relasi antara kekuatan agama dan negara, serta antara kepentingan individu dan masyarakat.⁶ Dalam perspektif ini, moderasi Islam bukan hanya etika individual, melainkan paradigma sosial yang berorientasi pada keseimbangan sistemik.

7.2.       Perspektif Psikologis: Keseimbangan Jiwa dan Etika Empati

Dalam psikologi moral, nilai tawasuth dan tawazun mencerminkan prinsip keseimbangan emosi dan rasionalitas dalam pembentukan kepribadian.⁷ Manusia moderat adalah individu yang mampu mengendalikan dorongan ekstrem antara agresivitas dan pasivitas, antara fanatisme dan apatisme.⁸ Dalam kerangka psikologi Islam, keseimbangan ini berkaitan dengan teori al-nafs al-muṭma’innah—jiwa yang tenang karena mencapai harmoni antara potensi akal, hati, dan nafsu.⁹

Tasamuh dalam perspektif psikologi sosial menjadi dasar bagi empati dan keterbukaan terhadap kelompok lain. Carl Rogers menjelaskan bahwa empati merupakan salah satu unsur utama kepribadian sehat yang memungkinkan manusia memahami orang lain tanpa kehilangan integritas diri.¹⁰ Dalam konteks Islam, empati dan toleransi tidak hanya bernilai moral, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme psikologis yang memperkuat ukhuwah insaniyyah.¹¹ Dengan demikian, nilai-nilai tawasuth, tawazun, dan tasamuh mendukung pembentukan kesehatan mental kolektif dan individu dalam masyarakat multikultural.

7.3.       Perspektif Filsafat dan Etika: Integrasi Akal dan Wahyu

Dari sudut pandang filsafat moral, tawasuth, tawazun, dan tasamuh merepresentasikan integrasi antara etika rasional dan etika teonom. Dalam etika Aristotelian, kebajikan terletak pada “jalan tengah” (golden mean) antara dua ekstrem moral.¹² Islam mengadopsi prinsip serupa, tetapi menempatkannya dalam kerangka teologis: jalan tengah bukan hasil relativisme moral, melainkan wujud keadilan ilahi yang menjadi teladan bagi perilaku manusia.¹³

Dalam perspektif Islam, akal (‘aql) berfungsi menalar wahyu agar manusia dapat mengekspresikan nilai keadilan dan kasih sayang dalam tindakan konkret. Al-Ghazālī menegaskan bahwa akal adalah “cahaya” yang memandu syariat, sementara syariat adalah “matahari” yang menerangi akal.¹⁴ Dengan demikian, hubungan antara rasionalitas dan wahyu bersifat koheren, bukan antagonistik.

Seyyed Hossein Nasr menambahkan bahwa integrasi ini melahirkan epistemologi tauhidik—pandangan ilmu yang mempersatukan realitas fisik, intelektual, dan spiritual di bawah kesatuan Ilahi.¹⁵ Dalam kerangka ini, tawasuth menjadi ekspresi intelektual dari tauhid; tawazun mewakili keteraturan kosmik; dan tasamuh merupakan manifestasi etik dari cinta Ilahi yang menembus batas agama dan budaya.¹⁶

7.4.       Perspektif Interdisipliner Kontemporer: Moderasi Islam dalam Ilmu dan Peradaban

Dalam paradigma ilmu kontemporer, wasathiyyah dapat berfungsi sebagai prinsip interdisipliner yang mengintegrasikan sains dan humaniora. Islam menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu duniawi, karena keduanya merupakan jalan menuju kebenaran Ilahi.¹⁷ Fazlur Rahman menegaskan bahwa pembaruan ilmu dalam Islam harus berlandaskan ijtihad epistemologis yang moderat—yakni berpijak pada wahyu, tetapi terbuka terhadap penemuan empiris dan rasional.¹⁸

Dalam studi lingkungan dan teknologi, nilai tawazun menjadi kerangka etis bagi ekologi Islam, menuntut keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam.¹⁹ Sedangkan dalam studi perdamaian (peace studies), tasamuh menjadi dasar dialog antaragama dan diplomasi kultural untuk mencegah konflik berbasis identitas.²⁰ Dengan demikian, moderasi Islam tidak berhenti pada ranah moral atau teologis, tetapi juga menjadi paradigma ilmiah yang menghubungkan pengetahuan, nilai, dan kemaslahatan.²¹

Melalui pendekatan interdisipliner, tawasuth, tawazun, dan tasamuh membentuk paradigma ilmu yang humanistik dan integral—paradigma yang memandang manusia sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual, individu sekaligus sosial, pencari kebenaran sekaligus penjaga keseimbangan.²² Dengan demikian, moderasi Islam adalah jembatan antara ilmu dan nilai, antara sains dan spiritualitas, serta antara pengetahuan dan kebijaksanaan.²³


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1991), 14.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 85.

[3]                Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, trans. Karen Fields (New York: Free Press, 1995), 432.

[4]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 78.

[5]                Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967), 154.

[6]                M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 94.

[7]                Al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), 89.

[8]                A. H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 211.

[9]                Malik Badri, The Dilemma of Muslim Psychologists (London: MWH London, 1979), 58.

[10]             Carl R. Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton Mifflin, 1961), 37.

[11]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 103.

[12]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), 42.

[13]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994), 81.

[14]             Al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, vol. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 29.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 122.

[16]             Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 146.

[17]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ABIM, 1978), 124.

[18]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 18.

[19]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 77.

[20]             John L. Esposito and Dalia Mogahed, Who Speaks for Islam? What a Billion Muslims Really Think (New York: Gallup Press, 2007), 166.

[21]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 112.

[22]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2003), 91.

[23]             Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Logos, 2001), 104.


8.           Kritik dan Tantangan Konseptual

Konsep tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) dalam Islam, meskipun memiliki landasan teologis yang kuat dan relevansi universal, tidak luput dari kritik dan tantangan konseptual, baik dari kalangan internal umat Islam sendiri maupun dari para pemikir modern. Kritik tersebut terutama berkaitan dengan persoalan ambiguitas konseptual, potensi penyalahgunaan politik, serta tantangan epistemologis dan praksis dalam penerapannya di tengah dinamika sosial kontemporer.¹

8.1.       Kritik Internal: Ambiguitas dan Reduksi Makna Moderasi

Dari sisi internal, sebagian ulama dan intelektual Muslim mengingatkan bahwa istilah wasathiyyah kerap disalahpahami sebagai sikap kompromistis yang mengaburkan prinsip kebenaran.² Dalam pengertian teologis, tawasuth tidak berarti “setengah-setengah” antara benar dan salah, tetapi keadilan (‘adl) dan proporsionalitas dalam menimbang nilai.³ Namun, dalam praktik sosial-politik, istilah moderasi sering direduksi menjadi slogan moral tanpa kedalaman epistemik.

Ibn Taymiyyah mengingatkan bahwa jalan tengah bukan berarti netralitas pasif, melainkan istiqamah terhadap kebenaran tanpa melampaui batas (ghuluw) atau meremehkan syariat (tafrīṭ).⁴ Ia menolak tafsir “moderat” yang mengorbankan prinsip aqidah demi kompromi sosial. Kritik serupa juga muncul dari sebagian cendekiawan kontemporer seperti Abu Hasan al-Nadwi, yang menilai bahwa “Islam moderat” berpotensi mengarah pada sekularisasi nilai jika tidak disandarkan pada tauhid.⁵

Ambiguitas ini juga tampak dalam penggunaan istilah tawazun. Dalam beberapa konteks, keseimbangan ditafsirkan secara pragmatis, sehingga nilai-nilai fundamental Islam kehilangan arah moralnya.⁶ Dalam hal ini, tawazun seharusnya tidak berarti mencari titik tengah secara politis, tetapi menjaga keserasian antara dimensi dunia dan akhirat, akal dan wahyu, kebebasan dan tanggung jawab.⁷

8.2.       Kritik Eksternal: Moderasi dan Tantangan Epistemologis

Dari perspektif filsafat modern dan teori sosial, muncul kritik bahwa konsep moderasi Islam masih bersifat normatif dan belum memiliki metodologi epistemologis yang sistematis. Fazlur Rahman, misalnya, menilai bahwa banyak diskursus tentang moderasi hanya menekankan aspek moral tanpa mengembangkan struktur pengetahuan yang mampu menjawab tantangan modernitas.⁸ Moderasi yang tidak disertai pembaruan epistemologi berisiko terjebak dalam moralitas simbolik yang tidak efektif dalam menghadapi krisis sosial dan teknologi.

Selain itu, sebagian sarjana Barat menilai bahwa tawasuth dan tasamuh sering dimanfaatkan sebagai strategi “self-presentation” politik umat Islam dalam menghadapi wacana globalisasi dan Islamofobia.⁹ Dalam konteks ini, konsep moderasi menjadi alat representasi yang menenangkan pihak luar, tetapi kurang menyentuh akar problem sosial internal umat Islam sendiri, seperti ketimpangan, korupsi, dan krisis pendidikan.¹⁰

Kritik epistemologis juga datang dari pendekatan postmodernis yang menolak universalitas moral. Mereka berargumen bahwa moderasi adalah konstruksi sosial yang bersifat kontekstual, sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai prinsip absolut.¹¹ Namun, dalam perspektif Islam, nilai tawasuth dan tawazun justru berakar pada tauhid yang bersifat universal dan abadi, sekaligus fleksibel terhadap konteks historis.¹²

8.3.       Tantangan Praksis: Polarisasi Ideologi dan Krisis Digital

Tantangan utama dalam penerapan nilai-nilai moderasi dewasa ini adalah polarisasi ideologis dan disinformasi di ruang publik digital.¹³ Media sosial telah menjadi arena baru di mana ekstremisme, ujaran kebencian, dan simplifikasi ajaran agama berkembang pesat. Nilai tasamuh sering disalahartikan sebagai kelemahan, sedangkan tawasuth dituduh sebagai bentuk “ketidakjelasan sikap.”¹⁴

Dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi oleh politik identitas, penerapan tawazun menjadi semakin sulit. Satu pihak menuduh moderasi sebagai bentuk kompromi terhadap prinsip keislaman, sementara pihak lain menuduhnya sebagai bentuk konservatisme yang lembut.¹⁵ Akibatnya, nilai-nilai keseimbangan yang sejatinya bersifat integratif justru terjebak dalam polarisasi semantik dan ideologis.

Fenomena ini menuntut reinterpretasi konseptual agar wasathiyyah dapat diaktualisasikan dalam bentuk praksis sosial yang transformatif.¹⁶ Moderasi Islam tidak cukup dipahami sebagai ide normatif, tetapi harus diwujudkan dalam struktur sosial, kebijakan publik, dan pendidikan yang mendukung keterbukaan, keadilan, serta literasi digital yang etis.¹⁷

8.4.       Tantangan Filosofis: Batas Antara Toleransi dan Relativisme

Tantangan filosofis terbesar dalam tasamuh adalah menjaga keseimbangan antara penghormatan terhadap perbedaan dan komitmen terhadap kebenaran. Seyyed Hossein Nasr memperingatkan bahwa toleransi sejati tidak sama dengan relativisme moral; ia memerlukan keyakinan terhadap kebenaran transenden yang menjadi dasar penghormatan terhadap yang lain.¹⁸ Jika toleransi dipisahkan dari spiritualitas dan prinsip ilahi, ia berisiko menjadi sikap permisif tanpa arah moral.¹⁹

Oleh karena itu, tasamuh dalam Islam harus dipahami sebagai rahmah muqayyadah—kasih sayang yang terikat oleh nilai tauhid dan keadilan.²⁰ Prinsip ini membedakan toleransi Islam dari relativisme liberal yang meniadakan standar moral universal. Islam mengajarkan keterbukaan terhadap perbedaan, tetapi menolak nihilisme nilai. Dengan demikian, kritik terhadap tawasuth, tawazun, dan tasamuh justru memperkaya wacana etis Islam agar tetap dinamis, reflektif, dan kontekstual.²¹

8.5.       Arah Rekonstruksi: Menuju Moderasi yang Kritis dan Transformatif

Menghadapi kritik dan tantangan tersebut, sejumlah pemikir Muslim kontemporer menyerukan perlunya rekonstruksi konseptual moderasi Islam. Tariq Ramadan, misalnya, menegaskan bahwa moderasi sejati tidak cukup berhenti pada keseimbangan moral, tetapi harus berwujud dalam ethical engagement—yakni keterlibatan etis yang aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan ekologis.²²

Rekonstruksi ini menuntut pendekatan interdisipliner yang memadukan teologi, filsafat, dan ilmu sosial.²³ Dengan cara itu, tawasuth, tawazun, dan tasamuh dapat bertransformasi dari slogan moral menjadi kerangka etik yang aplikatif, kritis, dan kontekstual dalam membangun masyarakat beradab.²⁴


Footnotes

[1]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 81.

[2]                M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 59.

[3]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.

[4]                Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 11 (Riyadh: Maktabah al-Riyāḍ, 1995), 19.

[5]                Abu Hasan al-Nadwi, Mādzā Khasira al-‘Ālam bi Inḥiṭāṭ al-Muslimīn (Kairo: Dār al-Nashr al-Islāmī, 1950), 75.

[6]                Rashid Rida, Tafsīr al-Manār, vol. 4 (Kairo: Dār al-Manār, 1947), 58.

[7]                Al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), 78.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–16.

[9]                John L. Esposito, The Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2010), 142.

[10]             Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York: HarperOne, 2008), 117.

[11]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, trans. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 56.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 128.

[13]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 219.

[14]             Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 254.

[15]             Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Islamisme (Jakarta: Paramadina, 2011), 183.

[16]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 104.

[17]             Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005), 226.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 165.

[19]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 92.

[20]             Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya [21] ayat 107.

[21]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 139.

[22]             Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 105.

[23]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2003), 97.

[24]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994), 84.


9.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks global yang ditandai oleh krisis kemanusiaan, konflik ideologis, dan disrupsi digital, nilai-nilai tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) semakin menemukan relevansi strategisnya. Islam dengan prinsip wasathiyyah tidak hanya menawarkan solusi etis bagi persoalan internal umat, tetapi juga menyediakan paradigma universal untuk membangun peradaban global yang damai, adil, dan berkeadaban.¹ Ketiga konsep tersebut bukan lagi sekadar ideal moral, melainkan kebutuhan historis untuk menghadapi realitas modern yang kompleks dan ambivalen.²

9.1.       Relevansi dalam Konteks Global dan Antaragama

Dalam era globalisasi, dunia menghadapi meningkatnya ketegangan antaragama dan radikalisasi berbasis identitas. Nilai tasamuh menjadi sangat penting sebagai etika lintas agama yang meneguhkan dialog, bukan dominasi.³ Rasulullah Saw. telah menunjukkan teladan pluralisme konstruktif dalam Piagam Madinah—menjamin hak-hak non-Muslim dan menegakkan keadilan universal tanpa memaksakan keyakinan.⁴ Prinsip ini kini menjadi model yang dapat diterapkan dalam hubungan antaragama di dunia kontemporer yang sarat polarisasi.

Tokoh-tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa tasamuh harus dipahami sebagai ekspresi spiritualitas yang menghormati kebenaran transenden di setiap agama.⁵ Dalam perspektif filsafat perenial, toleransi Islam bukan relativisme, melainkan bentuk pengakuan akan keberagaman manifestasi kebenaran Ilahi.⁶ Maka, tasamuh menjadi jalan menuju peaceful coexistence dan interfaith cooperation dalam tatanan global yang semakin plural.

Sementara itu, tawasuth dan tawazun dapat menjadi paradigma etis dalam diplomasi dan hubungan internasional.⁷ Moderasi Islam mendorong dialog antarperadaban, sebagaimana dikembangkan oleh pemikir seperti Tariq Ramadan dan Azyumardi Azra, yang melihat moderasi sebagai soft power budaya untuk menolak ekstremisme, baik dalam bentuk kekerasan ideologis maupun hegemoni politik global.⁸

9.2.       Relevansi dalam Konteks Sosial dan Politik Nasional

Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai tawasuth, tawazun, dan tasamuh memiliki peran krusial dalam menjaga kebinekaan dan memperkuat kohesi sosial. Islam Nusantara, yang diusung oleh ormas seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, merupakan ekspresi historis dari penerapan moderasi Islam dalam realitas sosial yang majemuk.⁹ Azyumardi Azra menyebutnya sebagai “Islam yang berperadaban” (civil Islam), yaitu Islam yang hidup berdampingan secara harmonis dalam kerangka Pancasila dan demokrasi.¹⁰

Nilai tawasuth mendorong umat Islam untuk berperan sebagai penjaga keseimbangan moral di tengah dinamika politik yang sering kali diwarnai polarisasi identitas.¹¹ Dalam hal ini, moderasi tidak berarti pasif, tetapi aktif menjaga prinsip keadilan dan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah). Tawazun berperan menjaga hubungan proporsional antara agama dan negara, menghindari baik ekstremisme teokratis maupun sekularisme radikal.¹² Sedangkan tasamuh menumbuhkan kesadaran bahwa keberagaman adalah kekuatan spiritual bangsa, bukan ancaman terhadap identitas keagamaan.¹³

Fenomena sosial kontemporer menunjukkan urgensi penguatan etika moderasi, terutama di era pasca-kebenaran (post-truth) dan polarisasi media digital.¹⁴ Nilai tawasuth dapat menjadi panduan moral untuk menegakkan etika komunikasi publik yang rasional dan empatik, menghindarkan umat dari provokasi, disinformasi, dan ujaran kebencian.¹⁵

9.3.       Relevansi dalam Dunia Pendidikan dan Kebudayaan

Di bidang pendidikan, tawasuth, tawazun, dan tasamuh berfungsi sebagai nilai dasar pembentukan karakter kebangsaan dan keislaman. Pendidikan moderasi berperan menumbuhkan kecerdasan moral dan spiritual yang seimbang antara iman, ilmu, dan amal.¹⁶ Melalui kurikulum berbasis wasathiyyah, peserta didik didorong untuk berpikir kritis, terbuka terhadap perbedaan, dan menjauhi radikalisme.¹⁷

Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa moderasi harus diajarkan sebagai prinsip integral dalam sistem pendidikan Islam agar generasi muda tidak terjebak pada ekstremisme pemikiran atau materialisme modern.¹⁸ Sementara Quraish Shihab menambahkan bahwa pendidikan moderasi harus menyentuh dimensi budaya, melalui dakwah yang santun, literasi digital, dan pelestarian nilai-nilai keindonesiaan yang inklusif.¹⁹

Dalam dimensi kebudayaan, tasamuh menjadi dasar etika estetik Islam yang menghargai perbedaan ekspresi seni dan tradisi. Islam moderat menolak puritanisme kultural yang menafikan kreativitas, sekaligus menghindari liberalisme kultural yang tanpa batas.²⁰ Tawazun dalam seni dan budaya melahirkan harmoni antara keindahan dan moralitas, antara inovasi dan tradisi.²¹ Dengan demikian, moderasi Islam dapat membangun peradaban yang berakar pada nilai ilahi, tetapi terbuka terhadap dinamika kemanusiaan.

9.4.       Relevansi dalam Era Digital dan Ekologi Global

Dalam era digital, tawasuth menjadi etika baru dalam bermedia.²² Islam moderat mengajarkan literasi digital yang berkeadaban: menggunakan teknologi secara seimbang, etis, dan bertanggung jawab. Tasamuh menjadi prinsip dasar dalam komunikasi daring, mendorong penghormatan terhadap perbedaan pandangan dan menolak ujaran kebencian.²³

Di sisi lain, krisis ekologi global menuntut aktualisasi tawazun dalam hubungan manusia dengan alam.²⁴ Islam menegaskan prinsip keseimbangan ekologis dalam QS. Ar-Rahman [55] ayat 7–9, bahwa keseimbangan semesta harus dijaga sebagai amanah.²⁵ Konsep tawazun ekologis ini memberikan dasar etis bagi paradigma pembangunan berkelanjutan yang selaras dengan maqāṣid al-syarī‘ah: menjaga kehidupan (ḥifẓ al-nafs) dan keturunan (ḥifẓ al-nasl).²⁶

Dengan demikian, relevansi tawasuth, tawazun, dan tasamuh dalam era kontemporer bersifat multidimensional. Ia bukan sekadar seruan moral, tetapi strategi etis dan kultural untuk menghadapi tantangan zaman: ekstremisme, disrupsi digital, degradasi moral, dan krisis ekologi.²⁷ Ketiganya menawarkan paradigma Islam yang inklusif, dinamis, dan humanistik—suatu bentuk spiritualitas aktif yang menegakkan keadilan dan kasih sayang universal di tengah dunia yang terbelah.²⁸


Footnotes

[1]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 93.

[2]                M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 61.

[3]                John L. Esposito and Dalia Mogahed, Who Speaks for Islam? What a Billion Muslims Really Think (New York: Gallup Press, 2007), 145.

[4]                W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon Press, 1956), 229–232.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 172.

[6]                Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 130.

[7]                Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 118.

[8]                Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Islamisme (Jakarta: Paramadina, 2011), 191.

[9]                Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 83.

[10]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 143.

[11]             Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 303.

[12]             Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 215.

[13]             Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005), 238.

[14]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 221.

[15]             Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York: HarperOne, 2008), 127.

[16]             Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Jakarta: Logos, 2001), 105.

[17]             Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī (Kairo: Dār al-Hadith, 1997), 25.

[18]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 101.

[19]             Quraish Shihab, Wasathiyyah, 74.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany: SUNY Press, 1987), 92.

[21]             Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006), 91.

[22]             John L. Esposito, The Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2010), 148.

[23]             Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 214.

[24]             Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 1992), 31.

[25]             Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7–9.

[26]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 115.

[27]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 96.

[28]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 101.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Etika Moderasi Islam yang Integral dan Humanistik

Sintesis filosofis terhadap konsep tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) menuntun pada pemahaman bahwa ketiganya tidak berdiri sebagai gagasan etis yang terpisah, melainkan membentuk satu kesatuan sistem nilai yang integral dalam etika Islam. Secara filosofis, ketiga prinsip ini merepresentasikan harmoni antara dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis ajaran Islam.¹ Etika moderasi Islam bukan sekadar etika praktis, melainkan etika transendental-humanistik yang menjembatani hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam.²

10.1.    Sintesis Ontologis: Moderasi sebagai Struktur Keberadaan Islami

Secara ontologis, tawasuth, tawazun, dan tasamuh merupakan refleksi langsung dari realitas tauhid. Dalam pandangan metafisika Islam, seluruh eksistensi tunduk pada prinsip keseimbangan kosmik yang diatur oleh kehendak Ilahi: “Wa al-samā’a rafa‘ahā wa waḍa‘a al-mīzān” (Dia meninggikan langit dan menetapkan keseimbangan) (QS. Ar-Rahman [55] ayat 7).³ Dengan demikian, keseimbangan bukan hanya norma moral, tetapi struktur ontologis dari ciptaan.

Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa tauhid memuat konsekuensi ontologis berupa kesatuan antara yang rasional, spiritual, dan material.⁴ Dari sini, tawasuth merupakan ekspresi eksistensial manusia untuk hidup selaras dengan keseimbangan semesta; tawazun menjadi prinsip keberadaan yang mengatur keteraturan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam; sedangkan tasamuh menandai kesadaran akan keterikatan ontologis antar-manusia sebagai makhluk Tuhan yang setara dalam martabat.⁵

Dengan demikian, moderasi Islam memiliki dasar ontologis yang kuat: ia bukan konstruksi sosial semata, tetapi manifestasi dari keteraturan Ilahi (al-niẓām al-ilāhī) yang mengalir dalam realitas wujud.⁶ Dalam kerangka ini, hidup secara moderat berarti hidup dalam harmoni dengan tatanan kosmos dan hukum Tuhan, menjauh dari segala bentuk ekses, ketimpangan, dan permusuhan.

10.2.    Sintesis Epistemologis: Integrasi Wahyu, Akal, dan Pengalaman

Dari perspektif epistemologis, tawasuth, tawazun, dan tasamuh merepresentasikan model pengetahuan yang integratif—menggabungkan wahyu, rasionalitas, dan pengalaman empiris sebagai jalan menuju kebenaran. Fazlur Rahman menyebut pendekatan ini sebagai double movement epistemologi Islam: gerak dari teks menuju konteks dan dari konteks kembali ke teks.⁷

Tawasuth menjadi kerangka epistemik yang menolak ekstremitas metodologis: antara skripturalisme yang kaku dan rasionalisme yang bebas nilai. Tawazun menekankan perlunya keseimbangan antara iman dan ilmu, antara dogma dan refleksi kritis, sedangkan tasamuh membuka ruang dialog pengetahuan lintas budaya dan agama tanpa kehilangan komitmen terhadap kebenaran wahyu.⁸

Dalam kerangka filsafat ilmu Islam, integrasi antara akal dan wahyu menghasilkan epistemologi tauhidik yang tidak hanya menjelaskan fenomena, tetapi juga memaknai nilai dan tujuan eksistensinya.⁹ Mulyadhi Kartanegara menegaskan bahwa integrasi ilmu dalam Islam berlandaskan prinsip kesatuan realitas (unity of being) dan kesatuan pengetahuan (unity of knowledge), yang menjadikan moderasi sebagai landasan epistemik ilmu yang berimbang dan berkeadaban.¹⁰

10.3.    Sintesis Aksiologis: Moderasi sebagai Orientasi Etika Kemanusiaan

Secara aksiologis, etika moderasi Islam menempatkan manusia sebagai makhluk moral yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan sosial. Nilai tawasuth melatih manusia untuk berlaku adil dan proporsional, tawazun mendorong keserasian antara spiritualitas dan rasionalitas, sedangkan tasamuh menumbuhkan kasih sayang dan penghormatan terhadap perbedaan.¹¹

Ketiganya berujung pada cita etika Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).¹² Dalam pengertian ini, etika moderasi bukan hanya etika normatif, melainkan juga etika transformatif: membentuk individu yang berakhlak dan masyarakat yang berkeadaban (madani).¹³ Yusuf al-Qaradawi menyebutnya sebagai wasathiyyah insaniyyah—moderasi yang berorientasi pada kemaslahatan manusia tanpa melepaskan nilai-nilai ketuhanan.¹⁴

Etika ini menegaskan keseimbangan antara haqq Allah (hak Tuhan) dan haqq al-nās (hak manusia), sehingga moralitas Islam tidak bersifat asketis, tetapi sosial dan profetik.¹⁵ Dalam praktiknya, etika moderasi ini menuntun manusia untuk mengembangkan keadilan sosial, toleransi antaragama, tanggung jawab ekologis, dan solidaritas kemanusiaan global.¹⁶

10.4.    Sintesis Humanistik: Moderasi sebagai Paradigma Peradaban

Filsafat moderasi Islam menemukan puncaknya dalam sintesis humanistik, yakni pandangan bahwa keberagamaan sejati harus menumbuhkan kemanusiaan universal (al-insāniyyah al-kulliyyah).¹⁷ Tawasuth, tawazun, dan tasamuh membentuk landasan bagi humanisme Islam—sebuah orientasi moral yang mengakui kehormatan manusia (karāmah insāniyyah) sebagai refleksi dari kehadiran Ilahi.¹⁸

Tariq Ramadan menyebut moderasi sebagai ethical activism: komitmen etis untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia.¹⁹ Dalam kerangka ini, Islam tidak sekadar agama ritual, tetapi peradaban moral yang menyatukan iman dengan tanggung jawab sosial. Etika moderasi menjadi jembatan antara teologi dan humanisme, antara spiritualitas dan praksis sosial.²⁰

Dengan demikian, tawasuth menjadi jalan kebijaksanaan (ḥikmah), tawazun menjadi hukum keseimbangan kosmik dan moral, sedangkan tasamuh menjadi cinta aktif yang melampaui sekat ideologis.²¹ Ketiganya menyatu dalam visi etika Islam yang integral dan humanistik: membangun dunia yang berkeadilan, damai, dan beradab, di mana iman tidak memisahkan manusia dari manusia lain, tetapi justru meneguhkan keterikatan dalam kemanusiaan bersama.²²


Footnotes

[1]                Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006), 95.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 92.

[3]                Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 122.

[5]                Ibid., 130–131.

[6]                Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 166.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 8–9.

[8]                Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 85.

[9]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 141.

[10]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2003), 89.

[11]             Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), 81.

[12]             Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya [21] ayat 107.

[13]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 120.

[14]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 103.

[15]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994), 93.

[16]             Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005), 241.

[17]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 106.

[18]             Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 92.

[19]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 115.

[20]             Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 219.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, 174.

[22]             M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 102.


11.       Kesimpulan

Konsep tawasuth (moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) merupakan inti dari etika dan spiritualitas Islam yang berakar pada prinsip wasathiyyah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dan diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw.¹ Ketiganya bukan sekadar nilai moral, melainkan fondasi filosofis yang menyatukan aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari ajaran Islam. Tawasuth menghadirkan jalan tengah yang berkeadilan; tawazun mengatur keseimbangan antara akal dan wahyu, dunia dan akhirat; sedangkan tasamuh memupuk kesadaran kemanusiaan yang terbuka terhadap perbedaan.²

Secara ontologis, moderasi mencerminkan struktur kosmik ciptaan yang berlandaskan pada prinsip keseimbangan Ilahi.³ Manusia sebagai khalifah (khalīfah fī al-arḍ) dipanggil untuk hidup sejalan dengan keteraturan semesta dan menjaga harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam.⁴ Dengan demikian, tawasuth, tawazun, dan tasamuh bukan sekadar etika sosial, melainkan modus eksistensi manusia yang sadar akan tanggung jawab kosmiknya di hadapan Tuhan.⁵

Secara epistemologis, moderasi Islam menegaskan pentingnya integrasi antara wahyu dan akal.⁶ Wahyu menyediakan sumber kebenaran mutlak, sedangkan akal berfungsi untuk menafsirkan dan mengaktualisasikannya dalam konteks ruang dan waktu. Dalam keseimbangan inilah lahir paradigma pengetahuan Islam yang tidak anti-rasional tetapi juga tidak terjebak dalam sekularisme epistemik.⁷ Tawasuth menolak ekstremitas metodologis; tawazun menjaga harmoni antara ilmu dan iman; dan tasamuh membuka ruang bagi dialog pengetahuan antarperadaban.⁸

Secara aksiologis, nilai-nilai moderasi Islam berorientasi pada kemaslahatan universal (maslahah ‘āmmah) dan kemanusiaan global (al-insāniyyah al-kulliyyah).⁹ Islam tidak hanya mengajarkan keimanan, tetapi juga mengarahkan tindakan manusia menuju keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian sosial.¹⁰ Dalam konteks ini, tasamuh meneguhkan penghormatan terhadap martabat manusia; tawazun memastikan keadilan struktural; dan tawasuth menjamin bahwa kebenaran diterapkan secara proporsional tanpa menzalimi pihak lain.¹¹

Di tengah krisis kemanusiaan, ekstremisme ideologis, serta tantangan globalisasi dan digitalisasi, etika moderasi Islam menjadi paradigma yang relevan untuk menegakkan keadaban dunia.¹² Nilai tawasuth dapat menuntun umat dalam berpikir kritis tanpa kehilangan spiritualitas; tawazun menegaskan perlunya harmoni antara kemajuan teknologi dan moralitas; dan tasamuh meneguhkan peradaban kasih sayang di atas perbedaan.¹³

Etika moderasi Islam dengan demikian bukan hanya ajaran moral, tetapi proyek peradaban yang integral dan humanistik.¹⁴ Ia menolak fanatisme dan nihilisme sekaligus, memadukan akal dengan iman, serta menegaskan bahwa keberagamaan sejati adalah keberagamaan yang melahirkan kemanusiaan.¹⁵ Moderasi Islam meneguhkan kembali pesan universal Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan untuk menjadi ummatan wasathan—umat yang adil, seimbang, dan menjadi saksi bagi peradaban.¹⁶

Dengan demikian, tawasuth, tawazun, dan tasamuh membentuk fondasi bagi etika Islam yang integral: berakar pada tauhid, berorientasi pada keadilan, dan berbuah pada rahmah.¹⁷ Ketiganya bukan sekadar jalan tengah, tetapi jalan kebijaksanaan (ṣirāṭ al-ḥikmah): jalan yang menuntun manusia menuju keseimbangan spiritual, intelektual, dan sosial yang mencerminkan wajah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.¹⁸


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.

[2]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij (Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 121.

[3]                Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7–9.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 118.

[5]                Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 176.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9.

[7]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 142.

[8]                Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy, 2003), 87.

[9]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought, 2008), 127.

[10]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994), 99.

[11]             Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 93.

[12]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 225.

[13]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 121.

[14]             Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 225.

[15]             Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 305.

[16]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 101.

[18]             M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 108.


Daftar Pustaka

Al-Qur’an.

Abduh, M. (1897). Risālat al-Tawḥīd. Kairo: Dār al-Manār.

Abduh, M. (1902). Al-Islām wa al-Nashr al-Ma‘ārif. Kairo: Al-Matba‘ah al-Azhariyyah.

Abou El Fadl, K. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. San Francisco: HarperSanFrancisco.

al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM.

al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

al-Farmawi, A. H. (1997). Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī. Kairo: Dār al-Hadith.

al-Ghazālī, A. H. (1997). Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Vol. 1). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

al-Ghazālī, A. H. (2005). Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Vol. 3). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

al-Khalid, F. (1992). Islam and the Environment. London: Ta-Ha Publishers.

al-Ṭabarī. (1954). Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān (Vol. 2). Kairo: Dār al-Ma‘ārif.

al-Rāzī, F. D. (1990). Al-Tafsīr al-Kabīr (Vol. 4). Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

al-Qaradawi, Y. (2010). Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij. Kairo: Maktabah Wahbah.

al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, M. (2001). Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah. Kairo: Dār al-Salām.

An-Na‘im, A. A. (2008). Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Aristotle. (1985). Nicomachean Ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought.

Azra, A. (1999). Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Rajawali Press.

Azra, A. (2001). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Logos.

Azra, A. (2011). Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Islamisme. Jakarta: Paramadina.

Azra, A. (2016). Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan dan Keislaman. Jakarta: Kompas.

Badri, M. (1979). The Dilemma of Muslim Psychologists. London: MWH London.

Bakar, O. (1992). Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Islamic Texts Society.

Bakar, O. (1991). Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science. Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science.

Berger, P. L. (1967). The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. New York: Anchor Books.

Burhani, A. N. (2019). Ensiklopedia Nahdlatul Ulama. Jakarta: Gramedia.

Durkheim, É. (1995). The Elementary Forms of Religious Life (K. Fields, Trans.). New York: Free Press.

Effendy, B. (1998). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld.

Esposito, J. L. (2010). The Future of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Esposito, J. L., & Mogahed, D. (2007). Who Speaks for Islam? What a Billion Muslims Really Think. New York: Gallup Press.

Fadl, K. A. E. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. San Francisco: HarperSanFrancisco.

Farmawi, A. H. (1997). Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī. Kairo: Dār al-Hadith.

Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977 (C. Gordon, Trans.). New York: Pantheon Books.

Ghazālī, A. H. (2005). Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Hamka. (1983). Tafsir Al-Azhar (Vols. 1–8). Jakarta: Pustaka Panjimas.

Ibn Kathīr. (1998). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Vol. 1). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Khaldun. (2004). Al-Muqaddimah (Vol. 1). Beirut: Dār al-Fikr.

Ibn Taymiyyah. (1995). Majmū‘ al-Fatāwā (Vol. 11). Riyadh: Maktabah al-Riyāḍ.

Kimball, C. (2008). When Religion Becomes Evil. New York: HarperOne.

Kartanegara, M. (2003). Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy.

Kartanegara, M. (2006). Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Mizan.

Maarif, A. S. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung: Mizan.

Madjid, N. (1992). Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Maslow, A. H. (1987). Motivation and Personality (3rd ed.). New York: Harper & Row.

Nasr, S. H. (1987). Islamic Art and Spirituality. Albany: SUNY Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: SUNY Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperCollins.

al-Nadwi, A. H. (1950). Mādzā Khasira al-‘Ālam bi Inḥiṭāṭ al-Muslimīn. Kairo: Dār al-Nashr al-Islāmī.

Quraish Shihab, M. (2005). Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Quraish Shihab, M. (2007). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Quraish Shihab, M. (2022). Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Tangerang: Lentera Hati.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (1994). Major Themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca Islamica.

Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the Future of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford: Oxford University Press.

Rida, R. (1947). Tafsīr al-Manār (Vol. 1 & 4). Kairo: Dār al-Manār.

Rogers, C. R. (1961). On Becoming a Person. Boston: Houghton Mifflin.

Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. London: Mansell.

Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Syafii Maarif, A. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung: Mizan.

Taymiyyah, I. (1995). Majmū‘ al-Fatāwā. Riyadh: Maktabah al-Riyāḍ.

Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Clarendon Press.

Watt, W. M. (1961). Muhammad: Prophet and Statesman. Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar