Etika Moderasi Islam
Kajian Filosofis atas Konsep Tawasuth, Tawazun, dan
Tasamuh dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Alihkan ke: PPG 2019.
Tawasuth, Tawazun, Tasamuh, Tafsir Qur'an
Kontemporer.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara filosofis konsep tawasuth
(moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) dalam
perspektif Al-Qur’an dan Hadits, dengan menelusuri landasan historis,
ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya serta relevansi sosial, politik,
dan pendidikan dalam konteks kontemporer. Ketiga konsep tersebut dipahami
sebagai manifestasi dari prinsip wasathiyyah Islam—yakni jalan tengah
yang berkeadilan dan berkeadaban. Melalui pendekatan sistematis dan
interdisipliner, kajian ini menunjukkan bahwa tawasuth, tawazun,
dan tasamuh bukan hanya nilai moral, melainkan paradigma filosofis yang
menuntun manusia untuk hidup selaras dengan keteraturan kosmik, rasionalitas
wahyu, dan tanggung jawab sosial. Secara ontologis, nilai-nilai ini
mencerminkan keseimbangan Ilahi yang menegaskan keesaan Tuhan dan keterhubungan
antarciptaan. Secara epistemologis, ia menuntun pada integrasi antara wahyu,
akal, dan pengalaman empiris sebagai jalan menuju pengetahuan yang beradab.
Secara aksiologis, nilai-nilai tersebut meneguhkan orientasi etika Islam
terhadap kemaslahatan universal (maslahah ‘āmmah) dan kemanusiaan global
(al-insāniyyah al-kulliyyah). Dalam konteks kontemporer, prinsip
moderasi Islam ini menjadi dasar bagi penguatan pluralisme, dialog antaragama,
keadilan sosial, dan tanggung jawab ekologis. Sintesis akhirnya menempatkan tawasuth,
tawazun, dan tasamuh sebagai pilar etika Islam yang integral dan
humanistik—membangun jembatan antara iman dan akal, spiritualitas dan
kemanusiaan, serta keilahian dan peradaban.
Kata Kunci: Tawasuth, Tawazun, Tasamuh, Wasathiyyah, Etika Islam,
Filsafat Islam, Moderasi, Kemanusiaan, Integralisme, Humanisme.
PEMBAHASAN
Konsep Tawasuth, Tawazun, dan Tasamuh dalam Perspektif
Al-Qur’an dan Hadits
1.
Pendahuluan
Dalam konteks
kehidupan keagamaan kontemporer, Islam sering kali dihadapkan pada dua kutub
ekstrem: di satu sisi, muncul kecenderungan konservatif yang rigid dan
eksklusif; di sisi lain, berkembang arus liberal yang cenderung mengabaikan
batas-batas normatif ajaran agama. Di tengah ketegangan tersebut, Islam
menawarkan jalan tengah yang dikenal dengan konsep tawasuth
(moderat), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh
(toleransi) sebagai prinsip etis dan moral dalam kehidupan
individu maupun sosial. Ketiga konsep ini tidak hanya bersifat moral, tetapi
juga teologis dan filosofis, mencerminkan hakikat Islam sebagai agama rahmatan
lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).¹
Akar konseptual
ketiga istilah tersebut berpijak pada Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Al-Qur’an,
Allah menyebut umat Islam sebagai “ummatan wasathan”, yaitu umat yang
adil, seimbang, dan berada di tengah-tengah antara dua ekstrem (QS. Al-Baqarah
[2] ayat 143).² Istilah wasathiyyah ini menjadi dasar
ontologis bagi pengembangan prinsip tawasuth yang berarti moderasi,
bukan sekadar kompromi, melainkan sikap adil dan proporsional dalam berpikir
serta bertindak.³ Demikian pula tawazun menekankan keseimbangan
antara aspek duniawi dan ukhrawi, akal dan wahyu, individu dan masyarakat,
sedangkan tasamuh
menegaskan sikap lapang dada, menghargai perbedaan, dan membangun harmoni
sosial.⁴
Secara historis,
nilai-nilai tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
telah menjadi fondasi etika sosial umat Islam sejak masa Rasulullah Saw.
Masyarakat Madinah, yang plural baik secara etnis maupun agama, menjadi
laboratorium sosial bagi penerapan nilai-nilai ini. Piagam Madinah (Mīthāq
al-Madīnah) adalah manifestasi konkret dari etika moderasi Islam: mengakui
keragaman, menegakkan keadilan, dan menjamin kebebasan beragama dalam tatanan
sosial yang harmonis.⁵ Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menjadi teladan
sempurna dalam mengintegrasikan keseimbangan spiritual dan sosial, menampilkan
Islam sebagai agama yang menjunjung kemaslahatan dan toleransi universal.⁶
Di era modern,
relevansi konsep moderasi Islam semakin penting di tengah dinamika globalisasi,
politik identitas, dan disrupsi digital. Fenomena radikalisme agama, polarisasi
sosial, serta penyebaran ujaran kebencian di media sosial menuntut umat Islam
untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental Al-Qur’an dan Hadits yang
mengedepankan keseimbangan dan kasih sayang.⁷ Tawasuth, tawazun, dan tasamuh
bukan sekadar wacana teologis, tetapi menjadi kebutuhan epistemologis dan
aksiologis bagi pembangunan peradaban yang damai dan berkeadilan.⁸
Penelitian ini
berupaya menelusuri dasar-dasar konseptual, filosofis, dan normatif dari ketiga
nilai tersebut dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits, serta menelaah bagaimana
ia berfungsi sebagai prinsip etik dalam membentuk moderasi Islam yang integral.
Kajian ini juga berangkat dari kesadaran bahwa moderasi tidak dapat dipahami
secara fragmentaris, melainkan harus diletakkan dalam kerangka sistem nilai
Islam yang utuh: menyeimbangkan antara akidah, syariah, dan akhlak; antara
kebebasan dan tanggung jawab; serta antara iman dan rasionalitas.⁹ Dengan
demikian, tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
bukan hanya konsep normatif, tetapi juga paradigma filosofis yang mengarahkan
manusia untuk hidup secara proporsional, inklusif, dan humanistik.¹⁰
Footnotes
[1]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 5.
[2]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.
[3]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 45.
[4]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1897),
82.
[5]
W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon
Press, 1956), 227–230.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
28–31.
[7]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks
Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 114.
[8]
Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 62.
[9]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), 136.
[10]
Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 29.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Gagasan tentang tawasuth
(moderasi), tawazun (keseimbangan), dan tasamuh
(toleransi) tidak muncul secara tiba-tiba dalam khazanah Islam, melainkan
berakar dalam struktur historis dan tekstual ajaran Al-Qur’an serta praktik
kenabian. Secara terminologis, ketiganya merupakan derivasi dari semangat wasathiyyah
yang secara eksplisit disebut dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2] ayat 143: “Wa
kadzālika ja‘alnākum ummatan wasathan...”, yang berarti “Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang adil
dan pilihan.”¹ Ayat ini secara historis turun untuk menegaskan peran profetik
umat Islam sebagai saksi bagi umat manusia—yakni komunitas yang mempraktikkan
keadilan, keseimbangan, dan kasih sayang di tengah berbagai perbedaan.²
Dalam tradisi tafsir
klasik, para mufasir memberikan penjelasan yang beragam terhadap istilah wasath.
Al-Ṭabarī memaknainya sebagai “al-‘adl” (keadilan), menunjukkan
keseimbangan moral dan intelektual yang menghindarkan umat dari sikap ekstrem.³
Ibn Kathīr memperluasnya sebagai “ummatan khiyāran,” yakni umat pilihan
yang memiliki posisi tengah antara kelebihan dan kekurangan.⁴ Fakhr al-Dīn
al-Rāzī menekankan bahwa makna wasath tidak hanya bersifat moral,
tetapi juga ontologis: umat Islam menjadi pusat (markaz) yang menjaga keseimbangan
antara nilai-nilai spiritual dan duniawi.⁵ Pemaknaan ini menunjukkan bahwa tawasuth
tidak semata-mata bersifat praktis, melainkan merupakan struktur dasar bagi
epistemologi Islam yang berorientasi pada harmoni.
Dalam konteks
sejarah, prinsip-prinsip wasathiyyah telah terinternalisasi
sejak masa Nabi Muhammad Saw. Masyarakat Madinah yang plural menjadi cerminan
konkret dari penerapan nilai tawazun dan tasamuh.
Mitsaq
al-Madinah (Piagam Madinah) yang disusun oleh Nabi berfungsi
sebagai kontrak sosial pertama yang mengakui hak-hak komunitas non-Muslim dan
menetapkan prinsip koeksistensi damai berdasarkan keadilan.⁶ Model sosial ini
kemudian menjadi inspirasi bagi sistem sosial Islam yang terbuka dan adaptif
terhadap keberagaman.
Dalam sejarah
intelektual Islam, gagasan keseimbangan dan moderasi terus berkembang melalui
pemikiran para ulama klasik. Abu Hamid al-Ghazālī menegaskan bahwa jalan tengah
(al-wasathiyyah)
merupakan prinsip utama dalam etika Islam, yang berakar pada teori al-i‘tidāl,
yaitu keseimbangan antara kekuatan nafs amarah, nafs syahwah, dan nafs
rasional.⁷ Ibn Taymiyyah, dalam konteks lain, mengingatkan bahwa ekstremitas
dalam beragama dapat menjauhkan manusia dari maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan
syariat) yang sejatinya berorientasi pada kemaslahatan dan keadilan.⁸ Dengan
demikian, tawasuth
dalam pemikiran klasik bukan hanya sikap sosial, tetapi juga orientasi
spiritual dan moral yang mencegah penyimpangan dari jalan lurus (ṣirāṭ
al-mustaqīm).
Pada masa modern,
para pemikir seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida menghidupkan kembali
gagasan wasathiyyah
sebagai basis reformasi Islam. Mereka menolak taklid buta terhadap tradisi lama
sekaligus menentang sekularisme yang menafikan nilai-nilai spiritual.⁹ Abduh
menekankan perlunya rasionalitas yang seimbang dengan iman dalam membangun
peradaban Islam yang dinamis.¹⁰ Gagasan ini kemudian diteruskan oleh Yusuf
al-Qaradawi yang memperluasnya dalam konsep “moderasi Islam global,”
yaitu Islam yang mampu menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan prinsip
universalnya.¹¹
Dalam konteks
Nusantara, wasathiyyah
mendapatkan artikulasi khas melalui Islam moderat Indonesia yang dikembangkan
oleh ormas-ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya
mempraktikkan tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
sebagai basis ideologis dalam menghadapi tantangan modernitas dan pluralitas
bangsa.¹² Azyumardi Azra mencatat bahwa Islam Indonesia tumbuh dalam ruang
kebudayaan yang terbuka, toleran, dan adaptif—sebuah bukti bahwa nilai-nilai
moderasi telah menjadi bagian integral dari peradaban Islam di Nusantara.¹³
Dengan demikian,
secara genealogis, tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
berakar dalam teks suci, diinternalisasi melalui tradisi tafsir dan praksis
sejarah, serta terus dikontekstualisasikan oleh para ulama sepanjang zaman.
Konsep-konsep ini bukan hasil rekayasa modern, melainkan warisan autentik Islam
yang relevan untuk menjawab tantangan global, baik dalam aspek teologis,
sosial, maupun kemanusiaan.¹⁴
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.
[2]
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar
al-Andalus, 1980), 37.
[3]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, vol. 2
(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1954), 6.
[4]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, vol. 1 (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 217.
[5]
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 4 (Beirut: Dār
Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1990), 45.
[6]
W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon
Press, 1956), 229–232.
[7]
Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2005), 68–70.
[8]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 11 (Riyadh: Maktabah
al-Riyāḍ, 1995), 19.
[9]
Rashid Rida, Tafsīr al-Manār, vol. 1 (Kairo: Dār al-Manār,
1947), 15.
[10]
Muhammad Abduh, Al-Islām wa al-Nashr al-Ma‘ārif (Kairo:
Al-Matba‘ah al-Azhariyyah, 1902), 93.
[11]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 22–25.
[12]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 48.
[13]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks
Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 112.
[14]
Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 31.
3.
Ontologi
Konsep Tawasuth, Tawazun, dan Tasamuh
Kajian ontologis
terhadap konsep tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
menempatkan ketiganya sebagai dimensi hakiki dalam struktur keberagamaan Islam.
Secara ontologis, nilai-nilai tersebut bukan sekadar etika sosial atau norma
moral, melainkan merupakan modus eksistensi manusia beriman
yang mencerminkan keseimbangan antara aspek ketuhanan (ilahiyyah)
dan kemanusiaan (insaniyyah).¹ Dalam pandangan
Islam, realitas tidak terbagi secara dikotomis antara yang sakral dan profan;
melainkan menyatu dalam satu kesatuan kosmik yang harmonis di bawah kehendak
Allah. Oleh karena itu, tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
berfungsi sebagai prinsip ontologis yang menjaga keseimbangan kosmik dan sosial
dalam kehidupan manusia.²
3.1.
Ontologi Tawasuth: Eksistensi Jalan Tengah
Konsep tawasuth
(moderat) berakar pada istilah wasath dalam Al-Qur’an, yang
menandakan “tengah,” “adil,” dan “proporsional.”
Ontologinya mengandaikan bahwa keberadaan manusia dalam dunia ini diarahkan
untuk menempuh jalan tengah antara dua ekstrem: antara spiritualitas yang
berlebihan (ghuluw) dan materialisme yang
berlebihan (jafā’).³ Dalam pandangan
Al-Ghazālī, keseimbangan moral ini merupakan bentuk kesempurnaan eksistensial
manusia, karena hanya dalam keadaan “pertengahan” potensi akal, nafsu, dan
spiritual dapat mencapai harmoni.⁴
Tawasuth bukanlah
relativisme yang menghapus nilai kebenaran, tetapi orientasi eksistensial
terhadap keadilan dan keseimbangan. Ibn ‘Ashur menegaskan bahwa wasathiyyah
adalah “titik kesempurnaan” dalam skala moral—bukan kompromi, melainkan
puncak kebijaksanaan (ḥikmah) dalam bertindak.⁵ Dengan
demikian, secara ontologis, tawasuth menandai posisi
eksistensial manusia yang meneladani sifat keadilan Ilahi (al-‘adl)
dan menghindari penyimpangan dari fitrah.
3.2.
Ontologi Tawazun: Keseimbangan dalam Realitas
Tawazun
berarti keseimbangan, dan dalam kerangka ontologis Islam, ia mencerminkan
struktur fundamental dari ciptaan Allah. Al-Qur’an menggambarkan alam semesta
sebagai tatanan yang harmonis: “Wa al-samā’a rafa‘ahā wa waḍa‘a al-mīzān”
(Dia meninggikan langit dan menetapkan keseimbangan) (QS. Ar-Rahman [55] ayat 7).⁶
Ayat ini menunjukkan bahwa keseimbangan adalah hukum ontologis semesta
sekaligus prinsip moral manusia. Seperti halnya alam tunduk pada keseimbangan,
manusia pun wajib menjaga keseimbangan dalam dimensi iman, amal, dan akhlak.
Fazlur Rahman
memandang bahwa tawazun adalah manifestasi dari tauhid,
karena pengakuan atas kesatuan Tuhan menuntut harmoni antara semua aspek
kehidupan.⁷ Ketidakseimbangan, baik dalam tindakan individu maupun sistem
sosial, mencerminkan disonansi terhadap keteraturan ilahi. Dengan demikian, tawazun
mengandung makna eksistensial bahwa setiap tindakan manusia harus selaras
dengan prinsip kesetimbangan universal.⁸ Dalam konteks sosial, tawazun
juga menegaskan relasi yang adil antara hak dan kewajiban, individu dan
komunitas, dunia dan akhirat.⁹
3.3.
Ontologi Tasamuh: Keberadaan yang Mengakui
Liyan
Sementara itu, tasamuh
(toleransi) memiliki dimensi ontologis yang lebih relasional. Ia lahir dari
kesadaran bahwa keberadaan manusia bersifat plural dan saling terkait. Dalam
kerangka teologis, pluralitas ini merupakan bagian dari kehendak Allah
sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Hujurat [49] ayat 13—“Waja‘alnākum
syu‘ūban wa qabā’ila lita‘ārafū” (Kami jadikan kamu bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal).¹⁰ Ayat ini menunjukkan bahwa
keragaman bukan ancaman terhadap kesatuan, melainkan wujud kehendak ilahi yang
menuntut sikap saling menghargai.
Ontologinya terletak
pada pengakuan terhadap “yang lain” (the Other) sebagai bagian dari
eksistensi diri.¹¹ Dalam Islam, pengakuan ini bukan bentuk relativisme
teologis, tetapi afirmasi terhadap kemanusiaan universal (al-insāniyyah
al-kulliyyah).¹² Dalam praksis Nabi Muhammad Saw., tasamuh
diwujudkan melalui penghormatan terhadap non-Muslim, perlindungan hak-hak
mereka, serta interaksi sosial yang adil.¹³ Dengan demikian, tasamuh
mencerminkan eksistensi yang sadar akan keterikatan ontologis antar-manusia
sebagai sesama ciptaan Tuhan.
3.4.
Kesatuan Ontologis Tawasuth, Tawazun, dan
Tasamuh
Ketiga konsep ini
saling melengkapi dalam membentuk sistem ontologis Islam. Tawasuth
mengatur posisi eksistensial manusia di antara ekstrem, tawazun
menegaskan harmoni dalam tatanan kosmik dan sosial, sedangkan tasamuh
mengekspresikan kesadaran relasional terhadap keberagaman. Ketiganya
bersama-sama membentuk ontologi moderasi Islam—sebuah
tatanan keberadaan yang berakar pada tauhid dan berujung pada keadilan.¹⁴ Dalam
pengertian ini, moderasi bukan sekadar sikap sosial, tetapi realisasi
eksistensial dari tauhid dalam kehidupan manusia:
keesaan Tuhan yang memancar menjadi keseimbangan, keadilan, dan kasih sayang di
antara makhluk-Nya.¹⁵
Footnotes
[1]
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat
Islam (Bandung: Mizan, 2006), 56.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88.
[3]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.
[4]
Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2005), 72.
[5]
Muhammad al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah
(Kairo: Dār al-Salām, 2001), 41.
[6]
Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7.
[7]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1994), 33–35.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 112.
[9]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 52.
[10]
Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat [49] ayat 13.
[11]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), 91.
[12]
Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and the Secular State: Negotiating
the Future of Shari‘a (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 44.
[13]
W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (Oxford:
Oxford University Press, 1961), 213.
[14]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 17.
[15]
Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 39.
4.
Epistemologi:
Sumber dan Metode Pemahaman
Kajian epistemologis
terhadap tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
menitikberatkan pada cara pengetahuan mengenai nilai-nilai tersebut diperoleh,
divalidasi, dan dikembangkan dalam tradisi keilmuan Islam. Dalam konteks ini,
epistemologi Islam berakar pada dua sumber utama: wahyu
(Al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumber normatif dan akal
(‘aql) sebagai instrumen interpretatif.¹ Relasi antara keduanya
bersifat dialektis dan saling melengkapi. Wahyu menyediakan prinsip-prinsip
kebenaran absolut, sementara akal berfungsi menafsirkan dan
mengaktualisasikannya dalam konteks ruang dan waktu yang berubah.²
4.1.
Al-Qur’an sebagai Sumber Epistemologis Moderasi
Al-Qur’an menjadi
sumber primer bagi pemahaman tawasuth, tawazun,
dan tasamuh.
Dalam kerangka epistemik, Al-Qur’an tidak hanya menyampaikan ajaran dogmatis,
tetapi juga menuntun cara berpikir yang seimbang. Ayat seperti “Wa
kadzālika ja‘alnākum ummatan wasathan” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143)
membentuk fondasi epistemologis bahwa Islam menolak segala bentuk ekstremitas.³
Ayat ini menegaskan bahwa jalan tengah bukan kompromi rasional, melainkan
prinsip ilahi yang menuntun akal agar tidak terjebak dalam dikotomi absolut
antara iman dan rasionalitas.
Selain itu,
Al-Qur’an memuat prinsip keseimbangan dalam struktur kosmik (tawazun)
dan moral manusia. QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9 menjelaskan bahwa keseimbangan
merupakan hukum dasar alam yang harus dijaga oleh manusia.⁴ Di sisi lain, nilai
tasamuh
diekspresikan melalui ayat-ayat yang menekankan kebebasan beragama dan
penghormatan terhadap perbedaan, seperti QS. Al-Kafirun [109] ayat 6 — “Lakum
dīnukum wa liya dīn” (Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku).⁵ Dengan
demikian, epistemologi Al-Qur’an menempatkan moderasi sebagai struktur
pengetahuan yang inheren dalam ajaran Islam, bukan sebagai respons sosial
semata.
4.2.
Hadits sebagai Penjelas Praktis dan Empiris
Hadits Nabi Muhammad
Saw. berperan sebagai sumber kedua yang memperjelas dimensi praktis dari
nilai-nilai moderasi. Hadits “Khairul umuri awsatuha”
(sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan) menjadi landasan etik dan
epistemologis bagi konsep tawasuth.⁶ Nabi juga mengingatkan
bahaya ekstremitas melalui sabdanya: “Iyyākum wa al-ghuluw fī al-dīn”
(hindarilah berlebihan dalam beragama), yang menunjukkan bahwa keseimbangan
bukan hanya ajaran moral, tetapi bentuk kebijaksanaan kognitif dalam memahami
agama.⁷
Dalam aspek tasamuh,
Rasulullah menunjukkan praksis epistemologis melalui dialog, keterbukaan, dan
penghormatan terhadap non-Muslim. Piagam Madinah menjadi contoh konkret
bagaimana prinsip toleransi dirumuskan bukan atas dasar kompromi teologis,
melainkan hasil pemahaman mendalam terhadap maqāṣid al-syarī‘ah: menjaga agama,
jiwa, akal, harta, dan keturunan.⁸ Dengan demikian, Hadits memperluas horizon
epistemik Al-Qur’an dari dimensi normatif menuju dimensi aplikatif dan sosial.
4.3.
Rasionalitas dan Tafsir Maudhu‘i sebagai Metode
Metode tafsir maudhu‘i
(tematik) menjadi pendekatan epistemologis yang paling relevan dalam memahami
konsep tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh.
Melalui pendekatan ini, ayat-ayat yang tersebar di berbagai surah dihimpun dan
dianalisis secara integratif untuk menemukan makna konseptual yang utuh.⁹
Quraish Shihab menekankan bahwa tafsir tematik memungkinkan penafsir untuk
menangkap pola-pola kesatuan makna Al-Qur’an yang saling berhubungan dan
kontekstual dengan dinamika kehidupan modern.¹⁰
Rasionalitas (‘aql)
juga berperan penting dalam epistemologi moderasi Islam. Dalam pandangan
al-Ghazālī, akal adalah anugerah Tuhan yang berfungsi untuk memahami syariat,
bukan untuk menentangnya.¹¹ Dengan demikian, tawasuth dalam epistemologi berarti
menjaga keseimbangan antara teks dan konteks, antara normativitas wahyu dan
kebutuhan rasionalitas manusia. Pendekatan ini mencegah dua ekstrem: fundamentalisme
tekstual yang menutup ruang tafsir dan relativisme rasional yang mengabaikan
wahyu.¹²
4.4.
Integrasi Epistemologi Wahyu dan Akal
Integrasi antara
wahyu dan akal menjadi puncak epistemologi Islam yang moderat. Fazlur Rahman
menyebut pendekatan ini sebagai double movement—gerakan ganda
antara teks dan konteks: memahami wahyu dalam konteks sejarahnya, lalu
mengaplikasikannya dalam realitas kontemporer.¹³ Melalui gerak epistemik ini,
nilai tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
tidak hanya dipahami secara dogmatis, tetapi direaktualisasi secara dinamis
sesuai maqāṣid al-syarī‘ah.
Seyyed Hossein Nasr
menambahkan bahwa pengetahuan dalam Islam bersifat hierarkis dan integratif;
sumbernya tidak hanya rasionalitas empiris, tetapi juga intuisi spiritual (‘ilm
ladunnī).¹⁴ Karena itu, epistemologi Islam memandang pengetahuan
sebagai bagian dari tatanan kosmik yang memancarkan kebenaran Ilahi. Dalam
konteks ini, tawasuth adalah keseimbangan
epistemik antara dimensi rasional dan spiritual; tawazun adalah keharmonisan antara
ilmu dan amal; dan tasamuh adalah keterbukaan terhadap
kebenaran universal tanpa kehilangan prinsip tauhid.¹⁵
Dengan demikian,
epistemologi tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
dalam Islam tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui kebenaran,
tetapi juga bagaimana pengetahuan itu diorientasikan secara etis dan teologis.
Ia mengajarkan bahwa kebenaran sejati hanya dapat diperoleh melalui
keseimbangan antara wahyu, akal, dan hati; antara teks suci dan pengalaman
manusia; serta antara ortodoksi dan keterbukaan terhadap pluralitas
pengetahuan.¹⁶
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Islamic Texts Society, 1992), 19.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ABIM, 1978), 115.
[3]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.
[4]
Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7–9.
[5]
Al-Qur’an, Surah Al-Kafirun [109] ayat 6.
[6]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Adab, Hadis no. 1368.
[7]
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab al-Manasik, Hadis no. 3029.
[8]
W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon
Press, 1956), 232.
[9]
Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī
(Kairo: Dār al-Hadith, 1997), 21–23.
[10]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan,
2005), 34.
[11]
Abu Hamid al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, vol. 1
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 28.
[12]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 8.
[13]
Ibid., 7–8.
[14]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 71.
[15]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 31–33.
[16]
Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 47.
5.
Aksiologi:
Nilai dan Tujuan Etis
Kajian aksiologis
terhadap tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
menyoroti nilai-nilai moral dan tujuan etis yang terkandung dalam ketiganya.
Dalam filsafat Islam, aksiologi berhubungan erat dengan al-khayr
(kebaikan) dan al-fadl (keutamaan) sebagai
orientasi perbuatan manusia.¹ Nilai etis Islam tidak berdiri di atas
relativisme moral, melainkan bersumber dari prinsip tauhid yang meniscayakan
keseimbangan antara hubungan vertikal dengan Tuhan (ḥabl min Allāh) dan hubungan
horizontal dengan manusia (ḥabl min al-nās).² Oleh karena itu,
tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
bukan sekadar pedoman perilaku, melainkan sistem nilai yang mengarahkan manusia
menuju keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan universal.³
5.1.
Nilai Etis Tawasuth: Keadilan dan
Proporsionalitas
Secara aksiologis, tawasuth
mengandung nilai keadilan (al-‘adl) dan proporsionalitas dalam
berpikir serta bertindak. Al-Qur’an memerintahkan, “Wa idzā qultum fa‘dilū walau kāna dzā qurba”
(dan apabila kamu berkata, maka berlaku adillah, sekalipun terhadap kerabatmu
sendiri) (QS. Al-An‘am [6] ayat 152).⁴ Nilai tawasuth mengarahkan manusia untuk
bersikap seimbang antara kepentingan pribadi dan sosial, antara hak dan
kewajiban, antara idealisme dan realitas.
Al-Ghazālī menjelaskan
bahwa kebajikan tertinggi dalam akhlak adalah i‘tidāl, yaitu keseimbangan antara
tiga kekuatan jiwa: akal, amarah, dan syahwat.⁵ Keadilan, dalam hal ini, muncul
ketika ketiganya berfungsi secara harmonis di bawah kendali akal dan bimbingan
wahyu. Dengan demikian, tawasuth merupakan manifestasi etis
dari keadilan ontologis yang menjadi dasar tatanan moral Islam. Ia melatih
manusia untuk menghindari sikap ekstrem dalam beragama maupun dalam
berinteraksi sosial.⁶
5.2.
Nilai Etis Tawazun: Keseimbangan dan
Keselarasan
Tawazun
secara aksiologis merupakan prinsip keselarasan antara aspek spiritual dan
material, individu dan komunitas, dunia dan akhirat. Al-Qur’an menegaskan, “Wabtaghi
fīmā ātāka Allāh al-dār al-ākhirah wa lā tansa naṣībaka min al-dunyā”
(carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri
akhirat, tetapi janganlah lupakan bagianmu di dunia) (QS. Al-Qashash [28] ayat 77).⁷
Ayat ini menegaskan nilai keseimbangan yang menolak asketisme ekstrem maupun
materialisme pragmatis.
Dalam etika Islam, tawazun
menuntut harmoni antara rasionalitas dan spiritualitas, serta antara kebebasan
dan tanggung jawab moral.⁸ Fazlur Rahman menyatakan bahwa tawazun
adalah struktur nilai yang memastikan keteraturan sosial dan keberlanjutan moral
umat manusia.⁹ Melalui keseimbangan inilah manusia dapat menjaga maqāṣid
al-syarī‘ah—yakni perlindungan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta—sebagai tujuan etis dari hukum Islam.¹⁰ Dalam pengertian
ini, tawazun
berfungsi sebagai jembatan aksiologis antara keadilan individu dan keadilan
sosial, antara kebaikan moral dan kemaslahatan publik.¹¹
5.3.
Nilai Etis Tasamuh: Penghormatan, Empati, dan
Cinta Kasih
Nilai tasamuh
merupakan ekspresi etis dari kesadaran teologis terhadap keragaman manusia.
Islam mengajarkan bahwa perbedaan merupakan kehendak ilahi yang mengandung
hikmah bagi peradaban. QS. Al-Hujurat [49] ayat 13 menegaskan bahwa tujuan
perbedaan adalah saling mengenal, bukan saling meniadakan.¹² Dalam konteks
etika sosial, tasamuh menjadi dasar bagi
penghormatan, empati, dan solidaritas kemanusiaan lintas agama dan budaya.¹³
Nabi Muhammad Saw.
memperlihatkan nilai tasamuh dalam berbagai peristiwa
historis, seperti ketika beliau menerima utusan Nasrani Najran di Masjid Nabawi
tanpa menolak ibadah mereka di dalam masjid.¹⁴ Sikap ini menunjukkan bahwa
toleransi bukan bentuk kelemahan iman, tetapi kekuatan moral yang berpijak pada
keyakinan akan kasih sayang Tuhan (rahmah).¹⁵ Dalam kerangka
aksiologis, tasamuh mengajarkan keseimbangan
antara komitmen terhadap kebenaran dan keterbukaan terhadap perbedaan.¹⁶
5.4.
Tujuan Etis: Menuju Kemaslahatan dan Humanisme
Ilahi
Tujuan akhir dari tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
adalah terwujudnya maslahah (kebaikan universal) dan rahmah
(kasih sayang ilahi) dalam kehidupan manusia.¹⁷ Nilai-nilai tersebut membentuk
dasar bagi etika humanistik Islam yang menekankan bahwa kesalehan tidak hanya
diukur dari hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dari kontribusi terhadap
keadilan sosial dan kesejahteraan sesama.¹⁸
Dalam paradigma ini,
tawasuth
memastikan proporsionalitas dalam pengambilan keputusan moral; tawazun
menjamin keberlanjutan nilai dalam relasi sosial dan ekologi; dan tasamuh
memperluas cakrawala moral menuju penghargaan terhadap martabat manusia.¹⁹
Azyumardi Azra menyebut ketiganya sebagai inti “etika kebangsaan Islam”
yang menegaskan bahwa keberagamaan sejati harus melahirkan kedamaian dan
keadaban publik.²⁰
Dengan demikian,
secara aksiologis, ketiga nilai ini membentuk fondasi etika integral Islam:
suatu sistem nilai yang berakar pada tauhid, berorientasi pada keadilan, dan
bermuara pada kemanusiaan. Moderasi, keseimbangan, dan toleransi bukan hanya
instrumen moral, tetapi juga tujuan etis tertinggi dalam mengaktualisasikan
ajaran rahmatan
lil ‘alamin dalam kehidupan manusia dan masyarakat.²¹
Footnotes
[1]
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat
Islam (Bandung: Mizan, 2006), 89.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 132.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 99.
[4]
Al-Qur’an, Surah Al-An‘am [6] ayat 152.
[5]
Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2005), 81.
[6]
Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 52.
[7]
Al-Qur’an, Surah Al-Qashash [28] ayat 77.
[8]
Muhammad Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Manār, 1897),
86.
[9]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1994), 77.
[10]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought,
2008), 29.
[11]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 55.
[12]
Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat [49] ayat 13.
[13]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), 102.
[14]
W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (Oxford:
Oxford University Press, 1961), 215.
[15]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), 211.
[16]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005),
213.
[17]
Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya [21] ayat 107.
[18]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks
Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 119.
[19]
Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 75.
[20]
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan
(Jakarta: Rajawali Press, 1999), 211.
[21]
Seyyed
Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press,
1989), 83.
6.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Pendidikan
Konsep tawasuth
(moderat), tawazun
(keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) bukan hanya
bernilai teologis dan moral, tetapi juga memiliki dimensi sosial, politik, dan
pendidikan yang luas. Ketiganya membentuk fondasi bagi tatanan masyarakat Islam
yang berkeadaban (madaniyah), yang menolak segala
bentuk ekstremisme, kekerasan, dan eksklusivisme.¹ Dalam konteks kehidupan
modern, nilai-nilai ini menjadi landasan etika sosial yang menjembatani antara
idealisme keagamaan dan realitas pluralitas, serta menjadi mekanisme
epistemologis dalam menciptakan perdamaian dan keadilan sosial.²
6.1.
Dimensi Sosial: Moderasi sebagai Basis
Kehidupan Bermasyarakat
Secara sosial, tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
berfungsi sebagai prinsip harmonisasi hubungan antarmanusia. Masyarakat yang
berlandaskan nilai tawasuth akan mengedepankan
keadilan, solidaritas, dan empati sosial. Al-Qur’an menegaskan, “Inna
Allāha ya’muru bi al-‘adli wa al-iḥsān” (Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan) (QS. An-Nahl [16] ayat 90).³
Nilai ini mendorong terciptanya masyarakat yang seimbang—tidak berlebihan dalam
menuntut hak dan tidak lalai dalam memenuhi kewajiban.
Konsep tawazun
juga menuntut keadilan struktural dalam kehidupan sosial. Ia mengajarkan
keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif, antara hak
minoritas dan hak mayoritas.⁴ Dalam konteks masyarakat multikultural seperti
Indonesia, nilai tasamuh menjadi fondasi untuk
membangun budaya toleransi yang menghormati perbedaan etnis, agama, dan
pandangan hidup.⁵ Azyumardi Azra menyebut bahwa pluralitas sosial di Nusantara
dapat tetap terjaga karena internalisasi nilai moderasi Islam dalam struktur
sosial masyarakat Muslim Indonesia.⁶
Selain itu, praktik
sosial Nabi Muhammad Saw. di Madinah menjadi paradigma historis bagi etika
moderasi sosial. Melalui Mitsaq al-Madinah, Nabi menegakkan
tatanan sosial yang berbasis pada hak setara, keadilan, dan perlindungan bagi
seluruh warga tanpa diskriminasi agama.⁷ Prinsip ini menegaskan bahwa moderasi
bukan sekadar sikap moral, melainkan basis konstitusional masyarakat Islam yang
menjamin ukhuwah
insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).⁸
6.2.
Dimensi Politik: Keadilan dan Keseimbangan
Kekuasaan
Dalam ranah politik,
tawasuth
dan tawazun
menjadi prinsip etika kekuasaan dan tata kelola pemerintahan. Politik Islam
tidak menghendaki dominasi atau penindasan, melainkan keseimbangan antara
otoritas dan partisipasi, antara kepemimpinan dan keadilan.⁹ Al-Qur’an
menegaskan prinsip syura (musyawarah) sebagai mekanisme demokratis dalam
pengambilan keputusan: “Wa amruhum syūrā bainahum” (dan
urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka) (QS. Asy-Syura [42]
ayat 38).¹⁰
Dalam kerangka tawazun,
kekuasaan dipahami sebagai amanah yang harus digunakan untuk mewujudkan
kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.¹¹ Ibn Khaldun
menegaskan bahwa keadilan adalah “asas peradaban,” dan kehancuran suatu
negara terjadi ketika keseimbangan kekuasaan digantikan oleh tirani.¹² Nilai tasamuh
dalam politik menuntut keterbukaan dan penghormatan terhadap oposisi serta
kebebasan berpendapat yang konstruktif.¹³ Dengan demikian, moderasi politik
dalam Islam bukanlah kompromi ideologis, tetapi realisasi prinsip maqāṣid
al-syarī‘ah dalam tata pemerintahan: keadilan, kemaslahatan, dan
kesejahteraan sosial.¹⁴
Dalam konteks
Indonesia, tawasuth
menjadi landasan penting bagi integrasi antara Islam dan Pancasila.¹⁵ Islam
moderat menolak politisasi agama yang eksklusif sekaligus menghindari
sekularisme yang menyingkirkan agama dari ruang publik.¹⁶ Melalui prinsip tawazun,
Islam di Indonesia mampu berperan sebagai kekuatan moral yang menyeimbangkan
kepentingan agama dan negara, serta memperkuat demokrasi berbasis etika
spiritual.¹⁷
6.3.
Dimensi Pendidikan: Pembentukan Karakter
Moderat
Dimensi pendidikan
merupakan kunci strategis dalam menanamkan nilai-nilai tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
secara sistemik. Dalam tradisi Islam, pendidikan (tarbiyah) tidak hanya berfungsi
mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk kepribadian seimbang antara
akal, moral, dan spiritual.¹⁸ Al-Ghazālī menekankan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah tahdzīb al-nafs—penyucian jiwa—yang
melahirkan manusia berakhlak adil dan moderat.¹⁹
Dalam konteks
modern, pendidikan moderasi Islam diarahkan untuk membangun karakter pelajar
yang berpikir kritis, terbuka terhadap perbedaan, dan menolak kekerasan
ideologis.²⁰ Lembaga pendidikan Islam (madrasah, pesantren, universitas Islam)
memiliki peran strategis dalam mengintegrasikan nilai-nilai wasathiyyah
ke dalam kurikulum dan budaya sekolah.²¹ Yusuf al-Qaradawi menyarankan bahwa
pendidikan Islam harus menekankan tiga aspek keseimbangan: antara ilmu dan
amal, antara dunia dan akhirat, serta antara individu dan masyarakat.²²
Selain itu,
pendidikan tasamuh
menjadi sarana penting dalam membentuk kesadaran multikultural.²³ Melalui
dialog lintas iman, kerja sama sosial, dan kegiatan keagamaan inklusif, peserta
didik diajak memahami bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman.²⁴
Pendidikan moderasi juga berperan dalam membangun civil society yang berkeadaban dan
demokratis, sebagaimana ditunjukkan dalam praksis sosial Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama di Indonesia.²⁵
Dengan demikian,
dimensi sosial, politik, dan pendidikan dari tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
saling terkait dalam membentuk sistem nilai Islam yang integral. Ketiganya
meneguhkan bahwa moderasi bukan hanya doktrin moral, tetapi juga paradigma
sosial-politik dan strategi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan
masyarakat adil, damai, dan beradab.²⁶
Footnotes
[1]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 67.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 134.
[3]
Al-Qur’an, Surah An-Nahl [16] ayat 90.
[4]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 73.
[5]
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), 301.
[6]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks
Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 124.
[7]
W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon
Press, 1956), 229–232.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 52.
[9]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 104.
[10]
Al-Qur’an, Surah Asy-Syura [42] ayat 38.
[11]
Rashid Rida, Tafsīr al-Manār, vol. 4 (Kairo: Dār al-Manār,
1947), 58.
[12]
Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, vol. 1 (Beirut: Dār al-Fikr,
2004), 253.
[13]
Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and the Secular State: Negotiating
the Future of Shari‘a (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 49.
[14]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought,
2008), 95.
[15]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 63.
[16]
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 211.
[17]
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme hingga Post-Islamisme (Jakarta: Paramadina, 2011), 177.
[18]
Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education
(Jeddah: King Abdulaziz University, 1979), 37.
[19]
Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2005), 105.
[20]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005),
228.
[21]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III (Jakarta: Logos, 2001), 92.
[22]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 71.
[23]
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York:
HarperOne, 2008), 116.
[24]
John L. Esposito, The Future of Islam (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 145.
[25]
Ahmad Najib Burhani, Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (Jakarta:
Gramedia, 2019), 201.
[26]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 98.
7.
Dimensi
Ilmiah dan Interdisipliner
Kajian tentang tawasuth
(moderat), tawazun
(keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) tidak dapat
dibatasi pada wilayah teologis dan moral semata, melainkan memiliki implikasi
luas dalam ranah keilmuan dan interdisipliner. Ketiga konsep ini
merepresentasikan paradigma epistemik Islam yang menyatukan antara iman dan
ilmu, wahyu dan rasionalitas, serta antara nilai spiritual dan praksis sosial.¹
Dengan demikian, pendekatan interdisipliner menjadi niscaya agar nilai-nilai
moderasi Islam dapat diterjemahkan ke dalam berbagai disiplin ilmu, seperti
sosiologi, psikologi, politik, pendidikan, dan studi perdamaian.²
7.1.
Perspektif Ilmu Sosial: Moderasi sebagai Sistem
Sosial dan Kultural
Dalam ilmu
sosiologi, tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
dipahami sebagai sistem nilai yang menopang kohesi sosial dan stabilitas
masyarakat. Émile Durkheim menegaskan bahwa agama berfungsi sebagai kekuatan
integratif yang mengikat individu dalam tatanan moral kolektif.³ Dalam konteks
Islam, fungsi integratif itu diwujudkan melalui nilai wasathiyyah
yang menjaga keseimbangan antara tradisi dan perubahan, antara konservatisme
dan progresivisme.
Nilai tasamuh
memperkuat pluralisme sosial dengan mengajarkan pengakuan terhadap perbedaan
tanpa kehilangan identitas keagamaan.⁴ Hal ini sejalan dengan teori pluralisme
sosial yang dikemukakan oleh Peter L. Berger, di mana toleransi menjadi
prasyarat bagi keberlanjutan masyarakat majemuk.⁵ Sementara itu, tawazun
berfungsi sebagai “mekanisme sosial” yang menstabilkan relasi antara
kekuatan agama dan negara, serta antara kepentingan individu dan masyarakat.⁶
Dalam perspektif ini, moderasi Islam bukan hanya etika individual, melainkan
paradigma sosial yang berorientasi pada keseimbangan sistemik.
7.2.
Perspektif Psikologis: Keseimbangan Jiwa dan
Etika Empati
Dalam psikologi
moral, nilai tawasuth dan tawazun
mencerminkan prinsip keseimbangan emosi dan rasionalitas dalam pembentukan
kepribadian.⁷ Manusia moderat adalah individu yang mampu mengendalikan dorongan
ekstrem antara agresivitas dan pasivitas, antara fanatisme dan apatisme.⁸ Dalam
kerangka psikologi Islam, keseimbangan ini berkaitan dengan teori al-nafs
al-muṭma’innah—jiwa yang tenang karena mencapai harmoni antara
potensi akal, hati, dan nafsu.⁹
Tasamuh
dalam perspektif psikologi sosial menjadi dasar bagi empati dan keterbukaan
terhadap kelompok lain. Carl Rogers menjelaskan bahwa empati merupakan salah
satu unsur utama kepribadian sehat yang memungkinkan manusia memahami orang
lain tanpa kehilangan integritas diri.¹⁰ Dalam konteks Islam, empati dan
toleransi tidak hanya bernilai moral, tetapi juga berfungsi sebagai mekanisme
psikologis yang memperkuat ukhuwah insaniyyah.¹¹ Dengan
demikian, nilai-nilai tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
mendukung pembentukan kesehatan mental kolektif dan individu dalam masyarakat
multikultural.
7.3.
Perspektif Filsafat dan Etika: Integrasi Akal
dan Wahyu
Dari sudut pandang
filsafat moral, tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
merepresentasikan integrasi antara etika rasional dan etika teonom. Dalam etika
Aristotelian, kebajikan terletak pada “jalan tengah” (golden
mean) antara dua ekstrem moral.¹² Islam mengadopsi prinsip serupa,
tetapi menempatkannya dalam kerangka teologis: jalan tengah bukan hasil
relativisme moral, melainkan wujud keadilan ilahi yang menjadi teladan bagi
perilaku manusia.¹³
Dalam perspektif
Islam, akal (‘aql) berfungsi menalar wahyu agar
manusia dapat mengekspresikan nilai keadilan dan kasih sayang dalam tindakan
konkret. Al-Ghazālī menegaskan bahwa akal adalah “cahaya” yang memandu
syariat, sementara syariat adalah “matahari” yang menerangi akal.¹⁴
Dengan demikian, hubungan antara rasionalitas dan wahyu bersifat koheren, bukan
antagonistik.
Seyyed Hossein Nasr
menambahkan bahwa integrasi ini melahirkan epistemologi tauhidik—pandangan
ilmu yang mempersatukan realitas fisik, intelektual, dan spiritual di bawah
kesatuan Ilahi.¹⁵ Dalam kerangka ini, tawasuth menjadi ekspresi
intelektual dari tauhid; tawazun mewakili keteraturan
kosmik; dan tasamuh merupakan manifestasi etik
dari cinta Ilahi yang menembus batas agama dan budaya.¹⁶
7.4.
Perspektif Interdisipliner Kontemporer:
Moderasi Islam dalam Ilmu dan Peradaban
Dalam paradigma ilmu
kontemporer, wasathiyyah dapat berfungsi sebagai
prinsip interdisipliner yang mengintegrasikan sains dan humaniora. Islam
menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu duniawi, karena keduanya merupakan
jalan menuju kebenaran Ilahi.¹⁷ Fazlur Rahman menegaskan bahwa pembaruan ilmu
dalam Islam harus berlandaskan ijtihad epistemologis yang
moderat—yakni berpijak pada wahyu, tetapi terbuka terhadap penemuan empiris dan
rasional.¹⁸
Dalam studi
lingkungan dan teknologi, nilai tawazun menjadi kerangka etis bagi
ekologi Islam, menuntut keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam.¹⁹
Sedangkan dalam studi perdamaian (peace studies), tasamuh
menjadi dasar dialog antaragama dan diplomasi kultural untuk mencegah konflik
berbasis identitas.²⁰ Dengan demikian, moderasi Islam tidak berhenti pada ranah
moral atau teologis, tetapi juga menjadi paradigma ilmiah yang menghubungkan
pengetahuan, nilai, dan kemaslahatan.²¹
Melalui pendekatan
interdisipliner, tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
membentuk paradigma ilmu yang humanistik dan integral—paradigma yang memandang
manusia sebagai makhluk rasional sekaligus spiritual, individu sekaligus
sosial, pencari kebenaran sekaligus penjaga keseimbangan.²² Dengan demikian, moderasi
Islam adalah jembatan antara ilmu dan nilai, antara sains dan spiritualitas,
serta antara pengetahuan dan kebijaksanaan.²³
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1991), 14.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 85.
[3]
Émile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life, trans.
Karen Fields (New York: Free Press, 1995), 432.
[4]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 78.
[5]
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological
Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967), 154.
[6]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 94.
[7]
Al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2005), 89.
[8]
A. H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed. (New York:
Harper & Row, 1987), 211.
[9]
Malik Badri, The Dilemma of Muslim Psychologists (London: MWH
London, 1979), 58.
[10]
Carl R. Rogers, On Becoming a Person (Boston: Houghton
Mifflin, 1961), 37.
[11]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), 103.
[12]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1985), 42.
[13]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1994), 81.
[14]
Al-Ghazālī, Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl, vol. 1 (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 29.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 122.
[16]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperCollins, 2002), 146.
[17]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ABIM, 1978), 124.
[18]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 18.
[19]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 77.
[20]
John L. Esposito and Dalia Mogahed, Who Speaks for Islam? What a
Billion Muslims Really Think (New York: Gallup Press, 2007), 166.
[21]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought,
2008), 112.
[22]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy, 2003), 91.
[23]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III (Jakarta: Logos, 2001), 104.
8.
Kritik
dan Tantangan Konseptual
Konsep tawasuth
(moderat), tawazun
(keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) dalam Islam,
meskipun memiliki landasan teologis yang kuat dan relevansi universal, tidak
luput dari kritik dan tantangan konseptual, baik dari kalangan internal umat
Islam sendiri maupun dari para pemikir modern. Kritik tersebut terutama
berkaitan dengan persoalan ambiguitas konseptual, potensi
penyalahgunaan politik, serta tantangan epistemologis dan praksis
dalam penerapannya di tengah dinamika sosial kontemporer.¹
8.1.
Kritik Internal: Ambiguitas dan Reduksi Makna
Moderasi
Dari sisi internal,
sebagian ulama dan intelektual Muslim mengingatkan bahwa istilah wasathiyyah
kerap disalahpahami sebagai sikap kompromistis yang mengaburkan prinsip
kebenaran.² Dalam pengertian teologis, tawasuth tidak berarti “setengah-setengah”
antara benar dan salah, tetapi keadilan (‘adl) dan proporsionalitas dalam
menimbang nilai.³ Namun, dalam praktik sosial-politik, istilah moderasi sering
direduksi menjadi slogan moral tanpa kedalaman epistemik.
Ibn Taymiyyah
mengingatkan bahwa jalan tengah bukan berarti netralitas pasif, melainkan
istiqamah terhadap kebenaran tanpa melampaui batas (ghuluw)
atau meremehkan syariat (tafrīṭ).⁴ Ia menolak tafsir “moderat”
yang mengorbankan prinsip aqidah demi kompromi sosial. Kritik serupa juga
muncul dari sebagian cendekiawan kontemporer seperti Abu Hasan al-Nadwi, yang
menilai bahwa “Islam moderat” berpotensi mengarah pada sekularisasi nilai jika
tidak disandarkan pada tauhid.⁵
Ambiguitas ini juga
tampak dalam penggunaan istilah tawazun. Dalam beberapa konteks,
keseimbangan ditafsirkan secara pragmatis, sehingga nilai-nilai fundamental
Islam kehilangan arah moralnya.⁶ Dalam hal ini, tawazun seharusnya tidak berarti
mencari titik tengah secara politis, tetapi menjaga keserasian antara dimensi
dunia dan akhirat, akal dan wahyu, kebebasan dan tanggung jawab.⁷
8.2.
Kritik Eksternal: Moderasi dan Tantangan
Epistemologis
Dari perspektif
filsafat modern dan teori sosial, muncul kritik bahwa konsep moderasi Islam
masih bersifat normatif dan belum memiliki metodologi epistemologis yang
sistematis. Fazlur Rahman, misalnya, menilai bahwa banyak diskursus tentang
moderasi hanya menekankan aspek moral tanpa mengembangkan struktur pengetahuan
yang mampu menjawab tantangan modernitas.⁸ Moderasi yang tidak disertai
pembaruan epistemologi berisiko terjebak dalam moralitas simbolik yang tidak
efektif dalam menghadapi krisis sosial dan teknologi.
Selain itu, sebagian
sarjana Barat menilai bahwa tawasuth dan tasamuh
sering dimanfaatkan sebagai strategi “self-presentation” politik umat
Islam dalam menghadapi wacana globalisasi dan Islamofobia.⁹ Dalam konteks ini,
konsep moderasi menjadi alat representasi yang menenangkan pihak luar, tetapi
kurang menyentuh akar problem sosial internal umat Islam sendiri, seperti
ketimpangan, korupsi, dan krisis pendidikan.¹⁰
Kritik epistemologis
juga datang dari pendekatan postmodernis yang menolak universalitas moral.
Mereka berargumen bahwa moderasi adalah konstruksi sosial yang bersifat
kontekstual, sehingga tidak bisa diperlakukan sebagai prinsip absolut.¹¹ Namun,
dalam perspektif Islam, nilai tawasuth dan tawazun
justru berakar pada tauhid yang bersifat universal dan abadi, sekaligus fleksibel
terhadap konteks historis.¹²
8.3.
Tantangan Praksis: Polarisasi Ideologi dan
Krisis Digital
Tantangan utama
dalam penerapan nilai-nilai moderasi dewasa ini adalah polarisasi ideologis dan
disinformasi di ruang publik digital.¹³ Media sosial telah menjadi arena baru
di mana ekstremisme, ujaran kebencian, dan simplifikasi ajaran agama berkembang
pesat. Nilai tasamuh sering disalahartikan
sebagai kelemahan, sedangkan tawasuth dituduh sebagai bentuk “ketidakjelasan
sikap.”¹⁴
Dalam masyarakat
yang semakin terfragmentasi oleh politik identitas, penerapan tawazun
menjadi semakin sulit. Satu pihak menuduh moderasi sebagai bentuk kompromi
terhadap prinsip keislaman, sementara pihak lain menuduhnya sebagai bentuk
konservatisme yang lembut.¹⁵ Akibatnya, nilai-nilai keseimbangan yang sejatinya
bersifat integratif justru terjebak dalam polarisasi semantik dan ideologis.
Fenomena ini
menuntut reinterpretasi konseptual agar wasathiyyah dapat diaktualisasikan
dalam bentuk praksis sosial yang transformatif.¹⁶ Moderasi Islam tidak cukup
dipahami sebagai ide normatif, tetapi harus diwujudkan dalam struktur sosial,
kebijakan publik, dan pendidikan yang mendukung keterbukaan, keadilan, serta
literasi digital yang etis.¹⁷
8.4.
Tantangan Filosofis: Batas Antara Toleransi dan
Relativisme
Tantangan filosofis
terbesar dalam tasamuh adalah menjaga keseimbangan
antara penghormatan terhadap perbedaan dan komitmen terhadap kebenaran. Seyyed
Hossein Nasr memperingatkan bahwa toleransi sejati tidak sama dengan
relativisme moral; ia memerlukan keyakinan terhadap kebenaran transenden yang
menjadi dasar penghormatan terhadap yang lain.¹⁸ Jika toleransi dipisahkan dari
spiritualitas dan prinsip ilahi, ia berisiko menjadi sikap permisif tanpa arah
moral.¹⁹
Oleh karena itu, tasamuh
dalam Islam harus dipahami sebagai rahmah muqayyadah—kasih sayang yang
terikat oleh nilai tauhid dan keadilan.²⁰ Prinsip ini membedakan toleransi
Islam dari relativisme liberal yang meniadakan standar moral universal. Islam
mengajarkan keterbukaan terhadap perbedaan, tetapi menolak nihilisme nilai.
Dengan demikian, kritik terhadap tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
justru memperkaya wacana etis Islam agar tetap dinamis, reflektif, dan
kontekstual.²¹
8.5.
Arah Rekonstruksi: Menuju Moderasi yang Kritis
dan Transformatif
Menghadapi kritik
dan tantangan tersebut, sejumlah pemikir Muslim kontemporer menyerukan perlunya
rekonstruksi konseptual moderasi Islam. Tariq Ramadan, misalnya, menegaskan
bahwa moderasi sejati tidak cukup berhenti pada keseimbangan moral, tetapi
harus berwujud dalam ethical engagement—yakni
keterlibatan etis yang aktif dalam memperjuangkan keadilan sosial dan
ekologis.²²
Rekonstruksi ini
menuntut pendekatan interdisipliner yang memadukan teologi, filsafat, dan ilmu
sosial.²³ Dengan cara itu, tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
dapat bertransformasi dari slogan moral menjadi kerangka etik yang aplikatif,
kritis, dan kontekstual dalam membangun masyarakat beradab.²⁴
Footnotes
[1]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 81.
[2]
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 59.
[3]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.
[4]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, vol. 11 (Riyadh: Maktabah
al-Riyāḍ, 1995), 19.
[5]
Abu Hasan al-Nadwi, Mādzā Khasira al-‘Ālam bi Inḥiṭāṭ al-Muslimīn
(Kairo: Dār al-Nashr al-Islāmī, 1950), 75.
[6]
Rashid Rida, Tafsīr al-Manār, vol. 4 (Kairo: Dār al-Manār,
1947), 58.
[7]
Al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2005), 78.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
15–16.
[9]
John L. Esposito, The Future of Islam (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 142.
[10]
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York:
HarperOne, 2008), 117.
[11]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, trans. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
56.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 128.
[13]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 219.
[14]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 8 (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), 254.
[15]
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme hingga Post-Islamisme (Jakarta: Paramadina, 2011), 183.
[16]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought,
2008), 104.
[17]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005),
226.
[18]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 165.
[19]
Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 92.
[20]
Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya [21] ayat 107.
[21]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks
Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 139.
[22]
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 105.
[23]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy, 2003), 97.
[24]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1994), 84.
9.
Relevansi
Kontemporer
Dalam konteks global
yang ditandai oleh krisis kemanusiaan, konflik ideologis, dan disrupsi digital,
nilai-nilai tawasuth (moderat), tawazun
(keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) semakin
menemukan relevansi strategisnya. Islam dengan prinsip wasathiyyah
tidak hanya menawarkan solusi etis bagi persoalan internal umat, tetapi juga
menyediakan paradigma universal untuk membangun peradaban global yang damai,
adil, dan berkeadaban.¹ Ketiga konsep tersebut bukan lagi sekadar ideal moral,
melainkan kebutuhan historis untuk menghadapi realitas modern yang kompleks dan
ambivalen.²
9.1.
Relevansi dalam Konteks Global dan Antaragama
Dalam era
globalisasi, dunia menghadapi meningkatnya ketegangan antaragama dan
radikalisasi berbasis identitas. Nilai tasamuh menjadi sangat penting
sebagai etika lintas agama yang meneguhkan dialog, bukan dominasi.³ Rasulullah Saw.
telah menunjukkan teladan pluralisme konstruktif dalam Piagam Madinah—menjamin
hak-hak non-Muslim dan menegakkan keadilan universal tanpa memaksakan
keyakinan.⁴ Prinsip ini kini menjadi model yang dapat diterapkan dalam hubungan
antaragama di dunia kontemporer yang sarat polarisasi.
Tokoh-tokoh seperti
Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa tasamuh harus dipahami sebagai
ekspresi spiritualitas yang menghormati kebenaran transenden di setiap agama.⁵
Dalam perspektif filsafat perenial, toleransi Islam bukan relativisme,
melainkan bentuk pengakuan akan keberagaman manifestasi kebenaran Ilahi.⁶ Maka,
tasamuh
menjadi jalan menuju peaceful coexistence dan interfaith
cooperation dalam tatanan global yang semakin plural.
Sementara itu, tawasuth
dan tawazun
dapat menjadi paradigma etis dalam diplomasi dan hubungan internasional.⁷
Moderasi Islam mendorong dialog antarperadaban, sebagaimana dikembangkan oleh
pemikir seperti Tariq Ramadan dan Azyumardi Azra, yang melihat moderasi sebagai
soft
power budaya untuk menolak ekstremisme, baik dalam bentuk kekerasan
ideologis maupun hegemoni politik global.⁸
9.2.
Relevansi dalam Konteks Sosial dan Politik
Nasional
Dalam konteks
Indonesia, nilai-nilai tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
memiliki peran krusial dalam menjaga kebinekaan dan memperkuat kohesi sosial.
Islam Nusantara, yang diusung oleh ormas seperti Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah, merupakan ekspresi historis dari penerapan moderasi Islam dalam
realitas sosial yang majemuk.⁹ Azyumardi Azra menyebutnya sebagai “Islam
yang berperadaban” (civil Islam), yaitu Islam yang
hidup berdampingan secara harmonis dalam kerangka Pancasila dan demokrasi.¹⁰
Nilai tawasuth
mendorong umat Islam untuk berperan sebagai penjaga keseimbangan moral di
tengah dinamika politik yang sering kali diwarnai polarisasi identitas.¹¹ Dalam
hal ini, moderasi tidak berarti pasif, tetapi aktif menjaga prinsip keadilan
dan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah). Tawazun
berperan menjaga hubungan proporsional antara agama dan negara, menghindari
baik ekstremisme teokratis maupun sekularisme radikal.¹² Sedangkan tasamuh
menumbuhkan kesadaran bahwa keberagaman adalah kekuatan spiritual bangsa, bukan
ancaman terhadap identitas keagamaan.¹³
Fenomena sosial
kontemporer menunjukkan urgensi penguatan etika moderasi, terutama di era
pasca-kebenaran (post-truth) dan polarisasi media
digital.¹⁴ Nilai tawasuth dapat menjadi panduan
moral untuk menegakkan etika komunikasi publik yang rasional dan empatik,
menghindarkan umat dari provokasi, disinformasi, dan ujaran kebencian.¹⁵
9.3.
Relevansi dalam Dunia Pendidikan dan Kebudayaan
Di bidang
pendidikan, tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
berfungsi sebagai nilai dasar pembentukan karakter kebangsaan dan keislaman.
Pendidikan moderasi berperan menumbuhkan kecerdasan moral dan spiritual yang
seimbang antara iman, ilmu, dan amal.¹⁶ Melalui kurikulum berbasis wasathiyyah,
peserta didik didorong untuk berpikir kritis, terbuka terhadap perbedaan, dan
menjauhi radikalisme.¹⁷
Yusuf al-Qaradawi
menegaskan bahwa moderasi harus diajarkan sebagai prinsip integral dalam sistem
pendidikan Islam agar generasi muda tidak terjebak pada ekstremisme pemikiran
atau materialisme modern.¹⁸ Sementara Quraish Shihab menambahkan bahwa pendidikan
moderasi harus menyentuh dimensi budaya, melalui dakwah yang santun, literasi
digital, dan pelestarian nilai-nilai keindonesiaan yang inklusif.¹⁹
Dalam dimensi
kebudayaan, tasamuh menjadi dasar etika estetik
Islam yang menghargai perbedaan ekspresi seni dan tradisi. Islam moderat
menolak puritanisme kultural yang menafikan kreativitas, sekaligus menghindari
liberalisme kultural yang tanpa batas.²⁰ Tawazun dalam seni dan budaya
melahirkan harmoni antara keindahan dan moralitas, antara inovasi dan tradisi.²¹
Dengan demikian, moderasi Islam dapat membangun peradaban yang berakar pada
nilai ilahi, tetapi terbuka terhadap dinamika kemanusiaan.
9.4.
Relevansi dalam Era Digital dan Ekologi Global
Dalam era digital, tawasuth
menjadi etika baru dalam bermedia.²² Islam moderat mengajarkan literasi digital
yang berkeadaban: menggunakan teknologi secara seimbang, etis, dan bertanggung
jawab. Tasamuh
menjadi prinsip dasar dalam komunikasi daring, mendorong penghormatan terhadap
perbedaan pandangan dan menolak ujaran kebencian.²³
Di sisi lain, krisis
ekologi global menuntut aktualisasi tawazun dalam hubungan manusia
dengan alam.²⁴ Islam menegaskan prinsip keseimbangan ekologis dalam QS.
Ar-Rahman [55] ayat 7–9, bahwa keseimbangan semesta harus dijaga sebagai
amanah.²⁵ Konsep tawazun ekologis ini memberikan
dasar etis bagi paradigma pembangunan berkelanjutan yang selaras dengan maqāṣid
al-syarī‘ah: menjaga kehidupan (ḥifẓ al-nafs) dan keturunan (ḥifẓ
al-nasl).²⁶
Dengan demikian,
relevansi tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
dalam era kontemporer bersifat multidimensional. Ia bukan sekadar seruan moral,
tetapi strategi etis dan kultural untuk menghadapi tantangan zaman:
ekstremisme, disrupsi digital, degradasi moral, dan krisis ekologi.²⁷ Ketiganya
menawarkan paradigma Islam yang inklusif, dinamis, dan humanistik—suatu bentuk
spiritualitas aktif yang menegakkan keadilan dan kasih sayang universal di
tengah dunia yang terbelah.²⁸
Footnotes
[1]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 93.
[2]
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 61.
[3]
John L. Esposito and Dalia Mogahed, Who Speaks for Islam? What a
Billion Muslims Really Think (New York: Gallup Press, 2007), 145.
[4]
W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon
Press, 1956), 229–232.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 172.
[6]
Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University
Press, 1996), 130.
[7]
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 118.
[8]
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme hingga Post-Islamisme (Jakarta: Paramadina, 2011), 191.
[9]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 83.
[10]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks
Keindonesiaan dan Keislaman (Jakarta: Kompas, 2016), 143.
[11]
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), 303.
[12]
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan
Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), 215.
[13]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005),
238.
[14]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 221.
[15]
Charles Kimball, When Religion Becomes Evil (New York:
HarperOne, 2008), 127.
[16]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III (Jakarta: Logos, 2001), 105.
[17]
Abd al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī
(Kairo: Dār al-Hadith, 1997), 25.
[18]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 101.
[19]
Quraish Shihab, Wasathiyyah, 74.
[20]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Art and Spirituality (Albany:
SUNY Press, 1987), 92.
[21]
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat
Islam (Bandung: Mizan, 2006), 91.
[22]
John L. Esposito, The Future of Islam (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 148.
[23]
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan
(Jakarta: Rajawali Press, 1999), 214.
[24]
Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha
Publishers, 1992), 31.
[25]
Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7–9.
[26]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought,
2008), 115.
[27]
Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 96.
[28]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 101.
10. Sintesis Filosofis: Menuju Etika Moderasi Islam
yang Integral dan Humanistik
Sintesis filosofis
terhadap konsep tawasuth (moderat), tawazun
(keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) menuntun pada
pemahaman bahwa ketiganya tidak berdiri sebagai gagasan etis yang terpisah,
melainkan membentuk satu kesatuan sistem nilai yang integral dalam etika Islam.
Secara filosofis, ketiga prinsip ini merepresentasikan harmoni antara dimensi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis ajaran Islam.¹ Etika moderasi Islam
bukan sekadar etika praktis, melainkan etika transendental-humanistik yang
menjembatani hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam.²
10.1.
Sintesis Ontologis: Moderasi sebagai Struktur
Keberadaan Islami
Secara ontologis, tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
merupakan refleksi langsung dari realitas tauhid. Dalam pandangan metafisika
Islam, seluruh eksistensi tunduk pada prinsip keseimbangan kosmik yang diatur
oleh kehendak Ilahi: “Wa al-samā’a rafa‘ahā wa waḍa‘a al-mīzān”
(Dia meninggikan langit dan menetapkan keseimbangan) (QS. Ar-Rahman [55] ayat 7).³
Dengan demikian, keseimbangan bukan hanya norma moral, tetapi struktur
ontologis dari ciptaan.
Seyyed Hossein Nasr
menjelaskan bahwa tauhid memuat konsekuensi ontologis berupa kesatuan antara
yang rasional, spiritual, dan material.⁴ Dari sini, tawasuth merupakan ekspresi
eksistensial manusia untuk hidup selaras dengan keseimbangan semesta; tawazun
menjadi prinsip keberadaan yang mengatur keteraturan hubungan manusia dengan
Tuhan, sesama, dan alam; sedangkan tasamuh menandai kesadaran akan
keterikatan ontologis antar-manusia sebagai makhluk Tuhan yang setara dalam
martabat.⁵
Dengan demikian,
moderasi Islam memiliki dasar ontologis yang kuat: ia bukan konstruksi sosial
semata, tetapi manifestasi dari keteraturan Ilahi (al-niẓām al-ilāhī) yang mengalir
dalam realitas wujud.⁶ Dalam kerangka ini, hidup secara moderat berarti hidup
dalam harmoni dengan tatanan kosmos dan hukum Tuhan, menjauh dari segala bentuk
ekses, ketimpangan, dan permusuhan.
10.2.
Sintesis Epistemologis: Integrasi Wahyu, Akal,
dan Pengalaman
Dari perspektif
epistemologis, tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
merepresentasikan model pengetahuan yang integratif—menggabungkan wahyu,
rasionalitas, dan pengalaman empiris sebagai jalan menuju kebenaran. Fazlur
Rahman menyebut pendekatan ini sebagai double movement epistemologi Islam:
gerak dari teks menuju konteks dan dari konteks kembali ke teks.⁷
Tawasuth
menjadi kerangka epistemik yang menolak ekstremitas metodologis: antara
skripturalisme yang kaku dan rasionalisme yang bebas nilai. Tawazun
menekankan perlunya keseimbangan antara iman dan ilmu, antara dogma dan
refleksi kritis, sedangkan tasamuh membuka ruang dialog
pengetahuan lintas budaya dan agama tanpa kehilangan komitmen terhadap
kebenaran wahyu.⁸
Dalam kerangka
filsafat ilmu Islam, integrasi antara akal dan wahyu menghasilkan epistemologi
tauhidik yang tidak hanya menjelaskan fenomena, tetapi juga
memaknai nilai dan tujuan eksistensinya.⁹ Mulyadhi Kartanegara menegaskan bahwa
integrasi ilmu dalam Islam berlandaskan prinsip kesatuan realitas (unity of
being) dan kesatuan pengetahuan (unity of knowledge), yang
menjadikan moderasi sebagai landasan epistemik ilmu yang berimbang dan
berkeadaban.¹⁰
10.3.
Sintesis Aksiologis: Moderasi sebagai Orientasi
Etika Kemanusiaan
Secara aksiologis,
etika moderasi Islam menempatkan manusia sebagai makhluk moral yang bertanggung
jawab menjaga keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan sosial. Nilai tawasuth
melatih manusia untuk berlaku adil dan proporsional, tawazun
mendorong keserasian antara spiritualitas dan rasionalitas, sedangkan tasamuh
menumbuhkan kasih sayang dan penghormatan terhadap perbedaan.¹¹
Ketiganya berujung
pada cita etika Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi
semesta alam).¹² Dalam pengertian ini, etika moderasi bukan hanya etika
normatif, melainkan juga etika transformatif: membentuk individu yang berakhlak
dan masyarakat yang berkeadaban (madani).¹³ Yusuf al-Qaradawi
menyebutnya sebagai wasathiyyah insaniyyah—moderasi
yang berorientasi pada kemaslahatan manusia tanpa melepaskan nilai-nilai
ketuhanan.¹⁴
Etika ini menegaskan
keseimbangan antara haqq Allah (hak Tuhan) dan haqq
al-nās (hak manusia), sehingga moralitas Islam tidak bersifat
asketis, tetapi sosial dan profetik.¹⁵ Dalam praktiknya, etika moderasi ini
menuntun manusia untuk mengembangkan keadilan sosial, toleransi antaragama,
tanggung jawab ekologis, dan solidaritas kemanusiaan global.¹⁶
10.4.
Sintesis Humanistik: Moderasi sebagai Paradigma
Peradaban
Filsafat moderasi
Islam menemukan puncaknya dalam sintesis humanistik, yakni pandangan bahwa
keberagamaan sejati harus menumbuhkan kemanusiaan universal (al-insāniyyah
al-kulliyyah).¹⁷ Tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
membentuk landasan bagi humanisme Islam—sebuah orientasi
moral yang mengakui kehormatan manusia (karāmah insāniyyah) sebagai
refleksi dari kehadiran Ilahi.¹⁸
Tariq Ramadan
menyebut moderasi sebagai ethical activism: komitmen etis
untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia.¹⁹
Dalam kerangka ini, Islam tidak sekadar agama ritual, tetapi peradaban moral
yang menyatukan iman dengan tanggung jawab sosial. Etika moderasi menjadi
jembatan antara teologi dan humanisme, antara spiritualitas dan praksis
sosial.²⁰
Dengan demikian, tawasuth
menjadi jalan kebijaksanaan (ḥikmah), tawazun
menjadi hukum keseimbangan kosmik dan moral, sedangkan tasamuh
menjadi cinta aktif yang melampaui sekat ideologis.²¹ Ketiganya menyatu dalam
visi etika Islam yang integral dan humanistik: membangun dunia yang
berkeadilan, damai, dan beradab, di mana iman tidak memisahkan manusia dari
manusia lain, tetapi justru meneguhkan keterikatan dalam kemanusiaan bersama.²²
Footnotes
[1]
Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat
Islam (Bandung: Mizan, 2006), 95.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 92.
[3]
Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 122.
[5]
Ibid., 130–131.
[6]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperCollins, 2002), 166.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 8–9.
[8]
Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 85.
[9]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 141.
[10]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy, 2003), 89.
[11]
Abu Hamid al-Ghazālī, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2005), 81.
[12]
Al-Qur’an, Surah Al-Anbiya [21] ayat 107.
[13]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought,
2008), 120.
[14]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 103.
[15]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1994), 93.
[16]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2005),
241.
[17]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), 106.
[18]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 92.
[19]
Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 115.
[20]
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan
(Jakarta: Rajawali Press, 1999), 219.
[21]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, 174.
[22]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 102.
11. Kesimpulan
Konsep tawasuth
(moderat), tawazun
(keseimbangan), dan tasamuh (toleransi) merupakan inti
dari etika dan spiritualitas Islam yang berakar pada prinsip wasathiyyah
sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an dan diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw.¹
Ketiganya bukan sekadar nilai moral, melainkan fondasi filosofis yang
menyatukan aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari ajaran Islam. Tawasuth
menghadirkan jalan tengah yang berkeadilan; tawazun mengatur keseimbangan
antara akal dan wahyu, dunia dan akhirat; sedangkan tasamuh memupuk kesadaran kemanusiaan
yang terbuka terhadap perbedaan.²
Secara ontologis,
moderasi mencerminkan struktur kosmik ciptaan yang berlandaskan pada prinsip
keseimbangan Ilahi.³ Manusia sebagai khalifah (khalīfah fī al-arḍ) dipanggil untuk
hidup sejalan dengan keteraturan semesta dan menjaga harmoni antara Tuhan,
manusia, dan alam.⁴ Dengan demikian, tawasuth, tawazun,
dan tasamuh
bukan sekadar etika sosial, melainkan modus eksistensi manusia yang sadar akan
tanggung jawab kosmiknya di hadapan Tuhan.⁵
Secara epistemologis,
moderasi Islam menegaskan pentingnya integrasi antara wahyu dan akal.⁶ Wahyu
menyediakan sumber kebenaran mutlak, sedangkan akal berfungsi untuk menafsirkan
dan mengaktualisasikannya dalam konteks ruang dan waktu. Dalam keseimbangan
inilah lahir paradigma pengetahuan Islam yang tidak anti-rasional tetapi juga
tidak terjebak dalam sekularisme epistemik.⁷ Tawasuth menolak ekstremitas
metodologis; tawazun menjaga harmoni antara ilmu
dan iman; dan tasamuh membuka ruang bagi dialog
pengetahuan antarperadaban.⁸
Secara aksiologis,
nilai-nilai moderasi Islam berorientasi pada kemaslahatan universal (maslahah
‘āmmah) dan kemanusiaan global (al-insāniyyah al-kulliyyah).⁹ Islam
tidak hanya mengajarkan keimanan, tetapi juga mengarahkan tindakan manusia
menuju keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian sosial.¹⁰ Dalam konteks ini, tasamuh
meneguhkan penghormatan terhadap martabat manusia; tawazun memastikan keadilan
struktural; dan tawasuth menjamin bahwa kebenaran
diterapkan secara proporsional tanpa menzalimi pihak lain.¹¹
Di tengah krisis
kemanusiaan, ekstremisme ideologis, serta tantangan globalisasi dan
digitalisasi, etika moderasi Islam menjadi paradigma yang relevan untuk
menegakkan keadaban dunia.¹² Nilai tawasuth dapat menuntun umat dalam
berpikir kritis tanpa kehilangan spiritualitas; tawazun menegaskan perlunya harmoni
antara kemajuan teknologi dan moralitas; dan tasamuh meneguhkan peradaban kasih
sayang di atas perbedaan.¹³
Etika moderasi Islam
dengan demikian bukan hanya ajaran moral, tetapi proyek peradaban yang integral
dan humanistik.¹⁴ Ia menolak fanatisme dan nihilisme sekaligus, memadukan akal
dengan iman, serta menegaskan bahwa keberagamaan sejati adalah keberagamaan
yang melahirkan kemanusiaan.¹⁵ Moderasi Islam meneguhkan kembali pesan
universal Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan untuk menjadi ummatan
wasathan—umat yang adil, seimbang, dan menjadi saksi bagi
peradaban.¹⁶
Dengan demikian, tawasuth,
tawazun,
dan tasamuh
membentuk fondasi bagi etika Islam yang integral: berakar pada tauhid,
berorientasi pada keadilan, dan berbuah pada rahmah.¹⁷ Ketiganya bukan sekadar
jalan tengah, tetapi jalan kebijaksanaan (ṣirāṭ al-ḥikmah): jalan yang
menuntun manusia menuju keseimbangan spiritual, intelektual, dan sosial yang
mencerminkan wajah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.¹⁸
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.
[2]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij
(Kairo: Maktabah Wahbah, 2010), 121.
[3]
Al-Qur’an, Surah Ar-Rahman [55] ayat 7–9.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 118.
[5]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperCollins, 2002), 176.
[6]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 9.
[7]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 142.
[8]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Arasy, 2003), 87.
[9]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A
Systems Approach (London: International Institute of Islamic Thought,
2008), 127.
[10]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1994), 99.
[11]
Quraish Shihab, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama (Tangerang: Lentera Hati, 2022), 93.
[12]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 225.
[13]
Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 121.
[14]
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan
(Jakarta: Rajawali Press, 1999), 225.
[15]
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 1992), 305.
[16]
Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2] ayat 143.
[17]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 101.
[18]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), 108.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an.
Abduh, M. (1897). Risālat al-Tawḥīd. Kairo: Dār al-Manār.
Abduh, M. (1902). Al-Islām wa al-Nashr al-Ma‘ārif. Kairo: Al-Matba‘ah
al-Azhariyyah.
Abou El Fadl, K. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists.
San Francisco: HarperSanFrancisco.
al-Attas, S. M. N. (1978). Islam and Secularism. Kuala Lumpur:
ABIM.
al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of
Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC).
al-Farmawi, A. H. (1997). Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī. Kairo: Dār
al-Hadith.
al-Ghazālī, A. H. (1997). Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl (Vol. 1). Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Ghazālī, A. H. (2005). Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Vol. 3). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
al-Khalid, F. (1992). Islam and the Environment. London: Ta-Ha Publishers.
al-Ṭabarī. (1954). Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān (Vol. 2). Kairo:
Dār al-Ma‘ārif.
al-Rāzī, F. D. (1990). Al-Tafsīr al-Kabīr (Vol. 4). Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth
al-‘Arabī.
al-Qaradawi, Y. (2010). Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah: Ma‘alim wa Manāhij. Kairo:
Maktabah Wahbah.
al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, M. (2001). Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyyah.
Kairo: Dār al-Salām.
An-Na‘im, A. A. (2008). Islam and the Secular State: Negotiating the Future of
Shari‘a. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Aristotle. (1985). Nicomachean Ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis:
Hackett.
Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems
Approach. London: International Institute of Islamic Thought.
Azra, A. (1999). Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan.
Jakarta: Rajawali Press.
Azra, A. (2001). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Milenium III. Jakarta: Logos.
Azra, A. (2011). Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme
hingga Post-Islamisme. Jakarta: Paramadina.
Azra, A. (2016). Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan
dan Keislaman. Jakarta: Kompas.
Badri, M. (1979). The Dilemma of Muslim Psychologists. London: MWH London.
Bakar, O. (1992). Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur:
Islamic Texts Society.
Bakar, O. (1991). Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of
Islamic Science. Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of
Science.
Berger, P. L. (1967). The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of
Religion. New York: Anchor Books.
Burhani, A. N. (2019). Ensiklopedia Nahdlatul Ulama. Jakarta: Gramedia.
Durkheim, É. (1995). The Elementary Forms of Religious Life (K. Fields,
Trans.). New York: Free Press.
Effendy, B. (1998). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld.
Esposito, J. L. (2010). The Future of Islam. Oxford: Oxford University Press.
Esposito, J. L., & Mogahed, D. (2007). Who Speaks for Islam? What a Billion
Muslims Really Think. New York: Gallup Press.
Fadl, K. A. E. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists.
San Francisco: HarperSanFrancisco.
Farmawi, A. H. (1997). Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍū‘ī. Kairo: Dār
al-Hadith.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings,
1972–1977 (C. Gordon, Trans.). New York: Pantheon Books.
Ghazālī, A. H. (2005). Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Hamka. (1983). Tafsir Al-Azhar (Vols. 1–8). Jakarta: Pustaka Panjimas.
Ibn Kathīr. (1998). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Vol. 1). Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Ibn Khaldun. (2004). Al-Muqaddimah (Vol. 1). Beirut: Dār al-Fikr.
Ibn Taymiyyah. (1995). Majmū‘ al-Fatāwā (Vol. 11). Riyadh: Maktabah al-Riyāḍ.
Kimball, C. (2008). When Religion Becomes Evil. New York: HarperOne.
Kartanegara, M. (2003). Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung:
Arasy.
Kartanegara, M. (2006). Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam.
Bandung: Mizan.
Maarif, A. S. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Bandung: Mizan.
Madjid, N. (1992). Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Maslow, A. H. (1987). Motivation and Personality (3rd ed.). New York: Harper
& Row.
Nasr, S. H. (1987). Islamic Art and Spirituality. Albany: SUNY Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: SUNY Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford
University Press.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New
York: HarperCollins.
al-Nadwi, A. H. (1950). Mādzā Khasira al-‘Ālam bi Inḥiṭāṭ al-Muslimīn. Kairo:
Dār al-Nashr al-Islāmī.
Quraish Shihab, M. (2005). Membumikan Al-Qur’an. Bandung:
Mizan.
Quraish Shihab, M. (2007). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas
Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
Quraish Shihab, M. (2022). Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang
Moderasi Beragama. Tangerang: Lentera Hati.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
Rahman, F. (1994). Major Themes of the Qur’an. Minneapolis: Bibliotheca
Islamica.
Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the Future of Islam. Oxford: Oxford
University Press.
Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford:
Oxford University Press.
Rida, R. (1947). Tafsīr al-Manār (Vol. 1 & 4). Kairo: Dār al-Manār.
Rogers, C. R. (1961). On Becoming a Person. Boston: Houghton Mifflin.
Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. London:
Mansell.
Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred
Text of Islam. Oxford: Oxford University Press.
Syafii Maarif, A. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Bandung: Mizan.
Taymiyyah, I. (1995). Majmū‘ al-Fatāwā. Riyadh: Maktabah al-Riyāḍ.
Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Clarendon Press.
Watt, W. M. (1961). Muhammad: Prophet and Statesman. Oxford: Oxford
University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar