Minggu, 02 November 2025

Tawassuth (Moderasi): Fondasi Teologis Moderasi Islam dan Relevansinya terhadap Kehidupan Kontemporer

Tawassuth (Moderasi)

Fondasi Teologis Moderasi Islam dan Relevansinya terhadap Kehidupan Kontemporer


Alihkan ke: PPG 2019.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep tawassuth (moderasi) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits sebagai salah satu prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang menegaskan keseimbangan, keadilan, dan kebijaksanaan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan menggunakan pendekatan tematik (tafsir maudhu’i) dan analisis filosofis, tulisan ini menelusuri landasan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tawassuth, serta menguraikan implikasinya terhadap kehidupan sosial, politik, pendidikan, dan budaya kontemporer. Secara teologis, tawassuth berakar pada ajaran Al-Qur’an tentang ummatan wasathan (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143), yang menempatkan umat Islam sebagai komunitas penengah antara ekstremisme dan kelalaian, sekaligus penjaga keadilan dan keseimbangan moral.

Kajian ini menunjukkan bahwa tawassuth memiliki relevansi universal sebagai paradigma etika dan peradaban Islam yang integral serta humanistik. Secara ontologis, ia merefleksikan hukum keseimbangan dalam struktur kosmos dan keberadaan manusia; secara epistemologis, ia mengintegrasikan wahyu, akal, dan pengalaman empiris; dan secara aksiologis, ia menegaskan pentingnya keadilan, toleransi, dan kasih sayang sebagai nilai dasar kemanusiaan. Dalam konteks kontemporer, tawassuth menjadi prinsip strategis untuk menanggapi tantangan global seperti radikalisme, sekularisme ekstrem, dan krisis moral modern.

Sintesis filosofis yang dibangun dalam artikel ini menempatkan tawassuth sebagai etika integral dan humanistik yang menghubungkan iman dan rasio, spiritualitas dan kemanusiaan, serta tradisi dan kemajuan. Dengan demikian, tawassuth bukan sekadar konsep keagamaan normatif, tetapi paradigma peradaban yang mampu membangun tatanan dunia yang adil, damai, dan berkeadaban berdasarkan nilai-nilai ilahi yang inklusif.

Kata Kunci: Tawassuth, moderasi Islam, ummatan wasathan, etika humanistik, keseimbangan, filsafat Islam, keadilan, epistemologi Qur’ani.

 


PEMBAHASAN

Konsep Tawassuth dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


1.           Pendahuluan

Konsep tawassuth merupakan salah satu prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang menegaskan keseimbangan, keadilan, dan moderasi dalam segala aspek kehidupan. Prinsip ini tidak sekadar berfungsi sebagai pedoman moral atau sosial, tetapi juga mencerminkan karakter ontologis umat Islam yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai ummatan wasathan—yakni komunitas yang berada di tengah, adil, dan seimbang antara dua kutub ekstremitas.¹ Dalam konteks ini, tawassuth menjadi titik temu antara idealisme normatif ajaran Islam dan realitas kehidupan manusia yang dinamis, plural, dan kompleks.

Secara etimologis, istilah tawassuth berasal dari akar kata wasatha yang berarti tengah, adil, atau moderat.² Dalam Al-Qur’an, kata ini termaktub dalam firman Allah, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang wasath (tengah-tengah), agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143).³ Ayat ini menjadi dasar teologis bagi pandangan Islam yang menolak ekstremisme (ghuluw) dan sikap berlebihan dalam beragama, sekaligus menolak sikap menyepelekan atau melonggarkan ajaran secara tidak proporsional. Dengan demikian, tawassuth merupakan bentuk keseimbangan antara dua ekstrem: ifrāṭ (berlebihan) dan tafrīṭ (kelalaian).⁴

Dalam perspektif hadis, Nabi Muhammad Saw menegaskan pentingnya keseimbangan dan moderasi dalam beragama. Beliau bersabda, “Akan binasa orang-orang yang melampaui batas.” (HR. Muslim).⁵ Hadis ini menegaskan bahwa sikap berlebih-lebihan dalam menjalankan agama, meskipun tampak baik secara lahiriah, justru berpotensi menjerumuskan seseorang ke dalam sikap fanatisme dan kejumudan berpikir. Oleh karena itu, tawassuth bukan hanya ajaran normatif, tetapi juga refleksi dari hikmah dan rahmat dalam syariat Islam itu sendiri.

Konteks historis munculnya konsep tawassuth tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial-politik umat Islam sejak masa awal. Munculnya berbagai aliran pemikiran dan gerakan dalam Islam, seperti Khawarij yang cenderung ekstrem dalam memandang dosa besar, atau Murji’ah yang terlalu longgar dalam menilai keimanan, telah mendorong munculnya kesadaran akan perlunya jalan tengah yang adil dan proporsional.⁶ Dalam hal ini, para ulama klasik seperti Imam al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah berupaya menegakkan prinsip keseimbangan antara syariat dan akal, antara tekstualisme dan rasionalisme, serta antara iman dan amal.⁷

Dalam konteks kontemporer, urgensi tawassuth semakin mengemuka seiring dengan meningkatnya fenomena radikalisme, intoleransi, dan polarisasi ideologis di berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia.⁸ Di satu sisi, muncul kelompok yang mengklaim kebenaran tunggal dan menolak dialog; di sisi lain, terdapat kelompok yang mengaburkan batas-batas prinsip akidah atas nama kebebasan berpikir. Tawassuth hadir sebagai paradigma yang mengedepankan keseimbangan antara tekstualitas dan kontekstualitas, antara keteguhan prinsip dan keterbukaan dialog. Dalam kerangka ini, tawassuth menjadi fondasi bagi terbentuknya wasathiyyah Islamiyah—yaitu Islam yang moderat, toleran, dan inklusif terhadap perbedaan tanpa kehilangan identitas teologisnya.⁹

Kajian terhadap konsep tawassuth dari perspektif Al-Qur’an dan Hadits menjadi penting karena keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam yang memuat prinsip keseimbangan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Pendekatan tematik (maudhu’i) terhadap ayat-ayat dan hadis-hadis terkait memungkinkan pengungkapan makna tawassuth secara komprehensif, baik secara teologis, etis, maupun sosial. Di sisi lain, analisis filosofis terhadap konsep ini membuka ruang bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat moderasi, relasi antara manusia dan Tuhan, serta tanggung jawab moral umat Islam dalam membangun tatanan masyarakat yang adil dan berkeadaban.

Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam konsep tawassuth dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits dengan meninjau landasan historis, dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, serta relevansinya terhadap tantangan kehidupan modern. Kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman filosofis dan praktis tentang pentingnya tawassuth sebagai jalan tengah yang membangun keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan umat Islam masa kini.


Footnotes

[1]                ¹ M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 44.

[2]                ² Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid 7 (Beirut: Dar Sadir, 1990), 435.

[3]                ³ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 22.

[4]                ⁴ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 17.

[5]                ⁵ Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, no. 2670.

[6]                ⁶ Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 73.

[7]                ⁷ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 1 (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1962), 45.

[8]                ⁸ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 112.

[9]                ⁹ Yusuf al-Qaradawi, Islamic Awakening between Rejection and Extremism (Herndon: IIIT, 1991), 35.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Konsep Tawassuth

Secara historis, konsep tawassuth memiliki akar yang sangat dalam dalam tradisi Islam, baik dari segi bahasa, teks suci, maupun praksis sosial-keagamaan umat Islam sejak masa Nabi Muhammad Saw hingga era modern. Pemahaman terhadap tawassuth sebagai prinsip “jalan tengah” tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan hasil perkembangan teologis, intelektual, dan kultural yang panjang. Jejak genealogisnya dapat ditelusuri dari Al-Qur’an, hadis, pemikiran para ulama klasik, hingga gerakan intelektual Islam kontemporer yang menegaskan wasathiyyah sebagai identitas normatif umat Islam.¹

2.1.       Akar Etimologis dan Semantik

Secara etimologis, kata tawassuth berasal dari akar kata wasatha (وَسَطَ) yang berarti “tengah”, “adil”, “seimbang”, atau “moderat”.² Dalam khazanah bahasa Arab klasik, istilah ini juga menunjuk pada sesuatu yang bernilai tinggi karena berada di antara dua ekstrem.³ Makna “tengah” dalam konteks ini tidak netral secara geometris, melainkan mengandung nilai moral: posisi yang adil, proporsional, dan seimbang antara dua kutub yang berlebihan (ifrāṭ) dan yang lalai (tafrīṭ).⁴ Dari sisi semantik Al-Qur’an, kata wasath digunakan tidak hanya untuk menggambarkan posisi fisik, melainkan karakter etik dan spiritual komunitas Muslim sebagai “umat penengah” (ummatan wasathan).⁵

2.2.       Konteks Historis dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Konsep tawassuth secara eksplisit muncul dalam ayat Al-Baqarah [2] ayat 143, yang menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan. Para mufasir klasik seperti al-Tabari menafsirkan kata wasath sebagai “adil” (‘adl) dan “pilihan terbaik” (khiyār), yang berarti umat Islam adalah komunitas yang berada di tengah antara umat-umat terdahulu dalam hal keyakinan, ibadah, dan moral.⁶ Al-Qurtubi menambahkan bahwa makna wasath mencerminkan keunggulan moral dan spiritual yang menjadikan umat Islam sebagai saksi bagi seluruh manusia.⁷ Dengan demikian, sejak masa awal, konsep tawassuth telah menjadi bagian dari identitas keagamaan Islam yang menolak sikap ekstrem dalam pemahaman dan praktik beragama.

Hadis-hadis Nabi juga menegaskan hal ini. Rasulullah Saw senantiasa mencontohkan keseimbangan dalam ibadah, kehidupan sosial, dan relasi dengan sesama. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan” (khairu al-umūr awsathuha).⁸ Praktik Nabi menunjukkan bahwa moderasi bukan sekadar teori, melainkan pedoman hidup yang menyeluruh. Beliau menolak ekstremitas baik dalam ibadah (seperti puasa tanpa berbuka) maupun dalam urusan duniawi, menegaskan bahwa keseimbangan merupakan bentuk kesempurnaan iman dan akhlak.⁹

2.3.       Genealogi Pemikiran Tawassuth dalam Tradisi Islam

Dalam sejarah intelektual Islam, tawassuth berkembang seiring munculnya perdebatan teologis di kalangan umat. Pada masa klasik, ekstremisme pemikiran tampak dalam dua kutub besar: Khawarij yang keras dan eksklusif, serta Murji’ah yang cenderung permisif.¹⁰ Dalam situasi tersebut, muncul kelompok-kelompok yang berusaha memediasi dua ekstrem itu, seperti Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, yang menekankan keseimbangan antara iman dan amal, antara akal dan wahyu.¹¹ Prinsip tawassuth menjadi basis epistemologis mereka dalam memahami teks agama secara proporsional dan kontekstual.

Para ulama besar seperti al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, dan Ibn Taymiyyah turut menegaskan nilai keseimbangan sebagai inti ajaran Islam. Al-Ghazali, misalnya, dalam Ihya’ Ulum al-Din, menyebut bahwa jalan tengah antara zuhud ekstrem dan kecintaan duniawi adalah bentuk kesempurnaan spiritual yang sejati.¹² Ibn Taymiyyah menolak pandangan fatalistik kaum Jabariyah sekaligus liberalisme Qadariyah, dan mengusulkan pendekatan moderat yang menempatkan kehendak manusia dalam bingkai kehendak Allah.¹³ Dengan demikian, tawassuth tidak hanya menjadi konsep moral, tetapi juga menjadi epistemologi dalam memahami hubungan antara Tuhan, manusia, dan dunia.

2.4.       Perkembangan dan Institusionalisasi di Dunia Islam

Pada masa modern, tawassuth mendapat artikulasi baru melalui gerakan wasathiyyah Islamiyyah yang diusung oleh para pemikir kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Muhammad Abduh.¹⁴ Gerakan ini berupaya merevitalisasi Islam sebagai agama rahmat yang menolak kekerasan dan intoleransi. Tawassuth dalam konteks ini dipahami sebagai fondasi peradaban Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kebebasan berpikir, dan penghormatan terhadap perbedaan.¹⁵

Di Indonesia, konsep tawassuth menjadi bagian dari khazanah pemikiran keislaman yang diinternalisasi dalam nilai-nilai Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan.¹⁶ Organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menegaskan bahwa tawassuth merupakan prinsip dasar dalam beragama dan berbangsa, yang menjembatani antara tradisi dan modernitas, antara keislaman dan keindonesiaan.¹⁷ Dalam konteks ini, tawassuth tidak hanya berfungsi sebagai ajaran teologis, tetapi juga sebagai paradigma sosial yang menopang harmoni antarumat beragama di masyarakat plural.


2.5.       Relevansi Historis dan Genealogis

Dengan menelusuri sejarahnya, tawassuth dapat dipahami sebagai hasil evolusi pemikiran Islam yang terus beradaptasi terhadap tantangan zaman. Ia berakar kuat dalam teks-teks wahyu, diperkuat oleh tradisi tafsir dan teologi klasik, serta memperoleh revitalisasi makna dalam konteks modern. Dari sinilah tawassuth muncul bukan sebagai kompromi ideologis, tetapi sebagai prinsip teologis dan etis yang menegakkan keseimbangan antara dogma dan dinamika, antara iman dan realitas sosial.¹⁸ Sejarah membuktikan bahwa peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya justru ketika prinsip moderasi menjadi arus utama dalam politik, ilmu pengetahuan, dan budaya.

Dengan demikian, landasan historis dan genealogis konsep tawassuth menegaskan bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama keseimbangan dan keadilan yang menolak segala bentuk ekstremitas. Pemahaman historis ini menjadi titik berangkat bagi analisis ontologis dan epistemologis tawassuth yang akan dibahas pada bagian berikutnya.


Footnotes

[1]                ¹ M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 45.

[2]                ² Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid 7 (Beirut: Dar Sadir, 1990), 435.

[3]                ³ Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1997), 1654.

[4]                ⁴ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 17.

[5]                ⁵ M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 352.

[6]                ⁶ Abu Ja‘far al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 7.

[7]                ⁷ Al-Qurtubi, Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 160.

[8]                ⁸ Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Adab, no. 4964.

[9]                ⁹ Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, no. 2670.

[10]             ¹⁰ Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), 73.

[11]             ¹¹ Al-Ash‘ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1950), 82.

[12]             ¹² Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 12.

[13]             ¹³ Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, Jilid 8 (Riyadh: Dar al-Wathan, 1995), 432.

[14]             ¹⁴ Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 25.

[15]             ¹⁵ Muhammad Abduh, Risālat al-Tawhīd (Kairo: Dar al-Manar, 1897), 67.

[16]             ¹⁶ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 119.

[17]             ¹⁷ Abdul Munir Mulkhan, Nalar Islam Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2018), 54.

[18]             ¹⁸ Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 95.


3.           Ontologi Konsep Tawassuth

Kajian ontologis terhadap tawassuth berupaya menyingkap hakikat terdalam dari konsep moderasi dalam Islam, bukan sekadar sebagai sikap sosial atau etika moral, tetapi sebagai prinsip keberadaan (al-wujūd) yang melekat dalam struktur ciptaan dan tatanan kehidupan manusia menurut pandangan Islam. Dalam kerangka ontologi Islam, segala sesuatu memiliki kedudukan yang seimbang dan proporsional, karena Allah menciptakan alam ini “dengan keseimbangan” (bil-qisṭ dan bil-‘adl) sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu” (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–8).¹ Ayat ini menggambarkan prinsip keseimbangan kosmis yang menjadi dasar keberadaan dan harmoni alam semesta, dan dari sinilah tawassuth memperoleh fondasi ontologisnya.

3.1.       Hakikat Ontologis Tawassuth dalam Pandangan Islam

Secara ontologis, tawassuth mencerminkan sunnatullah, yakni hukum keseimbangan dan keteraturan yang menjadi asas penciptaan seluruh makhluk.² Keseimbangan ini tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga metafisis: keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, individu dan masyarakat.³ Dalam pandangan teologi Islam, manusia sebagai khalifah fil ardh adalah entitas yang berada “di tengah” antara dunia materi dan dunia ruhani, antara ciptaan dan Sang Pencipta. Posisi tengah inilah yang menjadikan manusia mampu berperan sebagai pengelola bumi dengan penuh tanggung jawab dan keadilan.⁴

Dengan demikian, tawassuth bukan hanya ajaran etika sosial, tetapi merupakan prinsip ontologis yang mengatur struktur eksistensi manusia. Ia menggambarkan keselarasan antara tiga dimensi eksistensial manusia: rasionalitas (‘aql), spiritualitas (rūḥ), dan tindakan (‘amal).⁵ Dalam kerangka filsafat Islam klasik, hal ini sejalan dengan pandangan Ibn Sina dan al-Farabi yang menempatkan kebahagiaan sejati (sa‘ādah) sebagai hasil keseimbangan antara potensi akal, hasrat, dan jiwa moral.⁶

3.2.       Relasi Ontologis antara Tawassuth, I‘tidal, dan Tasamuh

Secara konseptual, tawassuth berhubungan erat dengan dua konsep kunci lain dalam etika Islam: i‘tidal (keadilan dan keseimbangan) serta tasamuh (toleransi). Ketiganya membentuk satu kesatuan ontologis yang saling melengkapi. I‘tidal menggambarkan tatanan internal jiwa yang seimbang; tawassuth adalah prinsip moderasi yang mengatur tindakan sosial; sedangkan tasamuh adalah ekspresi relasional dari keseimbangan tersebut dalam interaksi dengan pihak lain.⁷ Dalam pandangan al-Ghazali, manusia yang adil (mutawassiṭ) adalah manusia yang telah menundukkan hawa nafsunya dan menempatkan setiap potensi pada tempat yang tepat—yakni tidak berlebihan dan tidak kekurangan.⁸

Dengan demikian, tawassuth menempati posisi ontologis sebagai manifestasi dari keadilan Ilahi (al-‘adl al-ilāhī) di ranah kehidupan manusia. Ketika seseorang bersikap moderat, sejatinya ia sedang meniru pola keseimbangan yang diletakkan oleh Allah dalam struktur realitas. Sebaliknya, ekstremisme dan ketidakseimbangan mencerminkan penyimpangan dari hakikat eksistensial manusia sebagai makhluk yang ditugaskan untuk menjaga keharmonisan ciptaan.⁹

3.3.       Tawassuth sebagai Prinsip Ontologis Kehidupan dan Kemanusiaan

Dalam perspektif Al-Qur’an, umat Islam disebut sebagai ummatan wasathan bukan hanya karena posisi sosialnya di tengah, tetapi karena identitas ontologisnya sebagai komunitas yang menegakkan keadilan dan kesaksian atas kebenaran. Ayat tersebut menegaskan bahwa keseimbangan adalah bagian dari misi keberadaan umat Islam di dunia: menjadi saksi atas perilaku manusia sebagaimana Rasul menjadi saksi atas umatnya (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143).¹⁰ Dengan kata lain, tawassuth mengandung nilai ontologis misi kenabian: menjaga harmoni antara yang Ilahi dan yang insani, antara syariat dan realitas.

Konsep ini juga tercermin dalam relasi manusia dengan alam. Dalam pandangan kosmologi Islam, seluruh ciptaan tunduk pada hukum keseimbangan (mīzān), dan manusia diberi amanah untuk memelihara tatanan tersebut.¹¹ Ketika manusia melampaui batas (ṭughyān) atau bersikap ekstrem, keseimbangan kosmos terganggu. Oleh karena itu, tawassuth menegaskan etika ontologis bahwa keberadaan manusia harus selaras dengan hukum keseimbangan Tuhan—sebuah harmoni eksistensial yang menuntun manusia menuju kebahagiaan sejati (sa‘ādah).¹²

3.4.       Tawassuth sebagai Refleksi Kemanusiaan Universal

Dari sudut pandang filsafat manusia (falsafah al-insān), tawassuth merupakan ekspresi ontologis dari potensi manusia yang rasional dan bermoral. Manusia diberi kemampuan untuk memilih jalan tengah sebagai bentuk kebebasan moral yang bertanggung jawab.¹³ Dengan mempraktikkan tawassuth, manusia mengaktualisasikan fitrahnya sebagai makhluk berakal yang mencari keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan material. Dalam hal ini, tawassuth menjadi prinsip humanistik yang menegaskan bahwa keutamaan moral terletak pada kemampuan menahan diri dari ekstremitas dan menegakkan keadilan.¹⁴

Dalam perspektif para pemikir modern seperti Yusuf al-Qaradawi, tawassuth bukan hanya doktrin moral, melainkan karakter antropologis umat Islam. Ia merupakan “jalan tengah” antara stagnasi tradisional dan liberalisme modern, antara kerasnya tekstualisme dan kebebasan tanpa batas.¹⁵ Oleh karena itu, secara ontologis, tawassuth dapat dipahami sebagai modus eksistendi—cara berada umat Islam di dunia yang berporos pada nilai keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan.¹⁶


Konklusi Ontologis

Dengan demikian, hakikat ontologis tawassuth menegaskan bahwa moderasi bukan sekadar pilihan moral, melainkan hukum eksistensi yang mencerminkan struktur keseimbangan Ilahi dalam kehidupan. Ia menghubungkan dimensi metafisis, antropologis, dan kosmologis secara terpadu: Allah menciptakan alam dalam keseimbangan, manusia diciptakan dengan potensi untuk menegakkannya, dan masyarakat Islam diamanatkan untuk menjaganya. Pelanggaran terhadap prinsip ini berarti melanggar hukum keberadaan itu sendiri. Dengan memahami tawassuth secara ontologis, kita dapat melihatnya bukan sebagai kompromi antara dua ekstrem, tetapi sebagai bentuk kesempurnaan eksistensi manusia yang beriman dan berakal.¹⁷


Footnotes

[1]                ¹ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.

[2]                ² Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 67.

[3]                ³ M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 143.

[4]                ⁴ Muhammad Abduh, Risālat al-Tawhīd (Kairo: Dar al-Manar, 1897), 87.

[5]                ⁵ Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 212.

[6]                ⁶ Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 55.

[7]                ⁷ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 23.

[8]                ⁸ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 24.

[9]                ⁹ Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, Jilid 8 (Riyadh: Dar al-Wathan, 1995), 428.

[10]             ¹⁰ Abu Ja‘far al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 7.

[11]             ¹¹ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 30.

[12]             ¹² Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 41.

[13]             ¹³ Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 67.

[14]             ¹⁴ Al-Raghib al-Asfahani, Al-Dhari‘ah ila Makarim al-Shari‘ah (Kairo: Maktabah al-Tawfiqiyyah, 1984), 92.

[15]             ¹⁵ Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 31.

[16]             ¹⁶ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 121.

[17]             ¹⁷ M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 53.


4.           Epistemologi Konsep Tawassuth

Epistemologi tawassuth berfokus pada bagaimana prinsip moderasi dalam Islam diketahui, dipahami, dan diaktualisasikan melalui proses penalaran keagamaan yang bersumber dari wahyu, akal, dan pengalaman sejarah umat. Dalam konteks ini, tawassuth tidak hanya merupakan hasil deduksi normatif dari teks-teks suci, tetapi juga merupakan konstruksi epistemik yang berkembang melalui interaksi dinamis antara teks (nash), konteks sosial, dan rasionalitas manusia. Epistemologi tawassuth berakar pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber primer, kemudian dijabarkan melalui tafsir, ijtihad, dan praksis keagamaan yang menekankan keseimbangan antara tekstualitas dan kontekstualitas.¹

4.1.       Sumber Pengetahuan dan Dasar Epistemik Tawassuth

Dalam epistemologi Islam, sumber pengetahuan utama adalah wahyu (al-wahy) yang termanifestasi dalam Al-Qur’an dan Hadits.² Al-Qur’an memposisikan tawassuth sebagai prinsip kebenaran yang menghubungkan manusia dengan tatanan kosmis dan moral yang seimbang. Ayat QS. Al-Baqarah [2] ayat 143 menjadi landasan epistemik bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan, yaitu komunitas yang berfungsi sebagai saksi (syuhadā’) atas manusia.³ Para mufassir seperti al-Tabari dan al-Qurtubi menafsirkan ayat ini sebagai panggilan epistemologis untuk berpikir dan bertindak secara adil serta proporsional, dengan menempatkan akal dan wahyu dalam keseimbangan.⁴

Dalam Hadits, Rasulullah Saw menegaskan bahwa umat terbaik adalah yang bersikap pertengahan dan tidak berlebih-lebihan dalam beragama.⁵ Prinsip ini mengandung epistemologi normatif bahwa pengetahuan yang benar harus menjauh dari ekstremitas pandangan, baik yang kaku-tekstual maupun yang liberal-kontekstual.⁶ Dengan demikian, tawassuth memiliki epistemologi integratif yang menolak dikotomi antara rasionalisme murni dan literalism tekstual.

4.2.       Metode Pengetahuan: Tafsir Tematik dan Penalaran Moderat

Dalam konteks metodologi, tawassuth diperoleh melalui pendekatan tafsir tematik (tafsir maudhu‘i), yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara holistik dan intertekstual.⁷ Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah sistem pengetahuan yang saling terhubung dan mengandung prinsip keseimbangan dalam seluruh aspeknya. Dengan demikian, pengetahuan tentang tawassuth bukanlah hasil penarikan makna secara parsial, tetapi hasil dari sintesis antara ayat-ayat hukum, akhlak, dan kosmologi yang saling melengkapi.⁸

Selain itu, epistemologi tawassuth mengandalkan prinsip al-‘aql al-muwāzan (akal yang seimbang), yaitu kemampuan menggunakan rasio dalam koridor nilai-nilai wahyu.⁹ Dalam pandangan al-Ghazali, akal memiliki fungsi sebagai penimbang moral yang tidak boleh bertentangan dengan syariat.¹⁰ Dengan demikian, rasionalitas dalam Islam bukanlah otonom absolut seperti dalam tradisi Barat sekular, melainkan rasionalitas yang tunduk pada kebenaran wahyu, namun tetap kritis dan reflektif terhadap realitas sosial.¹¹

Epistemologi ini juga menolak pendekatan biner antara ta‘abbudī (dogmatis) dan ta‘aqqulī (rasionalis), serta mengembangkan bentuk pengetahuan yang ijtihādī, yaitu penalaran yang kreatif, kontekstual, dan berorientasi pada kemaslahatan.¹² Oleh karena itu, tawassuth menjadi paradigma berpikir yang memungkinkan Islam selalu relevan dengan perubahan zaman tanpa kehilangan prinsip dasarnya.

4.3.       Rasionalitas dan Moderasi dalam Ijtihad

Rasionalitas Islam bersifat proporsional dan berfungsi sebagai sarana memahami teks wahyu. Dalam tradisi ushul al-fiqh, ijtihad adalah ekspresi epistemologis dari tawassuth, karena menuntut keseimbangan antara kesetiaan terhadap teks dan respons terhadap realitas.¹³ Ijtihad yang moderat tidak membeku dalam literalitas, tetapi juga tidak melepaskan diri dari batas-batas otoritas wahyu. Imam al-Shatibi dalam al-Muwāfaqāt menegaskan bahwa hukum Islam bertujuan untuk menjaga lima prinsip utama kemaslahatan (maqāṣid al-sharī‘ah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.¹⁴ Prinsip ini merupakan bentuk tawassuth epistemologis karena menempatkan nilai-nilai normatif Islam dalam konteks kebutuhan manusia yang universal.

Rasionalitas yang lahir dari prinsip tawassuth juga menolak ekstremisme intelektual seperti ta‘ṣṣub (fanatisme) dan tasāhul (kelonggaran berlebihan).¹⁵ Dalam sejarah pemikiran Islam, para ulama klasik seperti al-Ghazali, Ibn Rushd, dan Ibn Taymiyyah sama-sama menekankan pentingnya keseimbangan antara naql (wahyu) dan ‘aql (akal). Ibn Rushd bahkan menyebut bahwa wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan, sebab keduanya berasal dari sumber kebenaran yang sama, yaitu Allah.¹⁶ Dengan demikian, tawassuth menjadi fondasi epistemik yang mengintegrasikan rasionalitas ilmiah dengan spiritualitas iman.

4.4.       Dimensi Etis dan Verifikatif dalam Epistemologi Tawassuth

Dalam epistemologi Islam, pengetahuan tidak hanya diukur dari koherensinya dengan akal, tetapi juga dari kesesuaiannya dengan nilai kebenaran moral dan spiritual. Tawassuth mengajarkan bahwa kebenaran sejati adalah kebenaran yang tidak hanya logis, tetapi juga etis dan maslahat.¹⁷ Dengan demikian, kriteria validitas pengetahuan dalam tawassuth mencakup tiga dimensi: (1) kesesuaian dengan wahyu, (2) konsistensi rasional, dan (3) kemanfaatan sosial.¹⁸

Sikap epistemologis tawassuth menuntut kerendahan hati intelektual (tawāḍu‘ al-‘ilmī), keterbukaan terhadap perbedaan pandangan, serta pengakuan bahwa pengetahuan manusia bersifat relatif terhadap pengetahuan Tuhan yang absolut.¹⁹ Dengan demikian, epistemologi tawassuth bersifat inklusif dan dialogis, membuka ruang bagi pembaruan ilmu dan ijtihad lintas zaman tanpa kehilangan arah moral.


Konklusi Epistemologis

Dari seluruh dimensi tersebut dapat disimpulkan bahwa epistemologi tawassuth adalah epistemologi integratif yang berakar pada wahyu, diolah oleh akal, dan dikonfirmasi oleh pengalaman sosial. Ia menolak reduksionisme epistemik yang memisahkan iman dari rasio, serta menegakkan paradigma keseimbangan dalam berpikir dan berkehidupan. Melalui epistemologi ini, Islam menawarkan model pengetahuan yang rasional sekaligus spiritual, kontekstual namun berprinsip, dan terbuka namun berakar pada kebenaran Ilahi.²⁰


Footnotes

[1]                ¹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 21.

[2]                ² Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 79.

[3]                ³ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 22.

[4]                ⁴ Abu Ja‘far al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 7.

[5]                ⁵ Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-Adab, no. 4964.

[6]                ⁶ M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 354.

[7]                ⁷ Muhammad Baqir al-Sadr, Al-Madrasah al-Qur’aniyyah (Beirut: Dar al-Ta‘aruf, 1982), 23.

[8]                ⁸ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 40.

[9]                ⁹ Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1994), 55.

[10]             ¹⁰ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 31.

[11]             ¹¹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 89.

[12]             ¹² Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 27.

[13]             ¹³ Al-Juwayni, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 76.

[14]             ¹⁴ Al-Shatibi, Al-Muwāfaqāt fi Usul al-Shari‘ah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 8.

[15]             ¹⁵ Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, Jilid 11 (Riyadh: Dar al-Wathan, 1995), 342.

[16]             ¹⁶ Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl fīmā bayna al-Hikmah wa al-Sharī‘ah min al-Ittiṣāl (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 13.

[17]             ¹⁷ Al-Raghib al-Asfahani, Al-Dhari‘ah ila Makarim al-Shari‘ah (Kairo: Maktabah al-Tawfiqiyyah, 1984), 89.

[18]             ¹⁸ Syed M. Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 102.

[19]             ¹⁹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15.

[20]             ²⁰ M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 55.


5.           Aksiologi Konsep Tawassuth

Kajian aksiologis terhadap tawassuth berfokus pada nilai, tujuan, dan manfaat etis dari prinsip moderasi dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Jika dimensi ontologis tawassuth menegaskan keseimbangan sebagai hakikat keberadaan, dan dimensi epistemologisnya menyoroti cara mengetahui keseimbangan itu secara rasional dan wahyu, maka dimensi aksiologis menekankan bagaimana prinsip tersebut diwujudkan dalam tindakan, kebijakan, dan sistem nilai sosial. Dalam konteks ini, tawassuth menjadi pedoman moral dan praksis kehidupan yang mengatur relasi manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.¹

5.1.       Nilai-Nilai Moral yang Terkandung dalam Tawassuth

Secara aksiologis, tawassuth memuat nilai-nilai universal seperti keadilan (‘adl), keseimbangan (i‘tidal), kebijaksanaan (hikmah), dan toleransi (tasamuh).² Nilai-nilai ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga operasional dalam kehidupan sehari-hari. Keadilan, misalnya, menjadi fondasi moral tawassuth karena menuntut penempatan segala sesuatu pada tempat yang semestinya.³ Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS. Al-Nahl [16] ayat 90).⁴ Ayat ini menegaskan bahwa keseimbangan bukan hanya prinsip moral, tetapi juga perintah Ilahi yang bersifat aksiologis dan sosial.

Nilai keseimbangan juga mengandung unsur hikmah (kebijaksanaan), yakni kemampuan mengambil jalan tengah antara dua pilihan ekstrem. Al-Ghazali dalam Mīzān al-‘Amal menyebut bahwa kebajikan adalah hasil keseimbangan antara dua keburukan: keberanian berada di antara pengecut dan nekat, kemurahan hati berada di antara kikir dan boros, sedangkan kesalehan berada di antara fanatisme dan kelalaian.⁵ Dengan demikian, tawassuth menjadi sumber kebajikan etis yang menjamin keutuhan moral pribadi dan harmoni sosial.

5.2.       Dimensi Sosial dan Politik dari Aksiologi Tawassuth

Dalam dimensi sosial-politik, tawassuth berfungsi sebagai prinsip yang mengatur interaksi sosial dan tata kelola kehidupan berbangsa. Islam tidak memisahkan moralitas individu dari keadilan sosial. Oleh karena itu, tawassuth menegaskan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab.⁶ Konsep ummatan wasathan menempatkan umat Islam sebagai saksi moral dalam kehidupan publik—mereka tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga memperjuangkan kemaslahatan bersama (maslahah ‘ammah).⁷

Secara aksiologis, tawassuth juga menjadi landasan politik Islam yang menolak tirani maupun anarki. Politik dalam Islam bukan arena perebutan kekuasaan, melainkan sarana menegakkan keadilan dan pelayanan publik.⁸ Pemikiran ini sejalan dengan konsep siyāsah syar‘iyyah yang diajukan oleh Ibn Taymiyyah, bahwa otoritas pemerintahan sah sejauh ia menegakkan keadilan dan keseimbangan, bukan karena status formalnya semata.⁹ Dengan demikian, tawassuth membentuk etika politik yang moderat, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan sosial.

Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, tawassuth memiliki nilai aksiologis sebagai dasar harmoni antaragama dan antarbudaya. Islam mengajarkan prinsip ta‘āruf (saling mengenal) sebagaimana firman Allah, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. Al-Hujurat [49] ayat 13).¹⁰ Ayat ini menegaskan bahwa pluralitas adalah sunnatullah yang menuntut sikap moderat dan toleran, bukan permusuhan. Tawassuth menjadi instrumen etis dalam membangun masyarakat multikultural yang damai dan berkeadilan.

5.3.       Implementasi Tawassuth dalam Kehidupan Keagamaan dan Pendidikan

Aksiologi tawassuth juga tampak dalam praktik keagamaan dan pendidikan Islam. Dalam konteks ibadah, Islam menolak sikap ekstrem baik dalam bentuk ghuluw (berlebihan) maupun tasāhul (mengabaikan). Rasulullah Saw bersabda, “Hancurlah orang-orang yang melampaui batas!” (HR. Muslim).¹¹ Hadis ini menegaskan nilai aksiologis keseimbangan: ibadah harus dilaksanakan dengan semangat, namun tanpa memberatkan diri hingga melampaui batas kemampuan manusia.¹²

Dalam pendidikan, tawassuth melahirkan sistem pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan manusia paripurna (insān kāmil). Pendidikan yang berparadigma wasathiyyah menekankan integrasi antara ilmu, iman, dan akhlak.¹³ Epistemologi Islam yang seimbang melahirkan kurikulum yang memadukan ilmu agama dan sains modern secara harmonis. Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa tawassuth dalam pendidikan harus menanamkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan gender tanpa terjebak dalam sekularisasi atau dogmatisme sempit.¹⁴

Di tingkat praksis, nilai tawassuth juga menjadi landasan gerakan dakwah yang beretika. Dakwah yang moderat menggunakan pendekatan bil hikmah wal mau‘izhah al-hasanah (QS. An-Nahl [16] ayat 125), yaitu dengan kebijaksanaan, kelembutan, dan argumentasi rasional.¹⁵ Dengan cara ini, dakwah Islam tidak bersifat konfrontatif, tetapi komunikatif dan konstruktif. Pendekatan seperti ini memungkinkan penyebaran Islam secara damai, memperkuat kohesi sosial, dan menghindarkan umat dari konflik sektarian.

5.4.       Tawassuth sebagai Etika Global dan Humanistik

Dalam konteks global, tawassuth memiliki relevansi aksiologis yang luas. Ia menjadi fondasi bagi Islam rahmatan lil ‘alamin—agama yang membawa rahmat dan keseimbangan bagi seluruh umat manusia. Nilai-nilai tawassuth seperti keadilan, toleransi, dan kebersamaan bersifat universal dan dapat dijadikan dasar etika global di tengah krisis moral dan dehumanisasi modern.¹⁶

Pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa moderasi dalam Islam tidak hanya menyangkut perilaku sosial, tetapi juga relasi spiritual manusia dengan alam.¹⁷ Tawassuth mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan ekologis dan tidak bersikap eksploitatif terhadap bumi. Prinsip ini berakar pada etika kosmologis Al-Qur’an yang menegaskan pentingnya keseimbangan (mīzān) sebagai hukum Tuhan dalam semesta (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9).¹⁸ Dengan demikian, tawassuth memiliki nilai aksiologis ekologis: menjaga keselarasan antara manusia dan lingkungannya sebagai wujud tanggung jawab moral dan spiritual.


Konklusi Aksiologis

Dari keseluruhan dimensi di atas dapat disimpulkan bahwa tawassuth secara aksiologis berfungsi sebagai pedoman nilai untuk menata kehidupan pribadi, sosial, politik, dan ekologis berdasarkan prinsip keseimbangan dan keadilan. Ia menuntun manusia menuju kebajikan etis, kedewasaan spiritual, dan keharmonisan sosial. Nilai-nilai tawassuth tidak hanya mengandung relevansi moral bagi umat Islam, tetapi juga menawarkan paradigma etik universal yang dapat berkontribusi pada pembangunan peradaban yang damai, adil, dan manusiawi.¹⁹


Footnotes

[1]                ¹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 25.

[2]                ² M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 48.

[3]                ³ Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 67.

[4]                ⁴ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 363.

[5]                ⁵ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 24.

[6]                ⁶ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 123.

[7]                ⁷ Abu Ja‘far al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 7.

[8]                ⁸ Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Shar‘iyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 19.

[9]                ⁹ Ibid., 22.

[10]             ¹⁰ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 517.

[11]             ¹¹ Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab al-‘Ilm, no. 2670.

[12]             ¹² Al-Nawawi, Sharh Sahih Muslim, Jilid 7 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1995), 182.

[13]             ¹³ Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 109.

[14]             ¹⁴ Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 36.

[15]             ¹⁵ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 365.

[16]             ¹⁶ M. Kamal Hassan, The Islamic Worldview: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010), 72.

[17]             ¹⁷ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 44.

[18]             ¹⁸ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 531.

[19]             ¹⁹ Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 105.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Budaya

Konsep tawassuth memiliki implikasi yang luas dan mendalam dalam dimensi sosial, politik, dan budaya Islam. Ia tidak hanya menegaskan keseimbangan moral dan spiritual, tetapi juga menghadirkan paradigma sosial yang berkeadilan, tatanan politik yang inklusif, serta budaya yang dialogis dan toleran. Dalam dimensi ini, tawassuth menjadi kekuatan transformatif yang menjaga dinamika kehidupan masyarakat dari polarisasi ekstrem—antara fundamentalisme dan liberalisme, antara otoritarianisme dan anarki, serta antara konservatisme kultural dan relativisme nilai.¹ Prinsip ini memungkinkan Islam tampil sebagai kekuatan moral yang menuntun peradaban manusia menuju keadilan sosial, harmoni politik, dan keberagaman budaya yang beradab.

6.1.       Dimensi Sosial: Keadilan, Solidaritas, dan Harmoni Komunitas

Secara sosial, tawassuth berfungsi sebagai asas yang menegakkan keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (al-i‘tidal) dalam hubungan antarindividu dan antarkelompok. Al-Qur’an mengajarkan, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang wasath, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143).² Ayat ini menegaskan tanggung jawab sosial umat Islam untuk menjadi penengah, penyeimbang, dan penegak keadilan dalam masyarakat.

Nilai-nilai tawassuth dalam kehidupan sosial terwujud dalam sikap saling menghormati, empati, dan solidaritas (ta‘āwun).³ Islam menolak diskriminasi sosial, sektarianisme, dan fanatisme kelompok. Nabi Muhammad Saw mencontohkan masyarakat Madinah sebagai model tatanan sosial yang plural dan inklusif, di mana kaum Muslimin, Yahudi, dan kelompok lain hidup berdampingan berdasarkan Piagam Madinah (Dustūr al-Madīnah).⁴ Dalam konteks ini, tawassuth mengandung makna praksis: menjaga harmoni sosial melalui prinsip keadilan, kesetaraan, dan saling pengertian.

Dalam masyarakat modern, prinsip tawassuth relevan dalam menghadapi tantangan intoleransi dan fragmentasi sosial.⁵ Dengan menegakkan nilai moderasi, umat Islam dapat memainkan peran konstruktif dalam merajut kohesi sosial, mencegah kekerasan atas nama agama, dan membangun etika kewargaan (civic ethics) yang berlandaskan kemanusiaan universal.⁶

6.2.       Dimensi Politik: Keseimbangan antara Otoritas dan Partisipasi

Dalam ranah politik, tawassuth berfungsi sebagai paradigma etis yang menyeimbangkan antara otoritas (sulṭah) dan partisipasi (musyārakah).⁷ Islam menolak bentuk ekstrem dalam politik: baik absolutisme kekuasaan yang menindas maupun anarki kebebasan yang tanpa batas. Prinsip shūrā (musyawarah) sebagaimana ditegaskan dalam QS. Asy-Syūrā [42] ayat 38, merupakan manifestasi politik tawassuth yang menempatkan keadilan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab sebagai nilai utama dalam pemerintahan.⁸

Menurut Ibn Taymiyyah, legitimasi politik dalam Islam bergantung pada kemampuan pemimpin menegakkan keadilan dan kemaslahatan rakyat.⁹ Dengan demikian, tawassuth menjadi prinsip normatif dalam politik Islam: kekuasaan tidak boleh dijalankan secara sewenang-wenang, tetapi harus dikontrol oleh prinsip moral, hukum, dan partisipasi masyarakat. Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah menyebut bahwa pemimpin yang adil bukan hanya pelaksana hukum syariah, tetapi juga pelayan kemaslahatan publik.¹⁰

Secara aksiologis, tawassuth politik juga berarti menolak politisasi agama maupun sekularisasi ekstrem.¹¹ Islam tidak menghendaki pemisahan total antara agama dan negara, tetapi juga menolak penggunaan agama untuk legitimasi kekuasaan. Dalam kerangka ini, Islam menawarkan siyasah wasathiyyah—yakni politik yang berkeadilan, terbuka terhadap kritik, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.¹²

Dalam konteks Indonesia, tawassuth politik menemukan bentuknya dalam prinsip Pancasila yang menegaskan keadilan sosial, musyawarah, dan penghormatan terhadap pluralitas agama.¹³ Pemikiran tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan bahwa tawassuth adalah jalan tengah antara negara agama dan negara sekuler: negara yang berketuhanan namun menghargai kebebasan beragama.¹⁴

6.3.       Dimensi Budaya: Dialog, Kreativitas, dan Kebijaksanaan Lokal

Dimensi budaya tawassuth menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menghargai keberagaman ekspresi kultural selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam. Sejarah membuktikan bahwa Islam tumbuh dan menyebar melalui akulturasi damai dengan budaya lokal, bukan dengan pemaksaan homogenitas.¹⁵ Prinsip ini ditegaskan oleh Quraish Shihab bahwa tawassuth adalah keseimbangan antara pelestarian tradisi dan keterbukaan terhadap pembaruan.¹⁶

Dalam konteks peradaban, tawassuth melahirkan budaya dialog (hiwār al-thaqāfāt)—dialog antarperadaban dan antaragama—yang menjadi alternatif terhadap konflik kultural global.¹⁷ Melalui semangat dialogis ini, Islam menjadi kekuatan peradaban yang inklusif, bukan eksklusif. Yusuf al-Qaradawi menyebutnya sebagai “wasathiyyah tsaqafiyyah,” yakni budaya tengah yang menghormati warisan, tetapi juga adaptif terhadap kemajuan ilmu dan teknologi modern.¹⁸

Dalam sejarah Islam di Nusantara, prinsip ini tampak dalam integrasi nilai-nilai Islam dengan budaya lokal seperti gotong royong, musyawarah, dan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di Minangkabau.¹⁹ Tradisi ini mencerminkan tawassuth kultural yang memelihara identitas Islam tanpa menolak kebijaksanaan lokal (local wisdom). Hal ini menunjukkan bahwa Islam Nusantara adalah manifestasi konkret dari tawassuth budaya, yakni perpaduan harmonis antara nilai universal dan konteks historis.²⁰

6.4.       Tawassuth sebagai Paradigma Transformasi Sosial dan Peradaban

Pada tingkat peradaban, tawassuth berfungsi sebagai paradigma transformasi sosial yang menyeimbangkan antara stabilitas dan perubahan. Ia mengajarkan bahwa kemajuan tidak dapat dicapai melalui ekstremisme ideologis, melainkan melalui integrasi nilai spiritual dan rasionalitas ilmiah.²¹ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa peradaban Islam klasik berkembang pesat justru karena keberhasilannya menjaga keseimbangan antara iman dan ilmu, tradisi dan inovasi.²²

Dalam konteks globalisasi dan modernitas, tawassuth menawarkan paradigma peradaban yang humanistik—menghadirkan Islam sebagai sumber nilai kemanusiaan universal.²³ Prinsip ini melandasi gagasan rahmatan lil ‘alamin: Islam yang membawa rahmat bagi semua manusia, lintas batas agama dan budaya.²⁴ Dengan demikian, tawassuth tidak hanya menjadi etika individual, tetapi juga visi peradaban global yang menolak ekstremitas ideologis dan mengedepankan kemaslahatan bersama.


Konklusi Dimensi Sosial, Politik, dan Budaya

Dengan seluruh dimensi tersebut, tawassuth tampil sebagai prinsip integral yang menata kehidupan sosial yang adil, politik yang demokratis dan beretika, serta budaya yang terbuka dan beradab. Ia bukan sekadar konsep teoretis, tetapi paradigma praksis yang membimbing umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam konteks global yang sarat konflik dan polarisasi, tawassuth menjadi tawaran peradaban yang menegakkan keadilan tanpa kekerasan, keberagaman tanpa relativisme, dan kemajuan tanpa kehilangan spiritualitas.²⁵


Footnotes

[1]                ¹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 29.

[2]                ² Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 22.

[3]                ³ M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 45.

[4]                ⁴ Ibn Hisham, Al-Sīrah al-Nabawiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 498.

[5]                ⁵ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 133.

[6]                ⁶ Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 115.

[7]                ⁷ Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 12.

[8]                ⁸ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 487.

[9]                ⁹ Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Shar‘iyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 23.

[10]             ¹⁰ Ibid., 25.

[11]             ¹¹ Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 232.

[12]             ¹² Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 38.

[13]             ¹³ Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), 44.

[14]             ¹⁴ Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), 72.

[15]             ¹⁵ Clifford Geertz, Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia (Chicago: University of Chicago Press, 1968), 89.

[16]             ¹⁶ M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 350.

[17]             ¹⁷ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 96.

[18]             ¹⁸ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 33.

[19]             ¹⁹ Azyumardi Azra, Islam Nusantara dan Tantangan Globalisasi (Jakarta: Paramadina, 2017), 56.

[20]             ²⁰ Abdul Munir Mulkhan, Nalar Islam Nusantara (Yogyakarta: LKiS, 2018), 61.

[21]             ²¹ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 21.

[22]             ²² Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge, 1975), 64.

[23]             ²³ M. Kamal Hassan, The Islamic Worldview: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010), 75.

[24]             ²⁴ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 41.

[25]             ²⁵ Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 107.


7.           Dimensi Pendidikan dan Dakwah

Konsep tawassuth tidak hanya berperan dalam tataran teoretis, sosial, dan politik, tetapi juga memiliki relevansi yang mendalam dalam ranah pendidikan dan dakwah Islam. Kedua bidang ini merupakan instrumen utama dalam mentransmisikan nilai-nilai Islam secara berkelanjutan serta membentuk karakter umat yang moderat, adil, dan bijaksana. Dalam konteks ini, tawassuth menjadi paradigma pedagogis dan komunikatif yang mendorong keseimbangan antara teks dan konteks, antara idealisme normatif dan realitas empiris. Pendidikan dan dakwah yang berlandaskan tawassuth menolak fanatisme, ekstremisme, dan sikap liberal yang berlebihan, serta mengedepankan kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘adl), dan kasih sayang (rahmah).¹

7.1.       Dimensi Pendidikan: Membangun Karakter Moderat dan Inklusif

Dalam perspektif pendidikan Islam, tawassuth menjadi fondasi aksiologis yang menata tujuan, metode, dan isi pendidikan agar seimbang antara pengembangan akal, moral, dan spiritualitas.² Pendidikan Islam yang berorientasi tawassuth bertujuan membentuk manusia paripurna (insān kāmil), yaitu individu yang berilmu, beriman, berakhlak, dan mampu hidup berdampingan dengan orang lain secara damai.³

Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa pendidikan harus berfungsi membangun kesadaran moral dan spiritual manusia: “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah” (QS. Al-Jumu‘ah [62] ayat 2).⁴ Ayat ini menegaskan bahwa proses pendidikan Islam tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga transformasional—menyucikan jiwa dan mengajarkan hikmah kehidupan. Tawassuth dalam pendidikan berarti mengintegrasikan dimensi pengetahuan (‘ilm), etika (akhlaq), dan kebijaksanaan (hikmah) dalam satu kesatuan yang utuh.

Dalam sejarah pemikiran Islam, al-Ghazali menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi memoderasi potensi manusia agar tidak terjerumus ke dalam ekstremitas rasionalisme maupun mistisisme.⁵ Ibn Khaldun menambahkan bahwa pendidikan harus memperhatikan konteks sosial dan budaya peserta didik, sebab pengetahuan yang tidak relevan dengan realitas hanya akan melahirkan kebekuan intelektual.⁶ Prinsip tawassuth dalam pendidikan menuntut adanya keseimbangan antara idealisme teologis dan kebutuhan pragmatis manusia, antara warisan intelektual Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan modern.⁷

Dalam konteks kontemporer, pendidikan Islam di Indonesia telah berupaya menginternalisasi nilai-nilai tawassuth melalui paradigma Islam wasathiyyah, yang menjadi landasan moderasi beragama.⁸ Kementerian Agama RI, misalnya, menegaskan bahwa pendidikan Islam harus melahirkan insan yang rahmatan lil ‘alamin melalui penguatan empat indikator moderasi: komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghargaan terhadap tradisi.⁹ Dengan demikian, tawassuth menjadi ruh bagi sistem pendidikan Islam yang berkeadilan, adaptif, dan terbuka terhadap perubahan zaman.

7.2.       Dimensi Dakwah: Komunikasi Hikmah dan Transformasi Sosial

Dalam bidang dakwah, tawassuth berfungsi sebagai pedoman metodologis dan etis dalam menyampaikan pesan Islam. Dakwah bukan sekadar transmisi ajaran, tetapi juga proses komunikasi yang berorientasi pada perubahan moral dan sosial.¹⁰ Al-Qur’an memerintahkan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik” (QS. Al-Nahl [16] ayat 125).¹¹ Ayat ini menunjukkan bahwa dakwah harus dilandasi kebijaksanaan, kesantunan, dan empati terhadap audiens.

Dalam kerangka tawassuth, dakwah tidak boleh bersifat konfrontatif atau provokatif.¹² Rasulullah Saw menjadi teladan dakwah yang humanistik: beliau berdialog dengan lembut, menghargai perbedaan, dan menyesuaikan bahasa dakwah dengan konteks masyarakat.¹³ Metode dakwah yang moderat mengedepankan prinsip tadarruj (bertahap), ta’līm (pencerahan), dan ta‘līf al-qulūb (menyentuh hati).¹⁴ Dengan demikian, dakwah menjadi sarana mencerdaskan dan menenangkan, bukan menakut-nakuti atau menghakimi.

Epistemologi dakwah tawassuth juga menuntut kemampuan ijtihādī—kemampuan memahami teks agama sesuai kebutuhan zaman. Yusuf al-Qaradawi menyebut bahwa da‘wah wasathiyyah adalah dakwah yang menyeimbangkan antara nash dan realitas, antara thābit (nilai yang tetap) dan mutaghayyir (konteks yang berubah).¹⁵ Dakwah semacam ini relevan untuk masyarakat modern yang plural dan kritis.

Lebih jauh, dakwah berlandaskan tawassuth juga berperan dalam transformasi sosial.¹⁶ Dakwah bukan hanya mengajak kepada ritual keagamaan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sosial, keadilan ekonomi, dan kepedulian lingkungan.¹⁷ Dalam pandangan Fazlur Rahman, dakwah sejati adalah “misi pembebasan moral,” yakni upaya menghidupkan kembali nilai-nilai Qur’ani dalam realitas sosial yang menindas.¹⁸ Oleh karena itu, dakwah moderat tidak berhenti pada tataran wacana, melainkan bergerak menuju praksis perubahan sosial yang humanistik.

7.3.       Integrasi Pendidikan dan Dakwah dalam Pembentukan Umat Wasathiyyah

Secara historis, pendidikan dan dakwah merupakan dua pilar utama dalam pembentukan ummatan wasathan.¹⁹ Pendidikan membentuk kesadaran intelektual dan moral, sementara dakwah menumbuhkan kepekaan sosial dan spiritual. Keduanya saling melengkapi dalam membangun masyarakat Islam yang beradab (madani). Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu tanpa amal adalah kesia-siaan, sedangkan amal tanpa ilmu adalah kesesatan;²⁰ oleh karena itu, pendidikan dan dakwah harus bersinergi dalam menumbuhkan pengetahuan yang bermakna dan tindakan yang bijak.

Dalam konteks global, tawassuth dalam pendidikan dan dakwah menjadi kebutuhan mendesak di tengah meningkatnya polarisasi dan radikalisme agama.²¹ Melalui pendidikan yang inklusif dan dakwah yang bijak, Islam dapat tampil sebagai kekuatan peradaban yang damai dan rasional.²² Model ini telah terbukti efektif di Indonesia melalui organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang secara konsisten mengembangkan dakwah dan pendidikan berbasis wasathiyyah—memadukan nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.²³



Konklusi Dimensi Pendidikan dan Dakwah

Secara keseluruhan, dimensi pendidikan dan dakwah dalam tawassuth menegaskan pentingnya transformasi pengetahuan dan nilai menjadi tindakan yang membangun peradaban. Pendidikan menumbuhkan akal yang seimbang, sedangkan dakwah menumbuhkan hati yang lembut. Keduanya merupakan instrumen untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Melalui pendekatan tawassuth, proses pendidikan dan dakwah menjadi jalan menuju kemanusiaan universal: membebaskan manusia dari kebodohan, kekerasan, dan kebencian, menuju keadilan, kasih sayang, dan perdamaian yang berkelanjutan.²⁴


Footnotes

[1]                ¹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 37.

[2]                ² M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 50.

[3]                ³ Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 1–3.

[4]                ⁴ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 553.

[5]                ⁵ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 27.

[6]                ⁶ Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 312.

[7]                ⁷ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 35.

[8]                ⁸ Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2019), 12.

[9]                ⁹ Ibid., 15.

[10]             ¹⁰ Hamid Mowlana, Global Communication in Transition (Thousand Oaks: Sage, 1996), 122.

[11]             ¹¹ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 365.

[12]             ¹² Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 119.

[13]             ¹³ Ibn Hisham, Al-Sīrah al-Nabawiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 374.

[14]             ¹⁴ Al-Raghib al-Asfahani, Al-Dhari‘ah ila Makarim al-Shari‘ah (Kairo: Maktabah al-Tawfiqiyyah, 1984), 94.

[15]             ¹⁵ Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 40.

[16]             ¹⁶ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 142.

[17]             ¹⁷ M. Kamal Hassan, The Islamic Worldview: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010), 78.

[18]             ¹⁸ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 46.

[19]             ¹⁹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 45.

[20]             ²⁰ Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 79.

[21]             ²¹ Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 242.

[22]             ²² Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 101.

[23]             ²³ Azyumardi Azra, Islam Nusantara dan Tantangan Globalisasi (Jakarta: Paramadina, 2017), 59.

[24]             ²⁴ Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 108.


8.           Kritik dan Tantangan Konseptual

Konsep tawassuth yang menegaskan keseimbangan, keadilan, dan moderasi dalam ajaran Islam telah menjadi landasan penting dalam wacana keislaman kontemporer. Namun, dalam perjalanannya, konsep ini juga menghadapi berbagai tantangan teoretis dan praktis. Sebagian kalangan menganggap tawassuth sebagai gagasan yang idealistik namun sulit diwujudkan secara konsisten di tengah dinamika sosial, politik, dan epistemologis umat Islam modern.¹ Selain itu, muncul pula kritik terhadap potensi penyalahgunaan konsep ini, baik untuk kepentingan ideologis maupun politis. Oleh karena itu, pembahasan bagian ini akan menguraikan kritik internal dan eksternal terhadap konsep tawassuth, serta tantangan epistemologis, sosial, dan global yang dihadapi dalam penerapannya di era kontemporer.

8.1.       Kritik Internal terhadap Konsep Tawassuth

Kritik internal terhadap tawassuth umumnya datang dari kalangan intelektual Muslim sendiri yang menilai bahwa konsep ini cenderung bersifat normatif dan abstrak.² Dalam praktiknya, istilah tawassuth sering kali dipahami secara simplistik sebagai “jalan tengah” tanpa menggali kedalaman filosofis dan kontekstualnya.³ Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Yusuf al-Qaradawi, tawassuth bukan sekadar posisi di antara dua ekstrem, melainkan keseimbangan yang dinamis dan bernilai—yakni “jalan tengah yang bernilai kebenaran dan kebajikan.”⁴ Ketika konsep ini direduksi hanya menjadi kompromi sosial, ia kehilangan kekuatan normatifnya sebagai prinsip keadilan dan rasionalitas dalam Islam.

Selain itu, beberapa pemikir Islam seperti Hasan Hanafi dan Nasr Hamid Abu Zayd menilai bahwa tawassuth sering kali digunakan untuk mempertahankan status quo sosial dan politik.⁵ Dalam konteks ini, tawassuth dapat menjadi “ideologi konservatif” yang membungkam kritik terhadap ketimpangan struktural, dengan dalih menghindari ekstremisme.⁶ Kritik semacam ini mengingatkan bahwa tawassuth seharusnya tidak dimaknai secara pasif atau kompromistis, tetapi sebagai prinsip aktif yang menuntut keadilan substantif dan keberpihakan terhadap kemaslahatan manusia.⁷

8.2.       Kritik Eksternal: Tawassuth dan Ambiguitas Praktik

Dari perspektif eksternal, para pengamat non-Muslim maupun pemikir sekuler sering memandang tawassuth secara ambivalen. Di satu sisi, mereka mengakui konsep ini sebagai bukti kapasitas Islam untuk moderasi dan perdamaian; di sisi lain, mereka menganggap penerapannya sering ambigu dalam tataran sosial-politik.⁸ Misalnya, negara-negara yang mengklaim mengusung Islam moderat tidak jarang masih menerapkan kebijakan yang represif terhadap oposisi atau minoritas.⁹ Dalam konteks ini, tawassuth dipertanyakan: apakah ia sungguh prinsip etik transenden, ataukah sekadar slogan politik yang bersifat instrumental?

Kritik eksternal ini juga menyentuh aspek epistemologis, yakni sejauh mana tawassuth dapat menjadi prinsip universal dalam dialog antaragama dan antarperadaban.¹⁰ Beberapa akademisi Barat menilai bahwa Islam moderat sering kali terjebak dalam dialektika apologetik—yakni ingin menunjukkan citra damai Islam di hadapan dunia Barat, namun belum sepenuhnya mengartikulasikan model pemikiran kritis yang independen.¹¹ Kritik ini menuntut umat Islam untuk memperdalam dimensi intelektual tawassuth, agar tidak berhenti sebagai narasi moral, tetapi berkembang menjadi paradigma epistemologis dan filosofis yang tangguh.

8.3.       Tantangan Epistemologis: Antara Tekstualitas dan Kontekstualitas

Secara epistemologis, tawassuth menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan otoritas teks dan kebutuhan kontekstual. Di satu sisi, muncul kecenderungan fundamentalisme yang memahami Al-Qur’an dan Hadits secara literal tanpa memperhatikan maqasid (tujuan syariah); di sisi lain, berkembang pula liberalisme tafsir yang menafsirkan teks agama secara bebas tanpa pijakan metodologis yang kokoh.¹² Dalam situasi ini, tawassuth menuntut kemampuan intelektual untuk menjaga integritas wahyu sekaligus kepekaan terhadap realitas sosial.

Fazlur Rahman menawarkan pendekatan “gerak ganda” (double movement)—yakni memahami teks dalam konteks historisnya, lalu mengaplikasikan nilai universalnya ke dalam realitas modern.¹³ Pendekatan ini selaras dengan semangat tawassuth epistemologis, di mana pengetahuan agama tidak terjebak pada stagnasi, tetapi juga tidak kehilangan dasar normatifnya. Namun, tantangannya terletak pada lemahnya tradisi ijtihad di dunia Islam modern, yang membuat tawassuth sering kali berhenti sebagai slogan, bukan metode berpikir yang aktual.¹⁴

Selain itu, globalisasi informasi dan arus digitalisasi menimbulkan fragmentasi otoritas keagamaan.¹⁵ Media sosial menjadi arena baru bagi munculnya tafsir-tafsir ekstrem yang mengklaim legitimasi moral. Dalam konteks ini, tawassuth dihadapkan pada tantangan epistemik baru: bagaimana menjaga otentisitas pengetahuan Islam di tengah disinformasi dan populisme digital.¹⁶

8.4.       Tantangan Sosial dan Politik: Polarisasi dan Identitas

Secara sosial-politik, tantangan terbesar tawassuth adalah polarisasi identitas di masyarakat Muslim sendiri.¹⁷ Di berbagai negara, termasuk Indonesia, umat Islam kerap terbelah antara kelompok konservatif dan liberal, yang masing-masing mengklaim sebagai representasi “Islam sejati.” Polarisasi ini memperlemah kohesi umat dan menimbulkan ketegangan sosial.¹⁸ Dalam konteks tersebut, tawassuth seharusnya hadir sebagai titik temu (common ground), tetapi upaya ini sering terhambat oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Selain itu, radikalisme keagamaan yang muncul dalam dekade terakhir menunjukkan tantangan serius bagi implementasi tawassuth.¹⁹ Akar masalahnya bukan hanya teologis, tetapi juga sosiologis—seperti ketidakadilan ekonomi, marginalisasi politik, dan krisis identitas generasi muda.²⁰ Upaya menanamkan tawassuth harus disertai dengan keadilan struktural; tanpa itu, moderasi hanya akan tampak sebagai retorika elit yang jauh dari realitas umat.²¹

8.5.       Tantangan Global: Sekularisme, Post-Truth, dan Krisis Nilai

Dalam konteks global, tawassuth dihadapkan pada gelombang sekularisme, relativisme moral, dan budaya post-truth yang melemahkan komitmen terhadap kebenaran objektif.²² Dunia modern yang dikuasai oleh logika pasar dan politik identitas sering kali mendorong masyarakat menuju ekstremisme baru—baik dalam bentuk hedonisme maupun fanatisme ideologis.²³ Dalam situasi ini, tawassuth harus berfungsi sebagai paradigma etis yang menegakkan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara individualitas dan solidaritas.²⁴

Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis kemanusiaan modern berasal dari “ketidakseimbangan spiritual,” yakni ketika manusia kehilangan pusat moral yang memandu kehidupannya.²⁵ Oleh karena itu, tawassuth memiliki misi peradaban: memulihkan kembali tatanan nilai dan makna melalui keseimbangan antara dimensi material dan spiritual. Tantangannya, bagaimana prinsip ini dapat diartikulasikan dalam bahasa global yang inklusif dan dapat diterima lintas peradaban.²⁶


Konklusi: Reinterpretasi Tawassuth di Era Modern

Dari berbagai kritik dan tantangan tersebut, tampak bahwa tawassuth memerlukan reinterpretasi yang mendalam agar tetap relevan dengan kompleksitas dunia modern.²⁷ Ia tidak boleh direduksi menjadi slogan politik atau identitas institusional, melainkan harus dikembalikan sebagai paradigma epistemologis, etis, dan spiritual yang mengarahkan manusia menuju keseimbangan hakiki. Reaktualisasi tawassuth harus melibatkan tiga agenda utama: (1) penguatan tradisi intelektual Islam yang kritis dan kontekstual; (2) pembaharuan sosial-politik yang berkeadilan; dan (3) pengarusutamaan nilai-nilai kemanusiaan universal dalam pendidikan dan dakwah.²⁸

Dengan demikian, tawassuth bukan hanya doktrin normatif, tetapi juga strategi peradaban untuk menjembatani jurang antara agama dan modernitas, tradisi dan kemajuan, lokalitas dan globalitas. Dalam makna yang sejati, tawassuth adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan Islam—menjadi jembatan antara langit dan bumi, antara wahyu dan akal, antara Tuhan dan manusia.²⁹


Footnotes

[1]                ¹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 43.

[2]                ² M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 55.

[3]                ³ Al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 84.

[4]                ⁴ Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 28.

[5]                ⁵ Hasan Hanafi, Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini (Kairo: Al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah, 1989), 112.

[6]                ⁶ Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1994), 61.

[7]                ⁷ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 47.

[8]                ⁸ John L. Esposito, Islam and the West: The Making of an Image (Oxford: Oneworld, 1999), 202.

[9]                ⁹ Asef Bayat, Making Islam Democratic: Social Movements and the Post-Islamist Turn (Stanford: Stanford University Press, 2007), 64.

[10]             ¹⁰ Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 41.

[11]             ¹¹ Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 72.

[12]             ¹² Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 33.

[13]             ¹³ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 8.

[14]             ¹⁴ Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1986), 124.

[15]             ¹⁵ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 147.

[16]             ¹⁶ Hamid Mowlana, Global Communication in Transition (Thousand Oaks: Sage, 1996), 118.

[17]             ¹⁷ Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 238.

[18]             ¹⁸ Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), 65.

[19]             ¹⁹ Gilles Kepel, Jihad: The Trail of Political Islam (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 4.

[20]             ²⁰ Bassam Tibi, Political Islam, World Politics and Europe (London: Routledge, 2008), 91.

[21]             ²¹ Azyumardi Azra, Islam Nusantara dan Tantangan Globalisasi (Jakarta: Paramadina, 2017), 61.

[22]             ²² Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 102.

[23]             ²³ Ulrich Beck, A God of One’s Own: Religion’s Capacity for Peace and Potential for Violence (Cambridge: Polity Press, 2010), 34.

[24]             ²⁴ M. Kamal Hassan, The Islamic Worldview: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010), 88.

[25]             ²⁵ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 41.

[26]             ²⁶ Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 92.

[27]             ²⁷ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 49.

[28]             ²⁸ Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 111.

[29]             ²⁹ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 109.


9.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks global abad ke-21 yang ditandai oleh kompleksitas sosial, krisis nilai, dan perubahan teknologi yang cepat, konsep tawassuth (moderasi) semakin menemukan relevansinya sebagai paradigma etis dan intelektual dalam membangun peradaban Islam yang inklusif, adaptif, dan berkeadilan. Tawassuth hadir sebagai solusi bagi dua kutub ekstrem yang mengancam stabilitas kehidupan beragama dan sosial: fundamentalisme yang eksklusif di satu sisi, serta liberalisme relativistik di sisi lain.¹ Dengan menegaskan keseimbangan antara teks dan konteks, antara iman dan rasio, antara tradisi dan pembaruan, tawassuth menjelma sebagai jembatan epistemologis dan praksis antara masa lalu Islam yang kaya dan realitas modern yang plural.

9.1.       Relevansi dalam Kehidupan Sosial dan Keberagamaan

Dalam konteks sosial dan keberagamaan, tawassuth menjadi prinsip dasar dalam menghadapi meningkatnya polarisasi identitas dan intoleransi antarumat beragama. Islam mengajarkan bahwa keimanan sejati harus melahirkan kasih sayang, bukan permusuhan.² Oleh karena itu, tawassuth berperan penting dalam mendorong terwujudnya masyarakat yang rahmatan lil ‘alamin—masyarakat yang menjunjung tinggi martabat manusia dan menghormati keberagaman.

Dalam realitas global saat ini, konflik berbasis agama dan etnis sering kali dipicu oleh penafsiran keagamaan yang sempit dan eksklusif. Tawassuth memberikan perspektif alternatif yang menekankan dialog antaragama (interfaith dialogue) sebagai sarana memperkuat kohesi sosial dan perdamaian dunia.³ Sebagaimana dijelaskan oleh Seyyed Hossein Nasr, Islam yang sejati tidak bertentangan dengan perbedaan, melainkan menempatkan pluralitas sebagai manifestasi dari kehendak Ilahi.⁴ Dalam konteks ini, tawassuth menjadi etika hidup bersama—menjaga keseimbangan antara loyalitas terhadap iman dan keterbukaan terhadap kemanusiaan universal.

Di Indonesia, nilai tawassuth diaktualisasikan melalui konsep “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan,” yang menegaskan moderasi sebagai karakter bangsa.⁵ Dua konsep ini menunjukkan relevansi tawassuth sebagai paradigma sosial yang mampu menjaga keharmonisan antarumat di tengah kemajemukan budaya dan agama.

9.2.       Relevansi dalam Pendidikan dan Literasi Keagamaan

Dalam bidang pendidikan, tawassuth menjadi fondasi dalam membangun generasi Muslim yang berpikir kritis, berakhlak, dan toleran.⁶ Pendidikan Islam modern menghadapi tantangan ganda: di satu sisi, ancaman radikalisasi dan intoleransi; di sisi lain, gelombang sekularisasi yang menihilkan nilai spiritual. Di tengah situasi ini, tawassuth menawarkan sintesis: membangun nalar religius yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan sekaligus berakar pada nilai-nilai moral Qur’ani.

Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa wasathiyyah al-ta‘limiyyah (moderasi pendidikan) menuntut integrasi antara pengetahuan agama dan sains modern agar umat Islam tidak terjebak dalam dikotomi antara iman dan akal.⁷ Hal ini sejalan dengan gagasan Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang pendidikan Islam sebagai proses ta’dīb—pembentukan manusia beradab yang seimbang dalam berpikir, merasa, dan bertindak.⁸

Kementerian Agama RI juga menjadikan tawassuth sebagai pilar utama “Moderasi Beragama” untuk melawan penyebaran paham ekstrem di lembaga pendidikan.⁹ Pendidikan berbasis tawassuth menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kerukunan, empati sosial, serta kemampuan berpikir kritis terhadap narasi kebencian dan intoleransi yang marak di ruang digital.

9.3.       Relevansi dalam Politik dan Kepemimpinan Publik

Dalam dunia politik kontemporer yang sarat dengan konflik kepentingan dan polarisasi ideologis, tawassuth memiliki peran strategis sebagai paradigma kepemimpinan yang etis dan berkeadilan. Politik Islam yang wasathi (moderat) berorientasi pada kemaslahatan umum (al-maslahah al-‘ammah) dan menolak manipulasi agama untuk kepentingan kekuasaan.¹⁰ Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa kekuasaan hanya sah jika ditegakkan atas dasar keadilan, karena keadilan adalah tujuan utama syariat.¹¹

Dalam konteks demokrasi modern, tawassuth dapat menjadi etika politik yang mendorong dialog, konsensus, dan musyawarah.¹² Ia menolak ekstremitas ideologis yang cenderung melahirkan kekerasan politik, sekaligus mengingatkan bahwa kebebasan tanpa tanggung jawab akan menjerumuskan masyarakat dalam chaos moral. Model kepemimpinan tawassuth berakar pada prinsip syura (musyawarah), ‘adl (keadilan), dan amanah (integritas), yang menjadi basis bagi terciptanya pemerintahan yang beretika dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.¹³

9.4.       Relevansi dalam Era Digital dan Globalisasi

Era digital membawa tantangan baru bagi aktualisasi tawassuth, terutama terkait penyebaran informasi, polarisasi opini publik, dan radikalisasi daring.¹⁴ Media sosial sering kali menjadi ruang bagi munculnya ekstremisme dan ujaran kebencian yang mengancam kohesi sosial. Dalam konteks ini, tawassuth menuntut kehadiran etika digital yang mengedepankan verifikasi, empati, dan tanggung jawab moral dalam berkomunikasi.¹⁵

Pemikir kontemporer seperti Hamid Mowlana menekankan pentingnya “komunikasi beretika” dalam masyarakat informasi, di mana keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan etika publik harus dijaga.¹⁶ Dakwah digital berbasis tawassuth menjadi kebutuhan mendesak untuk menandingi narasi kebencian dan misinformasi yang marak di ruang maya. Dengan strategi komunikasi yang bil hikmah, umat Islam dapat memanfaatkan teknologi sebagai sarana pencerahan, bukan alat polarisasi.¹⁷

Selain itu, dalam konteks globalisasi budaya, tawassuth menjadi strategi kultural untuk menjaga identitas Islam tanpa menolak kemajuan. Islam yang moderat tidak anti-modernitas, tetapi berupaya menafsirkan ulang modernitas dalam bingkai nilai-nilai tauhid dan akhlak.¹⁸ Dengan demikian, tawassuth berperan sebagai filter moral terhadap hedonisme, materialisme, dan relativisme nilai yang mendominasi dunia global.¹⁹

9.5.       Relevansi Universal: Menuju Etika Global dan Peradaban Damai

Relevansi tawassuth tidak terbatas pada umat Islam, melainkan juga menyentuh ranah etika global. Dalam dunia yang dilanda konflik, krisis ekologi, dan ketimpangan ekonomi, prinsip keseimbangan dan keadilan yang diajarkan tawassuth dapat menjadi fondasi bagi solidaritas kemanusiaan lintas agama dan bangsa.²⁰

Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa keseimbangan spiritual merupakan kunci untuk memulihkan krisis modernitas yang kehilangan arah moral.²¹ Tawassuth dengan demikian menjadi jembatan antara spiritualitas dan modernitas—menawarkan visi peradaban yang menempatkan manusia, alam, dan Tuhan dalam relasi yang harmonis. Dalam bahasa Fazlur Rahman, moderasi Islam merupakan upaya “mengembalikan moralitas wahyu dalam konteks modernitas yang rasional.”²²

Dengan demikian, tawassuth bukan hanya nilai keagamaan, tetapi juga paradigma peradaban yang menawarkan model pembangunan manusia yang integral: rasional, etis, spiritual, dan humanistik.²³


Konklusi Relevansi Kontemporer

Dalam realitas kontemporer yang penuh disrupsi dan ketidakpastian, tawassuth tampil sebagai fondasi etika kehidupan modern. Ia memberikan arah bagi manusia untuk hidup secara seimbang antara iman dan akal, tradisi dan inovasi, kebebasan dan tanggung jawab. Dalam konteks keislaman, tawassuth menghidupkan kembali semangat ummatan wasathan—umat yang menjadi saksi atas kebenaran dan penjaga keadilan.²⁴

Dengan demikian, aktualisasi tawassuth di era kini bukan hanya keharusan teologis, tetapi juga kebutuhan peradaban. Melalui pendidikan, dakwah, politik, dan budaya yang berlandaskan moderasi, Islam dapat terus berperan sebagai kekuatan moral global yang menebarkan kedamaian, keadilan, dan kemanusiaan universal.²⁵


Footnotes

[1]                ¹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 51.

[2]                ² M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 58.

[3]                ³ Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 95.

[4]                ⁴ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 102.

[5]                ⁵ Azyumardi Azra, Islam Nusantara dan Tantangan Globalisasi (Jakarta: Paramadina, 2017), 66.

[6]                ⁶ Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2019), 19.

[7]                ⁷ Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 43.

[8]                ⁸ Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 5.

[9]                ⁹ Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, 21.

[10]             ¹⁰ Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 245.

[11]             ¹¹ Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Shar‘iyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 27.

[12]             ¹² Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 16.

[13]             ¹³ Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 122.

[14]             ¹⁴ Hamid Mowlana, Global Communication in Transition (Thousand Oaks: Sage, 1996), 130.

[15]             ¹⁵ M. Kamal Hassan, The Islamic Worldview: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010), 81.

[16]             ¹⁶ Ibid., 84.

[17]             ¹⁷ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 53.

[18]             ¹⁸ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 49.

[19]             ¹⁹ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 114.

[20]             ²⁰ John L. Esposito, Islam and the West: The Making of an Image (Oxford: Oneworld, 1999), 214.

[21]             ²¹ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 53.

[22]             ²² Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 77.

[23]             ²³ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 153.

[24]             ²⁴ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, 57.

[25]             ²⁵ Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 112.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Etika Tawassuth yang Integral dan Humanistik

Konsep tawassuth dalam Islam tidak hanya sekadar gagasan normatif tentang keseimbangan dan moderasi, melainkan juga memiliki kedalaman filosofis yang memadukan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis secara terpadu. Dalam sintesis filosofis ini, tawassuth dipahami sebagai prinsip keberadaan (being principle), metode berpikir (method of reasoning), dan pandangan hidup (way of life) yang integral dan humanistik. Artinya, tawassuth tidak berhenti pada tataran etika sosial, tetapi menjelma menjadi paradigma filosofis yang menuntun manusia menuju kesempurnaan moral dan keseimbangan eksistensial antara aspek spiritual, rasional, dan empiris kehidupan.¹

10.1.    Dimensi Ontologis: Tawassuth sebagai Struktur Eksistensi

Secara ontologis, tawassuth merefleksikan hukum keseimbangan yang melekat dalam tatanan kosmos dan diri manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa seluruh ciptaan Allah berdiri di atas prinsip mīzān (keseimbangan): “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan neraca (keadilan)” (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–8).² Keseimbangan ini bukan sekadar fenomena alamiah, melainkan manifestasi dari keadilan ilahi yang menjadi dasar eksistensi segala sesuatu.

Dalam perspektif filsafat Islam, keseimbangan ontologis ini dipahami sebagai bentuk tawhīd eksistensial—kesatuan antara aspek ruhani dan jasmani, akal dan nafs, yang menandai kodrat manusia sebagai khalifah fi al-ardh.³ Manusia yang bertindak secara moderat berarti menegakkan hukum keberadaan yang sesuai dengan fitrahnya, yakni menempatkan segala potensi pada posisi yang proporsional.⁴ Oleh karena itu, tawassuth bukanlah kompromi antara dua ekstrem, tetapi afirmasi terhadap realitas kesatuan yang harmonis antara yang ilahi dan yang insani.⁵

Seyyed Hossein Nasr menyebut prinsip ini sebagai “kosmologi sakral,” yakni pandangan bahwa keseimbangan spiritual adalah fondasi seluruh eksistensi dan sumber keindahan dunia.⁶ Dalam konteks ini, tawassuth menjadi ekspresi ontologis dari keadilan Tuhan yang beroperasi di dalam jiwa manusia dan di seluruh tatanan kosmik.

10.2.    Dimensi Epistemologis: Rasionalitas Qur’ani dan Kebenaran Seimbang

Secara epistemologis, tawassuth melahirkan paradigma pengetahuan yang seimbang antara wahyu, akal, dan pengalaman empiris. Dalam tradisi Islam klasik, pengetahuan yang benar (al-‘ilm al-haqq) diperoleh melalui sintesis antara naql (wahyu) dan ‘aql (akal), di mana keduanya berfungsi saling melengkapi, bukan saling meniadakan.⁷ Al-Ghazali menegaskan bahwa kebenaran sejati adalah hasil harmoni antara intuisi spiritual dan rasionalitas ilmiah, sedangkan Ibn Rushd menambahkan bahwa wahyu dan akal berasal dari sumber kebenaran yang sama, sehingga tidak mungkin saling bertentangan.⁸

Epistemologi tawassuth dengan demikian menolak dua ekstrem: literalitas tekstual yang menutup diri dari rasionalitas, dan liberalisme epistemik yang menafsirkan agama tanpa batas metodologis.⁹ Prinsip moderasi epistemik ini tampak dalam konsep ijtihad muqayyad—ijtihad yang rasional namun tetap berpijak pada maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan etis syariah).¹⁰

Fazlur Rahman menyebut pendekatan ini sebagai “gerak ganda” (double movement): memahami teks dalam konteks historisnya, lalu menarik nilai-nilainya ke realitas modern.¹¹ Inilah bentuk epistemologi tawassuth: pengetahuan yang hidup, dinamis, dan kontekstual, tetapi tetap berakar pada kebenaran wahyu yang transenden.

10.3.    Dimensi Aksiologis: Tawassuth sebagai Etika Kemanusiaan

Dalam kerangka aksiologi, tawassuth menempati posisi sebagai sumber etika humanistik yang menegakkan keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, individu dan masyarakat. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk etis yang bertugas menegakkan keadilan dan kemaslahatan (maslahah ‘ammah).¹²

Etika tawassuth menuntun manusia untuk menghindari dua ekstrem etis: ifrāṭ (berlebihan) dan tafrīṭ (kelalaian). Al-Ghazali menggambarkan kebajikan (faḍīlah) sebagai “tengah-tengah antara dua keburukan,” di mana keberanian adalah keseimbangan antara ketakutan dan kebodohan, serta kedermawanan adalah keseimbangan antara kikir dan boros.¹³ Etika ini berakar pada prinsip Qur’ani tentang ‘adl (keadilan) dan ihsan (kebajikan), yang memadukan rasionalitas moral dengan kasih sayang spiritual.¹⁴

Dalam konteks humanistik, tawassuth mengafirmasi martabat manusia (karāmah insāniyyah) sebagai makhluk berpikir dan berperasaan yang bebas namun bertanggung jawab.¹⁵ Pandangan ini sejalan dengan gagasan Abdurrahman Wahid tentang “humanisme teosentris,” yakni pandangan bahwa kemanusiaan sejati bersumber dari kesadaran akan Tuhan dan terwujud dalam penghargaan terhadap sesama.¹⁶ Dengan demikian, tawassuth menjadi fondasi etika universal yang menjembatani nilai-nilai keagamaan dan hak-hak asasi manusia.

10.4.    Integrasi Humanistik: Tawassuth dalam Kehidupan Global

Dalam konteks globalisasi dan krisis kemanusiaan modern, tawassuth menawarkan paradigma etika global yang menekankan keseimbangan spiritual dan sosial. Dunia modern yang cenderung terjebak dalam ekstremitas—baik dalam bentuk materialisme sekuler maupun fanatisme religius—membutuhkan etika keseimbangan yang mampu menata kembali hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.¹⁷

Seyyed Hossein Nasr mengingatkan bahwa modernitas yang kehilangan dimensi spiritual telah melahirkan krisis ekologis dan alienasi manusia dari dirinya sendiri.¹⁸ Di sinilah relevansi tawassuth sebagai etika ekologis dan spiritual yang menegaskan bahwa menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari amanah moral manusia sebagai khalifah. Islam melalui prinsip moderasi mengajarkan etika konservasi, solidaritas sosial, dan tanggung jawab moral terhadap generasi mendatang.¹⁹

Dalam ranah global, tawassuth juga menjadi prinsip dialog antarperadaban (hiwār al-hadhārāt).²⁰ Ia mendorong kerja sama lintas agama dalam mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan dunia. Dalam kerangka humanistik, tawassuth memandang manusia bukan dari perbedaan teologisnya, melainkan dari kemanusiaannya yang setara di hadapan Tuhan.²¹


Sintesis Filosofis: Etika Tawassuth sebagai Kesatuan Integral

Dari seluruh dimensi tersebut, dapat dirumuskan bahwa tawassuth merupakan sistem etika integral yang menggabungkan aspek ontologis (hakikat keberadaan yang seimbang), epistemologis (pengetahuan yang proporsional antara wahyu dan rasio), dan aksiologis (tindakan yang adil dan berorientasi pada kemaslahatan).²² Dalam perspektif filosofis, tawassuth berfungsi sebagai “jembatan etika” antara metafisika dan praksis sosial—sebuah usaha menyatukan idealitas wahyu dengan realitas kemanusiaan.

Etika tawassuth juga bersifat humanistik karena berpusat pada martabat manusia sebagai subjek moral yang bebas, rasional, dan berorientasi pada kebajikan.²³ Ia tidak menafikan nilai spiritual, tetapi justru mengintegrasikan keimanan dengan kemanusiaan. Dalam hal ini, tawassuth menolak dualisme antara “agama” dan “kemanusiaan,” karena keduanya saling melengkapi sebagai bagian dari realitas yang satu.²⁴

Dengan demikian, etika tawassuth yang integral dan humanistik adalah bentuk tertinggi dari keseimbangan moral Islam—sebuah modus vivendi yang menyatukan iman, ilmu, dan amal dalam harmoni.²⁵ Dalam era modern yang sarat ketimpangan dan kekerasan, etika ini menjadi panggilan untuk membangun dunia yang lebih adil, damai, dan manusiawi di bawah cahaya nilai-nilai ilahi yang moderat dan inklusif.


Footnotes

[1]                ¹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 59.

[2]                ² Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.

[3]                ³ M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 62.

[4]                ⁴ Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 70.

[5]                ⁵ Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 53.

[6]                ⁶ Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 47.

[7]                ⁷ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 37.

[8]                ⁸ Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl fīmā bayna al-Hikmah wa al-Sharī‘ah min al-Ittiṣāl (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1986), 17.

[9]                ⁹ Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1994), 60.

[10]             ¹⁰ Al-Shatibi, Al-Muwāfaqāt fi Usul al-Shari‘ah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 12.

[11]             ¹¹ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 83.

[12]             ¹² Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 45.

[13]             ¹³ Abu Hamid al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 81.

[14]             ¹⁴ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 363.

[15]             ¹⁵ Syed M. Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 115.

[16]             ¹⁶ Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 129.

[17]             ¹⁷ Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 156.

[18]             ¹⁸ Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 118.

[19]             ¹⁹ Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 48.

[20]             ²⁰ Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 95.

[21]             ²¹ John L. Esposito, Islam and the West: The Making of an Image (Oxford: Oneworld, 1999), 217.

[22]             ²² M. Kamal Hassan, The Islamic Worldview: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010), 93.

[23]             ²³ Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 57.

[24]             ²⁴ Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 4 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 12.

[25]             ²⁵ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 111.


11.       Kesimpulan

Kajian terhadap konsep tawassuth dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits menunjukkan bahwa prinsip moderasi merupakan inti ajaran Islam yang bersifat universal, rasional, dan humanistik. Tawassuth bukan hanya pedoman etika, tetapi juga fondasi filosofis bagi terbentuknya tatanan kehidupan yang berkeadilan, harmonis, dan berkeadaban. Secara teologis, ia berakar pada pandangan Al-Qur’an tentang ummatan wasathan (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143), yang menegaskan identitas umat Islam sebagai komunitas yang seimbang antara dimensi spiritual dan duniawi, antara iman dan akal, serta antara hak individu dan tanggung jawab sosial.¹

Dari segi ontologi, tawassuth mengajarkan bahwa keseimbangan merupakan hukum dasar eksistensi yang dihadirkan oleh Tuhan dalam tatanan kosmos dan dalam diri manusia. Keseimbangan ini tercermin dalam harmoni antara jasmani dan ruhani, antara hakikat dan syariat, antara idealisme dan realitas.² Dalam konteks epistemologis, tawassuth melahirkan cara berpikir yang proporsional—menggabungkan wahyu, akal, dan pengalaman empiris sebagai sumber pengetahuan yang saling melengkapi.³ Dengan demikian, kebenaran dalam Islam tidak bersifat eksklusif dan dogmatis, tetapi terbuka untuk dialog dan kontekstualisasi, selama tetap berlandaskan pada nilai-nilai ilahiah.

Adapun secara aksiologis, tawassuth mewujudkan dirinya dalam tindakan nyata berupa keadilan, toleransi, kebijaksanaan, dan kasih sayang.⁴ Etika ini menolak dua ekstrem moral: radikalisme yang keras dan liberalisme yang nihil nilai. Dengan keseimbangan tersebut, tawassuth menjadi sarana pembentukan karakter manusia paripurna (insān kāmil), yang berakhlak luhur dan berorientasi pada kemaslahatan umat (maslahah ‘āmmah).⁵

Dalam dimensi sosial dan politik, tawassuth menjadi panduan etika kehidupan publik. Islam menempatkan keadilan (‘adl) dan musyawarah (shūrā) sebagai prinsip dasar dalam membangun masyarakat madani yang terbuka dan partisipatif.⁶ Dalam ranah pendidikan dan dakwah, nilai-nilai moderasi menjadi sarana strategis dalam membentuk generasi Muslim yang berpikir kritis, berakhlak mulia, dan toleran terhadap perbedaan.⁷ Pendidikan berbasis tawassuth menolak dogmatisme dan kekerasan, sebaliknya menumbuhkan semangat dialog, literasi moral, dan tanggung jawab sosial.

Namun, tawassuth juga menghadapi tantangan konseptual dalam dunia modern, seperti polarisasi ideologi, disinformasi digital, dan krisis spiritualitas global.⁸ Oleh karena itu, diperlukan reinterpretasi yang mendalam agar tawassuth tidak terjebak menjadi slogan politik, melainkan terus berfungsi sebagai paradigma etika dan intelektual Islam yang kontekstual.⁹ Reaktualisasi tawassuth harus dilakukan melalui revitalisasi tradisi ilmiah Islam, penguatan institusi pendidikan, dan pengembangan wacana publik yang rasional dan humanistik.¹⁰

Secara filosofis, tawassuth mencerminkan pandangan dunia Islam yang integral dan menyeluruh (syumūl). Ia mengajarkan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam; antara akal, wahyu, dan etika. Prinsip keseimbangan yang dikandungnya bukan sekadar sikap tengah-tengah, melainkan ekspresi dari kesempurnaan nilai moral yang menghindari ekses ekstrem dan kekosongan makna.¹¹ Dalam makna ini, tawassuth adalah perwujudan dari hikmah (kebijaksanaan) Qur’ani, yaitu kemampuan untuk menempatkan segala sesuatu secara tepat, adil, dan proporsional.¹²

Akhirnya, tawassuth harus dipahami sebagai etika integral dan humanistik—etika yang menghubungkan antara iman dan kemanusiaan, antara keadilan sosial dan spiritualitas, serta antara keberagaman dan persatuan. Ia merupakan jawaban Islam atas krisis moral modern, menawarkan jalan tengah yang berlandaskan cinta kasih, keadilan, dan keseimbangan.¹³ Dalam perspektif inilah, tawassuth bukan sekadar konsep keagamaan, tetapi paradigma peradaban yang membawa Islam kembali pada esensinya sebagai rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh makhluk.¹⁴


Footnotes

[1]                ¹ Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-Shuruq, 2009), 61.

[2]                ² Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: Allen & Unwin, 1968), 49.

[3]                ³ Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 83.

[4]                ⁴ Abu Hamid al-Ghazali, Mizan al-‘Amal (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 81.

[5]                ⁵ Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1980), 9.

[6]                ⁶ Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), 15.

[7]                ⁷ Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2019), 24.

[8]                ⁸ Azyumardi Azra, Islam Nusantara dan Tantangan Globalisasi (Jakarta: Paramadina, 2017), 67.

[9]                ⁹ Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1994), 63.

[10]             ¹⁰ Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 128.

[11]             ¹¹ M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 64.

[12]             ¹² Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1962), 29.

[13]             ¹³ Yusuf al-Qaradawi, Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā (Kairo: Dar al-Shuruq, 2007), 50.

[14]             ¹⁴ Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 115.


Daftar Pustaka

Abdurrahman Wahid. (2001). Pergulatan negara, agama, dan kebudayaan. Jakarta: Desantara.

Abdurrahman Wahid. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.

Al-Ghazali, A. H. (1962). Ihya’ Ulum al-Din (Jilid 3–4). Kairo: Dar al-Ma‘arif.

Al-Ghazali, A. H. (1983). Mizan al-‘Amal. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Mawardi. (1985). Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Mawardi. (1987). Adab al-Dunya wa al-Din. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Raghib al-Asfahani. (1984). Al-Dhari‘ah ila Makarim al-Shari‘ah. Kairo: Maktabah al-Tawfiqiyyah.

Al-Shatibi. (2004). Al-Muwāfaqāt fi Usul al-Shari‘ah (Jilid 2). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Azyumardi Azra. (2000). Islam substantif. Bandung: Mizan.

Azyumardi Azra. (2017). Islam Nusantara dan tantangan globalisasi. Jakarta: Paramadina.

Bassam Tibi. (2008). Political Islam, world politics and Europe. London: Routledge.

Clifford Geertz. (1968). Islam observed: Religious development in Morocco and Indonesia. Chicago: University of Chicago Press.

Departemen Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Esposito, J. L. (1999). Islam and the West: The making of an image. Oxford: Oneworld.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. (1989). Major themes of the Qur’an (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Hamid Mowlana. (1996). Global communication in transition. Thousand Oaks, CA: Sage.

Hasan Hanafi. (1989). Al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini. Kairo: Al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah.

Ibn Hisham. (1995). Al-Sīrah al-Nabawiyyah (Jilid 2). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Khaldun. (1992). Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Manzur. (1990). Lisan al-‘Arab (Jilid 7). Beirut: Dar Sadir.

Ibn Rushd. (1986). Fasl al-Maqāl fīmā bayna al-Hikmah wa al-Sharī‘ah min al-Ittiṣāl. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Ibn Taymiyyah. (1998). Al-Siyasah al-Shar‘iyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

John L. Esposito. (1999). Islam and the West: The making of an image. Oxford: Oneworld.

Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Moderasi beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

M. Kamal Hassan. (2010). The Islamic worldview: An Islamic perspective. Kuala Lumpur: IIUM Press.

M. Quraish Shihab. (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.

M. Quraish Shihab. (2001). Tafsir al-Mishbah (Jilid 2). Jakarta: Lentera Hati.

Muhammad Iqbal. (1986). The reconstruction of religious thought in Islam. Lahore: Iqbal Academy.

Nasr Hamid Abu Zayd. (1994). Naqd al-Khitab al-Dini. Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi.

Nurcholish Madjid. (1992). Islam, doktrin dan peradaban. Jakarta: Paramadina.

Seyyed Hossein Nasr. (1968). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. London: Allen & Unwin.

Seyyed Hossein Nasr. (1975). Islam and the plight of modern man. London: Routledge.

Seyyed Hossein Nasr. (1989). Knowledge and the sacred. Albany, NY: SUNY Press.

Seyyed Hossein Nasr. (2002). The heart of Islam: Enduring values for humanity. New York: HarperCollins.

Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1980). The concept of education in Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Syed Muhammad Naquib al-Attas. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Tariq Ramadan. (2004). Western Muslims and the future of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Tariq Ramadan. (2009). Radical reform: Islamic ethics and liberation. Oxford: Oxford University Press.

Ulrich Beck. (2010). A god of one’s own: Religion’s capacity for peace and potential for violence. Cambridge: Polity Press.

Yusuf al-Qaradawi. (1991). Islamic awakening between rejection and extremism. Herndon, VA: IIIT.

Yusuf al-Qaradawi. (2007). Al-Wasathiyyah al-Islamiyyah wa Ma‘ālimuhā. Kairo: Dar al-Shuruq.

Yusuf al-Qaradawi. (2009). Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Shuruq.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar