Minggu, 02 November 2025

Tawazun (Keseimbangan): Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits

Tawazun (Keseimbangan)

Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits


Alihkan ke: PPG 2019.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Tawazun (keseimbangan) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis, dengan pendekatan multidisipliner yang meliputi dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, politik, ekologis, dan kosmologis. Tawazun dipahami sebagai prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang menegaskan keterpaduan antara aspek Ilahi, kemanusiaan, dan alam semesta. Melalui analisis tekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis, serta penelusuran terhadap pemikiran para ulama klasik dan kontemporer seperti al-Ghazali, Ibn Sina, al-Mawardi, al-Attas, dan Seyyed Hossein Nasr, artikel ini menampilkan bahwa keseimbangan bukan hanya ajaran moral, tetapi juga paradigma eksistensial yang mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia.

Secara ontologis, tawazun mencerminkan keteraturan wujud dan harmoni kosmik yang berakar pada prinsip tawhid sebagai sumber kesatuan realitas. Secara epistemologis, ia menegaskan integrasi antara wahyu, akal, dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan yang saling melengkapi. Dalam dimensi aksiologis, tawazun menjadi dasar bagi keadilan, moderasi, dan kasih sayang dalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik individu maupun sosial. Artikel ini juga menyoroti relevansi kontemporer dari tawazun dalam menjawab krisis modern seperti ekstremisme ideologis, ketimpangan ekonomi, degradasi lingkungan, dan disintegrasi moral. Dengan mengintegrasikan spiritualitas dan rasionalitas, Islam melalui konsep tawazun menawarkan paradigma etika yang integral dan humanistik bagi pembangunan peradaban yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berorientasi pada kemaslahatan universal (rahmatan lil-‘ālamīn).

Kata Kunci: Tawazun, keseimbangan, Al-Qur’an, Hadis, etika Islam, tauhid, epistemologi Islam, aksiologi, moderasi, peradaban humanistik.

 


PEMBAHASAN

Tawazun sebagai Prinsip Keseimbangan dalam Islam


1.           Pendahuluan

Konsep tawazun (توازن) atau keseimbangan merupakan salah satu prinsip universal dalam ajaran Islam yang menegaskan pentingnya harmoni antara berbagai aspek kehidupan manusia — spiritual dan material, individu dan sosial, serta dunia dan akhirat. Prinsip ini tidak hanya menjadi pedoman etika, tetapi juga mencerminkan struktur ontologis ciptaan Allah yang serba teratur dan proporsional. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu diciptakan dengan ukuran dan keseimbangan tertentu (bi qadar), sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. Al-Qamar [54] ayat 49). Ayat ini menjadi dasar kosmologis bahwa keseimbangan adalah hukum alam yang bersumber dari kehendak Ilahi.¹

Secara terminologis, tawazun berarti keseimbangan, keserasian, atau proporsionalitas dalam tindakan dan pemikiran.² Dalam konteks moral dan sosial, tawazun menuntut manusia untuk tidak berlebihan dalam satu aspek kehidupan dengan mengabaikan yang lain. Islam menolak ekstremitas—baik dalam bentuk sikap asketik yang menolak dunia maupun dalam bentuk materialisme yang melupakan spiritualitas.³ Rasulullah Saw menegaskan dalam sabdanya, “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atasmu, matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu”, yang menunjukkan pentingnya keseimbangan dalam seluruh dimensi kehidupan.⁴

Fenomena kehidupan modern memperlihatkan bahwa prinsip tawazun semakin tergerus oleh dinamika globalisasi, industrialisasi, dan konsumerisme. Ketimpangan sosial, degradasi moral, serta krisis ekologis menandakan hilangnya keseimbangan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama, dan dengan alam.⁵ Dalam konteks ini, kajian filosofis terhadap konsep tawazun menjadi sangat relevan, sebab ia menawarkan paradigma alternatif yang menolak dikotomi antara iman dan ilmu, antara agama dan kemanusiaan, serta antara spiritualitas dan rasionalitas.

Penelitian ini berangkat dari kesadaran bahwa tawazun bukan sekadar ajaran moral, melainkan fondasi epistemologis dan aksiologis bagi keseluruhan sistem nilai Islam. Ia menjadi prinsip pengarah yang memastikan bahwa segala aktivitas manusia—baik ibadah, muamalah, maupun pembangunan peradaban—berjalan secara adil, proporsional, dan harmonis.⁶ Oleh karena itu, tujuan utama artikel ini adalah menggali makna konseptual tawazun berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, menelusuri landasan historis dan genealogisnya, serta mengkaji implikasinya terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan ekologis umat Islam masa kini.

Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan tafsir tematik (maudhū‘i) dan analisis filosofis untuk menelaah makna keseimbangan dalam teks-teks normatif Islam. Pendekatan ini dipilih karena memungkinkan sintesis antara dimensi normatif-teologis dan refleksi rasional-kontekstual. Dengan demikian, diharapkan kajian ini dapat menegaskan kembali posisi tawazun sebagai inti dari etika Islam yang integral, moderat, dan humanistik—yakni etika yang mengharmonikan wahyu dan akal, iman dan amal, serta individu dan masyarakat dalam tatanan yang seimbang dan berkeadilan.⁷


Footnotes

[1]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 187.

[2]                Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid 13 (Beirut: Dar Sadir, 1997), 531.

[3]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 85.

[4]                HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm, no. 1968.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 23–28.

[6]                Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 41.

[7]                Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 201–205.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Konsep Tawazun

Konsep tawazun memiliki akar yang dalam dalam khazanah pemikiran Islam, baik secara linguistik, teologis, maupun historis. Secara etimologis, istilah tawazun berasal dari akar kata wazn (وزن) yang berarti “menimbang,” “mengukur,” atau “menentukan kadar sesuatu.”¹ Dari akar ini muncul kata mīzān yang secara harfiah berarti timbangan atau alat ukur keseimbangan, dan dalam Al-Qur’an istilah ini digunakan tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga moral dan kosmologis.² Konsep ini menggambarkan pandangan dunia Islam yang memandang keseimbangan sebagai prinsip universal yang mengatur seluruh aspek eksistensi, mulai dari tatanan kosmos hingga tatanan sosial manusia.

Dalam konteks historis, ide keseimbangan sudah tampak sejak periode awal Islam, terutama dalam ajaran Nabi Muhammad Saw yang menekankan moderasi, keadilan, dan proporsionalitas dalam segala aspek kehidupan.³ Rasulullah Saw menolak bentuk-bentuk ekstremitas, baik dalam ibadah yang berlebihan maupun dalam kesenangan duniawi yang melampaui batas.⁴ Prinsip keseimbangan ini kemudian menjadi salah satu ciri khas etika Islam yang membedakannya dari pandangan hidup yang dualistik atau fragmentatif.

Secara genealogis, gagasan tawazun dapat dilacak melalui tiga arus besar tradisi intelektual Islam: teologis (kalam), filosofis, dan sufistik. Dalam tradisi teologi Islam, aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah menekankan keseimbangan antara iman dan amal, antara takdir dan ikhtiar manusia. Al-Asy‘ari, misalnya, mengembangkan doktrin kasb (perolehan) untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan mutlak Tuhan dan kebebasan manusia.⁵ Dalam pemikiran ini, keseimbangan bukan berarti kompromi pasif, melainkan afirmasi terhadap keteraturan Ilahi yang memberi ruang bagi tanggung jawab manusia.

Sementara itu, dalam filsafat Islam, pemikiran tawazun memperoleh bentuk konseptual yang lebih ontologis. Para filsuf seperti al-Farabi dan Ibn Sina memandang bahwa alam semesta tersusun secara hierarkis dan harmonis, di mana setiap bagian memiliki fungsi dan kedudukan yang seimbang dalam keseluruhan sistem wujud (nizām al-wujūd).⁶ Prinsip keseimbangan menjadi dasar keteraturan alam (cosmos) dan manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan. Dalam kerangka ini, tawazun bukan sekadar nilai moral, tetapi juga hukum ontologis yang menegaskan keserasian antara sebab dan akibat, antara potensi dan aktualitas.

Dalam tradisi tasawuf, konsep tawazun mengalami penghayatan spiritual yang lebih mendalam. Tokoh seperti Abu Hamid al-Ghazali menafsirkan keseimbangan sebagai jalan menuju ihsan—kesempurnaan moral dan spiritual yang memadukan dimensi jasmani, akal, dan ruhani.⁷ Ia menegaskan bahwa keseimbangan antara akal dan nafsu, antara zuhud dan amal dunia, merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan sejati (sa‘ādah).⁸ Sementara itu, Ibn ‘Arabi memahami keseimbangan sebagai refleksi dari tawhid—kesatuan realitas di mana semua keberagaman tersusun dalam harmoni ilahi.⁹

Konsep tawazun juga memiliki resonansi kuat dalam peradaban Islam klasik, terutama pada masa Abbasiyah (750–1258 M) yang menandai puncak kemajuan ilmiah, filosofis, dan spiritual dunia Islam.¹⁰ Pada periode ini, semangat keseimbangan antara wahyu dan rasio, antara tradisi dan inovasi, melahirkan peradaban yang produktif, ilmiah, dan berorientasi pada keadilan sosial.¹¹ Dengan demikian, tawazun bukan hanya konsep normatif, tetapi juga prinsip epistemologis yang menopang kemajuan peradaban Islam.

Genealogi tawazun menunjukkan bahwa prinsip ini bukan hasil konstruksi modern, melainkan bagian integral dari warisan intelektual Islam yang terus hidup dan berkembang. Ia menembus berbagai disiplin keilmuan—dari tafsir, fiqih, kalam, hingga falsafah dan tasawuf—sebagai dasar harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam.¹² Dengan memahami akar historis dan genealogisnya, kita dapat menafsirkan ulang tawazun sebagai paradigma keseimbangan universal yang relevan bagi manusia modern, terutama dalam menghadapi krisis moral, sosial, dan ekologis yang muncul akibat kehilangan proporsi dalam berpikir dan bertindak.¹³


Footnotes

[1]                Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid 13 (Beirut: Dar Sadir, 1997), 530.

[2]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 112–113.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 25.

[4]                HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm, no. 1968.

[5]                Al-Asy‘ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Musallīn (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), 175–180.

[6]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1993), 56–60.

[7]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 244–247.

[8]                M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 87–89.

[9]                Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Sadir, 1999), 212–216.

[10]             Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 82–85.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 121–125.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 45–47.

[13]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 191–194.


3.           Landasan Qur’ani Konsep Tawazun

Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam menempatkan konsep tawazun (keseimbangan) sebagai prinsip dasar kosmos, moralitas, dan kehidupan sosial manusia. Keseimbangan dalam Al-Qur’an tidak sekadar bermakna “pertengahan” dalam skala kuantitatif, melainkan proporsionalitas eksistensial yang mencerminkan kehendak dan kebijaksanaan Ilahi.¹ Prinsip ini termanifestasi dalam berbagai istilah yang berakar dari konsep ukuran dan keadilan, seperti mīzān (timbangan), qadar (ukuran), i‘tidāl (kelurusan), dan wasathiyyah (pertengahan). Keseluruhan istilah tersebut membentuk dasar teologis dan etis bagi pemahaman Islam tentang tatanan dunia yang seimbang dan harmonis.

Salah satu ayat kunci yang menegaskan prinsip keseimbangan adalah firman Allah dalam QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan neraca (keseimbangan), supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”² Ayat ini menggambarkan dua dimensi keseimbangan: pertama, keseimbangan kosmik (tawazun kauni), yang menandai keteraturan ciptaan Allah; kedua, keseimbangan moral dan sosial (tawazun akhlaqi wa ijtima‘i), yang menuntut manusia untuk menegakkan keadilan dan menghindari ketimpangan. Dengan demikian, mīzān dalam Al-Qur’an bukan hanya alat ukur fisik, tetapi simbol hukum moral alam semesta.³

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa seluruh ciptaan tunduk pada sistem ukuran dan keseimbangan yang pasti: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (bi qadar)” (QS. Al-Qamar [54] ayat 49).⁴ Ayat ini menegaskan adanya keteraturan (nizām) dalam seluruh aspek eksistensi yang diciptakan Allah, sehingga segala bentuk ketidakseimbangan dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari sunnatullah.⁵ Dalam konteks ini, manusia yang bertugas sebagai khalifah di bumi dituntut untuk menjaga tawazun dalam segala tindakannya, baik terhadap diri sendiri, masyarakat, maupun alam semesta.

Konsep keseimbangan dalam Al-Qur’an juga memiliki dimensi antropologis. QS. Al-Mulk [67] ayat 3–4 menegaskan bahwa tidak ada ketidakseimbangan dalam ciptaan Allah: “(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat sesuatu yang tidak seimbang dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?”⁶ Ayat ini menunjukkan bahwa keseimbangan merupakan tanda kesempurnaan ciptaan dan bukti kebijaksanaan Tuhan. Dalam kerangka ini, manusia yang berakal dituntut meneladani keseimbangan kosmis tersebut dalam kehidupan etis dan sosialnya.⁷

Prinsip tawazun juga dijelaskan melalui konsep wasathiyyah sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang wasath (pertengahan), agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.”⁸ Istilah wasath dalam ayat ini bermakna tidak ekstrem, adil, dan seimbang dalam pandangan dan tindakan.⁹ Menurut al-Raghib al-Asfahani, wasathiyyah merupakan bentuk etika keseimbangan yang memadukan kekuatan akal, syahwat, dan emosi dalam proporsi yang tepat.¹⁰ Dengan demikian, wasathiyyah adalah manifestasi moral dari tawazun yang menjadi ciri khas umat Islam.

Lebih jauh, Al-Qur’an menghubungkan tawazun dengan prinsip ‘adl (keadilan). Dalam QS. Al-Hadid [57] ayat 25 disebutkan: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keseimbangan), supaya manusia dapat menegakkan keadilan.”¹¹ Ayat ini menegaskan bahwa mīzān adalah simbol keadilan normatif dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, tawazun dalam Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari misi profetik: menegakkan keadilan sosial, keseimbangan ekologis, dan harmoni spiritual.

Dari keseluruhan ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa tawazun memiliki tiga landasan utama dalam Al-Qur’an: pertama, sebagai prinsip kosmologis yang menjelaskan keteraturan alam; kedua, sebagai prinsip moral yang menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara akal dan nafsu; dan ketiga, sebagai prinsip sosial yang menegakkan keadilan dalam struktur masyarakat.¹² Dengan memahami tawazun secara Qur’ani, umat Islam diarahkan untuk membangun kehidupan yang harmonis, adil, dan berkelanjutan—selaras dengan tatanan alam dan kehendak Ilahi.


Footnotes

[1]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 122–124.

[2]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.

[3]                Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib, Jilid 29 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 221.

[4]                Ibid., 249.

[5]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 78.

[6]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 562.

[7]                Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Jilid 6 (Beirut: Dar al-Shuruq, 1980), 111.

[8]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 34.

[9]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 198.

[10]             Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Qalam, 1992), 532.

[11]             Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Jilid 27 (Kairo: Dar Hijr, 2001), 178.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New Translation and Commentary (New York: HarperOne, 2015), 1192–1195.


4.           Landasan Hadits Konsep Tawazun

Konsep tawazun tidak hanya mendapatkan legitimasi dari Al-Qur’an, tetapi juga memperoleh penegasan kuat dalam Sunnah Nabi Muhammad Saw. Hadits-hadits Nabi memberikan elaborasi praktis tentang bagaimana keseimbangan diterapkan dalam dimensi ibadah, moral, sosial, dan psikologis kehidupan seorang Muslim. Prinsip keseimbangan dalam hadits ini menegaskan bahwa Islam adalah agama wasathiyyah—pertengahan dan proporsional—yang menghindari segala bentuk ekstremitas dalam berpikir, beribadah, dan bertindak.¹

Salah satu hadits yang paling eksplisit menegaskan prinsip keseimbangan ialah sabda Rasulullah SAW kepada tiga sahabat yang bertekad untuk beribadah secara ekstrem. Ketika salah seorang berkata bahwa ia akan berpuasa terus-menerus, yang lain berkata akan beribadah malam tanpa tidur, dan yang ketiga menyatakan tidak akan menikah, Nabi menegur mereka dengan berkata: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kamu, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”² Hadits ini menggambarkan keseimbangan antara spiritualitas dan kemanusiaan, menolak asketisme berlebihan maupun hedonisme.³

Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan isterimu memiliki hak atasmu.”⁴ Hadits ini menegaskan pentingnya tawazun dalam menjalankan hak dan kewajiban: keseimbangan antara hak jasmani dan rohani, antara tanggung jawab individu dan sosial. Prinsip ini sekaligus menunjukkan dimensi etis dari keseimbangan sebagai bentuk ‘adl (keadilan) dalam diri manusia.⁵

Selain itu, hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi menegaskan: “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan (khair al-umūr ausathuhā).”⁶ Ungkapan ini menjadi kaidah umum bagi etika Islam yang moderat—tidak berlebih dan tidak mengabaikan. Dalam pandangan ulama klasik seperti al-Ghazali, hadits ini menunjukkan bahwa kebajikan moral terletak pada posisi tengah antara dua ekstrem, sebagaimana keberanian berada di tengah-tengah antara sifat pengecut dan nekat.⁷ Prinsip ini menunjukkan korelasi antara tawazun dan i‘tidāl (kelurusan moral) sebagai dasar pembentukan akhlak mulia.

Rasulullah Saw juga mencontohkan tawazun dalam kehidupan sosial. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, beliau bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”⁸ Hadits ini menegaskan keseimbangan dalam relasi sosial, yakni menempatkan kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain secara proporsional. Prinsip ini menjadi dasar etika sosial Islam yang menjunjung empati, keadilan, dan solidaritas.⁹

Dalam konteks ibadah, Rasulullah Saw menolak bentuk-bentuk pengamalan yang berlebihan hingga mengabaikan hak-hak lain. Beliau bersabda: “Hendaklah kamu beramal sesuai kemampuanmu, karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan hingga kamu sendiri yang bosan.”¹⁰ Hadits ini menekankan prinsip realisme spiritual, yakni bahwa keseimbangan dalam beribadah harus mempertimbangkan kapasitas manusia. Sikap ekstrem dalam ibadah justru dapat menimbulkan ketidakseimbangan psikologis dan sosial.¹¹

Hadits-hadits di atas memperlihatkan bahwa tawazun merupakan inti ajaran Rasulullah Saw dalam membangun kehidupan yang harmonis dan berkeadilan. Nabi Saw menolak setiap bentuk kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan ketimpangan dalam hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama, maupun dengan dirinya sendiri.¹² Dalam Sunnah, keseimbangan adalah ekspresi dari rahmat dan hikmah Islam—agama yang memadukan antara dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu, antara hak individu dan kemaslahatan umum.

Dengan demikian, tawazun dalam perspektif hadits memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi normatif, yaitu sebagai panduan moral untuk menghindari ekstremitas. Kedua, fungsi etis, yakni menyeimbangkan berbagai tuntutan kehidupan secara adil. Ketiga, fungsi praktis, yaitu menegaskan bahwa Islam adalah agama fitrah yang selaras dengan kodrat manusia.¹³ Prinsip ini meneguhkan Islam sebagai sistem kehidupan yang seimbang, moderat, dan humanistik—sebuah harmoni antara spiritualitas, rasionalitas, dan realitas kemanusiaan.¹⁴


Footnotes

[1]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 84–86.

[2]                HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, no. 5063.

[3]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 83.

[4]                HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm, no. 1968.

[5]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1989), 287.

[6]                HR. al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Zuhd, no. 2459.

[7]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 243.

[8]                HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 13.

[9]                Muhammad Abdullah Draz, La Morale du Coran (Paris: Presses Universitaires de France, 1951), 97–100.

[10]             HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 39.

[11]             Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Jilid 4 (Beirut: Dar al-Shuruq, 1980), 217.

[12]             Abu Bakr al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 33.

[13]             Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Jilid 8 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1995), 192.

[14]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 205.


5.           Ontologi Tawazun

Secara ontologis, tawazun menempati posisi fundamental dalam pandangan dunia Islam (Islamic worldview), karena ia merepresentasikan hakikat keteraturan dan keserasian ciptaan Tuhan. Dalam perspektif metafisika Islam, keseimbangan bukanlah sekadar kondisi moral atau sosial, melainkan struktur dasar realitas itu sendiri.¹ Setiap wujud di alam semesta diciptakan Allah dalam ukuran, proporsi, dan harmoni yang sempurna. Al-Qur’an menegaskan bahwa “Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran” (QS. Al-Qamar [54] ayat 49), yang menunjukkan bahwa keseimbangan adalah hukum ontologis yang menegaskan keterikatan antara eksistensi dan kehendak Ilahi.²

Hakikat keseimbangan dalam ontologi Islam berpijak pada dua prinsip metafisis: tawhid (keesaan Tuhan) dan nizām (tatanan kosmos). Prinsip tawhid menegaskan bahwa seluruh keberagaman wujud pada dasarnya berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Allah, dan karena itu harus berada dalam harmoni.³ Sementara nizām menunjukkan bahwa dalam keberagaman ciptaan, terdapat keteraturan yang menandakan kebijaksanaan Tuhan. Dalam pandangan ini, tawazun adalah refleksi dari kehendak Ilahi yang mengatur relasi antara yang transenden dan yang imanen, antara alam gaib dan alam empiris.⁴ Dengan demikian, keseimbangan bukanlah keadaan statis, melainkan dinamika proporsional antara aspek-aspek yang berbeda namun saling melengkapi.

Dalam filsafat Islam klasik, terutama pada pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina, keseimbangan dipahami sebagai kondisi harmoni antara potensi dan aktualitas.⁵ Alam semesta terdiri dari hierarki wujud yang saling berhubungan, di mana setiap entitas menjalankan fungsinya sesuai dengan kadar kesempurnaannya. Ketidakseimbangan terjadi ketika suatu entitas keluar dari peran ontologisnya.⁶ Prinsip ini selaras dengan gagasan Aristotelian tentang golden mean yang diislamkan oleh para filsuf Muslim menjadi prinsip etika dan kosmologi sekaligus. Namun dalam konteks Islam, keseimbangan tidak bersifat otonom, melainkan bersumber dari kehendak Tuhan yang Hakīm (Maha Bijaksana).⁷

Al-Ghazali menegaskan bahwa keseimbangan adalah hakikat dari adl (keadilan) pada tingkat ontologis. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menjelaskan bahwa seluruh ciptaan tunduk kepada hukum keseimbangan yang merupakan manifestasi keadilan Tuhan.⁸ Ketika manusia melampaui batas alamiahnya, baik dalam tindakan maupun keinginan, ia tidak hanya menyalahi etika, tetapi juga mengganggu tatanan ontologis ciptaan. Dalam kerangka ini, tawazun adalah harmoni antara potensi ruhani dan jasmani, antara rasionalitas dan spiritualitas yang membentuk kesatuan eksistensial manusia.⁹

Sementara itu, Ibn ‘Arabi memahami keseimbangan sebagai prinsip kosmoteandrik—yaitu relasi dinamis antara Tuhan (al-Haqq), alam (al-khalq), dan manusia (al-insān).¹⁰ Dalam pandangan wahdat al-wujud, keseimbangan menjadi medan pertemuan antara wujud Ilahi dan wujud makhluk yang berinteraksi secara harmonis tanpa saling meniadakan. Tawazun di sini adalah kesadaran ontologis bahwa segala sesuatu memiliki tempat dan fungsi dalam jaringan eksistensi Ilahi.¹¹ Ketidakseimbangan (ikhtilāl al-tawazun) berarti keterputusan dari kesadaran akan kesatuan asal-usul wujud.

Konsep tawazun juga berkaitan erat dengan fitrah manusia. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang seimbang (fi ahsani taqwīm, QS. Al-Tin [95] ayat 4).¹² Ayat ini menegaskan bahwa keseimbangan merupakan kodrat dasar manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.¹³ Secara ontologis, manusia berada pada posisi tengah antara malaikat dan hewan, memiliki potensi untuk naik ke tingkat spiritual tertinggi atau turun ke tingkat kerendahan moral tergantung sejauh mana ia menjaga keseimbangannya.¹⁴ Dengan demikian, tawazun adalah prinsip eksistensial yang menjaga manusia agar tetap berada dalam keselarasan dengan fitrah dan hukum kosmos.

Dalam konteks yang lebih luas, keseimbangan ontologis juga menegaskan prinsip keberlanjutan kosmos. Seyyed Hossein Nasr menyebutnya sebagai sacred order, yaitu tatanan sakral yang menopang harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.¹⁵ Ketika keseimbangan ini terganggu—melalui eksploitasi alam, ketimpangan sosial, atau penyimpangan moral—maka seluruh sistem kosmos mengalami disintegrasi. Ontologi tawazun dengan demikian mengandung dimensi ekologis yang sangat relevan bagi peradaban modern yang sedang menghadapi krisis spiritual dan lingkungan.¹⁶

Secara keseluruhan, tawazun dalam perspektif ontologis bukan hanya prinsip teoretis, tetapi juga hukum eksistensial yang menjamin keteraturan dan kesempurnaan wujud. Ia menegaskan bahwa keindahan ciptaan terletak pada keseimbangan antara unsur-unsur yang berbeda namun saling melengkapi, sebagaimana alam semesta adalah refleksi dari kebijaksanaan Tuhan.¹⁷ Maka, menjaga tawazun berarti menjaga keberlanjutan wujud—baik dalam diri manusia, masyarakat, maupun seluruh tatanan kosmos.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 43–44.

[2]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 537.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 62–64.

[4]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an (Tokyo: Keio University Press, 2002), 211–214.

[5]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1993), 56–59.

[6]                M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 71–72.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 98.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 255.

[9]                Ibid., 260.

[10]             Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Sadir, 1999), 212–216.

[11]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 125–128.

[12]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 599.

[13]             M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 12.

[14]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 196–198.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 15–18.

[16]             Ibid., 29–31.

[17]             Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 121–124.


6.           Epistemologi Tawazun

Epistemologi tawazun membahas bagaimana manusia memperoleh, memahami, dan menafsirkan pengetahuan tentang keseimbangan secara proporsional antara wahyu, akal, dan pengalaman. Dalam pandangan Islam, keseimbangan bukan hanya norma etis, tetapi juga prinsip epistemologis yang menentukan cara berpikir dan membangun ilmu pengetahuan secara harmonis.¹ Prinsip ini menolak dikotomi antara rasionalisme dan spiritualisme, antara empirisme dan transendensi, serta antara teks dan konteks. Dengan demikian, tawazun epistemologis menjadi dasar bagi paradigma ilmu yang integratif dan komplementer.

6.1.       Sumber Pengetahuan yang Seimbang: Wahyu, Akal, dan Pengalaman

Dalam kerangka epistemologi Islam, wahyu (al-wahy) adalah sumber utama kebenaran, sedangkan akal (al-‘aql) dan pengalaman (tajribah) merupakan instrumen untuk memahami serta mengaplikasikannya dalam kehidupan.² Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya berpikir dan menggunakan akal, sebagaimana dalam QS. Al-‘Imran [3] ayat 190–191 yang memuji orang-orang yang merenungkan ciptaan langit dan bumi.³ Hal ini menunjukkan bahwa akal tidak bertentangan dengan wahyu, tetapi berfungsi sebagai sarana untuk menyingkap makna-makna Ilahi yang terkandung di dalamnya.

Epistemologi tawazun menolak ekstremitas epistemik: rasionalisme absolut yang menafikan wahyu, dan skripturalisme kaku yang menolak peran akal.⁴ Menurut al-Ghazali, keseimbangan epistemologis tercapai ketika wahyu menjadi sumber nilai normatif, sementara akal berfungsi sebagai alat verifikasi dan kontekstualisasi.⁵ Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati (‘ilm al-haqiqi) adalah yang membawa manusia kepada kesadaran akan kehadiran Tuhan.⁶ Dengan demikian, keseimbangan epistemologis berarti menempatkan wahyu sebagai pusat, akal sebagai sarana, dan pengalaman sebagai penguat empirik dari kebenaran wahyu.

6.2.       Metode Rasional-Spiritual: Ijtihad dan Tadabbur sebagai Instrumen Keseimbangan

Epistemologi tawazun juga terealisasi melalui metode berpikir yang rasional sekaligus spiritual. Dalam Islam, ijtihad dan tadabbur merupakan dua pendekatan utama yang mencerminkan keseimbangan tersebut. Ijtihad menuntut penggunaan akal dan logika untuk memecahkan masalah-masalah baru berdasarkan prinsip-prinsip syariat, sedangkan tadabbur menuntut perenungan mendalam terhadap makna wahyu dengan hati yang jernih.⁷

Kedua metode ini saling melengkapi: ijtihad memastikan relevansi rasional, sementara tadabbur menjaga kedalaman spiritual. Menurut Ibn Rushd, akal adalah karunia Tuhan untuk memahami sunnatullah di alam semesta, dan karena itu penggunaannya adalah bentuk ketaatan, bukan penentangan terhadap wahyu.⁸ Sedangkan al-Raghib al-Asfahani menegaskan bahwa tadabbur adalah jalan untuk menemukan hikmah (kebijaksanaan) di balik perintah dan larangan Ilahi.⁹ Dengan demikian, keseimbangan epistemologis terwujud dalam sintesis antara penalaran rasional dan intuisi spiritual.

6.3.       Relasi antara Ilmu, Iman, dan Amal dalam Struktur Epistemik Islam

Epistemologi tawazun menempatkan ilmu (‘ilm), iman (īmān), dan amal (‘amal) dalam hubungan yang bersifat organik dan saling memperkuat. Pengetahuan tanpa iman kehilangan arah moral, sedangkan iman tanpa ilmu berisiko menjadi fanatisme buta.¹⁰ Dalam QS. Al-Mujadilah [58] ayat 11 disebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu, yang menunjukkan bahwa keseimbangan antara keduanya merupakan prinsip hierarki epistemik Islam.¹¹

Para pemikir Islam seperti Ibn Khaldun dan Nasr menekankan pentingnya keterpaduan antara dimensi intelektual dan spiritual dalam membangun peradaban.¹² Dalam kerangka tawazun, ilmu tidak hanya berorientasi pada efisiensi teknologis, tetapi juga pada nilai dan tujuan yang selaras dengan kehendak Ilahi. Oleh karena itu, epistemologi keseimbangan menolak reduksi pengetahuan menjadi sekadar alat produksi, dan menegaskan kembali peran ilmu sebagai sarana ta‘abbud (penghambaan) dan ta‘mīr al-ardh (pemakmuran bumi).¹³

6.4.       Integrasi Epistemologi Klasik dan Modern dalam Perspektif Keseimbangan

Dalam konteks modern, epistemologi tawazun menghadirkan alternatif terhadap krisis pengetahuan yang ditandai oleh fragmentasi dan sekularisasi.¹⁴ Pandangan Barat modern yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas telah melahirkan disonansi epistemik antara fakta dan nilai. Dalam pandangan Islam, keseimbangan epistemologis berarti mengembalikan pusat pengetahuan kepada Tuhan tanpa menafikan otonomi akal.¹⁵ Seyyed Hossein Nasr menyebut pendekatan ini sebagai sacred knowledge—ilmu yang berakar pada kesadaran metafisik dan menjaga keterhubungan antara ilmu, etika, dan spiritualitas.¹⁶

Dengan demikian, epistemologi tawazun membangun paradigma ilmu yang integral dan hierarkis: ilmu empiris, rasional, dan spiritual tidak dipisahkan, tetapi disusun dalam satu kesatuan sistem pengetahuan yang saling menguatkan.¹⁷ Dalam struktur ini, keseimbangan menjadi prinsip hermeneutik untuk memahami kebenaran secara menyeluruh, baik yang tampak (zāhir) maupun yang batin (bāthin).


Kesimpulan Epistemologis

Epistemologi tawazun menegaskan bahwa jalan menuju kebenaran harus menempuh keseimbangan antara dimensi rasional, spiritual, dan empiris. Pengetahuan sejati dalam Islam tidak diukur hanya oleh akurasi logis, tetapi juga oleh kesesuaiannya dengan tatanan moral dan kosmik.¹⁸ Dengan memadukan wahyu dan akal, ilmu dan iman, ijtihad dan tadabbur, maka terbentuklah epistemologi yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga bermakna—yakni pengetahuan yang menuntun manusia kepada kesadaran akan kesatuan Ilahi dan tanggung jawab kosmiknya sebagai khalifah di bumi.¹⁹


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1992), 24–26.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 121–123.

[3]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 88.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 10–13.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1959), 36–38.

[6]                Ibid., 41.

[7]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 75–77.

[8]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl fī mā bayn al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-Ittisāl (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 22.

[9]                Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Qalam, 1992), 612.

[10]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 43.

[11]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 541.

[12]             Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 341–344.

[13]             Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 76–78.

[14]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 57–60.

[15]             Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 31–33.

[16]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 124–126.

[17]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 43–45.

[18]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 201–203.

[19]             Nasr, The Heart of Islam, 81–83.


7.           Aksiologi Tawazun

Dalam dimensi aksiologis, tawazun (keseimbangan) tidak hanya berfungsi sebagai konsep metafisik dan epistemologis, tetapi juga sebagai nilai etis yang mengarahkan tindakan manusia agar sesuai dengan tatanan moral dan spiritual Islam. Aksiologi tawazun menegaskan bahwa segala aktivitas manusia—baik dalam ranah ibadah, sosial, politik, maupun ekonomi—harus berlandaskan pada prinsip keseimbangan, proporsionalitas, dan keadilan.¹ Dalam hal ini, tawazun merupakan sumber nilai yang menjaga keselarasan antara hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat, serta antara manusia dan alam.²

7.1.       Nilai dan Tujuan Etis Prinsip Keseimbangan

Dalam filsafat etika Islam, nilai tertinggi terletak pada keteraturan moral yang merefleksikan kehendak Tuhan. Tawazun menempati posisi sentral karena menjadi asas bagi keadilan (‘adl) dan kebajikan (ihsan).³ Al-Ghazali menjelaskan bahwa kebajikan moral yang sejati adalah hasil dari keseimbangan antara kekuatan rasional, keinginan, dan amarah.⁴ Bila salah satu unsur ini mendominasi, maka terjadilah ketimpangan moral yang menjerumuskan manusia pada kezaliman dan kerusakan batin. Oleh karena itu, tawazun bukan hanya etika “pertengahan,” tetapi harmoni dinamis antara aspek spiritual dan biologis manusia.⁵

Dalam konteks ibadah, tawazun menuntut keseimbangan antara ritual dan moralitas. Rasulullah SAW menegaskan bahwa ibadah sejati adalah yang melahirkan akhlak karimah dan tidak menimbulkan kelelahan tanpa makna.⁶ Ibadah yang berlebihan tanpa orientasi etis justru menyalahi semangat tawazun. Prinsip ini menunjukkan bahwa keseimbangan dalam nilai tidak hanya terletak pada kadar, tetapi juga pada kualitas—yakni keharmonisan antara tujuan spiritual dan manfaat sosial.⁷

7.2.       Penerapan Tawazun dalam Kehidupan Sosial dan Ekonomi

Aksiologi tawazun berimplikasi langsung pada kehidupan sosial. Islam menolak sikap ekstrem baik berupa egoisme individualistik maupun totalitarianisme kolektif.⁸ QS. Al-Hadid [57] ayat 25 menegaskan bahwa Allah menurunkan Kitab dan neraca agar manusia menegakkan keadilan, yang berarti bahwa keseimbangan sosial adalah manifestasi dari prinsip moral Ilahi.⁹ Dalam hal ini, keadilan sosial dalam Islam berakar pada tawazun antara hak pribadi dan kepentingan umum.

Dalam ekonomi Islam, prinsip tawazun menjadi landasan bagi sistem distribusi yang adil dan etis.¹⁰ Islam mengajarkan keseimbangan antara kepemilikan individu dan solidaritas sosial melalui mekanisme zakat, infak, dan larangan riba.¹¹ Al-Mawardi menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat bergantung pada proporsionalitas antara akumulasi harta dan keadilan sosial, karena ketimpangan ekonomi berarti ketidakseimbangan moral.¹² Oleh karena itu, tawazun mengandung dimensi sosial-ekonomi yang memastikan keberlanjutan dan kesetaraan dalam pembangunan.

7.3.       Tawazun dan Etika Lingkungan

Dimensi aksiologis tawazun juga mencakup tanggung jawab ekologis. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai khalifah di bumi yang bertugas menjaga keseimbangan ekosistem (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9).¹³ Ketika manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan, ia merusak mīzān (keseimbangan) yang telah ditetapkan oleh Allah.¹⁴ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis lingkungan modern berakar pada krisis spiritual: hilangnya kesadaran akan kesakralan alam.¹⁵ Maka, tawazun secara aksiologis menuntut orientasi etis terhadap alam sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan, bukan sekadar tanggung jawab utilitarian.¹⁶

Etika lingkungan Islam yang berbasis tawazun memadukan dimensi religius, etis, dan ekologis. Ia menolak pandangan antroposentris yang menempatkan manusia di atas alam, serta mengusung pandangan teosentris di mana seluruh ciptaan memiliki nilai intrinsik sebagai tanda kekuasaan Tuhan.¹⁷ Dalam perspektif ini, menjaga keseimbangan lingkungan merupakan bentuk ibadah, karena berarti menegakkan keadilan kosmis.

7.4.       Keseimbangan antara Spiritualitas dan Rasionalitas

Aksiologi tawazun juga menjadi landasan bagi sintesis antara spiritualitas dan rasionalitas. Islam menegaskan pentingnya ilmu dan akal sebagai sarana pengabdian kepada Tuhan, tetapi menolak rasionalisme yang terlepas dari nilai moral.¹⁸ Dalam sejarah peradaban Islam, keseimbangan ini tampak pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu dunia—antara ‘ilm al-din dan ‘ilm al-dunya.¹⁹ Dengan demikian, nilai tawazun menjaga agar kemajuan ilmiah tidak kehilangan orientasi etik dan spiritual.

Keseimbangan antara iman dan akal menumbuhkan manusia yang holistik: cerdas intelektual, sensitif spiritual, dan bertanggung jawab sosial.²⁰ Dalam kerangka aksiologis, manusia ideal (insān kāmil) adalah ia yang menyeimbangkan dimensi pengetahuan, ibadah, dan amal sosialnya.²¹


Etika Keseimbangan sebagai Dasar Karakter Muslim Integral

Prinsip tawazun dalam aksiologi Islam membentuk fondasi karakter Muslim yang integral. Nabi Saw mencontohkan kehidupan yang penuh keseimbangan—tidak berlebihan dalam ibadah, tidak lalai terhadap dunia, dan tidak berpaling dari tanggung jawab sosial.²² Dengan meneladani sunnah tersebut, tawazun menjadi pedoman moral bagi pembentukan akhlaq al-karimah yang menyatukan aspek spiritual, intelektual, dan sosial.

Dengan demikian, aksiologi tawazun bukan sekadar teori etika, tetapi sistem nilai yang mengatur seluruh perilaku manusia.²³ Ia memastikan agar setiap tindakan manusia berorientasi pada harmoni, keadilan, dan keberlanjutan. Dalam konteks modern, tawazun menjadi nilai universal yang mampu menuntun umat manusia keluar dari krisis moral dan ekologis menuju kehidupan yang berkeadilan dan berkeadaban.²⁴


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88–89.

[2]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 47.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 243–244.

[4]                Ibid., 247.

[5]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 80–81.

[6]                HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm, no. 1968.

[7]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 90–92.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34.

[9]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 540.

[10]             M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 31–32.

[11]             Nejatullah Siddiqi, Banking Without Interest (Leicester: Islamic Foundation, 1983), 55.

[12]             Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 87.

[13]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 531.

[14]             Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib, Jilid 29 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 225.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 13–17.

[16]             Ibid., 28–30.

[17]             Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 81–83.

[18]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1992), 62.

[19]             Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 345–346.

[20]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 210–213.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 127–128.

[22]             HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, no. 5063.

[23]             Nasr, The Heart of Islam, 75–76.

[24]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 72–74.


8.           Dimensi Sosial, Politik, dan Ekonomi Konsep Tawazun

Konsep tawazun (keseimbangan) dalam Islam memiliki implikasi yang luas terhadap struktur sosial, sistem politik, dan tatanan ekonomi. Prinsip ini berfungsi sebagai nilai pengatur (regulative principle) yang menuntun manusia untuk membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan berkeadaban. Dalam kerangka sosial-politik dan ekonomi Islam, tawazun bukan sekadar gagasan etis, tetapi juga paradigma normatif yang menuntun pembentukan tatanan sosial yang berlandaskan keadilan, tanggung jawab, dan keberlanjutan.¹

8.1.       Tawazun dalam Tata Sosial Islam: Keseimbangan antara Hak dan Tanggung Jawab

Dimensi sosial tawazun menegaskan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang menjunjung keseimbangan antara kebebasan individu dan keteraturan kolektif.² Al-Qur’an menegaskan prinsip ini melalui firman-Nya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia; dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS. Al-Qashash [28] ayat 77).³ Ayat ini menggambarkan keseimbangan sosial yang menolak dua ekstrem: asketisme yang mengabaikan dunia dan materialisme yang melupakan akhirat.

Dalam masyarakat Islam, tawazun sosial menuntut keterpaduan antara tiga nilai utama: keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmah), dan tanggung jawab sosial (mas’uliyyah ijtima‘iyyah).⁴ Keadilan menjamin distribusi hak yang proporsional, kasih sayang memastikan solidaritas sosial, sedangkan tanggung jawab menegakkan etika partisipasi dan kepedulian terhadap sesama. Rasulullah Saw bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”⁵ Hadits ini merupakan fondasi etika sosial Islam yang berakar pada keseimbangan relasional antara diri dan orang lain.

Konsep ini juga relevan dalam menghadapi realitas sosial modern yang sering diwarnai polarisasi, ketimpangan, dan intoleransi. Tawazun mengajarkan bahwa stabilitas sosial hanya dapat dicapai bila masyarakat menolak sikap ekstrem baik berupa eksklusivisme keagamaan maupun liberalisme yang meniadakan norma moral.⁶ Dengan demikian, keseimbangan sosial dalam Islam adalah upaya terus-menerus menjaga harmoni antara keragaman dan persatuan dalam bingkai nilai-nilai ilahiah.⁷

8.2.       Tawazun dalam Dimensi Politik: Keadilan dan Moderasi dalam Kekuasaan

Dalam dimensi politik, tawazun merupakan prinsip dasar yang menjamin agar kekuasaan dijalankan secara adil, proporsional, dan bertanggung jawab. Islam memandang politik bukan sebagai arena dominasi, melainkan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).⁸ Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. Al-Nisa’ [4] ayat 58).⁹

Keseimbangan politik dalam Islam tercermin pada hubungan antara penguasa (ulil amr) dan rakyat. Keduanya saling terikat dalam kontrak moral dan tanggung jawab etis.¹⁰ Para pemikir seperti al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah menekankan pentingnya keseimbangan antara otoritas dan partisipasi.¹¹ Penguasa wajib menegakkan keadilan tanpa tirani, sementara rakyat memiliki kewajiban untuk menegur dan mengoreksi kekuasaan bila melenceng dari nilai-nilai Islam.¹²

Prinsip tawazun politik juga berarti menolak ekstremitas ideologis: teokrasi absolut yang menyingkirkan rasionalitas publik maupun sekularisme yang menyingkirkan nilai spiritual.¹³ Dalam kerangka ini, Islam menawarkan model politik moderat yang menyeimbangkan wahyu dan rasio, moralitas dan rasionalitas, serta agama dan kebijakan publik.¹⁴ Model politik yang berlandaskan tawazun inilah yang dapat menumbuhkan pemerintahan yang adil, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.¹⁵

8.3.       Tawazun dalam Ekonomi Islam: Keadilan Distribusi dan Etika Konsumsi

Dalam bidang ekonomi, tawazun berfungsi sebagai prinsip moral yang mengatur hubungan antara kepemilikan, produksi, dan distribusi. Islam mengakui hak milik individu sebagai fitrah, namun sekaligus menegaskan bahwa harta memiliki fungsi sosial.¹⁶ QS. Al-Hasyr [59] ayat 7 menegaskan agar harta “tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.”¹⁷ Prinsip ini menuntut keseimbangan antara kepentingan individu dan keadilan sosial melalui mekanisme zakat, wakaf, dan larangan riba.¹⁸

Prinsip tawazun ekonomi juga menolak eksploitasi, ketamakan, dan gaya hidup konsumtif. Rasulullah Saw bersabda: “Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan tanpa sombong.”¹⁹ Hadits ini menegaskan etika konsumsi yang moderat, di mana kesejahteraan diukur bukan dari akumulasi harta, melainkan dari manfaat sosial dan keberkahan.²⁰

Dalam konteks ekonomi modern, tawazun dapat menjadi paradigma untuk mengoreksi sistem kapitalistik yang eksploitatif dan sosialistik yang represif.²¹ Islam menekankan keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial, antara kebebasan pasar dan tanggung jawab moral.²² M. Umer Chapra menyebut model ini sebagai “ekonomi moral” (moral economy), yakni sistem yang berpijak pada nilai spiritual dan tujuan kesejahteraan bersama (falah).²³


Tawazun sebagai Prinsip Integral Pembangunan Peradaban

Secara keseluruhan, tawazun dalam dimensi sosial, politik, dan ekonomi merupakan kerangka integral yang menjaga keseimbangan antara individu, masyarakat, dan negara.²⁴ Ia menjadi dasar bagi konsep ummah wasath (umat pertengahan), sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 143, yang menegaskan peran umat Islam sebagai saksi moral bagi kemanusiaan.²⁵ Dengan menjadikan keseimbangan sebagai asas peradaban, Islam menolak ketimpangan struktural, kesenjangan ekonomi, serta hegemoni kekuasaan yang menindas.²⁶

Prinsip tawazun memberikan orientasi etik bagi pembangunan: kemajuan ekonomi tidak boleh merusak tatanan moral, dan stabilitas politik tidak boleh mengorbankan kebebasan dan keadilan sosial.²⁷ Dalam perspektif ini, peradaban Islam yang sejati adalah peradaban yang tumbuh dari keseimbangan antara iman dan ilmu, antara keadilan dan kebebasan, serta antara kemajuan material dan kesadaran spiritual.²⁸


Footnotes

[1]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 87.

[2]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 48–49.

[3]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 395.

[4]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 93–95.

[5]                HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 13.

[6]                Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 201–203.

[7]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 82.

[8]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 42–44.

[9]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 91.

[10]             Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 13–15.

[11]             Ibid., 25.

[12]             Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Syar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 37–39.

[13]             Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), 49–50.

[14]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 131–133.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 83–85.

[16]             M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 30–31.

[17]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 548.

[18]             Nejatullah Siddiqi, Banking Without Interest (Leicester: Islamic Foundation, 1983), 55–56.

[19]             HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Libas, no. 5783.

[20]             Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari, Jilid 10 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1989), 331.

[21]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 72.

[22]             M. Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: E.J. Brill, 1991), 118.

[23]             Chapra, Islam and the Economic Challenge, 43.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 32–35.

[25]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 34.

[26]             Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1992), 117–118.

[27]             Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 125.

[28]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West, 210–212.


9.           Dimensi Ekologis dan Kosmologis Konsep Tawazun

Konsep tawazun (keseimbangan) dalam Islam tidak hanya memiliki implikasi moral dan sosial, tetapi juga mencakup dimensi ekologis dan kosmologis yang sangat mendalam. Dalam pandangan Al-Qur’an, keseimbangan adalah hukum dasar alam semesta (sunnatullah) yang menegakkan keteraturan dan keberlanjutan seluruh ciptaan.¹ Tawazun di sini dipahami sebagai tatanan universal yang menyatukan hubungan antara Tuhan (al-Khaliq), manusia (al-insān), dan alam (al-‘ālam). Keseimbangan ekologis dan kosmologis merupakan perwujudan langsung dari prinsip tauhid: bahwa seluruh wujud berakar pada satu sumber Ilahi dan harus berada dalam harmoni dengan-Nya.²

9.1.       Keseimbangan Kosmis dalam Ciptaan

Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa alam semesta diciptakan dengan keseimbangan dan ukuran yang pasti. Firman Allah dalam QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9 menegaskan: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan neraca (keseimbangan), supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”³ Ayat ini menegaskan dua hal penting: pertama, bahwa keseimbangan adalah prinsip kosmologis; kedua, bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memeliharanya. Dalam konteks ini, mīzān bukan sekadar simbol hukum fisik, melainkan representasi dari keadilan metafisis yang menata seluruh sistem wujud.⁴

Prinsip tawazun kosmis juga tampak dalam QS. Al-Mulk [67] ayat 3–4, di mana Allah berfirman bahwa tidak ada ketidakseimbangan dalam ciptaan-Nya.⁵ Keteraturan planet, rotasi bumi, siklus air, dan keterpaduan ekosistem semuanya menunjukkan bahwa alam semesta adalah manifestasi dari harmoni Ilahi.⁶ Dalam tafsirnya, al-Razi menyebut keseimbangan ini sebagai tadbir ilahi—pengaturan Tuhan yang sempurna—yang menjamin kesinambungan eksistensi.⁷ Dengan demikian, tawazun dalam konteks kosmologis adalah prinsip yang memastikan keteraturan dan kesempurnaan ciptaan di bawah kebijaksanaan Ilahi.

9.2.       Manusia sebagai Khalifah dan Penjaga Keseimbangan Alam

Dalam kerangka ekoteologi Islam, manusia diciptakan sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30), yang berarti wakil Tuhan di bumi dengan tugas utama menjaga dan memelihara keseimbangan ekosistem.⁸ Namun, tanggung jawab ini tidak bersifat eksploitatif, melainkan amanah yang menuntut sikap adil, bijak, dan penuh kasih terhadap alam. Ibn Kathir menafsirkan peran khalifah sebagai pengelola bumi yang wajib menegakkan keadilan dan tidak membuat kerusakan (fasād).⁹

Sayangnya, peradaban modern justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya: industrialisasi, urbanisasi, dan konsumerisme menyebabkan eksploitasi alam besar-besaran yang mengganggu mīzān Ilahi.ⁱ⁰ Dalam perspektif Islam, kerusakan ekologis bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga krisis moral dan spiritual.ⁱ¹ QS. Ar-Rum [30] ayat 41 menegaskan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”ⁱ² Ayat ini menunjukkan hubungan kausal antara perilaku manusia dan ketidakseimbangan kosmos.

Dengan demikian, tawazun ekologis mengandung etika tanggung jawab (ethic of stewardship)—bahwa manusia harus memperlakukan alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai amanah Ilahi yang memiliki nilai intrinsik.ⁱ³ Kesadaran ekologis yang seimbang berarti mengakui hak-hak makhluk lain, menjaga keberlanjutan sumber daya, dan hidup selaras dengan prinsip moderasi (i‘tidāl).ⁱ⁴

9.3.       Prinsip Keseimbangan dalam Ekosistem dan Etika Lingkungan Islam

Alam dalam pandangan Islam bukan sekadar latar kehidupan manusia, melainkan sistem hidup yang memiliki kesadaran dan ketaatan tersendiri kepada Tuhan. QS. Al-Isra’ [17] ayat 44 menegaskan: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.”ⁱ⁵ Pernyataan ini menunjukkan dimensi spiritual dari alam—bahwa setiap unsur ciptaan memiliki nilai ibadah dalam tatanan Ilahi. Oleh karena itu, tindakan manusia yang merusak alam bukan hanya pelanggaran ekologis, tetapi juga penodaan spiritual terhadap harmoni kosmos.ⁱ⁶

Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, para ilmuwan seperti Ibn Sina dan al-Biruni memahami ekosistem sebagai jaringan keteraturan yang saling terkait dan saling menopang.ⁱ⁷ Ibn Sina menegaskan bahwa “setiap spesies memiliki fungsi dalam menjaga keseimbangan sistem kehidupan.”ⁱ⁸ Pemikiran ini menunjukkan bahwa Islam telah memiliki kesadaran ekologis jauh sebelum munculnya ekologi modern. Prinsip tawazun di sini mengandung nilai holistik—bahwa manusia, hewan, tumbuhan, dan unsur alam lainnya berada dalam satu kesatuan kehidupan yang sakral.ⁱ⁹

9.4.       Kosmologi Keseimbangan: Alam sebagai Cermin Keagungan Ilahi

Dari sisi kosmologi, tawazun juga mengandung makna teologis yang dalam. Alam semesta adalah cerminan (tajalli) dari kesempurnaan Ilahi, tempat manusia dapat mengenal Tuhan melalui keteraturan ciptaan-Nya.2⁰ Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, keseimbangan kosmos adalah refleksi dari nama-nama Allah yang saling melengkapi: al-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan al-Qahhar (Yang Maha Perkasa), al-Jalal (Keagungan) dan al-Jamal (Keindahan).2¹ Dengan demikian, keseimbangan kosmik merupakan manifestasi dari kesatuan dualitas Ilahi.

Seyyed Hossein Nasr menyebut pandangan ini sebagai sacred cosmology, yaitu pandangan alam sebagai realitas suci yang merefleksikan kehendak Tuhan.2² Ia menegaskan bahwa krisis ekologi modern berakar pada “desakralisasi kosmos,” yakni pandangan dunia materialistik yang memisahkan manusia dari makna spiritual alam.2³ Maka, mengembalikan tawazun kosmologis berarti mengembalikan kesadaran spiritual terhadap kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos—antara alam semesta dan diri manusia.2


Implikasi Kontemporer: Menuju Ekoteologi Islam yang Integral

Dalam konteks krisis global seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, konsep tawazun menawarkan paradigma etika ekologis yang integral. Ia menolak eksploitasi tanpa batas dan menyerukan pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan nilai spiritual.2⁵ Prinsip ini sejalan dengan maqashid al-syari‘ah, khususnya hifz al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan), yang kini mulai diakui sebagai bagian dari tanggung jawab moral Islam.2

Oleh karena itu, tawazun ekologis dan kosmologis bukan hanya ideal normatif, tetapi juga kerangka aksi yang menuntun manusia untuk hidup dalam harmoni dengan tatanan Ilahi.2⁷ Menjaga keseimbangan alam berarti menjaga keseimbangan jiwa; merusaknya berarti menentang sunnatullah yang menjadi dasar keberlangsungan kehidupan.2⁸ Dengan demikian, Islam melalui prinsip tawazun menawarkan solusi teologis dan filosofis terhadap krisis ekologis modern—yakni kembali kepada kesadaran tauhidik yang memandang seluruh alam sebagai amanah Tuhan dan bagian dari diri manusia sendiri.2


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 52.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 91.

[3]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.

[4]                Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib, Jilid 29 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 224.

[5]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 562.

[6]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 123.

[7]                Ibid., 125.

[8]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 34.

[9]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 204.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 15.

[11]             Ibid., 28.

[12]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 408.

[13]             Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 2002), 18–19.

[14]             Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 64.

[15]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 287.

[16]             Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 120–121.

[17]             A. I. Sabra, Science and Philosophy in Medieval Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 95.

[18]             Ibn Sina, Kitab al-Syifa’, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1952), 78.

[19]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1992), 45.

[20]             Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an (Tokyo: Keio University Press, 2002), 214.

[21]             Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Sadir, 1999), 220–223.

[22]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 89–92.

[23]             Ibid., 93–95.

[24]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 128–130.

[25]             Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien, Islam and Ecology (London: Cassell, 1992), 11–12.

[26]             Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 176.

[27]             Nasr, Man and Nature, 31–33.

[28]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 209–211.

[29]             Nasr, The Heart of Islam, 97–99.


10.       Kritik dan Tantangan Konseptual

Konsep tawazun (keseimbangan) dalam Islam, meskipun memiliki kedalaman teologis dan keindahan filosofis yang tinggi, tetap menghadapi sejumlah kritik dan tantangan konseptual, baik dari dalam tradisi Islam sendiri maupun dari wacana pemikiran modern. Kritik-kritik tersebut berpusat pada pertanyaan tentang bagaimana tawazun dapat diterjemahkan secara praktis dalam konteks dunia yang kompleks, plural, dan sering kali kontradiktif antara nilai-nilai spiritual dan realitas material.¹ Oleh karena itu, pembahasan bagian ini berfokus pada tiga ranah utama: kritik internal terhadap reduksi konseptual, kritik eksternal terhadap tantangan modernitas dan sekularisme, serta problem epistemik dan metodologis dalam aktualisasi tawazun.

10.1.    Kritik Internal: Reduksi dan Penyempitan Makna Tawazun

Salah satu kritik utama yang muncul dari dalam tradisi keilmuan Islam sendiri ialah kecenderungan untuk mereduksi makna tawazun hanya pada tataran moral atau ibadah individual, sementara dimensi epistemologis, sosial, dan ekologisnya diabaikan.² Dalam banyak literatur klasik, keseimbangan sering dipahami sebatas pada sikap moderat dalam ibadah, padahal Al-Qur’an menggunakan istilah mīzān dan wasathiyyah dalam konteks kosmologis dan keadilan sosial.³

Selain itu, ada pula kesalahpahaman yang menganggap tawazun identik dengan kompromi atau sikap netral tanpa pendirian moral yang tegas.⁴ Pemahaman semacam ini bertentangan dengan semangat Al-Qur’an yang memerintahkan keseimbangan yang aktif dan berkeadilan, bukan pasif dan permisif. Al-Ghazali sendiri menegaskan bahwa “keseimbangan yang hakiki tidak berarti diam di tengah, tetapi menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat.”⁵ Kritik ini mengingatkan bahwa keseimbangan bukanlah ketidaktegasan, melainkan keadilan proporsional yang dinamis.

Kritik internal lainnya muncul dari kalangan teolog dan sufi yang menilai bahwa tawazun terkadang dijelaskan secara terlalu rasionalistik, sehingga kehilangan kedalaman spiritualnya.⁶ Dalam kerangka tasawuf, keseimbangan tidak hanya berarti harmoni moral, tetapi juga penjernihan batin agar mampu mencerminkan harmoni Ilahi.⁷ Karena itu, pemahaman tawazun yang terlalu etis atau legalistik berisiko menutup makna mistis dan kosmiknya yang justru menjadi esensi spiritual Islam.

10.2.    Kritik Eksternal: Tantangan Modernitas, Sekularisme, dan Globalisasi

Dalam konteks modern, tawazun menghadapi tantangan epistemologis dari paradigma modernitas dan sekularisme yang menolak keterkaitan antara pengetahuan, nilai, dan spiritualitas.⁸ Dunia modern mengedepankan dualisme tajam antara fakta dan nilai, antara sains dan etika, yang mengikis prinsip kesatuan dan keseimbangan dalam pandangan Islam. Seyyed Hossein Nasr menyebut fenomena ini sebagai “krisis pengetahuan sekuler” yang telah menyebabkan desakralisasi kosmos dan disintegrasi moral manusia.⁹

Globalisasi juga membawa tantangan baru terhadap penerapan tawazun, terutama dalam bentuk ketimpangan sosial-ekonomi dan hegemoni budaya.¹⁰ Sistem kapitalisme global, misalnya, menumbuhkan pola hidup konsumtif dan individualistik yang bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi kekayaan.¹¹ Dalam ranah politik, ideologi ekstrem—baik fundamentalisme agama maupun liberalisme radikal—mengikis ruang bagi moderasi dan dialog, dua aspek utama dari etika tawazun.¹²

Kritik lain datang dari filsafat Barat modern yang menilai konsep keseimbangan dalam Islam bersifat normatif dan kurang operasional.¹³ Para filsuf seperti Jürgen Habermas menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif dalam membangun keseimbangan sosial, bukan sekadar doktrin moral.¹⁴ Tantangan ini menuntut pengembangan tawazun menjadi teori praksis sosial yang dapat diterapkan dalam kebijakan publik, pendidikan, dan lingkungan, bukan hanya dalam retorika etika keagamaan.¹⁵

10.3.    Problematika Metodologis: Ambiguitas dan Tantangan Hermeneutik

Tantangan konseptual lain dari tawazun terletak pada aspek metodologis, terutama dalam menafsirkan dan mengoperasionalkan konsep ini di berbagai bidang kehidupan. Secara hermeneutik, terdapat kesulitan dalam menyeimbangkan antara makna tekstual (nash) dan kontekstual (waqi‘) dari prinsip keseimbangan.¹⁶ Dalam praktiknya, umat Islam sering kali terjebak antara pendekatan literal yang kaku dan pendekatan liberal yang terlampau fleksibel.¹⁷

Pendekatan tafsir tematik (tafsīr mawdhū‘ī) yang digagas oleh para mufasir modern seperti M. Quraish Shihab dapat menjadi solusi metodologis, karena menekankan keseimbangan antara teks dan konteks.¹⁸ Namun, pendekatan ini memerlukan epistemologi integratif yang menggabungkan ilmu tafsir, filsafat, dan ilmu sosial agar konsep tawazun tidak berhenti pada level normatif.¹⁹

Selain itu, terdapat tantangan konseptual dalam mengadaptasi tawazun ke dalam sistem pendidikan dan ilmu pengetahuan modern. Banyak institusi pendidikan Islam masih memisahkan ilmu agama dan ilmu umum, padahal prinsip tawazun justru menuntut integrasi keduanya dalam kerangka tauhidik.²⁰ Jika dualisme epistemologis ini tidak diatasi, maka keseimbangan akan tetap menjadi ideal teoretis yang sulit diwujudkan secara praksis.²¹

10.4.    Tantangan Kontemporer: Krisis Ekologis dan Krisis Nilai Global

Krisis lingkungan global merupakan ujian nyata bagi aktualisasi tawazun. Ketidakseimbangan ekologis yang disebabkan oleh eksploitasi alam, perubahan iklim, dan polusi adalah cerminan dari kegagalan manusia dalam menegakkan prinsip keseimbangan kosmik sebagaimana diperintahkan oleh Al-Qur’an (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9).²² Dalam konteks ini, tawazun tidak cukup dipahami sebagai norma moral, tetapi harus diterjemahkan menjadi etika ekologis Islam yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan antargenerasi.²³

Lebih jauh lagi, krisis nilai global—seperti relativisme moral, hedonisme, dan nihilisme—menjadi ancaman terhadap tatanan spiritual umat manusia.²⁴ Dunia modern yang terfragmentasi oleh teknologi dan kepentingan ekonomi memerlukan paradigma keseimbangan baru yang dapat memulihkan relasi harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan.²⁵ Tantangan ini menuntut reaktualisasi tawazun sebagai fondasi peradaban humanistik yang berpijak pada tauhid, etika, dan kesadaran ekologis.²⁶


Refleksi Kritis dan Arah Pengembangan Konsep

Kritik-kritik terhadap tawazun tidak harus dipandang sebagai penolakan, melainkan sebagai peluang untuk memperluas cakrawala pemaknaannya.²⁷ Diperlukan pendekatan multidisipliner yang menggabungkan teologi, filsafat, sosiologi, dan ekologi agar konsep ini tetap relevan. Dalam kerangka ini, tawazun dapat direformulasikan sebagai paradigma integral: ontologis dalam struktur ciptaan, epistemologis dalam cara berpikir, dan aksiologis dalam tatanan nilai dan tindakan manusia.²⁸

Dengan demikian, tantangan utama tawazun di era kontemporer bukanlah mempertahankan maknanya secara tekstual, tetapi menafsirkan dan menerapkannya dalam konteks realitas yang berubah.²⁹ Keseimbangan sejati bukanlah titik tengah yang statis, melainkan proses dinamis menuju keadilan, harmoni, dan keberlanjutan dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan kosmos.³⁰


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 124.

[2]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 87–88.

[3]                Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib, Jilid 29 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 223–225.

[4]                Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 41.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 250.

[6]                Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Sadir, 1999), 214.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: State University of New York Press, 1989), 121.

[8]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 65–67.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 14–17.

[10]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 58–60.

[11]             M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 47.

[12]             Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 127–130.

[13]             John L. Esposito, Islam and the West: The Making of an Image (New York: Oxford University Press, 1992), 143–144.

[14]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1 (Boston: Beacon Press, 1984), 118–121.

[15]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 211.

[16]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 132–135.

[17]             M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 95–96.

[18]             Ibid., 98.

[19]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1992), 37.

[20]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 42–45.

[21]             Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and Society (London: Grey Seal, 1987), 54.

[22]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.

[23]             Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 2002), 22.

[24]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 502–504.

[25]             Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 93–95.

[26]             Ibid., 97–100.

[27]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 51–52.

[28]             Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 92–93.

[29]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 129.

[30]             Izetbegovic, Islam Between East and West, 213–215.


11.       Relevansi Kontemporer Konsep Tawazun

Dalam konteks dunia modern yang sarat ketimpangan, krisis spiritual, dan degradasi ekologis, konsep tawazun (keseimbangan) menghadirkan paradigma etis dan filosofis yang sangat relevan. Islam melalui prinsip tawazun menawarkan visi hidup yang harmonis antara dimensi spiritual dan material, antara individu dan masyarakat, serta antara manusia dan alam.¹ Nilai keseimbangan ini bukan semata-mata ideal normatif, tetapi prinsip operasional yang dapat diterapkan untuk menjawab problem-problem peradaban kontemporer seperti ekstremisme ideologis, ketidakadilan sosial, krisis ekologi, dan disorientasi nilai.²

11.1.    Tawazun sebagai Paradigma Etika Global dan Dialog Peradaban

Dunia modern ditandai oleh polarisasi ekstrem: antara sekularisme dan fundamentalisme, antara materialisme dan spiritualisme, antara kekuasaan politik dan kehilangan makna moral.³ Dalam kondisi demikian, tawazun menawarkan paradigma etika global yang mengedepankan moderasi, dialog, dan keadilan. Prinsip wasathiyyah—yang merupakan manifestasi praktis dari tawazun—dapat menjadi landasan bagi etika kemanusiaan universal.⁴

Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 143, umat Islam ditetapkan sebagai ummatan wasatan (umat pertengahan) agar menjadi saksi moral bagi manusia.⁵ Ayat ini mengandung pesan profetik bahwa keseimbangan bukan hanya etika personal, tetapi juga mandat peradaban: Islam harus menjadi teladan dalam mengelola perbedaan dan menegakkan keadilan. Dalam konteks global, semangat tawazun dapat mendorong terwujudnya dialog antarperadaban yang berlandaskan saling pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.⁶

Tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr dan Alija Izetbegovic menegaskan bahwa dunia modern memerlukan paradigma spiritual baru yang menolak dikotomi antara iman dan akal, antara agama dan kebudayaan.⁷ Tawazun menjadi jembatan epistemologis dan moral antara Barat yang rasional-materialistik dan Timur yang spiritual-intuitif.⁸ Dengan demikian, tawazun berfungsi sebagai prinsip rekonsiliatif yang memungkinkan peradaban global menemukan keseimbangan baru yang berbasis pada nilai-nilai transendental dan humanistik.

11.2.    Relevansi dalam Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

Salah satu krisis utama dunia modern adalah terpisahnya ilmu dari nilai moral dan spiritual. Pendidikan modern cenderung menekankan kemampuan teknis dan rasionalitas instrumental, sementara aspek etika, estetika, dan transendensi diabaikan.⁹ Konsep tawazun menawarkan paradigma pendidikan yang integral, yakni memadukan ilmu pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas dalam satu sistem yang saling melengkapi.¹⁰

Dalam perspektif Islam, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga membentuk manusia kamil—yaitu individu yang seimbang antara akal, hati, dan amal.¹¹ Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut model ini sebagai ta’dīb, yakni pendidikan yang menanamkan adab dan kesadaran kosmik.¹² Pendidikan berbasis tawazun berorientasi pada pembentukan manusia yang berpikir kritis sekaligus berjiwa etik, menguasai teknologi tanpa kehilangan kesadaran spiritualnya.¹³

Di era revolusi digital dan kecerdasan buatan, pendekatan ini semakin penting. Tawazun epistemologis menuntun manusia untuk menggunakan ilmu secara proporsional—mendorong inovasi tanpa menafikan tanggung jawab moral dan sosial.¹⁴ Dengan demikian, pendidikan Islam yang berlandaskan tawazun dapat menjadi model pendidikan berkelanjutan dan berkarakter spiritual bagi dunia global.

11.3.    Relevansi Sosial dan Politik: Moderasi dan Keadilan Global

Krisis politik global sering kali berakar pada ketidakseimbangan antara kekuasaan dan moralitas. Dalam konteks ini, tawazun menghadirkan prinsip politik yang menjunjung keadilan, partisipasi, dan tanggung jawab.¹⁵ Dalam Islam, kekuasaan bukan tujuan, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan adil dan proporsional (QS. Al-Nisa’ [4] ayat 58).¹⁶

Relevansi tawazun politik dapat dilihat dalam gagasan good governance Islami, yang menyeimbangkan antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif, antara otoritas negara dan partisipasi rakyat.¹⁷ Model pemerintahan yang berlandaskan keseimbangan semacam ini menolak dua ekstrem: absolutisme teokratik dan liberalisme sekular yang nihil nilai spiritual.¹⁸

Pada tataran global, tawazun dapat menjadi dasar etika perdamaian dan hubungan internasional yang berkeadilan. Dunia Islam—yang sering dihadapkan pada konflik ideologis dan sektarian—dapat menampilkan dirinya sebagai pelopor peradaban dialogis yang moderat, adil, dan toleran.¹⁹

11.4.    Relevansi Ekologis: Etika Lingkungan dan Keberlanjutan Hidup

Salah satu tantangan terbesar abad ke-21 adalah krisis ekologi global. Eksploitasi alam yang berlebihan, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan mencerminkan hilangnya tawazun dalam relasi manusia dengan alam.²⁰ Dalam kerangka teologi Islam, krisis ekologis merupakan akibat dari pelanggaran terhadap hukum keseimbangan (mīzān) yang telah ditetapkan oleh Allah (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9).²¹

Konsep tawazun menyediakan dasar etika ekologis yang menegaskan bahwa menjaga keseimbangan alam adalah bagian dari tanggung jawab spiritual manusia sebagai khalifah di bumi.²² Prinsip ini sejalan dengan konsep maqāṣid al-syarī‘ah modern yang memasukkan hifz al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan) sebagai tujuan hukum Islam.²³ Dengan mengintegrasikan spiritualitas dan ekologi, tawazun menuntun umat manusia menuju paradigma eco-Islamic civilization—peradaban ekologis berbasis nilai tauhidik dan keseimbangan.²⁴

11.5.    Relevansi terhadap Krisis Nilai dan Disorientasi Manusia Modern

Manusia modern hidup dalam paradoks: kemajuan teknologi dan ekonomi tidak sejalan dengan kebahagiaan dan ketenteraman batin.²⁵ Individualisme, relativisme moral, dan nihilisme menjadi penyakit eksistensial masyarakat global. Dalam situasi ini, tawazun dapat menjadi prinsip spiritual yang memulihkan orientasi manusia terhadap makna hidup.²⁶

Keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas, antara kebebasan dan tanggung jawab, menjadi kunci pembentukan etika humanistik yang berakar pada kesadaran Ilahi.²⁷ Sebagaimana ditegaskan oleh Alija Izetbegovic, peradaban sejati hanya dapat berdiri di atas keseimbangan antara “agama dan ilmu, iman dan akal, langit dan bumi.”²⁸ Maka, tawazun menjadi jalan tengah yang memulihkan integritas manusia sebagai makhluk yang berpikir dan beribadah sekaligus.


Sintesis Relevansi: Tawazun sebagai Paradigma Integral Peradaban Modern

Dalam era globalisasi dan digitalisasi, tawazun tidak boleh hanya dipahami sebagai nilai normatif, tetapi sebagai paradigma integral yang melandasi struktur peradaban.²⁹ Keseimbangan harus diterapkan secara multidimensi—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan ekologis—agar menjadi fondasi keberlanjutan hidup umat manusia.³⁰

Melalui tawazun, Islam dapat menawarkan kontribusi nyata bagi kemanusiaan global: menyeimbangkan sains dan spiritualitas, pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial, serta teknologi dan kebijaksanaan moral.³¹ Dalam konteks ini, tawazun tidak hanya menjadi etika Islam, tetapi juga paradigma universal bagi masa depan peradaban yang damai, adil, dan manusiawi.³²


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 77–79.

[2]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 51–52.

[3]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 491–493.

[4]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 95–96.

[5]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 34.

[6]                John L. Esposito, The Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2010), 152–154.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 127–129.

[8]                Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 203–204.

[9]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 58–60.

[10]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 87–89.

[11]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 249.

[12]             Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 92.

[13]             M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 78–79.

[14]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1992), 61.

[15]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45–47.

[16]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 91.

[17]             Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989), 18–20.

[18]             Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), 52.

[19]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 136–138.

[20]             Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 16–19.

[21]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 531.

[22]             Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 2002), 22–23.

[23]             Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 174–176.

[24]             Osman Bakar, Environmental Wisdom in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), 34–36.

[25]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.

[26]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 131–132.

[27]             Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 44–45.

[28]             Izetbegovic, Islam Between East and West, 211–213.

[29]             Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and Society (London: Grey Seal, 1987), 70–71.

[30]             Nasr, The Heart of Islam, 98–99.

[31]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 55–56.

[32]             Nasr, Man and Nature, 31–33.


12.       Sintesis Filosofis: Menuju Etika Keseimbangan yang Integral dan Humanistik

Prinsip tawazun (keseimbangan) merupakan inti dari etika Islam yang menghubungkan antara dimensi ketuhanan, kemanusiaan, dan kosmos secara integral. Dalam kerangka filosofis, tawazun tidak hanya dipahami sebagai norma moral, tetapi sebagai struktur eksistensial yang meneguhkan kesatuan antara wujud, pengetahuan, dan nilai.¹ Melalui pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang saling berkelindan, Islam menampilkan sebuah etika keseimbangan yang menyatukan spiritualitas dan rasionalitas, iman dan akal, keadilan dan kasih sayang—menjadikannya fondasi bagi peradaban humanistik yang berakar pada nilai-nilai Ilahi.²

12.1.    Integrasi Ontologis: Kesatuan Realitas dan Keteraturan Wujud

Ontologi tawazun berangkat dari prinsip tawhid yang menegaskan bahwa segala realitas bersumber dari satu wujud absolut, yaitu Allah SWT.³ Kesatuan ini melahirkan tatanan hierarkis namun harmonis, di mana setiap makhluk memiliki fungsi dan kedudukannya masing-masing dalam keseluruhan struktur eksistensi. Dalam pandangan ini, keseimbangan bukan hasil kompromi, tetapi ekspresi dari kehendak Ilahi yang menata segala sesuatu “menurut ukuran” (bi qadar) sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Qamar [54] ayat 49.⁴

Ibn Sina dan al-Farabi menjelaskan bahwa kesempurnaan alam terletak pada keteraturan hierarkis antara potensi dan aktualitas.⁵ Prinsip ini menegaskan bahwa keberadaan manusia—sebagai mikrokosmos (al-‘alam al-saghir)—adalah cermin dari keteraturan makrokosmos (al-‘alam al-kabir).⁶ Dengan demikian, manusia dipanggil untuk menjaga keselarasan dirinya agar tetap selaras dengan hukum Ilahi yang mengatur alam semesta. Keseimbangan ontologis inilah yang menjadi dasar bagi kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral manusia sebagai khalifah di bumi.⁷

12.2.    Integrasi Epistemologis: Keseimbangan Wahyu, Akal, dan Pengalaman

Etika tawazun hanya dapat dibangun di atas epistemologi yang harmonis antara wahyu (al-wahy), akal (al-‘aql), dan pengalaman (tajribah).⁸ Islam menolak ekstremitas epistemologis: rasionalisme yang meniadakan Tuhan, maupun fideisme yang menafikan akal. Al-Ghazali menggambarkan keseimbangan ini melalui konsep ‘ilm al-mukāsyafah (pengetahuan intuitif-spiritual) dan ‘ilm al-mu‘āmalah (pengetahuan rasional-praktis) yang saling melengkapi.⁹

Dalam sintesis ini, wahyu berfungsi sebagai sumber nilai mutlak, akal sebagai alat analisis dan penalaran, sedangkan pengalaman menjadi medium empiris bagi pembuktian kebenaran.¹⁰ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa epistemologi Islam sejati bersifat sacred—yakni pengetahuan yang berakar pada kesadaran Ilahi dan memelihara hubungan antara kebenaran, keindahan, dan kebaikan.¹¹ Maka, keseimbangan epistemologis bukan sekadar metodologis, tetapi juga spiritual: cara mengetahui yang menyatukan logika dan makna, rasionalitas dan transendensi.¹²

12.3.    Integrasi Aksiologis: Etika Keseimbangan dan Nilai Kemanusiaan Universal

Pada tataran aksiologis, tawazun menjadi dasar bagi etika integral yang mencakup dimensi personal, sosial, dan kosmologis. Islam tidak menempatkan moralitas dalam ruang abstrak, tetapi menghubungkannya langsung dengan realitas kehidupan.¹³ Prinsip adl (keadilan) dan rahmah (kasih sayang) adalah dua nilai sentral yang menopang keseimbangan etis ini. Al-Ghazali menegaskan bahwa kebajikan moral (fadlilah) terletak pada posisi tengah antara dua ekstrem, seperti keberanian yang berada di antara pengecut dan nekat, atau kesabaran di antara kemalasan dan keputusasaan.¹⁴

Dalam konteks sosial, tawazun menjadi asas bagi keadilan distributif dan solidaritas kemanusiaan.¹⁵ Etika keseimbangan menolak kapitalisme yang rakus dan sosialisme yang menindas, menolak individualisme egoistik dan kolektivisme totalitarian.¹⁶ Ia menegakkan proporsionalitas antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab. Hal ini menjadikan tawazun sebagai kerangka moral universal yang mampu menjawab tantangan kemanusiaan kontemporer, dari ketimpangan ekonomi hingga konflik ideologis.¹⁷

12.4.    Integrasi Ekologis dan Kosmologis: Harmoni Manusia dan Alam

Keseimbangan filosofis Islam tidak hanya berlaku dalam hubungan manusia dengan sesamanya, tetapi juga antara manusia dan alam. QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9 menegaskan bahwa keseimbangan (mīzān) adalah hukum kosmos yang harus dijaga agar tatanan kehidupan tidak rusak.¹⁸ Dalam pandangan Nasr, pelanggaran terhadap mīzān berarti pelanggaran terhadap sunnatullah, karena alam adalah cermin dari kesucian Tuhan.¹⁹

Etika tawazun menuntun manusia untuk bersikap ekologis: menggunakan sumber daya secara bijak, menghindari eksploitasi, dan menegakkan keadilan antar-generasi.²⁰ Hal ini sejalan dengan maqāṣid al-syarī‘ah modern yang memasukkan hifz al-bi’ah (pelestarian lingkungan) sebagai bagian dari tujuan moral Islam.²¹ Dengan demikian, keseimbangan ekologis merupakan wujud konkret dari keseimbangan spiritual dan moral manusia, di mana menjaga alam berarti menjaga tatanan Ilahi yang menopang keberadaan seluruh makhluk.²²

12.5.    Integrasi Humanistik: Kemanusiaan sebagai Pusat Etika Keseimbangan

Etika tawazun yang integral bermuara pada visi humanistik Islam—yakni pengakuan terhadap martabat dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk spiritual dan rasional.²³ Alija Izetbegovic menyebut Islam sebagai “agama keseimbangan” karena menempatkan manusia di antara bumi dan langit, jasmani dan rohani, dunia dan akhirat.²⁴ Dalam kerangka ini, manusia menjadi subjek moral yang berperan aktif menegakkan keadilan, bukan sekadar objek takdir.

Humanisme Islam berbasis tawazun bukanlah humanisme sekular yang menuhankan manusia, melainkan humanisme transendental yang mengaitkan nilai kemanusiaan dengan kesadaran akan Tuhan.²⁵ Etika ini menegaskan bahwa keseimbangan sejati terwujud ketika manusia mampu menata dirinya selaras dengan nilai Ilahi dan berkontribusi terhadap kemaslahatan universal.²⁶


Menuju Etika Keseimbangan yang Integral dan Humanistik

Sintesis filosofis tawazun menuntun kita pada pemahaman bahwa keseimbangan bukanlah posisi tengah yang statis, melainkan dinamika moral menuju keutuhan eksistensial.²⁷ Dalam tataran praksis, etika keseimbangan mengharuskan integrasi antara iman, ilmu, dan amal; antara pengetahuan rasional dan kebijaksanaan spiritual.²⁸ Etika ini menjadi fondasi bagi peradaban Islam yang rahmatan lil-‘ālamīn—peradaban yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menghargai martabat manusia.²⁹

Dengan demikian, tawazun bukan sekadar konsep teologis, melainkan paradigma filosofis yang mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan. Ia menawarkan visi peradaban yang integral—spiritual sekaligus rasional, religius sekaligus humanistik.³⁰ Dalam dunia yang kehilangan keseimbangan akibat materialisme dan ekstremisme, etika tawazun menjadi jalan tengah menuju peradaban yang selaras dengan tatanan Ilahi dan harkat kemanusiaan universal.³¹


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 49–50.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 121–123.

[3]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 83–84.

[4]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 537.

[5]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1993), 58–59.

[6]                M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 72–73.

[7]                Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 14–16.

[8]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1992), 31–33.

[9]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1959), 38–40.

[10]             Ibid., 41.

[11]             Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 82–84.

[12]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 1966), 127–128.

[13]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 93–94.

[14]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 247–248.

[15]             Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 86–87.

[16]             M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 35–36.

[17]             Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 130–131.

[18]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 531.

[19]             Nasr, Man and Nature, 28–29.

[20]             Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 2002), 22–23.

[21]             Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 176–177.

[22]             Osman Bakar, Environmental Wisdom in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), 34.

[23]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 210.

[24]             Ibid., 212–213.

[25]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 125–126.

[26]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 45–46.

[27]             Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and Society (London: Grey Seal, 1987), 70–71.

[28]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 55–56.

[29]             Nasr, The Heart of Islam, 95–96.

[30]             Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 91–92.

[31]             Izetbegovic, Islam Between East and West, 214–215.


13.       Kesimpulan

Konsep tawazun (keseimbangan) merupakan salah satu prinsip sentral dalam pandangan dunia Islam (Islamic worldview) yang menegaskan keselarasan antara dimensi Ilahi, kemanusiaan, dan kosmos. Ia bukan sekadar ajaran moral atau norma etis, melainkan sebuah paradigma ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang menyatukan seluruh aspek kehidupan manusia dalam tatanan yang harmonis.¹ Melalui prinsip ini, Islam menawarkan model peradaban yang integral—menyatukan iman dan akal, ilmu dan amal, spiritualitas dan rasionalitas, serta manusia dan alam—dalam satu kesatuan kosmik yang berlandaskan tauhid.²

13.1.    Keseimbangan Sebagai Dasar Ontologis Kehidupan

Dari segi ontologi, tawazun berakar pada prinsip tawhid, yaitu kesatuan realitas yang meniscayakan keteraturan (nizām) dan keharmonisan dalam seluruh ciptaan.³ Keseimbangan bukan berarti statis, melainkan keteraturan dinamis yang mencerminkan kehendak Ilahi di alam semesta. QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9 menegaskan bahwa Allah menegakkan mīzān (keseimbangan) sebagai hukum kosmik yang mengatur harmoni antara semua unsur kehidupan.⁴

Dalam konteks antropologis, manusia diciptakan sebagai khalifah untuk menjaga mīzān tersebut, bukan menguasainya secara absolut.⁵ Maka, keseimbangan ontologis juga menegaskan keterkaitan eksistensial antara manusia dan Tuhan, di mana keberadaan manusia hanya bermakna ketika ia tunduk pada tatanan Ilahi.⁶

13.2.    Keseimbangan Epistemologis: Integrasi Wahyu, Akal, dan Empiri

Secara epistemologis, tawazun mengajarkan bahwa pengetahuan sejati harus bersumber dari kombinasi harmonis antara wahyu, akal, dan pengalaman.⁷ Wahyu menjadi sumber kebenaran mutlak, akal menjadi alat interpretasi, dan pengalaman menjadi wahana pembuktian empirik. Al-Ghazali menegaskan bahwa akal dan wahyu bukanlah dua sumber yang saling bertentangan, melainkan dua cahaya yang saling menerangi.⁸

Dalam tradisi pemikiran Islam klasik dan kontemporer, keseimbangan epistemologis ini melahirkan model ilmu yang tidak terfragmentasi antara agama dan sains, antara metafisika dan empirik.⁹ Pandangan ini berlawanan dengan dikotomi modern yang memisahkan pengetahuan dari nilai spiritual, dan menjadi dasar bagi rekonstruksi epistemologi Islam yang integratif di era modern.¹⁰

13.3.    Keseimbangan Aksiologis: Etika Keadilan dan Moderasi

Dalam dimensi aksiologi, tawazun merupakan asas utama bagi etika Islam. Nilai-nilai keadilan (‘adl), moderasi (wasathiyyah), dan kasih sayang (rahmah) lahir dari kesadaran akan pentingnya keseimbangan moral dalam diri manusia dan masyarakat.¹¹ Al-Ghazali menegaskan bahwa kebajikan moral berada pada “jalan tengah” (wasath) antara dua ekstrem, karena keutamaan lahir dari kemampuan menempatkan sesuatu secara proporsional.¹²

Dalam tatanan sosial dan politik, prinsip ini menjadi dasar bagi sistem keadilan dan pemerintahan yang berorientasi pada kemaslahatan (maslahah ‘ammah).¹³ Dalam ekonomi, tawazun mengatur hubungan antara kepemilikan individu dan kepentingan publik, serta menolak baik eksploitasi kapitalistik maupun keseragaman sosialistik.¹⁴ Dengan demikian, etika keseimbangan menjadi panduan moral bagi terciptanya masyarakat yang adil, inklusif, dan beradab.

13.4.    Keseimbangan Ekologis dan Kosmologis: Menegakkan Harmoni Alam dan Spiritualitas

Keseimbangan dalam Islam tidak berhenti pada ranah manusia, tetapi meluas pada alam dan kosmos. QS. Al-A‘raf [7] ayat 56 memperingatkan agar manusia tidak membuat kerusakan di bumi setelah Allah menciptakannya dengan seimbang.¹⁵ Prinsip tawazun ekologis menegaskan bahwa keberlanjutan kehidupan hanya dapat terjaga bila manusia berperilaku sesuai dengan hukum Ilahi yang mengatur alam.¹⁶

Seyyed Hossein Nasr menyebut krisis lingkungan modern sebagai “krisis spiritual manusia terhadap kosmos,” yaitu akibat kehilangan kesadaran sakral terhadap alam.¹⁷ Maka, tawazun kosmologis berarti pemulihan hubungan spiritual antara manusia dan alam sebagai wujud ibadah kepada Tuhan. Menjaga keseimbangan ekologis bukan hanya tindakan etis, melainkan perintah teologis yang meneguhkan kesatuan antara tauhid dan tanggung jawab ekologis.¹⁸

13.5.    Keseimbangan Humanistik: Sintesis Iman, Akal, dan Kemanusiaan

Etika tawazun mencapai puncaknya dalam dimensi humanistik, di mana manusia menjadi pusat refleksi keseimbangan Ilahi di bumi.¹⁹ Islam memandang manusia sebagai makhluk spiritual dan rasional yang memiliki kebebasan sekaligus tanggung jawab.²⁰ Dalam kerangka ini, tawazun menjadi dasar bagi humanisme Islam yang menolak antroposentrisme sekuler maupun teosentrisme yang meniadakan otonomi manusia.²¹

Sebagaimana ditegaskan oleh Alija Izetbegovic, “Islam berdiri di antara dua kutub ekstrem—antara langit dan bumi, antara iman dan akal, antara jiwa dan materi.”²² Kemanusiaan sejati hanya dapat dicapai bila manusia hidup dalam keseimbangan antara dimensi spiritual dan duniawi, serta menjadikan nilai-nilai Ilahi sebagai pedoman etika dalam kehidupan modern.²³

13.6.    Relevansi dan Kontribusi Filosofis-Konseptual

Dalam konteks global, konsep tawazun memberikan kontribusi signifikan terhadap pencarian etika universal dan paradigma pembangunan berkelanjutan.²⁴ Ia menawarkan solusi filosofis terhadap krisis modernitas—yakni fragmentasi pengetahuan, ketimpangan sosial, dan degradasi moral—dengan mengembalikan keseimbangan antara kemajuan material dan kesadaran spiritual.²⁵

Melalui kerangka tawazun, Islam tidak hanya tampil sebagai agama normatif, tetapi juga sebagai sistem pemikiran filosofis yang terbuka terhadap dialog lintas budaya.²⁶ Etika keseimbangan yang integral dan humanistik dapat menjadi fondasi bagi rekonstruksi peradaban global yang berkeadilan, ekologis, dan berorientasi pada kemaslahatan universal (rahmatan lil-‘ālamīn).²⁷


Kesimpulan Akhir: Tawazun sebagai Jalan Menuju Keutuhan Eksistensial

Secara keseluruhan, tawazun dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis bukan hanya konsep normatif, tetapi prinsip eksistensial yang membimbing manusia menuju keutuhan diri, harmoni sosial, dan keselarasan kosmik.²⁸ Ia meneguhkan bahwa keseimbangan sejati terwujud ketika manusia menempatkan Tuhan sebagai pusat orientasi kehidupan, ilmu sebagai sarana pemahaman, dan etika sebagai panduan tindakan.²⁹

Dengan demikian, tawazun menjadi jantung filsafat Islam yang menyatukan iman dan akal, spiritualitas dan rasionalitas, manusia dan alam.³⁰ Dalam dunia yang ditandai oleh krisis identitas dan ekstremitas nilai, etika keseimbangan menawarkan jalan menuju integrasi dan kemanusiaan yang utuh—sebuah falsafah harmoni yang merekatkan kembali relasi antara Tuhan, manusia, dan semesta dalam kesatuan tauhidik yang abadi.³¹


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 120–122.

[2]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 85.

[3]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 51–52.

[4]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.

[5]                Ibid., 34.

[6]                Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), 205.

[7]                Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1959), 36–38.

[8]                Ibid., 42.

[9]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science, 1992), 25–27.

[10]             Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and Society (London: Grey Seal, 1987), 63–65.

[11]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo: Maktabah Wahbah, 1996), 95–96.

[12]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, n.d.), 244.

[13]             Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), 87.

[14]             M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation, 1992), 31–33.

[15]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 235.

[16]             A. I. Sabra, Science and Philosophy in Medieval Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1987), 92–93.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 15.

[18]             Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha Publishers, 2002), 18.

[19]             Osman Bakar, Environmental Wisdom in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999), 33–34.

[20]             Ibid., 36.

[21]             Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 175.

[22]             Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis: American Trust Publications, 1984), 210–211.

[23]             Ibid., 213.

[24]             Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 95.

[25]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 491–492.

[26]             Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), 127–130.

[27]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 55.

[28]             Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 395.

[29]             Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 44–45.

[30]             Nasr, Knowledge and the Sacred, 127.

[31]             Izetbegovic, Islam Between East and West, 214–215.


Daftar Pustaka

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Farabi. (1993). Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Beirut: Dar al-Mashriq.

Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vol. 3). Kairo: Dar al-Ma‘rifah.

Al-Ghazali, A. H. (1959). Al-Munqidh min al-Dhalal. Kairo: Dar al-Ma‘arif.

Al-Mawardi. (1986). Adab al-Dunya wa al-Din. Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Mawardi. (1989). Al-Ahkam al-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (1996). Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Raghib al-Asfahani. (1992). Mufradat Alfaz al-Qur’an. Beirut: Dar al-Qalam.

Al-Razi, F. (1981). Mafātih al-Ghaib (Vol. 29). Beirut: Dar al-Fikr.

Asad, M. (1961). The principles of state and government in Islam. Berkeley: University of California Press.

Asad, M. (1980). The message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus.

Azra, A. (2000). Islam substantif. Bandung: Mizan.

Bakar, O. (1992). Tawhid and science: Essays on the history and philosophy of Islamic science. Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy of Science.

Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies.

Bakar, O. (1999). Environmental wisdom in Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Leicester: Islamic Foundation.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. Albany: State University of New York Press.

Departemen Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Esposito, J. L. (1992). Islam and the West: The making of an image. New York: Oxford University Press.

Esposito, J. L. (2010). The future of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Fakhry, M. (1991). Ethical theories in Islam. Leiden: E. J. Brill.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Faruqi, I. R. al-. (1992). Al-Tawhid: Its implications for thought and life. Herndon: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Boston: Beacon Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (Vol. 1). Boston: Beacon Press.

Ibn ‘Arabi. (1999). Futuhat al-Makkiyyah (Vol. 2). Beirut: Dar al-Sadir.

Ibn Hajar al-‘Asqalani. (1989). Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari (Vol. 10). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Ibn Kathir. (1998). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Khaldun. (2000). Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Rushd. (1993). Fasl al-Maqāl fī mā bayn al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-Ittisāl. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Sina. (1952). Kitab al-Syifa’ (Vol. 2). Beirut: Dar al-Fikr.

Izetbegovic, A. (1984). Islam between East and West. Indianapolis: American Trust Publications.

Izutsu, T. (1966). Ethico-religious concepts in the Qur’an. Montreal: McGill University Press.

Izutsu, T. (2002). God and man in the Qur’an. Tokyo: Keio University Press.

Khalid, F. (2002). Islam and the environment. London: Ta-Ha Publishers.

Khalid, F., & O’Brien, J. (1992). Islam and ecology. London: Cassell.

Madjid, N. (1992). Islam, kemodernan, dan keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Madjid, N. (2000). Islam, doktrin, dan peradaban. Jakarta: Paramadina.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The spiritual crisis of modern man. Chicago: ABC International Group.

Nasr, S. H. (2002). The heart of Islam: Enduring values for humanity. New York: HarperOne.

Quraish Shihab, M. (1998). Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu‘i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.

Quraish Shihab, M. (2002). Tafsir al-Mishbah: Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an (Vol. 10 & 13). Jakarta: Lentera Hati.

Sabra, A. I. (1987). Science and philosophy in medieval Islam. Cambridge: Harvard University Press.

Sardar, Z. (1985). Islamic futures: The shape of ideas to come. London: Mansell.

Sardar, Z. (1987). Exploring Islam: Essays on Islamic culture and society. London: Grey Seal.

Siddiqi, M. N. (1983). Banking without interest. Leicester: Islamic Foundation.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge: Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar