Tawazun (Keseimbangan)
Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits
Alihkan ke: PPG 2019.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep Tawazun
(keseimbangan) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis, dengan pendekatan
multidisipliner yang meliputi dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis,
sosial, politik, ekologis, dan kosmologis. Tawazun dipahami sebagai
prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang menegaskan keterpaduan antara aspek
Ilahi, kemanusiaan, dan alam semesta. Melalui analisis tekstual terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis, serta penelusuran terhadap pemikiran para ulama
klasik dan kontemporer seperti al-Ghazali, Ibn Sina, al-Mawardi, al-Attas, dan
Seyyed Hossein Nasr, artikel ini menampilkan bahwa keseimbangan bukan hanya
ajaran moral, tetapi juga paradigma eksistensial yang mengatur seluruh dimensi
kehidupan manusia.
Secara ontologis, tawazun
mencerminkan keteraturan wujud dan harmoni kosmik yang berakar pada prinsip tawhid
sebagai sumber kesatuan realitas. Secara epistemologis, ia menegaskan
integrasi antara wahyu, akal, dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan yang
saling melengkapi. Dalam dimensi aksiologis, tawazun menjadi
dasar bagi keadilan, moderasi, dan kasih sayang dalam seluruh aspek kehidupan
manusia, baik individu maupun sosial. Artikel ini juga menyoroti relevansi
kontemporer dari tawazun dalam menjawab krisis modern seperti
ekstremisme ideologis, ketimpangan ekonomi, degradasi lingkungan, dan
disintegrasi moral. Dengan mengintegrasikan spiritualitas dan rasionalitas,
Islam melalui konsep tawazun menawarkan paradigma etika yang integral
dan humanistik bagi pembangunan peradaban yang berkeadilan, berkelanjutan, dan
berorientasi pada kemaslahatan universal (rahmatan lil-‘ālamīn).
Kata Kunci: Tawazun, keseimbangan, Al-Qur’an, Hadis, etika Islam, tauhid, epistemologi
Islam, aksiologi, moderasi, peradaban humanistik.
PEMBAHASAN
Tawazun sebagai Prinsip Keseimbangan dalam Islam
1.
Pendahuluan
Konsep tawazun
(توازن) atau keseimbangan merupakan salah satu
prinsip universal dalam ajaran Islam yang menegaskan pentingnya harmoni antara
berbagai aspek kehidupan manusia — spiritual dan material, individu dan sosial,
serta dunia dan akhirat. Prinsip ini tidak hanya menjadi pedoman etika, tetapi
juga mencerminkan struktur ontologis ciptaan Allah yang serba teratur dan
proporsional. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu diciptakan dengan ukuran
dan keseimbangan tertentu (bi qadar), sebagaimana ditegaskan
dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu
menurut ukuran” (QS. Al-Qamar [54] ayat 49). Ayat ini menjadi dasar
kosmologis bahwa keseimbangan adalah hukum alam yang bersumber dari kehendak
Ilahi.¹
Secara terminologis,
tawazun
berarti keseimbangan, keserasian, atau proporsionalitas dalam tindakan dan
pemikiran.² Dalam konteks moral dan sosial, tawazun menuntut manusia untuk
tidak berlebihan dalam satu aspek kehidupan dengan mengabaikan yang lain. Islam
menolak ekstremitas—baik dalam bentuk sikap asketik yang menolak dunia maupun
dalam bentuk materialisme yang melupakan spiritualitas.³ Rasulullah Saw menegaskan
dalam sabdanya, “Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atasmu,
matamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu”,
yang menunjukkan pentingnya keseimbangan dalam seluruh dimensi kehidupan.⁴
Fenomena kehidupan
modern memperlihatkan bahwa prinsip tawazun semakin tergerus oleh dinamika
globalisasi, industrialisasi, dan konsumerisme. Ketimpangan sosial, degradasi
moral, serta krisis ekologis menandakan hilangnya keseimbangan dalam hubungan
manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama, dan dengan alam.⁵ Dalam konteks
ini, kajian filosofis terhadap konsep tawazun menjadi sangat relevan,
sebab ia menawarkan paradigma alternatif yang menolak dikotomi antara iman dan
ilmu, antara agama dan kemanusiaan, serta antara spiritualitas dan
rasionalitas.
Penelitian ini
berangkat dari kesadaran bahwa tawazun bukan sekadar ajaran moral,
melainkan fondasi epistemologis dan aksiologis bagi keseluruhan sistem nilai
Islam. Ia menjadi prinsip pengarah yang memastikan bahwa segala aktivitas
manusia—baik ibadah, muamalah, maupun pembangunan peradaban—berjalan secara
adil, proporsional, dan harmonis.⁶ Oleh karena itu, tujuan utama artikel ini
adalah menggali makna konseptual tawazun berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits, menelusuri landasan historis dan genealogisnya, serta mengkaji
implikasinya terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan ekologis umat
Islam masa kini.
Secara metodologis,
penelitian ini menggunakan pendekatan tafsir tematik (maudhū‘i)
dan analisis filosofis untuk menelaah makna keseimbangan dalam teks-teks
normatif Islam. Pendekatan ini dipilih karena memungkinkan sintesis antara
dimensi normatif-teologis dan refleksi rasional-kontekstual. Dengan demikian,
diharapkan kajian ini dapat menegaskan kembali posisi tawazun
sebagai inti dari etika Islam yang integral, moderat, dan humanistik—yakni etika
yang mengharmonikan wahyu dan akal, iman dan amal, serta individu dan
masyarakat dalam tatanan yang seimbang dan berkeadilan.⁷
Footnotes
[1]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 12 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 187.
[2]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid 13 (Beirut: Dar Sadir,
1997), 531.
[3]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), 85.
[4]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm, no. 1968.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 23–28.
[6]
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1958), 41.
[7]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 201–205.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Konsep Tawazun
Konsep tawazun
memiliki akar yang dalam dalam khazanah pemikiran Islam, baik secara
linguistik, teologis, maupun historis. Secara etimologis, istilah tawazun
berasal dari akar kata wazn (وزن)
yang berarti “menimbang,” “mengukur,” atau “menentukan kadar
sesuatu.”¹ Dari akar ini muncul kata mīzān yang secara harfiah berarti
timbangan atau alat ukur keseimbangan, dan dalam Al-Qur’an istilah ini
digunakan tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga moral dan kosmologis.²
Konsep ini menggambarkan pandangan dunia Islam yang memandang keseimbangan sebagai
prinsip universal yang mengatur seluruh aspek eksistensi, mulai dari tatanan
kosmos hingga tatanan sosial manusia.
Dalam konteks
historis, ide keseimbangan sudah tampak sejak periode awal Islam, terutama
dalam ajaran Nabi Muhammad Saw yang menekankan moderasi, keadilan, dan
proporsionalitas dalam segala aspek kehidupan.³ Rasulullah Saw menolak
bentuk-bentuk ekstremitas, baik dalam ibadah yang berlebihan maupun dalam
kesenangan duniawi yang melampaui batas.⁴ Prinsip keseimbangan ini kemudian
menjadi salah satu ciri khas etika Islam yang membedakannya dari pandangan
hidup yang dualistik atau fragmentatif.
Secara genealogis,
gagasan tawazun
dapat dilacak melalui tiga arus besar tradisi intelektual Islam: teologis (kalam),
filosofis, dan sufistik. Dalam tradisi teologi Islam, aliran Ahl
al-Sunnah wa al-Jama‘ah menekankan keseimbangan antara iman dan
amal, antara takdir dan ikhtiar manusia. Al-Asy‘ari, misalnya, mengembangkan
doktrin kasb
(perolehan) untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan mutlak Tuhan dan
kebebasan manusia.⁵ Dalam pemikiran ini, keseimbangan bukan berarti kompromi
pasif, melainkan afirmasi terhadap keteraturan Ilahi yang memberi ruang bagi
tanggung jawab manusia.
Sementara itu, dalam
filsafat Islam, pemikiran tawazun memperoleh bentuk konseptual
yang lebih ontologis. Para filsuf seperti al-Farabi dan Ibn Sina memandang
bahwa alam semesta tersusun secara hierarkis dan harmonis, di mana setiap
bagian memiliki fungsi dan kedudukan yang seimbang dalam keseluruhan sistem
wujud (nizām
al-wujūd).⁶ Prinsip keseimbangan menjadi dasar keteraturan alam (cosmos)
dan manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan. Dalam kerangka ini, tawazun
bukan sekadar nilai moral, tetapi juga hukum ontologis yang menegaskan
keserasian antara sebab dan akibat, antara potensi dan aktualitas.
Dalam tradisi
tasawuf, konsep tawazun mengalami penghayatan
spiritual yang lebih mendalam. Tokoh seperti Abu Hamid al-Ghazali menafsirkan
keseimbangan sebagai jalan menuju ihsan—kesempurnaan moral dan
spiritual yang memadukan dimensi jasmani, akal, dan ruhani.⁷ Ia menegaskan
bahwa keseimbangan antara akal dan nafsu, antara zuhud dan amal dunia,
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan sejati (sa‘ādah).⁸
Sementara itu, Ibn ‘Arabi memahami keseimbangan sebagai refleksi dari tawhid—kesatuan
realitas di mana semua keberagaman tersusun dalam harmoni ilahi.⁹
Konsep tawazun
juga memiliki resonansi kuat dalam peradaban Islam klasik, terutama pada masa
Abbasiyah (750–1258 M) yang menandai puncak kemajuan ilmiah, filosofis, dan
spiritual dunia Islam.¹⁰ Pada periode ini, semangat keseimbangan antara wahyu
dan rasio, antara tradisi dan inovasi, melahirkan peradaban yang produktif,
ilmiah, dan berorientasi pada keadilan sosial.¹¹ Dengan demikian, tawazun
bukan hanya konsep normatif, tetapi juga prinsip epistemologis yang menopang
kemajuan peradaban Islam.
Genealogi tawazun
menunjukkan bahwa prinsip ini bukan hasil konstruksi modern, melainkan bagian
integral dari warisan intelektual Islam yang terus hidup dan berkembang. Ia
menembus berbagai disiplin keilmuan—dari tafsir, fiqih, kalam, hingga falsafah
dan tasawuf—sebagai dasar harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam.¹² Dengan
memahami akar historis dan genealogisnya, kita dapat menafsirkan ulang tawazun
sebagai paradigma keseimbangan universal yang relevan bagi manusia modern,
terutama dalam menghadapi krisis moral, sosial, dan ekologis yang muncul akibat
kehilangan proporsi dalam berpikir dan bertindak.¹³
Footnotes
[1]
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid 13 (Beirut: Dar Sadir,
1997), 530.
[2]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 112–113.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 25.
[4]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm, no. 1968.
[5]
Al-Asy‘ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Musallīn
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), 175–180.
[6]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1993), 56–60.
[7]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 244–247.
[8]
M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 87–89.
[9]
Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Sadir, 1999), 212–216.
[10]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2 (Chicago:
University of Chicago Press, 1974), 82–85.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 121–125.
[12]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 45–47.
[13]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 191–194.
3.
Landasan
Qur’ani Konsep Tawazun
Al-Qur’an sebagai
sumber utama ajaran Islam menempatkan konsep tawazun (keseimbangan) sebagai
prinsip dasar kosmos, moralitas, dan kehidupan sosial manusia. Keseimbangan
dalam Al-Qur’an tidak sekadar bermakna “pertengahan” dalam skala
kuantitatif, melainkan proporsionalitas eksistensial yang mencerminkan kehendak
dan kebijaksanaan Ilahi.¹ Prinsip ini termanifestasi dalam berbagai istilah
yang berakar dari konsep ukuran dan keadilan, seperti mīzān
(timbangan), qadar (ukuran), i‘tidāl
(kelurusan), dan wasathiyyah (pertengahan).
Keseluruhan istilah tersebut membentuk dasar teologis dan etis bagi pemahaman
Islam tentang tatanan dunia yang seimbang dan harmonis.
Salah satu ayat
kunci yang menegaskan prinsip keseimbangan adalah firman Allah dalam QS.
Al-Rahman [55] ayat 7–9: “Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan
neraca (keseimbangan), supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan
tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu.”² Ayat ini menggambarkan dua dimensi keseimbangan: pertama,
keseimbangan kosmik (tawazun kauni), yang menandai
keteraturan ciptaan Allah; kedua, keseimbangan moral dan sosial (tawazun
akhlaqi wa ijtima‘i), yang menuntut manusia untuk menegakkan
keadilan dan menghindari ketimpangan. Dengan demikian, mīzān
dalam Al-Qur’an bukan hanya alat ukur fisik, tetapi simbol hukum moral alam
semesta.³
Al-Qur’an juga menegaskan
bahwa seluruh ciptaan tunduk pada sistem ukuran dan keseimbangan yang pasti: “Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (bi qadar)” (QS.
Al-Qamar [54] ayat 49).⁴ Ayat ini menegaskan adanya keteraturan (nizām)
dalam seluruh aspek eksistensi yang diciptakan Allah, sehingga segala bentuk
ketidakseimbangan dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari sunnatullah.⁵ Dalam
konteks ini, manusia yang bertugas sebagai khalifah di bumi dituntut untuk
menjaga tawazun
dalam segala tindakannya, baik terhadap diri sendiri, masyarakat, maupun alam
semesta.
Konsep keseimbangan
dalam Al-Qur’an juga memiliki dimensi antropologis. QS. Al-Mulk [67] ayat 3–4
menegaskan bahwa tidak ada ketidakseimbangan dalam ciptaan Allah: “(Allah) yang
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak akan melihat sesuatu yang
tidak seimbang dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali
lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?”⁶ Ayat ini menunjukkan bahwa
keseimbangan merupakan tanda kesempurnaan ciptaan dan bukti kebijaksanaan
Tuhan. Dalam kerangka ini, manusia yang berakal dituntut meneladani
keseimbangan kosmis tersebut dalam kehidupan etis dan sosialnya.⁷
Prinsip tawazun
juga dijelaskan melalui konsep wasathiyyah sebagaimana dalam QS.
Al-Baqarah [2] ayat 143: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam) umat yang wasath (pertengahan), agar kamu
menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu.”⁸
Istilah wasath
dalam ayat ini bermakna tidak ekstrem, adil, dan seimbang dalam pandangan dan
tindakan.⁹ Menurut al-Raghib al-Asfahani, wasathiyyah merupakan bentuk etika
keseimbangan yang memadukan kekuatan akal, syahwat, dan emosi dalam proporsi
yang tepat.¹⁰ Dengan demikian, wasathiyyah adalah manifestasi
moral dari tawazun
yang menjadi ciri khas umat Islam.
Lebih jauh,
Al-Qur’an menghubungkan tawazun dengan prinsip ‘adl
(keadilan). Dalam QS. Al-Hadid [57] ayat 25 disebutkan: “Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami
turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keseimbangan), supaya manusia
dapat menegakkan keadilan.”¹¹ Ayat ini menegaskan bahwa mīzān
adalah simbol keadilan normatif dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, tawazun
dalam Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari misi profetik: menegakkan keadilan
sosial, keseimbangan ekologis, dan harmoni spiritual.
Dari keseluruhan
ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa tawazun memiliki tiga landasan
utama dalam Al-Qur’an: pertama, sebagai prinsip kosmologis yang menjelaskan
keteraturan alam; kedua, sebagai prinsip moral yang menuntut keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara akal dan nafsu; dan ketiga, sebagai prinsip
sosial yang menegakkan keadilan dalam struktur masyarakat.¹² Dengan memahami tawazun
secara Qur’ani, umat Islam diarahkan untuk membangun kehidupan yang harmonis,
adil, dan berkelanjutan—selaras dengan tatanan alam dan kehendak Ilahi.
Footnotes
[1]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an
(Montreal: McGill University Press, 1966), 122–124.
[2]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.
[3]
Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib, Jilid 29 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981), 221.
[4]
Ibid., 249.
[5]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 78.
[6]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 562.
[7]
Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Jilid 6 (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1980), 111.
[8]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 34.
[9]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 1 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1998), 198.
[10]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Qalam, 1992), 532.
[11]
Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, Jilid 27
(Kairo: Dar Hijr, 2001), 178.
[12]
Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New Translation and
Commentary (New York: HarperOne, 2015), 1192–1195.
4.
Landasan
Hadits Konsep Tawazun
Konsep tawazun
tidak hanya mendapatkan legitimasi dari Al-Qur’an, tetapi juga memperoleh
penegasan kuat dalam Sunnah Nabi Muhammad Saw. Hadits-hadits Nabi memberikan
elaborasi praktis tentang bagaimana keseimbangan diterapkan dalam dimensi
ibadah, moral, sosial, dan psikologis kehidupan seorang Muslim. Prinsip
keseimbangan dalam hadits ini menegaskan bahwa Islam adalah agama wasathiyyah—pertengahan
dan proporsional—yang menghindari segala bentuk ekstremitas dalam berpikir,
beribadah, dan bertindak.¹
Salah satu hadits
yang paling eksplisit menegaskan prinsip keseimbangan ialah sabda Rasulullah
SAW kepada tiga sahabat yang bertekad untuk beribadah secara ekstrem. Ketika
salah seorang berkata bahwa ia akan berpuasa terus-menerus, yang lain berkata
akan beribadah malam tanpa tidur, dan yang ketiga menyatakan tidak akan
menikah, Nabi menegur mereka dengan berkata: “Demi Allah, aku adalah orang
yang paling takut kepada Allah di antara kamu, tetapi aku berpuasa dan berbuka,
aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita. Barang siapa membenci
sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”² Hadits ini menggambarkan
keseimbangan antara spiritualitas dan kemanusiaan, menolak asketisme berlebihan
maupun hedonisme.³
Dalam hadits lain,
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu, matamu
memiliki hak atasmu, dan isterimu memiliki hak atasmu.”⁴ Hadits ini
menegaskan pentingnya tawazun dalam menjalankan hak dan
kewajiban: keseimbangan antara hak jasmani dan rohani, antara tanggung jawab
individu dan sosial. Prinsip ini sekaligus menunjukkan dimensi etis dari
keseimbangan sebagai bentuk ‘adl (keadilan) dalam diri
manusia.⁵
Selain itu, hadits
yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi menegaskan: “Sebaik-baik urusan adalah
yang pertengahan (khair al-umūr ausathuhā).”⁶ Ungkapan ini menjadi kaidah
umum bagi etika Islam yang moderat—tidak berlebih dan tidak mengabaikan. Dalam
pandangan ulama klasik seperti al-Ghazali, hadits ini menunjukkan bahwa
kebajikan moral terletak pada posisi tengah antara dua ekstrem, sebagaimana
keberanian berada di tengah-tengah antara sifat pengecut dan nekat.⁷ Prinsip
ini menunjukkan korelasi antara tawazun dan i‘tidāl
(kelurusan moral) sebagai dasar pembentukan akhlak mulia.
Rasulullah Saw juga
mencontohkan tawazun dalam kehidupan sosial.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, beliau bersabda: “Tidak
beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”⁸ Hadits ini menegaskan
keseimbangan dalam relasi sosial, yakni menempatkan kepentingan pribadi dan
kepentingan orang lain secara proporsional. Prinsip ini menjadi dasar etika
sosial Islam yang menjunjung empati, keadilan, dan solidaritas.⁹
Dalam konteks
ibadah, Rasulullah Saw menolak bentuk-bentuk pengamalan yang berlebihan hingga
mengabaikan hak-hak lain. Beliau bersabda: “Hendaklah kamu beramal sesuai
kemampuanmu, karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan hingga kamu sendiri
yang bosan.”¹⁰ Hadits ini menekankan prinsip realisme spiritual, yakni
bahwa keseimbangan dalam beribadah harus mempertimbangkan kapasitas manusia.
Sikap ekstrem dalam ibadah justru dapat menimbulkan ketidakseimbangan
psikologis dan sosial.¹¹
Hadits-hadits di
atas memperlihatkan bahwa tawazun merupakan inti ajaran
Rasulullah Saw dalam membangun kehidupan yang harmonis dan berkeadilan. Nabi Saw
menolak setiap bentuk kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan ketimpangan
dalam hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama, maupun dengan dirinya
sendiri.¹² Dalam Sunnah, keseimbangan adalah ekspresi dari rahmat dan hikmah Islam—agama
yang memadukan antara dunia dan akhirat, antara akal dan wahyu, antara hak
individu dan kemaslahatan umum.
Dengan demikian, tawazun
dalam perspektif hadits memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi normatif,
yaitu sebagai panduan moral untuk menghindari ekstremitas. Kedua, fungsi etis,
yakni menyeimbangkan berbagai tuntutan kehidupan secara adil. Ketiga, fungsi praktis,
yaitu menegaskan bahwa Islam adalah agama fitrah yang selaras dengan kodrat
manusia.¹³ Prinsip ini meneguhkan Islam sebagai sistem kehidupan yang seimbang,
moderat, dan humanistik—sebuah harmoni antara spiritualitas, rasionalitas, dan
realitas kemanusiaan.¹⁴
Footnotes
[1]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), 84–86.
[2]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, no. 5063.
[3]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 83.
[4]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm, no. 1968.
[5]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari,
Jilid 4 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1989), 287.
[6]
HR. al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Zuhd, no. 2459.
[7]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 243.
[8]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 13.
[9]
Muhammad Abdullah Draz, La Morale du Coran (Paris: Presses
Universitaires de France, 1951), 97–100.
[10]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 39.
[11]
Sayyid Qutb, Fi Zhilal al-Qur’an, Jilid 4 (Beirut: Dar
al-Shuruq, 1980), 217.
[12]
Abu Bakr al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1994), 33.
[13]
Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Jilid 8 (Beirut: Dar Ihya’
al-Turath al-‘Arabi, 1995), 192.
[14]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 205.
5.
Ontologi
Tawazun
Secara ontologis, tawazun
menempati posisi fundamental dalam pandangan dunia Islam (Islamic
worldview), karena ia merepresentasikan hakikat keteraturan dan
keserasian ciptaan Tuhan. Dalam perspektif metafisika Islam, keseimbangan
bukanlah sekadar kondisi moral atau sosial, melainkan struktur dasar realitas
itu sendiri.¹ Setiap wujud di alam semesta diciptakan Allah dalam ukuran,
proporsi, dan harmoni yang sempurna. Al-Qur’an menegaskan bahwa “Allah
menciptakan segala sesuatu dengan ukuran” (QS. Al-Qamar [54] ayat 49),
yang menunjukkan bahwa keseimbangan adalah hukum ontologis yang menegaskan
keterikatan antara eksistensi dan kehendak Ilahi.²
Hakikat keseimbangan
dalam ontologi Islam berpijak pada dua prinsip metafisis: tawhid
(keesaan Tuhan) dan nizām (tatanan kosmos). Prinsip tawhid
menegaskan bahwa seluruh keberagaman wujud pada dasarnya berasal dari satu
sumber yang sama, yaitu Allah, dan karena itu harus berada dalam harmoni.³
Sementara nizām
menunjukkan bahwa dalam keberagaman ciptaan, terdapat keteraturan yang
menandakan kebijaksanaan Tuhan. Dalam pandangan ini, tawazun
adalah refleksi dari kehendak Ilahi yang mengatur relasi antara yang transenden
dan yang imanen, antara alam gaib dan alam empiris.⁴ Dengan demikian,
keseimbangan bukanlah keadaan statis, melainkan dinamika proporsional antara
aspek-aspek yang berbeda namun saling melengkapi.
Dalam filsafat Islam
klasik, terutama pada pemikiran al-Farabi dan Ibn Sina, keseimbangan dipahami
sebagai kondisi harmoni antara potensi dan aktualitas.⁵ Alam semesta terdiri
dari hierarki wujud yang saling berhubungan, di mana setiap entitas menjalankan
fungsinya sesuai dengan kadar kesempurnaannya. Ketidakseimbangan terjadi ketika
suatu entitas keluar dari peran ontologisnya.⁶ Prinsip ini selaras dengan
gagasan Aristotelian tentang golden mean yang diislamkan oleh
para filsuf Muslim menjadi prinsip etika dan kosmologi sekaligus. Namun dalam
konteks Islam, keseimbangan tidak bersifat otonom, melainkan bersumber dari
kehendak Tuhan yang Hakīm (Maha Bijaksana).⁷
Al-Ghazali
menegaskan bahwa keseimbangan adalah hakikat dari adl (keadilan) pada tingkat
ontologis. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menjelaskan
bahwa seluruh ciptaan tunduk kepada hukum keseimbangan yang merupakan
manifestasi keadilan Tuhan.⁸ Ketika manusia melampaui batas alamiahnya, baik
dalam tindakan maupun keinginan, ia tidak hanya menyalahi etika, tetapi juga
mengganggu tatanan ontologis ciptaan. Dalam kerangka ini, tawazun
adalah harmoni antara potensi ruhani dan jasmani, antara rasionalitas dan
spiritualitas yang membentuk kesatuan eksistensial manusia.⁹
Sementara itu, Ibn
‘Arabi memahami keseimbangan sebagai prinsip kosmoteandrik—yaitu relasi dinamis
antara Tuhan (al-Haqq), alam (al-khalq),
dan manusia (al-insān).¹⁰ Dalam pandangan wahdat
al-wujud, keseimbangan menjadi medan pertemuan antara wujud Ilahi
dan wujud makhluk yang berinteraksi secara harmonis tanpa saling meniadakan. Tawazun
di sini adalah kesadaran ontologis bahwa segala sesuatu memiliki tempat dan
fungsi dalam jaringan eksistensi Ilahi.¹¹ Ketidakseimbangan (ikhtilāl
al-tawazun) berarti keterputusan dari kesadaran akan kesatuan
asal-usul wujud.
Konsep tawazun
juga berkaitan erat dengan fitrah manusia. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa
manusia diciptakan dalam bentuk yang seimbang (fi ahsani taqwīm, QS. Al-Tin [95]
ayat 4).¹² Ayat ini menegaskan bahwa keseimbangan merupakan kodrat dasar
manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual.¹³ Secara ontologis, manusia
berada pada posisi tengah antara malaikat dan hewan, memiliki potensi untuk
naik ke tingkat spiritual tertinggi atau turun ke tingkat kerendahan moral
tergantung sejauh mana ia menjaga keseimbangannya.¹⁴ Dengan demikian, tawazun
adalah prinsip eksistensial yang menjaga manusia agar tetap berada dalam
keselarasan dengan fitrah dan hukum kosmos.
Dalam konteks yang
lebih luas, keseimbangan ontologis juga menegaskan prinsip keberlanjutan
kosmos. Seyyed Hossein Nasr menyebutnya sebagai sacred order, yaitu tatanan sakral
yang menopang harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.¹⁵ Ketika keseimbangan
ini terganggu—melalui eksploitasi alam, ketimpangan sosial, atau penyimpangan
moral—maka seluruh sistem kosmos mengalami disintegrasi. Ontologi tawazun
dengan demikian mengandung dimensi ekologis yang sangat relevan bagi peradaban
modern yang sedang menghadapi krisis spiritual dan lingkungan.¹⁶
Secara keseluruhan, tawazun
dalam perspektif ontologis bukan hanya prinsip teoretis, tetapi juga hukum
eksistensial yang menjamin keteraturan dan kesempurnaan wujud. Ia menegaskan
bahwa keindahan ciptaan terletak pada keseimbangan antara unsur-unsur yang
berbeda namun saling melengkapi, sebagaimana alam semesta adalah refleksi dari
kebijaksanaan Tuhan.¹⁷ Maka, menjaga tawazun berarti menjaga
keberlanjutan wujud—baik dalam diri manusia, masyarakat, maupun seluruh tatanan
kosmos.
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 43–44.
[2]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 537.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 62–64.
[4]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an (Tokyo: Keio
University Press, 2002), 211–214.
[5]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1993), 56–59.
[6]
M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 71–72.
[7]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 98.
[8]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 255.
[9]
Ibid., 260.
[10]
Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Sadir, 1999), 212–216.
[11]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 125–128.
[12]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 599.
[13]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 12.
[14]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 196–198.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 15–18.
[16]
Ibid., 29–31.
[17]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of
New York Press, 1989), 121–124.
6.
Epistemologi
Tawazun
Epistemologi tawazun
membahas bagaimana manusia memperoleh, memahami, dan menafsirkan pengetahuan
tentang keseimbangan secara proporsional antara wahyu, akal, dan pengalaman.
Dalam pandangan Islam, keseimbangan bukan hanya norma etis, tetapi juga prinsip
epistemologis yang menentukan cara berpikir dan membangun ilmu pengetahuan
secara harmonis.¹ Prinsip ini menolak dikotomi antara rasionalisme dan
spiritualisme, antara empirisme dan transendensi, serta antara teks dan
konteks. Dengan demikian, tawazun epistemologis menjadi dasar
bagi paradigma ilmu yang integratif dan komplementer.
6.1. Sumber Pengetahuan yang Seimbang: Wahyu, Akal, dan
Pengalaman
Dalam kerangka
epistemologi Islam, wahyu (al-wahy) adalah sumber utama
kebenaran, sedangkan akal (al-‘aql) dan pengalaman (tajribah)
merupakan instrumen untuk memahami serta mengaplikasikannya dalam kehidupan.²
Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya berpikir dan menggunakan akal,
sebagaimana dalam QS. Al-‘Imran [3] ayat 190–191 yang memuji orang-orang yang
merenungkan ciptaan langit dan bumi.³ Hal ini menunjukkan bahwa akal tidak
bertentangan dengan wahyu, tetapi berfungsi sebagai sarana untuk menyingkap
makna-makna Ilahi yang terkandung di dalamnya.
Epistemologi tawazun
menolak ekstremitas epistemik: rasionalisme absolut yang menafikan wahyu, dan
skripturalisme kaku yang menolak peran akal.⁴ Menurut al-Ghazali, keseimbangan
epistemologis tercapai ketika wahyu menjadi sumber nilai normatif, sementara
akal berfungsi sebagai alat verifikasi dan kontekstualisasi.⁵ Ia menegaskan
bahwa pengetahuan sejati (‘ilm al-haqiqi) adalah yang membawa
manusia kepada kesadaran akan kehadiran Tuhan.⁶ Dengan demikian, keseimbangan
epistemologis berarti menempatkan wahyu sebagai pusat, akal sebagai sarana, dan
pengalaman sebagai penguat empirik dari kebenaran wahyu.
6.2. Metode Rasional-Spiritual: Ijtihad dan Tadabbur
sebagai Instrumen Keseimbangan
Epistemologi tawazun
juga terealisasi melalui metode berpikir yang rasional sekaligus spiritual.
Dalam Islam, ijtihad dan tadabbur
merupakan dua pendekatan utama yang mencerminkan keseimbangan tersebut. Ijtihad
menuntut penggunaan akal dan logika untuk memecahkan masalah-masalah baru
berdasarkan prinsip-prinsip syariat, sedangkan tadabbur menuntut perenungan
mendalam terhadap makna wahyu dengan hati yang jernih.⁷
Kedua metode ini
saling melengkapi: ijtihad memastikan relevansi
rasional, sementara tadabbur menjaga kedalaman
spiritual. Menurut Ibn Rushd, akal adalah karunia Tuhan untuk memahami
sunnatullah di alam semesta, dan karena itu penggunaannya adalah bentuk
ketaatan, bukan penentangan terhadap wahyu.⁸ Sedangkan al-Raghib al-Asfahani
menegaskan bahwa tadabbur adalah jalan untuk menemukan hikmah
(kebijaksanaan) di balik perintah dan larangan Ilahi.⁹ Dengan demikian,
keseimbangan epistemologis terwujud dalam sintesis antara penalaran rasional
dan intuisi spiritual.
6.3. Relasi antara Ilmu, Iman, dan Amal dalam Struktur
Epistemik Islam
Epistemologi tawazun
menempatkan ilmu (‘ilm), iman (īmān),
dan amal (‘amal)
dalam hubungan yang bersifat organik dan saling memperkuat. Pengetahuan tanpa
iman kehilangan arah moral, sedangkan iman tanpa ilmu berisiko menjadi fanatisme
buta.¹⁰ Dalam QS. Al-Mujadilah [58] ayat 11 disebutkan bahwa Allah meninggikan
derajat orang-orang yang beriman dan berilmu, yang menunjukkan bahwa
keseimbangan antara keduanya merupakan prinsip hierarki epistemik Islam.¹¹
Para pemikir Islam
seperti Ibn Khaldun dan Nasr menekankan pentingnya keterpaduan antara dimensi
intelektual dan spiritual dalam membangun peradaban.¹² Dalam kerangka tawazun,
ilmu tidak hanya berorientasi pada efisiensi teknologis, tetapi juga pada nilai
dan tujuan yang selaras dengan kehendak Ilahi. Oleh karena itu, epistemologi
keseimbangan menolak reduksi pengetahuan menjadi sekadar alat produksi, dan
menegaskan kembali peran ilmu sebagai sarana ta‘abbud (penghambaan) dan ta‘mīr
al-ardh (pemakmuran bumi).¹³
6.4. Integrasi Epistemologi Klasik dan Modern dalam
Perspektif Keseimbangan
Dalam konteks
modern, epistemologi tawazun menghadirkan alternatif
terhadap krisis pengetahuan yang ditandai oleh fragmentasi dan sekularisasi.¹⁴
Pandangan Barat modern yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas telah
melahirkan disonansi epistemik antara fakta dan nilai. Dalam pandangan Islam,
keseimbangan epistemologis berarti mengembalikan pusat pengetahuan kepada Tuhan
tanpa menafikan otonomi akal.¹⁵ Seyyed Hossein Nasr menyebut pendekatan ini
sebagai sacred
knowledge—ilmu yang berakar pada kesadaran metafisik dan menjaga
keterhubungan antara ilmu, etika, dan spiritualitas.¹⁶
Dengan demikian,
epistemologi tawazun membangun paradigma ilmu
yang integral dan hierarkis: ilmu empiris, rasional, dan spiritual tidak
dipisahkan, tetapi disusun dalam satu kesatuan sistem pengetahuan yang saling
menguatkan.¹⁷ Dalam struktur ini, keseimbangan menjadi prinsip hermeneutik
untuk memahami kebenaran secara menyeluruh, baik yang tampak (zāhir)
maupun yang batin (bāthin).
Kesimpulan Epistemologis
Epistemologi tawazun
menegaskan bahwa jalan menuju kebenaran harus menempuh keseimbangan antara
dimensi rasional, spiritual, dan empiris. Pengetahuan sejati dalam Islam tidak
diukur hanya oleh akurasi logis, tetapi juga oleh kesesuaiannya dengan tatanan
moral dan kosmik.¹⁸ Dengan memadukan wahyu dan akal, ilmu dan iman, ijtihad
dan tadabbur,
maka terbentuklah epistemologi yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga
bermakna—yakni pengetahuan yang menuntun manusia kepada kesadaran akan kesatuan
Ilahi dan tanggung jawab kosmiknya sebagai khalifah di bumi.¹⁹
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1992), 24–26.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 121–123.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 88.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
10–13.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Kairo: Dar
al-Ma‘arif, 1959), 36–38.
[6]
Ibid., 41.
[7]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 75–77.
[8]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl fī mā bayn al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min
al-Ittisāl (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 22.
[9]
Al-Raghib al-Asfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar
al-Qalam, 1992), 612.
[10]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 43.
[11]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 541.
[12]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr, 2000),
341–344.
[13]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperOne, 2002), 76–78.
[14]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 57–60.
[15]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(Chicago: ABC International Group, 1997), 31–33.
[16]
Nasr, Knowledge and the Sacred, 124–126.
[17]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 43–45.
[18]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 201–203.
[19]
Nasr, The Heart of Islam, 81–83.
7.
Aksiologi
Tawazun
Dalam dimensi
aksiologis, tawazun (keseimbangan) tidak hanya
berfungsi sebagai konsep metafisik dan epistemologis, tetapi juga sebagai nilai
etis yang mengarahkan tindakan manusia agar sesuai dengan tatanan moral dan
spiritual Islam. Aksiologi tawazun menegaskan bahwa segala
aktivitas manusia—baik dalam ranah ibadah, sosial, politik, maupun
ekonomi—harus berlandaskan pada prinsip keseimbangan, proporsionalitas, dan
keadilan.¹ Dalam hal ini, tawazun merupakan sumber nilai yang
menjaga keselarasan antara hak dan kewajiban, antara individu dan masyarakat,
serta antara manusia dan alam.²
7.1. Nilai dan Tujuan Etis Prinsip Keseimbangan
Dalam filsafat etika
Islam, nilai tertinggi terletak pada keteraturan moral yang merefleksikan
kehendak Tuhan. Tawazun menempati posisi sentral
karena menjadi asas bagi keadilan (‘adl) dan kebajikan (ihsan).³
Al-Ghazali menjelaskan bahwa kebajikan moral yang sejati adalah hasil dari
keseimbangan antara kekuatan rasional, keinginan, dan amarah.⁴ Bila salah satu
unsur ini mendominasi, maka terjadilah ketimpangan moral yang menjerumuskan
manusia pada kezaliman dan kerusakan batin. Oleh karena itu, tawazun
bukan hanya etika “pertengahan,” tetapi harmoni dinamis antara aspek
spiritual dan biologis manusia.⁵
Dalam konteks
ibadah, tawazun
menuntut keseimbangan antara ritual dan moralitas. Rasulullah SAW menegaskan
bahwa ibadah sejati adalah yang melahirkan akhlak karimah dan tidak
menimbulkan kelelahan tanpa makna.⁶ Ibadah yang berlebihan tanpa orientasi etis
justru menyalahi semangat tawazun. Prinsip ini menunjukkan
bahwa keseimbangan dalam nilai tidak hanya terletak pada kadar, tetapi juga
pada kualitas—yakni keharmonisan antara tujuan spiritual dan manfaat sosial.⁷
7.2. Penerapan Tawazun dalam Kehidupan Sosial dan
Ekonomi
Aksiologi tawazun
berimplikasi langsung pada kehidupan sosial. Islam menolak sikap ekstrem baik
berupa egoisme individualistik maupun totalitarianisme kolektif.⁸ QS. Al-Hadid
[57] ayat 25 menegaskan bahwa Allah menurunkan Kitab dan neraca agar manusia
menegakkan keadilan, yang berarti bahwa keseimbangan sosial adalah manifestasi
dari prinsip moral Ilahi.⁹ Dalam hal ini, keadilan sosial dalam Islam berakar
pada tawazun
antara hak pribadi dan kepentingan umum.
Dalam ekonomi Islam,
prinsip tawazun
menjadi landasan bagi sistem distribusi yang adil dan etis.¹⁰ Islam mengajarkan
keseimbangan antara kepemilikan individu dan solidaritas sosial melalui
mekanisme zakat, infak, dan larangan riba.¹¹ Al-Mawardi menyatakan bahwa
kesejahteraan masyarakat bergantung pada proporsionalitas antara akumulasi
harta dan keadilan sosial, karena ketimpangan ekonomi berarti ketidakseimbangan
moral.¹² Oleh karena itu, tawazun mengandung dimensi
sosial-ekonomi yang memastikan keberlanjutan dan kesetaraan dalam pembangunan.
7.3. Tawazun dan Etika Lingkungan
Dimensi aksiologis tawazun
juga mencakup tanggung jawab ekologis. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai
khalifah di bumi yang bertugas menjaga keseimbangan ekosistem (QS. Al-Rahman
[55] ayat 7–9).¹³ Ketika manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan, ia
merusak mīzān
(keseimbangan) yang telah ditetapkan oleh Allah.¹⁴ Seyyed Hossein Nasr
menegaskan bahwa krisis lingkungan modern berakar pada krisis spiritual:
hilangnya kesadaran akan kesakralan alam.¹⁵ Maka, tawazun secara aksiologis menuntut
orientasi etis terhadap alam sebagai bentuk ketaatan kepada Tuhan, bukan
sekadar tanggung jawab utilitarian.¹⁶
Etika lingkungan
Islam yang berbasis tawazun memadukan dimensi religius,
etis, dan ekologis. Ia menolak pandangan antroposentris yang menempatkan
manusia di atas alam, serta mengusung pandangan teosentris di mana seluruh
ciptaan memiliki nilai intrinsik sebagai tanda kekuasaan Tuhan.¹⁷ Dalam
perspektif ini, menjaga keseimbangan lingkungan merupakan bentuk ibadah, karena
berarti menegakkan keadilan kosmis.
7.4. Keseimbangan antara Spiritualitas dan Rasionalitas
Aksiologi tawazun
juga menjadi landasan bagi sintesis antara spiritualitas dan rasionalitas.
Islam menegaskan pentingnya ilmu dan akal sebagai sarana pengabdian kepada
Tuhan, tetapi menolak rasionalisme yang terlepas dari nilai moral.¹⁸ Dalam
sejarah peradaban Islam, keseimbangan ini tampak pada integrasi antara ilmu
agama dan ilmu dunia—antara ‘ilm al-din dan ‘ilm
al-dunya.¹⁹ Dengan demikian, nilai tawazun menjaga agar kemajuan
ilmiah tidak kehilangan orientasi etik dan spiritual.
Keseimbangan antara
iman dan akal menumbuhkan manusia yang holistik: cerdas intelektual, sensitif
spiritual, dan bertanggung jawab sosial.²⁰ Dalam kerangka aksiologis, manusia
ideal (insān
kāmil) adalah ia yang menyeimbangkan dimensi pengetahuan, ibadah,
dan amal sosialnya.²¹
Etika Keseimbangan sebagai Dasar Karakter Muslim Integral
Prinsip tawazun
dalam aksiologi Islam membentuk fondasi karakter Muslim yang integral. Nabi Saw
mencontohkan kehidupan yang penuh keseimbangan—tidak berlebihan dalam ibadah,
tidak lalai terhadap dunia, dan tidak berpaling dari tanggung jawab sosial.²²
Dengan meneladani sunnah tersebut, tawazun menjadi pedoman moral bagi
pembentukan akhlaq al-karimah yang menyatukan
aspek spiritual, intelektual, dan sosial.
Dengan demikian,
aksiologi tawazun
bukan sekadar teori etika, tetapi sistem nilai yang mengatur seluruh perilaku
manusia.²³ Ia memastikan agar setiap tindakan manusia berorientasi pada
harmoni, keadilan, dan keberlanjutan. Dalam konteks modern, tawazun
menjadi nilai universal yang mampu menuntun umat manusia keluar dari krisis
moral dan ekologis menuju kehidupan yang berkeadilan dan berkeadaban.²⁴
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 88–89.
[2]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 47.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 243–244.
[4]
Ibid., 247.
[5]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 80–81.
[6]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm, no. 1968.
[7]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), 90–92.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 34.
[9]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 540.
[10]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
Islamic Foundation, 1992), 31–32.
[11]
Nejatullah Siddiqi, Banking Without Interest (Leicester:
Islamic Foundation, 1983), 55.
[12]
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al-Fikr,
1986), 87.
[13]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 531.
[14]
Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib, Jilid 29 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981), 225.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 13–17.
[16]
Ibid., 28–30.
[17]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperOne, 2002), 81–83.
[18]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1992), 62.
[19]
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar al-Fikr,
2000), 345–346.
[20]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 210–213.
[21]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 127–128.
[22]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Nikah, no. 5063.
[23]
Nasr, The Heart of Islam, 75–76.
[24]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 72–74.
8.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Ekonomi Konsep Tawazun
Konsep tawazun
(keseimbangan) dalam Islam memiliki implikasi yang luas terhadap struktur
sosial, sistem politik, dan tatanan ekonomi. Prinsip ini berfungsi sebagai
nilai pengatur (regulative principle) yang menuntun
manusia untuk membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan berkeadaban. Dalam
kerangka sosial-politik dan ekonomi Islam, tawazun bukan sekadar gagasan etis,
tetapi juga paradigma normatif yang menuntun pembentukan tatanan sosial yang
berlandaskan keadilan, tanggung jawab, dan keberlanjutan.¹
8.1. Tawazun dalam Tata Sosial Islam: Keseimbangan
antara Hak dan Tanggung Jawab
Dimensi sosial tawazun
menegaskan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang menjunjung
keseimbangan antara kebebasan individu dan keteraturan kolektif.² Al-Qur’an
menegaskan prinsip ini melalui firman-Nya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu kebahagiaan akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di
dunia; dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.”
(QS. Al-Qashash [28] ayat 77).³ Ayat ini menggambarkan keseimbangan sosial yang
menolak dua ekstrem: asketisme yang mengabaikan dunia dan materialisme yang
melupakan akhirat.
Dalam masyarakat
Islam, tawazun
sosial menuntut keterpaduan antara tiga nilai utama: keadilan (‘adl),
kasih sayang (rahmah), dan tanggung jawab sosial
(mas’uliyyah
ijtima‘iyyah).⁴ Keadilan menjamin distribusi hak yang proporsional,
kasih sayang memastikan solidaritas sosial, sedangkan tanggung jawab menegakkan
etika partisipasi dan kepedulian terhadap sesama. Rasulullah Saw bersabda: “Tidak
beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri.”⁵ Hadits ini merupakan fondasi etika sosial
Islam yang berakar pada keseimbangan relasional antara diri dan orang lain.
Konsep ini juga
relevan dalam menghadapi realitas sosial modern yang sering diwarnai
polarisasi, ketimpangan, dan intoleransi. Tawazun mengajarkan bahwa
stabilitas sosial hanya dapat dicapai bila masyarakat menolak sikap ekstrem
baik berupa eksklusivisme keagamaan maupun liberalisme yang meniadakan norma
moral.⁶ Dengan demikian, keseimbangan sosial dalam Islam adalah upaya
terus-menerus menjaga harmoni antara keragaman dan persatuan dalam bingkai
nilai-nilai ilahiah.⁷
8.2. Tawazun dalam Dimensi Politik: Keadilan dan Moderasi
dalam Kekuasaan
Dalam dimensi
politik, tawazun
merupakan prinsip dasar yang menjamin agar kekuasaan dijalankan secara adil,
proporsional, dan bertanggung jawab. Islam memandang politik bukan sebagai
arena dominasi, melainkan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah
‘ammah).⁸ Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di
antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS.
Al-Nisa’ [4] ayat 58).⁹
Keseimbangan politik
dalam Islam tercermin pada hubungan antara penguasa (ulil amr)
dan rakyat. Keduanya saling terikat dalam kontrak moral dan tanggung jawab
etis.¹⁰ Para pemikir seperti al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah menekankan
pentingnya keseimbangan antara otoritas dan partisipasi.¹¹ Penguasa wajib
menegakkan keadilan tanpa tirani, sementara rakyat memiliki kewajiban untuk
menegur dan mengoreksi kekuasaan bila melenceng dari nilai-nilai Islam.¹²
Prinsip tawazun
politik juga berarti menolak ekstremitas ideologis: teokrasi absolut yang
menyingkirkan rasionalitas publik maupun sekularisme yang menyingkirkan nilai
spiritual.¹³ Dalam kerangka ini, Islam menawarkan model politik moderat yang
menyeimbangkan wahyu dan rasio, moralitas dan rasionalitas, serta agama dan
kebijakan publik.¹⁴ Model politik yang berlandaskan tawazun inilah yang dapat
menumbuhkan pemerintahan yang adil, inklusif, dan berorientasi pada
kesejahteraan rakyat.¹⁵
8.3. Tawazun dalam Ekonomi Islam: Keadilan Distribusi
dan Etika Konsumsi
Dalam bidang
ekonomi, tawazun
berfungsi sebagai prinsip moral yang mengatur hubungan antara kepemilikan,
produksi, dan distribusi. Islam mengakui hak milik individu sebagai fitrah,
namun sekaligus menegaskan bahwa harta memiliki fungsi sosial.¹⁶ QS. Al-Hasyr
[59] ayat 7 menegaskan agar harta “tidak hanya beredar di antara orang-orang
kaya saja.”¹⁷ Prinsip ini menuntut keseimbangan antara kepentingan individu
dan keadilan sosial melalui mekanisme zakat, wakaf, dan larangan riba.¹⁸
Prinsip tawazun
ekonomi juga menolak eksploitasi, ketamakan, dan gaya hidup konsumtif.
Rasulullah Saw bersabda: “Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan
bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan tanpa sombong.”¹⁹ Hadits ini
menegaskan etika konsumsi yang moderat, di mana kesejahteraan diukur bukan dari
akumulasi harta, melainkan dari manfaat sosial dan keberkahan.²⁰
Dalam konteks
ekonomi modern, tawazun dapat menjadi paradigma
untuk mengoreksi sistem kapitalistik yang eksploitatif dan sosialistik yang
represif.²¹ Islam menekankan keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan
sosial, antara kebebasan pasar dan tanggung jawab moral.²² M. Umer Chapra
menyebut model ini sebagai “ekonomi moral” (moral economy), yakni sistem yang
berpijak pada nilai spiritual dan tujuan kesejahteraan bersama (falah).²³
Tawazun sebagai Prinsip Integral Pembangunan Peradaban
Secara keseluruhan, tawazun
dalam dimensi sosial, politik, dan ekonomi merupakan kerangka integral yang
menjaga keseimbangan antara individu, masyarakat, dan negara.²⁴ Ia menjadi
dasar bagi konsep ummah wasath (umat pertengahan),
sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 143, yang menegaskan peran
umat Islam sebagai saksi moral bagi kemanusiaan.²⁵ Dengan menjadikan
keseimbangan sebagai asas peradaban, Islam menolak ketimpangan struktural,
kesenjangan ekonomi, serta hegemoni kekuasaan yang menindas.²⁶
Prinsip tawazun
memberikan orientasi etik bagi pembangunan: kemajuan ekonomi tidak boleh
merusak tatanan moral, dan stabilitas politik tidak boleh mengorbankan kebebasan
dan keadilan sosial.²⁷ Dalam perspektif ini, peradaban Islam yang sejati adalah
peradaban yang tumbuh dari keseimbangan antara iman dan ilmu, antara keadilan
dan kebebasan, serta antara kemajuan material dan kesadaran spiritual.²⁸
Footnotes
[1]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 87.
[2]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 48–49.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 395.
[4]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), 93–95.
[5]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, no. 13.
[6]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 201–203.
[7]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 82.
[8]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
42–44.
[9]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 91.
[10]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1989), 13–15.
[11]
Ibid., 25.
[12]
Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Syar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa
al-Ra‘iyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 37–39.
[13]
Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam
(Berkeley: University of California Press, 1961), 49–50.
[14]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1992), 131–133.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 83–85.
[16]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
Islamic Foundation, 1992), 30–31.
[17]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 548.
[18]
Nejatullah Siddiqi, Banking Without Interest (Leicester:
Islamic Foundation, 1983), 55–56.
[19]
HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Libas, no. 5783.
[20]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari,
Jilid 10 (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1989), 331.
[21]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 72.
[22]
M. Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: E.J. Brill,
1991), 118.
[23]
Chapra, Islam and the Economic Challenge, 43.
[24]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 32–35.
[25]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 34.
[26]
Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and
Life (Herndon: IIIT, 1992), 117–118.
[27]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of
New York Press, 1989), 125.
[28]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West, 210–212.
9.
Dimensi
Ekologis dan Kosmologis Konsep Tawazun
Konsep tawazun
(keseimbangan) dalam Islam tidak hanya memiliki implikasi moral dan sosial,
tetapi juga mencakup dimensi ekologis dan kosmologis yang sangat mendalam.
Dalam pandangan Al-Qur’an, keseimbangan adalah hukum dasar alam semesta (sunnatullah)
yang menegakkan keteraturan dan keberlanjutan seluruh ciptaan.¹ Tawazun
di sini dipahami sebagai tatanan universal yang menyatukan hubungan antara
Tuhan (al-Khaliq),
manusia (al-insān),
dan alam (al-‘ālam).
Keseimbangan ekologis dan kosmologis merupakan perwujudan langsung dari prinsip
tauhid: bahwa seluruh wujud berakar pada satu sumber Ilahi dan harus berada
dalam harmoni dengan-Nya.²
9.1. Keseimbangan Kosmis dalam Ciptaan
Al-Qur’an berulang
kali menegaskan bahwa alam semesta diciptakan dengan keseimbangan dan ukuran
yang pasti. Firman Allah dalam QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9 menegaskan: “Dan
langit telah ditinggikan-Nya dan Dia letakkan neraca (keseimbangan), supaya
kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan
adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”³ Ayat ini menegaskan dua
hal penting: pertama, bahwa keseimbangan adalah prinsip kosmologis; kedua,
bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memeliharanya. Dalam konteks
ini, mīzān
bukan sekadar simbol hukum fisik, melainkan representasi dari keadilan
metafisis yang menata seluruh sistem wujud.⁴
Prinsip tawazun
kosmis juga tampak dalam QS. Al-Mulk [67] ayat 3–4, di mana Allah berfirman
bahwa tidak ada ketidakseimbangan dalam ciptaan-Nya.⁵ Keteraturan planet,
rotasi bumi, siklus air, dan keterpaduan ekosistem semuanya menunjukkan bahwa
alam semesta adalah manifestasi dari harmoni Ilahi.⁶ Dalam tafsirnya, al-Razi
menyebut keseimbangan ini sebagai tadbir ilahi—pengaturan Tuhan yang
sempurna—yang menjamin kesinambungan eksistensi.⁷ Dengan demikian, tawazun
dalam konteks kosmologis adalah prinsip yang memastikan keteraturan dan
kesempurnaan ciptaan di bawah kebijaksanaan Ilahi.
9.2. Manusia sebagai Khalifah dan Penjaga Keseimbangan
Alam
Dalam kerangka
ekoteologi Islam, manusia diciptakan sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30),
yang berarti wakil Tuhan di bumi dengan tugas utama menjaga dan memelihara
keseimbangan ekosistem.⁸ Namun, tanggung jawab ini tidak bersifat eksploitatif,
melainkan amanah yang menuntut sikap adil, bijak, dan penuh kasih terhadap
alam. Ibn Kathir menafsirkan peran khalifah sebagai pengelola bumi yang wajib
menegakkan keadilan dan tidak membuat kerusakan (fasād).⁹
Sayangnya, peradaban
modern justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya: industrialisasi,
urbanisasi, dan konsumerisme menyebabkan eksploitasi alam besar-besaran yang
mengganggu mīzān
Ilahi.ⁱ⁰ Dalam perspektif Islam, kerusakan ekologis bukan hanya masalah
lingkungan, tetapi juga krisis moral dan spiritual.ⁱ¹ QS. Ar-Rum [30] ayat 41
menegaskan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”ⁱ² Ayat
ini menunjukkan hubungan kausal antara perilaku manusia dan ketidakseimbangan
kosmos.
Dengan demikian, tawazun
ekologis mengandung etika tanggung jawab (ethic of stewardship)—bahwa manusia
harus memperlakukan alam bukan sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai
amanah Ilahi yang memiliki nilai intrinsik.ⁱ³ Kesadaran ekologis yang seimbang
berarti mengakui hak-hak makhluk lain, menjaga keberlanjutan sumber daya, dan
hidup selaras dengan prinsip moderasi (i‘tidāl).ⁱ⁴
9.3. Prinsip Keseimbangan dalam Ekosistem dan Etika
Lingkungan Islam
Alam dalam pandangan
Islam bukan sekadar latar kehidupan manusia, melainkan sistem hidup yang
memiliki kesadaran dan ketaatan tersendiri kepada Tuhan. QS. Al-Isra’ [17] ayat
44 menegaskan: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada Allah.”ⁱ⁵ Pernyataan ini menunjukkan dimensi spiritual
dari alam—bahwa setiap unsur ciptaan memiliki nilai ibadah dalam tatanan Ilahi.
Oleh karena itu, tindakan manusia yang merusak alam bukan hanya pelanggaran
ekologis, tetapi juga penodaan spiritual terhadap harmoni kosmos.ⁱ⁶
Dalam tradisi
keilmuan Islam klasik, para ilmuwan seperti Ibn Sina dan al-Biruni memahami
ekosistem sebagai jaringan keteraturan yang saling terkait dan saling
menopang.ⁱ⁷ Ibn Sina menegaskan bahwa “setiap spesies memiliki fungsi dalam
menjaga keseimbangan sistem kehidupan.”ⁱ⁸ Pemikiran ini menunjukkan bahwa
Islam telah memiliki kesadaran ekologis jauh sebelum munculnya ekologi modern.
Prinsip tawazun
di sini mengandung nilai holistik—bahwa manusia, hewan, tumbuhan, dan unsur
alam lainnya berada dalam satu kesatuan kehidupan yang sakral.ⁱ⁹
9.4. Kosmologi Keseimbangan: Alam sebagai Cermin
Keagungan Ilahi
Dari sisi kosmologi,
tawazun
juga mengandung makna teologis yang dalam. Alam semesta adalah cerminan (tajalli)
dari kesempurnaan Ilahi, tempat manusia dapat mengenal Tuhan melalui
keteraturan ciptaan-Nya.2⁰
Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, keseimbangan kosmos adalah refleksi dari nama-nama
Allah yang saling melengkapi: al-Rahman (Yang Maha Pengasih) dan al-Qahhar
(Yang Maha Perkasa), al-Jalal (Keagungan) dan al-Jamal
(Keindahan).2¹ Dengan demikian, keseimbangan kosmik merupakan
manifestasi dari kesatuan dualitas Ilahi.
Seyyed Hossein Nasr
menyebut pandangan ini sebagai sacred cosmology, yaitu pandangan
alam sebagai realitas suci yang merefleksikan kehendak Tuhan.2² Ia
menegaskan bahwa krisis ekologi modern berakar pada “desakralisasi kosmos,”
yakni pandangan dunia materialistik yang memisahkan manusia dari makna
spiritual alam.2³ Maka, mengembalikan tawazun kosmologis berarti
mengembalikan kesadaran spiritual terhadap kesatuan makrokosmos dan
mikrokosmos—antara alam semesta dan diri manusia.2⁴
Implikasi Kontemporer: Menuju Ekoteologi Islam yang Integral
Dalam konteks krisis
global seperti perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, konsep tawazun
menawarkan paradigma etika ekologis yang integral. Ia menolak eksploitasi tanpa
batas dan menyerukan pembangunan berkelanjutan yang berlandaskan nilai
spiritual.2⁵ Prinsip ini sejalan dengan maqashid al-syari‘ah,
khususnya hifz
al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan), yang kini mulai diakui sebagai
bagian dari tanggung jawab moral Islam.2⁶
Oleh karena itu, tawazun
ekologis dan kosmologis bukan hanya ideal normatif, tetapi juga kerangka aksi
yang menuntun manusia untuk hidup dalam harmoni dengan tatanan Ilahi.2⁷
Menjaga keseimbangan alam berarti menjaga keseimbangan jiwa; merusaknya berarti
menentang sunnatullah yang menjadi dasar keberlangsungan kehidupan.2⁸
Dengan demikian, Islam melalui prinsip tawazun menawarkan solusi teologis
dan filosofis terhadap krisis ekologis modern—yakni kembali kepada kesadaran
tauhidik yang memandang seluruh alam sebagai amanah Tuhan dan bagian dari diri
manusia sendiri.2⁹
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 52.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 91.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.
[4]
Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib, Jilid 29 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981), 224.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 562.
[6]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 123.
[7]
Ibid., 125.
[8]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 34.
[9]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 1 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1998), 204.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 15.
[11]
Ibid., 28.
[12]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 408.
[13]
Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha
Publishers, 2002), 18–19.
[14]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 64.
[15]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 287.
[16]
Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of
New York Press, 1989), 120–121.
[17]
A. I. Sabra, Science and Philosophy in Medieval Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1987), 95.
[18]
Ibn Sina, Kitab al-Syifa’, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr,
1952), 78.
[19]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1992), 45.
[20]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an (Tokyo: Keio
University Press, 2002), 214.
[21]
Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Sadir, 1999), 220–223.
[22]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 89–92.
[23]
Ibid., 93–95.
[24]
Nasr, Knowledge and the Sacred, 128–130.
[25]
Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien, Islam and Ecology (London:
Cassell, 1992), 11–12.
[26]
Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 176.
[27]
Nasr, Man and Nature, 31–33.
[28]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 209–211.
[29]
Nasr, The Heart of Islam, 97–99.
10. Kritik dan Tantangan Konseptual
Konsep tawazun
(keseimbangan) dalam Islam, meskipun memiliki kedalaman teologis dan keindahan
filosofis yang tinggi, tetap menghadapi sejumlah kritik dan tantangan
konseptual, baik dari dalam tradisi Islam sendiri maupun dari wacana pemikiran
modern. Kritik-kritik tersebut berpusat pada pertanyaan tentang bagaimana tawazun
dapat diterjemahkan secara praktis dalam konteks dunia yang kompleks, plural,
dan sering kali kontradiktif antara nilai-nilai spiritual dan realitas
material.¹ Oleh karena itu, pembahasan bagian ini berfokus pada tiga ranah
utama: kritik internal terhadap reduksi konseptual, kritik eksternal terhadap
tantangan modernitas dan sekularisme, serta problem epistemik dan metodologis
dalam aktualisasi tawazun.
10.1. Kritik Internal: Reduksi dan Penyempitan Makna
Tawazun
Salah satu kritik
utama yang muncul dari dalam tradisi keilmuan Islam sendiri ialah kecenderungan
untuk mereduksi makna tawazun hanya pada tataran moral
atau ibadah individual, sementara dimensi epistemologis, sosial, dan
ekologisnya diabaikan.² Dalam banyak literatur klasik, keseimbangan sering
dipahami sebatas pada sikap moderat dalam ibadah, padahal Al-Qur’an menggunakan
istilah mīzān
dan wasathiyyah
dalam konteks kosmologis dan keadilan sosial.³
Selain itu, ada pula
kesalahpahaman yang menganggap tawazun identik dengan kompromi
atau sikap netral tanpa pendirian moral yang tegas.⁴ Pemahaman semacam ini
bertentangan dengan semangat Al-Qur’an yang memerintahkan keseimbangan yang
aktif dan berkeadilan, bukan pasif dan permisif. Al-Ghazali sendiri menegaskan
bahwa “keseimbangan yang hakiki tidak berarti diam di tengah, tetapi
menempatkan sesuatu pada tempat yang tepat.”⁵ Kritik ini mengingatkan bahwa
keseimbangan bukanlah ketidaktegasan, melainkan keadilan proporsional yang
dinamis.
Kritik internal
lainnya muncul dari kalangan teolog dan sufi yang menilai bahwa tawazun
terkadang dijelaskan secara terlalu rasionalistik, sehingga kehilangan
kedalaman spiritualnya.⁶ Dalam kerangka tasawuf, keseimbangan tidak hanya
berarti harmoni moral, tetapi juga penjernihan batin agar mampu mencerminkan
harmoni Ilahi.⁷ Karena itu, pemahaman tawazun yang terlalu etis atau
legalistik berisiko menutup makna mistis dan kosmiknya yang justru menjadi
esensi spiritual Islam.
10.2. Kritik Eksternal: Tantangan Modernitas,
Sekularisme, dan Globalisasi
Dalam konteks
modern, tawazun
menghadapi tantangan epistemologis dari paradigma modernitas dan sekularisme
yang menolak keterkaitan antara pengetahuan, nilai, dan spiritualitas.⁸ Dunia
modern mengedepankan dualisme tajam antara fakta dan nilai, antara sains dan
etika, yang mengikis prinsip kesatuan dan keseimbangan dalam pandangan Islam.
Seyyed Hossein Nasr menyebut fenomena ini sebagai “krisis pengetahuan
sekuler” yang telah menyebabkan desakralisasi kosmos dan disintegrasi
moral manusia.⁹
Globalisasi juga
membawa tantangan baru terhadap penerapan tawazun, terutama dalam bentuk
ketimpangan sosial-ekonomi dan hegemoni budaya.¹⁰ Sistem kapitalisme global,
misalnya, menumbuhkan pola hidup konsumtif dan individualistik yang
bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi
kekayaan.¹¹ Dalam ranah politik, ideologi ekstrem—baik fundamentalisme agama
maupun liberalisme radikal—mengikis ruang bagi moderasi dan dialog, dua aspek
utama dari etika tawazun.¹²
Kritik lain datang
dari filsafat Barat modern yang menilai konsep keseimbangan dalam Islam
bersifat normatif dan kurang operasional.¹³ Para filsuf seperti Jürgen Habermas
menekankan pentingnya rasionalitas komunikatif dalam membangun keseimbangan
sosial, bukan sekadar doktrin moral.¹⁴ Tantangan ini menuntut pengembangan tawazun
menjadi teori praksis sosial yang dapat diterapkan dalam kebijakan publik,
pendidikan, dan lingkungan, bukan hanya dalam retorika etika keagamaan.¹⁵
10.3. Problematika Metodologis: Ambiguitas dan Tantangan
Hermeneutik
Tantangan konseptual
lain dari tawazun
terletak pada aspek metodologis, terutama dalam menafsirkan dan
mengoperasionalkan konsep ini di berbagai bidang kehidupan. Secara hermeneutik,
terdapat kesulitan dalam menyeimbangkan antara makna tekstual (nash) dan
kontekstual (waqi‘) dari prinsip keseimbangan.¹⁶ Dalam praktiknya, umat Islam
sering kali terjebak antara pendekatan literal yang kaku dan pendekatan liberal
yang terlampau fleksibel.¹⁷
Pendekatan tafsir
tematik (tafsīr
mawdhū‘ī) yang digagas oleh para mufasir modern seperti M. Quraish
Shihab dapat menjadi solusi metodologis, karena menekankan keseimbangan antara
teks dan konteks.¹⁸ Namun, pendekatan ini memerlukan epistemologi integratif
yang menggabungkan ilmu tafsir, filsafat, dan ilmu sosial agar konsep tawazun
tidak berhenti pada level normatif.¹⁹
Selain itu, terdapat
tantangan konseptual dalam mengadaptasi tawazun ke dalam sistem pendidikan
dan ilmu pengetahuan modern. Banyak institusi pendidikan Islam masih memisahkan
ilmu agama dan ilmu umum, padahal prinsip tawazun justru menuntut integrasi
keduanya dalam kerangka tauhidik.²⁰ Jika dualisme epistemologis ini tidak
diatasi, maka keseimbangan akan tetap menjadi ideal teoretis yang sulit
diwujudkan secara praksis.²¹
10.4. Tantangan Kontemporer: Krisis Ekologis dan Krisis
Nilai Global
Krisis lingkungan
global merupakan ujian nyata bagi aktualisasi tawazun. Ketidakseimbangan ekologis
yang disebabkan oleh eksploitasi alam, perubahan iklim, dan polusi adalah
cerminan dari kegagalan manusia dalam menegakkan prinsip keseimbangan kosmik
sebagaimana diperintahkan oleh Al-Qur’an (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9).²² Dalam
konteks ini, tawazun tidak cukup dipahami
sebagai norma moral, tetapi harus diterjemahkan menjadi etika ekologis Islam
yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan antargenerasi.²³
Lebih jauh lagi,
krisis nilai global—seperti relativisme moral, hedonisme, dan nihilisme—menjadi
ancaman terhadap tatanan spiritual umat manusia.²⁴ Dunia modern yang
terfragmentasi oleh teknologi dan kepentingan ekonomi memerlukan paradigma
keseimbangan baru yang dapat memulihkan relasi harmonis antara manusia, alam,
dan Tuhan.²⁵ Tantangan ini menuntut reaktualisasi tawazun sebagai fondasi peradaban
humanistik yang berpijak pada tauhid, etika, dan kesadaran ekologis.²⁶
Refleksi Kritis dan Arah Pengembangan Konsep
Kritik-kritik
terhadap tawazun
tidak harus dipandang sebagai penolakan, melainkan sebagai peluang untuk
memperluas cakrawala pemaknaannya.²⁷ Diperlukan pendekatan multidisipliner yang
menggabungkan teologi, filsafat, sosiologi, dan ekologi agar konsep ini tetap
relevan. Dalam kerangka ini, tawazun dapat direformulasikan
sebagai paradigma integral: ontologis dalam struktur ciptaan, epistemologis
dalam cara berpikir, dan aksiologis dalam tatanan nilai dan
tindakan manusia.²⁸
Dengan demikian,
tantangan utama tawazun di era kontemporer bukanlah
mempertahankan maknanya secara tekstual, tetapi menafsirkan dan menerapkannya
dalam konteks realitas yang berubah.²⁹ Keseimbangan sejati bukanlah titik
tengah yang statis, melainkan proses dinamis menuju keadilan, harmoni, dan
keberlanjutan dalam seluruh aspek kehidupan manusia dan kosmos.³⁰
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 124.
[2]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), 87–88.
[3]
Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib, Jilid 29 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981), 223–225.
[4]
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar
al-Andalus, 1980), 41.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 250.
[6]
Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Jilid 2 (Beirut: Dar
al-Sadir, 1999), 214.
[7]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge (Albany: State
University of New York Press, 1989), 121.
[8]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 65–67.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 14–17.
[10]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
58–60.
[11]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
Islamic Foundation, 1992), 47.
[12]
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 2000), 127–130.
[13]
John L. Esposito, Islam and the West: The Making of an Image
(New York: Oxford University Press, 1992), 143–144.
[14]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1
(Boston: Beacon Press, 1984), 118–121.
[15]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 211.
[16]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an
(Montreal: McGill University Press, 1966), 132–135.
[17]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Jilid 10 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 95–96.
[18]
Ibid., 98.
[19]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1992), 37.
[20]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 42–45.
[21]
Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and
Society (London: Grey Seal, 1987), 54.
[22]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.
[23]
Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha
Publishers, 2002), 22.
[24]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University
Press, 2007), 502–504.
[25]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperOne, 2002), 93–95.
[26]
Ibid., 97–100.
[27]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 51–52.
[28]
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 92–93.
[29]
Nasr, Knowledge and the Sacred, 129.
[30]
Izetbegovic, Islam Between East and West, 213–215.
11. Relevansi Kontemporer Konsep Tawazun
Dalam konteks dunia
modern yang sarat ketimpangan, krisis spiritual, dan degradasi ekologis, konsep
tawazun
(keseimbangan) menghadirkan paradigma etis dan filosofis yang sangat relevan.
Islam melalui prinsip tawazun menawarkan visi hidup yang
harmonis antara dimensi spiritual dan material, antara individu dan masyarakat,
serta antara manusia dan alam.¹ Nilai keseimbangan ini bukan semata-mata ideal
normatif, tetapi prinsip operasional yang dapat diterapkan untuk menjawab
problem-problem peradaban kontemporer seperti ekstremisme ideologis,
ketidakadilan sosial, krisis ekologi, dan disorientasi nilai.²
11.1. Tawazun sebagai Paradigma Etika Global dan Dialog
Peradaban
Dunia modern
ditandai oleh polarisasi ekstrem: antara sekularisme dan fundamentalisme,
antara materialisme dan spiritualisme, antara kekuasaan politik dan kehilangan
makna moral.³ Dalam kondisi demikian, tawazun menawarkan paradigma etika
global yang mengedepankan moderasi, dialog, dan keadilan. Prinsip wasathiyyah—yang
merupakan manifestasi praktis dari tawazun—dapat menjadi landasan bagi
etika kemanusiaan universal.⁴
Sebagaimana
ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 143, umat Islam ditetapkan sebagai ummatan
wasatan (umat pertengahan) agar menjadi saksi moral bagi manusia.⁵
Ayat ini mengandung pesan profetik bahwa keseimbangan bukan hanya etika
personal, tetapi juga mandat peradaban: Islam harus menjadi teladan dalam
mengelola perbedaan dan menegakkan keadilan. Dalam konteks global, semangat tawazun
dapat mendorong terwujudnya dialog antarperadaban yang
berlandaskan saling pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan universal.⁶
Tokoh seperti Seyyed
Hossein Nasr dan Alija Izetbegovic menegaskan bahwa dunia modern memerlukan
paradigma spiritual baru yang menolak dikotomi antara iman dan akal, antara
agama dan kebudayaan.⁷ Tawazun menjadi jembatan
epistemologis dan moral antara Barat yang rasional-materialistik dan Timur yang
spiritual-intuitif.⁸ Dengan demikian, tawazun berfungsi sebagai prinsip
rekonsiliatif yang memungkinkan peradaban global menemukan keseimbangan baru
yang berbasis pada nilai-nilai transendental dan humanistik.
11.2. Relevansi dalam Bidang Pendidikan dan Ilmu
Pengetahuan
Salah satu krisis
utama dunia modern adalah terpisahnya ilmu dari nilai moral dan spiritual.
Pendidikan modern cenderung menekankan kemampuan teknis dan rasionalitas
instrumental, sementara aspek etika, estetika, dan transendensi diabaikan.⁹
Konsep tawazun
menawarkan paradigma pendidikan yang integral, yakni memadukan ilmu
pengetahuan, moralitas, dan spiritualitas dalam satu sistem yang saling
melengkapi.¹⁰
Dalam perspektif
Islam, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga
membentuk manusia kamil—yaitu individu yang seimbang
antara akal, hati, dan amal.¹¹ Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut model ini
sebagai ta’dīb,
yakni pendidikan yang menanamkan adab dan kesadaran kosmik.¹² Pendidikan
berbasis tawazun
berorientasi pada pembentukan manusia yang berpikir kritis sekaligus berjiwa
etik, menguasai teknologi tanpa kehilangan kesadaran spiritualnya.¹³
Di era revolusi
digital dan kecerdasan buatan, pendekatan ini semakin penting. Tawazun
epistemologis menuntun manusia untuk menggunakan ilmu secara
proporsional—mendorong inovasi tanpa menafikan tanggung jawab moral dan
sosial.¹⁴ Dengan demikian, pendidikan Islam yang berlandaskan tawazun
dapat menjadi model pendidikan berkelanjutan dan berkarakter spiritual bagi
dunia global.
11.3. Relevansi Sosial dan Politik: Moderasi dan Keadilan
Global
Krisis politik
global sering kali berakar pada ketidakseimbangan antara kekuasaan dan
moralitas. Dalam konteks ini, tawazun menghadirkan prinsip
politik yang menjunjung keadilan, partisipasi, dan tanggung jawab.¹⁵ Dalam
Islam, kekuasaan bukan tujuan, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan adil
dan proporsional (QS. Al-Nisa’ [4] ayat 58).¹⁶
Relevansi tawazun
politik dapat dilihat dalam gagasan good governance Islami, yang
menyeimbangkan antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif, antara
otoritas negara dan partisipasi rakyat.¹⁷ Model pemerintahan yang berlandaskan
keseimbangan semacam ini menolak dua ekstrem: absolutisme teokratik dan
liberalisme sekular yang nihil nilai spiritual.¹⁸
Pada tataran global,
tawazun
dapat menjadi dasar etika perdamaian dan hubungan internasional yang
berkeadilan. Dunia Islam—yang sering dihadapkan pada konflik ideologis dan
sektarian—dapat menampilkan dirinya sebagai pelopor peradaban dialogis yang
moderat, adil, dan toleran.¹⁹
11.4. Relevansi Ekologis: Etika Lingkungan dan
Keberlanjutan Hidup
Salah satu tantangan
terbesar abad ke-21 adalah krisis ekologi global. Eksploitasi alam yang
berlebihan, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan mencerminkan hilangnya tawazun
dalam relasi manusia dengan alam.²⁰ Dalam kerangka teologi Islam, krisis
ekologis merupakan akibat dari pelanggaran terhadap hukum keseimbangan (mīzān)
yang telah ditetapkan oleh Allah (QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9).²¹
Konsep tawazun
menyediakan dasar etika ekologis yang menegaskan bahwa menjaga keseimbangan
alam adalah bagian dari tanggung jawab spiritual manusia sebagai khalifah di
bumi.²² Prinsip ini sejalan dengan konsep maqāṣid al-syarī‘ah modern yang
memasukkan hifz
al-bi’ah (pemeliharaan lingkungan) sebagai tujuan hukum Islam.²³
Dengan mengintegrasikan spiritualitas dan ekologi, tawazun menuntun umat manusia
menuju paradigma eco-Islamic civilization—peradaban
ekologis berbasis nilai tauhidik dan keseimbangan.²⁴
11.5. Relevansi terhadap Krisis Nilai dan Disorientasi
Manusia Modern
Manusia modern hidup
dalam paradoks: kemajuan teknologi dan ekonomi tidak sejalan dengan kebahagiaan
dan ketenteraman batin.²⁵ Individualisme, relativisme moral, dan nihilisme
menjadi penyakit eksistensial masyarakat global. Dalam situasi ini, tawazun
dapat menjadi prinsip spiritual yang memulihkan orientasi manusia terhadap
makna hidup.²⁶
Keseimbangan antara
rasionalitas dan spiritualitas, antara kebebasan dan tanggung jawab, menjadi
kunci pembentukan etika humanistik yang berakar pada kesadaran Ilahi.²⁷
Sebagaimana ditegaskan oleh Alija Izetbegovic, peradaban sejati hanya dapat
berdiri di atas keseimbangan antara “agama dan ilmu, iman dan akal, langit
dan bumi.”²⁸ Maka, tawazun menjadi jalan tengah yang
memulihkan integritas manusia sebagai makhluk yang berpikir dan beribadah
sekaligus.
Sintesis Relevansi: Tawazun sebagai Paradigma Integral Peradaban Modern
Dalam era
globalisasi dan digitalisasi, tawazun tidak boleh hanya dipahami
sebagai nilai normatif, tetapi sebagai paradigma integral yang melandasi
struktur peradaban.²⁹ Keseimbangan harus diterapkan secara
multidimensi—ontologis, epistemologis, aksiologis, sosial, dan ekologis—agar
menjadi fondasi keberlanjutan hidup umat manusia.³⁰
Melalui tawazun,
Islam dapat menawarkan kontribusi nyata bagi kemanusiaan global: menyeimbangkan
sains dan spiritualitas, pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial, serta
teknologi dan kebijaksanaan moral.³¹ Dalam konteks ini, tawazun
tidak hanya menjadi etika Islam, tetapi juga paradigma universal bagi masa
depan peradaban yang damai, adil, dan manusiawi.³²
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperOne, 2002), 77–79.
[2]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 51–52.
[3]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University
Press, 2007), 491–493.
[4]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), 95–96.
[5]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 34.
[6]
John L. Esposito, The Future of Islam (Oxford: Oxford
University Press, 2010), 152–154.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 127–129.
[8]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 203–204.
[9]
Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come
(London: Mansell, 1985), 58–60.
[10]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 87–89.
[11]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 249.
[12]
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 92.
[13]
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), 78–79.
[14]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1992), 61.
[15]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
45–47.
[16]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 91.
[17]
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1989), 18–20.
[18]
Muhammad Asad, The Principles of State and Government in Islam
(Berkeley: University of California Press, 1961), 52.
[19]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1992), 136–138.
[20]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(Chicago: ABC International Group, 1997), 16–19.
[21]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 531.
[22]
Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha
Publishers, 2002), 22–23.
[23]
Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000),
174–176.
[24]
Osman Bakar, Environmental Wisdom in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1999), 34–36.
[25]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 104–107.
[26]
Nasr, Knowledge and the Sacred, 131–132.
[27]
Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),
44–45.
[28]
Izetbegovic, Islam Between East and West, 211–213.
[29]
Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and
Society (London: Grey Seal, 1987), 70–71.
[30]
Nasr, The Heart of Islam, 98–99.
[31]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 55–56.
[32]
Nasr, Man and Nature, 31–33.
12. Sintesis Filosofis: Menuju Etika Keseimbangan yang
Integral dan Humanistik
Prinsip tawazun
(keseimbangan) merupakan inti dari etika Islam yang menghubungkan antara
dimensi ketuhanan, kemanusiaan, dan kosmos secara integral. Dalam kerangka
filosofis, tawazun
tidak hanya dipahami sebagai norma moral, tetapi sebagai struktur eksistensial
yang meneguhkan kesatuan antara wujud, pengetahuan, dan nilai.¹ Melalui
pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang saling berkelindan,
Islam menampilkan sebuah etika keseimbangan yang menyatukan spiritualitas dan
rasionalitas, iman dan akal, keadilan dan kasih sayang—menjadikannya fondasi
bagi peradaban humanistik yang berakar pada nilai-nilai Ilahi.²
12.1. Integrasi Ontologis: Kesatuan Realitas dan
Keteraturan Wujud
Ontologi tawazun
berangkat dari prinsip tawhid yang menegaskan bahwa segala
realitas bersumber dari satu wujud absolut, yaitu Allah SWT.³ Kesatuan ini
melahirkan tatanan hierarkis namun harmonis, di mana setiap makhluk memiliki
fungsi dan kedudukannya masing-masing dalam keseluruhan struktur eksistensi.
Dalam pandangan ini, keseimbangan bukan hasil kompromi, tetapi ekspresi dari
kehendak Ilahi yang menata segala sesuatu “menurut ukuran” (bi qadar)
sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Qamar [54] ayat 49.⁴
Ibn Sina dan
al-Farabi menjelaskan bahwa kesempurnaan alam terletak pada keteraturan
hierarkis antara potensi dan aktualitas.⁵ Prinsip ini menegaskan bahwa
keberadaan manusia—sebagai mikrokosmos (al-‘alam al-saghir)—adalah cermin
dari keteraturan makrokosmos (al-‘alam al-kabir).⁶ Dengan
demikian, manusia dipanggil untuk menjaga keselarasan dirinya agar tetap
selaras dengan hukum Ilahi yang mengatur alam semesta. Keseimbangan ontologis
inilah yang menjadi dasar bagi kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral
manusia sebagai khalifah di bumi.⁷
12.2. Integrasi Epistemologis: Keseimbangan Wahyu, Akal,
dan Pengalaman
Etika tawazun
hanya dapat dibangun di atas epistemologi yang harmonis antara wahyu (al-wahy),
akal (al-‘aql),
dan pengalaman (tajribah).⁸ Islam menolak
ekstremitas epistemologis: rasionalisme yang meniadakan Tuhan, maupun fideisme
yang menafikan akal. Al-Ghazali menggambarkan keseimbangan ini melalui konsep ‘ilm
al-mukāsyafah (pengetahuan intuitif-spiritual) dan ‘ilm
al-mu‘āmalah (pengetahuan rasional-praktis) yang saling
melengkapi.⁹
Dalam sintesis ini,
wahyu berfungsi sebagai sumber nilai mutlak, akal sebagai alat analisis dan
penalaran, sedangkan pengalaman menjadi medium empiris bagi pembuktian
kebenaran.¹⁰ Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa epistemologi Islam sejati
bersifat sacred—yakni
pengetahuan yang berakar pada kesadaran Ilahi dan memelihara hubungan antara
kebenaran, keindahan, dan kebaikan.¹¹ Maka, keseimbangan epistemologis bukan
sekadar metodologis, tetapi juga spiritual: cara mengetahui yang menyatukan
logika dan makna, rasionalitas dan transendensi.¹²
12.3. Integrasi Aksiologis: Etika Keseimbangan dan Nilai
Kemanusiaan Universal
Pada tataran
aksiologis, tawazun menjadi dasar bagi etika
integral yang mencakup dimensi personal, sosial, dan kosmologis. Islam tidak
menempatkan moralitas dalam ruang abstrak, tetapi menghubungkannya langsung
dengan realitas kehidupan.¹³ Prinsip adl (keadilan) dan rahmah
(kasih sayang) adalah dua nilai sentral yang menopang keseimbangan etis ini.
Al-Ghazali menegaskan bahwa kebajikan moral (fadlilah) terletak pada posisi
tengah antara dua ekstrem, seperti keberanian yang berada di antara pengecut
dan nekat, atau kesabaran di antara kemalasan dan keputusasaan.¹⁴
Dalam konteks
sosial, tawazun
menjadi asas bagi keadilan distributif dan solidaritas kemanusiaan.¹⁵ Etika
keseimbangan menolak kapitalisme yang rakus dan sosialisme yang menindas,
menolak individualisme egoistik dan kolektivisme totalitarian.¹⁶ Ia menegakkan
proporsionalitas antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab. Hal
ini menjadikan tawazun sebagai kerangka moral
universal yang mampu menjawab tantangan kemanusiaan kontemporer, dari
ketimpangan ekonomi hingga konflik ideologis.¹⁷
12.4. Integrasi Ekologis dan Kosmologis: Harmoni Manusia
dan Alam
Keseimbangan
filosofis Islam tidak hanya berlaku dalam hubungan manusia dengan sesamanya,
tetapi juga antara manusia dan alam. QS. Al-Rahman [55] ayat 7–9 menegaskan
bahwa keseimbangan (mīzān) adalah hukum kosmos yang
harus dijaga agar tatanan kehidupan tidak rusak.¹⁸ Dalam pandangan Nasr,
pelanggaran terhadap mīzān berarti pelanggaran terhadap sunnatullah,
karena alam adalah cermin dari kesucian Tuhan.¹⁹
Etika tawazun
menuntun manusia untuk bersikap ekologis: menggunakan sumber daya secara bijak,
menghindari eksploitasi, dan menegakkan keadilan antar-generasi.²⁰ Hal ini
sejalan dengan maqāṣid al-syarī‘ah modern yang memasukkan hifz
al-bi’ah (pelestarian lingkungan) sebagai bagian dari tujuan moral
Islam.²¹ Dengan demikian, keseimbangan ekologis merupakan wujud konkret dari
keseimbangan spiritual dan moral manusia, di mana menjaga alam berarti menjaga
tatanan Ilahi yang menopang keberadaan seluruh makhluk.²²
12.5. Integrasi Humanistik: Kemanusiaan sebagai Pusat
Etika Keseimbangan
Etika tawazun
yang integral bermuara pada visi humanistik Islam—yakni pengakuan terhadap
martabat dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk spiritual dan rasional.²³
Alija Izetbegovic menyebut Islam sebagai “agama keseimbangan” karena
menempatkan manusia di antara bumi dan langit, jasmani dan rohani, dunia dan
akhirat.²⁴ Dalam kerangka ini, manusia menjadi subjek moral yang berperan aktif
menegakkan keadilan, bukan sekadar objek takdir.
Humanisme Islam
berbasis tawazun
bukanlah humanisme sekular yang menuhankan manusia, melainkan humanisme
transendental yang mengaitkan nilai kemanusiaan dengan kesadaran akan Tuhan.²⁵
Etika ini menegaskan bahwa keseimbangan sejati terwujud ketika manusia mampu
menata dirinya selaras dengan nilai Ilahi dan berkontribusi terhadap
kemaslahatan universal.²⁶
Menuju Etika Keseimbangan yang Integral dan Humanistik
Sintesis filosofis tawazun
menuntun kita pada pemahaman bahwa keseimbangan bukanlah posisi tengah yang
statis, melainkan dinamika moral menuju keutuhan eksistensial.²⁷ Dalam tataran
praksis, etika keseimbangan mengharuskan integrasi antara iman, ilmu, dan amal;
antara pengetahuan rasional dan kebijaksanaan spiritual.²⁸ Etika ini menjadi
fondasi bagi peradaban Islam yang rahmatan lil-‘ālamīn—peradaban yang
berkeadilan, berkelanjutan, dan menghargai martabat manusia.²⁹
Dengan demikian, tawazun
bukan sekadar konsep teologis, melainkan paradigma filosofis yang
mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan. Ia menawarkan visi peradaban yang
integral—spiritual sekaligus rasional, religius sekaligus humanistik.³⁰ Dalam
dunia yang kehilangan keseimbangan akibat materialisme dan ekstremisme, etika tawazun
menjadi jalan tengah menuju peradaban yang selaras dengan tatanan Ilahi dan
harkat kemanusiaan universal.³¹
Footnotes
[1]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 49–50.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 121–123.
[3]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 83–84.
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 537.
[5]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar
al-Mashriq, 1993), 58–59.
[6]
M. Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia
University Press, 2004), 72–73.
[7]
Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man
(Chicago: ABC International Group, 1997), 14–16.
[8]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1992), 31–33.
[9]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Kairo: Dar
al-Ma‘arif, 1959), 38–40.
[10]
Ibid., 41.
[11]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperOne, 2002), 82–84.
[12]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an
(Montreal: McGill University Press, 1966), 127–128.
[13]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), 93–94.
[14]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Ma‘rifah,
n.d.), 247–248.
[15]
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al-Fikr,
1986), 86–87.
[16]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
Islamic Foundation, 1992), 35–36.
[17]
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 2000), 130–131.
[18]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 531.
[19]
Nasr, Man and Nature, 28–29.
[20]
Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha
Publishers, 2002), 22–23.
[21]
Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000),
176–177.
[22]
Osman Bakar, Environmental Wisdom in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1999), 34.
[23]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 210.
[24]
Ibid., 212–213.
[25]
Nasr, Knowledge and the Sacred, 125–126.
[26]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 45–46.
[27]
Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and
Society (London: Grey Seal, 1987), 70–71.
[28]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 55–56.
[29]
Nasr, The Heart of Islam, 95–96.
[30]
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, 91–92.
[31]
Izetbegovic, Islam Between East and West, 214–215.
13. Kesimpulan
Konsep tawazun
(keseimbangan) merupakan salah satu prinsip sentral dalam pandangan dunia Islam
(Islamic
worldview) yang menegaskan keselarasan antara dimensi Ilahi,
kemanusiaan, dan kosmos. Ia bukan sekadar ajaran moral atau norma etis,
melainkan sebuah paradigma ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang
menyatukan seluruh aspek kehidupan manusia dalam tatanan yang harmonis.¹
Melalui prinsip ini, Islam menawarkan model peradaban yang integral—menyatukan
iman dan akal, ilmu dan amal, spiritualitas dan rasionalitas, serta manusia dan
alam—dalam satu kesatuan kosmik yang berlandaskan tauhid.²
13.1. Keseimbangan Sebagai Dasar Ontologis Kehidupan
Dari segi ontologi, tawazun
berakar pada prinsip tawhid, yaitu kesatuan realitas
yang meniscayakan keteraturan (nizām) dan keharmonisan dalam
seluruh ciptaan.³ Keseimbangan bukan berarti statis, melainkan keteraturan
dinamis yang mencerminkan kehendak Ilahi di alam semesta. QS. Al-Rahman [55]
ayat 7–9 menegaskan bahwa Allah menegakkan mīzān (keseimbangan) sebagai hukum
kosmik yang mengatur harmoni antara semua unsur kehidupan.⁴
Dalam konteks
antropologis, manusia diciptakan sebagai khalifah untuk menjaga mīzān
tersebut, bukan menguasainya secara absolut.⁵ Maka, keseimbangan ontologis juga
menegaskan keterkaitan eksistensial antara manusia dan Tuhan, di mana
keberadaan manusia hanya bermakna ketika ia tunduk pada tatanan Ilahi.⁶
13.2. Keseimbangan Epistemologis: Integrasi Wahyu, Akal,
dan Empiri
Secara
epistemologis, tawazun mengajarkan bahwa
pengetahuan sejati harus bersumber dari kombinasi harmonis antara wahyu, akal,
dan pengalaman.⁷ Wahyu menjadi sumber kebenaran mutlak, akal menjadi alat
interpretasi, dan pengalaman menjadi wahana pembuktian empirik. Al-Ghazali
menegaskan bahwa akal dan wahyu bukanlah dua sumber yang saling bertentangan,
melainkan dua cahaya yang saling menerangi.⁸
Dalam tradisi
pemikiran Islam klasik dan kontemporer, keseimbangan epistemologis ini
melahirkan model ilmu yang tidak terfragmentasi antara agama dan sains, antara
metafisika dan empirik.⁹ Pandangan ini berlawanan dengan dikotomi modern yang
memisahkan pengetahuan dari nilai spiritual, dan menjadi dasar bagi
rekonstruksi epistemologi Islam yang integratif di era modern.¹⁰
13.3. Keseimbangan Aksiologis: Etika Keadilan dan
Moderasi
Dalam dimensi
aksiologi, tawazun
merupakan asas utama bagi etika Islam. Nilai-nilai keadilan (‘adl),
moderasi (wasathiyyah),
dan kasih sayang (rahmah) lahir dari kesadaran akan
pentingnya keseimbangan moral dalam diri manusia dan masyarakat.¹¹ Al-Ghazali
menegaskan bahwa kebajikan moral berada pada “jalan tengah” (wasath)
antara dua ekstrem, karena keutamaan lahir dari kemampuan menempatkan sesuatu
secara proporsional.¹²
Dalam tatanan sosial
dan politik, prinsip ini menjadi dasar bagi sistem keadilan dan pemerintahan
yang berorientasi pada kemaslahatan (maslahah ‘ammah).¹³ Dalam ekonomi, tawazun
mengatur hubungan antara kepemilikan individu dan kepentingan publik, serta
menolak baik eksploitasi kapitalistik maupun keseragaman sosialistik.¹⁴ Dengan
demikian, etika keseimbangan menjadi panduan moral bagi terciptanya masyarakat
yang adil, inklusif, dan beradab.
13.4. Keseimbangan Ekologis dan Kosmologis: Menegakkan
Harmoni Alam dan Spiritualitas
Keseimbangan dalam
Islam tidak berhenti pada ranah manusia, tetapi meluas pada alam dan kosmos.
QS. Al-A‘raf [7] ayat 56 memperingatkan agar manusia tidak membuat kerusakan di
bumi setelah Allah menciptakannya dengan seimbang.¹⁵ Prinsip tawazun
ekologis menegaskan bahwa keberlanjutan kehidupan hanya dapat terjaga bila
manusia berperilaku sesuai dengan hukum Ilahi yang mengatur alam.¹⁶
Seyyed Hossein Nasr
menyebut krisis lingkungan modern sebagai “krisis spiritual manusia terhadap
kosmos,” yaitu akibat kehilangan kesadaran sakral terhadap alam.¹⁷ Maka, tawazun
kosmologis berarti pemulihan hubungan spiritual antara manusia dan alam sebagai
wujud ibadah kepada Tuhan. Menjaga keseimbangan ekologis bukan hanya tindakan
etis, melainkan perintah teologis yang meneguhkan kesatuan antara tauhid dan
tanggung jawab ekologis.¹⁸
13.5. Keseimbangan Humanistik: Sintesis Iman, Akal, dan
Kemanusiaan
Etika tawazun
mencapai puncaknya dalam dimensi humanistik, di mana manusia menjadi pusat
refleksi keseimbangan Ilahi di bumi.¹⁹ Islam memandang manusia sebagai makhluk
spiritual dan rasional yang memiliki kebebasan sekaligus tanggung jawab.²⁰
Dalam kerangka ini, tawazun menjadi dasar bagi
humanisme Islam yang menolak antroposentrisme sekuler maupun teosentrisme yang
meniadakan otonomi manusia.²¹
Sebagaimana
ditegaskan oleh Alija Izetbegovic, “Islam berdiri di antara dua kutub
ekstrem—antara langit dan bumi, antara iman dan akal, antara jiwa dan materi.”²²
Kemanusiaan sejati hanya dapat dicapai bila manusia hidup dalam keseimbangan
antara dimensi spiritual dan duniawi, serta menjadikan nilai-nilai Ilahi
sebagai pedoman etika dalam kehidupan modern.²³
13.6. Relevansi dan Kontribusi Filosofis-Konseptual
Dalam konteks
global, konsep tawazun memberikan kontribusi
signifikan terhadap pencarian etika universal dan paradigma pembangunan
berkelanjutan.²⁴ Ia menawarkan solusi filosofis terhadap krisis
modernitas—yakni fragmentasi pengetahuan, ketimpangan sosial, dan degradasi
moral—dengan mengembalikan keseimbangan antara kemajuan material dan kesadaran
spiritual.²⁵
Melalui kerangka tawazun,
Islam tidak hanya tampil sebagai agama normatif, tetapi juga sebagai sistem
pemikiran filosofis yang terbuka terhadap dialog lintas budaya.²⁶ Etika
keseimbangan yang integral dan humanistik dapat menjadi fondasi bagi
rekonstruksi peradaban global yang berkeadilan, ekologis, dan berorientasi pada
kemaslahatan universal (rahmatan lil-‘ālamīn).²⁷
Kesimpulan Akhir: Tawazun sebagai Jalan Menuju Keutuhan Eksistensial
Secara keseluruhan, tawazun
dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis bukan hanya konsep normatif, tetapi
prinsip eksistensial yang membimbing manusia menuju keutuhan diri, harmoni
sosial, dan keselarasan kosmik.²⁸ Ia meneguhkan bahwa keseimbangan sejati
terwujud ketika manusia menempatkan Tuhan sebagai pusat orientasi kehidupan,
ilmu sebagai sarana pemahaman, dan etika sebagai panduan tindakan.²⁹
Dengan demikian, tawazun
menjadi jantung filsafat Islam yang menyatukan iman dan akal, spiritualitas dan
rasionalitas, manusia dan alam.³⁰ Dalam dunia yang ditandai oleh krisis
identitas dan ekstremitas nilai, etika keseimbangan menawarkan jalan menuju
integrasi dan kemanusiaan yang utuh—sebuah falsafah harmoni yang merekatkan
kembali relasi antara Tuhan, manusia, dan semesta dalam kesatuan tauhidik yang
abadi.³¹
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 120–122.
[2]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 85.
[3]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala
Lumpur: Institute for Policy Studies, 1998), 51–52.
[4]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019), 531.
[5]
Ibid., 34.
[6]
Ibn Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid 1 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1998), 205.
[7]
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidh min al-Dhalal (Kairo: Dar
al-Ma‘arif, 1959), 36–38.
[8]
Ibid., 42.
[9]
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and
Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic
Philosophy of Science, 1992), 25–27.
[10]
Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and
Society (London: Grey Seal, 1987), 63–65.
[11]
Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasā’is al-‘Āmmah li al-Islām (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1996), 95–96.
[12]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid 3 (Kairo: Dar
al-Ma‘rifah, n.d.), 244.
[13]
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Beirut: Dar al-Fikr,
1986), 87.
[14]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester:
Islamic Foundation, 1992), 31–33.
[15]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 235.
[16]
A. I. Sabra, Science and Philosophy in Medieval Islam
(Cambridge: Harvard University Press, 1987), 92–93.
[17]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern
Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 15.
[18]
Fazlun Khalid, Islam and the Environment (London: Ta-Ha
Publishers, 2002), 18.
[19]
Osman Bakar, Environmental Wisdom in Islam (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1999), 33–34.
[20]
Ibid., 36.
[21]
Azyumardi Azra, Islam Substantif (Bandung: Mizan, 2000), 175.
[22]
Alija Izetbegovic, Islam Between East and West (Indianapolis:
American Trust Publications, 1984), 210–211.
[23]
Ibid., 213.
[24]
Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New
York: HarperOne, 2002), 95.
[25]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University
Press, 2007), 491–492.
[26]
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 2000), 127–130.
[27]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, 55.
[28]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 395.
[29]
Al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993),
44–45.
[30]
Nasr, Knowledge and the Sacred, 127.
[31]
Izetbegovic, Islam Between East and West, 214–215.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC).
Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the
metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC).
Al-Farabi. (1993). Ara’ Ahl al-Madinah
al-Fadhilah. Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Ghazali, A. H. (n.d.). Ihya’ ‘Ulum al-Din
(Vol. 3). Kairo: Dar al-Ma‘rifah.
Al-Ghazali, A. H. (1959). Al-Munqidh min
al-Dhalal. Kairo: Dar al-Ma‘arif.
Al-Mawardi. (1986). Adab al-Dunya wa al-Din.
Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Mawardi. (1989). Al-Ahkam al-Sultaniyyah.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (1996). Al-Khasā’is al-‘Āmmah li
al-Islām. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Raghib al-Asfahani. (1992). Mufradat Alfaz
al-Qur’an. Beirut: Dar al-Qalam.
Al-Razi, F. (1981). Mafātih al-Ghaib (Vol.
29). Beirut: Dar al-Fikr.
Asad, M. (1961). The principles of state and
government in Islam. Berkeley: University of California Press.
Asad, M. (1980). The message of the Qur’an.
Gibraltar: Dar al-Andalus.
Azra, A. (2000). Islam substantif. Bandung:
Mizan.
Bakar, O. (1992). Tawhid and science: Essays on
the history and philosophy of Islamic science. Kuala Lumpur: Secretariat
for Islamic Philosophy of Science.
Bakar, O. (1998). Classification of knowledge in
Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy Studies.
Bakar, O. (1999). Environmental wisdom in Islam.
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC).
Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic
challenge. Leicester: Islamic Foundation.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-‘Arabi’s metaphysics of imagination. Albany: State
University of New York Press.
Departemen Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an
dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Esposito, J. L. (1992). Islam and the West: The
making of an image. New York: Oxford University Press.
Esposito, J. L. (2010). The future of Islam.
Oxford: Oxford University Press.
Fakhry, M. (1991). Ethical theories in Islam.
Leiden: E. J. Brill.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.
Faruqi, I. R. al-. (1992). Al-Tawhid: Its
implications for thought and life. Herndon: International Institute of
Islamic Thought (IIIT).
Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago
Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning.
Boston: Beacon Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1). Boston: Beacon Press.
Ibn ‘Arabi. (1999). Futuhat al-Makkiyyah
(Vol. 2). Beirut: Dar al-Sadir.
Ibn Hajar al-‘Asqalani. (1989). Fath al-Bari bi
Syarh Sahih al-Bukhari (Vol. 10). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Ibn Kathir. (1998). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
(Vol. 1). Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Khaldun. (2000). Muqaddimah Ibn Khaldun.
Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Rushd. (1993). Fasl al-Maqāl fī mā bayn
al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-Ittisāl. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Sina. (1952). Kitab al-Syifa’ (Vol. 2).
Beirut: Dar al-Fikr.
Izetbegovic, A. (1984). Islam between East and
West. Indianapolis: American Trust Publications.
Izutsu, T. (1966). Ethico-religious concepts in
the Qur’an. Montreal: McGill University Press.
Izutsu, T. (2002). God and man in the Qur’an.
Tokyo: Keio University Press.
Khalid, F. (2002). Islam and the environment.
London: Ta-Ha Publishers.
Khalid, F., & O’Brien, J. (1992). Islam and
ecology. London: Cassell.
Madjid, N. (1992). Islam, kemodernan, dan
keindonesiaan. Bandung: Mizan.
Madjid, N. (2000). Islam, doktrin, dan peradaban.
Jakarta: Paramadina.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
Albany: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. Chicago: ABC International Group.
Nasr, S. H. (2002). The heart of Islam: Enduring
values for humanity. New York: HarperOne.
Quraish Shihab, M. (1998). Wawasan al-Qur’an:
Tafsir maudhu‘i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.
Quraish Shihab, M. (2002). Tafsir al-Mishbah:
Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an (Vol. 10 & 13). Jakarta: Lentera
Hati.
Sabra, A. I. (1987). Science and philosophy in
medieval Islam. Cambridge: Harvard University Press.
Sardar, Z. (1985). Islamic futures: The shape of
ideas to come. London: Mansell.
Sardar, Z. (1987). Exploring Islam: Essays on
Islamic culture and society. London: Grey Seal.
Siddiqi, M. N. (1983). Banking without interest.
Leicester: Islamic Foundation.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge:
Harvard University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar