Minggu, 02 November 2025

Tasamuh (Toleransi): Landasan Teologis, Etika Sosial, dan Relevansi Humanistik Kontemporer

Tasamuh (Toleransi)

Landasan Teologis, Etika Sosial, dan Relevansi Humanistik Kontemporer


Alihkan ke: PPG 2019.

Etika Moderasi Islam.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep tasamuh (toleransi) dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits dengan pendekatan filosofis yang integral dan humanistik. Kajian ini berangkat dari urgensi fenomenologis meningkatnya intoleransi, radikalisme, dan krisis moral dalam masyarakat global dan Muslim kontemporer, yang menuntut rekontekstualisasi nilai-nilai Islam sebagai fondasi etika sosial dan spiritual. Secara historis, tasamuh telah dipraktikkan dalam tradisi Nabi Muhammad Saw melalui Piagam Madinah yang menegaskan prinsip keadilan dan kebebasan beragama. Kajian ontologis menunjukkan bahwa tasamuh berakar pada kesadaran tawḥīd, yakni kesatuan ilahi yang melahirkan pandangan kosmologis tentang keberagaman sebagai kehendak Tuhan. Dari sisi epistemologis, tasamuh berpijak pada prinsip keterbukaan terhadap pluralitas pengetahuan dan tafsir, sehingga perbedaan pandangan menjadi rahmat, bukan sumber perpecahan.

Secara aksiologis, tasamuh merepresentasikan nilai rahmah (kasih sayang), ‘adl (keadilan), dan ihsan (kebaikan), yang berfungsi sebagai dasar etika sosial, politik, dan hukum Islam. Dimensi sosial dan politik tasamuh memperkuat kohesi masyarakat majemuk, menolak absolutisme kekuasaan, serta menegaskan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam hukum Islam. Dalam dimensi pendidikan dan dakwah, tasamuh berperan sebagai prinsip pedagogis yang membentuk kepribadian moderat dan beradab, serta metode dakwah yang dialogis dan persuasif. Artikel ini juga menyoroti tantangan kontemporer terhadap tasamuh seperti fundamentalisme, relativisme moral, dan degradasi etika digital, serta menawarkan rekonstruksi konseptual menuju etika tasamuh yang integral dan transformatif.

Secara filosofis, artikel ini menyimpulkan bahwa tasamuh merupakan etika integral yang menggabungkan dimensi teosentris, rasional, dan humanistik. Ia bukan sekadar nilai moral individual, melainkan paradigma peradaban yang menegaskan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan universal. Dengan menjadikan tasamuh sebagai prinsip etika publik dan spiritual, Islam berpotensi menawarkan kontribusi signifikan dalam membangun tatanan dunia yang damai, inklusif, dan berkeadaban di tengah pluralitas global.

Kata Kunci: Tasamuh, Al-Qur’an, Hadits, Etika Islam, Toleransi, Rahmatan lil-‘alamin, Humanisme, Filsafat Islam, Keadilan Sosial, Pluralisme.


PEMBAHASAN

Konsep Tasamuh dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


1.           Pendahuluan

Dalam konteks kehidupan sosial-keagamaan yang semakin plural dan kompleks, konsep tasamuh (toleransi) menempati posisi fundamental dalam etika Islam. Islam sebagai agama yang mengajarkan kasih sayang universal (rahmatan lil-‘alamin) menempatkan nilai tasamuh sebagai salah satu pilar utama dalam membangun hubungan harmonis antarindividu, antarkelompok, dan antaragama. Fenomena meningkatnya intoleransi, radikalisme, serta polarisasi identitas pada era kontemporer menunjukkan urgensi untuk mengkaji kembali makna dan kedalaman nilai tasamuh sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian, kajian ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga reflektif dan kontekstual, berusaha menjawab tantangan zaman dengan berpijak pada sumber-sumber autentik Islam.¹

Secara etimologis, tasamuh berasal dari akar kata samaha–yasmuḥu–samḥan yang berarti kemurahan hati, kelapangan dada, dan kelembutan dalam berinteraksi dengan sesama.² Dalam terminologi keagamaan, tasamuh dimaknai sebagai sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, keyakinan, maupun praktik sosial, tanpa kehilangan komitmen terhadap prinsip keimanan dan kebenaran akidah.³ Al-Qur’an menegaskan prinsip ini melalui sejumlah ayat yang menekankan penghormatan terhadap keragaman dan larangan pemaksaan dalam beragama, sebagaimana firman Allah: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 256). Ayat ini menjadi dasar teologis bagi kebebasan beragama yang diakui dalam Islam, sekaligus landasan bagi pembentukan masyarakat yang damai dan berkeadaban.⁴

Secara historis, tasamuh telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sosial-politik masyarakat Madinah. Piagam Madinah, misalnya, menjadi bukti nyata penerapan prinsip toleransi dan penghormatan terhadap hak-hak komunitas non-Muslim. Nabi memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan beragama kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang hidup berdampingan dengan umat Islam.⁵ Dalam konteks ini, tasamuh bukanlah kompromi terhadap prinsip akidah, melainkan ekspresi etis dari keimanan yang matang dan kesadaran moral yang mendalam terhadap kemanusiaan universal.⁶

Dari perspektif filosofis, tasamuh dapat dipahami sebagai ekspresi rasional dan spiritual dari konsep rahmah (kasih sayang) yang menjadi inti ajaran Islam. Dalam kerangka ontologis, ia mencerminkan pandangan bahwa keberagaman adalah bagian dari kehendak Ilahi, bukan penyimpangan dari kebenaran.⁷ Sementara dari sisi epistemologis, tasamuh mendorong keterbukaan dalam memahami kebenaran yang bersifat kontekstual dan dinamis. Hal ini sejalan dengan semangat Al-Qur’an yang mengajak manusia untuk berpikir kritis dan berinteraksi secara dialogis dengan realitas sosial.⁸

Di tengah tantangan global seperti konflik identitas, diskriminasi agama, dan ekstremisme ideologis, nilai tasamuh perlu direkontekstualisasi agar tidak berhenti pada tataran retorika moral, tetapi menjadi prinsip etis yang menggerakkan praksis sosial. Kajian ini bertujuan untuk menggali kembali landasan teologis dan filosofis tasamuh dalam Al-Qur’an dan Hadits, serta menelaah implikasinya bagi pembangunan masyarakat yang adil, damai, dan inklusif. Melalui pendekatan tafsir tematik (tafsir maudhu‘i) dan analisis hadis, penelitian ini diharapkan mampu mengungkap substansi nilai tasamuh sebagai basis moral Islam yang universal sekaligus kontekstual.⁹

Selain itu, artikel ini berupaya menelusuri dinamika genealogis tasamuh dalam sejarah peradaban Islam, dari masa Nabi hingga pemikiran para ulama kontemporer. Kajian ini juga hendak menunjukkan bahwa tasamuh bukan semata sikap pasif terhadap perbedaan, tetapi merupakan bentuk aktif dari tanggung jawab moral dan sosial dalam membangun kehidupan bersama (al-‘aysy al-musytarak). Dengan demikian, tasamuh harus dipahami sebagai dimensi integral dari etika Islam yang menyeimbangkan iman dengan kemanusiaan, kebenaran dengan kebijaksanaan, serta identitas dengan keterbukaan.¹⁰

Secara metodologis, penelitian ini mengombinasikan pendekatan normatif-teologis dengan analisis filosofis dan sosiologis. Pendekatan tersebut memungkinkan eksplorasi yang komprehensif terhadap teks wahyu dan realitas empiris. Tasamuh dalam Al-Qur’an dan Hadits akan ditelusuri melalui analisis linguistik, konteks pewahyuan (asbab al-nuzul), serta pemahaman ulama klasik dan modern. Selanjutnya, hasil analisis akan dielaborasi dalam kerangka aksiologi Islam yang menekankan keseimbangan antara nilai ilahiah dan kemaslahatan manusia.¹¹

Dengan demikian, bagian pendahuluan ini meletakkan fondasi konseptual dan metodologis bagi pembahasan selanjutnya. Tasamuh dalam Islam tidak hanya berfungsi sebagai nilai moral individual, melainkan juga sebagai prinsip sosial yang menegaskan eksistensi Islam sebagai agama yang menjunjung keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia.¹²


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 45.

[2]                Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 522.

[3]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa al-Tatarruf (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992), 73.

[4]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 429.

[5]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: The Constitution of Madinah (Lahore: Ashraf Press, 1975), 21.

[6]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 41.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 57.

[8]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 120.

[9]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 34.

[10]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 102.

[11]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1990), 88.

[12]             Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 215.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Konsep Tasamuh

Konsep tasamuh dalam Islam memiliki akar historis dan genealogis yang panjang, mencerminkan kedalaman spiritual, intelektual, dan sosial peradaban Islam sejak masa kenabian hingga era kontemporer. Secara historis, nilai-nilai tasamuh muncul bersamaan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw yang bertujuan untuk menegakkan kedamaian, keadilan, dan kemanusiaan universal. Dalam konteks masyarakat Arab pra-Islam (jahiliyyah) yang ditandai oleh konflik suku, fanatisme kabilah (‘ashabiyyah), dan sistem sosial eksklusif, ajaran Islam datang membawa transformasi radikal terhadap cara pandang manusia terhadap “yang lain.” Islam memperkenalkan paradigma kesetaraan dan penghormatan terhadap keragaman sebagai manifestasi dari kehendak Ilahi.¹

2.1.       Akar Historis pada Masa Nabi dan Khulafā’ al-Rāsyidīn

Pada masa Nabi Muhammad Saw, nilai tasamuh diwujudkan dalam interaksi sosial-politik yang inklusif dan etis. Salah satu tonggak historis yang paling penting adalah lahirnya Piagam Madinah (Mithaq al-Madinah), sebuah konstitusi sosial pertama dalam sejarah dunia yang menjamin hak hidup bersama antara umat Islam, Yahudi, dan suku-suku non-Muslim lainnya di Madinah.² Dokumen tersebut mengandung prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan beragama, keadilan sosial, dan tanggung jawab kolektif dalam menjaga perdamaian. Dengan demikian, Piagam Madinah merupakan representasi konkret dari praktik tasamuh yang berakar pada ajaran wahyu.³

Selain itu, sejarah mencatat bahwa Nabi memperlakukan komunitas non-Muslim dengan penuh hormat dan perlindungan hukum. Dalam Surat Piagam kepada Umat Kristen Najran, Nabi menjamin keamanan, kebebasan beribadah, dan perlindungan terhadap gereja-gereja mereka.⁴ Prinsip tasamuh juga tampak jelas dalam berbagai interaksi Nabi dengan masyarakat Yahudi, termasuk dalam penyelesaian sengketa yang selalu mengedepankan keadilan dan musyawarah.⁵ Setelah wafatnya Nabi, para khalifah penerus seperti Abu Bakar, Umar, dan Ali bin Abi Thalib melanjutkan semangat tersebut dengan kebijakan politik yang menjamin keberagaman dan keadilan sosial.⁶

2.2.       Perkembangan Konseptual dalam Pemikiran Islam Klasik

Dalam periode klasik Islam (abad ke-8–13 M), tasamuh berkembang menjadi konsep moral dan politik yang terintegrasi dalam pemikiran keislaman. Ulama dan filosof seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibn Rushd menekankan pentingnya rasionalitas dan keseimbangan moral dalam hubungan antarmanusia. Al-Farabi, misalnya, dalam Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah menegaskan bahwa masyarakat ideal adalah masyarakat yang menghormati perbedaan demi mencapai kebahagiaan kolektif.⁷ Sedangkan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menempatkan tasamuh sebagai ekspresi dari akhlaq al-karimah (akhlak mulia) yang bersumber dari kesadaran spiritual dan cinta kasih kepada sesama.⁸

Ibn Rushd, dengan latar filsafat rasionalisnya, mengembangkan pendekatan hermeneutik terhadap teks agama, mengakui pluralitas penafsiran sebagai bagian dari kebijaksanaan Ilahi. Ia berargumen bahwa perbedaan pandangan tidak seharusnya menimbulkan konflik, karena akal manusia memiliki kapasitas berbeda dalam memahami kebenaran.⁹ Pemikiran semacam ini memperlihatkan bahwa tasamuh bukan sekadar prinsip sosial, tetapi juga epistemologi pengetahuan yang menghargai keberagaman cara berpikir.

Dalam bidang hukum Islam (fiqh), para fuqaha klasik seperti Abu Hanifah dan Malik bin Anas menunjukkan sikap toleran dalam perbedaan pendapat (ikhtilaf). Mereka tidak hanya mengakui pluralitas hukum, tetapi juga menolak fanatisme mazhab. Abu Hanifah, misalnya, dikenal menolak takfir terhadap sesama Muslim yang berbeda pendapat fiqhiyah.¹⁰ Sementara Imam Syafi‘i menekankan pentingnya adab dalam perbedaan, dengan ungkapan terkenalnya: “Pendapatku benar namun mungkin salah, dan pendapat orang lain salah namun mungkin benar.”¹¹ Sikap epistemologis ini menjadi bagian integral dari tradisi tasamuh intelektual dalam khazanah Islam.

2.3.       Genealogi Sosial dan Politik dalam Sejarah Peradaban Islam

Secara genealogis, praktik tasamuh juga tampak dalam struktur sosial-politik kekhalifahan Islam. Pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyyah, meskipun terdapat dinamika politik dan konflik internal, banyak kebijakan yang merefleksikan semangat inklusivitas. Kota Baghdad, misalnya, menjadi pusat pertemuan budaya dan ilmu pengetahuan di mana umat Islam, Kristen, Yahudi, dan Zoroaster berkolaborasi dalam bidang filsafat, kedokteran, dan astronomi.¹² Lembaga Bayt al-Hikmah menjadi simbol toleransi intelektual yang memungkinkan pertukaran ide antaragama dan antarsains.¹³

Pada masa Andalusia Islam (711–1492 M), tasamuh mencapai bentuk paling gemilang. Di bawah pemerintahan seperti Abdurrahman III dan Al-Hakam II, Cordoba menjadi simbol kehidupan multikultural di mana Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan dalam harmoni.¹⁴ Andalusia menunjukkan bahwa tasamuh bukan hanya ideal moral, melainkan realitas politik dan kultural yang memperkaya peradaban Islam.¹⁵

Namun, perjalanan historis tasamuh tidak selalu mulus. Dalam beberapa periode, muncul ketegangan antara ortodoksi agama dan kebebasan berpikir. Beberapa gerakan politik menggunakan agama untuk legitimasi kekuasaan, menyebabkan penyempitan makna tasamuh.¹⁶ Meskipun demikian, tradisi intelektual Islam terus menghidupkan semangat toleransi melalui karya para sufi, teolog, dan reformis modern yang menekankan dimensi spiritual dan universal dari Islam.


Rekontekstualisasi Genealogis di Era Modern dan Kontemporer

Dalam era modern, pemikir Muslim seperti Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan Fazlur Rahman berupaya merekonstruksi kembali makna tasamuh agar selaras dengan prinsip rasionalitas dan keadilan sosial. Mereka menolak pandangan eksklusif yang menutup diri terhadap pluralitas dan menegaskan bahwa tasamuh adalah bentuk kematangan iman, bukan kelemahan keyakinan.¹⁷ Seyyed Hossein Nasr menambahkan bahwa tasamuh harus dipahami sebagai ekspresi spiritualitas Islam yang menyatukan kesadaran kosmik dengan tanggung jawab kemanusiaan.¹⁸

Sementara itu, dalam konteks Indonesia, nilai tasamuh menjadi salah satu inti dari Islam Nusantara yang menekankan moderasi, kebijaksanaan lokal, dan harmoni sosial.¹⁹ Tokoh-tokoh seperti Hasyim Asy’ari dan Nurcholish Madjid menegaskan bahwa Islam di Indonesia harus memancarkan wajah ramah, terbuka, dan humanistik sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan tradisi profetik.²⁰

Dengan demikian, landasan historis dan genealogis tasamuh memperlihatkan kontinuitas nilai-nilai kemanusiaan universal dalam ajaran Islam. Ia bukan konsep baru yang diimpor dari luar, melainkan bagian inheren dari peradaban Islam yang telah teruji dalam sejarah. Dalam setiap fase perkembangan Islam—baik teologis, filosofis, maupun politik—tasamuh selalu hadir sebagai prinsip pengikat antara iman dan kemanusiaan, antara kebenaran dan kebijaksanaan, antara keagamaan dan peradaban.


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Bandung: Mizan, 1994), 67.

[2]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: The Constitution of Madinah (Lahore: Ashraf Press, 1975), 18.

[3]                John L. Esposito, Islam: The Straight Path, 4th ed. (New York: Oxford University Press, 2011), 45.

[4]                W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Clarendon Press, 1956), 230.

[5]                Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (New York: Oxford University Press, 2007), 112.

[6]                Ali Muhammad Sallabi, Sirah al-Khulafa’ al-Rashidun (Kairo: Dar al-Tawzi‘, 2002), 55.

[7]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Beirut: Dar al-Mashriq, 1986), 88.

[8]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 17.

[9]                Ibn Rushd, Fasl al-Maqal fi ma bayna al-Hikmah wa al-Syari‘ah min al-Ittisal (Cairo: al-Maktabah al-Azhariyyah, 1983), 54.

[10]             Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 101.

[11]             Imam al-Syafi‘i, al-Risalah (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1979), 7.

[12]             George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 42.

[13]             Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 59.

[14]             María Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain (New York: Little, Brown and Company, 2002), 25.

[15]             Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), 145.

[16]             Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 89.

[17]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 120.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 87.

[19]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dan Transformasi Sosial (Jakarta: Penerbit Kompas, 2019), 39.

[20]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 210.


3.           Ontologi Tasamuh dalam Perspektif Al-Qur’an

Dalam tataran ontologis, tasamuh (toleransi) bukan sekadar perilaku sosial atau etika interpersonal, tetapi merupakan manifestasi dari struktur realitas yang dikehendaki Allah Swt. Nilai tasamuh bersumber dari hakikat penciptaan manusia yang beragam dan dinamis, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (QS. Al-Ḥujurāt [49] ayat 13). Ayat ini menunjukkan bahwa pluralitas merupakan bagian inheren dari ciptaan, bukan deviasi dari kebenaran.¹ Dengan demikian, tasamuh memiliki basis ontologis yang berakar pada kehendak Ilahi untuk menghadirkan keragaman sebagai sarana dialog dan pembelajaran antarumat manusia.

3.1.       Pluralitas sebagai Kehendak Ilahi

Dalam pandangan Al-Qur’an, realitas plural bukanlah ancaman terhadap iman, melainkan wujud dari sunnatullah — hukum alam ciptaan Allah yang meniscayakan keberagaman.² Allah menciptakan perbedaan bangsa, bahasa, dan agama agar manusia dapat saling memahami dan bekerja sama dalam kebaikan. QS. Ar-Rūm [30] ayat 22 menegaskan: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpengetahuan.”³ Ayat ini menegaskan bahwa keragaman manusia tidak bersifat aksidental, melainkan substansial bagi kesempurnaan tatanan kosmik.

Dalam kerangka ontologis ini, tasamuh menjadi prinsip eksistensial yang mengakui realitas perbedaan sebagai bagian dari desain Ilahi. Pluralitas adalah ruang bagi pengembangan potensi manusia, tempat di mana kebajikan, empati, dan keadilan diuji.⁴ Penolakan terhadap pluralitas berarti menolak kehendak Tuhan sendiri, sebab keberagaman adalah cara Tuhan memperlihatkan kebesaran dan kebijaksanaan-Nya melalui ciptaan yang majemuk.⁵

3.2.       Tasamuh sebagai Manifestasi Rahmah Ilahiyah

Dimensi ontologis tasamuh juga terletak pada sifat rahmah (kasih sayang) Allah yang menjadi dasar penciptaan alam semesta. Dalam QS. Al-Anbiyā’ [21] ayat 107, Allah berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Ayat ini menegaskan bahwa misi kenabian bersifat universal dan penuh kasih sayang, mencakup seluruh umat manusia tanpa memandang agama, etnis, atau status sosial.⁶ Tasamuh dengan demikian merupakan ekspresi manusiawi dari sifat rahmah Ilahi yang diwujudkan dalam tindakan sosial dan moral.

Sifat rahmah yang mendasari tasamuh bersifat transenden dan kosmik. Ia menegaskan bahwa kasih sayang Ilahi tidak terbatas pada umat Islam semata, melainkan meliputi seluruh makhluk ciptaan.⁷ Dalam konteks ini, tasamuh bukan sekadar bentuk toleransi pasif, melainkan tindakan aktif untuk menghadirkan nilai kasih sayang dalam kehidupan sosial. Ontologi tasamuh berakar pada kesadaran bahwa seluruh makhluk memiliki martabat yang sama di hadapan Sang Pencipta (karāmah insāniyyah), sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Isrā’ [17] ayat 70: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.”⁸

3.3.       Relasi antara Tasamuh, ‘Adl, dan Fitrah

Nilai tasamuh juga memiliki keterkaitan erat dengan konsep ‘adl (keadilan) dan fitrah (kodrat moral manusia). Dalam Al-Qur’an, keadilan merupakan pondasi moral dari seluruh interaksi sosial. QS. An-Naḥl [16] ayat 90 menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” Keadilan menjadi prasyarat bagi lahirnya tasamuh, karena tanpa keadilan, toleransi akan berubah menjadi kompromi terhadap penindasan.⁹

Sementara itu, fitrah manusia, sebagaimana disebut dalam QS. Ar-Rūm [30] ayat 30, adalah potensi bawaan untuk mengenal kebenaran dan kebaikan. Fitrah yang sehat melahirkan kesadaran akan hakikat persaudaraan universal (ukhuwwah insāniyyah) dan keterbukaan terhadap perbedaan.¹⁰ Dalam konteks ini, tasamuh bukanlah hasil konstruksi sosial semata, melainkan bagian dari kodrat spiritual manusia yang diciptakan untuk hidup dalam harmoni dan kasih sayang.¹¹

Dengan demikian, tasamuh memiliki tiga pilar ontologis utama: (1) pengakuan terhadap pluralitas sebagai kehendak Ilahi, (2) internalisasi sifat rahmah sebagai landasan relasi kemanusiaan, dan (3) penghayatan terhadap ‘adl dan fitrah sebagai fondasi moral. Ketiga dimensi ini membentuk struktur metafisis yang menegaskan bahwa tasamuh bukan sekadar strategi sosial, tetapi realitas ontologis yang melekat pada eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan.¹²

3.4.       Ontologi Tasamuh dan Hubungan dengan Tauhid

Dalam kerangka tauhid, seluruh ciptaan merupakan refleksi dari satu sumber kebenaran, yaitu Allah SWT. Kesatuan Ilahi (tawḥīd) melahirkan kesadaran kosmologis bahwa keragaman hanyalah ekspresi dari keesaan Tuhan.¹³ Oleh karena itu, tasamuh menjadi konsekuensi logis dari tauhid: siapa pun yang memahami kesatuan Tuhan harus menghormati keragaman ciptaan-Nya. Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar, menyatakan dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam bahwa “hati seorang arif adalah wadah bagi segala bentuk iman, sebab ia melihat Tuhan dalam setiap manifestasi.”¹⁴

Dalam pengertian ini, tasamuh berakar pada kesadaran mistik dan ontologis tentang keberadaan Tuhan dalam seluruh realitas. Menolak keberagaman berarti menolak manifestasi Tuhan dalam ciptaan-Nya.¹⁵ Dengan demikian, tasamuh menjadi jalan menuju ma‘rifah (pengetahuan Ilahi), karena melalui keterbukaan terhadap yang berbeda, manusia dapat mengenal kebijaksanaan Tuhan yang tak terbatas.


Konsekuensi Ontologis bagi Kehidupan Sosial

Implikasi dari pandangan ontologis ini adalah bahwa tasamuh bukan hanya ajaran moral, tetapi juga dasar bagi tatanan sosial yang adil dan damai. Dalam masyarakat yang menyadari nilai tasamuh, pluralitas bukan dilihat sebagai ancaman terhadap identitas, tetapi sebagai peluang untuk memperkaya pengalaman spiritual dan kultural.¹⁶ Dengan mengakui bahwa keberagaman bersumber dari Tuhan, masyarakat dapat membangun struktur sosial yang inklusif, humanistik, dan berbasis pada nilai-nilai rahmah dan ‘adl.

Ontologi tasamuh sebagaimana diuraikan dalam Al-Qur’an mengandung pesan bahwa keimanan sejati tidak terletak pada eksklusivitas, tetapi pada kesediaan untuk menghormati dan melindungi sesama. Inilah dasar spiritual dari cita-cita Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin—agama yang menghadirkan kasih sayang universal bagi seluruh ciptaan.¹⁷


Footnotes

[1]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 43.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 149.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New Translation and Commentary (New York: HarperOne, 2015), 1052.

[4]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 67.

[5]                Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1982), 57.

[6]                Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 531.

[7]                Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 90.

[8]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 278.

[9]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasa’is al-‘Ammah li al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), 132.

[10]             Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 51.

[11]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1990), 93.

[12]             Murtadha Mutahhari, Human Being and Faith (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1985), 62.

[13]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 215.

[14]             Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1946), 119.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 142.

[16]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 128.

[17]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 134.


4.           Epistemologi Tasamuh dalam Hadits Nabi

Epistemologi tasamuh dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari ajaran dan teladan Nabi Muhammad Saw sebagai sumber pengetahuan praktis dan moral bagi umat manusia. Dalam Islam, wahyu Al-Qur’an memberikan kerangka normatif, sementara Hadits menurunkan nilai-nilai tersebut ke dalam bentuk tindakan, interaksi, dan kebijakan konkret. Dari perspektif epistemologis, tasamuh lahir dari perpaduan antara wahyu (ilham Ilahi), ‘aql (rasio), dan tajrubah insaniyyah (pengalaman manusia), yang bersama-sama membentuk sistem pengetahuan Islam yang integral dan aplikatif.¹

4.1.       Hadits sebagai Sumber Pengetahuan Etis dan Sosial

Hadits Nabi berfungsi sebagai manifestasi epistemik dari ajaran Al-Qur’an. Ia bukan hanya sekumpulan perintah moral, tetapi juga refleksi praksis kehidupan sosial yang menunjukkan bagaimana nilai tasamuh diwujudkan dalam tindakan nyata. Nabi Saw menegaskan, “Seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap sesama manusia” (HR. Tirmidzi).² Hadits ini menjadi basis epistemologis bahwa tasamuh merupakan indikator kesempurnaan iman.

Selain itu, hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Amr menegaskan: “Orang yang penyayang akan disayangi oleh Tuhan Yang Maha Penyayang; sayangilah makhluk di bumi, niscaya kamu akan disayangi oleh yang di langit.”³ Pesan ini menempatkan rahmah sebagai epistemologi dasar dari tasamuh: pengetahuan yang sahih bukan hanya diketahui secara intelektual, tetapi juga dihayati secara emosional dan diwujudkan dalam tindakan kasih sayang. Dengan demikian, epistemologi tasamuh dalam Hadits berakar pada keseimbangan antara pengetahuan rasional, pengalaman spiritual, dan komitmen moral.⁴

4.2.       Rasionalitas dan Kebijaksanaan Nabi dalam Mengelola Perbedaan

Epistemologi tasamuh juga tercermin dalam cara Nabi mengelola konflik dan perbedaan pandangan, baik di antara umat Islam sendiri maupun dengan non-Muslim. Dalam peristiwa Sulh al-Hudaibiyyah (Perjanjian Hudaibiyyah), Nabi menampilkan kecerdasan diplomatik dan kebijaksanaan epistemik yang tinggi. Ketika para sahabat merasa keberatan atas kesepakatan yang tampak “merugikan” umat Islam, Nabi menjelaskan bahwa perdamaian lebih membawa manfaat jangka panjang dibanding kemenangan sesaat.⁵ Sikap ini memperlihatkan bahwa tasamuh bukan kelemahan, tetapi strategi epistemik yang berpijak pada visi moral dan kebijaksanaan.

Lebih jauh, Nabi tidak hanya mentoleransi perbedaan agama, tetapi juga menghormati keragaman dalam praktik keagamaan. Dalam sebuah riwayat, ketika sekelompok Yahudi lewat di hadapan Nabi dan mengucapkan salam dengan sedikit penghinaan, Nabi menjawab dengan penuh kelembutan dan tanpa membalas keburukan dengan keburukan.⁶ Sikap ini menandakan bahwa pengetahuan sejati dalam Islam melibatkan dimensi etis: bagaimana seseorang memahami dan merespons realitas dengan hikmah (wisdom) dan empati, bukan dengan emosi semata.⁷

4.3.       Peran Akal dan Ijtihad dalam Memahami Tasamuh

Dalam epistemologi Islam, akal memiliki peran penting dalam menafsirkan teks wahyu dan menyesuaikan nilai-nilai moral dengan konteks sosial. Hadits Nabi yang berbunyi, “Barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, maka Dia memberinya pemahaman (fiqh) dalam agama” (HR. Bukhari-Muslim), menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan anugerah Ilahi yang menjadi instrumen epistemik untuk menginternalisasi nilai tasamuh.⁸

Dengan demikian, ijtihad (usaha rasional untuk memahami hukum dan nilai-nilai agama) merupakan sarana utama bagi pengembangan konsep tasamuh dalam kehidupan. Nabi memberi ruang luas bagi sahabatnya untuk berpendapat, bahkan ketika pendapat itu berbeda dengan dirinya. Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah mengizinkan dua sahabat yang memahami perintah shalat ‘Ashar di Bani Quraizhah secara berbeda — satu kelompok shalat di perjalanan, yang lain menunggu hingga tiba di lokasi — dan Nabi membenarkan keduanya.⁹ Peristiwa ini menegaskan bahwa epistemologi tasamuh juga mencakup pengakuan terhadap pluralitas penafsiran sebagai bagian dari hikmah Ilahi.¹⁰

4.4.       Dimensi Empiris: Tasamuh sebagai Pengalaman Sosial dan Praktik Kemanusiaan

Epistemologi Islam tidak berhenti pada rasionalitas atau teks normatif, tetapi juga mencakup dimensi empiris — yakni pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman sosial dan praksis kemanusiaan. Nabi Saw mencontohkan tasamuh melalui interaksi langsung dengan masyarakat Madinah yang majemuk. Dalam sejarahnya, Rasulullah sering menjenguk orang sakit dari kalangan non-Muslim, menerima tamu dari berbagai suku dan agama, serta menjalin hubungan sosial dengan penuh adab dan kasih sayang.¹¹

Hadits riwayat Imam Ahmad menggambarkan peristiwa saat Nabi berdiri untuk menghormati jenazah seorang Yahudi yang lewat, lalu beliau bersabda ketika sahabat merasa heran: “Bukankah dia juga manusia?”¹² Pernyataan ini mencerminkan epistemologi empatik — yaitu pengetahuan yang lahir dari kesadaran eksistensial bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhan. Dengan demikian, tasamuh tidak sekadar diketahui, melainkan dialami sebagai kebenaran yang mengakar dalam kesadaran spiritual.

4.5.       Hikmah sebagai Puncak Epistemologi Tasamuh

Dalam tradisi Islam, hikmah (kebijaksanaan) menempati posisi tertinggi dalam hierarki pengetahuan. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, maka Allah memberinya hikmah, dan siapa yang diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.”¹³ Hikmah adalah bentuk pengetahuan yang melampaui teori dan menjelma dalam tindakan moral yang bijaksana. Dalam konteks tasamuh, hikmah menjadi landasan epistemik untuk menyeimbangkan antara keteguhan iman dan keterbukaan terhadap perbedaan.¹⁴

Dengan demikian, epistemologi tasamuh dalam Hadits Nabi berdiri di atas tiga pilar utama: (1) wahyu sebagai sumber kebenaran normatif, (2) ‘aql sebagai instrumen rasional untuk memahami dan mengontekstualisasikan ajaran, dan (3) tajrubah sebagai proses empiris untuk menguji dan mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan nyata. Ketiganya berpadu dalam visi Islam yang integral, di mana pengetahuan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga etis, spiritual, dan praksis.¹⁵


Implikasi Epistemologis terhadap Peradaban Islam

Epistemologi tasamuh sebagaimana diajarkan Nabi memiliki implikasi mendalam bagi pembentukan peradaban Islam yang damai, inklusif, dan progresif. Nabi SAW mengajarkan bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang memanusiakan — ‘ilm yang berfungsi sebagai cahaya bagi keadilan dan kasih sayang.¹⁶ Oleh karena itu, tasamuh bukan sekadar strategi sosial, tetapi fondasi epistemologis yang memastikan bahwa ilmu dan iman tidak digunakan untuk menindas, melainkan untuk memerdekakan.¹⁷

Dalam perspektif ini, setiap tindakan yang mencerminkan penghormatan terhadap perbedaan adalah bagian dari epistemologi Islam. Nabi tidak mengajarkan tasamuh sebagai sikap kompromi terhadap kebenaran, tetapi sebagai metode epistemik untuk mendekati kebenaran dengan cara yang manusiawi.¹⁸ Oleh karena itu, tasamuh menjadi jembatan antara pengetahuan dan kebajikan — antara ‘ilm dan akhlaq, antara rasio dan rahmah.


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45.

[2]                Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Birr wa al-Silah, Hadis no. 2612.

[3]                Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, Hadis no. 5997.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 103.

[5]                W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (Oxford: Oxford University Press, 1961), 150.

[6]                Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Salam, Hadis no. 2165.

[7]                Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (New York: Oxford University Press, 2007), 89.

[8]                Imam al-Bukhari dan Muslim, Sahihayn, Kitab al-‘Ilm, Hadis no. 71.

[9]                Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Salah, Hadis no. 946.

[10]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa al-Tatarruf (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992), 68.

[11]             Ibn Hisham, Sirah al-Nabawiyyah, Vol. 3 (Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1998), 77.

[12]             Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis no. 12121.

[13]             Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Adab, Hadis no. 3643.

[14]             Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 98.

[15]             M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 275.

[16]             Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1982), 89.

[17]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1990), 107.

[18]             Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 64.


5.           Aksiologi Tasamuh: Nilai dan Tujuan Etis

Dalam kerangka filsafat Islam, aksiologi membahas nilai (qiyam) dan tujuan moral (ghayat akhlaqiyyah) dari tindakan manusia. Maka, ketika tasamuh dibahas secara aksiologis, ia bukan hanya sikap sosial atau etika praktis, melainkan nilai moral yang mendalam dan tujuan spiritual dari eksistensi manusia sebagai khalifah fi al-ardh. Nilai tasamuh dalam Islam bersumber dari kesadaran teologis bahwa seluruh manusia diciptakan dengan martabat dan kehormatan yang sama, serta memiliki hak untuk hidup damai dan saling menghormati.¹ Dengan demikian, tasamuh bukan sekadar kebajikan interpersonal, tetapi juga prinsip etik yang mengatur relasi manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta.

5.1.       Tasamuh sebagai Nilai Moral Universal dalam Islam

Nilai tasamuh berakar dari prinsip rahmah (kasih sayang), ‘adl (keadilan), dan ihsan (kebaikan) yang menjadi fondasi moral Islam. Al-Qur’an menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan.” (QS. An-Naḥl [16] ayat 90).² Ayat ini mengandung prinsip aksiologis bahwa keadilan dan kebajikan merupakan syarat moral untuk mewujudkan harmoni sosial. Tasamuh, dalam konteks ini, menjadi ekspresi konkret dari keseimbangan antara ‘adl dan rahmah.

Secara etis, tasamuh melatih manusia untuk mengatasi ego sektarian dan menumbuhkan empati terhadap sesama. Dalam hadits Nabi disebutkan: “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).³ Hadits ini mengandung pesan moral universal bahwa iman yang autentik tidak dapat dipisahkan dari cinta kasih dan penghormatan terhadap orang lain, terlepas dari perbedaan. Tasamuh karenanya merupakan aktualisasi dari iman yang hidup (al-iman al-hayy), bukan sekadar keyakinan dogmatis.⁴

5.2.       Tasamuh dan Orientasi Teleologis dalam Etika Islam

Dari segi tujuan (ghayah), tasamuh berorientasi pada terciptanya masyarakat yang damai (silm), adil (‘adl), dan beradab (madaniyah). Tujuan moral Islam bukan hanya keselamatan individu, tetapi juga kemaslahatan kolektif (maslahah ‘ammah).⁵ Karena itu, tasamuh memiliki fungsi teleologis: mengarahkan perilaku manusia menuju keseimbangan antara kepentingan pribadi dan tanggung jawab sosial. Dalam tradisi maqasid al-syari‘ah, nilai tasamuh termasuk dalam tujuan menjaga agama (hifz al-din) dan menjaga kehormatan manusia (hifz al-‘ird).⁶

Maslahah yang dihasilkan oleh tasamuh bersifat ganda — spiritual dan sosial. Secara spiritual, tasamuh menguatkan kesadaran bahwa kebenaran adalah milik Allah semata, sedangkan manusia hanya mampu menafsirkan sebagian kecil darinya. Secara sosial, ia menciptakan ruang bagi dialog dan kerja sama lintas agama. Dengan demikian, tasamuh berfungsi sebagai jembatan etis antara iman dan kemanusiaan, antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial.⁷

5.3.       Tasamuh dan Dimensi Etika Relasional

Nilai tasamuh juga berfungsi sebagai etika relasional (akhlaq ijtima‘iyyah), yaitu prinsip moral yang mengatur hubungan antarindividu, kelompok, dan bangsa. Dalam konteks ini, tasamuh melahirkan rasa tanggung jawab terhadap sesama (takafal ijtima‘i) dan mendorong terciptanya kehidupan yang inklusif. Nabi Muhammad Saw menegaskan: “Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).⁸ Hadits ini menekankan bahwa moralitas Islam diukur bukan hanya dari kesalehan pribadi, tetapi dari sejauh mana seseorang menjaga harmoni sosial.

Etika tasamuh mengandung dua dimensi penting: al-qabul bi al-ikhtilaf (penerimaan terhadap perbedaan) dan al-ta‘ayush al-silmi (hidup berdampingan secara damai).⁹ Dalam Islam, perbedaan bukan sesuatu yang harus dihapuskan, melainkan dirawat dengan semangat keadaban (adab). Dengan demikian, tasamuh tidak berarti relativisme nilai, tetapi pengakuan atas keterbatasan manusia dalam memahami kebenaran mutlak.¹⁰

5.4.       Tasamuh sebagai Dasar Etika Humanistik

Dalam dimensi aksiologis yang lebih luas, tasamuh merupakan landasan bagi terbentuknya etika humanistik Islam. Nabi Saw menegaskan kesetaraan eksistensial manusia dalam sabdanya: “Kamu semua berasal dari Adam, dan Adam dari tanah. Tidak ada keutamaan orang Arab atas non-Arab, dan tidak pula non-Arab atas orang Arab, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad).¹¹ Pernyataan ini menegaskan fondasi etis tasamuh sebagai bentuk penghormatan terhadap martabat manusia (karāmah insāniyyah).

Dalam konteks humanisme Islam, tasamuh mempersatukan nilai spiritual dan moral dalam satu kesadaran kemanusiaan universal.¹² Etika ini sejalan dengan prinsip Al-Qur’an yang menegaskan bahwa manusia adalah ummatan wasatan — komunitas yang moderat, adil, dan seimbang (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143).¹³ Dengan demikian, tasamuh menjadi instrumen moral untuk menjaga keseimbangan antara iman dan akal, antara identitas partikular dan solidaritas universal.¹⁴

5.5.       Tasamuh dan Transformasi Sosial-Etis

Tujuan akhir (ghayah aksiologiyyah) dari tasamuh adalah menciptakan masyarakat berkeadaban (mujtama‘ madani) yang berlandaskan pada keadilan, kejujuran, dan empati. Islam tidak hanya memerintahkan umatnya untuk beriman, tetapi juga untuk berbuat baik dalam konteks sosial. Dalam QS. Al-Ma’idah [5] ayat 8 ditegaskan: “Janganlah kebencian suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil; berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”¹⁵

Ayat tersebut menegaskan bahwa keadilan adalah nilai etis yang tidak boleh dikorbankan, bahkan dalam situasi konflik. Tasamuh menjadi sarana untuk mengatasi kebencian dan membangun keadilan sosial.¹⁶ Dalam konteks kontemporer, nilai ini sangat relevan untuk menghadapi tantangan intoleransi, ekstremisme, dan polarisasi politik yang mengancam tatanan sosial global.¹⁷


Tasamuh sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan Moral dan Kemanusiaan Universal

Secara aksiologis, puncak dari tasamuh adalah tercapainya sa‘adah insaniyyah (kebahagiaan manusiawi) yang bersumber dari keseimbangan antara iman, akal, dan kasih sayang. Ibn Miskawaih dalam Tahdzib al-Akhlaq menyebutkan bahwa kebajikan tertinggi manusia adalah kemampuan untuk mengendalikan nafsu dan memperlakukan sesama dengan keadilan dan cinta kasih.¹⁸ Tasamuh, dengan demikian, merupakan bentuk tertinggi dari kebajikan moral yang mengantarkan manusia menuju kesempurnaan akhlak (al-fadl al-akbar).

Dalam pandangan sufi, seperti yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi, tasamuh merupakan ekspresi cinta Ilahi yang menembus batas agama dan budaya. Rumi menulis: “Di luar benar dan salah, ada sebuah taman. Aku akan menemuimu di sana.”¹⁹ Ungkapan ini mencerminkan esensi tasamuh sebagai nilai transenden yang mengarahkan manusia untuk menemukan kedamaian dalam kebersamaan, bukan dalam perpecahan.

Dengan demikian, tasamuh dalam perspektif aksiologi Islam mengandung nilai-nilai keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan solidaritas kemanusiaan. Tujuannya bukan hanya menciptakan tatanan sosial yang damai, tetapi juga membentuk kepribadian yang matang secara moral dan spiritual. Tasamuh adalah jalan menuju rahmatan lil-‘alamin — suatu tatanan etis di mana iman, akal, dan kemanusiaan berpadu dalam harmoni.²⁰


Footnotes

[1]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 279.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 163.

[3]                Imam al-Bukhari dan Muslim, Sahihayn, Kitab al-Iman, Hadis no. 13.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 109.

[5]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasa’is al-‘Ammah li al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), 148.

[6]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 85.

[7]                Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London: Routledge, 2006), 121.

[8]                Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Iman, Hadis no. 10.

[9]                Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 95.

[10]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1990), 115.

[11]             Imam Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hadis no. 22978.

[12]             Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 70.

[13]             Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 34.

[14]             Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1982), 76.

[15]             M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 288.

[16]             John L. Esposito, Islam and the West: The Making of an Image (Oxford: Oxford University Press, 1992), 99.

[17]             Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperOne, 2005), 123.

[18]             Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A‘raq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 56.

[19]             Jalaluddin Rumi, Mathnawi-i Ma’nawi, Vol. 1 (Tehran: Amir Kabir Publications, 1994), 12.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 145.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Hukum

Nilai tasamuh tidak hanya berfungsi sebagai prinsip moral individual, tetapi juga sebagai fondasi bagi struktur sosial, politik, dan hukum dalam peradaban Islam. Dalam tataran sosial, tasamuh menjadi perekat kohesi masyarakat yang majemuk; dalam politik, ia menjadi asas legitimasi kekuasaan yang berkeadilan; dan dalam hukum, ia menjadi dasar bagi perlindungan hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi. Dengan demikian, tasamuh memiliki dimensi yang luas dan integral, menjangkau seluruh aspek kehidupan publik.¹

6.1.       Dimensi Sosial: Tasamuh dan Kohesi Masyarakat Majemuk

Masyarakat Islam sejak awal berdiri telah menghadapi realitas sosial yang plural, baik dalam etnis, suku, maupun agama. Nabi Muhammad Saw menata masyarakat Madinah yang multikultural dengan prinsip tasamuh yang berorientasi pada keadilan sosial dan kesetaraan kemanusiaan. Piagam Madinah merupakan bukti historis pertama dari kontrak sosial yang menegaskan hak hidup bersama bagi semua warga, tanpa memandang latar belakang agama.² Dalam pasal-pasal piagam tersebut ditegaskan bahwa kaum Yahudi dan Muslim merupakan satu komunitas politik (ummah wahidah) yang terikat oleh kewajiban bersama untuk menjaga perdamaian dan keadilan.³

Secara sosiologis, tasamuh menciptakan ruang dialog dan interaksi sosial yang sehat antarumat beragama. Nilai ini mendorong terciptanya solidaritas kemanusiaan (ukhuwwah insaniyyah) dan sikap saling menghargai dalam kehidupan bermasyarakat.⁴ Dalam konteks modern, semangat tasamuh sejalan dengan prinsip pluralisme sosial sebagaimana dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Azyumardi Azra, yang menekankan Islam sebagai agama yang “ramah perbedaan” dan berorientasi pada keadaban publik.⁵

Dengan demikian, tasamuh berperan penting dalam membangun tatanan sosial yang inklusif. Ia menolak segala bentuk diskriminasi, sektarianisme, dan kekerasan atas nama agama. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa keberagaman merupakan sumber kekayaan moral dan spiritual bagi masyarakat.⁶

6.2.       Dimensi Politik: Tasamuh dan Prinsip Keadilan Kekuasaan

Dalam dimensi politik, tasamuh mengandung nilai-nilai fundamental yang menegakkan legitimasi kekuasaan berdasarkan keadilan, partisipasi, dan kebebasan. Islam menolak absolutisme politik yang menindas, karena kekuasaan dalam pandangan Islam bersifat amanah (trusteeship), bukan privilese.⁷ Nabi Muhammad Saw dan Khulafā’ al-Rāsyidīn menunjukkan praktik tasamuh politik dengan menghargai perbedaan pendapat, melindungi hak minoritas, dan membuka ruang musyawarah publik (shura).⁸

Konsep tasamuh politik juga berarti menegakkan prinsip al-‘adl (keadilan) dan al-musawah (kesetaraan) dalam kebijakan publik. Dalam QS. Al-Ma’idah [5] ayat 8, Allah menegaskan: “Janganlah kebencian suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil; berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”⁹ Ayat ini menjadi prinsip dasar bagi sistem politik Islam yang etis dan toleran. Dengan demikian, politik yang berlandaskan tasamuh adalah politik yang mengedepankan kemaslahatan umat (maslahah ‘ammah), bukan kepentingan kelompok atau ideologi tertentu.

Dalam konteks kontemporer, konsep tasamuh dapat diaktualisasikan melalui politik kewargaan (civic politics), di mana partisipasi masyarakat, dialog antaragama, dan perlindungan minoritas menjadi inti tata kelola pemerintahan.¹⁰ Pemikir Islam modern seperti Rashid Rida dan Muhammad Abduh menegaskan bahwa tasamuh adalah ciri politik Islam yang rasional dan humanistik, yang mengakui hak manusia untuk berpendapat, berkeyakinan, dan berkontribusi dalam ruang publik.¹¹

Selain itu, tasamuh menjadi basis bagi konsep negara madani (civil state), yakni pemerintahan yang berdiri atas prinsip hukum, keadilan, dan kesetaraan hak warga negara.¹² Dalam kerangka ini, nilai tasamuh tidak hanya mengatur hubungan antaragama, tetapi juga relasi antara negara dan warga, antara kekuasaan dan keadilan.

6.3.       Dimensi Hukum: Tasamuh sebagai Prinsip Keadilan dan Perlindungan Hak

Dimensi hukum dari tasamuh dapat ditemukan dalam doktrin fiqh siyasah dan maqasid al-syari‘ah. Dalam hukum Islam, prinsip tasamuh menjadi dasar bagi perlindungan hak asasi manusia, terutama hak kebebasan beragama, hak hidup, dan hak memperoleh keadilan.¹³ QS. Al-Baqarah [2] ayat 256 menegaskan: “Tidak ada paksaan dalam agama.” Ayat ini menjadi dasar normatif bagi kebebasan beragama dan menolak segala bentuk pemaksaan keyakinan.¹⁴

Dalam sejarah peradaban Islam, praktik tasamuh hukum telah diterapkan melalui sistem dhimmah, yakni jaminan perlindungan bagi non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam.¹⁵ Mereka dijamin hak keamanan, kebebasan beribadah, dan perlindungan harta. Umar bin Khattab, misalnya, memberikan jaminan tertulis kepada umat Kristen Yerusalem bahwa gereja-gereja mereka tidak akan dirusak dan kebebasan mereka tidak akan diganggu.¹⁶

Dari perspektif maqasid al-syari‘ah, tasamuh berfungsi menjaga lima tujuan dasar hukum Islam: hifz al-din (perlindungan agama), hifz al-nafs (jiwa), hifz al-‘aql (akal), hifz al-nasl (keturunan), dan hifz al-mal (harta).¹⁷ Dalam konteks sosial-hukum modern, nilai tasamuh mendorong lahirnya sistem hukum yang adaptif, humanistik, dan berkeadilan gender serta sosial.¹⁸

Khaled Abou El Fadl menyatakan bahwa hukum Islam sejati bersumber dari moralitas Ilahi, bukan kekuasaan politik, sehingga tidak mungkin menegakkan hukum tanpa menjunjung tinggi tasamuh dan rahmah.¹⁹ Pandangan ini menunjukkan bahwa penegakan hukum dalam Islam harus selalu diimbangi dengan kesadaran moral dan kasih sayang terhadap sesama. Dengan demikian, hukum Islam yang humanistik adalah hukum yang menghidupkan semangat tasamuh sebagai nilai dasar keadilan sosial.


Tasamuh dalam Konteks Masyarakat Global dan Negara-Bangsa

Dalam konteks global modern, tasamuh memiliki relevansi strategis dalam menghadapi tantangan multikulturalisme, ekstremisme agama, dan konflik identitas. Nilai tasamuh mengajarkan bahwa perbedaan ideologi dan keyakinan dapat disatukan dalam bingkai kemanusiaan universal (insaniyyah ‘alamiyyah).²⁰ Prinsip ini sejalan dengan konsep maqasid al-‘alamiyyah — tujuan syariah untuk membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.²¹

Dalam negara-bangsa seperti Indonesia, tasamuh menjadi pilar utama kehidupan beragama dan demokrasi konstitusional. Nilai ini terintegrasi dalam Pancasila, khususnya sila pertama dan kedua, yang menegaskan hubungan harmonis antara ketuhanan dan kemanusiaan.²² Karena itu, tasamuh dapat dipandang sebagai fondasi etik dari pluralisme agama dan dasar moral bagi hukum nasional yang berkeadilan dan berperikemanusiaan.

Secara keseluruhan, dimensi sosial, politik, dan hukum tasamuh menunjukkan bahwa Islam memiliki potensi besar dalam membangun tatanan masyarakat yang damai, adil, dan beradab. Tasamuh bukanlah tanda kelemahan iman, melainkan ekspresi kekuatan moral yang melindungi kehidupan bersama di tengah keragaman.²³


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 82.

[2]                Muhammad Hamidullah, The First Written Constitution in the World: The Constitution of Madinah (Lahore: Ashraf Press, 1975), 25.

[3]                John L. Esposito, Islam: The Straight Path, 4th ed. (New York: Oxford University Press, 2011), 50.

[4]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa al-Tatarruf (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992), 90.

[5]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 112.

[6]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 285.

[7]                Ali Shariati, Man and Islam (Tehran: Shariati Foundation, 1980), 59.

[8]                W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (Oxford: Oxford University Press, 1961), 178.

[9]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 175.

[10]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 135.

[11]             Rashid Rida, Al-Khilafah aw al-Imamah al-‘Uzma (Kairo: Maktabah al-Manar, 1923), 48.

[12]             Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Daulah fi al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), 27.

[13]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 98.

[14]             Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 47.

[15]             Bernard Lewis, The Jews of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1984), 13.

[16]             Imam al-Baladhuri, Futuh al-Buldan (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987), 162.

[17]             Abu Ishaq al-Shatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah, Vol. 2 (Kairo: Dar Ibn Affan, 1997), 21.

[18]             Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld Publications, 2001), 84.

[19]             Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperOne, 2005), 133.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 118.

[21]             Abdullah bin Bayyah, Fiqh al-Silm wa al-Harb fi al-Islam (Abu Dhabi: Tabah Foundation, 2013), 65.

[22]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dan Transformasi Sosial (Jakarta: Penerbit Kompas, 2019), 52.

[23]             Murtadha Mutahhari, Society and History (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1985), 89.


7.           Dimensi Pendidikan dan Dakwah

Pendidikan dan dakwah merupakan dua instrumen utama dalam pewarisan dan internalisasi nilai-nilai tasamuh dalam masyarakat Islam. Melalui pendidikan, tasamuh dipahami sebagai landasan moral dan intelektual; melalui dakwah, ia diwujudkan dalam perilaku sosial dan komunikasi religius yang membangun. Keduanya berfungsi sinergis dalam menanamkan kesadaran bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi akhlak, kasih sayang, dan penghormatan terhadap perbedaan.¹

7.1.       Tasamuh dalam Paradigma Pendidikan Islam

Dalam epistemologi pendidikan Islam, tasamuh bukan sekadar konsep normatif, tetapi juga prinsip pedagogis. Pendidikan Islam idealnya menumbuhkan insan kamil — manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Nilai tasamuh dalam konteks ini berperan sebagai kerangka etis untuk membentuk karakter peserta didik yang terbuka, empatik, dan adil.²

Al-Qur’an memandang proses pendidikan sebagai jalan menuju kebijaksanaan dan kesadaran moral. Dalam QS. Al-‘Alaq [96] ayat 1–5, Allah memerintahkan manusia untuk membaca dan belajar sebagai bentuk penghargaan terhadap ilmu.³ Ilmu yang sejati, menurut perspektif Islam, adalah ilmu yang melahirkan kebajikan dan menghormati keberagaman ciptaan Tuhan. Maka, tasamuh menjadi ekspresi dari pendidikan yang memanusiakan manusia (humanizing education).⁴

Di masa klasik, para ulama seperti Al-Ghazali dan Ibn Miskawaih menekankan bahwa pendidikan Islam tidak hanya bertujuan mentransfer pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan moral (hikmah).⁵ Dalam Ihya’ Ulum al-Din, Al-Ghazali menulis bahwa guru sejati adalah mereka yang menanamkan kasih sayang dan menghargai kemampuan muridnya tanpa paksaan.⁶ Sikap ini adalah cerminan pedagogi tasamuh: mendidik dengan penuh kesabaran, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan potensi intelektual.

Dalam konteks kontemporer, pendidikan tasamuh dapat diimplementasikan melalui kurikulum multikultural yang menekankan dialog antaragama, sejarah peradaban Islam yang inklusif, dan penguatan etika sosial.⁷ Lembaga pendidikan Islam — mulai dari pesantren hingga universitas — memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi pusat pengembangan nilai wasathiyyah (moderasi) dan rahmah (kasih sayang), agar peserta didik tidak hanya cerdas intelektual tetapi juga matang spiritual.⁸

7.2.       Tasamuh dalam Metodologi Dakwah Islam

Dakwah dalam Islam bukan sekadar ajakan verbal kepada kebaikan, tetapi sebuah proses pendidikan sosial yang melibatkan dimensi rasional, emosional, dan spiritual. Dalam QS. An-Naḥl [16] ayat 125, Allah memerintahkan: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” Ayat ini menegaskan tiga prinsip dasar dakwah: kebijaksanaan (hikmah), keteladanan moral (maw‘izhah hasanah), dan dialog etis (mujadalah bi al-lati hiya ahsan).⁹

Dakwah yang berlandaskan tasamuh berorientasi pada penghormatan terhadap kebebasan berpikir dan beragama. Nabi Muhammad Saw merupakan teladan utama dalam hal ini. Dalam berbagai riwayat, beliau selalu menampilkan sikap toleran dan lembut dalam berdakwah, bahkan terhadap mereka yang menolak risalah Islam.¹⁰ Ketika masyarakat Thaif menolak dakwah beliau dengan kekerasan, Nabi tidak membalas dendam, tetapi justru mendoakan kebaikan bagi mereka.¹¹

Metode dakwah yang inklusif dan penuh tasamuh mencerminkan pemahaman epistemologis bahwa kebenaran tidak dapat dipaksakan, melainkan diperkenalkan dengan kebijaksanaan.¹² Oleh karena itu, dakwah Islam yang sejati harus mengedepankan pendekatan komunikatif dan persuasif, bukan konfrontatif. Dalam kerangka ini, tasamuh menjadi strategi dakwah yang efektif untuk menghadirkan wajah Islam yang damai dan rahmatan lil-‘alamin.¹³

7.3.       Peran Lembaga Pendidikan dan Da’i dalam Membangun Budaya Tasamuh

Lembaga pendidikan Islam dan para da’i memiliki peran strategis dalam mengembangkan budaya tasamuh di tengah masyarakat yang plural. Dalam pendidikan formal, tasamuh dapat diinternalisasi melalui pembelajaran lintas budaya, pelatihan empati sosial, dan diskursus interreligius.¹⁴ Sementara dalam ranah dakwah, para da’i diharapkan mampu menjadi komunikator etis yang menjembatani perbedaan dengan narasi perdamaian.

Model dakwah Nabi dan para sahabat menunjukkan bahwa pesan Islam disampaikan melalui keteladanan (uswah hasanah).¹⁵ Dalam sejarah dakwah Islam di Nusantara, para ulama seperti Walisongo mencontohkan pendekatan tasamuh yang sangat kontekstual: mereka mengadaptasi budaya lokal tanpa mengorbankan prinsip tauhid.¹⁶ Metode tersebut berhasil menanamkan nilai Islam yang damai dan harmonis dalam kehidupan sosial masyarakat.

Oleh karena itu, lembaga dakwah modern perlu menghidupkan kembali pendekatan dakwah yang humanistik dan dialogis. Dakwah bukan ajang hegemoni keyakinan, tetapi ruang dialog yang menumbuhkan saling pengertian.¹⁷ Dalam konteks era digital, strategi dakwah yang mengedepankan tasamuh dapat diwujudkan melalui literasi digital etis, konten edukatif, serta narasi keislaman yang menolak ekstremisme dan ujaran kebencian.¹⁸


Tasamuh sebagai Tujuan Pendidikan dan Dakwah Humanistik

Baik pendidikan maupun dakwah Islam memiliki tujuan yang sama: membentuk pribadi Muslim yang beradab (mutahaddir), berkeadilan (‘adil), dan berbelas kasih (rahim). Tasamuh adalah nilai inti dari tujuan tersebut, sebab ia mengajarkan kemampuan untuk hidup berdampingan, menghormati perbedaan, dan menegakkan keadilan sosial.¹⁹ Dalam pandangan Fazlur Rahman, etika Islam harus diarahkan pada penciptaan masyarakat etis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal.²⁰

Oleh karena itu, pendidikan dan dakwah yang berlandaskan tasamuh harus menghasilkan manusia yang beriman tanpa fanatisme, berilmu tanpa kesombongan, dan beramal tanpa diskriminasi.²¹ Melalui pendekatan ini, Islam tampil bukan sebagai ideologi eksklusif, melainkan sebagai sistem nilai yang menyatukan perbedaan dalam bingkai kasih sayang dan kebijaksanaan.²²

Dengan demikian, dimensi pendidikan dan dakwah dalam konteks tasamuh adalah upaya simultan untuk mentransformasikan pengetahuan menjadi kebajikan sosial. Pendidikan menanamkan tasamuh dalam kesadaran intelektual; dakwah menyalurkannya dalam tindakan nyata. Keduanya membentuk sinergi menuju masyarakat yang damai, berkeadilan, dan humanistik sebagaimana cita-cita Islam sejati.²³


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 93.

[2]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 290.

[3]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 12.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 135.

[5]                Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A‘raq (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 68.

[6]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 32.

[7]                Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London: Routledge, 2006), 132.

[8]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 115.

[9]                Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 434.

[10]             Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, Hadis no. 5997.

[11]             Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (New York: Oxford University Press, 2007), 84.

[12]             Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), 73.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 128.

[14]             A. L. al-‘Awwa, Al-Tasamuh fi al-Islam (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), 54.

[15]             Imam Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Iman, Hadis no. 45.

[16]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dan Transformasi Sosial (Jakarta: Penerbit Kompas, 2019), 77.

[17]             Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 189.

[18]             Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperOne, 2005), 140.

[19]             Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1982), 112.

[20]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 74.

[21]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 151.

[22]             Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 101.

[23]             Murtadha Mutahhari, Man and Universe (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1983), 63.


8.           Kritik dan Tantangan Konseptual

Konsep tasamuh (toleransi) dalam Islam, meskipun memiliki basis teologis dan historis yang kuat, tidak lepas dari kritik dan tantangan konseptual, terutama ketika dihadapkan pada realitas sosial, politik, dan ideologis kontemporer. Tantangan ini muncul baik dari kalangan internal umat Islam yang menafsirkan tasamuh secara reduktif maupun dari kalangan eksternal yang memandangnya dengan skeptisisme. Dalam konteks modern, tasamuh perlu direvitalisasi agar tidak sekadar menjadi slogan moral, tetapi menjadi paradigma etis yang relevan, rasional, dan transformatif.¹

8.1.       Kritik terhadap Penyempitan Makna Tasamuh

Salah satu kritik utama terhadap pemaknaan tasamuh ialah kecenderungan sebagian pihak untuk mengartikannya secara sempit — hanya sebatas “membiarkan perbedaan” tanpa pemaknaan etis yang mendalam.² Padahal, dalam kerangka filosofis Islam, tasamuh tidak hanya berarti sikap permisif, tetapi ekspresi aktif dari keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia.³ Reduksi makna ini sering kali menyebabkan tasamuh terjebak dalam formalitas sosial, kehilangan dimensi teologis dan spiritualnya.

Lebih jauh, sebagian kalangan ekstremis menuduh tasamuh sebagai bentuk relativisme moral yang melemahkan keyakinan akidah.⁴ Mereka menganggap toleransi sebagai kompromi terhadap kebenaran Islam. Pandangan ini lahir dari pemahaman tekstualistik yang mengabaikan konteks wahyu dan prinsip rahmatan lil-‘alamin. Fazlur Rahman mengingatkan bahwa moralitas Islam tidak pernah absolut dalam bentuk formal, tetapi kontekstual dalam tujuan etisnya, yakni mewujudkan keadilan dan kemanusiaan.⁵

8.2.       Tantangan Fundamentalisme dan Ekstremisme

Tantangan konseptual yang paling serius terhadap tasamuh datang dari berkembangnya fundamentalisme dan ekstremisme keagamaan. Gerakan-gerakan ini sering kali menolak pluralitas tafsir dan menempatkan pandangan keagamaan mereka sebagai satu-satunya kebenaran.⁶ Dalam situasi seperti ini, tasamuh dianggap sebagai ancaman terhadap “kemurnian” iman. Akibatnya, muncul polarisasi di tengah umat Islam, di mana perbedaan pandangan teologis dan mazhab direspons dengan intoleransi bahkan kekerasan.

Khaled Abou El Fadl menegaskan bahwa ekstremisme bukanlah produk teks suci, tetapi hasil dari distorsi epistemologi keagamaan yang menyingkirkan akal dan moralitas.⁷ Ia berargumen bahwa ketika otoritas agama kehilangan kepekaan terhadap nilai rahmah dan ‘adl, maka hukum dan teologi berubah menjadi alat kekuasaan. Dalam konteks ini, revitalisasi tasamuh menuntut pemulihan kembali rasionalitas moral dan keadilan spiritual dalam memahami teks keagamaan.⁸

Selain itu, globalisasi informasi melalui media sosial memperparah tantangan ini. Polarisasi digital menciptakan ruang bagi penyebaran ujaran kebencian dan tafsir keagamaan yang kaku.⁹ Oleh karena itu, diperlukan literasi keagamaan yang moderat agar masyarakat mampu membedakan antara perbedaan intelektual yang sehat dan provokasi ideologis yang destruktif.

8.3.       Kritik terhadap Ambiguitas Konseptual dalam Diskursus Akademik

Dari perspektif akademik, sejumlah pemikir Muslim modern mengkritik bahwa konsep tasamuh sering kali digunakan secara ambigu, tanpa kejelasan epistemologis.¹⁰ Ada kecenderungan menjadikan tasamuh sebagai istilah politis yang berfungsi retoris — sekadar simbol inklusivitas tanpa komitmen praksis terhadap keadilan sosial. Tariq Ramadan, misalnya, menilai bahwa tasamuh sering disalahgunakan oleh rezim politik sebagai alat legitimasi moral, sementara ketidakadilan struktural tetap dibiarkan.¹¹

Kritik ini menegaskan perlunya distingsi antara tasamuh sebagai retorika sosial dan tasamuh sebagai etika praksis. Etika tasamuh menuntut keaktifan moral — kemampuan untuk menegakkan keadilan bagi yang tertindas dan membela hak bagi minoritas.¹² Dengan demikian, tasamuh bukan sekadar wacana toleransi pasif, tetapi bagian dari perjuangan etis untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan, kebenaran, dan kemanusiaan.

8.4.       Tantangan Sekularisasi dan Relativisme Modern

Tantangan lain muncul dari perkembangan sekularisme dan relativisme modern yang sering kali memisahkan agama dari kehidupan publik. Dalam kerangka pemikiran sekular, tasamuh dipandang sebagai hasil kontrak sosial, bukan nilai moral transenden.¹³ Akibatnya, makna spiritual tasamuh sebagai bagian dari iman dan ihsan hilang dari ruang publik, digantikan oleh toleransi yang bersifat pragmatis dan utilitarian.

Seyyed Hossein Nasr menilai bahwa hilangnya kesadaran metafisik ini membuat tasamuh kehilangan “akar kosmik”-nya.¹⁴ Dalam pandangan Islam, tasamuh bukan produk kompromi sosial, tetapi manifestasi dari kesadaran tauhid — bahwa seluruh manusia adalah ciptaan Allah yang saling membutuhkan. Oleh karena itu, Islam menolak relativisme moral yang menafikan kebenaran, sekaligus menolak eksklusivisme yang menafikan kemanusiaan.¹⁵

Keseimbangan ini menjadi tantangan filosofis utama: bagaimana menjaga komitmen terhadap kebenaran iman tanpa menutup ruang bagi perbedaan? Jawabannya terletak pada kesadaran epistemologis bahwa kebenaran Ilahi bersifat absolut, tetapi pemahaman manusia terhadapnya selalu relatif dan terbuka untuk dialog.¹⁶

8.5.       Krisis Keteladanan dan Pendidikan Moral

Kritik lain terhadap implementasi tasamuh terletak pada lemahnya pendidikan moral dan krisis keteladanan di kalangan pemimpin agama maupun sosial. Banyak institusi keagamaan gagal menanamkan tasamuh sebagai bagian dari pendidikan karakter dan spiritualitas.¹⁷ Akibatnya, muncul generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi miskin empati sosial.

Dalam tradisi Islam, pendidikan tidak hanya berorientasi pada ta‘lim (transfer ilmu), tetapi juga tarbiyah (pembentukan karakter) dan ta’dib (penanaman adab).¹⁸ Ketika aspek ta’dib diabaikan, maka tasamuh kehilangan fondasi aksiologisnya. Oleh karena itu, revitalisasi tasamuh harus dimulai dari reformasi pendidikan Islam, dakwah, dan keteladanan moral para ulama dan pemimpin publik.


Arah Rekonstruksi Konseptual: Dari Toleransi ke Keadaban

Menjawab kritik dan tantangan di atas, konsep tasamuh perlu direkonstruksi dalam paradigma etika keadaban (akhlaq al-hadariyyah). Tasamuh tidak boleh berhenti pada tataran kesabaran terhadap perbedaan, tetapi harus berkembang menjadi tindakan aktif membangun dialog, kolaborasi, dan keadilan.¹⁹ Dalam kerangka ini, tasamuh bukan hanya prinsip sosial, tetapi juga visi peradaban: tasamuh al-hadari — toleransi yang membangun dan mencerdaskan.

Dengan demikian, kritik dan tantangan konseptual terhadap tasamuh justru membuka ruang bagi pendalaman makna dan perluasan fungsinya. Islam tidak mengenal tasamuh yang lemah atau kompromistis; yang diakui adalah tasamuh yang kuat — toleransi yang berakar pada iman, berpijak pada akal, dan berorientasi pada kemanusiaan.²⁰


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 102.

[2]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 294.

[3]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 175.

[4]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa al-Tatarruf (Kairo: Maktabah Wahbah, 1992), 109.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 67.

[6]                Bernard Lewis, The Political Language of Islam (Chicago: University of Chicago Press, 1988), 91.

[7]                Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperOne, 2005), 124.

[8]                Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: Oneworld, 2001), 54.

[9]                Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 138.

[10]             Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (London: Routledge, 2006), 119.

[11]             Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 78.

[12]             Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1982), 87.

[13]             John L. Esposito, Islam and the West: The Making of an Image (Oxford: Oxford University Press, 1992), 105.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 142.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 98.

[16]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1990), 113.

[17]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dan Transformasi Sosial (Jakarta: Penerbit Kompas, 2019), 81.

[18]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 37.

[19]             Murtadha Mutahhari, Society and History (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1985), 97.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 151.


9.           Relevansi Kontemporer

Konsep tasamuh (toleransi) memiliki relevansi yang sangat kuat dalam konteks kehidupan modern yang ditandai oleh globalisasi, pluralitas budaya, dan tantangan ideologis lintas agama. Dunia kontemporer menghadapi paradoks yang mendalam: di satu sisi terdapat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi yang mempermudah interaksi antarbangsa; namun di sisi lain, terjadi eskalasi konflik identitas, intoleransi, dan kekerasan berbasis agama.¹ Dalam situasi seperti ini, nilai tasamuh yang bersumber dari ajaran Islam perlu dihadirkan kembali sebagai paradigma etika global untuk memperkuat perdamaian, keadilan sosial, dan solidaritas kemanusiaan.

9.1.       Tasamuh dalam Era Globalisasi dan Multikulturalisme

Era globalisasi menghadirkan interaksi lintas budaya yang semakin intens, sekaligus memperkuat tantangan terhadap kohesi sosial.² Dalam masyarakat multikultural, tasamuh berfungsi sebagai nilai integratif yang menegaskan pentingnya hidup berdampingan secara damai tanpa menafikan identitas keagamaan masing-masing. QS. Al-Ḥujurāt [49] ayat 13 menegaskan bahwa keberagaman adalah kehendak Ilahi, bukan hambatan bagi persaudaraan manusia.³

Pemikir kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menilai bahwa tasamuh adalah jalan spiritual untuk menghadirkan kesadaran kosmologis: manusia tidak dapat hidup damai dengan sesamanya tanpa terlebih dahulu berdamai dengan Tuhan.⁴ Dalam konteks ini, tasamuh bukan sekadar prinsip sosial, melainkan spiritualitas peradaban — sebuah kesadaran transendental yang memandang pluralitas sebagai cermin kebijaksanaan Ilahi.

Bagi masyarakat modern yang semakin sekuler dan materialistik, nilai tasamuh juga berperan mengembalikan dimensi etis dalam hubungan antarmanusia. Toleransi yang hanya didasarkan pada kontrak sosial sering kali bersifat formal dan rapuh; Islam menawarkan tasamuh yang berakar pada nilai spiritual dan moral universal.⁵ Dengan demikian, tasamuh dapat menjadi jembatan antara agama dan modernitas, antara iman dan rasionalitas.

9.2.       Relevansi Tasamuh terhadap Krisis Sosial dan Politik Global

Krisis global saat ini — seperti konflik agama, rasisme, migrasi paksa, dan ekstremisme politik — memperlihatkan kebutuhan mendesak akan etika tasamuh yang autentik. Dalam banyak kasus, kekerasan yang mengatasnamakan agama bukanlah hasil dari ajaran agama itu sendiri, tetapi dari penyelewengan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya.⁶ Tasamuh dalam konteks ini menjadi mekanisme moral untuk mengembalikan fungsi agama sebagai kekuatan pembebasan dan perdamaian.

Sebagai contoh, konflik Timur Tengah yang berkepanjangan, polarisasi politik global, dan krisis kemanusiaan akibat xenofobia menunjukkan kerapuhan struktur moral masyarakat modern.⁷ Islam melalui konsep tasamuh menawarkan jalan keluar yang bersifat dialogis — bukan konfrontatif. Prinsip la ikraha fid-din (tidak ada paksaan dalam agama) menegaskan hak kebebasan berkeyakinan, sementara ajaran rahmatan lil-‘alamin menegaskan tanggung jawab universal umat Islam terhadap kemaslahatan dunia.⁸

Dalam perspektif ini, tasamuh dapat berfungsi sebagai paradigma politik global yang menolak kekerasan struktural dan diskriminasi ideologis.⁹ Sebagaimana ditegaskan oleh Khaled Abou El Fadl, Islam sejati menolak pemaksaan dalam bentuk apa pun — baik dari negara terhadap warganya, maupun antaragama — karena otoritas moral tidak pernah dapat dipisahkan dari kebebasan nurani.¹⁰

9.3.       Tasamuh dan Isu Hak Asasi Manusia

Relevansi tasamuh juga tampak jelas dalam wacana hak asasi manusia (human rights). Dunia modern sering memandang HAM sebagai produk Barat yang sekuler, sementara Islam justru memiliki konsep keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia yang sejalan dengan prinsip HAM universal.¹¹ Tasamuh dalam Islam tidak hanya berarti menghormati perbedaan keyakinan, tetapi juga menegaskan hak hidup, hak kebebasan berpikir, dan hak untuk dihormati tanpa diskriminasi.

Dalam QS. Al-Isrā’ [17] ayat 70, Allah berfirman: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” Ayat ini menjadi fondasi teologis bagi nilai kemanusiaan universal dalam Islam.¹² Maka, tasamuh dapat dipahami sebagai landasan moral bagi pembentukan sistem sosial yang menjamin kesetaraan hak dan keadilan bagi semua manusia, baik Muslim maupun non-Muslim.

Pemikir Islam modern seperti Fazlur Rahman dan Abdullahi an-Na’im berpendapat bahwa penegakan hak asasi manusia dalam Islam memerlukan pembaruan pemahaman terhadap teks-teks agama, agar sesuai dengan konteks kemanusiaan kontemporer.¹³ Tasamuh dalam kerangka ini menjadi prinsip metodologis yang memungkinkan dialog antara norma agama dan tuntutan zaman.

9.4.       Tasamuh dan Etika Digital di Era Informasi

Tantangan baru bagi penerapan tasamuh hadir dalam ruang digital. Media sosial dan teknologi komunikasi telah memperluas ruang publik, tetapi juga memperbesar potensi penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan polarisasi ideologis.¹⁴ Dalam konteks ini, tasamuh perlu direinterpretasi sebagai etika digital — kemampuan untuk menggunakan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab moral dan kesadaran etis.

Etika tasamuh dalam dunia digital berarti menahan diri dari ujaran kebencian, menghormati keragaman pandangan, dan mengedepankan dialog berbasis empati.¹⁵ Dakwah dan pendidikan Islam di ruang daring pun harus merepresentasikan wajah Islam yang moderat, bukan yang eksklusif dan konfrontatif. Dengan demikian, tasamuh menjadi filter moral terhadap banjir informasi dan ideologi ekstrem yang kerap mendominasi dunia maya.¹⁶

9.5.       Tasamuh dalam Konteks Indonesia dan Dunia Muslim Modern

Dalam konteks Indonesia — sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan tingkat pluralitas tinggi — tasamuh merupakan fondasi utama bagi keberlangsungan kebangsaan.¹⁷ Nilai ini selaras dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan sila pertama serta kedua Pancasila, yang menegaskan harmoni antara ketuhanan dan kemanusiaan.

Tokoh-tokoh Islam Indonesia seperti Hasyim Asy‘ari, Ahmad Dahlan, dan Nurcholish Madjid telah mengembangkan tradisi tasamuh khas Nusantara yang mengutamakan moderasi (wasathiyyah) dan integrasi nilai-nilai lokal.¹⁸ Islam Indonesia, dalam pandangan Azyumardi Azra, merupakan contoh konkret dari Islam berwajah ramah, bukan Islam berwajah marah.¹⁹ Dalam konteks global, model ini dapat menjadi kontribusi intelektual dan moral Islam Nusantara terhadap peradaban dunia.

Sementara itu, di dunia Muslim modern secara luas, penerapan tasamuh menghadapi tantangan politik identitas, radikalisme, dan benturan antara modernitas dan tradisi.²⁰ Karena itu, tasamuh perlu dipahami bukan hanya sebagai sikap sosial, tetapi sebagai agenda kebudayaan dan politik peradaban — sebuah civilizational ethic yang menjembatani antara iman, rasionalitas, dan kemanusiaan universal.²¹


Menuju Etika Global Humanistik

Relevansi terakhir dari tasamuh adalah kontribusinya terhadap pembentukan etika global yang humanistik. Dunia pasca-modern membutuhkan paradigma moral yang mampu mengatasi sekat agama, ras, dan bangsa. Tasamuh menyediakan fondasi spiritual bagi hal ini, karena ia berpijak pada kesadaran tauhid yang menegaskan kesatuan asal-usul dan tujuan manusia.²²

Dalam kerangka ini, tasamuh dapat menjadi jembatan dialog antarperadaban (intercivilizational dialogue), sebagaimana diusulkan oleh pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Ismail al-Faruqi.²³ Islam yang berlandaskan tasamuh bukanlah agama yang eksklusif atau defensif, melainkan kekuatan moral yang mempersatukan manusia di bawah nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kasih sayang.²⁴

Dengan demikian, tasamuh bukan hanya konsep teologis yang bersifat ideal, tetapi realitas etis yang harus diwujudkan dalam pendidikan, kebijakan publik, relasi sosial, dan teknologi informasi. Dalam dunia yang semakin kompleks, nilai tasamuh menjadi syarat mutlak bagi peradaban yang damai, rasional, dan berkeadaban.²⁵


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 118.

[2]                John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (New York: Oxford University Press, 1999), 63.

[3]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 45.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 155.

[5]                Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1982), 119.

[6]                Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response (New York: Oxford University Press, 2002), 73.

[7]                Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 165.

[8]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 180.

[9]                Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 222.

[10]             Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperOne, 2005), 132.

[11]             Abdullahi Ahmed An-Na‘im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a (Cambridge: Harvard University Press, 2008), 91.

[12]             M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 283.

[13]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 84.

[14]             Khalid Latif, Digital Islam: Understanding the Ethics of Online Da‘wah (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2019), 27.

[15]             Yasmin Ibrahim, Digital Islam: Media and the Ethics of Representation (Bristol: Intellect Books, 2018), 42.

[16]             Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1998), 95.

[17]             Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Islam Indonesia dan Transformasi Sosial (Jakarta: Penerbit Kompas, 2019), 104.

[18]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1998), 217.

[19]             Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara (Bandung: Mizan, 1994), 203.

[20]             Abdolkarim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam (Oxford: Oxford University Press, 2000), 57.

[21]             Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 101.

[22]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 153.

[23]             Ismail Raji al-Faruqi, Islam and Other Faiths (Leicester: Islamic Foundation, 1998), 67.

[24]             Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 512.

[25]             Murtadha Mutahhari, Man and Universe (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1983), 76.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Etika Tasamuh yang Integral dan Humanistik

Sintesis filosofis terhadap konsep tasamuh (toleransi) menuntut pemahaman yang komprehensif tentang dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya dalam kerangka etika Islam. Dalam pandangan filsafat Islam, nilai tidak berdiri terpisah dari struktur realitas dan pengetahuan; ia merupakan manifestasi dari kesatuan ilahi yang memancar ke dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, tasamuh tidak dapat dipahami hanya sebagai sikap sosial atau moral, tetapi sebagai ekspresi integral dari iman, akal, dan kemanusiaan.¹

Etika tasamuh yang integral dan humanistik berakar pada kesadaran metafisik tentang keesaan Tuhan (tawḥīd), rasionalitas manusia (‘aql), dan keutamaan moral (faḍīlah). Sintesis ini memungkinkan reinterpretasi tasamuh sebagai etika yang tidak sekadar bersifat pragmatis, tetapi juga ontologis—berakar dalam struktur ciptaan dan berfungsi sebagai prinsip keteraturan sosial dan spiritual.

10.1.    Ontologi Kesatuan: Tawḥīd sebagai Dasar Etika Tasamuh

Dalam kerangka ontologis, tasamuh bersumber dari prinsip tawḥīd, yakni kesatuan Tuhan sebagai realitas tertinggi yang memayungi seluruh eksistensi.² Kesadaran terhadap tawḥīd melahirkan pandangan bahwa segala bentuk perbedaan dalam ciptaan hanyalah ekspresi dari kehendak dan kebijaksanaan Ilahi. Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa pluralitas adalah manifestasi dari kesatuan yang transenden: “Hati seorang arif adalah wadah bagi segala bentuk iman, karena ia melihat Tuhan dalam setiap manifestasi ciptaan.”³

Dari pandangan ini, tasamuh menjadi jalan spiritual untuk menghormati keberagaman sebagai bentuk ketundukan pada kehendak Tuhan.⁴ Menolak perbedaan berarti menolak ciptaan Tuhan, sedangkan menerima keberagaman berarti mengakui kebesaran dan keluasan kasih sayang-Nya. Dengan demikian, tasamuh merupakan perwujudan dari cinta Ilahi yang mempersatukan, bukan memisahkan.

Kesatuan ontologis ini juga melahirkan kesadaran ekologis dan sosial: manusia, alam, dan Tuhan terhubung dalam jaringan makna yang sama. Oleh karena itu, intoleransi bukan hanya pelanggaran etika sosial, tetapi juga penyimpangan ontologis terhadap tatanan kosmis yang harmonis.⁵

10.2.    Epistemologi Keterbukaan: Akal dan Dialog sebagai Jalan Kebenaran

Secara epistemologis, tasamuh menuntut keterbukaan terhadap pluralitas pengetahuan dan interpretasi. Dalam Islam, kebenaran Ilahi bersifat mutlak, tetapi pemahaman manusia terhadapnya bersifat nisbi dan kontekstual.⁶ Karena itu, perbedaan pandangan bukan ancaman, melainkan keniscayaan yang memperkaya wacana kebenaran.

Fazlur Rahman menekankan bahwa tafsir keagamaan harus bersifat dinamis, karena wahyu selalu berinteraksi dengan sejarah dan rasionalitas manusia.⁷ Dari perspektif ini, tasamuh epistemologis berarti mengakui batasan akal sekaligus menghormati ragam tafsir terhadap teks suci.

Etika intelektual dalam Islam mengajarkan bahwa perbedaan (ikhtilāf) adalah rahmat, bukan fitnah. Nabi Saw sendiri membenarkan perbedaan sahabat dalam memahami perintah shalat di Bani Quraizhah sebagai bentuk pluralitas ijtihad yang sah.⁸ Dengan demikian, tasamuh dalam epistemologi Islam berarti membuka ruang dialog dan kolaborasi intelektual dalam mencari kebenaran, bukan monopoli atas kebenaran itu sendiri.

Dalam konteks kontemporer, epistemologi tasamuh menuntut pendekatan interdisipliner—mengintegrasikan teologi, filsafat, dan ilmu sosial dalam satu horizon kemanusiaan.⁹ Inilah yang menjadikan tasamuh bukan sekadar sikap moral, melainkan paradigma berpikir yang rasional, terbuka, dan dialogis.

10.3.    Aksiologi Kasih Sayang: Rahmah sebagai Prinsip Etika Universal

Secara aksiologis, tasamuh berpuncak pada nilai rahmah (kasih sayang) yang menjadi inti dari seluruh ajaran Islam. QS. Al-Anbiyā’ [21] ayat 107 menegaskan: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”¹⁰ Dengan demikian, tasamuh bukanlah strategi sosial, tetapi konsekuensi moral dari iman kepada Allah yang Maha Pengasih.

Dalam pandangan Al-Ghazali, kebajikan tertinggi manusia adalah kemampuan untuk meniru sifat-sifat Ilahi (takhalluq bi akhlaqillah), termasuk kasih sayang dan keadilan.¹¹ Tasamuh adalah bentuk konkret dari peneladanan tersebut, sebab ia melibatkan kemampuan untuk memahami dan memaafkan perbedaan, serta membangun keseimbangan antara ketegasan moral dan kelapangan hati.

Secara sosial, nilai rahmah ini menginspirasi lahirnya tatanan masyarakat yang berkeadilan, damai, dan beradab.¹² Aksiologi tasamuh menolak kekerasan, diskriminasi, dan kebencian, karena semua bentuk itu bertentangan dengan prinsip kasih sayang Ilahi yang menjadi dasar hukum dan etika Islam.

10.4.    Integrasi Nilai dan Kemanusiaan: Tasamuh sebagai Etika Humanistik

Etika tasamuh yang integral adalah etika yang humanistik — yang berakar pada iman, tetapi berorientasi pada kemanusiaan universal. Nurcholish Madjid menegaskan bahwa kemanusiaan (insaniyyah) adalah ekspresi tertinggi dari ketakwaan.¹³ Artinya, seseorang tidak bisa disebut saleh secara spiritual bila tidak memiliki kasih terhadap sesamanya.

Islam melalui prinsip tasamuh menolak dikotomi palsu antara iman dan kemanusiaan. Keimanan yang sejati justru melahirkan kepedulian, penghargaan terhadap martabat manusia, dan keterbukaan terhadap dialog lintas budaya.¹⁴ Dalam kerangka ini, tasamuh humanistik menjadi jembatan antara agama dan peradaban modern yang tengah mencari landasan moral global.

Seyyed Hossein Nasr menyebut integrasi ini sebagai “spiritual humanism”—sebuah etika yang bersumber dari kesadaran metafisik, tetapi diwujudkan dalam praksis sosial yang menegakkan keadilan dan keseimbangan.¹⁵ Oleh karena itu, tasamuh tidak hanya menjadi sikap moral, tetapi juga proyek peradaban yang bertujuan memulihkan keseimbangan antara iman dan kemanusiaan.



Sintesis Menuju Etika Integral dan Transformatif

Dari seluruh dimensi yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa tasamuh harus dipahami sebagai sistem etika integral yang menggabungkan tiga pilar utama: kesadaran ontologis tentang kesatuan ciptaan, rasionalitas epistemologis dalam memahami perbedaan, dan nilai aksiologis kasih sayang dalam kehidupan sosial.

Etika tasamuh yang integral dan humanistik memiliki empat ciri utama:

1)                  Teosentris, karena berpijak pada kesadaran Ilahi bahwa seluruh makhluk bersumber dari Tuhan yang satu.

2)                  Rasional-dialogis, karena mengakui keterbatasan manusia dan membuka ruang bagi diskursus dan pembelajaran.

3)                  Moral-humanistik, karena berorientasi pada penghormatan terhadap martabat manusia dan keadilan sosial.

4)                  Transformatif, karena menuntut penerapan nyata dalam kehidupan publik, politik, pendidikan, dan budaya.¹⁶

Dengan sintesis ini, tasamuh tampil bukan sebagai konsep pasif, melainkan sebagai kekuatan etis yang menggerakkan peradaban. Ia menjadi prinsip universal yang menjembatani spiritualitas dan rasionalitas, iman dan kemanusiaan, tradisi dan modernitas.

Sebagaimana ditegaskan oleh Fazlur Rahman, tugas utama umat Islam modern bukan hanya mempertahankan warisan moral Islam, tetapi merevitalisasinya agar tetap relevan dalam dinamika global.¹⁷ Maka, menuju etika tasamuh yang integral dan humanistik berarti membangun paradigma Islam yang inklusif, kritis, dan berbelas kasih — paradigma yang menjadikan perbedaan bukan ancaman, melainkan peluang untuk memperdalam makna kemanusiaan di bawah cahaya Tuhan.¹⁸


Footnotes

[1]                Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 125.

[2]                Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1982), 55.

[3]                Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1946), 119.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 164.

[5]                Murtadha Mutahhari, Man and Universe (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1983), 72.

[6]                Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1990), 108.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 93.

[8]                Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Salah, Hadis no. 946.

[9]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 89.

[10]             Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 531.

[11]             Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 87.

[12]             Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasa’is al-‘Ammah li al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), 130.

[13]             Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 218.

[14]             Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2004), 112.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 157.

[16]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 142.

[17]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 186.

[18]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 174.


11.       Kesimpulan

Konsep tasamuh (toleransi) dalam Islam merupakan salah satu manifestasi paling luhur dari ajaran rahmatan lil-‘alamin. Ia bukan sekadar norma sosial yang menuntut sikap saling menghargai antarindividu, tetapi juga prinsip teologis, filosofis, dan etis yang mendasari seluruh dimensi kehidupan beragama dan berperadaban.¹ Dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits, tasamuh adalah bentuk kesadaran spiritual tentang kesatuan asal-usul manusia dan kebebasan untuk mencari kebenaran, sekaligus bentuk praksis moral dalam membangun kehidupan sosial yang damai dan berkeadilan.

Secara ontologis, tasamuh berakar pada tawḥīd, yaitu keyakinan bahwa seluruh makhluk bersumber dari Tuhan yang Esa.² Dari kesadaran ini lahir pandangan bahwa keragaman bukanlah ancaman terhadap iman, melainkan refleksi dari kehendak Ilahi yang menegaskan kebesaran dan kebijaksanaan-Nya.³ Dengan demikian, menghormati perbedaan adalah bentuk ketaatan spiritual terhadap kehendak Tuhan, sedangkan intoleransi merupakan bentuk pengingkaran terhadap kesempurnaan ciptaan.

Dari sisi epistemologis, tasamuh menegaskan perlunya keterbukaan intelektual dan kerendahan hati dalam memahami kebenaran.⁴ Nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa perbedaan pendapat bukanlah fitnah, tetapi rahmat yang membuka ruang bagi ijtihad, dialog, dan pembelajaran bersama.⁵ Dalam konteks ini, tasamuh menjadi ekspresi rasionalitas iman — iman yang bersedia berdialog tanpa kehilangan prinsip, serta menghargai kebenaran di tangan siapa pun ia ditemukan.

Sementara itu, secara aksiologis, tasamuh berpuncak pada nilai rahmah (kasih sayang) dan ‘adl (keadilan).⁶ Keduanya merupakan tujuan moral dari seluruh ajaran Islam. Tasamuh dalam pengertian ini bukanlah kompromi terhadap kebenaran, melainkan kebijaksanaan moral dalam mengatur perbedaan agar tidak menimbulkan permusuhan. Ia adalah keseimbangan antara ketegasan dalam prinsip dan kelembutan dalam interaksi, antara keyakinan dan kemanusiaan.⁷

Dalam dimensi sosial dan politik, tasamuh berfungsi sebagai fondasi bagi terciptanya masyarakat madani (civil society) yang inklusif, berkeadilan, dan demokratis.⁸ Islam menolak paksaan dalam agama dan menjunjung tinggi kebebasan berkeyakinan sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 256. Prinsip ini menunjukkan bahwa iman yang sejati hanya dapat tumbuh dari kebebasan, bukan dari tekanan atau kekuasaan.⁹ Oleh karena itu, tasamuh menjadi syarat bagi terbentuknya masyarakat yang beradab, di mana kekuasaan dijalankan dengan amanah, hukum ditegakkan dengan adil, dan perbedaan dikelola dengan hikmah.

Dari perspektif pendidikan dan dakwah, tasamuh merupakan nilai kunci bagi pembentukan karakter Muslim yang moderat dan humanistik.¹⁰ Pendidikan Islam harus menanamkan kesadaran bahwa keberagaman adalah bagian dari fitrah manusia, sementara dakwah harus dijalankan dengan kebijaksanaan dan kelembutan sebagaimana perintah QS. An-Naḥl [16] ayat 125.¹¹ Dalam konteks ini, tasamuh bukan hanya metode komunikasi, tetapi juga orientasi spiritual dakwah — menyeru kepada kebenaran tanpa menyingkirkan kemanusiaan.

Tantangan kontemporer terhadap tasamuh muncul dalam berbagai bentuk: ekstremisme ideologis, fanatisme politik, relativisme moral, hingga krisis etika di ruang digital.¹² Semua itu menuntut rekontekstualisasi nilai tasamuh agar tetap relevan dengan dinamika zaman. Revitalisasi tasamuh bukan berarti melemahkan komitmen terhadap iman, tetapi justru memperkuatnya dengan dasar rasionalitas, keadilan, dan kasih sayang universal.¹³

Dari sintesis filsafat Islam, dapat disimpulkan bahwa tasamuh adalah etika integral — menggabungkan aspek teosentris, rasional, dan humanistik dalam satu kesatuan nilai.¹⁴ Ia menegaskan bahwa manusia beriman sejati adalah mereka yang menjaga kehormatan sesama manusia, karena dalam setiap wajah manusia terdapat cerminan Sang Pencipta.¹⁵ Dengan demikian, tasamuh bukanlah pilihan tambahan dalam kehidupan beragama, tetapi keharusan moral yang menghidupkan ruh Islam itu sendiri.

Pada akhirnya, etika tasamuh yang integral dan humanistik merupakan jalan menuju peradaban Islam yang berkeadilan dan berbelas kasih. Ia menjembatani iman dan kemanusiaan, serta membuka ruang bagi dialog lintas agama dan budaya dalam semangat rahmatan lil-‘alamin.¹⁶ Dengan menjadikan tasamuh sebagai prinsip etika universal, Islam dapat terus hadir sebagai kekuatan moral dan spiritual yang membangun dunia yang damai, seimbang, dan manusiawi.¹⁷


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2004), 171.

[2]                Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: IIIT, 1982), 64.

[3]                M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 279.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 84.

[5]                Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Salah, Hadis no. 946.

[6]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 93.

[7]                Yusuf al-Qaradawi, Al-Khasa’is al-‘Ammah li al-Islam (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), 138.

[8]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 120.

[9]                Muhammad Asad, The Message of the Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), 58.

[10]             Azyumardi Azra, Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing (Bandung: Mizan, 2000), 132.

[11]             M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 367.

[12]             Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperOne, 2005), 147.

[13]             Tariq Ramadan, Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation (Oxford: Oxford University Press, 2009), 183.

[14]             Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1990), 117.

[15]             Ibn ‘Arabi, Fuṣūṣ al-Ḥikam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1946), 123.

[16]             Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 230.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 159.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women. Oxford: Oneworld Publications.

Abou El Fadl, K. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. New York: HarperOne.

Al-Attas, S. M. N. (1991). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Al-Baladhuri, A. (1987). Futuh al-Buldan. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Al-Faruqi, I. R. (1998). Islam and Other Faiths. Leicester: Islamic Foundation.

Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ Ulum al-Din (Vol. 3–4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (1992). Al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa al-Tatarruf. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qaradawi, Y. (1995). Al-Khasa’is al-‘Ammah li al-Islam. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qaradawi, Y. (1997). Fiqh al-Daulah fi al-Islam. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qaradawi, Y. (1998). Fiqh al-Da‘wah. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-‘Awwa, A. L. (1995). Al-Tasamuh fi al-Islam. Damaskus: Dar al-Fikr.

An-Na‘im, A. A. (2008). Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Asad, M. (1980). The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Azra, A. (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.

Azra, A. (2000). Islam Substantif: Agar Umat Tidak Terombang-Ambing. Bandung: Mizan.

Azra, A. (2019). Islam Nusantara: Islam Indonesia dan Transformasi Sosial. Jakarta: Penerbit Kompas.

Bin Bayyah, A. (2013). Fiqh al-Silm wa al-Harb fi al-Islam. Abu Dhabi: Tabah Foundation.

Bukhari, I. (n.d.). Sahih al-Bukhari.

Esposito, J. L. (1992). Islam and the West: The Making of an Image. Oxford: Oxford University Press.

Esposito, J. L. (1999). The Islamic Threat: Myth or Reality? (3rd ed.). New York: Oxford University Press.

Esposito, J. L. (2011). Islam: The Straight Path (4th ed.). New York: Oxford University Press.

Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ Ulum al-Din (Vol. 3–4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Hamidullah, M. (1975). The First Written Constitution in the World: The Constitution of Madinah. Lahore: Ashraf Press.

Ibrahim, Y. (2018). Digital Islam: Media and the Ethics of Representation. Bristol: Intellect Books.

Ibn ‘Arabi. (1946). Fuṣūṣ al-Ḥikam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah.

Ibn Manzur. (1999). Lisan al-‘Arab (Vol. 2). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Miskawaih. (1985). Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A‘raq. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Latif, K. (2019). Digital Islam: Understanding the Ethics of Online Da‘wah. Kuala Lumpur: International Islamic University Malaysia (IIUM) Press.

Lewis, B. (1984). The Jews of Islam. Princeton: Princeton University Press.

Lewis, B. (1988). The Political Language of Islam. Chicago: University of Chicago Press.

Lewis, B. (2002). What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response. New York: Oxford University Press.

Madjid, N. (1992). Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Madjid, N. (1998). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Mutahhari, M. (1983). Man and Universe. Tehran: World Organization for Islamic Services.

Mutahhari, M. (1985). Society and History. Tehran: World Organization for Islamic Services.

Nasr, H. (1990). Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi.

Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of Modern Man. London: Routledge & Kegan Paul.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2004). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperOne.

Quraish Shihab, M. (1996). Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Quraish Shihab, M. (2002). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Vols. 1–13). Jakarta: Lentera Hati.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (2009). Major Themes of the Qur’an (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the Future of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Ramadan, T. (2007). In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad. New York: Oxford University Press.

Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford: Oxford University Press.

Rashid Rida. (1923). Al-Khilafah aw al-Imamah al-‘Uzma. Kairo: Maktabah al-Manar.

Rumi, J. (1994). Mathnawi-i Ma‘nawi (Vol. 1). Tehran: Amir Kabir Publications.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London: Routledge.

Saeed, A. (2006). Islamic Thought: An Introduction. London: Routledge.

Shariati, A. (1980). Man and Islam. Tehran: Shariati Foundation.

Shatibi, A. I. (1997). Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari‘ah (Vol. 2). Kairo: Dar Ibn Affan.

Soroush, A. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam. Oxford: Oxford University Press.

Watt, W. M. (1961). Muhammad: Prophet and Statesman. Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar