Minggu, 02 November 2025

Tafsir Al-Qur’an Kontemporer: Pendekatan, Metodologi, dan Relevansi dalam Konteks Modern

Tafsir Al-Qur’an Kontemporer

Pendekatan, Metodologi, dan Relevansi dalam Konteks Modern


Alihkan ke: PPG 2019.


Abstrak

Artikel ini membahas dinamika tafsir Al-Qur’an kontemporer sebagai upaya hermeneutik modern dalam memahami wahyu secara kontekstual, rasional, dan humanistik. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, penelitian ini menelusuri perkembangan tafsir dari model klasik yang tekstual menuju paradigma baru yang bersifat integratif dan multidisipliner. Kajian ini menunjukkan bahwa tafsir kontemporer tidak hanya berfungsi menjelaskan makna teks, tetapi juga mereaktualisasikan pesan moral dan spiritual Al-Qur’an dalam menghadapi tantangan sosial, politik, ekologis, dan teknologi modern.

Secara ontologis, tafsir kontemporer memandang Al-Qur’an sebagai teks transendental sekaligus historis yang membuka ruang dialog antara Tuhan dan manusia. Secara epistemologis, ia menegaskan integrasi wahyu, akal, dan konteks sebagai tiga poros utama pengetahuan Islam. Secara aksiologis, tafsir diarahkan pada pembentukan etika kemanusiaan yang menegakkan keadilan, keseimbangan, dan spiritualitas. Artikel ini juga menelaah berbagai model tafsir seperti hermeneutik, ilmiah, sosial, feminis, dan ekologis, sekaligus menanggapi kritik terhadap bahaya relativisme makna dan sekularisasi interpretasi.

Akhirnya, penelitian ini menawarkan sintesis filosofis menuju tafsir Qur’an humanistik dan integral—sebuah paradigma yang menyatukan dimensi spiritual, rasional, dan praksis sosial. Dalam visi ini, tafsir tidak hanya menjadi disiplin akademik, tetapi juga proyek peradaban yang memadukan iman, ilmu, dan amal untuk mewujudkan kemaslahatan manusia serta keseimbangan kosmik.

Kata Kunci: Tafsir Kontemporer; Hermeneutika Qur’an; Epistemologi Islam; Aksiologi Wahyu; Humanisme Qur’ani; Tafsir Integral; Etika dan Spiritualitas.

 


PEMBAHASAN

Dinamika Tafsir Al-Qur’an Kontemporer


1.           Pendahuluan

Tafsir Al-Qur’an kontemporer merupakan salah satu bidang kajian keislaman yang mengalami dinamika signifikan seiring dengan perubahan sosial, budaya, dan intelektual umat manusia. Sejak abad ke-20, muncul kesadaran baru bahwa teks suci tidak dapat dipahami secara statis, melainkan perlu diaktualisasikan sesuai dengan konteks zaman dan problematika kemanusiaan yang terus berkembang.¹ Tafsir tidak lagi dipandang semata sebagai upaya reproduksi makna tekstual, tetapi sebagai dialog kreatif antara wahyu dan realitas manusia modern.²

Perkembangan ilmu pengetahuan, globalisasi, serta transformasi teknologi digital mendorong terjadinya reorientasi epistemologis dalam studi Al-Qur’an. Jika pada masa klasik tafsir lebih menekankan aspek kebahasaan, sanad, dan asbāb al-nuzūl, maka dalam periode modern dan kontemporer muncul kebutuhan untuk meninjau ulang cara pandang terhadap teks suci.³ Penafsir tidak hanya dituntut memahami makna literal ayat, tetapi juga menggali pesan moral, sosial, ekologis, dan spiritual yang relevan dengan kehidupan global yang kompleks.⁴

Lahirnya berbagai pendekatan baru seperti tafsir maudhu‘i (tematik), tafsir hermeneutik, tafsir ilmiah, hingga tafsir kontekstual, menunjukkan bahwa penafsiran Al-Qur’an selalu terbuka terhadap dinamika zaman.⁵ Dalam konteks ini, tafsir kontemporer berperan sebagai medium dialektis antara teks dan konteks—antara keabadian wahyu dan temporalitas sejarah.⁶ Dengan demikian, tafsir tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga praksis: ia menjadi sarana rekonstruksi kesadaran keagamaan dan sosial umat Islam agar tetap responsif terhadap tantangan modernitas.⁷

Kajian tafsir kontemporer juga menegaskan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan (al-insāniyyah) sebagai inti dari pesan Qur’ani. Al-Qur’an dipahami bukan hanya sebagai sumber hukum dan teologi, tetapi juga sebagai inspirasi etis bagi pembebasan manusia dari segala bentuk ketertindasan, ketidakadilan, dan alienasi.⁸ Oleh karena itu, pendekatan humanistik dan integral dalam penafsiran menjadi relevan untuk mengembalikan makna Al-Qur’an sebagai pedoman universal yang hidup dan aktual.⁹

Dari perspektif akademik, penelitian terhadap tafsir kontemporer penting dilakukan karena menawarkan horizon baru dalam metodologi tafsir dan epistemologi Islam. Ia menantang otoritas lama yang cenderung eksklusif dan membuka ruang bagi pluralitas makna yang lebih demokratis.¹⁰ Kajian ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan tafsir klasik, tetapi untuk memperkaya tradisi intelektual Islam dengan cara membaca yang lebih reflektif, kritis, dan kontekstual terhadap realitas umat manusia modern.¹¹

Dengan demikian, artikel ini berupaya menelusuri dinamika ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tafsir Al-Qur’an kontemporer serta menunjukkan bagaimana ia berfungsi sebagai jembatan antara teks ilahi dan kehidupan manusia dalam dunia modern yang terus berubah.¹² Kajian ini diharapkan mampu memperlihatkan bahwa tafsir bukan hanya ilmu tentang makna, melainkan juga seni memahami kehidupan melalui cahaya wahyu yang transenden namun selalu relevan.¹³


Footnotes

[1]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 2–5.

[2]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 1–4.

[3]                M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 17–20.

[4]                Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 11–15.

[5]                Muhammad al-Ghazali, Nahw Tafsir Maudhu‘i li Suwar al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar al-Shuruq, 1992), 6–8.

[6]                Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 24–27.

[7]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 39–41.

[8]                Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 5–7.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 15–19.

[10]             Arkoun Mohammed, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 52–56.

[11]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 12–15.

[12]             Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 28–31.

[13]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 1–3.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Tafsir Al-Qur’an

Perkembangan tafsir Al-Qur’an merupakan perjalanan intelektual panjang yang mencerminkan dinamika interaksi antara teks suci dengan sejarah umat Islam. Sejak masa awal Islam, tafsir telah menjadi bagian integral dari proses pemahaman wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw Tradisi penafsiran bermula dari penjelasan Nabi sendiri terhadap ayat-ayat tertentu, dilanjutkan oleh para sahabat yang memahami makna Al-Qur’an melalui pengalaman langsung dengan konteks pewahyuan (asbāb al-nuzūl).² Pada periode ini, tafsir masih bersifat oral, intuitif, dan terbatas pada penjelasan makna literal, tanpa sistematisasi metodologis yang ketat.³

Memasuki masa tabi‘in dan generasi setelahnya, tafsir berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dengan metode yang lebih terstruktur. Para ulama mulai menyusun tafsir berdasarkan riwayat (tafsīr bi al-ma’tsūr), mengutip penjelasan sahabat dan tabi‘in.⁴ Tokoh-tokoh seperti Mujahid ibn Jabr, Qatadah ibn Di‘amah, dan al-Hasan al-Bashri merupakan figur penting dalam fase ini.⁵ Kemudian, lahirlah tafsir-tafsir monumental pada masa klasik seperti Jāmi‘ al-Bayān karya al-Ṭabarī, Al-Kashshāf karya al-Zamakhsharī, dan Mafātīh al-Ghayb karya Fakhr al-Dīn al-Rāzī yang menandai integrasi tafsir dengan ilmu bahasa, kalam, dan filsafat.⁶

Namun, pada masa pertengahan (abad ke-13 hingga ke-18 M), tafsir mulai menunjukkan kecenderungan stagnan. Otoritas tafsir klasik menjadi sangat dominan, sementara ruang bagi kreativitas dan kontekstualisasi mulai menyempit.⁷ Tafsir lebih banyak berfungsi sebagai komentar tekstual dan reproduksi makna-makna sebelumnya tanpa eksplorasi makna baru yang sesuai dengan perubahan sosial.⁸ Meski demikian, pada masa ini juga muncul tafsir bercorak sufistik seperti karya Ibn ‘Arabī (Fusūs al-Hikam) dan al-Qushayrī (Lathā’if al-Ishārāt), yang memperkaya dimensi spiritual penafsiran.⁹

Transformasi besar terjadi pada abad ke-19 dan ke-20, ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan kolonialisme, modernitas, dan arus globalisasi. Tantangan sosial-politik dan krisis keilmuan umat Islam mendorong lahirnya gerakan pembaruan tafsir.¹⁰ Pemikir seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha mengajukan pendekatan rasional dan moral terhadap teks Al-Qur’an, yang berusaha menyesuaikan pesan wahyu dengan tuntutan modernitas.¹¹ Tafsir Abduh dalam Al-Manar misalnya, tidak sekadar menjelaskan makna ayat, tetapi juga memuat kritik sosial dan visi reformasi keislaman.¹²

Periode ini menjadi fondasi lahirnya apa yang kini dikenal sebagai tafsir kontemporer. Genealogi intelektualnya dapat ditelusuri dari para pembaharu modernis hingga para pemikir postmodern Muslim seperti Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd.¹³ Rahman menekankan pentingnya “gerak ganda” antara teks dan konteks untuk menghasilkan makna Qur’ani yang relevan sepanjang masa.¹⁴ Sementara Hanafi mendorong tafsir yang bersifat praksis dan ideologis sebagai alat emansipasi sosial, dan Abu Zayd menegaskan perlunya membaca Al-Qur’an secara hermeneutik, menempatkannya sebagai teks budaya yang hidup dalam sejarah manusia.¹⁵

Di Indonesia, perkembangan tafsir kontemporer menunjukkan adaptasi yang unik terhadap kondisi sosio-kultural lokal. Tokoh seperti Hamka melalui Tafsir Al-Azhar dan M. Quraish Shihab melalui Tafsir Al-Mishbah berupaya menghadirkan penafsiran yang rasional, moderat, dan kontekstual dengan realitas masyarakat Indonesia modern.¹⁶ Tafsir mereka mencerminkan semangat integratif antara teks ilahi, rasionalitas ilmiah, dan nilai-nilai kemanusiaan.¹⁷ Dengan demikian, perjalanan historis dan genealogis tafsir Al-Qur’an memperlihatkan kesinambungan dan perubahan: dari penafsiran tradisional yang tekstual menuju tafsir kontemporer yang hermeneutik, interdisipliner, dan humanistik.¹⁸

Landasan historis ini penting dipahami karena menjadi fondasi epistemologis bagi pengembangan tafsir masa kini. Setiap fase sejarah tafsir menandai pergeseran paradigma: dari otoritas teks menuju dialog antara teks dan realitas.¹⁹ Genealogi tafsir kontemporer bukanlah pemutusan dengan tradisi, melainkan kelanjutan kreatif dari warisan klasik yang disesuaikan dengan kesadaran zaman baru.²⁰ Oleh karena itu, memahami sejarah tafsir tidak hanya berarti menelusuri kronologi penafsiran, tetapi juga membaca dinamika spiritual dan intelektual umat Islam dalam menghidupkan makna wahyu sepanjang zaman.²¹


Footnotes

[1]                Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, vol. 2 (Cairo: Dar al-Hadith, 2003), 5–7.

[2]                Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 12–14.

[3]                John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press, 1977), 9–10.

[4]                Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, vol. 1 (Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1976), 45–47.

[5]                Andrew Rippin, The Formation of the Classical Tafsir Tradition of Islam (Aldershot: Variorum, 1999), 18–21.

[6]                Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1955), 3–5.

[7]                R. Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1991), 71–73.

[8]                George F. Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 30–32.

[9]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 56–60.

[10]             Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 110–113.

[11]             Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. 1 (Cairo: Al-Manar Press, 1904), 4–6.

[12]             Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt: A Study of the Modern Reform Movement (London: Oxford University Press, 1933), 102–106.

[13]             Hasan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Cairo: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991), 21–25.

[14]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–9.

[15]             Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 45–49.

[16]             Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 12–15.

[17]             M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 3–6.

[18]             Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 75–78.

[19]             Arkoun Mohammed, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et Larose, 1982), 33–36.

[20]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 23–25.

[21]             Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 10–13.


3.           Ontologi Tafsir Kontemporer

Ontologi tafsir kontemporer berangkat dari kesadaran bahwa Al-Qur’an bukanlah sekadar teks linguistik yang statis, melainkan realitas wahyu yang hidup dan dinamis. Dalam pandangan filosofis, hakikat tafsir tidak hanya terletak pada penjelasan makna kata-kata, tetapi pada upaya manusia memahami hubungan ontologis antara teks ilahi (al-naṣṣ al-ilāhī) dan eksistensi manusia (al-wujūd al-insānī).¹ Teks suci memuat makna yang melampaui struktur bahasanya; ia menghadirkan realitas simbolik yang membuka ruang dialog antara Tuhan dan manusia melalui sejarah, budaya, dan kesadaran.²

Tafsir kontemporer, karena itu, memahami Al-Qur’an sebagai “realitas terbuka” (open text), yang maknanya tidak pernah final.³ Pemaknaan Al-Qur’an selalu merupakan proses interaktif antara teks, penafsir, dan konteks historis. Dalam kerangka ini, penafsiran tidak bersifat absolut, melainkan interpretatif dan dialogis.⁴ Ontologi tafsir kontemporer dengan demikian menolak pandangan esensialis yang memonopoli makna wahyu, dan menggantikannya dengan pandangan dinamis di mana makna adalah hasil konstruksi historis sekaligus spiritual.⁵

Dalam tradisi klasik, ontologi tafsir cenderung memandang teks sebagai entitas yang memiliki makna tetap (thābit), karena berasal dari sumber ilahi yang absolut.⁶ Akan tetapi, dalam konteks modern, pandangan ini diperluas melalui kesadaran hermeneutik bahwa wahyu senantiasa hadir dalam ruang waktu dan bahasa manusia.⁷ Dengan demikian, hakikat teks Al-Qur’an tidak hanya “diturunkan” (tanzīl), tetapi juga “ditafsirkan” (ta’wīl) secara berkelanjutan oleh manusia sepanjang sejarah.⁸ Inilah yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai gerak ganda (double movement) dari teks menuju konteks dan sebaliknya—sebuah prinsip ontologis yang menegaskan bahwa makna Al-Qur’an lahir dalam proses dialektis antara normativitas wahyu dan historisitas manusia.⁹

Selain itu, tafsir kontemporer mengakui bahwa realitas manusia modern menghadirkan dimensi ontologis baru bagi teks suci. Kehidupan modern dengan segala kompleksitasnya—sains, teknologi, globalisasi, dan pluralitas budaya—menjadi ruang bagi pembacaan ulang makna wahyu.¹⁰ Dalam perspektif ini, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi menyingkap potensi makna yang terus mengaktual.¹¹ Ontologi tafsir kontemporer, karenanya, tidak memisahkan antara yang transenden dan yang imanen; keduanya saling menembus dalam kesadaran religius manusia yang mencari makna.¹²

Para pemikir kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun menekankan bahwa teks Al-Qur’an memiliki dimensi “kebermaknaan ganda” —ia bersifat ilahi dalam asalnya, namun manusiawi dalam bentuknya.¹³ Ketika wahyu memasuki ruang bahasa, ia sekaligus memasuki ruang budaya dan sejarah manusia. Oleh karena itu, makna Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari proses interpretasi manusia yang terikat konteks.¹⁴ Hal ini bukan berarti merelatifkan kebenaran wahyu, melainkan menegaskan bahwa keilahian teks justru beroperasi melalui pemaknaan manusiawi yang terbuka.¹⁵

Dari sudut pandang metafisik, tafsir kontemporer juga menegaskan dimensi ontologis wahyu sebagai “kehadiran Ilahi” (tajallī ilāhī) yang terus menerus.¹⁶ Teks bukanlah benda mati, tetapi manifestasi dari Kehendak Ilahi yang mengundang manusia untuk berpikir, merenung, dan bertindak etis.¹⁷ Karena itu, kegiatan tafsir sejatinya adalah bagian dari proses eksistensial manusia dalam memahami dirinya dan Tuhan.¹⁸ Dalam pengertian ini, tafsir menjadi jembatan ontologis yang menghubungkan antara realitas transenden (Allah sebagai sumber makna) dan realitas imanen (manusia sebagai pencari makna).¹⁹

Dengan demikian, ontologi tafsir kontemporer menempatkan Al-Qur’an sebagai teks hidup yang hadir dalam sejarah manusia. Ia bukan sekadar sumber hukum dan dogma, tetapi horizon makna yang selalu dapat diperluas melalui pengalaman spiritual dan intelektual umat manusia.²⁰ Tafsir, dalam kerangka ontologis ini, bukan sekadar aktivitas ilmiah, melainkan peristiwa eksistensial — di mana manusia bertemu dengan wahyu dalam proses pemaknaan yang terus berlangsung.²¹


Footnotes

[1]                Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), 5–7.

[2]                Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 14–17.

[3]                Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et Larose, 1982), 42–44.

[4]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 9–11.

[5]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 87–90.

[6]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 19–21.

[7]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 4–6.

[8]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 63–66.

[9]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 7–9.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 120–122.

[11]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 27–30.

[12]             Alparslan Açıkgenç, Being and Existence in Islamic Philosophy (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 98–100.

[13]             Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 51–54.

[14]             Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 34–36.

[15]             Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 80–82.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 23–25.

[17]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 78–81.

[18]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1998), 15–18.

[19]             Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Jakarta: Erlangga, 2005), 103–105.

[20]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 44–47.

[21]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 13–15.


4.           Epistemologi Tafsir Kontemporer

Epistemologi tafsir kontemporer berupaya menelaah bagaimana pengetahuan tentang Al-Qur’an dibangun, divalidasi, dan dikontekstualisasikan dalam horizon modernitas. Secara mendasar, ia mempertanyakan sumber, metode, dan struktur rasionalitas yang melandasi proses penafsiran.¹ Jika dalam tafsir klasik otoritas epistemik terletak pada sanad riwayat, otoritas ulama, dan metodologi tekstual, maka tafsir kontemporer memperluas basis epistemologinya dengan memasukkan dimensi rasional, historis, sosiologis, dan ilmiah.² Dengan demikian, epistemologi tafsir kontemporer berfungsi sebagai jembatan antara teks wahyu yang absolut dan pengalaman manusia yang relatif.³

Dalam tradisi tafsir klasik, dua model epistemik dominan ialah tafsīr bi al-ma’tsūr (berbasis riwayat) dan tafsīr bi al-ra’yi (berbasis rasionalitas).⁴ Namun, perkembangan pemikiran Islam modern menuntut perluasan kategori tersebut. Para pemikir kontemporer seperti Fazlur Rahman, Abdullah Saeed, dan Muhammad Arkoun menyadari bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan linguistik yang melingkupinya.⁵ Penafsiran tidak hanya melibatkan pengetahuan tekstual, tetapi juga kesadaran historis dan etis. Dengan kata lain, epistemologi tafsir kontemporer bersifat dialogis, di mana teks dan realitas saling memberi makna.⁶

Fazlur Rahman, misalnya, mengusulkan metodologi “gerak ganda” (double movement) sebagai kerangka epistemik tafsir yang mampu menghubungkan makna teks dengan kebutuhan moral masyarakat modern.⁷ Gerak pertama adalah analisis terhadap konteks historis ayat untuk menemukan ideal moral universal, sementara gerak kedua adalah penerapan ideal itu dalam konteks kontemporer.⁸ Model ini menegaskan bahwa wahyu tidak berhenti pada masa pewahyuan, tetapi terus hidup melalui rasionalitas dan praksis manusia.⁹

Selain itu, tafsir kontemporer mengadopsi pendekatan hermeneutik untuk memahami struktur makna teks secara lebih mendalam. Hermeneutika, sebagaimana dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur, menegaskan bahwa pemahaman selalu merupakan hasil interaksi antara horizon teks dan horizon pembaca.¹⁰ Dalam konteks tafsir Al-Qur’an, pendekatan ini berarti bahwa penafsir tidak hanya mengungkap makna yang terkandung dalam teks, tetapi juga menegosiasikan makna itu dalam konteks sosial-budaya yang berubah.¹¹ Abdullah Saeed mengembangkan hal ini dalam model “tafsir kontekstual,” yang menempatkan konteks sosial dan tujuan moral sebagai bagian dari struktur epistemik tafsir.¹²

Epistemologi tafsir kontemporer juga ditandai oleh keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan modern. Pendekatan interdisipliner—melibatkan sosiologi, antropologi, linguistik, hingga ekologi—menjadi bagian penting dalam membangun pemahaman yang utuh terhadap pesan Al-Qur’an.¹³ Pendekatan ilmiah ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan otoritas wahyu, tetapi untuk memperluas cakrawala maknanya melalui verifikasi empiris dan refleksi rasional.¹⁴ Sebagai contoh, tafsir ilmiah kontemporer berupaya menjelaskan fenomena alam melalui korelasi antara ayat-ayat kauniyyah dan temuan sains modern.¹⁵

Sementara itu, pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd menawarkan paradigma epistemologis yang kritis terhadap absolutisasi makna. Ia menekankan bahwa teks Al-Qur’an merupakan produk komunikasi yang lahir dalam bahasa manusia, sehingga penafsir harus menyadari dimensi ideologis dan historis dalam proses penafsiran.¹⁶ Dengan demikian, epistemologi tafsir kontemporer menuntut kesadaran kritis terhadap posisi penafsir sebagai subjek yang turut membentuk makna.¹⁷ Ini berarti bahwa tafsir bukan hanya penyingkapan makna, tetapi juga konstruksi makna yang melibatkan nilai, ideologi, dan kepentingan sosial.¹⁸

Dari sudut aksiologis, epistemologi tafsir kontemporer tidak hanya mencari kebenaran ilmiah, tetapi juga kebenaran etis dan spiritual.¹⁹ Pengetahuan tafsir diarahkan untuk membentuk kesadaran moral dan sosial yang menegakkan keadilan, keseimbangan, dan kemanusiaan.²⁰ Dalam pandangan ini, pengetahuan tafsir tidak bersifat netral, tetapi memiliki orientasi etis yang kuat: menuntun manusia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Qur’ani dalam kehidupan nyata.²¹

Dengan demikian, epistemologi tafsir kontemporer merupakan sintesis antara tradisi dan modernitas, antara wahyu dan rasionalitas, antara teks dan konteks.²² Ia menegaskan bahwa memahami Al-Qur’an bukan hanya soal teknik interpretasi, tetapi juga soal kesadaran eksistensial tentang bagaimana manusia memaknai dirinya di hadapan Tuhan dan sejarah.²³ Epistemologi ini pada akhirnya memulihkan fungsi Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan yang terbuka, dinamis, dan berorientasi pada kemanusiaan universal.²⁴


Footnotes

[1]                Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2003), 87–89.

[2]                Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 16–18.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 22–25.

[4]                Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, vol. 1 (Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1976), 48–52.

[5]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 13–15.

[6]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 68–70.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 6–9.

[8]                Ibid., 10–12.

[9]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 4–7.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 302–305.

[11]             Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 43–45.

[12]             Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 85–88.

[13]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1986), 50–52.

[14]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 19–21.

[15]             Zaghlul El-Naggar, Scientific Miracles in the Qur’an (Cairo: Al-Falah Foundation, 2003), 8–11.

[16]             Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 41–44.

[17]             Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 30–33.

[18]             Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 9–11.

[19]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 52–55.

[20]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 20–22.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 33–36.

[22]             Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 101–104.

[23]             Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et Larose, 1982), 53–55.

[24]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 47–50.


5.           Aksiologi Tafsir Kontemporer

Aksiologi tafsir kontemporer menyoroti dimensi nilai (value dimension) dan tujuan etis dari aktivitas penafsiran Al-Qur’an dalam konteks modern. Jika ontologi membahas hakikat tafsir dan epistemologi menjelaskan sumber serta metode pengetahuan tafsir, maka aksiologi menelaah mengapa dan untuk apa penafsiran dilakukan.¹ Dengan demikian, aksiologi tafsir berfokus pada fungsi moral, sosial, spiritual, dan humanistik dari Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang transenden namun relevan dengan realitas historis.²

Pada hakikatnya, Al-Qur’an diturunkan bukan semata untuk dibaca atau dihafal, tetapi untuk menjadi dasar perubahan perilaku dan peradaban manusia.³ Oleh sebab itu, penafsiran terhadap Al-Qur’an harus memiliki orientasi praksis, yakni menghadirkan nilai-nilai Qur’ani dalam ranah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan ekologi.⁴ Tafsir kontemporer tidak lagi berhenti pada pemahaman normatif, tetapi mengupayakan internalisasi nilai ke dalam praksis kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan gagasan Fazlur Rahman tentang “the moral vision of the Qur’an” yang menempatkan etika sebagai jantung dari seluruh sistem penafsiran.⁵

Dalam perspektif aksiologis, tafsir kontemporer memiliki tiga fungsi utama: pertama, fungsi emansipatoris, yaitu membebaskan manusia dari struktur sosial, politik, dan ideologis yang menindas.⁶ Kedua, fungsi transformatif, yakni mendorong perubahan sosial yang adil dan beradab melalui nilai-nilai Qur’ani seperti keadilan (‘adl), keseimbangan (tawāzun), dan kasih sayang (rahmah).⁷ Ketiga, fungsi humanistik-spiritual, yaitu menghidupkan kembali kesadaran ketuhanan (ta’alluq billāh) dalam kehidupan manusia modern yang cenderung sekuler dan materialistik.⁸

Fungsi emansipatoris tampak jelas dalam tafsir sosial yang dikembangkan oleh pemikir seperti Farid Esack, Hasan Hanafi, dan Asghar Ali Engineer.⁹ Mereka menegaskan bahwa tafsir bukan hanya alat pemahaman teks, tetapi juga instrumen perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.¹⁰ Dalam kerangka ini, Al-Qur’an dibaca sebagai teks pembebasan, bukan sekadar teks hukum.¹¹ Aksiologi tafsir sosial bertujuan menegakkan maqāṣid al-sharī‘ah—tujuan-tujuan syariat yang berorientasi pada kemaslahatan dan martabat manusia.¹²

Sementara itu, dalam konteks feminisme Islam, Amina Wadud dan Riffat Hassan memandang tafsir sebagai sarana untuk menegakkan kesetaraan gender dan menghapus bias patriarkal dalam pemahaman keagamaan.¹³ Mereka menunjukkan bahwa banyak ayat Al-Qur’an yang selama berabad-abad ditafsirkan melalui kacamata budaya patriarki, sehingga pesan egaliternya tereduksi.¹⁴ Aksiologi tafsir feminis berusaha mengembalikan semangat keadilan dan penghormatan terhadap perempuan sebagai bagian integral dari visi etis Al-Qur’an.¹⁵

Dalam bidang lingkungan, muncul pula tafsir ekoteologis yang menekankan tanggung jawab manusia sebagai khalifah dalam menjaga keseimbangan kosmos.¹⁶ Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Mawil Izzi Dien mengembangkan konsep eco-Qur’anic ethics yang melihat Al-Qur’an sebagai sumber spiritualitas ekologis.¹⁷ Menurut mereka, krisis lingkungan modern bersumber dari krisis nilai spiritual; karena itu, penafsiran Qur’an harus menghidupkan kembali kesadaran kosmik bahwa alam adalah manifestasi dari tanda-tanda Ilahi (āyāt kauniyyah).¹⁸

Aksiologi tafsir kontemporer juga memiliki implikasi penting dalam bidang pendidikan dan masyarakat. Penafsiran Al-Qur’an berfungsi sebagai proses pembentukan karakter (character building) yang menanamkan nilai-nilai universal seperti kejujuran, toleransi, kerja sama, dan tanggung jawab sosial.¹⁹ Dengan demikian, tafsir tidak sekadar menghasilkan wacana intelektual, tetapi membentuk etika kolektif yang mendukung pembangunan manusia seutuhnya.²⁰ Dalam hal ini, tafsir menjadi instrumen moral yang menyatukan ilmu, iman, dan amal.²¹

Pada tingkat teologis, aksiologi tafsir kontemporer menegaskan bahwa tujuan akhir dari segala penafsiran adalah ta‘abbud (pengabdian) kepada Allah melalui pemahaman yang bermakna terhadap wahyu-Nya.²² Tafsir menjadi jalan spiritual untuk mengenal Tuhan dan diri sendiri dalam konteks sejarah dan kebudayaan.²³ Oleh sebab itu, kegiatan tafsir bukan sekadar akademis, tetapi juga ibadah intelektual—suatu upaya untuk mewujudkan nilai ilahi dalam kehidupan duniawi.²⁴

Dengan demikian, aksiologi tafsir kontemporer tidak berhenti pada dimensi teoretis, tetapi menekankan praksis moral, sosial, dan ekologis sebagai manifestasi iman yang hidup.²⁵ Ia menuntut agar penafsiran terhadap Al-Qur’an selalu diarahkan pada kemaslahatan manusia dan kelestarian ciptaan Tuhan.²⁶ Dalam kerangka inilah tafsir menjadi kekuatan etis yang memadukan spiritualitas, rasionalitas, dan kemanusiaan menuju peradaban Qur’ani yang integral.²⁷


Footnotes

[1]                Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Jakarta: Erlangga, 2005), 142–144.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 22–24.

[3]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 9–12.

[4]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 67–70.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 18–21.

[6]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 42–44.

[7]                Hasan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Cairo: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991), 33–35.

[8]                Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 55–58.

[9]                Farid Esack, The Qur’an: A User’s Guide (Oxford: Oneworld, 2005), 25–27.

[10]             Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam (New York: St. Martin’s Press, 1990), 19–21.

[11]             Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (Oxford: Oneworld, 2006), 7–9.

[12]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 84–86.

[13]             Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 11–14.

[14]             Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation: Testimonies of Spirit (New York: Praeger, 1987), 57–59.

[15]             Asma Barlas, “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (Austin: University of Texas Press, 2002), 90–93.

[16]             Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of Islam (Cambridge: Islamic Foundation, 2000), 43–46.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 68–70.

[18]             Ibid., 71–74.

[19]             M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 12–15.

[20]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 76–78.

[21]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 27–30.

[22]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 33–35.

[23]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1998), 25–27.

[24]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 102–104.

[25]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 59–61.

[26]             Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien, Islam and Ecology (London: Cassell, 1992), 40–42.

[27]             Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 91–94.


6.           Pendekatan dan Model Tafsir Kontemporer

Pendekatan dan model tafsir kontemporer lahir sebagai respons terhadap kebutuhan zaman yang menuntut reinterpretasi Al-Qur’an secara kontekstual, ilmiah, dan humanistik. Perkembangan ini merupakan hasil dialog panjang antara tradisi tafsir klasik dengan dinamika intelektual modern.¹ Dalam konteks ini, tafsir tidak lagi dipahami sebagai aktivitas tunggal yang berorientasi pada teks semata, tetapi sebagai medan interaksi multidisipliner antara wahyu, akal, sejarah, dan pengalaman manusia.²

Pendekatan kontemporer mengasumsikan bahwa Al-Qur’an adalah teks terbuka (open text) yang mengandung potensi makna tak terbatas, sementara pembaca modern memiliki tanggung jawab hermeneutik untuk menyingkap makna-makna tersebut dalam konteks kehidupan aktual.³ Oleh karena itu, berbagai model tafsir dikembangkan—baik dalam bentuk pendekatan tematik, hermeneutik, ilmiah, sosial, feminis, hingga ekologis—yang masing-masing menyoroti aspek tertentu dari pesan Qur’ani.⁴

6.1.       Tafsir Maudhu‘i (Tematik)

Tafsir maudhu‘i atau tafsir tematik merupakan salah satu pendekatan paling menonjol dalam studi Al-Qur’an kontemporer. Metode ini berupaya menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan satu tema tertentu untuk menghasilkan pemahaman yang menyeluruh.⁵ Pendekatan ini diperkenalkan secara sistematis oleh para pembaharu modern seperti al-Farmawi dan Muhammad al-Ghazali sebagai reaksi terhadap metode tafsir tahlili yang bersifat atomistik.⁶

Kelebihan tafsir maudhu‘i terletak pada kemampuannya mengungkap kesatuan makna (wahdat al-ma‘na) dan relevansi tematik antara berbagai ayat dalam konteks kehidupan kontemporer.⁷ Misalnya, tema keadilan, lingkungan, atau etika sosial dapat dikaji secara komprehensif dengan memperhatikan struktur konseptual Al-Qur’an.⁸ Metode ini sangat efektif dalam menjembatani antara teks normatif dan problem empiris masyarakat modern.⁹

6.2.       Tafsir Hermeneutik

Pendekatan hermeneutik dalam tafsir Qur’an muncul dari kesadaran bahwa makna teks tidak dapat dilepaskan dari horizon historis dan linguistik pembacanya.¹⁰ Para pemikir seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun memandang hermeneutika sebagai cara untuk menafsirkan wahyu secara dialogis, bukan dogmatis.¹¹ Menurut mereka, teks Al-Qur’an tidak berbicara di luar sejarah, melainkan dalam sejarah; karena itu, penafsir harus menafsirkan dengan kesadaran kontekstual.¹²

Abu Zayd, misalnya, memandang teks wahyu sebagai produk budaya linguistik yang mengandung makna dinamis dan multiinterpretatif.¹³ Hermeneutika Qur’ani dalam pandangan ini bukanlah sekadar penerapan teori Barat, tetapi adaptasi epistemologis untuk memahami wahyu dalam horizon historis umat Islam.¹⁴ Pendekatan ini memperluas dimensi tafsir dari yang semula teosentris menjadi antropo-teologis—yakni menempatkan manusia sebagai mitra dialogis Tuhan dalam memahami pesan ilahi.¹⁵

6.3.       Tafsir Ilmiah (Scientific Exegesis)

Model tafsir ilmiah muncul sebagai hasil pertemuan antara wahyu dan sains modern.¹⁶ Pendekatan ini berupaya menafsirkan ayat-ayat kauniyyah (kosmologis) Al-Qur’an dengan merujuk pada penemuan ilmiah mutakhir, untuk menunjukkan kesesuaian antara agama dan sains.¹⁷ Tokoh seperti Zaghlul El-Naggar dan Maurice Bucaille menekankan bahwa banyak ayat Al-Qur’an yang mengandung petunjuk ilmiah tentang kosmos, biologi, dan geologi, yang baru terbukti melalui ilmu modern.¹⁸

Kendati demikian, tafsir ilmiah mendapat kritik dari sejumlah sarjana karena berpotensi reduksionis apabila wahyu diukur hanya melalui kebenaran ilmiah yang bersifat sementara.¹⁹ Oleh karena itu, tafsir ilmiah yang sehat harus menempatkan sains sebagai alat bantu untuk memahami keagungan ciptaan Tuhan, bukan sebagai ukuran final kebenaran wahyu.²⁰

6.4.       Tafsir Sosial dan Kritis

Tafsir sosial berangkat dari prinsip bahwa pesan Al-Qur’an harus berfungsi sebagai kekuatan moral dan transformasional dalam masyarakat.²¹ Model ini dikembangkan oleh pemikir seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan Hanafi, dan Farid Esack.²² Mereka menekankan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar teks teologis, melainkan proyek pembebasan sosial dan politik yang menuntut realisasi keadilan.²³

Hasan Hanafi mengembangkan konsep “tafsir al-waqi‘” (tafsir realitas), di mana tafsir menjadi alat rekonstruksi sosial.²⁴ Dalam pandangan ini, tugas penafsir bukan hanya menyingkap makna ayat, tetapi menghidupkan nilai-nilainya dalam struktur sosial yang konkret.²⁵ Tafsir sosial karenanya bersifat praksis dan ideologis—ia tidak netral, tetapi berpihak pada kemanusiaan dan keadilan.²⁶

6.5.       Tafsir Feministik

Model tafsir feministik lahir sebagai kritik terhadap bias patriarki dalam tradisi tafsir klasik.²⁷ Pemikir seperti Amina Wadud, Asma Barlas, dan Riffat Hassan menegaskan bahwa penafsiran tradisional sering kali terpengaruh oleh budaya patriarkal, sehingga menimbulkan interpretasi yang menindas perempuan.²⁸ Melalui pendekatan hermeneutik gender, mereka berusaha menyingkap pesan kesetaraan dan keadilan yang inheren dalam Al-Qur’an.²⁹

Amina Wadud dalam Qur’an and Woman menyatakan bahwa Al-Qur’an menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra spiritual yang setara di hadapan Tuhan.³⁰ Oleh karena itu, tafsir feminis tidak sekadar membela perempuan, tetapi memulihkan kembali prinsip tauhid dalam relasi sosial: bahwa tidak ada hierarki eksistensial antara manusia kecuali ketakwaannya.³¹

6.6.       Tafsir Ekologis dan Integral

Salah satu inovasi penting dalam tafsir kontemporer ialah munculnya tafsir ekologis yang menyoroti hubungan antara manusia dan alam.³² Dalam perspektif ini, Al-Qur’an dipandang sebagai teks ekologis yang mengajarkan keseimbangan (mīzān) dan tanggung jawab terhadap ciptaan.³³ Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Mawil Izzi Dien menafsirkan konsep khalifah sebagai mandat kosmik untuk menjaga harmoni lingkungan.³⁴

Model tafsir ini berkembang menjadi paradigma integral ecology yang memadukan spiritualitas, sains, dan etika lingkungan.³⁵ Dengan demikian, tafsir ekologis berfungsi sebagai kritik terhadap krisis peradaban modern yang telah memisahkan manusia dari alam dan Tuhan.³⁶


Pendekatan dan model-model tafsir kontemporer tersebut menunjukkan bahwa tafsir bukanlah disiplin yang statis, melainkan lapangan epistemologis yang terus berevolusi.³⁷ Setiap model menawarkan perspektif berbeda namun saling melengkapi dalam upaya memahami pesan Qur’ani secara holistik.³⁸ Pada akhirnya, pluralitas pendekatan ini memperkaya khazanah tafsir Islam sekaligus memperluas jangkauan moral dan spiritual Al-Qur’an dalam kehidupan manusia modern.³⁹


Footnotes

[1]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 5–7.

[2]                Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 63–66.

[3]                Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et Larose, 1982), 39–41.

[4]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–17.

[5]                Al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu‘i (Cairo: Dar al-Hadith, 1983), 10–12.

[6]                Muhammad al-Ghazali, Nahw Tafsir Maudhu‘i li Suwar al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar al-Shuruq, 1992), 5–7.

[7]                M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 23–25.

[8]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 71–73.

[9]                Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 67–69.

[10]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 306–308.

[11]             Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 49–52.

[12]             Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 63–66.

[13]             Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 19–22.

[14]             Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 84–86.

[15]             Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 89–92.

[16]             Maurice Bucaille, The Bible, the Qur’an and Science (Paris: Seghers, 1978), 95–97.

[17]             Zaghlul El-Naggar, Scientific Miracles in the Qur’an (Cairo: Al-Falah Foundation, 2003), 8–10.

[18]             Ibid., 12–14.

[19]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 54–56.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 80–82.

[21]             Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 24–26.

[22]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 41–44.

[23]             Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford University Press, 1933), 105–108.

[24]             Hasan Hanafi, Al-Turath wa al-Tajdid: Mawqifunā min al-Turath al-Qadīm (Cairo: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah, 1980), 29–31.

[25]             Ibid., 33–35.

[26]             Farid Esack, The Qur’an: A User’s Guide (Oxford: Oneworld, 2005), 21–23.

[27]             Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 10–13.

[28]             Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation: Testimonies of Spirit (New York: Praeger, 1987), 60–62.

[29]             Asma Barlas, “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (Austin: University of Texas Press, 2002), 83–85.

[30]             Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (Oxford: Oneworld, 2006), 17–20.

[31]             Ibid., 22–24.

[32]             Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of Islam (Cambridge: Islamic Foundation, 2000), 44–47.

[33]             Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien, Islam and Ecology (London: Cassell, 1992), 40–42.

[34]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 67–70.

[35]             Ibid., 72–74.

[36]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 27–29.

[37]             Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 108–110.

[38]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 70–73.

[39]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 31–34.


7.           Dimensi Sosial, Politik, dan Budaya dalam Tafsir Kontemporer

Dimensi sosial, politik, dan budaya merupakan medan aktual di mana tafsir Al-Qur’an kontemporer menemukan relevansi praksisnya. Tafsir tidak lagi berdiri sebagai teks akademis yang terisolasi dari realitas, melainkan sebagai wacana hidup yang menanggapi persoalan masyarakat dan peradaban.¹ Dalam kerangka ini, tafsir kontemporer menegaskan peran Al-Qur’an sebagai pedoman sosial—bukan hanya dalam tataran spiritual, tetapi juga dalam pengelolaan struktur kehidupan kolektif manusia.²

7.1.       Tafsir dan Realitas Sosial

Tafsir kontemporer memandang masyarakat sebagai konteks hermeneutik yang tak terpisahkan dari proses penafsiran.³ Setiap upaya memahami Al-Qur’an senantiasa terhubung dengan situasi sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat pembacanya.⁴ Oleh karena itu, tafsir berfungsi sebagai medium dialektis antara teks dan realitas sosial. Fazlur Rahman menegaskan bahwa nilai-nilai Qur’ani seperti keadilan, kemaslahatan, dan kasih sayang harus diartikulasikan secara konkret dalam struktur sosial.⁵

Gerakan tafsir sosial yang berkembang di dunia Islam modern menyoroti persoalan kemiskinan, ketimpangan gender, ketidakadilan ekonomi, serta korupsi politik sebagai tantangan moral yang harus dijawab oleh umat Islam melalui pemahaman Qur’ani yang kontekstual.⁶ Farid Esack, misalnya, mengembangkan tafsir pembebasan yang menggabungkan semangat Qur’an dengan teori keadilan sosial, sebagaimana terlihat dalam perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan.⁷ Tafsir semacam ini bersifat emansipatoris karena berorientasi pada penegakan nilai-nilai kemanusiaan universal.⁸

7.2.       Dimensi Politik Tafsir

Dimensi politik dalam tafsir kontemporer muncul dari kesadaran bahwa Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moral individu, tetapi juga tentang etika kekuasaan dan keadilan publik.⁹ Dalam pandangan Hasan Hanafi, tafsir politik harus membebaskan umat dari hegemoni otoritas yang menindas dan mendorong lahirnya kesadaran kritis terhadap struktur kekuasaan.¹⁰ Ia mengembangkan konsep “al-yasār al-islāmī” (Islam kiri), yang menafsirkan Al-Qur’an dalam konteks perjuangan sosial-politik rakyat tertindas.¹¹

Dalam konteks modern, tafsir politik juga berperan dalam membangun prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan tata kelola pemerintahan yang adil.¹² Pemikir seperti Khaled Abou El Fadl menekankan pentingnya moral authority dalam Islam, yakni bahwa kekuasaan harus tunduk pada nilai-nilai Qur’ani yang menjunjung keadilan, kebebasan, dan kemaslahatan publik.¹³ Dengan demikian, tafsir politik kontemporer berfungsi sebagai wacana etika publik—menghubungkan spiritualitas dengan politik moral.¹⁴

7.3.       Tafsir dan Dimensi Budaya

Budaya merupakan arena di mana pesan Qur’ani berinteraksi dengan keragaman manusia. Tafsir kontemporer memahami bahwa wahyu Islam diturunkan bukan untuk menghapus kebudayaan, tetapi untuk menuntunnya menuju nilai-nilai ilahi.¹⁵ Dalam pandangan Arkoun, Al-Qur’an adalah teks kultural sekaligus transkultural—ia hidup melalui bahasa, simbol, dan imajinasi umat yang menafsirkannya.¹⁶ Oleh karena itu, tafsir harus bersifat terbuka terhadap pluralitas budaya dan menolak klaim kebenaran tunggal yang menafikan keragaman.¹⁷

Di Indonesia, tafsir bercorak budaya lokal seperti Tafsir Al-Azhar karya Hamka atau Al-Mishbah karya Quraish Shihab menunjukkan sintesis antara tradisi keilmuan Islam dan kearifan Nusantara.¹⁸ Tafsir ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai Qur’ani dapat diekspresikan melalui idiom budaya yang beragam tanpa kehilangan esensi universalnya.¹⁹ Melalui pendekatan ini, tafsir berperan sebagai medium integrasi antara agama dan budaya, antara wahyu dan tradisi.²⁰

7.4.       Tafsir, Pluralisme, dan Multikulturalisme

Dalam masyarakat global yang majemuk, tafsir kontemporer juga berfungsi sebagai sarana dialog antaragama dan antarperadaban.²¹ Pendekatan pluralistik terhadap Al-Qur’an menekankan bahwa pesan ilahi mengandung nilai-nilai universal seperti keadilan, rahmat, dan kebebasan beragama.²² Farid Esack dan Amina Wadud sama-sama menggarisbawahi bahwa tafsir harus mengedepankan inklusivitas dan solidaritas lintas keyakinan.²³

Model ini memperluas horizon tafsir dari yang semula eksklusif menjadi dialogis dan humanistik.²⁴ Dalam konteks global, hal ini menciptakan basis teologis bagi perdamaian dan keadilan sosial lintas budaya.²⁵ Tafsir tidak lagi sekadar menjelaskan teks, tetapi juga menjadi jembatan etis untuk membangun peradaban yang saling menghormati.²⁶


Kesimpulan Sementara

Dimensi sosial, politik, dan budaya tafsir kontemporer memperlihatkan bahwa penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari realitas manusia. Tafsir bukan hanya kerja intelektual, tetapi juga praksis sosial yang berorientasi pada perubahan.²⁷ Ia menjadi ruang dialog antara wahyu dan sejarah, antara nilai transenden dan perjuangan manusia dalam dunia yang plural.²⁸ Dengan demikian, tafsir kontemporer berfungsi sebagai proyek kemanusiaan Qur’ani yang menegakkan keadilan, kebebasan, dan kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai ilahi.²⁹


Footnotes

[1]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 73–75.

[2]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 13–15.

[3]                Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 76–79.

[4]                Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 61–63.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 14–16.

[6]                Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (Oxford: Oneworld, 2006), 20–22.

[7]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 45–48.

[8]                Ibid., 49–51.

[9]                Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 23–26.

[10]             Hasan Hanafi, Al-Turath wa al-Tajdid: Mawqifunā min al-Turath al-Qadīm (Cairo: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah, 1980), 28–31.

[11]             Ibid., 32–34.

[12]             Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 40–43.

[13]             Ibid., 44–46.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 27–29.

[15]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 38–41.

[16]             Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 47–50.

[17]             Ibid., 52–55.

[18]             Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 9–12.

[19]             M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 15–18.

[20]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 91–94.

[21]             Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 113–116.

[22]             John L. Esposito, The Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2010), 88–91.

[23]             Farid Esack, The Qur’an: A User’s Guide (Oxford: Oneworld, 2005), 27–30.

[24]             Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 18–20.

[25]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 60–63.

[26]             Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 71–73.

[27]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 82–84.

[28]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 22–25.

[29]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 128–130.


8.           Kritik terhadap Tafsir Kontemporer

Tafsir kontemporer, meskipun membuka cakrawala baru dalam memahami Al-Qur’an, tidak lepas dari berbagai kritik yang bersifat epistemologis, metodologis, dan teologis. Kritik ini umumnya muncul dari dua arah: pertama, dari kalangan tradisionalis yang menilai pendekatan kontemporer terlalu bebas dan berisiko merelatifkan makna wahyu; kedua, dari kalangan modernis sendiri yang menyoroti kelemahan internal dalam konstruksi hermeneutik dan praksisnya.¹

8.1.       Kritik Tradisional terhadap Tafsir Kontemporer

Kaum tradisional menilai bahwa sebagian pemikir kontemporer terlalu mengedepankan akal dan konteks sosial, hingga menggeser posisi teks sebagai sumber utama kebenaran.² Mereka menuduh bahwa hermeneutika Qur’ani versi modern mengandung semangat sekularisasi penafsiran, karena cenderung menundukkan wahyu di bawah otoritas sejarah dan budaya manusia.³ Pandangan ini sering ditujukan kepada tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, dan Fazlur Rahman, yang dianggap menggeser paradigma teosentris menuju antropo-sentris.⁴

Kritik lain berasal dari pandangan bahwa tafsir kontekstual berpotensi membuka pintu relativisme makna.⁵ Dalam pendekatan hermeneutik, makna selalu bersifat dialogis antara teks dan pembaca; akibatnya, tidak ada tafsir yang dapat diklaim paling benar secara mutlak.⁶ Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa otoritas wahyu menjadi cair dan kehilangan keabsolutannya.⁷ Ulama seperti Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah al-Zuhaili mengingatkan agar tafsir kontemporer tidak melampaui batas metodologis yang ditetapkan oleh ulum al-Qur’an klasik.⁸

Selain itu, sebagian kritikus menilai bahwa tafsir kontemporer cenderung terlalu elitis—lebih banyak berkembang di ruang akademik Barat dan tidak mudah diakses oleh masyarakat Muslim awam.⁹ Dengan demikian, meskipun menawarkan pembaruan konseptual, tafsir kontemporer belum sepenuhnya membentuk praksis sosial yang kuat di tingkat umat.¹⁰

8.2.       Kritik Epistemologis dan Metodologis

Dari sisi epistemologi, sebagian sarjana Muslim menilai bahwa hermeneutika modern terlalu bergantung pada teori-teori Barat yang bersifat sekuler, seperti hermeneutika Gadamer, Ricoeur, dan Schleiermacher.¹¹ Ketergantungan ini menimbulkan problem epistemik: apakah metode yang lahir dari tradisi non-wahyu dapat dipakai untuk memahami teks ilahi tanpa menimbulkan disorientasi makna?¹² Kritik ini muncul dari pemikir seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi, yang menegaskan perlunya “Islamisasi metodologi” agar tafsir tetap berpijak pada worldview Islam.¹³

Di sisi lain, kritik juga diarahkan kepada kecenderungan fragmentatif dalam tafsir kontemporer. Banyak model tafsir modern menonjolkan satu aspek—misalnya, sosial, feminis, atau ilmiah—tanpa menampilkan integrasi yang menyeluruh antara dimensi spiritual, moral, dan teologis Al-Qur’an.¹⁴ Akibatnya, tafsir kehilangan keseimbangan antara normativitas dan kontekstualitas.¹⁵

Metodologis, tafsir kontemporer kerap dikritik karena terlalu menekankan rasionalitas interpretatif dan mengabaikan aspek spiritualitas penafsir.¹⁶ Dalam tradisi sufistik, pengetahuan sejati tidak hanya diperoleh melalui akal, tetapi juga melalui hati (qalb) yang disucikan.¹⁷ Oleh sebab itu, pembacaan Qur’an yang terlalu akademis dapat mengeringkan dimensi ruhaniahnya.¹⁸

8.3.       Kritik Internal: Ketegangan antara Tradisi dan Inovasi

Sebagian pemikir Muslim moderat mengakui bahwa tafsir kontemporer menghadapi dilema epistemik antara mempertahankan otoritas tradisi dan mengejar relevansi modernitas.¹⁹ Fazlur Rahman, misalnya, meskipun mendorong reinterpretasi Al-Qur’an secara kontekstual, tetap menegaskan perlunya “kontinuitas makna moral” agar tafsir tidak tercerabut dari nilai dasar wahyu.²⁰

Masalah lain adalah ketidakkonsistenan dalam penerapan prinsip kontekstualisasi.²¹ Beberapa penafsir modern kadang terlalu jauh dalam menafsirkan simbol-simbol Qur’ani secara alegoris, sehingga makna teologisnya kabur.²² Sebaliknya, sebagian lain tetap terjebak dalam konservatisme metodologis yang membatasi ruang dialog.²³ Hal ini menimbulkan kesan bahwa tafsir kontemporer masih mencari keseimbangan antara kebebasan intelektual dan komitmen terhadap teks.²⁴

Kritik internal juga menyoroti persoalan otoritas penafsir di era digital.²⁵ Dengan terbukanya akses tafsir melalui media sosial dan internet, muncul fenomena “demokratisasi tafsir” di mana siapa pun dapat menafsirkan ayat tanpa kompetensi ilmiah.²⁶ Meskipun hal ini memperluas partisipasi publik, ia juga menimbulkan risiko penyimpangan makna dan penyebaran tafsir populis yang dangkal.²⁷

8.4.       Upaya Menanggapi Kritik

Para pendukung tafsir kontemporer menanggapi kritik ini dengan menekankan bahwa kontekstualisasi tidak berarti sekularisasi, melainkan proses penghidupan kembali pesan Qur’ani dalam ruang dan waktu yang berubah.²⁸ Fazlur Rahman menegaskan bahwa pembacaan kontekstual justru menjaga relevansi wahyu agar tidak teralienasi dari realitas sosial.²⁹ Sementara itu, Nasr Hamid Abu Zayd menolak tuduhan relativisme dengan menegaskan bahwa penafsiran hermeneutik tetap berlandaskan pada struktur linguistik dan semantik Qur’an, bukan pada kehendak subjektif penafsir.³⁰

Seyyed Hossein Nasr, dari perspektif tradisional metafisik, mengajukan solusi integratif: tafsir harus memadukan pendekatan rasional, simbolik, dan spiritual agar maknanya tetap utuh.³¹ Dengan cara ini, tafsir kontemporer dapat menjadi jembatan antara modernitas dan tradisi, antara ilmu dan iman, tanpa kehilangan esensi transendennya.³²


Kesimpulan Sementara

Kritik terhadap tafsir kontemporer menunjukkan bahwa pembaharuan dalam studi Al-Qur’an bukan tanpa resiko. Namun demikian, kritik ini justru menjadi bagian penting dari dinamika intelektual Islam modern.³³ Ia memperkaya wacana tafsir dengan mempertemukan ketegangan antara tradisi dan inovasi, antara teks dan konteks, antara otoritas dan kebebasan.³⁴ Tafsir kontemporer, bila dikembangkan secara reflektif dan berlandaskan spiritualitas Qur’ani, dapat melahirkan paradigma penafsiran yang seimbang—ilmiah, etis, dan transformatif.³⁵


Footnotes

[1]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 87–89.

[2]                Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Qur’an al-‘Azim (Cairo: Dar al-Shuruq, 1999), 45–48.

[3]                Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 64–66.

[4]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 74–76.

[5]                Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 43–46.

[6]                Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 309–311.

[7]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 23–25.

[8]                Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir, vol. 1 (Damascus: Dar al-Fikr, 1991), 11–13.

[9]                Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 118–120.

[10]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 88–90.

[11]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 91–94.

[12]             Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Herndon: IIIT, 1982), 35–37.

[13]             Ibid., 38–40.

[14]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 17–20.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 124–126.

[16]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 83–86.

[17]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 44–47.

[18]             Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1998), 19–21.

[19]             Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 30–33.

[20]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 27–29.

[21]             Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 122–124.

[22]             Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et Larose, 1982), 58–61.

[23]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 93–95.

[24]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2003), 103–106.

[25]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 88–90.

[26]             Gary R. Bunt, Hashtag Islam: How Cyber-Islamic Environments Are Transforming Religious Authority (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2018), 12–15.

[27]             Ibid., 18–20.

[28]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 36–38.

[29]             Ibid., 39–41.

[30]             Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 24–27.

[31]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 31–33.

[32]             Ibid., 34–36.

[33]             Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 94–96.

[34]             Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, 77–79.

[35]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 99–101.


9.           Relevansi Kontemporer dan Arah Pengembangan Tafsir Al-Qur’an

Relevansi tafsir kontemporer terletak pada kemampuannya menghadirkan pesan Al-Qur’an dalam ruang kehidupan modern yang sarat dengan kompleksitas sosial, moral, dan epistemologis.¹ Dalam konteks globalisasi dan krisis kemanusiaan yang multidimensional—mulai dari ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, hingga disrupsi digital—tafsir Al-Qur’an dituntut tidak hanya menjelaskan makna teks, tetapi juga memberikan arah moral bagi peradaban.² Oleh karena itu, pengembangan tafsir kontemporer harus diarahkan pada paradigma yang integratif, transformatif, dan humanistik.³

9.1.       Relevansi Sosial dan Kemanusiaan

Dalam ranah sosial, tafsir kontemporer berfungsi sebagai instrumen moral untuk membangun keadilan dan solidaritas. Fazlur Rahman menekankan bahwa Al-Qur’an bukan hanya teks teologis, melainkan proyek moral yang menuntun umat manusia menuju keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.⁴ Dengan pendekatan kontekstual, ayat-ayat tentang keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmah), dan tanggung jawab sosial dapat dihidupkan kembali dalam kebijakan publik dan sistem sosial modern.⁵

Model tafsir emansipatoris yang dikembangkan oleh Farid Esack dan Hasan Hanafi menunjukkan bahwa Al-Qur’an dapat berperan sebagai sumber inspirasi pembebasan sosial.⁶ Di Afrika Selatan, tafsir Esack digunakan untuk menentang apartheid; di Mesir, Hanafi memanfaatkan tafsir sebagai kritik terhadap hegemoni politik dan ketimpangan ekonomi.⁷ Relevansi tafsir semacam ini terletak pada kemampuannya mengaitkan wahyu dengan praksis kemanusiaan universal.⁸

9.2.       Relevansi terhadap Isu Gender dan Kesetaraan

Perkembangan tafsir feminis menunjukkan bahwa Al-Qur’an dapat ditafsirkan sebagai teks yang menegaskan kesetaraan spiritual dan sosial antara laki-laki dan perempuan.⁹ Amina Wadud dan Asma Barlas menolak dominasi tafsir patriarkal yang telah lama membentuk struktur bias dalam masyarakat Muslim.¹⁰ Mereka menafsirkan ayat-ayat gender secara kontekstual dengan menonjolkan nilai tauhid sebagai dasar kesetaraan ontologis manusia.¹¹ Dalam konteks modern, tafsir feminis menjadi sarana transformasi sosial yang menegakkan keadilan gender dalam keluarga, pendidikan, dan hukum Islam.¹²

9.3.       Relevansi terhadap Isu Lingkungan dan Ekologi

Krisis ekologis global memberikan tantangan baru bagi pengembangan tafsir Al-Qur’an.¹³ Banyak sarjana Muslim kontemporer, seperti Seyyed Hossein Nasr dan Mawil Izzi Dien, mengembangkan tafsir ekologis (eco-Qur’anic exegesis) untuk menegaskan tanggung jawab manusia sebagai khalifah terhadap alam.¹⁴ Nasr menyebut bahwa degradasi lingkungan bersumber dari krisis spiritual modernitas—yakni terputusnya hubungan manusia dengan dimensi sakral alam semesta.¹⁵ Oleh karena itu, tafsir ekologis menuntut pemulihan kesadaran kosmik: bahwa seluruh ciptaan adalah ayat kauniyyah (tanda-tanda Tuhan) yang menuntut penghormatan dan penjagaan.¹⁶

Arah pengembangan tafsir dalam bidang ini harus bergerak menuju paradigma eco-spiritual, yang memadukan etika lingkungan dengan spiritualitas Qur’ani.¹⁷ Pendekatan ini tidak hanya menegaskan tanggung jawab ekologis, tetapi juga membangun kesadaran integral bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah kepada Sang Pencipta.¹⁸

9.4.       Relevansi dalam Era Digital dan Ilmu Pengetahuan

Kemajuan teknologi informasi dan digitalisasi pengetahuan telah mengubah lanskap otoritas keagamaan.¹⁹ Di era ini, tafsir Qur’an tersebar luas melalui media sosial, aplikasi digital, dan platform daring, menjadikan akses terhadap teks suci semakin demokratis.²⁰ Namun, fenomena ini juga menimbulkan tantangan baru berupa munculnya tafsir populis yang kurang berbasis ilmiah.²¹ Oleh karena itu, arah pengembangan tafsir ke depan perlu memperhatikan literasi digital Qur’ani—yakni kemampuan memahami, memverifikasi, dan mengkritisi interpretasi yang beredar di ruang siber.²²

Selain itu, dalam konteks sains dan teknologi, tafsir kontemporer juga harus mampu berdialog dengan paradigma ilmiah modern tanpa kehilangan dimensi spiritualnya.²³ Pendekatan interdisipliner yang menggabungkan teologi, etika, dan sains dapat memperkuat posisi Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang etis dan berorientasi pada kemaslahatan manusia.²⁴

9.5.       Arah Pengembangan Paradigma Tafsir Integral

Arah pengembangan tafsir kontemporer idealnya bergerak menuju paradigma tafsir integral, yaitu pendekatan yang menyatukan tiga dimensi utama: normatif (wahyu), rasional (akal), dan kontekstual (realitas).²⁵ Model ini berupaya melampaui dikotomi antara tafsir klasik dan modern, antara makna tekstual dan historis, serta antara aspek spiritual dan ilmiah.²⁶

Paradigma integral ini diusulkan oleh para pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, dan Abdul Mustaqim, yang melihat bahwa kebenaran Qur’ani bersifat hierarkis dan multidimensional.²⁷ Tafsir yang integral bukan sekadar interpretasi akademik, tetapi juga jalan menuju pembentukan kesadaran etis dan spiritual dalam masyarakat.²⁸ Dengan demikian, tafsir kontemporer di masa depan diharapkan tidak hanya menjadi ilmu pengetahuan, melainkan juga proyek peradaban Qur’ani yang memadukan iman, ilmu, dan amal.²⁹


Kesimpulan Sementara

Relevansi tafsir kontemporer terletak pada kemampuannya menghidupkan kembali pesan Al-Qur’an dalam dinamika modernitas. Ia tidak hanya mengoreksi cara baca terhadap teks, tetapi juga menghadirkan horizon baru yang menyentuh persoalan kemanusiaan global.³⁰ Arah pengembangannya ke depan menuntut integrasi antara dimensi spiritual dan intelektual, antara norma wahyu dan konteks sejarah, agar tafsir benar-benar menjadi cahaya hidup (nūr al-hayāh) bagi peradaban manusia.³¹


Footnotes

[1]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 91–93.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 38–40.

[3]                Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 103–105.

[4]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 18–20.

[5]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 25–27.

[6]                Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 46–48.

[7]                Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 35–37.

[8]                Ibid., 38–40.

[9]                Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 15–17.

[10]             Asma Barlas, “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (Austin: University of Texas Press, 2002), 70–72.

[11]             Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation: Testimonies of Spirit (New York: Praeger, 1987), 61–63.

[12]             Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (Oxford: Oneworld, 2006), 23–25.

[13]             Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of Islam (Cambridge: Islamic Foundation, 2000), 43–45.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 83–85.

[15]             Ibid., 86–88.

[16]             Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien, Islam and Ecology (London: Cassell, 1992), 39–42.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 71–73.

[18]             Ibid., 74–76.

[19]             Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 91–94.

[20]             Gary R. Bunt, Hashtag Islam: How Cyber-Islamic Environments Are Transforming Religious Authority (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2018), 25–28.

[21]             Ibid., 29–31.

[22]             Ibid., 34–36.

[23]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2003), 107–109.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 128–130.

[25]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 108–111.

[26]             Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 63–66.

[27]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 40–42.

[28]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, 43–45.

[29]             Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 118–120.

[30]             Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 78–81.

[31]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 132–134.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Tafsir Qur’an Humanistik dan Integral

Sintesis filosofis dalam kajian tafsir kontemporer berupaya merumuskan pendekatan yang memadukan tiga dimensi utama pengetahuan Islam: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pendekatan ini tidak hanya menjawab pertanyaan apa dan bagaimana Al-Qur’an dipahami, tetapi juga untuk apa pemahaman itu diarahkan.¹ Dalam kerangka ini, tafsir Qur’an dipandang bukan sekadar ilmu penjelas makna, melainkan proyek peradaban yang menautkan iman, ilmu, dan kemanusiaan.²

10.1.    Sintesis Ontologis: Teks sebagai Realitas Transendental dan Historis

Ontologi tafsir humanistik memandang Al-Qur’an sebagai teks ilahi yang hadir dalam bahasa manusia untuk menjembatani dimensi transendental dan imanen.³ Teks wahyu bersifat ganda—ia merupakan kalām Allāh (sabda Tuhan) sekaligus kalam li al-nās (sabda bagi manusia).⁴ Dalam pandangan Fazlur Rahman, wahyu bukan hanya pesan normatif yang diturunkan sekali untuk selamanya, melainkan prinsip moral yang hidup yang terus berinteraksi dengan sejarah manusia.⁵ Dengan demikian, makna Al-Qur’an bersifat dinamis; ia selalu terbuka untuk aktualisasi baru dalam ruang dan waktu yang berubah.⁶

Pendekatan ontologis semacam ini mengakui kesakralan teks tanpa menafikan historisitasnya.⁷ Teks bukan entitas tertutup, tetapi “medan makna” yang memuat potensi dialog antara Tuhan dan manusia.⁸ Dalam konteks ini, penafsiran menjadi peristiwa ontologis di mana manusia berjumpa dengan ilahi melalui bahasa dan makna.⁹

10.2.    Sintesis Epistemologis: Integrasi Wahyu, Akal, dan Konteks

Secara epistemologis, tafsir humanistik dan integral menolak dikotomi antara rasionalitas modern dan otoritas wahyu.¹⁰ Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed menegaskan bahwa proses penafsiran menuntut keterlibatan akal yang aktif, bukan sekadar penerimaan pasif terhadap teks.¹¹ Akal manusia, dalam perspektif ini, bukan pesaing wahyu, melainkan instrumen untuk menyingkap kehendak ilahi di balik simbol-simbol linguistik Al-Qur’an.¹²

Model epistemologi integratif juga menempatkan konteks sosial sebagai variabel kunci dalam memahami makna Qur’ani.¹³ Tafsir harus memperhitungkan sejarah, budaya, dan struktur pengetahuan masyarakat yang menjadi penerima pesan wahyu.¹⁴ Sebab, sebagaimana dikatakan Nasr Hamid Abu Zayd, teks Al-Qur’an hanya hidup ketika dibaca dan ditafsirkan ulang dalam konteks yang baru.¹⁵

Dengan demikian, epistemologi tafsir integral bertumpu pada triadik pengetahuan: wahyu (revelasi) sebagai sumber nilai, akal (reason) sebagai alat interpretasi, dan konteks (reality) sebagai ruang aktualisasi.¹⁶ Ketiganya saling berhubungan dalam dialektika kreatif untuk menghasilkan pemahaman Qur’ani yang autentik sekaligus relevan.¹⁷

10.3.    Sintesis Aksiologis: Tafsir sebagai Etika dan Spiritualitas Kehidupan

Aksiologi tafsir humanistik menegaskan bahwa tujuan akhir dari pemahaman Al-Qur’an bukan hanya pengetahuan, tetapi transformasi moral dan spiritual.¹⁸ Tafsir harus melahirkan etika kemanusiaan yang menghidupkan nilai-nilai Qur’ani seperti keadilan, kasih sayang, kejujuran, keseimbangan, dan tanggung jawab ekologis.¹⁹

Seyyed Hossein Nasr mengingatkan bahwa krisis modernitas bukanlah krisis sains, tetapi krisis makna.²⁰ Oleh karena itu, tafsir harus berfungsi sebagai jalan pemulihan spiritualitas manusia—membangun kesadaran bahwa kehidupan dunia adalah refleksi dari realitas ilahi.²¹ Dalam tafsir humanistik, makna Al-Qur’an tidak berhenti pada struktur kalimat, tetapi menembus hingga kesadaran moral dan spiritual manusia.²²

Fazlur Rahman menyebut pendekatan ini sebagai “tafsir moral rasional”—yakni penafsiran yang mengarahkan pengetahuan pada tindakan etis.²³ Dalam konteks sosial, tafsir menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat Qur’ani yang berkeadilan dan beradab; dalam konteks individu, tafsir menjadi proses pembentukan insān kāmil (manusia paripurna) yang merefleksikan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan.²⁴

10.4.    Menuju Paradigma Tafsir Integral dan Humanistik

Paradigma tafsir integral dan humanistik berupaya mengatasi dualisme yang selama ini memisahkan antara ilmu dan iman, antara rasio dan wahyu, antara tradisi dan modernitas.²⁵ Pendekatan ini memandang bahwa kebenaran Qur’ani bersifat multidimensi: bersumber dari Tuhan, dihayati oleh manusia, dan diwujudkan dalam realitas.²⁶

Dalam kerangka ini, tafsir bukan sekadar metode ilmiah, melainkan jalan spiritual untuk menghidupkan kembali wahyu di tengah peradaban modern.²⁷ Paradigma integral menuntut penafsir untuk bersikap reflektif, kritis, dan etis sekaligus menjaga kesucian makna ilahi.²⁸ Ia menolak reduksionisme tafsir yang hanya menekankan aspek linguistik atau ideologis, dan menegakkan pandangan bahwa Al-Qur’an adalah sumber kebijaksanaan universal yang mempersatukan dimensi pengetahuan, etika, dan spiritualitas.²⁹

Pendekatan ini berujung pada visi tafsir humanistik, yakni tafsir yang menjadikan manusia sebagai pusat tanggung jawab moral dan spiritual dalam merespons pesan wahyu.³⁰ Dengan menggabungkan rasionalitas kritis dan kedalaman batin, tafsir humanistik dan integral menjadi landasan bagi pembangunan peradaban Islam yang inklusif, berkeadilan, dan berorientasi pada kemaslahatan seluruh ciptaan.³¹


Kesimpulan Sementara

Sintesis filosofis tafsir kontemporer menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak dapat dipahami secara parsial. Ia memerlukan pendekatan integral yang menggabungkan aspek ontologis (hakikat wahyu), epistemologis (metode pengetahuan), dan aksiologis (tujuan nilai).³² Dalam kerangka humanistik, tafsir menjadi proses pembebasan spiritual yang menghubungkan manusia dengan Tuhan dan sesamanya.³³ Dengan demikian, paradigma tafsir Qur’an humanistik dan integral tidak hanya menafsirkan teks, tetapi juga menafsirkan kehidupan dalam cahaya wahyu yang abadi.³⁴


Footnotes

[1]                Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2003), 111–113.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 131–133.

[3]                Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 18–21.

[4]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 19–22.

[5]                Ibid., 23–25.

[6]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 94–96.

[7]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 78–80.

[8]                Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 91–94.

[9]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1998), 27–30.

[10]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 113–115.

[11]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 28–31.

[12]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 51–53.

[13]             Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 97–99.

[14]             Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 70–73.

[15]             Ibid., 74–76.

[16]             Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam (Jakarta: Erlangga, 2005), 145–147.

[17]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 117–119.

[18]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 44–46.

[19]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 53–55.

[20]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 90–92.

[21]             Ibid., 94–96.

[22]             Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (Oxford: Oneworld, 2006), 30–32.

[23]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 42–44.

[24]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 2, 20–23.

[25]             Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 121–123.

[26]             Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et Larose, 1982), 65–67.

[27]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 77–80.

[28]             Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 122–124.

[29]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 33–36.

[30]             Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu, 148–150.

[31]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 134–136.

[32]             Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 98–101.

[33]             Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community, 28–31.

[34]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 26–29.


11.       Kesimpulan

Kajian mengenai tafsir Al-Qur’an kontemporer menunjukkan bahwa dinamika penafsiran wahyu tidak pernah berhenti; ia selalu bergerak mengikuti denyut kehidupan manusia.¹ Dari perjalanan historisnya, tafsir berkembang dari tradisi tekstual-klasik menuju paradigma hermeneutik dan interdisipliner yang menekankan keterkaitan antara teks, konteks, dan pembaca.² Dalam konteks ini, tafsir kontemporer bukanlah bentuk dekonstruksi terhadap tradisi, tetapi merupakan rekonstruksi epistemologis yang menegaskan bahwa wahyu senantiasa relevan bagi zaman apa pun.³

Tafsir kontemporer berakar pada kesadaran bahwa Al-Qur’an bukan sekadar dokumen linguistik, melainkan realitas hidup yang berdialog dengan manusia.⁴ Ia tidak berhenti pada penggalian makna literal, tetapi menuntut penemuan makna kontekstual yang sesuai dengan tantangan moral, sosial, ekologis, dan spiritual umat modern.⁵ Oleh karena itu, pendekatan tafsir modern memadukan dimensi teosentris (berorientasi pada Tuhan) dan antroposentris (berorientasi pada kemanusiaan), yang keduanya saling melengkapi.⁶

Secara ontologis, tafsir kontemporer menegaskan bahwa wahyu adalah realitas transenden yang hadir dalam bentuk historis dan bahasa manusia.⁷ Ia menghubungkan yang ilahi dan yang insani dalam dialog makna yang tak pernah selesai.⁸ Secara epistemologis, tafsir kontemporer membangun pengetahuan melalui integrasi antara wahyu, akal, dan konteks sosial.⁹ Dalam hal ini, akal manusia berfungsi sebagai instrumen untuk menyingkap kehendak ilahi tanpa mengabaikan akar spiritualitas yang melandasi teks.¹⁰ Sedangkan secara aksiologis, tafsir diarahkan untuk menghadirkan nilai-nilai Qur’ani—seperti keadilan (‘adl), keseimbangan (tawāzun), kasih sayang (rahmah), dan kebebasan (hurriyyah)—dalam kehidupan nyata.¹¹

Relevansi tafsir kontemporer terletak pada kemampuannya merespons problem kemanusiaan global. Dalam ranah sosial, tafsir menjadi basis etika publik yang menegakkan keadilan sosial dan solidaritas lintas agama.¹² Dalam ranah budaya, ia menjadi jembatan dialog antarperadaban yang menghargai pluralitas.¹³ Dalam ranah lingkungan, tafsir ekologis menegaskan kembali tanggung jawab manusia sebagai khalifah yang menjaga keseimbangan ciptaan.¹⁴ Dalam ranah digital, tafsir menjadi sarana pendidikan spiritual yang adaptif terhadap transformasi teknologi.¹⁵

Namun demikian, pembaruan tafsir juga menghadapi kritik serius: bahaya relativisme makna, kecenderungan sekularisasi hermeneutik, serta tantangan otoritas penafsir di era digital.¹⁶ Kritik ini justru memperkaya wacana tafsir dan mendorong lahirnya paradigma baru yang lebih matang.¹⁷ Sebab, dalam tradisi keilmuan Islam, kritik bukanlah ancaman bagi kebenaran, tetapi mekanisme penyucian intelektual menuju pemahaman yang lebih jernih.¹⁸

Arah pengembangan tafsir ke depan idealnya menuju tafsir Qur’an humanistik dan integral, yakni model penafsiran yang menyatukan dimensi spiritual, rasional, dan praksis sosial.¹⁹ Paradigma ini menempatkan manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab atas makna wahyu dalam kehidupan.²⁰ Dengan menggabungkan kedalaman spiritual sufistik, ketajaman rasional filosofis, dan kesadaran sosial profetik, tafsir dapat berfungsi sebagai ruh peradaban Qur’ani yang menuntun umat menuju kemajuan yang beradab.²¹

Akhirnya, tafsir Al-Qur’an kontemporer menunjukkan bahwa memahami wahyu bukanlah sekadar kegiatan ilmiah, tetapi juga spiritual dan eksistensial.²² Ia merupakan proses panjang pembentukan kesadaran: dari pembacaan teks menuju penghayatan makna, dari pengetahuan menuju kebijaksanaan, dari pemahaman menuju pengamalan.²³ Dengan cara inilah Al-Qur’an senantiasa menjadi hudā li al-nās—petunjuk bagi seluruh umat manusia, dalam segala ruang, waktu, dan peradaban.²⁴


Footnotes

[1]                Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 101–103.

[2]                Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 126–129.

[3]                Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 38–40.

[4]                Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University Press, 2004), 29–31.

[5]                Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 81–83.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 137–140.

[7]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 23–26.

[8]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1998), 32–35.

[9]                Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York: Routledge, 2008), 101–104.

[10]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 53–55.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 47–50.

[12]             Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 57–59.

[13]             Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 123–126.

[14]             Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of Islam (Cambridge: Islamic Foundation, 2000), 49–51.

[15]             Gary R. Bunt, Hashtag Islam: How Cyber-Islamic Environments Are Transforming Religious Authority (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2018), 37–39.

[16]             Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Qur’an al-‘Azim (Cairo: Dar al-Shuruq, 1999), 53–56.

[17]             Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 97–100.

[18]             Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 45–48.

[19]             Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2003), 119–122.

[20]             Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 125–127.

[21]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 82–84.

[22]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 28–30.

[23]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 2, 25–27.

[24]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, 51–53.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2005). The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. San Francisco, CA: HarperSanFrancisco.

Abu Zayd, N. H. (1992). Naqd al-Khitab al-Dini. Cairo, Egypt: Sina Lil-Nashr.

Abu Zayd, N. H. (2004). Text, Authority, and Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century. Amsterdam, Netherlands: Humanistics University Press.

Adams, C. C. (1933). Islam and Modernism in Egypt. London, England: Oxford University Press.

Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. Kuala Lumpur, Malaysia: ISTAC.

Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Herndon, VA: International Institute of Islamic Thought.

Al-Farmawi, A. (1983). Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu‘i. Cairo, Egypt: Dar al-Hadith.

Al-Ghazali. (1968). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vols. 1–2). Cairo, Egypt: Dar al-Ma‘arif.

Al-Ghazali, M. (1992). Nahw Tafsir Maudhu‘i li Suwar al-Qur’an al-Karim. Cairo, Egypt: Dar al-Shuruq.

Arkoun, M. (1982). Lectures du Coran. Paris, France: Maisonneuve et Larose.

Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers. Boulder, CO: Westview Press.

Arkoun, M. (2002). The Unthought in Contemporary Islamic Thought. London, England: Saqi Books.

Barlas, A. (2002). “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin, TX: University of Texas Press.

Bucaille, M. (1978). The Bible, the Qur’an and Science. Paris, France: Seghers.

Bunt, G. R. (2018). Hashtag Islam: How Cyber-Islamic Environments Are Transforming Religious Authority. Chapel Hill, NC: University of North Carolina Press.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany, NY: State University of New York Press.

Corbin, H. (1998). Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Dien, M. I. (2000). The Environmental Dimensions of Islam. Cambridge, England: The Islamic Foundation.

Engineer, A. A. (1990). Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam. New York, NY: St. Martin’s Press.

Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford, England: Oneworld.

Esack, F. (2005). The Qur’an: A User’s Guide. Oxford, England: Oneworld.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. (2000). Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Oxford, England: Oneworld.

Fazlur Rahman. (2009). Major Themes of the Qur’an. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Hanafi, H. (1980). Al-Turath wa al-Tajdid: Mawqifunā min al-Turath al-Qadīm. Cairo, Egypt: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah.

Hanafi, H. (1990). Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini. Cairo, Egypt: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah.

Hanafi, H. (1991). Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab. Cairo, Egypt: Dar al-Fikr al-Mu‘asir.

Hamka. (1982). Tafsir Al-Azhar (Vol. 1). Jakarta, Indonesia: Pustaka Panjimas.

Izzi Dien, M. (2000). The Environmental Dimensions of Islam. Cambridge, England: The Islamic Foundation.

Khalid, F., & O’Brien, J. (1992). Islam and Ecology. London, England: Cassell.

Madjid, N. (1992). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung, Indonesia: Mizan.

Mustaqim, A. (2010). Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta, Indonesia: LKiS.

Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. London, England: George Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of Modern Man. London, England: Routledge & Kegan Paul.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford, England: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York, NY: HarperCollins.

Qaradawi, Y. (1999). Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Qur’an al-‘Azim. Cairo, Egypt: Dar al-Shuruq.

Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth, TX: Texas Christian University Press.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the Human Sciences. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London, England: Routledge.

Saeed, A. (2008). The Qur’an: An Introduction. New York, NY: Routledge.

Saeed, A. (2008). Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah. Oxford, England: Oxford University Press.

Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford, England: Oxford University Press.

Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Vol. 1). Jakarta, Indonesia: Lentera Hati.

Wadud, A. (1999). Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York, NY: Oxford University Press.

Wadud, A. (2006). Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam. Oxford, England: Oneworld.

Zaghlul El-Naggar. (2003). Scientific Miracles in the Qur’an. Cairo, Egypt: Al-Falah Foundation.

Zuhaili, W. (1991). Al-Tafsir al-Munir (Vol. 1). Damascus, Syria: Dar al-Fikr.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar