Tafsir Al-Qur’an Kontemporer
Pendekatan, Metodologi, dan Relevansi dalam Konteks
Modern
Alihkan ke: PPG 2019.
Abstrak
Artikel ini membahas dinamika tafsir Al-Qur’an
kontemporer sebagai upaya hermeneutik modern dalam memahami wahyu secara
kontekstual, rasional, dan humanistik. Melalui pendekatan historis, ontologis,
epistemologis, dan aksiologis, penelitian ini menelusuri perkembangan tafsir
dari model klasik yang tekstual menuju paradigma baru yang bersifat integratif
dan multidisipliner. Kajian ini menunjukkan bahwa tafsir kontemporer tidak
hanya berfungsi menjelaskan makna teks, tetapi juga mereaktualisasikan pesan
moral dan spiritual Al-Qur’an dalam menghadapi tantangan sosial, politik,
ekologis, dan teknologi modern.
Secara ontologis, tafsir kontemporer memandang
Al-Qur’an sebagai teks transendental sekaligus historis yang membuka ruang
dialog antara Tuhan dan manusia. Secara epistemologis, ia menegaskan integrasi
wahyu, akal, dan konteks sebagai tiga poros utama pengetahuan Islam. Secara
aksiologis, tafsir diarahkan pada pembentukan etika kemanusiaan yang menegakkan
keadilan, keseimbangan, dan spiritualitas. Artikel ini juga menelaah berbagai
model tafsir seperti hermeneutik, ilmiah, sosial, feminis, dan ekologis,
sekaligus menanggapi kritik terhadap bahaya relativisme makna dan sekularisasi
interpretasi.
Akhirnya, penelitian ini menawarkan sintesis
filosofis menuju tafsir Qur’an humanistik dan integral—sebuah paradigma
yang menyatukan dimensi spiritual, rasional, dan praksis sosial. Dalam visi
ini, tafsir tidak hanya menjadi disiplin akademik, tetapi juga proyek peradaban
yang memadukan iman, ilmu, dan amal untuk mewujudkan kemaslahatan manusia serta
keseimbangan kosmik.
Kata Kunci: Tafsir Kontemporer; Hermeneutika Qur’an;
Epistemologi Islam; Aksiologi Wahyu; Humanisme Qur’ani; Tafsir Integral; Etika
dan Spiritualitas.
PEMBAHASAN
Dinamika Tafsir Al-Qur’an Kontemporer
1.
Pendahuluan
Tafsir Al-Qur’an kontemporer merupakan salah satu
bidang kajian keislaman yang mengalami dinamika signifikan seiring dengan
perubahan sosial, budaya, dan intelektual umat manusia. Sejak abad ke-20,
muncul kesadaran baru bahwa teks suci tidak dapat dipahami secara statis,
melainkan perlu diaktualisasikan sesuai dengan konteks zaman dan problematika
kemanusiaan yang terus berkembang.¹ Tafsir tidak lagi dipandang semata sebagai
upaya reproduksi makna tekstual, tetapi sebagai dialog kreatif antara wahyu dan
realitas manusia modern.²
Perkembangan ilmu pengetahuan, globalisasi, serta
transformasi teknologi digital mendorong terjadinya reorientasi epistemologis
dalam studi Al-Qur’an. Jika pada masa klasik tafsir lebih menekankan aspek
kebahasaan, sanad, dan asbāb al-nuzūl, maka dalam periode modern dan
kontemporer muncul kebutuhan untuk meninjau ulang cara pandang terhadap teks
suci.³ Penafsir tidak hanya dituntut memahami makna literal ayat, tetapi juga
menggali pesan moral, sosial, ekologis, dan spiritual yang relevan dengan
kehidupan global yang kompleks.⁴
Lahirnya berbagai pendekatan baru seperti tafsir
maudhu‘i (tematik), tafsir hermeneutik, tafsir ilmiah, hingga tafsir
kontekstual, menunjukkan bahwa penafsiran Al-Qur’an selalu terbuka terhadap
dinamika zaman.⁵ Dalam konteks ini, tafsir kontemporer berperan sebagai medium
dialektis antara teks dan konteks—antara keabadian wahyu dan temporalitas
sejarah.⁶ Dengan demikian, tafsir tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga
praksis: ia menjadi sarana rekonstruksi kesadaran keagamaan dan sosial umat
Islam agar tetap responsif terhadap tantangan modernitas.⁷
Kajian tafsir kontemporer juga menegaskan
pentingnya nilai-nilai kemanusiaan (al-insāniyyah) sebagai inti dari pesan
Qur’ani. Al-Qur’an dipahami bukan hanya sebagai sumber hukum dan teologi,
tetapi juga sebagai inspirasi etis bagi pembebasan manusia dari segala bentuk
ketertindasan, ketidakadilan, dan alienasi.⁸ Oleh karena itu, pendekatan
humanistik dan integral dalam penafsiran menjadi relevan untuk mengembalikan
makna Al-Qur’an sebagai pedoman universal yang hidup dan aktual.⁹
Dari perspektif akademik, penelitian terhadap
tafsir kontemporer penting dilakukan karena menawarkan horizon baru dalam
metodologi tafsir dan epistemologi Islam. Ia menantang otoritas lama yang
cenderung eksklusif dan membuka ruang bagi pluralitas makna yang lebih
demokratis.¹⁰ Kajian ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan tafsir klasik,
tetapi untuk memperkaya tradisi intelektual Islam dengan cara membaca yang
lebih reflektif, kritis, dan kontekstual terhadap realitas umat manusia
modern.¹¹
Dengan demikian, artikel ini berupaya menelusuri
dinamika ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tafsir Al-Qur’an
kontemporer serta menunjukkan bagaimana ia berfungsi sebagai jembatan antara
teks ilahi dan kehidupan manusia dalam dunia modern yang terus berubah.¹²
Kajian ini diharapkan mampu memperlihatkan bahwa tafsir bukan hanya ilmu
tentang makna, melainkan juga seni memahami kehidupan melalui cahaya wahyu yang
transenden namun selalu relevan.¹³
Footnotes
[1]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 2–5.
[2]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 1–4.
[3]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 17–20.
[4]
Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and
Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam:
Humanistics University Press, 2004), 11–15.
[5]
Muhammad al-Ghazali, Nahw Tafsir Maudhu‘i li
Suwar al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar al-Shuruq, 1992), 6–8.
[6]
Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa
al-Yasar fi al-Fikr al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah,
1990), 24–27.
[7]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism:
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997), 39–41.
[8]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press,
1999), 5–7.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 15–19.
[10]
Arkoun Mohammed, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 52–56.
[11]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 12–15.
[12]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling
Islam from the Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 28–31.
[13]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 2009), 1–3.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Tafsir Al-Qur’an
Perkembangan tafsir Al-Qur’an merupakan perjalanan
intelektual panjang yang mencerminkan dinamika interaksi antara teks suci
dengan sejarah umat Islam. Sejak masa awal Islam, tafsir telah menjadi bagian
integral dari proses pemahaman wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.¹ Tradisi penafsiran bermula dari penjelasan
Nabi sendiri terhadap ayat-ayat tertentu, dilanjutkan oleh para sahabat yang
memahami makna Al-Qur’an melalui pengalaman langsung dengan konteks pewahyuan
(asbāb al-nuzūl).² Pada periode ini, tafsir masih bersifat oral, intuitif, dan
terbatas pada penjelasan makna literal, tanpa sistematisasi metodologis yang
ketat.³
Memasuki masa tabi‘in dan generasi setelahnya,
tafsir berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dengan metode yang lebih
terstruktur. Para ulama mulai menyusun tafsir berdasarkan riwayat (tafsīr bi
al-ma’tsūr), mengutip penjelasan sahabat dan tabi‘in.⁴ Tokoh-tokoh seperti
Mujahid ibn Jabr, Qatadah ibn Di‘amah, dan al-Hasan al-Bashri merupakan figur
penting dalam fase ini.⁵ Kemudian, lahirlah tafsir-tafsir monumental pada masa
klasik seperti Jāmi‘ al-Bayān karya al-Ṭabarī, Al-Kashshāf karya
al-Zamakhsharī, dan Mafātīh al-Ghayb karya Fakhr al-Dīn al-Rāzī yang
menandai integrasi tafsir dengan ilmu bahasa, kalam, dan filsafat.⁶
Namun, pada masa pertengahan (abad ke-13 hingga
ke-18 M), tafsir mulai menunjukkan kecenderungan stagnan. Otoritas tafsir
klasik menjadi sangat dominan, sementara ruang bagi kreativitas dan
kontekstualisasi mulai menyempit.⁷ Tafsir lebih banyak berfungsi sebagai
komentar tekstual dan reproduksi makna-makna sebelumnya tanpa eksplorasi makna
baru yang sesuai dengan perubahan sosial.⁸ Meski demikian, pada masa ini juga
muncul tafsir bercorak sufistik seperti karya Ibn ‘Arabī (Fusūs al-Hikam)
dan al-Qushayrī (Lathā’if al-Ishārāt), yang memperkaya dimensi spiritual
penafsiran.⁹
Transformasi besar terjadi pada abad ke-19 dan
ke-20, ketika dunia Islam mulai bersentuhan dengan kolonialisme, modernitas,
dan arus globalisasi. Tantangan sosial-politik dan krisis keilmuan umat Islam
mendorong lahirnya gerakan pembaruan tafsir.¹⁰ Pemikir seperti Jamal al-Din
al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha mengajukan pendekatan rasional dan
moral terhadap teks Al-Qur’an, yang berusaha menyesuaikan pesan wahyu dengan
tuntutan modernitas.¹¹ Tafsir Abduh dalam Al-Manar misalnya, tidak
sekadar menjelaskan makna ayat, tetapi juga memuat kritik sosial dan visi
reformasi keislaman.¹²
Periode ini menjadi fondasi lahirnya apa yang kini
dikenal sebagai tafsir kontemporer. Genealogi intelektualnya dapat ditelusuri
dari para pembaharu modernis hingga para pemikir postmodern Muslim seperti
Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd.¹³ Rahman menekankan
pentingnya “gerak ganda” antara teks dan konteks untuk menghasilkan
makna Qur’ani yang relevan sepanjang masa.¹⁴ Sementara Hanafi mendorong tafsir
yang bersifat praksis dan ideologis sebagai alat emansipasi sosial, dan Abu
Zayd menegaskan perlunya membaca Al-Qur’an secara hermeneutik, menempatkannya
sebagai teks budaya yang hidup dalam sejarah manusia.¹⁵
Di Indonesia, perkembangan tafsir kontemporer
menunjukkan adaptasi yang unik terhadap kondisi sosio-kultural lokal. Tokoh
seperti Hamka melalui Tafsir Al-Azhar dan M. Quraish Shihab melalui Tafsir
Al-Mishbah berupaya menghadirkan penafsiran yang rasional, moderat, dan
kontekstual dengan realitas masyarakat Indonesia modern.¹⁶ Tafsir mereka
mencerminkan semangat integratif antara teks ilahi, rasionalitas ilmiah, dan
nilai-nilai kemanusiaan.¹⁷ Dengan demikian, perjalanan historis dan genealogis
tafsir Al-Qur’an memperlihatkan kesinambungan dan perubahan: dari penafsiran
tradisional yang tekstual menuju tafsir kontemporer yang hermeneutik,
interdisipliner, dan humanistik.¹⁸
Landasan historis ini penting dipahami karena menjadi
fondasi epistemologis bagi pengembangan tafsir masa kini. Setiap fase sejarah
tafsir menandai pergeseran paradigma: dari otoritas teks menuju dialog antara
teks dan realitas.¹⁹ Genealogi tafsir kontemporer bukanlah pemutusan dengan
tradisi, melainkan kelanjutan kreatif dari warisan klasik yang disesuaikan
dengan kesadaran zaman baru.²⁰ Oleh karena itu, memahami sejarah tafsir tidak
hanya berarti menelusuri kronologi penafsiran, tetapi juga membaca dinamika
spiritual dan intelektual umat Islam dalam menghidupkan makna wahyu sepanjang
zaman.²¹
Footnotes
[1]
Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, vol.
2 (Cairo: Dar al-Hadith, 2003), 5–7.
[2]
Ibn Taymiyyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir
(Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 12–14.
[3]
John Wansbrough, Quranic Studies: Sources and
Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford University Press,
1977), 9–10.
[4]
Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, vol.
1 (Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1976), 45–47.
[5]
Andrew Rippin, The Formation of the Classical Tafsir
Tradition of Islam (Aldershot: Variorum, 1999), 18–21.
[6]
Al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy
al-Qur’ān, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1955), 3–5.
[7]
R. Stephen Humphreys, Islamic History: A
Framework for Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1991), 71–73.
[8]
George F. Hourani, Reason and Tradition in
Islamic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 30–32.
[9]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
56–60.
[10]
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal
Age, 1798–1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 110–113.
[11]
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,
vol. 1 (Cairo: Al-Manar Press, 1904), 4–6.
[12]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt:
A Study of the Modern Reform Movement (London: Oxford University Press,
1933), 102–106.
[13]
Hasan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab
(Cairo: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991), 21–25.
[14]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 7–9.
[15]
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini
(Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 45–49.
[16]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 1 (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1982), 12–15.
[17]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 3–6.
[18]
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction
(New York: Routledge, 2008), 75–78.
[19]
Arkoun Mohammed, Lectures du Coran (Paris:
Maisonneuve et Larose, 1982), 33–36.
[20]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 23–25.
[21]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an:
Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust,
2002), 10–13.
3.
Ontologi
Tafsir Kontemporer
Ontologi tafsir kontemporer berangkat dari
kesadaran bahwa Al-Qur’an bukanlah sekadar teks linguistik yang statis,
melainkan realitas wahyu yang hidup dan dinamis. Dalam pandangan filosofis,
hakikat tafsir tidak hanya terletak pada penjelasan makna kata-kata, tetapi
pada upaya manusia memahami hubungan ontologis antara teks ilahi (al-naṣṣ
al-ilāhī) dan eksistensi manusia (al-wujūd al-insānī).¹ Teks
suci memuat makna yang melampaui struktur bahasanya; ia menghadirkan realitas simbolik
yang membuka ruang dialog antara Tuhan dan manusia melalui sejarah, budaya, dan
kesadaran.²
Tafsir kontemporer, karena itu, memahami Al-Qur’an
sebagai “realitas terbuka” (open text), yang maknanya tidak pernah
final.³ Pemaknaan Al-Qur’an selalu merupakan proses interaktif antara teks,
penafsir, dan konteks historis. Dalam kerangka ini, penafsiran tidak bersifat
absolut, melainkan interpretatif dan dialogis.⁴ Ontologi tafsir kontemporer
dengan demikian menolak pandangan esensialis yang memonopoli makna wahyu, dan
menggantikannya dengan pandangan dinamis di mana makna adalah hasil konstruksi
historis sekaligus spiritual.⁵
Dalam tradisi klasik, ontologi tafsir cenderung
memandang teks sebagai entitas yang memiliki makna tetap (thābit), karena berasal
dari sumber ilahi yang absolut.⁶ Akan tetapi, dalam konteks modern, pandangan
ini diperluas melalui kesadaran hermeneutik bahwa wahyu senantiasa hadir dalam
ruang waktu dan bahasa manusia.⁷ Dengan demikian, hakikat teks Al-Qur’an tidak
hanya “diturunkan” (tanzīl), tetapi juga “ditafsirkan” (ta’wīl)
secara berkelanjutan oleh manusia sepanjang sejarah.⁸ Inilah yang oleh Fazlur
Rahman disebut sebagai gerak ganda (double movement) dari teks menuju konteks
dan sebaliknya—sebuah prinsip ontologis yang menegaskan bahwa makna Al-Qur’an
lahir dalam proses dialektis antara normativitas wahyu dan historisitas
manusia.⁹
Selain itu, tafsir kontemporer mengakui bahwa
realitas manusia modern menghadirkan dimensi ontologis baru bagi teks suci.
Kehidupan modern dengan segala kompleksitasnya—sains, teknologi, globalisasi,
dan pluralitas budaya—menjadi ruang bagi pembacaan ulang makna wahyu.¹⁰ Dalam
perspektif ini, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi
menyingkap potensi makna yang terus mengaktual.¹¹ Ontologi tafsir kontemporer,
karenanya, tidak memisahkan antara yang transenden dan yang imanen; keduanya
saling menembus dalam kesadaran religius manusia yang mencari makna.¹²
Para pemikir kontemporer seperti Nasr Hamid Abu
Zayd dan Mohammed Arkoun menekankan bahwa teks Al-Qur’an memiliki dimensi “kebermaknaan
ganda” —ia bersifat ilahi dalam asalnya, namun manusiawi dalam bentuknya.¹³
Ketika wahyu memasuki ruang bahasa, ia sekaligus memasuki ruang budaya dan
sejarah manusia. Oleh karena itu, makna Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari
proses interpretasi manusia yang terikat konteks.¹⁴ Hal ini bukan berarti
merelatifkan kebenaran wahyu, melainkan menegaskan bahwa keilahian teks justru
beroperasi melalui pemaknaan manusiawi yang terbuka.¹⁵
Dari sudut pandang metafisik, tafsir kontemporer
juga menegaskan dimensi ontologis wahyu sebagai “kehadiran Ilahi” (tajallī
ilāhī) yang terus menerus.¹⁶ Teks bukanlah benda mati, tetapi manifestasi
dari Kehendak Ilahi yang mengundang manusia untuk berpikir, merenung, dan bertindak
etis.¹⁷ Karena itu, kegiatan tafsir sejatinya adalah bagian dari proses
eksistensial manusia dalam memahami dirinya dan Tuhan.¹⁸ Dalam pengertian ini,
tafsir menjadi jembatan ontologis yang menghubungkan antara realitas transenden
(Allah sebagai sumber makna) dan realitas imanen (manusia sebagai pencari
makna).¹⁹
Dengan demikian, ontologi tafsir kontemporer
menempatkan Al-Qur’an sebagai teks hidup yang hadir dalam sejarah manusia. Ia
bukan sekadar sumber hukum dan dogma, tetapi horizon makna yang selalu dapat
diperluas melalui pengalaman spiritual dan intelektual umat manusia.²⁰ Tafsir,
dalam kerangka ontologis ini, bukan sekadar aktivitas ilmiah, melainkan
peristiwa eksistensial — di mana manusia bertemu dengan wahyu dalam proses
pemaknaan yang terus berlangsung.²¹
Footnotes
[1]
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an:
Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust,
2002), 5–7.
[2]
Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and
Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam:
Humanistics University Press, 2004), 14–17.
[3]
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris:
Maisonneuve et Larose, 1982), 42–44.
[4]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 9–11.
[5]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse
and the Surplus of Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press,
1976), 87–90.
[6]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1
(Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 19–21.
[7]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 2009), 4–6.
[8]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 63–66.
[9]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 7–9.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 120–122.
[11]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 27–30.
[12]
Alparslan Açıkgenç, Being and Existence in
Islamic Philosophy (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 98–100.
[13]
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini
(Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 51–54.
[14]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary
Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 34–36.
[15]
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction
(New York: Routledge, 2008), 80–82.
[16]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 23–25.
[17]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
78–81.
[18]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism
of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1998), 15–18.
[19]
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu:
Panorama Filsafat Islam (Jakarta: Erlangga, 2005), 103–105.
[20]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism:
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997), 44–47.
[21]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A
Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 13–15.
4.
Epistemologi
Tafsir Kontemporer
Epistemologi tafsir kontemporer berupaya menelaah
bagaimana pengetahuan tentang Al-Qur’an dibangun, divalidasi, dan
dikontekstualisasikan dalam horizon modernitas. Secara mendasar, ia
mempertanyakan sumber, metode, dan struktur rasionalitas yang melandasi proses
penafsiran.¹ Jika dalam tafsir klasik otoritas epistemik terletak pada sanad
riwayat, otoritas ulama, dan metodologi tekstual, maka tafsir kontemporer
memperluas basis epistemologinya dengan memasukkan dimensi rasional, historis,
sosiologis, dan ilmiah.² Dengan demikian, epistemologi tafsir kontemporer
berfungsi sebagai jembatan antara teks wahyu yang absolut dan pengalaman
manusia yang relatif.³
Dalam tradisi tafsir klasik, dua model epistemik
dominan ialah tafsīr bi al-ma’tsūr (berbasis riwayat) dan tafsīr bi
al-ra’yi (berbasis rasionalitas).⁴ Namun, perkembangan pemikiran Islam
modern menuntut perluasan kategori tersebut. Para pemikir kontemporer seperti
Fazlur Rahman, Abdullah Saeed, dan Muhammad Arkoun menyadari bahwa pemahaman
terhadap Al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan linguistik
yang melingkupinya.⁵ Penafsiran tidak hanya melibatkan pengetahuan tekstual,
tetapi juga kesadaran historis dan etis. Dengan kata lain, epistemologi tafsir
kontemporer bersifat dialogis, di mana teks dan realitas saling memberi makna.⁶
Fazlur Rahman, misalnya, mengusulkan metodologi “gerak
ganda” (double movement) sebagai kerangka epistemik tafsir yang mampu
menghubungkan makna teks dengan kebutuhan moral masyarakat modern.⁷ Gerak
pertama adalah analisis terhadap konteks historis ayat untuk menemukan ideal
moral universal, sementara gerak kedua adalah penerapan ideal itu dalam konteks
kontemporer.⁸ Model ini menegaskan bahwa wahyu tidak berhenti pada masa
pewahyuan, tetapi terus hidup melalui rasionalitas dan praksis manusia.⁹
Selain itu, tafsir kontemporer mengadopsi
pendekatan hermeneutik untuk memahami struktur makna teks secara lebih
mendalam. Hermeneutika, sebagaimana dikembangkan oleh Hans-Georg Gadamer dan
Paul Ricoeur, menegaskan bahwa pemahaman selalu merupakan hasil interaksi
antara horizon teks dan horizon pembaca.¹⁰ Dalam konteks tafsir Al-Qur’an,
pendekatan ini berarti bahwa penafsir tidak hanya mengungkap makna yang
terkandung dalam teks, tetapi juga menegosiasikan makna itu dalam konteks
sosial-budaya yang berubah.¹¹ Abdullah Saeed mengembangkan hal ini dalam model
“tafsir kontekstual,” yang menempatkan konteks sosial dan tujuan moral
sebagai bagian dari struktur epistemik tafsir.¹²
Epistemologi tafsir kontemporer juga ditandai oleh
keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan modern. Pendekatan
interdisipliner—melibatkan sosiologi, antropologi, linguistik, hingga
ekologi—menjadi bagian penting dalam membangun pemahaman yang utuh terhadap
pesan Al-Qur’an.¹³ Pendekatan ilmiah ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan
otoritas wahyu, tetapi untuk memperluas cakrawala maknanya melalui verifikasi
empiris dan refleksi rasional.¹⁴ Sebagai contoh, tafsir ilmiah kontemporer
berupaya menjelaskan fenomena alam melalui korelasi antara ayat-ayat kauniyyah
dan temuan sains modern.¹⁵
Sementara itu, pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
menawarkan paradigma epistemologis yang kritis terhadap absolutisasi makna. Ia
menekankan bahwa teks Al-Qur’an merupakan produk komunikasi yang lahir dalam
bahasa manusia, sehingga penafsir harus menyadari dimensi ideologis dan
historis dalam proses penafsiran.¹⁶ Dengan demikian, epistemologi tafsir
kontemporer menuntut kesadaran kritis terhadap posisi penafsir sebagai subjek
yang turut membentuk makna.¹⁷ Ini berarti bahwa tafsir bukan hanya penyingkapan
makna, tetapi juga konstruksi makna yang melibatkan nilai, ideologi, dan
kepentingan sosial.¹⁸
Dari sudut aksiologis, epistemologi tafsir kontemporer
tidak hanya mencari kebenaran ilmiah, tetapi juga kebenaran etis dan
spiritual.¹⁹ Pengetahuan tafsir diarahkan untuk membentuk kesadaran moral dan
sosial yang menegakkan keadilan, keseimbangan, dan kemanusiaan.²⁰ Dalam
pandangan ini, pengetahuan tafsir tidak bersifat netral, tetapi memiliki
orientasi etis yang kuat: menuntun manusia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
Qur’ani dalam kehidupan nyata.²¹
Dengan demikian, epistemologi tafsir kontemporer
merupakan sintesis antara tradisi dan modernitas, antara wahyu dan
rasionalitas, antara teks dan konteks.²² Ia menegaskan bahwa memahami Al-Qur’an
bukan hanya soal teknik interpretasi, tetapi juga soal kesadaran eksistensial
tentang bagaimana manusia memaknai dirinya di hadapan Tuhan dan sejarah.²³
Epistemologi ini pada akhirnya memulihkan fungsi Al-Qur’an sebagai sumber
pengetahuan yang terbuka, dinamis, dan berorientasi pada kemanusiaan
universal.²⁴
Footnotes
[1]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2003), 87–89.
[2]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 16–18.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 22–25.
[4]
Al-Dhahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, vol.
1 (Cairo: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1976), 48–52.
[5]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 13–15.
[6]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 68–70.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 6–9.
[8]
Ibid., 10–12.
[9]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 2009), 4–7.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd
rev. ed. (New York: Continuum, 2004), 302–305.
[11]
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human
Sciences (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 43–45.
[12]
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction
(New York: Routledge, 2008), 85–88.
[13]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious
Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy, 1986), 50–52.
[14]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The
Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 19–21.
[15]
Zaghlul El-Naggar, Scientific Miracles in the
Qur’an (Cairo: Al-Falah Foundation, 2003), 8–11.
[16]
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini
(Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 41–44.
[17]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary
Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 30–33.
[18]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press,
1999), 9–11.
[19]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism:
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997), 52–55.
[20]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A
Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 20–22.
[21]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 33–36.
[22]
Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the
Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 101–104.
[23]
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris:
Maisonneuve et Larose, 1982), 53–55.
[24]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 47–50.
5.
Aksiologi
Tafsir Kontemporer
Aksiologi tafsir kontemporer menyoroti dimensi
nilai (value dimension) dan tujuan etis dari aktivitas penafsiran
Al-Qur’an dalam konteks modern. Jika ontologi membahas hakikat tafsir dan
epistemologi menjelaskan sumber serta metode pengetahuan tafsir, maka aksiologi
menelaah mengapa dan untuk apa penafsiran dilakukan.¹ Dengan
demikian, aksiologi tafsir berfokus pada fungsi moral, sosial, spiritual, dan humanistik
dari Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang transenden namun relevan dengan
realitas historis.²
Pada hakikatnya, Al-Qur’an diturunkan bukan semata
untuk dibaca atau dihafal, tetapi untuk menjadi dasar perubahan perilaku dan
peradaban manusia.³ Oleh sebab itu, penafsiran terhadap Al-Qur’an harus
memiliki orientasi praksis, yakni menghadirkan nilai-nilai Qur’ani dalam ranah
kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan ekologi.⁴ Tafsir kontemporer tidak lagi
berhenti pada pemahaman normatif, tetapi mengupayakan internalisasi nilai ke
dalam praksis kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan gagasan Fazlur Rahman tentang
“the moral vision of the Qur’an” yang menempatkan etika sebagai jantung
dari seluruh sistem penafsiran.⁵
Dalam perspektif aksiologis, tafsir kontemporer
memiliki tiga fungsi utama: pertama, fungsi emansipatoris, yaitu
membebaskan manusia dari struktur sosial, politik, dan ideologis yang
menindas.⁶ Kedua, fungsi transformatif, yakni mendorong perubahan sosial
yang adil dan beradab melalui nilai-nilai Qur’ani seperti keadilan (‘adl),
keseimbangan (tawāzun), dan kasih sayang (rahmah).⁷ Ketiga, fungsi humanistik-spiritual,
yaitu menghidupkan kembali kesadaran ketuhanan (ta’alluq billāh) dalam
kehidupan manusia modern yang cenderung sekuler dan materialistik.⁸
Fungsi emansipatoris tampak jelas dalam tafsir
sosial yang dikembangkan oleh pemikir seperti Farid Esack, Hasan Hanafi, dan
Asghar Ali Engineer.⁹ Mereka menegaskan bahwa tafsir bukan hanya alat pemahaman
teks, tetapi juga instrumen perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.¹⁰ Dalam
kerangka ini, Al-Qur’an dibaca sebagai teks pembebasan, bukan sekadar teks
hukum.¹¹ Aksiologi tafsir sosial bertujuan menegakkan maqāṣid al-sharī‘ah—tujuan-tujuan
syariat yang berorientasi pada kemaslahatan dan martabat manusia.¹²
Sementara itu, dalam konteks feminisme Islam, Amina
Wadud dan Riffat Hassan memandang tafsir sebagai sarana untuk menegakkan
kesetaraan gender dan menghapus bias patriarkal dalam pemahaman keagamaan.¹³
Mereka menunjukkan bahwa banyak ayat Al-Qur’an yang selama berabad-abad
ditafsirkan melalui kacamata budaya patriarki, sehingga pesan egaliternya
tereduksi.¹⁴ Aksiologi tafsir feminis berusaha mengembalikan semangat keadilan
dan penghormatan terhadap perempuan sebagai bagian integral dari visi etis
Al-Qur’an.¹⁵
Dalam bidang lingkungan, muncul pula tafsir
ekoteologis yang menekankan tanggung jawab manusia sebagai khalifah dalam
menjaga keseimbangan kosmos.¹⁶ Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Mawil
Izzi Dien mengembangkan konsep eco-Qur’anic ethics yang melihat
Al-Qur’an sebagai sumber spiritualitas ekologis.¹⁷ Menurut mereka, krisis
lingkungan modern bersumber dari krisis nilai spiritual; karena itu, penafsiran
Qur’an harus menghidupkan kembali kesadaran kosmik bahwa alam adalah manifestasi
dari tanda-tanda Ilahi (āyāt kauniyyah).¹⁸
Aksiologi tafsir kontemporer juga memiliki
implikasi penting dalam bidang pendidikan dan masyarakat. Penafsiran Al-Qur’an
berfungsi sebagai proses pembentukan karakter (character building) yang
menanamkan nilai-nilai universal seperti kejujuran, toleransi, kerja sama, dan
tanggung jawab sosial.¹⁹ Dengan demikian, tafsir tidak sekadar menghasilkan
wacana intelektual, tetapi membentuk etika kolektif yang mendukung pembangunan
manusia seutuhnya.²⁰ Dalam hal ini, tafsir menjadi instrumen moral yang
menyatukan ilmu, iman, dan amal.²¹
Pada tingkat teologis, aksiologi tafsir kontemporer
menegaskan bahwa tujuan akhir dari segala penafsiran adalah ta‘abbud
(pengabdian) kepada Allah melalui pemahaman yang bermakna terhadap wahyu-Nya.²²
Tafsir menjadi jalan spiritual untuk mengenal Tuhan dan diri sendiri dalam
konteks sejarah dan kebudayaan.²³ Oleh sebab itu, kegiatan tafsir bukan sekadar
akademis, tetapi juga ibadah intelektual—suatu upaya untuk mewujudkan nilai
ilahi dalam kehidupan duniawi.²⁴
Dengan demikian, aksiologi tafsir kontemporer tidak
berhenti pada dimensi teoretis, tetapi menekankan praksis moral, sosial, dan
ekologis sebagai manifestasi iman yang hidup.²⁵ Ia menuntut agar penafsiran
terhadap Al-Qur’an selalu diarahkan pada kemaslahatan manusia dan kelestarian
ciptaan Tuhan.²⁶ Dalam kerangka inilah tafsir menjadi kekuatan etis yang
memadukan spiritualitas, rasionalitas, dan kemanusiaan menuju peradaban Qur’ani
yang integral.²⁷
Footnotes
[1]
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu:
Panorama Filsafat Islam (Jakarta: Erlangga, 2005), 142–144.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 22–24.
[3]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 2009), 9–12.
[4]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 67–70.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 18–21.
[6]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism:
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997), 42–44.
[7]
Hasan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab
(Cairo: Dar al-Fikr al-Mu‘asir, 1991), 33–35.
[8]
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini
(Cairo: Sina Lil-Nashr, 1992), 55–58.
[9]
Farid Esack, The Qur’an: A User’s Guide
(Oxford: Oneworld, 2005), 25–27.
[10]
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation
Theology: Essays on Liberative Elements in Islam (New York: St. Martin’s
Press, 1990), 19–21.
[11]
Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s
Reform in Islam (Oxford: Oneworld, 2006), 7–9.
[12]
Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of
Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 84–86.
[13]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the
Sacred Text from a Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press,
1999), 11–14.
[14]
Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation:
Testimonies of Spirit (New York: Praeger, 1987), 57–59.
[15]
Asma Barlas, “Believing Women” in Islam:
Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an (Austin: University of
Texas Press, 2002), 90–93.
[16]
Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of
Islam (Cambridge: Islamic Foundation, 2000), 43–46.
[17]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The
Spiritual Crisis in Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968),
68–70.
[18]
Ibid., 71–74.
[19]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
12–15.
[20]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 76–78.
[21]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A
Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 27–30.
[22]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1
(Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 33–35.
[23]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism
of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1998), 25–27.
[24]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989),
102–104.
[25]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 59–61.
[26]
Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien, Islam and
Ecology (London: Cassell, 1992), 40–42.
[27]
Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of
Modern Man (London: Routledge & Kegan Paul, 1975), 91–94.
6.
Pendekatan
dan Model Tafsir Kontemporer
Pendekatan dan model
tafsir kontemporer lahir sebagai respons terhadap kebutuhan zaman yang menuntut
reinterpretasi Al-Qur’an secara kontekstual, ilmiah, dan humanistik.
Perkembangan ini merupakan hasil dialog panjang antara tradisi tafsir klasik
dengan dinamika intelektual modern.¹ Dalam konteks ini, tafsir tidak lagi
dipahami sebagai aktivitas tunggal yang berorientasi pada teks semata, tetapi
sebagai medan interaksi multidisipliner antara wahyu, akal, sejarah, dan
pengalaman manusia.²
Pendekatan
kontemporer mengasumsikan bahwa Al-Qur’an adalah teks terbuka (open
text) yang mengandung potensi makna tak terbatas, sementara pembaca
modern memiliki tanggung jawab hermeneutik untuk menyingkap makna-makna
tersebut dalam konteks kehidupan aktual.³ Oleh karena itu, berbagai model
tafsir dikembangkan—baik dalam bentuk pendekatan tematik, hermeneutik, ilmiah,
sosial, feminis, hingga ekologis—yang masing-masing menyoroti aspek tertentu
dari pesan Qur’ani.⁴
6.1. Tafsir Maudhu‘i (Tematik)
Tafsir maudhu‘i atau
tafsir tematik merupakan salah satu pendekatan paling menonjol dalam studi
Al-Qur’an kontemporer. Metode ini berupaya menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan satu tema tertentu untuk menghasilkan pemahaman yang menyeluruh.⁵
Pendekatan ini diperkenalkan secara sistematis oleh para pembaharu modern
seperti al-Farmawi dan Muhammad al-Ghazali sebagai reaksi terhadap metode
tafsir tahlili
yang bersifat atomistik.⁶
Kelebihan tafsir
maudhu‘i terletak pada kemampuannya mengungkap kesatuan makna (wahdat
al-ma‘na) dan relevansi tematik antara berbagai ayat dalam konteks
kehidupan kontemporer.⁷ Misalnya, tema keadilan, lingkungan, atau etika sosial
dapat dikaji secara komprehensif dengan memperhatikan struktur konseptual Al-Qur’an.⁸
Metode ini sangat efektif dalam menjembatani antara teks normatif dan problem
empiris masyarakat modern.⁹
6.2. Tafsir Hermeneutik
Pendekatan
hermeneutik dalam tafsir Qur’an muncul dari kesadaran bahwa makna teks tidak
dapat dilepaskan dari horizon historis dan linguistik pembacanya.¹⁰ Para
pemikir seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun memandang hermeneutika
sebagai cara untuk menafsirkan wahyu secara dialogis, bukan dogmatis.¹¹ Menurut
mereka, teks Al-Qur’an tidak berbicara di luar sejarah, melainkan dalam
sejarah; karena itu, penafsir harus menafsirkan dengan kesadaran kontekstual.¹²
Abu Zayd, misalnya,
memandang teks wahyu sebagai produk budaya linguistik yang
mengandung makna dinamis dan multiinterpretatif.¹³ Hermeneutika Qur’ani dalam
pandangan ini bukanlah sekadar penerapan teori Barat, tetapi adaptasi
epistemologis untuk memahami wahyu dalam horizon historis umat Islam.¹⁴
Pendekatan ini memperluas dimensi tafsir dari yang semula teosentris menjadi
antropo-teologis—yakni menempatkan manusia sebagai mitra dialogis Tuhan dalam
memahami pesan ilahi.¹⁵
6.3. Tafsir Ilmiah (Scientific Exegesis)
Model tafsir ilmiah
muncul sebagai hasil pertemuan antara wahyu dan sains modern.¹⁶ Pendekatan ini
berupaya menafsirkan ayat-ayat kauniyyah (kosmologis) Al-Qur’an dengan merujuk
pada penemuan ilmiah mutakhir, untuk menunjukkan kesesuaian antara agama dan
sains.¹⁷ Tokoh seperti Zaghlul El-Naggar dan Maurice Bucaille menekankan bahwa
banyak ayat Al-Qur’an yang mengandung petunjuk ilmiah tentang kosmos, biologi,
dan geologi, yang baru terbukti melalui ilmu modern.¹⁸
Kendati demikian,
tafsir ilmiah mendapat kritik dari sejumlah sarjana karena berpotensi
reduksionis apabila wahyu diukur hanya melalui kebenaran ilmiah yang bersifat
sementara.¹⁹ Oleh karena itu, tafsir ilmiah yang sehat harus menempatkan sains
sebagai alat bantu untuk memahami keagungan ciptaan Tuhan, bukan sebagai ukuran
final kebenaran wahyu.²⁰
6.4. Tafsir Sosial dan Kritis
Tafsir sosial
berangkat dari prinsip bahwa pesan Al-Qur’an harus berfungsi sebagai kekuatan
moral dan transformasional dalam masyarakat.²¹ Model ini dikembangkan oleh
pemikir seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan Hanafi, dan Farid Esack.²²
Mereka menekankan bahwa Al-Qur’an bukan sekadar teks teologis, melainkan proyek
pembebasan sosial dan politik yang menuntut realisasi keadilan.²³
Hasan Hanafi
mengembangkan konsep “tafsir al-waqi‘” (tafsir
realitas), di mana tafsir menjadi alat rekonstruksi sosial.²⁴ Dalam pandangan
ini, tugas penafsir bukan hanya menyingkap makna ayat, tetapi menghidupkan
nilai-nilainya dalam struktur sosial yang konkret.²⁵ Tafsir sosial karenanya
bersifat praksis dan ideologis—ia tidak netral, tetapi berpihak pada
kemanusiaan dan keadilan.²⁶
6.5. Tafsir Feministik
Model tafsir
feministik lahir sebagai kritik terhadap bias patriarki dalam tradisi tafsir
klasik.²⁷ Pemikir seperti Amina Wadud, Asma Barlas, dan Riffat Hassan
menegaskan bahwa penafsiran tradisional sering kali terpengaruh oleh budaya
patriarkal, sehingga menimbulkan interpretasi yang menindas perempuan.²⁸ Melalui
pendekatan hermeneutik gender, mereka berusaha menyingkap pesan kesetaraan dan
keadilan yang inheren dalam Al-Qur’an.²⁹
Amina Wadud dalam Qur’an
and Woman menyatakan bahwa Al-Qur’an menempatkan laki-laki dan
perempuan sebagai mitra spiritual yang setara di hadapan Tuhan.³⁰ Oleh karena
itu, tafsir feminis tidak sekadar membela perempuan, tetapi memulihkan kembali
prinsip tauhid dalam relasi sosial: bahwa tidak ada hierarki eksistensial
antara manusia kecuali ketakwaannya.³¹
6.6. Tafsir Ekologis dan Integral
Salah satu inovasi
penting dalam tafsir kontemporer ialah munculnya tafsir ekologis yang menyoroti
hubungan antara manusia dan alam.³² Dalam perspektif ini, Al-Qur’an dipandang
sebagai teks ekologis yang mengajarkan keseimbangan (mīzān)
dan tanggung jawab terhadap ciptaan.³³ Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan
Mawil Izzi Dien menafsirkan konsep khalifah sebagai mandat kosmik untuk menjaga
harmoni lingkungan.³⁴
Model tafsir ini
berkembang menjadi paradigma integral ecology yang memadukan
spiritualitas, sains, dan etika lingkungan.³⁵ Dengan demikian, tafsir ekologis
berfungsi sebagai kritik terhadap krisis peradaban modern yang telah memisahkan
manusia dari alam dan Tuhan.³⁶
Pendekatan dan
model-model tafsir kontemporer tersebut menunjukkan bahwa tafsir bukanlah
disiplin yang statis, melainkan lapangan epistemologis yang terus berevolusi.³⁷
Setiap model menawarkan perspektif berbeda namun saling melengkapi dalam upaya
memahami pesan Qur’ani secara holistik.³⁸ Pada akhirnya, pluralitas pendekatan
ini memperkaya khazanah tafsir Islam sekaligus memperluas jangkauan moral dan
spiritual Al-Qur’an dalam kehidupan manusia modern.³⁹
Footnotes
[1]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 5–7.
[2]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKiS, 2010), 63–66.
[3]
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et
Larose, 1982), 39–41.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 15–17.
[5]
Al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu‘i (Cairo: Dar
al-Hadith, 1983), 10–12.
[6]
Muhammad al-Ghazali, Nahw Tafsir Maudhu‘i li Suwar al-Qur’an
al-Karim (Cairo: Dar al-Shuruq, 1992), 5–7.
[7]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 23–25.
[8]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1992), 71–73.
[9]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 67–69.
[10]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 2004), 306–308.
[11]
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina
Lil-Nashr, 1992), 49–52.
[12]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers
(Boulder: Westview Press, 1994), 63–66.
[13]
Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the
Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University
Press, 2004), 19–22.
[14]
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York:
Routledge, 2008), 84–86.
[15]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 89–92.
[16]
Maurice Bucaille, The Bible, the Qur’an and Science (Paris:
Seghers, 1978), 95–97.
[17]
Zaghlul El-Naggar, Scientific Miracles in the Qur’an (Cairo:
Al-Falah Foundation, 2003), 8–10.
[18]
Ibid., 12–14.
[19]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 54–56.
[20]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern
Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 80–82.
[21]
Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr
al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 24–26.
[22]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), 41–44.
[23]
Charles C. Adams, Islam and Modernism in Egypt (London: Oxford
University Press, 1933), 105–108.
[24]
Hasan Hanafi, Al-Turath wa al-Tajdid: Mawqifunā min al-Turath
al-Qadīm (Cairo: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah, 1980), 29–31.
[25]
Ibid., 33–35.
[26]
Farid Esack, The Qur’an: A User’s Guide (Oxford: Oneworld,
2005), 21–23.
[27]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 10–13.
[28]
Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation: Testimonies of Spirit
(New York: Praeger, 1987), 60–62.
[29]
Asma Barlas, “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal
Interpretations of the Qur’an (Austin: University of Texas Press, 2002),
83–85.
[30]
Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam
(Oxford: Oneworld, 2006), 17–20.
[31]
Ibid., 22–24.
[32]
Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of Islam
(Cambridge: Islamic Foundation, 2000), 44–47.
[33]
Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien, Islam and Ecology (London:
Cassell, 1992), 40–42.
[34]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 67–70.
[35]
Ibid., 72–74.
[36]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 27–29.
[37]
Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 108–110.
[38]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 70–73.
[39]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic
Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 31–34.
7.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Budaya dalam Tafsir Kontemporer
Dimensi sosial,
politik, dan budaya merupakan medan aktual di mana tafsir Al-Qur’an kontemporer
menemukan relevansi praksisnya. Tafsir tidak lagi berdiri sebagai teks akademis
yang terisolasi dari realitas, melainkan sebagai wacana hidup yang menanggapi
persoalan masyarakat dan peradaban.¹ Dalam kerangka ini, tafsir kontemporer
menegaskan peran Al-Qur’an sebagai pedoman sosial—bukan hanya dalam tataran
spiritual, tetapi juga dalam pengelolaan struktur kehidupan kolektif manusia.²
7.1. Tafsir dan Realitas Sosial
Tafsir kontemporer
memandang masyarakat sebagai konteks hermeneutik yang tak terpisahkan dari
proses penafsiran.³ Setiap upaya memahami Al-Qur’an senantiasa terhubung dengan
situasi sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat pembacanya.⁴ Oleh karena itu,
tafsir berfungsi sebagai medium dialektis antara teks dan realitas sosial.
Fazlur Rahman menegaskan bahwa nilai-nilai Qur’ani seperti keadilan,
kemaslahatan, dan kasih sayang harus diartikulasikan secara konkret dalam
struktur sosial.⁵
Gerakan tafsir
sosial yang berkembang di dunia Islam modern menyoroti persoalan kemiskinan,
ketimpangan gender, ketidakadilan ekonomi, serta korupsi politik sebagai
tantangan moral yang harus dijawab oleh umat Islam melalui pemahaman Qur’ani
yang kontekstual.⁶ Farid Esack, misalnya, mengembangkan tafsir pembebasan
yang menggabungkan semangat Qur’an dengan teori keadilan sosial, sebagaimana
terlihat dalam perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan.⁷ Tafsir semacam ini
bersifat emansipatoris karena berorientasi pada penegakan nilai-nilai
kemanusiaan universal.⁸
7.2. Dimensi Politik Tafsir
Dimensi politik
dalam tafsir kontemporer muncul dari kesadaran bahwa Al-Qur’an tidak hanya
berbicara tentang moral individu, tetapi juga tentang etika kekuasaan dan
keadilan publik.⁹ Dalam pandangan Hasan Hanafi, tafsir politik harus
membebaskan umat dari hegemoni otoritas yang menindas dan mendorong lahirnya
kesadaran kritis terhadap struktur kekuasaan.¹⁰ Ia mengembangkan konsep “al-yasār
al-islāmī” (Islam kiri), yang menafsirkan Al-Qur’an dalam konteks
perjuangan sosial-politik rakyat tertindas.¹¹
Dalam konteks
modern, tafsir politik juga berperan dalam membangun prinsip demokrasi, hak
asasi manusia, dan tata kelola pemerintahan yang adil.¹² Pemikir seperti Khaled
Abou El Fadl menekankan pentingnya moral authority dalam Islam, yakni
bahwa kekuasaan harus tunduk pada nilai-nilai Qur’ani yang menjunjung keadilan,
kebebasan, dan kemaslahatan publik.¹³ Dengan demikian, tafsir politik
kontemporer berfungsi sebagai wacana etika publik—menghubungkan spiritualitas
dengan politik moral.¹⁴
7.3. Tafsir dan Dimensi Budaya
Budaya merupakan
arena di mana pesan Qur’ani berinteraksi dengan keragaman manusia. Tafsir
kontemporer memahami bahwa wahyu Islam diturunkan bukan untuk menghapus
kebudayaan, tetapi untuk menuntunnya menuju nilai-nilai ilahi.¹⁵ Dalam
pandangan Arkoun, Al-Qur’an adalah teks kultural sekaligus transkultural—ia
hidup melalui bahasa, simbol, dan imajinasi umat yang menafsirkannya.¹⁶ Oleh
karena itu, tafsir harus bersifat terbuka terhadap pluralitas budaya dan
menolak klaim kebenaran tunggal yang menafikan keragaman.¹⁷
Di Indonesia, tafsir
bercorak budaya lokal seperti Tafsir Al-Azhar karya Hamka atau Al-Mishbah
karya Quraish Shihab menunjukkan sintesis antara tradisi keilmuan Islam dan
kearifan Nusantara.¹⁸ Tafsir ini memperlihatkan bahwa nilai-nilai Qur’ani dapat
diekspresikan melalui idiom budaya yang beragam tanpa kehilangan esensi
universalnya.¹⁹ Melalui pendekatan ini, tafsir berperan sebagai medium
integrasi antara agama dan budaya, antara wahyu dan tradisi.²⁰
7.4. Tafsir, Pluralisme, dan Multikulturalisme
Dalam masyarakat
global yang majemuk, tafsir kontemporer juga berfungsi sebagai sarana dialog
antaragama dan antarperadaban.²¹ Pendekatan pluralistik terhadap Al-Qur’an
menekankan bahwa pesan ilahi mengandung nilai-nilai universal seperti keadilan,
rahmat, dan kebebasan beragama.²² Farid Esack dan Amina Wadud sama-sama
menggarisbawahi bahwa tafsir harus mengedepankan inklusivitas dan solidaritas
lintas keyakinan.²³
Model ini memperluas
horizon tafsir dari yang semula eksklusif menjadi dialogis dan humanistik.²⁴
Dalam konteks global, hal ini menciptakan basis teologis bagi perdamaian dan
keadilan sosial lintas budaya.²⁵ Tafsir tidak lagi sekadar menjelaskan teks,
tetapi juga menjadi jembatan etis untuk membangun peradaban yang saling
menghormati.²⁶
Kesimpulan Sementara
Dimensi sosial,
politik, dan budaya tafsir kontemporer memperlihatkan bahwa penafsiran terhadap
Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari realitas manusia. Tafsir bukan hanya
kerja intelektual, tetapi juga praksis sosial yang berorientasi pada
perubahan.²⁷ Ia menjadi ruang dialog antara wahyu dan sejarah, antara nilai
transenden dan perjuangan manusia dalam dunia yang plural.²⁸ Dengan demikian,
tafsir kontemporer berfungsi sebagai proyek kemanusiaan Qur’ani yang menegakkan
keadilan, kebebasan, dan kebudayaan yang berakar pada nilai-nilai ilahi.²⁹
Footnotes
[1]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 73–75.
[2]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University
of Chicago Press, 2009), 13–15.
[3]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKiS, 2010), 76–79.
[4]
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina
Lil-Nashr, 1992), 61–63.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
14–16.
[6]
Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam
(Oxford: Oneworld, 2006), 20–22.
[7]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), 45–48.
[8]
Ibid., 49–51.
[9]
Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr
al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 23–26.
[10]
Hasan Hanafi, Al-Turath wa al-Tajdid: Mawqifunā min al-Turath
al-Qadīm (Cairo: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah, 1980), 28–31.
[11]
Ibid., 32–34.
[12]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005), 40–43.
[13]
Ibid., 44–46.
[14]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 27–29.
[15]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic
Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 38–41.
[16]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought
(London: Saqi Books, 2002), 47–50.
[17]
Ibid., 52–55.
[18]
Hamka, Tafsir Al-Azhar, vol. 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1982), 9–12.
[19]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 15–18.
[20]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1992), 91–94.
[21]
Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 113–116.
[22]
John L. Esposito, The Future of Islam (New York: Oxford
University Press, 2010), 88–91.
[23]
Farid Esack, The Qur’an: A User’s Guide (Oxford: Oneworld,
2005), 27–30.
[24]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 18–20.
[25]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 60–63.
[26]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 71–73.
[27]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 82–84.
[28]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 22–25.
[29]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 128–130.
8.
Kritik
terhadap Tafsir Kontemporer
Tafsir kontemporer,
meskipun membuka cakrawala baru dalam memahami Al-Qur’an, tidak lepas dari
berbagai kritik yang bersifat epistemologis, metodologis, dan teologis. Kritik
ini umumnya muncul dari dua arah: pertama, dari kalangan tradisionalis yang
menilai pendekatan kontemporer terlalu bebas dan berisiko merelatifkan makna
wahyu; kedua, dari kalangan modernis sendiri yang menyoroti kelemahan internal
dalam konstruksi hermeneutik dan praksisnya.¹
8.1. Kritik Tradisional terhadap Tafsir Kontemporer
Kaum tradisional
menilai bahwa sebagian pemikir kontemporer terlalu mengedepankan akal dan
konteks sosial, hingga menggeser posisi teks sebagai sumber utama kebenaran.²
Mereka menuduh bahwa hermeneutika Qur’ani versi modern mengandung semangat
sekularisasi penafsiran, karena cenderung menundukkan wahyu di bawah otoritas
sejarah dan budaya manusia.³ Pandangan ini sering ditujukan kepada tokoh-tokoh
seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, dan Fazlur Rahman, yang dianggap
menggeser paradigma teosentris menuju antropo-sentris.⁴
Kritik lain berasal
dari pandangan bahwa tafsir kontekstual berpotensi membuka pintu relativisme
makna.⁵ Dalam pendekatan hermeneutik, makna selalu bersifat dialogis antara
teks dan pembaca; akibatnya, tidak ada tafsir yang dapat diklaim paling benar
secara mutlak.⁶ Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa otoritas wahyu menjadi
cair dan kehilangan keabsolutannya.⁷ Ulama seperti Yusuf al-Qaradawi dan Wahbah
al-Zuhaili mengingatkan agar tafsir kontemporer tidak melampaui batas
metodologis yang ditetapkan oleh ulum al-Qur’an klasik.⁸
Selain itu, sebagian
kritikus menilai bahwa tafsir kontemporer cenderung terlalu elitis—lebih banyak
berkembang di ruang akademik Barat dan tidak mudah diakses oleh masyarakat
Muslim awam.⁹ Dengan demikian, meskipun menawarkan pembaruan konseptual, tafsir
kontemporer belum sepenuhnya membentuk praksis sosial yang kuat di tingkat
umat.¹⁰
8.2. Kritik Epistemologis dan Metodologis
Dari sisi
epistemologi, sebagian sarjana Muslim menilai bahwa hermeneutika modern terlalu
bergantung pada teori-teori Barat yang bersifat sekuler, seperti hermeneutika
Gadamer, Ricoeur, dan Schleiermacher.¹¹ Ketergantungan ini menimbulkan problem
epistemik: apakah metode yang lahir dari tradisi non-wahyu dapat dipakai untuk
memahami teks ilahi tanpa menimbulkan disorientasi makna?¹² Kritik ini muncul
dari pemikir seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi,
yang menegaskan perlunya “Islamisasi metodologi” agar tafsir tetap
berpijak pada worldview Islam.¹³
Di sisi lain, kritik
juga diarahkan kepada kecenderungan fragmentatif dalam tafsir kontemporer.
Banyak model tafsir modern menonjolkan satu aspek—misalnya, sosial, feminis,
atau ilmiah—tanpa menampilkan integrasi yang menyeluruh antara dimensi
spiritual, moral, dan teologis Al-Qur’an.¹⁴ Akibatnya, tafsir kehilangan
keseimbangan antara normativitas dan kontekstualitas.¹⁵
Metodologis, tafsir
kontemporer kerap dikritik karena terlalu menekankan rasionalitas interpretatif
dan mengabaikan aspek spiritualitas penafsir.¹⁶ Dalam tradisi sufistik,
pengetahuan sejati tidak hanya diperoleh melalui akal, tetapi juga melalui hati
(qalb)
yang disucikan.¹⁷ Oleh sebab itu, pembacaan Qur’an yang terlalu akademis dapat
mengeringkan dimensi ruhaniahnya.¹⁸
8.3. Kritik Internal: Ketegangan antara Tradisi dan
Inovasi
Sebagian pemikir
Muslim moderat mengakui bahwa tafsir kontemporer menghadapi dilema epistemik
antara mempertahankan otoritas tradisi dan mengejar relevansi modernitas.¹⁹
Fazlur Rahman, misalnya, meskipun mendorong reinterpretasi Al-Qur’an secara
kontekstual, tetap menegaskan perlunya “kontinuitas makna moral” agar
tafsir tidak tercerabut dari nilai dasar wahyu.²⁰
Masalah lain adalah
ketidakkonsistenan dalam penerapan prinsip kontekstualisasi.²¹ Beberapa
penafsir modern kadang terlalu jauh dalam menafsirkan simbol-simbol Qur’ani
secara alegoris, sehingga makna teologisnya kabur.²² Sebaliknya, sebagian lain
tetap terjebak dalam konservatisme metodologis yang membatasi ruang dialog.²³
Hal ini menimbulkan kesan bahwa tafsir kontemporer masih mencari keseimbangan
antara kebebasan intelektual dan komitmen terhadap teks.²⁴
Kritik internal juga
menyoroti persoalan otoritas penafsir di era digital.²⁵
Dengan terbukanya akses tafsir melalui media sosial dan internet, muncul
fenomena “demokratisasi tafsir” di mana siapa pun dapat menafsirkan ayat
tanpa kompetensi ilmiah.²⁶ Meskipun hal ini memperluas partisipasi publik, ia
juga menimbulkan risiko penyimpangan makna dan penyebaran tafsir populis yang
dangkal.²⁷
8.4. Upaya Menanggapi Kritik
Para pendukung
tafsir kontemporer menanggapi kritik ini dengan menekankan bahwa
kontekstualisasi tidak berarti sekularisasi, melainkan proses penghidupan
kembali pesan Qur’ani dalam ruang dan waktu yang berubah.²⁸ Fazlur Rahman
menegaskan bahwa pembacaan kontekstual justru menjaga relevansi wahyu agar
tidak teralienasi dari realitas sosial.²⁹ Sementara itu, Nasr Hamid Abu Zayd
menolak tuduhan relativisme dengan menegaskan bahwa penafsiran hermeneutik
tetap berlandaskan pada struktur linguistik dan semantik Qur’an, bukan pada
kehendak subjektif penafsir.³⁰
Seyyed Hossein Nasr,
dari perspektif tradisional metafisik, mengajukan solusi integratif: tafsir
harus memadukan pendekatan rasional, simbolik, dan spiritual agar maknanya
tetap utuh.³¹ Dengan cara ini, tafsir kontemporer dapat menjadi jembatan antara
modernitas dan tradisi, antara ilmu dan iman, tanpa kehilangan esensi
transendennya.³²
Kesimpulan Sementara
Kritik terhadap
tafsir kontemporer menunjukkan bahwa pembaharuan dalam studi Al-Qur’an bukan
tanpa resiko. Namun demikian, kritik ini justru menjadi bagian penting dari
dinamika intelektual Islam modern.³³ Ia memperkaya wacana tafsir dengan
mempertemukan ketegangan antara tradisi dan inovasi, antara teks dan konteks,
antara otoritas dan kebebasan.³⁴ Tafsir kontemporer, bila dikembangkan secara
reflektif dan berlandaskan spiritualitas Qur’ani, dapat melahirkan paradigma
penafsiran yang seimbang—ilmiah, etis, dan transformatif.³⁵
Footnotes
[1]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 87–89.
[2]
Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Qur’an al-‘Azim
(Cairo: Dar al-Shuruq, 1999), 45–48.
[3]
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina
Lil-Nashr, 1992), 64–66.
[4]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 74–76.
[5]
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), 43–46.
[6]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 2nd rev. ed. (New York:
Continuum, 2004), 309–311.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
23–25.
[8]
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir, vol. 1 (Damascus: Dar
al-Fikr, 1991), 11–13.
[9]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1992), 118–120.
[10]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKiS, 2010), 88–90.
[11]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), 91–94.
[12]
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General
Principles and Workplan (Herndon: IIIT, 1982), 35–37.
[13]
Ibid., 38–40.
[14]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University
of Chicago Press, 2009), 17–20.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 124–126.
[16]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 83–86.
[17]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif,
1968), 44–47.
[18]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi
(Princeton: Princeton University Press, 1998), 19–21.
[19]
Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr
al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 30–33.
[20]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 27–29.
[21]
Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 122–124.
[22]
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et
Larose, 1982), 58–61.
[23]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 93–95.
[24]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Mizan, 2003), 103–106.
[25]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 88–90.
[26]
Gary R. Bunt, Hashtag Islam: How Cyber-Islamic Environments Are
Transforming Religious Authority (Chapel Hill: University of North
Carolina Press, 2018), 12–15.
[27]
Ibid., 18–20.
[28]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic
Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 36–38.
[29]
Ibid., 39–41.
[30]
Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the
Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University
Press, 2004), 24–27.
[31]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 31–33.
[32]
Ibid., 34–36.
[33]
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York:
Routledge, 2008), 94–96.
[34]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, 77–79.
[35]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 99–101.
9.
Relevansi
Kontemporer dan Arah Pengembangan Tafsir Al-Qur’an
Relevansi tafsir
kontemporer terletak pada kemampuannya menghadirkan pesan Al-Qur’an dalam ruang
kehidupan modern yang sarat dengan kompleksitas sosial, moral, dan
epistemologis.¹ Dalam konteks globalisasi dan krisis kemanusiaan yang
multidimensional—mulai dari ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, hingga
disrupsi digital—tafsir Al-Qur’an dituntut tidak hanya menjelaskan makna teks,
tetapi juga memberikan arah moral bagi peradaban.² Oleh karena itu,
pengembangan tafsir kontemporer harus diarahkan pada paradigma yang integratif,
transformatif, dan humanistik.³
9.1. Relevansi Sosial dan Kemanusiaan
Dalam ranah sosial,
tafsir kontemporer berfungsi sebagai instrumen moral untuk membangun keadilan
dan solidaritas. Fazlur Rahman menekankan bahwa Al-Qur’an bukan hanya teks
teologis, melainkan proyek moral yang menuntun umat manusia menuju keadilan
sosial dan kesejahteraan bersama.⁴ Dengan pendekatan kontekstual, ayat-ayat
tentang keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmah), dan tanggung jawab sosial dapat
dihidupkan kembali dalam kebijakan publik dan sistem sosial modern.⁵
Model tafsir
emansipatoris yang dikembangkan oleh Farid Esack dan Hasan Hanafi menunjukkan
bahwa Al-Qur’an dapat berperan sebagai sumber inspirasi pembebasan sosial.⁶ Di
Afrika Selatan, tafsir Esack digunakan untuk menentang apartheid; di Mesir,
Hanafi memanfaatkan tafsir sebagai kritik terhadap hegemoni politik dan
ketimpangan ekonomi.⁷ Relevansi tafsir semacam ini terletak pada kemampuannya
mengaitkan wahyu dengan praksis kemanusiaan universal.⁸
9.2. Relevansi terhadap Isu Gender dan Kesetaraan
Perkembangan tafsir
feminis menunjukkan bahwa Al-Qur’an dapat ditafsirkan sebagai teks yang
menegaskan kesetaraan spiritual dan sosial antara laki-laki dan perempuan.⁹
Amina Wadud dan Asma Barlas menolak dominasi tafsir patriarkal yang telah lama
membentuk struktur bias dalam masyarakat Muslim.¹⁰ Mereka menafsirkan ayat-ayat
gender secara kontekstual dengan menonjolkan nilai tauhid sebagai dasar
kesetaraan ontologis manusia.¹¹ Dalam konteks modern, tafsir feminis menjadi
sarana transformasi sosial yang menegakkan keadilan gender dalam keluarga,
pendidikan, dan hukum Islam.¹²
9.3. Relevansi terhadap Isu Lingkungan dan Ekologi
Krisis ekologis
global memberikan tantangan baru bagi pengembangan tafsir Al-Qur’an.¹³ Banyak
sarjana Muslim kontemporer, seperti Seyyed Hossein Nasr dan Mawil Izzi Dien,
mengembangkan tafsir ekologis (eco-Qur’anic exegesis) untuk
menegaskan tanggung jawab manusia sebagai khalifah terhadap alam.¹⁴ Nasr
menyebut bahwa degradasi lingkungan bersumber dari krisis spiritual
modernitas—yakni terputusnya hubungan manusia dengan dimensi sakral alam
semesta.¹⁵ Oleh karena itu, tafsir ekologis menuntut pemulihan kesadaran
kosmik: bahwa seluruh ciptaan adalah ayat kauniyyah (tanda-tanda Tuhan)
yang menuntut penghormatan dan penjagaan.¹⁶
Arah pengembangan
tafsir dalam bidang ini harus bergerak menuju paradigma eco-spiritual,
yang memadukan etika lingkungan dengan spiritualitas Qur’ani.¹⁷ Pendekatan ini tidak
hanya menegaskan tanggung jawab ekologis, tetapi juga membangun kesadaran
integral bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah kepada Sang Pencipta.¹⁸
9.4. Relevansi dalam Era Digital dan Ilmu Pengetahuan
Kemajuan teknologi
informasi dan digitalisasi pengetahuan telah mengubah lanskap otoritas
keagamaan.¹⁹ Di era ini, tafsir Qur’an tersebar luas melalui media sosial,
aplikasi digital, dan platform daring, menjadikan akses terhadap teks suci
semakin demokratis.²⁰ Namun, fenomena ini juga menimbulkan tantangan baru
berupa munculnya tafsir populis yang kurang berbasis ilmiah.²¹ Oleh karena itu,
arah pengembangan tafsir ke depan perlu memperhatikan literasi digital
Qur’ani—yakni kemampuan memahami, memverifikasi, dan mengkritisi interpretasi
yang beredar di ruang siber.²²
Selain itu, dalam
konteks sains dan teknologi, tafsir kontemporer juga harus mampu berdialog
dengan paradigma ilmiah modern tanpa kehilangan dimensi spiritualnya.²³
Pendekatan interdisipliner yang menggabungkan teologi, etika, dan sains dapat memperkuat
posisi Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
yang etis dan berorientasi pada kemaslahatan manusia.²⁴
9.5. Arah Pengembangan Paradigma Tafsir Integral
Arah pengembangan
tafsir kontemporer idealnya bergerak menuju paradigma tafsir
integral, yaitu pendekatan yang menyatukan tiga dimensi utama:
normatif (wahyu), rasional (akal), dan kontekstual (realitas).²⁵ Model ini
berupaya melampaui dikotomi antara tafsir klasik dan modern, antara makna
tekstual dan historis, serta antara aspek spiritual dan ilmiah.²⁶
Paradigma integral
ini diusulkan oleh para pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr, Fazlur Rahman, dan
Abdul Mustaqim, yang melihat bahwa kebenaran Qur’ani bersifat hierarkis dan
multidimensional.²⁷ Tafsir yang integral bukan sekadar interpretasi akademik,
tetapi juga jalan menuju pembentukan kesadaran etis dan spiritual dalam
masyarakat.²⁸ Dengan demikian, tafsir kontemporer di masa depan diharapkan
tidak hanya menjadi ilmu pengetahuan, melainkan juga proyek
peradaban Qur’ani yang memadukan iman, ilmu, dan amal.²⁹
Kesimpulan Sementara
Relevansi tafsir
kontemporer terletak pada kemampuannya menghidupkan kembali pesan Al-Qur’an
dalam dinamika modernitas. Ia tidak hanya mengoreksi cara baca terhadap teks,
tetapi juga menghadirkan horizon baru yang menyentuh persoalan kemanusiaan
global.³⁰ Arah pengembangannya ke depan menuntut integrasi antara dimensi
spiritual dan intelektual, antara norma wahyu dan konteks sejarah, agar tafsir
benar-benar menjadi cahaya hidup (nūr al-hayāh) bagi peradaban
manusia.³¹
Footnotes
[1]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 91–93.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 38–40.
[3]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKiS, 2010), 103–105.
[4]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University
of Chicago Press, 2009), 18–20.
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
25–27.
[6]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), 46–48.
[7]
Hasan Hanafi, Dirasat Islamiyyah: al-Yamin wa al-Yasar fi al-Fikr
al-Dini (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Ammah, 1990), 35–37.
[8]
Ibid., 38–40.
[9]
Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), 15–17.
[10]
Asma Barlas, “Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal
Interpretations of the Qur’an (Austin: University of Texas Press, 2002),
70–72.
[11]
Riffat Hassan, Women’s and Men’s Liberation: Testimonies of Spirit
(New York: Praeger, 1987), 61–63.
[12]
Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam
(Oxford: Oneworld, 2006), 23–25.
[13]
Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of Islam
(Cambridge: Islamic Foundation, 2000), 43–45.
[14]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern
Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 83–85.
[15]
Ibid., 86–88.
[16]
Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien, Islam and Ecology (London:
Cassell, 1992), 39–42.
[17]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 71–73.
[18]
Ibid., 74–76.
[19]
Ziauddin Sardar, Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of
the Sacred Text of Islam (Oxford: Oxford University Press, 2011), 91–94.
[20]
Gary R. Bunt, Hashtag Islam: How Cyber-Islamic Environments Are
Transforming Religious Authority (Chapel Hill: University of North
Carolina Press, 2018), 25–28.
[21]
Ibid., 29–31.
[22]
Ibid., 34–36.
[23]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Mizan, 2003), 107–109.
[24]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 128–130.
[25]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 108–111.
[26]
Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought
(London: Saqi Books, 2002), 63–66.
[27]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic
Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 40–42.
[28]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, 43–45.
[29]
Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 118–120.
[30]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 78–81.
[31]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 132–134.
10. Sintesis Filosofis: Menuju Tafsir Qur’an Humanistik
dan Integral
Sintesis filosofis
dalam kajian tafsir kontemporer berupaya merumuskan pendekatan yang memadukan
tiga dimensi utama pengetahuan Islam: ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Pendekatan ini tidak hanya menjawab pertanyaan apa dan bagaimana Al-Qur’an dipahami,
tetapi juga untuk apa pemahaman itu diarahkan.¹
Dalam kerangka ini, tafsir Qur’an dipandang bukan sekadar ilmu penjelas makna,
melainkan proyek peradaban yang menautkan iman, ilmu, dan kemanusiaan.²
10.1. Sintesis Ontologis: Teks sebagai Realitas
Transendental dan Historis
Ontologi tafsir
humanistik memandang Al-Qur’an sebagai teks ilahi yang hadir dalam bahasa
manusia untuk menjembatani dimensi transendental dan imanen.³ Teks wahyu
bersifat ganda—ia merupakan kalām Allāh (sabda Tuhan) sekaligus
kalam li
al-nās (sabda bagi manusia).⁴ Dalam pandangan Fazlur Rahman, wahyu
bukan hanya pesan normatif yang diturunkan sekali untuk selamanya, melainkan prinsip
moral yang hidup yang terus berinteraksi dengan sejarah manusia.⁵
Dengan demikian, makna Al-Qur’an bersifat dinamis; ia selalu terbuka untuk
aktualisasi baru dalam ruang dan waktu yang berubah.⁶
Pendekatan ontologis
semacam ini mengakui kesakralan teks tanpa menafikan historisitasnya.⁷ Teks
bukan entitas tertutup, tetapi “medan makna” yang memuat potensi dialog antara
Tuhan dan manusia.⁸ Dalam konteks ini, penafsiran menjadi peristiwa ontologis
di mana manusia berjumpa dengan ilahi melalui bahasa dan makna.⁹
10.2. Sintesis Epistemologis: Integrasi Wahyu, Akal, dan
Konteks
Secara
epistemologis, tafsir humanistik dan integral menolak dikotomi antara
rasionalitas modern dan otoritas wahyu.¹⁰ Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed
menegaskan bahwa proses penafsiran menuntut keterlibatan akal yang aktif, bukan
sekadar penerimaan pasif terhadap teks.¹¹ Akal manusia, dalam perspektif ini,
bukan pesaing wahyu, melainkan instrumen untuk menyingkap kehendak ilahi di
balik simbol-simbol linguistik Al-Qur’an.¹²
Model epistemologi
integratif juga menempatkan konteks sosial sebagai variabel kunci dalam
memahami makna Qur’ani.¹³ Tafsir harus memperhitungkan sejarah, budaya, dan
struktur pengetahuan masyarakat yang menjadi penerima pesan wahyu.¹⁴ Sebab,
sebagaimana dikatakan Nasr Hamid Abu Zayd, teks Al-Qur’an hanya hidup ketika
dibaca dan ditafsirkan ulang dalam konteks yang baru.¹⁵
Dengan demikian,
epistemologi tafsir integral bertumpu pada triadik pengetahuan: wahyu
(revelasi) sebagai sumber nilai, akal
(reason) sebagai alat interpretasi, dan konteks
(reality) sebagai ruang aktualisasi.¹⁶ Ketiganya saling
berhubungan dalam dialektika kreatif untuk menghasilkan pemahaman Qur’ani yang
autentik sekaligus relevan.¹⁷
10.3. Sintesis Aksiologis: Tafsir sebagai Etika dan
Spiritualitas Kehidupan
Aksiologi tafsir
humanistik menegaskan bahwa tujuan akhir dari pemahaman Al-Qur’an bukan hanya
pengetahuan, tetapi transformasi moral dan spiritual.¹⁸ Tafsir harus melahirkan
etika kemanusiaan yang menghidupkan nilai-nilai Qur’ani seperti keadilan, kasih
sayang, kejujuran, keseimbangan, dan tanggung jawab ekologis.¹⁹
Seyyed Hossein Nasr
mengingatkan bahwa krisis modernitas bukanlah krisis sains, tetapi krisis
makna.²⁰ Oleh karena itu, tafsir harus berfungsi sebagai jalan pemulihan
spiritualitas manusia—membangun kesadaran bahwa kehidupan dunia adalah refleksi
dari realitas ilahi.²¹ Dalam tafsir humanistik, makna Al-Qur’an tidak berhenti
pada struktur kalimat, tetapi menembus hingga kesadaran moral dan spiritual
manusia.²²
Fazlur Rahman
menyebut pendekatan ini sebagai “tafsir moral rasional”—yakni penafsiran yang
mengarahkan pengetahuan pada tindakan etis.²³ Dalam konteks sosial, tafsir
menjadi landasan bagi pembangunan masyarakat Qur’ani yang berkeadilan dan
beradab; dalam konteks individu, tafsir menjadi proses pembentukan insān
kāmil (manusia paripurna) yang merefleksikan sifat-sifat Tuhan
dalam kehidupan.²⁴
10.4. Menuju Paradigma Tafsir Integral dan Humanistik
Paradigma tafsir
integral dan humanistik berupaya mengatasi dualisme yang selama ini memisahkan
antara ilmu dan iman, antara rasio dan wahyu, antara tradisi dan modernitas.²⁵
Pendekatan ini memandang bahwa kebenaran Qur’ani bersifat multidimensi:
bersumber dari Tuhan, dihayati oleh manusia, dan diwujudkan dalam realitas.²⁶
Dalam kerangka ini,
tafsir bukan sekadar metode ilmiah, melainkan jalan spiritual untuk menghidupkan
kembali wahyu di tengah peradaban modern.²⁷ Paradigma integral
menuntut penafsir untuk bersikap reflektif, kritis, dan etis sekaligus menjaga
kesucian makna ilahi.²⁸ Ia menolak reduksionisme tafsir yang hanya menekankan
aspek linguistik atau ideologis, dan menegakkan pandangan bahwa Al-Qur’an
adalah sumber kebijaksanaan universal yang mempersatukan dimensi pengetahuan,
etika, dan spiritualitas.²⁹
Pendekatan ini
berujung pada visi tafsir humanistik, yakni tafsir
yang menjadikan manusia sebagai pusat tanggung jawab moral dan spiritual dalam
merespons pesan wahyu.³⁰ Dengan menggabungkan rasionalitas kritis dan kedalaman
batin, tafsir humanistik dan integral menjadi landasan bagi pembangunan
peradaban Islam yang inklusif, berkeadilan, dan berorientasi pada kemaslahatan
seluruh ciptaan.³¹
Kesimpulan Sementara
Sintesis filosofis
tafsir kontemporer menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak dapat dipahami secara
parsial. Ia memerlukan pendekatan integral yang menggabungkan aspek ontologis
(hakikat wahyu), epistemologis (metode pengetahuan), dan aksiologis (tujuan
nilai).³² Dalam kerangka humanistik, tafsir menjadi proses pembebasan spiritual
yang menghubungkan manusia dengan Tuhan dan sesamanya.³³ Dengan demikian,
paradigma tafsir Qur’an humanistik dan integral tidak hanya menafsirkan teks,
tetapi juga menafsirkan kehidupan dalam cahaya wahyu yang abadi.³⁴
Footnotes
[1]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: Mizan, 2003), 111–113.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 131–133.
[3]
Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community: Reading the
Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam: Humanistics University
Press, 2004), 18–21.
[4]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an (Chicago: University
of Chicago Press, 2009), 19–22.
[5]
Ibid., 23–25.
[6]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach (London: Routledge, 2006), 94–96.
[7]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon
Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 78–80.
[8]
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning (Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 91–94.
[9]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi
(Princeton: Princeton University Press, 1998), 27–30.
[10]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta:
LKiS, 2010), 113–115.
[11]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
28–31.
[12]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1 (Cairo: Dar al-Ma‘arif,
1968), 51–53.
[13]
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction (New York:
Routledge, 2008), 97–99.
[14]
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Dini (Cairo: Sina
Lil-Nashr, 1992), 70–73.
[15]
Ibid., 74–76.
[16]
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam
(Jakarta: Erlangga, 2005), 145–147.
[17]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 117–119.
[18]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for
Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 44–46.
[19]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression (Oxford:
Oneworld, 1997), 53–55.
[20]
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern
Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 90–92.
[21]
Ibid., 94–96.
[22]
Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam
(Oxford: Oneworld, 2006), 30–32.
[23]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic
Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 42–44.
[24]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 2, 20–23.
[25]
Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the Qur’an and Sunnah
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 121–123.
[26]
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran (Paris: Maisonneuve et
Larose, 1982), 65–67.
[27]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 77–80.
[28]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 122–124.
[29]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 33–36.
[30]
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu, 148–150.
[31]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred, 134–136.
[32]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 98–101.
[33]
Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and Community, 28–31.
[34]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 26–29.
11. Kesimpulan
Kajian mengenai tafsir Al-Qur’an kontemporer
menunjukkan bahwa dinamika penafsiran wahyu tidak pernah berhenti; ia selalu bergerak
mengikuti denyut kehidupan manusia.¹ Dari perjalanan historisnya, tafsir
berkembang dari tradisi tekstual-klasik menuju paradigma hermeneutik dan
interdisipliner yang menekankan keterkaitan antara teks, konteks, dan pembaca.²
Dalam konteks ini, tafsir kontemporer bukanlah bentuk dekonstruksi terhadap
tradisi, tetapi merupakan rekonstruksi epistemologis yang menegaskan
bahwa wahyu senantiasa relevan bagi zaman apa pun.³
Tafsir kontemporer berakar pada kesadaran bahwa
Al-Qur’an bukan sekadar dokumen linguistik, melainkan realitas hidup yang
berdialog dengan manusia.⁴ Ia tidak berhenti pada penggalian makna literal,
tetapi menuntut penemuan makna kontekstual yang sesuai dengan tantangan moral,
sosial, ekologis, dan spiritual umat modern.⁵ Oleh karena itu, pendekatan
tafsir modern memadukan dimensi teosentris (berorientasi pada Tuhan) dan
antroposentris (berorientasi pada kemanusiaan), yang keduanya saling
melengkapi.⁶
Secara ontologis, tafsir kontemporer
menegaskan bahwa wahyu adalah realitas transenden yang hadir dalam bentuk
historis dan bahasa manusia.⁷ Ia menghubungkan yang ilahi dan yang insani dalam
dialog makna yang tak pernah selesai.⁸ Secara epistemologis, tafsir
kontemporer membangun pengetahuan melalui integrasi antara wahyu, akal, dan
konteks sosial.⁹ Dalam hal ini, akal manusia berfungsi sebagai instrumen untuk
menyingkap kehendak ilahi tanpa mengabaikan akar spiritualitas yang melandasi
teks.¹⁰ Sedangkan secara aksiologis, tafsir diarahkan untuk menghadirkan
nilai-nilai Qur’ani—seperti keadilan (‘adl), keseimbangan (tawāzun), kasih
sayang (rahmah), dan kebebasan (hurriyyah)—dalam kehidupan nyata.¹¹
Relevansi tafsir kontemporer terletak pada
kemampuannya merespons problem kemanusiaan global. Dalam ranah sosial, tafsir
menjadi basis etika publik yang menegakkan keadilan sosial dan solidaritas
lintas agama.¹² Dalam ranah budaya, ia menjadi jembatan dialog antarperadaban
yang menghargai pluralitas.¹³ Dalam ranah lingkungan, tafsir ekologis
menegaskan kembali tanggung jawab manusia sebagai khalifah yang menjaga
keseimbangan ciptaan.¹⁴ Dalam ranah digital, tafsir menjadi sarana pendidikan
spiritual yang adaptif terhadap transformasi teknologi.¹⁵
Namun demikian, pembaruan tafsir juga menghadapi
kritik serius: bahaya relativisme makna, kecenderungan sekularisasi
hermeneutik, serta tantangan otoritas penafsir di era digital.¹⁶ Kritik ini
justru memperkaya wacana tafsir dan mendorong lahirnya paradigma baru yang
lebih matang.¹⁷ Sebab, dalam tradisi keilmuan Islam, kritik bukanlah ancaman bagi
kebenaran, tetapi mekanisme penyucian intelektual menuju pemahaman yang lebih
jernih.¹⁸
Arah pengembangan tafsir ke depan idealnya menuju tafsir
Qur’an humanistik dan integral, yakni model penafsiran yang menyatukan
dimensi spiritual, rasional, dan praksis sosial.¹⁹ Paradigma ini menempatkan
manusia sebagai subjek moral yang bertanggung jawab atas makna wahyu dalam
kehidupan.²⁰ Dengan menggabungkan kedalaman spiritual sufistik, ketajaman
rasional filosofis, dan kesadaran sosial profetik, tafsir dapat berfungsi
sebagai ruh peradaban Qur’ani yang menuntun umat menuju kemajuan yang
beradab.²¹
Akhirnya, tafsir Al-Qur’an kontemporer menunjukkan
bahwa memahami wahyu bukanlah sekadar kegiatan ilmiah, tetapi juga spiritual
dan eksistensial.²² Ia merupakan proses panjang pembentukan kesadaran: dari
pembacaan teks menuju penghayatan makna, dari pengetahuan menuju kebijaksanaan,
dari pemahaman menuju pengamalan.²³ Dengan cara inilah Al-Qur’an senantiasa
menjadi hudā li al-nās—petunjuk bagi seluruh umat manusia, dalam segala
ruang, waktu, dan peradaban.²⁴
Footnotes
[1]
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards
a Contemporary Approach (London: Routledge, 2006), 101–103.
[2]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: LKiS, 2010), 126–129.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago
Press, 1982), 38–40.
[4]
Nasr Hamid Abu Zayd, Text, Authority, and
Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Amsterdam:
Humanistics University Press, 2004), 29–31.
[5]
Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers (Boulder: Westview Press, 1994), 81–83.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 137–140.
[7]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an
(Chicago: University of Chicago Press, 2009), 23–26.
[8]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism
of Ibn ‘Arabi (Princeton: Princeton University Press, 1998), 32–35.
[9]
Abdullah Saeed, The Qur’an: An Introduction
(New York: Routledge, 2008), 101–104.
[10]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 1
(Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1968), 53–55.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam:
Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollins, 2002), 47–50.
[12]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism:
An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression
(Oxford: Oneworld, 1997), 57–59.
[13]
Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), 123–126.
[14]
Mawil Izzi Dien, The Environmental Dimensions of
Islam (Cambridge: Islamic Foundation, 2000), 49–51.
[15]
Gary R. Bunt, Hashtag Islam: How Cyber-Islamic
Environments Are Transforming Religious Authority (Chapel Hill: University
of North Carolina Press, 2018), 37–39.
[16]
Yusuf al-Qaradawi, Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Qur’an
al-‘Azim (Cairo: Dar al-Shuruq, 1999), 53–56.
[17]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and
Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 97–100.
[18]
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A
Study of Islamic Fundamentalism (Oxford: Oneworld, 2000), 45–48.
[19]
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah
Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2003), 119–122.
[20]
Abdullah Saeed, Contemporary Approaches to the
Qur’an and Sunnah (Oxford: Oxford University Press, 2008), 125–127.
[21]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 82–84.
[22]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
28–30.
[23]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 2,
25–27.
[24]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam,
51–53.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, K. (2005). The Great Theft:
Wrestling Islam from the Extremists. San Francisco, CA: HarperSanFrancisco.
Abu Zayd, N. H. (1992). Naqd al-Khitab al-Dini.
Cairo, Egypt: Sina Lil-Nashr.
Abu Zayd, N. H. (2004). Text, Authority, and
Community: Reading the Qur’an in the Twenty-First Century. Amsterdam,
Netherlands: Humanistics University Press.
Adams, C. C. (1933). Islam and Modernism in
Egypt. London, England: Oxford University Press.
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism.
Kuala Lumpur, Malaysia: ISTAC.
Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of
Knowledge: General Principles and Workplan. Herndon, VA: International
Institute of Islamic Thought.
Al-Farmawi, A. (1983). Al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu‘i. Cairo, Egypt: Dar al-Hadith.
Al-Ghazali. (1968). Ihya’ ‘Ulum al-Din
(Vols. 1–2). Cairo, Egypt: Dar al-Ma‘arif.
Al-Ghazali, M. (1992). Nahw Tafsir Maudhu‘i li
Suwar al-Qur’an al-Karim. Cairo, Egypt: Dar al-Shuruq.
Arkoun, M. (1982). Lectures du Coran. Paris,
France: Maisonneuve et Larose.
Arkoun, M. (1994). Rethinking Islam: Common
Questions, Uncommon Answers. Boulder, CO: Westview Press.
Arkoun, M. (2002). The Unthought in Contemporary
Islamic Thought. London, England: Saqi Books.
Barlas, A. (2002). “Believing Women” in Islam:
Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin, TX: University
of Texas Press.
Bucaille, M. (1978). The Bible, the Qur’an and
Science. Paris, France: Seghers.
Bunt, G. R. (2018). Hashtag Islam: How
Cyber-Islamic Environments Are Transforming Religious Authority. Chapel
Hill, NC: University of North Carolina Press.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany, NY: State
University of New York Press.
Corbin, H. (1998). Creative Imagination in the
Sufism of Ibn ‘Arabi. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Dien, M. I. (2000). The Environmental Dimensions
of Islam. Cambridge, England: The Islamic Foundation.
Engineer, A. A. (1990). Islam and Liberation
Theology: Essays on Liberative Elements in Islam. New York, NY: St.
Martin’s Press.
Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against
Oppression. Oxford, England: Oneworld.
Esack, F. (2005). The Qur’an: A User’s Guide.
Oxford, England: Oneworld.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago, IL: University of
Chicago Press.
Fazlur Rahman. (2000). Revival and Reform in
Islam: A Study of Islamic Fundamentalism. Oxford, England: Oneworld.
Fazlur Rahman. (2009). Major Themes of the
Qur’an. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Hanafi, H. (1980). Al-Turath wa al-Tajdid:
Mawqifunā min al-Turath al-Qadīm. Cairo, Egypt: al-Mu’assasah
al-Jami‘iyyah.
Hanafi, H. (1990). Dirasat Islamiyyah: al-Yamin
wa al-Yasar fi al-Fikr al-Dini. Cairo, Egypt: al-Hay’ah al-Misriyyah
al-‘Ammah.
Hanafi, H. (1991). Muqaddimah fi ‘Ilm
al-Istighrab. Cairo, Egypt: Dar al-Fikr al-Mu‘asir.
Hamka. (1982). Tafsir Al-Azhar (Vol. 1).
Jakarta, Indonesia: Pustaka Panjimas.
Izzi Dien, M. (2000). The Environmental
Dimensions of Islam. Cambridge, England: The Islamic Foundation.
Khalid, F., & O’Brien, J. (1992). Islam and
Ecology. London, England: Cassell.
Madjid, N. (1992). Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan. Bandung, Indonesia: Mizan.
Mustaqim, A. (2010). Epistemologi Tafsir
Kontemporer. Yogyakarta, Indonesia: LKiS.
Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The
Spiritual Crisis in Modern Man. London, England: George Allen & Unwin.
Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of
Modern Man. London, England: Routledge & Kegan Paul.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred.
Albany, NY: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of
Nature. Oxford, England: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity. New York, NY: HarperCollins.
Qaradawi, Y. (1999). Kayfa Nata‘amal ma‘a
al-Qur’an al-‘Azim. Cairo, Egypt: Dar al-Shuruq.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth, TX: Texas Christian
University Press.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the Human Sciences.
Cambridge, England: Cambridge University Press.
Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an:
Towards a Contemporary Approach. London, England: Routledge.
Saeed, A. (2008). The Qur’an: An Introduction.
New York, NY: Routledge.
Saeed, A. (2008). Contemporary Approaches to the
Qur’an and Sunnah. Oxford, England: Oxford University Press.
Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The
Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford, England: Oxford
University Press.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Vol. 1). Jakarta, Indonesia: Lentera Hati.
Wadud, A. (1999). Qur’an and Woman: Rereading
the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York, NY: Oxford University
Press.
Wadud, A. (2006). Inside the Gender Jihad:
Women’s Reform in Islam. Oxford, England: Oneworld.
Zaghlul El-Naggar. (2003). Scientific Miracles
in the Qur’an. Cairo, Egypt: Al-Falah Foundation.
Zuhaili, W. (1991). Al-Tafsir al-Munir (Vol.
1). Damascus, Syria: Dar al-Fikr.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar