Filsafat Multiverse
Antara Kosmologi, Metafisika, dan Batas Pengetahuan
Manusia
Alihkan ke: Kosmologi Teoretis.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori Multiverse
dari perspektif filsafat dengan menelusuri dimensi ontologis, epistemologis,
aksiologis, ilmiah, metafisis, dan teologisnya. Berawal dari akar historis
kosmologi modern dan teori kuantum, pembahasan ini menunjukkan bahwa gagasan
tentang pluralitas semesta bukan sekadar hipotesis ilmiah, melainkan juga
wacana filosofis yang menantang paradigma klasik tentang kesatuan realitas.
Secara ontologis, teori multiverse memunculkan model realitas jamak yang
non-hierarkis dan terbuka, menolak sentralitas dunia tunggal sebagai
satu-satunya aktualitas. Secara epistemologis, multiverse memperluas
batas pengetahuan manusia, menandai pergeseran dari empirisisme menuju
rasionalitas spekulatif yang menggabungkan logika, matematika, dan refleksi
konseptual. Secara aksiologis, teori ini menggugah perenungan etis
mengenai tanggung jawab moral, makna kebebasan, dan nilai kemanusiaan di tengah
pluralitas eksistensi.
Selanjutnya, pembahasan metafisika dan teologi
menunjukkan bahwa pluralitas dunia tidak meniadakan keesaan Ilahi, melainkan
memperluas pemahaman tentang Tuhan sebagai ground of possibility—dasar
dari segala kemungkinan eksistensi. Dari sisi interdisipliner, teori
multiverse mempertemukan kosmologi, filsafat ilmu, logika modal, dan
spiritualitas, sehingga membuka paradigma pengetahuan yang integral dan lintas
batas. Akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa multiverse bukan sekadar model
kosmologis, tetapi juga simbol reflektif tentang keterbukaan realitas,
keterbatasan manusia, dan pencarian makna dalam ketakterhinggaan. Melalui
sintesis filosofis, teori multiverse menampakkan dirinya sebagai jembatan
antara sains dan kebijaksanaan, antara rasionalitas dan transendensi, serta
antara keterbatasan empiris dan keluasan kemungkinan eksistensial.
Kata Kunci: Multiverse,
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Metafisika, Teologi, Kosmologi Filosofis,
Rasionalitas Spekulatif, Keterbukaan Realitas, Kebijaksanaan Kosmik.
PEMBAHASAN
Gagasan Multiverse dalam Sains dan Filsafat
1.
Pendahuluan
Gagasan tentang multiverse—yakni hipotesis
bahwa alam semesta bukanlah satu-satunya realitas yang ada, melainkan hanya
satu dari sekian banyak alam paralel yang mungkin eksis—menandai pergeseran
radikal dalam cara manusia memahami kosmos dan keberadaannya sendiri. Dalam
konteks filsafat dan sains modern, teori multiverse bukan sekadar spekulasi
ilmiah, melainkan juga tantangan terhadap asumsi-asumsi dasar ontologis dan
epistemologis yang selama ini mendasari pemikiran Barat tentang realitas
tunggal (universe). Gagasan ini memunculkan pertanyaan fundamental:
apakah realitas itu satu dan tertutup, ataukah plural dan terbuka bagi
kemungkinan tanpa batas?
Secara historis, akar konseptual multiverse dapat
ditelusuri hingga pada pandangan kosmologis kuno. Filsuf pra-Sokratik seperti
Anaximander dan Demokritos telah membayangkan adanya banyak dunia yang muncul
dan lenyap dalam ruang tak terbatas, tanpa keterikatan pada satu pusat kosmik
tertentu.¹ Pandangan ini kemudian mengalami transposisi metafisik melalui
pemikiran abad pertengahan dan teologi Kristen, yang menegaskan satu ciptaan
tunggal di bawah kehendak Tuhan. Baru pada masa modern, ketika mekanika kuantum
dan relativitas umum membuka horizon baru dalam fisika teoretis, ide tentang
realitas jamak kembali mendapat tempat serius dalam diskursus ilmiah.²
Perkembangan mutakhir dalam kosmologi, seperti
teori inflasi abadi (eternal inflation) dan interpretasi kuantum
banyak-dunia (many-worlds interpretation), memberi dasar matematis dan
konseptual bagi kemungkinan eksistensi alam semesta jamak.³ Max Tegmark bahkan
mengklasifikasikan empat tingkatan multiverse berdasarkan struktur fisika dan
logika matematis yang mendasarinya—mulai dari variasi kondisi awal kosmos
hingga eksistensi semua kemungkinan logis dalam “multiverse matematis.”⁴
Namun, seiring dengan semakin luasnya penerimaan gagasan ini di kalangan
fisikawan, muncul pula perdebatan tajam di ranah filsafat ilmu mengenai status
ilmiahnya: apakah teori multiverse benar-benar dapat disebut ilmiah jika ia
tidak dapat diverifikasi secara empiris?⁵
Dari sisi epistemologi, teori multiverse menantang
kriteria tradisional pengetahuan ilmiah sebagaimana dikemukakan Karl Popper,
yaitu falsifiabilitas. Jika realitas yang dipostulatkan tidak dapat diobservasi
bahkan secara tidak langsung, maka teori tersebut berada di ambang antara sains
dan metafisika.⁶ Sementara dari perspektif ontologi, gagasan ini menggeser
pandangan klasik tentang “ada” sebagai tunggal, tetap, dan hierarkis,
menuju pandangan pluralistik yang menempatkan realitas sebagai jaringan
kemungkinan tak terhingga.⁷
Dalam konteks ini, artikel ini bertujuan untuk mengkaji
teori multiverse secara filosofis—melampaui sekadar analisis fisika teoretis.
Kajian ini akan menelusuri dasar historis dan genealogis kemunculannya,
menguraikan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, serta
menganalisis implikasinya terhadap pemahaman manusia tentang eksistensi,
moralitas, dan makna. Pendekatan ini diharapkan dapat membangun sintesis antara
sains dan filsafat dalam memahami realitas kosmik secara lebih integral,
rasional, dan reflektif. Dengan demikian, teori multiverse tidak hanya dipahami
sebagai model ilmiah, tetapi juga sebagai horizon baru dalam pencarian makna
eksistensial manusia di antara pluralitas semesta.⁸
Footnotes
[1]
Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The
Ionian Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University
Press, 2006), 45–47.
[2]
Alexandre Koyré, From the Closed World to the
Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 13–18.
[3]
Alan Guth, “Eternal Inflation and Its
Implications,” Journal of Physics A 40, no. 25 (2007): 6811–6826.
[4]
Max Tegmark, “Parallel Universes,” Scientific
American 288, no. 5 (2003): 40–51.
[5]
George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really
Exist?,” Scientific American 305, no. 2 (2011): 38–43.
[6]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 2002), 36–40.
[7]
David Lewis, On the Plurality of Worlds
(Oxford: Blackwell, 1986), 1–4.
[8]
Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel
Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011),
5–8.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Konsep tentang dunia
jamak atau multiverse
tidak muncul secara tiba-tiba dalam wacana ilmiah modern. Ia memiliki akar
panjang dalam sejarah pemikiran manusia yang menandai pergulatan antara
imajinasi kosmologis, refleksi metafisik, dan upaya rasional memahami struktur
realitas. Dalam konteks ini, penting untuk menelusuri jejak genealogis gagasan
multiverse dari dunia kuno hingga pemikiran sains kontemporer, guna memahami
bahwa ide tentang pluralitas kosmos merupakan hasil evolusi intelektual yang
kompleks, bukan sekadar produk spekulasi ilmiah abad ke-21.
2.1.
Dunia Jamak dalam Pemikiran Kuno
Pandangan kosmologis
pra-Sokratik merupakan salah satu embrio awal gagasan dunia jamak. Anaximander
dari Miletos (abad ke-6 SM) memandang bahwa apeiron—yang tak terbatas dan tak
terhingga—menjadi asal segala sesuatu, tempat di mana banyak dunia dapat muncul
dan hancur secara berulang.¹ Demokritos dan Leucippos kemudian memperluas
pandangan ini dalam kerangka atomisme: atom-atom yang bergerak dalam kehampaan
dapat membentuk berbagai dunia yang tak terhitung jumlahnya, masing-masing
dengan struktur dan hukum yang berbeda.² Dengan demikian, konsep dunia jamak
dalam filsafat Yunani kuno tidak sekadar bersifat metaforis, tetapi merefleksikan
intuisi ontologis tentang kemungkinan pluralitas realitas.
Pemikiran
Aristoteles membawa arah yang berbeda. Ia menolak pluralitas dunia dengan
menegaskan satu alam semesta tertutup yang tersusun hierarkis, berpusat pada
Bumi dan dikelilingi oleh sfera-sfera langit yang sempurna.³ Pandangan ini
mendominasi kosmologi Barat selama berabad-abad, diperkuat oleh sintesis
teologis skolastik yang menempatkan satu alam semesta sebagai ciptaan tunggal
Tuhan.⁴ Dengan demikian, sejak awal, sejarah pemikiran Barat telah
memperlihatkan ketegangan antara dua pandangan metafisik: kosmos jamak
(pluralis) dan kosmos tunggal (monistik).
2.2.
Transisi Kosmologis pada Abad Modern
Revolusi ilmiah abad
ke-17 mengubah paradigma tentang alam semesta secara mendasar. Nicolaus Copernicus,
Galileo Galilei, dan Isaac Newton menyingkirkan konsep kosmos tertutup
Aristotelian, menggantinya dengan pandangan mekanistik tentang ruang tak
berhingga yang diisi oleh hukum-hukum universal.⁵ Newton sendiri menolak ide
dunia jamak dalam pengertian metafisis, tetapi ruang mutlak yang tak berbatas
yang ia ajukan membuka kemungkinan secara implisit bagi pluralitas realitas.⁶
Sementara itu, filsuf seperti Giordano Bruno berani menafsirkan ruang tak
terbatas Newtonian sebagai bukti keberadaan “tak terhitung dunia berpenghuni”
di jagat raya, suatu gagasan yang pada masanya dianggap bid’ah dan berujung
pada eksekusinya.⁷
Abad Pencerahan dan
modernitas awal kemudian menandai rasionalisasi gagasan ini. Imanuel Kant dalam
Universal
Natural History and Theory of the Heavens (1755) mengemukakan bahwa
galaksi-galaksi yang tampak di langit bisa jadi merupakan sistem dunia lain
yang serupa dengan Bima Sakti kita.⁸ Dengan demikian, Kant secara tidak
langsung memperluas horizon empiris kosmologi sekaligus memperkenalkan dimensi
transendental dalam memahami dunia jamak: manusia hanya dapat mengetahui
realitas sejauh fenomena, sementara kemungkinan dunia lain tetap berada di luar
batas pengetahuan empirisnya.⁹
2.3.
Pergeseran Menuju Kosmologi Modern
Abad ke-20 membawa
kebangkitan baru bagi gagasan pluralitas dunia, kali ini dalam konteks fisika
teoretis. Teori relativitas umum Albert Einstein menegaskan bahwa ruang dan
waktu bukanlah panggung pasif, melainkan struktur dinamis yang dapat melengkung
dan berevolusi.¹⁰ Penemuan perluasan alam semesta oleh Edwin Hubble (1929)
semakin memperluas pemahaman tentang skala kosmik, dan pada pertengahan abad
ke-20, muncul model kosmologi Big Bang yang menjadi paradigma dominan.¹¹
Namun, dari dalam
fisika kuantum lahir persoalan baru: sifat probabilistik realitas dan keanehan
fenomena superposisi membuka peluang bagi interpretasi “banyak dunia” (many-worlds
interpretation) yang diajukan Hugh Everett pada 1957.¹² Dalam
interpretasi ini, setiap peristiwa kuantum menghasilkan percabangan realitas,
sehingga terdapat jumlah tak terhingga dunia paralel yang masing-masing
mewujudkan kemungkinan berbeda dari satu peristiwa yang sama.¹³ Model ini
menjadi salah satu landasan konseptual bagi teori multiverse modern.
Pada dekade 1980-an,
Alan Guth memperkenalkan teori eternal inflation yang menyatakan
bahwa ruang-waktu mengalami ekspansi terus-menerus, menciptakan
gelembung-gelembung alam semesta baru di dalam lanskap kosmik.¹⁴ Dari sinilah
muncul gagasan bahwa alam semesta kita hanyalah satu dari tak terhitung “gelembung
kosmos” dalam struktur multiverse. Perkembangan ini kemudian diintegrasikan
ke dalam teori string dan kosmologi kuantum, menghasilkan spektrum luas model
multiverse yang bersifat matematis sekaligus metafisis.¹⁵
2.4.
Genealogi Intelektual: Dari Metafisika ke
Kosmologi Spekulatif
Menelusuri alur
historis di atas, tampak bahwa gagasan multiverse merupakan hasil evolusi
dialektis antara spekulasi metafisik dan verifikasi ilmiah. Setiap fase
pemikiran—dari pra-Sokratik hingga teori kuantum modern—memperlihatkan
pergeseran cara manusia memahami “ada” dan “kemungkinan”.
Filsafat menyiapkan fondasi konseptualnya, sementara sains memberikan bahasa
matematisnya. Genealogi multiverse, dengan demikian, merepresentasikan
kontinuitas ide-ide manusia dalam mencari struktur terdalam dari kenyataan:
dari apeiron
hingga ruang-waktu yang mengembang tanpa batas.¹⁶
Footnotes
[1]
Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian Tradition of
Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2006),
42–47.
[2]
Aristotle, On the Heavens, trans. W. K. C. Guthrie (Cambridge:
Harvard University Press, 1939), 284–285.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge:
Harvard University Press, 1933), 1026a–1027b.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.47, Art.3.
[5]
Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 13–18.
[6]
Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica,
trans. Andrew Motte (London: Benjamin Motte, 1729), 75–78.
[7]
Frances A. Yates, Giordano Bruno and the Hermetic Tradition
(Chicago: University of Chicago Press, 1964), 355–358.
[8]
Immanuel Kant, Universal Natural History and Theory of the Heavens,
trans. W. Hastie (Glasgow: J. Maclehose, 1900), 10–12.
[9]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235–A239.
[10]
Albert Einstein, “The Foundation of the General Theory of Relativity,” Annalen
der Physik 49 (1916): 769–822.
[11]
Edwin Hubble, “A Relation Between Distance and Radial Velocity Among
Extra-Galactic Nebulae,” Proceedings of the National Academy of Sciences
15, no. 3 (1929): 168–173.
[12]
Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews
of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.
[13]
Bryce S. DeWitt, “Quantum Mechanics and Reality,” Physics Today
23, no. 9 (1970): 30–35.
[14]
Alan H. Guth, “Inflationary Universe: A Possible Solution to the
Horizon and Flatness Problems,” Physical Review D 23, no. 2 (1981):
347–356.
[15]
Leonard Susskind, The Cosmic Landscape: String Theory and the
Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 187–194.
[16]
Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate
Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 25–27.
3.
Ontologi:
Hakikat Realitas dalam Teori Multiverse
Pertanyaan ontologis
mengenai teori multiverse berpusat pada hakikat “ada” dan “realitas”
itu sendiri: apakah yang dimaksud dengan universe (alam semesta tunggal)
masih memadai untuk menjelaskan struktur realitas, ataukah manusia kini harus
mengakui pluralitas eksistensi kosmik yang tak terbatas? Dalam tradisi
filsafat, persoalan ini menyentuh inti metafisika klasik—yakni tentang
keberadaan (being) dan kemungkinan (possibility).
Teori multiverse, dalam konteks ini, menantang ontologi tradisional yang
berasumsi tentang satu dunia yang aktual, dengan memperluasnya menjadi tatanan
di mana berbagai dunia dapat eksis secara setara dan simultan, meskipun mungkin
tidak saling berinteraksi secara kausal.¹
3.1.
Ontologi Keberagaman Kosmik
Dalam ontologi
klasik Aristotelian, realitas dipahami sebagai hierarki entitas yang bergradasi
dari potensi menuju aktualitas.² Dengan demikian, hanya satu dunia yang “teraktualkan”
secara penuh di bawah tatanan kosmik yang tunggal. Namun, teori multiverse
mematahkan struktur hierarkis tersebut dengan mengandaikan adanya banyak
aktualitas sekaligus—setiap “dunia” menjadi aktual dalam konteksnya
sendiri, tanpa subordinasi terhadap dunia lain.³ Gagasan ini mengandung
implikasi radikal: realitas tidak lagi bersifat tunggal (monistik),
melainkan jamak dan paralel (pluralistik).
Max Tegmark
mengusulkan empat tingkatan ontologis dari multiverse, yang menunjukkan
bagaimana struktur realitas dapat dipahami secara bertingkat:⁴
1)
Level I – Multiverse
Kosmologis: alam semesta tak terbatas secara spasial, di mana
setiap wilayah jauh memuat konfigurasi materi berbeda;
2)
Level II – Multiverse
Inflasioner: hasil dari eternal inflation, menciptakan
banyak “gelembung” alam semesta dengan hukum fisika berbeda;
3)
Level III – Multiverse
Kuantum: berdasarkan interpretasi many-worlds dari
mekanika kuantum, di mana setiap peristiwa bercabang menjadi realitas berbeda;
4)
Level IV – Multiverse
Matematis: semua struktur matematis yang konsisten eksis secara
ontologis, sehingga realitas sama dengan matematika itu sendiri.
Dalam kerangka ini,
realitas tidak hanya terdiri atas satu sistem dunia fisik, tetapi merupakan
totalitas dari semua struktur yang mungkin secara matematis maupun logis.
Tegmark menamakan pandangan ini sebagai mathematical realism radical, di
mana keberadaan identik dengan keterwujudan matematis.⁵
3.2.
Metafisika Kemungkinan dan Realitas Jamak
Persoalan ontologis
multiverse tidak dapat dilepaskan dari filsafat kemungkinan (modal
metaphysics). David Lewis dalam On the Plurality of Worlds
menyatakan bahwa semua dunia yang mungkin (possible worlds) eksis secara sama
nyata dengan dunia kita; perbedaan antara “aktual” dan “mungkin”
bersifat indeksikal—yakni bergantung pada perspektif pengamat.⁶ Dengan
demikian, bagi Lewis, dunia-dunia lain tidak hanya fiksi konseptual, tetapi
memiliki status ontologis yang sejajar dengan dunia aktual ini. Pandangan ini
memiliki kesepadanan struktural dengan multiverse kuantum, meskipun berasal
dari premis metafisik, bukan fisika empiris.
Akan tetapi, jika
semua dunia mungkin dianggap nyata, maka ontologi kehilangan pusat keaktualan
tunggalnya. Realitas tidak lagi dapat dipahami sebagai “satu keseluruhan”
yang koheren, melainkan sebagai himpunan tak terbatas dari eksistensi yang
otonom. Hal ini menimbulkan dilema ontologis: apakah “ada” masih dapat
didefinisikan secara universal jika setiap kemungkinan menjadi aktual di suatu
ranah eksistensi?⁷ Dalam konteks ini, teori multiverse memperluas ontologi ke
wilayah metarealitas,
yaitu tataran di mana prinsip-prinsip logika dan matematis menjadi dasar
eksistensi.
3.3.
Ontologi Relasional dan Masalah Identitas
Jika terdapat banyak
versi alam semesta, maka bagaimana dengan identitas entitas di dalamnya? Dalam
multiverse kuantum, setiap keputusan atau peristiwa dapat memunculkan cabang
realitas baru di mana versi lain dari diri kita mengambil jalan berbeda.⁸
Ontologinya bersifat relasional: eksistensi suatu entitas tidak dapat dipahami
secara absolut, tetapi selalu dalam konteks dunia tertentu.⁹ Dalam pandangan
ini, realitas bersifat plural sekaligus terhubung oleh relasi kemungkinan.
Identitas diri menjadi diasporik—tersebar di berbagai
dunia tanpa kehilangan kontinuitas logis.
Keterkaitan antara
ontologi relasional dan multiverse ini juga menantang konsep keunikan
eksistensi manusia dalam semesta tunggal. Jika versi diri kita tak terhingga
jumlahnya, maka makna ontologis dari “eksistensi pribadi” menjadi
problematis. Persoalan ini membuka ruang bagi refleksi etika dan aksiologi,
terutama mengenai tanggung jawab, kebebasan, dan makna hidup dalam konteks
pluralitas realitas.¹⁰
3.4.
Realitas, Struktur, dan Rasionalitas
Dalam kosmologi
modern, realitas dipahami bukan sebagai kumpulan objek material semata,
melainkan sebagai struktur relasional yang dapat dijelaskan melalui hukum-hukum
matematis.¹¹ Pandangan ini dikenal sebagai structural realism, yakni gagasan
bahwa apa yang benar-benar “ada” bukanlah benda, melainkan struktur
hubungan yang dipertahankan di seluruh level deskripsi ilmiah.¹² Multiverse,
dalam hal ini, dapat dipandang sebagai konsekuensi logis dari realitas
struktural tersebut: jika hukum-hukum memungkinkan berbagai kondisi awal dan
parameter, maka seluruh struktur yang konsisten secara logis memiliki dasar
ontologis.¹³
Dengan demikian,
ontologi multiverse menandai pergeseran dari substantive ontology menuju structural
ontology—dari pencarian “apa yang ada” menuju pemahaman
tentang “bagaimana segala sesuatu terstruktur dan mungkin ada.” Filsafat
dalam konteks ini berfungsi bukan untuk menegaskan kebenaran metafisik tunggal,
melainkan untuk memahami koherensi eksistensial di dalam jaringan realitas
jamak.¹⁴
Refleksi Ontologis
Teori multiverse,
pada akhirnya, menempatkan manusia di tengah paradoks eksistensial: ia hidup
dalam satu dunia yang nyata baginya, tetapi akal budinya menunjukkan
kemungkinan tak terhitung dunia lain yang sama nyatanya. Paradoks ini
mengingatkan bahwa ontologi bukan sekadar soal enumerasi entitas, tetapi
tentang struktur kemungkinan yang memungkinkan segala keberadaan. Realitas,
dalam kerangka multiverse, bukanlah kesatuan tertutup, melainkan medan
keterbukaan ontologis yang terus meluas.¹⁵
Footnotes
[1]
Tim Maudlin, Philosophy of Physics: Space and Time (Princeton:
Princeton University Press, 2012), 89–92.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge:
Harvard University Press, 1933), 1048a–1050b.
[3]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 130–133.
[4]
Max Tegmark, “Parallel Universes,” Scientific American 288,
no. 5 (2003): 40–51.
[5]
Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate
Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 25–28.
[6]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 1–5.
[7]
Barry Dainton, Time and Space (Durham: Acumen, 2010), 315–318.
[8]
Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews
of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.
[9]
Simon Saunders et al., Many Worlds? Everett, Quantum Theory, and
Reality (Oxford: Oxford University Press, 2010), 63–69.
[10]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press,
1984), 210–213.
[11]
James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics
Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 128–132.
[12]
Steven French and James Ladyman, “Remodeling Structural Realism:
Quantum Physics and the Metaphysics of Structure,” Synthese 136, no. 1
(2003): 31–56.
[13]
Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and
the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 247–251.
[14]
Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford: Clarendon
Press, 1989), 233–237.
[15]
Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep
Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 5–7.
4.
Epistemologi:
Pengetahuan dan Pembenaran tentang Alam Jamak
Masalah utama dalam
epistemologi multiverse terletak pada status pengetahuan tentang sesuatu yang
secara empiris tak terjangkau. Jika alam semesta kita hanyalah salah satu dari
banyak dunia yang mungkin, bagaimana manusia dapat mengetahui keberadaan
dunia-dunia lain itu? Pertanyaan ini menyingkap dilema klasik antara batas
empiris pengetahuan dan keluasan rasionalitas spekulatif. Teori multiverse
menguji ketegangan antara empirical adequacy (kecukupan
empiris) dan theoretical coherence (koherensi
teoretis), serta menuntut peninjauan ulang terhadap kriteria epistemik
kebenaran ilmiah itu sendiri.¹
4.1.
Dilema Epistemik: Antara Falsifiabilitas dan
Inferensi
Karl Popper
menetapkan falsifiabilitas sebagai demarkasi utama antara ilmu dan metafisika:
sebuah teori ilmiah harus dapat diuji dan berpotensi dibantah oleh pengalaman
empiris.² Namun teori multiverse tampaknya menentang kriteria ini, sebab
dunia-dunia lain yang dipostulatkan tidak dapat diamati secara langsung maupun
tidak langsung dengan instrumen ilmiah apa pun yang tersedia.³ Dengan demikian,
secara ketat, teori multiverse tidak dapat diverifikasi maupun difalsifikasi.
Sebagian filsuf ilmu
menilai hal ini bukan kelemahan mutlak. George Ellis, misalnya, menegaskan
bahwa sains kosmologi memang beroperasi di wilayah ekstrem di mana eksperimen
tidak selalu mungkin dilakukan, sehingga validitas teoretis dapat ditopang oleh
inference
to the best explanation (inferensi menuju penjelasan terbaik).⁴
Dalam hal ini, teori multiverse dapat diterima sejauh ia memberikan koherensi
lebih besar terhadap data empiris yang ada—misalnya dalam menjelaskan
nilai-nilai konstanta fisika yang tampak “disetel” dengan sangat presisi
bagi kehidupan (fine-tuning problem).⁵
Dengan demikian, epistemologi
multiverse menggeser fokus dari verifiability menuju plausibility:
bukan seberapa dapat diuji suatu teori, melainkan seberapa rasional dan
konsisten ia menjelaskan fenomena yang diamati.⁶
4.2.
Peran Inferensi Ilmiah dan Model Matematis
Dalam tradisi
filsafat sains kontemporer, terutama pada pandangan Bas van Fraassen, model
ilmiah tidak harus mencerminkan realitas ontologis secara langsung; cukup jika
ia empirically
adequate—yakni sesuai dengan fenomena yang teramati.⁷ Teori
multiverse, dengan demikian, dapat dipahami sebagai konstruksi model matematis
yang bertujuan menjelaskan keanekaragaman struktur kosmik tanpa mengklaim
representasi literal atas dunia-dunia lain.
Pendekatan ini
sejalan dengan structural realism yang menegaskan
bahwa sains menangkap struktur hubungan di balik fenomena, bukan substansi
entitas yang tersembunyi.⁸ Dalam konteks ini, pengetahuan tentang multiverse
bersifat struktural, bukan substantif: manusia mengetahui bagaimana
berbagai kemungkinan dunia dapat terhubung melalui hukum-hukum fisika, bukan apa
dunia-dunia itu secara konkret.⁹
Namun demikian,
model matematis tidak sepenuhnya bebas nilai epistemik. Sebagaimana dikemukakan
Tegmark, jika struktur matematis sepenuhnya identik dengan realitas, maka
mengenali model matematis berarti memahami eksistensi itu sendiri.¹⁰ Di sini,
epistemologi bergeser menjadi ontologis: mengetahui berarti mengidentifikasi
struktur logis yang mungkin ada.
4.3.
Empirisisme, Spekulasi, dan Batas Pengalaman
Filsafat empirisisme
memandang bahwa semua pengetahuan sah harus berakar pada pengalaman inderawi.¹¹
Akan tetapi, dalam kosmologi modern, banyak teori justru bergerak melampaui
batas empiris ini. Sebagaimana ditegaskan Sean Carroll, sains tidak dapat
dipisahkan dari inferensi rasional terhadap yang tidak teramati, karena kosmos
tidak menyediakan laboratorium uji ulang.¹² Teori multiverse, dalam hal ini,
merupakan epistemic
extrapolation—ekstrapolasi rasional dari prinsip fisika yang telah
terbukti dalam ranah terbatas menuju skala kosmik yang lebih luas.
Meski demikian,
pergeseran ini menuntut kehati-hatian epistemik. Kritik dari filsuf seperti
Nancy Cartwright dan Ian Hacking mengingatkan bahwa “realitas ilmiah”
sering kali merupakan hasil idealisasi model, bukan deskripsi literal alam.¹³
Maka, teori multiverse harus ditempatkan sebagai bentuk pengetahuan hipotesis
yang memiliki nilai heuristik, bukan kepastian ontologis.
4.4.
Perbandingan Epistemologis: Ilmu, Metafisika,
dan Imajinasi
Secara historis,
batas antara sains dan metafisika tidak pernah sepenuhnya tegas. Galileo,
Newton, hingga Einstein memulai revolusi ilmiah mereka dengan asumsi-asumsi
metafisik tentang keteraturan dan rasionalitas alam.¹⁴ Dalam konteks ini,
multiverse dapat dilihat sebagai kelanjutan tradisi metafisika rasional yang
menuntut dasar bagi keteraturan kosmik. Perbedaannya terletak pada perangkat
epistemiknya: jika metafisika klasik berangkat dari prinsip apriori, maka
multiverse berangkat dari formalitas matematis dan ekstrapolasi teori fisika.¹⁵
Namun, sebagaimana
ditegaskan oleh Thomas Kuhn, perkembangan ilmu tidak hanya diukur oleh
keberhasilan empiris, melainkan juga oleh perubahan paradigma konseptual.¹⁶
Multiverse, dengan demikian, dapat dipahami sebagai paradigma baru dalam
epistemologi sains: paradigma yang menempatkan kemungkinan sebagai kategori
pengetahuan, sejajar dengan aktualitas.
4.5.
Pengetahuan dalam Horizon Kemungkinan
Epistemologi
multiverse akhirnya membawa filsafat menuju horizon baru, di mana pengetahuan
tidak lagi terbatas pada observasi, tetapi mencakup pemahaman terhadap
kemungkinan yang rasional. Dalam kerangka ini, “mengetahui” berarti
mampu menalar konsistensi logis antara berbagai kemungkinan eksistensi.¹⁷
Manusia tidak lagi hanya mengenal alam semesta yang ia huni, melainkan juga
mengakui rasionalitas pluralitas eksistensi yang mendasari kosmos.
Dengan demikian,
teori multiverse menuntut epistemologi yang bersifat trans-empirical:
pengetahuan yang tidak menafikan pengalaman, tetapi mengakui keterbatasannya.
Pengetahuan tentang alam jamak bukanlah hasil pengamatan inderawi, melainkan
sintesis rasional antara pengalaman empiris, struktur matematis, dan imajinasi
metafisik yang terarah oleh prinsip koherensi ilmiah.¹⁸
Footnotes
[1]
Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 51–55.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 36–40.
[3]
Sabine Hossenfelder, “Multiverses and the Philosophy of Science,” Foundations
of Physics 48, no. 9 (2018): 1291–1303.
[4]
George F. R. Ellis, “Issues in the Philosophy of Cosmology,” in Philosophy
of Physics, ed. Jeremy Butterfield and John Earman (Amsterdam:
North-Holland, 2007), 1183–1204.
[5]
Bernard Carr, ed., Universe or Multiverse? (Cambridge:
Cambridge University Press, 2007), 17–22.
[6]
Richard Dawid, “Theoretical Confirmation beyond Empiricism,” Philosophy
of Science 81, no. 5 (2014): 1071–1083.
[7]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 12–13.
[8]
James Ladyman, Don Ross, and David Spurrett, Every Thing Must Go:
Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 131–136.
[9]
Steven French, “Structural Realism and the Metaphysics of Structure,” Synthese
136, no. 1 (2003): 31–56.
[10]
Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate
Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 29–33.
[11]
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), 67–69.
[12]
Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and
the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 249–253.
[13]
Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford:
Clarendon Press, 1983), 45–48; Ian Hacking, Representing and Intervening
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 221–224.
[14]
Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 88–92.
[15]
David Deutsch, The Fabric of Reality: The Science of Parallel
Universes—and Its Implications (New York: Penguin, 1997), 112–116.
[16]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 151–153.
[17]
Robert Nozick, Invariances: The Structure of the Objective World
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 80–83.
[18]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational
World (New York: Simon & Schuster, 1992), 212–216.
5.
Aksiologi:
Nilai, Etika, dan Implikasi Filosofis Multiverse
Pertanyaan
aksiologis dalam teori multiverse berkisar pada nilai dan makna: jika realitas
terdiri dari banyak dunia yang eksis secara simultan, apa arti dari nilai,
tanggung jawab moral, dan makna hidup manusia? Filsafat nilai (axiology)
menempatkan manusia sebagai makhluk yang menilai, dan nilai itu sendiri berakar
pada pengalaman unik tentang keterbatasan dan keberbedaan. Namun, teori
multiverse menantang asumsi ini dengan menghadirkan kemungkinan tak terbatas di
mana setiap tindakan, pilihan, dan konsekuensinya terwujud dalam versi dunia
yang berbeda.¹ Dalam konteks tersebut, muncul persoalan mendasar: apakah nilai
dan moralitas masih bermakna jika semua kemungkinan sudah terealisasi di alam
semesta lain?
5.1.
Nilai Epistemik dan Etika Pengetahuan
Spekulatif
Teori multiverse,
meskipun belum terverifikasi secara empiris, memiliki nilai epistemik yang
penting dalam sejarah sains. Ia memperluas horizon pengetahuan manusia dengan
menuntut kerendahan hati epistemologis—kesadaran bahwa realitas mungkin jauh
lebih kompleks daripada yang dapat diobservasi.² Dengan demikian, multiverse
mendorong suatu etika pengetahuan spekulatif, yakni
tanggung jawab ilmuwan dan filsuf untuk menyeimbangkan antara imajinasi
rasional dan verifikasi empiris.³
Nilai epistemik ini
mengandung dimensi moral tertentu: mengejar pengetahuan yang mungkin tanpa
mengabaikan batas-batas manusiawi.⁴ Brian Greene menyebutnya sebagai bentuk “kerendahan
kosmologis” (cosmic humility)—suatu kesadaran
bahwa manusia bukan pusat alam semesta, melainkan bagian kecil dari lanskap
eksistensi yang tak terbatas.⁵ Dalam arti ini, teori multiverse berfungsi bukan
hanya sebagai hipotesis ilmiah, tetapi juga sebagai refleksi moral yang
menumbuhkan sikap etis terhadap keterbatasan manusia.
5.2.
Kebebasan, Determinisme, dan Tanggung Jawab
Moral
Salah satu implikasi
etis paling kontroversial dari teori multiverse adalah problem tanggung jawab
moral. Jika semua kemungkinan hasil dari suatu tindakan benar-benar terjadi di
dunia paralel yang berbeda—sebagaimana diasumsikan dalam interpretasi many-worlds—maka
setiap pilihan baik dan buruk pada dasarnya terealisasi di suatu versi alam
semesta.⁶ Dalam situasi ini, apakah individu masih dapat dikatakan bebas secara
moral?
Derek Parfit
menunjukkan bahwa identitas personal tidak bersifat numerik tunggal, melainkan
relasional dan berkelanjutan.⁷ Dalam konteks multiverse, gagasan ini berarti
bahwa tanggung jawab moral tetap eksis dalam konteks lokal dari setiap dunia,
karena setiap versi individu memiliki kesadaran dan niatnya sendiri.⁸ Dengan
demikian, multiverse tidak meniadakan etika, melainkan mendistribusikan
tanggung jawab moral ke dalam banyak konteks eksistensial.
Namun, hal ini juga
menimbulkan dilema: jika di dunia lain seseorang melakukan kejahatan yang tidak
ia lakukan di dunia ini, apakah ia turut bertanggung jawab? Secara aksiologis,
dilema ini menyingkap batas antara moralitas universal dan partikular. Nilai moral
tetap bermakna sejauh kesadaran moral terikat pada dunia yang aktual bagi
subjek.⁹ Maka, multiverse menegaskan bahwa moralitas bersifat situasional—berakar
pada pengalaman konkret, bukan pada totalitas metafisik yang tak terjangkau.
5.3.
Implikasi Teologis dan Etika Religius
Dari perspektif
teologis, pluralitas dunia menimbulkan pertanyaan tentang keesaan ciptaan dan
maksud Ilahi. Jika Tuhan menciptakan banyak dunia, apakah hal itu mengurangi
keunikan penciptaan kita, atau justru memperluas kemahakuasaan-Nya?¹⁰ Dalam
tradisi teologi Islam dan Kristen, gagasan tentang banyak dunia bukanlah hal
asing. Al-Qur’an menyebut Tuhan sebagai Rabb al-‘ālamīn—“Tuhan semesta
alam,” yang secara gramatikal mengindikasikan pluralitas alam (‘ālam).¹¹
Demikian pula, beberapa teolog Kristen modern seperti William Lane Craig
menafsirkan multiverse sebagai ekspresi dari kebijaksanaan Tuhan yang mencipta
dalam keragaman kemungkinan.¹²
Dari sudut etika
religius, gagasan multiverse mengundang reinterpretasi nilai teologis tentang keunikan
manusia. Jika terdapat banyak versi diri manusia di dunia lain, maka makna
keselamatan, dosa, dan kebebasan harus dipahami bukan secara numerik, melainkan
eksistensial: keselamatan adalah hubungan sadar dengan kebaikan di dunia aktual
masing-masing, bukan status metafisik di seluruh realitas.¹³ Dengan demikian,
teori multiverse tidak meniadakan etika religius, tetapi menuntut penafsiran
ulang terhadap konsep keunikan dan tanggung jawab personal di hadapan Tuhan.
5.4.
Nilai Eksistensial: Makna Hidup di Alam Jamak
Persoalan nilai
eksistensial dalam multiverse sangat erat dengan makna hidup. Jika semua
kemungkinan eksis, apakah makna masih memiliki relevansi? Albert Camus pernah
berpendapat bahwa absurditas hidup manusia muncul dari kesenjangan antara
pencarian makna dan ketidakpedulian alam semesta.¹⁴ Multiverse memperluas
absurditas ini secara kosmik: dalam lautan kemungkinan tak terbatas, makna
tampak larut dalam probabilitas. Namun justru di sinilah nilai eksistensialnya
muncul—bahwa kesadaran manusia yang mampu mengakui pluralitas realitas tetap
mencari makna secara sadar dan terbatas.¹⁵
Filsuf kontemporer
seperti Sean Carroll menekankan bahwa pencarian makna tidak bergantung pada
jumlah dunia yang ada, melainkan pada kedalaman hubungan dan tindakan dalam
dunia aktual kita.¹⁶ Dengan demikian, nilai eksistensial dalam kerangka
multiverse bukanlah kepastian metafisik, melainkan komitmen personal terhadap
makna di tengah kemungkinan yang tak terhingga. Kesadaran akan pluralitas dunia
bukanlah nihilisme, melainkan undangan untuk hidup lebih reflektif dan
bertanggung jawab terhadap realitas yang dihayati.
5.5.
Etika Kosmik dan Nilai Keterbukaan
Aksiologi multiverse
akhirnya mengarah pada gagasan tentang etika kosmik—yakni kesadaran moral
yang melampaui batas planet, spesies, bahkan semesta.¹⁷ Jika realitas terdiri
dari tak terhitung struktur eksistensi, maka nilai tertinggi bukan lagi
dominasi atau keseragaman, melainkan keterbukaan terhadap keberagaman
ontologis. Dalam pandangan ini, multiverse bukan ancaman bagi nilai, melainkan
pengingat akan nilai tertinggi dalam filsafat: keterbatasan dan keterbukaan (finitude
and openness).
Nilai keterbukaan
ini selaras dengan etos humanistik universal: pengakuan bahwa setiap bentuk
eksistensi—di dunia ini atau dunia lain—memiliki martabat yang layak dihormati
sejauh ia merupakan manifestasi dari rasionalitas dan kesadaran.¹⁸ Dengan
demikian, teori multiverse mengandung potensi etika baru: bukan sekadar etika
tindakan di dunia tunggal, tetapi etika pengakuan terhadap pluralitas realitas.
Footnotes
[1]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 117–121.
[2]
George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific
American 305, no. 2 (2011): 40–45.
[3]
Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 65–69.
[4]
Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 73–77.
[5]
Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep
Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 295–299.
[6]
Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews
of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.
[7]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press,
1984), 212–214.
[8]
Simon Saunders et al., Many Worlds? Everett, Quantum Theory, and
Reality (Oxford: Oxford University Press, 2010), 183–187.
[9]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 152–155.
[10]
Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld,
1996), 88–92.
[11]
Al-Qur’an, Surah Al-Fatihah [1]: 2.
[12]
William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the
Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed.
Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.
[13]
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids:
Eerdmans, 1974), 28–30.
[14]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New
York: Vintage International, 1991), 10–12.
[15]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 628–630.
[16]
Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and
the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 300–304.
[17]
Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey
(Philadelphia: Temple University Press, 1987), 213–217.
[18]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 36–39.
6.
Dimensi
Ilmiah dan Interdisipliner
Kajian mengenai
multiverse menempati posisi unik di antara sains teoretis dan filsafat
metafisis. Ia tidak hanya berakar pada temuan-temuan kosmologi modern, tetapi
juga membuka ruang dialog dengan matematika, logika, filsafat ilmu, bahkan ilmu
komputer dan teologi. Dalam pengertian ini, teori multiverse bersifat interdisciplinary
nexus—titik temu berbagai disiplin yang sama-sama berupaya memahami
struktur terdalam dari realitas.¹ Untuk menelaahnya secara utuh, diperlukan
pendekatan yang tidak hanya empiris, tetapi juga reflektif, konseptual, dan
integratif.
6.1.
Dimensi Kosmologis dan Fisika Teoretis
Dalam ranah ilmiah,
teori multiverse berakar kuat pada dua tonggak utama: kosmologi inflasi dan
mekanika kuantum. Teori eternal inflation yang diajukan
oleh Alan Guth dan dikembangkan oleh Andrei Linde menyatakan bahwa proses
inflasi kosmik—yakni ekspansi eksponensial ruang pada masa awal alam
semesta—tidak berhenti secara serentak di seluruh ruang.² Beberapa bagian ruang
terus mengalami inflasi, menciptakan “gelembung-gelembung alam semesta”
(bubble
universes) yang masing-masing mungkin memiliki hukum fisika, konstanta,
dan dimensi ruang-waktu berbeda.³
Pada sisi lain,
interpretasi many-worlds dalam mekanika kuantum,
sebagaimana dirumuskan Hugh Everett (1957), menyatakan bahwa setiap kali suatu
sistem kuantum mengalami pengukuran, seluruh kemungkinan hasilnya benar-benar
terealisasi di dunia paralel yang berbeda.⁴ Dalam kerangka ini, multiverse
bukan hanya konsekuensi kosmologis, tetapi juga logis dari struktur teori
kuantum itu sendiri. Sean Carroll menegaskan bahwa, secara matematis,
interpretasi ini tidak menambahkan entitas baru ke dalam fisika; ia hanya
menafsirkan persamaan Schrödinger secara realistis dan non-kolaps.⁵
Gabungan kedua teori
tersebut melahirkan pemahaman baru tentang realitas sebagai jaringan
probabilitas kosmik yang terus bercabang. Bagi fisika teoretis, multiverse
bukanlah penolakan terhadap kausalitas, melainkan perluasan domain hukum-hukum
alam ke wilayah yang melampaui observasi langsung.⁶
6.2.
Dimensi Filsafat Ilmu: Status Epistemik dan
Kriteria Ilmiah
Pertanyaan mengenai
status ilmiah teori multiverse masih menjadi perdebatan intens. Karl Popper
menilai bahwa teori yang tidak dapat difalsifikasi secara empiris tidak dapat
disebut ilmiah.⁷ Namun, banyak kosmolog modern berpendapat bahwa
falsifiabilitas bukan satu-satunya kriteria legitimasi ilmiah. Richard Dawid,
misalnya, melalui konsep non-empirical theory confirmation,
mengusulkan bahwa teori yang memiliki kekuatan eksplanatori tinggi, koheren
dengan teori-teori mapan, dan tidak memiliki alternatif yang lebih baik, dapat
dianggap confirmed
meski tanpa bukti empiris langsung.⁸
Filsafat ilmu dalam
konteks ini memandang teori multiverse sebagai borderline science—sains di batas
antara empirisme dan metafisika.⁹ Ia mengandung nilai epistemik tersendiri:
menguji kapasitas sains untuk berpikir tentang yang tidak teramati. Bagi Thomas
Kuhn, kemunculan teori seperti multiverse menandai pergeseran paradigma—dari
empirisisme klasik menuju sains spekulatif yang tetap rasional.¹⁰ Dengan
demikian, multiverse menjadi medan ujian bagi filsafat ilmu untuk menilai ulang
konsep verifikasi, justifikasi, dan rasionalitas ilmiah.
6.3.
Dimensi Matematis dan Logika Modal
Multiverse tidak
dapat dilepaskan dari bahasa matematika. Dalam kerangka Max Tegmark, realitas
itu sendiri adalah struktur matematis; segala sesuatu yang konsisten secara
logis dan matematis memiliki eksistensi ontologis.¹¹ Pandangan ini dikenal
sebagai Mathematical
Universe Hypothesis (MUH). Jika benar, maka keberadaan multiverse
adalah konsekuensi niscaya dari prinsip logika matematis: semua bentuk struktur
yang mungkin secara formal eksis dalam tatanan realitas.¹²
Dari perspektif
logika modal, gagasan ini selaras dengan possible worlds semantics yang
dikembangkan oleh Saul Kripke dan David Lewis.¹³ Logika modal menyatakan bahwa
setiap proposisi “mungkin benar” direpresentasikan oleh dunia yang
membuat proposisi tersebut aktual.¹⁴ Maka, ketika kosmologi berbicara tentang “gelembung
alam semesta,” filsafat logika menanggapinya sebagai “realitas modal”—struktur
semesta yang merealisasikan kemungkinan berbeda dalam ruang logis.¹⁵ Dengan
demikian, matematika dan logika menjadi bukan sekadar alat deskriptif,
melainkan modus
cognoscendi—cara mengetahui yang menyingkap aspek terdalam
eksistensi.
6.4.
Dimensi Teknologi dan Ilmu Komputer
Perkembangan
teknologi komputasi dan kecerdasan buatan (AI) memberikan lapisan baru bagi
diskursus multiverse. Dunia digital, terutama dalam simulasi fisika dan
realitas virtual, menghadirkan analogi epistemik tentang bagaimana dunia jamak
dapat diwujudkan melalui sistem informasi yang berbeda tetapi konsisten secara
internal.¹⁶ Nick Bostrom melalui Simulation Argument bahkan
mengajukan hipotesis bahwa realitas kita sendiri mungkin merupakan simulasi
komputer yang dijalankan oleh peradaban maju di dunia lain.¹⁷
Dalam konteks ini,
multiverse bukan hanya persoalan kosmologis, melainkan juga informasi: setiap “dunia”
adalah konfigurasi berbeda dari bit-bit realitas.¹⁸ Interdisiplineritas antara
fisika dan ilmu komputer melahirkan cabang baru seperti quantum
computing dan digital physics yang melihat alam
semesta sebagai sistem pemrosesan informasi raksasa.¹⁹ Dengan demikian,
diskursus multiverse juga menyinggung batas antara ontologi dan
teknologi—antara realitas sebagai keberadaan dan realitas sebagai simulasi.
6.5.
Dimensi Teologis dan Humaniora
Selain dimensi
ilmiah, teori multiverse beresonansi kuat dengan refleksi teologis dan
humaniora. Dalam teologi natural, pluralitas dunia sering ditafsirkan sebagai
ekspresi kebijaksanaan Ilahi yang tak terbatas.²⁰ Sementara itu, dalam
humaniora, multiverse menjadi simbol metaforis tentang pluralitas makna dan
realitas sosial manusia. Literatur, film, dan seni kontemporer (misalnya Everything
Everywhere All at Once atau Doctor Strange in the Multiverse of Madness)
menggunakan konsep ini untuk mengeksplorasi identitas, kebebasan, dan
kemungkinan eksistensial.²¹
Dengan demikian,
teori multiverse berfungsi ganda: secara ilmiah ia menguji batas empirisme,
secara kultural ia memperluas imajinasi manusia tentang realitas.²² Melalui
pendekatan interdisipliner—kosmologi, filsafat, matematika, teknologi, dan
humaniora—konsep multiverse memperlihatkan bahwa pemahaman manusia terhadap
alam semesta bukan hanya soal data, tetapi juga soal makna.²³
Sintesis Ilmiah-Filosofis
Interdisiplineritas
multiverse menunjukkan bahwa pengetahuan modern tidak dapat lagi dipisahkan
secara kaku antara sains dan filsafat.²⁴ Dalam tradisi Aristotelian, sains
berupaya menjelaskan bagaimana sesuatu bekerja,
sementara filsafat menanyakan mengapa ia ada. Teori multiverse
menggabungkan keduanya: ia menuntut penjelasan mekanistik sekaligus refleksi
metafisik.²⁵ Oleh karena itu, dialog antara fisikawan, matematikawan, dan
filsuf bukanlah sekadar pelengkap, melainkan syarat bagi pemahaman komprehensif
terhadap realitas jamak.
Sebagaimana
disimpulkan George Ellis, multiverse tidak boleh dilihat hanya sebagai
spekulasi ilmiah, tetapi sebagai conceptual experiment yang menguji
batas rasionalitas manusia dalam memahami eksistensi.²⁶ Ia memperlihatkan bahwa
nilai tertinggi dari ilmu pengetahuan bukanlah kepastian, melainkan keterbukaan
terhadap kompleksitas dan kemungkinan.²⁷
Footnotes
[1]
Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and
the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 189–192.
[2]
Alan H. Guth, “Inflationary Universe: A Possible Solution to the
Horizon and Flatness Problems,” Physical Review D 23, no. 2 (1981):
347–356.
[3]
Andrei Linde, “Eternal Chaotic Inflation,” Modern Physics Letters A
1, no. 2 (1986): 81–86.
[4]
Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews
of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.
[5]
Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the
Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 72–78.
[6]
Leonard Susskind, The Cosmic Landscape: String Theory and the
Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 191–194.
[7]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 36–39.
[8]
Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 55–60.
[9]
George F. R. Ellis, “Issues in the Philosophy of Cosmology,” in Philosophy
of Physics, ed. Jeremy Butterfield and John Earman (Amsterdam:
North-Holland, 2007), 1200–1205.
[10]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 151–153.
[11]
Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate
Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 29–33.
[12]
Tegmark, Our Mathematical Universe, 35–37.
[13]
Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 17–22.
[14]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 84–87.
[15]
Timothy Williamson, Modal Logic as Metaphysics (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 63–66.
[16]
Edward Fredkin, “Digital Philosophy: An Introduction,” International
Journal of Theoretical Physics 42, no. 2 (2003): 189–204.
[17]
Nick Bostrom, “Are You Living in a Computer Simulation?,” Philosophical
Quarterly 53, no. 211 (2003): 243–255.
[18]
Seth Lloyd, Programming the Universe: A Quantum Computer Scientist
Takes on the Cosmos (New York: Vintage, 2007), 115–118.
[19]
Vlatko Vedral, Decoding Reality: The Universe as Quantum
Information (Oxford: Oxford University Press, 2010), 97–100.
[20]
Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld,
1996), 85–90.
[21]
Klaas Kraay, ed., God and the Multiverse: Scientific,
Philosophical, and Theological Perspectives (London: Routledge, 2014),
19–23.
[22]
Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep
Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 305–308.
[23]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational
World (New York: Simon & Schuster, 1992), 214–218.
[24]
Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford: Clarendon
Press, 1989), 237–240.
[25]
Tim Maudlin, Philosophy of Physics: Space and Time (Princeton:
Princeton University Press, 2012), 90–93.
[26]
George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific
American 305, no. 2 (2011): 40–45.
[27]
Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected
(Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.
7.
Dimensi
Metafisika dan Teologis
Teori multiverse,
meskipun berakar pada fisika teoretis dan kosmologi, membawa konsekuensi yang
jauh melampaui ranah empiris. Ia mengguncang fondasi metafisika klasik tentang
keesaan realitas, kesatuan ciptaan, dan keteraturan kausal dunia. Dengan
mengandaikan eksistensi tak terhitung banyaknya dunia paralel yang
masing-masing memiliki hukum dan sejarahnya sendiri, multiverse memunculkan
pertanyaan mendasar: apakah realitas bersifat tunggal dan hierarkis, ataukah
jamak dan non-sentral? Pertanyaan ini, secara filosofis, beririsan dengan
tradisi metafisika sejak Aristoteles hingga teologi kontemporer, yang berupaya
memahami hubungan antara being, necessity, dan divine
order.¹
7.1.
Metafisika Klasik dan Kritik atas Realitas
Tunggal
Dalam metafisika
klasik, realitas dipahami sebagai kesatuan hierarkis yang ditopang oleh prinsip
kesatuan (principium
unitatis). Aristoteles menegaskan bahwa “ada” (being)
dikatakan dalam satu makna fundamental, yaitu aktualitas dari potensi yang
teratur menuju tujuan tunggal.² Pandangan ini diperluas oleh Thomas Aquinas,
yang melihat realitas sebagai emanasi dari actus purus—Tuhan sebagai
keberadaan murni tanpa potensi.³ Dalam kerangka ini, hanya satu dunia aktual
yang mungkin, karena segala kemungkinan lain sudah termaktub dalam pengetahuan
Ilahi namun tidak diwujudkan secara aktual.⁴
Teori multiverse
menggugat paradigma tersebut dengan menempatkan aktualitas sebagai pluralitas.
Jika setiap konfigurasi fisika atau logika dapat menghasilkan alam semesta yang
berbeda, maka aktualitas tidak lagi tunggal melainkan majemuk.⁵ Dengan
demikian, prinsip metafisis “ada hanya satu dunia aktual” (the actual
world) digantikan oleh pluralitas aktualitas (many actual worlds).⁶
Pergeseran ini mengubah metafisika dari sistem kesatuan menuju sistem
kemungkinan yang terbuka, di mana struktur realitas lebih menyerupai jaringan
daripada hierarki.
7.2.
Ontoteologi dan Krisis Kesatuan Realitas
Martin Heidegger
dalam Sein und
Zeit mengkritik apa yang ia sebut sebagai onto-theology—yakni
kecenderungan filsafat Barat untuk memahami keberadaan dengan mengaitkannya
pada “makhluk tertinggi” (Tuhan) yang berfungsi sebagai dasar ontologis
dari segala yang ada.⁷ Dalam konteks multiverse, kritik Heidegger memperoleh
relevansi baru: jika realitas terdiri dari banyak dunia dengan hukum dan
kondisi yang berbeda, maka konsep “dasar tunggal” bagi seluruh
keberadaan menjadi problematis.⁸
Alih-alih satu
fondasi metafisis, multiverse menyuguhkan model realitas yang “tanpa pusat”
(acentric
ontology).⁹ Dalam kerangka ini, Tuhan—jika masih hendak dipahami
secara metafisis—tidak lagi sekadar “penyebab pertama,” tetapi mungkin
merupakan horizon transendental yang memungkinkan keberadaan seluruh
kemungkinan dunia.¹⁰ Dengan demikian, multiverse menggeser teologi dari
paradigma kausal menuju paradigma kemungkinan: Tuhan bukan sebab linear,
melainkan dasar kemungkinan eksistensi itu sendiri (ground of possibility).¹¹
7.3.
Kosmoteologi: Tuhan dan Pluralitas Ciptaan
Dalam teologi
klasik, ide tentang banyak dunia sebenarnya pernah dibahas secara implisit.
Abad pertengahan mengenal perdebatan antara para skolastik tentang apakah
Tuhan, dengan kemahakuasaan-Nya, dapat menciptakan lebih dari satu dunia.¹²
Thomas Aquinas berpendapat bahwa Tuhan dapat menciptakan banyak dunia,
tetapi memilih
menciptakan satu saja demi keteraturan ciptaan.¹³ Sebaliknya, filsuf Islam
seperti Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210) dalam tafsirnya terhadap QS. al-Fatihah
[1]:2 (“Tuhan semesta alam”) menafsirkan bahwa “alam” di sini tidak
tunggal, melainkan plural dan mungkin tak terbatas jumlahnya.¹⁴ Pandangan ini
menunjukkan bahwa teologi Islam klasik justru membuka ruang bagi pluralitas
ciptaan tanpa meniadakan keesaan Tuhan.
Teologi kontemporer
mencoba memadukan pandangan ini dengan sains kosmologis. William Lane Craig
menegaskan bahwa jika multiverse benar-benar ada, maka ia tidak meniadakan
Tuhan, melainkan memperluas cakupan ciptaan Ilahi.¹⁵ Tuhan tidak menciptakan
satu dunia terbaik (seperti dalam teodisi Leibniz), melainkan keseluruhan ruang
kemungkinan yang memanifestasikan kebijaksanaan-Nya secara penuh.¹⁶ Dalam
kerangka ini, multiverse menjadi theology of abundance—teologi
kelimpahan yang menegaskan kesempurnaan Tuhan melalui pluralitas ciptaan.¹⁷
7.4.
Masalah Kejahatan dan Teodisi Multiverse
Salah satu problem
metafisika klasik adalah theodicy—bagaimana menjelaskan
keberadaan kejahatan dalam dunia ciptaan yang diatur oleh Tuhan Mahabaik. Teori
multiverse menawarkan perspektif baru atas problem ini. Jika terdapat banyak
dunia dengan kombinasi hukum dan kondisi moral yang berbeda, maka dunia kita
mungkin hanyalah salah satu dari berbagai kemungkinan di mana kejahatan menjadi
bagian dari struktur kebebasan moral.¹⁸ Dalam pengertian ini, multiverse
memungkinkan penjelasan bahwa Tuhan mengizinkan eksistensi berbagai dunia agar
semua kemungkinan kebaikan dan keburukan dapat termanifestasi tanpa membatasi
kebebasan makhluk.¹⁹
Namun, pendekatan
ini mengandung risiko etis dan teologis. Alvin Plantinga menegaskan bahwa
kebebasan moral hanya bermakna jika setiap agen benar-benar memilih dalam satu
dunia aktual, bukan di antara kemungkinan tak terbatas.²⁰ Dengan demikian,
meskipun multiverse dapat memperluas horizon teodisi, ia tidak serta-merta
menyelesaikan problem moral teologi, melainkan menempatkannya pada tingkat yang
lebih kompleks—yakni pada relasi antara kebebasan, kontingensi, dan keadilan
kosmik.²¹
7.5.
Relasi Antara Tuhan dan Realitas Matematis
Salah satu
pertanyaan metafisik yang muncul dari Mathematical Universe Hypothesis
(MUH) Max Tegmark ialah apakah Tuhan diperlukan jika semua struktur matematis
yang konsisten sudah “ada” secara ontologis.²² Jika eksistensi bergantung pada
konsistensi logis, maka keberadaan tidak lagi membutuhkan penyebab
transendental. Tegmark dengan demikian secara implisit mengadopsi bentuk baru
dari panteisme matematis: realitas identik dengan keseluruhan struktur
logika.²³
Namun, dari
perspektif teologi filosofis, pandangan ini tidak harus meniadakan Tuhan. Keith
Ward menafsirkan bahwa keteraturan matematis justru menandakan rasionalitas
Ilahi yang imanen dalam ciptaan.²⁴ Dengan kata lain, Tuhan bukan entitas
terpisah dari hukum-hukum matematika, melainkan sumber rasionalitas yang
membuat hukum itu mungkin.²⁵ Maka, hubungan antara metafisika matematis dan teologi
bukanlah antagonisme, melainkan dialog antara dua bentuk rasionalitas:
rasionalitas formal dan rasionalitas transendental.
7.6.
Implikasi Eksistensial dan Spiritualitas Kosmik
Teori multiverse,
dengan segala implikasinya yang luas, memiliki dimensi spiritual yang mendalam.
Ia mengundang manusia untuk meninjau kembali posisinya dalam struktur kosmik
yang tak terbatas. Sebagaimana dinyatakan Paul Davies, multiverse dapat
menumbuhkan spiritual awe—rasa takjub yang
bukan berasal dari dogma, tetapi dari kesadaran akan kebesaran realitas.²⁶
Kesadaran kosmik ini bukan nihilisme, melainkan bentuk baru dari spiritualitas
yang menempatkan manusia sebagai bagian dari tatanan eksistensi yang luas,
dinamis, dan misterius.²⁷
Dari perspektif
metafisis, kesadaran akan pluralitas realitas tidak meniadakan makna
eksistensial, tetapi menegaskan bahwa makna bersifat relasional dan terbuka.
Tuhan—atau Being
itself, dalam istilah Paul Tillich—tidak hadir sebagai penguasa
dunia tunggal, melainkan sebagai dasar keberadaan yang memungkinkan pluralitas
semesta.²⁸ Dengan demikian, multiverse dapat dibaca sebagai simbol metaforis
dari misteri keberadaan Ilahi yang melampaui batas-batas empiris dan konseptual
manusia.²⁹
Footnotes
[1]
Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep
Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 287–290.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge:
Harvard University Press, 1933), 1045a–1048b.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.3, Art.4.
[4]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 112–116.
[5]
Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate
Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 28–30.
[6]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 84–87.
[7]
Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Niemeyer, 1927),
25–27.
[8]
Jean-Luc Marion, God Without Being, trans. Thomas A. Carlson
(Chicago: University of Chicago Press, 1991), 47–50.
[9]
Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of
Contingency (London: Continuum, 2008), 38–42.
[10]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I (Chicago: University
of Chicago Press, 1951), 235–238.
[11]
William Desmond, Being and the Between (Albany: SUNY Press,
1995), 211–215.
[12]
Etienne Tempier, Condemnations of 1277, in The Cambridge
History of Later Medieval Philosophy, ed. Norman Kretzmann et al.
(Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 45–48.
[13]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, Book II, Ch. 45.
[14]
Fakhr al-Din al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb (Beirut: Dār al-Fikr,
1981), 1:123–124.
[15]
William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the
Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed.
Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.
[16]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy, trans. E. M. Huggard
(London: Routledge, 1951), 138–141.
[17]
Klaas Kraay, “The Theistic Multiverse: Problems and Prospects,” Faith
and Philosophy 27, no. 1 (2010): 44–51.
[18]
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with
the World (Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 93–96.
[19]
Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld,
1996), 93–95.
[20]
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids:
Eerdmans, 1974), 28–31.
[21]
Marilyn McCord Adams, Horrendous Evils and the Goodness of God
(Ithaca: Cornell University Press, 1999), 155–158.
[22]
Max Tegmark, Our Mathematical Universe, 45–49.
[23]
Tegmark, Our Mathematical Universe, 75–79.
[24]
Keith Ward, The Evidence for God: The Case for the Existence of the
Spiritual Dimension (London: DLT, 2014), 112–115.
[25]
John Polkinghorne, Science and Creation: The Search for
Understanding (London: SPCK, 1988), 87–90.
[26]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational
World (New York: Simon & Schuster, 1992), 205–208.
[27]
Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and
the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 210–214.
[28]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 175–178.
[29]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 51–55.
8.
Kritik
dan Klarifikasi Filosofis
Teori multiverse,
walaupun memikat secara intelektual dan imajinatif, tidak luput dari kritik
yang tajam baik dari sisi epistemologis, ontologis, maupun metodologis. Banyak
filsuf dan ilmuwan menilai bahwa multiverse, meski mengandung daya eksplanatori
yang luas, berpotensi melampaui batas rasionalitas ilmiah dan terjebak dalam
spekulasi metafisik tanpa dasar empiris yang memadai.¹ Oleh karena itu, kajian
filosofis terhadap multiverse menuntut dua langkah kritis yang saling
melengkapi: pertama, kritik rasional terhadap
klaim-klaim ilmiahnya; kedua, klarifikasi konseptual untuk
memisahkan antara metafora, model, dan realitas ontologis.
8.1.
Kritik Epistemologis: Antara Falsifiabilitas
dan Spekulasi
Kritik paling
mendasar terhadap teori multiverse datang dari perspektif epistemologi sains,
terutama yang berlandaskan prinsip falsifiabilitas Karl Popper. Popper
berpendapat bahwa agar suatu teori layak disebut ilmiah, ia harus dapat diuji
dan berpotensi dibantah oleh pengalaman empiris.² Dalam konteks ini, multiverse
tampak bermasalah: dunia-dunia paralel yang dipostulatkannya, sejauh ini, tidak
dapat diobservasi langsung maupun tidak langsung.³ Dengan demikian, teori ini
tampak menempati wilayah abu-abu antara sains dan metafisika.
George Ellis
menguatkan kritik ini dengan menyatakan bahwa multiverse bukanlah teori ilmiah,
melainkan philosophical
speculation in scientific disguise.⁴ Sementara itu, Lee Smolin
menegaskan bahwa jika setiap fenomena dapat dijelaskan dengan mengandaikan
keberadaan alam semesta lain, maka teori tersebut kehilangan kekuatan
prediktifnya.⁵ Dalam artian ini, multiverse berisiko menjadi “hipotesis
pelarian” (escape
hypothesis)—suatu jalan keluar yang memindahkan problem ke dimensi
yang tak teruji, bukan menyelesaikannya.⁶
Namun, pembela teori
multiverse menanggapi bahwa batas antara sains dan metafisika tidak bersifat
absolut. Richard Dawid menyebut pendekatan multiverse sebagai bentuk non-empirical
theory confirmation, yakni pengesahan teoritis yang didasarkan pada
konsistensi internal, kesesuaian dengan teori yang sudah terverifikasi, dan
ketiadaan alternatif yang lebih baik.⁷ Dengan demikian, validitasnya bukan
bersifat observasional, melainkan rasional-struktural.
8.2.
Kritik Ontologis: Status Realitas dan
Pluralitas yang Tak Terbatas
Dari sisi ontologis,
teori multiverse menghadirkan persoalan tentang overpopulation of reality—yakni
gagasan bahwa terlalu banyak entitas “real” diandaikan tanpa pembenaran
metafisik yang jelas.⁸ David Lewis memang mengajukan modal
realism, di mana semua dunia mungkin eksis setara dengan dunia
aktual.⁹ Namun, banyak filsuf menolak implikasi ontologisnya, sebab hal itu
berarti realitas menjadi inflasi tak terbatas tanpa kriteria eksistensi yang
dapat diverifikasi.¹⁰
Bas van Fraassen,
melalui constructive
empiricism, berargumen bahwa teori ilmiah tidak harus dianggap
benar secara literal, melainkan cukup jika ia “memadai secara empiris.”¹¹
Dalam kerangka ini, multiverse sebaiknya dipahami sebagai model konseptual,
bukan sebagai klaim ontologis tentang keberadaan dunia-dunia nyata.¹² Penegasan
ini penting agar teori tersebut tidak terjerumus menjadi metafisika spekulatif
yang kehilangan pijakan pada pengalaman ilmiah.
Selain itu, kritik
lain datang dari pendekatan fenomenologis. Edmund Husserl menekankan bahwa
seluruh pengetahuan tentang realitas berakar pada pengalaman kesadaran yang intentional.¹³
Karena dunia paralel tidak dapat dialami secara fenomenologis, klaim tentang keberadaannya
kehilangan makna dalam horizon kesadaran manusia. Maurice Merleau-Ponty
menambahkan bahwa “dunia” bukan entitas objektif, melainkan struktur
makna yang dihayati oleh subjek tubuh.¹⁴ Maka, multiverse, dalam pengertian
fenomenologis, bukanlah realitas eksistensial, melainkan konstruksi konseptual
yang beroperasi di tingkat abstraksi murni.
8.3.
Kritik Metodologis: Batas antara Model dan
Realitas
Masalah metodologis
multiverse terkait dengan relasi antara mathematical model dan realitas
ontologis. Sebagian fisikawan, terutama yang mengikuti pandangan Tegmark,
menyamakan struktur matematis dengan keberadaan itu sendiri—sebuah posisi yang
disebut mathematical
monism.¹⁵ Namun, pandangan ini menuai keberatan dari filsuf sains
seperti Nancy Cartwright, yang menegaskan bahwa “hukum-hukum fisika tidak
selalu benar di dunia nyata, melainkan bekerja dalam dunia model ideal.”¹⁶
Dengan demikian, kesetaraan antara model matematis dan realitas merupakan
kekeliruan kategoris.¹⁷
Kritik metodologis
ini juga terkait dengan masalah representasi: apakah teori multiverse
menggambarkan realitas atau hanya menyediakan kerangka formal untuk berpikir
tentang kemungkinan? Ian Hacking menyebut fenomena ini sebagai entity
realism paradox—yakni bahwa keberadaan entitas ilmiah sering kali “dihidupkan”
oleh praktik ilmiah, bukan oleh bukti langsung.¹⁸ Dalam konteks multiverse, ini
berarti bahwa “dunia jamak” lebih merupakan produk inferensi ketimbang
hasil observasi.
8.4.
Klarifikasi Konseptual: Multiverse sebagai
Model Filosofis
Kritik terhadap
multiverse tidak selalu bermakna penolakan; sebaliknya, ia membuka peluang
untuk klarifikasi filosofis yang lebih mendalam. Multiverse dapat dipahami
bukan sebagai klaim literal tentang banyaknya dunia fisik, tetapi sebagai model heuristik
untuk memahami kompleksitas realitas.¹⁹ Dalam hal ini, ia berfungsi seperti
konsep “dunia mungkin” dalam logika modal—sebagai alat konseptual untuk
memetakan ruang kemungkinan, bukan deskripsi empiris tentang “tempat-tempat”
aktual.²⁰
Sebagai model
filosofis, multiverse menegaskan keterbatasan pengetahuan manusia dan
memperlihatkan bahwa realitas tidak harus bersifat tertutup.²¹ Ia menantang
paradigma empirisisme sempit, namun tetap dapat dipertahankan sebagai ekspresi
dari rasionalitas spekulatif yang terarah. Dengan demikian, multiverse tidak
harus diterima sebagai fakta ontologis, tetapi dapat diakui sebagai struktur
kognitif yang memperluas horizon berpikir manusia tentang “ada” dan “kemungkinan.”²²
8.5.
Kritik Nilai dan Etika Pengetahuan
Selain kritik ilmiah
dan metafisik, teori multiverse juga menimbulkan refleksi aksiologis. Apakah
pengejaran pengetahuan tentang dunia-dunia yang tidak dapat diobservasi
merupakan bentuk kemajuan intelektual atau justru kesombongan epistemik?²³
Marcelo Gleiser memperingatkan bahwa sebagian spekulasi kosmologis mencerminkan
hubris
sains—keyakinan berlebihan bahwa rasio manusia mampu menembus
seluruh misteri kosmos.²⁴ Dalam pandangan ini, kritik terhadap multiverse juga
berfungsi sebagai kritik terhadap paradigma ilmiah yang mengabaikan dimensi
eksistensial dan keterbatasan manusia.
Filsafat, dengan
demikian, berperan menjaga keseimbangan antara keingintahuan dan kesadaran
etis. Sebagaimana ditegaskan Hans Jonas, tanggung jawab epistemik (epistemic
responsibility) harus selalu mengiringi eksplorasi ilmiah, sebab
pengetahuan tanpa kesadaran etis berisiko mengasingkan manusia dari dunia yang
dihayatinya.²⁵ Dalam konteks ini, kritik filosofis terhadap multiverse bukanlah
anti-sains, melainkan upaya mengembalikan pengetahuan kepada orientasi
humanistiknya.
8.6.
Penegasan Klarifikasi Filosofis
Melalui dialektika
antara kritik dan klarifikasi, dapat disimpulkan bahwa teori multiverse
menempati posisi ambivalen: ia bukan sekadar spekulasi, tetapi juga belum
menjadi pengetahuan empiris.²⁶ Nilainya terletak bukan pada kebenaran
literalnya, melainkan pada kemampuannya memperluas horizon refleksi filosofis
tentang realitas, kemungkinan, dan keterbatasan manusia.²⁷ Dalam arti ini,
multiverse dapat dipandang sebagai bentuk metafisika eksperimental—yakni
laboratorium konseptual di mana sains dan filsafat berkolaborasi untuk menguji
batas pengetahuan.²⁸
Maka, klarifikasi
filosofis yang paling tepat terhadap multiverse bukanlah “apakah ia
benar-benar ada?”, melainkan “apa artinya bagi cara manusia memahami
eksistensi?”. Pertanyaan ini menempatkan multiverse bukan di ranah bukti,
tetapi di ranah makna—di mana sains, metafisika, dan etika bertemu untuk
menegaskan kembali fungsi filsafat sebagai penuntun rasionalitas yang
reflektif, terbuka, dan sadar batas.²⁹
Footnotes
[1]
George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific
American 305, no. 2 (2011): 38–43.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 36–40.
[3]
Sabine Hossenfelder, “Multiverses and the Philosophy of Science,” Foundations
of Physics 48, no. 9 (2018): 1291–1303.
[4]
Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” 41.
[5]
Lee Smolin, The Trouble with Physics (Boston: Houghton
Mifflin, 2006), 181–185.
[6]
Smolin, The Trouble with Physics, 187.
[7]
Richard Dawid, “Theoretical Confirmation beyond Empiricism,” Philosophy
of Science 81, no. 5 (2014): 1071–1083.
[8]
Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and
the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 250–253.
[9]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 1–5.
[10]
Barry Dainton, Time and Space (Durham: Acumen, 2010), 315–318.
[11]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 12–15.
[12]
van Fraassen, The Scientific Image, 137–140.
[13]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 49–52.
[14]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 310–314.
[15]
Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate
Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 29–33.
[16]
Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford:
Clarendon Press, 1983), 45–49.
[17]
Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 221–224.
[18]
Hacking, Representing and Intervening, 232–236.
[19]
James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics
Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 133–137.
[20]
Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1980), 18–21.
[21]
Tim Maudlin, Philosophy of Physics: Space and Time (Princeton:
Princeton University Press, 2012), 91–94.
[22]
Steven French, “The Structure of the World: Metaphysics and
Representation,” Synthese 136, no. 1 (2003): 31–56.
[23]
Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and
the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 197–200.
[24]
Gleiser, The Island of Knowledge, 204–206.
[25]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics
for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
12–16.
[26]
Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” 43.
[27]
Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the
Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 273–277.
[28]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational
World (New York: Simon & Schuster, 1992), 211–214.
[29]
Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected
(Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.
9.
Relevansi
Kontemporer
Dalam konteks filsafat
dan sains modern, teori multiverse tidak sekadar menjadi spekulasi kosmologis,
melainkan simbol intelektual dari zaman kontemporer yang ditandai oleh
pluralitas, relativitas, dan keterbukaan pengetahuan. Ia mencerminkan
pergeseran paradigma epistemik dan ontologis dari pandangan dunia tunggal yang
tertutup menuju pemahaman realitas yang jamak, dinamis, dan probabilistik.¹
Relevansinya kini meluas tidak hanya dalam ranah fisika teoretis, tetapi juga
dalam filsafat ilmu, teologi, etika, budaya populer, dan bahkan cara manusia
memahami dirinya di tengah lanskap kosmik yang tak terbatas.
9.1.
Relevansi Ilmiah: Perkembangan Kosmologi dan
Sains Post-Empiris
Secara ilmiah, teori
multiverse menjadi salah satu titik temu paling penting dalam kosmologi
kontemporer. Dalam dekade terakhir, penelitian tentang cosmic
inflation, string theory landscape, dan quantum
gravity semakin memperkuat hipotesis bahwa ruang-waktu mungkin
lebih kompleks daripada yang dapat diamati.² Banyak fisikawan, termasuk Stephen
Hawking dan Leonard Susskind, melihat multiverse sebagai konsekuensi tak
terhindarkan dari teori fisika fundamental yang sudah ada, bukan sebagai
tambahan spekulatif.³
Namun, yang membuat
teori ini relevan bagi sains modern adalah pergeserannya dari paradigma empiris
menuju paradigma teoretis-struktural.⁴ Sains abad ke-21 tidak lagi hanya
mengandalkan observasi, tetapi juga pada konsistensi matematis dan
prediktivitas teoretis.⁵ Dalam kerangka ini, multiverse merepresentasikan
bentuk scientific
rationality baru: rasionalitas yang tidak bergantung semata pada
verifikasi langsung, tetapi pada kemampuan teori menjelaskan koherensi dan
keteraturan alam semesta.⁶
Perdebatan tentang
multiverse juga mendorong refleksi kritis terhadap batas-batas ilmu itu
sendiri. Ia mengingatkan bahwa sains bukanlah sistem dogmatis, melainkan proses
terbuka yang terus menguji horizon pengetahuan manusia. Dengan demikian, teori
multiverse berperan sebagai “cermin epistemik” bagi sains
kontemporer—memperlihatkan sekaligus memperluas batas kemampuannya memahami
realitas.⁷
9.2.
Relevansi Filosofis: Paradigma Baru tentang
Realitas dan Kemungkinan
Dalam filsafat
kontemporer, teori multiverse memperdalam wacana mengenai pluralitas
ontologis dan metafisika kemungkinan.⁸ Ia
beresonansi dengan pandangan post-metafisik yang menolak absolutisme realitas
tunggal dan menggantikannya dengan model realitas terbuka dan jamak. David
Chalmers, misalnya, melihat teori multiverse sebagai representasi fisikal dari
konsep modal
realism dalam logika dan metafisika, di mana setiap kemungkinan
yang koheren memiliki bentuk eksistensinya sendiri.⁹
Selain itu, gagasan
multiverse juga berkelindan dengan fenomenologi kontemporer yang menekankan
keberagaman horizon kesadaran. Jean-Luc Nancy berbicara tentang dunia yang “tidak
tunggal,” di mana keberadaan senantiasa terbuka terhadap keberadaan lain.¹⁰
Dengan demikian, multiverse dapat dipahami bukan hanya sebagai teori ilmiah,
tetapi juga metafora filosofis tentang keterbukaan eksistensi dan relativitas
perspektif.
Dalam filsafat ilmu,
multiverse menandai munculnya post-empirical paradigm,
sebagaimana diusulkan oleh Richard Dawid, yang mengakui bahwa teori ilmiah yang
baik tidak selalu harus diverifikasi secara langsung, selama ia memenuhi syarat
rasionalitas internal, konsistensi logis, dan daya eksplanatori tinggi.¹¹
Dengan demikian, teori multiverse memperluas cakrawala epistemologi modern
menuju ranah rasionalitas spekulatif yang tetap terikat pada struktur ilmiah.
9.3.
Relevansi Etis dan Humanistik
Di luar ranah
teoretis, teori multiverse juga memunculkan refleksi etis yang mendalam. Jika
semua kemungkinan eksistensi dapat terwujud di berbagai dunia, apakah pilihan
moral manusia di dunia ini masih bermakna? Pertanyaan ini menggugah kesadaran
tentang nilai kebebasan dan tanggung jawab yang tetap berlaku secara
kontekstual.¹²
Dalam kerangka
humanistik, multiverse justru memperluas cakupan tanggung jawab moral. Ia
menegaskan bahwa nilai-nilai kemanusiaan—seperti kebebasan, keadilan, dan
empati—tidak bergantung pada singularitas dunia, tetapi pada kapasitas
reflektif manusia untuk bertindak dengan kesadaran moral dalam setiap konteks
eksistensial.¹³ Dengan kata lain, kesadaran akan pluralitas kosmik dapat
menumbuhkan etika keterbukaan (ethics of openness)—sikap
menghormati keberagaman dan kompleksitas sebagai bagian dari struktur realitas
itu sendiri.¹⁴
Pandangan ini
sejalan dengan filsafat Hans Jonas tentang ethics of responsibility, yang
menekankan pentingnya kesadaran akan dampak tindakan manusia terhadap masa
depan yang belum diketahui.¹⁵ Dalam skala kosmik, teori multiverse memperluas
prinsip tanggung jawab ini: manusia bertanggung jawab bukan hanya terhadap
dunia yang ia tempati, tetapi terhadap keseluruhan struktur eksistensi yang
mungkin ia pengaruhi melalui ilmu dan teknologi.
9.4.
Relevansi Teologis dan Spiritualitas Kosmik
Di ranah teologi
kontemporer, teori multiverse menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi
pemikiran religius. Jika Tuhan menciptakan banyak dunia dengan hukum-hukum yang
berbeda, maka kemahakuasaan Ilahi tidak berkurang, melainkan justru semakin
nyata.¹⁶ Konsep theistic multiverse, sebagaimana
dikembangkan oleh Klaas Kraay, menafsirkan pluralitas dunia sebagai ekspresi
kebijaksanaan Ilahi yang tanpa batas.¹⁷ Dalam pandangan ini, setiap dunia
adalah cerminan unik dari kemungkinan kebaikan yang diizinkan Tuhan untuk
eksis.
Spiritualitas modern
pun menemukan resonansi dalam teori multiverse. Kesadaran akan pluralitas
kosmik mengundang manusia untuk memandang realitas dengan rasa takjub dan
kerendahan hati (cosmic humility).¹⁸ Ia memperluas
spiritualitas dari sekadar kesalehan personal menjadi kesadaran ekologis dan
eksistensial tentang keterhubungan semua bentuk realitas.¹⁹ Dengan demikian,
teori multiverse dapat berfungsi sebagai jembatan antara sains dan iman,
rasionalitas dan transendensi.
9.5.
Relevansi Kultural dan Estetika
Dalam ranah budaya
dan seni, multiverse telah menjadi metafora utama dalam narasi kontemporer.
Film, sastra, dan seni visual abad ke-21 banyak mengadopsi gagasan dunia
paralel untuk mengeksplorasi identitas, waktu, dan kebebasan.²⁰ Dalam karya
seperti Everything
Everywhere All at Once (2022) dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness
(2022), multiverse berfungsi sebagai simbol dari realitas eksistensial manusia
yang kompleks dan penuh pilihan.²¹
Gagasan ini juga
mempengaruhi teori sastra dan estetika postmodern, di mana kebenaran tunggal
digantikan oleh pluralitas makna dan interpretasi.²² Multiverse, dalam konteks
ini, menjadi cermin budaya dari kondisi manusia kontemporer yang hidup di
antara banyak “dunia” sosial, digital, dan ideologis.²³ Ia menegaskan bahwa
pluralitas bukan ancaman bagi makna, tetapi kondisi esensial bagi kreativitas
dan kebebasan.
9.6.
Relevansi Eksistensial dan Paradigma Humanitas
Baru
Pada akhirnya,
relevansi paling mendalam dari teori multiverse terletak pada dampaknya
terhadap pemahaman manusia tentang dirinya sendiri.²⁴ Ia menggeser antropologi
filosofis dari paradigma antroposentris menuju kosmosentris: manusia bukan
pusat realitas, tetapi bagian dari jejaring eksistensi yang luas dan plural.²⁵
Dalam kesadaran ini, muncul bentuk baru dari humility of existence—kesadaran
bahwa keterbatasan bukan kelemahan, melainkan dasar bagi pencarian makna.²⁶
Multiverse juga
mendorong terbentuknya paradigma humanitas baru yang bersifat integral: manusia
sebagai makhluk rasional yang mampu memadukan sains, filsafat, dan
spiritualitas dalam menafsirkan realitas.²⁷ Dalam dunia yang semakin plural,
teori ini mengingatkan bahwa pengetahuan sejati tidak berhenti pada deskripsi,
tetapi berlanjut pada pemahaman dan kebijaksanaan.²⁸ Dengan demikian,
multiverse bukan hanya hipotesis ilmiah, tetapi juga simbol dari evolusi
kesadaran manusia menuju keberterbukaan dan kesatuan dalam keberagaman
kosmik.²⁹
Footnotes
[1]
Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and
the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 190–194.
[2]
Alan H. Guth, “Eternal Inflation and Its Implications,” Journal of
Physics A 40, no. 25 (2007): 6811–6826.
[3]
Leonard Susskind, The Cosmic Landscape: String Theory and the
Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 189–193.
[4]
Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 51–55.
[5]
Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the
Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 72–78.
[6]
Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford: Clarendon
Press, 1989), 237–240.
[7]
George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific
American 305, no. 2 (2011): 38–43.
[8]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 1–5.
[9]
David J. Chalmers, Reality+: Virtual Worlds and the Problems of
Philosophy (New York: W. W. Norton, 2022), 142–145.
[10]
Jean-Luc Nancy, The Sense of the World, trans. Jeffrey S.
Librett (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 64–68.
[11]
Dawid, String Theory and the Scientific Method, 59–62.
[12]
Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews
of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.
[13]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press,
1984), 212–214.
[14]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 152–155.
[15]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 12–16.
[16]
William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the
Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed.
Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.
[17]
Klaas Kraay, “The Theistic Multiverse: Problems and Prospects,” Faith
and Philosophy 27, no. 1 (2010): 44–51.
[18]
Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep
Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 295–299.
[19]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational
World (New York: Simon & Schuster, 1992), 210–214.
[20]
Steven Dillon, Screening Reality: How Documentary Filmmakers
Reimagined America (New York: Bloomsbury, 2020), 201–204.
[21]
Daniel Chong, “Multiverse Storytelling in Contemporary Cinema,” Journal
of Aesthetic Studies 14, no. 2 (2023): 77–82.
[22]
Linda Hutcheon, A Poetics of Postmodernism: History, Theory,
Fiction (New York: Routledge, 1988), 116–119.
[23]
Fredric Jameson, Postmodernism, or, the Cultural Logic of Late
Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 356–360.
[24]
Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and
the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 298–302.
[25]
Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected
(Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.
[26]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 175–178.
[27]
Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey
(Philadelphia: Temple University Press, 1987), 213–217.
[28]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 14–18.
[29]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right
for Life? (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 291–295.
10. Sintesis Filosofis
Kajian tentang teori
multiverse memperlihatkan perjumpaan yang intens antara sains, filsafat, dan
teologi dalam satu horizon reflektif yang menyingkap kompleksitas realitas.
Dalam keseluruhan wacana ini, multiverse bukan sekadar hipotesis kosmologis,
melainkan medan dialektis tempat berjumpanya tiga dimensi fundamental filsafat:
ontologi (tentang hakikat keberadaan), epistemologi (tentang batas
pengetahuan), dan aksiologi (tentang makna dan nilai keberadaan).¹ Dengan
demikian, sintesis filosofis atas teori multiverse bertujuan bukan untuk
menegaskan kebenaran empirisnya, melainkan untuk menimbang maknanya bagi
pemahaman manusia tentang “ada” (being), “mengetahui” (knowing),
dan “menilai” (valuing).
10.1.
Integrasi Ontologis: Dari Kesatuan ke
Pluralitas Realitas
Secara ontologis,
teori multiverse menantang paradigma metafisika klasik yang memandang realitas
sebagai kesatuan tertutup dan hierarkis.² Dengan membuka kemungkinan akan
banyak dunia yang eksis secara simultan, ia menegaskan ontologi plural yang
bersifat non-sentral—di mana tidak ada satu titik absolut yang menjadi pusat
keberadaan.³ Hal ini sejalan dengan perkembangan dalam fisika modern yang
menolak model geosentris dan bahkan kosmosentris, menggantikannya dengan model
desentralisasi realitas.⁴
Dari sudut pandang
filsafat keberadaan, multiverse dapat ditafsirkan sebagai afirmasi atas metafisika
keterbukaan (open metaphysics), sebagaimana
dikemukakan oleh William Desmond, bahwa keberadaan selalu “lebih” daripada yang
dapat ditangkap oleh konsep tunggal.⁵ Realitas dalam hal ini bukanlah monolit,
melainkan jaringan kemungkinan yang terus terbuka.⁶ Dengan demikian, ontologi multiverse
memperluas cakrawala pemahaman manusia tentang “ada” sebagai pluralitas
aktual yang terus berpotensi.
10.2.
Integrasi Epistemologis: Dari Empirisisme ke
Rasionalitas Spekulatif
Dalam ranah
epistemologi, teori multiverse memperlihatkan keterbatasan paradigma empiris
sekaligus membuka kemungkinan bagi bentuk pengetahuan baru. Karl Popper
menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah sejati harus dapat diuji melalui
pengalaman.⁷ Namun, dalam kosmologi modern, banyak teori yang melampaui
kemampuan observasi langsung, sehingga kebenaran ilmiah ditentukan bukan hanya
oleh verifikasi empiris, tetapi juga oleh koherensi rasional dan daya jelaskan
teoretis.⁸
Epistemologi
multiverse, dengan demikian, menandai transisi dari empirisisme ke rational
speculative epistemology—suatu bentuk pengetahuan yang
menyeimbangkan antara rasionalitas logis dan keterbatasan pengalaman.⁹ Dalam
kerangka ini, multiverse dapat dipahami sebagai heuristic model yang mendorong
refleksi tentang bagaimana sains beroperasi di batas pengetahuannya sendiri.¹⁰
Dengan kata lain, multiverse bukan sekadar teori ilmiah, tetapi juga laboratorium
epistemik bagi kesadaran manusia tentang relativitas pengetahuan.¹¹
10.3.
Integrasi Aksiologis: Nilai, Etika, dan Makna
dalam Alam Jamak
Dari segi aksiologi,
multiverse menggugah kembali pertanyaan tentang nilai dan makna dalam konteks
pluralitas kosmik. Jika setiap kemungkinan eksis di alam semesta lain, apakah
kebebasan, tanggung jawab, dan moralitas masih memiliki bobot?¹² Jawaban
filosofis terhadap dilema ini bergantung pada pengakuan bahwa nilai moral tidak
bersumber dari keunikan dunia, melainkan dari kesadaran reflektif manusia
sebagai makhluk yang menilai dalam konteks dunia aktualnya.¹³
Dengan demikian,
aksiologi multiverse menekankan etika situasional universal: moralitas
yang berakar pada kesadaran akan keterbatasan dan keterhubungan.¹⁴ Kesadaran
bahwa realitas mungkin tak terbatas justru menegaskan urgensi nilai-nilai
kemanusiaan yang konkret—kejujuran, tanggung jawab, solidaritas—sebagai cara
manusia memberi makna pada dunia yang ia huni.¹⁵ Dalam hal ini, pluralitas
kosmik bukan ancaman terhadap etika, melainkan panggilan menuju moralitas yang
lebih inklusif dan kosmik.¹⁶
10.4.
Integrasi Metafisika dan Teologi: Tuhan sebagai
Dasar Kemungkinan
Sintesis filosofis
tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan metafisis dan teologis: bagaimana posisi
Tuhan dalam realitas jamak? Dalam kerangka teologi klasik, Tuhan adalah ens
perfectissimum—keberadaan yang sempurna dan tunggal.¹⁷ Namun, teori
multiverse menantang pemahaman ini dengan membuka kemungkinan bahwa Tuhan
mencipta bukan satu dunia terbaik, tetapi keseluruhan ruang kemungkinan yang
konsisten.¹⁸
William Lane Craig
dan Keith Ward menafsirkan bahwa pluralitas dunia justru memperluas pemahaman
tentang kemahakuasaan dan kebijaksanaan Ilahi.¹⁹ Tuhan tidak lagi dipahami
sebagai pengendali dunia tunggal, tetapi sebagai ground of possibility—dasar
kemungkinan yang memungkinkan eksistensi segala sesuatu.²⁰ Dalam perspektif
ini, multiverse dapat dibaca sebagai manifestasi ontologis dari prinsip
teologis: bahwa kasih dan kebijaksanaan Tuhan menembus batas singularitas
menuju keberagaman ciptaan.²¹
Metafisika teistik
yang demikian tidak menegasikan sains, melainkan meneguhkan dialog antara iman
dan rasio. Ia menempatkan Tuhan bukan sebagai kompetitor hukum alam, melainkan
sebagai sumber rasionalitas yang membuat hukum-hukum itu mungkin.²² Dengan
demikian, multiverse dapat dilihat sebagai cosmotheandric structure—suatu
tatanan kosmos yang mengandung jejak transendensi dalam pluralitas imanen.²³
10.5.
Integrasi Interdisipliner: Pengetahuan sebagai
Kesatuan Terbuka
Dalam tataran
interdisipliner, sintesis multiverse menunjukkan bahwa batas antara sains dan
filsafat semakin cair.²⁴ Pengetahuan ilmiah, metafisika, dan etika tidak dapat
lagi dipisahkan secara rigid, melainkan saling mengandaikan. Kosmologi
membutuhkan refleksi filosofis agar tidak jatuh dalam dogmatisme ilmiah,
sementara filsafat membutuhkan sains agar tidak melayang dalam abstraksi
kosong.²⁵
Dengan demikian,
teori multiverse berfungsi sebagai paradigma integratif yang menegaskan prinsip
kesalingterhubungan disiplin pengetahuan (epistemic holism).²⁶ Ia membuka
ruang bagi dialog produktif antara fisika teoretis, logika matematis, etika
humanistik, dan spiritualitas transendental.²⁷ Paradigma ini sesuai dengan
cita-cita filsafat integral, sebagaimana dikemukakan oleh Ken Wilber, yakni
memahami realitas sebagai kesatuan dinamis dari berbagai tingkat
kebenaran—empiris, rasional, eksistensial, dan spiritual.²⁸
Sintesis Akhir: Menuju Filsafat Keterbukaan
Kosmik
Sintesis filosofis
teori multiverse menegaskan bahwa pencarian manusia terhadap realitas tidak
berakhir pada kepastian, melainkan pada keterbukaan.²⁹ Dalam kosmos yang
mungkin berisi tak terhitung dunia, manusia tetap memegang peran unik: bukan
sebagai penguasa, melainkan sebagai penafsir makna.³⁰ Kesadaran akan pluralitas
realitas memunculkan bentuk baru dari wisdom cosmica—hikmah kosmik—yakni
pemahaman bahwa setiap pengetahuan adalah fragmen dari kebenaran yang lebih
luas.³¹
Dengan demikian,
multiverse bukan hanya hipotesis fisika, melainkan simbol filosofis tentang
kondisi manusia kontemporer: makhluk terbatas yang mencari makna dalam
ketakterbatasan.³² Ia mengajarkan bahwa keberagaman dan kemungkinan bukanlah
lawan dari kebenaran, tetapi bentuk-bentuk partikular dari kebenaran itu
sendiri.³³ Sintesis ini menuntun pada pemahaman integral bahwa realitas,
pengetahuan, dan nilai berada dalam satu kesatuan dinamis yang terbuka—a
universe of universes—tempat filsafat dan sains berjumpa dalam
kesadaran reflektif tentang misteri keberadaan.³⁴
Footnotes
[1]
Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep
Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 285–288.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge:
Harvard University Press, 1933), 1048a–1050b.
[3]
Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of
Contingency (London: Continuum, 2008), 40–42.
[4]
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New
York: Bantam Books, 2010), 164–167.
[5]
William Desmond, Being and the Between (Albany: SUNY Press,
1995), 214–218.
[6]
Desmond, Being and the Between, 219.
[7]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 36–39.
[8]
Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 58–62.
[9]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 12–14.
[10]
Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the
Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 275–277.
[11]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational
World (New York: Simon & Schuster, 1992), 205–208.
[12]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 121–123.
[13]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press,
1984), 212–214.
[14]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 152–155.
[15]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 13–16.
[16]
Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and
the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 212–215.
[17]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.3, Art.4.
[18]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy, trans. E. M. Huggard
(London: Routledge, 1951), 141–143.
[19]
William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the
Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed.
Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.
[20]
Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld,
1996), 93–95.
[21]
Klaas Kraay, “The Theistic Multiverse: Problems and Prospects,” Faith
and Philosophy 27, no. 1 (2010): 44–51.
[22]
John Polkinghorne, Science and Creation: The Search for
Understanding (London: SPCK, 1988), 85–87.
[23]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 51–55.
[24]
Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected
(Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.
[25]
Tim Maudlin, Philosophy of Physics: Space and Time (Princeton:
Princeton University Press, 2012), 91–94.
[26]
James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics
Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 132–136.
[27]
Steven French, “The Structure of the World: Metaphysics and
Representation,” Synthese 136, no. 1 (2003): 31–56.
[28]
Ken Wilber, A Theory of Everything: An Integral Vision for
Business, Politics, Science, and Spirituality (Boston: Shambhala, 2000),
43–46.
[29]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 175–178.
[30]
Jean-Luc Nancy, The Sense of the World, trans. Jeffrey S.
Librett (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 64–67.
[31]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right
for Life? (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 291–295.
[32]
Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and
the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 298–302.
[33]
Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge, 218–221.
[34]
Brian Greene, The Hidden Reality, 305–308.
11. Kesimpulan
Kajian filosofis
atas teori multiverse menyingkapkan bahwa wacana ini bukan sekadar produk
spekulatif kosmologi modern, melainkan refleksi mendalam tentang hakikat
realitas, batas pengetahuan, dan makna eksistensi manusia di tengah pluralitas
kosmik. Teori multiverse telah mengubah cara manusia memahami alam semesta:
dari sistem tunggal yang tertutup menjadi tatanan realitas yang jamak, dinamis,
dan terbuka bagi kemungkinan tanpa batas.¹ Ia mempertemukan sains dan filsafat
dalam dialog yang produktif tentang “apa yang ada,” “bagaimana kita
mengetahui,” dan “mengapa pengetahuan itu bernilai.”
11.1.
Rekapitulasi Dimensi Filsafat Multiverse
Secara ontologis,
multiverse menantang paradigma kesatuan realitas dengan menegaskan kemungkinan
pluralitas eksistensi yang berdiri sejajar.² Dalam kerangka ini, realitas bukan
lagi dipahami sebagai totalitas tunggal, tetapi sebagai jaringan eksistensi
yang saling mungkin—di mana “ada” tidak terbatas pada satu aktualitas,
melainkan meliputi keseluruhan ruang kemungkinan.³ Ontologi multiverse dengan demikian
mengubah filsafat keberadaan dari model hierarkis menuju model jaringan (network
ontology) yang menempatkan pluralitas sebagai dasar keteraturan
kosmos.⁴
Secara
epistemologis, teori ini menunjukkan keterbatasan dan sekaligus keluasan akal
manusia.⁵ Pengetahuan ilmiah tidak dapat lagi dipahami hanya dalam batas
empiris, melainkan sebagai sintesis antara observasi, inferensi rasional, dan
model matematis.⁶ Multiverse menuntut bentuk rasionalitas baru—rasionalitas
reflektif dan spekulatif—yang menyadari bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat
absolut, melainkan selalu terbuka terhadap revisi dan perluasan.⁷
Sementara dari segi
aksiologi, teori multiverse menggugah kesadaran etis dan eksistensial manusia
tentang makna dan tanggung jawab di tengah ketakterhinggaan.⁸ Kesadaran bahwa
mungkin terdapat versi lain dari diri dan dunia kita bukanlah alasan untuk
relativisme moral, melainkan pengingat akan pentingnya tindakan bermakna dalam
dunia aktual yang kita huni.⁹ Dengan demikian, multiverse memperluas horizon
etika dari yang antroposentris menjadi kosmosentris, di mana nilai tertinggi
bukan dominasi, melainkan keterbukaan dan penghormatan terhadap keberagaman
eksistensi.¹⁰
11.2.
Sintesis Metafisika, Teologi, dan Humanisme
Secara metafisis dan
teologis, multiverse mengundang reinterpretasi terhadap konsep Tuhan dan
ciptaan. Dalam kerangka teistik, pluralitas semesta bukanlah ancaman bagi
keesaan Ilahi, melainkan manifestasi dari kemahakuasaan dan kebijaksanaan Tuhan
yang menembus batas-batas tunggal.¹¹ Tuhan dapat dipahami bukan sekadar sebagai
pencipta satu dunia aktual, tetapi sebagai ground of possibility—dasar dari
seluruh kemungkinan eksistensi.¹² Dengan demikian, pluralitas dunia justru
memperluas horizon spiritual manusia untuk mengenal kebesaran transendensi yang
bekerja melalui keberagaman imanen.¹³
Dari sisi humanisme,
teori multiverse mengandung makna reflektif yang mendalam: ia menegaskan
kembali posisi manusia bukan sebagai pusat realitas, melainkan sebagai makhluk
sadar yang memaknai keterbatasannya dalam lanskap kosmik yang tak terhingga.¹⁴
Dalam kesadaran ini, muncul etos baru: humility of existence, yakni
kerendahan hati kosmik yang menyadari bahwa pengetahuan, iman, dan nilai-nilai
kemanusiaan hanyalah sebagian kecil dari misteri totalitas keberadaan.¹⁵ Dengan
demikian, multiverse dapat dibaca sebagai simbol filosofis tentang keterbatasan
manusia yang sekaligus menjadi sumber kebijaksanaan.
11.3.
Penegasan Akhir: Filsafat Keterbukaan Kosmik
Dari seluruh
analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa teori multiverse memiliki nilai
filosofis yang lebih besar daripada sekadar penjelasan kosmologis. Ia berfungsi
sebagai paradigma reflektif yang mempertemukan ilmu dan filsafat dalam
pencarian bersama tentang makna realitas.¹⁶ Multiverse menunjukkan bahwa
realitas bukan sistem tertutup, melainkan horizon keterbukaan tempat sains,
metafisika, dan etika bertemu dalam satu kesadaran reflektif.¹⁷
Dengan demikian,
multiverse dapat disebut sebagai metafora epistemologis kontemporer—sebuah
cermin yang memperlihatkan bahwa rasionalitas manusia selalu bergerak antara
keterbatasan dan kemungkinan.¹⁸ Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati
bukanlah tentang menguasai seluruh kebenaran, melainkan tentang hidup dalam
kesadaran bahwa kebenaran itu selalu lebih luas dari pemahaman kita.¹⁹
Dalam horizon
keterbukaan kosmik ini, filsafat menemukan kembali tugas utamanya: bukan
menutup pertanyaan dengan kepastian, melainkan menjaga api pencarian yang terus
menyala di antara pluralitas realitas.²⁰ Maka, teori multiverse, dalam makna
terdalamnya, bukanlah akhir dari penjelasan kosmos, tetapi awal dari
kebijaksanaan baru tentang eksistensi—yakni kesadaran bahwa “ada”
senantiasa melampaui dunia yang kita kenal, dan pencarian terhadapnya adalah
inti dari kemanusiaan itu sendiri.²¹
Footnotes
[1]
Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep
Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 305–308.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge:
Harvard University Press, 1933), 1045a–1048b.
[3]
David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell,
1986), 84–87.
[4]
William Desmond, Being and the Between (Albany: SUNY Press,
1995), 214–218.
[5]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 36–40.
[6]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 12–15.
[7]
Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 58–62.
[8]
Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press,
1984), 212–214.
[9]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 152–155.
[10]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press,
1984), 12–16.
[11]
William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the
Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed.
Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.
[12]
Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld,
1996), 93–95.
[13]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious
Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 51–55.
[14]
Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and
the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 210–214.
[15]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press,
1952), 175–178.
[16]
Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the
Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 273–277.
[17]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational
World (New York: Simon & Schuster, 1992), 205–208.
[18]
Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of
Contingency (London: Continuum, 2008), 40–42.
[19]
Ken Wilber, A Theory of Everything: An Integral Vision for
Business, Politics, Science, and Spirituality (Boston: Shambhala, 2000),
43–46.
[20]
Jean-Luc Nancy, The Sense of the World, trans. Jeffrey S.
Librett (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 64–68.
[21]
Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected
(Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (n.d.). Summa Contra Gentiles
(Book II, Ch. 45).
Aquinas, T. (n.d.). Summa Theologica (Part
I, Q.3, Art.4).
Aristotle. (1933). Metaphysics (H.
Tredennick, Trans.). Harvard University Press.
Bostrom, N. (2003). Are you living in a computer
simulation? Philosophical Quarterly, 53(211), 243–255.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage International.
Carroll, S. (2016). The big picture: On the
origins of life, meaning, and the universe itself. Dutton.
Carroll, S. (2019). Something deeply hidden:
Quantum worlds and the emergence of spacetime. Dutton.
Cartwright, N. (1983). How the laws of physics
lie. Clarendon Press.
Chalmers, D. J. (2022). Reality+: Virtual worlds
and the problems of philosophy. W. W. Norton.
Chong, D. (2023). Multiverse storytelling in
contemporary cinema. Journal of Aesthetic Studies, 14(2), 77–82.
Dainton, B. (2010). Time and space. Acumen.
Davies, P. (1992). The mind of God: The scientific
basis for a rational world. Simon & Schuster.
Davies, P. (2006). The Goldilocks enigma: Why is
the universe just right for life? Houghton Mifflin.
Dawid, R. (2013). String theory and the
scientific method. Cambridge University Press.
Dawid, R. (2014). Theoretical confirmation beyond
empiricism. Philosophy of Science, 81(5), 1071–1083.
Desmond, W. (1995). Being and the between.
State University of New York Press.
Dillon, S. (2020). Screening reality: How
documentary filmmakers reimagined America. Bloomsbury.
Ellis, G. F. R. (2007). Issues in the philosophy of
cosmology. In J. Butterfield & J. Earman (Eds.), Philosophy of physics
(pp. 1180–1224). North-Holland.
Ellis, G. F. R. (2011). Does the multiverse really
exist? Scientific American, 305(2), 38–45.
Everett, H. (1957). “Relative state” formulation of
quantum mechanics. Reviews of Modern Physics, 29(3), 454–462.
Fakhr al-Din al-Razi. (1981). Mafātīḥ al-ghayb
(Vol. 1). Dār al-Fikr.
Fredkin, E. (2003). Digital philosophy: An
introduction. International Journal of Theoretical Physics, 42(2),
189–204.
French, S. (2003). The structure of the world:
Metaphysics and representation. Synthese, 136(1), 31–56.
Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. Random House.
Gleiser, M. (2014). The island of knowledge: The
limits of science and the search for meaning. Basic Books.
Gleiser, M. (2016). The simple beauty of the
unexpected. MIT Press.
Greene, B. (2011). The hidden reality: Parallel
universes and the deep laws of the cosmos. Vintage Books.
Guth, A. H. (1981). Inflationary universe: A
possible solution to the horizon and flatness problems. Physical Review D,
23(2), 347–356.
Guth, A. H. (2007). Eternal inflation and its
implications. Journal of Physics A, 40(25), 6811–6826.
Hacking, I. (1983). Representing and
intervening. Cambridge University Press.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
grand design. Bantam Books.
Heidegger, M. (1927). Sein und Zeit.
Niemeyer.
Hossenfelder, S. (2018). Multiverses and the
philosophy of science. Foundations of Physics, 48(9), 1291–1303.
Hutcheon, L. (1988). A poetics of postmodernism:
History, theory, fiction. Routledge.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Jameson, F. (1991). Postmodernism, or, the
cultural logic of late capitalism. Duke University Press.
Kitcher, P. (2001). Science, truth, and
democracy. Oxford University Press.
Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity.
Harvard University Press.
Kraay, K. (2010). The theistic multiverse: Problems
and prospects. Faith and Philosophy, 27(1), 44–51.
Kraay, K. (Ed.). (2014). God and the multiverse:
Scientific, philosophical, and theological perspectives. Routledge.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. University of Chicago Press.
Ladyman, J., & Ross, D. (2007). Every thing
must go: Metaphysics naturalized. Oxford University Press.
Leibniz, G. W. (1951). Theodicy (E. M.
Huggard, Trans.). Routledge.
Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds.
Blackwell.
Linde, A. (1986). Eternal chaotic inflation. Modern
Physics Letters A, 1(2), 81–86.
Lloyd, S. (2007). Programming the universe: A
quantum computer scientist takes on the cosmos. Vintage.
Marion, J.-L. (1991). God without being (T.
A. Carlson, Trans.). University of Chicago Press.
Maudlin, T. (2012). Philosophy of physics: Space
and time. Princeton University Press.
Maxwell, T. (2014). Our mathematical universe:
My quest for the ultimate nature of reality. Knopf.
Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay
on the necessity of contingency. Continuum.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Nagel, T. (1986). The view from nowhere.
Oxford University Press.
Nancy, J.-L. (1997). The sense of the world
(J. S. Librett, Trans.). University of Minnesota Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Harvard University Press.
Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric
experience: Emerging religious consciousness. Orbis Books.
Parfit, D. (1984). Reasons and persons.
Clarendon Press.
Plantinga, A. (1974). God, freedom, and evil.
Eerdmans.
Polkinghorne, J. (1988). Science and creation:
The search for understanding. SPCK.
Polkinghorne, J. (2005). Science and providence:
God’s interaction with the world. Templeton Foundation Press.
Popper, K. R. (2002). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Rolston, H. III. (1987). Science and religion: A
critical survey. Temple University Press.
Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Saunders, S., Barrett, J., Kent, A., & Wallace,
D. (Eds.). (2010). Many worlds? Everett, quantum theory, and reality.
Oxford University Press.
Smolin, L. (2006). The trouble with physics.
Houghton Mifflin.
Susskind, L. (2005). The cosmic landscape:
String theory and the illusion of intelligent design. Little, Brown.
Tegmark, M. (2014). Our mathematical universe:
My quest for the ultimate nature of reality. Knopf.
Tempier, E. (1982). Condemnations of 1277. In N.
Kretzmann et al. (Eds.), The Cambridge history of later medieval philosophy
(pp. 45–48). Cambridge University Press.
Tillich, P. (1951). Systematic theology
(Vol. I). University of Chicago Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Vedral, V. (2010). Decoding reality: The
universe as quantum information. Oxford University Press.
van Fraassen, B. C. (1980). The scientific
image. Clarendon Press.
van Fraassen, B. C. (1989). Laws and symmetry.
Clarendon Press.
Ward, K. (1996). God, chance and necessity.
Oneworld.
Ward, K. (2014). The evidence for God: The case
for the existence of the spiritual dimension. DLT.
Wilber, K. (2000). A theory of everything: An
integral vision for business, politics, science, and spirituality.
Shambhala.
Williamson, T. (2013). Modal logic as
metaphysics. Oxford University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar