Kamis, 06 November 2025

Filsafat Multiverse: Antara Kosmologi, Metafisika, dan Batas Pengetahuan Manusia

Filsafat Multiverse

Antara Kosmologi, Metafisika, dan Batas Pengetahuan Manusia


Alihkan ke: Kosmologi Teoretis.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif teori Multiverse dari perspektif filsafat dengan menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, ilmiah, metafisis, dan teologisnya. Berawal dari akar historis kosmologi modern dan teori kuantum, pembahasan ini menunjukkan bahwa gagasan tentang pluralitas semesta bukan sekadar hipotesis ilmiah, melainkan juga wacana filosofis yang menantang paradigma klasik tentang kesatuan realitas. Secara ontologis, teori multiverse memunculkan model realitas jamak yang non-hierarkis dan terbuka, menolak sentralitas dunia tunggal sebagai satu-satunya aktualitas. Secara epistemologis, multiverse memperluas batas pengetahuan manusia, menandai pergeseran dari empirisisme menuju rasionalitas spekulatif yang menggabungkan logika, matematika, dan refleksi konseptual. Secara aksiologis, teori ini menggugah perenungan etis mengenai tanggung jawab moral, makna kebebasan, dan nilai kemanusiaan di tengah pluralitas eksistensi.

Selanjutnya, pembahasan metafisika dan teologi menunjukkan bahwa pluralitas dunia tidak meniadakan keesaan Ilahi, melainkan memperluas pemahaman tentang Tuhan sebagai ground of possibility—dasar dari segala kemungkinan eksistensi. Dari sisi interdisipliner, teori multiverse mempertemukan kosmologi, filsafat ilmu, logika modal, dan spiritualitas, sehingga membuka paradigma pengetahuan yang integral dan lintas batas. Akhirnya, artikel ini menegaskan bahwa multiverse bukan sekadar model kosmologis, tetapi juga simbol reflektif tentang keterbukaan realitas, keterbatasan manusia, dan pencarian makna dalam ketakterhinggaan. Melalui sintesis filosofis, teori multiverse menampakkan dirinya sebagai jembatan antara sains dan kebijaksanaan, antara rasionalitas dan transendensi, serta antara keterbatasan empiris dan keluasan kemungkinan eksistensial.

Kata Kunci: Multiverse, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Metafisika, Teologi, Kosmologi Filosofis, Rasionalitas Spekulatif, Keterbukaan Realitas, Kebijaksanaan Kosmik.


PEMBAHASAN

Gagasan Multiverse dalam Sains dan Filsafat


1.           Pendahuluan

Gagasan tentang multiverse—yakni hipotesis bahwa alam semesta bukanlah satu-satunya realitas yang ada, melainkan hanya satu dari sekian banyak alam paralel yang mungkin eksis—menandai pergeseran radikal dalam cara manusia memahami kosmos dan keberadaannya sendiri. Dalam konteks filsafat dan sains modern, teori multiverse bukan sekadar spekulasi ilmiah, melainkan juga tantangan terhadap asumsi-asumsi dasar ontologis dan epistemologis yang selama ini mendasari pemikiran Barat tentang realitas tunggal (universe). Gagasan ini memunculkan pertanyaan fundamental: apakah realitas itu satu dan tertutup, ataukah plural dan terbuka bagi kemungkinan tanpa batas?

Secara historis, akar konseptual multiverse dapat ditelusuri hingga pada pandangan kosmologis kuno. Filsuf pra-Sokratik seperti Anaximander dan Demokritos telah membayangkan adanya banyak dunia yang muncul dan lenyap dalam ruang tak terbatas, tanpa keterikatan pada satu pusat kosmik tertentu.¹ Pandangan ini kemudian mengalami transposisi metafisik melalui pemikiran abad pertengahan dan teologi Kristen, yang menegaskan satu ciptaan tunggal di bawah kehendak Tuhan. Baru pada masa modern, ketika mekanika kuantum dan relativitas umum membuka horizon baru dalam fisika teoretis, ide tentang realitas jamak kembali mendapat tempat serius dalam diskursus ilmiah.²

Perkembangan mutakhir dalam kosmologi, seperti teori inflasi abadi (eternal inflation) dan interpretasi kuantum banyak-dunia (many-worlds interpretation), memberi dasar matematis dan konseptual bagi kemungkinan eksistensi alam semesta jamak.³ Max Tegmark bahkan mengklasifikasikan empat tingkatan multiverse berdasarkan struktur fisika dan logika matematis yang mendasarinya—mulai dari variasi kondisi awal kosmos hingga eksistensi semua kemungkinan logis dalam “multiverse matematis.”⁴ Namun, seiring dengan semakin luasnya penerimaan gagasan ini di kalangan fisikawan, muncul pula perdebatan tajam di ranah filsafat ilmu mengenai status ilmiahnya: apakah teori multiverse benar-benar dapat disebut ilmiah jika ia tidak dapat diverifikasi secara empiris?⁵

Dari sisi epistemologi, teori multiverse menantang kriteria tradisional pengetahuan ilmiah sebagaimana dikemukakan Karl Popper, yaitu falsifiabilitas. Jika realitas yang dipostulatkan tidak dapat diobservasi bahkan secara tidak langsung, maka teori tersebut berada di ambang antara sains dan metafisika.⁶ Sementara dari perspektif ontologi, gagasan ini menggeser pandangan klasik tentang “ada” sebagai tunggal, tetap, dan hierarkis, menuju pandangan pluralistik yang menempatkan realitas sebagai jaringan kemungkinan tak terhingga.⁷

Dalam konteks ini, artikel ini bertujuan untuk mengkaji teori multiverse secara filosofis—melampaui sekadar analisis fisika teoretis. Kajian ini akan menelusuri dasar historis dan genealogis kemunculannya, menguraikan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, serta menganalisis implikasinya terhadap pemahaman manusia tentang eksistensi, moralitas, dan makna. Pendekatan ini diharapkan dapat membangun sintesis antara sains dan filsafat dalam memahami realitas kosmik secara lebih integral, rasional, dan reflektif. Dengan demikian, teori multiverse tidak hanya dipahami sebagai model ilmiah, tetapi juga sebagai horizon baru dalam pencarian makna eksistensial manusia di antara pluralitas semesta.⁸


Footnotes

[1]                Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2006), 45–47.

[2]                Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 13–18.

[3]                Alan Guth, “Eternal Inflation and Its Implications,” Journal of Physics A 40, no. 25 (2007): 6811–6826.

[4]                Max Tegmark, “Parallel Universes,” Scientific American 288, no. 5 (2003): 40–51.

[5]                George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific American 305, no. 2 (2011): 38–43.

[6]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 36–40.

[7]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–4.

[8]                Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 5–8.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Konsep tentang dunia jamak atau multiverse tidak muncul secara tiba-tiba dalam wacana ilmiah modern. Ia memiliki akar panjang dalam sejarah pemikiran manusia yang menandai pergulatan antara imajinasi kosmologis, refleksi metafisik, dan upaya rasional memahami struktur realitas. Dalam konteks ini, penting untuk menelusuri jejak genealogis gagasan multiverse dari dunia kuno hingga pemikiran sains kontemporer, guna memahami bahwa ide tentang pluralitas kosmos merupakan hasil evolusi intelektual yang kompleks, bukan sekadar produk spekulasi ilmiah abad ke-21.

2.1.       Dunia Jamak dalam Pemikiran Kuno

Pandangan kosmologis pra-Sokratik merupakan salah satu embrio awal gagasan dunia jamak. Anaximander dari Miletos (abad ke-6 SM) memandang bahwa apeiron—yang tak terbatas dan tak terhingga—menjadi asal segala sesuatu, tempat di mana banyak dunia dapat muncul dan hancur secara berulang.¹ Demokritos dan Leucippos kemudian memperluas pandangan ini dalam kerangka atomisme: atom-atom yang bergerak dalam kehampaan dapat membentuk berbagai dunia yang tak terhitung jumlahnya, masing-masing dengan struktur dan hukum yang berbeda.² Dengan demikian, konsep dunia jamak dalam filsafat Yunani kuno tidak sekadar bersifat metaforis, tetapi merefleksikan intuisi ontologis tentang kemungkinan pluralitas realitas.

Pemikiran Aristoteles membawa arah yang berbeda. Ia menolak pluralitas dunia dengan menegaskan satu alam semesta tertutup yang tersusun hierarkis, berpusat pada Bumi dan dikelilingi oleh sfera-sfera langit yang sempurna.³ Pandangan ini mendominasi kosmologi Barat selama berabad-abad, diperkuat oleh sintesis teologis skolastik yang menempatkan satu alam semesta sebagai ciptaan tunggal Tuhan.⁴ Dengan demikian, sejak awal, sejarah pemikiran Barat telah memperlihatkan ketegangan antara dua pandangan metafisik: kosmos jamak (pluralis) dan kosmos tunggal (monistik).

2.2.       Transisi Kosmologis pada Abad Modern

Revolusi ilmiah abad ke-17 mengubah paradigma tentang alam semesta secara mendasar. Nicolaus Copernicus, Galileo Galilei, dan Isaac Newton menyingkirkan konsep kosmos tertutup Aristotelian, menggantinya dengan pandangan mekanistik tentang ruang tak berhingga yang diisi oleh hukum-hukum universal.⁵ Newton sendiri menolak ide dunia jamak dalam pengertian metafisis, tetapi ruang mutlak yang tak berbatas yang ia ajukan membuka kemungkinan secara implisit bagi pluralitas realitas.⁶ Sementara itu, filsuf seperti Giordano Bruno berani menafsirkan ruang tak terbatas Newtonian sebagai bukti keberadaan “tak terhitung dunia berpenghuni” di jagat raya, suatu gagasan yang pada masanya dianggap bid’ah dan berujung pada eksekusinya.⁷

Abad Pencerahan dan modernitas awal kemudian menandai rasionalisasi gagasan ini. Imanuel Kant dalam Universal Natural History and Theory of the Heavens (1755) mengemukakan bahwa galaksi-galaksi yang tampak di langit bisa jadi merupakan sistem dunia lain yang serupa dengan Bima Sakti kita.⁸ Dengan demikian, Kant secara tidak langsung memperluas horizon empiris kosmologi sekaligus memperkenalkan dimensi transendental dalam memahami dunia jamak: manusia hanya dapat mengetahui realitas sejauh fenomena, sementara kemungkinan dunia lain tetap berada di luar batas pengetahuan empirisnya.⁹

2.3.       Pergeseran Menuju Kosmologi Modern

Abad ke-20 membawa kebangkitan baru bagi gagasan pluralitas dunia, kali ini dalam konteks fisika teoretis. Teori relativitas umum Albert Einstein menegaskan bahwa ruang dan waktu bukanlah panggung pasif, melainkan struktur dinamis yang dapat melengkung dan berevolusi.¹⁰ Penemuan perluasan alam semesta oleh Edwin Hubble (1929) semakin memperluas pemahaman tentang skala kosmik, dan pada pertengahan abad ke-20, muncul model kosmologi Big Bang yang menjadi paradigma dominan.¹¹

Namun, dari dalam fisika kuantum lahir persoalan baru: sifat probabilistik realitas dan keanehan fenomena superposisi membuka peluang bagi interpretasi “banyak dunia” (many-worlds interpretation) yang diajukan Hugh Everett pada 1957.¹² Dalam interpretasi ini, setiap peristiwa kuantum menghasilkan percabangan realitas, sehingga terdapat jumlah tak terhingga dunia paralel yang masing-masing mewujudkan kemungkinan berbeda dari satu peristiwa yang sama.¹³ Model ini menjadi salah satu landasan konseptual bagi teori multiverse modern.

Pada dekade 1980-an, Alan Guth memperkenalkan teori eternal inflation yang menyatakan bahwa ruang-waktu mengalami ekspansi terus-menerus, menciptakan gelembung-gelembung alam semesta baru di dalam lanskap kosmik.¹⁴ Dari sinilah muncul gagasan bahwa alam semesta kita hanyalah satu dari tak terhitung “gelembung kosmos” dalam struktur multiverse. Perkembangan ini kemudian diintegrasikan ke dalam teori string dan kosmologi kuantum, menghasilkan spektrum luas model multiverse yang bersifat matematis sekaligus metafisis.¹⁵

2.4.       Genealogi Intelektual: Dari Metafisika ke Kosmologi Spekulatif

Menelusuri alur historis di atas, tampak bahwa gagasan multiverse merupakan hasil evolusi dialektis antara spekulasi metafisik dan verifikasi ilmiah. Setiap fase pemikiran—dari pra-Sokratik hingga teori kuantum modern—memperlihatkan pergeseran cara manusia memahami “ada” dan “kemungkinan”. Filsafat menyiapkan fondasi konseptualnya, sementara sains memberikan bahasa matematisnya. Genealogi multiverse, dengan demikian, merepresentasikan kontinuitas ide-ide manusia dalam mencari struktur terdalam dari kenyataan: dari apeiron hingga ruang-waktu yang mengembang tanpa batas.¹⁶


Footnotes

[1]                Daniel W. Graham, Explaining the Cosmos: The Ionian Tradition of Scientific Philosophy (Princeton: Princeton University Press, 2006), 42–47.

[2]                Aristotle, On the Heavens, trans. W. K. C. Guthrie (Cambridge: Harvard University Press, 1939), 284–285.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1026a–1027b.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.47, Art.3.

[5]                Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 13–18.

[6]                Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, trans. Andrew Motte (London: Benjamin Motte, 1729), 75–78.

[7]                Frances A. Yates, Giordano Bruno and the Hermetic Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1964), 355–358.

[8]                Immanuel Kant, Universal Natural History and Theory of the Heavens, trans. W. Hastie (Glasgow: J. Maclehose, 1900), 10–12.

[9]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235–A239.

[10]             Albert Einstein, “The Foundation of the General Theory of Relativity,” Annalen der Physik 49 (1916): 769–822.

[11]             Edwin Hubble, “A Relation Between Distance and Radial Velocity Among Extra-Galactic Nebulae,” Proceedings of the National Academy of Sciences 15, no. 3 (1929): 168–173.

[12]             Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.

[13]             Bryce S. DeWitt, “Quantum Mechanics and Reality,” Physics Today 23, no. 9 (1970): 30–35.

[14]             Alan H. Guth, “Inflationary Universe: A Possible Solution to the Horizon and Flatness Problems,” Physical Review D 23, no. 2 (1981): 347–356.

[15]             Leonard Susskind, The Cosmic Landscape: String Theory and the Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 187–194.

[16]             Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 25–27.


3.           Ontologi: Hakikat Realitas dalam Teori Multiverse

Pertanyaan ontologis mengenai teori multiverse berpusat pada hakikat “ada” dan “realitas” itu sendiri: apakah yang dimaksud dengan universe (alam semesta tunggal) masih memadai untuk menjelaskan struktur realitas, ataukah manusia kini harus mengakui pluralitas eksistensi kosmik yang tak terbatas? Dalam tradisi filsafat, persoalan ini menyentuh inti metafisika klasik—yakni tentang keberadaan (being) dan kemungkinan (possibility). Teori multiverse, dalam konteks ini, menantang ontologi tradisional yang berasumsi tentang satu dunia yang aktual, dengan memperluasnya menjadi tatanan di mana berbagai dunia dapat eksis secara setara dan simultan, meskipun mungkin tidak saling berinteraksi secara kausal.¹

3.1.       Ontologi Keberagaman Kosmik

Dalam ontologi klasik Aristotelian, realitas dipahami sebagai hierarki entitas yang bergradasi dari potensi menuju aktualitas.² Dengan demikian, hanya satu dunia yang “teraktualkan” secara penuh di bawah tatanan kosmik yang tunggal. Namun, teori multiverse mematahkan struktur hierarkis tersebut dengan mengandaikan adanya banyak aktualitas sekaligus—setiap “dunia” menjadi aktual dalam konteksnya sendiri, tanpa subordinasi terhadap dunia lain.³ Gagasan ini mengandung implikasi radikal: realitas tidak lagi bersifat tunggal (monistik), melainkan jamak dan paralel (pluralistik).

Max Tegmark mengusulkan empat tingkatan ontologis dari multiverse, yang menunjukkan bagaimana struktur realitas dapat dipahami secara bertingkat:⁴

1)                  Level I – Multiverse Kosmologis: alam semesta tak terbatas secara spasial, di mana setiap wilayah jauh memuat konfigurasi materi berbeda;

2)                  Level II – Multiverse Inflasioner: hasil dari eternal inflation, menciptakan banyak “gelembung” alam semesta dengan hukum fisika berbeda;

3)                  Level III – Multiverse Kuantum: berdasarkan interpretasi many-worlds dari mekanika kuantum, di mana setiap peristiwa bercabang menjadi realitas berbeda;

4)                  Level IV – Multiverse Matematis: semua struktur matematis yang konsisten eksis secara ontologis, sehingga realitas sama dengan matematika itu sendiri.

Dalam kerangka ini, realitas tidak hanya terdiri atas satu sistem dunia fisik, tetapi merupakan totalitas dari semua struktur yang mungkin secara matematis maupun logis. Tegmark menamakan pandangan ini sebagai mathematical realism radical, di mana keberadaan identik dengan keterwujudan matematis.⁵

3.2.       Metafisika Kemungkinan dan Realitas Jamak

Persoalan ontologis multiverse tidak dapat dilepaskan dari filsafat kemungkinan (modal metaphysics). David Lewis dalam On the Plurality of Worlds menyatakan bahwa semua dunia yang mungkin (possible worlds) eksis secara sama nyata dengan dunia kita; perbedaan antara “aktual” dan “mungkin” bersifat indeksikal—yakni bergantung pada perspektif pengamat.⁶ Dengan demikian, bagi Lewis, dunia-dunia lain tidak hanya fiksi konseptual, tetapi memiliki status ontologis yang sejajar dengan dunia aktual ini. Pandangan ini memiliki kesepadanan struktural dengan multiverse kuantum, meskipun berasal dari premis metafisik, bukan fisika empiris.

Akan tetapi, jika semua dunia mungkin dianggap nyata, maka ontologi kehilangan pusat keaktualan tunggalnya. Realitas tidak lagi dapat dipahami sebagai “satu keseluruhan” yang koheren, melainkan sebagai himpunan tak terbatas dari eksistensi yang otonom. Hal ini menimbulkan dilema ontologis: apakah “ada” masih dapat didefinisikan secara universal jika setiap kemungkinan menjadi aktual di suatu ranah eksistensi?⁷ Dalam konteks ini, teori multiverse memperluas ontologi ke wilayah metarealitas, yaitu tataran di mana prinsip-prinsip logika dan matematis menjadi dasar eksistensi.

3.3.       Ontologi Relasional dan Masalah Identitas

Jika terdapat banyak versi alam semesta, maka bagaimana dengan identitas entitas di dalamnya? Dalam multiverse kuantum, setiap keputusan atau peristiwa dapat memunculkan cabang realitas baru di mana versi lain dari diri kita mengambil jalan berbeda.⁸ Ontologinya bersifat relasional: eksistensi suatu entitas tidak dapat dipahami secara absolut, tetapi selalu dalam konteks dunia tertentu.⁹ Dalam pandangan ini, realitas bersifat plural sekaligus terhubung oleh relasi kemungkinan. Identitas diri menjadi diasporik—tersebar di berbagai dunia tanpa kehilangan kontinuitas logis.

Keterkaitan antara ontologi relasional dan multiverse ini juga menantang konsep keunikan eksistensi manusia dalam semesta tunggal. Jika versi diri kita tak terhingga jumlahnya, maka makna ontologis dari “eksistensi pribadi” menjadi problematis. Persoalan ini membuka ruang bagi refleksi etika dan aksiologi, terutama mengenai tanggung jawab, kebebasan, dan makna hidup dalam konteks pluralitas realitas.¹⁰

3.4.       Realitas, Struktur, dan Rasionalitas

Dalam kosmologi modern, realitas dipahami bukan sebagai kumpulan objek material semata, melainkan sebagai struktur relasional yang dapat dijelaskan melalui hukum-hukum matematis.¹¹ Pandangan ini dikenal sebagai structural realism, yakni gagasan bahwa apa yang benar-benar “ada” bukanlah benda, melainkan struktur hubungan yang dipertahankan di seluruh level deskripsi ilmiah.¹² Multiverse, dalam hal ini, dapat dipandang sebagai konsekuensi logis dari realitas struktural tersebut: jika hukum-hukum memungkinkan berbagai kondisi awal dan parameter, maka seluruh struktur yang konsisten secara logis memiliki dasar ontologis.¹³

Dengan demikian, ontologi multiverse menandai pergeseran dari substantive ontology menuju structural ontology—dari pencarian “apa yang ada” menuju pemahaman tentang “bagaimana segala sesuatu terstruktur dan mungkin ada.” Filsafat dalam konteks ini berfungsi bukan untuk menegaskan kebenaran metafisik tunggal, melainkan untuk memahami koherensi eksistensial di dalam jaringan realitas jamak.¹⁴


Refleksi Ontologis

Teori multiverse, pada akhirnya, menempatkan manusia di tengah paradoks eksistensial: ia hidup dalam satu dunia yang nyata baginya, tetapi akal budinya menunjukkan kemungkinan tak terhitung dunia lain yang sama nyatanya. Paradoks ini mengingatkan bahwa ontologi bukan sekadar soal enumerasi entitas, tetapi tentang struktur kemungkinan yang memungkinkan segala keberadaan. Realitas, dalam kerangka multiverse, bukanlah kesatuan tertutup, melainkan medan keterbukaan ontologis yang terus meluas.¹⁵


Footnotes

[1]                Tim Maudlin, Philosophy of Physics: Space and Time (Princeton: Princeton University Press, 2012), 89–92.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1048a–1050b.

[3]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 130–133.

[4]                Max Tegmark, “Parallel Universes,” Scientific American 288, no. 5 (2003): 40–51.

[5]                Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 25–28.

[6]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.

[7]                Barry Dainton, Time and Space (Durham: Acumen, 2010), 315–318.

[8]                Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.

[9]                Simon Saunders et al., Many Worlds? Everett, Quantum Theory, and Reality (Oxford: Oxford University Press, 2010), 63–69.

[10]             Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press, 1984), 210–213.

[11]             James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 128–132.

[12]             Steven French and James Ladyman, “Remodeling Structural Realism: Quantum Physics and the Metaphysics of Structure,” Synthese 136, no. 1 (2003): 31–56.

[13]             Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 247–251.

[14]             Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford: Clarendon Press, 1989), 233–237.

[15]             Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 5–7.


4.           Epistemologi: Pengetahuan dan Pembenaran tentang Alam Jamak

Masalah utama dalam epistemologi multiverse terletak pada status pengetahuan tentang sesuatu yang secara empiris tak terjangkau. Jika alam semesta kita hanyalah salah satu dari banyak dunia yang mungkin, bagaimana manusia dapat mengetahui keberadaan dunia-dunia lain itu? Pertanyaan ini menyingkap dilema klasik antara batas empiris pengetahuan dan keluasan rasionalitas spekulatif. Teori multiverse menguji ketegangan antara empirical adequacy (kecukupan empiris) dan theoretical coherence (koherensi teoretis), serta menuntut peninjauan ulang terhadap kriteria epistemik kebenaran ilmiah itu sendiri.¹

4.1.       Dilema Epistemik: Antara Falsifiabilitas dan Inferensi

Karl Popper menetapkan falsifiabilitas sebagai demarkasi utama antara ilmu dan metafisika: sebuah teori ilmiah harus dapat diuji dan berpotensi dibantah oleh pengalaman empiris.² Namun teori multiverse tampaknya menentang kriteria ini, sebab dunia-dunia lain yang dipostulatkan tidak dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan instrumen ilmiah apa pun yang tersedia.³ Dengan demikian, secara ketat, teori multiverse tidak dapat diverifikasi maupun difalsifikasi.

Sebagian filsuf ilmu menilai hal ini bukan kelemahan mutlak. George Ellis, misalnya, menegaskan bahwa sains kosmologi memang beroperasi di wilayah ekstrem di mana eksperimen tidak selalu mungkin dilakukan, sehingga validitas teoretis dapat ditopang oleh inference to the best explanation (inferensi menuju penjelasan terbaik).⁴ Dalam hal ini, teori multiverse dapat diterima sejauh ia memberikan koherensi lebih besar terhadap data empiris yang ada—misalnya dalam menjelaskan nilai-nilai konstanta fisika yang tampak “disetel” dengan sangat presisi bagi kehidupan (fine-tuning problem).⁵

Dengan demikian, epistemologi multiverse menggeser fokus dari verifiability menuju plausibility: bukan seberapa dapat diuji suatu teori, melainkan seberapa rasional dan konsisten ia menjelaskan fenomena yang diamati.⁶

4.2.       Peran Inferensi Ilmiah dan Model Matematis

Dalam tradisi filsafat sains kontemporer, terutama pada pandangan Bas van Fraassen, model ilmiah tidak harus mencerminkan realitas ontologis secara langsung; cukup jika ia empirically adequate—yakni sesuai dengan fenomena yang teramati.⁷ Teori multiverse, dengan demikian, dapat dipahami sebagai konstruksi model matematis yang bertujuan menjelaskan keanekaragaman struktur kosmik tanpa mengklaim representasi literal atas dunia-dunia lain.

Pendekatan ini sejalan dengan structural realism yang menegaskan bahwa sains menangkap struktur hubungan di balik fenomena, bukan substansi entitas yang tersembunyi.⁸ Dalam konteks ini, pengetahuan tentang multiverse bersifat struktural, bukan substantif: manusia mengetahui bagaimana berbagai kemungkinan dunia dapat terhubung melalui hukum-hukum fisika, bukan apa dunia-dunia itu secara konkret.⁹

Namun demikian, model matematis tidak sepenuhnya bebas nilai epistemik. Sebagaimana dikemukakan Tegmark, jika struktur matematis sepenuhnya identik dengan realitas, maka mengenali model matematis berarti memahami eksistensi itu sendiri.¹⁰ Di sini, epistemologi bergeser menjadi ontologis: mengetahui berarti mengidentifikasi struktur logis yang mungkin ada.

4.3.       Empirisisme, Spekulasi, dan Batas Pengalaman

Filsafat empirisisme memandang bahwa semua pengetahuan sah harus berakar pada pengalaman inderawi.¹¹ Akan tetapi, dalam kosmologi modern, banyak teori justru bergerak melampaui batas empiris ini. Sebagaimana ditegaskan Sean Carroll, sains tidak dapat dipisahkan dari inferensi rasional terhadap yang tidak teramati, karena kosmos tidak menyediakan laboratorium uji ulang.¹² Teori multiverse, dalam hal ini, merupakan epistemic extrapolation—ekstrapolasi rasional dari prinsip fisika yang telah terbukti dalam ranah terbatas menuju skala kosmik yang lebih luas.

Meski demikian, pergeseran ini menuntut kehati-hatian epistemik. Kritik dari filsuf seperti Nancy Cartwright dan Ian Hacking mengingatkan bahwa “realitas ilmiah” sering kali merupakan hasil idealisasi model, bukan deskripsi literal alam.¹³ Maka, teori multiverse harus ditempatkan sebagai bentuk pengetahuan hipotesis yang memiliki nilai heuristik, bukan kepastian ontologis.

4.4.       Perbandingan Epistemologis: Ilmu, Metafisika, dan Imajinasi

Secara historis, batas antara sains dan metafisika tidak pernah sepenuhnya tegas. Galileo, Newton, hingga Einstein memulai revolusi ilmiah mereka dengan asumsi-asumsi metafisik tentang keteraturan dan rasionalitas alam.¹⁴ Dalam konteks ini, multiverse dapat dilihat sebagai kelanjutan tradisi metafisika rasional yang menuntut dasar bagi keteraturan kosmik. Perbedaannya terletak pada perangkat epistemiknya: jika metafisika klasik berangkat dari prinsip apriori, maka multiverse berangkat dari formalitas matematis dan ekstrapolasi teori fisika.¹⁵

Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Thomas Kuhn, perkembangan ilmu tidak hanya diukur oleh keberhasilan empiris, melainkan juga oleh perubahan paradigma konseptual.¹⁶ Multiverse, dengan demikian, dapat dipahami sebagai paradigma baru dalam epistemologi sains: paradigma yang menempatkan kemungkinan sebagai kategori pengetahuan, sejajar dengan aktualitas.

4.5.       Pengetahuan dalam Horizon Kemungkinan

Epistemologi multiverse akhirnya membawa filsafat menuju horizon baru, di mana pengetahuan tidak lagi terbatas pada observasi, tetapi mencakup pemahaman terhadap kemungkinan yang rasional. Dalam kerangka ini, “mengetahui” berarti mampu menalar konsistensi logis antara berbagai kemungkinan eksistensi.¹⁷ Manusia tidak lagi hanya mengenal alam semesta yang ia huni, melainkan juga mengakui rasionalitas pluralitas eksistensi yang mendasari kosmos.

Dengan demikian, teori multiverse menuntut epistemologi yang bersifat trans-empirical: pengetahuan yang tidak menafikan pengalaman, tetapi mengakui keterbatasannya. Pengetahuan tentang alam jamak bukanlah hasil pengamatan inderawi, melainkan sintesis rasional antara pengalaman empiris, struktur matematis, dan imajinasi metafisik yang terarah oleh prinsip koherensi ilmiah.¹⁸


Footnotes

[1]                Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 51–55.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 36–40.

[3]                Sabine Hossenfelder, “Multiverses and the Philosophy of Science,” Foundations of Physics 48, no. 9 (2018): 1291–1303.

[4]                George F. R. Ellis, “Issues in the Philosophy of Cosmology,” in Philosophy of Physics, ed. Jeremy Butterfield and John Earman (Amsterdam: North-Holland, 2007), 1183–1204.

[5]                Bernard Carr, ed., Universe or Multiverse? (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 17–22.

[6]                Richard Dawid, “Theoretical Confirmation beyond Empiricism,” Philosophy of Science 81, no. 5 (2014): 1071–1083.

[7]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–13.

[8]                James Ladyman, Don Ross, and David Spurrett, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 131–136.

[9]                Steven French, “Structural Realism and the Metaphysics of Structure,” Synthese 136, no. 1 (2003): 31–56.

[10]             Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 29–33.

[11]             John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 67–69.

[12]             Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 249–253.

[13]             Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983), 45–48; Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 221–224.

[14]             Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 88–92.

[15]             David Deutsch, The Fabric of Reality: The Science of Parallel Universes—and Its Implications (New York: Penguin, 1997), 112–116.

[16]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 151–153.

[17]             Robert Nozick, Invariances: The Structure of the Objective World (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 80–83.

[18]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 212–216.


5.           Aksiologi: Nilai, Etika, dan Implikasi Filosofis Multiverse

Pertanyaan aksiologis dalam teori multiverse berkisar pada nilai dan makna: jika realitas terdiri dari banyak dunia yang eksis secara simultan, apa arti dari nilai, tanggung jawab moral, dan makna hidup manusia? Filsafat nilai (axiology) menempatkan manusia sebagai makhluk yang menilai, dan nilai itu sendiri berakar pada pengalaman unik tentang keterbatasan dan keberbedaan. Namun, teori multiverse menantang asumsi ini dengan menghadirkan kemungkinan tak terbatas di mana setiap tindakan, pilihan, dan konsekuensinya terwujud dalam versi dunia yang berbeda.¹ Dalam konteks tersebut, muncul persoalan mendasar: apakah nilai dan moralitas masih bermakna jika semua kemungkinan sudah terealisasi di alam semesta lain?

5.1.       Nilai Epistemik dan Etika Pengetahuan Spekulatif

Teori multiverse, meskipun belum terverifikasi secara empiris, memiliki nilai epistemik yang penting dalam sejarah sains. Ia memperluas horizon pengetahuan manusia dengan menuntut kerendahan hati epistemologis—kesadaran bahwa realitas mungkin jauh lebih kompleks daripada yang dapat diobservasi.² Dengan demikian, multiverse mendorong suatu etika pengetahuan spekulatif, yakni tanggung jawab ilmuwan dan filsuf untuk menyeimbangkan antara imajinasi rasional dan verifikasi empiris.³

Nilai epistemik ini mengandung dimensi moral tertentu: mengejar pengetahuan yang mungkin tanpa mengabaikan batas-batas manusiawi.⁴ Brian Greene menyebutnya sebagai bentuk “kerendahan kosmologis” (cosmic humility)—suatu kesadaran bahwa manusia bukan pusat alam semesta, melainkan bagian kecil dari lanskap eksistensi yang tak terbatas.⁵ Dalam arti ini, teori multiverse berfungsi bukan hanya sebagai hipotesis ilmiah, tetapi juga sebagai refleksi moral yang menumbuhkan sikap etis terhadap keterbatasan manusia.

5.2.       Kebebasan, Determinisme, dan Tanggung Jawab Moral

Salah satu implikasi etis paling kontroversial dari teori multiverse adalah problem tanggung jawab moral. Jika semua kemungkinan hasil dari suatu tindakan benar-benar terjadi di dunia paralel yang berbeda—sebagaimana diasumsikan dalam interpretasi many-worlds—maka setiap pilihan baik dan buruk pada dasarnya terealisasi di suatu versi alam semesta.⁶ Dalam situasi ini, apakah individu masih dapat dikatakan bebas secara moral?

Derek Parfit menunjukkan bahwa identitas personal tidak bersifat numerik tunggal, melainkan relasional dan berkelanjutan.⁷ Dalam konteks multiverse, gagasan ini berarti bahwa tanggung jawab moral tetap eksis dalam konteks lokal dari setiap dunia, karena setiap versi individu memiliki kesadaran dan niatnya sendiri.⁸ Dengan demikian, multiverse tidak meniadakan etika, melainkan mendistribusikan tanggung jawab moral ke dalam banyak konteks eksistensial.

Namun, hal ini juga menimbulkan dilema: jika di dunia lain seseorang melakukan kejahatan yang tidak ia lakukan di dunia ini, apakah ia turut bertanggung jawab? Secara aksiologis, dilema ini menyingkap batas antara moralitas universal dan partikular. Nilai moral tetap bermakna sejauh kesadaran moral terikat pada dunia yang aktual bagi subjek.⁹ Maka, multiverse menegaskan bahwa moralitas bersifat situasional—berakar pada pengalaman konkret, bukan pada totalitas metafisik yang tak terjangkau.

5.3.       Implikasi Teologis dan Etika Religius

Dari perspektif teologis, pluralitas dunia menimbulkan pertanyaan tentang keesaan ciptaan dan maksud Ilahi. Jika Tuhan menciptakan banyak dunia, apakah hal itu mengurangi keunikan penciptaan kita, atau justru memperluas kemahakuasaan-Nya?¹⁰ Dalam tradisi teologi Islam dan Kristen, gagasan tentang banyak dunia bukanlah hal asing. Al-Qur’an menyebut Tuhan sebagai Rabb al-‘ālamīn—“Tuhan semesta alam,” yang secara gramatikal mengindikasikan pluralitas alam (‘ālam).¹¹ Demikian pula, beberapa teolog Kristen modern seperti William Lane Craig menafsirkan multiverse sebagai ekspresi dari kebijaksanaan Tuhan yang mencipta dalam keragaman kemungkinan.¹²

Dari sudut etika religius, gagasan multiverse mengundang reinterpretasi nilai teologis tentang keunikan manusia. Jika terdapat banyak versi diri manusia di dunia lain, maka makna keselamatan, dosa, dan kebebasan harus dipahami bukan secara numerik, melainkan eksistensial: keselamatan adalah hubungan sadar dengan kebaikan di dunia aktual masing-masing, bukan status metafisik di seluruh realitas.¹³ Dengan demikian, teori multiverse tidak meniadakan etika religius, tetapi menuntut penafsiran ulang terhadap konsep keunikan dan tanggung jawab personal di hadapan Tuhan.

5.4.       Nilai Eksistensial: Makna Hidup di Alam Jamak

Persoalan nilai eksistensial dalam multiverse sangat erat dengan makna hidup. Jika semua kemungkinan eksis, apakah makna masih memiliki relevansi? Albert Camus pernah berpendapat bahwa absurditas hidup manusia muncul dari kesenjangan antara pencarian makna dan ketidakpedulian alam semesta.¹⁴ Multiverse memperluas absurditas ini secara kosmik: dalam lautan kemungkinan tak terbatas, makna tampak larut dalam probabilitas. Namun justru di sinilah nilai eksistensialnya muncul—bahwa kesadaran manusia yang mampu mengakui pluralitas realitas tetap mencari makna secara sadar dan terbatas.¹⁵

Filsuf kontemporer seperti Sean Carroll menekankan bahwa pencarian makna tidak bergantung pada jumlah dunia yang ada, melainkan pada kedalaman hubungan dan tindakan dalam dunia aktual kita.¹⁶ Dengan demikian, nilai eksistensial dalam kerangka multiverse bukanlah kepastian metafisik, melainkan komitmen personal terhadap makna di tengah kemungkinan yang tak terhingga. Kesadaran akan pluralitas dunia bukanlah nihilisme, melainkan undangan untuk hidup lebih reflektif dan bertanggung jawab terhadap realitas yang dihayati.

5.5.       Etika Kosmik dan Nilai Keterbukaan

Aksiologi multiverse akhirnya mengarah pada gagasan tentang etika kosmik—yakni kesadaran moral yang melampaui batas planet, spesies, bahkan semesta.¹⁷ Jika realitas terdiri dari tak terhitung struktur eksistensi, maka nilai tertinggi bukan lagi dominasi atau keseragaman, melainkan keterbukaan terhadap keberagaman ontologis. Dalam pandangan ini, multiverse bukan ancaman bagi nilai, melainkan pengingat akan nilai tertinggi dalam filsafat: keterbatasan dan keterbukaan (finitude and openness).

Nilai keterbukaan ini selaras dengan etos humanistik universal: pengakuan bahwa setiap bentuk eksistensi—di dunia ini atau dunia lain—memiliki martabat yang layak dihormati sejauh ia merupakan manifestasi dari rasionalitas dan kesadaran.¹⁸ Dengan demikian, teori multiverse mengandung potensi etika baru: bukan sekadar etika tindakan di dunia tunggal, tetapi etika pengakuan terhadap pluralitas realitas.


Footnotes

[1]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 117–121.

[2]                George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific American 305, no. 2 (2011): 40–45.

[3]                Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 65–69.

[4]                Philip Kitcher, Science, Truth, and Democracy (Oxford: Oxford University Press, 2001), 73–77.

[5]                Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 295–299.

[6]                Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.

[7]                Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press, 1984), 212–214.

[8]                Simon Saunders et al., Many Worlds? Everett, Quantum Theory, and Reality (Oxford: Oxford University Press, 2010), 183–187.

[9]                Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University Press, 1986), 152–155.

[10]             Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld, 1996), 88–92.

[11]             Al-Qur’an, Surah Al-Fatihah [1]: 2.

[12]             William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed. Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.

[13]             Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1974), 28–30.

[14]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 10–12.

[15]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1993), 628–630.

[16]             Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 300–304.

[17]             Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey (Philadelphia: Temple University Press, 1987), 213–217.

[18]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 36–39.


6.           Dimensi Ilmiah dan Interdisipliner

Kajian mengenai multiverse menempati posisi unik di antara sains teoretis dan filsafat metafisis. Ia tidak hanya berakar pada temuan-temuan kosmologi modern, tetapi juga membuka ruang dialog dengan matematika, logika, filsafat ilmu, bahkan ilmu komputer dan teologi. Dalam pengertian ini, teori multiverse bersifat interdisciplinary nexus—titik temu berbagai disiplin yang sama-sama berupaya memahami struktur terdalam dari realitas.¹ Untuk menelaahnya secara utuh, diperlukan pendekatan yang tidak hanya empiris, tetapi juga reflektif, konseptual, dan integratif.

6.1.       Dimensi Kosmologis dan Fisika Teoretis

Dalam ranah ilmiah, teori multiverse berakar kuat pada dua tonggak utama: kosmologi inflasi dan mekanika kuantum. Teori eternal inflation yang diajukan oleh Alan Guth dan dikembangkan oleh Andrei Linde menyatakan bahwa proses inflasi kosmik—yakni ekspansi eksponensial ruang pada masa awal alam semesta—tidak berhenti secara serentak di seluruh ruang.² Beberapa bagian ruang terus mengalami inflasi, menciptakan “gelembung-gelembung alam semesta” (bubble universes) yang masing-masing mungkin memiliki hukum fisika, konstanta, dan dimensi ruang-waktu berbeda.³

Pada sisi lain, interpretasi many-worlds dalam mekanika kuantum, sebagaimana dirumuskan Hugh Everett (1957), menyatakan bahwa setiap kali suatu sistem kuantum mengalami pengukuran, seluruh kemungkinan hasilnya benar-benar terealisasi di dunia paralel yang berbeda.⁴ Dalam kerangka ini, multiverse bukan hanya konsekuensi kosmologis, tetapi juga logis dari struktur teori kuantum itu sendiri. Sean Carroll menegaskan bahwa, secara matematis, interpretasi ini tidak menambahkan entitas baru ke dalam fisika; ia hanya menafsirkan persamaan Schrödinger secara realistis dan non-kolaps.⁵

Gabungan kedua teori tersebut melahirkan pemahaman baru tentang realitas sebagai jaringan probabilitas kosmik yang terus bercabang. Bagi fisika teoretis, multiverse bukanlah penolakan terhadap kausalitas, melainkan perluasan domain hukum-hukum alam ke wilayah yang melampaui observasi langsung.⁶

6.2.       Dimensi Filsafat Ilmu: Status Epistemik dan Kriteria Ilmiah

Pertanyaan mengenai status ilmiah teori multiverse masih menjadi perdebatan intens. Karl Popper menilai bahwa teori yang tidak dapat difalsifikasi secara empiris tidak dapat disebut ilmiah.⁷ Namun, banyak kosmolog modern berpendapat bahwa falsifiabilitas bukan satu-satunya kriteria legitimasi ilmiah. Richard Dawid, misalnya, melalui konsep non-empirical theory confirmation, mengusulkan bahwa teori yang memiliki kekuatan eksplanatori tinggi, koheren dengan teori-teori mapan, dan tidak memiliki alternatif yang lebih baik, dapat dianggap confirmed meski tanpa bukti empiris langsung.⁸

Filsafat ilmu dalam konteks ini memandang teori multiverse sebagai borderline science—sains di batas antara empirisme dan metafisika.⁹ Ia mengandung nilai epistemik tersendiri: menguji kapasitas sains untuk berpikir tentang yang tidak teramati. Bagi Thomas Kuhn, kemunculan teori seperti multiverse menandai pergeseran paradigma—dari empirisisme klasik menuju sains spekulatif yang tetap rasional.¹⁰ Dengan demikian, multiverse menjadi medan ujian bagi filsafat ilmu untuk menilai ulang konsep verifikasi, justifikasi, dan rasionalitas ilmiah.

6.3.       Dimensi Matematis dan Logika Modal

Multiverse tidak dapat dilepaskan dari bahasa matematika. Dalam kerangka Max Tegmark, realitas itu sendiri adalah struktur matematis; segala sesuatu yang konsisten secara logis dan matematis memiliki eksistensi ontologis.¹¹ Pandangan ini dikenal sebagai Mathematical Universe Hypothesis (MUH). Jika benar, maka keberadaan multiverse adalah konsekuensi niscaya dari prinsip logika matematis: semua bentuk struktur yang mungkin secara formal eksis dalam tatanan realitas.¹²

Dari perspektif logika modal, gagasan ini selaras dengan possible worlds semantics yang dikembangkan oleh Saul Kripke dan David Lewis.¹³ Logika modal menyatakan bahwa setiap proposisi “mungkin benar” direpresentasikan oleh dunia yang membuat proposisi tersebut aktual.¹⁴ Maka, ketika kosmologi berbicara tentang “gelembung alam semesta,” filsafat logika menanggapinya sebagai “realitas modal”—struktur semesta yang merealisasikan kemungkinan berbeda dalam ruang logis.¹⁵ Dengan demikian, matematika dan logika menjadi bukan sekadar alat deskriptif, melainkan modus cognoscendi—cara mengetahui yang menyingkap aspek terdalam eksistensi.

6.4.       Dimensi Teknologi dan Ilmu Komputer

Perkembangan teknologi komputasi dan kecerdasan buatan (AI) memberikan lapisan baru bagi diskursus multiverse. Dunia digital, terutama dalam simulasi fisika dan realitas virtual, menghadirkan analogi epistemik tentang bagaimana dunia jamak dapat diwujudkan melalui sistem informasi yang berbeda tetapi konsisten secara internal.¹⁶ Nick Bostrom melalui Simulation Argument bahkan mengajukan hipotesis bahwa realitas kita sendiri mungkin merupakan simulasi komputer yang dijalankan oleh peradaban maju di dunia lain.¹⁷

Dalam konteks ini, multiverse bukan hanya persoalan kosmologis, melainkan juga informasi: setiap “dunia” adalah konfigurasi berbeda dari bit-bit realitas.¹⁸ Interdisiplineritas antara fisika dan ilmu komputer melahirkan cabang baru seperti quantum computing dan digital physics yang melihat alam semesta sebagai sistem pemrosesan informasi raksasa.¹⁹ Dengan demikian, diskursus multiverse juga menyinggung batas antara ontologi dan teknologi—antara realitas sebagai keberadaan dan realitas sebagai simulasi.

6.5.       Dimensi Teologis dan Humaniora

Selain dimensi ilmiah, teori multiverse beresonansi kuat dengan refleksi teologis dan humaniora. Dalam teologi natural, pluralitas dunia sering ditafsirkan sebagai ekspresi kebijaksanaan Ilahi yang tak terbatas.²⁰ Sementara itu, dalam humaniora, multiverse menjadi simbol metaforis tentang pluralitas makna dan realitas sosial manusia. Literatur, film, dan seni kontemporer (misalnya Everything Everywhere All at Once atau Doctor Strange in the Multiverse of Madness) menggunakan konsep ini untuk mengeksplorasi identitas, kebebasan, dan kemungkinan eksistensial.²¹

Dengan demikian, teori multiverse berfungsi ganda: secara ilmiah ia menguji batas empirisme, secara kultural ia memperluas imajinasi manusia tentang realitas.²² Melalui pendekatan interdisipliner—kosmologi, filsafat, matematika, teknologi, dan humaniora—konsep multiverse memperlihatkan bahwa pemahaman manusia terhadap alam semesta bukan hanya soal data, tetapi juga soal makna.²³


Sintesis Ilmiah-Filosofis

Interdisiplineritas multiverse menunjukkan bahwa pengetahuan modern tidak dapat lagi dipisahkan secara kaku antara sains dan filsafat.²⁴ Dalam tradisi Aristotelian, sains berupaya menjelaskan bagaimana sesuatu bekerja, sementara filsafat menanyakan mengapa ia ada. Teori multiverse menggabungkan keduanya: ia menuntut penjelasan mekanistik sekaligus refleksi metafisik.²⁵ Oleh karena itu, dialog antara fisikawan, matematikawan, dan filsuf bukanlah sekadar pelengkap, melainkan syarat bagi pemahaman komprehensif terhadap realitas jamak.

Sebagaimana disimpulkan George Ellis, multiverse tidak boleh dilihat hanya sebagai spekulasi ilmiah, tetapi sebagai conceptual experiment yang menguji batas rasionalitas manusia dalam memahami eksistensi.²⁶ Ia memperlihatkan bahwa nilai tertinggi dari ilmu pengetahuan bukanlah kepastian, melainkan keterbukaan terhadap kompleksitas dan kemungkinan.²⁷


Footnotes

[1]                Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 189–192.

[2]                Alan H. Guth, “Inflationary Universe: A Possible Solution to the Horizon and Flatness Problems,” Physical Review D 23, no. 2 (1981): 347–356.

[3]                Andrei Linde, “Eternal Chaotic Inflation,” Modern Physics Letters A 1, no. 2 (1986): 81–86.

[4]                Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.

[5]                Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 72–78.

[6]                Leonard Susskind, The Cosmic Landscape: String Theory and the Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 191–194.

[7]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 36–39.

[8]                Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 55–60.

[9]                George F. R. Ellis, “Issues in the Philosophy of Cosmology,” in Philosophy of Physics, ed. Jeremy Butterfield and John Earman (Amsterdam: North-Holland, 2007), 1200–1205.

[10]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 151–153.

[11]             Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 29–33.

[12]             Tegmark, Our Mathematical Universe, 35–37.

[13]             Saul A. Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 17–22.

[14]             David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 84–87.

[15]             Timothy Williamson, Modal Logic as Metaphysics (Oxford: Oxford University Press, 2013), 63–66.

[16]             Edward Fredkin, “Digital Philosophy: An Introduction,” International Journal of Theoretical Physics 42, no. 2 (2003): 189–204.

[17]             Nick Bostrom, “Are You Living in a Computer Simulation?,” Philosophical Quarterly 53, no. 211 (2003): 243–255.

[18]             Seth Lloyd, Programming the Universe: A Quantum Computer Scientist Takes on the Cosmos (New York: Vintage, 2007), 115–118.

[19]             Vlatko Vedral, Decoding Reality: The Universe as Quantum Information (Oxford: Oxford University Press, 2010), 97–100.

[20]             Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld, 1996), 85–90.

[21]             Klaas Kraay, ed., God and the Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives (London: Routledge, 2014), 19–23.

[22]             Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 305–308.

[23]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 214–218.

[24]             Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford: Clarendon Press, 1989), 237–240.

[25]             Tim Maudlin, Philosophy of Physics: Space and Time (Princeton: Princeton University Press, 2012), 90–93.

[26]             George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific American 305, no. 2 (2011): 40–45.

[27]             Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.


7.           Dimensi Metafisika dan Teologis

Teori multiverse, meskipun berakar pada fisika teoretis dan kosmologi, membawa konsekuensi yang jauh melampaui ranah empiris. Ia mengguncang fondasi metafisika klasik tentang keesaan realitas, kesatuan ciptaan, dan keteraturan kausal dunia. Dengan mengandaikan eksistensi tak terhitung banyaknya dunia paralel yang masing-masing memiliki hukum dan sejarahnya sendiri, multiverse memunculkan pertanyaan mendasar: apakah realitas bersifat tunggal dan hierarkis, ataukah jamak dan non-sentral? Pertanyaan ini, secara filosofis, beririsan dengan tradisi metafisika sejak Aristoteles hingga teologi kontemporer, yang berupaya memahami hubungan antara being, necessity, dan divine order

7.1.       Metafisika Klasik dan Kritik atas Realitas Tunggal

Dalam metafisika klasik, realitas dipahami sebagai kesatuan hierarkis yang ditopang oleh prinsip kesatuan (principium unitatis). Aristoteles menegaskan bahwa “ada” (being) dikatakan dalam satu makna fundamental, yaitu aktualitas dari potensi yang teratur menuju tujuan tunggal.² Pandangan ini diperluas oleh Thomas Aquinas, yang melihat realitas sebagai emanasi dari actus purus—Tuhan sebagai keberadaan murni tanpa potensi.³ Dalam kerangka ini, hanya satu dunia aktual yang mungkin, karena segala kemungkinan lain sudah termaktub dalam pengetahuan Ilahi namun tidak diwujudkan secara aktual.⁴

Teori multiverse menggugat paradigma tersebut dengan menempatkan aktualitas sebagai pluralitas. Jika setiap konfigurasi fisika atau logika dapat menghasilkan alam semesta yang berbeda, maka aktualitas tidak lagi tunggal melainkan majemuk.⁵ Dengan demikian, prinsip metafisis “ada hanya satu dunia aktual” (the actual world) digantikan oleh pluralitas aktualitas (many actual worlds).⁶ Pergeseran ini mengubah metafisika dari sistem kesatuan menuju sistem kemungkinan yang terbuka, di mana struktur realitas lebih menyerupai jaringan daripada hierarki.

7.2.       Ontoteologi dan Krisis Kesatuan Realitas

Martin Heidegger dalam Sein und Zeit mengkritik apa yang ia sebut sebagai onto-theology—yakni kecenderungan filsafat Barat untuk memahami keberadaan dengan mengaitkannya pada “makhluk tertinggi” (Tuhan) yang berfungsi sebagai dasar ontologis dari segala yang ada.⁷ Dalam konteks multiverse, kritik Heidegger memperoleh relevansi baru: jika realitas terdiri dari banyak dunia dengan hukum dan kondisi yang berbeda, maka konsep “dasar tunggal” bagi seluruh keberadaan menjadi problematis.⁸

Alih-alih satu fondasi metafisis, multiverse menyuguhkan model realitas yang “tanpa pusat” (acentric ontology).⁹ Dalam kerangka ini, Tuhan—jika masih hendak dipahami secara metafisis—tidak lagi sekadar “penyebab pertama,” tetapi mungkin merupakan horizon transendental yang memungkinkan keberadaan seluruh kemungkinan dunia.¹⁰ Dengan demikian, multiverse menggeser teologi dari paradigma kausal menuju paradigma kemungkinan: Tuhan bukan sebab linear, melainkan dasar kemungkinan eksistensi itu sendiri (ground of possibility).¹¹

7.3.       Kosmoteologi: Tuhan dan Pluralitas Ciptaan

Dalam teologi klasik, ide tentang banyak dunia sebenarnya pernah dibahas secara implisit. Abad pertengahan mengenal perdebatan antara para skolastik tentang apakah Tuhan, dengan kemahakuasaan-Nya, dapat menciptakan lebih dari satu dunia.¹² Thomas Aquinas berpendapat bahwa Tuhan dapat menciptakan banyak dunia, tetapi memilih menciptakan satu saja demi keteraturan ciptaan.¹³ Sebaliknya, filsuf Islam seperti Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210) dalam tafsirnya terhadap QS. al-Fatihah [1]:2 (“Tuhan semesta alam”) menafsirkan bahwa “alam” di sini tidak tunggal, melainkan plural dan mungkin tak terbatas jumlahnya.¹⁴ Pandangan ini menunjukkan bahwa teologi Islam klasik justru membuka ruang bagi pluralitas ciptaan tanpa meniadakan keesaan Tuhan.

Teologi kontemporer mencoba memadukan pandangan ini dengan sains kosmologis. William Lane Craig menegaskan bahwa jika multiverse benar-benar ada, maka ia tidak meniadakan Tuhan, melainkan memperluas cakupan ciptaan Ilahi.¹⁵ Tuhan tidak menciptakan satu dunia terbaik (seperti dalam teodisi Leibniz), melainkan keseluruhan ruang kemungkinan yang memanifestasikan kebijaksanaan-Nya secara penuh.¹⁶ Dalam kerangka ini, multiverse menjadi theology of abundance—teologi kelimpahan yang menegaskan kesempurnaan Tuhan melalui pluralitas ciptaan.¹⁷

7.4.       Masalah Kejahatan dan Teodisi Multiverse

Salah satu problem metafisika klasik adalah theodicy—bagaimana menjelaskan keberadaan kejahatan dalam dunia ciptaan yang diatur oleh Tuhan Mahabaik. Teori multiverse menawarkan perspektif baru atas problem ini. Jika terdapat banyak dunia dengan kombinasi hukum dan kondisi moral yang berbeda, maka dunia kita mungkin hanyalah salah satu dari berbagai kemungkinan di mana kejahatan menjadi bagian dari struktur kebebasan moral.¹⁸ Dalam pengertian ini, multiverse memungkinkan penjelasan bahwa Tuhan mengizinkan eksistensi berbagai dunia agar semua kemungkinan kebaikan dan keburukan dapat termanifestasi tanpa membatasi kebebasan makhluk.¹⁹

Namun, pendekatan ini mengandung risiko etis dan teologis. Alvin Plantinga menegaskan bahwa kebebasan moral hanya bermakna jika setiap agen benar-benar memilih dalam satu dunia aktual, bukan di antara kemungkinan tak terbatas.²⁰ Dengan demikian, meskipun multiverse dapat memperluas horizon teodisi, ia tidak serta-merta menyelesaikan problem moral teologi, melainkan menempatkannya pada tingkat yang lebih kompleks—yakni pada relasi antara kebebasan, kontingensi, dan keadilan kosmik.²¹

7.5.       Relasi Antara Tuhan dan Realitas Matematis

Salah satu pertanyaan metafisik yang muncul dari Mathematical Universe Hypothesis (MUH) Max Tegmark ialah apakah Tuhan diperlukan jika semua struktur matematis yang konsisten sudah “ada” secara ontologis.²² Jika eksistensi bergantung pada konsistensi logis, maka keberadaan tidak lagi membutuhkan penyebab transendental. Tegmark dengan demikian secara implisit mengadopsi bentuk baru dari panteisme matematis: realitas identik dengan keseluruhan struktur logika.²³

Namun, dari perspektif teologi filosofis, pandangan ini tidak harus meniadakan Tuhan. Keith Ward menafsirkan bahwa keteraturan matematis justru menandakan rasionalitas Ilahi yang imanen dalam ciptaan.²⁴ Dengan kata lain, Tuhan bukan entitas terpisah dari hukum-hukum matematika, melainkan sumber rasionalitas yang membuat hukum itu mungkin.²⁵ Maka, hubungan antara metafisika matematis dan teologi bukanlah antagonisme, melainkan dialog antara dua bentuk rasionalitas: rasionalitas formal dan rasionalitas transendental.

7.6.       Implikasi Eksistensial dan Spiritualitas Kosmik

Teori multiverse, dengan segala implikasinya yang luas, memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Ia mengundang manusia untuk meninjau kembali posisinya dalam struktur kosmik yang tak terbatas. Sebagaimana dinyatakan Paul Davies, multiverse dapat menumbuhkan spiritual awe—rasa takjub yang bukan berasal dari dogma, tetapi dari kesadaran akan kebesaran realitas.²⁶ Kesadaran kosmik ini bukan nihilisme, melainkan bentuk baru dari spiritualitas yang menempatkan manusia sebagai bagian dari tatanan eksistensi yang luas, dinamis, dan misterius.²⁷

Dari perspektif metafisis, kesadaran akan pluralitas realitas tidak meniadakan makna eksistensial, tetapi menegaskan bahwa makna bersifat relasional dan terbuka. Tuhan—atau Being itself, dalam istilah Paul Tillich—tidak hadir sebagai penguasa dunia tunggal, melainkan sebagai dasar keberadaan yang memungkinkan pluralitas semesta.²⁸ Dengan demikian, multiverse dapat dibaca sebagai simbol metaforis dari misteri keberadaan Ilahi yang melampaui batas-batas empiris dan konseptual manusia.²⁹


Footnotes

[1]                Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 287–290.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1045a–1048b.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.3, Art.4.

[4]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 112–116.

[5]                Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 28–30.

[6]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 84–87.

[7]                Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Niemeyer, 1927), 25–27.

[8]                Jean-Luc Marion, God Without Being, trans. Thomas A. Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 47–50.

[9]                Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency (London: Continuum, 2008), 38–42.

[10]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. I (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–238.

[11]             William Desmond, Being and the Between (Albany: SUNY Press, 1995), 211–215.

[12]             Etienne Tempier, Condemnations of 1277, in The Cambridge History of Later Medieval Philosophy, ed. Norman Kretzmann et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1982), 45–48.

[13]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, Book II, Ch. 45.

[14]             Fakhr al-Din al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), 1:123–124.

[15]             William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed. Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.

[16]             Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy, trans. E. M. Huggard (London: Routledge, 1951), 138–141.

[17]             Klaas Kraay, “The Theistic Multiverse: Problems and Prospects,” Faith and Philosophy 27, no. 1 (2010): 44–51.

[18]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 93–96.

[19]             Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld, 1996), 93–95.

[20]             Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1974), 28–31.

[21]             Marilyn McCord Adams, Horrendous Evils and the Goodness of God (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 155–158.

[22]             Max Tegmark, Our Mathematical Universe, 45–49.

[23]             Tegmark, Our Mathematical Universe, 75–79.

[24]             Keith Ward, The Evidence for God: The Case for the Existence of the Spiritual Dimension (London: DLT, 2014), 112–115.

[25]             John Polkinghorne, Science and Creation: The Search for Understanding (London: SPCK, 1988), 87–90.

[26]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 205–208.

[27]             Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 210–214.

[28]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 175–178.

[29]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 51–55.


8.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Teori multiverse, walaupun memikat secara intelektual dan imajinatif, tidak luput dari kritik yang tajam baik dari sisi epistemologis, ontologis, maupun metodologis. Banyak filsuf dan ilmuwan menilai bahwa multiverse, meski mengandung daya eksplanatori yang luas, berpotensi melampaui batas rasionalitas ilmiah dan terjebak dalam spekulasi metafisik tanpa dasar empiris yang memadai.¹ Oleh karena itu, kajian filosofis terhadap multiverse menuntut dua langkah kritis yang saling melengkapi: pertama, kritik rasional terhadap klaim-klaim ilmiahnya; kedua, klarifikasi konseptual untuk memisahkan antara metafora, model, dan realitas ontologis.

8.1.       Kritik Epistemologis: Antara Falsifiabilitas dan Spekulasi

Kritik paling mendasar terhadap teori multiverse datang dari perspektif epistemologi sains, terutama yang berlandaskan prinsip falsifiabilitas Karl Popper. Popper berpendapat bahwa agar suatu teori layak disebut ilmiah, ia harus dapat diuji dan berpotensi dibantah oleh pengalaman empiris.² Dalam konteks ini, multiverse tampak bermasalah: dunia-dunia paralel yang dipostulatkannya, sejauh ini, tidak dapat diobservasi langsung maupun tidak langsung.³ Dengan demikian, teori ini tampak menempati wilayah abu-abu antara sains dan metafisika.

George Ellis menguatkan kritik ini dengan menyatakan bahwa multiverse bukanlah teori ilmiah, melainkan philosophical speculation in scientific disguise.⁴ Sementara itu, Lee Smolin menegaskan bahwa jika setiap fenomena dapat dijelaskan dengan mengandaikan keberadaan alam semesta lain, maka teori tersebut kehilangan kekuatan prediktifnya.⁵ Dalam artian ini, multiverse berisiko menjadi “hipotesis pelarian” (escape hypothesis)—suatu jalan keluar yang memindahkan problem ke dimensi yang tak teruji, bukan menyelesaikannya.⁶

Namun, pembela teori multiverse menanggapi bahwa batas antara sains dan metafisika tidak bersifat absolut. Richard Dawid menyebut pendekatan multiverse sebagai bentuk non-empirical theory confirmation, yakni pengesahan teoritis yang didasarkan pada konsistensi internal, kesesuaian dengan teori yang sudah terverifikasi, dan ketiadaan alternatif yang lebih baik.⁷ Dengan demikian, validitasnya bukan bersifat observasional, melainkan rasional-struktural.

8.2.       Kritik Ontologis: Status Realitas dan Pluralitas yang Tak Terbatas

Dari sisi ontologis, teori multiverse menghadirkan persoalan tentang overpopulation of reality—yakni gagasan bahwa terlalu banyak entitas “real” diandaikan tanpa pembenaran metafisik yang jelas.⁸ David Lewis memang mengajukan modal realism, di mana semua dunia mungkin eksis setara dengan dunia aktual.⁹ Namun, banyak filsuf menolak implikasi ontologisnya, sebab hal itu berarti realitas menjadi inflasi tak terbatas tanpa kriteria eksistensi yang dapat diverifikasi.¹⁰

Bas van Fraassen, melalui constructive empiricism, berargumen bahwa teori ilmiah tidak harus dianggap benar secara literal, melainkan cukup jika ia “memadai secara empiris.”¹¹ Dalam kerangka ini, multiverse sebaiknya dipahami sebagai model konseptual, bukan sebagai klaim ontologis tentang keberadaan dunia-dunia nyata.¹² Penegasan ini penting agar teori tersebut tidak terjerumus menjadi metafisika spekulatif yang kehilangan pijakan pada pengalaman ilmiah.

Selain itu, kritik lain datang dari pendekatan fenomenologis. Edmund Husserl menekankan bahwa seluruh pengetahuan tentang realitas berakar pada pengalaman kesadaran yang intentional.¹³ Karena dunia paralel tidak dapat dialami secara fenomenologis, klaim tentang keberadaannya kehilangan makna dalam horizon kesadaran manusia. Maurice Merleau-Ponty menambahkan bahwa “dunia” bukan entitas objektif, melainkan struktur makna yang dihayati oleh subjek tubuh.¹⁴ Maka, multiverse, dalam pengertian fenomenologis, bukanlah realitas eksistensial, melainkan konstruksi konseptual yang beroperasi di tingkat abstraksi murni.

8.3.       Kritik Metodologis: Batas antara Model dan Realitas

Masalah metodologis multiverse terkait dengan relasi antara mathematical model dan realitas ontologis. Sebagian fisikawan, terutama yang mengikuti pandangan Tegmark, menyamakan struktur matematis dengan keberadaan itu sendiri—sebuah posisi yang disebut mathematical monism.¹⁵ Namun, pandangan ini menuai keberatan dari filsuf sains seperti Nancy Cartwright, yang menegaskan bahwa “hukum-hukum fisika tidak selalu benar di dunia nyata, melainkan bekerja dalam dunia model ideal.”¹⁶ Dengan demikian, kesetaraan antara model matematis dan realitas merupakan kekeliruan kategoris.¹⁷

Kritik metodologis ini juga terkait dengan masalah representasi: apakah teori multiverse menggambarkan realitas atau hanya menyediakan kerangka formal untuk berpikir tentang kemungkinan? Ian Hacking menyebut fenomena ini sebagai entity realism paradox—yakni bahwa keberadaan entitas ilmiah sering kali “dihidupkan” oleh praktik ilmiah, bukan oleh bukti langsung.¹⁸ Dalam konteks multiverse, ini berarti bahwa “dunia jamak” lebih merupakan produk inferensi ketimbang hasil observasi.

8.4.       Klarifikasi Konseptual: Multiverse sebagai Model Filosofis

Kritik terhadap multiverse tidak selalu bermakna penolakan; sebaliknya, ia membuka peluang untuk klarifikasi filosofis yang lebih mendalam. Multiverse dapat dipahami bukan sebagai klaim literal tentang banyaknya dunia fisik, tetapi sebagai model heuristik untuk memahami kompleksitas realitas.¹⁹ Dalam hal ini, ia berfungsi seperti konsep “dunia mungkin” dalam logika modal—sebagai alat konseptual untuk memetakan ruang kemungkinan, bukan deskripsi empiris tentang “tempat-tempat” aktual.²⁰

Sebagai model filosofis, multiverse menegaskan keterbatasan pengetahuan manusia dan memperlihatkan bahwa realitas tidak harus bersifat tertutup.²¹ Ia menantang paradigma empirisisme sempit, namun tetap dapat dipertahankan sebagai ekspresi dari rasionalitas spekulatif yang terarah. Dengan demikian, multiverse tidak harus diterima sebagai fakta ontologis, tetapi dapat diakui sebagai struktur kognitif yang memperluas horizon berpikir manusia tentang “ada” dan “kemungkinan.”²²

8.5.       Kritik Nilai dan Etika Pengetahuan

Selain kritik ilmiah dan metafisik, teori multiverse juga menimbulkan refleksi aksiologis. Apakah pengejaran pengetahuan tentang dunia-dunia yang tidak dapat diobservasi merupakan bentuk kemajuan intelektual atau justru kesombongan epistemik?²³ Marcelo Gleiser memperingatkan bahwa sebagian spekulasi kosmologis mencerminkan hubris sains—keyakinan berlebihan bahwa rasio manusia mampu menembus seluruh misteri kosmos.²⁴ Dalam pandangan ini, kritik terhadap multiverse juga berfungsi sebagai kritik terhadap paradigma ilmiah yang mengabaikan dimensi eksistensial dan keterbatasan manusia.

Filsafat, dengan demikian, berperan menjaga keseimbangan antara keingintahuan dan kesadaran etis. Sebagaimana ditegaskan Hans Jonas, tanggung jawab epistemik (epistemic responsibility) harus selalu mengiringi eksplorasi ilmiah, sebab pengetahuan tanpa kesadaran etis berisiko mengasingkan manusia dari dunia yang dihayatinya.²⁵ Dalam konteks ini, kritik filosofis terhadap multiverse bukanlah anti-sains, melainkan upaya mengembalikan pengetahuan kepada orientasi humanistiknya.

8.6.       Penegasan Klarifikasi Filosofis

Melalui dialektika antara kritik dan klarifikasi, dapat disimpulkan bahwa teori multiverse menempati posisi ambivalen: ia bukan sekadar spekulasi, tetapi juga belum menjadi pengetahuan empiris.²⁶ Nilainya terletak bukan pada kebenaran literalnya, melainkan pada kemampuannya memperluas horizon refleksi filosofis tentang realitas, kemungkinan, dan keterbatasan manusia.²⁷ Dalam arti ini, multiverse dapat dipandang sebagai bentuk metafisika eksperimental—yakni laboratorium konseptual di mana sains dan filsafat berkolaborasi untuk menguji batas pengetahuan.²⁸

Maka, klarifikasi filosofis yang paling tepat terhadap multiverse bukanlah “apakah ia benar-benar ada?”, melainkan “apa artinya bagi cara manusia memahami eksistensi?”. Pertanyaan ini menempatkan multiverse bukan di ranah bukti, tetapi di ranah makna—di mana sains, metafisika, dan etika bertemu untuk menegaskan kembali fungsi filsafat sebagai penuntun rasionalitas yang reflektif, terbuka, dan sadar batas.²⁹


Footnotes

[1]                George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific American 305, no. 2 (2011): 38–43.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 36–40.

[3]                Sabine Hossenfelder, “Multiverses and the Philosophy of Science,” Foundations of Physics 48, no. 9 (2018): 1291–1303.

[4]                Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” 41.

[5]                Lee Smolin, The Trouble with Physics (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 181–185.

[6]                Smolin, The Trouble with Physics, 187.

[7]                Richard Dawid, “Theoretical Confirmation beyond Empiricism,” Philosophy of Science 81, no. 5 (2014): 1071–1083.

[8]                Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 250–253.

[9]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.

[10]             Barry Dainton, Time and Space (Durham: Acumen, 2010), 315–318.

[11]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–15.

[12]             van Fraassen, The Scientific Image, 137–140.

[13]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 49–52.

[14]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 310–314.

[15]             Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 29–33.

[16]             Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983), 45–49.

[17]             Ian Hacking, Representing and Intervening (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 221–224.

[18]             Hacking, Representing and Intervening, 232–236.

[19]             James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 133–137.

[20]             Saul Kripke, Naming and Necessity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1980), 18–21.

[21]             Tim Maudlin, Philosophy of Physics: Space and Time (Princeton: Princeton University Press, 2012), 91–94.

[22]             Steven French, “The Structure of the World: Metaphysics and Representation,” Synthese 136, no. 1 (2003): 31–56.

[23]             Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 197–200.

[24]             Gleiser, The Island of Knowledge, 204–206.

[25]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 12–16.

[26]             Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” 43.

[27]             Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 273–277.

[28]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 211–214.

[29]             Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.


9.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks filsafat dan sains modern, teori multiverse tidak sekadar menjadi spekulasi kosmologis, melainkan simbol intelektual dari zaman kontemporer yang ditandai oleh pluralitas, relativitas, dan keterbukaan pengetahuan. Ia mencerminkan pergeseran paradigma epistemik dan ontologis dari pandangan dunia tunggal yang tertutup menuju pemahaman realitas yang jamak, dinamis, dan probabilistik.¹ Relevansinya kini meluas tidak hanya dalam ranah fisika teoretis, tetapi juga dalam filsafat ilmu, teologi, etika, budaya populer, dan bahkan cara manusia memahami dirinya di tengah lanskap kosmik yang tak terbatas.

9.1.       Relevansi Ilmiah: Perkembangan Kosmologi dan Sains Post-Empiris

Secara ilmiah, teori multiverse menjadi salah satu titik temu paling penting dalam kosmologi kontemporer. Dalam dekade terakhir, penelitian tentang cosmic inflation, string theory landscape, dan quantum gravity semakin memperkuat hipotesis bahwa ruang-waktu mungkin lebih kompleks daripada yang dapat diamati.² Banyak fisikawan, termasuk Stephen Hawking dan Leonard Susskind, melihat multiverse sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari teori fisika fundamental yang sudah ada, bukan sebagai tambahan spekulatif.³

Namun, yang membuat teori ini relevan bagi sains modern adalah pergeserannya dari paradigma empiris menuju paradigma teoretis-struktural.⁴ Sains abad ke-21 tidak lagi hanya mengandalkan observasi, tetapi juga pada konsistensi matematis dan prediktivitas teoretis.⁵ Dalam kerangka ini, multiverse merepresentasikan bentuk scientific rationality baru: rasionalitas yang tidak bergantung semata pada verifikasi langsung, tetapi pada kemampuan teori menjelaskan koherensi dan keteraturan alam semesta.⁶

Perdebatan tentang multiverse juga mendorong refleksi kritis terhadap batas-batas ilmu itu sendiri. Ia mengingatkan bahwa sains bukanlah sistem dogmatis, melainkan proses terbuka yang terus menguji horizon pengetahuan manusia. Dengan demikian, teori multiverse berperan sebagai “cermin epistemik” bagi sains kontemporer—memperlihatkan sekaligus memperluas batas kemampuannya memahami realitas.⁷

9.2.       Relevansi Filosofis: Paradigma Baru tentang Realitas dan Kemungkinan

Dalam filsafat kontemporer, teori multiverse memperdalam wacana mengenai pluralitas ontologis dan metafisika kemungkinan.⁸ Ia beresonansi dengan pandangan post-metafisik yang menolak absolutisme realitas tunggal dan menggantikannya dengan model realitas terbuka dan jamak. David Chalmers, misalnya, melihat teori multiverse sebagai representasi fisikal dari konsep modal realism dalam logika dan metafisika, di mana setiap kemungkinan yang koheren memiliki bentuk eksistensinya sendiri.⁹

Selain itu, gagasan multiverse juga berkelindan dengan fenomenologi kontemporer yang menekankan keberagaman horizon kesadaran. Jean-Luc Nancy berbicara tentang dunia yang “tidak tunggal,” di mana keberadaan senantiasa terbuka terhadap keberadaan lain.¹⁰ Dengan demikian, multiverse dapat dipahami bukan hanya sebagai teori ilmiah, tetapi juga metafora filosofis tentang keterbukaan eksistensi dan relativitas perspektif.

Dalam filsafat ilmu, multiverse menandai munculnya post-empirical paradigm, sebagaimana diusulkan oleh Richard Dawid, yang mengakui bahwa teori ilmiah yang baik tidak selalu harus diverifikasi secara langsung, selama ia memenuhi syarat rasionalitas internal, konsistensi logis, dan daya eksplanatori tinggi.¹¹ Dengan demikian, teori multiverse memperluas cakrawala epistemologi modern menuju ranah rasionalitas spekulatif yang tetap terikat pada struktur ilmiah.

9.3.       Relevansi Etis dan Humanistik

Di luar ranah teoretis, teori multiverse juga memunculkan refleksi etis yang mendalam. Jika semua kemungkinan eksistensi dapat terwujud di berbagai dunia, apakah pilihan moral manusia di dunia ini masih bermakna? Pertanyaan ini menggugah kesadaran tentang nilai kebebasan dan tanggung jawab yang tetap berlaku secara kontekstual.¹²

Dalam kerangka humanistik, multiverse justru memperluas cakupan tanggung jawab moral. Ia menegaskan bahwa nilai-nilai kemanusiaan—seperti kebebasan, keadilan, dan empati—tidak bergantung pada singularitas dunia, tetapi pada kapasitas reflektif manusia untuk bertindak dengan kesadaran moral dalam setiap konteks eksistensial.¹³ Dengan kata lain, kesadaran akan pluralitas kosmik dapat menumbuhkan etika keterbukaan (ethics of openness)—sikap menghormati keberagaman dan kompleksitas sebagai bagian dari struktur realitas itu sendiri.¹⁴

Pandangan ini sejalan dengan filsafat Hans Jonas tentang ethics of responsibility, yang menekankan pentingnya kesadaran akan dampak tindakan manusia terhadap masa depan yang belum diketahui.¹⁵ Dalam skala kosmik, teori multiverse memperluas prinsip tanggung jawab ini: manusia bertanggung jawab bukan hanya terhadap dunia yang ia tempati, tetapi terhadap keseluruhan struktur eksistensi yang mungkin ia pengaruhi melalui ilmu dan teknologi.

9.4.       Relevansi Teologis dan Spiritualitas Kosmik

Di ranah teologi kontemporer, teori multiverse menghadirkan tantangan dan peluang baru bagi pemikiran religius. Jika Tuhan menciptakan banyak dunia dengan hukum-hukum yang berbeda, maka kemahakuasaan Ilahi tidak berkurang, melainkan justru semakin nyata.¹⁶ Konsep theistic multiverse, sebagaimana dikembangkan oleh Klaas Kraay, menafsirkan pluralitas dunia sebagai ekspresi kebijaksanaan Ilahi yang tanpa batas.¹⁷ Dalam pandangan ini, setiap dunia adalah cerminan unik dari kemungkinan kebaikan yang diizinkan Tuhan untuk eksis.

Spiritualitas modern pun menemukan resonansi dalam teori multiverse. Kesadaran akan pluralitas kosmik mengundang manusia untuk memandang realitas dengan rasa takjub dan kerendahan hati (cosmic humility).¹⁸ Ia memperluas spiritualitas dari sekadar kesalehan personal menjadi kesadaran ekologis dan eksistensial tentang keterhubungan semua bentuk realitas.¹⁹ Dengan demikian, teori multiverse dapat berfungsi sebagai jembatan antara sains dan iman, rasionalitas dan transendensi.

9.5.       Relevansi Kultural dan Estetika

Dalam ranah budaya dan seni, multiverse telah menjadi metafora utama dalam narasi kontemporer. Film, sastra, dan seni visual abad ke-21 banyak mengadopsi gagasan dunia paralel untuk mengeksplorasi identitas, waktu, dan kebebasan.²⁰ Dalam karya seperti Everything Everywhere All at Once (2022) dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022), multiverse berfungsi sebagai simbol dari realitas eksistensial manusia yang kompleks dan penuh pilihan.²¹

Gagasan ini juga mempengaruhi teori sastra dan estetika postmodern, di mana kebenaran tunggal digantikan oleh pluralitas makna dan interpretasi.²² Multiverse, dalam konteks ini, menjadi cermin budaya dari kondisi manusia kontemporer yang hidup di antara banyak “dunia” sosial, digital, dan ideologis.²³ Ia menegaskan bahwa pluralitas bukan ancaman bagi makna, tetapi kondisi esensial bagi kreativitas dan kebebasan.

9.6.       Relevansi Eksistensial dan Paradigma Humanitas Baru

Pada akhirnya, relevansi paling mendalam dari teori multiverse terletak pada dampaknya terhadap pemahaman manusia tentang dirinya sendiri.²⁴ Ia menggeser antropologi filosofis dari paradigma antroposentris menuju kosmosentris: manusia bukan pusat realitas, tetapi bagian dari jejaring eksistensi yang luas dan plural.²⁵ Dalam kesadaran ini, muncul bentuk baru dari humility of existence—kesadaran bahwa keterbatasan bukan kelemahan, melainkan dasar bagi pencarian makna.²⁶

Multiverse juga mendorong terbentuknya paradigma humanitas baru yang bersifat integral: manusia sebagai makhluk rasional yang mampu memadukan sains, filsafat, dan spiritualitas dalam menafsirkan realitas.²⁷ Dalam dunia yang semakin plural, teori ini mengingatkan bahwa pengetahuan sejati tidak berhenti pada deskripsi, tetapi berlanjut pada pemahaman dan kebijaksanaan.²⁸ Dengan demikian, multiverse bukan hanya hipotesis ilmiah, tetapi juga simbol dari evolusi kesadaran manusia menuju keberterbukaan dan kesatuan dalam keberagaman kosmik.²⁹


Footnotes

[1]                Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 190–194.

[2]                Alan H. Guth, “Eternal Inflation and Its Implications,” Journal of Physics A 40, no. 25 (2007): 6811–6826.

[3]                Leonard Susskind, The Cosmic Landscape: String Theory and the Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 189–193.

[4]                Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 51–55.

[5]                Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 72–78.

[6]                Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford: Clarendon Press, 1989), 237–240.

[7]                George F. R. Ellis, “Does the Multiverse Really Exist?,” Scientific American 305, no. 2 (2011): 38–43.

[8]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 1–5.

[9]                David J. Chalmers, Reality+: Virtual Worlds and the Problems of Philosophy (New York: W. W. Norton, 2022), 142–145.

[10]             Jean-Luc Nancy, The Sense of the World, trans. Jeffrey S. Librett (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 64–68.

[11]             Dawid, String Theory and the Scientific Method, 59–62.

[12]             Hugh Everett III, “‘Relative State’ Formulation of Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 29, no. 3 (1957): 454–462.

[13]             Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press, 1984), 212–214.

[14]             Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University Press, 1986), 152–155.

[15]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 12–16.

[16]             William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed. Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.

[17]             Klaas Kraay, “The Theistic Multiverse: Problems and Prospects,” Faith and Philosophy 27, no. 1 (2010): 44–51.

[18]             Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 295–299.

[19]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 210–214.

[20]             Steven Dillon, Screening Reality: How Documentary Filmmakers Reimagined America (New York: Bloomsbury, 2020), 201–204.

[21]             Daniel Chong, “Multiverse Storytelling in Contemporary Cinema,” Journal of Aesthetic Studies 14, no. 2 (2023): 77–82.

[22]             Linda Hutcheon, A Poetics of Postmodernism: History, Theory, Fiction (New York: Routledge, 1988), 116–119.

[23]             Fredric Jameson, Postmodernism, or, the Cultural Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 356–360.

[24]             Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 298–302.

[25]             Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.

[26]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 175–178.

[27]             Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey (Philadelphia: Temple University Press, 1987), 213–217.

[28]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 14–18.

[29]             Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 291–295.


10.       Sintesis Filosofis

Kajian tentang teori multiverse memperlihatkan perjumpaan yang intens antara sains, filsafat, dan teologi dalam satu horizon reflektif yang menyingkap kompleksitas realitas. Dalam keseluruhan wacana ini, multiverse bukan sekadar hipotesis kosmologis, melainkan medan dialektis tempat berjumpanya tiga dimensi fundamental filsafat: ontologi (tentang hakikat keberadaan), epistemologi (tentang batas pengetahuan), dan aksiologi (tentang makna dan nilai keberadaan).¹ Dengan demikian, sintesis filosofis atas teori multiverse bertujuan bukan untuk menegaskan kebenaran empirisnya, melainkan untuk menimbang maknanya bagi pemahaman manusia tentang “ada” (being), “mengetahui” (knowing), dan “menilai” (valuing).

10.1.    Integrasi Ontologis: Dari Kesatuan ke Pluralitas Realitas

Secara ontologis, teori multiverse menantang paradigma metafisika klasik yang memandang realitas sebagai kesatuan tertutup dan hierarkis.² Dengan membuka kemungkinan akan banyak dunia yang eksis secara simultan, ia menegaskan ontologi plural yang bersifat non-sentral—di mana tidak ada satu titik absolut yang menjadi pusat keberadaan.³ Hal ini sejalan dengan perkembangan dalam fisika modern yang menolak model geosentris dan bahkan kosmosentris, menggantikannya dengan model desentralisasi realitas.⁴

Dari sudut pandang filsafat keberadaan, multiverse dapat ditafsirkan sebagai afirmasi atas metafisika keterbukaan (open metaphysics), sebagaimana dikemukakan oleh William Desmond, bahwa keberadaan selalu “lebih” daripada yang dapat ditangkap oleh konsep tunggal.⁵ Realitas dalam hal ini bukanlah monolit, melainkan jaringan kemungkinan yang terus terbuka.⁶ Dengan demikian, ontologi multiverse memperluas cakrawala pemahaman manusia tentang “ada” sebagai pluralitas aktual yang terus berpotensi.

10.2.    Integrasi Epistemologis: Dari Empirisisme ke Rasionalitas Spekulatif

Dalam ranah epistemologi, teori multiverse memperlihatkan keterbatasan paradigma empiris sekaligus membuka kemungkinan bagi bentuk pengetahuan baru. Karl Popper menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah sejati harus dapat diuji melalui pengalaman.⁷ Namun, dalam kosmologi modern, banyak teori yang melampaui kemampuan observasi langsung, sehingga kebenaran ilmiah ditentukan bukan hanya oleh verifikasi empiris, tetapi juga oleh koherensi rasional dan daya jelaskan teoretis.⁸

Epistemologi multiverse, dengan demikian, menandai transisi dari empirisisme ke rational speculative epistemology—suatu bentuk pengetahuan yang menyeimbangkan antara rasionalitas logis dan keterbatasan pengalaman.⁹ Dalam kerangka ini, multiverse dapat dipahami sebagai heuristic model yang mendorong refleksi tentang bagaimana sains beroperasi di batas pengetahuannya sendiri.¹⁰ Dengan kata lain, multiverse bukan sekadar teori ilmiah, tetapi juga laboratorium epistemik bagi kesadaran manusia tentang relativitas pengetahuan.¹¹

10.3.    Integrasi Aksiologis: Nilai, Etika, dan Makna dalam Alam Jamak

Dari segi aksiologi, multiverse menggugah kembali pertanyaan tentang nilai dan makna dalam konteks pluralitas kosmik. Jika setiap kemungkinan eksis di alam semesta lain, apakah kebebasan, tanggung jawab, dan moralitas masih memiliki bobot?¹² Jawaban filosofis terhadap dilema ini bergantung pada pengakuan bahwa nilai moral tidak bersumber dari keunikan dunia, melainkan dari kesadaran reflektif manusia sebagai makhluk yang menilai dalam konteks dunia aktualnya.¹³

Dengan demikian, aksiologi multiverse menekankan etika situasional universal: moralitas yang berakar pada kesadaran akan keterbatasan dan keterhubungan.¹⁴ Kesadaran bahwa realitas mungkin tak terbatas justru menegaskan urgensi nilai-nilai kemanusiaan yang konkret—kejujuran, tanggung jawab, solidaritas—sebagai cara manusia memberi makna pada dunia yang ia huni.¹⁵ Dalam hal ini, pluralitas kosmik bukan ancaman terhadap etika, melainkan panggilan menuju moralitas yang lebih inklusif dan kosmik.¹⁶

10.4.    Integrasi Metafisika dan Teologi: Tuhan sebagai Dasar Kemungkinan

Sintesis filosofis tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan metafisis dan teologis: bagaimana posisi Tuhan dalam realitas jamak? Dalam kerangka teologi klasik, Tuhan adalah ens perfectissimum—keberadaan yang sempurna dan tunggal.¹⁷ Namun, teori multiverse menantang pemahaman ini dengan membuka kemungkinan bahwa Tuhan mencipta bukan satu dunia terbaik, tetapi keseluruhan ruang kemungkinan yang konsisten.¹⁸

William Lane Craig dan Keith Ward menafsirkan bahwa pluralitas dunia justru memperluas pemahaman tentang kemahakuasaan dan kebijaksanaan Ilahi.¹⁹ Tuhan tidak lagi dipahami sebagai pengendali dunia tunggal, tetapi sebagai ground of possibility—dasar kemungkinan yang memungkinkan eksistensi segala sesuatu.²⁰ Dalam perspektif ini, multiverse dapat dibaca sebagai manifestasi ontologis dari prinsip teologis: bahwa kasih dan kebijaksanaan Tuhan menembus batas singularitas menuju keberagaman ciptaan.²¹

Metafisika teistik yang demikian tidak menegasikan sains, melainkan meneguhkan dialog antara iman dan rasio. Ia menempatkan Tuhan bukan sebagai kompetitor hukum alam, melainkan sebagai sumber rasionalitas yang membuat hukum-hukum itu mungkin.²² Dengan demikian, multiverse dapat dilihat sebagai cosmotheandric structure—suatu tatanan kosmos yang mengandung jejak transendensi dalam pluralitas imanen.²³

10.5.    Integrasi Interdisipliner: Pengetahuan sebagai Kesatuan Terbuka

Dalam tataran interdisipliner, sintesis multiverse menunjukkan bahwa batas antara sains dan filsafat semakin cair.²⁴ Pengetahuan ilmiah, metafisika, dan etika tidak dapat lagi dipisahkan secara rigid, melainkan saling mengandaikan. Kosmologi membutuhkan refleksi filosofis agar tidak jatuh dalam dogmatisme ilmiah, sementara filsafat membutuhkan sains agar tidak melayang dalam abstraksi kosong.²⁵

Dengan demikian, teori multiverse berfungsi sebagai paradigma integratif yang menegaskan prinsip kesalingterhubungan disiplin pengetahuan (epistemic holism).²⁶ Ia membuka ruang bagi dialog produktif antara fisika teoretis, logika matematis, etika humanistik, dan spiritualitas transendental.²⁷ Paradigma ini sesuai dengan cita-cita filsafat integral, sebagaimana dikemukakan oleh Ken Wilber, yakni memahami realitas sebagai kesatuan dinamis dari berbagai tingkat kebenaran—empiris, rasional, eksistensial, dan spiritual.²⁸


Sintesis Akhir: Menuju Filsafat Keterbukaan Kosmik

Sintesis filosofis teori multiverse menegaskan bahwa pencarian manusia terhadap realitas tidak berakhir pada kepastian, melainkan pada keterbukaan.²⁹ Dalam kosmos yang mungkin berisi tak terhitung dunia, manusia tetap memegang peran unik: bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai penafsir makna.³⁰ Kesadaran akan pluralitas realitas memunculkan bentuk baru dari wisdom cosmica—hikmah kosmik—yakni pemahaman bahwa setiap pengetahuan adalah fragmen dari kebenaran yang lebih luas.³¹

Dengan demikian, multiverse bukan hanya hipotesis fisika, melainkan simbol filosofis tentang kondisi manusia kontemporer: makhluk terbatas yang mencari makna dalam ketakterbatasan.³² Ia mengajarkan bahwa keberagaman dan kemungkinan bukanlah lawan dari kebenaran, tetapi bentuk-bentuk partikular dari kebenaran itu sendiri.³³ Sintesis ini menuntun pada pemahaman integral bahwa realitas, pengetahuan, dan nilai berada dalam satu kesatuan dinamis yang terbuka—a universe of universes—tempat filsafat dan sains berjumpa dalam kesadaran reflektif tentang misteri keberadaan.³⁴


Footnotes

[1]                Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 285–288.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1048a–1050b.

[3]                Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency (London: Continuum, 2008), 40–42.

[4]                Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 164–167.

[5]                William Desmond, Being and the Between (Albany: SUNY Press, 1995), 214–218.

[6]                Desmond, Being and the Between, 219.

[7]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 36–39.

[8]                Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 58–62.

[9]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–14.

[10]             Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 275–277.

[11]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 205–208.

[12]             David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 121–123.

[13]             Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press, 1984), 212–214.

[14]             Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University Press, 1986), 152–155.

[15]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 13–16.

[16]             Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 212–215.

[17]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, Part I, Q.3, Art.4.

[18]             Gottfried Wilhelm Leibniz, Theodicy, trans. E. M. Huggard (London: Routledge, 1951), 141–143.

[19]             William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed. Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.

[20]             Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld, 1996), 93–95.

[21]             Klaas Kraay, “The Theistic Multiverse: Problems and Prospects,” Faith and Philosophy 27, no. 1 (2010): 44–51.

[22]             John Polkinghorne, Science and Creation: The Search for Understanding (London: SPCK, 1988), 85–87.

[23]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 51–55.

[24]             Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.

[25]             Tim Maudlin, Philosophy of Physics: Space and Time (Princeton: Princeton University Press, 2012), 91–94.

[26]             James Ladyman and Don Ross, Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (Oxford: Oxford University Press, 2007), 132–136.

[27]             Steven French, “The Structure of the World: Metaphysics and Representation,” Synthese 136, no. 1 (2003): 31–56.

[28]             Ken Wilber, A Theory of Everything: An Integral Vision for Business, Politics, Science, and Spirituality (Boston: Shambhala, 2000), 43–46.

[29]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 175–178.

[30]             Jean-Luc Nancy, The Sense of the World, trans. Jeffrey S. Librett (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 64–67.

[31]             Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 291–295.

[32]             Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 298–302.

[33]             Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge, 218–221.

[34]             Brian Greene, The Hidden Reality, 305–308.


11.       Kesimpulan

Kajian filosofis atas teori multiverse menyingkapkan bahwa wacana ini bukan sekadar produk spekulatif kosmologi modern, melainkan refleksi mendalam tentang hakikat realitas, batas pengetahuan, dan makna eksistensi manusia di tengah pluralitas kosmik. Teori multiverse telah mengubah cara manusia memahami alam semesta: dari sistem tunggal yang tertutup menjadi tatanan realitas yang jamak, dinamis, dan terbuka bagi kemungkinan tanpa batas.¹ Ia mempertemukan sains dan filsafat dalam dialog yang produktif tentang “apa yang ada,” “bagaimana kita mengetahui,” dan “mengapa pengetahuan itu bernilai.”

11.1.    Rekapitulasi Dimensi Filsafat Multiverse

Secara ontologis, multiverse menantang paradigma kesatuan realitas dengan menegaskan kemungkinan pluralitas eksistensi yang berdiri sejajar.² Dalam kerangka ini, realitas bukan lagi dipahami sebagai totalitas tunggal, tetapi sebagai jaringan eksistensi yang saling mungkin—di mana “ada” tidak terbatas pada satu aktualitas, melainkan meliputi keseluruhan ruang kemungkinan.³ Ontologi multiverse dengan demikian mengubah filsafat keberadaan dari model hierarkis menuju model jaringan (network ontology) yang menempatkan pluralitas sebagai dasar keteraturan kosmos.⁴

Secara epistemologis, teori ini menunjukkan keterbatasan dan sekaligus keluasan akal manusia.⁵ Pengetahuan ilmiah tidak dapat lagi dipahami hanya dalam batas empiris, melainkan sebagai sintesis antara observasi, inferensi rasional, dan model matematis.⁶ Multiverse menuntut bentuk rasionalitas baru—rasionalitas reflektif dan spekulatif—yang menyadari bahwa kebenaran ilmiah tidak bersifat absolut, melainkan selalu terbuka terhadap revisi dan perluasan.⁷

Sementara dari segi aksiologi, teori multiverse menggugah kesadaran etis dan eksistensial manusia tentang makna dan tanggung jawab di tengah ketakterhinggaan.⁸ Kesadaran bahwa mungkin terdapat versi lain dari diri dan dunia kita bukanlah alasan untuk relativisme moral, melainkan pengingat akan pentingnya tindakan bermakna dalam dunia aktual yang kita huni.⁹ Dengan demikian, multiverse memperluas horizon etika dari yang antroposentris menjadi kosmosentris, di mana nilai tertinggi bukan dominasi, melainkan keterbukaan dan penghormatan terhadap keberagaman eksistensi.¹⁰

11.2.    Sintesis Metafisika, Teologi, dan Humanisme

Secara metafisis dan teologis, multiverse mengundang reinterpretasi terhadap konsep Tuhan dan ciptaan. Dalam kerangka teistik, pluralitas semesta bukanlah ancaman bagi keesaan Ilahi, melainkan manifestasi dari kemahakuasaan dan kebijaksanaan Tuhan yang menembus batas-batas tunggal.¹¹ Tuhan dapat dipahami bukan sekadar sebagai pencipta satu dunia aktual, tetapi sebagai ground of possibility—dasar dari seluruh kemungkinan eksistensi.¹² Dengan demikian, pluralitas dunia justru memperluas horizon spiritual manusia untuk mengenal kebesaran transendensi yang bekerja melalui keberagaman imanen.¹³

Dari sisi humanisme, teori multiverse mengandung makna reflektif yang mendalam: ia menegaskan kembali posisi manusia bukan sebagai pusat realitas, melainkan sebagai makhluk sadar yang memaknai keterbatasannya dalam lanskap kosmik yang tak terhingga.¹⁴ Dalam kesadaran ini, muncul etos baru: humility of existence, yakni kerendahan hati kosmik yang menyadari bahwa pengetahuan, iman, dan nilai-nilai kemanusiaan hanyalah sebagian kecil dari misteri totalitas keberadaan.¹⁵ Dengan demikian, multiverse dapat dibaca sebagai simbol filosofis tentang keterbatasan manusia yang sekaligus menjadi sumber kebijaksanaan.

11.3.    Penegasan Akhir: Filsafat Keterbukaan Kosmik

Dari seluruh analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa teori multiverse memiliki nilai filosofis yang lebih besar daripada sekadar penjelasan kosmologis. Ia berfungsi sebagai paradigma reflektif yang mempertemukan ilmu dan filsafat dalam pencarian bersama tentang makna realitas.¹⁶ Multiverse menunjukkan bahwa realitas bukan sistem tertutup, melainkan horizon keterbukaan tempat sains, metafisika, dan etika bertemu dalam satu kesadaran reflektif.¹⁷

Dengan demikian, multiverse dapat disebut sebagai metafora epistemologis kontemporer—sebuah cermin yang memperlihatkan bahwa rasionalitas manusia selalu bergerak antara keterbatasan dan kemungkinan.¹⁸ Ia mengajarkan bahwa pengetahuan sejati bukanlah tentang menguasai seluruh kebenaran, melainkan tentang hidup dalam kesadaran bahwa kebenaran itu selalu lebih luas dari pemahaman kita.¹⁹

Dalam horizon keterbukaan kosmik ini, filsafat menemukan kembali tugas utamanya: bukan menutup pertanyaan dengan kepastian, melainkan menjaga api pencarian yang terus menyala di antara pluralitas realitas.²⁰ Maka, teori multiverse, dalam makna terdalamnya, bukanlah akhir dari penjelasan kosmos, tetapi awal dari kebijaksanaan baru tentang eksistensi—yakni kesadaran bahwa “ada” senantiasa melampaui dunia yang kita kenal, dan pencarian terhadapnya adalah inti dari kemanusiaan itu sendiri.²¹


Footnotes

[1]                Brian Greene, The Hidden Reality: Parallel Universes and the Deep Laws of the Cosmos (New York: Vintage Books, 2011), 305–308.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. Hugh Tredennick (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1045a–1048b.

[3]                David Lewis, On the Plurality of Worlds (Oxford: Blackwell, 1986), 84–87.

[4]                William Desmond, Being and the Between (Albany: SUNY Press, 1995), 214–218.

[5]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 36–40.

[6]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 12–15.

[7]                Richard Dawid, String Theory and the Scientific Method (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 58–62.

[8]                Derek Parfit, Reasons and Persons (Oxford: Clarendon Press, 1984), 212–214.

[9]                Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University Press, 1986), 152–155.

[10]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 12–16.

[11]             William Lane Craig, “God and the Multiverse,” in God and the Multiverse: Scientific, Philosophical, and Theological Perspectives, ed. Klaas Kraay (London: Routledge, 2014), 43–49.

[12]             Keith Ward, God, Chance and Necessity (Oxford: Oneworld, 1996), 93–95.

[13]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 51–55.

[14]             Marcelo Gleiser, The Island of Knowledge: The Limits of Science and the Search for Meaning (New York: Basic Books, 2014), 210–214.

[15]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 175–178.

[16]             Sean Carroll, Something Deeply Hidden: Quantum Worlds and the Emergence of Spacetime (New York: Dutton, 2019), 273–277.

[17]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 205–208.

[18]             Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency (London: Continuum, 2008), 40–42.

[19]             Ken Wilber, A Theory of Everything: An Integral Vision for Business, Politics, Science, and Spirituality (Boston: Shambhala, 2000), 43–46.

[20]             Jean-Luc Nancy, The Sense of the World, trans. Jeffrey S. Librett (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1997), 64–68.

[21]             Marcelo Gleiser, The Simple Beauty of the Unexpected (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 199–203.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (n.d.). Summa Contra Gentiles (Book II, Ch. 45).

Aquinas, T. (n.d.). Summa Theologica (Part I, Q.3, Art.4).

Aristotle. (1933). Metaphysics (H. Tredennick, Trans.). Harvard University Press.

Bostrom, N. (2003). Are you living in a computer simulation? Philosophical Quarterly, 53(211), 243–255.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.

Carroll, S. (2016). The big picture: On the origins of life, meaning, and the universe itself. Dutton.

Carroll, S. (2019). Something deeply hidden: Quantum worlds and the emergence of spacetime. Dutton.

Cartwright, N. (1983). How the laws of physics lie. Clarendon Press.

Chalmers, D. J. (2022). Reality+: Virtual worlds and the problems of philosophy. W. W. Norton.

Chong, D. (2023). Multiverse storytelling in contemporary cinema. Journal of Aesthetic Studies, 14(2), 77–82.

Dainton, B. (2010). Time and space. Acumen.

Davies, P. (1992). The mind of God: The scientific basis for a rational world. Simon & Schuster.

Davies, P. (2006). The Goldilocks enigma: Why is the universe just right for life? Houghton Mifflin.

Dawid, R. (2013). String theory and the scientific method. Cambridge University Press.

Dawid, R. (2014). Theoretical confirmation beyond empiricism. Philosophy of Science, 81(5), 1071–1083.

Desmond, W. (1995). Being and the between. State University of New York Press.

Dillon, S. (2020). Screening reality: How documentary filmmakers reimagined America. Bloomsbury.

Ellis, G. F. R. (2007). Issues in the philosophy of cosmology. In J. Butterfield & J. Earman (Eds.), Philosophy of physics (pp. 1180–1224). North-Holland.

Ellis, G. F. R. (2011). Does the multiverse really exist? Scientific American, 305(2), 38–45.

Everett, H. (1957). “Relative state” formulation of quantum mechanics. Reviews of Modern Physics, 29(3), 454–462.

Fakhr al-Din al-Razi. (1981). Mafātīḥ al-ghayb (Vol. 1). Dār al-Fikr.

Fredkin, E. (2003). Digital philosophy: An introduction. International Journal of Theoretical Physics, 42(2), 189–204.

French, S. (2003). The structure of the world: Metaphysics and representation. Synthese, 136(1), 31–56.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Random House.

Gleiser, M. (2014). The island of knowledge: The limits of science and the search for meaning. Basic Books.

Gleiser, M. (2016). The simple beauty of the unexpected. MIT Press.

Greene, B. (2011). The hidden reality: Parallel universes and the deep laws of the cosmos. Vintage Books.

Guth, A. H. (1981). Inflationary universe: A possible solution to the horizon and flatness problems. Physical Review D, 23(2), 347–356.

Guth, A. H. (2007). Eternal inflation and its implications. Journal of Physics A, 40(25), 6811–6826.

Hacking, I. (1983). Representing and intervening. Cambridge University Press.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.

Heidegger, M. (1927). Sein und Zeit. Niemeyer.

Hossenfelder, S. (2018). Multiverses and the philosophy of science. Foundations of Physics, 48(9), 1291–1303.

Hutcheon, L. (1988). A poetics of postmodernism: History, theory, fiction. Routledge.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Jameson, F. (1991). Postmodernism, or, the cultural logic of late capitalism. Duke University Press.

Kitcher, P. (2001). Science, truth, and democracy. Oxford University Press.

Kripke, S. A. (1980). Naming and necessity. Harvard University Press.

Kraay, K. (2010). The theistic multiverse: Problems and prospects. Faith and Philosophy, 27(1), 44–51.

Kraay, K. (Ed.). (2014). God and the multiverse: Scientific, philosophical, and theological perspectives. Routledge.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. University of Chicago Press.

Ladyman, J., & Ross, D. (2007). Every thing must go: Metaphysics naturalized. Oxford University Press.

Leibniz, G. W. (1951). Theodicy (E. M. Huggard, Trans.). Routledge.

Lewis, D. (1986). On the plurality of worlds. Blackwell.

Linde, A. (1986). Eternal chaotic inflation. Modern Physics Letters A, 1(2), 81–86.

Lloyd, S. (2007). Programming the universe: A quantum computer scientist takes on the cosmos. Vintage.

Marion, J.-L. (1991). God without being (T. A. Carlson, Trans.). University of Chicago Press.

Maudlin, T. (2012). Philosophy of physics: Space and time. Princeton University Press.

Maxwell, T. (2014). Our mathematical universe: My quest for the ultimate nature of reality. Knopf.

Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay on the necessity of contingency. Continuum.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Nagel, T. (1986). The view from nowhere. Oxford University Press.

Nancy, J.-L. (1997). The sense of the world (J. S. Librett, Trans.). University of Minnesota Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric experience: Emerging religious consciousness. Orbis Books.

Parfit, D. (1984). Reasons and persons. Clarendon Press.

Plantinga, A. (1974). God, freedom, and evil. Eerdmans.

Polkinghorne, J. (1988). Science and creation: The search for understanding. SPCK.

Polkinghorne, J. (2005). Science and providence: God’s interaction with the world. Templeton Foundation Press.

Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery. Routledge.

Rolston, H. III. (1987). Science and religion: A critical survey. Temple University Press.

Sartre, J.-P. (1993). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Saunders, S., Barrett, J., Kent, A., & Wallace, D. (Eds.). (2010). Many worlds? Everett, quantum theory, and reality. Oxford University Press.

Smolin, L. (2006). The trouble with physics. Houghton Mifflin.

Susskind, L. (2005). The cosmic landscape: String theory and the illusion of intelligent design. Little, Brown.

Tegmark, M. (2014). Our mathematical universe: My quest for the ultimate nature of reality. Knopf.

Tempier, E. (1982). Condemnations of 1277. In N. Kretzmann et al. (Eds.), The Cambridge history of later medieval philosophy (pp. 45–48). Cambridge University Press.

Tillich, P. (1951). Systematic theology (Vol. I). University of Chicago Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Vedral, V. (2010). Decoding reality: The universe as quantum information. Oxford University Press.

van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

van Fraassen, B. C. (1989). Laws and symmetry. Clarendon Press.

Ward, K. (1996). God, chance and necessity. Oneworld.

Ward, K. (2014). The evidence for God: The case for the existence of the spiritual dimension. DLT.

Wilber, K. (2000). A theory of everything: An integral vision for business, politics, science, and spirituality. Shambhala.

Williamson, T. (2013). Modal logic as metaphysics. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar