Genealogi Moralitas Modern
Afirmasi Kehidupan dan Krisis Makna dalam Pemikiran Charles
Taylor
Alihkan ke: Tonton Video.
Abstrak
Artikel ini mengkaji evolusi historis dan filosofis
dari gagasan affirmation of ordinary life sebagaimana diuraikan oleh
Charles Taylor dalam kerangka refleksi atas modernitas moral. Melalui telaah
genealogis, artikel ini menelusuri bagaimana nilai-nilai kehidupan sehari-hari
— kerja, keluarga, cinta, dan tanggung jawab sosial — memperoleh makna
spiritual baru sejak Reformasi Protestan hingga era modernisme. Modernitas,
yang lahir dari dialektika antara iman, akal, dan perasaan, tidak sekadar
menandai sekularisasi dunia, tetapi juga pembentukan horizon moral baru di mana
kebaikan diwujudkan dalam kehidupan manusiawi yang profan namun bermakna.
Afirmasi terhadap kehidupan sehari-hari menjadi
simbol kematangan spiritual modernitas: bahwa martabat manusia tidak hanya
ditemukan dalam kontemplasi religius, melainkan juga dalam kesetiaan pada
tugas, cinta, dan solidaritas sosial. Namun, proses ini melahirkan dilema moral
mendasar — terpecahnya sumber-sumber moral antara teisme, rasionalisme, dan
ekspresivisme romantik. Fragmentasi tersebut menimbulkan ketegangan antara
efisiensi instrumental dan kedalaman makna, antara moralitas dan kepenuhan
diri.
Charles Taylor memandang dilema ini bukan sebagai
tanda kehancuran moral, melainkan sebagai tantangan spiritual bagi
manusia modern untuk menemukan kembali kedalaman kebaikan dalam kehidupan
sekuler. Melalui konsep retrieval, ia mengajak manusia untuk memulihkan
sumber moral yang terlupakan tanpa menolak kemajuan modernitas. Dengan
demikian, afirmasi kehidupan menjadi jalan bagi rekonsiliasi antara iman dan
akal, antara spiritualitas dan kehidupan duniawi, serta antara moralitas dan
ekspresi kemanusiaan yang utuh.
Kata Kunci: Afirmasi kehidupan; Charles Taylor; moralitas
modern; sekularisasi; iman dan akal; ekspresivisme; etika humanistik; dilema
moral; retrieval; spiritualitas modern.
PEMBAHASAN
Afirmasi Kehidupan dan Dilema Moral Manusia Modern
1.
Pendahuluan
Sejarah manusia senantiasa diwarnai oleh pencarian
tentang apa itu kehidupan yang baik. Sejak masa filsafat klasik, pertanyaan
mengenai tujuan hidup manusia menjadi pusat perenungan moral dan eksistensial.
Bagi para filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles dan kaum Stoa, kehidupan
tertinggi (the highest life) tidak terletak pada kerja atau urusan
keluarga, melainkan dalam kontemplasi terhadap kebijaksanaan dan partisipasi
dalam kehidupan politik yang berorientasi pada kebaikan bersama. Aktivitas
sehari-hari seperti bekerja, mengurus rumah tangga, atau membesarkan anak
dianggap sekadar pelengkap hidup, bukan inti dari kehidupan yang bernilai
luhur.
Namun, paradigma ini mengalami pergeseran mendasar
seiring lahirnya modernitas. Revolusi ilmiah yang dimotori oleh pemikir seperti
Francis Bacon membawa semangat baru dalam menilai kehidupan duniawi. Aktivitas
yang sebelumnya dianggap rendah—seperti kerja, perdagangan, dan pengelolaan
keluarga—mulai dipahami sebagai bagian dari martabat manusia. Dari sinilah
lahir gagasan penting yang kemudian dikenal sebagai affirmation of ordinary
life, yakni pengakuan terhadap kehidupan sehari-hari sebagai sumber makna
sejati dan arena aktualisasi moral manusia.
Dalam kerangka baru ini, kehormatan tidak lagi
dicapai melalui kejayaan politik atau keagungan aristokratik, melainkan melalui
kesetiaan, ketekunan, dan cinta dalam menjalani panggilan hidup yang sederhana.
Kehidupan sehari-hari, dengan seluruh rutinitasnya, menjadi tempat di mana
nilai-nilai moral dan spiritual menemukan wujud konkret. Pandangan ini kemudian
berkembang melalui pengaruh Reformasi Protestan yang menegaskan kesucian kerja,
keluarga, dan kehidupan biasa sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan.
Dengan demikian, modernitas tidak semata menandai
kebangkitan ilmu pengetahuan dan rasionalitas, melainkan juga transformasi
mendalam dalam pemahaman tentang kehidupan yang bermakna. Dari kontemplasi
menuju praksis, dari keagungan publik menuju kesetiaan pribadi, manusia modern
mulai menemukan nilai spiritual di tengah dunia yang profan. Afirmasi terhadap
kehidupan sehari-hari menjadi fondasi moral baru yang melandasi seluruh
dinamika modernitas — sebuah perubahan besar dalam cara manusia memahami
dirinya, pekerjaannya, dan relasinya dengan Tuhan maupun sesama.
2.
Genealogi
Afirmasi Kehidupan
2.1.
Filsafat Kehidupan
Sehari-hari pada Era Reformasi Protestan
Transformasi besar dalam cara manusia memandang
kehidupan bermula pada masa Reformasi Protestan. Gerakan ini menegaskan bahwa
seluruh aspek kehidupan manusia — kerja, keluarga, dan kegiatan duniawi —
memiliki nilai spiritual di hadapan Tuhan. Martin Luther mengajarkan bahwa
setiap orang berhadapan langsung dengan Tuhan tanpa perantara gereja atau
sakramen. Dengan demikian, batas antara sakral dan profan menjadi kabur:
seluruh kehidupan adalah ladang pengabdian kepada Tuhan.
Kaum Puritan memperdalam pandangan ini melalui
gagasan calling atau panggilan ilahi. Setiap pekerjaan, betapapun
sederhana, dianggap suci apabila dijalani dengan iman, kejujuran, dan
ketekunan. Bagi mereka, kerja keras dan disiplin adalah tanda kesalehan,
sedangkan kemalasan merupakan dosa. Tuhan tidak hanya menilai hasil, tetapi
juga sikap batin dalam melakukannya. Pandangan ini menanamkan etika baru: bahwa
martabat manusia terletak pada kesetiaan terhadap panggilan hidup, bukan pada
status sosial atau kekuasaan.
Reformasi juga mengubah makna pernikahan. Hubungan
suami-istri tidak lagi dipandang semata-mata sebagai sarana mencegah dosa atau
meneruskan keturunan, tetapi sebagai ikatan kasih yang setara, penuh tanggung
jawab, dan berlandaskan pelayanan kepada Tuhan. Dari sinilah muncul cikal bakal
konsep modern tentang keluarga sebagai ruang kasih yang bermartabat dan saling
meneguhkan.
Kalvinisme kemudian membawa semangat ini ke ranah
sosial dan politik. Kehidupan yang saleh tidak cukup dijalani secara pribadi;
masyarakat pun harus ditata sesuai kehendak Tuhan. Dari gagasan ini tumbuh
semangat aktivisme dan tanggung jawab sosial — dorongan untuk membangun
masyarakat yang adil, bekerja dengan integritas, dan menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai alat memperbaiki kehidupan manusia. Sains tidak lagi
dianggap sebagai kontemplasi murni, tetapi sebagai sarana praktis untuk
mewujudkan kasih dan kehendak Ilahi di dunia.
Dengan demikian, Reformasi Protestan menjadi
fondasi historis bagi affirmation of ordinary life: pandangan bahwa
kesucian tidak hanya ditemukan di altar, tetapi juga dalam kerja, rumah, dan
cinta yang dijalani dengan iman.
2.2.
Etos Kerja, Akal, dan Iman
dalam Pemikiran John Locke
Kelahiran modernitas tidak dapat dipisahkan dari upaya
memadukan iman dengan akal. John Locke menjadi tokoh penting dalam proses ini.
Ia bukan ateis dan bukan pula teolog ortodoks, melainkan sosok yang berusaha
menjembatani keduanya. Locke memadukan etos kerja keras ala Puritan dengan
rasionalitas Cartesian. Menurutnya, hukum moral bersumber dari Tuhan, tetapi
hadir dalam bentuk yang rasional, dapat dipahami, dan ditegakkan oleh manusia
melalui pahala serta hukuman sosial. Dengan cara itu, iman dan akal tidak
saling meniadakan, melainkan saling menguatkan.
Bagi Locke, tujuan hukum Tuhan adalah melindungi
kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan. Maka kerja dan produktivitas bukan
sekadar sarana ekonomi, melainkan bentuk ketaatan religius. Martabat hidup
tidak lagi dimonopoli oleh kaum bangsawan, melainkan oleh siapa pun yang
bekerja dan memberi manfaat bagi sesama. Namun Locke juga menyadari kerentanan
moral manusia: rasionalitas tidak sempurna tanpa wahyu dan kasih karunia. Akal
adalah alat praktis untuk menuntun manusia hidup sesuai kehendak Tuhan.
Pandangan ini membuka jalan bagi deisme,
suatu cara memahami Tuhan sebagai arsitek rasional alam semesta. Dalam deisme,
iman disaring melalui akal — rationalized Christianity — di mana
keyakinan religius tidak lagi hanya berdiam di altar, tetapi bekerja dalam
ilmu, etika, dan kehidupan sehari-hari. Charles Taylor kemudian menafsirkan
proses ini sebagai transformasi iman menjadi bentuk modern: iman yang hidup
dalam dunia, bekerja melalui akal budi, dan berakar pada keyakinan bahwa di
balik keteraturan rasional dunia terdapat Tuhan yang bijaksana.
3.
Lahirnya
Deisme dan Moralitas Alamiah
3.1.
Dua Arus Awal Deisme dan
Lahirnya Etika Benevolensi
Perkembangan gagasan modern tentang moralitas
alamiah berakar pada dua arus utama dalam deisme awal. Pertama adalah Deisme
Lokean, yang dipengaruhi oleh teologi Puritan dan Augustinianisme.
Pandangan ini melihat manusia sebagai makhluk lemah dan rusak akibat dosa,
sehingga moralitas hanya dapat ditegakkan melalui hukum Tuhan yang bersifat
eksternal dan mutlak. Dalam kerangka ini, moral dijalankan karena rasa takut
terhadap hukuman, bukan karena cinta terhadap kebaikan.
Sebaliknya, arus kedua muncul dari Cambridge
Platonists hingga Anthony Shaftesbury, yang menolak konsep agama
berbasis ketakutan. Mereka menegaskan bahwa hukum Tuhan sejalan dengan inward
nature—yakni kecenderungan batin manusia menuju kebaikan. Shaftesbury,
terinspirasi oleh filsafat Stoa, menekankan bahwa keutamaan lahir dari kasih
alami, harmoni batin, dan cinta universal, bukan dari paksaan hukum eksternal.
Dari sinilah lahir etika benevolensi, yaitu pandangan moral yang berakar
pada kasih sayang, kepedulian, dan kebaikan hati.
Murid Shaftesbury, Francis Hutcheson,
mengembangkan teori moral sense, yang berpendapat bahwa manusia memiliki
indra moral bawaan untuk merasakan kebaikan. Menurutnya, tindakan terbaik
adalah yang membawa kebahagiaan terbesar bagi banyak orang. Dua wajah deisme
ini — satu dingin dan rasional, satu hangat dan batiniah — menjadi dasar
perdebatan besar dalam filsafat moral modern antara hukum eksternal dan suara
batin, antara rasionalisme dan sentimentalism. Pertentangan inilah yang kelak
menginspirasi Rousseau dan gerakan romantik, yang menegaskan bahwa sumber moral
sejati adalah cinta batin yang menyatukan manusia dengan sesama dan dengan alam
semesta.
3.2.
Deisme sebagai Iman
Rasional dan Moralitas Alamiah
Memasuki abad ke-18, deisme berkembang menjadi suatu
pandangan baru yang berupaya mendamaikan iman dengan akal. Berbeda dari tuduhan
bahwa deisme adalah jalan menuju ketidakpercayaan, para pemikir masa itu
melihatnya sebagai bentuk iman baru yang meneguhkan keteraturan kosmik dan
kebaikan moral manusia.
Inti dari deisme adalah keyakinan bahwa Tuhan
menunjukkan kebajikan-Nya melalui keteraturan alam. Dunia dipahami sebagai
rancangan harmonis, tempat manusia mencapai kebahagiaan tertinggi melalui
moralitas — terutama melalui benevolence, cinta kasih, dan kepedulian
terhadap sesama. Nilai-nilai ini menggantikan konsep tradisional charity
dalam agama Kristen, sekalipun masih menyimpan gema etika Kristiani di
dalamnya.
Berbeda dengan tradisi Yudeo-Kristen yang
menekankan hubungan langsung dengan Tuhan, deisme menempatkan sumber kebaikan
dalam diri manusia. Kebahagiaan dipahami secara duniawi: sebagai kesenangan,
ketiadaan penderitaan, dan harmoni sosial. Hubungan dengan Tuhan berubah
menjadi rasa syukur terhadap keteraturan semesta, bukan lagi perjumpaan mistik
atau pengalaman rahmat. Dengan demikian, agama menjadi lebih alami dan dapat
dijelaskan secara rasional. Mukjizat serta intervensi ilahi ditolak karena
dianggap bertentangan dengan hukum alam.
Gambaran dunia yang demikian diungkapkan secara
puitis oleh Alexander Pope dalam Essay on Man, melalui gagasan
tentang Great Chain of Being — rantai besar keberadaan yang menyatukan
seluruh makhluk dalam harmoni. Dalam kerangka ini, moralitas manusia tidak lagi
asketik, tetapi selaras dengan kodratnya untuk mencari kebahagiaan. Cinta diri
diarahkan untuk menyatu dengan cinta kepada sesama, sehingga harmoni sosial
menjadi cerminan dari tatanan kosmik.
3.3.
Deisme, Sentimentalisme,
dan Jalan Menuju Sekularisasi
Bagi banyak pemikir abad ke-18, deisme merupakan
bentuk iman rasional yang menghubungkan Tuhan dengan dunia melalui hukum alam.
Namun, pergeseran ini juga membawa konsekuensi besar: agama semakin kehilangan
dimensi transendennya. Moralitas menjadi persoalan manusia, bukan lagi wahyu.
Dalam konteks ini, sentimen moral — seperti simpati, empati, dan benevolence
— menjadi sumber baru bagi etika.
Francis Hutcheson menegaskan bahwa perasaan manusia
terhadap kebaikan adalah cermin rancangan Ilahi dalam batin manusia. Moralitas,
karenanya, bukan sekadar urusan akal, tetapi juga sentuhan hati yang
menghubungkan manusia dengan alam dan sesama. Pandangan ini menjadi jembatan
antara deisme rasional dan romantisisme, membuka jalan bagi etika modern yang
menekankan pengalaman batin dan nilai kemanusiaan universal.
Pada akhirnya, deisme berperan sebagai jembatan
antara iman dan modernitas. Ia menyingkirkan mukjizat dan dogma yang kaku,
tetapi tetap mempertahankan keyakinan pada kebijaksanaan Ilahi yang terpantul
dalam rasionalitas alam. Di satu sisi, hal ini membuka jalan bagi pencerahan
dan sekularisme; di sisi lain, ia memperkuat kesadaran baru bahwa sumber
moralitas tidak lagi semata-mata transenden, melainkan juga manusiawi — lahir
dari kasih, simpati, dan keterhubungan dengan dunia.
4.
Kebangkitan
Sentimen dan Etika Kehidupan Sehari-hari
4.1.
Peralihan dari Hierarki
Kosmik ke Kehidupan Duniawi
Sejarah modernitas menunjukkan perubahan mendalam
dalam cara manusia memahami makna hidup. Pada masa klasik, kebaikan tertinggi
dipahami secara hierarkis — terikat pada tatanan kosmik dan akal budi yang
dianggap lebih tinggi dari dunia inderawi. Namun sejak abad ke-17 dan ke-18,
gambaran ini bergeser. Dunia mulai dipahami sebagai tatanan yang teratur dan
providensial, di mana aktivitas manusia yang sederhana sekalipun dapat memiliki
nilai moral yang luhur.
Perubahan ini membuka ruang bagi sentimen
manusia — perasaan dan emosi batin — sebagai sumber makna baru dan ukuran
moralitas. Jika sebelumnya rasio menjadi pusat, kini empati, kasih sayang, dan
kehalusan rasa mulai dianggap sebagai ciri kemanusiaan yang sejati. Perubahan
ini tidak hanya terjadi di ruang filsafat, tetapi juga meresap ke seluruh
dimensi budaya Eropa: ekonomi, sastra, keluarga, bahkan agama.
4.2.
Etika Borjuis dan Lahirnya
Ilmu Ekonomi Modern
Dunia perdagangan, yang pada masa lampau dianggap
hina dan rendah, kini mulai dipandang sebagai sarana moral yang mendisiplinkan
manusia. Perdagangan diyakini dapat menjinakkan sifat kasar, menumbuhkan
kesopanan, serta menciptakan keteraturan sosial. Dari pandangan ini lahirlah etika
borjuis yang menggantikan etika aristokratik lama.
Etika borjuis menekankan ketekunan bekerja,
kedisiplinan, dan kehidupan yang tertib. Kejayaan militer dan kehormatan kelas
bangsawan digantikan oleh penghargaan terhadap produktivitas dan kerja jujur.
Dari nilai-nilai ini lahir ilmu ekonomi modern, yang berasumsi bahwa produksi
dan pertukaran memiliki hukum tersendiri yang harmonis dengan tatanan alam
semesta. Dunia ekonomi tak lagi sekadar arena keuntungan, melainkan bagian dari
harmoni moral yang menopang kehidupan bersama.
4.3.
Sastra, Novel, dan
Kesadaran Waktu Modern
Kebangkitan sentimen juga menemukan ekspresinya
dalam dunia sastra. Abad ke-18 menandai lahirnya novel modern — sebuah
bentuk seni yang menempatkan kehidupan orang biasa sebagai subjek yang layak
diceritakan. Karya-karya seperti milik Defoe, Richardson, dan Fielding
menampilkan kehidupan sehari-hari, cinta, kerja, serta pergulatan moral dengan
keseriusan yang sama seperti kisah para pahlawan klasik.
Novel juga memperkenalkan kesadaran baru tentang
waktu: waktu yang linear, tak dapat diulang, dan penuh konsekuensi. Manusia
modern mulai membangun identitasnya melalui narasi hidup pribadi, bukan sekadar
mengikuti arketipe tradisional. Dalam kisah-kisah ini, martabat manusia
terletak pada kemampuannya untuk menceritakan dirinya sendiri, menegaskan
eksistensi melalui pengalaman dan pilihan hidup.
4.4.
Keluarga, Cinta, dan
Privasi sebagai Ruang Moral Baru
Modernitas juga mengubah makna keluarga. Pernikahan
tidak lagi sekadar urusan dinasti atau ekonomi, melainkan persekutuan kasih
yang sejati. Pilihan pasangan perlahan menjadi hak individu, bukan lagi
keputusan orang tua atau komunitas. Bersamaan dengan itu, muncul kebutuhan baru
akan privasi.
Rumah-rumah mulai dirancang untuk menciptakan ruang
pribadi: koridor memisahkan area publik dan domestik, ruang makan keluarga
menjadi tempat intim yang tertutup dari pandangan luar. Keluarga pun menjadi
dunia kecil yang hangat dan penuh kasih — tempat perlindungan dari kerasnya
kehidupan sosial. Di sinilah sentimen moral menemukan bentuknya: cinta
antara pasangan, kasih sayang orang tua terhadap anak, dan keintiman emosional
sebagai pusat makna kehidupan.
Anak-anak kini dipandang memiliki tahap
perkembangan sendiri, dengan kebutuhan dan dunianya yang khas. Keluarga menjadi
ruang pendidikan moral yang ditopang oleh cinta, perhatian, dan pengorbanan —
bukan sekadar struktur sosial.
4.5.
“Cult of Sensibility”
dan Spiritualitas Emosional
Abad ke-18 melahirkan budaya baru yang dikenal
sebagai The Cult of Sensibility, yang menjadikan perasaan halus dan
kepekaan moral sebagai lambang kemuliaan manusia. Sastra bukan lagi sekadar
hiburan, melainkan sarana membangkitkan simpati dan empati. Karya-karya seperti
Pamela dan Clarissa karya Richardson, atau La Nouvelle Héloïse
karya Rousseau, menegaskan bahwa kemurnian cinta, pengorbanan, dan kehalusan
hati adalah bentuk keagungan moral.
Bahkan penderitaan dan kesedihan memperoleh makna
spiritual baru: melankolia dipandang bukan kelemahan, tetapi tanda kedalaman
jiwa. Goethe melalui The Sorrows of Young Werther menggambarkan sosok
yang hancur oleh kepekaan berlebih sebagai ikon generasi romantik — jiwa yang
peka terhadap luka dunia. Dalam pandangan ini, kepekaan batin menjadi bukti
spiritualitas manusia modern: tanda bahwa seseorang mampu merasakan kehidupan
dengan kedalaman yang sejati.
4.6.
Alam, Keindahan, dan
Pengalaman Religius Baru
Seiring berkembangnya sensibility, hubungan
manusia dengan alam juga berubah. Alam tidak lagi dilihat sebagai simbol
hierarki kosmik, melainkan sebagai cermin batin manusia. Gunung, hutan, dan
danau menjadi lanskap spiritual yang memantulkan emosi terdalam. Keindahan kini
dipahami bukan melalui simetri dan keteraturan klasik, melainkan melalui getaran
emosional yang dialami ketika berhadapan dengan keagungan dan kesunyian
alam.
Perubahan ini juga memengaruhi religiositas.
Gerakan-gerakan seperti pietisme, metodisme, dan hasidisme
menekankan pengalaman iman yang personal dan penuh emosi, dibandingkan
ortodoksi dogmatis. Iman sejati bukan sekadar doktrin, melainkan api yang
menyala di hati, air mata yang menetes dalam doa, dan getaran batin yang
merasakan kehadiran Ilahi.
Sintesis: Sentimen
sebagai Sumber Martabat Modern
Dari ekonomi hingga sastra, dari keluarga hingga
agama, dari cara memandang alam hingga cara mencintai sesama, seluruh budaya
modernitas dibentuk oleh penemuan kembali nilai kehidupan sehari-hari dan
pengudusan perasaan. Modernitas dengan segala kompleksitasnya adalah kisah
tentang manusia yang belajar menemukan makna bukan di langit yang jauh,
melainkan dalam dirinya sendiri — dalam cinta, keluarga, alam, dan perasaan
terdalam.
Dari sinilah lahir identitas manusia modern:
makhluk yang sadar, yang menuturkan hidupnya sendiri, dan yang menemukan
martabat spiritual dalam kedalaman sentimen.
5.
Modernitas,
Sekularisasi, dan Moralitas Baru
5.1.
Pergeseran Moral dan
Munculnya Sumber-Sumber Baru Etika
Abad ke-18 di Eropa menandai munculnya budaya moral
baru yang menekankan individualisme, otonomi pribadi, dan perasaan
sebagai dasar kehidupan bermakna. Dari sini lahir gagasan tentang hak-hak
subjektif, penghargaan terhadap kerja produktif, serta keluarga sebagai pusat
moralitas dan kasih. Cinta, ekspresi diri, dan keadilan menjadi poros moral
baru yang menggantikan ikatan tradisional yang dahulu berakar pada hierarki
sosial dan tatanan religius.
Transformasi ini tidak berdiri sendiri. Ia berjalan
seiring dengan perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang saling memperkuat.
Deisme — yang menekankan keteraturan alam sebagai pantulan kebaikan Tuhan —
membuka jalan bagi pencerahan sekuler, di mana manusia mulai menemukan
sumber moral alternatif dalam akal, diri, dan alam tanpa perlu selalu
merujuk pada Tuhan.
Maka lahirlah tiga poros moral modern:
teisme (iman religius), rasionalisme (akal manusia), dan naturalisme (hukum
alam). Ketiganya saling berinteraksi, menciptakan budaya yang dinamis, penuh
ketegangan dan ketidakpastian, tetapi juga kaya akan kreativitas dan kebebasan
moral.
5.2.
Dualitas Rasionalisme dan
Romantisisme
Pada abad ke-18 dan 19, peradaban modern
menampilkan dualisme moral:
·
Di satu sisi, rasionalisme dan utilitarianisme menekankan akal
dan pandangan mekanistik terhadap alam.
·
Di sisi lain, romantisisme menyalakan imajinasi dan
memperjuangkan moralitas yang bersumber dari perasaan dan keaslian batin.
Kisah modernitas bukanlah tentang hilangnya Tuhan
semata, tetapi tentang lahirnya ruang baru pencarian moral — sebuah
horizon yang retak namun penuh potensi, tempat manusia mencari makna antara
akal dan hati, antara tatanan alam dan kebebasan rohani.
5.3.
Radical Enlightenment dan
Etika Utilitas
Salah satu gelombang paling berani dari modernitas
adalah Radical Enlightenment, gerakan pemikiran yang menolak tatanan
ilahi dan providensial. Bagi para pemikirnya, dasar moral bukan lagi wahyu atau
rencana Ilahi, melainkan kebahagiaan dan penderitaan manusia itu
sendiri.
Prinsip utilitas menjadi kompas moral:
tindakan baik adalah yang menambah kebahagiaan atau mengurangi penderitaan.
Mereka melihat manusia lahir tanpa sifat baik atau jahat; moralitas dibentuk
oleh pengalaman dan pilihan hidup. Meskipun menolak agama dan deisme, para
pemikir ini tetap mempertahankan tiga warisan moral lama: akal, kebahagiaan
sehari-hari, dan benevolence universal.
Dunia kini dipandang netral, tanpa makna bawaan;
hanya melalui pemahaman sebab-akibat manusia dapat memperbesar kebahagiaan. Sensualitas
dan pemenuhan jasmani dianggap bagian dari martabat manusia. Pemikir
seperti Baron d’Holbach menegaskan bahwa manusia tunduk pada hukum alam
dan dorongan alami untuk bertahan hidup serta mencari kebahagiaan. Bahkan
penderitaan manusia dan hewan diletakkan di pusat etika, memicu refleksi baru
tentang hukum, politik, dan pendidikan.
Namun, prinsip utilitas yang sempit melahirkan
paradoks: bagaimana menumbuhkan pengorbanan dan solidaritas jika kesenangan
menjadi satu-satunya nilai? Dari sini muncul ekstrem seperti Marquis de Sade,
yang merayakan kebebasan tanpa batas. Meskipun demikian, warisan radical
enlightenment tetap penting karena menegaskan penghargaan terhadap
kehidupan sehari-hari, penghapusan penderitaan, dan sensualitas sebagai bagian
dari martabat manusia.
5.4.
Kritik Rousseau dan Kant
terhadap Moral Utilitarian
Di tengah gelombang rasionalisme dan
utilitarianisme, muncul kritik mendalam dari Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel
Kant. Rousseau menolak optimisme dangkal Pencerahan dan menegaskan bahwa
kejahatan manusia bukan berasal dari alam, melainkan dari budaya dan opini
sosial. Ia memulihkan suara hati dan kesederhanaan hidup sebagai dasar
moralitas sejati.
Kant melanjutkan kritik tersebut melalui etika
rasional yang otonom. Menurutnya, moralitas tidak diukur dari akibat tindakan,
tetapi dari motif kewajiban yang lahir dari akal budi universal. Manusia
harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sarana, dan kebebasan moral adalah
bentuk tertinggi dari martabat. Melalui rasionalitas, manusia mampu mengatasi
sisi gelap kodratnya dan membangun hukum moral yang bersifat universal.
Baik Rousseau maupun Kant mengembalikan moralitas
ke ruang batin manusia — ke nurani dan akal budi. Dari Rousseau lahir
romantisisme dan gagasan otonomi batin, sementara dari Kant lahir etika modern
dan konsep hak asasi manusia. Bersama-sama, mereka menandai peralihan
moralitas dari tatanan kosmik menuju moralitas yang bersumber dari manusia
sendiri — fondasi dari dunia modern yang terus mencari kebebasan, keaslian, dan
martabat hidup.
Sintesis: Moralitas
Modern sebagai Dialektika Iman, Akal, dan Alam
Modernitas, dengan seluruh keragamannya, adalah
hasil dialektika antara iman religius, rasionalitas, dan naturalisme.
Sekularisasi tidak berarti hilangnya moralitas, tetapi pergeseran sumbernya —
dari Tuhan menuju hati dan akal manusia. Dalam dunia yang terus berubah,
manusia modern tidak lagi menunggu wahyu dari langit, melainkan belajar membaca
makna moral dari kehidupan sehari-hari, dari cinta, keadilan, dan tanggung
jawab terhadap sesama.
Moralitas modern adalah etika tanpa jaminan
absolut: sebuah ruang terbuka di mana iman, akal, dan alam terus berdialog
dalam pencarian yang tak pernah selesai akan kebaikan dan makna hidup.
6.
Romantisisme,
Nasionalisme, dan Realisme
6.1.
Warisan Romantisisme dan
Pencarian Moralitas Batin
Setelah masa Pencerahan yang menekankan
rasionalitas dan hukum alam, muncul gelombang baru yang disebut Romantisisme
— sebuah gerakan yang berupaya mengembalikan dimensi spiritual dan emosional
dalam kehidupan manusia. Romantisisme menolak reduksionisme ilmiah yang
memandang moralitas semata sebagai kalkulasi rasional, dan sebaliknya
menegaskan nilai batin, ekspresi diri, serta hubungan intim manusia dengan alam
dan sesama.
Bagi para romantikus, moralitas sejati tidak
ditemukan dalam ketaatan terhadap hukum eksternal, melainkan dalam integritas
ekspresif, keaslian hati, dan kepekaan moral terhadap kehidupan. Alam
dipandang bukan hanya sebagai objek pengamatan, tetapi sebagai cermin batin
manusia — tempat manusia mengenali dirinya sendiri dan menemukan makna yang
melampaui rasionalitas mekanistik.
Pengaruh romantisme ini melahirkan ideal moral
baru: manusia yang utuh adalah manusia yang merasakan, mencipta, dan hidup
selaras dengan nurani. Ia bukan sekadar makhluk rasional, melainkan makhluk
ekspresif yang menemukan kebajikan melalui pengalaman dan perasaan yang jujur.
6.2.
Dilema Moral Pascaromantik
dan Krisis Spiritualitas
Setelah puncak Romantisisme, para pemikir
pascaromantik menghadapi dilema besar: bagaimana mempertahankan nilai moral dan
spiritual tanpa bergantung pada teisme, namun juga tanpa menyerah kepada scientific
reductionism atau pandangan mekanistik tentang manusia.
Beberapa, seperti E.O. Wilson, berusaha
menjelaskan moralitas secara biologis melalui seleksi alam, tetapi pendekatan
ini dikritik karena mengabaikan kedalaman pengalaman manusia. Sebagai
tanggapan, banyak pemikir kembali menengok ke alam sebagai sumber moral dan
spiritualitas. Dalam karya Coleridge dan Goethe, muncul pandangan
bahwa ideal moral sejati bukan terletak pada ketaatan, tetapi pada integritas
ekspresif — kemampuan manusia untuk hidup setia pada batinnya dan
mengekspresikan kemanusiaan yang orisinal.
6.3.
Nasionalisme sebagai
Ekspresi Moral Kolektif
Romantisisme juga membawa dampak besar dalam bidang
politik dan kebudayaan melalui lahirnya nasionalisme modern. Jean-Jacques
Rousseau menegaskan gagasan kedaulatan rakyat, sementara Johann
Gottfried Herder menekankan bahwa setiap bangsa memiliki Volksgeist
— semangat rakyat yang unik, mencerminkan cara berpikir, merasa, dan hidup yang
khas.
Dalam pandangan Herder, bangsa bukanlah sekadar
unit politik, melainkan ekspresi moral kolektif dari kebudayaan dan bahasa.
Dengan demikian, nasionalisme awal bersifat humanistik dan kultural,
bukan agresif atau eksklusif. Ia tumbuh dari keyakinan bahwa keberagaman
bangsa-bangsa merupakan refleksi dari kebijaksanaan Ilahi yang memanifestasikan
diri melalui pluralitas ekspresi manusia.
Nasionalisme romantik ini menegaskan hak setiap
bangsa untuk mengekspresikan jati dirinya, namun juga menimbulkan tantangan
etis: bagaimana menyeimbangkan cinta tanah air dengan kemanusiaan universal.
Ketegangan inilah yang kelak menjadi persoalan moral besar di era modern.
6.4.
Realisme sebagai Reaksi
Sosial dan Estetik
Menjelang akhir abad ke-19, lahir gerakan Realisme
yang menandai pergeseran dari idealisme ke penggambaran dunia nyata. Realisme
menolak romantisisme yang terlalu menekankan emosi dan spiritualitas, serta
mengalihkan perhatian kepada kehidupan sosial yang konkret.
Melalui seni, sastra, dan lukisan, realisme
menampilkan dunia sehari-hari — kaum pekerja, keluarga kecil, kota industri —
dengan kesungguhan moral yang baru. Gerakan ini menegaskan demokratisasi
seni dan moralitas: bahwa setiap individu, betapapun sederhana hidupnya,
memiliki martabat sejarah.
Dalam perspektif ini, seni bukan lagi alat untuk
mengagungkan yang luhur, melainkan sarana mengungkapkan kenyataan manusia
sebagaimana adanya. Dengan menampilkan yang nyata dan biasa, realisme ikut
memperjuangkan hak individu untuk diakui, menegaskan bahwa kemanusiaan
sejati terletak dalam kehidupan yang autentik dan jujur.
Sintesis: Dari
Romantisisme ke Realisme — Moralitas sebagai Ekspresi Kemanusiaan
Gelombang Romantisisme dan Realisme, meski berbeda,
saling melengkapi dalam membentuk kesadaran moral modern. Romantisisme
menanamkan penghargaan terhadap batin, imajinasi, dan keaslian ekspresi;
sedangkan Realisme menegaskan nilai kemanusiaan dalam kehidupan konkret dan
sosial.
Dari perpaduan keduanya, lahir pemahaman baru
tentang moralitas sebagai ekspresi kemanusiaan yang integral — bukan
hukum abstrak, bukan pula insting biologis, tetapi keterlibatan manusia dalam
dunia dengan kejujuran, cinta, dan tanggung jawab. Inilah fondasi bagi
modernitas moral yang menolak baik absolutisme religius maupun nihilisme
sekuler: moralitas yang tumbuh dari pengalaman hidup, dari kepekaan terhadap
realitas, dan dari komitmen untuk menegakkan martabat manusia di dunia yang
terus berubah.
7.
Modernisme
dan Krisis Makna
7.1.
Latar Sosial dan Lahirnya
Modernisme
Memasuki abad ke-20, lanskap budaya dan spiritual
manusia mengalami perubahan besar. Seni epifanik yang sebelumnya
mengungkapkan realitas spiritual melalui alam — seperti karya Wordsworth
dan para penyair Romantik — semakin kehilangan daya spiritualnya. Proses urbanisasi,
kemajuan teknologi, dan pandangan dunia ilmiah yang mekanistik menjadikan alam
semakin marginal dalam pengalaman manusia.
Dalam konteks inilah Modernisme lahir
sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap kehilangan makna. Para pemikir
seperti Martin Heidegger dan Ludwig Wittgenstein serta para
seniman seperti Ezra Pound dan T.S. Eliot berupaya memulihkan
pengalaman langsung, keheningan batin, dan kedalaman eksistensial di tengah
kehidupan yang terfragmentasi. Seni dan puisi bagi mereka mengambil peran baru
yang sebelumnya dipegang oleh agama: menjadi sarana untuk menemukan kembali
makna dan kesatuan hidup manusia.
Wallace Stevens, misalnya, memandang puisi sebagai bentuk penebusan modern — sebuah
jalan untuk mengembalikan kedalaman pada pengalaman manusia setelah keyakinan religius
tradisional mulai memudar. Melalui bahasa dan imajinasi, seni modern berusaha
menjadi ruang sakral baru tempat manusia menghayati keindahan, kesendirian, dan
misteri eksistensial.
7.2.
Krisis Sumber Moral dan Fragmentasi
Nilai
Charles Taylor memandang modernitas sebagai zaman
yang paradoksal. Banyak orang masih sepakat tentang nilai-nilai moral dasar — keadilan,
kebebasan, dan penghormatan terhadap penderitaan manusia — namun di balik
kesepakatan itu tersembunyi perpecahan mendalam mengenai sumber-sumber moral
yang menopang nilai-nilai tersebut. Kita mungkin sepakat bahwa menolong sesama
adalah tindakan baik, tetapi kita berbeda pandangan tentang mengapa itu
baik.
Taylor mengidentifikasi tiga sumber utama moral modern:
1)
Teisme, yang
menempatkan Tuhan dan wahyu sebagai sumber kebaikan.
2)
Naturalisme rasional, yang
menekankan akal, sains, dan otonomi manusia.
3)
Ekspresivisme romantik atau modernis, yang mencari kebaikan dalam kreativitas, keaslian diri, dan kekayaan
batin.
Dari ketiga sumber ini lahir tiga konflik besar
dalam modernitas: tentang sumber moral, tentang instrumentalisme, dan tentang
relasi antara moralitas dan kepenuhan diri.
7.3.
Konflik Instrumentalisme
dan Kehampaan Makna
Konflik kedua dalam modernitas adalah instrumentalisme
— cara pandang yang menilai segala sesuatu berdasarkan kegunaan. Pandangan
dunia yang terlalu teknis dan efisien sering kali mengosongkan makna hidup,
mereduksi manusia menjadi alat produksi, dan membatasi ruang kebebasan batin.
Sebaliknya, kaum romantis dan modernis menuntut
kehidupan yang lebih mendalam, penuh makna, dan berakar pada pengalaman
eksistensial. Taylor menegaskan bahwa ketegangan antara dua orientasi ini —
efisiensi instrumental dan kedalaman makna — merupakan inti dari krisis
modernitas.
7.4.
Konflik antara Moralitas
dan Kepenuhan Diri
Konflik ketiga menyangkut hubungan antara moralitas
dan kepenuhan hidup. Apakah hidup yang bermoral dan penuh belas kasih
justru membatasi kehidupan yang utuh dan ekspresif? Taylor meminjam inspirasi
dari Nietzsche dan Dostoyevsky, yang menunjukkan sisi gelap dari
moralitas belas kasih — bagaimana tuntutan moral yang tinggi dapat berubah
menjadi kekerasan terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Pemikir seperti Michel Foucault dan para feminis
kemudian memperluas kritik ini: ideal moral sering tersembunyi di balik
struktur kekuasaan yang menindas dan mengecualikan sebagian orang. Sejarah
modern memperlihatkan paradoks yang sama: agama pernah menuntut pengorbanan
atas nama Tuhan, namun ideologi sekuler seperti komunisme atau nasionalisme
radikal juga menimbulkan tragedi serupa.
Karena itu, menggantikan agama dengan humanisme
sekuler tidak otomatis membebaskan manusia dari dilema moral. Kedua-duanya
tetap menuntut pengorbanan: manusia harus menolak sebagian dari hasrat
spiritualnya demi stabilitas dan keamanan.
Krisis, Harapan, dan
Afirmasi Ilahi
Bagi Taylor, modernitas bukanlah kutukan, melainkan
tantangan spiritual terbesar manusia. Bahkan ketika manusia berusaha
hidup rasional dan aman, ia tetap kehilangan sebagian dari kedalaman
kemanusiaannya. Namun Taylor menolak pandangan pesimistis yang menganggap
krisis ini tak terelakkan.
Masih ada harapan akan afirmasi ilahi terhadap
kemanusiaan — suatu kebaikan yang melampaui kemampuan manusia sendiri. Ia
tidak menawarkan jawaban sederhana, melainkan sebuah jalan reflektif yang
disebutnya retrieval: pemulihan kembali kebaikan yang terkubur di bawah
lapisan sejarah dan ideologi.
Taylor menegaskan bahwa filsafat dan refleksi moral
dapat menjadi bentuk pembebasan, karena dengan menyingkap sumber-sumber
kebaikan yang terlupakan, manusia dapat kembali menemukan napas spiritual
dalam kehidupan modern. Dengan demikian, meski manusia tidak akan pernah
sepenuhnya menyelesaikan konflik-konflik moralnya, ia tetap dapat hidup lebih
jujur dan utuh dengan sumber kekuatan moral yang lebih kaya dan mendalam.
8.
Dilema
Moral Manusia Modern menurut Charles Taylor
8.1.
Latar Pemikiran Taylor:
Moralitas dalam Zaman Sekular
Charles Taylor melihat modernitas sebagai zaman di
mana manusia tetap berkomitmen pada nilai-nilai moral dasar seperti keadilan,
kebebasan, dan penghormatan terhadap penderitaan sesama, tetapi kehilangan
kesepakatan tentang sumber moralitas itu sendiri. Dengan kata lain, kita
sepakat tentang apa yang baik, tetapi berbeda tentang mengapa hal
itu baik.
Taylor membagi tiga sumber besar moral modern:
1)
Teisme, yang
menempatkan Tuhan dan wahyu sebagai sumber kebaikan.
2)
Naturalisme rasional, yang
menekankan otonomi akal dan kemandirian manusia.
3)
Ekspresivisme romantik-modernis, yang menemukan kebaikan dalam keaslian diri dan kehidupan batin yang
kaya.
Dari ketiganya lahir tiga konflik utama dalam
sejarah moral modern: konflik sumber moral, konflik instrumentalisme, dan
konflik antara moralitas dan kepenuhan diri.
8.2.
Konflik Pertama: Sumber
Moral yang Terpecah
Manusia modern hidup di tengah pluralitas pandangan
tentang kebaikan. Kita masih menganggap empati, keadilan, dan kasih sebagai
ideal moral, tetapi sumbernya telah tercerai: bagi sebagian, kebaikan bersumber
dari Tuhan; bagi yang lain, dari akal atau dari perasaan manusiawi. Tanpa dasar
spiritual yang kokoh, standar moral sering kali tampak rapuh, mudah tergantikan
oleh rasa bersalah atau tekanan sosial semata.
Taylor menilai bahwa dilema ini menciptakan ketegangan
eksistensial dalam diri manusia modern: ia ingin menjadi baik, tetapi
kehilangan orientasi transendental yang memberi kedalaman pada tindakannya.
8.3.
Konflik Kedua:
Instrumentalisme dan Kehampaan Makna
Konflik berikutnya muncul dari pandangan dunia
instrumental, yaitu kecenderungan menilai segala sesuatu berdasarkan
kegunaannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi, meski membawa kemajuan besar,
sering kali mengosongkan kehidupan dari makna yang lebih dalam. Dunia menjadi
efisien, tetapi kehilangan roh.
Di sisi lain, kaum romantis dan modernis menuntut
kehidupan yang lebih otentik, penuh makna, dan terhubung dengan kedalaman
batin. Taylor menilai bahwa perdebatan antara dua kubu ini — yang satu
menekankan rasionalitas, yang lain spiritualitas — sering kali bersifat ekstrem
karena menolak melihat kebaikan yang ditawarkan pihak lain.
8.4.
Konflik Ketiga: Moralitas
dan Kepenuhan Diri
Konflik paling dalam dalam modernitas, menurut
Taylor, adalah ketegangan antara moralitas dan kepenuhan diri (fullness).
Apakah hidup yang bermoral — penuh belas kasih dan kewajiban — justru
menghambat kehidupan yang utuh dan ekspresif?
Nietzsche dan Dostoyevsky sama-sama menunjukkan sisi gelap belas kasih:
bahwa moralitas yang berlebihan bisa menjadi bentuk kekerasan halus terhadap
diri sendiri maupun orang lain. Foucault dan para feminis
menambahkan bahwa ideal moral sering tersembunyi di balik struktur kekuasaan
yang menindas dan eksklusif.
Sejarah modern membuktikan paradoks ini. Agama
pernah menuntut pengorbanan besar atas nama Tuhan; namun ideologi sekuler
seperti komunisme dan nasionalisme radikal juga menuntut pengorbanan serupa
atas nama manusia. Karena itu, menggantikan agama dengan humanisme sekuler
tidak menghapus dilema moral; ia hanya menggantinya dengan bentuk baru dari
pengorbanan — di mana manusia menolak sebagian dari hasrat spiritualnya demi
stabilitas rasional.
Harapan, Afirmasi
Ilahi, dan Gagasan Retrieval
Bagi Taylor, dilema moral modern bukanlah kutukan yang
tak terelakkan, tetapi tantangan spiritual terbesar manusia. Manusia
tidak harus memilih antara kebutaan moral dan kehancuran batin. Selalu ada
harapan akan afirmasi ilahi terhadap kemanusiaan — suatu kebaikan yang
melampaui kemampuan moral manusia sendiri.
Taylor menyebut jalan reflektif ini sebagai retrieval:
upaya memulihkan kebaikan yang terlupakan dalam sejarah moral modern. Melalui
refleksi filosofis dan kesadaran moral, manusia dapat menemukan kembali
kedalaman spiritual yang tersembunyi di balik kehidupan sekuler.
Filsafat, bagi Taylor, bukan sekadar analisis
rasional, tetapi tindakan penyembuhan — a moral recovery project. Dengan
menyingkap sumber kebaikan yang terkubur di bawah modernitas, manusia dapat
menghidupkan kembali napas moral dan spiritual yang memberi makna bagi
hidupnya.
Dalam dunia yang terpecah dan tanpa pusat, refleksi
semacam ini menjadi bentuk afirmasi baru: bukan sekadar iman lama yang diulang,
tetapi pencarian aktif akan kedalaman, cinta, dan makna yang menyatukan
kemanusiaan universal.
9.
Kesimpulan
Perjalanan panjang sejarah pemikiran moral yang
dipaparkan oleh Charles Taylor menunjukkan bahwa modernitas bukan sekadar
proses rasionalisasi dunia, tetapi juga transformasi mendalam dalam
pemahaman manusia tentang kebaikan, makna, dan kehidupan sehari-hari. Dari
akar Reformasi Protestan hingga modernisme abad ke-20, terjadi pergeseran
besar: dari kehidupan yang terarah pada tatanan kosmik dan transendensi menuju
afirmasi terhadap kehidupan manusiawi yang profan, historis, dan emosional.
Afirmasi kehidupan sehari-hari (affirmation of
ordinary life) menjadi
poros baru moralitas modern. Kerja, keluarga, kasih, dan tanggung jawab sosial
tidak lagi dianggap kegiatan rendah, melainkan arena nyata tempat spiritualitas
dan martabat manusia diwujudkan. Di sinilah modernitas menemukan sisi
humanistiknya — bahwa yang ilahi dapat hadir dalam kesederhanaan hidup, dalam
kasih yang tulus, dan dalam ketekunan yang jujur.
Namun, Taylor juga menunjukkan bahwa pergeseran ini
melahirkan dilema moral yang kompleks. Ketika sumber-sumber moral klasik
(teistik) mulai melemah, manusia berhadapan dengan pluralitas nilai dan
kehilangan pusat makna tunggal. Rasionalisme melahirkan efisiensi dan kemajuan,
tetapi sering menyingkirkan kedalaman spiritual; romantisisme menumbuhkan
ekspresivitas dan kebebasan, tetapi rentan jatuh ke dalam subjektivisme dan
relativisme.
Dari ketegangan inilah lahir krisis moral modern:
manusia ingin menjadi rasional tanpa kehilangan hati, ingin bebas tanpa
kehilangan makna, dan ingin beriman tanpa menolak dunia. Modernitas, bagi
Taylor, bukanlah penolakan terhadap iman, melainkan usaha merekonsiliasi
iman, akal, dan kehidupan duniawi dalam horizon baru kemanusiaan.
Di tengah krisis ini, Taylor menawarkan jalan
reflektif melalui gagasan retrieval — pemulihan kembali sumber-sumber
moral yang terlupakan tanpa mengingkari pengalaman modern. Ia mengajak manusia
untuk menggali kembali kedalaman spiritual di dalam kehidupan duniawi,
menegaskan bahwa kebaikan tidak hilang, melainkan tersembunyi di balik struktur
rasionalitas dan sekularitas.
Dengan demikian, moralitas modern tidak harus
berakhir pada nihilisme, melainkan dapat menjadi ruang terbuka bagi sintesis
baru:
·
antara iman dan akal,
·
antara transendensi dan immanensi,
·
antara moralitas dan kepenuhan hidup.
Afirmasi kehidupan bukanlah pengingkaran terhadap
spiritualitas, melainkan cara baru untuk menemukan yang suci dalam dunia
yang profan, untuk menegaskan martabat manusia sebagai makhluk yang
rasional sekaligus spiritual, sosial sekaligus individual.
Akhirnya, dilema moral manusia modern bukanlah
tanda kehancuran, tetapi undangan untuk berpikir lebih dalam, hidup lebih
sadar, dan mencintai lebih utuh. Di tengah pluralitas dan kerumitan dunia,
manusia masih memiliki kemampuan untuk menegaskan hidupnya — menemukan makna
dalam kerja, kasih, dan kebenaran yang terus dicari, tanpa pernah selesai.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar