Senin, 03 November 2025

Genealogi Moralitas Modern: Afirmasi Kehidupan dan Krisis Makna dalam Pemikiran Charles Taylor

Genealogi Moralitas Modern

Afirmasi Kehidupan dan Krisis Makna dalam Pemikiran Charles Taylor


Alihkan ke: Tonton Video.


Abstrak

Artikel ini mengkaji evolusi historis dan filosofis dari gagasan affirmation of ordinary life sebagaimana diuraikan oleh Charles Taylor dalam kerangka refleksi atas modernitas moral. Melalui telaah genealogis, artikel ini menelusuri bagaimana nilai-nilai kehidupan sehari-hari — kerja, keluarga, cinta, dan tanggung jawab sosial — memperoleh makna spiritual baru sejak Reformasi Protestan hingga era modernisme. Modernitas, yang lahir dari dialektika antara iman, akal, dan perasaan, tidak sekadar menandai sekularisasi dunia, tetapi juga pembentukan horizon moral baru di mana kebaikan diwujudkan dalam kehidupan manusiawi yang profan namun bermakna.

Afirmasi terhadap kehidupan sehari-hari menjadi simbol kematangan spiritual modernitas: bahwa martabat manusia tidak hanya ditemukan dalam kontemplasi religius, melainkan juga dalam kesetiaan pada tugas, cinta, dan solidaritas sosial. Namun, proses ini melahirkan dilema moral mendasar — terpecahnya sumber-sumber moral antara teisme, rasionalisme, dan ekspresivisme romantik. Fragmentasi tersebut menimbulkan ketegangan antara efisiensi instrumental dan kedalaman makna, antara moralitas dan kepenuhan diri.

Charles Taylor memandang dilema ini bukan sebagai tanda kehancuran moral, melainkan sebagai tantangan spiritual bagi manusia modern untuk menemukan kembali kedalaman kebaikan dalam kehidupan sekuler. Melalui konsep retrieval, ia mengajak manusia untuk memulihkan sumber moral yang terlupakan tanpa menolak kemajuan modernitas. Dengan demikian, afirmasi kehidupan menjadi jalan bagi rekonsiliasi antara iman dan akal, antara spiritualitas dan kehidupan duniawi, serta antara moralitas dan ekspresi kemanusiaan yang utuh.

Kata Kunci: Afirmasi kehidupan; Charles Taylor; moralitas modern; sekularisasi; iman dan akal; ekspresivisme; etika humanistik; dilema moral; retrieval; spiritualitas modern.


PEMBAHASAN

Afirmasi Kehidupan dan Dilema Moral Manusia Modern


1.           Pendahuluan

Sejarah manusia senantiasa diwarnai oleh pencarian tentang apa itu kehidupan yang baik. Sejak masa filsafat klasik, pertanyaan mengenai tujuan hidup manusia menjadi pusat perenungan moral dan eksistensial. Bagi para filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles dan kaum Stoa, kehidupan tertinggi (the highest life) tidak terletak pada kerja atau urusan keluarga, melainkan dalam kontemplasi terhadap kebijaksanaan dan partisipasi dalam kehidupan politik yang berorientasi pada kebaikan bersama. Aktivitas sehari-hari seperti bekerja, mengurus rumah tangga, atau membesarkan anak dianggap sekadar pelengkap hidup, bukan inti dari kehidupan yang bernilai luhur.

Namun, paradigma ini mengalami pergeseran mendasar seiring lahirnya modernitas. Revolusi ilmiah yang dimotori oleh pemikir seperti Francis Bacon membawa semangat baru dalam menilai kehidupan duniawi. Aktivitas yang sebelumnya dianggap rendah—seperti kerja, perdagangan, dan pengelolaan keluarga—mulai dipahami sebagai bagian dari martabat manusia. Dari sinilah lahir gagasan penting yang kemudian dikenal sebagai affirmation of ordinary life, yakni pengakuan terhadap kehidupan sehari-hari sebagai sumber makna sejati dan arena aktualisasi moral manusia.

Dalam kerangka baru ini, kehormatan tidak lagi dicapai melalui kejayaan politik atau keagungan aristokratik, melainkan melalui kesetiaan, ketekunan, dan cinta dalam menjalani panggilan hidup yang sederhana. Kehidupan sehari-hari, dengan seluruh rutinitasnya, menjadi tempat di mana nilai-nilai moral dan spiritual menemukan wujud konkret. Pandangan ini kemudian berkembang melalui pengaruh Reformasi Protestan yang menegaskan kesucian kerja, keluarga, dan kehidupan biasa sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan.

Dengan demikian, modernitas tidak semata menandai kebangkitan ilmu pengetahuan dan rasionalitas, melainkan juga transformasi mendalam dalam pemahaman tentang kehidupan yang bermakna. Dari kontemplasi menuju praksis, dari keagungan publik menuju kesetiaan pribadi, manusia modern mulai menemukan nilai spiritual di tengah dunia yang profan. Afirmasi terhadap kehidupan sehari-hari menjadi fondasi moral baru yang melandasi seluruh dinamika modernitas — sebuah perubahan besar dalam cara manusia memahami dirinya, pekerjaannya, dan relasinya dengan Tuhan maupun sesama.


2.           Genealogi Afirmasi Kehidupan

2.1.       Filsafat Kehidupan Sehari-hari pada Era Reformasi Protestan

Transformasi besar dalam cara manusia memandang kehidupan bermula pada masa Reformasi Protestan. Gerakan ini menegaskan bahwa seluruh aspek kehidupan manusia — kerja, keluarga, dan kegiatan duniawi — memiliki nilai spiritual di hadapan Tuhan. Martin Luther mengajarkan bahwa setiap orang berhadapan langsung dengan Tuhan tanpa perantara gereja atau sakramen. Dengan demikian, batas antara sakral dan profan menjadi kabur: seluruh kehidupan adalah ladang pengabdian kepada Tuhan.

Kaum Puritan memperdalam pandangan ini melalui gagasan calling atau panggilan ilahi. Setiap pekerjaan, betapapun sederhana, dianggap suci apabila dijalani dengan iman, kejujuran, dan ketekunan. Bagi mereka, kerja keras dan disiplin adalah tanda kesalehan, sedangkan kemalasan merupakan dosa. Tuhan tidak hanya menilai hasil, tetapi juga sikap batin dalam melakukannya. Pandangan ini menanamkan etika baru: bahwa martabat manusia terletak pada kesetiaan terhadap panggilan hidup, bukan pada status sosial atau kekuasaan.

Reformasi juga mengubah makna pernikahan. Hubungan suami-istri tidak lagi dipandang semata-mata sebagai sarana mencegah dosa atau meneruskan keturunan, tetapi sebagai ikatan kasih yang setara, penuh tanggung jawab, dan berlandaskan pelayanan kepada Tuhan. Dari sinilah muncul cikal bakal konsep modern tentang keluarga sebagai ruang kasih yang bermartabat dan saling meneguhkan.

Kalvinisme kemudian membawa semangat ini ke ranah sosial dan politik. Kehidupan yang saleh tidak cukup dijalani secara pribadi; masyarakat pun harus ditata sesuai kehendak Tuhan. Dari gagasan ini tumbuh semangat aktivisme dan tanggung jawab sosial — dorongan untuk membangun masyarakat yang adil, bekerja dengan integritas, dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat memperbaiki kehidupan manusia. Sains tidak lagi dianggap sebagai kontemplasi murni, tetapi sebagai sarana praktis untuk mewujudkan kasih dan kehendak Ilahi di dunia.

Dengan demikian, Reformasi Protestan menjadi fondasi historis bagi affirmation of ordinary life: pandangan bahwa kesucian tidak hanya ditemukan di altar, tetapi juga dalam kerja, rumah, dan cinta yang dijalani dengan iman.

2.2.       Etos Kerja, Akal, dan Iman dalam Pemikiran John Locke

Kelahiran modernitas tidak dapat dipisahkan dari upaya memadukan iman dengan akal. John Locke menjadi tokoh penting dalam proses ini. Ia bukan ateis dan bukan pula teolog ortodoks, melainkan sosok yang berusaha menjembatani keduanya. Locke memadukan etos kerja keras ala Puritan dengan rasionalitas Cartesian. Menurutnya, hukum moral bersumber dari Tuhan, tetapi hadir dalam bentuk yang rasional, dapat dipahami, dan ditegakkan oleh manusia melalui pahala serta hukuman sosial. Dengan cara itu, iman dan akal tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan.

Bagi Locke, tujuan hukum Tuhan adalah melindungi kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan. Maka kerja dan produktivitas bukan sekadar sarana ekonomi, melainkan bentuk ketaatan religius. Martabat hidup tidak lagi dimonopoli oleh kaum bangsawan, melainkan oleh siapa pun yang bekerja dan memberi manfaat bagi sesama. Namun Locke juga menyadari kerentanan moral manusia: rasionalitas tidak sempurna tanpa wahyu dan kasih karunia. Akal adalah alat praktis untuk menuntun manusia hidup sesuai kehendak Tuhan.

Pandangan ini membuka jalan bagi deisme, suatu cara memahami Tuhan sebagai arsitek rasional alam semesta. Dalam deisme, iman disaring melalui akal — rationalized Christianity — di mana keyakinan religius tidak lagi hanya berdiam di altar, tetapi bekerja dalam ilmu, etika, dan kehidupan sehari-hari. Charles Taylor kemudian menafsirkan proses ini sebagai transformasi iman menjadi bentuk modern: iman yang hidup dalam dunia, bekerja melalui akal budi, dan berakar pada keyakinan bahwa di balik keteraturan rasional dunia terdapat Tuhan yang bijaksana.


3.           Lahirnya Deisme dan Moralitas Alamiah

3.1.       Dua Arus Awal Deisme dan Lahirnya Etika Benevolensi

Perkembangan gagasan modern tentang moralitas alamiah berakar pada dua arus utama dalam deisme awal. Pertama adalah Deisme Lokean, yang dipengaruhi oleh teologi Puritan dan Augustinianisme. Pandangan ini melihat manusia sebagai makhluk lemah dan rusak akibat dosa, sehingga moralitas hanya dapat ditegakkan melalui hukum Tuhan yang bersifat eksternal dan mutlak. Dalam kerangka ini, moral dijalankan karena rasa takut terhadap hukuman, bukan karena cinta terhadap kebaikan.

Sebaliknya, arus kedua muncul dari Cambridge Platonists hingga Anthony Shaftesbury, yang menolak konsep agama berbasis ketakutan. Mereka menegaskan bahwa hukum Tuhan sejalan dengan inward nature—yakni kecenderungan batin manusia menuju kebaikan. Shaftesbury, terinspirasi oleh filsafat Stoa, menekankan bahwa keutamaan lahir dari kasih alami, harmoni batin, dan cinta universal, bukan dari paksaan hukum eksternal. Dari sinilah lahir etika benevolensi, yaitu pandangan moral yang berakar pada kasih sayang, kepedulian, dan kebaikan hati.

Murid Shaftesbury, Francis Hutcheson, mengembangkan teori moral sense, yang berpendapat bahwa manusia memiliki indra moral bawaan untuk merasakan kebaikan. Menurutnya, tindakan terbaik adalah yang membawa kebahagiaan terbesar bagi banyak orang. Dua wajah deisme ini — satu dingin dan rasional, satu hangat dan batiniah — menjadi dasar perdebatan besar dalam filsafat moral modern antara hukum eksternal dan suara batin, antara rasionalisme dan sentimentalism. Pertentangan inilah yang kelak menginspirasi Rousseau dan gerakan romantik, yang menegaskan bahwa sumber moral sejati adalah cinta batin yang menyatukan manusia dengan sesama dan dengan alam semesta.

3.2.       Deisme sebagai Iman Rasional dan Moralitas Alamiah

Memasuki abad ke-18, deisme berkembang menjadi suatu pandangan baru yang berupaya mendamaikan iman dengan akal. Berbeda dari tuduhan bahwa deisme adalah jalan menuju ketidakpercayaan, para pemikir masa itu melihatnya sebagai bentuk iman baru yang meneguhkan keteraturan kosmik dan kebaikan moral manusia.

Inti dari deisme adalah keyakinan bahwa Tuhan menunjukkan kebajikan-Nya melalui keteraturan alam. Dunia dipahami sebagai rancangan harmonis, tempat manusia mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moralitas — terutama melalui benevolence, cinta kasih, dan kepedulian terhadap sesama. Nilai-nilai ini menggantikan konsep tradisional charity dalam agama Kristen, sekalipun masih menyimpan gema etika Kristiani di dalamnya.

Berbeda dengan tradisi Yudeo-Kristen yang menekankan hubungan langsung dengan Tuhan, deisme menempatkan sumber kebaikan dalam diri manusia. Kebahagiaan dipahami secara duniawi: sebagai kesenangan, ketiadaan penderitaan, dan harmoni sosial. Hubungan dengan Tuhan berubah menjadi rasa syukur terhadap keteraturan semesta, bukan lagi perjumpaan mistik atau pengalaman rahmat. Dengan demikian, agama menjadi lebih alami dan dapat dijelaskan secara rasional. Mukjizat serta intervensi ilahi ditolak karena dianggap bertentangan dengan hukum alam.

Gambaran dunia yang demikian diungkapkan secara puitis oleh Alexander Pope dalam Essay on Man, melalui gagasan tentang Great Chain of Being — rantai besar keberadaan yang menyatukan seluruh makhluk dalam harmoni. Dalam kerangka ini, moralitas manusia tidak lagi asketik, tetapi selaras dengan kodratnya untuk mencari kebahagiaan. Cinta diri diarahkan untuk menyatu dengan cinta kepada sesama, sehingga harmoni sosial menjadi cerminan dari tatanan kosmik.

3.3.       Deisme, Sentimentalisme, dan Jalan Menuju Sekularisasi

Bagi banyak pemikir abad ke-18, deisme merupakan bentuk iman rasional yang menghubungkan Tuhan dengan dunia melalui hukum alam. Namun, pergeseran ini juga membawa konsekuensi besar: agama semakin kehilangan dimensi transendennya. Moralitas menjadi persoalan manusia, bukan lagi wahyu. Dalam konteks ini, sentimen moral — seperti simpati, empati, dan benevolence — menjadi sumber baru bagi etika.

Francis Hutcheson menegaskan bahwa perasaan manusia terhadap kebaikan adalah cermin rancangan Ilahi dalam batin manusia. Moralitas, karenanya, bukan sekadar urusan akal, tetapi juga sentuhan hati yang menghubungkan manusia dengan alam dan sesama. Pandangan ini menjadi jembatan antara deisme rasional dan romantisisme, membuka jalan bagi etika modern yang menekankan pengalaman batin dan nilai kemanusiaan universal.

Pada akhirnya, deisme berperan sebagai jembatan antara iman dan modernitas. Ia menyingkirkan mukjizat dan dogma yang kaku, tetapi tetap mempertahankan keyakinan pada kebijaksanaan Ilahi yang terpantul dalam rasionalitas alam. Di satu sisi, hal ini membuka jalan bagi pencerahan dan sekularisme; di sisi lain, ia memperkuat kesadaran baru bahwa sumber moralitas tidak lagi semata-mata transenden, melainkan juga manusiawi — lahir dari kasih, simpati, dan keterhubungan dengan dunia.


4.           Kebangkitan Sentimen dan Etika Kehidupan Sehari-hari

4.1.       Peralihan dari Hierarki Kosmik ke Kehidupan Duniawi

Sejarah modernitas menunjukkan perubahan mendalam dalam cara manusia memahami makna hidup. Pada masa klasik, kebaikan tertinggi dipahami secara hierarkis — terikat pada tatanan kosmik dan akal budi yang dianggap lebih tinggi dari dunia inderawi. Namun sejak abad ke-17 dan ke-18, gambaran ini bergeser. Dunia mulai dipahami sebagai tatanan yang teratur dan providensial, di mana aktivitas manusia yang sederhana sekalipun dapat memiliki nilai moral yang luhur.

Perubahan ini membuka ruang bagi sentimen manusia — perasaan dan emosi batin — sebagai sumber makna baru dan ukuran moralitas. Jika sebelumnya rasio menjadi pusat, kini empati, kasih sayang, dan kehalusan rasa mulai dianggap sebagai ciri kemanusiaan yang sejati. Perubahan ini tidak hanya terjadi di ruang filsafat, tetapi juga meresap ke seluruh dimensi budaya Eropa: ekonomi, sastra, keluarga, bahkan agama.

4.2.       Etika Borjuis dan Lahirnya Ilmu Ekonomi Modern

Dunia perdagangan, yang pada masa lampau dianggap hina dan rendah, kini mulai dipandang sebagai sarana moral yang mendisiplinkan manusia. Perdagangan diyakini dapat menjinakkan sifat kasar, menumbuhkan kesopanan, serta menciptakan keteraturan sosial. Dari pandangan ini lahirlah etika borjuis yang menggantikan etika aristokratik lama.

Etika borjuis menekankan ketekunan bekerja, kedisiplinan, dan kehidupan yang tertib. Kejayaan militer dan kehormatan kelas bangsawan digantikan oleh penghargaan terhadap produktivitas dan kerja jujur. Dari nilai-nilai ini lahir ilmu ekonomi modern, yang berasumsi bahwa produksi dan pertukaran memiliki hukum tersendiri yang harmonis dengan tatanan alam semesta. Dunia ekonomi tak lagi sekadar arena keuntungan, melainkan bagian dari harmoni moral yang menopang kehidupan bersama.

4.3.       Sastra, Novel, dan Kesadaran Waktu Modern

Kebangkitan sentimen juga menemukan ekspresinya dalam dunia sastra. Abad ke-18 menandai lahirnya novel modern — sebuah bentuk seni yang menempatkan kehidupan orang biasa sebagai subjek yang layak diceritakan. Karya-karya seperti milik Defoe, Richardson, dan Fielding menampilkan kehidupan sehari-hari, cinta, kerja, serta pergulatan moral dengan keseriusan yang sama seperti kisah para pahlawan klasik.

Novel juga memperkenalkan kesadaran baru tentang waktu: waktu yang linear, tak dapat diulang, dan penuh konsekuensi. Manusia modern mulai membangun identitasnya melalui narasi hidup pribadi, bukan sekadar mengikuti arketipe tradisional. Dalam kisah-kisah ini, martabat manusia terletak pada kemampuannya untuk menceritakan dirinya sendiri, menegaskan eksistensi melalui pengalaman dan pilihan hidup.

4.4.       Keluarga, Cinta, dan Privasi sebagai Ruang Moral Baru

Modernitas juga mengubah makna keluarga. Pernikahan tidak lagi sekadar urusan dinasti atau ekonomi, melainkan persekutuan kasih yang sejati. Pilihan pasangan perlahan menjadi hak individu, bukan lagi keputusan orang tua atau komunitas. Bersamaan dengan itu, muncul kebutuhan baru akan privasi.

Rumah-rumah mulai dirancang untuk menciptakan ruang pribadi: koridor memisahkan area publik dan domestik, ruang makan keluarga menjadi tempat intim yang tertutup dari pandangan luar. Keluarga pun menjadi dunia kecil yang hangat dan penuh kasih — tempat perlindungan dari kerasnya kehidupan sosial. Di sinilah sentimen moral menemukan bentuknya: cinta antara pasangan, kasih sayang orang tua terhadap anak, dan keintiman emosional sebagai pusat makna kehidupan.

Anak-anak kini dipandang memiliki tahap perkembangan sendiri, dengan kebutuhan dan dunianya yang khas. Keluarga menjadi ruang pendidikan moral yang ditopang oleh cinta, perhatian, dan pengorbanan — bukan sekadar struktur sosial.

4.5.       Cult of Sensibility” dan Spiritualitas Emosional

Abad ke-18 melahirkan budaya baru yang dikenal sebagai The Cult of Sensibility, yang menjadikan perasaan halus dan kepekaan moral sebagai lambang kemuliaan manusia. Sastra bukan lagi sekadar hiburan, melainkan sarana membangkitkan simpati dan empati. Karya-karya seperti Pamela dan Clarissa karya Richardson, atau La Nouvelle Héloïse karya Rousseau, menegaskan bahwa kemurnian cinta, pengorbanan, dan kehalusan hati adalah bentuk keagungan moral.

Bahkan penderitaan dan kesedihan memperoleh makna spiritual baru: melankolia dipandang bukan kelemahan, tetapi tanda kedalaman jiwa. Goethe melalui The Sorrows of Young Werther menggambarkan sosok yang hancur oleh kepekaan berlebih sebagai ikon generasi romantik — jiwa yang peka terhadap luka dunia. Dalam pandangan ini, kepekaan batin menjadi bukti spiritualitas manusia modern: tanda bahwa seseorang mampu merasakan kehidupan dengan kedalaman yang sejati.

4.6.       Alam, Keindahan, dan Pengalaman Religius Baru

Seiring berkembangnya sensibility, hubungan manusia dengan alam juga berubah. Alam tidak lagi dilihat sebagai simbol hierarki kosmik, melainkan sebagai cermin batin manusia. Gunung, hutan, dan danau menjadi lanskap spiritual yang memantulkan emosi terdalam. Keindahan kini dipahami bukan melalui simetri dan keteraturan klasik, melainkan melalui getaran emosional yang dialami ketika berhadapan dengan keagungan dan kesunyian alam.

Perubahan ini juga memengaruhi religiositas. Gerakan-gerakan seperti pietisme, metodisme, dan hasidisme menekankan pengalaman iman yang personal dan penuh emosi, dibandingkan ortodoksi dogmatis. Iman sejati bukan sekadar doktrin, melainkan api yang menyala di hati, air mata yang menetes dalam doa, dan getaran batin yang merasakan kehadiran Ilahi.


Sintesis: Sentimen sebagai Sumber Martabat Modern

Dari ekonomi hingga sastra, dari keluarga hingga agama, dari cara memandang alam hingga cara mencintai sesama, seluruh budaya modernitas dibentuk oleh penemuan kembali nilai kehidupan sehari-hari dan pengudusan perasaan. Modernitas dengan segala kompleksitasnya adalah kisah tentang manusia yang belajar menemukan makna bukan di langit yang jauh, melainkan dalam dirinya sendiri — dalam cinta, keluarga, alam, dan perasaan terdalam.

Dari sinilah lahir identitas manusia modern: makhluk yang sadar, yang menuturkan hidupnya sendiri, dan yang menemukan martabat spiritual dalam kedalaman sentimen.


5.           Modernitas, Sekularisasi, dan Moralitas Baru

5.1.       Pergeseran Moral dan Munculnya Sumber-Sumber Baru Etika

Abad ke-18 di Eropa menandai munculnya budaya moral baru yang menekankan individualisme, otonomi pribadi, dan perasaan sebagai dasar kehidupan bermakna. Dari sini lahir gagasan tentang hak-hak subjektif, penghargaan terhadap kerja produktif, serta keluarga sebagai pusat moralitas dan kasih. Cinta, ekspresi diri, dan keadilan menjadi poros moral baru yang menggantikan ikatan tradisional yang dahulu berakar pada hierarki sosial dan tatanan religius.

Transformasi ini tidak berdiri sendiri. Ia berjalan seiring dengan perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang saling memperkuat. Deisme — yang menekankan keteraturan alam sebagai pantulan kebaikan Tuhan — membuka jalan bagi pencerahan sekuler, di mana manusia mulai menemukan sumber moral alternatif dalam akal, diri, dan alam tanpa perlu selalu merujuk pada Tuhan.

Maka lahirlah tiga poros moral modern: teisme (iman religius), rasionalisme (akal manusia), dan naturalisme (hukum alam). Ketiganya saling berinteraksi, menciptakan budaya yang dinamis, penuh ketegangan dan ketidakpastian, tetapi juga kaya akan kreativitas dan kebebasan moral.

5.2.       Dualitas Rasionalisme dan Romantisisme

Pada abad ke-18 dan 19, peradaban modern menampilkan dualisme moral:

·                     Di satu sisi, rasionalisme dan utilitarianisme menekankan akal dan pandangan mekanistik terhadap alam.

·                     Di sisi lain, romantisisme menyalakan imajinasi dan memperjuangkan moralitas yang bersumber dari perasaan dan keaslian batin.

Kisah modernitas bukanlah tentang hilangnya Tuhan semata, tetapi tentang lahirnya ruang baru pencarian moral — sebuah horizon yang retak namun penuh potensi, tempat manusia mencari makna antara akal dan hati, antara tatanan alam dan kebebasan rohani.

5.3.       Radical Enlightenment dan Etika Utilitas

Salah satu gelombang paling berani dari modernitas adalah Radical Enlightenment, gerakan pemikiran yang menolak tatanan ilahi dan providensial. Bagi para pemikirnya, dasar moral bukan lagi wahyu atau rencana Ilahi, melainkan kebahagiaan dan penderitaan manusia itu sendiri.

Prinsip utilitas menjadi kompas moral: tindakan baik adalah yang menambah kebahagiaan atau mengurangi penderitaan. Mereka melihat manusia lahir tanpa sifat baik atau jahat; moralitas dibentuk oleh pengalaman dan pilihan hidup. Meskipun menolak agama dan deisme, para pemikir ini tetap mempertahankan tiga warisan moral lama: akal, kebahagiaan sehari-hari, dan benevolence universal.

Dunia kini dipandang netral, tanpa makna bawaan; hanya melalui pemahaman sebab-akibat manusia dapat memperbesar kebahagiaan. Sensualitas dan pemenuhan jasmani dianggap bagian dari martabat manusia. Pemikir seperti Baron d’Holbach menegaskan bahwa manusia tunduk pada hukum alam dan dorongan alami untuk bertahan hidup serta mencari kebahagiaan. Bahkan penderitaan manusia dan hewan diletakkan di pusat etika, memicu refleksi baru tentang hukum, politik, dan pendidikan.

Namun, prinsip utilitas yang sempit melahirkan paradoks: bagaimana menumbuhkan pengorbanan dan solidaritas jika kesenangan menjadi satu-satunya nilai? Dari sini muncul ekstrem seperti Marquis de Sade, yang merayakan kebebasan tanpa batas. Meskipun demikian, warisan radical enlightenment tetap penting karena menegaskan penghargaan terhadap kehidupan sehari-hari, penghapusan penderitaan, dan sensualitas sebagai bagian dari martabat manusia.

5.4.       Kritik Rousseau dan Kant terhadap Moral Utilitarian

Di tengah gelombang rasionalisme dan utilitarianisme, muncul kritik mendalam dari Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel Kant. Rousseau menolak optimisme dangkal Pencerahan dan menegaskan bahwa kejahatan manusia bukan berasal dari alam, melainkan dari budaya dan opini sosial. Ia memulihkan suara hati dan kesederhanaan hidup sebagai dasar moralitas sejati.

Kant melanjutkan kritik tersebut melalui etika rasional yang otonom. Menurutnya, moralitas tidak diukur dari akibat tindakan, tetapi dari motif kewajiban yang lahir dari akal budi universal. Manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sarana, dan kebebasan moral adalah bentuk tertinggi dari martabat. Melalui rasionalitas, manusia mampu mengatasi sisi gelap kodratnya dan membangun hukum moral yang bersifat universal.

Baik Rousseau maupun Kant mengembalikan moralitas ke ruang batin manusia — ke nurani dan akal budi. Dari Rousseau lahir romantisisme dan gagasan otonomi batin, sementara dari Kant lahir etika modern dan konsep hak asasi manusia. Bersama-sama, mereka menandai peralihan moralitas dari tatanan kosmik menuju moralitas yang bersumber dari manusia sendiri — fondasi dari dunia modern yang terus mencari kebebasan, keaslian, dan martabat hidup.


Sintesis: Moralitas Modern sebagai Dialektika Iman, Akal, dan Alam

Modernitas, dengan seluruh keragamannya, adalah hasil dialektika antara iman religius, rasionalitas, dan naturalisme. Sekularisasi tidak berarti hilangnya moralitas, tetapi pergeseran sumbernya — dari Tuhan menuju hati dan akal manusia. Dalam dunia yang terus berubah, manusia modern tidak lagi menunggu wahyu dari langit, melainkan belajar membaca makna moral dari kehidupan sehari-hari, dari cinta, keadilan, dan tanggung jawab terhadap sesama.

Moralitas modern adalah etika tanpa jaminan absolut: sebuah ruang terbuka di mana iman, akal, dan alam terus berdialog dalam pencarian yang tak pernah selesai akan kebaikan dan makna hidup.


6.           Romantisisme, Nasionalisme, dan Realisme

6.1.       Warisan Romantisisme dan Pencarian Moralitas Batin

Setelah masa Pencerahan yang menekankan rasionalitas dan hukum alam, muncul gelombang baru yang disebut Romantisisme — sebuah gerakan yang berupaya mengembalikan dimensi spiritual dan emosional dalam kehidupan manusia. Romantisisme menolak reduksionisme ilmiah yang memandang moralitas semata sebagai kalkulasi rasional, dan sebaliknya menegaskan nilai batin, ekspresi diri, serta hubungan intim manusia dengan alam dan sesama.

Bagi para romantikus, moralitas sejati tidak ditemukan dalam ketaatan terhadap hukum eksternal, melainkan dalam integritas ekspresif, keaslian hati, dan kepekaan moral terhadap kehidupan. Alam dipandang bukan hanya sebagai objek pengamatan, tetapi sebagai cermin batin manusia — tempat manusia mengenali dirinya sendiri dan menemukan makna yang melampaui rasionalitas mekanistik.

Pengaruh romantisme ini melahirkan ideal moral baru: manusia yang utuh adalah manusia yang merasakan, mencipta, dan hidup selaras dengan nurani. Ia bukan sekadar makhluk rasional, melainkan makhluk ekspresif yang menemukan kebajikan melalui pengalaman dan perasaan yang jujur.

6.2.       Dilema Moral Pascaromantik dan Krisis Spiritualitas

Setelah puncak Romantisisme, para pemikir pascaromantik menghadapi dilema besar: bagaimana mempertahankan nilai moral dan spiritual tanpa bergantung pada teisme, namun juga tanpa menyerah kepada scientific reductionism atau pandangan mekanistik tentang manusia.

Beberapa, seperti E.O. Wilson, berusaha menjelaskan moralitas secara biologis melalui seleksi alam, tetapi pendekatan ini dikritik karena mengabaikan kedalaman pengalaman manusia. Sebagai tanggapan, banyak pemikir kembali menengok ke alam sebagai sumber moral dan spiritualitas. Dalam karya Coleridge dan Goethe, muncul pandangan bahwa ideal moral sejati bukan terletak pada ketaatan, tetapi pada integritas ekspresif — kemampuan manusia untuk hidup setia pada batinnya dan mengekspresikan kemanusiaan yang orisinal.

6.3.       Nasionalisme sebagai Ekspresi Moral Kolektif

Romantisisme juga membawa dampak besar dalam bidang politik dan kebudayaan melalui lahirnya nasionalisme modern. Jean-Jacques Rousseau menegaskan gagasan kedaulatan rakyat, sementara Johann Gottfried Herder menekankan bahwa setiap bangsa memiliki Volksgeist — semangat rakyat yang unik, mencerminkan cara berpikir, merasa, dan hidup yang khas.

Dalam pandangan Herder, bangsa bukanlah sekadar unit politik, melainkan ekspresi moral kolektif dari kebudayaan dan bahasa. Dengan demikian, nasionalisme awal bersifat humanistik dan kultural, bukan agresif atau eksklusif. Ia tumbuh dari keyakinan bahwa keberagaman bangsa-bangsa merupakan refleksi dari kebijaksanaan Ilahi yang memanifestasikan diri melalui pluralitas ekspresi manusia.

Nasionalisme romantik ini menegaskan hak setiap bangsa untuk mengekspresikan jati dirinya, namun juga menimbulkan tantangan etis: bagaimana menyeimbangkan cinta tanah air dengan kemanusiaan universal. Ketegangan inilah yang kelak menjadi persoalan moral besar di era modern.

6.4.       Realisme sebagai Reaksi Sosial dan Estetik

Menjelang akhir abad ke-19, lahir gerakan Realisme yang menandai pergeseran dari idealisme ke penggambaran dunia nyata. Realisme menolak romantisisme yang terlalu menekankan emosi dan spiritualitas, serta mengalihkan perhatian kepada kehidupan sosial yang konkret.

Melalui seni, sastra, dan lukisan, realisme menampilkan dunia sehari-hari — kaum pekerja, keluarga kecil, kota industri — dengan kesungguhan moral yang baru. Gerakan ini menegaskan demokratisasi seni dan moralitas: bahwa setiap individu, betapapun sederhana hidupnya, memiliki martabat sejarah.

Dalam perspektif ini, seni bukan lagi alat untuk mengagungkan yang luhur, melainkan sarana mengungkapkan kenyataan manusia sebagaimana adanya. Dengan menampilkan yang nyata dan biasa, realisme ikut memperjuangkan hak individu untuk diakui, menegaskan bahwa kemanusiaan sejati terletak dalam kehidupan yang autentik dan jujur.


Sintesis: Dari Romantisisme ke Realisme — Moralitas sebagai Ekspresi Kemanusiaan

Gelombang Romantisisme dan Realisme, meski berbeda, saling melengkapi dalam membentuk kesadaran moral modern. Romantisisme menanamkan penghargaan terhadap batin, imajinasi, dan keaslian ekspresi; sedangkan Realisme menegaskan nilai kemanusiaan dalam kehidupan konkret dan sosial.

Dari perpaduan keduanya, lahir pemahaman baru tentang moralitas sebagai ekspresi kemanusiaan yang integral — bukan hukum abstrak, bukan pula insting biologis, tetapi keterlibatan manusia dalam dunia dengan kejujuran, cinta, dan tanggung jawab. Inilah fondasi bagi modernitas moral yang menolak baik absolutisme religius maupun nihilisme sekuler: moralitas yang tumbuh dari pengalaman hidup, dari kepekaan terhadap realitas, dan dari komitmen untuk menegakkan martabat manusia di dunia yang terus berubah.


7.           Modernisme dan Krisis Makna

7.1.       Latar Sosial dan Lahirnya Modernisme

Memasuki abad ke-20, lanskap budaya dan spiritual manusia mengalami perubahan besar. Seni epifanik yang sebelumnya mengungkapkan realitas spiritual melalui alam — seperti karya Wordsworth dan para penyair Romantik — semakin kehilangan daya spiritualnya. Proses urbanisasi, kemajuan teknologi, dan pandangan dunia ilmiah yang mekanistik menjadikan alam semakin marginal dalam pengalaman manusia.

Dalam konteks inilah Modernisme lahir sebagai bentuk perlawanan kultural terhadap kehilangan makna. Para pemikir seperti Martin Heidegger dan Ludwig Wittgenstein serta para seniman seperti Ezra Pound dan T.S. Eliot berupaya memulihkan pengalaman langsung, keheningan batin, dan kedalaman eksistensial di tengah kehidupan yang terfragmentasi. Seni dan puisi bagi mereka mengambil peran baru yang sebelumnya dipegang oleh agama: menjadi sarana untuk menemukan kembali makna dan kesatuan hidup manusia.

Wallace Stevens, misalnya, memandang puisi sebagai bentuk penebusan modern — sebuah jalan untuk mengembalikan kedalaman pada pengalaman manusia setelah keyakinan religius tradisional mulai memudar. Melalui bahasa dan imajinasi, seni modern berusaha menjadi ruang sakral baru tempat manusia menghayati keindahan, kesendirian, dan misteri eksistensial.

7.2.       Krisis Sumber Moral dan Fragmentasi Nilai

Charles Taylor memandang modernitas sebagai zaman yang paradoksal. Banyak orang masih sepakat tentang nilai-nilai moral dasar — keadilan, kebebasan, dan penghormatan terhadap penderitaan manusia — namun di balik kesepakatan itu tersembunyi perpecahan mendalam mengenai sumber-sumber moral yang menopang nilai-nilai tersebut. Kita mungkin sepakat bahwa menolong sesama adalah tindakan baik, tetapi kita berbeda pandangan tentang mengapa itu baik.

Taylor mengidentifikasi tiga sumber utama moral modern:

1)                  Teisme, yang menempatkan Tuhan dan wahyu sebagai sumber kebaikan.

2)                  Naturalisme rasional, yang menekankan akal, sains, dan otonomi manusia.

3)                  Ekspresivisme romantik atau modernis, yang mencari kebaikan dalam kreativitas, keaslian diri, dan kekayaan batin.

Dari ketiga sumber ini lahir tiga konflik besar dalam modernitas: tentang sumber moral, tentang instrumentalisme, dan tentang relasi antara moralitas dan kepenuhan diri.

7.3.       Konflik Instrumentalisme dan Kehampaan Makna

Konflik kedua dalam modernitas adalah instrumentalisme — cara pandang yang menilai segala sesuatu berdasarkan kegunaan. Pandangan dunia yang terlalu teknis dan efisien sering kali mengosongkan makna hidup, mereduksi manusia menjadi alat produksi, dan membatasi ruang kebebasan batin.

Sebaliknya, kaum romantis dan modernis menuntut kehidupan yang lebih mendalam, penuh makna, dan berakar pada pengalaman eksistensial. Taylor menegaskan bahwa ketegangan antara dua orientasi ini — efisiensi instrumental dan kedalaman makna — merupakan inti dari krisis modernitas.

7.4.       Konflik antara Moralitas dan Kepenuhan Diri

Konflik ketiga menyangkut hubungan antara moralitas dan kepenuhan hidup. Apakah hidup yang bermoral dan penuh belas kasih justru membatasi kehidupan yang utuh dan ekspresif? Taylor meminjam inspirasi dari Nietzsche dan Dostoyevsky, yang menunjukkan sisi gelap dari moralitas belas kasih — bagaimana tuntutan moral yang tinggi dapat berubah menjadi kekerasan terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Pemikir seperti Michel Foucault dan para feminis kemudian memperluas kritik ini: ideal moral sering tersembunyi di balik struktur kekuasaan yang menindas dan mengecualikan sebagian orang. Sejarah modern memperlihatkan paradoks yang sama: agama pernah menuntut pengorbanan atas nama Tuhan, namun ideologi sekuler seperti komunisme atau nasionalisme radikal juga menimbulkan tragedi serupa.

Karena itu, menggantikan agama dengan humanisme sekuler tidak otomatis membebaskan manusia dari dilema moral. Kedua-duanya tetap menuntut pengorbanan: manusia harus menolak sebagian dari hasrat spiritualnya demi stabilitas dan keamanan.


Krisis, Harapan, dan Afirmasi Ilahi

Bagi Taylor, modernitas bukanlah kutukan, melainkan tantangan spiritual terbesar manusia. Bahkan ketika manusia berusaha hidup rasional dan aman, ia tetap kehilangan sebagian dari kedalaman kemanusiaannya. Namun Taylor menolak pandangan pesimistis yang menganggap krisis ini tak terelakkan.

Masih ada harapan akan afirmasi ilahi terhadap kemanusiaan — suatu kebaikan yang melampaui kemampuan manusia sendiri. Ia tidak menawarkan jawaban sederhana, melainkan sebuah jalan reflektif yang disebutnya retrieval: pemulihan kembali kebaikan yang terkubur di bawah lapisan sejarah dan ideologi.

Taylor menegaskan bahwa filsafat dan refleksi moral dapat menjadi bentuk pembebasan, karena dengan menyingkap sumber-sumber kebaikan yang terlupakan, manusia dapat kembali menemukan napas spiritual dalam kehidupan modern. Dengan demikian, meski manusia tidak akan pernah sepenuhnya menyelesaikan konflik-konflik moralnya, ia tetap dapat hidup lebih jujur dan utuh dengan sumber kekuatan moral yang lebih kaya dan mendalam.


8.           Dilema Moral Manusia Modern menurut Charles Taylor

8.1.       Latar Pemikiran Taylor: Moralitas dalam Zaman Sekular

Charles Taylor melihat modernitas sebagai zaman di mana manusia tetap berkomitmen pada nilai-nilai moral dasar seperti keadilan, kebebasan, dan penghormatan terhadap penderitaan sesama, tetapi kehilangan kesepakatan tentang sumber moralitas itu sendiri. Dengan kata lain, kita sepakat tentang apa yang baik, tetapi berbeda tentang mengapa hal itu baik.

Taylor membagi tiga sumber besar moral modern:

1)                  Teisme, yang menempatkan Tuhan dan wahyu sebagai sumber kebaikan.

2)                  Naturalisme rasional, yang menekankan otonomi akal dan kemandirian manusia.

3)                  Ekspresivisme romantik-modernis, yang menemukan kebaikan dalam keaslian diri dan kehidupan batin yang kaya.

Dari ketiganya lahir tiga konflik utama dalam sejarah moral modern: konflik sumber moral, konflik instrumentalisme, dan konflik antara moralitas dan kepenuhan diri.

8.2.       Konflik Pertama: Sumber Moral yang Terpecah

Manusia modern hidup di tengah pluralitas pandangan tentang kebaikan. Kita masih menganggap empati, keadilan, dan kasih sebagai ideal moral, tetapi sumbernya telah tercerai: bagi sebagian, kebaikan bersumber dari Tuhan; bagi yang lain, dari akal atau dari perasaan manusiawi. Tanpa dasar spiritual yang kokoh, standar moral sering kali tampak rapuh, mudah tergantikan oleh rasa bersalah atau tekanan sosial semata.

Taylor menilai bahwa dilema ini menciptakan ketegangan eksistensial dalam diri manusia modern: ia ingin menjadi baik, tetapi kehilangan orientasi transendental yang memberi kedalaman pada tindakannya.

8.3.       Konflik Kedua: Instrumentalisme dan Kehampaan Makna

Konflik berikutnya muncul dari pandangan dunia instrumental, yaitu kecenderungan menilai segala sesuatu berdasarkan kegunaannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi, meski membawa kemajuan besar, sering kali mengosongkan kehidupan dari makna yang lebih dalam. Dunia menjadi efisien, tetapi kehilangan roh.

Di sisi lain, kaum romantis dan modernis menuntut kehidupan yang lebih otentik, penuh makna, dan terhubung dengan kedalaman batin. Taylor menilai bahwa perdebatan antara dua kubu ini — yang satu menekankan rasionalitas, yang lain spiritualitas — sering kali bersifat ekstrem karena menolak melihat kebaikan yang ditawarkan pihak lain.

8.4.       Konflik Ketiga: Moralitas dan Kepenuhan Diri

Konflik paling dalam dalam modernitas, menurut Taylor, adalah ketegangan antara moralitas dan kepenuhan diri (fullness). Apakah hidup yang bermoral — penuh belas kasih dan kewajiban — justru menghambat kehidupan yang utuh dan ekspresif?

Nietzsche dan Dostoyevsky sama-sama menunjukkan sisi gelap belas kasih: bahwa moralitas yang berlebihan bisa menjadi bentuk kekerasan halus terhadap diri sendiri maupun orang lain. Foucault dan para feminis menambahkan bahwa ideal moral sering tersembunyi di balik struktur kekuasaan yang menindas dan eksklusif.

Sejarah modern membuktikan paradoks ini. Agama pernah menuntut pengorbanan besar atas nama Tuhan; namun ideologi sekuler seperti komunisme dan nasionalisme radikal juga menuntut pengorbanan serupa atas nama manusia. Karena itu, menggantikan agama dengan humanisme sekuler tidak menghapus dilema moral; ia hanya menggantinya dengan bentuk baru dari pengorbanan — di mana manusia menolak sebagian dari hasrat spiritualnya demi stabilitas rasional.


Harapan, Afirmasi Ilahi, dan Gagasan Retrieval

Bagi Taylor, dilema moral modern bukanlah kutukan yang tak terelakkan, tetapi tantangan spiritual terbesar manusia. Manusia tidak harus memilih antara kebutaan moral dan kehancuran batin. Selalu ada harapan akan afirmasi ilahi terhadap kemanusiaan — suatu kebaikan yang melampaui kemampuan moral manusia sendiri.

Taylor menyebut jalan reflektif ini sebagai retrieval: upaya memulihkan kebaikan yang terlupakan dalam sejarah moral modern. Melalui refleksi filosofis dan kesadaran moral, manusia dapat menemukan kembali kedalaman spiritual yang tersembunyi di balik kehidupan sekuler.

Filsafat, bagi Taylor, bukan sekadar analisis rasional, tetapi tindakan penyembuhan — a moral recovery project. Dengan menyingkap sumber kebaikan yang terkubur di bawah modernitas, manusia dapat menghidupkan kembali napas moral dan spiritual yang memberi makna bagi hidupnya.

Dalam dunia yang terpecah dan tanpa pusat, refleksi semacam ini menjadi bentuk afirmasi baru: bukan sekadar iman lama yang diulang, tetapi pencarian aktif akan kedalaman, cinta, dan makna yang menyatukan kemanusiaan universal.


9.           Kesimpulan

Perjalanan panjang sejarah pemikiran moral yang dipaparkan oleh Charles Taylor menunjukkan bahwa modernitas bukan sekadar proses rasionalisasi dunia, tetapi juga transformasi mendalam dalam pemahaman manusia tentang kebaikan, makna, dan kehidupan sehari-hari. Dari akar Reformasi Protestan hingga modernisme abad ke-20, terjadi pergeseran besar: dari kehidupan yang terarah pada tatanan kosmik dan transendensi menuju afirmasi terhadap kehidupan manusiawi yang profan, historis, dan emosional.

Afirmasi kehidupan sehari-hari (affirmation of ordinary life) menjadi poros baru moralitas modern. Kerja, keluarga, kasih, dan tanggung jawab sosial tidak lagi dianggap kegiatan rendah, melainkan arena nyata tempat spiritualitas dan martabat manusia diwujudkan. Di sinilah modernitas menemukan sisi humanistiknya — bahwa yang ilahi dapat hadir dalam kesederhanaan hidup, dalam kasih yang tulus, dan dalam ketekunan yang jujur.

Namun, Taylor juga menunjukkan bahwa pergeseran ini melahirkan dilema moral yang kompleks. Ketika sumber-sumber moral klasik (teistik) mulai melemah, manusia berhadapan dengan pluralitas nilai dan kehilangan pusat makna tunggal. Rasionalisme melahirkan efisiensi dan kemajuan, tetapi sering menyingkirkan kedalaman spiritual; romantisisme menumbuhkan ekspresivitas dan kebebasan, tetapi rentan jatuh ke dalam subjektivisme dan relativisme.

Dari ketegangan inilah lahir krisis moral modern: manusia ingin menjadi rasional tanpa kehilangan hati, ingin bebas tanpa kehilangan makna, dan ingin beriman tanpa menolak dunia. Modernitas, bagi Taylor, bukanlah penolakan terhadap iman, melainkan usaha merekonsiliasi iman, akal, dan kehidupan duniawi dalam horizon baru kemanusiaan.

Di tengah krisis ini, Taylor menawarkan jalan reflektif melalui gagasan retrieval — pemulihan kembali sumber-sumber moral yang terlupakan tanpa mengingkari pengalaman modern. Ia mengajak manusia untuk menggali kembali kedalaman spiritual di dalam kehidupan duniawi, menegaskan bahwa kebaikan tidak hilang, melainkan tersembunyi di balik struktur rasionalitas dan sekularitas.

Dengan demikian, moralitas modern tidak harus berakhir pada nihilisme, melainkan dapat menjadi ruang terbuka bagi sintesis baru:

·                     antara iman dan akal,

·                     antara transendensi dan immanensi,

·                     antara moralitas dan kepenuhan hidup.

Afirmasi kehidupan bukanlah pengingkaran terhadap spiritualitas, melainkan cara baru untuk menemukan yang suci dalam dunia yang profan, untuk menegaskan martabat manusia sebagai makhluk yang rasional sekaligus spiritual, sosial sekaligus individual.

Akhirnya, dilema moral manusia modern bukanlah tanda kehancuran, tetapi undangan untuk berpikir lebih dalam, hidup lebih sadar, dan mencintai lebih utuh. Di tengah pluralitas dan kerumitan dunia, manusia masih memiliki kemampuan untuk menegaskan hidupnya — menemukan makna dalam kerja, kasih, dan kebenaran yang terus dicari, tanpa pernah selesai.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar