Kapan kamu akan menikah?
Kajian Filosofis, Psikologis, Sosial, dan Spiritual
Alihkan ke: Kuliah S1 Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara filosofis, psikologis,
sosial, dan spiritual pertanyaan yang tampak sederhana namun sarat makna: “Kapan
kamu akan menikah?” Melalui pendekatan multidimensional yang meliputi
ontologi, epistemologi, aksiologi, serta dimensi psikologis, sosial, religius,
dan kultural, penelitian ini berupaya menyingkap struktur makna yang
tersembunyi di balik praktik komunikasi sosial tersebut. Pertanyaan ini tidak
hanya berfungsi sebagai ekspresi norma dan nilai sosial, tetapi juga sebagai
bentuk discourse of power yang mencerminkan hubungan antara individu dan
masyarakat dalam konteks budaya yang kolektivistik.
Secara ontologis, pernikahan dipahami sebagai
peristiwa eksistensial yang menandai keterarahan manusia terhadap yang lain dan
dunia. Secara epistemologis, pertanyaan ini memperlihatkan bagaimana pengetahuan
sosial dibentuk oleh konstruksi kultural yang sarat dengan hegemoni moral dan
gender. Aksiologinya menegaskan bahwa keputusan menikah harus berakar pada
refleksi etis dan kesadaran moral, bukan sekadar kepatuhan terhadap norma
eksternal. Dalam ranah psikologis, pertanyaan ini mengandung ambivalensi antara
perhatian dan tekanan sosial, yang dapat memengaruhi kesejahteraan mental
individu. Dimensi sosial dan religius menunjukkan bagaimana tradisi, struktur
kekuasaan, dan nilai spiritual membentuk tafsir kolektif atas pernikahan
sebagai simbol moralitas dan kesempurnaan hidup.
Artikel ini kemudian menawarkan sintesis filosofis
berupa rasionalitas personal dan sosial—yakni keseimbangan antara
kebebasan eksistensial individu dan tanggung jawab etis terhadap komunitas.
Pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?” dalam konteks modern
diinterpretasikan kembali sebagai ruang dialog reflektif, bukan alat kontrol
sosial. Dengan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan filsafat
eksistensial, teori sosial kritis, dan spiritualitas lintas tradisi, tulisan
ini menunjukkan bahwa relevansi kontemporer pertanyaan tersebut terletak pada
potensinya untuk mendorong kesadaran diri, empati sosial, dan kebijaksanaan
hidup di tengah pluralitas modernitas.
Kata Kunci: pernikahan,
eksistensialisme, refleksi sosial, kebebasan, etika, spiritualitas, budaya
kontemporer, rasionalitas personal dan sosial.
PEMBAHASAN
Menganalisis Pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?”
1.
Pendahuluan
Pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?” merupakan
ekspresi sosial yang tampak sederhana namun menyimpan kompleksitas makna yang
mendalam, baik secara filosofis, psikologis, maupun kultural. Dalam konteks
masyarakat modern, terutama di Indonesia yang berlandaskan nilai kekeluargaan
dan religiusitas tinggi, pertanyaan ini sering kali menjadi semacam “ujian
sosial” terhadap kematangan individu, keberhasilan hidup, serta kepatuhan
terhadap norma-norma kolektif. Secara fenomenologis, pertanyaan ini bukan
sekadar interaksi linguistik yang bersifat basa-basi, melainkan refleksi dari
struktur kesadaran sosial tentang kapan manusia dianggap “lengkap”
dalam eksistensinya melalui institusi pernikahan¹.
Secara historis, gagasan tentang pernikahan tidak
hanya berakar pada kebutuhan biologis atau ekonomi, melainkan juga pada konsep
metafisik tentang penyatuan dua entitas dalam kehendak ilahi. Dalam berbagai
kebudayaan, pernikahan dianggap sebagai momen sakral yang menandai transisi
dari individualitas menuju kehidupan sosial yang lebih luas. Dalam konteks Islam,
misalnya, pernikahan dipandang sebagai penyempurna separuh agama dan bentuk
tanggung jawab moral terhadap kehidupan sosial². Sementara dalam filsafat
Barat, Aristoteles memandang manusia sebagai zoon politikon—makhluk
sosial yang menemukan kebahagiaan melalui kehidupan bersama³. Dengan demikian,
pernikahan bukan hanya institusi sosial, tetapi juga ekspresi eksistensial dari
kebutuhan manusia untuk berbagi makna hidup.
Namun, dalam konteks modernitas dan individualisme
kontemporer, pertanyaan tentang “kapan menikah” mengalami pergeseran
makna. Ia tidak lagi sekadar menandai kesiapan biologis atau sosial, melainkan
juga menjadi simbol tekanan normatif dari masyarakat terhadap otonomi individu.
Dalam kerangka eksistensialisme, misalnya, Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa
manusia tidak memiliki esensi bawaan; ia harus menciptakan maknanya sendiri
melalui kebebasan memilih⁴. Dengan demikian, jawaban terhadap pertanyaan “kapan
kamu akan menikah?” sesungguhnya tidak dapat ditentukan oleh konstruksi
sosial semata, melainkan oleh refleksi personal atas makna hidup, kebebasan,
dan tanggung jawab eksistensial.
Pertanyaan ini juga dapat dibaca sebagai teks
sosial yang sarat dengan power relation—di mana yang bertanya menempati
posisi simbolik sebagai penjaga norma, dan yang ditanya menjadi subjek yang
dievaluasi⁵. Dalam konteks ini, fenomena “kapan menikah” mencerminkan
bentuk hegemoni kultural yang menempatkan pernikahan sebagai ukuran kebajikan
dan keberhasilan hidup. Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai habitus—struktur
sosial yang tertanam dalam kesadaran individu dan memandu tindakannya tanpa
disadari⁶. Akibatnya, individu yang belum menikah kerap mengalami disonansi
sosial dan psikologis, seolah-olah keberadaannya belum sepenuhnya sah secara
kultural.
Secara ilmiah, analisis terhadap fenomena ini dapat
dilakukan melalui pendekatan interdisipliner yang mencakup filsafat, psikologi,
dan sosiologi. Dari segi psikologi sosial, tekanan yang timbul dari ekspektasi
menikah dapat memengaruhi kesejahteraan mental individu, terutama pada
perempuan yang lebih sering menjadi objek pertanyaan tersebut⁷. Sementara itu,
dalam perspektif sosiologi reflektif, fenomena ini memperlihatkan bagaimana
nilai-nilai tradisional bernegosiasi dengan modernitas, di mana individu semakin
mengedepankan kebebasan dan aktualisasi diri dibanding sekadar kepatuhan
terhadap norma komunitas.
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
menganalisis pertanyaan “kapan kamu akan menikah?” secara filosofis dan
ilmiah melalui dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, disertai refleksi
psikologis, sosial, dan kultural yang mendalam. Dengan demikian, diharapkan
pembahasan ini mampu menyingkap hakikat terdalam dari pertanyaan tersebut—bukan
sekadar sebagai interaksi sosial, melainkan sebagai cermin dari hubungan antara
individu, masyarakat, dan makna eksistensial manusia itu sendiri.
Footnotes
[1]
¹ Alfred Schutz, Phenomenology of the Social
World (Evanston: Northwestern University Press, 1967), 45–47.
[2]
² Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz II
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), 211–213.
[3]
³ Aristotle, Politics, trans. H. Rackham
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), 1253a.
[4]
⁴ Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Philip Mairet (London: Methuen, 1948), 34–36.
[5]
⁵ Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge
(New York: Pantheon Books, 1972), 49–50.
[6]
⁶ Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of
Practice, trans. Richard Nice (Cambridge: Cambridge University Press,
1977), 72–75.
[7]
⁷ Susan Krauss Whitbourne, “Social Pressure and the
Single Woman,” Psychology Today, vol. 56, no. 3 (2018): 22–24.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” tidak dapat dilepaskan dari akar historis dan struktur
genealogis yang membentuk cara masyarakat memahami pernikahan. Untuk memahami
makna sosial-filosofis dari pertanyaan ini, perlu ditelusuri bagaimana konsep
pernikahan berkembang dari masa ke masa, serta bagaimana sistem nilai, agama,
dan ideologi turut membentuk persepsi kolektif tentang waktu dan kewajiban
untuk menikah. Secara genealogis, pertanyaan tersebut merupakan produk dari
proses panjang pembentukan makna yang berakar dalam sejarah sosial manusia—dari
sistem patriarkal kuno, hingga modernitas yang menekankan kebebasan dan otonomi
individu.
2.1.
Asal-Usul Sosial dan Budaya
Pernikahan
Dalam peradaban
awal, pernikahan muncul sebagai institusi sosial yang berfungsi mempertahankan
ketertiban dan kesinambungan komunitas. Di masyarakat agraris Mesopotamia dan
Yunani kuno, pernikahan bukan terutama dimaknai sebagai ikatan cinta personal,
melainkan sebagai mekanisme untuk memastikan warisan, aliansi politik, dan
stabilitas ekonomi keluarga¹. Pada masa itu, perempuan sering dianggap sebagai
bagian dari sistem pertukaran sosial (exchange system) yang memperkuat
struktur kekuasaan dan stratifikasi sosial². Pernikahan menjadi sarana untuk
melestarikan hierarki sosial, bukan sekadar pilihan emosional atau spiritual.
Dalam tradisi
filsafat klasik, Plato dalam The Republic memandang pernikahan
sebagai institusi yang harus diatur negara demi terciptanya harmoni sosial dan
moralitas publik³. Sementara itu, Aristoteles menekankan bahwa rumah tangga (oikos)
merupakan dasar polis—tempat manusia pertama kali belajar etika, kepemimpinan,
dan kehidupan bersama⁴. Dengan demikian, sejak awal, pernikahan memiliki
dimensi politis dan etis yang erat kaitannya dengan pembentukan tatanan sosial.
2.2.
Transformasi Religius dan Teologis
Dengan munculnya
agama-agama wahyu, pernikahan memperoleh legitimasi sakral. Dalam tradisi Yahudi
dan Kristen awal, pernikahan dilihat sebagai perjanjian kudus (sacramentum)
yang melibatkan Tuhan sebagai saksi dan penjamin kesetiaan⁵. Gereja Katolik
kemudian menginstitusionalisasi pernikahan sebagai salah satu dari tujuh
sakramen, yang menandakan kesucian tubuh dan tanggung jawab moral di hadapan
Tuhan⁶. Pandangan ini memperkuat gagasan bahwa menikah bukan sekadar urusan
personal, melainkan kewajiban spiritual yang mengikat.
Dalam Islam,
pernikahan (nikah) dimaknai sebagai akad yang
mengandung unsur ibadah dan muamalah sekaligus. Al-Ghazali menegaskan bahwa
pernikahan merupakan sarana untuk menjaga moralitas dan menenangkan jiwa
manusia, seraya menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani⁷. Maka, dalam
kerangka keislaman, “kapan menikah” sering dihubungkan dengan kesiapan
spiritual dan tanggung jawab sosial. Namun, seiring perkembangan masyarakat
Muslim modern, dimensi normatif ini sering kali bergeser menjadi tekanan sosial
yang menuntut keseragaman waktu dan bentuk pernikahan.
2.3.
Modernitas, Rasionalisasi, dan
Perubahan Nilai
Memasuki era modern,
pandangan terhadap pernikahan mengalami rasionalisasi sebagaimana dijelaskan
oleh Max Weber melalui konsep Entzauberung der Welt—proses “penyihiran
dunia” yang berakhir dengan penalaran rasional atas institusi-institusi
sosial⁸. Dalam konteks ini, pernikahan mulai dipahami bukan sebagai kewajiban
moral-religius, tetapi sebagai pilihan otonom yang didasarkan pada kalkulasi
emosional dan ekonomi. Individualisme modern menempatkan kebahagiaan personal
dan kesetaraan gender sebagai nilai utama dalam memutuskan kapan seseorang akan
menikah.
Namun, modernitas
tidak sepenuhnya membebaskan manusia dari norma-norma tradisional. Anthony
Giddens menyebut fenomena ini sebagai reflexive modernization, di mana
individu secara sadar menegosiasikan identitas dan keputusan personal dalam
kerangka norma sosial yang terus berubah⁹. Akibatnya, pertanyaan “kapan kamu
akan menikah?” menjadi representasi ketegangan antara tradisi kolektif dan
kebebasan individual.
2.4.
Konteks Lokal: Indonesia dan
Dinamika Sosial-Kultural
Dalam konteks
Indonesia, konsep pernikahan memiliki sejarah yang sangat dipengaruhi oleh
agama dan adat. Sistem kekerabatan tradisional menjadikan pernikahan bukan
sekadar ikatan dua individu, tetapi juga aliansi antar-keluarga atau
antar-suku. Clifford Geertz mencatat bahwa dalam masyarakat Jawa, pernikahan
dipandang sebagai bagian dari tata tentreming bebrayan—tatanan
sosial yang harus dijaga demi keseimbangan kosmos dan harmoni sosial¹⁰. Di sisi
lain, agama memberikan landasan moral bahwa menikah adalah sunnah dan sarana
penyempurna kehidupan spiritual.
Namun, di era
globalisasi, urbanisasi, dan peningkatan pendidikan, banyak individu Indonesia
mulai menafsirkan ulang makna pernikahan. Pilihan untuk menunda menikah bahkan
dianggap sebagai bentuk rasionalitas modern—suatu tindakan reflektif untuk
memastikan kesiapan emosional, finansial, dan eksistensial. Dengan demikian,
genealogi sosial dari pertanyaan “kapan kamu akan menikah?” di Indonesia
merupakan hasil benturan antara nilai tradisional (kolektivisme, religiusitas,
stabilitas sosial) dan nilai modern (otonomi, aktualisasi diri, dan kebebasan
memilih).
Footnotes
[1]
¹ Jack Goody, The Development of the
Family and Marriage in Europe
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 25–28.
[2]
² Claude Lévi-Strauss, The
Elementary Structures of Kinship,
trans. James Harle Bell (Boston: Beacon Press, 1969), 115–119.
[3]
³ Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 449–451.
[4]
⁴ Aristotle, Politics, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1932), 1252a–1254b.
[5]
⁵ Augustine, On the Good of Marriage, trans. C. L. Cornish (Oxford: Clarendon Press,
1887), 12–14.
[6]
⁶ Thomas Aquinas, Summa Theologiae, Supplement, Q. 42, Art. 2 (New York: Benziger Bros.,
1947).
[7]
⁷ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, Juz II (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 2005), 211–213.
[8]
⁸ Max Weber, The Protestant Ethic
and the Spirit of Capitalism, trans.
Talcott Parsons (London: Routledge, 1992), 155–157.
[9]
⁹ Anthony Giddens, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 75–80.
[10]
¹⁰ Clifford Geertz, The
Religion of Java (Chicago:
University of Chicago Press, 1960), 132–135.
3.
Ontologi
Pertanyaan: “Kapan Kamu Akan Menikah?”
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” tampak sederhana, namun secara ontologis ia menyimpan
dimensi eksistensial yang sangat dalam. Ia bukan sekadar bentuk ujaran sosial (speech
act) yang bertujuan menanyakan waktu, melainkan representasi dari
struktur keberadaan manusia yang berorientasi pada makna, waktu, dan hubungan
dengan yang lain (being-with-others). Ontologi,
sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat ada (being qua being), menuntun kita untuk
memahami bahwa pertanyaan ini tidak hanya berbicara tentang peristiwa empiris
(menikah sebagai tindakan), tetapi juga tentang kondisi keberadaan manusia yang
selalu ditafsirkan dalam horizon sosial dan temporalitas¹.
3.1.
Hakikat Ontologis Pertanyaan
Secara ontologis,
setiap pertanyaan menyingkap modus keberadaan penanya dan yang ditanya. Martin
Heidegger dalam Being and Time menegaskan bahwa
manusia (Dasein)
adalah makhluk yang selalu berada dalam dunia dengan cara bertanya tentang
keberadaannya sendiri². Pertanyaan “kapan menikah” mengandaikan struktur
eksistensial di mana seseorang diposisikan dalam rentang waktu antara “belum”
dan “akan.” Pertanyaan ini tidak netral; ia mengandung asumsi ontologis
bahwa pernikahan merupakan bentuk “kelengkapan” eksistensi manusia—suatu
telos
yang menandai pemenuhan kodrat sosial. Dengan demikian, yang ditanyakan bukan
hanya waktu kronologis, tetapi status ontologis dari “keberadaan yang belum
sempurna.”
Dalam perspektif
fenomenologis, pertanyaan tersebut dapat dipahami sebagai intentional
act—suatu kesadaran yang selalu mengarah pada objek makna
tertentu³. Artinya, yang ditanyakan bukan “kapan” secara literal, tetapi
“kapan kamu akan menjadi seperti yang seharusnya,” menurut konstruksi
sosial dan budaya. Dengan demikian, ontologi pertanyaan ini mengandung relasi
nilai antara being (keberadaan aktual) dan ought-being
(keberadaan ideal).
3.2.
Ontologi Waktu: “Kapan”
sebagai Struktur Temporal Eksistensi
Kata “kapan”
menandai hubungan manusia dengan waktu, yang tidak semata bersifat kronologis (chronos),
tetapi eksistensial (kairos). Heidegger menjelaskan
bahwa manusia memahami dirinya melalui temporalitas: ia selalu berada “dalam
waktu,” dan waktu adalah horizon pemahaman atas keberadaannya⁴. Pertanyaan
“kapan menikah” menyiratkan bahwa kehidupan manusia harus mengikuti
ritme tertentu—urutan waktu sosial yang dianggap normal: lahir, belajar,
bekerja, menikah, dan membangun keluarga. Dengan demikian, waktu di sini bukan
sekadar ukuran linear, melainkan struktur ontologis yang memaksa individu untuk
menyesuaikan eksistensinya dengan pola umum masyarakat.
Secara ontologis,
pertanyaan tersebut dapat dikritisi karena ia mereifikasi waktu menjadi ukuran
moral. Ia mengubah temporalitas eksistensial (yang bersifat personal dan reflektif)
menjadi temporalitas normatif (yang bersifat sosial dan mengikat). Akibatnya,
manusia kehilangan kebebasan untuk menentukan ritme eksistensinya sendiri.
Kierkegaard dalam Either/ Or menegaskan bahwa
keputusan untuk menikah adalah lompatan eksistensial (leap of
faith), bukan kewajiban temporal⁵. Maka, menanyakan “kapan”
seolah mengurung kebebasan eksistensial dalam kerangka waktu sosial yang
sempit.
3.3.
Ontologi Relasional: “Menikah”
sebagai Modus Being-With
Pernikahan, dalam
tataran ontologis, bukan sekadar institusi hukum atau sosial, melainkan bentuk
keberadaan bersama (Mitsein). Bagi Heidegger,
eksistensi manusia selalu berada “bersama yang lain” (being-with-others),
dan melalui relasi inilah manusia menemukan makna keberadaannya⁶. Maka,
pertanyaan “kapan menikah” sesungguhnya menyingkap dimensi relasional
manusia yang terdalam: kebutuhan untuk mengada dalam kebersamaan yang bermakna.
Namun, ketika kebersamaan ini direduksi menjadi formalitas sosial, maknanya
beralih dari ontologis menjadi pragmatis.
Secara ontologis, “menikah”
dapat dipahami sebagai simbol dari keterarahan manusia terhadap yang lain (being-toward-the-other).
Emmanuel Levinas memandang relasi dengan yang lain bukan sebagai simetri
sosial, tetapi sebagai tanggung jawab etis yang mendahului keberadaan itu
sendiri⁷. Maka, menikah secara ontologis bukan sekadar penyatuan dua individu,
melainkan pengakuan terhadap keberadaan yang lain sebagai wajah kemanusiaan.
Dalam kerangka ini, pertanyaan “kapan kamu akan menikah?” dapat
ditafsirkan sebagai ekspresi tersembunyi dari kerinduan sosial terhadap
aktualisasi etis manusia—meski dalam praktiknya sering tereduksi menjadi
tekanan normatif.
3.4.
Ontologi Sosial: Eksistensi dalam
Ruang Publik
Secara ontologis,
manusia tidak hanya eksis dalam kesadaran pribadi, tetapi juga dalam pengakuan
publik. Charles Taylor menyebut ini sebagai social ontology of recognition—keberadaan
seseorang dipertegas melalui pengakuan sosial atas identitasnya⁸. Dalam
masyarakat yang masih menjadikan pernikahan sebagai penanda status moral,
pertanyaan “kapan menikah” menjadi cara masyarakat mengafirmasi atau
menilai eksistensi individu. Seseorang yang belum menikah dianggap “belum
selesai,” “belum mapan,” atau “belum dewasa” secara sosial.
Dengan demikian, pertanyaan ini mencerminkan struktur ontologis masyarakat yang
mengaitkan keberadaan dengan performativitas sosial.
Dari sudut pandang
eksistensial, hal ini menimbulkan paradoks: individu diharapkan menjadi
otentik, tetapi juga harus tunduk pada norma sosial agar eksistensinya diakui.
Sartre menyebut kondisi ini sebagai bad faith—keadaan ketika manusia
menipu dirinya sendiri dengan menjalani hidup sesuai ekspektasi sosial, bukan
sesuai kebebasan autentiknya⁹. Dalam konteks ini, “kapan menikah”
menjadi simbol kontradiksi antara kebebasan eksistensial dan determinasi
sosial.
Sintesis
Ontologis: Dari Pertanyaan ke Kesadaran Diri
Secara keseluruhan,
ontologi pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?” menyingkap hubungan
antara waktu, keberadaan, dan pengakuan sosial. Ia tidak hanya menyoal “peristiwa
menikah,” tetapi juga menyingkap cara manusia memahami dirinya di tengah
tuntutan masyarakat. Pertanyaan ini menguji keseimbangan antara dua horizon
eksistensi: otonomi personal dan kebersamaan sosial. Dengan memahami struktur
ontologis di baliknya, manusia dapat menafsirkan ulang pertanyaan tersebut
bukan sebagai tekanan, tetapi sebagai cermin reflektif atas proses menjadi (becoming)
yang terus berlangsung dalam waktu.
Footnotes
[1]
¹ Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 23–25.
[2]
² Ibid., 32–34.
[3]
³ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a
Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff,
1982), 112–115.
[4]
⁴ Heidegger, Being and Time, 377–379.
[5]
⁵ Søren Kierkegaard, Either/Or, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton:
Princeton University Press, 1987), 68–72.
[6]
⁶ Heidegger, Being and Time, 154–156.
[7]
⁷ Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 33–35.
[8]
⁸ Charles Taylor, The Sources of the
Self: The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–28.
[9]
⁹ Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 86–88.
4.
Epistemologi:
Pengetahuan, Persepsi, dan Tafsir Sosial
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” tidak hanya dapat dibaca secara ontologis sebagai
ekspresi eksistensial, tetapi juga harus dipahami secara epistemologis sebagai
bentuk pengetahuan sosial yang terbentuk melalui persepsi, konstruksi makna,
dan mekanisme tafsir kolektif. Epistemologi, dalam konteks ini, tidak sekadar
menelaah bagaimana manusia mengetahui sesuatu, tetapi juga bagaimana
pengetahuan sosial dibangun, diulang, dan dilegitimasi dalam jaringan makna
budaya. Dengan demikian, pertanyaan ini bukan hanya hasil keingintahuan
personal, melainkan produk dari regime of truth—aturan kebenaran
sosial yang menentukan apa yang dianggap “normal,” “tepat,” atau
“terlambat” dalam kehidupan seseorang¹.
4.1.
Sumber Pengetahuan Sosial tentang “Kesiapan
Menikah”
Dalam tataran
epistemologis, masyarakat memperoleh “pengetahuan” tentang waktu menikah
melalui konstruksi sosial yang diulang secara intergenerasional. Peter L.
Berger dan Thomas Luckmann menjelaskan bahwa realitas sosial terbentuk melalui
tiga proses: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi². Artinya,
kebiasaan bertanya “kapan menikah” merupakan hasil dari pengulangan
makna yang telah menjadi kenyataan objektif dalam kesadaran kolektif. Ketika
masyarakat terus mengulang pertanyaan ini, ia bukan sekadar menanyakan, tetapi
juga menegaskan bahwa terdapat “pengetahuan umum” mengenai waktu yang
pantas untuk menikah—pengetahuan yang dibentuk bukan oleh logika universal,
melainkan oleh konstruksi budaya.
Dalam kerangka
epistemologi sosial, “pengetahuan tentang menikah” sering kali dianggap taken
for granted, seolah kebenarannya sudah pasti. Padahal, sebagaimana
dikatakan Michel Foucault, setiap bentuk pengetahuan selalu berhubungan dengan
kekuasaan yang mendasarinya³. Dengan kata lain, pertanyaan “kapan menikah”
bukanlah hasil dari netralitas rasional, melainkan dari tatanan diskursif yang
menormalisasi perilaku tertentu dan menyingkirkan yang lain. Pengetahuan
tentang “kesiapan menikah” kemudian berubah menjadi instrumen kekuasaan
simbolik—di mana masyarakat merasa berhak menilai, menasihati, atau bahkan
menekan individu berdasarkan standar epistemik yang bersifat sosial, bukan
personal.
4.2.
Relasi antara Pengetahuan dan
Prasangka
Epistemologi sosial
tidak dapat dipisahkan dari bias persepsi. Setiap pengetahuan manusia selalu
dikonstruksi melalui pre-understanding—pra-pemahaman
yang terbentuk oleh pengalaman, nilai, dan konteks sosial⁴. Dalam kasus
pertanyaan “kapan menikah,” pra-pemahaman ini mengandung prasangka
normatif bahwa kehidupan ideal adalah yang sesuai dengan urutan sosial tertentu.
Gadamer menegaskan bahwa prasangka tidak selalu negatif, karena ia merupakan
prasyarat bagi pemahaman itu sendiri⁵. Namun, ketika prasangka tidak disadari
dan dijadikan ukuran universal, ia berubah menjadi bentuk penindasan epistemik
terhadap keragaman pengalaman manusia.
Dari perspektif
feminis epistemologi, pertanyaan ini sering kali menunjukkan bias gender dalam
struktur pengetahuan sosial. Sandra Harding menyebut fenomena semacam ini
sebagai androcentric
epistemology, yaitu cara berpikir yang menempatkan pengalaman
laki-laki sebagai pusat norma universal⁶. Dalam konteks ini, perempuan sering
menjadi objek evaluasi epistemik—seolah nilai hidupnya hanya dapat diukur
melalui status pernikahan. Maka, epistemologi pertanyaan “kapan menikah”
memperlihatkan bagaimana pengetahuan sosial bisa mengandung ketimpangan
kekuasaan dalam proses persepsi dan penilaian terhadap realitas.
4.3.
Hermeneutika Percakapan dan Tafsir
Sosial
Pertanyaan ini juga
dapat dipahami melalui kerangka hermeneutika, yakni seni menafsirkan makna di
balik bahasa. Paul Ricoeur menjelaskan bahwa setiap tuturan sosial mengandung surplus
of meaning—kelebihan makna yang melampaui intensi penuturnya⁷.
Ketika seseorang bertanya “kapan menikah,” makna yang tersirat tidak
hanya bersifat informatif, tetapi performatif: ia membentuk realitas sosial
melalui wacana. Dalam pengertian ini, bahasa tidak hanya merepresentasikan
dunia, tetapi juga menciptakan dunia sosial itu sendiri.
Hermeneutika sosial
mengajarkan bahwa pemahaman selalu terjadi dalam konteks historis dan dialogis.
Hans-Georg Gadamer menekankan konsep fusion of horizons—pertemuan antara
cakrawala makna penutur dan pendengar⁸. Pertanyaan “kapan menikah” dapat
memiliki makna yang berbeda tergantung konteks: bagi orang tua, ia mungkin
merupakan bentuk kasih sayang; bagi yang ditanya, ia bisa menjadi bentuk
tekanan; bagi masyarakat, ia merupakan penegasan terhadap norma moral. Maka,
epistemologi pertanyaan ini bersifat intersubjektif—maknanya tidak tunggal,
melainkan hasil negosiasi dalam ruang sosial yang dinamis.
4.4.
Pengetahuan sebagai Kekuasaan
Simbolik
Dalam kerangka teori
sosial kritis, pengetahuan tentang pernikahan juga berfungsi sebagai symbolic
capital—modal simbolik yang memberi legitimasi bagi posisi sosial
tertentu. Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa setiap masyarakat memiliki doxa,
yaitu tatanan pengetahuan yang diterima begitu saja tanpa dipertanyakan⁹.
Pertanyaan “kapan menikah” merupakan bagian dari doxa
tersebut—sebuah asumsi kebenaran sosial yang sulit dibantah tanpa mengundang
penilaian negatif. Individu yang menunda menikah atau menolak pernikahan
dianggap menyimpang dari “pengetahuan umum,” padahal ia mungkin sedang
menjalankan bentuk rasionalitas yang berbeda.
Dari perspektif ini,
epistemologi pertanyaan “kapan kamu akan menikah?” menyingkap hubungan
kompleks antara pengetahuan, norma, dan kekuasaan. Ia memperlihatkan bagaimana
masyarakat menciptakan “rezim kebenaran” yang menentukan cara berpikir
dan bertindak warganya, termasuk dalam hal yang paling personal. Foucault
menyebut hal ini sebagai bentuk disciplinary power—cara halus di
mana kekuasaan bekerja bukan melalui paksaan fisik, tetapi melalui
internalisasi pengetahuan sosial¹⁰. Pertanyaan itu menjadi mekanisme sosial
untuk menegakkan kepatuhan tanpa kekerasan.
Epistemologi
Reflektif: Menuju Pemahaman Kritis
Untuk keluar dari
jebakan epistemik tersebut, dibutuhkan kesadaran reflektif. Paulo Freire dalam Pedagogy
of the Oppressed menyebutnya sebagai conscientization—proses kesadaran
kritis terhadap struktur sosial yang menindas¹¹. Dengan memahami bahwa
pertanyaan “kapan menikah” tidak selalu netral, individu dapat
menafsirkan ulang makna di baliknya dan menolak untuk menanggung beban
epistemik yang tidak relevan dengan pilihan hidupnya. Maka, epistemologi yang
kritis menuntut manusia untuk tidak hanya mengetahui, tetapi juga memahami
bagaimana pengetahuan dibentuk dan digunakan.
Akhirnya,
epistemologi pertanyaan ini mengajarkan bahwa mengetahui bukan sekadar
mengumpulkan informasi, tetapi memahami struktur makna dan kekuasaan di
baliknya. Dengan kesadaran ini, jawaban terhadap “kapan kamu akan menikah?”
tidak lagi bersifat defensif, melainkan reflektif—sebuah bentuk pengetahuan
diri yang menolak dikonstruksi oleh pengetahuan sosial yang hegemonik.
Footnotes
[1]
¹ Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–133.
[2]
² Peter L. Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology
of Knowledge (Garden City, NY:
Anchor Books, 1966), 60–61.
[3]
³ Foucault, Power/Knowledge, 85–87.
[4]
⁴ Edmund Husserl, The Crisis of European
Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970),
124–126.
[5]
⁵ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 269–273.
[6]
⁶ Sandra Harding, Whose Science? Whose
Knowledge? Thinking from Women’s Lives
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 114–117.
[7]
⁷ Paul Ricoeur, Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning
(Fort Worth: Texas Christian University Press, 1976), 42–45.
[8]
⁸ Gadamer, Truth and Method, 302–306.
[9]
⁹ Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of
Practice, trans. Richard Nice
(Cambridge: Cambridge University Press, 1977), 164–168.
[10]
¹⁰ Michel Foucault, Discipline
and Punish: The Birth of the Prison,
trans. Alan Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 194–199.
[11]
¹¹ Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Continuum, 2000), 35–37.
5.
Aksiologi
dan Etika Eksistensial
Dimensi aksiologis
dari pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?” berkaitan dengan nilai-nilai
(values) yang terkandung, diandaikan, dan ditransmisikan melalui ujaran tersebut.
Aksiologi, sebagai cabang filsafat yang menelaah tentang nilai, bertanya bukan
hanya apa yang
benar, tetapi apa yang bernilai dalam kehidupan
manusia. Dalam konteks ini, pertanyaan tentang pernikahan mengandung
nilai-nilai moral, sosial, religius, dan eksistensial yang saling berkelindan.
Ia tidak hanya menyingkap pandangan masyarakat terhadap kebaikan dan
kebahagiaan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana manusia menilai makna
hidupnya dalam relasi dengan yang lain dan dengan dirinya sendiri.
5.1.
Nilai-Nilai yang Tersirat dalam
Pertanyaan
Pertanyaan “kapan
kamu akan menikah” mengandung nilai-nilai yang secara implisit menegaskan
pandangan hidup kolektif. Nilai utama yang sering muncul adalah nilai stabilitas
sosial, tanggung jawab moral, dan pemenuhan
peran sosial. Dalam masyarakat tradisional, menikah dianggap
sebagai bentuk virtue—suatu kebaikan moral yang
menunjukkan kedewasaan dan komitmen terhadap kehidupan bersama¹. Pandangan
Aristoteles mengenai eudaimonia—kebahagiaan sebagai
pencapaian hidup yang baik melalui praktik kebajikan—sering dijadikan dasar
bagi nilai ini². Dengan demikian, pernikahan dipandang sebagai jalan menuju
kehidupan yang baik secara moral dan diakui
secara sosial.
Namun, nilai-nilai
tersebut seringkali beroperasi secara hegemonik: ia menuntut individu untuk
menyesuaikan diri dengan norma sosial yang tidak selalu relevan dengan kondisi
personal. Dalam kerangka etika eksistensial, hal ini menimbulkan persoalan
moral yang lebih mendalam—apakah tindakan menikah (atau menunda menikah)
memiliki nilai moral pada dirinya sendiri, ataukah nilai itu bergantung pada
kebebasan dan kesadaran pelakunya?³
5.2.
Etika Kebebasan dan Otonomi Personal
Dalam filsafat
eksistensial, terutama pemikiran Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, nilai
moral tidak ditentukan oleh norma eksternal, tetapi oleh kebebasan individu
untuk memilih secara autentik. Sartre menegaskan bahwa manusia “dikutuk
untuk bebas,” artinya setiap pilihan moral harus lahir dari kesadaran akan
tanggung jawab atas eksistensi sendiri⁴. Maka, pertanyaan “kapan kamu akan
menikah?” menjadi ujian terhadap otentisitas seseorang: apakah keputusan
untuk menikah dilakukan karena dorongan reflektif dan makna pribadi, atau
karena kepatuhan terhadap ekspektasi sosial?
Simone de Beauvoir
dalam The Second
Sex mengkritik bahwa perempuan sering kali dijebak dalam peran
sosial yang membatasi kebebasan eksistensialnya, termasuk dalam urusan
pernikahan⁵. Dalam kerangka ini, pertanyaan “kapan menikah” bisa
berfungsi sebagai mekanisme kultural yang mempertahankan subordinasi simbolik
terhadap perempuan, dengan menilai nilainya berdasarkan relasi dengan
laki-laki. Oleh karena itu, etika eksistensial menuntut bahwa setiap keputusan
moral—termasuk menikah atau tidak menikah—harus berakar pada kesadaran diri
yang bebas, bukan pada tekanan eksternal.
5.3.
Nilai Relasional: Cinta, Tanggung
Jawab, dan Kemanusiaan
Meskipun kebebasan
individual menjadi inti dalam etika eksistensial, kebebasan tersebut tidak
meniadakan nilai relasional. Emmanuel Levinas menyatakan bahwa relasi dengan
yang lain (the
Other) adalah fondasi etika yang sejati⁶. Dalam konteks pernikahan,
tanggung jawab terhadap yang lain merupakan bentuk konkret dari pengakuan
terhadap alteritas (keberlainan). Menikah bukan semata tindakan sosial, tetapi
peristiwa etis: pertemuan antara dua eksistensi yang saling mengafirmasi
keberadaan satu sama lain.
Nilai cinta (agape
atau mahabbah)
dalam konteks ini melampaui sekadar afeksi personal; ia menjadi bentuk tanggung
jawab eksistensial. Gabriel Marcel, seorang eksistensialis Katolik, menegaskan
bahwa cinta yang sejati adalah komitmen terhadap kehadiran—keputusan
untuk tetap bersama yang lain bukan karena keharusan, tetapi karena pengakuan
terhadap keberadaannya⁷. Maka, dalam perspektif aksiologis, nilai tertinggi
dalam pernikahan bukan terletak pada status formalnya, melainkan pada kesediaan
eksistensial untuk berbagi keberadaan secara otentik.
5.4.
Antara Nilai Sosial dan Nilai
Pribadi
Ketegangan antara
nilai sosial dan nilai pribadi merupakan inti persoalan aksiologi dalam
pertanyaan ini. Nilai sosial menekankan kesesuaian dengan norma, sedangkan
nilai pribadi menekankan kebebasan dan autentisitas. Max Scheler dalam Formalism
in Ethics and Non-Formal Ethics of Values menyatakan bahwa nilai
memiliki hierarki—mulai dari nilai kenikmatan hingga nilai spiritual⁸.
Pertanyaan “kapan menikah” sering beroperasi pada tingkat nilai sosial,
namun keputusan eksistensial tentang pernikahan berada pada tingkat nilai
personal dan spiritual.
Di sinilah muncul
dilema etis: apakah seseorang yang menunda menikah karena pencarian makna hidup
berarti menolak nilai sosial, atau justru sedang mengejar nilai yang lebih
tinggi? Dalam etika eksistensial, tindakan yang bernilai adalah tindakan yang
mencerminkan kesadaran dan kebebasan diri, bukan sekadar kesesuaian dengan
norma luar.
5.5.
Etika Dialog dan Tanggung Jawab
Sosial
Walaupun keputusan
menikah bersifat personal, etika eksistensial menolak individualisme tertutup.
Martin Buber dalam I and Thou mengajukan etika
dialogis, di mana hubungan yang otentik dengan yang lain merupakan jalan menuju
nilai kemanusiaan yang sejati⁹. Dalam kerangka ini, pertanyaan “kapan
menikah” dapat direformulasi secara etis bukan sebagai penilaian, tetapi
sebagai dialog empatik—sebuah undangan untuk saling memahami tanpa meniadakan
kebebasan masing-masing.
Etika semacam ini
memungkinkan kita memahami bahwa nilai tertinggi bukanlah “menikah” itu
sendiri, melainkan cara manusia memperlakukan yang lain
dalam percakapan dan keputusan moral. Ketika pertanyaan “kapan menikah”
diajukan tanpa kesadaran etis, ia menjadi alat kontrol sosial; tetapi ketika
diajukan dengan empati dan keterbukaan, ia menjadi wujud kepedulian yang
bermakna secara moral.
Nilai
Tertinggi: Otentisitas dan Kebaikan Eksistensial
Pada akhirnya, dalam
kerangka aksiologi eksistensial, nilai tertinggi dari setiap keputusan hidup
terletak pada otentisitas dan tanggung jawab eksistensial. Viktor Frankl,
melalui logoterapinya, menegaskan bahwa makna hidup tidak ditemukan dalam
norma, tetapi diciptakan melalui tindakan yang sadar dan bertanggung jawab¹⁰.
Maka, pertanyaan “kapan kamu akan menikah” menjadi refleksi tentang
nilai terdalam dalam diri manusia: sejauh mana ia hidup berdasarkan makna yang
ia ciptakan sendiri.
Dalam konteks ini,
menikah atau tidak menikah bukanlah ukuran moralitas, melainkan ekspresi dari
kesadaran eksistensial. Nilainya bukan pada peristiwa, tetapi pada cara
manusia mengada dengan kesadaran penuh akan kebebasan dan tanggung jawabnya.
Pertanyaan “kapan menikah” dengan demikian mengandung tantangan
aksiologis untuk menilai kembali apa yang dianggap baik, benar, dan bermakna
dalam kehidupan manusia yang terus berubah.
Footnotes
[1]
¹ Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 181–183.
[2]
² Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1098a–1100b.
[3]
³ Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 39–40.
[4]
⁴ Jean-Paul Sartre, Existentialism
Is a Humanism, trans. Philip Mairet
(London: Methuen, 1948), 35–38.
[5]
⁵ Simone de Beauvoir, The
Second Sex, trans. H. M. Parshley
(New York: Vintage Books, 1989), 451–453.
[6]
⁶ Emmanuel Levinas, Ethics
and Infinity: Conversations with Philippe Nemo, trans. Richard A. Cohen (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1985), 87–89.
[7]
⁷ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, vol. 1, trans. G. S. Fraser (Chicago: Henry Regnery
Company, 1960), 140–142.
[8]
⁸ Max Scheler, Formalism in Ethics and
Non-Formal Ethics of Values, trans.
Manfred S. Frings and Roger L. Funk (Evanston: Northwestern University Press,
1973), 97–99.
[9]
⁹ Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Scribner, 1970),
62–64.
[10]
¹⁰ Viktor E. Frankl, Man’s
Search for Meaning, trans. Ilse
Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 108–111.
6.
Dimensi
Psikologis
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” bukan sekadar wacana sosial, tetapi juga merupakan
fenomena psikologis yang memiliki pengaruh mendalam terhadap kehidupan
emosional dan mental individu. Ia menyinggung wilayah identitas diri, persepsi
sosial, dan kebutuhan eksistensial manusia untuk diakui. Secara psikologis,
pertanyaan ini dapat berfungsi ganda: sebagai bentuk perhatian interpersonal,
namun sekaligus juga sebagai sumber tekanan psikologis yang signifikan,
terutama ketika dikaitkan dengan norma budaya yang kuat. Oleh karena itu,
dimensi psikologis dari pertanyaan ini mencakup tiga aspek utama: tekanan
sosial (social
pressure), kesiapan emosional (emotional readiness), dan makna
eksistensial yang dikaitkan dengan keputusan untuk menikah atau menundanya.
6.1.
Tekanan Sosial dan Beban Psikologis
Dari perspektif
psikologi sosial, pertanyaan “kapan menikah” berfungsi sebagai bentuk social
expectation—tekanan yang berasal dari norma sosial tentang perilaku
yang dianggap wajar. Individu yang belum menikah melewati usia yang dianggap “ideal”
sering menghadapi fenomena yang disebut social comparison stress, yakni
stres akibat perbandingan diri dengan standar sosial yang diinternalisasi¹.
Festinger menyebut hal ini sebagai social comparison theory, di mana
individu menilai keberhasilan dan nilai dirinya dengan membandingkan diri pada
orang lain di sekitarnya².
Dalam konteks budaya
kolektivistik seperti Indonesia, tekanan ini diperkuat oleh nilai kebersamaan
dan harapan keluarga. Orang tua, kerabat, atau komunitas sering kali merasa
memiliki tanggung jawab moral untuk “mengingatkan” individu agar tidak
terlambat menikah. Fenomena ini dapat memunculkan rasa cemas, malu, bahkan fear of
social judgment (ketakutan dinilai negatif oleh masyarakat)³.
Akibatnya, individu mengalami konflik batin antara keinginan personal dan
ekspektasi sosial, yang jika berlarut dapat berujung pada chronic
stress atau penurunan kesejahteraan psikologis.
Studi oleh Susan
Krauss Whitbourne menemukan bahwa perempuan dewasa muda yang sering menerima
pertanyaan serupa menunjukkan tingkat social anxiety yang lebih tinggi
dibanding mereka yang tidak mengalami tekanan tersebut⁴. Fenomena ini
menunjukkan bahwa norma sosial yang tampak ringan dapat memiliki dampak
emosional yang nyata terhadap keseimbangan psikologis seseorang.
6.2.
Kematangan Emosional dan Kesiapan
Psikologis untuk Menikah
Secara psikologis,
kesiapan menikah tidak ditentukan oleh usia kronologis, tetapi oleh tingkat
kematangan emosional (emotional maturity). Erik Erikson
dalam teori perkembangan psikososialnya menempatkan tahap intimacy
vs. isolation sebagai periode di mana individu berjuang antara
membangun kedekatan emosional yang sehat atau mengalami keterasingan sosial⁵.
Dalam konteks ini, pernikahan merupakan bentuk puncak dari kemampuan untuk
berkomitmen tanpa kehilangan otonomi diri. Pertanyaan “kapan menikah”
sering gagal memahami kompleksitas tahap ini, seolah kesiapan menikah identik
dengan kesiapan usia, bukan kesiapan psikologis.
Daniel Goleman
menyebut bahwa kematangan emosional meliputi kemampuan untuk mengelola emosi,
empati, dan kesadaran diri—tiga komponen yang menjadi inti dari emotional
intelligence⁶. Individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi
akan lebih mampu membangun relasi pernikahan yang stabil dan sehat. Sebaliknya,
tekanan untuk menikah karena faktor eksternal dapat menghambat proses
kematangan emosional itu sendiri, karena keputusan diambil bukan dari kesadaran
reflektif, tetapi dari keinginan untuk memenuhi ekspektasi sosial.
Dalam banyak kasus,
tekanan sosial untuk menikah dapat menimbulkan fenomena pseudo-readiness—kesiapan
palsu yang muncul karena keinginan menghindari stigma “belum menikah,”
bukan karena kesiapan internal. Kondisi ini berisiko menghasilkan pernikahan
yang didasari kecemasan, bukan kesadaran, yang dalam jangka panjang dapat
mengancam kesehatan mental maupun kualitas hubungan.
6.3.
Identitas Diri dan Persepsi Sosial
Pertanyaan “kapan
menikah” juga menyentuh persoalan identitas diri. Menurut teori identity
formation Erikson, manusia membangun identitasnya melalui interaksi
sosial dan pengakuan dari lingkungan⁷. Dalam masyarakat yang menilai status
pernikahan sebagai indikator kedewasaan dan keberhasilan, individu yang belum
menikah kerap mengalami identity dissonance—konflik antara
citra diri yang diidealkan dan kenyataan sosial yang dialami.
Penelitian dalam
psikologi budaya menunjukkan bahwa dalam masyarakat Asia, status pernikahan
sering menjadi simbol social identity yang menentukan
bagaimana seseorang diperlakukan dan dihormati⁸. Akibatnya, individu yang
menunda atau menolak pernikahan sering kali menghadapi stereotip negatif
seperti “tidak laku,” “terlalu pemilih,” atau “tidak normal.”
Label-label ini bukan hanya membentuk persepsi sosial, tetapi juga dapat
menginternalisasi perasaan rendah diri atau ketidaklayakan (internalized
stigma).
Namun, dari perspektif
psikologi humanistik, seperti dikemukakan oleh Abraham Maslow, kebutuhan akan
pengakuan sosial bukanlah satu-satunya motivasi manusia. Pada tahap tertinggi,
manusia terdorong untuk mencapai self-actualization—yakni realisasi
penuh dari potensi diri yang otentik⁹. Dalam kerangka ini, menikah atau tidak
menikah bukanlah ukuran keberhasilan psikologis, melainkan pilihan eksistensial
yang harus diambil dengan kesadaran diri dan kebebasan penuh.
6.4.
Pertanyaan sebagai Stimulus Afektif
dan Komunikasi Sosial
Dari sudut pandang
psikologi komunikasi, pertanyaan “kapan kamu akan menikah?” juga
berfungsi sebagai stimulus afektif—pemicu reaksi emosional yang berbeda
tergantung konteks, niat penutur, dan kondisi psikologis pendengar. Menurut
teori interpersonal
communication oleh Harry Stack Sullivan, setiap percakapan
berpotensi memperkuat atau melemahkan rasa harga diri seseorang¹⁰. Bila
pertanyaan disampaikan dengan empati dan kepekaan, ia dapat menumbuhkan rasa
diterima. Sebaliknya, jika disampaikan dengan nada menilai, ia dapat
memunculkan rasa tersinggung, marah, atau terancam secara emosional.
Reaksi afektif ini
menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal selalu mengandung dimensi psikologis
yang kompleks. Pertanyaan sosial yang tampak ringan dapat berfungsi sebagai
cermin hubungan emosional antara penutur dan pendengar. Karena itu, kesadaran
psikologis dalam berkomunikasi menjadi aspek penting dalam membangun budaya
empatik yang sehat.
6.5.
Menuju Kesehatan Mental dan
Kesadaran Diri
Dampak psikologis
dari tekanan sosial mengenai pernikahan dapat diminimalkan melalui penguatan
kesadaran diri (self-awareness) dan ketahanan
mental (psychological
resilience). Viktor Frankl menegaskan bahwa manusia dapat menemukan
makna bahkan di tengah tekanan sosial yang paling kuat, asalkan ia mampu
memberi arti pribadi terhadap pengalamannya¹¹. Dengan demikian, menghadapi
pertanyaan “kapan menikah” dengan refleksi dan pemaknaan diri merupakan
strategi psikologis yang sehat.
Psikologi positif
yang dikembangkan oleh Martin Seligman juga menekankan pentingnya authentic
happiness—kebahagiaan yang bersumber dari keterlibatan dan makna
hidup, bukan dari pencapaian eksternal¹². Maka, kesejahteraan psikologis tidak
tergantung pada status pernikahan, tetapi pada kemampuan individu untuk hidup
dengan makna dan kesadaran yang konsisten dengan nilai-nilainya sendiri.
Kesimpulan
Psikologis
Secara keseluruhan,
dimensi psikologis dari pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?”
memperlihatkan betapa erat kaitannya antara norma sosial dan kesejahteraan mental
individu. Ia mengungkapkan dinamika antara tekanan sosial dan kebebasan batin,
antara pengakuan sosial dan aktualisasi diri. Dari perspektif psikologi
eksistensial, kebahagiaan dan kesehatan mental hanya dapat dicapai ketika
individu mampu menafsirkan tekanan sosial secara reflektif, mengubahnya menjadi
sarana pertumbuhan kesadaran, bukan sumber penderitaan. Dengan demikian,
memahami pertanyaan ini secara psikologis menuntun kita pada sikap empatik dan
reflektif terhadap pengalaman manusia yang beragam dalam mencari makna
hidupnya.
Footnotes
[1]
¹ Shelley E. Taylor, Health
Psychology, 9th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2015), 212–214.
[2]
² Leon Festinger, A Theory of Social
Comparison Processes (Stanford, CA:
Stanford University Press, 1954), 118–119.
[3]
³ Albert Bandura, Social Foundations of
Thought and Action: A Social Cognitive Theory (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1986), 80–82.
[4]
⁴ Susan Krauss Whitbourne, “Social Pressure and the Single Woman,” Psychology Today 56,
no. 3 (2018): 23–25.
[5]
⁵ Erik H. Erikson, Identity: Youth and
Crisis (New York: W. W. Norton,
1968), 135–137.
[6]
⁶ Daniel Goleman, Emotional Intelligence:
Why It Can Matter More than IQ (New
York: Bantam Books, 1995), 55–60.
[7]
⁷ Erikson, Identity: Youth and
Crisis, 143–145.
[8]
⁸ Hazel R. Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self:
Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review
98, no. 2 (1991): 224–226.
[9]
⁹ Abraham H. Maslow, Motivation
and Personality (New York: Harper
& Row, 1970), 43–45.
[10]
¹⁰ Harry Stack Sullivan, The
Interpersonal Theory of Psychiatry
(New York: W. W. Norton, 1953), 120–123.
[11]
¹¹ Viktor E. Frankl, Man’s
Search for Meaning, trans. Ilse
Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 112–114.
[12]
¹² Martin E. P. Seligman, Authentic
Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for
Lasting Fulfillment (New York: Free
Press, 2002), 15–18.
7.
Dimensi
Sosial dan Kultural
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” merupakan fenomena sosial yang tidak dapat dilepaskan
dari sistem nilai, struktur budaya, dan mekanisme kontrol sosial yang berlaku
dalam masyarakat. Ia bukan hanya ungkapan basa-basi interpersonal, melainkan
juga cermin dari konstruksi sosial tentang norma, peran, dan identitas manusia
dalam jaringan kehidupan bersama. Dimensi sosial dan kultural dari pertanyaan
ini mengungkap bagaimana masyarakat mendefinisikan “kehidupan yang baik”
(the good
life), mengatur relasi antara individu dan komunitas, serta
mempertahankan tatanan moral melalui simbol-simbol komunikasi sehari-hari.
7.1.
Pernikahan sebagai Institusi Sosial
Dalam perspektif
sosiologi klasik, pernikahan merupakan institusi sosial yang berfungsi
mempertahankan keteraturan masyarakat. Émile Durkheim memandang pernikahan sebagai
bentuk solidaritas moral yang meneguhkan keterikatan individu pada tatanan
kolektif¹. Ia menjadi mekanisme yang memastikan stabilitas sosial melalui
pembagian peran, pewarisan nilai, dan reproduksi sosial. Maka, ketika
masyarakat bertanya “kapan menikah,” mereka sebenarnya sedang
mereproduksi sistem nilai yang menjaga keseimbangan sosial tersebut.
Talcott Parsons
menambahkan bahwa pernikahan berperan dalam sistem fungsional masyarakat
melalui pola role complementarity, di mana
laki-laki dan perempuan memiliki fungsi sosial yang saling melengkapi². Dengan
demikian, pertanyaan “kapan menikah” juga berakar pada pandangan
normatif tentang keseimbangan peran gender. Namun, dalam konteks modern,
struktur ini mulai bergeser seiring meningkatnya partisipasi perempuan di ranah
publik dan perubahan konsep keluarga dari hierarkis menjadi egaliter.
7.2.
Norma Kolektif dan Mekanisme Kontrol
Sosial
Secara kultural,
pertanyaan ini berfungsi sebagai bentuk soft surveillance—pengawasan sosial
yang dilembutkan dalam bentuk perhatian personal. Michel Foucault menjelaskan
bahwa kekuasaan dalam masyarakat modern tidak lagi bekerja melalui paksaan
fisik, melainkan melalui internalisasi norma yang diulang dalam interaksi
sehari-hari³. Pertanyaan semacam ini menjadi alat kontrol sosial yang halus: ia
menuntut konformitas tanpa terlihat memaksa.
Dalam masyarakat
kolektivistik seperti Indonesia, tekanan sosial semacam ini diperkuat oleh
nilai gotong
royong dan kekeluargaan. Clifford Geertz
menunjukkan bahwa masyarakat Jawa, misalnya, menempatkan harmoni sosial (rukun)
sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan sosial⁴. Maka, menunda pernikahan bukan
hanya dianggap keputusan personal, tetapi juga dapat dipersepsikan sebagai
gangguan terhadap keseimbangan sosial. Dengan demikian, pertanyaan “kapan
menikah” menjadi salah satu cara menjaga tatanan simbolik masyarakat yang
menjunjung keteraturan dan keserasian.
7.3.
Konstruksi Kultural tentang Waktu
dan Kematangan
Kata “kapan”
dalam pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kerangka
temporal tersendiri dalam menilai kematangan sosial. Dalam banyak budaya Asia,
termasuk Indonesia, waktu hidup seseorang sering dibingkai secara linear
normatif: belajar – bekerja – menikah – berkeluarga⁵. Kerangka ini
bukan hanya panduan praktis, tetapi juga simbol moral.
Pierre Bourdieu
menyebutnya sebagai habitus temporal, yaitu struktur
sosial yang menginternalisasi ritme kehidupan sebagai ukuran kesesuaian
perilaku⁶. Akibatnya, individu yang keluar dari ritme ini (misalnya dengan
menunda pernikahan) dianggap “tidak pada waktunya.” Hal ini menciptakan
tekanan sosial yang kuat terhadap mereka yang hidup di luar “jadwal sosial”
tersebut.
Namun, modernitas
dan globalisasi telah menggeser struktur temporal itu. Anthony Giddens
menjelaskan bahwa dalam reflexive modernity, individu tidak
lagi menjalani kehidupan sesuai pola tradisional, melainkan membangun life
trajectory berdasarkan refleksi dan pilihan personal⁷. Dengan
demikian, konsep “kapan menikah” menjadi medan negosiasi antara tradisi dan
kebebasan individual.
7.4.
Gender, Kekuasaan, dan Ideologi
Sosial
Dari sudut pandang
gender studies, pertanyaan “kapan menikah” tidak bersifat netral. Ia
sering diarahkan lebih kuat kepada perempuan, mencerminkan struktur patriarki
yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang harus memenuhi norma sosial
tentang kelembutan, pengabdian, dan peran domestik⁸. Simone de Beauvoir
menegaskan bahwa masyarakat patriarkal mengonstruksi perempuan bukan sebagai “diri”
(subject),
tetapi sebagai “yang lain” (the Other) yang eksistensinya
ditentukan melalui relasi dengan laki-laki⁹.
Dalam konteks
Indonesia, hal ini tampak dalam narasi budaya populer, iklan, bahkan kebijakan
negara yang menautkan identitas perempuan dengan status perkawinan. Norma
seperti ini memperkuat hierarki simbolik antara laki-laki sebagai pengambil
keputusan dan perempuan sebagai penerima konsekuensi sosial. Dengan demikian,
pertanyaan “kapan menikah” tidak hanya mencerminkan nilai budaya, tetapi
juga memperlihatkan distribusi kekuasaan simbolik yang tidak seimbang.
7.5.
Pergeseran Makna dalam Masyarakat
Modern
Globalisasi dan
perkembangan media digital telah mengubah cara masyarakat menafsirkan institusi
pernikahan. Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai hyperreality—situasi
di mana simbol dan citra lebih berpengaruh daripada realitas itu sendiri¹⁰.
Dalam konteks ini, pernikahan sering kali direpresentasikan sebagai gaya hidup
dan citra sosial di media, bukan sekadar peristiwa personal. Akibatnya,
pertanyaan “kapan menikah” kini tidak hanya datang dari lingkar sosial
langsung, tetapi juga dari ekspektasi digital yang membentuk “citra ideal”
tentang hidup bahagia.
Lebih jauh, muncul
gerakan sosial seperti single by choice, delayed
marriage, atau childfree movement yang menantang
norma-norma tradisional tersebut. Gerakan ini menandakan munculnya kesadaran
baru tentang otonomi individu dalam menentukan arah kehidupannya sendiri.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa makna sosial pernikahan kini lebih bersifat
plural, tergantung pada konteks budaya, kelas sosial, dan pengalaman personal.
7.6.
Fungsi Sosial Baru dari Pertanyaan
Dalam masyarakat
modern yang lebih terbuka, pertanyaan “kapan menikah” perlahan mengalami
transformasi makna: dari instrumen kontrol sosial menjadi medium dialog
identitas. Ia dapat menjadi pintu masuk untuk mendiskusikan nilai, aspirasi,
dan orientasi hidup seseorang. Ulrich Beck menyebut transformasi ini sebagai individualization
process—pergeseran di mana individu mulai bertanggung jawab atas
definisi kehidupannya sendiri¹¹.
Dalam konteks ini,
masyarakat yang reflektif tidak lagi menilai jawaban “belum menikah”
sebagai penyimpangan, melainkan sebagai bentuk rasionalitas baru: upaya mencari
kesesuaian antara kebebasan personal dan tanggung jawab sosial. Maka, nilai
sosial dari pertanyaan tersebut tidak hilang, tetapi berubah arah: dari
penilaian moral menuju pemahaman dialogis.
Kesimpulan
Sosial-Kultural
Secara keseluruhan,
dimensi sosial dan kultural dari pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?”
mengungkap dialektika antara tradisi dan modernitas, antara norma kolektif dan
otonomi individu. Ia memperlihatkan bagaimana bahasa sederhana menjadi sarana
reproduksi nilai sosial, sekaligus arena negosiasi identitas. Dalam masyarakat
yang berubah cepat, pertanyaan ini dapat dibaca sebagai cermin ketegangan
antara kebutuhan akan keteraturan sosial dan pencarian makna personal. Maka,
memahami dimensi sosial dan kultural dari pertanyaan ini bukan hanya soal
memahami budaya pernikahan, tetapi tentang bagaimana masyarakat memaknai “kehidupan
yang baik” dalam konteks zaman yang terus bergerak.
Footnotes
[1]
¹ Émile Durkheim, The Division of Labor
in Society, trans. W. D. Halls (New
York: Free Press, 1984), 201–203.
[2]
² Talcott Parsons and Robert F. Bales, Family, Socialization, and Interaction Process (Glencoe, IL: Free Press, 1955), 15–17.
[3]
³ Michel Foucault, Discipline and Punish:
The Birth of the Prison, trans. Alan
Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 177–181.
[4]
⁴ Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: University of Chicago Press, 1960),
142–144.
[5]
⁵ Hazel R. Markus and Shinobu Kitayama, “Culture and the Self:
Implications for Cognition, Emotion, and Motivation,” Psychological Review
98, no. 2 (1991): 224–226.
[6]
⁶ Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of
Practice, trans. Richard Nice (Cambridge:
Cambridge University Press, 1977), 80–84.
[7]
⁷ Anthony Giddens, Modernity and
Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age (Stanford: Stanford University Press, 1991), 72–75.
[8]
⁸ Judith Butler, Gender Trouble:
Feminism and the Subversion of Identity
(New York: Routledge, 1990), 45–47.
[9]
⁹ Simone de Beauvoir, The
Second Sex, trans. H. M. Parshley
(New York: Vintage Books, 1989), 17–19.
[10]
¹⁰ Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–3.
[11]
¹¹ Ulrich Beck and Elisabeth Beck-Gernsheim, Individualization: Institutionalized Individualism and Its
Social and Political Consequences
(London: SAGE Publications, 2002), 22–24.
8.
Dimensi
Religius dan Spiritual
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” dalam konteks religius dan spiritual tidak hanya
menyangkut peristiwa sosial, tetapi juga mengandung muatan teologis, moral, dan
simbolik yang mendalam. Di banyak tradisi keagamaan, pernikahan dipandang bukan
sekadar kontrak sosial, melainkan bagian dari tatanan ilahi yang menuntun
manusia menuju kesempurnaan moral dan spiritual. Karena itu, memahami dimensi
religius pertanyaan ini berarti menelaah bagaimana agama membentuk persepsi
tentang pernikahan, waktu, dan makna hidup; serta bagaimana spiritualitas
memaknai keputusan menikah sebagai perjalanan eksistensial menuju Tuhan.
8.1.
Pandangan Teologis tentang Waktu dan
Pernikahan
Dalam pandangan
teologis, waktu pernikahan sering dikaitkan dengan konsep takdir
dan ikhtiar.
Ajaran Islam menegaskan bahwa segala sesuatu, termasuk pertemuan dan
pernikahan, berada dalam kehendak Ilahi. Al-Qur’an menyatakan: “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya” (Q.S. Ar-Rum [30] ayat 21)¹. Ayat ini menunjukkan bahwa
pernikahan adalah bagian dari ayatullah—tanda-tanda kebesaran
Tuhan yang hadir dalam kehidupan manusia. Maka, ketika seseorang bertanya “kapan
menikah,” sesungguhnya yang dipertanyakan bukan hanya waktu duniawi, tetapi
juga kesiapan spiritual untuk menyambut kehendak Ilahi.
Dalam tradisi
Kristen, pernikahan dianggap sebagai sacramentum, yaitu tanda kasih dan
kehadiran Allah di antara dua insan. Santo Agustinus dalam On the
Good of Marriage menulis bahwa pernikahan adalah “ikatan
kesetiaan dan cinta yang disucikan oleh Tuhan”². Dengan demikian, “kapan
menikah” tidak sekadar soal kesiapan lahiriah, melainkan kesiapan untuk
menerima rahmat Tuhan dalam bentuk tanggung jawab kasih yang kekal.
Dalam tradisi Hindu
dan Buddha, pernikahan juga ditempatkan dalam kerangka dharma
dan keseimbangan kosmik. Dalam Manusmriti, misalnya, pernikahan
dianggap sebagai kewajiban spiritual yang menjaga harmoni antara artha
(materi), kama
(keinginan), dan dharma (kebenaran moral)³.
Sementara dalam Buddhisme, pernikahan dipandang bukan sebagai ritual religius,
tetapi sebagai upaya sadar untuk melatih kasih
sayang (metta)
dan kebijaksanaan dalam kehidupan bersama⁴.
8.2.
Menikah sebagai Ibadah dan Jalan
Kesempurnaan Spiritual
Dalam Islam,
pernikahan tidak hanya dianggap sebagai urusan duniawi, tetapi juga sebagai
ibadah. Nabi Muhammad Footnotes
bersabda, “Menikah adalah sunnahku, maka siapa yang tidak mengikuti
sunnahku, ia bukan dari golonganku”⁵. Hadis ini menegaskan dimensi
spiritual dari pernikahan sebagai bagian dari tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Menikah menjadi sarana bagi manusia untuk menyeimbangkan dorongan biologis,
moral, dan spiritual dalam bingkai tanggung jawab di hadapan Allah.
Imam Al-Ghazali
dalam Ihya’
Ulum al-Din menjelaskan bahwa menikah memiliki empat hikmah
spiritual: menjaga iman, melatih kesabaran, menumbuhkan kasih sayang, dan
meneladani fitrah Ilahi yang mencintai ciptaan-Nya⁶. Dengan demikian, “kapan
menikah” dalam perspektif spiritual bukan ditentukan oleh tekanan sosial,
tetapi oleh kesiapan batin untuk menjadikan pernikahan sebagai jalan
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam tradisi mistik
Kristen, pandangan ini serupa dengan konsep spiritual marriage—penyatuan jiwa
manusia dengan Tuhan. Santa Teresa dari Avila menggambarkan pernikahan
spiritual sebagai “union of love,” di mana jiwa tidak lagi mencari
kepuasan duniawi, melainkan bersatu dalam kasih Ilahi yang tak terbatas⁷. Maka,
bagi para mistikus, menikah di dunia hanyalah refleksi simbolik dari pernikahan
sejati antara jiwa dan Tuhan.
8.3.
Makna Simbolik: Penyatuan Manusia
dengan Yang Ilahi
Dalam ranah
simbolik, pernikahan sering ditafsirkan sebagai metafora penyatuan antara mikrokosmos
(manusia) dan makrokosmos (Tuhan). Ibn ‘Arabi, dalam
Fusus
al-Hikam, menjelaskan bahwa cinta antara laki-laki dan perempuan
merupakan manifestasi dari cinta Tuhan kepada makhluk-Nya⁸. Melalui hubungan
itu, manusia mengenal dirinya sebagai citra Ilahi (tajalli). Maka, “kapan menikah”
juga dapat dibaca sebagai pertanyaan simbolik tentang kapan
manusia siap bersatu dengan sumber eksistensinya sendiri—yakni
Tuhan.
Konsep ini juga
tampak dalam filsafat Vedanta, yang melihat pernikahan sebagai perjalanan
spiritual untuk menyadari kesatuan antara Atman (jiwa individu) dan Brahman
(realitas mutlak)⁹. Dengan demikian, waktu menikah menjadi simbol kesiapan
kesadaran manusia untuk menapaki tahap baru dalam perjalanan spiritualnya.
8.4.
Tanggung Jawab Religius dan Etika
Komitmen
Setiap agama
menekankan dimensi etis dalam relasi pernikahan: kejujuran, kesetiaan, dan
tanggung jawab moral. Etika ini bukan hanya norma sosial, tetapi bentuk
pengabdian spiritual. Dalam Islam, misalnya, akad nikah dianggap sebagai mitsaqan
ghaliza (perjanjian yang kuat), sebagaimana disebut dalam Q.S.
An-Nisa [4] ayat 21. Artinya, pernikahan bukan sekadar kontrak, tetapi komitmen
sakral yang melibatkan Tuhan sebagai saksi¹⁰.
Dalam konteks ini,
menunda pernikahan bukan berarti menolak nilai religius, melainkan menunggu
kesiapan untuk memikul amanah spiritual. Karenanya, etika religius tidak
mengharuskan menikah cepat, melainkan menikah dengan kesadaran penuh bahwa
hubungan itu merupakan bentuk amanah yang harus dijaga. Thomas
Aquinas menyebut hal ini sebagai ordo caritatis—tatanan kasih yang diatur
oleh rasio moral dan kehendak baik¹¹. Maka, keputusan menikah harus lahir dari
kehendak yang selaras dengan cinta Ilahi, bukan sekadar desakan sosial.
8.5.
Spiritualitas Kontemporer:
Kesadaran, Makna, dan Pembebasan
Dalam era modern,
spiritualitas tidak lagi terbatas pada ritual keagamaan, melainkan juga pada
kesadaran batin yang reflektif. Viktor Frankl menegaskan bahwa manusia
menemukan makna hidup ketika ia mampu menafsirkan penderitaan dan tanggung
jawabnya dalam terang nilai-nilai yang lebih tinggi¹². Dalam konteks ini,
pertanyaan “kapan menikah” dapat menjadi momen kontemplatif: sebuah
undangan untuk memahami makna relasi manusia sebagai jalan menuju keutuhan
batin, bukan sekadar kewajiban moral.
Spiritualitas
kontemporer menekankan integrasi antara kebebasan dan iman. Dalam pandangan
Seyyed Hossein Nasr, krisis spiritual modern muncul karena manusia memisahkan
kehidupan duniawi dari kesadaran Ilahi¹³. Maka, menjawab pertanyaan “kapan
menikah” dengan kesadaran spiritual berarti menolak dikotomi antara dunia
dan agama—menjadikan keputusan pernikahan sebagai ibadah, refleksi, dan
ekspresi cinta yang menyatukan manusia dengan nilai-nilai transendental.
Kesimpulan
Religius dan Spiritualitas Reflektif
Secara religius dan
spiritual, pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?” tidak dapat dijawab
hanya dengan kalkulasi sosial atau rasionalitas ekonomi. Ia merupakan refleksi
atas hubungan manusia dengan waktu, takdir, dan Tuhan. Dalam setiap tradisi
agama, menikah adalah perjalanan menuju kesempurnaan cinta dan tanggung jawab;
namun dalam perspektif spiritual, kesiapan menikah sejati adalah kesiapan untuk
mencintai dengan kesadaran ilahi—baik dalam pasangan maupun dalam kehidupan itu
sendiri. Maka, pertanyaan tersebut akhirnya menuntun manusia untuk bertanya
lebih dalam: bukan kapan ia akan menikah, tetapi bagaimana
ia memaknai cinta sebagai jalan menuju Tuhan.
Footnotes
[1]
¹ Al-Qur’an, Ar-Rum [30] ayat 21.
[2]
² Augustine, On the Good of Marriage, trans. C. L. Cornish (Oxford: Clarendon Press,
1887), 12–14.
[3]
³ Manusmriti, trans. George Bühler (Oxford: Oxford University
Press, 1886), 53–55.
[4]
⁴ Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 88–90.
[5]
⁵ Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab al-Nikah, Hadis no. 2050.
[6]
⁶ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, Juz II (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 2005), 211–213.
[7]
⁷ Teresa of Avila, The Interior Castle, trans. E. Allison Peers (New York: Image Books,
1961), 209–212.
[8]
⁸ Ibn ‘Arabi, Fusus al-Hikam, trans. R. W. J. Austin (New York: Paulist Press,
1980), 89–91.
[9]
⁹ Swami Nikhilananda, The
Upanishads: A New Translation (New
York: Harper & Row, 1963), 147–149.
[10]
¹⁰ Al-Qur’an, An-Nisa [4] ayat 21.
[11]
¹¹ Thomas Aquinas, Summa Theologiae, II–II, Q. 26, Art. 3 (New York: Benziger Bros.,
1947).
[12]
¹² Viktor E. Frankl, Man’s
Search for Meaning, trans. Ilse
Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 112–114.
[13]
¹³ Seyyed Hossein Nasr, Man
and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International, 1997), 15–17.
9.
Kritik
dan Klarifikasi Filosofis
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” dalam perspektif filosofis mengandung lapisan makna
yang kompleks, yang memerlukan klarifikasi konseptual dan kritik rasional
terhadap dasar-dasar nilai, norma, dan asumsi yang melandasinya. Pertanyaan ini
tampaknya sederhana, namun di baliknya tersimpan perangkat pengetahuan,
kekuasaan, dan ideologi yang membentuk cara berpikir masyarakat tentang cinta,
tanggung jawab, serta makna hidup. Oleh karena itu, bagian ini berupaya
menguraikan kritik terhadap reduksi sosial terhadap pernikahan, membedakan
antara makna moral dan eksistensial dari pernikahan, serta melakukan
klarifikasi filosofis agar manusia dapat memandang pernikahan secara reflektif
dan otentik.
9.1.
Kritik terhadap Reduksi Sosial dan
Moralistik
Dalam masyarakat
tradisional, pernikahan sering direduksi menjadi ukuran moralitas dan
keberhasilan hidup. Hal ini menunjukkan kecenderungan moral
absolutism, yaitu pandangan bahwa satu bentuk kehidupan dianggap
benar secara universal tanpa memperhatikan konteks individual¹. Kritik
filosofis terhadap reduksi ini datang dari tradisi eksistensialisme, yang
menolak pandangan bahwa nilai-nilai moral dapat dipaksakan dari luar kesadaran
manusia. Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa manusia tidak memiliki esensi yang
mendahului eksistensinya—manusia terlebih dahulu “ada,” kemudian
menciptakan maknanya sendiri melalui tindakan bebas².
Dalam konteks ini,
tekanan sosial terhadap individu untuk menikah pada usia tertentu adalah bentuk
alienasi eksistensial. Masyarakat, melalui norma-normanya, berusaha mengatur
waktu dan arah eksistensi manusia. Karl Marx menyebut fenomena ini sebagai reifikasi
(Verdinglichung),
yaitu proses di mana relasi manusia diubah menjadi objek yang terukur dan
bersifat eksternal³. Maka, pernikahan kehilangan makna humanistiknya dan
menjadi sekadar institusi sosial yang tunduk pada logika konformitas.
Kritik ini
mengingatkan kita bahwa nilai moral tidak boleh dilepaskan dari kebebasan dan
kesadaran reflektif. Menikah karena tekanan sosial bukanlah tindakan etis,
melainkan bentuk kepasrahan terhadap norma eksternal tanpa otonomi batin.
Emmanuel Kant menyatakan bahwa tindakan hanya bernilai moral jika dilakukan “demi
kewajiban,” bukan karena tekanan eksternal atau dorongan instrumental⁴. Dengan
demikian, keputusan menikah hanya bernilai moral bila diambil melalui
rasionalitas otonom dan kesadaran tanggung jawab pribadi.
9.2.
Kritik terhadap Esensialisme Gender
dan Kekuasaan Simbolik
Pertanyaan “kapan
menikah” juga mengandung bias epistemik dan ideologis yang memperkuat
struktur patriarki. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex menegaskan bahwa
perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan” dalam arti sosial, tetapi
“dibentuk” melalui konstruksi budaya yang menempatkannya sebagai “yang
lain” (the
Other)⁵. Pertanyaan ini sering lebih ditujukan kepada perempuan,
seolah pernikahan adalah cara utama bagi mereka untuk memperoleh identitas
sosial.
Judith Butler
menambahkan bahwa gender dan institusi pernikahan merupakan hasil
performativitas sosial—realitas yang terus diulang melalui tindakan dan
bahasa⁶. Dengan demikian, pertanyaan itu menjadi bagian dari mekanisme
kekuasaan simbolik yang menormalisasi peran-peran gender tertentu. Dalam
masyarakat modern, bentuk kontrol ini semakin subtil; ia tidak lagi datang dari
negara atau agama secara langsung, tetapi dari kebudayaan dan opini sosial yang
menuntut keseragaman.
Kritik filosofis
terhadap struktur ini mengajak kita untuk membongkar asumsi tentang “kodrat”
perempuan dan laki-laki. Sebagaimana diungkapkan oleh Martha Nussbaum, keadilan
sosial sejati menuntut pengakuan terhadap kemampuan dasar manusia (capabilities)
yang memungkinkan setiap individu untuk memilih bentuk kehidupan yang bernilai
baginya⁷. Dalam konteks ini, kebebasan memilih waktu menikah (atau tidak
menikah) merupakan ekspresi dari martabat manusia yang tidak boleh diintervensi
oleh ideologi sosial yang menindas.
9.3.
Klarifikasi Konseptual: Menikah
sebagai Peristiwa dan sebagai Makna
Secara filosofis,
perlu dibedakan antara “menikah sebagai peristiwa” dan “menikah
sebagai makna.” Sebagai peristiwa, menikah adalah tindakan sosial-hukum
yang diatur oleh institusi; namun sebagai makna, ia adalah pengalaman
eksistensial yang menyentuh inti keberadaan manusia. Martin Heidegger dalam Being
and Time menegaskan bahwa keberadaan manusia (Dasein)
tidak dapat direduksi pada fakta, karena yang paling penting adalah makna
mengada (meaning of being)⁸. Maka, menikah
bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan cara manusia memahami dan
mengekspresikan keberadaannya dalam dunia bersama orang lain.
Klarifikasi ini
menuntut agar kita tidak menilai pernikahan secara kuantitatif (usia, waktu,
status), melainkan secara kualitatif: seberapa jauh tindakan itu
merepresentasikan kesadaran autentik seseorang terhadap dirinya dan terhadap
yang lain. Gabriel Marcel menyebut ini sebagai ontological participation, yakni
keikutsertaan eksistensial dalam kehidupan bersama yang didasari oleh cinta dan
komitmen spiritual, bukan oleh kewajiban formal⁹. Maka, pertanyaan yang lebih
filosofis bukanlah “kapan menikah,” tetapi “bagaimana seseorang dapat
menikah dengan kesadaran yang utuh.”
9.4.
Kritik terhadap Rasionalitas
Instrumental dan Budaya Konsumerisme
Dalam masyarakat
modern, makna pernikahan sering terjebak dalam rasionalitas instrumental
sebagaimana dikritik oleh Jürgen Habermas. Ia membedakan antara instrumental
rationality (rasionalitas yang berorientasi pada hasil) dan communicative
rationality (rasionalitas yang berorientasi pada pemahaman)¹⁰.
Ketika pertanyaan “kapan menikah” dikaitkan dengan status ekonomi,
karier, atau gengsi sosial, maka relasi manusia direduksi menjadi transaksi
simbolik. Pernikahan dipahami bukan sebagai ruang komunikasi etis, tetapi
sebagai komoditas sosial.
Jean Baudrillard
menambahkan bahwa dalam masyarakat konsumeris, pernikahan sering menjadi bagian
dari simulacra—tanda-tanda
sosial yang tidak lagi menunjuk pada realitas, tetapi pada citra dan
penampilan¹¹. Pertanyaan “kapan menikah” kemudian kehilangan makna
spiritualnya dan berubah menjadi evaluasi status simbolik yang dipertontonkan
melalui media sosial, pesta, dan representasi publik. Kritik ini mengingatkan
kita bahwa dalam dunia modern, pernikahan tidak luput dari bahaya komodifikasi
nilai-nilai manusia.
9.5.
Menuju Klarifikasi Filosofis: Antara
Kebebasan dan Keterikatan
Klarifikasi
filosofis atas pertanyaan “kapan menikah” harus menempatkannya dalam
keseimbangan antara kebebasan eksistensial dan keterikatan sosial. Søren
Kierkegaard dalam Either/Or menegaskan bahwa
pernikahan adalah “pilihan eksistensial”—suatu keputusan yang mengandung
risiko, komitmen, dan lompatan iman (leap of faith)¹². Namun, lompatan
ini hanya bermakna jika dilakukan secara bebas, bukan karena tekanan atau
ketakutan terhadap penilaian sosial.
Oleh karena itu,
filsafat menuntut reinterpretasi: pernikahan tidak boleh dilihat semata sebagai
kewajiban moral, melainkan sebagai tindakan kebebasan yang sadar akan tanggung
jawab. Kebebasan yang sejati, sebagaimana ditekankan oleh Erich Fromm, bukanlah
kebebasan dari sesuatu, tetapi kebebasan untuk mencintai, memberi makna, dan
menciptakan hubungan manusiawi yang autentik¹³. Maka, klarifikasi filosofis ini
menegaskan bahwa nilai tertinggi dari keputusan menikah terletak pada kesadaran
moral dan refleksi diri yang mendalam, bukan pada kesesuaian dengan norma
eksternal.
Kesimpulan:
Menuju Rasionalitas Reflektif dan Otentik
Melalui kritik dan
klarifikasi ini, menjadi jelas bahwa pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?”
harus dipahami bukan sebagai tekanan sosial, melainkan sebagai momen reflektif
untuk menimbang makna hidup, kebebasan, dan komitmen. Kritik filosofis membantu
membongkar struktur ideologis yang menyelimuti pertanyaan tersebut, sementara
klarifikasi rasional menuntun kita pada pemahaman bahwa makna sejati pernikahan
terletak pada kesadaran etis dan spiritual yang bebas. Dengan demikian,
filsafat tidak memberikan jawaban pasti atas “kapan,” tetapi mengajarkan
bagaimana
manusia dapat memilih dengan bijaksana—dengan kesadaran, tanggung jawab, dan
cinta yang otentik.
Footnotes
[1]
¹ Richard M. Hare, The Language of Morals (Oxford: Oxford University Press, 1952), 72–73.
[2]
² Jean-Paul Sartre, Existentialism
Is a Humanism, trans. Philip Mairet
(London: Methuen, 1948), 36–38.
[3]
³ Karl Marx, Economic and
Philosophic Manuscripts of 1844,
trans. Martin Milligan (Moscow: Progress Publishers, 1959), 81–82.
[4]
⁴ Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 39–41.
[5]
⁵ Simone de Beauvoir, The
Second Sex, trans. H. M. Parshley
(New York: Vintage Books, 1989), 267–269.
[6]
⁶ Judith Butler, Gender Trouble:
Feminism and the Subversion of Identity
(New York: Routledge, 1990), 24–26.
[7]
⁷ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 23–25.
[8]
⁸ Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–34.
[9]
⁹ Gabriel Marcel, The Mystery of Being, vol. 1, trans. G. S. Fraser (Chicago: Henry Regnery
Company, 1960), 145–147.
[10]
¹⁰ Jürgen Habermas, The
Theory of Communicative Action, vol.
1, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 274–276.
[11]
¹¹ Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 5–7.
[12]
¹² Søren Kierkegaard, Either/Or, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton:
Princeton University Press, 1987), 60–62.
[13]
¹³ Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Harper & Row, 1956), 19–22.
10. Relevansi Kontemporer
Dalam masyarakat
kontemporer, pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?” tetap relevan namun
mengalami transformasi makna yang signifikan. Pertanyaan ini tidak lagi
semata-mata mewakili tekanan sosial atau norma tradisional, melainkan menjadi
refleksi atas perubahan nilai, identitas, dan struktur kehidupan manusia
modern. Dalam konteks globalisasi, individualisasi, dan perkembangan teknologi
digital, pernikahan tidak lagi dipahami hanya sebagai institusi sosial, tetapi
juga sebagai ekspresi pilihan moral dan eksistensial. Dengan demikian,
relevansi pertanyaan ini hari ini terletak pada kemampuannya menyingkap
pergeseran paradigma: dari kewajiban menuju kesadaran reflektif, dari tekanan
normatif menuju kebebasan menentukan makna hidup sendiri.
10.1.
Perubahan Paradigma Relasi dan Makna
Keluarga
Masyarakat modern
ditandai oleh perubahan besar dalam pola hubungan sosial. Anthony Giddens
menyebut era ini sebagai masa reflexive modernity, di mana
individu merekonstruksi identitas dan relasi sosialnya secara sadar melalui
refleksi diri¹. Dalam kerangka ini, pernikahan tidak lagi menjadi keniscayaan,
tetapi pilihan reflektif yang didasarkan pada otonomi dan nilai personal.
Giddens memperkenalkan istilah pure relationship—hubungan yang
bertahan bukan karena kewajiban sosial, melainkan karena komitmen emosional dan
kesetaraan di antara dua individu².
Perubahan paradigma
ini menandai pergeseran mendasar dari pernikahan sebagai struktur sosial menuju
pernikahan sebagai relasi dialogis. Dalam masyarakat
tradisional, pernikahan berfungsi sebagai sarana melestarikan tatanan; kini ia
menjadi ruang aktualisasi identitas dan etika keterbukaan. Akibatnya,
pertanyaan “kapan menikah” tidak lagi bersifat normatif, tetapi menjadi
persoalan etis dan reflektif: kapan seseorang siap membangun relasi yang
autentik dan bertanggung jawab?
10.2.
Individualisasi dan Otonomi
Keputusan Personal
Ulrich Beck dan
Elisabeth Beck-Gernsheim menggambarkan masyarakat kontemporer sebagai society
of individuals, di mana setiap orang bertanggung jawab atas biografinya
sendiri³. Dalam konteks ini, keputusan untuk menikah, menunda, atau tidak
menikah sama sekali menjadi bagian dari proses pembentukan identitas diri.
Pertanyaan “kapan menikah” tidak lagi memiliki satu jawaban universal,
melainkan bergantung pada refleksi eksistensial masing-masing individu.
Namun, proses
individualisasi ini membawa ambivalensi. Di satu sisi, ia memberikan kebebasan
dan ruang bagi otonomi moral; di sisi lain, ia menimbulkan isolasi dan
ketidakpastian eksistensial. Zygmunt Bauman dalam Liquid Love menyebut fenomena ini
sebagai “cairnya hubungan manusia,” di mana keterikatan emosional
menjadi rapuh karena tekanan fleksibilitas dan mobilitas modern⁴. Maka,
relevansi kontemporer pertanyaan “kapan menikah” bukan hanya tentang
waktu atau kesiapan, tetapi tentang kemampuan manusia mempertahankan keintiman
dan tanggung jawab dalam dunia yang serba cair.
10.3.
Transformasi Nilai Gender dan
Kesetaraan Relasi
Gerakan feminisme
dan kesadaran gender telah mengubah cara masyarakat memaknai pernikahan. Simone
de Beauvoir telah mengingatkan bahwa perempuan harus “menjadi subjek bagi
dirinya sendiri,” bukan objek dalam sistem sosial⁵. Dalam konteks
kontemporer, pernikahan tidak lagi dipahami sebagai penyerahan diri, tetapi
sebagai kemitraan setara antara dua individu yang saling menghormati otonomi
masing-masing.
Judith Butler
menambahkan bahwa institusi pernikahan tradisional sering kali mempertahankan
struktur heteronormatif dan eksklusif⁶. Namun, perkembangan sosial modern
menuntut redefinisi etika relasi yang lebih inklusif, mencakup berbagai bentuk
cinta dan komitmen yang tidak terikat pada bentuk konvensional. Oleh karena
itu, pertanyaan “kapan menikah” kini juga dapat dipahami sebagai
refleksi atas keragaman bentuk keluarga dan hubungan manusia, bukan hanya dalam
kerangka tradisional laki-laki dan perempuan.
10.4.
Pengaruh Teknologi dan Budaya
Digital terhadap Relasi
Relevansi
kontemporer pertanyaan ini juga terlihat dalam konteks teknologi digital. Dunia
media sosial menciptakan realitas baru di mana kehidupan pribadi menjadi
konsumsi publik. Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai hyperreality—keadaan
di mana representasi dan citra menggantikan kenyataan itu sendiri⁷. Dalam
konteks ini, pertanyaan “kapan menikah” sering kali muncul dalam bentuk
perbandingan citra: melihat teman sebaya yang telah menikah, merayakan pesta
pernikahan mewah, atau menampilkan kebahagiaan digital yang terkurasi.
Akan tetapi,
digitalisasi juga membuka ruang refleksi baru. Aplikasi kencan daring,
misalnya, mencerminkan perubahan dalam cara manusia mencari pasangan. Namun,
seperti dicatat Sherry Turkle dalam Alone Together, teknologi yang
memperluas koneksi justru bisa mengurangi kedalaman hubungan⁸. Dengan demikian,
tantangan modern bukan hanya menemukan pasangan, tetapi membangun keintiman
yang bermakna di tengah komunikasi yang serba instan dan dangkal.
10.5.
Gerakan “Single by Choice”
dan Reinterpretasi Makna Hidup
Fenomena single
by choice dan childfree movement menunjukkan
bahwa semakin banyak individu memilih untuk hidup tanpa menikah, bukan karena
penolakan terhadap nilai pernikahan, tetapi sebagai bentuk pencarian makna
alternatif dalam kehidupan. Hal ini menandakan pergeseran dari nilai-nilai
kolektivistik menuju orientasi eksistensial yang lebih plural dan reflektif.
Menurut Viktor Frankl, makna hidup dapat ditemukan dalam berbagai bentuk
aktualisasi diri—baik melalui cinta, karya, maupun penderitaan yang dimaknai
secara positif⁹. Dengan demikian, keputusan untuk tidak menikah dapat pula
menjadi jalan spiritual menuju makna, selama ia dijalani dengan kesadaran dan
tanggung jawab.
Di sisi lain,
fenomena ini memunculkan kritik terhadap standar sosial yang masih menganggap
pernikahan sebagai “puncak kedewasaan.” Dari sudut pandang etika
kontemporer, setiap individu memiliki hak moral untuk menentukan arah hidupnya
tanpa harus diukur oleh norma tradisional. Hal ini menuntut masyarakat untuk
membangun budaya empati dan penghormatan terhadap pilihan hidup yang beragam.
10.6.
Etika Relasional Baru di Era Global
Dalam dunia yang
semakin pluralistik dan multikultural, pertanyaan “kapan kamu akan menikah?”
dapat menjadi cermin cara masyarakat memahami nilai-nilai universal seperti
cinta, tanggung jawab, dan kebebasan. Martha Nussbaum menekankan pentingnya capability
approach—pandangan bahwa keadilan sosial harus memungkinkan setiap
individu mewujudkan potensinya tanpa tekanan dari norma eksternal¹⁰. Dalam
kerangka ini, menikah atau tidak menikah bukan lagi indikator moral, melainkan
ekspresi kebebasan manusia untuk menentukan bentuk kehidupan baiknya sendiri (eudaimonia).
Relevansi
kontemporer pertanyaan ini terletak pada potensi etisnya: bagaimana masyarakat
dapat mempertahankan makna sosial dari pernikahan tanpa menindas kebebasan
individu. Pertanyaan itu hanya akan bernilai jika diubah menjadi dialog
reflektif—bukan instrumen kontrol, tetapi kesempatan untuk saling memahami
jalan hidup yang berbeda.
Kesimpulan
Relevansi Kontemporer
Dalam dunia modern
yang ditandai oleh kebebasan, kompleksitas, dan keragaman nilai, pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” telah berubah dari perintah sosial menjadi refleksi
eksistensial. Ia tidak lagi meminta jawaban kronologis, melainkan jawaban
filosofis: kapan
manusia siap mencintai dengan kesadaran penuh, bukan sekadar menyesuaikan diri
dengan norma?
Relevansi kontemporer
pertanyaan ini, dengan demikian, terletak pada kemampuannya menjadi cermin
perubahan paradigma manusia: dari ketaatan menuju kebebasan, dari konformitas
menuju autentisitas, dari institusi menuju relasi yang bermakna. Dalam dunia
yang terus berubah, pernikahan akan tetap relevan bukan karena kewajibannya,
tetapi karena potensinya untuk menjadi ruang bagi cinta yang rasional, etis,
dan spiritual di tengah arus modernitas yang cair dan reflektif.
Footnotes
[1]
¹ Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity:
Self and Society in the Late Modern Age
(Stanford: Stanford University Press, 1991), 72–75.
[2]
² Anthony Giddens, The Transformation of
Intimacy: Sexuality, Love, and Eroticism in Modern Societies (Stanford: Stanford University Press, 1992), 58–60.
[3]
³ Ulrich Beck and Elisabeth Beck-Gernsheim, Individualization: Institutionalized Individualism and Its
Social and Political Consequences
(London: SAGE Publications, 2002), 22–24.
[4]
⁴ Zygmunt Bauman, Liquid Love: On the
Frailty of Human Bonds (Cambridge:
Polity Press, 2003), 7–9.
[5]
⁵ Simone de Beauvoir, The
Second Sex, trans. H. M. Parshley
(New York: Vintage Books, 1989), 451–453.
[6]
⁶ Judith Butler, Undoing Gender (New York: Routledge, 2004), 9–11.
[7]
⁷ Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–3.
[8]
⁸ Sherry Turkle, Alone Together: Why We
Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 153–155.
[9]
⁹ Viktor E. Frankl, Man’s
Search for Meaning, trans. Ilse
Lasch (Boston: Beacon Press, 2006), 110–112.
[10]
¹⁰ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–35.
11. Sintesis Filosofis: Menuju Rasionalitas Personal
dan Sosial
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” pada akhirnya memerlukan sintesis filosofis yang
menggabungkan antara rasionalitas personal dan rasionalitas sosial. Setelah
melalui analisis ontologis, epistemologis, aksiologis, psikologis, sosial, dan
religius, kita dapat memahami bahwa pertanyaan ini bukan sekadar ekspresi
norma, tetapi juga ruang refleksi tentang makna eksistensi manusia di tengah
kehidupan bersama. Sintesis ini berupaya untuk menyeimbangkan kebebasan
individu dengan tanggung jawab sosial, serta mengintegrasikan nilai-nilai
subjektif dengan tatanan objektif masyarakat. Dengan demikian, rasionalitas
yang diharapkan bukanlah rasionalitas instrumental yang menilai manusia dari
hasil dan statusnya, melainkan rasionalitas reflektif—yakni
kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara sadar, dialogis, dan etis.
11.1.
Rasionalitas Personal: Kebebasan,
Refleksi, dan Autentisitas
Rasionalitas
personal menekankan bahwa setiap individu memiliki kapasitas reflektif untuk
menentukan arah hidupnya berdasarkan kebebasan dan tanggung jawab. Jean-Paul
Sartre menegaskan bahwa kebebasan adalah hakikat manusia—ia “dikutuk untuk
bebas” karena setiap keputusan merupakan penciptaan makna dirinya sendiri¹.
Dalam konteks pertanyaan “kapan menikah,” rasionalitas personal menuntut
bahwa keputusan tersebut tidak diambil berdasarkan tekanan sosial, melainkan
melalui refleksi tentang nilai, kesiapan, dan tujuan hidup yang otentik.
Namun, kebebasan
eksistensial tanpa arah moral dapat berujung pada nihilisme. Karena itu,
kebebasan perlu diimbangi oleh reflektifitas etis, yaitu kemampuan
individu untuk menimbang keputusan dalam horizon tanggung jawab. Emmanuel
Levinas menyebut tanggung jawab terhadap yang lain sebagai inti dari eksistensi
etis manusia². Dalam kerangka ini, menikah bukan hanya keputusan personal,
tetapi juga tindakan moral yang mencerminkan kesadaran akan keberadaan orang
lain sebagai sesama manusia yang setara.
Dengan demikian,
rasionalitas personal tidak menolak norma sosial, tetapi menuntut bahwa setiap
keputusan lahir dari kesadaran reflektif, bukan dari konformitas. Kebebasan
yang sejati adalah kebebasan yang sadar akan konsekuensi, bukan kebebasan yang
mengikuti arus masyarakat.
11.2.
Rasionalitas Sosial: Etika Dialogis
dan Keterlibatan dalam Komunitas
Di sisi lain,
manusia tidak hidup dalam ruang hampa. Ia selalu berada dalam jaringan makna
sosial. Karenanya, rasionalitas personal perlu dikontekstualisasikan dalam rasionalitas
sosial—yakni kemampuan untuk memahami dan berpartisipasi dalam
sistem nilai bersama tanpa kehilangan otonomi diri.
Jürgen Habermas
mengajukan konsep communicative rationality, yaitu
bentuk rasionalitas yang lahir dari dialog dan saling pengertian antara
individu-individu³. Dalam masyarakat yang demokratis, komunikasi etis menjadi
sarana utama untuk menegosiasikan nilai-nilai bersama tanpa dominasi. Dalam
konteks ini, pertanyaan “kapan menikah” dapat diubah menjadi ruang percakapan
reflektif, bukan bentuk penilaian moral. Pertanyaan itu dapat menjadi jembatan
empatik antara generasi, kelas sosial, dan pandangan hidup yang berbeda.
Martin Buber,
melalui etika dialogisnya, menekankan pentingnya relasi I–Thou
(Aku–Engkau) yang didasarkan pada pengakuan, bukan penilaian⁴. Relasi ini
memungkinkan munculnya komunikasi yang autentik dan humanis, di mana seseorang tidak
dipandang sebagai objek norma, tetapi sebagai subjek yang memiliki kebebasan
dan nilai. Dengan demikian, masyarakat yang rasional bukanlah masyarakat yang
seragam, melainkan masyarakat yang mampu berdialog secara terbuka dan saling
menghargai dalam keberagaman makna hidup.
11.3.
Rekonsiliasi antara Rasionalitas
Personal dan Sosial
Rasionalitas
personal dan sosial tidak dapat dipisahkan—keduanya saling melengkapi dalam
membentuk rasionalitas
intersubjektif. Hannah Arendt menyebut manusia sebagai vita
activa: makhluk yang berpikir, bertindak, dan berinteraksi dalam
dunia bersama⁵. Dalam pengertian ini, tindakan personal selalu memiliki dimensi
publik; dan sebaliknya, tatanan sosial yang adil hanya mungkin jika didukung
oleh individu-individu yang berpikir reflektif dan bertanggung jawab.
Rekonsiliasi ini
memerlukan sikap prudential reason (akal budi
praktis), sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles dalam Nicomachean
Ethics. Rasionalitas praktis bukan hanya kemampuan logis, tetapi
juga kebijaksanaan (phronesis) untuk bertindak sesuai
konteks dan nilai kebaikan bersama⁶. Dalam konteks pertanyaan “kapan menikah,”
hal ini berarti bahwa seseorang perlu mempertimbangkan keseimbangan antara
aspirasi pribadi dan kontribusi sosial. Keputusan menikah atau menunda menikah
bukanlah tindakan egoistik, melainkan bagian dari tanggung jawab sosial untuk
menjaga keharmonisan komunitas tanpa menindas kebebasan diri.
11.4.
Menuju Rasionalitas Reflektif dan
Transformatif
Rasionalitas
reflektif tidak berhenti pada kesadaran diri, tetapi berkembang menjadi rasionalitas
transformatif—yakni kemampuan untuk mengubah struktur sosial yang
menindas menjadi ruang yang lebih manusiawi. Paulo Freire menyebut proses ini
sebagai conscientization,
yaitu pembangkitan kesadaran kritis yang memungkinkan manusia mengenali dan
melampaui struktur penindasan sosial⁷. Dalam hal ini, memahami makna pertanyaan
“kapan menikah” secara kritis dapat menjadi langkah awal untuk
membebaskan diri dari tekanan normatif yang tidak relevan, sambil tetap
menghargai nilai sosial yang membentuk kohesi masyarakat.
Dengan kata lain,
sintesis filosofis ini mengarah pada humanisasi: menjadikan setiap
percakapan, termasuk pertanyaan tentang pernikahan, sebagai sarana pengembangan
kemanusiaan. Rasionalitas tidak lagi menjadi alat untuk menilai atau
mengontrol, tetapi menjadi medium untuk memahami dan menyempurnakan diri
bersama orang lain.
Kesimpulan
Sintesis Filosofis
Rasionalitas
personal tanpa kesadaran sosial cenderung melahirkan individualisme egoistik,
sedangkan rasionalitas sosial tanpa kebebasan personal menjelma menjadi
konformisme moral. Filsafat mengajarkan bahwa keduanya harus dipertemukan dalam
keseimbangan yang dinamis: kebebasan yang bertanggung jawab, dan tanggung jawab
yang lahir dari kebebasan.
Dalam kerangka ini,
pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?” bukan lagi beban sosial, melainkan
kesempatan reflektif untuk menilai sejauh mana manusia telah memahami dirinya,
orang lain, dan makna eksistensi dalam dunia bersama. Rasionalitas personal
menuntun individu untuk bertindak secara autentik; rasionalitas sosial menuntun
masyarakat untuk menghormati pilihan itu. Dan dari keduanya lahirlah rasionalitas
kemanusiaan—sebuah bentuk berpikir dan bertindak yang menempatkan
cinta, kebebasan, dan kebijaksanaan sebagai inti dari kehidupan bersama.
Footnotes
[1]
¹ Jean-Paul Sartre, Being
and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 439–441.
[2]
² Emmanuel Levinas, Totality
and Infinity: An Essay on Exteriority,
trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 215–217.
[3]
³ Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 284–286.
[4]
⁴ Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Scribner, 1970),
67–69.
[5]
⁵ Hannah Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958),
175–178.
[6]
⁶ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1999), 1140a–1141b.
[7]
⁷ Paulo Freire, Pedagogy of the
Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos
(New York: Continuum, 2000), 35–38.
12. Kesimpulan
Pertanyaan “Kapan
kamu akan menikah?” merupakan fenomena sosial dan filosofis yang melampaui
bentuk bahasanya yang sederhana. Ia adalah cermin dari cara masyarakat memahami
keberadaan manusia, waktu, dan makna hidup. Dari analisis
multidimensional—ontologis, epistemologis, aksiologis, psikologis, sosial,
religius, hingga spiritual—terlihat bahwa pertanyaan ini berfungsi sebagai cultural
signifier yang memuat nilai, kekuasaan, dan ideologi tertentu.
Namun, di balik itu, pertanyaan ini juga membuka ruang refleksi yang luas
mengenai kebebasan, tanggung jawab, dan kesadaran manusia terhadap
eksistensinya sendiri.
12.1.
Menikah sebagai Fenomena Ontologis
dan Eksistensial
Secara ontologis,
pernikahan adalah peristiwa eksistensial yang menandai keterarahan manusia
terhadap yang lain (being-with-others). Heidegger
mengajarkan bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh relasinya dengan dunia dan
sesama¹. Maka, ketika seseorang ditanya “kapan menikah,” yang sebenarnya
dipertanyakan adalah sejauh mana ia telah menata keberadaannya dalam konteks
kebersamaan. Namun, esensi pernikahan tidak boleh direduksi menjadi kewajiban
sosial, karena keberadaan manusia adalah proses becoming—menjadi secara sadar dan
autentik.
Søren Kierkegaard
memandang pernikahan sebagai leap of faith, lompatan
eksistensial menuju komitmen dan makna yang lebih tinggi². Artinya, keputusan
menikah bukan hanya persoalan waktu kronologis, melainkan kesiapan eksistensial
untuk bertanggung jawab terhadap diri dan yang lain. Dengan demikian, ontologi
pertanyaan ini menuntun pada kesadaran bahwa waktu pernikahan bukan ditentukan
oleh norma, melainkan oleh kedewasaan spiritual dan eksistensial seseorang.
12.2.
Pengetahuan dan Tafsir Sosial: Dari
Prasangka ke Pemahaman
Secara
epistemologis, pertanyaan ini menunjukkan bagaimana pengetahuan sosial sering
dikonstruksi oleh prasangka dan kebiasaan. Foucault menegaskan bahwa
pengetahuan selalu terkait dengan kekuasaan—ia menciptakan norma yang
menentukan siapa yang “normal” dan siapa yang “menyimpang”³.
Dalam konteks ini, “kapan menikah” menjadi alat sosial untuk menilai
konformitas individu terhadap standar budaya.
Namun, epistemologi
kritis menuntut agar kita mengubah pengetahuan yang bersifat hegemonik menjadi
pemahaman yang dialogis. Gadamer melalui konsep fusion of horizons menegaskan bahwa
pemahaman sejati hanya muncul ketika kita mampu mempertemukan cakrawala makna
kita dengan makna orang lain⁴. Dengan demikian, pertanyaan ini seharusnya tidak
digunakan untuk menilai, melainkan untuk memahami pengalaman hidup yang
berbeda.
12.3.
Nilai, Etika, dan Spiritualitas
dalam Keputusan Manusia
Dari sudut aksiologi
dan etika eksistensial, pernikahan mengandung nilai luhur tentang cinta,
tanggung jawab, dan komitmen. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Immanuel Kant,
nilai moral tidak ditentukan oleh hasil atau status sosial, melainkan oleh niat
baik yang berlandaskan kebebasan rasional⁵. Dalam hal ini, menikah
atau menunda menikah sama-sama dapat bernilai moral, asalkan didasarkan pada
kesadaran dan tanggung jawab pribadi.
Secara spiritual,
pernikahan merupakan ruang untuk merealisasikan cinta ilahi dalam bentuk relasi
manusiawi. Al-Ghazali menyebut pernikahan sebagai sarana tazkiyatun
nafs (penyucian jiwa), sedangkan Ibn ‘Arabi memandang cinta
antar-manusia sebagai refleksi dari cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya⁶. Dengan
demikian, makna terdalam dari pertanyaan “kapan menikah” bukanlah
tentang waktu, melainkan kesiapan untuk menghadirkan nilai-nilai Ilahi dalam
hubungan manusiawi.
12.4.
Pergeseran Sosial dan Tantangan
Kontemporer
Di era modern, makna
pernikahan dan pertanyaan seputarnya mengalami transformasi. Giddens menyebut
fenomena ini sebagai munculnya pure relationship, yaitu hubungan
yang didasarkan pada kesetaraan, refleksi, dan keterbukaan, bukan pada tekanan
sosial⁷. Maka, relevansi kontemporer pertanyaan “kapan menikah”
bergeser: dari instrumen kontrol sosial menjadi refleksi eksistensial tentang
kesiapan untuk hidup dalam dialog dan komitmen.
Gerakan single
by choice dan childfree movement menunjukkan
bahwa manusia modern semakin menuntut kebebasan dalam menentukan makna hidupnya
sendiri. Namun, kebebasan tersebut tidak berarti penolakan terhadap nilai-nilai
sosial, melainkan upaya untuk menata ulang hubungan antara otonomi pribadi dan
tanggung jawab sosial. Seperti diingatkan oleh Martha Nussbaum, keadilan moral
menuntut pengakuan terhadap kemampuan individu untuk memilih kehidupan yang
bernilai bagi dirinya sendiri⁸.
12.5.
Sintesis: Rasionalitas Personal dan
Sosial
Filsafat mengajarkan
bahwa keseimbangan antara kebebasan personal dan keterikatan sosial merupakan
inti dari rasionalitas kemanusiaan. Habermas menyebutnya sebagai communicative
rationality—rasionalitas yang tidak hanya berpikir untuk diri
sendiri, tetapi juga berkomunikasi untuk mencapai saling pengertian⁹. Maka,
pertanyaan “kapan menikah” seharusnya ditafsirkan bukan sebagai bentuk
penilaian, melainkan sebagai ajakan untuk berdialog secara empatik antara
individu dan masyarakat.
Rasionalitas
personal memungkinkan individu untuk memilih dengan sadar; sedangkan
rasionalitas sosial menuntun masyarakat untuk menghormati pilihan itu. Sintesis
keduanya melahirkan etika relasional, di mana manusia
hidup bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga dengan dan bagi orang lain.
Penutup:
Dari Pertanyaan Sosial Menuju Kesadaran Filosofis
Akhirnya, refleksi
filosofis terhadap pertanyaan “Kapan kamu akan menikah?” membawa kita
pada kesadaran bahwa nilai sebuah pertanyaan tidak terletak pada jawabannya,
melainkan pada proses berpikir yang ditimbulkannya. Pertanyaan ini menantang
kita untuk menafsirkan ulang makna hidup, tanggung jawab, dan cinta dalam
konteks yang lebih luas.
Dalam dunia yang
semakin plural dan reflektif, pernikahan tidak lagi sekadar simbol kesempurnaan
hidup, tetapi menjadi cermin dari kesadaran moral, spiritual, dan rasional
manusia. Filsafat membantu kita untuk melihat bahwa waktu terbaik untuk menikah
bukanlah ketika masyarakat menuntutnya, melainkan ketika manusia telah siap
secara utuh—menyatu antara kebebasan, cinta, dan tanggung jawab dalam
keberadaan yang autentik.
Footnotes
[1]
¹ Martin Heidegger, Being
and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 154–156.
[2]
² Søren Kierkegaard, Either/Or, trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton:
Princeton University Press, 1987), 71–74.
[3]
³ Michel Foucault, Discipline and Punish:
The Birth of the Prison, trans. Alan
Sheridan (New York: Pantheon Books, 1977), 177–179.
[4]
⁴ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1989), 302–305.
[5]
⁵ Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 39–41.
[6]
⁶ Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din, Juz II (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 2005), 211–213; Ibn ‘Arabi, Fusus
al-Hikam, trans. R. W. J. Austin
(New York: Paulist Press, 1980), 89–91.
[7]
⁷ Anthony Giddens, The Transformation of
Intimacy: Sexuality, Love, and Eroticism in Modern Societies (Stanford: Stanford University Press, 1992), 58–61.
[8]
⁸ Martha C. Nussbaum, Creating
Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 34–36.
[9]
⁹ Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, vol. 1, trans.
Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 284–286.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, A. H. (2005). Ihya’ Ulum al-Din
(Vol. 2). Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Arendt, H. (1958). The human condition.
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Aristotle. (1932). Politics (H. Rackham,
Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Augustine. (1887). On the good of marriage
(C. L. Cornish, Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Bandura, A. (1986). Social foundations of
thought and action: A social cognitive theory. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.
Bauman, Z. (2003). Liquid love: On the frailty
of human bonds. Cambridge, UK: Polity Press.
Beauvoir, S. de. (1989). The second sex (H.
M. Parshley, Trans.). New York, NY: Vintage Books.
Beck, U., & Beck-Gernsheim, E. (2002). Individualization:
Institutionalized individualism and its social and political consequences.
London, UK: SAGE Publications.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The
social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge.
Garden City, NY: Anchor Books.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of
practice (R. Nice, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann,
Trans.). New York, NY: Scribner.
Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and
the subversion of identity. New York, NY: Routledge.
Butler, J. (2004). Undoing gender. New York,
NY: Routledge.
Durkheim, É. (1984). The division of labor in
society (W. D. Halls, Trans.). New York, NY: Free Press.
Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and
crisis. New York, NY: W. W. Norton.
Festinger, L. (1954). A theory of social
comparison processes. Stanford, CA: Stanford University Press.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The
birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York, NY: Pantheon Books.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York, NY:
Pantheon Books.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning
(I. Lasch, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). New York, NY: Continuum.
Fromm, E. (1956). The art of loving. New
York, NY: Harper & Row.
Gadamer, H.-G. (1989). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York, NY: Continuum.
Geertz, C. (1960). The religion of Java.
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Giddens, A. (1991). Modernity and self-identity:
Self and society in the late modern age. Stanford, CA: Stanford University
Press.
Giddens, A. (1992). The transformation of
intimacy: Sexuality, love, and eroticism in modern societies. Stanford, CA:
Stanford University Press.
Goody, J. (1983). The development of the family
and marriage in Europe. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why
it can matter more than IQ. New York, NY: Bantam Books.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action (Vol. 1, T. McCarthy, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.
Harding, S. (1991). Whose science? Whose
knowledge? Thinking from women’s lives. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Hare, R. M. (1952). The language of morals.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Husserl, E. (1970). The crisis of European
sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Evanston, IL:
Northwestern University Press.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
The Hague, Netherlands: Martinus Nijhoff.
Ibn ‘Arabi. (1980). Fusus al-Hikam (R. W. J.
Austin, Trans.). New York, NY: Paulist Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1987). Either/Or (H. V.
Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Pittsburgh, PA: Duquesne
University Press.
Levinas, E. (1985). Ethics and infinity:
Conversations with Philippe Nemo (R. A. Cohen, Trans.). Pittsburgh, PA:
Duquesne University Press.
Lévi-Strauss, C. (1969). The elementary
structures of kinship (J. H. Bell, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Manusmriti. (1886). The laws of Manu (G.
Bühler, Trans.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture
and the self: Implications for cognition, emotion, and motivation. Psychological
Review, 98(2), 224–226.
Marcel, G. (1960). The mystery of being
(Vol. 1, G. S. Fraser, Trans.). Chicago, IL: Henry Regnery Company.
Marx, K. (1959). Economic and philosophic
manuscripts of 1844 (M. Milligan, Trans.). Moscow, Russia: Progress
Publishers.
Maslow, A. H. (1970). Motivation and personality.
New York, NY: Harper & Row.
Nasr, S. H. (1997). Man and nature: The
spiritual crisis of modern man. Chicago, IL: ABC International.
Nikhilananda, S. (1963). The Upanishads: A new
translation. New York, NY: Harper & Row.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Parsons, T., & Bales, R. F. (1955). Family,
socialization, and interaction process. Glencoe, IL: Free Press.
Plato. (1992). The republic (G. M. A. Grube,
Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Rahula, W. (1974). What the Buddha taught.
New York, NY: Grove Press.
Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory:
Discourse and the surplus of meaning. Fort Worth, TX: Texas Christian
University Press.
Sartre, J.-P. (1948). Existentialism is a
humanism (P. Mairet, Trans.). London, UK: Methuen.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). New York, NY: Philosophical Library.
Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and
non-formal ethics of values (M. S. Frings & R. L. Funk, Trans.).
Evanston, IL: Northwestern University Press.
Seligman, M. E. P. (2002). Authentic happiness:
Using the new positive psychology to realize your potential for lasting
fulfillment. New York, NY: Free Press.
Sullivan, H. S. (1953). The interpersonal theory
of psychiatry. New York, NY: W. W. Norton.
Taylor, C. (1989). The sources of the self: The
making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, S. E. (2015). Health psychology (9th
ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Teresa of Avila. (1961). The interior castle
(E. A. Peers, Trans.). New York, NY: Image Books.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. New York, NY: Basic Books.
Weber, M. (1992). The Protestant ethic and the
spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). London, UK: Routledge.
Whitbourne, S. K. (2018). Social pressure and the
single woman. Psychology Today, 56(3), 22–25.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar