Jumat, 07 November 2025

Filsafat Kuantum: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Realitas Mikro dalam Perspektif Filsafat Kontemporer

Filsafat Kuantum

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Realitas Mikro dalam Perspektif Filsafat Kontemporer


Alihkan ke: Pemikiran Alfred North Whitehead.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif fondasi metafisik, epistemologis, dan aksiologis dari filsafat kuantum sebagai paradigma baru dalam memahami realitas mikro dan implikasinya terhadap rasionalitas manusia. Kajian ini berangkat dari pergeseran historis dari mekanika klasik menuju mekanika kuantum yang mengguncang pandangan dunia deterministik modern. Secara ontologis, filsafat kuantum menegaskan bahwa realitas bersifat relasional, non-deterministik, dan dinamis; keberadaan tidak dapat dipisahkan dari konteks interaksi dan pengamatan. Secara epistemologis, ia menggeser posisi pengamat dari entitas pasif menjadi partisipan aktif dalam konstruksi pengetahuan, sehingga menimbulkan bentuk rasionalitas baru yang partisipatif dan reflektif. Secara aksiologis, paradigma kuantum mengajarkan etika keterhubungan dan tanggung jawab kosmologis, dengan menekankan bahwa setiap tindakan pengetahuan memiliki resonansi moral dalam jaringan kehidupan yang lebih luas.

Lebih jauh, artikel ini menyoroti dimensi sosial dan intelektual dari filsafat kuantum, terutama pengaruhnya terhadap filsafat kesadaran, ekologi, dan pendidikan sains kontemporer. Kritik terhadap mistisisme kuantum dan reduksionisme ilmiah juga dikemukakan untuk menjaga keotentikan refleksi filosofis dalam konteks ilmiah. Pada akhirnya, artikel ini menawarkan sintesis menuju ontologi relasional dan rasionalitas baru—suatu paradigma pengetahuan yang mengintegrasikan sains, filsafat, dan spiritualitas dalam kesadaran kosmologis yang lebih utuh. Filsafat kuantum dengan demikian tidak hanya menantang batas pengetahuan manusia, tetapi juga membuka ruang bagi etika dan kebijaksanaan yang berakar pada kesalingterhubungan seluruh eksistensi.

Kata Kunci: filsafat kuantum, ontologi relasional, epistemologi partisipatif, etika kosmologis, rasionalitas baru, mekanika kuantum, David Bohm, Niels Bohr, Werner Heisenberg, Alfred North Whitehead.


PEMBAHASAN

Status Ontologis dan Epistemik Realitas Kuantum


1.           Pendahuluan

Filsafat kuantum lahir dari pergulatan panjang antara kepastian mekanika klasik dan ketidakpastian realitas mikro. Ketika fisika Newtonian menempatkan dunia dalam kerangka deterministik—di mana setiap gerak partikel dapat diramalkan dengan hukum sebab-akibat yang pasti—munculnya mekanika kuantum pada awal abad ke-20 mengguncang fondasi metafisika sains modern. Realitas ternyata tidak seteratur yang diasumsikan; partikel dapat bersifat ganda, sebagai gelombang sekaligus benda, tergantung pada bagaimana ia diamati. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan revolusi ilmiah, tetapi juga menggugah pertanyaan filosofis yang mendalam tentang hakikat eksistensi, pengetahuan, dan makna keterlibatan manusia di dalam alam semesta.¹

Krisis epistemik yang dibawa oleh teori kuantum memaksa filsafat untuk meninjau kembali konsep dasar tentang realitas (realism), objektivitas, dan hubungan antara subjek dan objek pengetahuan. Dalam interpretasi Kopenhagen yang dikemukakan oleh Niels Bohr dan Werner Heisenberg, pengamat tidak lagi berdiri di luar sistem, tetapi menjadi bagian integral dari fenomena yang diukur.² Dengan demikian, realitas tidak eksis secara mandiri tanpa partisipasi kesadaran; ia bersifat relasional dan probabilistik, bukan absolut dan deterministik.³ Pergeseran ini menandai lahirnya paradigma baru dalam ontologi dan epistemologi, yang menolak klaim final tentang kebenaran ilmiah dan membuka ruang bagi dialog antara sains, filsafat, dan bahkan spiritualitas.

Selain memunculkan konsekuensi ontologis dan epistemologis, revolusi kuantum juga memiliki dimensi aksiologis yang signifikan. Kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami realitas mendorong lahirnya etika pengetahuan yang lebih rendah hati dan inklusif.⁴ Dalam konteks ini, filsafat kuantum bukan sekadar refleksi atas fisika subatomik, tetapi juga upaya membangun kerangka berpikir baru yang menempatkan manusia sebagai bagian dari jaringan kosmos yang saling terkait. Dengan demikian, filsafat kuantum menjadi medan refleksi kritis terhadap rasionalitas modern dan sekaligus peluang untuk menata ulang hubungan antara sains dan nilai-nilai kemanusiaan.⁵

Artikel ini berupaya menguraikan fondasi metafisik, epistemik, dan aksiologis dari filsafat kuantum melalui pendekatan interdisipliner. Kajian ini tidak hanya menyoroti aspek teknis dari teori kuantum, tetapi juga menggali implikasinya bagi filsafat pengetahuan, etika, dan pandangan dunia kontemporer. Dengan kerangka sistematis, pembahasan akan menelusuri akar historis teori kuantum, memeriksa konsekuensi ontologisnya, mengkaji dimensi epistemik yang melibatkan kesadaran dan pengamatan, serta mengevaluasi nilai-nilai moral yang dapat lahir dari pandangan dunia kuantum. Tujuannya ialah menghadirkan suatu pemahaman menyeluruh tentang bagaimana filsafat kuantum membuka kemungkinan baru bagi rasionalitas yang lebih relasional, terbuka, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 12–15.

[2]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1958), 24–26.

[3]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 38–42.

[4]                Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels Between Modern Physics and Eastern Mysticism (Boston: Shambhala, 1975), 67–69.

[5]                Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution (London: Penguin, 2021), 102–108.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Perkembangan filsafat kuantum tidak dapat dilepaskan dari konteks historis munculnya mekanika kuantum sebagai revolusi ilmiah yang mengguncang paradigma klasik. Pada abad ke-17 hingga ke-19, fisika Newtonian memantapkan pandangan dunia mekanistik yang berakar pada asumsi determinisme dan realisme objektif. Alam dipandang sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum-hukum universal dan dapat dijelaskan secara matematis tanpa ambiguitas.¹ Dalam kerangka ini, konsep causa efficiens menjadi pusat dari penjelasan ilmiah: setiap peristiwa memiliki sebab yang pasti dan dapat diramalkan.² Namun, pada awal abad ke-20, paradigma ini mulai retak ketika muncul fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh fisika klasik, terutama pada skala atomik dan subatomik.

Tonggak pertama revolusi kuantum ditandai oleh Max Planck pada tahun 1900 melalui hipotesis kuanta energi.³ Dengan menyatakan bahwa energi tidak dipancarkan secara kontinu tetapi dalam satuan diskret (quantum), Planck membuka jalan bagi pemahaman baru tentang struktur realitas. Penemuan ini kemudian dikembangkan oleh Albert Einstein dalam penjelasannya tentang efek fotolistrik (1905), yang memperlihatkan bahwa cahaya dapat berperilaku sebagai partikel (photon) dan bukan semata gelombang.⁴ Fenomena ini menantang dualisme klasik antara materi dan energi serta membuka ruang bagi penafsiran ontologis baru tentang keberadaan.

Perkembangan lebih lanjut terjadi pada dekade 1920-an, ketika Niels Bohr memperkenalkan model atom Bohr dan konsep quantum jumps, sementara Werner Heisenberg merumuskan prinsip ketidakpastian (uncertainty principle) yang menegaskan bahwa posisi dan momentum partikel tidak dapat diketahui secara bersamaan dengan presisi tak terbatas.⁵ Prinsip ini mengguncang fondasi epistemologi ilmiah, karena mengimplikasikan bahwa pengamatan ilmiah bukanlah refleksi pasif terhadap realitas objektif, melainkan interaksi aktif antara pengamat dan objek. Dalam kerangka interpretasi Kopenhagen yang dikembangkan oleh Bohr dan Heisenberg, kenyataan fisik tidak memiliki makna definitif sebelum dilakukan pengukuran; ia bersifat potensial dan hanya menjadi aktual melalui tindakan pengamatan.⁶

Namun, tidak semua ilmuwan sepakat dengan konsekuensi filosofis dari interpretasi ini. Albert Einstein menolak indeterminisme kuantum dan menegaskan bahwa “Tuhan tidak bermain dadu dengan alam semesta.”⁷ Ia, bersama Boris Podolsky dan Nathan Rosen, mengajukan EPR Paradox (1935) untuk menunjukkan bahwa teori kuantum belum lengkap, sebab ia mengabaikan variabel tersembunyi yang mungkin menentukan keadaan sistem secara objektif.⁸ Meskipun demikian, pandangan Einstein dikritik oleh para pendukung interpretasi Kopenhagen, dan debat tersebut menjadi simbol ketegangan antara determinisme klasik dan probabilisme kuantum dalam sejarah filsafat sains.

Pada pertengahan abad ke-20, perdebatan ini diperluas melalui karya-karya filsuf dan fisikawan yang berusaha memahami implikasi konseptual teori kuantum. Karl Popper, misalnya, menolak pandangan bahwa teori kuantum bersifat final, dan menekankan perlunya falsifikasionisme dalam menilai teori ilmiah.⁹ Sementara itu, David Bohm mengembangkan interpretasi alternatif yang dikenal sebagai pilot-wave theory atau implicate order, yang menolak indeterminisme dan menekankan keteraturan tersembunyi di balik fenomena kuantum yang tampak acak.¹⁰ Bohm melihat realitas bukan sebagai kumpulan partikel terpisah, melainkan sebagai keseluruhan yang saling terkait (holistic order).¹¹

Secara genealogis, filsafat kuantum juga berakar pada tradisi metafisika klasik yang mempertanyakan hakikat keberadaan dan perubahan. Konsep-konsep seperti potentiality Aristoteles, substance Leibniz, dan process Whitehead menemukan relevansi baru dalam konteks mekanika kuantum.¹² Whitehead, melalui Process and Reality (1929), mengajukan bahwa realitas pada dasarnya bersifat dinamis dan relasional, suatu pandangan yang paralel dengan prinsip dasar kuantum tentang interdependensi fenomena.¹³ Dengan demikian, filsafat kuantum bukan sekadar hasil dari kemajuan sains modern, melainkan kelanjutan dari dialog panjang antara fisika, metafisika, dan ontologi.

Transformasi paradigma yang dimulai dari Planck hingga Whitehead menandai kelahiran rasionalitas baru yang lebih terbuka terhadap kemungkinan, ketidakpastian, dan relasionalitas. Genealogi filsafat kuantum memperlihatkan bahwa evolusi ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat kumulatif, tetapi juga revolusioner—mengubah cara manusia memahami dirinya dan alam semesta secara fundamental.¹⁴


Footnotes

[1]                Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (London: Royal Society, 1687), 34–36.

[2]                René Descartes, Principia Philosophiae (Amsterdam: Elzevir, 1644), 55–59.

[3]                Max Planck, “Über das Gesetz der Energieverteilung im Normalspektrum,” Annalen der Physik 4 (1901): 553–563.

[4]                Albert Einstein, “Über einen die Erzeugung und Verwandlung des Lichtes betreffenden heuristischen Gesichtspunkt,” Annalen der Physik 17 (1905): 132–148.

[5]                Werner Heisenberg, Über den anschaulichen Inhalt der quantentheoretischen Kinematik und Mechanik (Berlin: Springer, 1927), 174–179.

[6]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1958), 39–44.

[7]                Albert Einstein, quoted in Max Born, The Born–Einstein Letters: Correspondence Between Albert Einstein and Max Born, 1916–1955 (New York: Walker, 1971), 90.

[8]                A. Einstein, B. Podolsky, and N. Rosen, “Can Quantum-Mechanical Description of Physical Reality Be Considered Complete?” Physical Review 47 (1935): 777–780.

[9]                Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics (London: Routledge, 1982), 25–30.

[10]             David Bohm, A Suggested Interpretation of the Quantum Theory in Terms of “Hidden Variables” (London: Routledge, 1952), 169–172.

[11]             David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 10–15.

[12]             Gottfried W. Leibniz, Monadology (Paris: Des Bosses, 1714), §14–§19.

[13]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Macmillan, 1929), 43–48.

[14]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 89–94.


3.           Ontologi Kuantum: Hakikat Realitas Mikro

Salah satu persoalan paling mendasar dalam filsafat kuantum adalah pertanyaan mengenai apa yang sesungguhnya ada di tingkat realitas mikro. Ontologi klasik—sejak Aristoteles hingga Descartes—memahami realitas sebagai kumpulan substansi yang memiliki eksistensi tetap, determinatif, dan independen dari subjek yang mengamatinya.¹ Namun, penemuan-penemuan dalam fisika kuantum menantang pandangan ini secara radikal. Pada tataran subatomik, realitas tidak lagi dapat dipahami sebagai entitas solid yang memiliki posisi dan momentum pasti, melainkan sebagai struktur relasional yang bersifat probabilistik dan partisipatif.²

Heisenberg, melalui prinsip ketidakpastian (Unschärferelation), menunjukkan bahwa dalam mekanika kuantum tidak mungkin menentukan secara bersamaan posisi dan momentum sebuah partikel dengan akurasi absolut.³ Prinsip ini bukan hanya keterbatasan teknis pengukuran, tetapi menyingkap hakikat realitas yang memang bersifat non-deterministik. Dalam pandangan ini, eksistensi tidak hadir sebagai sesuatu yang “telah ada” sebelum diamati, melainkan “menjadi” dalam proses interaksi antara sistem dan pengamat.⁴ Dengan kata lain, realitas kuantum bersifat event-based—ia muncul sebagai peristiwa, bukan sebagai benda tetap.⁵

Ontologi kuantum juga menggugat dikotomi tradisional antara “subjek” dan “objek.” Dalam kerangka interpretasi Kopenhagen yang dirumuskan oleh Bohr, entitas fisik tidak memiliki sifat-sifat yang terdefinisi sebelum dilakukan pengukuran; sifat itu hanya muncul melalui hubungan dengan alat ukur atau kesadaran pengamat.⁶ Maka, konsep keberadaan (being) dalam ranah kuantum tidak dapat dilepaskan dari relasionalitasnya. Realitas bukan substansi statis, tetapi jaringan kemungkinan (network of potentials).⁷

David Bohm mengembangkan gagasan ini lebih jauh melalui teori implicate order, yang menegaskan bahwa seluruh partikel dalam alam semesta saling terkait dalam tatanan tersembunyi yang lebih mendalam.⁸ Menurut Bohm, apa yang tampak sebagai peristiwa terpisah hanyalah manifestasi dari struktur kesatuan yang lebih fundamental—sebuah holistic field of being.⁹ Dalam perspektif ini, realitas mikro bukanlah kumpulan entitas atomistik, melainkan ekspresi dari keseluruhan dinamis yang terus-menerus memunculkan bentuk-bentuk partikular melalui proses aktualisasi.¹⁰

Dari sisi metafisik, pendekatan ontologi kuantum memiliki kedekatan dengan filsafat proses Alfred North Whitehead. Whitehead menolak gagasan substansi yang tidak berubah dan menggantikannya dengan konsep “peristiwa aktual” (actual occasions), di mana setiap elemen realitas merupakan proses pengalaman yang saling terkait.¹¹ Pandangan ini resonan dengan mekanika kuantum yang memandang realitas sebagai hasil dari interaksi dan relasi, bukan keberadaan absolut yang berdiri sendiri.¹² Ontologi semacam ini dapat disebut sebagai ontologi relasional, yakni pandangan bahwa eksistensi bersumber dari hubungan dan keterkaitan, bukan dari esensi yang tertutup.

Fenomena dualitas partikel-gelombang menjadi ilustrasi paling jelas dari problem ontologis ini. Cahaya dan materi dapat berperilaku sebagai gelombang atau partikel tergantung pada kondisi eksperimental.¹³ Fenomena ini memperlihatkan bahwa “hakikat” entitas kuantum bersifat kontekstual dan tidak memiliki identitas yang tetap. Karenanya, ontologi kuantum menuntut pergeseran dari paradigma substansialistik menuju paradigma dinamis dan relasional.

Implikasi dari pandangan ini meluas hingga ranah metafisika dan teologi. Jika realitas bersifat probabilistik dan partisipatif, maka keberadaan tidak lagi bisa dipahami sebagai sesuatu yang “terberi,” melainkan sebagai proses keterlibatan antara kesadaran, alam, dan kemungkinan.¹⁴ Dalam kerangka ini, hakikat realitas mikro mengajarkan bahwa “menjadi” lebih mendasar daripada “ada.” Ontologi kuantum, dengan demikian, membuka jalan bagi reinterpretasi terhadap metafisika Barat yang selama ini didominasi oleh esensialisme dan dualisme. Ia mengarah pada pandangan dunia yang menekankan interkoneksi, ketidakpastian, dan kreativitas sebagai ciri fundamental eksistensi.¹⁵


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1025b25–30.

[2]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 41–44.

[3]                Werner Heisenberg, Über den anschaulichen Inhalt der quantentheoretischen Kinematik und Mechanik (Berlin: Springer, 1927), 178–180.

[4]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1958), 52–55.

[5]                Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 23–25.

[6]                Niels Bohr, Essays 1958–1962 on Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1963), 73–76.

[7]                Carlo Rovelli, Relational Quantum Mechanics, International Journal of Theoretical Physics 35, no. 8 (1996): 1637–1678.

[8]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 105–111.

[9]                Ibid., 114–117.

[10]             Basil J. Hiley, “Active Information and Teleological Causality,” in Quantum Implications: Essays in Honour of David Bohm, ed. Basil J. Hiley and F. David Peat (London: Routledge, 1987), 45–57.

[11]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Macmillan, 1929), 22–28.

[12]             Ibid., 37–42.

[13]             Richard P. Feynman, QED: The Strange Theory of Light and Matter (Princeton: Princeton University Press, 1985), 15–19.

[14]             John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton: Princeton University Press, 1983), 182–189.

[15]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 95–98.


4.           Epistemologi Kuantum: Pengetahuan dan Pengamat

Masalah epistemologis dalam filsafat kuantum berpusat pada hubungan antara pengamat dan realitas yang diamati. Dalam paradigma sains klasik, pengetahuan dianggap bersifat objektif dan bebas dari keterlibatan subjek: pengamat diposisikan sebagai entitas eksternal yang dapat mengukur dunia tanpa mengubahnya.¹ Namun, teori kuantum menggugat asumsi tersebut secara mendasar. Pada tingkat subatomik, tindakan pengamatan itu sendiri justru memengaruhi keadaan sistem yang diamati.² Fenomena ini, yang dikenal sebagai observer effect, menandakan bahwa pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari proses partisipasi pengamat di dalam kenyataan.³

Niels Bohr menegaskan bahwa setiap pengukuran kuantum melibatkan interaksi antara sistem dan alat ukur, sehingga hasil pengamatan tidak merepresentasikan realitas yang “ada di luar sana,” melainkan hasil dari relasi tertentu antara subjek dan objek.⁴ Dalam interpretasi Kopenhagen, realitas kuantum bersifat koheren tetapi tidak definitif: keadaan sistem hanya dapat dijelaskan dalam bentuk probabilitas sebelum diukur.⁵ Maka, epistemologi kuantum tidak berurusan dengan “pengetahuan tentang hal-hal yang ada,” melainkan dengan “pengetahuan tentang hubungan-hubungan yang mungkin.”⁶

Werner Heisenberg, dalam Physics and Philosophy, mengajukan bahwa teori kuantum menandai pergeseran dari ontologi ke epistemologi: yang menjadi pusat bukan lagi pertanyaan “apa yang ada,” melainkan “apa yang dapat diketahui.”⁷ Dalam kerangka ini, konsep realitas berubah dari yang statis menjadi dinamis; pengamatan bukanlah aktivitas pasif, melainkan peristiwa yang menciptakan kondisi realitas itu sendiri.⁸ Heisenberg menulis bahwa “apa yang kita amati bukan alam itu sendiri, tetapi alam sebagaimana ia tampil melalui metode pengamatan kita.”⁹

Epistemologi kuantum dengan demikian bersifat partisipatoris. John Archibald Wheeler merumuskan gagasan “participatory universe,” yang menegaskan bahwa keberadaan alam semesta bergantung pada proses kesadaran yang mengamati.¹⁰ Dalam kerangka ini, pengamat bukan hanya penerima informasi, tetapi juga pencipta makna—setiap tindakan pengamatan merupakan bentuk partisipasi dalam munculnya realitas.¹¹ Perspektif ini mengaburkan batas antara ilmu pengetahuan dan fenomenologi, antara objektivitas dan subyektivitas, sehingga menuntut bentuk rasionalitas baru yang bersifat reflektif dan relasional.

Keterlibatan pengamat juga menimbulkan krisis terhadap gagasan representasionalisme ilmiah. Teori kuantum menunjukkan bahwa simbol dan persamaan matematis tidak lagi merepresentasikan realitas secara langsung, tetapi berfungsi sebagai alat prediksi terhadap kemungkinan hasil pengamatan.¹² Karenanya, epistemologi kuantum menolak klaim korespondensi sederhana antara teori dan realitas, dan menggantikannya dengan prinsip koherensi pragmatis: kebenaran ilmiah terletak pada konsistensi internal dan daya guna teori, bukan pada kemampuannya menyingkap hakikat ontologis.¹³

Fenomena paradoksal seperti superposition dan entanglement memperkuat kesimpulan epistemik ini. Dalam superposition, sistem kuantum dapat berada dalam dua atau lebih keadaan sekaligus hingga dilakukan pengukuran.¹⁴ Sedangkan entanglement menunjukkan bahwa dua partikel yang pernah berinteraksi akan tetap terhubung secara non-lokal, sehingga tindakan terhadap satu partikel akan memengaruhi partikel lain meskipun terpisah jarak yang jauh.¹⁵ Kedua fenomena ini memperlihatkan bahwa pengetahuan kuantum tidak dapat direduksi pada pengamatan terhadap bagian-bagian terpisah, tetapi harus dipahami sebagai pemahaman terhadap keterhubungan menyeluruh.

Implikasi epistemologis dari hal ini sangat luas. Filsafat kuantum menegaskan bahwa pengetahuan manusia bersifat terbatas, kontekstual, dan emergen.¹⁶ Realitas tidak sepenuhnya dapat direduksi menjadi hukum universal, karena hukum itu sendiri merupakan abstraksi dari relasi yang terus berubah. Dengan demikian, epistemologi kuantum menuntut bentuk rasionalitas terbuka—sebuah cara mengetahui yang mengakui keterbatasan, keterkaitan, dan peran kesadaran dalam konstruksi makna ilmiah.¹⁷

Pada tataran yang lebih reflektif, epistemologi kuantum menandai pertemuan antara ilmu dan kesadaran. Jika pengetahuan selalu melibatkan partisipasi pengamat, maka batas antara kognisi dan ontologi menjadi kabur: mengetahui berarti sekaligus menciptakan.¹⁸ Dengan demikian, epistemologi kuantum membuka ruang bagi filsafat kesadaran dan hermeneutika sains, di mana pencarian kebenaran bukanlah usaha menguasai alam, tetapi memahami keterlibatan manusia di dalam jaringan realitas yang hidup dan dinamis.¹⁹


Footnotes

[1]                Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (London: Royal Society, 1687), 3–5.

[2]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 54–57.

[3]                Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 41–43.

[4]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1958), 55–60.

[5]                Ibid., 64–66.

[6]                Carlo Rovelli, Relational Quantum Mechanics, International Journal of Theoretical Physics 35, no. 8 (1996): 1638–1640.

[7]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy, 63–65.

[8]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 85–89.

[9]                Heisenberg, Physics and Philosophy, 75.

[10]             John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton: Princeton University Press, 1983), 184–188.

[11]             Ibid., 190–192.

[12]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 102–104.

[13]             Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics (London: Routledge, 1982), 39–41.

[14]             Richard P. Feynman, QED: The Strange Theory of Light and Matter (Princeton: Princeton University Press, 1985), 27–30.

[15]             Alain Aspect, Bell’s Theorem: The Naïve View of an Experimentalist, Physics Today 44, no. 7 (1991): 54–60.

[16]             Basil J. Hiley, “Information, Quantum Theory, and the Structure of Matter,” in Quantum Implications: Essays in Honour of David Bohm, ed. Basil J. Hiley and F. David Peat (London: Routledge, 1987), 73–78.

[17]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 110–112.

[18]             Henry P. Stapp, Quantum Theory and Free Will: How Mental Intentions Translate into Bodily Actions (Berlin: Springer, 2017), 21–24.

[19]             David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity (New York: Bantam, 1987), 97–101.


5.           Aksiologi dan Etika Kuantum

Dimensi aksiologis filsafat kuantum berakar pada kesadaran bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah netral secara nilai. Dalam paradigma klasik, sains diasumsikan bebas nilai (value-free science), karena kebenaran diidentikkan dengan korespondensi antara teori dan fakta objektif.¹ Namun, dalam kerangka kuantum, hubungan antara pengamat dan realitas menegaskan keterlibatan etis dan eksistensial manusia dalam proses mengetahui.² Artinya, tindakan ilmiah bukan semata aktivitas kognitif, melainkan juga tindakan moral yang memuat tanggung jawab terhadap makna, kehidupan, dan keberlanjutan kosmos.

Prinsip ketidakpastian (uncertainty principle) memiliki implikasi etis yang mendalam. Ia menunjukkan keterbatasan manusia dalam menguasai dan memprediksi alam secara mutlak.³ Kesadaran atas keterbatasan ini menumbuhkan etika kerendahan hati epistemik (epistemic humility), yakni sikap yang mengakui bahwa kebenaran ilmiah bersifat tentatif dan terbuka terhadap koreksi.⁴ Dalam konteks ini, sains kuantum mengajarkan etos non-dogmatis dan anti-reduksionis: bahwa pengetahuan sejati bukanlah dominasi atas realitas, tetapi dialog dengan kompleksitasnya.⁵

David Bohm, melalui konsep wholeness and implicate order, menegaskan bahwa realitas bersifat holistik dan saling terhubung.⁶ Pandangan ini mendorong munculnya etika interkoneksi, yaitu kesadaran bahwa setiap tindakan manusia beresonansi dalam jaringan kosmik yang lebih luas.⁷ Etika ini menolak pandangan atomistik dan instrumental yang mendominasi modernitas, menggantikannya dengan kesadaran ekologis dan tanggung jawab ontologis terhadap seluruh eksistensi.⁸ Dalam kerangka ini, tindakan etis tidak dapat dipisahkan dari pemahaman ilmiah—karena mengetahui berarti turut serta dalam keberlangsungan realitas itu sendiri.

Fritjof Capra mengembangkan gagasan serupa melalui konsep ekologi kuantum, yang menegaskan bahwa prinsip-prinsip fisika kuantum—seperti keterhubungan, ketidakpastian, dan keseimbangan dinamis—dapat menjadi dasar bagi etika ekologis global.⁹ Dalam The Tao of Physics, Capra membandingkan pandangan kuantum dengan kosmologi Timur, menunjukkan bahwa harmoni antara manusia dan alam bukanlah ideal moral eksternal, melainkan struktur dasar realitas itu sendiri.¹⁰ Kesadaran kuantum dengan demikian mengandung nilai intrinsik: penghormatan terhadap kompleksitas, ketidakterpisahan, dan keutuhan.

Selain itu, epistemologi partisipatoris kuantum juga melahirkan etika tanggung jawab pengetahuan. John A. Wheeler mengingatkan bahwa dalam alam semesta partisipatoris, pengamat berperan aktif dalam membentuk realitas yang diamatinya.¹¹ Maka, setiap bentuk penyelidikan ilmiah mengandung dimensi tanggung jawab moral terhadap konsekuensi pengetahuannya.¹² Etika kuantum menolak pandangan positivistik yang menempatkan sains di luar ranah moral, dan menggantikannya dengan prinsip responsibility in knowing—bahwa mengetahui berarti turut mencipta, dan karena itu menuntut kesadaran etis.¹³

Implikasi aksiologis ini juga meluas ke ranah spiritual dan sosial. Filsafat kuantum mengajarkan bahwa nilai tertinggi bukanlah dominasi atau kontrol, melainkan keterlibatan yang sadar dengan jaringan kehidupan.¹⁴ Kesadaran akan realitas yang relasional memunculkan sikap empatik dan moderat terhadap perbedaan, karena semua keberadaan merupakan bagian dari totalitas yang sama.¹⁵ Dalam pengertian ini, etika kuantum dapat menjadi jembatan antara sains dan spiritualitas, antara pengetahuan dan kebijaksanaan.

Aksiologi kuantum dengan demikian menawarkan paradigma baru bagi etika ilmiah dan eksistensial: bahwa nilai-nilai moral tidak berasal dari luar realitas, tetapi inheren di dalam struktur alam semesta yang partisipatif.¹⁶ Sains tidak lagi sekadar mencari penjelasan, melainkan menjadi sarana untuk menegaskan kebermaknaan dan tanggung jawab manusia dalam kosmos. Dengan mengakui bahwa setiap tindakan pengetahuan adalah tindakan moral, filsafat kuantum menegakkan dasar bagi etika universal yang berakar pada kesatuan, keterbatasan, dan kasih terhadap keberadaan.¹⁷


Footnotes

[1]                Max Weber, “Science as a Vocation,” in From Max Weber: Essays in Sociology, ed. H. H. Gerth and C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 129–156.

[2]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 71–74.

[3]                Ibid., 80–83.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1959), 31–33.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 167–170.

[6]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 105–110.

[7]                Basil J. Hiley, “Active Information and Teleological Causality,” in Quantum Implications: Essays in Honour of David Bohm, ed. Basil J. Hiley and F. David Peat (London: Routledge, 1987), 48–51.

[8]                Rupert Sheldrake, The Rebirth of Nature: The Greening of Science and God (New York: Bantam, 1991), 72–76.

[9]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–33.

[10]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 115–118.

[11]             John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton: Princeton University Press, 1983), 182–187.

[12]             Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 97–100.

[13]             Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press, 2007), 175–179.

[14]             David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity (New York: Bantam, 1987), 129–133.

[15]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 186–190.

[16]             Ilya Prigogine, The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws of Nature (New York: Free Press, 1997), 91–95.

[17]             Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221 (1936): 349–382.


6.           Dimensi Sosial dan Intelektual

Filsafat kuantum, di luar konteks fisika teoretis, telah memengaruhi cara manusia memahami hubungan antara ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesadaran kolektif. Sejak paruh kedua abad ke-20, gagasan-gagasan kuantum mulai menembus batas laboratorium dan menjadi inspirasi bagi wacana filsafat, teologi, psikologi, dan bahkan politik pengetahuan.¹ Secara sosial, revolusi kuantum menandai pergeseran dari paradigma mekanistik menuju paradigma holistik, yang menekankan keterhubungan dan interdependensi antara manusia dan realitas.² Dalam pengertian ini, filsafat kuantum tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga epistemologis dan kultural—membentuk cara baru dalam melihat dunia sebagai jaringan dinamis makna dan relasi.³

Salah satu dampak sosial-intelektual utama filsafat kuantum adalah penggugatan terhadap positivisme ilmiah. Paradigma klasik yang menempatkan sains sebagai satu-satunya sumber kebenaran rasional mulai ditantang oleh kesadaran kuantum yang mengakui keterbatasan pengamatan dan ketergantungan makna pada konteks.⁴ Filsafat kuantum membuka ruang bagi pluralitas epistemik dan memperkuat nilai-nilai keterbukaan terhadap perspektif lain, termasuk dimensi humanistik dan spiritual dalam pengetahuan.⁵ Dalam kerangka ini, masyarakat ilmiah tidak lagi dipahami sebagai komunitas yang mencari kepastian tunggal, melainkan sebagai jaringan reflektif yang menafsirkan kebenaran dalam relasi sosial dan simbolik yang luas.⁶

Dampak intelektualnya tampak dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam psikologi, misalnya, pendekatan kuantum mengilhami lahirnya teori-teori kesadaran non-lokal dan model partisipatif antara pikiran dan materi.⁷ Carl Gustav Jung dan Wolfgang Pauli, melalui korespondensi mereka, mencoba memahami fenomena synchronicity sebagai cerminan keterhubungan batin antara psike dan realitas fisik, yang selaras dengan prinsip-prinsip kuantum.⁸ Dalam ilmu sosial, teori sistem dan kompleksitas—seperti dikembangkan oleh Niklas Luhmann dan Ilya Prigogine—menunjukkan bahwa masyarakat dan alam semesta tunduk pada dinamika ketidakteraturan teratur (order through fluctuation), di mana ketidakpastian justru menjadi sumber kreativitas dan evolusi.⁹

Dalam konteks budaya kontemporer, filsafat kuantum juga menstimulasi kebangkitan minat terhadap integrasi antara sains dan spiritualitas. Buku-buku seperti The Tao of Physics karya Fritjof Capra dan The Dancing Wu Li Masters karya Gary Zukav memperkenalkan gagasan bahwa prinsip-prinsip kuantum dapat dipahami selaras dengan intuisi mistik Timur.¹⁰ Namun, perkembangan ini juga menimbulkan problem baru, yakni munculnya mistisisme kuantum yang cenderung menyederhanakan teori fisika menjadi narasi spiritual tanpa dasar metodologis yang kuat.¹¹ Meskipun demikian, fenomena ini memperlihatkan pengaruh luas filsafat kuantum terhadap kesadaran publik, menunjukkan bahwa ide-ide ilmiah dapat bertransformasi menjadi wacana sosial yang membentuk nilai dan identitas zaman.¹²

Lebih jauh lagi, filsafat kuantum turut mengubah orientasi intelektual dalam pendidikan dan etika ilmiah. Kesadaran akan ketidakpastian dan relasionalitas menuntut pendekatan pedagogis yang menekankan kreativitas, refleksi kritis, dan empati intelektual.¹³ Dalam pendidikan sains, paradigma kuantum mengajarkan bahwa belajar bukan sekadar menghafal hukum-hukum alam, melainkan memahami keterlibatan manusia dalam proses pengetahuan itu sendiri.¹⁴ Pendidikan berbasis kesadaran kuantum berorientasi pada pembentukan cara berpikir holistik yang menolak dikotomi antara rasionalitas dan intuisi, antara objektivitas dan subjektivitas.¹⁵

Secara intelektual, filsafat kuantum juga mempengaruhi transformasi rasionalitas modern. Jürgen Habermas menyebut perlunya rasionalitas komunikatif—sebuah rasionalitas yang tidak menundukkan realitas pada logika instrumental, tetapi membangun pemahaman melalui dialog.¹⁶ Prinsip ini sejalan dengan etos kuantum yang menempatkan interaksi dan partisipasi sebagai dasar kebermaknaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa filsafat kuantum berkontribusi pada lahirnya epistemologi dialogis dalam ilmu pengetahuan modern, di mana kebenaran dipahami sebagai hasil korespondensi antara manusia, alam, dan komunitas ilmiah.¹⁷

Dari segi sosial, kesadaran kuantum menawarkan dasar filosofis bagi etika ekologis dan solidaritas global. Paradigma keterhubungan yang ditemukan dalam fisika kuantum mengilhami gerakan intelektual dan sosial yang menekankan pentingnya keseimbangan dan keberlanjutan planet.¹⁸ Dalam tatanan masyarakat yang semakin kompleks, prinsip-prinsip relasionalitas, koherensi, dan non-linearitas dapat menjadi metafora epistemik untuk membangun sistem sosial yang inklusif dan adaptif.¹⁹ Oleh karena itu, dimensi sosial dan intelektual filsafat kuantum tidak hanya bersifat reflektif, tetapi juga transformatif: ia mengubah cara manusia berpikir, berinteraksi, dan menilai dunia.


Footnotes

[1]                Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels Between Modern Physics and Eastern Mysticism (Boston: Shambhala, 1975), xv–xviii.

[2]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 3–7.

[3]                Ervin Laszlo, The Systems View of the World (New York: George Braziller, 1972), 12–15.

[4]                Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics (London: Routledge, 1982), 29–31.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 174–176.

[6]                Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press, 2007), 138–141.

[7]                Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 84–86.

[8]                C. G. Jung and Wolfgang Pauli, Atom and Archetype: The Pauli/Jung Letters, 1932–1958, ed. C. A. Meier (Princeton: Princeton University Press, 2001), 43–46.

[9]                Ilya Prigogine and Isabelle Stengers, Order Out of Chaos: Man’s New Dialogue with Nature (New York: Bantam, 1984), 67–72.

[10]             Gary Zukav, The Dancing Wu Li Masters: An Overview of the New Physics (New York: William Morrow, 1979), 22–25.

[11]             Victor J. Stenger, Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness (Amherst, NY: Prometheus Books, 2009), 45–49.

[12]             Brian Greene, The Elegant Universe: Superstrings, Hidden Dimensions, and the Quest for the Ultimate Theory (New York: W. W. Norton, 1999), 327–330.

[13]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 189–192.

[14]             David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity (New York: Bantam, 1987), 95–98.

[15]             Ibid., 100–103.

[16]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society (Boston: Beacon Press, 1984), 273–277.

[17]             Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution (London: Penguin, 2021), 134–138.

[18]             Rupert Sheldrake, The Rebirth of Nature: The Greening of Science and God (New York: Bantam, 1991), 88–91.

[19]             Ervin Laszlo, Science and the Akashic Field: An Integral Theory of Everything (Rochester, VT: Inner Traditions, 2004), 52–57.


7.           Kritik dan Klarifikasi Filosofis

Filsafat kuantum, meskipun telah membuka horizon baru dalam pemikiran ilmiah dan metafisik, tidak terlepas dari kritik dan perdebatan yang intens. Sebagian besar kritik diarahkan pada kecenderungan interpretatif yang terlalu luas—baik dalam bentuk reduksionisme ilmiah maupun mistifikasi spiritual—yang mengaburkan batas antara teori fisika dan refleksi filosofis.¹ Oleh karena itu, diperlukan klarifikasi filosofis yang ketat untuk menempatkan filsafat kuantum dalam kerangka epistemik yang sahih: bukan sebagai metafisika spekulatif tanpa dasar empiris, dan bukan pula sebagai positivisme baru yang menutup ruang refleksi metafisik.²

Salah satu kritik utama terhadap filsafat kuantum datang dari kalangan realis ilmiah. Karl Popper, misalnya, menolak interpretasi probabilistik mekanika kuantum yang meniadakan realitas objektif.³ Baginya, teori kuantum harus dipahami sebagai model yang belum lengkap, bukan sebagai deskripsi final tentang hakikat alam.⁴ Popper menilai bahwa interpretasi Kopenhagen terlalu menyerah pada relativisme epistemologis, sehingga mengaburkan perbedaan antara observasi empiris dan ontologi realitas.⁵ Kritik ini berakar pada keyakinan bahwa dunia fisik memiliki struktur independen yang tidak bergantung pada pengamat, dan tugas filsafat sains adalah mengungkap struktur tersebut tanpa reduksi terhadap kesadaran.⁶

Sebaliknya, kalangan antirealis seperti Niels Bohr dan Werner Heisenberg menolak realisme naif dengan menekankan bahwa konsep realitas tanpa pengamat adalah non-sense dalam konteks kuantum.⁷ Bagi Bohr, bahasa ilmiah hanya bermakna sejauh terkait dengan hasil pengukuran; di luar itu, pembicaraan tentang “realitas objektif” hanyalah metafora kosong.⁸ Namun posisi ini pun menimbulkan persoalan baru: jika realitas hanya ada dalam konteks pengamatan, apakah filsafat kuantum tidak jatuh pada solipsisme epistemik?⁹

Upaya menjembatani kedua ekstrem ini dilakukan oleh David Bohm melalui teori implicate order. Bohm menolak baik determinisme klasik maupun indeterminisme absolut dengan mengajukan ontologi relasional di mana partikel dan kesadaran merupakan manifestasi dari tatanan yang lebih dalam.¹⁰ Namun, gagasan Bohm juga dikritik karena cenderung metaforis dan sulit diverifikasi secara empiris.¹¹ Dalam konteks filsafat ilmu, problem ini memperlihatkan dilema klasik antara kebutuhan akan penjelasan ontologis dan batas validasi ilmiah.¹²

Kritik lain muncul terhadap apa yang disebut “mistisisme kuantum.” Beberapa penulis populer seperti Fritjof Capra dan Gary Zukav sering dituduh melakukan category mistake dengan menggabungkan terminologi fisika dan konsep spiritual tanpa dasar epistemik yang ketat.¹³ Victor Stenger bahkan menyebut pendekatan semacam itu sebagai “paganisme saintifik,” karena mengaburkan batas antara metafora filosofis dan hukum fisika.¹⁴ Klarifikasi perlu ditegaskan bahwa hubungan antara fisika kuantum dan spiritualitas bersifat analogis, bukan identik: kesamaan pola pemikiran tidak berarti kesetaraan ontologis.¹⁵ Filsafat kuantum yang sahih harus tetap berpijak pada prinsip rasionalitas kritis dan konsistensi logis, bukan pada narasi metaforis yang bersifat persuasif.

Dari sisi metafisika klasik, filsafat kuantum juga menghadapi tantangan dalam menjelaskan koherensi ontologis. Tradisi Aristotelian, misalnya, menuntut adanya prinsip identitas dan non-kontradiksi sebagai dasar logika ontologis.¹⁶ Namun, realitas kuantum tampaknya menantang prinsip tersebut dengan memperlihatkan entitas yang dapat berada dalam dua keadaan sekaligus (superposition).¹⁷ Klarifikasi filosofis di sini menuntut reinterpretasi logika klasik, bukan penolakannya. Beberapa filsuf kontemporer seperti Bas van Fraassen dan Graham Priest mengusulkan bentuk logika parakonsisten atau quantum logic yang mampu menampung kontradiksi terbatas tanpa merusak struktur rasionalitas.¹⁸

Kritik epistemologis lain menyangkut status bahasa dalam fisika kuantum. Heisenberg dan Bohr menegaskan bahwa bahasa sehari-hari dan matematika tidak sepenuhnya mampu menggambarkan realitas kuantum secara langsung; keduanya bersifat simbolik dan analogis.¹⁹ Karen Barad memperluas hal ini melalui konsep agential realism, yang menolak dikotomi antara pengamat dan objek, serta menekankan performativitas pengetahuan.²⁰ Meskipun gagasan Barad membantu memperluas pemahaman relasional, sebagian filsuf menilai bahwa posisinya mengandung risiko relativisme ontologis, karena mengaburkan batas antara konstruksi teoretis dan realitas independen.²¹

Secara umum, kritik terhadap filsafat kuantum menyoroti perlunya disiplin konseptual antara sains dan filsafat.²² Filsafat kuantum yang autentik harus mampu menafsirkan temuan fisika tanpa jatuh pada dua ekstrem: positivisme sempit yang menolak makna metafisik, dan spiritualisme longgar yang mengabaikan metodologi ilmiah.²³ Klarifikasi filosofis menuntut integrasi antara ketelitian ilmiah dan refleksi ontologis—suatu keseimbangan antara rasionalitas empiris dan kebijaksanaan metafisik.²⁴ Dengan demikian, filsafat kuantum dapat mempertahankan kedudukan epistemiknya sebagai jembatan antara sains dan filsafat, tanpa kehilangan kedalaman analisis maupun integritas metodologinya.²⁵


Footnotes

[1]                Mario Bunge, Quantum Mechanics and Philosophy: Causality and Interpretation (Berlin: Springer, 1956), 7–10.

[2]                Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 15–18.

[3]                Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics (London: Routledge, 1982), 25–28.

[4]                Ibid., 30–32.

[5]                Ibid., 33–34.

[6]                Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso, 1975), 45–49.

[7]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 58–60.

[8]                Niels Bohr, Essays 1958–1962 on Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1963), 82–84.

[9]                Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 40–43.

[10]             David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 97–101.

[11]             John Bell, “On the Problem of Hidden Variables in Quantum Mechanics,” Reviews of Modern Physics 38 (1966): 447–452.

[12]             Erwin Schrödinger, Science and Humanism: Physics in Our Time (Cambridge: Cambridge University Press, 1952), 21–24.

[13]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 135–139; Gary Zukav, The Dancing Wu Li Masters (New York: William Morrow, 1979), 87–92.

[14]             Victor J. Stenger, Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness (Amherst, NY: Prometheus Books, 2009), 47–51.

[15]             Jim Baggott, Farewell to Reality: How Modern Physics Has Betrayed the Search for Scientific Truth (London: Constable, 2013), 213–216.

[16]             Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1005b15–25.

[17]             Richard P. Feynman, QED: The Strange Theory of Light and Matter (Princeton: Princeton University Press, 1985), 27–30.

[18]             Graham Priest, In Contradiction: A Study of the Transconsistent (Oxford: Clarendon Press, 1987), 112–118.

[19]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy, 89–92.

[20]             Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press, 2007), 132–136.

[21]             Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency (London: Continuum, 2008), 51–54.

[22]             Hilary Putnam, The Many Faces of Realism (LaSalle, IL: Open Court, 1987), 97–99.

[23]             Ilya Prigogine, The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws of Nature (New York: Free Press, 1997), 99–103.

[24]             Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View, 198–201.

[25]             David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity (New York: Bantam, 1987), 149–152.


8.           Relevansi Kontemporer

Filsafat kuantum, dengan seluruh implikasi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, menempati posisi yang semakin penting dalam lanskap intelektual abad ke-21. Di tengah krisis epistemik, ekologis, dan eksistensial yang dihadapi dunia modern, paradigma kuantum menawarkan kerangka konseptual baru untuk memahami hubungan antara manusia, pengetahuan, dan realitas.¹ Ia bukan hanya teori fisika, melainkan juga modus cogitandi baru—cara berpikir yang lebih relasional, dinamis, dan terbuka terhadap kompleksitas.²

Dalam bidang sains dan teknologi, filsafat kuantum memiliki relevansi mendasar bagi perkembangan komputasi dan kecerdasan buatan (AI). Komputasi kuantum, misalnya, didasarkan pada prinsip superposition dan entanglement yang memungkinkan pemrosesan informasi secara paralel pada skala eksponensial.³ Namun di balik kemajuan teknologis ini tersembunyi pertanyaan filosofis yang dalam: apakah logika klasik manusia masih memadai untuk memahami sistem yang beroperasi di luar prinsip deterministik?⁴ Di sinilah filsafat kuantum berperan—ia menantang batas rasionalitas konvensional dan membuka ruang bagi pemikiran non-linear yang lebih sesuai dengan realitas digital dan kompleks.⁵

Dalam konteks filsafat kesadaran, gagasan kuantum juga digunakan untuk menafsirkan relasi antara pikiran dan materi. Henry Stapp dan Roger Penrose, misalnya, berargumen bahwa kesadaran mungkin berkaitan dengan proses kuantum dalam otak, di mana kolaps fungsi gelombang terjadi secara non-deterministik dan terlibat dalam pengalaman subjektif.⁶ Meskipun teori ini masih kontroversial, ia memperluas horizon neurofilsafat dengan menghubungkan dimensi material dan fenomenal kesadaran secara lebih integral.⁷ Dengan demikian, relevansi filsafat kuantum tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga ontologis—menantang pandangan reduksionistik yang memisahkan kesadaran dari alam.

Relevansi kontemporer lainnya terdapat dalam ranah etika lingkungan dan filsafat ekologi. Prinsip keterhubungan dan kesalingtergantungan dalam mekanika kuantum mendukung pandangan dunia ekologis yang menolak dualisme antara manusia dan alam.⁸ Pandangan ini memperkuat gerakan ecological holism, yang memandang bahwa setiap tindakan lokal memiliki resonansi global dalam tatanan kosmik.⁹ Dengan kata lain, kesadaran ekologis dapat diperkaya oleh metafora kuantum tentang realitas sebagai jaringan kemungkinan yang saling menembus. Etika lingkungan kuantum menekankan tanggung jawab manusia bukan hanya sebagai pengelola sumber daya, tetapi sebagai partisipan aktif dalam keberlanjutan sistem kehidupan.¹⁰

Dalam ranah filsafat ilmu, relevansi filsafat kuantum tampak dalam upayanya merekonstruksi kembali hubungan antara pengetahuan dan nilai. Paradigma kuantum menolak dikotomi lama antara rasionalitas ilmiah dan dimensi moral, mengusulkan epistemologi yang lebih reflektif dan sadar-diri.¹¹ Model ini beresonansi dengan gagasan post-positivisme dan critical realism, yang mengakui bahwa sains tidak bebas nilai, melainkan selalu beroperasi dalam horizon etis dan sosial tertentu.¹² Filsafat kuantum dengan demikian dapat menjadi dasar bagi reformasi metodologis dalam sains modern—menuju sains yang tidak hanya menjelaskan, tetapi juga memaknai keberadaan.

Lebih jauh, dalam konteks sosial-politik, kesadaran kuantum memiliki implikasi bagi pembentukan etika global dan dialog antarperadaban. Prinsip relasionalitas dan non-lokalitas dapat dijadikan metafora epistemologis bagi model interaksi antarbudaya yang saling menghormati dan saling memengaruhi tanpa kehilangan identitas masing-masing.¹³ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh ideologi dan polarisasi digital, filsafat kuantum mengajarkan bahwa keberagaman bukanlah kontradiksi, melainkan bentuk koherensi tingkat tinggi.¹⁴

Akhirnya, relevansi filsafat kuantum di era kontemporer terletak pada kemampuannya menjembatani tiga dimensi besar pengetahuan manusia: sains, filsafat, dan spiritualitas. Ia menunjukkan bahwa kebenaran tidak tunggal dan absolut, melainkan merupakan hasil interaksi antara rasionalitas, pengalaman, dan kesadaran.¹⁵ Dalam kerangka ini, filsafat kuantum bukan sekadar warisan ilmiah abad ke-20, tetapi paradigma berpikir abad ke-21—sebuah filsafat keterhubungan yang menegaskan bahwa realitas adalah jaringan makna yang hidup, dan bahwa tugas manusia bukan untuk menguasainya, melainkan untuk berpartisipasi secara bijaksana di dalamnya.¹⁶


Footnotes

[1]                Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 187–191.

[2]                David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity (New York: Bantam, 1987), 154–157.

[3]                Michael A. Nielsen and Isaac L. Chuang, Quantum Computation and Quantum Information (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 31–34.

[4]                John Preskill, “Quantum Computing in the NISQ Era and Beyond,” Quantum 2 (2018): 79–83.

[5]                Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution (London: Penguin, 2021), 146–150.

[6]                Henry P. Stapp, Quantum Theory and Free Will: How Mental Intentions Translate into Bodily Actions (Berlin: Springer, 2017), 59–63.

[7]                Roger Penrose, The Emperor’s New Mind: Concerning Computers, Minds, and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 350–355.

[8]                Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 42–45.

[9]                Ervin Laszlo, Science and the Akashic Field: An Integral Theory of Everything (Rochester, VT: Inner Traditions, 2004), 62–66.

[10]             Rupert Sheldrake, The Rebirth of Nature: The Greening of Science and God (New York: Bantam, 1991), 91–95.

[11]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 189–191.

[12]             Roy Bhaskar, Critical Realism: Essential Readings (London: Routledge, 1998), 23–26.

[13]             Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press, 2007), 280–284.

[14]             Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ: Hampton Press, 2008), 112–115.

[15]             David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 188–191.

[16]             Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 199–203.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Ontologi Relasional dan Rasionalitas Baru

Upaya membangun sintesis filosofis dari revolusi kuantum menuntut pemikiran yang melampaui dikotomi tradisional antara subjektivitas dan objektivitas, antara determinisme dan kebetulan, serta antara sains dan metafisika.¹ Filsafat kuantum membuka peluang bagi lahirnya bentuk rasionalitas baru—rasionalitas relasional—yang tidak lagi memandang pengetahuan sebagai representasi statis tentang realitas, melainkan sebagai keterlibatan dinamis antara pengamat, sistem, dan makna.² Dalam paradigma ini, realitas tidak dipahami sebagai “benda” (res extensa), melainkan sebagai “jaringan relasi” (nexus of relations) yang senantiasa menjadi (becoming).³

Ontologi relasional ini berakar pada kesadaran bahwa segala sesuatu dalam alam semesta bersifat interdependen dan koheren dalam suatu tatanan yang mendalam. David Bohm menyebutnya sebagai implicate order—sebuah dimensi realitas di mana semua bagian saling meliputi dalam kesatuan yang utuh.⁴ Dalam tatanan ini, dualitas antara partikel dan gelombang, antara materi dan kesadaran, hanyalah ekspresi dari dinamika yang sama, dilihat dari sudut yang berbeda.⁵ Maka, menjadi berarti berelasi; eksistensi tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Filsafat kuantum, dengan demikian, mengembalikan metafisika pada akar relasionalnya—suatu pandangan yang sejalan dengan ontologi proses Alfred North Whitehead.⁶

Whitehead menolak gagasan substansi yang statis dan menggantikannya dengan konsep actual occasions—setiap entitas adalah proses peristiwa yang saling menimbulkan dan saling melibatkan.⁷ Dalam kerangka ini, realitas tidak dibangun oleh objek-objek, tetapi oleh peristiwa-peristiwa relasional yang membentuk jalinan universal pengalaman.⁸ Sintesis antara Bohm dan Whitehead menghasilkan apa yang dapat disebut sebagai ontologi proses-relasional, yakni pandangan bahwa keberadaan bersifat emergen dan partisipatif, bukan final dan absolut.⁹

Rasionalitas baru yang lahir dari kerangka ini berbeda dari rasionalitas modern yang menekankan linearitas, objektivitas, dan prediktabilitas. Filsafat kuantum menuntut rasionalitas terbuka, yang bersifat reflektif, dialogis, dan inklusif terhadap kompleksitas.¹⁰ Carlo Rovelli menyebutnya relational rationality, di mana pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai penyingkapan satu realitas tunggal, tetapi sebagai jaringan pemahaman yang koheren di antara berbagai sistem referensial.¹¹ Rasionalitas semacam ini tidak meniadakan kebenaran, tetapi memandangnya sebagai hasil koherensi dinamis dalam sistem relasi, bukan sebagai absolutisme proposisional.¹²

Dalam konteks epistemologi, rasionalitas relasional juga berimplikasi pada cara baru memahami ilmu pengetahuan. Ia menolak model “subjek-objek” yang hirarkis dan menggantinya dengan model “partisipasi mutual.”¹³ Karen Barad menyebutnya intra-action, yakni hubungan di mana pengamat dan objek tidak eksis secara terpisah, tetapi lahir bersama dalam tindakan pengamatan.¹⁴ Ini bukan relativisme, melainkan pengakuan bahwa makna ilmiah muncul dari interaksi yang material dan konseptual sekaligus. Dengan demikian, sains dipahami sebagai praksis reflektif, bukan sebagai sistem dogmatis.¹⁵

Sintesis ini juga berdampak pada dimensi aksiologis. Jika realitas bersifat relasional, maka nilai dan etika juga harus berbasis pada keterhubungan.¹⁶ Filsafat kuantum memunculkan bentuk etika kosmologis yang menolak pemisahan antara fakta dan nilai. Dalam dunia yang saling terkait, tindakan individu memiliki resonansi universal; tanggung jawab moral menjadi bagian inheren dari struktur realitas.¹⁷ Etika relasional ini menekankan prinsip koherensi—bahwa kebaikan bukanlah sekadar hukum normatif, tetapi harmoni dinamis antara manusia dan kosmos.¹⁸

Lebih jauh, sintesis filosofis kuantum membuka peluang bagi metafisika baru yang bersifat plural dan non-dualistik. Edgar Morin menyebutnya pensée complexe—cara berpikir yang menggabungkan sains, filsafat, dan spiritualitas tanpa menghapus perbedaan metodologisnya.¹⁹ Dalam metafisika ini, rasionalitas tidak lagi dipahami sebagai dominasi atas realitas, melainkan sebagai dialog terus-menerus dengan misteri keberadaan.²⁰ Filsafat kuantum, dengan demikian, menggeser tujuan pengetahuan: dari upaya menguasai dunia menuju usaha memahami keterlibatan kita di dalamnya.²¹

Sintesis ontologis dan rasionalitas baru ini menandai babak baru dalam sejarah filsafat ilmu. Ia mengembalikan peran filsafat sebagai refleksi atas keterbatasan dan potensi rasionalitas manusia.²² Filsafat kuantum bukanlah akhir dari sains, tetapi perluasan cakrawala pengetahuan menuju kesadaran bahwa mengetahui dan menjadi adalah dua aspek dari proses yang sama.²³ Dalam kesimpulan ini, filsafat kuantum menampilkan dirinya bukan hanya sebagai cabang refleksi ilmiah, tetapi sebagai paradigma eksistensial yang menuntun manusia menuju harmoni intelektual, etis, dan kosmologis.²⁴


Footnotes

[1]                Erwin Schrödinger, Science and Humanism: Physics in Our Time (Cambridge: Cambridge University Press, 1952), 17–19.

[2]                Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 211–214.

[3]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 184–187.

[4]                Ibid., 188–192.

[5]                Basil J. Hiley, “The Algebraic Way: Quantum Processes as Generalized Orders,” in Quantum Implications: Essays in Honour of David Bohm, ed. Basil J. Hiley and F. David Peat (London: Routledge, 1987), 67–72.

[6]                Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Macmillan, 1929), 43–46.

[7]                Ibid., 84–88.

[8]                John B. Cobb Jr. and David Ray Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 21–24.

[9]                David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity (New York: Bantam, 1987), 153–157.

[10]             Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ: Hampton Press, 2008), 122–126.

[11]             Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution (London: Penguin, 2021), 159–162.

[12]             Hilary Putnam, The Many Faces of Realism (LaSalle, IL: Open Court, 1987), 103–105.

[13]             Niels Bohr, Essays 1958–1962 on Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1963), 93–95.

[14]             Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press, 2007), 175–178.

[15]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 200–203.

[16]             Ilya Prigogine, The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws of Nature (New York: Free Press, 1997), 97–101.

[17]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 194–198.

[18]             David Bohm, Wholeness and the Implicate Order, 195–197.

[19]             Edgar Morin, Method: Towards a Study of Humankind, Vol. 1 (New York: Peter Lang, 1992), 67–71.

[20]             Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 203–206.

[21]             John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton: Princeton University Press, 1983), 184–188.

[22]             Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics (London: Routledge, 1982), 191–194.

[23]             Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 135–138.

[24]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 199–203.


10.       Kesimpulan

Filsafat kuantum menghadirkan salah satu revolusi epistemik dan ontologis terbesar dalam sejarah pemikiran manusia. Ia menandai pergeseran dari paradigma mekanistik yang mendominasi modernitas menuju pandangan dunia yang lebih relasional, partisipatif, dan terbuka terhadap kompleksitas.¹ Revolusi ini tidak sekadar mengubah cara kita memahami alam semesta, tetapi juga memaksa kita meninjau kembali hakikat pengetahuan, keberadaan, dan nilai.² Fisika kuantum bukan lagi semata teori ilmiah yang berurusan dengan partikel subatomik, melainkan juga sebuah horizon filosofis yang menuntut reinterpretasi terhadap hubungan antara manusia dan realitas.³

Dari segi ontologi, filsafat kuantum menunjukkan bahwa realitas bersifat dinamis dan tidak dapat direduksi menjadi entitas tetap.⁴ Prinsip ketidakpastian Heisenberg, konsep superposition, dan teori entanglement memperlihatkan bahwa keberadaan tidak bersifat tunggal atau terisolasi, melainkan hasil dari jaringan hubungan yang terus berubah.⁵ Ontologi kuantum dengan demikian mengarah pada pandangan relasional—bahwa “menjadi” selalu merupakan “menjadi-bersama” (being-with).⁶ Pandangan ini menggantikan metafisika substansialistik yang mendominasi sejak Aristoteles hingga Descartes dengan metafisika proses yang lebih inklusif dan dinamis.⁷

Dari sisi epistemologi, paradigma kuantum menolak objektivisme murni. Pengamat tidak dapat lagi dianggap sebagai entitas eksternal yang netral, sebab tindakan pengamatan itu sendiri turut menciptakan kondisi realitas yang diamati.⁸ Dalam hal ini, pengetahuan menjadi partisipatif: ia tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga berperan dalam mengonstruksinya.⁹ Epistemologi kuantum karenanya menuntut rasionalitas reflektif, yaitu bentuk pengetahuan yang sadar akan keterlibatan subjek dan keterbatasan metode.¹⁰ Sikap ini membawa implikasi filosofis yang mendalam, karena menempatkan sains sebagai praksis dialogis, bukan sistem dogmatis.¹¹

Dari dimensi aksiologis, filsafat kuantum mengembalikan etika pada fondasi kosmologis. Prinsip keterhubungan dan non-lokalitas mengajarkan bahwa setiap tindakan memiliki resonansi dalam jaringan eksistensi yang lebih luas.¹² Kesadaran akan interdependensi ini menumbuhkan etika tanggung jawab dan kerendahan hati epistemik—suatu kesadaran bahwa pengetahuan tidak boleh digunakan untuk mendominasi alam, tetapi untuk merawat keseimbangan dan harmoni universal.¹³ Dengan demikian, filsafat kuantum menawarkan paradigma etis yang berakar pada keterhubungan, bukan pada hierarki; pada empati, bukan pada kontrol.¹⁴

Pada tataran sosial dan intelektual, filsafat kuantum telah memperluas batasan sains menuju wilayah filsafat, teologi, dan humaniora. Ia menginspirasi pembaruan dalam filsafat kesadaran, teori sistem kompleks, dan ekologi modern.¹⁵ Namun, pengaruh luas ini juga menuntut klarifikasi filosofis agar tidak terjerumus ke dalam mistisisme kuantum atau simplifikasi pseudo-ilmiah.¹⁶ Filsafat kuantum yang autentik harus menjaga keseimbangan antara ketelitian empiris dan kedalaman refleksi metafisik.¹⁷

Secara sintesis, filsafat kuantum mengajarkan bahwa rasionalitas sejati bukanlah kemampuan untuk menguasai, melainkan kemampuan untuk memahami keterkaitan.¹⁸ Ia menandai kelahiran ontologi relasional dan rasionalitas baru yang mengintegrasikan sains, filsafat, dan spiritualitas dalam satu kesadaran kosmologis.¹⁹ Dengan mengakui bahwa realitas adalah jaringan kemungkinan yang hidup dan bahwa kesadaran manusia merupakan bagian integral darinya, filsafat kuantum membuka jalan menuju paradigma pengetahuan yang lebih utuh dan manusiawi.²⁰

Akhirnya, filsafat kuantum mengembalikan filsafat pada misinya yang paling mendasar: menafsirkan realitas tidak hanya untuk mengetahui, tetapi untuk menjadi bijaksana.²¹ Ia menegaskan bahwa keterbatasan manusia bukanlah hambatan bagi pengetahuan, melainkan sumber kebijaksanaan yang mengingatkan kita akan kedalaman misteri eksistensi.²² Dalam kesadaran kuantum, rasionalitas dan spiritualitas tidak lagi terpisah; keduanya berpadu dalam visi kosmos sebagai kesatuan dinamis yang terus-menerus “menjadi.”²³


Footnotes

[1]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 189–191.

[2]                Erwin Schrödinger, Science and Humanism: Physics in Our Time (Cambridge: Cambridge University Press, 1952), 16–19.

[3]                Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975), 217–220.

[4]                Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper & Row, 1958), 43–46.

[5]                Richard P. Feynman, QED: The Strange Theory of Light and Matter (Princeton: Princeton University Press, 1985), 28–30.

[6]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 191–194.

[7]                Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Macmillan, 1929), 43–46.

[8]                Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York: Wiley, 1958), 58–62.

[9]                John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton: Princeton University Press, 1983), 182–185.

[10]             Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press, 2007), 175–179.

[11]             Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics (London: Routledge, 1982), 190–193.

[12]             Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 194–197.

[13]             Ilya Prigogine, The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws of Nature (New York: Free Press, 1997), 98–102.

[14]             David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity (New York: Bantam, 1987), 159–163.

[15]             Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution (London: Penguin, 2021), 161–165.

[16]             Victor J. Stenger, Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search for Cosmic Consciousness (Amherst, NY: Prometheus Books, 2009), 47–51.

[17]             Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View (Oxford: Clarendon Press, 1991), 199–203.

[18]             Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ: Hampton Press, 2008), 122–125.

[19]             David Bohm, Wholeness and the Implicate Order, 184–187.

[20]             Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 201–204.

[21]             Alfred North Whitehead, Adventures of Ideas (New York: Macmillan, 1933), 87–90.

[22]             Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin: Springer, 1993), 135–138.

[23]             Ervin Laszlo, Science and the Akashic Field: An Integral Theory of Everything (Rochester, VT: Inner Traditions, 2004), 199–202.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aspect, A. (1991). Bell’s theorem: The naïve view of an experimentalist. Physics Today, 44(7), 54–60.

Baggott, J. (2013). Farewell to reality: How modern physics has betrayed the search for scientific truth. London: Constable.

Barad, K. (2007). Meeting the universe halfway: Quantum physics and the entanglement of matter and meaning. Durham, NC: Duke University Press.

Bell, J. S. (1966). On the problem of hidden variables in quantum mechanics. Reviews of Modern Physics, 38(3), 447–452.

Bhaskar, R. (1975). A realist theory of science. London: Verso.

Bhaskar, R. (1998). Critical realism: Essential readings. London: Routledge.

Bohr, N. (1958). Atomic physics and human knowledge. New York: Wiley.

Bohr, N. (1963). Essays 1958–1962 on atomic physics and human knowledge. New York: Wiley.

Bohm, D. (1952). A suggested interpretation of the quantum theory in terms of “hidden variables.” Physical Review, 85(2), 166–193.

Bohm, D. (1980). Wholeness and the implicate order. London: Routledge.

Bohm, D., & Peat, F. D. (1987). Science, order, and creativity. New York: Bantam.

Born, M. (1971). The Born–Einstein letters: Correspondence between Albert Einstein and Max Born, 1916–1955. New York: Walker.

Bunge, M. (1956). Quantum mechanics and philosophy: Causality and interpretation. Berlin: Springer.

Capra, F. (1975). The Tao of physics: An exploration of the parallels between modern physics and Eastern mysticism. Boston: Shambhala.

Capra, F. (1996). The web of life: A new scientific understanding of living systems. New York: Anchor Books.

Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The systems view of life: A unifying vision. Cambridge: Cambridge University Press.

Cobb, J. B., Jr., & Griffin, D. R. (1976). Process theology: An introductory exposition. Philadelphia: Westminster Press.

Descartes, R. (1644). Principia philosophiae. Amsterdam: Elzevir.

Einstein, A. (1905). Über einen die Erzeugung und Verwandlung des Lichtes betreffenden heuristischen Gesichtspunkt. Annalen der Physik, 17(6), 132–148.

Einstein, A. (1936). Physics and reality. Journal of the Franklin Institute, 221(3), 349–382.

Einstein, A., Podolsky, B., & Rosen, N. (1935). Can quantum-mechanical description of physical reality be considered complete? Physical Review, 47(10), 777–780.

Feynman, R. P. (1985). QED: The strange theory of light and matter. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Fraassen, B. C. van. (1991). Quantum mechanics: An empiricist view. Oxford: Clarendon Press.

Greene, B. (1999). The elegant universe: Superstrings, hidden dimensions, and the quest for the ultimate theory. New York: W. W. Norton.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society. Boston: Beacon Press.

Heisenberg, W. (1927). Über den anschaulichen Inhalt der quantentheoretischen Kinematik und Mechanik. Zeitschrift für Physik, 43(3–4), 172–198.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. New York: Harper & Row.

Hiley, B. J. (1987). Active information and teleological causality. In B. J. Hiley & F. D. Peat (Eds.), Quantum implications: Essays in honour of David Bohm (pp. 45–57). London: Routledge.

Hiley, B. J. (1987). The algebraic way: Quantum processes as generalized orders. In B. J. Hiley & F. D. Peat (Eds.), Quantum implications: Essays in honour of David Bohm (pp. 67–72). London: Routledge.

Jung, C. G., & Pauli, W. (2001). Atom and archetype: The Pauli/Jung letters, 1932–1958 (C. A. Meier, Ed.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

Laszlo, E. (1972). The systems view of the world. New York: George Braziller.

Laszlo, E. (2004). Science and the akashic field: An integral theory of everything. Rochester, VT: Inner Traditions.

Leibniz, G. W. (1714). Monadology. Paris: Des Bosses.

Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay on the necessity of contingency. London: Continuum.

Morin, E. (1992). Method: Towards a study of humankind, Vol. 1. New York: Peter Lang.

Morin, E. (2008). On complexity. Cresskill, NJ: Hampton Press.

Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis principia mathematica. London: Royal Society.

Nielsen, M. A., & Chuang, I. L. (2000). Quantum computation and quantum information. Cambridge: Cambridge University Press.

Penrose, R. (1989). The emperor’s new mind: Concerning computers, minds, and the laws of physics. Oxford: Oxford University Press.

Planck, M. (1901). Über das Gesetz der Energieverteilung im Normalspektrum. Annalen der Physik, 4(3), 553–563.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. London: Hutchinson.

Popper, K. R. (1982). Quantum theory and the schism in physics. London: Routledge.

Preskill, J. (2018). Quantum computing in the NISQ era and beyond. Quantum, 2, 79–83.

Priest, G. (1987). In contradiction: A study of the transconsistent. Oxford: Clarendon Press.

Prigogine, I. (1997). The end of certainty: Time, chaos, and the new laws of nature. New York: Free Press.

Prigogine, I., & Stengers, I. (1984). Order out of chaos: Man’s new dialogue with nature. New York: Bantam.

Putnam, H. (1987). The many faces of realism. LaSalle, IL: Open Court.

Rovelli, C. (1996). Relational quantum mechanics. International Journal of Theoretical Physics, 35(8), 1637–1678.

Rovelli, C. (2021). Helgoland: Making sense of the quantum revolution. London: Penguin.

Schrödinger, E. (1952). Science and humanism: Physics in our time. Cambridge: Cambridge University Press.

Sheldrake, R. (1991). The rebirth of nature: The greening of science and God. New York: Bantam.

Stapp, H. P. (1993). Mind, matter, and quantum mechanics. Berlin: Springer.

Stapp, H. P. (2017). Quantum theory and free will: How mental intentions translate into bodily actions. Berlin: Springer.

Stenger, V. J. (2009). Quantum gods: Creation, chaos, and the search for cosmic consciousness. Amherst, NY: Prometheus Books.

Van Fraassen, B. C. (1991). Quantum mechanics: An empiricist view. Oxford: Clarendon Press.

Weber, M. (1946). Science as a vocation. In H. H. Gerth & C. W. Mills (Eds.), From Max Weber: Essays in sociology (pp. 129–156). New York: Oxford University Press.

Wheeler, J. A. (1983). Law without law. In J. A. Wheeler & W. H. Zurek (Eds.), Quantum theory and measurement (pp. 182–188). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Whitehead, A. N. (1929). Process and reality. New York: Macmillan.

Whitehead, A. N. (1933). Adventures of ideas. New York: Macmillan.

Zukav, G. (1979). The dancing Wu Li masters: An overview of the new physics. New York: William Morrow.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar