Filsafat Kuantum
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Realitas Mikro
dalam Perspektif Filsafat Kontemporer
Alihkan ke: Pemikiran Alfred North Whitehead.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif fondasi
metafisik, epistemologis, dan aksiologis dari filsafat kuantum sebagai
paradigma baru dalam memahami realitas mikro dan implikasinya terhadap
rasionalitas manusia. Kajian ini berangkat dari pergeseran historis dari
mekanika klasik menuju mekanika kuantum yang mengguncang pandangan dunia
deterministik modern. Secara ontologis, filsafat kuantum menegaskan bahwa
realitas bersifat relasional, non-deterministik, dan dinamis; keberadaan tidak
dapat dipisahkan dari konteks interaksi dan pengamatan. Secara epistemologis,
ia menggeser posisi pengamat dari entitas pasif menjadi partisipan aktif dalam
konstruksi pengetahuan, sehingga menimbulkan bentuk rasionalitas baru yang
partisipatif dan reflektif. Secara aksiologis, paradigma kuantum mengajarkan
etika keterhubungan dan tanggung jawab kosmologis, dengan menekankan bahwa
setiap tindakan pengetahuan memiliki resonansi moral dalam jaringan kehidupan
yang lebih luas.
Lebih jauh, artikel ini menyoroti dimensi sosial
dan intelektual dari filsafat kuantum, terutama pengaruhnya terhadap filsafat
kesadaran, ekologi, dan pendidikan sains kontemporer. Kritik terhadap
mistisisme kuantum dan reduksionisme ilmiah juga dikemukakan untuk menjaga
keotentikan refleksi filosofis dalam konteks ilmiah. Pada akhirnya, artikel ini
menawarkan sintesis menuju ontologi relasional dan rasionalitas baru—suatu
paradigma pengetahuan yang mengintegrasikan sains, filsafat, dan spiritualitas
dalam kesadaran kosmologis yang lebih utuh. Filsafat kuantum dengan demikian
tidak hanya menantang batas pengetahuan manusia, tetapi juga membuka ruang bagi
etika dan kebijaksanaan yang berakar pada kesalingterhubungan seluruh
eksistensi.
Kata Kunci: filsafat
kuantum, ontologi relasional, epistemologi partisipatif, etika kosmologis,
rasionalitas baru, mekanika kuantum, David Bohm, Niels Bohr, Werner Heisenberg,
Alfred North Whitehead.
PEMBAHASAN
Status Ontologis dan Epistemik Realitas Kuantum
1.
Pendahuluan
Filsafat kuantum
lahir dari pergulatan panjang antara kepastian mekanika klasik dan
ketidakpastian realitas mikro. Ketika fisika Newtonian menempatkan dunia dalam
kerangka deterministik—di mana setiap gerak partikel dapat diramalkan dengan
hukum sebab-akibat yang pasti—munculnya mekanika kuantum pada awal abad ke-20
mengguncang fondasi metafisika sains modern. Realitas ternyata tidak seteratur
yang diasumsikan; partikel dapat bersifat ganda, sebagai gelombang sekaligus
benda, tergantung pada bagaimana ia diamati. Fenomena ini tidak hanya
menimbulkan revolusi ilmiah, tetapi juga menggugah pertanyaan filosofis yang
mendalam tentang hakikat eksistensi, pengetahuan, dan makna keterlibatan
manusia di dalam alam semesta.¹
Krisis epistemik
yang dibawa oleh teori kuantum memaksa filsafat untuk meninjau kembali konsep
dasar tentang realitas (realism), objektivitas, dan hubungan antara subjek dan
objek pengetahuan. Dalam interpretasi Kopenhagen yang dikemukakan oleh Niels
Bohr dan Werner Heisenberg, pengamat tidak lagi berdiri di luar sistem, tetapi
menjadi bagian integral dari fenomena yang diukur.² Dengan demikian, realitas
tidak eksis secara mandiri tanpa partisipasi kesadaran; ia bersifat relasional
dan probabilistik,
bukan absolut
dan deterministik.³
Pergeseran ini menandai lahirnya paradigma baru dalam ontologi dan
epistemologi, yang menolak klaim final tentang kebenaran ilmiah dan membuka
ruang bagi dialog antara sains, filsafat, dan bahkan spiritualitas.
Selain memunculkan
konsekuensi ontologis dan epistemologis, revolusi kuantum juga memiliki dimensi
aksiologis yang signifikan. Kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami
realitas mendorong lahirnya etika pengetahuan yang lebih rendah hati dan
inklusif.⁴ Dalam konteks ini, filsafat kuantum bukan sekadar refleksi atas
fisika subatomik, tetapi juga upaya membangun kerangka berpikir baru yang
menempatkan manusia sebagai bagian dari jaringan kosmos yang saling terkait.
Dengan demikian, filsafat kuantum menjadi medan refleksi kritis terhadap
rasionalitas modern dan sekaligus peluang untuk menata ulang hubungan antara
sains dan nilai-nilai kemanusiaan.⁵
Artikel ini berupaya
menguraikan fondasi metafisik, epistemik, dan aksiologis dari filsafat kuantum
melalui pendekatan interdisipliner. Kajian ini tidak hanya menyoroti aspek
teknis dari teori kuantum, tetapi juga menggali implikasinya bagi filsafat
pengetahuan, etika, dan pandangan dunia kontemporer. Dengan kerangka
sistematis, pembahasan akan menelusuri akar historis teori kuantum, memeriksa
konsekuensi ontologisnya, mengkaji dimensi epistemik yang melibatkan kesadaran
dan pengamatan, serta mengevaluasi nilai-nilai moral yang dapat lahir dari
pandangan dunia kuantum. Tujuannya ialah menghadirkan suatu pemahaman
menyeluruh tentang bagaimana filsafat kuantum membuka kemungkinan baru bagi
rasionalitas yang lebih relasional, terbuka, dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 12–15.
[2]
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York:
Wiley, 1958), 24–26.
[3]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 38–42.
[4]
Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels
Between Modern Physics and Eastern Mysticism (Boston: Shambhala, 1975),
67–69.
[5]
Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution
(London: Penguin, 2021), 102–108.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Perkembangan
filsafat kuantum tidak dapat dilepaskan dari konteks historis munculnya
mekanika kuantum sebagai revolusi ilmiah yang mengguncang paradigma klasik.
Pada abad ke-17 hingga ke-19, fisika Newtonian memantapkan pandangan dunia
mekanistik yang berakar pada asumsi determinisme dan realisme objektif. Alam
dipandang sebagai sistem tertutup yang tunduk pada hukum-hukum universal dan
dapat dijelaskan secara matematis tanpa ambiguitas.¹ Dalam kerangka ini, konsep
causa
efficiens menjadi pusat dari penjelasan ilmiah: setiap peristiwa
memiliki sebab yang pasti dan dapat diramalkan.² Namun, pada awal abad ke-20,
paradigma ini mulai retak ketika muncul fenomena-fenomena yang tidak dapat dijelaskan
oleh fisika klasik, terutama pada skala atomik dan subatomik.
Tonggak pertama
revolusi kuantum ditandai oleh Max Planck pada tahun 1900 melalui hipotesis
kuanta energi.³ Dengan menyatakan bahwa energi tidak dipancarkan secara kontinu
tetapi dalam satuan diskret (quantum), Planck membuka jalan bagi
pemahaman baru tentang struktur realitas. Penemuan ini kemudian dikembangkan
oleh Albert Einstein dalam penjelasannya tentang efek fotolistrik (1905), yang
memperlihatkan bahwa cahaya dapat berperilaku sebagai partikel (photon)
dan bukan semata gelombang.⁴ Fenomena ini menantang dualisme klasik antara
materi dan energi serta membuka ruang bagi penafsiran ontologis baru tentang
keberadaan.
Perkembangan lebih
lanjut terjadi pada dekade 1920-an, ketika Niels Bohr memperkenalkan model
atom Bohr dan konsep quantum jumps, sementara Werner
Heisenberg merumuskan prinsip ketidakpastian (uncertainty principle) yang
menegaskan bahwa posisi dan momentum partikel tidak dapat diketahui secara
bersamaan dengan presisi tak terbatas.⁵ Prinsip ini mengguncang fondasi
epistemologi ilmiah, karena mengimplikasikan bahwa pengamatan ilmiah bukanlah
refleksi pasif terhadap realitas objektif, melainkan interaksi aktif antara
pengamat dan objek. Dalam kerangka interpretasi Kopenhagen yang dikembangkan
oleh Bohr dan Heisenberg, kenyataan fisik tidak memiliki makna definitif
sebelum dilakukan pengukuran; ia bersifat potensial dan hanya menjadi aktual
melalui tindakan pengamatan.⁶
Namun, tidak semua
ilmuwan sepakat dengan konsekuensi filosofis dari interpretasi ini. Albert
Einstein menolak indeterminisme kuantum dan menegaskan bahwa “Tuhan tidak
bermain dadu dengan alam semesta.”⁷ Ia, bersama Boris Podolsky dan Nathan
Rosen, mengajukan EPR Paradox (1935) untuk
menunjukkan bahwa teori kuantum belum lengkap, sebab ia mengabaikan variabel
tersembunyi yang mungkin menentukan keadaan sistem secara objektif.⁸ Meskipun
demikian, pandangan Einstein dikritik oleh para pendukung interpretasi
Kopenhagen, dan debat tersebut menjadi simbol ketegangan antara determinisme
klasik dan probabilisme kuantum dalam sejarah filsafat sains.
Pada pertengahan
abad ke-20, perdebatan ini diperluas melalui karya-karya filsuf dan fisikawan
yang berusaha memahami implikasi konseptual teori kuantum. Karl Popper,
misalnya, menolak pandangan bahwa teori kuantum bersifat final, dan menekankan
perlunya falsifikasionisme dalam menilai teori ilmiah.⁹ Sementara itu, David
Bohm mengembangkan interpretasi alternatif yang dikenal sebagai pilot-wave
theory atau implicate order, yang menolak
indeterminisme dan menekankan keteraturan tersembunyi di balik fenomena kuantum
yang tampak acak.¹⁰ Bohm melihat realitas bukan sebagai kumpulan partikel
terpisah, melainkan sebagai keseluruhan yang saling terkait (holistic
order).¹¹
Secara genealogis,
filsafat kuantum juga berakar pada tradisi metafisika klasik yang
mempertanyakan hakikat keberadaan dan perubahan. Konsep-konsep seperti potentiality
Aristoteles, substance Leibniz, dan process
Whitehead menemukan relevansi baru dalam konteks mekanika kuantum.¹² Whitehead,
melalui Process
and Reality (1929), mengajukan bahwa realitas pada dasarnya
bersifat dinamis dan relasional, suatu pandangan yang paralel dengan prinsip
dasar kuantum tentang interdependensi fenomena.¹³ Dengan demikian, filsafat
kuantum bukan sekadar hasil dari kemajuan sains modern, melainkan kelanjutan
dari dialog panjang antara fisika, metafisika, dan ontologi.
Transformasi
paradigma yang dimulai dari Planck hingga Whitehead menandai kelahiran
rasionalitas baru yang lebih terbuka terhadap kemungkinan, ketidakpastian, dan
relasionalitas. Genealogi filsafat kuantum memperlihatkan bahwa evolusi ilmu
pengetahuan tidak hanya bersifat kumulatif, tetapi juga revolusioner—mengubah
cara manusia memahami dirinya dan alam semesta secara fundamental.¹⁴
Footnotes
[1]
Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
(London: Royal Society, 1687), 34–36.
[2]
René Descartes, Principia Philosophiae (Amsterdam: Elzevir,
1644), 55–59.
[3]
Max Planck, “Über das Gesetz der Energieverteilung im Normalspektrum,” Annalen
der Physik 4 (1901): 553–563.
[4]
Albert Einstein, “Über einen die Erzeugung und Verwandlung des Lichtes
betreffenden heuristischen Gesichtspunkt,” Annalen der Physik 17
(1905): 132–148.
[5]
Werner Heisenberg, Über den anschaulichen Inhalt der
quantentheoretischen Kinematik und Mechanik (Berlin: Springer, 1927),
174–179.
[6]
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York:
Wiley, 1958), 39–44.
[7]
Albert Einstein, quoted in Max Born, The Born–Einstein Letters:
Correspondence Between Albert Einstein and Max Born, 1916–1955 (New York:
Walker, 1971), 90.
[8]
A. Einstein, B. Podolsky, and N. Rosen, “Can Quantum-Mechanical
Description of Physical Reality Be Considered Complete?” Physical Review
47 (1935): 777–780.
[9]
Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics
(London: Routledge, 1982), 25–30.
[10]
David Bohm, A Suggested Interpretation of the Quantum Theory in
Terms of “Hidden Variables” (London: Routledge, 1952), 169–172.
[11]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 10–15.
[12]
Gottfried W. Leibniz, Monadology (Paris: Des Bosses, 1714),
§14–§19.
[13]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York:
Macmillan, 1929), 43–48.
[14]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 89–94.
3.
Ontologi
Kuantum: Hakikat Realitas Mikro
Salah satu persoalan
paling mendasar dalam filsafat kuantum adalah pertanyaan mengenai apa yang
sesungguhnya ada di tingkat realitas mikro. Ontologi klasik—sejak
Aristoteles hingga Descartes—memahami realitas sebagai kumpulan substansi yang
memiliki eksistensi tetap, determinatif, dan independen dari subjek yang
mengamatinya.¹ Namun, penemuan-penemuan dalam fisika kuantum menantang
pandangan ini secara radikal. Pada tataran subatomik, realitas tidak lagi dapat
dipahami sebagai entitas solid yang memiliki posisi dan momentum pasti,
melainkan sebagai struktur relasional yang bersifat probabilistik dan
partisipatif.²
Heisenberg, melalui
prinsip ketidakpastian (Unschärferelation), menunjukkan
bahwa dalam mekanika kuantum tidak mungkin menentukan secara bersamaan posisi
dan momentum sebuah partikel dengan akurasi absolut.³ Prinsip ini bukan hanya
keterbatasan teknis pengukuran, tetapi menyingkap hakikat realitas yang memang
bersifat non-deterministik.
Dalam pandangan ini, eksistensi tidak hadir sebagai sesuatu yang “telah ada”
sebelum diamati, melainkan “menjadi” dalam proses interaksi antara
sistem dan pengamat.⁴ Dengan kata lain, realitas kuantum bersifat event-based—ia
muncul sebagai peristiwa, bukan sebagai benda tetap.⁵
Ontologi kuantum
juga menggugat dikotomi tradisional antara “subjek” dan “objek.”
Dalam kerangka interpretasi Kopenhagen yang dirumuskan oleh Bohr, entitas fisik
tidak memiliki sifat-sifat yang terdefinisi sebelum dilakukan pengukuran; sifat
itu hanya muncul melalui hubungan dengan alat ukur atau kesadaran pengamat.⁶
Maka, konsep keberadaan (being) dalam ranah kuantum tidak
dapat dilepaskan dari relasionalitasnya. Realitas bukan substansi statis,
tetapi jaringan kemungkinan (network of potentials).⁷
David Bohm
mengembangkan gagasan ini lebih jauh melalui teori implicate order, yang menegaskan
bahwa seluruh partikel dalam alam semesta saling terkait dalam tatanan
tersembunyi yang lebih mendalam.⁸ Menurut Bohm, apa yang tampak sebagai
peristiwa terpisah hanyalah manifestasi dari struktur kesatuan yang lebih
fundamental—sebuah holistic field of being.⁹ Dalam
perspektif ini, realitas mikro bukanlah kumpulan entitas atomistik, melainkan
ekspresi dari keseluruhan dinamis yang terus-menerus memunculkan bentuk-bentuk
partikular melalui proses aktualisasi.¹⁰
Dari sisi metafisik,
pendekatan ontologi kuantum memiliki kedekatan dengan filsafat proses Alfred
North Whitehead. Whitehead menolak gagasan substansi yang tidak berubah dan
menggantikannya dengan konsep “peristiwa aktual” (actual
occasions), di mana setiap elemen realitas merupakan proses
pengalaman yang saling terkait.¹¹ Pandangan ini resonan dengan mekanika kuantum
yang memandang realitas sebagai hasil dari interaksi dan relasi, bukan
keberadaan absolut yang berdiri sendiri.¹² Ontologi semacam ini dapat disebut
sebagai ontologi
relasional, yakni pandangan bahwa eksistensi bersumber dari
hubungan dan keterkaitan, bukan dari esensi yang tertutup.
Fenomena dualitas partikel-gelombang
menjadi ilustrasi paling jelas dari problem ontologis ini. Cahaya dan materi
dapat berperilaku sebagai gelombang atau partikel tergantung pada kondisi
eksperimental.¹³ Fenomena ini memperlihatkan bahwa “hakikat” entitas
kuantum bersifat kontekstual dan tidak memiliki identitas yang tetap.
Karenanya, ontologi kuantum menuntut pergeseran dari paradigma substansialistik
menuju paradigma dinamis dan relasional.
Implikasi dari
pandangan ini meluas hingga ranah metafisika dan teologi. Jika realitas
bersifat probabilistik dan partisipatif, maka keberadaan tidak lagi bisa
dipahami sebagai sesuatu yang “terberi,” melainkan sebagai proses
keterlibatan antara kesadaran, alam, dan kemungkinan.¹⁴ Dalam
kerangka ini, hakikat realitas mikro mengajarkan bahwa “menjadi” lebih
mendasar daripada “ada.” Ontologi kuantum, dengan demikian, membuka
jalan bagi reinterpretasi terhadap metafisika Barat yang selama ini didominasi
oleh esensialisme dan dualisme. Ia mengarah pada pandangan dunia yang
menekankan interkoneksi, ketidakpastian, dan kreativitas sebagai ciri
fundamental eksistensi.¹⁵
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 1025b25–30.
[2]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 41–44.
[3]
Werner Heisenberg, Über den anschaulichen Inhalt der
quantentheoretischen Kinematik und Mechanik (Berlin: Springer, 1927),
178–180.
[4]
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York:
Wiley, 1958), 52–55.
[5]
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin:
Springer, 1993), 23–25.
[6]
Niels Bohr, Essays 1958–1962 on Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: Wiley, 1963), 73–76.
[7]
Carlo Rovelli, Relational Quantum Mechanics, International
Journal of Theoretical Physics 35, no. 8 (1996): 1637–1678.
[8]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 105–111.
[9]
Ibid., 114–117.
[10]
Basil J. Hiley, “Active Information and Teleological Causality,” in Quantum
Implications: Essays in Honour of David Bohm, ed. Basil J. Hiley and F.
David Peat (London: Routledge, 1987), 45–57.
[11]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York:
Macmillan, 1929), 22–28.
[12]
Ibid., 37–42.
[13]
Richard P. Feynman, QED: The Strange Theory of Light and Matter
(Princeton: Princeton University Press, 1985), 15–19.
[14]
John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and
Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton:
Princeton University Press, 1983), 182–189.
[15]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975),
95–98.
4.
Epistemologi
Kuantum: Pengetahuan dan Pengamat
Masalah
epistemologis dalam filsafat kuantum berpusat pada hubungan antara pengamat dan
realitas yang diamati. Dalam paradigma sains klasik, pengetahuan dianggap
bersifat objektif dan bebas dari keterlibatan subjek: pengamat diposisikan
sebagai entitas eksternal yang dapat mengukur dunia tanpa mengubahnya.¹ Namun,
teori kuantum menggugat asumsi tersebut secara mendasar. Pada tingkat
subatomik, tindakan pengamatan itu sendiri justru memengaruhi keadaan sistem
yang diamati.² Fenomena ini, yang dikenal sebagai observer effect, menandakan bahwa
pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari proses partisipasi pengamat di dalam
kenyataan.³
Niels Bohr
menegaskan bahwa setiap pengukuran kuantum melibatkan interaksi antara sistem
dan alat ukur, sehingga hasil pengamatan tidak merepresentasikan realitas yang
“ada di luar sana,” melainkan hasil dari relasi tertentu antara subjek
dan objek.⁴ Dalam interpretasi Kopenhagen, realitas kuantum bersifat koheren
tetapi tidak definitif: keadaan sistem hanya
dapat dijelaskan dalam bentuk probabilitas sebelum diukur.⁵ Maka, epistemologi
kuantum tidak berurusan dengan “pengetahuan tentang hal-hal yang ada,”
melainkan dengan “pengetahuan tentang hubungan-hubungan yang mungkin.”⁶
Werner Heisenberg,
dalam Physics
and Philosophy, mengajukan bahwa teori kuantum menandai pergeseran
dari ontologi ke epistemologi: yang menjadi pusat bukan lagi pertanyaan “apa
yang ada,” melainkan “apa yang dapat diketahui.”⁷ Dalam kerangka
ini, konsep realitas berubah dari yang statis menjadi dinamis; pengamatan
bukanlah aktivitas pasif, melainkan peristiwa yang menciptakan kondisi realitas
itu sendiri.⁸ Heisenberg menulis bahwa “apa yang kita amati bukan alam itu
sendiri, tetapi alam sebagaimana ia tampil melalui metode pengamatan kita.”⁹
Epistemologi kuantum
dengan demikian bersifat partisipatoris. John Archibald
Wheeler merumuskan gagasan “participatory universe,” yang menegaskan bahwa
keberadaan alam semesta bergantung pada proses kesadaran yang mengamati.¹⁰
Dalam kerangka ini, pengamat bukan hanya penerima informasi, tetapi juga
pencipta makna—setiap tindakan pengamatan merupakan bentuk partisipasi dalam
munculnya realitas.¹¹ Perspektif ini mengaburkan batas antara ilmu pengetahuan
dan fenomenologi, antara objektivitas dan subyektivitas, sehingga menuntut
bentuk rasionalitas baru yang bersifat reflektif dan relasional.
Keterlibatan
pengamat juga menimbulkan krisis terhadap gagasan representasionalisme ilmiah. Teori
kuantum menunjukkan bahwa simbol dan persamaan matematis tidak lagi
merepresentasikan realitas secara langsung, tetapi berfungsi sebagai alat
prediksi terhadap kemungkinan hasil pengamatan.¹² Karenanya, epistemologi
kuantum menolak klaim korespondensi sederhana antara teori dan realitas, dan
menggantikannya dengan prinsip koherensi pragmatis: kebenaran
ilmiah terletak pada konsistensi internal dan daya guna teori, bukan pada
kemampuannya menyingkap hakikat ontologis.¹³
Fenomena paradoksal
seperti superposition
dan entanglement
memperkuat kesimpulan epistemik ini. Dalam superposition, sistem kuantum dapat
berada dalam dua atau lebih keadaan sekaligus hingga dilakukan pengukuran.¹⁴
Sedangkan entanglement
menunjukkan bahwa dua partikel yang pernah berinteraksi akan tetap terhubung
secara non-lokal, sehingga tindakan terhadap satu partikel akan memengaruhi
partikel lain meskipun terpisah jarak yang jauh.¹⁵ Kedua fenomena ini
memperlihatkan bahwa pengetahuan kuantum tidak dapat direduksi pada pengamatan
terhadap bagian-bagian terpisah, tetapi harus dipahami sebagai pemahaman
terhadap keterhubungan menyeluruh.
Implikasi
epistemologis dari hal ini sangat luas. Filsafat kuantum menegaskan bahwa
pengetahuan manusia bersifat terbatas, kontekstual, dan emergen.¹⁶ Realitas
tidak sepenuhnya dapat direduksi menjadi hukum universal, karena hukum itu
sendiri merupakan abstraksi dari relasi yang terus berubah. Dengan demikian,
epistemologi kuantum menuntut bentuk rasionalitas terbuka—sebuah cara
mengetahui yang mengakui keterbatasan, keterkaitan, dan peran kesadaran dalam
konstruksi makna ilmiah.¹⁷
Pada tataran yang
lebih reflektif, epistemologi kuantum menandai pertemuan antara ilmu dan
kesadaran. Jika pengetahuan selalu melibatkan partisipasi pengamat, maka batas
antara kognisi dan ontologi menjadi kabur: mengetahui berarti sekaligus
menciptakan.¹⁸ Dengan demikian, epistemologi kuantum membuka ruang bagi
filsafat kesadaran dan hermeneutika sains, di mana pencarian kebenaran bukanlah
usaha menguasai alam, tetapi memahami keterlibatan manusia di dalam jaringan
realitas yang hidup dan dinamis.¹⁹
Footnotes
[1]
Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
(London: Royal Society, 1687), 3–5.
[2]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 54–57.
[3]
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin:
Springer, 1993), 41–43.
[4]
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York:
Wiley, 1958), 55–60.
[5]
Ibid., 64–66.
[6]
Carlo Rovelli, Relational Quantum Mechanics, International
Journal of Theoretical Physics 35, no. 8 (1996): 1638–1640.
[7]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy, 63–65.
[8]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 85–89.
[9]
Heisenberg, Physics and Philosophy, 75.
[10]
John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and
Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton:
Princeton University Press, 1983), 184–188.
[11]
Ibid., 190–192.
[12]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 102–104.
[13]
Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics
(London: Routledge, 1982), 39–41.
[14]
Richard P. Feynman, QED: The Strange Theory of Light and Matter
(Princeton: Princeton University Press, 1985), 27–30.
[15]
Alain Aspect, Bell’s Theorem: The Naïve View of an Experimentalist,
Physics Today 44, no. 7 (1991): 54–60.
[16]
Basil J. Hiley, “Information, Quantum Theory, and the Structure of
Matter,” in Quantum Implications: Essays in Honour of David Bohm, ed.
Basil J. Hiley and F. David Peat (London: Routledge, 1987), 73–78.
[17]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975),
110–112.
[18]
Henry P. Stapp, Quantum Theory and Free Will: How Mental Intentions
Translate into Bodily Actions (Berlin: Springer, 2017), 21–24.
[19]
David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity
(New York: Bantam, 1987), 97–101.
5.
Aksiologi
dan Etika Kuantum
Dimensi aksiologis
filsafat kuantum berakar pada kesadaran bahwa pengetahuan ilmiah tidak pernah
netral secara nilai. Dalam paradigma klasik, sains diasumsikan bebas nilai (value-free
science), karena kebenaran diidentikkan dengan korespondensi antara
teori dan fakta objektif.¹ Namun, dalam kerangka kuantum, hubungan antara
pengamat dan realitas menegaskan keterlibatan etis dan eksistensial manusia
dalam proses mengetahui.² Artinya, tindakan ilmiah bukan semata aktivitas
kognitif, melainkan juga tindakan moral yang memuat tanggung jawab terhadap
makna, kehidupan, dan keberlanjutan kosmos.
Prinsip
ketidakpastian (uncertainty principle) memiliki
implikasi etis yang mendalam. Ia menunjukkan keterbatasan manusia dalam
menguasai dan memprediksi alam secara mutlak.³ Kesadaran atas keterbatasan ini
menumbuhkan etika kerendahan hati epistemik (epistemic
humility), yakni sikap yang mengakui bahwa kebenaran ilmiah
bersifat tentatif dan terbuka terhadap koreksi.⁴ Dalam konteks ini, sains
kuantum mengajarkan etos non-dogmatis dan anti-reduksionis: bahwa pengetahuan
sejati bukanlah dominasi atas realitas, tetapi dialog dengan kompleksitasnya.⁵
David Bohm, melalui
konsep wholeness
and implicate order, menegaskan bahwa realitas bersifat holistik
dan saling terhubung.⁶ Pandangan ini mendorong munculnya etika
interkoneksi, yaitu kesadaran bahwa setiap tindakan manusia
beresonansi dalam jaringan kosmik yang lebih luas.⁷ Etika ini menolak pandangan
atomistik dan instrumental yang mendominasi modernitas, menggantikannya dengan
kesadaran ekologis dan tanggung jawab ontologis terhadap seluruh eksistensi.⁸
Dalam kerangka ini, tindakan etis tidak dapat dipisahkan dari pemahaman
ilmiah—karena mengetahui berarti turut serta dalam keberlangsungan realitas itu
sendiri.
Fritjof Capra
mengembangkan gagasan serupa melalui konsep ekologi kuantum, yang menegaskan
bahwa prinsip-prinsip fisika kuantum—seperti keterhubungan, ketidakpastian, dan
keseimbangan dinamis—dapat menjadi dasar bagi etika ekologis global.⁹ Dalam The Tao
of Physics, Capra membandingkan pandangan kuantum dengan kosmologi
Timur, menunjukkan bahwa harmoni antara manusia dan alam bukanlah ideal moral
eksternal, melainkan struktur dasar realitas itu sendiri.¹⁰ Kesadaran kuantum
dengan demikian mengandung nilai intrinsik: penghormatan terhadap kompleksitas,
ketidakterpisahan, dan keutuhan.
Selain itu,
epistemologi partisipatoris kuantum juga melahirkan etika tanggung jawab pengetahuan.
John A. Wheeler mengingatkan bahwa dalam alam semesta partisipatoris, pengamat
berperan aktif dalam membentuk realitas yang diamatinya.¹¹ Maka, setiap bentuk
penyelidikan ilmiah mengandung dimensi tanggung jawab moral terhadap
konsekuensi pengetahuannya.¹² Etika kuantum menolak pandangan positivistik yang
menempatkan sains di luar ranah moral, dan menggantikannya dengan prinsip responsibility
in knowing—bahwa mengetahui berarti turut mencipta, dan karena itu
menuntut kesadaran etis.¹³
Implikasi aksiologis
ini juga meluas ke ranah spiritual dan sosial. Filsafat kuantum mengajarkan
bahwa nilai tertinggi bukanlah dominasi atau kontrol, melainkan keterlibatan
yang sadar dengan jaringan kehidupan.¹⁴ Kesadaran akan realitas yang relasional
memunculkan sikap empatik dan moderat terhadap perbedaan, karena semua
keberadaan merupakan bagian dari totalitas yang sama.¹⁵ Dalam pengertian ini,
etika kuantum dapat menjadi jembatan antara sains dan spiritualitas, antara
pengetahuan dan kebijaksanaan.
Aksiologi kuantum
dengan demikian menawarkan paradigma baru bagi etika ilmiah dan eksistensial:
bahwa nilai-nilai moral tidak berasal dari luar realitas, tetapi inheren di
dalam struktur alam semesta yang partisipatif.¹⁶ Sains tidak lagi sekadar
mencari penjelasan, melainkan menjadi sarana untuk menegaskan kebermaknaan dan
tanggung jawab manusia dalam kosmos. Dengan mengakui bahwa setiap tindakan
pengetahuan adalah tindakan moral, filsafat kuantum menegakkan dasar bagi etika
universal yang berakar pada kesatuan, keterbatasan, dan kasih terhadap
keberadaan.¹⁷
Footnotes
[1]
Max Weber, “Science as a Vocation,” in From Max Weber:
Essays in Sociology, ed. H. H. Gerth and C. Wright Mills (New York: Oxford
University Press, 1946), 129–156.
[2]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 71–74.
[3]
Ibid., 80–83.
[4]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Hutchinson, 1959), 31–33.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 167–170.
[6]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 105–110.
[7]
Basil J. Hiley, “Active Information and Teleological Causality,” in Quantum
Implications: Essays in Honour of David Bohm, ed. Basil J. Hiley and F.
David Peat (London: Routledge, 1987), 48–51.
[8]
Rupert Sheldrake, The Rebirth of Nature: The Greening of Science
and God (New York: Bantam, 1991), 72–76.
[9]
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 29–33.
[10]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975),
115–118.
[11]
John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and
Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton:
Princeton University Press, 1983), 182–187.
[12]
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin:
Springer, 1993), 97–100.
[13]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the
Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press,
2007), 175–179.
[14]
David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity
(New York: Bantam, 1987), 129–133.
[15]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 186–190.
[16]
Ilya Prigogine, The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws
of Nature (New York: Free Press, 1997), 91–95.
[17]
Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin
Institute 221 (1936): 349–382.
6.
Dimensi
Sosial dan Intelektual
Filsafat kuantum, di
luar konteks fisika teoretis, telah memengaruhi cara manusia memahami hubungan
antara ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesadaran kolektif. Sejak paruh kedua
abad ke-20, gagasan-gagasan kuantum mulai menembus batas laboratorium dan
menjadi inspirasi bagi wacana filsafat, teologi, psikologi, dan bahkan politik
pengetahuan.¹ Secara sosial, revolusi kuantum menandai pergeseran dari
paradigma mekanistik menuju paradigma holistik, yang menekankan keterhubungan
dan interdependensi antara manusia dan realitas.² Dalam pengertian ini,
filsafat kuantum tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga epistemologis dan
kultural—membentuk cara baru dalam melihat dunia sebagai jaringan dinamis makna
dan relasi.³
Salah satu dampak
sosial-intelektual utama filsafat kuantum adalah penggugatan terhadap
positivisme ilmiah. Paradigma klasik yang menempatkan sains sebagai
satu-satunya sumber kebenaran rasional mulai ditantang oleh kesadaran kuantum
yang mengakui keterbatasan pengamatan dan ketergantungan makna pada konteks.⁴
Filsafat kuantum membuka ruang bagi pluralitas epistemik dan memperkuat
nilai-nilai keterbukaan terhadap perspektif lain, termasuk dimensi humanistik
dan spiritual dalam pengetahuan.⁵ Dalam kerangka ini, masyarakat ilmiah tidak
lagi dipahami sebagai komunitas yang mencari kepastian tunggal, melainkan
sebagai jaringan reflektif yang menafsirkan kebenaran dalam relasi sosial dan
simbolik yang luas.⁶
Dampak
intelektualnya tampak dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam psikologi, misalnya, pendekatan
kuantum mengilhami lahirnya teori-teori kesadaran non-lokal dan model
partisipatif antara pikiran dan materi.⁷ Carl Gustav Jung dan Wolfgang Pauli,
melalui korespondensi mereka, mencoba memahami fenomena synchronicity
sebagai cerminan keterhubungan batin antara psike dan realitas fisik, yang
selaras dengan prinsip-prinsip kuantum.⁸ Dalam ilmu sosial, teori sistem dan
kompleksitas—seperti dikembangkan oleh Niklas Luhmann dan Ilya
Prigogine—menunjukkan bahwa masyarakat dan alam semesta tunduk pada dinamika
ketidakteraturan teratur (order through fluctuation), di mana
ketidakpastian justru menjadi sumber kreativitas dan evolusi.⁹
Dalam konteks budaya
kontemporer, filsafat kuantum juga menstimulasi kebangkitan minat terhadap
integrasi antara sains dan spiritualitas. Buku-buku seperti The Tao
of Physics karya Fritjof Capra dan The Dancing Wu Li Masters karya
Gary Zukav memperkenalkan gagasan bahwa prinsip-prinsip kuantum dapat dipahami
selaras dengan intuisi mistik Timur.¹⁰ Namun, perkembangan ini juga menimbulkan
problem baru, yakni munculnya mistisisme kuantum yang cenderung
menyederhanakan teori fisika menjadi narasi spiritual tanpa dasar metodologis
yang kuat.¹¹ Meskipun demikian, fenomena ini memperlihatkan pengaruh luas
filsafat kuantum terhadap kesadaran publik, menunjukkan bahwa ide-ide ilmiah
dapat bertransformasi menjadi wacana sosial yang membentuk nilai dan identitas
zaman.¹²
Lebih jauh lagi,
filsafat kuantum turut mengubah orientasi intelektual dalam pendidikan dan
etika ilmiah. Kesadaran akan ketidakpastian dan relasionalitas menuntut
pendekatan pedagogis yang menekankan kreativitas, refleksi kritis, dan empati
intelektual.¹³ Dalam pendidikan sains, paradigma kuantum mengajarkan bahwa
belajar bukan sekadar menghafal hukum-hukum alam, melainkan memahami
keterlibatan manusia dalam proses pengetahuan itu sendiri.¹⁴ Pendidikan
berbasis kesadaran kuantum berorientasi pada pembentukan cara berpikir holistik
yang menolak dikotomi antara rasionalitas dan intuisi, antara objektivitas dan
subjektivitas.¹⁵
Secara intelektual,
filsafat kuantum juga mempengaruhi transformasi rasionalitas modern. Jürgen
Habermas menyebut perlunya rasionalitas komunikatif—sebuah
rasionalitas yang tidak menundukkan realitas pada logika instrumental, tetapi
membangun pemahaman melalui dialog.¹⁶ Prinsip ini sejalan dengan etos kuantum
yang menempatkan interaksi dan partisipasi sebagai dasar kebermaknaan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa filsafat kuantum berkontribusi pada lahirnya epistemologi
dialogis dalam ilmu pengetahuan modern, di mana kebenaran dipahami
sebagai hasil korespondensi antara manusia, alam, dan komunitas ilmiah.¹⁷
Dari segi sosial,
kesadaran kuantum menawarkan dasar filosofis bagi etika ekologis dan
solidaritas global. Paradigma keterhubungan yang ditemukan dalam fisika kuantum
mengilhami gerakan intelektual dan sosial yang menekankan pentingnya
keseimbangan dan keberlanjutan planet.¹⁸ Dalam tatanan masyarakat yang semakin
kompleks, prinsip-prinsip relasionalitas, koherensi, dan non-linearitas dapat
menjadi metafora epistemik untuk membangun sistem sosial yang inklusif dan
adaptif.¹⁹ Oleh karena itu, dimensi sosial dan intelektual filsafat kuantum
tidak hanya bersifat reflektif, tetapi juga transformatif: ia mengubah cara
manusia berpikir, berinteraksi, dan menilai dunia.
Footnotes
[1]
Fritjof Capra, The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels
Between Modern Physics and Eastern Mysticism (Boston: Shambhala, 1975),
xv–xviii.
[2]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 3–7.
[3]
Ervin Laszlo, The Systems View of the World (New York: George
Braziller, 1972), 12–15.
[4]
Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics
(London: Routledge, 1982), 29–31.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 174–176.
[6]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the
Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press,
2007), 138–141.
[7]
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin:
Springer, 1993), 84–86.
[8]
C. G. Jung and Wolfgang Pauli, Atom and Archetype: The Pauli/Jung
Letters, 1932–1958, ed. C. A. Meier (Princeton: Princeton University
Press, 2001), 43–46.
[9]
Ilya Prigogine and Isabelle Stengers, Order Out of Chaos: Man’s New
Dialogue with Nature (New York: Bantam, 1984), 67–72.
[10]
Gary Zukav, The Dancing Wu Li Masters: An Overview of the New
Physics (New York: William Morrow, 1979), 22–25.
[11]
Victor J. Stenger, Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search
for Cosmic Consciousness (Amherst, NY: Prometheus Books, 2009), 45–49.
[12]
Brian Greene, The Elegant Universe: Superstrings, Hidden
Dimensions, and the Quest for the Ultimate Theory (New York: W. W. Norton,
1999), 327–330.
[13]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 189–192.
[14]
David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity
(New York: Bantam, 1987), 95–98.
[15]
Ibid., 100–103.
[16]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason
and the Rationalization of Society (Boston: Beacon Press, 1984), 273–277.
[17]
Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution
(London: Penguin, 2021), 134–138.
[18]
Rupert Sheldrake, The Rebirth of Nature: The Greening of Science
and God (New York: Bantam, 1991), 88–91.
[19]
Ervin Laszlo, Science and the Akashic Field: An Integral Theory of
Everything (Rochester, VT: Inner Traditions, 2004), 52–57.
7.
Kritik
dan Klarifikasi Filosofis
Filsafat kuantum,
meskipun telah membuka horizon baru dalam pemikiran ilmiah dan metafisik, tidak
terlepas dari kritik dan perdebatan yang intens. Sebagian besar kritik
diarahkan pada kecenderungan interpretatif yang terlalu luas—baik dalam bentuk
reduksionisme ilmiah maupun mistifikasi spiritual—yang mengaburkan batas antara
teori fisika dan refleksi filosofis.¹ Oleh karena itu, diperlukan klarifikasi
filosofis yang ketat untuk menempatkan filsafat kuantum dalam kerangka
epistemik yang sahih: bukan sebagai metafisika spekulatif tanpa dasar empiris,
dan bukan pula sebagai positivisme baru yang menutup ruang refleksi metafisik.²
Salah satu kritik
utama terhadap filsafat kuantum datang dari kalangan realis ilmiah. Karl
Popper, misalnya, menolak interpretasi probabilistik mekanika kuantum yang
meniadakan realitas objektif.³ Baginya, teori kuantum harus dipahami sebagai
model yang belum lengkap, bukan sebagai deskripsi final tentang hakikat alam.⁴
Popper menilai bahwa interpretasi Kopenhagen terlalu menyerah pada relativisme
epistemologis, sehingga mengaburkan perbedaan antara observasi empiris dan
ontologi realitas.⁵ Kritik ini berakar pada keyakinan bahwa dunia fisik
memiliki struktur independen yang tidak bergantung pada pengamat, dan tugas
filsafat sains adalah mengungkap struktur tersebut tanpa reduksi terhadap kesadaran.⁶
Sebaliknya, kalangan
antirealis seperti Niels Bohr dan Werner Heisenberg menolak realisme naif
dengan menekankan bahwa konsep realitas tanpa pengamat adalah non-sense dalam
konteks kuantum.⁷ Bagi Bohr, bahasa ilmiah hanya bermakna sejauh terkait dengan
hasil pengukuran; di luar itu, pembicaraan tentang “realitas objektif”
hanyalah metafora kosong.⁸ Namun posisi ini pun menimbulkan persoalan baru:
jika realitas hanya ada dalam konteks pengamatan, apakah filsafat kuantum tidak
jatuh pada solipsisme epistemik?⁹
Upaya menjembatani
kedua ekstrem ini dilakukan oleh David Bohm melalui teori implicate
order. Bohm menolak baik determinisme klasik maupun indeterminisme
absolut dengan mengajukan ontologi relasional di mana partikel dan kesadaran
merupakan manifestasi dari tatanan yang lebih dalam.¹⁰ Namun, gagasan Bohm juga
dikritik karena cenderung metaforis dan sulit diverifikasi secara empiris.¹¹
Dalam konteks filsafat ilmu, problem ini memperlihatkan dilema klasik antara
kebutuhan akan penjelasan ontologis dan batas validasi ilmiah.¹²
Kritik lain muncul
terhadap apa yang disebut “mistisisme kuantum.” Beberapa penulis populer
seperti Fritjof Capra dan Gary Zukav sering dituduh melakukan category
mistake dengan menggabungkan terminologi fisika dan konsep spiritual
tanpa dasar epistemik yang ketat.¹³ Victor Stenger bahkan menyebut pendekatan
semacam itu sebagai “paganisme saintifik,” karena mengaburkan batas
antara metafora filosofis dan hukum fisika.¹⁴ Klarifikasi perlu ditegaskan
bahwa hubungan antara fisika kuantum dan spiritualitas bersifat analogis, bukan
identik: kesamaan pola pemikiran tidak berarti kesetaraan ontologis.¹⁵ Filsafat
kuantum yang sahih harus tetap berpijak pada prinsip rasionalitas kritis dan
konsistensi logis, bukan pada narasi metaforis yang bersifat persuasif.
Dari sisi metafisika
klasik, filsafat kuantum juga menghadapi tantangan dalam menjelaskan koherensi
ontologis. Tradisi Aristotelian, misalnya, menuntut adanya prinsip identitas
dan non-kontradiksi sebagai dasar logika ontologis.¹⁶ Namun, realitas kuantum
tampaknya menantang prinsip tersebut dengan memperlihatkan entitas yang dapat
berada dalam dua keadaan sekaligus (superposition).¹⁷ Klarifikasi
filosofis di sini menuntut reinterpretasi logika klasik, bukan penolakannya.
Beberapa filsuf kontemporer seperti Bas van Fraassen dan Graham Priest
mengusulkan bentuk logika parakonsisten atau quantum logic yang mampu menampung
kontradiksi terbatas tanpa merusak struktur rasionalitas.¹⁸
Kritik epistemologis
lain menyangkut status bahasa dalam fisika kuantum. Heisenberg dan Bohr
menegaskan bahwa bahasa sehari-hari dan matematika tidak sepenuhnya mampu
menggambarkan realitas kuantum secara langsung; keduanya bersifat simbolik dan
analogis.¹⁹ Karen Barad memperluas hal ini melalui konsep agential
realism, yang menolak dikotomi antara pengamat dan objek, serta
menekankan performativitas pengetahuan.²⁰ Meskipun gagasan Barad membantu
memperluas pemahaman relasional, sebagian filsuf menilai bahwa posisinya
mengandung risiko relativisme ontologis, karena mengaburkan batas antara
konstruksi teoretis dan realitas independen.²¹
Secara umum, kritik
terhadap filsafat kuantum menyoroti perlunya disiplin konseptual antara sains
dan filsafat.²² Filsafat kuantum yang autentik harus mampu menafsirkan temuan
fisika tanpa jatuh pada dua ekstrem: positivisme sempit yang menolak makna
metafisik, dan spiritualisme longgar yang mengabaikan metodologi ilmiah.²³
Klarifikasi filosofis menuntut integrasi antara ketelitian ilmiah dan refleksi
ontologis—suatu keseimbangan antara rasionalitas empiris dan kebijaksanaan
metafisik.²⁴ Dengan demikian, filsafat kuantum dapat mempertahankan kedudukan
epistemiknya sebagai jembatan antara sains dan filsafat, tanpa kehilangan
kedalaman analisis maupun integritas metodologinya.²⁵
Footnotes
[1]
Mario Bunge, Quantum Mechanics and Philosophy: Causality and
Interpretation (Berlin: Springer, 1956), 7–10.
[2]
Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View
(Oxford: Clarendon Press, 1991), 15–18.
[3]
Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics
(London: Routledge, 1982), 25–28.
[4]
Ibid., 30–32.
[5]
Ibid., 33–34.
[6]
Roy Bhaskar, A Realist Theory of Science (London: Verso,
1975), 45–49.
[7]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 58–60.
[8]
Niels Bohr, Essays 1958–1962 on Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: Wiley, 1963), 82–84.
[9]
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin:
Springer, 1993), 40–43.
[10]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 97–101.
[11]
John Bell, “On the Problem of Hidden Variables in Quantum Mechanics,” Reviews
of Modern Physics 38 (1966): 447–452.
[12]
Erwin Schrödinger, Science and Humanism: Physics in Our Time
(Cambridge: Cambridge University Press, 1952), 21–24.
[13]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975),
135–139; Gary Zukav, The Dancing Wu Li Masters (New York: William
Morrow, 1979), 87–92.
[14]
Victor J. Stenger, Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search
for Cosmic Consciousness (Amherst, NY: Prometheus Books, 2009), 47–51.
[15]
Jim Baggott, Farewell to Reality: How Modern Physics Has Betrayed
the Search for Scientific Truth (London: Constable, 2013), 213–216.
[16]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), 1005b15–25.
[17]
Richard P. Feynman, QED: The Strange Theory of Light and Matter
(Princeton: Princeton University Press, 1985), 27–30.
[18]
Graham Priest, In Contradiction: A Study of the Transconsistent
(Oxford: Clarendon Press, 1987), 112–118.
[19]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy, 89–92.
[20]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the
Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press,
2007), 132–136.
[21]
Quentin Meillassoux, After Finitude: An Essay on the Necessity of Contingency
(London: Continuum, 2008), 51–54.
[22]
Hilary Putnam, The Many Faces of Realism (LaSalle, IL: Open
Court, 1987), 97–99.
[23]
Ilya Prigogine, The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws
of Nature (New York: Free Press, 1997), 99–103.
[24]
Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View,
198–201.
[25]
David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity
(New York: Bantam, 1987), 149–152.
8.
Relevansi
Kontemporer
Filsafat kuantum,
dengan seluruh implikasi ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, menempati
posisi yang semakin penting dalam lanskap intelektual abad ke-21. Di tengah
krisis epistemik, ekologis, dan eksistensial yang dihadapi dunia modern,
paradigma kuantum menawarkan kerangka konseptual baru untuk memahami hubungan
antara manusia, pengetahuan, dan realitas.¹ Ia bukan hanya teori fisika,
melainkan juga modus cogitandi baru—cara berpikir
yang lebih relasional, dinamis, dan terbuka terhadap kompleksitas.²
Dalam bidang sains
dan teknologi, filsafat kuantum memiliki relevansi mendasar bagi perkembangan
komputasi dan kecerdasan buatan (AI). Komputasi kuantum, misalnya, didasarkan
pada prinsip superposition dan entanglement
yang memungkinkan pemrosesan informasi secara paralel pada skala eksponensial.³
Namun di balik kemajuan teknologis ini tersembunyi pertanyaan filosofis yang
dalam: apakah logika klasik manusia masih memadai untuk memahami sistem yang
beroperasi di luar prinsip deterministik?⁴ Di sinilah filsafat kuantum
berperan—ia menantang batas rasionalitas konvensional dan membuka ruang bagi
pemikiran non-linear yang lebih sesuai dengan realitas digital dan kompleks.⁵
Dalam konteks
filsafat kesadaran, gagasan kuantum juga digunakan untuk menafsirkan relasi
antara pikiran dan materi. Henry Stapp dan Roger Penrose, misalnya, berargumen
bahwa kesadaran mungkin berkaitan dengan proses kuantum dalam otak, di mana
kolaps fungsi gelombang terjadi secara non-deterministik dan terlibat dalam
pengalaman subjektif.⁶ Meskipun teori ini masih kontroversial, ia memperluas
horizon neurofilsafat dengan menghubungkan dimensi material dan fenomenal
kesadaran secara lebih integral.⁷ Dengan demikian, relevansi filsafat kuantum
tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga ontologis—menantang pandangan
reduksionistik yang memisahkan kesadaran dari alam.
Relevansi
kontemporer lainnya terdapat dalam ranah etika lingkungan dan filsafat ekologi.
Prinsip keterhubungan dan kesalingtergantungan dalam mekanika kuantum mendukung
pandangan dunia ekologis yang menolak dualisme antara manusia dan alam.⁸
Pandangan ini memperkuat gerakan ecological holism, yang memandang
bahwa setiap tindakan lokal memiliki resonansi global dalam tatanan kosmik.⁹
Dengan kata lain, kesadaran ekologis dapat diperkaya oleh metafora kuantum
tentang realitas sebagai jaringan kemungkinan yang saling menembus. Etika
lingkungan kuantum menekankan tanggung jawab manusia bukan hanya sebagai
pengelola sumber daya, tetapi sebagai partisipan aktif dalam keberlanjutan
sistem kehidupan.¹⁰
Dalam ranah filsafat
ilmu, relevansi filsafat kuantum tampak dalam upayanya merekonstruksi kembali
hubungan antara pengetahuan dan nilai. Paradigma kuantum menolak dikotomi lama
antara rasionalitas ilmiah dan dimensi moral, mengusulkan epistemologi yang
lebih reflektif dan sadar-diri.¹¹ Model ini beresonansi dengan gagasan post-positivisme
dan critical
realism, yang mengakui bahwa sains tidak bebas nilai, melainkan
selalu beroperasi dalam horizon etis dan sosial tertentu.¹² Filsafat kuantum
dengan demikian dapat menjadi dasar bagi reformasi metodologis dalam sains modern—menuju
sains yang tidak hanya menjelaskan, tetapi juga memaknai keberadaan.
Lebih jauh, dalam
konteks sosial-politik, kesadaran kuantum memiliki implikasi bagi pembentukan
etika global dan dialog antarperadaban. Prinsip relasionalitas dan non-lokalitas
dapat dijadikan metafora epistemologis bagi model interaksi antarbudaya yang
saling menghormati dan saling memengaruhi tanpa kehilangan identitas
masing-masing.¹³ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh ideologi dan
polarisasi digital, filsafat kuantum mengajarkan bahwa keberagaman bukanlah
kontradiksi, melainkan bentuk koherensi tingkat tinggi.¹⁴
Akhirnya, relevansi
filsafat kuantum di era kontemporer terletak pada kemampuannya menjembatani
tiga dimensi besar pengetahuan manusia: sains, filsafat, dan spiritualitas. Ia
menunjukkan bahwa kebenaran tidak tunggal dan absolut, melainkan merupakan
hasil interaksi antara rasionalitas, pengalaman, dan kesadaran.¹⁵ Dalam
kerangka ini, filsafat kuantum bukan sekadar warisan ilmiah abad ke-20, tetapi
paradigma berpikir abad ke-21—sebuah filsafat keterhubungan yang menegaskan
bahwa realitas adalah jaringan makna yang hidup, dan
bahwa tugas manusia bukan untuk menguasainya, melainkan untuk berpartisipasi
secara bijaksana di dalamnya.¹⁶
Footnotes
[1]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 187–191.
[2]
David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity
(New York: Bantam, 1987), 154–157.
[3]
Michael A. Nielsen and Isaac L. Chuang, Quantum Computation and
Quantum Information (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 31–34.
[4]
John Preskill, “Quantum Computing in the NISQ Era and Beyond,” Quantum
2 (2018): 79–83.
[5]
Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution
(London: Penguin, 2021), 146–150.
[6]
Henry P. Stapp, Quantum Theory and Free Will: How Mental Intentions
Translate into Bodily Actions (Berlin: Springer, 2017), 59–63.
[7]
Roger Penrose, The Emperor’s New Mind: Concerning Computers, Minds,
and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 350–355.
[8]
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 42–45.
[9]
Ervin Laszlo, Science and the Akashic Field: An Integral Theory of
Everything (Rochester, VT: Inner Traditions, 2004), 62–66.
[10]
Rupert Sheldrake, The Rebirth of Nature: The Greening of Science
and God (New York: Bantam, 1991), 91–95.
[11]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 189–191.
[12]
Roy Bhaskar, Critical Realism: Essential Readings (London:
Routledge, 1998), 23–26.
[13]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the
Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press,
2007), 280–284.
[14]
Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ: Hampton Press,
2008), 112–115.
[15]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 188–191.
[16]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975),
199–203.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Ontologi Relasional dan Rasionalitas Baru
Upaya membangun
sintesis filosofis dari revolusi kuantum menuntut pemikiran yang melampaui
dikotomi tradisional antara subjektivitas dan objektivitas, antara determinisme
dan kebetulan, serta antara sains dan metafisika.¹ Filsafat kuantum membuka
peluang bagi lahirnya bentuk rasionalitas baru—rasionalitas relasional—yang tidak
lagi memandang pengetahuan sebagai representasi statis tentang realitas,
melainkan sebagai keterlibatan dinamis antara pengamat, sistem, dan makna.²
Dalam paradigma ini, realitas tidak dipahami sebagai “benda” (res
extensa), melainkan sebagai “jaringan relasi” (nexus of
relations) yang senantiasa menjadi (becoming).³
Ontologi relasional
ini berakar pada kesadaran bahwa segala sesuatu dalam alam semesta bersifat
interdependen dan koheren dalam suatu tatanan yang mendalam. David Bohm
menyebutnya sebagai implicate order—sebuah dimensi
realitas di mana semua bagian saling meliputi dalam kesatuan yang utuh.⁴ Dalam
tatanan ini, dualitas antara partikel dan gelombang, antara materi dan
kesadaran, hanyalah ekspresi dari dinamika yang sama, dilihat dari sudut yang
berbeda.⁵ Maka, menjadi berarti berelasi; eksistensi tidak dapat dipisahkan
dari konteksnya. Filsafat kuantum, dengan demikian, mengembalikan metafisika
pada akar relasionalnya—suatu pandangan yang sejalan dengan ontologi proses
Alfred North Whitehead.⁶
Whitehead menolak
gagasan substansi yang statis dan menggantikannya dengan konsep actual
occasions—setiap entitas adalah proses peristiwa yang saling
menimbulkan dan saling melibatkan.⁷ Dalam kerangka ini, realitas tidak dibangun
oleh objek-objek, tetapi oleh peristiwa-peristiwa relasional yang membentuk
jalinan universal pengalaman.⁸ Sintesis antara Bohm dan Whitehead menghasilkan
apa yang dapat disebut sebagai ontologi proses-relasional, yakni
pandangan bahwa keberadaan bersifat emergen dan partisipatif, bukan final dan
absolut.⁹
Rasionalitas baru
yang lahir dari kerangka ini berbeda dari rasionalitas modern yang menekankan
linearitas, objektivitas, dan prediktabilitas. Filsafat kuantum menuntut rasionalitas
terbuka, yang bersifat reflektif, dialogis, dan inklusif terhadap
kompleksitas.¹⁰ Carlo Rovelli menyebutnya relational rationality, di mana
pengetahuan tidak lagi dipahami sebagai penyingkapan satu realitas tunggal,
tetapi sebagai jaringan pemahaman yang koheren di antara berbagai sistem
referensial.¹¹ Rasionalitas semacam ini tidak meniadakan kebenaran, tetapi
memandangnya sebagai hasil koherensi dinamis dalam sistem relasi, bukan sebagai
absolutisme proposisional.¹²
Dalam konteks
epistemologi, rasionalitas relasional juga berimplikasi pada cara baru memahami
ilmu pengetahuan. Ia menolak model “subjek-objek” yang hirarkis dan
menggantinya dengan model “partisipasi mutual.”¹³ Karen Barad
menyebutnya intra-action, yakni hubungan di
mana pengamat dan objek tidak eksis secara terpisah, tetapi lahir bersama dalam
tindakan pengamatan.¹⁴ Ini bukan relativisme, melainkan pengakuan bahwa makna
ilmiah muncul dari interaksi yang material dan konseptual sekaligus. Dengan
demikian, sains dipahami sebagai praksis reflektif, bukan sebagai sistem
dogmatis.¹⁵
Sintesis ini juga
berdampak pada dimensi aksiologis. Jika realitas bersifat relasional, maka
nilai dan etika juga harus berbasis pada keterhubungan.¹⁶ Filsafat kuantum
memunculkan bentuk etika kosmologis yang menolak pemisahan antara fakta dan
nilai. Dalam dunia yang saling terkait, tindakan individu memiliki resonansi
universal; tanggung jawab moral menjadi bagian inheren dari struktur realitas.¹⁷
Etika relasional ini menekankan prinsip koherensi—bahwa kebaikan bukanlah
sekadar hukum normatif, tetapi harmoni dinamis antara manusia dan kosmos.¹⁸
Lebih jauh, sintesis
filosofis kuantum membuka peluang bagi metafisika baru yang bersifat
plural dan non-dualistik. Edgar Morin menyebutnya pensée complexe—cara berpikir yang
menggabungkan sains, filsafat, dan spiritualitas tanpa menghapus perbedaan
metodologisnya.¹⁹ Dalam metafisika ini, rasionalitas tidak lagi dipahami
sebagai dominasi atas realitas, melainkan sebagai dialog terus-menerus dengan
misteri keberadaan.²⁰ Filsafat kuantum, dengan demikian, menggeser tujuan
pengetahuan: dari upaya menguasai dunia menuju usaha memahami keterlibatan kita
di dalamnya.²¹
Sintesis ontologis
dan rasionalitas baru ini menandai babak baru dalam sejarah filsafat ilmu. Ia
mengembalikan peran filsafat sebagai refleksi atas keterbatasan dan potensi
rasionalitas manusia.²² Filsafat kuantum bukanlah akhir dari sains, tetapi
perluasan cakrawala pengetahuan menuju kesadaran bahwa mengetahui dan menjadi
adalah dua aspek dari proses yang sama.²³ Dalam kesimpulan ini, filsafat
kuantum menampilkan dirinya bukan hanya sebagai cabang refleksi ilmiah, tetapi
sebagai paradigma eksistensial yang menuntun manusia menuju harmoni intelektual,
etis, dan kosmologis.²⁴
Footnotes
[1]
Erwin Schrödinger, Science and Humanism: Physics in Our Time
(Cambridge: Cambridge University Press, 1952), 17–19.
[2]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975),
211–214.
[3]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 184–187.
[4]
Ibid., 188–192.
[5]
Basil J. Hiley, “The Algebraic Way: Quantum Processes as Generalized
Orders,” in Quantum Implications: Essays in Honour of David Bohm, ed.
Basil J. Hiley and F. David Peat (London: Routledge, 1987), 67–72.
[6]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York:
Macmillan, 1929), 43–46.
[7]
Ibid., 84–88.
[8]
John B. Cobb Jr. and David Ray Griffin, Process Theology: An
Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 21–24.
[9]
David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity
(New York: Bantam, 1987), 153–157.
[10]
Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ: Hampton Press,
2008), 122–126.
[11]
Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution
(London: Penguin, 2021), 159–162.
[12]
Hilary Putnam, The Many Faces of Realism (LaSalle, IL: Open
Court, 1987), 103–105.
[13]
Niels Bohr, Essays 1958–1962 on Atomic Physics and Human Knowledge
(New York: Wiley, 1963), 93–95.
[14]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the
Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press,
2007), 175–178.
[15]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 200–203.
[16]
Ilya Prigogine, The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws
of Nature (New York: Free Press, 1997), 97–101.
[17]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 194–198.
[18]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order, 195–197.
[19]
Edgar Morin, Method: Towards a Study of Humankind, Vol. 1 (New
York: Peter Lang, 1992), 67–71.
[20]
Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View
(Oxford: Clarendon Press, 1991), 203–206.
[21]
John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and Measurement,
ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton: Princeton University
Press, 1983), 184–188.
[22]
Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics
(London: Routledge, 1982), 191–194.
[23]
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin:
Springer, 1993), 135–138.
[24]
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 199–203.
10. Kesimpulan
Filsafat kuantum
menghadirkan salah satu revolusi epistemik dan ontologis terbesar dalam sejarah
pemikiran manusia. Ia menandai pergeseran dari paradigma mekanistik yang
mendominasi modernitas menuju pandangan dunia yang lebih relasional,
partisipatif, dan terbuka terhadap kompleksitas.¹ Revolusi ini tidak sekadar
mengubah cara kita memahami alam semesta, tetapi juga memaksa kita meninjau
kembali hakikat pengetahuan, keberadaan, dan nilai.² Fisika kuantum bukan lagi
semata teori ilmiah yang berurusan dengan partikel subatomik, melainkan juga
sebuah horizon filosofis yang menuntut reinterpretasi terhadap hubungan antara
manusia dan realitas.³
Dari segi ontologi,
filsafat kuantum menunjukkan bahwa realitas bersifat dinamis dan tidak dapat
direduksi menjadi entitas tetap.⁴ Prinsip ketidakpastian Heisenberg, konsep superposition,
dan teori entanglement
memperlihatkan bahwa keberadaan tidak bersifat tunggal atau terisolasi,
melainkan hasil dari jaringan hubungan yang terus berubah.⁵ Ontologi kuantum
dengan demikian mengarah pada pandangan relasional—bahwa “menjadi”
selalu merupakan “menjadi-bersama” (being-with).⁶ Pandangan ini
menggantikan metafisika substansialistik yang mendominasi sejak Aristoteles
hingga Descartes dengan metafisika proses yang lebih inklusif dan dinamis.⁷
Dari sisi epistemologi,
paradigma kuantum menolak objektivisme murni. Pengamat tidak dapat lagi
dianggap sebagai entitas eksternal yang netral, sebab tindakan pengamatan itu
sendiri turut menciptakan kondisi realitas yang diamati.⁸ Dalam hal ini,
pengetahuan menjadi partisipatif: ia tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga
berperan dalam mengonstruksinya.⁹ Epistemologi kuantum karenanya menuntut rasionalitas
reflektif, yaitu bentuk pengetahuan yang sadar akan keterlibatan
subjek dan keterbatasan metode.¹⁰ Sikap ini membawa implikasi filosofis yang
mendalam, karena menempatkan sains sebagai praksis dialogis, bukan sistem
dogmatis.¹¹
Dari dimensi aksiologis,
filsafat kuantum mengembalikan etika pada fondasi kosmologis. Prinsip
keterhubungan dan non-lokalitas mengajarkan bahwa setiap tindakan memiliki
resonansi dalam jaringan eksistensi yang lebih luas.¹² Kesadaran akan
interdependensi ini menumbuhkan etika tanggung jawab dan kerendahan hati
epistemik—suatu kesadaran bahwa pengetahuan tidak boleh digunakan untuk
mendominasi alam, tetapi untuk merawat keseimbangan dan harmoni universal.¹³
Dengan demikian, filsafat kuantum menawarkan paradigma etis yang berakar pada
keterhubungan, bukan pada hierarki; pada empati, bukan pada kontrol.¹⁴
Pada tataran sosial
dan intelektual, filsafat kuantum telah memperluas batasan
sains menuju wilayah filsafat, teologi, dan humaniora. Ia menginspirasi
pembaruan dalam filsafat kesadaran, teori sistem kompleks, dan ekologi
modern.¹⁵ Namun, pengaruh luas ini juga menuntut klarifikasi filosofis agar
tidak terjerumus ke dalam mistisisme kuantum atau simplifikasi
pseudo-ilmiah.¹⁶ Filsafat kuantum yang autentik harus menjaga keseimbangan
antara ketelitian empiris dan kedalaman refleksi metafisik.¹⁷
Secara sintesis,
filsafat kuantum mengajarkan bahwa rasionalitas sejati bukanlah kemampuan untuk
menguasai, melainkan kemampuan untuk memahami keterkaitan.¹⁸ Ia menandai
kelahiran ontologi
relasional dan rasionalitas baru yang
mengintegrasikan sains, filsafat, dan spiritualitas dalam satu kesadaran
kosmologis.¹⁹ Dengan mengakui bahwa realitas adalah jaringan kemungkinan yang
hidup dan bahwa kesadaran manusia merupakan bagian integral darinya, filsafat
kuantum membuka jalan menuju paradigma pengetahuan yang lebih utuh dan
manusiawi.²⁰
Akhirnya, filsafat
kuantum mengembalikan filsafat pada misinya yang paling mendasar: menafsirkan
realitas tidak hanya untuk mengetahui, tetapi untuk menjadi bijaksana.²¹ Ia
menegaskan bahwa keterbatasan manusia bukanlah hambatan bagi pengetahuan,
melainkan sumber kebijaksanaan yang mengingatkan kita akan kedalaman misteri
eksistensi.²² Dalam kesadaran kuantum, rasionalitas dan spiritualitas tidak
lagi terpisah; keduanya berpadu dalam visi kosmos sebagai kesatuan dinamis yang
terus-menerus “menjadi.”²³
Footnotes
[1]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions
(Chicago: University of Chicago Press, 1962), 189–191.
[2]
Erwin Schrödinger, Science and Humanism: Physics in Our Time
(Cambridge: Cambridge University Press, 1952), 16–19.
[3]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1975),
217–220.
[4]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper & Row, 1958), 43–46.
[5]
Richard P. Feynman, QED: The Strange Theory of Light and Matter
(Princeton: Princeton University Press, 1985), 28–30.
[6]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge,
1980), 191–194.
[7]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York:
Macmillan, 1929), 43–46.
[8]
Niels Bohr, Atomic Physics and Human Knowledge (New York:
Wiley, 1958), 58–62.
[9]
John A. Wheeler, “Law Without Law,” in Quantum Theory and
Measurement, ed. John A. Wheeler and Wojciech H. Zurek (Princeton:
Princeton University Press, 1983), 182–185.
[10]
Karen Barad, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the
Entanglement of Matter and Meaning (Durham, NC: Duke University Press,
2007), 175–179.
[11]
Karl R. Popper, Quantum Theory and the Schism in Physics
(London: Routledge, 1982), 190–193.
[12]
Fritjof Capra and Pier Luigi Luisi, The Systems View of Life: A
Unifying Vision (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 194–197.
[13]
Ilya Prigogine, The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws
of Nature (New York: Free Press, 1997), 98–102.
[14]
David Bohm and F. David Peat, Science, Order, and Creativity
(New York: Bantam, 1987), 159–163.
[15]
Carlo Rovelli, Helgoland: Making Sense of the Quantum Revolution
(London: Penguin, 2021), 161–165.
[16]
Victor J. Stenger, Quantum Gods: Creation, Chaos, and the Search
for Cosmic Consciousness (Amherst, NY: Prometheus Books, 2009), 47–51.
[17]
Bas C. van Fraassen, Quantum Mechanics: An Empiricist View
(Oxford: Clarendon Press, 1991), 199–203.
[18]
Edgar Morin, On Complexity (Cresskill, NJ: Hampton Press,
2008), 122–125.
[19]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order, 184–187.
[20]
Fritjof Capra, The Web of Life: A New Scientific Understanding of
Living Systems (New York: Anchor Books, 1996), 201–204.
[21]
Alfred North Whitehead, Adventures of Ideas (New York:
Macmillan, 1933), 87–90.
[22]
Henry P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (Berlin:
Springer, 1993), 135–138.
[23]
Ervin Laszlo, Science and the Akashic Field: An Integral Theory of
Everything (Rochester, VT: Inner Traditions, 2004), 199–202.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aspect, A. (1991). Bell’s theorem: The naïve view
of an experimentalist. Physics Today, 44(7), 54–60.
Baggott, J. (2013). Farewell to reality: How
modern physics has betrayed the search for scientific truth. London:
Constable.
Barad, K. (2007). Meeting the universe halfway:
Quantum physics and the entanglement of matter and meaning. Durham, NC:
Duke University Press.
Bell, J. S. (1966). On the problem of hidden
variables in quantum mechanics. Reviews of Modern Physics, 38(3),
447–452.
Bhaskar, R. (1975). A realist theory of science.
London: Verso.
Bhaskar, R. (1998). Critical realism: Essential
readings. London: Routledge.
Bohr, N. (1958). Atomic physics and human
knowledge. New York: Wiley.
Bohr, N. (1963). Essays 1958–1962 on atomic
physics and human knowledge. New York: Wiley.
Bohm, D. (1952). A suggested interpretation of the
quantum theory in terms of “hidden variables.” Physical Review, 85(2),
166–193.
Bohm, D. (1980). Wholeness and the implicate
order. London: Routledge.
Bohm, D., & Peat, F. D. (1987). Science,
order, and creativity. New York: Bantam.
Born, M. (1971). The Born–Einstein letters:
Correspondence between Albert Einstein and Max Born, 1916–1955. New York:
Walker.
Bunge, M. (1956). Quantum mechanics and
philosophy: Causality and interpretation. Berlin: Springer.
Capra, F. (1975). The Tao of physics: An
exploration of the parallels between modern physics and Eastern mysticism.
Boston: Shambhala.
Capra, F. (1996). The web of life: A new
scientific understanding of living systems. New York: Anchor Books.
Capra, F., & Luisi, P. L. (2014). The
systems view of life: A unifying vision. Cambridge: Cambridge University
Press.
Cobb, J. B., Jr., & Griffin, D. R. (1976). Process
theology: An introductory exposition. Philadelphia: Westminster Press.
Descartes, R. (1644). Principia philosophiae.
Amsterdam: Elzevir.
Einstein, A. (1905). Über einen die Erzeugung und
Verwandlung des Lichtes betreffenden heuristischen Gesichtspunkt. Annalen
der Physik, 17(6), 132–148.
Einstein, A. (1936). Physics and reality. Journal
of the Franklin Institute, 221(3), 349–382.
Einstein, A., Podolsky, B., & Rosen, N. (1935).
Can quantum-mechanical description of physical reality be considered complete? Physical
Review, 47(10), 777–780.
Feynman, R. P. (1985). QED: The strange theory
of light and matter. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Fraassen, B. C. van. (1991). Quantum mechanics:
An empiricist view. Oxford: Clarendon Press.
Greene, B. (1999). The elegant universe:
Superstrings, hidden dimensions, and the quest for the ultimate theory. New
York: W. W. Norton.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative
action, Vol. 1: Reason and the rationalization of society. Boston: Beacon
Press.
Heisenberg, W. (1927). Über den anschaulichen
Inhalt der quantentheoretischen Kinematik und Mechanik. Zeitschrift für
Physik, 43(3–4), 172–198.
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy:
The revolution in modern science. New York: Harper & Row.
Hiley, B. J. (1987). Active information and
teleological causality. In B. J. Hiley & F. D. Peat (Eds.), Quantum
implications: Essays in honour of David Bohm (pp. 45–57). London:
Routledge.
Hiley, B. J. (1987). The algebraic way: Quantum
processes as generalized orders. In B. J. Hiley & F. D. Peat (Eds.), Quantum
implications: Essays in honour of David Bohm (pp. 67–72). London:
Routledge.
Jung, C. G., & Pauli, W. (2001). Atom and
archetype: The Pauli/Jung letters, 1932–1958 (C. A. Meier, Ed.). Princeton,
NJ: Princeton University Press.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Laszlo, E. (1972). The systems view of the
world. New York: George Braziller.
Laszlo, E. (2004). Science and the akashic
field: An integral theory of everything. Rochester, VT: Inner Traditions.
Leibniz, G. W. (1714). Monadology. Paris:
Des Bosses.
Meillassoux, Q. (2008). After finitude: An essay
on the necessity of contingency. London: Continuum.
Morin, E. (1992). Method: Towards a study of
humankind, Vol. 1. New York: Peter Lang.
Morin, E. (2008). On complexity. Cresskill,
NJ: Hampton Press.
Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis
principia mathematica. London: Royal Society.
Nielsen, M. A., & Chuang, I. L. (2000). Quantum
computation and quantum information. Cambridge: Cambridge University Press.
Penrose, R. (1989). The emperor’s new mind: Concerning
computers, minds, and the laws of physics. Oxford: Oxford University Press.
Planck, M. (1901). Über das Gesetz der
Energieverteilung im Normalspektrum. Annalen der Physik, 4(3), 553–563.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific
discovery. London: Hutchinson.
Popper, K. R. (1982). Quantum theory and the
schism in physics. London: Routledge.
Preskill, J. (2018). Quantum computing in the NISQ
era and beyond. Quantum, 2, 79–83.
Priest, G. (1987). In contradiction: A study of
the transconsistent. Oxford: Clarendon Press.
Prigogine, I. (1997). The end of certainty:
Time, chaos, and the new laws of nature. New York: Free Press.
Prigogine, I., & Stengers, I. (1984). Order
out of chaos: Man’s new dialogue with nature. New York: Bantam.
Putnam, H. (1987). The many faces of realism.
LaSalle, IL: Open Court.
Rovelli, C. (1996). Relational quantum mechanics. International
Journal of Theoretical Physics, 35(8), 1637–1678.
Rovelli, C. (2021). Helgoland: Making sense of
the quantum revolution. London: Penguin.
Schrödinger, E. (1952). Science and humanism:
Physics in our time. Cambridge: Cambridge University Press.
Sheldrake, R. (1991). The rebirth of nature: The
greening of science and God. New York: Bantam.
Stapp, H. P. (1993). Mind, matter, and quantum
mechanics. Berlin: Springer.
Stapp, H. P. (2017). Quantum theory and free
will: How mental intentions translate into bodily actions. Berlin:
Springer.
Stenger, V. J. (2009). Quantum gods: Creation,
chaos, and the search for cosmic consciousness. Amherst, NY: Prometheus
Books.
Van Fraassen, B. C. (1991). Quantum mechanics:
An empiricist view. Oxford: Clarendon Press.
Weber, M. (1946). Science as a vocation. In H. H.
Gerth & C. W. Mills (Eds.), From Max Weber: Essays in sociology (pp.
129–156). New York: Oxford University Press.
Wheeler, J. A. (1983). Law without law. In J. A.
Wheeler & W. H. Zurek (Eds.), Quantum theory and measurement (pp.
182–188). Princeton, NJ: Princeton University Press.
Whitehead, A. N. (1929). Process and reality.
New York: Macmillan.
Whitehead, A. N. (1933). Adventures of ideas.
New York: Macmillan.
Zukav, G. (1979). The dancing Wu Li masters: An
overview of the new physics. New York: William Morrow.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar