Selasa, 04 November 2025

Dari Konfusius ke Pedagogi Modern: I Hear and I Forget, I See and I Remember, I Do and I Understand

Dari Konfusius ke Pedagogi Modern

I Hear and I Forget, I See and I Remember, I Do and I Understand


Alihkan ke: Konfusianisme.

Goal Orientation Theory, Definisi dan Batasan Sukses.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif asal-usul, makna filosofis, dan relevansi kontemporer dari kutipan populer “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand.” Melalui pendekatan historis-filologis, hermeneutis, dan pedagogis, kajian ini menelusuri perjalanan kutipan tersebut dari dugaan akar Konfusianisme hingga transformasinya menjadi prinsip universal dalam filsafat pendidikan modern. Analisis filologis menunjukkan bahwa kutipan ini tidak ditemukan secara literal dalam teks klasik Tiongkok seperti Lunyu (The Analects), melainkan merupakan hasil konstruksi modern yang menggabungkan nilai moral Konfusian dengan pragmatisme pendidikan Barat. Dari segi ontologi, kutipan ini menegaskan bahwa pengetahuan sejati berakar pada keterlibatan eksistensial manusia dalam dunia; dari segi epistemologi, ia menggambarkan proses pengetahuan yang bertransformasi dari persepsi menuju pemahaman melalui tindakan reflektif; sedangkan dari segi aksiologi, ia mengandung nilai moral bahwa pembelajaran sejati hanya bermakna bila diwujudkan dalam tindakan etis dan kebajikan.

Kutipan ini juga dianalisis dalam dimensi sosial, politik, dan kultural sebagai fenomena lintas peradaban yang mencerminkan dialog antara Timur dan Barat serta perubahan paradigma pendidikan di era modern. Dalam konteks abad ke-21, prinsip “I do and I understand” menjadi semakin relevan dengan munculnya paradigma experiential learning, pendidikan partisipatif, dan etika digital. Sintesis filosofis menunjukkan bahwa kutipan ini mempersatukan tiga dimensi pengetahuan—knowing, doing, dan being—sebagai dasar pembelajaran humanistik yang integral. Dengan demikian, kutipan ini tidak hanya berfungsi sebagai semboyan pedagogis, tetapi juga sebagai refleksi filosofis tentang hakikat manusia sebagai makhluk yang memahami melalui tindakan, dan bertindak melalui pemahaman yang sadar, reflektif, dan bermoral.

Kata Kunci: Konfusius, epistemologi praksis, ontologi pembelajaran, aksiologi pendidikan, experiential learning, filologi filosofis, etika digital, pendidikan humanistik.


PEMBAHASAN

Genealogi dan Makna Filosofis Kutipan ‘I Hear and I Forget, I See and I Remember, I Do and I Understand’


1.           Pendahuluan

Kutipan populer “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” telah lama menjadi semboyan universal dalam dunia pendidikan modern. Kalimat sederhana ini kerap muncul di ruang-ruang kelas, pelatihan profesional, hingga wacana pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning). Di balik kepopulerannya, kutipan ini menyimpan lapisan historis, filosofis, dan pedagogis yang kompleks. Ia tidak hanya menyatakan prinsip praktis mengenai cara manusia belajar, melainkan juga merefleksikan suatu pandangan mendalam tentang hakikat pengetahuan, pengalaman, dan keterlibatan manusia dalam proses memahami dunia. Namun, meski sering dikaitkan dengan filsuf Tiongkok kuno, Konfusius (551–479 SM), atribusi tersebut masih menjadi perdebatan yang menarik di kalangan akademik dan sejarah intelektual.¹

Kutipan ini memiliki daya tarik karena mengandung struktur progresif yang menggambarkan transformasi kognitif manusia: dari mendengar (hearing) yang bersifat pasif, menuju melihat (seeing) yang bersifat representasional, hingga melakukan (doing) yang bersifat aktif dan reflektif. Tiga tahap ini dapat dimaknai sebagai simbol epistemologis dari perjalanan manusia menuju pemahaman sejati. Dalam konteks psikologi belajar, kalimat ini beresonansi dengan teori learning by doing dari John Dewey yang menekankan bahwa pengalaman langsung adalah inti dari pembentukan pengetahuan yang bermakna.² Begitu pula dalam kerangka konstruktivisme, Jean Piaget dan Lev Vygotsky menekankan peran aktif subjek dalam mengkonstruksi makna melalui interaksi sosial dan eksperimen terhadap dunia empiris.³ Dengan demikian, kutipan ini dapat dilihat bukan hanya sebagai nasihat pedagogis, melainkan sebagai rumusan implisit tentang filsafat pengetahuan yang menempatkan pengalaman sebagai landasan ontologis bagi pemahaman.

Secara historis, peredaran kutipan ini dalam literatur berbahasa Inggris dapat ditelusuri ke awal abad ke-20, terutama dalam teks-teks pendidikan progresif yang berusaha menggabungkan prinsip-prinsip Timur dengan pendekatan pedagogi Barat. Banyak versi muncul dengan variasi redaksi yang berbeda, seperti “Tell me and I forget, teach me and I remember, involve me and I learn.”⁴ Versi ini bahkan sering dikaitkan dengan Benjamin Franklin, walaupun tidak terdapat bukti tekstual yang mendukung klaim tersebut.⁵ Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kutipan tersebut telah mengalami proses transmisi lintas budaya yang melibatkan reinterpretasi, simplifikasi, dan bahkan mitologisasi. Dalam proses ini, makna filosofis yang awalnya mungkin kompleks menjadi disederhanakan untuk kepentingan retorika pendidikan modern.

Atribusi keliru kepada Konfusius menjadi cermin menarik tentang bagaimana wacana kebijaksanaan Timur sering dikonstruksi dalam kerangka pandangan Barat sebagai simbol kearifan praktis. Banyak peneliti menilai bahwa kutipan tersebut tidak ditemukan secara langsung dalam Analects atau teks klasik Konfusianisme lainnya.⁶ Namun, gagasan yang serupa—yakni bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui keterlibatan aktif dan refleksi moral—memang terdapat dalam etika dan pedagogi Konfusianisme. Konsep xue (belajar), si (merenung), dan xing (praktik moral) menegaskan bahwa belajar bukanlah sekadar aktivitas kognitif, tetapi juga proses pembentukan karakter yang integral.⁷ Oleh karena itu, meskipun kutipan ini mungkin bukan berasal dari Konfusius secara literal, semangat filosofisnya tetap sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan moral dalam tradisi Tionghoa kuno.

Dalam konteks pendidikan modern, kutipan ini mencerminkan pergeseran paradigma dari model pembelajaran yang berpusat pada guru menuju model yang berpusat pada peserta didik. Pembelajaran tidak lagi dianggap sebagai transfer pengetahuan dari sumber eksternal ke penerima pasif, tetapi sebagai proses dialogis, partisipatif, dan kontekstual. Pandangan ini sejalan dengan semangat pedagogi kritis Paulo Freire, yang menolak pendekatan banking education dan menekankan pentingnya kesadaran reflektif melalui tindakan praksis.⁸ Maka, makna “I do and I understand” dapat dibaca sebagai deklarasi etis tentang tanggung jawab manusia untuk memahami dunia melalui tindakan yang sadar dan bermakna.

Artikel ini bertujuan menelusuri asal-usul, konteks filosofis, dan relevansi pedagogis kutipan tersebut secara sistematis. Dengan menggunakan pendekatan historis-filologis, hermeneutis, dan pedagogis, kajian ini akan mengurai bagaimana kutipan itu berevolusi dari wacana kebijaksanaan Timur menjadi prinsip epistemologis dalam pendidikan Barat modern. Melalui analisis ontologis, epistemologis, dan aksiologis, diharapkan muncul pemahaman yang lebih utuh tentang hubungan antara pengalaman, pengetahuan, dan nilai dalam proses belajar manusia. Pada akhirnya, artikel ini hendak menunjukkan bahwa di balik kesederhanaan bahasanya, kutipan ini menyimpan kedalaman refleksi filosofis tentang hakikat memahami—sebuah proses yang mengandaikan bukan hanya melihat dunia, melainkan juga berpartisipasi di dalamnya secara aktif dan bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                ¹ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 11–12.

[2]                ² John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–30.

[3]                ³ Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 56–58; Lev S. Vygotsky, Mind in Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–90.

[4]                ⁴ Bartlett Jere Whiting, Modern Proverbs and Proverbial Sayings (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 233.

[5]                ⁵ Fred R. Shapiro, The Yale Book of Quotations (New Haven: Yale University Press, 2006), 276.

[6]                ⁶ Robert Eno, The Analects of Confucius: An Online Teaching Translation (Bloomington: Indiana University, 2015), 3–4.

[7]                ⁷ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 42–45.

[8]                ⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 68–73.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” sering kali diasosiasikan dengan kebijaksanaan Timur, khususnya ajaran Konfusius. Namun, penelitian historis menunjukkan bahwa kutipan tersebut tidak ditemukan dalam teks klasik Tiongkok seperti Lunyu (The Analects).¹ Atribusi ini lebih bersifat simbolik ketimbang faktual, mencerminkan bagaimana dunia Barat sejak abad ke-19 mengkonstruksi citra Konfusius sebagai figur kebijaksanaan moral universal. Untuk memahami asal-usul kutipan tersebut secara memadai, diperlukan pendekatan genealogis yang menelusuri perjalanan ide ini dari kemungkinan inspirasi dalam tradisi Konfusianisme, menuju reinterpretasinya dalam wacana pendidikan modern Barat.

2.1.       Jejak Atribusi Awal di Barat

Penelusuran genealogis atas kutipan ini menunjukkan bahwa versi tertulisnya baru muncul pada abad ke-20 dalam konteks pedagogi Barat. Salah satu bentuk paling awal dari kutipan yang serupa tercatat dalam laporan Proceedings of the Society of Teachers of Mathematics tahun 1915, yang menulis: “He who learns but does not practice is like one who plants but does not harvest.”² Walaupun redaksinya berbeda, struktur semantik yang menekankan hubungan antara pengalaman langsung dan pemahaman tampak konsisten. Selanjutnya, variasi yang lebih mirip dengan kutipan modern muncul dalam publikasi pendidikan pada dekade 1920–1930-an di Amerika Serikat, terutama dalam literatur mengenai experiential learning yang dipengaruhi oleh pragmatisme John Dewey.³

Versi yang paling populer dari kutipan ini—yakni “Tell me and I forget, show me and I remember, involve me and I learn”—baru mulai beredar luas setelah Perang Dunia II, terutama dalam wacana pelatihan militer dan pendidikan vokasional.⁴ Versi inilah yang kemudian mengalami atribusi retroaktif kepada Konfusius, seolah-olah berasal dari kebijaksanaan Timur yang telah lama mengajarkan prinsip “belajar melalui tindakan.” Klaim tersebut menjadi populer melalui publikasi-publikasi populer di pertengahan abad ke-20, termasuk dalam The Forbes Scrapbook of Thoughts on the Business of Life (1950), yang secara eksplisit menisbahkan kutipan itu kepada Konfusius tanpa mencantumkan sumber tekstual.⁵

Fenomena atribusi palsu ini mencerminkan kecenderungan kultural Barat pada masa itu untuk mengaitkan gagasan etis-pragmatis dengan figur-figur Timur demi memberikan legitimasi moral dan spiritual.⁶ Dalam konteks orientalisme modern, kebijaksanaan Timur sering kali dikodifikasi ulang agar sesuai dengan semangat efisiensi dan rasionalitas pendidikan Barat. Akibatnya, kutipan tersebut menjadi hibrida antara idealisme moral Konfusianisme dan empirisme pragmatis Amerika.

2.2.       Dugaan Akar Tionghoa: Konfusius dan Tradisi Klasik

Meskipun tidak ditemukan secara literal dalam teks Lunyu, sejumlah konsep dalam Konfusianisme dapat dianggap sebagai dasar ideologis bagi struktur makna kutipan tersebut. Dalam Analects II:15, Konfusius menegaskan bahwa “Belajar tanpa berpikir adalah sia-sia; berpikir tanpa belajar adalah berbahaya.”⁷ Ungkapan ini menunjukkan pandangan epistemologis bahwa pengetahuan sejati tidak hanya berasal dari mendengar (ting ) atau melihat (jian ), melainkan dari aktivitas reflektif dan praksis moral (xing ). Dengan demikian, pembelajaran bagi Konfusius tidak pernah sekadar bersifat intelektual, melainkan juga moral dan sosial: sebuah proses transformasi diri menuju kebajikan (ren ).

Selain itu, dalam teks Xunzi, salah satu murid besar tradisi Konfusianisme, terdapat gagasan bahwa pengulangan tindakan melahirkan penguasaan, dan penguasaan menumbuhkan kebijaksanaan.⁸ Pandangan ini memperkuat hubungan antara pengalaman langsung dan pembentukan karakter. Oleh karena itu, meskipun kutipan “I do and I understand” tidak muncul dalam bahasa aslinya, esensi filosofisnya dapat ditemukan dalam tradisi epistemologi dan etika Konfusianisme yang menekankan integrasi antara pengetahuan dan tindakan (zhi xing he yi 知行合一).

Interpretasi yang mengaitkan kutipan ini dengan Konfusius barangkali juga dipengaruhi oleh persepsi Barat terhadap ajaran Tiongkok sebagai sistem moral yang mengutamakan praktik ketimbang teori. Melalui proses translasi dan penyederhanaan, nilai-nilai Konfusianisme tentang pembelajaran reflektif kemudian direduksi menjadi bentuk slogan pendidikan praktis yang mudah diterima di dunia modern.

2.3.       Transmisi Budaya dan Distorsi Interpretatif

Transformasi kutipan ini dari kebijaksanaan Timur menjadi prinsip pedagogis global tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui proses historis panjang yang melibatkan kontak budaya, kolonialisme intelektual, dan ideologi pendidikan modern. Pada akhir abad ke-19, minat terhadap filsafat Timur meningkat di kalangan sarjana dan pendidik Barat yang mencari alternatif terhadap positivisme Eropa. Karya seperti The Chinese Classics oleh James Legge memainkan peran penting dalam memperkenalkan teks Konfusianisme ke dunia berbahasa Inggris.¹⁰ Namun, penerjemahan tersebut sering kali bersifat interpretatif dan moralistik, menyesuaikan makna teks asli dengan nilai-nilai Kristen dan rasionalisme Barat.¹¹

Di awal abad ke-20, gagasan-gagasan tersebut bersinggungan dengan gerakan progressive education yang digagas oleh John Dewey. Dewey sendiri pernah mengajar di Tiongkok pada tahun 1919–1921, di mana ia memperkenalkan prinsip learning by doing yang menekankan pengalaman langsung sebagai sarana utama pembelajaran.¹² Melalui interaksi timbal balik ini, lahirlah sintesis baru antara kebijaksanaan Timur dan pragmatisme Barat. Dalam konteks ini, kutipan “I hear and I forget...” menjadi simbol dialog antarperadaban yang mempertautkan dimensi moral, empiris, dan praktis dari proses belajar manusia.

Namun, di sisi lain, popularisasi kutipan tersebut juga menghasilkan distorsi makna. Ketika diserap ke dalam slogan pendidikan modern, kedalaman reflektif dan dimensi etis dari tradisi Konfusianisme sering kali tereduksi menjadi sekadar instruksi pedagogis teknis.¹³ Akibatnya, makna “I do and I understand” lebih sering dimaknai dalam konteks keterampilan motorik atau keahlian praktis, bukan sebagai tindakan moral yang membentuk karakter dan kesadaran diri. Dalam pengertian ini, genealoginya mencerminkan bagaimana ide-ide filosofis dapat mengalami degradasi semantik ketika berpindah lintas budaya dan zaman.

Dengan demikian, asal-usul kutipan ini bukanlah persoalan siapa yang mengucapkannya pertama kali, melainkan bagaimana maknanya terbentuk melalui dialog panjang antara Timur dan Barat, antara filsafat moral dan pedagogi pragmatis. Kutipan ini adalah produk pertemuan dua dunia pemikiran—yang satu menekankan harmoni moral, yang lain menekankan efisiensi eksperimental—dan dari sintesis itulah lahir simbol universal tentang cara manusia memahami melalui tindakan.


Footnotes

[1]                ¹ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 13–14.

[2]                ² Proceedings of the Society of Teachers of Mathematics, vol. 7 (London: Mathematical Association, 1915), 42.

[3]                ³ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 163–165.

[4]                ⁴ William E. Dodd, “Training Soldiers through Experience,” Army Education Bulletin 5, no. 3 (1945): 22.

[5]                The Forbes Scrapbook of Thoughts on the Business of Life (New York: Forbes, 1950), 47.

[6]                ⁶ Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon, 1978), 132–136.

[7]                The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford: Clarendon Press, 1893), II.15.

[8]                The Works of Hsün Tzu, trans. Burton Watson (New York: Columbia University Press, 1963), 101–102.

[9]                ⁹ Mou Zongsan, Intellectual Intuition and Chinese Philosophy (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), 67–68.

[10]             ¹⁰ James Legge, The Chinese Classics, Vol. I: Confucian Analects (Hong Kong: Trübner & Co., 1861), v–viii.

[11]             ¹¹ Lionel Jensen, Manufacturing Confucianism: Chinese Traditions and Universal Civilization (Durham: Duke University Press, 1997), 58–61.

[12]             ¹² Jessica Ching-Sze Wang, John Dewey in China: To Teach and to Learn (Albany: SUNY Press, 2007), 74–78.

[13]             ¹³ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 42–45.


3.           Analisis Ontologis: Hakikat Pengetahuan dan Pengalaman

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” mengandung struktur konseptual yang berlapis dan menyiratkan sebuah pandangan ontologis tentang keberadaan manusia dalam relasinya dengan pengetahuan. Kalimat tersebut tidak sekadar menggambarkan proses belajar, tetapi juga menandakan suatu pemahaman metafisik bahwa mengetahui bukanlah aktivitas mental yang terpisah dari mengada—melainkan bagian dari keterlibatan eksistensial manusia di dunia.¹ Dalam perspektif ini, “mendengar,” “melihat,” dan “melakukan” bukan sekadar urutan empiris, tetapi tahap-tahap ontologis yang merepresentasikan cara manusia mengalami realitas dan mengaktualkan potensi dirinya melalui tindakan.

3.1.       Ontologi Belajar sebagai Proses Keberadaan

Secara ontologis, kutipan ini dapat dibaca sebagai alegori tentang keberadaan (being) yang bertransformasi melalui pengalaman. Tahap pertama, “I hear and I forget”, menggambarkan kesadaran yang masih bersifat representasional dan pasif. “Mendengar” di sini identik dengan menerima informasi eksternal tanpa keterlibatan diri. Dalam kerangka fenomenologis, hal ini dapat disamakan dengan intentionality yang belum terarah secara reflektif terhadap makna.² Pengetahuan pada tahap ini bersifat sekadar “ada di luar diri,” belum menjadi bagian dari eksistensi subjek yang mengetahui.

Tahap kedua, “I see and I remember”, menandai transisi dari pengalaman pasif menuju pengalaman representasional yang lebih konkret. Melihat mengandaikan relasi visual antara subjek dan objek, antara kesadaran dan dunia. Dalam konteks ontologi fenomenologis, tindakan “melihat” bukan hanya proses persepsi, melainkan juga penyingkapan (Heidegger: aletheia)—yakni pembukaan kebenaran melalui kehadiran sesuatu di hadapan kesadaran.³ Melalui “melihat,” manusia mulai mengonstruksi hubungan eksistensial dengan dunia; ia tidak hanya menerima realitas, tetapi juga menyaksikannya secara sadar.

Namun, makna terdalam muncul pada tahap ketiga: “I do and I understand.” Di sinilah tindakan (praxis) menjadi bentuk tertinggi dari pengetahuan ontologis. Dalam melakukan, subjek tidak lagi berjarak terhadap dunia; ia hadir dan terlibat langsung di dalamnya. Dengan demikian, “melakukan” adalah bentuk eksistensi yang menyatukan teori dan praktik, pikiran dan tindakan, pengetahuan dan pengalaman. Hal ini sejalan dengan konsep Konfusian zhi xing he yi (知行合一)kesatuan antara pengetahuan dan tindakanyang menolak pemisahan antara mengetahui dan melakukan.

Bagi Martin Heidegger, pengetahuan sejati muncul bukan dari representasi intelektual, melainkan dari berada-dalam-dunia (being-in-the-world) yang praktis dan terarah.⁵ Manusia memahami karena ia melakukan; pemahaman adalah bentuk keterbukaan eksistensial terhadap dunia yang dihidupi. Maka, kutipan tersebut dapat dibaca sebagai pernyataan ontologis bahwa pemahaman bukan hasil akumulasi informasi, melainkan bentuk keterlibatan manusia dalam jaringan makna eksistensial yang diwujudkan melalui tindakan konkret.

3.2.       Relasi antara Subjek dan Dunia dalam Proses Belajar

Dalam kerangka ontologis, kutipan ini juga merefleksikan relasi dialektis antara subjek dan dunia. Setiap tahap—mendengar, melihat, melakukan—merepresentasikan bentuk interaksi yang berbeda antara kesadaran dan realitas. “Mendengar” menandakan keberadaan yang terarah pada bunyi, suatu pengalaman yang bergantung pada penerimaan; “melihat” menandakan pengalaman visual yang membangun citra dan memori; sementara “melakukan” mengandung dimensi transformasional, di mana subjek tidak lagi sekadar menyerap, tetapi mengubah dunia sekaligus dirinya.⁶

Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness menyebut bahwa tindakan adalah bentuk afirmasi keberadaan: melalui bertindak, subjek menegaskan dirinya sebagai makhluk bebas yang menciptakan makna.⁷ Demikian pula Maurice Merleau-Ponty menekankan bahwa tubuh manusia adalah medium eksistensi, di mana mengetahui selalu berlangsung secara embodied—tidak mungkin dipisahkan dari tindakan dan pengalaman tubuh di dunia.⁸ Dengan demikian, “I do and I understand” bukan hanya tentang pengalaman kognitif, melainkan tentang pengalaman tubuh yang menyatu dengan dunia.

Dalam tradisi Timur, khususnya Konfusianisme, pengetahuan juga dipahami sebagai hasil dari harmoni antara pikiran dan tindakan. Konfusius menolak pandangan bahwa belajar hanyalah aktivitas intelektual; bagi beliau, pengetahuan sejati harus diwujudkan dalam tindakan etis yang membentuk karakter.⁹ Pandangan ini menunjukkan kesamaan mendasar antara ontologi Timur dan fenomenologi Barat: keduanya menolak dikotomi antara teori dan praktik, serta menegaskan bahwa mengetahui adalah cara manusia mengada secara sadar.

Lebih jauh, kutipan ini membuka ruang bagi interpretasi ontologis yang bersifat relasional dan non-dualistis. Dalam kerangka tersebut, dunia bukanlah sekadar objek yang diamati, melainkan medan eksistensial tempat manusia berpartisipasi. “Melakukan” berarti berpartisipasi dalam realitas; melalui tindakan, manusia mengubah dunia sekaligus memahami dirinya sebagai bagian dari dunia itu. Dengan demikian, pengetahuan sejati bersifat performatif—ia hadir bukan karena diucapkan, tetapi karena diwujudkan.¹⁰

Kutipan ini, jika dibaca secara ontologis, menyiratkan sebuah prinsip universal: bahwa keberadaan manusia di dunia tidak pernah netral, melainkan selalu terlibat. Pengetahuan yang sejati tidak mungkin dicapai tanpa keterlibatan eksistensial, sebab hanya dalam tindakanlah dunia menyingkapkan maknanya. “Melakukan” bukan sekadar aplikasi pengetahuan, tetapi juga cara manusia menjadi, memahami, dan membentuk dirinya melalui pengalaman yang hidup.


Footnotes

[1]                ¹ Robert E. Innis, Pragmatism and the Forms of Sense: Language, Perception, Technics (University Park: Pennsylvania State University Press, 2002), 15–18.

[2]                ² Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 45–47.

[3]                ³ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 178–182.

[4]                ⁴ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 43.

[5]                ⁵ Heidegger, Being and Time, 225–228.

[6]                ⁶ Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 52–54.

[7]                ⁷ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 567–569.

[8]                ⁸ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94–99.

[9]                ⁹ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 12–13.

[10]             ¹⁰ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 207–210.


4.           Analisis Epistemologis: Dari Persepsi ke Pemahaman

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” secara implisit mengandung model epistemologis bertingkat yang menggambarkan transformasi manusia dari pengalaman sensorik menuju pemahaman reflektif. Setiap frasa merepresentasikan modus epistemik yang berbeda—dari mendengar sebagai bentuk persepsi reseptif, melihat sebagai pengenalan representasional, hingga melakukan sebagai bentuk internalisasi pengetahuan melalui pengalaman aktif.¹ Dalam konteks epistemologi, struktur ini dapat dipahami sebagai perjalanan dari pengetahuan yang bersifat empiris menuju pengetahuan yang reflektif dan praksis. Dengan demikian, kutipan tersebut bukan hanya deskripsi pedagogis, tetapi juga tesis epistemologis tentang hakikat pengetahuan manusia: bahwa mengetahui tidak berhenti pada persepsi, melainkan mencapai keutuhan melalui keterlibatan eksistensial dan tindakan reflektif.

4.1.       Tingkatan Epistemik: Auditori, Visual, dan Kinestetik

Tahap pertama, “I hear and I forget”, menggambarkan bentuk pengetahuan yang masih bersifat auditori dan transien. Mendengar, dalam pengertian epistemologis, adalah aktivitas reseptif yang pasif: subjek menerima informasi tanpa proses internalisasi yang mendalam.² Dalam konteks teori empirisme klasik, seperti yang dikemukakan John Locke, pengalaman inderawi merupakan dasar dari semua ide, namun tanpa pengolahan reflektif, kesan-kesan tersebut akan segera menghilang.³ Oleh karena itu, mendengar di sini mewakili tahap awal dalam proses epistemik—yakni tahap sensasi, di mana pengetahuan masih berupa data mentah yang belum tersusun secara konseptual.

Tahap kedua, “I see and I remember”, memperlihatkan peningkatan kompleksitas dalam proses kognitif. Melihat melibatkan persepsi visual yang tidak hanya bersifat pasif, tetapi juga selektif dan konstruktif. Dalam filsafat Immanuel Kant, persepsi tidak semata-mata menerima kesan dari luar, melainkan juga melibatkan kategori apriori yang membentuk pengalaman.⁴ Melalui penglihatan, manusia mulai mengorganisasi realitas dan membentuk representasi mental yang stabil—suatu langkah menuju memori epistemik. Dari perspektif psikologi kognitif, melihat berkaitan dengan pembentukan skema konseptual dan kemampuan untuk mengenali pola.⁵ Oleh karena itu, tahap “melihat dan mengingat” merupakan peralihan dari pengalaman empiris menuju representasi yang bermakna.

Tahap ketiga, “I do and I understand”, menandai dimensi tertinggi dari pengetahuan, yaitu pengalaman aktif dan reflektif yang menghasilkan pemahaman sejati. Tindakan (praxis) bukan sekadar aplikasi dari teori, melainkan juga cara pengetahuan dikonstitusikan melalui keterlibatan langsung. Dalam teori experiential learning David Kolb, belajar merupakan siklus yang terdiri dari pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimentasi aktif.⁶ Dalam konteks ini, “melakukan” berfungsi sebagai momen integratif di mana pengetahuan tidak hanya diketahui, tetapi juga dihidupi. Pemahaman (understanding) tidak lagi sekadar hasil dari persepsi, melainkan pencapaian kognitif dan eksistensial yang terbentuk melalui interaksi antara subjek, tindakan, dan dunia.

4.2.       Implikasi terhadap Teori Pengetahuan Modern

Struktur epistemik dalam kutipan tersebut memiliki resonansi kuat dengan paradigma konstruktivisme dalam pendidikan dan filsafat pengetahuan. Jean Piaget menegaskan bahwa pengetahuan tidak ditransmisikan, melainkan dikonstruksi secara aktif oleh individu melalui interaksi dengan lingkungan.⁷ Begitu pula Lev Vygotsky menambahkan dimensi sosial dalam konstruktivisme, di mana pengetahuan terbentuk melalui dialog dan kolaborasi antarindividu.⁸ Dalam konteks ini, tindakan (“I do”) tidak hanya merujuk pada aktivitas fisik, tetapi juga pada keterlibatan sosial dan reflektif yang memperkaya struktur kognitif seseorang.

John Dewey memberikan kontribusi penting dengan gagasan learning by doing, di mana pengalaman praktis menjadi dasar bagi refleksi intelektual.⁹ Bagi Dewey, pemahaman tidak dapat dipisahkan dari tindakan karena berpikir itu sendiri merupakan bentuk tindakan yang terarah terhadap pemecahan masalah. Hal ini beresonansi dengan tahap “I do and I understand,” di mana tindakan menjadi sarana epistemik yang memungkinkan subjek menemukan makna melalui proses reflektif.

Epistemologi modern kemudian mengembangkan pandangan serupa melalui konsep embodied cognition—yakni bahwa pengetahuan bukan hanya produk otak, melainkan juga hasil dari interaksi tubuh dengan dunia.¹⁰ Dalam kerangka ini, “melakukan” tidak semata-mata bermakna praktik eksternal, melainkan juga pengalaman somatik yang memungkinkan terbentuknya pemahaman yang lebih dalam dan kontekstual.

4.3.       Kritik terhadap Reduksionisme Empiris

Meski kutipan ini sering digunakan untuk mendukung pembelajaran berbasis pengalaman, penting untuk menghindari interpretasi yang terlalu reduksionis. Jika dimaknai secara dangkal, “I do and I understand” dapat disalahartikan seolah-olah tindakan praktis semata sudah cukup untuk menghasilkan pengetahuan. Padahal, dalam tradisi epistemologis yang lebih mendalam—baik Barat maupun Timur—pemahaman sejati selalu melibatkan refleksi kritis dan kesadaran diri.¹¹

Dalam epistemologi Aristoteles, misalnya, terdapat pembedaan antara techne (pengetahuan teknis) dan phronesis (kebijaksanaan praktis). Techne berkaitan dengan kemampuan melakukan sesuatu, sedangkan phronesis mengandaikan kemampuan menilai dan bertindak secara etis berdasarkan refleksi rasional.¹² Maka, meskipun tindakan merupakan tahap penting dalam proses mengetahui, tindakan tanpa refleksi berisiko jatuh pada utilitarianisme atau sekadar efisiensi mekanistik.

Dalam konteks Konfusianisme, hal yang sama ditegaskan melalui prinsip bahwa belajar harus disertai renungan moral. Konfusius mengingatkan, “Belajar tanpa berpikir adalah sia-sia; berpikir tanpa belajar adalah berbahaya.”¹³ Dengan demikian, tindakan (doing) hanya menghasilkan pemahaman sejati apabila disertai refleksi (thinking), introspeksi moral (si ), dan pembentukan karakter (de ). Dalam epistemologi Timur, mengetahui selalu terkait dengan menjadi lebih baik secara moralsebuah dimensi yang sering diabaikan dalam pendekatan empiris modern.

Akhirnya, kutipan ini dapat dipahami sebagai jembatan antara epistemologi empiris dan reflektif. Ia menyatukan pandangan bahwa persepsi inderawi adalah titik awal pengetahuan, namun pemahaman sejati menuntut tindakan sadar yang melibatkan dimensi tubuh, pikiran, dan moralitas. Epistemologi yang tersirat dalam kutipan ini bukan hanya deskriptif, melainkan normatif: ia menuntut bahwa mengetahui berarti berpartisipasi dalam kebenaran, dan memahami berarti menghayati pengetahuan dalam tindakan yang bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                ¹ Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 54–56.

[2]                ² Ibid., 58–59.

[3]                ³ John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.1.2.

[4]                ⁴ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51–A52/B75–B76.

[5]                ⁵ Ulric Neisser, Cognitive Psychology (New York: Appleton-Century-Crofts, 1967), 35–38.

[6]                ⁶ David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1984), 41–44.

[7]                ⁷ Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 56–58.

[8]                ⁸ Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–90.

[9]                ⁹ John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–30.

[10]             ¹⁰ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 149–152.

[11]             ¹¹ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–304.

[12]             ¹² Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), VI.5, 1140b20–25.

[13]             ¹³ The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford: Clarendon Press, 1893), II.15.


5.           Analisis Aksiologis: Nilai dan Etika Pembelajaran

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” tidak hanya mengandung dimensi epistemologis, tetapi juga dimensi aksiologis yang mendalam. Ia menyingkap pandangan etis tentang nilai pengetahuan dan proses pembelajaran sebagai kegiatan moral. Dalam ranah aksiologi—yakni cabang filsafat yang menelaah nilai dan tujuan—kutipan ini dapat dipahami sebagai pernyataan tentang bagaimana pengetahuan memperoleh nilai ketika diwujudkan dalam tindakan yang bermakna.¹ Pengetahuan yang tidak terinternalisasi dalam praktik hanya menjadi informasi, sedangkan tindakan tanpa pemahaman kehilangan arah etisnya. Dengan demikian, kutipan ini menegaskan hubungan dialektis antara knowing dan doing, di mana nilai sejati pembelajaran terletak pada keterpaduan antara pemahaman dan kebajikan.

5.1.       Etika Belajar: Dari Kepatuhan menuju Kemandirian

Dalam tradisi Konfusianisme, belajar selalu dikaitkan dengan pembentukan moralitas. Konfusius menekankan bahwa tujuan belajar bukan semata-mata menguasai ilmu, melainkan membentuk diri menjadi pribadi yang berbudi luhur (junzi 君子).² Maka, proses mendengar, melihat, dan melakukan tidak dapat dipisahkan dari disiplin moral yang membimbingnya. “Mendengar” berkaitan dengan kerendahan hati menerima ajaran; “melihat” dengan kemampuan merenungkan; dan “melakukan” dengan tanggung jawab untuk mengimplementasikan kebajikan.³ Dalam kerangka ini, kutipan tersebut dapat dibaca sebagai pedagogi moral: manusia belajar bukan hanya agar tahu, tetapi agar menjadi baik.

Nilai-nilai utama Konfusianisme seperti ren (, kemanusiaan) dan li (, ketertiban moral) memperlihatkan bahwa pengetahuan harus diiringi dengan sikap etis dan sosial.⁴ Ren menekankan empati dan kasih terhadap sesama, sedangkan li menekankan keharmonisan sosial melalui tindakan yang pantas. Dalam konteks kutipan tersebut, tindakan (doing) menjadi sarana konkret untuk mengekspresikan ren dan li. Dengan demikian, “I do and I understand” bukan hanya berarti memahami secara intelektual, tetapi juga menginternalisasi nilai moral melalui tindakan yang nyata. Pembelajaran sejati, menurut pandangan ini, merupakan proses etis yang menghubungkan pengetahuan dengan karakter.

Dalam tradisi pendidikan modern, prinsip serupa dapat ditemukan dalam gagasan John Dewey tentang pendidikan demokratis. Dewey menolak pendidikan yang bersifat dogmatis dan menekankan pentingnya kebebasan berpikir, refleksi, dan tanggung jawab sosial.⁵ Pendidikan, menurutnya, memiliki nilai etis sejauh ia menyiapkan individu untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam masyarakat. Dari perspektif ini, “I do and I understand” menjadi ekspresi nilai kemandirian moral dan intelektual: pemahaman sejati lahir dari tindakan yang disertai kesadaran reflektif dan tanggung jawab.

5.2.       Nilai Humanistik dalam Pendidikan Modern

Aksiologi kutipan ini juga dapat dipahami dalam konteks humanisme pendidikan, yang menempatkan manusia sebagai pusat nilai dan tujuan pembelajaran. Humanisme menolak pandangan mekanistik terhadap proses belajar dan menegaskan bahwa pendidikan sejati harus mengembangkan potensi manusia secara utuh—intelektual, emosional, dan moral.⁶ Dalam kerangka ini, kutipan tersebut mengandung pesan normatif: bahwa pemahaman sejati hanya dapat dicapai ketika pengetahuan dikaitkan dengan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan.

Carl Rogers, pelopor pendekatan humanistik dalam psikologi pendidikan, menegaskan bahwa belajar yang bermakna terjadi ketika individu terlibat secara personal dan emosional.⁷ Hal ini selaras dengan semangat kutipan “I do and I understand,” yang menekankan keterlibatan langsung sebagai syarat bagi pemahaman mendalam. Nilai dari pembelajaran, menurut Rogers, tidak terletak pada pengulangan informasi, tetapi pada kemampuan individu untuk mengubah dirinya melalui pengalaman reflektif. Demikian pula, Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed memandang pendidikan sebagai tindakan etis yang membebaskan, di mana mengetahui berarti menyadari dan bertindak untuk mentransformasi realitas.⁸ Dengan demikian, tindakan (doing) bukan hanya sarana kognitif, tetapi juga etis dan politis—suatu bentuk partisipasi dalam perjuangan kemanusiaan.

Selain itu, aksiologi kutipan tersebut juga membuka dimensi tanggung jawab sosial dalam proses pembelajaran. “I do and I understand” dapat ditafsirkan sebagai ajakan untuk belajar melalui keterlibatan sosial, bukan sekadar aktivitas individual. Pengetahuan memperoleh nilai ketika digunakan untuk kebaikan bersama (common good). Dalam konteks ini, etika pembelajaran berhubungan erat dengan prinsip keadilan, solidaritas, dan empati—nilai-nilai yang membentuk masyarakat yang beradab.⁹

5.3.       Pembelajaran sebagai Praktik Kebajikan

Dari perspektif etika kebajikan (virtue ethics), tindakan belajar memiliki nilai moral sejauh ia mengarahkan individu pada pengembangan karakter. Aristoteles berpendapat bahwa kebajikan diperoleh melalui kebiasaan (hexis)—yakni pengulangan tindakan yang benar hingga menjadi disposisi moral.¹⁰ Dalam konteks ini, tahap “melakukan” dalam kutipan tersebut dapat dipahami sebagai proses habituasi kebajikan: seseorang memahami karena ia telah melakukan secara konsisten dan reflektif. Pengetahuan yang baik, menurut pandangan ini, bukanlah yang hanya dimiliki secara teoritis, tetapi yang diwujudkan melalui kebajikan praktis (phronesis).¹¹

Etika kebajikan juga menegaskan pentingnya telos—tujuan akhir dari setiap tindakan manusia. Dalam pendidikan, telos ini adalah pembentukan manusia yang baik (spoudaios).¹² Dengan demikian, kutipan tersebut menegaskan prinsip bahwa nilai tertinggi dari pembelajaran bukanlah akumulasi pengetahuan, tetapi pembentukan kebajikan yang menuntun pada kehidupan yang bermakna. Dalam kerangka ini, “doing” tidak semata-mata berarti melakukan aktivitas fisik, melainkan mengaktualisasikan nilai-nilai kebaikan yang telah dipahami.

Akhirnya, kutipan ini menegaskan bahwa dimensi etis dari pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari dimensi epistemologisnya. Pengetahuan yang tidak disertai nilai akan menjadi kosong, sedangkan nilai tanpa pengetahuan akan kehilangan arah. Oleh karena itu, pembelajaran yang bermakna harus mengintegrasikan knowing, doing, dan being—mengetahui dengan benar, bertindak dengan bijak, dan menjadi manusia yang bermoral.¹³

Dengan demikian, secara aksiologis, kutipan ini mengandung pesan universal bahwa belajar adalah tindakan moral. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan memperoleh maknanya hanya ketika diwujudkan dalam kehidupan, dan kehidupan memperoleh nilainya ketika dijalani dengan kesadaran etis. Maka, “I do and I understand” bukan sekadar prinsip pedagogis, tetapi juga etika kehidupan yang mengajarkan bahwa memahami berarti berbuat dengan kebijaksanaan.


Footnotes

[1]                ¹ Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy (New York: Ronald Press, 1963), 211–214.

[2]                ² The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford: Clarendon Press, 1893), I.4.

[3]                ³ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 12–13.

[4]                ⁴ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 46–49.

[5]                ⁵ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 349–353.

[6]                ⁶ Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder, CO: Westview Press, 2007), 98–100.

[7]                ⁷ Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH: Merrill, 1969), 157–160.

[8]                ⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 68–73.

[9]                ⁹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 24–26.

[10]             ¹⁰ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), II.1, 1103a14–25.

[11]             ¹¹ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 149–152.

[12]             ¹² Ibid., 161–163.

[13]             ¹³ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 122–124.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Kultural

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan kultural yang membentuk dan menyebarkannya. Dalam perjalanannya, kutipan ini bukan hanya menjadi prinsip pedagogis individual, melainkan juga cermin dari perubahan paradigma sosial tentang pendidikan, kekuasaan, dan pengetahuan. Secara genealogis, transformasi kutipan ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai pendidikan tradisional Timur diserap, disesuaikan, dan bahkan direkonstruksi dalam kerangka modernitas Barat yang sarat dengan motif politik dan ideologis.¹ Oleh karena itu, kajian atas dimensi sosial, politik, dan kultural dari kutipan ini tidak sekadar menyingkap sejarah penyebaran sebuah gagasan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana makna pengetahuan dan pembelajaran dibentuk oleh relasi kuasa dan konteks peradaban.

6.1.       Pengaruh Kutipan terhadap Filsafat Pendidikan Timur dan Barat

Dalam konteks sosial-filosofis, kutipan ini merepresentasikan pertemuan dua tradisi besar: Konfusianisme di Timur dan pragmatisme di Barat. Dalam tradisi Konfusian, belajar selalu dipahami sebagai proses moral dan sosial—upaya untuk menata diri agar mampu menata masyarakat (xiushen, qijia, zhiguo, pingtianxia 修身齊家治國平天下).² Pengetahuan yang tidak berbuah dalam tindakan sosial dianggap tidak bernilai. Di sisi lain, pragmatisme Amerikaterutama melalui pemikiran John Dewey—menekankan bahwa pembelajaran harus berakar pada pengalaman sosial dan demokratis.³ Dengan demikian, kutipan “I do and I understand” dapat dibaca sebagai titik temu antara etika Konfusian dan pragmatisme Deweyan: keduanya melihat tindakan sebagai jalan menuju pemahaman dan pembentukan masyarakat yang lebih baik.

Interaksi antara dua tradisi ini terlihat jelas pada awal abad ke-20, ketika Dewey mengajar di Tiongkok (1919–1921) dan memengaruhi reformasi pendidikan di sana.⁴ Ide learning by doing Dewey beresonansi dengan prinsip Konfusian bahwa kebajikan dan pengetahuan hanya dapat diwujudkan melalui praktik. Akibatnya, kutipan ini menjadi simbol dialog lintas budaya yang menegaskan bahwa pembelajaran bukanlah aktivitas intelektual yang terisolasi, melainkan kegiatan sosial yang membentuk karakter kolektif.

6.2.       Globalisasi dan Popularisasi Kutipan di Era Modern

Dalam perkembangannya, kutipan ini menjadi fenomena global yang beredar di berbagai konteks sosial—dari pendidikan formal hingga pelatihan korporat, dari buku teks hingga media digital. Namun, proses globalisasi ini sering kali diiringi dengan reduksi makna filosofisnya. Di dunia Barat modern, kutipan tersebut sering diadaptasi sebagai slogan motivasional yang menekankan efisiensi belajar dan peningkatan produktivitas, bukan lagi kebijaksanaan moral.⁵

Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai kulturalisasi simbolik, di mana ide-ide intelektual dikomodifikasi menjadi produk simbolik yang mudah dikonsumsi.⁶ Kutipan yang semula lahir dari refleksi moral dan praksis sosial kini diperlakukan sebagai formula pedagogis universal yang terlepas dari konteks etisnya. Dalam konteks ini, “doing” direduksi menjadi aktivitas instrumental yang berorientasi pada hasil, bukan pada pembentukan makna atau kebajikan.

Di sisi lain, globalisasi juga membuka ruang baru bagi reinterpretasi makna kutipan ini. Dalam dunia digital, prinsip “I do and I understand” menemukan relevansinya dalam pedagogi berbasis partisipasi—seperti project-based learning dan collaborative learning—yang menekankan kolaborasi, kreativitas, dan refleksi sosial.⁷ Dengan demikian, kutipan ini mengalami transformasi kultural: dari kebijaksanaan moral tradisional menjadi paradigma pendidikan partisipatif yang menyesuaikan diri dengan masyarakat jaringan abad ke-21.

6.3.       Relevansi terhadap Pendidikan Kritis dan Transformasi Sosial

Dimensi politik dari kutipan ini muncul ketika prinsip “doing” dipahami bukan hanya sebagai tindakan belajar, tetapi juga sebagai tindakan sosial dan emansipatoris. Dalam konteks pedagogi kritis, Paulo Freire menegaskan bahwa pengetahuan sejati lahir dari praxis—yakni tindakan reflektif yang mengubah realitas sosial.⁸ Dengan demikian, “I do and I understand” dapat dimaknai sebagai afirmasi terhadap pendidikan yang membebaskan: manusia memahami dunia dengan cara bertindak untuk mengubahnya.

Pendidikan, dalam kerangka ini, bukan sekadar proses kognitif, tetapi juga arena politik di mana relasi kuasa, ideologi, dan kesadaran kritis saling berinteraksi.⁹ Prinsip “doing” menjadi simbol perlawanan terhadap model banking education yang menempatkan murid sebagai penerima pasif pengetahuan. Sebaliknya, kutipan ini menegaskan nilai partisipatif dan dialogis dalam proses belajar, di mana setiap individu memiliki peran aktif dalam memproduksi pengetahuan dan membentuk masyarakat yang lebih adil.

Dalam konteks masyarakat modern yang diwarnai oleh teknologi dan kapitalisme kognitif, kutipan ini juga memunculkan dimensi kultural baru. “Melakukan” di era digital tidak lagi terbatas pada tindakan fisik, tetapi mencakup aktivitas mental dan interaktif di ruang maya.¹⁰ Oleh karena itu, pemahaman sejati di abad ke-21 bergantung pada kemampuan reflektif untuk mengelola informasi, mengkritisi media, dan berpartisipasi secara etis dalam ruang publik digital.¹¹

Dengan demikian, kutipan ini dapat dibaca sebagai teks kultural yang terus hidup dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Ia berfungsi sebagai metafora sosial yang menggambarkan hubungan antara pengetahuan, tindakan, dan pembebasan. Dalam setiap konteks—baik Konfusianisme klasik, pragmatisme modern, maupun pedagogi digital kontemporer—kutipan ini tetap mengandung pesan yang sama: bahwa pemahaman sejati hanya dapat lahir dari keterlibatan aktif dan reflektif manusia dalam membentuk dunia bersama.


Footnotes

[1]                ¹ Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf, 1993), 92–95.

[2]                ² The Great Learning (Daxue), trans. James Legge, dalam The Chinese Classics, Vol. I: Confucian Analects, The Great Learning, and The Doctrine of the Mean (Hong Kong: Trübner & Co., 1861), 357–359.

[3]                ³ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 358–360.

[4]                ⁴ Jessica Ching-Sze Wang, John Dewey in China: To Teach and to Learn (Albany: State University of New York Press, 2007), 74–78.

[5]                ⁵ Fred R. Shapiro, The Yale Book of Quotations (New Haven: Yale University Press, 2006), 276.

[6]                ⁶ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 56–58.

[7]                ⁷ John W. Thomas, “A Review of Research on Project-Based Learning,” Autodesk Foundation Report (San Rafael, CA, 2000), 12–15.

[8]                ⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–74.

[9]                ⁹ Henry A. Giroux, Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1983), 41–45.

[10]             ¹⁰ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 122–125.

[11]             ¹¹ Howard Rheingold, Smart Mobs: The Next Social Revolution (Cambridge, MA: Perseus Publishing, 2002), 191–194.


7.           Kritik dan Klarifikasi Filologis

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” telah lama dikaitkan dengan nama Konfusius, namun klaim tersebut tidak memiliki dasar filologis yang dapat diverifikasi. Dalam berbagai literatur klasik Tiongkok, termasuk Lunyu (Analects), Daxue (The Great Learning), dan Zhongyong (The Doctrine of the Mean), tidak ditemukan kalimat yang secara langsung bersesuaian dengan struktur atau makna kutipan tersebut.¹ Oleh karena itu, atribusi kepada Konfusius dapat dikategorikan sebagai pseudo-quotation—yakni kutipan yang secara kultural diasosiasikan dengan tokoh tertentu karena kesesuaian gaya atau semangatnya, bukan karena bukti tekstual yang otentik.²

Kritik filologis terhadap kutipan ini menjadi penting karena menyangkut persoalan epistemik tentang otoritas teks dan kebenaran historis. Banyak versi populer dari kutipan ini muncul dalam bahasa Inggris pada abad ke-20 tanpa rujukan primer yang jelas, dan baru kemudian disematkan kepada Konfusius untuk menambah bobot moral dan universalitasnya.³ Dalam perspektif sejarah intelektual, hal ini memperlihatkan bagaimana wacana “kebijaksanaan Timur” sering dikonstruksi oleh dunia Barat sebagai simbol keaslian moral yang dapat diapropriasi untuk tujuan pedagogis.⁴

7.1.       Analisis Filologis terhadap Sumber Asli

Kajian filologis terhadap teks Konfusianisme klasik menunjukkan bahwa kutipan tersebut mungkin merupakan hasil penyederhanaan dan penggabungan dari beberapa gagasan yang tersebar dalam tradisi Tiongkok kuno. Salah satu teks yang sering dijadikan pembanding adalah Analects II:15, di mana Konfusius berkata: “Belajar tanpa berpikir adalah sia-sia; berpikir tanpa belajar adalah berbahaya.”⁵ Walau tidak identik, pernyataan ini menegaskan hubungan antara pengalaman empiris (belajar) dan refleksi intelektual (berpikir)—dua unsur utama yang juga menjadi inti kutipan modern tersebut.

Selain itu, dalam Xunzi (荀子), terdapat ungkapan: Jika seseorang tidak berlatih apa yang telah ia pelajari, pengetahuannya akan lenyap.”⁶ Kalimat ini memiliki kemiripan semantik dengan ide bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui tindakan atau praktik. Akan tetapi, tidak ada bukti bahwa frase I hear and I forget atau padanannya dalam bahasa Mandarin pernah digunakan dalam teks-teks klasik. Para sinolog seperti Edward Slingerland dan Robert Eno menegaskan bahwa struktur kutipan tersebut lebih mencerminkan konstruksi retoris modern daripada gaya peribahasa Konfusian yang asli.⁷

Beberapa peneliti filologi menduga bahwa bentuk awal kutipan dalam bahasa Inggris muncul pada masa awal abad ke-20 melalui proses translasi bebas terhadap teks moral Tiongkok atau melalui para misionaris Protestan yang memperkenalkan ajaran moral Timur kepada pembaca Barat.⁸ Misalnya, The Chinese Recorder and Missionary Journal pada tahun 1904 memuat ungkapan yang berbunyi: “He who tells me, I may forget; he who shows me, I may remember; he who involves me, I will learn.”⁹ Meskipun tidak menyebut nama Konfusius, struktur kalimat ini menjadi prototipe kutipan modern yang kemudian beredar luas.

7.2.       Kritik terhadap Mitologi Konfusius dalam Kutipan Populer

Fenomena atribusi keliru ini mencerminkan apa yang oleh Lionel Jensen disebut sebagai manufacturing Confucianism—proses pembentukan citra Konfusius sebagai figur universal kebijaksanaan moral dalam wacana modernitas Barat.¹⁰ Jensen berargumen bahwa sejak abad ke-19, penerjemah dan misionaris Barat sering kali menyesuaikan ajaran Konfusius agar sesuai dengan nilai-nilai rasionalisme, humanisme, dan etika kerja Protestan.¹¹ Dalam proses tersebut, makna asli teks klasik Tiongkok direduksi menjadi slogan moral universal yang mudah diasimilasi ke dalam pendidikan modern. Kutipan “I hear and I forget…” adalah contoh paling menonjol dari kecenderungan ini: ia mencerminkan semangat moral Konfusian tetapi kehilangan kompleksitas linguistik, kontekstual, dan filosofisnya.

Kritik filologis juga harus memperhatikan dimensi ideologis dari proses translasi. Sebagaimana dicatat oleh Lydia Liu, penerjemahan teks Timur ke dalam bahasa Barat tidak pernah netral, melainkan selalu disertai translingual practice—yakni negosiasi makna yang dipengaruhi oleh kekuasaan kultural dan kolonial.¹² Dengan demikian, penyematan nama Konfusius pada kutipan tersebut tidak hanya merupakan kesalahan akademik, tetapi juga bentuk apropriasi kultural yang mencerminkan dominasi epistemik Barat terhadap tradisi Timur.

Meskipun demikian, perlu diakui bahwa mitologisasi ini juga berperan dalam menyebarluaskan nilai-nilai pendidikan yang positif. Dalam konteks pedagogi global, atribusi kepada Konfusius telah membantu kutipan ini mendapatkan legitimasi moral dan daya sebar lintas budaya. Namun, legitimasi tersebut harus dibedakan dari otentisitas filologisnya. Sebagaimana diingatkan oleh Michel Foucault, setiap diskursus pengetahuan selalu beroperasi dalam medan kekuasaan; atribusi yang tampak sederhana sering kali menyembunyikan struktur otoritas dan legitimasi yang kompleks.¹³

Dengan demikian, kritik filologis terhadap kutipan ini tidak bertujuan untuk menolak nilai-nilainya, melainkan untuk mengembalikan ketepatan historis dan semantik. Kutipan ini bukan berasal dari Konfusius, tetapi merupakan hasil dialog panjang antara Timur dan Barat, antara teks klasik dan pedagogi modern, antara kebijaksanaan moral dan efisiensi pendidikan. Menyadari asal-usulnya berarti memahami bahwa kebijaksanaan sejati tidak terletak pada siapa yang mengucapkannya, melainkan pada bagaimana ia dihidupi dan ditafsirkan dalam konteks yang terus berubah.


Footnotes

[1]                ¹ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 11–12.

[2]                ² Nigel Rees, Sayings of the Century (London: Unwin Hyman, 1987), 242–243.

[3]                ³ Fred R. Shapiro, The Yale Book of Quotations (New Haven: Yale University Press, 2006), 276.

[4]                ⁴ Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978), 202–205.

[5]                The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford: Clarendon Press, 1893), II.15.

[6]                The Works of Hsün Tzu, trans. Burton Watson (New York: Columbia University Press, 1963), 101.

[7]                ⁷ Robert Eno, The Analects of Confucius: An Online Teaching Translation (Bloomington: Indiana University, 2015), 4; Slingerland, Confucius Analects, 13–14.

[8]                ⁸ Lionel Jensen, Manufacturing Confucianism: Chinese Traditions and Universal Civilization (Durham: Duke University Press, 1997), 58–61.

[9]                The Chinese Recorder and Missionary Journal 35, no. 3 (1904): 179.

[10]             ¹⁰ Jensen, Manufacturing Confucianism, 1–3.

[11]             ¹¹ Ibid., 95–97.

[12]             ¹² Lydia H. Liu, Translingual Practice: Literature, National Culture, and Translated Modernity—China, 1900–1937 (Stanford: Stanford University Press, 1995), 28–32.

[13]             ¹³ Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–135.


8.           Relevansi Kontemporer

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” telah menempuh perjalanan panjang dari kebijaksanaan moral hingga menjadi prinsip pedagogis global. Dalam konteks abad ke-21, kutipan ini memperoleh relevansi baru seiring munculnya tantangan dan paradigma pendidikan kontemporer yang menuntut keterlibatan aktif, refleksi kritis, dan integrasi teknologi dalam proses belajar. Ia bukan lagi sekadar ungkapan etis atau pedagogis, melainkan sebuah metafora epistemologis tentang bagaimana manusia belajar, memahami, dan beradaptasi dalam dunia yang kompleks dan saling terhubung.¹

Kutipan tersebut menemukan momentumnya kembali dalam era experiential learning dan active learning, di mana pendidikan menekankan peran pengalaman langsung, kolaborasi, dan refleksi dalam membangun pengetahuan yang bermakna.² Model ini menolak pendekatan transmisional tradisional yang menempatkan guru sebagai pusat otoritas tunggal dan murid sebagai penerima pasif. Dalam semangat kutipan ini, belajar dipandang sebagai aktivitas partisipatif yang menyatukan pikiran, tubuh, dan tindakan.³ Maka, “I do and I understand” dapat dipahami sebagai prinsip pedagogi humanistik yang mengedepankan kemandirian belajar dan tanggung jawab moral dalam praktik pendidikan.

8.1.       Aplikasi dalam Pembelajaran Abad ke-21

Dalam konteks pendidikan modern, prinsip kutipan ini sangat sejalan dengan teori constructivism dan experiential education yang kini menjadi dasar reformasi pendidikan global. Jean Piaget dan David Kolb menegaskan bahwa pengetahuan tidak diberikan dari luar, tetapi dikonstruksi melalui interaksi aktif antara individu dan lingkungannya.⁴ Kolb secara khusus menekankan bahwa pemahaman yang sejati lahir dari siklus pengalaman, refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen.⁵

Konsep tersebut kini diwujudkan dalam berbagai pendekatan pembelajaran abad ke-21, seperti problem-based learning, project-based learning, dan service learning, yang menempatkan peserta didik sebagai aktor utama dalam pencarian makna.⁶ Dalam paradigma ini, “doing” bukan hanya berarti melakukan secara fisik, tetapi juga berfikir reflektif dan bertindak dalam konteks sosial yang nyata. Pengalaman belajar tidak lagi bersifat linear, melainkan siklikal—sebuah proses dialogis antara pengetahuan, tindakan, dan makna.

Lebih jauh, kutipan ini juga menginspirasi pergeseran paradigma dari teaching-centered learning menuju learner-centered education. UNESCO melalui Delors Report (1996) menegaskan empat pilar pendidikan masa depan: learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.⁷ Dari empat pilar tersebut, frasa “I do and I understand” paling dekat dengan prinsip learning to do, yang menekankan keterampilan reflektif dan kemampuan praktis sebagai bagian dari kemanusiaan utuh. Dengan demikian, kutipan ini tidak hanya memiliki nilai filosofis, tetapi juga landasan strategis dalam kebijakan pendidikan global.

8.2.       Relevansi terhadap Etika Digital dan Literasi Media

Dalam konteks digital kontemporer, kutipan ini memperoleh lapisan makna baru. Era informasi yang ditandai oleh banjir data, algoritma, dan interaktivitas menuntut kemampuan epistemik yang tidak hanya mengandalkan mendengar atau melihat, tetapi juga melakukan—yakni berpartisipasi secara sadar, kritis, dan etis.⁸ “Mendengar” dan “melihat” dalam dunia digital identik dengan konsumsi pasif terhadap informasi, sedangkan “melakukan” berarti keterlibatan aktif dalam produksi pengetahuan, partisipasi sosial, dan refleksi moral terhadap teknologi yang digunakan.

Dalam perspektif digital ethics, kutipan ini dapat dibaca sebagai panggilan untuk melampaui pasivitas pengguna menuju kesadaran kritis (critical digital literacy).⁹ Pemahaman sejati tentang dunia digital tidak hanya diperoleh melalui akses terhadap informasi, tetapi melalui tindakan yang bertanggung jawab: memverifikasi kebenaran, memahami dampak sosial teknologi, dan menggunakan media digital secara reflektif. Sejalan dengan prinsip Paulo Freire tentang conscientização, belajar di era digital harus melibatkan dimensi praksis—tindakan sadar untuk mengubah struktur pengetahuan dan relasi kekuasaan dalam ruang maya.¹⁰

Selain itu, kutipan ini relevan dengan paradigma participatory culture yang dijelaskan oleh Henry Jenkins, di mana pengguna internet bukan hanya konsumen, tetapi juga produsen makna (prosumers).¹¹ Dalam konteks ini, “I do and I understand” menjadi dasar epistemologis partisipasi digital: seseorang memahami dunia digital bukan dengan mengamati, melainkan dengan berinteraksi, mencipta, dan merefleksikan. Dengan demikian, prinsip kutipan tersebut membantu membingkai ulang literasi digital sebagai proses moral dan reflektif, bukan sekadar keterampilan teknis.

8.3.       Pembelajaran Sosial dan Transformatif

Kutipan ini juga memiliki relevansi sosial-politik dalam kerangka pendidikan transformatif. Paulo Freire menyatakan bahwa tindakan (praxis) merupakan bentuk tertinggi dari pengetahuan, karena melalui tindakan reflektif manusia mampu mengubah dunia dan dirinya sendiri.¹² Dengan demikian, “I do and I understand” bukan hanya ajaran pedagogis, tetapi juga prinsip emansipatoris yang menolak keterasingan antara teori dan praktik. Dalam pendidikan sosial, kutipan ini mengandung pesan bahwa pengetahuan sejati bersifat partisipatif dan berorientasi pada keadilan sosial.

Pendidikan kontemporer yang berlandaskan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan kemanusiaan membutuhkan model pembelajaran yang melibatkan individu sebagai agen perubahan sosial.¹³ Melalui tindakan nyata—baik dalam konteks proyek komunitas, pelayanan sosial, maupun advokasi digital—peserta didik menginternalisasi makna pengetahuan sebagai kekuatan transformatif. Dalam arti ini, kutipan tersebut menegaskan bahwa pemahaman bukan sekadar kesadaran kognitif, melainkan kesadaran etis dan sosial yang diwujudkan dalam praksis.

Akhirnya, dalam lanskap global yang sarat ketidakpastian, kutipan ini menegaskan kembali pentingnya dimensi kemanusiaan dalam proses belajar. Ia mengingatkan bahwa di tengah kemajuan teknologi dan kompleksitas informasi, pengetahuan sejati tetap lahir dari pengalaman hidup yang otentik dan tindakan reflektif. “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” bukan sekadar warisan moral masa lampau, melainkan prinsip universal bagi pembelajaran yang humanistik, partisipatif, dan berkelanjutan di abad ke-21.¹⁴


Footnotes

[1]                ¹ Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder, CO: Westview Press, 2007), 97–99.

[2]                ² David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1984), 38–41.

[3]                ³ John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–30.

[4]                ⁴ Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New York: Basic Books, 1954), 56–58.

[5]                ⁵ Kolb, Experiential Learning, 42–44.

[6]                ⁶ John W. Thomas, “A Review of Research on Project-Based Learning,” Autodesk Foundation Report (San Rafael, CA, 2000), 15–18.

[7]                ⁷ Jacques Delors et al., Learning: The Treasure Within (Paris: UNESCO, 1996), 85–87.

[8]                ⁸ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 122–125.

[9]                ⁹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 153–155.

[10]             ¹⁰ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 70–73.

[11]             ¹¹ Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media Collide (New York: New York University Press, 2006), 3–4.

[12]             ¹² Freire, Pedagogy of the Oppressed, 74–76.

[13]             ¹³ Henry A. Giroux, Education and the Crisis of Public Values: Challenging the Assault on Teachers, Students, and Public Education (New York: Peter Lang, 2012), 45–49.

[14]             ¹⁴ Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 141–144.


9.           Sintesis Filosofis

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” pada dasarnya menyatukan tiga dimensi fundamental dalam filsafat pengetahuan dan pendidikan: ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ia merepresentasikan perjalanan eksistensial manusia dari pengalaman inderawi menuju pemahaman reflektif dan tindakan bermakna. Dalam tataran filosofis, kutipan ini bukan sekadar pernyataan metodologis tentang cara belajar, melainkan suatu kerangka antropologis tentang hakikat manusia sebagai makhluk yang mendengar, melihat, dan bertindak—yakni sebagai makhluk yang membangun pengetahuannya melalui keterlibatan aktif dalam dunia.¹

Secara ontologis, kutipan ini menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah entitas statis, melainkan proses keberadaan (becoming). “Mendengar” menggambarkan keberadaan pasif manusia di hadapan dunia; “melihat” menandai kesadaran representasional yang mulai memahami struktur realitas; sementara “melakukan” menandai kehadiran manusia secara penuh dalam dunia melalui tindakan yang transformatif.² Dalam arti ini, tindakan (praxis) bukan sekadar ekspresi dari pengetahuan, melainkan cara manusia mengada secara autentik.³ Sebagaimana diuraikan oleh Heidegger, memahami berarti berada-di-dunia (being-in-the-world) dengan cara yang praktis, di mana subjek dan objek pengetahuan saling terjalin dalam keterlibatan yang konkret.⁴ Dengan demikian, “I do and I understand” mengandung ontologi keterlibatan: pengetahuan sejati hanya muncul melalui partisipasi manusia dalam dunia yang dihidupinya.

Secara epistemologis, kutipan ini menawarkan model pengetahuan yang bersifat progresif dan integratif. Ia menolak dikotomi klasik antara rasionalisme dan empirisme dengan menegaskan bahwa pengetahuan tidak cukup hanya didengar (rasional) atau dilihat (empiris), tetapi harus diwujudkan melalui tindakan (pragmatis).⁵ Dalam kerangka ini, kutipan tersebut sejalan dengan epistemologi pragmatis John Dewey, yang menyatakan bahwa berpikir adalah bentuk tindakan reflektif yang teruji melalui pengalaman.⁶ Pengetahuan yang sejati, menurut Dewey, bersifat instrumental—ia diuji dan divalidasi melalui konsekuensi tindakan.⁷ Pandangan ini juga sejalan dengan epistemologi Timur, khususnya prinsip Konfusian zhi xing he yi (知行合一)—kesatuan antara pengetahuan (zhi) dan tindakan (xing)—yang menolak pemisahan antara teori dan praksis.⁸ Maka, kutipan ini menjadi jembatan konseptual antara dua tradisi besar: rasionalitas reflektif Barat dan praksis moral Timur.

Secara aksiologis, kutipan ini mengandung pesan etis yang kuat: bahwa nilai pengetahuan hanya terwujud dalam tindakan yang bertanggung jawab. “Melakukan” tidak hanya berarti mengimplementasikan pengetahuan, tetapi juga menghidupinya secara moral dan sosial. Dalam konteks Konfusianisme, belajar tanpa tindakan dianggap tidak bermoral karena gagal menumbuhkan kebajikan (de ).⁹ Dalam tradisi Aristoteles, pengetahuan yang baik adalah phronesis—kebijaksanaan praktis yang memandu tindakan etis.¹⁰ Maka, kutipan ini dapat dibaca sebagai etika pembelajaran yang menuntut kesatuan antara knowing dan doing, di mana pemahaman sejati berarti kemampuan bertindak dengan kesadaran moral.

Lebih jauh, kutipan ini memiliki nilai filosofis universal karena menegaskan hubungan dialektis antara teori dan praksis. Pengetahuan yang tidak diwujudkan dalam tindakan akan kehilangan makna; sebaliknya, tindakan tanpa refleksi kehilangan arah etis dan epistemiknya.¹¹ Oleh karena itu, kutipan ini dapat dipandang sebagai epistemologi praksis yang berorientasi pada transformasi diri dan masyarakat. Dalam kerangka Freirean, hal ini sejalan dengan gagasan praxis sebagai kesatuan antara refleksi dan aksi untuk mencapai pembebasan manusia.¹²

Kutipan ini juga dapat ditafsirkan dalam konteks hermeneutika eksistensial. Proses “mendengar, melihat, dan melakukan” bukan hanya urutan pedagogis, tetapi juga struktur pengalaman hermeneutik: mendengar adalah membuka diri terhadap makna, melihat adalah menafsirkan dunia dalam horizon pengertian, dan melakukan adalah mewujudkan pemahaman dalam tindakan yang mengubah dunia.¹³ Melalui tindakan inilah manusia tidak sekadar memahami dunia, tetapi juga memahami dirinya dalam dunia. Dalam kerangka ini, pemahaman tidak bersifat kognitif semata, melainkan juga eksistensial dan transformasional.

Dengan mengintegrasikan ketiga dimensi tersebut, kutipan ini mencerminkan filsafat pembelajaran humanistik—suatu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat pengetahuan sekaligus subjek moral. Pengetahuan yang sejati, menurut pandangan ini, tidak diukur dari banyaknya informasi yang dimiliki, melainkan dari kemampuan individu untuk mengolah pengalaman menjadi kebijaksanaan dan tindakan yang bermakna.¹⁴ Dalam masyarakat kontemporer yang sarat teknologi, prinsip ini menjadi semakin relevan: belajar bukan hanya tentang “mendengar” (informasi) dan “melihat” (visualisasi), tetapi tentang “melakukan” (partisipasi) dalam dunia yang menuntut keterlibatan aktif, reflektif, dan etis.

Dengan demikian, sintesis filosofis dari kutipan ini memperlihatkan bahwa pengetahuan, tindakan, dan nilai adalah tiga pilar tak terpisahkan dalam pembentukan manusia. “I hear and I forget” menandai keterbatasan persepsi pasif; “I see and I remember” menandai awal kesadaran reflektif; dan “I do and I understand” menandai puncak pemahaman yang terwujud dalam tindakan etis dan kreatif.¹⁵ Maka, kutipan ini dapat disimpulkan sebagai mantra filosofis tentang kesatuan epistemologi dan etika: bahwa memahami berarti menghidupi pengetahuan—sebuah tindakan yang terus-menerus menghubungkan diri, dunia, dan nilai-nilai kemanusiaan.


Footnotes

[1]                ¹ Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy (New York: Ronald Press, 1963), 211–214.

[2]                ² Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 45–47.

[3]                ³ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 204–206.

[4]                ⁴ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 225–228.

[5]                ⁵ Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 52–54.

[6]                ⁶ John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–30.

[7]                ⁷ Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 164–166.

[8]                ⁸ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 43–46.

[9]                The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford: Clarendon Press, 1893), II.15.

[10]             ¹⁰ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), VI.5, 1140b20–25.

[11]             ¹¹ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–304.

[12]             ¹² Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–74.

[13]             ¹³ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 312–316.

[14]             ¹⁴ Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH: Merrill, 1969), 157–160.

[15]             ¹⁵ Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 141–144.


10.       Kesimpulan

Kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” merupakan ekspresi filosofis yang sederhana namun sarat makna. Ia merangkum perjalanan manusia dalam memahami dunia—dari pengalaman pasif menuju keterlibatan aktif, dari pengetahuan kognitif menuju pemahaman eksistensial. Dalam analisis historis dan filologis, kutipan ini terbukti bukan berasal langsung dari ajaran Konfusius, melainkan hasil sintesis antara semangat moral Konfusianisme dan pragmatisme pedagogis Barat.¹ Namun demikian, kekeliruan atribusi tersebut tidak mengurangi relevansi filosofisnya, karena substansi nilai yang terkandung di dalamnya melampaui batas sejarah dan budaya. Kutipan ini berfungsi sebagai simbol universal dari epistemologi praksis yang menempatkan tindakan sebagai inti dari pengetahuan sejati.

Dari sisi ontologis, kutipan ini menegaskan bahwa mengetahui bukanlah aktivitas mental yang terpisah dari keberadaan, melainkan bagian dari proses manusia untuk mengada secara sadar dalam dunia. “Mendengar” dan “melihat” menggambarkan kesadaran representasional, sedangkan “melakukan” menandai keterlibatan ontologis di mana manusia menghadirkan dirinya sebagai subjek yang aktif dan kreatif.² Dengan demikian, pengetahuan sejati adalah bentuk keberadaan yang terlibat, bukan sekadar refleksi terhadap realitas yang diamati.

Secara epistemologis, kutipan ini mengajarkan bahwa pengetahuan adalah hasil interaksi dinamis antara pengalaman dan refleksi. Ia menolak pandangan mekanistik tentang belajar sebagai proses pasif, dan menegaskan pentingnya tindakan reflektif dalam membentuk pemahaman yang bermakna.³ Dalam perspektif pragmatisme John Dewey, berpikir adalah tindakan yang teruji melalui pengalaman; seseorang hanya benar-benar memahami sesuatu ketika ia terlibat langsung dalam proses menemukan maknanya.⁴ Maka, tahap “I do and I understand” menggambarkan epistemologi yang bersifat eksperiensial, di mana kebenaran pengetahuan diuji melalui tindakan dan refleksi.

Dari sudut aksiologis, kutipan ini memiliki nilai moral yang mendalam. Ia menegaskan bahwa pengetahuan memperoleh nilai hanya ketika diwujudkan dalam tindakan yang etis.⁵ Dalam tradisi Konfusian, belajar selalu terkait dengan pembentukan moralitas dan kebajikan sosial; sementara dalam etika kebajikan Aristoteles, pengetahuan yang sejati diwujudkan melalui phronesis, kebijaksanaan praktis yang menuntun tindakan baik.⁶ Oleh karena itu, kutipan ini mengandung prinsip normatif: bahwa memahami berarti bertindak dengan kebijaksanaan, dan bahwa pendidikan sejati tidak hanya menumbuhkan kecerdasan, tetapi juga karakter dan tanggung jawab moral.

Konteks sosial dan kultural menunjukkan bahwa kutipan ini terus berevolusi mengikuti dinamika zaman. Ia telah menjadi jembatan antara Timur dan Barat, antara filsafat moral klasik dan pedagogi modern.⁷ Dalam era digital kontemporer, maknanya menemukan aktualisasi baru dalam prinsip active learning, experiential education, dan literasi digital kritis. “Melakukan” kini dapat dimaknai sebagai keterlibatan reflektif dalam ruang sosial dan teknologi, di mana pengetahuan tidak hanya dikonsumsi tetapi juga diciptakan melalui partisipasi dan tanggung jawab etis.⁸ Dengan demikian, kutipan ini tetap hidup sebagai etika pembelajaran yang relevan dengan tantangan zaman modern.

Secara filosofis, kutipan ini dapat disintesiskan sebagai bentuk kesatuan antara knowing, doing, dan being—mengetahui, bertindak, dan menjadi. Kesatuan ini menunjukkan bahwa pengetahuan sejati bukan hasil akumulasi informasi, tetapi hasil transformasi diri melalui tindakan reflektif dan moral.⁹ Ia menggambarkan suatu ideal humanistik yang menempatkan manusia sebagai subjek aktif yang membangun makna melalui dialog dengan dunia dan sesama. Dalam kerangka ini, belajar menjadi proses eksistensial untuk menjadi manusia seutuhnya, bukan sekadar proses kognitif untuk menguasai pengetahuan.

Akhirnya, kutipan “I hear and I forget. I see and I remember. I do and I understand” menegaskan bahwa pemahaman adalah tindakan. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan hanya bernilai ketika dihayati, dan kebijaksanaan hanya muncul ketika diterapkan. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh informasi dan teknologi, pesan ini menjadi semakin relevan: bahwa manusia tidak cukup hanya mendengar dan melihat, tetapi harus melakukan dengan kesadaran, memahami dengan tanggung jawab, dan bertindak dengan kebajikan.¹⁰ Dalam kesatuan antara mendengar, melihat, dan melakukan, filsafat kutipan ini menyapa manusia untuk terus belajar bukan hanya agar mengerti, tetapi agar menjadi—menjadi manusia yang berpikir, berbuat, dan memahami dengan hati yang bijaksana.


Footnotes

[1]                ¹ Lionel Jensen, Manufacturing Confucianism: Chinese Traditions and Universal Civilization (Durham: Duke University Press, 1997), 58–61.

[2]                ² Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 225–228.

[3]                ³ Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 54–56.

[4]                ⁴ John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan, 1938), 25–30.

[5]                ⁵ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 46–49.

[6]                ⁶ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), II.1, 1103a14–25.

[7]                ⁷ Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf, 1993), 92–95.

[8]                ⁸ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 153–155.

[9]                ⁹ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–304.

[10]             ¹⁰ Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 141–144.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social critique of the judgement of taste (R. Nice, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Delors, J., et al. (1996). Learning: The treasure within. Paris: UNESCO.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York, NY: Macmillan.

Dewey, J. (1938). Experience and education. New York, NY: Macmillan.

Eno, R. (2015). The Analects of Confucius: An online teaching translation. Bloomington: Indiana University.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York, NY: Pantheon Books.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York, NY: Continuum.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Continuum.

Giroux, H. A. (1983). Theory and resistance in education: A pedagogy for the opposition. Westport, CT: Bergin & Garvey.

Giroux, H. A. (2012). Education and the crisis of public values: Challenging the assault on teachers, students, and public education. New York, NY: Peter Lang.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). Cambridge, MA: MIT Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). The Hague: Martinus Nijhoff.

Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where old and new media collide. New York, NY: New York University Press.

Jensen, L. (1997). Manufacturing Confucianism: Chinese traditions and universal civilization. Durham, NC: Duke University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kattsoff, L. O. (1963). Elements of philosophy. New York, NY: Ronald Press.

Kolb, D. A. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Legge, J. (1893). The Analects of Confucius. Oxford: Clarendon Press.

Legge, J. (1861). The Chinese classics, Vol. I: Confucian Analects, The Great Learning, and The Doctrine of the Mean. Hong Kong: Trübner & Co.

Liu, L. H. (1995). Translingual practice: Literature, national culture, and translated modernity—China, 1900–1937. Stanford, CA: Stanford University Press.

Locke, J. (1690). An essay concerning human understanding. London: Thomas Basset.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.

Mou, Z. (1985). Intellectual intuition and Chinese philosophy. Honolulu, HI: University of Hawaii Press.

Neisser, U. (1967). Cognitive psychology. New York, NY: Appleton-Century-Crofts.

Noddings, N. (2007). Philosophy of education. Boulder, CO: Westview Press.

Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Piaget, J. (1954). The construction of reality in the child. New York, NY: Basic Books.

Polanyi, M. (1958). Personal knowledge: Towards a post-critical philosophy. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Rees, N. (1987). Sayings of the century. London: Unwin Hyman.

Rheingold, H. (2002). Smart mobs: The next social revolution. Cambridge, MA: Perseus Publishing.

Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn. Columbus, OH: Merrill.

Said, E. (1978). Orientalism. New York, NY: Pantheon Books.

Said, E. (1993). Culture and imperialism. New York, NY: Knopf.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York, NY: Washington Square Press.

Shapiro, F. R. (2006). The Yale book of quotations. New Haven, CT: Yale University Press.

Slingerland, E. (2003). Confucius Analects: With selections from traditional commentaries. Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Thomas, J. W. (2000). A review of research on project-based learning. San Rafael, CA: Autodesk Foundation.

Tu, W. (1989). Centrality and commonality: An essay on Confucian religiousness. Albany, NY: State University of New York Press.

Varela, F. J., Thompson, E., & Rosch, E. (1991). The embodied mind: Cognitive science and human experience. Cambridge, MA: MIT Press.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Wang, J. C.-S. (2007). John Dewey in China: To teach and to learn. Albany, NY: State University of New York Press.

Watson, B. (Trans.). (1963). The works of Hsün Tzu. New York, NY: Columbia University Press.

Whiting, B. J. (1989). Modern proverbs and proverbial sayings. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. New York, NY: PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar