Dari Konfusius ke Pedagogi Modern
I Hear and I Forget, I See and I Remember, I Do and I
Understand
Alihkan ke: Konfusianisme.
Goal Orientation Theory, Definisi dan Batasan Sukses.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif asal-usul,
makna filosofis, dan relevansi kontemporer dari kutipan populer “I hear and
I forget. I see and I remember. I do and I understand.” Melalui pendekatan
historis-filologis, hermeneutis, dan pedagogis, kajian ini menelusuri
perjalanan kutipan tersebut dari dugaan akar Konfusianisme hingga
transformasinya menjadi prinsip universal dalam filsafat pendidikan modern.
Analisis filologis menunjukkan bahwa kutipan ini tidak ditemukan secara literal
dalam teks klasik Tiongkok seperti Lunyu (The Analects),
melainkan merupakan hasil konstruksi modern yang menggabungkan nilai moral
Konfusian dengan pragmatisme pendidikan Barat. Dari segi ontologi, kutipan ini
menegaskan bahwa pengetahuan sejati berakar pada keterlibatan eksistensial
manusia dalam dunia; dari segi epistemologi, ia menggambarkan proses
pengetahuan yang bertransformasi dari persepsi menuju pemahaman melalui
tindakan reflektif; sedangkan dari segi aksiologi, ia mengandung nilai moral
bahwa pembelajaran sejati hanya bermakna bila diwujudkan dalam tindakan etis
dan kebajikan.
Kutipan ini juga dianalisis dalam dimensi sosial,
politik, dan kultural sebagai fenomena lintas peradaban yang mencerminkan
dialog antara Timur dan Barat serta perubahan paradigma pendidikan di era
modern. Dalam konteks abad ke-21, prinsip “I do and I understand”
menjadi semakin relevan dengan munculnya paradigma experiential learning,
pendidikan partisipatif, dan etika digital. Sintesis filosofis menunjukkan
bahwa kutipan ini mempersatukan tiga dimensi pengetahuan—knowing, doing,
dan being—sebagai dasar pembelajaran humanistik yang integral. Dengan
demikian, kutipan ini tidak hanya berfungsi sebagai semboyan pedagogis, tetapi
juga sebagai refleksi filosofis tentang hakikat manusia sebagai makhluk yang
memahami melalui tindakan, dan bertindak melalui pemahaman yang sadar,
reflektif, dan bermoral.
Kata Kunci: Konfusius,
epistemologi praksis, ontologi pembelajaran, aksiologi pendidikan, experiential
learning, filologi filosofis, etika digital, pendidikan humanistik.
PEMBAHASAN
Genealogi dan Makna Filosofis Kutipan ‘I Hear and I
Forget, I See and I Remember, I Do and I Understand’
1.
Pendahuluan
Kutipan populer “I hear and I forget. I see and
I remember. I do and I understand” telah lama menjadi semboyan universal
dalam dunia pendidikan modern. Kalimat sederhana ini kerap muncul di
ruang-ruang kelas, pelatihan profesional, hingga wacana pembelajaran berbasis
pengalaman (experiential learning). Di balik kepopulerannya, kutipan ini
menyimpan lapisan historis, filosofis, dan pedagogis yang kompleks. Ia tidak
hanya menyatakan prinsip praktis mengenai cara manusia belajar, melainkan juga
merefleksikan suatu pandangan mendalam tentang hakikat pengetahuan, pengalaman,
dan keterlibatan manusia dalam proses memahami dunia. Namun, meski sering
dikaitkan dengan filsuf Tiongkok kuno, Konfusius (551–479 SM), atribusi
tersebut masih menjadi perdebatan yang menarik di kalangan akademik dan sejarah
intelektual.¹
Kutipan ini memiliki daya tarik karena mengandung
struktur progresif yang menggambarkan transformasi kognitif manusia: dari
mendengar (hearing) yang bersifat pasif, menuju melihat (seeing)
yang bersifat representasional, hingga melakukan (doing) yang bersifat
aktif dan reflektif. Tiga tahap ini dapat dimaknai sebagai simbol epistemologis
dari perjalanan manusia menuju pemahaman sejati. Dalam konteks psikologi
belajar, kalimat ini beresonansi dengan teori learning by doing dari
John Dewey yang menekankan bahwa pengalaman langsung adalah inti dari
pembentukan pengetahuan yang bermakna.² Begitu pula dalam kerangka
konstruktivisme, Jean Piaget dan Lev Vygotsky menekankan peran aktif subjek
dalam mengkonstruksi makna melalui interaksi sosial dan eksperimen terhadap
dunia empiris.³ Dengan demikian, kutipan ini dapat dilihat bukan hanya sebagai
nasihat pedagogis, melainkan sebagai rumusan implisit tentang filsafat
pengetahuan yang menempatkan pengalaman sebagai landasan ontologis bagi
pemahaman.
Secara historis, peredaran kutipan ini dalam
literatur berbahasa Inggris dapat ditelusuri ke awal abad ke-20, terutama dalam
teks-teks pendidikan progresif yang berusaha menggabungkan prinsip-prinsip
Timur dengan pendekatan pedagogi Barat. Banyak versi muncul dengan variasi
redaksi yang berbeda, seperti “Tell me and I forget, teach me and I
remember, involve me and I learn.”⁴ Versi ini bahkan sering dikaitkan
dengan Benjamin Franklin, walaupun tidak terdapat bukti tekstual yang mendukung
klaim tersebut.⁵ Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kutipan tersebut telah
mengalami proses transmisi lintas budaya yang melibatkan reinterpretasi,
simplifikasi, dan bahkan mitologisasi. Dalam proses ini, makna filosofis yang
awalnya mungkin kompleks menjadi disederhanakan untuk kepentingan retorika
pendidikan modern.
Atribusi keliru kepada Konfusius menjadi cermin
menarik tentang bagaimana wacana kebijaksanaan Timur sering dikonstruksi dalam
kerangka pandangan Barat sebagai simbol kearifan praktis. Banyak peneliti
menilai bahwa kutipan tersebut tidak ditemukan secara langsung dalam Analects
atau teks klasik Konfusianisme lainnya.⁶ Namun, gagasan yang serupa—yakni bahwa
pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui keterlibatan aktif dan refleksi
moral—memang terdapat dalam etika dan pedagogi Konfusianisme. Konsep xue
(belajar), si (merenung), dan xing (praktik moral) menegaskan
bahwa belajar bukanlah sekadar aktivitas kognitif, tetapi juga proses
pembentukan karakter yang integral.⁷ Oleh karena itu, meskipun kutipan ini
mungkin bukan berasal dari Konfusius secara literal, semangat filosofisnya
tetap sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan moral dalam tradisi Tionghoa
kuno.
Dalam konteks pendidikan modern, kutipan ini
mencerminkan pergeseran paradigma dari model pembelajaran yang berpusat pada
guru menuju model yang berpusat pada peserta didik. Pembelajaran tidak lagi
dianggap sebagai transfer pengetahuan dari sumber eksternal ke penerima pasif,
tetapi sebagai proses dialogis, partisipatif, dan kontekstual. Pandangan ini
sejalan dengan semangat pedagogi kritis Paulo Freire, yang menolak pendekatan banking
education dan menekankan pentingnya kesadaran reflektif melalui tindakan
praksis.⁸ Maka, makna “I do and I understand” dapat dibaca sebagai deklarasi
etis tentang tanggung jawab manusia untuk memahami dunia melalui tindakan yang
sadar dan bermakna.
Artikel ini bertujuan menelusuri asal-usul, konteks
filosofis, dan relevansi pedagogis kutipan tersebut secara sistematis. Dengan
menggunakan pendekatan historis-filologis, hermeneutis, dan pedagogis, kajian
ini akan mengurai bagaimana kutipan itu berevolusi dari wacana kebijaksanaan
Timur menjadi prinsip epistemologis dalam pendidikan Barat modern. Melalui
analisis ontologis, epistemologis, dan aksiologis, diharapkan muncul pemahaman
yang lebih utuh tentang hubungan antara pengalaman, pengetahuan, dan nilai
dalam proses belajar manusia. Pada akhirnya, artikel ini hendak menunjukkan
bahwa di balik kesederhanaan bahasanya, kutipan ini menyimpan kedalaman refleksi
filosofis tentang hakikat memahami—sebuah proses yang mengandaikan bukan hanya
melihat dunia, melainkan juga berpartisipasi di dalamnya secara aktif dan
bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
¹ Edward Slingerland, Confucius Analects: With
Selections from Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing,
2003), 11–12.
[2]
² John Dewey, Experience and Education (New
York: Macmillan, 1938), 25–30.
[3]
³ Jean Piaget, The Construction of Reality in
the Child (New York: Basic Books, 1954), 56–58; Lev S. Vygotsky, Mind in
Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 84–90.
[4]
⁴ Bartlett Jere Whiting, Modern Proverbs and
Proverbial Sayings (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 233.
[5]
⁵ Fred R. Shapiro, The Yale Book of Quotations
(New Haven: Yale University Press, 2006), 276.
[6]
⁶ Robert Eno, The Analects of Confucius: An
Online Teaching Translation (Bloomington: Indiana University, 2015), 3–4.
[7]
⁷ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An
Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York
Press, 1989), 42–45.
[8]
⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 68–73.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Kutipan “I hear
and I forget. I see and I remember. I do and I understand” sering
kali diasosiasikan dengan kebijaksanaan Timur, khususnya ajaran Konfusius.
Namun, penelitian historis menunjukkan bahwa kutipan tersebut tidak ditemukan
dalam teks klasik Tiongkok seperti Lunyu (The Analects).¹ Atribusi ini lebih
bersifat simbolik ketimbang faktual, mencerminkan bagaimana dunia Barat sejak
abad ke-19 mengkonstruksi citra Konfusius sebagai figur kebijaksanaan moral
universal. Untuk memahami asal-usul kutipan tersebut secara memadai, diperlukan
pendekatan genealogis yang menelusuri perjalanan ide ini dari kemungkinan
inspirasi dalam tradisi Konfusianisme, menuju reinterpretasinya dalam wacana
pendidikan modern Barat.
2.1. Jejak Atribusi Awal di Barat
Penelusuran
genealogis atas kutipan ini menunjukkan bahwa versi tertulisnya baru muncul
pada abad ke-20 dalam konteks pedagogi Barat. Salah satu bentuk paling awal
dari kutipan yang serupa tercatat dalam laporan Proceedings of the Society of Teachers of
Mathematics tahun 1915, yang menulis: “He who learns but does
not practice is like one who plants but does not harvest.”² Walaupun
redaksinya berbeda, struktur semantik yang menekankan hubungan antara
pengalaman langsung dan pemahaman tampak konsisten. Selanjutnya, variasi yang
lebih mirip dengan kutipan modern muncul dalam publikasi pendidikan pada dekade
1920–1930-an di Amerika Serikat, terutama dalam literatur mengenai experiential
learning yang dipengaruhi oleh pragmatisme John Dewey.³
Versi yang paling
populer dari kutipan ini—yakni “Tell me and I forget, show me and I
remember, involve me and I learn”—baru mulai beredar luas setelah Perang
Dunia II, terutama dalam wacana pelatihan militer dan pendidikan vokasional.⁴
Versi inilah yang kemudian mengalami atribusi retroaktif kepada Konfusius,
seolah-olah berasal dari kebijaksanaan Timur yang telah lama mengajarkan
prinsip “belajar melalui tindakan.” Klaim tersebut menjadi populer
melalui publikasi-publikasi populer di pertengahan abad ke-20, termasuk dalam The
Forbes Scrapbook of Thoughts on the Business of Life (1950), yang
secara eksplisit menisbahkan kutipan itu kepada Konfusius tanpa mencantumkan
sumber tekstual.⁵
Fenomena atribusi
palsu ini mencerminkan kecenderungan kultural Barat pada masa itu untuk
mengaitkan gagasan etis-pragmatis dengan figur-figur Timur demi memberikan
legitimasi moral dan spiritual.⁶ Dalam konteks orientalisme modern,
kebijaksanaan Timur sering kali dikodifikasi ulang agar sesuai dengan semangat
efisiensi dan rasionalitas pendidikan Barat. Akibatnya, kutipan tersebut
menjadi hibrida antara idealisme moral Konfusianisme dan empirisme pragmatis
Amerika.
2.2. Dugaan Akar Tionghoa: Konfusius dan Tradisi Klasik
Meskipun tidak
ditemukan secara literal dalam teks Lunyu, sejumlah konsep dalam
Konfusianisme dapat dianggap sebagai dasar ideologis bagi struktur makna
kutipan tersebut. Dalam Analects II:15, Konfusius
menegaskan bahwa “Belajar tanpa berpikir adalah sia-sia; berpikir tanpa
belajar adalah berbahaya.”⁷ Ungkapan ini menunjukkan pandangan
epistemologis bahwa pengetahuan sejati tidak hanya berasal dari mendengar (ting
聽)
atau melihat (jian 見),
melainkan dari aktivitas reflektif dan praksis moral (xing
行).
Dengan demikian, pembelajaran bagi Konfusius tidak pernah sekadar bersifat
intelektual, melainkan juga moral dan sosial: sebuah proses transformasi diri
menuju kebajikan (ren 仁).
Selain itu, dalam
teks Xunzi,
salah satu murid besar tradisi Konfusianisme, terdapat gagasan bahwa
pengulangan tindakan melahirkan penguasaan, dan penguasaan menumbuhkan
kebijaksanaan.⁸ Pandangan ini memperkuat hubungan antara pengalaman langsung
dan pembentukan karakter. Oleh karena itu, meskipun kutipan “I do and I
understand” tidak muncul dalam bahasa aslinya, esensi filosofisnya dapat
ditemukan dalam tradisi epistemologi dan etika Konfusianisme yang menekankan
integrasi antara pengetahuan dan tindakan (zhi xing he yi 知行合一).⁹
Interpretasi yang
mengaitkan kutipan ini dengan Konfusius barangkali juga dipengaruhi oleh
persepsi Barat terhadap ajaran Tiongkok sebagai sistem moral yang mengutamakan
praktik ketimbang teori. Melalui proses translasi dan penyederhanaan,
nilai-nilai Konfusianisme tentang pembelajaran reflektif kemudian direduksi
menjadi bentuk slogan pendidikan praktis yang mudah diterima di dunia modern.
2.3. Transmisi Budaya dan Distorsi Interpretatif
Transformasi kutipan
ini dari kebijaksanaan Timur menjadi prinsip pedagogis global tidak terjadi
secara spontan, melainkan melalui proses historis panjang yang melibatkan
kontak budaya, kolonialisme intelektual, dan ideologi pendidikan modern. Pada
akhir abad ke-19, minat terhadap filsafat Timur meningkat di kalangan sarjana
dan pendidik Barat yang mencari alternatif terhadap positivisme Eropa. Karya
seperti The
Chinese Classics oleh James Legge memainkan peran penting dalam
memperkenalkan teks Konfusianisme ke dunia berbahasa Inggris.¹⁰ Namun,
penerjemahan tersebut sering kali bersifat interpretatif dan moralistik,
menyesuaikan makna teks asli dengan nilai-nilai Kristen dan rasionalisme
Barat.¹¹
Di awal abad ke-20,
gagasan-gagasan tersebut bersinggungan dengan gerakan progressive
education yang digagas oleh John Dewey. Dewey sendiri pernah
mengajar di Tiongkok pada tahun 1919–1921, di mana ia memperkenalkan prinsip learning
by doing yang menekankan pengalaman langsung sebagai sarana utama
pembelajaran.¹² Melalui interaksi timbal balik ini, lahirlah sintesis baru
antara kebijaksanaan Timur dan pragmatisme Barat. Dalam konteks ini, kutipan “I
hear and I forget...” menjadi simbol dialog antarperadaban yang
mempertautkan dimensi moral, empiris, dan praktis dari proses belajar manusia.
Namun, di sisi lain,
popularisasi kutipan tersebut juga menghasilkan distorsi makna. Ketika diserap
ke dalam slogan pendidikan modern, kedalaman reflektif dan dimensi etis dari
tradisi Konfusianisme sering kali tereduksi menjadi sekadar instruksi pedagogis
teknis.¹³ Akibatnya, makna “I do and I understand” lebih sering dimaknai
dalam konteks keterampilan motorik atau keahlian praktis, bukan sebagai
tindakan moral yang membentuk karakter dan kesadaran diri. Dalam pengertian
ini, genealoginya mencerminkan bagaimana ide-ide filosofis dapat mengalami degradasi
semantik ketika berpindah lintas budaya dan zaman.
Dengan demikian,
asal-usul kutipan ini bukanlah persoalan siapa yang mengucapkannya pertama
kali, melainkan bagaimana maknanya terbentuk melalui dialog panjang antara
Timur dan Barat, antara filsafat moral dan pedagogi pragmatis. Kutipan ini
adalah produk pertemuan dua dunia pemikiran—yang satu menekankan harmoni moral,
yang lain menekankan efisiensi eksperimental—dan dari sintesis itulah lahir
simbol universal tentang cara manusia memahami melalui tindakan.
Footnotes
[1]
¹ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from
Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 13–14.
[2]
² Proceedings of the Society of Teachers of Mathematics, vol.
7 (London: Mathematical Association, 1915), 42.
[3]
³ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 163–165.
[4]
⁴ William E. Dodd, “Training Soldiers through Experience,” Army
Education Bulletin 5, no. 3 (1945): 22.
[5]
⁵ The Forbes Scrapbook of Thoughts on the Business of Life
(New York: Forbes, 1950), 47.
[6]
⁶ Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon, 1978),
132–136.
[7]
⁷ The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford:
Clarendon Press, 1893), II.15.
[8]
⁸ The Works of Hsün Tzu, trans. Burton Watson (New York:
Columbia University Press, 1963), 101–102.
[9]
⁹ Mou Zongsan, Intellectual Intuition and Chinese Philosophy
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), 67–68.
[10]
¹⁰ James Legge, The Chinese Classics, Vol. I: Confucian Analects
(Hong Kong: Trübner & Co., 1861), v–viii.
[11]
¹¹ Lionel Jensen, Manufacturing Confucianism: Chinese Traditions
and Universal Civilization (Durham: Duke University Press, 1997), 58–61.
[12]
¹² Jessica Ching-Sze Wang, John Dewey in China: To Teach and to
Learn (Albany: SUNY Press, 2007), 74–78.
[13]
¹³ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian
Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 42–45.
3.
Analisis
Ontologis: Hakikat Pengetahuan dan Pengalaman
Kutipan “I hear
and I forget. I see and I remember. I do and I understand”
mengandung struktur konseptual yang berlapis dan menyiratkan sebuah pandangan
ontologis tentang keberadaan manusia dalam relasinya dengan pengetahuan.
Kalimat tersebut tidak sekadar menggambarkan proses belajar, tetapi juga
menandakan suatu pemahaman metafisik bahwa mengetahui bukanlah aktivitas
mental yang terpisah dari mengada—melainkan bagian dari
keterlibatan eksistensial manusia di dunia.¹ Dalam perspektif ini, “mendengar,”
“melihat,” dan “melakukan” bukan sekadar urutan empiris, tetapi
tahap-tahap ontologis yang merepresentasikan cara manusia mengalami realitas
dan mengaktualkan potensi dirinya melalui tindakan.
3.1. Ontologi Belajar sebagai Proses Keberadaan
Secara ontologis,
kutipan ini dapat dibaca sebagai alegori tentang keberadaan (being)
yang bertransformasi melalui pengalaman. Tahap pertama, “I hear
and I forget”, menggambarkan kesadaran yang masih bersifat
representasional dan pasif. “Mendengar” di sini identik dengan menerima
informasi eksternal tanpa keterlibatan diri. Dalam kerangka fenomenologis, hal
ini dapat disamakan dengan intentionality yang belum terarah
secara reflektif terhadap makna.² Pengetahuan pada tahap ini bersifat sekadar “ada
di luar diri,” belum menjadi bagian dari eksistensi subjek yang mengetahui.
Tahap kedua, “I see
and I remember”, menandai transisi dari pengalaman pasif menuju
pengalaman representasional yang lebih konkret. Melihat mengandaikan relasi
visual antara subjek dan objek, antara kesadaran dan dunia. Dalam konteks
ontologi fenomenologis, tindakan “melihat” bukan hanya proses persepsi,
melainkan juga penyingkapan (Heidegger: aletheia)—yakni
pembukaan kebenaran melalui kehadiran sesuatu di hadapan kesadaran.³ Melalui “melihat,”
manusia mulai mengonstruksi hubungan eksistensial dengan dunia; ia tidak hanya
menerima realitas, tetapi juga menyaksikannya secara sadar.
Namun, makna
terdalam muncul pada tahap ketiga: “I do and I understand.” Di sinilah
tindakan (praxis)
menjadi bentuk tertinggi dari pengetahuan ontologis. Dalam melakukan, subjek
tidak lagi berjarak terhadap dunia; ia hadir dan terlibat langsung di dalamnya.
Dengan demikian, “melakukan” adalah bentuk eksistensi yang menyatukan
teori dan praktik, pikiran dan tindakan, pengetahuan dan pengalaman. Hal ini
sejalan dengan konsep Konfusian zhi xing he yi (知行合一)—kesatuan antara pengetahuan dan
tindakan—yang menolak
pemisahan antara mengetahui dan melakukan.⁴
Bagi Martin
Heidegger, pengetahuan sejati muncul bukan dari representasi intelektual,
melainkan dari berada-dalam-dunia (being-in-the-world)
yang praktis dan terarah.⁵ Manusia memahami karena ia melakukan;
pemahaman adalah bentuk keterbukaan eksistensial terhadap dunia yang dihidupi.
Maka, kutipan tersebut dapat dibaca sebagai pernyataan ontologis bahwa
pemahaman bukan hasil akumulasi informasi, melainkan bentuk keterlibatan
manusia dalam jaringan makna eksistensial yang diwujudkan melalui tindakan
konkret.
3.2. Relasi antara Subjek dan Dunia dalam Proses Belajar
Dalam kerangka
ontologis, kutipan ini juga merefleksikan relasi dialektis antara subjek dan
dunia. Setiap tahap—mendengar, melihat, melakukan—merepresentasikan bentuk
interaksi yang berbeda antara kesadaran dan realitas. “Mendengar”
menandakan keberadaan yang terarah pada bunyi, suatu pengalaman yang bergantung
pada penerimaan; “melihat” menandakan pengalaman visual yang membangun
citra dan memori; sementara “melakukan” mengandung dimensi
transformasional, di mana subjek tidak lagi sekadar menyerap, tetapi mengubah
dunia sekaligus dirinya.⁶
Jean-Paul Sartre
dalam Being
and Nothingness menyebut bahwa tindakan adalah bentuk afirmasi
keberadaan: melalui bertindak, subjek menegaskan dirinya sebagai makhluk bebas
yang menciptakan makna.⁷ Demikian pula Maurice Merleau-Ponty menekankan bahwa
tubuh manusia adalah medium eksistensi, di mana mengetahui selalu berlangsung
secara embodied—tidak
mungkin dipisahkan dari tindakan dan pengalaman tubuh di dunia.⁸ Dengan
demikian, “I do and I understand” bukan hanya tentang pengalaman
kognitif, melainkan tentang pengalaman tubuh yang menyatu dengan dunia.
Dalam tradisi Timur,
khususnya Konfusianisme, pengetahuan juga dipahami sebagai hasil dari harmoni
antara pikiran dan tindakan. Konfusius menolak pandangan bahwa belajar hanyalah
aktivitas intelektual; bagi beliau, pengetahuan sejati harus diwujudkan dalam
tindakan etis yang membentuk karakter.⁹ Pandangan ini menunjukkan kesamaan
mendasar antara ontologi Timur dan fenomenologi Barat: keduanya menolak
dikotomi antara teori dan praktik, serta menegaskan bahwa mengetahui adalah
cara manusia mengada secara sadar.
Lebih jauh, kutipan
ini membuka ruang bagi interpretasi ontologis yang bersifat relasional dan
non-dualistis. Dalam kerangka tersebut, dunia bukanlah sekadar objek yang
diamati, melainkan medan eksistensial tempat manusia berpartisipasi. “Melakukan”
berarti berpartisipasi
dalam realitas; melalui tindakan, manusia mengubah dunia sekaligus
memahami dirinya sebagai bagian dari dunia itu. Dengan demikian, pengetahuan
sejati bersifat performatif—ia hadir bukan karena diucapkan, tetapi karena
diwujudkan.¹⁰
Kutipan ini, jika
dibaca secara ontologis, menyiratkan sebuah prinsip universal: bahwa keberadaan
manusia di dunia tidak pernah netral, melainkan selalu terlibat. Pengetahuan
yang sejati tidak mungkin dicapai tanpa keterlibatan eksistensial, sebab hanya
dalam tindakanlah dunia menyingkapkan maknanya. “Melakukan” bukan
sekadar aplikasi pengetahuan, tetapi juga cara manusia menjadi,
memahami, dan membentuk dirinya melalui pengalaman yang hidup.
Footnotes
[1]
¹ Robert E. Innis, Pragmatism and the Forms of Sense: Language,
Perception, Technics (University Park: Pennsylvania State University
Press, 2002), 15–18.
[2]
² Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 45–47.
[3]
³ Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 178–182.
[4]
⁴ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian
Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 43.
[5]
⁵ Heidegger, Being and Time, 225–228.
[6]
⁶ Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 52–54.
[7]
⁷ Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 567–569.
[8]
⁸ Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94–99.
[9]
⁹ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from
Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 12–13.
[10]
¹⁰ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 207–210.
4.
Analisis
Epistemologis: Dari Persepsi ke Pemahaman
Kutipan “I hear
and I forget. I see and I remember. I do and I understand” secara
implisit mengandung model epistemologis bertingkat yang menggambarkan
transformasi manusia dari pengalaman sensorik menuju pemahaman reflektif.
Setiap frasa merepresentasikan modus epistemik yang berbeda—dari mendengar
sebagai bentuk persepsi reseptif, melihat sebagai pengenalan
representasional, hingga melakukan sebagai bentuk
internalisasi pengetahuan melalui pengalaman aktif.¹ Dalam konteks
epistemologi, struktur ini dapat dipahami sebagai perjalanan dari pengetahuan
yang bersifat empiris menuju pengetahuan yang reflektif dan praksis. Dengan
demikian, kutipan tersebut bukan hanya deskripsi pedagogis, tetapi juga tesis
epistemologis tentang hakikat pengetahuan manusia: bahwa mengetahui tidak
berhenti pada persepsi, melainkan mencapai keutuhan melalui keterlibatan
eksistensial dan tindakan reflektif.
4.1. Tingkatan Epistemik: Auditori, Visual, dan
Kinestetik
Tahap pertama, “I hear
and I forget”, menggambarkan bentuk pengetahuan yang masih bersifat
auditori dan transien. Mendengar, dalam pengertian epistemologis, adalah
aktivitas reseptif yang pasif: subjek menerima informasi tanpa proses
internalisasi yang mendalam.² Dalam konteks teori empirisme klasik, seperti
yang dikemukakan John Locke, pengalaman inderawi merupakan dasar dari semua
ide, namun tanpa pengolahan reflektif, kesan-kesan tersebut akan segera
menghilang.³ Oleh karena itu, mendengar di sini mewakili tahap awal dalam
proses epistemik—yakni tahap sensasi, di mana pengetahuan masih
berupa data mentah yang belum tersusun secara konseptual.
Tahap kedua, “I see
and I remember”, memperlihatkan peningkatan kompleksitas dalam
proses kognitif. Melihat melibatkan persepsi visual yang tidak hanya bersifat
pasif, tetapi juga selektif dan konstruktif. Dalam filsafat Immanuel Kant,
persepsi tidak semata-mata menerima kesan dari luar, melainkan juga melibatkan
kategori apriori yang membentuk pengalaman.⁴ Melalui penglihatan, manusia mulai
mengorganisasi realitas dan membentuk representasi mental yang stabil—suatu
langkah menuju memori epistemik. Dari perspektif
psikologi kognitif, melihat berkaitan dengan pembentukan skema konseptual dan
kemampuan untuk mengenali pola.⁵ Oleh karena itu, tahap “melihat dan
mengingat” merupakan peralihan dari pengalaman empiris menuju representasi
yang bermakna.
Tahap ketiga, “I do
and I understand”, menandai dimensi tertinggi dari pengetahuan,
yaitu pengalaman aktif dan reflektif yang menghasilkan pemahaman sejati.
Tindakan (praxis)
bukan sekadar aplikasi dari teori, melainkan juga cara pengetahuan
dikonstitusikan melalui keterlibatan langsung. Dalam teori experiential
learning David Kolb, belajar merupakan siklus yang terdiri dari
pengalaman konkret, refleksi, konseptualisasi abstrak, dan eksperimentasi
aktif.⁶ Dalam konteks ini, “melakukan” berfungsi sebagai momen
integratif di mana pengetahuan tidak hanya diketahui, tetapi juga dihidupi.
Pemahaman (understanding)
tidak lagi sekadar hasil dari persepsi, melainkan pencapaian kognitif dan
eksistensial yang terbentuk melalui interaksi antara subjek, tindakan, dan
dunia.
4.2. Implikasi terhadap Teori Pengetahuan Modern
Struktur epistemik
dalam kutipan tersebut memiliki resonansi kuat dengan paradigma konstruktivisme
dalam pendidikan dan filsafat pengetahuan. Jean Piaget menegaskan bahwa
pengetahuan tidak ditransmisikan, melainkan dikonstruksi secara aktif oleh
individu melalui interaksi dengan lingkungan.⁷ Begitu pula Lev Vygotsky
menambahkan dimensi sosial dalam konstruktivisme, di mana pengetahuan terbentuk
melalui dialog dan kolaborasi antarindividu.⁸ Dalam konteks ini, tindakan (“I
do”) tidak hanya merujuk pada aktivitas fisik, tetapi juga pada
keterlibatan sosial dan reflektif yang memperkaya struktur kognitif seseorang.
John Dewey
memberikan kontribusi penting dengan gagasan learning by doing, di mana
pengalaman praktis menjadi dasar bagi refleksi intelektual.⁹ Bagi Dewey,
pemahaman tidak dapat dipisahkan dari tindakan karena berpikir itu sendiri
merupakan bentuk tindakan yang terarah terhadap pemecahan masalah. Hal ini
beresonansi dengan tahap “I do and I understand,” di mana tindakan
menjadi sarana epistemik yang memungkinkan subjek menemukan makna melalui
proses reflektif.
Epistemologi modern
kemudian mengembangkan pandangan serupa melalui konsep embodied
cognition—yakni bahwa pengetahuan bukan hanya produk otak,
melainkan juga hasil dari interaksi tubuh dengan dunia.¹⁰ Dalam kerangka ini, “melakukan”
tidak semata-mata bermakna praktik eksternal, melainkan juga pengalaman somatik
yang memungkinkan terbentuknya pemahaman yang lebih dalam dan kontekstual.
4.3. Kritik terhadap Reduksionisme Empiris
Meski kutipan ini
sering digunakan untuk mendukung pembelajaran berbasis pengalaman, penting
untuk menghindari interpretasi yang terlalu reduksionis. Jika dimaknai secara
dangkal, “I do and I understand” dapat disalahartikan seolah-olah
tindakan praktis semata sudah cukup untuk menghasilkan pengetahuan. Padahal,
dalam tradisi epistemologis yang lebih mendalam—baik Barat maupun
Timur—pemahaman sejati selalu melibatkan refleksi kritis dan kesadaran diri.¹¹
Dalam epistemologi
Aristoteles, misalnya, terdapat pembedaan antara techne (pengetahuan teknis) dan phronesis
(kebijaksanaan praktis). Techne berkaitan dengan kemampuan
melakukan sesuatu, sedangkan phronesis mengandaikan kemampuan
menilai dan bertindak secara etis berdasarkan refleksi rasional.¹² Maka,
meskipun tindakan merupakan tahap penting dalam proses mengetahui, tindakan
tanpa refleksi berisiko jatuh pada utilitarianisme atau sekadar efisiensi
mekanistik.
Dalam konteks
Konfusianisme, hal yang sama ditegaskan melalui prinsip bahwa belajar
harus disertai renungan moral. Konfusius mengingatkan, “Belajar
tanpa berpikir adalah sia-sia; berpikir tanpa belajar adalah berbahaya.”¹³
Dengan demikian, tindakan (doing) hanya menghasilkan pemahaman
sejati apabila disertai refleksi (thinking), introspeksi moral (si
思),
dan pembentukan karakter (de 德).
Dalam epistemologi Timur, mengetahui selalu terkait dengan menjadi lebih baik
secara moral—sebuah
dimensi yang sering diabaikan dalam pendekatan empiris modern.
Akhirnya, kutipan
ini dapat dipahami sebagai jembatan antara epistemologi empiris dan reflektif.
Ia menyatukan pandangan bahwa persepsi inderawi adalah titik awal pengetahuan,
namun pemahaman sejati menuntut tindakan sadar yang melibatkan dimensi tubuh,
pikiran, dan moralitas. Epistemologi yang tersirat dalam kutipan ini bukan hanya
deskriptif, melainkan normatif: ia menuntut bahwa mengetahui berarti berpartisipasi
dalam kebenaran, dan memahami berarti menghayati pengetahuan dalam tindakan yang
bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
¹ Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 54–56.
[2]
² Ibid., 58–59.
[3]
³ John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London:
Thomas Basset, 1690), II.1.2.
[4]
⁴ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer
and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A51–A52/B75–B76.
[5]
⁵ Ulric Neisser, Cognitive Psychology (New York:
Appleton-Century-Crofts, 1967), 35–38.
[6]
⁶ David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1984),
41–44.
[7]
⁷ Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New
York: Basic Books, 1954), 56–58.
[8]
⁸ Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher
Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978),
84–90.
[9]
⁹ John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 25–30.
[10]
¹⁰ Francisco J. Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The
Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge, MA: MIT
Press, 1991), 149–152.
[11]
¹¹ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans.
Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–304.
[12]
¹² Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), VI.5, 1140b20–25.
[13]
¹³ The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford:
Clarendon Press, 1893), II.15.
5.
Analisis
Aksiologis: Nilai dan Etika Pembelajaran
Kutipan “I hear
and I forget. I see and I remember. I do and I understand” tidak
hanya mengandung dimensi epistemologis, tetapi juga dimensi aksiologis yang
mendalam. Ia menyingkap pandangan etis tentang nilai pengetahuan dan proses
pembelajaran sebagai kegiatan moral. Dalam ranah aksiologi—yakni cabang
filsafat yang menelaah nilai dan tujuan—kutipan ini dapat dipahami sebagai
pernyataan tentang bagaimana pengetahuan memperoleh nilai ketika diwujudkan
dalam tindakan yang bermakna.¹ Pengetahuan yang tidak terinternalisasi dalam
praktik hanya menjadi informasi, sedangkan tindakan tanpa pemahaman kehilangan
arah etisnya. Dengan demikian, kutipan ini menegaskan hubungan dialektis antara
knowing
dan doing,
di mana nilai sejati pembelajaran terletak pada keterpaduan antara pemahaman
dan kebajikan.
5.1. Etika Belajar: Dari Kepatuhan menuju Kemandirian
Dalam tradisi
Konfusianisme, belajar selalu dikaitkan dengan pembentukan moralitas. Konfusius
menekankan bahwa tujuan belajar bukan semata-mata menguasai ilmu, melainkan
membentuk diri menjadi pribadi yang berbudi luhur (junzi 君子).² Maka, proses “mendengar, melihat, dan
melakukan” tidak dapat
dipisahkan dari disiplin moral yang membimbingnya. “Mendengar” berkaitan
dengan kerendahan hati menerima ajaran; “melihat” dengan kemampuan
merenungkan; dan “melakukan” dengan tanggung jawab untuk
mengimplementasikan kebajikan.³ Dalam kerangka ini, kutipan tersebut dapat
dibaca sebagai pedagogi moral: manusia belajar bukan hanya agar tahu,
tetapi agar menjadi baik.
Nilai-nilai utama
Konfusianisme seperti ren (仁,
kemanusiaan) dan li (禮,
ketertiban moral) memperlihatkan bahwa pengetahuan harus diiringi dengan sikap
etis dan sosial.⁴ Ren menekankan empati dan kasih
terhadap sesama, sedangkan li menekankan keharmonisan sosial
melalui tindakan yang pantas. Dalam konteks kutipan tersebut, tindakan (doing)
menjadi sarana konkret untuk mengekspresikan ren dan li. Dengan demikian, “I do and I
understand” bukan hanya berarti memahami secara intelektual, tetapi juga
menginternalisasi nilai moral melalui tindakan yang nyata. Pembelajaran sejati,
menurut pandangan ini, merupakan proses etis yang menghubungkan pengetahuan
dengan karakter.
Dalam tradisi
pendidikan modern, prinsip serupa dapat ditemukan dalam gagasan John Dewey
tentang pendidikan demokratis. Dewey menolak pendidikan yang bersifat dogmatis
dan menekankan pentingnya kebebasan berpikir, refleksi, dan tanggung jawab
sosial.⁵ Pendidikan, menurutnya, memiliki nilai etis sejauh ia menyiapkan
individu untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam masyarakat. Dari
perspektif ini, “I do and I understand” menjadi ekspresi nilai
kemandirian moral dan intelektual: pemahaman sejati lahir dari tindakan yang
disertai kesadaran reflektif dan tanggung jawab.
5.2. Nilai Humanistik dalam Pendidikan Modern
Aksiologi kutipan
ini juga dapat dipahami dalam konteks humanisme pendidikan, yang menempatkan
manusia sebagai pusat nilai dan tujuan pembelajaran. Humanisme menolak
pandangan mekanistik terhadap proses belajar dan menegaskan bahwa pendidikan
sejati harus mengembangkan potensi manusia secara utuh—intelektual, emosional,
dan moral.⁶ Dalam kerangka ini, kutipan tersebut mengandung pesan normatif:
bahwa pemahaman sejati hanya dapat dicapai ketika pengetahuan dikaitkan dengan
pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan.
Carl Rogers, pelopor
pendekatan humanistik dalam psikologi pendidikan, menegaskan bahwa belajar yang
bermakna terjadi ketika individu terlibat secara personal dan emosional.⁷ Hal
ini selaras dengan semangat kutipan “I do and I understand,” yang
menekankan keterlibatan langsung sebagai syarat bagi pemahaman mendalam. Nilai
dari pembelajaran, menurut Rogers, tidak terletak pada pengulangan informasi,
tetapi pada kemampuan individu untuk mengubah dirinya melalui pengalaman
reflektif. Demikian pula, Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed memandang
pendidikan sebagai tindakan etis yang membebaskan, di mana mengetahui berarti menyadari
dan bertindak untuk mentransformasi realitas.⁸ Dengan demikian, tindakan (doing)
bukan hanya sarana kognitif, tetapi juga etis dan politis—suatu bentuk
partisipasi dalam perjuangan kemanusiaan.
Selain itu,
aksiologi kutipan tersebut juga membuka dimensi tanggung jawab sosial dalam
proses pembelajaran. “I do and I understand” dapat ditafsirkan sebagai
ajakan untuk belajar melalui keterlibatan sosial, bukan sekadar aktivitas
individual. Pengetahuan memperoleh nilai ketika digunakan untuk kebaikan
bersama (common
good). Dalam konteks ini, etika pembelajaran berhubungan erat
dengan prinsip keadilan, solidaritas, dan empati—nilai-nilai yang membentuk
masyarakat yang beradab.⁹
5.3. Pembelajaran sebagai Praktik Kebajikan
Dari perspektif
etika kebajikan (virtue ethics), tindakan belajar
memiliki nilai moral sejauh ia mengarahkan individu pada pengembangan karakter.
Aristoteles berpendapat bahwa kebajikan diperoleh melalui kebiasaan (hexis)—yakni
pengulangan tindakan yang benar hingga menjadi disposisi moral.¹⁰ Dalam konteks
ini, tahap “melakukan” dalam kutipan tersebut dapat dipahami sebagai
proses habituasi kebajikan: seseorang memahami karena ia telah melakukan secara
konsisten dan reflektif. Pengetahuan yang baik, menurut pandangan ini, bukanlah
yang hanya dimiliki secara teoritis, tetapi yang diwujudkan melalui kebajikan
praktis (phronesis).¹¹
Etika kebajikan juga
menegaskan pentingnya telos—tujuan akhir dari setiap
tindakan manusia. Dalam pendidikan, telos ini adalah pembentukan
manusia yang baik (spoudaios).¹² Dengan demikian,
kutipan tersebut menegaskan prinsip bahwa nilai tertinggi dari pembelajaran
bukanlah akumulasi pengetahuan, tetapi pembentukan kebajikan yang menuntun pada
kehidupan yang bermakna. Dalam kerangka ini, “doing” tidak semata-mata
berarti melakukan aktivitas fisik, melainkan mengaktualisasikan nilai-nilai
kebaikan yang telah dipahami.
Akhirnya, kutipan
ini menegaskan bahwa dimensi etis dari pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari
dimensi epistemologisnya. Pengetahuan yang tidak disertai nilai akan menjadi
kosong, sedangkan nilai tanpa pengetahuan akan kehilangan arah. Oleh karena
itu, pembelajaran yang bermakna harus mengintegrasikan knowing,
doing, dan being—mengetahui dengan benar,
bertindak dengan bijak, dan menjadi manusia yang bermoral.¹³
Dengan demikian,
secara aksiologis, kutipan ini mengandung pesan universal bahwa belajar adalah
tindakan moral. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan memperoleh maknanya hanya
ketika diwujudkan dalam kehidupan, dan kehidupan memperoleh nilainya ketika
dijalani dengan kesadaran etis. Maka, “I do and I understand” bukan
sekadar prinsip pedagogis, tetapi juga etika kehidupan yang mengajarkan bahwa
memahami berarti berbuat dengan kebijaksanaan.
Footnotes
[1]
¹ Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy (New York: Ronald
Press, 1963), 211–214.
[2]
² The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford:
Clarendon Press, 1893), I.4.
[3]
³ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from
Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 12–13.
[4]
⁴ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An Essay on Confucian
Religiousness (Albany: State University of New York Press, 1989), 46–49.
[5]
⁵ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 349–353.
[6]
⁶ Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder, CO: Westview
Press, 2007), 98–100.
[7]
⁷ Carl R. Rogers, Freedom to Learn (Columbus, OH: Merrill,
1969), 157–160.
[8]
⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 1970), 68–73.
[9]
⁹ Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 24–26.
[10]
¹⁰ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), II.1, 1103a14–25.
[11]
¹¹ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 149–152.
[12]
¹² Ibid., 161–163.
[13]
¹³ Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action,
trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT
Press, 1990), 122–124.
6.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Kultural
Kutipan “I hear
and I forget. I see and I remember. I do and I understand” tidak
dapat dipisahkan dari konteks sosial dan kultural yang membentuk dan
menyebarkannya. Dalam perjalanannya, kutipan ini bukan hanya menjadi prinsip
pedagogis individual, melainkan juga cermin dari perubahan paradigma sosial
tentang pendidikan, kekuasaan, dan pengetahuan. Secara genealogis, transformasi
kutipan ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai pendidikan tradisional Timur
diserap, disesuaikan, dan bahkan direkonstruksi dalam kerangka modernitas Barat
yang sarat dengan motif politik dan ideologis.¹ Oleh karena itu, kajian atas
dimensi sosial, politik, dan kultural dari kutipan ini tidak sekadar menyingkap
sejarah penyebaran sebuah gagasan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana makna
pengetahuan dan pembelajaran dibentuk oleh relasi kuasa dan konteks peradaban.
6.1. Pengaruh Kutipan terhadap Filsafat Pendidikan Timur
dan Barat
Dalam konteks
sosial-filosofis, kutipan ini merepresentasikan pertemuan dua tradisi besar:
Konfusianisme di Timur dan pragmatisme di Barat. Dalam tradisi Konfusian,
belajar selalu dipahami sebagai proses moral dan sosial—upaya untuk menata diri
agar mampu menata masyarakat (xiushen, qijia, zhiguo, pingtianxia
修身齊家治國平天下).² Pengetahuan yang tidak berbuah
dalam tindakan sosial dianggap tidak bernilai. Di sisi lain, pragmatisme
Amerika—terutama
melalui pemikiran John Dewey—menekankan bahwa pembelajaran harus berakar pada
pengalaman sosial dan demokratis.³ Dengan demikian, kutipan “I do and I
understand” dapat dibaca sebagai titik temu antara etika Konfusian dan
pragmatisme Deweyan: keduanya melihat tindakan sebagai jalan menuju pemahaman
dan pembentukan masyarakat yang lebih baik.
Interaksi antara dua
tradisi ini terlihat jelas pada awal abad ke-20, ketika Dewey mengajar di
Tiongkok (1919–1921) dan memengaruhi reformasi pendidikan di sana.⁴ Ide learning
by doing Dewey beresonansi dengan prinsip Konfusian bahwa kebajikan
dan pengetahuan hanya dapat diwujudkan melalui praktik. Akibatnya, kutipan ini
menjadi simbol dialog lintas budaya yang menegaskan bahwa pembelajaran bukanlah
aktivitas intelektual yang terisolasi, melainkan kegiatan sosial yang membentuk
karakter kolektif.
6.2. Globalisasi dan Popularisasi Kutipan di Era Modern
Dalam
perkembangannya, kutipan ini menjadi fenomena global yang beredar di berbagai
konteks sosial—dari pendidikan formal hingga pelatihan korporat, dari buku teks
hingga media digital. Namun, proses globalisasi ini sering kali diiringi dengan
reduksi makna filosofisnya. Di dunia Barat modern, kutipan tersebut sering
diadaptasi sebagai slogan motivasional yang menekankan efisiensi belajar dan
peningkatan produktivitas, bukan lagi kebijaksanaan moral.⁵
Fenomena ini
mencerminkan apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai kulturalisasi
simbolik, di mana ide-ide intelektual dikomodifikasi menjadi produk
simbolik yang mudah dikonsumsi.⁶ Kutipan yang semula lahir dari refleksi moral
dan praksis sosial kini diperlakukan sebagai formula pedagogis universal yang
terlepas dari konteks etisnya. Dalam konteks ini, “doing” direduksi
menjadi aktivitas instrumental yang berorientasi pada hasil, bukan pada
pembentukan makna atau kebajikan.
Di sisi lain,
globalisasi juga membuka ruang baru bagi reinterpretasi makna kutipan ini.
Dalam dunia digital, prinsip “I do and I understand” menemukan
relevansinya dalam pedagogi berbasis partisipasi—seperti project-based
learning dan collaborative learning—yang
menekankan kolaborasi, kreativitas, dan refleksi sosial.⁷ Dengan demikian,
kutipan ini mengalami transformasi kultural: dari kebijaksanaan moral
tradisional menjadi paradigma pendidikan partisipatif yang menyesuaikan diri
dengan masyarakat jaringan abad ke-21.
6.3. Relevansi terhadap Pendidikan Kritis dan
Transformasi Sosial
Dimensi politik dari
kutipan ini muncul ketika prinsip “doing” dipahami bukan hanya sebagai
tindakan belajar, tetapi juga sebagai tindakan sosial dan emansipatoris. Dalam
konteks pedagogi kritis, Paulo Freire menegaskan bahwa pengetahuan sejati lahir
dari praxis—yakni
tindakan reflektif yang mengubah realitas sosial.⁸ Dengan demikian, “I do
and I understand” dapat dimaknai sebagai afirmasi terhadap pendidikan yang
membebaskan: manusia memahami dunia dengan cara bertindak untuk mengubahnya.
Pendidikan, dalam
kerangka ini, bukan sekadar proses kognitif, tetapi juga arena politik di mana
relasi kuasa, ideologi, dan kesadaran kritis saling berinteraksi.⁹ Prinsip “doing”
menjadi simbol perlawanan terhadap model banking education yang menempatkan
murid sebagai penerima pasif pengetahuan. Sebaliknya, kutipan ini menegaskan
nilai partisipatif dan dialogis dalam proses belajar, di mana setiap individu
memiliki peran aktif dalam memproduksi pengetahuan dan membentuk masyarakat
yang lebih adil.
Dalam konteks
masyarakat modern yang diwarnai oleh teknologi dan kapitalisme kognitif,
kutipan ini juga memunculkan dimensi kultural baru. “Melakukan” di era
digital tidak lagi terbatas pada tindakan fisik, tetapi mencakup aktivitas
mental dan interaktif di ruang maya.¹⁰ Oleh karena itu, pemahaman sejati di
abad ke-21 bergantung pada kemampuan reflektif untuk mengelola informasi,
mengkritisi media, dan berpartisipasi secara etis dalam ruang publik digital.¹¹
Dengan demikian,
kutipan ini dapat dibaca sebagai teks kultural yang terus hidup dan
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Ia berfungsi sebagai metafora
sosial yang menggambarkan hubungan antara pengetahuan, tindakan,
dan pembebasan. Dalam setiap konteks—baik Konfusianisme klasik, pragmatisme
modern, maupun pedagogi digital kontemporer—kutipan ini tetap mengandung pesan
yang sama: bahwa pemahaman sejati hanya dapat lahir dari keterlibatan aktif dan
reflektif manusia dalam membentuk dunia bersama.
Footnotes
[1]
¹ Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Knopf,
1993), 92–95.
[2]
² The Great Learning (Daxue), trans. James Legge, dalam The
Chinese Classics, Vol. I: Confucian Analects, The Great Learning, and The
Doctrine of the Mean (Hong Kong: Trübner & Co., 1861), 357–359.
[3]
³ John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 358–360.
[4]
⁴ Jessica Ching-Sze Wang, John Dewey in China: To Teach and to
Learn (Albany: State University of New York Press, 2007), 74–78.
[5]
⁵ Fred R. Shapiro, The Yale Book of Quotations (New Haven:
Yale University Press, 2006), 276.
[6]
⁶ Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgement
of Taste, trans. Richard Nice (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1984), 56–58.
[7]
⁷ John W. Thomas, “A Review of Research on Project-Based Learning,” Autodesk
Foundation Report (San Rafael, CA, 2000), 12–15.
[8]
⁸ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–74.
[9]
⁹ Henry A. Giroux, Theory and Resistance in Education: A Pedagogy
for the Opposition (Westport, CT: Bergin & Garvey, 1983), 41–45.
[10]
¹⁰ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 122–125.
[11]
¹¹ Howard Rheingold, Smart Mobs: The Next Social Revolution
(Cambridge, MA: Perseus Publishing, 2002), 191–194.
7.
Kritik
dan Klarifikasi Filologis
Kutipan “I hear
and I forget. I see and I remember. I do and I understand” telah
lama dikaitkan dengan nama Konfusius, namun klaim tersebut tidak memiliki dasar
filologis yang dapat diverifikasi. Dalam berbagai literatur klasik Tiongkok,
termasuk Lunyu
(Analects),
Daxue
(The
Great Learning), dan Zhongyong (The
Doctrine of the Mean), tidak ditemukan kalimat yang secara langsung
bersesuaian dengan struktur atau makna kutipan tersebut.¹ Oleh karena itu,
atribusi kepada Konfusius dapat dikategorikan sebagai pseudo-quotation—yakni
kutipan yang secara kultural diasosiasikan dengan tokoh tertentu karena
kesesuaian gaya atau semangatnya, bukan karena bukti tekstual yang otentik.²
Kritik filologis
terhadap kutipan ini menjadi penting karena menyangkut persoalan epistemik
tentang otoritas teks dan kebenaran historis. Banyak versi populer dari kutipan
ini muncul dalam bahasa Inggris pada abad ke-20 tanpa rujukan primer yang
jelas, dan baru kemudian disematkan kepada Konfusius untuk menambah bobot moral
dan universalitasnya.³ Dalam perspektif sejarah intelektual, hal ini memperlihatkan
bagaimana wacana “kebijaksanaan Timur” sering dikonstruksi oleh dunia
Barat sebagai simbol keaslian moral yang dapat diapropriasi untuk tujuan
pedagogis.⁴
7.1. Analisis Filologis terhadap Sumber Asli
Kajian filologis
terhadap teks Konfusianisme klasik menunjukkan bahwa kutipan tersebut mungkin
merupakan hasil penyederhanaan dan penggabungan dari beberapa gagasan yang
tersebar dalam tradisi Tiongkok kuno. Salah satu teks yang sering dijadikan
pembanding adalah Analects II:15, di mana Konfusius
berkata: “Belajar tanpa berpikir adalah sia-sia; berpikir tanpa belajar
adalah berbahaya.”⁵ Walau tidak identik, pernyataan ini menegaskan hubungan
antara pengalaman empiris (belajar) dan refleksi intelektual (berpikir)—dua
unsur utama yang juga menjadi inti kutipan modern tersebut.
Selain itu, dalam Xunzi
(荀子),
terdapat ungkapan: “Jika
seseorang tidak berlatih apa yang telah ia pelajari, pengetahuannya akan lenyap.”⁶ Kalimat ini memiliki
kemiripan semantik dengan ide bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh
melalui tindakan atau praktik. Akan tetapi, tidak ada bukti bahwa frase I hear
and I forget atau padanannya dalam bahasa Mandarin pernah digunakan
dalam teks-teks klasik. Para sinolog seperti Edward Slingerland dan Robert Eno
menegaskan bahwa struktur kutipan tersebut lebih mencerminkan konstruksi
retoris modern daripada gaya peribahasa Konfusian yang asli.⁷
Beberapa peneliti
filologi menduga bahwa bentuk awal kutipan dalam bahasa Inggris muncul pada
masa awal abad ke-20 melalui proses translasi bebas terhadap teks moral
Tiongkok atau melalui para misionaris Protestan yang memperkenalkan ajaran
moral Timur kepada pembaca Barat.⁸ Misalnya, The Chinese Recorder and Missionary Journal
pada tahun 1904 memuat ungkapan yang berbunyi: “He who tells me, I may forget;
he who shows me, I may remember; he who involves me, I will learn.”⁹
Meskipun tidak menyebut nama Konfusius, struktur kalimat ini menjadi prototipe
kutipan modern yang kemudian beredar luas.
7.2. Kritik terhadap Mitologi Konfusius dalam Kutipan
Populer
Fenomena atribusi
keliru ini mencerminkan apa yang oleh Lionel Jensen disebut sebagai manufacturing
Confucianism—proses pembentukan citra Konfusius sebagai figur
universal kebijaksanaan moral dalam wacana modernitas Barat.¹⁰ Jensen
berargumen bahwa sejak abad ke-19, penerjemah dan misionaris Barat sering kali
menyesuaikan ajaran Konfusius agar sesuai dengan nilai-nilai rasionalisme,
humanisme, dan etika kerja Protestan.¹¹ Dalam proses tersebut, makna asli teks
klasik Tiongkok direduksi menjadi slogan moral universal yang mudah diasimilasi
ke dalam pendidikan modern. Kutipan “I hear and I forget…” adalah contoh
paling menonjol dari kecenderungan ini: ia mencerminkan semangat moral
Konfusian tetapi kehilangan kompleksitas linguistik, kontekstual, dan filosofisnya.
Kritik filologis
juga harus memperhatikan dimensi ideologis dari proses translasi. Sebagaimana
dicatat oleh Lydia Liu, penerjemahan teks Timur ke dalam bahasa Barat tidak
pernah netral, melainkan selalu disertai translingual practice—yakni
negosiasi makna yang dipengaruhi oleh kekuasaan kultural dan kolonial.¹² Dengan
demikian, penyematan nama Konfusius pada kutipan tersebut tidak hanya merupakan
kesalahan akademik, tetapi juga bentuk apropriasi kultural yang mencerminkan
dominasi epistemik Barat terhadap tradisi Timur.
Meskipun demikian,
perlu diakui bahwa mitologisasi ini juga berperan dalam menyebarluaskan
nilai-nilai pendidikan yang positif. Dalam konteks pedagogi global, atribusi
kepada Konfusius telah membantu kutipan ini mendapatkan legitimasi moral dan
daya sebar lintas budaya. Namun, legitimasi tersebut harus dibedakan dari
otentisitas filologisnya. Sebagaimana diingatkan oleh Michel Foucault, setiap
diskursus pengetahuan selalu beroperasi dalam medan kekuasaan; atribusi yang
tampak sederhana sering kali menyembunyikan struktur otoritas dan legitimasi
yang kompleks.¹³
Dengan demikian,
kritik filologis terhadap kutipan ini tidak bertujuan untuk menolak
nilai-nilainya, melainkan untuk mengembalikan ketepatan historis dan semantik.
Kutipan ini bukan berasal dari Konfusius, tetapi merupakan hasil dialog panjang
antara Timur dan Barat, antara teks klasik dan pedagogi modern, antara
kebijaksanaan moral dan efisiensi pendidikan. Menyadari asal-usulnya berarti
memahami bahwa kebijaksanaan sejati tidak terletak pada siapa yang
mengucapkannya, melainkan pada bagaimana ia dihidupi dan ditafsirkan dalam
konteks yang terus berubah.
Footnotes
[1]
¹ Edward Slingerland, Confucius Analects: With Selections from
Traditional Commentaries (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), 11–12.
[2]
² Nigel Rees, Sayings of the Century (London: Unwin Hyman,
1987), 242–243.
[3]
³ Fred R. Shapiro, The Yale Book of Quotations (New Haven:
Yale University Press, 2006), 276.
[4]
⁴ Edward Said, Orientalism (New York: Pantheon Books, 1978),
202–205.
[5]
⁵ The Analects of Confucius, trans. James Legge (Oxford:
Clarendon Press, 1893), II.15.
[6]
⁶ The Works of Hsün Tzu, trans. Burton Watson (New York:
Columbia University Press, 1963), 101.
[7]
⁷ Robert Eno, The Analects of Confucius: An Online Teaching Translation
(Bloomington: Indiana University, 2015), 4; Slingerland, Confucius Analects,
13–14.
[8]
⁸ Lionel Jensen, Manufacturing Confucianism: Chinese Traditions and
Universal Civilization (Durham: Duke University Press, 1997), 58–61.
[9]
⁹ The Chinese Recorder and Missionary Journal 35, no. 3
(1904): 179.
[10]
¹⁰ Jensen, Manufacturing Confucianism, 1–3.
[11]
¹¹ Ibid., 95–97.
[12]
¹² Lydia H. Liu, Translingual Practice: Literature, National
Culture, and Translated Modernity—China, 1900–1937 (Stanford: Stanford
University Press, 1995), 28–32.
[13]
¹³ Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980), 131–135.
8.
Relevansi
Kontemporer
Kutipan “I hear
and I forget. I see and I remember. I do and I understand” telah
menempuh perjalanan panjang dari kebijaksanaan moral hingga menjadi prinsip
pedagogis global. Dalam konteks abad ke-21, kutipan ini memperoleh relevansi
baru seiring munculnya tantangan dan paradigma pendidikan kontemporer yang
menuntut keterlibatan aktif, refleksi kritis, dan integrasi teknologi dalam
proses belajar. Ia bukan lagi sekadar ungkapan etis atau pedagogis, melainkan
sebuah metafora epistemologis tentang bagaimana manusia belajar, memahami, dan
beradaptasi dalam dunia yang kompleks dan saling terhubung.¹
Kutipan tersebut
menemukan momentumnya kembali dalam era experiential learning dan active
learning, di mana pendidikan menekankan peran pengalaman langsung,
kolaborasi, dan refleksi dalam membangun pengetahuan yang bermakna.² Model ini
menolak pendekatan transmisional tradisional yang menempatkan guru sebagai
pusat otoritas tunggal dan murid sebagai penerima pasif. Dalam semangat kutipan
ini, belajar dipandang sebagai aktivitas partisipatif yang menyatukan pikiran,
tubuh, dan tindakan.³ Maka, “I do and I understand” dapat dipahami
sebagai prinsip pedagogi humanistik yang mengedepankan kemandirian belajar dan
tanggung jawab moral dalam praktik pendidikan.
8.1. Aplikasi dalam Pembelajaran Abad ke-21
Dalam konteks
pendidikan modern, prinsip kutipan ini sangat sejalan dengan teori constructivism
dan experiential
education yang kini menjadi dasar reformasi pendidikan global. Jean
Piaget dan David Kolb menegaskan bahwa pengetahuan tidak diberikan dari luar,
tetapi dikonstruksi melalui interaksi aktif antara individu dan lingkungannya.⁴
Kolb secara khusus menekankan bahwa pemahaman yang sejati lahir dari siklus
pengalaman, refleksi, konseptualisasi, dan eksperimen.⁵
Konsep tersebut kini
diwujudkan dalam berbagai pendekatan pembelajaran abad ke-21, seperti problem-based
learning, project-based learning, dan service
learning, yang menempatkan peserta didik sebagai aktor utama dalam
pencarian makna.⁶ Dalam paradigma ini, “doing” bukan hanya berarti melakukan
secara fisik, tetapi juga berfikir reflektif dan bertindak dalam
konteks sosial yang nyata. Pengalaman belajar tidak lagi bersifat linear,
melainkan siklikal—sebuah proses dialogis antara pengetahuan, tindakan, dan
makna.
Lebih jauh, kutipan
ini juga menginspirasi pergeseran paradigma dari teaching-centered learning menuju learner-centered
education. UNESCO melalui Delors Report (1996) menegaskan
empat pilar pendidikan masa depan: learning to know, learning to do, learning to
live together, dan learning to be.⁷ Dari empat pilar
tersebut, frasa “I do and I understand” paling dekat dengan prinsip learning
to do, yang menekankan keterampilan reflektif dan kemampuan praktis
sebagai bagian dari kemanusiaan utuh. Dengan demikian, kutipan ini tidak hanya
memiliki nilai filosofis, tetapi juga landasan strategis dalam kebijakan
pendidikan global.
8.2. Relevansi terhadap Etika Digital dan Literasi Media
Dalam konteks
digital kontemporer, kutipan ini memperoleh lapisan makna baru. Era informasi
yang ditandai oleh banjir data, algoritma, dan interaktivitas menuntut
kemampuan epistemik yang tidak hanya mengandalkan mendengar atau melihat,
tetapi juga melakukan—yakni berpartisipasi
secara sadar, kritis, dan etis.⁸ “Mendengar” dan “melihat” dalam
dunia digital identik dengan konsumsi pasif terhadap informasi, sedangkan “melakukan”
berarti keterlibatan aktif dalam produksi pengetahuan, partisipasi sosial, dan
refleksi moral terhadap teknologi yang digunakan.
Dalam perspektif digital
ethics, kutipan ini dapat dibaca sebagai panggilan untuk melampaui
pasivitas pengguna menuju kesadaran kritis (critical digital literacy).⁹
Pemahaman sejati tentang dunia digital tidak hanya diperoleh melalui akses
terhadap informasi, tetapi melalui tindakan yang bertanggung jawab:
memverifikasi kebenaran, memahami dampak sosial teknologi, dan menggunakan
media digital secara reflektif. Sejalan dengan prinsip Paulo Freire tentang conscientização,
belajar di era digital harus melibatkan dimensi praksis—tindakan sadar untuk
mengubah struktur pengetahuan dan relasi kekuasaan dalam ruang maya.¹⁰
Selain itu, kutipan
ini relevan dengan paradigma participatory culture yang
dijelaskan oleh Henry Jenkins, di mana pengguna internet bukan hanya konsumen,
tetapi juga produsen makna (prosumers).¹¹ Dalam konteks ini, “I
do and I understand” menjadi dasar epistemologis partisipasi digital:
seseorang memahami dunia digital bukan dengan mengamati, melainkan dengan
berinteraksi, mencipta, dan merefleksikan. Dengan demikian, prinsip kutipan
tersebut membantu membingkai ulang literasi digital sebagai proses moral dan
reflektif, bukan sekadar keterampilan teknis.
8.3. Pembelajaran Sosial dan Transformatif
Kutipan ini juga
memiliki relevansi sosial-politik dalam kerangka pendidikan transformatif.
Paulo Freire menyatakan bahwa tindakan (praxis) merupakan bentuk tertinggi
dari pengetahuan, karena melalui tindakan reflektif manusia mampu mengubah
dunia dan dirinya sendiri.¹² Dengan demikian, “I do and I understand”
bukan hanya ajaran pedagogis, tetapi juga prinsip emansipatoris yang menolak
keterasingan antara teori dan praktik. Dalam pendidikan sosial, kutipan ini
mengandung pesan bahwa pengetahuan sejati bersifat partisipatif dan
berorientasi pada keadilan sosial.
Pendidikan
kontemporer yang berlandaskan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan
kemanusiaan membutuhkan model pembelajaran yang melibatkan individu sebagai
agen perubahan sosial.¹³ Melalui tindakan nyata—baik dalam konteks proyek
komunitas, pelayanan sosial, maupun advokasi digital—peserta didik
menginternalisasi makna pengetahuan sebagai kekuatan transformatif. Dalam arti
ini, kutipan tersebut menegaskan bahwa pemahaman bukan sekadar kesadaran
kognitif, melainkan kesadaran etis dan sosial yang diwujudkan dalam praksis.
Akhirnya, dalam
lanskap global yang sarat ketidakpastian, kutipan ini menegaskan kembali
pentingnya dimensi kemanusiaan dalam proses belajar. Ia mengingatkan bahwa di
tengah kemajuan teknologi dan kompleksitas informasi, pengetahuan sejati tetap
lahir dari pengalaman hidup yang otentik dan tindakan reflektif. “I hear and
I forget. I see and I remember. I do and I understand” bukan sekadar
warisan moral masa lampau, melainkan prinsip universal bagi pembelajaran yang
humanistik, partisipatif, dan berkelanjutan di abad ke-21.¹⁴
Footnotes
[1]
¹ Nel Noddings, Philosophy of Education (Boulder, CO: Westview
Press, 2007), 97–99.
[2]
² David A. Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of
Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1984),
38–41.
[3]
³ John Dewey, Experience and Education (New York: Macmillan,
1938), 25–30.
[4]
⁴ Jean Piaget, The Construction of Reality in the Child (New
York: Basic Books, 1954), 56–58.
[5]
⁵ Kolb, Experiential Learning, 42–44.
[6]
⁶ John W. Thomas, “A Review of Research on Project-Based Learning,” Autodesk
Foundation Report (San Rafael, CA, 2000), 15–18.
[7]
⁷ Jacques Delors et al., Learning: The Treasure Within (Paris:
UNESCO, 1996), 85–87.
[8]
⁸ Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New
York: PublicAffairs, 2019), 122–125.
[9]
⁹ Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 153–155.
[10]
¹⁰ Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra
Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 70–73.
[11]
¹¹ Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media
Collide (New York: New York University Press, 2006), 3–4.
[12]
¹² Freire, Pedagogy of the Oppressed, 74–76.
[13]
¹³ Henry A. Giroux, Education and the Crisis of Public Values:
Challenging the Assault on Teachers, Students, and Public Education (New
York: Peter Lang, 2012), 45–49.
[14]
¹⁴ Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why Democracy Needs the
Humanities (Princeton: Princeton University Press, 2010), 141–144.
9.
Sintesis
Filosofis
Kutipan “I hear and I forget. I see and I
remember. I do and I understand” pada dasarnya menyatukan tiga dimensi
fundamental dalam filsafat pengetahuan dan pendidikan: ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Ia merepresentasikan perjalanan eksistensial
manusia dari pengalaman inderawi menuju pemahaman reflektif dan tindakan
bermakna. Dalam tataran filosofis, kutipan ini bukan sekadar pernyataan
metodologis tentang cara belajar, melainkan suatu kerangka antropologis tentang
hakikat manusia sebagai makhluk yang mendengar, melihat, dan bertindak—yakni
sebagai makhluk yang membangun pengetahuannya melalui keterlibatan aktif dalam
dunia.¹
Secara ontologis, kutipan ini menegaskan
bahwa pengetahuan bukanlah entitas statis, melainkan proses keberadaan (becoming).
“Mendengar” menggambarkan keberadaan pasif manusia di hadapan dunia; “melihat”
menandai kesadaran representasional yang mulai memahami struktur realitas;
sementara “melakukan” menandai kehadiran manusia secara penuh dalam
dunia melalui tindakan yang transformatif.² Dalam arti ini, tindakan (praxis)
bukan sekadar ekspresi dari pengetahuan, melainkan cara manusia mengada
secara autentik.³ Sebagaimana diuraikan oleh Heidegger, memahami berarti berada-di-dunia
(being-in-the-world) dengan cara yang praktis, di mana subjek dan objek
pengetahuan saling terjalin dalam keterlibatan yang konkret.⁴ Dengan demikian,
“I do and I understand” mengandung ontologi keterlibatan: pengetahuan
sejati hanya muncul melalui partisipasi manusia dalam dunia yang dihidupinya.
Secara epistemologis, kutipan ini menawarkan
model pengetahuan yang bersifat progresif dan integratif. Ia menolak dikotomi
klasik antara rasionalisme dan empirisme dengan menegaskan bahwa pengetahuan
tidak cukup hanya didengar (rasional) atau dilihat (empiris), tetapi harus
diwujudkan melalui tindakan (pragmatis).⁵ Dalam kerangka ini, kutipan tersebut
sejalan dengan epistemologi pragmatis John Dewey, yang menyatakan bahwa
berpikir adalah bentuk tindakan reflektif yang teruji melalui pengalaman.⁶
Pengetahuan yang sejati, menurut Dewey, bersifat instrumental—ia diuji
dan divalidasi melalui konsekuensi tindakan.⁷ Pandangan ini juga sejalan dengan
epistemologi Timur, khususnya prinsip Konfusian zhi xing he yi (知行合一)—kesatuan
antara pengetahuan (zhi) dan tindakan (xing)—yang menolak
pemisahan antara teori dan praksis.⁸ Maka, kutipan ini menjadi jembatan
konseptual antara dua tradisi besar: rasionalitas reflektif Barat dan praksis
moral Timur.
Secara aksiologis, kutipan ini mengandung
pesan etis yang kuat: bahwa nilai pengetahuan hanya terwujud dalam tindakan
yang bertanggung jawab. “Melakukan” tidak hanya berarti
mengimplementasikan pengetahuan, tetapi juga menghidupinya secara moral dan
sosial. Dalam konteks Konfusianisme, belajar tanpa tindakan dianggap tidak
bermoral karena gagal menumbuhkan kebajikan (de 德).⁹ Dalam tradisi Aristoteles,
pengetahuan yang baik adalah phronesis—kebijaksanaan praktis yang
memandu tindakan etis.¹⁰ Maka, kutipan ini dapat dibaca sebagai etika
pembelajaran yang menuntut kesatuan antara knowing dan doing, di
mana pemahaman sejati berarti kemampuan bertindak dengan kesadaran moral.
Lebih jauh, kutipan ini memiliki nilai filosofis
universal karena menegaskan hubungan dialektis antara teori dan praksis.
Pengetahuan yang tidak diwujudkan dalam tindakan akan kehilangan makna;
sebaliknya, tindakan tanpa refleksi kehilangan arah etis dan epistemiknya.¹¹
Oleh karena itu, kutipan ini dapat dipandang sebagai epistemologi praksis
yang berorientasi pada transformasi diri dan masyarakat. Dalam kerangka
Freirean, hal ini sejalan dengan gagasan praxis sebagai kesatuan antara
refleksi dan aksi untuk mencapai pembebasan manusia.¹²
Kutipan ini juga dapat ditafsirkan dalam konteks hermeneutika
eksistensial. Proses “mendengar, melihat, dan melakukan” bukan hanya
urutan pedagogis, tetapi juga struktur pengalaman hermeneutik: mendengar adalah
membuka diri terhadap makna, melihat adalah menafsirkan dunia dalam horizon
pengertian, dan melakukan adalah mewujudkan pemahaman dalam tindakan yang
mengubah dunia.¹³ Melalui tindakan inilah manusia tidak sekadar memahami dunia,
tetapi juga memahami dirinya dalam dunia. Dalam kerangka ini, pemahaman
tidak bersifat kognitif semata, melainkan juga eksistensial dan
transformasional.
Dengan mengintegrasikan ketiga dimensi tersebut,
kutipan ini mencerminkan filsafat pembelajaran humanistik—suatu
pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat pengetahuan sekaligus subjek
moral. Pengetahuan yang sejati, menurut pandangan ini, tidak diukur dari
banyaknya informasi yang dimiliki, melainkan dari kemampuan individu untuk
mengolah pengalaman menjadi kebijaksanaan dan tindakan yang bermakna.¹⁴ Dalam
masyarakat kontemporer yang sarat teknologi, prinsip ini menjadi semakin
relevan: belajar bukan hanya tentang “mendengar” (informasi) dan “melihat”
(visualisasi), tetapi tentang “melakukan” (partisipasi) dalam dunia yang
menuntut keterlibatan aktif, reflektif, dan etis.
Dengan demikian, sintesis filosofis dari kutipan
ini memperlihatkan bahwa pengetahuan, tindakan, dan nilai adalah tiga pilar tak
terpisahkan dalam pembentukan manusia. “I hear and I forget” menandai
keterbatasan persepsi pasif; “I see and I remember” menandai awal
kesadaran reflektif; dan “I do and I understand” menandai puncak
pemahaman yang terwujud dalam tindakan etis dan kreatif.¹⁵ Maka, kutipan ini
dapat disimpulkan sebagai mantra filosofis tentang kesatuan epistemologi
dan etika: bahwa memahami berarti menghidupi pengetahuan—sebuah tindakan
yang terus-menerus menghubungkan diri, dunia, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Footnotes
[1]
¹ Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy
(New York: Ronald Press, 1963), 211–214.
[2]
² Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 45–47.
[3]
³ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 204–206.
[4]
⁴ Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
225–228.
[5]
⁵ Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a
Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958),
52–54.
[6]
⁶ John Dewey, Experience and Education (New
York: Macmillan, 1938), 25–30.
[7]
⁷ Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 164–166.
[8]
⁸ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An
Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York
Press, 1989), 43–46.
[9]
⁹ The Analects of Confucius, trans. James
Legge (Oxford: Clarendon Press, 1893), II.15.
[10]
¹⁰ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), VI.5, 1140b20–25.
[11]
¹¹ Jürgen Habermas, Knowledge and Human
Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–304.
[12]
¹² Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed,
trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 72–74.
[13]
¹³ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method,
trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004),
312–316.
[14]
¹⁴ Carl R. Rogers, Freedom to Learn
(Columbus, OH: Merrill, 1969), 157–160.
[15]
¹⁵ Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why
Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press,
2010), 141–144.
10. Kesimpulan
Kutipan “I hear and I forget. I see and I
remember. I do and I understand” merupakan ekspresi filosofis yang
sederhana namun sarat makna. Ia merangkum perjalanan manusia dalam memahami
dunia—dari pengalaman pasif menuju keterlibatan aktif, dari pengetahuan
kognitif menuju pemahaman eksistensial. Dalam analisis historis dan filologis,
kutipan ini terbukti bukan berasal langsung dari ajaran Konfusius, melainkan
hasil sintesis antara semangat moral Konfusianisme dan pragmatisme pedagogis
Barat.¹ Namun demikian, kekeliruan atribusi tersebut tidak mengurangi relevansi
filosofisnya, karena substansi nilai yang terkandung di dalamnya melampaui
batas sejarah dan budaya. Kutipan ini berfungsi sebagai simbol universal dari
epistemologi praksis yang menempatkan tindakan sebagai inti dari pengetahuan
sejati.
Dari sisi ontologis, kutipan ini menegaskan
bahwa mengetahui bukanlah aktivitas mental yang terpisah dari keberadaan,
melainkan bagian dari proses manusia untuk mengada secara sadar dalam
dunia. “Mendengar” dan “melihat” menggambarkan kesadaran
representasional, sedangkan “melakukan” menandai keterlibatan ontologis
di mana manusia menghadirkan dirinya sebagai subjek yang aktif dan kreatif.²
Dengan demikian, pengetahuan sejati adalah bentuk keberadaan yang terlibat,
bukan sekadar refleksi terhadap realitas yang diamati.
Secara epistemologis, kutipan ini
mengajarkan bahwa pengetahuan adalah hasil interaksi dinamis antara pengalaman
dan refleksi. Ia menolak pandangan mekanistik tentang belajar sebagai proses
pasif, dan menegaskan pentingnya tindakan reflektif dalam membentuk pemahaman
yang bermakna.³ Dalam perspektif pragmatisme John Dewey, berpikir adalah
tindakan yang teruji melalui pengalaman; seseorang hanya benar-benar memahami
sesuatu ketika ia terlibat langsung dalam proses menemukan maknanya.⁴ Maka,
tahap “I do and I understand” menggambarkan epistemologi yang bersifat eksperiensial,
di mana kebenaran pengetahuan diuji melalui tindakan dan refleksi.
Dari sudut aksiologis, kutipan ini memiliki
nilai moral yang mendalam. Ia menegaskan bahwa pengetahuan memperoleh nilai
hanya ketika diwujudkan dalam tindakan yang etis.⁵ Dalam tradisi Konfusian,
belajar selalu terkait dengan pembentukan moralitas dan kebajikan sosial;
sementara dalam etika kebajikan Aristoteles, pengetahuan yang sejati diwujudkan
melalui phronesis, kebijaksanaan praktis yang menuntun tindakan baik.⁶
Oleh karena itu, kutipan ini mengandung prinsip normatif: bahwa memahami
berarti bertindak dengan kebijaksanaan, dan bahwa pendidikan sejati
tidak hanya menumbuhkan kecerdasan, tetapi juga karakter dan tanggung jawab
moral.
Konteks sosial dan kultural menunjukkan
bahwa kutipan ini terus berevolusi mengikuti dinamika zaman. Ia telah menjadi
jembatan antara Timur dan Barat, antara filsafat moral klasik dan pedagogi
modern.⁷ Dalam era digital kontemporer, maknanya menemukan aktualisasi baru
dalam prinsip active learning, experiential education, dan
literasi digital kritis. “Melakukan” kini dapat dimaknai sebagai
keterlibatan reflektif dalam ruang sosial dan teknologi, di mana pengetahuan
tidak hanya dikonsumsi tetapi juga diciptakan melalui partisipasi dan tanggung
jawab etis.⁸ Dengan demikian, kutipan ini tetap hidup sebagai etika
pembelajaran yang relevan dengan tantangan zaman modern.
Secara filosofis, kutipan ini dapat
disintesiskan sebagai bentuk kesatuan antara knowing, doing, dan being—mengetahui,
bertindak, dan menjadi. Kesatuan ini menunjukkan bahwa pengetahuan sejati bukan
hasil akumulasi informasi, tetapi hasil transformasi diri melalui tindakan
reflektif dan moral.⁹ Ia menggambarkan suatu ideal humanistik yang menempatkan
manusia sebagai subjek aktif yang membangun makna melalui dialog dengan dunia
dan sesama. Dalam kerangka ini, belajar menjadi proses eksistensial untuk
menjadi manusia seutuhnya, bukan sekadar proses kognitif untuk menguasai
pengetahuan.
Akhirnya, kutipan “I hear and I forget. I see
and I remember. I do and I understand” menegaskan bahwa pemahaman adalah
tindakan. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan hanya bernilai ketika dihayati,
dan kebijaksanaan hanya muncul ketika diterapkan. Dalam dunia yang semakin
dikuasai oleh informasi dan teknologi, pesan ini menjadi semakin relevan: bahwa
manusia tidak cukup hanya mendengar dan melihat, tetapi harus melakukan
dengan kesadaran, memahami dengan tanggung jawab, dan bertindak
dengan kebajikan.¹⁰ Dalam kesatuan antara mendengar, melihat, dan
melakukan, filsafat kutipan ini menyapa manusia untuk terus belajar bukan hanya
agar mengerti, tetapi agar menjadi—menjadi manusia yang berpikir,
berbuat, dan memahami dengan hati yang bijaksana.
Footnotes
[1]
¹ Lionel Jensen, Manufacturing Confucianism:
Chinese Traditions and Universal Civilization (Durham: Duke University
Press, 1997), 58–61.
[2]
² Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962),
225–228.
[3]
³ Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a
Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958),
54–56.
[4]
⁴ John Dewey, Experience and Education (New
York: Macmillan, 1938), 25–30.
[5]
⁵ Tu Weiming, Centrality and Commonality: An
Essay on Confucian Religiousness (Albany: State University of New York
Press, 1989), 46–49.
[6]
⁶ Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), II.1, 1103a14–25.
[7]
⁷ Edward Said, Culture and Imperialism (New
York: Knopf, 1993), 92–95.
[8]
⁸ Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 153–155.
[9]
⁹ Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 301–304.
[10]
¹⁰ Martha C. Nussbaum, Not for Profit: Why
Democracy Needs the Humanities (Princeton: Princeton University Press,
2010), 141–144.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Bourdieu, P. (1984). Distinction: A social
critique of the judgement of taste (R. Nice, Trans.). Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Delors, J., et al. (1996). Learning: The
treasure within. Paris: UNESCO.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
New York, NY: Macmillan.
Dewey, J. (1938). Experience and education.
New York, NY: Macmillan.
Eno, R. (2015). The Analects of Confucius: An
online teaching translation. Bloomington: Indiana University.
Floridi, L. (2013). The ethics of information.
Oxford: Oxford University Press.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). New York, NY:
Pantheon Books.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). New York, NY: Continuum.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). London: Continuum.
Giroux, H. A. (1983). Theory and resistance in
education: A pedagogy for the opposition. Westport, CT: Bergin &
Garvey.
Giroux, H. A. (2012). Education and the crisis
of public values: Challenging the assault on teachers, students, and public
education. New York, NY: Peter Lang.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Boston, MA: Beacon Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and
communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.).
Cambridge, MA: MIT Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
The Hague: Martinus Nijhoff.
Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where
old and new media collide. New York, NY: New York University Press.
Jensen, L. (1997). Manufacturing Confucianism:
Chinese traditions and universal civilization. Durham, NC: Duke University
Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kattsoff, L. O. (1963). Elements of philosophy.
New York, NY: Ronald Press.
Kolb, D. A. (1984). Experiential learning:
Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall.
Legge, J. (1893). The Analects of Confucius.
Oxford: Clarendon Press.
Legge, J. (1861). The Chinese classics, Vol. I:
Confucian Analects, The Great Learning, and The Doctrine of the Mean. Hong
Kong: Trübner & Co.
Liu, L. H. (1995). Translingual practice:
Literature, national culture, and translated modernity—China, 1900–1937.
Stanford, CA: Stanford University Press.
Locke, J. (1690). An essay concerning human
understanding. London: Thomas Basset.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.
Mou, Z. (1985). Intellectual intuition and
Chinese philosophy. Honolulu, HI: University of Hawaii Press.
Neisser, U. (1967). Cognitive psychology.
New York, NY: Appleton-Century-Crofts.
Noddings, N. (2007). Philosophy of education.
Boulder, CO: Westview Press.
Nussbaum, M. C. (2010). Not for profit: Why
democracy needs the humanities. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Piaget, J. (1954). The construction of reality
in the child. New York, NY: Basic Books.
Polanyi, M. (1958). Personal knowledge: Towards
a post-critical philosophy. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Rees, N. (1987). Sayings of the century.
London: Unwin Hyman.
Rheingold, H. (2002). Smart mobs: The next
social revolution. Cambridge, MA: Perseus Publishing.
Rogers, C. R. (1969). Freedom to learn.
Columbus, OH: Merrill.
Said, E. (1978). Orientalism. New York, NY:
Pantheon Books.
Said, E. (1993). Culture and imperialism.
New York, NY: Knopf.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H.
E. Barnes, Trans.). New York, NY: Washington Square Press.
Shapiro, F. R. (2006). The Yale book of
quotations. New Haven, CT: Yale University Press.
Slingerland, E. (2003). Confucius Analects: With
selections from traditional commentaries. Indianapolis, IN: Hackett
Publishing.
Thomas, J. W. (2000). A review of research on
project-based learning. San Rafael, CA: Autodesk Foundation.
Tu, W. (1989). Centrality and commonality: An
essay on Confucian religiousness. Albany, NY: State University of New York
Press.
Varela, F. J., Thompson, E., & Rosch, E.
(1991). The embodied mind: Cognitive science and human experience.
Cambridge, MA: MIT Press.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The
development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Wang, J. C.-S. (2007). John Dewey in China: To
teach and to learn. Albany, NY: State University of New York Press.
Watson, B. (Trans.). (1963). The works of Hsün
Tzu. New York, NY: Columbia University Press.
Whiting, B. J. (1989). Modern proverbs and
proverbial sayings. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism. New York, NY: PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar