Sabtu, 01 November 2025

Argumen Fine-Tuning: Antara Probabilitas Kosmologis dan Rasionalitas Teistik

Argumen Fine-Tuning

Antara Probabilitas Kosmologis dan Rasionalitas Teistik


Alihkan ke: Pikiran Manusia.


Abstrak

Argumen fine-tuning merupakan salah satu wacana paling penting dalam pertemuan antara kosmologi modern, filsafat sains, dan teologi filosofis. Artikel ini membahas secara sistematis dasar ilmiah, struktur logis, dan implikasi metafisik dari fenomena penyetelan halus alam semesta, yakni ketepatan luar biasa nilai-nilai konstanta fisika yang memungkinkan keberadaan kehidupan. Melalui analisis historis dan genealogis, kajian ini menelusuri evolusi argumen teleologis klasik menuju bentuk probabilistik dalam fine-tuning argument modern, sebagaimana dikembangkan oleh John Leslie, Robin Collins, dan Richard Swinburne.

Pembahasan ilmiah menyoroti sensitivitas konstanta kosmologis, seperti gravitasi dan konstanta struktur halus, serta penggunaan model Bayesian untuk mengevaluasi probabilitas desain dibandingkan kebetulan murni. Secara filosofis, artikel ini menafsirkan fine-tuning melalui perspektif ontologi hukum alam, metafisika probabilitas, dan konsep rasionalitas kosmik, dengan mengintegrasikan pandangan para realis, antirealis, dan teolog modern seperti Polkinghorne dan Pannenberg. Kajian ini juga mengeksplorasi varian penjelasan alternatif, termasuk Design Hypothesis, Multiverse Hypothesis, Anthropic Principle, dan Necessity Hypothesis, serta meninjau kritik epistemologis dan naturalistik yang diajukan oleh Dawkins, Carroll, dan Sober.

Melalui sintesis filosofis, artikel ini menegaskan bahwa fine-tuning bukan sekadar argumen teistik atau naturalistik, melainkan refleksi rasional tentang keterpahaman alam semesta dan batas epistemik manusia dalam memahami realitas. Dalam konteks kontemporer, argumen ini memiliki relevansi bagi dialog sains–agama, etika teknologi, dan kesadaran ekologis, dengan menegaskan bahwa keteraturan kosmik menuntut tanggung jawab moral serta membuka ruang bagi penemuan makna dalam tatanan rasional dunia. Dengan demikian, fine-tuning berfungsi sebagai jembatan konseptual antara fakta ilmiah dan makna metafisik, antara rasionalitas empiris dan eksistensial, serta antara pengetahuan dan keheranan filosofis terhadap realitas yang dapat dipahami.

Kata Kunci: fine-tuning, kosmologi, teisme, multiverse, probabilitas, hukum alam, teleologi, metafisika, rasionalitas kosmik, sains dan agama.


PEMBAHASAN

Filsafat Fine-Tuning Argument dalam Diskursus Sains dan Teologi


1.           Pendahuluan

Pertanyaan mengenai keteraturan dan keberadaan kehidupan di alam semesta merupakan salah satu isu paling mendalam dalam filsafat dan kosmologi modern. Sejak awal abad ke-20, kemajuan dalam fisika teoretis dan astronomi telah menyingkap fakta bahwa parameter-parameter fundamental alam semesta tampak “disetel halus” (fine-tuned) sedemikian rupa sehingga memungkinkan keberadaan kehidupan cerdas. Fenomena ini, yang dikenal sebagai fine-tuning of the universe, menimbulkan pertanyaan metafisik dan teologis yang mendalam: apakah penyetelan halus ini merupakan hasil dari kebetulan murni, hukum alam yang niscaya, atau indikasi adanya prinsip rasional di balik kosmos?¹

Dalam konteks sejarah pemikiran, gagasan bahwa alam semesta menunjukkan tanda-tanda keteraturan bukanlah hal baru. Tradisi teleologis Aristoteles memandang alam sebagai sistem yang memiliki tujuan intrinsik (telos) dalam setiap entitasnya.² Dalam teologi alamiah klasik, seperti yang dirumuskan William Paley dalam Natural Theology (1802), keteraturan biologis dan kosmik digunakan sebagai bukti adanya “Perancang Cerdas.”³ Namun, versi modern dari argumen teleologis mengalami transformasi signifikan setelah munculnya teori relativitas umum dan mekanika kuantum. Di era kontemporer, diskursus ini bergeser dari analogi biologis ke argumentasi kosmologis yang bersifat probabilistik—yakni argumen fine-tuning.

Fine-tuning argument menyatakan bahwa nilai-nilai konstanta fisika dasar (seperti konstanta gravitasi, konstanta Planck, atau konstanta kosmologis) berada dalam rentang yang sangat sempit agar kehidupan dapat muncul.⁴ Perubahan kecil pada salah satu dari konstanta tersebut akan membuat alam semesta tidak dapat menopang struktur kompleks seperti bintang, planet, atau unsur kimia dasar kehidupan.⁵ Implikasi filosofisnya luar biasa: jika penyetelan halus ini tidak mungkin muncul secara kebetulan, maka mungkin ada penjelasan alternatif yang melibatkan prinsip desain, multisemesta (multiverse), atau hukum alam yang bersifat niscaya.⁶

Meskipun demikian, argumen ini tetap kontroversial. Sebagian ilmuwan dan filsuf menganggapnya sebagai bentuk modern dari God of the Gaps—upaya untuk menutupi ketidaktahuan ilmiah dengan asumsi metafisik.⁷ Sementara itu, para teolog dan filsuf teistik melihat fine-tuning sebagai indikasi rasional dari keteraturan yang berlandaskan maksud dan tujuan.⁸ Perdebatan ini menuntut pendekatan interdisipliner yang menggabungkan epistemologi ilmiah, logika probabilitas, dan metafisika rasional.

Dengan demikian, bagian pendahuluan ini menegaskan bahwa pembahasan tentang fine-tuning argument tidak dapat dipisahkan dari dua ranah utama: (1) sains empiris yang berusaha memahami struktur kosmos melalui hukum-hukum alam, dan (2) refleksi filosofis yang berupaya menjelaskan “mengapa” hukum-hukum itu sedemikian rupa. Artikel ini bertujuan menyusun analisis komprehensif yang sistematis dan kritis terhadap argumen fine-tuning sebagai jembatan antara kosmologi ilmiah dan teologi filosofis, dengan tetap mempertahankan kerangka rasional, empiris, dan terbuka terhadap revisi argumentatif.


Footnotes

[1]                John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 3–5.

[2]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), II.1–9.

[3]                William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 1–3.

[4]                John D. Barrow and Frank J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Clarendon Press, 1986), 21–24.

[5]                Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 43–47.

[6]                Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 97–102.

[7]                Sean Carroll, “Why (Almost All) Cosmologists Are Atheists,” Faith and Philosophy 22, no. 5 (2005): 622–623.

[8]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 187–190.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Akar konseptual dari fine-tuning argument dapat ditelusuri dalam sejarah panjang pemikiran manusia tentang keteraturan dan tujuan dalam alam semesta. Sejak zaman Yunani kuno, filsafat alam telah berupaya menjelaskan keteraturan kosmos sebagai sesuatu yang memiliki prinsip intrinsik, bukan hasil kebetulan semata. Aristoteles, dalam karyanya Physics dan Metaphysics, memperkenalkan konsep telos—tujuan alamiah yang mengatur setiap bentuk dan perubahan dalam alam.¹ Bagi Aristoteles, alam bersifat rasional dan terarah, bukan chaos tanpa makna. Pandangan ini menjadi fondasi bagi tradisi teleologis yang mendominasi pemikiran filsafat dan teologi selama berabad-abad.

Pada masa Skolastik, Thomas Aquinas mengadaptasi konsep Aristotelian ini ke dalam kerangka teologi Kristen. Dalam Summa Theologica, ia merumuskan Quinta Via (Jalan Kelima) sebagai salah satu argumen rasional untuk eksistensi Tuhan, yakni melalui keteraturan dan keterarahan fenomena alam.² Bagi Aquinas, hukum alam yang konsisten menandakan adanya penyebab cerdas yang menuntun segala sesuatu menuju tujuan tertentu (ordinatio ad finem).³ Argumen teleologis semacam ini menjadi bagian penting dari apa yang kemudian dikenal sebagai Natural Theology di Eropa modern.

Perkembangan besar terjadi pada awal abad ke-19 melalui karya William Paley, Natural Theology (1802), yang mempopulerkan analogi arloji (watchmaker analogy). Paley berargumen bahwa kompleksitas organisme biologis menandakan adanya perancang sebagaimana arloji menandakan keberadaan pembuat arloji.⁴ Meskipun argumen Paley berfokus pada biologi, bukan kosmologi, ia menegaskan prinsip dasar bahwa keteraturan kompleks membutuhkan penjelasan intelektual, bukan kebetulan buta.⁵ Namun, perkembangan biologi evolusioner oleh Charles Darwin kemudian melemahkan dasar biologis argumen teleologis tersebut, menggantikannya dengan penjelasan kausal yang berbasis seleksi alam.⁶

Transformasi modern dari argumen teleologis menuju fine-tuning argument bermula pada pertengahan abad ke-20 ketika kosmologi dan fisika teoretis mengungkap kepekaan ekstrem parameter-parameter fundamental terhadap keberadaan kehidupan. Fred Hoyle, salah satu perintis astrofisika nuklir, menunjukkan bahwa tingkat resonansi nuklir dalam unsur karbon memiliki nilai yang sangat presisi untuk memungkinkan pembentukan unsur-unsur kimia kehidupan.⁷ Hal ini, menurut Hoyle, tampak seolah-olah “alam semesta tahu bahwa kita akan datang.”⁸ Pernyataan ini menjadi salah satu embrio filosofis bagi gagasan fine-tuning.

Brandon Carter kemudian memperkenalkan anthropic principle pada tahun 1973, yang menyatakan bahwa pengamatan terhadap alam semesta harus konsisten dengan keberadaan pengamat di dalamnya.⁹ Prinsip ini melahirkan dua versi: Weak Anthropic Principle (WAP) yang bersifat deskriptif, dan Strong Anthropic Principle (SAP) yang mengandung implikasi metafisik.¹⁰ Carter, bersama John Barrow dan Frank Tipler, memperluas ide ini dalam karya monumental The Anthropic Cosmological Principle (1986), yang menegaskan bahwa konstanta fisika tampak “disetel” untuk memungkinkan kehidupan cerdas.¹¹

Dalam dekade-dekade berikutnya, argumen fine-tuning berkembang menjadi pusat perdebatan dalam analytic philosophy of religion dan philosophy of physics. John Leslie, Robin Collins, serta Richard Swinburne berupaya memformalkan argumen ini dalam kerangka probabilitas Bayesian, menjadikan inferensi terhadap keberadaan “desainer kosmik” sebagai hipotesis rasional yang memiliki kekuatan eksplanatif lebih besar dibandingkan penjelasan kebetulan.¹² Dalam waktu yang sama, kritik dari kalangan naturalistik seperti Elliott Sober dan Sean Carroll menantang keabsahan logika probabilistik tersebut dengan menunjukkan problem epistemik dan metodologis dalam penalaran inferensial yang didasarkan pada ruang kemungkinan yang tidak teramati.¹³

Dengan demikian, secara genealogis, fine-tuning argument merupakan hasil evolusi panjang dari argumen teleologis klasik menuju bentuk modern yang lebih matematis dan empiris. Ia tidak sekadar merupakan kebangkitan kembali natural theology, melainkan bentuk baru dari dialog antara sains dan filsafat tentang struktur rasional dari realitas kosmik. Argumen ini menandai pergeseran paradigma dari penalaran analogis menuju probabilistik, dari metafisika skolastik menuju kosmologi modern, serta dari teologi dogmatis menuju epistemologi terbuka yang berupaya menafsirkan keteraturan alam semesta secara rasional dan ilmiah.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7–9.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.2, a.3.

[3]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 113–116.

[4]                William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 1–5.

[5]                Michael Ruse, Darwin and Design: Does Evolution Have a Purpose? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003), 12–14.

[6]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 480–482.

[7]                Fred Hoyle, “On Nuclear Reactions Occurring in Very Hot Stars. I. The Synthesis of Elements from Carbon to Nickel,” Astrophysical Journal Supplement Series 1 (1954): 121–122.

[8]                Fred Hoyle, The Universe: Past and Present Reflections, Annual Review of Astronomy and Astrophysics 20 (1982): 16.

[9]                Brandon Carter, “Large Number Coincidences and the Anthropic Principle in Cosmology,” in Confrontation of Cosmological Theories with Observational Data, ed. M. S. Longair (Dordrecht: Reidel, 1974), 291–298.

[10]             John D. Barrow and Frank J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Clarendon Press, 1986), 16–18.

[11]             Ibid., 29–31.

[12]             John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 25–27; Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Blackwell, 2009), 202–204.

[13]             Elliott Sober, Evidence and Evolution: The Logic Behind the Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 120–122; Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 178–180.


3.           Dasar Ilmiah Fine-Tuning

Diskursus tentang fine-tuning memperoleh landasan kuatnya dalam ranah fisika teoretis dan kosmologi modern, terutama melalui pengamatan terhadap nilai-nilai konstanta fundamental alam semesta yang tampak berada dalam rentang yang sangat sempit untuk memungkinkan keberadaan kehidupan.¹ Istilah “penyetelan halus” (fine-tuning) sendiri tidak mengandung konotasi teologis secara langsung, melainkan merujuk pada sensitivitas luar biasa dari sistem kosmik terhadap variasi kecil dalam parameter fisika dasar.² Fenomena ini telah menjadi pusat perhatian baik dalam sains maupun filsafat, karena ia menimbulkan pertanyaan: mengapa konstanta-konstanta alam memiliki nilai-nilai yang begitu “tepat” agar alam semesta dapat berfungsi sebagaimana adanya?

3.1.       Konstanta Fundamental dan Kepekaan Kosmologis

Konstanta fisika fundamental yang sering dikaitkan dengan fine-tuning mencakup konstanta gravitasi (G), konstanta struktur halus (α), konstanta Planck (ħ), konstanta kosmologis (Λ), serta rasio massa antara proton dan elektron.³ Variasi sekecil satu bagian dalam 10⁴⁰ terhadap beberapa di antaranya akan menghasilkan alam semesta yang tidak dapat menopang atom, bintang, atau galaksi.⁴ Sebagai contoh, jika konstanta gravitasi sedikit lebih kuat, bintang-bintang akan terbakar terlalu cepat; jika lebih lemah, materi tidak akan menggumpal membentuk struktur kosmik sama sekali.⁵

Barrow dan Tipler memperkirakan bahwa konstanta kosmologis (Λ), yang menentukan percepatan ekspansi alam semesta, harus memiliki nilai dalam rentang antara ±10⁻¹²⁰ dari nilai teoretis maksimum agar memungkinkan pembentukan galaksi.⁶ Demikian pula, rasio gaya elektromagnetik terhadap gravitasi harus disetel dengan ketepatan luar biasa agar atom dapat terbentuk secara stabil.⁷ Data ini tidak semata menunjukkan kebetulan statistik, tetapi menegaskan adanya korelasi matematis yang sangat presisi antara hukum-hukum fisika dan syarat eksistensi kehidupan.

3.2.       Model Matematis dan Pendekatan Probabilistik

Para fisikawan dan filsuf sains menggunakan model matematis berbasis probabilitas untuk menilai sejauh mana “penyetelan halus” ini dapat dianggap signifikan.⁸ Robin Collins, misalnya, menggunakan pendekatan Bayesian untuk menghitung rasio probabilitas antara dua hipotesis utama: (1) alam semesta yang muncul secara acak, dan (2) alam semesta yang didesain secara cerdas.⁹ Dalam formulasi ini, fine-tuning menjadi bukti bayesian yang memperkuat hipotesis desain sejauh probabilitas terjadinya kondisi kehidupan tanpa penyetelan dianggap sangat kecil.¹⁰

Namun, pendekatan probabilistik ini menghadapi kesulitan epistemik yang serius. Pertama, tidak ada distribusi probabilitas alami yang dapat diaplikasikan pada ruang kemungkinan konstanta alam; artinya, kita tidak tahu apakah variasi konstanta tersebut dapat benar-benar terjadi.¹¹ Kedua, argumen probabilistik sering kali mengandaikan pengetahuan terhadap ensemble alam semesta lain (sebagaimana dalam hipotesis multiverse), yang secara empiris belum dapat diverifikasi.¹² Dengan demikian, meskipun formulasi matematis memberikan kerangka kuantitatif yang menarik, status ontologis dari probabilitas itu sendiri tetap problematik.¹³

3.3.       Eksperimen Observasional dan Batas Empirik

Dalam kosmologi empiris, konsep fine-tuning terutama bersandar pada data observasional seperti radiasi latar gelombang mikro kosmik (CMB), kelimpahan unsur-unsur ringan (helium, deuterium, litium), dan parameter inflasi kosmik.¹⁴ Pengamatan melalui satelit Planck dan WMAP memperlihatkan kesesuaian luar biasa antara model inflasi kosmik dengan nilai-nilai konstanta yang memungkinkan struktur kosmik terbentuk.¹⁵ Akan tetapi, korelasi empiris ini tidak serta merta membuktikan adanya “penyetelan” dalam arti teleologis. Sebagaimana dikemukakan oleh Sean Carroll, fakta bahwa parameter kosmik memungkinkan kehidupan tidak berarti bahwa kehidupan menjadi tujuan dari hukum-hukum alam; ia hanya menunjukkan bahwa kondisi kebetulan tertentu konsisten dengan keberadaan kita sebagai pengamat.¹⁶

Di sisi lain, beberapa fisikawan seperti Paul Davies menekankan bahwa keteraturan semacam ini terlalu spesifik untuk diabaikan begitu saja.¹⁷ Ia menulis bahwa “semesta tampak tidak hanya dapat dipahami secara matematis, tetapi juga tampak disesuaikan untuk memungkinkan kesadaran memahami dirinya sendiri.”¹⁸ Pandangan ini menunjukkan bahwa fine-tuning mengandung dimensi reflektif: ia tidak hanya menyangkut parameter empiris, tetapi juga mengisyaratkan struktur rasional alam yang menjadi dasar bagi intelligibilitas ilmiah itu sendiri.


Kritik terhadap Interpretasi Ilmiah Fine-Tuning

Walaupun fine-tuning sering diperlakukan sebagai “bukti” bagi hipotesis desain, banyak ilmuwan yang menegaskan bahwa istilah tersebut hanyalah deskripsi epistemik terhadap ketergantungan kondisi kosmik, bukan indikasi ontologis dari tujuan.¹⁹ Roger Penrose, misalnya, mengakui bahwa probabilitas terjadinya alam semesta seperti sekarang “luar biasa kecil” (sekitar 1 banding 10¹⁰¹²³), namun ia menolak interpretasi teistik karena menilai bahwa hal tersebut tidak menambah kekuatan eksplanatif ilmiah.²⁰ Demikian pula, Lee Smolin dan Leonard Susskind berargumen bahwa fine-tuning dapat dijelaskan melalui teori multiverse atau cosmic natural selection tanpa memerlukan agen supranatural.²¹

Dengan demikian, dasar ilmiah fine-tuning menunjukkan ketegangan epistemik antara deskripsi empiris dan interpretasi metafisik. Ia beroperasi pada batas di mana sains berhadapan dengan pertanyaan “mengapa” yang melampaui metodologi eksperimental. Fenomena ini menyingkap bukan hanya keajaiban statistik dari kosmos, tetapi juga batas rasionalitas manusia dalam memahami mengapa hukum-hukum alam bersifat sedemikian rupa—sebuah wilayah di mana filsafat, kosmologi, dan teologi berpotongan secara mendalam.


Footnotes

[1]                John D. Barrow and Frank J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Clarendon Press, 1986), 2–3.

[2]                Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Blackwell, 2009), 202–203.

[3]                Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 87–90.

[4]                Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 44.

[5]                Martin Rees, Just Six Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe (New York: Basic Books, 2000), 3–7.

[6]                Barrow and Tipler, The Anthropic Cosmological Principle, 288–291.

[7]                Ibid., 293–294.

[8]                Robin Collins, “The Fine-Tuning Evidence Is Convincing,” in Debating Christian Theism, ed. J. P. Moreland, Chad Meister, and Khaldoun Sweis (Oxford: Oxford University Press, 2013), 51–53.

[9]                Ibid., 54–55.

[10]             Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 189–192.

[11]             Elliott Sober, Evidence and Evolution: The Logic Behind the Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 115–117.

[12]             Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 179–180.

[13]             Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 98–100.

[14]             Steven Weinberg, Cosmology (Oxford: Oxford University Press, 2008), 212–215.

[15]             Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI. Cosmological Parameters,” Astronomy & Astrophysics 641 (2020): A6.

[16]             Sean Carroll, “Why Is There Something, Rather Than Nothing?,” The Edge Annual Question 2012, accessed April 10, 2024, response-detail.

[17]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (London: Penguin, 1992), 110–113.

[18]             Ibid., 115.

[19]             Martin Rees, “Perspectives in Astrophysical Cosmology,” Philosophical Transactions of the Royal Society A 371, no. 1992 (2013): 20120241.

[20]             Roger Penrose, The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe (London: Jonathan Cape, 2004), 762–764.

[21]             Leonard Susskind, The Cosmic Landscape: String Theory and the Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 144–147; Lee Smolin, The Life of the Cosmos (Oxford: Oxford University Press, 1997), 91–93.


4.           Struktur Logis Argumen Fine-Tuning

Argumen fine-tuning tidak hanya memiliki dasar empiris dalam fisika kosmologis, tetapi juga menuntut formulasi logis yang ketat agar dapat diuji validitas dan kekuatan inferensialnya. Dalam filsafat agama analitik, fine-tuning argument biasanya diklasifikasikan sebagai bentuk khusus dari argumen teleologis modern—yakni argumen berbasis probabilitas yang menafsirkan penyetelan parameter kosmik sebagai indikasi adanya prinsip rasional atau agen penyebab yang disengaja.¹ Dengan demikian, struktur logisnya bergerak dari deskripsi empiris menuju inferensi metafisik melalui prosedur bayesian dan analisis epistemik atas penjelasan terbaik (inference to the best explanation).²

4.1.       Formulasi Deduktif dan Probabilistik

Secara formal, struktur dasar argumen fine-tuning dapat disusun dalam tiga premis pokok:

1)                  Alam semesta memiliki konstanta fisika dan kondisi awal yang sangat tepat untuk memungkinkan kehidupan (fine-tuning premise).

2)                  Keadaan demikian sangat tidak mungkin terjadi secara kebetulan (improbability premise).

3)                  Karena itu, lebih rasional untuk menyimpulkan bahwa penyetelan ini merupakan hasil dari suatu penyebab atau prinsip rasional (design or necessity conclusion).³

Formulasi ini pada dasarnya bersifat induktif dan probabilistik, bukan deduktif. Ia tidak bermaksud membuktikan eksistensi Tuhan secara niscaya, melainkan menunjukkan bahwa hipotesis adanya desain atau maksud cerdas (intelligent design) memiliki probability ratio lebih tinggi dibandingkan hipotesis kebetulan murni.⁴

Robin Collins menawarkan formulasi Bayesian berikut:

P(D|F) = {P(F|D)P(D)} ÷ {P(F)}

di mana:

·                     D adalah hipotesis desain,

·                     F adalah fakta fine-tuning,

·                     P(F|D) menyatakan probabilitas bahwa fine-tuning akan terjadi jika desain benar,

·                     P(D|F) menunjukkan probabilitas bahwa desain benar mengingat fakta fine-tuning.⁵

Menurut Collins, jika P(F|D) jauh lebih tinggi daripada P(F|¬D), maka inferensi terhadap desain merupakan penjelasan terbaik secara rasional.⁶

4.2.       Distingsi antara Desain, Kebetulan, dan Niscaya

Dalam konteks kosmologi, terdapat tiga penjelasan utama terhadap fenomena fine-tuning:

1)                  Hipotesis Kebetulan (Chance Hypothesis) — nilai konstanta alam semesta muncul secara acak dan kebetulan berada dalam rentang yang sesuai untuk kehidupan.⁷

2)                  Hipotesis Niscaya (Necessity Hypothesis) — hukum-hukum fisika tidak dapat berbeda dari apa yang ada, sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut mengenai “penyetelan.”⁸

3)                  Hipotesis Desain (Design Hypothesis) — nilai-nilai konstanta tersebut ditentukan oleh suatu entitas atau prinsip rasional dengan maksud tertentu.⁹

Ketiga hipotesis ini tidak hanya berbeda dalam isi metafisiknya, tetapi juga dalam explanatory power dan explanatory scope-nya.ⁱ⁰ Hipotesis kebetulan dinilai memiliki daya eksplanatif lemah karena menolak rasionalisasi atas kebetulan yang ekstrem. Sebaliknya, hipotesis niscaya mengandaikan bentuk modal necessity pada hukum fisika yang secara ontologis belum terbukti.¹¹ Sementara itu, hipotesis desain menawarkan penjelasan berbasis intensionalitas (intentional explanation), yakni bahwa keteraturan alam memiliki maksud rasional, bukan hasil dari kebetulan statistik.¹²

4.3.       Logika Inferensi dan Evaluasi Rasionalitas

Dalam analisis logika ilmiah, fine-tuning argument sering diinterpretasikan sebagai bentuk Inference to the Best Explanation (IBE).¹³ Menurut teori ini, suatu hipotesis rasional apabila ia paling baik menjelaskan data yang tersedia dengan mempertimbangkan tiga kriteria: kesederhanaan (simplicity), jangkauan penjelasan (scope), dan koherensi (coherence).¹⁴ Berdasarkan kriteria tersebut, para pendukung fine-tuning argument menilai bahwa hipotesis desain lebih unggul karena (1) menjelaskan mengapa alam semesta memungkinkan kehidupan, bukan hanya menyatakan fakta itu, dan (2) tidak memerlukan postulat entitas empiris tak teramati seperti multiverse.¹⁵

Namun, kritik epistemologis terhadap pendekatan ini menyoroti bahwa IBE bersifat subjektif dan bergantung pada preferensi teoretis pengamat.¹⁶ Dalam konteks probabilitas kosmologis, ruang kemungkinan sangat luas dan tidak terdefinisi, sehingga penentuan “penjelasan terbaik” sulit dilakukan secara objektif.¹⁷ Elliott Sober menekankan bahwa fine-tuning argument tidak dapat memisahkan secara jelas antara probabilitas epistemik (degree of belief) dan probabilitas fisik (frequency probability), yang berujung pada ambiguitas inferensial.¹⁸

4.4.       Distingsi antara Argumen Teleologis dan Fine-Tuning

Meskipun sering dianggap sebagai versi modern dari argumen teleologis klasik, fine-tuning argument memiliki perbedaan metodologis mendasar. Argumen teleologis tradisional, seperti yang dikemukakan William Paley, bersandar pada analogi empiris (misalnya, kompleksitas organisme seperti jam menandakan pembuat jam).¹⁹ Sebaliknya, fine-tuning argument bersandar pada analisis a posteriori terhadap parameter fisika universal, bukan analogi biologis.²⁰ Dengan demikian, fokusnya bukan pada fungsi spesifik suatu organisme, melainkan pada struktur fundamental realitas yang memungkinkan keberadaan segala bentuk kehidupan.²¹

Perbedaan lain terletak pada sifat inferensi. Teleologi klasik bersifat deduktif dan antropomorfik, sedangkan fine-tuning bersifat probabilistik dan kosmologis.²² Hal ini menandai pergeseran epistemik dari teologi naturalistik menuju rasionalitas ilmiah yang terbuka: argumen fine-tuning tidak lagi berupaya membuktikan keberadaan Tuhan secara langsung, melainkan menempatkan keberaturan kosmik sebagai indikasi bahwa realitas memiliki struktur yang rasional dan dapat dipahami secara matematis.²³


Evaluasi Logis dan Kekuatan Argumentatif

Secara logis, fine-tuning argument bersifat abduktif, bukan deduktif; ia tidak memaksa kesimpulan, melainkan menawarkan hipotesis dengan probabilitas rasional tertinggi berdasarkan data yang ada.²⁴ Kekuatan argumen ini bergantung pada dua hal: (1) derajat kepekaan parameter kosmik terhadap perubahan kecil, dan (2) ketiadaan penjelasan alternatif yang lebih sederhana dan koheren.²⁵ Namun, sebagaimana diingatkan oleh Richard Dawkins, “probabilitas bukanlah bukti,” dan setiap inferensi terhadap desain harus tunduk pada prinsip penjelasan minimal agar tidak jatuh pada metaphysical overreach.²⁶

Dengan demikian, struktur logis fine-tuning argument menunjukkan upaya integratif antara rasionalitas ilmiah dan refleksi metafisik. Ia bukan sekadar pembelaan teistik, melainkan eksperimen epistemik yang menguji batas kemampuan manusia untuk menalar keteraturan kosmos secara rasional. Logika argumen ini menjadi cermin dari pergulatan filosofis modern antara ketidaksengajaan statistik dan inteligibilitas alam semesta.


Footnotes

[1]                William Lane Craig, “Teleological Arguments for God’s Existence,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Blackwell, 2009), 202–205.

[2]                Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 56–58.

[3]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 187–189.

[4]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 212–213.

[5]                Robin Collins, “The Teleological Argument,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, 208.

[6]                Ibid., 210.

[7]                Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 178–179.

[8]                Max Tegmark, Our Mathematical Universe (New York: Knopf, 2014), 93–95.

[9]                John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 27–29.

[10]             Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University Press, 2005), 286–288.

[11]             Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 101–102.

[12]             Richard Swinburne, The Existence of God, 191–193.

[13]             Lipton, Inference to the Best Explanation, 60–61.

[14]             Elliott Sober, Evidence and Evolution: The Logic Behind the Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 118–120.

[15]             Collins, “The Teleological Argument,” 212–214.

[16]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 202–203.

[17]             Sober, Evidence and Evolution, 125–127.

[18]             Ibid., 129.

[19]             William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 1–3.

[20]             John D. Barrow and Frank J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Clarendon Press, 1986), 28–30.

[21]             Collins, “The Teleological Argument,” 207–208.

[22]             Swinburne, The Existence of God, 195.

[23]             Plantinga, Where the Conflict Really Lies, 214–216.

[24]             Lipton, Inference to the Best Explanation, 63.

[25]             Collins, “The Fine-Tuning Evidence Is Convincing,” in Debating Christian Theism, ed. J. P. Moreland et al. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 59–60.

[26]             Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 158–160.


5.           Interpretasi Filosofis

Diskursus fine-tuning tidak dapat dipahami secara utuh tanpa menyentuh dimensi filosofisnya—yakni persoalan tentang realitas hukum alam, sifat probabilitas, dan status metafisik keteraturan kosmos. Meskipun data empiris menunjukkan bahwa nilai-nilai konstanta fisika berada dalam rentang yang sangat sempit untuk menopang kehidupan, makna ontologis dari fakta ini tetap terbuka bagi beragam interpretasi. Apakah keteraturan kosmik tersebut bersifat niscaya, kontingen, atau hasil desain rasional? Pertanyaan ini menempatkan fine-tuning di jantung pertemuan antara filsafat sains, metafisika, dan teologi.¹

5.1.       Realisme dan Antirealisme terhadap Hukum Alam

Dalam ranah filsafat sains, perdebatan utama mengenai status hukum alam terletak antara kubu realis dan antirealis. Para realis, seperti D. M. Armstrong dan John Carroll, berpendapat bahwa hukum alam memiliki eksistensi objektif dan mengatur perilaku entitas fisik secara niscaya.² Bagi mereka, hukum bukan sekadar deskripsi pola empiris, melainkan relasi modal yang mengikat sebab dan akibat dalam struktur realitas.³ Dengan demikian, jika fine-tuning benar adanya, maka ia menunjukkan bahwa struktur hukum-hukum tersebut bukan kebetulan statistik, tetapi ekspresi dari tatanan ontologis yang nyata.

Sebaliknya, kalangan antirealis—termasuk Bas van Fraassen dan Nancy Cartwright—menganggap hukum alam hanya sebagai konstruksi teoretis yang berguna untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena.⁴ Dalam pandangan ini, fine-tuning tidak lebih dari konsekuensi epistemik dari cara manusia memodelkan alam semesta, bukan petunjuk tentang maksud metafisik di baliknya.⁵ Argumen ini menekankan bahwa “penyetelan halus” adalah fungsi dari kerangka konseptual yang dipakai, bukan sifat alam itu sendiri.⁶

Perselisihan antara dua posisi ini menunjukkan bahwa makna fine-tuning tidak dapat dilepaskan dari asumsi ontologis mengenai status hukum alam. Bila hukum-hukum tersebut bersifat niscaya, maka fine-tuning mungkin hanyalah fenomena epistemik. Namun, bila hukum-hukum itu kontingen, maka muncul ruang bagi interpretasi teleologis yang melihat keteraturan sebagai hasil intensionalitas atau desain rasional.⁷

5.2.       Ontologi dan Metafisika Probabilitas

Isu sentral lain dalam fine-tuning adalah status metafisika dari probabilitas kosmologis. Dalam fisika, probabilitas sering digunakan sebagai alat matematis untuk mengukur ketidakpastian atau distribusi kemungkinan keadaan.⁸ Namun, dalam konteks fine-tuning, probabilitas tidak bersifat empiris, melainkan metafisik: ia berbicara tentang “seberapa mungkin” alam semesta memiliki nilai konstanta tertentu.⁹

Ada tiga interpretasi utama terhadap probabilitas dalam konteks ini:

1)                  Frequentist interpretation, yang memaknai probabilitas sebagai frekuensi relatif kejadian dalam ensemble besar;

2)                  Subjective (Bayesian) interpretation, yang melihat probabilitas sebagai derajat keyakinan rasional terhadap suatu proposisi;

3)                  Modal interpretation, yang menafsirkan probabilitas sebagai ukuran kemungkinan ontologis di antara dunia-dunia mungkin (possible worlds).¹⁰

Interpretasi terakhir sering digunakan oleh para filsuf teistik seperti Richard Swinburne dan Robin Collins.¹¹ Mereka menilai bahwa probabilitas fine-tuning dapat dipahami secara modal—yakni bahwa di antara banyak dunia mungkin, hanya sedikit yang memungkinkan kehidupan. Dalam kerangka ini, dunia aktual menjadi “istimewa” karena direalisasikan oleh suatu kehendak atau prinsip rasional.¹² Namun, kalangan naturalis menolak pendekatan ini karena dianggap memperluas konsep probabilitas di luar batas epistemik yang dapat diuji secara empiris.¹³

5.3.       Struktur Rasionalitas Alam dan Teleologi Implikatif

Interpretasi filosofis terhadap fine-tuning sering kali berujung pada refleksi tentang intelligibilitas alam semesta. Paul Davies menekankan bahwa sains modern berasumsi bahwa alam bersifat rasional, teratur, dan dapat dipahami melalui hukum matematis.¹⁴ Namun, fakta bahwa alam ternyata benar-benar demikian menimbulkan pertanyaan mengapa rasionalitas itu ada sejak awal.¹⁵ Dalam konteks ini, fine-tuning dapat dipahami bukan hanya sebagai bukti teleologi eksternal (keberadaan perancang), tetapi sebagai indikasi teleologi imanen—yakni keteraturan internal yang menuntun realitas menuju kesadaran dan pemahaman diri.¹⁶

Pandangan ini mengingatkan pada gagasan “rasionalitas kosmik” dalam idealisme Hegelian, di mana struktur realitas dianggap sebagai manifestasi dari rasio yang mewujudkan diri dalam ruang dan waktu.¹⁷ Dengan demikian, fine-tuning bukan hanya persoalan empiris, tetapi juga ekspresi dari logos yang menata realitas agar dapat dipahami.¹⁸ Dalam kerangka teistik, hal ini dapat ditafsirkan sebagai koherensi antara ratio divina dan ratio humana: bahwa kemampuan manusia memahami alam merupakan cerminan dari rasionalitas penciptaan itu sendiri.¹⁹

5.4.       Implikasi Epistemologis dan Keterbatasan Pengetahuan

Dari sisi epistemologi, fine-tuning mengingatkan kita pada keterbatasan metode ilmiah dalam menjawab pertanyaan “mengapa” yang bersifat ultimate. Sains dapat menjelaskan “bagaimana” alam bekerja, tetapi tidak selalu “mengapa” hukum-hukum itu demikian adanya.²⁰ Sebagaimana dikemukakan oleh Stephen Hawking, “pertanyaan mengapa alam semesta harus ada, dan mengapa ia diatur oleh hukum tertentu, tetap menjadi misteri di luar jangkauan fisika.”²¹ Dengan demikian, fine-tuning menandai batas epistemik manusia: wilayah di mana penjelasan empiris berakhir dan refleksi metafisik dimulai.

Namun, batas ini bukan berarti kekosongan pengetahuan, melainkan ruang bagi dialog antara sains dan filsafat.²² Di satu sisi, interpretasi naturalistik melihat fine-tuning sebagai fenomena statistik yang belum dijelaskan. Di sisi lain, interpretasi metafisik menempatkannya sebagai tanda rasionalitas yang mendalam dari realitas.²³ Keduanya, pada hakikatnya, berbagi kesadaran yang sama: bahwa alam semesta tidak bersifat absurd, melainkan memiliki struktur yang memungkinkan pengetahuan.²⁴


Kesimpulan Filosofis Sementara

Secara filosofis, fine-tuning bukanlah bukti final dari desain cerdas, melainkan indikasi bahwa realitas bersifat intelligible dan rasional. Ia mengungkap bahwa struktur hukum alam, probabilitas, dan keteraturan kosmik dapat ditafsirkan secara berlapis: empiris, epistemik, dan metafisik. Penafsiran terhadap fine-tuning dengan demikian bergantung pada paradigma ontologis yang digunakan: apakah alam dipandang sebagai hasil kebetulan buta atau sebagai manifestasi dari prinsip rasional yang tertanam dalam realitas itu sendiri.²⁵

Dengan demikian, fine-tuning berfungsi sebagai cermin bagi refleksi filsafat kontemporer—mengundang manusia untuk memahami bukan hanya apa yang ada, tetapi mengapa yang ada itu dapat dimengerti.²⁶


Footnotes

[1]                John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 31–33.

[2]                D. M. Armstrong, What Is a Law of Nature? (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 21–25.

[3]                John W. Carroll, Laws of Nature (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 54–57.

[4]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 183–185.

[5]                Nancy Cartwright, How the Laws of Physics Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983), 25–27.

[6]                Bas C. van Fraassen, “Science, Materialism, and False Consciousness,” Philosophy of Science 68, no. 3 (2001): 416–417.

[7]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 189–192.

[8]                Ian Hacking, The Emergence of Probability (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 14–16.

[9]                Elliott Sober, Evidence and Evolution: The Logic Behind the Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 118–119.

[10]             David Lewis, Philosophical Papers, Vol. 2 (Oxford: Oxford University Press, 1986), 94–97.

[11]             Swinburne, The Existence of God, 193–194.

[12]             Robin Collins, “The Fine-Tuning Evidence Is Convincing,” in Debating Christian Theism, ed. J. P. Moreland et al. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 61–62.

[13]             Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 180–181.

[14]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (London: Penguin, 1992), 111–113.

[15]             Ibid., 116.

[16]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 45–47.

[17]             G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 487–489.

[18]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 7 (New York: Doubleday, 1963), 95–97.

[19]             Wolfhart Pannenberg, Metaphysics and the Idea of God (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1990), 72–75.

[20]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 276–278.

[21]             Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 193–194.

[22]             Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 217–219.

[23]             Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University Press, 2005), 290–292.

[24]             Davies, The Mind of God, 118.

[25]             Swinburne, The Existence of God, 196–197.

[26]             Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 312–313.


6.           Varian dan Penjelasan Alternatif

Fenomena fine-tuning dalam kosmologi modern telah memunculkan beragam model penjelasan yang berbeda secara ontologis dan epistemologis. Walaupun data empiris tentang kepekaan ekstrem konstanta alam terhadap keberadaan kehidupan diakui secara luas, makna metafisik dari fakta ini tetap terbuka untuk interpretasi yang beragam. Setidaknya terdapat empat pendekatan utama yang muncul dalam literatur filsafat dan fisika teoretis: (1) Hipotesis Desain (Design Hypothesis), (2) Hipotesis Multisemesta (Multiverse Hypothesis), (3) Prinsip Antropik (Anthropic Principle), dan (4) Hipotesis Niscaya (Necessity Hypothesis).¹ Keempatnya tidak hanya bersaing dalam hal daya jelaskan (explanatory power), tetapi juga dalam aspek kesederhanaan (parsimony), koherensi internal, serta komitmen metafisiknya.

6.1.       Hipotesis Desain (Design Hypothesis)

Hipotesis desain berargumen bahwa keteraturan dan presisi hukum-hukum alam tidak dapat dijelaskan memadai melalui kebetulan atau keharusan fisik semata, melainkan menunjuk pada eksistensi suatu penyebab rasional atau entitas cerdas yang “menyetel” alam semesta untuk memungkinkan kehidupan.² Dalam formulasi klasiknya, gagasan ini merupakan lanjutan dari tradisi natural theology—seperti yang ditemukan pada Aquinas dan Paley—namun dalam versi modernnya, ia menggunakan bahasa probabilistik dan kosmologis.³

Robin Collins mengembangkan formulasi bayesian dari hipotesis ini, dengan menyatakan bahwa probabilitas fine-tuning lebih tinggi jika asumsi desain benar dibandingkan jika alam semesta terjadi tanpa desain.⁴ Sementara Richard Swinburne menambahkan bahwa “Tuhan” sebagai penjelasan memiliki keunggulan dalam hal kesederhanaan metafisik, karena hanya mengandaikan satu prinsip rasional tunggal yang menjelaskan keberaturan kosmos secara menyeluruh.⁵

Namun, kritik terhadap hipotesis desain datang dari dua arah. Pertama, dari sisi epistemik, argumen ini dinilai bersandar pada “lacuna pengetahuan”—yakni menempatkan “Tuhan” untuk mengisi celah yang belum dijelaskan oleh sains (God of the Gaps).⁶ Kedua, dari sisi metodologis, hipotesis desain tidak menawarkan mekanisme empiris yang dapat diuji, sehingga tidak memenuhi kriteria falsifiabilitas ilmiah.⁷ Walau demikian, bagi sebagian filsuf teistik, fine-tuning argument bukanlah bukti ilmiah bagi keberadaan Tuhan, melainkan petunjuk rasional bahwa kosmos memiliki makna teleologis yang tidak dapat direduksi pada kebetulan statistik.⁸

6.2.       Hipotesis Multisemesta (Multiverse Hypothesis)

Sebagai alternatif naturalistik terhadap desain, hipotesis multisemesta menyatakan bahwa terdapat banyak alam semesta dengan parameter fisika yang berbeda, dan kita secara alami hidup di salah satu yang kebetulan cocok untuk kehidupan.⁹ Dalam kerangka ini, fine-tuning tidak membutuhkan penjelasan kausal atau teleologis, melainkan merupakan konsekuensi dari prinsip probabilitas dalam sistem dengan jumlah percobaan kosmik yang sangat besar.¹⁰

Leonard Susskind mengaitkan ide ini dengan teori string landscape, yang memprediksi keberadaan sekitar 10⁵⁰⁰ kemungkinan konfigurasi ruang-waktu, masing-masing dengan hukum fisikanya sendiri.¹¹ Dalam konteks ini, keberadaan kehidupan tidak mengejutkan, karena dalam multisemesta yang luas, beberapa alam semesta pasti memiliki parameter yang sesuai secara kebetulan.¹²

Meski menarik secara konseptual, hipotesis multisemesta menghadapi masalah serius dalam ranah epistemologi ilmiah. Pertama, tidak ada bukti empiris langsung mengenai keberadaan semesta lain; semua inferensi bersifat teoritis dan tidak teramati.¹³ Kedua, karena tidak dapat diuji secara langsung, hipotesis ini berisiko jatuh pada status metafisika ilmiah spekulatif (scientific metaphysics) alih-alih sains empiris.¹⁴ Paul Davies menilai bahwa jika setiap kondisi dapat dijelaskan dengan “multiverse”, maka konsep penjelasan ilmiah itu sendiri kehilangan maknanya.¹⁵

6.3.       Prinsip Antropik (Anthropic Principle)

Prinsip antropik merupakan pendekatan epistemik yang menolak anggapan bahwa fine-tuning memerlukan penjelasan kausal tambahan.¹⁶ Menurut versi lemahnya (Weak Anthropic Principle), kita hanya dapat mengamati alam semesta dengan kondisi yang memungkinkan keberadaan pengamat—karena jika tidak demikian, tidak akan ada siapa pun untuk mengamati.¹⁷ Prinsip ini tidak menjelaskan mengapa konstanta fisika seperti itu, melainkan mengapa kita mengamati konstanta yang sesuai dengan kehidupan.

Versi kuatnya (Strong Anthropic Principle) lebih kontroversial karena menyiratkan bahwa alam semesta harus memiliki sifat-sifat yang memungkinkan keberadaan kehidupan cerdas.¹⁸ Brandon Carter, yang pertama kali memperkenalkan istilah ini pada tahun 1973, menganggapnya sebagai konsekuensi logis dari fakta observasional, bukan argumen teologis.¹⁹ Namun, Barrow dan Tipler mengembangkan versi metafisik dari prinsip ini, dengan menyatakan bahwa keberadaan pengamat adalah elemen fundamental dalam struktur kosmos itu sendiri.²⁰

Kritik utama terhadap prinsip antropik adalah bahwa ia bersifat tautologis—ia menjelaskan fakta dengan menyatakan kembali fakta itu dalam bentuk lain.²¹ Meski demikian, beberapa fisikawan menganggapnya berguna sebagai batas epistemik dalam teori kosmologi: ia mencegah peneliti menyimpulkan “ketidakwajaran” alam semesta hanya karena keterbatasan perspektif manusia.²²

6.4.       Hipotesis Niscaya (Necessity Hypothesis)

Hipotesis niscaya mengemukakan bahwa hukum-hukum alam dan konstanta fisika tidak mungkin berbeda dari yang ada karena didasarkan pada struktur logis atau matematis realitas itu sendiri.²³ Dalam pandangan ini, fine-tuning tidak menunjukkan desain atau kebetulan, melainkan keniscayaan metafisik: alam semesta hanya dapat eksis dalam bentuk yang konsisten dengan hukum-hukum tersebut.²⁴

Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pendekatan matematikalis seperti yang dikemukakan oleh Max Tegmark melalui Mathematical Universe Hypothesis (MUH), yang menyatakan bahwa realitas fisik adalah struktur matematika murni dan tidak mungkin berbeda dari apa adanya.²⁵ Dalam kerangka ini, “penyetelan halus” bukanlah hasil pilihan atau kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari konsistensi internal sistem matematis yang mendasari realitas.²⁶

Namun, para kritikus seperti Tim Maudlin menilai bahwa hipotesis niscaya gagal menjelaskan mengapa struktur matematika tertentu direalisasikan, bukan yang lain.²⁷ Ia menjelaskan bentuk hukum, tetapi tidak menjelaskan eksistensi aktualnya.²⁸ Dengan demikian, hipotesis ini menghindari masalah fine-tuning dengan mereduksinya menjadi logika, namun dengan mengorbankan daya eksplanatif tentang kontingensi realitas.²⁹


Komparasi Filosofis: Koherensi, Kesederhanaan, dan Daya Eksplanatif

Untuk menilai kekuatan keempat hipotesis tersebut, para filsuf sains biasanya menggunakan tiga kriteria utama: (1) koherensi internal, (2) kesederhanaan ontologis, dan (3) daya jelaskan fenomena.³⁰ Hipotesis desain unggul dalam kesederhanaan metafisik (karena mengandaikan satu prinsip rasional tunggal), tetapi lemah secara empiris. Hipotesis multisemesta kuat secara probabilistik, namun berisiko kehilangan verifiabilitas. Prinsip antropik bersifat metodologis dan aman secara epistemik, tetapi tidak eksplanatif. Sementara hipotesis niscaya unggul dalam koherensi logis, namun miskin dalam menjawab aspek kontingensi eksistensial.³¹

Dengan demikian, tidak satu pun dari keempat pendekatan tersebut dapat dikatakan memadai secara mutlak. Masing-masing menawarkan perspektif parsial terhadap misteri keteraturan kosmos. Seperti diingatkan oleh John Leslie, perdebatan ini mengungkap bukan hanya “bagaimana” alam semesta mungkin ada, tetapi juga “mengapa rasionalitas dapat memahami keberadaannya.”³²


Footnotes

[1]                John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 42–44.

[2]                Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Blackwell, 2009), 204–206.

[3]                William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 1–3; Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[4]                Collins, “The Teleological Argument,” 208–209.

[5]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 192–194.

[6]                Sean Carroll, “Why (Almost All) Cosmologists Are Atheists,” Faith and Philosophy 22, no. 5 (2005): 622–623.

[7]                Elliott Sober, Evidence and Evolution: The Logic Behind the Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 118–120.

[8]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 217–219.

[9]                Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 119–120.

[10]             Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 84–86.

[11]             Leonard Susskind, The Cosmic Landscape: String Theory and the Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 104–107.

[12]             Ibid., 140–142.

[13]             George Ellis, “Issues in the Philosophy of Cosmology,” in Handbook in Philosophy of Physics, ed. Jeremy Butterfield and John Earman (Amsterdam: Elsevier, 2007), 1223–1226.

[14]             Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 98–99.

[15]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (London: Penguin, 1992), 117–118.

[16]             Brandon Carter, “Large Number Coincidences and the Anthropic Principle in Cosmology,” in Confrontation of Cosmological Theories with Observational Data, ed. M. S. Longair (Dordrecht: Reidel, 1974), 293–296.

[17]             John D. Barrow and Frank J. Tipler, The Anthropic Cosmological Principle (Oxford: Clarendon Press, 1986), 2–4.

[18]             Ibid., 6–7.

[19]             Carter, “Large Number Coincidences,” 298.

[20]             Barrow and Tipler, The Anthropic Cosmological Principle, 16–18.

[21]             Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 181–182.

[22]             Martin Rees, Just Six Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe (New York: Basic Books, 2000), 11–13.

[23]             Max Tegmark, Our Mathematical Universe, 268–270.

[24]             Roger Penrose, The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe (London: Jonathan Cape, 2004), 762–763.

[25]             Tegmark, Our Mathematical Universe, 284–286.

[26]             Ibid., 287–288.

[27]             Maudlin, The Metaphysics Within Physics, 103–105.

[28]             Ibid., 108.

[29]             Bas C. van Fraassen, Laws and Symmetry (Oxford: Clarendon Press, 1989), 224–226.

[30]             Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 56–58.

[31]             Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University Press, 2005), 290–292.

[32]             Leslie, Universes, 51–52.


7.           Kritik dan Perdebatan Kontemporer

Argumen fine-tuning telah menjadi salah satu titik temu paling dinamis antara filsafat, kosmologi, dan teologi dalam pemikiran kontemporer. Namun, sekaligus, ia juga menjadi salah satu argumen yang paling banyak menimbulkan perdebatan dan kritik. Para filsuf dan ilmuwan berbeda pandangan mengenai sejauh mana argumen ini valid secara logis, relevan secara ilmiah, dan sahih secara metafisik. Kritik terhadap fine-tuning dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori besar: (1) kritik naturalistik dan ateistik, (2) kritik internal dari kalangan teistik, dan (3) keberatan epistemologis serta metodologis terhadap struktur inferensialnya

7.1.       Kritik Naturalistik dan Ateistik

Dari perspektif naturalistik, banyak ilmuwan dan filsuf menolak anggapan bahwa penyetelan halus alam semesta mengarah pada kesimpulan teologis. Richard Dawkins, misalnya, menilai bahwa fine-tuning argument hanyalah bentuk baru dari argument from design yang telah dikritik sejak Darwin.² Menurutnya, fakta bahwa kehidupan hanya mungkin muncul dalam kondisi tertentu tidak menuntut adanya desainer, melainkan mencerminkan bias observasional: kita hanya dapat hidup di alam semesta yang cocok bagi kehidupan, sehingga tidak mengherankan jika alam ini tampak “disetel.”³

Sean Carroll juga mengajukan keberatan bahwa argumen fine-tuning mengasumsikan probabilitas yang tidak dapat ditentukan secara empiris.⁴ Tidak ada alasan, katanya, untuk menganggap bahwa konstanta fisika dapat “bervariasi” dengan cara apa pun—sehingga pembicaraan tentang “ketidakteraturan” atau “kemungkinan lain” menjadi tidak bermakna secara ilmiah.⁵ Ia menambahkan bahwa, bahkan jika nilai konstanta berbeda, itu tidak berarti bahwa kehidupan dalam bentuk lain mustahil; konsepsi kita tentang “kehidupan” mungkin terlalu terbatas secara biologis.⁶

Selain itu, beberapa fisikawan seperti Victor Stenger berargumen bahwa banyak klaim fine-tuning dilebih-lebihkan karena kesalahan dalam memperlakukan parameter fisika sebagai independen.⁷ Dalam kenyataannya, banyak konstanta saling terkait melalui hukum-hukum yang mendasarinya, sehingga perubahan dalam satu parameter dapat dikompensasi oleh yang lain tanpa meniadakan kemungkinan kehidupan.⁸ Kritik semacam ini berupaya menunjukkan bahwa fine-tuning bukan bukti metafisik, melainkan kesimpulan yang lahir dari keterbatasan model-model fisika kita saat ini.

7.2.       Kritik Teistik Internal: “God of the Gaps” dan Teologi Rasional

Menariknya, sejumlah teolog dan filsuf beriman juga mengajukan kritik terhadap cara penggunaan fine-tuning sebagai argumen teistik. Richard Swinburne dan Alvin Plantinga, misalnya, mengingatkan bahwa menjadikan fine-tuning sebagai “bukti ilmiah” atas keberadaan Tuhan berisiko mengurung teologi dalam ruang ketidaktahuan (theology of ignorance).⁹ Ketika sains menemukan penjelasan baru atas parameter kosmik, argumen tersebut akan kehilangan fondasinya, sebagaimana nasib argumen teleologis biologis pasca-Darwin.¹⁰

Plantinga menekankan bahwa fine-tuning lebih baik dipahami bukan sebagai bukti empiris, melainkan sebagai konfirmasi konsistensi antara rasionalitas kosmos dan keberadaan Tuhan.¹¹ Dengan demikian, ia bersifat theologically modest—yakni menegaskan koherensi iman dan rasio, bukan pembuktian empiris terhadap eksistensi ilahi.¹² Sementara itu, John Polkinghorne mengusulkan pendekatan “teologi kritis alam” (critical natural theology) yang menolak baik naturalisme reduksionis maupun teisme literalistik, dengan menafsirkan fine-tuning sebagai simbol keteraturan yang berakar pada rasionalitas ilahi.¹³

7.3.       Keberatan Epistemologis dan Logika Inferensial

Kritik paling mendasar terhadap fine-tuning argument berasal dari analisis epistemologi sains dan logika probabilitas. Elliott Sober menilai bahwa argumen ini gagal memenuhi kriteria inferensi ilmiah karena tidak ada dasar objektif untuk mendefinisikan ruang kemungkinan (sample space) bagi konstanta fisika.¹⁴ Jika kita tidak tahu apakah nilai-nilai tersebut dapat bervariasi, maka membicarakan “kemungkinannya” menjadi tak berarti.¹⁵

Bas van Fraassen, dari perspektif empirisis konstruktif, menolak klaim bahwa fine-tuning menuntut penjelasan metafisik.¹⁶ Ia menegaskan bahwa teori ilmiah bertujuan menjelaskan fenomena yang dapat diamati, bukan menjawab pertanyaan metafisis tentang mengapa hukum-hukum itu ada.¹⁷ Dalam kerangka ini, fine-tuning bukanlah masalah “mengapa alam semesta seperti ini,” melainkan “bagaimana kita menggambarkan alam semesta yang kita alami.”

Lebih lanjut, David Hume telah jauh sebelumnya menunjukkan kelemahan inferensi dari keteraturan menuju desain dalam Dialogues Concerning Natural Religion: keteraturan tidak serta merta menunjukkan adanya penyebab rasional, karena kebiasaan kita melihat keteraturan tidak menjamin analogi kausal yang sah.¹⁸ Kritik Humean ini tetap relevan dalam konteks modern karena menyoroti bahwa inferensi fine-tuning bergantung pada prinsip analogi yang tidak dapat diverifikasi.¹⁹

7.4.       Respons terhadap Kritik dan Debat Filosofis Terkini

Meskipun banyak keberatan diajukan, para pendukung fine-tuning argument berupaya menegaskan kembali validitas rasionalnya. Robin Collins berargumen bahwa kritik naturalistik gagal membedakan antara explanatory relevance dan empirical testability: meskipun hipotesis desain tidak dapat diuji secara langsung, ia tetap memiliki kekuatan eksplanatif terhadap fakta keteraturan kosmos.²⁰ Sementara itu, John Leslie mempertahankan bahwa penjelasan teistik tidak perlu bersaing dengan sains, karena keduanya beroperasi pada tingkat eksplanasi yang berbeda—sains menjelaskan hukum, sedangkan teisme menjelaskan keberadaan hukum itu sendiri.²¹

Perdebatan ini mencerminkan ketegangan epistemik antara dua paradigma pengetahuan: sains empiris yang menuntut verifikasi dan filsafat metafisika yang mencari makna rasional di balik struktur realitas.²² Dalam konteks ini, fine-tuning berfungsi sebagai titik refleksi tentang batas penjelasan ilmiah, bukan sebagai bukti mutlak bagi posisi teistik maupun ateistik.²³


Evaluasi Kritis: Status Rasional dan Batas Epistemik

Dari sudut pandang metodologis, fine-tuning argument memperlihatkan bahwa batas antara sains dan filsafat tidaklah tegas, melainkan bersifat permeabel.²⁴ Ia menunjukkan bahwa sains modern, meskipun berbasis observasi dan eksperimentasi, tetap mengandaikan struktur rasional yang tidak dapat dibuktikan secara empiris.²⁵ Oleh karena itu, fine-tuning dapat dipahami sebagai argumen transdisipliner yang menguji sejauh mana penjelasan ilmiah dapat menjawab pertanyaan metafisis.

Sebagaimana dinyatakan oleh Paul Davies, “Semesta bukan hanya mungkin dipahami secara matematis; ia seolah-olah dirancang agar dapat dipahami.”²⁶ Pernyataan ini menggambarkan posisi tengah yang banyak diambil oleh filsuf kontemporer—yakni bahwa fine-tuning tidak harus diartikan sebagai bukti desain supranatural, tetapi sebagai indikasi bahwa realitas bersifat rasional dan terstruktur sedemikian rupa sehingga memungkinkan intelligibilitas ilmiah.²⁷

Dengan demikian, perdebatan tentang fine-tuning bukan semata soal membuktikan atau menolak Tuhan, tetapi juga soal mempertanyakan batas pengetahuan manusia tentang realitas itu sendiri.²⁸ Dalam ruang dialektika ini, filsafat dan sains menemukan kembali peran saling melengkapi: sains mengungkap keteraturan, sedangkan filsafat menanyakan maknanya.²⁹


Footnotes

[1]                Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University Press, 2005), 288–290.

[2]                Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 157–160.

[3]                Ibid., 161–162.

[4]                Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 176–179.

[5]                Ibid., 180.

[6]                Ibid., 181.

[7]                Victor J. Stenger, The Fallacy of Fine-Tuning: Why the Universe Is Not Designed for Us (Amherst, NY: Prometheus Books, 2011), 44–46.

[8]                Ibid., 52–53.

[9]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 192–194.

[10]             Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 216–217.

[11]             Ibid., 219.

[12]             Ibid., 220.

[13]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 49–52.

[14]             Elliott Sober, Evidence and Evolution: The Logic Behind the Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 118–119.

[15]             Ibid., 121.

[16]             Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 184–185.

[17]             Ibid., 187.

[18]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 45–46.

[19]             Ibid., 51–52.

[20]             Robin Collins, “The Fine-Tuning Evidence Is Convincing,” in Debating Christian Theism, ed. J. P. Moreland, Chad Meister, and Khaldoun Sweis (Oxford: Oxford University Press, 2013), 60–62.

[21]             John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 49–51.

[22]             Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (London: Penguin, 1992), 112–114.

[23]             Martin Rees, Just Six Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe (New York: Basic Books, 2000), 145–147.

[24]             Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies, 221–223.

[25]             Tim Maudlin, The Metaphysics Within Physics (Oxford: Oxford University Press, 2007), 97–98.

[26]             Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 313.

[27]             Ibid., 314.

[28]             Sean Carroll, “Why Is There Something, Rather Than Nothing?,” The Edge Annual Question 2012, accessed March 1, 2025, https://www.edge.org/response-detail/11531.

[29]             Davies, The Mind of God, 116.


8.           Sintesis Filosofis

Setelah menelusuri dimensi ilmiah, logis, dan metafisik dari fine-tuning argument, kini tampak jelas bahwa persoalan ini melampaui batas disiplin tunggal. Ia tidak hanya menyentuh ranah kosmologi teoretis, tetapi juga menggugah refleksi filsafat tentang struktur rasionalitas realitas, batas pengetahuan manusia, dan relasi antara kebetulan serta makna. Oleh karena itu, bagian ini berupaya merumuskan suatu sintesis filosofis, yakni kerangka integratif yang menghimpun unsur-unsur ilmiah, epistemologis, dan teologis dari perdebatan fine-tuning dalam horizon rasionalitas terbuka dan non-dogmatis.¹

8.1.       Integrasi antara Sains Empiris dan Metafisika Rasional

Salah satu pelajaran utama dari perdebatan fine-tuning adalah bahwa sains dan filsafat tidak dapat dipisahkan secara mutlak.² Fisika modern beroperasi dengan asumsi bahwa alam semesta bersifat rasional dan dapat dijelaskan secara matematis, suatu keyakinan metafisik yang tidak dapat dibuktikan melalui eksperimen namun menjadi dasar seluruh kegiatan ilmiah.³ Dalam konteks ini, sebagaimana ditegaskan oleh Paul Davies, “rasionalitas kosmos merupakan prasyarat epistemik bagi sains itu sendiri.”⁴

Dengan demikian, fine-tuning dapat dipahami sebagai bukti epistemik atas koherensi antara dua bentuk rasionalitas: rasionalitas ilmiah (yang mencari hukum universal melalui observasi) dan rasionalitas metafisik (yang menafsirkan mengapa hukum itu ada).⁵ Integrasi ini tidak berarti mencampuradukkan domain sains dan teologi, melainkan mengakui bahwa keduanya berpartisipasi dalam satu horizon intelligibilitas yang sama.⁶ Dalam istilah Karl Popper, fine-tuning menegaskan bahwa “realitas itu rasional, bahkan jika rasionalitasnya melampaui batas teori ilmiah saat ini.”⁷

8.2.       Rasionalitas Terbuka dan Prinsip Keterpahaman Alam

Sintesis filosofis terhadap fine-tuning menuntut pengakuan atas apa yang dapat disebut rasionalitas terbuka (open rationality)—yakni rasionalitas yang bersandar pada prinsip keterpahaman alam, namun tidak membatasi diri pada kerangka empiris semata.⁸ Prinsip ini mengakui bahwa keberaturan alam semesta bukan hanya deskripsi fisikal, melainkan tanda adanya logos yang menjadikan dunia dapat dipahami.⁹

Wolfhart Pannenberg menyebut hal ini sebagai ontological intelligibility—suatu kondisi eksistensial di mana struktur realitas terbuka terhadap rasio dan pengetahuan.¹⁰ Dalam kerangka ini, fine-tuning tidak perlu diartikan secara teistik sempit, tetapi dapat dipahami sebagai ekspresi rasionalitas yang memungkinkan sains dan filsafat saling menafsirkan.¹¹ Ia menyiratkan bahwa makna bukanlah tambahan eksternal terhadap fakta empiris, melainkan dimensi inheren dari keteraturan itu sendiri.¹²

Rasionalitas terbuka menolak baik reduksionisme ilmiah maupun dogmatisme religius. Ia menuntut sikap epistemik yang tentatif, dialogis, dan self-corrective—bahwa semua penjelasan, baik naturalistik maupun teistik, tetap bersifat revisibel sepanjang terbuka terhadap bukti dan refleksi rasional.¹³ Dalam pengertian ini, fine-tuning menjadi ruang pertemuan antara sains dan filsafat yang diikat oleh semangat pencarian, bukan oleh klaim kepastian absolut.

8.3.       Dimensi Ontoteologis: Tuhan, Rasio, dan Kosmos

Dalam horizon yang lebih dalam, fine-tuning menghidupkan kembali refleksi tentang apa yang disebut Martin Heidegger sebagai “pertanyaan ontoteologis”—yakni hubungan antara dasar keberadaan (Being) dan prinsip rasionalitas yang menata segala sesuatu.¹⁴ Jika kosmos bersifat rasional dan dapat dipahami, apakah rasionalitas itu bersumber dari prinsip yang transenden?

Teologi filosofis klasik menjawab afirmatif: rasionalitas kosmos mencerminkan ratio divina, yaitu rasio ilahi yang menjadi sebab pertama keteraturan.¹⁵ Namun dalam filsafat kontemporer, terutama pasca-Kantian, “Tuhan” tidak lagi dipahami sebagai entitas supranatural, melainkan sebagai simbol dari rasionalitas tertinggi atau prinsip makna yang menjiwai realitas.¹⁶ Dalam kerangka ini, fine-tuning bukan argumen deduktif tentang keberadaan Tuhan, melainkan indikasi bahwa realitas bersifat meaning-laden—memuat orientasi terhadap keteraturan, kesadaran, dan nilai.¹⁷

John Leslie menyebut pandangan ini sebagai axiarchism, yakni gagasan bahwa dunia eksis karena “baik” atau “layak untuk ada,” bukan sekadar karena kebetulan fisikal.¹⁸ Pandangan ini menyatukan kosmologi dengan etika metafisik: keberaturan alam dipahami sebagai ekspresi nilai rasional. Dalam arti ini, fine-tuning dapat dibaca sebagai simbol keberartian eksistensi—sebuah metafor kosmik tentang koherensi antara hukum, kehidupan, dan kesadaran.¹⁹

8.4.       Dialektika Antara Kontingensi dan Keteraturan

Salah satu ketegangan filosofis yang paling mendalam dalam fine-tuning adalah dialektika antara kontingensi (kebetulan) dan keteraturan (rasionalitas). Dari satu sisi, kosmologi modern menunjukkan betapa halusnya keseimbangan antara parameter-parameter alam; dari sisi lain, tidak ada keharusan logis mengapa parameter itu tidak bisa lain.²⁰ Dengan demikian, keberadaan dunia tampak sekaligus niscaya dan kontingen—sebuah paradoks metafisik yang membuka ruang refleksi tentang hakikat realitas itu sendiri.²¹

Hegel menyebut dialektika semacam ini sebagai “rasionalitas yang menampakkan diri dalam ketidaksengajaan” (die Vernunft in der Zufälligkeit).²² Artinya, bahkan dalam kebetulan terdapat struktur yang dapat dipahami.²³ Dalam konteks fine-tuning, paradoks ini menunjukkan bahwa keteraturan kosmos bukan antitesis dari kebetulan, tetapi modus rasionalitas yang menata kemungkinan.²⁴

Dengan demikian, fine-tuning dapat dibaca sebagai momen sintesis dalam sejarah rasionalitas manusia—momen ketika kebetulan fisikal dan rasionalitas metafisik berjumpa dalam kesadaran ilmiah kita.²⁵ Ia menyingkap bahwa alam semesta bukan hanya ada, tetapi “dapat dimengerti,” dan bahwa keterpahaman itu sendiri mungkin merupakan aspek terdalam dari eksistensi.²⁶


Rasionalitas Kosmik dan Kesadaran Manusia

Akhirnya, fine-tuning argument tidak hanya mengundang perenungan tentang struktur kosmos, tetapi juga tentang tempat manusia di dalamnya. Seperti dikemukakan John Polkinghorne, kemampuan manusia memahami alam semesta menunjukkan adanya “kesesuaian mendalam antara struktur rasio manusia dan struktur rasionalitas dunia.”²⁷ Rasio manusia, dalam hal ini, bukan kebetulan biologis, tetapi partisipasi dalam rasionalitas kosmik yang lebih besar.²⁸

Pandangan ini beresonansi dengan idealisme objektif Hegel dan Whitehead, yang menilai bahwa kesadaran bukan anomali, melainkan ekspresi tertinggi dari proses kosmik menuju refleksivitas diri.²⁹ Dengan demikian, fine-tuning dapat dipahami sebagai simbol epistemologis dari “alam yang sadar akan dirinya melalui manusia.”³⁰

Sintesis filosofis ini tidak berujung pada kesimpulan teologis tertentu, tetapi pada pengakuan bahwa rasionalitas manusia dan keteraturan kosmos memiliki koherensi ontologis yang sama.³¹ Dalam konteks ini, fine-tuning bukanlah argumen apologetik, melainkan jendela reflektif yang menunjukkan bahwa antara hukum alam dan kesadaran manusia terdapat kesesuaian makna yang mendalam—sebuah tanda bahwa dunia ini, dalam bahasa Einstein, “dapat dimengerti, dan itulah keajaiban yang sejati.”³²


Footnotes

[1]                Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University Press, 2005), 292–293.

[2]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 184–185.

[3]                Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 23–25.

[4]                Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (London: Penguin, 1992), 110–113.

[5]                Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 195–197.

[6]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 220–223.

[7]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 275–277.

[8]                John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 53–55.

[9]                Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 237–240.

[10]             Wolfhart Pannenberg, Metaphysics and the Idea of God (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1990), 67–69.

[11]             Ibid., 72–73.

[12]             Arthur Peacocke, Theology for a Scientific Age: Being and Becoming—Natural, Divine, and Human (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 41–43.

[13]             Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 104–107.

[14]             Martin Heidegger, Identity and Difference, trans. Joan Stambaugh (New York: Harper & Row, 1969), 52–54.

[15]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[16]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A632–A636/B660–B664.

[17]             John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 78–80.

[18]             Ibid., 82.

[19]             Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 312–313.

[20]             Martin Rees, Just Six Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe (New York: Basic Books, 2000), 11–13.

[21]             Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 284–286.

[22]             G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (London: Allen & Unwin, 1969), 157–159.

[23]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 7 (New York: Doubleday, 1963), 96–97.

[24]             Swinburne, The Existence of God, 189–190.

[25]             John Leslie, Universes, 90–92.

[26]             Paul Davies, The Mind of God, 114–116.

[27]             Polkinghorne, Science and Providence, 61–63.

[28]             Ibid., 64.

[29]             Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David R. Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 129–131.

[30]             Ibid., 134–135.

[31]             Plantinga, Where the Conflict Really Lies, 225–227.

[32]             Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349.


9.           Relevansi Kontemporer

Argumen fine-tuning memiliki signifikansi yang meluas di era kontemporer, tidak hanya dalam filsafat agama dan kosmologi teoretis, tetapi juga dalam refleksi epistemologis, etika teknologi, dan kesadaran ekologis global. Dalam konteks abad ke-21—ketika ilmu pengetahuan, teknologi, dan metafisika kembali berinteraksi secara intens—fine-tuning menjadi simbol dialog baru antara sains dan makna, antara rasionalitas empiris dan eksistensial.¹

9.1.       Dialog Sains dan Agama dalam Paradigma Baru

Di tengah meningkatnya polarisasi antara naturalisme ilmiah dan spiritualitas religius, fine-tuning argument menghadirkan peluang bagi rekonsiliasi intelektual yang konstruktif.² Ian Barbour menyebut pendekatan semacam ini sebagai paradigma “dialog dan integrasi,” yang menolak konflik metodologis antara sains dan agama.³ Fine-tuning menawarkan ruang bagi perjumpaan epistemik: di satu sisi, ia berakar pada penemuan empiris kosmologi modern; di sisi lain, ia membuka horizon makna yang lebih dalam tentang keteraturan dan tujuan.⁴

John Polkinghorne, seorang fisikawan dan teolog, melihat fine-tuning sebagai “isyarat rasional” dari keserasian antara hukum alam dan intensionalitas ilahi.⁵ Sementara itu, Stephen Jay Gould melalui konsep Non-Overlapping Magisteria (NOMA) menegaskan bahwa sains dan agama memiliki domain otonom yang berbeda, namun tetap dapat bersinggungan dalam wilayah pertanyaan batas—seperti “mengapa hukum-hukum itu ada?”⁶ Dalam konteks ini, fine-tuning berfungsi sebagai jembatan konseptual antara dua bentuk rasionalitas: penjelasan ilmiah dan pemaknaan metafisik.⁷

9.2.       Relevansi terhadap Etika Ilmiah dan Teknologi

Dalam ranah etika ilmiah, fine-tuning menghadirkan kesadaran baru tentang keterbatasan manusia sebagai “pengamat kosmik.”⁸ Kesadaran bahwa keberadaan kehidupan bergantung pada keseimbangan yang rapuh dari hukum alam mendorong refleksi moral tentang tanggung jawab manusia terhadap alam semesta.⁹ Pandangan ini berkaitan erat dengan etika ekologis kontemporer yang menekankan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya persoalan biologis, tetapi juga spiritual dan kosmologis.¹⁰

Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, menekankan bahwa kemajuan teknologi harus diiringi dengan kesadaran kosmik—bahwa tindakan manusia berpotensi mengganggu keseimbangan alam yang begitu halus.¹¹ Jika fine-tuning menunjukkan betapa presisinya kondisi yang memungkinkan kehidupan, maka tanggung jawab etis manusia adalah menjaga “penyetelan” itu dari kehancuran ekologis dan teknologi yang tidak terkendali.¹²

Dengan demikian, argumen fine-tuning berfungsi sebagai fondasi reflektif bagi eco-theology dan cosmic ethics, di mana manusia tidak hanya dipandang sebagai hasil dari alam semesta yang disetel dengan halus, tetapi juga sebagai penjaga kesetimbangan kosmos yang rasional dan rapuh.¹³

9.3.       Kesadaran Kosmik dan Dimensi Antropologis

Selain implikasi epistemik dan etis, fine-tuning juga memunculkan refleksi antropologis yang mendalam. Mengapa manusia mampu memahami alam semesta yang begitu kompleks? Pertanyaan ini, sebagaimana disinggung oleh Albert Einstein, merupakan “keajaiban tertinggi” dari intelek manusia: bahwa dunia ini dapat dimengerti.¹⁴

John Leslie dan Paul Davies mengaitkan hal ini dengan gagasan cosmic self-awareness, yakni bahwa melalui kesadaran manusia, alam semesta menjadi sadar akan dirinya sendiri.¹⁵ Dalam kerangka ini, fine-tuning tidak hanya menunjuk pada keteraturan eksternal, tetapi juga pada korespondensi internal antara rasionalitas manusia dan rasionalitas kosmos.¹⁶ Manusia, dengan demikian, bukan sekadar pengamat pasif, melainkan ekspresi dari prinsip intelligibilitas yang menjiwai seluruh realitas.¹⁷

Interpretasi semacam ini memiliki implikasi filosofis eksistensial: bahwa kehidupan manusia bukan kebetulan tanpa makna, melainkan bagian integral dari struktur rasional alam semesta.¹⁸ Hal ini memperluas horizon makna keberadaan manusia di era teknologi—di mana kesadaran kosmik dapat menyeimbangkan kecenderungan reduksionistik dari pandangan mekanistik tentang dunia.¹⁹

9.4.       Implikasi bagi Filsafat Ilmu dan Rasionalitas Global

Dalam konteks filsafat ilmu, fine-tuning menantang positivisme klasik yang menganggap sains bebas nilai.²⁰ Ia mengingatkan bahwa sains beroperasi di atas asumsi metafisik tentang keteraturan dan rasionalitas realitas.²¹ Oleh karena itu, diskursus fine-tuning berkontribusi terhadap apa yang disebut Thomas Kuhn sebagai “revolusi konseptual” dalam paradigma ilmiah: dari sains deskriptif menuju sains reflektif yang sadar akan dasar ontologisnya.²²

Lebih jauh, di era globalisasi pengetahuan, fine-tuning memiliki nilai universal. Ia mengundang dialog lintas budaya antara filsafat Barat, teologi Timur, dan kosmologi Islam yang juga mengenal gagasan keteraturan ilahi (tanzīm al-wujūd).²³ Dalam tradisi Islam, misalnya, konsep mīzān (keseimbangan kosmik) dalam Al-Qur’an (QS 55:7–9) mengandung makna yang sejalan dengan kesadaran akan “penyetelan halus” realitas.²⁴ Dengan demikian, fine-tuning berpotensi menjadi medan dialog filsafat global yang menyatukan pandangan sains modern dan spiritualitas klasik dalam kerangka rasionalitas universal.²⁵


Paradigma Humanistik dan Harapan Filosofis

Akhirnya, relevansi kontemporer fine-tuning tidak dapat dilepaskan dari krisis makna dalam peradaban modern.²⁶ Dalam dunia yang sering dipandang sebagai hasil kebetulan buta dan mekanisme impersonal, fine-tuning mengingatkan manusia bahwa keteraturan dan makna masih mungkin ditemukan dalam struktur realitas itu sendiri.²⁷ Sebagaimana dikemukakan oleh Carl Sagan, “Kita adalah cara alam semesta mengenal dirinya.”²⁸

Sintesis humanistik semacam ini menunjukkan bahwa fine-tuning bukan sekadar teori fisika atau argumen teistik, melainkan refleksi filosofis tentang koherensi antara manusia, alam, dan rasio.²⁹ Dengan membuka ruang dialog antara empirisme dan spiritualitas, fine-tuning mengajak kita untuk memahami bahwa keteraturan kosmik tidak hanya berbicara tentang hukum, tetapi juga tentang harapan—bahwa rasionalitas masih dapat menjadi dasar bagi kesadaran, tanggung jawab, dan makna dalam dunia modern.³⁰


Footnotes

[1]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 103–106.

[2]                Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (London: Penguin, 1992), 111–113.

[3]                Barbour, Religion and Science, 108–110.

[4]                John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 57–59.

[5]                Ibid., 60.

[6]                Stephen Jay Gould, Rocks of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life (New York: Ballantine, 1999), 5–7.

[7]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 226–228.

[8]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–10.

[9]                Ibid., 11–12.

[10]             Holmes Rolston III, Science and Religion: A Critical Survey (Philadelphia: Temple University Press, 1987), 153–155.

[11]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 20–21.

[12]             Ibid., 22–23.

[13]             Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 97–99.

[14]             Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349.

[15]             John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 88–90; Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 310–312.

[16]             Davies, The Mind of God, 115–116.

[17]             Leslie, Universes, 92–93.

[18]             Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 25–27.

[19]             Alfred North Whitehead, Process and Reality, ed. David R. Griffin and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 135–137.

[20]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 278–280.

[21]             Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 188–190.

[22]             Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–113.

[23]             Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy and Science, 1991), 67–70.

[24]             Al-Qur’an 55:7–9.

[25]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 49–51.

[26]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 551–553.

[27]             Davies, The Goldilocks Enigma, 314–316.

[28]             Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 345.

[29]             John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 89–91.

[30]             Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary (Evanston, IL: Northwestern University Press, 1966), 312–314.


10.       Kesimpulan

Argumen fine-tuning merupakan salah satu titik temu paling signifikan antara ilmu pengetahuan modern dan filsafat metafisika. Ia tidak sekadar berbicara tentang kehalusan parameter kosmologis atau ketepatan hukum-hukum fisika, melainkan juga tentang keteraturan yang dapat dipahami dan rasionalitas yang menjiwai realitas. Dalam perjalanan artikulatifnya, fine-tuning argument memperlihatkan bagaimana sains dan filsafat saling menegaskan: sains mengungkap fakta keteraturan, sementara filsafat menafsirkan makna di balik keteraturan itu.¹

10.1.    Rekapitulasi Konseptual dan Epistemologis

Dari sisi ilmiah, fine-tuning menunjukkan bahwa nilai-nilai konstanta fisika (seperti gravitasi, konstanta kosmologis, dan konstanta struktur halus) berada dalam rentang yang sangat sempit untuk memungkinkan kehidupan.² Fakta ini menimbulkan persoalan epistemik yang tidak dapat dijawab oleh sains murni: mengapa hukum-hukum tersebut demikian adanya?³ Melalui pendekatan probabilistik dan Bayesian, para filsuf seperti Robin Collins dan Richard Swinburne berupaya memberikan struktur logis bagi inferensi rasional terhadap kemungkinan adanya prinsip rasional atau desain di balik kosmos.⁴

Namun, sebagaimana telah dibahas, penalaran semacam itu menghadapi batas epistemologis. Kita tidak memiliki dasar empiris untuk menentukan distribusi probabilitas bagi “kemungkinan alam semesta lain.”⁵ Dengan demikian, fine-tuning argument tidak menghasilkan bukti deduktif, melainkan sebuah argumen abduktif—yakni inferensi terhadap penjelasan terbaik (inference to the best explanation).⁶ Dalam hal ini, kekuatannya bukan pada kepastian, tetapi pada koherensi rasional dan daya jelaskan yang tinggi.⁷

10.2.    Sintesis antara Rasionalitas Ilmiah dan Makna Metafisik

Secara filosofis, fine-tuning mengungkap keterkaitan antara dua bentuk rasionalitas: empiris dan transenden. Di satu sisi, ia menegaskan bahwa alam semesta bersifat dapat dipahami secara matematis—sebuah prasyarat yang memungkinkan ilmu pengetahuan eksis.⁸ Di sisi lain, ia menyingkap bahwa rasionalitas itu sendiri menuntut fondasi metafisik yang lebih dalam, sebagaimana dikemukakan Paul Davies: “rasionalitas alam semesta adalah misteri tertinggi dari sains.”⁹

Dalam konteks ini, fine-tuning berfungsi sebagai jembatan epistemik antara fisika dan metafisika, antara fakta dan makna.¹⁰ Ia menunjukkan bahwa sains dan teologi tidak harus dipertentangkan, tetapi dapat dipahami sebagai dua cara penalaran yang berupaya menyingkap rasionalitas realitas dari sisi yang berbeda.¹¹ Pendekatan ini melahirkan apa yang dapat disebut “metafisika rasional terbuka,” di mana pertanyaan ilmiah tentang asal-usul hukum alam sekaligus menjadi refleksi filosofis tentang struktur makna keberadaan.¹²

10.3.    Batas Pengetahuan dan Kesadaran akan Misteri

Setiap argumen filosofis yang melibatkan kosmologi pada akhirnya akan berhadapan dengan batas epistemik manusia. Fine-tuning menandai batas tersebut: titik di mana pengetahuan ilmiah mencapai puncaknya, namun pertanyaan tentang “mengapa sesuatu ada alih-alih tidak ada” tetap tak terjawab.¹³ Dalam pengertian ini, fine-tuning bukan akhir dari penjelasan, tetapi awal dari kontemplasi filosofis yang lebih dalam tentang realitas.¹⁴

Stephen Hawking menyebut bahwa menemukan hukum alam bukanlah menemukan sebab mengapa hukum-hukum itu ada; dan di situlah metafisika mengambil peran.¹⁵ Dengan demikian, fine-tuning mengingatkan kita bahwa rasionalitas manusia bukanlah alat untuk meniadakan misteri, melainkan sarana untuk menghayatinya secara lebih reflektif dan bertanggung jawab.¹⁶

10.4.    Implikasi Eksistensial dan Etis

Selain berdimensi epistemik, fine-tuning juga memunculkan kesadaran etis dan eksistensial yang mendalam. Menyadari bahwa kehidupan bergantung pada keseimbangan yang sangat halus, manusia dihadapkan pada tanggung jawab moral untuk menjaga keteraturan alam dan keberlanjutan eksistensi.¹⁷ Hans Jonas menegaskan bahwa tanggung jawab etis harus proporsional dengan kekuasaan teknologis manusia—dan fine-tuning memberi dasar ontologis bagi prinsip tanggung jawab itu.¹⁸

Lebih dari itu, argumen fine-tuning menumbuhkan rasa takjub filosofis terhadap dunia. Albert Einstein menyebut bahwa “pengalaman paling indah dan paling dalam yang dapat dimiliki manusia adalah pengalaman akan misteri yang dapat dimengerti.”¹⁹ Dalam arti ini, fine-tuning bukanlah sekadar teori kosmologi, tetapi ekspresi spiritual dari rasionalitas: bahwa keteraturan alam bukan hanya fakta ilmiah, melainkan tanda bahwa realitas memiliki struktur yang memungkinkan makna, kesadaran, dan keindahan.²⁰


Penutup: Rasionalitas sebagai Jembatan antara Fakta dan Makna

Pada akhirnya, fine-tuning argument tidak harus dipahami sebagai bukti teistik atau penyangkalan naturalistik, melainkan sebagai cermin reflektif dari kondisi epistemik manusia. Ia mengajarkan bahwa antara hukum alam dan kesadaran terdapat harmoni rasional yang tak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kebetulan.²¹

Dalam horizon filosofis ini, fine-tuning menjadi simbol rasionalitas terbuka: rasionalitas yang mengakui batasnya sendiri, tetapi tetap percaya pada keterpahaman dunia.²² Seperti dikatakan oleh John Polkinghorne, “Rasionalitas alam dan rasionalitas pikiran bukan kebetulan; keduanya berasal dari sumber yang sama.”²³ Maka, di tengah ketidakpastian kosmologis modern, fine-tuning argument mengingatkan bahwa pencarian makna bukanlah antitesis dari sains, tetapi kelanjutannya yang paling manusiawi.²⁴


Footnotes

[1]                Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University Press, 2005), 290–292.

[2]                Martin Rees, Just Six Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe (New York: Basic Books, 2000), 3–5.

[3]                Max Tegmark, Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 84–87.

[4]                Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Blackwell, 2009), 208–210.

[5]                Elliott Sober, Evidence and Evolution: The Logic Behind the Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 119–121.

[6]                Peter Lipton, Inference to the Best Explanation, 2nd ed. (London: Routledge, 2004), 59–61.

[7]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 219–221.

[8]                Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (London: Penguin, 1992), 112–114.

[9]                Ibid., 115.

[10]             Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 195–196.

[11]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 57–59.

[12]             Wolfhart Pannenberg, Metaphysics and the Idea of God (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1990), 70–72.

[13]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 244–246.

[14]             Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press, 1967), 351–353.

[15]             Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 191–193.

[16]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 279–280.

[17]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 12–14.

[18]             Ibid., 22–24.

[19]             Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349.

[20]             Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 312–314.

[21]             John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 92–94.

[22]             Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 25–27.

[23]             John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 91–93.

[24]             Paul Davies, The Mind of God, 117–118.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Trans. Fathers of the English Dominican Province). New York, NY: Benziger Brothers.

Armstrong, D. M. (1983). What is a Law of Nature? Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Barbour, I. G. (1997). Religion and Science: Historical and Contemporary Issues. San Francisco, CA: HarperCollins.

Barrow, J. D., & Tipler, F. J. (1986). The Anthropic Cosmological Principle. Oxford, UK: Clarendon Press.

Bakar, O. (1991). Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science. Kuala Lumpur, Malaysia: Secretariat for Islamic Philosophy and Science.

Carter, B. (1974). Large number coincidences and the anthropic principle in cosmology. In M. S. Longair (Ed.), Confrontation of Cosmological Theories with Observational Data (pp. 291–298). Dordrecht, Netherlands: Reidel.

Carroll, J. W. (1994). Laws of Nature. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Carroll, S. (2016). The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself. New York, NY: Dutton.

Cartwright, N. (1983). How the Laws of Physics Lie. Oxford, UK: Clarendon Press.

Collins, R. (2009). The teleological argument: An exploration of the fine-tuning of the universe. In W. L. Craig & J. P. Moreland (Eds.), The Blackwell Companion to Natural Theology (pp. 202–282). Oxford, UK: Blackwell.

Collins, R. (2013). The fine-tuning evidence is convincing. In J. P. Moreland, C. Meister, & K. Sweis (Eds.), Debating Christian Theism (pp. 51–65). Oxford, UK: Oxford University Press.

Copleston, F. (1963). A History of Philosophy (Vol. 7). New York, NY: Doubleday.

Darwin, C. (1859). On the Origin of Species. London, UK: John Murray.

Davies, P. (1992). The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World. London, UK: Penguin Books.

Davies, P. (2006). The Goldilocks Enigma: Why is the Universe Just Right for Life? London, UK: Penguin Books.

Dawkins, R. (2006). The God Delusion. London, UK: Bantam Press.

Draper, P. (2005). God, science, and naturalism. In W. J. Wainwright (Ed.), The Oxford Handbook of Philosophy of Religion (pp. 272–295). Oxford, UK: Oxford University Press.

Einstein, A. (1936). Physics and reality. Journal of the Franklin Institute, 221(3), 349–382.

Ellis, G. F. R. (2007). Issues in the philosophy of cosmology. In J. Butterfield & J. Earman (Eds.), Handbook in Philosophy of Physics (pp. 1223–1286). Amsterdam, Netherlands: Elsevier.

Fraassen, B. C. van. (1980). The Scientific Image. Oxford, UK: Clarendon Press.

Fraassen, B. C. van. (1989). Laws and Symmetry. Oxford, UK: Clarendon Press.

Fraassen, B. C. van. (2001). Science, materialism, and false consciousness. Philosophy of Science, 68(3), 413–417.

Gilson, É. (1956). The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas. New York, NY: Random House.

Gould, S. J. (1999). Rocks of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life. New York, NY: Ballantine Books.

Hacking, I. (1975). The Emergence of Probability. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Hawking, S. (1988). A Brief History of Time. New York, NY: Bantam Books.

Hegel, G. W. F. (1969). Science of Logic (Trans. A. V. Miller). London, UK: Allen & Unwin.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of Spirit (Trans. A. V. Miller). Oxford, UK: Oxford University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (Trans. J. Macquarrie & E. Robinson). New York, NY: Harper & Row.

Heidegger, M. (1969). Identity and Difference (Trans. J. Stambaugh). New York, NY: Harper & Row.

Hoyle, F. (1954). On nuclear reactions occurring in very hot stars: I. The synthesis of elements from carbon to nickel. Astrophysical Journal Supplement Series, 1, 121–146.

Hoyle, F. (1982). The universe: Past and present reflections. Annual Review of Astronomy and Astrophysics, 20, 1–35.

Hume, D. (1947). Dialogues Concerning Natural Religion (Ed. N. K. Smith). Indianapolis, IN: Bobbs-Merrill.

Jonas, H. (1984). The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Kant, I. (1929). Critique of Pure Reason (Trans. N. K. Smith). London, UK: Macmillan.

Kuhn, T. S. (1970). The Structure of Scientific Revolutions (2nd ed.). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Leslie, J. (1989). Universes. London, UK: Routledge.

Lewis, D. (1986). Philosophical Papers (Vol. 2). Oxford, UK: Oxford University Press.

Lipton, P. (2004). Inference to the Best Explanation (2nd ed.). London, UK: Routledge.

Maudlin, T. (2007). The Metaphysics Within Physics. Oxford, UK: Oxford University Press.

McFague, S. (1993). The Body of God: An Ecological Theology. Minneapolis, MN: Fortress Press.

Nagel, T. (2012). Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature is Almost Certainly False. Oxford, UK: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. New York, NY: Oxford University Press.

Paley, W. (1802). Natural Theology. London, UK: R. Faulder.

Pannenberg, W. (1990). Metaphysics and the Idea of God. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Peacocke, A. (1993). Theology for a Scientific Age: Being and Becoming—Natural, Divine, and Human. Minneapolis, MN: Fortress Press.

Penrose, R. (2004). The Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe. London, UK: Jonathan Cape.

Plantinga, A. (2011). Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism. Oxford, UK: Oxford University Press.

Planck Collaboration. (2020). Planck 2018 results. VI. Cosmological parameters. Astronomy & Astrophysics, 641, A6.

Polkinghorne, J. (1989). Science and Providence: God’s Interaction with the World. London, UK: SPCK.

Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an Age of Science. New Haven, CT: Yale University Press.

Popper, K. (1959). The Logic of Scientific Discovery. London, UK: Routledge.

Rees, M. (2000). Just Six Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe. New York, NY: Basic Books.

Rees, M. (2013). Perspectives in astrophysical cosmology. Philosophical Transactions of the Royal Society A, 371(1992), 20120241.

Ricoeur, P. (1966). Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary. Evanston, IL: Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1967). The Symbolism of Evil. Boston, MA: Beacon Press.

Rolston, H. III. (1987). Science and Religion: A Critical Survey. Philadelphia, PA: Temple University Press.

Ruse, M. (2003). Darwin and Design: Does Evolution Have a Purpose? Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sagan, C. (1980). Cosmos. New York, NY: Random House.

Sober, E. (2008). Evidence and Evolution: The Logic Behind the Science. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Stenger, V. J. (2011). The Fallacy of Fine-Tuning: Why the Universe Is Not Designed for Us. Amherst, NY: Prometheus Books.

Susskind, L. (2005). The Cosmic Landscape: String Theory and the Illusion of Intelligent Design. New York, NY: Little, Brown.

Swinburne, R. (2004). The Existence of God (2nd ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.

Taylor, C. (2007). A Secular Age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Tegmark, M. (2014). Our Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality. New York, NY: Knopf.

Tillich, P. (1951). Systematic Theology (Vol. 1). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Weinberg, S. (2008). Cosmology. Oxford, UK: Oxford University Press.

Whitehead, A. N. (1978). Process and Reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). New York, NY: Free Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar