Argumen Fine-Tuning
Antara Probabilitas Kosmologis dan Rasionalitas Teistik
Alihkan ke: Pikiran Manusia.
Abstrak
Argumen fine-tuning merupakan salah satu
wacana paling penting dalam pertemuan antara kosmologi modern, filsafat sains,
dan teologi filosofis. Artikel ini membahas secara sistematis dasar ilmiah,
struktur logis, dan implikasi metafisik dari fenomena penyetelan halus alam
semesta, yakni ketepatan luar biasa nilai-nilai konstanta fisika yang
memungkinkan keberadaan kehidupan. Melalui analisis historis dan genealogis,
kajian ini menelusuri evolusi argumen teleologis klasik menuju bentuk
probabilistik dalam fine-tuning argument modern, sebagaimana
dikembangkan oleh John Leslie, Robin Collins, dan Richard Swinburne.
Pembahasan ilmiah menyoroti sensitivitas konstanta
kosmologis, seperti gravitasi dan konstanta struktur halus, serta penggunaan
model Bayesian untuk mengevaluasi probabilitas desain dibandingkan kebetulan
murni. Secara filosofis, artikel ini menafsirkan fine-tuning melalui
perspektif ontologi hukum alam, metafisika probabilitas, dan konsep
rasionalitas kosmik, dengan mengintegrasikan pandangan para realis, antirealis,
dan teolog modern seperti Polkinghorne dan Pannenberg. Kajian ini juga
mengeksplorasi varian penjelasan alternatif, termasuk Design Hypothesis,
Multiverse Hypothesis, Anthropic Principle, dan Necessity
Hypothesis, serta meninjau kritik epistemologis dan naturalistik yang
diajukan oleh Dawkins, Carroll, dan Sober.
Melalui sintesis filosofis, artikel ini menegaskan
bahwa fine-tuning bukan sekadar argumen teistik atau naturalistik,
melainkan refleksi rasional tentang keterpahaman alam semesta dan batas
epistemik manusia dalam memahami realitas. Dalam konteks kontemporer, argumen
ini memiliki relevansi bagi dialog sains–agama, etika teknologi, dan kesadaran
ekologis, dengan menegaskan bahwa keteraturan kosmik menuntut tanggung jawab
moral serta membuka ruang bagi penemuan makna dalam tatanan rasional dunia.
Dengan demikian, fine-tuning berfungsi sebagai jembatan konseptual
antara fakta ilmiah dan makna metafisik, antara rasionalitas empiris dan
eksistensial, serta antara pengetahuan dan keheranan filosofis terhadap
realitas yang dapat dipahami.
Kata Kunci: fine-tuning,
kosmologi, teisme, multiverse, probabilitas, hukum alam, teleologi, metafisika,
rasionalitas kosmik, sains dan agama.
PEMBAHASAN
Filsafat Fine-Tuning Argument dalam Diskursus Sains dan
Teologi
1.
Pendahuluan
Pertanyaan mengenai
keteraturan dan keberadaan kehidupan di alam semesta merupakan salah satu isu
paling mendalam dalam filsafat dan kosmologi modern. Sejak awal abad ke-20,
kemajuan dalam fisika teoretis dan astronomi telah menyingkap fakta bahwa
parameter-parameter fundamental alam semesta tampak “disetel halus” (fine-tuned)
sedemikian rupa sehingga memungkinkan keberadaan kehidupan cerdas. Fenomena
ini, yang dikenal sebagai fine-tuning of the universe,
menimbulkan pertanyaan metafisik dan teologis yang mendalam: apakah penyetelan
halus ini merupakan hasil dari kebetulan murni, hukum alam yang niscaya, atau
indikasi adanya prinsip rasional di balik kosmos?¹
Dalam konteks
sejarah pemikiran, gagasan bahwa alam semesta menunjukkan tanda-tanda
keteraturan bukanlah hal baru. Tradisi teleologis Aristoteles memandang alam
sebagai sistem yang memiliki tujuan intrinsik (telos) dalam setiap entitasnya.²
Dalam teologi alamiah klasik, seperti yang dirumuskan William Paley dalam Natural
Theology (1802), keteraturan biologis dan kosmik digunakan sebagai
bukti adanya “Perancang Cerdas.”³ Namun, versi modern dari argumen
teleologis mengalami transformasi signifikan setelah munculnya teori
relativitas umum dan mekanika kuantum. Di era kontemporer, diskursus ini
bergeser dari analogi biologis ke argumentasi kosmologis yang bersifat
probabilistik—yakni argumen fine-tuning.
Fine-tuning
argument menyatakan bahwa nilai-nilai konstanta fisika dasar
(seperti konstanta gravitasi, konstanta Planck, atau konstanta kosmologis)
berada dalam rentang yang sangat sempit agar kehidupan dapat muncul.⁴ Perubahan
kecil pada salah satu dari konstanta tersebut akan membuat alam semesta tidak
dapat menopang struktur kompleks seperti bintang, planet, atau unsur kimia
dasar kehidupan.⁵ Implikasi filosofisnya luar biasa: jika penyetelan halus ini
tidak mungkin muncul secara kebetulan, maka mungkin ada penjelasan alternatif
yang melibatkan prinsip desain, multisemesta (multiverse), atau hukum alam yang
bersifat niscaya.⁶
Meskipun demikian,
argumen ini tetap kontroversial. Sebagian ilmuwan dan filsuf menganggapnya
sebagai bentuk modern dari God of the Gaps—upaya untuk
menutupi ketidaktahuan ilmiah dengan asumsi metafisik.⁷ Sementara itu, para
teolog dan filsuf teistik melihat fine-tuning sebagai indikasi
rasional dari keteraturan yang berlandaskan maksud dan tujuan.⁸ Perdebatan ini
menuntut pendekatan interdisipliner yang menggabungkan epistemologi ilmiah,
logika probabilitas, dan metafisika rasional.
Dengan demikian,
bagian pendahuluan ini menegaskan bahwa pembahasan tentang fine-tuning
argument tidak dapat dipisahkan dari dua ranah utama: (1) sains
empiris yang berusaha memahami struktur kosmos melalui hukum-hukum alam, dan
(2) refleksi filosofis yang berupaya menjelaskan “mengapa” hukum-hukum
itu sedemikian rupa. Artikel ini bertujuan menyusun analisis komprehensif yang
sistematis dan kritis terhadap argumen fine-tuning sebagai jembatan antara
kosmologi ilmiah dan teologi filosofis, dengan tetap mempertahankan kerangka
rasional, empiris, dan terbuka terhadap revisi argumentatif.
Footnotes
[1]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 3–5.
[2]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford:
Clarendon Press, 1930), II.1–9.
[3]
William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 1–3.
[4]
John D. Barrow and Frank J. Tipler, The
Anthropic Cosmological Principle
(Oxford: Clarendon Press, 1986), 21–24.
[5]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma:
Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 43–47.
[6]
Max Tegmark, Our Mathematical
Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 97–102.
[7]
Sean Carroll, “Why (Almost All) Cosmologists Are Atheists,” Faith and Philosophy
22, no. 5 (2005): 622–623.
[8]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 187–190.
2.
Landasan Historis dan Genealogis
Akar konseptual dari
fine-tuning
argument dapat ditelusuri dalam sejarah panjang pemikiran manusia
tentang keteraturan dan tujuan dalam alam semesta. Sejak zaman Yunani kuno,
filsafat alam telah berupaya menjelaskan keteraturan kosmos sebagai sesuatu
yang memiliki prinsip intrinsik, bukan hasil kebetulan semata. Aristoteles,
dalam karyanya Physics dan Metaphysics,
memperkenalkan konsep telos—tujuan alamiah yang mengatur
setiap bentuk dan perubahan dalam alam.¹ Bagi Aristoteles, alam bersifat
rasional dan terarah, bukan chaos tanpa makna. Pandangan ini menjadi fondasi
bagi tradisi teleologis yang mendominasi pemikiran filsafat dan teologi selama
berabad-abad.
Pada masa Skolastik,
Thomas Aquinas mengadaptasi konsep Aristotelian ini ke dalam kerangka teologi
Kristen. Dalam Summa Theologica, ia merumuskan Quinta
Via (Jalan Kelima) sebagai salah satu argumen rasional untuk
eksistensi Tuhan, yakni melalui keteraturan dan keterarahan fenomena alam.²
Bagi Aquinas, hukum alam yang konsisten menandakan adanya penyebab cerdas yang
menuntun segala sesuatu menuju tujuan tertentu (ordinatio ad finem).³ Argumen
teleologis semacam ini menjadi bagian penting dari apa yang kemudian dikenal
sebagai Natural
Theology di Eropa modern.
Perkembangan besar
terjadi pada awal abad ke-19 melalui karya William Paley, Natural
Theology (1802), yang mempopulerkan analogi arloji (watchmaker
analogy). Paley berargumen bahwa kompleksitas organisme biologis
menandakan adanya perancang sebagaimana arloji menandakan keberadaan pembuat
arloji.⁴ Meskipun argumen Paley berfokus pada biologi, bukan kosmologi, ia
menegaskan prinsip dasar bahwa keteraturan kompleks membutuhkan penjelasan
intelektual, bukan kebetulan buta.⁵ Namun, perkembangan biologi evolusioner
oleh Charles Darwin kemudian melemahkan dasar biologis argumen teleologis
tersebut, menggantikannya dengan penjelasan kausal yang berbasis seleksi alam.⁶
Transformasi modern
dari argumen teleologis menuju fine-tuning argument bermula pada
pertengahan abad ke-20 ketika kosmologi dan fisika teoretis mengungkap kepekaan
ekstrem parameter-parameter fundamental terhadap keberadaan kehidupan. Fred
Hoyle, salah satu perintis astrofisika nuklir, menunjukkan bahwa tingkat
resonansi nuklir dalam unsur karbon memiliki nilai yang sangat presisi untuk memungkinkan
pembentukan unsur-unsur kimia kehidupan.⁷ Hal ini, menurut Hoyle, tampak
seolah-olah “alam semesta tahu bahwa kita akan datang.”⁸ Pernyataan ini
menjadi salah satu embrio filosofis bagi gagasan fine-tuning.
Brandon Carter
kemudian memperkenalkan anthropic principle pada tahun
1973, yang menyatakan bahwa pengamatan terhadap alam semesta harus konsisten
dengan keberadaan pengamat di dalamnya.⁹ Prinsip ini melahirkan dua versi: Weak
Anthropic Principle (WAP) yang bersifat deskriptif, dan Strong
Anthropic Principle (SAP) yang mengandung implikasi metafisik.¹⁰
Carter, bersama John Barrow dan Frank Tipler, memperluas ide ini dalam karya
monumental The
Anthropic Cosmological Principle (1986), yang menegaskan bahwa
konstanta fisika tampak “disetel” untuk memungkinkan kehidupan cerdas.¹¹
Dalam dekade-dekade
berikutnya, argumen fine-tuning berkembang menjadi
pusat perdebatan dalam analytic philosophy of religion dan
philosophy
of physics. John Leslie, Robin Collins, serta Richard Swinburne
berupaya memformalkan argumen ini dalam kerangka probabilitas Bayesian,
menjadikan inferensi terhadap keberadaan “desainer kosmik” sebagai
hipotesis rasional yang memiliki kekuatan eksplanatif lebih besar dibandingkan
penjelasan kebetulan.¹² Dalam waktu yang sama, kritik dari kalangan
naturalistik seperti Elliott Sober dan Sean Carroll menantang keabsahan logika
probabilistik tersebut dengan menunjukkan problem epistemik dan metodologis
dalam penalaran inferensial yang didasarkan pada ruang kemungkinan yang tidak
teramati.¹³
Dengan demikian,
secara genealogis, fine-tuning argument merupakan
hasil evolusi panjang dari argumen teleologis klasik menuju bentuk modern yang
lebih matematis dan empiris. Ia tidak sekadar merupakan kebangkitan kembali natural
theology, melainkan bentuk baru dari dialog antara sains dan
filsafat tentang struktur rasional dari realitas kosmik. Argumen ini menandai
pergeseran paradigma dari penalaran analogis menuju probabilistik, dari
metafisika skolastik menuju kosmologi modern, serta dari teologi dogmatis
menuju epistemologi terbuka yang berupaya menafsirkan keteraturan alam semesta
secara rasional dan ilmiah.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924),
XII.7–9.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.2, a.3.
[3]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(New York: Random House, 1956), 113–116.
[4]
William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 1–5.
[5]
Michael Ruse, Darwin and Design: Does
Evolution Have a Purpose?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2003), 12–14.
[6]
Charles Darwin, On the Origin of
Species (London: John Murray, 1859),
480–482.
[7]
Fred Hoyle, “On Nuclear Reactions Occurring in Very Hot Stars. I. The
Synthesis of Elements from Carbon to Nickel,” Astrophysical Journal Supplement Series 1 (1954): 121–122.
[8]
Fred Hoyle, The Universe: Past and
Present Reflections, Annual Review of Astronomy and Astrophysics 20 (1982): 16.
[9]
Brandon Carter, “Large Number Coincidences and the Anthropic Principle
in Cosmology,” in Confrontation of
Cosmological Theories with Observational Data, ed. M. S. Longair (Dordrecht: Reidel, 1974),
291–298.
[10]
John D. Barrow and Frank J. Tipler, The
Anthropic Cosmological Principle
(Oxford: Clarendon Press, 1986), 16–18.
[11]
Ibid., 29–31.
[12]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 25–27; Robin Collins, “The
Teleological Argument: An Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford:
Blackwell, 2009), 202–204.
[13]
Elliott Sober, Evidence and Evolution:
The Logic Behind the Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 120–122; Sean Carroll, The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the
Universe Itself (New York: Dutton,
2016), 178–180.
3.
Dasar Ilmiah Fine-Tuning
Diskursus tentang fine-tuning
memperoleh landasan kuatnya dalam ranah fisika teoretis dan kosmologi modern,
terutama melalui pengamatan terhadap nilai-nilai konstanta fundamental alam
semesta yang tampak berada dalam rentang yang sangat sempit untuk memungkinkan
keberadaan kehidupan.¹ Istilah “penyetelan halus” (fine-tuning)
sendiri tidak mengandung konotasi teologis secara langsung, melainkan merujuk
pada sensitivitas luar biasa dari sistem kosmik terhadap variasi kecil dalam
parameter fisika dasar.² Fenomena ini telah menjadi pusat perhatian baik dalam
sains maupun filsafat, karena ia menimbulkan pertanyaan: mengapa
konstanta-konstanta alam memiliki nilai-nilai yang begitu “tepat” agar
alam semesta dapat berfungsi sebagaimana adanya?
3.1.
Konstanta Fundamental dan Kepekaan Kosmologis
Konstanta fisika
fundamental yang sering dikaitkan dengan fine-tuning mencakup konstanta
gravitasi (G),
konstanta struktur halus (α), konstanta Planck (ħ),
konstanta kosmologis (Λ), serta rasio massa antara proton
dan elektron.³ Variasi sekecil satu bagian dalam 10⁴⁰ terhadap beberapa di
antaranya akan menghasilkan alam semesta yang tidak dapat menopang atom,
bintang, atau galaksi.⁴ Sebagai contoh, jika konstanta gravitasi sedikit lebih
kuat, bintang-bintang akan terbakar terlalu cepat; jika lebih lemah, materi
tidak akan menggumpal membentuk struktur kosmik sama sekali.⁵
Barrow dan Tipler
memperkirakan bahwa konstanta kosmologis (Λ), yang menentukan percepatan
ekspansi alam semesta, harus memiliki nilai dalam rentang antara ±10⁻¹²⁰ dari
nilai teoretis maksimum agar memungkinkan pembentukan galaksi.⁶ Demikian pula,
rasio gaya elektromagnetik terhadap gravitasi harus disetel dengan ketepatan
luar biasa agar atom dapat terbentuk secara stabil.⁷ Data ini tidak semata
menunjukkan kebetulan statistik, tetapi menegaskan adanya korelasi matematis
yang sangat presisi antara hukum-hukum fisika dan syarat eksistensi kehidupan.
3.2.
Model Matematis dan Pendekatan Probabilistik
Para fisikawan dan
filsuf sains menggunakan model matematis berbasis probabilitas untuk menilai
sejauh mana “penyetelan halus” ini dapat dianggap signifikan.⁸ Robin
Collins, misalnya, menggunakan pendekatan Bayesian untuk menghitung rasio
probabilitas antara dua hipotesis utama: (1) alam semesta yang muncul secara
acak, dan (2) alam semesta yang didesain secara cerdas.⁹ Dalam formulasi ini, fine-tuning
menjadi bukti bayesian yang memperkuat hipotesis desain sejauh probabilitas
terjadinya kondisi kehidupan tanpa penyetelan dianggap sangat kecil.¹⁰
Namun, pendekatan
probabilistik ini menghadapi kesulitan epistemik yang serius. Pertama, tidak
ada distribusi probabilitas alami yang dapat diaplikasikan pada ruang
kemungkinan konstanta alam; artinya, kita tidak tahu apakah variasi konstanta
tersebut dapat benar-benar terjadi.¹¹ Kedua, argumen probabilistik sering kali
mengandaikan pengetahuan terhadap ensemble alam semesta lain
(sebagaimana dalam hipotesis multiverse), yang secara empiris
belum dapat diverifikasi.¹² Dengan demikian, meskipun formulasi matematis
memberikan kerangka kuantitatif yang menarik, status ontologis dari
probabilitas itu sendiri tetap problematik.¹³
3.3.
Eksperimen Observasional dan Batas Empirik
Dalam kosmologi
empiris, konsep fine-tuning terutama bersandar pada
data observasional seperti radiasi latar gelombang mikro kosmik (CMB),
kelimpahan unsur-unsur ringan (helium, deuterium, litium), dan parameter
inflasi kosmik.¹⁴ Pengamatan melalui satelit Planck dan WMAP
memperlihatkan kesesuaian luar biasa antara model inflasi kosmik dengan
nilai-nilai konstanta yang memungkinkan struktur kosmik terbentuk.¹⁵ Akan
tetapi, korelasi empiris ini tidak serta merta membuktikan adanya “penyetelan”
dalam arti teleologis. Sebagaimana dikemukakan oleh Sean Carroll, fakta bahwa
parameter kosmik memungkinkan kehidupan tidak berarti bahwa kehidupan menjadi
tujuan dari hukum-hukum alam; ia hanya menunjukkan bahwa kondisi kebetulan
tertentu konsisten dengan keberadaan kita sebagai pengamat.¹⁶
Di sisi lain,
beberapa fisikawan seperti Paul Davies menekankan bahwa keteraturan semacam ini
terlalu spesifik untuk diabaikan begitu saja.¹⁷ Ia menulis bahwa “semesta
tampak tidak hanya dapat dipahami secara matematis, tetapi juga tampak
disesuaikan untuk memungkinkan kesadaran memahami dirinya sendiri.”¹⁸
Pandangan ini menunjukkan bahwa fine-tuning mengandung dimensi
reflektif: ia tidak hanya menyangkut parameter empiris, tetapi juga
mengisyaratkan struktur rasional alam yang menjadi dasar bagi intelligibilitas
ilmiah itu sendiri.
Kritik terhadap Interpretasi Ilmiah Fine-Tuning
Walaupun fine-tuning
sering diperlakukan sebagai “bukti” bagi hipotesis desain, banyak
ilmuwan yang menegaskan bahwa istilah tersebut hanyalah deskripsi epistemik
terhadap ketergantungan kondisi kosmik, bukan indikasi ontologis dari tujuan.¹⁹
Roger Penrose, misalnya, mengakui bahwa probabilitas terjadinya alam semesta
seperti sekarang “luar biasa kecil” (sekitar 1 banding 10¹⁰¹²³), namun
ia menolak interpretasi teistik karena menilai bahwa hal tersebut tidak
menambah kekuatan eksplanatif ilmiah.²⁰ Demikian pula, Lee Smolin dan Leonard
Susskind berargumen bahwa fine-tuning dapat dijelaskan
melalui teori multiverse atau cosmic
natural selection tanpa memerlukan agen supranatural.²¹
Dengan demikian,
dasar ilmiah fine-tuning menunjukkan ketegangan
epistemik antara deskripsi empiris dan interpretasi metafisik. Ia beroperasi
pada batas di mana sains berhadapan dengan pertanyaan “mengapa” yang
melampaui metodologi eksperimental. Fenomena ini menyingkap bukan hanya
keajaiban statistik dari kosmos, tetapi juga batas rasionalitas manusia dalam
memahami mengapa hukum-hukum alam bersifat sedemikian rupa—sebuah wilayah di
mana filsafat, kosmologi, dan teologi berpotongan secara mendalam.
Footnotes
[1]
John D. Barrow and Frank J. Tipler, The
Anthropic Cosmological Principle
(Oxford: Clarendon Press, 1986), 2–3.
[2]
Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the
Fine-Tuning of the Universe,” in The
Blackwell Companion to Natural Theology,
ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Blackwell, 2009), 202–203.
[3]
Max Tegmark, Our Mathematical
Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 87–90.
[4]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma:
Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 44.
[5]
Martin Rees, Just Six Numbers: The
Deep Forces That Shape the Universe
(New York: Basic Books, 2000), 3–7.
[6]
Barrow and Tipler, The Anthropic
Cosmological Principle, 288–291.
[7]
Ibid., 293–294.
[8]
Robin Collins, “The Fine-Tuning Evidence Is Convincing,” in Debating Christian Theism, ed. J. P. Moreland, Chad Meister, and Khaldoun Sweis (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 51–53.
[9]
Ibid., 54–55.
[10]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 189–192.
[11]
Elliott Sober, Evidence and Evolution:
The Logic Behind the Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 115–117.
[12]
Sean Carroll, The Big Picture: On the
Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 179–180.
[13]
Tim Maudlin, The Metaphysics Within
Physics (Oxford: Oxford University
Press, 2007), 98–100.
[14]
Steven Weinberg, Cosmology (Oxford: Oxford University Press, 2008), 212–215.
[15]
Planck Collaboration, “Planck 2018 Results. VI. Cosmological
Parameters,” Astronomy &
Astrophysics 641 (2020): A6.
[16]
Sean Carroll, “Why Is There Something, Rather Than Nothing?,” The Edge Annual Question 2012, accessed April 10, 2024, response-detail.
[17]
Paul Davies, The Mind of God: The
Scientific Basis for a Rational World
(London: Penguin, 1992), 110–113.
[18]
Ibid., 115.
[19]
Martin Rees, “Perspectives in Astrophysical Cosmology,” Philosophical Transactions of the Royal Society A 371, no. 1992 (2013): 20120241.
[20]
Roger Penrose, The Road to Reality: A
Complete Guide to the Laws of the Universe (London: Jonathan Cape, 2004), 762–764.
[21]
Leonard Susskind, The Cosmic Landscape:
String Theory and the Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 144–147; Lee Smolin,
The Life of the Cosmos (Oxford: Oxford University Press, 1997), 91–93.
4.
Struktur Logis Argumen Fine-Tuning
Argumen fine-tuning
tidak hanya memiliki dasar empiris dalam fisika kosmologis, tetapi juga
menuntut formulasi logis yang ketat agar dapat diuji validitas dan kekuatan
inferensialnya. Dalam filsafat agama analitik, fine-tuning argument biasanya
diklasifikasikan sebagai bentuk khusus dari argumen teleologis modern—yakni
argumen berbasis probabilitas yang menafsirkan penyetelan parameter kosmik
sebagai indikasi adanya prinsip rasional atau agen penyebab yang disengaja.¹
Dengan demikian, struktur logisnya bergerak dari deskripsi empiris menuju
inferensi metafisik melalui prosedur bayesian dan analisis epistemik atas
penjelasan terbaik (inference to the best explanation).²
4.1.
Formulasi Deduktif dan Probabilistik
Secara formal,
struktur dasar argumen fine-tuning dapat disusun dalam
tiga premis pokok:
1)
Alam semesta memiliki konstanta
fisika dan kondisi awal yang sangat tepat untuk memungkinkan kehidupan (fine-tuning
premise).
2)
Keadaan demikian sangat tidak
mungkin terjadi secara kebetulan (improbability premise).
3)
Karena itu, lebih rasional untuk
menyimpulkan bahwa penyetelan ini merupakan hasil dari suatu penyebab atau
prinsip rasional (design or necessity conclusion).³
Formulasi ini pada
dasarnya bersifat induktif dan probabilistik,
bukan deduktif. Ia tidak bermaksud membuktikan eksistensi Tuhan secara niscaya,
melainkan menunjukkan bahwa hipotesis adanya desain atau maksud cerdas (intelligent
design) memiliki probability ratio lebih tinggi
dibandingkan hipotesis kebetulan murni.⁴
Robin Collins
menawarkan formulasi Bayesian berikut:
P(D|F) = {P(F|D)P(D)} ÷ {P(F)}
di mana:
·
D adalah
hipotesis desain,
·
F adalah
fakta fine-tuning,
·
P(F|D)
menyatakan probabilitas bahwa fine-tuning akan terjadi jika
desain benar,
·
P(D|F)
menunjukkan probabilitas bahwa desain benar mengingat fakta fine-tuning.⁵
Menurut Collins,
jika P(F|D)
jauh lebih tinggi daripada P(F|¬D), maka inferensi terhadap
desain merupakan penjelasan terbaik secara rasional.⁶
4.2.
Distingsi antara Desain, Kebetulan, dan Niscaya
Dalam konteks
kosmologi, terdapat tiga penjelasan utama terhadap fenomena fine-tuning:
1)
Hipotesis Kebetulan
(Chance Hypothesis) — nilai konstanta alam semesta muncul
secara acak dan kebetulan berada dalam rentang yang sesuai untuk kehidupan.⁷
2)
Hipotesis Niscaya
(Necessity Hypothesis) — hukum-hukum fisika tidak dapat berbeda
dari apa yang ada, sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut mengenai “penyetelan.”⁸
3)
Hipotesis Desain
(Design Hypothesis) — nilai-nilai konstanta tersebut ditentukan
oleh suatu entitas atau prinsip rasional dengan maksud tertentu.⁹
Ketiga hipotesis ini
tidak hanya berbeda dalam isi metafisiknya, tetapi juga dalam explanatory
power dan explanatory scope-nya.ⁱ⁰ Hipotesis
kebetulan dinilai memiliki daya eksplanatif lemah karena menolak rasionalisasi
atas kebetulan yang ekstrem. Sebaliknya, hipotesis niscaya mengandaikan bentuk modal
necessity pada hukum fisika yang secara ontologis belum terbukti.¹¹
Sementara itu, hipotesis desain menawarkan penjelasan berbasis intensionalitas
(intentional
explanation), yakni bahwa keteraturan alam memiliki maksud
rasional, bukan hasil dari kebetulan statistik.¹²
4.3.
Logika Inferensi dan Evaluasi Rasionalitas
Dalam analisis
logika ilmiah, fine-tuning argument sering
diinterpretasikan sebagai bentuk Inference to the Best Explanation
(IBE).¹³ Menurut teori ini, suatu hipotesis rasional apabila ia paling baik
menjelaskan data yang tersedia dengan mempertimbangkan tiga kriteria:
kesederhanaan (simplicity), jangkauan penjelasan (scope),
dan koherensi (coherence).¹⁴ Berdasarkan kriteria
tersebut, para pendukung fine-tuning argument menilai bahwa
hipotesis desain lebih unggul karena (1) menjelaskan mengapa alam semesta
memungkinkan kehidupan, bukan hanya menyatakan fakta itu, dan (2) tidak
memerlukan postulat entitas empiris tak teramati seperti multiverse.¹⁵
Namun, kritik
epistemologis terhadap pendekatan ini menyoroti bahwa IBE bersifat subjektif dan
bergantung pada preferensi teoretis pengamat.¹⁶ Dalam konteks probabilitas
kosmologis, ruang kemungkinan sangat luas dan tidak terdefinisi, sehingga
penentuan “penjelasan terbaik” sulit dilakukan secara objektif.¹⁷ Elliott Sober
menekankan bahwa fine-tuning argument tidak dapat
memisahkan secara jelas antara probabilitas epistemik (degree
of belief) dan probabilitas fisik (frequency probability), yang
berujung pada ambiguitas inferensial.¹⁸
4.4.
Distingsi antara Argumen Teleologis dan
Fine-Tuning
Meskipun sering
dianggap sebagai versi modern dari argumen teleologis klasik, fine-tuning
argument memiliki perbedaan metodologis mendasar. Argumen
teleologis tradisional, seperti yang dikemukakan William Paley, bersandar pada
analogi empiris (misalnya, kompleksitas organisme seperti jam menandakan
pembuat jam).¹⁹ Sebaliknya, fine-tuning argument bersandar pada
analisis a
posteriori terhadap parameter fisika universal, bukan analogi
biologis.²⁰ Dengan demikian, fokusnya bukan pada fungsi spesifik suatu
organisme, melainkan pada struktur fundamental realitas yang memungkinkan
keberadaan segala bentuk kehidupan.²¹
Perbedaan lain
terletak pada sifat inferensi. Teleologi klasik bersifat deduktif dan
antropomorfik, sedangkan fine-tuning bersifat probabilistik
dan kosmologis.²² Hal ini menandai pergeseran epistemik dari teologi
naturalistik menuju rasionalitas ilmiah yang terbuka: argumen fine-tuning
tidak lagi berupaya membuktikan keberadaan Tuhan secara langsung, melainkan
menempatkan keberaturan kosmik sebagai indikasi bahwa realitas memiliki
struktur yang rasional dan dapat dipahami secara matematis.²³
Evaluasi Logis dan Kekuatan Argumentatif
Secara logis, fine-tuning
argument bersifat abduktif, bukan deduktif;
ia tidak memaksa kesimpulan, melainkan menawarkan hipotesis dengan probabilitas
rasional tertinggi berdasarkan data yang ada.²⁴ Kekuatan argumen ini bergantung
pada dua hal: (1) derajat kepekaan parameter kosmik terhadap perubahan kecil,
dan (2) ketiadaan penjelasan alternatif yang lebih sederhana dan koheren.²⁵ Namun,
sebagaimana diingatkan oleh Richard Dawkins, “probabilitas bukanlah bukti,”
dan setiap inferensi terhadap desain harus tunduk pada prinsip penjelasan
minimal agar tidak jatuh pada metaphysical overreach.²⁶
Dengan demikian,
struktur logis fine-tuning argument menunjukkan
upaya integratif antara rasionalitas ilmiah dan refleksi metafisik. Ia bukan
sekadar pembelaan teistik, melainkan eksperimen epistemik yang menguji batas
kemampuan manusia untuk menalar keteraturan kosmos secara rasional. Logika
argumen ini menjadi cermin dari pergulatan filosofis modern antara
ketidaksengajaan statistik dan inteligibilitas alam semesta.
Footnotes
[1]
William Lane Craig, “Teleological Arguments for God’s Existence,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford:
Blackwell, 2009), 202–205.
[2]
Peter Lipton, Inference to the Best
Explanation, 2nd ed. (London:
Routledge, 2004), 56–58.
[3]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 187–189.
[4]
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 212–213.
[5]
Robin Collins, “The Teleological Argument,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, 208.
[6]
Ibid., 210.
[7]
Sean Carroll, The Big Picture: On the
Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 178–179.
[8]
Max Tegmark, Our Mathematical
Universe (New York: Knopf, 2014),
93–95.
[9]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 27–29.
[10]
Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 286–288.
[11]
Tim Maudlin, The Metaphysics Within
Physics (Oxford: Oxford University
Press, 2007), 101–102.
[12]
Richard Swinburne, The Existence of God, 191–193.
[13]
Lipton, Inference to the Best
Explanation, 60–61.
[14]
Elliott Sober, Evidence and Evolution:
The Logic Behind the Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 118–120.
[15]
Collins, “The Teleological Argument,” 212–214.
[16]
Bas C. van Fraassen, The
Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 202–203.
[17]
Sober, Evidence and Evolution, 125–127.
[18]
Ibid., 129.
[19]
William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 1–3.
[20]
John D. Barrow and Frank J. Tipler, The
Anthropic Cosmological Principle
(Oxford: Clarendon Press, 1986), 28–30.
[21]
Collins, “The Teleological Argument,” 207–208.
[22]
Swinburne, The Existence of God, 195.
[23]
Plantinga, Where the Conflict
Really Lies, 214–216.
[24]
Lipton, Inference to the Best
Explanation, 63.
[25]
Collins, “The Fine-Tuning Evidence Is Convincing,” in Debating Christian Theism, ed. J. P. Moreland et al. (Oxford: Oxford University Press, 2013),
59–60.
[26]
Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 158–160.
5.
Interpretasi Filosofis
Diskursus fine-tuning
tidak dapat dipahami secara utuh tanpa menyentuh dimensi filosofisnya—yakni
persoalan tentang realitas hukum alam, sifat probabilitas, dan status metafisik
keteraturan kosmos. Meskipun data empiris menunjukkan bahwa nilai-nilai
konstanta fisika berada dalam rentang yang sangat sempit untuk menopang
kehidupan, makna ontologis dari fakta ini tetap terbuka bagi beragam
interpretasi. Apakah keteraturan kosmik tersebut bersifat niscaya, kontingen,
atau hasil desain rasional? Pertanyaan ini menempatkan fine-tuning
di jantung pertemuan antara filsafat sains, metafisika, dan teologi.¹
5.1.
Realisme dan Antirealisme terhadap Hukum Alam
Dalam ranah filsafat
sains, perdebatan utama mengenai status hukum alam terletak antara kubu realis
dan antirealis.
Para realis, seperti D. M. Armstrong dan John Carroll, berpendapat bahwa hukum
alam memiliki eksistensi objektif dan mengatur perilaku entitas fisik secara
niscaya.² Bagi mereka, hukum bukan sekadar deskripsi pola empiris, melainkan
relasi modal yang mengikat sebab dan akibat dalam struktur realitas.³ Dengan
demikian, jika fine-tuning benar adanya, maka ia
menunjukkan bahwa struktur hukum-hukum tersebut bukan kebetulan statistik,
tetapi ekspresi dari tatanan ontologis yang nyata.
Sebaliknya, kalangan
antirealis—termasuk Bas van Fraassen dan Nancy Cartwright—menganggap hukum alam
hanya sebagai konstruksi teoretis yang berguna untuk menjelaskan dan
memprediksi fenomena.⁴ Dalam pandangan ini, fine-tuning tidak lebih dari
konsekuensi epistemik dari cara manusia memodelkan alam semesta, bukan petunjuk
tentang maksud metafisik di baliknya.⁵ Argumen ini menekankan bahwa “penyetelan
halus” adalah fungsi dari kerangka konseptual yang dipakai, bukan sifat
alam itu sendiri.⁶
Perselisihan antara
dua posisi ini menunjukkan bahwa makna fine-tuning tidak dapat dilepaskan
dari asumsi ontologis mengenai status hukum alam. Bila hukum-hukum tersebut
bersifat niscaya, maka fine-tuning mungkin hanyalah
fenomena epistemik. Namun, bila hukum-hukum itu kontingen, maka muncul ruang
bagi interpretasi teleologis yang melihat keteraturan sebagai hasil
intensionalitas atau desain rasional.⁷
5.2.
Ontologi dan Metafisika Probabilitas
Isu sentral lain
dalam fine-tuning
adalah status metafisika dari probabilitas kosmologis. Dalam
fisika, probabilitas sering digunakan sebagai alat matematis untuk mengukur
ketidakpastian atau distribusi kemungkinan keadaan.⁸ Namun, dalam konteks fine-tuning,
probabilitas tidak bersifat empiris, melainkan metafisik: ia berbicara tentang
“seberapa mungkin” alam semesta memiliki nilai konstanta tertentu.⁹
Ada tiga
interpretasi utama terhadap probabilitas dalam konteks ini:
1)
Frequentist
interpretation, yang memaknai probabilitas sebagai frekuensi
relatif kejadian dalam ensemble besar;
2)
Subjective (Bayesian)
interpretation, yang melihat probabilitas sebagai derajat
keyakinan rasional terhadap suatu proposisi;
3)
Modal interpretation,
yang menafsirkan probabilitas sebagai ukuran kemungkinan ontologis di antara
dunia-dunia mungkin (possible worlds).¹⁰
Interpretasi
terakhir sering digunakan oleh para filsuf teistik seperti Richard Swinburne
dan Robin Collins.¹¹ Mereka menilai bahwa probabilitas fine-tuning
dapat dipahami secara modal—yakni bahwa di antara banyak dunia mungkin, hanya
sedikit yang memungkinkan kehidupan. Dalam kerangka ini, dunia aktual menjadi “istimewa”
karena direalisasikan oleh suatu kehendak atau prinsip rasional.¹² Namun,
kalangan naturalis menolak pendekatan ini karena dianggap memperluas konsep
probabilitas di luar batas epistemik yang dapat diuji secara empiris.¹³
5.3.
Struktur Rasionalitas Alam dan Teleologi
Implikatif
Interpretasi
filosofis terhadap fine-tuning sering kali berujung
pada refleksi tentang intelligibilitas alam semesta.
Paul Davies menekankan bahwa sains modern berasumsi bahwa alam bersifat
rasional, teratur, dan dapat dipahami melalui hukum matematis.¹⁴ Namun, fakta
bahwa alam ternyata benar-benar demikian menimbulkan pertanyaan mengapa
rasionalitas itu ada sejak awal.¹⁵ Dalam konteks ini, fine-tuning
dapat dipahami bukan hanya sebagai bukti teleologi eksternal (keberadaan
perancang), tetapi sebagai indikasi teleologi imanen—yakni keteraturan internal
yang menuntun realitas menuju kesadaran dan pemahaman diri.¹⁶
Pandangan ini
mengingatkan pada gagasan “rasionalitas kosmik” dalam idealisme
Hegelian, di mana struktur realitas dianggap sebagai manifestasi dari rasio
yang mewujudkan diri dalam ruang dan waktu.¹⁷ Dengan demikian, fine-tuning
bukan hanya persoalan empiris, tetapi juga ekspresi dari logos
yang menata realitas agar dapat dipahami.¹⁸ Dalam kerangka teistik, hal ini
dapat ditafsirkan sebagai koherensi antara ratio divina dan ratio
humana: bahwa kemampuan manusia memahami alam merupakan cerminan
dari rasionalitas penciptaan itu sendiri.¹⁹
5.4.
Implikasi Epistemologis dan Keterbatasan
Pengetahuan
Dari sisi
epistemologi, fine-tuning mengingatkan kita pada
keterbatasan metode ilmiah dalam menjawab pertanyaan “mengapa” yang
bersifat ultimate. Sains dapat menjelaskan “bagaimana” alam bekerja,
tetapi tidak selalu “mengapa” hukum-hukum itu demikian adanya.²⁰
Sebagaimana dikemukakan oleh Stephen Hawking, “pertanyaan mengapa alam
semesta harus ada, dan mengapa ia diatur oleh hukum tertentu, tetap menjadi
misteri di luar jangkauan fisika.”²¹ Dengan demikian, fine-tuning
menandai batas epistemik manusia: wilayah di mana penjelasan empiris berakhir
dan refleksi metafisik dimulai.
Namun, batas ini
bukan berarti kekosongan pengetahuan, melainkan ruang bagi dialog antara sains
dan filsafat.²² Di satu sisi, interpretasi naturalistik melihat fine-tuning
sebagai fenomena statistik yang belum dijelaskan. Di sisi lain, interpretasi
metafisik menempatkannya sebagai tanda rasionalitas yang mendalam dari
realitas.²³ Keduanya, pada hakikatnya, berbagi kesadaran yang sama: bahwa alam
semesta tidak bersifat absurd, melainkan memiliki struktur yang memungkinkan
pengetahuan.²⁴
Kesimpulan Filosofis Sementara
Secara filosofis, fine-tuning
bukanlah bukti final dari desain cerdas, melainkan indikasi bahwa realitas
bersifat intelligible
dan rasional. Ia mengungkap bahwa struktur hukum alam, probabilitas, dan
keteraturan kosmik dapat ditafsirkan secara berlapis: empiris, epistemik, dan
metafisik. Penafsiran terhadap fine-tuning dengan demikian
bergantung pada paradigma ontologis yang digunakan: apakah alam dipandang
sebagai hasil kebetulan buta atau sebagai manifestasi dari prinsip rasional
yang tertanam dalam realitas itu sendiri.²⁵
Dengan demikian, fine-tuning
berfungsi sebagai cermin bagi refleksi filsafat kontemporer—mengundang manusia
untuk memahami bukan hanya apa yang ada, tetapi mengapa yang ada itu dapat
dimengerti.²⁶
Footnotes
[1]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 31–33.
[2]
D. M. Armstrong, What Is a Law of
Nature? (Cambridge: Cambridge
University Press, 1983), 21–25.
[3]
John W. Carroll, Laws of Nature (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 54–57.
[4]
Bas C. van Fraassen, The
Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 183–185.
[5]
Nancy Cartwright, How the Laws of Physics
Lie (Oxford: Clarendon Press, 1983),
25–27.
[6]
Bas C. van Fraassen, “Science, Materialism, and False Consciousness,” Philosophy of Science
68, no. 3 (2001): 416–417.
[7]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 189–192.
[8]
Ian Hacking, The Emergence of
Probability (Cambridge: Cambridge
University Press, 1975), 14–16.
[9]
Elliott Sober, Evidence and Evolution:
The Logic Behind the Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 118–119.
[10]
David Lewis, Philosophical Papers, Vol. 2 (Oxford: Oxford University Press, 1986),
94–97.
[11]
Swinburne, The Existence of God, 193–194.
[12]
Robin Collins, “The Fine-Tuning Evidence Is Convincing,” in Debating Christian Theism, ed. J. P. Moreland et al. (Oxford: Oxford University Press, 2013),
61–62.
[13]
Sean Carroll, The Big Picture: On the
Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 180–181.
[14]
Paul Davies, The Mind of God: The
Scientific Basis for a Rational World
(London: Penguin, 1992), 111–113.
[15]
Ibid., 116.
[16]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World
(London: SPCK, 1989), 45–47.
[17]
G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University
Press, 1977), 487–489.
[18]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 7 (New
York: Doubleday, 1963), 95–97.
[19]
Wolfhart Pannenberg, Metaphysics
and the Idea of God (Grand Rapids,
MI: Eerdmans, 1990), 72–75.
[20]
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959),
276–278.
[21]
Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 193–194.
[22]
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 217–219.
[23]
Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 290–292.
[24]
Davies, The Mind of God, 118.
[25]
Swinburne, The Existence of God, 196–197.
[26]
Davies, The Goldilocks Enigma:
Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 312–313.
6.
Varian dan Penjelasan Alternatif
Fenomena fine-tuning
dalam kosmologi modern telah memunculkan beragam model penjelasan yang berbeda
secara ontologis dan epistemologis. Walaupun data empiris tentang kepekaan
ekstrem konstanta alam terhadap keberadaan kehidupan diakui secara luas, makna
metafisik dari fakta ini tetap terbuka untuk interpretasi yang beragam.
Setidaknya terdapat empat pendekatan utama yang muncul dalam literatur filsafat
dan fisika teoretis: (1) Hipotesis Desain (Design Hypothesis),
(2)
Hipotesis Multisemesta (Multiverse Hypothesis), (3)
Prinsip Antropik (Anthropic Principle), dan (4)
Hipotesis Niscaya (Necessity Hypothesis).¹ Keempatnya tidak
hanya bersaing dalam hal daya jelaskan (explanatory power), tetapi juga
dalam aspek kesederhanaan (parsimony), koherensi internal,
serta komitmen metafisiknya.
6.1.
Hipotesis Desain (Design Hypothesis)
Hipotesis desain
berargumen bahwa keteraturan dan presisi hukum-hukum alam tidak dapat
dijelaskan memadai melalui kebetulan atau keharusan fisik semata, melainkan
menunjuk pada eksistensi suatu penyebab rasional atau entitas cerdas yang “menyetel”
alam semesta untuk memungkinkan kehidupan.² Dalam formulasi klasiknya, gagasan
ini merupakan lanjutan dari tradisi natural theology—seperti yang
ditemukan pada Aquinas dan Paley—namun dalam versi modernnya, ia menggunakan
bahasa probabilistik dan kosmologis.³
Robin Collins
mengembangkan formulasi bayesian dari hipotesis ini, dengan menyatakan bahwa
probabilitas fine-tuning lebih tinggi jika
asumsi desain benar dibandingkan jika alam semesta terjadi tanpa desain.⁴
Sementara Richard Swinburne menambahkan bahwa “Tuhan” sebagai penjelasan
memiliki keunggulan dalam hal kesederhanaan metafisik, karena hanya
mengandaikan satu prinsip rasional tunggal yang menjelaskan keberaturan kosmos
secara menyeluruh.⁵
Namun, kritik
terhadap hipotesis desain datang dari dua arah. Pertama, dari sisi epistemik,
argumen ini dinilai bersandar pada “lacuna pengetahuan”—yakni
menempatkan “Tuhan” untuk mengisi celah yang belum dijelaskan oleh sains
(God of
the Gaps).⁶ Kedua, dari sisi metodologis, hipotesis desain tidak
menawarkan mekanisme empiris yang dapat diuji, sehingga tidak memenuhi kriteria
falsifiabilitas ilmiah.⁷ Walau demikian, bagi sebagian filsuf teistik, fine-tuning
argument bukanlah bukti ilmiah bagi keberadaan Tuhan, melainkan
petunjuk rasional bahwa kosmos memiliki makna teleologis yang tidak dapat
direduksi pada kebetulan statistik.⁸
6.2.
Hipotesis Multisemesta (Multiverse Hypothesis)
Sebagai alternatif
naturalistik terhadap desain, hipotesis multisemesta menyatakan bahwa terdapat
banyak alam semesta dengan parameter fisika yang berbeda, dan kita secara alami
hidup di salah satu yang kebetulan cocok untuk kehidupan.⁹ Dalam kerangka ini, fine-tuning
tidak membutuhkan penjelasan kausal atau teleologis, melainkan merupakan
konsekuensi dari prinsip probabilitas dalam sistem dengan jumlah percobaan
kosmik yang sangat besar.¹⁰
Leonard Susskind
mengaitkan ide ini dengan teori string landscape, yang memprediksi
keberadaan sekitar 10⁵⁰⁰ kemungkinan konfigurasi ruang-waktu, masing-masing
dengan hukum fisikanya sendiri.¹¹ Dalam konteks ini, keberadaan kehidupan tidak
mengejutkan, karena dalam multisemesta yang luas, beberapa alam semesta pasti
memiliki parameter yang sesuai secara kebetulan.¹²
Meski menarik secara
konseptual, hipotesis multisemesta menghadapi masalah serius dalam ranah
epistemologi ilmiah. Pertama, tidak ada bukti empiris langsung mengenai
keberadaan semesta lain; semua inferensi bersifat teoritis dan tidak
teramati.¹³ Kedua, karena tidak dapat diuji secara langsung, hipotesis ini
berisiko jatuh pada status metafisika ilmiah spekulatif
(scientific metaphysics) alih-alih sains empiris.¹⁴ Paul Davies menilai bahwa
jika setiap kondisi dapat dijelaskan dengan “multiverse”, maka konsep
penjelasan ilmiah itu sendiri kehilangan maknanya.¹⁵
6.3.
Prinsip Antropik (Anthropic Principle)
Prinsip antropik
merupakan pendekatan epistemik yang menolak anggapan bahwa fine-tuning
memerlukan penjelasan kausal tambahan.¹⁶ Menurut versi lemahnya (Weak
Anthropic Principle), kita hanya dapat mengamati alam semesta
dengan kondisi yang memungkinkan keberadaan pengamat—karena jika tidak
demikian, tidak akan ada siapa pun untuk mengamati.¹⁷ Prinsip ini tidak
menjelaskan mengapa konstanta fisika seperti
itu, melainkan mengapa kita mengamati konstanta
yang sesuai dengan kehidupan.
Versi kuatnya (Strong
Anthropic Principle) lebih kontroversial karena menyiratkan bahwa
alam semesta harus memiliki sifat-sifat yang memungkinkan keberadaan kehidupan
cerdas.¹⁸ Brandon Carter, yang pertama kali memperkenalkan istilah ini pada
tahun 1973, menganggapnya sebagai konsekuensi logis dari fakta observasional,
bukan argumen teologis.¹⁹ Namun, Barrow dan Tipler mengembangkan versi
metafisik dari prinsip ini, dengan menyatakan bahwa keberadaan pengamat adalah
elemen fundamental dalam struktur kosmos itu sendiri.²⁰
Kritik utama
terhadap prinsip antropik adalah bahwa ia bersifat tautologis—ia menjelaskan
fakta dengan menyatakan kembali fakta itu dalam bentuk lain.²¹ Meski demikian,
beberapa fisikawan menganggapnya berguna sebagai batas epistemik dalam teori
kosmologi: ia mencegah peneliti menyimpulkan “ketidakwajaran” alam
semesta hanya karena keterbatasan perspektif manusia.²²
6.4.
Hipotesis Niscaya (Necessity Hypothesis)
Hipotesis niscaya
mengemukakan bahwa hukum-hukum alam dan konstanta fisika tidak mungkin berbeda
dari yang ada karena didasarkan pada struktur logis atau matematis realitas itu
sendiri.²³ Dalam pandangan ini, fine-tuning tidak menunjukkan desain
atau kebetulan, melainkan keniscayaan metafisik: alam semesta hanya dapat eksis
dalam bentuk yang konsisten dengan hukum-hukum tersebut.²⁴
Pandangan ini banyak
dipengaruhi oleh pendekatan matematikalis seperti yang dikemukakan oleh Max
Tegmark melalui Mathematical Universe Hypothesis (MUH),
yang menyatakan bahwa realitas fisik adalah struktur matematika murni dan tidak
mungkin berbeda dari apa adanya.²⁵ Dalam kerangka ini, “penyetelan halus”
bukanlah hasil pilihan atau kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari
konsistensi internal sistem matematis yang mendasari realitas.²⁶
Namun, para kritikus
seperti Tim Maudlin menilai bahwa hipotesis niscaya gagal menjelaskan mengapa
struktur matematika tertentu direalisasikan, bukan yang lain.²⁷ Ia menjelaskan
bentuk hukum, tetapi tidak menjelaskan eksistensi aktualnya.²⁸ Dengan demikian,
hipotesis ini menghindari masalah fine-tuning dengan mereduksinya
menjadi logika, namun dengan mengorbankan daya eksplanatif tentang kontingensi
realitas.²⁹
Komparasi Filosofis: Koherensi, Kesederhanaan,
dan Daya Eksplanatif
Untuk menilai
kekuatan keempat hipotesis tersebut, para filsuf sains biasanya menggunakan
tiga kriteria utama: (1) koherensi internal, (2)
kesederhanaan ontologis, dan (3) daya jelaskan fenomena.³⁰ Hipotesis
desain unggul dalam kesederhanaan metafisik (karena mengandaikan satu prinsip
rasional tunggal), tetapi lemah secara empiris. Hipotesis multisemesta kuat
secara probabilistik, namun berisiko kehilangan verifiabilitas. Prinsip
antropik bersifat metodologis dan aman secara epistemik, tetapi tidak
eksplanatif. Sementara hipotesis niscaya unggul dalam koherensi logis, namun
miskin dalam menjawab aspek kontingensi eksistensial.³¹
Dengan demikian,
tidak satu pun dari keempat pendekatan tersebut dapat dikatakan memadai secara
mutlak. Masing-masing menawarkan perspektif parsial terhadap misteri
keteraturan kosmos. Seperti diingatkan oleh John Leslie, perdebatan ini
mengungkap bukan hanya “bagaimana” alam semesta mungkin ada, tetapi juga
“mengapa rasionalitas dapat memahami keberadaannya.”³²
Footnotes
[1]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 42–44.
[2]
Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the
Fine-Tuning of the Universe,” in The
Blackwell Companion to Natural Theology,
ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Blackwell, 2009), 204–206.
[3]
William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 1–3; Thomas Aquinas, Summa Theologica, I,
q.2, a.3.
[4]
Collins, “The Teleological Argument,” 208–209.
[5]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 192–194.
[6]
Sean Carroll, “Why (Almost All) Cosmologists Are Atheists,” Faith and Philosophy
22, no. 5 (2005): 622–623.
[7]
Elliott Sober, Evidence and Evolution:
The Logic Behind the Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 118–120.
[8]
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 217–219.
[9]
Max Tegmark, Our Mathematical
Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 119–120.
[10]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma:
Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 84–86.
[11]
Leonard Susskind, The Cosmic Landscape:
String Theory and the Illusion of Intelligent Design (New York: Little, Brown, 2005), 104–107.
[12]
Ibid., 140–142.
[13]
George Ellis, “Issues in the Philosophy of Cosmology,” in Handbook in Philosophy of Physics, ed. Jeremy Butterfield and John Earman (Amsterdam:
Elsevier, 2007), 1223–1226.
[14]
Tim Maudlin, The Metaphysics Within
Physics (Oxford: Oxford University
Press, 2007), 98–99.
[15]
Paul Davies, The Mind of God: The
Scientific Basis for a Rational World
(London: Penguin, 1992), 117–118.
[16]
Brandon Carter, “Large Number Coincidences and the Anthropic Principle
in Cosmology,” in Confrontation of
Cosmological Theories with Observational Data, ed. M. S. Longair (Dordrecht: Reidel, 1974),
293–296.
[17]
John D. Barrow and Frank J. Tipler, The
Anthropic Cosmological Principle
(Oxford: Clarendon Press, 1986), 2–4.
[18]
Ibid., 6–7.
[19]
Carter, “Large Number Coincidences,” 298.
[20]
Barrow and Tipler, The Anthropic
Cosmological Principle, 16–18.
[21]
Sean Carroll, The Big Picture: On the
Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 181–182.
[22]
Martin Rees, Just Six Numbers: The
Deep Forces That Shape the Universe
(New York: Basic Books, 2000), 11–13.
[23]
Max Tegmark, Our Mathematical
Universe, 268–270.
[24]
Roger Penrose, The Road to Reality: A
Complete Guide to the Laws of the Universe (London: Jonathan Cape, 2004), 762–763.
[25]
Tegmark, Our Mathematical
Universe, 284–286.
[26]
Ibid., 287–288.
[27]
Maudlin, The Metaphysics Within
Physics, 103–105.
[28]
Ibid., 108.
[29]
Bas C. van Fraassen, Laws
and Symmetry (Oxford: Clarendon
Press, 1989), 224–226.
[30]
Peter Lipton, Inference to the Best
Explanation, 2nd ed. (London: Routledge,
2004), 56–58.
[31]
Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 290–292.
[32]
Leslie, Universes, 51–52.
7.
Kritik dan Perdebatan Kontemporer
Argumen fine-tuning
telah menjadi salah satu titik temu paling dinamis antara filsafat, kosmologi,
dan teologi dalam pemikiran kontemporer. Namun, sekaligus, ia juga menjadi
salah satu argumen yang paling banyak menimbulkan perdebatan dan kritik. Para
filsuf dan ilmuwan berbeda pandangan mengenai sejauh mana argumen ini valid
secara logis, relevan secara ilmiah, dan sahih secara metafisik. Kritik
terhadap fine-tuning
dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori besar: (1)
kritik naturalistik dan ateistik, (2) kritik
internal dari kalangan teistik, dan (3) keberatan
epistemologis serta metodologis terhadap struktur inferensialnya.¹
7.1.
Kritik Naturalistik dan Ateistik
Dari perspektif
naturalistik, banyak ilmuwan dan filsuf menolak anggapan bahwa penyetelan halus
alam semesta mengarah pada kesimpulan teologis. Richard Dawkins, misalnya,
menilai bahwa fine-tuning argument hanyalah
bentuk baru dari argument from design yang telah
dikritik sejak Darwin.² Menurutnya, fakta bahwa kehidupan hanya mungkin muncul
dalam kondisi tertentu tidak menuntut adanya desainer, melainkan mencerminkan
bias observasional: kita hanya dapat hidup di alam semesta yang cocok bagi
kehidupan, sehingga tidak mengherankan jika alam ini tampak “disetel.”³
Sean Carroll juga
mengajukan keberatan bahwa argumen fine-tuning mengasumsikan
probabilitas yang tidak dapat ditentukan secara empiris.⁴ Tidak ada alasan,
katanya, untuk menganggap bahwa konstanta fisika dapat “bervariasi”
dengan cara apa pun—sehingga pembicaraan tentang “ketidakteraturan” atau
“kemungkinan lain” menjadi tidak bermakna secara ilmiah.⁵ Ia menambahkan
bahwa, bahkan jika nilai konstanta berbeda, itu tidak berarti bahwa kehidupan
dalam bentuk lain mustahil; konsepsi kita tentang “kehidupan” mungkin
terlalu terbatas secara biologis.⁶
Selain itu, beberapa
fisikawan seperti Victor Stenger berargumen bahwa banyak klaim fine-tuning
dilebih-lebihkan karena kesalahan dalam memperlakukan parameter fisika sebagai
independen.⁷ Dalam kenyataannya, banyak konstanta saling terkait melalui
hukum-hukum yang mendasarinya, sehingga perubahan dalam satu parameter dapat
dikompensasi oleh yang lain tanpa meniadakan kemungkinan kehidupan.⁸ Kritik
semacam ini berupaya menunjukkan bahwa fine-tuning bukan bukti metafisik,
melainkan kesimpulan yang lahir dari keterbatasan model-model fisika kita saat
ini.
7.2.
Kritik Teistik Internal: “God of the Gaps” dan
Teologi Rasional
Menariknya, sejumlah
teolog dan filsuf beriman juga mengajukan kritik terhadap cara penggunaan fine-tuning
sebagai argumen teistik. Richard Swinburne dan Alvin Plantinga, misalnya,
mengingatkan bahwa menjadikan fine-tuning sebagai “bukti
ilmiah” atas keberadaan Tuhan berisiko mengurung teologi dalam ruang
ketidaktahuan (theology of ignorance).⁹ Ketika
sains menemukan penjelasan baru atas parameter kosmik, argumen tersebut akan
kehilangan fondasinya, sebagaimana nasib argumen teleologis biologis
pasca-Darwin.¹⁰
Plantinga menekankan
bahwa fine-tuning
lebih baik dipahami bukan sebagai bukti empiris, melainkan sebagai konfirmasi konsistensi
antara rasionalitas kosmos dan keberadaan Tuhan.¹¹ Dengan demikian, ia bersifat
theologically
modest—yakni menegaskan koherensi iman dan rasio, bukan pembuktian
empiris terhadap eksistensi ilahi.¹² Sementara itu, John Polkinghorne
mengusulkan pendekatan “teologi kritis alam” (critical
natural theology) yang menolak baik naturalisme reduksionis maupun
teisme literalistik, dengan menafsirkan fine-tuning sebagai simbol
keteraturan yang berakar pada rasionalitas ilahi.¹³
7.3.
Keberatan Epistemologis dan Logika Inferensial
Kritik paling
mendasar terhadap fine-tuning argument berasal dari
analisis epistemologi sains dan logika probabilitas. Elliott Sober menilai
bahwa argumen ini gagal memenuhi kriteria inferensi ilmiah karena tidak ada
dasar objektif untuk mendefinisikan ruang kemungkinan (sample
space) bagi konstanta fisika.¹⁴ Jika kita tidak tahu apakah
nilai-nilai tersebut dapat bervariasi, maka membicarakan “kemungkinannya”
menjadi tak berarti.¹⁵
Bas van Fraassen,
dari perspektif empirisis konstruktif, menolak klaim bahwa fine-tuning
menuntut penjelasan metafisik.¹⁶ Ia menegaskan bahwa teori ilmiah bertujuan
menjelaskan fenomena yang dapat diamati, bukan menjawab pertanyaan metafisis
tentang mengapa hukum-hukum itu ada.¹⁷ Dalam kerangka ini, fine-tuning
bukanlah masalah “mengapa alam semesta seperti ini,” melainkan “bagaimana
kita menggambarkan alam semesta yang kita alami.”
Lebih lanjut, David
Hume telah jauh sebelumnya menunjukkan kelemahan inferensi dari keteraturan
menuju desain dalam Dialogues Concerning Natural Religion:
keteraturan tidak serta merta menunjukkan adanya penyebab rasional, karena
kebiasaan kita melihat keteraturan tidak menjamin analogi kausal yang sah.¹⁸
Kritik Humean ini tetap relevan dalam konteks modern karena menyoroti bahwa
inferensi fine-tuning
bergantung pada prinsip analogi yang tidak dapat diverifikasi.¹⁹
7.4.
Respons terhadap Kritik dan Debat Filosofis
Terkini
Meskipun banyak
keberatan diajukan, para pendukung fine-tuning argument berupaya
menegaskan kembali validitas rasionalnya. Robin Collins berargumen bahwa kritik
naturalistik gagal membedakan antara explanatory relevance dan empirical
testability: meskipun hipotesis desain tidak dapat diuji secara
langsung, ia tetap memiliki kekuatan eksplanatif terhadap fakta keteraturan
kosmos.²⁰ Sementara itu, John Leslie mempertahankan bahwa penjelasan teistik
tidak perlu bersaing dengan sains, karena keduanya beroperasi pada tingkat
eksplanasi yang berbeda—sains menjelaskan hukum, sedangkan teisme menjelaskan
keberadaan hukum itu sendiri.²¹
Perdebatan ini
mencerminkan ketegangan epistemik antara dua paradigma pengetahuan: sains
empiris yang menuntut verifikasi dan filsafat metafisika yang mencari makna
rasional di balik struktur realitas.²² Dalam konteks ini, fine-tuning
berfungsi sebagai titik refleksi tentang batas penjelasan ilmiah, bukan sebagai
bukti mutlak bagi posisi teistik maupun ateistik.²³
Evaluasi Kritis: Status Rasional dan Batas
Epistemik
Dari sudut pandang
metodologis, fine-tuning argument memperlihatkan
bahwa batas antara sains dan filsafat tidaklah tegas, melainkan bersifat
permeabel.²⁴ Ia menunjukkan bahwa sains modern, meskipun berbasis observasi dan
eksperimentasi, tetap mengandaikan struktur rasional yang tidak dapat
dibuktikan secara empiris.²⁵ Oleh karena itu, fine-tuning dapat dipahami sebagai
argumen transdisipliner yang menguji sejauh mana penjelasan ilmiah dapat
menjawab pertanyaan metafisis.
Sebagaimana
dinyatakan oleh Paul Davies, “Semesta bukan hanya mungkin dipahami secara
matematis; ia seolah-olah dirancang agar dapat dipahami.”²⁶ Pernyataan ini
menggambarkan posisi tengah yang banyak diambil oleh filsuf kontemporer—yakni
bahwa fine-tuning
tidak harus diartikan sebagai bukti desain supranatural, tetapi sebagai
indikasi bahwa realitas bersifat rasional dan terstruktur sedemikian rupa
sehingga memungkinkan intelligibilitas ilmiah.²⁷
Dengan demikian,
perdebatan tentang fine-tuning bukan semata soal
membuktikan atau menolak Tuhan, tetapi juga soal mempertanyakan batas
pengetahuan manusia tentang realitas itu sendiri.²⁸ Dalam ruang dialektika ini,
filsafat dan sains menemukan kembali peran saling melengkapi: sains mengungkap
keteraturan, sedangkan filsafat menanyakan maknanya.²⁹
Footnotes
[1]
Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 288–290.
[2]
Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 157–160.
[3]
Ibid., 161–162.
[4]
Sean Carroll, The Big Picture: On the
Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself (New York: Dutton, 2016), 176–179.
[5]
Ibid., 180.
[6]
Ibid., 181.
[7]
Victor J. Stenger, The Fallacy of
Fine-Tuning: Why the Universe Is Not Designed for Us (Amherst, NY: Prometheus Books, 2011), 44–46.
[8]
Ibid., 52–53.
[9]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 192–194.
[10]
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 216–217.
[11]
Ibid., 219.
[12]
Ibid., 220.
[13]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World
(London: SPCK, 1989), 49–52.
[14]
Elliott Sober, Evidence and Evolution:
The Logic Behind the Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 118–119.
[15]
Ibid., 121.
[16]
Bas C. van Fraassen, The
Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 184–185.
[17]
Ibid., 187.
[18]
David Hume, Dialogues Concerning
Natural Religion, ed. Norman Kemp
Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 45–46.
[19]
Ibid., 51–52.
[20]
Robin Collins, “The Fine-Tuning Evidence Is Convincing,” in Debating Christian Theism, ed. J. P. Moreland, Chad Meister, and Khaldoun Sweis (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 60–62.
[21]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 49–51.
[22]
Paul Davies, The Mind of God: The
Scientific Basis for a Rational World
(London: Penguin, 1992), 112–114.
[23]
Martin Rees, Just Six Numbers: The
Deep Forces That Shape the Universe
(New York: Basic Books, 2000), 145–147.
[24]
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies, 221–223.
[25]
Tim Maudlin, The Metaphysics Within
Physics (Oxford: Oxford University
Press, 2007), 97–98.
[26]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma:
Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 313.
[27]
Ibid., 314.
[28]
Sean Carroll, “Why Is There Something, Rather Than Nothing?,” The Edge Annual Question 2012, accessed March 1, 2025, https://www.edge.org/response-detail/11531.
[29]
Davies, The Mind of God, 116.
8.
Sintesis Filosofis
Setelah menelusuri
dimensi ilmiah, logis, dan metafisik dari fine-tuning argument, kini tampak
jelas bahwa persoalan ini melampaui batas disiplin tunggal. Ia tidak hanya
menyentuh ranah kosmologi teoretis, tetapi juga menggugah refleksi filsafat
tentang struktur rasionalitas realitas, batas pengetahuan manusia, dan relasi
antara kebetulan serta makna. Oleh karena itu, bagian ini berupaya merumuskan
suatu sintesis
filosofis, yakni kerangka integratif yang menghimpun
unsur-unsur ilmiah, epistemologis, dan teologis dari perdebatan fine-tuning
dalam horizon rasionalitas terbuka dan non-dogmatis.¹
8.1.
Integrasi antara Sains Empiris dan Metafisika
Rasional
Salah satu pelajaran
utama dari perdebatan fine-tuning adalah bahwa sains dan
filsafat tidak dapat dipisahkan secara mutlak.² Fisika modern beroperasi dengan
asumsi bahwa alam semesta bersifat rasional dan dapat dijelaskan secara
matematis, suatu keyakinan metafisik yang tidak dapat dibuktikan melalui
eksperimen namun menjadi dasar seluruh kegiatan ilmiah.³ Dalam konteks ini,
sebagaimana ditegaskan oleh Paul Davies, “rasionalitas kosmos merupakan
prasyarat epistemik bagi sains itu sendiri.”⁴
Dengan demikian, fine-tuning
dapat dipahami sebagai bukti epistemik atas koherensi antara dua bentuk
rasionalitas: rasionalitas ilmiah (yang
mencari hukum universal melalui observasi) dan rasionalitas metafisik (yang
menafsirkan mengapa hukum itu ada).⁵ Integrasi ini tidak berarti
mencampuradukkan domain sains dan teologi, melainkan mengakui bahwa keduanya
berpartisipasi dalam satu horizon intelligibilitas yang sama.⁶ Dalam istilah
Karl Popper, fine-tuning menegaskan bahwa “realitas
itu rasional, bahkan jika rasionalitasnya melampaui batas teori ilmiah saat ini.”⁷
8.2.
Rasionalitas Terbuka dan Prinsip Keterpahaman
Alam
Sintesis filosofis
terhadap fine-tuning
menuntut pengakuan atas apa yang dapat disebut rasionalitas terbuka (open
rationality)—yakni rasionalitas yang bersandar pada prinsip
keterpahaman alam, namun tidak membatasi diri pada kerangka empiris semata.⁸
Prinsip ini mengakui bahwa keberaturan alam semesta bukan hanya deskripsi
fisikal, melainkan tanda adanya logos yang menjadikan dunia dapat
dipahami.⁹
Wolfhart Pannenberg
menyebut hal ini sebagai ontological intelligibility—suatu
kondisi eksistensial di mana struktur realitas terbuka terhadap rasio dan
pengetahuan.¹⁰ Dalam kerangka ini, fine-tuning tidak perlu diartikan
secara teistik sempit, tetapi dapat dipahami sebagai ekspresi rasionalitas yang
memungkinkan sains dan filsafat saling menafsirkan.¹¹ Ia menyiratkan bahwa
makna bukanlah tambahan eksternal terhadap fakta empiris, melainkan dimensi
inheren dari keteraturan itu sendiri.¹²
Rasionalitas terbuka
menolak baik reduksionisme ilmiah maupun dogmatisme religius. Ia menuntut sikap
epistemik yang tentatif, dialogis, dan self-corrective—bahwa
semua penjelasan, baik naturalistik maupun teistik, tetap bersifat revisibel
sepanjang terbuka terhadap bukti dan refleksi rasional.¹³ Dalam pengertian ini,
fine-tuning
menjadi ruang pertemuan antara sains dan filsafat yang diikat oleh semangat
pencarian, bukan oleh klaim kepastian absolut.
8.3.
Dimensi Ontoteologis: Tuhan, Rasio, dan Kosmos
Dalam horizon yang
lebih dalam, fine-tuning menghidupkan kembali
refleksi tentang apa yang disebut Martin Heidegger sebagai “pertanyaan
ontoteologis”—yakni hubungan antara dasar keberadaan (Being)
dan prinsip rasionalitas yang menata segala sesuatu.¹⁴ Jika kosmos bersifat
rasional dan dapat dipahami, apakah rasionalitas itu bersumber dari prinsip
yang transenden?
Teologi filosofis
klasik menjawab afirmatif: rasionalitas kosmos mencerminkan ratio
divina, yaitu rasio ilahi yang menjadi sebab pertama keteraturan.¹⁵
Namun dalam filsafat kontemporer, terutama pasca-Kantian, “Tuhan” tidak
lagi dipahami sebagai entitas supranatural, melainkan sebagai simbol dari
rasionalitas tertinggi atau prinsip makna yang menjiwai realitas.¹⁶ Dalam
kerangka ini, fine-tuning bukan argumen deduktif
tentang keberadaan Tuhan, melainkan indikasi bahwa realitas bersifat meaning-laden—memuat
orientasi terhadap keteraturan, kesadaran, dan nilai.¹⁷
John Leslie menyebut
pandangan ini sebagai axiarchism, yakni gagasan bahwa
dunia eksis karena “baik” atau “layak untuk ada,” bukan sekadar
karena kebetulan fisikal.¹⁸ Pandangan ini menyatukan kosmologi dengan etika
metafisik: keberaturan alam dipahami sebagai ekspresi nilai rasional. Dalam
arti ini, fine-tuning
dapat dibaca sebagai simbol keberartian eksistensi—sebuah metafor kosmik
tentang koherensi antara hukum, kehidupan, dan kesadaran.¹⁹
8.4.
Dialektika Antara Kontingensi dan Keteraturan
Salah satu
ketegangan filosofis yang paling mendalam dalam fine-tuning adalah dialektika
antara kontingensi
(kebetulan) dan keteraturan (rasionalitas).
Dari satu sisi, kosmologi modern menunjukkan betapa halusnya keseimbangan
antara parameter-parameter alam; dari sisi lain, tidak ada keharusan logis
mengapa parameter itu tidak bisa lain.²⁰ Dengan demikian, keberadaan dunia
tampak sekaligus niscaya dan kontingen—sebuah paradoks metafisik yang membuka
ruang refleksi tentang hakikat realitas itu sendiri.²¹
Hegel menyebut
dialektika semacam ini sebagai “rasionalitas yang menampakkan diri dalam
ketidaksengajaan” (die Vernunft in der Zufälligkeit).²²
Artinya, bahkan dalam kebetulan terdapat struktur yang dapat dipahami.²³ Dalam
konteks fine-tuning,
paradoks ini menunjukkan bahwa keteraturan kosmos bukan antitesis dari
kebetulan, tetapi modus rasionalitas yang menata kemungkinan.²⁴
Dengan demikian, fine-tuning
dapat dibaca sebagai momen sintesis dalam sejarah rasionalitas manusia—momen
ketika kebetulan fisikal dan rasionalitas metafisik berjumpa dalam kesadaran
ilmiah kita.²⁵ Ia menyingkap bahwa alam semesta bukan hanya ada, tetapi “dapat
dimengerti,” dan bahwa keterpahaman itu sendiri mungkin merupakan aspek
terdalam dari eksistensi.²⁶
Rasionalitas Kosmik dan Kesadaran Manusia
Akhirnya, fine-tuning
argument tidak hanya mengundang perenungan tentang struktur kosmos,
tetapi juga tentang tempat manusia di dalamnya. Seperti dikemukakan John
Polkinghorne, kemampuan manusia memahami alam semesta menunjukkan adanya “kesesuaian
mendalam antara struktur rasio manusia dan struktur rasionalitas dunia.”²⁷
Rasio manusia, dalam hal ini, bukan kebetulan biologis, tetapi partisipasi
dalam rasionalitas kosmik yang lebih besar.²⁸
Pandangan ini
beresonansi dengan idealisme objektif Hegel dan Whitehead, yang menilai bahwa
kesadaran bukan anomali, melainkan ekspresi tertinggi dari proses kosmik menuju
refleksivitas diri.²⁹ Dengan demikian, fine-tuning dapat dipahami sebagai
simbol epistemologis dari “alam yang sadar akan dirinya melalui manusia.”³⁰
Sintesis filosofis
ini tidak berujung pada kesimpulan teologis tertentu, tetapi pada pengakuan
bahwa rasionalitas manusia dan keteraturan kosmos memiliki koherensi ontologis
yang sama.³¹ Dalam konteks ini, fine-tuning bukanlah argumen apologetik,
melainkan jendela reflektif yang menunjukkan bahwa antara hukum alam dan
kesadaran manusia terdapat kesesuaian makna yang mendalam—sebuah tanda bahwa
dunia ini, dalam bahasa Einstein, “dapat dimengerti, dan itulah keajaiban
yang sejati.”³²
Footnotes
[1]
Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 292–293.
[2]
Bas C. van Fraassen, The
Scientific Image (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 184–185.
[3]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why
the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 23–25.
[4]
Paul Davies, The Mind of God: The
Scientific Basis for a Rational World
(London: Penguin, 1992), 110–113.
[5]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 195–197.
[6]
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 220–223.
[7]
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959),
275–277.
[8]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World
(London: SPCK, 1989), 53–55.
[9]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
237–240.
[10]
Wolfhart Pannenberg, Metaphysics
and the Idea of God (Grand Rapids,
MI: Eerdmans, 1990), 67–69.
[11]
Ibid., 72–73.
[12]
Arthur Peacocke, Theology for a
Scientific Age: Being and Becoming—Natural, Divine, and Human (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 41–43.
[13]
Ian G. Barbour, Religion and Science:
Historical and Contemporary Issues
(San Francisco: HarperCollins, 1997), 104–107.
[14]
Martin Heidegger, Identity and Difference, trans. Joan Stambaugh (New York: Harper & Row,
1969), 52–54.
[15]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.
[16]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929),
A632–A636/B660–B664.
[17]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 78–80.
[18]
Ibid., 82.
[19]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma:
Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 312–313.
[20]
Martin Rees, Just Six Numbers: The
Deep Forces That Shape the Universe
(New York: Basic Books, 2000), 11–13.
[21]
Max Tegmark, Our Mathematical
Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 284–286.
[22]
G. W. F. Hegel, Science of Logic, trans. A. V. Miller (London: Allen & Unwin,
1969), 157–159.
[23]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 7 (New
York: Doubleday, 1963), 96–97.
[24]
Swinburne, The Existence of God, 189–190.
[25]
John Leslie, Universes, 90–92.
[26]
Paul Davies, The Mind of God, 114–116.
[27]
Polkinghorne, Science and Providence, 61–63.
[28]
Ibid., 64.
[29]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality, ed. David R. Griffin
and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 129–131.
[30]
Ibid., 134–135.
[31]
Plantinga, Where the Conflict
Really Lies, 225–227.
[32]
Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349.
9.
Relevansi Kontemporer
Argumen fine-tuning
memiliki signifikansi yang meluas di era kontemporer, tidak hanya dalam
filsafat agama dan kosmologi teoretis, tetapi juga dalam refleksi
epistemologis, etika teknologi, dan kesadaran ekologis global. Dalam konteks
abad ke-21—ketika ilmu pengetahuan, teknologi, dan metafisika kembali
berinteraksi secara intens—fine-tuning menjadi simbol dialog
baru antara sains dan makna, antara rasionalitas empiris dan eksistensial.¹
9.1.
Dialog Sains dan Agama dalam Paradigma Baru
Di tengah
meningkatnya polarisasi antara naturalisme ilmiah dan spiritualitas religius, fine-tuning
argument menghadirkan peluang bagi rekonsiliasi intelektual yang
konstruktif.² Ian Barbour menyebut pendekatan semacam ini sebagai paradigma “dialog
dan integrasi,” yang menolak konflik metodologis antara sains dan agama.³ Fine-tuning
menawarkan ruang bagi perjumpaan epistemik: di satu sisi, ia berakar pada
penemuan empiris kosmologi modern; di sisi lain, ia membuka horizon makna yang
lebih dalam tentang keteraturan dan tujuan.⁴
John Polkinghorne,
seorang fisikawan dan teolog, melihat fine-tuning sebagai “isyarat
rasional” dari keserasian antara hukum alam dan intensionalitas ilahi.⁵
Sementara itu, Stephen Jay Gould melalui konsep Non-Overlapping Magisteria (NOMA)
menegaskan bahwa sains dan agama memiliki domain otonom yang berbeda, namun
tetap dapat bersinggungan dalam wilayah pertanyaan batas—seperti “mengapa
hukum-hukum itu ada?”⁶ Dalam konteks ini, fine-tuning berfungsi sebagai
jembatan konseptual antara dua bentuk rasionalitas: penjelasan ilmiah dan
pemaknaan metafisik.⁷
9.2.
Relevansi terhadap Etika Ilmiah dan Teknologi
Dalam ranah etika
ilmiah, fine-tuning
menghadirkan kesadaran baru tentang keterbatasan manusia sebagai “pengamat
kosmik.”⁸ Kesadaran bahwa keberadaan kehidupan bergantung pada keseimbangan
yang rapuh dari hukum alam mendorong refleksi moral tentang tanggung jawab
manusia terhadap alam semesta.⁹ Pandangan ini berkaitan erat dengan etika
ekologis kontemporer yang menekankan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya
persoalan biologis, tetapi juga spiritual dan kosmologis.¹⁰
Hans Jonas, dalam The
Imperative of Responsibility, menekankan bahwa kemajuan teknologi
harus diiringi dengan kesadaran kosmik—bahwa tindakan manusia berpotensi
mengganggu keseimbangan alam yang begitu halus.¹¹ Jika fine-tuning
menunjukkan betapa presisinya kondisi yang memungkinkan kehidupan, maka
tanggung jawab etis manusia adalah menjaga “penyetelan” itu dari
kehancuran ekologis dan teknologi yang tidak terkendali.¹²
Dengan demikian,
argumen fine-tuning
berfungsi sebagai fondasi reflektif bagi eco-theology dan cosmic
ethics, di mana manusia tidak hanya dipandang sebagai hasil dari
alam semesta yang disetel dengan halus, tetapi juga sebagai penjaga
kesetimbangan kosmos yang rasional dan rapuh.¹³
9.3.
Kesadaran Kosmik dan Dimensi Antropologis
Selain implikasi epistemik
dan etis, fine-tuning
juga memunculkan refleksi antropologis yang mendalam. Mengapa manusia mampu
memahami alam semesta yang begitu kompleks? Pertanyaan ini, sebagaimana
disinggung oleh Albert Einstein, merupakan “keajaiban tertinggi” dari
intelek manusia: bahwa dunia ini dapat dimengerti.¹⁴
John Leslie dan Paul
Davies mengaitkan hal ini dengan gagasan cosmic self-awareness, yakni bahwa
melalui kesadaran manusia, alam semesta menjadi sadar akan dirinya sendiri.¹⁵
Dalam kerangka ini, fine-tuning tidak hanya menunjuk
pada keteraturan eksternal, tetapi juga pada korespondensi internal antara
rasionalitas manusia dan rasionalitas kosmos.¹⁶ Manusia, dengan demikian, bukan
sekadar pengamat pasif, melainkan ekspresi dari prinsip intelligibilitas yang
menjiwai seluruh realitas.¹⁷
Interpretasi semacam
ini memiliki implikasi filosofis eksistensial: bahwa kehidupan manusia bukan
kebetulan tanpa makna, melainkan bagian integral dari struktur rasional alam
semesta.¹⁸ Hal ini memperluas horizon makna keberadaan manusia di era
teknologi—di mana kesadaran kosmik dapat menyeimbangkan kecenderungan
reduksionistik dari pandangan mekanistik tentang dunia.¹⁹
9.4.
Implikasi bagi Filsafat Ilmu dan Rasionalitas
Global
Dalam konteks
filsafat ilmu, fine-tuning menantang positivisme
klasik yang menganggap sains bebas nilai.²⁰ Ia mengingatkan bahwa sains
beroperasi di atas asumsi metafisik tentang keteraturan dan rasionalitas
realitas.²¹ Oleh karena itu, diskursus fine-tuning berkontribusi terhadap
apa yang disebut Thomas Kuhn sebagai “revolusi konseptual” dalam
paradigma ilmiah: dari sains deskriptif menuju sains reflektif yang sadar akan
dasar ontologisnya.²²
Lebih jauh, di era
globalisasi pengetahuan, fine-tuning memiliki nilai
universal. Ia mengundang dialog lintas budaya antara filsafat Barat, teologi
Timur, dan kosmologi Islam yang juga mengenal gagasan keteraturan ilahi (tanzīm
al-wujūd).²³ Dalam tradisi Islam, misalnya, konsep mīzān
(keseimbangan kosmik) dalam Al-Qur’an (QS 55:7–9) mengandung makna yang sejalan
dengan kesadaran akan “penyetelan halus” realitas.²⁴ Dengan demikian, fine-tuning
berpotensi menjadi medan dialog filsafat global yang menyatukan pandangan sains
modern dan spiritualitas klasik dalam kerangka rasionalitas universal.²⁵
Paradigma Humanistik dan Harapan Filosofis
Akhirnya, relevansi
kontemporer fine-tuning tidak dapat dilepaskan
dari krisis makna dalam peradaban modern.²⁶ Dalam dunia yang sering dipandang
sebagai hasil kebetulan buta dan mekanisme impersonal, fine-tuning
mengingatkan manusia bahwa keteraturan dan makna masih mungkin ditemukan dalam
struktur realitas itu sendiri.²⁷ Sebagaimana dikemukakan oleh Carl Sagan, “Kita
adalah cara alam semesta mengenal dirinya.”²⁸
Sintesis humanistik
semacam ini menunjukkan bahwa fine-tuning bukan sekadar teori
fisika atau argumen teistik, melainkan refleksi filosofis tentang koherensi
antara manusia, alam, dan rasio.²⁹ Dengan membuka ruang dialog antara empirisme
dan spiritualitas, fine-tuning mengajak kita untuk
memahami bahwa keteraturan kosmik tidak hanya berbicara tentang hukum, tetapi
juga tentang harapan—bahwa rasionalitas masih dapat menjadi dasar bagi
kesadaran, tanggung jawab, dan makna dalam dunia modern.³⁰
Footnotes
[1]
Ian G. Barbour, Religion and Science:
Historical and Contemporary Issues
(San Francisco: HarperCollins, 1997), 103–106.
[2]
Paul Davies, The Mind of God: The
Scientific Basis for a Rational World
(London: Penguin, 1992), 111–113.
[3]
Barbour, Religion and Science, 108–110.
[4]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World
(London: SPCK, 1989), 57–59.
[5]
Ibid., 60.
[6]
Stephen Jay Gould, Rocks of Ages: Science
and Religion in the Fullness of Life
(New York: Ballantine, 1999), 5–7.
[7]
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 226–228.
[8]
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 8–10.
[9]
Ibid., 11–12.
[10]
Holmes Rolston III, Science
and Religion: A Critical Survey
(Philadelphia: Temple University Press, 1987), 153–155.
[11]
Jonas, The Imperative of
Responsibility, 20–21.
[12]
Ibid., 22–23.
[13]
Sallie McFague, The Body of God: An
Ecological Theology (Minneapolis:
Fortress Press, 1993), 97–99.
[14]
Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349.
[15]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 88–90; Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 310–312.
[16]
Davies, The Mind of God, 115–116.
[17]
Leslie, Universes, 92–93.
[18]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why
the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 25–27.
[19]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality, ed. David R. Griffin
and Donald W. Sherburne (New York: Free Press, 1978), 135–137.
[20]
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959),
278–280.
[21]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 188–190.
[22]
Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolutions, 2nd ed.
(Chicago: University of Chicago Press, 1970), 111–113.
[23]
Osman Bakar, Tawhid and Science:
Essays on the History and Philosophy of Islamic Science (Kuala Lumpur: Secretariat for Islamic Philosophy and
Science, 1991), 67–70.
[24]
Al-Qur’an 55:7–9.
[25]
Seyyed Hossein Nasr, Religion
and the Order of Nature (New York:
Oxford University Press, 1996), 49–51.
[26]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007),
551–553.
[27]
Davies, The Goldilocks Enigma, 314–316.
[28]
Carl Sagan, Cosmos (New York: Random House, 1980), 345.
[29]
John Polkinghorne, Belief in God in an Age
of Science (New Haven: Yale
University Press, 1998), 89–91.
[30]
Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The
Voluntary and the Involuntary
(Evanston, IL: Northwestern University Press, 1966), 312–314.
10.
Kesimpulan
Argumen fine-tuning
merupakan salah satu titik temu paling signifikan antara ilmu pengetahuan
modern dan filsafat metafisika. Ia tidak sekadar berbicara tentang kehalusan
parameter kosmologis atau ketepatan hukum-hukum fisika, melainkan juga tentang
keteraturan yang dapat dipahami dan rasionalitas yang menjiwai realitas. Dalam
perjalanan artikulatifnya, fine-tuning argument memperlihatkan
bagaimana sains dan filsafat saling menegaskan: sains mengungkap fakta
keteraturan, sementara filsafat menafsirkan makna di balik keteraturan itu.¹
10.1.
Rekapitulasi Konseptual dan Epistemologis
Dari sisi ilmiah, fine-tuning
menunjukkan bahwa nilai-nilai konstanta fisika (seperti gravitasi, konstanta
kosmologis, dan konstanta struktur halus) berada dalam rentang yang sangat
sempit untuk memungkinkan kehidupan.² Fakta ini menimbulkan persoalan epistemik
yang tidak dapat dijawab oleh sains murni: mengapa hukum-hukum tersebut
demikian adanya?³ Melalui pendekatan probabilistik dan Bayesian, para filsuf
seperti Robin Collins dan Richard Swinburne berupaya memberikan struktur logis
bagi inferensi rasional terhadap kemungkinan adanya prinsip rasional atau
desain di balik kosmos.⁴
Namun, sebagaimana
telah dibahas, penalaran semacam itu menghadapi batas epistemologis. Kita tidak
memiliki dasar empiris untuk menentukan distribusi probabilitas bagi “kemungkinan
alam semesta lain.”⁵ Dengan demikian, fine-tuning argument tidak
menghasilkan bukti deduktif, melainkan sebuah argumen abduktif—yakni inferensi
terhadap penjelasan terbaik (inference to the best explanation).⁶
Dalam hal ini, kekuatannya bukan pada kepastian, tetapi pada koherensi rasional
dan daya jelaskan yang tinggi.⁷
10.2.
Sintesis antara Rasionalitas Ilmiah dan Makna
Metafisik
Secara filosofis, fine-tuning
mengungkap keterkaitan antara dua bentuk rasionalitas: empiris dan transenden.
Di satu sisi, ia menegaskan bahwa alam semesta bersifat dapat dipahami secara
matematis—sebuah prasyarat yang memungkinkan ilmu pengetahuan eksis.⁸ Di sisi
lain, ia menyingkap bahwa rasionalitas itu sendiri menuntut fondasi metafisik
yang lebih dalam, sebagaimana dikemukakan Paul Davies: “rasionalitas alam
semesta adalah misteri tertinggi dari sains.”⁹
Dalam konteks ini, fine-tuning
berfungsi sebagai jembatan epistemik antara fisika dan metafisika, antara fakta
dan makna.¹⁰ Ia menunjukkan bahwa sains dan teologi tidak harus
dipertentangkan, tetapi dapat dipahami sebagai dua cara penalaran yang berupaya
menyingkap rasionalitas realitas dari sisi yang berbeda.¹¹ Pendekatan ini
melahirkan apa yang dapat disebut “metafisika rasional terbuka,” di mana
pertanyaan ilmiah tentang asal-usul hukum alam sekaligus menjadi refleksi
filosofis tentang struktur makna keberadaan.¹²
10.3.
Batas Pengetahuan dan Kesadaran akan Misteri
Setiap argumen
filosofis yang melibatkan kosmologi pada akhirnya akan berhadapan dengan batas
epistemik manusia. Fine-tuning menandai batas tersebut:
titik di mana pengetahuan ilmiah mencapai puncaknya, namun pertanyaan tentang “mengapa
sesuatu ada alih-alih tidak ada” tetap tak terjawab.¹³ Dalam pengertian
ini, fine-tuning
bukan akhir dari penjelasan, tetapi awal dari kontemplasi filosofis yang lebih
dalam tentang realitas.¹⁴
Stephen Hawking
menyebut bahwa menemukan hukum alam bukanlah menemukan sebab mengapa
hukum-hukum itu ada; dan di situlah metafisika mengambil peran.¹⁵ Dengan
demikian, fine-tuning
mengingatkan kita bahwa rasionalitas manusia bukanlah alat untuk meniadakan
misteri, melainkan sarana untuk menghayatinya secara lebih reflektif dan
bertanggung jawab.¹⁶
10.4.
Implikasi Eksistensial dan Etis
Selain berdimensi
epistemik, fine-tuning
juga memunculkan kesadaran etis dan eksistensial yang mendalam. Menyadari bahwa
kehidupan bergantung pada keseimbangan yang sangat halus, manusia dihadapkan
pada tanggung jawab moral untuk menjaga keteraturan alam dan keberlanjutan
eksistensi.¹⁷ Hans Jonas menegaskan bahwa tanggung jawab etis harus proporsional
dengan kekuasaan teknologis manusia—dan fine-tuning memberi dasar ontologis
bagi prinsip tanggung jawab itu.¹⁸
Lebih dari itu,
argumen fine-tuning
menumbuhkan rasa takjub filosofis terhadap dunia. Albert Einstein menyebut
bahwa “pengalaman paling indah dan paling dalam yang dapat dimiliki manusia
adalah pengalaman akan misteri yang dapat dimengerti.”¹⁹ Dalam arti ini, fine-tuning
bukanlah sekadar teori kosmologi, tetapi ekspresi spiritual dari rasionalitas:
bahwa keteraturan alam bukan hanya fakta ilmiah, melainkan tanda bahwa realitas
memiliki struktur yang memungkinkan makna, kesadaran, dan keindahan.²⁰
Penutup: Rasionalitas sebagai Jembatan antara
Fakta dan Makna
Pada akhirnya, fine-tuning
argument tidak harus dipahami sebagai bukti teistik atau penyangkalan
naturalistik, melainkan sebagai cermin reflektif dari kondisi epistemik
manusia. Ia mengajarkan bahwa antara hukum alam dan kesadaran terdapat harmoni
rasional yang tak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kebetulan.²¹
Dalam horizon
filosofis ini, fine-tuning menjadi simbol
rasionalitas terbuka: rasionalitas yang mengakui batasnya sendiri, tetapi tetap
percaya pada keterpahaman dunia.²² Seperti dikatakan oleh John Polkinghorne, “Rasionalitas
alam dan rasionalitas pikiran bukan kebetulan; keduanya berasal dari sumber
yang sama.”²³ Maka, di tengah ketidakpastian kosmologis modern, fine-tuning
argument mengingatkan bahwa pencarian makna bukanlah antitesis dari
sains, tetapi kelanjutannya yang paling manusiawi.²⁴
Footnotes
[1]
Paul Draper, “God, Science, and Naturalism,” in The Oxford Handbook of Philosophy of Religion, ed. William J. Wainwright (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 290–292.
[2]
Martin Rees, Just Six Numbers: The
Deep Forces That Shape the Universe
(New York: Basic Books, 2000), 3–5.
[3]
Max Tegmark, Our Mathematical
Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality (New York: Knopf, 2014), 84–87.
[4]
Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the
Fine-Tuning of the Universe,” in The
Blackwell Companion to Natural Theology,
ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Blackwell, 2009), 208–210.
[5]
Elliott Sober, Evidence and Evolution:
The Logic Behind the Science
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 119–121.
[6]
Peter Lipton, Inference to the Best
Explanation, 2nd ed. (London:
Routledge, 2004), 59–61.
[7]
Alvin Plantinga, Where the Conflict
Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 219–221.
[8]
Paul Davies, The Mind of God: The
Scientific Basis for a Rational World
(London: Penguin, 1992), 112–114.
[9]
Ibid., 115.
[10]
Richard Swinburne, The Existence of God, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2004), 195–196.
[11]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World (London:
SPCK, 1989), 57–59.
[12]
Wolfhart Pannenberg, Metaphysics
and the Idea of God (Grand Rapids,
MI: Eerdmans, 1990), 70–72.
[13]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 244–246.
[14]
Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil (Boston: Beacon Press, 1967), 351–353.
[15]
Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 191–193.
[16]
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959),
279–280.
[17]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility:
In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 12–14.
[18]
Ibid., 22–24.
[19]
Albert Einstein, “Physics and Reality,” Journal of the Franklin Institute 221, no. 3 (1936): 349.
[20]
Paul Davies, The Goldilocks Enigma:
Why Is the Universe Just Right for Life? (London: Penguin, 2006), 312–314.
[21]
John Leslie, Universes (London: Routledge, 1989), 92–94.
[22]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why
the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (Oxford: Oxford University Press, 2012), 25–27.
[23]
John Polkinghorne, Belief in God in an Age
of Science (New Haven: Yale
University Press, 1998), 91–93.
[24]
Paul Davies, The Mind of God, 117–118.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa
Theologica (Trans. Fathers of the English Dominican Province). New
York, NY: Benziger Brothers.
Armstrong, D. M. (1983). What
is a Law of Nature? Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Barbour, I. G. (1997). Religion
and Science: Historical and Contemporary Issues. San Francisco, CA:
HarperCollins.
Barrow, J. D., &
Tipler, F. J. (1986). The Anthropic Cosmological Principle.
Oxford, UK: Clarendon Press.
Bakar, O. (1991). Tawhid
and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic Science.
Kuala Lumpur, Malaysia: Secretariat for Islamic Philosophy and Science.
Carter, B. (1974). Large
number coincidences and the anthropic principle in cosmology. In M. S. Longair
(Ed.), Confrontation of Cosmological Theories with Observational Data
(pp. 291–298). Dordrecht, Netherlands: Reidel.
Carroll, J. W. (1994). Laws
of Nature. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Carroll, S. (2016). The
Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe Itself.
New York, NY: Dutton.
Cartwright, N. (1983). How
the Laws of Physics Lie. Oxford, UK: Clarendon Press.
Collins, R. (2009). The
teleological argument: An exploration of the fine-tuning of the universe. In W.
L. Craig & J. P. Moreland (Eds.), The Blackwell Companion
to Natural Theology (pp. 202–282). Oxford, UK: Blackwell.
Collins, R. (2013). The
fine-tuning evidence is convincing. In J. P. Moreland, C. Meister, & K.
Sweis (Eds.), Debating Christian Theism
(pp. 51–65). Oxford, UK: Oxford University Press.
Copleston, F. (1963). A
History of Philosophy (Vol. 7). New York, NY: Doubleday.
Darwin, C. (1859). On
the Origin of Species. London, UK: John Murray.
Davies, P. (1992). The
Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World. London, UK:
Penguin Books.
Davies, P. (2006). The
Goldilocks Enigma: Why is the Universe Just Right for Life? London,
UK: Penguin Books.
Dawkins, R. (2006). The
God Delusion. London, UK: Bantam Press.
Draper, P. (2005). God,
science, and naturalism. In W. J. Wainwright (Ed.), The Oxford Handbook of
Philosophy of Religion (pp. 272–295). Oxford, UK: Oxford University
Press.
Einstein, A. (1936).
Physics and reality. Journal of the Franklin Institute, 221(3),
349–382.
Ellis, G. F. R. (2007).
Issues in the philosophy of cosmology. In J. Butterfield & J. Earman
(Eds.), Handbook in Philosophy of Physics (pp. 1223–1286).
Amsterdam, Netherlands: Elsevier.
Fraassen, B. C. van.
(1980). The Scientific Image. Oxford, UK: Clarendon Press.
Fraassen, B. C. van.
(1989). Laws and Symmetry. Oxford, UK: Clarendon Press.
Fraassen, B. C. van. (2001).
Science, materialism, and false consciousness. Philosophy of Science,
68(3), 413–417.
Gilson, É. (1956). The
Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas. New York, NY: Random
House.
Gould, S. J. (1999). Rocks
of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life. New York,
NY: Ballantine Books.
Hacking, I. (1975). The
Emergence of Probability. Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Hawking, S. (1988). A
Brief History of Time. New York, NY: Bantam Books.
Hegel, G. W. F. (1969). Science
of Logic (Trans. A. V. Miller). London, UK: Allen & Unwin.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology
of Spirit (Trans. A. V. Miller). Oxford, UK: Oxford University
Press.
Heidegger, M. (1962). Being
and Time (Trans. J. Macquarrie & E. Robinson). New York, NY:
Harper & Row.
Heidegger, M. (1969). Identity
and Difference (Trans. J. Stambaugh). New York, NY: Harper &
Row.
Hoyle, F. (1954). On
nuclear reactions occurring in very hot stars: I. The synthesis of elements
from carbon to nickel. Astrophysical Journal Supplement Series,
1, 121–146.
Hoyle, F. (1982). The
universe: Past and present reflections. Annual Review of
Astronomy and Astrophysics, 20, 1–35.
Hume, D. (1947). Dialogues
Concerning Natural Religion (Ed. N. K. Smith). Indianapolis, IN:
Bobbs-Merrill.
Jonas, H. (1984). The
Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age.
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Kant, I. (1929). Critique
of Pure Reason (Trans. N. K. Smith). London, UK: Macmillan.
Kuhn, T. S. (1970). The
Structure of Scientific Revolutions (2nd ed.). Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Leslie, J. (1989). Universes.
London, UK: Routledge.
Lewis, D. (1986). Philosophical
Papers (Vol. 2). Oxford, UK: Oxford University Press.
Lipton, P. (2004). Inference
to the Best Explanation (2nd ed.). London, UK: Routledge.
Maudlin, T. (2007). The
Metaphysics Within Physics. Oxford, UK: Oxford University Press.
McFague, S. (1993). The
Body of God: An Ecological Theology. Minneapolis, MN: Fortress
Press.
Nagel, T. (2012). Mind
and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature is Almost
Certainly False. Oxford, UK: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion
and the Order of Nature. New York, NY: Oxford University Press.
Paley, W. (1802). Natural
Theology. London, UK: R. Faulder.
Pannenberg, W. (1990). Metaphysics
and the Idea of God. Grand Rapids, MI: Eerdmans.
Peacocke, A. (1993). Theology
for a Scientific Age: Being and Becoming—Natural, Divine, and Human.
Minneapolis, MN: Fortress Press.
Penrose, R. (2004). The
Road to Reality: A Complete Guide to the Laws of the Universe.
London, UK: Jonathan Cape.
Plantinga, A. (2011). Where
the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism. Oxford,
UK: Oxford University Press.
Planck Collaboration.
(2020). Planck 2018 results. VI. Cosmological parameters. Astronomy
& Astrophysics, 641, A6.
Polkinghorne, J. (1989). Science
and Providence: God’s Interaction with the World. London, UK: SPCK.
Polkinghorne, J. (1998). Belief
in God in an Age of Science. New Haven, CT: Yale University Press.
Popper, K. (1959). The
Logic of Scientific Discovery. London, UK: Routledge.
Rees, M. (2000). Just
Six Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe. New York, NY:
Basic Books.
Rees, M. (2013).
Perspectives in astrophysical cosmology. Philosophical
Transactions of the Royal Society A, 371(1992), 20120241.
Ricoeur, P. (1966). Freedom
and Nature: The Voluntary and the Involuntary. Evanston, IL:
Northwestern University Press.
Ricoeur, P. (1967). The
Symbolism of Evil. Boston, MA: Beacon Press.
Rolston, H. III. (1987). Science
and Religion: A Critical Survey. Philadelphia, PA: Temple
University Press.
Ruse, M. (2003). Darwin
and Design: Does Evolution Have a Purpose? Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Sagan, C. (1980). Cosmos.
New York, NY: Random House.
Sober, E. (2008). Evidence
and Evolution: The Logic Behind the Science. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Stenger, V. J. (2011). The
Fallacy of Fine-Tuning: Why the Universe Is Not Designed for Us.
Amherst, NY: Prometheus Books.
Susskind, L. (2005). The
Cosmic Landscape: String Theory and the Illusion of Intelligent Design.
New York, NY: Little, Brown.
Swinburne, R. (2004). The
Existence of God (2nd ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Taylor, C. (2007). A
Secular Age. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Tegmark, M. (2014). Our
Mathematical Universe: My Quest for the Ultimate Nature of Reality.
New York, NY: Knopf.
Tillich, P. (1951). Systematic
Theology (Vol. 1). Chicago, IL: University of Chicago Press.
Weinberg, S. (2008). Cosmology.
Oxford, UK: Oxford University Press.
Whitehead, A. N. (1978). Process
and Reality (D. R. Griffin & D. W. Sherburne, Eds.). New York,
NY: Free Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar