Sabtu, 01 November 2025

Aksiologi Islam: Nilai, Etika, dan Tujuan Kehidupan dalam Perspektif Ilmu dan Wahyu

Aksiologi Islam

Nilai, Etika, dan Tujuan Kehidupan dalam Perspektif Ilmu dan Wahyu


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif dimensi aksiologi dalam filsafat Islam sebagai fondasi etis, epistemologis, dan ontologis dari seluruh sistem pemikiran Islam. Berbeda dari tradisi Barat yang cenderung menempatkan manusia sebagai pusat nilai (antroposentris), aksiologi Islam berakar pada prinsip tauhid yang menegaskan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam dalam tatanan nilai yang integral. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika filosofis dan analisis komparatif, kajian ini menelusuri evolusi historis, struktur konseptual, serta relevansi kontemporer aksiologi Islam, mulai dari pemikiran klasik Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Arabi, hingga sintesis metafisis Mulla Sadra.

Hasil kajian menunjukkan bahwa aksiologi Islam berpijak pada integrasi tiga sumber pengetahuan nilai—akal, wahyu, dan intuisi—yang membentuk kerangka etika rasional sekaligus spiritual. Nilai-nilai seperti ‘adl (keadilan), hikmah (kebijaksanaan), dan rahmah (kasih sayang) tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga metafisik, karena merefleksikan sifat-sifat Ilahi dalam wujud manusia dan masyarakat. Dalam tataran sosial, aksiologi Islam menegaskan pentingnya pembentukan masyarakat etis (al-madīnah al-fāḍilah), keseimbangan ekologis, dan tanggung jawab ilmiah terhadap kemanusiaan serta alam.

Secara kontemporer, aksiologi Islam menawarkan paradigma teo-humanistik dan integral yang relevan untuk menjawab krisis moral, disintegrasi ilmu, serta degradasi lingkungan global. Paradigma ini menolak dikotomi antara sains dan nilai, antara spiritualitas dan rasionalitas, serta antara individu dan masyarakat. Dengan demikian, filsafat nilai Islam memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan etika global yang berakar pada spiritualitas, keadilan, dan kemanusiaan universal.

Kata Kunci: Aksiologi Islam, Tauhid, Nilai Moral, Etika Ilahi, Filsafat Islam, Humanisme Transendental, Integralisme Etika, Filsafat Nilai, Etika Global.


PEMBAHASAN

Aksiologi dalam Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah panjang filsafat, persoalan mengenai nilai—baik moral, estetis, maupun spiritual—senantiasa menjadi pusat perhatian refleksi manusia. Aksiologi, sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat, sumber, dan tujuan nilai, menjadi ranah penting untuk memahami bagaimana manusia menilai tindakan, pengetahuan, serta makna hidupnya. Dalam konteks Filsafat Islam, pembahasan mengenai nilai tidak hanya berdiri pada fondasi rasionalitas manusia sebagaimana dalam tradisi filsafat Yunani atau modern Barat, tetapi juga berpijak pada wahyu sebagai sumber pengetahuan dan moralitas tertinggi. Dengan demikian, filsafat Islam menghadirkan suatu sintesis unik antara akal (‘aql), wahyu (wahy), dan pengalaman spiritual (dzauq), yang bersama-sama membentuk horizon aksiologisnya.¹

Konteks historis kemunculan filsafat Islam memperlihatkan bahwa refleksi nilai tidak dapat dilepaskan dari upaya Islamisasi ilmu dan etika Yunani, Persia, dan India. Sejak masa Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina, persoalan nilai dan tujuan hidup manusia dikaji melalui kerangka metafisika tentang al-khayr al-mahd (kebaikan murni) yang berpuncak pada Tuhan sebagai sumber segala kesempurnaan.² Namun, ketika tradisi filsafat itu bersentuhan dengan teologi (kalām) dan tasawuf, muncul perluasan konseptual bahwa nilai tidak hanya bersifat rasional, tetapi juga eksistensial dan transendental—yakni terkait dengan kedekatan manusia kepada Tuhan (taqarrub ila Allah).³

Dalam pandangan Islam, nilai tertinggi tidak terletak pada kesenangan duniawi atau kebahagiaan material, melainkan pada pencapaian sa‘ādah (kebahagiaan sejati) yang mengandaikan kesempurnaan akal, kesucian jiwa, dan keharmonisan sosial.⁴ Aksiologi Islam dengan demikian berorientasi pada teleologi teosentris, di mana segala nilai, tindakan, dan pengetahuan manusia bermakna sejauh mengarah pada kebaikan ilahiah (al-khayr al-ilāhī).⁵ Pandangan ini menjadikan aksiologi Islam bukan sekadar etika normatif, melainkan juga metafisika nilai, karena ia menghubungkan tataran moral dengan struktur ontologis dan epistemologis keberadaan.

Permasalahan utama yang hendak dikaji dalam artikel ini adalah: (1) apa hakikat nilai dalam filsafat Islam dan bagaimana dasarnya secara ontologis dan epistemologis? (2) bagaimana hubungan antara akal, wahyu, dan intuisi dalam membentuk pengetahuan nilai? (3) bagaimana implikasi aksiologi Islam terhadap kehidupan sosial, ilmiah, dan peradaban modern? Ketiga persoalan ini menjadi titik tolak untuk menelusuri bahwa aksiologi Islam tidak hanya relevan secara historis, tetapi juga menyumbang kerangka etika yang komprehensif dan integral bagi tantangan kemanusiaan kontemporer.

Dengan demikian, tulisan ini bertujuan mengelaborasi struktur aksiologi dalam filsafat Islam secara filosofis, historis, dan interdisipliner, untuk menyingkap kontribusi Islam terhadap teori nilai universal. Kajian ini menggunakan pendekatan hermeneutika filosofis dan analisis konseptual-komparatif—yakni menafsirkan gagasan nilai dalam teks-teks klasik dan mengujinya melalui wacana filsafat nilai modern.⁶


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 57.

[2]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 41–45.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 112.

[4]                Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A‘raq, ed. Constantine Zurayk (Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayah, 1961), 23–27.

[5]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 144–146.

[6]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 15–17.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Aksiologi dalam Filsafat Islam

Perkembangan aksiologi dalam filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari dinamika intelektual dunia Islam yang sejak awal berdialog dengan warisan filsafat Yunani, Persia, dan India. Tradisi filsafat Islam muncul sebagai upaya kreatif untuk mengintegrasikan wahyu dengan rasio, serta untuk merumuskan sistem pengetahuan dan nilai yang bersumber dari pandangan dunia tauhid (worldview of tawhid).¹ Dalam konteks ini, aksiologi Islam berakar pada tiga fondasi historis: (1) penerimaan dan reinterpretasi konsep nilai Yunani; (2) integrasi etika rasional dengan spiritualitas Qur’ani; dan (3) perkembangan nilai-nilai etis dalam kerangka teologis dan sufistik.

2.1.       Warisan Filsafat Yunani dan Transformasinya dalam Islam

Para filsuf Muslim awal seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina berperan penting dalam mentransmisikan sekaligus menafsirkan gagasan nilai dari filsafat Yunani ke dalam kerangka metafisika Islam. Konsep agathon (kebaikan tertinggi) dalam pemikiran Plato dan eudaimonia (kebahagiaan) dalam etika Aristoteles menjadi titik berangkat bagi refleksi nilai dalam Islam.² Namun, para filsuf Muslim tidak sekadar mengadopsi, melainkan mengislamkan konsep-konsep tersebut dengan menempatkan Tuhan (Allah) sebagai sumber dan tujuan segala kebaikan.

Al-Farabi misalnya, dalam karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, memandang bahwa kebahagiaan sejati (sa‘adah) hanya dapat dicapai ketika akal manusia menyatu dengan Akal Aktif (al-‘aql al-fa‘‘al), yakni pancaran intelek ilahi yang menjadi sumber pengetahuan dan moralitas.³ Di sini, nilai-nilai etis seperti keadilan, kebijaksanaan, dan kesederhanaan memperoleh legitimasi ontologis karena berakar pada tatanan kosmos yang rasional dan ilahi.

Sementara itu, Ibn Sina mengembangkan konsep nilai melalui kerangka metafisika wujud. Ia menegaskan bahwa segala yang ada (mawjud) mengandung kebaikan sejauh berpartisipasi dalam wujud Tuhan, yang merupakan al-wujud al-mutlaq (Ada Mutlak).⁴ Dengan demikian, nilai bukanlah konstruksi subjektif, tetapi realitas objektif yang berakar pada keberadaan ilahi.

2.2.       Integrasi Etika Rasional dan Nilai Spiritual

Ketika filsafat Islam memasuki masa Al-Ghazali, terjadi pergeseran fokus dari metafisika rasional menuju dimensi etika dan spiritualitas. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan nilai sejati hanya dapat dicapai melalui penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan penyinaran hati oleh cahaya wahyu.⁵ Ia mengkritik rasionalisme murni para filsuf dan menegaskan pentingnya keseimbangan antara akal, syariat, dan pengalaman mistik.

Dalam kerangka ini, nilai moral bukan sekadar hasil refleksi intelektual, melainkan hasil penyatuan antara ilmu dan iman. Etika Islam yang dibangun Al-Ghazali bersifat teleologis dan teosentris: segala tindakan bernilai sejauh mengarah pada keridhaan Allah.⁶

2.3.       Perkembangan Aksiologi dalam Tradisi Hikmah dan Tasawuf

Perkembangan lebih lanjut terjadi dalam filsafat illuminationis (hikmah isyraqiyyah) Suhrawardi dan filsafat transenden (hikmah muta‘aliyyah) Mulla Sadra. Suhrawardi memandang bahwa nilai merupakan manifestasi dari nur al-anwar (cahaya segala cahaya), yaitu Tuhan sebagai sumber segala kebaikan dan keindahan.⁷ Mulla Sadra kemudian mensintesiskan rasionalisme Ibn Sina, iluminasi Suhrawardi, dan intuisionisme Ibn Arabi dengan mengajukan teori ashalat al-wujud (keaslian wujud) dan tashkik al-wujud (gradasi wujud).⁸

Dalam kerangka Sadra, nilai menjadi ekspresi gradasional dari kesempurnaan wujud: semakin tinggi tingkat keberadaan, semakin tinggi pula nilai ontologis dan moralnya. Dengan demikian, tindakan manusia memperoleh nilai sejauh ia mencerminkan kesempurnaan ilahi dalam wujudnya.⁹

2.4.       Genealogi Historis Menuju Aksiologi Islam Modern

Dalam perkembangan modern, pemikir seperti Muhammad Iqbal, Seyyed Hossein Nasr, dan Fazlur Rahman berusaha menafsirkan kembali nilai-nilai Islam dalam konteks modernitas. Iqbal menegaskan pentingnya dinamisme dan kreativitas dalam eksistensi manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi.¹⁰ Nasr menekankan dimensi sakral ilmu dan nilai spiritual dalam menghadapi krisis moral modern, sedangkan Fazlur Rahman menggarisbawahi perlunya “etika Qur’ani” yang responsif terhadap konteks sosial-historis.¹¹

Dengan demikian, genealoginya menunjukkan bahwa aksiologi Islam tumbuh melalui dialog lintas zaman—antara metafisika dan wahyu, antara filsafat dan tasawuf, serta antara tradisi klasik dan modernitas. Aksiologi Islam tidak berhenti pada sistem nilai statis, melainkan terus berkembang sebagai pandangan hidup yang integral dan terbuka terhadap perubahan zaman.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 21–24.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 38–42.

[3]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 55–58.

[4]                Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, ed. Sulayman Dunya (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1957), 92–95.

[5]                Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 14–19.

[6]                Richard M. Frank, “Al-Ghazali and the Ash‘arite School,” Journal of the American Oriental Society 109, no. 3 (1989): 385–402.

[7]                Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Ishraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institut Franco-Iranien, 1952), 78–81.

[8]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981), 103–107.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 117–122.

[10]             Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf, 1954), 45–49.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 83–88; Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 16–20.


3.           Ontologi Nilai dalam Filsafat Islam

Hakikat nilai dalam filsafat Islam tidak dapat dipahami tanpa merujuk pada konsep fundamental tentang wujud (being). Bagi para filsuf Muslim, nilai bukanlah sekadar konstruksi sosial atau hasil penilaian subjektif manusia, melainkan sesuatu yang berakar pada struktur ontologis realitas itu sendiri.¹ Dalam kerangka metafisika Islam, nilai memiliki landasan teosentris: segala kebaikan, kebenaran, dan keindahan berpuncak pada Tuhan (Allah) sebagai Al-Haqq—Realitas Mutlak yang menjadi sumber segala keberadaan dan kesempurnaan.²

3.1.       Wujud sebagai Dasar Nilai

Menurut Ibn Sina, eksistensi Tuhan sebagai wajib al-wujud (yang niscaya ada) menjadi dasar bagi segala nilai yang ada di dunia. Semua bentuk kebaikan dan kesempurnaan yang terdapat pada makhluk merupakan pancaran dari keberadaan-Nya.³ Dengan demikian, nilai bukan sekadar atribut moral, tetapi juga derivasi ontologis dari wujud ilahi. Apa pun yang “ada” secara nyata memiliki tingkat kebaikan sejauh ia berpartisipasi dalam eksistensi Tuhan. Sebaliknya, keburukan bukanlah entitas positif, melainkan ketiadaan nilai ontologis (non-being), sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Sina: al-sharr ‘adam al-khayr—kejahatan adalah ketiadaan kebaikan.⁴

Al-Farabi memperkuat pandangan ini dengan mengaitkan nilai dengan tatanan kosmik dan teleologi. Menurutnya, kebaikan sejati (al-khayr al-mahd) terdapat pada tujuan akhir keberadaan, yakni penyempurnaan akal dan jiwa menuju kebahagiaan (sa‘adah).⁵ Nilai etis, dengan demikian, berakar pada nilai metafisik: semakin sesuatu mendekat pada kesempurnaan wujudnya, semakin tinggi nilai kebaikannya.

3.2.       Ontologi Cahaya dan Nilai dalam Filsafat Isyraqiyyah

Dalam sistem filsafat iluminasi Suhrawardi, realitas dipahami dalam bentuk hierarki cahaya (nūr). Tuhan disebut sebagai Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya), dan seluruh makhluk merupakan emanasi berjenjang dari-Nya.⁶ Nilai, dalam konteks ini, adalah manifestasi dari intensitas cahaya: semakin terang (mendekat pada sumber cahaya), semakin tinggi pula nilai ontologis dan moralnya. Dalam pandangan Suhrawardi, keindahan, kebaikan, dan kebenaran bukan tiga kategori terpisah, tetapi tiga aspek dari satu realitas cahaya yang sama.⁷

Sistem ini menandai pergeseran ontologis penting: nilai tidak lagi dipahami hanya dalam kategori rasional atau moral, melainkan simbolis dan intuitif—yakni pengalaman langsung terhadap realitas ilahi melalui penyinaran batin. Karena itu, pencapaian nilai tertinggi menuntut penyucian jiwa agar mampu memantulkan cahaya kebenaran.

3.3.       Nilai sebagai Gradasi Wujud dalam Filsafat Mulla Sadra

Puncak sintesis ontologis nilai dalam filsafat Islam tampak pada pemikiran Mulla Sadra. Ia mengajukan teori ashālat al-wujūd (keaslian eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi wujud), yang menyatakan bahwa eksistensi bersifat satu tetapi bergradasi menurut tingkat kesempurnaan.⁸ Dari pandangan ini, nilai bukanlah sesuatu yang ditambahkan pada wujud, melainkan inheren di dalamnya. Setiap tingkatan wujud merepresentasikan intensitas nilai: semakin sempurna wujud, semakin tinggi pula nilai kebaikan dan keindahannya.

Sadra juga mengaitkan nilai dengan gerak substansial (al-harakat al-jawhariyyah), di mana seluruh realitas bergerak secara ontologis menuju Tuhan sebagai kesempurnaan absolut.⁹ Dengan demikian, nilai dalam filsafat Sadra bersifat dinamis dan teleologis—segala sesuatu memiliki kecenderungan alami untuk menuju kebaikan yang tertinggi.

3.4.       Keterpaduan antara Nilai, Wujud, dan Wahyu

Dari keseluruhan tradisi tersebut, filsafat Islam memandang nilai sebagai aspek integral dari keberadaan yang berakar pada Tuhan. Dalam perspektif Qur’ani, kebaikan dan kebenaran merupakan cerminan langsung dari nama-nama ilahi (asma’ al-husna).¹⁰ Oleh karena itu, struktur nilai bersifat kosmik sekaligus etis: nilai-nilai moral manusia bukanlah buatan sosial, tetapi pengejawantahan dari tatanan ontologis semesta.

Keterpaduan antara metafisika dan etika ini menjadikan aksiologi Islam bersifat teo-ontologis, yaitu sistem nilai yang berpijak pada realitas ketuhanan dan tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang wujud. Nilai tertinggi bukan sekadar yang “baik bagi manusia,” tetapi yang “menuntun manusia kepada Tuhan.” Dengan demikian, ontologi nilai dalam filsafat Islam menunjukkan bahwa moralitas sejati tidak dapat dilepaskan dari keberadaan dan kesadaran akan Wujud Mutlak.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 27–30.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 81–84.

[3]                Ibn Sina, Al-Shifa’: Al-Ilahiyyat, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1960), 312–316.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 89–91.

[5]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 67–70.

[6]                Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Ishraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institut Franco-Iranien, 1952), 93–95.

[7]                Hossein Ziai, Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq (Atlanta: Scholars Press, 1990), 58–63.

[8]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981), 114–118.

[9]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 127–132.

[10]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 152–155.


4.           Epistemologi Nilai: Antara Akal, Wahyu, dan Intuisi

Pertanyaan epistemologis dalam filsafat Islam tidak hanya berkisar pada bagaimana manusia mengetahui sesuatu, tetapi juga bagaimana manusia mengetahui sesuatu sebagai bernilai. Nilai dalam filsafat Islam bukan sekadar hasil dari penilaian empiris atau kesepakatan sosial, melainkan memiliki sumber epistemik yang berlapis—yakni akal (‘aql), wahyu (wahy), dan intuisi (dzauq/ ‘ilm hudhuri). Ketiga dimensi ini membentuk sistem pengetahuan nilai yang khas, di mana rasionalitas dan spiritualitas tidak dipertentangkan, melainkan disintesiskan dalam kerangka teosentris.¹

4.1.       Akal sebagai Instrumen Rasional Pengetahuan Nilai

Dalam tradisi falsafah klasik, akal (‘aql) dipandang sebagai instrumen utama untuk memahami struktur nilai. Bagi Al-Farabi, akal adalah daya yang memungkinkan manusia membedakan antara al-khayr (yang baik) dan al-sharr (yang buruk) melalui keterarahan terhadap tujuan akhir keberadaan (ghayah).² Akal menilai baik atau buruknya suatu tindakan sejauh tindakan itu mendekatkan manusia pada kesempurnaan wujudnya. Dalam kerangka ini, etika menjadi rasional karena bersandar pada pengetahuan tentang hakikat realitas.

Ibn Sina menegaskan bahwa pengetahuan nilai bersumber dari al-‘aql al-fa‘‘al (Akal Aktif), yang menyalurkan kebenaran universal kepada jiwa manusia.³ Pengetahuan tentang kebaikan bukan hanya hasil deduksi logis, tetapi pancaran dari intelek yang telah disucikan dan terbuka pada kebenaran transenden. Dengan demikian, epistemologi nilai tidak hanya bersifat logis, tetapi juga iluminatif—akal memperoleh pengetahuan nilai sejauh ia berpartisipasi dalam intelek ilahi.

Namun, akal manusia memiliki keterbatasan: ia dapat mengenali struktur nilai rasional, tetapi tidak selalu mampu menjangkau makna terdalam dari kebaikan yang bersifat ilahiah. Di titik inilah wahyu dan intuisi menjadi sumber epistemik pelengkap.

4.2.       Wahyu sebagai Sumber Transendental Pengetahuan Nilai

Wahyu dalam Islam bukan sekadar informasi teologis, melainkan sumber nilai tertinggi yang memberi makna etis dan arah moral bagi kehidupan manusia. Nilai-nilai seperti keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmah), dan kebijaksanaan (hikmah) bukan hasil kontrak sosial, tetapi perintah ilahi yang memiliki basis ontologis dan epistemologis dalam wahyu.⁴

Al-Ghazali menjelaskan bahwa akal hanya dapat berfungsi dengan benar jika dibimbing oleh cahaya wahyu. Dalam Mishkat al-Anwar, ia menggambarkan wahyu sebagai cahaya tertinggi yang menerangi akal, sebagaimana mata tidak dapat melihat tanpa cahaya matahari.⁵ Akal tanpa wahyu akan terjebak dalam relativisme, sedangkan wahyu tanpa akal akan sulit dipahami secara rasional. Karena itu, epistemologi nilai dalam Islam bersifat illuminatif-revelasional: wahyu menjadi sumber makna, dan akal menjadi alat penafsiran yang menyingkap nilai-nilai tersebut secara rasional dan kontekstual.

Selain itu, wahyu tidak hanya memberi norma moral, tetapi juga membuka horizon nilai yang bersifat kosmik. Al-Qur’an menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki nilai sejauh ia tunduk dan berfungsi sesuai kehendak ilahi (QS. Al-Mulk [67] ayat 3–4).⁶ Dengan demikian, nilai tidak hanya berkaitan dengan etika manusia, tetapi juga dengan keteraturan dan harmoni kosmos sebagai tanda kebijaksanaan Tuhan.

4.3.       Intuisi dan Pengetahuan Hudhuri sebagai Sumber Langsung Nilai

Dimensi epistemik yang ketiga adalah intuisi (‘ilm hudhuri) atau pengetahuan langsung tanpa perantara konsep. Dalam pandangan Suhrawardi, pengetahuan sejati tentang nilai diperoleh melalui penyinaran batin oleh cahaya ilahi.⁷ Manusia yang jiwanya murni dapat “melihat” kebenaran dan kebaikan secara langsung tanpa melalui inferensi rasional. Proses ini disebut isyraq (pencerahan), di mana nilai diketahui bukan melalui analisis logis, tetapi melalui pengalaman kesatuan eksistensial dengan sumber nilai itu sendiri.

Mulla Sadra kemudian memperluas gagasan ini dengan menyatakan bahwa ‘ilm hudhuri adalah bentuk pengetahuan di mana subjek dan objek pengetahuan menyatu dalam eksistensi.⁸ Dalam konteks nilai, hal ini berarti bahwa manusia mengetahui kebaikan bukan hanya karena berpikir tentangnya, tetapi karena menjadi baik melalui penyempurnaan wujudnya. Dengan demikian, epistemologi nilai dalam filsafat Islam bersifat transformasional: pengetahuan tentang nilai menuntut perubahan ontologis dalam diri subjek.

4.4.       Kesatuan Epistemik antara Akal, Wahyu, dan Intuisi

Ketiga sumber pengetahuan nilai tersebut—akal, wahyu, dan intuisi—tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi. Akal memberikan struktur rasional penilaian; wahyu menyediakan sumber makna dan legitimasi ilahi; dan intuisi menghadirkan pengalaman langsung terhadap nilai kebenaran. Ketiganya berpadu dalam kesatuan epistemik yang menggambarkan karakter integral filsafat Islam.⁹

Dengan demikian, epistemologi nilai dalam Islam tidak bersifat dualistik (antara rasionalisme dan spiritualisme), tetapi integratif dan hierarkis. Nilai tertinggi hanya dapat dipahami secara penuh ketika akal beroperasi dalam cahaya wahyu dan ditransformasikan melalui intuisi spiritual. Dalam kerangka inilah filsafat Islam membedakan dirinya dari epistemologi nilai Barat yang cenderung antroposentris dan empiris, dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati tentang nilai adalah penyingkapan diri Tuhan dalam kesadaran manusia.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 88–91.

[2]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 72–75.

[3]                Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, ed. Sulayman Dunya (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1957), 134–138.

[4]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 161–164.

[5]                Al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, ed. Abdurrahman Badawi (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1964), 24–28.

[6]                Al-Qur’an, Surah Al-Mulk [67]:3–4.

[7]                Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Ishraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institut Franco-Iranien, 1952), 101–103.

[8]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981), 156–160.

[9]                Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence (Albany: State University of New York Press, 1992), 89–93.


5.           Aksiologi: Prinsip-Prinsip Nilai dan Etika dalam Filsafat Islam

Aksiologi dalam filsafat Islam menempati posisi sentral karena ia menghubungkan metafisika dan epistemologi dengan kehidupan moral dan sosial manusia. Jika ontologi menjawab apa yang ada dan epistemologi menjelaskan bagaimana mengetahui yang ada, maka aksiologi menguraikan bagaimana manusia seharusnya bertindak dalam terang pengetahuan dan keberadaannya.¹ Dalam konteks Islam, tindakan bernilai bukan hanya karena manfaat pragmatisnya, tetapi karena keterarahannya kepada Tuhan sebagai sumber kebaikan mutlak (al-khayr al-mahd). Dengan demikian, sistem nilai Islam bersifat teosentris, teleologis, dan integral, di mana dimensi moral, rasional, dan spiritual saling berkelindan.

5.1.       Hakikat Nilai dalam Perspektif Islam

Dalam pandangan Islam, nilai (qiyam) bersumber dari realitas ilahi. Nilai-nilai seperti keadilan (‘adl), kasih sayang (rahmah), kejujuran (sidq), dan kebijaksanaan (hikmah) bukanlah produk relativisme sosial, tetapi manifestasi dari asma’ al-husna (nama-nama Tuhan yang indah).² Dengan kata lain, nilai-nilai moral memiliki akar ontologis dalam sifat-sifat Tuhan yang terefleksi dalam ciptaan. Karena itu, manusia berbuat baik bukan semata karena perintah eksternal, melainkan karena tindakan baik mencerminkan keterhubungannya dengan hakikat wujud yang Ilahi.

Al-Qur’an menegaskan bahwa setiap tindakan dinilai berdasarkan niat dan orientasinya (niyyah), bukan sekadar hasilnya (QS. Al-Baqarah [2] ayat 177).³ Nilai moral sejati terletak pada intensi yang mengarahkan tindakan kepada kebaikan substantif, bukan sekadar pada bentuk lahiriah perbuatan. Di sinilah filsafat Islam menekankan pentingnya dimensi batin dari etika—tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa)—sebagai dasar moralitas.

5.2.       Etika Kebajikan (Virtue Ethics) dalam Islam

Tradisi filsafat Islam mengembangkan etika kebajikan (akhlaqiyyah) yang menekankan pembentukan karakter dan keseimbangan jiwa. Ibn Miskawaih, dalam Tahdzib al-Akhlaq, menjelaskan bahwa kebajikan (fadilah) adalah hasil dari keseimbangan antara tiga daya utama manusia: rasional (‘aqliyyah), marah (ghadabiyyah), dan syahwat (shahwiyyah).⁴ Apabila ketiganya berada dalam proporsi yang seimbang, maka lahirlah kebijaksanaan, keberanian, dan kesederhanaan sebagai puncak nilai moral.

Al-Farabi juga memandang bahwa etika merupakan jalan menuju sa‘adah (kebahagiaan sejati).⁵ Tindakan moral tidak hanya dinilai dari kepatuhan hukum, tetapi dari sejauh mana ia membawa manusia menuju kesempurnaan intelektual dan spiritual. Dalam hal ini, sa‘adah bukanlah kenikmatan duniawi, melainkan kondisi kesatuan akal manusia dengan Akal Aktif—yakni puncak penyatuan antara pengetahuan dan nilai.

Etika kebajikan Islam bersifat eudaimonik-teosentris: kebahagiaan sejati hanya dicapai ketika manusia hidup sesuai dengan nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan. Nilai-nilai itu tidak bersifat eksternal terhadap manusia, tetapi inheren dalam fitrah manusia yang diciptakan ala shurat al-Rahman (menurut citra Ilahi).⁶

5.3.       Prinsip-Prinsip Nilai Universal dalam Islam

Filsafat Islam merumuskan sejumlah prinsip aksiologis universal yang menjadi fondasi bagi seluruh tindakan etis. Empat di antaranya adalah:

·                     Keadilan (‘adl): keseimbangan dalam hubungan dengan diri, sesama, dan Tuhan. Al-Farabi memandang keadilan sebagai nilai dasar dalam tatanan sosial dan politik, karena ia menjaga harmoni antara kebebasan individu dan keteraturan komunitas.⁷

·                     Kasih sayang (rahmah): nilai yang menjiwai seluruh hukum Tuhan. Ibn Arabi menegaskan bahwa kasih sayang merupakan hakikat kosmik yang menjadi dasar penciptaan.⁸

·                     Kebijaksanaan (hikmah): integrasi antara pengetahuan rasional dan kebijaksanaan spiritual. Suhrawardi menempatkan hikmah sebagai cahaya intelektual yang menuntun jiwa menuju kebaikan sejati.⁹

·                     Keseimbangan (wasathiyyah): prinsip moderasi yang menjaga agar nilai tidak berubah menjadi ekstremitas destruktif. Prinsip ini mendasari konsep “umat pertengahan” dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah [2] ayat 143).¹⁰

Prinsip-prinsip tersebut tidak hanya menjadi norma moral, tetapi juga orientasi ontologis—mengarahkan seluruh wujud manusia untuk hidup selaras dengan tatanan kosmik yang ditetapkan Tuhan.

5.4.       Integrasi antara Nilai, Syariat, dan Akhlak

Dalam kerangka Islam, sistem nilai tidak dapat dipisahkan dari hukum (syariat) dan moralitas (akhlaq). Syariat menyediakan struktur normatif eksternal, sementara akhlak menginternalisasi nilai-nilai itu menjadi kebajikan batin.¹¹ Al-Ghazali menegaskan bahwa syariat tanpa akhlak akan kering secara spiritual, sedangkan akhlak tanpa syariat akan kehilangan arah.¹²

Dengan demikian, etika Islam bersifat integratif: wahyu memberikan pedoman, akal menafsirkan, dan jiwa menghayati. Etika bukan hanya persoalan “apa yang harus dilakukan,” tetapi juga “siapa yang harus menjadi manusia.” Dalam arti ini, aksiologi Islam tidak berhenti pada moralitas tindakan, tetapi menjangkau pembentukan insan kamil (manusia sempurna)—yakni sosok yang menyatukan nilai intelektual, spiritual, dan sosial dalam kehidupannya.¹³


Teleologi Moral: Tujuan Nilai sebagai Pendekatan kepada Tuhan

Seluruh sistem nilai Islam berorientasi pada ghayah (tujuan akhir): kedekatan kepada Tuhan (taqarrub ila Allah). Filsafat Islam memandang bahwa tindakan etis bernilai sejauh ia memperluas kapasitas eksistensial manusia menuju kesempurnaan ilahi.¹⁴ Nilai, dalam kerangka ini, memiliki sifat transendental dan transformasional: ia tidak berhenti pada tindakan moral, tetapi mengubah eksistensi pelaku menjadi lebih sempurna.

Dengan demikian, aksiologi Islam menempatkan manusia dalam dinamika spiritual yang berkesinambungan—dari kesadaran moral menuju kesadaran ontologis dan akhirnya menuju kesadaran teologis.¹⁵ Aksiologi dalam filsafat Islam bukan hanya teori nilai, tetapi juga jalan menuju kebijaksanaan yang menuntun manusia untuk hidup dalam harmoni dengan Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 73–77.

[2]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 170–172.

[3]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]:177.

[4]                Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A‘raq, ed. Constantine Zurayk (Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayah, 1961), 31–34.

[5]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 82–85.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 94–96.

[7]                Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: E.J. Brill, 1991), 54–57.

[8]                Ibn al-‘Arabi, Fusus al-Hikam, ed. Abdurrahman Badawi (Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946), 21–23.

[9]                Shihab al-Din al-Suhrawardi, Hikmat al-Ishraq, ed. Henry Corbin (Tehran: Institut Franco-Iranien, 1952), 110–113.

[10]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]:143.

[11]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 35–39.

[12]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 47–51.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth (New York: HarperOne, 2007), 104–108.

[14]             Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 4 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981), 92–96.

[15]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 147–150.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Peradaban Aksiologi Islam

Aksiologi dalam filsafat Islam tidak berhenti pada ranah teoritis mengenai nilai dan moralitas individual, tetapi meluas ke dimensi sosial, politik, dan peradaban. Nilai dalam Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga menstrukturkan kehidupan bersama yang adil, harmonis, dan berkeadaban.¹ Dengan demikian, prinsip-prinsip aksiologis Islam menjadi fondasi normatif bagi pembentukan masyarakat etis (al-mujtama‘ al-fadhil), tatanan politik yang adil, dan peradaban yang berorientasi pada keseimbangan antara spiritualitas dan rasionalitas.

6.1.       Keadilan Sosial sebagai Prinsip Aksiologis Fundamental

Keadilan (‘adl) merupakan nilai tertinggi dalam etika sosial Islam dan pilar utama seluruh struktur peradaban. Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS. An-Nahl [16] ayat 90).² Dalam kerangka aksiologi, keadilan bukan sekadar prinsip hukum, melainkan nilai ontologis yang mengakar pada tatanan wujud: segala sesuatu memiliki tempat dan ukurannya yang seimbang.³

Al-Farabi, dalam Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, menegaskan bahwa masyarakat ideal terbentuk ketika setiap individu menjalankan fungsinya sesuai fitrah dan kapasitas intelektualnya, sebagaimana organ-organ tubuh yang bekerja secara harmonis.⁴ Keadilan di sini berarti keselarasan fungsi sosial berdasarkan hikmah, bukan keseragaman atau kesetaraan mekanis. Maka, dalam perspektif aksiologis Islam, keadilan sosial mencakup dimensi etis (moral individu), struktural (tatanan sosial), dan spiritual (hubungan dengan Tuhan).

6.2.       Etika Politik dan Kepemimpinan dalam Kerangka Nilai

Filsafat politik Islam, terutama dalam pemikiran Al-Farabi dan Ibn Sina, berpijak pada landasan aksiologis: tujuan politik adalah sa‘adah (kebahagiaan) warga negara melalui penegakan nilai-nilai moral dan intelektual.⁵ Politik dalam Islam bukan seni kekuasaan, melainkan sarana mewujudkan kebaikan kolektif (maslahah ‘ammah).

Al-Farabi memandang pemimpin ideal (ra’is al-awwal) sebagai manusia yang menggabungkan kebijaksanaan filsafat, wahyu kenabian, dan moralitas tinggi.⁶ Ia tidak hanya mengatur masyarakat secara administratif, tetapi juga menuntun jiwa manusia menuju kesempurnaan spiritual. Dalam pandangan ini, politik memperoleh makna etis dan teleologis: ia bernilai sejauh mengarahkan manusia menuju Tuhan.

Pandangan ini diadopsi dan dikembangkan oleh Ibn Khaldun, yang menekankan bahwa kekuasaan yang tidak didasari nilai moral dan keadilan akan melahirkan kemunduran (inhitat al-‘umran).⁷ Nilai moral bukan hanya pembimbing bagi individu, tetapi juga penopang stabilitas peradaban.

6.3.       Aksiologi Peradaban: Integrasi Ilmu, Etika, dan Spiritualitas

Dalam dimensi peradaban (hadarah), aksiologi Islam menegaskan bahwa kemajuan sejati tidak diukur dari aspek material, tetapi dari sejauh mana ilmu dan teknologi diarahkan oleh nilai-nilai moral dan spiritual.⁸ Sejak masa Bayt al-Hikmah di Baghdad hingga madrasah-madrasah Andalusia, peradaban Islam menampilkan keseimbangan antara rasionalitas ilmiah dan spiritualitas.

Nasr menekankan bahwa krisis peradaban modern berakar pada pemisahan antara ilmu dan nilai.⁹ Sementara itu, filsafat Islam klasik menegaskan bahwa ilmu bersifat sakral karena memantulkan kebijaksanaan Ilahi. Oleh karena itu, setiap aktivitas sosial—termasuk politik, ekonomi, dan sains—harus dipandu oleh hikmah (kebijaksanaan) dan amanah (tanggung jawab moral).

Konsep ummah dalam Islam mencerminkan aksiologi peradaban yang integral: komunitas manusia yang disatukan oleh keimanan, keadilan, dan solidaritas etis.¹⁰ Dalam kerangka ini, peradaban Islam ideal adalah peradaban ta‘awun (kerjasama) dan rahmah (kasih sayang), bukan dominasi dan eksploitasi.

6.4.       Etika Sosial dan Tanggung Jawab Kemanusiaan

Aksiologi Islam juga memiliki implikasi sosial yang luas dalam membangun solidaritas kemanusiaan. Prinsip ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan manusia) dan amanah khalifah (tanggung jawab sebagai wakil Tuhan di bumi) menegaskan bahwa nilai-nilai Islam bersifat universal dan kosmopolit.¹¹

Al-Ghazali, dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, mengajarkan bahwa masyarakat hanya akan makmur jika setiap individu menunaikan tanggung jawab sosialnya dengan kesadaran spiritual.¹² Ia menolak bentuk keagamaan yang terlepas dari kepedulian sosial, menegaskan bahwa ibadah sejati terwujud dalam kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, Ibn Miskawaih menyebutkan bahwa kebajikan sosial tidak dapat dipisahkan dari kebajikan pribadi: “Keadilan dalam jiwa adalah cermin keadilan dalam masyarakat.”¹³ Dengan demikian, transformasi moral individu menjadi syarat bagi terwujudnya keadilan sosial.


Relevansi Aksiologi Islam dalam Tatanan Global

Dalam konteks global kontemporer, nilai-nilai aksiologis Islam menawarkan alternatif terhadap paradigma sekular dan utilitarian yang mendominasi politik dan ekonomi modern.¹⁴ Prinsip maslahah, keadilan distributif, dan keseimbangan ekologis menjadi kontribusi penting bagi etika global.

Sebagaimana ditegaskan oleh Fazlur Rahman, etika Islam bersifat dinamis: ia mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial tanpa kehilangan fondasi wahyunya.¹⁵ Maka, dimensi sosial dan politik dari aksiologi Islam tidak hanya relevan dalam dunia Muslim, tetapi juga memberikan dasar filosofis bagi pembangunan peradaban global yang berkeadilan, humanistik, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 42–45.

[2]                Al-Qur’an, Surah An-Nahl [16]:90.

[3]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 188–190.

[4]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 92–96.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 83–86.

[6]                Muhsin Mahdi, Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 2001), 114–118.

[7]                Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, ed. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 156–160.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 121–126.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 91–94.

[10]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]:143.

[11]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 45–47.

[12]             Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 215–218.

[13]             Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A‘raq, ed. Constantine Zurayk (Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayah, 1961), 77–79.

[14]             Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1975), 63–67.

[15]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 102–106.


7.           Dimensi Ilmiah dan Interdisipliner

Aksiologi dalam filsafat Islam tidak hanya berperan dalam tataran moral dan spiritual, tetapi juga membentuk fondasi epistemologis dan etis bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam tradisi Islam klasik, ilmu (‘ilm) tidak pernah dipandang sebagai aktivitas bebas nilai, melainkan sebagai manifestasi tanggung jawab manusia terhadap Tuhan dan ciptaan-Nya.¹ Nilai menjadi orientasi sekaligus batasan moral dalam proses pengetahuan, sehingga seluruh disiplin keilmuan diarahkan untuk mencapai hikmah (kebijaksanaan) dan sa‘adah (kebahagiaan sejati).² Dengan demikian, aksiologi Islam bersifat ilmiah dan interdisipliner, menghubungkan dimensi etika, metafisika, dan sains dalam satu kesatuan pandangan dunia (worldview of tawhid).

7.1.       Ilmu dan Nilai dalam Perspektif Tauhid

Filsafat Islam memahami ilmu dalam kerangka tauhid—yakni kesatuan antara Tuhan, alam, dan manusia dalam tatanan wujud yang hierarkis.³ Karena itu, aktivitas ilmiah tidak hanya dimotivasi oleh rasa ingin tahu rasional, tetapi juga oleh kesadaran spiritual bahwa pengetahuan merupakan cara untuk mengenal Tuhan (ma‘rifatullah). Nilai kebenaran dalam Islam bersifat sakral karena berasal dari Al-Haqq, Realitas Mutlak yang sekaligus menjadi sumber nilai dan kebenaran.⁴

Al-Farabi dan Ibn Sina menegaskan bahwa ilmu tidak dapat dipisahkan dari tujuan moral.⁵ Pengetahuan sejati (‘ilm al-yaqin) hanya bermakna apabila mengarahkan manusia kepada kebajikan (al-khayr) dan kesempurnaan jiwa. Oleh sebab itu, dalam sistem pendidikan Islam klasik, ilmu dan akhlak merupakan dua sisi yang tak terpisahkan: penguasaan pengetahuan tanpa penyucian diri (tazkiyah al-nafs) dianggap tidak bernilai.

7.2.       Dimensi Etis dalam Filsafat Ilmu Islam

Salah satu sumbangan terbesar filsafat Islam terhadap epistemologi modern adalah pandangannya tentang etika ilmiah. Para ilmuwan Muslim klasik seperti Ibn al-Haytham, Al-Biruni, dan Nasir al-Din al-Tusi tidak hanya berorientasi pada objektivitas, tetapi juga pada tanggung jawab moral terhadap kebenaran.⁶

Dalam kerangka aksiologis, kebenaran ilmiah bukan hanya soal kesesuaian proposisi dengan realitas empiris, tetapi juga tentang kesesuaian pengetahuan dengan tatanan moral dan spiritual. Mulla Sadra menyebut bahwa “pengetahuan sejati tidak terpisah dari penyempurnaan eksistensi jiwa.”⁷ Artinya, kegiatan ilmiah merupakan bentuk ibadah intelektual yang mengandung nilai-nilai etis, seperti kejujuran, kerendahan hati, dan ketekunan.

Etika ilmiah Islam menolak dikotomi antara “fakta” dan “nilai.” Dalam pandangan Islam, fakta ilmiah selalu berada dalam bingkai nilai-nilai ilahiah.⁸ Hal ini menjadikan aksiologi Islam relevan dengan perdebatan kontemporer mengenai ethics of science, terutama dalam isu-isu seperti bioetika, teknologi digital, dan etika lingkungan.

7.3.       Integrasi Ilmu dan Spiritualitas

Tradisi hikmah dalam filsafat Islam menegaskan bahwa ilmu yang sejati adalah ilmu yang menyatukan aspek rasional dan spiritual. Suhrawardi menggambarkan ilmu sebagai “cahaya yang menerangi akal,” sedangkan Al-Ghazali menyebutnya sebagai “buah dari penyinaran wahyu.”⁹ Dalam konteks ini, aksiologi berfungsi sebagai jembatan antara epistemologi dan spiritualitas: ia memastikan bahwa setiap pengetahuan diarahkan pada pembentukan jiwa yang saleh dan beradab.

Seyyed Hossein Nasr menafsirkan kembali konsep ini dalam kerangka modern sebagai “sains sakral” (sacred science), yaitu ilmu pengetahuan yang mengakui dimensi transenden realitas dan menolak reduksi materialistik.¹⁰ Pandangan ini menjadi kritik terhadap paradigma ilmiah modern yang cenderung menyingkirkan nilai moral dan makna spiritual dari proses pengetahuan.

Dengan demikian, integrasi ilmu dan spiritualitas dalam filsafat Islam menampilkan model pengetahuan yang holistik dan integral, di mana kebenaran ilmiah dan kebajikan moral saling memperkuat.

7.4.       Aksiologi Islam dan Dialog Interdisipliner

Dimensi interdisipliner dari aksiologi Islam terlihat jelas dalam kemampuannya menjembatani berbagai bidang ilmu: filsafat, teologi, etika, sains, dan sosial-humaniora.¹¹ Dalam tradisi Islam klasik, tidak ada pemisahan tegas antara ilmu-ilmu “agama” dan “dunia.” Semua disiplin, baik astronomi, kedokteran, maupun hukum, dipandang sebagai bagian dari pencarian kebenaran tunggal.

Konsep hikmah muta‘aliyyah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra menunjukkan bagaimana filsafat dapat memadukan wacana metafisika, rasionalitas, dan intuisi dalam satu struktur pengetahuan.¹² Pendekatan ini kemudian menginspirasi pemikir Islam modern seperti Fazlur Rahman dan Ismail al-Faruqi untuk merumuskan “integrasi ilmu dan nilai” (Islamization of knowledge).¹³

Dalam perspektif interdisipliner ini, aksiologi berfungsi sebagai pusat pengikat—sebuah orientasi nilai yang mengarahkan seluruh cabang ilmu agar tetap berpijak pada tujuan kemanusiaan dan ketuhanan. Hal ini sejalan dengan prinsip maqasid al-shari‘ah (tujuan-tujuan luhur hukum Islam), yang menempatkan ilmu dan etika dalam sinergi untuk melindungi kehidupan, akal, kehormatan, dan kesejahteraan umat manusia.¹⁴


Relevansi Ilmiah dan Kontemporer

Dalam dunia modern yang diwarnai oleh krisis etika dan disintegrasi pengetahuan, dimensi ilmiah aksiologi Islam menawarkan paradigma alternatif.¹⁵ Ia menolak dikotomi antara sains dan moralitas, antara pengetahuan dan makna. Pendekatan ini membuka ruang bagi pembentukan ilmu yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dan keberlanjutan—seperti etika teknologi, bioetika, dan etika lingkungan dalam kerangka Islam.

Melalui pendekatan aksiologis, Islam memandang ilmu sebagai sarana untuk memperluas kesadaran manusia tentang tanggung jawabnya terhadap Tuhan, sesama, dan alam.¹⁶ Dengan demikian, ilmu dalam Islam bukan sekadar akumulasi data atau teori, tetapi sebuah perjalanan eksistensial menuju al-Haqq—sumber segala nilai dan kebenaran.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 48–51.

[2]                Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 12–15.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 94–97.

[4]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 177–179.

[5]                Ibn Sina, Al-Shifa’: Al-Ilahiyyat, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah, 1960), 328–332.

[6]                A.I. Sabra, “Science and Philosophy in Medieval Islamic Theology,” Zeitschrift für Geschichte der Arabisch-Islamischen Wissenschaften 9 (1994): 1–20.

[7]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981), 142–146.

[8]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 63–67.

[9]                Al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, ed. Abdurrahman Badawi (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1964), 29–33.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, 2nd ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 95–99.

[11]             Mehdi Golshani, The Holy Qur’an and the Sciences of Nature (Tehran: Institute for Humanities and Cultural Studies, 1998), 52–56.

[12]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 163–167.

[13]             Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan (Herndon, VA: IIIT, 1982), 21–25.

[14]             Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 38–42.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 113–117.

[16]             Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 121–125.


8.           Perbandingan: Aksiologi Islam dan Tradisi Filsafat Barat

Kajian aksiologi dalam filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari dialog panjangnya dengan tradisi filsafat Barat. Sejak masa penerjemahan karya-karya Yunani pada abad ke-9, pemikiran Islam telah berinteraksi, menyerap, sekaligus mengkritisi gagasan etika dan teori nilai dari filsafat klasik hingga modern.¹ Namun, perbandingan keduanya menunjukkan perbedaan mendasar dalam orientasi metafisik, epistemologis, dan teleologis: aksiologi Islam berpusat pada Tuhan (teosentris), sedangkan aksiologi Barat modern cenderung berpusat pada manusia (antroposentris).

8.1.       Akar Historis: Dari Filsafat Yunani ke Islam

Aksiologi Islam awal banyak terinspirasi oleh etika eudaimonik dari Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, kebaikan tertinggi (to agathon) adalah ide yang menjadi sumber segala realitas dan nilai, sedangkan Aristoteles menekankan eudaimonia sebagai kebahagiaan yang dicapai melalui kebajikan rasional.² Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Miskawaih mengadopsi gagasan ini, tetapi menafsirkannya dalam kerangka metafisika Islam: kebaikan tertinggi bukan ide abstrak, melainkan Tuhan sebagai al-khayr al-mahd (Kebaikan Mutlak).³

Perbedaan ini bersifat ontologis. Bagi Aristoteles, nilai bersifat imanen dalam tatanan rasional alam; bagi filsafat Islam, nilai bersifat transenden—berakar pada realitas Ilahi.⁴ Dengan demikian, filsafat Islam menggabungkan etika rasional Yunani dengan wahyu Qur’ani, menghasilkan sistem nilai yang berorientasi pada kesempurnaan spiritual, bukan semata kesempurnaan intelektual.

8.2.       Epistemologi Nilai: Rasionalitas vs. Wahyu dan Intuisi

Filsafat Barat sejak zaman modern menekankan otonomi rasio sebagai sumber pengetahuan moral. Immanuel Kant, misalnya, mendasarkan etika pada prinsip rasional universal yang ia sebut “imperatif kategoris,” yakni bahwa tindakan bermoral harus dapat dijadikan hukum universal bagi semua makhluk rasional.⁵ Dalam sistem Kantian, moralitas berdiri independen dari agama; nilai bersumber dari kehendak rasional yang otonom.

Sebaliknya, dalam filsafat Islam, akal bukan satu-satunya sumber nilai. Pengetahuan moral diperoleh melalui kesatuan antara akal, wahyu, dan intuisi (‘aql, wahy, dzauq).⁶ Nilai tertinggi tidak dapat ditetapkan oleh kehendak manusia, melainkan diturunkan dari kebenaran ilahi yang bersifat objektif dan transenden. Karena itu, etika Islam menolak pandangan Kantian tentang moralitas tanpa Tuhan, sekaligus menghindari subjektivisme moral yang berkembang dalam etika postmodern.⁷

Selain itu, dalam tradisi tasawuf, pengetahuan nilai bersifat eksperiensial: manusia mengenal kebaikan sejati bukan hanya melalui rasio, tetapi melalui penyucian jiwa dan penyinaran batin. Hal ini kontras dengan rasionalisme moral Barat yang memisahkan etika dari pengalaman spiritual.

8.3.       Ontologi Nilai: Transendensi dalam Islam vs. Immanensi dalam Barat

Dalam tradisi Barat modern, terutama setelah Nietzsche dan Heidegger, nilai kehilangan dasar metafisiknya. Nietzsche mendeklarasikan “kematian Tuhan” dan menegaskan bahwa nilai adalah konstruksi manusia yang diciptakan untuk mempertahankan eksistensinya.⁸ Heidegger kemudian melanjutkan kritik itu dengan menunjukkan bahwa metafisika Barat telah melupakan pertanyaan tentang ada (being) dan menggantinya dengan kalkulasi teknologis tentang manfaat.⁹

Sebaliknya, Mulla Sadra dalam filsafat Islam justru menegaskan keterpaduan antara wujud dan nilai. Dalam teori tashkīk al-wujūd (gradasi eksistensi), nilai moral dan ontologis berbanding lurus: semakin tinggi derajat wujud, semakin tinggi pula nilai kebaikannya.¹⁰ Nilai bukan hasil kontruksi sosial, melainkan refleksi dari realitas Ilahi. Dengan demikian, aksiologi Islam mempertahankan makna ontologis nilai yang telah hilang dalam filsafat Barat modern.

8.4.       Teleologi Moral: Tujuan Etika

Filsafat Barat modern umumnya menempatkan tujuan moral dalam konteks duniawi: kebahagiaan, utilitas, atau kebebasan individu. Utilitarianisme Bentham dan Mill, misalnya, mendefinisikan nilai moral berdasarkan “manfaat terbesar bagi jumlah terbesar.”¹¹ Dalam paradigma ini, nilai bersifat pragmatis dan kuantitatif.

Filsafat Islam, sebaliknya, menempatkan tujuan moral dalam kerangka teleologi spiritual: setiap tindakan bernilai sejauh mengantarkan manusia pada sa‘adah (kebahagiaan sejati) dan kedekatan kepada Tuhan (taqarrub ila Allah).¹² Prinsip ini memberikan dimensi transendental yang tidak ditemukan dalam utilitarianisme maupun deontologi modern. Nilai dalam Islam bukan sekadar alat untuk mencapai kesenangan, melainkan jalan untuk menyempurnakan eksistensi manusia.¹³

8.5.       Aksiologi Humanistik: Dari Antroposentris ke Teo-Humanistik

Meskipun Islam menolak antroposentrisme mutlak, filsafat Islam tetap mengakui dimensi humanistik nilai: manusia adalah khalifah yang diberi kehendak bebas dan tanggung jawab moral.¹⁴ Dalam kerangka ini, aksiologi Islam bersifat teo-humanistik—yakni menggabungkan pusat ketuhanan dengan penghargaan terhadap martabat manusia.

Pandangan ini berbeda dari humanisme sekuler Barat yang menegasikan dimensi ilahi dalam diri manusia. Sementara filsafat Barat modern menekankan kebebasan manusia dari Tuhan, Islam menegaskan kebebasan manusia dalam Tuhan: manusia menjadi bebas karena tunduk kepada Kebenaran Tertinggi.¹⁵ Dengan demikian, aksiologi Islam menghadirkan sintesis antara rasionalitas, spiritualitas, dan moralitas, yang mampu menyeimbangkan antara otonomi manusia dan kedaulatan ilahi.


Titik Temu dan Peluang Dialog

Meskipun terdapat perbedaan mendasar, filsafat Islam dan Barat memiliki sejumlah titik temu. Keduanya sama-sama mengakui bahwa nilai merupakan pusat kehidupan manusia dan fondasi peradaban.¹⁶ Etika kebajikan Aristotelian, etika kewajiban Kantian, dan etika teleologis Islam dapat dipertemukan dalam kerangka dialog interfilosofis mengenai kebaikan universal dan martabat manusia.

Pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr, Charles Taylor, dan Hans Küng bahkan melihat peluang pembentukan “etika global” yang berpijak pada prinsip keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab ekologis.¹⁷ Dalam konteks ini, aksiologi Islam tidak berdiri eksklusif, tetapi berperan sebagai mitra kritis yang mengingatkan filsafat Barat akan akar spiritual dari nilai-nilai yang telah sekularisasi hilangkan.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 47–50.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), 1094a–1097b.

[3]                Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 26–29.

[4]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 99–103.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 37–40.

[6]                Al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, ed. Abdurrahman Badawi (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1964), 32–35.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 121–123.

[8]                Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, trans. Carol Diethe (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 25–27.

[9]                Martin Heidegger, Letter on Humanism, trans. Frank A. Capuzzi (New York: Harper & Row, 1977), 219–222.

[10]             Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981), 118–122.

[11]             John Stuart Mill, Utilitarianism, ed. George Sher (Indianapolis: Hackett Publishing, 2001), 12–15.

[12]             Ibn Sina, Al-Isharat wa al-Tanbihat, ed. Sulayman Dunya (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1957), 144–148.

[13]             Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 192–194.

[14]             Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]:30.

[15]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 88–91.

[16]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 516–520.

[17]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Continuum, 1991), 45–49.


9.           Kritik terhadap Aksiologi Islam

Sebagai sistem filsafat nilai yang menekankan integrasi antara wahyu, akal, dan intuisi, aksiologi Islam menawarkan struktur etika yang komprehensif dan teosentris. Namun, sistem ini tidak luput dari kritik—baik dari kalangan internal Islam sendiri maupun dari tradisi filsafat Barat modern. Kritik-kritik tersebut terutama berkaitan dengan persoalan metodologis, universalitas nilai, dan relevansinya terhadap konteks sosial kontemporer.¹

9.1.       Kritik Internal: Ketegangan antara Akal dan Wahyu

Kritik pertama datang dari dalam tradisi intelektual Islam sendiri. Sejak masa klasik, telah terjadi ketegangan epistemologis antara kaum falāsifah (rasionalis) dan para teolog (mutakallimūn). Kaum rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibn Sina menekankan peran akal sebagai sumber pengetahuan nilai dan kebahagiaan sejati (sa‘adah), sedangkan kalangan teolog Asy‘ariyyah seperti Al-Ghazali menegaskan supremasi wahyu dalam menetapkan kriteria baik dan buruk.²

Dalam Tahāfut al-Falāsifah, Al-Ghazali mengkritik para filsuf karena dianggap menundukkan wahyu di bawah rasio manusia.³ Bagi Al-Ghazali, akal memang penting, tetapi hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, bukan untuk menggantikannya. Ketegangan ini mencerminkan dilema epistemologis yang terus berlanjut dalam filsafat Islam: sejauh mana manusia dapat merumuskan nilai-nilai etis tanpa menyalahi otoritas ilahi.

Sebagian pemikir kontemporer seperti Muhammad Abid al-Jabiri melihat bahwa dominasi dimensi teologis dalam aksiologi Islam sering kali menghambat rasionalisasi etika.⁴ Ia mengusulkan “nalar etis Arab-Islam” yang lebih kontekstual dan kritis terhadap warisan teosentris klasik. Di sisi lain, Seyyed Hossein Nasr membantah hal ini, dengan menegaskan bahwa rasionalitas yang terputus dari dimensi transendental justru menyebabkan disorientasi moral modern.⁵

9.2.       Kritik Eksternal: Tuduhan Teosentrisme dan Non-Universalisme Nilai

Kritik dari luar Islam umumnya diarahkan pada sifat teosentris dan non-universal dari sistem nilai Islam. Para filsuf sekuler berpendapat bahwa menjadikan Tuhan sebagai pusat sistem nilai menimbulkan eksklusivitas moral yang sulit diterapkan secara universal.⁶

Dari perspektif filsafat moral modern, seperti yang dikemukakan oleh Kant dan Rawls, nilai moral harus dapat diterima oleh semua makhluk rasional tanpa memerlukan landasan teologis.⁷ Dalam konteks ini, aksiologi Islam dianggap masih bergantung pada otoritas wahyu yang partikular.

Selain itu, Hassan Hanafi menilai bahwa filsafat Islam klasik terlalu berorientasi pada metafisika dan mengabaikan realitas sosial.⁸ Ia menyerukan “pembalikan arah aksiologi” dari teosentris menuju antroposentris, agar etika Islam lebih relevan bagi masyarakat modern. Kritik ini lahir dari semangat humanisme Islam yang berusaha menafsirkan nilai-nilai Qur’ani dalam kerangka historis dan praksis.

Namun, pandangan tersebut mendapat tanggapan dari pemikir tradisionalis seperti Nasr dan Al-Attas, yang menilai bahwa pelepasan nilai dari landasan ilahi justru menimbulkan relativisme moral dan nihilisme sebagaimana terjadi di Barat modern.⁹ Dengan demikian, perdebatan ini memperlihatkan ketegangan antara kebutuhan universalisasi nilai dan komitmen terhadap transendensi.

9.3.       Kritik Filsafat Barat: Relativisme dan Sekularisasi Nilai

Filsafat Barat modern memberikan dua kritik utama terhadap aksiologi Islam: (1) keterikatannya pada otoritas wahyu yang dianggap membatasi kebebasan moral manusia, dan (2) kurangnya otonomi etika dari agama. Nietzsche misalnya menolak setiap bentuk moralitas teistik sebagai bentuk “perbudakan nilai,” di mana manusia kehilangan kebebasan mencipta makna.¹⁰ Sementara Sartre dalam eksistensialismenya menegaskan bahwa tanpa Tuhan, manusia sendirilah pencipta nilai melalui pilihan dan tindakan.¹¹

Dari sudut pandang ini, aksiologi Islam dianggap “tidak eksistensialis,” karena menempatkan manusia sebagai pelaksana nilai ilahi, bukan pencipta nilai. Kritik ini, bagaimanapun, direspon oleh pemikir Islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, yang berargumen bahwa Islam tidak meniadakan kebebasan moral, melainkan mengarahkan kebebasan itu kepada tujuan etis yang konstruktif.¹² Ia menyebut etika Qur’ani sebagai “otonomi dalam ketaatan,” yakni kebebasan yang sadar akan keterikatan kepada kebenaran moral yang objektif.

9.4.       Kritik Historis dan Sosial: Ketidakterapan Normatif

Kritik lain muncul dari pendekatan historis dan sosiologis. Beberapa sarjana, seperti Mohammad Arkoun, menilai bahwa filsafat nilai Islam klasik bersifat normatif dan elitis, lebih berfokus pada penyempurnaan spiritual individu ketimbang transformasi sosial.¹³ Akibatnya, filsafat Islam gagal mengembangkan teori sosial yang efektif untuk menjawab persoalan keadilan ekonomi, gender, dan hak asasi manusia.

Selain itu, pluralitas tafsir dalam etika Islam sering menimbulkan kesulitan dalam menentukan norma universal yang mengikat.¹⁴ Misalnya, perdebatan tentang maslahah (kemaslahatan umum) dalam hukum Islam memperlihatkan perbedaan tajam antara pendekatan tekstualis dan rasionalis. Dalam konteks ini, kritik diarahkan pada lemahnya dimensi aksiologis Islam dalam merumuskan teori moral publik yang adaptif terhadap modernitas.


Upaya Sintesis dan Jawaban atas Kritik

Meski menghadapi kritik, sejumlah pemikir Islam kontemporer berusaha membangun aksiologi Islam yang dialogis dan universal. Nasr, Rahman, dan Chittick mencoba menegaskan kembali dimensi spiritual dan kosmologis nilai Islam tanpa menutup diri terhadap modernitas.¹⁵ Mereka menolak dikotomi antara teosentrisme dan antroposentrisme dengan menawarkan paradigma teo-humanistik integral—yakni pandangan bahwa nilai bersumber dari Tuhan namun direalisasikan melalui kesadaran dan tindakan manusia di dunia.

Dengan demikian, kritik terhadap aksiologi Islam justru membuka ruang refleksi baru: bagaimana mempertahankan fondasi transendental nilai sambil menjawab kebutuhan kontekstual masyarakat modern.¹⁶ Dalam hal ini, filsafat Islam memiliki peluang untuk mengembangkan sistem aksiologis yang tidak hanya normatif, tetapi juga dialogis, inklusif, dan aplikatif—yakni sistem nilai yang memadukan kebenaran wahyu dengan kebijaksanaan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 58–60.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 92–96.

[3]                Al-Ghazali, Tahāfut al-Falāsifah, ed. Maurice Bouyges (Beirut: Imprimerie Catholique, 1927), 68–72.

[4]                Muhammad Abid al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989), 144–148.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 126–130.

[6]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 52–56.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 41–45.

[8]                Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (Cairo: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah, 1991), 33–36.

[9]                Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 92–96.

[10]             Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Classics, 2003), 102–104.

[11]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 28–31.

[12]             Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 48–50.

[13]             Mohammad Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi Books, 2002), 87–91.

[14]             Wael Hallaq, Shari‘a: Theory, Practice, Transformations (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 210–213.

[15]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 271–274.

[16]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 141–144.


10.       Relevansi Kontemporer

Aksiologi Islam, dengan fondasinya yang teosentris dan integral, memiliki relevansi yang sangat kuat dalam menjawab krisis moral, epistemologis, dan ekologis dunia kontemporer. Dalam era modern yang ditandai oleh sekularisasi nilai, relativisme moral, dan disintegrasi antara ilmu dan etika, filsafat nilai Islam menawarkan paradigma alternatif yang menekankan keterpaduan antara rasionalitas, spiritualitas, dan tanggung jawab etis.¹ Ia tidak hanya mengatur perilaku moral individu, tetapi juga menyediakan kerangka filosofis untuk membangun peradaban yang adil, berkelanjutan, dan berkeadaban.

10.1.    Relevansi dalam Krisis Moral dan Spiritual Modern

Dunia modern menghadapi apa yang disebut Alasdair MacIntyre sebagai “kehancuran moralitas tradisional,” di mana nilai-nilai etis terfragmentasi dan kehilangan fondasi metafisiknya.² Dalam konteks ini, aksiologi Islam menawarkan pemulihan makna moral melalui penegasan kembali prinsip tauhid—kesatuan Tuhan, manusia, dan alam dalam struktur nilai yang koheren.

Menurut Seyyed Hossein Nasr, krisis modern adalah akibat dari “pemisahan ilmu dari nilai,” yang membuat sains dan teknologi kehilangan orientasi spiritual.³ Aksiologi Islam mengembalikan orientasi itu dengan menempatkan pengetahuan dan tindakan dalam hubungan tanggung jawab terhadap Tuhan dan ciptaan-Nya. Spiritualitas bukan lagi urusan privat, melainkan dimensi yang membentuk etika publik dan profesional.

Nilai-nilai seperti ‘adl (keadilan), amanah (tanggung jawab), rahmah (kasih sayang), dan hikmah (kebijaksanaan) menjadi relevan untuk membangun etos moral di tengah nihilisme global. Dengan menempatkan moralitas sebagai aspek ontologis, Islam menolak moralitas sebagai produk kontrak sosial semata, dan menegaskan bahwa nilai-nilai etis memiliki akar kosmik dan transendental.⁴

10.2.    Relevansi terhadap Etika Ilmu dan Teknologi

Dalam era kemajuan teknologi, isu-isu seperti bioetika, kecerdasan buatan, dan etika digital menuntut paradigma baru yang tidak sekadar pragmatis, tetapi juga spiritual. Aksiologi Islam menawarkan pendekatan etis yang berbasis pada tanggung jawab ilahiah dan kesadaran ekologis.⁵

Konsep khalifah fil-ardh (wakil Tuhan di bumi) mengandung implikasi aksiologis bahwa manusia bukan penguasa mutlak atas alam dan teknologi, tetapi penjaga moral bagi keberlangsungan kehidupan.⁶ Dengan demikian, pengembangan sains dan teknologi harus tunduk pada prinsip maslahah (kemaslahatan) dan la darar wa la dirar (tidak menimbulkan bahaya bagi makhluk lain).

Pemikir kontemporer seperti Ziauddin Sardar menegaskan bahwa sains Islam tidak hanya mengkaji fenomena alam, tetapi juga bertanggung jawab terhadap nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.⁷ Oleh karena itu, dalam konteks globalisasi teknologi, aksiologi Islam menuntut reintegrasi dimensi etis dalam setiap inovasi ilmiah.

10.3.    Relevansi terhadap Etika Sosial dan Keadilan Global

Krisis sosial dan ekonomi global, termasuk ketimpangan, eksploitasi, dan konflik, menunjukkan lemahnya fondasi nilai universal dalam politik modern. Aksiologi Islam memberikan alternatif melalui prinsip maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan-tujuan luhur hukum Islam), yang menekankan perlindungan terhadap lima aspek kehidupan: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.⁸

Prinsip ini bersifat dinamis dan dapat diterapkan pada konteks global—misalnya dalam isu kemiskinan struktural, hak asasi manusia, dan keadilan ekonomi.⁹ Islam tidak memisahkan etika sosial dari etika spiritual; tindakan sosial dianggap bernilai sejauh ia mengandung niat untuk menegakkan keadilan Tuhan di bumi.

Selain itu, nilai ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan) menjadikan aksiologi Islam relevan dengan dialog lintas agama dan budaya.¹⁰ Dalam konteks globalisasi yang cenderung homogen dan hegemonik, filsafat Islam menegaskan pluralitas sebagai ekspresi kehendak Ilahi, bukan ancaman terhadap universalitas nilai.

10.4.    Relevansi terhadap Etika Lingkungan dan Ekologi Spiritual

Salah satu kontribusi paling penting dari aksiologi Islam terhadap dunia modern adalah pandangannya tentang etika lingkungan. Modernitas, dengan paradigma eksploitasi alam, telah menimbulkan krisis ekologis yang mengancam keberlanjutan kehidupan. Dalam Islam, alam tidak dipandang sebagai objek material, tetapi sebagai tanda-tanda (āyāt) Tuhan yang memiliki nilai intrinsik.¹¹

Nasr menyebut krisis ekologis sebagai “krisis spiritualitas,” di mana manusia kehilangan kesadaran kosmiknya.¹² Aksiologi Islam memulihkan kesadaran itu melalui konsep tawazun (keseimbangan) dan amanah (tanggung jawab moral terhadap alam). Etika ekologis Islam menolak dominasi manusia atas alam dan menekankan relasi harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.¹³

Dengan demikian, aksiologi Islam berpotensi menjadi fondasi bagi “etika lingkungan integral” yang menggabungkan spiritualitas, ilmu, dan kebijakan ekologis. Pendekatan ini melampaui etika sekuler yang cenderung antroposentris, menuju paradigma ekoteosentris—yaitu menempatkan Tuhan sebagai pusat nilai ekologis.¹⁴


Aksiologi Islam sebagai Paradigma Etika Global

Dalam konteks peradaban global, aksiologi Islam dapat menjadi landasan bagi pembentukan etika universal yang berakar pada spiritualitas dan kemanusiaan.¹⁵ Pemikir seperti Hans Küng dan Nasr menyuarakan perlunya global ethic yang didasarkan pada nilai keadilan, tanggung jawab, dan kasih sayang universal.¹⁶

Aksiologi Islam, dengan prinsip keseimbangan antara rasio dan wahyu, mampu menjembatani ketegangan antara sains sekuler dan agama, antara Timur dan Barat. Ia menawarkan pandangan dunia yang tidak dikotomis, tetapi dialogis dan integral. Dalam hal ini, nilai-nilai Islam dapat berkontribusi pada pembentukan paradigma etika global yang berorientasi pada keberlanjutan, kebersamaan, dan spiritualitas manusia universal.¹⁷


Footnotes

[1]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 61–63.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 1–5.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 142–145.

[4]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 199–202.

[5]                Ziauddin Sardar, Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and Civilization (London: Mansell, 1988), 87–90.

[6]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]:30.

[7]                Ziauddin Sardar, Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come (London: Mansell, 1985), 69–71.

[8]                Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach (London: IIIT, 2008), 44–47.

[9]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 129–132.

[10]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 111–114.

[11]             Richard Foltz, Animals in Islamic Tradition and Muslim Cultures (Oxford: Oneworld, 2006), 54–57.

[12]             Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 83–86.

[13]             Ibrahim Ozdemir, Toward an Islamic Theory of the Environment (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2003), 32–35.

[14]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 231–234.

[15]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 713–716.

[16]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Continuum, 1991), 50–53.

[17]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 141–144.


11.       Sintesis Filosofis: Menuju Aksiologi Islam Humanistik dan Integral

Aksiologi Islam, setelah melalui berbagai dialektika antara akal dan wahyu, antara spiritualitas dan rasionalitas, serta antara tradisi dan modernitas, akhirnya mengarah pada upaya membangun suatu sintesis filosofis yang humanistik dan integral. Sintesis ini bertujuan untuk menegaskan kembali kedudukan nilai dalam Islam sebagai sistem yang tidak hanya teosentris, tetapi juga mengafirmasi martabat manusia dan tanggung jawab sosialnya di dunia.¹ Ia menempatkan manusia sebagai subjek moral yang berakal, beriman, dan berbudaya—yang bertugas mewujudkan nilai-nilai ilahiah dalam sejarah dan peradaban.

11.1.    Integrasi Akal, Wahyu, dan Intuisi sebagai Dasar Epistemik Nilai

Landasan epistemologis aksiologi Islam integral adalah kesatuan antara akal (‘aql), wahyu (wahy), dan intuisi (‘ilm hudhūrī). Dalam pandangan Al-Farabi dan Ibn Sina, akal berfungsi untuk memahami kebaikan melalui pengenalan terhadap tatanan kosmos yang rasional, sementara Al-Ghazali dan Ibn Arabi menegaskan pentingnya penyucian jiwa agar mampu menerima pancaran wahyu dan pengetahuan intuitif.²

Mulla Sadra kemudian menyintesiskan keduanya melalui teori ashālat al-wujūd (keaslian eksistensi) dan tashkīk al-wujūd (gradasi wujud), yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang nilai meningkat seiring peningkatan eksistensi manusia.³ Dengan demikian, pengetahuan nilai tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga ontologis dan transformasional: manusia mengetahui kebaikan sejati hanya ketika ia menjadi baik.⁴

Sintesis epistemologis ini menunjukkan bahwa sumber nilai dalam Islam tidak bersifat tunggal, melainkan hierarkis dan komplementer. Akal berfungsi sebagai jalan reflektif, wahyu sebagai panduan normatif, dan intuisi sebagai penyaksian eksistensial terhadap kebenaran nilai.

11.2.    Kesatuan Ontologis antara Tuhan, Manusia, dan Alam

Secara ontologis, sintesis aksiologi Islam berakar pada prinsip tauhid, yang memandang Tuhan, manusia, dan alam sebagai tiga dimensi keberadaan yang saling terhubung.⁵ Nilai-nilai moral seperti keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan bukan hanya perintah normatif, tetapi juga ekspresi dari keteraturan kosmos yang mencerminkan sifat-sifat Tuhan (asma’ al-husna).

Dalam kerangka ini, manusia tidak diposisikan sebagai penguasa atas alam, melainkan sebagai khalifah—wakil Tuhan yang bertanggung jawab menegakkan harmoni eksistensial.⁶ Kebaikan moral sejati terjadi ketika manusia hidup selaras dengan hukum ontologis Tuhan, yaitu keseimbangan dan keteraturan (mīzān).

Dengan demikian, aksiologi Islam menolak dikotomi antara etika dan metafisika. Nilai-nilai etis tidak berdiri di luar realitas, tetapi merupakan pancaran dari wujud yang satu (wahdat al-wujūd).⁷ Pandangan ini menghasilkan konsep “etika ontologis”, di mana moralitas tidak sekadar kewajiban sosial, tetapi cara manusia menegaskan keberadaannya dalam kesatuan kosmik.

11.3.    Humanisme Transendental: Martabat Manusia sebagai Citra Ilahi

Aksiologi Islam integral menegaskan bahwa martabat manusia berakar pada kedekatannya dengan Tuhan. Manusia disebut ashraf al-makhluqat (makhluk termulia) karena dianugerahi akal, kebebasan, dan kesadaran moral untuk merealisasikan nilai-nilai ilahiah di dunia.⁸ Namun, kemuliaan ini bukan bentuk antroposentrisme sekuler, melainkan humanisme transendental—pandangan bahwa manusia bernilai karena menjadi refleksi Tuhan dalam ciptaan.⁹

Konsep ini dapat dilacak sejak Ibn Arabi, yang menggambarkan manusia sempurna (al-insān al-kāmil) sebagai cermin di mana Tuhan mengenal diri-Nya.¹⁰ Dalam kerangka etika, manusia ideal adalah yang menggabungkan kecerdasan rasional, kearifan spiritual, dan kepedulian sosial. Di sinilah prinsip humanistik Islam menemukan bentuknya: manusia menjadi pusat nilai sejauh ia menjadi saluran manifestasi nilai-nilai ketuhanan di dunia.

Humanisme Islam ini berbeda dari humanisme Barat yang menafikan Tuhan. Ia menegaskan kebebasan manusia, tetapi dalam batas kesadaran etis dan spiritual. Dengan demikian, aksiologi Islam melahirkan paradigma teo-humanistik, yang menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara individualitas dan pengabdian.

11.4.    Aksiologi Integral dan Etika Sosial-Peradaban

Aksiologi Islam integral juga memandang bahwa nilai tidak berhenti pada moralitas pribadi, tetapi harus diwujudkan dalam struktur sosial, politik, dan peradaban. Al-Farabi menggambarkan masyarakat ideal (al-madīnah al-fāḍilah) sebagai komunitas etis di mana kebahagiaan individu sejalan dengan kebahagiaan kolektif.¹¹

Dalam konteks kontemporer, sintesis aksiologi Islam menginspirasi etika sosial humanistik: politik sebagai pengabdian moral, ekonomi sebagai sarana kesejahteraan bersama (maslahah ‘ammah), dan ilmu sebagai sarana pembebasan spiritual.¹² Dengan demikian, peradaban Islam ideal bukanlah teokrasi dogmatis, melainkan peradaban nilai—yang menempatkan keadilan, keseimbangan, dan kasih sayang sebagai fondasi seluruh institusi sosial.

Sebagaimana ditegaskan oleh Seyyed Hossein Nasr, tugas manusia modern bukanlah menciptakan nilai baru, melainkan menyingkap kembali nilai abadi yang telah dilupakan.¹³ Dalam hal ini, aksiologi Islam integral berfungsi sebagai “ilmu pemulihan makna” (science of meaning), yang mengembalikan orientasi spiritual ke dalam tatanan dunia modern yang terfragmentasi.


Sintesis Menuju Paradigma Humanistik dan Integral

Sintesis filosofis aksiologi Islam berpuncak pada pandangan integral-humanistik: bahwa kebenaran, kebaikan, dan keindahan merupakan tiga aspek dari satu realitas ilahi yang sama.¹⁴ Etika Islam tidak dapat dipisahkan dari estetika (keindahan moral) dan epistemologi (kebenaran spiritual). Dalam pandangan ini, tindakan etis adalah sekaligus tindakan estetik dan intelektual, karena seluruhnya mengarah pada Tuhan sebagai kesempurnaan mutlak.¹⁵

Dengan mengintegrasikan dimensi metafisika, moral, sosial, dan spiritual, aksiologi Islam membentuk suatu paradigma etika yang universal namun berakar, rasional namun transenden, pribadi namun sosial.¹⁶ Paradigma ini mampu menjawab tantangan modernitas dengan menampilkan model moral yang tidak terjebak dalam relativisme, sekaligus tidak tertutup terhadap pluralitas budaya dan ilmu.

Akhirnya, aksiologi Islam humanistik dan integral bukanlah sistem tertutup, melainkan kerangka terbuka yang senantiasa dapat dikembangkan melalui dialog dengan ilmu pengetahuan, filsafat, dan kemanusiaan global. Dalam kerangka inilah, filsafat Islam menegaskan kembali relevansinya sebagai sumber nilai universal yang menuntun manusia menuju keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara kebebasan dan tanggung jawab, antara akal dan wahyu, antara manusia dan Tuhan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 151–153.

[2]                Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 23–25; Al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, ed. Abdurrahman Badawi (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1964), 36–39.

[3]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981), 118–121.

[4]                Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 174–176.

[5]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 212–215.

[6]                Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah [2]:30; Surah Al-Rahman [55]:7–9.

[7]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 144–148.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 121–124.

[9]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 138–140.

[10]             Ibn al-‘Arabi, Fusus al-Hikam, ed. Abdurrahman Badawi (Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1946), 75–78.

[11]             Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 93–96.

[12]             Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 72–76.

[13]             Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996), 147–150.

[14]             Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Tokyo: Keio University Press, 1964), 226–229.

[15]             Henry Corbin, History of Islamic Philosophy (London: Kegan Paul International, 1993), 212–216.

[16]             Ziauddin Sardar, Reclaiming the Universe: Ten Essays on the Social Philosophy of Islam (London: Grey Seal, 1990), 64–68.


12.       Kesimpulan

Aksiologi dalam filsafat Islam merupakan sintesis yang kompleks antara metafisika, epistemologi, dan etika yang berpuncak pada pandangan dunia tauhid—yakni kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam dalam struktur nilai yang harmonis. Ia menegaskan bahwa nilai bukan sekadar hasil kesepakatan sosial atau konstruksi rasional, melainkan pancaran dari realitas Ilahi (al-Haqq) yang menjadi sumber segala kebaikan dan kebenaran.¹ Dalam kerangka ini, aksiologi Islam menolak relativisme moral dan nihilisme etis, sekaligus menawarkan paradigma nilai yang transenden, rasional, dan humanistik.

12.1.    Rekapitulasi Ontologis dan Epistemologis Nilai

Secara ontologis, aksiologi Islam menegaskan bahwa segala bentuk nilai berakar pada wujud Tuhan sebagai al-khayr al-mahd (Kebaikan Mutlak).² Kebaikan tidak bersifat abstrak, melainkan konkret dalam manifestasi ciptaan. Wujud dan nilai saling berkaitan secara gradasional (tashkīk al-wujūd), sehingga semakin tinggi tingkat eksistensi, semakin tinggi pula derajat nilai moralnya.³ Dengan demikian, kebaikan sejati bukanlah sekadar norma perilaku, tetapi perwujudan dari partisipasi manusia dalam kesempurnaan Ilahi.

Dari segi epistemologi, filsafat Islam menempatkan nilai dalam kesatuan akal, wahyu, dan intuisi.⁴ Akal berfungsi sebagai instrumen reflektif untuk memahami tatanan nilai; wahyu sebagai panduan normatif; dan intuisi sebagai pengalaman eksistensial terhadap kebenaran. Pengetahuan nilai sejati dengan demikian tidak hanya bersifat kognitif, melainkan juga transformasional—yakni mengubah eksistensi manusia menjadi lebih sempurna secara spiritual dan moral.

12.2.    Implikasi Etis dan Sosial

Aksiologi Islam menampilkan karakter etika integral—yaitu kesatuan antara etika individu, sosial, politik, dan peradaban.⁵ Dalam dimensi personal, ia menuntut penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs); dalam dimensi sosial, ia menegakkan keadilan (‘adl) dan kasih sayang (rahmah); dan dalam dimensi peradaban, ia menuntun pembangunan ilmu dan teknologi yang berpijak pada tanggung jawab moral.⁶

Nilai-nilai Islam tidak berhenti pada tataran idealitas teologis, tetapi menuntut aktualisasi praksis dalam masyarakat. Pandangan Al-Farabi tentang al-madīnah al-fāḍilah menegaskan bahwa etika individual hanya bermakna apabila diintegrasikan dalam etika sosial yang mengarahkan manusia kepada sa‘ādah (kebahagiaan kolektif).⁷ Karena itu, aksiologi Islam bersifat transformasional—mengarahkan tatanan sosial menuju kesempurnaan moral dan keadilan universal.

12.3.    Relevansi Kontemporer dan Tantangan Modernitas

Dalam konteks modern, aksiologi Islam menawarkan solusi filosofis atas krisis nilai yang melanda dunia sekuler. Ketika modernitas menempatkan manusia sebagai pusat nilai (antroposentrisme), Islam menghadirkan paradigma teo-humanistik, yang menggabungkan kesadaran ketuhanan dengan penghargaan terhadap martabat manusia.⁸ Nilai-nilai seperti amanah, hikmah, dan maslahah menjadi prinsip etis untuk menuntun sains, teknologi, ekonomi, dan politik agar tidak terlepas dari dimensi moral dan spiritual.

Sebagaimana dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, “modernitas bukanlah musuh Islam, melainkan ujian bagi kesadaran spiritual umat manusia.”⁹ Aksiologi Islam, dengan prinsip keseimbangan (tawazun) dan keterpaduan (ittihad), dapat menjadi panduan etik bagi dunia yang terjebak dalam disintegrasi nilai dan krisis makna.

12.4.    Menuju Paradigma Aksiologi Islam Humanistik dan Integral

Dari keseluruhan pembahasan, tampak bahwa aksiologi Islam tidak bersifat dogmatis, melainkan dialogis dan dinamis. Ia membuka ruang bagi integrasi antara rasionalitas dan spiritualitas, antara tradisi dan modernitas, antara ilmu dan iman.¹⁰ Tujuannya bukan hanya membangun sistem etika normatif, tetapi membentuk manusia paripurna (al-insān al-kāmil)—yakni manusia yang sadar akan asal-usul ilahinya, bertanggung jawab terhadap ciptaan, dan berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan di dunia.

Aksiologi Islam humanistik dan integral dengan demikian merupakan sintesis antara teosentrisme dan humanisme, antara wahyu dan sejarah, antara idealitas dan praksis.¹¹ Ia menegaskan bahwa nilai tertinggi manusia tidak ditemukan dalam dominasi atau pencapaian material, tetapi dalam realisasi kesempurnaan spiritual yang selaras dengan tatanan kosmik Ilahi. Dalam makna inilah, filsafat Islam menawarkan visi etika universal yang dapat menjembatani dialog peradaban—menuju kemanusiaan yang berkeadilan, beradab, dan berketuhanan.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 158–160.

[2]                Al-Farabi, Tahsil al-Sa‘adah, ed. Ja‘far al-Yasin (Beirut: Dar al-Andalus, 1981), 27–29.

[3]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘ah, vol. 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981), 120–124.

[4]                Al-Ghazali, Mishkat al-Anwar, ed. Abdurrahman Badawi (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1964), 41–44.

[5]                Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Cambridge: Islamic Texts Society, 1998), 73–75.

[6]                Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (Montreal: McGill University Press, 2002), 211–214.

[7]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 94–98.

[8]                Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1989), 146–149.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (London: George Allen & Unwin, 1968), 81–84.

[10]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 278–281.

[11]             Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperOne, 2002), 145–149.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1968). Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (A. N. Nader, Ed.). Beirut: Dar al-Mashriq.

Al-Farabi. (1981). Tahsil al-Sa‘adah (J. al-Yasin, Ed.). Beirut: Dar al-Andalus.

Al-Ghazali. (1927). Tahāfut al-Falāsifah (M. Bouyges, Ed.). Beirut: Imprimerie Catholique.

Al-Ghazali. (1964). Mishkat al-Anwar (A. Badawi, Ed.). Cairo: Dar al-Ma‘arif.

Al-Ghazali. (1983). Ihya’ ‘Ulum al-Din (Vols. 2–3). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Qur’an. (n.d.). Terjemahan dan Tafsir Resmi Republik Indonesia.

Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Arkoun, M. (2002). The Unthought in Contemporary Islamic Thought. London: Saqi Books.

Auda, J. (2008). Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Bakar, O. (1998). Classification of Knowledge in Islam. Cambridge: Islamic Texts Society.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany: State University of New York Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic Philosophy. London: Kegan Paul International.

Fakhry, M. (1991). Ethical Theories in Islam. Leiden: E.J. Brill.

Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Foltz, R. (2006). Animals in Islamic Tradition and Muslim Cultures. Oxford: Oneworld.

Ghazali, A. (1964). Mishkat al-Anwar (A. Badawi, Ed.). Cairo: Dar al-Ma‘arif.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. London: Routledge.

Ha’iri Yazdi, M. (1992). The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Albany: State University of New York Press.

Hallaq, W. (2009). Shari‘a: Theory, Practice, Transformations. Cambridge: Cambridge University Press.

Hanafi, H. (1991). Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab. Cairo: al-Mu’assasah al-Jami‘iyyah.

Heidegger, M. (1977). Letter on Humanism (F. A. Capuzzi, Trans.). New York: Harper & Row.

Ibn al-‘Arabi. (1946). Fusus al-Hikam (A. Badawi, Ed.). Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi.

Ibn Khaldun. (1967). The Muqaddimah (F. Rosenthal, Ed. & Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Ibn Miskawaih. (1961). Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A‘raq (C. Zurayk, Ed.). Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayah.

Ibn Sina (Avicenna). (1957). Al-Isharat wa al-Tanbihat (S. Dunya, Ed.). Cairo: Dar al-Ma‘arif.

Ibn Sina (Avicenna). (1960). Al-Shifa’: Al-Ilahiyyat (I. Madkour, Ed.). Cairo: al-Hay’ah al-‘Ammah li Shu’un al-Matabi‘ al-Amiriyyah.

Iqbal, M. (1954). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf.

Izutsu, T. (1964). God and Man in the Qur’an: Semantics of the Qur’anic Weltanschauung. Tokyo: Keio University Press.

Izutsu, T. (2002). Ethico-Religious Concepts in the Qur’an. Montreal: McGill University Press.

Jabiri, M. A. (1989). Naqd al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah.

Kalin, I. (2010). Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition. Oxford: Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the Metaphysics of Morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Küng, H. (1991). Global Responsibility: In Search of a New World Ethic. New York: Continuum.

MacIntyre, A. (2007). After Virtue: A Study in Moral Theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Mahdi, M. (2001). Alfarabi and the Foundation of Islamic Political Philosophy. Chicago: University of Chicago Press.

Mill, J. S. (2001). Utilitarianism (G. Sher, Ed.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Mulla Sadra. (1981). Al-Asfar al-Arba‘ah (Vols. 1–4). Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi.

Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: George Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (1975). Islam and the Plight of Modern Man. London: George Allen & Unwin.

Nasr, S. H. (1987). Science and Civilization in Islam (2nd ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. New York: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperOne.

Nasr, S. H. (2006). Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy. Albany: State University of New York Press.

Nietzsche, F. (2003). Beyond Good and Evil (R. J. Hollingdale, Trans.). London: Penguin Classics.

Nietzsche, F. (2007). On the Genealogy of Morality (C. Diethe, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Ozdemir, I. (2003). Toward an Islamic Theory of the Environment. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Rahman, F. (1989). Major Themes of the Qur’an (2nd ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rolston, H. III. (1988). Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World. Philadelphia: Temple University Press.

Sabra, A. I. (1994). Science and philosophy in medieval Islamic theology. Zeitschrift für Geschichte der Arabisch-Islamischen Wissenschaften, 9, 1–20.

Sardar, Z. (1985). Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. London: Mansell.

Sardar, Z. (1988). Exploring Islam: Essays on Islamic Culture and Civilization. London: Mansell.

Sardar, Z. (1990). Reclaiming the Universe: Ten Essays on the Social Philosophy of Islam. London: Grey Seal.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism Is a Humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Suhrawardi, S. al-D. (1952). Hikmat al-Ishraq (H. Corbin, Ed.). Tehran: Institut Franco-Iranien.

Taylor, C. (1989). Sources of the Self: The Making of the Modern Identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Taylor, C. (2007). A Secular Age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ziai, H. (1990). Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Ishraq. Atlanta: Scholars Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar