Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Konsep, Implementasi, dan Relevansinya bagi
Pembelajaran Bermakna
Alihkan ke: Penilaian Hasil Belajar dan Tindak Lanjut.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep,
prinsip, bentuk, serta strategi implementasi penilaian otentik dalam konteks
pendidikan abad ke-21 dan Kurikulum Merdeka di Indonesia. Penilaian otentik
dipandang sebagai pendekatan alternatif yang relevan untuk menilai kompetensi
peserta didik secara holistik, karena mampu mengintegrasikan aspek pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dalam tugas-tugas kontekstual yang menyerupai kehidupan
nyata. Artikel ini mengkaji prinsip dasar penilaian otentik seperti
kontekstualitas, berbasis kinerja, serta refleksi proses dan produk. Selain
itu, dibahas pula bentuk-bentuk teknis penilaian seperti proyek, portofolio,
simulasi, hingga jurnal reflektif, beserta tantangan dan solusi
implementatifnya. Studi kasus dari beberapa sekolah pelaksana Kurikulum Merdeka
disajikan untuk memberikan gambaran praktik baik yang inspiratif. Berdasarkan
kajian literatur dan regulasi pendidikan nasional, artikel ini menyimpulkan
bahwa penilaian otentik bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga strategi
pembelajaran yang mampu memperkuat karakter dan kompetensi Profil Pelajar
Pancasila secara menyeluruh.
Kata Kunci: Penilaian otentik, Kurikulum Merdeka, asesmen
formatif, pembelajaran bermakna, kompetensi abad ke-21, Profil Pelajar
Pancasila, pendidikan kontekstual.
PEMBAHASAN
Penilaian Otentik dalam Pendidikan
1.
Pendahuluan
Penilaian merupakan bagian integral dari proses
pembelajaran yang tidak hanya berfungsi untuk mengetahui capaian hasil belajar
peserta didik, tetapi juga sebagai dasar dalam mengambil keputusan untuk
peningkatan mutu pembelajaran. Dalam praktik pendidikan konvensional, penilaian
sering kali berfokus pada penguasaan aspek kognitif melalui tes tertulis
pilihan ganda yang bersifat sumatif. Model penilaian seperti ini cenderung
menilai hasil akhir tanpa mempertimbangkan proses, konteks, dan penerapan
pengetahuan dalam situasi nyata. Hal ini berdampak pada lemahnya kemampuan
berpikir kritis, kreatif, dan problem solving siswa, yang justru menjadi
tuntutan utama dalam abad ke-21 dan era Revolusi Industri 4.0.¹
Seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran
dari teacher-centered menjadi student-centered, pendekatan penilaian pun
mengalami transformasi. Kurikulum Merdeka yang diluncurkan oleh Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia menegaskan
pentingnya pembelajaran yang berpihak pada peserta didik dan penguatan asesmen
formatif berbasis kompetensi.² Salah satu bentuk penilaian yang mendukung
semangat ini adalah penilaian otentik (authentic assessment), yang tidak
hanya menilai apa yang diketahui siswa, tetapi juga bagaimana mereka
menggunakannya dalam konteks dunia nyata.
Penilaian otentik lahir dari kesadaran bahwa
kebermaknaan pembelajaran tidak dapat dicapai hanya melalui hafalan fakta atau
penguasaan konsep secara teoritis, melainkan melalui keterlibatan siswa dalam
tugas-tugas yang meniru situasi aktual di luar ruang kelas.³ Penilaian semacam
ini memungkinkan pendidik untuk mengukur secara lebih komprehensif aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam satu kesatuan yang utuh. Selain itu,
penilaian otentik juga membuka ruang bagi peserta didik untuk menunjukkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS) serta
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang bersifat reflektif dan
kontekstual.⁴
Dalam konteks kebijakan pendidikan nasional,
Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan menegaskan
bahwa penilaian oleh pendidik harus bersifat otentik, integratif, dan
berkelanjutan.⁵ Dengan demikian, penting bagi pendidik dan pemangku kebijakan
untuk memahami secara mendalam konsep, prinsip, dan implementasi penilaian
otentik, agar mampu mewujudkan pembelajaran yang tidak hanya efektif secara
akademis, tetapi juga bermakna secara personal dan sosial bagi peserta didik.
Footnotes
[1]
Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing
Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco:
Jossey-Bass, 1998), 21.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Buku Panduan Pembelajaran dan Asesmen
Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14.
[3]
Jon Mueller, "Authentic Assessment
Toolbox," accessed April 25, 2025, https://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/.
[4]
Richard J. Stiggins, Assessment for Learning: An
Essential Foundation of Productive Instruction, Phi Delta Kappan 92, no. 2
(2010): 22–30.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Pasal 1.
2.
Pengertian
Penilaian Otentik
Penilaian otentik (authentic assessment)
merupakan pendekatan penilaian yang berupaya mengukur kemampuan peserta didik
melalui tugas-tugas yang bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata. Penilaian
ini berbeda secara prinsipil dari penilaian konvensional yang cenderung hanya
menguji kemampuan mengingat informasi melalui tes tertulis atau objektif.
Penilaian otentik menekankan pada performa nyata dalam menyelesaikan
tugas-tugas kompleks, yang mencerminkan penerapan pengetahuan, keterampilan,
dan nilai-nilai dalam konteks yang otentik.¹
Menurut Grant Wiggins, pelopor konsep asesmen
otentik, penilaian otentik adalah bentuk asesmen yang meminta siswa untuk
melakukan tugas-tugas nyata yang menunjukkan aplikasi dari apa yang telah
mereka pelajari, bukan sekadar mengulang informasi.² Sementara itu, Jon Mueller
mendefinisikan penilaian otentik sebagai suatu sistem penilaian yang melibatkan
siswa dalam tugas-tugas dunia nyata, yang memberikan bukti langsung terhadap
pemahaman dan keterampilan mereka.³
Ciri utama dari penilaian otentik antara lain:
·
Berorientasi pada kinerja (performance-based),
·
Kontekstual (relevan dengan dunia nyata),
·
Menuntut integrasi berbagai kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan
sikap),
·
Melibatkan proses berpikir tingkat tinggi,
·
Memberikan ruang untuk refleksi dan revisi.⁴
Dalam kerangka regulasi nasional Indonesia, Permendikbud
No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa
penilaian yang dilakukan oleh pendidik harus bersifat otentik, yang berarti
menilai capaian belajar siswa berdasarkan kemampuan menerapkan pengetahuan dan
keterampilan secara konkret.⁵ Hal ini sejalan dengan pendekatan Kurikulum
Merdeka yang menekankan pada pengembangan kompetensi dan karakter, bukan
sekadar penguasaan konten.⁶
Dengan pendekatan penilaian otentik, pendidik dapat
memperoleh gambaran lebih utuh tentang kemampuan siswa dalam berpikir kritis,
memecahkan masalah, berkolaborasi, dan berkomunikasi—kompetensi yang sangat
dibutuhkan di abad ke-21. Penilaian ini juga memberikan pengalaman belajar yang
lebih mendalam dan bermakna bagi siswa, karena mereka terlibat langsung dalam
aktivitas yang menyerupai tantangan kehidupan nyata.
Footnotes
[1]
Lorrie A. Shepard, "The Role of Assessment in
a Learning Culture," Educational Researcher 29, no. 7 (2000): 4–14.
[2]
Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing
Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco:
Jossey-Bass, 1998), 21.
[3]
Jon Mueller, "Authentic Assessment
Toolbox," accessed May 8, 2025, https://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/.
[4]
Richard J. Stiggins, Assessment for Learning: An
Essential Foundation of Productive Instruction, Phi Delta Kappan 92,
no. 2 (2010): 22–30.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Pasal 1 dan Pasal
2.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Buku Panduan Pembelajaran dan Asesmen
Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–15.
3.
Prinsip-Prinsip
Penilaian Otentik
Penilaian otentik
memiliki seperangkat prinsip yang membedakannya secara mendasar dari pendekatan
penilaian konvensional. Prinsip-prinsip ini menjadi landasan penting dalam
merancang dan melaksanakan penilaian yang bermakna dan relevan dengan kehidupan
nyata siswa. Beberapa prinsip utama penilaian otentik diuraikan sebagai
berikut:
3.1.
Berbasis Kinerja (Performance-Based
Assessment)
Penilaian otentik
menekankan pada kemampuan peserta didik untuk melakukan suatu tugas yang
menuntut penerapan pengetahuan, bukan sekadar mengingat informasi. Bentuk
penilaiannya biasanya berupa produk, proyek, presentasi, atau demonstrasi yang
menunjukkan keterampilan dalam konteks nyata.ⁱ Grant Wiggins menyatakan bahwa
penilaian otentik "harus menyerupai tantangan-tantangan dunia nyata"
dan menilai siswa berdasarkan apa yang mereka lakukan, bukan hanya apa yang
mereka ketahui.¹
3.2.
Kontekstual dan Relevan dengan Dunia
Nyata
Tugas yang diberikan
dalam penilaian otentik selalu berkaitan dengan situasi atau permasalahan yang
mungkin dihadapi siswa di luar sekolah. Ini membuat proses belajar lebih
bermakna karena siswa melihat keterkaitan antara apa yang dipelajari dengan
kehidupan mereka.² Menurut Mueller, tugas autentik adalah tugas yang realistis,
kompleks, dan mencerminkan pekerjaan yang sesungguhnya.³
3.3.
Mendorong Integrasi Kompetensi
Penilaian otentik
tidak memisahkan antara domain kognitif, afektif, dan psikomotorik, tetapi
menggabungkan ketiganya dalam satu kegiatan penilaian. Siswa tidak hanya
dituntut memahami suatu konsep, tetapi juga menerapkannya dalam bentuk tindakan
dan menunjukkan sikap yang sesuai.⁴ Ini mendukung pendekatan pembelajaran
berbasis kompetensi sebagaimana tercantum dalam Kurikulum Merdeka.⁵
3.4.
Mendorong Berpikir Tingkat Tinggi
dan Refleksi
Tugas-tugas dalam
penilaian otentik dirancang untuk memicu keterampilan berpikir tingkat tinggi
(Higher Order Thinking Skills/HOTS), seperti analisis, sintesis, evaluasi, dan
penciptaan. Selain itu, siswa juga didorong untuk melakukan refleksi terhadap
proses belajar dan hasil kerja mereka.⁶ Refleksi ini penting untuk menumbuhkan
kesadaran metakognitif dan pertumbuhan pribadi.
3.5.
Proses dan Produk Sama Pentingnya
Dalam penilaian
otentik, proses pengerjaan tugas (misalnya: perencanaan, strategi, kolaborasi)
mendapat perhatian yang sama dengan hasil akhirnya. Hal ini menegaskan bahwa
pembelajaran adalah sebuah perjalanan, bukan sekadar pencapaian akhir.⁷ Oleh
karena itu, rubrik penilaian otentik biasanya memuat indikator untuk menilai
baik proses maupun produk.
3.6.
Transparansi dan Keterlibatan Siswa
dalam Penilaian
Penilaian otentik
menuntut adanya keterbukaan dalam kriteria penilaian. Rubrik yang jelas dan
disepakati bersama menjadi instrumen penting agar siswa memahami harapan dan
dapat menilai diri mereka sendiri.⁸ Keterlibatan ini tidak hanya meningkatkan
akuntabilitas, tetapi juga memotivasi siswa untuk mencapai hasil terbaiknya.
Footnotes
[1]
Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing Assessments to
Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998),
21.
[2]
Lorrie A. Shepard, “The Role of Assessment in a Learning Culture,” Educational
Researcher 29, no. 7 (2000): 4–14.
[3]
Jon Mueller, "Authentic Assessment Toolbox," accessed May 9,
2025, https://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/.
[4]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Merrill Prentice Hall, 2005), 12.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Buku Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 25–28.
[6]
Robert J. Marzano, Classroom Assessment and Grading That Work
(Alexandria, VA: ASCD, 2006), 44–45.
[7]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2013),
58.
[8]
Jay McTighe and Grant Wiggins, Understanding by Design
(Alexandria, VA: ASCD, 2005), 152.
4.
Tujuan
dan Fungsi Penilaian Otentik
Penilaian otentik
memiliki kedudukan strategis dalam sistem pembelajaran karena dirancang tidak
hanya untuk mengukur capaian pembelajaran, tetapi juga untuk mendukung proses
belajar itu sendiri. Berbeda dengan penilaian tradisional yang lebih menekankan
pada penilaian hasil belajar akhir (summative assessment), penilaian otentik
memiliki orientasi yang lebih luas dan mendalam, mencakup penilaian formatif,
diagnostik, dan sumatif yang berpihak pada perkembangan kompetensi peserta didik
secara utuh.
4.1.
Mengukur Kompetensi secara Holistik
Tujuan utama
penilaian otentik adalah untuk menilai kompetensi siswa secara menyeluruh,
mencakup dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik.ⁱ Penilaian ini
memungkinkan guru untuk mengetahui tidak hanya seberapa jauh peserta didik
memahami konsep, tetapi juga bagaimana mereka mengintegrasikan pengetahuan
dengan keterampilan dan sikap dalam konteks dunia nyata. Hal ini selaras dengan
Permendikbud
No. 23 Tahun 2016 yang menekankan bahwa penilaian oleh pendidik
harus mencerminkan pencapaian kompetensi secara utuh.¹
4.2.
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Penilaian otentik
tidak hanya bersifat evaluatif, tetapi juga bersifat educative.
Menurut Grant Wiggins, penilaian seharusnya mendukung pembelajaran dengan
memberikan umpan balik formatif yang membantu siswa memahami kekuatan dan
kelemahan mereka dalam proses belajar.² Melalui penilaian otentik, siswa
didorong untuk belajar secara reflektif, aktif, dan bertanggung jawab atas
proses belajarnya.
4.3.
Mendorong Pengembangan Keterampilan
Abad ke-21
Dalam konteks
globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, peserta didik dituntut memiliki
kompetensi abad ke-21, seperti kemampuan berpikir kritis, kreativitas,
kolaborasi, dan komunikasi. Penilaian otentik memfasilitasi pengembangan
keterampilan tersebut melalui aktivitas penilaian yang kompleks, kontekstual,
dan berbasis pemecahan masalah.³ Oleh karena itu, penilaian otentik tidak hanya
mengukur "apa yang diketahui" tetapi juga "apa yang dapat
dilakukan" oleh siswa dengan pengetahuan yang mereka miliki.⁴
4.4.
Meningkatkan Relevansi dan
Keterlibatan Peserta Didik
Dengan menempatkan
siswa dalam situasi penilaian yang menyerupai kehidupan nyata, penilaian
otentik meningkatkan motivasi belajar karena siswa merasa bahwa pembelajaran
memiliki makna dan manfaat langsung bagi mereka.⁵ Keterlibatan ini merupakan
aspek penting dalam pendekatan student-centered learning yang
menjadi dasar filosofi Kurikulum Merdeka.
4.5.
Memberikan Informasi Diagnostik bagi
Pendidik
Penilaian otentik
juga berfungsi sebagai alat diagnostik yang membantu guru mengidentifikasi
kebutuhan belajar siswa secara individual. Guru dapat mengetahui hambatan
belajar, gaya belajar, dan potensi yang dimiliki siswa, sehingga proses pembelajaran
dapat dirancang lebih adaptif dan efektif.⁶ Fungsi ini mendukung peran guru
sebagai fasilitator yang membimbing siswa menuju pembelajaran yang lebih
personal dan bermakna.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan, Pasal 1–2.
[2]
Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing Assessments to
Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998),
15–22.
[3]
Trilling, Bernie, and Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 49.
[4]
Jon Mueller, “Authentic Assessment Toolbox,” accessed May 9, 2025, https://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/.
[5]
Lorrie A. Shepard, “The Role of Assessment in a Learning Culture,” Educational
Researcher 29, no. 7 (2000): 7.
[6]
Earl, Lorna M., Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2013),
34–35.
5.
Bentuk
dan Teknik Penilaian Otentik
Penilaian otentik
menuntut pendekatan yang lebih beragam dan kontekstual dibandingkan penilaian
tradisional. Karena berfokus pada pengukuran kemampuan nyata peserta didik
dalam menerapkan pengetahuan, penilaian otentik menggunakan berbagai bentuk dan
teknik yang memungkinkan siswa menunjukkan performa aktual dalam menyelesaikan
tugas-tugas kompleks dan bermakna.
5.1.
Penilaian Kinerja (Performance
Assessment)
Penilaian kinerja
merupakan salah satu bentuk utama dalam penilaian otentik. Dalam model ini,
siswa diminta untuk menunjukkan keterampilan atau produk dari suatu proses
belajar melalui kegiatan seperti presentasi, eksperimen, debat, atau
pertunjukan seni.¹ Penilaian ini mengamati bagaimana siswa mengerjakan tugas
secara langsung dan menilai proses serta hasilnya menggunakan rubrik yang
objektif dan terukur.²
5.2.
Proyek (Project-Based Assessment)
Penilaian berbasis
proyek menugaskan siswa untuk merancang, mengembangkan, dan menyajikan suatu
produk atau solusi atas masalah nyata dalam jangka waktu tertentu.³ Proyek
dapat berupa penelitian, laporan lapangan, pembuatan karya teknologi, atau
karya kreatif lain yang mencerminkan integrasi pengetahuan, keterampilan, dan
nilai. Teknik ini sangat mendukung pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based
learning) dan pembelajaran kontekstual.⁴
5.3.
Portofolio
Portofolio adalah
kumpulan hasil kerja siswa yang dipilih secara sistematis untuk menunjukkan
perkembangan, refleksi, dan pencapaian selama periode waktu tertentu.⁵
Portofolio dapat berisi esai, jurnal belajar, karya seni, hasil eksperimen,
atau dokumentasi proses belajar lainnya. Penilaian portofolio menekankan
refleksi diri dan perkembangan berkelanjutan, sesuai dengan prinsip assessment
as learning.⁶
5.4.
Jurnal Reflektif
Jurnal atau catatan
reflektif memberikan ruang bagi siswa untuk menulis pemikiran, perasaan, dan
pengalaman mereka selama proses belajar.⁷ Teknik ini membantu guru menilai
perkembangan metakognitif siswa, serta kemampuan mereka dalam menganalisis dan
mengevaluasi proses belajar secara personal. Selain itu, jurnal reflektif juga
memperkuat hubungan antara siswa dan guru dalam proses umpan balik.
5.5.
Simulasi dan Studi Kasus
Simulasi dan studi
kasus memungkinkan siswa untuk terlibat dalam skenario yang menyerupai situasi
dunia nyata. Dalam simulasi, siswa dapat berperan sebagai tokoh dalam suatu situasi,
seperti sidang pengadilan, rapat lembaga, atau debat publik.⁸ Studi kasus
menugaskan siswa menganalisis dan menyelesaikan masalah nyata atau hipotetis,
berdasarkan data dan konteks yang relevan. Keduanya sangat efektif untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
5.6.
Observasi Kinerja dan Sikap
Guru juga dapat
melakukan observasi langsung terhadap aktivitas siswa di kelas, dalam kelompok,
atau dalam kegiatan praktik. Observasi ini dapat difokuskan pada aspek
keterampilan (seperti kerja sama, komunikasi, atau teknik tertentu) maupun
sikap (seperti tanggung jawab, disiplin, atau kepedulian sosial).⁹ Observasi
yang efektif harus menggunakan instrumen seperti checklist atau rubrik
yang dikembangkan secara sistematis dan sesuai indikator.
5.7.
Penilaian Diri dan Penilaian Teman
Sebaya
Penilaian otentik
juga mendorong siswa untuk terlibat dalam penilaian proses belajar mereka
sendiri (self-assessment) maupun belajar orang lain (peer-assessment). Teknik
ini memperkuat kesadaran diri dan tanggung jawab belajar, serta membangun
budaya reflektif dan kolaboratif.¹⁰
Footnotes
[1]
Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing Assessments to
Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998),
19–21.
[2]
Robert J. Marzano, Classroom Assessment and Grading That Work
(Alexandria, VA: ASCD, 2006), 88–89.
[3]
Thomas Markham, Project-Based Learning: Design and Coaching Guide
(Novato, CA: Buck Institute for Education, 2011), 12–16.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Buku Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 30.
[5]
Paulson, F. Leon, Pearl R. Paulson, and Carol A. Meyer, “What Makes a
Portfolio a Portfolio?” Educational Leadership 52, no. 2 (1994):
60–63.
[6]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2013),
46.
[7]
Boud, David, and Nicky Molloy, “Reflective Journal Writing in Higher
Education: From Pedagogy to Praxis,” Studies in Higher Education 38,
no. 1 (2013): 56.
[8]
Jon Mueller, “Authentic Assessment Toolbox,” accessed May 9, 2025, https://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/.
[9]
Stiggins, Richard J., Student-Involved Classroom Assessment,
4th ed. (Columbus, OH: Merrill/Prentice Hall, 2001), 117–118.
[10]
Andrade, Heidi, and Yuki Du, “Student Responses to Criteria-Referenced
Self-Assessment,” Assessment and Evaluation in Higher Education 32,
no. 2 (2007): 159–181.
6.
Langkah-Langkah
Implementasi Penilaian Otentik
Agar penilaian
otentik dapat diterapkan secara efektif dalam proses pembelajaran, pendidik
perlu memahami dan melaksanakan langkah-langkah sistematis yang mendukung
perencanaan, pelaksanaan, dan tindak lanjut penilaian. Implementasi yang tepat
akan memastikan bahwa penilaian benar-benar mencerminkan kompetensi peserta
didik dalam konteks yang bermakna dan nyata.
6.1.
Mengidentifikasi Tujuan Pembelajaran
dan Kompetensi yang Dinilai
Langkah pertama
dalam merancang penilaian otentik adalah merumuskan tujuan pembelajaran yang
spesifik dan sesuai dengan kompetensi inti, dasar, maupun capaian pembelajaran
yang diharapkan. Tujuan tersebut harus mencerminkan keterampilan abad ke-21
seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas, dan kolaborasi.¹
Kurikulum Merdeka menekankan bahwa asesmen harus disusun berdasarkan kompetensi
esensial dan karakter Profil Pelajar Pancasila.²
6.2.
Merancang Tugas Autentik yang
Relevan dan Kontekstual
Tugas dalam
penilaian otentik harus meniru aktivitas atau permasalahan dunia nyata yang
menantang dan memerlukan penerapan pengetahuan secara terpadu. Grant Wiggins
menyarankan agar tugas-tugas tersebut mencerminkan "kinerja otentik"
(authentic
performance) yang menuntut siswa berpikir, berbuat, dan mencipta
dalam situasi yang kompleks dan bermakna.³ Contohnya termasuk proyek sosial,
analisis kasus, pembuatan produk inovatif, atau simulasi peran.
6.3.
Menentukan Kriteria Keberhasilan dan
Menyusun Rubrik Penilaian
Agar penilaian
berjalan objektif dan transparan, guru perlu menyusun rubrik penilaian yang
memuat kriteria dan indikator yang terukur. Rubrik harus dikomunikasikan kepada
peserta didik sebelum mereka mengerjakan tugas agar mereka memahami ekspektasi
dan dapat mengelola proses belajar secara mandiri.⁴ Rubrik juga menjadi alat
penting untuk umpan balik formatif yang berkualitas.⁵
6.4.
Memberikan Pendampingan dan Umpan
Balik Selama Proses Belajar
Penilaian otentik
bukan sekadar evaluasi akhir, tetapi bagian dari proses pembelajaran itu
sendiri. Oleh karena itu, guru perlu memberikan pendampingan, bimbingan, dan
umpan balik berkala kepada siswa selama mereka menyelesaikan tugas.⁶ Ini
membantu siswa menyadari kekuatan dan area perbaikan mereka, serta mendorong
sikap reflektif dan pembelajaran berkelanjutan.
6.5.
Melaksanakan Penilaian Berbasis
Produk dan Proses
Pelaksanaan
penilaian harus mengamati baik hasil kerja siswa (product) maupun cara mereka
menyelesaikannya (process). Guru harus
mendokumentasikan aktivitas siswa, interaksi kelompok, keterlibatan, serta
strategi yang digunakan dalam menyelesaikan tugas.⁷ Ini dapat dilakukan melalui
observasi langsung, rekaman video, jurnal belajar, dan refleksi diri.
6.6.
Menganalisis Hasil dan Memberikan
Umpan Balik yang Membangun
Setelah tugas
selesai, guru menilai hasil kerja siswa berdasarkan rubrik dan memberikan umpan
balik yang konstruktif. Umpan balik harus bersifat formatif—memberi tahu siswa
apa yang telah dicapai, apa yang perlu diperbaiki, dan bagaimana melakukannya.⁸
Penilaian yang baik harus menjadi sumber informasi bagi guru untuk merancang
intervensi belajar yang lebih tepat.
6.7.
Menggunakan Hasil Penilaian untuk
Tindak Lanjut Pembelajaran
Hasil dari penilaian
otentik seharusnya digunakan sebagai dasar untuk menyusun strategi pembelajaran
selanjutnya, termasuk remedial, pengayaan, atau penyesuaian metode
pembelajaran. Dalam Kurikulum Merdeka, hasil asesmen juga menjadi dasar
pemetaan capaian kompetensi peserta didik secara individual.⁹ Dengan demikian,
penilaian otentik benar-benar menjadi alat diagnosis dan pengembangan.
Footnotes
[1]
Trilling, Bernie, dan Charles Fadel, 21st Century Skills: Learning
for Life in Our Times (San Francisco: Jossey-Bass, 2009), 62.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Buku Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 12–14.
[3]
Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing Assessments to
Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998),
21–22.
[4]
Jon Mueller, “Authentic Assessment Toolbox,” accessed May 9, 2025, https://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/.
[5]
Stiggins, Richard J., Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson/Merrill, 2005), 104–106.
[6]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2013),
50–53.
[7]
Robert J. Marzano, Classroom Assessment and Grading That Work
(Alexandria, VA: ASCD, 2006), 90–92.
[8]
Sadler, D. Royce, “Formative Assessment and the Design of Instructional
Systems,” Instructional Science 18, no. 2 (1989): 144.
[9]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Buku Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka,
22–23.
7.
Solusi
dan Strategi Penguatan Implementasi
Meskipun penilaian
otentik diakui secara luas sebagai pendekatan yang lebih holistik dan bermakna
dibandingkan penilaian konvensional, implementasinya di lapangan sering kali
menghadapi berbagai kendala. Tantangan seperti keterbatasan waktu, beban
administratif guru, kurangnya pemahaman terhadap desain penilaian autentik,
serta kesiapan infrastruktur sering menghambat efektivitas penerapannya. Untuk
itu, diperlukan serangkaian strategi konkret guna memperkuat dan memperluas
praktik penilaian otentik secara berkelanjutan.
7.1.
Penguatan Kompetensi Guru melalui
Pelatihan dan Komunitas Belajar
Salah satu akar
masalah dalam implementasi penilaian otentik adalah rendahnya pemahaman dan
keterampilan guru dalam merancang serta melaksanakan tugas-tugas otentik. Oleh
karena itu, pelatihan yang terstruktur dan berkelanjutan sangat penting.
Pelatihan ini sebaiknya tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga berbasis
praktik langsung dalam merancang rubrik, tugas berbasis proyek, serta metode
asesmen formatif.¹ Selain itu, pembentukan Komunitas Belajar Guru dapat
menjadi wadah kolaboratif bagi guru untuk saling berbagi pengalaman dan
mendiskusikan praktik baik asesmen.²
7.2.
Pengembangan Bank Soal dan Tugas
Otentik Berbasis Kurikulum
Strategi lain yang
dapat dilakukan adalah penyusunan bank tugas otentik nasional dan lokal yang
terintegrasi dengan capaian pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka.³ Bank tugas
ini dapat mencakup contoh tugas proyek, simulasi, studi kasus, hingga
portofolio yang dapat dimodifikasi oleh guru sesuai dengan konteks lokal dan
karakteristik peserta didik. Dukungan dari pusat kurikulum dan dinas pendidikan
menjadi krusial dalam pengembangan repositori terbuka ini.
7.3.
Pemanfaatan Teknologi Digital untuk
Efisiensi dan Kolaborasi
Teknologi dapat
dimanfaatkan untuk mendukung pelaksanaan penilaian otentik, mulai dari
penyampaian tugas, pengumpulan bukti belajar, kolaborasi daring antar siswa,
hingga penyusunan rubrik otomatis.⁴ Platform seperti Learning
Management System (LMS), Google Classroom, atau aplikasi
portofolio digital seperti Seesaw dan Mahara
dapat digunakan untuk mempercepat proses sekaligus mendokumentasikan proses
belajar secara sistematis. Teknologi juga memungkinkan terjadinya umpan balik
yang lebih cepat dan terdokumentasi.
7.4.
Penguatan Peran Kepala Sekolah dan
Supervisi Akademik
Kepemimpinan
instruksional kepala sekolah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
implementasi asesmen otentik.⁵ Kepala sekolah perlu memberikan ruang bagi guru
untuk merancang pembelajaran kreatif, memberikan dukungan administratif, serta
mendorong budaya reflektif dan kolaboratif. Supervisi akademik yang berfokus
pada peningkatan kualitas pembelajaran dan asesmen—bukan sekadar kepatuhan
administratif—juga perlu dikembangkan secara transformatif.
7.5.
Penyesuaian Kebijakan dan Integrasi
dalam Sistem Penilaian Nasional
Pemerintah perlu
memastikan bahwa sistem penilaian nasional mendukung penerapan penilaian
otentik, termasuk dalam Asesmen Sumatif dan Asesmen Nasional.⁶ Misalnya,
asesmen nasional dapat mencantumkan indikator yang menilai keterampilan
berpikir kritis dan problem solving secara kontekstual. Selain itu, pelaporan
hasil belajar peserta didik sebaiknya mencerminkan capaian dalam dimensi
kompetensi, bukan hanya skor numerik.
7.6.
Membangun Budaya Refleksi dan
Perbaikan Berkelanjutan
Akhirnya, penilaian
otentik hanya akan bermakna jika menjadi bagian dari budaya pembelajaran yang
reflektif dan dinamis. Guru, siswa, dan pemangku kepentingan pendidikan perlu
terbiasa melakukan refleksi terhadap proses dan hasil pembelajaran untuk
merumuskan langkah perbaikan.⁷ Refleksi dapat didorong melalui praktik assessment
as learning, di mana siswa menjadi aktor utama dalam mengevaluasi
dan mengembangkan kemampuannya secara mandiri.
Footnotes
[1]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson/Merrill, 2005), 155–157.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Buku Panduan Komunitas Belajar: Menjadi Guru Merdeka Belajar
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 5–8.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Buku Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 26.
[4]
Marzano, Robert J., The New Art and Science of Classroom Assessment
(Bloomington, IN: Solution Tree Press, 2019), 45–48.
[5]
Hallinger, Philip, and Ronald H. Heck, “Reassessing the Principal’s
Role in School Effectiveness: A Review of Empirical Research, 1980–1995,” Educational
Administration Quarterly 32, no. 1 (1996): 20–27.
[6]
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Desain
Asesmen Nasional 2023 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2023), 18.
[7]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2013),
69–70.
8.
Studi
Kasus dan Praktik Baik
Implementasi
penilaian otentik tidak hanya dapat dijelaskan secara teoritis, tetapi juga
telah terbukti melalui berbagai praktik baik di sekolah-sekolah yang
mengedepankan pembelajaran bermakna dan berpusat pada peserta didik. Studi
kasus ini menunjukkan bahwa meskipun penilaian otentik menuntut perencanaan dan
pelaksanaan yang kompleks, pendekatan ini mampu menciptakan pengalaman belajar
yang transformasional.
8.1.
Studi Kasus: Penilaian Proyek
Terintegrasi di SMPN 2 Sleman
SMP Negeri 2 Sleman,
Yogyakarta, menjadi salah satu contoh sekolah pelaksana Kurikulum Merdeka yang
menerapkan penilaian otentik dalam bentuk proyek penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Dalam salah satu proyek bertema “Gaya Hidup Berkelanjutan”, siswa diminta untuk
menyusun kampanye hemat energi berbasis komunitas, membuat poster digital, dan
mempresentasikan hasilnya kepada publik.¹ Proyek ini dinilai menggunakan rubrik
yang mencakup indikator berpikir kritis, kolaborasi, serta tanggung jawab
sosial.
Hasil evaluasi
internal sekolah menunjukkan bahwa siswa lebih termotivasi untuk belajar karena
mereka merasa tugas yang diberikan bermakna dan berkaitan langsung dengan
kehidupan sehari-hari. Guru juga melaporkan bahwa keterlibatan siswa meningkat
dan kualitas refleksi belajar mereka menjadi lebih mendalam.²
8.2.
Studi Kasus: Portofolio Digital di
SMAN 8 Jakarta
Di SMAN 8 Jakarta,
penilaian otentik dikembangkan melalui portofolio digital yang digunakan dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Seni Budaya. Siswa mengunggah hasil karya
tulis, puisi visual, serta dokumentasi proses kreatif mereka dalam bentuk blog
pribadi. Guru menilai proses dan produk menggunakan rubrik yang telah
disepakati bersama, serta memberikan umpan balik formatif melalui komentar
tertulis.³
Penggunaan teknologi
tidak hanya mempercepat proses asesmen, tetapi juga memberikan ruang bagi siswa
untuk menunjukkan identitas belajar mereka secara personal. Pendekatan ini
sesuai dengan prinsip assessment as learning, yang
menekankan peran siswa sebagai agen aktif dalam proses penilaian.⁴
8.3.
Praktik Baik: Simulasi Sidang MPR di
SMK Negeri 1 Magelang
SMK Negeri 1
Magelang melaksanakan penilaian otentik pada mata pelajaran PPKn melalui
simulasi sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Siswa memainkan peran
sebagai anggota fraksi, jurnalis, dan ketua sidang untuk mendiskusikan
amandemen UUD 1945.⁵ Kegiatan ini dinilai berdasarkan rubrik yang mencakup
argumentasi, keterampilan komunikasi, dan etika berdiskusi.
Kegiatan ini
memberikan pengalaman belajar politik secara nyata, memperkuat pemahaman siswa
tentang sistem ketatanegaraan Indonesia, serta melatih keterampilan komunikasi
publik. Praktik ini dinilai berhasil karena mampu mengintegrasikan pengetahuan
konseptual dengan keterampilan praktis secara simultan.
8.4.
Refleksi dari Guru dan Siswa
Beberapa guru
menyampaikan bahwa meskipun awalnya penilaian otentik menuntut waktu lebih
banyak, hasilnya jauh lebih efektif dalam membangun kompetensi utuh siswa. Guru
Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Semarang mengungkapkan bahwa setelah
menerapkan penilaian berbasis proyek, siswa lebih aktif membaca sumber,
berdiskusi, dan menyunting tulisan mereka sendiri.⁶
Sementara itu, siswa
merasa lebih bangga terhadap hasil belajarnya karena dapat menunjukkan
kemampuan mereka secara nyata, bukan hanya melalui angka pada ujian pilihan
ganda. Refleksi siswa yang terdokumentasi dalam jurnal menunjukkan peningkatan
kesadaran diri dan strategi belajar yang lebih baik.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Modul Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Jenjang SMP
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 45–47.
[2]
Wawancara internal dengan guru pelaksana P5 di SMPN 2 Sleman, dikutip
dalam Laporan Monitoring Kurikulum Merdeka DIY, Dinas Pendidikan DIY,
2023.
[3]
SMAN 8 Jakarta, Laporan Implementasi Penilaian Otentik Berbasis
Digital (Jakarta: SMAN 8 Jakarta, 2022), 6–8.
[4]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2013),
55.
[5]
SMKN 1 Magelang, “Laporan Simulasi Sidang MPR sebagai Penilaian Otentik
PPKn,” dokumen internal sekolah, 2023.
[6]
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Buku Praktik
Baik Implementasi Kurikulum Merdeka di SMA, (Semarang: Disdikbud Jateng,
2023), 18.
9.
Penutup
Penilaian otentik merupakan paradigma penilaian
yang relevan dan transformatif dalam menjawab tantangan pendidikan abad ke-21.
Sebagai pendekatan yang menilai kemampuan peserta didik secara holistik dalam
konteks yang bermakna, penilaian otentik hadir untuk menggantikan model
penilaian tradisional yang semata-mata berorientasi pada hasil akhir dan
hafalan faktual. Ia tidak hanya mengukur apa yang diketahui, tetapi lebih
penting lagi, bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan untuk menyelesaikan
permasalahan dunia nyata.
Sebagaimana ditekankan dalam Permendikbud No. 23
Tahun 2016 dan Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka,
pendidikan seharusnya tidak lagi menempatkan penilaian sebagai instrumen
administratif semata, melainkan sebagai proses yang melekat dalam pembelajaran
dan mendorong tumbuhnya kompetensi, karakter, dan kesadaran reflektif peserta
didik.¹ Dalam hal ini, penilaian otentik menjadi salah satu instrumen utama
untuk mewujudkan visi Profil Pelajar Pancasila sebagai pribadi yang beriman,
bernalar kritis, mandiri, dan berkebhinekaan global.²
Namun demikian, implementasi penilaian otentik
tidak lepas dari tantangan, mulai dari keterbatasan sumber daya manusia,
infrastruktur, hingga perubahan budaya penilaian itu sendiri. Oleh sebab itu,
penguatan kompetensi guru, dukungan kepemimpinan sekolah, pengembangan
perangkat penilaian yang adaptif, serta pemanfaatan teknologi pendidikan perlu
terus ditingkatkan untuk mendukung ekosistem penilaian otentik yang berkelanjutan.³
Lebih jauh, penilaian otentik membuka peluang
terjadinya pembelajaran yang bermakna (meaningful learning),
kolaboratif, dan personal. Peserta didik diajak menjadi subjek aktif dalam
proses belajar—melalui refleksi, pengambilan keputusan, dan tanggung jawab
terhadap proses maupun hasil kerja mereka.⁴ Dalam konteks inilah, penilaian
otentik menjadi bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga sebagai strategi
pembelajaran yang menghidupkan makna pendidikan itu sendiri.
Dengan demikian, untuk membangun pendidikan yang
transformatif, berkeadilan, dan relevan dengan tuntutan zaman, penilaian
otentik tidak dapat lagi diposisikan sebagai pilihan, melainkan sebagai
kebutuhan. Komitmen kolektif dari seluruh pemangku kepentingan—guru, kepala
sekolah, pemerintah, dan masyarakat—sangat diperlukan untuk menjadikan
penilaian otentik sebagai bagian integral dari praktik pendidikan berkualitas
di Indonesia.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Pasal 2.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Buku Panduan Pembelajaran dan Asesmen
Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–11.
[3]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using
Classroom Assessment to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks,
CA: Corwin, 2013), 85.
[4]
Jon Mueller, “Authentic Assessment Toolbox,”
accessed May 9, 2025, https://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/.
Daftar Pustaka
Andrade, H., & Du, Y. (2007). Student responses
to criteria-referenced self-assessment. Assessment and Evaluation in Higher
Education, 32(2), 159–181. https://doi.org/10.1080/02602930600801928
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan.
(2023). Desain Asesmen Nasional 2023. Kemendikbudristek.
Boud, D., & Molloy, N. (2013). Reflective
journal writing in higher education: From pedagogy to praxis. Studies in
Higher Education, 38(1), 56–71. https://doi.org/10.1080/03075079.2011.632827
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Tengah. (2023). Buku praktik baik implementasi Kurikulum Merdeka di SMA.
Semarang: Disdikbud Jateng.
Earl, L. M. (2013). Assessment as learning:
Using classroom assessment to maximize student learning (2nd ed.). Thousand
Oaks, CA: Corwin.
Hallinger, P., & Heck, R. H. (1996).
Reassessing the principal’s role in school effectiveness: A review of empirical
research, 1980–1995. Educational Administration Quarterly, 32(1), 5–44. https://doi.org/10.1177/0013161X96032001002
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2021). Buku panduan komunitas belajar:
Menjadi guru merdeka belajar. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022). Buku panduan pembelajaran dan asesmen
Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Marzano, R. J. (2006). Classroom assessment and
grading that work. Alexandria, VA: ASCD.
Marzano, R. J. (2019). The new art and science
of classroom assessment. Bloomington, IN: Solution Tree Press.
Markham, T. (2011). Project-based learning:
Design and coaching guide. Novato, CA: Buck Institute for Education.
McTighe, J., & Wiggins, G. (2005). Understanding
by design. Alexandria, VA: ASCD.
Mueller, J. (2005). Authentic assessment toolbox.
Retrieved May 9, 2025, from https://jfmueller.faculty.noctrl.edu/toolbox/
Paulson, F. L., Paulson, P. R., & Meyer, C. A.
(1994). What makes a portfolio a portfolio? Educational Leadership, 52(2),
60–63.
Sadler, D. R. (1989). Formative assessment and the
design of instructional systems. Instructional Science, 18(2), 119–144. https://doi.org/10.1007/BF00117714
Shepard, L. A. (2000). The role of assessment in a
learning culture. Educational Researcher, 29(7), 4–14. https://doi.org/10.3102/0013189X029007004
SMAN 8 Jakarta. (2022). Laporan implementasi
penilaian otentik berbasis digital. Jakarta: SMAN 8.
SMKN 1 Magelang. (2023). Laporan simulasi sidang
MPR sebagai penilaian otentik PPKn [Dokumen internal].
Stiggins, R. J. (2001). Student-involved
classroom assessment (4th ed.). Columbus, OH: Merrill/Prentice Hall.
Stiggins, R. J. (2005). Student-involved
assessment for learning (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson/Merrill.
Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st
century skills: Learning for life in our times. San Francisco, CA:
Jossey-Bass.
Wiggins, G. (1998). Educative assessment:
Designing assessments to inform and improve student performance. San
Francisco, CA: Jossey-Bass.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar