Pengukuran, Penilaian, Test, dan Evaluasi
Konsep, Peran, dan Implementasi dalam Meningkatkan
Kualitas Pembelajaran
Alihkan ke: Penilaian Hasil Belajar danTindak Lanjut.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep,
perbedaan, hubungan, dan implementasi dari empat elemen penting dalam sistem
pendidikan, yaitu pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi. Pengukuran dipahami
sebagai proses kuantifikasi performa peserta didik; tes sebagai instrumen
pengumpulan data; penilaian sebagai interpretasi terhadap hasil belajar; dan
evaluasi sebagai pengambilan keputusan berdasarkan keseluruhan proses dan hasil
pembelajaran. Melalui kajian teoretis, regulatif, dan praktik lapangan, artikel
ini menyoroti pentingnya integrasi asesmen formatif, otentik, dan berbasis
kompetensi dalam mendukung pembelajaran yang bermakna dan berkelanjutan.
Ditekankan pula peran guru sebagai pelaksana utama serta pengambil kebijakan
sebagai penyedia sistem pendukung. Artikel ini juga mengidentifikasi tantangan
implementatif, seperti dominasi penilaian sumatif, rendahnya kualitas
instrumen, serta beban administratif, dan menyajikan solusi strategis berbasis
regulasi dan inovasi teknologi. Dengan pendekatan sistemik dan berorientasi
pada pembelajaran berpusat pada murid, pengukuran dan penilaian tidak hanya
menjadi alat untuk menilai, tetapi juga menjadi fondasi transformasi pendidikan
yang adil dan bermutu.
Kata Kunci: Pengukuran pendidikan, penilaian, tes, evaluasi
pembelajaran, asesmen formatif, asesmen otentik, Kurikulum Merdeka, mutu
pendidikan.
PEMBAHASAN
Pengukuran, Penilaian, Tes, dan Evaluasi dalam
Pendidikan
1.
Pendahuluan
Dalam sistem pendidikan yang berorientasi pada
pembelajaran bermakna dan berkelanjutan, pengukuran, penilaian, tes, dan
evaluasi memiliki peran sentral dalam menjamin mutu hasil belajar peserta
didik. Keempat istilah tersebut tidak hanya menjadi instrumen teknis dalam
mengumpulkan data tentang capaian pembelajaran, tetapi juga merupakan fondasi
dalam pengambilan keputusan pendidikan yang tepat dan terarah. Pendidikan
modern tidak hanya menekankan pada akuisisi pengetahuan, tetapi juga pada
keterampilan berpikir kritis, kemampuan reflektif, dan kompetensi holistik,
yang semua itu memerlukan pendekatan asesmen yang komprehensif dan sahih.
Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 menegaskan bahwa
penilaian hasil belajar oleh pendidik dan satuan pendidikan dilakukan secara
menyeluruh dan berkelanjutan, mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan
keterampilan. Penilaian tidak hanya dimaknai sebagai pemberian angka atau
nilai, tetapi juga proses yang memungkinkan guru untuk memahami kebutuhan
belajar siswa, merancang intervensi yang tepat, serta memberikan umpan balik
konstruktif yang membangun1. Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang
menekankan pembelajaran berdiferensiasi dan berpusat pada murid, asesmen
formatif dan sumatif ditekankan secara seimbang untuk mendukung pengembangan
potensi unik setiap individu2.
Dalam praktiknya, masih sering terjadi kekeliruan
dalam penggunaan istilah pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi secara
tumpang tindih. Padahal, masing-masing istilah tersebut memiliki pengertian dan
fungsi yang berbeda, meskipun saling terkait. Misalnya, pengukuran mengacu pada
proses kuantifikasi hasil belajar, sedangkan penilaian mencakup pertimbangan
kualitatif terhadap berbagai aspek performa peserta didik3. Tes, di
sisi lain, merupakan alat atau instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data
dalam proses pengukuran, sementara evaluasi bertujuan untuk menilai efektivitas
suatu proses pembelajaran atau program pendidikan secara keseluruhan4.
Kurangnya pemahaman yang tepat terhadap perbedaan
konseptual ini dapat berdampak negatif terhadap kualitas pembelajaran,
khususnya dalam merancang kegiatan asesmen yang valid dan reliabel. Oleh karena
itu, artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif konsep, peran,
dan implementasi pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi dalam pendidikan.
Pembahasan akan didasarkan pada landasan teoretis dan regulatif yang kuat,
serta disertai dengan refleksi atas praktik-praktik baik di lapangan guna
memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil
pembelajaran.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 7–9.
[3]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement
and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson,
2005), 23.
[4]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment
of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 4–6.
2.
Konsep
Dasar: Perbedaan dan Hubungan antara Pengukuran, Penilaian, Tes, dan Evaluasi
Istilah pengukuran (measurement),
penilaian (assessment),
tes (test),
dan evaluasi (evaluation) sering kali digunakan
secara bergantian dalam praktik pendidikan. Namun secara konseptual, keempatnya
memiliki pengertian yang berbeda walaupun saling berhubungan. Pemahaman yang
tepat atas perbedaan dan keterkaitan antara keempat istilah ini sangat penting
agar proses asesmen dalam pendidikan dapat dilaksanakan secara profesional dan
efektif.
2.1.
Pengukuran (Measurement)
Pengukuran dalam
konteks pendidikan mengacu pada proses pemberian angka terhadap atribut atau
hasil belajar siswa berdasarkan aturan atau kriteria tertentu. Pengukuran bersifat
kuantitatif dan memberikan informasi berupa data numerik yang dapat dianalisis
secara statistik. Misalnya, skor ujian matematika 85 dari 100 adalah hasil dari
proses pengukuran1.
Menurut Linn dan
Gronlund, pengukuran adalah suatu prosedur sistematis untuk menetapkan
karakteristik individu melalui penggunaan angka sebagai simbol2.
Dengan demikian, pengukuran menjadi fondasi awal bagi proses asesmen dan
evaluasi, namun tidak mencakup interpretasi atau pengambilan keputusan.
2.2.
Penilaian (Assessment)
Penilaian memiliki
cakupan yang lebih luas daripada pengukuran. Ia mencakup proses pengumpulan,
analisis, dan interpretasi informasi untuk menentukan sejauh mana siswa telah
mencapai tujuan pembelajaran. Penilaian tidak selalu melibatkan angka, dan dapat
menggunakan berbagai teknik seperti observasi, wawancara, portofolio, atau
refleksi diri.
Airasian menyebut
bahwa penilaian adalah suatu proses sistematis dalam mengumpulkan dan
menafsirkan informasi untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran3.
Penilaian berperan penting dalam memberikan umpan balik formatif kepada peserta
didik, serta informasi bagi guru untuk menyesuaikan strategi pembelajaran.
Dalam Kurikulum Merdeka, penilaian ditegaskan sebagai bagian integral dari
proses pembelajaran yang membantu siswa berkembang sesuai dengan kebutuhan
individualnya4.
2.3.
Tes (Test)
Tes merupakan salah
satu alat dalam pengukuran dan penilaian, yang dirancang untuk mengukur
pengetahuan, keterampilan, sikap, atau perilaku siswa melalui serangkaian pertanyaan
atau tugas. Tes umumnya bersifat formal, menggunakan instrumen standar, dan
hasilnya dapat dianalisis secara kuantitatif.
Brown mengartikan
tes sebagai suatu metode sistematis untuk mengukur kemampuan seseorang dalam
bentuk angka atau skor5. Tes bisa berupa tes
lisan, tulis, praktik, atau digital. Namun, penting untuk disadari bahwa tes
hanyalah bagian
dari penilaian, bukan keseluruhan proses penilaian itu sendiri.
2.4.
Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi adalah
proses membuat keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh melalui
pengukuran dan penilaian. Tujuannya bukan hanya untuk mengetahui hasil belajar
siswa, tetapi juga untuk menilai kualitas kurikulum, efektivitas metode
pengajaran, dan keberhasilan program pendidikan secara keseluruhan.
Menurut Tyler, evaluasi
adalah proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai6.
Evaluasi bersifat sumatif, komprehensif, dan digunakan sebagai dasar untuk
menentukan perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pengambilan kebijakan
pendidikan.
2.5.
Hubungan antara Pengukuran,
Penilaian, Tes, dan Evaluasi
Keempat konsep ini
membentuk suatu sistem hierarkis dan saling melengkapi. Tes merupakan instrumen
yang digunakan dalam pengukuran; pengukuran menghasilkan data kuantitatif;
penilaian menginterpretasi data tersebut dengan mempertimbangkan konteks; dan
evaluasi mengambil keputusan berdasarkan data yang telah ditafsirkan. Dengan
demikian, evaluasi mencakup semua unsur sebelumnya dan bertindak sebagai proses
reflektif atas keseluruhan sistem pembelajaran.
Gambaran berikut
memperjelas hubungan hierarkis tersebut:
Tes → Pengukuran → Penilaian → Evaluasi
Memahami struktur
ini membantu pendidik untuk merancang strategi asesmen yang holistik, objektif,
dan bermakna. Tanpa pemisahan yang jelas antara istilah-istilah ini, risiko
penyalahgunaan instrumen asesmen dan kesalahan interpretasi hasil belajar siswa
sangat besar.
2.6.
Penjelasan Deskriptif Konsep: Tes,
Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi
·
Tes
Tes adalah alat atau instrumen
formal yang dirancang untuk mengukur kemampuan, keterampilan,
pengetahuan, atau sikap peserta didik.
Hasil dari tes biasanya berupa angka atau skor
yang bersifat kuantitatif.
Fungsi utama tes adalah sebagai sarana untuk mengumpulkan
data awal yang akan dianalisis lebih lanjut dalam proses pengukuran
dan penilaian.
·
Pengukuran
(Measurement)
Pengukuran merupakan proses kuantifikasi
dari hasil belajar siswa menggunakan alat tertentu, seperti tes atau lembar
observasi.
Data yang dihasilkan berbentuk angka dan
menunjukkan tingkat pencapaian siswa terhadap suatu indikator pembelajaran.
Tujuan utamanya adalah memberikan nilai
numerik terhadap performa belajar siswa tanpa melakukan
interpretasi makna lebih lanjut.
·
Penilaian
(Assessment)
Penilaian mencakup proses yang lebih luas
daripada pengukuran, yaitu pengumpulan dan interpretasi informasi
tentang hasil belajar siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Penilaian bertujuan untuk memberi makna terhadap
data yang diperoleh dan memberikan umpan balik kepada
siswa dan guru guna memperbaiki proses pembelajaran.
Instrumen penilaian bisa berupa tes maupun
non-tes, seperti observasi, portofolio, wawancara, dan rubrik.
·
Evaluasi
(Evaluation)
Evaluasi adalah proses yang paling menyeluruh,
karena mencakup penggunaan hasil pengukuran dan penilaian untuk mengambil
keputusan terkait efektivitas pembelajaran, kurikulum, atau
kebijakan pendidikan.
Evaluasi tidak hanya berfokus pada hasil belajar
siswa, tetapi juga mencermati proses, konteks, dan dampak dari suatu program
pembelajaran.
Bersifat komprehensif dan digunakan sebagai dasar
untuk perbaikan berkelanjutan dalam sistem pendidikan.
Footnotes
[1]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 10.
[2]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005),
25.
[3]
Peter W. Airasian, Classroom Assessment:
Concepts and Applications, 6th ed.
(New York: McGraw-Hill, 2005), 8.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 9.
[5]
H. Douglas Brown, Language Assessment:
Principles and Classroom Practices
(White Plains, NY: Pearson Education, 2004), 3.
[6]
Ralph W. Tyler, Basic Principles of
Curriculum and Instruction (Chicago:
University of Chicago Press, 1949), 105.
3.
Teori
dan Prinsip Pengukuran dalam Pendidikan
Pengukuran dalam
pendidikan merupakan suatu proses sistematis untuk menentukan derajat
pencapaian hasil belajar peserta didik melalui data yang bersifat kuantitatif.
Proses ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana dokumentasi capaian kognitif
siswa, melainkan juga menjadi landasan penting untuk asesmen, perencanaan
pengajaran, dan pengambilan keputusan pendidikan. Oleh karena itu, pengukuran
harus dilakukan berdasarkan teori yang kokoh dan prinsip-prinsip yang dapat
menjamin validitas serta keandalan data yang diperoleh.
3.1.
Landasan Teoretis Pengukuran
Pendidikan
Secara konseptual,
pengukuran pendidikan bersandar pada teori psikometri yang menekankan pada
hubungan antara atribut yang tidak teramati secara langsung (misalnya kemampuan
atau sikap) dengan indikator yang dapat diamati (misalnya skor tes). Salah satu
prinsip utama teori ini adalah bahwa setiap hasil pengukuran memiliki unsur
kesalahan (error) dan oleh karena itu memerlukan prosedur validasi dan
kalibrasi yang cermat1.
Gronlund dan Waugh
menekankan bahwa pengukuran dalam pendidikan berfungsi bukan hanya untuk
mendeskripsikan hasil belajar, tetapi juga untuk meningkatkan efektivitas
pengajaran melalui penyediaan data objektif tentang performa peserta didik2.
Dalam konteks ini, pengukuran merupakan aktivitas ilmiah yang harus dilandasi
prinsip sistematis, akurat, dan etis.
3.2.
Skala dan Jenis Pengukuran
Dalam ilmu
pengukuran, dikenal empat skala utama:
·
Skala Nominal,
yaitu klasifikasi data berdasarkan kategori tanpa urutan (misalnya jenis
kelamin, jurusan).
·
Skala Ordinal,
yaitu klasifikasi data dengan urutan tetapi tanpa jarak yang seragam (misalnya
ranking kelas).
·
Skala Interval,
yaitu pengukuran dengan jarak antar skor yang sama tetapi tanpa nol mutlak
(misalnya suhu dalam derajat Celsius).
·
Skala Rasio,
yaitu skala dengan nol mutlak dan jarak yang seragam (misalnya jumlah benar
dalam tes objektif)3.
Pemahaman tentang
skala pengukuran penting karena menentukan teknik statistik yang tepat dalam
analisis data hasil belajar.
3.3.
Prinsip Validitas dalam Pengukuran
Validitas merujuk
pada sejauh mana suatu alat ukur mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas
bukan sekadar sifat instrumen, tetapi juga merupakan hasil dari penilaian
terhadap kesesuaian antara tujuan pengukuran dan interpretasi hasilnya. Menurut
Messick, validitas memiliki dimensi konten, konstruk, kriteria, dan konsekuensi4.
Dalam praktik
pendidikan, validitas konten sangat penting karena memastikan bahwa materi
dalam instrumen sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Regulasi nasional, seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2016,
juga menekankan bahwa penilaian oleh pendidik harus mencerminkan kompetensi
yang tercantum dalam kurikulum5.
3.4.
Prinsip Reliabilitas (Keandalan)
Reliabilitas mengacu
pada konsistensi hasil pengukuran ketika dilakukan berulang kali dalam kondisi
yang serupa. Instrumen yang reliabel akan menghasilkan skor yang stabil dan
bebas dari fluktuasi yang tidak relevan. Ada berbagai metode untuk menguji reliabilitas,
seperti uji ulang (test-retest), konsistensi internal
(Cronbach’s
alpha), dan bentuk ekuivalen6.
Instrumen yang
reliabel menjadi fondasi untuk menghasilkan keputusan yang adil dan objektif
dalam konteks pembelajaran dan evaluasi.
3.5.
Prinsip Objektivitas, Praktikalitas,
dan Etika Pengukuran
·
Objektivitas
merujuk pada ketidakberpihakan dan kebebasan instrumen dari pengaruh subjektif
penilai. Hal ini bisa dicapai melalui penggunaan rubrik penilaian dan kriteria
yang jelas.
·
Praktikalitas
berarti bahwa instrumen mudah digunakan, terjangkau secara waktu dan sumber
daya, serta dapat diterapkan dalam konteks pendidikan yang realistis.
·
Etika pengukuran
menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak peserta didik, termasuk
kerahasiaan data, keadilan, dan penggunaan hasil pengukuran secara bertanggung
jawab7.
Etika ini menjadi
sangat penting dalam konteks pendidikan inklusif dan kurikulum yang
berorientasi pada keberagaman karakteristik peserta didik.
3.6.
Pengukuran sebagai Dasar Pengambilan
Keputusan Pendidikan
Data dari hasil
pengukuran menjadi sumber utama dalam mengambil keputusan tentang remedial,
pengayaan, promosi, maupun pengembangan program pembelajaran. Oleh karena itu,
pengukuran tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis dalam
meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh.
Laporan dari OECD dalam
Education
at a Glance (2020) menekankan bahwa asesmen berbasis pengukuran
yang valid dan reliabel sangat berkontribusi dalam meningkatkan kepercayaan
publik terhadap sistem pendidikan8.
Kesimpulan
Subbagian
Dengan memahami
prinsip-prinsip dasar pengukuran — mulai dari skala, validitas, reliabilitas,
objektivitas, praktikalitas, hingga etika — pendidik dapat mengembangkan dan
menerapkan instrumen asesmen yang bukan hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga
relevan secara pedagogis. Pengukuran yang bermutu adalah fondasi bagi asesmen
yang bermakna dan evaluasi yang bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Frederick J. Gravetter dan Larry B. Wallnau, Statistics for the Behavioral Sciences, 9th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2013), 55.
[2]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson, 2009), 8.
[3]
David P. Doane dan Lori E. Seward, Applied
Statistics in Business and Economics,
5th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2016), 27–28.
[4]
Samuel Messick, “Validity,” in Educational
Measurement, ed. Robert L. Linn (New
York: Macmillan, 1989), 13–103.
[5]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian
Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud,
2016).
[6]
Robert L. Thorndike dan Tracy Thorndike-Christ, Measurement and Evaluation in Psychology and Education, 8th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2010),
102.
[7]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 35–37.
[8]
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Education at a Glance 2020: OECD Indicators (Paris: OECD Publishing, 2020), 45.
4.
Tes
dalam Pendidikan: Jenis, Fungsi, dan Kriteria Tes yang Baik
4.1.
Pengertian Tes dalam Konteks
Pendidikan
Tes merupakan alat
ukur yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan peserta didik
dalam aspek tertentu, seperti pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam
praktik pendidikan, tes menjadi salah satu instrumen utama dalam proses
pengukuran dan penilaian. Brown mendefinisikan tes sebagai prosedur sistematis
yang digunakan untuk mengobservasi perilaku individu dan menggambarkannya
dengan bantuan skala numerik atau sistem kategorisasi1.
Tes tidak hanya
berfungsi sebagai alat kuantifikasi hasil belajar, tetapi juga sebagai
instrumen diagnosis untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan peserta didik. Oleh
karena itu, perancangan tes yang baik sangat menentukan keberhasilan asesmen
pembelajaran secara keseluruhan.
4.2.
Jenis-Jenis Tes dalam Pendidikan
Tes dalam pendidikan
dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai dimensi, antara lain bentuk,
fungsi, waktu pelaksanaan, dan objek yang diukur. Berikut ini beberapa
klasifikasi yang umum digunakan:
·
Berdasarkan Bentuk
Jawaban:
Tes Objektif: seperti
pilihan ganda, benar-salah, dan menjodohkan, yang memiliki kunci jawaban
tunggal dan dapat dikoreksi secara mekanis.
Tes Subjektif: seperti
esai atau uraian bebas, yang memerlukan interpretasi dan penilaian dari penguji2.
·
Berdasarkan Fungsi:
Tes Formatif: diberikan
selama proses pembelajaran untuk memberikan umpan balik dan perbaikan.
Tes Sumatif: diberikan di
akhir periode pembelajaran untuk menilai pencapaian keseluruhan peserta didik
terhadap tujuan pembelajaran3.
·
Berdasarkan
Standarisasi:
Tes Terstandar
(Standardized Test): disusun secara profesional, memiliki
validitas dan reliabilitas tinggi, serta digunakan dalam skala luas (misalnya
ANBK, PISA).
Tes Non-terstandar:
disusun oleh guru untuk keperluan kelas tertentu dan bersifat kontekstual.
·
Berdasarkan Ranah
yang Diukur:
Tes Kognitif: mengukur
pengetahuan dan kemampuan intelektual.
Tes Afektif: mengukur
sikap, nilai, atau minat.
Tes Psikomotorik:
mengukur keterampilan manual atau motorik, seperti praktik laboratorium atau
ujian olahraga4.
4.3.
Fungsi Tes dalam Proses Pembelajaran
Tes memiliki
berbagai fungsi penting dalam proses pendidikan, antara lain:
1)
Fungsi Diagnostik:
Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan siswa sebelum, selama, atau setelah
pembelajaran berlangsung.
2)
Fungsi Formatif:
Memberikan umpan balik kepada siswa dan guru untuk perbaikan pembelajaran
secara berkelanjutan.
3)
Fungsi Sumatif:
Menyediakan data akhir tentang hasil belajar yang digunakan untuk pemberian
nilai, kelulusan, atau seleksi.
4)
Fungsi Prediktif:
Menilai potensi peserta didik untuk kesuksesan belajar di masa depan.
5)
Fungsi Evaluatif:
Memberikan dasar objektif dalam mengevaluasi efektivitas kurikulum, metode
pembelajaran, atau kebijakan pendidikan5.
Sebagaimana diatur
dalam Permendikbud
No. 23 Tahun 2016, tes adalah bagian dari proses penilaian yang
bertujuan untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar dan hasil belajar
peserta didik secara objektif dan adil6.
4.4.
Kriteria Tes yang Baik
Agar tes dapat
berfungsi secara optimal, diperlukan pemenuhan sejumlah kriteria dasar sebagai
berikut:
·
Validitas:
Tes harus mengukur apa yang seharusnya diukur, baik dari aspek isi, konstruk,
maupun kriteria. Validitas menjadi syarat mutlak agar interpretasi hasil tes
sah dan bermakna7.
·
Reliabilitas:
Tes harus menghasilkan hasil yang konsisten bila digunakan dalam kondisi yang
relatif sama. Tanpa reliabilitas, validitas juga tidak akan tercapai.
·
Objektivitas:
Hasil tes harus bebas dari bias subjektif penilai. Hal ini dapat dicapai dengan
menyusun pedoman penskoran dan rubrik yang jelas.
·
Praktikalitas:
Tes harus mudah dilaksanakan, tidak memerlukan biaya atau waktu yang
berlebihan, dan sesuai dengan konteks serta kemampuan guru maupun peserta didik8.
·
Diskriminasi dan
Tingkat Kesukaran: Soal-soal dalam tes harus memiliki daya pembeda
yang baik antara peserta didik yang menguasai dan tidak menguasai materi, serta
memiliki tingkat kesulitan yang beragam untuk menilai kemampuan secara
menyeluruh.
·
Keadilan (Fairness):
Tes tidak boleh mengandung unsur diskriminatif atau bias terhadap latar
belakang budaya, gender, atau sosial ekonomi peserta didik.
Kesimpulan
Subbagian
Tes merupakan elemen
fundamental dalam pengukuran dan penilaian pendidikan. Untuk menghasilkan data
yang valid dan bermakna, tes harus disusun berdasarkan prinsip ilmiah dan etika
pedagogis. Dengan memahami jenis-jenis tes, fungsinya, serta kriteria tes yang
baik, guru dapat menyusun instrumen yang tidak hanya mengukur hasil belajar
secara akurat, tetapi juga mendukung pembelajaran yang adil, inklusif, dan
efektif.
Footnotes
[1]
H. Douglas Brown, Language Assessment:
Principles and Classroom Practices
(White Plains, NY: Pearson Education, 2004), 3.
[2]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 75–76.
[3]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005),
31–32.
[4]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson, 2009), 14–15.
[5]
Peter W. Airasian, Classroom Assessment:
Concepts and Applications, 6th ed.
(New York: McGraw-Hill, 2005), 12.
[6]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian
Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud,
2016).
[7]
Samuel Messick, “Validity,” in Educational
Measurement, ed. Robert L. Linn (New
York: Macmillan, 1989), 13–103.
[8]
M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip
dan Teknik Evaluasi Pengajaran
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 115–117.
5.
Penilaian
sebagai Proses Pengumpulan dan Interpretasi Informasi
5.1.
Hakikat Penilaian dalam Pendidikan
Penilaian (assessment)
merupakan proses sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan
informasi mengenai capaian belajar peserta didik, dengan tujuan untuk memahami
tingkat ketercapaian kompetensi, memberikan umpan balik, dan mengarahkan
pengambilan keputusan pembelajaran. Penilaian bukan sekadar kegiatan
administratif yang menghasilkan nilai angka, melainkan instrumen pedagogis yang
membantu guru dan siswa mengenali proses belajar secara lebih reflektif dan
bermakna1.
Permendikbud No. 23
Tahun 2016 mendefinisikan penilaian sebagai proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik pada kompetensi
dasar yang diukur, mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara
utuh dan berimbang2.
5.2.
Komponen Utama dalam Proses
Penilaian
Penilaian sebagai
proses pedagogis memiliki tiga komponen utama:
1)
Pengumpulan Informasi:
Dilakukan melalui berbagai teknik dan instrumen, baik tes maupun non-tes.
2)
Analisis dan Interpretasi:
Data yang dikumpulkan ditafsirkan untuk memperoleh makna tentang pencapaian
belajar siswa.
3)
Pengambilan Keputusan:
Hasil interpretasi digunakan untuk menetapkan langkah selanjutnya seperti
pengayaan, remedial, atau perubahan strategi pembelajaran3.
Dengan demikian,
penilaian berfungsi tidak hanya untuk menilai hasil akhir, tetapi juga sebagai
alat navigasi dalam proses pembelajaran.
5.3.
Jenis Penilaian: Formatif dan
Sumatif
·
Penilaian
Formatif
Bertujuan untuk memberikan umpan balik selama
proses pembelajaran berlangsung. Penilaian ini membantu guru mengidentifikasi
kesulitan belajar siswa secara dini dan memberikan intervensi yang tepat.
Misalnya, refleksi harian, kuis singkat, atau umpan balik lisan setelah diskusi
kelompok4.
·
Penilaian
Sumatif
Dilakukan di akhir periode pembelajaran (misalnya
akhir semester) untuk menilai ketercapaian kompetensi secara menyeluruh. Hasil
dari penilaian ini digunakan untuk keperluan pelaporan, penentuan kelulusan,
atau pemetaan capaian program pembelajaran5.
Kedua jenis
penilaian ini bersifat saling melengkapi dan harus dirancang secara konsisten
dengan tujuan pembelajaran.
5.4.
Penilaian Otentik dan Alternatif
Dalam kerangka Kurikulum
Merdeka, penilaian tidak terbatas pada penguasaan materi, tetapi
juga mencakup kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kolaborasi.
Oleh karena itu, digunakan pendekatan penilaian otentik (authentic
assessment), yang menilai kompetensi melalui tugas-tugas dunia nyata dan
kontekstual.
Bentuk-bentuk
penilaian otentik meliputi:
·
Portofolio:
Kumpulan hasil kerja siswa yang menunjukkan perkembangan belajar.
·
Proyek:
Tugas jangka panjang yang menuntut integrasi berbagai keterampilan.
·
Unjuk kerja
(performance assessment): Demonstrasi kemampuan dalam situasi nyata
atau simulasi.
·
Self-assessment dan
peer-assessment: Penilaian yang dilakukan oleh siswa sendiri atau oleh
teman sejawat untuk meningkatkan kesadaran belajar dan refleksi diri6.
Penilaian otentik
diyakini lebih representatif dalam mengukur capaian belajar abad ke-21 karena
menuntut proses berpikir tingkat tinggi dan keterlibatan aktif siswa.
5.5.
Instrumen Penilaian Non-Tes
Selain tes, guru
juga dapat menggunakan berbagai alat non-tes untuk menilai aspek afektif dan
psikomotorik, seperti:
·
Observasi
sistematis dengan lembar cek atau skala penilaian.
·
Jurnal belajar,
yang mencerminkan proses reflektif peserta didik.
·
Rubrik penilaian,
yang memberikan pedoman objektif dalam menilai performa siswa pada tugas
terbuka atau proyek.
Instrumen-instrumen
ini memungkinkan guru memperoleh gambaran utuh mengenai proses dan hasil
belajar siswa, terutama dalam konteks pembelajaran berbasis proyek, inkuiri,
atau kolaboratif7.
5.6.
Prinsip-Prinsip Penilaian yang
Efektif
Agar penilaian menghasilkan
informasi yang bermakna, harus diterapkan prinsip-prinsip berikut:
·
Validitas:
Instrumen penilaian harus relevan dengan kompetensi yang diukur.
·
Reliabilitas:
Penilaian harus konsisten dan bebas dari bias.
·
Objektivitas:
Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas, bukan persepsi subjektif.
·
Adil dan Inklusif:
Penilaian harus mempertimbangkan keberagaman karakteristik peserta didik.
·
Berorientasi pada
Pembelajaran: Penilaian seharusnya tidak hanya untuk mengukur, tetapi
juga untuk mendorong dan memfasilitasi proses belajar8.
Kesimpulan
Subbagian
Penilaian merupakan
proses strategis dalam sistem pembelajaran yang tidak hanya mencerminkan
capaian belajar peserta didik, tetapi juga menjadi jembatan untuk memperbaiki
dan memperkuat praktik pedagogi. Penilaian yang efektif dan berprinsip tidak
hanya menilai hasil, tetapi juga memfasilitasi proses belajar yang reflektif,
bermakna, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Peter W. Airasian, Classroom Assessment:
Concepts and Applications, 6th ed.
(New York: McGraw-Hill, 2005), 5.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian
Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud,
2016).
[3]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson, 2009), 17.
[4]
Paul Black dan Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.
[5]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005),
95–97.
[6]
Grant Wiggins, Educative Assessment:
Designing Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998), 21.
[7]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 94–97.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–16.
6.
Evaluasi
Pembelajaran: Tujuan, Prosedur, dan Manfaat
6.1.
Pengertian Evaluasi dalam Konteks
Pendidikan
Evaluasi dalam
pendidikan adalah proses sistematis untuk menilai efektivitas suatu program
pembelajaran atau intervensi pendidikan, dengan menggunakan data hasil
pengukuran dan penilaian. Evaluasi mencakup pengumpulan informasi, analisis,
interpretasi, dan pengambilan keputusan berdasarkan hasil tersebut. Tyler
menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan sejauh mana
tujuan pendidikan telah tercapai melalui kegiatan belajar mengajar1.
Berbeda dengan
penilaian yang lebih terfokus pada capaian peserta didik, evaluasi memiliki
cakupan yang lebih luas karena menyentuh dimensi proses, hasil, dan dampak
pembelajaran, serta kebijakan dan sistem yang melingkupinya2.
6.2.
Tujuan Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi memiliki
sejumlah tujuan strategis dalam sistem pendidikan, antara lain:
·
Menentukan
efektivitas pembelajaran: Evaluasi memberikan informasi mengenai
sejauh mana suatu proses belajar telah mencapai tujuan yang ditetapkan dalam
kurikulum.
·
Meningkatkan mutu
pengajaran: Dengan mengevaluasi metode, media, dan pendekatan
pembelajaran, guru dapat menyempurnakan strategi pengajarannya.
·
Mengembangkan
kebijakan pendidikan: Hasil evaluasi dapat digunakan oleh pengambil
kebijakan untuk merancang program pelatihan, perbaikan kurikulum, atau
kebijakan penjaminan mutu.
·
Menjamin
akuntabilitas pendidikan: Evaluasi membantu sekolah dan guru
mempertanggungjawabkan hasil pendidikan kepada publik dan pemangku kepentingan3.
6.3.
Prosedur Evaluasi Pembelajaran
Proses evaluasi
terdiri atas beberapa langkah sistematis yang membentuk siklus berkelanjutan,
yaitu:
1)
Perencanaan Evaluasi:
Menentukan tujuan evaluasi, indikator keberhasilan, dan kriteria penilaian. Hal
ini selaras dengan Standar Nasional Pendidikan yang tercantum dalam Permendikbud
No. 22 Tahun 20164.
2)
Pengumpulan Data:
Menggunakan instrumen seperti tes, observasi, kuesioner, wawancara, atau
dokumen administratif.
3)
Analisis dan Interpretasi
Data: Menganalisis hasil dengan pendekatan kuantitatif dan/atau
kualitatif sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan.
4)
Pelaporan Hasil Evaluasi:
Menyusun laporan yang sistematis sebagai dasar pengambilan keputusan dan tindak
lanjut.
5)
Tindak Lanjut:
Melakukan perbaikan atau inovasi berdasarkan temuan evaluasi untuk meningkatkan
mutu proses dan hasil pendidikan5.
6.4.
Jenis-Jenis Evaluasi dalam
Pendidikan
Evaluasi dapat
dikategorikan berdasarkan tujuannya:
·
Evaluasi Formatif:
Bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang sedang berlangsung.
Evaluasi ini bersifat reflektif dan digunakan untuk perbaikan segera.
·
Evaluasi Sumatif:
Dilaksanakan di akhir suatu periode atau program untuk mengetahui pencapaian
tujuan secara keseluruhan dan menentukan efektivitas program.
·
Evaluasi
Kontekstual: Menilai keterkaitan antara program pendidikan dan kondisi
sosial, budaya, dan ekonomi di mana program tersebut diterapkan6.
·
Evaluasi Efisiensi
dan Efektivitas: Menganalisis perbandingan antara input (biaya, waktu,
tenaga) dengan output (hasil belajar, kompetensi lulusan).
6.5.
Manfaat Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi yang
dirancang dan dilaksanakan secara tepat memiliki manfaat yang luas:
·
Bagi guru,
evaluasi menjadi alat untuk refleksi profesional dan dasar pengembangan
kompetensi pedagogik.
·
Bagi peserta didik,
evaluasi memberikan informasi tentang kekuatan dan kelemahan belajar serta arah
pengembangan diri.
·
Bagi sekolah,
evaluasi menjadi indikator mutu yang mendukung akreditasi dan peningkatan sistem
manajemen berbasis mutu.
·
Bagi pemerintah
atau lembaga pengambil kebijakan, evaluasi menjadi rujukan dalam
penyusunan kebijakan berbasis data (evidence-based policy making)7.
Dalam konteks Kurikulum
Merdeka, evaluasi juga berperan dalam memantau efektivitas
implementasi pembelajaran berdiferensiasi dan asesmen formatif yang
berorientasi pada perkembangan murid8.
Kesimpulan
Subbagian
Evaluasi
pembelajaran adalah proses integral dalam siklus pengajaran yang memungkinkan
pendidikan berjalan secara sistematis, terukur, dan akuntabel. Dengan
mengedepankan tujuan, prosedur, dan prinsip evaluasi yang tepat, seluruh
pemangku kepentingan dapat menjadikan evaluasi sebagai alat transformasi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Ralph W. Tyler, Basic Principles of
Curriculum and Instruction (Chicago:
University of Chicago Press, 1949), 104–106.
[2]
Robert E. Stake, The Art of Case Study
Research (Thousand Oaks, CA: Sage
Publications, 1995), 91–92.
[3]
M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip
dan Teknik Evaluasi Pengajaran
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 12–14.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan
Dasar dan Menengah (Jakarta:
Kemendikbud, 2016).
[5]
J. McMillan, Classroom Assessment:
Principles and Practice for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2017), 165.
[6]
Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J. Shinkfield, Evaluation Theory, Models, and Applications, 2nd ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2007), 58.
[7]
OECD, Synergies for Better
Learning: An International Perspective on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 17.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 24–25.
7.
Implementasi
dalam Praktik: Studi Lapangan dan Regulasi Terkait
7.1.
Konteks Implementasi di Satuan
Pendidikan
Implementasi
pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi di satuan pendidikan sangat dipengaruhi
oleh pemahaman guru, dukungan kebijakan, serta kesiapan sarana dan prasarana.
Dalam praktiknya, banyak sekolah masih menghadapi tantangan seperti dominasi
penilaian sumatif, keterbatasan waktu dalam asesmen formatif, dan kurangnya
pelatihan guru dalam menyusun instrumen penilaian yang valid dan reliabel1.
Padahal, dalam konteks pembelajaran yang berpusat pada siswa, penilaian
seharusnya menjadi bagian integral dari proses belajar, bukan sekadar mekanisme
administratif untuk menghasilkan angka.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah menggariskan prinsip bahwa penilaian harus
dilakukan secara objektif, adil, transparan, menyeluruh, dan berkesinambungan,
sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar
Penilaian Pendidikan2. Prinsip ini juga
ditegaskan dalam Kurikulum Merdeka, yang
mengedepankan asesmen diagnostik, formatif, dan sumatif secara terpadu dan
kontekstual3.
7.2.
Studi Kasus Praktik Baik di Sekolah
Beberapa praktik
baik dalam implementasi penilaian telah dilakukan oleh satuan pendidikan yang
berhasil mengintegrasikan asesmen dengan pendekatan pembelajaran berbasis
proyek (project-based
learning), inkuiri, dan refleksi. Misalnya, di beberapa Sekolah
Penggerak, guru menggunakan asesmen diagnostik di awal pembelajaran untuk mengidentifikasi
kesiapan dan profil belajar murid. Selanjutnya, digunakan asesmen formatif
seperti jurnal refleksi, rubrik performa, dan portofolio untuk mendampingi
proses belajar secara berkelanjutan4.
Contoh nyata
diterapkan di SMP Negeri 1 Wonosobo, di mana guru IPA menerapkan asesmen
formatif harian berbasis observasi eksperimen laboratorium yang dikombinasikan
dengan self-assessment
siswa. Hasilnya menunjukkan peningkatan keterlibatan belajar dan pencapaian
kognitif siswa secara signifikan5. Temuan ini
mengindikasikan bahwa ketika asesmen dikelola secara profesional dan
kontekstual, proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan inklusif.
7.3.
Implementasi Berbasis Digital dan
Teknologi
Perkembangan
teknologi informasi turut mendukung inovasi dalam implementasi asesmen,
terutama melalui platform digital yang memungkinkan pelaksanaan computer-based
test (CBT), penilaian daring berbasis LMS (Learning
Management System), dan e-rubrics. Dalam masa pandemi
COVID-19, pemanfaatan aplikasi seperti Google Form, Moodle, dan Quipper menjadi
pilihan strategis bagi guru untuk melaksanakan asesmen jarak jauh6.
Kebijakan
Kemendikbudristek melalui platform Rapor Pendidikan dan Asesmen
Nasional Berbasis Komputer (ANBK) juga memperkuat pendekatan
data-driven dalam mengevaluasi mutu satuan pendidikan secara holistik7.
Evaluasi tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga menilai lingkungan
belajar dan karakter murid, sehingga mendukung prinsip pendidikan yang utuh dan
berimbang.
7.4.
Peran Regulasi dan Dukungan
Kebijakan
Sejumlah regulasi
yang menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pengukuran dan penilaian di
Indonesia antara lain:
·
Permendikbud No. 23
Tahun 2016: Mengatur standar penilaian pendidikan oleh pendidik dan
satuan pendidikan.
·
Permendikbud No.
21, 22, dan 24 Tahun 2016: Mengatur tentang isi, proses, dan
kompetensi lulusan.
·
Peraturan BSKAP
Kemendikbudristek No. 004/H/KR/2022: Menegaskan prinsip asesmen dalam
Kurikulum Merdeka yang bersifat formatif dan diferensiatif8.
·
Kebijakan Asesmen
Nasional (AN): Menggantikan Ujian Nasional dan berfokus pada
peningkatan mutu pendidikan melalui survei karakter, literasi, dan numerasi.
Regulasi-regulasi
ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari penilaian berbasis hasil ke
penilaian berbasis proses dan perkembangan murid secara holistik.
7.5.
Tantangan dan Rekomendasi
Implementatif
Beberapa tantangan
utama yang masih dihadapi dalam praktik antara lain:
·
Kurangnya pemahaman
konseptual guru terhadap asesmen formatif dan otentik.
·
Keterbatasan waktu dan
beban administratif yang tinggi.
·
Minimnya pelatihan teknis
dalam menyusun instrumen non-tes yang valid dan reliabel.
·
Masih dominannya budaya
penilaian berbasis angka sebagai ukuran tunggal keberhasilan.
Oleh karena itu,
diperlukan rekomendasi sebagai berikut:
·
Pelatihan berkelanjutan
untuk guru mengenai asesmen formatif dan otentik.
·
Penyederhanaan administrasi
penilaian yang berfokus pada esensi dan fungsi belajar.
·
Penguatan sistem supervisi
akademik dan komunitas belajar guru untuk berbagi praktik baik.
·
Integrasi teknologi yang
mendukung penilaian yang adaptif, reflektif, dan terdokumentasi dengan baik9.
Kesimpulan
Subbagian
Implementasi
pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi dalam praktik pendidikan sangat
ditentukan oleh pemahaman konseptual, dukungan regulasi, dan kemampuan adaptasi
terhadap kebutuhan kontekstual satuan pendidikan. Ketika seluruh komponen ini
berjalan selaras, maka asesmen benar-benar menjadi bagian dari proses belajar
yang bermakna, berkeadilan, dan berorientasi pada perkembangan murid secara
utuh.
Footnotes
[1]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 89.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian
Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud,
2016).
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5–8.
[4]
Direktorat Jenderal GTK, Laporan
Praktik Baik Sekolah Penggerak Gelombang I (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 22–27.
[5]
Lestari, Sri. “Penerapan Asesmen Formatif pada Pembelajaran IPA
Berbasis Inkuiri.” Jurnal Ilmiah
Pendidikan IPA 9, no. 1 (2022):
34–42.
[6]
Anas, Sudarman. “Pemanfaatan Google Form dalam Penilaian Jarak Jauh.” Jurnal Teknologi Pendidikan 24, no. 2 (2021): 109–116.
[7]
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Rapor Pendidikan Indonesia 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–17.
[8]
BSKAP Kemendikbudristek, Peraturan
BSKAP Nomor 004/H/KR/2022 tentang Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: 2022).
[9]
OECD, Synergies for Better
Learning: An International Perspective on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 44–46.
8.
Tantangan
dan Solusi dalam Pelaksanaan Pengukuran dan Penilaian
8.1.
Tantangan Utama dalam Pelaksanaan
Pengukuran dan Penilaian
Meskipun pengukuran
dan penilaian telah menjadi bagian integral dari proses pendidikan,
implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan yang signifikan,
baik pada aspek konseptual, teknis, maupun sistemik.
8.1.1.
Kurangnya Pemahaman Konseptual Guru
Masih banyak
pendidik yang menyamakan pengukuran, penilaian, dan evaluasi sebagai proses
yang identik, padahal masing-masing memiliki karakteristik dan fungsi yang
berbeda. Ketidakjelasan konseptual ini menyebabkan praktik penilaian menjadi
kurang tepat sasaran, seringkali hanya terfokus pada hasil kognitif semata dan
mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik1.
8.1.2.
Dominasi Penilaian Sumatif
Sebagian besar guru
lebih mengandalkan penilaian sumatif (ulangan harian, ujian tengah/akhir
semester) daripada penilaian formatif yang berorientasi pada proses. Hal ini
diperburuk oleh tekanan administratif dan budaya nilai sebagai indikator
tunggal keberhasilan belajar2.
8.1.3.
Kualitas Instrumen yang Belum Memadai
Instrumen penilaian
yang digunakan sering kali belum memenuhi prinsip validitas dan reliabilitas.
Banyak soal yang tidak sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi atau tidak
mampu membedakan siswa yang menguasai dan belum menguasai materi dengan baik3.
8.1.4.
Beban Administratif yang Tinggi
Guru dihadapkan pada
beban kerja administratif yang besar dalam pengisian rapor, dokumentasi
penilaian, dan pelaporan, sehingga waktu untuk refleksi dan pengembangan
instrumen penilaian menjadi terbatas4.
8.1.5.
Keterbatasan Teknologi dan Pelatihan
Pemanfaatan
teknologi dalam asesmen masih terbatas, terutama di daerah dengan infrastruktur
digital yang belum merata. Selain itu, pelatihan guru tentang asesmen digital,
penilaian otentik, dan teknik evaluasi inovatif belum merata5.
8.2.
Solusi Strategis untuk Penguatan
Sistem Pengukuran dan Penilaian
Menghadapi
tantangan-tantangan tersebut, dibutuhkan solusi sistemik dan terintegrasi yang
melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan.
8.2.1.
Penguatan Kompetensi Asesmen Guru
Pemerintah dan
lembaga pendidikan perlu menyelenggarakan pelatihan yang berkelanjutan bagi
guru tentang perancangan asesmen berbasis kompetensi, penilaian otentik, dan
penggunaan rubrik penilaian yang objektif. Program seperti Guru Penggerak
telah menjadi contoh bagaimana pengembangan profesional guru dapat menciptakan
perubahan dalam praktik penilaian6.
8.2.2.
Reorientasi Budaya Penilaian
Perlu dilakukan
perubahan paradigma bahwa penilaian bukan hanya untuk memberikan nilai, tetapi
sebagai sarana umpan balik, pengembangan diri, dan pembelajaran reflektif. Kurikulum
Merdeka mendorong pendekatan ini melalui asesmen formatif dan
diagnostik yang lebih menekankan proses daripada hasil akhir7.
8.2.3.
Penyederhanaan Administrasi Penilaian
Kementerian
Pendidikan telah mendorong efisiensi dalam pengelolaan penilaian melalui
penyederhanaan pelaporan dan penggunaan platform digital seperti Rapor
Pendidikan, SIPLAH, dan Platform
Merdeka Mengajar (PMM). Langkah ini dapat mengurangi beban
administratif dan meningkatkan fokus pada substansi asesmen8.
8.2.4.
Penguatan Ekosistem Teknologi Pendidikan
Perluasan
infrastruktur digital, terutama di daerah tertinggal, serta pengadaan perangkat
dan jaringan internet merupakan langkah krusial untuk mendukung asesmen daring
dan berbasis aplikasi. Selain itu, guru perlu dibekali keterampilan literasi
digital agar dapat memanfaatkan teknologi secara maksimal dalam merancang dan
melaksanakan penilaian9.
8.2.5.
Monitoring dan Evaluasi Berbasis Data
Diperlukan sistem
monitoring penilaian yang berbasis data hasil asesmen, bukan sekadar
administratif. Dengan menggunakan pendekatan data-driven decision making,
sekolah dan pemerintah dapat memetakan kebutuhan peningkatan kapasitas guru
serta memperbaiki kebijakan secara lebih tepat sasaran10.
8.3.
Peran Stakeholder dalam Perbaikan
Sistem Penilaian
·
Guru
sebagai pelaksana utama asesmen perlu diberikan ruang refleksi dan kolaborasi
untuk berbagi praktik baik.
·
Kepala sekolah dan
pengawas berperan sebagai fasilitator budaya mutu dan penggerak
inovasi asesmen.
·
Pemerintah
wajib menyediakan kebijakan yang mendorong asesmen yang adil, inklusif, dan
partisipatif.
·
Orangtua dan
masyarakat juga harus diedukasi agar memahami peran penilaian sebagai
bagian dari perkembangan belajar anak, bukan sekadar angka rapor.
Kesimpulan
Subbagian
Tantangan dalam
pelaksanaan pengukuran dan penilaian adalah konsekuensi dari kompleksitas
sistem pendidikan yang dinamis. Namun dengan strategi yang tepat — mulai dari
penguatan kapasitas guru, perbaikan kebijakan, hingga pemanfaatan teknologi —
asesmen dapat menjadi instrumen yang kuat untuk mendukung pembelajaran
bermakna, adil, dan berorientasi pada perkembangan peserta didik secara utuh.
Footnotes
[1]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005),
19.
[2]
Paul Black dan Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.
[3]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 109–112.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Laporan Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 34–36.
[5]
OECD, Education at a Glance
2020: OECD Indicators (Paris: OECD
Publishing, 2020), 56–58.
[6]
Direktorat Jenderal GTK, Pedoman
Program Guru Penggerak Angkatan 4
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 18–21.
[7]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 13–15.
[8]
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Platform Rapor Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 9–11.
[9]
Anas, Sudarman. “Literasi Digital Guru dan Transformasi Penilaian
Pendidikan.” Jurnal Teknologi
Pendidikan 25, no. 1 (2022): 87–93.
[10]
UNESCO, Guidelines for the Use
of Data in Education Policy Making
(Paris: UNESCO Institute for Statistics, 2021), 22–25.
9.
Rekomendasi
untuk Guru dan Pengambil Kebijakan
Agar pengukuran,
penilaian, tes, dan evaluasi berfungsi secara optimal dalam meningkatkan mutu
pendidikan, diperlukan langkah-langkah strategis dari dua kelompok pemangku
kepentingan utama: guru sebagai pelaksana teknis pembelajaran,
dan pengambil
kebijakan sebagai fasilitator sistemik. Rekomendasi berikut
disusun berdasarkan tantangan dan temuan lapangan serta regulasi yang berlaku,
dengan tujuan membangun sistem asesmen yang adil, relevan, dan berdaya guna.
9.1.
Rekomendasi untuk Guru
9.1.1.
Meningkatkan Kompetensi Asesmen Profesional
Guru perlu
memperkuat kemampuan dalam menyusun instrumen penilaian yang valid, reliabel,
dan sesuai dengan prinsip pedagogik. Pelatihan dalam bentuk workshop,
in-house
training, serta program Guru Penggerak harus dimanfaatkan
untuk memperdalam pemahaman mengenai asesmen formatif, otentik, dan berbasis
kompetensi1.
9.1.2.
Mengintegrasikan Asesmen dalam Proses
Pembelajaran
Asesmen tidak boleh
berdiri terpisah dari proses belajar. Guru sebaiknya merancang pembelajaran
yang menyatu dengan kegiatan asesmen — misalnya melalui penilaian berbasis
proyek, rubrik performa, self-assessment, dan peer-assessment
— agar dapat mendorong partisipasi aktif dan refleksi diri peserta didik2.
9.1.3.
Memanfaatkan Teknologi untuk Efisiensi dan
Inovasi
Guru dianjurkan
untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital dalam pelaksanaan asesmen,
seperti menggunakan platform Learning Management System (LMS),
Google Form, atau aplikasi e-rapor untuk mempercepat proses, menyederhanakan
administrasi, dan menyajikan umpan balik yang real-time3.
9.1.4.
Menerapkan Penilaian yang Berkeadilan dan
Inklusif
Penilaian harus
mencerminkan keberagaman gaya belajar, latar belakang sosial-budaya, dan
kebutuhan khusus peserta didik. Guru perlu memastikan bahwa penilaian yang
dilakukan tidak bias, diskriminatif, atau semata-mata berbasis angka, melainkan
memberi ruang bagi ekspresi keunggulan individual siswa4.
9.2.
Rekomendasi untuk Pengambil
Kebijakan
9.2.1.
Menyediakan Kebijakan Asesmen yang Holistik dan
Adaptif
Kementerian dan
dinas pendidikan perlu mengembangkan kebijakan asesmen yang tidak hanya
menekankan aspek sumatif, tetapi juga memperkuat asesmen formatif dan otentik
sebagai alat pengembangan kompetensi peserta didik. Kebijakan ini harus
berbasis data, kontekstual, dan fleksibel terhadap dinamika sekolah5.
9.2.2.
Menyederhanakan Administrasi Penilaian
Birokrasi penilaian
yang terlalu teknis dan membebani guru harus disederhanakan. Sistem seperti Rapor
Pendidikan, Platform Merdeka Mengajar, dan Asesmen
Nasional perlu diarahkan sebagai alat bantu, bukan beban tambahan.
Penyusunan dokumen penilaian seharusnya difokuskan pada informasi esensial yang
mendukung perbaikan proses belajar6.
9.2.3.
Memperluas Akses terhadap Pelatihan Asesmen
Berkualitas
Pengambil kebijakan
harus menjamin pemerataan akses pelatihan tentang asesmen, baik secara daring
maupun luring, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).
Materi pelatihan harus mencakup teknik penyusunan soal HOTS, validasi
instrumen, analisis hasil asesmen, dan penggunaan rubrik penilaian7.
9.2.4.
Menyediakan Infrastruktur Teknologi dan Sistem
Pendukung
Kebijakan harus
mengakomodasi pembangunan infrastruktur teknologi yang memadai untuk mendukung
asesmen digital, termasuk penyediaan perangkat TIK, jaringan internet, serta
pendampingan teknis bagi guru dan tenaga kependidikan di sekolah8.
9.2.5.
Mendorong Kolaborasi Multi-Pihak dalam
Pengembangan Sistem Penilaian
Kolaborasi antara
sekolah, perguruan tinggi, lembaga pelatihan, dan komunitas pendidikan perlu
difasilitasi untuk menghasilkan inovasi dalam asesmen. Model seperti community
of practice, pengembangan bank soal bersama, dan penelitian
tindakan kelas dapat menjadi media pertukaran pengetahuan dan peningkatan
kualitas asesmen9.
Kesimpulan
Subbagian
Perbaikan sistem
pengukuran dan penilaian tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan
memerlukan keterlibatan aktif guru sebagai pelaksana teknis dan pengambil
kebijakan sebagai penyedia sistem pendukung. Dengan rekomendasi yang
berorientasi pada profesionalisme, efisiensi, keadilan, dan adaptabilitas,
pengukuran dan penilaian dapat menjadi instrumen strategis untuk membentuk
pembelajaran yang bermakna dan transformatif.
Footnotes
[1]
Direktorat Jenderal GTK, Panduan
Program Pendidikan Guru Penggerak
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 27–30.
[2]
Grant Wiggins, Educative Assessment:
Designing Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998), 42.
[3]
Sudarman Anas, “Transformasi Digital dalam Penilaian Pendidikan,” Jurnal Teknologi Pendidikan 24, no. 2 (2021): 115–122.
[4]
OECD, Student Assessment:
Measuring Progress in Education
(Paris: OECD Publishing, 2015), 19–21.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 9–11.
[6]
Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Platform Rapor Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–17.
[7]
UNESCO, Teaching and Learning
for Inclusion: Assessment Policies and Practices (Paris: UNESCO Publishing, 2020), 36.
[8]
OECD, Digital Education
Outlook 2021: Pushing the Frontiers with AI, Blockchain, and Robots (Paris: OECD Publishing, 2021), 44–48.
[9]
Stiggins, Richard J., Assessment
Manifesto: A Call for the Development of Balanced Assessment Systems (Portland: ETS Assessment Training Institute, 2008),
17–18.
10. Penutup
Pengukuran,
penilaian, tes, dan evaluasi merupakan empat konsep yang berbeda namun saling
terintegrasi dalam sistem pendidikan yang efektif. Pengukuran berperan sebagai
proses kuantifikasi performa peserta didik, tes sebagai instrumen pengumpulan data,
penilaian sebagai proses interpretatif terhadap data tersebut, dan evaluasi
sebagai langkah reflektif untuk mengambil keputusan yang berdampak pada mutu
pembelajaran secara menyeluruh1.
Dalam konteks
transformasi pendidikan saat ini, khususnya dalam implementasi Kurikulum
Merdeka, pemahaman yang tepat atas keempat elemen ini sangat
diperlukan untuk menjamin bahwa pembelajaran berlangsung secara holistik,
adaptif, dan berpusat pada peserta didik2. Pemerintah telah
menyediakan berbagai regulasi, seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2016 dan
kebijakan Asesmen
Nasional, sebagai kerangka kerja untuk memastikan pelaksanaan
penilaian yang objektif, adil, dan bermakna3.
Namun demikian,
tantangan implementatif seperti miskonsepsi konsep, dominasi penilaian sumatif,
rendahnya kualitas instrumen asesmen, serta beban administratif yang tinggi
masih menjadi hambatan di banyak satuan pendidikan4. Oleh sebab itu,
diperlukan kolaborasi aktif antara guru, kepala sekolah, pengawas, dinas
pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan sistem asesmen
yang sehat dan berdaya guna.
Guru sebagai pelaku
utama di ruang kelas perlu dibekali kompetensi asesmen yang kuat, kemampuan
reflektif, serta pemanfaatan teknologi yang inovatif untuk mendukung penilaian
yang otentik dan berkeadilan. Di sisi lain, pengambil kebijakan perlu
memastikan kebijakan yang responsif, sistem pelatihan yang merata, dan
infrastruktur yang menunjang asesmen berbasis data dan kontekstual5.
Dengan pendekatan
yang menyeluruh dan terarah, pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi tidak
hanya menjadi alat untuk mengetahui hasil belajar, tetapi juga menjadi jembatan
untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna, transformatif, dan berkelanjutan.
Pendidikan yang berkualitas dimulai dari asesmen yang berkualitas — sebuah
prinsip dasar yang harus dijaga dalam setiap praktik dan kebijakan pendidikan
nasional.
Footnotes
[1]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005),
21–23.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7–9.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian
Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud,
2016).
[4]
Paul Black dan Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 12–15.
[5]
OECD, Synergies for Better
Learning: An International Perspective on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 16–18.
Daftar Pustaka
Airasian, P. W. (2005). Classroom assessment:
Concepts and applications (6th ed.). McGraw-Hill.
Anas, S. (2021). Pemanfaatan Google Form dalam
penilaian jarak jauh. Jurnal Teknologi Pendidikan, 24(2), 109–116.
Anas, S. (2022). Literasi digital guru dan
transformasi penilaian pendidikan. Jurnal Teknologi Pendidikan, 25(1),
87–93.
Arifin, Z. (2012). Evaluasi pembelajaran.
Remaja Rosdakarya.
Black, P., & Wiliam, D. (1998). Assessment and
classroom learning. Assessment in Education: Principles, Policy &
Practice, 5(1), 7–74. https://doi.org/10.1080/0969595980050102
Brown, H. D. (2004). Language assessment:
Principles and classroom practices. Pearson Education.
Doane, D. P., & Seward, L. E. (2016). Applied
statistics in business and economics (5th ed.). McGraw-Hill Education.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
(2021). Panduan Program Pendidikan Guru Penggerak. Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan.
(2021). Laporan Praktik Baik Sekolah Penggerak Gelombang I. Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Gronlund, N. E., & Waugh, C. K. (2009). Assessment
of student achievement (10th ed.). Pearson.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian
Pendidikan. https://jdih.kemdikbud.go.id
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2016). Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan
Dasar dan Menengah. https://jdih.kemdikbud.go.id
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2020). Laporan Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013.
Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen Kurikulum Merdeka.
Kemendikbudristek.
Lestari, S. (2022). Penerapan asesmen formatif pada
pembelajaran IPA berbasis inkuiri. Jurnal Ilmiah Pendidikan IPA, 9(1),
34–42.
Linn, R. L., & Gronlund, N. E. (2005). Measurement
and assessment in teaching (10th ed.). Pearson.
McMillan, J. H. (2017). Classroom assessment:
Principles and practice for effective standards-based instruction (6th
ed.). Pearson.
Messick, S. (1989). Validity. In R. L. Linn (Ed.), Educational
measurement (3rd ed., pp. 13–103). Macmillan.
OECD. (2013). Synergies for better learning: An
international perspective on evaluation and assessment. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264190658-en
OECD. (2015). Student assessment: Measuring
progress in education. OECD Publishing.
OECD. (2020). Education at a glance 2020: OECD
indicators. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/69096873-en
OECD. (2021). Digital education outlook 2021:
Pushing the frontiers with AI, blockchain, and robots. OECD Publishing.
Purwanto, M. N. (2013). Prinsip-prinsip dan
teknik evaluasi pengajaran. Remaja Rosdakarya.
Stake, R. E. (1995). The art of case study
research. Sage Publications.
Stiggins, R. J. (2008). Assessment manifesto: A
call for the development of balanced assessment systems. ETS Assessment
Training Institute.
Stufflebeam, D. L., & Shinkfield, A. J. (2007).
Evaluation theory, models, and applications (2nd ed.). Jossey-Bass.
Thorndike, R. L., & Thorndike-Christ, T.
(2010). Measurement and evaluation in psychology and education (8th
ed.). Pearson.
Tyler, R. W. (1949). Basic principles of curriculum
and instruction. University of Chicago Press.
UNESCO. (2020). Teaching and learning for
inclusion: Assessment policies and practices. UNESCO Publishing.
UNESCO Institute for Statistics. (2021). Guidelines
for the use of data in education policy making. UNESCO.
Wiggins, G. (1998). Educative assessment:
Designing assessments to inform and improve student performance.
Jossey-Bass.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar