Jumat, 09 Mei 2025

Pengukuran, Penilaian, Test, dan Evaluasi; Konsep, Peran, dan Implementasi dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran

Pengukuran, Penilaian, Test, dan Evaluasi

Konsep, Peran, dan Implementasi dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran


Alihkan ke: Penilaian Hasil Belajar danTindak Lanjut.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep, perbedaan, hubungan, dan implementasi dari empat elemen penting dalam sistem pendidikan, yaitu pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi. Pengukuran dipahami sebagai proses kuantifikasi performa peserta didik; tes sebagai instrumen pengumpulan data; penilaian sebagai interpretasi terhadap hasil belajar; dan evaluasi sebagai pengambilan keputusan berdasarkan keseluruhan proses dan hasil pembelajaran. Melalui kajian teoretis, regulatif, dan praktik lapangan, artikel ini menyoroti pentingnya integrasi asesmen formatif, otentik, dan berbasis kompetensi dalam mendukung pembelajaran yang bermakna dan berkelanjutan. Ditekankan pula peran guru sebagai pelaksana utama serta pengambil kebijakan sebagai penyedia sistem pendukung. Artikel ini juga mengidentifikasi tantangan implementatif, seperti dominasi penilaian sumatif, rendahnya kualitas instrumen, serta beban administratif, dan menyajikan solusi strategis berbasis regulasi dan inovasi teknologi. Dengan pendekatan sistemik dan berorientasi pada pembelajaran berpusat pada murid, pengukuran dan penilaian tidak hanya menjadi alat untuk menilai, tetapi juga menjadi fondasi transformasi pendidikan yang adil dan bermutu.

Kata Kunci: Pengukuran pendidikan, penilaian, tes, evaluasi pembelajaran, asesmen formatif, asesmen otentik, Kurikulum Merdeka, mutu pendidikan.


PEMBAHASAN

Pengukuran, Penilaian, Tes, dan Evaluasi dalam Pendidikan


1.           Pendahuluan

Dalam sistem pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran bermakna dan berkelanjutan, pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi memiliki peran sentral dalam menjamin mutu hasil belajar peserta didik. Keempat istilah tersebut tidak hanya menjadi instrumen teknis dalam mengumpulkan data tentang capaian pembelajaran, tetapi juga merupakan fondasi dalam pengambilan keputusan pendidikan yang tepat dan terarah. Pendidikan modern tidak hanya menekankan pada akuisisi pengetahuan, tetapi juga pada keterampilan berpikir kritis, kemampuan reflektif, dan kompetensi holistik, yang semua itu memerlukan pendekatan asesmen yang komprehensif dan sahih.

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 menegaskan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik dan satuan pendidikan dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan, mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian tidak hanya dimaknai sebagai pemberian angka atau nilai, tetapi juga proses yang memungkinkan guru untuk memahami kebutuhan belajar siswa, merancang intervensi yang tepat, serta memberikan umpan balik konstruktif yang membangun1. Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran berdiferensiasi dan berpusat pada murid, asesmen formatif dan sumatif ditekankan secara seimbang untuk mendukung pengembangan potensi unik setiap individu2.

Dalam praktiknya, masih sering terjadi kekeliruan dalam penggunaan istilah pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi secara tumpang tindih. Padahal, masing-masing istilah tersebut memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda, meskipun saling terkait. Misalnya, pengukuran mengacu pada proses kuantifikasi hasil belajar, sedangkan penilaian mencakup pertimbangan kualitatif terhadap berbagai aspek performa peserta didik3. Tes, di sisi lain, merupakan alat atau instrumen yang digunakan untuk mendapatkan data dalam proses pengukuran, sementara evaluasi bertujuan untuk menilai efektivitas suatu proses pembelajaran atau program pendidikan secara keseluruhan4.

Kurangnya pemahaman yang tepat terhadap perbedaan konseptual ini dapat berdampak negatif terhadap kualitas pembelajaran, khususnya dalam merancang kegiatan asesmen yang valid dan reliabel. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif konsep, peran, dan implementasi pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi dalam pendidikan. Pembahasan akan didasarkan pada landasan teoretis dan regulatif yang kuat, serta disertai dengan refleksi atas praktik-praktik baik di lapangan guna memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7–9.

[3]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 23.

[4]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 4–6.


2.           Konsep Dasar: Perbedaan dan Hubungan antara Pengukuran, Penilaian, Tes, dan Evaluasi

Istilah pengukuran (measurement), penilaian (assessment), tes (test), dan evaluasi (evaluation) sering kali digunakan secara bergantian dalam praktik pendidikan. Namun secara konseptual, keempatnya memiliki pengertian yang berbeda walaupun saling berhubungan. Pemahaman yang tepat atas perbedaan dan keterkaitan antara keempat istilah ini sangat penting agar proses asesmen dalam pendidikan dapat dilaksanakan secara profesional dan efektif.

2.1.       Pengukuran (Measurement)

Pengukuran dalam konteks pendidikan mengacu pada proses pemberian angka terhadap atribut atau hasil belajar siswa berdasarkan aturan atau kriteria tertentu. Pengukuran bersifat kuantitatif dan memberikan informasi berupa data numerik yang dapat dianalisis secara statistik. Misalnya, skor ujian matematika 85 dari 100 adalah hasil dari proses pengukuran1.

Menurut Linn dan Gronlund, pengukuran adalah suatu prosedur sistematis untuk menetapkan karakteristik individu melalui penggunaan angka sebagai simbol2. Dengan demikian, pengukuran menjadi fondasi awal bagi proses asesmen dan evaluasi, namun tidak mencakup interpretasi atau pengambilan keputusan.

2.2.       Penilaian (Assessment)

Penilaian memiliki cakupan yang lebih luas daripada pengukuran. Ia mencakup proses pengumpulan, analisis, dan interpretasi informasi untuk menentukan sejauh mana siswa telah mencapai tujuan pembelajaran. Penilaian tidak selalu melibatkan angka, dan dapat menggunakan berbagai teknik seperti observasi, wawancara, portofolio, atau refleksi diri.

Airasian menyebut bahwa penilaian adalah suatu proses sistematis dalam mengumpulkan dan menafsirkan informasi untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan pembelajaran3. Penilaian berperan penting dalam memberikan umpan balik formatif kepada peserta didik, serta informasi bagi guru untuk menyesuaikan strategi pembelajaran. Dalam Kurikulum Merdeka, penilaian ditegaskan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran yang membantu siswa berkembang sesuai dengan kebutuhan individualnya4.

2.3.       Tes (Test)

Tes merupakan salah satu alat dalam pengukuran dan penilaian, yang dirancang untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, sikap, atau perilaku siswa melalui serangkaian pertanyaan atau tugas. Tes umumnya bersifat formal, menggunakan instrumen standar, dan hasilnya dapat dianalisis secara kuantitatif.

Brown mengartikan tes sebagai suatu metode sistematis untuk mengukur kemampuan seseorang dalam bentuk angka atau skor5. Tes bisa berupa tes lisan, tulis, praktik, atau digital. Namun, penting untuk disadari bahwa tes hanyalah bagian dari penilaian, bukan keseluruhan proses penilaian itu sendiri.

2.4.       Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi adalah proses membuat keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh melalui pengukuran dan penilaian. Tujuannya bukan hanya untuk mengetahui hasil belajar siswa, tetapi juga untuk menilai kualitas kurikulum, efektivitas metode pengajaran, dan keberhasilan program pendidikan secara keseluruhan.

Menurut Tyler, evaluasi adalah proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai6. Evaluasi bersifat sumatif, komprehensif, dan digunakan sebagai dasar untuk menentukan perbaikan dalam proses pembelajaran maupun pengambilan kebijakan pendidikan.

2.5.       Hubungan antara Pengukuran, Penilaian, Tes, dan Evaluasi

Keempat konsep ini membentuk suatu sistem hierarkis dan saling melengkapi. Tes merupakan instrumen yang digunakan dalam pengukuran; pengukuran menghasilkan data kuantitatif; penilaian menginterpretasi data tersebut dengan mempertimbangkan konteks; dan evaluasi mengambil keputusan berdasarkan data yang telah ditafsirkan. Dengan demikian, evaluasi mencakup semua unsur sebelumnya dan bertindak sebagai proses reflektif atas keseluruhan sistem pembelajaran.

Gambaran berikut memperjelas hubungan hierarkis tersebut:

Tes → Pengukuran → Penilaian → Evaluasi

Memahami struktur ini membantu pendidik untuk merancang strategi asesmen yang holistik, objektif, dan bermakna. Tanpa pemisahan yang jelas antara istilah-istilah ini, risiko penyalahgunaan instrumen asesmen dan kesalahan interpretasi hasil belajar siswa sangat besar.

2.6.       Penjelasan Deskriptif Konsep: Tes, Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi

·                     Tes

Tes adalah alat atau instrumen formal yang dirancang untuk mengukur kemampuan, keterampilan, pengetahuan, atau sikap peserta didik.

Hasil dari tes biasanya berupa angka atau skor yang bersifat kuantitatif.

Fungsi utama tes adalah sebagai sarana untuk mengumpulkan data awal yang akan dianalisis lebih lanjut dalam proses pengukuran dan penilaian.

·                     Pengukuran (Measurement)

Pengukuran merupakan proses kuantifikasi dari hasil belajar siswa menggunakan alat tertentu, seperti tes atau lembar observasi.

Data yang dihasilkan berbentuk angka dan menunjukkan tingkat pencapaian siswa terhadap suatu indikator pembelajaran.

Tujuan utamanya adalah memberikan nilai numerik terhadap performa belajar siswa tanpa melakukan interpretasi makna lebih lanjut.

·                     Penilaian (Assessment)

Penilaian mencakup proses yang lebih luas daripada pengukuran, yaitu pengumpulan dan interpretasi informasi tentang hasil belajar siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Penilaian bertujuan untuk memberi makna terhadap data yang diperoleh dan memberikan umpan balik kepada siswa dan guru guna memperbaiki proses pembelajaran.

Instrumen penilaian bisa berupa tes maupun non-tes, seperti observasi, portofolio, wawancara, dan rubrik.

·                     Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi adalah proses yang paling menyeluruh, karena mencakup penggunaan hasil pengukuran dan penilaian untuk mengambil keputusan terkait efektivitas pembelajaran, kurikulum, atau kebijakan pendidikan.

Evaluasi tidak hanya berfokus pada hasil belajar siswa, tetapi juga mencermati proses, konteks, dan dampak dari suatu program pembelajaran.

Bersifat komprehensif dan digunakan sebagai dasar untuk perbaikan berkelanjutan dalam sistem pendidikan.


Footnotes

[1]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 10.

[2]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 25.

[3]                Peter W. Airasian, Classroom Assessment: Concepts and Applications, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2005), 8.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 9.

[5]                H. Douglas Brown, Language Assessment: Principles and Classroom Practices (White Plains, NY: Pearson Education, 2004), 3.

[6]                Ralph W. Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (Chicago: University of Chicago Press, 1949), 105.


3.           Teori dan Prinsip Pengukuran dalam Pendidikan

Pengukuran dalam pendidikan merupakan suatu proses sistematis untuk menentukan derajat pencapaian hasil belajar peserta didik melalui data yang bersifat kuantitatif. Proses ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana dokumentasi capaian kognitif siswa, melainkan juga menjadi landasan penting untuk asesmen, perencanaan pengajaran, dan pengambilan keputusan pendidikan. Oleh karena itu, pengukuran harus dilakukan berdasarkan teori yang kokoh dan prinsip-prinsip yang dapat menjamin validitas serta keandalan data yang diperoleh.

3.1.       Landasan Teoretis Pengukuran Pendidikan

Secara konseptual, pengukuran pendidikan bersandar pada teori psikometri yang menekankan pada hubungan antara atribut yang tidak teramati secara langsung (misalnya kemampuan atau sikap) dengan indikator yang dapat diamati (misalnya skor tes). Salah satu prinsip utama teori ini adalah bahwa setiap hasil pengukuran memiliki unsur kesalahan (error) dan oleh karena itu memerlukan prosedur validasi dan kalibrasi yang cermat1.

Gronlund dan Waugh menekankan bahwa pengukuran dalam pendidikan berfungsi bukan hanya untuk mendeskripsikan hasil belajar, tetapi juga untuk meningkatkan efektivitas pengajaran melalui penyediaan data objektif tentang performa peserta didik2. Dalam konteks ini, pengukuran merupakan aktivitas ilmiah yang harus dilandasi prinsip sistematis, akurat, dan etis.

3.2.       Skala dan Jenis Pengukuran

Dalam ilmu pengukuran, dikenal empat skala utama:

·                     Skala Nominal, yaitu klasifikasi data berdasarkan kategori tanpa urutan (misalnya jenis kelamin, jurusan).

·                     Skala Ordinal, yaitu klasifikasi data dengan urutan tetapi tanpa jarak yang seragam (misalnya ranking kelas).

·                     Skala Interval, yaitu pengukuran dengan jarak antar skor yang sama tetapi tanpa nol mutlak (misalnya suhu dalam derajat Celsius).

·                     Skala Rasio, yaitu skala dengan nol mutlak dan jarak yang seragam (misalnya jumlah benar dalam tes objektif)3.

Pemahaman tentang skala pengukuran penting karena menentukan teknik statistik yang tepat dalam analisis data hasil belajar.

3.3.       Prinsip Validitas dalam Pengukuran

Validitas merujuk pada sejauh mana suatu alat ukur mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas bukan sekadar sifat instrumen, tetapi juga merupakan hasil dari penilaian terhadap kesesuaian antara tujuan pengukuran dan interpretasi hasilnya. Menurut Messick, validitas memiliki dimensi konten, konstruk, kriteria, dan konsekuensi4.

Dalam praktik pendidikan, validitas konten sangat penting karena memastikan bahwa materi dalam instrumen sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Regulasi nasional, seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2016, juga menekankan bahwa penilaian oleh pendidik harus mencerminkan kompetensi yang tercantum dalam kurikulum5.

3.4.       Prinsip Reliabilitas (Keandalan)

Reliabilitas mengacu pada konsistensi hasil pengukuran ketika dilakukan berulang kali dalam kondisi yang serupa. Instrumen yang reliabel akan menghasilkan skor yang stabil dan bebas dari fluktuasi yang tidak relevan. Ada berbagai metode untuk menguji reliabilitas, seperti uji ulang (test-retest), konsistensi internal (Cronbach’s alpha), dan bentuk ekuivalen6.

Instrumen yang reliabel menjadi fondasi untuk menghasilkan keputusan yang adil dan objektif dalam konteks pembelajaran dan evaluasi.

3.5.       Prinsip Objektivitas, Praktikalitas, dan Etika Pengukuran

·                     Objektivitas merujuk pada ketidakberpihakan dan kebebasan instrumen dari pengaruh subjektif penilai. Hal ini bisa dicapai melalui penggunaan rubrik penilaian dan kriteria yang jelas.

·                     Praktikalitas berarti bahwa instrumen mudah digunakan, terjangkau secara waktu dan sumber daya, serta dapat diterapkan dalam konteks pendidikan yang realistis.

·                     Etika pengukuran menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak peserta didik, termasuk kerahasiaan data, keadilan, dan penggunaan hasil pengukuran secara bertanggung jawab7.

Etika ini menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan inklusif dan kurikulum yang berorientasi pada keberagaman karakteristik peserta didik.

3.6.       Pengukuran sebagai Dasar Pengambilan Keputusan Pendidikan

Data dari hasil pengukuran menjadi sumber utama dalam mengambil keputusan tentang remedial, pengayaan, promosi, maupun pengembangan program pembelajaran. Oleh karena itu, pengukuran tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh.

Laporan dari OECD dalam Education at a Glance (2020) menekankan bahwa asesmen berbasis pengukuran yang valid dan reliabel sangat berkontribusi dalam meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan8.


Kesimpulan Subbagian

Dengan memahami prinsip-prinsip dasar pengukuran — mulai dari skala, validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikalitas, hingga etika — pendidik dapat mengembangkan dan menerapkan instrumen asesmen yang bukan hanya akurat secara ilmiah, tetapi juga relevan secara pedagogis. Pengukuran yang bermutu adalah fondasi bagi asesmen yang bermakna dan evaluasi yang bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Frederick J. Gravetter dan Larry B. Wallnau, Statistics for the Behavioral Sciences, 9th ed. (Belmont, CA: Wadsworth, 2013), 55.

[2]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson, 2009), 8.

[3]                David P. Doane dan Lori E. Seward, Applied Statistics in Business and Economics, 5th ed. (New York: McGraw-Hill Education, 2016), 27–28.

[4]                Samuel Messick, “Validity,” in Educational Measurement, ed. Robert L. Linn (New York: Macmillan, 1989), 13–103.

[5]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[6]                Robert L. Thorndike dan Tracy Thorndike-Christ, Measurement and Evaluation in Psychology and Education, 8th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2010), 102.

[7]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 35–37.

[8]                Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Education at a Glance 2020: OECD Indicators (Paris: OECD Publishing, 2020), 45.


4.           Tes dalam Pendidikan: Jenis, Fungsi, dan Kriteria Tes yang Baik

4.1.       Pengertian Tes dalam Konteks Pendidikan

Tes merupakan alat ukur yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang kemampuan peserta didik dalam aspek tertentu, seperti pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam praktik pendidikan, tes menjadi salah satu instrumen utama dalam proses pengukuran dan penilaian. Brown mendefinisikan tes sebagai prosedur sistematis yang digunakan untuk mengobservasi perilaku individu dan menggambarkannya dengan bantuan skala numerik atau sistem kategorisasi1.

Tes tidak hanya berfungsi sebagai alat kuantifikasi hasil belajar, tetapi juga sebagai instrumen diagnosis untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan peserta didik. Oleh karena itu, perancangan tes yang baik sangat menentukan keberhasilan asesmen pembelajaran secara keseluruhan.

4.2.       Jenis-Jenis Tes dalam Pendidikan

Tes dalam pendidikan dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai dimensi, antara lain bentuk, fungsi, waktu pelaksanaan, dan objek yang diukur. Berikut ini beberapa klasifikasi yang umum digunakan:

·                     Berdasarkan Bentuk Jawaban:

Tes Objektif: seperti pilihan ganda, benar-salah, dan menjodohkan, yang memiliki kunci jawaban tunggal dan dapat dikoreksi secara mekanis.

Tes Subjektif: seperti esai atau uraian bebas, yang memerlukan interpretasi dan penilaian dari penguji2.

·                     Berdasarkan Fungsi:

Tes Formatif: diberikan selama proses pembelajaran untuk memberikan umpan balik dan perbaikan.

Tes Sumatif: diberikan di akhir periode pembelajaran untuk menilai pencapaian keseluruhan peserta didik terhadap tujuan pembelajaran3.

·                     Berdasarkan Standarisasi:

Tes Terstandar (Standardized Test): disusun secara profesional, memiliki validitas dan reliabilitas tinggi, serta digunakan dalam skala luas (misalnya ANBK, PISA).

Tes Non-terstandar: disusun oleh guru untuk keperluan kelas tertentu dan bersifat kontekstual.

·                     Berdasarkan Ranah yang Diukur:

Tes Kognitif: mengukur pengetahuan dan kemampuan intelektual.

Tes Afektif: mengukur sikap, nilai, atau minat.

Tes Psikomotorik: mengukur keterampilan manual atau motorik, seperti praktik laboratorium atau ujian olahraga4.

4.3.       Fungsi Tes dalam Proses Pembelajaran

Tes memiliki berbagai fungsi penting dalam proses pendidikan, antara lain:

1)                  Fungsi Diagnostik: Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan siswa sebelum, selama, atau setelah pembelajaran berlangsung.

2)                  Fungsi Formatif: Memberikan umpan balik kepada siswa dan guru untuk perbaikan pembelajaran secara berkelanjutan.

3)                  Fungsi Sumatif: Menyediakan data akhir tentang hasil belajar yang digunakan untuk pemberian nilai, kelulusan, atau seleksi.

4)                  Fungsi Prediktif: Menilai potensi peserta didik untuk kesuksesan belajar di masa depan.

5)                  Fungsi Evaluatif: Memberikan dasar objektif dalam mengevaluasi efektivitas kurikulum, metode pembelajaran, atau kebijakan pendidikan5.

Sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2016, tes adalah bagian dari proses penilaian yang bertujuan untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar dan hasil belajar peserta didik secara objektif dan adil6.

4.4.       Kriteria Tes yang Baik

Agar tes dapat berfungsi secara optimal, diperlukan pemenuhan sejumlah kriteria dasar sebagai berikut:

·                     Validitas: Tes harus mengukur apa yang seharusnya diukur, baik dari aspek isi, konstruk, maupun kriteria. Validitas menjadi syarat mutlak agar interpretasi hasil tes sah dan bermakna7.

·                     Reliabilitas: Tes harus menghasilkan hasil yang konsisten bila digunakan dalam kondisi yang relatif sama. Tanpa reliabilitas, validitas juga tidak akan tercapai.

·                     Objektivitas: Hasil tes harus bebas dari bias subjektif penilai. Hal ini dapat dicapai dengan menyusun pedoman penskoran dan rubrik yang jelas.

·                     Praktikalitas: Tes harus mudah dilaksanakan, tidak memerlukan biaya atau waktu yang berlebihan, dan sesuai dengan konteks serta kemampuan guru maupun peserta didik8.

·                     Diskriminasi dan Tingkat Kesukaran: Soal-soal dalam tes harus memiliki daya pembeda yang baik antara peserta didik yang menguasai dan tidak menguasai materi, serta memiliki tingkat kesulitan yang beragam untuk menilai kemampuan secara menyeluruh.

·                     Keadilan (Fairness): Tes tidak boleh mengandung unsur diskriminatif atau bias terhadap latar belakang budaya, gender, atau sosial ekonomi peserta didik.


Kesimpulan Subbagian

Tes merupakan elemen fundamental dalam pengukuran dan penilaian pendidikan. Untuk menghasilkan data yang valid dan bermakna, tes harus disusun berdasarkan prinsip ilmiah dan etika pedagogis. Dengan memahami jenis-jenis tes, fungsinya, serta kriteria tes yang baik, guru dapat menyusun instrumen yang tidak hanya mengukur hasil belajar secara akurat, tetapi juga mendukung pembelajaran yang adil, inklusif, dan efektif.


Footnotes

[1]                H. Douglas Brown, Language Assessment: Principles and Classroom Practices (White Plains, NY: Pearson Education, 2004), 3.

[2]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 75–76.

[3]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 31–32.

[4]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson, 2009), 14–15.

[5]                Peter W. Airasian, Classroom Assessment: Concepts and Applications, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2005), 12.

[6]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[7]                Samuel Messick, “Validity,” in Educational Measurement, ed. Robert L. Linn (New York: Macmillan, 1989), 13–103.

[8]                M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 115–117.


5.           Penilaian sebagai Proses Pengumpulan dan Interpretasi Informasi

5.1.       Hakikat Penilaian dalam Pendidikan

Penilaian (assessment) merupakan proses sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan informasi mengenai capaian belajar peserta didik, dengan tujuan untuk memahami tingkat ketercapaian kompetensi, memberikan umpan balik, dan mengarahkan pengambilan keputusan pembelajaran. Penilaian bukan sekadar kegiatan administratif yang menghasilkan nilai angka, melainkan instrumen pedagogis yang membantu guru dan siswa mengenali proses belajar secara lebih reflektif dan bermakna1.

Permendikbud No. 23 Tahun 2016 mendefinisikan penilaian sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik pada kompetensi dasar yang diukur, mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara utuh dan berimbang2.

5.2.       Komponen Utama dalam Proses Penilaian

Penilaian sebagai proses pedagogis memiliki tiga komponen utama:

1)                  Pengumpulan Informasi: Dilakukan melalui berbagai teknik dan instrumen, baik tes maupun non-tes.

2)                  Analisis dan Interpretasi: Data yang dikumpulkan ditafsirkan untuk memperoleh makna tentang pencapaian belajar siswa.

3)                  Pengambilan Keputusan: Hasil interpretasi digunakan untuk menetapkan langkah selanjutnya seperti pengayaan, remedial, atau perubahan strategi pembelajaran3.

Dengan demikian, penilaian berfungsi tidak hanya untuk menilai hasil akhir, tetapi juga sebagai alat navigasi dalam proses pembelajaran.

5.3.       Jenis Penilaian: Formatif dan Sumatif

·                     Penilaian Formatif

Bertujuan untuk memberikan umpan balik selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian ini membantu guru mengidentifikasi kesulitan belajar siswa secara dini dan memberikan intervensi yang tepat. Misalnya, refleksi harian, kuis singkat, atau umpan balik lisan setelah diskusi kelompok4.

·                     Penilaian Sumatif

Dilakukan di akhir periode pembelajaran (misalnya akhir semester) untuk menilai ketercapaian kompetensi secara menyeluruh. Hasil dari penilaian ini digunakan untuk keperluan pelaporan, penentuan kelulusan, atau pemetaan capaian program pembelajaran5.

Kedua jenis penilaian ini bersifat saling melengkapi dan harus dirancang secara konsisten dengan tujuan pembelajaran.

5.4.       Penilaian Otentik dan Alternatif

Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, penilaian tidak terbatas pada penguasaan materi, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kolaborasi. Oleh karena itu, digunakan pendekatan penilaian otentik (authentic assessment), yang menilai kompetensi melalui tugas-tugas dunia nyata dan kontekstual.

Bentuk-bentuk penilaian otentik meliputi:

·                     Portofolio: Kumpulan hasil kerja siswa yang menunjukkan perkembangan belajar.

·                     Proyek: Tugas jangka panjang yang menuntut integrasi berbagai keterampilan.

·                     Unjuk kerja (performance assessment): Demonstrasi kemampuan dalam situasi nyata atau simulasi.

·                     Self-assessment dan peer-assessment: Penilaian yang dilakukan oleh siswa sendiri atau oleh teman sejawat untuk meningkatkan kesadaran belajar dan refleksi diri6.

Penilaian otentik diyakini lebih representatif dalam mengukur capaian belajar abad ke-21 karena menuntut proses berpikir tingkat tinggi dan keterlibatan aktif siswa.

5.5.       Instrumen Penilaian Non-Tes

Selain tes, guru juga dapat menggunakan berbagai alat non-tes untuk menilai aspek afektif dan psikomotorik, seperti:

·                     Observasi sistematis dengan lembar cek atau skala penilaian.

·                     Jurnal belajar, yang mencerminkan proses reflektif peserta didik.

·                     Rubrik penilaian, yang memberikan pedoman objektif dalam menilai performa siswa pada tugas terbuka atau proyek.

Instrumen-instrumen ini memungkinkan guru memperoleh gambaran utuh mengenai proses dan hasil belajar siswa, terutama dalam konteks pembelajaran berbasis proyek, inkuiri, atau kolaboratif7.

5.6.       Prinsip-Prinsip Penilaian yang Efektif

Agar penilaian menghasilkan informasi yang bermakna, harus diterapkan prinsip-prinsip berikut:

·                     Validitas: Instrumen penilaian harus relevan dengan kompetensi yang diukur.

·                     Reliabilitas: Penilaian harus konsisten dan bebas dari bias.

·                     Objektivitas: Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas, bukan persepsi subjektif.

·                     Adil dan Inklusif: Penilaian harus mempertimbangkan keberagaman karakteristik peserta didik.

·                     Berorientasi pada Pembelajaran: Penilaian seharusnya tidak hanya untuk mengukur, tetapi juga untuk mendorong dan memfasilitasi proses belajar8.


Kesimpulan Subbagian

Penilaian merupakan proses strategis dalam sistem pembelajaran yang tidak hanya mencerminkan capaian belajar peserta didik, tetapi juga menjadi jembatan untuk memperbaiki dan memperkuat praktik pedagogi. Penilaian yang efektif dan berprinsip tidak hanya menilai hasil, tetapi juga memfasilitasi proses belajar yang reflektif, bermakna, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Peter W. Airasian, Classroom Assessment: Concepts and Applications, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2005), 5.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[3]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson, 2009), 17.

[4]                Paul Black dan Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.

[5]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 95–97.

[6]                Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998), 21.

[7]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 94–97.

[8]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–16.


6.           Evaluasi Pembelajaran: Tujuan, Prosedur, dan Manfaat

6.1.       Pengertian Evaluasi dalam Konteks Pendidikan

Evaluasi dalam pendidikan adalah proses sistematis untuk menilai efektivitas suatu program pembelajaran atau intervensi pendidikan, dengan menggunakan data hasil pengukuran dan penilaian. Evaluasi mencakup pengumpulan informasi, analisis, interpretasi, dan pengambilan keputusan berdasarkan hasil tersebut. Tyler menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai melalui kegiatan belajar mengajar1.

Berbeda dengan penilaian yang lebih terfokus pada capaian peserta didik, evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas karena menyentuh dimensi proses, hasil, dan dampak pembelajaran, serta kebijakan dan sistem yang melingkupinya2.

6.2.       Tujuan Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi memiliki sejumlah tujuan strategis dalam sistem pendidikan, antara lain:

·                     Menentukan efektivitas pembelajaran: Evaluasi memberikan informasi mengenai sejauh mana suatu proses belajar telah mencapai tujuan yang ditetapkan dalam kurikulum.

·                     Meningkatkan mutu pengajaran: Dengan mengevaluasi metode, media, dan pendekatan pembelajaran, guru dapat menyempurnakan strategi pengajarannya.

·                     Mengembangkan kebijakan pendidikan: Hasil evaluasi dapat digunakan oleh pengambil kebijakan untuk merancang program pelatihan, perbaikan kurikulum, atau kebijakan penjaminan mutu.

·                     Menjamin akuntabilitas pendidikan: Evaluasi membantu sekolah dan guru mempertanggungjawabkan hasil pendidikan kepada publik dan pemangku kepentingan3.

6.3.       Prosedur Evaluasi Pembelajaran

Proses evaluasi terdiri atas beberapa langkah sistematis yang membentuk siklus berkelanjutan, yaitu:

1)                  Perencanaan Evaluasi: Menentukan tujuan evaluasi, indikator keberhasilan, dan kriteria penilaian. Hal ini selaras dengan Standar Nasional Pendidikan yang tercantum dalam Permendikbud No. 22 Tahun 20164.

2)                  Pengumpulan Data: Menggunakan instrumen seperti tes, observasi, kuesioner, wawancara, atau dokumen administratif.

3)                  Analisis dan Interpretasi Data: Menganalisis hasil dengan pendekatan kuantitatif dan/atau kualitatif sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan.

4)                  Pelaporan Hasil Evaluasi: Menyusun laporan yang sistematis sebagai dasar pengambilan keputusan dan tindak lanjut.

5)                  Tindak Lanjut: Melakukan perbaikan atau inovasi berdasarkan temuan evaluasi untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan5.

6.4.       Jenis-Jenis Evaluasi dalam Pendidikan

Evaluasi dapat dikategorikan berdasarkan tujuannya:

·                     Evaluasi Formatif: Bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang sedang berlangsung. Evaluasi ini bersifat reflektif dan digunakan untuk perbaikan segera.

·                     Evaluasi Sumatif: Dilaksanakan di akhir suatu periode atau program untuk mengetahui pencapaian tujuan secara keseluruhan dan menentukan efektivitas program.

·                     Evaluasi Kontekstual: Menilai keterkaitan antara program pendidikan dan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di mana program tersebut diterapkan6.

·                     Evaluasi Efisiensi dan Efektivitas: Menganalisis perbandingan antara input (biaya, waktu, tenaga) dengan output (hasil belajar, kompetensi lulusan).

6.5.       Manfaat Evaluasi Pembelajaran

Evaluasi yang dirancang dan dilaksanakan secara tepat memiliki manfaat yang luas:

·                     Bagi guru, evaluasi menjadi alat untuk refleksi profesional dan dasar pengembangan kompetensi pedagogik.

·                     Bagi peserta didik, evaluasi memberikan informasi tentang kekuatan dan kelemahan belajar serta arah pengembangan diri.

·                     Bagi sekolah, evaluasi menjadi indikator mutu yang mendukung akreditasi dan peningkatan sistem manajemen berbasis mutu.

·                     Bagi pemerintah atau lembaga pengambil kebijakan, evaluasi menjadi rujukan dalam penyusunan kebijakan berbasis data (evidence-based policy making)7.

Dalam konteks Kurikulum Merdeka, evaluasi juga berperan dalam memantau efektivitas implementasi pembelajaran berdiferensiasi dan asesmen formatif yang berorientasi pada perkembangan murid8.


Kesimpulan Subbagian

Evaluasi pembelajaran adalah proses integral dalam siklus pengajaran yang memungkinkan pendidikan berjalan secara sistematis, terukur, dan akuntabel. Dengan mengedepankan tujuan, prosedur, dan prinsip evaluasi yang tepat, seluruh pemangku kepentingan dapat menjadikan evaluasi sebagai alat transformasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Ralph W. Tyler, Basic Principles of Curriculum and Instruction (Chicago: University of Chicago Press, 1949), 104–106.

[2]                Robert E. Stake, The Art of Case Study Research (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1995), 91–92.

[3]                M. Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 12–14.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[5]                J. McMillan, Classroom Assessment: Principles and Practice for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2017), 165.

[6]                Daniel L. Stufflebeam dan Anthony J. Shinkfield, Evaluation Theory, Models, and Applications, 2nd ed. (San Francisco: Jossey-Bass, 2007), 58.

[7]                OECD, Synergies for Better Learning: An International Perspective on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 17.

[8]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 24–25.


7.           Implementasi dalam Praktik: Studi Lapangan dan Regulasi Terkait

7.1.       Konteks Implementasi di Satuan Pendidikan

Implementasi pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi di satuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh pemahaman guru, dukungan kebijakan, serta kesiapan sarana dan prasarana. Dalam praktiknya, banyak sekolah masih menghadapi tantangan seperti dominasi penilaian sumatif, keterbatasan waktu dalam asesmen formatif, dan kurangnya pelatihan guru dalam menyusun instrumen penilaian yang valid dan reliabel1. Padahal, dalam konteks pembelajaran yang berpusat pada siswa, penilaian seharusnya menjadi bagian integral dari proses belajar, bukan sekadar mekanisme administratif untuk menghasilkan angka.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menggariskan prinsip bahwa penilaian harus dilakukan secara objektif, adil, transparan, menyeluruh, dan berkesinambungan, sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan2. Prinsip ini juga ditegaskan dalam Kurikulum Merdeka, yang mengedepankan asesmen diagnostik, formatif, dan sumatif secara terpadu dan kontekstual3.

7.2.       Studi Kasus Praktik Baik di Sekolah

Beberapa praktik baik dalam implementasi penilaian telah dilakukan oleh satuan pendidikan yang berhasil mengintegrasikan asesmen dengan pendekatan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), inkuiri, dan refleksi. Misalnya, di beberapa Sekolah Penggerak, guru menggunakan asesmen diagnostik di awal pembelajaran untuk mengidentifikasi kesiapan dan profil belajar murid. Selanjutnya, digunakan asesmen formatif seperti jurnal refleksi, rubrik performa, dan portofolio untuk mendampingi proses belajar secara berkelanjutan4.

Contoh nyata diterapkan di SMP Negeri 1 Wonosobo, di mana guru IPA menerapkan asesmen formatif harian berbasis observasi eksperimen laboratorium yang dikombinasikan dengan self-assessment siswa. Hasilnya menunjukkan peningkatan keterlibatan belajar dan pencapaian kognitif siswa secara signifikan5. Temuan ini mengindikasikan bahwa ketika asesmen dikelola secara profesional dan kontekstual, proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan inklusif.

7.3.       Implementasi Berbasis Digital dan Teknologi

Perkembangan teknologi informasi turut mendukung inovasi dalam implementasi asesmen, terutama melalui platform digital yang memungkinkan pelaksanaan computer-based test (CBT), penilaian daring berbasis LMS (Learning Management System), dan e-rubrics. Dalam masa pandemi COVID-19, pemanfaatan aplikasi seperti Google Form, Moodle, dan Quipper menjadi pilihan strategis bagi guru untuk melaksanakan asesmen jarak jauh6.

Kebijakan Kemendikbudristek melalui platform Rapor Pendidikan dan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) juga memperkuat pendekatan data-driven dalam mengevaluasi mutu satuan pendidikan secara holistik7. Evaluasi tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga menilai lingkungan belajar dan karakter murid, sehingga mendukung prinsip pendidikan yang utuh dan berimbang.

7.4.       Peran Regulasi dan Dukungan Kebijakan

Sejumlah regulasi yang menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pengukuran dan penilaian di Indonesia antara lain:

·                     Permendikbud No. 23 Tahun 2016: Mengatur standar penilaian pendidikan oleh pendidik dan satuan pendidikan.

·                     Permendikbud No. 21, 22, dan 24 Tahun 2016: Mengatur tentang isi, proses, dan kompetensi lulusan.

·                     Peraturan BSKAP Kemendikbudristek No. 004/H/KR/2022: Menegaskan prinsip asesmen dalam Kurikulum Merdeka yang bersifat formatif dan diferensiatif8.

·                     Kebijakan Asesmen Nasional (AN): Menggantikan Ujian Nasional dan berfokus pada peningkatan mutu pendidikan melalui survei karakter, literasi, dan numerasi.

Regulasi-regulasi ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma dari penilaian berbasis hasil ke penilaian berbasis proses dan perkembangan murid secara holistik.

7.5.       Tantangan dan Rekomendasi Implementatif

Beberapa tantangan utama yang masih dihadapi dalam praktik antara lain:

·                     Kurangnya pemahaman konseptual guru terhadap asesmen formatif dan otentik.

·                     Keterbatasan waktu dan beban administratif yang tinggi.

·                     Minimnya pelatihan teknis dalam menyusun instrumen non-tes yang valid dan reliabel.

·                     Masih dominannya budaya penilaian berbasis angka sebagai ukuran tunggal keberhasilan.

Oleh karena itu, diperlukan rekomendasi sebagai berikut:

·                     Pelatihan berkelanjutan untuk guru mengenai asesmen formatif dan otentik.

·                     Penyederhanaan administrasi penilaian yang berfokus pada esensi dan fungsi belajar.

·                     Penguatan sistem supervisi akademik dan komunitas belajar guru untuk berbagi praktik baik.

·                     Integrasi teknologi yang mendukung penilaian yang adaptif, reflektif, dan terdokumentasi dengan baik9.


Kesimpulan Subbagian

Implementasi pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi dalam praktik pendidikan sangat ditentukan oleh pemahaman konseptual, dukungan regulasi, dan kemampuan adaptasi terhadap kebutuhan kontekstual satuan pendidikan. Ketika seluruh komponen ini berjalan selaras, maka asesmen benar-benar menjadi bagian dari proses belajar yang bermakna, berkeadilan, dan berorientasi pada perkembangan murid secara utuh.


Footnotes

[1]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 89.

[2]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5–8.

[4]                Direktorat Jenderal GTK, Laporan Praktik Baik Sekolah Penggerak Gelombang I (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 22–27.

[5]                Lestari, Sri. “Penerapan Asesmen Formatif pada Pembelajaran IPA Berbasis Inkuiri.” Jurnal Ilmiah Pendidikan IPA 9, no. 1 (2022): 34–42.

[6]                Anas, Sudarman. “Pemanfaatan Google Form dalam Penilaian Jarak Jauh.” Jurnal Teknologi Pendidikan 24, no. 2 (2021): 109–116.

[7]                Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Rapor Pendidikan Indonesia 2022 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–17.

[8]                BSKAP Kemendikbudristek, Peraturan BSKAP Nomor 004/H/KR/2022 tentang Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: 2022).

[9]                OECD, Synergies for Better Learning: An International Perspective on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 44–46.


8.           Tantangan dan Solusi dalam Pelaksanaan Pengukuran dan Penilaian

8.1.       Tantangan Utama dalam Pelaksanaan Pengukuran dan Penilaian

Meskipun pengukuran dan penilaian telah menjadi bagian integral dari proses pendidikan, implementasinya di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan yang signifikan, baik pada aspek konseptual, teknis, maupun sistemik.

8.1.1.    Kurangnya Pemahaman Konseptual Guru

Masih banyak pendidik yang menyamakan pengukuran, penilaian, dan evaluasi sebagai proses yang identik, padahal masing-masing memiliki karakteristik dan fungsi yang berbeda. Ketidakjelasan konseptual ini menyebabkan praktik penilaian menjadi kurang tepat sasaran, seringkali hanya terfokus pada hasil kognitif semata dan mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik1.

8.1.2.    Dominasi Penilaian Sumatif

Sebagian besar guru lebih mengandalkan penilaian sumatif (ulangan harian, ujian tengah/akhir semester) daripada penilaian formatif yang berorientasi pada proses. Hal ini diperburuk oleh tekanan administratif dan budaya nilai sebagai indikator tunggal keberhasilan belajar2.

8.1.3.    Kualitas Instrumen yang Belum Memadai

Instrumen penilaian yang digunakan sering kali belum memenuhi prinsip validitas dan reliabilitas. Banyak soal yang tidak sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi atau tidak mampu membedakan siswa yang menguasai dan belum menguasai materi dengan baik3.

8.1.4.    Beban Administratif yang Tinggi

Guru dihadapkan pada beban kerja administratif yang besar dalam pengisian rapor, dokumentasi penilaian, dan pelaporan, sehingga waktu untuk refleksi dan pengembangan instrumen penilaian menjadi terbatas4.

8.1.5.    Keterbatasan Teknologi dan Pelatihan

Pemanfaatan teknologi dalam asesmen masih terbatas, terutama di daerah dengan infrastruktur digital yang belum merata. Selain itu, pelatihan guru tentang asesmen digital, penilaian otentik, dan teknik evaluasi inovatif belum merata5.

8.2.       Solusi Strategis untuk Penguatan Sistem Pengukuran dan Penilaian

Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, dibutuhkan solusi sistemik dan terintegrasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pendidikan.

8.2.1.    Penguatan Kompetensi Asesmen Guru

Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu menyelenggarakan pelatihan yang berkelanjutan bagi guru tentang perancangan asesmen berbasis kompetensi, penilaian otentik, dan penggunaan rubrik penilaian yang objektif. Program seperti Guru Penggerak telah menjadi contoh bagaimana pengembangan profesional guru dapat menciptakan perubahan dalam praktik penilaian6.

8.2.2.    Reorientasi Budaya Penilaian

Perlu dilakukan perubahan paradigma bahwa penilaian bukan hanya untuk memberikan nilai, tetapi sebagai sarana umpan balik, pengembangan diri, dan pembelajaran reflektif. Kurikulum Merdeka mendorong pendekatan ini melalui asesmen formatif dan diagnostik yang lebih menekankan proses daripada hasil akhir7.

8.2.3.    Penyederhanaan Administrasi Penilaian

Kementerian Pendidikan telah mendorong efisiensi dalam pengelolaan penilaian melalui penyederhanaan pelaporan dan penggunaan platform digital seperti Rapor Pendidikan, SIPLAH, dan Platform Merdeka Mengajar (PMM). Langkah ini dapat mengurangi beban administratif dan meningkatkan fokus pada substansi asesmen8.

8.2.4.    Penguatan Ekosistem Teknologi Pendidikan

Perluasan infrastruktur digital, terutama di daerah tertinggal, serta pengadaan perangkat dan jaringan internet merupakan langkah krusial untuk mendukung asesmen daring dan berbasis aplikasi. Selain itu, guru perlu dibekali keterampilan literasi digital agar dapat memanfaatkan teknologi secara maksimal dalam merancang dan melaksanakan penilaian9.

8.2.5.    Monitoring dan Evaluasi Berbasis Data

Diperlukan sistem monitoring penilaian yang berbasis data hasil asesmen, bukan sekadar administratif. Dengan menggunakan pendekatan data-driven decision making, sekolah dan pemerintah dapat memetakan kebutuhan peningkatan kapasitas guru serta memperbaiki kebijakan secara lebih tepat sasaran10.

8.3.       Peran Stakeholder dalam Perbaikan Sistem Penilaian

·                     Guru sebagai pelaksana utama asesmen perlu diberikan ruang refleksi dan kolaborasi untuk berbagi praktik baik.

·                     Kepala sekolah dan pengawas berperan sebagai fasilitator budaya mutu dan penggerak inovasi asesmen.

·                     Pemerintah wajib menyediakan kebijakan yang mendorong asesmen yang adil, inklusif, dan partisipatif.

·                     Orangtua dan masyarakat juga harus diedukasi agar memahami peran penilaian sebagai bagian dari perkembangan belajar anak, bukan sekadar angka rapor.


Kesimpulan Subbagian

Tantangan dalam pelaksanaan pengukuran dan penilaian adalah konsekuensi dari kompleksitas sistem pendidikan yang dinamis. Namun dengan strategi yang tepat — mulai dari penguatan kapasitas guru, perbaikan kebijakan, hingga pemanfaatan teknologi — asesmen dapat menjadi instrumen yang kuat untuk mendukung pembelajaran bermakna, adil, dan berorientasi pada perkembangan peserta didik secara utuh.


Footnotes

[1]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 19.

[2]                Paul Black dan Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.

[3]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), 109–112.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Laporan Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 34–36.

[5]                OECD, Education at a Glance 2020: OECD Indicators (Paris: OECD Publishing, 2020), 56–58.

[6]                Direktorat Jenderal GTK, Pedoman Program Guru Penggerak Angkatan 4 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 18–21.

[7]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 13–15.

[8]                Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Platform Rapor Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 9–11.

[9]                Anas, Sudarman. “Literasi Digital Guru dan Transformasi Penilaian Pendidikan.” Jurnal Teknologi Pendidikan 25, no. 1 (2022): 87–93.

[10]             UNESCO, Guidelines for the Use of Data in Education Policy Making (Paris: UNESCO Institute for Statistics, 2021), 22–25.


9.           Rekomendasi untuk Guru dan Pengambil Kebijakan

Agar pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi berfungsi secara optimal dalam meningkatkan mutu pendidikan, diperlukan langkah-langkah strategis dari dua kelompok pemangku kepentingan utama: guru sebagai pelaksana teknis pembelajaran, dan pengambil kebijakan sebagai fasilitator sistemik. Rekomendasi berikut disusun berdasarkan tantangan dan temuan lapangan serta regulasi yang berlaku, dengan tujuan membangun sistem asesmen yang adil, relevan, dan berdaya guna.

9.1.       Rekomendasi untuk Guru

9.1.1.    Meningkatkan Kompetensi Asesmen Profesional

Guru perlu memperkuat kemampuan dalam menyusun instrumen penilaian yang valid, reliabel, dan sesuai dengan prinsip pedagogik. Pelatihan dalam bentuk workshop, in-house training, serta program Guru Penggerak harus dimanfaatkan untuk memperdalam pemahaman mengenai asesmen formatif, otentik, dan berbasis kompetensi1.

9.1.2.    Mengintegrasikan Asesmen dalam Proses Pembelajaran

Asesmen tidak boleh berdiri terpisah dari proses belajar. Guru sebaiknya merancang pembelajaran yang menyatu dengan kegiatan asesmen — misalnya melalui penilaian berbasis proyek, rubrik performa, self-assessment, dan peer-assessment — agar dapat mendorong partisipasi aktif dan refleksi diri peserta didik2.

9.1.3.    Memanfaatkan Teknologi untuk Efisiensi dan Inovasi

Guru dianjurkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi digital dalam pelaksanaan asesmen, seperti menggunakan platform Learning Management System (LMS), Google Form, atau aplikasi e-rapor untuk mempercepat proses, menyederhanakan administrasi, dan menyajikan umpan balik yang real-time3.

9.1.4.    Menerapkan Penilaian yang Berkeadilan dan Inklusif

Penilaian harus mencerminkan keberagaman gaya belajar, latar belakang sosial-budaya, dan kebutuhan khusus peserta didik. Guru perlu memastikan bahwa penilaian yang dilakukan tidak bias, diskriminatif, atau semata-mata berbasis angka, melainkan memberi ruang bagi ekspresi keunggulan individual siswa4.

9.2.       Rekomendasi untuk Pengambil Kebijakan

9.2.1.    Menyediakan Kebijakan Asesmen yang Holistik dan Adaptif

Kementerian dan dinas pendidikan perlu mengembangkan kebijakan asesmen yang tidak hanya menekankan aspek sumatif, tetapi juga memperkuat asesmen formatif dan otentik sebagai alat pengembangan kompetensi peserta didik. Kebijakan ini harus berbasis data, kontekstual, dan fleksibel terhadap dinamika sekolah5.

9.2.2.    Menyederhanakan Administrasi Penilaian

Birokrasi penilaian yang terlalu teknis dan membebani guru harus disederhanakan. Sistem seperti Rapor Pendidikan, Platform Merdeka Mengajar, dan Asesmen Nasional perlu diarahkan sebagai alat bantu, bukan beban tambahan. Penyusunan dokumen penilaian seharusnya difokuskan pada informasi esensial yang mendukung perbaikan proses belajar6.

9.2.3.    Memperluas Akses terhadap Pelatihan Asesmen Berkualitas

Pengambil kebijakan harus menjamin pemerataan akses pelatihan tentang asesmen, baik secara daring maupun luring, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Materi pelatihan harus mencakup teknik penyusunan soal HOTS, validasi instrumen, analisis hasil asesmen, dan penggunaan rubrik penilaian7.

9.2.4.    Menyediakan Infrastruktur Teknologi dan Sistem Pendukung

Kebijakan harus mengakomodasi pembangunan infrastruktur teknologi yang memadai untuk mendukung asesmen digital, termasuk penyediaan perangkat TIK, jaringan internet, serta pendampingan teknis bagi guru dan tenaga kependidikan di sekolah8.

9.2.5.    Mendorong Kolaborasi Multi-Pihak dalam Pengembangan Sistem Penilaian

Kolaborasi antara sekolah, perguruan tinggi, lembaga pelatihan, dan komunitas pendidikan perlu difasilitasi untuk menghasilkan inovasi dalam asesmen. Model seperti community of practice, pengembangan bank soal bersama, dan penelitian tindakan kelas dapat menjadi media pertukaran pengetahuan dan peningkatan kualitas asesmen9.


Kesimpulan Subbagian

Perbaikan sistem pengukuran dan penilaian tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan memerlukan keterlibatan aktif guru sebagai pelaksana teknis dan pengambil kebijakan sebagai penyedia sistem pendukung. Dengan rekomendasi yang berorientasi pada profesionalisme, efisiensi, keadilan, dan adaptabilitas, pengukuran dan penilaian dapat menjadi instrumen strategis untuk membentuk pembelajaran yang bermakna dan transformatif.


Footnotes

[1]                Direktorat Jenderal GTK, Panduan Program Pendidikan Guru Penggerak (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 27–30.

[2]                Grant Wiggins, Educative Assessment: Designing Assessments to Inform and Improve Student Performance (San Francisco: Jossey-Bass, 1998), 42.

[3]                Sudarman Anas, “Transformasi Digital dalam Penilaian Pendidikan,” Jurnal Teknologi Pendidikan 24, no. 2 (2021): 115–122.

[4]                OECD, Student Assessment: Measuring Progress in Education (Paris: OECD Publishing, 2015), 19–21.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 9–11.

[6]                Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Platform Rapor Pendidikan (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–17.

[7]                UNESCO, Teaching and Learning for Inclusion: Assessment Policies and Practices (Paris: UNESCO Publishing, 2020), 36.

[8]                OECD, Digital Education Outlook 2021: Pushing the Frontiers with AI, Blockchain, and Robots (Paris: OECD Publishing, 2021), 44–48.

[9]                Stiggins, Richard J., Assessment Manifesto: A Call for the Development of Balanced Assessment Systems (Portland: ETS Assessment Training Institute, 2008), 17–18.


10.       Penutup

Pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi merupakan empat konsep yang berbeda namun saling terintegrasi dalam sistem pendidikan yang efektif. Pengukuran berperan sebagai proses kuantifikasi performa peserta didik, tes sebagai instrumen pengumpulan data, penilaian sebagai proses interpretatif terhadap data tersebut, dan evaluasi sebagai langkah reflektif untuk mengambil keputusan yang berdampak pada mutu pembelajaran secara menyeluruh1.

Dalam konteks transformasi pendidikan saat ini, khususnya dalam implementasi Kurikulum Merdeka, pemahaman yang tepat atas keempat elemen ini sangat diperlukan untuk menjamin bahwa pembelajaran berlangsung secara holistik, adaptif, dan berpusat pada peserta didik2. Pemerintah telah menyediakan berbagai regulasi, seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2016 dan kebijakan Asesmen Nasional, sebagai kerangka kerja untuk memastikan pelaksanaan penilaian yang objektif, adil, dan bermakna3.

Namun demikian, tantangan implementatif seperti miskonsepsi konsep, dominasi penilaian sumatif, rendahnya kualitas instrumen asesmen, serta beban administratif yang tinggi masih menjadi hambatan di banyak satuan pendidikan4. Oleh sebab itu, diperlukan kolaborasi aktif antara guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan sistem asesmen yang sehat dan berdaya guna.

Guru sebagai pelaku utama di ruang kelas perlu dibekali kompetensi asesmen yang kuat, kemampuan reflektif, serta pemanfaatan teknologi yang inovatif untuk mendukung penilaian yang otentik dan berkeadilan. Di sisi lain, pengambil kebijakan perlu memastikan kebijakan yang responsif, sistem pelatihan yang merata, dan infrastruktur yang menunjang asesmen berbasis data dan kontekstual5.

Dengan pendekatan yang menyeluruh dan terarah, pengukuran, penilaian, tes, dan evaluasi tidak hanya menjadi alat untuk mengetahui hasil belajar, tetapi juga menjadi jembatan untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna, transformatif, dan berkelanjutan. Pendidikan yang berkualitas dimulai dari asesmen yang berkualitas — sebuah prinsip dasar yang harus dijaga dalam setiap praktik dan kebijakan pendidikan nasional.


Footnotes

[1]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 21–23.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 7–9.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta: Kemendikbud, 2016).

[4]                Paul Black dan Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 12–15.

[5]                OECD, Synergies for Better Learning: An International Perspective on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 16–18.


Daftar Pustaka

Airasian, P. W. (2005). Classroom assessment: Concepts and applications (6th ed.). McGraw-Hill.

Anas, S. (2021). Pemanfaatan Google Form dalam penilaian jarak jauh. Jurnal Teknologi Pendidikan, 24(2), 109–116.

Anas, S. (2022). Literasi digital guru dan transformasi penilaian pendidikan. Jurnal Teknologi Pendidikan, 25(1), 87–93.

Arifin, Z. (2012). Evaluasi pembelajaran. Remaja Rosdakarya.

Black, P., & Wiliam, D. (1998). Assessment and classroom learning. Assessment in Education: Principles, Policy & Practice, 5(1), 7–74. https://doi.org/10.1080/0969595980050102

Brown, H. D. (2004). Language assessment: Principles and classroom practices. Pearson Education.

Doane, D. P., & Seward, L. E. (2016). Applied statistics in business and economics (5th ed.). McGraw-Hill Education.

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. (2021). Panduan Program Pendidikan Guru Penggerak. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. (2021). Laporan Praktik Baik Sekolah Penggerak Gelombang I. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Gronlund, N. E., & Waugh, C. K. (2009). Assessment of student achievement (10th ed.). Pearson.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan. https://jdih.kemdikbud.go.id

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. https://jdih.kemdikbud.go.id

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2020). Laporan Evaluasi Implementasi Kurikulum 2013. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.

Lestari, S. (2022). Penerapan asesmen formatif pada pembelajaran IPA berbasis inkuiri. Jurnal Ilmiah Pendidikan IPA, 9(1), 34–42.

Linn, R. L., & Gronlund, N. E. (2005). Measurement and assessment in teaching (10th ed.). Pearson.

McMillan, J. H. (2017). Classroom assessment: Principles and practice for effective standards-based instruction (6th ed.). Pearson.

Messick, S. (1989). Validity. In R. L. Linn (Ed.), Educational measurement (3rd ed., pp. 13–103). Macmillan.

OECD. (2013). Synergies for better learning: An international perspective on evaluation and assessment. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264190658-en

OECD. (2015). Student assessment: Measuring progress in education. OECD Publishing.

OECD. (2020). Education at a glance 2020: OECD indicators. OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/69096873-en

OECD. (2021). Digital education outlook 2021: Pushing the frontiers with AI, blockchain, and robots. OECD Publishing.

Purwanto, M. N. (2013). Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran. Remaja Rosdakarya.

Stake, R. E. (1995). The art of case study research. Sage Publications.

Stiggins, R. J. (2008). Assessment manifesto: A call for the development of balanced assessment systems. ETS Assessment Training Institute.

Stufflebeam, D. L., & Shinkfield, A. J. (2007). Evaluation theory, models, and applications (2nd ed.). Jossey-Bass.

Thorndike, R. L., & Thorndike-Christ, T. (2010). Measurement and evaluation in psychology and education (8th ed.). Pearson.

Tyler, R. W. (1949). Basic principles of curriculum and instruction. University of Chicago Press.

UNESCO. (2020). Teaching and learning for inclusion: Assessment policies and practices. UNESCO Publishing.

UNESCO Institute for Statistics. (2021). Guidelines for the use of data in education policy making. UNESCO.

Wiggins, G. (1998). Educative assessment: Designing assessments to inform and improve student performance. Jossey-Bass.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar