Fallacies Informal
Klasifikasi, Mekanisme, dan Dampaknya terhadap
Rasionalitas Wacana Publik
Alihkan ke: Logical Fallacies.
Abstrak
Kekeliruan informal (informal fallacies)
merupakan bentuk kesalahan penalaran yang tidak terletak pada struktur logika
formal, melainkan pada isi, konteks, atau penggunaan bahasa dalam argumen.
Artikel ini membahas secara komprehensif klasifikasi kekeliruan informal,
mencakup jenis-jenis utama seperti fallacies of relevance, presumption,
ambiguity, dan weak induction. Dengan mengacu pada literatur
akademik mutakhir, pembahasan difokuskan pada mekanisme kerja kekeliruan dalam
diskursus publik serta pendekatan teoretis dalam mengevaluasinya, termasuk
teori pragma-dialectics, skema argumentasi presumptif, dan
prinsip-prinsip relevansi pragmatis. Melalui studi kasus dari ranah politik,
media, periklanan, dan media sosial, artikel ini menunjukkan bagaimana
kekeliruan informal beroperasi sebagai alat retoris yang sering digunakan untuk
memanipulasi persepsi publik dan melemahkan diskusi rasional. Di sisi lain,
artikel ini juga menyoroti tantangan metodologis dan kontroversi teoretis dalam
penanganannya, seperti ambiguitas klasifikasi, relativisme budaya, dan
ketegangan antara preskriptivisme logika dengan pragmatik linguistik. Kesimpulannya,
pendidikan berpikir kritis yang menekankan literasi argumentatif dan kesadaran
diskursif menjadi kunci utama dalam membangun budaya komunikasi yang rasional
dan etis di tengah era pascakebenaran.
Kata Kunci: kekeliruan informal, berpikir kritis, logika
pragmatis, skema argumentasi, retorika publik, evaluasi argumen, disinformasi,
pragma-dialektika.
PEMBAHASAN
Kekeliruan Informal dalam Argumen
1.
Pendahuluan
Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh informasi
dan argumen—baik melalui media massa, ruang akademik, maupun media
sosial—kemampuan berpikir kritis menjadi salah satu keterampilan intelektual
yang paling krusial dalam kehidupan kontemporer. Namun, tidak semua argumen
yang tampak meyakinkan dibangun di atas fondasi penalaran yang sahih. Sering
kali, argumen disusun dengan mengandalkan bentuk-bentuk penalaran keliru yang
disebut dengan logical fallacies atau kekeliruan logis.
Secara umum, logical fallacies terbagi ke
dalam dua klasifikasi utama: kekeliruan formal (formal fallacies) dan kekeliruan
informal (informal fallacies). Kekeliruan formal terjadi karena cacat dalam
struktur logis argumen itu sendiri, biasanya dalam konteks silogisme deduktif.
Sebaliknya, kekeliruan informal terjadi bukan karena bentuk argumennya
melainkan karena kandungan, konteks, atau cara penyampaian informasi
dalam argumen tersebut yang menyesatkan atau tidak relevan terhadap kesimpulan
yang dituju¹.
Meskipun kekeliruan formal lebih mudah
diidentifikasi karena melibatkan pelanggaran terhadap bentuk logis yang eksplisit,
kekeliruan informal justru lebih berbahaya dalam wacana publik. Hal ini
disebabkan karena kekeliruan informal seringkali bersifat persuasif, tampak
masuk akal secara permukaan, dan menyusup dalam komunikasi sehari-hari tanpa
disadari. Mereka memanfaatkan bias kognitif, asumsi tersembunyi,
dan pengalihan emosional untuk mempengaruhi opini publik².
Sebagai contoh, dalam diskursus politik dan
kampanye pemilu, kekeliruan seperti ad hominem (menyerang pribadi
lawan), appeal to popularity (argumen berdasarkan jumlah orang yang
setuju), atau red herring (pengalihan isu) sering digunakan secara
sistematis untuk membingkai opini tanpa menyelesaikan substansi argumen yang
diperdebatkan³. Fenomena ini bukan hanya membahayakan kualitas debat rasional,
tetapi juga mengikis standar epistemik yang seharusnya dijunjung dalam
demokrasi deliberatif.
Studi dalam bidang informal logic dan argumentation
theory telah menunjukkan bahwa kekeliruan informal tidak bisa hanya dilihat
sebagai kesalahan logika, tetapi juga harus dipahami dalam konteks pragmatis
wacana. Artinya, nilai kebenaran argumen sangat dipengaruhi oleh konteks
komunikasi, tujuan retoris, dan relasi antara pembicara dan pendengar⁴. Oleh
karena itu, pendekatan dalam menganalisis kekeliruan informal membutuhkan
metode yang lebih kompleks daripada sekadar aplikasi aturan logika formal.
Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan analisis
komprehensif tentang kekeliruan informal, mencakup klasifikasi jenis-jenis
utama, mekanisme kerjanya dalam konstruksi argumen, serta dampaknya terhadap
rasionalitas dalam wacana publik. Dengan pendekatan interdisipliner yang
memadukan logika, retorika, dan pragmatik, artikel ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman mendalam dan aplikatif dalam mengenali dan menghindari
kekeliruan berpikir yang menyesatkan dalam berbagai ranah komunikasi.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to
Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2016), 113–115.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 2–5.
[3]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument
Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 9–13.
[4]
John Woods and Douglas Walton, Argument:
Critical Thinking, Logic, and the Fallacies (Toronto: Prentice-Hall, 1982),
37–41.
2.
Konseptualisasi
Kekeliruan Informal
2.1.
Definisi Kekeliruan Informal
Kekeliruan informal
(informal
fallacies) merupakan jenis kesalahan penalaran yang tidak terletak
pada bentuk logika argumennya, melainkan pada kandungan materi, makna, dan konteks penggunaan
argumen tersebut. Kekeliruan ini sering kali menyamar sebagai
argumen yang sah dan masuk akal secara retoris, namun gagal memenuhi standar
rasionalitas karena mengabaikan relevansi, kejelasan makna, atau bukti yang
mendukung kesimpulan¹.
Berbeda dengan formal
fallacies, yang dapat dikenali melalui pelanggaran terhadap aturan
bentuk logis deduktif (seperti modus ponens atau modus tollens), kekeliruan
informal bersifat lebih subtil dan kontekstual. Mereka sering muncul dalam
bentuk argumentasi yang tampaknya wajar tetapi menyesatkan karena mengandung
asumsi tersembunyi, pengaburan makna, atau manipulasi emosi².
Menurut Douglas
Walton, salah satu otoritas utama dalam logika informal, kekeliruan informal
terjadi dalam dialectical context—yakni dalam
proses dialog atau pertukaran argumen antar pembicara—di mana suatu argumen
dianggap salah bukan karena tidak valid secara logis, melainkan karena
melanggar aturan atau etika wacana³.
2.2.
Latar Sejarah dan Perkembangan
Konsep
Konsep kekeliruan
informal telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Aristoteles dalam Sophistical
Refutations mengidentifikasi beberapa bentuk kekeliruan berpikir
yang masih relevan hingga saat ini, seperti kekeliruan karena ambiguitas
(equivocation) dan kekeliruan karena prasangka asumsi⁴. Namun, perkembangan
konsep kekeliruan informal sebagai disiplin tersendiri dalam logika baru
berkembang pada abad ke-20, terutama melalui pemikiran logikawan seperti
Charles Leonard Hamblin dan kemudian Douglas Walton.
Dalam karyanya yang
berpengaruh, Fallacies, Hamblin mengkritik
pendekatan formalistik terhadap kekeliruan dan mendorong penggunaan pendekatan
pragmatis dan kontekstual dalam memahami kesalahan penalaran⁵. Kritik Hamblin
ini membuka jalan bagi studi informal logic sebagai cabang
tersendiri yang menekankan pentingnya konteks komunikasi, maksud retoris, dan
interpretasi makna dalam analisis argumentatif.
2.3.
Karakteristik Kekeliruan Informal
Kekeliruan informal
memiliki beberapa karakteristik utama yang membedakannya dari kekeliruan
formal:
·
Bersifat
kontekstual:
Validitas atau kesalahan suatu argumen sering
kali tergantung pada situasi komunikasi, bukan pada bentuk logika itu sendiri⁶.
·
Mengandalkan
persuasi emosional atau sosial:
Banyak kekeliruan informal bersifat retoris dan
memanfaatkan emosi, otoritas palsu, atau tekanan sosial untuk membujuk⁷.
·
Mengaburkan atau
menyimpangkan makna:
Kekeliruan informal dapat terjadi karena
ambiguitas bahasa, generalisasi yang berlebihan, atau pengaburan fakta⁸.
2.4.
Signifikansi Teoretis dan Praktis
Secara teoretis,
kekeliruan informal mengungkap batasan pendekatan logika formal dalam
mengevaluasi argumen yang hidup dalam praktik komunikasi sehari-hari.
Pendekatan pragmatis-dialektis terhadap kekeliruan informal memungkinkan analisis
yang lebih realistis terhadap bagaimana argumen benar-benar digunakan,
dimanipulasi, dan ditanggapi dalam masyarakat.
Secara praktis,
pemahaman terhadap kekeliruan informal sangat penting dalam meningkatkan
literasi argumentatif masyarakat. Di era banjir informasi dan disinformasi,
pengenalan terhadap kekeliruan informal menjadi bekal penting dalam menilai
keabsahan klaim yang diajukan dalam debat politik, periklanan, wacana publik,
bahkan komunikasi akademik⁹.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 117.
[2]
Irving M. Copi and Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2011), 128–129.
[3]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 10–13.
[4]
Aristotle, Sophistical Refutations, trans. E. S. Forster
(Cambridge: Harvard University Press, 1955), 164a–177b.
[5]
Charles Leonard Hamblin, Fallacies (London: Methuen, 1970),
12–25.
[6]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 45–48.
[7]
Douglas Walton, Media Argumentation: Dialectic, Persuasion and
Rhetoric (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 31–34.
[8]
Ralph H. Johnson and J. Anthony Blair, Logical Self-Defense,
2nd ed. (Toronto: McGraw-Hill Ryerson, 1983), 66–70.
[9]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 14–16.
3.
Klasifikasi
Kekeliruan Informal
Kekeliruan informal
merupakan jenis kekeliruan logis yang tidak terletak pada bentuk formal
argumennya, tetapi pada substansi isi, relevansi, atau penggunaan
bahasa dalam konteks tertentu. Para ahli logika telah
mengklasifikasikan kekeliruan informal ke dalam beberapa kelompok besar
berdasarkan karakteristik kesalahannya dalam berpikir dan berdialog.
Klasifikasi ini membantu dalam menganalisis, mengenali, dan membongkar
argumen yang tampaknya sah tetapi keliru secara substansial.
3.1.
Fallacies of Relevance (Kekeliruan Relevansi)
Kekeliruan relevansi
terjadi ketika premis-premis yang diajukan tidak relevan secara logis terhadap kesimpulan,
meskipun mungkin secara emosional atau retoris terasa kuat. Dalam hal ini,
pembicara mengalihkan perhatian dari substansi argumen ke hal-hal yang tidak
berhubungan.
Contoh umum:
·
Ad Hominem
(serangan pribadi): Menyerang karakter pribadi lawan debat alih-alih
isi argumennya⁽¹⁾.
·
Appeal to Ignorance
(Argumentum ad Ignorantiam): Menyatakan bahwa sesuatu benar hanya
karena tidak bisa dibuktikan salah (atau sebaliknya)⁽²⁾.
·
Appeal to Popularity
(Argumentum ad Populum): Mengklaim suatu pendapat benar hanya karena
didukung oleh banyak orang⁽³⁾.
·
Red Herring:
Mengalihkan perhatian ke isu lain untuk menghindari perdebatan utama⁽⁴⁾.
Kekeliruan ini
sering digunakan dalam wacana politik, media, dan retorika populis,
karena kemampuannya dalam membingkai isu secara emosional dan membelokkan
rasionalitas pendengar.
3.2.
Fallacies of Presumption (Kekeliruan Praduga atau Prasangka Awal)
Kekeliruan ini
muncul ketika premis-premisnya mengandung asumsi tersembunyi
yang belum terbukti, atau ketika struktur pertanyaan atau
argumen mengarahkan pada kesimpulan secara tidak sah.
Contoh utama:
·
Begging the
Question (Petitio Principii): Menyimpulkan sesuatu berdasarkan premis
yang sebenarnya identik atau mengandung kesimpulan itu sendiri⁽⁵⁾.
·
Complex Question:
Menanyakan sesuatu yang sudah memuat asumsi, sehingga jawaban apa pun akan
mengakui asumsi tersebut (contoh: “Kapan kamu berhenti menipu orang?”)⁽⁶⁾.
·
False Dichotomy:
Menyajikan dua pilihan seolah-olah satu-satunya alternatif, padahal ada
kemungkinan lain yang diabaikan⁽⁷⁾.
·
Slippery Slope:
Mengklaim bahwa satu langkah kecil akan menyebabkan rangkaian peristiwa buruk
tanpa bukti kausal yang memadai⁽⁸⁾.
Kekeliruan ini
cenderung membatasi kebebasan berpikir dan nuansa argumen,
sehingga sangat problematik dalam wacana akademik dan hukum.
3.3.
Fallacies of Ambiguity (Kekeliruan Ambiguitas Bahasa)
Jenis ini berkaitan
dengan penggunaan
bahasa yang tidak jelas, ganda, atau menyesatkan, yang
menyebabkan argumen tampak sah meskipun bermasalah secara semantik atau
sintaksis.
Contoh kekeliruan:
·
Equivocation:
Menggunakan satu kata dalam dua arti berbeda dalam argumen yang sama⁽⁹⁾.
·
Amphiboly:
Ambiguitas yang muncul karena struktur tata bahasa atau kalimat yang tidak
jelas⁽¹⁰⁾.
·
Accent:
Mengubah makna argumen dengan memberi tekanan atau penekanan pada kata atau
frasa tertentu⁽¹¹⁾.
·
Composition and
Division: Mengasumsikan bahwa apa yang berlaku bagi bagian juga
berlaku bagi keseluruhan (atau sebaliknya)⁽¹²⁾.
Kekeliruan ini
sering ditemukan dalam iklan, propaganda, dan wacana politik, di mana ketidaktepatan
bahasa dimanfaatkan untuk memanipulasi makna.
3.4.
Fallacies of Weak Induction
(Kekeliruan Induksi Lemah)
Kekeliruan ini
muncul ketika premis-premis argumen memberikan dasar yang
tidak memadai untuk menyimpulkan generalisasi atau hubungan
kausal.
Contoh khas:
·
Hasty
Generalization: Menarik kesimpulan umum dari sampel yang terlalu kecil
atau tidak representatif⁽¹³⁾.
·
False Cause:
Mengasumsikan hubungan sebab-akibat tanpa bukti yang cukup (post hoc ergo
propter hoc)⁽¹⁴⁾.
·
Weak Analogy:
Menggunakan analogi antara dua hal yang tidak cukup serupa secara relevan⁽¹⁵⁾.
Jenis kekeliruan ini
dapat ditemukan dalam berita palsu, konspirasi, dan pemikiran
pseudosains, di mana kesimpulan dibangun berdasarkan data atau
relasi yang lemah.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 139.
[2]
Irving M. Copi and Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2011), 136.
[3]
Douglas Walton, Media Argumentation: Dialectic, Persuasion and
Rhetoric (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 42.
[4]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 33–34.
[5]
Ralph H. Johnson and J. Anthony Blair, Logical Self-Defense,
2nd ed. (Toronto: McGraw-Hill Ryerson, 1983), 79.
[6]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 76.
[7]
Charles Leonard Hamblin, Fallacies (London: Methuen, 1970),
45.
[8]
Hurley, A Concise Introduction to Logic, 143.
[9]
Copi and Cohen, Introduction to Logic, 138.
[10]
Tindale, Fallacies and Argument Appraisal, 37.
[11]
Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 94.
[12]
Johnson and Blair, Logical Self-Defense, 91.
[13]
Hurley, A Concise Introduction to Logic, 145.
[14]
Tindale, Fallacies and Argument Appraisal, 40.
[15]
Copi and Cohen, Introduction to Logic, 141.
4.
Teori
dan Metodologi Evaluasi Kekeliruan Informal
4.1.
Kebutuhan Evaluasi yang Melewati
Batas Logika Formal
Kekeliruan informal,
berbeda dengan kekeliruan formal yang dapat diidentifikasi melalui struktur
logis proposisional atau silogistik, menuntut pendekatan evaluatif yang bersifat
kontekstual, pragmatis, dan komunikatif. Sifatnya yang
bergantung pada isi, niat, dan relasi antar-penutur menjadikannya tidak cukup
hanya diuji dengan alat logika deduktif. Oleh karena itu, berbagai pendekatan
teoretis dan metodologis telah dikembangkan dalam studi logika informal untuk
mengakomodasi kompleksitas ini¹.
Sebagaimana dicatat
oleh Douglas Walton, “penilaian terhadap kekeliruan informal harus
mempertimbangkan seluruh konteks dialektika, tujuan percakapan, serta relevansi
semantik dan pragmatik dari pernyataan yang diberikan”.² Evaluasi semacam
ini menuntut keterlibatan ilmu logika, retorika, pragmatik, dan bahkan teori
komunikasi.
4.2.
Pendekatan Pragmatis-Dialektis
Salah satu
pendekatan paling berpengaruh dalam mengevaluasi kekeliruan informal adalah pendekatan
pragmatis-dialektis, yang dikembangkan oleh Douglas Walton,
Erik C. W. Krabbe, dan rekan-rekan mereka. Pendekatan ini berakar pada teori
argumen sebagai dialog, di mana argumen tidak hanya dilihat
sebagai rangkaian premis dan kesimpulan, melainkan sebagai interaksi antara dua
atau lebih pihak dengan tujuan mencari resolusi rasional terhadap perbedaan
pendapat³.
Dalam konteks ini,
suatu argumen dinilai keliru jika:
·
Melanggar aturan
rasionalitas dialog (seperti menghindari beban pembuktian, mengalihkan
isu, atau menyalahgunakan hak berbicara).
·
Merusak kondisi
ideal percakapan, yang disebut sebagai critical discussion model⁴.
Sebagai contoh, ad
hominem menjadi kekeliruan bukan karena tidak logis secara bentuk,
tetapi karena ia mengganggu tujuan diskusi yang rasional dan
kooperatif⁵.
4.3.
Teori Relevansi dan Kesesuaian
Kontekstual
Teori lain yang
relevan adalah teori relevansi dalam
pragmatik, yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson, serta diterapkan dalam
analisis kekeliruan oleh Walton dan Tindale. Argumen dapat dinilai sebagai
kekeliruan jika tidak memenuhi ekspektasi relevansi yang
diharapkan oleh mitra bicara, atau jika menyajikan informasi
yang tampaknya relevan tetapi sebenarnya menyimpang dari masalah pokok⁶.
Konsep ini banyak
digunakan dalam mengevaluasi kekeliruan seperti:
·
Red herring
(pengalihan isu),
·
Appeal to emotion
(menggantikan rasionalitas dengan tekanan emosional),
·
dan straw man
(menyalahartikan argumen lawan untuk memudahkan penyerangan).
Evaluasi semacam ini
membutuhkan kepekaan pragmatis, bukan hanya
kaidah inferensial.
4.4.
Metodologi Evaluatif Berbasis Skema
Argumen
Walton juga
memperkenalkan argumentation schemes, yaitu
pola-pola umum argumen yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari
(misalnya: argumen dari otoritas, analogi, sebab-akibat, dll.). Setiap skema
dilengkapi dengan kritical questions—daftar
pertanyaan untuk menguji apakah argumen tersebut sah secara rasional⁷.
Contoh:
Skema: “Seseorang yang ahli
di bidang X mengatakan P, maka P mungkin benar.”
Pertanyaan kritis: Apakah otoritas
tersebut benar-benar ahli di bidang itu? Apakah ada otoritas lain yang tidak
setuju? Apakah konteks kutipan itu relevan?
Melalui pendekatan
ini, evaluasi kekeliruan menjadi lebih sistematis dan dapat diterapkan dalam
berbagai konteks wacana, termasuk hukum, pendidikan, jurnalistik, dan politik⁸.
4.5.
Implikasi Praktis: Literasi
Argumentatif dan Pendidikan Logika
Pendekatan evaluatif
terhadap kekeliruan informal memiliki implikasi pedagogis yang signifikan,
khususnya dalam mengembangkan literasi berpikir kritis dan argumentatif.
Dalam konteks pendidikan, pengajaran logika informal yang mencakup pengenalan
skema argumen dan pendekatan dialektis terbukti lebih efektif daripada hanya
mengandalkan logika formal⁹.
Dengan membekali
peserta didik dengan pemahaman tentang bagaimana kekeliruan muncul dalam
konteks komunikasi nyata, mereka dapat lebih siap menghadapi wacana publik yang
kompleks dan penuh manipulasi.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 118–120.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 12–16.
[3]
Erik C. W. Krabbe and Douglas N. Walton, Commitment in Dialogue:
Basic Concepts of Interpersonal Reasoning (Albany: State University of New
York Press, 1995), 2–4.
[4]
Frans H. van Eemeren and Rob Grootendorst, Argumentation,
Communication, and Fallacies: A Pragma-Dialectical Perspective (Hillsdale,
NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1992), 34–39.
[5]
Walton, Informal Logic, 87–91.
[6]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 55–58.
[7]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1996), 13–17.
[8]
John Woods, Errors of Reasoning: Naturalizing the Logic of
Inference (London: College Publications, 2004), 102–106.
[9]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 22–25.
5.
Implikasi
Kekeliruan Informal dalam Praktik Berpikir Kritis
5.1.
Kekeliruan sebagai Ancaman terhadap
Rasionalitas Publik
Kekeliruan informal,
meskipun secara logis tidak mencolok seperti kekeliruan formal, justru lebih
merusak dalam konteks wacana publik karena kemampuannya
menyusup secara halus ke dalam komunikasi sehari-hari. Dalam ranah politik,
media, dan bahkan diskusi akademik, kekeliruan ini seringkali digunakan secara
strategis untuk membingkai informasi, membangun pengaruh, atau menghindari
beban pembuktian¹. Akibatnya, publik yang tidak memiliki bekal berpikir kritis
akan lebih mudah terpengaruh oleh argumen-argumen yang tampaknya sahih tetapi
keliru secara substansial.
Ralph H. Johnson
menekankan bahwa berpikir kritis harus mencakup kemampuan untuk mendeteksi
dan menilai argumen yang cacat, bukan hanya menyusun argumen
yang baik². Maka, kemampuan mengenali kekeliruan informal merupakan bagian
integral dari upaya membangun komunitas diskursif yang rasional dan etis.
5.2.
Kekeliruan dan Distorsi Kognitif
dalam Pengambilan Keputusan
Banyak kekeliruan
informal beroperasi dengan memanfaatkan bias kognitif
alami manusia, seperti confirmation bias, availability
heuristic, atau ingroup favoritism. Sebagai contoh,
kekeliruan hasty
generalization sering muncul karena manusia cenderung menyimpulkan
sesuatu dari pengalaman terbatas atau berdasarkan kasus yang emosional dan
mudah diingat³.
Ketika kekeliruan
ini tidak dikenali, individu cenderung membuat keputusan yang tidak berdasarkan
bukti atau logika yang memadai. Hal ini bukan hanya berdampak pada kualitas
opini publik, tetapi juga berimplikasi langsung pada kebijakan sosial,
hukum, dan moral.
5.3.
Kebutuhan akan Literasi Argumentatif
di Era Digital
Era digital menandai
kemunculan wacana partisipatif yang masif namun tidak
selalu berkualitas, di mana setiap orang dapat memproduksi dan
menyebarkan informasi tanpa melalui proses verifikasi ilmiah atau logika yang
sah. Dalam konteks ini, kekeliruan informal seperti appeal to emotion, false
cause, atau ad hominem menjadi senjata retoris
yang sangat umum digunakan dalam media sosial⁴.
Penelitian oleh
Douglas Walton menunjukkan bahwa literasi terhadap jenis-jenis kekeliruan
informal dapat meningkatkan ketahanan individu terhadap
manipulasi informasi, terutama ketika informasi tersebut
dikemas dalam bentuk opini publik, meme politik, atau teori konspirasi⁵. Oleh
karena itu, pendidikan berpikir kritis harus difokuskan pada peningkatan literasi
argumentatif (argumentative literacy), yaitu kemampuan
menganalisis, mengevaluasi, dan merevisi argumen dalam konteks komunikatif
nyata.
5.4.
Implikasi dalam Pendidikan:
Mengintegrasikan Evaluasi Kekeliruan dalam Kurikulum
Penerapan pemahaman
tentang kekeliruan informal dalam pendidikan logika dan filsafat harus bersifat
kontekstual,
aplikatif, dan dialogis. Trudy Govier berpendapat bahwa
pengajaran berpikir kritis yang efektif bukan hanya mengenalkan teori logika
formal, tetapi juga membimbing siswa untuk menganalisis argumen yang mereka temui dalam
kehidupan nyata, termasuk debat politik, berita, atau iklan⁶.
Dalam konteks
kurikulum pendidikan, pengintegrasian identifikasi kekeliruan informal ke dalam
pembelajaran lintas disiplin (misalnya sejarah, agama, kewarganegaraan) dapat
memperkuat etika berpikir, kepekaan epistemik, dan
kebiasaan menunda penilaian. Ini juga menumbuhkan budaya
diskusi yang tidak hanya adil secara substansi, tetapi juga etis secara
retoris⁷.
5.5.
Membangun Kesadaran Kolektif atas
Risiko Kekeliruan dalam Demokrasi Deliberatif
Akhirnya, kekeliruan
informal memiliki dimensi politis dan sosial yang signifikan.
Dalam demokrasi deliberatif, di mana kebijakan dan keputusan publik semestinya
dibangun melalui diskusi terbuka dan argumentatif, prevalensi kekeliruan
informal dapat mengaburkan kebenaran, merusak kepercayaan, dan
melemahkan legitimasi keputusan bersama⁸.
Oleh karena itu,
membangun kesadaran kolektif atas bahaya kekeliruan informal menjadi langkah
strategis dalam membina budaya berpikir kritis yang berorientasi pada pencarian
kebenaran dan keadilan, bukan sekadar kemenangan retoris.
Footnotes
[1]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 9–13.
[2]
Ralph H. Johnson, Manifest Rationality: A Pragmatic Theory of
Argument (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2000), 165–169.
[3]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 110–112.
[4]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
25–29.
[5]
Douglas Walton, Media Argumentation: Dialectic, Persuasion and
Rhetoric (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 57–59.
[6]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 80–82.
[7]
Ronald Munson and Andrew Black, The Elements of Reasoning, 6th
ed. (Boston: Cengage Learning, 2012), 99–102.
[8]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy, trans. William Rehg (Cambridge: MIT
Press, 1996), 305–310.
6.
Studi
Kasus Aplikatif
Studi kasus
aplikatif memainkan peran penting dalam menunjukkan bagaimana
kekeliruan informal beroperasi dalam konteks nyata dan apa
dampaknya terhadap kualitas komunikasi publik. Dalam bagian ini, beberapa kasus
dari ranah politik, media, iklan, dan media sosial disorot untuk memberikan
gambaran konkret tentang mekanisme kekeliruan informal
dan cara mengenalinya secara kritis.
6.1.
Kekeliruan dalam Diskursus Politik:
Kasus Serangan Ad Hominem dalam Debat Publik
Dalam debat politik
menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat 2016, salah satu kandidat secara
konsisten menggunakan ad hominem attacks terhadap lawan-lawannya.
Misalnya, alih-alih membantah argumen tentang kebijakan imigrasi, ia malah
menyebut lawannya sebagai “lemah,” “bodoh,” atau “tidak
patriotik”.¹ Kekeliruan ini mengaburkan substansi perdebatan dan
mengalihkan fokus publik dari evaluasi kebijakan ke kualitas personal.
Menurut Douglas
Walton, ad
hominem menjadi kekeliruan ketika serangan terhadap karakter
digunakan sebagai pengganti pembuktian bahwa argumen lawan adalah salah². Dalam
konteks demokrasi deliberatif, praktik ini merusak fondasi diskusi rasional dan
menciptakan atmosfer retoris yang tidak sehat³.
6.2.
Kekeliruan dalam Media Massa: Kasus False
Cause dalam Pemberitaan Kesehatan
Sebuah artikel media
daring menyatakan, “Setelah vaksinasi massal, tingkat gangguan jantung
meningkat 30%. Maka vaksinasi mungkin menjadi penyebabnya.” Pernyataan ini
merupakan contoh klasik dari post hoc ergo propter hoc—sebuah
kekeliruan sebab-akibat yang mengasumsikan bahwa karena satu peristiwa terjadi
setelah peristiwa lain, maka yang pertama menyebabkan yang kedua⁴.
Evaluasi berbasis
skema argumen kausal menunjukkan bahwa korelasi tidak selalu menunjukkan kausalitas,
dan pengabaian terhadap variabel lain merupakan bentuk kekeliruan berpikir yang
dapat menyebabkan kesimpulan menyesatkan⁵. Studi Walton menekankan perlunya pertanyaan
kritis terhadap argumen semacam ini, seperti: Apakah ada
bukti independen untuk hubungan sebab-akibat? Apakah ada faktor lain yang lebih
mungkin menjelaskan hasil tersebut?_⁶
6.3.
Kekeliruan dalam Periklanan: Appeal
to Popularity dan Hasty Generalization
Dalam iklan produk
kecantikan, sering digunakan slogan seperti: “9 dari 10 wanita
merekomendasikan produk ini!” Argumen ini menggunakan kekeliruan appeal
to popularity dan hasty generalization. Pertama, jumlah
pengguna dijadikan dasar validasi mutu, padahal tidak relevan
secara logis. Kedua, generalitas klaim diambil dari
sampel yang tidak jelas validitasnya⁷.
Dalam analisis
kritis terhadap logika iklan, Govier menekankan pentingnya memeriksa bukti,
otoritas, dan konteks klaim, terutama bila klaim diarahkan
untuk mempengaruhi konsumen secara emosional⁸. Kekeliruan semacam ini secara
tidak langsung membentuk opini publik yang tidak berbasis
informasi rasional, melainkan manipulasi persepsi.
6.4.
Kekeliruan di Media Sosial: Straw
Man dalam Debat Ideologi
Dalam debat media
sosial tentang feminisme, seseorang menyatakan: “Feminisme ingin
menghancurkan laki-laki dan mendominasi dunia.” Ini merupakan straw
man fallacy, yaitu bentuk kekeliruan ketika seseorang menyalahartikan
atau menyederhanakan posisi lawan agar lebih mudah diserang⁹.
Penyajian argumen
dengan cara demikian menghalangi diskusi yang bernuansa dan
konstruktif, serta menciptakan echo chambers yang memperkuat
polarisasi¹⁰. Dalam konteks ini, literasi argumentatif dan kemampuan mengevaluasi
representasi argumen lawan menjadi kunci untuk melawan disinformasi dan
radikalisasi opini.
6.5.
Evaluasi Lintas Konteks: Kerangka
Kritis dalam Praktik
Melalui empat studi
kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa:
·
Kekeliruan informal bukan
hanya kesalahan logika, tetapi merupakan alat retoris
yang bekerja dalam jaringan makna, emosi, dan kekuasaan.
·
Evaluasi kekeliruan
memerlukan pendekatan lintasdisipliner, termasuk logika,
komunikasi, psikologi, dan sosiologi.
·
Pendidikan berpikir kritis
harus menyertakan analisis kasus nyata agar tidak terjebak
pada teori abstrak.
Seperti ditegaskan
oleh Tindale, penerapan teori fallacy harus hidup dalam
konteks sosial, bukan sekadar dilatih dalam silogisme kering¹¹.
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Ad Hominem Arguments (Tuscaloosa: University
of Alabama Press, 1998), 34–36.
[2]
Ibid., 19–20.
[3]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 45.
[4]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 145.
[5]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1996), 73–75.
[6]
Ibid., 77–78.
[7]
Ralph H. Johnson and J. Anthony Blair, Logical Self-Defense,
2nd ed. (Toronto: McGraw-Hill Ryerson, 1983), 83.
[8]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 103.
[9]
Irving M. Copi and Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed.
(New York: Routledge, 2011), 146–147.
[10]
Cass R. Sunstein, #Republic: Divided Democracy in the Age of Social
Media (Princeton: Princeton University Press, 2017), 99–101.
[11]
Tindale, Fallacies and Argument Appraisal, 113.
7.
Tantangan
dan Kontroversi dalam Penanganan Kekeliruan Informal
7.1.
Ambiguitas Batas Antara Kekeliruan
dan Retorika Sah
Salah satu tantangan
utama dalam menangani kekeliruan informal adalah kesulitan
membedakan antara kekeliruan dan strategi retoris yang sah.
Dalam praktik komunikasi, banyak argumen yang secara struktural tampak
menyerupai kekeliruan, tetapi dalam konteks tertentu dapat dianggap sah atau
bahkan efektif secara pragmatis. Sebagai contoh, appeal to emotion bisa menjadi
kekeliruan jika menggantikan bukti rasional, namun bisa menjadi bagian yang sah
dalam pidato persuasif jika digunakan untuk menambah kekuatan afektif terhadap
argumen utama¹.
Christopher Tindale
menyatakan bahwa terdapat titik temu antara kekeliruan dan retorika,
di mana argumen yang tampak menyesatkan pada satu tingkat bisa memiliki nilai
komunikatif atau persuasif pada tingkat lain². Hal ini menyebabkan pendekatan
evaluatif terhadap kekeliruan informal tidak bisa semata-mata normatif, tetapi
harus mempertimbangkan dimensi pragmatis dan sosial dari argumen.
7.2.
Ketidakpastian Kategori: Kritik
terhadap Klasifikasi Tradisional
Kritik lain datang
dari para ahli yang mempertanyakan kekuatan klasifikasi klasik
kekeliruan informal (seperti yang diwariskan dari Aristoteles dan dipertahankan
oleh logika modern). Charles L. Hamblin dalam karya monumental Fallacies
menyatakan bahwa banyak klasifikasi kekeliruan tradisional bersifat
arbitrer, tumpang tindih, dan tidak memiliki prinsip klasifikatif yang
konsisten³. Ia menilai bahwa penggunaan daftar tetap (fixed
list) seperti ad hominem, false
cause, atau straw man tidak mencerminkan
kompleksitas dan keragaman praktik argumentatif nyata.
Kritik ini mendorong
pengembangan pendekatan non-formalis dan analitis-kontekstual,
seperti penggunaan argumentation schemes oleh Douglas
Walton, yang dianggap lebih fleksibel dan relevan dengan kerangka pragmatis⁴.
7.3.
Kesulitan Evaluatif dalam Konteks
Dialektis
Evaluasi terhadap
kekeliruan informal juga menghadapi tantangan dalam konteks dialektis, di mana argumen
muncul dalam interaksi sosial yang kompleks dan tidak selalu mengikuti pola
logika eksplisit. Dalam model pragma-dialectics yang dikembangkan
oleh van Eemeren dan Grootendorst, kekeliruan dipandang sebagai pelanggaran
terhadap aturan diskusi kritis (critical discussion rules)⁵. Namun, penilaian
terhadap pelanggaran tersebut sangat tergantung pada niat
komunikatif, posisi dialogis, dan kepatuhan terhadap norma percakapan.
Hal ini menciptakan
ruang abu-abu dalam analisis: apakah suatu argumen tergolong kekeliruan atau
sekadar bentuk penalaran yang tidak ideal? Pertanyaan ini tidak selalu bisa
dijawab secara biner.
7.4.
Relativisme Budaya dan Norma
Komunikasi
Dalam konteks lintas
budaya, terdapat pertanyaan besar mengenai apakah penilaian terhadap kekeliruan bersifat
universal atau kontekstual. Strategi argumentatif yang dianggap
keliru dalam satu tradisi logika bisa jadi diterima atau bahkan dihargai dalam
komunitas budaya lain, terutama yang menekankan konsensus sosial, harmoni, atau
nilai komunitarian⁶.
Sebagai contoh,
dalam budaya-budaya Timur yang mengutamakan keutuhan sosial, menghindari
konfrontasi langsung (yang kadang dikritik sebagai evasion) mungkin bukan kekeliruan,
melainkan cara mempertahankan etika komunikasi. Dalam hal ini, pendekatan
logika informal perlu mengakomodasi pluralisme epistemik dan etika
wacana⁷.
7.5.
Tantangan Pendidikan: Kekeliruan
sebagai Instrumen Manipulasi
Dalam praktik
pendidikan dan literasi publik, kekeliruan informal sering kali tidak hanya
gagal dikenali, tetapi justru dimanfaatkan sebagai instrumen manipulasi,
terutama oleh aktor-aktor dengan kepentingan ideologis atau komersial. Retorika
populis, propaganda digital, dan iklan komersial kerap memanfaatkan kekeliruan
sebagai alat persuasi yang efektif⁸.
Hal ini menimbulkan
dilema: bagaimana mengajarkan logika informal tanpa
menciptakan sinisme terhadap komunikasi publik, atau
sebaliknya, tanpa memberi celah bagi manipulasi retoris? Tantangan ini
membutuhkan pendidikan logika yang bersifat holistik, kritis, dan etis,
serta mendorong kesadaran meta-reflektif terhadap bahasa dan kekuasaan⁹.
7.6.
Perdebatan antara Formativisme dan
Antiformativisme
Akhirnya, terdapat
perdebatan filosofis yang lebih dalam antara pihak yang menganggap kekeliruan
sebagai kesalahan rasional universal
(formativis), dan mereka yang berpandangan bahwa kekeliruan
adalah penilaian yang bersifat kontekstual dan konstruktif
(antiformativis). Pandangan kedua ini dipengaruhi oleh filsafat bahasa biasa
(ordinary language philosophy) dan pendekatan Wittgensteinian terhadap makna
sebagai penggunaan¹⁰.
Perdebatan ini
menunjukkan bahwa kekeliruan informal bukan sekadar fenomena logis, tetapi merupakan
medan
tarik-menarik antara preskriptivisme logika dan deskriptivisme linguistik.
Maka, upaya mengembangkan teori kekeliruan harus bergerak melampaui batas-batas
formalisme dan membuka diri terhadap pendekatan interdisipliner.
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 21–23.
[2]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 18–20.
[3]
Charles Leonard Hamblin, Fallacies (London: Methuen, 1970),
12–25.
[4]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1996), 17–21.
[5]
Frans H. van Eemeren and Rob Grootendorst, Argumentation,
Communication, and Fallacies: A Pragma-Dialectical Perspective (Hillsdale,
NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1992), 102–109.
[6]
Gert-Jan Lokhorst, “Fallacies and Cultural Relativism: Critical
Thinking across Contexts,” Argumentation 31, no. 3 (2017): 325–341.
[7]
Kwame Anthony Appiah, Cosmopolitanism: Ethics in a World of
Strangers (New York: W. W. Norton & Company, 2006), 84–86.
[8]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
31–35.
[9]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Wadsworth, 2010), 115–117.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 2009), §43–§47.
8.
Kesimpulan
Kekeliruan informal merupakan fenomena kompleks
yang melampaui batas-batas logika deduktif formal. Ia muncul dalam bentuk-bentuk
penalaran yang secara struktur tampak sah, namun gagal secara substansial
dalam memberikan justifikasi yang rasional terhadap kesimpulan yang
ditarik. Dalam konteks komunikasi publik, kekeliruan informal tidak hanya
menjadi indikator kelemahan berpikir, tetapi juga instrumen retoris yang dapat
memengaruhi opini, memperkuat bias, dan mengaburkan batas antara kebenaran dan
persuasi emosional¹.
Kajian ini menunjukkan bahwa klasifikasi kekeliruan
informal—yang mencakup fallacies of relevance, presumption, ambiguity,
dan weak induction—tetap menjadi fondasi penting dalam pendidikan
berpikir kritis. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Hamblin,
pengklasifikasian ini harus dibuka terhadap revisi dan perluasan yang
mempertimbangkan dinamika komunikasi aktual dan praktik bahasa sehari-hari².
Untuk itu, teori argumentasi kontemporer—seperti pendekatan pragma-dialectical
dan skema argumentatif Walton—memberikan sumbangan penting dalam memahami
konteks, niat, dan struktur penggunaan kekeliruan secara lebih menyeluruh³.
Secara metodologis, evaluasi kekeliruan informal tidak
cukup disandarkan pada kriteria logika formal, melainkan membutuhkan
pemahaman pragmatis terhadap struktur diskusi, tujuan komunikatif, dan peran
partisipan dalam dialektika. Teori critical discussion dari van Eemeren
dan Grootendorst, serta kerangka presumptive reasoning dari Walton,
menunjukkan bahwa kekeliruan harus dinilai dalam konteks interaksi sosial
dan etika diskursif⁴.
Dari sisi praktis, pemahaman dan identifikasi
terhadap kekeliruan informal memiliki implikasi besar dalam mengembangkan
literasi argumentatif masyarakat. Dalam era disinformasi dan
pascakebenaran, kekeliruan seperti ad hominem, appeal to popularity,
dan false cause menjadi alat manipulasi yang umum digunakan dalam media,
politik, dan opini publik⁵. Maka, pendidikan logika informal yang kritis dan
kontekstual perlu diperkuat dalam kurikulum pendidikan dasar hingga tinggi,
serta dalam pelatihan media, hukum, dan komunikasi publik.
Namun demikian, tantangan masih membayangi.
Perdebatan teoretis seputar status epistemologis kekeliruan, relativisme budaya
dalam penilaian argumen, dan ambiguitas batas antara retorika sah dan
kekeliruan, menunjukkan bahwa penanganan kekeliruan informal tidak dapat
dilakukan secara mekanistik. Diperlukan pendekatan interdisipliner yang
menggabungkan logika, pragmatik, retorika, filsafat bahasa, dan sosiologi
pengetahuan⁶.
Dengan demikian, memahami kekeliruan informal bukan
hanya persoalan logika teknis, tetapi bagian dari upaya membangun budaya
berpikir kritis yang berakar pada etika komunikasi, kepekaan epistemik, dan
komitmen terhadap wacana publik yang rasional dan bertanggung jawab⁷. Di
tengah meningkatnya kompleksitas informasi global, kemampuan membedakan antara
argumen yang valid dan yang menyesatkan menjadi fondasi penting bagi
kelangsungan masyarakat demokratis dan deliberatif.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to
Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2016), 114–117.
[2]
Charles Leonard Hamblin, Fallacies (London:
Methuen, 1970), 12–15.
[3]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for
Presumptive Reasoning (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1996),
19–23.
[4]
Frans H. van Eemeren and Rob Grootendorst, Argumentation,
Communication, and Fallacies: A Pragma-Dialectical Perspective (Hillsdale,
NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 1992), 102–109.
[5]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 31–35.
[6]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument
Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 113–117.
[7]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument,
7th ed. (Boston: Wadsworth, 2010), 125–128.
Daftar Pustaka
Appiah, K. A. (2006). Cosmopolitanism: Ethics in
a world of strangers. W. W. Norton & Company.
Copi, I. M., & Cohen, C. (2011). Introduction
to logic (14th ed.). Routledge.
Eemeren, F. H. van, & Grootendorst, R. (1992). Argumentation,
communication, and fallacies: A pragma-dialectical perspective. Lawrence
Erlbaum Associates.
Govier, T. (2010). A practical study of argument
(7th ed.). Wadsworth.
Hamblin, C. L. (1970). Fallacies. Methuen.
Hurley, P. J. (2016). A concise introduction to
logic (13th ed.). Cengage Learning.
Johnson, R. H., & Blair, J. A. (1983). Logical
self-defense (2nd ed.). McGraw-Hill Ryerson.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Krabbe, E. C. W., & Walton, D. N. (1995). Commitment
in dialogue: Basic concepts of interpersonal reasoning. State University of
New York Press.
Lokhorst, G.-J. (2017). Fallacies and cultural
relativism: Critical thinking across contexts. Argumentation, 31(3),
325–341. https://doi.org/10.1007/s10503-016-9425-1
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Munson, R., & Black, A. (2012). The elements
of reasoning (6th ed.). Cengage Learning.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided
democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Tindale, C. W. (2007). Fallacies and argument
appraisal. Cambridge University Press.
Walton, D. (1996). Argumentation schemes for
presumptive reasoning. Lawrence Erlbaum Associates.
Walton, D. (1998). Ad hominem arguments.
University of Alabama Press.
Walton, D. (2007). Media argumentation:
Dialectic, persuasion and rhetoric. Cambridge University Press.
Walton, D. (2008). Informal logic: A pragmatic
approach. Cambridge University Press.
Wittgenstein, L. (2009). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell Publishing. (Original
work published 1953)
Woods, J. (2004). Errors of reasoning:
Naturalizing the logic of inference. College Publications.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar