Minggu, 04 Mei 2025

Fallacies of Presumption: Klasifikasi, Mekanisme, dan Implikasinya terhadap Validitas Logis dan Etika Wacana Publik

Fallacies of Presumption

Klasifikasi, Mekanisme, dan Implikasinya terhadap Validitas Logis dan Etika Wacana Publik


Alihkan ke: Fallacies Informal.


Abstrak

Kekeliruan asumsi tersembunyi (fallacies of presumption) merupakan bentuk kekeliruan logika informal yang sering tidak terdeteksi dalam wacana publik maupun akademik karena menyisipkan premis yang tidak sah atau belum terbukti secara implisit dalam argumen. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara sistematis pengertian, klasifikasi, serta mekanisme kerja kekeliruan ini, sekaligus mengevaluasi implikasinya terhadap validitas logis dan etika diskursus publik. Dengan menggunakan pendekatan kajian pustaka terhadap literatur utama dalam bidang logika informal, filsafat argumentasi, dan pendidikan berpikir kritis, artikel ini mengidentifikasi enam subtipe utama dalam fallacies of presumption: begging the question, complex question, false dilemma, suppressed evidence, accident, dan converse accident. Analisis menunjukkan bahwa kekeliruan ini tidak hanya merusak struktur inferensial suatu argumen, tetapi juga memperlemah kejujuran epistemik, memperkuat polarisasi sosial, dan merusak kualitas deliberasi publik. Artikel ini juga menguraikan strategi deteksi dan koreksi kekeliruan melalui metode argument reconstruction, logic mapping, Socratic questioning, serta pengembangan epistemic humility dalam pendidikan. Kesimpulannya, penanggulangan fallacies of presumption harus menjadi bagian integral dari pendidikan literasi logika dan pembentukan budaya berpikir rasional di masyarakat.

Kata Kunci: logika informal, fallacies of presumption, asumsi tersembunyi, kekeliruan berpikir, berpikir kritis, etika diskursus, argumentasi.


PEMBAHASAN

Kekeliruan Asumsi Tersembunyi dalam Argumen


1.           Pendahuluan

Dalam era digital yang ditandai dengan banjir informasi dan derasnya arus opini di ruang publik, kemampuan berpikir kritis menjadi keterampilan esensial untuk mempertahankan integritas intelektual dan rasionalitas sosial. Berbagai bentuk argumentasi—baik di ranah akademik, media, maupun ruang sosial daring—membentuk lanskap wacana yang dapat mengedukasi sekaligus menyesatkan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap struktur dan kualitas logis dari argumen menjadi kunci utama dalam menjaga kejernihan berpikir dan etika komunikasi. Salah satu aspek krusial dalam penilaian logis suatu argumen adalah kemampuannya menghindari kekeliruan berpikir (fallacies), khususnya yang bersifat informal, karena kekeliruan jenis ini kerap tersembunyi di balik bahasa yang tampaknya meyakinkan namun cacat secara rasional.

Kekeliruan informal (informal fallacies) adalah jenis kekeliruan yang terjadi bukan karena kesalahan dalam bentuk atau struktur logis formal, melainkan karena kelemahan dalam isi, relevansi, atau penggunaan bahasa dalam argumen tersebut. Salah satu klasifikasi penting dari kekeliruan informal adalah fallacies of presumption atau kekeliruan asumsi tersembunyi. Kekeliruan ini muncul ketika sebuah argumen memuat asumsi-asumsi yang belum dibuktikan, tidak sahih, atau secara implisit memuat kesimpulan yang sedang diperdebatkan—sehingga merusak validitas dan kejujuran argumen itu sendiri¹.

Douglas Walton, seorang pakar logika dan argumentasi pragmatik, menjelaskan bahwa fallacies of presumption sering kali melibatkan premis yang diselundupkan atau diasumsikan secara tidak sah, sehingga membuat argumen tampak valid padahal berdiri di atas landasan yang goyah². Asumsi tersembunyi ini bisa muncul dalam bentuk pertanyaan jebakan (complex question), generalisasi tergesa-gesa (hasty generalization), atau dikotomi palsu (false dilemma)—semuanya dapat menyesatkan penerima argumen apabila tidak terlatih dalam mendeteksi dan membongkar implikasi implisitnya.

Bahaya dari kekeliruan jenis ini tidak hanya bersifat epistemik, tetapi juga etis. Ketika sebuah argumen menyembunyikan asumsi problematik tanpa transparansi atau dasar yang sah, maka ia tidak hanya keliru secara logis tetapi juga melanggar prinsip keterbukaan dan tanggung jawab moral dalam komunikasi. Hal ini menjadi sangat signifikan dalam konteks wacana publik yang idealnya dibangun di atas prinsip rasionalitas deliberatif, yakni komunikasi yang terbuka terhadap justifikasi argumen dan bebas dari manipulasi logika atau emosi³.

Kajian terhadap fallacies of presumption menjadi penting bukan hanya bagi kalangan akademik, tetapi juga bagi masyarakat luas yang hidup dalam ekosistem informasi yang kompleks dan penuh polarisasi. Dalam konteks pendidikan logika, penalaran kritis, dan retorika modern, pemahaman tentang kekeliruan ini membantu mengembangkan kepekaan terhadap integritas argumentatif serta melatih keterampilan metakognitif dalam mengevaluasi klaim-klaim publik. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menyajikan telaah sistematis mengenai definisi, klasifikasi, dan mekanisme kerja dari fallacies of presumption, serta membahas dampaknya terhadap validitas logika dan etika wacana publik.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 138–140.

[2]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 85–87.

[3]                T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 16–18.


2.           Konteks Teoretis: Logika dan Kekeliruan Berpikir

Logika sebagai cabang filsafat merupakan disiplin normatif yang mempelajari prinsip-prinsip inferensi sahih dan struktur penalaran yang valid. Tujuan utama logika adalah untuk membedakan bentuk argumen yang benar (valid) dari yang salah (invalid), dan dalam konteks komunikasi, logika menjadi fondasi bagi diskursus rasional yang bertanggung jawab secara epistemik dan etis. Dalam praktiknya, logika berfungsi sebagai alat untuk mengevaluasi apakah kesimpulan yang ditarik dari sejumlah premis dapat dibenarkan secara rasional, serta untuk mengidentifikasi dan menghindari berbagai bentuk kekeliruan berpikir (fallacies)¹.

Secara garis besar, kekeliruan berpikir terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu kekeliruan formal dan kekeliruan informal. Kekeliruan formal terjadi ketika argumen gagal memenuhi struktur logis yang sah, seperti dalam silogisme yang tidak valid. Misalnya, dalam bentuk modus ponens yang salah, seperti:

Jika hujan turun, maka jalanan basah. Jalanan basah. Maka, hujan turun.

Argumen ini tampak masuk akal tetapi sebenarnya keliru secara struktural karena melanggar prinsip logika deduktif formal².

Sebaliknya, kekeliruan informal tidak bergantung pada bentuk formal argumen, melainkan pada isi, konteks, atau penggunaan bahasa yang menyesatkan. Kekeliruan jenis ini sering kali lebih sulit dikenali karena tidak mencolok secara struktural, tetapi menggiring pembaca atau pendengar pada kesimpulan yang salah akibat manipulasi retorika, pengaburan premis, atau pengasumsian hal yang belum terbukti³. Dalam ranah informal inilah muncul kategori fallacies of relevance, fallacies of ambiguity, dan fallacies of presumption, yang menjadi inti pembahasan artikel ini.

Fallacies of presumption, secara khusus, mengacu pada argumen-argumen yang memuat asumsi-asumsi tidak sahih, tidak dibuktikan, atau tersembunyi yang menjadi dasar kesimpulan. Premis dalam argumen jenis ini sering kali mengandaikan kebenaran sesuatu yang justru sedang dipertanyakan atau bahkan menjadi inti perdebatan. Tindakan menyelundupkan asumsi ke dalam argumen semacam ini, dalam terminologi logika klasik, dikenal sebagai petitio principii atau begging the question⁴.

Menurut Douglas Walton, salah satu alasan mengapa fallacies of presumption berbahaya adalah karena jenis kekeliruan ini tidak mudah dikenali secara kasat mata. Ia sering dibingkai secara retoris sebagai sesuatu yang seolah-olah sudah disepakati bersama (common sense) atau bersifat intuitif, padahal justru menyembunyikan pertanyaan filosofis, fakta empirik, atau nilai moral yang kompleks dan layak dipertanyakan⁵. Oleh karena itu, mendeteksi kekeliruan ini menuntut keterampilan berpikir kritis tingkat tinggi yang tidak hanya berbasis pada pengetahuan logika formal, tetapi juga sensitivitas terhadap konteks dan kerangka epistemik.

Dalam kerangka evaluasi argumen, penting pula dibedakan antara asumsi eksplisit dan asumsi implisit. Asumsi eksplisit merupakan premis yang dinyatakan secara terang dan dapat diuji kebenarannya. Sementara itu, asumsi implisit cenderung tersembunyi dan sering kali tidak dinyatakan secara langsung dalam wacana, sehingga lebih rentan membawa kesesatan berpikir. Asumsi implisit inilah yang sering menjadi inti dari fallacies of presumption, karena argumen tampaknya valid di permukaan, tetapi dalam kenyataannya berlandaskan pada dasar yang tidak sah atau problematik⁶.

Dari perspektif etika diskursus, menyisipkan asumsi tersembunyi tanpa kejelasan dan justifikasi juga menyalahi prinsip transparansi dan tanggung jawab epistemik. Hal ini menjadi isu serius dalam konteks debat publik, pendidikan, media massa, maupun interaksi digital, karena penyebaran argumen yang mengandung kekeliruan asumsi dapat merusak kualitas deliberasi publik dan menciptakan bias berpikir kolektif⁷.

Dengan memahami secara mendalam konteks teoretis logika dan kekeliruan berpikir ini, pembaca akan lebih siap untuk memasuki pembahasan spesifik mengenai bentuk-bentuk fallacies of presumption, cara kerjanya dalam wacana, serta implikasi epistemik dan moralnya terhadap argumen yang tampak sah tetapi cacat secara fundamental.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 3–6.

[2]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 70–72.

[3]                T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 13–15.

[4]                John Woods dan Douglas Walton, Fallacies: Selected Papers, 1972–1982 (Dordrecht: Reidel, 1989), 135–137.

[5]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 91–95.

[6]                Anthony Weston, A Rulebook for Arguments, 5th ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2017), 17–18.

[7]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 109–112.


3.           Pengertian dan Ruang Lingkup Fallacies of Presumption

Fallacies of presumption, atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kekeliruan asumsi tersembunyi, merupakan salah satu kategori utama dalam klasifikasi kekeliruan berpikir informal yang merusak validitas argumen melalui penyelundupan premis-premis yang dipertanyakan atau tidak sahih. Ciri khas dari kekeliruan ini adalah adanya asumsi yang dipaksakan, tidak terbukti, atau bahkan disengaja disembunyikan, yang berfungsi sebagai landasan kesimpulan tanpa justifikasi yang layak. Dalam istilah teknis, fallacies of presumption adalah bentuk kesalahan inferensi yang berasal dari pengandaian premis yang belum dibuktikan kebenarannya atau bersifat problematik secara epistemic.¹

Menurut Irving M. Copi dan Carl Cohen, fallacies of presumption muncul ketika struktur argumen secara permukaan tampak valid, tetapi terdapat kekeliruan yang tersembunyi dalam premis yang seharusnya menjadi titik pembuktian dalam diskusi, bukan asumsi awal yang diterima begitu saja². Hal ini menjadikan kekeliruan ini sangat licin dan sering lolos dari deteksi, terutama dalam konteks perdebatan publik dan komunikasi retoris, di mana ketepatan logis sering dikalahkan oleh daya persuasif narasi atau bahasa emosional.

T. Edward Damer menyatakan bahwa fallacies of presumption berbeda dari kekeliruan relevansi atau ambiguitas karena berakar pada pengasumsian premis yang bermasalah, bukan pada pengalihan fokus argumen atau penggunaan bahasa kabur³. Akibatnya, jenis kekeliruan ini menuntut pemeriksaan mendalam terhadap fondasi epistemik dari argumen, yakni apakah asumsi yang digunakan layak diterima tanpa bukti atau justru perlu diuji terlebih dahulu.

Douglas Walton, melalui pendekatan pragmatis dalam logika informal, menekankan bahwa kekeliruan asumsi tersembunyi tidak hanya melemahkan kekuatan logis suatu argumen, tetapi juga merusak kualitas deliberasi publik dan rasionalitas kolektif, karena menyamarkan titik-titik kontroversi sebagai kesepakatan yang sudah terberi⁴. Dengan demikian, fallacies of presumption memiliki dimensi ganda: epistemik (karena menyangkut kebenaran atau bukti dari suatu klaim) dan etis (karena menyangkut transparansi, itikad baik, dan tanggung jawab komunikatif).

Secara struktural, jenis-jenis kekeliruan dalam kategori ini mencakup bentuk-bentuk seperti:

·                     Begging the Question (Petitio Principii): kesalahan logis di mana kesimpulan tersembunyi dalam premis;

·                     Complex Question: pertanyaan yang mengandung asumsi tersembunyi;

·                     False Dilemma: argumen yang memaksa pilihan biner secara tidak sah;

·                     Suppressed Evidence: penghilangan informasi yang relevan dan berlawanan;

·                     Accident dan Converse Accident: penerapan prinsip umum pada kasus yang tidak sesuai, atau sebaliknya⁵.

Masing-masing bentuk tersebut menyelundupkan satu atau lebih asumsi yang tidak diberikan secara eksplisit, dan oleh karena itu, pembaca atau pendengar yang tidak waspada dapat dengan mudah menerimanya tanpa penyelidikan lebih lanjut. Dalam konteks ini, kemampuan berpikir kritis dan logical literacy sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi struktur tersembunyi di balik klaim yang tampak rasional.

Dalam praktiknya, fallacies of presumption sering ditemukan dalam berbagai wacana publik: dalam iklan, politik, debat teologis, bahkan dalam karya ilmiah yang tidak melalui proses peninjauan yang ketat. Keberadaan asumsi tersembunyi dapat menciptakan efek manipulatif terhadap audiens, mengaburkan garis antara logika dan persuasi, serta mengaburkan perbedaan antara fakta dan opini⁶. Oleh karena itu, penguasaan atas konsep dan jenis-jenis fallacies of presumption menjadi alat penting dalam menjaga integritas argumentatif serta membangun komunikasi yang beradab dan rasional.


Footnotes

[1]                John Woods dan Andrew Irvine, “The Classification of Fallacies,” dalam Argumentation Illuminated, ed. Frans H. van Eemeren et al. (Amsterdam: Sic Sat, 1992), 195.

[2]                Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 141–143.

[3]                T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 20–23.

[4]                Douglas Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 112–116.

[5]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 130–136.

[6]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 104–106.


4.           Klasifikasi Subtipe Fallacies of Presumption

Fallacies of presumption merupakan kelompok kekeliruan berpikir informal yang mencakup beberapa subtipe kekeliruan argumentatif dengan pola umum: kesalahan logika yang timbul akibat adanya premis yang tidak terbukti atau asumsi yang tidak layak diterima. Meskipun bentuk-bentuk kekeliruan ini berbeda secara spesifik, semuanya berbagi karakteristik utama yaitu penyelundupan asumsi problematik ke dalam argumen. Berikut ini adalah klasifikasi utama subtipe dari fallacies of presumption, sebagaimana dibahas dalam literatur logika dan filsafat argumen kontemporer.

4.1.       Begging the Question (Petitio Principii)

Begging the question terjadi ketika kesimpulan yang hendak dibuktikan secara diam-diam sudah diasumsikan benar dalam premis, sehingga argumen menjadi sirkular. Dalam bentuk ekstrem, kesimpulan sama persis dengan premis; dalam bentuk halus, ia disamarkan melalui sinonimi atau struktur kalimat berbeda.

Contoh:

"Membunuh itu salah karena tindakan pembunuhan tidak bermoral."

Dalam contoh ini, “tidak bermoral” hanya mengulang gagasan bahwa membunuh itu salah tanpa memberikan alasan eksternal.

Menurut T. Edward Damer, bentuk argumen ini menggagalkan tujuan diskusi rasional karena tidak memberikan pembuktian independen terhadap klaim yang disengketakan, melainkan hanya mengafirmasi dirinya sendiri¹. Kekeliruan ini sangat umum ditemukan dalam wacana politik, ideologi, dan dogma teologis.

4.2.       Complex Question

Kekeliruan ini terjadi ketika dua atau lebih pertanyaan yang seharusnya dipisahkan digabung menjadi satu, dan jawaban terhadapnya dipaksa untuk menerima asumsi tersembunyi.

Contoh:

"Apakah Anda sudah berhenti menipu pajak?"

Pertanyaan ini mengasumsikan bahwa subjek pernah menipu pajak. Jawaban "ya" atau "tidak" akan mengimplikasikan pengakuan terhadap klaim yang belum terbukti.

Douglas Walton menekankan bahwa complex questions sering digunakan secara manipulatif dalam praktik tanya jawab untuk membingkai realitas sesuai kehendak penanya². Ini merupakan bentuk kekeliruan yang halus namun sangat merusak kejujuran dialog.

4.3.       False Dilemma / False Dichotomy

Kekeliruan ini muncul ketika dihadirkan dua pilihan seolah-olah merupakan satu-satunya kemungkinan yang tersedia, padahal masih ada alternatif lain yang diabaikan.

Contoh:

"Kita hanya punya dua pilihan: mendukung kebijakan ini secara penuh, atau membiarkan negara kita hancur."

Patrick Hurley mengkategorikan false dilemma sebagai bentuk penyederhanaan berlebihan (oversimplification) yang secara retoris menekan pilihan bebas, serta mengarahkan diskusi ke dalam bingkai biner yang menyesatkan³.

4.4.       Suppressed Evidence (Cherry-Picking)

Dalam kekeliruan ini, informasi yang relevan dan berpotensi membantah argumen sengaja diabaikan atau disembunyikan, sehingga hanya fakta-fakta yang mendukung saja yang diangkat.

Contoh:

"Penggunaan obat ini aman, karena tidak ada laporan efek samping di antara 10 pasien pertama."

Jika ternyata ada 90 pasien lainnya dengan efek samping berat yang tidak disebutkan, maka argumen tersebut menyesatkan.

Anthony Weston menyebut praktik ini sebagai bentuk ketidakjujuran intelektual karena mengorbankan kelengkapan bukti demi membangun narasi yang menguntungkan⁴. Hal ini umum ditemukan dalam iklan, politik, dan propaganda.

4.5.       Accident (Overgeneralization)

Jenis kekeliruan ini terjadi ketika sebuah aturan umum diterapkan secara tidak layak pada kasus khusus, tanpa mempertimbangkan pengecualian yang relevan.

Contoh:

"Semua orang berhak menyatakan pendapat, jadi Anda tidak boleh melarang ujaran kebencian."

Di sini, hak menyatakan pendapat digunakan untuk membenarkan ekspresi destruktif yang secara etis dan hukum mungkin dibatasi.

John Woods menjelaskan bahwa accident adalah contoh dari penerapan norma tanpa sensitivitas kontekstual, yang menghasilkan argumen kaku dan ekstrem⁵.

4.6.       Converse Accident (Hasty Generalization)

Sebaliknya, dalam converse accident, sebuah kasus khusus dijadikan dasar untuk membentuk generalisasi umum secara tergesa-gesa, tanpa data representatif yang cukup.

Contoh:

"Saya pernah bertemu dua dokter yang tidak kompeten, jadi dunia medis tidak bisa dipercaya."

Kekeliruan ini sering dimotivasi oleh bias kognitif dan terbukti memperkuat prasangka serta stereotip dalam masyarakat⁶.


Penutup Sub-Bagian

Masing-masing bentuk fallacies of presumption ini menyajikan ancaman nyata terhadap validitas logika dan integritas diskusi. Mereka menyembunyikan titik-titik lemah dalam asumsi dasar argumen, dan sering kali menyamar sebagai argumentasi yang sah melalui bahasa yang meyakinkan. Oleh karena itu, deteksi terhadap subtipe kekeliruan ini menjadi krusial dalam pendidikan berpikir kritis dan etika diskursus publik.


Footnotes

[1]                T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 23–25.

[2]                Douglas Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 129–131.

[3]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 136–137.

[4]                Anthony Weston, A Rulebook for Arguments, 5th ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2017), 28–29.

[5]                John Woods dan Douglas Walton, Fallacies: Selected Papers, 1972–1982 (Dordrecht: Reidel, 1989), 142–144.

[6]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 117–118.


5.           Analisis Kritis terhadap Implikasi Fallacies of Presumption

Kekeliruan asumsi tersembunyi atau fallacies of presumption tidak hanya menggugurkan validitas logika dalam argumen, tetapi juga memiliki implikasi serius dalam tataran epistemik, sosial, dan etika diskursus publik. Argumen yang mengandung asumsi tidak sahih secara diam-diam merusak integritas penalaran dan menyamarkan proses pengambilan keputusan yang seharusnya didasarkan pada bukti, logika, dan pertimbangan moral yang transparan.

5.1.       Implikasi Epistemik: Merusak Rasionalitas dan Keandalan Pengetahuan

Dari perspektif epistemologi, fallacies of presumption merupakan ancaman terhadap rasionalitas penalaran karena mereka mengaburkan batas antara justifikasi dan asumsi. Ketika premis utama tidak diuji atau diselundupkan begitu saja, maka kesimpulan yang dihasilkan kehilangan fondasi rasional yang diperlukan untuk dianggap sah secara epistemik.

Sebagaimana ditegaskan oleh Jonathan Adler, epistemic responsibility menuntut agar seseorang hanya menerima klaim yang telah melalui proses evaluasi kritis, bukan semata-mata karena kelihatan benar atau sesuai dengan keyakinan awal¹. Dengan menyisipkan asumsi yang belum terbukti, fallacies of presumption memperlemah standar tersebut dan membuka jalan bagi bias konfirmasi, inferensi yang tidak reliabel, dan penyebaran pseudo-pengetahuan.

Dalam konteks ini, Daniel Kahneman menyebut bahwa manusia secara alami cenderung menerima informasi yang sesuai dengan intuisi awal tanpa menguji dasar logisnya, sebuah kecenderungan yang memperbesar peluang kekeliruan asumsi tersembunyi masuk ke dalam struktur berpikir².

5.2.       Implikasi Sosial: Polarisasi Wacana dan Disfungsi Komunikasi Publik

Secara sosial, kekeliruan ini memperkuat polarisasi dan menghambat deliberasi publik yang sehat. Ketika partisipan dalam diskursus menggunakan argumen yang menyelundupkan asumsi tersembunyi—misalnya dalam bentuk false dilemma atau complex question—mereka membangun narasi yang secara diam-diam menyingkirkan oposisi dan alternatif pemikiran.

Douglas Walton mencatat bahwa strategi ini sering digunakan dalam retorika politik, debat media, dan aktivisme ideologis untuk memaksakan kerangka berpikir tertentu seolah-olah tidak terbantahkan, padahal bersifat manipulatif³. Akibatnya, ruang publik kehilangan fungsi deliberatifnya dan berubah menjadi arena afirmasi posisi, bukan pertukaran rasional ide.

Fenomena ini tampak dalam meningkatnya tribalistik berpikir di media sosial, di mana framing dan narasi yang sarat asumsi menjadi dominan dibandingkan dengan argumentasi terbuka berbasis bukti. Kekeliruan asumsi tersembunyi memperkuat filter bubbles dan echo chambers yang memperlemah kemampuan masyarakat untuk mengevaluasi informasi secara kritis⁴.

5.3.       Implikasi Etis: Penyalahgunaan Retorika dan Erosi Kejujuran Intelektual

Dari sudut pandang etika diskursus, menyisipkan asumsi tersembunyi tanpa transparansi merupakan bentuk ketidakjujuran intelektual. Sebuah argumen yang sehat menuntut pengungkapan asumsi secara eksplisit dan keterbukaan terhadap pengujian logis maupun faktual, bukan manipulasi opini melalui penyamaran premis.

Menurut T. Edward Damer, pelanggaran terhadap prinsip etika argumentasi seperti "menghindari penyembunyian informasi penting" atau "menghindari penyimpangan isu yang relevan" termasuk dalam fallacious reasoning yang secara moral tercela karena mengelabui lawan diskusi dan merendahkan martabat komunikasi intelektual⁵.

Etika diskursus publik yang sehat mensyaratkan kejujuran epistemik dan tanggung jawab komunikatif, terutama dalam konteks pendidikan, jurnalistik, dan pemerintahan. Ketika para pembicara atau penulis menggunakan fallacies of presumption untuk memperkuat posisinya secara tidak sahih, mereka melanggar kepercayaan publik dan melemahkan fondasi demokrasi deliberatif yang bergantung pada keterbukaan dan pertanggungjawaban argumen⁶.

5.4.       Implikasi Pendidikan: Tantangan Literasi Logika dan Kebutuhan Metakognisi

Dalam ranah pendidikan, kekeliruan asumsi tersembunyi menunjukkan pentingnya pengajaran berpikir kritis berbasis metakognisi dan analisis argumen. Banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak menyadari keberadaan asumsi tersembunyi karena belum memiliki alat konseptual untuk mendeteksinya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Ennis, pengajaran berpikir kritis harus meliputi latihan membongkar struktur argumen, mengidentifikasi premis implisit, dan menilai kelayakan justifikasi—kemampuan yang hanya bisa dikembangkan melalui pendekatan sistematik dan reflektif⁷. Oleh karena itu, fallacies of presumption harus menjadi bagian integral dalam kurikulum literasi logika agar peserta didik terbiasa menguji tidak hanya isi, tetapi juga struktur dasar dari setiap klaim.


Penutup Subbagian

Implikasi dari fallacies of presumption menjangkau lebih jauh dari sekadar kegagalan teknis dalam penalaran. Ia mencerminkan krisis epistemik, disintegrasi sosial dalam wacana, dan degradasi moral dalam praktik komunikasi. Oleh karena itu, deteksi, pembongkaran, dan pencegahan kekeliruan ini menjadi tanggung jawab bersama para pendidik, pemikir publik, praktisi media, dan setiap individu yang menjunjung tinggi akal sehat serta integritas intelektual dalam kehidupan bermasyarakat.


Footnotes

[1]                Jonathan E. Adler, Belief’s Own Ethics (Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 45–48.

[2]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 109–112.

[3]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 105–109.

[4]                Cass R. Sunstein, “The Law of Group Polarization,” Journal of Political Philosophy 10, no. 2 (2002): 175–195.

[5]                T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 29–32.

[6]                Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, The Big Questions: A Short Introduction to Philosophy, 9th ed. (Boston: Cengage, 2013), 55–56.

[7]                Robert H. Ennis, “A Taxonomy of Critical Thinking Dispositions and Abilities,” dalam Teaching Thinking Skills: Theory and Practice, ed. Joan B. Baron dan Robert J. Sternberg (New York: W.H. Freeman, 1987), 9–26.


6.           Strategi Deteksi dan Koreksi Kekeliruan

Kemampuan untuk mendeteksi dan mengoreksi fallacies of presumption merupakan keterampilan berpikir kritis tingkat tinggi yang melibatkan kesadaran logis, ketelitian epistemik, dan refleksi metakognitif. Karena kekeliruan jenis ini sering kali bersembunyi dalam bentuk argumen yang tampak masuk akal, strategi untuk menghadapinya harus bersifat sistematis, analitis, dan kontekstual. Bagian ini membahas pendekatan-pendekatan praktis dan teoretis yang dapat diterapkan dalam pendidikan, dialog, serta produksi wacana publik untuk mencegah dan mengoreksi kekeliruan asumsi tersembunyi.

6.1.       Argument Reconstruction dan Eksplisitasi Premis

Langkah awal yang paling penting dalam mendeteksi fallacies of presumption adalah dengan merekonstruksi struktur argumen secara eksplisit, yakni menguraikan klaim, premis, dan asumsi yang terkandung di dalamnya. Douglas Walton menyebut proses ini sebagai argument reconstruction, yaitu penataan ulang argumen dalam bentuk logika eksplisit untuk menguji validitas inferensialnya dan mengungkap elemen premis yang tersembunyi¹.

Sebagai contoh, dalam kasus begging the question, analisis rekonstruktif akan menunjukkan bahwa kesimpulan sebenarnya sudah tercantum secara implisit dalam premis. Dengan membuat semua premis eksplisit, asumsi yang tidak sah akan lebih mudah diidentifikasi dan diuji.

6.2.       Penerapan Teknik Logic Mapping

Teknik logic mapping adalah alat visual yang membantu pemikir kritis dalam memetakan hubungan antar-premis dan kesimpulan secara terstruktur. Dengan diagram argumen, seperti yang dikembangkan oleh Tim van Gelder dan timnya dalam riset Argument Mapping, penggunanya dapat mengenali di mana letak asumsi yang belum dinyatakan dan menilai apakah inferensi tersebut sah secara logis².

Melalui pemetaan logis, kesalahan seperti false dilemma akan terlihat ketika dua pilihan disajikan sebagai eksklusif padahal alternatif ketiga tidak dimasukkan ke dalam peta argumen. Teknik ini sangat bermanfaat dalam pendidikan logika, jurnalisme investigatif, serta penulisan esai akademik.

6.3.       Penggunaan Pertanyaan Reflektif (Socratic Questioning)

Strategi klasik dari tradisi Socrates—yakni elenchus atau pemeriksaan silang melalui pertanyaan mendalam—masih relevan dalam mendeteksi asumsi tersembunyi. Teknik ini melibatkan pertanyaan reflektif yang diarahkan untuk menguji dasar argumen, seperti:

·                     Apa bukti yang mendukung premis ini?

·                     Apakah ini satu-satunya alternatif?

·                     Apa yang tidak dikatakan dalam pernyataan ini?

Menurut Richard Paul dan Linda Elder, Socratic questioning membantu pembelajar menembus lapisan implisit dalam penalaran dan memperkuat kesadaran metakognitif terhadap bias dan kelemahan internal argumen³.

6.4.       Keterampilan Metakognitif dan Epistemic Humility

Deteksi kekeliruan tidak hanya bergantung pada teknik logika, tetapi juga pada sikap mental reflektif dan keterbukaan terhadap koreksi. Kecenderungan menerima asumsi tersembunyi sering berasal dari intellectual overconfidence atau kebiasaan menanggapi informasi secara intuitif tanpa pemeriksaan kritis.

Daniel Kahneman menyebut perlunya mengembangkan System 2 thinking—penalaran lambat, reflektif, dan analitis—untuk melawan efek spontan dari System 1 yang intuitif namun rentan terhadap bias⁴. Dalam konteks ini, epistemic humility (kerendahan hati dalam berpikir) menjadi nilai penting agar seseorang mau menguji ulang keyakinan dan membuka diri terhadap kemungkinan bahwa argumennya mengandung asumsi keliru.

6.5.       Pendidikan Literasi Logika dan Etika Wacana

Penerapan strategi deteksi kekeliruan membutuhkan dukungan sistemik melalui kurikulum literasi logika di pendidikan formal. Robert Ennis dan Matthew Lipman menekankan pentingnya memasukkan pelatihan berpikir kritis, argumentasi etis, dan pengenalan fallacies ke dalam program pembelajaran sejak usia dini⁵.

Selain itu, pelatihan ini harus menyentuh dimensi etika diskursus, yaitu pentingnya menghindari manipulasi dalam argumen, mengedepankan transparansi asumsi, dan menghormati hak audiens untuk menilai secara rasional. Kombinasi antara teknik analisis dan pembentukan karakter epistemik ini menjamin pembentukan warga berpikir yang bertanggung jawab dalam masyarakat demokratis.

6.6.       Alat Bantu Digital dan Evaluasi Otomatis Argumen

Dalam konteks teknologi digital, sejumlah alat berbasis AI dan natural language processing telah dikembangkan untuk membantu mendeteksi kekeliruan dalam teks, termasuk asumsi tersembunyi. Misalnya, Argument Analytics dan Rationale menyediakan platform interaktif yang memungkinkan pengguna membangun argumen dan menerima umpan balik tentang struktur logis dan kekeliruannya.

Meski teknologi ini belum sepenuhnya menggantikan analisis manusia, namun dapat memberikan kesadaran awal terhadap potensi kekeliruan yang terselip secara halus dalam tulisan atau pidato, dan menjadi alat bantu belajar yang efektif⁶.


Penutup Subbagian

Deteksi dan koreksi fallacies of presumption menuntut perpaduan antara penguasaan teknis logika, refleksi epistemik, dan kesadaran etis dalam praktik komunikasi. Dalam era informasi yang penuh retorika, hanya dengan pendekatan multi-disipliner dan pendidikan kritis yang komprehensif, masyarakat dapat terlindung dari argumentasi menyesatkan yang mengandalkan asumsi tersembunyi dan manipulasi kognitif. Oleh karena itu, strategi-strategi yang telah dijabarkan bukan hanya menjadi teknik berpikir, tetapi juga fondasi budaya intelektual yang sehat.


Footnotes

[1]                Douglas Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 178–180.

[2]                Tim van Gelder, “Enhancing Deliberation Through Computer-Supported Argument Visualization,” dalam Visualizing Argumentation: Software Tools for Collaborative and Educational Sense-Making, ed. Paul A. Kirschner et al. (London: Springer, 2003), 97–115.

[3]                Richard Paul dan Linda Elder, The Miniature Guide to Socratic Questioning (Tomales, CA: Foundation for Critical Thinking, 2006), 8–12.

[4]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 45–49.

[5]                Robert H. Ennis, Critical Thinking (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1996), 41–43.

[6]                Chris Reed dan Floris Bex, “Strategic Argumentation in Artificial Intelligence,” Communications of the ACM 63, no. 12 (2020): 67–76.


7.           Penutup

Kekeliruan asumsi tersembunyi, atau fallacies of presumption, merupakan salah satu bentuk kekeliruan berpikir informal yang paling berbahaya dalam konteks rasionalitas dan komunikasi publik. Melalui penyelundupan premis yang tidak terbukti atau problematik ke dalam struktur argumen, kekeliruan ini mampu menciptakan ilusi rasionalitas yang menyesatkan dan menurunkan standar diskursus yang sehat. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap mekanisme kerja dan klasifikasi dari fallacies of presumption menjadi penting, tidak hanya bagi kalangan akademisi dan praktisi logika, tetapi juga bagi masyarakat umum yang aktif dalam percakapan publik dan pengambilan keputusan berbasis argumen.

Kajian ini telah menguraikan bahwa kekeliruan asumsi tersembunyi tidak hanya merusak validitas logis suatu argumen, tetapi juga berimplikasi luas terhadap kejujuran epistemik, etika wacana, dan ketahanan kognitif individu dalam menghadapi distorsi informasi. Douglas Walton dan T. Edward Damer secara konsisten menekankan bahwa jenis kekeliruan ini sering digunakan untuk mengendalikan kerangka diskusi, menyembunyikan pertanyaan inti, dan mengarahkan kesimpulan sebelum premis dievaluasi secara kritis¹&².

Dalam konteks sosial yang semakin kompleks dan sarat polarisasi, kemampuan untuk mengenali dan membongkar asumsi tersembunyi menjadi aspek vital dalam melindungi kualitas deliberasi publik. Seiring dengan meningkatnya volume wacana digital dan ekspansi media yang tidak selalu tunduk pada etika argumentasi, penyebaran fallacies of presumption dapat mempercepat degradasi kualitas berpikir kritis dalam masyarakat³. Kondisi ini berpotensi menciptakan ruang publik yang diisi oleh opini-opini prematur, klaim retoris tanpa dasar, dan kesepakatan semu yang berakar pada asumsi yang tak teruji.

Penelitian juga menunjukkan bahwa deteksi terhadap fallacies of presumption dapat ditingkatkan melalui pendidikan logika dan pelatihan berpikir kritis yang sistematik⁴. Penggunaan pendekatan seperti argument reconstruction, logic mapping, Socratic questioning, dan pengembangan epistemic humility menjadi bagian penting dalam strategi koreksi terhadap kekeliruan ini. Penerapan metode-metode tersebut tidak hanya menajamkan sensitivitas logika, tetapi juga membentuk karakter berpikir yang reflektif, terbuka, dan bertanggung jawab secara moral.

Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa fallacies of presumption harus ditempatkan sebagai fokus penting dalam kajian logika informal, pendidikan kewarganegaraan, dan etika komunikasi. Upaya sistematis untuk mengidentifikasi, mengkritisi, dan mengoreksi kekeliruan ini adalah bagian dari proses penguatan nalar kolektif dan pembangunan budaya berpikir rasional yang mendalam dan beradab. Sebagaimana ditegaskan oleh Anthony Weston, berpikir kritis yang jujur bukan sekadar mencari kemenangan dalam perdebatan, melainkan membangun dialog yang berdasarkan pada kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan⁵.


Footnotes

[1]                Douglas Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 115–117.

[2]                T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2013), 29–30.

[3]                Cass R. Sunstein, “Deliberative Trouble? Why Groups Go to Extremes,” The Yale Law Journal 110, no. 3 (2001): 715–772.

[4]                Robert H. Ennis, “Critical Thinking Assessment,” Theory into Practice 32, no. 3 (1993): 179–186.

[5]                Anthony Weston, A Rulebook for Arguments, 5th ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2017), 32.


Daftar Pustaka

Adler, J. E. (2002). Belief’s own ethics. MIT Press.

Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2011). Introduction to logic (14th ed.). Pearson.

Damer, T. E. (2013). Attacking faulty reasoning: A practical guide to fallacy-free arguments (7th ed.). Cengage Learning.

Elder, L., & Paul, R. (2006). The miniature guide to Socratic questioning. Foundation for Critical Thinking.

Ennis, R. H. (1987). A taxonomy of critical thinking dispositions and abilities. In J. B. Baron & R. J. Sternberg (Eds.), Teaching thinking skills: Theory and practice (pp. 9–26). W.H. Freeman.

Ennis, R. H. (1993). Critical thinking assessment. Theory into Practice, 32(3), 179–186. https://doi.org/10.1080/00405849309543594

Hurley, P. J. (2017). A concise introduction to logic (13th ed.). Cengage Learning.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Reed, C., & Bex, F. (2020). Strategic argumentation in artificial intelligence. Communications of the ACM, 63(12), 67–76. https://doi.org/10.1145/3381831

Solomon, R. C., & Higgins, K. M. (2013). The big questions: A short introduction to philosophy (9th ed.). Cengage.

Sunstein, C. R. (2001). Deliberative trouble? Why groups go to extremes. The Yale Law Journal, 110(3), 715–772. https://doi.org/10.2307/797587

Sunstein, C. R. (2002). The law of group polarization. Journal of Political Philosophy, 10(2), 175–195. https://doi.org/10.1111/1467-9760.00148

Van Gelder, T. (2003). Enhancing deliberation through computer-supported argument visualization. In P. A. Kirschner, S. J. Buckingham Shum, & C. S. Carr (Eds.), Visualizing argumentation: Software tools for collaborative and educational sense-making (pp. 97–115). Springer.

Walton, D. (2006). Fundamentals of critical argumentation. Cambridge University Press.

Walton, D. (2008). Informal logic: A pragmatic approach (2nd ed.). Cambridge University Press.

Weston, A. (2017). A rulebook for arguments (5th ed.). Hackett Publishing.

Woods, J., & Walton, D. (1989). Fallacies: Selected papers, 1972–1982. Reidel.

Woods, J., & Irvine, A. (1992). The classification of fallacies. In F. H. van Eemeren, R. Grootendorst, J. A. Blair, & C. A. Willard (Eds.), Argumentation illuminated (pp. 193–202). Sic Sat.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar