Fallacies of Presumption
Klasifikasi, Mekanisme, dan Implikasinya terhadap
Validitas Logis dan Etika Wacana Publik
Alihkan ke: Fallacies Informal.
Abstrak
Kekeliruan asumsi tersembunyi (fallacies of
presumption) merupakan bentuk kekeliruan logika informal yang sering tidak
terdeteksi dalam wacana publik maupun akademik karena menyisipkan premis yang
tidak sah atau belum terbukti secara implisit dalam argumen. Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji secara sistematis pengertian, klasifikasi, serta
mekanisme kerja kekeliruan ini, sekaligus mengevaluasi implikasinya terhadap
validitas logis dan etika diskursus publik. Dengan menggunakan pendekatan
kajian pustaka terhadap literatur utama dalam bidang logika informal, filsafat
argumentasi, dan pendidikan berpikir kritis, artikel ini mengidentifikasi enam
subtipe utama dalam fallacies of presumption: begging the question,
complex question, false dilemma, suppressed evidence, accident,
dan converse accident. Analisis menunjukkan bahwa kekeliruan ini tidak
hanya merusak struktur inferensial suatu argumen, tetapi juga memperlemah
kejujuran epistemik, memperkuat polarisasi sosial, dan merusak kualitas
deliberasi publik. Artikel ini juga menguraikan strategi deteksi dan koreksi kekeliruan
melalui metode argument reconstruction, logic mapping, Socratic
questioning, serta pengembangan epistemic humility dalam pendidikan.
Kesimpulannya, penanggulangan fallacies of presumption harus menjadi
bagian integral dari pendidikan literasi logika dan pembentukan budaya berpikir
rasional di masyarakat.
Kata Kunci: logika informal, fallacies of presumption, asumsi
tersembunyi, kekeliruan berpikir, berpikir kritis, etika diskursus, argumentasi.
PEMBAHASAN
Kekeliruan Asumsi Tersembunyi dalam Argumen
1.
Pendahuluan
Dalam era digital yang ditandai dengan banjir
informasi dan derasnya arus opini di ruang publik, kemampuan berpikir kritis
menjadi keterampilan esensial untuk mempertahankan integritas intelektual dan rasionalitas
sosial. Berbagai bentuk argumentasi—baik di ranah akademik, media, maupun ruang
sosial daring—membentuk lanskap wacana yang dapat mengedukasi sekaligus
menyesatkan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap struktur dan kualitas logis
dari argumen menjadi kunci utama dalam menjaga kejernihan berpikir dan etika
komunikasi. Salah satu aspek krusial dalam penilaian logis suatu argumen adalah
kemampuannya menghindari kekeliruan berpikir (fallacies), khususnya yang
bersifat informal, karena kekeliruan jenis ini kerap tersembunyi di
balik bahasa yang tampaknya meyakinkan namun cacat secara rasional.
Kekeliruan informal (informal fallacies) adalah jenis
kekeliruan yang terjadi bukan karena kesalahan dalam bentuk atau struktur logis
formal, melainkan karena kelemahan dalam isi, relevansi, atau penggunaan bahasa
dalam argumen tersebut. Salah satu klasifikasi penting dari kekeliruan informal
adalah fallacies of presumption atau kekeliruan asumsi tersembunyi.
Kekeliruan ini muncul ketika sebuah argumen memuat asumsi-asumsi yang belum
dibuktikan, tidak sahih, atau secara implisit memuat kesimpulan yang sedang
diperdebatkan—sehingga merusak validitas dan kejujuran argumen itu sendiri¹.
Douglas Walton, seorang pakar logika dan
argumentasi pragmatik, menjelaskan bahwa fallacies of presumption sering
kali melibatkan premis yang diselundupkan atau diasumsikan secara tidak sah,
sehingga membuat argumen tampak valid padahal berdiri di atas landasan yang
goyah². Asumsi tersembunyi ini bisa muncul dalam bentuk pertanyaan jebakan (complex
question), generalisasi tergesa-gesa (hasty generalization), atau
dikotomi palsu (false dilemma)—semuanya dapat menyesatkan penerima
argumen apabila tidak terlatih dalam mendeteksi dan membongkar implikasi
implisitnya.
Bahaya dari kekeliruan jenis ini tidak hanya
bersifat epistemik, tetapi juga etis. Ketika sebuah argumen menyembunyikan
asumsi problematik tanpa transparansi atau dasar yang sah, maka ia tidak hanya
keliru secara logis tetapi juga melanggar prinsip keterbukaan dan tanggung
jawab moral dalam komunikasi. Hal ini menjadi sangat signifikan dalam konteks
wacana publik yang idealnya dibangun di atas prinsip rasionalitas deliberatif,
yakni komunikasi yang terbuka terhadap justifikasi argumen dan bebas dari
manipulasi logika atau emosi³.
Kajian terhadap fallacies of presumption
menjadi penting bukan hanya bagi kalangan akademik, tetapi juga bagi masyarakat
luas yang hidup dalam ekosistem informasi yang kompleks dan penuh polarisasi.
Dalam konteks pendidikan logika, penalaran kritis, dan retorika modern,
pemahaman tentang kekeliruan ini membantu mengembangkan kepekaan terhadap
integritas argumentatif serta melatih keterampilan metakognitif dalam
mengevaluasi klaim-klaim publik. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
menyajikan telaah sistematis mengenai definisi, klasifikasi, dan mekanisme
kerja dari fallacies of presumption, serta membahas dampaknya terhadap
validitas logika dan etika wacana publik.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction
to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 138–140.
[2]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 85–87.
[3]
T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A
Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage
Learning, 2013), 16–18.
2.
Konteks
Teoretis: Logika dan Kekeliruan Berpikir
Logika sebagai cabang filsafat merupakan disiplin
normatif yang mempelajari prinsip-prinsip inferensi sahih dan struktur
penalaran yang valid. Tujuan utama logika adalah untuk membedakan bentuk
argumen yang benar (valid) dari yang salah (invalid), dan dalam
konteks komunikasi, logika menjadi fondasi bagi diskursus rasional yang
bertanggung jawab secara epistemik dan etis. Dalam praktiknya, logika berfungsi
sebagai alat untuk mengevaluasi apakah kesimpulan yang ditarik dari sejumlah
premis dapat dibenarkan secara rasional, serta untuk mengidentifikasi dan
menghindari berbagai bentuk kekeliruan berpikir (fallacies)¹.
Secara garis besar, kekeliruan berpikir terbagi
menjadi dua kategori utama, yaitu kekeliruan formal dan kekeliruan
informal. Kekeliruan formal terjadi ketika argumen gagal memenuhi struktur
logis yang sah, seperti dalam silogisme yang tidak valid. Misalnya, dalam
bentuk modus ponens yang salah, seperti:
Jika hujan turun, maka jalanan basah. Jalanan basah. Maka, hujan turun.
Argumen ini tampak masuk akal tetapi sebenarnya keliru secara struktural
karena melanggar prinsip logika deduktif formal².
Sebaliknya, kekeliruan informal tidak
bergantung pada bentuk formal argumen, melainkan pada isi, konteks, atau
penggunaan bahasa yang menyesatkan. Kekeliruan jenis ini sering kali lebih
sulit dikenali karena tidak mencolok secara struktural, tetapi menggiring
pembaca atau pendengar pada kesimpulan yang salah akibat manipulasi retorika,
pengaburan premis, atau pengasumsian hal yang belum terbukti³. Dalam ranah
informal inilah muncul kategori fallacies of relevance, fallacies of
ambiguity, dan fallacies of presumption, yang menjadi inti pembahasan
artikel ini.
Fallacies of presumption, secara khusus, mengacu pada argumen-argumen yang
memuat asumsi-asumsi tidak sahih, tidak dibuktikan, atau tersembunyi yang
menjadi dasar kesimpulan. Premis dalam argumen jenis ini sering kali
mengandaikan kebenaran sesuatu yang justru sedang dipertanyakan atau bahkan
menjadi inti perdebatan. Tindakan menyelundupkan asumsi ke dalam argumen
semacam ini, dalam terminologi logika klasik, dikenal sebagai petitio
principii atau begging the question⁴.
Menurut Douglas Walton, salah satu alasan mengapa
fallacies of presumption berbahaya adalah karena jenis kekeliruan ini tidak
mudah dikenali secara kasat mata. Ia sering dibingkai secara retoris sebagai
sesuatu yang seolah-olah sudah disepakati bersama (common sense) atau bersifat
intuitif, padahal justru menyembunyikan pertanyaan filosofis, fakta empirik,
atau nilai moral yang kompleks dan layak dipertanyakan⁵. Oleh karena itu,
mendeteksi kekeliruan ini menuntut keterampilan berpikir kritis tingkat tinggi
yang tidak hanya berbasis pada pengetahuan logika formal, tetapi juga
sensitivitas terhadap konteks dan kerangka epistemik.
Dalam kerangka evaluasi argumen, penting pula
dibedakan antara asumsi eksplisit dan asumsi implisit. Asumsi
eksplisit merupakan premis yang dinyatakan secara terang dan dapat diuji
kebenarannya. Sementara itu, asumsi implisit cenderung tersembunyi dan sering
kali tidak dinyatakan secara langsung dalam wacana, sehingga lebih rentan
membawa kesesatan berpikir. Asumsi implisit inilah yang sering menjadi inti
dari fallacies of presumption, karena argumen tampaknya valid di
permukaan, tetapi dalam kenyataannya berlandaskan pada dasar yang tidak sah
atau problematik⁶.
Dari perspektif etika diskursus, menyisipkan asumsi
tersembunyi tanpa kejelasan dan justifikasi juga menyalahi prinsip transparansi
dan tanggung jawab epistemik. Hal ini menjadi isu serius dalam konteks debat
publik, pendidikan, media massa, maupun interaksi digital, karena penyebaran
argumen yang mengandung kekeliruan asumsi dapat merusak kualitas deliberasi
publik dan menciptakan bias berpikir kolektif⁷.
Dengan memahami secara mendalam konteks teoretis
logika dan kekeliruan berpikir ini, pembaca akan lebih siap untuk memasuki
pembahasan spesifik mengenai bentuk-bentuk fallacies of presumption,
cara kerjanya dalam wacana, serta implikasi epistemik dan moralnya terhadap
argumen yang tampak sah tetapi cacat secara fundamental.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction
to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 3–6.
[2]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to
Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 70–72.
[3]
T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A
Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage
Learning, 2013), 13–15.
[4]
John Woods dan Douglas Walton, Fallacies:
Selected Papers, 1972–1982 (Dordrecht: Reidel, 1989), 135–137.
[5]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 91–95.
[6]
Anthony Weston, A Rulebook for Arguments,
5th ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2017), 17–18.
[7]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 109–112.
3.
Pengertian
dan Ruang Lingkup Fallacies of Presumption
Fallacies of presumption, atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai kekeliruan
asumsi tersembunyi, merupakan salah satu kategori utama dalam klasifikasi
kekeliruan berpikir informal yang merusak validitas argumen melalui
penyelundupan premis-premis yang dipertanyakan atau tidak sahih. Ciri khas dari
kekeliruan ini adalah adanya asumsi yang dipaksakan, tidak terbukti, atau
bahkan disengaja disembunyikan, yang berfungsi sebagai landasan kesimpulan
tanpa justifikasi yang layak. Dalam istilah teknis, fallacies of presumption
adalah bentuk kesalahan inferensi yang berasal dari pengandaian premis yang
belum dibuktikan kebenarannya atau bersifat problematik secara epistemic.¹
Menurut Irving M. Copi dan Carl Cohen, fallacies
of presumption muncul ketika struktur argumen secara permukaan tampak
valid, tetapi terdapat kekeliruan yang tersembunyi dalam premis yang
seharusnya menjadi titik pembuktian dalam diskusi, bukan asumsi awal yang
diterima begitu saja². Hal ini menjadikan kekeliruan ini sangat licin dan
sering lolos dari deteksi, terutama dalam konteks perdebatan publik dan
komunikasi retoris, di mana ketepatan logis sering dikalahkan oleh daya
persuasif narasi atau bahasa emosional.
T. Edward Damer menyatakan bahwa fallacies of
presumption berbeda dari kekeliruan relevansi atau ambiguitas karena
berakar pada pengasumsian premis yang bermasalah, bukan pada pengalihan
fokus argumen atau penggunaan bahasa kabur³. Akibatnya, jenis kekeliruan
ini menuntut pemeriksaan mendalam terhadap fondasi epistemik dari argumen,
yakni apakah asumsi yang digunakan layak diterima tanpa bukti atau justru perlu
diuji terlebih dahulu.
Douglas Walton, melalui pendekatan pragmatis dalam
logika informal, menekankan bahwa kekeliruan asumsi tersembunyi tidak hanya melemahkan
kekuatan logis suatu argumen, tetapi juga merusak kualitas deliberasi publik
dan rasionalitas kolektif, karena menyamarkan titik-titik kontroversi
sebagai kesepakatan yang sudah terberi⁴. Dengan demikian, fallacies of
presumption memiliki dimensi ganda: epistemik (karena menyangkut
kebenaran atau bukti dari suatu klaim) dan etis (karena menyangkut
transparansi, itikad baik, dan tanggung jawab komunikatif).
Secara struktural, jenis-jenis kekeliruan dalam
kategori ini mencakup bentuk-bentuk seperti:
·
Begging the Question (Petitio Principii): kesalahan logis di mana kesimpulan tersembunyi
dalam premis;
·
Complex Question: pertanyaan
yang mengandung asumsi tersembunyi;
·
False Dilemma: argumen
yang memaksa pilihan biner secara tidak sah;
·
Suppressed Evidence:
penghilangan informasi yang relevan dan berlawanan;
·
Accident dan Converse Accident: penerapan prinsip umum pada kasus yang tidak sesuai, atau sebaliknya⁵.
Masing-masing bentuk tersebut menyelundupkan satu
atau lebih asumsi yang tidak diberikan secara eksplisit, dan oleh karena itu,
pembaca atau pendengar yang tidak waspada dapat dengan mudah menerimanya tanpa
penyelidikan lebih lanjut. Dalam konteks ini, kemampuan berpikir kritis dan logical
literacy sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi struktur tersembunyi di
balik klaim yang tampak rasional.
Dalam praktiknya, fallacies of presumption
sering ditemukan dalam berbagai wacana publik: dalam iklan, politik, debat
teologis, bahkan dalam karya ilmiah yang tidak melalui proses peninjauan yang
ketat. Keberadaan asumsi tersembunyi dapat menciptakan efek manipulatif
terhadap audiens, mengaburkan garis antara logika dan persuasi, serta
mengaburkan perbedaan antara fakta dan opini⁶. Oleh karena itu, penguasaan atas
konsep dan jenis-jenis fallacies of presumption menjadi alat penting
dalam menjaga integritas argumentatif serta membangun komunikasi yang beradab
dan rasional.
Footnotes
[1]
John Woods dan Andrew Irvine, “The Classification
of Fallacies,” dalam Argumentation Illuminated, ed. Frans H. van Eemeren
et al. (Amsterdam: Sic Sat, 1992), 195.
[2]
Irving M. Copi dan Carl Cohen, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 141–143.
[3]
T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A
Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage
Learning, 2013), 20–23.
[4]
Douglas Walton, Fundamentals of Critical
Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 112–116.
[5]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to
Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 130–136.
[6]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 104–106.
4.
Klasifikasi
Subtipe Fallacies of Presumption
Fallacies of presumption merupakan kelompok kekeliruan berpikir informal
yang mencakup beberapa subtipe kekeliruan argumentatif dengan pola umum:
kesalahan logika yang timbul akibat adanya premis yang tidak terbukti atau
asumsi yang tidak layak diterima. Meskipun bentuk-bentuk kekeliruan ini
berbeda secara spesifik, semuanya berbagi karakteristik utama yaitu
penyelundupan asumsi problematik ke dalam argumen. Berikut ini adalah
klasifikasi utama subtipe dari fallacies of presumption, sebagaimana
dibahas dalam literatur logika dan filsafat argumen kontemporer.
4.1.
Begging the Question (Petitio
Principii)
Begging the question terjadi ketika kesimpulan yang hendak
dibuktikan secara diam-diam sudah diasumsikan benar dalam premis, sehingga
argumen menjadi sirkular. Dalam bentuk ekstrem, kesimpulan sama persis dengan
premis; dalam bentuk halus, ia disamarkan melalui sinonimi atau struktur
kalimat berbeda.
Contoh:
"Membunuh itu salah karena tindakan pembunuhan tidak
bermoral."
Dalam contoh ini, “tidak bermoral” hanya mengulang gagasan bahwa
membunuh itu salah tanpa memberikan alasan eksternal.
Menurut T. Edward Damer, bentuk argumen ini
menggagalkan tujuan diskusi rasional karena tidak memberikan pembuktian
independen terhadap klaim yang disengketakan, melainkan hanya mengafirmasi
dirinya sendiri¹. Kekeliruan ini sangat umum ditemukan dalam wacana politik,
ideologi, dan dogma teologis.
4.2.
Complex Question
Kekeliruan ini terjadi ketika dua atau lebih
pertanyaan yang seharusnya dipisahkan digabung menjadi satu, dan jawaban
terhadapnya dipaksa untuk menerima asumsi tersembunyi.
Contoh:
"Apakah Anda sudah berhenti menipu pajak?"
Pertanyaan ini mengasumsikan bahwa subjek pernah menipu pajak.
Jawaban "ya" atau "tidak" akan
mengimplikasikan pengakuan terhadap klaim yang belum terbukti.
Douglas Walton menekankan bahwa complex
questions sering digunakan secara manipulatif dalam praktik tanya jawab
untuk membingkai realitas sesuai kehendak penanya². Ini merupakan bentuk
kekeliruan yang halus namun sangat merusak kejujuran dialog.
4.3.
False Dilemma / False Dichotomy
Kekeliruan ini muncul ketika dihadirkan dua
pilihan seolah-olah merupakan satu-satunya kemungkinan yang tersedia,
padahal masih ada alternatif lain yang diabaikan.
Contoh:
"Kita hanya punya dua pilihan: mendukung kebijakan ini secara
penuh, atau membiarkan negara kita hancur."
Patrick Hurley mengkategorikan false dilemma
sebagai bentuk penyederhanaan berlebihan (oversimplification) yang
secara retoris menekan pilihan bebas, serta mengarahkan diskusi ke dalam
bingkai biner yang menyesatkan³.
4.4.
Suppressed Evidence (Cherry-Picking)
Dalam kekeliruan ini, informasi yang relevan dan
berpotensi membantah argumen sengaja diabaikan atau disembunyikan, sehingga
hanya fakta-fakta yang mendukung saja yang diangkat.
Contoh:
"Penggunaan obat ini aman, karena tidak ada laporan efek samping di
antara 10 pasien pertama."
Jika ternyata ada 90 pasien lainnya dengan efek samping berat yang tidak
disebutkan, maka argumen tersebut menyesatkan.
Anthony Weston menyebut praktik ini sebagai bentuk
ketidakjujuran intelektual karena mengorbankan kelengkapan bukti demi
membangun narasi yang menguntungkan⁴. Hal ini umum ditemukan dalam iklan,
politik, dan propaganda.
4.5.
Accident (Overgeneralization)
Jenis kekeliruan ini terjadi ketika sebuah aturan
umum diterapkan secara tidak layak pada kasus khusus, tanpa
mempertimbangkan pengecualian yang relevan.
Contoh:
"Semua orang berhak menyatakan pendapat, jadi Anda tidak boleh
melarang ujaran kebencian."
Di sini, hak menyatakan pendapat digunakan untuk membenarkan ekspresi
destruktif yang secara etis dan hukum mungkin dibatasi.
John Woods menjelaskan bahwa accident adalah
contoh dari penerapan norma tanpa sensitivitas kontekstual, yang
menghasilkan argumen kaku dan ekstrem⁵.
4.6.
Converse Accident (Hasty
Generalization)
Sebaliknya, dalam converse accident, sebuah
kasus khusus dijadikan dasar untuk membentuk generalisasi umum secara
tergesa-gesa, tanpa data representatif yang cukup.
Contoh:
"Saya pernah bertemu dua dokter yang tidak kompeten, jadi dunia
medis tidak bisa dipercaya."
Kekeliruan ini sering dimotivasi oleh bias kognitif dan terbukti
memperkuat prasangka serta stereotip dalam masyarakat⁶.
Penutup
Sub-Bagian
Masing-masing bentuk fallacies of presumption
ini menyajikan ancaman nyata terhadap validitas logika dan integritas diskusi.
Mereka menyembunyikan titik-titik lemah dalam asumsi dasar argumen, dan sering
kali menyamar sebagai argumentasi yang sah melalui bahasa yang meyakinkan. Oleh
karena itu, deteksi terhadap subtipe kekeliruan ini menjadi krusial dalam
pendidikan berpikir kritis dan etika diskursus publik.
Footnotes
[1]
T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A
Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage
Learning, 2013), 23–25.
[2]
Douglas Walton, Fundamentals of Critical
Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 129–131.
[3]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to
Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2017), 136–137.
[4]
Anthony Weston, A Rulebook for Arguments,
5th ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2017), 28–29.
[5]
John Woods dan Douglas Walton, Fallacies:
Selected Papers, 1972–1982 (Dordrecht: Reidel, 1989), 142–144.
[6]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 117–118.
5.
Analisis
Kritis terhadap Implikasi Fallacies of Presumption
Kekeliruan asumsi tersembunyi atau fallacies of
presumption tidak hanya menggugurkan validitas logika dalam argumen, tetapi
juga memiliki implikasi serius dalam tataran epistemik, sosial, dan etika
diskursus publik. Argumen yang mengandung asumsi tidak sahih secara
diam-diam merusak integritas penalaran dan menyamarkan proses pengambilan
keputusan yang seharusnya didasarkan pada bukti, logika, dan pertimbangan moral
yang transparan.
5.1.
Implikasi Epistemik: Merusak
Rasionalitas dan Keandalan Pengetahuan
Dari perspektif epistemologi, fallacies of
presumption merupakan ancaman terhadap rasionalitas penalaran karena
mereka mengaburkan batas antara justifikasi dan asumsi. Ketika premis utama
tidak diuji atau diselundupkan begitu saja, maka kesimpulan yang dihasilkan
kehilangan fondasi rasional yang diperlukan untuk dianggap sah secara
epistemik.
Sebagaimana ditegaskan oleh Jonathan Adler, epistemic
responsibility menuntut agar seseorang hanya menerima klaim yang telah
melalui proses evaluasi kritis, bukan semata-mata karena kelihatan benar atau
sesuai dengan keyakinan awal¹. Dengan menyisipkan asumsi yang belum terbukti, fallacies
of presumption memperlemah standar tersebut dan membuka jalan bagi bias
konfirmasi, inferensi yang tidak reliabel, dan penyebaran pseudo-pengetahuan.
Dalam konteks ini, Daniel Kahneman menyebut bahwa
manusia secara alami cenderung menerima informasi yang sesuai dengan intuisi
awal tanpa menguji dasar logisnya, sebuah kecenderungan yang memperbesar
peluang kekeliruan asumsi tersembunyi masuk ke dalam struktur berpikir².
5.2.
Implikasi Sosial: Polarisasi Wacana
dan Disfungsi Komunikasi Publik
Secara sosial, kekeliruan ini memperkuat polarisasi
dan menghambat deliberasi publik yang sehat. Ketika partisipan dalam diskursus
menggunakan argumen yang menyelundupkan asumsi tersembunyi—misalnya dalam
bentuk false dilemma atau complex question—mereka membangun
narasi yang secara diam-diam menyingkirkan oposisi dan alternatif pemikiran.
Douglas Walton mencatat bahwa strategi ini sering
digunakan dalam retorika politik, debat media, dan aktivisme ideologis untuk memaksakan
kerangka berpikir tertentu seolah-olah tidak terbantahkan, padahal bersifat
manipulatif³. Akibatnya, ruang publik kehilangan fungsi deliberatifnya dan
berubah menjadi arena afirmasi posisi, bukan pertukaran rasional ide.
Fenomena ini tampak dalam meningkatnya tribalistik
berpikir di media sosial, di mana framing dan narasi yang sarat asumsi menjadi
dominan dibandingkan dengan argumentasi terbuka berbasis bukti. Kekeliruan
asumsi tersembunyi memperkuat filter bubbles dan echo chambers
yang memperlemah kemampuan masyarakat untuk mengevaluasi informasi secara
kritis⁴.
5.3.
Implikasi Etis: Penyalahgunaan
Retorika dan Erosi Kejujuran Intelektual
Dari sudut pandang etika diskursus, menyisipkan
asumsi tersembunyi tanpa transparansi merupakan bentuk ketidakjujuran
intelektual. Sebuah argumen yang sehat menuntut pengungkapan asumsi secara
eksplisit dan keterbukaan terhadap pengujian logis maupun faktual, bukan
manipulasi opini melalui penyamaran premis.
Menurut T. Edward Damer, pelanggaran terhadap
prinsip etika argumentasi seperti "menghindari penyembunyian informasi
penting" atau "menghindari penyimpangan isu yang relevan"
termasuk dalam fallacious reasoning yang secara moral tercela karena mengelabui
lawan diskusi dan merendahkan martabat komunikasi intelektual⁵.
Etika diskursus publik yang sehat mensyaratkan
kejujuran epistemik dan tanggung jawab komunikatif, terutama dalam konteks
pendidikan, jurnalistik, dan pemerintahan. Ketika para pembicara atau penulis
menggunakan fallacies of presumption untuk memperkuat posisinya secara
tidak sahih, mereka melanggar kepercayaan publik dan melemahkan fondasi
demokrasi deliberatif yang bergantung pada keterbukaan dan pertanggungjawaban
argumen⁶.
5.4.
Implikasi Pendidikan: Tantangan
Literasi Logika dan Kebutuhan Metakognisi
Dalam ranah pendidikan, kekeliruan asumsi
tersembunyi menunjukkan pentingnya pengajaran berpikir kritis berbasis metakognisi
dan analisis argumen. Banyak pelajar dan mahasiswa yang tidak menyadari
keberadaan asumsi tersembunyi karena belum memiliki alat konseptual untuk
mendeteksinya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Ennis,
pengajaran berpikir kritis harus meliputi latihan membongkar struktur argumen,
mengidentifikasi premis implisit, dan menilai kelayakan justifikasi—kemampuan
yang hanya bisa dikembangkan melalui pendekatan sistematik dan reflektif⁷. Oleh
karena itu, fallacies of presumption harus menjadi bagian integral dalam
kurikulum literasi logika agar peserta didik terbiasa menguji tidak hanya isi,
tetapi juga struktur dasar dari setiap klaim.
Penutup
Subbagian
Implikasi dari fallacies of presumption
menjangkau lebih jauh dari sekadar kegagalan teknis dalam penalaran. Ia
mencerminkan krisis epistemik, disintegrasi sosial dalam wacana, dan
degradasi moral dalam praktik komunikasi. Oleh karena itu, deteksi,
pembongkaran, dan pencegahan kekeliruan ini menjadi tanggung jawab bersama para
pendidik, pemikir publik, praktisi media, dan setiap individu yang menjunjung
tinggi akal sehat serta integritas intelektual dalam kehidupan bermasyarakat.
Footnotes
[1]
Jonathan E. Adler, Belief’s Own Ethics
(Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 45–48.
[2]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 109–112.
[3]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic
Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 105–109.
[4]
Cass R. Sunstein, “The Law of Group Polarization,” Journal
of Political Philosophy 10, no. 2 (2002): 175–195.
[5]
T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A
Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage
Learning, 2013), 29–32.
[6]
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, The
Big Questions: A Short Introduction to Philosophy, 9th ed. (Boston:
Cengage, 2013), 55–56.
[7]
Robert H. Ennis, “A Taxonomy of Critical Thinking
Dispositions and Abilities,” dalam Teaching Thinking Skills: Theory and
Practice, ed. Joan B. Baron dan Robert J. Sternberg (New York: W.H.
Freeman, 1987), 9–26.
6.
Strategi
Deteksi dan Koreksi Kekeliruan
Kemampuan untuk mendeteksi dan mengoreksi fallacies
of presumption merupakan keterampilan berpikir kritis tingkat tinggi yang
melibatkan kesadaran logis, ketelitian epistemik, dan refleksi metakognitif.
Karena kekeliruan jenis ini sering kali bersembunyi dalam bentuk argumen yang
tampak masuk akal, strategi untuk menghadapinya harus bersifat sistematis,
analitis, dan kontekstual. Bagian ini membahas pendekatan-pendekatan praktis
dan teoretis yang dapat diterapkan dalam pendidikan, dialog, serta produksi
wacana publik untuk mencegah dan mengoreksi kekeliruan asumsi tersembunyi.
6.1.
Argument Reconstruction dan
Eksplisitasi Premis
Langkah awal yang paling penting dalam mendeteksi fallacies
of presumption adalah dengan merekonstruksi struktur argumen secara
eksplisit, yakni menguraikan klaim, premis, dan asumsi yang terkandung di dalamnya.
Douglas Walton menyebut proses ini sebagai argument reconstruction,
yaitu penataan ulang argumen dalam bentuk logika eksplisit untuk menguji
validitas inferensialnya dan mengungkap elemen premis yang tersembunyi¹.
Sebagai contoh, dalam kasus begging the question,
analisis rekonstruktif akan menunjukkan bahwa kesimpulan sebenarnya sudah
tercantum secara implisit dalam premis. Dengan membuat semua premis eksplisit,
asumsi yang tidak sah akan lebih mudah diidentifikasi dan diuji.
6.2.
Penerapan Teknik Logic Mapping
Teknik logic mapping adalah alat visual yang
membantu pemikir kritis dalam memetakan hubungan antar-premis dan kesimpulan
secara terstruktur. Dengan diagram argumen, seperti yang dikembangkan oleh
Tim van Gelder dan timnya dalam riset Argument Mapping, penggunanya
dapat mengenali di mana letak asumsi yang belum dinyatakan dan menilai apakah
inferensi tersebut sah secara logis².
Melalui pemetaan logis, kesalahan seperti false
dilemma akan terlihat ketika dua pilihan disajikan sebagai eksklusif
padahal alternatif ketiga tidak dimasukkan ke dalam peta argumen. Teknik ini
sangat bermanfaat dalam pendidikan logika, jurnalisme investigatif, serta
penulisan esai akademik.
6.3.
Penggunaan Pertanyaan Reflektif
(Socratic Questioning)
Strategi klasik dari tradisi Socrates—yakni elenchus
atau pemeriksaan silang melalui pertanyaan mendalam—masih relevan dalam
mendeteksi asumsi tersembunyi. Teknik ini melibatkan pertanyaan reflektif
yang diarahkan untuk menguji dasar argumen, seperti:
·
Apa bukti yang mendukung premis ini?
·
Apakah ini satu-satunya alternatif?
·
Apa yang tidak dikatakan dalam pernyataan ini?
Menurut Richard Paul dan Linda Elder, Socratic
questioning membantu pembelajar menembus lapisan implisit dalam penalaran
dan memperkuat kesadaran metakognitif terhadap bias dan kelemahan internal
argumen³.
6.4.
Keterampilan Metakognitif dan
Epistemic Humility
Deteksi kekeliruan tidak hanya bergantung pada
teknik logika, tetapi juga pada sikap mental reflektif dan keterbukaan
terhadap koreksi. Kecenderungan menerima asumsi tersembunyi sering berasal
dari intellectual overconfidence atau kebiasaan menanggapi informasi
secara intuitif tanpa pemeriksaan kritis.
Daniel Kahneman menyebut perlunya mengembangkan System
2 thinking—penalaran lambat, reflektif, dan analitis—untuk melawan efek
spontan dari System 1 yang intuitif namun rentan terhadap bias⁴. Dalam
konteks ini, epistemic humility (kerendahan hati dalam berpikir) menjadi
nilai penting agar seseorang mau menguji ulang keyakinan dan membuka diri terhadap
kemungkinan bahwa argumennya mengandung asumsi keliru.
6.5.
Pendidikan Literasi Logika dan Etika
Wacana
Penerapan strategi deteksi kekeliruan membutuhkan
dukungan sistemik melalui kurikulum literasi logika di pendidikan
formal. Robert Ennis dan Matthew Lipman menekankan pentingnya memasukkan
pelatihan berpikir kritis, argumentasi etis, dan pengenalan fallacies ke dalam
program pembelajaran sejak usia dini⁵.
Selain itu, pelatihan ini harus menyentuh dimensi etika
diskursus, yaitu pentingnya menghindari manipulasi dalam argumen,
mengedepankan transparansi asumsi, dan menghormati hak audiens untuk menilai
secara rasional. Kombinasi antara teknik analisis dan pembentukan karakter
epistemik ini menjamin pembentukan warga berpikir yang bertanggung jawab dalam
masyarakat demokratis.
6.6.
Alat Bantu Digital dan Evaluasi
Otomatis Argumen
Dalam konteks teknologi digital, sejumlah alat
berbasis AI dan natural language processing telah dikembangkan untuk
membantu mendeteksi kekeliruan dalam teks, termasuk asumsi tersembunyi.
Misalnya, Argument Analytics dan Rationale menyediakan platform
interaktif yang memungkinkan pengguna membangun argumen dan menerima umpan
balik tentang struktur logis dan kekeliruannya.
Meski teknologi ini belum sepenuhnya menggantikan
analisis manusia, namun dapat memberikan kesadaran awal terhadap potensi
kekeliruan yang terselip secara halus dalam tulisan atau pidato, dan
menjadi alat bantu belajar yang efektif⁶.
Penutup
Subbagian
Deteksi dan koreksi fallacies of presumption
menuntut perpaduan antara penguasaan teknis logika, refleksi epistemik, dan
kesadaran etis dalam praktik komunikasi. Dalam era informasi yang penuh
retorika, hanya dengan pendekatan multi-disipliner dan pendidikan kritis yang
komprehensif, masyarakat dapat terlindung dari argumentasi menyesatkan yang
mengandalkan asumsi tersembunyi dan manipulasi kognitif. Oleh karena itu,
strategi-strategi yang telah dijabarkan bukan hanya menjadi teknik berpikir,
tetapi juga fondasi budaya intelektual yang sehat.
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Fundamentals of Critical
Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 178–180.
[2]
Tim van Gelder, “Enhancing Deliberation Through
Computer-Supported Argument Visualization,” dalam Visualizing Argumentation:
Software Tools for Collaborative and Educational Sense-Making, ed. Paul A.
Kirschner et al. (London: Springer, 2003), 97–115.
[3]
Richard Paul dan Linda Elder, The Miniature
Guide to Socratic Questioning (Tomales, CA: Foundation for Critical
Thinking, 2006), 8–12.
[4]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 45–49.
[5]
Robert H. Ennis, Critical Thinking (Upper
Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1996), 41–43.
[6]
Chris Reed dan Floris Bex, “Strategic Argumentation
in Artificial Intelligence,” Communications of the ACM 63, no. 12
(2020): 67–76.
7.
Penutup
Kekeliruan asumsi tersembunyi, atau fallacies of
presumption, merupakan salah satu bentuk kekeliruan berpikir informal yang
paling berbahaya dalam konteks rasionalitas dan komunikasi publik. Melalui
penyelundupan premis yang tidak terbukti atau problematik ke dalam struktur
argumen, kekeliruan ini mampu menciptakan ilusi rasionalitas yang menyesatkan
dan menurunkan standar diskursus yang sehat. Oleh karena itu, pemahaman yang
mendalam terhadap mekanisme kerja dan klasifikasi dari fallacies of
presumption menjadi penting, tidak hanya bagi kalangan akademisi dan
praktisi logika, tetapi juga bagi masyarakat umum yang aktif dalam percakapan
publik dan pengambilan keputusan berbasis argumen.
Kajian ini telah menguraikan bahwa kekeliruan
asumsi tersembunyi tidak hanya merusak validitas logis suatu argumen,
tetapi juga berimplikasi luas terhadap kejujuran epistemik, etika
wacana, dan ketahanan kognitif individu dalam menghadapi distorsi
informasi. Douglas Walton dan T. Edward Damer secara konsisten menekankan
bahwa jenis kekeliruan ini sering digunakan untuk mengendalikan kerangka
diskusi, menyembunyikan pertanyaan inti, dan mengarahkan kesimpulan sebelum
premis dievaluasi secara kritis¹&².
Dalam konteks sosial yang semakin kompleks dan
sarat polarisasi, kemampuan untuk mengenali dan membongkar asumsi tersembunyi
menjadi aspek vital dalam melindungi kualitas deliberasi publik. Seiring dengan
meningkatnya volume wacana digital dan ekspansi media yang tidak selalu tunduk
pada etika argumentasi, penyebaran fallacies of presumption dapat
mempercepat degradasi kualitas berpikir kritis dalam masyarakat³. Kondisi ini
berpotensi menciptakan ruang publik yang diisi oleh opini-opini prematur, klaim
retoris tanpa dasar, dan kesepakatan semu yang berakar pada asumsi yang tak teruji.
Penelitian juga menunjukkan bahwa deteksi terhadap fallacies
of presumption dapat ditingkatkan melalui pendidikan logika dan pelatihan
berpikir kritis yang sistematik⁴. Penggunaan pendekatan seperti argument
reconstruction, logic mapping, Socratic questioning, dan
pengembangan epistemic humility menjadi bagian penting dalam strategi
koreksi terhadap kekeliruan ini. Penerapan metode-metode tersebut tidak hanya
menajamkan sensitivitas logika, tetapi juga membentuk karakter berpikir yang
reflektif, terbuka, dan bertanggung jawab secara moral.
Dengan demikian, artikel ini menegaskan bahwa fallacies
of presumption harus ditempatkan sebagai fokus penting dalam kajian logika
informal, pendidikan kewarganegaraan, dan etika komunikasi. Upaya sistematis
untuk mengidentifikasi, mengkritisi, dan mengoreksi kekeliruan ini adalah
bagian dari proses penguatan nalar kolektif dan pembangunan budaya berpikir
rasional yang mendalam dan beradab. Sebagaimana ditegaskan oleh Anthony Weston,
berpikir kritis yang jujur bukan sekadar mencari kemenangan dalam perdebatan,
melainkan membangun dialog yang berdasarkan pada kebenaran yang bisa
dipertanggungjawabkan⁵.
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Fundamentals of Critical
Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 115–117.
[2]
T. Edward Damer, Attacking Faulty Reasoning: A
Practical Guide to Fallacy-Free Arguments, 7th ed. (Boston: Cengage
Learning, 2013), 29–30.
[3]
Cass R. Sunstein, “Deliberative Trouble? Why Groups
Go to Extremes,” The Yale Law Journal 110, no. 3 (2001): 715–772.
[4]
Robert H. Ennis, “Critical Thinking Assessment,” Theory
into Practice 32, no. 3 (1993): 179–186.
[5]
Anthony Weston, A Rulebook for Arguments,
5th ed. (Indianapolis: Hackett Publishing, 2017), 32.
Daftar Pustaka
Adler, J. E. (2002). Belief’s own ethics.
MIT Press.
Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2011). Introduction
to logic (14th ed.). Pearson.
Damer, T. E. (2013). Attacking faulty reasoning:
A practical guide to fallacy-free arguments (7th ed.). Cengage Learning.
Elder, L., & Paul, R. (2006). The miniature
guide to Socratic questioning. Foundation for Critical Thinking.
Ennis, R. H. (1987). A taxonomy of critical
thinking dispositions and abilities. In J. B. Baron & R. J. Sternberg (Eds.),
Teaching thinking skills: Theory and practice (pp. 9–26). W.H. Freeman.
Ennis, R. H. (1993). Critical thinking assessment. Theory
into Practice, 32(3), 179–186. https://doi.org/10.1080/00405849309543594
Hurley, P. J. (2017). A concise introduction to
logic (13th ed.). Cengage Learning.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Reed, C., & Bex, F. (2020). Strategic
argumentation in artificial intelligence. Communications of the ACM, 63(12),
67–76. https://doi.org/10.1145/3381831
Solomon, R. C., & Higgins, K. M. (2013). The
big questions: A short introduction to philosophy (9th ed.). Cengage.
Sunstein, C. R. (2001). Deliberative trouble? Why
groups go to extremes. The Yale Law Journal, 110(3), 715–772. https://doi.org/10.2307/797587
Sunstein, C. R. (2002). The law of group
polarization. Journal of Political Philosophy, 10(2), 175–195. https://doi.org/10.1111/1467-9760.00148
Van Gelder, T. (2003). Enhancing deliberation
through computer-supported argument visualization. In P. A. Kirschner, S. J.
Buckingham Shum, & C. S. Carr (Eds.), Visualizing argumentation:
Software tools for collaborative and educational sense-making (pp. 97–115).
Springer.
Walton, D. (2006). Fundamentals of critical
argumentation. Cambridge University Press.
Walton, D. (2008). Informal logic: A pragmatic
approach (2nd ed.). Cambridge University Press.
Weston, A. (2017). A rulebook for arguments
(5th ed.). Hackett Publishing.
Woods, J., & Walton, D. (1989). Fallacies:
Selected papers, 1972–1982. Reidel.
Woods, J., & Irvine, A. (1992). The
classification of fallacies. In F. H. van Eemeren, R. Grootendorst, J. A.
Blair, & C. A. Willard (Eds.), Argumentation illuminated (pp.
193–202). Sic Sat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar