Minggu, 11 Mei 2025

Justified True Belief (JTB): Epistemologi Klasik dan Kontemporer

Justified True Belief (JTB)

Epistemologi Klasik dan Kontemporer


Alihkan ke: Kebenaran.

Hubungan antara Justification, Truth, dan Belief.


Abstrak

Konsep Justified True Belief (JTB) telah lama menjadi kerangka definisional utama dalam epistemologi klasik yang memandang pengetahuan sebagai hasil dari perpaduan antara kebenaran, keyakinan, dan pembenaran. Artikel ini menyajikan telaah komprehensif terhadap struktur JTB, mulai dari akar filosofisnya dalam dialog Theaetetus karya Plato, hingga tantangan mendasar yang diajukan oleh Edmund Gettier pada pertengahan abad ke-20. Dengan menganalisis elemen-elemen JTB secara konseptual dan logis, artikel ini menunjukkan keterbatasan definisional JTB dalam menghadapi epistemic luck dan kompleksitas kontekstual dari klaim pengetahuan. Selain mengulas respons-respons epistemologis yang muncul pasca-Gettier—seperti reliabilisme, virtue epistemology, dan contextualism—artikel ini juga menyoroti implikasi epistemologis dan praktis dari debat tersebut dalam konteks pendidikan, teknologi, dan etika kognitif. Kesimpulan artikel ini menegaskan bahwa meskipun JTB tidak lagi dapat dipertahankan sebagai definisi final pengetahuan, ia tetap memainkan peran penting sebagai fondasi dalam memahami dinamika struktur epistemik modern dan mengarahkan pengembangan epistemologi yang lebih reflektif dan adaptif terhadap tantangan kontemporer.

Kata Kunci: Justified True Belief, pengetahuan, epistemologi, Gettier, reliabilisme, kebajikan epistemik, epistemic luck, kontekstualisme, etika kognitif.


PEMBAHASAN

Telaah Filosofis terhadap Konsep Justified True Belief dalam Epistemologi Klasik dan Kontemporer


1.           Pendahuluan

Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang berfokus pada teori pengetahuan, telah lama menjadi salah satu pilar utama dalam perenungan filosofis. Salah satu pertanyaan paling mendasar dalam epistemologi adalah: Apa yang dimaksud dengan pengetahuan? Sejak zaman Yunani Kuno, para filsuf telah mencari definisi yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut, dan salah satu formulasi klasik yang paling berpengaruh adalah konsep Justified True Belief (JTB). Konsep ini menyatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki pengetahuan atas suatu proposisi apabila tiga syarat terpenuhi secara simultan: proposisi tersebut benar (truth), diyakini oleh subjek (belief), dan disertai dengan alasan atau pembenaran yang memadai (justification)¹.

Konsepsi JTB berakar dari karya Plato dalam dialog Theaetetus, di mana pengetahuan didiskusikan sebagai keyakinan benar yang disertai alasan². Meski dalam dialog tersebut Plato tidak secara eksplisit menyimpulkan bahwa JTB adalah definisi final pengetahuan, interpretasi ini menjadi model dominan selama berabad-abad dalam tradisi epistemologi Barat. Formulasi ini memberikan kerangka tripartit yang sederhana namun kuat dalam membedakan pengetahuan dari opini atau kepercayaan yang tidak berdasar³.

Namun, pada tahun 1963, Edmund Gettier menerbitkan sebuah esai pendek berjudul “Is Justified True Belief Knowledge?” yang mengguncang fondasi konsep JTB. Dalam esainya, Gettier menunjukkan bahwa terdapat situasi di mana ketiga kondisi JTB terpenuhi, tetapi secara intuitif tetap tidak menghasilkan pengetahuan. Argumen Gettier ini menghasilkan gelombang besar kritik terhadap definisi klasik dan memunculkan apa yang dikenal sebagai Gettier Problem⁴. Sejak saat itu, epistemolog kontemporer berlomba-lomba untuk menanggapi tantangan tersebut, baik dengan memodifikasi definisi JTB, menambahkan kondisi keempat, maupun merumuskan teori alternatif tentang pengetahuan seperti reliabilisme, virtue epistemology, dan contextualism⁵.

Dalam konteks itulah artikel ini disusun: untuk meninjau secara mendalam konsep Justified True Belief sebagai definisi klasik pengetahuan, mengkaji kritik-kritik terhadapnya, serta menelusuri berbagai respons kontemporer terhadap permasalahan yang ditimbulkannya. Dengan pendekatan filosofis dan tinjauan literatur ilmiah, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang validitas JTB dalam epistemologi masa kini.


Catatan Kaki

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 197–198.

[2]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, revised by Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201c–210d.

[3]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/.

[4]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[5]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986); Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991).


2.           Konsep Dasar Justified True Belief

Definisi klasik tentang pengetahuan, yang dikenal sebagai Justified True Belief (JTB), telah memainkan peran sentral dalam diskursus epistemologi Barat sejak zaman kuno. Dalam formulasi sederhananya, teori ini menyatakan bahwa seseorang (S) mengetahui proposisi (p) jika dan hanya jika: (1) p adalah benar, (2) S mempercayai bahwa p, dan (3) S memiliki justifikasi yang memadai untuk mempercayai bahwa p. Rumusan ini dikenal sebagai tripartite theory of knowledge atau teori pengetahuan tiga komponen¹.

Meskipun tidak secara eksplisit diformulasikan oleh Plato sebagai definisi final pengetahuan, gagasan tentang pengetahuan sebagai "keyakinan yang benar dan disertai alasan" muncul dalam dialog Theaetetus (201c–210d), di mana Sokrates berdialog dengan Theaetetus tentang apakah pengetahuan dapat disamakan dengan persepsi, opini yang benar, atau opini yang benar disertai alasan². Dalam diskusi tersebut, Plato secara eksploratif menunjukkan bahwa hanya opini yang benar dengan alasan yang sahih yang dapat dianggap sebagai pengetahuan. Meskipun Plato sendiri tidak menyatakan bahwa ini adalah definisi definitif, para epistemolog modern sering menisbahkan konsep JTB sebagai warisan filosofis dari karya ini³.

Tiga unsur dalam definisi JTB memuat dimensi ontologis, psikologis, dan normatif epistemik. Unsur pertama, kebenaran (truth), mengacu pada kesesuaian proposisi dengan realitas objektif atau fakta. Teori-teori utama tentang kebenaran antara lain teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu proposisi adalah benar jika sesuai dengan fakta; teori koherensi, yang menekankan konsistensi logis dalam sistem kepercayaan; dan teori pragmatis, yang menilai kebenaran berdasarkan keberhasilan praktik⁴.

Unsur kedua, keyakinan (belief), merupakan sikap psikologis internal dari subjek terhadap proposisi tertentu. Untuk memenuhi syarat sebagai pengetahuan, keyakinan ini harus aktif (diyakini benar oleh subjek), bukan sekadar kemungkinan atau keraguan. Keyakinan dianggap sebagai state of mind yang merepresentasikan proposisi tertentu sebagai benar⁵.

Unsur ketiga dan paling kritis adalah justifikasi (justification), yaitu dasar atau alasan epistemik yang menjadikan keyakinan seseorang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam epistemologi klasik, justifikasi dianggap sebagai komponen yang membedakan pengetahuan dari sekadar kebetulan atau dugaan. Sebuah keyakinan yang benar tapi tidak didukung alasan yang memadai tidak dianggap sebagai pengetahuan. Di sinilah letak kesulitan terbesar dalam mempertahankan JTB, karena justifikasi sangat bergantung pada bagaimana kita memahami sumber pengetahuan, seperti persepsi, ingatan, introspeksi, dan inferensi logis⁶.

Formulasi JTB memberikan kerangka kerja yang intuitif dan analitis dalam membedakan pengetahuan dari kepercayaan yang salah atau tidak berdasar. Ia juga membuka pintu untuk debat filosofis yang lebih lanjut mengenai batas-batas pengetahuan manusia, termasuk peran kebenaran objektif, subjektivitas keyakinan, dan validitas proses pembenaran epistemik⁷.

Meskipun sederhana, struktur JTB telah menjadi pondasi utama dalam epistemologi selama berabad-abad sebelum munculnya kritik-kritik mendalam pada pertengahan abad ke-20, khususnya melalui tantangan yang diajukan oleh Edmund Gettier yang menunjukkan bahwa terpenuhinya ketiga syarat tersebut belum tentu menghasilkan pengetahuan sejati. Oleh karena itu, memahami secara mendalam tiap elemen dalam JTB merupakan langkah awal yang penting untuk mengevaluasi validitas dan kelangsungan konsep ini dalam filsafat kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 197.

[2]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201c–210d.

[3]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2020), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/.

[4]                Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2016 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/truth-correspondence/.

[5]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 15.

[6]                William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 3–7.

[7]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses, 2nd ed. (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2010), 34–36.


3.           Analisis Elemen Justified True Belief (JTB)

Konsep Justified True Belief (JTB) terdiri atas tiga komponen yang saling bergantung: kebenaran (truth), keyakinan (belief), dan justifikasi (justification). Analisis mendalam atas masing-masing elemen ini sangat penting untuk memahami kekuatan dan kelemahan dari teori JTB sebagai definisi pengetahuan.

3.1.       Kebenaran (Truth)

Elemen pertama dalam struktur JTB adalah truth. Dalam epistemologi, kebenaran dianggap sebagai kondisi yang bersifat eksternal terhadap subjek yang mengetahui. Artinya, sebuah proposisi hanya dapat dikatakan pengetahuan jika proposisi itu memang benar secara faktual atau objektif. Salah satu teori paling berpengaruh dalam menjelaskan kebenaran adalah teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu proposisi adalah benar apabila ia “berkorespondensi” atau cocok dengan kenyataan¹. Sebagai contoh, pernyataan “air mendidih pada suhu 100°C pada tekanan satu atmosfer” adalah benar jika dan hanya jika kenyataan fisik memang sesuai dengan proposisi tersebut.

Selain teori korespondensi, terdapat pula teori koherensi dan pragmatis. Teori koherensi memandang bahwa kebenaran terletak pada konsistensi internal antarproposisi dalam suatu sistem kepercayaan². Sedangkan teori pragmatis, seperti yang dikembangkan oleh William James dan Charles S. Peirce, menilai kebenaran berdasarkan kebermanfaatan praktis suatu keyakinan dalam menjawab permasalahan atau dalam konteks tindakan³.

Apa pun teori kebenaran yang digunakan, unsur kebenaran tetap menjadi syarat mutlak dalam definisi pengetahuan. Seseorang tidak dapat dikatakan “mengetahui” sesuatu yang ternyata salah, sekalipun ia sangat yakin dan memiliki alasan⁴.

3.2.       Keyakinan (Belief)

Elemen kedua adalah belief, yaitu sikap mental subjek terhadap suatu proposisi. Dalam filsafat, belief tidak identik dengan kepercayaan religius atau sikap batin emosional, melainkan menunjuk pada propositional attitude—sebuah sikap terhadap proposisi yang dipegang sebagai benar⁵. Agar dapat disebut sebagai pengetahuan, suatu proposisi harus tidak hanya benar, tetapi juga diyakini benar oleh subjek yang mengetahui. Jika seseorang tidak memiliki keyakinan terhadap proposisi tertentu, maka tidak relevan apakah proposisi tersebut benar atau bahkan dibenarkan; ia tidak “mengetahui” hal itu dalam arti epistemologis⁶.

Keyakinan ini harus bersifat diperoleh dengan kesadaran dan bukan kebetulan. Sebagai contoh, seseorang yang mengatakan “Hari ini akan hujan” tanpa keyakinan yang sungguh, meskipun ternyata benar, tidak dapat dianggap mengetahui bahwa hari itu akan hujan⁷.

3.3.       Justifikasi (Justification)

Justifikasi adalah elemen yang paling kompleks dalam teori JTB dan menjadi fokus utama kritik terhadap definisi klasik ini. Justifikasi mengacu pada alasan epistemik yang mendukung keyakinan subjek terhadap suatu proposisi. Syarat ini dibutuhkan untuk membedakan antara pengetahuan dan sekadar tebakan yang kebetulan benar⁸.

Terdapat berbagai pendekatan dalam memahami justifikasi. Dua pendekatan utama adalah:

·                     Internalisme, yang menyatakan bahwa justifikasi bergantung pada faktor-faktor yang dapat diakses secara mental oleh subjek (misalnya: bukti, pengalaman, inferensi).

·                     Eksternalisme, yang menekankan bahwa justifikasi tidak harus dapat diakses secara introspektif, melainkan cukup jika proses terbentuknya keyakinan itu dapat diandalkan atau reliable⁹.

Dalam internalisme, teori yang dominan adalah foundationalism dan coherentism. Foundationalism berpendapat bahwa keyakinan yang dibenarkan disusun secara hirarkis, dimulai dari keyakinan dasar yang non-inferensial (misalnya persepsi indrawi langsung), lalu membentuk keyakinan lain melalui inferensi¹⁰. Sebaliknya, coherentism menolak adanya keyakinan dasar dan memandang justifikasi sebagai hasil dari koherensi sistem keyakinan secara keseluruhan¹¹.

Dalam eksternalisme, yang paling berpengaruh adalah reliabilisme, yakni pandangan bahwa suatu keyakinan dibenarkan jika dihasilkan oleh proses kognitif yang secara statistik dapat diandalkan dalam menghasilkan kebenaran¹². Dengan kata lain, subjek tidak harus mampu mengakses atau menjelaskan pembenaran itu selama cara memperoleh pengetahuan tersebut dapat dipercaya secara obyektif.

Konsepsi justifikasi menjadi sangat penting karena menjadi titik rawan dalam kasus-kasus seperti yang dikemukakan oleh Gettier, yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya. Sebab, ternyata terdapat kasus di mana seseorang memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, tetapi tetap gagal untuk disebut “mengetahui”.


Catatan Kaki

[1]                Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2016 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/truth-correspondence/.

[2]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses, 2nd ed. (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2010), 114–116.

[3]                William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 95–96.

[4]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 198.

[5]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 21–22.

[6]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2020), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/.

[7]                Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2000), 13–14.

[8]                William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 8–10.

[9]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 50–52.

[10]             Robert Audi, Epistemology, 208–210.

[11]             Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 93–98.

[12]             Alvin Goldman, “What is Justified Belief?” in Justification and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.


4.           Tantangan terhadap JTB: Gettier Problem

Selama hampir dua milenium, konsep Justified True Belief (JTB) diterima secara luas sebagai definisi standar pengetahuan dalam filsafat Barat. Namun, status kokoh teori ini mulai runtuh ketika Edmund L. Gettier menerbitkan esai singkat yang sangat berpengaruh berjudul “Is Justified True Belief Knowledge?” pada tahun 1963. Dalam esai tersebut, Gettier menyatakan bahwa meskipun suatu keyakinan bisa benar dan dibenarkan, hal itu belum tentu merupakan pengetahuan. Argumen ini memunculkan apa yang dikenal sebagai Gettier Problem, yang secara fundamental mengguncang struktur tripartit JTB dan membuka wacana epistemologis yang sepenuhnya baru¹.

Gettier mendemonstrasikan kritiknya melalui dua skenario imajiner yang kini menjadi sangat terkenal dalam literatur epistemologi. Dalam salah satu kasus, seorang individu bernama Smith memiliki keyakinan yang dibenarkan bahwa “orang yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki sepuluh koin di sakunya” berdasarkan bukti kuat dari atasan perusahaan. Namun ternyata, bukan Bill (yang diasumsikan Smith) melainkan Smith sendiri yang mendapatkan pekerjaan, dan kebetulan ia juga memiliki sepuluh koin di sakunya. Dalam skenario ini, Smith memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, tetapi secara intuitif jelas bahwa dia tidak mengetahui proposisi tersebut².

Inti dari masalah Gettier adalah adanya epistemic luck—keberuntungan epistemik—yang membuat keyakinan seseorang menjadi benar, bukan karena justifikasinya secara kausal mengarah pada kebenaran, melainkan secara kebetulan saja. Maka dari itu, definisi JTB dianggap gagal karena memungkinkan terjadinya situasi di mana seseorang dapat memiliki belief yang benar dan dibenarkan, namun tidak bisa dianggap memiliki pengetahuan³.

Dampak publikasi Gettier sangat luas. Ia memicu serangkaian usaha dari para epistemolog untuk “menambal” teori JTB dengan menambahkan syarat keempat. Salah satu upaya awal adalah teori no false lemmas, yang menyatakan bahwa keyakinan yang dibenarkan tidak boleh didasarkan pada premis yang salah⁴. Namun, teori ini juga menghadapi kasus Gettier-style baru yang tetap lolos dari kriteria tersebut.

Beberapa epistemolog beralih ke pendekatan reliabilisme, yang menyatakan bahwa suatu keyakinan bisa disebut sebagai pengetahuan jika dihasilkan oleh proses kognitif yang dapat diandalkan⁵. Sementara itu, pendekatan lain seperti causal theory of knowledge yang dikembangkan oleh Alvin Goldman mencoba menekankan hubungan kausal antara proposisi dan kepercayaan⁶. Teori lainnya adalah truth-tracking theory oleh Robert Nozick, yang menyatakan bahwa seseorang mengetahui p jika keyakinannya terhadap pmengikuti kebenaran” dalam dunia-wacana yang mungkin berbeda⁷.

Selain itu, Ernest Sosa mengembangkan teori virtue epistemology, yang memandang pengetahuan sebagai hasil dari pelaksanaan kebajikan intelektual oleh subjek. Menurut pandangan ini, pengetahuan bukan hanya soal memiliki alasan yang tepat, tetapi juga soal melaksanakan proses kognitif secara andal dan bertanggung jawab⁸.

Munculnya Gettier Problem memaksa epistemologi modern untuk merevisi atau bahkan meninggalkan struktur JTB. Sebagian filsuf menerima bahwa pengetahuan adalah konsep yang terlalu kompleks untuk direduksi menjadi syarat-syarat formal, sedangkan yang lain terus berupaya menemukan rumusan definisional yang tahan terhadap kasus semacam Gettier. Terlepas dari pendekatan yang diambil, tidak diragukan bahwa Gettier telah membawa epistemologi ke fase baru yang lebih kritis dan reflektif⁹.


Catatan Kaki

[1]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[2]                Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” 122.

[3]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 23–25.

[4]                Keith Lehrer and Thomas Paxson Jr., “Knowledge: Undefeated Justified True Belief,” Journal of Philosophy 66, no. 8 (1969): 225–237.

[5]                Alvin I. Goldman, “A Causal Theory of Knowing,” Journal of Philosophy 64, no. 12 (1967): 357–372.

[6]                Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 68–73.

[7]                Robert Nozick, Philosophical Explanations (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 172–196.

[8]                Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 225–230.

[9]                Linda Zagzebski, “The Inescapability of Gettier Problems,” Philosophical Quarterly 44, no. 174 (1994): 65–73.


5.           Respons dan Revisi terhadap JTB

Setelah publikasi artikel Gettier pada tahun 1963 yang menunjukkan bahwa definisi klasik Justified True Belief (JTB) tidak cukup untuk mendefinisikan pengetahuan, para epistemolog modern dan kontemporer segera merespons dengan berbagai pendekatan korektif. Upaya-upaya ini bertujuan untuk menyelamatkan atau menggantikan model JTB agar tahan terhadap kasus Gettier-style yang mengandung elemen kebetulan epistemik (epistemic luck).

5.1.       Teori Tambahan: No False Lemmas

Salah satu respons awal datang dari Keith Lehrer dan Thomas Paxson melalui teori no false lemmas, yang menambahkan syarat keempat ke dalam struktur JTB: bahwa keyakinan tidak boleh didasarkan pada proposisi salah⁽¹⁾. Dalam rumusan ini, seseorang mengetahui p jika dan hanya jika:

·                     p benar;

·                     S percaya bahwa p;

·                     S dibenarkan dalam percaya bahwa p;

·                     dan S tidak menyimpulkan p dari suatu proposisi yang salah.

Meskipun teori ini dapat menolak beberapa contoh Gettier, ia tetap gagal menghadapi kasus modifikasi di mana tidak ada proposisi salah yang secara eksplisit menjadi dasar kesimpulan, tetapi keberuntungan tetap memainkan peran sentral dalam hasil akhir keyakinan⁽²⁾.

5.2.       Teori Reliabilisme

Sebagai alternatif terhadap pendekatan internalis, muncul teori reliabilisme yang dikembangkan oleh Alvin Goldman. Dalam pandangan ini, pengetahuan tidak tergantung pada kemampuan subjek untuk mengakses alasan pembenaran, melainkan pada apakah keyakinan tersebut dihasilkan oleh proses kognitif yang andal dalam menghasilkan kebenaran⁽³⁾. Artinya, jika keyakinan terhadap proposisi p dihasilkan oleh mekanisme seperti persepsi yang tidak rusak atau ingatan yang berfungsi dengan baik, maka keyakinan itu dapat dianggap sebagai pengetahuan meskipun subjek tidak dapat menjelaskan pembenarannya secara introspektif⁽⁴⁾.

Reliabilisme berhasil menjawab beberapa contoh Gettier dengan menolak bahwa keyakinan yang berasal dari proses yang tidak konsisten atau cacat secara statistik dapat disebut pengetahuan. Namun, teori ini sendiri menimbulkan perdebatan baru seputar definisi “proses andal” dan tantangan dari intuisi internalis yang kuat dalam filsafat analitik.

5.3.       Tracking Theory dan Safety Theory

Robert Nozick mengajukan teori truth-tracking yang berfokus pada kemampuan keyakinan seseorang untuk mengikuti kebenaran dalam kondisi-kondisi kontrafaktual. Menurut Nozick, S mengetahui bahwa p jika:

1)                  p benar;

2)                  S percaya bahwa p;

3)                  Jika p tidak benar, maka S tidak akan percaya bahwa p;

4)                  Jika p benar, maka S akan percaya bahwa p⁽⁵⁾.

Model ini berusaha mengeliminasi epistemic luck dengan mengevaluasi sensitivitas keyakinan terhadap perubahan kebenaran dalam dunia kemungkinan lainnya. Namun, teori ini dikritik karena terlalu ketat dan menghasilkan hasil kontra-intuitif, seperti kasus closure failure, yaitu ketika seseorang tidak bisa mengklaim mengetahui implikasi dari hal yang ia ketahui⁽⁶⁾.

Sebagai tanggapan, muncul pendekatan alternatif seperti safety theory yang dikembangkan oleh Duncan Pritchard. Teori ini menyatakan bahwa seseorang mengetahui p hanya jika keyakinannya terhadap p tidak hanya benar tetapi juga aman, dalam arti bahwa dalam dunia-wacana yang “dekat”, keyakinan tersebut tidak akan salah⁽⁷⁾. Pendekatan ini lebih longgar dibanding tracking theory dan dianggap lebih sesuai dengan intuisi umum mengenai pengetahuan.

5.4.       Virtue Epistemology

Dalam beberapa dekade terakhir, pendekatan yang semakin populer adalah virtue epistemology, terutama dikembangkan oleh Ernest Sosa dan John Greco. Pendekatan ini menganalogikan pengetahuan dengan prestasi (achievement) yang berasal dari kebajikan intelektual. Dalam kerangka ini, seseorang memiliki pengetahuan jika ia membentuk keyakinannya melalui pelaksanaan kapabilitas intelektual secara efektif dan bertanggung jawab⁽⁸⁾.

Misalnya, jika seseorang berhasil mengetahui bahwa ada ular di semak-semak karena ia memperhatikan suara mendesis dan secara kognitif menghubungkannya dengan ancaman yang relevan, maka pengetahuan itu dianggap sebagai hasil dari kebajikan kognitif, bukan sekadar kebetulan atau mekanisme tanpa akuntabilitas⁽⁹⁾. Virtue epistemology menekankan peran agensi, karakter, dan disposisi epistemik dalam membedakan antara pengetahuan dan opini yang benar secara kebetulan.

5.5.       Contextualism dan Interest-Relative Epistemology

Respons lainnya datang dari teori kontekstualisme, yang menyatakan bahwa apakah seseorang “mengetahui” sesuatu bergantung pada standar epistemik yang berlaku dalam konteks pembicaraan. Dalam situasi sehari-hari, standar untuk justifikasi mungkin cukup rendah, tetapi dalam situasi skeptis atau ilmiah, standar itu bisa lebih tinggi⁽¹⁰⁾. Pendekatan ini fleksibel dalam menyikapi Gettier dan skeptisisme dengan menunjukkan bahwa ekspektasi epistemik bersifat kontekstual.

Dalam versi lebih lanjut, epistemologi berbasis kepentingan (interest-relative epistemology) yang dipelopori oleh Jason Stanley, menyatakan bahwa apakah seseorang dapat dikatakan mengetahui sesuatu tergantung pada apa yang dipertaruhkan bagi subjek dalam mempertahankan proposisi tersebut⁽¹¹⁾.


Dengan demikian, meskipun Gettier telah menggugurkan struktur klasik JTB sebagai definisi definitif pengetahuan, ia juga telah merangsang diskusi-diskusi konstruktif yang memperluas cakupan dan kedalaman epistemologi kontemporer. Pendekatan-pendekatan seperti reliabilisme, virtue epistemology, dan contextualism kini menjadi pusat perhatian dalam perdebatan tentang sifat dasar pengetahuan.


Catatan Kaki

[1]                Keith Lehrer and Thomas Paxson Jr., “Knowledge: Undefeated Justified True Belief,” Journal of Philosophy 66, no. 8 (1969): 225–237.

[2]                Linda Zagzebski, “The Inescapability of Gettier Problems,” Philosophical Quarterly 44, no. 174 (1994): 65–73.

[3]                Alvin I. Goldman, “A Causal Theory of Knowing,” Journal of Philosophy 64, no. 12 (1967): 357–372.

[4]                Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 90–96.

[5]                Robert Nozick, Philosophical Explanations (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 172–187.

[6]                Fred Dretske, “Epistemic Operators,” Journal of Philosophy 67, no. 24 (1970): 1007–1023.

[7]                Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Clarendon Press, 2005), 146–150.

[8]                Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 225–230.

[9]                John Greco, Achieving Knowledge: A Virtue-Theoretic Account of Epistemic Normativity (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 12–18.

[10]             Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical Issues 10 (2000): 94–107.

[11]             Jason Stanley, Knowledge and Practical Interests (Oxford: Oxford University Press, 2005), 4–9.


6.           Implikasi Epistemologis dan Praktis

Konsep Justified True Belief (JTB), meskipun telah mengalami tantangan dan revisi dari berbagai aliran epistemologis, tetap menyimpan relevansi penting dalam memahami struktur dan validitas pengetahuan, baik secara teoritis maupun praktis. Implikasi dari konsep ini merentang luas, tidak hanya dalam ranah filsafat murni, tetapi juga dalam konteks pendidikan, hukum, komunikasi publik, dan pembentukan kebijakan di era informasi digital.

6.1.       Implikasi Epistemologis: Pengetahuan, Kebenaran, dan Ketahanan terhadap Skeptisisme

Secara epistemologis, perdebatan mengenai JTB mengungkapkan kompleksitas struktur pengetahuan dan batas-batas rasionalitas manusia dalam menjangkaunya. Munculnya Gettier problem dan berbagai respons terhadapnya, seperti reliabilisme atau virtue epistemology, menunjukkan bahwa pengetahuan tidak dapat direduksi semata-mata pada kombinasi keyakinan, kebenaran, dan justifikasi secara linear¹. Sebaliknya, pengetahuan harus dipahami sebagai hasil interaksi antara kognisi manusia, kondisi eksternal, dan norma-norma epistemik yang dinamis.

Dengan demikian, salah satu implikasi filosofis dari JTB dan kritiknya adalah perlunya pendekatan yang pluralistik dan kontekstual terhadap epistemologi. Pengetahuan bukanlah entitas statis yang bersifat universal dalam semua konteks, tetapi bergantung pada struktur sosial, praktik diskursif, serta kapabilitas epistemik dari subjek yang mengetahui².

Lebih lanjut, pergeseran dari JTB ke model-model alternatif seperti contextualism dan interest-relative epistemology menandai munculnya epistemologi terapan yang mempertimbangkan faktor sosial, pragmatis, dan linguistik dalam mendefinisikan pengetahuan³. Artinya, pertanyaan epistemologis bukan hanya tentang “Apa yang kita ketahui?” tetapi juga “Dalam konteks apa kita dapat mengklaim mengetahui sesuatu?”

6.2.       Implikasi Praktis: Literasi Kognitif di Era Informasi

Dalam konteks praktis, pemahaman terhadap struktur JTB menjadi penting dalam membentuk masyarakat yang berpikir kritis dan rasional. Di era post-truth dan disinformasi digital, kemampuan untuk membedakan antara opini yang dibenarkan dan pengetahuan yang sahih sangat krusial⁴. Misalnya, seseorang yang percaya pada informasi palsu tetapi tidak menyadari kekeliruannya tetap gagal memenuhi kriteria JTB—ia memiliki keyakinan, tetapi tidak dibenarkan dan tidak sesuai dengan kebenaran.

Dalam dunia pendidikan, kerangka JTB dapat diintegrasikan dalam pengajaran metakognisi dan evaluasi kritis terhadap sumber informasi. Pendekatan epistemologis yang membekali siswa untuk tidak hanya “percaya” pada informasi, tetapi juga menuntut pembenaran dan menguji kebenarannya, merupakan bagian penting dari pengembangan literasi informasi⁵.

Demikian pula dalam sistem hukum dan pengambilan keputusan kebijakan publik, validitas sebuah klaim pengetahuan tidak cukup hanya berdasarkan otoritas atau keyakinan mayoritas. Ia harus melalui prosedur justifikasi rasional dan empiris, sebagaimana diisyaratkan oleh struktur JTB. Hal ini memperkuat prinsip-prinsip demokrasi deliberatif yang berbasis pada argumen dan bukti⁶.

6.3.       Relevansi dalam Ranah Teknologi dan Kecerdasan Buatan

Kemunculan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) menambah lapisan baru dalam diskusi epistemologis. Sistem AI yang menghasilkan prediksi atau keputusan secara probabilistik, menantang kita untuk bertanya: “Apakah mesin tahu sesuatu dalam pengertian JTB?” Jika AI menghasilkan proposisi yang benar dan dapat dibenarkan melalui data, tetapi tidak memiliki kesadaran atau belief, maka menurut struktur klasik JTB, ia tidak dapat dianggap “mengetahui”⁷.

Hal ini mendorong pemikiran ulang tentang makna pengetahuan dalam sistem non-human, serta memperluas epistemologi ke dalam wilayah post-human epistemology yang mempertimbangkan kecanggihan teknologi sebagai bagian dari jaringan produksi pengetahuan kontemporer⁸.

6.4.       Etika Epistemik dan Tanggung Jawab Kognitif

Akhirnya, dari JTB dan perkembangannya muncul dimensi penting dalam etika epistemik—yakni tanggung jawab moral subjek dalam membentuk, mempertahankan, dan menyebarkan keyakinan⁹. Dalam dunia yang dibanjiri oleh informasi, seseorang tidak dapat bersembunyi di balik relativisme atau ketidaktahuan. Ia dituntut untuk memiliki sikap epistemik yang bertanggung jawab: mencari justifikasi, menguji kebenaran, dan tidak sembarangan dalam mempercayai atau menyebarluaskan informasi.

Dengan demikian, epistemologi tidak hanya menjadi refleksi teoritis, tetapi juga pedoman normatif dalam kehidupan intelektual dan sosial. Konsep JTB, meskipun tidak sempurna, tetap berfungsi sebagai kerangka awal yang penting dalam membentuk budaya berpikir yang kritis, rasional, dan etis.


Catatan Kaki

[1]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 43–55.

[2]                Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Clarendon Press, 2005), 7–12.

[3]                Jason Stanley, Knowledge and Practical Interests (Oxford: Oxford University Press, 2005), 1–6.

[4]                Kathleen Hall Jamieson and Doron Taussig, “Disinformation, Fake News, and Influence Campaigns on Twitter,” Political Science Quarterly 135, no. 4 (2020): 617–654.

[5]                William Hare, “Critical Thinking as an Educational Ideal,” The Canadian Journal of Education 12, no. 1 (1987): 1–11.

[6]                Amy Gutmann and Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy? (Princeton: Princeton University Press, 2004), 40–58.

[7]                Luciano Floridi, “Artificial Intelligence and the Epistemological Challenge of Machine Learning,” Philosophy & Technology 30, no. 3 (2017): 261–267.

[8]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 133–145.

[9]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 6–8.


7.           Kritik dan Pertimbangan Lanjutan

Meskipun konsep Justified True Belief (JTB) telah lama menjadi kerangka kerja utama dalam epistemologi, posisi definisionalnya sebagai pengetahuan semakin dipertanyakan seiring munculnya berbagai kritik filosofis yang tajam. Tidak hanya melalui problematisasi formal semacam Gettier problem, tetapi juga melalui pendekatan yang mempertanyakan asumsi dasar dari model JTB itu sendiri, baik dari segi logika, bahasa, maupun kekuatan deskriptif terhadap praktik epistemik nyata.

7.1.       Kritik Reduksionisme: Terlalu Sederhana untuk Konsep yang Kompleks

Salah satu kritik utama terhadap JTB adalah sifatnya yang reduksionis. Dengan menyederhanakan pengetahuan menjadi tiga elemen sempit—kebenaran, keyakinan, dan justifikasi—model JTB dianggap gagal menangkap dimensi epistemik yang lebih kompleks seperti faktor sosial, linguistik, afektif, dan kontekstual dalam pembentukan pengetahuan¹. Linda Zagzebski, misalnya, menyatakan bahwa setiap definisi yang mencoba menganalisis pengetahuan ke dalam komponen yang lebih mendasar akan selalu terbuka terhadap variasi kasus Gettier-style, karena keberuntungan epistemik tidak dapat dieliminasi hanya dengan penambahan syarat-syarat baru².

7.2.       Masalah Epistemic Luck: Ancaman Permanen terhadap Struktur Pengetahuan

Masalah epistemic luck (keberuntungan epistemik) terus menjadi tantangan besar bagi semua teori yang didasarkan pada JTB. Bahkan dengan berbagai modifikasi—seperti reliabilisme, no false lemmas, atau tracking theory—masih terdapat kemungkinan bahwa keyakinan yang benar dan dibenarkan bisa muncul secara kebetulan tanpa koneksi kausal atau normatif yang kuat³. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara justifikasi dan kebenaran bersifat kontingen, dan tidak selalu cukup untuk menghasilkan pengetahuan⁴.

Duncan Pritchard berargumen bahwa epistemologi harus menghadapi epistemic luck secara langsung dan sistematis. Ia mengembangkan teori anti-luck epistemology, yang menekankan bahwa pengetahuan hanya bisa terjadi bila kebenaran keyakinan tidak tergantung pada kebetulan⁵. Dengan kata lain, epistemologi harus mampu memberikan kondisi yang membuat keyakinan benar bukan karena kebetulan, tetapi karena ketepatan epistemik subjek.

7.3.       Ketegangan antara Internalisme dan Eksternalisme

Debat klasik antara internalisme (yang menekankan aksesibilitas justifikasi oleh subjek) dan eksternalisme (yang menilai proses pembentukan keyakinan dari segi keandalan) juga memperlihatkan keterbatasan JTB sebagai model universal⁶. Dalam konteks JTB, justifikasi sering dipahami secara internalistik: bahwa subjek harus memiliki akses mental terhadap alasan pembenarannya. Namun, pendekatan ini sulit menjelaskan kasus pengetahuan intuitif atau otomatis (seperti persepsi langsung) yang tidak disadari secara reflektif.

Sebaliknya, eksternalisme—seperti reliabilisme Goldman—mengabaikan peran subjek secara introspektif, dan karenanya dianggap mengabaikan tanggung jawab epistemik⁷. Ketegangan ini memperlihatkan bahwa tak ada pemahaman tunggal tentang “justifikasi” yang dapat diterima secara universal, menjadikan unsur ketiga dalam JTB sulit untuk diformulasikan secara tegas dan bebas dari perdebatan.

7.4.       Kritik Linguistik dan Kontekstualis

Beberapa filsuf kontemporer, terutama dari aliran epistemologi linguistik, menyoroti bahwa penggunaan istilah “mengetahui” dalam bahasa sehari-hari bersifat kontekstual dan praktis, bukan struktural atau analitik sebagaimana diasumsikan oleh JTB. Kontekstualisme, seperti yang dikembangkan oleh Stewart Cohen dan David Lewis, menunjukkan bahwa klaim “S tahu bahwa p” sangat tergantung pada konteks pembicaraan, termasuk standar pengetahuan yang digunakan dalam situasi tertentu⁸.

Dalam hal ini, JTB dianggap tidak cukup fleksibel untuk menangkap dinamika bahasa alami dalam praktik epistemik. Artinya, definisi JTB bersifat terlalu kaku dan ahistoris, sehingga tidak mampu menangani fleksibilitas pengetahuan dalam diskursus sosial maupun perbedaan budaya epistemik⁹.

7.5.       Pengetahuan sebagai Performansi dan Kebajikan

Terakhir, pendekatan virtue epistemology menyarankan untuk menggantikan definisi-definisi proposisional seperti JTB dengan pendekatan berbasis agen epistemik dan kebajikan kognitif. Dalam pendekatan ini, pengetahuan dipahami bukan sebagai hasil dari struktur proposisional tertentu, tetapi sebagai prestasi epistemik dari subjek yang menjalankan kebajikan intelektual dengan tepat¹⁰. Dengan demikian, pengetahuan menjadi lebih bersifat normatif dan performatif, bukan hanya deskriptif.

Pendekatan ini juga memungkinkan epistemologi untuk memperhitungkan nilai-nilai etis dan karakter pribadi, seperti integritas intelektual, kejujuran, dan kehati-hatian, sebagai bagian dari struktur pengetahuan. Ini tentu sangat berbeda dari model JTB yang netral secara moral.


Penutup Sementara

Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa JTB, meskipun memiliki nilai historis dan metodologis yang penting, tidak lagi dianggap sebagai definisi yang memadai untuk menjelaskan kompleksitas pengetahuan kontemporer. Ia lebih cocok diposisikan sebagai titik awal refleksi epistemik daripada sebagai teori final. Maka, tantangan epistemologi masa kini bukan hanya mengganti JTB, tetapi mengembangkan model pengetahuan yang lebih holistik, inklusif, dan responsif terhadap konteks manusia dan teknologi modern.


Catatan Kaki

[1]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 27–28.

[2]                Linda Zagzebski, “The Inescapability of Gettier Problems,” Philosophical Quarterly 44, no. 174 (1994): 65–73.

[3]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses, 2nd ed. (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2010), 48–50.

[4]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2020), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/.

[5]                Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Clarendon Press, 2005), 1–5.

[6]                William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 31–36.

[7]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 98–103.

[8]                Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical Issues 10 (2000): 94–107.

[9]                David Lewis, “Elusive Knowledge,” Australasian Journal of Philosophy 74, no. 4 (1996): 549–567.

[10]             Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and Reflective Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–28.


8.           Kesimpulan

Konsep Justified True Belief (JTB) telah menjadi fondasi utama dalam epistemologi klasik sejak zaman Plato, menawarkan kerangka struktural yang tampak intuitif untuk mendefinisikan pengetahuan sebagai gabungan antara kebenaran, keyakinan, dan pembenaran¹. Formulasi ini memberikan kejelasan analitik yang memadai untuk membedakan antara “mengetahui” dan sekadar “percaya,” serta menekankan pentingnya dasar rasional dalam pembentukan keyakinan epistemik².

Namun, tantangan serius terhadap teori JTB muncul secara eksplisit dalam esai revolusioner Edmund Gettier (1963), yang menunjukkan bahwa bahkan ketika ketiga komponen terpenuhi, suatu keyakinan belum tentu layak disebut sebagai pengetahuan³. Kasus-kasus Gettier-style menyingkap keberadaan epistemic luck (keberuntungan epistemik) sebagai variabel gangguan yang melemahkan hubungan antara justifikasi dan kebenaran. Ini mengungkapkan bahwa struktur JTB, meskipun berguna sebagai pendekatan awal, tidak mencukupi sebagai definisi final dari pengetahuan⁴.

Respons terhadap tantangan ini melahirkan keragaman pendekatan epistemologis yang memperkaya wacana filsafat kontemporer. Model reliabilisme berupaya menggantikan justifikasi dengan proses kognitif yang dapat diandalkan⁵, sementara virtue epistemology menekankan peran kebajikan intelektual dan performansi agen epistemik dalam menghasilkan pengetahuan⁶. Pendekatan contextualist dan interest-relative epistemology lebih jauh menggarisbawahi bahwa klaim pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan praktis yang melingkupinya⁷.

Lebih dari sekadar perdebatan terminologis, kritik dan revisi terhadap JTB menegaskan bahwa epistemologi bukan sekadar persoalan definisional, tetapi juga normatif dan pragmatis. Ia menuntut kita untuk mempertimbangkan tidak hanya bagaimana pengetahuan dibentuk, tetapi juga bagaimana ia dipertanggungjawabkan dalam praktik sosial, politik, dan teknologi kontemporer. Dengan kata lain, epistemologi hari ini bergerak dari pertanyaan "Apa itu pengetahuan?" menuju pertanyaan yang lebih reflektif: "Apa yang layak disebut pengetahuan dalam konteks dunia modern yang kompleks?"_⁸

Karenanya, meskipun JTB tidak lagi dapat dianggap sebagai definisi final yang bebas dari masalah, nilainya sebagai model epistemik dasar tetap signifikan. Ia menyediakan titik tolak konseptual yang esensial untuk memetakan batas-batas pengetahuan, menguji kekuatan pembenaran, serta memahami relasi antara subjek yang mengetahui dan realitas yang ingin dipahami. Ke depan, epistemologi tidak dituntut untuk menemukan definisi absolut, melainkan untuk terus mengembangkan pendekatan yang lebih adaptif, reflektif, dan transformatif terhadap dinamika pengetahuan manusia.


Catatan Kaki

[1]                Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201c–210d.

[2]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 197–199.

[3]                Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[4]                Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 25–27.

[5]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 65–70.

[6]                Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and Reflective Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–30.

[7]                Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical Issues 10 (2000): 94–107; Jason Stanley, Knowledge and Practical Interests (Oxford: Oxford University Press, 2005), 4–9.

[8]                Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Clarendon Press, 2005), 151–155.


Daftar Pustaka

Audi, R. (2010). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

Alston, W. P. (1989). Epistemic justification: Essays in the theory of knowledge. Cornell University Press.

BonJour, L. (1985). The structure of empirical knowledge. Harvard University Press.

BonJour, L. (2010). Epistemology: Classic problems and contemporary responses (2nd ed.). Rowman & Littlefield.

Cohen, S. (2000). Contextualism and skepticism. Philosophical Issues, 10(1), 94–107. https://doi.org/10.2307/1522868

David, M. (2016). The correspondence theory of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2016 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/truth-correspondence/

Dretske, F. (1970). Epistemic operators. The Journal of Philosophy, 67(24), 1007–1023. https://doi.org/10.2307/2024643

Feldman, R. (2003). Epistemology. Prentice Hall.

Floridi, L. (2017). Artificial intelligence and the epistemological challenge of machine learning. Philosophy & Technology, 30(3), 261–267. https://doi.org/10.1007/s13347-017-0266-6

Gettier, E. L. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123. https://doi.org/10.1093/analys/23.6.121

Goldman, A. I. (1967). A causal theory of knowing. The Journal of Philosophy, 64(12), 357–372. https://doi.org/10.2307/2024267

Goldman, A. I. (1986). Epistemology and cognition. Harvard University Press.

Greco, J. (2010). Achieving knowledge: A virtue-theoretic account of epistemic normativity. Cambridge University Press.

Gutmann, A., & Thompson, D. (2004). Why deliberative democracy? Princeton University Press.

Hare, W. (1987). Critical thinking as an educational ideal. Canadian Journal of Education, 12(1), 1–11. https://doi.org/10.2307/1495084

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.

Jamieson, K. H., & Taussig, D. (2020). Disinformation, fake news, and influence campaigns on Twitter. Political Science Quarterly, 135(4), 617–654. https://doi.org/10.1002/polq.13101

Lehrer, K. (2000). Theory of knowledge (2nd ed.). Westview Press.

Lehrer, K., & Paxson, T., Jr. (1969). Knowledge: Undefeated justified true belief. The Journal of Philosophy, 66(8), 225–237. https://doi.org/10.2307/2024944

Lewis, D. (1996). Elusive knowledge. Australasian Journal of Philosophy, 74(4), 549–567. https://doi.org/10.1080/00048409612347421

Nozick, R. (1981). Philosophical explanations. Harvard University Press.

Pritchard, D. (2005). Epistemic luck. Oxford University Press.

Plato. (1992). Theaetetus (M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company. (Original work published ca. 369 BCE)

Sosa, E. (1991). Knowledge in perspective: Selected essays in epistemology. Cambridge University Press.

Sosa, E. (2007). A virtue epistemology: Apt belief and reflective knowledge. Oxford University Press.

Stanley, J. (2005). Knowledge and practical interests. Oxford University Press.

Steup, M. (2020). Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Winter 2020 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Zagzebski, L. (1994). The inescapability of Gettier problems. The Philosophical Quarterly, 44(174), 65–73. https://doi.org/10.2307/2220148


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar