Justified True Belief (JTB)
Epistemologi Klasik dan Kontemporer
Alihkan ke: Kebenaran.
Hubungan
antara Justification, Truth, dan Belief.
Abstrak
Konsep Justified True Belief (JTB) telah
lama menjadi kerangka definisional utama dalam epistemologi klasik yang
memandang pengetahuan sebagai hasil dari perpaduan antara kebenaran, keyakinan,
dan pembenaran. Artikel ini menyajikan telaah komprehensif terhadap struktur
JTB, mulai dari akar filosofisnya dalam dialog Theaetetus karya Plato,
hingga tantangan mendasar yang diajukan oleh Edmund Gettier pada pertengahan
abad ke-20. Dengan menganalisis elemen-elemen JTB secara konseptual dan logis,
artikel ini menunjukkan keterbatasan definisional JTB dalam menghadapi epistemic
luck dan kompleksitas kontekstual dari klaim pengetahuan. Selain mengulas
respons-respons epistemologis yang muncul pasca-Gettier—seperti reliabilisme,
virtue epistemology, dan contextualism—artikel ini juga menyoroti
implikasi epistemologis dan praktis dari debat tersebut dalam konteks
pendidikan, teknologi, dan etika kognitif. Kesimpulan artikel ini menegaskan
bahwa meskipun JTB tidak lagi dapat dipertahankan sebagai definisi final
pengetahuan, ia tetap memainkan peran penting sebagai fondasi dalam memahami
dinamika struktur epistemik modern dan mengarahkan pengembangan epistemologi
yang lebih reflektif dan adaptif terhadap tantangan kontemporer.
Kata Kunci: Justified True Belief, pengetahuan, epistemologi,
Gettier, reliabilisme, kebajikan epistemik, epistemic luck, kontekstualisme,
etika kognitif.
PEMBAHASAN
Telaah Filosofis terhadap Konsep Justified True Belief
dalam Epistemologi Klasik dan Kontemporer
1.
Pendahuluan
Epistemologi,
sebagai cabang filsafat yang berfokus pada teori pengetahuan, telah lama
menjadi salah satu pilar utama dalam perenungan filosofis. Salah satu
pertanyaan paling mendasar dalam epistemologi adalah: Apa yang
dimaksud dengan pengetahuan? Sejak zaman Yunani Kuno, para filsuf
telah mencari definisi yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut, dan salah
satu formulasi klasik yang paling berpengaruh adalah konsep Justified
True Belief (JTB). Konsep ini menyatakan bahwa seseorang dikatakan
memiliki pengetahuan atas suatu proposisi apabila tiga syarat terpenuhi secara
simultan: proposisi tersebut benar (truth), diyakini oleh subjek (belief),
dan disertai dengan alasan atau pembenaran yang memadai (justification)¹.
Konsepsi JTB berakar
dari karya Plato dalam dialog Theaetetus, di mana pengetahuan
didiskusikan sebagai keyakinan benar yang disertai alasan². Meski dalam dialog
tersebut Plato tidak secara eksplisit menyimpulkan bahwa JTB adalah definisi
final pengetahuan, interpretasi ini menjadi model dominan selama berabad-abad
dalam tradisi epistemologi Barat. Formulasi ini memberikan kerangka tripartit
yang sederhana namun kuat dalam membedakan pengetahuan dari opini atau
kepercayaan yang tidak berdasar³.
Namun, pada tahun
1963, Edmund Gettier menerbitkan sebuah esai pendek berjudul “Is
Justified True Belief Knowledge?” yang mengguncang fondasi konsep
JTB. Dalam esainya, Gettier menunjukkan bahwa terdapat situasi di mana ketiga
kondisi JTB terpenuhi, tetapi secara intuitif tetap tidak menghasilkan
pengetahuan. Argumen Gettier ini menghasilkan gelombang besar kritik terhadap
definisi klasik dan memunculkan apa yang dikenal sebagai Gettier
Problem⁴. Sejak saat itu, epistemolog kontemporer berlomba-lomba
untuk menanggapi tantangan tersebut, baik dengan memodifikasi definisi JTB,
menambahkan kondisi keempat, maupun merumuskan teori alternatif tentang
pengetahuan seperti reliabilisme, virtue
epistemology, dan contextualism⁵.
Dalam konteks itulah
artikel ini disusun: untuk meninjau secara mendalam konsep Justified
True Belief sebagai definisi klasik pengetahuan, mengkaji
kritik-kritik terhadapnya, serta menelusuri berbagai respons kontemporer
terhadap permasalahan yang ditimbulkannya. Dengan pendekatan filosofis dan
tinjauan literatur ilmiah, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
menyeluruh tentang validitas JTB dalam epistemologi masa kini.
Catatan Kaki
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 197–198.
[2]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, revised by Myles
Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201c–210d.
[3]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2020 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/.
[4]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[5]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986); Ernest Sosa, Knowledge in Perspective:
Selected Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press,
1991).
2.
Konsep Dasar Justified True Belief
Definisi klasik
tentang pengetahuan, yang dikenal sebagai Justified True Belief (JTB), telah
memainkan peran sentral dalam diskursus epistemologi Barat sejak zaman kuno.
Dalam formulasi sederhananya, teori ini menyatakan bahwa seseorang (S)
mengetahui proposisi (p) jika dan hanya jika: (1) p
adalah benar, (2) S mempercayai bahwa p,
dan (3) S
memiliki justifikasi yang memadai untuk mempercayai bahwa p.
Rumusan ini dikenal sebagai tripartite theory of knowledge
atau teori pengetahuan tiga komponen¹.
Meskipun tidak
secara eksplisit diformulasikan oleh Plato sebagai definisi final pengetahuan,
gagasan tentang pengetahuan sebagai "keyakinan yang benar dan disertai
alasan" muncul dalam dialog Theaetetus (201c–210d), di mana
Sokrates berdialog dengan Theaetetus tentang apakah pengetahuan dapat disamakan
dengan persepsi, opini yang benar, atau opini yang benar disertai alasan².
Dalam diskusi tersebut, Plato secara eksploratif menunjukkan bahwa hanya opini
yang benar dengan alasan yang sahih yang dapat dianggap sebagai pengetahuan.
Meskipun Plato sendiri tidak menyatakan bahwa ini adalah definisi definitif,
para epistemolog modern sering menisbahkan konsep JTB sebagai warisan filosofis
dari karya ini³.
Tiga unsur dalam
definisi JTB memuat dimensi ontologis, psikologis, dan normatif epistemik.
Unsur pertama, kebenaran (truth),
mengacu pada kesesuaian proposisi dengan realitas objektif atau fakta.
Teori-teori utama tentang kebenaran antara lain teori korespondensi, yang
menyatakan bahwa suatu proposisi adalah benar jika sesuai dengan fakta; teori
koherensi, yang menekankan konsistensi logis dalam sistem kepercayaan; dan
teori pragmatis, yang menilai kebenaran berdasarkan keberhasilan praktik⁴.
Unsur kedua, keyakinan
(belief),
merupakan sikap psikologis internal dari subjek terhadap proposisi tertentu.
Untuk memenuhi syarat sebagai pengetahuan, keyakinan ini harus aktif (diyakini
benar oleh subjek), bukan sekadar kemungkinan atau keraguan. Keyakinan dianggap
sebagai state of
mind yang merepresentasikan proposisi tertentu sebagai benar⁵.
Unsur ketiga dan
paling kritis adalah justifikasi (justification),
yaitu dasar atau alasan epistemik yang menjadikan keyakinan seseorang rasional
dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam epistemologi klasik, justifikasi
dianggap sebagai komponen yang membedakan pengetahuan dari sekadar kebetulan
atau dugaan. Sebuah keyakinan yang benar tapi tidak didukung alasan yang
memadai tidak dianggap sebagai pengetahuan. Di sinilah letak kesulitan terbesar
dalam mempertahankan JTB, karena justifikasi sangat bergantung pada bagaimana
kita memahami sumber pengetahuan, seperti persepsi, ingatan, introspeksi, dan
inferensi logis⁶.
Formulasi JTB
memberikan kerangka kerja yang intuitif dan analitis dalam membedakan
pengetahuan dari kepercayaan yang salah atau tidak berdasar. Ia juga membuka
pintu untuk debat filosofis yang lebih lanjut mengenai batas-batas pengetahuan
manusia, termasuk peran kebenaran objektif, subjektivitas keyakinan, dan validitas
proses pembenaran epistemik⁷.
Meskipun sederhana,
struktur JTB telah menjadi pondasi utama dalam epistemologi selama berabad-abad
sebelum munculnya kritik-kritik mendalam pada pertengahan abad ke-20, khususnya
melalui tantangan yang diajukan oleh Edmund Gettier yang menunjukkan bahwa
terpenuhinya ketiga syarat tersebut belum tentu menghasilkan pengetahuan
sejati. Oleh karena itu, memahami secara mendalam tiap elemen dalam JTB
merupakan langkah awal yang penting untuk mengevaluasi validitas dan kelangsungan
konsep ini dalam filsafat kontemporer.
Catatan Kaki
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 197.
[2]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201c–210d.
[3]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2020), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/.
[4]
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2016 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/truth-correspondence/.
[5]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 2003), 15.
[6]
William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of
Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 3–7.
[7]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses, 2nd ed. (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2010), 34–36.
3.
Analisis Elemen Justified True Belief
(JTB)
Konsep Justified
True Belief (JTB) terdiri atas tiga komponen yang saling
bergantung: kebenaran (truth),
keyakinan
(belief),
dan justifikasi
(justification).
Analisis mendalam atas masing-masing elemen ini sangat penting untuk memahami
kekuatan dan kelemahan dari teori JTB sebagai definisi pengetahuan.
3.1.
Kebenaran (Truth)
Elemen pertama dalam
struktur JTB adalah truth. Dalam epistemologi,
kebenaran dianggap sebagai kondisi yang bersifat eksternal
terhadap subjek yang mengetahui. Artinya, sebuah proposisi hanya dapat
dikatakan pengetahuan jika proposisi itu memang benar secara faktual atau
objektif. Salah satu teori paling berpengaruh dalam menjelaskan kebenaran
adalah teori
korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu proposisi adalah
benar apabila ia “berkorespondensi” atau cocok dengan kenyataan¹. Sebagai
contoh, pernyataan “air mendidih pada suhu 100°C pada tekanan satu atmosfer”
adalah benar jika dan hanya jika kenyataan fisik memang sesuai dengan proposisi
tersebut.
Selain teori
korespondensi, terdapat pula teori koherensi dan pragmatis.
Teori koherensi memandang bahwa kebenaran terletak pada konsistensi internal
antarproposisi dalam suatu sistem kepercayaan². Sedangkan teori pragmatis,
seperti yang dikembangkan oleh William James dan Charles S. Peirce, menilai
kebenaran berdasarkan kebermanfaatan praktis suatu keyakinan dalam menjawab
permasalahan atau dalam konteks tindakan³.
Apa pun teori
kebenaran yang digunakan, unsur kebenaran tetap menjadi syarat mutlak dalam
definisi pengetahuan. Seseorang tidak dapat dikatakan “mengetahui”
sesuatu yang ternyata salah, sekalipun ia sangat yakin dan memiliki alasan⁴.
3.2.
Keyakinan (Belief)
Elemen kedua adalah belief,
yaitu sikap mental subjek terhadap suatu proposisi. Dalam filsafat, belief
tidak identik dengan kepercayaan religius atau sikap batin emosional, melainkan
menunjuk pada propositional attitude—sebuah sikap
terhadap proposisi yang dipegang sebagai benar⁵. Agar dapat disebut sebagai
pengetahuan, suatu proposisi harus tidak hanya benar, tetapi juga diyakini
benar oleh subjek yang mengetahui. Jika seseorang tidak memiliki keyakinan
terhadap proposisi tertentu, maka tidak relevan apakah proposisi tersebut benar
atau bahkan dibenarkan; ia tidak “mengetahui” hal itu dalam arti
epistemologis⁶.
Keyakinan ini harus
bersifat diperoleh dengan kesadaran dan
bukan kebetulan. Sebagai contoh, seseorang yang mengatakan “Hari ini akan
hujan” tanpa keyakinan yang sungguh, meskipun ternyata benar, tidak dapat
dianggap mengetahui bahwa hari itu akan hujan⁷.
3.3.
Justifikasi (Justification)
Justifikasi adalah
elemen yang paling kompleks dalam teori JTB dan menjadi fokus utama kritik
terhadap definisi klasik ini. Justifikasi mengacu pada alasan
epistemik yang mendukung keyakinan subjek terhadap suatu
proposisi. Syarat ini dibutuhkan untuk membedakan antara pengetahuan dan
sekadar tebakan yang kebetulan benar⁸.
Terdapat berbagai
pendekatan dalam memahami justifikasi. Dua pendekatan utama adalah:
·
Internalisme,
yang menyatakan bahwa justifikasi bergantung pada faktor-faktor yang dapat
diakses secara mental oleh subjek (misalnya: bukti, pengalaman,
inferensi).
·
Eksternalisme,
yang menekankan bahwa justifikasi tidak harus dapat diakses secara
introspektif, melainkan cukup jika proses terbentuknya keyakinan itu dapat
diandalkan atau reliable⁹.
Dalam internalisme,
teori yang dominan adalah foundationalism dan coherentism.
Foundationalism
berpendapat bahwa keyakinan yang dibenarkan disusun secara hirarkis, dimulai
dari keyakinan dasar yang non-inferensial (misalnya persepsi indrawi langsung),
lalu membentuk keyakinan lain melalui inferensi¹⁰. Sebaliknya, coherentism
menolak adanya keyakinan dasar dan memandang justifikasi sebagai hasil dari
koherensi sistem keyakinan secara keseluruhan¹¹.
Dalam eksternalisme,
yang paling berpengaruh adalah reliabilisme, yakni pandangan
bahwa suatu keyakinan dibenarkan jika dihasilkan oleh proses kognitif yang
secara statistik dapat diandalkan dalam menghasilkan kebenaran¹². Dengan kata
lain, subjek tidak harus mampu mengakses atau menjelaskan pembenaran itu selama
cara memperoleh pengetahuan tersebut dapat dipercaya secara obyektif.
Konsepsi justifikasi
menjadi sangat penting karena menjadi titik rawan dalam kasus-kasus seperti
yang dikemukakan oleh Gettier, yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya.
Sebab, ternyata terdapat kasus di mana seseorang memiliki keyakinan yang benar
dan dibenarkan, tetapi tetap gagal untuk disebut “mengetahui”.
Catatan Kaki
[1]
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2016 Edition), https://plato.stanford.edu/entries/truth-correspondence/.
[2]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses, 2nd ed. (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2010), 114–116.
[3]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 95–96.
[4]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory
of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 198.
[5]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 2003), 21–22.
[6]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2020), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/.
[7]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2000), 13–14.
[8]
William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of
Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 8–10.
[9]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 50–52.
[10]
Robert Audi, Epistemology, 208–210.
[11]
Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 93–98.
[12]
Alvin Goldman, “What is Justified Belief?” in Justification and
Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.
4.
Tantangan terhadap JTB: Gettier Problem
Selama hampir dua milenium, konsep Justified
True Belief (JTB) diterima secara luas sebagai definisi standar pengetahuan
dalam filsafat Barat. Namun, status kokoh teori ini mulai runtuh ketika Edmund
L. Gettier menerbitkan esai singkat yang sangat berpengaruh berjudul “Is Justified
True Belief Knowledge?” pada tahun 1963. Dalam esai tersebut, Gettier
menyatakan bahwa meskipun suatu keyakinan bisa benar dan dibenarkan, hal itu
belum tentu merupakan pengetahuan. Argumen ini memunculkan apa yang dikenal
sebagai Gettier Problem, yang secara fundamental mengguncang struktur
tripartit JTB dan membuka wacana epistemologis yang sepenuhnya baru¹.
Gettier mendemonstrasikan kritiknya melalui dua
skenario imajiner yang kini menjadi sangat terkenal dalam literatur
epistemologi. Dalam salah satu kasus, seorang individu bernama Smith memiliki
keyakinan yang dibenarkan bahwa “orang yang akan mendapatkan pekerjaan
memiliki sepuluh koin di sakunya” berdasarkan bukti kuat dari atasan
perusahaan. Namun ternyata, bukan Bill (yang diasumsikan Smith) melainkan Smith
sendiri yang mendapatkan pekerjaan, dan kebetulan ia juga memiliki sepuluh koin
di sakunya. Dalam skenario ini, Smith memiliki keyakinan yang benar dan
dibenarkan, tetapi secara intuitif jelas bahwa dia tidak mengetahui proposisi
tersebut².
Inti dari masalah Gettier adalah adanya epistemic
luck—keberuntungan epistemik—yang membuat keyakinan seseorang menjadi
benar, bukan karena justifikasinya secara kausal mengarah pada kebenaran,
melainkan secara kebetulan saja. Maka dari itu, definisi JTB dianggap gagal
karena memungkinkan terjadinya situasi di mana seseorang dapat memiliki belief
yang benar dan dibenarkan, namun tidak bisa dianggap memiliki pengetahuan³.
Dampak publikasi Gettier sangat luas. Ia memicu
serangkaian usaha dari para epistemolog untuk “menambal” teori JTB dengan
menambahkan syarat keempat. Salah satu upaya awal adalah teori no
false lemmas, yang menyatakan bahwa keyakinan yang dibenarkan tidak boleh
didasarkan pada premis yang salah⁴. Namun, teori ini juga menghadapi kasus Gettier-style
baru yang tetap lolos dari kriteria tersebut.
Beberapa epistemolog beralih ke pendekatan reliabilisme,
yang menyatakan bahwa suatu keyakinan bisa disebut sebagai pengetahuan jika
dihasilkan oleh proses kognitif yang dapat diandalkan⁵. Sementara itu,
pendekatan lain seperti causal theory of knowledge yang dikembangkan
oleh Alvin Goldman mencoba menekankan hubungan kausal antara proposisi dan
kepercayaan⁶. Teori lainnya adalah truth-tracking theory oleh Robert
Nozick, yang menyatakan bahwa seseorang mengetahui p jika keyakinannya
terhadap p “mengikuti kebenaran” dalam dunia-wacana yang mungkin
berbeda⁷.
Selain itu, Ernest Sosa mengembangkan teori virtue
epistemology, yang memandang pengetahuan sebagai hasil dari pelaksanaan
kebajikan intelektual oleh subjek. Menurut pandangan ini, pengetahuan bukan
hanya soal memiliki alasan yang tepat, tetapi juga soal melaksanakan proses
kognitif secara andal dan bertanggung jawab⁸.
Munculnya Gettier Problem memaksa epistemologi
modern untuk merevisi atau bahkan meninggalkan struktur JTB. Sebagian filsuf
menerima bahwa pengetahuan adalah konsep yang terlalu kompleks untuk direduksi
menjadi syarat-syarat formal, sedangkan yang lain terus berupaya menemukan
rumusan definisional yang tahan terhadap kasus semacam Gettier. Terlepas dari
pendekatan yang diambil, tidak diragukan bahwa Gettier telah membawa
epistemologi ke fase baru yang lebih kritis dan reflektif⁹.
Catatan Kaki
[1]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief
Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.
[2]
Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” 122.
[3]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 23–25.
[4]
Keith Lehrer and Thomas Paxson Jr., “Knowledge:
Undefeated Justified True Belief,” Journal of Philosophy 66, no. 8
(1969): 225–237.
[5]
Alvin I. Goldman, “A Causal Theory of Knowing,” Journal
of Philosophy 64, no. 12 (1967): 357–372.
[6]
Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 68–73.
[7]
Robert Nozick, Philosophical Explanations
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1981), 172–196.
[8]
Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected
Essays in Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
225–230.
[9]
Linda Zagzebski, “The Inescapability of Gettier
Problems,” Philosophical Quarterly 44, no. 174 (1994): 65–73.
5.
Respons dan Revisi terhadap JTB
Setelah publikasi
artikel Gettier pada tahun 1963 yang menunjukkan bahwa definisi klasik Justified
True Belief (JTB) tidak cukup untuk mendefinisikan pengetahuan,
para epistemolog modern dan kontemporer segera merespons dengan berbagai
pendekatan korektif. Upaya-upaya ini bertujuan untuk menyelamatkan atau
menggantikan model JTB agar tahan terhadap kasus Gettier-style yang mengandung
elemen kebetulan epistemik (epistemic luck).
5.1.
Teori Tambahan: No False
Lemmas
Salah satu respons
awal datang dari Keith Lehrer dan Thomas Paxson melalui teori no false
lemmas, yang menambahkan syarat keempat ke dalam struktur JTB: bahwa
keyakinan tidak boleh didasarkan pada proposisi salah⁽¹⁾. Dalam rumusan ini,
seseorang mengetahui p jika dan hanya jika:
·
p benar;
·
S percaya bahwa p;
·
S dibenarkan dalam
percaya bahwa p;
·
dan S tidak
menyimpulkan p dari suatu proposisi yang salah.
Meskipun teori ini
dapat menolak beberapa contoh Gettier, ia tetap gagal menghadapi kasus
modifikasi di mana tidak ada proposisi salah yang secara eksplisit menjadi
dasar kesimpulan, tetapi keberuntungan tetap memainkan peran sentral dalam
hasil akhir keyakinan⁽²⁾.
5.2.
Teori Reliabilisme
Sebagai alternatif
terhadap pendekatan internalis, muncul teori reliabilisme yang dikembangkan
oleh Alvin Goldman. Dalam pandangan ini, pengetahuan tidak tergantung pada
kemampuan subjek untuk mengakses alasan pembenaran,
melainkan pada apakah keyakinan tersebut dihasilkan oleh proses
kognitif yang andal dalam menghasilkan kebenaran⁽³⁾. Artinya,
jika keyakinan terhadap proposisi p dihasilkan oleh mekanisme seperti
persepsi yang tidak rusak atau ingatan yang berfungsi dengan baik, maka
keyakinan itu dapat dianggap sebagai pengetahuan meskipun subjek tidak dapat
menjelaskan pembenarannya secara introspektif⁽⁴⁾.
Reliabilisme
berhasil menjawab beberapa contoh Gettier dengan menolak bahwa keyakinan yang
berasal dari proses yang tidak konsisten atau cacat secara statistik dapat
disebut pengetahuan. Namun, teori ini sendiri menimbulkan perdebatan baru
seputar definisi “proses andal” dan tantangan dari intuisi internalis yang kuat
dalam filsafat analitik.
5.3.
Tracking Theory dan Safety
Theory
Robert Nozick
mengajukan teori truth-tracking yang berfokus pada
kemampuan keyakinan seseorang untuk mengikuti kebenaran dalam kondisi-kondisi
kontrafaktual. Menurut Nozick, S mengetahui bahwa p
jika:
1)
p benar;
2)
S percaya bahwa p;
3)
Jika p tidak benar, maka S
tidak akan percaya bahwa p;
4)
Jika p benar, maka S
akan percaya bahwa p⁽⁵⁾.
Model ini berusaha
mengeliminasi epistemic luck dengan mengevaluasi
sensitivitas keyakinan terhadap perubahan kebenaran dalam dunia kemungkinan
lainnya. Namun, teori ini dikritik karena terlalu ketat dan menghasilkan hasil
kontra-intuitif, seperti kasus closure failure, yaitu ketika
seseorang tidak bisa mengklaim mengetahui implikasi dari hal yang ia
ketahui⁽⁶⁾.
Sebagai tanggapan,
muncul pendekatan alternatif seperti safety theory yang dikembangkan
oleh Duncan Pritchard. Teori ini menyatakan bahwa seseorang mengetahui p
hanya jika keyakinannya terhadap p tidak hanya benar tetapi juga aman,
dalam arti bahwa dalam dunia-wacana yang “dekat”, keyakinan tersebut
tidak akan salah⁽⁷⁾. Pendekatan ini lebih longgar dibanding tracking
theory dan dianggap lebih sesuai dengan intuisi umum mengenai
pengetahuan.
5.4.
Virtue Epistemology
Dalam beberapa
dekade terakhir, pendekatan yang semakin populer adalah virtue
epistemology, terutama dikembangkan oleh Ernest Sosa dan John
Greco. Pendekatan ini menganalogikan pengetahuan dengan prestasi (achievement)
yang berasal dari kebajikan intelektual. Dalam kerangka ini, seseorang memiliki
pengetahuan jika ia membentuk keyakinannya melalui pelaksanaan kapabilitas
intelektual secara efektif dan bertanggung jawab⁽⁸⁾.
Misalnya, jika
seseorang berhasil mengetahui bahwa ada ular di semak-semak karena ia
memperhatikan suara mendesis dan secara kognitif menghubungkannya dengan
ancaman yang relevan, maka pengetahuan itu dianggap sebagai hasil dari
kebajikan kognitif, bukan sekadar kebetulan atau mekanisme tanpa
akuntabilitas⁽⁹⁾. Virtue epistemology menekankan
peran agensi, karakter, dan disposisi epistemik dalam membedakan antara
pengetahuan dan opini yang benar secara kebetulan.
5.5.
Contextualism dan Interest-Relative
Epistemology
Respons lainnya
datang dari teori kontekstualisme, yang
menyatakan bahwa apakah seseorang “mengetahui” sesuatu bergantung pada standar
epistemik yang berlaku dalam konteks pembicaraan. Dalam situasi
sehari-hari, standar untuk justifikasi mungkin cukup rendah, tetapi dalam
situasi skeptis atau ilmiah, standar itu bisa lebih tinggi⁽¹⁰⁾. Pendekatan ini
fleksibel dalam menyikapi Gettier dan skeptisisme dengan menunjukkan bahwa
ekspektasi epistemik bersifat kontekstual.
Dalam versi lebih
lanjut, epistemologi berbasis kepentingan
(interest-relative
epistemology) yang dipelopori oleh Jason Stanley, menyatakan bahwa
apakah seseorang dapat dikatakan mengetahui sesuatu tergantung pada apa yang
dipertaruhkan bagi subjek dalam mempertahankan proposisi
tersebut⁽¹¹⁾.
Dengan demikian,
meskipun Gettier telah menggugurkan struktur klasik JTB sebagai definisi
definitif pengetahuan, ia juga telah merangsang diskusi-diskusi konstruktif
yang memperluas cakupan dan kedalaman epistemologi kontemporer.
Pendekatan-pendekatan seperti reliabilisme, virtue epistemology, dan
contextualism kini menjadi pusat perhatian dalam perdebatan tentang sifat dasar
pengetahuan.
Catatan Kaki
[1]
Keith Lehrer and Thomas Paxson Jr., “Knowledge: Undefeated Justified
True Belief,” Journal of Philosophy 66, no. 8 (1969): 225–237.
[2]
Linda Zagzebski, “The Inescapability of Gettier Problems,” Philosophical
Quarterly 44, no. 174 (1994): 65–73.
[3]
Alvin I. Goldman, “A Causal Theory of Knowing,” Journal of
Philosophy 64, no. 12 (1967): 357–372.
[4]
Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1986), 90–96.
[5]
Robert Nozick, Philosophical Explanations (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1981), 172–187.
[6]
Fred Dretske, “Epistemic Operators,” Journal of Philosophy 67,
no. 24 (1970): 1007–1023.
[7]
Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Clarendon Press,
2005), 146–150.
[8]
Ernest Sosa, Knowledge in Perspective: Selected Essays in
Epistemology (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), 225–230.
[9]
John Greco, Achieving Knowledge: A Virtue-Theoretic Account of
Epistemic Normativity (Cambridge: Cambridge University Press, 2010),
12–18.
[10]
Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical Issues
10 (2000): 94–107.
[11]
Jason Stanley, Knowledge and Practical Interests (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 4–9.
6.
Implikasi Epistemologis dan Praktis
Konsep Justified
True Belief (JTB), meskipun telah mengalami tantangan dan revisi
dari berbagai aliran epistemologis, tetap menyimpan relevansi penting dalam
memahami struktur dan validitas pengetahuan, baik secara teoritis maupun
praktis. Implikasi dari konsep ini merentang luas, tidak hanya dalam ranah
filsafat murni, tetapi juga dalam konteks pendidikan, hukum, komunikasi publik,
dan pembentukan kebijakan di era informasi digital.
6.1.
Implikasi Epistemologis:
Pengetahuan, Kebenaran, dan Ketahanan terhadap Skeptisisme
Secara
epistemologis, perdebatan mengenai JTB mengungkapkan kompleksitas
struktur pengetahuan dan batas-batas rasionalitas manusia dalam
menjangkaunya. Munculnya Gettier problem dan berbagai
respons terhadapnya, seperti reliabilisme atau virtue
epistemology, menunjukkan bahwa pengetahuan tidak dapat direduksi
semata-mata pada kombinasi keyakinan, kebenaran, dan justifikasi secara
linear¹. Sebaliknya, pengetahuan harus dipahami sebagai hasil interaksi antara
kognisi manusia, kondisi eksternal, dan norma-norma epistemik yang dinamis.
Dengan demikian,
salah satu implikasi filosofis dari JTB dan kritiknya adalah perlunya
pendekatan yang pluralistik dan kontekstual
terhadap epistemologi. Pengetahuan bukanlah entitas statis yang bersifat universal
dalam semua konteks, tetapi bergantung pada struktur sosial, praktik diskursif,
serta kapabilitas epistemik dari subjek yang mengetahui².
Lebih lanjut,
pergeseran dari JTB ke model-model alternatif seperti contextualism
dan interest-relative
epistemology menandai munculnya epistemologi terapan yang
mempertimbangkan faktor sosial, pragmatis, dan linguistik dalam mendefinisikan
pengetahuan³. Artinya, pertanyaan epistemologis bukan hanya tentang “Apa yang
kita ketahui?” tetapi juga “Dalam konteks apa kita dapat mengklaim mengetahui
sesuatu?”
6.2.
Implikasi Praktis: Literasi
Kognitif di Era Informasi
Dalam konteks
praktis, pemahaman terhadap struktur JTB menjadi penting dalam membentuk
masyarakat yang berpikir kritis dan rasional. Di era post-truth
dan disinformasi digital, kemampuan untuk membedakan antara opini
yang dibenarkan dan pengetahuan yang sahih sangat
krusial⁴. Misalnya, seseorang yang percaya pada informasi palsu tetapi tidak
menyadari kekeliruannya tetap gagal memenuhi kriteria JTB—ia memiliki
keyakinan, tetapi tidak dibenarkan dan tidak sesuai dengan kebenaran.
Dalam dunia
pendidikan, kerangka JTB dapat diintegrasikan dalam pengajaran metakognisi
dan evaluasi kritis terhadap sumber informasi. Pendekatan epistemologis
yang membekali siswa untuk tidak hanya “percaya” pada informasi, tetapi juga
menuntut pembenaran dan menguji kebenarannya, merupakan bagian penting dari
pengembangan literasi informasi⁵.
Demikian pula dalam
sistem hukum dan pengambilan keputusan kebijakan publik, validitas sebuah klaim
pengetahuan tidak cukup hanya berdasarkan otoritas atau keyakinan mayoritas. Ia
harus melalui prosedur justifikasi rasional dan empiris,
sebagaimana diisyaratkan oleh struktur JTB. Hal ini memperkuat prinsip-prinsip
demokrasi deliberatif yang berbasis pada argumen dan bukti⁶.
6.3.
Relevansi dalam Ranah
Teknologi dan Kecerdasan Buatan
Kemunculan teknologi
berbasis kecerdasan buatan (AI) menambah lapisan baru dalam diskusi epistemologis.
Sistem AI yang menghasilkan prediksi atau keputusan secara probabilistik,
menantang kita untuk bertanya: “Apakah mesin tahu sesuatu dalam pengertian JTB?”
Jika AI menghasilkan proposisi yang benar dan dapat dibenarkan melalui data,
tetapi tidak memiliki kesadaran atau belief, maka menurut struktur
klasik JTB, ia tidak dapat dianggap “mengetahui”⁷.
Hal ini mendorong
pemikiran ulang tentang makna pengetahuan dalam sistem non-human,
serta memperluas epistemologi ke dalam wilayah post-human epistemology yang
mempertimbangkan kecanggihan teknologi sebagai bagian dari jaringan produksi
pengetahuan kontemporer⁸.
6.4.
Etika Epistemik dan
Tanggung Jawab Kognitif
Akhirnya, dari JTB
dan perkembangannya muncul dimensi penting dalam etika
epistemik—yakni tanggung jawab moral subjek dalam membentuk,
mempertahankan, dan menyebarkan keyakinan⁹. Dalam dunia yang dibanjiri oleh
informasi, seseorang tidak dapat bersembunyi di balik relativisme atau
ketidaktahuan. Ia dituntut untuk memiliki sikap epistemik yang bertanggung
jawab: mencari justifikasi, menguji kebenaran, dan tidak sembarangan dalam
mempercayai atau menyebarluaskan informasi.
Dengan demikian,
epistemologi tidak hanya menjadi refleksi teoritis, tetapi juga pedoman
normatif dalam kehidupan intelektual dan sosial. Konsep JTB, meskipun tidak
sempurna, tetap berfungsi sebagai kerangka awal yang penting dalam membentuk
budaya berpikir yang kritis, rasional, dan etis.
Catatan Kaki
[1]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 43–55.
[2]
Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Clarendon Press,
2005), 7–12.
[3]
Jason Stanley, Knowledge and Practical Interests (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 1–6.
[4]
Kathleen Hall Jamieson and Doron Taussig, “Disinformation, Fake News,
and Influence Campaigns on Twitter,” Political Science Quarterly 135,
no. 4 (2020): 617–654.
[5]
William Hare, “Critical Thinking as an Educational Ideal,” The
Canadian Journal of Education 12, no. 1 (1987): 1–11.
[6]
Amy Gutmann and Dennis Thompson, Why Deliberative Democracy?
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 40–58.
[7]
Luciano Floridi, “Artificial Intelligence and the Epistemological
Challenge of Machine Learning,” Philosophy & Technology 30, no. 3
(2017): 261–267.
[8]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016),
133–145.
[9]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 6–8.
7.
Kritik dan Pertimbangan Lanjutan
Meskipun konsep Justified
True Belief (JTB) telah lama menjadi kerangka kerja utama dalam
epistemologi, posisi definisionalnya sebagai pengetahuan semakin
dipertanyakan seiring munculnya berbagai kritik filosofis yang tajam. Tidak
hanya melalui problematisasi formal semacam Gettier problem, tetapi juga
melalui pendekatan yang mempertanyakan asumsi dasar dari model JTB itu sendiri,
baik dari segi logika, bahasa, maupun kekuatan deskriptif terhadap praktik
epistemik nyata.
7.1.
Kritik Reduksionisme:
Terlalu Sederhana untuk Konsep yang Kompleks
Salah satu kritik
utama terhadap JTB adalah sifatnya yang reduksionis. Dengan
menyederhanakan pengetahuan menjadi tiga elemen sempit—kebenaran, keyakinan,
dan justifikasi—model JTB dianggap gagal menangkap dimensi
epistemik yang lebih kompleks seperti faktor sosial,
linguistik, afektif, dan kontekstual dalam pembentukan pengetahuan¹. Linda
Zagzebski, misalnya, menyatakan bahwa setiap definisi yang mencoba menganalisis
pengetahuan ke dalam komponen yang lebih mendasar akan selalu terbuka terhadap
variasi kasus Gettier-style, karena keberuntungan
epistemik tidak dapat dieliminasi hanya dengan penambahan syarat-syarat baru².
7.2.
Masalah Epistemic Luck:
Ancaman Permanen terhadap Struktur Pengetahuan
Masalah epistemic
luck (keberuntungan epistemik) terus menjadi tantangan besar bagi semua
teori yang didasarkan pada JTB. Bahkan dengan berbagai modifikasi—seperti reliabilisme,
no false
lemmas, atau tracking theory—masih terdapat
kemungkinan bahwa keyakinan yang benar dan dibenarkan bisa muncul secara
kebetulan tanpa koneksi kausal atau normatif yang kuat³. Ini menunjukkan bahwa
hubungan antara justifikasi dan kebenaran bersifat kontingen, dan tidak selalu
cukup untuk menghasilkan pengetahuan⁴.
Duncan Pritchard
berargumen bahwa epistemologi harus menghadapi epistemic luck secara langsung dan
sistematis. Ia mengembangkan teori anti-luck epistemology, yang
menekankan bahwa pengetahuan hanya bisa terjadi bila kebenaran keyakinan tidak
tergantung pada kebetulan⁵. Dengan kata lain, epistemologi harus mampu
memberikan kondisi yang membuat keyakinan benar bukan karena kebetulan, tetapi
karena ketepatan epistemik subjek.
7.3.
Ketegangan antara
Internalisme dan Eksternalisme
Debat klasik antara internalisme
(yang menekankan aksesibilitas justifikasi oleh subjek) dan eksternalisme
(yang menilai proses pembentukan keyakinan dari segi keandalan) juga
memperlihatkan keterbatasan JTB sebagai model universal⁶. Dalam konteks JTB,
justifikasi sering dipahami secara internalistik: bahwa subjek harus memiliki
akses mental terhadap alasan pembenarannya. Namun, pendekatan ini sulit
menjelaskan kasus pengetahuan intuitif atau otomatis (seperti persepsi
langsung) yang tidak disadari secara reflektif.
Sebaliknya,
eksternalisme—seperti reliabilisme Goldman—mengabaikan
peran subjek secara introspektif, dan karenanya dianggap mengabaikan tanggung
jawab epistemik⁷. Ketegangan ini memperlihatkan bahwa tak ada
pemahaman tunggal tentang “justifikasi” yang dapat diterima secara universal,
menjadikan unsur ketiga dalam JTB sulit untuk diformulasikan secara tegas dan
bebas dari perdebatan.
7.4.
Kritik Linguistik dan
Kontekstualis
Beberapa filsuf
kontemporer, terutama dari aliran epistemologi linguistik,
menyoroti bahwa penggunaan istilah “mengetahui” dalam bahasa sehari-hari
bersifat kontekstual dan praktis,
bukan struktural atau analitik sebagaimana diasumsikan oleh JTB.
Kontekstualisme, seperti yang dikembangkan oleh Stewart Cohen dan David Lewis,
menunjukkan bahwa klaim “S tahu bahwa p” sangat tergantung pada konteks
pembicaraan, termasuk standar pengetahuan yang digunakan dalam situasi
tertentu⁸.
Dalam hal ini, JTB
dianggap tidak cukup fleksibel untuk menangkap
dinamika bahasa alami dalam praktik epistemik. Artinya, definisi JTB bersifat
terlalu kaku dan ahistoris, sehingga tidak mampu menangani fleksibilitas
pengetahuan dalam diskursus sosial maupun perbedaan budaya epistemik⁹.
7.5.
Pengetahuan sebagai
Performansi dan Kebajikan
Terakhir, pendekatan
virtue
epistemology menyarankan untuk menggantikan definisi-definisi
proposisional seperti JTB dengan pendekatan berbasis agen
epistemik dan kebajikan kognitif. Dalam
pendekatan ini, pengetahuan dipahami bukan sebagai hasil dari struktur
proposisional tertentu, tetapi sebagai prestasi epistemik dari subjek
yang menjalankan kebajikan intelektual dengan tepat¹⁰. Dengan demikian,
pengetahuan menjadi lebih bersifat normatif dan performatif, bukan hanya
deskriptif.
Pendekatan ini juga
memungkinkan epistemologi untuk memperhitungkan nilai-nilai etis dan karakter pribadi,
seperti integritas intelektual, kejujuran, dan kehati-hatian, sebagai bagian
dari struktur pengetahuan. Ini tentu sangat berbeda dari model JTB yang netral
secara moral.
Penutup Sementara
Kritik-kritik ini
menunjukkan bahwa JTB, meskipun memiliki nilai historis dan metodologis yang
penting, tidak lagi dianggap sebagai definisi yang memadai untuk menjelaskan
kompleksitas pengetahuan kontemporer. Ia lebih cocok diposisikan sebagai titik
awal refleksi epistemik daripada sebagai teori final. Maka, tantangan
epistemologi masa kini bukan hanya mengganti JTB, tetapi mengembangkan model
pengetahuan yang lebih holistik, inklusif, dan responsif terhadap konteks
manusia dan teknologi modern.
Catatan Kaki
[1]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 2003), 27–28.
[2]
Linda Zagzebski, “The Inescapability of Gettier Problems,” Philosophical
Quarterly 44, no. 174 (1994): 65–73.
[3]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses, 2nd ed. (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2010), 48–50.
[4]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Winter 2020), https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/.
[5]
Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Clarendon Press,
2005), 1–5.
[6]
William P. Alston, Epistemic Justification: Essays in the Theory of
Knowledge (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1989), 31–36.
[7]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 98–103.
[8]
Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical Issues
10 (2000): 94–107.
[9]
David Lewis, “Elusive Knowledge,” Australasian Journal of
Philosophy 74, no. 4 (1996): 549–567.
[10]
Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief and Reflective
Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–28.
8.
Kesimpulan
Konsep Justified True Belief (JTB) telah
menjadi fondasi utama dalam epistemologi klasik sejak zaman Plato, menawarkan
kerangka struktural yang tampak intuitif untuk mendefinisikan pengetahuan
sebagai gabungan antara kebenaran, keyakinan, dan pembenaran¹. Formulasi ini
memberikan kejelasan analitik yang memadai untuk membedakan antara “mengetahui”
dan sekadar “percaya,” serta menekankan pentingnya dasar rasional dalam
pembentukan keyakinan epistemik².
Namun, tantangan serius terhadap teori JTB muncul
secara eksplisit dalam esai revolusioner Edmund Gettier (1963), yang
menunjukkan bahwa bahkan ketika ketiga komponen terpenuhi, suatu keyakinan
belum tentu layak disebut sebagai pengetahuan³. Kasus-kasus Gettier-style
menyingkap keberadaan epistemic luck (keberuntungan epistemik) sebagai
variabel gangguan yang melemahkan hubungan antara justifikasi dan kebenaran.
Ini mengungkapkan bahwa struktur JTB, meskipun berguna sebagai pendekatan awal,
tidak mencukupi sebagai definisi final dari pengetahuan⁴.
Respons terhadap tantangan ini melahirkan keragaman
pendekatan epistemologis yang memperkaya wacana filsafat kontemporer. Model reliabilisme
berupaya menggantikan justifikasi dengan proses kognitif yang dapat
diandalkan⁵, sementara virtue epistemology menekankan peran kebajikan
intelektual dan performansi agen epistemik dalam menghasilkan pengetahuan⁶.
Pendekatan contextualist dan interest-relative epistemology lebih
jauh menggarisbawahi bahwa klaim pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari
konteks sosial dan praktis yang melingkupinya⁷.
Lebih dari sekadar perdebatan terminologis, kritik
dan revisi terhadap JTB menegaskan bahwa epistemologi bukan sekadar persoalan
definisional, tetapi juga normatif dan pragmatis. Ia menuntut kita untuk
mempertimbangkan tidak hanya bagaimana pengetahuan dibentuk, tetapi juga
bagaimana ia dipertanggungjawabkan dalam praktik sosial, politik, dan teknologi
kontemporer. Dengan kata lain, epistemologi hari ini bergerak dari pertanyaan
"Apa itu pengetahuan?" menuju pertanyaan yang lebih reflektif:
"Apa yang layak disebut pengetahuan dalam konteks dunia modern yang
kompleks?"_⁸
Karenanya, meskipun JTB tidak lagi dapat dianggap
sebagai definisi final yang bebas dari masalah, nilainya sebagai model
epistemik dasar tetap signifikan. Ia menyediakan titik tolak konseptual
yang esensial untuk memetakan batas-batas pengetahuan, menguji kekuatan
pembenaran, serta memahami relasi antara subjek yang mengetahui dan realitas
yang ingin dipahami. Ke depan, epistemologi tidak dituntut untuk menemukan
definisi absolut, melainkan untuk terus mengembangkan pendekatan yang lebih
adaptif, reflektif, dan transformatif terhadap dinamika pengetahuan manusia.
Catatan Kaki
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M.J. Levett, rev.
Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201c–210d.
[2]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary
Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge,
2010), 197–199.
[3]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief
Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.
[4]
Richard Feldman, Epistemology (Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall, 2003), 25–27.
[5]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 65–70.
[6]
Ernest Sosa, A Virtue Epistemology: Apt Belief
and Reflective Knowledge (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–30.
[7]
Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical
Issues 10 (2000): 94–107; Jason Stanley, Knowledge and Practical
Interests (Oxford: Oxford University Press, 2005), 4–9.
[8]
Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford:
Clarendon Press, 2005), 151–155.
Daftar Pustaka
Audi, R. (2010). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Alston, W. P. (1989). Epistemic
justification: Essays in the theory of knowledge. Cornell University
Press.
BonJour, L. (1985). The
structure of empirical knowledge. Harvard University Press.
BonJour, L. (2010). Epistemology:
Classic problems and contemporary responses (2nd ed.). Rowman &
Littlefield.
Cohen, S. (2000). Contextualism
and skepticism. Philosophical Issues, 10(1), 94–107. https://doi.org/10.2307/1522868
David, M. (2016). The
correspondence theory of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Fall 2016 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/truth-correspondence/
Dretske, F. (1970).
Epistemic operators. The Journal of Philosophy, 67(24), 1007–1023. https://doi.org/10.2307/2024643
Feldman, R. (2003). Epistemology.
Prentice Hall.
Floridi, L. (2017).
Artificial intelligence and the epistemological challenge of machine learning. Philosophy
& Technology, 30(3), 261–267. https://doi.org/10.1007/s13347-017-0266-6
Gettier, E. L. (1963). Is
justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123. https://doi.org/10.1093/analys/23.6.121
Goldman, A. I. (1967). A
causal theory of knowing. The Journal of Philosophy, 64(12), 357–372. https://doi.org/10.2307/2024267
Goldman, A. I. (1986). Epistemology
and cognition. Harvard University Press.
Greco, J. (2010). Achieving
knowledge: A virtue-theoretic account of epistemic normativity. Cambridge
University Press.
Gutmann, A., & Thompson,
D. (2004). Why deliberative democracy? Princeton University Press.
Hare, W. (1987). Critical
thinking as an educational ideal. Canadian Journal of Education, 12(1),
1–11. https://doi.org/10.2307/1495084
James, W. (1907). Pragmatism:
A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.
Jamieson, K. H., &
Taussig, D. (2020). Disinformation, fake news, and influence campaigns on
Twitter. Political Science Quarterly, 135(4), 617–654. https://doi.org/10.1002/polq.13101
Lehrer, K. (2000). Theory
of knowledge (2nd ed.). Westview Press.
Lehrer, K., & Paxson,
T., Jr. (1969). Knowledge: Undefeated justified true belief. The Journal of
Philosophy, 66(8), 225–237. https://doi.org/10.2307/2024944
Lewis, D. (1996). Elusive
knowledge. Australasian Journal of Philosophy, 74(4), 549–567. https://doi.org/10.1080/00048409612347421
Nozick, R. (1981). Philosophical
explanations. Harvard University Press.
Pritchard, D. (2005). Epistemic
luck. Oxford University Press.
Plato. (1992). Theaetetus
(M. J. Levett, Trans.; M. Burnyeat, Rev.). Hackett Publishing Company.
(Original work published ca. 369 BCE)
Sosa, E. (1991). Knowledge
in perspective: Selected essays in epistemology. Cambridge University
Press.
Sosa, E. (2007). A
virtue epistemology: Apt belief and reflective knowledge. Oxford
University Press.
Stanley, J. (2005). Knowledge
and practical interests. Oxford University Press.
Steup, M. (2020).
Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Winter 2020 Edition). https://plato.stanford.edu/entries/epistemology/
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford
University Press.
Zagzebski, L. (1994). The
inescapability of Gettier problems. The Philosophical Quarterly, 44(174),
65–73. https://doi.org/10.2307/2220148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar