Kamis, 08 Mei 2025

Peristiwa Mihnah: Dinamika Politik, Teologi, dan Intelektual dalam Islam Abad ke-3 Hijriah

Peristiwa Mihnah

Dinamika Politik, Teologi, dan Intelektual dalam Islam Abad ke-3 Hijriah


Alihkan ke: Mu’tazilah.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif peristiwa Mihnah, sebuah kebijakan kontroversial yang diberlakukan oleh Dinasti Abbasiyah pada abad ke-3 Hijriah (abad ke-9 M), yang memaksakan doktrin kemakhlukan al-Qur’an sebagai dogma resmi negara. Peristiwa ini menandai babak penting dalam sejarah teologi Islam, mencerminkan pertarungan antara rasionalisme Mu’tazilah dan tradisionalisme Ahlus Sunnah, serta memperlihatkan dinamika kompleks antara otoritas politik dan otoritas keilmuan. Melalui pendekatan historis, epistemologis, dan sosio-politik, artikel ini menyoroti peran tokoh-tokoh utama seperti Khalifah al-Ma’mun dan Ahmad bin Hanbal, serta menguraikan dampak jangka panjang Mihnah terhadap perkembangan ilmu kalam, formasi ortodoksi, dan relasi ulama-penguasa. Analisis kontemporer juga menunjukkan relevansi Mihnah dalam wacana kebebasan berpendapat, politisasi agama, dan demokratisasi wacana keislaman di era modern. Studi ini menegaskan pentingnya menjaga pluralitas pemikiran dan independensi otoritas keilmuan dalam masyarakat Islam.

Kata Kunci: Mihnah, Mu’tazilah, kemakhlukan al-Qur’an, Dinasti Abbasiyah, Ahmad bin Hanbal, otoritas keagamaan, rasionalisme, tradisionalisme, kebebasan berpikir, sejarah teologi Islam.


PEMBAHASAN

Telaah Peristiwa Muhnah dalam Sejarah Pemikiran Islam


1.           Pendahuluan

Peristiwa Mihnah merupakan salah satu episode paling penting dan kontroversial dalam sejarah intelektual Islam klasik, yang terjadi pada abad ke-3 Hijriah (abad ke-9 Masehi) selama kekuasaan beberapa khalifah Dinasti Abbasiyah. Istilah mihnah secara harfiah berarti “ujian” atau “cobaan”, namun dalam konteks sejarah Islam, ia merujuk secara spesifik pada kebijakan represif negara yang memaksakan pandangan teologis tertentu, khususnya doktrin kemakhlukan al-Qur’an (khalq al-Qur’an), kepada para ulama dan masyarakat umum⁽¹⁾.

Kebijakan ini pertama kali diberlakukan oleh Khalifah al-Ma’mun (memerintah 198–218 H/813–833 M), yang sangat dipengaruhi oleh pandangan rasionalis Mu’tazilah. Di bawah dukungannya, doktrin kemakhlukan al-Qur’an dijadikan sebagai ajaran resmi negara. Para ulama, qadhi, dan aparatur negara diwajibkan untuk menyatakan kesetiaan terhadap pandangan ini, dan mereka yang menolak dianggap melakukan pembangkangan terhadap otoritas negara⁽²⁾. Tindakan ini tidak hanya menjadi ujian terhadap keberpihakan teologis, tetapi juga menciptakan ketegangan antara otoritas politik dan otoritas keilmuan dalam Islam⁽³⁾.

Salah satu tokoh utama yang menjadi simbol penentangan terhadap mihnah adalah Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Ia menolak menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan menolak campur tangan penguasa dalam urusan akidah. Penolakannya menyebabkan ia dipenjara dan disiksa, namun keteguhannya kemudian menginspirasi perlawanan diam-diam dari banyak ulama lainnya⁽⁴⁾. Melalui figur Ahmad bin Hanbal, kita melihat bagaimana para ulama tradisionalis mempertahankan otoritas keilmuan dalam menghadapi tekanan politik.

Peristiwa mihnah bukan hanya sekadar polemik teologis, tetapi juga mencerminkan dinamika yang lebih luas dalam hubungan antara ilmu, kekuasaan, dan masyarakat. Ia menjadi momen penting dalam sejarah pembentukan otoritas intelektual Islam, serta menggambarkan ketegangan antara rasionalisme yang diusung oleh negara dan tradisionalisme yang diperjuangkan oleh sebagian besar komunitas ulama. Oleh karena itu, pembahasan terhadap mihnah tidak hanya penting dari sudut sejarah teologi, tetapi juga dari perspektif filsafat ilmu, sosiologi pengetahuan, dan politik Islam⁽⁵⁾.

Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif peristiwa mihnah, mulai dari akar sejarah dan teologisnya, peran para aktor utama, mekanisme pelaksanaannya oleh negara Abbasiyah, serta dampaknya terhadap lanskap pemikiran Islam klasik. Dengan pendekatan interdisipliner dan berbasis sumber-sumber otoritatif, diharapkan tulisan ini dapat memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana sebuah konflik ideologis dapat membentuk wajah keilmuan Islam hingga berabad-abad sesudahnya.


Footnotes

[1]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Ma'mun (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 103–106.

[2]                Wilferd Madelung, “The Origins of the Controversy Concerning the Creation of the Qurʾān,” Studia Islamica, no. 56 (1982): 19–52.

[3]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 65–70.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld Publications, 2009), 146.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 75–77.


2.           Konteks Historis Dinasti Abbasiyah

Peristiwa Mihnah tidak dapat dilepaskan dari dinamika politik dan intelektual yang berkembang dalam lingkungan Dinasti Abbasiyah pada abad ke-3 Hijriah. Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang menggantikan Umayyah pada tahun 132 H/750 M dan menjadikan Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan Islam. Di bawah kepemimpinan para khalifah awalnya, khususnya Harun al-Rasyid (r. 786–809) dan anaknya al-Ma’mun (r. 813–833), kekhalifahan Abbasiyah mengalami puncak kejayaan politik, ekonomi, dan intelektual⁽¹⁾.

Kekuasaan Abbasiyah ditopang oleh dukungan luas dari berbagai kelompok, termasuk kalangan intelektual, ilmuwan, dan fuqaha. Namun, dalam periode al-Ma’mun, terjadi pergeseran penting dalam orientasi ideologis kekhalifahan. Al-Ma’mun dikenal sebagai seorang penguasa yang sangat tertarik pada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Ia mendukung gerakan penerjemahan besar-besaran karya-karya filsafat dan sains dari Yunani ke dalam bahasa Arab melalui Bayt al-Hikmah, yang menjadikan Baghdad sebagai episentrum rasionalisme Islam⁽²⁾.

Dalam konteks teologis, al-Ma’mun juga merupakan pendukung utama mazhab Mu’tazilah—suatu aliran teologi Islam yang sangat menjunjung tinggi akal (ʿaql) dalam memahami doktrin agama. Pandangan Mu’tazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an sejalan dengan kerangka filsafat yang menolak konsep kekekalan selain Tuhan. Oleh karena itu, al-Ma’mun tidak hanya mendukung pandangan Mu’tazilah secara pribadi, tetapi juga mulai mengintegrasikannya ke dalam kebijakan negara, dengan menjadikan doktrin itu sebagai standar ortodoksi resmi kekhalifahan⁽³⁾.

Keputusan al-Ma’mun untuk menerapkan doktrin ini secara koersif melalui kebijakan Mihnah harus dipahami sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat legitimasi politik dan ideologis khalifah. Dalam tradisi Abbasiyah, khalifah tidak hanya berperan sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai pemelihara ortodoksi keagamaan. Dalam pandangan al-Ma’mun, negara berhak dan bahkan wajib mengarahkan kepercayaan umat demi menjaga kemurnian rasionalitas dan ketertiban teologis⁽⁴⁾.

Konteks politik yang kompleks juga turut memengaruhi kebijakan ini. Al-Ma’mun naik takhta setelah perang saudara berdarah dengan saudaranya al-Amin dalam fitnah besar antara tahun 809–813. Situasi pascaperang menuntut peneguhan kembali otoritas khalifah secara absolut, dan salah satu sarana yang digunakan adalah menetapkan doktrin teologis sebagai alat kontrol terhadap oposisi, termasuk dari kalangan ulama tradisionalis⁽⁵⁾. Maka, mihnah dapat dilihat sebagai manifestasi dari hubungan saling tarik-menarik antara kekuasaan politik dan otoritas keagamaan dalam sejarah awal Islam.

Periode inilah yang menjadi fondasi munculnya relasi yang problematik antara rasionalisme negara dan tradisionalisme ulama. Dalam kerangka ini, para ulama seperti Ahmad bin Hanbal bukan hanya mewakili resistensi terhadap doktrin Mu’tazilah, tetapi juga terhadap intervensi negara dalam wilayah teologis yang sebelumnya dianggap sebagai domain eksklusif para ahli ilmu⁽⁶⁾.


Footnotes

[1]                Hugh Kennedy, The Early Abbasid Caliphate: A Political History (London: Croom Helm, 1981), 89–91.

[2]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 14–19.

[3]                Wilferd Madelung, “The Origins of the Controversy Concerning the Creation of the Qurʾān,” Studia Islamica, no. 56 (1982): 19–24.

[4]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Ma'mun (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 102–103.

[5]                Patricia Crone dan Martin Hinds, God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 103–104.

[6]                Wael B. Hallaq, Authority, Continuity, and Change in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 46–48.


3.           Akar Teologis: Konsep Kemakhlukan al-Qur’an

Persoalan mengenai apakah al-Qur’an merupakan makhluk (makhlūq) atau tidak merupakan salah satu perdebatan paling signifikan dalam sejarah awal teologi Islam. Polemik ini menjadi titik tolak utama dalam Peristiwa Mihnah, di mana penguasa Abbasiyah memaksakan doktrin kemakhlukan al-Qur’an sebagai dogma resmi negara. Perdebatan ini pada hakikatnya berakar pada persoalan yang lebih luas tentang hubungan antara Tuhan dan firman-Nya, serta batas-batas akal dalam memahami sifat-sifat Ilahi.

3.1.       Mu’tazilah dan Rasionalisasi Teks

Pandangan mengenai kemakhlukan al-Qur’an pertama kali dipopulerkan oleh aliran teologi rasionalis, yakni Mu’tazilah, yang berkembang pesat sejak akhir abad ke-2 Hijriah. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk, yakni sesuatu yang diciptakan oleh Allah, bukan bagian dari Dzat-Nya yang qadīm (azali)⁽¹⁾. Bagi mereka, mempertahankan bahwa al-Qur’an tidak diciptakan akan berimplikasi pada adanya entitas azali selain Allah, yang bertentangan dengan prinsip ketauhidan mutlak (tawḥīd)⁽²⁾.

Doktrin ini sejalan dengan al-uṣūl al-khamsah (lima prinsip utama) yang dianut oleh Mu’tazilah, terutama tawḥīd dan al-‘adl (keadilan Tuhan), yang menekankan bahwa Tuhan tidak boleh disifati dengan sifat-sifat yang berimplikasi pada antropomorfisme atau dualisme zat⁽³⁾. Maka, untuk menjaga kemurnian ketauhidan, segala yang “di luar” Dzat Allah, termasuk kalam-Nya, harus dianggap sebagai sesuatu yang diciptakan dalam waktu.

3.2.       Ahlus Sunnah dan Konsep Kalam Allah

Sebaliknya, para teolog Ahlus Sunnah, khususnya dari kalangan tradisionalis seperti Ahmad bin Hanbal, menolak secara tegas pandangan tersebut. Mereka berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan, bagian dari sifat-Nya yang qadīm dan tidak terpisahkan dari Dzat Ilahi⁽⁴⁾. Dalam pandangan ini, mempertanyakan kemakhlukan al-Qur’an dianggap sebagai pelanggaran terhadap nash dan tradisi salaf. Penolakan terhadap kemakhlukan al-Qur’an dipandang sebagai upaya mempertahankan kemurnian wahyu dan menolak campur tangan akal yang berlebihan dalam hal yang bersifat transenden.

Argumentasi Ahlus Sunnah ini didasarkan pada pemahaman tekstual terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah. Bagi mereka, memaknai kalam Allah sebagai makhluk dapat membuka pintu pada relativisasi wahyu dan menurunkan otoritas normatifnya sebagai sumber utama hukum Islam⁽⁵⁾.

3.3.       Dimensi Filsafat dan Epistemologi

Polemik ini tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga menyentuh aspek filsafat dan epistemologi dalam pemikiran Islam. Mu’tazilah mengadopsi banyak metode logika Yunani yang pada saat itu mulai diperkenalkan melalui gerakan penerjemahan karya-karya Aristoteles dan Plato. Dengan menggunakan kategori filsafat, mereka mengembangkan konsep-konsep seperti kausalitas, temporalitas, dan substansi untuk menjelaskan relasi antara Tuhan dan ciptaan⁽⁶⁾.

Sebaliknya, Ahlus Sunnah lebih menekankan prinsip bi-lā kaifa (tanpa bertanya bagaimana), yaitu pendekatan yang menerima sifat-sifat Tuhan sebagaimana yang disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah tanpa mencoba menyelami hakikatnya secara rasional. Pendekatan ini muncul sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjangkau hal-hal yang ghaib dan metafisik, yang dianggap berada di luar kapasitas akal manusia⁽⁷⁾.

3.4.       Implikasi Doktrinal dan Sosial

Isu kemakhlukan al-Qur’an bukan semata soal teologi spekulatif, tetapi memiliki implikasi sosial dan politis yang signifikan. Ketika suatu pandangan teologis dipaksakan oleh otoritas negara, seperti yang terjadi dalam Mihnah, maka perdebatan ini berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan. Mu’tazilah yang semula merupakan aliran intelektual, menjadi doktrin resmi negara di bawah Abbasiyah, dan perbedaan pendapat terhadapnya tidak hanya dianggap bid’ah, tetapi juga sebagai tindakan pembangkangan politik⁽⁸⁾.

Dengan demikian, akar teologis dari konsep kemakhlukan al-Qur’an merupakan pintu masuk yang penting untuk memahami ketegangan antara rasionalisme dan tradisionalisme dalam Islam klasik, serta bagaimana perdebatan teologis bisa melampaui batas akademik dan masuk ke dalam arena kontrol sosial-politik.


Footnotes

[1]                Richard M. Frank, Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Muʿtazila in the Classical Period (Albany: State University of New York Press, 1978), 58–61.

[2]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra: Eine Geschichte des religiösen Denkens im frühen Islam, vol. 3 (Berlin: Walter de Gruyter, 1992), 105–108.

[3]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 219–222.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad's Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 146–149.

[5]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 71–72.

[6]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 1998), 89–91.

[7]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 28.

[8]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Ma'mun (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 101–103.


4.           Kebijakan Mihnah: Kronologi dan Mekanisme Pelaksanaan

Kebijakan Mihnah—serangkaian ujian keyakinan yang diberlakukan oleh negara terhadap para ulama dan pejabat pemerintahan—merupakan langkah radikal yang diambil oleh Khalifah al-Ma’mun dalam upayanya menegakkan pandangan Mu’tazilah sebagai dogma resmi kekhalifahan Abbasiyah. Peristiwa ini berlangsung selama lebih dari tiga dekade (833–848 M), dimulai pada akhir masa kekuasaan al-Ma’mun dan baru berakhir pada masa Khalifah al-Mutawakkil⁽¹⁾.

4.1.       Awal Pelaksanaan Mihnah pada Masa al-Ma’mun

Mihnah pertama kali diumumkan secara resmi pada tahun 833 M (218 H), beberapa bulan sebelum wafatnya Khalifah al-Ma’mun. Dalam surat edaran yang dikirimkan kepada gubernur Irak, Ishaq bin Ibrahim, al-Ma’mun menegaskan bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan siapa pun yang menolaknya harus diuji dan dihukum⁽²⁾. Surat tersebut menjadi dasar legal bagi dimulainya interogasi terhadap para qadhi dan ulama.

Meskipun al-Ma’mun wafat sebelum kebijakan ini diterapkan secara luas, penggantinya, al-Mu’tashim (r. 833–842 M), justru melanjutkan dan memperluas pelaksanaan mihnah. Ia menunjuk para hakim dan pejabat eksekutif untuk menyidangkan ulama yang menolak doktrin resmi negara. Para ulama diminta menyatakan kesetiaan terhadap pendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk; mereka yang menolak mengalami penjara, penyiksaan, atau pemecatan⁽³⁾.

4.2.       Masa Intensifikasi: Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq

Masa pemerintahan al-Mu’tashim dan al-Watsiq (r. 842–847 M) menandai periode paling represif dari kebijakan mihnah. Dalam fase ini, tindakan terhadap para ulama jauh lebih keras. Salah satu peristiwa penting dalam periode ini adalah interogasi terhadap Ahmad bin Hanbal, yang ditangkap, diinterogasi, dan disiksa karena menolak mengakui kemakhlukan al-Qur’an. Meskipun kemudian dibebaskan, Ahmad tetap dilarang mengajar di masjid-masjid utama Baghdad⁽⁴⁾.

Al-Watsiq bahkan memperketat mekanisme mihnah dengan membentuk dewan-dewan penguji untuk mengawasi konsistensi para pejabat dan tokoh agama. Ia juga menyingkirkan pejabat-pejabat istana yang menunjukkan simpati terhadap pandangan tradisionalis. Dalam praktiknya, mihnah telah berubah menjadi alat kontrol ideologis yang menyasar siapa saja yang tidak tunduk kepada otoritas keagamaan negara⁽⁵⁾.

4.3.       Bentuk dan Mekanisme Pelaksanaan Mihnah

Mihnah diberlakukan melalui berbagai cara, tergantung posisi dan pengaruh tokoh yang menjadi target. Umumnya, mekanisme dimulai dengan panggilan resmi dari pihak penguasa (biasanya melalui gubernur atau qadhi al-qudhat), disusul dengan interogasi publik atau sidang pengadilan terbuka. Jika terdakwa menolak doktrin yang ditetapkan, mereka akan dikenai sanksi administratif (seperti pencopotan jabatan) atau bahkan sanksi fisik berupa penjara, pengasingan, dan penyiksaan⁽⁶⁾.

Selain terhadap ulama, kebijakan ini juga menyasar para qadhi, pengajar, penulis, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh. Interogasi tidak hanya terbatas pada Baghdad, tetapi juga dilaksanakan di kota-kota besar seperti Kufa, Basra, Wasith, dan Samarra. Dengan demikian, mihnah menjadi sarana standardisasi ideologis di seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyah⁽⁷⁾.

4.4.       Akhir Kebijakan Mihnah dan Perubahan Arah Politik

Mihnah berakhir secara resmi pada masa pemerintahan al-Mutawakkil (r. 847–861 M), yang mengambil langkah berani untuk membatalkan kebijakan tersebut. Ia memulihkan kembali hak para ulama tradisionalis dan menghapuskan paksaan terhadap keyakinan individu. Bahkan, al-Mutawakkil melarang diskusi terbuka mengenai masalah khalq al-Qur’an dan menegaskan bahwa urusan teologis adalah wilayah para ulama, bukan negara⁽⁸⁾. Kebijakan ini menandai berakhirnya dominasi Mu’tazilah di istana Abbasiyah dan memulihkan posisi Ahlus Sunnah sebagai arus utama dalam wacana keilmuan Islam.


Footnotes

[1]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Ma'mun (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 100–104.

[2]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 3 (Berlin: Walter de Gruyter, 1992), 109–111.

[3]                Wilferd Madelung, “The Origins of the Controversy Concerning the Creation of the Qurʾān,” Studia Islamica, no. 56 (1982): 30–33.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 146–147.

[5]                Wael B. Hallaq, Authority, Continuity, and Change in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 45–47.

[6]                Richard M. Frank, Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Muʿtazila (Albany: State University of New York Press, 1978), 75.

[7]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century (London: Pearson, 2004), 180.

[8]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 27.


5.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Peristiwa Mihnah

Peristiwa Mihnah bukan hanya peristiwa kebijakan teologis negara, tetapi juga medan pertarungan gagasan yang melibatkan sejumlah tokoh kunci dengan posisi dan pengaruh yang sangat menentukan arah sejarah teologi Islam klasik. Para tokoh ini berasal dari berbagai latar belakang—khalifah, ulama, dan intelektual—yang mewakili kutub rasionalisme dan tradisionalisme. Pemahaman terhadap figur-figur ini sangat penting untuk menilai kompleksitas wacana kekuasaan, keilmuan, dan otoritas agama dalam konteks Mihnah.

5.1.       Khalifah al-Ma’mun (r. 813–833 M)

Khalifah al-Ma’mun adalah arsitek utama kebijakan Mihnah. Sebagai penguasa yang sangat mengagumi filsafat dan rasionalisme, al-Ma’mun menjadikan doktrin kemakhlukan al-Qur’an sebagai pilar ideologis negara. Ia memandang Mu’tazilah sebagai representasi Islam yang rasional dan progresif, sejalan dengan gerakan penerjemahan dan pembinaan ilmu pengetahuan yang ia sponsori melalui lembaga Bayt al-Hikmah⁽¹⁾.

Dalam suratnya kepada gubernur Irak, al-Ma’mun menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan memerintahkan seluruh pejabat dan ulama untuk mengakuinya secara terbuka⁽²⁾. Dengan itu, ia menetapkan standar ortodoksi keagamaan berdasarkan pendekatan rasional, serta mengintervensi wilayah keyakinan yang sebelumnya dianggap sebagai domain otonom para ulama. Al-Ma’mun meyakini bahwa negara harus menjadi penjaga kebenaran, termasuk dalam urusan teologi⁽³⁾.

5.2.       Ahmad bin Hanbal (w. 855 M)

Di kutub seberang, Imam Ahmad bin Hanbal muncul sebagai simbol utama penolakan terhadap Mihnah. Sebagai pendiri mazhab Hanbali, ia mewakili kalangan ulama tradisionalis yang menolak penggunaan akal dalam menentukan pokok-pokok akidah. Ahmad dengan tegas menolak pandangan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, dan ketika dipanggil untuk diuji dalam rangka Mihnah, ia bertahan dalam pendiriannya meskipun menghadapi penyiksaan berat dan pemenjaraan selama masa al-Mu’tashim⁽⁴⁾.

Keteguhan Ahmad bin Hanbal tidak hanya menunjukkan perlawanan terhadap satu doktrin teologis, tetapi juga merupakan penolakan terhadap dominasi negara atas otoritas keagamaan. Ia menjadi simbol resistensi ulama terhadap kekuasaan politik yang melampaui batas wewenangnya. Setelah Mihnah berakhir, reputasi Ahmad justru semakin menguat dan mazhab Hanbali memperoleh pengaruh luas di berbagai wilayah Islam⁽⁵⁾.

5.3.       Khalifah al-Mu’tashim (r. 833–842 M) dan al-Watsiq (r. 842–847 M)

Kedua khalifah ini meneruskan kebijakan Mihnah yang dimulai oleh al-Ma’mun. Al-Mu’tashim dikenal sebagai tokoh yang memperkuat pelaksanaan kebijakan dengan lebih agresif, termasuk menyiksa Ahmad bin Hanbal secara langsung di bawah pengawasannya. Ia menunjuk Ishaq bin Ibrahim sebagai pelaksana utama mihnah di Baghdad dan sekitarnya, dan memperluas interogasi ke wilayah-wilayah lain⁽⁶⁾.

Sementara itu, al-Watsiq dikenal bahkan lebih keras dalam menerapkan kebijakan ini. Ia membentuk badan-badan pemeriksa ortodoksi dan menyingkirkan pejabat yang dianggap simpati pada pandangan Ahlus Sunnah. Al-Watsiq juga menjadikan masalah khalq al-Qur’an sebagai indikator loyalitas politik terhadap kekuasaan, menjadikannya sebagai alat politik sekaligus dogma negara⁽⁷⁾.

5.4.       Khalifah al-Mutawakkil (r. 847–861 M)

Khalifah al-Mutawakkil dikenang sebagai tokoh yang menghentikan kebijakan Mihnah. Ia membatalkan seluruh bentuk ujian ideologis terhadap ulama dan mengembalikan otonomi bidang teologi kepada komunitas keilmuan. Di bawah kepemimpinannya, posisi Ahlus Sunnah dikembalikan dan para ulama yang sebelumnya ditindas memperoleh rehabilitasi sosial dan politik⁽⁸⁾. Tindakan ini tidak hanya mengakhiri krisis Mihnah, tetapi juga menandai awal dari konsolidasi ortodoksi Sunni dalam sejarah Islam.

5.5.       Ishaq bin Ibrahim al-Khuzā’ī

Sebagai wakil gubernur dan kepala polisi (ṣāḥib al-shurṭa) di Baghdad, Ishaq bin Ibrahim memainkan peran penting dalam pelaksanaan teknis Mihnah. Ia bertugas menjalankan interogasi terhadap para ulama dan memastikan kepatuhan terhadap doktrin negara. Meskipun kadang menunjukkan sikap moderat, Ishaq tetap menjadi alat eksekutif penting dalam sistem represif Mihnah⁽⁹⁾.


Kesimpulan

Tokoh-tokoh dalam Peristiwa Mihnah mencerminkan spektrum luas antara kekuasaan politik yang mencoba mengatur kebenaran teologis dan otoritas ilmiah yang mempertahankan independensinya. Peran para khalifah, ulama, dan pejabat pelaksana dalam peristiwa ini tidak hanya menentukan dinamika teologi Islam saat itu, tetapi juga mewariskan model relasi antara negara dan agama yang diperdebatkan sepanjang sejarah Islam.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ʿAbbāsid Society (London: Routledge, 1998), 86–88.

[2]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 3 (Berlin: Walter de Gruyter, 1992), 110–112.

[3]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Maʿmun (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 102–105.

[4]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 146–149.

[5]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 72–73.

[6]                Wilferd Madelung, “The Origins of the Controversy Concerning the Creation of the Qurʾān,” Studia Islamica, no. 56 (1982): 30–34.

[7]                Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates: The Islamic Near East from the Sixth to the Eleventh Century (London: Pearson, 2004), 180–182.

[8]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 27.

[9]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography, 107.


6.           Dampak dan Implikasi Peristiwa Mihnah

Peristiwa Mihnah meninggalkan dampak jangka panjang yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan intelektual dan sosial-politik Islam klasik. Meski secara kuantitatif berlangsung dalam kurun waktu sekitar 15 tahun (833–848 M), namun secara kualitatif peristiwa ini mengubah konstelasi otoritas keagamaan, hubungan antara ulama dan penguasa, serta arah perkembangan ilmu kalam dan hukum Islam. Mihnah menandai babak penting dalam sejarah pembentukan ortodoksi Islam serta menjadi titik balik dalam relasi antara rasionalisme dan tradisionalisme di dunia Islam.

6.1.       Penguatan Tradisionalisme dan Ahlus Sunnah wal Jamaah

Salah satu dampak paling nyata dari Mihnah adalah kebangkitan dan penguatan posisi Ahlus Sunnah wal Jamaah, terutama pasca pembatalan kebijakan tersebut oleh Khalifah al-Mutawakkil. Kegagalan negara untuk memaksakan pandangan teologis Mu’tazilah justru memperkuat legitimasi para ulama tradisionalis sebagai penjaga otentisitas Islam. Tokoh seperti Ahmad bin Hanbal dielu-elukan sebagai pahlawan akidah, dan pemikiran-pemikiran kalam rasional mulai kehilangan pijakan sosial-politik di kalangan umat⁽¹⁾.

Dengan berakhirnya Mihnah, pendekatan salafī berbasis nash (al-Qur’an dan Sunnah) mendapatkan momentum sebagai basis ortodoksi keagamaan. Secara perlahan, orientasi kalam yang spekulatif mulai tergantikan oleh pendekatan yang lebih tekstual, sebagaimana dikembangkan oleh mazhab Hanbali dan kemudian oleh kalangan Asy’ariyah⁽²⁾.

6.2.       Dislokasi Otoritas Intelektual: Negara vs. Ulama

Mihnah memperlihatkan konflik laten antara dua bentuk otoritas keagamaan: otoritas negara (yang mencoba menetapkan kebenaran teologis melalui lembaga kekuasaan) dan otoritas ulama (yang berangkat dari legitimasi keilmuan dan warisan tradisi keagamaan). Selama Mihnah, negara mengklaim hak untuk menentukan batas iman dan kufur melalui pemaksaan doktrin khalq al-Qur’an, yang merupakan bentuk kontrol ideologis terhadap ruang keagamaan⁽³⁾.

Namun, perlawanan yang gigih dari kalangan ulama, terutama Ahmad bin Hanbal, menjadi preseden penting dalam membatasi campur tangan negara dalam diskursus akidah. Sejak saat itu, para khalifah cenderung menyerahkan urusan teologis kepada para ulama, dan tradisi keilmuan Islam berkembang lebih otonom⁽⁴⁾.

6.3.       Konsekuensi terhadap Ilmu Kalam dan Rasionalisme Islam

Secara teoretis, Mihnah menjadi titik awal kemunduran Mu’tazilah sebagai aliran rasionalis terkemuka dalam teologi Islam. Stigmatisasi terhadap Mu’tazilah sebagai "agen penguasa" dan pelaku bid’ah menyebabkan marginalisasi pemikiran mereka dari wacana arus utama. Sebagai akibatnya, teologi Islam berkembang dalam kerangka yang lebih defensif dan apologetik, sebagaimana dikembangkan oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah⁽⁵⁾.

Dominasi nalar tekstual (naqlī) atas nalar rasional (ʿaqlī) setelah Mihnah menjadikan ilmu kalam mengalami transformasi: dari proyek eksplorasi filosofis menuju pembelaan terhadap ortodoksi. Implikasinya, pemikiran spekulatif dan rasional dalam Islam kehilangan posisi sentralnya dalam diskursus keagamaan arus utama selama beberapa abad setelahnya⁽⁶⁾.

6.4.       Perubahan dalam Relasi Politik dan Wacana Hukum

Mihnah turut mengubah paradigma hubungan antara ulama dan penguasa. Jika sebelumnya ulama berada dalam posisi subordinatif terhadap negara, pasca-Mihnah terjadi semacam pembagian otoritas: negara menangani aspek administratif-politik, sedangkan ulama menangani aspek normatif-religius. Pola ini kemudian menjadi ciri khas dunia Islam pra-modern, di mana fungsionalisasi otoritas keagamaan terdistribusi antara sultan dan ulama⁽⁷⁾.

Selain itu, dalam bidang hukum Islam, keberhasilan ulama dalam mempertahankan independensi mereka dari tekanan negara selama Mihnah memperkuat kepercayaan umat kepada sistem mazhab. Hal ini mempercepat konsolidasi empat mazhab fikih utama dan menjadikan mereka sebagai rujukan otoritatif dalam hukum Islam klasik⁽⁸⁾.

6.5.       Warisan Historis dan Relevansi Kontemporer

Secara historis, Mihnah memberikan pelajaran penting tentang bahaya politisasi teologi. Upaya memonopoli kebenaran keagamaan oleh negara terbukti kontraproduktif dan melemahkan kohesi sosial umat. Dalam konteks kontemporer, peristiwa ini relevan sebagai cermin bagi negara-negara Muslim modern dalam mengelola keragaman tafsir keagamaan tanpa represi dan pemaksaan doktrin tertentu⁽⁹⁾.


Footnotes

[1]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 147.

[2]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 73–75.

[3]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Maʿmun (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 104–106.

[4]                Josef van Ess, Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra, vol. 3 (Berlin: Walter de Gruyter, 1992), 113.

[5]                Richard M. Frank, Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Muʿtazila in the Classical Period (Albany: SUNY Press, 1978), 82.

[6]                Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of the Kalam (Cambridge: Harvard University Press, 1976), 300.

[7]                Patricia Crone dan Martin Hinds, God’s Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 110–112.

[8]                Wael B. Hallaq, Authority, Continuity, and Change in Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 48–49.

[9]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 30–32.


7.           Analisis Epistemologis dan Sosio-Politik

Peristiwa Mihnah tidak hanya penting sebagai catatan sejarah represif dalam Islam klasik, tetapi juga menawarkan pijakan untuk analisis mendalam mengenai epistemologi keislaman dan relasi antara kekuasaan, pengetahuan, serta legitimasi sosial-politik. Dalam hal ini, Mihnah menjadi arena di mana konflik antara dua epistemologi dominan—rasionalisme Mu’tazilah dan tradisionalisme Ahlus Sunnah—bertemu dan berbenturan dalam konteks politik kekhalifahan Abbasiyah. Lebih dari sekadar ujian teologis, Mihnah mencerminkan bagaimana pengetahuan direproduksi, dikontrol, dan disahkan dalam struktur kekuasaan yang kompleks.

7.1.       Epistemologi: Rasionalisme vs. Tradisionalisme

Dari sisi epistemologi, Mihnah merepresentasikan konflik antara pendekatan rasional-deduktif yang dikembangkan oleh Mu’tazilah dan pendekatan tekstual-induktif yang dipegang oleh Ahlus Sunnah. Mu’tazilah menempatkan akal (‘aql) sebagai sumber otoritatif dalam memahami ajaran agama, bahkan mengklaim bahwa akal dapat menentukan baik dan buruk secara independen dari wahyu⁽¹⁾. Inilah yang menjadi dasar argumen mereka dalam menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk—sebuah konsekuensi logis dari prinsip tawḥīd yang ketat.

Sebaliknya, kalangan tradisionalis menekankan supremasi naql (wahyu dan tradisi sahabat) sebagai sumber kebenaran. Mereka menolak penggunaan akal dalam urusan akidah yang bersifat transenden, dan menilai bahwa setiap intervensi nalar dalam menakwil sifat Tuhan dapat mengarah pada bid’ah atau kesesatan⁽²⁾. Pandangan ini mendasari keteguhan tokoh seperti Ahmad bin Hanbal dalam menolak doktrin negara tanpa harus merumuskan alternatif spekulatif.

Konflik epistemologis ini menunjukkan adanya dua paradigma dalam konstruksi keilmuan Islam: yang satu mencoba menalar wahyu secara sistematis dengan perangkat filsafat, yang lain mempertahankan otoritas teks dalam bentuk yang tidak boleh ditakwilkan secara berlebihan. Mihnah memperlihatkan bagaimana konflik epistemologis ini menjadi alasan negara untuk mengambil posisi dalam mengontrol diskursus keilmuan dan membentuk ortodoksi.

7.2.       Negara sebagai Agen Produksi Kebenaran

Secara sosio-politik, Mihnah dapat dilihat sebagai upaya khalifah untuk menjadikan negara sebagai produsen utama kebenaran agama. Al-Ma’mun dan penerusnya tidak hanya mengambil peran administratif, tetapi juga teologis: mereka mengklaim hak untuk menentukan mana doktrin yang benar dan mana yang sesat. Dalam istilah Michel Foucault, ini merupakan contoh nyata dari “power/knowledge nexus” di mana kekuasaan politik mengorganisasi struktur pengetahuan untuk mempertahankan legitimasi ideologisnya⁽³⁾.

Pemaksaan doktrin khalq al-Qur’an menjadi sarana homogenisasi pemikiran dan cara mengeliminasi potensi perlawanan terhadap otoritas khalifah. Dalam konteks ini, Mihnah tidak sekadar “ujian iman,” tetapi juga mekanisme pengendalian sosial yang digunakan untuk mendefinisikan batas wacana yang dapat diterima secara publik⁽⁴⁾. Negara menjadi otoritas epistemik yang berupaya mengatur domain keilmuan.

7.3.       Hegemoni dan Resistensi: Kajian Gramscian

Dalam kerangka teori hegemoni Antonio Gramsci, Mihnah mencerminkan konflik antara hegemoni ideologis negara dan resistensi masyarakat sipil religius, yang diwakili oleh ulama. Negara berusaha membentuk “kesepakatan umum” (consent) melalui penerapan ideologi rasionalis, sementara ulama menolak hegemonisasi tersebut dengan tetap bertahan pada nilai-nilai tradisional⁽⁵⁾. Perlawanan Ahmad bin Hanbal dan kelompoknya menunjukkan bahwa kekuasaan hegemonik tidak selalu berhasil, terutama jika berhadapan dengan legitimasi moral dan kultural yang tertanam kuat di tengah masyarakat.

Ulama bukan sekadar kelompok keilmuan, tetapi juga representasi struktur sosial alternatif yang mampu membentuk kesadaran kolektif umat. Ketika negara gagal mendapatkan legitimasi penuh atas proyek ideologisnya, maka hegemoninya melemah dan memberi ruang bagi resistensi kultural. Inilah yang kemudian terjadi dalam Mihnah, yang pada akhirnya memulihkan kembali kekuasaan epistemik kepada para ulama.

7.4.       Warisan Epistemologis dan Politik Pengetahuan Islam

Pasca-Mihnah, wacana keilmuan Islam mengalami pergeseran yang penting. Tradisi rasionalis mengalami marjinalisasi, dan bentuk-bentuk pengetahuan yang berbasis pada transmisi (riwayah) dan otoritas teks menjadi dominan dalam madrasah dan lembaga keagamaan⁽⁶⁾. Konservatisme intelektual ini, meski memperkuat kesatuan akidah, juga membatasi ruang eksplorasi pemikiran filosofis dalam tradisi Islam pascaklasik.

Namun demikian, Mihnah memberikan pelajaran bahwa setiap proyek pengetahuan dalam Islam tidak pernah terlepas dari medan kekuasaan. Baik negara maupun ulama memiliki peran penting dalam mengonstruksi otoritas kebenaran, dan hubungan antara keduanya terus mengalami tarik-menarik sepanjang sejarah Islam.


Footnotes

[1]                Richard M. Frank, Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the Muʿtazila in the Classical Period (Albany: SUNY Press, 1978), 91–93.

[2]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 71–72.

[3]                Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27–28.

[4]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Maʿmun (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 104.

[5]                Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, ed. and trans. Quintin Hoare and Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971), 12–13.

[6]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 29–31.


8.           Relevansi Mihnah dalam Diskursus Kontemporer

Peristiwa Mihnah tidak hanya merupakan bagian penting dari sejarah teologi Islam klasik, tetapi juga mengandung pelajaran berharga bagi dunia Islam modern dalam merespons tantangan hubungan antara negara, agama, dan kebebasan intelektual. Dalam era di mana banyak negara Muslim berjuang menyeimbangkan antara otoritas keagamaan, pluralisme pemikiran, dan tekanan ideologis, studi terhadap Mihnah menjadi sangat relevan. Peristiwa ini menghadirkan refleksi mendalam tentang bagaimana sebuah rezim kekuasaan dapat menggunakan doktrin teologis sebagai instrumen politik dan bagaimana masyarakat sipil religius merespons dengan daya tahan intelektual.

8.1.       Pelajaran tentang Bahaya Politisasi Teologi

Salah satu pelajaran utama dari Mihnah adalah bahaya politisasi ajaran agama. Ketika negara menjadikan suatu paham teologis sebagai doktrin resmi dan memaksakannya atas nama ortodoksi, maka ruang kebebasan berpikir menjadi terancam. Dalam konteks modern, hal ini dapat dilihat pada fenomena negara-negara yang mengkriminalisasi pemikiran keagamaan yang berbeda dari narasi dominan, atau menjadikan tafsir tertentu sebagai dasar eksklusif kebijakan publik⁽¹⁾.

Wacana kontemporer menunjukkan bahwa negara seharusnya tidak menjadi penentu tunggal terhadap ortodoksi, melainkan menjamin ekosistem intelektual yang terbuka bagi dialog dan perbedaan. Seperti ditunjukkan oleh Wael Hallaq, monopoli kebenaran oleh negara dalam Islam justru merupakan anomali historis yang bertentangan dengan pluralitas hukum dan tafsir dalam tradisi Islam⁽²⁾.

8.2.       Kebebasan Akademik dan Otoritas Keilmuan Islam

Relevansi Mihnah juga muncul dalam diskusi tentang kebebasan akademik dan otoritas ulama di dunia Islam modern. Dalam banyak kasus, pemikir-pemikir Islam kontemporer yang mencoba menafsirkan ulang warisan Islam dengan pendekatan rasional atau historis sering menghadapi tekanan dari institusi keagamaan maupun negara. Kasus ini mirip dengan apa yang dialami oleh para ulama pada masa Mihnah yang dipaksa menyesuaikan pandangan mereka dengan kehendak kekuasaan⁽³⁾.

Dengan belajar dari Ahmad bin Hanbal dan para ulama lain yang mempertahankan integritas ilmiah mereka, masyarakat Muslim masa kini diharapkan mampu menjaga ruang otonom bagi diskursus keislaman yang sehat dan bebas dari intervensi politis yang otoriter.

8.3.       Kritik terhadap Rasionalisme yang Diinstitusikan

Peristiwa Mihnah juga dapat dibaca sebagai kritik terhadap rasionalisme yang diinstitusikan secara represif, di mana pendekatan akal tidak lagi menjadi alat dialog, tetapi alat hegemonik. Dalam dunia kontemporer, diskursus rasional Islam sering terjebak antara dua ekstrem: fundamentalisme tekstual dan modernisme rasionalis yang menafikan legitimasi tradisi. Mihnah menunjukkan bahwa rasionalisme kehilangan esensinya bila dipaksakan secara otoritatif tanpa mempertimbangkan legitimasi sosial dan tradisi kultural⁽⁴⁾.

Pemikiran Mu’tazilah memang mencerminkan kemajuan intelektual, tetapi kekeliruannya terletak pada penggabungan pemikiran rasional dengan kekuasaan koersif. Ini menjadi refleksi penting bagi para pembaharu Islam kontemporer untuk mempromosikan ijtihad yang terbuka dan pluralistik, bukan hegemonik.

8.4.       Ketahanan Tradisi dan Peran Ulama sebagai Oposisi Moral

Kisah Mihnah menunjukkan kekuatan ulama sebagai oposisi moral terhadap otoritarianisme. Dalam masyarakat Muslim masa kini yang menghadapi otoritarianisme negara atau instrumentalisasi agama oleh elite politik, keberanian moral para ulama dan intelektual independen menjadi sangat vital. Ahmad bin Hanbal menjadi simbol bahwa keteguhan terhadap prinsip dan penolakan terhadap kooptasi kekuasaan dapat membentuk legitimasi yang lebih besar di mata umat⁽⁵⁾.

Dalam hal ini, Mihnah memberikan dasar historis bagi peran kritis ulama dalam menjaga moralitas publik dan integritas intelektual, serta pentingnya menjaga jarak antara otoritas agama dan kekuasaan politik demi menjaga kemurnian ajaran dan kebebasan berpikir.

8.5.       Penguatan Diskursus Demokrasi dan Pluralisme Intelektual

Akhirnya, Mihnah memberi inspirasi bagi penguatan diskursus demokrasi dan pluralisme intelektual di dunia Islam. Sejarah Mihnah menunjukkan bahwa keberagaman tafsir dan pendekatan dalam Islam adalah keniscayaan yang sudah hadir sejak awal. Oleh karena itu, penyeragaman pemikiran melalui mekanisme negara bukan hanya tidak realistis, tetapi juga kontraproduktif terhadap pertumbuhan ilmu dan pemikiran Islam.

Sebagaimana disarankan oleh pemikir seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im, kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi harus dijamin oleh negara modern Muslim agar dapat memfasilitasi perkembangan hukum dan teologi Islam yang relevan dengan konteks zaman⁽⁶⁾. Dalam kerangka ini, Mihnah menjadi contoh sejarah yang menegaskan pentingnya batas antara kekuasaan politik dan otonomi intelektual.


Footnotes

[1]                Khaled Abou El Fadl, Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld, 2001), 28–30.

[2]                Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity's Moral Predicament (New York: Columbia University Press, 2013), 95.

[3]                Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 33–35.

[4]                Abdulaziz Sachedina, Islamic Ethics: Fundamental Aspects of Human Conduct (Oxford: Oxford University Press, 2009), 112.

[5]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 147–149.

[6]                Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2008), 86–88.


9.           Kesimpulan

Peristiwa Mihnah merupakan titik balik penting dalam sejarah intelektual dan politik Islam klasik yang mencerminkan kompleksitas hubungan antara kekuasaan politik, otoritas teologis, dan dinamika epistemologi keislaman. Diberlakukan oleh Dinasti Abbasiyah, khususnya oleh Khalifah al-Ma’mun dan penerusnya, kebijakan Mihnah menandai upaya sistematis untuk menjadikan doktrin rasionalis—terutama ajaran Mu’tazilah tentang khalq al-Qur’an—sebagai kebenaran resmi negara dan instrumen legitimasi kekuasaan⁽¹⁾.

Dari sudut pandang teologis, Mihnah mencerminkan benturan antara dua kutub epistemologis: rasionalisme Mu’tazilah yang menjadikan akal sebagai sumber utama kebenaran, dan tradisionalisme Ahlus Sunnah yang menjunjung tinggi wahyu dan otoritas teks. Ketegangan ini tidak hanya menghasilkan polemik ilmiah, tetapi juga menciptakan ruang represi ketika negara memilih untuk berpihak pada salah satunya dan menjadikan perbedaan sebagai alasan hukuman⁽²⁾.

Resistensi yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh seperti Ahmad bin Hanbal menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi negara atas wilayah teologis. Keteguhan beliau dalam mempertahankan prinsip ketauhidan dan otoritas nash, meskipun harus menghadapi penjara dan penyiksaan, menunjukkan betapa pentingnya peran ulama dalam menjaga otonomi intelektual dan integritas keilmuan dalam Islam⁽³⁾. Kemenangan moral ulama tradisionalis setelah berakhirnya Mihnah menunjukkan bahwa legitimasi keagamaan tidak dapat dibentuk semata-mata melalui otoritas politik, melainkan harus bersandar pada penerimaan sosial dan keutuhan tradisi keilmuan.

Secara epistemologis, Mihnah menjadi ilustrasi konkret dari dinamika pembentukan ortodoksi dalam Islam: siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran, bagaimana kebenaran disahkan, dan apa batas intervensi kekuasaan dalam wilayah teologi. Wacana ini masih sangat relevan di era kontemporer, terutama ketika negara dan institusi keagamaan kembali berupaya mengontrol tafsir keagamaan dan membatasi ruang diskusi akademik atas nama stabilitas sosial atau moralitas agama⁽⁴⁾.

Dengan demikian, Mihnah bukan hanya peristiwa historis, tetapi juga paradigma reflektif dalam memahami bagaimana Islam menghadapi tantangan kebebasan berpikir, otonomi keilmuan, dan relasi antara agama dan negara. Dari Mihnah, umat Islam dapat belajar bahwa pluralisme pemikiran dan kehati-hatian dalam menentukan batas-batas kekuasaan terhadap keyakinan adalah fondasi penting bagi peradaban yang berkeadilan, berilmu, dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Michael Cooperson, Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Maʿmun (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 102–106.

[2]                Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 70–72.

[3]                Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 146–149.

[4]                Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld, 2001), 29–30.


Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2001). Speaking in God’s name: Islamic law, authority and women. Oxford: Oneworld.

An-Na’im, A. A. (2008). Islam and the secular state: Negotiating the future of Shari’a. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Brown, D. W. (1996). Rethinking tradition in modern Islamic thought. Cambridge: Cambridge University Press.

Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad’s legacy in the medieval and modern world. Oxford: Oneworld.

Cooperson, M. (2000). Classical Arabic biography: The heirs of the prophets in the age of al-Ma'mun. Cambridge: Cambridge University Press.

Crone, P., & Hinds, M. (1986). God's caliph: Religious authority in the first centuries of Islam. Cambridge: Cambridge University Press.

Frank, R. M. (1978). Beings and their attributes: The teaching of the Basrian school of the Muʿtazila in the classical period. Albany: State University of New York Press.

Foucault, M. (1995). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). New York: Vintage Books. (Original work published 1975)

Gramsci, A. (1971). Selections from the prison notebooks (Q. Hoare & G. N. Smith, Eds. & Trans.). New York: International Publishers.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʿAbbāsid society (2nd–4th/8th–10th centuries). London: Routledge.

Hallaq, W. B. (2001). Authority, continuity, and change in Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2005). The origins and evolution of Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2013). The impossible state: Islam, politics, and modernity's moral predicament. New York: Columbia University Press.

Kennedy, H. (1981). The early Abbasid Caliphate: A political history. London: Croom Helm.

Kennedy, H. (2004). The prophet and the age of the caliphates: The Islamic Near East from the sixth to the eleventh century (2nd ed.). London: Pearson Education.

Madelung, W. (1982). The origins of the controversy concerning the creation of the Qurʾān. Studia Islamica, (56), 19–52.

Sachedina, A. (2009). Islamic ethics: Fundamental aspects of human conduct. Oxford: Oxford University Press.

van Ess, J. (1992). Theologie und Gesellschaft im 2. und 3. Jahrhundert Hidschra: Eine Geschichte des religiösen Denkens im frühen Islam (Vol. 3). Berlin: Walter de Gruyter.

Wolfson, H. A. (1976). The philosophy of the kalam. Cambridge: Harvard University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar