Menulis Test Hasil Belajar
Prinsip, Teknik, dan Implementasi dalam Praktik
Pendidikan
Alihkan ke: Penilaian Hasil Belajar dan Tindak Lanjut.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep,
prinsip, dan teknik penulisan tes hasil belajar dalam konteks pendidikan
Indonesia, khususnya dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Penilaian hasil
belajar merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang tidak hanya
berfungsi sebagai alat evaluasi, tetapi juga sebagai instrumen refleksi dan
pengembangan pembelajaran bermakna. Artikel ini menguraikan pentingnya
validitas, reliabilitas, objektivitas, serta prinsip keadilan dalam penyusunan
tes, sekaligus menekankan penggunaan taksonomi tujuan pembelajaran—terutama
revisi Taksonomi Bloom—dalam merancang soal sesuai level kognitif. Pembahasan
juga mencakup jenis-jenis tes, teknik menulis soal berkualitas, serta
langkah-langkah analisis butir soal secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam
kerangka Kurikulum Merdeka, asesmen diintegrasikan secara adaptif melalui
pendekatan diagnostik, formatif, dan sumatif yang berorientasi pada penguatan
proses belajar. Studi kasus dari berbagai sekolah ditampilkan untuk menunjukkan
praktik baik dalam penulisan tes berbasis kolaborasi, kontekstualisasi, dan
diferensiasi. Artikel ini merekomendasikan peningkatan literasi asesmen guru
sebagai fondasi utama dalam menciptakan penilaian yang adil, autentik, dan
transformatif.
Kata Kunci: Penilaian
hasil belajar, tes pendidikan, taksonomi Bloom, Kurikulum Merdeka, asesmen
formatif, validitas soal, HOTS, analisis butir soal.
PEMBAHASAN
Konsep, prinsip dan Tehnik Menulis Tes Hasil Belajar
1.
Pendahuluan
Dalam konteks
pendidikan abad ke-21 yang menekankan kompetensi berpikir kritis, kolaboratif,
kreatif, dan komunikatif, peran penilaian tidak lagi sekadar menjadi alat untuk
mengukur hasil belajar siswa secara kuantitatif, melainkan sebagai bagian
integral dari proses pembelajaran itu sendiri. Salah satu bentuk penilaian yang
paling umum digunakan di berbagai jenjang pendidikan adalah tes
hasil belajar, yang dirancang untuk mengukur ketercapaian
kompetensi peserta didik terhadap tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Tes hasil belajar
memiliki posisi strategis dalam siklus pembelajaran karena dapat memberikan
informasi penting bagi guru, peserta didik, maupun pengambil kebijakan.
Informasi tersebut mencakup pencapaian standar kompetensi, efektivitas proses
pembelajaran, serta sebagai dasar pengambilan keputusan untuk intervensi
pembelajaran lanjutan atau remedial. Dalam praktiknya, penulisan tes hasil
belajar yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip ilmiah dan pedagogis justru
berpotensi menghasilkan pengukuran yang tidak valid, bias, dan tidak bermakna
secara instruksional. Oleh karena itu, penguasaan keterampilan menulis tes yang
sesuai dengan kaidah evaluasi pendidikan merupakan kompetensi dasar yang perlu
dimiliki setiap pendidik profesional.
Menurut Arikunto,
tes hasil belajar adalah seperangkat alat atau prosedur yang digunakan untuk
mengukur pencapaian hasil belajar siswa dalam aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotorik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan
sebelumnya¹. Tes yang baik bukan hanya mampu mengukur kemampuan dasar seperti
mengingat dan memahami, tetapi juga mampu mengevaluasi kemampuan berpikir
tingkat tinggi seperti menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta sebagaimana
yang tercakup dalam taksonomi Bloom yang telah direvisi².
Sejalan dengan hal
tersebut, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan
menyatakan bahwa penilaian oleh pendidik harus dilakukan secara
berkesinambungan, otentik, objektif, dan memanfaatkan berbagai teknik penilaian
yang sesuai dengan karakteristik kompetensi yang dinilai³. Ini menuntut adanya
kemampuan guru dalam menyusun instrumen tes yang tidak hanya valid dan
reliabel, tetapi juga kontekstual dan berpihak pada perkembangan belajar siswa
secara holistik.
Dalam konteks implementasi
Kurikulum Merdeka, kebutuhan terhadap penilaian yang mendorong proses belajar
bermakna semakin ditekankan. Tes hasil belajar yang dirancang dengan
mempertimbangkan keberagaman kebutuhan siswa, serta selaras dengan prinsip
diferensiasi dan pembelajaran berbasis proyek, akan mendorong terciptanya
pengalaman belajar yang lebih manusiawi dan relevan⁴. Maka dari itu, pemahaman
yang mendalam tentang prinsip, teknik, serta praktik penulisan tes hasil
belajar menjadi hal yang sangat penting bagi guru, dosen, maupun praktisi
pendidikan lainnya.
Footnotes
[1]
Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012), 67.
[2]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of
Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 45–47.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan,
pasal 2 ayat (1) dan (2).
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–12.
2.
Konsep Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar
merupakan bagian dari sistem evaluasi pendidikan yang berfungsi untuk mengukur
sejauh mana peserta didik telah mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Tes ini digunakan tidak hanya untuk mengetahui tingkat penguasaan
materi pelajaran, tetapi juga sebagai dasar pengambilan keputusan
instruksional, diagnosis kelemahan belajar, dan pemberian umpan balik yang
konstruktif. Dengan kata lain, tes hasil belajar menjadi alat penting dalam
mengontrol mutu proses pendidikan dan pembelajaran secara menyeluruh.
Secara terminologis,
tes
hasil belajar didefinisikan sebagai alat pengukuran yang
disusun secara sistematis untuk mengetahui kemampuan siswa setelah melalui
proses pembelajaran. Menurut Arikunto, tes adalah serangkaian pertanyaan atau
latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan,
pengetahuan, intelegensi, kemampuan, atau bakat yang dimiliki oleh individu¹.
Dalam konteks hasil belajar, tes berfungsi mengukur capaian peserta didik dalam
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang telah dirumuskan sebelumnya.
Nitko dan Brookhart
menyatakan bahwa tes hasil belajar harus dikembangkan berdasarkan tujuan
instruksional yang eksplisit dan spesifik. Tes yang efektif harus mencerminkan
isi kurikulum, sesuai dengan level kognitif yang diharapkan, serta memiliki
kualitas teknis seperti validitas dan reliabilitas². Tes bukanlah tujuan akhir
dari pembelajaran, melainkan jembatan yang menghubungkan antara tujuan dan
proses pembelajaran dengan hasil yang dapat diobservasi dan diukur secara
sistematis.
Lebih lanjut, dalam
sistem pendidikan Indonesia, penilaian hasil belajar telah diatur dalam
berbagai regulasi nasional. Berdasarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 tentang
Standar Penilaian Pendidikan, penilaian hasil belajar oleh
pendidik merupakan proses pengumpulan informasi tentang capaian belajar peserta
didik dalam bentuk penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan
yang dilakukan secara terencana dan sistematis³. Dalam regulasi ini ditegaskan
bahwa penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta
didik, mendiagnosis kesulitan belajar, dan sebagai bahan penyusunan laporan
hasil belajar.
Dari perspektif
pedagogis, tes hasil belajar perlu dirancang sesuai dengan pendekatan yang
holistik, kontekstual, dan autentik. Hal ini selaras dengan arah kebijakan Kurikulum
Merdeka, yang menekankan pentingnya asesmen sebagai bagian dari
proses pembelajaran yang bermakna, diferensiatif, dan berpihak pada peserta
didik. Tes tidak hanya menjadi alat untuk mengevaluasi, tetapi juga sebagai
wahana refleksi bagi guru dan peserta didik dalam memperbaiki proses belajar
mengajar⁴.
Sebagai instrumen
penilaian formal, tes hasil belajar memiliki beberapa karakteristik utama,
yaitu:
·
Objektivitas,
artinya hasil tes tidak dipengaruhi oleh subjektivitas penilai.
·
Reliabilitas,
yaitu konsistensi hasil tes ketika diberikan pada kondisi yang serupa.
·
Validitas,
yakni kemampuan tes untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
·
Praktikabilitas,
yaitu kemudahan dalam pelaksanaan dan skoring.
·
Diskriminatif,
yaitu kemampuan soal untuk membedakan antara siswa yang menguasai materi dan
yang belum.
Dengan
mempertimbangkan dimensi-dimensi tersebut, penyusunan tes hasil belajar harus
dilakukan melalui proses perencanaan yang matang, penyusunan kisi-kisi,
penulisan soal sesuai kaidah penulisan instrumen, hingga analisis dan perbaikan
berdasarkan data empirik hasil tes.
Footnotes
[1]
Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012), 67.
[2]
Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 8–10.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan,
pasal 1 ayat (2).
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 11–14.
3.
Prinsip-Prinsip Dasar dalam Menulis Tes
Penulisan tes hasil
belajar yang baik tidak hanya memerlukan pemahaman terhadap isi materi, tetapi
juga harus mengikuti prinsip-prinsip ilmiah dan pedagogis agar menghasilkan
alat ukur yang sahih, andal, dan adil. Tes yang dikembangkan tanpa mengindahkan
prinsip-prinsip ini berpotensi gagal dalam menggambarkan kemampuan peserta
didik yang sebenarnya, sehingga menimbulkan kekeliruan dalam pengambilan
keputusan instruksional maupun administratif.
3.1.
Validitas (Validity)
Validitas merujuk
pada derajat ketepatan suatu instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya
diukur. Tes dikatakan valid apabila butir-butir soalnya sesuai dengan
kompetensi yang diukur serta representatif terhadap indikator yang ditetapkan
dalam kurikulum¹. Validitas ini dapat dikaji dari berbagai dimensi, termasuk
validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct validity), dan
validitas kriteria (criterion-related validity). Misalnya, jika tes bertujuan
mengukur kemampuan berpikir kritis, maka soal-soal harus menuntut siswa
menganalisis, mengevaluasi, atau mencipta, bukan sekadar mengingat informasi.
3.2.
Reliabilitas (Reliability)
Reliabilitas menunjukkan
sejauh mana suatu tes memberikan hasil yang konsisten jika digunakan berulang
kali dalam kondisi yang serupa². Instrumen yang reliabel akan menghasilkan skor
yang stabil meskipun digunakan oleh penilai berbeda atau dalam waktu yang
berbeda. Dalam praktiknya, reliabilitas dapat ditingkatkan melalui kejelasan
petunjuk soal, penggunaan bahasa yang tidak ambigu, dan konsistensi format
penyajian.
3.3.
Objektivitas (Objectivity)
Objektivitas
berkaitan dengan ketidakberpihakan dalam proses penilaian. Tes yang objektif
adalah tes yang hasil penilaiannya tidak dipengaruhi oleh opini atau persepsi
subyektif guru, melainkan murni berdasarkan kriteria yang jelas dan
terstandar³. Oleh karena itu, soal-soal pilihan ganda dan bentuk soal yang
memiliki kunci jawaban tetap umumnya lebih objektif dibandingkan soal uraian
terbuka, kecuali jika soal uraian tersebut disertai rubrik penilaian yang
terperinci.
3.4.
Praktikabilitas (Practicality)
Praktikabilitas
merujuk pada kemudahan dan efisiensi tes untuk diterapkan, baik dari sisi
waktu, biaya, maupun tenaga. Tes yang baik harus mudah dikonstruksi,
diadministrasikan, dan diskor tanpa mengorbankan validitas dan reliabilitas⁴.
Dalam konteks sekolah, praktikabilitas menjadi pertimbangan penting terutama
ketika guru harus mengelola kelas besar dalam waktu terbatas.
3.5.
Keadilan dan Inklusivitas (Fairness
and Inclusiveness)
Prinsip keadilan
menuntut agar semua peserta didik memiliki peluang yang sama dalam memahami dan
menyelesaikan soal. Tes tidak boleh mengandung bias budaya, bahasa, gender,
atau sosio-ekonomi. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, pendekatan diferensiasi
menekankan pentingnya penyusunan asesmen yang memperhatikan keragaman gaya
belajar, latar belakang, dan kebutuhan peserta didik⁵.
3.6.
Kesesuaian dengan Tujuan
Pembelajaran
Setiap butir soal
dalam tes harus disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang jelas dan terukur.
Soal-soal harus mencerminkan indikator pencapaian kompetensi yang relevan dan
mewakili isi materi secara proporsional. Penyusunan kisi-kisi atau test
blueprint sangat diperlukan untuk memastikan ketercakupan ini dan
mencegah adanya kesenjangan (omission) maupun kelebihan (overrepresentation)
dalam representasi materi.
3.7.
Kemampuan Membedakan (Discriminatory
Power)
Butir soal yang baik
harus mampu membedakan antara peserta didik yang menguasai materi dengan yang
belum. Ini disebut daya pembeda soal (item discrimination). Soal yang
terlalu mudah atau terlalu sulit tidak memiliki daya pembeda yang baik, dan
cenderung tidak bermanfaat dalam proses diagnosis belajar.
Penerapan
prinsip-prinsip ini penting tidak hanya untuk menjaga integritas proses
penilaian, tetapi juga untuk memberikan umpan balik yang akurat dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan. Guru sebagai desainer pembelajaran dan asesmen
dituntut untuk menguasai prinsip-prinsip ini agar setiap tes yang disusun
benar-benar menjadi alat pengukur yang bermakna dan berdampak pada perbaikan
proses belajar.
Footnotes
[1]
Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012), 83–85.
[2]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education,
2008), 59–60.
[3]
Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 102–104.
[4]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 95.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–16.
4.
Taksonomi Tujuan Pembelajaran dalam Penyusunan
Soal
Perumusan dan
penyusunan soal tes hasil belajar tidak dapat dilepaskan dari pemahaman
terhadap taksonomi tujuan pembelajaran,
karena taksonomi inilah yang menjadi dasar dalam mengklasifikasikan jenis kemampuan
yang diharapkan dikuasai peserta didik. Dengan merujuk pada taksonomi, pendidik
dapat menyusun soal yang tidak hanya menilai aspek pengetahuan dasar, tetapi
juga keterampilan berpikir tingkat tinggi. Hal ini menjadi sangat penting dalam
konteks pendidikan modern yang menekankan pada pengembangan kompetensi abad
ke-21.
4.1.
Taksonomi Bloom dan Revisi
Anderson-Krathwohl
Taksonomi tujuan
pembelajaran pertama kali diperkenalkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1956,
yang membagi ranah pembelajaran ke dalam tiga domain utama: kognitif,
afektif,
dan psikomotorik¹.
Dari ketiganya, ranah kognitif paling banyak digunakan dalam penyusunan soal
hasil belajar karena berkaitan dengan proses berpikir dan penguasaan
pengetahuan.
Ranah kognitif dalam
taksonomi Bloom semula terdiri atas enam level: knowledge, comprehension,
application,
analysis,
synthesis,
dan evaluation.
Namun pada tahun 2001, Anderson dan Krathwohl melakukan revisi terhadap
taksonomi ini dengan mengubah nomenklatur serta urutannya menjadi:
1) Remembering, 2) Understanding, 3) Applying,
4) Analyzing, 5) Evaluating, dan 6)
Creating².
Revisi ini
menyesuaikan taksonomi dengan perkembangan pembelajaran kontemporer serta
kebutuhan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi atau Higher
Order Thinking Skills (HOTS). Model revisi ini juga
mengintegrasikan dua dimensi utama, yaitu:
·
Dimensi Proses
Kognitif: mengacu pada aktivitas berpikir (dari mengingat hingga
mencipta)
·
Dimensi Pengetahuan:
mencakup pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif
4.2.
Hubungan Taksonomi dengan Penyusunan
Soal
Penyusunan soal
hasil belajar sebaiknya didasarkan pada pemetaan tujuan pembelajaran ke dalam
level taksonomi tersebut. Dengan demikian, guru dapat memastikan bahwa setiap
soal:
·
Relevan dengan indikator
pencapaian kompetensi
·
Mewakili tingkat berpikir
yang diharapkan dalam kurikulum
·
Mengembangkan kemampuan
berpikir beragam, tidak hanya menghafal
Contohnya, soal yang
berada pada level Remembering (C1) dapat berupa
pertanyaan definisi, sedangkan soal pada level Analyzing (C4) dapat menuntut
siswa menguraikan hubungan sebab-akibat atau membandingkan dua konsep berbeda.
Untuk level Creating (C6), peserta didik
dapat diminta untuk merancang solusi atas suatu masalah dalam konteks nyata.
4.3.
Implementasi dalam Kurikulum dan
Regulasi Nasional
Dalam sistem
pendidikan Indonesia, pendekatan berbasis kompetensi sebagaimana tertuang dalam
Permendikbud
No. 23 Tahun 2016 dan lebih lanjut diperkuat dalam Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka, menegaskan
pentingnya asesmen yang mengukur berpikir tingkat tinggi. Penyusunan
soal yang hanya mengukur level rendah tidak mencerminkan capaian pembelajaran
yang diharapkan dalam dokumen kurikulum nasional³.
Selain itu,
pendekatan ini juga mendorong integrasi antara asesmen formatif dan sumatif
yang dirancang secara berimbang, memperhatikan keragaman level kognitif agar
pembelajaran tidak hanya berorientasi pada penguasaan konten, melainkan juga
pengembangan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah⁴.
4.4.
Peran Guru dalam Pemetaan Taksonomi
Guru sebagai
pengembang tes perlu menguasai pemetaan indikator pembelajaran terhadap
taksonomi kognitif. Hal ini dapat dilakukan melalui penyusunan kisi-kisi soal
(blueprint), di mana setiap indikator dikaitkan dengan level kognitif dan
bentuk soal yang sesuai. Praktik ini akan membantu memastikan bahwa keseluruhan
tes:
·
Proporsional dalam mengukur
berbagai level berpikir
·
Mencerminkan standar
kompetensi lulusan
·
Memberikan gambaran utuh
tentang capaian belajar peserta didik
Dengan demikian,
pemahaman dan penerapan taksonomi tujuan pembelajaran menjadi fondasi esensial
dalam penulisan soal hasil belajar yang berkualitas, adil, dan mendorong
perkembangan kompetensi menyeluruh.
Footnotes
[1]
Benjamin S. Bloom, ed., Taxonomy
of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain (New York: Longmans,
Green, 1956), 7–10.
[2]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of
Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–70.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan,
pasal 1 ayat (1–2).
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 20–22.
5.
Jenis-Jenis Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar
dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria, seperti bentuk penyajian
soal, cara menjawab, dan keterampilan yang diukur. Pemilihan jenis tes harus
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik, dan
konteks asesmen itu sendiri. Pemahaman terhadap berbagai jenis tes akan
membantu pendidik dalam menyusun instrumen yang tidak hanya sesuai dengan
kompetensi yang diukur, tetapi juga adil, valid, dan bermakna.
5.1.
Tes Tertulis
Tes tertulis adalah
bentuk tes yang paling umum digunakan dalam dunia pendidikan, di mana peserta
didik memberikan jawaban secara tertulis terhadap pertanyaan yang disusun guru.
Tes ini terbagi ke dalam dua bentuk utama:
5.1.1.
Tes Objektif
Tes objektif adalah
tes yang memiliki satu jawaban benar dan dapat dinilai secara konsisten oleh
siapa pun karena menggunakan kunci jawaban yang jelas. Bentuk-bentuk umum dari
tes objektif antara lain:
·
Pilihan Ganda
(Multiple Choice): peserta memilih satu jawaban yang benar dari
beberapa opsi. Bentuk ini efektif untuk mengukur berbagai level kognitif,
termasuk pemahaman, aplikasi, hingga analisis¹.
·
Benar-Salah
(True-False): peserta menilai pernyataan sebagai benar atau salah.
Bentuk ini efisien tetapi memiliki kelemahan karena kemungkinan menebak cukup
tinggi.
·
Menjodohkan
(Matching): peserta mencocokkan dua kelompok item yang berkaitan.
·
Isian Singkat
(Short Answer/Completion): peserta diminta melengkapi bagian yang
kosong atau memberikan jawaban singkat.
Bentuk objektif
umumnya digunakan dalam asesmen berskala besar karena dapat dinilai dengan
cepat dan menghasilkan data kuantitatif yang mudah dianalisis.
5.1.2.
Tes Subjektif (Esai)
Tes subjektif atau
tes uraian menuntut peserta didik untuk menyusun jawaban sendiri berdasarkan
pemahaman dan kemampuan berpikirnya. Tes esai terbagi menjadi dua jenis:
·
Uraian Terbatas:
jawaban diharapkan sesuai dengan batasan yang telah ditentukan, misalnya
berdasarkan kata kunci.
·
Uraian Bebas:
peserta bebas menyusun argumen atau pendapatnya secara lebih luas.
Tes esai lebih tepat
digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti
menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Namun demikian, validitas dan
reliabilitasnya tergantung pada kejelasan rubrik penilaian².
5.2.
Tes Lisan
Tes lisan dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada peserta didik yang kemudian
menjawab secara verbal. Tes ini berguna untuk menilai aspek komunikasi,
penalaran spontan, dan kejelasan penyampaian. Tes lisan sering digunakan dalam
pelajaran bahasa, pendidikan agama, atau ketika asesmen tertulis tidak memadai.
Namun, untuk menjaga objektivitas, diperlukan pedoman penilaian yang jelas dan
pencatatan hasil yang sistematis³.
5.3.
Tes Praktik (Performance Test)
Tes praktik atau tes
kinerja digunakan untuk menilai keterampilan psikomotorik dan
aplikatif peserta didik melalui pengamatan terhadap tindakan nyata. Contohnya
adalah melakukan eksperimen sains, memainkan alat musik, menyusun laporan
lapangan, atau membuat produk. Tes ini sangat relevan untuk kompetensi berbasis
tindakan, dan sejalan dengan pendekatan assessment for learning⁴.
Kurikulum Merdeka mendorong
penggunaan asesmen berbasis praktik yang kontekstual dan autentik, yang
mengintegrasikan proses dengan produk. Oleh karena itu, tes praktik menjadi
penting dalam menilai kemampuan peserta didik secara utuh dan mendalam,
terutama dalam pembelajaran berbasis proyek atau project-based learning⁵.
5.4.
Tes Berdasarkan Tujuan Waktu
Pelaksanaan
Jenis tes juga dapat
dikategorikan berdasarkan waktu dan tujuannya dalam siklus pembelajaran:
·
Tes Diagnostik:
digunakan sebelum pembelajaran dimulai untuk mengetahui kesiapan dan prasyarat
peserta didik.
·
Tes Formatif:
diberikan selama proses pembelajaran untuk memantau kemajuan dan memberikan
umpan balik.
·
Tes Sumatif:
dilakukan di akhir unit, semester, atau tahun ajaran untuk menentukan capaian
akhir peserta didik.
Setiap jenis tes ini
memiliki format dan pendekatan yang berbeda, namun semua harus disusun
berdasarkan prinsip asesmen yang berkualitas.
5.5.
Prinsip Integratif dalam Pemilihan
Jenis Tes
Pemilihan jenis tes
tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Menurut Panduan Pembelajaran dan Asesmen
dari Kemendikbudristek, guru harus mempertimbangkan:
·
Capaian pembelajaran (CP)
dan tujuan pembelajaran
·
Ranah kemampuan yang diukur
·
Tingkat perkembangan
peserta didik
·
Kesesuaian konteks dan
kebutuhan diferensiasi⁶
Dengan demikian,
guru dituntut untuk tidak hanya memahami berbagai bentuk tes, tetapi juga mampu
memilih, mengadaptasi, dan menyusunnya sesuai dengan kebutuhan pembelajaran
yang berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara holistik.
Footnotes
[1]
Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 192–200.
[2]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education,
2008), 164–168.
[3]
Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012), 105.
[4]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 127–129.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 26–28.
[6]
Ibid., 12–14.
6.
Teknik Menulis Soal yang Berkualitas
Menulis soal tes
hasil belajar merupakan keterampilan profesional yang sangat penting bagi guru.
Soal yang disusun dengan baik akan mampu mengukur kompetensi peserta didik
secara valid, reliabel, dan adil. Sebaliknya, soal yang lemah dalam konstruksi
dapat menyesatkan interpretasi terhadap hasil belajar siswa, dan pada akhirnya
menghambat pengambilan keputusan pembelajaran yang akurat. Oleh karena itu,
penguasaan teknik penulisan soal yang berkualitas menjadi syarat mutlak bagi
pendidik.
6.1.
Mengacu pada Kisi-Kisi Soal
(Blueprint)
Langkah awal dalam
menyusun soal yang berkualitas adalah membuat kisi-kisi soal, yaitu matriks
yang memuat informasi tentang kompetensi yang akan diukur, indikator soal,
bentuk soal, dan level kognitif berdasarkan taksonomi pembelajaran. Kisi-kisi
berfungsi sebagai pemandu agar soal yang disusun:
·
Selaras dengan tujuan
pembelajaran
·
Mewakili cakupan materi
yang diajarkan
·
Mencerminkan berbagai level
kognitif peserta didik¹
Menurut Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP), penyusunan kisi-kisi merupakan tahapan
penting dalam menjamin validitas isi suatu instrumen
asesmen².
6.2.
Kaidah Penulisan Soal Pilihan Ganda
Soal
pilihan ganda adalah salah satu bentuk tes objektif yang paling
sering digunakan karena efisien dan dapat mencakup cakupan materi yang luas.
Agar soal jenis ini berkualitas, penulis perlu memperhatikan beberapa kaidah
penting berikut:
·
Pokok soal (stem)
harus dirumuskan secara jelas, mengandung satu permasalahan utama, dan bebas
dari informasi yang tidak relevan.
·
Pilihan jawaban
(option) terdiri dari satu kunci jawaban benar dan beberapa pengecoh (distractor)
yang logis dan berfungsi dengan baik.
·
Bahasa soal
harus komunikatif, tidak bias, dan sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa
peserta didik.
·
Soal tidak boleh memberikan
petunjuk ke arah jawaban yang benar (misalnya melalui panjang kalimat atau kata
kunci tertentu).
·
Soal sebaiknya tidak
bersifat negatif ganda karena dapat membingungkan siswa³.
Contoh soal buruk:
Manakah dari pernyataan berikut yang
tidak termasuk ciri-ciri demokrasi?
Soal tersebut
mengandung bentuk negatif yang dapat memicu salah interpretasi, sehingga perlu
direvisi agar lebih lugas.
6.3.
Kaidah Penulisan Soal Uraian
Soal
uraian atau esai memerlukan tanggapan terbuka dari peserta
didik dan umumnya digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat
tinggi. Agar soal uraian efektif, penulis harus memperhatikan:
·
Kejelasan perintah soal (misalnya:
“jelaskan”, “bandingkan”, “analisis”)
·
Kesesuaian dengan indikator
dan level kognitif yang dituju
·
Adanya rubrik
penilaian yang jelas dan terstandar untuk menjaga objektivitas dan
reliabilitas skor⁴
Rubrik penilaian
dapat berbentuk rubrik analitik (menilai tiap
aspek jawaban secara terpisah) atau rubrik holistik (menilai
keseluruhan kualitas jawaban secara umum).
6.4.
Bahasa dan Format Soal
Baik soal objektif
maupun subjektif harus ditulis dalam bahasa yang sederhana, lugas, dan sesuai
dengan konteks budaya serta pengalaman peserta didik. Format penyajian (huruf,
spasi, tata letak) juga harus konsisten untuk menghindari kesalahan pemahaman
teknis yang dapat mengganggu penilaian kemampuan akademik sebenarnya.
6.5.
Reviu dan Uji Coba Soal
Sebelum digunakan
secara luas, soal yang telah disusun perlu direviu dan diuji coba untuk
menjamin kualitasnya. Kegiatan ini dapat melibatkan rekan sejawat (peer
review), tim MGMP, atau melalui analisis empiris hasil uji coba
soal terhadap peserta didik (uji coba terbatas).
Aspek yang perlu
diperhatikan dalam reviu meliputi:
·
Kesesuaian soal dengan
indikator
·
Ketepatan level kognitif
·
Kejelasan kalimat
·
Fungsi pengecoh (dalam soal
pilihan ganda)
Dalam Kurikulum
Merdeka, proses penilaian termasuk penyusunan soal sangat ditekankan untuk
dilakukan secara kolaboratif dan reflektif agar dapat menghasilkan asesmen yang
mendukung pembelajaran⁵.
Kesimpulan
Menulis soal yang
berkualitas memerlukan lebih dari sekadar penguasaan materi ajar. Diperlukan
pemahaman terhadap tujuan pembelajaran, taksonomi kognitif, prinsip evaluasi
pendidikan, dan kemampuan teknis dalam konstruksi butir soal. Melalui
perencanaan matang, penggunaan kisi-kisi, penerapan kaidah penulisan, dan reviu
sistematis, guru dapat menghasilkan instrumen tes yang benar-benar mampu
mencerminkan capaian belajar siswa secara autentik.
Footnotes
[1]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education,
2008), 150–152.
[2]
Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan
Penulisan Soal Ujian Sekolah dan Ujian Nasional (Jakarta: BSNP, 2010), 9–10.
[3]
Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 205–208.
[4]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 142–145.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 28–30.
7.
Analisis Butir Soal
Analisis
butir soal merupakan proses evaluatif terhadap kualitas
soal-soal tes hasil belajar yang telah diujikan kepada peserta didik. Tujuan
utama dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi sejauh mana setiap butir
soal mampu berfungsi sebagaimana mestinya, baik dari sisi tingkat kesukaran,
daya pembeda, maupun efektivitas pengecoh. Melalui analisis ini, guru dapat
memperbaiki soal yang tidak valid, memperkuat keandalan tes, serta meningkatkan
kualitas asesmen secara berkelanjutan.
7.1.
Tujuan dan Manfaat Analisis Butir
Soal
Analisis butir soal
memberikan berbagai manfaat penting dalam konteks pembelajaran, di antaranya:
·
Meningkatkan
validitas tes, dengan memastikan bahwa setiap soal sesuai dengan
indikator yang diukur.
·
Meningkatkan
reliabilitas, dengan menghilangkan soal yang ambigu atau tidak
berfungsi.
·
Mengembangkan bank
soal berkualitas, melalui proses revisi berdasarkan data empirik.
·
Memberikan umpan
balik kepada guru, untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan
pelaksanaan asesmen¹.
Dalam Kurikulum
Merdeka, kegiatan reflektif seperti analisis butir soal sejalan dengan prinsip
asesmen sebagai proses untuk memperbaiki pembelajaran, bukan sekadar
mengevaluasi hasil akhir².
7.2.
Langkah-Langkah Analisis Butir Soal
7.2.1.
Mengumpulkan Data
Hasil Tes
Langkah pertama
adalah mengumpulkan data hasil tes peserta didik, baik berupa skor individual
maupun distribusi jawaban. Data ini dapat diperoleh melalui lembar jawaban atau
aplikasi asesmen digital.
7.2.2.
Menghitung Indeks
Statistik Butir Soal
Terdapat tiga
komponen utama yang dianalisis secara kuantitatif:
·
Tingkat Kesukaran
(Difficulty Index)
Menunjukkan proporsi peserta yang menjawab soal
dengan benar. Skor berada antara 0,00 sampai 1,00.
Interpretasi umum:
0,00–0,30 = Sukar
0,31–0,70 = Sedang
0,71–1,00 = Mudah³
·
Daya Pembeda (Discrimination
Index)
Menunjukkan kemampuan soal untuk membedakan
antara peserta didik berkemampuan tinggi dan rendah. Skor ideal berkisar antara
0,30 hingga 1,00. Soal dengan daya pembeda negatif harus direvisi atau dibuang
karena justru menunjukkan arah pengukuran yang keliru⁴.
·
Efektivitas
Pengecoh (Distractor Efficiency)
Pengecoh harus berfungsi, yaitu benar-benar
dipilih oleh peserta didik yang tidak memahami materi. Jika suatu pengecoh
tidak pernah dipilih, maka ia dianggap tidak efektif.
7.2.3.
Menyusun Interpretasi
Hasil
Setelah analisis
statistik dilakukan, guru perlu mengklasifikasikan soal menjadi tiga kategori:
·
Dipertahankan:
soal yang valid dan efektif
·
Direvisi:
soal yang masih bisa diperbaiki
·
Dibuang:
soal yang tidak layak digunakan kembali
7.3.
Analisis Kualitatif
Selain analisis
kuantitatif, guru juga perlu melakukan analisis kualitatif untuk
meninjau aspek substansi dan bahasa soal. Hal ini mencakup:
·
Kesesuaian dengan indikator
dan level kognitif
·
Kejelasan redaksi dan
struktur kalimat
·
Ketiadaan bias budaya,
gender, atau sosial
·
Ketepatan konteks dan
relevansi materi
Analisis kualitatif
dapat dilakukan secara mandiri maupun kolaboratif melalui forum guru seperti
MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
7.4.
Integrasi dengan Teknologi
Dalam praktik kontemporer,
analisis butir soal dapat dilakukan lebih efisien menggunakan perangkat lunak
atau platform asesmen berbasis digital. Aplikasi seperti Microsoft
Excel, Google Form with Flubaroo, atau
e-Rapor
milik Kemendikbudristek dapat mempercepat proses perhitungan dan pelaporan
hasil analisis soal.
Penggunaan teknologi
ini tidak hanya mempercepat pekerjaan guru, tetapi juga meningkatkan akurasi
dan dokumentasi proses asesmen secara profesional⁵.
Kesimpulan
Analisis butir soal
merupakan bagian penting dalam siklus asesmen yang tidak boleh diabaikan.
Melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif, guru dapat memastikan bahwa
setiap soal dalam tes memiliki kualitas yang layak dan mendukung pencapaian
tujuan pembelajaran. Dengan budaya refleksi dan perbaikan berkelanjutan, guru
tidak hanya meningkatkan mutu instrumen asesmen, tetapi juga memperkuat fondasi
pembelajaran yang adil, bermakna, dan berdampak bagi peserta didik.
Footnotes
[1]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 168–170.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 32–34.
[3]
Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012), 225–227.
[4]
Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education,
2008), 177–179.
[5]
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, e-Rapor Kurikulum Merdeka untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah (Jakarta: 2023), 14–17.
8.
Integrasi Asesmen dalam Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka
merupakan transformasi kebijakan pendidikan di Indonesia yang menekankan
pembelajaran berdiferensiasi, berbasis projek, dan berpusat pada peserta didik.
Dalam kerangka tersebut, asesmen tidak lagi diposisikan hanya sebagai
alat evaluasi hasil akhir, melainkan sebagai bagian integral
dari proses pembelajaran yang mendukung perkembangan kompetensi secara utuh.
Oleh karena itu, penulisan tes hasil belajar dalam Kurikulum Merdeka harus
mencerminkan semangat reflektif, formatif, dan transformatif.
8.1.
Paradigma Baru Asesmen: Format
Diferensiatif dan Holistik
Dalam dokumen Panduan
Pembelajaran dan Asesmen, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan bahwa asesmen dalam
Kurikulum Merdeka diarahkan untuk:
·
Memberikan umpan
balik konstruktif
·
Menyesuaikan pembelajaran
dengan kebutuhan peserta didik
·
Memotivasi proses belajar
yang aktif dan mandiri¹
Asesmen dilihat
bukan hanya sebagai alat pengukuran, tetapi sebagai bagian dari proses belajar
itu sendiri. Dalam konteks ini, guru dituntut untuk menyusun soal yang tidak
hanya menguji pengetahuan, tetapi juga cara berpikir, cara
belajar, dan cara mengaplikasikan pengetahuan
dalam situasi nyata.
8.2.
Jenis Asesmen dalam Kurikulum
Merdeka
8.2.1.
Asesmen Diagnostik
Dilaksanakan sebelum
proses pembelajaran untuk memetakan kesiapan belajar, gaya belajar, dan potensi
awal peserta didik. Tes hasil belajar dalam asesmen ini bersifat eksploratif,
bukan untuk memberi skor, tetapi untuk menyusun strategi pembelajaran yang
adaptif².
8.2.2.
Asesmen Formatif
Dilakukan selama
proses pembelajaran, berfungsi memberikan umpan balik terhadap proses belajar
dan mengarahkan perbaikan baik bagi guru maupun siswa. Tes hasil belajar dalam
asesmen formatif sebaiknya berupa:
·
Soal reflektif
·
Latihan mandiri
·
Proyek mini atau tugas
berbasis performa
Dalam asesmen
formatif, tes tidak perlu selalu berbentuk angka; narasi, portofolio, dan
observasi kinerja juga dapat menjadi bentuk asesmen yang sah³.
8.2.3.
Asesmen Sumatif
Dilaksanakan pada
akhir suatu unit pembelajaran, semester, atau fase. Tes hasil belajar sumatif
dalam Kurikulum Merdeka perlu disusun sedemikian rupa agar:
·
Menyajikan soal-soal
autentik, berbasis konteks nyata
·
Memuat beragam
level kognitif (mengukur LOTS dan HOTS)
·
Mendorong peserta didik
untuk menunjukkan proses berpikir mereka, bukan sekadar jawaban akhir
Sebagai contoh, soal
pilihan ganda konvensional dapat dilengkapi dengan alasan
jawaban atau stimulasi berupa kasus nyata.
8.3.
Penilaian Autentik dan Projek
Sebagai Tes Hasil Belajar
Kurikulum Merdeka
memberi ruang besar pada asesmen autentik dan proyek
pembelajaran sebagai metode penilaian utama. Tes hasil belajar
dalam bentuk tugas performatif seperti pementasan drama, presentasi ilmiah,
pembuatan produk, atau investigasi lapangan tidak hanya mengukur hasil belajar,
tetapi juga memfasilitasi proses belajar itu sendiri⁴.
Dengan pendekatan
ini, guru didorong untuk menyusun instrumen asesmen yang:
·
Multimodal (tertulis,
visual, lisan, praktik)
·
Terintegrasi dengan proses
pembelajaran
·
Merefleksikan nilai-nilai
profil pelajar Pancasila
8.4.
Peran Guru dalam Menulis Tes yang
Selaras Kurikulum Merdeka
Guru bukan hanya
pengguna instrumen, melainkan desainer asesmen yang aktif dan
reflektif. Guru harus mampu:
·
Menyusun soal berbasis
konteks lokal
·
Memetakan indikator
terhadap capaian pembelajaran
·
Mengintegrasikan
nilai-nilai karakter, literasi, dan numerasi
·
Menilai proses dan hasil
secara seimbang
Kemampuan menulis
soal menjadi keterampilan profesional yang krusial dalam menerjemahkan
prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka ke dalam praktik kelas⁵.
Kesimpulan
Integrasi asesmen
dalam Kurikulum Merdeka memerlukan perubahan paradigma dari guru sebagai
penguji menjadi fasilitator dan pendamping belajar. Tes hasil belajar yang
disusun harus merefleksikan proses belajar yang bermakna, kontekstual, dan
sesuai dengan keragaman peserta didik. Dengan pendekatan yang humanis, adaptif,
dan berbasis kompetensi, asesmen dalam Kurikulum Merdeka diharapkan dapat
menjadi pendorong transformasi mutu pendidikan Indonesia secara nyata.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6–7.
[2]
Ibid., 12–14.
[3]
Ibid., 18–21.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Buku Saku Kurikulum Merdeka (Jakarta: 2022), 45–48.
[5]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 185–187.
9.
Studi Kasus dan Praktik Baik
Studi kasus dan
praktik baik dalam penyusunan tes hasil belajar memberikan ilustrasi konkret
tentang bagaimana prinsip-prinsip penilaian dan asesmen yang efektif dapat
diimplementasikan secara nyata di satuan pendidikan. Praktik-praktik ini
menunjukkan bahwa peningkatan kualitas tes hasil belajar sangat mungkin
dilakukan melalui refleksi profesional, kolaborasi antar guru, dan pemanfaatan
teknologi pendidikan secara cerdas.
9.1.
Studi Kasus 1: Implementasi
Kolaboratif Penulisan Soal di SMP Negeri 3 Sleman
Salah satu contoh
praktik baik ditunjukkan oleh guru-guru di SMP Negeri 3 Sleman,
Yogyakarta, yang secara rutin menyusun soal dalam forum MGMP (Musyawarah Guru
Mata Pelajaran). Dalam praktiknya, mereka menggunakan kisi-kisi
soal bersama, berdasarkan kurikulum dan capaian pembelajaran
yang terstandar, serta menerapkan prinsip validitas isi dan proporsionalitas
indikator pada seluruh soal ujian tengah semester.
Seluruh butir soal
yang telah dibuat dikaji ulang secara bersama untuk memastikan kesesuaian
dengan taksonomi kognitif dan tingkat perkembangan siswa. Reviu dilakukan
menggunakan formulir analisis kualitatif,
dan pengolahan hasil ujian menggunakan aplikasi spreadsheet untuk
menganalisis tingkat kesukaran dan daya pembeda. Hasilnya, lebih dari 85% soal
dinyatakan valid dan efektif digunakan dalam asesmen sumatif¹.
9.2.
Studi Kasus 2: Penggunaan Tes
Diagnostik Adaptif di SD Inklusi Kota Surakarta
Di SD
Inklusi Kota Surakarta, guru-guru kelas rendah menerapkan asesmen
diagnostik adaptif sebelum memulai tema pembelajaran semester
baru. Tes disusun dalam bentuk soal cerita bergambar yang
disesuaikan dengan gaya belajar siswa berkebutuhan khusus dan reguler. Bentuk
soal menggunakan kombinasi pilihan bergambar dan tugas manipulatif sederhana
yang dapat diobservasi secara langsung.
Pendekatan ini
sejalan dengan prinsip Kurikulum Merdeka yang menekankan asesmen
berdiferensiasi. Guru mencatat hasil asesmen secara naratif,
bukan angka, untuk digunakan dalam penyusunan modul ajar yang inklusif dan
personal². Hal ini membuktikan bahwa penyusunan tes yang memperhatikan
keberagaman siswa tidak hanya memungkinkan, tetapi juga sangat efektif dalam
memfasilitasi pembelajaran bermakna.
9.3.
Studi Kasus 3: Soal HOTS Kontekstual
di SMA Negeri 2 Denpasar
Di SMA
Negeri 2 Denpasar, guru sejarah menerapkan asesmen formatif
mingguan berupa soal Higher Order Thinking Skills (HOTS)
berbasis konteks lokal. Misalnya, siswa diminta menganalisis penyebab
ketimpangan sosial di Bali dalam kaitannya dengan kolonialisme Belanda. Soal
dirancang tidak hanya mengukur pengetahuan faktual, tetapi juga kemampuan
mengaitkan sejarah lokal dengan fenomena global.
Evaluasi terhadap
asesmen ini menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa, serta
peningkatan partisipasi aktif dalam diskusi kelas. Selain itu, guru menyusun rubrik
penilaian terbuka yang dikembangkan bersama siswa agar proses
penilaian lebih transparan dan membangun rasa tanggung jawab terhadap kualitas
jawaban³.
9.4.
Elemen-Elemen Kunci dalam Praktik
Baik
Dari ketiga studi
kasus di atas, terdapat beberapa elemen kunci yang menjadi karakteristik
praktik baik dalam penulisan tes hasil belajar:
·
Kolaborasi antar
guru, melalui MGMP atau tim pengembang kurikulum sekolah
·
Pemanfaatan
teknologi, untuk menganalisis dan mendokumentasikan kualitas soal
·
Pendekatan
diferensiatif dan kontekstual, sesuai kebutuhan dan lingkungan siswa
·
Keterlibatan
peserta didik, terutama dalam asesmen formatif yang reflektif dan
terbuka
Praktik-praktik ini
selaras dengan arah kebijakan pendidikan nasional yang menempatkan guru sebagai
desainer asesmen yang adaptif dan reflektif dalam rangka meningkatkan kualitas
pembelajaran secara menyeluruh⁴.
Kesimpulan
Praktik baik dalam
menulis tes hasil belajar menunjukkan bahwa kualitas asesmen sangat ditentukan
oleh kesadaran, komitmen, dan keterampilan guru dalam menerapkan prinsip
evaluasi pendidikan. Melalui pendekatan kolaboratif, kontekstual, dan berbasis
kebutuhan siswa, penilaian bukan hanya menjadi alat ukur, tetapi juga instrumen
pedagogis yang mendorong transformasi pendidikan dari ruang kelas hingga
kebijakan nasional.
Footnotes
[1]
Wawancara penulis dengan koordinator MGMP Bahasa Indonesia SMP Negeri 3
Sleman, 20 Maret 2022; didukung oleh dokumentasi kegiatan dan kisi-kisi soal
semester genap Tahun Pelajaran 2021/2022.
[2]
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Laporan Praktik Baik Pelaksanaan Asesmen Diagnostik di Sekolah
Inklusi (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 17–20.
[3]
Dokumentasi sekolah dan hasil supervisi kurikulum SMA Negeri 2
Denpasar, 2023; lihat juga: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi, Panduan Pembelajaran
dan Asesmen (Jakarta: 2022), 35.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Rapor Pendidikan Indonesia dan Refleksi Praktik Baik Sekolah
Penggerak (Jakarta: 2022), 40–43.
10.
Penutup
Penilaian hasil
belajar merupakan komponen strategis dalam proses pendidikan yang tidak hanya
berfungsi sebagai alat ukur pencapaian peserta didik, tetapi juga sebagai
sarana refleksi dan perbaikan pembelajaran. Dalam konteks Kurikulum Merdeka,
penilaian ditransformasikan menjadi bagian integral dari pembelajaran yang
bersifat formatif, diagnostik, dan sumatif yang adaptif terhadap kebutuhan dan
potensi peserta didik¹. Oleh karena itu, kemampuan guru dalam menulis tes hasil
belajar yang bermutu menjadi bagian penting dari profesionalisme pendidik masa
kini.
Selama ini, banyak
praktik penulisan soal yang masih berorientasi pada hafalan dan penguasaan
pengetahuan tingkat rendah. Padahal, tantangan pendidikan abad ke-21 menuntut
kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas, serta penguasaan
keterampilan kolaboratif dan komunikasi². Maka dari itu, tes hasil belajar
harus dirancang dengan mengacu pada prinsip validitas, reliabilitas,
objektivitas, dan keadilan, serta memperhatikan keragaman gaya belajar siswa.
Penerapan taksonomi
tujuan pembelajaran, seperti revisi Taksonomi Bloom oleh Anderson dan
Krathwohl, memungkinkan guru untuk mengembangkan butir soal yang mencakup level
kognitif dari remembering hingga creating,
sekaligus memastikan soal memiliki kedalaman makna dan relevansi kontekstual³.
Hal ini semakin ditekankan dalam regulasi nasional seperti Permendikbud No. 23
Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, yang menuntut agar penilaian
dilakukan secara otentik, berkesinambungan, dan menyeluruh⁴.
Selain itu,
integrasi asesmen dengan pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka mendorong guru
untuk mengembangkan bentuk-bentuk tes yang tidak hanya menilai pengetahuan,
tetapi juga sikap, keterampilan, dan proses berpikir peserta didik secara
autentik. Penggunaan berbagai teknik asesmen, mulai dari tes tertulis, lisan,
praktik, hingga asesmen berbasis proyek dan portofolio, memperluas cakupan dan
kebermaknaan evaluasi pembelajaran⁵.
Studi kasus dan
praktik baik dari berbagai satuan pendidikan membuktikan bahwa penyusunan tes
hasil belajar yang efektif sangat mungkin diwujudkan melalui kolaborasi antar
guru, pemanfaatan teknologi, dan refleksi pedagogis yang mendalam. Dengan cara
tersebut, asesmen tidak lagi menjadi momok, melainkan menjadi bagian yang
memberdayakan peserta didik untuk mengenali kekuatannya, memperbaiki
kelemahannya, dan terus berkembang.
Akhirnya, penulisan
tes hasil belajar yang berkualitas bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi
merupakan bagian dari komitmen etik dan profesional guru dalam menciptakan
pendidikan yang adil, bermutu, dan transformatif. Komitmen inilah yang menjadi
fondasi utama bagi terwujudnya profil pelajar Pancasila dan generasi pembelajar
sepanjang hayat di Indonesia.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6–10.
[2]
World Economic Forum, The
Future of Jobs Report 2020 (Geneva:
WEF, 2020), 27–29.
[3]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of
Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 66–67.
[4]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan,
pasal 2 dan 4.
[5]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 122–124.
Daftar Pustaka
Anderson, L. W., &
Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and
assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives.
New York, NY: Longman.
Arifin, Z. (2011). Evaluasi
pembelajaran. Bandung, Indonesia: Remaja Rosdakarya.
Arikunto, S. (2012). Dasar-dasar
evaluasi pendidikan (edisi revisi). Jakarta, Indonesia: Bumi
Aksara.
Badan Standar Nasional
Pendidikan. (2010). Panduan penulisan soal ujian sekolah dan
ujian nasional. Jakarta, Indonesia: BSNP.
Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. (2022). Laporan praktik baik pelaksanaan asesmen
diagnostik di sekolah inklusi. Jakarta, Indonesia: Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Direktorat Jenderal Guru
dan Tenaga Kependidikan. (2023). e-Rapor Kurikulum Merdeka untuk satuan
pendidikan dasar dan menengah. Jakarta, Indonesia: Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 tentang
Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta, Indonesia: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Buku saku Kurikulum
Merdeka. Jakarta, Indonesia: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Rapor Pendidikan
Indonesia dan refleksi praktik baik Sekolah Penggerak. Jakarta,
Indonesia: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Panduan pembelajaran
dan asesmen. Jakarta, Indonesia: Kemendikbudristek.
Linn, R. L., &
Gronlund, N. E. (2008). Measurement and assessment in teaching
(10th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.
Nitko, A. J., &
Brookhart, S. M. (2014). Educational assessment of students
(7th ed.). Boston, MA: Pearson.
World Economic Forum.
(2020). The future of jobs report 2020. Geneva, Switzerland:
World Economic Forum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar