Jumat, 09 Mei 2025

Menulis Test Hasil Belajar: Prinsip, Teknik, dan Implementasi dalam Praktik Pendidikan

Menulis Test Hasil Belajar

Prinsip, Teknik, dan Implementasi dalam Praktik Pendidikan


Alihkan ke: Penilaian Hasil Belajar dan Tindak Lanjut.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep, prinsip, dan teknik penulisan tes hasil belajar dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dalam implementasi Kurikulum Merdeka. Penilaian hasil belajar merupakan bagian integral dari proses pembelajaran yang tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi, tetapi juga sebagai instrumen refleksi dan pengembangan pembelajaran bermakna. Artikel ini menguraikan pentingnya validitas, reliabilitas, objektivitas, serta prinsip keadilan dalam penyusunan tes, sekaligus menekankan penggunaan taksonomi tujuan pembelajaran—terutama revisi Taksonomi Bloom—dalam merancang soal sesuai level kognitif. Pembahasan juga mencakup jenis-jenis tes, teknik menulis soal berkualitas, serta langkah-langkah analisis butir soal secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, asesmen diintegrasikan secara adaptif melalui pendekatan diagnostik, formatif, dan sumatif yang berorientasi pada penguatan proses belajar. Studi kasus dari berbagai sekolah ditampilkan untuk menunjukkan praktik baik dalam penulisan tes berbasis kolaborasi, kontekstualisasi, dan diferensiasi. Artikel ini merekomendasikan peningkatan literasi asesmen guru sebagai fondasi utama dalam menciptakan penilaian yang adil, autentik, dan transformatif.

Kata Kunci: Penilaian hasil belajar, tes pendidikan, taksonomi Bloom, Kurikulum Merdeka, asesmen formatif, validitas soal, HOTS, analisis butir soal.


PEMBAHASAN

Konsep, prinsip dan Tehnik Menulis Tes Hasil Belajar


1.           Pendahuluan

Dalam konteks pendidikan abad ke-21 yang menekankan kompetensi berpikir kritis, kolaboratif, kreatif, dan komunikatif, peran penilaian tidak lagi sekadar menjadi alat untuk mengukur hasil belajar siswa secara kuantitatif, melainkan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran itu sendiri. Salah satu bentuk penilaian yang paling umum digunakan di berbagai jenjang pendidikan adalah tes hasil belajar, yang dirancang untuk mengukur ketercapaian kompetensi peserta didik terhadap tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Tes hasil belajar memiliki posisi strategis dalam siklus pembelajaran karena dapat memberikan informasi penting bagi guru, peserta didik, maupun pengambil kebijakan. Informasi tersebut mencakup pencapaian standar kompetensi, efektivitas proses pembelajaran, serta sebagai dasar pengambilan keputusan untuk intervensi pembelajaran lanjutan atau remedial. Dalam praktiknya, penulisan tes hasil belajar yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip ilmiah dan pedagogis justru berpotensi menghasilkan pengukuran yang tidak valid, bias, dan tidak bermakna secara instruksional. Oleh karena itu, penguasaan keterampilan menulis tes yang sesuai dengan kaidah evaluasi pendidikan merupakan kompetensi dasar yang perlu dimiliki setiap pendidik profesional.

Menurut Arikunto, tes hasil belajar adalah seperangkat alat atau prosedur yang digunakan untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya¹. Tes yang baik bukan hanya mampu mengukur kemampuan dasar seperti mengingat dan memahami, tetapi juga mampu mengevaluasi kemampuan berpikir tingkat tinggi seperti menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta sebagaimana yang tercakup dalam taksonomi Bloom yang telah direvisi².

Sejalan dengan hal tersebut, Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa penilaian oleh pendidik harus dilakukan secara berkesinambungan, otentik, objektif, dan memanfaatkan berbagai teknik penilaian yang sesuai dengan karakteristik kompetensi yang dinilai³. Ini menuntut adanya kemampuan guru dalam menyusun instrumen tes yang tidak hanya valid dan reliabel, tetapi juga kontekstual dan berpihak pada perkembangan belajar siswa secara holistik.

Dalam konteks implementasi Kurikulum Merdeka, kebutuhan terhadap penilaian yang mendorong proses belajar bermakna semakin ditekankan. Tes hasil belajar yang dirancang dengan mempertimbangkan keberagaman kebutuhan siswa, serta selaras dengan prinsip diferensiasi dan pembelajaran berbasis proyek, akan mendorong terciptanya pengalaman belajar yang lebih manusiawi dan relevan⁴. Maka dari itu, pemahaman yang mendalam tentang prinsip, teknik, serta praktik penulisan tes hasil belajar menjadi hal yang sangat penting bagi guru, dosen, maupun praktisi pendidikan lainnya.


Footnotes

[1]                Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 67.

[2]                Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 45–47.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, pasal 2 ayat (1) dan (2).

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 10–12.


2.           Konsep Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar merupakan bagian dari sistem evaluasi pendidikan yang berfungsi untuk mengukur sejauh mana peserta didik telah mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Tes ini digunakan tidak hanya untuk mengetahui tingkat penguasaan materi pelajaran, tetapi juga sebagai dasar pengambilan keputusan instruksional, diagnosis kelemahan belajar, dan pemberian umpan balik yang konstruktif. Dengan kata lain, tes hasil belajar menjadi alat penting dalam mengontrol mutu proses pendidikan dan pembelajaran secara menyeluruh.

Secara terminologis, tes hasil belajar didefinisikan sebagai alat pengukuran yang disusun secara sistematis untuk mengetahui kemampuan siswa setelah melalui proses pembelajaran. Menurut Arikunto, tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemampuan, atau bakat yang dimiliki oleh individu¹. Dalam konteks hasil belajar, tes berfungsi mengukur capaian peserta didik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya.

Nitko dan Brookhart menyatakan bahwa tes hasil belajar harus dikembangkan berdasarkan tujuan instruksional yang eksplisit dan spesifik. Tes yang efektif harus mencerminkan isi kurikulum, sesuai dengan level kognitif yang diharapkan, serta memiliki kualitas teknis seperti validitas dan reliabilitas². Tes bukanlah tujuan akhir dari pembelajaran, melainkan jembatan yang menghubungkan antara tujuan dan proses pembelajaran dengan hasil yang dapat diobservasi dan diukur secara sistematis.

Lebih lanjut, dalam sistem pendidikan Indonesia, penilaian hasil belajar telah diatur dalam berbagai regulasi nasional. Berdasarkan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, penilaian hasil belajar oleh pendidik merupakan proses pengumpulan informasi tentang capaian belajar peserta didik dalam bentuk penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara terencana dan sistematis³. Dalam regulasi ini ditegaskan bahwa penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosis kesulitan belajar, dan sebagai bahan penyusunan laporan hasil belajar.

Dari perspektif pedagogis, tes hasil belajar perlu dirancang sesuai dengan pendekatan yang holistik, kontekstual, dan autentik. Hal ini selaras dengan arah kebijakan Kurikulum Merdeka, yang menekankan pentingnya asesmen sebagai bagian dari proses pembelajaran yang bermakna, diferensiatif, dan berpihak pada peserta didik. Tes tidak hanya menjadi alat untuk mengevaluasi, tetapi juga sebagai wahana refleksi bagi guru dan peserta didik dalam memperbaiki proses belajar mengajar⁴.

Sebagai instrumen penilaian formal, tes hasil belajar memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu:

·                     Objektivitas, artinya hasil tes tidak dipengaruhi oleh subjektivitas penilai.

·                     Reliabilitas, yaitu konsistensi hasil tes ketika diberikan pada kondisi yang serupa.

·                     Validitas, yakni kemampuan tes untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.

·                     Praktikabilitas, yaitu kemudahan dalam pelaksanaan dan skoring.

·                     Diskriminatif, yaitu kemampuan soal untuk membedakan antara siswa yang menguasai materi dan yang belum.

Dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi tersebut, penyusunan tes hasil belajar harus dilakukan melalui proses perencanaan yang matang, penyusunan kisi-kisi, penulisan soal sesuai kaidah penulisan instrumen, hingga analisis dan perbaikan berdasarkan data empirik hasil tes.


Footnotes

[1]                Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 67.

[2]                Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 8–10.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, pasal 1 ayat (2).

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 11–14.


3.           Prinsip-Prinsip Dasar dalam Menulis Tes

Penulisan tes hasil belajar yang baik tidak hanya memerlukan pemahaman terhadap isi materi, tetapi juga harus mengikuti prinsip-prinsip ilmiah dan pedagogis agar menghasilkan alat ukur yang sahih, andal, dan adil. Tes yang dikembangkan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip ini berpotensi gagal dalam menggambarkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya, sehingga menimbulkan kekeliruan dalam pengambilan keputusan instruksional maupun administratif.

3.1.       Validitas (Validity)

Validitas merujuk pada derajat ketepatan suatu instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya diukur. Tes dikatakan valid apabila butir-butir soalnya sesuai dengan kompetensi yang diukur serta representatif terhadap indikator yang ditetapkan dalam kurikulum¹. Validitas ini dapat dikaji dari berbagai dimensi, termasuk validitas isi (content validity), validitas konstruk (construct validity), dan validitas kriteria (criterion-related validity). Misalnya, jika tes bertujuan mengukur kemampuan berpikir kritis, maka soal-soal harus menuntut siswa menganalisis, mengevaluasi, atau mencipta, bukan sekadar mengingat informasi.

3.2.       Reliabilitas (Reliability)

Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu tes memberikan hasil yang konsisten jika digunakan berulang kali dalam kondisi yang serupa². Instrumen yang reliabel akan menghasilkan skor yang stabil meskipun digunakan oleh penilai berbeda atau dalam waktu yang berbeda. Dalam praktiknya, reliabilitas dapat ditingkatkan melalui kejelasan petunjuk soal, penggunaan bahasa yang tidak ambigu, dan konsistensi format penyajian.

3.3.       Objektivitas (Objectivity)

Objektivitas berkaitan dengan ketidakberpihakan dalam proses penilaian. Tes yang objektif adalah tes yang hasil penilaiannya tidak dipengaruhi oleh opini atau persepsi subyektif guru, melainkan murni berdasarkan kriteria yang jelas dan terstandar³. Oleh karena itu, soal-soal pilihan ganda dan bentuk soal yang memiliki kunci jawaban tetap umumnya lebih objektif dibandingkan soal uraian terbuka, kecuali jika soal uraian tersebut disertai rubrik penilaian yang terperinci.

3.4.       Praktikabilitas (Practicality)

Praktikabilitas merujuk pada kemudahan dan efisiensi tes untuk diterapkan, baik dari sisi waktu, biaya, maupun tenaga. Tes yang baik harus mudah dikonstruksi, diadministrasikan, dan diskor tanpa mengorbankan validitas dan reliabilitas⁴. Dalam konteks sekolah, praktikabilitas menjadi pertimbangan penting terutama ketika guru harus mengelola kelas besar dalam waktu terbatas.

3.5.       Keadilan dan Inklusivitas (Fairness and Inclusiveness)

Prinsip keadilan menuntut agar semua peserta didik memiliki peluang yang sama dalam memahami dan menyelesaikan soal. Tes tidak boleh mengandung bias budaya, bahasa, gender, atau sosio-ekonomi. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, pendekatan diferensiasi menekankan pentingnya penyusunan asesmen yang memperhatikan keragaman gaya belajar, latar belakang, dan kebutuhan peserta didik⁵.

3.6.       Kesesuaian dengan Tujuan Pembelajaran

Setiap butir soal dalam tes harus disusun berdasarkan tujuan pembelajaran yang jelas dan terukur. Soal-soal harus mencerminkan indikator pencapaian kompetensi yang relevan dan mewakili isi materi secara proporsional. Penyusunan kisi-kisi atau test blueprint sangat diperlukan untuk memastikan ketercakupan ini dan mencegah adanya kesenjangan (omission) maupun kelebihan (overrepresentation) dalam representasi materi.

3.7.       Kemampuan Membedakan (Discriminatory Power)

Butir soal yang baik harus mampu membedakan antara peserta didik yang menguasai materi dengan yang belum. Ini disebut daya pembeda soal (item discrimination). Soal yang terlalu mudah atau terlalu sulit tidak memiliki daya pembeda yang baik, dan cenderung tidak bermanfaat dalam proses diagnosis belajar.


Penerapan prinsip-prinsip ini penting tidak hanya untuk menjaga integritas proses penilaian, tetapi juga untuk memberikan umpan balik yang akurat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Guru sebagai desainer pembelajaran dan asesmen dituntut untuk menguasai prinsip-prinsip ini agar setiap tes yang disusun benar-benar menjadi alat pengukur yang bermakna dan berdampak pada perbaikan proses belajar.


Footnotes

[1]                Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 83–85.

[2]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2008), 59–60.

[3]                Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 102–104.

[4]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 95.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 14–16.


4.           Taksonomi Tujuan Pembelajaran dalam Penyusunan Soal

Perumusan dan penyusunan soal tes hasil belajar tidak dapat dilepaskan dari pemahaman terhadap taksonomi tujuan pembelajaran, karena taksonomi inilah yang menjadi dasar dalam mengklasifikasikan jenis kemampuan yang diharapkan dikuasai peserta didik. Dengan merujuk pada taksonomi, pendidik dapat menyusun soal yang tidak hanya menilai aspek pengetahuan dasar, tetapi juga keterampilan berpikir tingkat tinggi. Hal ini menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan modern yang menekankan pada pengembangan kompetensi abad ke-21.

4.1.       Taksonomi Bloom dan Revisi Anderson-Krathwohl

Taksonomi tujuan pembelajaran pertama kali diperkenalkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1956, yang membagi ranah pembelajaran ke dalam tiga domain utama: kognitif, afektif, dan psikomotorik¹. Dari ketiganya, ranah kognitif paling banyak digunakan dalam penyusunan soal hasil belajar karena berkaitan dengan proses berpikir dan penguasaan pengetahuan.

Ranah kognitif dalam taksonomi Bloom semula terdiri atas enam level: knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis, dan evaluation. Namun pada tahun 2001, Anderson dan Krathwohl melakukan revisi terhadap taksonomi ini dengan mengubah nomenklatur serta urutannya menjadi:

1) Remembering, 2) Understanding, 3) Applying, 4) Analyzing, 5) Evaluating, dan 6) Creating².

Revisi ini menyesuaikan taksonomi dengan perkembangan pembelajaran kontemporer serta kebutuhan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS). Model revisi ini juga mengintegrasikan dua dimensi utama, yaitu:

·                     Dimensi Proses Kognitif: mengacu pada aktivitas berpikir (dari mengingat hingga mencipta)

·                     Dimensi Pengetahuan: mencakup pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif

4.2.       Hubungan Taksonomi dengan Penyusunan Soal

Penyusunan soal hasil belajar sebaiknya didasarkan pada pemetaan tujuan pembelajaran ke dalam level taksonomi tersebut. Dengan demikian, guru dapat memastikan bahwa setiap soal:

·                     Relevan dengan indikator pencapaian kompetensi

·                     Mewakili tingkat berpikir yang diharapkan dalam kurikulum

·                     Mengembangkan kemampuan berpikir beragam, tidak hanya menghafal

Contohnya, soal yang berada pada level Remembering (C1) dapat berupa pertanyaan definisi, sedangkan soal pada level Analyzing (C4) dapat menuntut siswa menguraikan hubungan sebab-akibat atau membandingkan dua konsep berbeda. Untuk level Creating (C6), peserta didik dapat diminta untuk merancang solusi atas suatu masalah dalam konteks nyata.

4.3.       Implementasi dalam Kurikulum dan Regulasi Nasional

Dalam sistem pendidikan Indonesia, pendekatan berbasis kompetensi sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2016 dan lebih lanjut diperkuat dalam Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka, menegaskan pentingnya asesmen yang mengukur berpikir tingkat tinggi. Penyusunan soal yang hanya mengukur level rendah tidak mencerminkan capaian pembelajaran yang diharapkan dalam dokumen kurikulum nasional³.

Selain itu, pendekatan ini juga mendorong integrasi antara asesmen formatif dan sumatif yang dirancang secara berimbang, memperhatikan keragaman level kognitif agar pembelajaran tidak hanya berorientasi pada penguasaan konten, melainkan juga pengembangan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah⁴.

4.4.       Peran Guru dalam Pemetaan Taksonomi

Guru sebagai pengembang tes perlu menguasai pemetaan indikator pembelajaran terhadap taksonomi kognitif. Hal ini dapat dilakukan melalui penyusunan kisi-kisi soal (blueprint), di mana setiap indikator dikaitkan dengan level kognitif dan bentuk soal yang sesuai. Praktik ini akan membantu memastikan bahwa keseluruhan tes:

·                     Proporsional dalam mengukur berbagai level berpikir

·                     Mencerminkan standar kompetensi lulusan

·                     Memberikan gambaran utuh tentang capaian belajar peserta didik

Dengan demikian, pemahaman dan penerapan taksonomi tujuan pembelajaran menjadi fondasi esensial dalam penulisan soal hasil belajar yang berkualitas, adil, dan mendorong perkembangan kompetensi menyeluruh.


Footnotes

[1]                Benjamin S. Bloom, ed., Taxonomy of Educational Objectives: The Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain (New York: Longmans, Green, 1956), 7–10.

[2]                Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–70.

[3]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, pasal 1 ayat (1–2).

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 20–22.


5.           Jenis-Jenis Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria, seperti bentuk penyajian soal, cara menjawab, dan keterampilan yang diukur. Pemilihan jenis tes harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, karakteristik peserta didik, dan konteks asesmen itu sendiri. Pemahaman terhadap berbagai jenis tes akan membantu pendidik dalam menyusun instrumen yang tidak hanya sesuai dengan kompetensi yang diukur, tetapi juga adil, valid, dan bermakna.

5.1.       Tes Tertulis

Tes tertulis adalah bentuk tes yang paling umum digunakan dalam dunia pendidikan, di mana peserta didik memberikan jawaban secara tertulis terhadap pertanyaan yang disusun guru. Tes ini terbagi ke dalam dua bentuk utama:

5.1.1.    Tes Objektif

Tes objektif adalah tes yang memiliki satu jawaban benar dan dapat dinilai secara konsisten oleh siapa pun karena menggunakan kunci jawaban yang jelas. Bentuk-bentuk umum dari tes objektif antara lain:

·                     Pilihan Ganda (Multiple Choice): peserta memilih satu jawaban yang benar dari beberapa opsi. Bentuk ini efektif untuk mengukur berbagai level kognitif, termasuk pemahaman, aplikasi, hingga analisis¹.

·                     Benar-Salah (True-False): peserta menilai pernyataan sebagai benar atau salah. Bentuk ini efisien tetapi memiliki kelemahan karena kemungkinan menebak cukup tinggi.

·                     Menjodohkan (Matching): peserta mencocokkan dua kelompok item yang berkaitan.

·                     Isian Singkat (Short Answer/Completion): peserta diminta melengkapi bagian yang kosong atau memberikan jawaban singkat.

Bentuk objektif umumnya digunakan dalam asesmen berskala besar karena dapat dinilai dengan cepat dan menghasilkan data kuantitatif yang mudah dianalisis.

5.1.2.    Tes Subjektif (Esai)

Tes subjektif atau tes uraian menuntut peserta didik untuk menyusun jawaban sendiri berdasarkan pemahaman dan kemampuan berpikirnya. Tes esai terbagi menjadi dua jenis:

·                     Uraian Terbatas: jawaban diharapkan sesuai dengan batasan yang telah ditentukan, misalnya berdasarkan kata kunci.

·                     Uraian Bebas: peserta bebas menyusun argumen atau pendapatnya secara lebih luas.

Tes esai lebih tepat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Namun demikian, validitas dan reliabilitasnya tergantung pada kejelasan rubrik penilaian².

5.2.       Tes Lisan

Tes lisan dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada peserta didik yang kemudian menjawab secara verbal. Tes ini berguna untuk menilai aspek komunikasi, penalaran spontan, dan kejelasan penyampaian. Tes lisan sering digunakan dalam pelajaran bahasa, pendidikan agama, atau ketika asesmen tertulis tidak memadai. Namun, untuk menjaga objektivitas, diperlukan pedoman penilaian yang jelas dan pencatatan hasil yang sistematis³.

5.3.       Tes Praktik (Performance Test)

Tes praktik atau tes kinerja digunakan untuk menilai keterampilan psikomotorik dan aplikatif peserta didik melalui pengamatan terhadap tindakan nyata. Contohnya adalah melakukan eksperimen sains, memainkan alat musik, menyusun laporan lapangan, atau membuat produk. Tes ini sangat relevan untuk kompetensi berbasis tindakan, dan sejalan dengan pendekatan assessment for learning⁴.

Kurikulum Merdeka mendorong penggunaan asesmen berbasis praktik yang kontekstual dan autentik, yang mengintegrasikan proses dengan produk. Oleh karena itu, tes praktik menjadi penting dalam menilai kemampuan peserta didik secara utuh dan mendalam, terutama dalam pembelajaran berbasis proyek atau project-based learning⁵.

5.4.       Tes Berdasarkan Tujuan Waktu Pelaksanaan

Jenis tes juga dapat dikategorikan berdasarkan waktu dan tujuannya dalam siklus pembelajaran:

·                     Tes Diagnostik: digunakan sebelum pembelajaran dimulai untuk mengetahui kesiapan dan prasyarat peserta didik.

·                     Tes Formatif: diberikan selama proses pembelajaran untuk memantau kemajuan dan memberikan umpan balik.

·                     Tes Sumatif: dilakukan di akhir unit, semester, atau tahun ajaran untuk menentukan capaian akhir peserta didik.

Setiap jenis tes ini memiliki format dan pendekatan yang berbeda, namun semua harus disusun berdasarkan prinsip asesmen yang berkualitas.

5.5.       Prinsip Integratif dalam Pemilihan Jenis Tes

Pemilihan jenis tes tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Menurut Panduan Pembelajaran dan Asesmen dari Kemendikbudristek, guru harus mempertimbangkan:

·                     Capaian pembelajaran (CP) dan tujuan pembelajaran

·                     Ranah kemampuan yang diukur

·                     Tingkat perkembangan peserta didik

·                     Kesesuaian konteks dan kebutuhan diferensiasi⁶

Dengan demikian, guru dituntut untuk tidak hanya memahami berbagai bentuk tes, tetapi juga mampu memilih, mengadaptasi, dan menyusunnya sesuai dengan kebutuhan pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara holistik.


Footnotes

[1]                Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 192–200.

[2]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2008), 164–168.

[3]                Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 105.

[4]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 127–129.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 26–28.

[6]                Ibid., 12–14.


6.           Teknik Menulis Soal yang Berkualitas

Menulis soal tes hasil belajar merupakan keterampilan profesional yang sangat penting bagi guru. Soal yang disusun dengan baik akan mampu mengukur kompetensi peserta didik secara valid, reliabel, dan adil. Sebaliknya, soal yang lemah dalam konstruksi dapat menyesatkan interpretasi terhadap hasil belajar siswa, dan pada akhirnya menghambat pengambilan keputusan pembelajaran yang akurat. Oleh karena itu, penguasaan teknik penulisan soal yang berkualitas menjadi syarat mutlak bagi pendidik.

6.1.       Mengacu pada Kisi-Kisi Soal (Blueprint)

Langkah awal dalam menyusun soal yang berkualitas adalah membuat kisi-kisi soal, yaitu matriks yang memuat informasi tentang kompetensi yang akan diukur, indikator soal, bentuk soal, dan level kognitif berdasarkan taksonomi pembelajaran. Kisi-kisi berfungsi sebagai pemandu agar soal yang disusun:

·                     Selaras dengan tujuan pembelajaran

·                     Mewakili cakupan materi yang diajarkan

·                     Mencerminkan berbagai level kognitif peserta didik¹

Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), penyusunan kisi-kisi merupakan tahapan penting dalam menjamin validitas isi suatu instrumen asesmen².

6.2.       Kaidah Penulisan Soal Pilihan Ganda

Soal pilihan ganda adalah salah satu bentuk tes objektif yang paling sering digunakan karena efisien dan dapat mencakup cakupan materi yang luas. Agar soal jenis ini berkualitas, penulis perlu memperhatikan beberapa kaidah penting berikut:

·                     Pokok soal (stem) harus dirumuskan secara jelas, mengandung satu permasalahan utama, dan bebas dari informasi yang tidak relevan.

·                     Pilihan jawaban (option) terdiri dari satu kunci jawaban benar dan beberapa pengecoh (distractor) yang logis dan berfungsi dengan baik.

·                     Bahasa soal harus komunikatif, tidak bias, dan sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa peserta didik.

·                     Soal tidak boleh memberikan petunjuk ke arah jawaban yang benar (misalnya melalui panjang kalimat atau kata kunci tertentu).

·                     Soal sebaiknya tidak bersifat negatif ganda karena dapat membingungkan siswa³.

Contoh soal buruk:

Manakah dari pernyataan berikut yang tidak termasuk ciri-ciri demokrasi?

Soal tersebut mengandung bentuk negatif yang dapat memicu salah interpretasi, sehingga perlu direvisi agar lebih lugas.

6.3.       Kaidah Penulisan Soal Uraian

Soal uraian atau esai memerlukan tanggapan terbuka dari peserta didik dan umumnya digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi. Agar soal uraian efektif, penulis harus memperhatikan:

·                     Kejelasan perintah soal (misalnya: “jelaskan”, “bandingkan”, “analisis”)

·                     Kesesuaian dengan indikator dan level kognitif yang dituju

·                     Adanya rubrik penilaian yang jelas dan terstandar untuk menjaga objektivitas dan reliabilitas skor⁴

Rubrik penilaian dapat berbentuk rubrik analitik (menilai tiap aspek jawaban secara terpisah) atau rubrik holistik (menilai keseluruhan kualitas jawaban secara umum).

6.4.       Bahasa dan Format Soal

Baik soal objektif maupun subjektif harus ditulis dalam bahasa yang sederhana, lugas, dan sesuai dengan konteks budaya serta pengalaman peserta didik. Format penyajian (huruf, spasi, tata letak) juga harus konsisten untuk menghindari kesalahan pemahaman teknis yang dapat mengganggu penilaian kemampuan akademik sebenarnya.

6.5.       Reviu dan Uji Coba Soal

Sebelum digunakan secara luas, soal yang telah disusun perlu direviu dan diuji coba untuk menjamin kualitasnya. Kegiatan ini dapat melibatkan rekan sejawat (peer review), tim MGMP, atau melalui analisis empiris hasil uji coba soal terhadap peserta didik (uji coba terbatas).

Aspek yang perlu diperhatikan dalam reviu meliputi:

·                     Kesesuaian soal dengan indikator

·                     Ketepatan level kognitif

·                     Kejelasan kalimat

·                     Fungsi pengecoh (dalam soal pilihan ganda)

Dalam Kurikulum Merdeka, proses penilaian termasuk penyusunan soal sangat ditekankan untuk dilakukan secara kolaboratif dan reflektif agar dapat menghasilkan asesmen yang mendukung pembelajaran⁵.


Kesimpulan

Menulis soal yang berkualitas memerlukan lebih dari sekadar penguasaan materi ajar. Diperlukan pemahaman terhadap tujuan pembelajaran, taksonomi kognitif, prinsip evaluasi pendidikan, dan kemampuan teknis dalam konstruksi butir soal. Melalui perencanaan matang, penggunaan kisi-kisi, penerapan kaidah penulisan, dan reviu sistematis, guru dapat menghasilkan instrumen tes yang benar-benar mampu mencerminkan capaian belajar siswa secara autentik.


Footnotes

[1]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2008), 150–152.

[2]                Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penulisan Soal Ujian Sekolah dan Ujian Nasional (Jakarta: BSNP, 2010), 9–10.

[3]                Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 7th ed. (Boston: Pearson, 2014), 205–208.

[4]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 142–145.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 28–30.


7.           Analisis Butir Soal

Analisis butir soal merupakan proses evaluatif terhadap kualitas soal-soal tes hasil belajar yang telah diujikan kepada peserta didik. Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi sejauh mana setiap butir soal mampu berfungsi sebagaimana mestinya, baik dari sisi tingkat kesukaran, daya pembeda, maupun efektivitas pengecoh. Melalui analisis ini, guru dapat memperbaiki soal yang tidak valid, memperkuat keandalan tes, serta meningkatkan kualitas asesmen secara berkelanjutan.

7.1.       Tujuan dan Manfaat Analisis Butir Soal

Analisis butir soal memberikan berbagai manfaat penting dalam konteks pembelajaran, di antaranya:

·                     Meningkatkan validitas tes, dengan memastikan bahwa setiap soal sesuai dengan indikator yang diukur.

·                     Meningkatkan reliabilitas, dengan menghilangkan soal yang ambigu atau tidak berfungsi.

·                     Mengembangkan bank soal berkualitas, melalui proses revisi berdasarkan data empirik.

·                     Memberikan umpan balik kepada guru, untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan asesmen¹.

Dalam Kurikulum Merdeka, kegiatan reflektif seperti analisis butir soal sejalan dengan prinsip asesmen sebagai proses untuk memperbaiki pembelajaran, bukan sekadar mengevaluasi hasil akhir².

7.2.       Langkah-Langkah Analisis Butir Soal

7.2.1.    Mengumpulkan Data Hasil Tes

Langkah pertama adalah mengumpulkan data hasil tes peserta didik, baik berupa skor individual maupun distribusi jawaban. Data ini dapat diperoleh melalui lembar jawaban atau aplikasi asesmen digital.

7.2.2.    Menghitung Indeks Statistik Butir Soal

Terdapat tiga komponen utama yang dianalisis secara kuantitatif:

·                     Tingkat Kesukaran (Difficulty Index)

Menunjukkan proporsi peserta yang menjawab soal dengan benar. Skor berada antara 0,00 sampai 1,00.

Interpretasi umum:

0,00–0,30 = Sukar

0,31–0,70 = Sedang

0,71–1,00 = Mudah³

·                     Daya Pembeda (Discrimination Index)

Menunjukkan kemampuan soal untuk membedakan antara peserta didik berkemampuan tinggi dan rendah. Skor ideal berkisar antara 0,30 hingga 1,00. Soal dengan daya pembeda negatif harus direvisi atau dibuang karena justru menunjukkan arah pengukuran yang keliru⁴.

·                     Efektivitas Pengecoh (Distractor Efficiency)

Pengecoh harus berfungsi, yaitu benar-benar dipilih oleh peserta didik yang tidak memahami materi. Jika suatu pengecoh tidak pernah dipilih, maka ia dianggap tidak efektif.

7.2.3.    Menyusun Interpretasi Hasil

Setelah analisis statistik dilakukan, guru perlu mengklasifikasikan soal menjadi tiga kategori:

·                     Dipertahankan: soal yang valid dan efektif

·                     Direvisi: soal yang masih bisa diperbaiki

·                     Dibuang: soal yang tidak layak digunakan kembali

7.3.       Analisis Kualitatif

Selain analisis kuantitatif, guru juga perlu melakukan analisis kualitatif untuk meninjau aspek substansi dan bahasa soal. Hal ini mencakup:

·                     Kesesuaian dengan indikator dan level kognitif

·                     Kejelasan redaksi dan struktur kalimat

·                     Ketiadaan bias budaya, gender, atau sosial

·                     Ketepatan konteks dan relevansi materi

Analisis kualitatif dapat dilakukan secara mandiri maupun kolaboratif melalui forum guru seperti MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).

7.4.       Integrasi dengan Teknologi

Dalam praktik kontemporer, analisis butir soal dapat dilakukan lebih efisien menggunakan perangkat lunak atau platform asesmen berbasis digital. Aplikasi seperti Microsoft Excel, Google Form with Flubaroo, atau e-Rapor milik Kemendikbudristek dapat mempercepat proses perhitungan dan pelaporan hasil analisis soal.

Penggunaan teknologi ini tidak hanya mempercepat pekerjaan guru, tetapi juga meningkatkan akurasi dan dokumentasi proses asesmen secara profesional⁵.


Kesimpulan

Analisis butir soal merupakan bagian penting dalam siklus asesmen yang tidak boleh diabaikan. Melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif, guru dapat memastikan bahwa setiap soal dalam tes memiliki kualitas yang layak dan mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan budaya refleksi dan perbaikan berkelanjutan, guru tidak hanya meningkatkan mutu instrumen asesmen, tetapi juga memperkuat fondasi pembelajaran yang adil, bermakna, dan berdampak bagi peserta didik.


Footnotes

[1]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 168–170.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 32–34.

[3]                Sri Mulyani Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 225–227.

[4]                Robert L. Linn dan Norman E. Gronlund, Measurement and Assessment in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2008), 177–179.

[5]                Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, e-Rapor Kurikulum Merdeka untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Jakarta: 2023), 14–17.


8.           Integrasi Asesmen dalam Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka merupakan transformasi kebijakan pendidikan di Indonesia yang menekankan pembelajaran berdiferensiasi, berbasis projek, dan berpusat pada peserta didik. Dalam kerangka tersebut, asesmen tidak lagi diposisikan hanya sebagai alat evaluasi hasil akhir, melainkan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran yang mendukung perkembangan kompetensi secara utuh. Oleh karena itu, penulisan tes hasil belajar dalam Kurikulum Merdeka harus mencerminkan semangat reflektif, formatif, dan transformatif.

8.1.       Paradigma Baru Asesmen: Format Diferensiatif dan Holistik

Dalam dokumen Panduan Pembelajaran dan Asesmen, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan bahwa asesmen dalam Kurikulum Merdeka diarahkan untuk:

·                     Memberikan umpan balik konstruktif

·                     Menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan peserta didik

·                     Memotivasi proses belajar yang aktif dan mandiri¹

Asesmen dilihat bukan hanya sebagai alat pengukuran, tetapi sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. Dalam konteks ini, guru dituntut untuk menyusun soal yang tidak hanya menguji pengetahuan, tetapi juga cara berpikir, cara belajar, dan cara mengaplikasikan pengetahuan dalam situasi nyata.

8.2.       Jenis Asesmen dalam Kurikulum Merdeka

8.2.1.    Asesmen Diagnostik

Dilaksanakan sebelum proses pembelajaran untuk memetakan kesiapan belajar, gaya belajar, dan potensi awal peserta didik. Tes hasil belajar dalam asesmen ini bersifat eksploratif, bukan untuk memberi skor, tetapi untuk menyusun strategi pembelajaran yang adaptif².

8.2.2.    Asesmen Formatif

Dilakukan selama proses pembelajaran, berfungsi memberikan umpan balik terhadap proses belajar dan mengarahkan perbaikan baik bagi guru maupun siswa. Tes hasil belajar dalam asesmen formatif sebaiknya berupa:

·                     Soal reflektif

·                     Latihan mandiri

·                     Proyek mini atau tugas berbasis performa

Dalam asesmen formatif, tes tidak perlu selalu berbentuk angka; narasi, portofolio, dan observasi kinerja juga dapat menjadi bentuk asesmen yang sah³.

8.2.3.    Asesmen Sumatif

Dilaksanakan pada akhir suatu unit pembelajaran, semester, atau fase. Tes hasil belajar sumatif dalam Kurikulum Merdeka perlu disusun sedemikian rupa agar:

·                     Menyajikan soal-soal autentik, berbasis konteks nyata

·                     Memuat beragam level kognitif (mengukur LOTS dan HOTS)

·                     Mendorong peserta didik untuk menunjukkan proses berpikir mereka, bukan sekadar jawaban akhir

Sebagai contoh, soal pilihan ganda konvensional dapat dilengkapi dengan alasan jawaban atau stimulasi berupa kasus nyata.

8.3.       Penilaian Autentik dan Projek Sebagai Tes Hasil Belajar

Kurikulum Merdeka memberi ruang besar pada asesmen autentik dan proyek pembelajaran sebagai metode penilaian utama. Tes hasil belajar dalam bentuk tugas performatif seperti pementasan drama, presentasi ilmiah, pembuatan produk, atau investigasi lapangan tidak hanya mengukur hasil belajar, tetapi juga memfasilitasi proses belajar itu sendiri⁴.

Dengan pendekatan ini, guru didorong untuk menyusun instrumen asesmen yang:

·                     Multimodal (tertulis, visual, lisan, praktik)

·                     Terintegrasi dengan proses pembelajaran

·                     Merefleksikan nilai-nilai profil pelajar Pancasila

8.4.       Peran Guru dalam Menulis Tes yang Selaras Kurikulum Merdeka

Guru bukan hanya pengguna instrumen, melainkan desainer asesmen yang aktif dan reflektif. Guru harus mampu:

·                     Menyusun soal berbasis konteks lokal

·                     Memetakan indikator terhadap capaian pembelajaran

·                     Mengintegrasikan nilai-nilai karakter, literasi, dan numerasi

·                     Menilai proses dan hasil secara seimbang

Kemampuan menulis soal menjadi keterampilan profesional yang krusial dalam menerjemahkan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka ke dalam praktik kelas⁵.


Kesimpulan

Integrasi asesmen dalam Kurikulum Merdeka memerlukan perubahan paradigma dari guru sebagai penguji menjadi fasilitator dan pendamping belajar. Tes hasil belajar yang disusun harus merefleksikan proses belajar yang bermakna, kontekstual, dan sesuai dengan keragaman peserta didik. Dengan pendekatan yang humanis, adaptif, dan berbasis kompetensi, asesmen dalam Kurikulum Merdeka diharapkan dapat menjadi pendorong transformasi mutu pendidikan Indonesia secara nyata.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6–7.

[2]                Ibid., 12–14.

[3]                Ibid., 18–21.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Buku Saku Kurikulum Merdeka (Jakarta: 2022), 45–48.

[5]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 185–187.


9.           Studi Kasus dan Praktik Baik

Studi kasus dan praktik baik dalam penyusunan tes hasil belajar memberikan ilustrasi konkret tentang bagaimana prinsip-prinsip penilaian dan asesmen yang efektif dapat diimplementasikan secara nyata di satuan pendidikan. Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas tes hasil belajar sangat mungkin dilakukan melalui refleksi profesional, kolaborasi antar guru, dan pemanfaatan teknologi pendidikan secara cerdas.

9.1.       Studi Kasus 1: Implementasi Kolaboratif Penulisan Soal di SMP Negeri 3 Sleman

Salah satu contoh praktik baik ditunjukkan oleh guru-guru di SMP Negeri 3 Sleman, Yogyakarta, yang secara rutin menyusun soal dalam forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran). Dalam praktiknya, mereka menggunakan kisi-kisi soal bersama, berdasarkan kurikulum dan capaian pembelajaran yang terstandar, serta menerapkan prinsip validitas isi dan proporsionalitas indikator pada seluruh soal ujian tengah semester.

Seluruh butir soal yang telah dibuat dikaji ulang secara bersama untuk memastikan kesesuaian dengan taksonomi kognitif dan tingkat perkembangan siswa. Reviu dilakukan menggunakan formulir analisis kualitatif, dan pengolahan hasil ujian menggunakan aplikasi spreadsheet untuk menganalisis tingkat kesukaran dan daya pembeda. Hasilnya, lebih dari 85% soal dinyatakan valid dan efektif digunakan dalam asesmen sumatif¹.

9.2.       Studi Kasus 2: Penggunaan Tes Diagnostik Adaptif di SD Inklusi Kota Surakarta

Di SD Inklusi Kota Surakarta, guru-guru kelas rendah menerapkan asesmen diagnostik adaptif sebelum memulai tema pembelajaran semester baru. Tes disusun dalam bentuk soal cerita bergambar yang disesuaikan dengan gaya belajar siswa berkebutuhan khusus dan reguler. Bentuk soal menggunakan kombinasi pilihan bergambar dan tugas manipulatif sederhana yang dapat diobservasi secara langsung.

Pendekatan ini sejalan dengan prinsip Kurikulum Merdeka yang menekankan asesmen berdiferensiasi. Guru mencatat hasil asesmen secara naratif, bukan angka, untuk digunakan dalam penyusunan modul ajar yang inklusif dan personal². Hal ini membuktikan bahwa penyusunan tes yang memperhatikan keberagaman siswa tidak hanya memungkinkan, tetapi juga sangat efektif dalam memfasilitasi pembelajaran bermakna.

9.3.       Studi Kasus 3: Soal HOTS Kontekstual di SMA Negeri 2 Denpasar

Di SMA Negeri 2 Denpasar, guru sejarah menerapkan asesmen formatif mingguan berupa soal Higher Order Thinking Skills (HOTS) berbasis konteks lokal. Misalnya, siswa diminta menganalisis penyebab ketimpangan sosial di Bali dalam kaitannya dengan kolonialisme Belanda. Soal dirancang tidak hanya mengukur pengetahuan faktual, tetapi juga kemampuan mengaitkan sejarah lokal dengan fenomena global.

Evaluasi terhadap asesmen ini menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa, serta peningkatan partisipasi aktif dalam diskusi kelas. Selain itu, guru menyusun rubrik penilaian terbuka yang dikembangkan bersama siswa agar proses penilaian lebih transparan dan membangun rasa tanggung jawab terhadap kualitas jawaban³.

9.4.       Elemen-Elemen Kunci dalam Praktik Baik

Dari ketiga studi kasus di atas, terdapat beberapa elemen kunci yang menjadi karakteristik praktik baik dalam penulisan tes hasil belajar:

·                     Kolaborasi antar guru, melalui MGMP atau tim pengembang kurikulum sekolah

·                     Pemanfaatan teknologi, untuk menganalisis dan mendokumentasikan kualitas soal

·                     Pendekatan diferensiatif dan kontekstual, sesuai kebutuhan dan lingkungan siswa

·                     Keterlibatan peserta didik, terutama dalam asesmen formatif yang reflektif dan terbuka

Praktik-praktik ini selaras dengan arah kebijakan pendidikan nasional yang menempatkan guru sebagai desainer asesmen yang adaptif dan reflektif dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran secara menyeluruh⁴.


Kesimpulan

Praktik baik dalam menulis tes hasil belajar menunjukkan bahwa kualitas asesmen sangat ditentukan oleh kesadaran, komitmen, dan keterampilan guru dalam menerapkan prinsip evaluasi pendidikan. Melalui pendekatan kolaboratif, kontekstual, dan berbasis kebutuhan siswa, penilaian bukan hanya menjadi alat ukur, tetapi juga instrumen pedagogis yang mendorong transformasi pendidikan dari ruang kelas hingga kebijakan nasional.


Footnotes

[1]                Wawancara penulis dengan koordinator MGMP Bahasa Indonesia SMP Negeri 3 Sleman, 20 Maret 2022; didukung oleh dokumentasi kegiatan dan kisi-kisi soal semester genap Tahun Pelajaran 2021/2022.

[2]                Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Laporan Praktik Baik Pelaksanaan Asesmen Diagnostik di Sekolah Inklusi (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 17–20.

[3]                Dokumentasi sekolah dan hasil supervisi kurikulum SMA Negeri 2 Denpasar, 2023; lihat juga: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: 2022), 35.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Rapor Pendidikan Indonesia dan Refleksi Praktik Baik Sekolah Penggerak (Jakarta: 2022), 40–43.


10.       Penutup

Penilaian hasil belajar merupakan komponen strategis dalam proses pendidikan yang tidak hanya berfungsi sebagai alat ukur pencapaian peserta didik, tetapi juga sebagai sarana refleksi dan perbaikan pembelajaran. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, penilaian ditransformasikan menjadi bagian integral dari pembelajaran yang bersifat formatif, diagnostik, dan sumatif yang adaptif terhadap kebutuhan dan potensi peserta didik¹. Oleh karena itu, kemampuan guru dalam menulis tes hasil belajar yang bermutu menjadi bagian penting dari profesionalisme pendidik masa kini.

Selama ini, banyak praktik penulisan soal yang masih berorientasi pada hafalan dan penguasaan pengetahuan tingkat rendah. Padahal, tantangan pendidikan abad ke-21 menuntut kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas, serta penguasaan keterampilan kolaboratif dan komunikasi². Maka dari itu, tes hasil belajar harus dirancang dengan mengacu pada prinsip validitas, reliabilitas, objektivitas, dan keadilan, serta memperhatikan keragaman gaya belajar siswa.

Penerapan taksonomi tujuan pembelajaran, seperti revisi Taksonomi Bloom oleh Anderson dan Krathwohl, memungkinkan guru untuk mengembangkan butir soal yang mencakup level kognitif dari remembering hingga creating, sekaligus memastikan soal memiliki kedalaman makna dan relevansi kontekstual³. Hal ini semakin ditekankan dalam regulasi nasional seperti Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, yang menuntut agar penilaian dilakukan secara otentik, berkesinambungan, dan menyeluruh⁴.

Selain itu, integrasi asesmen dengan pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka mendorong guru untuk mengembangkan bentuk-bentuk tes yang tidak hanya menilai pengetahuan, tetapi juga sikap, keterampilan, dan proses berpikir peserta didik secara autentik. Penggunaan berbagai teknik asesmen, mulai dari tes tertulis, lisan, praktik, hingga asesmen berbasis proyek dan portofolio, memperluas cakupan dan kebermaknaan evaluasi pembelajaran⁵.

Studi kasus dan praktik baik dari berbagai satuan pendidikan membuktikan bahwa penyusunan tes hasil belajar yang efektif sangat mungkin diwujudkan melalui kolaborasi antar guru, pemanfaatan teknologi, dan refleksi pedagogis yang mendalam. Dengan cara tersebut, asesmen tidak lagi menjadi momok, melainkan menjadi bagian yang memberdayakan peserta didik untuk mengenali kekuatannya, memperbaiki kelemahannya, dan terus berkembang.

Akhirnya, penulisan tes hasil belajar yang berkualitas bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi merupakan bagian dari komitmen etik dan profesional guru dalam menciptakan pendidikan yang adil, bermutu, dan transformatif. Komitmen inilah yang menjadi fondasi utama bagi terwujudnya profil pelajar Pancasila dan generasi pembelajar sepanjang hayat di Indonesia.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan Pembelajaran dan Asesmen (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 6–10.

[2]                World Economic Forum, The Future of Jobs Report 2020 (Geneva: WEF, 2020), 27–29.

[3]                Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 66–67.

[4]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan, pasal 2 dan 4.

[5]                Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 122–124.


Daftar Pustaka

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York, NY: Longman.

Arifin, Z. (2011). Evaluasi pembelajaran. Bandung, Indonesia: Remaja Rosdakarya.

Arikunto, S. (2012). Dasar-dasar evaluasi pendidikan (edisi revisi). Jakarta, Indonesia: Bumi Aksara.

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2010). Panduan penulisan soal ujian sekolah dan ujian nasional. Jakarta, Indonesia: BSNP.

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. (2022). Laporan praktik baik pelaksanaan asesmen diagnostik di sekolah inklusi. Jakarta, Indonesia: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. (2023). e-Rapor Kurikulum Merdeka untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Jakarta, Indonesia: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta, Indonesia: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Buku saku Kurikulum Merdeka. Jakarta, Indonesia: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2022). Rapor Pendidikan Indonesia dan refleksi praktik baik Sekolah Penggerak. Jakarta, Indonesia: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen. Jakarta, Indonesia: Kemendikbudristek.

Linn, R. L., & Gronlund, N. E. (2008). Measurement and assessment in teaching (10th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.

Nitko, A. J., & Brookhart, S. M. (2014). Educational assessment of students (7th ed.). Boston, MA: Pearson.

World Economic Forum. (2020). The future of jobs report 2020. Geneva, Switzerland: World Economic Forum.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar