Penilaian Hasil Belajar dan Tindak Lanjut
Konsep, Prinsip, dan Implementasi dalam Pembelajaran
Berkualitas
Alihkan ke: PPG 2019.
Modul
Pedagogik 6 - Penilaian Hasil Belajar dan Tindak Lanjut
·
Pengukuran, Penilaian, Test, dan Evaluasi
·
Penilaian Otentik (Authentic Assessment)
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep,
prinsip, teknik, serta tantangan dalam pelaksanaan penilaian hasil belajar dan
tindak lanjutnya dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya pada penerapan
Kurikulum Merdeka. Penilaian tidak lagi diposisikan semata-mata sebagai alat
pengukur capaian kognitif peserta didik, tetapi sebagai proses integral dalam
pembelajaran yang bertujuan untuk memperbaiki, mengarahkan, dan mengembangkan
potensi siswa secara utuh. Pembahasan dimulai dari pemahaman mendasar mengenai
fungsi diagnostik, formatif, dan sumatif dalam penilaian, diikuti oleh
prinsip-prinsip seperti validitas, objektivitas, dan keterpaduan. Artikel ini
juga mengulas teknik penilaian dalam tiga domain pembelajaran (kognitif,
afektif, dan psikomotorik), serta menekankan pentingnya analisis data hasil
penilaian untuk merancang tindak lanjut yang sesuai, seperti remedial dan
pengayaan. Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, penilaian diarahkan untuk
mendorong pertumbuhan belajar melalui asesmen yang autentik, kontekstual, dan
berorientasi pada Profil Pelajar Pancasila. Di sisi lain, artikel ini juga
menyoroti tantangan yang dihadapi guru, termasuk keterbatasan waktu, sarana,
dan pemahaman konsep asesmen, serta menawarkan solusi strategis melalui
pelatihan profesional dan pemanfaatan teknologi. Dengan pendekatan yang
berbasis regulasi dan literatur ilmiah yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat
menjadi referensi bagi pendidik dan pemangku kebijakan untuk mengembangkan
sistem penilaian yang transformatif dan berkeadilan.
Kata Kunci: Penilaian
hasil belajar; asesmen formatif; Kurikulum Merdeka; tindak lanjut pembelajaran;
prinsip penilaian; remedial dan pengayaan; asesmen otentik.
PEMBAHASAN
Penilaian Hasil Belajar dan Tindak Lanjut
1.
Pendahuluan
Penilaian hasil
belajar merupakan komponen esensial dalam sistem pendidikan yang berperan
sebagai jembatan antara proses pembelajaran dan capaian kompetensi peserta
didik. Dalam konteks pendidikan modern, penilaian tidak hanya dimaknai sebagai
proses pengukuran hasil akhir, tetapi lebih dari itu, sebagai bagian integral
dari pembelajaran yang berorientasi pada perbaikan berkelanjutan dan
pengembangan potensi individu secara holistik. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cakap,
kreatif, dan mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.¹
Dalam praktiknya,
penilaian hasil belajar seringkali masih dipahami sebatas aktivitas
administratif atau prosedural yang hanya dilakukan di akhir pembelajaran.
Padahal, pendekatan penilaian yang efektif dan bermakna semestinya berfungsi
formatif—mendukung proses belajar peserta didik, bukan sekadar menghasilkan
nilai. Paul Black dan Dylan Wiliam menegaskan bahwa ketika penilaian
diposisikan sebagai formative assessment, maka ia
memiliki potensi besar dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil
belajar siswa.²
Dalam regulasi
pendidikan Indonesia, penilaian hasil belajar telah diatur secara sistematis
dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23 Tahun 2016 tentang
Standar Penilaian Pendidikan, yang menekankan pentingnya tiga
aspek penilaian: penilaian oleh pendidik, penilaian oleh satuan pendidikan, dan
penilaian oleh pemerintah.³ Peraturan ini juga menggarisbawahi bahwa penilaian
harus dilakukan secara sahih, objektif, adil, dan edukatif.
Lebih lanjut,
Kurikulum Merdeka yang diperkenalkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi menguatkan urgensi penilaian formatif yang bersifat
adaptif dan kontekstual. Penilaian dalam kerangka Kurikulum Merdeka bertujuan
untuk mendorong refleksi pembelajaran yang berkelanjutan dan menyesuaikan
pembelajaran dengan kebutuhan aktual peserta didik.⁴ Oleh karena itu, pemahaman
mendalam terhadap konsep, prinsip, serta tindak lanjut dari penilaian menjadi
sangat penting bagi guru dan pengelola pendidikan agar mampu melaksanakan
penilaian yang tidak hanya valid dan reliabel, tetapi juga bermakna dan
berorientasi pada perkembangan peserta didik.
Artikel ini disusun
untuk mengkaji secara komprehensif berbagai dimensi penilaian hasil belajar dan
tindak lanjutnya, dengan menekankan integrasi antara teori dan praktik dalam
konteks pembelajaran abad ke-21. Kajian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
dan rujukan praktis bagi para pendidik dalam mengimplementasikan penilaian yang
berkualitas, adil, dan transformatif.
Footnotes
[1]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2003), Pasal 3.
[2]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Inside the Black Box: Raising Standards
Through Classroom Assessment,” Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998):
139–148.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016).
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Buku Saku
Kurikulum Merdeka: Panduan untuk Guru dan Kepala Sekolah (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 22–24.
2.
Konsep Dasar Penilaian Hasil Belajar
Penilaian hasil
belajar merupakan salah satu komponen penting dalam proses pendidikan yang
berfungsi sebagai alat untuk mengukur ketercapaian kompetensi peserta didik,
serta untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran. Dalam konteks pendidikan
modern, penilaian tidak sekadar berperan sebagai instrumen untuk memberikan
skor atau nilai, tetapi lebih dari itu, sebagai bagian integral dari proses
pembelajaran yang bersifat reflektif dan diagnostik. Menurut Stiggins,
penilaian yang berkualitas dapat membantu guru memahami kemajuan belajar siswa
dan menyusun strategi pengajaran yang lebih efektif.¹
Secara konseptual,
penilaian hasil belajar berbeda dengan istilah pengukuran dan evaluasi,
meskipun ketiganya saling berkaitan. Pengukuran (measurement)
mengacu pada proses kuantifikasi terhadap atribut atau karakteristik tertentu
yang dimiliki oleh peserta didik, seperti nilai tes atau skor ujian. Penilaian
(assessment) merupakan proses sistematis untuk mengumpulkan,
menganalisis, dan menafsirkan informasi guna memahami capaian belajar.
Sedangkan evaluasi (evaluation) adalah
proses pengambilan keputusan berdasarkan informasi hasil pengukuran dan
penilaian untuk menentukan nilai atau kualitas sesuatu, misalnya efektivitas
suatu program pembelajaran.²
Berdasarkan regulasi
nasional, Permendikbud No. 23 Tahun 2016
menjelaskan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik bertujuan untuk
memantau dan mengevaluasi proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta
didik secara berkelanjutan.³ Penilaian ini meliputi ranah sikap, pengetahuan,
dan keterampilan yang mencerminkan pendekatan holistik dalam memahami
perkembangan peserta didik.
Dalam praktiknya,
terdapat tiga jenis utama penilaian yang
dikenal dalam teori dan praktik pendidikan:
·
Penilaian Diagnostik (Diagnostic Assessment)
Dilakukan sebelum proses pembelajaran untuk mengidentifikasi
kesiapan dan kebutuhan belajar peserta didik. Hal ini penting untuk merancang
pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan awal siswa.⁴
·
Penilaian Formatif
(Formative Assessment)
Dilakukan selama proses pembelajaran untuk
memberikan umpan balik kepada siswa dan guru secara berkelanjutan. Tujuan
utamanya adalah memperbaiki proses belajar dan mengarahkan strategi
pembelajaran.⁵
·
Penilaian Sumatif
(Summative Assessment)
Dilakukan pada akhir suatu periode pembelajaran
untuk menilai pencapaian akhir siswa terhadap tujuan pembelajaran. Penilaian
ini biasanya digunakan untuk menentukan nilai akhir dan kelulusan.⁶
Dalam implementasi
Kurikulum Merdeka, ketiga jenis penilaian ini semakin diperkuat melalui
pendekatan Assessment
as Learning (penilaian sebagai proses belajar), Assessment
for Learning (penilaian untuk pembelajaran), dan Assessment
of Learning (penilaian tentang hasil belajar).⁷ Pendekatan ini
mendorong peran aktif peserta didik dalam proses penilaian dan menjadikan
penilaian sebagai sarana refleksi serta pengembangan kompetensi berpikir
kritis.
Dengan demikian,
pemahaman yang tepat terhadap konsep-konsep dasar penilaian menjadi landasan
utama bagi pendidik dalam merancang sistem penilaian yang efektif dan
transformatif. Penilaian tidak lagi dipandang sebagai kegiatan administratif
semata, melainkan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran yang
mendalam, berkelanjutan, dan berorientasi pada pengembangan karakter serta
kompetensi peserta didik secara utuh.
Footnotes
[1]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Merrill Prentice Hall, 2005), 16.
[2]
Norman E. Gronlund and Robert L. Linn, Measurement and Assessment
in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2006),
4–6.
[3]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), Pasal 1–2.
[4]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003),
19–22.
[5]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Inside the Black Box: Raising Standards
Through Classroom Assessment,” Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998): 140.
[6]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 75.
[7]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 45–47.
3.
Tujuan dan Fungsi Penilaian
Penilaian dalam
konteks pendidikan bukan sekadar kegiatan administratif untuk memberikan nilai,
melainkan bagian integral dari proses pembelajaran yang memiliki berbagai
tujuan dan fungsi strategis. Dalam sistem pendidikan nasional Indonesia,
penilaian bertujuan untuk mengetahui tingkat pencapaian kompetensi peserta
didik dan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran secara
berkelanjutan.¹ Tujuan ini selaras dengan prinsip evaluasi pendidikan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 57, yang menyatakan bahwa
evaluasi dilakukan untuk mengontrol mutu pendidikan secara nasional sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak terkait.²
Tujuan utama dari
penilaian hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga arah utama, yaitu:
3.1.
Tujuan Diagnostik
Penilaian dilakukan
untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kebutuhan, dan potensi peserta
didik sejak awal pembelajaran. Informasi ini sangat penting bagi pendidik dalam
merancang pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.³
Penilaian jenis ini membantu dalam mencegah kegagalan belajar dengan memberikan
perlakuan yang sesuai sejak dini.
3.2.
Tujuan Formatif
Tujuan ini berkaitan
dengan pemantauan kemajuan belajar peserta didik selama proses pembelajaran
berlangsung. Penilaian formatif memberikan umpan balik (feedback) yang bersifat
membangun, baik bagi guru maupun siswa. Guru dapat menyesuaikan strategi
pembelajarannya, sedangkan siswa mendapat kesempatan untuk memperbaiki dan mengembangkan
kemampuannya.⁴ Dengan demikian, penilaian formatif berfungsi sebagai alat
reflektif dalam meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.
3.3.
Tujuan Sumatif
Penilaian sumatif
dilakukan untuk menilai hasil belajar peserta didik setelah suatu periode
pembelajaran tertentu (misalnya akhir semester atau tahun pelajaran). Hasil
penilaian sumatif digunakan sebagai dasar dalam menentukan kelulusan, kenaikan
kelas, atau sertifikasi.⁵
Selain memiliki
tujuan-tujuan tersebut, penilaian hasil belajar juga memiliki berbagai fungsi,
di antaranya:
·
Fungsi Selektif,
yaitu untuk menyaring peserta didik berdasarkan kriteria tertentu, seperti
dalam seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
·
Fungsi Diagnostik,
yaitu untuk mengetahui latar belakang kesulitan belajar siswa dan menentukan
perlakuan pendidikan yang tepat.
·
Fungsi Penempatan
(Placement Function), yaitu untuk menempatkan peserta didik dalam
kelompok, jenjang, atau jenis pembelajaran yang sesuai dengan tingkat
kemampuannya.
·
Fungsi Formatip,
yaitu untuk memperbaiki proses pembelajaran yang sedang berlangsung agar lebih
efektif dan efisien.
·
Fungsi Sumatif,
yaitu untuk menentukan hasil belajar siswa setelah proses pembelajaran berakhir
dan memberikan nilai atau predikat akademik.⁶
Dalam Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka, ditegaskan pula
bahwa penilaian harus diarahkan untuk mendorong partisipasi aktif siswa dalam
proses belajar dan menciptakan pengalaman belajar yang bermakna. Penilaian
tidak boleh hanya mengejar skor atau angka, tetapi harus mendorong terbentuknya
profil pelajar yang berkarakter dan kompeten.⁷ Oleh karena itu, pendidik perlu
merancang sistem penilaian yang mampu memenuhi seluruh tujuan tersebut secara
seimbang dan berorientasi pada perkembangan peserta didik secara menyeluruh.
Secara keseluruhan,
penilaian yang dilakukan secara tepat, akurat, dan bertanggung jawab akan memberikan
informasi berharga yang dapat digunakan oleh berbagai pemangku kepentingan
pendidikan—guru, siswa, orang tua, dan pengelola satuan pendidikan—dalam
mengambil keputusan yang berkualitas dan meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), Pasal 1.
[2]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Kemdikbud, 2003), Pasal 57.
[3]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003), 22.
[4]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Inside the Black Box: Raising Standards
Through Classroom Assessment,” Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998): 142.
[5]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 89–91.
[6]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017), 45–48.
[7]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 18–20.
4.
Prinsip-Prinsip Penilaian yang Efektif
Penilaian yang
efektif merupakan landasan utama dalam sistem pembelajaran yang berkualitas.
Prinsip-prinsip ini bukan hanya menjadi panduan teknis dalam pelaksanaan
penilaian, tetapi juga menjadi fondasi filosofis untuk menjamin keadilan,
akuntabilitas, dan kebermaknaan dalam proses pendidikan. Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan
menetapkan bahwa penilaian hasil belajar harus dilakukan berdasarkan prinsip
sahih, objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh dan berkesinambungan,
sistematis, serta beracuan kriteria.¹
Berikut adalah
prinsip-prinsip utama dalam penilaian yang efektif:
4.1.
Sahih (Valid)
Penilaian harus
mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas berkaitan dengan sejauh mana
alat penilaian mencerminkan kompetensi atau tujuan pembelajaran yang hendak
dicapai.² Sebagai contoh, apabila tujuan pembelajaran adalah kemampuan berpikir
kritis, maka instrumen penilaian tidak cukup hanya berbentuk pilihan ganda
faktual, tetapi perlu mengandung soal analisis atau sintesis.
4.2.
Objektif
Penilaian harus
bebas dari bias pribadi atau pengaruh eksternal yang dapat memengaruhi hasil.
Objektivitas menjamin bahwa hasil yang diperoleh peserta didik mencerminkan
kemampuan sebenarnya, bukan persepsi atau prasangka dari penilai.³ Instrumen
penilaian harus dilengkapi dengan pedoman penskoran yang jelas, terutama dalam
penilaian subjektif seperti esai atau portofolio.
4.3.
Adil
Prinsip keadilan
mengharuskan bahwa setiap peserta didik memiliki kesempatan yang sama untuk
menunjukkan kemampuannya. Penilaian tidak boleh mendiskriminasi berdasarkan
latar belakang sosial, ekonomi, gender, atau kondisi disabilitas.⁴ Penyesuaian
terhadap kebutuhan khusus (assessment accommodations) merupakan bagian dari
penerapan prinsip ini.
4.4.
Terpadu
Penilaian harus
menjadi bagian yang menyatu dengan proses pembelajaran. Artinya, penilaian
tidak dilakukan secara terpisah atau hanya di akhir, melainkan menjadi bagian
dari strategi pembelajaran harian yang memungkinkan guru dan siswa memantau
perkembangan belajar secara terus-menerus.⁵
4.5.
Terbuka (Transparan)
Prosedur dan hasil
penilaian harus dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan, termasuk
peserta didik dan orang tua. Transparansi ini menciptakan rasa kepercayaan dan
mendorong partisipasi aktif peserta didik dalam proses penilaian.⁶ Peserta
didik perlu memahami kriteria penilaian sebelum mereka dinilai.
4.6.
Menyeluruh dan Berkesinambungan
Penilaian harus
mencakup seluruh aspek kompetensi, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Selain itu, penilaian harus dilakukan secara terus-menerus untuk memberikan
gambaran utuh tentang perkembangan peserta didik.⁷ Prinsip ini sejalan dengan
pendekatan holistik dalam Kurikulum Merdeka, yang menekankan pembentukan
karakter dan kompetensi sepanjang proses belajar.
4.7.
Sistematis
Penilaian harus
dirancang, dilaksanakan, dan dievaluasi dengan prosedur yang runtut dan
terorganisasi. Ini melibatkan perencanaan indikator, pengembangan instrumen,
pelaksanaan pengukuran, dan analisis hasil penilaian.⁸
4.8.
Beracuan Kriteria (Criterion-Referenced
Assessment)
Penilaian dilakukan
dengan membandingkan hasil belajar peserta didik terhadap kriteria atau standar
kompetensi yang telah ditetapkan, bukan terhadap nilai kelompok atau rata-rata
kelas.⁹ Hal ini penting untuk menjamin bahwa setiap peserta didik dinilai
berdasarkan kemampuan individual yang obyektif.
Selain
prinsip-prinsip di atas, para ahli juga menggarisbawahi pentingnya menjadikan
penilaian sebagai bagian dari proses belajar, bukan hanya sebagai hasil akhir.
Earl menyebutkan bahwa assessment as learning menempatkan
siswa sebagai agen utama dalam proses penilaian melalui refleksi dan evaluasi
mandiri, yang pada gilirannya memperkuat metakognisi mereka.¹⁰
Penerapan
prinsip-prinsip ini menuntut kapasitas pedagogik yang kuat dari guru sebagai
desainer sekaligus pelaksana penilaian. Tanpa pemahaman dan komitmen terhadap
prinsip ini, penilaian berpotensi menjadi praktik mekanistik yang justru
menjauh dari tujuan utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi peserta didik
secara optimal.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), Pasal 3.
[2]
Norman E. Gronlund and Robert L. Linn, Measurement and Assessment
in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2006),
60–62.
[3]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 74.
[4]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017), 49–51.
[5]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Inside the Black Box: Raising Standards
Through Classroom Assessment,” Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998): 143.
[6]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Merrill Prentice Hall, 2005), 30.
[7]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 25–26.
[8]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003), 29.
[9]
Nitko, Anthony J., and Susan M. Brookhart, Educational Assessment
of Students, 6th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2011), 87.
[10]
Earl, Assessment as Learning, 38–41.
5.
Teknik dan Instrumen Penilaian
Dalam implementasi
penilaian hasil belajar, pemilihan teknik dan instrumen yang tepat menjadi
faktor penentu keakuratan dan kemanfaatan data yang diperoleh. Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa penilaian harus
dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik sesuai karakteristik kompetensi
yang dinilai, baik untuk aspek sikap, pengetahuan, maupun keterampilan.¹ Oleh
karena itu, pemahaman tentang teknik dan instrumen penilaian yang relevan
sangat diperlukan oleh pendidik agar hasil penilaian benar-benar mencerminkan
capaian belajar peserta didik.
Secara umum, teknik
dan instrumen penilaian dapat dikelompokkan berdasarkan tiga domain utama dalam
taksonomi pendidikan: kognitif, afektif, dan psikomotorik.²
5.1.
Penilaian Domain Kognitif (Pengetahuan)
Domain ini mencakup
kemampuan berpikir seperti mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,
mengevaluasi, dan mencipta. Teknik yang umum digunakan antara lain:
·
Tes tertulis:
Instrumen berupa soal pilihan ganda, isian
singkat, benar-salah, dan uraian. Soal pilihan ganda baik digunakan untuk
mengukur pemahaman dan aplikasi konsep, sedangkan soal uraian cocok untuk
menilai kemampuan analisis dan sintesis.³
·
Tes lisan:
Digunakan untuk mengukur kemampuan verbal dan
pemahaman konsep secara langsung. Tes ini menuntut kesiapan guru dalam
melakukan pengamatan objektif dan adil.⁴
·
Penugasan:
Merupakan teknik penilaian yang menuntut siswa
mengerjakan tugas secara mandiri atau kelompok, seperti makalah, laporan, atau
proyek.⁵
Setiap instrumen
penilaian kognitif harus dilengkapi dengan kisi-kisi, rubrik atau pedoman
penskoran yang jelas untuk menjaga validitas dan reliabilitas hasilnya.
5.2.
Penilaian Domain Afektif (Sikap)
Penilaian sikap
berfokus pada nilai, keyakinan, dan karakter peserta didik yang berkembang
selama proses pembelajaran. Teknik yang digunakan meliputi:
·
Observasi
sistematis:
Pengamatan langsung terhadap perilaku siswa,
menggunakan lembar observasi atau skala penilaian.⁶
·
Penilaian diri dan
antar teman:
Mendorong refleksi personal dan kemampuan
memberikan umpan balik yang konstruktif terhadap orang lain. Teknik ini juga
bermanfaat untuk menumbuhkan tanggung jawab dan empati siswa.⁷
·
Jurnal
harian/refleksi:
Siswa diminta mencatat perasaan, pendapat, dan
pengalaman belajar mereka. Guru kemudian menilai konsistensi sikap dan
perkembangan nilai-nilai pribadi siswa.⁸
Prinsip utama dalam
penilaian afektif adalah kontinuitas dan kejujuran, serta perlunya triangulasi
data untuk memperoleh gambaran sikap yang menyeluruh.
5.3.
Penilaian Domain Psikomotorik (Keterampilan)
Penilaian
keterampilan bertujuan untuk mengukur kemampuan praktis peserta didik dalam
melakukan suatu tindakan atau menghasilkan karya. Teknik yang umum digunakan
antara lain:
·
Penilaian kinerja
(performance assessment):
Digunakan untuk menilai kemampuan siswa melakukan
suatu tugas secara nyata, misalnya presentasi, praktik laboratorium, simulasi,
atau bermain peran.⁹
·
Penilaian produk:
Menilai hasil karya peserta didik, seperti
poster, video, model, atau tulisan ilmiah. Penilaian ini memerlukan rubrik yang
jelas mencakup aspek isi, kreativitas, dan kejelasan tampilan.¹⁰
·
Proyek dan
portofolio:
Proyek menguji kemampuan menyelesaikan masalah
dalam jangka waktu tertentu, sedangkan portofolio merupakan kumpulan hasil
karya siswa yang menunjukkan perkembangan belajar dalam periode waktu
tertentu.¹¹
Penggunaan instrumen
dalam domain ini harus mempertimbangkan kriteria objektif dan dilakukan secara
autentik sesuai konteks pembelajaran.
5.4.
Prinsip Pemilihan dan Pengembangan Instrumen
Pemilihan instrumen
penilaian harus disesuaikan dengan:
·
Kompetensi dasar
dan tujuan pembelajaran.
·
Karakteristik
peserta didik.
·
Sumber daya yang
tersedia.
·
Tujuan penilaian:
formatif atau sumatif.¹²
Setiap instrumen
yang digunakan hendaknya melalui proses validasi dan uji coba agar dapat
menghasilkan informasi yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam
konteks Kurikulum Merdeka, guru
dianjurkan untuk memanfaatkan asesmen diagnostik, formatif, dan sumatif yang
berbasis pada kebutuhan nyata dan capaian peserta didik.¹³
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), Pasal 6.
[2]
Benjamin S. Bloom et al., Taxonomy of Educational Objectives: The
Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain (New
York: David McKay Company, 1956).
[3]
Norman E. Gronlund and Robert L. Linn, Measurement and Assessment
in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2006),
85–90.
[4]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 101.
[5]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 150–152.
[6]
Anthony J. Nitko and Susan M. Brookhart, Educational Assessment of
Students, 6th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2011), 213.
[7]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017), 92.
[8]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003),
43–45.
[9]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment
in Education: Principles, Policy & Practice 5, no. 1 (1998): 7–74.
[10]
Mertler, Craig A., Classroom Assessment: A Practical Guide for
Educators, 5th ed. (New York: Routledge, 2016), 178–180.
[11]
Arends, Richard I., Learning to Teach, 9th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2012), 228–230.
[12]
Popham, Classroom Assessment, 68–70.
[13]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 28–30.
6.
Analisis Hasil Penilaian
Analisis hasil
penilaian merupakan tahap lanjutan yang sangat krusial setelah data penilaian
diperoleh. Analisis ini bertujuan untuk menafsirkan informasi hasil belajar
peserta didik, mengidentifikasi pencapaian kompetensi, dan merancang langkah
tindak lanjut yang tepat. Tanpa analisis yang mendalam, data penilaian hanya
menjadi angka statistik yang tidak bermakna secara pedagogis. Oleh karena itu,
pemaknaan hasil penilaian harus dilakukan secara sistematis, obyektif, dan
berdasarkan kriteria yang sahih.
Dalam praktik
pendidikan di Indonesia, regulasi Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 tentang
Standar Penilaian Pendidikan menyebutkan bahwa penilaian hasil
belajar harus disertai dengan analisis untuk mengetahui ketuntasan belajar
peserta didik secara individual maupun klasikal.¹ Analisis ini menjadi dasar
dalam menentukan strategi pembelajaran remedial, pengayaan, maupun revisi
pendekatan pembelajaran oleh pendidik.
6.1.
Tujuan Analisis Hasil Penilaian
Tujuan utama dari
analisis hasil penilaian meliputi:
1)
Mengidentifikasi tingkat
penguasaan kompetensi oleh peserta didik.
2)
Menentukan ketuntasan belajar
berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
3)
Menemukan pola atau tren
kekeliruan siswa.
4)
Menyediakan dasar untuk perbaikan
pembelajaran dan pengambilan keputusan.²
6.2.
Teknik Analisis Hasil Penilaian
Terdapat dua
pendekatan utama dalam analisis hasil penilaian, yaitu:
6.2.1.
Analisis Kuantitatif
Pendekatan ini
digunakan untuk menafsirkan data numerik hasil tes atau tugas terstruktur.
Teknik yang sering digunakan antara lain:
·
Distribusi
Frekuensi: Menampilkan jumlah siswa dalam rentang skor tertentu.
·
Nilai Rata-rata dan
Simpangan Baku: Memberikan gambaran umum capaian kelas dan variasi
antar siswa.³
·
Tingkat Kesukaran
Butir Soal: Proporsi siswa yang menjawab benar terhadap suatu item.
·
Daya Pembeda Butir
Soal: Kemampuan item soal membedakan antara siswa yang berprestasi
tinggi dan rendah.⁴
Informasi ini sangat
penting untuk mengevaluasi kualitas instrumen dan hasil belajar siswa.
6.2.2.
Analisis Kualitatif
Digunakan pada
penilaian non-tes atau data deskriptif seperti catatan observasi, jurnal
refleksi, atau portofolio. Guru menganalisis pola perilaku, kemampuan berpikir,
sikap, dan proses pembelajaran siswa berdasarkan rubrik atau deskriptor yang
telah ditetapkan.⁵
6.3.
Pelaporan Hasil Penilaian
Hasil analisis
penilaian harus disampaikan secara transparan dan informatif
kepada semua pihak terkait, termasuk siswa, orang tua, dan pengelola
pendidikan. Pelaporan dapat berbentuk:
·
Skor atau Nilai
Numerik
·
Deskripsi Capaian
Kompetensi
·
Rekomendasi Tindak
Lanjut
·
Grafik atau
Visualisasi Perkembangan Belajar
Dalam konteks Kurikulum
Merdeka, pelaporan tidak hanya menekankan nilai akhir, tetapi
juga memberikan umpan balik formatif yang mendorong peserta didik untuk
memahami proses belajarnya dan melakukan refleksi mandiri.⁶
6.4.
Implikasi Analisis bagi Guru dan Siswa
Bagi guru, hasil
analisis menjadi dasar untuk:
·
Menyesuaikan strategi
pengajaran.
·
Melakukan remedial atau
pengayaan.
·
Meningkatkan kualitas
instrumen asesmen di masa mendatang.⁷
Bagi siswa, analisis
hasil penilaian menjadi cermin untuk memahami kekuatan dan kelemahan dirinya
dalam belajar. Penilaian yang disertai analisis memungkinkan siswa mengambil
peran aktif dalam memperbaiki hasil belajarnya dan membangun kesadaran
metakognitif.
6.5.
Prinsip Penting dalam Analisis
Agar analisis hasil
penilaian bermakna, maka guru perlu memperhatikan:
·
Objektivitas
dalam penilaian dan interpretasi.
·
Keterandalan data,
baik dari sisi instrumen maupun pelaksanaan penilaian.
·
Ketepatan waktu
agar tindak lanjut dapat segera dilakukan.
·
Relevansi data
dengan tujuan pembelajaran.⁸
Dengan demikian,
analisis hasil penilaian bukan hanya tugas administratif, tetapi merupakan
proses ilmiah dan pedagogis yang berorientasi pada perbaikan mutu pembelajaran
dan peningkatan capaian belajar peserta didik secara berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), Pasal 9.
[2]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017), 108–110.
[3]
Norman E. Gronlund and Robert L. Linn, Measurement and Assessment
in Teaching, 10th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, 2006),
176–179.
[4]
Anthony J. Nitko and Susan M. Brookhart, Educational Assessment of
Students, 6th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2011), 267–270.
[5]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003),
55–58.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 34–36.
[7]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson Merrill Prentice Hall, 2005), 190.
[8]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 146–150.
7.
Tindak Lanjut Hasil Penilaian
Tindak lanjut hasil
penilaian merupakan langkah krusial yang menyempurnakan proses penilaian itu
sendiri. Penilaian yang dilakukan tanpa diikuti oleh respons atau intervensi
pembelajaran hanya akan menghasilkan data pasif yang tidak berdampak pada
peningkatan kualitas belajar peserta didik. Oleh karena itu, setiap hasil
penilaian, baik formatif maupun sumatif, harus dijadikan dasar untuk merancang
strategi pembelajaran lanjutan yang relevan dan adaptif.
7.1.
Tujuan dan Urgensi Tindak Lanjut
Menurut Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016, hasil penilaian oleh pendidik digunakan
untuk:
1)
Menentukan ketuntasan belajar
peserta didik,
2)
Merancang program remedial dan
pengayaan,
3)
Memperbaiki rencana pembelajaran
berikutnya.¹
Dengan kata lain,
hasil penilaian bukanlah akhir dari pembelajaran, melainkan input untuk proses
pembelajaran selanjutnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Black dan Wiliam
yang menekankan bahwa asesmen yang efektif harus menghasilkan tindakan nyata
guna mendorong kemajuan belajar siswa.²
7.2.
Bentuk Tindak Lanjut
Tindak lanjut hasil
penilaian dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk utama:
7.2.1.
Remedial (Perbaikan)
Program remedial
ditujukan kepada peserta didik yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Pendekatan remedial tidak sekadar mengulang materi, tetapi harus
dirancang berdasarkan analisis kesulitan siswa agar lebih tepat sasaran.³
Strategi yang dapat digunakan dalam remedial meliputi:
·
Pembelajaran ulang dengan
pendekatan berbeda.
·
Pemberian tugas tambahan
yang lebih kontekstual.
·
Bimbingan individual atau
kelompok kecil.
·
Pemanfaatan media belajar
interaktif.
Remedial sebaiknya
dilaksanakan dalam suasana suportif yang tidak menyudutkan siswa, melainkan
mendorong kepercayaan diri dan motivasi belajar.
7.2.2.
Pengayaan
Siswa yang telah
melampaui target pencapaian diberi program pengayaan guna memperdalam atau
memperluas kompetensinya.⁴ Kegiatan pengayaan dapat berupa:
·
Proyek mandiri atau
kolaboratif.
·
Tantangan berpikir tingkat
tinggi (HOTS).
·
Eksplorasi lintas disiplin.
·
Kegiatan literasi dan
numerasi lanjut.
Pengayaan membantu
siswa mengembangkan potensi secara optimal dan mencegah kejenuhan akibat
kegiatan belajar yang tidak menantang.
7.3.
Peran Guru dan Satuan Pendidikan
Guru memiliki
tanggung jawab utama dalam menindaklanjuti hasil penilaian dengan:
·
Mengidentifikasi kebutuhan
belajar berdasarkan analisis hasil asesmen.
·
Menyesuaikan strategi
pembelajaran secara fleksibel.
·
Melibatkan peserta didik
dalam proses refleksi belajar.⁵
Sementara itu,
satuan pendidikan perlu mendukung proses tindak lanjut ini melalui kebijakan
fleksibel, penyediaan waktu, sarana, serta pelatihan guru.
7.4.
Pendekatan Reflektif dalam Tindak Lanjut
Dalam paradigma assessment
as learning, peserta didik dilibatkan secara aktif dalam
menindaklanjuti hasil penilaiannya. Mereka diajak merefleksikan kemajuan
belajar, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan, serta merancang rencana
belajar pribadi.⁶ Strategi ini meningkatkan kesadaran metakognitif dan
kemandirian belajar siswa.
Guru dapat
memfasilitasi hal ini dengan:
·
Memberikan umpan balik
formatif yang spesifik dan membangun.
·
Menggunakan rubrik terbuka
agar siswa memahami standar keberhasilan.
·
Menyediakan ruang refleksi
rutin (misalnya melalui jurnal belajar).
7.5.
Konteks Kurikulum Merdeka
Dalam Kurikulum
Merdeka, tindak lanjut hasil asesmen tidak hanya fokus pada nilai kognitif,
tetapi juga pada profil karakter peserta didik sebagai bagian dari Profil
Pelajar Pancasila.⁷ Penilaian diarahkan untuk mendukung
pertumbuhan belajar, bukan untuk membandingkan siswa secara kompetitif. Oleh
karena itu, guru diharapkan menyesuaikan pembelajaran berdasarkan data asesmen
untuk memastikan keterlibatan aktif dan pencapaian kompetensi secara
menyeluruh.
7.6.
Tantangan dan Strategi Solusi
Beberapa tantangan
dalam implementasi tindak lanjut hasil penilaian antara lain:
·
Waktu yang terbatas dalam
pelaksanaan program remedial atau pengayaan.
·
Kurangnya pelatihan guru
dalam analisis dan perancangan tindak lanjut.
·
Keterbatasan sarana
pendukung pembelajaran adaptif.
Solusinya dapat
berupa:
·
Integrasi tindak lanjut
dalam waktu pembelajaran reguler.
·
Penguatan komunitas belajar
guru untuk berbagi strategi.
·
Pemanfaatan platform
digital dan LMS (Learning Management System) sebagai media remediasi mandiri.⁸
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), Pasal 10.
[2]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Inside the Black Box: Raising Standards
Through Classroom Assessment,” Phi Delta Kappan 80, no. 2 (1998): 143.
[3]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017), 119–122.
[4]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 210–212.
[5]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 154.
[6]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003),
38–39.
[7]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 42–45.
[8]
OECD, Synergies for Better Learning: An International Perspective
on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 75–78.
8.
Penilaian dalam Konteks Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka
hadir sebagai respons terhadap kebutuhan transformasi pendidikan nasional yang
lebih adaptif, kontekstual, dan berpihak pada perkembangan peserta didik secara
holistik. Salah satu elemen penting dalam Kurikulum Merdeka adalah reformulasi
sistem penilaian, yang tidak lagi menitikberatkan pada skor akhir semata,
melainkan menekankan pada proses pembelajaran yang reflektif, adaptif, dan
bermakna.
8.1.
Paradigma Penilaian dalam Kurikulum Merdeka
Penilaian dalam
Kurikulum Merdeka didasarkan pada prinsip bahwa asesmen merupakan bagian
integral dari proses pembelajaran. Asesmen tidak dipandang sebagai kegiatan
terpisah, tetapi sebagai sarana untuk memahami proses belajar siswa, memberikan
umpan balik yang konstruktif, serta membantu guru merancang pembelajaran yang
lebih tepat sasaran.¹
Dalam paradigma ini,
pendekatan assessment
for learning, assessment as learning, dan assessment
of learning dijalankan secara berkesinambungan.²
·
Assessment for learning
membantu guru menyesuaikan strategi pembelajaran.
·
Assessment as learning
mendorong siswa merefleksikan dan mengatur belajarnya sendiri.
·
Assessment of learning
digunakan sebagai bentuk evaluasi capaian pembelajaran.
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menegaskan bahwa proses asesmen
harus mendorong pertumbuhan belajar, bukan semata-mata untuk peringkat atau
pembuktian kelulusan.³
8.2.
Jenis Penilaian yang Ditekankan
Dalam Kurikulum
Merdeka, guru dianjurkan untuk melakukan tiga jenis asesmen utama:
8.2.1.
Asesmen Diagnostik
Dilaksanakan sebelum
pembelajaran untuk mengidentifikasi kesiapan, gaya belajar, atau kebutuhan
khusus peserta didik.⁴
Tujuannya adalah
memberikan gambaran awal yang membantu guru menyusun strategi pembelajaran
diferensiatif dan inklusif.
8.2.2.
Asesmen Formatif
Dilakukan selama
proses pembelajaran untuk memberikan umpan balik yang membangun dan mendorong
kemajuan belajar. Teknik ini sangat penting dalam mendorong keterlibatan aktif
siswa dan membangun metakognisi.⁵
Instrumen asesmen
formatif dapat berupa kuis reflektif, observasi, diskusi kelas, jurnal siswa,
dan penilaian diri.
8.2.3.
Asesmen Sumatif
Diterapkan pada
akhir pembelajaran atau unit topik sebagai alat untuk mengukur capaian hasil
belajar. Hasil asesmen ini digunakan untuk melihat ketercapaian tujuan pembelajaran,
namun tetap diintegrasikan dalam proses pembelajaran.⁶
8.3.
Penilaian Berbasis Capaian Pembelajaran (CP)
Dalam Kurikulum
Merdeka, capaian pembelajaran menjadi acuan utama dalam merancang,
melaksanakan, dan mengevaluasi asesmen. Guru tidak lagi mengacu pada Kompetensi
Dasar (KD), tetapi pada Capaian Pembelajaran (CP) yang
lebih fleksibel dan berorientasi pada perkembangan siswa.⁷
CP dirancang dalam
fase-fase perkembangan (A–F) yang memberi ruang diferensiasi dan kecepatan
belajar yang bervariasi antarpeserta didik. Penilaian berbasis CP mendorong
pendidik untuk menilai proses, bukan hanya hasil, serta mempertimbangkan
pertumbuhan belajar setiap individu.
8.4.
Penilaian Otentik dan Kontekstual
Kurikulum Merdeka
mengedepankan asesmen otentik, yaitu
penilaian yang menilai kemampuan siswa dalam konteks dunia nyata atau situasi
pembelajaran yang relevan.⁸
Contoh asesmen
otentik meliputi:
·
Proyek lintas disiplin.
·
Studi kasus kontekstual.
·
Penilaian produk (poster,
vlog, esai argumentatif).
·
Demonstrasi keterampilan.
Asesmen otentik
menekankan pemahaman konseptual, kreativitas, kolaborasi, dan kemampuan
memecahkan masalah.
8.5.
Profil Pelajar Pancasila dan Peran Penilaian
Salah satu inovasi
Kurikulum Merdeka adalah penguatan Profil Pelajar Pancasila, yang
terdiri dari enam dimensi utama: beriman dan bertakwa, berkebinekaan global,
gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Penilaian diarahkan untuk
mendukung penguatan profil ini melalui kegiatan projek penguatan profil pelajar
(P5).⁹
Penilaian dalam
konteks ini lebih bersifat deskriptif dan reflektif, dengan menekankan proses
pembentukan karakter dan kompetensi sosial emosional siswa.
8.6.
Peran Guru dalam Penilaian Kontekstual
Guru memegang peran
strategis dalam menerapkan penilaian yang adaptif dan bermakna. Dalam Kurikulum
Merdeka, guru diharapkan:
·
Menyusun asesmen yang
sesuai dengan CP dan karakteristik siswa.
·
Menggunakan data asesmen
untuk merancang pembelajaran diferensiatif.
·
Memberikan umpan balik yang
mendorong pertumbuhan belajar.
·
Melaporkan hasil asesmen
secara deskriptif, bukan sekadar numerik.¹⁰
Pelaporan dalam
Kurikulum Merdeka menekankan deskripsi capaian belajar dan rekomendasi
pengembangan, baik untuk siswa, orang tua, maupun sekolah.
8.7.
Tantangan Implementasi dan Strategi Solusi
Meskipun pendekatan
penilaian dalam Kurikulum Merdeka lebih bermakna dan manusiawi, implementasinya
menghadapi sejumlah tantangan:
·
Keterbatasan pemahaman guru
terhadap konsep CP dan asesmen formatif.
·
Minimnya waktu untuk
asesmen reflektif.
·
Kesulitan menyusun rubrik
penilaian otentik.
Strategi solusinya
meliputi:
·
Pelatihan profesional
berkelanjutan.
·
Kolaborasi komunitas
belajar guru.
·
Penggunaan teknologi
asesmen berbasis platform digital (seperti PMM).¹¹
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 5–6.
[2]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003),
8–10.
[3]
Kemendikbudristek, Panduan Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum
Merdeka, 14.
[4]
Anthony J. Nitko and Susan M. Brookhart, Educational Assessment of
Students, 6th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2011), 201.
[5]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 148.
[6]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 96.
[7]
Kemendikbudristek, Capaian Pembelajaran Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 3–5.
[8]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment
in Education 5, no. 1 (1998): 9.
[9]
Kemendikbudristek, Profil Pelajar Pancasila, (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2021), 10–12.
[10]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017), 144.
[11]
OECD, Synergies for Better Learning: An International Perspective
on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 97–99.
9.
Tantangan dan Solusi dalam Pelaksanaan
Penilaian
Pelaksanaan
penilaian hasil belajar dalam praktik pendidikan menghadapi berbagai tantangan,
baik dari aspek teknis, pedagogis, maupun kebijakan. Meskipun regulasi seperti Permendikbud
No. 23 Tahun 2016 dan berbagai pedoman Kurikulum Merdeka telah
mengarahkan prinsip dan praktik penilaian yang bermakna, implementasinya di
lapangan belum sepenuhnya optimal.¹ Oleh karena itu, identifikasi terhadap
hambatan serta strategi solutif menjadi penting untuk memastikan bahwa
penilaian benar-benar berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan mutu
pembelajaran.
9.1.
Tantangan Teknis
9.1.1.
Kualitas Instrumen
Penilaian
Salah satu tantangan
utama adalah kemampuan guru dalam menyusun instrumen penilaian yang sahih dan
reliabel. Banyak guru masih kesulitan membedakan antara soal-soal yang hanya
mengukur ingatan faktual dengan soal yang mengembangkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi.²
9.1.2.
Keterbatasan Waktu
Penilaian yang
bermakna, terutama asesmen formatif dan otentik, memerlukan waktu perencanaan,
pelaksanaan, serta analisis yang cukup. Namun, padatnya jadwal pembelajaran
membuat guru cenderung memilih asesmen konvensional yang cepat namun kurang
mendalam.³
9.1.3.
Minimnya Sarana dan
Dukungan Teknologi
Di banyak satuan
pendidikan, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), pelaksanaan
penilaian berbasis digital masih mengalami kendala karena keterbatasan
perangkat dan akses internet.⁴ Padahal, teknologi dapat menjadi sarana penting
dalam memperluas dan mempermudah asesmen formatif serta pelaporan hasil
belajar.
9.2.
Tantangan Pedagogis dan Konseptual
9.2.1.
Paradigma Lama dalam
Penilaian
Sebagian guru masih
memandang penilaian sebagai alat untuk mengukur pencapaian akhir semata, bukan
sebagai bagian dari proses pembelajaran yang berkelanjutan.⁵ Hal ini menghambat
pemanfaatan asesmen untuk refleksi dan perbaikan pembelajaran.
9.2.2.
Kurangnya Kemampuan
Analisis Data Asesmen
Guru belum
sepenuhnya terlatih dalam melakukan analisis hasil penilaian secara mendalam,
termasuk membaca pola kesalahan, membuat interpretasi pedagogis, dan menyusun
program remedial atau pengayaan berbasis data.⁶
9.3.
Tantangan Kebijakan dan Administrasi
9.3.1.
Tekanan
Administratif
Penilaian seringkali
menjadi beban administratif karena tuntutan pelaporan yang kompleks dan
berorientasi pada angka. Hal ini menyulitkan guru untuk memfokuskan energi pada
penilaian yang bersifat formatif dan reflektif.⁷
9.3.2.
Ketidaksinambungan
antara Kebijakan dan Dukungan Implementasi
Meskipun Kurikulum
Merdeka menekankan asesmen holistik dan diferensiatif, namun pelatihan,
pengawasan, dan dukungan teknis terhadap guru belum merata. Hal ini menyebabkan
adanya kesenjangan antara kebijakan ideal dan praktik nyata di kelas.⁸
9.4.
Solusi Strategis
9.4.1.
Peningkatan
Kompetensi Guru melalui Pelatihan Berkelanjutan
Pemerintah dan
satuan pendidikan perlu menyelenggarakan pelatihan yang fokus pada:
·
Penyusunan instrumen HOTS.
·
Penilaian otentik dan
diferensiatif.
·
Analisis data hasil belajar
dan tindak lanjut pembelajaran.⁹
Penguatan komunitas
praktisi atau Komunitas Belajar Guru (KBG)
juga penting sebagai sarana refleksi dan peningkatan praktik asesmen secara
kolaboratif.
9.4.2.
Integrasi Penilaian
dalam Pembelajaran Sehari-hari
Guru didorong untuk
mengintegrasikan penilaian ke dalam aktivitas belajar melalui:
·
Penilaian lisan spontan.
·
Jurnal refleksi mingguan.
·
Observasi saat diskusi
kelompok.
Hal ini dapat mengurangi beban administratif dan
menjadikan penilaian lebih kontekstual.¹⁰
9.4.3.
Optimalisasi
Teknologi Asesmen
Pemanfaatan platform
digital, seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM),
Google Form, dan aplikasi LMS lainnya, dapat membantu guru:
·
Menyusun soal digital.
·
Memberikan umpan balik
cepat.
·
Mengelola data asesmen
secara efisien.
Namun, perlu
didukung oleh infrastruktur yang merata dan pelatihan digital literasi.¹¹
9.4.4.
Reformulasi Sistem
Pelaporan
Sistem pelaporan
hasil belajar perlu lebih menekankan pada deskripsi capaian kompetensi
dan rekomendasi
pengembangan, bukan hanya skor numerik. Pelaporan yang formatif
ini dapat meningkatkan kemitraan antara guru, siswa, dan orang tua dalam
mendukung proses belajar.¹²
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), Pasal 6–10.
[2]
Anthony J. Nitko and Susan M. Brookhart, Educational Assessment of
Students, 6th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2011), 132–135.
[3]
Richard J. Stiggins, Student-Involved Assessment for Learning,
5th ed. (Upper Saddle River, NJ: Pearson, 2005), 96–98.
[4]
OECD, Synergies for Better Learning: An International Perspective
on Evaluation and Assessment (Paris: OECD Publishing, 2013), 101.
[5]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning (Thousand Oaks, CA: Corwin Press, 2003), 11.
[6]
W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 146–150.
[7]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment
in Education 5, no. 1 (1998): 7–74.
[8]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 13–15.
[9]
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017), 160.
[10]
Craig A. Mertler, Classroom Assessment: A Practical Guide for
Educators, 5th ed. (New York: Routledge, 2016), 215–217.
[11]
Kemendikbudristek, Platform Merdeka Mengajar: Panduan Penggunaan
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 4–6.
[12]
Kemendikbudristek, Panduan Pelaporan Capaian Pembelajaran dalam
Kurikulum Merdeka (Jakarta: 2022), 9–10.
10.
Penutup
Penilaian hasil
belajar merupakan pilar fundamental dalam proses pendidikan yang berfungsi
tidak hanya sebagai alat ukur, tetapi juga sebagai sarana pengembangan pembelajaran
dan pembentukan karakter peserta didik. Dalam konteks Kurikulum Merdeka,
paradigma penilaian telah bergeser dari penekanan pada hasil (output-oriented)
menuju pendekatan yang lebih holistik, adaptif, dan berorientasi pada proses
pembelajaran (growth-oriented).¹
Seluruh tahapan
dalam penilaian—mulai dari perencanaan, pelaksanaan, analisis, hingga tindak
lanjut—harus dirancang secara menyeluruh dan didasarkan pada prinsip-prinsip
yang sahih, objektif, adil, dan edukatif sebagaimana tertuang dalam Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016.² Guru tidak hanya dituntut memiliki
keterampilan teknis dalam menyusun instrumen yang valid dan reliabel, tetapi
juga kapasitas reflektif dan pedagogis untuk menjadikan penilaian sebagai alat
transformasi belajar.
Pembahasan dalam
artikel ini telah menyoroti berbagai dimensi penting dalam penilaian, yaitu:
·
Konsep dasar dan
tujuan penilaian, yang tidak sekadar bersifat administratif, tetapi
berfungsi diagnostik, formatif, dan sumatif.
·
Prinsip-prinsip
penilaian, seperti validitas, objektivitas, dan keterpaduan dengan
pembelajaran.
·
Teknik dan
instrumen penilaian, yang mencakup domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
·
Analisis dan
pelaporan hasil penilaian, yang menjadi dasar untuk tindak lanjut
pedagogis.
·
Tindak lanjut
penilaian, melalui program remedial dan pengayaan berbasis kebutuhan
siswa.
·
Penilaian dalam
Kurikulum Merdeka, yang menekankan asesmen formatif, otentik, dan
berorientasi pada Profil Pelajar Pancasila.
·
Tantangan dan
solusi, yang mencakup aspek teknis, pedagogis, serta kebijakan
implementatif.
Dengan memahami dan
menerapkan prinsip serta praktik penilaian yang tepat, guru dapat berperan
aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui asesmen yang lebih
manusiawi, reflektif, dan berkeadilan. Penilaian yang efektif tidak hanya
mengukur capaian belajar, tetapi juga mendorong pertumbuhan belajar
dan membangun
budaya belajar sepanjang hayat.
Untuk itu,
diperlukan sinergi antara guru, kepala sekolah, orang tua, serta pemangku
kebijakan pendidikan guna menciptakan sistem penilaian yang tidak hanya
akuntabel secara administratif, tetapi juga transformatif secara pedagogis.³
Dalam kerangka ini, Kurikulum Merdeka memberikan ruang luas bagi inovasi dan
penguatan kapasitas guru agar penilaian benar-benar menjadi instrumen
pembelajaran yang bermakna dan berorientasi pada masa depan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Panduan
Pembelajaran dan Asesmen Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek,
2022), 4–5.
[2]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Permendikbud
Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), Pasal 2.
[3]
Paul Black and Dylan Wiliam, “Assessment and Classroom Learning,” Assessment
in Education 5, no. 1 (1998): 14–16.
Daftar Pustaka
Arifin, Z. (2017). Evaluasi
pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Black, P., & Wiliam, D.
(1998). Assessment and classroom learning. Assessment in Education:
Principles, Policy & Practice, 5(1), 7–74. https://doi.org/10.1080/0969595980050102
Black, P., & Wiliam, D.
(1998). Inside the black box: Raising standards through classroom assessment. Phi
Delta Kappan, 80(2), 139–148.
Bloom, B. S., Engelhart, M.
D., Furst, E. J., Hill, W. H., & Krathwohl, D. R. (1956). Taxonomy of
educational objectives: The classification of educational goals, Handbook I:
Cognitive domain. New York: David McKay Company.
Earl, L. M. (2003). Assessment
as learning: Using classroom assessment to maximize student learning.
Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Gronlund, N. E., &
Linn, R. L. (2006). Measurement and assessment in teaching (10th ed.).
Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. (2016). Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016
tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Profil Pelajar Pancasila.
Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Panduan pelaporan capaian
pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Panduan pembelajaran dan asesmen
Kurikulum Merdeka. Jakarta: Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Platform Merdeka Mengajar:
Panduan penggunaan. Jakarta: Kemendikbudristek.
Mertler, C. A. (2016). Classroom
assessment: A practical guide for educators (5th ed.). New York:
Routledge.
Nitko, A. J., &
Brookhart, S. M. (2011). Educational assessment of students (6th ed.).
Upper Saddle River, NJ: Pearson.
OECD. (2013). Synergies
for better learning: An international perspective on evaluation and assessment.
Paris: OECD Publishing. https://doi.org/10.1787/9789264190658-en
Popham, W. J. (2017). Classroom
assessment: What teachers need to know (8th ed.). Boston: Pearson.
Stiggins, R. J. (2005). Student-involved
assessment for learning (5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Merrill
Prentice Hall.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (2003).
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar