Fallacies of Ambiguity
Telaah Logis, Klasifikasi, dan Implikasinya terhadap
Rasionalitas Wacana Publik
Alihkan ke: Fallacies Informal.
Abstrak
Kekeliruan ambiguitas bahasa (fallacies of
ambiguity) merupakan salah satu bentuk kekeliruan logika informal yang
timbul dari ketidakjelasan atau kerancuan makna dalam penggunaan bahasa dalam
argumen. Artikel ini mengkaji secara sistematis jenis-jenis kekeliruan
ambiguitas yang meliputi equivocation, amphiboly, accent, composition,
dan division, berdasarkan referensi logika klasik dan kontemporer.
Melalui pendekatan epistemologis dan semantik, dibahas bagaimana ambiguitas
dapat mengganggu proses penalaran yang rasional, merusak validitas inferensi,
dan menciptakan distorsi makna dalam wacana publik. Artikel ini juga menelusuri
implikasi dari kekeliruan ambiguitas terhadap rasionalitas komunikasi sosial,
termasuk dalam konteks politik, media, dan pendidikan, serta menawarkan
strategi preventif dan evaluatif untuk mendeteksi dan mencegahnya. Dengan
mengintegrasikan perspektif logika informal, filsafat bahasa, dan etika
diskursif, tulisan ini berkontribusi pada pengembangan budaya berpikir kritis
dan komunikasi publik yang jernih dan bertanggung jawab.
Kata Kunci: Logika informal, kekeliruan ambiguitas, fallacies
of ambiguity, rasionalitas publik, argumen, ambiguitas bahasa, epistemologi,
filsafat bahasa, komunikasi kritis.
PEMBAHASAN
Kekeliruan Ambiguitas Bahasa dalam Argumen
1.
Pendahuluan
Bahasa merupakan
sarana utama manusia dalam berpikir, menyampaikan ide, dan membentuk konsensus
sosial. Dalam konteks penalaran logis, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai
alat ekspresi, tetapi juga sebagai medium argumentatif yang membawa proposisi
dan kesimpulan. Namun demikian, karena bahasa bersifat simbolik, fleksibel, dan
sering kali kontekstual, penggunaannya kerap mengandung ambiguitas yang dapat
merusak integritas argumen. Ambiguitas ini, bila tidak dikenali dan diatasi,
dapat menghasilkan kekeliruan logika informal yang disebut sebagai fallacies
of ambiguity.
Kekeliruan logika
informal sendiri berbeda dari kekeliruan formal. Jika kekeliruan formal
berkaitan dengan bentuk atau struktur argumen yang tidak sah secara deduktif,
maka kekeliruan informal menyangkut aspek isi dan cara penyampaian argumen yang
tampak masuk akal, tetapi sebenarnya menyesatkan atau cacat secara substansial.
Salah satu bentuk umum dari kekeliruan informal adalah kekeliruan ambiguitas (ambiguity
fallacy), yaitu kesalahan yang muncul akibat ketidakjelasan dalam
makna kata, struktur kalimat, atau penekanan makna tertentu dalam bahasa yang
digunakan dalam argumen.¹
Dalam literatur
logika klasik dan kontemporer, kekeliruan ambiguitas telah mendapat perhatian
luas. Irving M. Copi dan Carl Cohen menyatakan bahwa ambiguity
fallacies seringkali mengecoh karena bersifat halus dan
tersembunyi, serta bergantung pada permainan makna yang tidak disadari oleh
pembicara maupun pendengar.² Demikian pula, Patrick Hurley mengklasifikasikan
kekeliruan ambiguitas ke dalam beberapa bentuk utama, seperti equivocation,
amphiboly,
accent,
composition,
dan division,
yang masing-masing berkaitan dengan ragam ambiguitas linguistik dan
gramatikal.³
Kekeliruan ini tidak
hanya relevan dalam kajian logika formal atau argumentasi akademik, tetapi juga
memiliki implikasi luas dalam kehidupan sosial. Dalam wacana publik, seperti
dalam politik, iklan, atau debat hukum, kekeliruan ambiguitas sering
dimanfaatkan untuk memanipulasi opini atau membingungkan lawan bicara.⁴ Hal ini
memperkuat urgensi untuk memahami dan mengkritisi penggunaan bahasa dalam
setiap bentuk argumen, baik lisan maupun tulisan, guna menjaga rasionalitas
komunikasi publik dan memperkuat budaya berpikir kritis.
Tulisan ini
bertujuan untuk menyajikan kajian mendalam mengenai fallacies of ambiguity, mencakup
definisi, klasifikasi, dimensi epistemologis, serta implikasinya terhadap
rasionalitas wacana publik. Dengan pendekatan analitis dan berbasis pada
sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memperluas
kesadaran logis dan kebahasaan dalam memahami serta menyusun argumen yang
benar.
Footnotes
[1]
Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 34.
[2]
Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 130–132.
[3]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 134–141.
[4]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–97.
2.
Definisi dan Ciri Umum Fallacies of
Ambiguity
Kekeliruan
ambiguitas (fallacies of ambiguity) merupakan
salah satu bentuk kekeliruan logika informal yang muncul ketika suatu argumen
mengandung makna yang tidak jelas atau ganda, baik pada level kata, frasa,
struktur kalimat, maupun tekanan semantik. Kekeliruan ini bersumber dari
penggunaan bahasa yang tidak presisi, sehingga menimbulkan kerancuan makna yang
mengacaukan hubungan antara premis dan kesimpulan.¹
2.1.
Distingsi antara
Kekeliruan Formal dan Informal
Untuk memahami
posisi fallacies
of ambiguity secara tepat, perlu dibedakan terlebih dahulu antara
kekeliruan logika formal dan informal. Kekeliruan formal menyangkut kesalahan
dalam struktur deduktif suatu argumen, yakni ketika bentuk logis argumen tidak
valid meskipun premis-premisnya mungkin benar. Contohnya adalah argumen
berbentuk affirming
the consequent atau denying the antecedent. Sebaliknya,
kekeliruan informal tidak terletak pada struktur logisnya, melainkan pada isi,
konteks, atau cara penyampaian premis dan kesimpulan yang secara retoris tampak
masuk akal, namun sesungguhnya menyesatkan.²
Kekeliruan
ambiguitas tergolong dalam kekeliruan informal karena ia tidak serta-merta
melibatkan kesalahan logis secara bentuk, tetapi timbul dari penggunaan bahasa
yang ambigu—baik disengaja maupun tidak. Ambiguitas ini bisa mengakibatkan
inferensi yang tampaknya logis, tetapi sejatinya keliru karena memanfaatkan
makna ganda dalam satuan bahasa.
2.2.
Pengertian Fallacies
of Ambiguity
Dalam terminologi
logika, fallacies
of ambiguity didefinisikan sebagai kekeliruan yang terjadi ketika
suatu istilah atau ekspresi digunakan secara tidak konsisten atau memiliki
lebih dari satu makna dalam konteks argumen yang sama. Irving Copi
mendefinisikannya sebagai “errors in reasoning that arise from the
misleading use of words or phrases whose meanings are not sufficiently clear or
are employed with more than one meaning.”_³ Dengan demikian, kekeliruan ini
bukan hanya sekadar persoalan linguistik, tetapi menyangkut aspek semantik
(makna) dan pragmatik (penggunaan bahasa dalam konteks).
Menurut Hurley, fallacies
of ambiguity dapat dimengerti sebagai “arguments that are
fallacious due to some form of linguistic confusion—usually involving an
ambiguous word or grammatical structure.”_⁴ Hal ini menunjukkan bahwa
kekeliruan ini bersifat sistematis dan dapat dikenali melalui analisis makna
dan struktur kalimat.
2.3.
Ciri-Ciri Umum
Kekeliruan Ambiguitas
Beberapa ciri utama
yang menandai kekeliruan ambiguitas dalam argumen antara lain:
1)
Ketidakjelasan Makna
Kata atau frasa yang digunakan dalam premis atau
kesimpulan memiliki lebih dari satu makna (polisemi) dan digunakan secara tidak
konsisten dalam argumen yang sama.
2)
Struktur Kalimat yang
Kabur
Argumen memuat konstruksi gramatikal yang dapat
ditafsirkan lebih dari satu cara, menghasilkan ambiguitas sintaksis.
3)
Peralihan Makna
Terjadi perubahan makna secara halus antara
bagian premis dan kesimpulan, sering kali tanpa disadari oleh pembicara atau
pendengar.
4)
Efek Retoris
Ambiguitas sering dimanfaatkan untuk memberikan
efek persuasif atau manipulatif, dengan harapan pembaca atau pendengar tidak
akan menyadari kerancuan tersebut.⁵
5)
Sulit Dideteksi tanpa
Klarifikasi Konteks
Kekeliruan ambiguitas sering kali tidak tampak
secara eksplisit dan membutuhkan penelusuran konteks penggunaan istilah serta
struktur argumen untuk diidentifikasi.
Dalam praktiknya,
kekeliruan jenis ini sering mengecoh karena bersifat “naturalistik”—yakni
menggunakan bahasa sehari-hari yang tampak normal, tetapi secara logis
problematik. Oleh karena itu, analisis fallacies of ambiguity menuntut
kepekaan terhadap makna dan konteks, serta keterampilan berpikir kritis dan
linguistik.
Footnotes
[1]
Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 65.
[2]
Michael Bruce dan Steven Barbone, Just the Arguments: 100 of the
Most Important Arguments in Western Philosophy (Chichester:
Wiley-Blackwell, 2011), xxv.
[3]
Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 127.
[4]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 134.
[5]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–97.
3.
Klasifikasi Fallacies of Ambiguity
Kekeliruan
ambiguitas dalam argumen (fallacies of ambiguity) terdiri
dari beberapa jenis yang masing-masing berkaitan dengan bentuk-bentuk
ambiguitas dalam bahasa. Menurut Patrick J. Hurley dan Irving M. Copi,
klasifikasi ini mencakup lima jenis utama: equivocation, amphiboly,
accent,
composition,
dan division.¹
Kekeliruan-kekeliruan ini terjadi ketika suatu istilah atau ekspresi digunakan
secara tidak konsisten, atau ketika struktur kalimat atau tekanan makna
menimbulkan kekaburan logis dalam penalaran.
3.1.
Equivocation
Equivocation
terjadi ketika suatu kata atau frasa digunakan dengan dua makna berbeda dalam
satu argumen tanpa adanya klarifikasi, sehingga menimbulkan ilusi inferensi
logis yang sah.²
Contoh klasik:
"Hukum melarang pencurian.
Mahasiswa hukum mempelajari hukum.
Maka, mahasiswa hukum mempelajari cara
mencuri."
Pada argumen ini,
kata "hukum" mengalami pergeseran makna: dari hukum sebagai sistem
peraturan (normatif) menjadi hukum sebagai obyek kajian akademik (disiplin
ilmu).³
Kekeliruan equivocation
sering ditemukan dalam debat politik, agama, dan media, di mana istilah-istilah
bermakna ganda (misalnya: “keadilan”, “kebebasan”, “hak”)
digunakan untuk mengelabui audiens atau menegaskan kesimpulan yang tidak sah.⁴
3.2.
Amphiboly
Amphiboly
adalah kekeliruan yang muncul karena struktur kalimat atau konstruksi tata
bahasa yang ambigu, sehingga memungkinkan lebih dari satu interpretasi terhadap
premis atau kesimpulan argumen.⁵
Contoh:
"Orang melihat pria dengan
teleskop."
Kalimat ini bisa berarti bahwa orang tersebut
menggunakan teleskop untuk melihat, atau bahwa pria yang dilihat sedang membawa
teleskop.
Dalam konteks
argumen, ketidakjelasan semacam ini dapat dimanipulasi untuk menyimpulkan sesuatu
yang tidak sah berdasarkan premis yang sebenarnya ambigu. Hal ini menunjukkan
pentingnya kejelasan sintaksis dalam logika bahasa.⁶
3.3.
Accent
Kekeliruan accent
muncul ketika makna suatu pernyataan berubah tergantung pada tekanan atau
intonasi tertentu, atau pada bagian kalimat mana yang ditekankan. Kekeliruan
ini juga bisa terjadi dalam teks tertulis melalui penekanan visual seperti
huruf tebal atau kapitalisasi.⁷
Contoh:
"Saya tidak mengatakan bahwa dia mencuri
uang itu."
Kalimat ini bisa memiliki arti yang sangat
berbeda tergantung pada kata yang ditekankan.
Kekeliruan ini
penting dalam retorika dan komunikasi publik karena sering dimanfaatkan untuk
mengalihkan perhatian dari makna literal menuju makna implisit yang
menyesatkan.⁸
3.4.
Composition
Composition
fallacy terjadi ketika seseorang secara keliru menyimpulkan bahwa
apa yang benar bagi bagian-bagian suatu hal juga berlaku untuk keseluruhan hal
tersebut.⁹
Contoh:
"Setiap pemain dalam tim sepak bola ini
adalah pemain terbaik di daerahnya.
Maka, tim ini pasti merupakan tim terbaik di
negara ini."
Kesalahan ini muncul
dari asumsi bahwa kualitas individual dapat dijumlahkan secara langsung tanpa
mempertimbangkan dinamika kolektif. Kekeliruan ini banyak muncul dalam
penalaran ekonomi, sosial, dan ilmiah.¹⁰
3.5.
Division
Kebalikan dari composition,
division
fallacy terjadi ketika seseorang menganggap bahwa apa yang benar
bagi keseluruhan pasti juga benar bagi tiap bagian.¹¹
Contoh:
"Negara ini adalah negara terkaya di
dunia.
Maka, setiap warga negaranya pasti
kaya."
Argumen ini
mengabaikan distribusi kekayaan dan menyamaratakan ciri kolektif terhadap
individu. Kekeliruan ini sering digunakan dalam stereotip atau generalisasi
sosial yang tidak berdasar.¹²
Penutup
Subbagian
Klasifikasi di atas
menunjukkan bahwa kekeliruan ambiguitas bukan sekadar persoalan linguistik,
tetapi juga menyangkut struktur inferensial dan efek pragmatis dari bahasa
dalam konteks logika. Pemahaman mendalam terhadap masing-masing jenis
kekeliruan ini penting untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap manipulasi
retoris serta untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang presisi.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 134–141.
[2]
Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 130.
[3]
Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd
ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 78.
[4]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 102.
[5]
Copi, Cohen, dan McMahon, Introduction to Logic, 132.
[6]
Walton, Fundamentals of Critical Argumentation, 71.
[7]
Hurley, A Concise Introduction to Logic, 138.
[8]
Leo Groarke and Christopher W. Tindale, “Good Reasoning Matters!: A
Constructive Approach to Critical Thinking,” 4th ed. (Oxford: Oxford University
Press, 2012), 122.
[9]
Copi, Cohen, dan McMahon, Introduction to Logic, 133.
[10]
Tindale, Fallacies and Argument Appraisal, 105–106.
[11]
Hurley, A Concise Introduction to Logic, 139–140.
[12]
Walton, Informal Logic, 82–83.
4.
Dimensi Epistemologis dan Semantik Ambiguitas
4.1.
Bahasa sebagai Medium
Pengetahuan dan Ambiguitas sebagai Gangguan Epistemik
Dalam epistemologi
klasik, bahasa dipandang sebagai medium utama untuk menyampaikan dan memperoleh
pengetahuan. Namun, ketika bahasa bersifat ambigu, potensi gangguan terhadap
proses epistemik menjadi signifikan. Ambiguitas dalam bahasa dapat menyebabkan
kesalahan dalam penafsiran makna proposisi, kesalahpahaman dalam komunikasi,
serta kekeliruan dalam penalaran logis.¹ Ambiguitas mengaburkan batas antara
kebenaran dan kekeliruan, serta menurunkan derajat keandalan inferensi yang
dibangun atas dasar premis yang tidak jelas.
Douglas Walton
menyatakan bahwa ambiguitas harus dianggap sebagai salah satu bentuk rintangan
epistemologis karena ia merusak tujuan dasar argumen, yakni pencapaian
keyakinan rasional melalui premis yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.²
Dalam konteks ini, kekeliruan ambiguitas bukan hanya masalah retorika,
melainkan menjadi ancaman terhadap integritas rasional dari proses pencarian
kebenaran.
4.2.
Ambiguitas dalam
Perspektif Semantik
Secara semantik,
ambiguitas terjadi ketika satuan bahasa (kata, frasa, atau kalimat) memiliki
lebih dari satu makna (polisemi), atau ketika suatu struktur sintaksis
memungkinkan lebih dari satu interpretasi.³ Linguistik formal membedakan dua
tipe utama ambiguitas semantik, yakni:
·
Ambiguitas leksikal
(lexical ambiguity): satu kata memiliki dua atau lebih makna.
Misalnya, kata “bank” dapat berarti lembaga keuangan atau tepi sungai.
·
Ambiguitas
struktural (structural ambiguity): makna yang ambigu muncul karena
struktur gramatikal. Misalnya, kalimat “I saw the man with the telescope”
dapat ditafsirkan dua cara tergantung pada struktur sintaksis.⁴
Dalam konteks
argumen, kedua jenis ambiguitas ini dapat menciptakan ilusi kejelasan padahal
secara logis menyesatkan. Oleh karena itu, identifikasi ambiguitas merupakan
langkah penting dalam evaluasi argumen.
4.3.
Konteks dan Penentu
Makna dalam Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa
modern, khususnya melalui karya Ludwig Wittgenstein dan Paul Grice, menekankan
bahwa makna tidak hanya berasal dari bentuk kata itu sendiri, tetapi juga
sangat bergantung pada konteks penggunaannya.⁵ Wittgenstein dalam Philosophical
Investigations mengajukan gagasan bahwa makna adalah fungsi dari
penggunaan dalam language games, bukan dari definisi
tetap.⁶ Sementara itu, Grice menambahkan aspek implicature sebagai dimensi
pragmatik dari bahasa, di mana makna tersirat menjadi bagian dari penafsiran
makna literal.⁷
Dalam kerangka ini,
ambiguitas dalam argumen bukan hanya soal kesalahan dalam kosakata, melainkan
bisa merupakan akibat dari kegagalan dalam menyampaikan atau memahami konteks.
Kekeliruan ambiguitas terjadi ketika penutur atau pendengar gagal menyelaraskan
konteks pragmatik dengan makna semantik dari suatu pernyataan.
4.4.
Kejelasan Bahasa
sebagai Tanggung Jawab Epistemik
Dari perspektif
etika epistemik, pembicara dan penulis memiliki tanggung jawab untuk
menyampaikan informasi secara jernih dan dapat dimengerti.⁸ Ketidakjelasan yang
disebabkan oleh ambiguitas—terutama jika disengaja—merupakan bentuk epistemic
irresponsibility karena berpotensi menyesatkan audiens. Dalam debat
publik atau argumentasi ilmiah, ketidakjelasan semacam ini bukan sekadar
kekhilafan linguistik, tetapi dapat menjadi instrumen manipulasi atau
pengaburan kebenaran.
Karen itu,
klarifikasi terminologis, penjelasan konteks, dan eksplisitasi premis menjadi
bagian integral dari praktik epistemik yang baik. Kecermatan dalam menghindari
ambiguitas bukan hanya meningkatkan kualitas argumen, tetapi juga menunjukkan
komitmen terhadap etika komunikasi rasional.
4.5.
Relevansi dalam Kritik
Argumen dan Pendidikan Kritis
Pemahaman terhadap
dimensi semantik dan epistemik dari ambiguitas sangat penting dalam pendidikan
logika dan berpikir kritis. Deteksi dan analisis terhadap fallacies
of ambiguity memungkinkan pembelajar untuk menyadari betapa
rentannya bahasa terhadap penyimpangan makna dan kesalahan logis. Penalaran
yang sehat memerlukan keterampilan semantik—yakni kepekaan terhadap makna kata
dan struktur kalimat—serta kompetensi epistemik dalam membedakan klaim yang
jelas dari yang kabur.⁹
Kesadaran akan
dimensi ini juga menjadi dasar dalam merancang kebijakan komunikasi publik,
termasuk dalam media, hukum, dan pendidikan. Dengan demikian, dimensi
epistemologis dan semantik ambiguitas bukan hanya persoalan teoritis, tetapi
memiliki dampak praktis yang luas dalam menjaga rasionalitas publik.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction to the Theory of
Knowledge (Albany: State University of New York Press, 2003), 54–56.
[2]
Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 92.
[3]
Geoffrey Leech, Semantics: The Study of Meaning, 2nd ed.
(Harmondsworth: Penguin Books, 1981), 111–114.
[4]
James D. McCawley, Everything Linguists Have Always Wanted to Know
about Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 153.
[5]
Charles Travis, Unshadowed Thought: Representation in Thought and
Language (Cambridge: Harvard University Press, 2000), 28.
[6]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G.
E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 1953), §43.
[7]
H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of
Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 22–40.
[8]
Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University
Press of New England, 1987), 18–21.
[9]
Leo Groarke and Christopher W. Tindale, Good Reasoning Matters! A
Constructive Approach to Critical Thinking, 4th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 117–118.
5.
Implikasi Fallacies of Ambiguity
terhadap Rasionalitas Publik
5.1.
Distorsi Kognitif dalam
Ruang Publik
Salah satu
konsekuensi utama dari fallacies of ambiguity dalam wacana
publik adalah distorsi terhadap kognisi kolektif.
Ketika argumen disusun menggunakan istilah atau struktur yang ambigu, pendengar
atau pembaca dipaksa untuk menafsirkan informasi berdasarkan makna yang tidak
pasti atau menyesatkan. Hal ini dapat mengaburkan pembedaan antara klaim yang
sah secara logis dan retorika manipulatif, sehingga menurunkan kualitas
deliberasi publik.¹
Douglas Walton
menyatakan bahwa ambiguitas dalam argumen publik sering digunakan untuk
menciptakan pseudo-reasoning, yaitu bentuk
penalaran yang tampak rasional tetapi sebenarnya menyamarkan kerancuan makna.²
Dalam kerangka ini, kekeliruan ambiguitas menjadi instrumen manipulatif yang
dapat membelokkan arah opini publik.
5.2.
Pengaruh terhadap
Formasi Opini dan Kebijakan Publik
Ambiguitas bahasa
memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini publik dan kebijakan
sosial-politik, terutama ketika digunakan oleh aktor-aktor yang
memiliki otoritas diskursif seperti politisi, jurnalis, atau tokoh masyarakat.³
Sebagai contoh,
dalam diskursus politik, istilah seperti “kedaulatan rakyat”, “kebebasan
berekspresi”, atau “radikalisme” sering digunakan tanpa kejelasan
terminologis. Ambiguitas tersebut memungkinkan audiens dari berbagai latar
belakang untuk mengisi istilah tersebut dengan makna subjektif yang sesuai
dengan preferensi ideologis masing-masing. Hal ini memunculkan konsensus palsu
atau konflik wacana yang tidak produktif.⁴
Penelitian oleh Macagno
dan Walton menunjukkan bahwa kekeliruan ambiguitas banyak ditemukan dalam debat
kebijakan publik, khususnya ketika ada kepentingan untuk mempertahankan status
quo atau menghindari tanggung jawab etis.⁵ Oleh karena itu, deteksi terhadap
bentuk-bentuk ambiguity fallacies menjadi alat
penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan
kebijakan.
5.3.
Erosi Terhadap Etika
Diskursif dan Rasionalitas Komunikatif
Dalam perspektif
filsafat komunikasi, terutama dalam pemikiran Jürgen Habermas, rasionalitas
publik didasarkan pada etika diskursif, yaitu norma
bahwa komunikasi harus dijalankan secara jujur, jelas, dan argumentatif.⁶
Kekeliruan ambiguitas, terutama yang disengaja, merupakan bentuk pelanggaran
terhadap prinsip communicative rationality, karena
ia memanfaatkan ketidakjelasan makna untuk mencapai efek retoris yang
menyesatkan.
Ketika praktik
diskursif didominasi oleh argumen yang ambigu, maka terjadi erosi terhadap
standar komunikasi publik yang ideal. Proses deliberasi yang seharusnya rasional
dan terbuka berubah menjadi ruang permainan makna yang manipulatif dan
eksklusif. Hal ini dapat memperlebar kesenjangan pemahaman antarkelompok
sosial, menumbuhkan prasangka, serta memperkuat polarisasi.⁷
5.4.
Ancaman terhadap
Literasi Logis dan Daya Kritis Masyarakat
Keberadaan fallacies
of ambiguity secara luas di ruang publik menjadi ancaman terhadap literasi
logis dan daya kritis masyarakat,
terutama dalam konteks pendidikan dan media. Ambiguitas yang tidak dikenali
dapat memperkuat kebiasaan berpikir dangkal (shallow thinking), memperluas
misinformasi, serta melemahkan kemampuan warga negara dalam mengevaluasi klaim
yang mereka terima.⁸
Leo Groarke dan
Christopher Tindale menekankan bahwa kesadaran akan kekeliruan seperti equivocation
dan amphiboly
harus menjadi bagian dari pendidikan berpikir kritis, karena keduanya sering
digunakan dalam teks-teks persuasif seperti iklan, kampanye politik, dan
artikel opini.⁹ Tanpa bekal kompetensi logika informal, masyarakat akan mudah
terjebak dalam kerangka interpretasi yang keliru, padahal tampak wajar secara
bahasa.
5.5.
Tanggung Jawab Etis
Aktor Diskursif dan Media
Dalam menghadapi
kekeliruan ambiguitas, tanggung jawab besar terletak pada aktor
diskursif (komunikator publik) dan lembaga
media untuk menggunakan bahasa secara jujur dan transparan.
Ambiguitas yang disengaja demi kepentingan retoris adalah bentuk pelanggaran
terhadap etika komunikasi dan keadaban publik.¹⁰
Etika profesional
dalam jurnalisme, pendidikan, dan politik seharusnya mencakup komitmen terhadap
klarifikasi makna dan penghindaran terhadap manipulasi semantik. Dalam konteks
demokrasi deliberatif, transparansi makna merupakan prasyarat bagi partisipasi
publik yang bermakna.¹¹ Oleh karena itu, pendidikan logika informal dan
literasi argumentatif menjadi fondasi penting untuk membangun budaya dialog
yang rasional dan etis.
Footnotes
[1]
Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 112.
[2]
Ibid., 114–115.
[3]
Alessandro Capone, Perspectives on Language as Action (Cham:
Springer, 2017), 198–199.
[4]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 103–104.
[5]
Fabrizio Macagno and Douglas Walton, “Reasoning from Classification and
Definition,” Argumentation 24, no. 1 (2010): 51–74.
[6]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason
and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon
Press, 1984), 287–288.
[7]
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the
Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990):
56–80.
[8]
Stephen Toulmin, The Uses of Argument, updated ed. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2003), 115.
[9]
Leo Groarke and Christopher W. Tindale, Good Reasoning Matters! A
Constructive Approach to Critical Thinking, 4th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 127–129.
[10]
Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University
Press of New England, 1987), 73.
[11]
Hugh Breakey, “Clear and Honest Language in Public Communication,” Journal
of Social Philosophy 48, no. 3 (2017): 320–338.
6.
Strategi Pencegahan dan Evaluasi Argumen
6.1.
Klarifikasi
Terminologis sebagai Langkah Awal Preventif
Strategi utama dalam
mencegah fallacies
of ambiguity adalah dengan memastikan klarifikasi
istilah (conceptual clarification) sejak awal perumusan
argumen. Sering kali, kekeliruan ambiguitas terjadi karena istilah yang
digunakan memiliki lebih dari satu makna (polysemy) atau karena perbedaan
interpretasi antar partisipan diskursus.¹
Dalam konteks ini,
penggunaan definisi eksplisit, glosarium, atau kualifikasi semantik terhadap
istilah yang potensial ambigu menjadi langkah preventif yang penting.² Richard
L. Epstein menekankan bahwa definisi yang baik tidak hanya deskriptif, tetapi
juga harus disesuaikan dengan konteks logis dan komunikatif dari argumen yang
dikembangkan.³
6.2.
Parafrase dan
Rekonstruksi Argumen
Langkah selanjutnya
dalam evaluasi argumen adalah melakukan parafrase dan rekonstruksi
logis dari pernyataan yang terindikasi ambigu. Teknik ini
digunakan untuk mengurai kemungkinan makna yang dikandung oleh sebuah premis
atau kesimpulan, serta untuk menentukan apakah pergeseran makna telah terjadi
dalam proses inferensial.⁴
Douglas Walton
menyarankan penggunaan pendekatan argument diagramming untuk
memetakan struktur argumen dan mengidentifikasi titik-titik di mana ambiguitas
bisa muncul.⁵ Dengan memvisualisasikan hubungan antar klaim, para analis
argumen dapat mengenali pergeseran makna atau distorsi semantik yang
tersembunyi di balik konstruksi linguistik.⁶
6.3.
Konteks sebagai
Penentu Validitas Makna
Karena banyak fallacies
of ambiguity terjadi akibat kegagalan dalam memahami konteks, maka
evaluasi argumen juga harus mempertimbangkan dimensi pragmatik. Pemahaman
terhadap maksud pembicara (speaker’s intention), situasi
komunikasi, serta audiens sasaran sangat menentukan interpretasi makna dari
bahasa yang digunakan.⁷
Paul Grice, melalui
teori conversational
implicature, menyatakan bahwa makna tidak hanya berasal dari
semantik literal, tetapi juga dari makna tersirat berdasarkan prinsip kerja
sama dan maksud komunikatif.⁸ Maka, dalam mengevaluasi kemungkinan adanya
kekeliruan ambiguitas, penting untuk mengkaji apakah penutur telah memberikan
petunjuk pragmatis yang cukup untuk menghindari kerancuan makna.
6.4.
Penajaman Literasi
Logika Informal dan Bahasa Kritis
Pencegahan jangka
panjang terhadap kekeliruan ambiguitas menuntut penguatan literasi
logika informal dan keterampilan berpikir kritis berbasis bahasa.
Literasi ini mencakup pemahaman terhadap struktur argumen, tipe-tipe kekeliruan
logis, dan kemampuan menilai validitas makna dalam konteks wacana.⁹
Dalam pembelajaran
logika dan retorika, peserta didik perlu dilatih untuk:
·
Mengidentifikasi istilah
bermakna ganda;
·
Mendeteksi perubahan makna
dalam argumen;
·
Menyusun ulang argumen
dengan makna yang lebih presisi;
·
Melatih kepekaan terhadap
konteks linguistik dan pragmatik.¹⁰
Tindale menekankan
bahwa pendidikan logika tidak boleh hanya bersifat mekanis atau formalistik,
melainkan harus kontekstual, reflektif, dan berbasis pada praktik diskursif
aktual yang dihadapi masyarakat.¹¹
6.5.
Kode Etik Retoris bagi
Komunikator Publik
Sebagai pelengkap
strategi teknis, perlu ditegaskan pula tanggung jawab etis dari para
komunikator publik—baik dalam bidang politik, hukum, media, maupun
pendidikan—untuk tidak menyalahgunakan ambiguitas secara retoris.¹² Kode etik
profesional dalam jurnalisme, misalnya, mewajibkan penggunaan bahasa yang
jujur, akurat, dan dapat diverifikasi, bukan sekadar efektif secara
persuasif.¹³
Dalam kerangka
demokrasi deliberatif, tanggung jawab etis ini juga merupakan bagian dari
komitmen terhadap partisipasi publik yang rasional dan setara. Komunikasi yang
bebas dari ambiguitas manipulatif menjadi syarat fundamental bagi terciptanya
ruang publik yang sehat dan rasional.¹⁴
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 125–126.
[2]
Stephen F. Barker, The Elements of Logic, 6th ed. (New York:
McGraw-Hill, 2003), 79.
[3]
Richard L. Epstein, Critical Thinking, 3rd ed. (Belmont:
Wadsworth, 2002), 48–50.
[4]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont:
Wadsworth, 2010), 107.
[5]
Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 145.
[6]
Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning
(Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 1996), 231.
[7]
Kent Bach, “Context Dependence,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 ed., https://plato.stanford.edu/archives/sum2020/entries/context-dependence/.
[8]
H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of
Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 22–40.
[9]
Leo Groarke and Christopher W. Tindale, Good Reasoning Matters! A
Constructive Approach to Critical Thinking, 4th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 124.
[10]
Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to
Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (Boston: Pearson, 2012),
92–94.
[11]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 132.
[12]
Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University
Press of New England, 1987), 76.
[13]
Society of Professional Journalists, SPJ Code of Ethics
(2014), https://www.spj.org/ethicscode.asp.
[14]
Hugh Breakey, “Clear and Honest Language in Public Communication,” Journal
of Social Philosophy 48, no. 3 (2017): 320–338.
7.
Kesimpulan
Kekeliruan
ambiguitas (fallacies of ambiguity) merupakan
bentuk kekeliruan logika informal yang berakar pada kerancuan makna dalam
penggunaan bahasa, baik pada level leksikal, struktural, maupun pragmatis.
Melalui klasifikasi yang sistematis, dapat diidentifikasi lima bentuk utama
kekeliruan ini—yakni equivocation, amphiboly,
accent,
composition,
dan division—yang
kesemuanya berpotensi menyesatkan audiens dengan memanfaatkan ketidakjelasan
atau pergeseran makna dalam argumen.¹
Pembahasan ini menunjukkan
bahwa ambiguitas bukan hanya persoalan linguistik, melainkan juga menyangkut
persoalan epistemologis dan etis. Dari sudut pandang epistemologi, ambiguitas
mengganggu kejelasan proposisi, merusak validitas inferensi, dan menghalangi
tercapainya pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.²
Dalam ranah semantik dan pragmatik, ambiguitas menuntut perhatian terhadap
konteks penggunaan bahasa, intensi komunikatif, serta dinamika sosial dalam
komunikasi.³
Implikasi dari fallacies
of ambiguity sangat nyata dalam wacana publik kontemporer. Ketika
argumen disampaikan dengan istilah atau struktur yang ambigu, ruang deliberasi
rasional dapat tergantikan oleh distorsi kognitif, manipulasi retoris, atau
pembentukan opini yang tidak berbasis pada kejelasan dan konsistensi logis.⁴
Hal ini berkontribusi pada erosi rasionalitas publik dan melemahkan daya kritis
masyarakat dalam menghadapi klaim-klaim informasi yang kompleks, terutama dalam
ranah politik, media, dan hukum.⁵
Sebagai respons
terhadap ancaman tersebut, perlu dikembangkan strategi pencegahan dan evaluasi
yang sistematis: dimulai dari klarifikasi terminologis, rekonstruksi argumen,
analisis konteks, hingga penguatan literasi logika informal dan etika
komunikasi.⁶ Selain itu, tanggung jawab etis dari para aktor diskursif, seperti
jurnalis, pendidik, politisi, dan akademisi, sangat penting untuk mencegah
penyalahgunaan ambiguitas sebagai alat retoris yang menyesatkan.⁷
Oleh karena itu,
pemahaman yang mendalam terhadap fallacies of ambiguity bukan hanya
memberikan nilai akademik dalam studi logika dan filsafat bahasa, tetapi juga
merupakan bekal penting dalam membangun budaya komunikasi yang rasional, etis,
dan bertanggung jawab. Dalam iklim informasi yang semakin kompleks dan sarat
muatan ideologis, kesadaran terhadap potensi kekeliruan ambiguitas menjadi
elemen penting dalam menjaga kualitas demokrasi deliberatif dan integritas
intelektual masyarakat luas.⁸
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2015), 134–141.
[2]
Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction to the Theory of
Knowledge (Albany: State University of New York Press, 2003), 55–57.
[3]
H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of
Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 26–29.
[4]
Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 112–115.
[5]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–104.
[6]
Richard L. Epstein, Critical Thinking, 3rd ed. (Belmont:
Wadsworth, 2002), 51–55.
[7]
Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University
Press of New England, 1987), 73–76.
[8]
Leo Groarke and Christopher W. Tindale, Good Reasoning Matters! A
Constructive Approach to Critical Thinking, 4th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 127–129.
Daftar Pustaka
Barker, S. F. (2003). The
elements of logic (6th ed.). McGraw-Hill.
Capone, A. (2017). Perspectives
on language as action. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-319-53189-8
Code, L. (1987). Epistemic
responsibility. University Press of New England.
Copi, I. M., Cohen, C.,
& McMahon, K. (2016). Introduction to logic (14th ed.). Pearson.
Epstein, R. L. (2002). Critical
thinking (3rd ed.). Wadsworth.
Fraser, N. (1990).
Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually
existing democracy. Social Text, 25/26, 56–80. https://doi.org/10.2307/466240
Govier, T. (2010). A
practical study of argument (7th ed.). Wadsworth.
Grice, H. P. (1989). Logic
and conversation. In Studies in the way of words (pp. 22–40). Harvard
University Press.
Groarke, L., & Tindale,
C. W. (2012). Good reasoning matters! A constructive approach to critical
thinking (4th ed.). Oxford University Press.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action, vol. 1: Reason and the rationalization of
society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Hurley, P. J. (2015). A
concise introduction to logic (12th ed.). Cengage Learning.
Leech, G. (1981). Semantics:
The study of meaning (2nd ed.). Penguin Books.
Macagno, F., & Walton,
D. (2010). Reasoning from classification and definition. Argumentation, 24(1),
51–74. https://doi.org/10.1007/s10503-009-9145-2
McCawley, J. D. (1993). Everything
linguists have always wanted to know about logic. University of Chicago
Press.
Nosich, G. M. (2012). Learning
to think things through: A guide to critical thinking across the curriculum
(4th ed.). Pearson.
Rescher, N. (2003). Epistemology:
An introduction to the theory of knowledge. State University of New York
Press.
Society of Professional
Journalists. (2014). SPJ code of ethics. https://www.spj.org/ethicscode.asp
Tindale, C. W. (2007). Fallacies
and argument appraisal. Cambridge University Press.
Toulmin, S. (2003). The
uses of argument (Updated ed.). Cambridge University Press.
Travis, C. (2000). Unshadowed
thought: Representation in thought and language. Harvard University Press.
Walton, D. N. (1996). Argumentation
schemes for presumptive reasoning. Lawrence Erlbaum Associates.
Walton, D. N. (2006). Fundamentals
of critical argumentation. Cambridge University Press.
Walton, D. N. (2008). Informal
logic: A pragmatic approach (2nd ed.). Cambridge University Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar