Minggu, 04 Mei 2025

Fallacies of Ambiguity: Telaah Logis, Klasifikasi, dan Implikasinya terhadap Rasionalitas Wacana Publik

Fallacies of Ambiguity

Telaah Logis, Klasifikasi, dan Implikasinya terhadap Rasionalitas Wacana Publik


Alihkan ke: Fallacies Informal.


Abstrak

Kekeliruan ambiguitas bahasa (fallacies of ambiguity) merupakan salah satu bentuk kekeliruan logika informal yang timbul dari ketidakjelasan atau kerancuan makna dalam penggunaan bahasa dalam argumen. Artikel ini mengkaji secara sistematis jenis-jenis kekeliruan ambiguitas yang meliputi equivocation, amphiboly, accent, composition, dan division, berdasarkan referensi logika klasik dan kontemporer. Melalui pendekatan epistemologis dan semantik, dibahas bagaimana ambiguitas dapat mengganggu proses penalaran yang rasional, merusak validitas inferensi, dan menciptakan distorsi makna dalam wacana publik. Artikel ini juga menelusuri implikasi dari kekeliruan ambiguitas terhadap rasionalitas komunikasi sosial, termasuk dalam konteks politik, media, dan pendidikan, serta menawarkan strategi preventif dan evaluatif untuk mendeteksi dan mencegahnya. Dengan mengintegrasikan perspektif logika informal, filsafat bahasa, dan etika diskursif, tulisan ini berkontribusi pada pengembangan budaya berpikir kritis dan komunikasi publik yang jernih dan bertanggung jawab.

Kata Kunci: Logika informal, kekeliruan ambiguitas, fallacies of ambiguity, rasionalitas publik, argumen, ambiguitas bahasa, epistemologi, filsafat bahasa, komunikasi kritis.


PEMBAHASAN

Kekeliruan Ambiguitas Bahasa dalam Argumen


1.           Pendahuluan

Bahasa merupakan sarana utama manusia dalam berpikir, menyampaikan ide, dan membentuk konsensus sosial. Dalam konteks penalaran logis, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat ekspresi, tetapi juga sebagai medium argumentatif yang membawa proposisi dan kesimpulan. Namun demikian, karena bahasa bersifat simbolik, fleksibel, dan sering kali kontekstual, penggunaannya kerap mengandung ambiguitas yang dapat merusak integritas argumen. Ambiguitas ini, bila tidak dikenali dan diatasi, dapat menghasilkan kekeliruan logika informal yang disebut sebagai fallacies of ambiguity.

Kekeliruan logika informal sendiri berbeda dari kekeliruan formal. Jika kekeliruan formal berkaitan dengan bentuk atau struktur argumen yang tidak sah secara deduktif, maka kekeliruan informal menyangkut aspek isi dan cara penyampaian argumen yang tampak masuk akal, tetapi sebenarnya menyesatkan atau cacat secara substansial. Salah satu bentuk umum dari kekeliruan informal adalah kekeliruan ambiguitas (ambiguity fallacy), yaitu kesalahan yang muncul akibat ketidakjelasan dalam makna kata, struktur kalimat, atau penekanan makna tertentu dalam bahasa yang digunakan dalam argumen.¹

Dalam literatur logika klasik dan kontemporer, kekeliruan ambiguitas telah mendapat perhatian luas. Irving M. Copi dan Carl Cohen menyatakan bahwa ambiguity fallacies seringkali mengecoh karena bersifat halus dan tersembunyi, serta bergantung pada permainan makna yang tidak disadari oleh pembicara maupun pendengar.² Demikian pula, Patrick Hurley mengklasifikasikan kekeliruan ambiguitas ke dalam beberapa bentuk utama, seperti equivocation, amphiboly, accent, composition, dan division, yang masing-masing berkaitan dengan ragam ambiguitas linguistik dan gramatikal.³

Kekeliruan ini tidak hanya relevan dalam kajian logika formal atau argumentasi akademik, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam kehidupan sosial. Dalam wacana publik, seperti dalam politik, iklan, atau debat hukum, kekeliruan ambiguitas sering dimanfaatkan untuk memanipulasi opini atau membingungkan lawan bicara.⁴ Hal ini memperkuat urgensi untuk memahami dan mengkritisi penggunaan bahasa dalam setiap bentuk argumen, baik lisan maupun tulisan, guna menjaga rasionalitas komunikasi publik dan memperkuat budaya berpikir kritis.

Tulisan ini bertujuan untuk menyajikan kajian mendalam mengenai fallacies of ambiguity, mencakup definisi, klasifikasi, dimensi epistemologis, serta implikasinya terhadap rasionalitas wacana publik. Dengan pendekatan analitis dan berbasis pada sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memperluas kesadaran logis dan kebahasaan dalam memahami serta menyusun argumen yang benar.


Footnotes

[1]                Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 34.

[2]                Irving M. Copi, Carl Cohen, and Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 130–132.

[3]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 134–141.

[4]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–97.


2.           Definisi dan Ciri Umum Fallacies of Ambiguity

Kekeliruan ambiguitas (fallacies of ambiguity) merupakan salah satu bentuk kekeliruan logika informal yang muncul ketika suatu argumen mengandung makna yang tidak jelas atau ganda, baik pada level kata, frasa, struktur kalimat, maupun tekanan semantik. Kekeliruan ini bersumber dari penggunaan bahasa yang tidak presisi, sehingga menimbulkan kerancuan makna yang mengacaukan hubungan antara premis dan kesimpulan.¹

2.1.       Distingsi antara Kekeliruan Formal dan Informal

Untuk memahami posisi fallacies of ambiguity secara tepat, perlu dibedakan terlebih dahulu antara kekeliruan logika formal dan informal. Kekeliruan formal menyangkut kesalahan dalam struktur deduktif suatu argumen, yakni ketika bentuk logis argumen tidak valid meskipun premis-premisnya mungkin benar. Contohnya adalah argumen berbentuk affirming the consequent atau denying the antecedent. Sebaliknya, kekeliruan informal tidak terletak pada struktur logisnya, melainkan pada isi, konteks, atau cara penyampaian premis dan kesimpulan yang secara retoris tampak masuk akal, namun sesungguhnya menyesatkan.²

Kekeliruan ambiguitas tergolong dalam kekeliruan informal karena ia tidak serta-merta melibatkan kesalahan logis secara bentuk, tetapi timbul dari penggunaan bahasa yang ambigu—baik disengaja maupun tidak. Ambiguitas ini bisa mengakibatkan inferensi yang tampaknya logis, tetapi sejatinya keliru karena memanfaatkan makna ganda dalam satuan bahasa.

2.2.       Pengertian Fallacies of Ambiguity

Dalam terminologi logika, fallacies of ambiguity didefinisikan sebagai kekeliruan yang terjadi ketika suatu istilah atau ekspresi digunakan secara tidak konsisten atau memiliki lebih dari satu makna dalam konteks argumen yang sama. Irving Copi mendefinisikannya sebagai “errors in reasoning that arise from the misleading use of words or phrases whose meanings are not sufficiently clear or are employed with more than one meaning.”_³ Dengan demikian, kekeliruan ini bukan hanya sekadar persoalan linguistik, tetapi menyangkut aspek semantik (makna) dan pragmatik (penggunaan bahasa dalam konteks).

Menurut Hurley, fallacies of ambiguity dapat dimengerti sebagai “arguments that are fallacious due to some form of linguistic confusion—usually involving an ambiguous word or grammatical structure.”_⁴ Hal ini menunjukkan bahwa kekeliruan ini bersifat sistematis dan dapat dikenali melalui analisis makna dan struktur kalimat.

2.3.       Ciri-Ciri Umum Kekeliruan Ambiguitas

Beberapa ciri utama yang menandai kekeliruan ambiguitas dalam argumen antara lain:

1)                  Ketidakjelasan Makna

Kata atau frasa yang digunakan dalam premis atau kesimpulan memiliki lebih dari satu makna (polisemi) dan digunakan secara tidak konsisten dalam argumen yang sama.

2)                  Struktur Kalimat yang Kabur

Argumen memuat konstruksi gramatikal yang dapat ditafsirkan lebih dari satu cara, menghasilkan ambiguitas sintaksis.

3)                  Peralihan Makna

Terjadi perubahan makna secara halus antara bagian premis dan kesimpulan, sering kali tanpa disadari oleh pembicara atau pendengar.

4)                  Efek Retoris

Ambiguitas sering dimanfaatkan untuk memberikan efek persuasif atau manipulatif, dengan harapan pembaca atau pendengar tidak akan menyadari kerancuan tersebut.⁵

5)                  Sulit Dideteksi tanpa Klarifikasi Konteks

Kekeliruan ambiguitas sering kali tidak tampak secara eksplisit dan membutuhkan penelusuran konteks penggunaan istilah serta struktur argumen untuk diidentifikasi.

Dalam praktiknya, kekeliruan jenis ini sering mengecoh karena bersifat “naturalistik”—yakni menggunakan bahasa sehari-hari yang tampak normal, tetapi secara logis problematik. Oleh karena itu, analisis fallacies of ambiguity menuntut kepekaan terhadap makna dan konteks, serta keterampilan berpikir kritis dan linguistik.


Footnotes

[1]                Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 65.

[2]                Michael Bruce dan Steven Barbone, Just the Arguments: 100 of the Most Important Arguments in Western Philosophy (Chichester: Wiley-Blackwell, 2011), xxv.

[3]                Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 127.

[4]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 134.

[5]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–97.


3.           Klasifikasi Fallacies of Ambiguity

Kekeliruan ambiguitas dalam argumen (fallacies of ambiguity) terdiri dari beberapa jenis yang masing-masing berkaitan dengan bentuk-bentuk ambiguitas dalam bahasa. Menurut Patrick J. Hurley dan Irving M. Copi, klasifikasi ini mencakup lima jenis utama: equivocation, amphiboly, accent, composition, dan division.¹ Kekeliruan-kekeliruan ini terjadi ketika suatu istilah atau ekspresi digunakan secara tidak konsisten, atau ketika struktur kalimat atau tekanan makna menimbulkan kekaburan logis dalam penalaran.

3.1.       Equivocation

Equivocation terjadi ketika suatu kata atau frasa digunakan dengan dua makna berbeda dalam satu argumen tanpa adanya klarifikasi, sehingga menimbulkan ilusi inferensi logis yang sah.²

Contoh klasik:

"Hukum melarang pencurian.

Mahasiswa hukum mempelajari hukum.

Maka, mahasiswa hukum mempelajari cara mencuri."

Pada argumen ini, kata "hukum" mengalami pergeseran makna: dari hukum sebagai sistem peraturan (normatif) menjadi hukum sebagai obyek kajian akademik (disiplin ilmu).³

Kekeliruan equivocation sering ditemukan dalam debat politik, agama, dan media, di mana istilah-istilah bermakna ganda (misalnya: “keadilan”, “kebebasan”, “hak”) digunakan untuk mengelabui audiens atau menegaskan kesimpulan yang tidak sah.⁴

3.2.       Amphiboly

Amphiboly adalah kekeliruan yang muncul karena struktur kalimat atau konstruksi tata bahasa yang ambigu, sehingga memungkinkan lebih dari satu interpretasi terhadap premis atau kesimpulan argumen.⁵

Contoh:

"Orang melihat pria dengan teleskop."

Kalimat ini bisa berarti bahwa orang tersebut menggunakan teleskop untuk melihat, atau bahwa pria yang dilihat sedang membawa teleskop.

Dalam konteks argumen, ketidakjelasan semacam ini dapat dimanipulasi untuk menyimpulkan sesuatu yang tidak sah berdasarkan premis yang sebenarnya ambigu. Hal ini menunjukkan pentingnya kejelasan sintaksis dalam logika bahasa.⁶

3.3.       Accent

Kekeliruan accent muncul ketika makna suatu pernyataan berubah tergantung pada tekanan atau intonasi tertentu, atau pada bagian kalimat mana yang ditekankan. Kekeliruan ini juga bisa terjadi dalam teks tertulis melalui penekanan visual seperti huruf tebal atau kapitalisasi.⁷

Contoh:

"Saya tidak mengatakan bahwa dia mencuri uang itu."

Kalimat ini bisa memiliki arti yang sangat berbeda tergantung pada kata yang ditekankan.

Kekeliruan ini penting dalam retorika dan komunikasi publik karena sering dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian dari makna literal menuju makna implisit yang menyesatkan.⁸

3.4.       Composition

Composition fallacy terjadi ketika seseorang secara keliru menyimpulkan bahwa apa yang benar bagi bagian-bagian suatu hal juga berlaku untuk keseluruhan hal tersebut.⁹

Contoh:

"Setiap pemain dalam tim sepak bola ini adalah pemain terbaik di daerahnya.

Maka, tim ini pasti merupakan tim terbaik di negara ini."

Kesalahan ini muncul dari asumsi bahwa kualitas individual dapat dijumlahkan secara langsung tanpa mempertimbangkan dinamika kolektif. Kekeliruan ini banyak muncul dalam penalaran ekonomi, sosial, dan ilmiah.¹⁰

3.5.       Division

Kebalikan dari composition, division fallacy terjadi ketika seseorang menganggap bahwa apa yang benar bagi keseluruhan pasti juga benar bagi tiap bagian.¹¹

Contoh:

"Negara ini adalah negara terkaya di dunia.

Maka, setiap warga negaranya pasti kaya."

Argumen ini mengabaikan distribusi kekayaan dan menyamaratakan ciri kolektif terhadap individu. Kekeliruan ini sering digunakan dalam stereotip atau generalisasi sosial yang tidak berdasar.¹²


Penutup Subbagian

Klasifikasi di atas menunjukkan bahwa kekeliruan ambiguitas bukan sekadar persoalan linguistik, tetapi juga menyangkut struktur inferensial dan efek pragmatis dari bahasa dalam konteks logika. Pemahaman mendalam terhadap masing-masing jenis kekeliruan ini penting untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap manipulasi retoris serta untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang presisi.


Footnotes

[1]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 134–141.

[2]                Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 130.

[3]                Douglas N. Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 78.

[4]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 102.

[5]                Copi, Cohen, dan McMahon, Introduction to Logic, 132.

[6]                Walton, Fundamentals of Critical Argumentation, 71.

[7]                Hurley, A Concise Introduction to Logic, 138.

[8]                Leo Groarke and Christopher W. Tindale, “Good Reasoning Matters!: A Constructive Approach to Critical Thinking,” 4th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), 122.

[9]                Copi, Cohen, dan McMahon, Introduction to Logic, 133.

[10]             Tindale, Fallacies and Argument Appraisal, 105–106.

[11]             Hurley, A Concise Introduction to Logic, 139–140.

[12]             Walton, Informal Logic, 82–83.


4.           Dimensi Epistemologis dan Semantik Ambiguitas

4.1.       Bahasa sebagai Medium Pengetahuan dan Ambiguitas sebagai Gangguan Epistemik

Dalam epistemologi klasik, bahasa dipandang sebagai medium utama untuk menyampaikan dan memperoleh pengetahuan. Namun, ketika bahasa bersifat ambigu, potensi gangguan terhadap proses epistemik menjadi signifikan. Ambiguitas dalam bahasa dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran makna proposisi, kesalahpahaman dalam komunikasi, serta kekeliruan dalam penalaran logis.¹ Ambiguitas mengaburkan batas antara kebenaran dan kekeliruan, serta menurunkan derajat keandalan inferensi yang dibangun atas dasar premis yang tidak jelas.

Douglas Walton menyatakan bahwa ambiguitas harus dianggap sebagai salah satu bentuk rintangan epistemologis karena ia merusak tujuan dasar argumen, yakni pencapaian keyakinan rasional melalui premis yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.² Dalam konteks ini, kekeliruan ambiguitas bukan hanya masalah retorika, melainkan menjadi ancaman terhadap integritas rasional dari proses pencarian kebenaran.

4.2.       Ambiguitas dalam Perspektif Semantik

Secara semantik, ambiguitas terjadi ketika satuan bahasa (kata, frasa, atau kalimat) memiliki lebih dari satu makna (polisemi), atau ketika suatu struktur sintaksis memungkinkan lebih dari satu interpretasi.³ Linguistik formal membedakan dua tipe utama ambiguitas semantik, yakni:

·                     Ambiguitas leksikal (lexical ambiguity): satu kata memiliki dua atau lebih makna. Misalnya, kata “bank” dapat berarti lembaga keuangan atau tepi sungai.

·                     Ambiguitas struktural (structural ambiguity): makna yang ambigu muncul karena struktur gramatikal. Misalnya, kalimat “I saw the man with the telescope” dapat ditafsirkan dua cara tergantung pada struktur sintaksis.⁴

Dalam konteks argumen, kedua jenis ambiguitas ini dapat menciptakan ilusi kejelasan padahal secara logis menyesatkan. Oleh karena itu, identifikasi ambiguitas merupakan langkah penting dalam evaluasi argumen.

4.3.       Konteks dan Penentu Makna dalam Filsafat Bahasa

Filsafat bahasa modern, khususnya melalui karya Ludwig Wittgenstein dan Paul Grice, menekankan bahwa makna tidak hanya berasal dari bentuk kata itu sendiri, tetapi juga sangat bergantung pada konteks penggunaannya.⁵ Wittgenstein dalam Philosophical Investigations mengajukan gagasan bahwa makna adalah fungsi dari penggunaan dalam language games, bukan dari definisi tetap.⁶ Sementara itu, Grice menambahkan aspek implicature sebagai dimensi pragmatik dari bahasa, di mana makna tersirat menjadi bagian dari penafsiran makna literal.⁷

Dalam kerangka ini, ambiguitas dalam argumen bukan hanya soal kesalahan dalam kosakata, melainkan bisa merupakan akibat dari kegagalan dalam menyampaikan atau memahami konteks. Kekeliruan ambiguitas terjadi ketika penutur atau pendengar gagal menyelaraskan konteks pragmatik dengan makna semantik dari suatu pernyataan.

4.4.       Kejelasan Bahasa sebagai Tanggung Jawab Epistemik

Dari perspektif etika epistemik, pembicara dan penulis memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan informasi secara jernih dan dapat dimengerti.⁸ Ketidakjelasan yang disebabkan oleh ambiguitas—terutama jika disengaja—merupakan bentuk epistemic irresponsibility karena berpotensi menyesatkan audiens. Dalam debat publik atau argumentasi ilmiah, ketidakjelasan semacam ini bukan sekadar kekhilafan linguistik, tetapi dapat menjadi instrumen manipulasi atau pengaburan kebenaran.

Karen itu, klarifikasi terminologis, penjelasan konteks, dan eksplisitasi premis menjadi bagian integral dari praktik epistemik yang baik. Kecermatan dalam menghindari ambiguitas bukan hanya meningkatkan kualitas argumen, tetapi juga menunjukkan komitmen terhadap etika komunikasi rasional.

4.5.       Relevansi dalam Kritik Argumen dan Pendidikan Kritis

Pemahaman terhadap dimensi semantik dan epistemik dari ambiguitas sangat penting dalam pendidikan logika dan berpikir kritis. Deteksi dan analisis terhadap fallacies of ambiguity memungkinkan pembelajar untuk menyadari betapa rentannya bahasa terhadap penyimpangan makna dan kesalahan logis. Penalaran yang sehat memerlukan keterampilan semantik—yakni kepekaan terhadap makna kata dan struktur kalimat—serta kompetensi epistemik dalam membedakan klaim yang jelas dari yang kabur.⁹

Kesadaran akan dimensi ini juga menjadi dasar dalam merancang kebijakan komunikasi publik, termasuk dalam media, hukum, dan pendidikan. Dengan demikian, dimensi epistemologis dan semantik ambiguitas bukan hanya persoalan teoritis, tetapi memiliki dampak praktis yang luas dalam menjaga rasionalitas publik.


Footnotes

[1]                Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge (Albany: State University of New York Press, 2003), 54–56.

[2]                Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 92.

[3]                Geoffrey Leech, Semantics: The Study of Meaning, 2nd ed. (Harmondsworth: Penguin Books, 1981), 111–114.

[4]                James D. McCawley, Everything Linguists Have Always Wanted to Know about Logic (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 153.

[5]                Charles Travis, Unshadowed Thought: Representation in Thought and Language (Cambridge: Harvard University Press, 2000), 28.

[6]                Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell Publishing, 1953), §43.

[7]                H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 22–40.

[8]                Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University Press of New England, 1987), 18–21.

[9]                Leo Groarke and Christopher W. Tindale, Good Reasoning Matters! A Constructive Approach to Critical Thinking, 4th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), 117–118.


5.           Implikasi Fallacies of Ambiguity terhadap Rasionalitas Publik

5.1.       Distorsi Kognitif dalam Ruang Publik

Salah satu konsekuensi utama dari fallacies of ambiguity dalam wacana publik adalah distorsi terhadap kognisi kolektif. Ketika argumen disusun menggunakan istilah atau struktur yang ambigu, pendengar atau pembaca dipaksa untuk menafsirkan informasi berdasarkan makna yang tidak pasti atau menyesatkan. Hal ini dapat mengaburkan pembedaan antara klaim yang sah secara logis dan retorika manipulatif, sehingga menurunkan kualitas deliberasi publik.¹

Douglas Walton menyatakan bahwa ambiguitas dalam argumen publik sering digunakan untuk menciptakan pseudo-reasoning, yaitu bentuk penalaran yang tampak rasional tetapi sebenarnya menyamarkan kerancuan makna.² Dalam kerangka ini, kekeliruan ambiguitas menjadi instrumen manipulatif yang dapat membelokkan arah opini publik.

5.2.       Pengaruh terhadap Formasi Opini dan Kebijakan Publik

Ambiguitas bahasa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan opini publik dan kebijakan sosial-politik, terutama ketika digunakan oleh aktor-aktor yang memiliki otoritas diskursif seperti politisi, jurnalis, atau tokoh masyarakat.³

Sebagai contoh, dalam diskursus politik, istilah seperti “kedaulatan rakyat”, “kebebasan berekspresi”, atau “radikalisme” sering digunakan tanpa kejelasan terminologis. Ambiguitas tersebut memungkinkan audiens dari berbagai latar belakang untuk mengisi istilah tersebut dengan makna subjektif yang sesuai dengan preferensi ideologis masing-masing. Hal ini memunculkan konsensus palsu atau konflik wacana yang tidak produktif.⁴

Penelitian oleh Macagno dan Walton menunjukkan bahwa kekeliruan ambiguitas banyak ditemukan dalam debat kebijakan publik, khususnya ketika ada kepentingan untuk mempertahankan status quo atau menghindari tanggung jawab etis.⁵ Oleh karena itu, deteksi terhadap bentuk-bentuk ambiguity fallacies menjadi alat penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan kebijakan.

5.3.       Erosi Terhadap Etika Diskursif dan Rasionalitas Komunikatif

Dalam perspektif filsafat komunikasi, terutama dalam pemikiran Jürgen Habermas, rasionalitas publik didasarkan pada etika diskursif, yaitu norma bahwa komunikasi harus dijalankan secara jujur, jelas, dan argumentatif.⁶ Kekeliruan ambiguitas, terutama yang disengaja, merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip communicative rationality, karena ia memanfaatkan ketidakjelasan makna untuk mencapai efek retoris yang menyesatkan.

Ketika praktik diskursif didominasi oleh argumen yang ambigu, maka terjadi erosi terhadap standar komunikasi publik yang ideal. Proses deliberasi yang seharusnya rasional dan terbuka berubah menjadi ruang permainan makna yang manipulatif dan eksklusif. Hal ini dapat memperlebar kesenjangan pemahaman antarkelompok sosial, menumbuhkan prasangka, serta memperkuat polarisasi.⁷

5.4.       Ancaman terhadap Literasi Logis dan Daya Kritis Masyarakat

Keberadaan fallacies of ambiguity secara luas di ruang publik menjadi ancaman terhadap literasi logis dan daya kritis masyarakat, terutama dalam konteks pendidikan dan media. Ambiguitas yang tidak dikenali dapat memperkuat kebiasaan berpikir dangkal (shallow thinking), memperluas misinformasi, serta melemahkan kemampuan warga negara dalam mengevaluasi klaim yang mereka terima.⁸

Leo Groarke dan Christopher Tindale menekankan bahwa kesadaran akan kekeliruan seperti equivocation dan amphiboly harus menjadi bagian dari pendidikan berpikir kritis, karena keduanya sering digunakan dalam teks-teks persuasif seperti iklan, kampanye politik, dan artikel opini.⁹ Tanpa bekal kompetensi logika informal, masyarakat akan mudah terjebak dalam kerangka interpretasi yang keliru, padahal tampak wajar secara bahasa.

5.5.       Tanggung Jawab Etis Aktor Diskursif dan Media

Dalam menghadapi kekeliruan ambiguitas, tanggung jawab besar terletak pada aktor diskursif (komunikator publik) dan lembaga media untuk menggunakan bahasa secara jujur dan transparan. Ambiguitas yang disengaja demi kepentingan retoris adalah bentuk pelanggaran terhadap etika komunikasi dan keadaban publik.¹⁰

Etika profesional dalam jurnalisme, pendidikan, dan politik seharusnya mencakup komitmen terhadap klarifikasi makna dan penghindaran terhadap manipulasi semantik. Dalam konteks demokrasi deliberatif, transparansi makna merupakan prasyarat bagi partisipasi publik yang bermakna.¹¹ Oleh karena itu, pendidikan logika informal dan literasi argumentatif menjadi fondasi penting untuk membangun budaya dialog yang rasional dan etis.


Footnotes

[1]                Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 112.

[2]                Ibid., 114–115.

[3]                Alessandro Capone, Perspectives on Language as Action (Cham: Springer, 2017), 198–199.

[4]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 103–104.

[5]                Fabrizio Macagno and Douglas Walton, “Reasoning from Classification and Definition,” Argumentation 24, no. 1 (2010): 51–74.

[6]                Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Vol. 1: Reason and the Rationalization of Society, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 287–288.

[7]                Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere: A Contribution to the Critique of Actually Existing Democracy,” Social Text 25/26 (1990): 56–80.

[8]                Stephen Toulmin, The Uses of Argument, updated ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 115.

[9]                Leo Groarke and Christopher W. Tindale, Good Reasoning Matters! A Constructive Approach to Critical Thinking, 4th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), 127–129.

[10]             Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University Press of New England, 1987), 73.

[11]             Hugh Breakey, “Clear and Honest Language in Public Communication,” Journal of Social Philosophy 48, no. 3 (2017): 320–338.


6.           Strategi Pencegahan dan Evaluasi Argumen

6.1.       Klarifikasi Terminologis sebagai Langkah Awal Preventif

Strategi utama dalam mencegah fallacies of ambiguity adalah dengan memastikan klarifikasi istilah (conceptual clarification) sejak awal perumusan argumen. Sering kali, kekeliruan ambiguitas terjadi karena istilah yang digunakan memiliki lebih dari satu makna (polysemy) atau karena perbedaan interpretasi antar partisipan diskursus.¹

Dalam konteks ini, penggunaan definisi eksplisit, glosarium, atau kualifikasi semantik terhadap istilah yang potensial ambigu menjadi langkah preventif yang penting.² Richard L. Epstein menekankan bahwa definisi yang baik tidak hanya deskriptif, tetapi juga harus disesuaikan dengan konteks logis dan komunikatif dari argumen yang dikembangkan.³

6.2.       Parafrase dan Rekonstruksi Argumen

Langkah selanjutnya dalam evaluasi argumen adalah melakukan parafrase dan rekonstruksi logis dari pernyataan yang terindikasi ambigu. Teknik ini digunakan untuk mengurai kemungkinan makna yang dikandung oleh sebuah premis atau kesimpulan, serta untuk menentukan apakah pergeseran makna telah terjadi dalam proses inferensial.⁴

Douglas Walton menyarankan penggunaan pendekatan argument diagramming untuk memetakan struktur argumen dan mengidentifikasi titik-titik di mana ambiguitas bisa muncul.⁵ Dengan memvisualisasikan hubungan antar klaim, para analis argumen dapat mengenali pergeseran makna atau distorsi semantik yang tersembunyi di balik konstruksi linguistik.⁶

6.3.       Konteks sebagai Penentu Validitas Makna

Karena banyak fallacies of ambiguity terjadi akibat kegagalan dalam memahami konteks, maka evaluasi argumen juga harus mempertimbangkan dimensi pragmatik. Pemahaman terhadap maksud pembicara (speaker’s intention), situasi komunikasi, serta audiens sasaran sangat menentukan interpretasi makna dari bahasa yang digunakan.⁷

Paul Grice, melalui teori conversational implicature, menyatakan bahwa makna tidak hanya berasal dari semantik literal, tetapi juga dari makna tersirat berdasarkan prinsip kerja sama dan maksud komunikatif.⁸ Maka, dalam mengevaluasi kemungkinan adanya kekeliruan ambiguitas, penting untuk mengkaji apakah penutur telah memberikan petunjuk pragmatis yang cukup untuk menghindari kerancuan makna.

6.4.       Penajaman Literasi Logika Informal dan Bahasa Kritis

Pencegahan jangka panjang terhadap kekeliruan ambiguitas menuntut penguatan literasi logika informal dan keterampilan berpikir kritis berbasis bahasa. Literasi ini mencakup pemahaman terhadap struktur argumen, tipe-tipe kekeliruan logis, dan kemampuan menilai validitas makna dalam konteks wacana.⁹

Dalam pembelajaran logika dan retorika, peserta didik perlu dilatih untuk:

·                     Mengidentifikasi istilah bermakna ganda;

·                     Mendeteksi perubahan makna dalam argumen;

·                     Menyusun ulang argumen dengan makna yang lebih presisi;

·                     Melatih kepekaan terhadap konteks linguistik dan pragmatik.¹⁰

Tindale menekankan bahwa pendidikan logika tidak boleh hanya bersifat mekanis atau formalistik, melainkan harus kontekstual, reflektif, dan berbasis pada praktik diskursif aktual yang dihadapi masyarakat.¹¹

6.5.       Kode Etik Retoris bagi Komunikator Publik

Sebagai pelengkap strategi teknis, perlu ditegaskan pula tanggung jawab etis dari para komunikator publik—baik dalam bidang politik, hukum, media, maupun pendidikan—untuk tidak menyalahgunakan ambiguitas secara retoris.¹² Kode etik profesional dalam jurnalisme, misalnya, mewajibkan penggunaan bahasa yang jujur, akurat, dan dapat diverifikasi, bukan sekadar efektif secara persuasif.¹³

Dalam kerangka demokrasi deliberatif, tanggung jawab etis ini juga merupakan bagian dari komitmen terhadap partisipasi publik yang rasional dan setara. Komunikasi yang bebas dari ambiguitas manipulatif menjadi syarat fundamental bagi terciptanya ruang publik yang sehat dan rasional.¹⁴


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (Boston: Pearson, 2016), 125–126.

[2]                Stephen F. Barker, The Elements of Logic, 6th ed. (New York: McGraw-Hill, 2003), 79.

[3]                Richard L. Epstein, Critical Thinking, 3rd ed. (Belmont: Wadsworth, 2002), 48–50.

[4]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Belmont: Wadsworth, 2010), 107.

[5]                Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 145.

[6]                Douglas Walton, Argumentation Schemes for Presumptive Reasoning (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 1996), 231.

[7]                Kent Bach, “Context Dependence,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Summer 2020 ed., https://plato.stanford.edu/archives/sum2020/entries/context-dependence/.

[8]                H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 22–40.

[9]                Leo Groarke and Christopher W. Tindale, Good Reasoning Matters! A Constructive Approach to Critical Thinking, 4th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), 124.

[10]             Gerald M. Nosich, Learning to Think Things Through: A Guide to Critical Thinking Across the Curriculum, 4th ed. (Boston: Pearson, 2012), 92–94.

[11]             Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 132.

[12]             Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University Press of New England, 1987), 76.

[13]             Society of Professional Journalists, SPJ Code of Ethics (2014), https://www.spj.org/ethicscode.asp.

[14]             Hugh Breakey, “Clear and Honest Language in Public Communication,” Journal of Social Philosophy 48, no. 3 (2017): 320–338.


7.           Kesimpulan

Kekeliruan ambiguitas (fallacies of ambiguity) merupakan bentuk kekeliruan logika informal yang berakar pada kerancuan makna dalam penggunaan bahasa, baik pada level leksikal, struktural, maupun pragmatis. Melalui klasifikasi yang sistematis, dapat diidentifikasi lima bentuk utama kekeliruan ini—yakni equivocation, amphiboly, accent, composition, dan division—yang kesemuanya berpotensi menyesatkan audiens dengan memanfaatkan ketidakjelasan atau pergeseran makna dalam argumen.¹

Pembahasan ini menunjukkan bahwa ambiguitas bukan hanya persoalan linguistik, melainkan juga menyangkut persoalan epistemologis dan etis. Dari sudut pandang epistemologi, ambiguitas mengganggu kejelasan proposisi, merusak validitas inferensi, dan menghalangi tercapainya pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.² Dalam ranah semantik dan pragmatik, ambiguitas menuntut perhatian terhadap konteks penggunaan bahasa, intensi komunikatif, serta dinamika sosial dalam komunikasi.³

Implikasi dari fallacies of ambiguity sangat nyata dalam wacana publik kontemporer. Ketika argumen disampaikan dengan istilah atau struktur yang ambigu, ruang deliberasi rasional dapat tergantikan oleh distorsi kognitif, manipulasi retoris, atau pembentukan opini yang tidak berbasis pada kejelasan dan konsistensi logis.⁴ Hal ini berkontribusi pada erosi rasionalitas publik dan melemahkan daya kritis masyarakat dalam menghadapi klaim-klaim informasi yang kompleks, terutama dalam ranah politik, media, dan hukum.⁵

Sebagai respons terhadap ancaman tersebut, perlu dikembangkan strategi pencegahan dan evaluasi yang sistematis: dimulai dari klarifikasi terminologis, rekonstruksi argumen, analisis konteks, hingga penguatan literasi logika informal dan etika komunikasi.⁶ Selain itu, tanggung jawab etis dari para aktor diskursif, seperti jurnalis, pendidik, politisi, dan akademisi, sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan ambiguitas sebagai alat retoris yang menyesatkan.⁷

Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap fallacies of ambiguity bukan hanya memberikan nilai akademik dalam studi logika dan filsafat bahasa, tetapi juga merupakan bekal penting dalam membangun budaya komunikasi yang rasional, etis, dan bertanggung jawab. Dalam iklim informasi yang semakin kompleks dan sarat muatan ideologis, kesadaran terhadap potensi kekeliruan ambiguitas menjadi elemen penting dalam menjaga kualitas demokrasi deliberatif dan integritas intelektual masyarakat luas.⁸


Footnotes

[1]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 12th ed. (Boston: Cengage Learning, 2015), 134–141.

[2]                Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge (Albany: State University of New York Press, 2003), 55–57.

[3]                H. P. Grice, “Logic and Conversation,” in Studies in the Way of Words (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 26–29.

[4]                Douglas N. Walton, Fundamentals of Critical Argumentation (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 112–115.

[5]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 95–104.

[6]                Richard L. Epstein, Critical Thinking, 3rd ed. (Belmont: Wadsworth, 2002), 51–55.

[7]                Lorraine Code, Epistemic Responsibility (Hanover: University Press of New England, 1987), 73–76.

[8]                Leo Groarke and Christopher W. Tindale, Good Reasoning Matters! A Constructive Approach to Critical Thinking, 4th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2012), 127–129.


Daftar Pustaka

Barker, S. F. (2003). The elements of logic (6th ed.). McGraw-Hill.

Capone, A. (2017). Perspectives on language as action. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-319-53189-8

Code, L. (1987). Epistemic responsibility. University Press of New England.

Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2016). Introduction to logic (14th ed.). Pearson.

Epstein, R. L. (2002). Critical thinking (3rd ed.). Wadsworth.

Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. Social Text, 25/26, 56–80. https://doi.org/10.2307/466240

Govier, T. (2010). A practical study of argument (7th ed.). Wadsworth.

Grice, H. P. (1989). Logic and conversation. In Studies in the way of words (pp. 22–40). Harvard University Press.

Groarke, L., & Tindale, C. W. (2012). Good reasoning matters! A constructive approach to critical thinking (4th ed.). Oxford University Press.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, vol. 1: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Hurley, P. J. (2015). A concise introduction to logic (12th ed.). Cengage Learning.

Leech, G. (1981). Semantics: The study of meaning (2nd ed.). Penguin Books.

Macagno, F., & Walton, D. (2010). Reasoning from classification and definition. Argumentation, 24(1), 51–74. https://doi.org/10.1007/s10503-009-9145-2

McCawley, J. D. (1993). Everything linguists have always wanted to know about logic. University of Chicago Press.

Nosich, G. M. (2012). Learning to think things through: A guide to critical thinking across the curriculum (4th ed.). Pearson.

Rescher, N. (2003). Epistemology: An introduction to the theory of knowledge. State University of New York Press.

Society of Professional Journalists. (2014). SPJ code of ethics. https://www.spj.org/ethicscode.asp

Tindale, C. W. (2007). Fallacies and argument appraisal. Cambridge University Press.

Toulmin, S. (2003). The uses of argument (Updated ed.). Cambridge University Press.

Travis, C. (2000). Unshadowed thought: Representation in thought and language. Harvard University Press.

Walton, D. N. (1996). Argumentation schemes for presumptive reasoning. Lawrence Erlbaum Associates.

Walton, D. N. (2006). Fundamentals of critical argumentation. Cambridge University Press.

Walton, D. N. (2008). Informal logic: A pragmatic approach (2nd ed.). Cambridge University Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell Publishing.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar