Minggu, 11 Mei 2025

Keyakinan (Belief): Fondasi Pengetahuan, Validitas Kognitif, dan Tantangan Filosofis

Keyakinan (Belief)

Fondasi Pengetahuan, Validitas Kognitif, dan Tantangan Filosofis


Alihkan ke: Epistemologi.

Hubungan antara Justification, Truth, dan Belief.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif konsep keyakinan (belief) dalam epistemologi sebagai salah satu pilar utama dalam struktur pengetahuan. Dimulai dari definisi dan karakteristik belief sebagai sikap proposisional terhadap kebenaran, pembahasan ini menelusuri berbagai tipologi belief, perannya dalam model Justified True Belief (JTB), serta kritik filosofis seperti masalah Gettier dan epistemic luck. Pendekatan interdisipliner digunakan untuk memperluas pemahaman tentang belief melalui temuan dalam psikologi kognitif, termasuk pengaruh bias kognitif, emosi, dan dinamika sosial dalam proses pembentukan keyakinan. Selanjutnya, artikel ini menganalisis hubungan belief dengan kebenaran, model-model justifikasi, serta implikasi praktisnya dalam bidang pengambilan keputusan, etika epistemik, pendidikan, dan masyarakat digital. Di tengah krisis disinformasi dan relativisme kontemporer, belief ditunjukkan bukan hanya sebagai kondisi kognitif, melainkan juga sebagai entitas etis dan sosial yang menentukan kualitas nalar publik. Dengan demikian, pembentukan belief yang benar, terjustifikasi, dan bertanggung jawab menjadi agenda epistemik sekaligus moral dalam kehidupan modern.

Kata Kunci: Epistemologi; keyakinan; pembenaran; kebenaran; Gettier; bias kognitif; etika epistemik; post-truth; virtue epistemology.


PEMBAHASAN

Keyakinan (Belief) dalam Epistemologi


1.           Pendahuluan

Dalam kerangka epistemologi sebagai studi filsafat tentang pengetahuan, keyakinan (belief) menempati posisi fundamental sebagai salah satu unsur pembentuk struktur pengetahuan. Setiap klaim pengetahuan secara minimal mengandaikan bahwa seseorang percaya terhadap suatu proposisi, yakni bahwa “p” adalah benar. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dikatakan mengetahui sesuatu jika ia tidak mempercayai kebenaran proposisi tersebut.¹ Tanpa belief, pengetahuan akan kehilangan elemen subjektifnya dan berubah menjadi sekadar data atau informasi yang tak terinternalisasi oleh subjek epistemik.

Keyakinan dalam epistemologi secara umum dipahami sebagai sikap proposisional (propositional attitude), yaitu sikap mental seseorang terhadap suatu pernyataan yang ia terima sebagai benar.² Misalnya, ketika seseorang meyakini bahwa “air mendidih pada 100 derajat Celsius,” maka individu tersebut sedang mengambil sikap kognitif terhadap proposisi tersebut, yang baginya bernilai benar. Definisi ini membedakan keyakinan dari bentuk-bentuk sikap mental lainnya seperti harapan, keinginan, atau dugaan, yang tidak selalu melibatkan klaim kebenaran yang tegas.³

Kebutuhan untuk memahami nature dari keyakinan menjadi semakin penting dalam era kontemporer ketika arus informasi yang masif tidak selalu disertai dengan justifikasi epistemik yang memadai. Hal ini melahirkan tantangan-tantangan serius bagi ranah publik maupun privat, khususnya dalam membedakan antara keyakinan yang sahih (justified belief) dan keyakinan yang salah arah (misleading or unjustified belief). Dalam hal ini, epistemologi tidak hanya menjadi wacana teoritis semata, tetapi juga menjadi alat untuk mempertajam kecermatan berpikir dan penilaian kritis terhadap berbagai klaim pengetahuan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.⁴

Lebih jauh, pembahasan tentang belief menjadi titik masuk bagi diskusi yang lebih luas tentang struktur pengetahuan, standar kebenaran, dan kriteria justifikasi, tiga pilar utama dalam epistemologi. Tidak mengherankan jika filsuf-filsuf besar seperti Plato, Descartes, hingga tokoh modern seperti Alvin Plantinga dan Robert Audi menempatkan belief sebagai salah satu pokok persoalan dalam setiap pengembangan teori pengetahuan mereka.⁵ Artikel ini akan menelaah konsep keyakinan dari berbagai dimensi: dari definisi dan tipologinya, peran belief dalam struktur Justified True Belief (JTB), kritik terhadap model klasik, hingga tantangan kontemporer seperti bias kognitif, epistemic luck, dan krisis disinformasi.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 206.

[2]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.

[3]                Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification and Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.

[4]                Linda Zagzebski, Epistemic Authority: A Theory of Trust, Authority, and Autonomy in Belief (New York: Oxford University Press, 2012), 3–5.

[5]                Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2000), 24–26.


2.           Definisi dan Karakteristik Keyakinan (Belief)

Dalam epistemologi, belief atau keyakinan merujuk pada sikap mental yang mengafirmasi suatu proposisi sebagai benar. Artinya, ketika seseorang memiliki keyakinan bahwa "salju itu putih", ia menerima proposisi tersebut sebagai kebenaran. Filsuf kontemporer menyebut ini sebagai sikap proposisional (propositional attitude), yaitu relasi mental subjek terhadap isi proposisi tertentu.¹ Keyakinan, dalam bentuk inilah, menjadi prasyarat minimal dari apa yang kita sebut sebagai "mengetahui" (knowing). Tidak ada pengetahuan tanpa adanya belief, meskipun tidak semua belief dapat disebut sebagai pengetahuan.²

Definisi ini mencerminkan perbedaan belief dengan bentuk sikap mental lain yang mungkin juga diarahkan pada proposisi, seperti harapan (hope), keraguan (doubt), atau keinginan (wish). Misalnya, berharap bahwa “akan turun hujan” bukanlah percaya bahwa “akan turun hujan”. Keyakinan menuntut komitmen terhadap kebenaran proposisi, sementara sikap mental lainnya bersifat afektif atau spekulatif.³ Dalam pengertian ini, belief bersifat doksastik (berhubungan dengan opini atau penilaian kognitif), yang membedakannya dari sikap non-doksastik.

Karakteristik penting dari keyakinan adalah bahwa ia bersifat dapat bernilai benar atau salah (truth-apt). Artinya, setiap keyakinan memiliki potensi untuk dikoreksi oleh realitas atau bukti, karena belief adalah klaim terhadap kebenaran dunia.⁴ Hal ini menjadikan belief sebagai entitas epistemik yang dapat dievaluasi dan diukur berdasarkan standar rasionalitas, koherensi, serta justifikasi. Seorang epistemolog tidak sekadar tertarik apakah seseorang meyakini sesuatu, tetapi apakah keyakinan itu rasional, berdasar, dan sesuai dengan fakta.

Selain itu, belief dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Pertama, keyakinan eksplisit dan implisit, tergantung pada tingkat kesadaran subjek terhadap keyakinannya. Kita mungkin memiliki keyakinan eksplisit bahwa "matahari terbit di timur", tetapi juga memegang banyak keyakinan implisit (misalnya, tentang hukum logika) yang tidak selalu disadari tetapi digunakan dalam penalaran sehari-hari.⁵ Kedua, terdapat keyakinan dasar (basic beliefs) yang tidak disimpulkan dari keyakinan lain, seperti persepsi langsung ("saya melihat cahaya sekarang"), dan keyakinan non-dasar (non-basic beliefs) yang diturunkan secara inferensial dari keyakinan lain.⁶

Lebih jauh, belief memiliki dimensi psikologis dan normatif. Secara psikologis, belief berkaitan dengan keadaan mental dan disposisi kognitif individu. Namun dalam epistemologi, aspek normatif menjadi penting karena belief harus tunduk pada standar evaluatif, misalnya: apakah belief itu masuk akal, apakah ia didukung oleh bukti, dan apakah ia dibentuk melalui cara yang andal (reliable).⁷ Dengan demikian, keyakinan bukan hanya fakta mental, tetapi juga objek evaluasi epistemik.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 206–209.

[2]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.

[3]                Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 19–20.

[4]                Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 15.

[5]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 95–97.

[6]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2009), 38–41.

[7]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 232.


3.           Tipologi dan Klasifikasi Keyakinan

Dalam epistemologi, membedakan jenis-jenis keyakinan merupakan langkah awal yang penting untuk memahami bagaimana belief berfungsi dalam kerangka pengetahuan. Keyakinan tidaklah bersifat seragam; ia hadir dalam beragam bentuk, baik berdasarkan status epistemiknya, cara pembentukannya, maupun relasi logisnya terhadap keyakinan lain. Klasifikasi ini membantu para epistemolog untuk menguji validitas dan reliabilitas belief secara lebih terstruktur.

3.1.       Keyakinan Benar dan Salah (True vs. False Beliefs)

Klasifikasi paling mendasar dari belief adalah menurut nilai kebenarannya. Keyakinan bisa benar (true belief) jika proposisi yang diyakini sesuai dengan realitas atau fakta, dan salah (false belief) jika tidak sesuai.¹ Namun, epistemologi tidak cukup hanya dengan membedakan antara belief yang benar dan yang salah; pertanyaan penting adalah "apa yang membuat suatu keyakinan benar, dan apakah subjek epistemik memiliki akses yang memadai untuk menjustifikasinya?"_²

3.2.       Keyakinan Eksplisit dan Implisit

Keyakinan juga dapat dibedakan berdasarkan kesadaran subjek terhadap isinya. Keyakinan eksplisit adalah belief yang diakui secara sadar, seperti ketika seseorang mengatakan, "Saya percaya bahwa semua manusia akan mati." Sebaliknya, keyakinan implisit adalah belief yang tidak selalu hadir dalam kesadaran aktif tetapi tercermin dalam tindakan atau penalaran seseorang.³ Sebagai contoh, seseorang mungkin tidak pernah menyatakan secara eksplisit bahwa "api membakar", tetapi perilakunya saat menjauh dari api mencerminkan keyakinan implisit tersebut.

3.3.       Keyakinan Dasar dan Non-Dasar (Basic vs. Non-Basic Beliefs)

Dalam perdebatan klasik antara foundationalism dan coherentism, keyakinan dasar (basic belief) adalah belief yang tidak diperoleh dari keyakinan lain, tetapi berdiri sendiri, biasanya bersumber dari pengalaman langsung, intuisi, atau persepsi indrawi.⁴ Sebaliknya, non-basic beliefs atau derived beliefs merupakan keyakinan yang didasarkan pada inferensi dari belief lain. Contoh basic belief adalah “Saya sedang merasa sakit”, sementara keyakinan bahwa “Saya mungkin demam karena cuaca dingin” merupakan non-basic belief.

Menurut foundationalism, seluruh sistem pengetahuan harus berpijak pada belief-belief dasar yang kuat, sedangkan coherentism menolak adanya belief yang bersifat mandiri, dan menilai validitas belief berdasarkan koherensinya dalam suatu sistem kepercayaan secara keseluruhan.⁵

3.4.       Keyakinan Internal dan Eksternal (Internalist vs. Externalist Construals of Belief)

Perdebatan lebih lanjut muncul antara pendekatan internalisme epistemik dan eksternalisme epistemik dalam memahami belief. Internalisme menekankan bahwa agar suatu keyakinan sah disebut sebagai pengetahuan, subjek harus memiliki akses sadar terhadap alasan-alasan yang membenarkan belief tersebut.⁶ Sebaliknya, eksternalisme menilai bahwa yang penting adalah proses pembentukan keyakinan tersebut, apakah melalui mekanisme yang dapat diandalkan secara eksternal (misalnya persepsi yang tidak keliru), meskipun subjek tidak mampu menjelaskan alasannya.⁷

Kedua pendekatan ini memunculkan konsekuensi berbeda dalam mengevaluasi jenis-jenis belief yang dianggap sahih, terutama dalam konteks pengetahuan implisit, intuisi, dan keyakinan keagamaan.

3.5.       Keyakinan Praktis dan Teoretis (Practical vs. Theoretical Beliefs)

Distingsi lain yang relevan adalah antara keyakinan teoretis, yang diarahkan untuk mengetahui kebenaran sesuatu (“Langit berwarna biru”), dan keyakinan praktis, yang berfungsi sebagai dasar tindakan (“Saya percaya bahwa saya bisa menyelesaikan ujian ini”).⁸ Dalam filsafat tindakan, belief praktis sering dikaitkan dengan motivasi dan kehendak, dan dapat membentuk dasar dari keputusan moral maupun strategis.


Kesimpulan Sementara

Tipologi belief sebagaimana dijabarkan di atas menunjukkan kompleksitas struktur mental manusia dalam menerima dan menyikapi proposisi. Pemahaman atas klasifikasi ini tidak hanya penting dalam tataran teoretis, tetapi juga berdampak langsung terhadap pengembangan metode pembelajaran, pengambilan keputusan, hingga penilaian rasionalitas publik dalam konteks demokrasi informasi.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 30–32.

[2]                Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 17.

[3]                Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 21.

[4]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2009), 43–45.

[5]                Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2000), 38–39.

[6]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.

[7]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 105.

[8]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 233–234.


4.           Belief dalam Struktur Pengetahuan (Tripartite Theory)

Dalam diskursus epistemologi klasik, pengetahuan (knowledge) secara tradisional dirumuskan sebagai keyakinan yang benar dan terjustifikasi (justified true belief atau JTB). Model ini dikenal sebagai teori tripartit pengetahuan, yang menyatakan bahwa agar suatu subjek benar-benar mengetahui suatu proposisi, maka tiga kondisi berikut harus terpenuhi: (1) subjek mempercayai proposisi itu (belief), (2) proposisi tersebut benar (truth), dan (3) subjek memiliki justifikasi atau alasan yang cukup untuk mempercayainya (justification).¹

Konsep ini berasal dari pemikiran Plato, khususnya dalam Theaetetus, meskipun pada masa itu diskusi belum berkembang secara sistematis sebagaimana dalam filsafat modern.² Dengan demikian, belief dalam struktur tripartit bukan sekadar elemen tambahan, tetapi merupakan pilar pertama yang menjadi syarat minimal untuk memulai klaim pengetahuan. Tidak ada pengetahuan tanpa belief, karena seseorang tidak dapat dikatakan “mengetahui” apa yang tidak ia yakini.³

Namun, keberadaan belief saja belum mencukupi. Sebuah keyakinan yang keliru (false belief), atau yang benar secara kebetulan (lucky guess), tidak bisa dianggap sebagai pengetahuan. Oleh karena itu, belief harus dikaitkan dengan kebenaran proposisi dan pembenaran epistemik.⁴

4.1.       Peran Sentral Belief dalam Model JTB

Peran belief dalam model JTB dapat dilihat sebagai komponen psikologis dari pengetahuan. Ia merepresentasikan sikap mental subjek terhadap isi proposisi, dan menjadi syarat kehadiran aspek subjektif dalam epistemologi. Audi menegaskan bahwa “belief is the minimal doxastic attitude necessary for knowledge.”⁵ Artinya, tanpa adanya belief, proposisi tersebut tetap eksternal bagi subjek, meskipun proposisi itu benar dan bahkan terjustifikasi oleh bukti eksternal.

Contohnya, seorang siswa mungkin tidak mempercayai hasil jawaban ujiannya yang ternyata benar dan telah dibuktikan oleh guru. Secara objektif, proposisinya benar dan mungkin terjustifikasi oleh sistem penilaian, tetapi karena ia sendiri tidak meyakini hal itu, maka secara epistemologis ia tidak memiliki pengetahuan tersebut.

4.2.       Kritik terhadap Model Tripartit: Masalah Gettier

Model JTB mengalami tantangan serius sejak publikasi makalah Edmund Gettier tahun 1963 yang berjudul Is Justified True Belief Knowledge? Dalam makalah pendek tersebut, Gettier menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki belief yang benar dan terjustifikasi, tetapi tetap gagal memiliki pengetahuan karena adanya unsur kebetulan (epistemic luck).⁶

Salah satu ilustrasi Gettier yang terkenal adalah kasus seseorang yang percaya bahwa “orang yang akan mendapatkan pekerjaan adalah Smith,” karena ia memiliki bukti kuat untuk itu. Namun, tanpa diketahui Smith, ternyata orang yang mendapat pekerjaan adalah Jones—dan Jones juga, kebetulan, memiliki atribut yang disebutkan. Dengan demikian, proposisinya benar dan terjustifikasi, tetapi bukan karena dasar yang relevan. Hal ini menunjukkan bahwa belief yang benar dan terjustifikasi pun bisa gagal menjadi pengetahuan jika justifikasinya bersifat tidak kausal atau tidak reliabel.⁷

4.3.       Implikasi Gettier dan Reformulasi Teori Pengetahuan

Dampak dari problem Gettier adalah munculnya berbagai upaya untuk merevisi atau mengganti elemen JTB. Beberapa pendekatan yang muncul antara lain:

·                     Penambahan syarat keempat untuk menyingkirkan “kebetulan epistemik”.

·                     Reliabilisme, yang menekankan bahwa belief harus dihasilkan oleh proses kognitif yang dapat diandalkan.⁸

·                     Teori virtue epistemology, yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah belief yang benar yang muncul dari kebajikan intelektual subjek (seperti kejujuran atau kecermatan berpikir).⁹

Meski demikian, belief tetap dipertahankan sebagai elemen tak tergantikan dalam hampir semua teori pengetahuan modern. Bahkan pendekatan eksternalis sekalipun, seperti milik Alvin Goldman, tetap meletakkan belief sebagai output yang dinilai dari segi proses pembentukannya.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Dari sudut pandang epistemologi, belief bukan hanya kondisi psikologis netral, tetapi komponen esensial yang menautkan subjek dengan proposisi. Tanpa belief, pengetahuan menjadi tidak mungkin. Meski model JTB telah direvisi dan diperdebatkan, keyakinan tetap menjadi unsur utama dalam bangunan epistemik yang koheren dan bertanggung jawab secara filosofis.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 217–219.

[2]                Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, revised by Myles Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), sec. 201c–210d.

[3]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.

[4]                Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 22–23.

[5]                Audi, Epistemology, 218.

[6]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[7]                Keith Lehrer and Thomas Paxson, “Knowledge: Undefeated Justified True Belief,” Journal of Philosophy 66, no. 8 (1969): 225–237.

[8]                Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 113–117.

[9]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 270–273.

[10]             Goldman, Epistemology and Cognition, 103.


5.           Hubungan antara Belief dan Truth

Hubungan antara belief (keyakinan) dan truth (kebenaran) merupakan salah satu fondasi utama dalam epistemologi klasik maupun kontemporer. Keyakinan, sebagai sikap proposisional seseorang terhadap suatu pernyataan, menuntut suatu orientasi terhadap kebenaran; yaitu bahwa subjek yang meyakini suatu proposisi memperlakukannya sebagai benar.¹ Namun, dalam konteks epistemik, tidak semua keyakinan otomatis benar. Oleh karena itu, pertanyaan penting dalam filsafat pengetahuan adalah: Apa syarat agar keyakinan dapat dinilai sebagai benar, dan bagaimana keyakinan terkait dengan kebenaran secara normatif dan ontologis?

5.1.       Keyakinan sebagai Klaim terhadap Kebenaran

Pada tingkat dasar, belief menyiratkan klaim terhadap kebenaran. Ketika seseorang meyakini bahwa "bumi mengelilingi matahari", ia tidak sekadar menyatakan pendapat, tetapi juga menyatakan bahwa proposisi tersebut benar dalam pengertian korespondensi dengan realitas.² Pandangan ini selaras dengan teori korespondensi kebenaran (correspondence theory of truth), yang mengasumsikan bahwa suatu proposisi adalah benar jika dan hanya jika proposisi tersebut sesuai dengan fakta atau keadaan dunia.³ Dalam model ini, belief tidak menciptakan kebenaran, melainkan hanya mengklaim bahwa sesuatu adalah benar.

5.2.       Keyakinan yang Salah dan Potensi Kesesatan

Meskipun belief diarahkan kepada truth, kenyataannya banyak belief yang keliru atau menyesatkan. Sebuah belief bisa secara psikologis kuat—bahkan dipegang dengan keyakinan yang gigih—namun tetap salah secara faktual. Hal ini menunjukkan bahwa belief memiliki karakteristik fallibilistik: ia rentan terhadap kesalahan dan koreksi.⁴ Oleh karena itu, filsafat modern menekankan pentingnya justifikasi sebagai jembatan yang menghubungkan belief dengan truth, untuk meminimalkan kemungkinan epistemic error.

Richard Feldman mencatat bahwa suatu belief yang benar secara kebetulan, seperti tebakan dalam lotere yang ternyata tepat, tidak memiliki nilai epistemik yang sah karena tidak dibentuk oleh alasan atau proses yang dapat diandalkan.⁵ Ini menyoroti perbedaan antara belief yang kebetulan benar dan belief yang epistemically justified dan benar.

5.3.       Realisme vs Anti-Realisme dalam Relasi Belief–Truth

Terdapat pula perdebatan filosofis mengenai status ontologis kebenaran yang dihubungkan dengan belief. Dalam kubu realis epistemik, truth bersifat objektif dan independen dari kondisi mental subjek; belief yang benar adalah belief yang mencerminkan realitas sebagaimana adanya, terlepas dari apakah kita dapat mengetahuinya atau tidak.⁶ Sebaliknya, anti-realis atau konstruktivis epistemik berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi linguistik, sosial, atau konseptual, dan bahwa belief adalah benar sejauh ia koheren dalam suatu sistem atau disetujui secara intersubjektif.⁷

Pandangan anti-realis mengurangi tekanan terhadap belief untuk mencerminkan fakta eksternal, dan lebih menekankan peran konsensus, praktik diskursif, atau kegunaan pragmatis dari proposisi yang diyakini.

5.4.       Fallibilisme dan Konsekuensi Epistemologisnya

Pandangan modern tentang hubungan belief dan truth seringkali ditandai oleh fallibilisme, yaitu sikap epistemik yang mengakui kemungkinan salah dalam setiap keyakinan, tidak peduli seberapa meyakinkan atau didukung oleh bukti.⁸ Fallibilisme tidak menyangkal kemungkinan untuk mencapai pengetahuan, tetapi menuntut kerendahan epistemik (epistemic humility) dan keterbukaan terhadap koreksi dalam formasi belief.

Dalam kerangka ini, belief harus senantiasa dievaluasi berdasarkan keterbukaannya terhadap bukti baru, keberpihakan terhadap logika, dan keterlibatannya dalam diskursus yang rasional. Keyakinan yang tidak mau diuji ulang, meskipun benar, kehilangan nilainya sebagai entitas epistemik yang bertanggung jawab.


Kesimpulan Sementara

Hubungan antara keyakinan dan kebenaran bukanlah hubungan identik atau otomatis. Keyakinan dapat diarahkan pada kebenaran, tetapi memerlukan justifikasi dan evaluasi kritis untuk memiliki nilai epistemik yang sah. Dengan menyadari keterbatasan manusia dalam mengakses kebenaran secara sempurna, epistemologi mendorong pembentukan keyakinan yang terbuka terhadap koreksi, berbasis alasan, dan disiplin terhadap fakta.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 216–217.

[2]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.

[3]                Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Summer 2016 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/sum2016/entries/truth-correspondence/.

[4]                Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 32–34.

[5]                Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 26–27.

[6]                Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 1998), 96–98.

[7]                Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 49–52.

[8]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 231–232.


6.           Justifikasi atas Keyakinan

Jika belief adalah syarat minimal bagi pengetahuan, maka justifikasi adalah elemen yang menentukan validitas epistemiknya. Dalam kerangka teori tripartit pengetahuan (Justified True Belief), keyakinan yang benar belum cukup untuk disebut sebagai pengetahuan kecuali ia juga dibenarkan dengan cara tertentu.¹ Justifikasi menunjukkan bahwa subjek memiliki alasan yang memadai, sah, dan dapat dipertanggungjawabkan secara epistemik untuk mempercayai proposisi tersebut. Oleh karena itu, epistemolog kontemporer menganggap justifikasi sebagai filter epistemik antara opini yang sembarangan dan pengetahuan yang sah.

6.1.       Hakikat Justifikasi: Rasionalitas, Bukti, dan Alasan

Secara umum, justifikasi dapat dipahami sebagai rasionalitas atau kelayakan epistemik dari suatu belief.² Seorang individu dianggap memiliki belief yang terjustifikasi bila keyakinannya tidak hanya benar, tetapi juga berdasarkan alasan yang memadai—baik berupa bukti empiris, pengalaman langsung, intuisi rasional, ataupun inferensi logis.³ Justifikasi tidak selalu bersifat objektif atau mutlak, tetapi dapat bersifat contextualist, yakni tergantung pada kapasitas kognitif, kondisi informasi, dan standar epistemik yang berlaku dalam konteks tertentu.⁴

Contoh sederhana adalah keyakinan bahwa “langit berwarna biru.” Jika seseorang menyatakan keyakinan ini berdasarkan penglihatan langsung pada siang hari yang cerah, maka keyakinan tersebut terjustifikasi melalui persepsi inderawi. Sebaliknya, jika seseorang menyatakan keyakinan yang sama di malam hari tanpa pengamatan, maka justifikasinya diragukan.

6.2.       Teori-Teori Justifikasi: Foundationalism dan Coherentism

Dalam filsafat pengetahuan, terdapat dua pendekatan utama dalam menjelaskan struktur justifikasi: foundationalism dan coherentism.⁵

·                     Foundationalism berargumen bahwa terdapat keyakinan dasar (basic beliefs) yang tidak memerlukan pembenaran dari belief lain, misalnya persepsi langsung atau intuisi logis. Dari keyakinan dasar ini, belief-belief lain dibangun secara inferensial.⁶ Model ini menghindari regresi tak berujung dalam pembenaran (regress problem).

·                     Coherentism, sebaliknya, menolak adanya belief yang berdiri sendiri. Justifikasi bergantung pada koherensi suatu belief dengan keseluruhan sistem kepercayaan individu.⁷ Dalam pendekatan ini, sebuah belief dinilai sah jika ia konsisten, tidak kontradiktif, dan memperkuat sistem keyakinan yang dimiliki seseorang.

Kedua teori memiliki kelebihan dan kekurangan: foundationalism dinilai terlalu mengandalkan “privileged beliefs,” sementara coherentism rentan pada relativisme internal, yaitu sistem yang koheren secara internal tapi bisa sepenuhnya keliru terhadap dunia nyata.

6.3.       Reliabilisme: Proses Pembentukan yang Andal

Sebagai respons terhadap kritik terhadap teori internal, muncul pendekatan eksternalis seperti reliabilisme, yang menilai bahwa justifikasi tidak perlu selalu diakses atau disadari oleh subjek, tetapi cukup jika belief itu dibentuk oleh mekanisme kognitif yang andal (reliable cognitive process), seperti persepsi visual normal atau memori yang berfungsi baik.⁸

Menurut Alvin Goldman, keyakinan yang dihasilkan oleh proses yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi dalam menghasilkan kebenaran adalah belief yang terjustifikasi, bahkan jika subjek tidak mampu secara reflektif mengartikulasikan alasannya.⁹ Reliabilisme membuka jalan bagi penilaian keyakinan yang lebih inklusif dan realistis dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kondisi keterbatasan epistemik.

6.4.       Evidentialisme dan Virtue Epistemology

Teori evidentialisme, seperti dikembangkan oleh Earl Conee dan Richard Feldman, menyatakan bahwa belief hanya terjustifikasi jika sejalan dengan bukti yang dimiliki seseorang.¹⁰ Di sini, evidence memegang peran sentral dan subjektifitas diminimalkan. Sementara itu, pendekatan virtue epistemology, seperti yang dipelopori oleh Linda Zagzebski, melihat justifikasi sebagai hasil dari pelaksanaan kebajikan intelektual, seperti ketekunan berpikir, kejujuran intelektual, dan keberanian merevisi belief.¹¹

Pendekatan ini memperluas ranah justifikasi dari sekadar kondisi proposisional menjadi tindakan etis dan karakter epistemik subjek. Dengan demikian, epistemologi dan etika berpadu dalam menilai validitas belief.


Kesimpulan Sementara

Justifikasi atas keyakinan bukan hanya soal memiliki alasan, tetapi juga tentang bagaimana alasan itu dibentuk, oleh siapa, dan dalam kondisi epistemik seperti apa. Perbedaan antara teori internalisme, eksternalisme, dan kebajikan epistemik menunjukkan bahwa justifikasi adalah medan refleksi yang kompleks, namun krusial untuk mempertahankan integritas pengetahuan dalam masyarakat rasional.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 217.

[2]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.

[3]                Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 43.

[4]                Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder, CO: Westview Press, 2000), 57–58.

[5]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2009), 47–52.

[6]                Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology (Oxford: Blackwell, 1985), 56–58.

[7]                BonJour, Epistemology, 53–55.

[8]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 49–51.

[9]                Goldman, Epistemology and Cognition, 70.

[10]             Earl Conee and Richard Feldman, “Evidentialism,” Philosophical Studies 48, no. 1 (1985): 15–34.

[11]             Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 271–274.


7.           Model Psikologis dan Kognitif tentang Keyakinan

Meskipun epistemologi secara tradisional membahas keyakinan (belief) dalam kerangka normatif—apa yang seharusnya diyakini berdasarkan bukti atau alasan yang sah—perkembangan ilmu kognitif dan psikologi eksperimental membuka ruang untuk memahami bagaimana belief dibentuk, dipertahankan, dan berubah dalam praktik kehidupan manusia.¹ Dengan demikian, pendekatan psikologis dan kognitif terhadap belief tidak hanya memperkaya epistemologi dengan data empiris, tetapi juga memberikan pemahaman tentang keterbatasan dan kecenderungan manusiawi dalam proses kepercayaan.

7.1.       Pembentukan Keyakinan: Asimilasi dan Evaluasi Informasi

Dalam psikologi kognitif, belief dibentuk melalui proses asimilasi informasi dari lingkungan luar, baik melalui pengalaman langsung, otoritas sosial, maupun narasi budaya.² Proses ini melibatkan evaluasi kognitif, baik sadar maupun tidak sadar, yang menilai konsistensi antara informasi baru dengan skema mental yang sudah ada. Ketika informasi dianggap sesuai, ia lebih mudah diterima sebagai keyakinan; bila tidak, ia cenderung ditolak atau diabaikan.³

Daniel Kahneman, dalam karyanya Thinking, Fast and Slow, menunjukkan bahwa otak manusia cenderung menggunakan dua sistem berpikir: Sistem 1 yang cepat, intuitif, dan emosional, serta Sistem 2 yang lambat, reflektif, dan logis.⁴ Banyak keyakinan terbentuk melalui Sistem 1, tanpa proses evaluasi kritis, menjadikannya rentan terhadap bias dan kesalahan.

7.2.       Bias Kognitif dalam Pembentukan dan Pemeliharaan Belief

Salah satu kontribusi penting psikologi terhadap epistemologi adalah identifikasi bias kognitif yang secara sistematis memengaruhi pembentukan belief. Beberapa bias utama yang relevan antara lain:

·                     Confirmation bias: kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang mengonfirmasi keyakinan yang telah dimiliki, sekaligus mengabaikan informasi yang bertentangan.⁵

·                     Belief perseverance: kecenderungan untuk mempertahankan belief meskipun telah ada bukti kuat yang menentangnya.⁶

·                     Cognitive dissonance: ketegangan psikologis yang muncul ketika seseorang memegang dua keyakinan yang kontradiktif, atau ketika tindakan tidak sejalan dengan belief, yang sering diselesaikan dengan merasionalisasi belief lama daripada merevisinya.⁷

Ketiga pola ini menunjukkan bahwa belief bukanlah entitas statis yang terbentuk melalui penalaran objektif, tetapi juga merupakan hasil dari proses psikologis kompleks yang sering kali tidak disadari.

7.3.       Peran Emosi dan Afeksi dalam Pembentukan Keyakinan

Kajian kontemporer dalam psikologi afektif juga menyoroti peran emosi dalam pembentukan dan validasi belief. Jonathan Haidt, dalam The Righteous Mind, berpendapat bahwa banyak belief moral dan ideologis dibentuk secara intuitif melalui reaksi emosional, dan hanya kemudian dirasionalisasi oleh nalar.⁸ Dengan kata lain, reasoning sering kali digunakan bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk membenarkan intuisi yang telah terbentuk lebih dahulu.

Implikasi dari temuan ini adalah bahwa proses belief formation sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan afektif, termasuk identitas kelompok, pengalaman emosional, dan narasi kultural. Hal ini menantang asumsi dalam epistemologi klasik bahwa belief dibentuk secara rasional berdasarkan bukti.

7.4.       Kontribusi Psikologi terhadap Epistemologi Normatif

Meskipun ilmu kognitif dan psikologi fokus pada deskripsi bagaimana belief terbentuk, temuan-temuan ini tetap memiliki implikasi normatif. Misalnya, kesadaran akan bias kognitif dapat membantu membangun epistemologi yang lebih reflektif dan virtue-based, yaitu menekankan pentingnya kebajikan intelektual seperti kehati-hatian, keterbukaan, dan kerendahan epistemik.⁹

Beberapa epistemolog kontemporer bahkan menyerukan integrasi antara psikologi dan filsafat, agar teori pengetahuan tidak terjebak dalam idealisasi yang mengabaikan kenyataan psikologis manusia. Epistemologi semestinya bukan hanya menetapkan standar rasionalitas, tetapi juga memperhitungkan keterbatasan dan potensi manusiawi dalam membentuk dan mempertahankan belief.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Model psikologis dan kognitif tentang keyakinan menunjukkan bahwa belief tidak hanya dibentuk oleh rasio dan bukti, tetapi juga oleh intuisi, emosi, dan dinamika sosial. Dengan demikian, untuk membangun epistemologi yang utuh, diperlukan pemahaman interdisipliner yang mempertemukan filsafat normatif dan ilmu kognitif deskriptif.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 245–247.

[2]                Susan Fiske and Shelley Taylor, Social Cognition, 2nd ed. (New York: McGraw-Hill, 1991), 67–69.

[3]                Keith E. Stanovich, What Intelligence Tests Miss: The Psychology of Rational Thought (New Haven: Yale University Press, 2009), 31–33.

[4]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 19–21.

[5]                Raymond S. Nickerson, “Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises,” Review of General Psychology 2, no. 2 (1998): 175–220.

[6]                Lee Ross, Mark R. Lepper, and Michael Hubbard, “Perseverance in Self-Perception and Social Perception: Biased Attributional Processes in the Debriefing Paradigm,” Journal of Personality and Social Psychology 32, no. 5 (1975): 880–892.

[7]                Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Stanford: Stanford University Press, 1957), 3–6.

[8]                Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 42–45.

[9]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 223–225.

[10]             James Montmarquet, Epistemic Virtue and Doxastic Responsibility (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1993), 12–14.


8.           Tantangan Filosofis terhadap Konsep Belief

Meskipun belief telah lama diakui sebagai komponen fundamental dalam struktur pengetahuan, berbagai tantangan filosofis terus mempertanyakan validitas, batas, dan kecukupan epistemik dari konsep keyakinan itu sendiri. Tantangan-tantangan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi menyentuh pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu secara benar dalam dunia yang penuh ketidakpastian, keterbatasan kognitif, dan kemungkinan kekeliruan.¹

8.1.       Masalah Gettier dan Krisis Model Justified True Belief

Tantangan paling terkenal terhadap posisi belief dalam epistemologi muncul dari masalah Gettier. Dalam makalah singkat tahun 1963, Edmund Gettier menunjukkan bahwa seseorang bisa memiliki belief yang benar dan terjustifikasi tetapi tetap gagal memiliki pengetahuan karena adanya unsur kebetulan atau ketidaksesuaian kausal.² Dalam contoh Gettier, seseorang memiliki alasan kuat untuk mempercayai suatu proposisi yang ternyata benar, tetapi dengan dasar yang salah atau tidak relevan.

Masalah ini mengguncang konsensus epistemologis tentang model Justified True Belief (JTB) dan menimbulkan pertanyaan apakah belief yang benar dan terjustifikasi cukup untuk disebut sebagai pengetahuan.³ Sejak itu, banyak teori pengetahuan mencoba menambahkan syarat keempat (seperti reliabilitas, hubungan kausal, atau virtue epistemik) untuk menyingkirkan keberuntungan epistemik (epistemic luck).

8.2.       Epistemic Luck dan Ketidakpastian Kognitif

Epistemic luck mengacu pada situasi di mana seseorang memiliki belief yang benar, namun secara kebetulan atau tanpa alasan yang tepat.⁴ Ini menimbulkan masalah serius karena memperlihatkan adanya celah antara keyakinan yang secara faktual benar dan keyakinan yang layak disebut pengetahuan. Bahkan dalam kondisi terbaik pun, manusia tetap rentan terhadap kesalahan persepsi, distorsi memori, atau inferensi yang tidak valid.

Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut: apakah mungkin memiliki keyakinan yang benar-benar aman dari kekeliruan? Skeptisisme radikal, sebagaimana dipaparkan oleh René Descartes dan diteruskan dalam bentuk kontemporer oleh Barry Stroud dan Peter Unger, menyangsikan kemungkinan dasar yang kokoh bagi belief yang tidak dapat dipertanyakan.⁵

8.3.       Masalah Aksesibilitas Internal dan Eksternalisme Epistemik

Perdebatan antara internalisme dan eksternalisme epistemik juga menjadi tantangan filosofis terhadap belief. Internalisme menuntut agar alasan pembenaran atas belief harus tersedia dalam kesadaran reflektif subjek, sedangkan eksternalisme menyatakan bahwa yang penting adalah kondisi objektif atau proses pembentukan belief yang andal.⁶

Pertanyaan yang muncul adalah: jika seseorang tidak tahu bahwa ia memiliki alasan yang sah, apakah belief-nya tetap sahih secara epistemik? Misalnya, seseorang yang memiliki persepsi visual yang akurat tetapi tidak tahu bahwa kondisi cahaya mendukung penglihatan yang benar, tetap dapat memiliki belief yang benar dan reliabel menurut eksternalisme, namun mungkin tidak terjustifikasi menurut internalisme.⁷

8.4.       Doxastic Voluntarism dan Masalah Kehendak atas Keyakinan

Tantangan lain datang dari diskusi mengenai doxastic voluntarism, yaitu apakah manusia dapat memilih untuk mempercayai suatu proposisi atau tidak. Banyak filsuf berargumen bahwa belief bukanlah entitas yang tunduk pada kehendak bebas seperti keputusan atau tindakan.⁸ Jika demikian, bagaimana seseorang dapat dimintai tanggung jawab epistemik atas belief-nya?

William Clifford, dalam esainya yang terkenal The Ethics of Belief, menyatakan bahwa mempercayai sesuatu tanpa cukup bukti adalah tindakan yang secara moral keliru.⁹ Namun jika belief tidak sepenuhnya berada dalam kendali kehendak, maka tuntutan etis semacam itu menjadi problematis. Ini menyentuh ranah etika epistemik dan hubungan antara tanggung jawab moral dan status belief seseorang.

8.5.       Tantangan Kontekstual dan Relativisme Epistemik

Dalam lingkungan pluralistik dan pascamodern, belief juga menghadapi tantangan relativistik. Kontekstualisme epistemik menyatakan bahwa apakah suatu belief terjustifikasi atau tidak tergantung pada konteks praktis dan sosial dari subjek.¹⁰ Ini membuka ruang untuk toleransi terhadap berbagai standar rasionalitas, tetapi juga berisiko mengikis objektivitas dan membuka jalan bagi relativisme ekstrem di mana setiap belief dianggap “benar menurut versinya sendiri”.


Kesimpulan Sementara

Berbagai tantangan filosofis terhadap belief menunjukkan bahwa meskipun belief tetap merupakan unsur dasar dalam teori pengetahuan, ia tidak lepas dari kompleksitas logis, psikologis, dan etis. Masalah Gettier, epistemic luck, perdebatan internal-eksternal, serta dinamika kehendak dan tanggung jawab epistemik menjadi medan kritis yang menuntut pengembangan konsep belief yang lebih matang dan interdisipliner. Ke depan, epistemologi perlu menyeimbangkan ideal rasionalitas dengan realitas kognitif dan pluralitas pandangan manusia.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 248–251.

[2]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[3]                Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall, 2003), 25–27.

[4]                Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Oxford University Press, 2005), 4–6.

[5]                Barry Stroud, The Significance of Philosophical Scepticism (Oxford: Oxford University Press, 1984), 41–45.

[6]                Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 99–103.

[7]                Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2009), 115–117.

[8]                Louis Pojman, “Believing and Willing,” American Philosophical Quarterly 22, no. 2 (1985): 97–106.

[9]                William K. Clifford, “The Ethics of Belief,” in Lectures and Essays (London: Macmillan, 1879), 346–347.

[10]             Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical Issues 10 (2000): 94–105.


9.           Aplikasi dan Implikasi Praktis Konsep Keyakinan

Konsep belief (keyakinan) dalam epistemologi bukanlah sekadar konstruksi teoritis yang terbatas pada ruang lingkup akademik. Keyakinan memiliki pengaruh yang sangat luas dan mendalam dalam kehidupan praktis, mencakup berbagai ranah seperti pengambilan keputusan, tindakan moral, pendidikan, politik, serta perdebatan sosial dan keagamaan.¹ Dengan kata lain, apa yang kita percayai membentuk cara kita bertindak, bagaimana kita menilai orang lain, dan apa yang kita anggap sebagai kenyataan.

9.1.       Keyakinan dan Pengambilan Keputusan

Dalam filsafat tindakan dan teori keputusan, belief merupakan komponen kognitif yang berinteraksi dengan keinginan (desire) untuk menghasilkan tindakan.² Model instrumental dari tindakan menyatakan bahwa agen bertindak berdasarkan apa yang ia inginkan dan apa yang ia yakini sebagai cara terbaik untuk mencapai keinginannya.³ Oleh karena itu, keyakinan yang salah (misalnya, mempercayai informasi yang tidak benar) dapat menghasilkan tindakan yang tidak rasional, bahkan berbahaya, meskipun motivasinya sah.

Contohnya, dalam konteks kesehatan publik, keyakinan keliru tentang vaksin dapat menyebabkan penolakan vaksinasi, yang berdampak pada penyebaran penyakit menular. Ini menunjukkan bahwa belief bukan sekadar urusan pribadi, melainkan memiliki dampak sosial dan kebijakan yang signifikan.⁴

9.2.       Etika Keyakinan dan Tanggung Jawab Epistemik

Pertanyaan etis yang penting adalah: apakah kita bertanggung jawab atas apa yang kita yakini? William K. Clifford menjawab dengan tegas bahwa mempercayai sesuatu tanpa bukti yang memadai adalah tindakan yang secara moral salah, karena belief akan memengaruhi tindakan dan berdampak pada orang lain.⁵ Pandangan ini menempatkan kewajiban epistemik pada setiap individu untuk membentuk keyakinan secara hati-hati dan berdasar bukti.

Di sisi lain, filsuf seperti William James berpendapat bahwa dalam beberapa konteks—misalnya agama atau pilihan eksistensial—berhak mempercayai sesuatu tanpa bukti konklusif, selama belief itu memenuhi kebutuhan praktis atau eksistensial yang mendalam.⁶ Perdebatan ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara tanggung jawab rasional dan hak kebebasan keyakinan dalam kehidupan bermasyarakat.

9.3.       Keyakinan dan Pendidikan: Mendorong Epistemic Virtue

Dalam dunia pendidikan, belief memiliki implikasi langsung terhadap pembentukan karakter intelektual. Tujuan pendidikan bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk cara berpikir, yaitu bagaimana siswa menilai informasi, membentuk opini, dan mempertanggungjawabkan keyakinannya.⁷ Linda Zagzebski menekankan pentingnya virtue epistemology dalam membina kebajikan intelektual seperti ketekunan berpikir, keterbukaan terhadap bukti, dan kesediaan mengakui kesalahan.⁸

Implikasinya, pendidikan tidak cukup hanya mengajarkan fakta, tetapi harus mendorong siswa untuk percaya dengan cara yang benar (justified belief), termasuk kemampuan menilai kredibilitas sumber, menghindari bias, dan terbuka terhadap revisi belief.

9.4.       Keyakinan dalam Era Disinformasi dan Post-Truth

Di era digital, di mana informasi tersebar cepat namun tidak selalu diverifikasi, belief menjadi titik kritis dalam memelihara kehidupan publik yang rasional. Munculnya fenomena post-truth, di mana emosi dan opini pribadi lebih memengaruhi kepercayaan publik dibanding fakta objektif, menantang prinsip dasar epistemologi.⁹

Krisis ini memunculkan kebutuhan akan kewaspadaan epistemik (epistemic vigilance), yaitu kemampuan untuk secara aktif memverifikasi informasi, menilai sumber, dan menahan diri dari membentuk keyakinan secara prematur.¹⁰ Dalam konteks ini, membangun masyarakat yang memiliki kesadaran epistemik menjadi prioritas kebijakan dan pendidikan.

9.5.       Keyakinan dan Dialog Antariman

Dalam ranah keagamaan, belief bukan hanya orientasi terhadap proposisi metafisik, tetapi juga dasar identitas, motivasi moral, dan solidaritas sosial. Namun pluralitas belief juga dapat menjadi sumber konflik jika tidak disikapi dengan pendekatan epistemik yang inklusif dan dialogis.¹¹ Oleh karena itu, pengembangan epistemologi lintas budaya dan agama menjadi relevan untuk membangun dialog yang menghormati perbedaan keyakinan, tanpa merelativisasi klaim kebenaran sepenuhnya.


Kesimpulan Sementara

Aplikasi dan implikasi praktis dari konsep belief memperlihatkan bahwa epistemologi bukan sekadar filsafat abstrak, melainkan fondasi kehidupan rasional, etis, dan sosial. Dari pengambilan keputusan hingga pendidikan dan kehidupan publik, kualitas belief menentukan kualitas peradaban. Maka, membentuk belief yang bertanggung jawab adalah tugas epistemik sekaligus tugas moral.


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 248.

[2]                Michael Bratman, Intention, Plans, and Practical Reason (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 3–5.

[3]                Donald Davidson, “Actions, Reasons, and Causes,” Journal of Philosophy 60, no. 23 (1963): 685–700.

[4]                Heidi Larson, Stuck: How Vaccine Rumors Start—and Why They Don't Go Away (New York: Oxford University Press, 2020), 11–13.

[5]                William K. Clifford, “The Ethics of Belief,” in Lectures and Essays (London: Macmillan, 1879), 346–347.

[6]                William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular Philosophy (New York: Longmans, Green, and Co., 1897), 1–31.

[7]                Harvey Siegel, Relativism Refuted: A Critique of Contemporary Epistemological Relativism (Dordrecht: D. Reidel, 1987), 88–90.

[8]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 203–210.

[9]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 5–7.

[10]             Dan Sperber et al., “Epistemic Vigilance,” Mind & Language 25, no. 4 (2010): 359–393.

[11]             Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 345–350.


10.       Kesimpulan

Keyakinan (belief) menempati posisi yang sangat sentral dalam epistemologi sebagai syarat minimal yang harus dimiliki oleh setiap klaim pengetahuan. Ia bukan hanya entitas mental yang bersifat pribadi, melainkan komponen epistemik yang membuka jalan bagi pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut tentang kebenaran (truth) dan pembenaran (justification).¹ Dalam model klasik Justified True Belief (JTB), belief menjadi fondasi pertama sebelum kebenaran dan justifikasi dapat diverifikasi secara epistemik.² Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai tantangan filosofis seperti masalah Gettier dan epistemic luck, belief tidak cukup untuk menjamin status pengetahuan tanpa mekanisme pembenaran yang dapat diandalkan dan koheren.³

Konsep belief juga mengalami pelebaran makna melalui pendekatan psikologis dan kognitif yang mengungkap kompleksitas cara manusia membentuk, mempertahankan, dan merevisi keyakinan.⁴ Proses belief formation ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor afektif, intuisi, dan dinamika sosial yang kerap mengaburkan batas antara rasionalitas dan bias kognitif. Penemuan-penemuan ini memberi pelajaran penting bahwa manusia bukan hanya agen epistemik rasional, tetapi juga entitas yang rentan terhadap kekeliruan sistematis dalam membentuk belief.⁵

Lebih jauh, dalam kerangka praktis, belief memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari pengambilan keputusan, tindakan moral, hingga sikap sosial dan politik.⁶ Keyakinan bukan hanya tentang “apa yang kita pikirkan benar”, tetapi juga tentang “bagaimana kita bertindak berdasarkan itu”. Oleh karena itu, kualitas belief dalam suatu komunitas menentukan kualitas rasionalitas publik, kebijakan kolektif, dan ketahanan moral masyarakat. Dalam konteks ini, epistemologi tidak dapat lagi dipisahkan dari etika, pendidikan, dan bahkan kebijakan publik.⁷

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa membina keyakinan yang benar, terjustifikasi, dan terbuka terhadap koreksi bukan hanya sebuah kebutuhan filosofis, tetapi juga kewajiban etis dan sosial. Dunia pasca-kebenaran menuntut kita untuk menumbuhkan kesadaran epistemik yang kritis, empatik, dan bertanggung jawab, baik dalam ruang privat maupun ruang publik. Untuk itu, epistemologi kontemporer perlu terus menjembatani diskursus normatif dan deskriptif, antara apa yang seharusnya dipercaya dan bagaimana manusia pada kenyataannya percaya.⁸


Footnotes

[1]                Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 206–207.

[2]                Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.

[3]                Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23, no. 6 (1963): 121–123.

[4]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 45–49.

[5]                Raymond S. Nickerson, “Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises,” Review of General Psychology 2, no. 2 (1998): 175–220.

[6]                William K. Clifford, “The Ethics of Belief,” in Lectures and Essays (London: Macmillan, 1879), 346–347.

[7]                Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 223–230.

[8]                James Montmarquet, Epistemic Virtue and Doxastic Responsibility (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1993), 12–14.


Daftar Pustaka

Audi, R. (2010). Epistemology: A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.). Routledge.

BonJour, L. (2009). Epistemology: Classic problems and contemporary responses (2nd ed.). Rowman & Littlefield.

Bratman, M. (1987). Intention, plans, and practical reason. Harvard University Press.

Clifford, W. K. (1879). The ethics of belief. In Lectures and essays (pp. 346–347). Macmillan.

Cohen, S. (2000). Contextualism and skepticism. Philosophical Issues, 10, 94–105.

Conee, E., & Feldman, R. (1985). Evidentialism. Philosophical Studies, 48(1), 15–34.

David, M. (2016). The correspondence theory of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Summer 2016 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/archives/sum2016/entries/truth-correspondence/

Dancy, J. (1985). Introduction to contemporary epistemology. Blackwell.

Davidson, D. (1963). Actions, reasons, and causes. The Journal of Philosophy, 60(23), 685–700.

Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford University Press.

Feldman, R. (2003). Epistemology (2nd ed.). Prentice Hall.

Fiske, S. T., & Taylor, S. E. (1991). Social cognition (2nd ed.). McGraw-Hill.

Gettier, E. (1963). Is justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.

Goldman, A. I. (1986). Epistemology and cognition. Harvard University Press.

Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. Pantheon Books.

Horwich, P. (1998). Truth (2nd ed.). Clarendon Press.

James, W. (1897). The will to believe and other essays in popular philosophy. Longmans, Green, and Co.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Larson, H. (2020). Stuck: How vaccine rumors start—and why they don't go away. Oxford University Press.

Lehrer, K. (2000). Theory of knowledge (2nd ed.). Westview Press.

Lehrer, K., & Paxson, T. (1969). Knowledge: Undefeated justified true belief. The Journal of Philosophy, 66(8), 225–237.

MacIntyre, A. (1988). Whose justice? Which rationality? University of Notre Dame Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Montmarquet, J. (1993). Epistemic virtue and doxastic responsibility. Rowman & Littlefield.

Nickerson, R. S. (1998). Confirmation bias: A ubiquitous phenomenon in many guises. Review of General Psychology, 2(2), 175–220.

Pojman, L. (1985). Believing and willing. American Philosophical Quarterly, 22(2), 97–106.

Pritchard, D. (2005). Epistemic luck. Oxford University Press.

Putnam, H. (1981). Reason, truth and history. Cambridge University Press.

Ross, L., Lepper, M. R., & Hubbard, M. (1975). Perseverance in self-perception and social perception: Biased attributional processes in the debriefing paradigm. Journal of Personality and Social Psychology, 32(5), 880–892.

Siegel, H. (1987). Relativism refuted: A critique of contemporary epistemological relativism. D. Reidel.

Sperber, D., Clément, F., Heintz, C., Mascaro, O., Mercier, H., Origgi, G., & Wilson, D. (2010). Epistemic vigilance. Mind & Language, 25(4), 359–393.

Stanovich, K. E. (2009). What intelligence tests miss: The psychology of rational thought. Yale University Press.

Steup, M. (2018). Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2018 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/

Stroud, B. (1984). The significance of philosophical scepticism. Oxford University Press.

Zagzebski, L. (1996). Virtues of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations of knowledge. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar