Keyakinan (Belief)
Fondasi Pengetahuan, Validitas Kognitif, dan Tantangan
Filosofis
Alihkan ke: Epistemologi.
Hubungan
antara Justification, Truth, dan Belief.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara
komprehensif konsep keyakinan (belief) dalam epistemologi
sebagai salah satu pilar utama dalam struktur pengetahuan. Dimulai dari
definisi dan karakteristik belief sebagai sikap proposisional terhadap
kebenaran, pembahasan ini menelusuri berbagai tipologi belief, perannya dalam
model Justified True Belief (JTB), serta kritik filosofis seperti
masalah Gettier dan epistemic luck. Pendekatan interdisipliner
digunakan untuk memperluas pemahaman tentang belief melalui temuan dalam
psikologi kognitif, termasuk pengaruh bias kognitif, emosi, dan dinamika sosial
dalam proses pembentukan keyakinan. Selanjutnya, artikel ini menganalisis
hubungan belief dengan kebenaran, model-model justifikasi, serta implikasi
praktisnya dalam bidang pengambilan keputusan, etika epistemik, pendidikan, dan
masyarakat digital. Di tengah krisis disinformasi dan relativisme kontemporer,
belief ditunjukkan bukan hanya sebagai kondisi kognitif, melainkan juga sebagai
entitas etis dan sosial yang menentukan kualitas nalar publik. Dengan demikian,
pembentukan belief yang benar, terjustifikasi, dan bertanggung jawab menjadi
agenda epistemik sekaligus moral dalam kehidupan modern.
Kata Kunci: Epistemologi;
keyakinan; pembenaran; kebenaran; Gettier; bias kognitif; etika epistemik;
post-truth; virtue epistemology.
PEMBAHASAN
Keyakinan (Belief) dalam Epistemologi
1.
Pendahuluan
Dalam kerangka epistemologi
sebagai studi filsafat tentang pengetahuan, keyakinan (belief) menempati posisi
fundamental sebagai salah satu unsur pembentuk struktur pengetahuan. Setiap
klaim pengetahuan secara minimal mengandaikan bahwa seseorang percaya terhadap
suatu proposisi, yakni bahwa “p” adalah benar. Dengan kata lain, seseorang
tidak dapat dikatakan mengetahui sesuatu jika ia tidak mempercayai kebenaran
proposisi tersebut.¹ Tanpa belief, pengetahuan akan kehilangan elemen
subjektifnya dan berubah menjadi sekadar data atau informasi yang tak
terinternalisasi oleh subjek epistemik.
Keyakinan dalam epistemologi
secara umum dipahami sebagai sikap proposisional (propositional
attitude), yaitu sikap mental seseorang terhadap suatu pernyataan yang
ia terima sebagai benar.² Misalnya, ketika seseorang meyakini bahwa “air
mendidih pada 100 derajat Celsius,” maka individu tersebut sedang mengambil
sikap kognitif terhadap proposisi tersebut, yang baginya bernilai benar.
Definisi ini membedakan keyakinan dari bentuk-bentuk sikap mental lainnya
seperti harapan, keinginan, atau dugaan, yang tidak selalu melibatkan klaim
kebenaran yang tegas.³
Kebutuhan untuk memahami
nature dari keyakinan menjadi semakin penting dalam era kontemporer ketika arus
informasi yang masif tidak selalu disertai dengan justifikasi epistemik yang
memadai. Hal ini melahirkan tantangan-tantangan serius bagi ranah publik maupun
privat, khususnya dalam membedakan antara keyakinan yang sahih (justified
belief) dan keyakinan yang salah arah (misleading or unjustified belief). Dalam
hal ini, epistemologi tidak hanya menjadi wacana teoritis semata, tetapi juga
menjadi alat untuk mempertajam kecermatan berpikir dan penilaian kritis
terhadap berbagai klaim pengetahuan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari.⁴
Lebih jauh, pembahasan
tentang belief menjadi titik masuk bagi diskusi yang lebih luas tentang struktur
pengetahuan, standar kebenaran, dan kriteria
justifikasi, tiga pilar utama dalam epistemologi. Tidak mengherankan
jika filsuf-filsuf besar seperti Plato, Descartes, hingga tokoh modern seperti
Alvin Plantinga dan Robert Audi menempatkan belief sebagai salah satu pokok
persoalan dalam setiap pengembangan teori pengetahuan mereka.⁵ Artikel ini akan
menelaah konsep keyakinan dari berbagai dimensi: dari definisi dan tipologinya,
peran belief dalam struktur Justified True Belief (JTB), kritik terhadap
model klasik, hingga tantangan kontemporer seperti bias kognitif, epistemic
luck, dan krisis disinformasi.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 206.
[2]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.
[3]
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Justification and
Knowledge, ed. George S. Pappas (Dordrecht: D. Reidel, 1979), 1–23.
[4]
Linda Zagzebski, Epistemic Authority: A Theory of Trust, Authority,
and Autonomy in Belief (New York: Oxford University Press, 2012), 3–5.
[5]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2000), 24–26.
2.
Definisi dan Karakteristik Keyakinan (Belief)
Dalam epistemologi, belief
atau keyakinan merujuk pada sikap mental yang mengafirmasi suatu
proposisi sebagai benar. Artinya, ketika seseorang memiliki keyakinan bahwa
"salju itu putih", ia menerima proposisi tersebut sebagai
kebenaran. Filsuf kontemporer menyebut ini sebagai sikap proposisional
(propositional attitude), yaitu relasi mental subjek terhadap isi
proposisi tertentu.¹ Keyakinan, dalam bentuk inilah, menjadi prasyarat minimal
dari apa yang kita sebut sebagai "mengetahui" (knowing). Tidak ada
pengetahuan tanpa adanya belief, meskipun tidak semua belief dapat disebut
sebagai pengetahuan.²
Definisi ini mencerminkan
perbedaan belief dengan bentuk sikap mental lain yang mungkin juga diarahkan
pada proposisi, seperti harapan (hope), keraguan (doubt), atau keinginan
(wish). Misalnya, berharap bahwa “akan turun hujan” bukanlah percaya
bahwa “akan turun hujan”. Keyakinan menuntut komitmen terhadap kebenaran
proposisi, sementara sikap mental lainnya bersifat afektif atau spekulatif.³
Dalam pengertian ini, belief bersifat doksastik (berhubungan
dengan opini atau penilaian kognitif), yang membedakannya dari sikap
non-doksastik.
Karakteristik penting dari
keyakinan adalah bahwa ia bersifat dapat bernilai benar atau salah
(truth-apt). Artinya, setiap keyakinan memiliki potensi untuk
dikoreksi oleh realitas atau bukti, karena belief adalah klaim terhadap
kebenaran dunia.⁴ Hal ini menjadikan belief sebagai entitas epistemik yang
dapat dievaluasi dan diukur berdasarkan standar rasionalitas, koherensi, serta
justifikasi. Seorang epistemolog tidak sekadar tertarik apakah seseorang
meyakini sesuatu, tetapi apakah keyakinan itu rasional, berdasar, dan
sesuai dengan fakta.
Selain itu, belief dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Pertama, keyakinan eksplisit
dan implisit, tergantung pada tingkat kesadaran subjek
terhadap keyakinannya. Kita mungkin memiliki keyakinan eksplisit bahwa "matahari
terbit di timur", tetapi juga memegang banyak keyakinan implisit
(misalnya, tentang hukum logika) yang tidak selalu disadari tetapi digunakan
dalam penalaran sehari-hari.⁵ Kedua, terdapat keyakinan dasar
(basic beliefs) yang tidak disimpulkan dari keyakinan lain, seperti
persepsi langsung ("saya melihat cahaya sekarang"), dan keyakinan
non-dasar (non-basic beliefs) yang diturunkan secara
inferensial dari keyakinan lain.⁶
Lebih jauh, belief memiliki
dimensi psikologis dan normatif. Secara
psikologis, belief berkaitan dengan keadaan mental dan disposisi kognitif
individu. Namun dalam epistemologi, aspek normatif menjadi penting karena
belief harus tunduk pada standar evaluatif, misalnya: apakah belief itu masuk
akal, apakah ia didukung oleh bukti, dan apakah ia dibentuk melalui cara yang
andal (reliable).⁷ Dengan demikian, keyakinan bukan hanya fakta mental, tetapi
juga objek evaluasi epistemik.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 206–209.
[2]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.
[3]
Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall, 2003), 19–20.
[4]
Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 15.
[5]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford
University Press, 2000), 95–97.
[6]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2009), 38–41.
[7]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 232.
3.
Tipologi dan Klasifikasi Keyakinan
Dalam epistemologi,
membedakan jenis-jenis keyakinan merupakan langkah awal yang penting untuk
memahami bagaimana belief berfungsi dalam kerangka pengetahuan. Keyakinan
tidaklah bersifat seragam; ia hadir dalam beragam bentuk, baik berdasarkan
status epistemiknya, cara pembentukannya, maupun relasi logisnya terhadap
keyakinan lain. Klasifikasi ini membantu para epistemolog untuk menguji
validitas dan reliabilitas belief secara lebih terstruktur.
3.1.
Keyakinan Benar dan Salah (True vs. False
Beliefs)
Klasifikasi paling mendasar
dari belief adalah menurut nilai kebenarannya. Keyakinan bisa benar
(true belief) jika proposisi yang diyakini sesuai dengan realitas atau
fakta, dan salah (false belief) jika tidak sesuai.¹ Namun,
epistemologi tidak cukup hanya dengan membedakan antara belief yang benar dan
yang salah; pertanyaan penting adalah "apa yang membuat suatu keyakinan
benar, dan apakah subjek epistemik memiliki akses yang memadai untuk
menjustifikasinya?"_²
3.2.
Keyakinan Eksplisit dan Implisit
Keyakinan juga dapat
dibedakan berdasarkan kesadaran subjek terhadap isinya. Keyakinan
eksplisit adalah belief yang diakui secara sadar, seperti ketika
seseorang mengatakan, "Saya percaya bahwa semua manusia akan mati."
Sebaliknya, keyakinan implisit adalah belief yang tidak selalu
hadir dalam kesadaran aktif tetapi tercermin dalam tindakan atau penalaran
seseorang.³ Sebagai contoh, seseorang mungkin tidak pernah menyatakan secara
eksplisit bahwa "api membakar", tetapi perilakunya saat
menjauh dari api mencerminkan keyakinan implisit tersebut.
3.3.
Keyakinan Dasar dan Non-Dasar (Basic vs.
Non-Basic Beliefs)
Dalam perdebatan klasik
antara foundationalism dan coherentism,
keyakinan dasar (basic belief) adalah belief yang tidak diperoleh dari
keyakinan lain, tetapi berdiri sendiri, biasanya bersumber dari pengalaman
langsung, intuisi, atau persepsi indrawi.⁴ Sebaliknya, non-basic
beliefs atau derived beliefs merupakan keyakinan yang
didasarkan pada inferensi dari belief lain. Contoh basic belief adalah “Saya
sedang merasa sakit”, sementara keyakinan bahwa “Saya mungkin demam
karena cuaca dingin” merupakan non-basic belief.
Menurut foundationalism,
seluruh sistem pengetahuan harus berpijak pada belief-belief dasar yang kuat,
sedangkan coherentism menolak adanya belief yang bersifat mandiri, dan menilai
validitas belief berdasarkan koherensinya dalam suatu sistem kepercayaan secara
keseluruhan.⁵
3.4.
Keyakinan Internal dan Eksternal (Internalist
vs. Externalist Construals of Belief)
Perdebatan lebih lanjut
muncul antara pendekatan internalisme epistemik dan eksternalisme
epistemik dalam memahami belief. Internalisme menekankan bahwa agar
suatu keyakinan sah disebut sebagai pengetahuan, subjek harus memiliki akses
sadar terhadap alasan-alasan yang membenarkan belief tersebut.⁶
Sebaliknya, eksternalisme menilai bahwa yang penting adalah proses
pembentukan keyakinan tersebut, apakah melalui mekanisme yang dapat
diandalkan secara eksternal (misalnya persepsi yang tidak keliru), meskipun
subjek tidak mampu menjelaskan alasannya.⁷
Kedua pendekatan ini
memunculkan konsekuensi berbeda dalam mengevaluasi jenis-jenis belief yang dianggap
sahih, terutama dalam konteks pengetahuan implisit, intuisi, dan keyakinan
keagamaan.
3.5.
Keyakinan Praktis dan Teoretis (Practical vs.
Theoretical Beliefs)
Distingsi lain yang relevan
adalah antara keyakinan teoretis, yang diarahkan untuk mengetahui
kebenaran sesuatu (“Langit berwarna biru”), dan keyakinan
praktis, yang berfungsi sebagai dasar tindakan (“Saya percaya bahwa
saya bisa menyelesaikan ujian ini”).⁸ Dalam filsafat tindakan, belief
praktis sering dikaitkan dengan motivasi dan kehendak, dan dapat membentuk
dasar dari keputusan moral maupun strategis.
Kesimpulan Sementara
Tipologi belief sebagaimana
dijabarkan di atas menunjukkan kompleksitas struktur mental manusia dalam
menerima dan menyikapi proposisi. Pemahaman atas klasifikasi ini tidak hanya
penting dalam tataran teoretis, tetapi juga berdampak langsung terhadap
pengembangan metode pembelajaran, pengambilan keputusan, hingga penilaian
rasionalitas publik dalam konteks demokrasi informasi.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 30–32.
[2]
Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 17.
[3]
Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall, 2003), 21.
[4]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2009), 43–45.
[5]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2000), 38–39.
[6]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.
[7]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 105.
[8]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 233–234.
4.
Belief dalam Struktur Pengetahuan (Tripartite
Theory)
Dalam diskursus epistemologi
klasik, pengetahuan (knowledge) secara tradisional dirumuskan sebagai keyakinan
yang benar dan terjustifikasi (justified true belief atau
JTB). Model ini dikenal sebagai teori tripartit pengetahuan,
yang menyatakan bahwa agar suatu subjek benar-benar mengetahui suatu
proposisi, maka tiga kondisi berikut harus terpenuhi: (1) subjek mempercayai
proposisi itu (belief), (2) proposisi tersebut benar (truth),
dan (3) subjek memiliki justifikasi atau alasan yang cukup
untuk mempercayainya (justification).¹
Konsep ini berasal dari
pemikiran Plato, khususnya dalam Theaetetus, meskipun pada masa itu
diskusi belum berkembang secara sistematis sebagaimana dalam filsafat modern.²
Dengan demikian, belief dalam struktur tripartit bukan sekadar elemen tambahan,
tetapi merupakan pilar pertama yang menjadi syarat minimal
untuk memulai klaim pengetahuan. Tidak ada pengetahuan tanpa belief, karena
seseorang tidak dapat dikatakan “mengetahui” apa yang tidak ia yakini.³
Namun, keberadaan belief saja
belum mencukupi. Sebuah keyakinan yang keliru (false belief), atau yang benar
secara kebetulan (lucky guess), tidak bisa dianggap sebagai pengetahuan. Oleh
karena itu, belief harus dikaitkan dengan kebenaran proposisi
dan pembenaran epistemik.⁴
4.1.
Peran Sentral Belief dalam Model JTB
Peran belief dalam model JTB
dapat dilihat sebagai komponen psikologis dari pengetahuan. Ia
merepresentasikan sikap mental subjek terhadap isi proposisi, dan menjadi
syarat kehadiran aspek subjektif dalam epistemologi. Audi menegaskan bahwa “belief
is the minimal doxastic attitude necessary for knowledge.”⁵ Artinya, tanpa
adanya belief, proposisi tersebut tetap eksternal bagi subjek, meskipun
proposisi itu benar dan bahkan terjustifikasi oleh bukti eksternal.
Contohnya, seorang siswa
mungkin tidak mempercayai hasil jawaban ujiannya yang ternyata benar dan telah
dibuktikan oleh guru. Secara objektif, proposisinya benar dan mungkin
terjustifikasi oleh sistem penilaian, tetapi karena ia sendiri tidak meyakini
hal itu, maka secara epistemologis ia tidak memiliki pengetahuan tersebut.
4.2.
Kritik terhadap Model Tripartit: Masalah
Gettier
Model JTB mengalami tantangan
serius sejak publikasi makalah Edmund Gettier tahun 1963 yang berjudul Is
Justified True Belief Knowledge? Dalam makalah pendek tersebut, Gettier
menunjukkan bahwa seseorang dapat memiliki belief yang benar dan
terjustifikasi, tetapi tetap gagal memiliki pengetahuan karena
adanya unsur kebetulan (epistemic luck).⁶
Salah satu ilustrasi Gettier
yang terkenal adalah kasus seseorang yang percaya bahwa “orang yang akan
mendapatkan pekerjaan adalah Smith,” karena ia memiliki bukti kuat untuk
itu. Namun, tanpa diketahui Smith, ternyata orang yang mendapat pekerjaan
adalah Jones—dan Jones juga, kebetulan, memiliki atribut yang disebutkan.
Dengan demikian, proposisinya benar dan terjustifikasi, tetapi bukan karena
dasar yang relevan. Hal ini menunjukkan bahwa belief yang benar dan
terjustifikasi pun bisa gagal menjadi pengetahuan jika justifikasinya
bersifat tidak kausal atau tidak reliabel.⁷
4.3.
Implikasi Gettier dan Reformulasi Teori
Pengetahuan
Dampak dari problem Gettier
adalah munculnya berbagai upaya untuk merevisi atau mengganti elemen
JTB. Beberapa pendekatan yang muncul antara lain:
·
Penambahan syarat
keempat untuk menyingkirkan “kebetulan epistemik”.
·
Reliabilisme,
yang menekankan bahwa belief harus dihasilkan oleh proses kognitif yang dapat
diandalkan.⁸
·
Teori virtue
epistemology, yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah belief yang
benar yang muncul dari kebajikan intelektual subjek (seperti kejujuran atau
kecermatan berpikir).⁹
Meski demikian, belief tetap
dipertahankan sebagai elemen tak tergantikan dalam hampir semua teori
pengetahuan modern. Bahkan pendekatan eksternalis sekalipun, seperti milik
Alvin Goldman, tetap meletakkan belief sebagai output yang dinilai
dari segi proses pembentukannya.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Dari sudut pandang
epistemologi, belief bukan hanya kondisi psikologis netral, tetapi komponen
esensial yang menautkan subjek dengan proposisi. Tanpa belief, pengetahuan
menjadi tidak mungkin. Meski model JTB telah direvisi dan diperdebatkan, keyakinan
tetap menjadi unsur utama dalam bangunan epistemik yang koheren dan bertanggung
jawab secara filosofis.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 217–219.
[2]
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, revised by Myles
Burnyeat (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), sec. 201c–210d.
[3]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.
[4]
Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall, 2003), 22–23.
[5]
Audi, Epistemology, 218.
[6]
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[7]
Keith Lehrer and Thomas Paxson, “Knowledge: Undefeated Justified True
Belief,” Journal of Philosophy 66, no. 8 (1969): 225–237.
[8]
Alvin Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 113–117.
[9]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 270–273.
[10]
Goldman, Epistemology and Cognition, 103.
5.
Hubungan antara Belief dan Truth
Hubungan antara belief
(keyakinan) dan truth (kebenaran) merupakan salah satu fondasi utama
dalam epistemologi klasik maupun kontemporer. Keyakinan, sebagai sikap
proposisional seseorang terhadap suatu pernyataan, menuntut suatu orientasi
terhadap kebenaran; yaitu bahwa subjek yang meyakini suatu proposisi
memperlakukannya sebagai benar.¹ Namun, dalam konteks epistemik, tidak semua
keyakinan otomatis benar. Oleh karena itu, pertanyaan penting dalam filsafat
pengetahuan adalah: Apa syarat agar keyakinan dapat dinilai sebagai benar,
dan bagaimana keyakinan terkait dengan kebenaran secara normatif dan ontologis?
5.1.
Keyakinan sebagai Klaim terhadap Kebenaran
Pada tingkat dasar, belief
menyiratkan klaim terhadap kebenaran. Ketika seseorang meyakini bahwa "bumi
mengelilingi matahari", ia tidak sekadar menyatakan pendapat, tetapi
juga menyatakan bahwa proposisi tersebut benar dalam pengertian
korespondensi dengan realitas.² Pandangan ini selaras dengan teori
korespondensi kebenaran (correspondence theory of truth), yang
mengasumsikan bahwa suatu proposisi adalah benar jika dan hanya jika proposisi
tersebut sesuai dengan fakta atau keadaan dunia.³ Dalam model ini, belief tidak
menciptakan kebenaran, melainkan hanya mengklaim bahwa sesuatu adalah benar.
5.2.
Keyakinan yang Salah dan Potensi Kesesatan
Meskipun belief diarahkan
kepada truth, kenyataannya banyak belief yang keliru atau menyesatkan.
Sebuah belief bisa secara psikologis kuat—bahkan dipegang dengan keyakinan yang
gigih—namun tetap salah secara faktual. Hal ini menunjukkan bahwa belief
memiliki karakteristik fallibilistik: ia rentan terhadap kesalahan dan
koreksi.⁴ Oleh karena itu, filsafat modern menekankan pentingnya justifikasi
sebagai jembatan yang menghubungkan belief dengan truth, untuk meminimalkan
kemungkinan epistemic error.
Richard Feldman mencatat bahwa
suatu belief yang benar secara kebetulan, seperti tebakan dalam lotere yang
ternyata tepat, tidak memiliki nilai epistemik yang sah karena tidak dibentuk
oleh alasan atau proses yang dapat diandalkan.⁵ Ini menyoroti perbedaan antara
belief yang kebetulan benar dan belief yang epistemically justified dan
benar.
5.3.
Realisme vs Anti-Realisme dalam Relasi
Belief–Truth
Terdapat pula perdebatan
filosofis mengenai status ontologis kebenaran yang dihubungkan
dengan belief. Dalam kubu realis epistemik, truth bersifat objektif
dan independen dari kondisi mental subjek; belief yang benar adalah belief yang
mencerminkan realitas sebagaimana adanya, terlepas dari apakah kita dapat
mengetahuinya atau tidak.⁶ Sebaliknya, anti-realis atau konstruktivis
epistemik berpendapat bahwa kebenaran adalah hasil konstruksi linguistik,
sosial, atau konseptual, dan bahwa belief adalah benar sejauh ia koheren dalam
suatu sistem atau disetujui secara intersubjektif.⁷
Pandangan anti-realis
mengurangi tekanan terhadap belief untuk mencerminkan fakta eksternal, dan
lebih menekankan peran konsensus, praktik diskursif, atau kegunaan pragmatis
dari proposisi yang diyakini.
5.4.
Fallibilisme dan Konsekuensi Epistemologisnya
Pandangan modern tentang
hubungan belief dan truth seringkali ditandai oleh fallibilisme,
yaitu sikap epistemik yang mengakui kemungkinan salah dalam setiap keyakinan,
tidak peduli seberapa meyakinkan atau didukung oleh bukti.⁸ Fallibilisme tidak
menyangkal kemungkinan untuk mencapai pengetahuan, tetapi menuntut kerendahan
epistemik (epistemic humility) dan keterbukaan terhadap koreksi dalam
formasi belief.
Dalam kerangka ini, belief
harus senantiasa dievaluasi berdasarkan keterbukaannya terhadap bukti baru,
keberpihakan terhadap logika, dan keterlibatannya dalam diskursus yang rasional.
Keyakinan yang tidak mau diuji ulang, meskipun benar, kehilangan nilainya
sebagai entitas epistemik yang bertanggung jawab.
Kesimpulan Sementara
Hubungan antara keyakinan dan
kebenaran bukanlah hubungan identik atau otomatis. Keyakinan dapat diarahkan
pada kebenaran, tetapi memerlukan justifikasi dan evaluasi kritis untuk
memiliki nilai epistemik yang sah. Dengan menyadari keterbatasan manusia dalam
mengakses kebenaran secara sempurna, epistemologi mendorong pembentukan
keyakinan yang terbuka terhadap koreksi, berbasis alasan, dan
disiplin terhadap fakta.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 216–217.
[2]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.
[3]
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Summer 2016 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/sum2016/entries/truth-correspondence/.
[4]
Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 32–34.
[5]
Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall, 2003), 26–27.
[6]
Paul Horwich, Truth, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 1998),
96–98.
[7]
Hilary Putnam, Reason, Truth and History (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), 49–52.
[8]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 231–232.
6.
Justifikasi atas Keyakinan
Jika belief adalah
syarat minimal bagi pengetahuan, maka justifikasi adalah elemen yang
menentukan validitas epistemiknya. Dalam kerangka teori tripartit
pengetahuan (Justified True Belief), keyakinan yang benar
belum cukup untuk disebut sebagai pengetahuan kecuali ia juga dibenarkan
dengan cara tertentu.¹ Justifikasi menunjukkan bahwa subjek memiliki alasan
yang memadai, sah, dan dapat dipertanggungjawabkan secara epistemik untuk
mempercayai proposisi tersebut. Oleh karena itu, epistemolog kontemporer
menganggap justifikasi sebagai filter epistemik antara opini
yang sembarangan dan pengetahuan yang sah.
6.1.
Hakikat Justifikasi: Rasionalitas, Bukti, dan
Alasan
Secara umum, justifikasi
dapat dipahami sebagai rasionalitas atau kelayakan epistemik
dari suatu belief.² Seorang individu dianggap memiliki belief yang
terjustifikasi bila keyakinannya tidak hanya benar, tetapi juga berdasarkan
alasan yang memadai—baik berupa bukti empiris, pengalaman langsung, intuisi
rasional, ataupun inferensi logis.³ Justifikasi tidak selalu bersifat objektif
atau mutlak, tetapi dapat bersifat contextualist, yakni tergantung
pada kapasitas kognitif, kondisi informasi, dan standar epistemik yang berlaku
dalam konteks tertentu.⁴
Contoh sederhana adalah
keyakinan bahwa “langit berwarna biru.” Jika seseorang menyatakan
keyakinan ini berdasarkan penglihatan langsung pada siang hari yang cerah, maka
keyakinan tersebut terjustifikasi melalui persepsi inderawi. Sebaliknya, jika
seseorang menyatakan keyakinan yang sama di malam hari tanpa pengamatan, maka
justifikasinya diragukan.
6.2.
Teori-Teori Justifikasi: Foundationalism dan Coherentism
Dalam filsafat pengetahuan,
terdapat dua pendekatan utama dalam menjelaskan struktur justifikasi: foundationalism
dan coherentism.⁵
·
Foundationalism
berargumen bahwa terdapat keyakinan dasar (basic beliefs) yang tidak
memerlukan pembenaran dari belief lain, misalnya persepsi langsung atau intuisi
logis. Dari keyakinan dasar ini, belief-belief lain dibangun secara
inferensial.⁶ Model ini menghindari regresi tak berujung dalam pembenaran
(regress problem).
·
Coherentism,
sebaliknya, menolak adanya belief yang berdiri sendiri. Justifikasi bergantung
pada koherensi suatu belief dengan keseluruhan sistem
kepercayaan individu.⁷ Dalam pendekatan ini, sebuah belief dinilai sah jika ia
konsisten, tidak kontradiktif, dan memperkuat sistem keyakinan yang dimiliki
seseorang.
Kedua teori memiliki
kelebihan dan kekurangan: foundationalism dinilai terlalu mengandalkan “privileged
beliefs,” sementara coherentism rentan pada relativisme internal, yaitu
sistem yang koheren secara internal tapi bisa sepenuhnya keliru terhadap dunia
nyata.
6.3.
Reliabilisme: Proses Pembentukan yang Andal
Sebagai respons terhadap
kritik terhadap teori internal, muncul pendekatan eksternalis
seperti reliabilisme, yang menilai bahwa justifikasi tidak
perlu selalu diakses atau disadari oleh subjek, tetapi cukup jika belief itu
dibentuk oleh mekanisme kognitif yang andal (reliable
cognitive process), seperti persepsi visual normal atau memori yang
berfungsi baik.⁸
Menurut Alvin Goldman,
keyakinan yang dihasilkan oleh proses yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi
dalam menghasilkan kebenaran adalah belief yang terjustifikasi, bahkan jika
subjek tidak mampu secara reflektif mengartikulasikan alasannya.⁹ Reliabilisme
membuka jalan bagi penilaian keyakinan yang lebih inklusif dan realistis dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kondisi keterbatasan epistemik.
6.4.
Evidentialisme dan Virtue Epistemology
Teori evidentialisme,
seperti dikembangkan oleh Earl Conee dan Richard Feldman, menyatakan bahwa
belief hanya terjustifikasi jika sejalan dengan bukti yang dimiliki
seseorang.¹⁰ Di sini, evidence memegang peran sentral dan
subjektifitas diminimalkan. Sementara itu, pendekatan virtue
epistemology, seperti yang dipelopori oleh Linda Zagzebski, melihat
justifikasi sebagai hasil dari pelaksanaan kebajikan intelektual,
seperti ketekunan berpikir, kejujuran intelektual, dan keberanian merevisi
belief.¹¹
Pendekatan ini memperluas
ranah justifikasi dari sekadar kondisi proposisional menjadi tindakan etis dan
karakter epistemik subjek. Dengan demikian, epistemologi dan etika berpadu
dalam menilai validitas belief.
Kesimpulan Sementara
Justifikasi atas keyakinan
bukan hanya soal memiliki alasan, tetapi juga tentang bagaimana alasan
itu dibentuk, oleh siapa, dan dalam kondisi epistemik seperti apa.
Perbedaan antara teori internalisme, eksternalisme, dan kebajikan epistemik
menunjukkan bahwa justifikasi adalah medan refleksi yang kompleks, namun
krusial untuk mempertahankan integritas pengetahuan dalam masyarakat rasional.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 217.
[2]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.
[3]
Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall, 2003), 43.
[4]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder, CO:
Westview Press, 2000), 57–58.
[5]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2009), 47–52.
[6]
Jonathan Dancy, Introduction to Contemporary Epistemology
(Oxford: Blackwell, 1985), 56–58.
[7]
BonJour, Epistemology, 53–55.
[8]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 49–51.
[9]
Goldman, Epistemology and Cognition, 70.
[10]
Earl Conee and Richard Feldman, “Evidentialism,” Philosophical
Studies 48, no. 1 (1985): 15–34.
[11]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 271–274.
7.
Model Psikologis dan Kognitif tentang Keyakinan
Meskipun epistemologi secara
tradisional membahas keyakinan (belief) dalam kerangka normatif—apa
yang seharusnya diyakini berdasarkan bukti atau alasan yang
sah—perkembangan ilmu kognitif dan psikologi eksperimental membuka ruang untuk
memahami bagaimana belief dibentuk, dipertahankan, dan berubah dalam
praktik kehidupan manusia.¹ Dengan demikian, pendekatan psikologis dan kognitif
terhadap belief tidak hanya memperkaya epistemologi dengan data empiris, tetapi
juga memberikan pemahaman tentang keterbatasan dan kecenderungan manusiawi
dalam proses kepercayaan.
7.1.
Pembentukan Keyakinan: Asimilasi dan Evaluasi
Informasi
Dalam psikologi kognitif,
belief dibentuk melalui proses asimilasi informasi dari lingkungan luar, baik
melalui pengalaman langsung, otoritas sosial, maupun narasi budaya.² Proses ini
melibatkan evaluasi kognitif, baik sadar maupun tidak sadar,
yang menilai konsistensi antara informasi baru dengan skema mental yang sudah
ada. Ketika informasi dianggap sesuai, ia lebih mudah diterima sebagai
keyakinan; bila tidak, ia cenderung ditolak atau diabaikan.³
Daniel Kahneman, dalam
karyanya Thinking, Fast and Slow, menunjukkan bahwa otak manusia
cenderung menggunakan dua sistem berpikir: Sistem 1 yang
cepat, intuitif, dan emosional, serta Sistem 2 yang lambat,
reflektif, dan logis.⁴ Banyak keyakinan terbentuk melalui Sistem 1, tanpa
proses evaluasi kritis, menjadikannya rentan terhadap bias dan kesalahan.
7.2.
Bias Kognitif dalam Pembentukan dan
Pemeliharaan Belief
Salah satu kontribusi penting
psikologi terhadap epistemologi adalah identifikasi bias kognitif
yang secara sistematis memengaruhi pembentukan belief. Beberapa bias utama yang
relevan antara lain:
·
Confirmation bias:
kecenderungan untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang
mengonfirmasi keyakinan yang telah dimiliki, sekaligus mengabaikan informasi
yang bertentangan.⁵
·
Belief perseverance:
kecenderungan untuk mempertahankan belief meskipun telah ada bukti kuat yang
menentangnya.⁶
·
Cognitive
dissonance: ketegangan psikologis yang muncul ketika seseorang
memegang dua keyakinan yang kontradiktif, atau ketika tindakan tidak sejalan
dengan belief, yang sering diselesaikan dengan merasionalisasi belief lama
daripada merevisinya.⁷
Ketiga pola ini menunjukkan
bahwa belief bukanlah entitas statis yang terbentuk melalui penalaran objektif,
tetapi juga merupakan hasil dari proses psikologis kompleks yang sering kali
tidak disadari.
7.3.
Peran Emosi dan Afeksi dalam Pembentukan
Keyakinan
Kajian kontemporer dalam
psikologi afektif juga menyoroti peran emosi dalam pembentukan dan
validasi belief. Jonathan Haidt, dalam The Righteous Mind,
berpendapat bahwa banyak belief moral dan ideologis dibentuk secara intuitif
melalui reaksi emosional, dan hanya kemudian dirasionalisasi oleh nalar.⁸
Dengan kata lain, reasoning sering kali digunakan bukan untuk mencari
kebenaran, tetapi untuk membenarkan intuisi yang telah terbentuk lebih dahulu.
Implikasi dari temuan ini
adalah bahwa proses belief formation sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan
afektif, termasuk identitas kelompok, pengalaman emosional, dan narasi
kultural. Hal ini menantang asumsi dalam epistemologi klasik bahwa belief
dibentuk secara rasional berdasarkan bukti.
7.4.
Kontribusi Psikologi terhadap Epistemologi
Normatif
Meskipun ilmu kognitif dan
psikologi fokus pada deskripsi bagaimana belief terbentuk,
temuan-temuan ini tetap memiliki implikasi normatif. Misalnya, kesadaran akan
bias kognitif dapat membantu membangun epistemologi yang lebih reflektif dan virtue-based,
yaitu menekankan pentingnya kebajikan intelektual seperti kehati-hatian,
keterbukaan, dan kerendahan epistemik.⁹
Beberapa epistemolog
kontemporer bahkan menyerukan integrasi antara psikologi dan filsafat, agar
teori pengetahuan tidak terjebak dalam idealisasi yang mengabaikan kenyataan
psikologis manusia. Epistemologi semestinya bukan hanya menetapkan standar
rasionalitas, tetapi juga memperhitungkan keterbatasan dan potensi manusiawi
dalam membentuk dan mempertahankan belief.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Model psikologis dan kognitif
tentang keyakinan menunjukkan bahwa belief tidak hanya dibentuk oleh rasio dan
bukti, tetapi juga oleh intuisi, emosi, dan dinamika sosial. Dengan demikian,
untuk membangun epistemologi yang utuh, diperlukan pemahaman interdisipliner
yang mempertemukan filsafat normatif dan ilmu kognitif deskriptif.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 245–247.
[2]
Susan Fiske and Shelley Taylor, Social Cognition, 2nd ed. (New
York: McGraw-Hill, 1991), 67–69.
[3]
Keith E. Stanovich, What Intelligence Tests Miss: The Psychology of
Rational Thought (New Haven: Yale University Press, 2009), 31–33.
[4]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 19–21.
[5]
Raymond S. Nickerson, “Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in
Many Guises,” Review of General Psychology 2, no. 2 (1998): 175–220.
[6]
Lee Ross, Mark R. Lepper, and Michael Hubbard, “Perseverance in
Self-Perception and Social Perception: Biased Attributional Processes in the
Debriefing Paradigm,” Journal of Personality and Social Psychology 32,
no. 5 (1975): 880–892.
[7]
Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Stanford:
Stanford University Press, 1957), 3–6.
[8]
Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion (New York: Pantheon Books, 2012), 42–45.
[9]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 223–225.
[10]
James Montmarquet, Epistemic Virtue and Doxastic Responsibility
(Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1993), 12–14.
8.
Tantangan Filosofis terhadap Konsep Belief
Meskipun belief
telah lama diakui sebagai komponen fundamental dalam struktur pengetahuan,
berbagai tantangan filosofis terus mempertanyakan validitas, batas, dan
kecukupan epistemik dari konsep keyakinan itu sendiri. Tantangan-tantangan ini
tidak hanya bersifat teknis, tetapi menyentuh pertanyaan mendasar tentang
bagaimana manusia dapat mengetahui sesuatu secara benar dalam dunia yang penuh
ketidakpastian, keterbatasan kognitif, dan kemungkinan kekeliruan.¹
8.1.
Masalah Gettier dan Krisis Model Justified True
Belief
Tantangan paling terkenal
terhadap posisi belief dalam epistemologi muncul dari masalah Gettier.
Dalam makalah singkat tahun 1963, Edmund Gettier menunjukkan bahwa seseorang
bisa memiliki belief yang benar dan terjustifikasi tetapi tetap gagal memiliki
pengetahuan karena adanya unsur kebetulan atau ketidaksesuaian kausal.² Dalam
contoh Gettier, seseorang memiliki alasan kuat untuk mempercayai suatu
proposisi yang ternyata benar, tetapi dengan dasar yang salah atau tidak
relevan.
Masalah ini mengguncang
konsensus epistemologis tentang model Justified True Belief (JTB)
dan menimbulkan pertanyaan apakah belief yang benar dan terjustifikasi cukup
untuk disebut sebagai pengetahuan.³ Sejak itu, banyak teori pengetahuan mencoba
menambahkan syarat keempat (seperti reliabilitas, hubungan kausal, atau virtue
epistemik) untuk menyingkirkan keberuntungan epistemik (epistemic luck).
8.2.
Epistemic Luck dan Ketidakpastian Kognitif
Epistemic luck
mengacu pada situasi di mana seseorang memiliki belief yang benar, namun secara
kebetulan atau tanpa alasan yang tepat.⁴ Ini menimbulkan masalah serius karena
memperlihatkan adanya celah antara keyakinan yang secara faktual benar dan
keyakinan yang layak disebut pengetahuan. Bahkan dalam kondisi terbaik pun,
manusia tetap rentan terhadap kesalahan persepsi, distorsi memori, atau
inferensi yang tidak valid.
Hal ini menimbulkan
pertanyaan lebih lanjut: apakah mungkin memiliki keyakinan yang benar-benar
aman dari kekeliruan? Skeptisisme radikal, sebagaimana dipaparkan oleh
René Descartes dan diteruskan dalam bentuk kontemporer oleh Barry Stroud dan
Peter Unger, menyangsikan kemungkinan dasar yang kokoh bagi belief yang tidak
dapat dipertanyakan.⁵
8.3.
Masalah Aksesibilitas Internal dan
Eksternalisme Epistemik
Perdebatan antara internalisme
dan eksternalisme epistemik juga menjadi tantangan filosofis
terhadap belief. Internalisme menuntut agar alasan pembenaran atas belief harus
tersedia dalam kesadaran reflektif subjek, sedangkan eksternalisme menyatakan
bahwa yang penting adalah kondisi objektif atau proses pembentukan belief yang
andal.⁶
Pertanyaan yang muncul
adalah: jika seseorang tidak tahu bahwa ia memiliki alasan yang sah, apakah
belief-nya tetap sahih secara epistemik? Misalnya, seseorang yang memiliki
persepsi visual yang akurat tetapi tidak tahu bahwa kondisi cahaya mendukung
penglihatan yang benar, tetap dapat memiliki belief yang benar dan reliabel
menurut eksternalisme, namun mungkin tidak terjustifikasi menurut
internalisme.⁷
8.4.
Doxastic Voluntarism dan Masalah Kehendak atas
Keyakinan
Tantangan lain datang dari
diskusi mengenai doxastic voluntarism, yaitu apakah manusia dapat
memilih untuk mempercayai suatu proposisi atau tidak. Banyak filsuf
berargumen bahwa belief bukanlah entitas yang tunduk pada kehendak bebas
seperti keputusan atau tindakan.⁸ Jika demikian, bagaimana seseorang dapat
dimintai tanggung jawab epistemik atas belief-nya?
William Clifford, dalam
esainya yang terkenal The Ethics of Belief, menyatakan bahwa
mempercayai sesuatu tanpa cukup bukti adalah tindakan yang secara moral
keliru.⁹ Namun jika belief tidak sepenuhnya berada dalam kendali kehendak, maka
tuntutan etis semacam itu menjadi problematis. Ini menyentuh ranah etika
epistemik dan hubungan antara tanggung jawab moral dan status belief seseorang.
8.5.
Tantangan Kontekstual dan Relativisme Epistemik
Dalam lingkungan pluralistik
dan pascamodern, belief juga menghadapi tantangan relativistik. Kontekstualisme
epistemik menyatakan bahwa apakah suatu belief terjustifikasi atau
tidak tergantung pada konteks praktis dan sosial dari subjek.¹⁰ Ini membuka
ruang untuk toleransi terhadap berbagai standar rasionalitas, tetapi juga
berisiko mengikis objektivitas dan membuka jalan bagi relativisme ekstrem di
mana setiap belief dianggap “benar menurut versinya sendiri”.
Kesimpulan Sementara
Berbagai tantangan filosofis
terhadap belief menunjukkan bahwa meskipun belief tetap merupakan unsur dasar
dalam teori pengetahuan, ia tidak lepas dari kompleksitas logis, psikologis,
dan etis. Masalah Gettier, epistemic luck, perdebatan internal-eksternal, serta
dinamika kehendak dan tanggung jawab epistemik menjadi medan kritis yang
menuntut pengembangan konsep belief yang lebih matang dan interdisipliner. Ke
depan, epistemologi perlu menyeimbangkan ideal rasionalitas dengan realitas
kognitif dan pluralitas pandangan manusia.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 248–251.
[2]
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[3]
Richard Feldman, Epistemology, 2nd ed. (Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall, 2003), 25–27.
[4]
Duncan Pritchard, Epistemic Luck (Oxford: Oxford University
Press, 2005), 4–6.
[5]
Barry Stroud, The Significance of Philosophical Scepticism
(Oxford: Oxford University Press, 1984), 41–45.
[6]
Alvin I. Goldman, Epistemology and Cognition (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1986), 99–103.
[7]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2009), 115–117.
[8]
Louis Pojman, “Believing and Willing,” American Philosophical
Quarterly 22, no. 2 (1985): 97–106.
[9]
William K. Clifford, “The Ethics of Belief,” in Lectures and Essays
(London: Macmillan, 1879), 346–347.
[10]
Stewart Cohen, “Contextualism and Skepticism,” Philosophical Issues
10 (2000): 94–105.
9.
Aplikasi dan Implikasi Praktis Konsep Keyakinan
Konsep belief
(keyakinan) dalam epistemologi bukanlah sekadar konstruksi teoritis yang
terbatas pada ruang lingkup akademik. Keyakinan memiliki pengaruh yang sangat
luas dan mendalam dalam kehidupan praktis, mencakup berbagai ranah seperti pengambilan
keputusan, tindakan moral, pendidikan,
politik, serta perdebatan sosial dan keagamaan.¹
Dengan kata lain, apa yang kita percayai membentuk cara kita
bertindak, bagaimana kita menilai orang lain, dan apa yang
kita anggap sebagai kenyataan.
9.1.
Keyakinan dan Pengambilan Keputusan
Dalam filsafat tindakan dan
teori keputusan, belief merupakan komponen kognitif yang berinteraksi dengan
keinginan (desire) untuk menghasilkan tindakan.² Model instrumental
dari tindakan menyatakan bahwa agen bertindak berdasarkan apa yang ia inginkan
dan apa yang ia yakini sebagai cara terbaik untuk mencapai keinginannya.³ Oleh
karena itu, keyakinan yang salah (misalnya, mempercayai informasi yang tidak
benar) dapat menghasilkan tindakan yang tidak rasional, bahkan berbahaya,
meskipun motivasinya sah.
Contohnya, dalam konteks
kesehatan publik, keyakinan keliru tentang vaksin dapat menyebabkan penolakan
vaksinasi, yang berdampak pada penyebaran penyakit menular. Ini menunjukkan
bahwa belief bukan sekadar urusan pribadi, melainkan memiliki dampak
sosial dan kebijakan yang signifikan.⁴
9.2.
Etika Keyakinan dan Tanggung Jawab Epistemik
Pertanyaan etis yang penting
adalah: apakah kita bertanggung jawab atas apa yang kita yakini?
William K. Clifford menjawab dengan tegas bahwa mempercayai sesuatu tanpa bukti
yang memadai adalah tindakan yang secara moral salah, karena belief akan memengaruhi
tindakan dan berdampak pada orang lain.⁵ Pandangan ini menempatkan kewajiban
epistemik pada setiap individu untuk membentuk keyakinan secara
hati-hati dan berdasar bukti.
Di sisi lain, filsuf seperti
William James berpendapat bahwa dalam beberapa konteks—misalnya agama atau
pilihan eksistensial—berhak mempercayai sesuatu tanpa bukti konklusif, selama
belief itu memenuhi kebutuhan praktis atau eksistensial yang mendalam.⁶
Perdebatan ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara tanggung jawab rasional
dan hak kebebasan keyakinan dalam kehidupan bermasyarakat.
9.3.
Keyakinan dan Pendidikan: Mendorong Epistemic
Virtue
Dalam dunia pendidikan,
belief memiliki implikasi langsung terhadap pembentukan karakter
intelektual. Tujuan pendidikan bukan hanya menyampaikan informasi,
tetapi juga membentuk cara berpikir, yaitu bagaimana siswa menilai
informasi, membentuk opini, dan mempertanggungjawabkan keyakinannya.⁷ Linda
Zagzebski menekankan pentingnya virtue epistemology dalam membina
kebajikan intelektual seperti ketekunan berpikir, keterbukaan terhadap bukti,
dan kesediaan mengakui kesalahan.⁸
Implikasinya, pendidikan
tidak cukup hanya mengajarkan fakta, tetapi harus mendorong siswa untuk percaya
dengan cara yang benar (justified belief), termasuk kemampuan menilai
kredibilitas sumber, menghindari bias, dan terbuka terhadap revisi belief.
9.4.
Keyakinan dalam Era Disinformasi dan Post-Truth
Di era digital, di mana
informasi tersebar cepat namun tidak selalu diverifikasi, belief menjadi titik
kritis dalam memelihara kehidupan publik yang rasional. Munculnya fenomena post-truth,
di mana emosi dan opini pribadi lebih memengaruhi kepercayaan publik dibanding
fakta objektif, menantang prinsip dasar epistemologi.⁹
Krisis ini memunculkan
kebutuhan akan kewaspadaan epistemik (epistemic vigilance),
yaitu kemampuan untuk secara aktif memverifikasi informasi, menilai sumber, dan
menahan diri dari membentuk keyakinan secara prematur.¹⁰ Dalam konteks ini,
membangun masyarakat yang memiliki kesadaran epistemik menjadi prioritas
kebijakan dan pendidikan.
9.5.
Keyakinan dan Dialog Antariman
Dalam ranah keagamaan, belief
bukan hanya orientasi terhadap proposisi metafisik, tetapi juga dasar
identitas, motivasi moral, dan solidaritas sosial. Namun pluralitas belief juga
dapat menjadi sumber konflik jika tidak disikapi dengan pendekatan epistemik
yang inklusif dan dialogis.¹¹ Oleh karena itu, pengembangan epistemologi
lintas budaya dan agama menjadi relevan untuk membangun dialog yang
menghormati perbedaan keyakinan, tanpa merelativisasi klaim kebenaran
sepenuhnya.
Kesimpulan Sementara
Aplikasi dan implikasi
praktis dari konsep belief memperlihatkan bahwa epistemologi bukan sekadar
filsafat abstrak, melainkan fondasi kehidupan rasional, etis, dan sosial. Dari
pengambilan keputusan hingga pendidikan dan kehidupan publik, kualitas belief
menentukan kualitas peradaban. Maka, membentuk belief yang bertanggung jawab
adalah tugas epistemik sekaligus tugas moral.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 248.
[2]
Michael Bratman, Intention, Plans, and Practical Reason
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 3–5.
[3]
Donald Davidson, “Actions, Reasons, and Causes,” Journal of
Philosophy 60, no. 23 (1963): 685–700.
[4]
Heidi Larson, Stuck: How Vaccine Rumors Start—and Why They Don't Go
Away (New York: Oxford University Press, 2020), 11–13.
[5]
William K. Clifford, “The Ethics of Belief,” in Lectures and Essays
(London: Macmillan, 1879), 346–347.
[6]
William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular
Philosophy (New York: Longmans, Green, and Co., 1897), 1–31.
[7]
Harvey Siegel, Relativism Refuted: A Critique of Contemporary
Epistemological Relativism (Dordrecht: D. Reidel, 1987), 88–90.
[8]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 203–210.
[9]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
5–7.
[10]
Dan Sperber et al., “Epistemic Vigilance,” Mind & Language
25, no. 4 (2010): 359–393.
[11]
Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 345–350.
10.
Kesimpulan
Keyakinan (belief)
menempati posisi yang sangat sentral dalam epistemologi sebagai syarat minimal
yang harus dimiliki oleh setiap klaim pengetahuan. Ia bukan hanya entitas
mental yang bersifat pribadi, melainkan komponen epistemik yang membuka jalan
bagi pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut tentang kebenaran (truth) dan
pembenaran (justification).¹ Dalam model klasik Justified True
Belief (JTB), belief menjadi fondasi pertama sebelum kebenaran dan
justifikasi dapat diverifikasi secara epistemik.² Namun, sebagaimana
ditunjukkan oleh berbagai tantangan filosofis seperti masalah Gettier dan epistemic
luck, belief tidak cukup untuk menjamin status pengetahuan tanpa mekanisme
pembenaran yang dapat diandalkan dan koheren.³
Konsep belief juga mengalami
pelebaran makna melalui pendekatan psikologis dan kognitif yang mengungkap
kompleksitas cara manusia membentuk, mempertahankan, dan merevisi keyakinan.⁴
Proses belief formation ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor afektif,
intuisi, dan dinamika sosial yang kerap mengaburkan batas antara rasionalitas
dan bias kognitif. Penemuan-penemuan ini memberi pelajaran penting bahwa
manusia bukan hanya agen epistemik rasional, tetapi juga entitas yang rentan
terhadap kekeliruan sistematis dalam membentuk belief.⁵
Lebih jauh, dalam kerangka
praktis, belief memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari
pengambilan keputusan, tindakan moral, hingga sikap sosial dan politik.⁶ Keyakinan
bukan hanya tentang “apa yang kita pikirkan benar”, tetapi juga tentang
“bagaimana kita bertindak berdasarkan itu”. Oleh karena itu, kualitas
belief dalam suatu komunitas menentukan kualitas rasionalitas publik, kebijakan
kolektif, dan ketahanan moral masyarakat. Dalam konteks ini, epistemologi tidak
dapat lagi dipisahkan dari etika, pendidikan, dan bahkan kebijakan publik.⁷
Sebagai penutup, dapat
ditegaskan bahwa membina keyakinan yang benar, terjustifikasi, dan terbuka
terhadap koreksi bukan hanya sebuah kebutuhan filosofis,
tetapi juga kewajiban etis dan sosial. Dunia pasca-kebenaran
menuntut kita untuk menumbuhkan kesadaran epistemik yang kritis, empatik, dan
bertanggung jawab, baik dalam ruang privat maupun ruang publik. Untuk itu,
epistemologi kontemporer perlu terus menjembatani diskursus normatif dan
deskriptif, antara apa yang seharusnya dipercaya dan bagaimana
manusia pada kenyataannya percaya.⁸
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2010), 206–207.
[2]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Fall 2018 Edition), https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/.
[3]
Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[4]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 45–49.
[5]
Raymond S. Nickerson, “Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in
Many Guises,” Review of General Psychology 2, no. 2 (1998): 175–220.
[6]
William K. Clifford, “The Ethics of Belief,” in Lectures and Essays
(London: Macmillan, 1879), 346–347.
[7]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 223–230.
[8]
James Montmarquet, Epistemic Virtue and Doxastic Responsibility
(Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1993), 12–14.
Daftar Pustaka
Audi, R. (2010). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
BonJour, L. (2009). Epistemology:
Classic problems and contemporary responses (2nd ed.). Rowman &
Littlefield.
Bratman, M. (1987). Intention,
plans, and practical reason. Harvard University Press.
Clifford, W. K. (1879). The
ethics of belief. In Lectures and essays (pp. 346–347). Macmillan.
Cohen, S. (2000). Contextualism
and skepticism. Philosophical Issues, 10, 94–105.
Conee, E., & Feldman,
R. (1985). Evidentialism. Philosophical Studies, 48(1), 15–34.
David, M. (2016). The
correspondence theory of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Summer 2016 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/archives/sum2016/entries/truth-correspondence/
Dancy, J. (1985). Introduction
to contemporary epistemology. Blackwell.
Davidson, D. (1963).
Actions, reasons, and causes. The Journal of Philosophy, 60(23),
685–700.
Festinger, L. (1957). A
theory of cognitive dissonance. Stanford University Press.
Feldman, R. (2003). Epistemology
(2nd ed.). Prentice Hall.
Fiske, S. T., & Taylor,
S. E. (1991). Social cognition (2nd ed.). McGraw-Hill.
Gettier, E. (1963). Is
justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123.
Goldman, A. I. (1986). Epistemology
and cognition. Harvard University Press.
Haidt, J. (2012). The
righteous mind: Why good people are divided by politics and religion.
Pantheon Books.
Horwich, P. (1998). Truth
(2nd ed.). Clarendon Press.
James, W. (1897). The
will to believe and other essays in popular philosophy. Longmans, Green,
and Co.
Kahneman, D. (2011). Thinking,
fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.
Larson, H. (2020). Stuck:
How vaccine rumors start—and why they don't go away. Oxford University
Press.
Lehrer, K. (2000). Theory
of knowledge (2nd ed.). Westview Press.
Lehrer, K., & Paxson,
T. (1969). Knowledge: Undefeated justified true belief. The Journal of
Philosophy, 66(8), 225–237.
MacIntyre, A. (1988). Whose
justice? Which rationality? University of Notre Dame Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Montmarquet, J. (1993). Epistemic
virtue and doxastic responsibility. Rowman & Littlefield.
Nickerson, R. S. (1998).
Confirmation bias: A ubiquitous phenomenon in many guises. Review of
General Psychology, 2(2), 175–220.
Pojman, L. (1985).
Believing and willing. American Philosophical Quarterly, 22(2),
97–106.
Pritchard, D. (2005). Epistemic
luck. Oxford University Press.
Putnam, H. (1981). Reason,
truth and history. Cambridge University Press.
Ross, L., Lepper, M. R.,
& Hubbard, M. (1975). Perseverance in self-perception and social
perception: Biased attributional processes in the debriefing paradigm. Journal
of Personality and Social Psychology, 32(5), 880–892.
Siegel, H. (1987). Relativism
refuted: A critique of contemporary epistemological relativism. D. Reidel.
Sperber, D., Clément, F.,
Heintz, C., Mascaro, O., Mercier, H., Origgi, G., & Wilson, D. (2010).
Epistemic vigilance. Mind & Language, 25(4), 359–393.
Stanovich, K. E. (2009). What
intelligence tests miss: The psychology of rational thought. Yale
University Press.
Steup, M. (2018).
Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2018 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/epistemology/
Stroud, B. (1984). The
significance of philosophical scepticism. Oxford University Press.
Zagzebski, L. (1996). Virtues
of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations
of knowledge. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar