Deep Learning
Peluang, Tantangan, dan Implikasi Pedagogis
Abstrak
Transformasi digital yang pesat dalam era
kecerdasan buatan telah membuka peluang baru bagi dunia pendidikan, khususnya
melalui penerapan deep learning sebagai bagian dari teknologi kecerdasan
buatan yang canggih. Artikel ini membahas secara komprehensif peran, potensi,
serta tantangan implementasi deep learning dalam kerangka Kurikulum Merdeka
di Indonesia. Dengan pendekatan analisis konseptual dan studi kasus, pembahasan
difokuskan pada bagaimana teknologi ini dapat mendukung personalisasi
pembelajaran, asesmen formatif berbasis data, dan penguatan dimensi Profil
Pelajar Pancasila. Artikel ini juga menyoroti berbagai tantangan utama, seperti
kesenjangan infrastruktur, kompetensi guru, isu etika dan privasi data, serta
potensi bias algoritmik. Melalui strategi implementasi yang mencakup pelatihan
guru, kolaborasi lintas sektor, dan pengembangan kebijakan yang berpihak pada
etika pendidikan, deep learning dapat menjadi katalisator dalam menciptakan
pembelajaran yang lebih kontekstual, inklusif, dan transformatif. Artikel ini
diakhiri dengan rekomendasi praktis untuk memastikan bahwa pemanfaatan
teknologi dilakukan secara manusiawi dan mendukung visi pendidikan nasional
yang holistik.
Kata Kunci: Deep learning, Kurikulum Merdeka, kecerdasan
buatan, personalisasi pembelajaran, etika teknologi, pendidikan transformatif,
Profil Pelajar Pancasila, TPACK, asesmen formatif, inovasi pendidikan.
PEMBAHASAN
Deep Learning dalam Konteks Kurikulum Merdeka
1.
Pendahuluan
Transformasi digital yang terjadi secara global
telah membawa perubahan besar dalam berbagai sektor, termasuk dunia pendidikan.
Salah satu inovasi teknologi yang mendapat perhatian luas adalah deep
learning, sebuah cabang dari kecerdasan buatan (AI) yang memungkinkan
sistem komputer untuk belajar dan membuat keputusan kompleks secara mandiri
melalui jaringan saraf tiruan yang berlapis-lapis. Teknologi ini telah
digunakan secara luas dalam pengenalan suara, pemrosesan bahasa alami, sistem
rekomendasi, hingga personalisasi pembelajaran dalam konteks pendidikan digital
masa kini.¹
Di Indonesia, dunia pendidikan juga mengalami
perubahan struktural dan konseptual yang signifikan dengan diterapkannya Kurikulum
Merdeka. Kurikulum ini dirancang untuk memberikan kebebasan dan
fleksibilitas yang lebih besar kepada pendidik dan peserta didik dalam proses
pembelajaran, menekankan pendekatan diferensiasi, pembelajaran berbasis proyek
(Project-Based Learning), serta penguatan karakter melalui Profil Pelajar
Pancasila.² Kurikulum Merdeka tidak hanya menuntut pergeseran paradigma
pembelajaran, tetapi juga membuka ruang besar bagi pemanfaatan teknologi cerdas
dalam mendukung pengalaman belajar yang lebih adaptif dan kontekstual.
Dalam kerangka tersebut, integrasi deep learning
menjadi topik yang strategis untuk dibahas secara kritis dan akademik. Di satu
sisi, deep learning berpotensi mendukung pelaksanaan pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik Kurikulum Merdeka, seperti asesmen formatif berbasis data,
sistem pembelajaran adaptif, dan otomatisasi proses administrasi pendidikan.³
Namun di sisi lain, penerapannya di institusi pendidikan formal menghadapi
tantangan serius, seperti kesenjangan teknologi, etika penggunaan data,
kesiapan sumber daya manusia, dan kebijakan perlindungan terhadap peserta
didik.⁴
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk
membahas secara komprehensif peran dan implikasi deep learning dalam
pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Pembahasan akan mencakup peluang integrasi
teknologi ini dalam praktik pendidikan, tantangan implementasinya di satuan
pendidikan, serta rekomendasi strategis untuk mewujudkan ekosistem pendidikan
yang inovatif dan berkeadilan. Harapannya, artikel ini dapat memberikan wawasan
dan pemahaman yang mendalam kepada para pendidik, pengambil kebijakan, serta
pengembang teknologi pendidikan di Indonesia.
Footnotes
[1]
Ian Goodfellow, Yoshua Bengio, dan Aaron Courville,
Deep Learning (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 1–10.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5–12.
[3]
Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An
Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 10–16.
[4]
Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical
Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and
Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 689–707.
2.
Konsep
Dasar Deep Learning
Deep learning merupakan cabang dari machine
learning (pembelajaran mesin) yang meniru cara kerja otak manusia dalam
memproses data dan menciptakan pola untuk digunakan dalam pengambilan
keputusan. Istilah ini merujuk pada algoritma yang menggunakan artificial
neural networks (ANNs), yakni sistem komputasi yang terinspirasi oleh
jaringan saraf biologis. Ciri khas dari deep learning adalah keberadaan banyak
lapisan (layers) dalam jaringan tersebut, yang memungkinkan sistem untuk secara
bertahap mengenali fitur-fitur kompleks dari data mentah.¹
Jaringan saraf tiruan dalam deep learning tersusun
dalam tiga jenis lapisan utama: input layer, hidden layers, dan output
layer. Lapisan tersembunyi (hidden layers) yang bertingkat inilah yang
membedakan deep learning dari model pembelajaran mesin tradisional. Melalui
proses forward propagation dan backpropagation, sistem melakukan
pembelajaran dari data secara berulang untuk meningkatkan akurasi prediksi atau
klasifikasi.²
Kemampuan deep learning untuk memproses data dalam
jumlah besar (big data) menjadikannya sangat efektif dalam menangani
tugas-tugas kompleks seperti pengenalan wajah, pemrosesan bahasa alami
(NLP), deteksi objek, dan sistem rekomendasi. Teknologi ini telah menjadi
dasar dalam banyak inovasi AI modern, termasuk asisten virtual seperti Siri dan
Google Assistant, serta sistem e-learning adaptif.³
Dalam konteks pendidikan, keunggulan utama deep
learning terletak pada kemampuannya membangun model prediktif berdasarkan
perilaku siswa, menyesuaikan materi pembelajaran secara personal, dan
memberikan umpan balik otomatis. Ini sejalan dengan pendekatan Kurikulum
Merdeka yang menekankan personalisasi, asesmen formatif, dan diferensiasi
pembelajaran.⁴
Meski demikian, untuk mengimplementasikan deep
learning secara optimal dalam ekosistem pendidikan, dibutuhkan pemahaman
teknis, infrastruktur teknologi, serta pendekatan etis dan pedagogis yang
memadai. Maka dari itu, pemahaman yang kuat terhadap prinsip dasar dan kerja
algoritmik deep learning menjadi fondasi penting sebelum teknologi ini digunakan
secara luas dalam konteks pendidikan di Indonesia.
Footnotes
[1]
Ian Goodfellow, Yoshua Bengio, dan Aaron Courville,
Deep Learning (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 5–14.
[2]
Michael Nielsen, Neural Networks and Deep
Learning (San Francisco: Determination Press, 2015), 51–75.
[3]
Yann LeCun, Yoshua Bengio, dan Geoffrey Hinton,
“Deep Learning,” Nature 521, no. 7553 (2015): 436–444.
[4]
Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An
Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 13–19.
3.
Landasan
Filosofis dan Pedagogis Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka yang diluncurkan oleh Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia merupakan
respons terhadap kebutuhan pembelajaran abad ke-21 yang lebih kontekstual,
fleksibel, dan berpusat pada peserta didik. Secara filosofis, kurikulum ini
berakar pada pendekatan humanistik dan konstruktivistik, yang
menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran, bukan sekadar
objek yang menerima pengetahuan.¹
Dalam paradigma konstruktivisme, pengetahuan tidak
ditransfer secara linier dari guru ke siswa, melainkan dibangun melalui proses
interaksi antara pengalaman baru dan struktur kognitif yang sudah ada.²
Pendekatan ini menuntut pembelajaran yang bersifat kontekstual, bermakna, dan
reflektif—sesuatu yang secara inheren sejalan dengan semangat Kurikulum
Merdeka. Dalam kerangka ini, peran guru bergeser menjadi fasilitator
pembelajaran, bukan lagi sebagai satu-satunya sumber informasi.
Secara pedagogis, Kurikulum Merdeka menekankan diferensiasi
pembelajaran, yaitu menyesuaikan proses, konten, dan produk pembelajaran
dengan kebutuhan, minat, dan kesiapan peserta didik.³ Selain itu, kurikulum ini
juga memperkuat praktik Project-Based Learning (PjBL), Discovery Learning,
dan Problem-Based Learning (PBL) yang bertujuan mengembangkan
keterampilan berpikir kritis, kolaboratif, dan kreatif.⁴ Pendekatan ini membuka
peluang besar bagi integrasi teknologi cerdas seperti deep learning, yang
memiliki potensi untuk mendukung pembelajaran yang bersifat adaptif dan
personal.
Elemen utama lainnya dari Kurikulum Merdeka adalah
penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila, yang mencakup enam
dimensi utama: beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME serta berakhlak mulia;
berkebinekaan global; bergotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif.⁵
Tujuan ini selaras dengan transformasi digital yang tidak hanya menekankan
penguasaan teknologi, tetapi juga membangun nilai-nilai etik, tanggung jawab
sosial, dan kesadaran global. Dalam hal ini, integrasi teknologi seperti deep
learning perlu diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang utuh—baik dari
sisi akademik maupun karakter.
Dengan demikian, Kurikulum Merdeka memberikan
fondasi yang kuat bagi pemanfaatan teknologi pendidikan berbasis AI. Namun,
pemanfaatannya harus didasarkan pada pemahaman terhadap nilai-nilai pedagogis
yang menyertainya agar teknologi tidak menjadi alat yang menstandarkan peserta
didik, melainkan sebagai sarana untuk menghormati dan mengembangkan potensi
unik setiap individu.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 4–7.
[2]
Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The
Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1978), 79–91.
[3]
Carol Ann Tomlinson, The Differentiated
Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria,
VA: ASCD, 2014), 2–14.
[4]
John W. Thomas, “A Review of Research on
Project-Based Learning,” The Autodesk Foundation (March 2000): 1–25.
[5]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2021), 6–11.
4.
Integrasi
Deep Learning dalam Ekosistem Pendidikan
Pemanfaatan deep learning dalam dunia
pendidikan membuka babak baru dalam pendekatan pembelajaran yang berbasis data,
personal, dan adaptif. Teknologi ini memungkinkan sistem untuk memahami pola perilaku
siswa, memprediksi kebutuhan belajar, serta menyesuaikan pengalaman
pembelajaran secara real-time.¹ Dalam ekosistem pendidikan modern, deep
learning berperan sebagai enabler (pendukung) untuk menciptakan sistem
pembelajaran cerdas yang mampu mengakomodasi prinsip Kurikulum Merdeka, seperti
diferensiasi dan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
Salah satu aplikasi paling menonjol dari deep
learning adalah dalam adaptive learning systems. Sistem ini menggunakan
data hasil belajar siswa untuk secara otomatis menyesuaikan tingkat kesulitan,
jenis konten, dan gaya penyajian materi. Dengan algoritma deep learning, sistem
mampu menganalisis interaksi siswa dengan materi ajar dan menyesuaikan
pendekatan pedagogis sesuai dengan gaya belajar dan tingkat penguasaan
individu.² Model ini memberikan fleksibilitas dalam diferensiasi pembelajaran
yang menjadi inti dari Kurikulum Merdeka.
Selain itu, deep learning juga digunakan dalam learning
analytics, yaitu analisis data pendidikan untuk memahami, memprediksi, dan
mengoptimalkan proses belajar. Dengan mengolah data aktivitas siswa di platform
digital, guru dapat memperoleh wawasan tentang area kesulitan siswa,
keterlibatan dalam tugas, dan kecenderungan perilaku belajar.³ Informasi ini
berguna untuk merancang intervensi pembelajaran yang lebih tepat sasaran dan
mendukung asesmen formatif yang berbasis data.
Teknologi ini juga mulai diterapkan dalam pembuatan
konten otomatis dan chatbot edukatif, yang memungkinkan guru dan
siswa mengakses materi ajar yang relevan secara efisien. Misalnya, platform
yang didukung AI dapat menghasilkan soal latihan berdasarkan indikator capaian
pembelajaran atau menjawab pertanyaan siswa secara otomatis melalui antarmuka
dialog interaktif.⁴ Fitur-fitur semacam ini dapat memperluas akses dan
mendukung keberlangsungan pembelajaran di luar ruang kelas fisik.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang menekankan
pembelajaran bermakna dan kontekstual, deep learning dapat digunakan untuk menyusun
pembelajaran berbasis proyek yang relevan dengan data dunia nyata.
Misalnya, siswa dapat menganalisis data lingkungan atau ekonomi lokal
menggunakan alat bantu berbasis AI untuk menghasilkan solusi nyata dalam
kehidupan mereka.⁵ Integrasi ini memungkinkan penguatan critical thinking
dan problem solving secara otentik, selaras dengan dimensi Profil
Pelajar Pancasila.
Namun, keberhasilan integrasi ini sangat bergantung
pada kesiapan infrastruktur, kompetensi pendidik, serta kebijakan yang
mendukung integrasi teknologi dalam pendidikan. Maka dari itu, deep learning
tidak hanya harus dipahami sebagai alat bantu teknis, tetapi juga sebagai
bagian dari ekosistem pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan potensi
siswa secara holistik.
Footnotes
[1]
Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An
Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 7–14.
[2]
Ryan Baker dan George Siemens, “Educational Data
Mining and Learning Analytics,” dalam Cambridge Handbook of the Learning
Sciences, ed. R. Keith Sawyer, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University
Press, 2014), 253–274.
[3]
George Siemens dan Dragan Gašević, “Learning
Analytics and Educational Data Mining: Towards Communication and
Collaboration,” Proceedings of the 2nd International Conference on Learning
Analytics and Knowledge (2012): 252–254.
[4]
Andreas Dengel et al., “AI in Education: Challenges
and Opportunities,” International Journal of Artificial Intelligence in
Education 30, no. 3 (2020): 405–412.
[5]
Justin Reich dan José A. Ruipérez-Valiente, “The
MOOC Pivot,” Science 363, no. 6423 (2019): 130–131.
5.
Potensi
Deep Learning dalam Mendukung Profil Pelajar Pancasila
Profil Pelajar Pancasila merupakan arah utama
pengembangan karakter dan kompetensi siswa dalam Kurikulum Merdeka, yang
mencerminkan enam dimensi utama: (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan
berakhlak mulia, (2) berkebinekaan global, (3) gotong royong, (4) mandiri, (5)
bernalar kritis, dan (6) kreatif.¹ Deep learning sebagai bagian dari kecerdasan
buatan memiliki potensi signifikan dalam mendukung pencapaian profil ini secara
lebih kontekstual, personal, dan adaptif.
Pertama, pada aspek bernalar kritis,
algoritma deep learning dapat digunakan dalam platform pembelajaran untuk
menghadirkan analisis berbasis data nyata, yang mendorong siswa
mengevaluasi informasi, menarik kesimpulan, dan menyusun argumen. Sistem
rekomendasi pembelajaran yang ditenagai oleh deep learning juga dapat
menyajikan pertanyaan-pertanyaan reflektif dan studi kasus yang menstimulasi
kemampuan berpikir tingkat tinggi.²
Kedua, dalam dimensi kreatif, teknologi ini
memungkinkan pengembangan konten pembelajaran yang bersifat interaktif, seperti
pembuatan video otomatis, desain multimedia berbasis AI, dan simulasi realitas
virtual. Fasilitas ini dapat memicu ekspresi ide dan inovasi siswa dalam
berbagai bentuk, mendorong mereka berpikir out-of-the-box dan bereksperimen
dengan solusi baru dalam tugas berbasis proyek.³
Ketiga, untuk mendukung kemandirian, sistem
pembelajaran adaptif berbasis deep learning memungkinkan siswa belajar secara self-paced
sesuai gaya dan ritme masing-masing. Fitur-fitur seperti umpan balik instan,
pemetaan kekuatan dan kelemahan belajar, serta jalur pembelajaran personal
menjadikan peserta didik lebih otonom dalam mengejar capaian pembelajaran.⁴
Dalam dimensi gotong royong dan kebinekaan
global, deep learning juga dapat mendorong kolaborasi siswa lintas latar
belakang melalui platform pembelajaran berbasis AI yang mendukung komunikasi
lintas bahasa, kerja tim daring, dan eksplorasi budaya digital. Teknologi NLP
(Natural Language Processing) misalnya, memungkinkan siswa berdialog dalam
bahasa yang berbeda dengan bantuan terjemahan otomatis berbasis deep learning,
menciptakan ruang belajar yang inklusif dan multikultural.⁵
Adapun dalam mendukung aspek religius dan akhlak
mulia, meskipun teknologi tidak dapat menggantikan peran pembinaan nilai
secara langsung, deep learning dapat membantu guru mengidentifikasi pola
perilaku siswa dalam lingkungan digital (misalnya, etika digital, kesopanan
dalam diskusi daring), serta memberi peringatan dini terhadap potensi
penyimpangan.⁶ Ini memberikan kesempatan kepada pendidik untuk menanamkan nilai
melalui pendekatan berbasis data dan kontekstual.
Dengan demikian, deep learning bukan hanya alat
bantu teknis, melainkan dapat menjadi katalisator pembentukan pelajar yang
unggul secara kompetensi dan karakter, sesuai cita-cita Kurikulum Merdeka.
Namun, integrasi teknologi ini perlu dijalankan dengan kesadaran pedagogis dan
etika yang kuat agar tetap berada dalam kerangka pendidikan yang memanusiakan
manusia.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2021), 4–7.
[2]
Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An
Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 17–21.
[3]
Andreas Dengel et al., “AI in Education: Challenges
and Opportunities,” International Journal of Artificial Intelligence in
Education 30, no. 3 (2020): 406–408.
[4]
Ryan Baker dan George Siemens, “Educational Data
Mining and Learning Analytics,” dalam Cambridge Handbook of the Learning
Sciences, ed. R. Keith Sawyer, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University
Press, 2014), 260–265.
[5]
George Veletsianos dan Royce Kimmons, “Assumptions,
Challenges, and Implications of Learning Analytics,” The Internet and Higher
Education 18 (2013): 21–23.
[6]
Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical
Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and
Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 696–699.
6.
Studi
Kasus: Implementasi Deep Learning di Lingkungan Pendidikan
Implementasi
teknologi deep learning dalam pendidikan
telah menunjukkan hasil yang menjanjikan di berbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia. Studi kasus dari praktik-praktik nyata berikut menggambarkan
bagaimana teknologi ini diterapkan untuk mendukung pembelajaran yang lebih
adaptif, personal, dan berbasis data, yang selaras dengan semangat Kurikulum
Merdeka.
6.1. Kasus Internasional: Squirrel AI (Tiongkok)
Salah satu contoh
paling sukses dari penerapan deep learning di bidang pendidikan adalah Squirrel
AI, sebuah platform pembelajaran adaptif di Tiongkok. Dengan
memanfaatkan algoritma deep learning, platform ini mampu menganalisis perilaku
belajar setiap siswa hingga ke tingkat granular—seperti waktu respon terhadap
pertanyaan, pola kesalahan, hingga kecepatan belajar—untuk kemudian
menyesuaikan konten secara otomatis.¹ Dalam sebuah uji coba, siswa yang
menggunakan Squirrel AI menunjukkan peningkatan hasil belajar 50–80% lebih
tinggi dibanding kelompok kontrol yang diajar secara konvensional.² Hal ini
menunjukkan efektivitas teknologi dalam mendukung diferensiasi pembelajaran dan
optimalisasi potensi individu.
6.2. Kasus Amerika Serikat: Carnegie Learning
Platform Carnegie
Learning di Amerika Serikat mengembangkan sistem pembelajaran
matematika berbasis deep learning yang mengintegrasikan Natural Language
Processing (NLP) untuk memberikan umpan balik secara real-time.³ Sistem ini
juga digunakan untuk mengukur tingkat keterlibatan dan pemahaman siswa secara
langsung, serta memberikan laporan analitik kepada guru untuk membantu
pengambilan keputusan pedagogis. Teknologi ini membantu memperkuat pembelajaran
berbasis proyek (Project-Based Learning) dan asesmen formatif, dua elemen
penting dalam Kurikulum Merdeka.
6.3. Kasus Indonesia: Zenius dan Ruangguru
Di Indonesia, dua
startup edtech terkemuka—Zenius dan Ruangguru—telah
mulai mengintegrasikan komponen AI, termasuk deep learning, dalam layanan
mereka. Ruangguru menggunakan teknologi untuk memberikan rekomendasi materi
belajar personal dan mengelola asesmen adaptif.⁴ Sementara Zenius mengembangkan
platform "Zenius Adaptive Learning" yang mengandalkan pemrosesan data
belajar untuk menyesuaikan jalur pembelajaran siswa. Meskipun penerapan
teknologi ini belum sepenuhnya berbasis deep learning dalam bentuk kompleks,
arah pengembangannya selaras dengan pendekatan tersebut dan menjanjikan
integrasi yang lebih dalam di masa depan.
6.4. Pembelajaran Kontekstual Berbasis AI di Sekolah
Indonesia
Beberapa sekolah di
Indonesia, terutama yang menjadi pilot project Sekolah Penggerak, telah
mengadopsi teknologi pembelajaran berbasis AI untuk mengelola aktivitas belajar
daring dan luring secara terpadu. Platform seperti Quipper
School dan Google Classroom telah
digunakan bersama sistem evaluasi yang ditingkatkan oleh algoritma prediktif
untuk memantau kemajuan siswa.⁵ Meskipun sistem ini belum sepenuhnya
menggunakan arsitektur deep learning, penerapan prinsip-prinsip pembelajaran
adaptif dan analitik yang mendalam menandai kemajuan awal menuju integrasi
teknologi lanjutan.
Melalui berbagai
studi kasus ini, terlihat bahwa penerapan deep learning tidak hanya
meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi juga memberdayakan guru melalui data
analitik yang relevan. Namun, keberhasilan implementasi sangat dipengaruhi oleh
kesiapan infrastruktur, pelatihan guru, serta keberpihakan kebijakan pendidikan
terhadap inovasi teknologi.
Footnotes
[1]
Yong Zhao dan Gaowei Chen, “The Rise of AI in Education: Opportunities
and Challenges,” ECNU Review of Education 2, no. 3 (2019): 343–356.
[2]
Xiaodong He, “Squirrel AI Learning: Personalized Education at Scale,” Proceedings
of the International Conference on Artificial Intelligence and Education
(Beijing: Springer, 2018), 12–16.
[3]
Steven Ritter et al., “Cognitive Tutor: Applied Research in Mathematics
Education,” Psychonomic Bulletin & Review 14, no. 2 (2007):
249–255.
[4]
Ruangguru, “Laporan Dampak Sosial Ruangguru 2021,” diakses 30 April
2025, https://www.ruangguru.com/dampak.
[5]
Daryanto dan Mulyadi, Inovasi Pembelajaran di Era Digital
(Yogyakarta: Gava Media, 2021), 65–70.
7.
Tantangan
dan Etika Penggunaan Deep Learning di Sekolah
Meskipun deep
learning menawarkan berbagai peluang transformasi dalam sistem
pendidikan, penerapannya di lingkungan sekolah, khususnya dalam konteks
Kurikulum Merdeka, tidak lepas dari berbagai tantangan dan pertimbangan etika.
Tantangan-tantangan ini perlu dicermati secara kritis agar integrasi teknologi
tidak menimbulkan dampak negatif yang kontraproduktif terhadap tujuan
pendidikan yang memanusiakan manusia.
7.1. Kesenjangan Akses dan Infrastruktur Teknologi
Salah satu tantangan
utama adalah kesenjangan digital yang masih
nyata di berbagai wilayah Indonesia. Penerapan deep learning membutuhkan
infrastruktur yang memadai, seperti koneksi internet cepat, perangkat keras
yang kompatibel, dan sistem manajemen data yang canggih. Namun, banyak sekolah
di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) masih belum memiliki fasilitas
dasar tersebut.¹ Ketimpangan ini berpotensi memperdalam jurang digital dan
memperkuat ketidaksetaraan dalam akses pendidikan berkualitas.
7.2. Kompetensi Guru dan Kesiapan SDM
Implementasi deep
learning juga mensyaratkan peningkatan kapasitas guru dan
tenaga kependidikan dalam hal literasi data, penguasaan TPACK (Technological
Pedagogical Content Knowledge), serta pemahaman algoritma dasar AI.² Tanpa
pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan, penggunaan teknologi cerdas
berisiko menjadi sekadar formalitas tanpa dampak nyata dalam praktik
pembelajaran.
7.3. Privasi Data dan Perlindungan Siswa
Etika penggunaan
deep learning sangat terkait dengan isu perlindungan data pribadi siswa.
Teknologi ini mengandalkan pengumpulan dan analisis data dalam jumlah besar
(big data), termasuk data perilaku, preferensi belajar, dan rekam jejak
digital.³ Tanpa regulasi yang jelas, praktik ini dapat melanggar hak privasi
siswa dan membuka celah bagi penyalahgunaan data oleh pihak ketiga.
7.4. Bias Algoritmik dan Keadilan Pendidikan
Algoritma deep
learning dibentuk dari data latih yang digunakan dalam proses pembelajaran
mesin. Jika data tersebut mengandung bias (ras, gender, sosial-ekonomi), maka
output sistem juga akan mencerminkan bias tersebut.⁴ Dalam konteks pendidikan,
hal ini dapat berdampak pada ketidakadilan perlakuan terhadap siswa yang
berasal dari kelompok minoritas atau latar belakang tertentu. Oleh karena itu,
transparansi dan audit algoritmik sangat penting dalam penerapannya.
7.5. Ketergantungan pada Teknologi dan Dehumanisasi
Pendidikan
Penggunaan deep
learning secara berlebihan juga dapat menimbulkan kekhawatiran akan dehumanisasi
proses pendidikan. Pendidikan bukan hanya soal efisiensi dan
prediksi, tetapi juga menyangkut hubungan antarmanusia, nilai-nilai luhur,
serta pembentukan karakter.⁵ Maka, teknologi harus menjadi pelengkap, bukan
pengganti interaksi pedagogis yang humanis.
Dengan
mempertimbangkan tantangan dan etika ini, penerapan deep learning di sekolah
memerlukan pendekatan yang holistik, yang mencakup regulasi, pengawasan,
pelatihan, serta kebijakan yang berpihak pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, yang mengusung nilai inklusivitas dan
personalisasi, penggunaan teknologi cerdas harus dilakukan secara hati-hati
agar tetap mendukung visi pendidikan nasional yang utuh dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peta Jalan Transformasi Digital Pendidikan Indonesia 2021–2024
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 9–13.
[2]
Punya Hartono dan Sri Wahyuni, Literasi Teknologi untuk Guru Era
Digital (Bandung: Alfabeta, 2022), 45–51.
[3]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York:
PublicAffairs, 2019), 210–221.
[4]
Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the
Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–21.
[5]
Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI
Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and
Machines 28, no. 4 (2018): 694–700.
8.
Strategi
Implementasi Deep Learning dalam Kurikulum Merdeka
Agar teknologi deep
learning dapat diintegrasikan secara efektif dalam praktik
pendidikan yang diatur oleh Kurikulum Merdeka, diperlukan
strategi implementasi yang bersifat sistemik, kolaboratif, dan etis. Strategi
ini harus memperhatikan kesesuaian antara kapasitas teknologi dan nilai-nilai
pedagogis yang terkandung dalam kurikulum, sekaligus menjawab tantangan
infrastruktur, sumber daya manusia, dan regulasi pendidikan.
8.1. Penguatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan TPACK
dan AI Literacy
Strategi pertama
adalah memperkuat kompetensi guru melalui
pelatihan berbasis TPACK (Technological Pedagogical Content
Knowledge) dan literasi kecerdasan buatan.¹ Guru perlu
dipersiapkan tidak hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi juga sebagai
pendidik yang memahami prinsip kerja algoritma, bias data, serta bagaimana
mengintegrasikan teknologi secara pedagogis dalam pembelajaran yang kontekstual
dan diferensiatif. Pendampingan berkelanjutan dan coaching praktis menjadi kunci
penguatan ini.
8.2. Pengembangan Kemitraan antara Pemerintah, Sekolah,
dan Industri Teknologi
Implementasi deep
learning tidak dapat berdiri sendiri. Perlu dibangun kemitraan
strategis antara pemerintah (sebagai regulator dan
fasilitator), sekolah (sebagai pelaksana), dan industri teknologi (sebagai
inovator).² Model kolaboratif ini memungkinkan penyediaan teknologi yang sesuai
dengan konteks lokal, sekaligus menjamin transfer pengetahuan dan adaptasi
sistem secara berkelanjutan. Inisiatif seperti edtech sandbox atau pilot project
AI di sekolah-sekolah penggerak dapat menjadi langkah awal.
8.3. Integrasi Deep Learning dalam Model Pembelajaran
Kurikulum Merdeka
Deep learning harus
diintegrasikan secara inheren ke dalam model pembelajaran Kurikulum
Merdeka, seperti Project-Based Learning (PjBL), Discovery
Learning, dan Problem-Based Learning (PBL).³
Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk menyusun proyek berbasis data,
memberikan umpan balik otomatis selama proses belajar, dan menyusun asesmen
formatif yang adaptif. Hal ini memperkuat karakteristik pembelajaran yang
kolaboratif, reflektif, dan relevan dengan dunia nyata.
8.4. Penguatan Infrastruktur dan Sistem Manajemen Data
Keberhasilan integrasi
deep learning sangat tergantung pada tersedianya infrastruktur
digital dan sistem pengelolaan data yang handal. Pemerintah
daerah dan pusat perlu menjamin konektivitas, penyediaan perangkat keras, dan
platform pembelajaran yang mendukung AI.⁴ Selain itu, harus dikembangkan sistem
manajemen data terintegrasi yang memperhatikan prinsip keamanan, transparansi,
dan privasi pengguna.
8.5. Penyusunan Regulasi Etika dan Kebijakan Teknologi
Pendidikan
Strategi terakhir
adalah menetapkan regulasi yang jelas dan etis
dalam penggunaan teknologi berbasis AI di pendidikan. Hal ini mencakup
pengaturan perlindungan data siswa, audit algoritma, transparansi dalam
penggunaan AI, dan kebijakan keberpihakan kepada kelompok rentan.⁵ Etika
teknologi harus menjadi bagian dari kurikulum dan kebijakan, bukan sekadar
wacana pelengkap.
Dengan mengadopsi
strategi-strategi di atas, integrasi deep learning dalam Kurikulum Merdeka
dapat diwujudkan secara bertanggung jawab, inklusif, dan berdampak. Teknologi
ini, bila digunakan secara bijaksana, dapat memperkuat capaian pembelajaran dan
karakter siswa sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila.
Footnotes
[1]
Matthew J. Koehler dan Punya Mishra, “What Is Technological Pedagogical
Content Knowledge (TPACK)?,” Contemporary Issues in Technology and Teacher
Education 9, no. 1 (2009): 60–70.
[2]
Michael Fullan, The New Meaning of Educational Change, 5th ed.
(New York: Teachers College Press, 2021), 145–160.
[3]
John W. Thomas, “A Review of Research on Project-Based Learning,” The
Autodesk Foundation (March 2000): 11–18.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peta Jalan Transformasi Digital Pendidikan Indonesia 2021–2024
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 15–22.
[5]
Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the
Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–12.
9.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
Penerapan teknologi deep learning dalam
dunia pendidikan, khususnya dalam kerangka Kurikulum Merdeka,
menghadirkan peluang besar untuk merealisasikan pembelajaran yang adaptif,
personal, dan berbasis data. Deep learning memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan proses belajar dengan kebutuhan individu siswa, menyediakan umpan
balik instan, serta menganalisis pola belajar untuk meningkatkan efektivitas
pembelajaran.¹ Hal ini sejalan dengan prinsip utama Kurikulum Merdeka yang
menekankan diferensiasi pembelajaran, asesmen formatif, dan penguatan karakter
melalui Profil Pelajar Pancasila.
Namun demikian, pemanfaatan deep learning di
lingkungan pendidikan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari
keterbatasan infrastruktur dan literasi teknologi, hingga permasalahan etika
dan perlindungan data pribadi.² Ketimpangan akses dan kompetensi pendidik dapat
menjadi hambatan utama dalam pemerataan manfaat teknologi ini. Di sisi lain,
penggunaan teknologi yang tidak disertai dengan prinsip etika dan pengawasan
yang ketat justru dapat menimbulkan dampak negatif, seperti dehumanisasi
pendidikan dan bias algoritmik.³
Oleh karena itu, strategi implementasi yang
berlandaskan pendekatan sistemik dan etis menjadi sangat krusial. Beberapa
langkah strategis yang direkomendasikan adalah:
1)
Meningkatkan kapasitas guru dan tenaga pendidik melalui pelatihan literasi AI dan pendekatan
pedagogi berbasis TPACK, guna mengintegrasikan teknologi secara reflektif dalam
proses pembelajaran.⁴
2)
Mengembangkan kemitraan multisektor antara pemerintah, satuan pendidikan, dan industri teknologi untuk
memastikan ketersediaan sumber daya, infrastruktur, dan inovasi yang relevan
secara lokal.
3)
Mendorong penggunaan deep learning dalam model pembelajaran aktif seperti Project-Based Learning, yang
memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan data dan konteks nyata.
4)
Menyusun regulasi etika dan kebijakan perlindungan data yang komprehensif, sebagai dasar hukum penggunaan
teknologi berbasis AI di lingkungan pendidikan.
5)
Memastikan bahwa penggunaan teknologi memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar meningkatkan efisiensi atau
kuantitas capaian belajar. Deep learning harus menjadi alat untuk memberdayakan
siswa sebagai manusia seutuhnya—berpengetahuan, berkarakter, dan berpikir
kritis.
Secara keseluruhan, deep learning dapat menjadi
katalisator transformasi pendidikan di Indonesia apabila diterapkan dengan
bijak, inklusif, dan berpihak pada nilai-nilai pendidikan yang humanistik.
Dengan pendekatan ini, Kurikulum Merdeka tidak hanya akan menjadi dokumen
reformasi kurikulum, tetapi juga sebuah platform inovasi pendidikan yang
merespons tantangan zaman secara visioner dan transformatif.
Footnotes
[1]
Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An
Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 13–21.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Peta Jalan Transformasi Digital Pendidikan
Indonesia 2021–2024 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 9–15.
[3]
Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical
Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and
Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 694–699.
[4]
Matthew J. Koehler dan Punya Mishra, “What Is
Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK)?,” Contemporary Issues
in Technology and Teacher Education 9, no. 1 (2009): 62–65.
Daftar Pustaka
Baker, R., & Siemens, G. (2014). Educational
data mining and learning analytics. In R. K. Sawyer (Ed.), Cambridge
handbook of the learning sciences (2nd ed., pp. 253–274). Cambridge
University Press.
Daryanto, & Mulyadi. (2021). Inovasi
pembelajaran di era digital. Gava Media.
Dengel, A., et al. (2020). AI in education:
Challenges and opportunities. International Journal of Artificial
Intelligence in Education, 30(3), 405–412. https://doi.org/10.1007/s40593-020-00193-2
Floridi, L., Cowls, J., Beltrametti, M., Chatila,
R., Chazerand, P., Dignum, V., ... & Vayena, E. (2018). AI4People—An
ethical framework for a good AI society: Opportunities, risks, principles, and
recommendations. Minds and Machines, 28(4), 689–707. https://doi.org/10.1007/s11023-018-9482-5
Fullan, M. (2021). The new meaning of
educational change (5th ed.). Teachers College Press.
Goodfellow, I., Bengio, Y., & Courville, A.
(2016). Deep learning. MIT Press.
Hartono, P., & Wahyuni, S. (2022). Literasi
teknologi untuk guru era digital. Alfabeta.
He, X. (2018). Squirrel AI Learning: Personalized
education at scale. In Proceedings of the International Conference on
Artificial Intelligence and Education (pp. 12–16). Springer.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2021). Profil pelajar Pancasila.
Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2021). Peta jalan transformasi digital
pendidikan Indonesia 2021–2024. Kemendikbudristek.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan implementasi Kurikulum Merdeka.
Kemendikbudristek.
Koehler, M. J., & Mishra, P. (2009). What is
technological pedagogical content knowledge (TPACK)? Contemporary Issues in
Technology and Teacher Education, 9(1), 60–70. https://citejournal.org/volume-9/issue-1-09/general/what-is-technological-pedagogical-content-knowledge
LeCun, Y., Bengio, Y., & Hinton, G. (2015).
Deep learning. Nature, 521(7553), 436–444. https://doi.org/10.1038/nature14539
Luckin, R., Holmes, W., Griffiths, M., &
Forcier, L. B. (2016). Intelligence unleashed: An argument for AI in
education. Pearson.
Mittelstadt, B. D., Allo, P., Taddeo, M., Wachter,
S., & Floridi, L. (2016). The ethics of algorithms: Mapping the debate. Big
Data & Society, 3(2), 1–21. https://doi.org/10.1177/2053951716679679
Nielsen, M. (2015). Neural networks and deep
learning. Determination Press. http://neuralnetworksanddeeplearning.com
Reich, J., & Ruipérez-Valiente, J. A. (2019).
The MOOC pivot. Science, 363(6423), 130–131. https://doi.org/10.1126/science.aav7958
Ritter, S., Anderson, J. R., Koedinger, K. R.,
& Corbett, A. (2007). Cognitive tutor: Applied research in mathematics
education. Psychonomic Bulletin & Review, 14(2), 249–255. https://doi.org/10.3758/BF03194060
Ruangguru. (2021). Laporan dampak sosial
Ruangguru 2021. https://www.ruangguru.com/dampak
Thomas, J. W. (2000). A review of research on
project-based learning. The Autodesk Foundation. http://www.bie.org/research/study/review_of_project_based_learning_2000
Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated
classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). ASCD.
Veletsianos, G., & Kimmons, R. (2013).
Assumptions, challenges, and implications of learning analytics. The
Internet and Higher Education, 18, 21–23. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2013.05.001
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The
development of higher psychological processes. Harvard University Press.
Zhao, Y., & Chen, G. (2019). The rise of AI in
education: Opportunities and challenges. ECNU Review of Education, 2(3),
343–356. https://doi.org/10.1177/2096531119873894
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar