Kamis, 08 Mei 2025

Deep Learning: Peluang, Tantangan, dan Implikasi Pedagogis

Deep Learning

Peluang, Tantangan, dan Implikasi Pedagogis


Abstrak

Transformasi digital yang pesat dalam era kecerdasan buatan telah membuka peluang baru bagi dunia pendidikan, khususnya melalui penerapan deep learning sebagai bagian dari teknologi kecerdasan buatan yang canggih. Artikel ini membahas secara komprehensif peran, potensi, serta tantangan implementasi deep learning dalam kerangka Kurikulum Merdeka di Indonesia. Dengan pendekatan analisis konseptual dan studi kasus, pembahasan difokuskan pada bagaimana teknologi ini dapat mendukung personalisasi pembelajaran, asesmen formatif berbasis data, dan penguatan dimensi Profil Pelajar Pancasila. Artikel ini juga menyoroti berbagai tantangan utama, seperti kesenjangan infrastruktur, kompetensi guru, isu etika dan privasi data, serta potensi bias algoritmik. Melalui strategi implementasi yang mencakup pelatihan guru, kolaborasi lintas sektor, dan pengembangan kebijakan yang berpihak pada etika pendidikan, deep learning dapat menjadi katalisator dalam menciptakan pembelajaran yang lebih kontekstual, inklusif, dan transformatif. Artikel ini diakhiri dengan rekomendasi praktis untuk memastikan bahwa pemanfaatan teknologi dilakukan secara manusiawi dan mendukung visi pendidikan nasional yang holistik.

Kata Kunci: Deep learning, Kurikulum Merdeka, kecerdasan buatan, personalisasi pembelajaran, etika teknologi, pendidikan transformatif, Profil Pelajar Pancasila, TPACK, asesmen formatif, inovasi pendidikan.


PEMBAHASAN

Deep Learning dalam Konteks Kurikulum Merdeka


1.           Pendahuluan

Transformasi digital yang terjadi secara global telah membawa perubahan besar dalam berbagai sektor, termasuk dunia pendidikan. Salah satu inovasi teknologi yang mendapat perhatian luas adalah deep learning, sebuah cabang dari kecerdasan buatan (AI) yang memungkinkan sistem komputer untuk belajar dan membuat keputusan kompleks secara mandiri melalui jaringan saraf tiruan yang berlapis-lapis. Teknologi ini telah digunakan secara luas dalam pengenalan suara, pemrosesan bahasa alami, sistem rekomendasi, hingga personalisasi pembelajaran dalam konteks pendidikan digital masa kini.¹

Di Indonesia, dunia pendidikan juga mengalami perubahan struktural dan konseptual yang signifikan dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini dirancang untuk memberikan kebebasan dan fleksibilitas yang lebih besar kepada pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran, menekankan pendekatan diferensiasi, pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning), serta penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila.² Kurikulum Merdeka tidak hanya menuntut pergeseran paradigma pembelajaran, tetapi juga membuka ruang besar bagi pemanfaatan teknologi cerdas dalam mendukung pengalaman belajar yang lebih adaptif dan kontekstual.

Dalam kerangka tersebut, integrasi deep learning menjadi topik yang strategis untuk dibahas secara kritis dan akademik. Di satu sisi, deep learning berpotensi mendukung pelaksanaan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik Kurikulum Merdeka, seperti asesmen formatif berbasis data, sistem pembelajaran adaptif, dan otomatisasi proses administrasi pendidikan.³ Namun di sisi lain, penerapannya di institusi pendidikan formal menghadapi tantangan serius, seperti kesenjangan teknologi, etika penggunaan data, kesiapan sumber daya manusia, dan kebijakan perlindungan terhadap peserta didik.⁴

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk membahas secara komprehensif peran dan implikasi deep learning dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka. Pembahasan akan mencakup peluang integrasi teknologi ini dalam praktik pendidikan, tantangan implementasinya di satuan pendidikan, serta rekomendasi strategis untuk mewujudkan ekosistem pendidikan yang inovatif dan berkeadilan. Harapannya, artikel ini dapat memberikan wawasan dan pemahaman yang mendalam kepada para pendidik, pengambil kebijakan, serta pengembang teknologi pendidikan di Indonesia.


Footnotes

[1]                Ian Goodfellow, Yoshua Bengio, dan Aaron Courville, Deep Learning (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 1–10.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 5–12.

[3]                Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 10–16.

[4]                Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 689–707.


2.           Konsep Dasar Deep Learning

Deep learning merupakan cabang dari machine learning (pembelajaran mesin) yang meniru cara kerja otak manusia dalam memproses data dan menciptakan pola untuk digunakan dalam pengambilan keputusan. Istilah ini merujuk pada algoritma yang menggunakan artificial neural networks (ANNs), yakni sistem komputasi yang terinspirasi oleh jaringan saraf biologis. Ciri khas dari deep learning adalah keberadaan banyak lapisan (layers) dalam jaringan tersebut, yang memungkinkan sistem untuk secara bertahap mengenali fitur-fitur kompleks dari data mentah.¹

Jaringan saraf tiruan dalam deep learning tersusun dalam tiga jenis lapisan utama: input layer, hidden layers, dan output layer. Lapisan tersembunyi (hidden layers) yang bertingkat inilah yang membedakan deep learning dari model pembelajaran mesin tradisional. Melalui proses forward propagation dan backpropagation, sistem melakukan pembelajaran dari data secara berulang untuk meningkatkan akurasi prediksi atau klasifikasi.²

Kemampuan deep learning untuk memproses data dalam jumlah besar (big data) menjadikannya sangat efektif dalam menangani tugas-tugas kompleks seperti pengenalan wajah, pemrosesan bahasa alami (NLP), deteksi objek, dan sistem rekomendasi. Teknologi ini telah menjadi dasar dalam banyak inovasi AI modern, termasuk asisten virtual seperti Siri dan Google Assistant, serta sistem e-learning adaptif.³

Dalam konteks pendidikan, keunggulan utama deep learning terletak pada kemampuannya membangun model prediktif berdasarkan perilaku siswa, menyesuaikan materi pembelajaran secara personal, dan memberikan umpan balik otomatis. Ini sejalan dengan pendekatan Kurikulum Merdeka yang menekankan personalisasi, asesmen formatif, dan diferensiasi pembelajaran.⁴

Meski demikian, untuk mengimplementasikan deep learning secara optimal dalam ekosistem pendidikan, dibutuhkan pemahaman teknis, infrastruktur teknologi, serta pendekatan etis dan pedagogis yang memadai. Maka dari itu, pemahaman yang kuat terhadap prinsip dasar dan kerja algoritmik deep learning menjadi fondasi penting sebelum teknologi ini digunakan secara luas dalam konteks pendidikan di Indonesia.


Footnotes

[1]                Ian Goodfellow, Yoshua Bengio, dan Aaron Courville, Deep Learning (Cambridge, MA: MIT Press, 2016), 5–14.

[2]                Michael Nielsen, Neural Networks and Deep Learning (San Francisco: Determination Press, 2015), 51–75.

[3]                Yann LeCun, Yoshua Bengio, dan Geoffrey Hinton, “Deep Learning,” Nature 521, no. 7553 (2015): 436–444.

[4]                Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 13–19.


3.           Landasan Filosofis dan Pedagogis Kurikulum Merdeka

Kurikulum Merdeka yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia merupakan respons terhadap kebutuhan pembelajaran abad ke-21 yang lebih kontekstual, fleksibel, dan berpusat pada peserta didik. Secara filosofis, kurikulum ini berakar pada pendekatan humanistik dan konstruktivistik, yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam proses pembelajaran, bukan sekadar objek yang menerima pengetahuan.¹

Dalam paradigma konstruktivisme, pengetahuan tidak ditransfer secara linier dari guru ke siswa, melainkan dibangun melalui proses interaksi antara pengalaman baru dan struktur kognitif yang sudah ada.² Pendekatan ini menuntut pembelajaran yang bersifat kontekstual, bermakna, dan reflektif—sesuatu yang secara inheren sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka. Dalam kerangka ini, peran guru bergeser menjadi fasilitator pembelajaran, bukan lagi sebagai satu-satunya sumber informasi.

Secara pedagogis, Kurikulum Merdeka menekankan diferensiasi pembelajaran, yaitu menyesuaikan proses, konten, dan produk pembelajaran dengan kebutuhan, minat, dan kesiapan peserta didik.³ Selain itu, kurikulum ini juga memperkuat praktik Project-Based Learning (PjBL), Discovery Learning, dan Problem-Based Learning (PBL) yang bertujuan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kolaboratif, dan kreatif.⁴ Pendekatan ini membuka peluang besar bagi integrasi teknologi cerdas seperti deep learning, yang memiliki potensi untuk mendukung pembelajaran yang bersifat adaptif dan personal.

Elemen utama lainnya dari Kurikulum Merdeka adalah penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila, yang mencakup enam dimensi utama: beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME serta berakhlak mulia; berkebinekaan global; bergotong royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif.⁵ Tujuan ini selaras dengan transformasi digital yang tidak hanya menekankan penguasaan teknologi, tetapi juga membangun nilai-nilai etik, tanggung jawab sosial, dan kesadaran global. Dalam hal ini, integrasi teknologi seperti deep learning perlu diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang utuh—baik dari sisi akademik maupun karakter.

Dengan demikian, Kurikulum Merdeka memberikan fondasi yang kuat bagi pemanfaatan teknologi pendidikan berbasis AI. Namun, pemanfaatannya harus didasarkan pada pemahaman terhadap nilai-nilai pedagogis yang menyertainya agar teknologi tidak menjadi alat yang menstandarkan peserta didik, melainkan sebagai sarana untuk menghormati dan mengembangkan potensi unik setiap individu.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Panduan Implementasi Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 4–7.

[2]                Lev S. Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978), 79–91.

[3]                Carol Ann Tomlinson, The Differentiated Classroom: Responding to the Needs of All Learners, 2nd ed. (Alexandria, VA: ASCD, 2014), 2–14.

[4]                John W. Thomas, “A Review of Research on Project-Based Learning,” The Autodesk Foundation (March 2000): 1–25.

[5]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 6–11.


4.           Integrasi Deep Learning dalam Ekosistem Pendidikan

Pemanfaatan deep learning dalam dunia pendidikan membuka babak baru dalam pendekatan pembelajaran yang berbasis data, personal, dan adaptif. Teknologi ini memungkinkan sistem untuk memahami pola perilaku siswa, memprediksi kebutuhan belajar, serta menyesuaikan pengalaman pembelajaran secara real-time.¹ Dalam ekosistem pendidikan modern, deep learning berperan sebagai enabler (pendukung) untuk menciptakan sistem pembelajaran cerdas yang mampu mengakomodasi prinsip Kurikulum Merdeka, seperti diferensiasi dan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.

Salah satu aplikasi paling menonjol dari deep learning adalah dalam adaptive learning systems. Sistem ini menggunakan data hasil belajar siswa untuk secara otomatis menyesuaikan tingkat kesulitan, jenis konten, dan gaya penyajian materi. Dengan algoritma deep learning, sistem mampu menganalisis interaksi siswa dengan materi ajar dan menyesuaikan pendekatan pedagogis sesuai dengan gaya belajar dan tingkat penguasaan individu.² Model ini memberikan fleksibilitas dalam diferensiasi pembelajaran yang menjadi inti dari Kurikulum Merdeka.

Selain itu, deep learning juga digunakan dalam learning analytics, yaitu analisis data pendidikan untuk memahami, memprediksi, dan mengoptimalkan proses belajar. Dengan mengolah data aktivitas siswa di platform digital, guru dapat memperoleh wawasan tentang area kesulitan siswa, keterlibatan dalam tugas, dan kecenderungan perilaku belajar.³ Informasi ini berguna untuk merancang intervensi pembelajaran yang lebih tepat sasaran dan mendukung asesmen formatif yang berbasis data.

Teknologi ini juga mulai diterapkan dalam pembuatan konten otomatis dan chatbot edukatif, yang memungkinkan guru dan siswa mengakses materi ajar yang relevan secara efisien. Misalnya, platform yang didukung AI dapat menghasilkan soal latihan berdasarkan indikator capaian pembelajaran atau menjawab pertanyaan siswa secara otomatis melalui antarmuka dialog interaktif.⁴ Fitur-fitur semacam ini dapat memperluas akses dan mendukung keberlangsungan pembelajaran di luar ruang kelas fisik.

Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran bermakna dan kontekstual, deep learning dapat digunakan untuk menyusun pembelajaran berbasis proyek yang relevan dengan data dunia nyata. Misalnya, siswa dapat menganalisis data lingkungan atau ekonomi lokal menggunakan alat bantu berbasis AI untuk menghasilkan solusi nyata dalam kehidupan mereka.⁵ Integrasi ini memungkinkan penguatan critical thinking dan problem solving secara otentik, selaras dengan dimensi Profil Pelajar Pancasila.

Namun, keberhasilan integrasi ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, kompetensi pendidik, serta kebijakan yang mendukung integrasi teknologi dalam pendidikan. Maka dari itu, deep learning tidak hanya harus dipahami sebagai alat bantu teknis, tetapi juga sebagai bagian dari ekosistem pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan potensi siswa secara holistik.


Footnotes

[1]                Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 7–14.

[2]                Ryan Baker dan George Siemens, “Educational Data Mining and Learning Analytics,” dalam Cambridge Handbook of the Learning Sciences, ed. R. Keith Sawyer, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 253–274.

[3]                George Siemens dan Dragan Gašević, “Learning Analytics and Educational Data Mining: Towards Communication and Collaboration,” Proceedings of the 2nd International Conference on Learning Analytics and Knowledge (2012): 252–254.

[4]                Andreas Dengel et al., “AI in Education: Challenges and Opportunities,” International Journal of Artificial Intelligence in Education 30, no. 3 (2020): 405–412.

[5]                Justin Reich dan José A. Ruipérez-Valiente, “The MOOC Pivot,” Science 363, no. 6423 (2019): 130–131.


5.           Potensi Deep Learning dalam Mendukung Profil Pelajar Pancasila

Profil Pelajar Pancasila merupakan arah utama pengembangan karakter dan kompetensi siswa dalam Kurikulum Merdeka, yang mencerminkan enam dimensi utama: (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, (2) berkebinekaan global, (3) gotong royong, (4) mandiri, (5) bernalar kritis, dan (6) kreatif.¹ Deep learning sebagai bagian dari kecerdasan buatan memiliki potensi signifikan dalam mendukung pencapaian profil ini secara lebih kontekstual, personal, dan adaptif.

Pertama, pada aspek bernalar kritis, algoritma deep learning dapat digunakan dalam platform pembelajaran untuk menghadirkan analisis berbasis data nyata, yang mendorong siswa mengevaluasi informasi, menarik kesimpulan, dan menyusun argumen. Sistem rekomendasi pembelajaran yang ditenagai oleh deep learning juga dapat menyajikan pertanyaan-pertanyaan reflektif dan studi kasus yang menstimulasi kemampuan berpikir tingkat tinggi.²

Kedua, dalam dimensi kreatif, teknologi ini memungkinkan pengembangan konten pembelajaran yang bersifat interaktif, seperti pembuatan video otomatis, desain multimedia berbasis AI, dan simulasi realitas virtual. Fasilitas ini dapat memicu ekspresi ide dan inovasi siswa dalam berbagai bentuk, mendorong mereka berpikir out-of-the-box dan bereksperimen dengan solusi baru dalam tugas berbasis proyek.³

Ketiga, untuk mendukung kemandirian, sistem pembelajaran adaptif berbasis deep learning memungkinkan siswa belajar secara self-paced sesuai gaya dan ritme masing-masing. Fitur-fitur seperti umpan balik instan, pemetaan kekuatan dan kelemahan belajar, serta jalur pembelajaran personal menjadikan peserta didik lebih otonom dalam mengejar capaian pembelajaran.⁴

Dalam dimensi gotong royong dan kebinekaan global, deep learning juga dapat mendorong kolaborasi siswa lintas latar belakang melalui platform pembelajaran berbasis AI yang mendukung komunikasi lintas bahasa, kerja tim daring, dan eksplorasi budaya digital. Teknologi NLP (Natural Language Processing) misalnya, memungkinkan siswa berdialog dalam bahasa yang berbeda dengan bantuan terjemahan otomatis berbasis deep learning, menciptakan ruang belajar yang inklusif dan multikultural.⁵

Adapun dalam mendukung aspek religius dan akhlak mulia, meskipun teknologi tidak dapat menggantikan peran pembinaan nilai secara langsung, deep learning dapat membantu guru mengidentifikasi pola perilaku siswa dalam lingkungan digital (misalnya, etika digital, kesopanan dalam diskusi daring), serta memberi peringatan dini terhadap potensi penyimpangan.⁶ Ini memberikan kesempatan kepada pendidik untuk menanamkan nilai melalui pendekatan berbasis data dan kontekstual.

Dengan demikian, deep learning bukan hanya alat bantu teknis, melainkan dapat menjadi katalisator pembentukan pelajar yang unggul secara kompetensi dan karakter, sesuai cita-cita Kurikulum Merdeka. Namun, integrasi teknologi ini perlu dijalankan dengan kesadaran pedagogis dan etika yang kuat agar tetap berada dalam kerangka pendidikan yang memanusiakan manusia.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 4–7.

[2]                Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 17–21.

[3]                Andreas Dengel et al., “AI in Education: Challenges and Opportunities,” International Journal of Artificial Intelligence in Education 30, no. 3 (2020): 406–408.

[4]                Ryan Baker dan George Siemens, “Educational Data Mining and Learning Analytics,” dalam Cambridge Handbook of the Learning Sciences, ed. R. Keith Sawyer, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 260–265.

[5]                George Veletsianos dan Royce Kimmons, “Assumptions, Challenges, and Implications of Learning Analytics,” The Internet and Higher Education 18 (2013): 21–23.

[6]                Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 696–699.


6.           Studi Kasus: Implementasi Deep Learning di Lingkungan Pendidikan

Implementasi teknologi deep learning dalam pendidikan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Studi kasus dari praktik-praktik nyata berikut menggambarkan bagaimana teknologi ini diterapkan untuk mendukung pembelajaran yang lebih adaptif, personal, dan berbasis data, yang selaras dengan semangat Kurikulum Merdeka.

6.1.       Kasus Internasional: Squirrel AI (Tiongkok)

Salah satu contoh paling sukses dari penerapan deep learning di bidang pendidikan adalah Squirrel AI, sebuah platform pembelajaran adaptif di Tiongkok. Dengan memanfaatkan algoritma deep learning, platform ini mampu menganalisis perilaku belajar setiap siswa hingga ke tingkat granular—seperti waktu respon terhadap pertanyaan, pola kesalahan, hingga kecepatan belajar—untuk kemudian menyesuaikan konten secara otomatis.¹ Dalam sebuah uji coba, siswa yang menggunakan Squirrel AI menunjukkan peningkatan hasil belajar 50–80% lebih tinggi dibanding kelompok kontrol yang diajar secara konvensional.² Hal ini menunjukkan efektivitas teknologi dalam mendukung diferensiasi pembelajaran dan optimalisasi potensi individu.

6.2.       Kasus Amerika Serikat: Carnegie Learning

Platform Carnegie Learning di Amerika Serikat mengembangkan sistem pembelajaran matematika berbasis deep learning yang mengintegrasikan Natural Language Processing (NLP) untuk memberikan umpan balik secara real-time.³ Sistem ini juga digunakan untuk mengukur tingkat keterlibatan dan pemahaman siswa secara langsung, serta memberikan laporan analitik kepada guru untuk membantu pengambilan keputusan pedagogis. Teknologi ini membantu memperkuat pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) dan asesmen formatif, dua elemen penting dalam Kurikulum Merdeka.

6.3.       Kasus Indonesia: Zenius dan Ruangguru

Di Indonesia, dua startup edtech terkemuka—Zenius dan Ruangguru—telah mulai mengintegrasikan komponen AI, termasuk deep learning, dalam layanan mereka. Ruangguru menggunakan teknologi untuk memberikan rekomendasi materi belajar personal dan mengelola asesmen adaptif.⁴ Sementara Zenius mengembangkan platform "Zenius Adaptive Learning" yang mengandalkan pemrosesan data belajar untuk menyesuaikan jalur pembelajaran siswa. Meskipun penerapan teknologi ini belum sepenuhnya berbasis deep learning dalam bentuk kompleks, arah pengembangannya selaras dengan pendekatan tersebut dan menjanjikan integrasi yang lebih dalam di masa depan.

6.4.       Pembelajaran Kontekstual Berbasis AI di Sekolah Indonesia

Beberapa sekolah di Indonesia, terutama yang menjadi pilot project Sekolah Penggerak, telah mengadopsi teknologi pembelajaran berbasis AI untuk mengelola aktivitas belajar daring dan luring secara terpadu. Platform seperti Quipper School dan Google Classroom telah digunakan bersama sistem evaluasi yang ditingkatkan oleh algoritma prediktif untuk memantau kemajuan siswa.⁵ Meskipun sistem ini belum sepenuhnya menggunakan arsitektur deep learning, penerapan prinsip-prinsip pembelajaran adaptif dan analitik yang mendalam menandai kemajuan awal menuju integrasi teknologi lanjutan.

Melalui berbagai studi kasus ini, terlihat bahwa penerapan deep learning tidak hanya meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi juga memberdayakan guru melalui data analitik yang relevan. Namun, keberhasilan implementasi sangat dipengaruhi oleh kesiapan infrastruktur, pelatihan guru, serta keberpihakan kebijakan pendidikan terhadap inovasi teknologi.


Footnotes

[1]                Yong Zhao dan Gaowei Chen, “The Rise of AI in Education: Opportunities and Challenges,” ECNU Review of Education 2, no. 3 (2019): 343–356.

[2]                Xiaodong He, “Squirrel AI Learning: Personalized Education at Scale,” Proceedings of the International Conference on Artificial Intelligence and Education (Beijing: Springer, 2018), 12–16.

[3]                Steven Ritter et al., “Cognitive Tutor: Applied Research in Mathematics Education,” Psychonomic Bulletin & Review 14, no. 2 (2007): 249–255.

[4]                Ruangguru, “Laporan Dampak Sosial Ruangguru 2021,” diakses 30 April 2025, https://www.ruangguru.com/dampak.

[5]                Daryanto dan Mulyadi, Inovasi Pembelajaran di Era Digital (Yogyakarta: Gava Media, 2021), 65–70.


7.           Tantangan dan Etika Penggunaan Deep Learning di Sekolah

Meskipun deep learning menawarkan berbagai peluang transformasi dalam sistem pendidikan, penerapannya di lingkungan sekolah, khususnya dalam konteks Kurikulum Merdeka, tidak lepas dari berbagai tantangan dan pertimbangan etika. Tantangan-tantangan ini perlu dicermati secara kritis agar integrasi teknologi tidak menimbulkan dampak negatif yang kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan yang memanusiakan manusia.

7.1.       Kesenjangan Akses dan Infrastruktur Teknologi

Salah satu tantangan utama adalah kesenjangan digital yang masih nyata di berbagai wilayah Indonesia. Penerapan deep learning membutuhkan infrastruktur yang memadai, seperti koneksi internet cepat, perangkat keras yang kompatibel, dan sistem manajemen data yang canggih. Namun, banyak sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) masih belum memiliki fasilitas dasar tersebut.¹ Ketimpangan ini berpotensi memperdalam jurang digital dan memperkuat ketidaksetaraan dalam akses pendidikan berkualitas.

7.2.       Kompetensi Guru dan Kesiapan SDM

Implementasi deep learning juga mensyaratkan peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan dalam hal literasi data, penguasaan TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge), serta pemahaman algoritma dasar AI.² Tanpa pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan, penggunaan teknologi cerdas berisiko menjadi sekadar formalitas tanpa dampak nyata dalam praktik pembelajaran.

7.3.       Privasi Data dan Perlindungan Siswa

Etika penggunaan deep learning sangat terkait dengan isu perlindungan data pribadi siswa. Teknologi ini mengandalkan pengumpulan dan analisis data dalam jumlah besar (big data), termasuk data perilaku, preferensi belajar, dan rekam jejak digital.³ Tanpa regulasi yang jelas, praktik ini dapat melanggar hak privasi siswa dan membuka celah bagi penyalahgunaan data oleh pihak ketiga.

7.4.       Bias Algoritmik dan Keadilan Pendidikan

Algoritma deep learning dibentuk dari data latih yang digunakan dalam proses pembelajaran mesin. Jika data tersebut mengandung bias (ras, gender, sosial-ekonomi), maka output sistem juga akan mencerminkan bias tersebut.⁴ Dalam konteks pendidikan, hal ini dapat berdampak pada ketidakadilan perlakuan terhadap siswa yang berasal dari kelompok minoritas atau latar belakang tertentu. Oleh karena itu, transparansi dan audit algoritmik sangat penting dalam penerapannya.

7.5.       Ketergantungan pada Teknologi dan Dehumanisasi Pendidikan

Penggunaan deep learning secara berlebihan juga dapat menimbulkan kekhawatiran akan dehumanisasi proses pendidikan. Pendidikan bukan hanya soal efisiensi dan prediksi, tetapi juga menyangkut hubungan antarmanusia, nilai-nilai luhur, serta pembentukan karakter.⁵ Maka, teknologi harus menjadi pelengkap, bukan pengganti interaksi pedagogis yang humanis.

Dengan mempertimbangkan tantangan dan etika ini, penerapan deep learning di sekolah memerlukan pendekatan yang holistik, yang mencakup regulasi, pengawasan, pelatihan, serta kebijakan yang berpihak pada prinsip keadilan dan kemanusiaan. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, yang mengusung nilai inklusivitas dan personalisasi, penggunaan teknologi cerdas harus dilakukan secara hati-hati agar tetap mendukung visi pendidikan nasional yang utuh dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peta Jalan Transformasi Digital Pendidikan Indonesia 2021–2024 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 9–13.

[2]                Punya Hartono dan Sri Wahyuni, Literasi Teknologi untuk Guru Era Digital (Bandung: Alfabeta, 2022), 45–51.

[3]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 210–221.

[4]                Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–21.

[5]                Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 694–700.


8.           Strategi Implementasi Deep Learning dalam Kurikulum Merdeka

Agar teknologi deep learning dapat diintegrasikan secara efektif dalam praktik pendidikan yang diatur oleh Kurikulum Merdeka, diperlukan strategi implementasi yang bersifat sistemik, kolaboratif, dan etis. Strategi ini harus memperhatikan kesesuaian antara kapasitas teknologi dan nilai-nilai pedagogis yang terkandung dalam kurikulum, sekaligus menjawab tantangan infrastruktur, sumber daya manusia, dan regulasi pendidikan.

8.1.       Penguatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan TPACK dan AI Literacy

Strategi pertama adalah memperkuat kompetensi guru melalui pelatihan berbasis TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge) dan literasi kecerdasan buatan.¹ Guru perlu dipersiapkan tidak hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi juga sebagai pendidik yang memahami prinsip kerja algoritma, bias data, serta bagaimana mengintegrasikan teknologi secara pedagogis dalam pembelajaran yang kontekstual dan diferensiatif. Pendampingan berkelanjutan dan coaching praktis menjadi kunci penguatan ini.

8.2.       Pengembangan Kemitraan antara Pemerintah, Sekolah, dan Industri Teknologi

Implementasi deep learning tidak dapat berdiri sendiri. Perlu dibangun kemitraan strategis antara pemerintah (sebagai regulator dan fasilitator), sekolah (sebagai pelaksana), dan industri teknologi (sebagai inovator).² Model kolaboratif ini memungkinkan penyediaan teknologi yang sesuai dengan konteks lokal, sekaligus menjamin transfer pengetahuan dan adaptasi sistem secara berkelanjutan. Inisiatif seperti edtech sandbox atau pilot project AI di sekolah-sekolah penggerak dapat menjadi langkah awal.

8.3.       Integrasi Deep Learning dalam Model Pembelajaran Kurikulum Merdeka

Deep learning harus diintegrasikan secara inheren ke dalam model pembelajaran Kurikulum Merdeka, seperti Project-Based Learning (PjBL), Discovery Learning, dan Problem-Based Learning (PBL).³ Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk menyusun proyek berbasis data, memberikan umpan balik otomatis selama proses belajar, dan menyusun asesmen formatif yang adaptif. Hal ini memperkuat karakteristik pembelajaran yang kolaboratif, reflektif, dan relevan dengan dunia nyata.

8.4.       Penguatan Infrastruktur dan Sistem Manajemen Data

Keberhasilan integrasi deep learning sangat tergantung pada tersedianya infrastruktur digital dan sistem pengelolaan data yang handal. Pemerintah daerah dan pusat perlu menjamin konektivitas, penyediaan perangkat keras, dan platform pembelajaran yang mendukung AI.⁴ Selain itu, harus dikembangkan sistem manajemen data terintegrasi yang memperhatikan prinsip keamanan, transparansi, dan privasi pengguna.

8.5.       Penyusunan Regulasi Etika dan Kebijakan Teknologi Pendidikan

Strategi terakhir adalah menetapkan regulasi yang jelas dan etis dalam penggunaan teknologi berbasis AI di pendidikan. Hal ini mencakup pengaturan perlindungan data siswa, audit algoritma, transparansi dalam penggunaan AI, dan kebijakan keberpihakan kepada kelompok rentan.⁵ Etika teknologi harus menjadi bagian dari kurikulum dan kebijakan, bukan sekadar wacana pelengkap.

Dengan mengadopsi strategi-strategi di atas, integrasi deep learning dalam Kurikulum Merdeka dapat diwujudkan secara bertanggung jawab, inklusif, dan berdampak. Teknologi ini, bila digunakan secara bijaksana, dapat memperkuat capaian pembelajaran dan karakter siswa sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila.


Footnotes

[1]                Matthew J. Koehler dan Punya Mishra, “What Is Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK)?,” Contemporary Issues in Technology and Teacher Education 9, no. 1 (2009): 60–70.

[2]                Michael Fullan, The New Meaning of Educational Change, 5th ed. (New York: Teachers College Press, 2021), 145–160.

[3]                John W. Thomas, “A Review of Research on Project-Based Learning,” The Autodesk Foundation (March 2000): 11–18.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peta Jalan Transformasi Digital Pendidikan Indonesia 2021–2024 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 15–22.

[5]                Brent Mittelstadt et al., “The Ethics of Algorithms: Mapping the Debate,” Big Data & Society 3, no. 2 (2016): 1–12.


9.           Kesimpulan dan Rekomendasi

Penerapan teknologi deep learning dalam dunia pendidikan, khususnya dalam kerangka Kurikulum Merdeka, menghadirkan peluang besar untuk merealisasikan pembelajaran yang adaptif, personal, dan berbasis data. Deep learning memiliki kemampuan untuk menyesuaikan proses belajar dengan kebutuhan individu siswa, menyediakan umpan balik instan, serta menganalisis pola belajar untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.¹ Hal ini sejalan dengan prinsip utama Kurikulum Merdeka yang menekankan diferensiasi pembelajaran, asesmen formatif, dan penguatan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila.

Namun demikian, pemanfaatan deep learning di lingkungan pendidikan Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan infrastruktur dan literasi teknologi, hingga permasalahan etika dan perlindungan data pribadi.² Ketimpangan akses dan kompetensi pendidik dapat menjadi hambatan utama dalam pemerataan manfaat teknologi ini. Di sisi lain, penggunaan teknologi yang tidak disertai dengan prinsip etika dan pengawasan yang ketat justru dapat menimbulkan dampak negatif, seperti dehumanisasi pendidikan dan bias algoritmik.³

Oleh karena itu, strategi implementasi yang berlandaskan pendekatan sistemik dan etis menjadi sangat krusial. Beberapa langkah strategis yang direkomendasikan adalah:

1)                  Meningkatkan kapasitas guru dan tenaga pendidik melalui pelatihan literasi AI dan pendekatan pedagogi berbasis TPACK, guna mengintegrasikan teknologi secara reflektif dalam proses pembelajaran.⁴

2)                  Mengembangkan kemitraan multisektor antara pemerintah, satuan pendidikan, dan industri teknologi untuk memastikan ketersediaan sumber daya, infrastruktur, dan inovasi yang relevan secara lokal.

3)                  Mendorong penggunaan deep learning dalam model pembelajaran aktif seperti Project-Based Learning, yang memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan data dan konteks nyata.

4)                  Menyusun regulasi etika dan kebijakan perlindungan data yang komprehensif, sebagai dasar hukum penggunaan teknologi berbasis AI di lingkungan pendidikan.

5)                  Memastikan bahwa penggunaan teknologi memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar meningkatkan efisiensi atau kuantitas capaian belajar. Deep learning harus menjadi alat untuk memberdayakan siswa sebagai manusia seutuhnya—berpengetahuan, berkarakter, dan berpikir kritis.

Secara keseluruhan, deep learning dapat menjadi katalisator transformasi pendidikan di Indonesia apabila diterapkan dengan bijak, inklusif, dan berpihak pada nilai-nilai pendidikan yang humanistik. Dengan pendekatan ini, Kurikulum Merdeka tidak hanya akan menjadi dokumen reformasi kurikulum, tetapi juga sebuah platform inovasi pendidikan yang merespons tantangan zaman secara visioner dan transformatif.


Footnotes

[1]                Rose Luckin et al., Intelligence Unleashed: An Argument for AI in Education (London: Pearson, 2016), 13–21.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peta Jalan Transformasi Digital Pendidikan Indonesia 2021–2024 (Jakarta: Kemendikbudristek, 2021), 9–15.

[3]                Luciano Floridi et al., “AI4People—An Ethical Framework for a Good AI Society: Opportunities, Risks, Principles, and Recommendations,” Minds and Machines 28, no. 4 (2018): 694–699.

[4]                Matthew J. Koehler dan Punya Mishra, “What Is Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK)?,” Contemporary Issues in Technology and Teacher Education 9, no. 1 (2009): 62–65.


Daftar Pustaka

Baker, R., & Siemens, G. (2014). Educational data mining and learning analytics. In R. K. Sawyer (Ed.), Cambridge handbook of the learning sciences (2nd ed., pp. 253–274). Cambridge University Press.

Daryanto, & Mulyadi. (2021). Inovasi pembelajaran di era digital. Gava Media.

Dengel, A., et al. (2020). AI in education: Challenges and opportunities. International Journal of Artificial Intelligence in Education, 30(3), 405–412. https://doi.org/10.1007/s40593-020-00193-2

Floridi, L., Cowls, J., Beltrametti, M., Chatila, R., Chazerand, P., Dignum, V., ... & Vayena, E. (2018). AI4People—An ethical framework for a good AI society: Opportunities, risks, principles, and recommendations. Minds and Machines, 28(4), 689–707. https://doi.org/10.1007/s11023-018-9482-5

Fullan, M. (2021). The new meaning of educational change (5th ed.). Teachers College Press.

Goodfellow, I., Bengio, Y., & Courville, A. (2016). Deep learning. MIT Press.

Hartono, P., & Wahyuni, S. (2022). Literasi teknologi untuk guru era digital. Alfabeta.

He, X. (2018). Squirrel AI Learning: Personalized education at scale. In Proceedings of the International Conference on Artificial Intelligence and Education (pp. 12–16). Springer.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2021). Profil pelajar Pancasila. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2021). Peta jalan transformasi digital pendidikan Indonesia 2021–2024. Kemendikbudristek.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Panduan implementasi Kurikulum Merdeka. Kemendikbudristek.

Koehler, M. J., & Mishra, P. (2009). What is technological pedagogical content knowledge (TPACK)? Contemporary Issues in Technology and Teacher Education, 9(1), 60–70. https://citejournal.org/volume-9/issue-1-09/general/what-is-technological-pedagogical-content-knowledge

LeCun, Y., Bengio, Y., & Hinton, G. (2015). Deep learning. Nature, 521(7553), 436–444. https://doi.org/10.1038/nature14539

Luckin, R., Holmes, W., Griffiths, M., & Forcier, L. B. (2016). Intelligence unleashed: An argument for AI in education. Pearson.

Mittelstadt, B. D., Allo, P., Taddeo, M., Wachter, S., & Floridi, L. (2016). The ethics of algorithms: Mapping the debate. Big Data & Society, 3(2), 1–21. https://doi.org/10.1177/2053951716679679

Nielsen, M. (2015). Neural networks and deep learning. Determination Press. http://neuralnetworksanddeeplearning.com

Reich, J., & Ruipérez-Valiente, J. A. (2019). The MOOC pivot. Science, 363(6423), 130–131. https://doi.org/10.1126/science.aav7958

Ritter, S., Anderson, J. R., Koedinger, K. R., & Corbett, A. (2007). Cognitive tutor: Applied research in mathematics education. Psychonomic Bulletin & Review, 14(2), 249–255. https://doi.org/10.3758/BF03194060

Ruangguru. (2021). Laporan dampak sosial Ruangguru 2021. https://www.ruangguru.com/dampak

Thomas, J. W. (2000). A review of research on project-based learning. The Autodesk Foundation. http://www.bie.org/research/study/review_of_project_based_learning_2000

Tomlinson, C. A. (2014). The differentiated classroom: Responding to the needs of all learners (2nd ed.). ASCD.

Veletsianos, G., & Kimmons, R. (2013). Assumptions, challenges, and implications of learning analytics. The Internet and Higher Education, 18, 21–23. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2013.05.001

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.

Zhao, Y., & Chen, G. (2019). The rise of AI in education: Opportunities and challenges. ECNU Review of Education, 2(3), 343–356. https://doi.org/10.1177/2096531119873894

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar