Fallacies of Relevance
Klasifikasi, Mekanisme, dan Dampaknya terhadap
Rasionalitas Berpikir dan Etika Diskursus Publik
Alihkan ke: Fallacies Informal.
Abstrak
Artikel ini membahas secara sistematis salah satu
kategori utama kekeliruan logika informal, yaitu fallacies of relevance
(kekeliruan relevansi), yang mencakup berbagai bentuk argumen menyesatkan
seperti ad hominem, appeal to emotion, red herring, dan straw
man. Meskipun tampak meyakinkan secara retoris, kekeliruan relevansi gagal
secara logis karena menyajikan premis-premis yang tidak mendukung kesimpulan
secara substansial. Artikel ini mengkaji klasifikasi dan mekanisme kerja
kekeliruan ini melalui pendekatan interdisipliner, termasuk logika informal,
teori argumentasi pragmatis, psikologi kognitif, dan etika diskursus. Diuraikan
pula dampak serius yang ditimbulkan terhadap rasionalitas publik, seperti
polarisasi opini, erosi kepercayaan terhadap institusi, dan delegitimasi
praktik deliberatif. Untuk itu, artikel ini menawarkan strategi deteksi dan
penanggulangan kekeliruan relevansi melalui pertanyaan kritis, literasi logika
informal, serta penguatan etika argumentatif. Tujuannya adalah membekali
pembaca dengan wawasan konseptual dan praktis guna menciptakan budaya diskursus
yang rasional, adil, dan bertanggung jawab secara epistemik.
Kata Kunci: Kekeliruan logika informal; fallacies of relevance;
argumentasi; logika informal; relevansi; rasionalitas; diskursus publik; etika
intelektual; heuristik kognitif; literasi kritis.
PEMBAHASAN
Kekeliruan Relevansi dalam Argumen
1.
Pendahuluan
Dalam era disrupsi
informasi dan komunikasi digital yang serba cepat, kemampuan untuk berpikir
kritis dan menyusun argumen yang valid menjadi semakin penting. Sayangnya,
perkembangan wacana publik sering kali tercemari oleh berbagai bentuk
kekeliruan berpikir yang tidak hanya mengaburkan substansi persoalan, tetapi
juga menyesatkan nalar audiens. Salah satu bentuk kekeliruan yang paling umum
dan subtil adalah fallacies of relevance (kekeliruan
relevansi), yakni argumen yang tampak meyakinkan secara retoris tetapi gagal
secara logis karena menyajikan premis yang tidak relevan terhadap kesimpulan
yang diajukan. Kekeliruan jenis ini berbahaya karena dapat memperdaya bahkan
pemirsa yang berpendidikan sekalipun, terutama ketika dikemas dalam konteks
emosi, otoritas, atau tekanan sosial.
Logika, sebagaimana
didefinisikan dalam tradisi klasik Aristotelian dan dikembangkan dalam studi
kontemporer, adalah ilmu yang menelaah bentuk dan struktur argumen yang sahih.
Dalam kerangka ini, suatu argumen yang baik harus ditopang oleh premis-premis
yang tidak hanya benar, tetapi juga relevan terhadap kesimpulan yang ditarik.
Kekeliruan relevansi terjadi ketika hubungan logis antara premis dan kesimpulan
terganggu oleh informasi yang secara substansi tidak mendukung, tetapi secara
psikologis atau emosional tampak meyakinkan. Hal ini berbeda dari kekeliruan
formal (formal fallacies) yang bersifat struktural; fallacies of relevance termasuk
dalam kategori kekeliruan informal karena letak kesalahannya bergantung pada
isi dan konteks penggunaan argumen, bukan pada bentuk logisnya semata1.
Jenis-jenis
kekeliruan relevansi sangat beragam, meliputi antara lain serangan pribadi (ad
hominem), rayuan emosional (appeal to emotion), ancaman
kekuasaan (appeal
to force), dan penyimpangan argumen seperti red
herring atau straw man. Masing-masing jenis ini
bekerja dengan cara menyimpangkan perhatian pembaca atau pendengar dari isu
pokok kepada unsur-unsur lain yang tidak berkaitan secara logis. Dalam konteks
diskursus publik, terutama dalam ranah politik, hukum, dan media,
kekeliruan-kekeliruan ini sering digunakan secara strategis untuk membangun
ilusi rasionalitas, menundukkan oposisi, atau memanipulasi opini publik2.
Urgensi pembahasan
tentang fallacies
of relevance bukan hanya bersifat teoretis, melainkan juga praktis
dan etis. Secara epistemologis, kekeliruan relevansi merusak fondasi logis yang
seharusnya menopang argumen rasional, sementara secara etis, penggunaan
kekeliruan ini dalam wacana publik mencerminkan kehendak manipulatif yang bertentangan
dengan prinsip kejujuran intelektual. Di sinilah pentingnya pendidikan logika
informal dan literasi kritis dalam mendorong masyarakat yang tidak hanya cakap
berpikir, tetapi juga tangguh secara moral dalam menghadapi manipulasi wacana3.
Artikel ini
bertujuan untuk mengurai secara sistematis berbagai jenis fallacies
of relevance, menjelaskan mekanisme kerja masing-masing, serta
menganalisis dampaknya terhadap rasionalitas berpikir dan etika diskursus
publik. Dengan landasan pada literatur akademik yang kredibel dan ilustrasi
konkret dari berbagai konteks wacana, diharapkan pembahasan ini dapat
memperkuat kesadaran kritis pembaca terhadap pentingnya berpikir jernih dan
berdiskursus secara bertanggung jawab.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 121–124.
[2]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 43–50.
[3]
Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 19–22.
2.
Landasan
Teoretis: Logika dan Relevansi dalam Argumen
Dalam filsafat dan
ilmu logika, sebuah argumen dianggap sahih (valid) apabila kesimpulan yang
ditarik benar-benar mengikuti premis-premis yang diajukan, baik dari sisi
struktur formal maupun kandungan substansialnya. Salah satu syarat pokok yang
harus dipenuhi oleh argumen yang baik adalah relevansi antara premis dan
kesimpulan. Artinya, premis harus memberikan dasar rasional yang memadai bagi
inferensi ke kesimpulan tersebut. Apabila premis tidak memiliki hubungan logis
atau substansial dengan kesimpulan, maka meskipun secara retoris meyakinkan, argumen
tersebut tetap dianggap cacat secara logis1.
Konsep relevansi
dalam logika dapat ditinjau dari dua pendekatan utama: logika
formal dan logika informal. Dalam logika
formal, validitas argumen dinilai berdasarkan bentuk simbolik atau struktur
deduktifnya. Sebuah argumen valid secara formal jika tidak mungkin
premis-premisnya benar dan kesimpulannya salah. Namun, pendekatan ini tidak
selalu cukup untuk menilai kualitas argumen dalam konteks kehidupan
sehari-hari, di mana konten dan konteks memainkan peran penting. Oleh karena
itu, logika informal dikembangkan untuk mengkaji argumen dalam bentuk alaminya
(natural language argument), dengan menaruh perhatian lebih besar pada makna,
penggunaan bahasa, konteks sosial, dan terutama relevansi2.
Menurut Douglas Walton,
relevansi dalam argumen bukan sekadar masalah kebenaran premis, tetapi
menyangkut apakah informasi yang diberikan benar-benar mendukung klaim yang
diajukan. Relevansi, dalam pengertian pragmatik, berkaitan dengan nilai
kontribusi informasi terhadap tujuan argumentatif tertentu, seperti
menjelaskan, membenarkan, atau menyanggah suatu klaim3. Relevansi
yang lemah atau menyimpang menjadi salah satu penyebab utama munculnya berbagai
kekeliruan logika, terutama yang bersifat informal.
Dalam tradisi retorika
klasik, Aristoteles telah mengakui pentingnya penggunaan ethos, pathos, dan
logos sebagai dimensi persuasif dalam pidato. Namun, ketika salah satu dari
dimensi tersebut—terutama pathos atau ethos—digunakan secara berlebihan atau
tidak tepat, maka argumen yang disusun berisiko jatuh ke dalam kekeliruan
relevansi4. Misalnya, argumen yang mengandalkan simpati emosional
(appeal to pity) atau serangan personal terhadap lawan debat (ad hominem)
adalah bentuk penyimpangan dari relevansi logis ke arah persuasi yang tidak sah
secara epistemologis.
Beberapa pakar,
seperti Trudy Govier, menyatakan bahwa dalam penilaian argumen sehari-hari,
pertanyaan utama bukan hanya “apakah bentuk argumennya valid?”, tetapi juga
“apakah alasan yang diajukan benar-benar berkaitan dan mendukung kesimpulan
secara rasional?”5 Dengan demikian, relevansi menjadi tolok ukur
penting dalam membedakan antara argumen yang sahih dan yang menyesatkan,
terutama dalam konteks wacana publik di mana manipulasi retoris sering
digunakan untuk mengaburkan logika substantif.
Lebih lanjut,
pendekatan kognitif terhadap logika, sebagaimana dijelaskan oleh Daniel
Kahneman, menunjukkan bahwa manusia cenderung menggunakan heuristics—jalan
pintas mental—yang sering kali menyebabkan mereka menerima argumen yang tampak
meyakinkan secara permukaan, meskipun tidak relevan secara logis. Fenomena ini
menjelaskan mengapa kekeliruan relevansi begitu sering terjadi dan mudah
diterima dalam kehidupan sehari-hari6.
Secara keseluruhan,
pemahaman yang mendalam mengenai relevansi dalam logika, baik dari pendekatan
formal, informal, pragmatik, maupun kognitif, menjadi fondasi penting dalam
upaya mengenali dan menghindari fallacies of relevance. Kesadaran
ini penting tidak hanya dalam kerangka akademik, tetapi juga dalam membangun
budaya diskusi yang rasional, adil, dan bertanggung jawab secara etis.
Footnotes
[1]
Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 106–108.
[2]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2010), 58–60.
[3]
Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 17–19.
[4]
Aristoteles, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts (New York: Dover
Publications, 2004), I.2, 1356a.
[5]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 61.
[6]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 20–21.
3.
Klasifikasi
Kekeliruan Relevansi
Kekeliruan
relevansi merupakan kategori dari informal fallacies yang ditandai
oleh kegagalan dalam menyajikan alasan yang relevan secara logis terhadap
kesimpulan yang dikemukakan. Meskipun tidak selalu salah secara struktural,
argumen-argumen dalam kategori ini menggiring pembaca atau pendengar untuk
menerima kesimpulan berdasarkan faktor-faktor yang tidak memiliki hubungan
substansial dengan klaim utama. Di bawah ini dijabarkan klasifikasi utama dari
kekeliruan relevansi, sebagaimana telah diidentifikasi dalam literatur logika
kontemporer1.
3.1.
Ad Hominem (Serangan
terhadap Pribadi)
Ad hominem
terjadi ketika seseorang menyerang karakter atau atribut pribadi lawan diskusi
alih-alih mengkritisi substansi argumen yang disampaikan. Terdapat tiga bentuk
utama:
·
Abusive:
menyerang karakter lawan secara langsung (“Argumentmu tidak sah karena kamu korup!”).
·
Circumstantial:
menolak argumen karena latar belakang pribadi si pembicara (“Tentu saja kamu
menentang pajak, kamu orang kaya!”).
·
Tu
quoque: menuduh lawan bersikap munafik (“Kamu bilang jangan
merokok, tapi kamu sendiri merokok!”)2.
Kekeliruan ini
menyimpang dari relevansi karena kebenaran suatu argumen tidak tergantung pada
siapa yang mengatakannya, melainkan pada dasar logis dan faktualnya.
3.2.
Appeal to Emotion
(Ad Populum, Ad Misericordiam)
Kekeliruan ini
muncul ketika argumen mencoba membangkitkan emosi—seperti rasa takut, kasihan,
atau kebanggaan—alih-alih memberikan alasan rasional. Misalnya:
·
Ad Populum: Mengajak audiens menerima
kesimpulan karena “semua orang juga percaya begitu.”
·
Ad Misericordiam: Memohon belas
kasihan sebagai dasar pembenaran (“Jangan beri saya nilai jelek, saya harus
membantu orang tua saya bekerja!”)3.
Walton menekankan
bahwa emosi bukanlah dasar epistemik yang sah untuk menyimpulkan klaim
kebenaran4.
3.3.
Appeal to Force (Ad
Baculum)
Kekeliruan ini
terjadi ketika tekanan atau ancaman digunakan sebagai cara untuk memaksakan
penerimaan terhadap suatu argumen, bukan melalui pembuktian rasional. Misalnya:
“Jika kamu tidak setuju dengan kebijakan ini,
kamu akan diberhentikan dari pekerjaan.”
Argumen semacam ini
menakut-nakuti daripada meyakinkan, dan dengan demikian menyalahi prinsip
rasionalitas diskursif5.
3.4.
Appeal to Authority
(Ad Verecundiam)
Bentuk kekeliruan
ini terjadi ketika seseorang mengutip otoritas yang tidak relevan, tidak
kompeten, atau di luar bidang keahliannya sebagai dasar validasi argumen.
Misalnya:
“Artis X mengatakan bahwa vaksin itu
berbahaya, maka saya tidak mau divaksin.”
Validitas suatu
klaim ilmiah tidak dapat ditentukan berdasarkan pendapat figur populer,
melainkan berdasarkan bukti empiris yang sah6.
3.5.
Appeal to Ignorance
(Ad Ignorantiam)
Kekeliruan ini
muncul ketika suatu klaim dianggap benar hanya karena belum dibuktikan salah,
atau sebaliknya:
“Tidak ada bukti bahwa makhluk luar angkasa
tidak ada, jadi pasti mereka ada.”
Ketidaktahuan bukanlah
bukti; logika semacam ini mengabaikan prinsip pembuktian positif dalam
epistemologi7.
3.6.
Red Herring
Red herring adalah
strategi pengalihan perhatian dengan membahas isu yang tidak relevan, untuk
menjauhkan fokus dari topik utama. Contoh:
“Alih-alih membahas korupsi, mari kita bahas
bagaimana pembangunan infrastruktur kita maju pesat.”
Kekeliruan ini
sangat umum dalam debat politik dan media, sering kali digunakan untuk
menciptakan ilusi kontrol dan keberhasilan dengan menyimpangkan perhatian dari
kritik substantif8.
3.7.
Straw Man
Straw man melibatkan
penyederhanaan, distorsi, atau manipulasi terhadap argumen lawan sehingga
menjadi lebih lemah dan mudah diserang. Contohnya:
“Orang yang menolak hukuman mati pasti ingin
semua kriminal dibebaskan.”
Argumen semacam ini
tidak merespons posisi asli lawan, melainkan membangun versi karikaturalnya9.
3.8.
Accident (Misapplied
Generalization)
Kekeliruan ini
terjadi ketika aturan umum diterapkan secara keliru pada kasus khusus yang
seharusnya dikecualikan. Misalnya:
“Kebebasan berbicara dijamin konstitusi, jadi
saya bebas menyebarkan ujaran kebencian.”
Logika semacam ini
gagal mempertimbangkan nuansa situasional dan syarat pengecualian dari prinsip
umum10.
Kedelapan bentuk ini
merupakan manifestasi utama dari kekeliruan relevansi yang lazim terjadi dalam
berbagai konteks wacana, mulai dari percakapan sehari-hari hingga debat
akademik, politik, dan media. Pemahaman yang mendalam atas klasifikasi ini
merupakan langkah awal yang krusial untuk mendiagnosis dan mengoreksi
penyimpangan berpikir yang dapat merusak kualitas argumentasi dan diskursus
publik.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 131–147.
[2]
Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to
Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 108–110.
[3]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2010), 96–98.
[4]
Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 33.
[5]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 54.
[6]
Hurley, A Concise Introduction to Logic, 138.
[7]
Copi, Introduction to Logic, 111–113.
[8]
Tindale, Fallacies and Argument Appraisal, 65.
[9]
Govier, A Practical Study of Argument, 100–102.
[10]
Hurley, A Concise Introduction to Logic, 144–145.
4.
Analisis
Kritis dan Implikasi Epistemologis
Meskipun kekeliruan
relevansi secara teknis dapat diklasifikasikan sebagai bentuk kesalahan logika
informal, daya tariknya dalam praktik diskursus terletak pada kemampuannya
memanipulasi persepsi audiens melalui pendekatan psikologis, sosial, dan
retoris. Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji tidak hanya jenis-jenis
kekeliruan tersebut, tetapi juga mekanisme kognitif dan epistemologis
yang mendasari penerimaannya dalam wacana publik.
4.1.
Rasionalitas yang
Diperdaya: Ketika Relevansi Tertukar dengan Resonansi
Salah satu ciri khas
kekeliruan relevansi adalah ilusi keterkaitan antara premis
dan kesimpulan. Dalam banyak kasus, premis tampak "relevan"
karena beresonansi secara emosional atau sosial dengan audiens, padahal secara
logis tidak mendukung kesimpulan yang diajukan. Resonansi semacam ini dapat
berasal dari identifikasi kelompok, emosi, atau kepercayaan pribadi yang kuat.
Sebagaimana dijelaskan oleh Douglas Walton, banyak kekeliruan dalam
argumen—terutama dalam ad hominem, appeal
to emotion, dan red herring—terjadi bukan karena
kesalahan formal, melainkan karena pembicara mengeksploitasi struktur tujuan
komunikasi yang tidak rasional1.
Fenomena ini
menunjukkan adanya kesenjangan epistemik antara
logika ideal dan praktik komunikasi aktual. Sementara logika menuntut relasi
inferensial yang sah antara premis dan kesimpulan, praktik argumentasi sering kali
menekankan efek persuasif tanpa mengindahkan kebenaran atau kekuatan
pembuktian. Hal ini menciptakan ruang bagi kekeliruan relevansi berkembang
secara sistemik dalam ruang publik, seperti politik, media, dan opini massa2.
4.2.
Kognisi dan Bias:
Mengapa Kekeliruan Ini Sangat Meyakinkan?
Dari perspektif
psikologi kognitif, kesuksesan fallacies of relevance dalam
mempengaruhi persepsi publik berkaitan erat dengan penggunaan heuristics—jalan
pintas mental yang digunakan untuk mengambil keputusan cepat. Kahneman
menyebutkan bahwa sistem berpikir manusia terbagi menjadi dua: System 1
(intuitif dan cepat) dan System 2 (reflektif dan lambat).
Dalam banyak kasus, audiens menggunakan System 1 untuk menanggapi argumen,
sehingga cenderung menerima kekeliruan relevansi yang tampak meyakinkan secara
instan3.
Selain itu, bias
seperti confirmation bias
(kecenderungan menyukai informasi yang mendukung keyakinan awal), ingroup
bias (kecenderungan memihak kelompok sendiri), dan affect
heuristic (penilaian berdasarkan perasaan) membuat audiens
lebih mudah terperdaya oleh argumen yang menggugah secara emosional, meskipun
tidak logis4.
Implikasinya adalah
bahwa kekeliruan relevansi bukan semata-mata kesalahan teknis, melainkan gejala
kognitif dan sosial yang membutuhkan pendekatan lintas disiplin
untuk memahaminya secara utuh.
4.3.
Diskursus Publik dan
Krisis Epistemik
Dalam konteks yang
lebih luas, penyebaran kekeliruan relevansi berkontribusi terhadap krisis
epistemik dalam masyarakat kontemporer. Ketika argumen yang
tidak relevan tetapi memikat menjadi dasar pengambilan keputusan
publik—misalnya dalam kampanye politik, perdebatan hukum, atau diskusi
media—maka prinsip-prinsip rasionalitas, objektivitas, dan kejujuran epistemik
tergeser oleh strategi manipulatif.
Menurut Tindale,
salah satu bahaya utama dari kekeliruan relevansi adalah kemampuannya untuk
menciptakan kesan rasionalitas tanpa
substansi. Akibatnya, individu atau institusi yang ingin mempertahankan
kekuasaan atau pengaruh dapat menyalahgunakan argumen-argumen ini untuk membenarkan
posisi yang sesungguhnya tidak memiliki landasan logis atau empiris5.
Dalam jangka
panjang, hal ini melemahkan kepercayaan publik terhadap dialog kritis,
menurunkan kualitas deliberasi demokratis, dan mengaburkan batas antara opini
dan pengetahuan. Oleh karena itu, memahami mekanisme epistemologis dari
kekeliruan relevansi merupakan langkah penting dalam membangun masyarakat yang melek
logika dan tangguh secara kognitif
terhadap propaganda.
4.4.
Tanggung Jawab Etis
dalam Argumentasi
Selain aspek
rasional dan kognitif, kekeliruan relevansi juga menimbulkan implikasi
etis yang serius. Argumentasi adalah bentuk interaksi yang
didasarkan pada itikad baik (good will), saling pengertian, dan kejujuran
intelektual. Ketika seseorang dengan sadar menggunakan kekeliruan relevansi
demi memanipulasi atau mendistorsi persepsi orang lain, maka ia telah
menyalahgunakan hak untuk berdiskursus dalam masyarakat terbuka6.
Govier menekankan
bahwa etika dalam berargumen menuntut agar setiap pihak hanya menggunakan
alasan yang benar-benar mendukung kesimpulan yang diajukan, serta menghindari
taktik persuasif yang mengeksploitasi ketidaktahuan atau emosi audiens7.
Oleh karena itu, kesadaran akan kekeliruan relevansi tidak hanya bermanfaat
untuk meningkatkan rasionalitas berpikir, tetapi juga untuk membangun kultur
komunikasi yang adil, jujur, dan bertanggung jawab.
Kesimpulan Antara
Analisis kritis
terhadap kekeliruan relevansi menegaskan bahwa problem ini bukan sekadar soal
teknik logika, tetapi menyangkut dimensi epistemologis, kognitif, sosial, dan
etis yang lebih luas. Dengan demikian, pemahaman terhadap mekanismenya menjadi
bagian integral dari pendidikan berpikir kritis, literasi argumentatif, dan
pembentukan etos diskursif yang sehat dalam masyarakat modern.
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 19–22.
[2]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 140–145.
[3]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 20–24.
[4]
Paul Thagard, The Cognitive Science of Science: Explanation,
Discovery, and Conceptual Change (Cambridge, MA: MIT Press, 2012),
132–135.
[5]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 69–72.
[6]
Douglas N. Walton dan Erik C. W. Krabbe, Commitment in Dialogue:
Basic Concepts of Interpersonal Reasoning (Albany: SUNY Press, 1995),
13–15.
[7]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2010), 104–106.
5.
Dampak
Kekeliruan Relevansi terhadap Diskursus Publik
Dalam konteks
sosial-kultural kontemporer yang ditandai oleh kecepatan informasi dan
polarisasi opini, kekeliruan relevansi memiliki implikasi serius terhadap kualitas diskursus
publik. Kekeliruan ini bukan hanya persoalan teknis dalam
berargumen, melainkan gejala yang lebih dalam terkait degradasi rasionalitas,
erosi integritas komunikatif, serta manipulasi sosial dalam arena publik.
Dampak-dampak tersebut dapat ditelaah dari beberapa dimensi utama berikut ini:
5.1.
Menurunnya Standar
Rasionalitas dalam Wacana Publik
Salah satu dampak
paling mencolok dari maraknya kekeliruan relevansi adalah penurunan
standar argumentasi rasional dalam perdebatan publik. Ketika
argumen-argumen yang mengandalkan emosi, serangan pribadi, atau otoritas yang
keliru lebih sering digunakan daripada argumen berbasis fakta dan logika, maka
orientasi diskursus bergeser dari pencarian kebenaran ke arah kemenangan
retoris semata1.
Hal ini diperparah
oleh struktur media sosial yang memberi insentif terhadap konten provokatif dan
emosional dibandingkan konten yang berbobot secara intelektual. Seperti
dijelaskan oleh Neil Postman, media modern cenderung mengubah diskursus publik
menjadi bentuk hiburan yang mengorbankan kedalaman analitis demi impresi instan2.
Kekeliruan relevansi dalam hal ini menjadi alat efektif untuk memperoleh
perhatian tanpa perlu mempertanggungjawabkan akurasi logis.
5.2.
Polarisasi Sosial
dan Erosi Dialog
Kekeliruan seperti straw
man, ad hominem, dan red
herring memperparah polarisasi opini publik dengan
menciptakan distorsi terhadap posisi lawan dan memicu respons emosional
alih-alih diskusi rasional. Ketika diskusi publik didominasi oleh bentuk-bentuk
argumen yang menyudutkan, menyalahartikan, atau merendahkan pihak lain, maka
ruang untuk dialog terbuka dan saling pengertian menjadi sangat sempit3.
Douglas Walton
menekankan bahwa salah satu fungsi utama argumentasi publik adalah
memfasilitasi resolusi perbedaan pandangan melalui pertukaran alasan yang jujur
dan relevan. Kekeliruan relevansi, ketika menjadi norma dalam komunikasi publik,
merusak fungsi ini dan menggantinya dengan budaya debat agresif yang penuh
kecurigaan dan antagonisme4.
5.3.
Normalisasi
Disinformasi dan Manipulasi Wacana
Kekeliruan relevansi
juga berkontribusi terhadap normalisasi disinformasi karena
memungkinkan penyampaian argumen-argumen yang tampak masuk akal secara
permukaan, tetapi menyimpang dari kebenaran. Misalnya, penggunaan appeal
to ignorance dalam isu kesehatan atau lingkungan dapat menyesatkan
masyarakat untuk mengambil keputusan berdasarkan ketidaktahuan, bukan
berdasarkan data ilmiah yang kredibel5.
Dalam konteks
politik, kekeliruan seperti appeal to authority dan ad
populum sering digunakan untuk membenarkan kebijakan publik dengan
mengandalkan figur karismatik atau dukungan mayoritas, padahal tidak selalu
berbasis pertimbangan rasional dan etis. Hal ini menciptakan ilusi konsensus
yang sebenarnya dibangun di atas fondasi argumen yang rapuh6.
5.4.
Delegitimasi Lembaga
dan Kepercayaan Publik
Ketika kekeliruan
relevansi digunakan secara sistematis oleh aktor-aktor publik seperti politisi,
tokoh agama, atau media, maka lama-kelamaan masyarakat akan mengalami erosi
kepercayaan terhadap institusi. Publik mulai sulit membedakan
mana argumen yang sah dan mana yang manipulatif, sehingga sikap skeptis atau
bahkan sinis terhadap semua bentuk komunikasi menjadi lazim7.
Christopher Tindale
menunjukkan bahwa jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap argumen
sebagai sarana deliberasi, maka proses demokrasi dan pengambilan keputusan
kolektif pun akan kehilangan legitimasi. Kekeliruan relevansi dalam hal ini
bukan hanya persoalan akademik, melainkan tantangan serius terhadap fondasi
epistemik kehidupan publik8.
5.5.
Hambatan terhadap
Literasi Kritis dan Keadilan Epistemik
Dominasi kekeliruan
relevansi dalam ruang publik juga menjadi penghalang bagi pengembangan literasi kritis
di kalangan masyarakat luas. Individu yang tidak terlatih secara logis akan
cenderung menerima argumen-argumen yang manipulatif tanpa menyadari kecacatan
substansialnya. Ini menciptakan ketimpangan epistemik antara kelompok yang
memiliki akses dan kemampuan analisis, dengan kelompok yang rentan terhadap
pengaruh retoris9.
Dalam istilah
Miranda Fricker, ini merupakan bentuk “epistemic injustice”, di mana
individu atau kelompok diposisikan secara tidak adil dalam proses produksi dan
konsumsi pengetahuan karena terbatasnya kemampuan untuk menyaring argumen
berdasarkan relevansi dan rasionalitas10.
Kesimpulan Antara
Dengan demikian,
kekeliruan relevansi bukan sekadar permasalahan dalam domain teori logika,
melainkan memiliki konsekuensi luas terhadap struktur diskursus,
kesehatan demokrasi, dan keadaban intelektual masyarakat.
Mengatasi dampak negatif ini menuntut intervensi sistemik, termasuk pendidikan
logika informal, reformasi komunikasi publik, dan penguatan etika argumentatif.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 137–139.
[2]
Neil Postman, Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the
Age of Show Business (New York: Penguin Books, 1985), 70–74.
[3]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2010), 112–114.
[4]
Douglas Walton, The Place of Emotion in Argument (University
Park: Pennsylvania State University Press, 1992), 109–111.
[5]
Matthew C. Nisbet dan Dietram A. Scheufele, “What’s Next for Science
Communication? Promising Directions and Lingering Distractions,” American
Journal of Botany 96, no. 10 (2009): 1767–1778.
[6]
Walton, Relevance in Argumentation, 61–63.
[7]
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public
Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas
Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 213–215.
[8]
Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 70–73.
[9]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 1970), 74–75.
[10]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–7.
6.
Strategi
Deteksi dan Penanggulangan Kekeliruan Relevansi
Menghadapi
prevalensi kekeliruan relevansi dalam argumen publik menuntut lebih dari
sekadar pengetahuan teoritis tentang jenis-jenis fallacy. Diperlukan strategi yang
bersifat operasional dan reflektif untuk mendeteksi, mengkritisi, dan mencegah
penyebaran kekeliruan ini baik dalam wacana personal, akademik, maupun
sosial-politik. Strategi tersebut mencakup kemampuan analisis logika informal,
kesadaran kognitif terhadap bias, dan pembentukan etika diskursif yang kuat.
Bagian ini menguraikan pendekatan-pendekatan utama dalam upaya tersebut.
6.1.
Menumbuhkan
Kesadaran Relevansi melalui Pertanyaan Kritis
Langkah pertama
dalam mendeteksi kekeliruan relevansi adalah dengan mengembangkan
kebiasaan bertanya secara kritis terhadap setiap hubungan
antara premis dan kesimpulan dalam argumen. Douglas Walton menyarankan
pendekatan berbasis critical questions, yaitu
seperangkat pertanyaan yang dapat diajukan terhadap argumen untuk menguji
apakah alasan yang diajukan memang relevan, sah, dan mendukung kesimpulan
secara logis1.
Contoh pertanyaan
yang dapat digunakan meliputi:
·
Apakah alasan ini secara
langsung berkaitan dengan kesimpulan?
·
Apakah ada informasi yang
lebih relevan yang diabaikan?
·
Apakah pembicara mencoba mengalihkan
perhatian dengan aspek yang emosional atau personal?
Dengan
menginternalisasi pertanyaan-pertanyaan tersebut, individu dapat membangun kepekaan
logis terhadap pola-pola retorika yang menyesatkan.
6.2.
Menggunakan Model
Argumentatif Pragmatis
Deteksi kekeliruan
juga dapat diperkuat dengan mengadopsi model argumentasi pragmatis,
seperti yang dikembangkan dalam teori dialektika kritis oleh van Eemeren dan
Grootendorst. Model ini menekankan bahwa argumen harus memenuhi aturan-aturan
rasional dalam tahapan debat yang konstruktif, termasuk prinsip relevansi
sebagai syarat normatif argumentasi yang sah2.
Dalam model ini,
kekeliruan relevansi dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap “aturan
relevansi” dalam dialog kritis. Dengan demikian, seseorang yang menyimpang
dari relevansi dinilai tidak berpartisipasi dalam upaya pencapaian konsensus
rasional yang jujur.
6.3.
Literasi Logika
Informal dan Pelatihan Argumentatif
Literasi logika
informal memainkan peran sentral dalam membekali masyarakat dengan alat
konseptual dan praktis untuk mengenali kekeliruan relevansi.
Hurley dan Copi sama-sama menekankan pentingnya pendidikan logika yang tidak
hanya memuat kaidah-kaidah formal, tetapi juga aplikasi logika dalam bahasa
alami dan konteks diskursus3.
Pelatihan argumentatif
berbasis studi kasus, analisis debat, dan praktik menulis argumentasi dapat
membantu peserta didik dan warga masyarakat mengembangkan kemampuan untuk
membedakan antara argumen yang sahih dan yang menyesatkan secara substansial.
6.4.
Refleksi terhadap
Bias dan Emosi dalam Argumentasi
Karena kekeliruan
relevansi sering kali muncul melalui manipulasi emosional dan bias kognitif,
maka strategi penanggulangannya juga harus menyentuh aspek
metakognitif, yaitu kemampuan untuk mengenali dan mengevaluasi
proses berpikir sendiri. Daniel Kahneman menekankan pentingnya aktivasi System 2—pemikiran
reflektif—untuk melawan kecenderungan System 1 yang intuitif dan impulsif4.
Kegiatan seperti self-questioning,
delay of
judgment, dan bias-checking sangat berguna untuk
mengurangi kerentanan terhadap kekeliruan yang mengandalkan resonansi emosional
atau intuisi sosial.
6.5.
Etika Argumentatif
dan Kode Diskursif
Strategi terakhir
dan tak kalah penting adalah internalisasi nilai-nilai etis dalam
berargumentasi, termasuk kejujuran intelektual, keterbukaan
terhadap kritik, dan tanggung jawab terhadap kebenaran. Fricker menegaskan
bahwa bentuk komunikasi yang manipulatif, termasuk kekeliruan relevansi,
merupakan bentuk ketidakadilan epistemik yang merugikan audiens sebagai agen
rasional5.
Sebagai solusi,
institusi pendidikan, media, dan komunitas intelektual perlu mendorong kode
etik diskursif yang mengatur bagaimana argumen disampaikan dan
dikritisi. Penggunaan kekeliruan relevansi secara sadar harus dilihat sebagai
pelanggaran integritas intelektual dan tanggung jawab sosial dalam komunikasi
publik.
Kesimpulan Antara
Menghadapi
kekeliruan relevansi bukan sekadar persoalan membetulkan logika, tetapi soal
membangun kapasitas intelektual dan moral untuk berdialog secara adil dan
rasional. Deteksi yang akurat, pendidikan logika informal, dan etika
argumentatif yang kuat menjadi fondasi utama dalam membentuk masyarakat yang
tahan terhadap distorsi nalar dan manipulasi wacana.
Footnotes
[1]
Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 85–89.
[2]
Frans H. van Eemeren dan Rob Grootendorst, A Systematic Theory of
Argumentation: The Pragma-Dialectical Approach (Cambridge: Cambridge
University Press, 2004), 122–124.
[3]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 98–100; Irving M. Copi, Carl Cohen, dan
Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson,
2011), 117–120.
[4]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar,
Straus and Giroux, 2011), 35–40.
[5]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 6–10.
7.
Penutup
Kekeliruan relevansi
dalam argumen merupakan fenomena kompleks yang menggabungkan dimensi logis,
psikologis, retoris, dan etis dalam praktik komunikasi publik. Sebagaimana
telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, kekeliruan ini tidak hanya
menyesatkan struktur berpikir, tetapi juga mengaburkan batas antara persuasi
dan penalaran rasional. Meskipun tidak mencederai validitas formal argumen
secara langsung, kekeliruan relevansi menggagalkan pencapaian kebenaran dengan
mengandalkan relasi yang tampak meyakinkan tetapi secara substansial tidak
mendukung kesimpulan yang diajukan1.
Dalam konteks
epistemologi, kekeliruan relevansi mencerminkan kegagalan dalam menjunjung
prinsip rasionalitas kritis dan kejujuran intelektual. Argumentasi yang sehat
mensyaratkan keterkaitan yang sah antara premis dan kesimpulan, serta orientasi
pada pencarian kebenaran, bukan sekadar efektivitas persuasi. Oleh karena itu,
penyebaran kekeliruan relevansi dalam ruang publik mengindikasikan melemahnya
fondasi epistemik masyarakat, di mana opini sering kali diperlakukan sebagai
substitusi dari pengetahuan2.
Secara sosial,
kekeliruan relevansi memiliki dampak yang merusak terhadap kualitas diskursus
demokratis. Ketika publik terbiasa menerima atau bahkan mereproduksi
argumen-argumen yang cacat secara logis namun efektif secara emosional, maka
ruang deliberasi rasional menyempit dan digantikan oleh arena retoris yang
manipulatif. Hal ini menimbulkan berbagai konsekuensi serius: polarisasi opini,
delegitimasi institusi, penyebaran disinformasi, dan ketidakadilan epistemik
terhadap kelompok yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan kritis3.
Menanggapi tantangan
ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang bersifat edukatif, normatif, dan
reflektif. Pertama, pendidikan logika informal dan literasi argumentatif harus
menjadi bagian integral dari kurikulum untuk membekali generasi muda dengan
kemampuan berpikir kritis dan mendeteksi kekeliruan secara mandiri. Kedua,
institusi publik dan media harus menegakkan standar etis dalam penyampaian
informasi dan berargumentasi, guna menghindari penggunaan kekeliruan sebagai
instrumen pengaruh. Ketiga, setiap individu sebagai agen epistemik harus
mengembangkan refleksi diri terhadap bias dan kecenderungan emosional yang
dapat menggiring pada penerimaan argumen yang menyesatkan4.
Akhirnya, pemahaman
yang mendalam mengenai kekeliruan relevansi bukan hanya memperkuat kompetensi
berpikir logis, tetapi juga menumbuhkan tanggung jawab moral dalam
berpartisipasi dalam kehidupan intelektual dan sosial. Dalam masyarakat yang
sehat secara epistemik, argumen tidak hanya dinilai dari daya tarik retorisnya,
tetapi juga dari relevansi dan integritas logis yang dikandungnya. Oleh karena
itu, deteksi dan penanggulangan kekeliruan relevansi merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjuangan untuk membangun budaya diskursus yang rasional,
etis, dan inklusif.
Footnotes
[1]
Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed.
(Boston: Cengage Learning, 2016), 130–146.
[2]
Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston:
Cengage Learning, 2010), 114–116.
[3]
Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 93–97.
[4]
Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of
Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 9–11.
Daftar Pustaka
Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2011). Introduction
to logic (14th ed.). Pearson.
Eemeren, F. H. van, & Grootendorst, R. (2004). A
systematic theory of argumentation: The pragma-dialectical approach.
Cambridge University Press.
Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power
and the ethics of knowing. Oxford University Press.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Govier, T. (2010). A practical study of argument
(7th ed.). Cengage Learning.
Habermas, J. (1991). The structural
transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois
society (T. Burger, Trans.). MIT Press.
Hurley, P. J. (2016). A concise introduction to
logic (13th ed.). Cengage Learning.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
Farrar, Straus and Giroux.
Nisbet, M. C., & Scheufele, D. A. (2009).
What’s next for science communication? Promising directions and lingering
distractions. American Journal of Botany, 96(10), 1767–1778. https://doi.org/10.3732/ajb.0900041
Postman, N. (1985). Amusing ourselves to death:
Public discourse in the age of show business. Penguin Books.
Tindale, C. W. (2007). Fallacies and argument
appraisal. Cambridge University Press.
Thagard, P. (2012). The cognitive science of
science: Explanation, discovery, and conceptual change. MIT Press.
Walton, D. (1992). The place of emotion in
argument. Pennsylvania State University Press.
Walton, D. (2004). Relevance in argumentation.
Lawrence Erlbaum Associates.
Walton, D. N., & Krabbe, E. C. W. (1995). Commitment
in dialogue: Basic concepts of interpersonal reasoning. SUNY Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar