Minggu, 04 Mei 2025

Fallacies of Relevance: Klasifikasi, Mekanisme, dan Dampaknya terhadap Rasionalitas Berpikir dan Etika Diskursus Publik

Fallacies of Relevance

Klasifikasi, Mekanisme, dan Dampaknya terhadap Rasionalitas Berpikir dan Etika Diskursus Publik


Alihkan ke: Fallacies Informal.


Abstrak

Artikel ini membahas secara sistematis salah satu kategori utama kekeliruan logika informal, yaitu fallacies of relevance (kekeliruan relevansi), yang mencakup berbagai bentuk argumen menyesatkan seperti ad hominem, appeal to emotion, red herring, dan straw man. Meskipun tampak meyakinkan secara retoris, kekeliruan relevansi gagal secara logis karena menyajikan premis-premis yang tidak mendukung kesimpulan secara substansial. Artikel ini mengkaji klasifikasi dan mekanisme kerja kekeliruan ini melalui pendekatan interdisipliner, termasuk logika informal, teori argumentasi pragmatis, psikologi kognitif, dan etika diskursus. Diuraikan pula dampak serius yang ditimbulkan terhadap rasionalitas publik, seperti polarisasi opini, erosi kepercayaan terhadap institusi, dan delegitimasi praktik deliberatif. Untuk itu, artikel ini menawarkan strategi deteksi dan penanggulangan kekeliruan relevansi melalui pertanyaan kritis, literasi logika informal, serta penguatan etika argumentatif. Tujuannya adalah membekali pembaca dengan wawasan konseptual dan praktis guna menciptakan budaya diskursus yang rasional, adil, dan bertanggung jawab secara epistemik.

Kata Kunci: Kekeliruan logika informal; fallacies of relevance; argumentasi; logika informal; relevansi; rasionalitas; diskursus publik; etika intelektual; heuristik kognitif; literasi kritis.


PEMBAHASAN

Kekeliruan Relevansi dalam Argumen


1.           Pendahuluan

Dalam era disrupsi informasi dan komunikasi digital yang serba cepat, kemampuan untuk berpikir kritis dan menyusun argumen yang valid menjadi semakin penting. Sayangnya, perkembangan wacana publik sering kali tercemari oleh berbagai bentuk kekeliruan berpikir yang tidak hanya mengaburkan substansi persoalan, tetapi juga menyesatkan nalar audiens. Salah satu bentuk kekeliruan yang paling umum dan subtil adalah fallacies of relevance (kekeliruan relevansi), yakni argumen yang tampak meyakinkan secara retoris tetapi gagal secara logis karena menyajikan premis yang tidak relevan terhadap kesimpulan yang diajukan. Kekeliruan jenis ini berbahaya karena dapat memperdaya bahkan pemirsa yang berpendidikan sekalipun, terutama ketika dikemas dalam konteks emosi, otoritas, atau tekanan sosial.

Logika, sebagaimana didefinisikan dalam tradisi klasik Aristotelian dan dikembangkan dalam studi kontemporer, adalah ilmu yang menelaah bentuk dan struktur argumen yang sahih. Dalam kerangka ini, suatu argumen yang baik harus ditopang oleh premis-premis yang tidak hanya benar, tetapi juga relevan terhadap kesimpulan yang ditarik. Kekeliruan relevansi terjadi ketika hubungan logis antara premis dan kesimpulan terganggu oleh informasi yang secara substansi tidak mendukung, tetapi secara psikologis atau emosional tampak meyakinkan. Hal ini berbeda dari kekeliruan formal (formal fallacies) yang bersifat struktural; fallacies of relevance termasuk dalam kategori kekeliruan informal karena letak kesalahannya bergantung pada isi dan konteks penggunaan argumen, bukan pada bentuk logisnya semata1.

Jenis-jenis kekeliruan relevansi sangat beragam, meliputi antara lain serangan pribadi (ad hominem), rayuan emosional (appeal to emotion), ancaman kekuasaan (appeal to force), dan penyimpangan argumen seperti red herring atau straw man. Masing-masing jenis ini bekerja dengan cara menyimpangkan perhatian pembaca atau pendengar dari isu pokok kepada unsur-unsur lain yang tidak berkaitan secara logis. Dalam konteks diskursus publik, terutama dalam ranah politik, hukum, dan media, kekeliruan-kekeliruan ini sering digunakan secara strategis untuk membangun ilusi rasionalitas, menundukkan oposisi, atau memanipulasi opini publik2.

Urgensi pembahasan tentang fallacies of relevance bukan hanya bersifat teoretis, melainkan juga praktis dan etis. Secara epistemologis, kekeliruan relevansi merusak fondasi logis yang seharusnya menopang argumen rasional, sementara secara etis, penggunaan kekeliruan ini dalam wacana publik mencerminkan kehendak manipulatif yang bertentangan dengan prinsip kejujuran intelektual. Di sinilah pentingnya pendidikan logika informal dan literasi kritis dalam mendorong masyarakat yang tidak hanya cakap berpikir, tetapi juga tangguh secara moral dalam menghadapi manipulasi wacana3.

Artikel ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis berbagai jenis fallacies of relevance, menjelaskan mekanisme kerja masing-masing, serta menganalisis dampaknya terhadap rasionalitas berpikir dan etika diskursus publik. Dengan landasan pada literatur akademik yang kredibel dan ilustrasi konkret dari berbagai konteks wacana, diharapkan pembahasan ini dapat memperkuat kesadaran kritis pembaca terhadap pentingnya berpikir jernih dan berdiskursus secara bertanggung jawab.


Footnotes

[1]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2016), 121–124.

[2]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 43–50.

[3]                Douglas Walton, Informal Logic: A Pragmatic Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 19–22.


2.           Landasan Teoretis: Logika dan Relevansi dalam Argumen

Dalam filsafat dan ilmu logika, sebuah argumen dianggap sahih (valid) apabila kesimpulan yang ditarik benar-benar mengikuti premis-premis yang diajukan, baik dari sisi struktur formal maupun kandungan substansialnya. Salah satu syarat pokok yang harus dipenuhi oleh argumen yang baik adalah relevansi antara premis dan kesimpulan. Artinya, premis harus memberikan dasar rasional yang memadai bagi inferensi ke kesimpulan tersebut. Apabila premis tidak memiliki hubungan logis atau substansial dengan kesimpulan, maka meskipun secara retoris meyakinkan, argumen tersebut tetap dianggap cacat secara logis1.

Konsep relevansi dalam logika dapat ditinjau dari dua pendekatan utama: logika formal dan logika informal. Dalam logika formal, validitas argumen dinilai berdasarkan bentuk simbolik atau struktur deduktifnya. Sebuah argumen valid secara formal jika tidak mungkin premis-premisnya benar dan kesimpulannya salah. Namun, pendekatan ini tidak selalu cukup untuk menilai kualitas argumen dalam konteks kehidupan sehari-hari, di mana konten dan konteks memainkan peran penting. Oleh karena itu, logika informal dikembangkan untuk mengkaji argumen dalam bentuk alaminya (natural language argument), dengan menaruh perhatian lebih besar pada makna, penggunaan bahasa, konteks sosial, dan terutama relevansi2.

Menurut Douglas Walton, relevansi dalam argumen bukan sekadar masalah kebenaran premis, tetapi menyangkut apakah informasi yang diberikan benar-benar mendukung klaim yang diajukan. Relevansi, dalam pengertian pragmatik, berkaitan dengan nilai kontribusi informasi terhadap tujuan argumentatif tertentu, seperti menjelaskan, membenarkan, atau menyanggah suatu klaim3. Relevansi yang lemah atau menyimpang menjadi salah satu penyebab utama munculnya berbagai kekeliruan logika, terutama yang bersifat informal.

Dalam tradisi retorika klasik, Aristoteles telah mengakui pentingnya penggunaan ethos, pathos, dan logos sebagai dimensi persuasif dalam pidato. Namun, ketika salah satu dari dimensi tersebut—terutama pathos atau ethos—digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, maka argumen yang disusun berisiko jatuh ke dalam kekeliruan relevansi4. Misalnya, argumen yang mengandalkan simpati emosional (appeal to pity) atau serangan personal terhadap lawan debat (ad hominem) adalah bentuk penyimpangan dari relevansi logis ke arah persuasi yang tidak sah secara epistemologis.

Beberapa pakar, seperti Trudy Govier, menyatakan bahwa dalam penilaian argumen sehari-hari, pertanyaan utama bukan hanya “apakah bentuk argumennya valid?”, tetapi juga “apakah alasan yang diajukan benar-benar berkaitan dan mendukung kesimpulan secara rasional?”5 Dengan demikian, relevansi menjadi tolok ukur penting dalam membedakan antara argumen yang sahih dan yang menyesatkan, terutama dalam konteks wacana publik di mana manipulasi retoris sering digunakan untuk mengaburkan logika substantif.

Lebih lanjut, pendekatan kognitif terhadap logika, sebagaimana dijelaskan oleh Daniel Kahneman, menunjukkan bahwa manusia cenderung menggunakan heuristics—jalan pintas mental—yang sering kali menyebabkan mereka menerima argumen yang tampak meyakinkan secara permukaan, meskipun tidak relevan secara logis. Fenomena ini menjelaskan mengapa kekeliruan relevansi begitu sering terjadi dan mudah diterima dalam kehidupan sehari-hari6.

Secara keseluruhan, pemahaman yang mendalam mengenai relevansi dalam logika, baik dari pendekatan formal, informal, pragmatik, maupun kognitif, menjadi fondasi penting dalam upaya mengenali dan menghindari fallacies of relevance. Kesadaran ini penting tidak hanya dalam kerangka akademik, tetapi juga dalam membangun budaya diskusi yang rasional, adil, dan bertanggung jawab secara etis.


Footnotes

[1]                Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 106–108.

[2]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2010), 58–60.

[3]                Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 17–19.

[4]                Aristoteles, Rhetoric, trans. W. Rhys Roberts (New York: Dover Publications, 2004), I.2, 1356a.

[5]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 61.

[6]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–21.


3.           Klasifikasi Kekeliruan Relevansi

Kekeliruan relevansi merupakan kategori dari informal fallacies yang ditandai oleh kegagalan dalam menyajikan alasan yang relevan secara logis terhadap kesimpulan yang dikemukakan. Meskipun tidak selalu salah secara struktural, argumen-argumen dalam kategori ini menggiring pembaca atau pendengar untuk menerima kesimpulan berdasarkan faktor-faktor yang tidak memiliki hubungan substansial dengan klaim utama. Di bawah ini dijabarkan klasifikasi utama dari kekeliruan relevansi, sebagaimana telah diidentifikasi dalam literatur logika kontemporer1.

3.1.       Ad Hominem (Serangan terhadap Pribadi)

Ad hominem terjadi ketika seseorang menyerang karakter atau atribut pribadi lawan diskusi alih-alih mengkritisi substansi argumen yang disampaikan. Terdapat tiga bentuk utama:

·                     Abusive: menyerang karakter lawan secara langsung (“Argumentmu tidak sah karena kamu korup!”).

·                     Circumstantial: menolak argumen karena latar belakang pribadi si pembicara (“Tentu saja kamu menentang pajak, kamu orang kaya!”).

·                     Tu quoque: menuduh lawan bersikap munafik (“Kamu bilang jangan merokok, tapi kamu sendiri merokok!”)2.

Kekeliruan ini menyimpang dari relevansi karena kebenaran suatu argumen tidak tergantung pada siapa yang mengatakannya, melainkan pada dasar logis dan faktualnya.

3.2.       Appeal to Emotion (Ad Populum, Ad Misericordiam)

Kekeliruan ini muncul ketika argumen mencoba membangkitkan emosi—seperti rasa takut, kasihan, atau kebanggaan—alih-alih memberikan alasan rasional. Misalnya:

·                     Ad Populum: Mengajak audiens menerima kesimpulan karena “semua orang juga percaya begitu.

·                     Ad Misericordiam: Memohon belas kasihan sebagai dasar pembenaran (“Jangan beri saya nilai jelek, saya harus membantu orang tua saya bekerja!”)3.

Walton menekankan bahwa emosi bukanlah dasar epistemik yang sah untuk menyimpulkan klaim kebenaran4.

3.3.       Appeal to Force (Ad Baculum)

Kekeliruan ini terjadi ketika tekanan atau ancaman digunakan sebagai cara untuk memaksakan penerimaan terhadap suatu argumen, bukan melalui pembuktian rasional. Misalnya:

“Jika kamu tidak setuju dengan kebijakan ini, kamu akan diberhentikan dari pekerjaan.”

Argumen semacam ini menakut-nakuti daripada meyakinkan, dan dengan demikian menyalahi prinsip rasionalitas diskursif5.

3.4.       Appeal to Authority (Ad Verecundiam)

Bentuk kekeliruan ini terjadi ketika seseorang mengutip otoritas yang tidak relevan, tidak kompeten, atau di luar bidang keahliannya sebagai dasar validasi argumen. Misalnya:

“Artis X mengatakan bahwa vaksin itu berbahaya, maka saya tidak mau divaksin.”

Validitas suatu klaim ilmiah tidak dapat ditentukan berdasarkan pendapat figur populer, melainkan berdasarkan bukti empiris yang sah6.

3.5.       Appeal to Ignorance (Ad Ignorantiam)

Kekeliruan ini muncul ketika suatu klaim dianggap benar hanya karena belum dibuktikan salah, atau sebaliknya:

“Tidak ada bukti bahwa makhluk luar angkasa tidak ada, jadi pasti mereka ada.”

Ketidaktahuan bukanlah bukti; logika semacam ini mengabaikan prinsip pembuktian positif dalam epistemologi7.

3.6.       Red Herring

Red herring adalah strategi pengalihan perhatian dengan membahas isu yang tidak relevan, untuk menjauhkan fokus dari topik utama. Contoh:

“Alih-alih membahas korupsi, mari kita bahas bagaimana pembangunan infrastruktur kita maju pesat.”

Kekeliruan ini sangat umum dalam debat politik dan media, sering kali digunakan untuk menciptakan ilusi kontrol dan keberhasilan dengan menyimpangkan perhatian dari kritik substantif8.

3.7.       Straw Man

Straw man melibatkan penyederhanaan, distorsi, atau manipulasi terhadap argumen lawan sehingga menjadi lebih lemah dan mudah diserang. Contohnya:

“Orang yang menolak hukuman mati pasti ingin semua kriminal dibebaskan.”

Argumen semacam ini tidak merespons posisi asli lawan, melainkan membangun versi karikaturalnya9.

3.8.       Accident (Misapplied Generalization)

Kekeliruan ini terjadi ketika aturan umum diterapkan secara keliru pada kasus khusus yang seharusnya dikecualikan. Misalnya:

“Kebebasan berbicara dijamin konstitusi, jadi saya bebas menyebarkan ujaran kebencian.”

Logika semacam ini gagal mempertimbangkan nuansa situasional dan syarat pengecualian dari prinsip umum10.


Kedelapan bentuk ini merupakan manifestasi utama dari kekeliruan relevansi yang lazim terjadi dalam berbagai konteks wacana, mulai dari percakapan sehari-hari hingga debat akademik, politik, dan media. Pemahaman yang mendalam atas klasifikasi ini merupakan langkah awal yang krusial untuk mendiagnosis dan mengoreksi penyimpangan berpikir yang dapat merusak kualitas argumentasi dan diskursus publik.


Footnotes

[1]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2016), 131–147.

[2]                Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 108–110.

[3]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2010), 96–98.

[4]                Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 33.

[5]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 54.

[6]                Hurley, A Concise Introduction to Logic, 138.

[7]                Copi, Introduction to Logic, 111–113.

[8]                Tindale, Fallacies and Argument Appraisal, 65.

[9]                Govier, A Practical Study of Argument, 100–102.

[10]             Hurley, A Concise Introduction to Logic, 144–145.


4.           Analisis Kritis dan Implikasi Epistemologis

Meskipun kekeliruan relevansi secara teknis dapat diklasifikasikan sebagai bentuk kesalahan logika informal, daya tariknya dalam praktik diskursus terletak pada kemampuannya memanipulasi persepsi audiens melalui pendekatan psikologis, sosial, dan retoris. Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji tidak hanya jenis-jenis kekeliruan tersebut, tetapi juga mekanisme kognitif dan epistemologis yang mendasari penerimaannya dalam wacana publik.

4.1.       Rasionalitas yang Diperdaya: Ketika Relevansi Tertukar dengan Resonansi

Salah satu ciri khas kekeliruan relevansi adalah ilusi keterkaitan antara premis dan kesimpulan. Dalam banyak kasus, premis tampak "relevan" karena beresonansi secara emosional atau sosial dengan audiens, padahal secara logis tidak mendukung kesimpulan yang diajukan. Resonansi semacam ini dapat berasal dari identifikasi kelompok, emosi, atau kepercayaan pribadi yang kuat. Sebagaimana dijelaskan oleh Douglas Walton, banyak kekeliruan dalam argumen—terutama dalam ad hominem, appeal to emotion, dan red herring—terjadi bukan karena kesalahan formal, melainkan karena pembicara mengeksploitasi struktur tujuan komunikasi yang tidak rasional1.

Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan epistemik antara logika ideal dan praktik komunikasi aktual. Sementara logika menuntut relasi inferensial yang sah antara premis dan kesimpulan, praktik argumentasi sering kali menekankan efek persuasif tanpa mengindahkan kebenaran atau kekuatan pembuktian. Hal ini menciptakan ruang bagi kekeliruan relevansi berkembang secara sistemik dalam ruang publik, seperti politik, media, dan opini massa2.

4.2.       Kognisi dan Bias: Mengapa Kekeliruan Ini Sangat Meyakinkan?

Dari perspektif psikologi kognitif, kesuksesan fallacies of relevance dalam mempengaruhi persepsi publik berkaitan erat dengan penggunaan heuristics—jalan pintas mental yang digunakan untuk mengambil keputusan cepat. Kahneman menyebutkan bahwa sistem berpikir manusia terbagi menjadi dua: System 1 (intuitif dan cepat) dan System 2 (reflektif dan lambat). Dalam banyak kasus, audiens menggunakan System 1 untuk menanggapi argumen, sehingga cenderung menerima kekeliruan relevansi yang tampak meyakinkan secara instan3.

Selain itu, bias seperti confirmation bias (kecenderungan menyukai informasi yang mendukung keyakinan awal), ingroup bias (kecenderungan memihak kelompok sendiri), dan affect heuristic (penilaian berdasarkan perasaan) membuat audiens lebih mudah terperdaya oleh argumen yang menggugah secara emosional, meskipun tidak logis4.

Implikasinya adalah bahwa kekeliruan relevansi bukan semata-mata kesalahan teknis, melainkan gejala kognitif dan sosial yang membutuhkan pendekatan lintas disiplin untuk memahaminya secara utuh.

4.3.       Diskursus Publik dan Krisis Epistemik

Dalam konteks yang lebih luas, penyebaran kekeliruan relevansi berkontribusi terhadap krisis epistemik dalam masyarakat kontemporer. Ketika argumen yang tidak relevan tetapi memikat menjadi dasar pengambilan keputusan publik—misalnya dalam kampanye politik, perdebatan hukum, atau diskusi media—maka prinsip-prinsip rasionalitas, objektivitas, dan kejujuran epistemik tergeser oleh strategi manipulatif.

Menurut Tindale, salah satu bahaya utama dari kekeliruan relevansi adalah kemampuannya untuk menciptakan kesan rasionalitas tanpa substansi. Akibatnya, individu atau institusi yang ingin mempertahankan kekuasaan atau pengaruh dapat menyalahgunakan argumen-argumen ini untuk membenarkan posisi yang sesungguhnya tidak memiliki landasan logis atau empiris5.

Dalam jangka panjang, hal ini melemahkan kepercayaan publik terhadap dialog kritis, menurunkan kualitas deliberasi demokratis, dan mengaburkan batas antara opini dan pengetahuan. Oleh karena itu, memahami mekanisme epistemologis dari kekeliruan relevansi merupakan langkah penting dalam membangun masyarakat yang melek logika dan tangguh secara kognitif terhadap propaganda.

4.4.       Tanggung Jawab Etis dalam Argumentasi

Selain aspek rasional dan kognitif, kekeliruan relevansi juga menimbulkan implikasi etis yang serius. Argumentasi adalah bentuk interaksi yang didasarkan pada itikad baik (good will), saling pengertian, dan kejujuran intelektual. Ketika seseorang dengan sadar menggunakan kekeliruan relevansi demi memanipulasi atau mendistorsi persepsi orang lain, maka ia telah menyalahgunakan hak untuk berdiskursus dalam masyarakat terbuka6.

Govier menekankan bahwa etika dalam berargumen menuntut agar setiap pihak hanya menggunakan alasan yang benar-benar mendukung kesimpulan yang diajukan, serta menghindari taktik persuasif yang mengeksploitasi ketidaktahuan atau emosi audiens7. Oleh karena itu, kesadaran akan kekeliruan relevansi tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan rasionalitas berpikir, tetapi juga untuk membangun kultur komunikasi yang adil, jujur, dan bertanggung jawab.


Kesimpulan Antara

Analisis kritis terhadap kekeliruan relevansi menegaskan bahwa problem ini bukan sekadar soal teknik logika, tetapi menyangkut dimensi epistemologis, kognitif, sosial, dan etis yang lebih luas. Dengan demikian, pemahaman terhadap mekanismenya menjadi bagian integral dari pendidikan berpikir kritis, literasi argumentatif, dan pembentukan etos diskursif yang sehat dalam masyarakat modern.


Footnotes

[1]                Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 19–22.

[2]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2016), 140–145.

[3]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–24.

[4]                Paul Thagard, The Cognitive Science of Science: Explanation, Discovery, and Conceptual Change (Cambridge, MA: MIT Press, 2012), 132–135.

[5]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 69–72.

[6]                Douglas N. Walton dan Erik C. W. Krabbe, Commitment in Dialogue: Basic Concepts of Interpersonal Reasoning (Albany: SUNY Press, 1995), 13–15.

[7]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2010), 104–106.


5.           Dampak Kekeliruan Relevansi terhadap Diskursus Publik

Dalam konteks sosial-kultural kontemporer yang ditandai oleh kecepatan informasi dan polarisasi opini, kekeliruan relevansi memiliki implikasi serius terhadap kualitas diskursus publik. Kekeliruan ini bukan hanya persoalan teknis dalam berargumen, melainkan gejala yang lebih dalam terkait degradasi rasionalitas, erosi integritas komunikatif, serta manipulasi sosial dalam arena publik. Dampak-dampak tersebut dapat ditelaah dari beberapa dimensi utama berikut ini:

5.1.       Menurunnya Standar Rasionalitas dalam Wacana Publik

Salah satu dampak paling mencolok dari maraknya kekeliruan relevansi adalah penurunan standar argumentasi rasional dalam perdebatan publik. Ketika argumen-argumen yang mengandalkan emosi, serangan pribadi, atau otoritas yang keliru lebih sering digunakan daripada argumen berbasis fakta dan logika, maka orientasi diskursus bergeser dari pencarian kebenaran ke arah kemenangan retoris semata1.

Hal ini diperparah oleh struktur media sosial yang memberi insentif terhadap konten provokatif dan emosional dibandingkan konten yang berbobot secara intelektual. Seperti dijelaskan oleh Neil Postman, media modern cenderung mengubah diskursus publik menjadi bentuk hiburan yang mengorbankan kedalaman analitis demi impresi instan2. Kekeliruan relevansi dalam hal ini menjadi alat efektif untuk memperoleh perhatian tanpa perlu mempertanggungjawabkan akurasi logis.

5.2.       Polarisasi Sosial dan Erosi Dialog

Kekeliruan seperti straw man, ad hominem, dan red herring memperparah polarisasi opini publik dengan menciptakan distorsi terhadap posisi lawan dan memicu respons emosional alih-alih diskusi rasional. Ketika diskusi publik didominasi oleh bentuk-bentuk argumen yang menyudutkan, menyalahartikan, atau merendahkan pihak lain, maka ruang untuk dialog terbuka dan saling pengertian menjadi sangat sempit3.

Douglas Walton menekankan bahwa salah satu fungsi utama argumentasi publik adalah memfasilitasi resolusi perbedaan pandangan melalui pertukaran alasan yang jujur dan relevan. Kekeliruan relevansi, ketika menjadi norma dalam komunikasi publik, merusak fungsi ini dan menggantinya dengan budaya debat agresif yang penuh kecurigaan dan antagonisme4.

5.3.       Normalisasi Disinformasi dan Manipulasi Wacana

Kekeliruan relevansi juga berkontribusi terhadap normalisasi disinformasi karena memungkinkan penyampaian argumen-argumen yang tampak masuk akal secara permukaan, tetapi menyimpang dari kebenaran. Misalnya, penggunaan appeal to ignorance dalam isu kesehatan atau lingkungan dapat menyesatkan masyarakat untuk mengambil keputusan berdasarkan ketidaktahuan, bukan berdasarkan data ilmiah yang kredibel5.

Dalam konteks politik, kekeliruan seperti appeal to authority dan ad populum sering digunakan untuk membenarkan kebijakan publik dengan mengandalkan figur karismatik atau dukungan mayoritas, padahal tidak selalu berbasis pertimbangan rasional dan etis. Hal ini menciptakan ilusi konsensus yang sebenarnya dibangun di atas fondasi argumen yang rapuh6.

5.4.       Delegitimasi Lembaga dan Kepercayaan Publik

Ketika kekeliruan relevansi digunakan secara sistematis oleh aktor-aktor publik seperti politisi, tokoh agama, atau media, maka lama-kelamaan masyarakat akan mengalami erosi kepercayaan terhadap institusi. Publik mulai sulit membedakan mana argumen yang sah dan mana yang manipulatif, sehingga sikap skeptis atau bahkan sinis terhadap semua bentuk komunikasi menjadi lazim7.

Christopher Tindale menunjukkan bahwa jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap argumen sebagai sarana deliberasi, maka proses demokrasi dan pengambilan keputusan kolektif pun akan kehilangan legitimasi. Kekeliruan relevansi dalam hal ini bukan hanya persoalan akademik, melainkan tantangan serius terhadap fondasi epistemik kehidupan publik8.

5.5.       Hambatan terhadap Literasi Kritis dan Keadilan Epistemik

Dominasi kekeliruan relevansi dalam ruang publik juga menjadi penghalang bagi pengembangan literasi kritis di kalangan masyarakat luas. Individu yang tidak terlatih secara logis akan cenderung menerima argumen-argumen yang manipulatif tanpa menyadari kecacatan substansialnya. Ini menciptakan ketimpangan epistemik antara kelompok yang memiliki akses dan kemampuan analisis, dengan kelompok yang rentan terhadap pengaruh retoris9.

Dalam istilah Miranda Fricker, ini merupakan bentuk “epistemic injustice”, di mana individu atau kelompok diposisikan secara tidak adil dalam proses produksi dan konsumsi pengetahuan karena terbatasnya kemampuan untuk menyaring argumen berdasarkan relevansi dan rasionalitas10.


Kesimpulan Antara

Dengan demikian, kekeliruan relevansi bukan sekadar permasalahan dalam domain teori logika, melainkan memiliki konsekuensi luas terhadap struktur diskursus, kesehatan demokrasi, dan keadaban intelektual masyarakat. Mengatasi dampak negatif ini menuntut intervensi sistemik, termasuk pendidikan logika informal, reformasi komunikasi publik, dan penguatan etika argumentatif.


Footnotes

[1]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2016), 137–139.

[2]                Neil Postman, Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business (New York: Penguin Books, 1985), 70–74.

[3]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2010), 112–114.

[4]                Douglas Walton, The Place of Emotion in Argument (University Park: Pennsylvania State University Press, 1992), 109–111.

[5]                Matthew C. Nisbet dan Dietram A. Scheufele, “What’s Next for Science Communication? Promising Directions and Lingering Distractions,” American Journal of Botany 96, no. 10 (2009): 1767–1778.

[6]                Walton, Relevance in Argumentation, 61–63.

[7]                Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, trans. Thomas Burger (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 213–215.

[8]                Christopher W. Tindale, Fallacies and Argument Appraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 70–73.

[9]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 1970), 74–75.

[10]             Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 1–7.


6.           Strategi Deteksi dan Penanggulangan Kekeliruan Relevansi

Menghadapi prevalensi kekeliruan relevansi dalam argumen publik menuntut lebih dari sekadar pengetahuan teoritis tentang jenis-jenis fallacy. Diperlukan strategi yang bersifat operasional dan reflektif untuk mendeteksi, mengkritisi, dan mencegah penyebaran kekeliruan ini baik dalam wacana personal, akademik, maupun sosial-politik. Strategi tersebut mencakup kemampuan analisis logika informal, kesadaran kognitif terhadap bias, dan pembentukan etika diskursif yang kuat. Bagian ini menguraikan pendekatan-pendekatan utama dalam upaya tersebut.

6.1.       Menumbuhkan Kesadaran Relevansi melalui Pertanyaan Kritis

Langkah pertama dalam mendeteksi kekeliruan relevansi adalah dengan mengembangkan kebiasaan bertanya secara kritis terhadap setiap hubungan antara premis dan kesimpulan dalam argumen. Douglas Walton menyarankan pendekatan berbasis critical questions, yaitu seperangkat pertanyaan yang dapat diajukan terhadap argumen untuk menguji apakah alasan yang diajukan memang relevan, sah, dan mendukung kesimpulan secara logis1.

Contoh pertanyaan yang dapat digunakan meliputi:

·                     Apakah alasan ini secara langsung berkaitan dengan kesimpulan?

·                     Apakah ada informasi yang lebih relevan yang diabaikan?

·                     Apakah pembicara mencoba mengalihkan perhatian dengan aspek yang emosional atau personal?

Dengan menginternalisasi pertanyaan-pertanyaan tersebut, individu dapat membangun kepekaan logis terhadap pola-pola retorika yang menyesatkan.

6.2.       Menggunakan Model Argumentatif Pragmatis

Deteksi kekeliruan juga dapat diperkuat dengan mengadopsi model argumentasi pragmatis, seperti yang dikembangkan dalam teori dialektika kritis oleh van Eemeren dan Grootendorst. Model ini menekankan bahwa argumen harus memenuhi aturan-aturan rasional dalam tahapan debat yang konstruktif, termasuk prinsip relevansi sebagai syarat normatif argumentasi yang sah2.

Dalam model ini, kekeliruan relevansi dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap “aturan relevansi” dalam dialog kritis. Dengan demikian, seseorang yang menyimpang dari relevansi dinilai tidak berpartisipasi dalam upaya pencapaian konsensus rasional yang jujur.

6.3.       Literasi Logika Informal dan Pelatihan Argumentatif

Literasi logika informal memainkan peran sentral dalam membekali masyarakat dengan alat konseptual dan praktis untuk mengenali kekeliruan relevansi. Hurley dan Copi sama-sama menekankan pentingnya pendidikan logika yang tidak hanya memuat kaidah-kaidah formal, tetapi juga aplikasi logika dalam bahasa alami dan konteks diskursus3.

Pelatihan argumentatif berbasis studi kasus, analisis debat, dan praktik menulis argumentasi dapat membantu peserta didik dan warga masyarakat mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara argumen yang sahih dan yang menyesatkan secara substansial.

6.4.       Refleksi terhadap Bias dan Emosi dalam Argumentasi

Karena kekeliruan relevansi sering kali muncul melalui manipulasi emosional dan bias kognitif, maka strategi penanggulangannya juga harus menyentuh aspek metakognitif, yaitu kemampuan untuk mengenali dan mengevaluasi proses berpikir sendiri. Daniel Kahneman menekankan pentingnya aktivasi System 2—pemikiran reflektif—untuk melawan kecenderungan System 1 yang intuitif dan impulsif4.

Kegiatan seperti self-questioning, delay of judgment, dan bias-checking sangat berguna untuk mengurangi kerentanan terhadap kekeliruan yang mengandalkan resonansi emosional atau intuisi sosial.

6.5.       Etika Argumentatif dan Kode Diskursif

Strategi terakhir dan tak kalah penting adalah internalisasi nilai-nilai etis dalam berargumentasi, termasuk kejujuran intelektual, keterbukaan terhadap kritik, dan tanggung jawab terhadap kebenaran. Fricker menegaskan bahwa bentuk komunikasi yang manipulatif, termasuk kekeliruan relevansi, merupakan bentuk ketidakadilan epistemik yang merugikan audiens sebagai agen rasional5.

Sebagai solusi, institusi pendidikan, media, dan komunitas intelektual perlu mendorong kode etik diskursif yang mengatur bagaimana argumen disampaikan dan dikritisi. Penggunaan kekeliruan relevansi secara sadar harus dilihat sebagai pelanggaran integritas intelektual dan tanggung jawab sosial dalam komunikasi publik.


Kesimpulan Antara

Menghadapi kekeliruan relevansi bukan sekadar persoalan membetulkan logika, tetapi soal membangun kapasitas intelektual dan moral untuk berdialog secara adil dan rasional. Deteksi yang akurat, pendidikan logika informal, dan etika argumentatif yang kuat menjadi fondasi utama dalam membentuk masyarakat yang tahan terhadap distorsi nalar dan manipulasi wacana.


Footnotes

[1]                Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 85–89.

[2]                Frans H. van Eemeren dan Rob Grootendorst, A Systematic Theory of Argumentation: The Pragma-Dialectical Approach (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 122–124.

[3]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2016), 98–100; Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon, Introduction to Logic, 14th ed. (New York: Pearson, 2011), 117–120.

[4]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 35–40.

[5]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 6–10.


7.           Penutup

Kekeliruan relevansi dalam argumen merupakan fenomena kompleks yang menggabungkan dimensi logis, psikologis, retoris, dan etis dalam praktik komunikasi publik. Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, kekeliruan ini tidak hanya menyesatkan struktur berpikir, tetapi juga mengaburkan batas antara persuasi dan penalaran rasional. Meskipun tidak mencederai validitas formal argumen secara langsung, kekeliruan relevansi menggagalkan pencapaian kebenaran dengan mengandalkan relasi yang tampak meyakinkan tetapi secara substansial tidak mendukung kesimpulan yang diajukan1.

Dalam konteks epistemologi, kekeliruan relevansi mencerminkan kegagalan dalam menjunjung prinsip rasionalitas kritis dan kejujuran intelektual. Argumentasi yang sehat mensyaratkan keterkaitan yang sah antara premis dan kesimpulan, serta orientasi pada pencarian kebenaran, bukan sekadar efektivitas persuasi. Oleh karena itu, penyebaran kekeliruan relevansi dalam ruang publik mengindikasikan melemahnya fondasi epistemik masyarakat, di mana opini sering kali diperlakukan sebagai substitusi dari pengetahuan2.

Secara sosial, kekeliruan relevansi memiliki dampak yang merusak terhadap kualitas diskursus demokratis. Ketika publik terbiasa menerima atau bahkan mereproduksi argumen-argumen yang cacat secara logis namun efektif secara emosional, maka ruang deliberasi rasional menyempit dan digantikan oleh arena retoris yang manipulatif. Hal ini menimbulkan berbagai konsekuensi serius: polarisasi opini, delegitimasi institusi, penyebaran disinformasi, dan ketidakadilan epistemik terhadap kelompok yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan kritis3.

Menanggapi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang bersifat edukatif, normatif, dan reflektif. Pertama, pendidikan logika informal dan literasi argumentatif harus menjadi bagian integral dari kurikulum untuk membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir kritis dan mendeteksi kekeliruan secara mandiri. Kedua, institusi publik dan media harus menegakkan standar etis dalam penyampaian informasi dan berargumentasi, guna menghindari penggunaan kekeliruan sebagai instrumen pengaruh. Ketiga, setiap individu sebagai agen epistemik harus mengembangkan refleksi diri terhadap bias dan kecenderungan emosional yang dapat menggiring pada penerimaan argumen yang menyesatkan4.

Akhirnya, pemahaman yang mendalam mengenai kekeliruan relevansi bukan hanya memperkuat kompetensi berpikir logis, tetapi juga menumbuhkan tanggung jawab moral dalam berpartisipasi dalam kehidupan intelektual dan sosial. Dalam masyarakat yang sehat secara epistemik, argumen tidak hanya dinilai dari daya tarik retorisnya, tetapi juga dari relevansi dan integritas logis yang dikandungnya. Oleh karena itu, deteksi dan penanggulangan kekeliruan relevansi merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan untuk membangun budaya diskursus yang rasional, etis, dan inklusif.


Footnotes

[1]                Patrick J. Hurley, A Concise Introduction to Logic, 13th ed. (Boston: Cengage Learning, 2016), 130–146.

[2]                Trudy Govier, A Practical Study of Argument, 7th ed. (Boston: Cengage Learning, 2010), 114–116.

[3]                Douglas Walton, Relevance in Argumentation (Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), 93–97.

[4]                Miranda Fricker, Epistemic Injustice: Power and the Ethics of Knowing (Oxford: Oxford University Press, 2007), 9–11.


Daftar Pustaka

Copi, I. M., Cohen, C., & McMahon, K. (2011). Introduction to logic (14th ed.). Pearson.

Eemeren, F. H. van, & Grootendorst, R. (2004). A systematic theory of argumentation: The pragma-dialectical approach. Cambridge University Press.

Fricker, M. (2007). Epistemic injustice: Power and the ethics of knowing. Oxford University Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Govier, T. (2010). A practical study of argument (7th ed.). Cengage Learning.

Habermas, J. (1991). The structural transformation of the public sphere: An inquiry into a category of bourgeois society (T. Burger, Trans.). MIT Press.

Hurley, P. J. (2016). A concise introduction to logic (13th ed.). Cengage Learning.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.

Nisbet, M. C., & Scheufele, D. A. (2009). What’s next for science communication? Promising directions and lingering distractions. American Journal of Botany, 96(10), 1767–1778. https://doi.org/10.3732/ajb.0900041

Postman, N. (1985). Amusing ourselves to death: Public discourse in the age of show business. Penguin Books.

Tindale, C. W. (2007). Fallacies and argument appraisal. Cambridge University Press.

Thagard, P. (2012). The cognitive science of science: Explanation, discovery, and conceptual change. MIT Press.

Walton, D. (1992). The place of emotion in argument. Pennsylvania State University Press.

Walton, D. (2004). Relevance in argumentation. Lawrence Erlbaum Associates.

Walton, D. N., & Krabbe, E. C. W. (1995). Commitment in dialogue: Basic concepts of interpersonal reasoning. SUNY Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar