Menelaah Test Hasil Belajar
Analisis Kualitas, Relevansi, dan Implikasinya terhadap
Pembelajaran
Alihkan ke: Penilaian Hasil Belajar dan Tindak Lanjut.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif pentingnya
menelaah tes hasil belajar sebagai bagian integral dari sistem evaluasi
pendidikan yang berkualitas. Penelaahan tes dilakukan untuk menjamin bahwa
butir soal yang digunakan dalam asesmen benar-benar mencerminkan capaian
pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum, khususnya dalam konteks implementasi
Kurikulum Merdeka. Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, proses
penelaahan mencakup analisis isi, konstruksi, bahasa soal, serta uji empirik
seperti tingkat kesukaran, daya pembeda, dan efektivitas distraktor. Artikel
ini juga membahas tujuan, manfaat, prosedur teknis, serta studi kasus dan
praktik baik dari berbagai satuan pendidikan yang telah menerapkan telaah soal
secara sistematis. Di samping itu, dibahas pula tantangan-tantangan yang
dihadapi guru dalam pelaksanaan penelaahan tes, seperti keterbatasan
kompetensi, waktu, dan dukungan teknologi, beserta solusi strategis yang dapat
diimplementasikan. Penelaahan tes hasil belajar diposisikan bukan sekadar
aktivitas teknis, tetapi sebagai wujud profesionalisme guru dalam membangun
asesmen yang valid, adil, dan berorientasi pada perbaikan pembelajaran. Oleh
karena itu, penguatan kapasitas guru dalam bidang ini perlu menjadi prioritas
dalam kebijakan pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Kata Kunci: Penelaahan tes, hasil belajar, asesmen pendidikan,
Kurikulum Merdeka, kualitas soal, evaluasi pembelajaran, capaian pembelajaran,
profesionalisme guru.
PEMBAHASAN
Menelaah Tes Hasil Belajar dalam Pendidikan
1.
Pendahuluan
Dalam konteks pendidikan modern yang menekankan
pembelajaran bermakna dan penguatan kompetensi, tes hasil belajar
memegang peranan strategis sebagai instrumen evaluasi capaian peserta didik.
Tes hasil belajar tidak sekadar alat ukur pengetahuan semata, tetapi juga
merupakan refleksi dari keberhasilan proses pembelajaran yang telah
berlangsung. Melalui tes, guru dan satuan pendidikan dapat menilai sejauh mana
tujuan pembelajaran tercapai, dan mengidentifikasi area yang masih membutuhkan
penguatan atau perbaikan.
Penelaahan terhadap tes hasil belajar menjadi
semakin penting dalam era implementasi Kurikulum Merdeka yang
berorientasi pada profil pelajar Pancasila dan pembelajaran
berdiferensiasi. Kurikulum ini menuntut asesmen yang tidak hanya bersifat
sumatif, tetapi juga formatif dan diagnostik. Tes yang digunakan harus mampu
menggambarkan potensi peserta didik secara utuh, serta relevan dengan capaian
pembelajaran (CP) yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui regulasi
terbaru, seperti Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian
Pendidikan¹.
Tes yang baik seharusnya memenuhi empat kriteria
utama, yaitu validitas (ketepatan mengukur apa yang seharusnya diukur),
reliabilitas (konsistensi hasil ukur), objektivitas (kebebasan dari bias subjektif),
dan praktikalitas (kemudahan dalam pelaksanaan)². Namun, dalam praktiknya,
banyak tes hasil belajar yang masih menyimpan kelemahan dalam hal keterpaduan
dengan indikator pembelajaran, kualitas konstruksi butir soal, hingga
keberpihakan pada konteks lokal dan kebutuhan siswa. Hal ini menuntut proses menelaah
yang sistematis dan berbasis data, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Menelaah tes hasil belajar merupakan proses
reflektif dan analitis yang bertujuan untuk memastikan kualitas, kesesuaian,
dan efektivitas soal sebagai alat ukur capaian pembelajaran³. Proses ini
melibatkan telaah isi, konstruksi, dan bahasa soal, serta analisis empirik
seperti daya pembeda dan tingkat kesukaran. Penelaahan ini juga berfungsi
sebagai mekanisme penjaminan mutu asesmen, baik dalam lingkup kelas maupun
kebijakan evaluasi di tingkat satuan pendidikan.
Selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas soal,
hasil telaah tes dapat digunakan untuk menyusun bank soal yang lebih
representatif, mengembangkan program remedial dan pengayaan, serta memperkuat
kapasitas guru dalam praktik asesmen⁴. Dengan demikian, artikel ini bertujuan
untuk mengkaji secara komprehensif aspek-aspek penting dalam menelaah tes hasil
belajar, dengan mengintegrasikan pendekatan konseptual, teknis, serta
praktik-praktik baik dari lapangan pendidikan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan,
Bab II, Pasal 4.
[2]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 80–85.
[3]
W. James Popham, Classroom Assessment: What
Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson Education, 2017), 140–143.
[4]
Susan M. Brookhart, How to Create and Use
Rubrics for Formative Assessment and Grading (Alexandria, VA: ASCD, 2013),
56–59.
2.
Konsep
Dasar Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar merupakan salah satu komponen
utama dalam sistem evaluasi pendidikan. Dalam definisinya yang umum, tes hasil
belajar adalah instrumen yang dirancang secara sistematis untuk mengukur
capaian peserta didik terhadap tujuan pembelajaran tertentu, baik dalam aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotorik¹. Tes tidak hanya mencerminkan tingkat
penguasaan materi oleh peserta didik, tetapi juga mencerminkan kualitas proses
pembelajaran dan kesesuaian antara strategi pengajaran dengan kompetensi yang
ingin dicapai.
Secara konseptual, tes hasil belajar dibedakan dari
penilaian (assessment) dan evaluasi (evaluation). Penilaian
adalah proses pengumpulan informasi mengenai capaian belajar siswa, sementara
evaluasi mencakup penafsiran dan pengambilan keputusan atas hasil penilaian
untuk perbaikan pembelajaran secara menyeluruh². Tes merupakan salah satu alat
dalam proses penilaian yang berfokus pada pengukuran capaian akademik dengan
menggunakan butir-butir soal yang terstruktur.
Menurut Gronlund, tes hasil belajar dapat
dikategorikan berdasarkan bentuknya, yaitu:
1)
Tes objektif, seperti
pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, dan isian singkat; serta
2)
Tes subjektif, seperti
uraian terbatas dan uraian bebas, yang menuntut interpretasi lebih mendalam
dari peserta didik³.
Dalam konteks pembelajaran yang berbasis
kompetensi, bentuk dan jenis tes harus disesuaikan dengan level kognitif dalam
Taksonomi Bloom revisi oleh Anderson dan Krathwohl, yaitu: mengingat
(remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze),
mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create)⁴. Penggunaan level ini penting
untuk memastikan bahwa tes tidak hanya mengukur hafalan, tetapi juga
keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills atau
HOTS).
Kualitas tes hasil belajar ditentukan oleh empat
prinsip utama:
·
Validitas, yaitu
sejauh mana tes mengukur apa yang seharusnya diukur;
·
Reliabilitas, yaitu
konsistensi hasil pengukuran ketika digunakan berulang;
·
Objektivitas, yaitu
kebebasan tes dari pengaruh subjektivitas penyusun atau pemeriksa; dan
·
Praktikalitas, yaitu
kemudahan pelaksanaan, pengelolaan, dan penilaian tes dalam situasi nyata
pembelajaran⁵.
Dalam praktik penyusunan dan penggunaan tes,
aspek-aspek tersebut sering kali diabaikan, sehingga instrumen yang digunakan
kurang optimal dalam menggambarkan pencapaian hasil belajar secara menyeluruh.
Oleh karena itu, pemahaman yang utuh terhadap konsep dasar tes hasil belajar
merupakan prasyarat penting bagi guru dan pendidik dalam mengembangkan asesmen
yang bermutu.
Footnotes
[1]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 53–56.
[2]
Nitko, Anthony J., dan Susan M. Brookhart, Educational
Assessment of Students, 6th ed. (Boston: Pearson Education, 2014), 10–12.
[3]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment
of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 75–77.
[4]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A
Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy
of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–88.
[5]
William J. Popham, Classroom Assessment: What
Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson Education, 2017), 115–118.
3.
Tujuan
dan Manfaat Menelaah Tes Hasil Belajar
Penelaahan tes hasil belajar merupakan bagian
integral dari praktik asesmen yang bermutu dan akuntabel dalam sistem
pendidikan. Secara umum, tujuan utama dari menelaah tes hasil belajar adalah
untuk memastikan bahwa instrumen evaluasi yang digunakan benar-benar mampu
mengukur capaian kompetensi peserta didik secara valid, reliabel, dan adil.
Dengan kata lain, penelaahan bertujuan untuk menjamin kesesuaian antara butir
soal, indikator pembelajaran, dan capaian pembelajaran (CP) yang ditetapkan
dalam kurikulum nasional⁽¹⁾.
Salah satu manfaat utama dari penelaahan tes adalah
untuk meningkatkan validitas isi (content validity), yaitu sejauh mana
butir soal mencerminkan representasi yang utuh dari materi atau kompetensi yang
hendak diukur⁽²⁾. Dalam praktiknya, validitas isi seringkali terganggu karena
soal tidak mewakili indikator pembelajaran, terlalu sederhana, atau bahkan
menyimpang dari konteks yang dituju. Oleh karena itu, penelaahan yang dilakukan
sebelum dan sesudah tes digunakan menjadi langkah krusial dalam menjaga
integritas evaluasi.
Manfaat berikutnya adalah memperbaiki kualitas
teknis soal. Tes yang berkualitas harus memiliki konstruksi yang baik, seperti
kalimat soal yang jelas, pengecoh (distractor) yang berfungsi, dan tidak adanya
kunci ganda atau pengulangan konteks yang membingungkan. Penelaahan terhadap
aspek ini membantu meminimalisir potensi kesalahan teknis yang bisa menyesatkan
peserta didik dan merusak objektivitas penilaian⁽³⁾.
Dari perspektif pembelajaran, menelaah tes hasil
belajar juga berfungsi sebagai umpan balik (feedback) yang sangat
berharga bagi guru, peserta didik, dan pengelola pendidikan. Guru dapat
mengidentifikasi materi yang belum dipahami siswa secara menyeluruh, sehingga
bisa merancang remedial teaching secara lebih tepat sasaran. Sementara
itu, siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap kesalahan mereka dan
dapat memperbaiki strategi belajar ke depan⁽⁴⁾.
Lebih jauh lagi, penelaahan tes menjadi alat bantu
untuk mengembangkan bank soal berkualitas di tingkat satuan pendidikan.
Soal-soal yang telah melalui proses telaah empiris dan kualitatif bisa dihimpun
dan digunakan kembali dengan keandalan yang lebih tinggi. Hal ini mendukung
efisiensi kerja guru, meningkatkan konsistensi penilaian antar tahun ajaran,
serta menjadi acuan dalam asesmen nasional dan akreditasi sekolah⁽⁵⁾.
Dalam regulasi pendidikan Indonesia, urgensi
penelaahan tes ditegaskan melalui Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022
yang menyatakan bahwa penilaian hasil belajar harus dilakukan dengan prinsip
sahih, objektif, adil, dan terpadu dengan proses pembelajaran. Penelaahan tes
menjadi cara konkret untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut secara
sistematis dan berkelanjutan⁽⁶⁾.
Dengan demikian, penelaahan tes hasil belajar bukan
hanya kegiatan administratif atau teknis, tetapi sebuah praktik reflektif yang
berorientasi pada peningkatan mutu pembelajaran secara holistik. Ia
mencerminkan profesionalisme guru dalam mendesain pembelajaran dan asesmen yang
bermakna serta berkeadilan bagi semua peserta didik.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan,
Bab II, Pasal 3 dan 4.
[2]
Susan M. Brookhart, How to Make the Most of
Formative Assessment, ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 1–4.
[3]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi
Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 85–91.
[4]
W. James Popham, Transformative Assessment
(Alexandria, VA: ASCD, 2008), 54–56.
[5]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment
of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009),
122–125.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022,
Lampiran I tentang Prinsip Penilaian.
4.
Prosedur
Penelaahan Tes Hasil Belajar
Prosedur penelaahan
tes hasil belajar merupakan langkah sistematis yang dirancang untuk memastikan
bahwa instrumen evaluasi yang digunakan benar-benar sahih, andal, objektif, dan
relevan dengan tujuan pembelajaran. Penelaahan ini dilakukan secara menyeluruh,
mencakup telaah terhadap isi, konstruksi, dan bahasa butir soal sebelum,
selama, dan sesudah pelaksanaan asesmen⁽¹⁾. Dalam konteks Kurikulum Merdeka,
prosedur ini menjadi sangat penting karena mendorong asesmen yang kontekstual,
reflektif, dan berorientasi pada penguatan kompetensi⁽²⁾.
4.1. Tahapan Penelaahan
Penelaahan tes
umumnya mencakup tiga tahapan utama:
1)
Telaah Awal (Pra-Uji)
Pada tahap ini, guru atau tim penyusun soal
menelaah setiap butir soal secara kualitatif sebelum digunakan dalam ujian.
Telaah ini mencakup aspek kesesuaian materi dengan indikator pembelajaran,
ketepatan bentuk soal, dan potensi munculnya bias atau multitafsir⁽³⁾. Prosedur
ini dilakukan menggunakan kisi-kisi soal sebagai acuan untuk menjamin
bahwa setiap soal sesuai dengan capaian pembelajaran dan level
kognitif yang dituju⁽⁴⁾.
2)
Uji Coba Soal (Uji
Empiris)
Pada tahap ini, soal-soal diuji coba kepada
sejumlah peserta didik yang representatif. Data hasil uji coba dianalisis
secara kuantitatif, terutama dengan menghitung parameter seperti tingkat kesukaran,
daya pembeda, dan efektivitas distraktor. Uji coba ini
penting untuk menyaring soal yang tidak layak digunakan dalam ujian utama⁽⁵⁾.
3)
Revisi dan Validasi
Soal (Pasca-Uji)
Hasil dari analisis empiris digunakan sebagai
dasar revisi soal. Butir-butir yang terlalu mudah, terlalu sulit, tidak
membedakan kemampuan siswa, atau memiliki pengecoh yang tidak berfungsi,
diperbaiki atau dibuang. Validasi akhir dilakukan oleh tim atau narasumber
ahli, seperti pengawas, dosen, atau guru senior, yang berperan sebagai penelaah
eksternal⁽⁶⁾.
4.2. Komponen yang Ditelaah
Penelaahan mencakup
tiga komponen utama:
1)
Isi Soal
Menilai kesesuaian antara soal dengan materi
ajar, indikator, dan kompetensi dasar. Penelaahan isi juga mencakup aspek
keakuratan konsep, keterkaitan konteks dengan dunia nyata, dan keberpihakan
pada keberagaman sosial dan budaya peserta didik⁽⁷⁾.
2)
Konstruksi Soal
Memastikan bahwa struktur soal sesuai dengan
kaidah penulisan yang baik. Misalnya, stem soal harus jelas, opsi jawaban
homogen dan logis, serta tidak menimbulkan ambiguitas. Untuk soal pilihan
ganda, satu kunci jawaban harus benar secara mutlak⁽⁸⁾.
3)
Bahasa Soal
Mengkaji penggunaan bahasa yang komunikatif,
sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik, serta bebas dari
bias gender, suku, atau agama. Bahasa yang digunakan harus sederhana namun
tepat makna untuk menghindari kesalahan pemahaman yang tidak berkaitan dengan
kompetensi yang diukur⁽⁹⁾.
4.3. Format Instrumen Penelaahan
Agar proses telaah
sistematis dan terdokumentasi, tim penelaah sebaiknya menggunakan lembar
penelaahan soal atau formulir analisis soal yang
mencakup kolom identitas soal, indikator yang diukur, kesesuaian isi, kualitas
konstruksi, kebahasaan, serta catatan perbaikan. Penggunaan format ini juga
menjadi bagian dari upaya penjaminan mutu asesmen di sekolah⁽¹⁰⁾.
Dengan menerapkan
prosedur penelaahan yang sistematis dan berbasis data, guru tidak hanya dapat
menyajikan instrumen tes yang bermutu, tetapi juga turut membangun budaya
evaluasi yang profesional dan berkelanjutan dalam lingkungan pendidikan.
Footnotes
[1]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed.
revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 92–96.
[2]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Pasal 4 dan
Lampiran I.
[3]
Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of
Students, 6th ed. (Boston: Pearson Education, 2014), 122–124.
[4]
Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Soal Ujian
Sekolah, ed. revisi (Jakarta: BSNP, 2020), 7–9.
[5]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student
Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 152–155.
[6]
William J. Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 178–181.
[7]
Susan M. Brookhart, How to Create and Use Rubrics for Formative
Assessment and Grading (Alexandria, VA: ASCD, 2013), 89–91.
[8]
Haladyna, Thomas M., Steven M. Downing, dan Michael C. Rodriguez, “A
Review of Multiple-Choice Item-Writing Guidelines for Classroom Assessment,” Applied
Measurement in Education 15, no. 3 (2002): 309–334.
[9]
McMillan, James H., Classroom Assessment: Principles and Practice
for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson,
2013), 203–205.
[10]
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil
Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
45–48.
5.
Teknik
Analisis Butir Soal
Analisis butir soal
merupakan bagian penting dalam penelaahan tes hasil belajar yang bertujuan
untuk menilai kualitas teknis dari masing-masing soal secara empirik. Dengan
melakukan analisis butir, guru dan pengembang asesmen dapat menentukan apakah
suatu butir soal layak dipertahankan, direvisi, atau dibuang berdasarkan data
statistik hasil pengerjaan peserta didik. Analisis ini tidak hanya memastikan
validitas dan reliabilitas instrumen, tetapi juga mendukung pengembangan bank
soal yang berkualitas tinggi⁽¹⁾.
Secara umum,
terdapat dua pendekatan utama dalam analisis butir soal, yaitu analisis
kuantitatif dan analisis kualitatif. Keduanya
saling melengkapi dan harus dilakukan secara beriringan untuk memperoleh
gambaran menyeluruh tentang mutu suatu soal.
5.1. Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan data empirik dari hasil ujian. Beberapa parameter
utama yang dianalisis antara lain:
1)
Tingkat Kesukaran
(Difficulty Index)
Mengukur proporsi peserta didik yang menjawab
soal dengan benar. Indeks kesukaran berkisar antara 0–1, dengan kategori:
Mudah (0,71–1,00)
Sedang (0,31–0,70)
Sukar (0,00–0,30)
Soal yang terlalu mudah atau terlalu sulit
cenderung tidak efektif dalam mengukur kemampuan siswa secara berbeda⁽²⁾.
2)
Daya Pembeda (Discrimination
Index)
Menunjukkan kemampuan soal dalam membedakan
antara peserta didik berkemampuan tinggi dan rendah. Indeks daya pembeda
umumnya dinyatakan dalam rentang -1 hingga +1, dengan kategori:
Sangat baik (≥ 0,40)
Baik (0,30–0,39)
Cukup (0,20–0,29)
Buruk (≤ 0,19)
Nilai negatif menunjukkan soal tidak valid karena
lebih banyak dijawab benar oleh siswa dengan nilai rendah⁽³⁾.
3)
Efektivitas Distraktor
(Pengecoh)
Mengkaji sejauh mana pilihan jawaban selain kunci
mampu menarik perhatian siswa yang tidak tahu jawaban. Distraktor yang tidak
dipilih oleh siapa pun atau terlalu sering dipilih oleh siswa berkemampuan
tinggi dianggap tidak berfungsi dengan baik dan perlu direvisi⁽⁴⁾.
Proses ini dapat
dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi bantu seperti Anates,
Excel,
atau perangkat lunak statistik seperti SPSS untuk mempermudah
pengolahan data.
5.2. Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif
dilakukan sebelum atau sesudah uji coba, dengan menelaah secara sistematis
aspek-aspek sebagai berikut:
·
Kesesuaian
isi soal dengan indikator dan tujuan pembelajaran.
·
Kejelasan
konstruksi, termasuk bentuk soal, redaksi, dan kelengkapan opsi
jawaban.
·
Ketepatan
bahasa, mencakup tata kalimat, penggunaan istilah yang sesuai,
serta sensitivitas terhadap keragaman budaya, gender, dan konteks peserta
didik⁽⁵⁾.
Analisis kualitatif
penting untuk menjaring potensi bias, kesalahan redaksional, dan multitafsir
yang tidak dapat ditangkap melalui pendekatan statistik.
5.3. Interpretasi dan Tindak Lanjut
Hasil analisis butir
soal digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan berikut:
·
Mempertahankan
soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang, daya pembeda tinggi, dan
distraktor efektif.
·
Merevisi
soal dengan kelemahan minor, seperti konstruksi kalimat atau efektivitas
distraktor.
·
Membuang
soal yang tidak valid secara empirik maupun kualitatif.
Penilaian ini juga
memberikan umpan balik penting bagi guru untuk memahami karakteristik siswa
serta memperbaiki strategi pembelajaran. Dengan demikian, analisis butir soal
menjadi landasan objektif dalam perbaikan asesmen dan peningkatan mutu
pembelajaran⁽⁶⁾.
Footnotes
[1]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed.
revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 96–100.
[2]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student
Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 158–162.
[3]
William J. Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 165–169.
[4]
Haladyna, Thomas M., Steven M. Downing, dan Michael C. Rodriguez, “A
Review of Multiple-Choice Item-Writing Guidelines for Classroom Assessment,” Applied
Measurement in Education 15, no. 3 (2002): 309–334.
[5]
Brookhart, Susan M., How to Create and Use Rubrics for Formative
Assessment and Grading (Alexandria, VA: ASCD, 2013), 87–90.
[6]
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil
Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
51–55.
6.
Penelaahan
Kesesuaian dengan Capaian Pembelajaran
Penelaahan terhadap
kesesuaian butir tes hasil belajar dengan Capaian Pembelajaran (CP) merupakan
langkah esensial dalam menjamin relevansi dan akurasi asesmen terhadap
kompetensi yang ditargetkan dalam kurikulum. Dalam konteks Kurikulum
Merdeka, Capaian Pembelajaran didefinisikan sebagai kompetensi
minimal yang harus dicapai oleh peserta didik pada akhir fase pembelajaran
tertentu, meliputi dimensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
terintegrasi⁽¹⁾. Oleh karena itu, butir soal yang tidak terarah pada CP
berisiko mengukur aspek yang tidak esensial atau bahkan menyimpang dari tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.
6.1. Hubungan antara Soal, Indikator, dan Capaian
Pembelajaran
Setiap butir soal
seharusnya diturunkan dari indikator pembelajaran yang telah dirumuskan
berdasarkan CP. Indikator ini berfungsi sebagai jembatan antara CP dengan
bentuk soal konkret yang dikembangkan guru. Penelaahan kesesuaian dilakukan
dengan mencocokkan antara kompetensi yang diukur dalam soal dengan indikator
dan CP yang dirujuk. Butir soal yang baik akan secara eksplisit mencerminkan
aspek-aspek kemampuan yang ditargetkan, baik dari segi konten maupun level
kognitifnya⁽²⁾.
Permendikbudristek
No. 21 Tahun 2022 secara tegas menyatakan bahwa penilaian hasil belajar harus
dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan proses pembelajaran, serta
mengacu pada Capaian Pembelajaran yang berlaku⁽³⁾. Hal ini mengindikasikan
bahwa soal-soal yang dikembangkan tidak boleh lepas dari kerangka kurikulum
yang telah dirumuskan secara nasional.
6.2. Integrasi Level Kognitif Taksonomi Bloom Revisi
Dalam menelaah
kesesuaian soal dengan CP, penting juga untuk memperhatikan dimensi kognitif
berdasarkan Taksonomi Bloom revisi oleh Anderson dan Krathwohl. Taksonomi ini
membagi kemampuan berpikir ke dalam enam tingkatan: mengingat (remember), memahami
(understand), menerapkan (apply), menganalisis
(analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta
(create)⁽⁴⁾.
Penelaahan yang baik
akan memastikan bahwa variasi level kognitif tercermin dalam komposisi soal.
Hal ini sejalan dengan prinsip asesmen yang tidak hanya mengukur kemampuan
menghafal, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif
sebagai bagian dari penguatan profil pelajar Pancasila. Oleh karena itu,
penyusun soal perlu mencocokkan tingkat proses kognitif yang diukur dengan
tuntutan CP yang bersangkutan.
6.3. Konteks dan Substansi Soal
Selain aspek
kognitif, substansi dan konteks soal juga harus dikaji dalam proses penelaahan.
Apakah isi soal sesuai dengan konten CP? Apakah konteks yang digunakan dalam
stimulus atau skenario soal relevan dengan pengalaman belajar peserta didik?
Soal yang terlalu sempit, bias budaya, atau tidak kontekstual dapat menyulitkan
peserta didik meskipun secara substansi telah sesuai dengan indikator. Oleh
karena itu, pendekatan kontekstual yang berbasis pada dunia nyata dan
lingkungan sekitar sangat disarankan dalam pengembangan soal, sebagaimana
ditekankan dalam Modul Asesmen Kurikulum Merdeka⁽⁵⁾.
6.4. Penjaminan Keterpaduan dan Akuntabilitas
Proses penelaahan
kesesuaian dengan CP juga merupakan bentuk quality control terhadap integritas
asesmen. Satuan pendidikan dapat membentuk tim atau kelompok kerja guru
(MGMP/KKG) untuk melakukan telaah silang antarguru agar instrumen yang
dikembangkan benar-benar memenuhi aspek substansi dan pedagogi. Langkah ini
penting untuk meningkatkan akuntabilitas asesmen dan memperkuat budaya evaluasi
yang kolaboratif⁽⁶⁾.
Dengan demikian,
penelaahan kesesuaian soal dengan Capaian Pembelajaran bukan sekadar prosedur
administratif, melainkan bagian dari praktik profesionalisme guru untuk
memastikan bahwa asesmen benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai
dengan arah kurikulum dan kebutuhan belajar peserta didik.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran I,
Prinsip dan Ciri Penilaian.
[2]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed.
revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 100–103.
[3]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022, Bab II, Pasal 4.
[4]
Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for
Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–88.
[5]
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil
Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
38–42.
[6]
Susan M. Brookhart, How to Make the Most of Formative Assessment,
ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 3.
7.
Implikasi
Hasil Telaah terhadap Praktik Pembelajaran
Hasil penelaahan
terhadap tes hasil belajar tidak hanya berdampak pada kualitas instrumen
evaluasi itu sendiri, tetapi juga memberikan implikasi signifikan terhadap
praktik pembelajaran secara keseluruhan. Dalam paradigma assessment
as learning dan assessment for learning, asesmen
tidak diposisikan semata-mata sebagai alat pengukur capaian akhir, tetapi
sebagai bagian integral dari proses belajar yang berkelanjutan dan
reflektif⁽¹⁾. Oleh karena itu, telaah terhadap soal-soal tes yang dilakukan
secara sistematis dapat menjadi sumber informasi strategis dalam mendesain
pembelajaran yang lebih efektif, adaptif, dan kontekstual.
7.1. Perbaikan Perencanaan Pembelajaran
Salah satu implikasi
langsung dari hasil telaah adalah meningkatnya akurasi dalam perencanaan pembelajaran.
Data dari analisis soal—baik yang berkaitan dengan tingkat kesukaran, daya
pembeda, maupun kesesuaian dengan capaian pembelajaran—dapat digunakan guru
untuk memetakan area kompetensi yang sudah dikuasai siswa dan yang masih
memerlukan penguatan. Guru dapat menyusun rencana pelajaran berikutnya
berdasarkan kebutuhan aktual siswa, bukan semata berdasarkan alokasi waktu
kurikulum⁽²⁾. Strategi ini sejalan dengan prinsip pembelajaran berdiferensiasi
yang menjadi ciri Kurikulum Merdeka.
7.2. Penguatan Strategi Remedial dan Pengayaan
Melalui telaah
empiris dan kualitatif terhadap soal, guru dapat mengidentifikasi jenis soal
atau kompetensi yang banyak salah dijawab oleh peserta didik. Informasi ini
menjadi dasar bagi pelaksanaan program remedial teaching bagi siswa yang
belum mencapai ketuntasan, dan pengayaan bagi siswa yang telah
melampaui capaian minimal. Proses ini memastikan bahwa intervensi pembelajaran
yang diberikan bersifat evidence-based dan adil⁽³⁾.
7.3. Peningkatan Kualitas Soal dan Bank Soal
Implikasi jangka
panjang dari telaah adalah meningkatnya kualitas bank soal sekolah. Soal-soal
yang telah dianalisis dan terbukti valid secara isi, konstruksi, dan statistik
dapat dimasukkan ke dalam bank soal yang andal untuk digunakan kembali pada
periode asesmen selanjutnya. Bank soal yang baik akan mempercepat dan
mempermudah guru dalam menyusun ujian, sekaligus menjamin konsistensi mutu
asesmen dari tahun ke tahun⁽⁴⁾.
7.4. Penguatan Kompetensi Profesional Guru
Hasil telaah juga
berperan sebagai feedback profesional bagi guru
dalam meningkatkan keterampilannya menyusun instrumen evaluasi. Guru yang
secara rutin melakukan telaah akan semakin terampil dalam merancang soal yang
baik, memahami dimensi kognitif Taksonomi Bloom, serta menyelaraskan evaluasi
dengan tujuan pembelajaran. Dalam jangka panjang, hal ini berkontribusi
terhadap peningkatan assessment literacy guru, yaitu
kemampuan memahami dan menggunakan asesmen secara efektif untuk meningkatkan
hasil belajar siswa⁽⁵⁾.
7.5. Pendukung Akuntabilitas dan Transparansi Pendidikan
Dalam kerangka
manajemen berbasis sekolah, hasil telaah dapat dijadikan dokumen akuntabilitas
dalam pelaporan kinerja guru, satuan pendidikan, atau bahkan dalam proses
akreditasi sekolah. Penyelenggaraan asesmen yang terencana dan dapat
dipertanggungjawabkan akan membangun kepercayaan publik terhadap kualitas
pendidikan, sekaligus memperkuat transparansi dan profesionalisme penyelenggara
pendidikan⁽⁶⁾.
Dengan demikian,
hasil telaah tes hasil belajar tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi
instrumen, tetapi juga sebagai instrumen transformasi dalam praktik
pembelajaran. Ketika dilakukan secara konsisten dan berbasis data, telaah soal
akan memperkaya strategi pengajaran, meningkatkan keadilan dalam asesmen, dan
memperkuat budaya reflektif di kalangan pendidik.
Footnotes
[1]
Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment
to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2013),
7–10.
[2]
W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA:
ASCD, 2008), 44–47.
[3]
Susan M. Brookhart, How to Make the Most of Formative Assessment,
ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 3–4.
[4]
Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student
Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 165–167.
[5]
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil
Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
56–58.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran II.
8.
Studi
Kasus dan Praktik Baik
Untuk memahami
secara konkret penerapan penelaahan tes hasil belajar dalam konteks pendidikan,
penting untuk meninjau studi kasus dan praktik baik (best
practices) dari berbagai satuan pendidikan yang telah menerapkan
pendekatan ini secara sistematis dan efektif. Praktik-praktik ini tidak hanya
menunjukkan efektivitas metode penelaahan soal, tetapi juga mengilustrasikan
dampaknya terhadap peningkatan mutu pembelajaran dan asesmen berbasis data.
8.1. Studi Kasus: MGMP Sejarah di Kabupaten Sleman,
Yogyakarta
Salah satu praktik
baik ditemukan pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Kabupaten
Sleman yang secara rutin melaksanakan review soal bersama sebelum
pelaksanaan asesmen sumatif akhir semester. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk
lokakarya dengan melibatkan para guru dari berbagai sekolah negeri dan swasta
untuk melakukan telaah soal secara kualitatif dan kuantitatif⁽¹⁾.
Proses telaah
diawali dengan pencocokan soal terhadap indikator pembelajaran dan capaian
pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka. Selanjutnya, dilakukan analisis
konstruksi soal, kejelasan bahasa, dan efektivitas distraktor dengan
menggunakan lembar telaah standar. Hasil analisis ini digunakan untuk merevisi
soal sebelum disahkan sebagai soal ujian bersama. Guru yang terlibat mengakui
bahwa kegiatan ini meningkatkan assessment literacy mereka dan
menghasilkan soal yang lebih adil dan valid.
8.2. Studi Kasus: Implementasi Anates di SMP Negeri 5
Denpasar
Studi lainnya
berasal dari SMP Negeri 5 Denpasar yang mengintegrasikan penggunaan perangkat
lunak Anates
untuk menganalisis butir soal hasil ulangan tengah semester. Setelah menginput
data hasil tes siswa, guru menganalisis tingkat kesukaran, daya pembeda, dan
efektivitas pengecoh untuk setiap soal pilihan ganda⁽²⁾.
Hasil dari analisis
ini menunjukkan bahwa sekitar 20% soal memiliki daya pembeda yang rendah dan
perlu direvisi. Dengan dukungan kepala sekolah, guru diwajibkan untuk melakukan
revisi soal berdasarkan data tersebut sebelum soal dimasukkan ke dalam bank
soal sekolah. Pendekatan ini memperkuat prinsip data-driven decision making dalam
perbaikan mutu asesmen.
8.3. Studi Kasus: Sekolah Penggerak di Kabupaten Bandung
Barat
Dalam program
Sekolah Penggerak yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi, SD Negeri Sukatani di Bandung Barat mengembangkan praktik
penelaahan soal berbasis refleksi guru dan diskusi kolektif dalam Komite
Pembelajaran. Guru-guru mendiskusikan soal-soal yang telah digunakan pada
asesmen formatif dan sumatif untuk meninjau sejauh mana soal tersebut mampu
mengukur kompetensi dalam CP⁽³⁾.
Setiap guru membawa
data hasil belajar siswa dan mempresentasikan analisisnya, termasuk soal mana
yang dijawab benar/salah oleh mayoritas siswa, lalu dibahas bersama untuk
ditentukan penyebabnya: apakah karena kesalahan siswa, kekeliruan pada soal,
atau kesalahan strategi pengajaran. Kegiatan ini membentuk budaya reflektif dan
kolaboratif antar pendidik serta meningkatkan efektivitas proses remedial dan
pengayaan.
8.4. Implikasi dari Praktik Baik
Dari ketiga studi
kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan penelaahan soal bergantung
pada tiga faktor utama:
1)
Kolaborasi
antarpendidik melalui forum MGMP atau Komite Pembelajaran.
2)
Penggunaan alat bantu
teknologi seperti Anates atau aplikasi Excel untuk analisis
empirik.
3)
Kepemimpinan sekolah
yang mendukung budaya evaluatif dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan.
Praktik-praktik
tersebut sejalan dengan prinsip yang diatur dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022,
khususnya tentang pentingnya penilaian yang sahih, objektif, adil, dan terpadu
dalam proses pembelajaran⁽⁴⁾.
Dengan meniru dan
menyesuaikan praktik baik dari satuan pendidikan lain, sekolah-sekolah di
seluruh Indonesia dapat memperkuat ekosistem penjaminan mutu asesmen dan
menjadikan proses evaluasi sebagai bagian dari transformasi pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik.
Footnotes
[1]
MGMP Sejarah Sleman, Laporan Kegiatan Telaah Soal Bersama MGMP
Sejarah Kabupaten Sleman, dokumen internal, 2022.
[2]
Yuliastuti, W., dan M. Sudibyo, “Pemanfaatan Anates untuk Analisis
Butir Soal di SMPN 5 Denpasar,” Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran
11, no. 1 (2021): 45–52.
[3]
Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS, dan DIKMEN, Laporan Implementasi
Program Sekolah Penggerak Angkatan I, (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
28–31.
[4]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran I dan
II.
9.
Tantangan
dan Solusi dalam Menelaah Tes
Meskipun penelaahan
tes hasil belajar terbukti penting dalam menjamin validitas, keadilan, dan
efektivitas asesmen, pelaksanaannya di lapangan tidak lepas dari berbagai
tantangan. Hambatan-hambatan tersebut tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga
sistemik dan kultural. Oleh karena itu, diperlukan strategi pemecahan yang
bersifat kolaboratif, inovatif, dan berorientasi pada peningkatan kompetensi
guru serta manajemen mutu pendidikan secara berkelanjutan.
9.1. Tantangan dalam Pelaksanaan Penelaahan Tes
1)
Keterbatasan Kompetensi
Guru dalam Analisis Tes
Tidak semua guru memiliki pemahaman yang memadai
mengenai teknik analisis soal, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal
ini mencakup kurangnya penguasaan terhadap indikator kualitas soal seperti
validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda, dan efektivitas
pengecoh⁽¹⁾.
2)
Minimnya Pelatihan
Profesional yang Terfokus
Program pengembangan keprofesian guru (PKG) yang
berfokus secara spesifik pada aspek penilaian, termasuk teknik telaah soal,
masih terbatas. Pelatihan yang ada sering kali bersifat umum dan tidak
berlanjut, sehingga tidak cukup membekali guru dengan keterampilan praktik yang
dibutuhkan di kelas⁽²⁾.
3)
Kurangnya Waktu dan
Beban Administratif yang Tinggi
Beban administratif yang besar dan jadwal
pembelajaran yang padat menyebabkan waktu yang tersedia bagi guru untuk
menelaah soal secara mendalam menjadi sangat terbatas. Akibatnya, proses
penelaahan kerap dilakukan secara terburu-buru atau bahkan dilewatkan sama
sekali⁽³⁾.
4)
Ketergantungan pada
Soal Lama tanpa Revisi
Banyak guru yang menggunakan kembali soal-soal
dari tahun sebelumnya tanpa proses validasi ulang. Padahal, perubahan kurikulum
atau konteks belajar siswa menuntut penyesuaian terhadap materi dan cara
asesmen yang digunakan⁽⁴⁾.
5)
Kurangnya Dukungan
Teknologi dan Akses Data
Di sejumlah satuan pendidikan, keterbatasan
perangkat dan literasi digital menyebabkan proses analisis empirik, seperti
perhitungan daya pembeda dan efektivitas pengecoh, tidak dapat dilakukan dengan
optimal. Hal ini menjadi hambatan dalam menerapkan pendekatan data-driven
assessment secara efektif⁽⁵⁾.
9.2. Solusi Strategis yang Dapat Diimplementasikan
1)
Penguatan Kompetensi
Guru Melalui Pelatihan Berkelanjutan
Pemerintah dan dinas pendidikan daerah perlu
mengadakan pelatihan reguler mengenai penilaian hasil belajar yang berfokus
pada keterampilan menelaah dan menganalisis soal. Pelatihan ini idealnya
berbasis praktik nyata, disertai coaching dan mentoring oleh
instruktur ahli atau pengawas pembina⁽⁶⁾.
2)
Optimalisasi Peran MGMP/KKG
dalam Telaah Kolektif
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau
Kelompok Kerja Guru (KKG) perlu difungsikan sebagai forum refleksi bersama
untuk menelaah soal sebelum digunakan dalam ujian. Dengan membentuk tim
penelaah internal, kualitas soal dapat ditingkatkan secara kolaboratif dan
berkelanjutan⁽⁷⁾.
3)
Pemanfaatan Teknologi
dalam Analisis Soal
Penggunaan aplikasi seperti Anates,
Quizizz, atau spreadsheet digital (seperti
Google Sheets) untuk perhitungan statistik soal dapat mempercepat proses
analisis dan meningkatkan akurasi. Pelatihan literasi digital untuk guru sangat
penting untuk mendukung transformasi ini⁽⁸⁾.
4)
Penyusunan Bank Soal
yang Dikelola Secara Profesional
Setiap sekolah perlu memiliki bank soal yang
dikembangkan berdasarkan hasil telaah dan analisis empirik. Soal dalam bank
tersebut harus diklasifikasikan berdasarkan kompetensi dasar, level kognitif,
dan data analisis kualitas soal⁽⁹⁾.
5)
Peningkatan Dukungan
Kepemimpinan Sekolah
Kepala sekolah berperan penting dalam membangun
budaya mutu asesmen. Mereka dapat memfasilitasi waktu khusus untuk telaah soal
dalam jadwal kerja guru, menyediakan sumber daya teknologi, dan mendorong
kolaborasi antar guru dalam pengembangan evaluasi yang bermakna⁽¹⁰⁾.
Dengan mengatasi tantangan-tantangan
di atas melalui solusi yang terintegrasi, proses penelaahan tes dapat menjadi
lebih efektif dan berkelanjutan. Lebih dari itu, praktik penelaahan yang
berkualitas akan memperkuat posisi asesmen sebagai alat penggerak pembelajaran
yang mendorong pencapaian profil pelajar Pancasila dan transformasi pendidikan
nasional.
Footnotes
[1]
William J. Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know,
8th ed. (Boston: Pearson Education, 2017), 164–167.
[2]
Susan M. Brookhart, How to Make the Most of Formative Assessment,
ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 3–4.
[3]
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed.
revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 102–105.
[4]
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil
Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
59–61.
[5]
Gronlund, Norman E., dan C. Keith Waugh, Assessment of Student
Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 168–172.
[6]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia,
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21
Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran II.
[7]
MGMP Sejarah Sleman, Laporan Kegiatan Telaah Soal Bersama MGMP
Sejarah Kabupaten Sleman, dokumen internal, 2022.
[8]
Yuliastuti, W., dan M. Sudibyo, “Pemanfaatan Anates untuk Analisis
Butir Soal di SMPN 5 Denpasar,” Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran
11, no. 1 (2021): 45–52.
[9]
Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS, dan DIKMEN, Laporan Implementasi
Program Sekolah Penggerak Angkatan I, (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022),
30–33.
[10]
W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA:
ASCD, 2008), 61–63.
10. Penutup
Penelaahan tes hasil belajar merupakan komponen
krusial dalam siklus asesmen pendidikan yang bertujuan untuk menjamin bahwa
setiap instrumen evaluasi yang digunakan memiliki validitas, reliabilitas, dan
relevansi yang tinggi terhadap capaian pembelajaran yang ditetapkan dalam
kurikulum. Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, asesmen bukan hanya alat
pengukuran semata, melainkan bagian integral dari proses pembelajaran yang
bersifat reflektif, partisipatif, dan adaptif⁽¹⁾.
Melalui penelaahan yang sistematis dan berbasis
data, guru dapat memastikan bahwa soal yang digunakan benar-benar mampu
mengukur kompetensi siswa secara akurat, adil, dan bermakna. Proses telaah yang
mencakup analisis isi, konstruksi, dan bahasa soal, serta uji empirik terhadap
daya pembeda, tingkat kesukaran, dan efektivitas pengecoh, menjadikan asesmen
sebagai alat diagnosis dan pengembangan, bukan sekadar mekanisme
penghakiman⁽²⁾.
Lebih jauh lagi, hasil telaah memberi implikasi
nyata terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Guru memperoleh informasi yang
akurat untuk menyusun strategi pembelajaran berdiferensiasi, menyelenggarakan
program remedial dan pengayaan, serta menyusun bank soal yang berkualitas.
Dalam jangka panjang, praktik ini memperkuat budaya evaluasi yang berbasis
refleksi dan kolaborasi di tingkat sekolah⁽³⁾.
Namun, efektivitas penelaahan soal tidak akan
optimal tanpa dukungan sistemik. Diperlukan pelatihan berkelanjutan bagi guru
dalam bidang asesmen, penguatan peran MGMP/KKG, serta kepemimpinan kepala
sekolah yang mendorong praktik telaah sebagai bagian dari manajemen mutu
internal satuan pendidikan. Implementasi teknologi dan pengelolaan data hasil
belajar secara digital juga menjadi kunci untuk mempercepat dan mempermudah
proses analisis soal⁽⁴⁾.
Sebagaimana dinyatakan dalam Permendikbudristek
No. 21 Tahun 2022, bahwa penilaian hasil belajar harus dilakukan secara
sahih, objektif, adil, dan terpadu, maka penelaahan soal menjadi bentuk konkret
pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut di ruang kelas. Dalam konteks inilah,
profesionalisme guru dalam menelaah tes bukan hanya tugas teknis, tetapi
merupakan bagian dari tanggung jawab etik dan pedagogik dalam menjamin
pendidikan yang berkualitas bagi setiap peserta didik⁽⁵⁾.
Oleh karena itu, penguatan kapasitas guru dalam
menelaah tes hasil belajar perlu ditempatkan sebagai prioritas dalam kebijakan
pendidikan nasional dan program pengembangan keprofesian berkelanjutan. Dengan
begitu, asesmen dapat benar-benar menjadi alat transformasi pendidikan yang
berpihak pada pembelajaran yang bermakna, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Footnotes
[1]
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan,
Lampiran I, Prinsip Penilaian.
[2]
William J. Popham, Classroom Assessment: What
Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 156–162.
[3]
Susan M. Brookhart, How to Make the Most of
Formative Assessment, ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 2–3.
[4]
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul
Penilaian Hasil Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta:
Kemendikbudristek, 2022), 58–62.
[5]
W. James Popham, Transformative Assessment
(Alexandria, VA: ASCD, 2008), 64–66.
Daftar Pustaka
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.).
(2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of
Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York, NY: Longman.
Arikunto, S. (2018). Dasar-dasar evaluasi
pendidikan (ed. revisi). Jakarta, Indonesia: Bumi Aksara.
Brookhart, S. M. (2008). How to create and use
rubrics for formative assessment and grading. Alexandria, VA: ASCD.
Brookhart, S. M. (2009). How to make the most of
formative assessment. ASCD Education Update, 51(8), 1–4.
Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek. (2022). Modul
penilaian hasil belajar berbasis Kurikulum Merdeka. Jakarta, Indonesia:
Kemendikbudristek.
Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS, dan DIKMEN.
(2022). Laporan implementasi program Sekolah Penggerak angkatan I.
Jakarta, Indonesia: Kemendikbudristek.
Gronlund, N. E., & Waugh, C. K. (2009). Assessment
of student achievement (10th ed.). Boston, MA: Pearson Education.
Haladyna, T. M., Downing, S. M., & Rodriguez,
M. C. (2002). A review of multiple-choice item-writing guidelines for classroom
assessment. Applied Measurement in Education, 15(3), 309–334. https://doi.org/10.1207/S15324818AME1503_5
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi Republik Indonesia. (2022). Peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian
Pendidikan. Jakarta, Indonesia: Kemendikbudristek.
MGMP Sejarah Sleman. (2022). Laporan kegiatan
telaah soal bersama MGMP Sejarah Kabupaten Sleman. Sleman, Indonesia:
Dokumen Internal.
Popham, W. J. (2008). Transformative assessment.
Alexandria, VA: ASCD.
Popham, W. J. (2017). Classroom assessment: What
teachers need to know (8th ed.). Boston, MA: Pearson Education.
Yuliastuti, W., & Sudibyo, M. (2021).
Pemanfaatan Anates untuk analisis butir soal di SMPN 5 Denpasar. Jurnal Ilmu
Pendidikan dan Pembelajaran, 11(1), 45–52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar