Jumat, 09 Mei 2025

Menelaah Test Hasil Belajar: Analisis Kualitas, Relevansi, dan Implikasinya terhadap Pembelajaran

Menelaah Test Hasil Belajar

Analisis Kualitas, Relevansi, dan Implikasinya terhadap Pembelajaran


Alihkan ke: Penilaian Hasil Belajar dan Tindak Lanjut.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif pentingnya menelaah tes hasil belajar sebagai bagian integral dari sistem evaluasi pendidikan yang berkualitas. Penelaahan tes dilakukan untuk menjamin bahwa butir soal yang digunakan dalam asesmen benar-benar mencerminkan capaian pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum, khususnya dalam konteks implementasi Kurikulum Merdeka. Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, proses penelaahan mencakup analisis isi, konstruksi, bahasa soal, serta uji empirik seperti tingkat kesukaran, daya pembeda, dan efektivitas distraktor. Artikel ini juga membahas tujuan, manfaat, prosedur teknis, serta studi kasus dan praktik baik dari berbagai satuan pendidikan yang telah menerapkan telaah soal secara sistematis. Di samping itu, dibahas pula tantangan-tantangan yang dihadapi guru dalam pelaksanaan penelaahan tes, seperti keterbatasan kompetensi, waktu, dan dukungan teknologi, beserta solusi strategis yang dapat diimplementasikan. Penelaahan tes hasil belajar diposisikan bukan sekadar aktivitas teknis, tetapi sebagai wujud profesionalisme guru dalam membangun asesmen yang valid, adil, dan berorientasi pada perbaikan pembelajaran. Oleh karena itu, penguatan kapasitas guru dalam bidang ini perlu menjadi prioritas dalam kebijakan pengembangan keprofesian berkelanjutan.

Kata Kunci: Penelaahan tes, hasil belajar, asesmen pendidikan, Kurikulum Merdeka, kualitas soal, evaluasi pembelajaran, capaian pembelajaran, profesionalisme guru.


PEMBAHASAN

Menelaah Tes Hasil Belajar dalam Pendidikan


1.           Pendahuluan

Dalam konteks pendidikan modern yang menekankan pembelajaran bermakna dan penguatan kompetensi, tes hasil belajar memegang peranan strategis sebagai instrumen evaluasi capaian peserta didik. Tes hasil belajar tidak sekadar alat ukur pengetahuan semata, tetapi juga merupakan refleksi dari keberhasilan proses pembelajaran yang telah berlangsung. Melalui tes, guru dan satuan pendidikan dapat menilai sejauh mana tujuan pembelajaran tercapai, dan mengidentifikasi area yang masih membutuhkan penguatan atau perbaikan.

Penelaahan terhadap tes hasil belajar menjadi semakin penting dalam era implementasi Kurikulum Merdeka yang berorientasi pada profil pelajar Pancasila dan pembelajaran berdiferensiasi. Kurikulum ini menuntut asesmen yang tidak hanya bersifat sumatif, tetapi juga formatif dan diagnostik. Tes yang digunakan harus mampu menggambarkan potensi peserta didik secara utuh, serta relevan dengan capaian pembelajaran (CP) yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui regulasi terbaru, seperti Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan¹.

Tes yang baik seharusnya memenuhi empat kriteria utama, yaitu validitas (ketepatan mengukur apa yang seharusnya diukur), reliabilitas (konsistensi hasil ukur), objektivitas (kebebasan dari bias subjektif), dan praktikalitas (kemudahan dalam pelaksanaan)². Namun, dalam praktiknya, banyak tes hasil belajar yang masih menyimpan kelemahan dalam hal keterpaduan dengan indikator pembelajaran, kualitas konstruksi butir soal, hingga keberpihakan pada konteks lokal dan kebutuhan siswa. Hal ini menuntut proses menelaah yang sistematis dan berbasis data, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Menelaah tes hasil belajar merupakan proses reflektif dan analitis yang bertujuan untuk memastikan kualitas, kesesuaian, dan efektivitas soal sebagai alat ukur capaian pembelajaran³. Proses ini melibatkan telaah isi, konstruksi, dan bahasa soal, serta analisis empirik seperti daya pembeda dan tingkat kesukaran. Penelaahan ini juga berfungsi sebagai mekanisme penjaminan mutu asesmen, baik dalam lingkup kelas maupun kebijakan evaluasi di tingkat satuan pendidikan.

Selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas soal, hasil telaah tes dapat digunakan untuk menyusun bank soal yang lebih representatif, mengembangkan program remedial dan pengayaan, serta memperkuat kapasitas guru dalam praktik asesmen⁴. Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif aspek-aspek penting dalam menelaah tes hasil belajar, dengan mengintegrasikan pendekatan konseptual, teknis, serta praktik-praktik baik dari lapangan pendidikan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Bab II, Pasal 4.

[2]                Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 80–85.

[3]                W. James Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson Education, 2017), 140–143.

[4]                Susan M. Brookhart, How to Create and Use Rubrics for Formative Assessment and Grading (Alexandria, VA: ASCD, 2013), 56–59.


2.           Konsep Dasar Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar merupakan salah satu komponen utama dalam sistem evaluasi pendidikan. Dalam definisinya yang umum, tes hasil belajar adalah instrumen yang dirancang secara sistematis untuk mengukur capaian peserta didik terhadap tujuan pembelajaran tertentu, baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik¹. Tes tidak hanya mencerminkan tingkat penguasaan materi oleh peserta didik, tetapi juga mencerminkan kualitas proses pembelajaran dan kesesuaian antara strategi pengajaran dengan kompetensi yang ingin dicapai.

Secara konseptual, tes hasil belajar dibedakan dari penilaian (assessment) dan evaluasi (evaluation). Penilaian adalah proses pengumpulan informasi mengenai capaian belajar siswa, sementara evaluasi mencakup penafsiran dan pengambilan keputusan atas hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran secara menyeluruh². Tes merupakan salah satu alat dalam proses penilaian yang berfokus pada pengukuran capaian akademik dengan menggunakan butir-butir soal yang terstruktur.

Menurut Gronlund, tes hasil belajar dapat dikategorikan berdasarkan bentuknya, yaitu:

1)                  Tes objektif, seperti pilihan ganda, benar-salah, menjodohkan, dan isian singkat; serta

2)                  Tes subjektif, seperti uraian terbatas dan uraian bebas, yang menuntut interpretasi lebih mendalam dari peserta didik³.

Dalam konteks pembelajaran yang berbasis kompetensi, bentuk dan jenis tes harus disesuaikan dengan level kognitif dalam Taksonomi Bloom revisi oleh Anderson dan Krathwohl, yaitu: mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create)⁴. Penggunaan level ini penting untuk memastikan bahwa tes tidak hanya mengukur hafalan, tetapi juga keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills atau HOTS).

Kualitas tes hasil belajar ditentukan oleh empat prinsip utama:

·                     Validitas, yaitu sejauh mana tes mengukur apa yang seharusnya diukur;

·                     Reliabilitas, yaitu konsistensi hasil pengukuran ketika digunakan berulang;

·                     Objektivitas, yaitu kebebasan tes dari pengaruh subjektivitas penyusun atau pemeriksa; dan

·                     Praktikalitas, yaitu kemudahan pelaksanaan, pengelolaan, dan penilaian tes dalam situasi nyata pembelajaran⁵.

Dalam praktik penyusunan dan penggunaan tes, aspek-aspek tersebut sering kali diabaikan, sehingga instrumen yang digunakan kurang optimal dalam menggambarkan pencapaian hasil belajar secara menyeluruh. Oleh karena itu, pemahaman yang utuh terhadap konsep dasar tes hasil belajar merupakan prasyarat penting bagi guru dan pendidik dalam mengembangkan asesmen yang bermutu.


Footnotes

[1]                Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 53–56.

[2]                Nitko, Anthony J., dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 6th ed. (Boston: Pearson Education, 2014), 10–12.

[3]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 75–77.

[4]                Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–88.

[5]                William J. Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson Education, 2017), 115–118.


3.           Tujuan dan Manfaat Menelaah Tes Hasil Belajar

Penelaahan tes hasil belajar merupakan bagian integral dari praktik asesmen yang bermutu dan akuntabel dalam sistem pendidikan. Secara umum, tujuan utama dari menelaah tes hasil belajar adalah untuk memastikan bahwa instrumen evaluasi yang digunakan benar-benar mampu mengukur capaian kompetensi peserta didik secara valid, reliabel, dan adil. Dengan kata lain, penelaahan bertujuan untuk menjamin kesesuaian antara butir soal, indikator pembelajaran, dan capaian pembelajaran (CP) yang ditetapkan dalam kurikulum nasional⁽¹⁾.

Salah satu manfaat utama dari penelaahan tes adalah untuk meningkatkan validitas isi (content validity), yaitu sejauh mana butir soal mencerminkan representasi yang utuh dari materi atau kompetensi yang hendak diukur⁽²⁾. Dalam praktiknya, validitas isi seringkali terganggu karena soal tidak mewakili indikator pembelajaran, terlalu sederhana, atau bahkan menyimpang dari konteks yang dituju. Oleh karena itu, penelaahan yang dilakukan sebelum dan sesudah tes digunakan menjadi langkah krusial dalam menjaga integritas evaluasi.

Manfaat berikutnya adalah memperbaiki kualitas teknis soal. Tes yang berkualitas harus memiliki konstruksi yang baik, seperti kalimat soal yang jelas, pengecoh (distractor) yang berfungsi, dan tidak adanya kunci ganda atau pengulangan konteks yang membingungkan. Penelaahan terhadap aspek ini membantu meminimalisir potensi kesalahan teknis yang bisa menyesatkan peserta didik dan merusak objektivitas penilaian⁽³⁾.

Dari perspektif pembelajaran, menelaah tes hasil belajar juga berfungsi sebagai umpan balik (feedback) yang sangat berharga bagi guru, peserta didik, dan pengelola pendidikan. Guru dapat mengidentifikasi materi yang belum dipahami siswa secara menyeluruh, sehingga bisa merancang remedial teaching secara lebih tepat sasaran. Sementara itu, siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap kesalahan mereka dan dapat memperbaiki strategi belajar ke depan⁽⁴⁾.

Lebih jauh lagi, penelaahan tes menjadi alat bantu untuk mengembangkan bank soal berkualitas di tingkat satuan pendidikan. Soal-soal yang telah melalui proses telaah empiris dan kualitatif bisa dihimpun dan digunakan kembali dengan keandalan yang lebih tinggi. Hal ini mendukung efisiensi kerja guru, meningkatkan konsistensi penilaian antar tahun ajaran, serta menjadi acuan dalam asesmen nasional dan akreditasi sekolah⁽⁵⁾.

Dalam regulasi pendidikan Indonesia, urgensi penelaahan tes ditegaskan melalui Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 yang menyatakan bahwa penilaian hasil belajar harus dilakukan dengan prinsip sahih, objektif, adil, dan terpadu dengan proses pembelajaran. Penelaahan tes menjadi cara konkret untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut secara sistematis dan berkelanjutan⁽⁶⁾.

Dengan demikian, penelaahan tes hasil belajar bukan hanya kegiatan administratif atau teknis, tetapi sebuah praktik reflektif yang berorientasi pada peningkatan mutu pembelajaran secara holistik. Ia mencerminkan profesionalisme guru dalam mendesain pembelajaran dan asesmen yang bermakna serta berkeadilan bagi semua peserta didik.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Bab II, Pasal 3 dan 4.

[2]                Susan M. Brookhart, How to Make the Most of Formative Assessment, ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 1–4.

[3]                Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 85–91.

[4]                W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA: ASCD, 2008), 54–56.

[5]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 122–125.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022, Lampiran I tentang Prinsip Penilaian.


4.           Prosedur Penelaahan Tes Hasil Belajar

Prosedur penelaahan tes hasil belajar merupakan langkah sistematis yang dirancang untuk memastikan bahwa instrumen evaluasi yang digunakan benar-benar sahih, andal, objektif, dan relevan dengan tujuan pembelajaran. Penelaahan ini dilakukan secara menyeluruh, mencakup telaah terhadap isi, konstruksi, dan bahasa butir soal sebelum, selama, dan sesudah pelaksanaan asesmen⁽¹⁾. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, prosedur ini menjadi sangat penting karena mendorong asesmen yang kontekstual, reflektif, dan berorientasi pada penguatan kompetensi⁽²⁾.

4.1.       Tahapan Penelaahan

Penelaahan tes umumnya mencakup tiga tahapan utama:

1)                  Telaah Awal (Pra-Uji)

Pada tahap ini, guru atau tim penyusun soal menelaah setiap butir soal secara kualitatif sebelum digunakan dalam ujian. Telaah ini mencakup aspek kesesuaian materi dengan indikator pembelajaran, ketepatan bentuk soal, dan potensi munculnya bias atau multitafsir⁽³⁾. Prosedur ini dilakukan menggunakan kisi-kisi soal sebagai acuan untuk menjamin bahwa setiap soal sesuai dengan capaian pembelajaran dan level kognitif yang dituju⁽⁴⁾.

2)                  Uji Coba Soal (Uji Empiris)

Pada tahap ini, soal-soal diuji coba kepada sejumlah peserta didik yang representatif. Data hasil uji coba dianalisis secara kuantitatif, terutama dengan menghitung parameter seperti tingkat kesukaran, daya pembeda, dan efektivitas distraktor. Uji coba ini penting untuk menyaring soal yang tidak layak digunakan dalam ujian utama⁽⁵⁾.

3)                  Revisi dan Validasi Soal (Pasca-Uji)

Hasil dari analisis empiris digunakan sebagai dasar revisi soal. Butir-butir yang terlalu mudah, terlalu sulit, tidak membedakan kemampuan siswa, atau memiliki pengecoh yang tidak berfungsi, diperbaiki atau dibuang. Validasi akhir dilakukan oleh tim atau narasumber ahli, seperti pengawas, dosen, atau guru senior, yang berperan sebagai penelaah eksternal⁽⁶⁾.

4.2.       Komponen yang Ditelaah

Penelaahan mencakup tiga komponen utama:

1)                  Isi Soal

Menilai kesesuaian antara soal dengan materi ajar, indikator, dan kompetensi dasar. Penelaahan isi juga mencakup aspek keakuratan konsep, keterkaitan konteks dengan dunia nyata, dan keberpihakan pada keberagaman sosial dan budaya peserta didik⁽⁷⁾.

2)                  Konstruksi Soal

Memastikan bahwa struktur soal sesuai dengan kaidah penulisan yang baik. Misalnya, stem soal harus jelas, opsi jawaban homogen dan logis, serta tidak menimbulkan ambiguitas. Untuk soal pilihan ganda, satu kunci jawaban harus benar secara mutlak⁽⁸⁾.

3)                  Bahasa Soal

Mengkaji penggunaan bahasa yang komunikatif, sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik, serta bebas dari bias gender, suku, atau agama. Bahasa yang digunakan harus sederhana namun tepat makna untuk menghindari kesalahan pemahaman yang tidak berkaitan dengan kompetensi yang diukur⁽⁹⁾.

4.3.       Format Instrumen Penelaahan

Agar proses telaah sistematis dan terdokumentasi, tim penelaah sebaiknya menggunakan lembar penelaahan soal atau formulir analisis soal yang mencakup kolom identitas soal, indikator yang diukur, kesesuaian isi, kualitas konstruksi, kebahasaan, serta catatan perbaikan. Penggunaan format ini juga menjadi bagian dari upaya penjaminan mutu asesmen di sekolah⁽¹⁰⁾.

Dengan menerapkan prosedur penelaahan yang sistematis dan berbasis data, guru tidak hanya dapat menyajikan instrumen tes yang bermutu, tetapi juga turut membangun budaya evaluasi yang profesional dan berkelanjutan dalam lingkungan pendidikan.


Footnotes

[1]                Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 92–96.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Pasal 4 dan Lampiran I.

[3]                Anthony J. Nitko dan Susan M. Brookhart, Educational Assessment of Students, 6th ed. (Boston: Pearson Education, 2014), 122–124.

[4]                Badan Standar Nasional Pendidikan, Panduan Penyusunan Soal Ujian Sekolah, ed. revisi (Jakarta: BSNP, 2020), 7–9.

[5]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 152–155.

[6]                William J. Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 178–181.

[7]                Susan M. Brookhart, How to Create and Use Rubrics for Formative Assessment and Grading (Alexandria, VA: ASCD, 2013), 89–91.

[8]                Haladyna, Thomas M., Steven M. Downing, dan Michael C. Rodriguez, “A Review of Multiple-Choice Item-Writing Guidelines for Classroom Assessment,” Applied Measurement in Education 15, no. 3 (2002): 309–334.

[9]                McMillan, James H., Classroom Assessment: Principles and Practice for Effective Standards-Based Instruction, 6th ed. (Boston: Pearson, 2013), 203–205.

[10]             Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 45–48.


5.           Teknik Analisis Butir Soal

Analisis butir soal merupakan bagian penting dalam penelaahan tes hasil belajar yang bertujuan untuk menilai kualitas teknis dari masing-masing soal secara empirik. Dengan melakukan analisis butir, guru dan pengembang asesmen dapat menentukan apakah suatu butir soal layak dipertahankan, direvisi, atau dibuang berdasarkan data statistik hasil pengerjaan peserta didik. Analisis ini tidak hanya memastikan validitas dan reliabilitas instrumen, tetapi juga mendukung pengembangan bank soal yang berkualitas tinggi⁽¹⁾.

Secara umum, terdapat dua pendekatan utama dalam analisis butir soal, yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Keduanya saling melengkapi dan harus dilakukan secara beriringan untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang mutu suatu soal.

5.1.       Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan data empirik dari hasil ujian. Beberapa parameter utama yang dianalisis antara lain:

1)                  Tingkat Kesukaran (Difficulty Index)

Mengukur proporsi peserta didik yang menjawab soal dengan benar. Indeks kesukaran berkisar antara 0–1, dengan kategori:

Mudah (0,71–1,00)

Sedang (0,31–0,70)

Sukar (0,00–0,30)

Soal yang terlalu mudah atau terlalu sulit cenderung tidak efektif dalam mengukur kemampuan siswa secara berbeda⁽²⁾.

2)                  Daya Pembeda (Discrimination Index)

Menunjukkan kemampuan soal dalam membedakan antara peserta didik berkemampuan tinggi dan rendah. Indeks daya pembeda umumnya dinyatakan dalam rentang -1 hingga +1, dengan kategori:

Sangat baik (≥ 0,40)

Baik (0,30–0,39)

Cukup (0,20–0,29)

Buruk (≤ 0,19)

Nilai negatif menunjukkan soal tidak valid karena lebih banyak dijawab benar oleh siswa dengan nilai rendah⁽³⁾.

3)                  Efektivitas Distraktor (Pengecoh)

Mengkaji sejauh mana pilihan jawaban selain kunci mampu menarik perhatian siswa yang tidak tahu jawaban. Distraktor yang tidak dipilih oleh siapa pun atau terlalu sering dipilih oleh siswa berkemampuan tinggi dianggap tidak berfungsi dengan baik dan perlu direvisi⁽⁴⁾.

Proses ini dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi bantu seperti Anates, Excel, atau perangkat lunak statistik seperti SPSS untuk mempermudah pengolahan data.

5.2.       Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan sebelum atau sesudah uji coba, dengan menelaah secara sistematis aspek-aspek sebagai berikut:

·                     Kesesuaian isi soal dengan indikator dan tujuan pembelajaran.

·                     Kejelasan konstruksi, termasuk bentuk soal, redaksi, dan kelengkapan opsi jawaban.

·                     Ketepatan bahasa, mencakup tata kalimat, penggunaan istilah yang sesuai, serta sensitivitas terhadap keragaman budaya, gender, dan konteks peserta didik⁽⁵⁾.

Analisis kualitatif penting untuk menjaring potensi bias, kesalahan redaksional, dan multitafsir yang tidak dapat ditangkap melalui pendekatan statistik.

5.3.       Interpretasi dan Tindak Lanjut

Hasil analisis butir soal digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan berikut:

·                     Mempertahankan soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang, daya pembeda tinggi, dan distraktor efektif.

·                     Merevisi soal dengan kelemahan minor, seperti konstruksi kalimat atau efektivitas distraktor.

·                     Membuang soal yang tidak valid secara empirik maupun kualitatif.

Penilaian ini juga memberikan umpan balik penting bagi guru untuk memahami karakteristik siswa serta memperbaiki strategi pembelajaran. Dengan demikian, analisis butir soal menjadi landasan objektif dalam perbaikan asesmen dan peningkatan mutu pembelajaran⁽⁶⁾.


Footnotes

[1]                Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 96–100.

[2]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 158–162.

[3]                William J. Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 165–169.

[4]                Haladyna, Thomas M., Steven M. Downing, dan Michael C. Rodriguez, “A Review of Multiple-Choice Item-Writing Guidelines for Classroom Assessment,” Applied Measurement in Education 15, no. 3 (2002): 309–334.

[5]                Brookhart, Susan M., How to Create and Use Rubrics for Formative Assessment and Grading (Alexandria, VA: ASCD, 2013), 87–90.

[6]                Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 51–55.


6.           Penelaahan Kesesuaian dengan Capaian Pembelajaran

Penelaahan terhadap kesesuaian butir tes hasil belajar dengan Capaian Pembelajaran (CP) merupakan langkah esensial dalam menjamin relevansi dan akurasi asesmen terhadap kompetensi yang ditargetkan dalam kurikulum. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, Capaian Pembelajaran didefinisikan sebagai kompetensi minimal yang harus dicapai oleh peserta didik pada akhir fase pembelajaran tertentu, meliputi dimensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang terintegrasi⁽¹⁾. Oleh karena itu, butir soal yang tidak terarah pada CP berisiko mengukur aspek yang tidak esensial atau bahkan menyimpang dari tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

6.1.       Hubungan antara Soal, Indikator, dan Capaian Pembelajaran

Setiap butir soal seharusnya diturunkan dari indikator pembelajaran yang telah dirumuskan berdasarkan CP. Indikator ini berfungsi sebagai jembatan antara CP dengan bentuk soal konkret yang dikembangkan guru. Penelaahan kesesuaian dilakukan dengan mencocokkan antara kompetensi yang diukur dalam soal dengan indikator dan CP yang dirujuk. Butir soal yang baik akan secara eksplisit mencerminkan aspek-aspek kemampuan yang ditargetkan, baik dari segi konten maupun level kognitifnya⁽²⁾.

Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022 secara tegas menyatakan bahwa penilaian hasil belajar harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan proses pembelajaran, serta mengacu pada Capaian Pembelajaran yang berlaku⁽³⁾. Hal ini mengindikasikan bahwa soal-soal yang dikembangkan tidak boleh lepas dari kerangka kurikulum yang telah dirumuskan secara nasional.

6.2.       Integrasi Level Kognitif Taksonomi Bloom Revisi

Dalam menelaah kesesuaian soal dengan CP, penting juga untuk memperhatikan dimensi kognitif berdasarkan Taksonomi Bloom revisi oleh Anderson dan Krathwohl. Taksonomi ini membagi kemampuan berpikir ke dalam enam tingkatan: mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create)⁽⁴⁾.

Penelaahan yang baik akan memastikan bahwa variasi level kognitif tercermin dalam komposisi soal. Hal ini sejalan dengan prinsip asesmen yang tidak hanya mengukur kemampuan menghafal, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif sebagai bagian dari penguatan profil pelajar Pancasila. Oleh karena itu, penyusun soal perlu mencocokkan tingkat proses kognitif yang diukur dengan tuntutan CP yang bersangkutan.

6.3.       Konteks dan Substansi Soal

Selain aspek kognitif, substansi dan konteks soal juga harus dikaji dalam proses penelaahan. Apakah isi soal sesuai dengan konten CP? Apakah konteks yang digunakan dalam stimulus atau skenario soal relevan dengan pengalaman belajar peserta didik? Soal yang terlalu sempit, bias budaya, atau tidak kontekstual dapat menyulitkan peserta didik meskipun secara substansi telah sesuai dengan indikator. Oleh karena itu, pendekatan kontekstual yang berbasis pada dunia nyata dan lingkungan sekitar sangat disarankan dalam pengembangan soal, sebagaimana ditekankan dalam Modul Asesmen Kurikulum Merdeka⁽⁵⁾.

6.4.       Penjaminan Keterpaduan dan Akuntabilitas

Proses penelaahan kesesuaian dengan CP juga merupakan bentuk quality control terhadap integritas asesmen. Satuan pendidikan dapat membentuk tim atau kelompok kerja guru (MGMP/KKG) untuk melakukan telaah silang antarguru agar instrumen yang dikembangkan benar-benar memenuhi aspek substansi dan pedagogi. Langkah ini penting untuk meningkatkan akuntabilitas asesmen dan memperkuat budaya evaluasi yang kolaboratif⁽⁶⁾.

Dengan demikian, penelaahan kesesuaian soal dengan Capaian Pembelajaran bukan sekadar prosedur administratif, melainkan bagian dari praktik profesionalisme guru untuk memastikan bahwa asesmen benar-benar mengukur apa yang seharusnya diukur sesuai dengan arah kurikulum dan kebutuhan belajar peserta didik.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran I, Prinsip dan Ciri Penilaian.

[2]                Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 100–103.

[3]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022, Bab II, Pasal 4.

[4]                Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl, eds., A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives (New York: Longman, 2001), 67–88.

[5]                Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 38–42.

[6]                Susan M. Brookhart, How to Make the Most of Formative Assessment, ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 3.


7.           Implikasi Hasil Telaah terhadap Praktik Pembelajaran

Hasil penelaahan terhadap tes hasil belajar tidak hanya berdampak pada kualitas instrumen evaluasi itu sendiri, tetapi juga memberikan implikasi signifikan terhadap praktik pembelajaran secara keseluruhan. Dalam paradigma assessment as learning dan assessment for learning, asesmen tidak diposisikan semata-mata sebagai alat pengukur capaian akhir, tetapi sebagai bagian integral dari proses belajar yang berkelanjutan dan reflektif⁽¹⁾. Oleh karena itu, telaah terhadap soal-soal tes yang dilakukan secara sistematis dapat menjadi sumber informasi strategis dalam mendesain pembelajaran yang lebih efektif, adaptif, dan kontekstual.

7.1.       Perbaikan Perencanaan Pembelajaran

Salah satu implikasi langsung dari hasil telaah adalah meningkatnya akurasi dalam perencanaan pembelajaran. Data dari analisis soal—baik yang berkaitan dengan tingkat kesukaran, daya pembeda, maupun kesesuaian dengan capaian pembelajaran—dapat digunakan guru untuk memetakan area kompetensi yang sudah dikuasai siswa dan yang masih memerlukan penguatan. Guru dapat menyusun rencana pelajaran berikutnya berdasarkan kebutuhan aktual siswa, bukan semata berdasarkan alokasi waktu kurikulum⁽²⁾. Strategi ini sejalan dengan prinsip pembelajaran berdiferensiasi yang menjadi ciri Kurikulum Merdeka.

7.2.       Penguatan Strategi Remedial dan Pengayaan

Melalui telaah empiris dan kualitatif terhadap soal, guru dapat mengidentifikasi jenis soal atau kompetensi yang banyak salah dijawab oleh peserta didik. Informasi ini menjadi dasar bagi pelaksanaan program remedial teaching bagi siswa yang belum mencapai ketuntasan, dan pengayaan bagi siswa yang telah melampaui capaian minimal. Proses ini memastikan bahwa intervensi pembelajaran yang diberikan bersifat evidence-based dan adil⁽³⁾.

7.3.       Peningkatan Kualitas Soal dan Bank Soal

Implikasi jangka panjang dari telaah adalah meningkatnya kualitas bank soal sekolah. Soal-soal yang telah dianalisis dan terbukti valid secara isi, konstruksi, dan statistik dapat dimasukkan ke dalam bank soal yang andal untuk digunakan kembali pada periode asesmen selanjutnya. Bank soal yang baik akan mempercepat dan mempermudah guru dalam menyusun ujian, sekaligus menjamin konsistensi mutu asesmen dari tahun ke tahun⁽⁴⁾.

7.4.       Penguatan Kompetensi Profesional Guru

Hasil telaah juga berperan sebagai feedback profesional bagi guru dalam meningkatkan keterampilannya menyusun instrumen evaluasi. Guru yang secara rutin melakukan telaah akan semakin terampil dalam merancang soal yang baik, memahami dimensi kognitif Taksonomi Bloom, serta menyelaraskan evaluasi dengan tujuan pembelajaran. Dalam jangka panjang, hal ini berkontribusi terhadap peningkatan assessment literacy guru, yaitu kemampuan memahami dan menggunakan asesmen secara efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa⁽⁵⁾.

7.5.       Pendukung Akuntabilitas dan Transparansi Pendidikan

Dalam kerangka manajemen berbasis sekolah, hasil telaah dapat dijadikan dokumen akuntabilitas dalam pelaporan kinerja guru, satuan pendidikan, atau bahkan dalam proses akreditasi sekolah. Penyelenggaraan asesmen yang terencana dan dapat dipertanggungjawabkan akan membangun kepercayaan publik terhadap kualitas pendidikan, sekaligus memperkuat transparansi dan profesionalisme penyelenggara pendidikan⁽⁶⁾.

Dengan demikian, hasil telaah tes hasil belajar tidak hanya berfungsi sebagai alat evaluasi instrumen, tetapi juga sebagai instrumen transformasi dalam praktik pembelajaran. Ketika dilakukan secara konsisten dan berbasis data, telaah soal akan memperkaya strategi pengajaran, meningkatkan keadilan dalam asesmen, dan memperkuat budaya reflektif di kalangan pendidik.


Footnotes

[1]                Lorna M. Earl, Assessment as Learning: Using Classroom Assessment to Maximize Student Learning, 2nd ed. (Thousand Oaks, CA: Corwin, 2013), 7–10.

[2]                W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA: ASCD, 2008), 44–47.

[3]                Susan M. Brookhart, How to Make the Most of Formative Assessment, ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 3–4.

[4]                Norman E. Gronlund dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 165–167.

[5]                Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 56–58.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran II.


8.           Studi Kasus dan Praktik Baik

Untuk memahami secara konkret penerapan penelaahan tes hasil belajar dalam konteks pendidikan, penting untuk meninjau studi kasus dan praktik baik (best practices) dari berbagai satuan pendidikan yang telah menerapkan pendekatan ini secara sistematis dan efektif. Praktik-praktik ini tidak hanya menunjukkan efektivitas metode penelaahan soal, tetapi juga mengilustrasikan dampaknya terhadap peningkatan mutu pembelajaran dan asesmen berbasis data.

8.1.       Studi Kasus: MGMP Sejarah di Kabupaten Sleman, Yogyakarta

Salah satu praktik baik ditemukan pada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Kabupaten Sleman yang secara rutin melaksanakan review soal bersama sebelum pelaksanaan asesmen sumatif akhir semester. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk lokakarya dengan melibatkan para guru dari berbagai sekolah negeri dan swasta untuk melakukan telaah soal secara kualitatif dan kuantitatif⁽¹⁾.

Proses telaah diawali dengan pencocokan soal terhadap indikator pembelajaran dan capaian pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka. Selanjutnya, dilakukan analisis konstruksi soal, kejelasan bahasa, dan efektivitas distraktor dengan menggunakan lembar telaah standar. Hasil analisis ini digunakan untuk merevisi soal sebelum disahkan sebagai soal ujian bersama. Guru yang terlibat mengakui bahwa kegiatan ini meningkatkan assessment literacy mereka dan menghasilkan soal yang lebih adil dan valid.

8.2.       Studi Kasus: Implementasi Anates di SMP Negeri 5 Denpasar

Studi lainnya berasal dari SMP Negeri 5 Denpasar yang mengintegrasikan penggunaan perangkat lunak Anates untuk menganalisis butir soal hasil ulangan tengah semester. Setelah menginput data hasil tes siswa, guru menganalisis tingkat kesukaran, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh untuk setiap soal pilihan ganda⁽²⁾.

Hasil dari analisis ini menunjukkan bahwa sekitar 20% soal memiliki daya pembeda yang rendah dan perlu direvisi. Dengan dukungan kepala sekolah, guru diwajibkan untuk melakukan revisi soal berdasarkan data tersebut sebelum soal dimasukkan ke dalam bank soal sekolah. Pendekatan ini memperkuat prinsip data-driven decision making dalam perbaikan mutu asesmen.

8.3.       Studi Kasus: Sekolah Penggerak di Kabupaten Bandung Barat

Dalam program Sekolah Penggerak yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, SD Negeri Sukatani di Bandung Barat mengembangkan praktik penelaahan soal berbasis refleksi guru dan diskusi kolektif dalam Komite Pembelajaran. Guru-guru mendiskusikan soal-soal yang telah digunakan pada asesmen formatif dan sumatif untuk meninjau sejauh mana soal tersebut mampu mengukur kompetensi dalam CP⁽³⁾.

Setiap guru membawa data hasil belajar siswa dan mempresentasikan analisisnya, termasuk soal mana yang dijawab benar/salah oleh mayoritas siswa, lalu dibahas bersama untuk ditentukan penyebabnya: apakah karena kesalahan siswa, kekeliruan pada soal, atau kesalahan strategi pengajaran. Kegiatan ini membentuk budaya reflektif dan kolaboratif antar pendidik serta meningkatkan efektivitas proses remedial dan pengayaan.

8.4.       Implikasi dari Praktik Baik

Dari ketiga studi kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan penelaahan soal bergantung pada tiga faktor utama:

1)                  Kolaborasi antarpendidik melalui forum MGMP atau Komite Pembelajaran.

2)                  Penggunaan alat bantu teknologi seperti Anates atau aplikasi Excel untuk analisis empirik.

3)                  Kepemimpinan sekolah yang mendukung budaya evaluatif dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan.

Praktik-praktik tersebut sejalan dengan prinsip yang diatur dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022, khususnya tentang pentingnya penilaian yang sahih, objektif, adil, dan terpadu dalam proses pembelajaran⁽⁴⁾.

Dengan meniru dan menyesuaikan praktik baik dari satuan pendidikan lain, sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dapat memperkuat ekosistem penjaminan mutu asesmen dan menjadikan proses evaluasi sebagai bagian dari transformasi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.


Footnotes

[1]                MGMP Sejarah Sleman, Laporan Kegiatan Telaah Soal Bersama MGMP Sejarah Kabupaten Sleman, dokumen internal, 2022.

[2]                Yuliastuti, W., dan M. Sudibyo, “Pemanfaatan Anates untuk Analisis Butir Soal di SMPN 5 Denpasar,” Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran 11, no. 1 (2021): 45–52.

[3]                Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS, dan DIKMEN, Laporan Implementasi Program Sekolah Penggerak Angkatan I, (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 28–31.

[4]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran I dan II.


9.           Tantangan dan Solusi dalam Menelaah Tes

Meskipun penelaahan tes hasil belajar terbukti penting dalam menjamin validitas, keadilan, dan efektivitas asesmen, pelaksanaannya di lapangan tidak lepas dari berbagai tantangan. Hambatan-hambatan tersebut tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga sistemik dan kultural. Oleh karena itu, diperlukan strategi pemecahan yang bersifat kolaboratif, inovatif, dan berorientasi pada peningkatan kompetensi guru serta manajemen mutu pendidikan secara berkelanjutan.

9.1.       Tantangan dalam Pelaksanaan Penelaahan Tes

1)                  Keterbatasan Kompetensi Guru dalam Analisis Tes

Tidak semua guru memiliki pemahaman yang memadai mengenai teknik analisis soal, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini mencakup kurangnya penguasaan terhadap indikator kualitas soal seperti validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, daya pembeda, dan efektivitas pengecoh⁽¹⁾.

2)                  Minimnya Pelatihan Profesional yang Terfokus

Program pengembangan keprofesian guru (PKG) yang berfokus secara spesifik pada aspek penilaian, termasuk teknik telaah soal, masih terbatas. Pelatihan yang ada sering kali bersifat umum dan tidak berlanjut, sehingga tidak cukup membekali guru dengan keterampilan praktik yang dibutuhkan di kelas⁽²⁾.

3)                  Kurangnya Waktu dan Beban Administratif yang Tinggi

Beban administratif yang besar dan jadwal pembelajaran yang padat menyebabkan waktu yang tersedia bagi guru untuk menelaah soal secara mendalam menjadi sangat terbatas. Akibatnya, proses penelaahan kerap dilakukan secara terburu-buru atau bahkan dilewatkan sama sekali⁽³⁾.

4)                  Ketergantungan pada Soal Lama tanpa Revisi

Banyak guru yang menggunakan kembali soal-soal dari tahun sebelumnya tanpa proses validasi ulang. Padahal, perubahan kurikulum atau konteks belajar siswa menuntut penyesuaian terhadap materi dan cara asesmen yang digunakan⁽⁴⁾.

5)                  Kurangnya Dukungan Teknologi dan Akses Data

Di sejumlah satuan pendidikan, keterbatasan perangkat dan literasi digital menyebabkan proses analisis empirik, seperti perhitungan daya pembeda dan efektivitas pengecoh, tidak dapat dilakukan dengan optimal. Hal ini menjadi hambatan dalam menerapkan pendekatan data-driven assessment secara efektif⁽⁵⁾.

9.2.       Solusi Strategis yang Dapat Diimplementasikan

1)                  Penguatan Kompetensi Guru Melalui Pelatihan Berkelanjutan

Pemerintah dan dinas pendidikan daerah perlu mengadakan pelatihan reguler mengenai penilaian hasil belajar yang berfokus pada keterampilan menelaah dan menganalisis soal. Pelatihan ini idealnya berbasis praktik nyata, disertai coaching dan mentoring oleh instruktur ahli atau pengawas pembina⁽⁶⁾.

2)                  Optimalisasi Peran MGMP/KKG dalam Telaah Kolektif

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) perlu difungsikan sebagai forum refleksi bersama untuk menelaah soal sebelum digunakan dalam ujian. Dengan membentuk tim penelaah internal, kualitas soal dapat ditingkatkan secara kolaboratif dan berkelanjutan⁽⁷⁾.

3)                  Pemanfaatan Teknologi dalam Analisis Soal

Penggunaan aplikasi seperti Anates, Quizizz, atau spreadsheet digital (seperti Google Sheets) untuk perhitungan statistik soal dapat mempercepat proses analisis dan meningkatkan akurasi. Pelatihan literasi digital untuk guru sangat penting untuk mendukung transformasi ini⁽⁸⁾.

4)                  Penyusunan Bank Soal yang Dikelola Secara Profesional

Setiap sekolah perlu memiliki bank soal yang dikembangkan berdasarkan hasil telaah dan analisis empirik. Soal dalam bank tersebut harus diklasifikasikan berdasarkan kompetensi dasar, level kognitif, dan data analisis kualitas soal⁽⁹⁾.

5)                  Peningkatan Dukungan Kepemimpinan Sekolah

Kepala sekolah berperan penting dalam membangun budaya mutu asesmen. Mereka dapat memfasilitasi waktu khusus untuk telaah soal dalam jadwal kerja guru, menyediakan sumber daya teknologi, dan mendorong kolaborasi antar guru dalam pengembangan evaluasi yang bermakna⁽¹⁰⁾.


Dengan mengatasi tantangan-tantangan di atas melalui solusi yang terintegrasi, proses penelaahan tes dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan. Lebih dari itu, praktik penelaahan yang berkualitas akan memperkuat posisi asesmen sebagai alat penggerak pembelajaran yang mendorong pencapaian profil pelajar Pancasila dan transformasi pendidikan nasional.


Footnotes

[1]                William J. Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson Education, 2017), 164–167.

[2]                Susan M. Brookhart, How to Make the Most of Formative Assessment, ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 3–4.

[3]                Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, ed. revisi (Jakarta: Bumi Aksara, 2018), 102–105.

[4]                Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 59–61.

[5]                Gronlund, Norman E., dan C. Keith Waugh, Assessment of Student Achievement, 10th ed. (Boston: Pearson Education, 2009), 168–172.

[6]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran II.

[7]                MGMP Sejarah Sleman, Laporan Kegiatan Telaah Soal Bersama MGMP Sejarah Kabupaten Sleman, dokumen internal, 2022.

[8]                Yuliastuti, W., dan M. Sudibyo, “Pemanfaatan Anates untuk Analisis Butir Soal di SMPN 5 Denpasar,” Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran 11, no. 1 (2021): 45–52.

[9]                Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS, dan DIKMEN, Laporan Implementasi Program Sekolah Penggerak Angkatan I, (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 30–33.

[10]             W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA: ASCD, 2008), 61–63.


10.       Penutup

Penelaahan tes hasil belajar merupakan komponen krusial dalam siklus asesmen pendidikan yang bertujuan untuk menjamin bahwa setiap instrumen evaluasi yang digunakan memiliki validitas, reliabilitas, dan relevansi yang tinggi terhadap capaian pembelajaran yang ditetapkan dalam kurikulum. Dalam kerangka Kurikulum Merdeka, asesmen bukan hanya alat pengukuran semata, melainkan bagian integral dari proses pembelajaran yang bersifat reflektif, partisipatif, dan adaptif⁽¹⁾.

Melalui penelaahan yang sistematis dan berbasis data, guru dapat memastikan bahwa soal yang digunakan benar-benar mampu mengukur kompetensi siswa secara akurat, adil, dan bermakna. Proses telaah yang mencakup analisis isi, konstruksi, dan bahasa soal, serta uji empirik terhadap daya pembeda, tingkat kesukaran, dan efektivitas pengecoh, menjadikan asesmen sebagai alat diagnosis dan pengembangan, bukan sekadar mekanisme penghakiman⁽²⁾.

Lebih jauh lagi, hasil telaah memberi implikasi nyata terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Guru memperoleh informasi yang akurat untuk menyusun strategi pembelajaran berdiferensiasi, menyelenggarakan program remedial dan pengayaan, serta menyusun bank soal yang berkualitas. Dalam jangka panjang, praktik ini memperkuat budaya evaluasi yang berbasis refleksi dan kolaborasi di tingkat sekolah⁽³⁾.

Namun, efektivitas penelaahan soal tidak akan optimal tanpa dukungan sistemik. Diperlukan pelatihan berkelanjutan bagi guru dalam bidang asesmen, penguatan peran MGMP/KKG, serta kepemimpinan kepala sekolah yang mendorong praktik telaah sebagai bagian dari manajemen mutu internal satuan pendidikan. Implementasi teknologi dan pengelolaan data hasil belajar secara digital juga menjadi kunci untuk mempercepat dan mempermudah proses analisis soal⁽⁴⁾.

Sebagaimana dinyatakan dalam Permendikbudristek No. 21 Tahun 2022, bahwa penilaian hasil belajar harus dilakukan secara sahih, objektif, adil, dan terpadu, maka penelaahan soal menjadi bentuk konkret pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut di ruang kelas. Dalam konteks inilah, profesionalisme guru dalam menelaah tes bukan hanya tugas teknis, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab etik dan pedagogik dalam menjamin pendidikan yang berkualitas bagi setiap peserta didik⁽⁵⁾.

Oleh karena itu, penguatan kapasitas guru dalam menelaah tes hasil belajar perlu ditempatkan sebagai prioritas dalam kebijakan pendidikan nasional dan program pengembangan keprofesian berkelanjutan. Dengan begitu, asesmen dapat benar-benar menjadi alat transformasi pendidikan yang berpihak pada pembelajaran yang bermakna, berkeadilan, dan berkelanjutan.


Footnotes

[1]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan, Lampiran I, Prinsip Penilaian.

[2]                William J. Popham, Classroom Assessment: What Teachers Need to Know, 8th ed. (Boston: Pearson, 2017), 156–162.

[3]                Susan M. Brookhart, How to Make the Most of Formative Assessment, ASCD Education Update 51, no. 8 (2009): 2–3.

[4]                Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek, Modul Penilaian Hasil Belajar Berbasis Kurikulum Merdeka (Jakarta: Kemendikbudristek, 2022), 58–62.

[5]                W. James Popham, Transformative Assessment (Alexandria, VA: ASCD, 2008), 64–66.


Daftar Pustaka

Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and assessing: A revision of Bloom’s taxonomy of educational objectives. New York, NY: Longman.

Arikunto, S. (2018). Dasar-dasar evaluasi pendidikan (ed. revisi). Jakarta, Indonesia: Bumi Aksara.

Brookhart, S. M. (2008). How to create and use rubrics for formative assessment and grading. Alexandria, VA: ASCD.

Brookhart, S. M. (2009). How to make the most of formative assessment. ASCD Education Update, 51(8), 1–4.

Direktorat Jenderal GTK Kemendikbudristek. (2022). Modul penilaian hasil belajar berbasis Kurikulum Merdeka. Jakarta, Indonesia: Kemendikbudristek.

Direktorat Jenderal PAUD, DIKDAS, dan DIKMEN. (2022). Laporan implementasi program Sekolah Penggerak angkatan I. Jakarta, Indonesia: Kemendikbudristek.

Gronlund, N. E., & Waugh, C. K. (2009). Assessment of student achievement (10th ed.). Boston, MA: Pearson Education.

Haladyna, T. M., Downing, S. M., & Rodriguez, M. C. (2002). A review of multiple-choice item-writing guidelines for classroom assessment. Applied Measurement in Education, 15(3), 309–334. https://doi.org/10.1207/S15324818AME1503_5

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (2022). Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 21 Tahun 2022 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta, Indonesia: Kemendikbudristek.

MGMP Sejarah Sleman. (2022). Laporan kegiatan telaah soal bersama MGMP Sejarah Kabupaten Sleman. Sleman, Indonesia: Dokumen Internal.

Popham, W. J. (2008). Transformative assessment. Alexandria, VA: ASCD.

Popham, W. J. (2017). Classroom assessment: What teachers need to know (8th ed.). Boston, MA: Pearson Education.

Yuliastuti, W., & Sudibyo, M. (2021). Pemanfaatan Anates untuk analisis butir soal di SMPN 5 Denpasar. Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran, 11(1), 45–52.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar