Kebenaran, Keyakinan, dan Justifikasi
Telaah Epistemologis atas Struktur Pengetahuan
Alihkan ke: Epistemologi.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara
mendalam struktur pengetahuan melalui analisis hubungan antara tiga elemen
fundamental dalam epistemologi: truth (kebenaran), belief
(keyakinan), dan justification (pembenaran). Dimulai dari teori klasik
Justified True Belief (JTB) yang telah lama menjadi kerangka utama
dalam mendefinisikan pengetahuan, artikel ini mengulas kekuatan dan
kelemahannya, terutama setelah kemunculan kritik tajam dari Edmund Gettier yang
menunjukkan bahwa ketiga syarat tersebut tidak selalu cukup untuk membentuk
pengetahuan yang sah. Selanjutnya, pembahasan diarahkan pada dinamika
interaktif antara justifikasi, kebenaran, dan keyakinan dalam berbagai
pendekatan epistemologis, baik yang bersifat internalistis maupun
eksternalistis. Implikasi dari pembahasan ini juga diperluas ke dalam konteks
praktis seperti filsafat ilmu, tanggung jawab epistemik, pendidikan kritis, dan
fenomena disinformasi dalam masyarakat kontemporer. Dengan pendekatan analitis
dan sumber referensi yang kredibel, artikel ini menunjukkan bahwa pemahaman
terhadap struktur pengetahuan bukan sekadar soal konseptual, tetapi juga etis
dan sosial.
Kata Kunci: Epistemologi, Justified True Belief,
Gettier, keyakinan, kebenaran, pembenaran, tanggung jawab epistemik,
disinformasi, filsafat pengetahuan.
PEMBAHASAN
Hubungan antara Justification, Truth, dan Belief
1.
Pendahuluan
Pertanyaan tentang apa yang
dapat dianggap sebagai pengetahuan (knowledge) merupakan salah satu
isu mendasar dan tertua dalam filsafat. Dalam tradisi epistemologi Barat, upaya
menjawab pertanyaan tersebut bermula sejak zaman Plato yang mendefinisikan
pengetahuan sebagai “justified true belief” (JTB) atau keyakinan
yang benar dan dibenarkan. Definisi ini menyiratkan bahwa pengetahuan
bukan sekadar memiliki keyakinan (belief), tetapi juga keyakinan
tersebut harus benar (truth) dan disertai alasan yang sah (justification)
untuk mempercayainya. Ketiga elemen ini menjadi fondasi bagi banyak perdebatan
epistemologis sejak masa klasik hingga kontemporer.¹
Hubungan antara belief,
truth, dan justification tidak bersifat sederhana atau
linier, melainkan membentuk suatu struktur konseptual yang kompleks. Belief
adalah sikap proposisional seorang subjek terhadap suatu pernyataan atau
proposisi, truth merupakan kondisi objektif yang harus dimiliki oleh
proposisi yang dipercayai, sedangkan justification berfungsi sebagai
penghubung normatif antara kepercayaan seseorang dan klaim kebenaran proposisi
tersebut.² Dalam kerangka ini, epistemologi tidak hanya berurusan dengan apakah
suatu keyakinan benar, tetapi juga bagaimana keyakinan itu bisa dianggap sah
sebagai pengetahuan melalui pembenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional.
Namun, sejak publikasi
makalah pendek Edmund Gettier pada tahun 1963, definisi klasik tentang
pengetahuan sebagai JTB mengalami guncangan serius. Gettier menunjukkan bahwa
mungkin saja seseorang memiliki keyakinan yang benar dan dibenarkan, tetapi
tetap tidak dapat disebut sebagai pengetahuan karena faktor keberuntungan (epistemic
luck).³ Hal ini memicu munculnya berbagai pendekatan alternatif untuk
memahami hakikat pengetahuan, termasuk reliabilisme, virtue
epistemology, dan teori no false lemmas, yang masing-masing
mencoba menanggulangi kelemahan dari pendekatan JTB.
Studi tentang hubungan antara
ketiga elemen ini menjadi semakin penting dalam konteks kontemporer yang
dipenuhi dengan informasi, klaim pengetahuan, dan tantangan terhadap validitas
kebenaran. Dengan memahami bagaimana justification, truth,
dan belief saling berinteraksi, kita dapat mengembangkan kerangka
kerja epistemik yang lebih solid untuk menilai pengetahuan dalam berbagai
konteks, baik akademik, sosial, maupun praktis. Oleh karena itu, kajian ini
bertujuan untuk mengurai struktur konseptual dari ketiganya dan menelaah
kontribusinya masing-masing terhadap teori pengetahuan yang koheren dan tahan
terhadap kritik filosofis.
Footnotes
[1]
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201–210.
[2]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 195–204.
[3]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
2.
Konsep Dasar: Definisi dan Perbedaan
2.1.
Apa Itu Belief?
Dalam epistemologi, belief
atau keyakinan adalah sikap proposisional yang diambil seseorang terhadap suatu
pernyataan atau proposisi. Artinya, ketika seseorang memiliki belief,
ia menerima atau meyakini bahwa proposisi tersebut adalah benar. Robert Audi
mendefinisikan belief sebagai disposisi untuk memperlakukan proposisi
sebagai benar, baik dalam pemikiran maupun tindakan.¹
Belief bukan sekadar
opini atau asumsi, karena ia melibatkan komitmen kognitif terhadap isi
proposisi. Namun, tidak semua belief bersifat epistemik; sebagian
keyakinan bisa bersifat emosional, intuitif, atau bahkan irasional. Dalam
epistemologi, hanya belief yang diarahkan pada pencapaian kebenaran
dan disertai justifikasi yang dapat masuk dalam kategori pengetahuan (knowledge).²
2.2.
Apa Itu Truth?
Truth atau kebenaran
merupakan kondisi objektif yang harus dimiliki oleh suatu proposisi agar dapat
dianggap sebagai pengetahuan. Terdapat beberapa teori besar tentang kebenarandalam filsafat:
·
Teori korespondensi
menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara proposisi dan realitas.
Jika suatu proposisi mencerminkan keadaan dunia sebagaimana adanya, maka ia
benar.³
·
Teori koherensi
memandang kebenaran sebagai keselarasan logis antara satu proposisi dengan
sistem keyakinan yang sudah mapan.⁴
·
Teori pragmatis
menyatakan bahwa kebenaran adalah apa yang terbukti berguna secara praktis dan
dapat diterima dalam konteks aplikasi.⁵
Meskipun para filsuf berbeda
pendapat tentang hakikat kebenaran, secara umum dalam epistemologi, kebenaran
dipandang sebagai syarat esensial bagi pengetahuan. Suatu keyakinan tidak dapat
dianggap sebagai knowledge jika tidak benar, meskipun didukung oleh
pembenaran yang kuat.
2.3.
Apa Itu Justification?
Justification atau
pembenaran adalah elemen evaluatif dalam epistemologi yang berfungsi untuk
membedakan belief yang layak dianggap sebagai pengetahuan dari yang
tidak. Pembenaran memastikan bahwa seseorang memiliki alasan atau dasar
rasional yang memadai untuk mempercayai suatu proposisi.⁶
Dua pendekatan utama dalam
memahami justifikasi adalah:
·
Internalisme,
yang menekankan bahwa dasar pembenaran harus dapat diakses secara internal oleh
agen epistemik (misalnya, melalui refleksi, intuisi, atau bukti introspektif).⁷
·
Eksternalisme,
yang berpandangan bahwa yang penting adalah keandalan (reliability)
proses pembentukan keyakinan tersebut, meskipun agen tidak secara sadar
mengetahui justifikasinya.⁸
Dalam konteks epistemologi
modern, pembenaran tidak hanya dipandang sebagai proses kognitif, tetapi juga
sebagai landasan normatif yang mempengaruhi legitimasi klaim pengetahuan.
Kesimpulan Sementara
Tiga elemen ini—belief,
truth, dan justification—mempunyai peran yang berbeda tetapi
saling terkait dalam struktur pengetahuan. Belief adalah dimensi
subjektif, truth adalah dimensi objektif, dan justification
adalah jembatan normatif antara keduanya. Memahami perbedaan dan relasi di
antara ketiganya merupakan langkah awal yang penting untuk menyelami debat
epistemologis secara lebih mendalam.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 20–21.
[2]
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Epistemology: An
Anthology, ed. Ernest Sosa et al. (Malden, MA: Blackwell, 2008), 340–341.
[3]
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2016 Edition.
[4]
Laurence BonJour, The Structure of Empirical Knowledge
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 91–96.
[5]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(New York: Longmans, Green, and Co., 1907), 57–62.
[6]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder: Westview
Press, 2000), 123–125.
[7]
Laurence BonJour, “A Defense of the Coherence Theory of Empirical
Knowledge,” Philosophical Studies 30, no. 4 (1976): 281–312.
[8]
Alvin I. Goldman, Reliabilism and Contemporary Epistemology: Essays
(New York: Oxford University Press, 2012), 47–52.
3.
The Classical Analysis of Knowledge (JTB
Theory)
Dalam sejarah epistemologi,
salah satu teori paling berpengaruh dan tahan lama tentang pengetahuan adalah
apa yang dikenal sebagai teori Justified True Belief (JTB). Teori ini
menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan memiliki pengetahuan (knowledge)
terhadap suatu proposisi jika dan hanya jika tiga kondisi terpenuhi secara
bersamaan: (1) ia meyakini proposisi tersebut (belief), (2) proposisi
itu benar (truth), dan (3) ia memiliki pembenaran atau alasan yang
memadai untuk mempercayainya (justification).¹
Model JTB memiliki akar
historis dalam filsafat Plato, khususnya dalam dialog Theaetetus, di
mana pengetahuan dibahas sebagai “true belief with an account” (doxa
alethes meta logou).² Dalam pengembangan epistemologi modern, interpretasi
terhadap “an account” dalam dialog tersebut umumnya dipahami sebagai bentuk
pembenaran atau justifikasi rasional. Dengan demikian, teori JTB diposisikan
sebagai jawaban sistematis terhadap pertanyaan klasik: What is knowledge?
3.1.
Komponen-Komponen JTB
3.1.1.
Belief
Seorang individu tidak dapat
mengetahui sesuatu jika ia tidak meyakini hal tersebut. Belief adalah
syarat psikologis minimal bagi pengetahuan—tanpa adanya sikap percaya terhadap
suatu proposisi, tidak mungkin seseorang dapat dikatakan “mengetahui”-nya.³
3.1.2.
Truth
Agar suatu keyakinan bisa
dianggap sebagai pengetahuan, proposisi yang diyakini haruslah benar. Dalam
pengertian ini, kebenaran adalah syarat objektif: meskipun seseorang sangat
yakin akan sesuatu dan memiliki justifikasi yang memadai, jika proposisinya
salah, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia memiliki pengetahuan.⁴
3.1.3.
Justification
Yang membedakan knowledge
dari sekadar true belief adalah adanya pembenaran. Tanpa justifikasi,
seseorang hanya memiliki dugaan atau keberuntungan epistemik. Justifikasi
memberi nilai normatif yang menjadikan keyakinan layak disebut pengetahuan.⁵
3.2.
Kekuatan dan Daya Tarik Model JTB
Kekuatan utama dari teori JTB
terletak pada sifat integratifnya: ia menggabungkan aspek subjektif (belief),
objektif (truth), dan normatif (justification) ke dalam satu
kerangka analitis yang koheren. Model ini juga mudah dipahami dan relevan untuk
mengevaluasi klaim-klaim pengetahuan dalam praktik keilmuan, pendidikan, dan
diskursus sehari-hari. Selain itu, JTB memberikan dasar filosofis yang stabil
untuk menyaring true belief yang tidak didukung oleh alasan yang sah.
3.3.
Kerentanan terhadap Kritik: Menuju Masalah
Gettier
Meskipun teori JTB dominan
selama berabad-abad, pada tahun 1963 Edmund Gettier menerbitkan sebuah artikel
pendek yang mengguncang landasan teori ini. Gettier menunjukkan bahwa seseorang
bisa memiliki justified true belief, tetapi tetap gagal memperoleh knowledge
karena kepercayaannya secara kebetulan benar. Dalam kasus seperti itu,
pembenaran tidak cukup kuat untuk mengeliminasi unsur keberuntungan (epistemic
luck).⁶
Gettier’s challenge membuka
kembali perdebatan tentang apa yang diperlukan untuk mengkonstitusikan
pengetahuan, dan menjadi pemicu berkembangnya berbagai teori epistemologi
kontemporer yang mencoba merevisi atau menggantikan kerangka JTB.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 199–204.
[2]
Plato, Theaetetus, trans. M. J. Levett, rev. Myles Burnyeat
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 201–210.
[3]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder: Westview
Press, 2000), 12–13.
[4]
Marian David, “The Correspondence Theory of Truth,” in The Stanford
Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2016 Edition.
[5]
Laurence BonJour, Epistemology: Classic Problems and Contemporary
Responses (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2002), 39–45.
[6]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
4.
Kritik terhadap JTB: Masalah Gettier
Model Justified True Belief (JTB) telah lama diterima sebagai definisi klasik pengetahuan,
namun keabsahannya mulai dipertanyakan secara serius sejak publikasi artikel
Edmund Gettier tahun 1963 yang berjudul Is Justified True Belief Knowledge?
Dalam tulisan pendek ini, Gettier memperkenalkan dua skenario hipotetis yang
menggambarkan situasi di mana seseorang memiliki keyakinan yang benar dan
dibenarkan (justified true belief), tetapi intuisi kita tetap menolak
untuk menganggap bahwa individu tersebut memiliki pengetahuan yang sah.¹
4.1.
Struktur Argumen Gettier
Argumen Gettier didasarkan
pada pengamatan bahwa adalah mungkin bagi seseorang untuk:
1)
Memiliki belief terhadap
suatu proposisi,
2)
Keyakinan tersebut benar secara
faktual,
3)
Memiliki alasan atau justifikasi
yang mendukung keyakinannya,
Namun tetap secara
epistemik beruntung (mengalami epistemic luck) bahwa
keyakinannya ternyata benar. Dalam kedua contoh kasusnya, Gettier menunjukkan
bahwa justifikasi yang dimiliki oleh subjek pengetahuan didasarkan pada
proposisi lain yang sebenarnya salah, dan kebenaran proposisi utama muncul
hanya sebagai hasil dari kebetulan logis, bukan dari keabsahan justifikasi.²
Contoh terkenal Gettier
melibatkan dua orang pencari kerja, Smith dan Jones. Smith yakin bahwa “orang
yang akan mendapatkan pekerjaan memiliki sepuluh koin di sakunya” karena ia
diberi tahu bahwa Jones akan dipekerjakan dan ia melihat bahwa Jones memiliki
sepuluh koin di sakunya. Namun, secara mengejutkan, ternyata yang mendapatkan
pekerjaan adalah Smith sendiri, dan ia juga—tanpa disadarinya—memiliki sepuluh
koin di sakunya. Maka, proposisi tersebut ternyata benar dan dibenarkan, tetapi
jelas bahwa Smith tidak mengetahui kebenarannya dalam pengertian
epistemik yang penuh.³
4.2.
Implikasi Epistemologis
Masalah Gettier secara fundamental
mengguncang struktur teori JTB karena menunjukkan bahwa ketiga kondisi
tersebut—justifikasi, kebenaran, dan keyakinan—tidaklah cukup untuk
menghasilkan knowledge. Sebagai akibatnya, banyak filsuf mengusulkan
revisi atau penambahan syarat keempat dalam analisis pengetahuan untuk
menghindari kasus semacam itu. Beberapa pendekatan yang berkembang
pasca-Gettier antara lain:
·
Teori No False
Lemmas, yang menambahkan syarat bahwa keyakinan tidak boleh bergantung
pada premis yang salah.⁴
·
Reliabilisme,
yang menekankan pada keandalan proses pembentukan keyakinan sebagai syarat
sahnya pengetahuan.⁵
·
Virtue Epistemology,
yang memfokuskan pada peran kebajikan intelektual dan kemampuan kognitif dalam
memperoleh pengetahuan.⁶
·
Tracking Theories,
seperti milik Robert Nozick, yang menyatakan bahwa pengetahuan menuntut bahwa
seseorang akan percaya suatu proposisi jika dan hanya jika proposisi itu benar
dalam situasi serupa lainnya.⁷
Masing-masing pendekatan ini
bertujuan untuk menghindari problem epistemic luck yang ditampilkan
Gettier dan memulihkan stabilitas dalam definisi pengetahuan.
4.3.
Nilai Filosofis Masalah Gettier
Meskipun tampaknya teknis dan
hipotetis, kontribusi Gettier sangat besar dalam epistemologi modern karena
memperlihatkan perlunya ketelitian konseptual dalam mendefinisikan pengetahuan.
Masalah ini telah mendorong perkembangan pesat dalam filsafat analitik dan
teori kognisi, serta memperluas wawasan kita tentang bagaimana pengetahuan
diperoleh, dibenarkan, dan dipertanggungjawabkan.
Footnotes
[1]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[2]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 208–210.
[3]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder: Westview
Press, 2000), 18–20.
[4]
Alvin Plantinga, “Reason and Belief in God,” in Faith and
Rationality, eds. Alvin Plantinga and Nicholas Wolterstorff (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1983), 18–20.
[5]
Alvin I. Goldman, Reliabilism and Contemporary Epistemology: Essays
(New York: Oxford University Press, 2012), 53–60.
[6]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 270–280.
[7]
Robert Nozick, Philosophical Explanations (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1981), 172–178.
5.
Justification dalam Relasi Dinamis dengan Truth
dan Belief
Dalam kerangka teori
pengetahuan, justification berfungsi sebagai penghubung normatif
antara belief (keyakinan) dan truth (kebenaran). Tanpa
justifikasi, sebuah keyakinan yang kebetulan benar hanya menjadi bentuk
keberuntungan epistemik (epistemic luck). Justifikasi memberikan
legitimasi epistemik yang membedakan antara kepercayaan yang sekadar benar dan
pengetahuan yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.¹ Namun, pertanyaan
kritis yang muncul adalah: sejauh mana justifikasi menjamin kebenaran? Apakah keyakinan
yang dibenarkan selalu menghasilkan pengetahuan?
5.1.
Apakah Justifikasi Menjamin Kebenaran?
Secara intuitif, kita
mengharapkan bahwa jika seseorang memiliki justifikasi yang kuat untuk suatu
keyakinan, maka besar kemungkinan keyakinan itu benar. Namun, dalam praktik
epistemik, justifikasi bersifat fallibilistik—artinya, seseorang dapat memiliki
justifikasi yang sangat baik terhadap proposisi yang ternyata salah.² Hal ini
mencerminkan keterbatasan epistemik manusia dalam mengakses kebenaran secara absolut.
Pendekatan internalist
dalam epistemologi menekankan bahwa justifikasi harus tersedia dalam bentuk
bukti atau alasan yang dapat diakses oleh agen epistemik itu sendiri.³ Namun,
pendekatan ini terbuka terhadap kritik bahwa ia mengabaikan aspek eksternal
dari reliabilitas proses kepercayaan. Sebaliknya, externalist seperti
reliabilisme berargumen bahwa justifikasi tidak perlu disadari oleh agen, asal
proses pembentukan keyakinan tersebut cukup handal dalam menghasilkan
kebenaran.⁴ Dalam kerangka ini, justifikasi bukan sekadar persoalan akses
epistemik internal, tetapi tentang hubungan kausal antara dunia dan keyakinan.
Dengan demikian, meskipun
justifikasi bertujuan mendekatkan keyakinan kepada kebenaran, ia tidak dapat
menjamin kebenaran secara pasti. Justifikasi memperbesar kemungkinan keyakinan
itu benar, tetapi tetap tunduk pada keterbatasan informasi, ketidaksempurnaan
penalaran, dan potensi kesalahan.
5.2.
Relasi Struktural: Belief sebagai Penerima,
Truth sebagai Kondisi, dan Justification sebagai Mediator
Secara struktural, hubungan
antara belief, truth, dan justification dapat
dipahami sebagai model tiga komponen yang saling melengkapi:
·
Belief
adalah komponen subyektif: seseorang harus percaya pada suatu
proposisi agar dapat dikatakan mengetahui sesuatu.
·
Truth
adalah komponen obyektif: proposisi yang dipercayai harus benar secara faktual.
·
Justification
adalah komponen normatif: ia berfungsi sebagai penghubung yang memastikan bahwa
kepercayaan seseorang layak dianggap rasional dan dapat dipercaya.⁵
Dalam teori-teori
epistemologi mutakhir, struktur ini dieksplorasi lebih jauh melalui konsep epistemic
responsibility—yakni kewajiban intelektual seseorang untuk memeriksa dasar
keyakinannya secara kritis—dan epistemic virtue, yakni kualitas
karakter intelektual seperti kejujuran, keterbukaan terhadap bukti, dan
kehati-hatian penalaran.⁶ Pendekatan ini mengakui bahwa justifikasi bukan hanya
soal argumen logis, melainkan juga melibatkan karakter dan disposisi epistemik
dari subjek pengetahuan.
Kerangka ini juga memperlihatkan
bahwa justification tidak berada di antara belief dan truth
sebagai sekadar perantara netral, tetapi berfungsi sebagai mekanisme
validasi—ia mengkondisikan apakah sebuah belief layak dikaitkan
dengan truth dalam pengertian epistemik. Tanpa justifikasi, bahkan
proposisi yang secara kebetulan benar tetap tidak dapat dikategorikan sebagai knowledge.
Kesimpulan Substansial
Justifikasi tidak menjamin
kebenaran secara deterministik, tetapi memainkan peran krusial dalam
mendekatkan keyakinan kepada kebenaran melalui mekanisme normatif yang
melibatkan alasan, bukti, dan reliabilitas. Ia adalah komponen epistemik yang
mengintegrasikan subjektivitas belief dengan objektivitas truth
dalam struktur pengetahuan yang sahih.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 208–210.
[2]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder: Westview
Press, 2000), 22–25.
[3]
Laurence BonJour, “The Structure of Empirical Knowledge,” Philosophical
Studies 30, no. 4 (1976): 281–312.
[4]
Alvin I. Goldman, “What Is Justified Belief?” in Epistemology: An
Anthology, ed. Ernest Sosa et al. (Malden, MA: Blackwell Publishing,
2008), 340–341.
[5]
Matthias Steup, “Epistemology,” in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy, ed. Edward N. Zalta, Winter 2020 Edition.
[6]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 270–280.
6.
Implikasi Epistemologis dan Praktis
Pembahasan mengenai hubungan
antara truth, belief, dan justification tidak hanya
memiliki signifikansi teoretis dalam filsafat, tetapi juga berdampak luas pada
berbagai ranah praktis dalam kehidupan manusia. Dalam dunia yang semakin
kompleks dan dibanjiri informasi, pemahaman yang tepat mengenai struktur
pengetahuan menjadi sangat krusial untuk menilai validitas klaim, membedakan
antara opini dan fakta, serta membangun fondasi berpikir kritis yang sehat.
6.1.
Implikasi dalam Teori Pengetahuan dan Filsafat
Ilmu
Secara epistemologis, relasi
antara justification, truth, dan belief menjadi
dasar bagi pengembangan teori pengetahuan kontemporer. Para filsuf terus
memperdebatkan apakah justification harus truth-conducive
(mengarah kepada kebenaran) atau cukup sebagai syarat internal rasionalitas
keyakinan.¹ Perdebatan ini berdampak langsung pada bagaimana ilmu pengetahuan
dikembangkan dan disahkan.
Dalam filsafat ilmu, hal ini
tercermin dalam cara ilmuwan membangun teori, menguji hipotesis, dan
mengevaluasi data empiris. Prosedur ilmiah pada dasarnya adalah upaya
sistematis untuk mencapai justified true belief melalui observasi,
eksperimen, dan inferensi yang dapat dipertanggungjawabkan.² Oleh karena itu,
prinsip justifikasi tidak hanya berlaku pada filsafat murni, tetapi juga
beroperasi secara implisit dalam seluruh metodologi keilmuan.
6.2.
Implikasi dalam Etika Epistemik dan Tanggung
Jawab Intelektual
Pemahaman atas relasi
epistemik juga melahirkan bidang ethics of belief atau epistemic
responsibility, yaitu kesadaran bahwa seseorang bertanggung jawab secara
moral dan intelektual atas keyakinan yang ia anut.³ Menyebarkan informasi tanpa
dasar yang cukup, mempercayai teori konspirasi tanpa verifikasi, atau bersikap
dogmatis terhadap suatu kepercayaan tanpa justifikasi, merupakan bentuk
pelanggaran terhadap tanggung jawab epistemik.
Dalam konteks ini, justification
menjadi semacam kewajiban moral: seseorang yang mengklaim mengetahui sesuatu
harus mampu menunjukkan dasar yang memadai untuk keyakinannya.⁴ Hal ini sangat
relevan dalam masyarakat demokratis di mana warga negara diharapkan membuat
keputusan yang rasional dan berbasis informasi, baik dalam pemilu, kebijakan
publik, maupun perdebatan sosial.
6.3.
Implikasi dalam Pendidikan dan Pengembangan
Literasi Kritis
Pemahaman struktural tentang knowledge
juga memiliki dampak langsung dalam dunia pendidikan. Kurikulum yang berbasis
pada pembentukan justified true belief mendorong siswa untuk tidak
sekadar menghafal informasi, tetapi juga belajar mengevaluasi kepercayaan
mereka melalui bukti dan argumentasi.⁵ Literasi epistemik—kemampuan untuk
memahami, mengevaluasi, dan memproduksi pengetahuan yang sahih—menjadi
keterampilan kunci dalam pendidikan abad ke-21.
Guru dan pendidik ditantang
untuk tidak hanya menyampaikan konten, tetapi juga membimbing peserta didik
untuk mengembangkan karakter intelektual seperti keterbukaan, skeptisisme
sehat, dan keberanian epistemik untuk merevisi kepercayaan lama berdasarkan bukti
baru. Hal ini sejalan dengan pendekatan virtue epistemology yang
menekankan bahwa pengetahuan sejati juga bergantung pada kebajikan intelektual
subjeknya.⁶
6.4.
Relevansi Sosial: Pengetahuan di Era Post-Truth
dan Disinformasi
Di tengah berkembangnya
fenomena post-truth dan penyebaran disinformasi, pemahaman tentang
hubungan antara keyakinan, kebenaran, dan pembenaran menjadi semakin penting
secara sosial dan politis. Banyak individu mempercayai informasi yang salah
bukan karena tidak tersedia bukti, tetapi karena kurangnya pembiasaan dalam
mengevaluasi sumber, proses justifikasi yang buruk, atau dominasi bias
afektif.⁷
Dengan demikian, epistemologi
bukan sekadar bidang abstrak, melainkan alat konseptual yang sangat relevan
untuk melawan krisis informasi masa kini. Peningkatan kesadaran epistemik di
masyarakat akan memperkuat daya tahan publik terhadap manipulasi kognitif,
propaganda, dan polarisasi ideologis.
Kesimpulan Substansial
Relasi antara justification,
truth, dan belief bukan hanya membentuk inti teori
pengetahuan, tetapi juga menjadi fondasi bagi praksis intelektual, moral, dan
sosial. Mengintegrasikan ketiganya secara fungsional dalam kehidupan
sehari-hari memungkinkan kita untuk menjadi agen epistemik yang lebih bertanggung
jawab, ilmiah, dan tangguh menghadapi tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 211–214.
[2]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable
Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 68–72.
[3]
William K. Clifford, “The Ethics of Belief,” Contemporary Review
29 (1877): 289–309.
[4]
Linda Zagzebski, Virtues of the Mind: An Inquiry into the Nature of
Virtue and the Ethical Foundations of Knowledge (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 135–140.
[5]
Harvey Siegel, Relativism Refuted: A Critique of Contemporary
Epistemological Relativism (Dordrecht: Springer, 1987), 165–168.
[6]
Jason Baehr, The Inquiring Mind: On Intellectual Virtues and Virtue
Epistemology (New York: Oxford University Press, 2011), 97–102.
[7]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
27–35.
7.
Kesimpulan
Diskursus epistemologis
mengenai truth (kebenaran), belief (keyakinan), dan justification
(pembenaran) merupakan pondasi bagi pemahaman mendalam tentang hakikat
pengetahuan (knowledge). Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan
sebelumnya, teori klasik pengetahuan—yakni Justified True Belief
(JTB)—mengupayakan kerangka analitis yang integratif untuk menjelaskan kapan
suatu keyakinan dapat dikatakan sebagai pengetahuan yang sah.¹ Ketiga elemen
ini saling melengkapi dan membentuk struktur epistemik yang kompleks namun
penting bagi evaluasi kognitif manusia.
Namun demikian, tantangan
yang muncul dari Gettier problem membuktikan bahwa definisi JTB
tidaklah sempurna dan masih membuka ruang bagi epistemic luck, yaitu
situasi ketika kebenaran tercapai secara kebetulan tanpa dasar justifikasi yang
memadai.² Hal ini mendorong berkembangnya berbagai pendekatan epistemologis
kontemporer seperti reliabilism, virtue epistemology, dan tracking
theory yang mencoba mengatasi kelemahan teori klasik dan menyempurnakan
pemahaman kita terhadap pengetahuan yang sahih.³
Melalui relasi dinamis antara
justifikasi, kebenaran, dan keyakinan, kita menyadari bahwa justification
memainkan peran kritis sebagai mediator antara sisi subjektif (belief)
dan objektif (truth) dari pengetahuan.⁴ Tanpa justifikasi, keyakinan
benar hanyalah keberuntungan. Namun, justifikasi juga tidak menjamin kebenaran
secara mutlak, karena ia selalu bersifat fallibilistik dan kontekstual. Oleh
karena itu, dalam praktik epistemik, diperlukan kehati-hatian, keterbukaan
terhadap bukti baru, dan pengembangan kebajikan intelektual agar seseorang
tidak hanya berpikir rasional, tetapi juga bertindak secara epistemik
bertanggung jawab.⁵
Secara praktis, pemahaman
konseptual ini memiliki implikasi yang luas: dalam pendidikan, ia mendorong
penguatan literasi kritis; dalam ilmu pengetahuan, ia membentuk standar
metodologis untuk validasi klaim; dalam masyarakat, ia menjadi landasan untuk
membangun daya tahan terhadap disinformasi dan polarisasi.⁶
Dengan demikian, menautkan justification,
truth, dan belief bukan hanya proyek konseptual filosofis,
tetapi juga upaya krusial dalam membangun masyarakat yang rasional, ilmiah, dan
beretika secara epistemik. Telaah atas struktur pengetahuan ini membuka jalan
bagi refleksi yang lebih jernih terhadap cara kita memahami, membenarkan, dan
menyebarkan keyakinan dalam kehidupan pribadi dan publik.
Footnotes
[1]
Robert Audi, Epistemology: A Contemporary Introduction to the
Theory of Knowledge, 3rd ed. (New York: Routledge, 2011), 199–204.
[2]
Edmund L. Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis
23, no. 6 (1963): 121–123.
[3]
Alvin I. Goldman, Reliabilism and Contemporary Epistemology: Essays
(New York: Oxford University Press, 2012), 48–53; Linda Zagzebski, Virtues
of the Mind: An Inquiry into the Nature of Virtue and the Ethical Foundations
of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 270–280.
[4]
Keith Lehrer, Theory of Knowledge, 2nd ed. (Boulder: Westview
Press, 2000), 22–25.
[5]
Jason Baehr, The Inquiring Mind: On Intellectual Virtues and Virtue
Epistemology (New York: Oxford University Press, 2011), 97–102.
[6]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
27–35; Harvey Siegel, Relativism Refuted: A Critique of Contemporary
Epistemological Relativism (Dordrecht: Springer, 1987), 165–168.
Daftar Pustaka
Audi, R. (2011). Epistemology:
A contemporary introduction to the theory of knowledge (3rd ed.).
Routledge.
Baehr, J. (2011). The
inquiring mind: On intellectual virtues and virtue epistemology. Oxford University
Press.
BonJour, L. (1985). The
structure of empirical knowledge. Harvard University Press.
BonJour, L. (2002). Epistemology:
Classic problems and contemporary responses. Rowman & Littlefield.
Clifford, W. K. (1877). The
ethics of belief. Contemporary Review, 29, 289–309.
David, M. (2016). The
correspondence theory of truth. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Winter 2016 Edition). https://plato.stanford.edu/archives/win2016/entries/truth-correspondence/
Gettier, E. L. (1963). Is
justified true belief knowledge? Analysis, 23(6), 121–123. https://doi.org/10.1093/analys/23.6.121
Goldman, A. I. (2008). What
is justified belief? In E. Sosa, J. Kim, J. Fantl, & M. McGrath (Eds.), Epistemology:
An anthology (2nd ed., pp. 340–353). Wiley-Blackwell.
Goldman, A. I. (2012). Reliabilism
and contemporary epistemology: Essays. Oxford University Press.
Haack, S. (1998). Manifesto
of a passionate moderate: Unfashionable essays. University of Chicago
Press.
James, W. (1907). Pragmatism:
A new name for some old ways of thinking. Longmans, Green, and Co.
Lehrer, K. (2000). Theory
of knowledge (2nd ed.). Westview Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth.
MIT Press.
Nozick, R. (1981). Philosophical
explanations. Harvard University Press.
Plantinga, A. (1983).
Reason and belief in God. In A. Plantinga & N. Wolterstorff (Eds.), Faith
and rationality (pp. 16–93). University of Notre Dame Press.
Siegel, H. (1987). Relativism
refuted: A critique of contemporary epistemological relativism. Springer.
Steup, M. (2020).
Epistemology. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Winter 2020 Edition). https://plato.stanford.edu/archives/win2020/entries/epistemology/
Zagzebski, L. (1996). Virtues
of the mind: An inquiry into the nature of virtue and the ethical foundations
of knowledge. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar