Jumat, 03 Oktober 2025

Keadilan dalam Filsafat Modern

Keadilan dalam Filsafat Modern

Pemikiran Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant


Alihkan ke: Konsep Keadilan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep keadilan dalam filsafat modern dengan menyoroti pemikiran empat tokoh utama: Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Melalui pendekatan historis-filosofis, artikel ini menunjukkan bahwa keadilan dalam filsafat modern berakar pada perdebatan tentang kondisi alamiah manusia, kontrak sosial, hak kodrati, kehendak umum, serta prinsip moral universal. Hobbes menekankan keadilan sebagai kepatuhan pada hukum negara demi menjamin stabilitas; Locke memandangnya sebagai perlindungan hak-hak kodrati yang melekat pada setiap individu; Rousseau menekankan kehendak umum sebagai basis keadilan politik dan partisipasi warga; sementara Kant merumuskan keadilan sebagai tatanan hukum yang memungkinkan koeksistensi kebebasan setiap orang dengan menghormati martabat manusia. Perbandingan kritis atas pemikiran mereka mengungkap dialektika antara keamanan dan kebebasan, antara individu dan kolektivitas, serta antara legalitas dan moralitas. Artikel ini juga menegaskan relevansi pemikiran keempat filsuf tersebut dalam konteks kontemporer, khususnya terkait isu hak asasi manusia, demokrasi, keadilan sosial, hukum internasional, dan tantangan global modern seperti ketidaksetaraan, krisis iklim, dan keadilan digital. Dengan demikian, warisan filsafat modern tetap menjadi kerangka konseptual penting dalam perumusan teori dan praktik keadilan di era globalisasi.

Kata Kunci: Keadilan, Filsafat Modern, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Immanuel Kant, Kontrak Sosial, Hak Asasi Manusia, Kehendak Umum, Otonomi Rasional.


PEMBAHASAN

Konsep Keadilan dalam Filsafat Modern


1.           Pendahuluan

Gagasan keadilan dalam filsafat modern lahir dari pergeseran intelektual besar yang memisahkan diri—tanpa benar-benar memutus—dari tradisi skolastik abad pertengahan. Di satu sisi, warisan hukum kodrat (natural law) tetap membekas; di sisi lain, muncul bahasa baru tentang “hak” (rights), “persetujuan” (consent), dan “kedaulatan” (sovereignty) yang menandai lahirnya teori politik modern. Historiografi klasik menunjukkan bahwa masa transisi ini (akhir abad ke-13 s.d. abad ke-16/17) membangun kerangka konseptual baru bagi negara dan hukum melalui transformasi wacana keagamaan, hukum, dan politik; lalu, pada abad ke-17 dan ke-18, kerangka itu matang dalam teori kontrak sosial dan hak kodrati.¹ ² ³

Di dalam peta ini, “keadilan” tidak lagi dipusatkan terutama pada teleologi kebajikan (sebagaimana dalam tradisi Aristotelian), melainkan pada aturan umum, legitimasi kekuasaan, dan pengakuan atas hak-hak individu. Ensiklopedia filsafat kontemporer merangkum pergeseran ini: teori keadilan modern cenderung berbicara dalam istilah “hak” dan “kewajiban” yang bersifat publik, serta menguji keabsahan institusi politik melalui kriteria persetujuan dan rasionalitas praktis.⁴ ⁵

Empat nama kunci—Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant—memberi empat arsitektur konseptual berbeda yang sama-sama berusaha menjawab: apa itu keadilan dalam masyarakat politik yang sah? Bagi Hobbes, titik tolaknya adalah kondisi alamiah yang penuh ketakpastian; keadilan, dalam arti ketat, baru muncul ketika perjanjian mengikat ditegakkan oleh kekuasaan sipil yang mampu memaksa kepatuhan.⁶ ⁷ ⁸ Pernyataan terkenal Hobbes—“hakikat keadilan terdiri atas penjagaan perjanjian yang sah; dan validitas perjanjian baru dimulai dengan konstitusi kekuasaan sipil”—menegaskan bahwa norma keadilan bertumpu pada kewenangan publik yang berdaulat.⁶

Locke memutar porosnya ke arah hak kodrati: manusia, bahkan sebelum negara terbentuk, telah memiliki hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and estate). Karena itu, negara yang adil adalah negara yang berfungsi sebagai “trustee” untuk melindungi hak-hak tersebut; legitimasi politik bergantung pada persetujuan mereka yang diperintah.⁹ ¹⁰ ¹¹

Rousseau, sementara itu, mencari sintesis antara kebebasan pribadi dan kedaulatan hukum melalui konsep volonté générale (kehendak umum). Hukum yang adil adalah hukum yang berasal dari kehendak umum—yang “selalu cenderung pada kemaslahatan bersama”—meskipun keputusan konkret rakyat dapat saja keliru bila mereka “tertipu.”¹² ¹³ Dengan demikian, keadilan menuntut bentuk partisipasi politik yang membuat warga “mentaati diri sendiri” saat menaati hukum.¹² ¹³

Kant melengkapi spektrum modern dengan fondasi deontologis. Di dalam Doctrine of Right (bagian pertama dari The Metaphysics of Morals), ia menegaskan bahwa setiap orang memiliki “hak bawaan atas kebebasan” dan berkewajiban memasuki kondisi sipil agar kebebasan itu dapat dipastikan oleh hukum yang berlaku umum.¹⁴ ¹⁵ Dengan demikian, keadilan—dalam pengertian yuridis—adalah tatanan norma eksternal yang menjamin koeksistensi kebebasan setiap orang menurut hukum universal; sementara secara moral, imperatif kategoris mengikat rasionalitas praktis kita untuk menghormati manusia sebagai tujuan pada dirinya, bukan sebagai alat.¹⁵

Kajian ini berangkat dari anggapan bahwa keadilan modern tidak monolitik: ada dialektika tajam antara (a) kedaulatan dan kepatuhan hukum (Hobbes), (b) hak individu dan pemerintahan terbatas (Locke), (c) kewargaan dan kehendak umum (Rousseau), serta (d) otonomi rasional dan hukum moral universal (Kant). Kerangka kontrak sosial menyediakan bahasa “persetujuan” dan “legitimasi”, sedangkan tradisi hak memberikan perangkat normatif untuk menilai batas kekuasaan; keduanya menjadi pijakan bagi teori-teori keadilan kontemporer (mis. Rawls) dan perdebatan mutakhir mengenai hak asasi manusia.¹⁶ ¹⁷ ⁵

Secara metodologis, pendahuluan ini menempatkan keempat tokoh dalam konteks historisnya serta membandingkan struktur argumen masing-masing mengenai sumber dan ukuran keadilan. Sumber primer—Leviathan, Second Treatise of Government, Du Contrat Social, dan Metaphysik der Sitten—akan dibaca berdampingan dengan kajian rujukan (Skinner untuk transisi ke modernitas; Tierney untuk genealogi wacana hak; dan berbagai entri ensiklopedis filsafat yang otoritatif) untuk memastikan kejelasan konsep, akurasi historis, dan relevansi normatif.¹ ² ³ ⁵ ¹⁴ ¹⁵

Pada akhirnya, tujuan artikel ini adalah: (1) merumuskan definisi operasional “keadilan” menurut masing-masing pemikir; (2) menilai rasionalitas, kelebihan, dan keterbatasan argumen mereka di hadapan problem politik-hukum modern (legitimasi, hak, partisipasi, dan supremasi hukum); serta (3) menyiapkan landasan bagi dialog kritis dengan teori keadilan kontemporer. Dengan peta ini, pembaca diharapkan dapat menilai bagaimana konsep keadilan modern—meski berangkat dari asumsi antropologis dan moral yang berlainan—tetap memberi perangkat analitis yang kuat untuk memahami institusi politik, hukum, dan hak asasi dewasa ini.⁴ ⁵ ¹⁶


Footnotes

[1]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 2: The Age of Reformation (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), ringkasan penerbit, diakses 27 Agustus 2025, (cambridge.org).

[2]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 2 (1978), salinan arsip Internet Archive, diakses 27 Agustus 2025, (archive.org).

[3]                Brian Tierney, “The Idea of Natural Rights—Origins and Persistence,” Northwestern Journal of Human Rights 2 (2004): 1–24, diakses 27 Agustus 2025, (Scholarly Commons).

[4]                “Justice,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (diputakhirkan 26 Juni 2017), diakses 27 Agustus 2025, (Stanford Encyclopedia of Philosophy).

[5]                “Rights,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (arsip Spring 2021), diakses 27 Agustus 2025, (Stanford Encyclopedia of Philosophy).

[6]                Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909 [1651]), bab XV, Online Library of Liberty, diakses 27 Agustus 2025, (Liberty Fund).

[7]                Thomas Hobbes, Leviathan, kutipan bab XV (sumber pengajaran Universitas Washington—naskah ringkas), diakses 27 Agustus 2025, (UW Courses).

[8]                “Chapter XV—Leviathan (full text excerpt),” SparkNotes, diakses 27 Agustus 2025, (SparkNotes).

[9]                John Locke, Second Treatise of Government (1690), §87, Project Gutenberg, diakses 27 Agustus 2025, (Project Gutenberg)

[10]             “Property: John Locke, Second Treatise, §§ 25–51,” The Founders’ Constitution (Univ. of Chicago Press), diakses 27 Agustus 2025, (University of Chicago Press)

[11]             Alexander Tuckness, “Locke’s Political Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (pertama 2005; diperbarui), diakses 27 Agustus 2025 (Stanford Encyclopedia of Philosophy).

[12]             Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (1762), ed./mod. Jonathan Bennett, Early Modern Texts (PDF), lihat Buku II, diakses 27 Agustus 2025, (Early Modern Texts).

[13]             “Rousseau’s The Social Contract (excerpt),” Liberty, Equality, Fraternity: Exploring the French Revolution (Roy Rosenzweig Center for History and New Media), diakses 27 Agustus 2025, (Revolutionary Ideas).

[14]             Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals (1797), keterangan struktur (Doctrine of Right dan Doctrine of Virtue), PDF arsip pengajaran, diakses 27 Agustus 2025, (ld.circuitdebater.org).

[15]             Fred Rauscher, “Kant’s Social and Political Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007; pembaruan berkala), diakses 27 Agustus 2025, (Stanford Encyclopedia of Philosophy).

[16]             Fred D’Agostino, “Contemporary Approaches to the Social Contract,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi arsip Spring 2013), diakses 27 Agustus 2025, (Stanford Encyclopedia of Philosophy).

[17]             Leif Wenar, “John Rawls,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008; pembaruan), diakses 27 Agustus 2025, (Stanford Encyclopedia of Philosophy).


2.           Konteks Historis Filsafat Modern

Perkembangan filsafat modern pada abad ke-17 hingga ke-18 tidak dapat dilepaskan dari pergolakan besar yang terjadi di Eropa. Era ini ditandai dengan runtuhnya dominasi intelektual abad pertengahan dan lahirnya kerangka baru yang menekankan rasionalitas, pengalaman empiris, serta gagasan kontrak sosial sebagai landasan legitimasi politik.¹ Transisi ini juga memperlihatkan pergeseran dari teosentrisme menuju antroposentrisme: manusia dan akalnya ditempatkan sebagai pusat refleksi filosofis.²

Salah satu konteks utama yang membentuk filsafat modern adalah krisis politik dan sosial di Eropa, khususnya akibat Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648) yang menghancurkan sebagian besar kawasan Eropa Tengah.³ Konflik berkepanjangan ini melahirkan kebutuhan akan teori politik yang dapat menjelaskan legitimasi kekuasaan dan menjamin ketertiban sosial. Thomas Hobbes, dalam Leviathan (1651), secara langsung menanggapi situasi ini dengan menyusun teori kontrak sosial yang berlandaskan kekuasaan mutlak negara demi mencegah anarki.⁴

Selain itu, revolusi ilmiah abad ke-16 dan 17 juga memberi pengaruh besar. Pemikiran Galileo, Descartes, dan Newton mendorong keyakinan bahwa alam semesta dapat dipahami melalui hukum-hukum universal yang dapat diketahui oleh akal manusia.⁵ Prinsip rasionalitas dan hukum universal ini kemudian diadopsi ke dalam filsafat moral dan politik. Immanuel Kant, misalnya, menyusun imperatif kategoris sebagai hukum moral universal yang mengikat setiap makhluk rasional.⁶

Perubahan juga terlihat pada gagasan tentang “hak.” Jika pada Abad Pertengahan keadilan lebih banyak dipahami dalam kerangka hukum kodrat teologis yang berakar pada filsafat Aristotelian dan ajaran Gereja, maka filsafat modern mengartikannya dalam bahasa hak-hak individu yang melekat sejak lahir.⁷ John Locke adalah tokoh kunci yang mengembangkan ide natural rights (hak hidup, kebebasan, dan milik).⁸ Gagasan ini lahir dalam konteks pergulatan Inggris melawan absolutisme monarki pada abad ke-17, terutama melalui Revolusi Agung (1688) yang meneguhkan supremasi parlemen.⁹

Sementara itu, pada abad ke-18, Eropa memasuki era Pencerahan (Enlightenment). Gerakan intelektual ini menekankan rasionalitas, kebebasan berpikir, dan penolakan terhadap otoritas tradisional yang dianggap mengekang.¹⁰ Jean-Jacques Rousseau, dalam Du Contrat Social (1762), mengekspresikan semangat pencerahan dengan merumuskan konsep volonté générale (kehendak umum) sebagai prinsip keadilan politik.¹¹ Konsep ini lahir di tengah meningkatnya kesenjangan sosial di Prancis menjelang Revolusi 1789, sehingga gagasan Rousseau kemudian memberi inspirasi langsung pada perjuangan demokratis modern.¹²

Dengan demikian, filsafat modern lahir dari dialektika kompleks antara krisis politik (perang dan absolutisme), kemajuan ilmu pengetahuan, serta gelombang pencerahan yang menuntut kebebasan dan rasionalitas. Konsep keadilan pada periode ini tidak lagi semata-mata diikat pada hierarki ilahi atau tradisi skolastik, tetapi pada konstruksi rasional manusia: kontrak sosial, hak kodrati, kehendak umum, dan hukum moral universal.¹³ Keempat tokoh utama—Hobbes, Locke, Rousseau, dan Kant—merupakan representasi dari dinamika historis tersebut, dan melalui karya-karyanya mereka meletakkan fondasi teori keadilan yang hingga kini tetap memengaruhi perdebatan filsafat politik dan hukum.¹⁴


Footnotes

[1]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 2: The Age of Reformation (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 3–5.

[2]                Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press, 2006), 21.

[3]                Peter H. Wilson, Europe’s Tragedy: A History of the Thirty Years War (London: Allen Lane, 2009), 789–92.

[4]                Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909 [1651]), xv.

[5]                Richard Westfall, The Construction of Modern Science: Mechanisms and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 87–90.

[6]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–46.

[7]                Brian Tierney, The Idea of Natural Rights: Studies on Natural Rights, Natural Law, and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1997), 14–15.

[8]                John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis: Hackett Publishing, 1980 [1690]), §§87–89.

[9]                Mark Goldie, “The Roots of True Whiggism, 1688–94,” History of Political Thought 1, no. 2 (1980): 195–236.

[10]             Dorinda Outram, The Enlightenment (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), 12–15.

[11]             Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Classics, 1968 [1762]), 49–50.

[12]             Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 65–68.

[13]             James Gordley, The Philosophical Origins of Modern Contract Doctrine (Oxford: Clarendon Press, 1991), 98–101.

[14]             Jeremy Waldron, Theories of Rights (Oxford: Oxford University Press, 1984), 17–20.


3.           Thomas Hobbes: Keadilan sebagai Produk Kontrak Sosial

Thomas Hobbes (1588–1679) dikenal sebagai salah satu filsuf politik paling berpengaruh dalam tradisi modern. Karyanya yang monumental, Leviathan (1651), ditulis dalam konteks perang saudara Inggris dan ketidakstabilan politik abad ke-17.¹ Hobbes menyaksikan secara langsung kekacauan yang ditimbulkan oleh pertentangan agama, politik, dan perebutan kekuasaan, sehingga ia terdorong untuk merumuskan teori politik yang dapat menjamin ketertiban sosial.²

3.1.       Kondisi Alamiah (State of Nature)

Hobbes memulai analisisnya dengan gambaran state of nature, yakni kondisi hipotetis manusia sebelum adanya negara atau hukum positif. Dalam kondisi ini, setiap individu memiliki kebebasan mutlak untuk menggunakan segala cara demi mempertahankan hidupnya.³ Karena setiap orang memiliki hak yang sama atas segala hal, tidak ada batasan normatif yang menghalangi perebutan sumber daya. Akibatnya, kondisi alamiah adalah keadaan perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes).⁴ Dalam kondisi demikian, hidup manusia digambarkan “solitary, poor, nasty, brutish, and short.”⁵

3.2.       Lahirnya Kontrak Sosial

Untuk keluar dari keadaan kacau tersebut, manusia secara rasional menyadari perlunya kesepakatan bersama. Menurut Hobbes, hukum alam (lex naturalis) mengajarkan bahwa manusia harus berusaha mencari perdamaian sejauh hal itu mungkin dicapai.⁶ Dari sinilah lahir ide kontrak sosial: setiap individu bersedia melepaskan sebagian kebebasannya dan menyerahkannya kepada suatu otoritas pusat yang berdaulat—disebut Leviathan.⁷ Negara, dalam kerangka ini, adalah hasil konstruksi rasional manusia yang mencari keamanan dan keteraturan.

3.3.       Keadilan sebagai Kepatuhan terhadap Hukum dan Perjanjian

Bagi Hobbes, keadilan tidak ada dalam state of nature karena belum terdapat institusi yang berwenang menegakkan janji. “Di mana tidak ada kekuasaan umum, tidak ada hukum; di mana tidak ada hukum, tidak ada keadilan.”⁸ Dengan demikian, keadilan lahir hanya setelah terbentuknya kontrak sosial yang melahirkan negara berdaulat. Keadilan berarti menepati perjanjian, dan perjanjian baru memiliki daya mengikat bila ada otoritas yang mampu memaksakan kepatuhan.⁹

Keadilan, bagi Hobbes, bukanlah kategori moral yang berdiri sendiri, melainkan fungsi dari tatanan politik yang diatur oleh hukum positif. Hal ini menjelaskan mengapa ia memandang negara berdaulat sebagai syarat mutlak bagi tegaknya keadilan.¹⁰ Dalam kerangka ini, pelanggaran hukum negara identik dengan ketidakadilan, karena mengancam kontrak sosial yang menopang kehidupan bersama.

3.4.       Kritik terhadap Pandangan Hobbes

Meski menawarkan fondasi kuat bagi stabilitas politik, gagasan Hobbes juga menuai kritik. Pertama, reduksi keadilan pada kepatuhan hukum negara dianggap berbahaya karena dapat melegitimasi otoritarianisme.¹¹ Kedua, Hobbes mengabaikan dimensi moral otonom dari keadilan yang tidak semata-mata bergantung pada hukum positif.¹² Berbeda dengan Hobbes, pemikir modern lainnya seperti Locke justru menekankan bahwa keadilan menuntut perlindungan hak kodrati yang mendahului negara.¹³

Namun demikian, warisan Hobbes tetap penting. Ia menegaskan pentingnya keamanan (security) sebagai fondasi pertama dari keadilan politik.¹⁴ Gagasannya menjadi titik awal bagi diskusi panjang tentang kontrak sosial, kedaulatan, dan legitimasi negara yang memengaruhi tradisi pemikiran politik modern hingga kontemporer.


Footnotes

[1]                Quentin Skinner, Visions of Politics, vol. 3: Hobbes and Civil Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 162.

[2]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 5–7.

[3]                Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909 [1651]), 183.

[4]                Ibid., 185–86.

[5]                Ibid., 186.

[6]                Ibid., 190–91.

[7]                Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 120–23.

[8]                Ibid., 188.

[9]                Thomas Hobbes, Leviathan (1651), bab XV, dikutip dalam Edwin Curley, ed., Leviathan (Indianapolis: Hackett, 1994), 100.

[10]             Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 291–92.

[11]             C.B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 17–19.

[12]             Leo Strauss, The Political Philosophy of Hobbes: Its Basis and Its Genesis (Chicago: University of Chicago Press, 1952), 132–34.

[13]             John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis: Hackett, 1980 [1690]), §§87–88.

[14]             Bernard Gert, “Hobbes and Psychological Egoism,” Journal of the History of Ideas 28, no. 4 (1967): 503–17.


4.           John Locke: Keadilan sebagai Perlindungan Hak Asasi

John Locke (1632–1704) merupakan salah satu filsuf politik modern yang paling berpengaruh dalam membentuk fondasi liberalisme. Karyanya, Two Treatises of Government (1690), ditulis untuk membantah absolutisme politik dan memberikan legitimasi filosofis bagi Revolusi Agung Inggris (1688).¹ Bagi Locke, keadilan tidak dapat dilepaskan dari pengakuan terhadap hak-hak kodrati (natural rights) yang melekat pada setiap individu, serta kewajiban negara untuk melindungi hak-hak tersebut.²

4.1.       Kondisi Alamiah (State of Nature)

Locke menggambarkan state of nature bukan sebagai keadaan perang mutlak seperti dalam Hobbes, melainkan sebagai kondisi relatif damai yang diatur oleh hukum kodrat (law of nature).³ Hukum kodrat ini, yang dapat diketahui melalui akal, menyatakan bahwa semua manusia setara dan bebas, serta tidak boleh merugikan hak hidup, kebebasan, maupun milik orang lain.⁴ Dengan demikian, keadilan dalam kondisi alamiah berarti penghormatan terhadap hak-hak dasar setiap manusia.

Namun, Locke mengakui bahwa dalam state of nature terdapat kelemahan serius: tidak adanya otoritas bersama yang dapat menegakkan hukum kodrat secara konsisten.⁵ Akibatnya, pelanggaran hak sering menimbulkan konflik, dan keadilan hanya bisa ditegakkan secara parsial melalui upaya individu. Inilah yang mendorong terbentuknya kontrak sosial.

4.2.       Kontrak Sosial dan Pemerintahan Terbatas

Menurut Locke, manusia sepakat membentuk masyarakat politik demi menjamin perlindungan yang lebih efektif terhadap hak-hak kodrati.⁶ Namun berbeda dengan Hobbes, Locke menekankan bahwa otoritas politik bersifat terbatas dan bersumber dari persetujuan rakyat (consent of the governed).⁷ Pemerintah hanyalah “trustee” yang diberi mandat untuk menjaga hak hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property).⁸

Apabila pemerintah gagal atau justru melanggar mandat tersebut, rakyat berhak untuk menolak atau bahkan mengganti pemerintahan yang ada.⁹ Dengan demikian, bagi Locke, keadilan tidak identik dengan ketaatan pada negara, melainkan dengan sejauh mana negara melaksanakan fungsinya sebagai pelindung hak-hak kodrati.

4.3.       Keadilan sebagai Perlindungan Hak Asasi

Dalam kerangka Locke, keadilan dapat dipahami sebagai tegaknya mekanisme hukum dan institusi politik yang menjamin perlindungan hak-hak dasar. Hukum yang adil adalah hukum yang konsisten dengan prinsip-prinsip hukum kodrat dan yang menjaga hak individu dari pelanggaran.¹⁰ Keadilan berarti melindungi setiap warga dari ancaman terhadap kehidupannya, kebebasannya, dan kepemilikannya.

Konsep ini menjadikan Locke sebagai pionir pemikiran modern tentang rule of law dan pemerintahan konstitusional.¹¹ Gagasan keadilan Locke memberikan basis filosofis bagi teori hak asasi manusia (HAM) yang kemudian dirumuskan dalam Bill of Rights Inggris (1689), Declaration of Independence Amerika Serikat (1776), dan Declaration of the Rights of Man and of the Citizen Prancis (1789).¹²

4.4.       Kritik terhadap Locke

Meskipun gagasannya sangat berpengaruh, pemikiran Locke juga menuai kritik. Pertama, pengutamaan hak milik dianggap membuka jalan bagi legitimasi kapitalisme dan ketimpangan ekonomi.¹³ Kedua, meski mengusung kebebasan dan kesetaraan, Locke tetap mendukung sistem perbudakan kolonial dalam praktiknya, yang menimbulkan kontradiksi serius antara teori dan realitas.¹⁴

Namun demikian, kontribusi Locke tetap fundamental. Ia menegaskan bahwa keadilan menuntut perlindungan hak-hak kodrati melalui negara hukum yang demokratis dan terbatas.¹⁵ Dengan demikian, Locke menjadi salah satu perumus utama kerangka normatif bagi konsep keadilan liberal modern.


Footnotes

[1]                Peter Laslett, “Introduction,” dalam John Locke, Two Treatises of Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), vii–x.

[2]                Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in Locke’s Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 43–44.

[3]                John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis: Hackett, 1980 [1690]), §4.

[4]                Ibid., §6.

[5]                Ibid., §§13–14.

[6]                Ibid., §87.

[7]                John Dunn, The Political Thought of John Locke: An Historical Account of the Argument of the "Two Treatises of Government" (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 147–49.

[8]                Locke, Second Treatise, §§123–124.

[9]                Ibid., §222.

[10]             Richard Ashcraft, Revolutionary Politics and Locke’s Two Treatises of Government (Princeton: Princeton University Press, 1986), 243–45.

[11]             C.B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism: Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 197–99.

[12]             Ian Shapiro, The Evolution of Rights in Liberal Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 55–57.

[13]             Neal Wood, The Politics of Locke’s Philosophy: A Social Study of "An Essay concerning Human Understanding" (Berkeley: University of California Press, 1983), 221–23.

[14]             James Farr, “Locke, Natural Law, and New World Slavery,” Political Theory 36, no. 4 (2008): 495–522.

[15]             Jeremy Waldron, Locke: Political Philosophy (London: Routledge, 2014), 89–91.


5.           Jean-Jacques Rousseau: Keadilan dalam Kehendak Umum

Jean-Jacques Rousseau (1712–1778) adalah salah satu filsuf paling berpengaruh pada abad ke-18 dan figur sentral Pencerahan Prancis. Karyanya Du Contrat Social (The Social Contract, 1762) mengajukan kritik radikal terhadap ketidakadilan sosial dan ketimpangan politik pada zamannya.¹ Rousseau berupaya merumuskan fondasi keadilan politik yang tidak hanya melindungi kebebasan individu, tetapi juga menjamin kesetaraan dan keterikatan bersama dalam masyarakat.²

5.1.       Kondisi Alamiah dan Asal-usul Ketidakadilan

Berbeda dari Hobbes maupun Locke, Rousseau menggambarkan state of nature sebagai kondisi yang relatif polos, penuh kebebasan, dan kesederhanaan.³ Dalam keadaan alamiah, manusia hidup bebas, setara, dan memiliki rasa belas kasih (pitié) terhadap sesama.⁴ Namun, ketidakadilan muncul ketika konsep kepemilikan pribadi berkembang. Dalam Discourse on the Origin of Inequality (1755), Rousseau menulis bahwa orang pertama yang menguasai sebidang tanah dan berkata, “Ini milikku,” adalah pencetus awal ketimpangan sosial.⁵

Dari sinilah Rousseau melihat akar ketidakadilan bukan pada sifat manusia, melainkan pada institusi sosial yang korup. Peradaban yang didorong oleh keserakahan, kepemilikan, dan kompetisi dianggap telah merusak kebebasan asli manusia.⁶

5.2.       Kehendak Umum sebagai Prinsip Keadilan

Dalam The Social Contract, Rousseau memperkenalkan konsep volonté générale (kehendak umum) sebagai inti dari keadilan politik. Menurutnya, kontrak sosial yang sejati bukanlah sekadar penyerahan hak kepada penguasa (seperti Hobbes), melainkan penggabungan seluruh individu ke dalam satu tubuh politik kolektif.⁷ Kehendak umum bukanlah jumlah dari kehendak individu-individu (will of all), melainkan ekspresi kepentingan bersama yang mengutamakan kebaikan kolektif.⁸

Hukum yang sah adalah hukum yang lahir dari kehendak umum, karena di dalamnya setiap orang ikut serta sebagai warga yang setara. Dengan demikian, keadilan berarti menaati hukum yang kita buat bersama, sehingga ketaatan pada hukum identik dengan kebebasan.⁹ Seperti yang dinyatakan Rousseau: “Ketaatan terhadap hukum yang kita tetapkan bagi diri kita sendiri adalah kebebasan.”¹⁰

5.3.       Kebebasan, Kesetaraan, dan Partisipasi Politik

Rousseau menegaskan bahwa kebebasan politik sejati hanya dapat dicapai jika setiap warga negara memiliki kesempatan setara untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum.¹¹ Oleh karena itu, demokrasi partisipatif menjadi model ideal dalam pandangan Rousseau. Masyarakat yang adil adalah masyarakat di mana institusi politik mencerminkan kehendak umum dan bukan sekadar kepentingan golongan tertentu.¹²

Selain kebebasan, Rousseau juga menekankan pentingnya kesetaraan. Keadilan sosial tidak dapat ditegakkan bila terdapat jurang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.¹³ Prinsip ini menjadikan pemikiran Rousseau relevan untuk kritik terhadap ketimpangan struktural dalam masyarakat modern.

5.4.       Kritik terhadap Rousseau

Meski gagasan kehendak umum revolusioner, ia juga menuai kritik. Sebagian menilai konsep kehendak umum berpotensi menindas minoritas dengan mengatasnamakan kepentingan kolektif.¹⁴ Hannah Arendt, misalnya, mengingatkan bahwa penekanan pada kehendak umum dapat tergelincir menjadi justifikasi totalitarianisme.¹⁵ Selain itu, Rousseau kurang menjelaskan mekanisme praktis bagaimana kehendak umum dapat diidentifikasi secara objektif tanpa jatuh pada manipulasi politik.¹⁶

Namun demikian, warisan Rousseau tetap signifikan. Ia menegaskan bahwa keadilan politik tidak hanya soal perlindungan hak individual (seperti pada Locke), melainkan juga tentang keterlibatan aktif warga dan kesetaraan sosial.¹⁷ Pemikirannya memberi inspirasi besar bagi Revolusi Prancis dan tradisi demokrasi partisipatif modern.¹⁸


Footnotes

[1]                Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 45–46.

[2]                Judith Shklar, Men and Citizens: A Study of Rousseau’s Social Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 87.

[3]                Jean-Jacques Rousseau, Discourse on the Origin and Foundations of Inequality among Men (1755), trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1992), 25.

[4]                Ibid., 27–28.

[5]                Ibid., 45.

[6]                Arthur M. Melzer, The Natural Goodness of Man: On the System of Rousseau’s Thought (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 67–69.

[7]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Classics, 1968 [1762]), 49.

[8]                Ibid., 50–52.

[9]                Ibid., 60.

[10]             Ibid., 64.

[11]             Joshua Cohen, “Reflections on Rousseau: Democratic Theory and Practice,” Politics & Society 15, no. 3 (1986): 275–306.

[12]             David Lay Williams, Rousseau’s Social Contract: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 112–14.

[13]             Rousseau, Social Contract, 132–33.

[14]             Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 131–32.

[15]             Hannah Arendt, On Revolution (New York: Viking Press, 1963), 97–98.

[16]             Steven G. Smith, Rousseau’s Social Contract: An Interpretive Essay (New Haven: Yale University Press, 2010), 145.

[17]             Shklar, Men and Citizens, 120.

[18]             Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction, 67–69.


6.           Immanuel Kant: Keadilan sebagai Prinsip Moral dan Otonomi Rasional

Immanuel Kant (1724–1804) merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah filsafat modern. Pemikirannya menggabungkan tradisi rasionalisme dan empirisme, tetapi memberikan arah baru dalam filsafat moral dan politik. Dalam karya utamanya, The Metaphysics of Morals (1797), khususnya bagian Doctrine of Right (Rechtslehre), Kant menyusun teori keadilan yang bertumpu pada prinsip kebebasan, otonomi rasional, dan hukum moral universal.¹

6.1.       Fondasi Etika Deontologis

Kant membedakan keadilan dari kebajikan dengan menekankan sifat eksternal keadilan. Jika kebajikan menyangkut niat batiniah individu, maka keadilan berkaitan dengan tindakan lahiriah yang dapat diatur oleh hukum publik.² Prinsip dasar filsafat moral Kant adalah imperatif kategoris, yakni perintah moral yang bersifat mutlak dan universal: “Bertindaklah hanya menurut maksim yang dapat engkau kehendaki sekaligus menjadi hukum universal.”³ Dalam kerangka ini, keadilan berarti membatasi kebebasan seseorang agar dapat berdampingan dengan kebebasan orang lain dalam kerangka hukum universal.⁴

6.2.       Hak Bawaan atas Kebebasan

Bagi Kant, setiap manusia memiliki hak bawaan (innate right) yang bersumber dari rasionalitasnya, yaitu hak atas kebebasan sejauh hak itu dapat hidup berdampingan dengan kebebasan orang lain menurut hukum universal.⁵ Hak ini melekat pada setiap individu dan tidak dapat dicabut oleh siapapun, termasuk negara.⁶ Dengan demikian, prinsip keadilan Kant bersifat normatif universal, bukan hasil konsensus politis semata seperti pada teori kontrak sosial Hobbes atau Locke.

6.3.       Negara Hukum dan Keadilan Yuridis

Kant menegaskan bahwa untuk menjamin koeksistensi kebebasan, manusia wajib memasuki “kondisi sipil” (civil condition).⁷ Dalam kondisi inilah hukum publik ditegakkan oleh negara yang sah melalui konstitusi. Bagi Kant, negara yang adil adalah negara hukum (Rechtsstaat) yang berdiri di atas prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kemandirian warga negara.⁸ Dalam pandangan ini, keadilan bukan sekadar produk otoritas, melainkan perwujudan hukum rasional yang dapat diterima universal.

6.4.       Otonomi dan Martabat Manusia

Salah satu kontribusi terbesar Kant terhadap filsafat keadilan adalah konsep martabat manusia. Manusia, sebagai makhluk rasional, harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan tidak boleh dijadikan sekadar sarana bagi tujuan orang lain.⁹ Prinsip ini menegaskan dimensi moral dari keadilan: perlakuan yang adil menuntut pengakuan terhadap otonomi dan martabat setiap individu. Pemikiran ini menjadi salah satu dasar normatif terkuat bagi teori hak asasi manusia modern.¹⁰

6.5.       Kritik terhadap Kant

Meski berpengaruh besar, teori keadilan Kant tidak luput dari kritik. Beberapa pemikir menilai bahwa pendekatannya yang sangat formal dan universal cenderung mengabaikan dimensi material keadilan, seperti distribusi ekonomi dan ketimpangan sosial.¹¹ Selain itu, penerapan imperatif kategoris sering dinilai abstrak dan sulit dioperasionalkan dalam konteks politik yang kompleks.¹² Namun demikian, prinsip-prinsip Kant mengenai kebebasan, hukum moral, dan martabat manusia tetap menjadi rujukan fundamental dalam diskusi filsafat politik, hukum internasional, dan HAM.¹³


Footnotes

[1]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6–7.

[2]                Ibid., 14–15.

[3]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 31.

[4]                Thomas E. Hill Jr., Respect, Pluralism, and Justice: Kantian Perspectives (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45.

[5]                Kant, The Metaphysics of Morals, 30.

[6]                Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 105–6.

[7]                Kant, The Metaphysics of Morals, 82.

[8]                Frederick Rauscher, “Kant’s Social and Political Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007), §3.

[9]                Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 37.

[10]             Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.

[11]             Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 122–23.

[12]             Onora O’Neill, Constructing Authorities: Reason, Politics and Interpretation in Kant’s Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 88.

[13]             Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–8.


7.           Perbandingan dan Analisis Kritis

Pembahasan tentang keadilan dalam filsafat modern melalui pemikiran Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant memperlihatkan adanya perbedaan konseptual yang tajam sekaligus titik-titik persinggungan penting. Keempat filsuf sama-sama berangkat dari persoalan bagaimana manusia dapat hidup bersama secara adil dalam suatu tatanan politik, namun jawaban yang mereka berikan berbeda sesuai dengan asumsi antropologis, pengalaman historis, dan kerangka filosofis masing-masing.¹

7.1.       Persamaan Konseptual

Pertama, keempat filsuf sepakat bahwa keadilan harus dipahami dalam kaitannya dengan kehidupan bersama dan keteraturan politik. Hobbes, Locke, dan Rousseau, dengan pendekatan kontrak sosial, memandang keadilan lahir dari kesepakatan manusia untuk meninggalkan state of nature dan membangun masyarakat politik.² Kant, meski tidak secara eksplisit memakai bahasa kontrak sosial, menegaskan kewajiban manusia untuk masuk ke dalam kondisi sipil agar kebebasan dapat terjamin oleh hukum umum.³ Dengan demikian, keadilan modern berakar pada ide bahwa tatanan politik yang sah merupakan syarat utama bagi kehidupan yang adil.

7.2.       Perbedaan Paradigmatik

Namun, di balik kesamaan tersebut, terdapat perbedaan mendasar.

·                     Hobbes menekankan keadilan sebagai kepatuhan terhadap hukum yang ditegakkan oleh penguasa berdaulat. Baginya, tanpa Leviathan tidak ada hukum, dan tanpa hukum tidak ada keadilan.⁴

·                     Locke menegaskan bahwa keadilan justru bersumber dari perlindungan terhadap natural rights yang mendahului negara; pemerintah hanya sah sejauh melindungi hak hidup, kebebasan, dan milik.⁵

·                     Rousseau menggeser fokus ke kehendak umum sebagai prinsip keadilan: hukum yang adil adalah hukum yang mencerminkan kepentingan bersama, bukan sekadar akumulasi kehendak individu.⁶

·                     Kant memandang keadilan sebagai prinsip moral dan hukum universal yang menjamin kebebasan setiap orang sejauh konsisten dengan kebebasan orang lain, menekankan martabat dan otonomi rasional manusia.⁷

Dengan demikian, Hobbes cenderung pada paradigma otoritarian, Locke pada liberal individualis, Rousseau pada demokrasi partisipatif, dan Kant pada moral universal.

7.3.       Titik Tegangan

Analisis kritis menunjukkan adanya beberapa tegangan intelektual penting:

·                     Negara vs. Individu: Hobbes menempatkan negara di atas individu, sementara Locke dan Kant menegaskan bahwa negara harus tunduk pada hak-hak individu. Rousseau mencoba mensintesiskan keduanya melalui konsep kehendak umum, namun justru menimbulkan problem baru tentang risiko mayoritarianisme.⁸

·                     Legalitas vs. Moralitas: Hobbes mendefinisikan keadilan secara legalistik, Kant menekankannya secara moral, sementara Locke dan Rousseau menempuh jalan tengah dengan menautkan keadilan pada norma alamiah dan kesepakatan sosial.⁹

·                     Kebebasan vs. Kesetaraan: Locke lebih menekankan kebebasan individu, Rousseau menekankan kesetaraan sosial, sedangkan Kant berusaha menyeimbangkan keduanya dalam kerangka hukum universal. Hobbes, sebaliknya, mengorbankan kebebasan demi keamanan.¹⁰

7.4.       Relevansi Historis dan Kontemporer

Masing-masing pemikiran memiliki dampak besar pada perkembangan teori politik:

·                     Hobbes meletakkan dasar teori kedaulatan negara modern.¹¹

·                     Locke memberi fondasi bagi liberalisme, konstitusionalisme, dan hak asasi manusia.¹²

·                     Rousseau menginspirasi demokrasi partisipatif dan gerakan revolusioner.¹³

·                     Kant menyumbang basis filosofis bagi hukum internasional dan doktrin hak asasi manusia universal.¹⁴

Kritik kontemporer sering menyoroti keterbatasan mereka. Hobbes dianggap terlalu mengabaikan kebebasan, Locke dituding mendukung kapitalisme dan kolonialisme, Rousseau dituduh membuka jalan bagi totalitarianisme melalui kehendak umum, sementara Kant dianggap terlalu formal dan kurang memperhatikan dimensi material keadilan.¹⁵ Meski demikian, keempat pemikir ini tetap menjadi referensi utama dalam diskursus tentang legitimasi politik, hak asasi manusia, dan keadilan global.


Footnotes

[1]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 211–12.

[2]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 73–75.

[3]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 82.

[4]                Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909 [1651]), 188.

[5]                John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis: Hackett, 1980 [1690]), §§87–88.

[6]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968 [1762]), 49–52.

[7]                Kant, Metaphysics of Morals, 30–31.

[8]                Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 132.

[9]                Leo Strauss, Natural Right and History (Chicago: University of Chicago Press, 1953), 181–83.

[10]             Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 123–24.

[11]             Quentin Skinner, Visions of Politics, vol. 3: Hobbes and Civil Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 187–89.

[12]             Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 56.

[13]             Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 67–68.

[14]             Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.

[15]             Onora O’Neill, Constructing Authorities: Reason, Politics and Interpretation in Kant’s Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 88.


8.           Relevansi Keadilan Modern dalam Konteks Kontemporer

Pemikiran keadilan dari Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant tetap relevan dalam membingkai problematika keadilan di dunia modern. Meskipun lahir dalam konteks historis abad ke-17 dan ke-18, gagasan mereka masih menjadi acuan utama dalam diskursus tentang negara, hak asasi manusia, demokrasi, dan hukum internasional.¹

8.1.       Hobbes dan Stabilitas Politik

Dalam dunia kontemporer yang penuh gejolak politik, terorisme, dan konflik bersenjata, pandangan Hobbes tentang pentingnya stabilitas politik kembali memperoleh perhatian.² Negara masih dianggap sebagai institusi fundamental untuk menjamin keamanan dan keteraturan sosial. Misalnya, dalam studi tentang failed states, ketiadaan otoritas berdaulat yang efektif sering dianggap sebagai penyebab utama runtuhnya keadilan dan tatanan hukum.³ Kritik bahwa Hobbes terlalu menekankan otoritas negara tetap relevan, terutama ketika stabilitas dipertahankan dengan mengorbankan hak-hak sipil. Namun, warisannya mengingatkan bahwa tanpa keamanan dasar, diskursus lain tentang keadilan sulit dijalankan.

8.2.       Locke dan Hak Asasi Manusia

Konsep Locke mengenai natural rights menjadi fondasi bagi perkembangan gagasan hak asasi manusia modern. Prinsip hak hidup, kebebasan, dan milik terpantul dalam Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) dan Universal Declaration of Human Rights (1948).⁴ Dalam konteks kontemporer, gagasan Locke mendasari perdebatan tentang rule of law, pemerintahan terbatas, dan supremasi konstitusi.⁵ Tantangan global—seperti perlindungan hak minoritas, kebebasan berekspresi, serta hak digital di era informasi—masih relevan dibaca dalam kerangka Lockean.⁶

8.3.       Rousseau dan Demokrasi Partisipatif

Krisis representasi dalam demokrasi liberal modern, meningkatnya ketimpangan sosial, dan menurunnya kepercayaan publik pada lembaga politik menunjukkan signifikansi pemikiran Rousseau. Konsep volonté générale (kehendak umum) menekankan bahwa keadilan tidak cukup dijamin oleh institusi formal, melainkan menuntut partisipasi aktif warga negara.⁷ Dalam era digital, wacana demokrasi partisipatif, deliberative democracy, dan tata kelola kolaboratif sering merujuk pada warisan Rousseau.⁸ Kritik Rousseau terhadap ketimpangan ekonomi juga semakin relevan di tengah kapitalisme global dan kesenjangan sosial yang ekstrem.⁹

8.4.       Kant dan Hak Universal

Pemikiran Kant mengenai otonomi rasional, martabat manusia, dan hukum moral universal membentuk dasar bagi hukum internasional modern.¹⁰ Prinsipnya bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri tercermin dalam norma-norma hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.¹¹ Selain itu, gagasan Kant tentang “perdamaian abadi” (perpetual peace) memberi inspirasi bagi lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.¹² Kritik kontemporer menyoroti sifat formalistik dan kurangnya perhatian Kant pada distribusi sosial-ekonomi, tetapi kerangka universalnya tetap menjadi referensi normatif dalam etika global.¹³

8.5.       Sintesis dan Tantangan Kontemporer

Keempat pemikir tersebut, bila dibaca secara dialogis, menawarkan instrumen konseptual untuk menghadapi tantangan keadilan global saat ini:

·                     Hobbes mengingatkan pentingnya stabilitas politik dan keamanan sebagai prasyarat keadilan.

·                     Locke menekankan perlindungan hak-hak dasar dan pembatasan kekuasaan.

·                     Rousseau menuntut partisipasi warga dan kesetaraan sosial.

·                     Kant memberikan fondasi moral universal dan norma hukum internasional.

Tantangan kontemporer—mulai dari krisis iklim, migrasi global, ketidaksetaraan ekonomi, hingga keadilan digital—memerlukan kerangka konseptual yang tidak hanya menggabungkan tetapi juga mengembangkan warisan modern ini.¹⁴ Dengan demikian, relevansi keadilan modern bukan sekadar dalam nilai historis, melainkan sebagai lensa kritis untuk merumuskan solusi etis, politik, dan hukum di era globalisasi.¹⁵


Footnotes

[1]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 212.

[2]                Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2002), 88.

[3]                Robert I. Rotberg, When States Fail: Causes and Consequences (Princeton: Princeton University Press, 2004), 1–4.

[4]                John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis: Hackett, 1980 [1690]), §§87–88.

[5]                Ian Shapiro, The Evolution of Rights in Liberal Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 59–61.

[6]                Jack Balkin, Digital Speech and Democratic Culture: A Theory of Freedom of Expression for the Information Society, New York University Law Review 79, no. 1 (2004): 1–55.

[7]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin, 1968 [1762]), 49–52.

[8]                Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy,” dalam The Good Polity: Normative Analysis of the State, ed. Alan Hamlin dan Philip Pettit (Oxford: Blackwell, 1989), 17–34.

[9]                Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 67–69.

[10]             Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 30–31.

[11]             Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.

[12]             Immanuel Kant, Perpetual Peace: A Philosophical Sketch (1795), trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett, 2003), 8–9.

[13]             Onora O’Neill, Constructing Authorities: Reason, Politics and Interpretation in Kant’s Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 88.

[14]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 26–27.

[15]             Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 2–5.


9.           Penutup

Kajian atas gagasan keadilan dalam filsafat modern melalui pemikiran Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant menunjukkan betapa kompleks dan beragamnya upaya filosofis untuk merumuskan fondasi kehidupan bersama yang adil. Keempat pemikir ini lahir dari konteks sosial-politik yang berbeda, namun sama-sama berangkat dari pertanyaan mendasar: bagaimana manusia dapat hidup bersama dalam keteraturan politik yang sah, yang tidak sekadar menjamin kelangsungan hidup, tetapi juga menghormati kebebasan, kesetaraan, dan martabatnya.¹

Hobbes menegaskan pentingnya keamanan sebagai basis pertama dari keadilan, dengan menundukkan individu pada Leviathan demi menghindari anarki.² Locke menggeser penekanan itu dengan menempatkan perlindungan hak-hak kodrati sebagai syarat mutlak legitimasi politik.³ Rousseau menekankan dimensi kolektif, yakni keadilan sebagai pengejawantahan kehendak umum yang menuntut partisipasi aktif warga negara.⁴ Kant melengkapi spektrum ini dengan fondasi moral universal: keadilan sebagai tata hukum yang memungkinkan kebebasan setiap orang selaras dengan kebebasan orang lain, sembari menjunjung martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri.⁵

Dari perbandingan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa filsafat modern menghadirkan dua poros utama dalam memahami keadilan. Poros pertama ialah kontrak sosial, yang menekankan kesepakatan manusia sebagai dasar legitimasi politik (Hobbes, Locke, Rousseau). Poros kedua ialah moralitas rasional, yang meletakkan keadilan pada prinsip universal yang melekat pada kodrat rasional manusia (Kant).⁶ Keduanya saling melengkapi: kontrak sosial menegaskan pentingnya institusi politik yang sah, sedangkan moralitas rasional menegaskan norma universal yang membatasi kekuasaan politik.

Relevansi gagasan keempat pemikir ini tidak berhenti pada masa modern. Dalam dunia kontemporer, ide Hobbes tentang stabilitas masih menjadi pelajaran penting bagi negara-negara yang rapuh. Locke tetap menjadi sumber inspirasi bagi gagasan hak asasi manusia dan pemerintahan konstitusional. Rousseau terus hidup dalam diskursus tentang demokrasi partisipatif dan keadilan sosial. Kant, dengan etika universalnya, menjadi fondasi bagi hukum internasional dan norma hak asasi manusia global.⁷ Dengan demikian, warisan filsafat modern bukan sekadar arsip intelektual, melainkan perangkat kritis untuk memahami dan menanggapi tantangan keadilan di dunia kini.

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa keadilan modern adalah konsep yang dinamis, terbentuk dari dialektika antara keamanan dan kebebasan, antara hak individu dan kepentingan kolektif, serta antara legitimasi politik dan moralitas universal.⁸ Pemikiran Hobbes, Locke, Rousseau, dan Kant tetap menjadi kompas normatif yang membantu kita menavigasi perdebatan keadilan dalam masyarakat global, mulai dari hak asasi manusia, demokrasi, hingga tata hukum internasional.⁹


Footnotes

[1]                Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought, vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 212.

[2]                Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909 [1651]), 188.

[3]                John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis: Hackett, 1980 [1690]), §§87–88.

[4]                Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice Cranston (London: Penguin Classics, 1968 [1762]), 49–52.

[5]                Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 30–31.

[6]                Leo Strauss, Natural Right and History (Chicago: University of Chicago Press, 1953), 182–83.

[7]                Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 67–69; Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 56; Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.

[8]                Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 122–24.

[9]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 2–5.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1963). On revolution. Viking Press.

Ashcraft, R. (1986). Revolutionary politics and Locke’s Two treatises of government. Princeton University Press.

Balkin, J. (2004). Digital speech and democratic culture: A theory of freedom of expression for the information society. New York University Law Review, 79(1), 1–55.

Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University Press.

Cohen, J. (1986). Reflections on Rousseau: Democratic theory and practice. Politics & Society, 15(3), 275–306.

Cohen, J. (1989). Deliberation and democratic legitimacy. In A. Hamlin & P. Pettit (Eds.), The good polity: Normative analysis of the state (pp. 17–34). Blackwell.

Curley, E. (Ed.). (1994). Leviathan. Hackett.

Dunn, J. (1969). The political thought of John Locke: An historical account of the argument of the “Two treatises of government”. Cambridge University Press.

Farr, J. (2008). Locke, natural law, and New World slavery. Political Theory, 36(4), 495–522.

Gaukroger, S. (2006). The emergence of a scientific culture: Science and the shaping of modernity, 1210–1685. Oxford University Press.

Gert, B. (1967). Hobbes and psychological egoism. Journal of the History of Ideas, 28(4), 503–517.

Goldie, M. (1980). The roots of true Whiggism, 1688–94. History of Political Thought, 1(2), 195–236.

Gordley, J. (1991). The philosophical origins of modern contract doctrine. Clarendon Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms: Contributions to a discourse theory of law and democracy. MIT Press.

Hill, T. E., Jr. (2000). Respect, pluralism, and justice: Kantian perspectives. Oxford University Press.

Hobbes, T. (1909 [1651]). Leviathan. Clarendon Press.

Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1996). The metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (2003). Perpetual peace: A philosophical sketch (T. Humphrey, Trans.). Hackett. (Original work published 1795)

Korsgaard, C. M. (1996). Creating the kingdom of ends. Cambridge University Press.

Laslett, P. (1988). Introduction. In J. Locke, Two treatises of government (pp. vii–x). Cambridge University Press.

Locke, J. (1980 [1690]). Second treatise of government. Hackett.

Macpherson, C. B. (1962). The political theory of possessive individualism: Hobbes to Locke. Oxford University Press.

Melzer, A. M. (1990). The natural goodness of man: On the system of Rousseau’s thought. University of Chicago Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

O’Neill, O. (2015). Constructing authorities: Reason, politics and interpretation in Kant’s philosophy. Cambridge University Press.

Outram, D. (2013). The Enlightenment. Cambridge University Press.

Rauscher, F. (2007). Kant’s social and political philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2007 ed.). Stanford University.

Rotberg, R. I. (2004). When states fail: Causes and consequences. Princeton University Press.

Rousseau, J.-J. (1968 [1762]). The social contract (M. Cranston, Trans.). Penguin Classics.

Rousseau, J.-J. (1992 [1755]). Discourse on the origin and foundations of inequality among men (D. A. Cress, Trans.). Hackett.

Sandel, M. (2009). Justice: What’s the right thing to do?. Farrar, Straus and Giroux.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Belknap Press of Harvard University Press.

Shklar, J. (1969). Men and citizens: A study of Rousseau’s social theory. Cambridge University Press.

Shapiro, I. (1986). The evolution of rights in liberal theory. Cambridge University Press.

Skinner, Q. (1978). The foundations of modern political thought (Vol. 2). Cambridge University Press.

Skinner, Q. (1996). Reason and rhetoric in the philosophy of Hobbes. Cambridge University Press.

Skinner, Q. (2002). Visions of politics (Vol. 3: Hobbes and civil science). Cambridge University Press.

Smith, S. G. (2010). Rousseau’s social contract: An interpretive essay. Yale University Press.

Strauss, L. (1952). The political philosophy of Hobbes: Its basis and its genesis. University of Chicago Press.

Strauss, L. (1953). Natural right and history. University of Chicago Press.

Tierney, B. (1997). The idea of natural rights: Studies on natural rights, natural law, and church law, 1150–1625. Eerdmans.

Tuck, R. (2002). Hobbes: A very short introduction. Oxford University Press.

Waldron, J. (1984). Theories of rights. Oxford University Press.

Waldron, J. (2002). God, Locke, and equality: Christian foundations in Locke’s political thought. Cambridge University Press.

Waldron, J. (2014). Locke: Political philosophy. Routledge.

Westfall, R. (1971). The construction of modern science: Mechanisms and mechanics. Cambridge University Press.

Williams, D. L. (2014). Rousseau’s social contract: An introduction. Cambridge University Press.

Wilson, P. H. (2009). Europe’s tragedy: A history of the Thirty Years War. Allen Lane.

Wokler, R. (2001). Rousseau: A very short introduction. Oxford University Press.

Wood, A. W. (1999). Kant’s ethical thought. Cambridge University Press.

Wood, N. (1983). The politics of Locke’s philosophy: A social study of “An essay concerning human understanding”. University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar