Keadilan dalam Filsafat Modern
Pemikiran Thomas Hobbes, John
Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant
Alihkan ke: Konsep Keadilan.
Abstrak
Artikel ini mengkaji konsep keadilan dalam filsafat
modern dengan menyoroti pemikiran empat tokoh utama: Thomas Hobbes, John Locke,
Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Melalui pendekatan
historis-filosofis, artikel ini menunjukkan bahwa keadilan dalam filsafat
modern berakar pada perdebatan tentang kondisi alamiah manusia, kontrak sosial,
hak kodrati, kehendak umum, serta prinsip moral universal. Hobbes menekankan
keadilan sebagai kepatuhan pada hukum negara demi menjamin stabilitas; Locke
memandangnya sebagai perlindungan hak-hak kodrati yang melekat pada setiap
individu; Rousseau menekankan kehendak umum sebagai basis keadilan politik dan
partisipasi warga; sementara Kant merumuskan keadilan sebagai tatanan hukum
yang memungkinkan koeksistensi kebebasan setiap orang dengan menghormati
martabat manusia. Perbandingan kritis atas pemikiran mereka mengungkap
dialektika antara keamanan dan kebebasan, antara individu dan kolektivitas,
serta antara legalitas dan moralitas. Artikel ini juga menegaskan relevansi
pemikiran keempat filsuf tersebut dalam konteks kontemporer, khususnya terkait
isu hak asasi manusia, demokrasi, keadilan sosial, hukum internasional, dan
tantangan global modern seperti ketidaksetaraan, krisis iklim, dan keadilan
digital. Dengan demikian, warisan filsafat modern tetap menjadi kerangka
konseptual penting dalam perumusan teori dan praktik keadilan di era
globalisasi.
Kata Kunci: Keadilan,
Filsafat Modern, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Immanuel
Kant, Kontrak Sosial, Hak Asasi Manusia, Kehendak Umum, Otonomi Rasional.
PEMBAHASAN
Konsep Keadilan dalam Filsafat
Modern
1.
Pendahuluan
Gagasan keadilan
dalam filsafat modern lahir dari pergeseran intelektual besar yang memisahkan
diri—tanpa benar-benar memutus—dari tradisi skolastik abad pertengahan. Di satu
sisi, warisan hukum kodrat (natural law) tetap membekas; di sisi lain, muncul
bahasa baru tentang “hak” (rights), “persetujuan” (consent), dan
“kedaulatan” (sovereignty) yang menandai lahirnya teori politik modern.
Historiografi klasik menunjukkan bahwa masa transisi ini (akhir abad ke-13 s.d.
abad ke-16/17) membangun kerangka konseptual baru bagi negara dan hukum melalui
transformasi wacana keagamaan, hukum, dan politik; lalu, pada abad ke-17 dan
ke-18, kerangka itu matang dalam teori kontrak sosial dan hak kodrati.¹ ² ³
Di dalam peta ini, “keadilan”
tidak lagi dipusatkan terutama pada teleologi kebajikan (sebagaimana dalam
tradisi Aristotelian), melainkan pada aturan umum, legitimasi kekuasaan, dan
pengakuan atas hak-hak individu. Ensiklopedia filsafat kontemporer merangkum
pergeseran ini: teori keadilan modern cenderung berbicara dalam istilah “hak”
dan “kewajiban” yang bersifat publik, serta menguji keabsahan institusi
politik melalui kriteria persetujuan dan rasionalitas praktis.⁴ ⁵
Empat nama
kunci—Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel
Kant—memberi empat arsitektur konseptual berbeda yang sama-sama berusaha
menjawab: apa itu keadilan dalam masyarakat politik yang sah? Bagi Hobbes,
titik tolaknya adalah kondisi alamiah yang penuh ketakpastian; keadilan, dalam
arti ketat, baru muncul ketika perjanjian mengikat ditegakkan oleh kekuasaan
sipil yang mampu memaksa kepatuhan.⁶ ⁷ ⁸ Pernyataan terkenal Hobbes—“hakikat
keadilan terdiri atas penjagaan perjanjian yang sah; dan validitas perjanjian
baru dimulai dengan konstitusi kekuasaan sipil”—menegaskan bahwa norma
keadilan bertumpu pada kewenangan publik yang berdaulat.⁶
Locke memutar
porosnya ke arah hak kodrati: manusia, bahkan sebelum negara terbentuk, telah
memiliki hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and estate). Karena
itu, negara yang adil adalah negara yang berfungsi sebagai “trustee”
untuk melindungi hak-hak tersebut; legitimasi politik bergantung pada
persetujuan mereka yang diperintah.⁹ ¹⁰ ¹¹
Rousseau, sementara
itu, mencari sintesis antara kebebasan pribadi dan kedaulatan hukum melalui
konsep volonté
générale (kehendak umum). Hukum yang adil adalah hukum yang berasal
dari kehendak umum—yang “selalu cenderung pada kemaslahatan bersama”—meskipun
keputusan konkret rakyat dapat saja keliru bila mereka “tertipu.”¹² ¹³
Dengan demikian, keadilan menuntut bentuk partisipasi politik yang membuat
warga “mentaati diri sendiri” saat menaati hukum.¹² ¹³
Kant melengkapi
spektrum modern dengan fondasi deontologis. Di dalam Doctrine
of Right (bagian pertama dari The Metaphysics of Morals), ia
menegaskan bahwa setiap orang memiliki “hak bawaan atas kebebasan” dan
berkewajiban memasuki kondisi sipil agar kebebasan itu dapat dipastikan oleh
hukum yang berlaku umum.¹⁴ ¹⁵ Dengan demikian, keadilan—dalam pengertian
yuridis—adalah tatanan norma eksternal yang menjamin koeksistensi kebebasan
setiap orang menurut hukum universal; sementara secara moral, imperatif
kategoris mengikat rasionalitas praktis kita untuk menghormati
manusia sebagai tujuan pada dirinya, bukan sebagai alat.¹⁵
Kajian ini berangkat
dari anggapan bahwa keadilan modern tidak monolitik: ada dialektika tajam
antara (a) kedaulatan dan kepatuhan hukum (Hobbes), (b) hak individu dan
pemerintahan terbatas (Locke), (c) kewargaan dan kehendak umum (Rousseau),
serta (d) otonomi rasional dan hukum moral universal (Kant). Kerangka kontrak
sosial menyediakan bahasa “persetujuan” dan “legitimasi”,
sedangkan tradisi hak memberikan perangkat normatif untuk menilai batas
kekuasaan; keduanya menjadi pijakan bagi teori-teori keadilan kontemporer (mis.
Rawls) dan perdebatan mutakhir mengenai hak asasi manusia.¹⁶ ¹⁷ ⁵
Secara metodologis,
pendahuluan ini menempatkan keempat tokoh dalam konteks historisnya serta
membandingkan struktur argumen masing-masing mengenai sumber dan ukuran keadilan.
Sumber primer—Leviathan, Second
Treatise of Government, Du Contrat Social, dan Metaphysik
der Sitten—akan dibaca berdampingan dengan kajian rujukan (Skinner
untuk transisi ke modernitas; Tierney untuk genealogi wacana hak; dan berbagai
entri ensiklopedis filsafat yang otoritatif) untuk memastikan kejelasan konsep,
akurasi historis, dan relevansi normatif.¹ ² ³ ⁵ ¹⁴ ¹⁵
Pada akhirnya,
tujuan artikel ini adalah: (1) merumuskan definisi operasional “keadilan”
menurut masing-masing pemikir; (2) menilai rasionalitas, kelebihan, dan
keterbatasan argumen mereka di hadapan problem politik-hukum modern
(legitimasi, hak, partisipasi, dan supremasi hukum); serta (3) menyiapkan
landasan bagi dialog kritis dengan teori keadilan kontemporer. Dengan peta ini,
pembaca diharapkan dapat menilai bagaimana konsep keadilan modern—meski
berangkat dari asumsi antropologis dan moral yang berlainan—tetap memberi
perangkat analitis yang kuat untuk memahami institusi politik, hukum, dan hak
asasi dewasa ini.⁴ ⁵ ¹⁶
Footnotes
[1]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 2: The Age of Reformation (Cambridge: Cambridge University Press,
1978), ringkasan penerbit, diakses 27 Agustus 2025, (cambridge.org).
[2]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 2 (1978), salinan arsip Internet Archive, diakses 27 Agustus
2025, (archive.org).
[3]
Brian Tierney, “The Idea of Natural Rights—Origins and Persistence,” Northwestern
Journal of Human Rights 2 (2004): 1–24, diakses 27 Agustus 2025, (Scholarly
Commons).
[4]
“Justice,” Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N.
Zalta (diputakhirkan 26 Juni 2017), diakses 27 Agustus 2025, (Stanford
Encyclopedia of Philosophy).
[5]
“Rights,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (arsip Spring
2021), diakses 27 Agustus 2025, (Stanford Encyclopedia of Philosophy).
[6]
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909
[1651]), bab XV, Online Library of Liberty, diakses 27 Agustus 2025, (Liberty Fund).
[7]
Thomas Hobbes, Leviathan, kutipan bab XV (sumber pengajaran
Universitas Washington—naskah ringkas), diakses 27 Agustus 2025, (UW
Courses).
[8]
“Chapter XV—Leviathan (full text excerpt),” SparkNotes,
diakses 27 Agustus 2025, (SparkNotes).
[9]
John Locke, Second Treatise of Government (1690), §87, Project
Gutenberg, diakses 27 Agustus 2025, (Project Gutenberg)
[10]
“Property: John Locke, Second Treatise, §§ 25–51,” The
Founders’ Constitution (Univ. of Chicago Press), diakses 27 Agustus 2025,
(University
of Chicago Press)
[11]
Alexander Tuckness, “Locke’s Political Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (pertama 2005; diperbarui), diakses 27 Agustus
2025 (Stanford Encyclopedia of Philosophy).
[12]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract (1762), ed./mod.
Jonathan Bennett, Early Modern Texts (PDF), lihat Buku II, diakses 27
Agustus 2025, (Early Modern Texts).
[13]
“Rousseau’s The Social Contract (excerpt),” Liberty,
Equality, Fraternity: Exploring the French Revolution (Roy Rosenzweig
Center for History and New Media), diakses 27 Agustus 2025, (Revolutionary Ideas).
[14]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals (1797), keterangan
struktur (Doctrine of Right dan Doctrine of Virtue), PDF arsip pengajaran,
diakses 27 Agustus 2025, (ld.circuitdebater.org).
[15]
Fred Rauscher, “Kant’s Social and Political Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2007; pembaruan berkala), diakses 27 Agustus
2025, (Stanford Encyclopedia of Philosophy).
[16]
Fred D’Agostino, “Contemporary Approaches to the Social Contract,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (edisi arsip Spring 2013), diakses 27 Agustus
2025, (Stanford Encyclopedia of Philosophy).
[17]
Leif Wenar, “John Rawls,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2008; pembaruan), diakses 27 Agustus 2025, (Stanford
Encyclopedia of Philosophy).
2.
Konteks Historis
Filsafat Modern
Perkembangan
filsafat modern pada abad ke-17 hingga ke-18 tidak dapat dilepaskan dari
pergolakan besar yang terjadi di Eropa. Era ini ditandai dengan runtuhnya
dominasi intelektual abad pertengahan dan lahirnya kerangka baru yang
menekankan rasionalitas, pengalaman empiris, serta gagasan kontrak sosial
sebagai landasan legitimasi politik.¹ Transisi ini juga memperlihatkan
pergeseran dari teosentrisme menuju antroposentrisme: manusia dan akalnya
ditempatkan sebagai pusat refleksi filosofis.²
Salah satu konteks
utama yang membentuk filsafat modern adalah krisis politik dan sosial di Eropa,
khususnya akibat Perang Tiga Puluh Tahun (1618–1648) yang menghancurkan
sebagian besar kawasan Eropa Tengah.³ Konflik berkepanjangan ini melahirkan
kebutuhan akan teori politik yang dapat menjelaskan legitimasi kekuasaan dan
menjamin ketertiban sosial. Thomas Hobbes, dalam Leviathan (1651), secara langsung
menanggapi situasi ini dengan menyusun teori kontrak sosial yang berlandaskan
kekuasaan mutlak negara demi mencegah anarki.⁴
Selain itu, revolusi
ilmiah abad ke-16 dan 17 juga memberi pengaruh besar. Pemikiran Galileo,
Descartes, dan Newton mendorong keyakinan bahwa alam semesta dapat dipahami
melalui hukum-hukum universal yang dapat diketahui oleh akal manusia.⁵ Prinsip
rasionalitas dan hukum universal ini kemudian diadopsi ke dalam filsafat moral
dan politik. Immanuel Kant, misalnya, menyusun imperatif kategoris sebagai hukum
moral universal yang mengikat setiap makhluk rasional.⁶
Perubahan juga
terlihat pada gagasan tentang “hak.” Jika pada Abad Pertengahan keadilan
lebih banyak dipahami dalam kerangka hukum kodrat teologis yang berakar pada
filsafat Aristotelian dan ajaran Gereja, maka filsafat modern mengartikannya
dalam bahasa hak-hak individu yang melekat sejak lahir.⁷ John Locke adalah
tokoh kunci yang mengembangkan ide natural rights (hak hidup,
kebebasan, dan milik).⁸ Gagasan ini lahir dalam konteks pergulatan Inggris
melawan absolutisme monarki pada abad ke-17, terutama melalui Revolusi Agung
(1688) yang meneguhkan supremasi parlemen.⁹
Sementara itu, pada
abad ke-18, Eropa memasuki era Pencerahan (Enlightenment). Gerakan intelektual
ini menekankan rasionalitas, kebebasan berpikir, dan penolakan terhadap
otoritas tradisional yang dianggap mengekang.¹⁰ Jean-Jacques Rousseau, dalam Du
Contrat Social (1762), mengekspresikan semangat pencerahan dengan
merumuskan konsep volonté générale (kehendak umum)
sebagai prinsip keadilan politik.¹¹ Konsep ini lahir di tengah meningkatnya
kesenjangan sosial di Prancis menjelang Revolusi 1789, sehingga gagasan
Rousseau kemudian memberi inspirasi langsung pada perjuangan demokratis
modern.¹²
Dengan demikian,
filsafat modern lahir dari dialektika kompleks antara krisis politik (perang
dan absolutisme), kemajuan ilmu pengetahuan, serta gelombang pencerahan yang
menuntut kebebasan dan rasionalitas. Konsep keadilan pada periode ini tidak
lagi semata-mata diikat pada hierarki ilahi atau tradisi skolastik, tetapi pada
konstruksi rasional manusia: kontrak sosial, hak kodrati, kehendak umum, dan
hukum moral universal.¹³ Keempat tokoh utama—Hobbes, Locke, Rousseau, dan
Kant—merupakan representasi dari dinamika historis tersebut, dan melalui
karya-karyanya mereka meletakkan fondasi teori keadilan yang hingga kini tetap
memengaruhi perdebatan filsafat politik dan hukum.¹⁴
Footnotes
[1]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 2: The Age of Reformation (Cambridge: Cambridge University Press,
1978), 3–5.
[2]
Stephen Gaukroger, The Emergence of a Scientific Culture: Science
and the Shaping of Modernity, 1210–1685 (Oxford: Oxford University Press,
2006), 21.
[3]
Peter H. Wilson, Europe’s Tragedy: A History of the Thirty Years
War (London: Allen Lane, 2009), 789–92.
[4]
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909
[1651]), xv.
[5]
Richard Westfall, The Construction of Modern Science: Mechanisms
and Mechanics (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), 87–90.
[6]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–46.
[7]
Brian Tierney, The Idea of Natural Rights: Studies on Natural
Rights, Natural Law, and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids, MI:
Eerdmans, 1997), 14–15.
[8]
John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1980 [1690]), §§87–89.
[9]
Mark Goldie, “The Roots of True Whiggism, 1688–94,” History of
Political Thought 1, no. 2 (1980): 195–236.
[10]
Dorinda Outram, The Enlightenment (Cambridge: Cambridge
University Press, 2013), 12–15.
[11]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Classics, 1968 [1762]), 49–50.
[12]
Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2001), 65–68.
[13]
James Gordley, The Philosophical Origins of Modern Contract
Doctrine (Oxford: Clarendon Press, 1991), 98–101.
[14]
Jeremy Waldron, Theories of Rights (Oxford: Oxford University
Press, 1984), 17–20.
3.
Thomas Hobbes:
Keadilan sebagai Produk Kontrak Sosial
Thomas Hobbes
(1588–1679) dikenal sebagai salah satu filsuf politik paling berpengaruh dalam
tradisi modern. Karyanya yang monumental, Leviathan (1651), ditulis dalam
konteks perang saudara Inggris dan ketidakstabilan politik abad ke-17.¹ Hobbes
menyaksikan secara langsung kekacauan yang ditimbulkan oleh pertentangan agama,
politik, dan perebutan kekuasaan, sehingga ia terdorong untuk merumuskan teori
politik yang dapat menjamin ketertiban sosial.²
3.1. Kondisi Alamiah (State
of Nature)
Hobbes memulai
analisisnya dengan gambaran state of nature, yakni kondisi
hipotetis manusia sebelum adanya negara atau hukum positif. Dalam kondisi ini,
setiap individu memiliki kebebasan mutlak untuk menggunakan segala cara demi
mempertahankan hidupnya.³ Karena setiap orang memiliki hak yang sama atas
segala hal, tidak ada batasan normatif yang menghalangi perebutan sumber daya.
Akibatnya, kondisi alamiah adalah keadaan perang semua melawan semua (bellum
omnium contra omnes).⁴ Dalam kondisi demikian, hidup manusia
digambarkan “solitary, poor, nasty, brutish, and short.”⁵
3.2. Lahirnya Kontrak Sosial
Untuk keluar dari
keadaan kacau tersebut, manusia secara rasional menyadari perlunya kesepakatan
bersama. Menurut Hobbes, hukum alam (lex naturalis) mengajarkan bahwa
manusia harus berusaha mencari perdamaian sejauh hal itu mungkin dicapai.⁶ Dari
sinilah lahir ide kontrak sosial: setiap individu bersedia melepaskan sebagian
kebebasannya dan menyerahkannya kepada suatu otoritas pusat yang
berdaulat—disebut Leviathan.⁷ Negara, dalam kerangka
ini, adalah hasil konstruksi rasional manusia yang mencari keamanan dan
keteraturan.
3.3. Keadilan sebagai
Kepatuhan terhadap Hukum dan Perjanjian
Bagi Hobbes,
keadilan tidak ada dalam state of nature karena belum
terdapat institusi yang berwenang menegakkan janji. “Di mana tidak ada
kekuasaan umum, tidak ada hukum; di mana tidak ada hukum, tidak ada keadilan.”⁸
Dengan demikian, keadilan lahir hanya setelah terbentuknya kontrak sosial yang
melahirkan negara berdaulat. Keadilan berarti menepati perjanjian, dan
perjanjian baru memiliki daya mengikat bila ada otoritas yang mampu memaksakan
kepatuhan.⁹
Keadilan, bagi
Hobbes, bukanlah kategori moral yang berdiri sendiri, melainkan fungsi dari
tatanan politik yang diatur oleh hukum positif. Hal ini menjelaskan mengapa ia
memandang negara berdaulat sebagai syarat mutlak bagi tegaknya keadilan.¹⁰
Dalam kerangka ini, pelanggaran hukum negara identik dengan ketidakadilan,
karena mengancam kontrak sosial yang menopang kehidupan bersama.
3.4. Kritik terhadap Pandangan
Hobbes
Meski menawarkan
fondasi kuat bagi stabilitas politik, gagasan Hobbes juga menuai kritik.
Pertama, reduksi keadilan pada kepatuhan hukum negara dianggap berbahaya karena
dapat melegitimasi otoritarianisme.¹¹ Kedua, Hobbes mengabaikan dimensi moral
otonom dari keadilan yang tidak semata-mata bergantung pada hukum positif.¹²
Berbeda dengan Hobbes, pemikir modern lainnya seperti Locke justru menekankan
bahwa keadilan menuntut perlindungan hak kodrati yang mendahului negara.¹³
Namun demikian,
warisan Hobbes tetap penting. Ia menegaskan pentingnya keamanan (security)
sebagai fondasi pertama dari keadilan politik.¹⁴ Gagasannya menjadi titik awal
bagi diskusi panjang tentang kontrak sosial, kedaulatan, dan legitimasi negara
yang memengaruhi tradisi pemikiran politik modern hingga kontemporer.
Footnotes
[1]
Quentin Skinner, Visions of Politics, vol. 3: Hobbes and
Civil Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 162.
[2]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 5–7.
[3]
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909
[1651]), 183.
[4]
Ibid., 185–86.
[5]
Ibid., 186.
[6]
Ibid., 190–91.
[7]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 120–23.
[8]
Ibid., 188.
[9]
Thomas Hobbes, Leviathan (1651), bab XV, dikutip dalam Edwin
Curley, ed., Leviathan (Indianapolis: Hackett, 1994), 100.
[10]
Quentin Skinner, Reason and Rhetoric in the Philosophy of Hobbes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 291–92.
[11]
C.B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 17–19.
[12]
Leo Strauss, The Political Philosophy of Hobbes: Its Basis and Its
Genesis (Chicago: University of Chicago Press, 1952), 132–34.
[13]
John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis:
Hackett, 1980 [1690]), §§87–88.
[14]
Bernard Gert, “Hobbes and Psychological Egoism,” Journal of the
History of Ideas 28, no. 4 (1967): 503–17.
4.
John Locke: Keadilan
sebagai Perlindungan Hak Asasi
John Locke
(1632–1704) merupakan salah satu filsuf politik modern yang paling berpengaruh
dalam membentuk fondasi liberalisme. Karyanya, Two Treatises of Government (1690),
ditulis untuk membantah absolutisme politik dan memberikan legitimasi filosofis
bagi Revolusi Agung Inggris (1688).¹ Bagi Locke, keadilan tidak dapat
dilepaskan dari pengakuan terhadap hak-hak kodrati (natural rights) yang melekat pada
setiap individu, serta kewajiban negara untuk melindungi hak-hak tersebut.²
4.1. Kondisi Alamiah (State
of Nature)
Locke menggambarkan state of
nature bukan sebagai keadaan perang mutlak seperti dalam Hobbes,
melainkan sebagai kondisi relatif damai yang diatur oleh hukum kodrat (law of
nature).³ Hukum kodrat ini, yang dapat diketahui melalui akal,
menyatakan bahwa semua manusia setara dan bebas, serta tidak boleh merugikan
hak hidup, kebebasan, maupun milik orang lain.⁴ Dengan demikian, keadilan dalam
kondisi alamiah berarti penghormatan terhadap hak-hak dasar setiap manusia.
Namun, Locke
mengakui bahwa dalam state of nature terdapat kelemahan
serius: tidak adanya otoritas bersama yang dapat menegakkan hukum kodrat secara
konsisten.⁵ Akibatnya, pelanggaran hak sering menimbulkan konflik, dan keadilan
hanya bisa ditegakkan secara parsial melalui upaya individu. Inilah yang
mendorong terbentuknya kontrak sosial.
4.2. Kontrak Sosial dan
Pemerintahan Terbatas
Menurut Locke,
manusia sepakat membentuk masyarakat politik demi menjamin perlindungan yang
lebih efektif terhadap hak-hak kodrati.⁶ Namun berbeda dengan Hobbes, Locke
menekankan bahwa otoritas politik bersifat terbatas dan bersumber dari
persetujuan rakyat (consent of the governed).⁷
Pemerintah hanyalah “trustee” yang diberi mandat untuk menjaga hak
hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property).⁸
Apabila pemerintah
gagal atau justru melanggar mandat tersebut, rakyat berhak untuk menolak atau
bahkan mengganti pemerintahan yang ada.⁹ Dengan demikian, bagi Locke, keadilan
tidak identik dengan ketaatan pada negara, melainkan dengan sejauh mana negara
melaksanakan fungsinya sebagai pelindung hak-hak kodrati.
4.3. Keadilan sebagai
Perlindungan Hak Asasi
Dalam kerangka
Locke, keadilan dapat dipahami sebagai tegaknya mekanisme hukum dan institusi
politik yang menjamin perlindungan hak-hak dasar. Hukum yang adil adalah hukum
yang konsisten dengan prinsip-prinsip hukum kodrat dan yang menjaga hak
individu dari pelanggaran.¹⁰ Keadilan berarti melindungi setiap warga dari
ancaman terhadap kehidupannya, kebebasannya, dan kepemilikannya.
Konsep ini
menjadikan Locke sebagai pionir pemikiran modern tentang rule of
law dan pemerintahan konstitusional.¹¹ Gagasan keadilan Locke
memberikan basis filosofis bagi teori hak asasi manusia (HAM) yang kemudian
dirumuskan dalam Bill of Rights Inggris (1689), Declaration
of Independence Amerika Serikat (1776), dan Declaration
of the Rights of Man and of the Citizen Prancis (1789).¹²
4.4. Kritik terhadap Locke
Meskipun gagasannya
sangat berpengaruh, pemikiran Locke juga menuai kritik. Pertama, pengutamaan
hak milik dianggap membuka jalan bagi legitimasi kapitalisme dan ketimpangan
ekonomi.¹³ Kedua, meski mengusung kebebasan dan kesetaraan, Locke tetap
mendukung sistem perbudakan kolonial dalam praktiknya, yang menimbulkan
kontradiksi serius antara teori dan realitas.¹⁴
Namun demikian,
kontribusi Locke tetap fundamental. Ia menegaskan bahwa keadilan menuntut
perlindungan hak-hak kodrati melalui negara hukum yang demokratis dan
terbatas.¹⁵ Dengan demikian, Locke menjadi salah satu perumus utama kerangka
normatif bagi konsep keadilan liberal modern.
Footnotes
[1]
Peter Laslett, “Introduction,” dalam John Locke, Two Treatises of
Government (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), vii–x.
[2]
Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality: Christian Foundations in
Locke’s Political Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2002),
43–44.
[3]
John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis:
Hackett, 1980 [1690]), §4.
[4]
Ibid., §6.
[5]
Ibid., §§13–14.
[6]
Ibid., §87.
[7]
John Dunn, The Political Thought of John Locke: An Historical
Account of the Argument of the "Two Treatises of Government"
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 147–49.
[8]
Locke, Second Treatise, §§123–124.
[9]
Ibid., §222.
[10]
Richard Ashcraft, Revolutionary Politics and Locke’s Two Treatises
of Government (Princeton: Princeton University Press, 1986), 243–45.
[11]
C.B. Macpherson, The Political Theory of Possessive Individualism:
Hobbes to Locke (Oxford: Oxford University Press, 1962), 197–99.
[12]
Ian Shapiro, The Evolution of Rights in Liberal Theory
(Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 55–57.
[13]
Neal Wood, The Politics of Locke’s Philosophy: A Social Study of
"An Essay concerning Human Understanding" (Berkeley: University
of California Press, 1983), 221–23.
[14]
James Farr, “Locke, Natural Law, and New World Slavery,” Political
Theory 36, no. 4 (2008): 495–522.
[15]
Jeremy Waldron, Locke: Political Philosophy (London:
Routledge, 2014), 89–91.
5.
Jean-Jacques Rousseau:
Keadilan dalam Kehendak Umum
Jean-Jacques
Rousseau (1712–1778) adalah salah satu filsuf paling berpengaruh pada abad
ke-18 dan figur sentral Pencerahan Prancis. Karyanya Du
Contrat Social (The Social Contract, 1762)
mengajukan kritik radikal terhadap ketidakadilan sosial dan ketimpangan politik
pada zamannya.¹ Rousseau berupaya merumuskan fondasi keadilan politik yang
tidak hanya melindungi kebebasan individu, tetapi juga menjamin kesetaraan dan
keterikatan bersama dalam masyarakat.²
5.1. Kondisi Alamiah dan
Asal-usul Ketidakadilan
Berbeda dari Hobbes
maupun Locke, Rousseau menggambarkan state of nature sebagai kondisi
yang relatif polos, penuh kebebasan, dan kesederhanaan.³ Dalam keadaan alamiah,
manusia hidup bebas, setara, dan memiliki rasa belas kasih (pitié)
terhadap sesama.⁴ Namun, ketidakadilan muncul ketika konsep kepemilikan pribadi
berkembang. Dalam Discourse on the Origin of Inequality
(1755), Rousseau menulis bahwa orang pertama yang menguasai sebidang tanah dan
berkata, “Ini milikku,” adalah pencetus awal ketimpangan sosial.⁵
Dari sinilah
Rousseau melihat akar ketidakadilan bukan pada sifat manusia, melainkan pada
institusi sosial yang korup. Peradaban yang didorong oleh keserakahan,
kepemilikan, dan kompetisi dianggap telah merusak kebebasan asli manusia.⁶
5.2. Kehendak Umum sebagai
Prinsip Keadilan
Dalam The
Social Contract, Rousseau memperkenalkan konsep volonté
générale (kehendak umum) sebagai inti dari keadilan politik.
Menurutnya, kontrak sosial yang sejati bukanlah sekadar penyerahan hak kepada
penguasa (seperti Hobbes), melainkan penggabungan seluruh individu ke dalam
satu tubuh politik kolektif.⁷ Kehendak umum bukanlah jumlah dari kehendak
individu-individu (will of all), melainkan ekspresi
kepentingan bersama yang mengutamakan kebaikan kolektif.⁸
Hukum yang sah
adalah hukum yang lahir dari kehendak umum, karena di dalamnya setiap orang
ikut serta sebagai warga yang setara. Dengan demikian, keadilan berarti menaati
hukum yang kita buat bersama, sehingga ketaatan pada hukum identik dengan
kebebasan.⁹ Seperti yang dinyatakan Rousseau: “Ketaatan terhadap hukum yang
kita tetapkan bagi diri kita sendiri adalah kebebasan.”¹⁰
5.3. Kebebasan, Kesetaraan,
dan Partisipasi Politik
Rousseau menegaskan
bahwa kebebasan politik sejati hanya dapat dicapai jika setiap warga negara
memiliki kesempatan setara untuk berpartisipasi dalam pembentukan hukum.¹¹ Oleh
karena itu, demokrasi partisipatif menjadi model ideal dalam pandangan
Rousseau. Masyarakat yang adil adalah masyarakat di mana institusi politik
mencerminkan kehendak umum dan bukan sekadar kepentingan golongan tertentu.¹²
Selain kebebasan,
Rousseau juga menekankan pentingnya kesetaraan. Keadilan sosial tidak dapat
ditegakkan bila terdapat jurang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.¹³
Prinsip ini menjadikan pemikiran Rousseau relevan untuk kritik terhadap
ketimpangan struktural dalam masyarakat modern.
5.4. Kritik terhadap Rousseau
Meski gagasan
kehendak umum revolusioner, ia juga menuai kritik. Sebagian menilai konsep
kehendak umum berpotensi menindas minoritas dengan mengatasnamakan kepentingan
kolektif.¹⁴ Hannah Arendt, misalnya, mengingatkan bahwa penekanan pada kehendak
umum dapat tergelincir menjadi justifikasi totalitarianisme.¹⁵ Selain itu,
Rousseau kurang menjelaskan mekanisme praktis bagaimana kehendak umum dapat
diidentifikasi secara objektif tanpa jatuh pada manipulasi politik.¹⁶
Namun demikian,
warisan Rousseau tetap signifikan. Ia menegaskan bahwa keadilan politik tidak
hanya soal perlindungan hak individual (seperti pada Locke), melainkan juga
tentang keterlibatan aktif warga dan kesetaraan sosial.¹⁷ Pemikirannya memberi
inspirasi besar bagi Revolusi Prancis dan tradisi demokrasi partisipatif
modern.¹⁸
Footnotes
[1]
Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2001), 45–46.
[2]
Judith Shklar, Men and Citizens: A Study of Rousseau’s Social
Theory (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 87.
[3]
Jean-Jacques Rousseau, Discourse on the Origin and Foundations of
Inequality among Men (1755), trans. Donald A. Cress (Indianapolis:
Hackett, 1992), 25.
[4]
Ibid., 27–28.
[5]
Ibid., 45.
[6]
Arthur M. Melzer, The Natural Goodness of Man: On the System of
Rousseau’s Thought (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 67–69.
[7]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Classics, 1968 [1762]), 49.
[8]
Ibid., 50–52.
[9]
Ibid., 60.
[10]
Ibid., 64.
[11]
Joshua Cohen, “Reflections on Rousseau: Democratic Theory and
Practice,” Politics & Society 15, no. 3 (1986): 275–306.
[12]
David Lay Williams, Rousseau’s Social Contract: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2014), 112–14.
[13]
Rousseau, Social Contract, 132–33.
[14]
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford
University Press, 1969), 131–32.
[15]
Hannah Arendt, On Revolution (New York: Viking Press, 1963),
97–98.
[16]
Steven G. Smith, Rousseau’s Social Contract: An Interpretive Essay
(New Haven: Yale University Press, 2010), 145.
[17]
Shklar, Men and Citizens, 120.
[18]
Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction, 67–69.
6.
Immanuel Kant:
Keadilan sebagai Prinsip Moral dan Otonomi Rasional
Immanuel Kant
(1724–1804) merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah
filsafat modern. Pemikirannya menggabungkan tradisi rasionalisme dan empirisme,
tetapi memberikan arah baru dalam filsafat moral dan politik. Dalam karya
utamanya, The
Metaphysics of Morals (1797), khususnya bagian Doctrine
of Right (Rechtslehre), Kant menyusun teori
keadilan yang bertumpu pada prinsip kebebasan, otonomi rasional, dan hukum
moral universal.¹
6.1. Fondasi Etika Deontologis
Kant membedakan
keadilan dari kebajikan dengan menekankan sifat eksternal keadilan. Jika kebajikan
menyangkut niat batiniah individu, maka keadilan berkaitan dengan tindakan
lahiriah yang dapat diatur oleh hukum publik.² Prinsip dasar filsafat moral
Kant adalah imperatif kategoris, yakni perintah
moral yang bersifat mutlak dan universal: “Bertindaklah hanya menurut maksim
yang dapat engkau kehendaki sekaligus menjadi hukum universal.”³ Dalam
kerangka ini, keadilan berarti membatasi kebebasan seseorang agar dapat
berdampingan dengan kebebasan orang lain dalam kerangka hukum universal.⁴
6.2. Hak Bawaan atas Kebebasan
Bagi Kant, setiap
manusia memiliki hak bawaan (innate
right) yang bersumber dari rasionalitasnya, yaitu hak atas
kebebasan sejauh hak itu dapat hidup berdampingan dengan kebebasan orang lain
menurut hukum universal.⁵ Hak ini melekat pada setiap individu dan tidak dapat
dicabut oleh siapapun, termasuk negara.⁶ Dengan demikian, prinsip keadilan Kant
bersifat normatif universal, bukan hasil konsensus politis semata seperti pada
teori kontrak sosial Hobbes atau Locke.
6.3. Negara Hukum dan Keadilan
Yuridis
Kant menegaskan
bahwa untuk menjamin koeksistensi kebebasan, manusia wajib memasuki “kondisi
sipil” (civil condition).⁷ Dalam kondisi
inilah hukum publik ditegakkan oleh negara yang sah melalui konstitusi. Bagi
Kant, negara yang adil adalah negara hukum (Rechtsstaat) yang berdiri di atas
prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kemandirian warga negara.⁸ Dalam pandangan
ini, keadilan bukan sekadar produk otoritas, melainkan perwujudan hukum
rasional yang dapat diterima universal.
6.4. Otonomi dan Martabat Manusia
Salah satu
kontribusi terbesar Kant terhadap filsafat keadilan adalah konsep martabat
manusia. Manusia, sebagai makhluk rasional, harus diperlakukan sebagai tujuan
pada dirinya sendiri dan tidak boleh dijadikan sekadar sarana bagi tujuan orang
lain.⁹ Prinsip ini menegaskan dimensi moral dari keadilan: perlakuan yang adil
menuntut pengakuan terhadap otonomi dan martabat setiap individu. Pemikiran ini
menjadi salah satu dasar normatif terkuat bagi teori hak asasi manusia
modern.¹⁰
6.5. Kritik terhadap Kant
Meski berpengaruh
besar, teori keadilan Kant tidak luput dari kritik. Beberapa pemikir menilai
bahwa pendekatannya yang sangat formal dan universal cenderung mengabaikan
dimensi material keadilan, seperti distribusi ekonomi dan ketimpangan sosial.¹¹
Selain itu, penerapan imperatif kategoris sering dinilai
abstrak dan sulit dioperasionalkan dalam konteks politik yang kompleks.¹² Namun
demikian, prinsip-prinsip Kant mengenai kebebasan, hukum moral, dan martabat
manusia tetap menjadi rujukan fundamental dalam diskusi filsafat politik, hukum
internasional, dan HAM.¹³
Footnotes
[1]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 6–7.
[2]
Ibid., 14–15.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans.
Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 31.
[4]
Thomas E. Hill Jr., Respect, Pluralism, and Justice: Kantian
Perspectives (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45.
[5]
Kant, The Metaphysics of Morals, 30.
[6]
Allen W. Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 105–6.
[7]
Kant, The Metaphysics of Morals, 82.
[8]
Frederick Rauscher, “Kant’s Social and Political Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2007), §3.
[9]
Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, 37.
[10]
Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.
[11]
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 122–23.
[12]
Onora O’Neill, Constructing Authorities: Reason, Politics and
Interpretation in Kant’s Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2015), 88.
[13]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–8.
7.
Perbandingan dan
Analisis Kritis
Pembahasan tentang
keadilan dalam filsafat modern melalui pemikiran Thomas Hobbes, John Locke,
Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant memperlihatkan adanya perbedaan
konseptual yang tajam sekaligus titik-titik persinggungan penting. Keempat
filsuf sama-sama berangkat dari persoalan bagaimana manusia dapat hidup bersama
secara adil dalam suatu tatanan politik, namun jawaban yang mereka berikan
berbeda sesuai dengan asumsi antropologis, pengalaman historis, dan kerangka filosofis
masing-masing.¹
7.1. Persamaan Konseptual
Pertama, keempat
filsuf sepakat bahwa keadilan harus dipahami dalam kaitannya dengan kehidupan
bersama dan keteraturan politik. Hobbes, Locke, dan Rousseau, dengan pendekatan
kontrak sosial, memandang keadilan lahir dari kesepakatan manusia untuk
meninggalkan state of nature dan membangun
masyarakat politik.² Kant, meski tidak secara eksplisit memakai bahasa kontrak
sosial, menegaskan kewajiban manusia untuk masuk ke dalam kondisi sipil agar
kebebasan dapat terjamin oleh hukum umum.³ Dengan demikian, keadilan modern
berakar pada ide bahwa tatanan politik yang sah merupakan syarat utama bagi
kehidupan yang adil.
7.2. Perbedaan Paradigmatik
Namun, di balik
kesamaan tersebut, terdapat perbedaan mendasar.
·
Hobbes
menekankan keadilan sebagai kepatuhan terhadap hukum yang ditegakkan oleh
penguasa berdaulat. Baginya, tanpa Leviathan tidak ada hukum, dan tanpa hukum
tidak ada keadilan.⁴
·
Locke
menegaskan bahwa keadilan justru bersumber dari perlindungan terhadap natural
rights yang mendahului negara; pemerintah hanya sah sejauh melindungi hak
hidup, kebebasan, dan milik.⁵
·
Rousseau
menggeser fokus ke kehendak umum sebagai prinsip keadilan: hukum yang adil
adalah hukum yang mencerminkan kepentingan bersama, bukan sekadar akumulasi kehendak
individu.⁶
·
Kant
memandang keadilan sebagai prinsip moral dan hukum universal yang menjamin
kebebasan setiap orang sejauh konsisten dengan kebebasan orang lain, menekankan
martabat dan otonomi rasional manusia.⁷
Dengan demikian,
Hobbes cenderung pada paradigma otoritarian, Locke pada liberal individualis,
Rousseau pada demokrasi partisipatif, dan Kant pada moral universal.
7.3. Titik Tegangan
Analisis kritis
menunjukkan adanya beberapa tegangan intelektual penting:
·
Negara
vs. Individu: Hobbes menempatkan negara di atas individu,
sementara Locke dan Kant menegaskan bahwa negara harus tunduk pada hak-hak
individu. Rousseau mencoba mensintesiskan keduanya melalui konsep kehendak
umum, namun justru menimbulkan problem baru tentang risiko mayoritarianisme.⁸
·
Legalitas
vs. Moralitas: Hobbes mendefinisikan keadilan secara
legalistik, Kant menekankannya secara moral, sementara Locke dan Rousseau
menempuh jalan tengah dengan menautkan keadilan pada norma alamiah dan
kesepakatan sosial.⁹
·
Kebebasan
vs. Kesetaraan: Locke lebih menekankan kebebasan individu,
Rousseau menekankan kesetaraan sosial, sedangkan Kant berusaha menyeimbangkan
keduanya dalam kerangka hukum universal. Hobbes, sebaliknya, mengorbankan
kebebasan demi keamanan.¹⁰
7.4. Relevansi Historis dan
Kontemporer
Masing-masing
pemikiran memiliki dampak besar pada perkembangan teori politik:
·
Hobbes meletakkan dasar
teori kedaulatan negara modern.¹¹
·
Locke memberi fondasi bagi
liberalisme, konstitusionalisme, dan hak asasi manusia.¹²
·
Rousseau menginspirasi
demokrasi partisipatif dan gerakan revolusioner.¹³
·
Kant menyumbang basis
filosofis bagi hukum internasional dan doktrin hak asasi manusia universal.¹⁴
Kritik kontemporer
sering menyoroti keterbatasan mereka. Hobbes dianggap terlalu mengabaikan
kebebasan, Locke dituding mendukung kapitalisme dan kolonialisme, Rousseau
dituduh membuka jalan bagi totalitarianisme melalui kehendak umum, sementara
Kant dianggap terlalu formal dan kurang memperhatikan dimensi material
keadilan.¹⁵ Meski demikian, keempat pemikir ini tetap menjadi referensi utama
dalam diskursus tentang legitimasi politik, hak asasi manusia, dan keadilan
global.
Footnotes
[1]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 211–12.
[2]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 73–75.
[3]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 82.
[4]
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909 [1651]),
188.
[5]
John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis:
Hackett, 1980 [1690]), §§87–88.
[6]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin, 1968 [1762]), 49–52.
[7]
Kant, Metaphysics of Morals, 30–31.
[8]
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford
University Press, 1969), 132.
[9]
Leo Strauss, Natural Right and History (Chicago: University of
Chicago Press, 1953), 181–83.
[10]
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 123–24.
[11]
Quentin Skinner, Visions of Politics, vol. 3: Hobbes and
Civil Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 187–89.
[12]
Jeremy Waldron, God, Locke, and Equality (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 56.
[13]
Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2001), 67–68.
[14]
Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.
[15]
Onora O’Neill, Constructing Authorities: Reason, Politics and
Interpretation in Kant’s Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2015), 88.
8.
Relevansi Keadilan
Modern dalam Konteks Kontemporer
Pemikiran keadilan
dari Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant tetap
relevan dalam membingkai problematika keadilan di dunia modern. Meskipun lahir
dalam konteks historis abad ke-17 dan ke-18, gagasan mereka masih menjadi acuan
utama dalam diskursus tentang negara, hak asasi manusia, demokrasi, dan hukum
internasional.¹
8.1. Hobbes dan Stabilitas
Politik
Dalam dunia
kontemporer yang penuh gejolak politik, terorisme, dan konflik bersenjata,
pandangan Hobbes tentang pentingnya stabilitas politik kembali memperoleh
perhatian.² Negara masih dianggap sebagai institusi fundamental untuk menjamin
keamanan dan keteraturan sosial. Misalnya, dalam studi tentang failed
states, ketiadaan otoritas berdaulat yang efektif sering dianggap
sebagai penyebab utama runtuhnya keadilan dan tatanan hukum.³ Kritik bahwa
Hobbes terlalu menekankan otoritas negara tetap relevan, terutama ketika
stabilitas dipertahankan dengan mengorbankan hak-hak sipil. Namun, warisannya
mengingatkan bahwa tanpa keamanan dasar, diskursus lain tentang keadilan sulit
dijalankan.
8.2. Locke dan Hak Asasi
Manusia
Konsep Locke
mengenai natural
rights menjadi fondasi bagi perkembangan gagasan hak asasi manusia
modern. Prinsip hak hidup, kebebasan, dan milik terpantul dalam Declaration
of Independence Amerika Serikat (1776) dan Universal
Declaration of Human Rights (1948).⁴ Dalam konteks kontemporer,
gagasan Locke mendasari perdebatan tentang rule of law, pemerintahan terbatas,
dan supremasi konstitusi.⁵ Tantangan global—seperti perlindungan hak minoritas,
kebebasan berekspresi, serta hak digital di era informasi—masih relevan dibaca
dalam kerangka Lockean.⁶
8.3. Rousseau dan Demokrasi
Partisipatif
Krisis representasi
dalam demokrasi liberal modern, meningkatnya ketimpangan sosial, dan menurunnya
kepercayaan publik pada lembaga politik menunjukkan signifikansi pemikiran
Rousseau. Konsep volonté générale (kehendak umum)
menekankan bahwa keadilan tidak cukup dijamin oleh institusi formal, melainkan
menuntut partisipasi aktif warga negara.⁷ Dalam era digital, wacana demokrasi
partisipatif, deliberative democracy, dan tata
kelola kolaboratif sering merujuk pada warisan Rousseau.⁸ Kritik Rousseau
terhadap ketimpangan ekonomi juga semakin relevan di tengah kapitalisme global
dan kesenjangan sosial yang ekstrem.⁹
8.4. Kant dan Hak Universal
Pemikiran Kant
mengenai otonomi rasional, martabat manusia, dan hukum moral universal
membentuk dasar bagi hukum internasional modern.¹⁰ Prinsipnya bahwa manusia
harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri tercermin dalam
norma-norma hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.¹¹ Selain itu,
gagasan Kant tentang “perdamaian abadi” (perpetual peace) memberi inspirasi
bagi lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.¹² Kritik
kontemporer menyoroti sifat formalistik dan kurangnya perhatian Kant pada
distribusi sosial-ekonomi, tetapi kerangka universalnya tetap menjadi referensi
normatif dalam etika global.¹³
8.5. Sintesis dan Tantangan
Kontemporer
Keempat pemikir
tersebut, bila dibaca secara dialogis, menawarkan instrumen konseptual untuk
menghadapi tantangan keadilan global saat ini:
·
Hobbes mengingatkan pentingnya
stabilitas politik dan keamanan sebagai prasyarat keadilan.
·
Locke menekankan
perlindungan hak-hak dasar dan pembatasan kekuasaan.
·
Rousseau menuntut
partisipasi warga dan kesetaraan sosial.
·
Kant memberikan fondasi
moral universal dan norma hukum internasional.
Tantangan
kontemporer—mulai dari krisis iklim, migrasi global, ketidaksetaraan ekonomi,
hingga keadilan digital—memerlukan kerangka konseptual yang tidak hanya
menggabungkan tetapi juga mengembangkan warisan modern ini.¹⁴ Dengan demikian,
relevansi keadilan modern bukan sekadar dalam nilai historis, melainkan sebagai
lensa kritis untuk merumuskan solusi etis, politik, dan hukum di era
globalisasi.¹⁵
Footnotes
[1]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 212.
[2]
Richard Tuck, Hobbes: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2002), 88.
[3]
Robert I. Rotberg, When States Fail: Causes and Consequences
(Princeton: Princeton University Press, 2004), 1–4.
[4]
John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis:
Hackett, 1980 [1690]), §§87–88.
[5]
Ian Shapiro, The Evolution of Rights in Liberal Theory
(Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 59–61.
[6]
Jack Balkin, Digital Speech and Democratic Culture: A Theory of
Freedom of Expression for the Information Society, New York University
Law Review 79, no. 1 (2004): 1–55.
[7]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin, 1968 [1762]), 49–52.
[8]
Joshua Cohen, “Deliberation and Democratic Legitimacy,” dalam The
Good Polity: Normative Analysis of the State, ed. Alan Hamlin dan Philip
Pettit (Oxford: Blackwell, 1989), 17–34.
[9]
Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2001), 67–69.
[10]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 30–31.
[11]
Christine M. Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 133.
[12]
Immanuel Kant, Perpetual Peace: A Philosophical Sketch (1795),
trans. Ted Humphrey (Indianapolis: Hackett, 2003), 8–9.
[13]
Onora O’Neill, Constructing Authorities: Reason, Politics and
Interpretation in Kant’s Philosophy (Cambridge: Cambridge University
Press, 2015), 88.
[14]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge: Belknap Press of
Harvard University Press, 2009), 26–27.
[15]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 2–5.
9.
Penutup
Kajian atas gagasan
keadilan dalam filsafat modern melalui pemikiran Thomas Hobbes, John Locke,
Jean-Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant menunjukkan betapa kompleks dan
beragamnya upaya filosofis untuk merumuskan fondasi kehidupan bersama yang
adil. Keempat pemikir ini lahir dari konteks sosial-politik yang berbeda, namun
sama-sama berangkat dari pertanyaan mendasar: bagaimana manusia dapat hidup
bersama dalam keteraturan politik yang sah, yang tidak sekadar menjamin
kelangsungan hidup, tetapi juga menghormati kebebasan, kesetaraan, dan
martabatnya.¹
Hobbes menegaskan
pentingnya keamanan sebagai basis pertama dari keadilan, dengan menundukkan
individu pada Leviathan demi menghindari anarki.² Locke menggeser penekanan itu
dengan menempatkan perlindungan hak-hak kodrati sebagai syarat mutlak
legitimasi politik.³ Rousseau menekankan dimensi kolektif, yakni keadilan
sebagai pengejawantahan kehendak umum yang menuntut partisipasi aktif warga
negara.⁴ Kant melengkapi spektrum ini dengan fondasi moral universal: keadilan
sebagai tata hukum yang memungkinkan kebebasan setiap orang selaras dengan
kebebasan orang lain, sembari menjunjung martabat manusia sebagai tujuan pada
dirinya sendiri.⁵
Dari perbandingan
tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa filsafat modern menghadirkan dua
poros utama dalam memahami keadilan. Poros pertama ialah kontrak sosial, yang
menekankan kesepakatan manusia sebagai dasar legitimasi politik (Hobbes, Locke,
Rousseau). Poros kedua ialah moralitas rasional, yang meletakkan keadilan pada
prinsip universal yang melekat pada kodrat rasional manusia (Kant).⁶ Keduanya
saling melengkapi: kontrak sosial menegaskan pentingnya institusi politik yang
sah, sedangkan moralitas rasional menegaskan norma universal yang membatasi
kekuasaan politik.
Relevansi gagasan keempat
pemikir ini tidak berhenti pada masa modern. Dalam dunia kontemporer, ide
Hobbes tentang stabilitas masih menjadi pelajaran penting bagi negara-negara
yang rapuh. Locke tetap menjadi sumber inspirasi bagi gagasan hak asasi manusia
dan pemerintahan konstitusional. Rousseau terus hidup dalam diskursus tentang
demokrasi partisipatif dan keadilan sosial. Kant, dengan etika universalnya,
menjadi fondasi bagi hukum internasional dan norma hak asasi manusia global.⁷
Dengan demikian, warisan filsafat modern bukan sekadar arsip intelektual,
melainkan perangkat kritis untuk memahami dan menanggapi tantangan keadilan di
dunia kini.
Sebagai penutup,
dapat disimpulkan bahwa keadilan modern adalah konsep yang dinamis, terbentuk
dari dialektika antara keamanan dan kebebasan, antara hak individu dan
kepentingan kolektif, serta antara legitimasi politik dan moralitas universal.⁸
Pemikiran Hobbes, Locke, Rousseau, dan Kant tetap menjadi kompas normatif yang
membantu kita menavigasi perdebatan keadilan dalam masyarakat global, mulai
dari hak asasi manusia, demokrasi, hingga tata hukum internasional.⁹
Footnotes
[1]
Quentin Skinner, The Foundations of Modern Political Thought,
vol. 2 (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 212.
[2]
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Clarendon Press, 1909
[1651]), 188.
[3]
John Locke, Second Treatise of Government (Indianapolis:
Hackett, 1980 [1690]), §§87–88.
[4]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, trans. Maurice
Cranston (London: Penguin Classics, 1968 [1762]), 49–52.
[5]
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 30–31.
[6]
Leo Strauss, Natural Right and History (Chicago: University of
Chicago Press, 1953), 182–83.
[7]
Robert Wokler, Rousseau: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2001), 67–69; Jeremy Waldron, God, Locke, and
Equality (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 56; Christine M.
Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 133.
[8]
Michael Sandel, Justice: What’s the Right Thing to Do? (New
York: Farrar, Straus and Giroux, 2009), 122–24.
[9]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge: Harvard University Press, 2006), 2–5.
Daftar
Pustaka
Arendt, H. (1963). On revolution. Viking Press.
Ashcraft, R. (1986). Revolutionary politics and
Locke’s Two treatises of government. Princeton University Press.
Balkin, J. (2004). Digital speech and democratic
culture: A theory of freedom of expression for the information society. New
York University Law Review, 79(1), 1–55.
Berlin, I. (1969). Four essays on liberty.
Oxford University Press.
Cohen, J. (1986). Reflections on Rousseau: Democratic
theory and practice. Politics & Society, 15(3), 275–306.
Cohen, J. (1989). Deliberation and democratic
legitimacy. In A. Hamlin & P. Pettit (Eds.), The good polity: Normative
analysis of the state (pp. 17–34). Blackwell.
Curley, E. (Ed.). (1994). Leviathan. Hackett.
Dunn, J. (1969). The political thought of John
Locke: An historical account of the argument of the “Two treatises of
government”. Cambridge University Press.
Farr, J. (2008). Locke, natural law, and New World
slavery. Political Theory, 36(4), 495–522.
Gaukroger, S. (2006). The emergence of a scientific
culture: Science and the shaping of modernity, 1210–1685. Oxford University
Press.
Gert, B. (1967). Hobbes and psychological egoism. Journal
of the History of Ideas, 28(4), 503–517.
Goldie, M. (1980). The roots of true Whiggism,
1688–94. History of Political Thought, 1(2), 195–236.
Gordley, J. (1991). The philosophical origins of
modern contract doctrine. Clarendon Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms:
Contributions to a discourse theory of law and democracy. MIT Press.
Hill, T. E., Jr. (2000). Respect, pluralism, and
justice: Kantian perspectives. Oxford University Press.
Hobbes, T. (1909 [1651]). Leviathan. Clarendon
Press.
Hobbes, T. (1996). Leviathan (R. Tuck, Ed.).
Cambridge University Press.
Kant, I. (1996). The metaphysics of morals (M.
Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of
morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (2003). Perpetual peace: A philosophical
sketch (T. Humphrey, Trans.). Hackett. (Original work published 1795)
Korsgaard, C. M. (1996). Creating the kingdom of
ends. Cambridge University Press.
Laslett, P. (1988). Introduction. In J. Locke, Two
treatises of government (pp. vii–x). Cambridge University Press.
Locke, J. (1980 [1690]). Second treatise of
government. Hackett.
Macpherson, C. B. (1962). The political theory of
possessive individualism: Hobbes to Locke. Oxford University Press.
Melzer, A. M. (1990). The natural goodness of man:
On the system of Rousseau’s thought. University of Chicago Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.
O’Neill, O. (2015). Constructing authorities:
Reason, politics and interpretation in Kant’s philosophy. Cambridge
University Press.
Outram, D. (2013). The Enlightenment. Cambridge
University Press.
Rauscher, F. (2007). Kant’s social and political
philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2007 ed.). Stanford University.
Rotberg, R. I. (2004). When states fail: Causes and
consequences. Princeton University Press.
Rousseau, J.-J. (1968 [1762]). The social contract
(M. Cranston, Trans.). Penguin Classics.
Rousseau, J.-J. (1992 [1755]). Discourse on the
origin and foundations of inequality among men (D. A. Cress, Trans.).
Hackett.
Sandel, M. (2009). Justice: What’s the right thing
to do?. Farrar, Straus and Giroux.
Sen, A. (2009). The idea of justice. Belknap
Press of Harvard University Press.
Shklar, J. (1969). Men and citizens: A study of
Rousseau’s social theory. Cambridge University Press.
Shapiro, I. (1986). The evolution of rights in
liberal theory. Cambridge University Press.
Skinner, Q. (1978). The foundations of modern
political thought (Vol. 2). Cambridge University Press.
Skinner, Q. (1996). Reason and rhetoric in the
philosophy of Hobbes. Cambridge University Press.
Skinner, Q. (2002). Visions of politics (Vol.
3: Hobbes and civil science). Cambridge University Press.
Smith, S. G. (2010). Rousseau’s social contract: An
interpretive essay. Yale University Press.
Strauss, L. (1952). The political philosophy of
Hobbes: Its basis and its genesis. University of Chicago Press.
Strauss, L. (1953). Natural right and history.
University of Chicago Press.
Tierney, B. (1997). The idea of natural rights:
Studies on natural rights, natural law, and church law, 1150–1625.
Eerdmans.
Tuck, R. (2002). Hobbes: A very short introduction.
Oxford University Press.
Waldron, J. (1984). Theories of rights. Oxford
University Press.
Waldron, J. (2002). God, Locke, and equality:
Christian foundations in Locke’s political thought. Cambridge University
Press.
Waldron, J. (2014). Locke: Political philosophy.
Routledge.
Westfall, R. (1971). The construction of modern science:
Mechanisms and mechanics. Cambridge University Press.
Williams, D. L. (2014). Rousseau’s social contract:
An introduction. Cambridge University Press.
Wilson, P. H. (2009). Europe’s tragedy: A history
of the Thirty Years War. Allen Lane.
Wokler, R. (2001). Rousseau: A very short
introduction. Oxford University Press.
Wood, A. W. (1999). Kant’s ethical thought.
Cambridge University Press.
Wood, N. (1983). The politics of Locke’s
philosophy: A social study of “An essay concerning human understanding”.
University of California Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar