Keadilan dalam Filsafat Kontemporer
Analisis Pemikiran John Rawls,
Robert Nozick, Amartya Sen, dan Nancy Fraser
Alihkan ke: Konsep Keadilan.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep
keadilan dalam filsafat kontemporer melalui analisis pemikiran John Rawls,
Robert Nozick, Amartya Sen, dan Nancy Fraser. Kajian dimulai dengan pemaparan
konteks historis filsafat politik abad ke-20 yang ditandai pergeseran dari
paradigma utilitarianisme menuju pendekatan normatif yang lebih kompleks. Rawls
dengan justice as fairness menawarkan prinsip kebebasan dasar dan difference
principle; Nozick menekankan hak kepemilikan serta legitimasi negara
minimal melalui entitlement theory; Sen mengajukan pendekatan
kapabilitas yang menilai keadilan berdasarkan kebebasan substantif untuk
menjalani kehidupan bernilai; sedangkan Fraser memperluas cakupan keadilan
dengan menambahkan dimensi redistribusi dan rekognisi demi parity of
participation.
Artikel ini menunjukkan
adanya persamaan, perbedaan, dan relasi kritis di antara keempat pemikiran
tersebut. Persamaannya terletak pada penolakan terhadap utilitarianisme dan
perhatian terhadap martabat individu; sementara perbedaannya meliputi fokus
pada institusi, hak individu, kebebasan substantif, maupun identitas kultural.
Relevansi teoritis dan praktis dari keempat perspektif ini tercermin dalam
tantangan modern seperti demokrasi konstitusional, pembangunan berkelanjutan,
ketimpangan global, diskriminasi identitas, dan kosmopolitanisme. Dengan
demikian, artikel ini menyimpulkan bahwa keadilan kontemporer bersifat
multidimensi dan dinamis, menuntut sintesis antara distribusi, kebebasan, hak
individu, serta pengakuan identitas untuk menghadapi kompleksitas dunia modern.
Kata Kunci: Keadilan; Filsafat Kontemporer; John Rawls; Robert
Nozick; Amartya Sen; Nancy Fraser; Kapabilitas; Redistribusi; Rekognisi;
Demokrasi.
PEMBAHASAN
Konsep Keadilan dalam Filsafat
Kontemporer
1.
Pendahuluan
Keadilan dalam filsafat
politik kontemporer dipahami bukan sekadar sebagai kebajikan individual,
melainkan kriteria normatif bagi tatanan kelembagaan—“the first virtue of
social institutions”—yang menilai bagaimana beban dan manfaat
sosial-ekonomi didistribusikan, serta bagaimana warga diperlakukan sebagai
setara di ruang publik.¹ Di tengah globalisasi, ketimpangan, dan politik
identitas, diskursus keadilan meluas dari perdebatan domestik tentang
distribusi menuju isu lintas-negara serta pengakuan martabat kelompok yang
termarginalkan.² Di sini, empat arus teoretis menonjol: liberal-egalitarian
(Rawls), libertarian (Nozick), kapabilitas
(Sen), dan redistribusi–rekognisi (Fraser). Kerangka ini
memungkinkan peta dialog yang saling mengkritik namun juga saling melengkapi
atas “apa yang adil” bagi individu dan institusi.³
Pertama, John Rawls
memformulasikan justice as fairness: prinsip kebebasan dasar yang
setara dan prinsip perbedaan (difference principle) yang mewajibkan
ketimpangan hanya dapat dibenarkan bila menguntungkan pihak paling kurang
beruntung. Rawls menurunkan prinsip ini dari posisi asali (original
position) di balik selubung ketidaktahuan (veil of
ignorance), sebuah prosedur kontraktarian yang merancang keadilan secara
imparsial.⁴ Dengan demikian, keadilan diartikulasikan sebagai keluaran dari
prosedur pilihan yang fair, bukan akumulasi utilitas.⁵
Kedua, Robert Nozick
mengajukan kritik libertarian: keadilan atas kepemilikan bersifat
historis-prosedural—bertumpu pada perolehan yang sah dan alih yang sah—bukan
pada pola distribusi hasil akhir. Redistribusi yang melampaui negara
minimal dipandang melanggar hak individu (misalnya lewat pajak yang
memaksa), sehingga “keadilan” berarti melindungi batas moral terhadap paksaan
demi skema pemerataan.⁶ Dengan demikian, perselisihan Rawls–Nozick menyentuh
jantung perbedaan antara keadilan sebagai struktur institusi yang adil
dan keadilan sebagai hak-hak negatif yang tak boleh dilanggar.⁷
Ketiga, Amartya Sen
mengalihkan fokus dari “berapa banyak barang” yang dimiliki ke apa yang
sungguh-sungguh dapat dilakukan/menjadi oleh seseorang—kapabilitas.
Bagi Sen, keadilan menuntut perluasan kebebasan substantif dan
evaluasi komparatif atas ketidakadilan aktual, bukan hanya rancangan
“masyarakat sempurna” dalam ideal-teori.⁸ Pendekatan ini memadukan etika,
ekonomi kesejahteraan, dan hak asasi sebagai kebebasan—mengarahkan kebijakan
kepada penghapusan unfreedoms yang menghalangi kehidupan bernilai.⁹
Keempat, Nancy Fraser
menegaskan bahwa keadilan kontemporer menuntut redistribusi
(mengatasi ketimpangan ekonomi) sekaligus rekognisi (mengatasi
ketidakadilan kultural/relasional), agar tercapai paritas partisipasi
dalam kehidupan sosial.¹⁰ Ia mengkritik paradigma distribusi murni yang menutup
mata pada dimensi identitas, sekaligus memperingatkan politik rekognisi yang
mengabaikan struktur ekonomi—menawarkan model dua dimensi yang sangat
berpengaruh dalam teori kritis feminis dan keadilan global.¹¹
Artikel ini bertujuan: (1)
memetakan asumsi normatif, perangkat analitis, dan tuntutan kebijakan dari
empat arus tersebut; (2) menilai persamaan, perbedaan, dan relasi
di antara mereka; serta (3) merumuskan implikasi konseptual dan praktis
bagi tata kelola demokratis, kebijakan sosial-ekonomi, dan pengakuan martabat
di masyarakat majemuk. Untuk itu, kajian akan menggunakan pembacaan tekstual
atas karya primer serta literatur ensiklopedis yang mapan guna menimbang daya
jelaskan masing-masing teori terhadap problem keadilan mutakhir (ketimpangan,
kemiskinan multidimensi, diskriminasi, dan keadilan global).¹²
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 3. (giuseppecapograssi.files)
[2]
Gillian Brock, “Global Justice,” in Stanford Encyclopedia of
Philosophy (2015). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)
[3]
“Justice,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2017/update
2023); serta Julian Lamont, “Distributive Justice,” Stanford Encyclopedia
of Philosophy (1996/archival). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)
[4]
Samuel Freeman, “Original Position,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (2008); lihat juga John Rawls, A Theory of Justice
(Harvard University Press, 1999). (Stanford Encyclopedia of Philosophy, Harvard University
Press)
[5]
Leif Wenar, “John Rawls,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2008). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)
[6]
Eric Mack, “Robert Nozick’s Political Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2014); Robert Nozick, Anarchy, State, and
Utopia (New York: Basic Books, 1974/edisi repr. 2013). (Stanford
Encyclopedia of Philosophy, Hachette
Book Group)
[7]
Peter Vallentyne dan Bas van der Vossen, “Libertarianism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2014/archival). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)
[8]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), pengantar. (Dutra
Economicus)
[9]
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University
Press, 1999). (Oxford
University Press)
[10]
Nancy Fraser, “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice
in a ‘Post-Socialist’ Age,” New Left Review 212 (1995). (New Left Review)
[11]
Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003/2004). (Verso)
[12]
Julian
Lamont, “Distributive Justice,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(1996/edisi revisi). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)
2.
Konsep Keadilan dalam Filsafat Kontemporer
Diskursus keadilan dalam
filsafat kontemporer menandai sebuah pergeseran signifikan dari paradigma
klasik dan modern yang menitikberatkan pada harmoni kosmik (Plato dan
Aristoteles) atau kontrak sosial normatif (Hobbes, Locke, Rousseau) menuju
pendekatan yang lebih kompleks, plural, dan responsif terhadap realitas sosial
abad ke-20.¹ Keadilan tidak lagi dipandang sekadar sebagai “kebajikan utama”
dalam diri individu atau ideal metafisik yang abstrak, melainkan sebagai
kerangka normatif untuk menilai institusi politik, ekonomi, dan sosial
dalam konteks masyarakat modern yang pluralistik.²
2.1.
Latar Sejarah dan
Peralihan
Konteks abad ke-20 ditandai
oleh ketegangan ideologis Perang Dingin, pertumbuhan
kapitalisme global, serta munculnya isu-isu baru seperti hak asasi
manusia, feminisme, multikulturalisme, dan keadilan global.³ Dalam
iklim intelektual ini, filsafat politik berupaya merumuskan kembali keadilan
sebagai sarana menjawab masalah distribusi, kebebasan, dan pengakuan identitas.
Teori keadilan kontemporer lahir sebagai respons terhadap keterbatasan utilitarianisme
klasik, yang dianggap gagal memberikan jaminan hak-hak individu dan
tidak sensitif terhadap struktur institusi.⁴
2.2.
Karakteristik Keadilan
Kontemporer
Keadilan dalam kerangka
kontemporer memiliki beberapa ciri utama. Pertama, ia plural dan
multidimensional: tidak cukup hanya menyoal distribusi ekonomi, tetapi
juga mencakup pengakuan budaya, partisipasi politik, serta kebebasan
substantif.⁵ Kedua, diskursus keadilan kontemporer memperkenalkan perbedaan
antara teori ideal (mendeskripsikan kondisi masyarakat yang
sepenuhnya adil) dan teori non-ideal (berfokus pada
pengurangan ketidakadilan nyata).⁶ Ketiga, keadilan dipahami dalam ranah domestik
sekaligus global, mencerminkan meningkatnya interdependensi
antarbangsa dan tantangan kosmopolitanisme.⁷
2.3.
Peta Aliran Pemikiran
Empat tokoh utama yang
menjadi sorotan dalam filsafat keadilan kontemporer masing-masing menawarkan
kontribusi khas:
·
John Rawls:
mengusung justice as fairness sebagai upaya merekonsiliasi kebebasan
individu dengan kesetaraan sosial, dengan menekankan prosedur kontraktarian
yang imparsial.⁸
·
Robert Nozick:
menolak prinsip distributif Rawls dan menekankan keadilan prosedural melalui
hak kepemilikan yang sah serta peran negara minimal.⁹
·
Amartya Sen:
mengkritik keterbatasan Rawlsian dengan menggeser fokus dari distribusi barang
ke kapabilitas nyata individu untuk menjalani kehidupan bernilai.¹⁰
·
Nancy Fraser:
mengembangkan model dua dimensi yang menuntut redistribusi ekonomi dan
rekognisi identitas sebagai syarat partisipasi setara dalam masyarakat.¹¹
2.4.
Relevansi Teoritis dan
Praktis
Dengan perbedaan paradigma
tersebut, filsafat keadilan kontemporer memperlihatkan lanskap yang lebih
dinamis dibandingkan periode sebelumnya. Rawls dan Nozick mewakili perdebatan
mendasar antara egalitarianisme liberal dan libertarianisme,
sedangkan Sen dan Fraser memperluas horizon diskursus ke arah keadilan
global, pembangunan manusia, gender, dan multikulturalisme.¹² Kajian
atas empat tokoh ini bukan hanya memberikan dasar teoritis, tetapi juga
menawarkan orientasi praktis bagi kebijakan publik, desain institusional, dan
perjuangan sosial dalam masyarakat plural abad ke-21.¹³
Footnotes
[1]
Brian Barry, Theories of Justice (Berkeley: University of
California Press, 1989), 3–10.
[2]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2001), 1.
[3]
Gillian Brock, “Global Justice,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2015 Edition).
[4]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 53–56.
[5]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–12.
[6]
Charles Mills, “Ideal Theory as Ideology,” Hypatia 20, no. 3
(2005): 165–184.
[7]
Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge:
Polity, 2002), 12–20.
[8]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 52–55.
[9]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 149–182.
[10]
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University
Press, 1999), 73–74.
[11]
Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 12–15.
[12]
Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian
Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 25–30.
[13]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 4–10.
3.
Teori Keadilan sebagai Fairness (John Rawls)
3.1.
Latar Belakang
Historis
Teori keadilan John Rawls
muncul dalam konteks akademik pasca-Perang Dunia II ketika utilitarianisme
mendominasi filsafat moral dan politik Anglo-Amerika. Rawls menilai
utilitarianisme gagal menghormati prinsip dasar hak-hak individu karena
mengorbankan kepentingan sebagian orang demi agregasi kebahagiaan mayoritas.¹
Oleh sebab itu, ia menawarkan alternatif berbasis kontrak sosial
yang berakar pada tradisi Locke, Rousseau, dan Kant, namun diperbarui untuk
menjawab kebutuhan masyarakat demokratis modern.²
3.2.
Konsep Dasar: Justice
as Fairness
Rawls memperkenalkan gagasan justice
as fairness dalam karyanya monumental A Theory of Justice
(1971).³ Baginya, keadilan adalah kebajikan utama institusi sosial:
tata aturan harus dipandang adil agar otoritasnya sah.⁴ Justice as fairness
berarti bahwa prinsip-prinsip keadilan dirumuskan dalam suatu kondisi
prosedural yang fair—yakni melalui original position (posisi
asali) di balik veil of ignorance (selubung ketidaktahuan).⁵
Dalam original position,
para individu membayangkan diri mereka merancang prinsip dasar masyarakat tanpa
mengetahui posisi sosial, kemampuan, atau preferensi mereka di dunia nyata.
Dengan cara ini, keputusan dipastikan imparsial dan tidak bias terhadap
kepentingan kelompok tertentu.⁶
3.3.
Prinsip-Prinsip
Keadilan Rawls
Dari prosedur ini, Rawls
menurunkan dua prinsip keadilan fundamental:
1)
Prinsip Kebebasan:
setiap orang memiliki hak yang sama atas seperangkat kebebasan dasar (seperti
kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan hak politik) yang kompatibel
dengan kebebasan serupa bagi orang lain.⁷
2)
Prinsip Perbedaan
(Difference Principle): ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya sah
apabila memberikan keuntungan terbesar bagi pihak yang paling kurang beruntung,
serta terikat pada prinsip kesempatan yang adil secara merata.⁸
Rawls menekankan bahwa
prinsip pertama memiliki prioritas leksikal atas prinsip kedua, sehingga
kebebasan dasar tidak boleh dikompromikan demi keuntungan ekonomi.⁹
3.4.
Keadilan sebagai
Alternatif terhadap Utilitarianisme
Dengan menekankan keadilan
sebagai fairness, Rawls menolak model utilitarian yang berorientasi pada
maksimisasi kebahagiaan kolektif. Menurutnya, utilitarianisme gagal menghormati
integritas individu, karena membolehkan pengorbanan hak minoritas demi manfaat
mayoritas.¹⁰ Sebaliknya, Rawls menawarkan kerangka deontologis,
di mana prinsip moral tidak tunduk pada kalkulasi konsekuensialis, melainkan
harus menjunjung martabat setiap orang.¹¹
3.5.
Kritik dan Perkembangan
Teori Rawls menuai banyak
apresiasi sekaligus kritik. Para pendukung menilai teorinya merevitalisasi
filsafat politik normatif dan menyediakan dasar filosofis bagi demokrasi
liberal.¹² Namun, kritik datang dari berbagai arah: libertarian seperti Robert
Nozick menilai prinsip redistributif Rawls melanggar hak kepemilikan
individu;¹³ feminis dan teoritisi kritis (misalnya Nancy Fraser) menilai Rawls
terlalu fokus pada distribusi ekonomi dan kurang memperhatikan dimensi
pengakuan kultural;¹⁴ sedangkan Amartya Sen berargumen bahwa Rawls terlalu
berorientasi pada ideal theory dan kurang memperhatikan ketidakadilan
nyata.¹⁵
3.6.
Relevansi Kontemporer
Meski menghadapi kritik,
teori Rawls tetap menjadi rujukan utama dalam filsafat politik kontemporer.
Gagasannya tentang fairness, kebebasan dasar, dan prioritas moral
terhadap institusi memengaruhi desain konstitusi, kebijakan publik,
dan teori demokrasi deliberatif.¹⁶ Selain itu, konsep veil of ignorance
banyak digunakan dalam debat etika terapan, mulai dari kebijakan redistribusi,
keadilan pendidikan, hingga alokasi sumber daya kesehatan.¹⁷
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 22–25.
[2]
Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian
Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 12–15.
[3]
John Rawls, A Theory of Justice (1971; repr., Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 3.
[4]
Ibid., 3.
[5]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2001), 15–18.
[6]
Thomas Nagel, “Rawls on Justice,” The Philosophical Review 82,
no. 2 (1973): 220–226.
[7]
Rawls, A Theory of Justice, 53–54.
[8]
Ibid., 65–73.
[9]
Ibid., 302–303.
[10]
Leif Wenar, “John Rawls,” Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2008/ed. rev. 2017).
[11]
Brian Barry, The Liberal Theory of Justice: A Critical Examination
of the Principal Doctrines in A Theory of Justice by John Rawls (Oxford:
Clarendon Press, 1973), 25–30.
[12]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–55.
[13]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 183–189.
[14]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–12.
[15]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 8–9.
[16]
Joshua Cohen, “Democratic Equality,” Ethics 99, no. 4 (1989):
727–751.
[17]
Norman Daniels, Just Health: Meeting Health Needs Fairly
(Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 43–47.
4.
Teori Negara Minimal dan Hak Individu (Robert Nozick)
4.1.
Konteks Historis dan
Latar Pemikiran
Robert Nozick (1938–2002),
filsuf politik Amerika, mempublikasikan karyanya yang berpengaruh Anarchy,
State, and Utopia (1974) sebagai respons langsung terhadap A Theory of
Justice karya John Rawls.¹ Nozick mewakili arus libertarianisme,
yang berakar pada tradisi liberal klasik (Locke) tetapi menegaskannya dalam
konteks abad ke-20 dengan menekankan supremasi hak individu terhadap segala
bentuk intervensi negara.²
Bagi Nozick, negara
adil bukanlah negara yang mendistribusikan sumber daya demi kesetaraan
sosial (seperti dalam kerangka Rawls), melainkan negara minimal
yang hanya memiliki fungsi melindungi individu dari kekerasan, pencurian,
penipuan, serta menegakkan kontrak.³ Segala bentuk ekspansi negara ke ranah
redistribusi dianggap melanggar hak dasar warga negara atas diri dan miliknya.⁴
4.2.
Entitlement Theory:
Teori Hak Kepemilikan
Nozick mengembangkan entitlement
theory of justice untuk menilai distribusi sumber daya. Teori ini
berlandaskan tiga prinsip:
1)
Justice in Acquisition
– hak kepemilikan sah apabila diperoleh secara adil (misalnya melalui kerja
atau penguasaan sumber daya tanpa merugikan orang lain).⁵
2)
Justice in Transfer
– hak kepemilikan sah apabila dialihkan secara sukarela melalui kontrak atau
transaksi yang sah.⁶
3)
Rectification of Injustice
– ketidakadilan dalam akuisisi atau transfer harus diperbaiki melalui mekanisme
kompensasi atau restitusi.⁷
Menurut Nozick, jika
distribusi kekayaan lahir dari rangkaian akuisisi dan transfer yang adil, maka
hasil akhirnya juga adil—tidak peduli seberapa timpang hasil tersebut.⁸ Inilah
yang disebut keadilan prosedural-historis, berbeda dengan
keadilan distributif Rawls yang menekankan pola tertentu (patterned
distribution).⁹
4.3.
Kritik terhadap
Redistribusi
Nozick menolak ide Rawls
tentang difference principle yang melegitimasi redistribusi demi
keuntungan pihak yang paling kurang beruntung. Bagi Nozick, pajak
redistributif adalah bentuk kerja paksa karena memaksa individu
menyerahkan hasil kerjanya untuk kepentingan orang lain.¹⁰ Dalam analoginya
yang terkenal, ia menegaskan bahwa redistribusi setara dengan perbudakan
sebagian waktu kerja seseorang demi orang lain.¹¹
Oleh karena itu, negara yang
melampaui fungsi minimalnya dengan melakukan redistribusi dianggap sebagai “night-watchman
state yang korup” karena melanggar hak dasar individu.¹²
4.4.
Negara Minimal sebagai
Kerangka Keadilan
Negara minimal, menurut
Nozick, memiliki legitimasi moral karena menjaga hak-hak negatif individu—yakni
hak untuk tidak diganggu, tidak dipaksa, dan tidak dieksploitasi.¹³ Peran
negara terbatas pada perlindungan hak-hak ini melalui sistem hukum dan
keamanan. Setiap intervensi lebih jauh, seperti penyediaan layanan sosial atau
pengaturan distribusi ekonomi, dianggap inkonstitusional secara moral.¹⁴
Dalam kerangka ini, kebebasan
individu menempati posisi prioritas di atas kesetaraan sosial. Keadilan tidak
lagi dimaknai sebagai “hasil akhir yang merata,” melainkan sebagai “proses
historis yang bebas dari pelanggaran hak.”¹⁵
4.5.
Kritik dan Relevansi
Kontemporer
Teori Nozick mendapat banyak
kritik. Para egalitarian menilai bahwa libertarianisme abai terhadap
ketidakadilan struktural, kemiskinan, dan ketimpangan ekstrem yang lahir dari
mekanisme pasar bebas.¹⁶ Feminist dan teoritisi kritis menilai Nozick terlalu
individualistik, mengabaikan relasi kuasa dan ketergantungan sosial.¹⁷ Namun,
gagasan Nozick tetap relevan sebagai landasan filosofis bagi pandangan politik libertarian,
ekonomi neoliberal, dan gerakan pro-kebebasan pajak di Amerika Serikat maupun
dunia.¹⁸
Lebih jauh, perdebatan
Rawls–Nozick hingga kini menjadi fondasi diskursus filsafat politik
kontemporer: Rawls menekankan keadilan distributif, sementara Nozick
menegaskan keadilan sebagai hak individu yang tak dapat dilanggar.¹⁹
Footnotes
[1]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), ix–x.
[2]
Eric Mack, “Robert Nozick’s Political Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition).
[3]
Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 26–28.
[4]
Ibid., 149–150.
[5]
Ibid., 150–153.
[6]
Ibid., 151–154.
[7]
Ibid., 152–153.
[8]
Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 160–164.
[9]
Peter Vallentyne dan Bas van der Vossen, “Libertarianism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2014, archival).
[10]
Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 169–171.
[11]
Ibid., 169.
[12]
Ibid., 171–174.
[13]
Mack, “Robert Nozick’s Political Philosophy.”
[14]
Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 182–183.
[15]
Ibid., 160–161.
[16]
G.A. Cohen, Self-Ownership, Freedom, and Equality (Cambridge:
Cambridge University Press, 1995), 69–70.
[17]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 23–25.
[18]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 102–105.
[19]
Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian
Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 24–25.
5.
Pendekatan Kapabilitas (Amartya Sen)
5.1.
Latar Belakang dan
Kritik terhadap Teori Rawls
Amartya Sen, ekonom dan
filsuf India peraih Nobel, mengembangkan pendekatan kapabilitas
(capability approach) sebagai respons terhadap keterbatasan teori
keadilan John Rawls. Sen menilai bahwa Rawls terlalu fokus pada primary
goods (kebebasan, hak, pendapatan, dan kekayaan) sebagai basis distribusi,
tanpa mempertimbangkan sejauh mana individu benar-benar dapat menggunakan
sumber daya tersebut untuk menjalani kehidupan yang bermakna.¹ Dengan kata
lain, distribusi barang belum tentu mencerminkan distribusi kebebasan nyata (substantive
freedom).²
Sen juga mengkritik
kecenderungan ideal theory Rawls yang berfokus pada model masyarakat
sempurna. Menurut Sen, filsafat politik seharusnya lebih berorientasi pada perbandingan
keadilan nyata (comparative approach) dan mengurangi
ketidakadilan faktual daripada sekadar merumuskan kondisi ideal yang sulit
dicapai.³
5.2.
Konsep Dasar: Fungsi,
Kapabilitas, dan Kebebasan Substantif
Pendekatan Sen berpusat pada
dua konsep inti:
·
Fungsi
(functionings): hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapai seseorang,
misalnya sehat, berpendidikan, berpartisipasi dalam politik, atau memiliki
pekerjaan bermartabat.⁴
·
Kapabilitas (capabilities):
himpunan alternatif fungsi yang dapat dicapai seseorang—yakni kebebasan nyata
untuk memilih kehidupan yang ia nilai berharga.⁵
Dalam kerangka ini, keadilan
berarti memperluas kebebasan substantif: bukan hanya memiliki
hak formal, melainkan kemampuan nyata untuk merealisasikan kehidupan bernilai.⁶
5.3.
Hubungan dengan
Pembangunan dan Hak Asasi Manusia
Pemikiran Sen berpuncak dalam
karyanya Development as Freedom (1999), di mana ia menegaskan bahwa
pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan, bukan semata pertumbuhan
ekonomi.⁷ Faktor-faktor seperti kesehatan, pendidikan, partisipasi politik, dan
perlindungan sosial dianggap sebagai bagian integral dari keadilan. Sen
menyebut hambatan-hambatan terhadap kebebasan—unfreedoms seperti
kemiskinan, tirani, dan diskriminasi—sebagai bentuk ketidakadilan yang harus
dihapuskan.⁸
Pendekatan ini kemudian
menginspirasi Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI) yang
dikembangkan bersama Mahbub ul Haq di bawah UNDP, menekankan dimensi kesehatan,
pendidikan, dan standar hidup sebagai ukuran keadilan dan pembangunan.⁹
5.4.
Relevansi Normatif dan
Praktis
Keunggulan utama pendekatan
kapabilitas adalah fleksibilitas dan keberpihakan pada pluralitas nilai. Tidak
seperti utilitarianisme yang mengukur kesejahteraan dengan kepuasan subjektif,
atau Rawls yang terikat pada primary goods, Sen menekankan ruang
kebebasan pilihan dan keberagaman preferensi manusia.¹⁰
Namun, pendekatan ini juga
menghadapi kritik. Martha Nussbaum, misalnya, mengembangkan versi yang lebih
normatif dengan daftar “kapabilitas sentral” yang dianggap universal,
sementara Sen menolak daftar kaku demi menjaga keterbukaan demokratis.¹¹ Kritik
lain menyebutkan bahwa pendekatan ini sulit dioperasionalkan karena kapabilitas
bersifat multidimensi dan sulit diukur secara empiris.¹²
5.5.
Signifikansi dalam
Diskursus Keadilan Kontemporer
Pendekatan kapabilitas
memberikan kontribusi penting dalam memperluas cakupan keadilan dari isu
domestik ke ranah global. Ia menekankan pentingnya mengatasi ketidakadilan
multidimensi: tidak hanya kemiskinan material, tetapi juga
diskriminasi gender, keterbatasan akses pendidikan, dan marginalisasi
politik.¹³
Dengan demikian, Sen
memperkaya diskursus filsafat kontemporer dengan menggeser orientasi dari keadilan
sebagai distribusi menuju keadilan sebagai kebebasan nyata.
Paradigma ini relevan dalam menghadapi tantangan keadilan global di abad ke-21,
mulai dari pembangunan berkelanjutan, krisis kesehatan, hingga ketimpangan
digital.¹⁴
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 54–55.
[2]
Amartya Sen, Inequality Reexamined (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1992), 81–82.
[3]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 9–10.
[4]
Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press,
1999), 75–76.
[5]
Ibid., 87.
[6]
Sen, The Idea of Justice, 231–232.
[7]
Sen, Development as Freedom, 3–4.
[8]
Ibid., 36–38.
[9]
Mahbub ul Haq, Reflections on Human Development (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 46–47.
[10]
Ingrid Robeyns, “The Capability Approach,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2016 Edition).
[11]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–34.
[12]
Sabina Alkire, Valuing Freedoms: Sen’s Capability Approach and
Poverty Reduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 123–126.
[13]
Sen, The Idea of Justice, 255–257.
[14]
Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 102–105.
6.
Keadilan Redistribusi dan Rekognisi (Nancy Fraser)
6.1.
Latar Belakang dan
Kritik terhadap Paradigma Distribusi
Nancy Fraser, filsuf feminis
dan teoritisi kritis Amerika, mengajukan kerangka keadilan yang berbeda dari
Rawls, Nozick, dan Sen. Fraser berangkat dari kritik terhadap paradigma
distribusi yang mendominasi filsafat politik kontemporer. Menurutnya,
keadilan tidak cukup dipahami hanya dalam kerangka redistribusi ekonomi,
seperti dalam teori Rawls maupun pendekatan kapabilitas Sen.¹ Paradigma
distribusi sering kali mengabaikan dimensi lain dari ketidakadilan, yaitu ketidakadilan
kultural atau simbolik yang terkait dengan identitas, status sosial,
dan relasi pengakuan.²
6.2.
Dua Dimensi Keadilan:
Redistribusi dan Rekognisi
Fraser mengajukan model dua
dimensi yang meliputi:
1)
Redistribusi –
mengatasi ketidakadilan ekonomi melalui mekanisme struktural seperti kebijakan
fiskal, reformasi pasar tenaga kerja, atau sistem kesejahteraan sosial.³
2)
Rekognisi –
mengatasi ketidakadilan kultural yang lahir dari status inferiorisasi,
stigmatisasi, atau tidak diakuinya identitas kelompok tertentu (misalnya
perempuan, etnis minoritas, atau komunitas LGBTQ+).⁴
Fraser menegaskan bahwa
keadilan sejati menuntut paritas partisipasi (parity of
participation), yaitu kondisi di mana setiap orang memiliki kesempatan
yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial.⁵ Ketidakadilan muncul
baik ketika struktur ekonomi menimbulkan eksklusi maupun ketika pola kultural
merendahkan martabat individu/kelompok.
6.3.
Kritik terhadap
Politik Rekognisi yang Terfragmentasi
Fraser juga mengkritik bentuk
politik rekognisi tertentu, khususnya yang cenderung terjebak pada “identitarianism”
atau politik identitas yang terfragmentasi. Menurutnya, jika rekognisi
dilepaskan dari redistribusi, maka keadilan berisiko direduksi menjadi sekadar
pengakuan simbolik tanpa mengubah struktur material yang menindas.⁶ Ia
mendorong pendekatan integratif, di mana rekognisi dan
redistribusi dipahami sebagai dimensi saling melengkapi, bukan terpisah.⁷
6.4.
Perdebatan dengan Axel
Honneth
Dalam karya bersama Axel
Honneth, Redistribution or Recognition? (2003), Fraser berdebat
mengenai prioritas keadilan. Honneth menekankan rekognisi sebagai basis
keadilan, sementara Fraser menegaskan bahwa ketidakadilan ekonomi dan
kultural harus ditangani secara simultan.⁸ Ia menolak reduksi keadilan
hanya pada satu dimensi, karena masyarakat kontemporer menghadapi “bidang
ganda ketidakadilan”: kemiskinan dan eksklusi sosial di satu sisi,
serta marginalisasi identitas di sisi lain.⁹
6.5.
Relevansi dalam
Konteks Global dan Kontemporer
Pemikiran Fraser relevan
dalam membaca tantangan keadilan di era globalisasi. Pertama, ketidakadilan
ekonomi global memunculkan kesenjangan antara negara maju dan berkembang,
sehingga redistribusi pada tingkat global menjadi isu penting.¹⁰ Kedua,
persoalan rekognisi semakin menonjol dalam masyarakat multikultural, di mana
tuntutan pengakuan identitas gender, etnis, dan agama menjadi krusial bagi
keadilan sosial.¹¹
Lebih jauh, Fraser memperluas
gagasan keadilan ke ranah global dalam Scales of Justice (2008), di
mana ia mengusulkan paradigma keadilan transnasional yang melampaui batas
negara bangsa.¹² Dalam kerangka ini, keadilan tidak bisa hanya dibatasi pada
ruang domestik, tetapi harus dipikirkan dalam tatanan global yang ditandai
interdependensi politik, ekonomi, dan ekologis.
6.6.
Signifikansi dalam
Diskursus Keadilan Kontemporer
Teori Fraser memperkaya
wacana filsafat keadilan dengan menunjukkan bahwa keadilan bersifat
multidimensi. Jika Rawls menekankan distribusi adil, Nozick hak
kepemilikan, dan Sen kapabilitas, maka Fraser menambahkan dimensi rekognisi dan
partisipasi sosial sebagai aspek yang tak kalah fundamental.¹³ Dengan demikian,
kerangka Fraser membantu menjawab problem keadilan yang kompleks di era modern,
terutama yang terkait dengan interseksionalitas antara kelas,
gender, ras, dan identitas kultural.¹⁴
Footnotes
[1]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–12.
[2]
Ibid., 13–14.
[3]
Fraser, Justice Interruptus, 20–22.
[4]
Nancy Fraser, “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice
in a ‘Postsocialist’ Age,” New Left Review 212 (1995): 68–70.
[5]
Fraser, Justice Interruptus, 29.
[6]
Fraser, Justice Interruptus, 11–15.
[7]
Ibid., 29–30.
[8]
Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 15–17.
[9]
Ibid., 22–23.
[10]
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (Cambridge: Polity, 2008), 12–14.
[11]
Fraser, Scales of Justice, 22–23.
[12]
Ibid., 45–47.
[13]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 441–442.
[14]
Fraser, Justice Interruptus, 31–32.
7.
Persamaan, Perbedaan, dan Relasi Pemikiran
7.1.
Persamaan Umum
Meskipun berbeda secara
tajam, keempat pemikir kontemporer ini berbagi titik berangkat yang sama: keadilan
sebagai isu normatif sentral dalam filsafat politik. Bagi Rawls,
Nozick, Sen, maupun Fraser, keadilan adalah tolok ukur utama legitimasi
institusi sosial.¹ Mereka juga sama-sama menolak utilitarianisme klasik,
yang dianggap tidak memadai dalam menjamin martabat individu.²
Selain itu, masing-masing
teori bertujuan menjawab tantangan sosial-politik modern:
Rawls merumuskan fondasi bagi demokrasi liberal egalitarian, Nozick membela
kebebasan individu terhadap negara, Sen memperluas ruang keadilan menuju
pembangunan manusia dan kebebasan substantif, sedangkan Fraser menambahkan
dimensi rekognisi dalam masyarakat multikultural.³ Dengan demikian, keempatnya
berusaha merumuskan peta keadilan yang relevan dengan dunia kontemporer.
7.2.
Perbedaan Paradigmatik
Perbedaan mendasar terletak
pada konsep inti tentang apa yang adil:
·
Rawls
memandang keadilan sebagai fairness yang lahir dari prosedur
kontraktarian imparsial (original position), dengan dua prinsip dasar:
kebebasan setara dan prinsip perbedaan.⁴
·
Nozick
menolak pola distributif Rawls dan menekankan entitlement theory,
di mana keadilan tergantung pada proses akuisisi dan transfer yang sah, bukan
hasil distribusi.⁵
·
Sen
menggeser fokus dari distribusi barang (primary goods) ke kapabilitas
nyata—kebebasan substantif untuk menjalani kehidupan bernilai.⁶
·
Fraser
memperluas cakupan keadilan ke ranah redistribusi dan rekognisi,
dengan tujuan mencapai parity of participation.⁷
Dari perbedaan ini tampak
bahwa Rawls dan Nozick berselisih soal institusi vs hak individu,
sementara Sen dan Fraser memperluas horizon dengan memperhatikan kapabilitas
nyata dan identitas kultural.
7.3.
Relasi dan Dialog
Kritis
Hubungan di antara keempat
pemikir dapat dipahami dalam bentuk dialog kritis:
·
Rawls dan Nozick:
Nozick menanggapi langsung Rawls dengan menolak difference principle
dan redistribusi, sehingga perdebatan keduanya sering dilihat sebagai “liberal-egalitarianism
vs libertarianism.”⁸
·
Rawls dan Sen:
Sen menghargai kontribusi Rawls, tetapi menilai kerangka ideal theory
Rawls kurang berguna untuk mengatasi ketidakadilan nyata.⁹
·
Rawls dan Fraser:
Fraser mengkritik Rawls karena terlalu berorientasi pada distribusi ekonomi,
mengabaikan dimensi rekognisi kultural.¹⁰
·
Nozick dan Fraser:
meskipun berbeda secara ideologis, keduanya sama-sama skeptis terhadap model
distribusi Rawls; Nozick menolak redistribusi demi hak individu, sedangkan
Fraser menolak karena distribusi saja tidak cukup tanpa rekognisi.¹¹
·
Sen dan Fraser:
keduanya sama-sama menekankan multidimensionalitas keadilan. Sen melalui
kebebasan substantif dan pembangunan manusia, Fraser melalui rekognisi
identitas dan keadilan global.¹²
7.4.
Signifikansi
Perbandingan
Perbandingan ini
memperlihatkan bahwa filsafat politik kontemporer tentang keadilan tidak bisa
dipahami secara monolitik. Rawls memberi fondasi normatif, Nozick menghadirkan
kritik libertarian, Sen menawarkan kerangka komparatif untuk mengurangi
ketidakadilan nyata, dan Fraser menambahkan dimensi rekognisi kultural serta
partisipasi.¹³
Relasi ini menunjukkan adanya
ketegangan produktif antara kebebasan dan kesetaraan,
distribusi dan rekognisi, teori ideal dan non-ideal. Tegangan inilah yang
menjadikan diskursus keadilan kontemporer semakin kaya, terbuka, dan relevan
untuk menjawab problematika sosial global abad ke-21.¹⁴
Footnotes
[1]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 4–5.
[2]
John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1999), 22–23.
[3]
Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 101–104.
[4]
Rawls, A Theory of Justice, 52–55.
[5]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 150–154.
[6]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 231–233.
[7]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–12.
[8]
Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian
Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 24–25.
[9]
Sen, The Idea of Justice, 9–10.
[10]
Fraser, Justice Interruptus, 20–21.
[11]
Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 17–18.
[12]
Ingrid Robeyns, “The Capability Approach,” Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2016 Edition).
[13]
Brian Barry, Theories of Justice (Berkeley: University of
California Press, 1989), 12–15.
[14]
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (Cambridge: Polity, 2008), 22–23.
8.
Relevansi Keadilan Kontemporer bagi Dunia Modern
8.1.
Keadilan dan Demokrasi
Teori-teori keadilan
kontemporer memberikan fondasi normatif bagi demokrasi modern. Rawls
dengan justice as fairness menekankan pentingnya kebebasan dasar dan
kesetaraan kesempatan sebagai syarat legitimasi demokrasi konstitusional.¹
Prinsipnya menjadi inspirasi bagi perdebatan mengenai desain institusional,
konstitusi, dan perlindungan hak-hak minoritas di negara demokratis.²
Sementara itu, kritik Nozick
terhadap redistribusi menegaskan tantangan bagi negara demokratis dalam
menyeimbangkan antara perlindungan hak individu dan kebutuhan kolektif.³ Wacana
tentang negara minimal dan kebebasan individu ini relevan dalam konteks
perdebatan mengenai pajak, kebijakan kesejahteraan, serta regulasi pasar di
berbagai negara liberal.⁴
8.2.
Keadilan dan
Pembangunan Global
Amartya Sen
membawa diskursus keadilan ke tingkat global dengan menekankan pembangunan
manusia dan kapabilitas.⁵ Dalam kerangka Development as Freedom,
keadilan dipahami sebagai perluasan kebebasan substantif—akses pendidikan,
kesehatan, dan partisipasi politik—yang menjadi fondasi pembangunan
berkelanjutan.⁶ Konsep ini memengaruhi kebijakan internasional, termasuk Indeks
Pembangunan Manusia (HDI) yang kini menjadi indikator utama dalam
menilai keberhasilan pembangunan negara.⁷
Pendekatan kapabilitas juga
relevan menghadapi tantangan global seperti kemiskinan multidimensi, krisis
iklim, dan ketidakadilan kesehatan. Misalnya, dalam konteks pandemi COVID-19,
keadilan tidak hanya diukur dari distribusi vaksin, tetapi juga kemampuan nyata
masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan, pendidikan daring, dan
perlindungan sosial.⁸
8.3.
Keadilan dan Identitas
Sosial
Nancy Fraser
memperluas cakupan keadilan dengan menekankan dimensi redistribusi dan
rekognisi.⁹ Gagasannya relevan dengan problem kontemporer seperti
diskriminasi gender, rasisme, dan marginalisasi identitas kultural.¹⁰ Politik
rekognisi menjadi isu krusial dalam masyarakat multikultural, sementara
redistribusi tetap penting untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang mengakar.¹¹
Dalam era globalisasi, Fraser
juga menyoroti pentingnya memperluas cakupan keadilan melampaui batas
negara-bangsa menuju keadilan transnasional.¹² Hal ini penting dalam menghadapi
ketidakadilan global seperti perdagangan yang tidak adil, migrasi, dan
perubahan iklim.
8.4.
Relevansi
Interdisipliner
Keempat teori ini tidak hanya
memengaruhi filsafat politik, tetapi juga ekonomi, hukum, dan kebijakan
publik. Rawls berpengaruh dalam teori demokrasi deliberatif, Nozick
dalam filsafat hukum dan ekonomi pasar bebas, Sen dalam ekonomi pembangunan dan
kebijakan internasional, sedangkan Fraser dalam teori feminis dan studi
multikultural.¹³
Dengan demikian, relevansi
keadilan kontemporer tidak terbatas pada ranah akademik, tetapi merambah ke
ranah praktis dalam penyusunan kebijakan publik, perumusan regulasi
internasional, serta gerakan sosial global.¹⁴
8.5.
Kesimpulan Sementara
Dalam dunia modern yang
ditandai oleh ketimpangan ekonomi, krisis ekologi, dan pluralitas
identitas, teori keadilan kontemporer memberikan kerangka konseptual
yang penting. Rawls menekankan keadilan institusional, Nozick membela hak-hak
individu, Sen mengutamakan kebebasan substantif, dan Fraser menambahkan dimensi
rekognisi kultural. Interaksi keempat perspektif ini memperkaya diskursus
keadilan dan menawarkan arah bagi pembangunan masyarakat global yang lebih
adil, inklusif, dan berkelanjutan.¹⁵
Footnotes
[1]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2001), 39–41.
[2]
Joshua Cohen, “Democratic Equality,” Ethics 99, no. 4 (1989):
727–751.
[3]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 169–171.
[4]
Eric Mack, “Robert Nozick’s Political Philosophy,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition).
[5]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 231–233.
[6]
Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University
Press, 1999), 3–4.
[7]
Mahbub ul Haq, Reflections on Human Development (Oxford:
Oxford University Press, 1995), 46–47.
[8]
Sabina Alkire, “The Capability Approach and Well-Being Measurement for
Public Policy,” Oxford Poverty and Human Development Initiative Working
Paper (2015), 10–12.
[9]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
‘Postsocialist’ Condition (New York: Routledge, 1997), 11–15.
[10]
Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 17–18.
[11]
Fraser, Justice Interruptus, 20–23.
[12]
Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a
Globalizing World (Cambridge: Polity, 2008), 12–14.
[13]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 441–442.
[14]
Brian Barry, Theories of Justice (Berkeley: University of
California Press, 1989), 12–15.
[15]
Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 104–107.
9.
Penutup
Kajian mengenai keadilan
dalam filsafat kontemporer melalui pemikiran John Rawls, Robert
Nozick, Amartya Sen, dan Nancy Fraser memperlihatkan bahwa tidak ada satu
paradigma tunggal yang mampu menjawab seluruh problem keadilan modern.
Masing-masing pemikir menawarkan kerangka yang berakar pada tradisi filosofis
tertentu, tetapi sekaligus menanggapi tantangan sosial-politik pada masanya.
John Rawls
dengan justice as fairness menekankan keadilan institusional yang
memastikan kebebasan dasar dan pemerataan kesempatan dalam kerangka demokrasi
konstitusional.¹ Sebagai kritik, Robert Nozick menegaskan
keadilan historis-prosedural yang berpijak pada hak kepemilikan dan menolak
redistribusi paksa, sehingga memunculkan perdebatan mendasar mengenai batas
negara dan kebebasan individu.² Sementara itu, Amartya Sen
memperluas horizon keadilan dengan pendekatan kapabilitas yang menilai bukan
hanya distribusi barang, tetapi juga kebebasan substantif yang memungkinkan
individu menjalani kehidupan bernilai.³ Nancy Fraser
menambahkan dimensi rekognisi, yang menyoroti pentingnya pengakuan identitas
kultural dan sosial di samping redistribusi ekonomi, sehingga keadilan dipahami
secara multidimensi.⁴
Dari keempat perspektif
tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa keadilan dalam filsafat kontemporer
selalu berada dalam ketegangan antara hak dan hasil, kebebasan dan
kesetaraan, distribusi dan rekognisi, ideal dan non-ideal theory.⁵
Perbedaan-perbedaan itu bukan sekadar kontradiksi, melainkan juga dialog
kritis yang memperkaya diskursus filsafat politik. Rawls dan Nozick
memperdebatkan batas kebebasan individu dan legitimasi distribusi; Sen dan
Fraser memperluas cakupan keadilan dengan menekankan dimensi kapabilitas,
identitas, dan partisipasi.⁶
Relevansi keempat teori dalam
dunia modern terletak pada kemampuannya memberikan kerangka normatif sekaligus
praktis untuk menghadapi persoalan global: ketimpangan ekonomi, kemiskinan
multidimensi, krisis iklim, diskriminasi identitas, hingga tantangan
kosmopolitanisme.⁷ Dengan demikian, studi tentang keadilan kontemporer tidak
hanya bersifat akademis, melainkan juga berkontribusi pada desain kebijakan
publik, pembangunan berkelanjutan, dan gerakan sosial.
Akhirnya, kajian ini
menunjukkan bahwa keadilan kontemporer harus dipahami sebagai konsep
plural, interdisipliner, dan dinamis. Ia menuntut sintesis antara distribusi
yang adil, penghormatan terhadap hak individu, perluasan kebebasan substantif,
serta pengakuan terhadap identitas kultural.⁸ Hanya dengan demikian, teori
keadilan dapat menjawab tantangan dunia modern yang semakin kompleks dan
memastikan terciptanya masyarakat yang lebih inklusif, setara, dan beradab.
Footnotes
[1]
John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2001), 39–41.
[2]
Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic
Books, 1974), 149–171.
[3]
Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2009), 231–233.
[4]
Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the
“Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–15.
[5]
Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction,
2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 441–443.
[6]
Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian
Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 24–25.
[7]
Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 102–107.
[8]
Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A
Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 17–18.
Daftar Pustaka
Alkire, S. (2005). Valuing
freedoms: Sen’s capability approach and poverty reduction. Oxford
University Press.
Alkire, S. (2015). The
capability approach and well-being measurement for public policy. Oxford
Poverty and Human Development Initiative Working Paper, 94, 1–39.
Barry, B. (1973). The
liberal theory of justice: A critical examination of the principal doctrines in
A theory of justice by John Rawls. Clarendon Press.
Barry, B. (1989). Theories
of justice. University of California Press.
Brock, G. (2009). Global
justice: A cosmopolitan account. Oxford University Press.
Cohen, G. A. (1995). Self-ownership,
freedom, and equality. Cambridge University Press.
Cohen, J. (1989).
Democratic equality. Ethics, 99(4), 727–751.
Daniels, N. (2008). Just
health: Meeting health needs fairly. Cambridge University Press.
Fraser, N. (1995). From
redistribution to recognition? Dilemmas of justice in a “postsocialist” age. New
Left Review, 212, 68–93.
Fraser, N. (1997). Justice
interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.
Fraser, N. (2008). Scales
of justice: Reimagining political space in a globalizing world. Polity
Press.
Fraser, N., & Honneth,
A. (2003). Redistribution or recognition? A political–philosophical
exchange. Verso.
Freeman, S. (2007). Justice
and the social contract: Essays on Rawlsian political philosophy. Oxford
University Press.
Haq, M. ul. (1995). Reflections
on human development. Oxford University Press.
Kymlicka, W. (2002). Contemporary
political philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.
Mack, E. (2018). Robert
Nozick’s political philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford
encyclopedia of philosophy (Fall 2018 Edition). Metaphysics Research Lab,
Stanford University.
Nagel, T. (1973). Rawls on
justice. The Philosophical Review, 82(2), 220–234.
Nozick, R. (1974). Anarchy,
state, and utopia. Basic Books.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating
capabilities: The human development approach. Harvard University Press.
Pogge, T. (2002). World
poverty and human rights. Polity Press.
Rawls, J. (1999). A
theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.
Rawls, J. (2001). Justice
as fairness: A restatement. Harvard University Press.
Robeyns, I. (2016). The
capability approach. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of
philosophy (Fall 2016 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford
University.
Sen, A. (1992). Inequality
reexamined. Harvard University Press.
Sen, A. (1999). Development
as freedom. Oxford University Press.
Sen, A. (2009). The
idea of justice. Harvard University Press.
Wenar, L. (2017). John
Rawls. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Fall 2017 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar