Jumat, 03 Oktober 2025

Keadilan dalam Filsafat Kontemporer

Keadilan dalam Filsafat Kontemporer

Analisis Pemikiran John Rawls, Robert Nozick, Amartya Sen, dan Nancy Fraser


Alihkan ke: Konsep Keadilan.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep keadilan dalam filsafat kontemporer melalui analisis pemikiran John Rawls, Robert Nozick, Amartya Sen, dan Nancy Fraser. Kajian dimulai dengan pemaparan konteks historis filsafat politik abad ke-20 yang ditandai pergeseran dari paradigma utilitarianisme menuju pendekatan normatif yang lebih kompleks. Rawls dengan justice as fairness menawarkan prinsip kebebasan dasar dan difference principle; Nozick menekankan hak kepemilikan serta legitimasi negara minimal melalui entitlement theory; Sen mengajukan pendekatan kapabilitas yang menilai keadilan berdasarkan kebebasan substantif untuk menjalani kehidupan bernilai; sedangkan Fraser memperluas cakupan keadilan dengan menambahkan dimensi redistribusi dan rekognisi demi parity of participation.

Artikel ini menunjukkan adanya persamaan, perbedaan, dan relasi kritis di antara keempat pemikiran tersebut. Persamaannya terletak pada penolakan terhadap utilitarianisme dan perhatian terhadap martabat individu; sementara perbedaannya meliputi fokus pada institusi, hak individu, kebebasan substantif, maupun identitas kultural. Relevansi teoritis dan praktis dari keempat perspektif ini tercermin dalam tantangan modern seperti demokrasi konstitusional, pembangunan berkelanjutan, ketimpangan global, diskriminasi identitas, dan kosmopolitanisme. Dengan demikian, artikel ini menyimpulkan bahwa keadilan kontemporer bersifat multidimensi dan dinamis, menuntut sintesis antara distribusi, kebebasan, hak individu, serta pengakuan identitas untuk menghadapi kompleksitas dunia modern.

Kata Kunci: Keadilan; Filsafat Kontemporer; John Rawls; Robert Nozick; Amartya Sen; Nancy Fraser; Kapabilitas; Redistribusi; Rekognisi; Demokrasi.


PEMBAHASAN

Konsep Keadilan dalam Filsafat Kontemporer


1.           Pendahuluan

Keadilan dalam filsafat politik kontemporer dipahami bukan sekadar sebagai kebajikan individual, melainkan kriteria normatif bagi tatanan kelembagaan—“the first virtue of social institutions”—yang menilai bagaimana beban dan manfaat sosial-ekonomi didistribusikan, serta bagaimana warga diperlakukan sebagai setara di ruang publik.¹ Di tengah globalisasi, ketimpangan, dan politik identitas, diskursus keadilan meluas dari perdebatan domestik tentang distribusi menuju isu lintas-negara serta pengakuan martabat kelompok yang termarginalkan.² Di sini, empat arus teoretis menonjol: liberal-egalitarian (Rawls), libertarian (Nozick), kapabilitas (Sen), dan redistribusi–rekognisi (Fraser). Kerangka ini memungkinkan peta dialog yang saling mengkritik namun juga saling melengkapi atas “apa yang adil” bagi individu dan institusi.³

Pertama, John Rawls memformulasikan justice as fairness: prinsip kebebasan dasar yang setara dan prinsip perbedaan (difference principle) yang mewajibkan ketimpangan hanya dapat dibenarkan bila menguntungkan pihak paling kurang beruntung. Rawls menurunkan prinsip ini dari posisi asali (original position) di balik selubung ketidaktahuan (veil of ignorance), sebuah prosedur kontraktarian yang merancang keadilan secara imparsial.⁴ Dengan demikian, keadilan diartikulasikan sebagai keluaran dari prosedur pilihan yang fair, bukan akumulasi utilitas.⁵

Kedua, Robert Nozick mengajukan kritik libertarian: keadilan atas kepemilikan bersifat historis-prosedural—bertumpu pada perolehan yang sah dan alih yang sah—bukan pada pola distribusi hasil akhir. Redistribusi yang melampaui negara minimal dipandang melanggar hak individu (misalnya lewat pajak yang memaksa), sehingga “keadilan” berarti melindungi batas moral terhadap paksaan demi skema pemerataan.⁶ Dengan demikian, perselisihan Rawls–Nozick menyentuh jantung perbedaan antara keadilan sebagai struktur institusi yang adil dan keadilan sebagai hak-hak negatif yang tak boleh dilanggar.⁷

Ketiga, Amartya Sen mengalihkan fokus dari “berapa banyak barang” yang dimiliki ke apa yang sungguh-sungguh dapat dilakukan/menjadi oleh seseorang—kapabilitas. Bagi Sen, keadilan menuntut perluasan kebebasan substantif dan evaluasi komparatif atas ketidakadilan aktual, bukan hanya rancangan “masyarakat sempurna” dalam ideal-teori.⁸ Pendekatan ini memadukan etika, ekonomi kesejahteraan, dan hak asasi sebagai kebebasan—mengarahkan kebijakan kepada penghapusan unfreedoms yang menghalangi kehidupan bernilai.⁹

Keempat, Nancy Fraser menegaskan bahwa keadilan kontemporer menuntut redistribusi (mengatasi ketimpangan ekonomi) sekaligus rekognisi (mengatasi ketidakadilan kultural/relasional), agar tercapai paritas partisipasi dalam kehidupan sosial.¹⁰ Ia mengkritik paradigma distribusi murni yang menutup mata pada dimensi identitas, sekaligus memperingatkan politik rekognisi yang mengabaikan struktur ekonomi—menawarkan model dua dimensi yang sangat berpengaruh dalam teori kritis feminis dan keadilan global.¹¹

Artikel ini bertujuan: (1) memetakan asumsi normatif, perangkat analitis, dan tuntutan kebijakan dari empat arus tersebut; (2) menilai persamaan, perbedaan, dan relasi di antara mereka; serta (3) merumuskan implikasi konseptual dan praktis bagi tata kelola demokratis, kebijakan sosial-ekonomi, dan pengakuan martabat di masyarakat majemuk. Untuk itu, kajian akan menggunakan pembacaan tekstual atas karya primer serta literatur ensiklopedis yang mapan guna menimbang daya jelaskan masing-masing teori terhadap problem keadilan mutakhir (ketimpangan, kemiskinan multidimensi, diskriminasi, dan keadilan global).¹²


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3. (giuseppecapograssi.files)

[2]                Gillian Brock, “Global Justice,” in Stanford Encyclopedia of Philosophy (2015). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[3]                “Justice,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2017/update 2023); serta Julian Lamont, “Distributive Justice,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (1996/archival). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[4]                Samuel Freeman, “Original Position,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008); lihat juga John Rawls, A Theory of Justice (Harvard University Press, 1999). (Stanford Encyclopedia of Philosophy, Harvard University Press)

[5]                Leif Wenar, “John Rawls,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[6]                Eric Mack, “Robert Nozick’s Political Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2014); Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974/edisi repr. 2013). (Stanford Encyclopedia of Philosophy, Hachette Book Group)

[7]                Peter Vallentyne dan Bas van der Vossen, “Libertarianism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2014/archival). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

[8]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), pengantar. (Dutra Economicus)

[9]                Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999). (Oxford University Press)

[10]             Nancy Fraser, “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice in a ‘Post-Socialist’ Age,” New Left Review 212 (1995). (New Left Review)

[11]             Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003/2004). (Verso)

[12]          Julian Lamont, “Distributive Justice,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (1996/edisi revisi). (Stanford Encyclopedia of Philosophy)


2.           Konsep Keadilan dalam Filsafat Kontemporer

Diskursus keadilan dalam filsafat kontemporer menandai sebuah pergeseran signifikan dari paradigma klasik dan modern yang menitikberatkan pada harmoni kosmik (Plato dan Aristoteles) atau kontrak sosial normatif (Hobbes, Locke, Rousseau) menuju pendekatan yang lebih kompleks, plural, dan responsif terhadap realitas sosial abad ke-20.¹ Keadilan tidak lagi dipandang sekadar sebagai “kebajikan utama” dalam diri individu atau ideal metafisik yang abstrak, melainkan sebagai kerangka normatif untuk menilai institusi politik, ekonomi, dan sosial dalam konteks masyarakat modern yang pluralistik.²

2.1.       Latar Sejarah dan Peralihan

Konteks abad ke-20 ditandai oleh ketegangan ideologis Perang Dingin, pertumbuhan kapitalisme global, serta munculnya isu-isu baru seperti hak asasi manusia, feminisme, multikulturalisme, dan keadilan global.³ Dalam iklim intelektual ini, filsafat politik berupaya merumuskan kembali keadilan sebagai sarana menjawab masalah distribusi, kebebasan, dan pengakuan identitas. Teori keadilan kontemporer lahir sebagai respons terhadap keterbatasan utilitarianisme klasik, yang dianggap gagal memberikan jaminan hak-hak individu dan tidak sensitif terhadap struktur institusi.⁴

2.2.       Karakteristik Keadilan Kontemporer

Keadilan dalam kerangka kontemporer memiliki beberapa ciri utama. Pertama, ia plural dan multidimensional: tidak cukup hanya menyoal distribusi ekonomi, tetapi juga mencakup pengakuan budaya, partisipasi politik, serta kebebasan substantif.⁵ Kedua, diskursus keadilan kontemporer memperkenalkan perbedaan antara teori ideal (mendeskripsikan kondisi masyarakat yang sepenuhnya adil) dan teori non-ideal (berfokus pada pengurangan ketidakadilan nyata).⁶ Ketiga, keadilan dipahami dalam ranah domestik sekaligus global, mencerminkan meningkatnya interdependensi antarbangsa dan tantangan kosmopolitanisme.⁷

2.3.       Peta Aliran Pemikiran

Empat tokoh utama yang menjadi sorotan dalam filsafat keadilan kontemporer masing-masing menawarkan kontribusi khas:

·                     John Rawls: mengusung justice as fairness sebagai upaya merekonsiliasi kebebasan individu dengan kesetaraan sosial, dengan menekankan prosedur kontraktarian yang imparsial.⁸

·                     Robert Nozick: menolak prinsip distributif Rawls dan menekankan keadilan prosedural melalui hak kepemilikan yang sah serta peran negara minimal.⁹

·                     Amartya Sen: mengkritik keterbatasan Rawlsian dengan menggeser fokus dari distribusi barang ke kapabilitas nyata individu untuk menjalani kehidupan bernilai.¹⁰

·                     Nancy Fraser: mengembangkan model dua dimensi yang menuntut redistribusi ekonomi dan rekognisi identitas sebagai syarat partisipasi setara dalam masyarakat.¹¹

2.4.       Relevansi Teoritis dan Praktis

Dengan perbedaan paradigma tersebut, filsafat keadilan kontemporer memperlihatkan lanskap yang lebih dinamis dibandingkan periode sebelumnya. Rawls dan Nozick mewakili perdebatan mendasar antara egalitarianisme liberal dan libertarianisme, sedangkan Sen dan Fraser memperluas horizon diskursus ke arah keadilan global, pembangunan manusia, gender, dan multikulturalisme.¹² Kajian atas empat tokoh ini bukan hanya memberikan dasar teoritis, tetapi juga menawarkan orientasi praktis bagi kebijakan publik, desain institusional, dan perjuangan sosial dalam masyarakat plural abad ke-21.¹³


Footnotes

[1]                Brian Barry, Theories of Justice (Berkeley: University of California Press, 1989), 3–10.

[2]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 1.

[3]                Gillian Brock, “Global Justice,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2015 Edition).

[4]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 53–56.

[5]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–12.

[6]                Charles Mills, “Ideal Theory as Ideology,” Hypatia 20, no. 3 (2005): 165–184.

[7]                Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity, 2002), 12–20.

[8]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–55.

[9]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 149–182.

[10]             Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 73–74.

[11]             Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 12–15.

[12]             Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 25–30.

[13]             Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 4–10.


3.           Teori Keadilan sebagai Fairness (John Rawls)

3.1.       Latar Belakang Historis

Teori keadilan John Rawls muncul dalam konteks akademik pasca-Perang Dunia II ketika utilitarianisme mendominasi filsafat moral dan politik Anglo-Amerika. Rawls menilai utilitarianisme gagal menghormati prinsip dasar hak-hak individu karena mengorbankan kepentingan sebagian orang demi agregasi kebahagiaan mayoritas.¹ Oleh sebab itu, ia menawarkan alternatif berbasis kontrak sosial yang berakar pada tradisi Locke, Rousseau, dan Kant, namun diperbarui untuk menjawab kebutuhan masyarakat demokratis modern.²

3.2.       Konsep Dasar: Justice as Fairness

Rawls memperkenalkan gagasan justice as fairness dalam karyanya monumental A Theory of Justice (1971).³ Baginya, keadilan adalah kebajikan utama institusi sosial: tata aturan harus dipandang adil agar otoritasnya sah.⁴ Justice as fairness berarti bahwa prinsip-prinsip keadilan dirumuskan dalam suatu kondisi prosedural yang fair—yakni melalui original position (posisi asali) di balik veil of ignorance (selubung ketidaktahuan).⁵

Dalam original position, para individu membayangkan diri mereka merancang prinsip dasar masyarakat tanpa mengetahui posisi sosial, kemampuan, atau preferensi mereka di dunia nyata. Dengan cara ini, keputusan dipastikan imparsial dan tidak bias terhadap kepentingan kelompok tertentu.⁶

3.3.       Prinsip-Prinsip Keadilan Rawls

Dari prosedur ini, Rawls menurunkan dua prinsip keadilan fundamental:

1)                  Prinsip Kebebasan: setiap orang memiliki hak yang sama atas seperangkat kebebasan dasar (seperti kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan hak politik) yang kompatibel dengan kebebasan serupa bagi orang lain.⁷

2)                  Prinsip Perbedaan (Difference Principle): ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya sah apabila memberikan keuntungan terbesar bagi pihak yang paling kurang beruntung, serta terikat pada prinsip kesempatan yang adil secara merata.⁸

Rawls menekankan bahwa prinsip pertama memiliki prioritas leksikal atas prinsip kedua, sehingga kebebasan dasar tidak boleh dikompromikan demi keuntungan ekonomi.⁹

3.4.       Keadilan sebagai Alternatif terhadap Utilitarianisme

Dengan menekankan keadilan sebagai fairness, Rawls menolak model utilitarian yang berorientasi pada maksimisasi kebahagiaan kolektif. Menurutnya, utilitarianisme gagal menghormati integritas individu, karena membolehkan pengorbanan hak minoritas demi manfaat mayoritas.¹⁰ Sebaliknya, Rawls menawarkan kerangka deontologis, di mana prinsip moral tidak tunduk pada kalkulasi konsekuensialis, melainkan harus menjunjung martabat setiap orang.¹¹

3.5.       Kritik dan Perkembangan

Teori Rawls menuai banyak apresiasi sekaligus kritik. Para pendukung menilai teorinya merevitalisasi filsafat politik normatif dan menyediakan dasar filosofis bagi demokrasi liberal.¹² Namun, kritik datang dari berbagai arah: libertarian seperti Robert Nozick menilai prinsip redistributif Rawls melanggar hak kepemilikan individu;¹³ feminis dan teoritisi kritis (misalnya Nancy Fraser) menilai Rawls terlalu fokus pada distribusi ekonomi dan kurang memperhatikan dimensi pengakuan kultural;¹⁴ sedangkan Amartya Sen berargumen bahwa Rawls terlalu berorientasi pada ideal theory dan kurang memperhatikan ketidakadilan nyata.¹⁵

3.6.       Relevansi Kontemporer

Meski menghadapi kritik, teori Rawls tetap menjadi rujukan utama dalam filsafat politik kontemporer. Gagasannya tentang fairness, kebebasan dasar, dan prioritas moral terhadap institusi memengaruhi desain konstitusi, kebijakan publik, dan teori demokrasi deliberatif.¹⁶ Selain itu, konsep veil of ignorance banyak digunakan dalam debat etika terapan, mulai dari kebijakan redistribusi, keadilan pendidikan, hingga alokasi sumber daya kesehatan.¹⁷


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 22–25.

[2]                Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 12–15.

[3]                John Rawls, A Theory of Justice (1971; repr., Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 3.

[4]                Ibid., 3.

[5]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 15–18.

[6]                Thomas Nagel, “Rawls on Justice,” The Philosophical Review 82, no. 2 (1973): 220–226.

[7]                Rawls, A Theory of Justice, 53–54.

[8]                Ibid., 65–73.

[9]                Ibid., 302–303.

[10]             Leif Wenar, “John Rawls,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2008/ed. rev. 2017).

[11]             Brian Barry, The Liberal Theory of Justice: A Critical Examination of the Principal Doctrines in A Theory of Justice by John Rawls (Oxford: Clarendon Press, 1973), 25–30.

[12]             Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 53–55.

[13]             Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 183–189.

[14]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–12.

[15]             Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 8–9.

[16]             Joshua Cohen, “Democratic Equality,” Ethics 99, no. 4 (1989): 727–751.

[17]             Norman Daniels, Just Health: Meeting Health Needs Fairly (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 43–47.


4.           Teori Negara Minimal dan Hak Individu (Robert Nozick)

4.1.       Konteks Historis dan Latar Pemikiran

Robert Nozick (1938–2002), filsuf politik Amerika, mempublikasikan karyanya yang berpengaruh Anarchy, State, and Utopia (1974) sebagai respons langsung terhadap A Theory of Justice karya John Rawls.¹ Nozick mewakili arus libertarianisme, yang berakar pada tradisi liberal klasik (Locke) tetapi menegaskannya dalam konteks abad ke-20 dengan menekankan supremasi hak individu terhadap segala bentuk intervensi negara.²

Bagi Nozick, negara adil bukanlah negara yang mendistribusikan sumber daya demi kesetaraan sosial (seperti dalam kerangka Rawls), melainkan negara minimal yang hanya memiliki fungsi melindungi individu dari kekerasan, pencurian, penipuan, serta menegakkan kontrak.³ Segala bentuk ekspansi negara ke ranah redistribusi dianggap melanggar hak dasar warga negara atas diri dan miliknya.⁴

4.2.       Entitlement Theory: Teori Hak Kepemilikan

Nozick mengembangkan entitlement theory of justice untuk menilai distribusi sumber daya. Teori ini berlandaskan tiga prinsip:

1)                  Justice in Acquisition – hak kepemilikan sah apabila diperoleh secara adil (misalnya melalui kerja atau penguasaan sumber daya tanpa merugikan orang lain).⁵

2)                  Justice in Transfer – hak kepemilikan sah apabila dialihkan secara sukarela melalui kontrak atau transaksi yang sah.⁶

3)                  Rectification of Injustice – ketidakadilan dalam akuisisi atau transfer harus diperbaiki melalui mekanisme kompensasi atau restitusi.⁷

Menurut Nozick, jika distribusi kekayaan lahir dari rangkaian akuisisi dan transfer yang adil, maka hasil akhirnya juga adil—tidak peduli seberapa timpang hasil tersebut.⁸ Inilah yang disebut keadilan prosedural-historis, berbeda dengan keadilan distributif Rawls yang menekankan pola tertentu (patterned distribution).⁹

4.3.       Kritik terhadap Redistribusi

Nozick menolak ide Rawls tentang difference principle yang melegitimasi redistribusi demi keuntungan pihak yang paling kurang beruntung. Bagi Nozick, pajak redistributif adalah bentuk kerja paksa karena memaksa individu menyerahkan hasil kerjanya untuk kepentingan orang lain.¹⁰ Dalam analoginya yang terkenal, ia menegaskan bahwa redistribusi setara dengan perbudakan sebagian waktu kerja seseorang demi orang lain.¹¹

Oleh karena itu, negara yang melampaui fungsi minimalnya dengan melakukan redistribusi dianggap sebagai “night-watchman state yang korup” karena melanggar hak dasar individu.¹²

4.4.       Negara Minimal sebagai Kerangka Keadilan

Negara minimal, menurut Nozick, memiliki legitimasi moral karena menjaga hak-hak negatif individu—yakni hak untuk tidak diganggu, tidak dipaksa, dan tidak dieksploitasi.¹³ Peran negara terbatas pada perlindungan hak-hak ini melalui sistem hukum dan keamanan. Setiap intervensi lebih jauh, seperti penyediaan layanan sosial atau pengaturan distribusi ekonomi, dianggap inkonstitusional secara moral.¹⁴

Dalam kerangka ini, kebebasan individu menempati posisi prioritas di atas kesetaraan sosial. Keadilan tidak lagi dimaknai sebagai “hasil akhir yang merata,” melainkan sebagai “proses historis yang bebas dari pelanggaran hak.”¹⁵

4.5.       Kritik dan Relevansi Kontemporer

Teori Nozick mendapat banyak kritik. Para egalitarian menilai bahwa libertarianisme abai terhadap ketidakadilan struktural, kemiskinan, dan ketimpangan ekstrem yang lahir dari mekanisme pasar bebas.¹⁶ Feminist dan teoritisi kritis menilai Nozick terlalu individualistik, mengabaikan relasi kuasa dan ketergantungan sosial.¹⁷ Namun, gagasan Nozick tetap relevan sebagai landasan filosofis bagi pandangan politik libertarian, ekonomi neoliberal, dan gerakan pro-kebebasan pajak di Amerika Serikat maupun dunia.¹⁸

Lebih jauh, perdebatan Rawls–Nozick hingga kini menjadi fondasi diskursus filsafat politik kontemporer: Rawls menekankan keadilan distributif, sementara Nozick menegaskan keadilan sebagai hak individu yang tak dapat dilanggar.¹⁹


Footnotes

[1]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), ix–x.

[2]                Eric Mack, “Robert Nozick’s Political Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition).

[3]                Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 26–28.

[4]                Ibid., 149–150.

[5]                Ibid., 150–153.

[6]                Ibid., 151–154.

[7]                Ibid., 152–153.

[8]                Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 160–164.

[9]                Peter Vallentyne dan Bas van der Vossen, “Libertarianism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2014, archival).

[10]             Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 169–171.

[11]             Ibid., 169.

[12]             Ibid., 171–174.

[13]             Mack, “Robert Nozick’s Political Philosophy.”

[14]             Nozick, Anarchy, State, and Utopia, 182–183.

[15]             Ibid., 160–161.

[16]             G.A. Cohen, Self-Ownership, Freedom, and Equality (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 69–70.

[17]             Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 23–25.

[18]             Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 102–105.

[19]             Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 24–25.


5.           Pendekatan Kapabilitas (Amartya Sen)

5.1.       Latar Belakang dan Kritik terhadap Teori Rawls

Amartya Sen, ekonom dan filsuf India peraih Nobel, mengembangkan pendekatan kapabilitas (capability approach) sebagai respons terhadap keterbatasan teori keadilan John Rawls. Sen menilai bahwa Rawls terlalu fokus pada primary goods (kebebasan, hak, pendapatan, dan kekayaan) sebagai basis distribusi, tanpa mempertimbangkan sejauh mana individu benar-benar dapat menggunakan sumber daya tersebut untuk menjalani kehidupan yang bermakna.¹ Dengan kata lain, distribusi barang belum tentu mencerminkan distribusi kebebasan nyata (substantive freedom).²

Sen juga mengkritik kecenderungan ideal theory Rawls yang berfokus pada model masyarakat sempurna. Menurut Sen, filsafat politik seharusnya lebih berorientasi pada perbandingan keadilan nyata (comparative approach) dan mengurangi ketidakadilan faktual daripada sekadar merumuskan kondisi ideal yang sulit dicapai.³

5.2.       Konsep Dasar: Fungsi, Kapabilitas, dan Kebebasan Substantif

Pendekatan Sen berpusat pada dua konsep inti:

·                     Fungsi (functionings): hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapai seseorang, misalnya sehat, berpendidikan, berpartisipasi dalam politik, atau memiliki pekerjaan bermartabat.⁴

·                     Kapabilitas (capabilities): himpunan alternatif fungsi yang dapat dicapai seseorang—yakni kebebasan nyata untuk memilih kehidupan yang ia nilai berharga.⁵

Dalam kerangka ini, keadilan berarti memperluas kebebasan substantif: bukan hanya memiliki hak formal, melainkan kemampuan nyata untuk merealisasikan kehidupan bernilai.⁶

5.3.       Hubungan dengan Pembangunan dan Hak Asasi Manusia

Pemikiran Sen berpuncak dalam karyanya Development as Freedom (1999), di mana ia menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan, bukan semata pertumbuhan ekonomi.⁷ Faktor-faktor seperti kesehatan, pendidikan, partisipasi politik, dan perlindungan sosial dianggap sebagai bagian integral dari keadilan. Sen menyebut hambatan-hambatan terhadap kebebasan—unfreedoms seperti kemiskinan, tirani, dan diskriminasi—sebagai bentuk ketidakadilan yang harus dihapuskan.⁸

Pendekatan ini kemudian menginspirasi Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI) yang dikembangkan bersama Mahbub ul Haq di bawah UNDP, menekankan dimensi kesehatan, pendidikan, dan standar hidup sebagai ukuran keadilan dan pembangunan.⁹

5.4.       Relevansi Normatif dan Praktis

Keunggulan utama pendekatan kapabilitas adalah fleksibilitas dan keberpihakan pada pluralitas nilai. Tidak seperti utilitarianisme yang mengukur kesejahteraan dengan kepuasan subjektif, atau Rawls yang terikat pada primary goods, Sen menekankan ruang kebebasan pilihan dan keberagaman preferensi manusia.¹⁰

Namun, pendekatan ini juga menghadapi kritik. Martha Nussbaum, misalnya, mengembangkan versi yang lebih normatif dengan daftar “kapabilitas sentral” yang dianggap universal, sementara Sen menolak daftar kaku demi menjaga keterbukaan demokratis.¹¹ Kritik lain menyebutkan bahwa pendekatan ini sulit dioperasionalkan karena kapabilitas bersifat multidimensi dan sulit diukur secara empiris.¹²

5.5.       Signifikansi dalam Diskursus Keadilan Kontemporer

Pendekatan kapabilitas memberikan kontribusi penting dalam memperluas cakupan keadilan dari isu domestik ke ranah global. Ia menekankan pentingnya mengatasi ketidakadilan multidimensi: tidak hanya kemiskinan material, tetapi juga diskriminasi gender, keterbatasan akses pendidikan, dan marginalisasi politik.¹³

Dengan demikian, Sen memperkaya diskursus filsafat kontemporer dengan menggeser orientasi dari keadilan sebagai distribusi menuju keadilan sebagai kebebasan nyata. Paradigma ini relevan dalam menghadapi tantangan keadilan global di abad ke-21, mulai dari pembangunan berkelanjutan, krisis kesehatan, hingga ketimpangan digital.¹⁴


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 54–55.

[2]                Amartya Sen, Inequality Reexamined (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1992), 81–82.

[3]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 9–10.

[4]                Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 75–76.

[5]                Ibid., 87.

[6]                Sen, The Idea of Justice, 231–232.

[7]                Sen, Development as Freedom, 3–4.

[8]                Ibid., 36–38.

[9]                Mahbub ul Haq, Reflections on Human Development (Oxford: Oxford University Press, 1995), 46–47.

[10]             Ingrid Robeyns, “The Capability Approach,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2016 Edition).

[11]             Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–34.

[12]             Sabina Alkire, Valuing Freedoms: Sen’s Capability Approach and Poverty Reduction (Oxford: Oxford University Press, 2005), 123–126.

[13]             Sen, The Idea of Justice, 255–257.

[14]             Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford: Oxford University Press, 2009), 102–105.


6.           Keadilan Redistribusi dan Rekognisi (Nancy Fraser)

6.1.       Latar Belakang dan Kritik terhadap Paradigma Distribusi

Nancy Fraser, filsuf feminis dan teoritisi kritis Amerika, mengajukan kerangka keadilan yang berbeda dari Rawls, Nozick, dan Sen. Fraser berangkat dari kritik terhadap paradigma distribusi yang mendominasi filsafat politik kontemporer. Menurutnya, keadilan tidak cukup dipahami hanya dalam kerangka redistribusi ekonomi, seperti dalam teori Rawls maupun pendekatan kapabilitas Sen.¹ Paradigma distribusi sering kali mengabaikan dimensi lain dari ketidakadilan, yaitu ketidakadilan kultural atau simbolik yang terkait dengan identitas, status sosial, dan relasi pengakuan.²

6.2.       Dua Dimensi Keadilan: Redistribusi dan Rekognisi

Fraser mengajukan model dua dimensi yang meliputi:

1)                  Redistribusi – mengatasi ketidakadilan ekonomi melalui mekanisme struktural seperti kebijakan fiskal, reformasi pasar tenaga kerja, atau sistem kesejahteraan sosial.³

2)                  Rekognisi – mengatasi ketidakadilan kultural yang lahir dari status inferiorisasi, stigmatisasi, atau tidak diakuinya identitas kelompok tertentu (misalnya perempuan, etnis minoritas, atau komunitas LGBTQ+).⁴

Fraser menegaskan bahwa keadilan sejati menuntut paritas partisipasi (parity of participation), yaitu kondisi di mana setiap orang memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial.⁵ Ketidakadilan muncul baik ketika struktur ekonomi menimbulkan eksklusi maupun ketika pola kultural merendahkan martabat individu/kelompok.

6.3.       Kritik terhadap Politik Rekognisi yang Terfragmentasi

Fraser juga mengkritik bentuk politik rekognisi tertentu, khususnya yang cenderung terjebak pada “identitarianism” atau politik identitas yang terfragmentasi. Menurutnya, jika rekognisi dilepaskan dari redistribusi, maka keadilan berisiko direduksi menjadi sekadar pengakuan simbolik tanpa mengubah struktur material yang menindas.⁶ Ia mendorong pendekatan integratif, di mana rekognisi dan redistribusi dipahami sebagai dimensi saling melengkapi, bukan terpisah.⁷

6.4.       Perdebatan dengan Axel Honneth

Dalam karya bersama Axel Honneth, Redistribution or Recognition? (2003), Fraser berdebat mengenai prioritas keadilan. Honneth menekankan rekognisi sebagai basis keadilan, sementara Fraser menegaskan bahwa ketidakadilan ekonomi dan kultural harus ditangani secara simultan.⁸ Ia menolak reduksi keadilan hanya pada satu dimensi, karena masyarakat kontemporer menghadapi “bidang ganda ketidakadilan”: kemiskinan dan eksklusi sosial di satu sisi, serta marginalisasi identitas di sisi lain.⁹

6.5.       Relevansi dalam Konteks Global dan Kontemporer

Pemikiran Fraser relevan dalam membaca tantangan keadilan di era globalisasi. Pertama, ketidakadilan ekonomi global memunculkan kesenjangan antara negara maju dan berkembang, sehingga redistribusi pada tingkat global menjadi isu penting.¹⁰ Kedua, persoalan rekognisi semakin menonjol dalam masyarakat multikultural, di mana tuntutan pengakuan identitas gender, etnis, dan agama menjadi krusial bagi keadilan sosial.¹¹

Lebih jauh, Fraser memperluas gagasan keadilan ke ranah global dalam Scales of Justice (2008), di mana ia mengusulkan paradigma keadilan transnasional yang melampaui batas negara bangsa.¹² Dalam kerangka ini, keadilan tidak bisa hanya dibatasi pada ruang domestik, tetapi harus dipikirkan dalam tatanan global yang ditandai interdependensi politik, ekonomi, dan ekologis.

6.6.       Signifikansi dalam Diskursus Keadilan Kontemporer

Teori Fraser memperkaya wacana filsafat keadilan dengan menunjukkan bahwa keadilan bersifat multidimensi. Jika Rawls menekankan distribusi adil, Nozick hak kepemilikan, dan Sen kapabilitas, maka Fraser menambahkan dimensi rekognisi dan partisipasi sosial sebagai aspek yang tak kalah fundamental.¹³ Dengan demikian, kerangka Fraser membantu menjawab problem keadilan yang kompleks di era modern, terutama yang terkait dengan interseksionalitas antara kelas, gender, ras, dan identitas kultural.¹⁴


Footnotes

[1]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–12.

[2]                Ibid., 13–14.

[3]                Fraser, Justice Interruptus, 20–22.

[4]                Nancy Fraser, “From Redistribution to Recognition? Dilemmas of Justice in a ‘Postsocialist’ Age,” New Left Review 212 (1995): 68–70.

[5]                Fraser, Justice Interruptus, 29.

[6]                Fraser, Justice Interruptus, 11–15.

[7]                Ibid., 29–30.

[8]                Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 15–17.

[9]                Ibid., 22–23.

[10]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (Cambridge: Polity, 2008), 12–14.

[11]             Fraser, Scales of Justice, 22–23.

[12]             Ibid., 45–47.

[13]             Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 441–442.

[14]             Fraser, Justice Interruptus, 31–32.


7.           Persamaan, Perbedaan, dan Relasi Pemikiran

7.1.       Persamaan Umum

Meskipun berbeda secara tajam, keempat pemikir kontemporer ini berbagi titik berangkat yang sama: keadilan sebagai isu normatif sentral dalam filsafat politik. Bagi Rawls, Nozick, Sen, maupun Fraser, keadilan adalah tolok ukur utama legitimasi institusi sosial.¹ Mereka juga sama-sama menolak utilitarianisme klasik, yang dianggap tidak memadai dalam menjamin martabat individu.²

Selain itu, masing-masing teori bertujuan menjawab tantangan sosial-politik modern: Rawls merumuskan fondasi bagi demokrasi liberal egalitarian, Nozick membela kebebasan individu terhadap negara, Sen memperluas ruang keadilan menuju pembangunan manusia dan kebebasan substantif, sedangkan Fraser menambahkan dimensi rekognisi dalam masyarakat multikultural.³ Dengan demikian, keempatnya berusaha merumuskan peta keadilan yang relevan dengan dunia kontemporer.

7.2.       Perbedaan Paradigmatik

Perbedaan mendasar terletak pada konsep inti tentang apa yang adil:

·                     Rawls memandang keadilan sebagai fairness yang lahir dari prosedur kontraktarian imparsial (original position), dengan dua prinsip dasar: kebebasan setara dan prinsip perbedaan.⁴

·                     Nozick menolak pola distributif Rawls dan menekankan entitlement theory, di mana keadilan tergantung pada proses akuisisi dan transfer yang sah, bukan hasil distribusi.⁵

·                     Sen menggeser fokus dari distribusi barang (primary goods) ke kapabilitas nyata—kebebasan substantif untuk menjalani kehidupan bernilai.⁶

·                     Fraser memperluas cakupan keadilan ke ranah redistribusi dan rekognisi, dengan tujuan mencapai parity of participation.⁷

Dari perbedaan ini tampak bahwa Rawls dan Nozick berselisih soal institusi vs hak individu, sementara Sen dan Fraser memperluas horizon dengan memperhatikan kapabilitas nyata dan identitas kultural.

7.3.       Relasi dan Dialog Kritis

Hubungan di antara keempat pemikir dapat dipahami dalam bentuk dialog kritis:

·                     Rawls dan Nozick: Nozick menanggapi langsung Rawls dengan menolak difference principle dan redistribusi, sehingga perdebatan keduanya sering dilihat sebagai “liberal-egalitarianism vs libertarianism.”⁸

·                     Rawls dan Sen: Sen menghargai kontribusi Rawls, tetapi menilai kerangka ideal theory Rawls kurang berguna untuk mengatasi ketidakadilan nyata.⁹

·                     Rawls dan Fraser: Fraser mengkritik Rawls karena terlalu berorientasi pada distribusi ekonomi, mengabaikan dimensi rekognisi kultural.¹⁰

·                     Nozick dan Fraser: meskipun berbeda secara ideologis, keduanya sama-sama skeptis terhadap model distribusi Rawls; Nozick menolak redistribusi demi hak individu, sedangkan Fraser menolak karena distribusi saja tidak cukup tanpa rekognisi.¹¹

·                     Sen dan Fraser: keduanya sama-sama menekankan multidimensionalitas keadilan. Sen melalui kebebasan substantif dan pembangunan manusia, Fraser melalui rekognisi identitas dan keadilan global.¹²

7.4.       Signifikansi Perbandingan

Perbandingan ini memperlihatkan bahwa filsafat politik kontemporer tentang keadilan tidak bisa dipahami secara monolitik. Rawls memberi fondasi normatif, Nozick menghadirkan kritik libertarian, Sen menawarkan kerangka komparatif untuk mengurangi ketidakadilan nyata, dan Fraser menambahkan dimensi rekognisi kultural serta partisipasi.¹³

Relasi ini menunjukkan adanya ketegangan produktif antara kebebasan dan kesetaraan, distribusi dan rekognisi, teori ideal dan non-ideal. Tegangan inilah yang menjadikan diskursus keadilan kontemporer semakin kaya, terbuka, dan relevan untuk menjawab problematika sosial global abad ke-21.¹⁴


Footnotes

[1]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 4–5.

[2]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 22–23.

[3]                Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford: Oxford University Press, 2009), 101–104.

[4]                Rawls, A Theory of Justice, 52–55.

[5]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 150–154.

[6]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 231–233.

[7]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–12.

[8]                Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 24–25.

[9]                Sen, The Idea of Justice, 9–10.

[10]             Fraser, Justice Interruptus, 20–21.

[11]             Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 17–18.

[12]             Ingrid Robeyns, “The Capability Approach,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2016 Edition).

[13]             Brian Barry, Theories of Justice (Berkeley: University of California Press, 1989), 12–15.

[14]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (Cambridge: Polity, 2008), 22–23.


8.           Relevansi Keadilan Kontemporer bagi Dunia Modern

8.1.       Keadilan dan Demokrasi

Teori-teori keadilan kontemporer memberikan fondasi normatif bagi demokrasi modern. Rawls dengan justice as fairness menekankan pentingnya kebebasan dasar dan kesetaraan kesempatan sebagai syarat legitimasi demokrasi konstitusional.¹ Prinsipnya menjadi inspirasi bagi perdebatan mengenai desain institusional, konstitusi, dan perlindungan hak-hak minoritas di negara demokratis.²

Sementara itu, kritik Nozick terhadap redistribusi menegaskan tantangan bagi negara demokratis dalam menyeimbangkan antara perlindungan hak individu dan kebutuhan kolektif.³ Wacana tentang negara minimal dan kebebasan individu ini relevan dalam konteks perdebatan mengenai pajak, kebijakan kesejahteraan, serta regulasi pasar di berbagai negara liberal.⁴

8.2.       Keadilan dan Pembangunan Global

Amartya Sen membawa diskursus keadilan ke tingkat global dengan menekankan pembangunan manusia dan kapabilitas.⁵ Dalam kerangka Development as Freedom, keadilan dipahami sebagai perluasan kebebasan substantif—akses pendidikan, kesehatan, dan partisipasi politik—yang menjadi fondasi pembangunan berkelanjutan.⁶ Konsep ini memengaruhi kebijakan internasional, termasuk Indeks Pembangunan Manusia (HDI) yang kini menjadi indikator utama dalam menilai keberhasilan pembangunan negara.⁷

Pendekatan kapabilitas juga relevan menghadapi tantangan global seperti kemiskinan multidimensi, krisis iklim, dan ketidakadilan kesehatan. Misalnya, dalam konteks pandemi COVID-19, keadilan tidak hanya diukur dari distribusi vaksin, tetapi juga kemampuan nyata masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan, pendidikan daring, dan perlindungan sosial.⁸

8.3.       Keadilan dan Identitas Sosial

Nancy Fraser memperluas cakupan keadilan dengan menekankan dimensi redistribusi dan rekognisi.⁹ Gagasannya relevan dengan problem kontemporer seperti diskriminasi gender, rasisme, dan marginalisasi identitas kultural.¹⁰ Politik rekognisi menjadi isu krusial dalam masyarakat multikultural, sementara redistribusi tetap penting untuk mengatasi ketimpangan ekonomi yang mengakar.¹¹

Dalam era globalisasi, Fraser juga menyoroti pentingnya memperluas cakupan keadilan melampaui batas negara-bangsa menuju keadilan transnasional.¹² Hal ini penting dalam menghadapi ketidakadilan global seperti perdagangan yang tidak adil, migrasi, dan perubahan iklim.

8.4.       Relevansi Interdisipliner

Keempat teori ini tidak hanya memengaruhi filsafat politik, tetapi juga ekonomi, hukum, dan kebijakan publik. Rawls berpengaruh dalam teori demokrasi deliberatif, Nozick dalam filsafat hukum dan ekonomi pasar bebas, Sen dalam ekonomi pembangunan dan kebijakan internasional, sedangkan Fraser dalam teori feminis dan studi multikultural.¹³

Dengan demikian, relevansi keadilan kontemporer tidak terbatas pada ranah akademik, tetapi merambah ke ranah praktis dalam penyusunan kebijakan publik, perumusan regulasi internasional, serta gerakan sosial global.¹⁴

8.5.       Kesimpulan Sementara

Dalam dunia modern yang ditandai oleh ketimpangan ekonomi, krisis ekologi, dan pluralitas identitas, teori keadilan kontemporer memberikan kerangka konseptual yang penting. Rawls menekankan keadilan institusional, Nozick membela hak-hak individu, Sen mengutamakan kebebasan substantif, dan Fraser menambahkan dimensi rekognisi kultural. Interaksi keempat perspektif ini memperkaya diskursus keadilan dan menawarkan arah bagi pembangunan masyarakat global yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.¹⁵


Footnotes

[1]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 39–41.

[2]                Joshua Cohen, “Democratic Equality,” Ethics 99, no. 4 (1989): 727–751.

[3]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 169–171.

[4]                Eric Mack, “Robert Nozick’s Political Philosophy,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition).

[5]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 231–233.

[6]                Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1999), 3–4.

[7]                Mahbub ul Haq, Reflections on Human Development (Oxford: Oxford University Press, 1995), 46–47.

[8]                Sabina Alkire, “The Capability Approach and Well-Being Measurement for Public Policy,” Oxford Poverty and Human Development Initiative Working Paper (2015), 10–12.

[9]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the ‘Postsocialist’ Condition (New York: Routledge, 1997), 11–15.

[10]             Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 17–18.

[11]             Fraser, Justice Interruptus, 20–23.

[12]             Nancy Fraser, Scales of Justice: Reimagining Political Space in a Globalizing World (Cambridge: Polity, 2008), 12–14.

[13]             Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 441–442.

[14]             Brian Barry, Theories of Justice (Berkeley: University of California Press, 1989), 12–15.

[15]             Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford: Oxford University Press, 2009), 104–107.


9.           Penutup

Kajian mengenai keadilan dalam filsafat kontemporer melalui pemikiran John Rawls, Robert Nozick, Amartya Sen, dan Nancy Fraser memperlihatkan bahwa tidak ada satu paradigma tunggal yang mampu menjawab seluruh problem keadilan modern. Masing-masing pemikir menawarkan kerangka yang berakar pada tradisi filosofis tertentu, tetapi sekaligus menanggapi tantangan sosial-politik pada masanya.

John Rawls dengan justice as fairness menekankan keadilan institusional yang memastikan kebebasan dasar dan pemerataan kesempatan dalam kerangka demokrasi konstitusional.¹ Sebagai kritik, Robert Nozick menegaskan keadilan historis-prosedural yang berpijak pada hak kepemilikan dan menolak redistribusi paksa, sehingga memunculkan perdebatan mendasar mengenai batas negara dan kebebasan individu.² Sementara itu, Amartya Sen memperluas horizon keadilan dengan pendekatan kapabilitas yang menilai bukan hanya distribusi barang, tetapi juga kebebasan substantif yang memungkinkan individu menjalani kehidupan bernilai.³ Nancy Fraser menambahkan dimensi rekognisi, yang menyoroti pentingnya pengakuan identitas kultural dan sosial di samping redistribusi ekonomi, sehingga keadilan dipahami secara multidimensi.⁴

Dari keempat perspektif tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa keadilan dalam filsafat kontemporer selalu berada dalam ketegangan antara hak dan hasil, kebebasan dan kesetaraan, distribusi dan rekognisi, ideal dan non-ideal theory.⁵ Perbedaan-perbedaan itu bukan sekadar kontradiksi, melainkan juga dialog kritis yang memperkaya diskursus filsafat politik. Rawls dan Nozick memperdebatkan batas kebebasan individu dan legitimasi distribusi; Sen dan Fraser memperluas cakupan keadilan dengan menekankan dimensi kapabilitas, identitas, dan partisipasi.⁶

Relevansi keempat teori dalam dunia modern terletak pada kemampuannya memberikan kerangka normatif sekaligus praktis untuk menghadapi persoalan global: ketimpangan ekonomi, kemiskinan multidimensi, krisis iklim, diskriminasi identitas, hingga tantangan kosmopolitanisme.⁷ Dengan demikian, studi tentang keadilan kontemporer tidak hanya bersifat akademis, melainkan juga berkontribusi pada desain kebijakan publik, pembangunan berkelanjutan, dan gerakan sosial.

Akhirnya, kajian ini menunjukkan bahwa keadilan kontemporer harus dipahami sebagai konsep plural, interdisipliner, dan dinamis. Ia menuntut sintesis antara distribusi yang adil, penghormatan terhadap hak individu, perluasan kebebasan substantif, serta pengakuan terhadap identitas kultural.⁸ Hanya dengan demikian, teori keadilan dapat menjawab tantangan dunia modern yang semakin kompleks dan memastikan terciptanya masyarakat yang lebih inklusif, setara, dan beradab.


Footnotes

[1]                John Rawls, Justice as Fairness: A Restatement (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2001), 39–41.

[2]                Robert Nozick, Anarchy, State, and Utopia (New York: Basic Books, 1974), 149–171.

[3]                Amartya Sen, The Idea of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2009), 231–233.

[4]                Nancy Fraser, Justice Interruptus: Critical Reflections on the “Postsocialist” Condition (New York: Routledge, 1997), 11–15.

[5]                Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 2002), 441–443.

[6]                Samuel Freeman, Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2007), 24–25.

[7]                Gillian Brock, Global Justice: A Cosmopolitan Account (Oxford: Oxford University Press, 2009), 102–107.

[8]                Nancy Fraser dan Axel Honneth, Redistribution or Recognition? A Political–Philosophical Exchange (London: Verso, 2003), 17–18.


Daftar Pustaka

Alkire, S. (2005). Valuing freedoms: Sen’s capability approach and poverty reduction. Oxford University Press.

Alkire, S. (2015). The capability approach and well-being measurement for public policy. Oxford Poverty and Human Development Initiative Working Paper, 94, 1–39.

Barry, B. (1973). The liberal theory of justice: A critical examination of the principal doctrines in A theory of justice by John Rawls. Clarendon Press.

Barry, B. (1989). Theories of justice. University of California Press.

Brock, G. (2009). Global justice: A cosmopolitan account. Oxford University Press.

Cohen, G. A. (1995). Self-ownership, freedom, and equality. Cambridge University Press.

Cohen, J. (1989). Democratic equality. Ethics, 99(4), 727–751.

Daniels, N. (2008). Just health: Meeting health needs fairly. Cambridge University Press.

Fraser, N. (1995). From redistribution to recognition? Dilemmas of justice in a “postsocialist” age. New Left Review, 212, 68–93.

Fraser, N. (1997). Justice interruptus: Critical reflections on the “postsocialist” condition. Routledge.

Fraser, N. (2008). Scales of justice: Reimagining political space in a globalizing world. Polity Press.

Fraser, N., & Honneth, A. (2003). Redistribution or recognition? A political–philosophical exchange. Verso.

Freeman, S. (2007). Justice and the social contract: Essays on Rawlsian political philosophy. Oxford University Press.

Haq, M. ul. (1995). Reflections on human development. Oxford University Press.

Kymlicka, W. (2002). Contemporary political philosophy: An introduction (2nd ed.). Oxford University Press.

Mack, E. (2018). Robert Nozick’s political philosophy. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2018 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University.

Nagel, T. (1973). Rawls on justice. The Philosophical Review, 82(2), 220–234.

Nozick, R. (1974). Anarchy, state, and utopia. Basic Books.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Polity Press.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Rawls, J. (2001). Justice as fairness: A restatement. Harvard University Press.

Robeyns, I. (2016). The capability approach. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2016 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University.

Sen, A. (1992). Inequality reexamined. Harvard University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. Oxford University Press.

Sen, A. (2009). The idea of justice. Harvard University Press.

Wenar, L. (2017). John Rawls. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2017 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar