Keadilan dalam Filsafat Abad Pertengahan
Posisi Keadilan sebagai Salah
Satu Tema Sentral dalam Etika dan Filsafat Politik
Alihkan ke: Konsep Keadilan.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep
keadilan dalam filsafat abad pertengahan dengan fokus pada dua tokoh sentral,
yakni Augustinus dan Thomas Aquinas. Keduanya mewakili dua arus besar dalam
tradisi intelektual Kristen: Augustinus dengan pendekatan teologis yang
dipengaruhi Neoplatonisme, dan Aquinas dengan pendekatan rasional-sistematis
yang dipengaruhi Aristotelianisme. Kajian ini menelusuri konteks historis
filsafat abad pertengahan, pemahaman keadilan menurut Augustinus sebagai
keteraturan cinta (ordo amoris) yang berpusat pada kasih kepada Allah,
serta pemahaman Aquinas tentang keadilan sebagai kebajikan moral yang diuraikan
melalui kategori distributif, komutatif, dan legal. Analisis perbandingan
memperlihatkan bahwa meskipun berbeda dalam penekanan, keduanya menegaskan
bahwa keadilan sejati bersumber dari Allah sebagai prinsip transenden. Warisan
pemikiran mereka berpengaruh besar terhadap perkembangan teori hukum alam,
filsafat politik, dan etika sosial, serta tetap relevan dalam wacana
kontemporer mengenai keadilan global, hak asasi manusia, dan etika publik.
Artikel ini menegaskan pentingnya sintesis pemikiran Augustinus dan Aquinas
sebagai fondasi konseptual dan normatif bagi refleksi keadilan di masa kini.
Kata Kunci: Keadilan; Filsafat Abad Pertengahan;
Augustinus; Thomas Aquinas; Hukum Alam; Etika Kristen; Filsafat Politik.
PEMBAHASAN
Keadilan dalam Filsafat Abad
Pertengahan
1.
Pendahuluan
Filsafat abad pertengahan
merupakan suatu periode penting dalam sejarah pemikiran Barat yang ditandai
oleh usaha mengintegrasikan antara iman dan akal, teologi dan filsafat, wahyu
dan rasionalitas. Periode ini secara garis besar berlangsung dari abad ke-5
hingga abad ke-15, dengan fokus utama pada bagaimana filsafat dapat dipakai
untuk memahami dan memperkuat ajaran iman Kristen dalam menghadapi tantangan
intelektual yang datang dari warisan Yunani-Romawi maupun dari perkembangan filsafat
Islam dan Yahudi pada masa itu.¹ Pemikiran tentang keadilan menjadi salah satu
tema sentral karena terkait erat dengan persoalan moral, etika, hukum, dan
tatanan sosial.
Dalam konteks abad
pertengahan, keadilan tidak hanya dipahami sebagai hubungan etis antarindividu,
tetapi juga sebagai refleksi keteraturan kosmik dan ilahi. Augustinus (354–430
M), seorang Bapa Gereja dan filsuf Kristen terkemuka, menganggap bahwa keadilan
sejati hanya dapat ditemukan dalam keteraturan yang menempatkan Allah sebagai
pusat dari seluruh kehidupan manusia.² Baginya, suatu negara tanpa keadilan
tidak lebih dari sekadar "perkumpulan perampok" (latrocinium),
karena hanya negara yang berlandaskan pada hukum ilahi yang dapat disebut
adil.³ Pandangan ini memperlihatkan orientasi teosentris Augustinus, yang
menekankan bahwa keadilan tidak dapat dilepaskan dari kasih kepada Allah (caritas)
sebagai prinsip tertinggi.
Beberapa abad kemudian,
Thomas Aquinas (1225–1274 M) mengembangkan sebuah kerangka konseptual yang
lebih sistematis mengenai keadilan, yang banyak dipengaruhi oleh filsafat
Aristoteles.⁴ Dalam Summa Theologica, ia menempatkan keadilan sebagai
salah satu dari empat kebajikan kardinal yang mengatur relasi manusia dengan
sesama. Aquinas membedakan antara keadilan distributif, komutatif, dan legal,
yang masing-masing memiliki fungsi dalam menjaga keseimbangan sosial.⁵ Di
samping itu, Aquinas juga menegaskan keterkaitan keadilan dengan hukum alam (lex
naturalis) sebagai prinsip universal yang bersumber dari rasio manusia dan,
pada akhirnya, dari hukum ilahi.⁶
Kedua pemikir besar ini,
Augustinus dan Aquinas, menampilkan dua wajah filsafat abad pertengahan: yang
pertama lebih bersifat teologis dengan kecenderungan Platonik, sedangkan yang
kedua lebih sistematis dan Aristotelian. Namun keduanya sama-sama menekankan
bahwa keadilan bukan sekadar kategori moral, melainkan fondasi tatanan
sosial-politik yang berakar pada prinsip transenden. Kajian tentang konsep
keadilan dari kedua tokoh ini penting bukan hanya untuk memahami sejarah
filsafat, tetapi juga untuk menyoroti warisan intelektual mereka yang masih
berpengaruh pada etika, filsafat politik, dan teori hukum hingga saat ini.⁷
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages
(New York: Random House, 1955), 5–7.
[2]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), XIX.13.
[3]
Augustine, The City of God, XIX.21.
[4]
Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 27–30.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 58, a. 1–11.
[6]
John Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 85–90.
[7]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon
Press, 1992), 112–115.
2.
Konteks Historis Filsafat
Abad Pertengahan
Filsafat abad pertengahan
biasanya dipahami sebagai periode intelektual yang membentang dari runtuhnya
Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 hingga awal Renaisans pada abad ke-15.¹
Periode ini sering disebut sebagai masa transisi dari filsafat klasik menuju
filsafat modern, dengan karakteristik utama berupa upaya harmonisasi antara
iman Kristen dan tradisi intelektual Yunani-Romawi.² Para pemikir abad
pertengahan berusaha menunjukkan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan
dengan kebenaran akal, melainkan saling melengkapi.
2.1.
Ciri Khas Filsafat Abad Pertengahan
Salah satu ciri paling
menonjol dari filsafat abad pertengahan adalah sifatnya yang teosentris.³
Filsafat dipandang bukan sekadar upaya rasional untuk memahami dunia, melainkan
sebagai sarana untuk mendalami iman dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Filsafat
abad pertengahan karenanya sangat erat kaitannya dengan teologi. Para filsuf
pada masa ini, seperti Augustinus dan Thomas Aquinas, seringkali juga merupakan
teolog yang menulis untuk menjawab persoalan iman dan moral dalam konteks
sosial dan politik zamannya.⁴
Selain itu, filsafat abad
pertengahan ditandai oleh metode skolastik, yaitu pendekatan yang mengedepankan
logika, dialektika, dan sistematisasi.⁵ Skolastisisme berkembang pesat di
sekolah katedral dan universitas Eropa, seperti Paris, Oxford, dan Bologna,
yang menjadi pusat intelektual abad pertengahan.⁶ Melalui metode ini, para
pemikir berusaha mengkaji secara kritis teks-teks otoritatif (Alkitab, Bapa
Gereja, Aristoteles, dan lain-lain) untuk menghasilkan sintesis yang koheren
antara iman dan akal.
2.2.
Perkembangan Filsafat Kristen dari Era
Patristik ke Skolastik
Filsafat abad pertengahan
terbagi ke dalam dua tahap besar: era Patristik (abad 2–7) dan era Skolastik
(abad 9–15). Era Patristik ditandai oleh karya para Bapa Gereja, termasuk
Augustinus, yang berusaha membela iman Kristen dari tantangan filsafat pagan
serta bidat internal.⁷ Augustinus memanfaatkan filsafat Neoplatonisme untuk merumuskan
pandangan teologis tentang jiwa, kebaikan, dan keadilan.
Memasuki era Skolastik, fokus
bergeser pada upaya sistematisasi dan sintesis yang lebih rasional, terutama
berkat ketersediaan kembali karya-karya Aristoteles melalui penerjemahan dari
bahasa Arab dan Latin.⁸ Pemikir seperti Thomas Aquinas berusaha
mengintegrasikan Aristotelianisme dengan teologi Kristen, menghasilkan suatu
sintesis filosofis yang lebih matang dan sistematis.⁹
2.3.
Pengaruh Tradisi Yunani, Islam, dan Yahudi
Filsafat abad pertengahan
tidak berkembang dalam ruang hampa. Tradisi Yunani—khususnya Platonisme dan
Aristotelianisme—sangat mempengaruhi struktur berpikir para pemikir Kristen.¹⁰
Melalui karya-karya penerjemah Arab dan Latin, pemikiran Aristoteles yang
semula nyaris hilang di Barat kembali dikenal.
Peradaban Islam turut
berperan besar dalam menyampaikan warisan filsafat Yunani. Tokoh seperti
Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes) menjadi jembatan
penting dalam memperkenalkan kembali Aristotelianisme ke dunia Latin.¹¹
Demikian pula, pemikir Yahudi seperti Maimonides memberi kontribusi signifikan
dalam memperkaya wacana filsafat skolastik.¹² Dengan demikian, filsafat abad
pertengahan mencerminkan dialog lintas tradisi yang memperkaya konsepsi etika,
politik, dan metafisika, termasuk soal keadilan.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume II: Medieval
Philosophy (New York: Image Books, 1993), 1–5.
[2]
Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages
(New York: Random House, 1955), 11–15.
[3]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval
Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (New York: McGraw-Hill,
1960), 23.
[4]
Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the
Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press,
1971), 15–20.
[5]
John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical
Introduction (London: Routledge, 2007), 45–47.
[6]
Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages
(Oxford: Clarendon Press, 1936), 56–59.
[7]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book VII.
[8]
Richard C. Dales, The Intellectual Life of Western Europe in the
Middle Ages (Washington, D.C.: University Press of America, 1980), 83–90.
[9]
Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 32–35.
[10]
Lloyd P. Gerson, Aristotle and Other Platonists (Ithaca:
Cornell University Press, 2005), 211–214.
[11]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 160–170.
[12]
Shlomo Pines, The Guide of the Perplexed by Maimonides, trans.
Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), Introduction,
xx–xxi.
3.
Konsep Keadilan Menurut
Augustinus
3.1.
Biografi Intelektual Singkat Augustinus
Aurelius Augustinus (354–430
M), dikenal sebagai Santo Augustinus dari Hippo, adalah salah satu Bapa Gereja
paling berpengaruh dalam tradisi Kristen Barat. Ia lahir di Tagaste (Numidia,
Afrika Utara) dan menempuh pendidikan retorika di Kartago sebelum kemudian
terlibat dalam ajaran Manikeisme.¹ Setelah melalui pergulatan intelektual dan
spiritual yang panjang, ia mengalami pertobatan pada tahun 386 M dan dibaptis
oleh Ambrosius, Uskup Milan.² Sejak itu, Augustinus mengabdikan hidupnya pada
pelayanan gereja dan penulisan karya teologis-filosofis. Pemikirannya
dipengaruhi oleh Neoplatonisme, khususnya gagasan tentang hierarki realitas dan
keterarahan jiwa pada Tuhan.³
3.2.
Keadilan sebagai Tatanan Ilahi
Bagi Augustinus, keadilan
bukanlah sekadar relasi antarindividu, tetapi suatu tatanan kosmik yang berakar
pada kehendak Allah. Dalam De Civitate Dei (Kota Allah), ia
menegaskan bahwa keadilan sejati hanya ada apabila setiap bagian dari realitas
menempati tempatnya sesuai dengan tatanan ilahi.⁴ Keadilan berarti menempatkan
segala sesuatu pada posisi yang benar, yaitu manusia mencintai Allah di atas
segala-galanya dan mencintai sesama karena Allah.⁵
Dalam pandangan Augustinus,
ketidakadilan muncul ketika manusia mencintai ciptaan lebih dari Sang Pencipta,
sehingga terjadi keterbalikan dalam tatanan cinta (ordo amoris).⁶ Oleh
karena itu, keadilan bukanlah semata-mata persoalan hukum positif, melainkan
persoalan moral dan spiritual yang berkaitan dengan orientasi hati manusia
terhadap Allah.
3.3.
Hubungan antara Keadilan, Cinta (Caritas),
dan Kasih kepada Allah
Augustinus menekankan bahwa
dasar keadilan adalah caritas (kasih). Caritas mengarahkan
manusia untuk mengasihi Allah sebagai kebaikan tertinggi (summum bonum)
dan sesama manusia dalam terang kasih Allah.⁷ Dengan demikian, keadilan adalah
wujud praktis dari kasih yang tertata: kasih kepada Allah mengarahkan kasih
kepada sesama secara benar. Tanpa kasih, keadilan akan kehilangan ruhnya dan
hanya menjadi hukum eksternal tanpa orientasi transendental.
3.4.
Keadilan dalam Negara: De Civitate Dei
Dalam refleksi politiknya,
Augustinus mengajukan pertanyaan: dapatkah sebuah negara disebut adil tanpa
pengakuan terhadap Allah? Dalam De Civitate Dei, ia menegaskan bahwa
negara yang tidak mendasarkan diri pada keadilan ilahi hanyalah kumpulan
perampok (latrocinium).⁸ Negara yang sejati adalah komunitas yang
diikat oleh keadilan, yakni keteraturan yang mengarahkan warga negara kepada
kebaikan tertinggi.⁹
Namun, Augustinus juga
membedakan antara Civitas Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena
(Kota Dunia). Kota Allah adalah komunitas orang-orang yang mengasihi Allah,
sedangkan Kota Dunia adalah komunitas yang lebih mencintai diri sendiri dan
dunia.¹⁰ Dalam sejarah, keduanya selalu bercampur, tetapi hanya Kota Allah yang
menjadi gambaran sempurna keadilan. Pandangan ini menunjukkan pesimisme
realistis Augustinus terhadap politik duniawi, sekaligus harapannya akan
keadilan transenden di dalam kerajaan Allah.
3.5.
Implikasi Etis dan Teologis
Konsep keadilan Augustinus
memiliki implikasi yang luas dalam bidang etika dan teologi. Pertama, keadilan
menuntut keteraturan cinta: manusia harus mengasihi sesuai hirarki nilai yang
benar. Kedua, keadilan menekankan pentingnya moralitas internal dibanding
sekadar kepatuhan eksternal terhadap hukum. Ketiga, keadilan menegaskan bahwa
negara tanpa orientasi kepada Allah tidak mungkin mencapai keadilan sejati.¹¹
Dengan demikian, Augustinus memberikan fondasi teologis bagi pemahaman keadilan
dalam tradisi Kristen Barat yang memengaruhi pemikiran abad pertengahan
selanjutnya, termasuk Aquinas.
Footnotes
[1]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, 2nd ed.
(Berkeley: University of California Press, 2000), 32–40.
[2]
Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford
University Press, 1991), Book VIII.
[3]
John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 67–70.
[4]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), XIX.13.
[5]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine
(New York: Random House, 1960), 56–60.
[6]
Augustine, De Civitate Dei, XIX.14.
[7]
Robert Dodaro, Christ and the Just Society in the Thought of
Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 89–93.
[8]
Augustine, The City of God, XIX.21.
[9]
R.A. Markus, Saeculum: History and Society in the Theology of St
Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 81–85.
[10]
Augustine, The City of God, XIV.28.
[11]
Gerald Bonner, Freedom and Necessity: St Augustine’s Teaching on
Divine Power and Human Freedom (Washington, D.C.: Catholic University of
America Press, 2007), 102–108.
4.
Konsep Keadilan Menurut
Thomas Aquinas
4.1.
Biografi Intelektual Singkat Aquinas
Thomas Aquinas (1225–1274)
adalah seorang teolog dan filsuf skolastik yang lahir di Roccasecca, Italia. Ia
bergabung dengan Ordo Dominikan dan menempuh pendidikan di Napoli, Cologne, dan
Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus.¹ Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh
filsafat Aristoteles yang baru saja diterjemahkan ke dalam bahasa Latin melalui
sarjana Muslim dan Yahudi.² Aquinas kemudian menyusun sintesis antara iman
Kristen dengan filsafat Aristoteles, yang mencapai puncaknya dalam karya
monumentalnya, Summa Theologica.
4.2.
Keadilan sebagai Kebajikan Moral
Dalam kerangka etika Aquinas,
keadilan adalah salah satu dari empat kebajikan kardinal (bersama dengan
kebijaksanaan, keberanian, dan moderasi).³ Ia mendefinisikan keadilan sebagai
“habitus, whereby a man renders to each one his due by a constant and perpetual
will” (habitus secundum quem aliquis, constans et perpetua voluntate, jus
suum cuique tribuit).⁴ Dengan demikian, keadilan bukan sekadar tindakan
sesaat, melainkan disposisi moral yang konsisten untuk memberikan kepada setiap
orang apa yang menjadi haknya.
Bagi Aquinas, keadilan berorientasi
pada relasi sosial. Jika kebajikan lain seperti temperantia atau fortitudo
lebih mengatur manusia terhadap dirinya sendiri, maka keadilan mengatur relasi
manusia dengan orang lain, baik dalam konteks interpersonal maupun komunal.⁵
4.3.
Jenis-jenis Keadilan
Aquinas mengembangkan
tipologi keadilan yang sangat berpengaruh dalam teori hukum dan politik:
1)
Keadilan distributif
– keadilan yang berkaitan dengan bagaimana otoritas (negara atau komunitas)
mendistribusikan hak, kewajiban, dan sumber daya kepada warga negara sesuai
dengan proporsinya.⁶
2)
Keadilan komutatif
– keadilan yang mengatur hubungan timbal balik antarindividu, terutama dalam
hal kontrak, perdagangan, atau restitusi. Prinsip utamanya adalah kesetaraan
dan keseimbangan.⁷
3)
Keadilan legal (general
justice) – keadilan yang mengatur kewajiban individu terhadap
masyarakat secara keseluruhan, yaitu ketaatan pada hukum demi kebaikan bersama
(bonum commune).⁸
Tipologi ini menunjukkan
bahwa Aquinas memahami keadilan dalam konteks sosial-politik yang lebih luas
daripada sekadar moralitas pribadi.
4.4.
Relasi Keadilan dengan Hukum Alam
Konsep keadilan Aquinas tidak
dapat dilepaskan dari teorinya tentang hukum (lex). Menurut Aquinas,
ada empat macam hukum: hukum kekal (lex aeterna), hukum ilahi (lex
divina), hukum alam (lex naturalis), dan hukum manusia (lex
humana).⁹ Hukum alam, yang bersumber dari akal budi manusia, adalah
partisipasi manusia dalam hukum kekal Allah.¹⁰
Keadilan hanya mungkin
ditegakkan apabila hukum manusia sejalan dengan hukum alam. Jika suatu hukum
positif bertentangan dengan hukum alam, maka hukum tersebut kehilangan kekuatan
moral dan tidak mengikat secara keadilan.¹¹ Dengan demikian, keadilan menurut
Aquinas bersifat objektif, karena berakar pada hukum moral universal yang dapat
dikenali oleh akal budi manusia.
4.5.
Implikasi Sosial-Politik
Konsep keadilan Aquinas
memiliki implikasi besar bagi filsafat politik dan teori hukum. Pertama, ia
menegaskan bahwa keadilan harus selalu dikaitkan dengan kebaikan bersama (bonum
commune), bukan hanya kepentingan individu.¹² Kedua, keadilan distributif
mengandaikan adanya proporsionalitas dalam pembagian sumber daya, yang menjadi
dasar bagi teori keadilan sosial modern. Ketiga, keadilan komutatif menegaskan
prinsip integritas dalam kontrak dan transaksi, yang relevan dalam bidang hukum
perdata dan ekonomi.
Aquinas juga menekankan bahwa
pemerintah wajib menegakkan keadilan demi kesejahteraan rakyat.¹³ Namun,
apabila hukum yang dibuat penguasa bertentangan dengan hukum alam, rakyat tidak
berkewajiban untuk menaatinya.¹⁴ Pandangan ini menjadi salah satu akar teoritis
bagi konsep civil disobedience dalam tradisi politik modern.
Footnotes
[1]
James A. Weisheipl, Friar Thomas D’Aquino: His Life, Thought, and
Works (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1983),
45–52.
[2]
David B. Burrell, Faith and Freedom: An Interfaith Perspective
(Malden, MA: Blackwell, 2004), 61–65.
[3]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1966), 44–47.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 58, a. 1.
[5]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon
Press, 1992), 111–113.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 61, a. 1.
[7]
Ibid., q. 61, a. 2.
[8]
Ibid., q. 58, a. 5.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 91, a. 1–4.
[10]
John Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 35–38.
[11]
Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 95, a. 2.
[12]
Ernest L. Fortin, Classical Christianity and the Political Order
(Lanham: Rowman & Littlefield, 1996), 120–123.
[13]
Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 90, a. 2.
[14]
Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory, 89–91.
5.
Perbandingan Pemikiran
Augustinus dan Aquinas
5.1.
Persamaan Pemikiran
Baik Augustinus maupun Thomas
Aquinas menempatkan keadilan dalam kerangka teosentris, yakni sebagai suatu
tatanan yang berakar pada Allah. Augustinus menegaskan bahwa keadilan sejati
hanya mungkin terwujud jika manusia menempatkan Allah sebagai pusat cinta (ordo
amoris), sehingga kasih kepada Allah menjadi dasar keteraturan sosial.¹
Demikian pula, Aquinas menekankan bahwa keadilan harus selalu diarahkan pada
kebaikan bersama (bonum commune), yang pada hakikatnya juga bersumber
dari hukum kekal Allah.²
Keduanya juga mengakui
keterkaitan erat antara keadilan dan kebajikan moral lainnya. Augustinus
melihat keadilan sebagai ekspresi cinta kasih (caritas), sedangkan
Aquinas menempatkan keadilan sebagai salah satu kebajikan kardinal yang
menyempurnakan kehidupan bermoral.³ Dengan demikian, keadilan dalam pandangan
keduanya bukan sekadar aturan hukum, tetapi kebajikan yang melibatkan
pembentukan karakter manusia.
5.2.
Perbedaan Konseptual
Meski memiliki orientasi
teosentris yang sama, terdapat perbedaan mendasar dalam pendekatan mereka.
·
Orientasi
Filosofis:
Augustinus lebih dipengaruhi oleh tradisi
Platonisme dan Neoplatonisme. Baginya, keadilan adalah keteraturan cinta yang
bersifat transenden, di mana manusia diarahkan kepada Allah sebagai summum
bonum.⁴ Sementara itu, Aquinas banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Ia
memahami keadilan dalam kerangka hukum alam dan rasionalitas, sehingga lebih
menekankan aspek praktis dan sistematis dalam kehidupan sosial.⁵
·
Konsep
Negara:
Augustinus memiliki pandangan pesimistis terhadap
politik duniawi. Dalam De Civitate Dei, ia membedakan antara Kota
Allah (Civitas Dei) dan Kota Dunia (Civitas Terrena), dengan
menekankan bahwa negara duniawi tanpa keadilan ilahi hanyalah "perkumpulan
perampok."⁶ Sebaliknya, Aquinas memandang negara sebagai lembaga yang sah
untuk menegakkan kebaikan bersama. Ia menegaskan bahwa hukum positif yang
sesuai dengan hukum alam dapat menjadi instrumen penting untuk mewujudkan
keadilan sosial.⁷
·
Dimensi
Teologis vs. Yuridis:
Pada Augustinus, keadilan bersifat lebih teologis,
karena berakar pada relasi manusia dengan Allah. Keadilan sejati, menurutnya,
tidak mungkin dicapai tanpa kasih yang terarah pada Sang Pencipta.⁸ Sedangkan
Aquinas memahami keadilan lebih dalam kerangka yuridis dan etis. Ia
mengklasifikasikan keadilan ke dalam jenis-jenis tertentu (distributif,
komutatif, legal) yang dapat diterapkan secara konkret dalam tata hukum dan
politik.⁹
5.3.
Relasi Historis dan Konseptual
Aquinas sering dipandang
sebagai penerus sekaligus korektor Augustinus. Ia mewarisi gagasan teosentris
Augustinus, tetapi mengembangkannya ke arah yang lebih rasional dengan bantuan
filsafat Aristoteles.¹⁰ Jika Augustinus lebih menekankan pada dimensi
moral-spiritual dari keadilan, maka Aquinas menekankan struktur hukum dan
sosial yang memungkinkan keadilan diwujudkan dalam masyarakat.¹¹ Dengan
demikian, pemikiran Aquinas dapat dianggap sebagai sintesis antara tradisi
Augustinian dan Aristotelian, yang memberi fondasi kuat bagi filsafat politik
dan hukum di Barat.
5.4.
Signifikansi Perbandingan
Perbandingan antara
Augustinus dan Aquinas menunjukkan dinamika perkembangan filsafat abad
pertengahan dari pendekatan teologis-mistik ke arah sistematis-rasional.¹²
Pemikiran Augustinus relevan sebagai refleksi spiritual tentang keadilan yang
berakar pada kasih kepada Allah, sementara Aquinas memberikan kerangka
konseptual yang lebih konkret untuk mengatur kehidupan sosial dan hukum.
Keduanya saling melengkapi: Augustinus menekankan fondasi spiritual keadilan,
sedangkan Aquinas menyediakan struktur rasional bagi implementasinya dalam
masyarakat.
Footnotes
[1]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), XIX.13.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 90, a. 2.
[3]
Robert Dodaro, Christ and the Just Society in the Thought of Augustine
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 89–92.
[4]
John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 71–74.
[5]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon
Press, 1992), 111–115.
[6]
Augustine, The City of God, XIX.21.
[7]
Ernest L. Fortin, Classical Christianity and the Political Order
(Lanham: Rowman & Littlefield, 1996), 120–123.
[8]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine
(New York: Random House, 1960), 56–60.
[9]
Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 61, a. 1–2.
[10]
Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 35–38.
[11]
John Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 85–89.
[12]
Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages
(New York: Random House, 1955), 211–215.
6.
Relevansi Keadilan Abad
Pertengahan bagi Pemikiran Kontemporer
6.1.
Warisan Pemikiran Augustinus dan Aquinas dalam
Filsafat Politik Barat
Pemikiran keadilan dari
Augustinus dan Aquinas memberikan fondasi yang kuat bagi perkembangan filsafat
politik Barat. Augustinus, dengan gagasannya tentang Civitas Dei dan Civitas
Terrena, menekankan keterbatasan politik duniawi dan perlunya orientasi
spiritual dalam menilai keadilan.¹ Konsep ini memberi sumbangan penting dalam
tradisi politik Kristen yang menempatkan moralitas transenden sebagai standar
evaluasi terhadap kekuasaan negara.
Aquinas, sebaliknya,
memberikan sistem konseptual yang lebih rasional dengan membangun kerangka
hukum alam (lex naturalis).² Teorinya tentang keadilan legal,
distributif, dan komutatif menjadi dasar bagi perkembangan teori hukum modern,
termasuk gagasan tentang hak-hak asasi manusia dan supremasi hukum.³ Banyak
teori politik kontemporer, misalnya dalam tradisi liberal maupun personalis,
masih merujuk pada pemikiran Aquinas mengenai kebaikan bersama (bonum
commune) dan keterkaitannya dengan hukum moral universal.⁴
6.2.
Pengaruh pada Teori Hukum Alam dan Hak Asasi
Manusia
Konsep hukum alam Aquinas
sangat berpengaruh dalam perumusan teori hak asasi manusia modern.⁵ Pandangan
bahwa hukum positif harus sejalan dengan hukum moral universal telah menjadi
salah satu prinsip dasar dalam tradisi hukum internasional, terutama setelah
Perang Dunia II dengan lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).⁶
Bahkan filsuf hukum kontemporer seperti John Finnis masih mengembangkan teori
hukum alam dengan merujuk pada Aquinas.⁷
Sementara itu, Augustinus
berperan dalam menekankan dimensi moral dan spiritual keadilan. Pandangannya
bahwa negara tanpa keadilan hanyalah “perkumpulan perampok” relevan untuk
menilai rezim totaliter maupun pemerintahan yang menindas rakyat.⁸ Gagasannya
tetap hidup dalam perdebatan tentang legitimasi politik dan moralitas negara di
era modern.
6.3.
Relevansi bagi Wacana Keadilan Global dan
Sosial
Dalam konteks global saat
ini, keadilan tidak lagi hanya berkaitan dengan relasi antarindividu, tetapi
juga menyangkut relasi antarbangsa, distribusi sumber daya, dan tanggung jawab
sosial. Pemikiran Aquinas tentang keadilan distributif dapat dijadikan dasar
untuk menilai ketidakadilan ekonomi global, kesenjangan sosial, maupun
distribusi kekayaan yang timpang.⁹
Demikian pula, keadilan
komutatif memiliki relevansi dalam hubungan perdagangan internasional, di mana
prinsip keseimbangan dan kesetaraan menjadi penting dalam mencegah
eksploitasi.¹⁰ Sementara itu, penekanan Augustinus pada keteraturan cinta (ordo
amoris) dapat memberikan perspektif etis tentang pentingnya orientasi
moral dalam menghadapi tantangan global seperti krisis lingkungan, konflik
bersenjata, dan degradasi martabat manusia.¹¹
6.4.
Keadilan dalam Konteks Etika Publik Kontemporer
Dalam etika publik
kontemporer, baik Augustinus maupun Aquinas masih menjadi rujukan penting.
Misalnya, dalam diskursus tentang civil disobedience (pembangkangan
sipil), pandangan Aquinas bahwa hukum positif yang bertentangan dengan hukum
alam tidak mengikat secara moral menjadi landasan teoritis.¹² Di sisi lain,
Augustinus mengingatkan bahwa tanpa cinta kasih yang terarah pada Allah,
tatanan hukum apa pun akan kehilangan keadilan sejati.¹³
Kedua pemikiran ini, meskipun
lahir dalam konteks abad pertengahan, tetap relevan untuk membangun paradigma etika
politik yang menekankan keterpaduan antara hukum, moralitas, dan spiritualitas.
Footnotes
[1]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), XIX.17.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 91, a. 2.
[3]
Brian Tierney, The Idea of Natural Rights: Studies on Natural
Rights, Natural Law, and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids: Eerdmans,
1997), 53–57.
[4]
Russell Hittinger, The First Grace: Rediscovering the Natural Law
in a Post-Christian World (Wilmington: ISI Books, 2003), 101–105.
[5]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 18–22.
[6]
Mary Ann Glendon, A World Made New: Eleanor Roosevelt and the
Universal Declaration of Human Rights (New York: Random House, 2001),
45–50.
[7]
John Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory
(Oxford: Oxford University Press, 1998), 84–90.
[8]
Augustine, The City of God, XIX.21.
[9]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1966), 83–85.
[10]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 61, a. 2.
[11]
Robert Dodaro, Christ and the Just Society in the Thought of
Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 115–118.
[12]
Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 96, a. 4.
[13]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine
(New York: Random House, 1960), 62–65.
7.
Penutup
Kajian tentang keadilan dalam
filsafat abad pertengahan melalui pemikiran Augustinus dan Thomas Aquinas
memperlihatkan dinamika penting antara teologi, filsafat, dan etika dalam
sejarah intelektual Barat. Augustinus menegaskan bahwa keadilan sejati tidak
dapat dipisahkan dari kasih kepada Allah dan keteraturan cinta (ordo amoris).¹
Dengan perspektif yang berakar pada Neoplatonisme, ia memahami keadilan sebagai
tatanan moral dan spiritual yang melampaui sekadar hukum positif.²
Sebaliknya, Thomas Aquinas,
yang banyak dipengaruhi Aristoteles, membangun konsep keadilan dalam kerangka
sistematis dan rasional.³ Dengan membedakan antara keadilan distributif,
komutatif, dan legal, Aquinas meletakkan dasar teoritis yang kokoh bagi
perkembangan hukum alam dan filsafat politik Barat.⁴ Jika Augustinus menyoroti
dimensi teologis keadilan, maka Aquinas menekankan dimensi yuridis dan
sosialnya. Meski demikian, keduanya tetap bertemu dalam prinsip dasar: keadilan
berakar pada Allah sebagai sumber kebaikan dan keteraturan kosmik.⁵
Warisan Augustinus dan
Aquinas menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya persoalan normatif, tetapi juga
transenden, yang menghubungkan manusia dengan Tuhan sekaligus membentuk tatanan
sosial. Pandangan mereka memberi inspirasi bagi teori politik dan hukum modern,
termasuk hak asasi manusia dan konsep bonum commune.⁶ Bahkan dalam
diskursus kontemporer tentang keadilan global, distribusi sumber daya, dan
etika publik, pemikiran mereka masih relevan sebagai landasan normatif dan
refleksi filosofis.⁷
Dengan demikian, studi
tentang keadilan dalam filsafat abad pertengahan tidak hanya memberikan
pemahaman historis, tetapi juga membuka jalan bagi refleksi kritis atas problem
keadilan di zaman modern. Augustinus dan Aquinas menghadirkan dua pendekatan
yang saling melengkapi: yang satu berakar pada spiritualitas dan kasih, yang
lain pada rasionalitas dan hukum. Sintesis keduanya dapat menjadi sumber
inspirasi untuk membangun paradigma keadilan yang utuh, yang mencakup dimensi
moral, hukum, sosial, dan transendental.⁸
Footnotes
[1]
Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London:
Penguin Books, 2003), XIX.13.
[2]
John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 72–74.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 58, a. 1.
[4]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1966), 84–87.
[5]
Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages
(New York: Random House, 1955), 212–214.
[6]
Brian Tierney, The Idea of Natural Rights: Studies on Natural
Rights, Natural Law, and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids: Eerdmans,
1997), 61–65.
[7]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon
Press, 1980), 23–28.
[8]
Robert Dodaro, Christ and the Just Society in the Thought of
Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 118–120.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1911–1925). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). London: Burns Oates &
Washbourne.
Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Augustine. (2003). The city of God (H.
Bettenson, Trans.). London: Penguin Books.
Bonner, G. (2007). Freedom and necessity: St
Augustine’s teaching on divine power and human freedom. Washington, D.C.:
Catholic University of America Press.
Brown, P. (2000). Augustine of Hippo: A biography
(2nd ed.). Berkeley: University of California Press.
Burrell, D. B. (2004). Faith and freedom: An
interfaith perspective. Malden, MA: Blackwell.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy,
Volume II: Medieval philosophy. New York: Image Books.
Dales, R. C. (1980). The intellectual life of
Western Europe in the Middle Ages. Washington, D.C.: University Press of
America.
Davies, B. (1992). The thought of Thomas Aquinas.
Oxford: Clarendon Press.
Dodaro, R. (2004). Christ and the just society in
the thought of Augustine. Cambridge: Cambridge University Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy
(3rd ed.). New York: Columbia University Press.
Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights.
Oxford: Clarendon Press.
Finnis, J. (1998). Aquinas: Moral, political, and
legal theory. Oxford: Oxford University Press.
Fortin, E. L. (1996). Classical Christianity and
the political order. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Gerson, L. P. (2005). Aristotle and other
Platonists. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Gilson, E. (1955). History of Christian philosophy
in the Middle Ages. New York: Random House.
Gilson, E. (1960). The Christian philosophy of
Saint Augustine. New York: Random House.
Glendon, M. A. (2001). A world made new: Eleanor
Roosevelt and the Universal Declaration of Human Rights. New York: Random
House.
Hittinger, R. (2003). The first grace:
Rediscovering the natural law in a post-Christian world. Wilmington, DE:
ISI Books.
Kerr, F. (2009). Thomas Aquinas: A very short
introduction. Oxford: Oxford University Press.
Markus, R. A. (1970). Saeculum: History and society
in the theology of St Augustine. Cambridge: Cambridge University Press.
Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An
historical and philosophical introduction. London: Routledge.
Pelikan, J. (1971). The Christian tradition: A
history of the development of doctrine, Vol. 1. Chicago: University of
Chicago Press.
Pieper, J. (1960). Scholasticism: Personalities and
problems of medieval philosophy (R. & C. Winston, Trans.). New York:
McGraw-Hill.
Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues.
Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Pines, S. (1963). The guide of the perplexed by
Maimonides (S. Pines, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Rashdall, H. (1936). The universities of Europe in
the Middle Ages. Oxford: Clarendon Press.
Rist, J. M. (1994). Augustine: Ancient thought
baptized. Cambridge: Cambridge University Press.
Tierney, B. (1997). The idea of natural rights:
Studies on natural rights, natural law, and church law, 1150–1625. Grand
Rapids, MI: Eerdmans.
Weisheipl, J. A. (1983). Friar Thomas D’Aquino: His
life, thought, and works. Washington, D.C.: Catholic University of America
Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar