Jumat, 03 Oktober 2025

Keadilan dalam Filsafat Abad Pertengahan

Keadilan dalam Filsafat Abad Pertengahan


Posisi Keadilan sebagai Salah Satu Tema Sentral dalam Etika dan Filsafat Politik


Alihkan ke: Konsep Keadilan.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep keadilan dalam filsafat abad pertengahan dengan fokus pada dua tokoh sentral, yakni Augustinus dan Thomas Aquinas. Keduanya mewakili dua arus besar dalam tradisi intelektual Kristen: Augustinus dengan pendekatan teologis yang dipengaruhi Neoplatonisme, dan Aquinas dengan pendekatan rasional-sistematis yang dipengaruhi Aristotelianisme. Kajian ini menelusuri konteks historis filsafat abad pertengahan, pemahaman keadilan menurut Augustinus sebagai keteraturan cinta (ordo amoris) yang berpusat pada kasih kepada Allah, serta pemahaman Aquinas tentang keadilan sebagai kebajikan moral yang diuraikan melalui kategori distributif, komutatif, dan legal. Analisis perbandingan memperlihatkan bahwa meskipun berbeda dalam penekanan, keduanya menegaskan bahwa keadilan sejati bersumber dari Allah sebagai prinsip transenden. Warisan pemikiran mereka berpengaruh besar terhadap perkembangan teori hukum alam, filsafat politik, dan etika sosial, serta tetap relevan dalam wacana kontemporer mengenai keadilan global, hak asasi manusia, dan etika publik. Artikel ini menegaskan pentingnya sintesis pemikiran Augustinus dan Aquinas sebagai fondasi konseptual dan normatif bagi refleksi keadilan di masa kini.

Kata Kunci: Keadilan; Filsafat Abad Pertengahan; Augustinus; Thomas Aquinas; Hukum Alam; Etika Kristen; Filsafat Politik.


PEMBAHASAN

Keadilan dalam Filsafat Abad Pertengahan


1.          Pendahuluan

Filsafat abad pertengahan merupakan suatu periode penting dalam sejarah pemikiran Barat yang ditandai oleh usaha mengintegrasikan antara iman dan akal, teologi dan filsafat, wahyu dan rasionalitas. Periode ini secara garis besar berlangsung dari abad ke-5 hingga abad ke-15, dengan fokus utama pada bagaimana filsafat dapat dipakai untuk memahami dan memperkuat ajaran iman Kristen dalam menghadapi tantangan intelektual yang datang dari warisan Yunani-Romawi maupun dari perkembangan filsafat Islam dan Yahudi pada masa itu.¹ Pemikiran tentang keadilan menjadi salah satu tema sentral karena terkait erat dengan persoalan moral, etika, hukum, dan tatanan sosial.

Dalam konteks abad pertengahan, keadilan tidak hanya dipahami sebagai hubungan etis antarindividu, tetapi juga sebagai refleksi keteraturan kosmik dan ilahi. Augustinus (354–430 M), seorang Bapa Gereja dan filsuf Kristen terkemuka, menganggap bahwa keadilan sejati hanya dapat ditemukan dalam keteraturan yang menempatkan Allah sebagai pusat dari seluruh kehidupan manusia.² Baginya, suatu negara tanpa keadilan tidak lebih dari sekadar "perkumpulan perampok" (latrocinium), karena hanya negara yang berlandaskan pada hukum ilahi yang dapat disebut adil.³ Pandangan ini memperlihatkan orientasi teosentris Augustinus, yang menekankan bahwa keadilan tidak dapat dilepaskan dari kasih kepada Allah (caritas) sebagai prinsip tertinggi.

Beberapa abad kemudian, Thomas Aquinas (1225–1274 M) mengembangkan sebuah kerangka konseptual yang lebih sistematis mengenai keadilan, yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles.⁴ Dalam Summa Theologica, ia menempatkan keadilan sebagai salah satu dari empat kebajikan kardinal yang mengatur relasi manusia dengan sesama. Aquinas membedakan antara keadilan distributif, komutatif, dan legal, yang masing-masing memiliki fungsi dalam menjaga keseimbangan sosial.⁵ Di samping itu, Aquinas juga menegaskan keterkaitan keadilan dengan hukum alam (lex naturalis) sebagai prinsip universal yang bersumber dari rasio manusia dan, pada akhirnya, dari hukum ilahi.⁶

Kedua pemikir besar ini, Augustinus dan Aquinas, menampilkan dua wajah filsafat abad pertengahan: yang pertama lebih bersifat teologis dengan kecenderungan Platonik, sedangkan yang kedua lebih sistematis dan Aristotelian. Namun keduanya sama-sama menekankan bahwa keadilan bukan sekadar kategori moral, melainkan fondasi tatanan sosial-politik yang berakar pada prinsip transenden. Kajian tentang konsep keadilan dari kedua tokoh ini penting bukan hanya untuk memahami sejarah filsafat, tetapi juga untuk menyoroti warisan intelektual mereka yang masih berpengaruh pada etika, filsafat politik, dan teori hukum hingga saat ini.⁷


Footnotes

[1]                Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 5–7.

[2]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.13.

[3]                Augustine, The City of God, XIX.21.

[4]                Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 27–30.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 58, a. 1–11.

[6]                John Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1998), 85–90.

[7]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 112–115.


2.               Konteks Historis Filsafat Abad Pertengahan

Filsafat abad pertengahan biasanya dipahami sebagai periode intelektual yang membentang dari runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 hingga awal Renaisans pada abad ke-15.¹ Periode ini sering disebut sebagai masa transisi dari filsafat klasik menuju filsafat modern, dengan karakteristik utama berupa upaya harmonisasi antara iman Kristen dan tradisi intelektual Yunani-Romawi.² Para pemikir abad pertengahan berusaha menunjukkan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran akal, melainkan saling melengkapi.

2.1.       Ciri Khas Filsafat Abad Pertengahan

Salah satu ciri paling menonjol dari filsafat abad pertengahan adalah sifatnya yang teosentris.³ Filsafat dipandang bukan sekadar upaya rasional untuk memahami dunia, melainkan sebagai sarana untuk mendalami iman dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Filsafat abad pertengahan karenanya sangat erat kaitannya dengan teologi. Para filsuf pada masa ini, seperti Augustinus dan Thomas Aquinas, seringkali juga merupakan teolog yang menulis untuk menjawab persoalan iman dan moral dalam konteks sosial dan politik zamannya.⁴

Selain itu, filsafat abad pertengahan ditandai oleh metode skolastik, yaitu pendekatan yang mengedepankan logika, dialektika, dan sistematisasi.⁵ Skolastisisme berkembang pesat di sekolah katedral dan universitas Eropa, seperti Paris, Oxford, dan Bologna, yang menjadi pusat intelektual abad pertengahan.⁶ Melalui metode ini, para pemikir berusaha mengkaji secara kritis teks-teks otoritatif (Alkitab, Bapa Gereja, Aristoteles, dan lain-lain) untuk menghasilkan sintesis yang koheren antara iman dan akal.

2.2.       Perkembangan Filsafat Kristen dari Era Patristik ke Skolastik

Filsafat abad pertengahan terbagi ke dalam dua tahap besar: era Patristik (abad 2–7) dan era Skolastik (abad 9–15). Era Patristik ditandai oleh karya para Bapa Gereja, termasuk Augustinus, yang berusaha membela iman Kristen dari tantangan filsafat pagan serta bidat internal.⁷ Augustinus memanfaatkan filsafat Neoplatonisme untuk merumuskan pandangan teologis tentang jiwa, kebaikan, dan keadilan.

Memasuki era Skolastik, fokus bergeser pada upaya sistematisasi dan sintesis yang lebih rasional, terutama berkat ketersediaan kembali karya-karya Aristoteles melalui penerjemahan dari bahasa Arab dan Latin.⁸ Pemikir seperti Thomas Aquinas berusaha mengintegrasikan Aristotelianisme dengan teologi Kristen, menghasilkan suatu sintesis filosofis yang lebih matang dan sistematis.⁹

2.3.       Pengaruh Tradisi Yunani, Islam, dan Yahudi

Filsafat abad pertengahan tidak berkembang dalam ruang hampa. Tradisi Yunani—khususnya Platonisme dan Aristotelianisme—sangat mempengaruhi struktur berpikir para pemikir Kristen.¹⁰ Melalui karya-karya penerjemah Arab dan Latin, pemikiran Aristoteles yang semula nyaris hilang di Barat kembali dikenal.

Peradaban Islam turut berperan besar dalam menyampaikan warisan filsafat Yunani. Tokoh seperti Al-Farabi, Ibn Sina (Avicenna), dan Ibn Rushd (Averroes) menjadi jembatan penting dalam memperkenalkan kembali Aristotelianisme ke dunia Latin.¹¹ Demikian pula, pemikir Yahudi seperti Maimonides memberi kontribusi signifikan dalam memperkaya wacana filsafat skolastik.¹² Dengan demikian, filsafat abad pertengahan mencerminkan dialog lintas tradisi yang memperkaya konsepsi etika, politik, dan metafisika, termasuk soal keadilan.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 1–5.

[2]                Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 11–15.

[3]                Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (New York: McGraw-Hill, 1960), 23.

[4]                Jaroslav Pelikan, The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 15–20.

[5]                John Marenbon, Medieval Philosophy: An Historical and Philosophical Introduction (London: Routledge, 2007), 45–47.

[6]                Hastings Rashdall, The Universities of Europe in the Middle Ages (Oxford: Clarendon Press, 1936), 56–59.

[7]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book VII.

[8]                Richard C. Dales, The Intellectual Life of Western Europe in the Middle Ages (Washington, D.C.: University Press of America, 1980), 83–90.

[9]                Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 32–35.

[10]             Lloyd P. Gerson, Aristotle and Other Platonists (Ithaca: Cornell University Press, 2005), 211–214.

[11]             Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 160–170.

[12]             Shlomo Pines, The Guide of the Perplexed by Maimonides, trans. Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), Introduction, xx–xxi.


3.               Konsep Keadilan Menurut Augustinus

3.1.       Biografi Intelektual Singkat Augustinus

Aurelius Augustinus (354–430 M), dikenal sebagai Santo Augustinus dari Hippo, adalah salah satu Bapa Gereja paling berpengaruh dalam tradisi Kristen Barat. Ia lahir di Tagaste (Numidia, Afrika Utara) dan menempuh pendidikan retorika di Kartago sebelum kemudian terlibat dalam ajaran Manikeisme.¹ Setelah melalui pergulatan intelektual dan spiritual yang panjang, ia mengalami pertobatan pada tahun 386 M dan dibaptis oleh Ambrosius, Uskup Milan.² Sejak itu, Augustinus mengabdikan hidupnya pada pelayanan gereja dan penulisan karya teologis-filosofis. Pemikirannya dipengaruhi oleh Neoplatonisme, khususnya gagasan tentang hierarki realitas dan keterarahan jiwa pada Tuhan.³

3.2.       Keadilan sebagai Tatanan Ilahi

Bagi Augustinus, keadilan bukanlah sekadar relasi antarindividu, tetapi suatu tatanan kosmik yang berakar pada kehendak Allah. Dalam De Civitate Dei (Kota Allah), ia menegaskan bahwa keadilan sejati hanya ada apabila setiap bagian dari realitas menempati tempatnya sesuai dengan tatanan ilahi.⁴ Keadilan berarti menempatkan segala sesuatu pada posisi yang benar, yaitu manusia mencintai Allah di atas segala-galanya dan mencintai sesama karena Allah.⁵

Dalam pandangan Augustinus, ketidakadilan muncul ketika manusia mencintai ciptaan lebih dari Sang Pencipta, sehingga terjadi keterbalikan dalam tatanan cinta (ordo amoris).⁶ Oleh karena itu, keadilan bukanlah semata-mata persoalan hukum positif, melainkan persoalan moral dan spiritual yang berkaitan dengan orientasi hati manusia terhadap Allah.

3.3.       Hubungan antara Keadilan, Cinta (Caritas), dan Kasih kepada Allah

Augustinus menekankan bahwa dasar keadilan adalah caritas (kasih). Caritas mengarahkan manusia untuk mengasihi Allah sebagai kebaikan tertinggi (summum bonum) dan sesama manusia dalam terang kasih Allah.⁷ Dengan demikian, keadilan adalah wujud praktis dari kasih yang tertata: kasih kepada Allah mengarahkan kasih kepada sesama secara benar. Tanpa kasih, keadilan akan kehilangan ruhnya dan hanya menjadi hukum eksternal tanpa orientasi transendental.

3.4.       Keadilan dalam Negara: De Civitate Dei

Dalam refleksi politiknya, Augustinus mengajukan pertanyaan: dapatkah sebuah negara disebut adil tanpa pengakuan terhadap Allah? Dalam De Civitate Dei, ia menegaskan bahwa negara yang tidak mendasarkan diri pada keadilan ilahi hanyalah kumpulan perampok (latrocinium).⁸ Negara yang sejati adalah komunitas yang diikat oleh keadilan, yakni keteraturan yang mengarahkan warga negara kepada kebaikan tertinggi.⁹

Namun, Augustinus juga membedakan antara Civitas Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena (Kota Dunia). Kota Allah adalah komunitas orang-orang yang mengasihi Allah, sedangkan Kota Dunia adalah komunitas yang lebih mencintai diri sendiri dan dunia.¹⁰ Dalam sejarah, keduanya selalu bercampur, tetapi hanya Kota Allah yang menjadi gambaran sempurna keadilan. Pandangan ini menunjukkan pesimisme realistis Augustinus terhadap politik duniawi, sekaligus harapannya akan keadilan transenden di dalam kerajaan Allah.

3.5.       Implikasi Etis dan Teologis

Konsep keadilan Augustinus memiliki implikasi yang luas dalam bidang etika dan teologi. Pertama, keadilan menuntut keteraturan cinta: manusia harus mengasihi sesuai hirarki nilai yang benar. Kedua, keadilan menekankan pentingnya moralitas internal dibanding sekadar kepatuhan eksternal terhadap hukum. Ketiga, keadilan menegaskan bahwa negara tanpa orientasi kepada Allah tidak mungkin mencapai keadilan sejati.¹¹ Dengan demikian, Augustinus memberikan fondasi teologis bagi pemahaman keadilan dalam tradisi Kristen Barat yang memengaruhi pemikiran abad pertengahan selanjutnya, termasuk Aquinas.


Footnotes

[1]                Peter Brown, Augustine of Hippo: A Biography, 2nd ed. (Berkeley: University of California Press, 2000), 32–40.

[2]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book VIII.

[3]                John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 67–70.

[4]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.13.

[5]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine (New York: Random House, 1960), 56–60.

[6]                Augustine, De Civitate Dei, XIX.14.

[7]                Robert Dodaro, Christ and the Just Society in the Thought of Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 89–93.

[8]                Augustine, The City of God, XIX.21.

[9]                R.A. Markus, Saeculum: History and Society in the Theology of St Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 81–85.

[10]             Augustine, The City of God, XIV.28.

[11]             Gerald Bonner, Freedom and Necessity: St Augustine’s Teaching on Divine Power and Human Freedom (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 2007), 102–108.


4.               Konsep Keadilan Menurut Thomas Aquinas

4.1.       Biografi Intelektual Singkat Aquinas

Thomas Aquinas (1225–1274) adalah seorang teolog dan filsuf skolastik yang lahir di Roccasecca, Italia. Ia bergabung dengan Ordo Dominikan dan menempuh pendidikan di Napoli, Cologne, dan Paris di bawah bimbingan Albertus Magnus.¹ Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang baru saja diterjemahkan ke dalam bahasa Latin melalui sarjana Muslim dan Yahudi.² Aquinas kemudian menyusun sintesis antara iman Kristen dengan filsafat Aristoteles, yang mencapai puncaknya dalam karya monumentalnya, Summa Theologica.

4.2.       Keadilan sebagai Kebajikan Moral

Dalam kerangka etika Aquinas, keadilan adalah salah satu dari empat kebajikan kardinal (bersama dengan kebijaksanaan, keberanian, dan moderasi).³ Ia mendefinisikan keadilan sebagai “habitus, whereby a man renders to each one his due by a constant and perpetual will” (habitus secundum quem aliquis, constans et perpetua voluntate, jus suum cuique tribuit).⁴ Dengan demikian, keadilan bukan sekadar tindakan sesaat, melainkan disposisi moral yang konsisten untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

Bagi Aquinas, keadilan berorientasi pada relasi sosial. Jika kebajikan lain seperti temperantia atau fortitudo lebih mengatur manusia terhadap dirinya sendiri, maka keadilan mengatur relasi manusia dengan orang lain, baik dalam konteks interpersonal maupun komunal.⁵

4.3.       Jenis-jenis Keadilan

Aquinas mengembangkan tipologi keadilan yang sangat berpengaruh dalam teori hukum dan politik:

1)                  Keadilan distributif – keadilan yang berkaitan dengan bagaimana otoritas (negara atau komunitas) mendistribusikan hak, kewajiban, dan sumber daya kepada warga negara sesuai dengan proporsinya.⁶

2)                  Keadilan komutatif – keadilan yang mengatur hubungan timbal balik antarindividu, terutama dalam hal kontrak, perdagangan, atau restitusi. Prinsip utamanya adalah kesetaraan dan keseimbangan.⁷

3)                  Keadilan legal (general justice) – keadilan yang mengatur kewajiban individu terhadap masyarakat secara keseluruhan, yaitu ketaatan pada hukum demi kebaikan bersama (bonum commune).⁸

Tipologi ini menunjukkan bahwa Aquinas memahami keadilan dalam konteks sosial-politik yang lebih luas daripada sekadar moralitas pribadi.

4.4.       Relasi Keadilan dengan Hukum Alam

Konsep keadilan Aquinas tidak dapat dilepaskan dari teorinya tentang hukum (lex). Menurut Aquinas, ada empat macam hukum: hukum kekal (lex aeterna), hukum ilahi (lex divina), hukum alam (lex naturalis), dan hukum manusia (lex humana).⁹ Hukum alam, yang bersumber dari akal budi manusia, adalah partisipasi manusia dalam hukum kekal Allah.¹⁰

Keadilan hanya mungkin ditegakkan apabila hukum manusia sejalan dengan hukum alam. Jika suatu hukum positif bertentangan dengan hukum alam, maka hukum tersebut kehilangan kekuatan moral dan tidak mengikat secara keadilan.¹¹ Dengan demikian, keadilan menurut Aquinas bersifat objektif, karena berakar pada hukum moral universal yang dapat dikenali oleh akal budi manusia.

4.5.       Implikasi Sosial-Politik

Konsep keadilan Aquinas memiliki implikasi besar bagi filsafat politik dan teori hukum. Pertama, ia menegaskan bahwa keadilan harus selalu dikaitkan dengan kebaikan bersama (bonum commune), bukan hanya kepentingan individu.¹² Kedua, keadilan distributif mengandaikan adanya proporsionalitas dalam pembagian sumber daya, yang menjadi dasar bagi teori keadilan sosial modern. Ketiga, keadilan komutatif menegaskan prinsip integritas dalam kontrak dan transaksi, yang relevan dalam bidang hukum perdata dan ekonomi.

Aquinas juga menekankan bahwa pemerintah wajib menegakkan keadilan demi kesejahteraan rakyat.¹³ Namun, apabila hukum yang dibuat penguasa bertentangan dengan hukum alam, rakyat tidak berkewajiban untuk menaatinya.¹⁴ Pandangan ini menjadi salah satu akar teoritis bagi konsep civil disobedience dalam tradisi politik modern.


Footnotes

[1]                James A. Weisheipl, Friar Thomas D’Aquino: His Life, Thought, and Works (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1983), 45–52.

[2]                David B. Burrell, Faith and Freedom: An Interfaith Perspective (Malden, MA: Blackwell, 2004), 61–65.

[3]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 44–47.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 58, a. 1.

[5]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 111–113.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 61, a. 1.

[7]                Ibid., q. 61, a. 2.

[8]                Ibid., q. 58, a. 5.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 91, a. 1–4.

[10]             John Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1998), 35–38.

[11]             Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 95, a. 2.

[12]             Ernest L. Fortin, Classical Christianity and the Political Order (Lanham: Rowman & Littlefield, 1996), 120–123.

[13]             Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 90, a. 2.

[14]             Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory, 89–91.


5.               Perbandingan Pemikiran Augustinus dan Aquinas

5.1.       Persamaan Pemikiran

Baik Augustinus maupun Thomas Aquinas menempatkan keadilan dalam kerangka teosentris, yakni sebagai suatu tatanan yang berakar pada Allah. Augustinus menegaskan bahwa keadilan sejati hanya mungkin terwujud jika manusia menempatkan Allah sebagai pusat cinta (ordo amoris), sehingga kasih kepada Allah menjadi dasar keteraturan sosial.¹ Demikian pula, Aquinas menekankan bahwa keadilan harus selalu diarahkan pada kebaikan bersama (bonum commune), yang pada hakikatnya juga bersumber dari hukum kekal Allah.²

Keduanya juga mengakui keterkaitan erat antara keadilan dan kebajikan moral lainnya. Augustinus melihat keadilan sebagai ekspresi cinta kasih (caritas), sedangkan Aquinas menempatkan keadilan sebagai salah satu kebajikan kardinal yang menyempurnakan kehidupan bermoral.³ Dengan demikian, keadilan dalam pandangan keduanya bukan sekadar aturan hukum, tetapi kebajikan yang melibatkan pembentukan karakter manusia.

5.2.       Perbedaan Konseptual

Meski memiliki orientasi teosentris yang sama, terdapat perbedaan mendasar dalam pendekatan mereka.

·                     Orientasi Filosofis:

Augustinus lebih dipengaruhi oleh tradisi Platonisme dan Neoplatonisme. Baginya, keadilan adalah keteraturan cinta yang bersifat transenden, di mana manusia diarahkan kepada Allah sebagai summum bonum.⁴ Sementara itu, Aquinas banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Ia memahami keadilan dalam kerangka hukum alam dan rasionalitas, sehingga lebih menekankan aspek praktis dan sistematis dalam kehidupan sosial.⁵

·                     Konsep Negara:

Augustinus memiliki pandangan pesimistis terhadap politik duniawi. Dalam De Civitate Dei, ia membedakan antara Kota Allah (Civitas Dei) dan Kota Dunia (Civitas Terrena), dengan menekankan bahwa negara duniawi tanpa keadilan ilahi hanyalah "perkumpulan perampok."⁶ Sebaliknya, Aquinas memandang negara sebagai lembaga yang sah untuk menegakkan kebaikan bersama. Ia menegaskan bahwa hukum positif yang sesuai dengan hukum alam dapat menjadi instrumen penting untuk mewujudkan keadilan sosial.⁷

·                     Dimensi Teologis vs. Yuridis:

Pada Augustinus, keadilan bersifat lebih teologis, karena berakar pada relasi manusia dengan Allah. Keadilan sejati, menurutnya, tidak mungkin dicapai tanpa kasih yang terarah pada Sang Pencipta.⁸ Sedangkan Aquinas memahami keadilan lebih dalam kerangka yuridis dan etis. Ia mengklasifikasikan keadilan ke dalam jenis-jenis tertentu (distributif, komutatif, legal) yang dapat diterapkan secara konkret dalam tata hukum dan politik.⁹

5.3.       Relasi Historis dan Konseptual

Aquinas sering dipandang sebagai penerus sekaligus korektor Augustinus. Ia mewarisi gagasan teosentris Augustinus, tetapi mengembangkannya ke arah yang lebih rasional dengan bantuan filsafat Aristoteles.¹⁰ Jika Augustinus lebih menekankan pada dimensi moral-spiritual dari keadilan, maka Aquinas menekankan struktur hukum dan sosial yang memungkinkan keadilan diwujudkan dalam masyarakat.¹¹ Dengan demikian, pemikiran Aquinas dapat dianggap sebagai sintesis antara tradisi Augustinian dan Aristotelian, yang memberi fondasi kuat bagi filsafat politik dan hukum di Barat.

5.4.       Signifikansi Perbandingan

Perbandingan antara Augustinus dan Aquinas menunjukkan dinamika perkembangan filsafat abad pertengahan dari pendekatan teologis-mistik ke arah sistematis-rasional.¹² Pemikiran Augustinus relevan sebagai refleksi spiritual tentang keadilan yang berakar pada kasih kepada Allah, sementara Aquinas memberikan kerangka konseptual yang lebih konkret untuk mengatur kehidupan sosial dan hukum. Keduanya saling melengkapi: Augustinus menekankan fondasi spiritual keadilan, sedangkan Aquinas menyediakan struktur rasional bagi implementasinya dalam masyarakat.


Footnotes

[1]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.13.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 90, a. 2.

[3]                Robert Dodaro, Christ and the Just Society in the Thought of Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 89–92.

[4]                John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 71–74.

[5]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 111–115.

[6]                Augustine, The City of God, XIX.21.

[7]                Ernest L. Fortin, Classical Christianity and the Political Order (Lanham: Rowman & Littlefield, 1996), 120–123.

[8]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine (New York: Random House, 1960), 56–60.

[9]                Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 61, a. 1–2.

[10]             Fergus Kerr, Thomas Aquinas: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 35–38.

[11]             John Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1998), 85–89.

[12]             Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 211–215.


6.               Relevansi Keadilan Abad Pertengahan bagi Pemikiran Kontemporer

6.1.       Warisan Pemikiran Augustinus dan Aquinas dalam Filsafat Politik Barat

Pemikiran keadilan dari Augustinus dan Aquinas memberikan fondasi yang kuat bagi perkembangan filsafat politik Barat. Augustinus, dengan gagasannya tentang Civitas Dei dan Civitas Terrena, menekankan keterbatasan politik duniawi dan perlunya orientasi spiritual dalam menilai keadilan.¹ Konsep ini memberi sumbangan penting dalam tradisi politik Kristen yang menempatkan moralitas transenden sebagai standar evaluasi terhadap kekuasaan negara.

Aquinas, sebaliknya, memberikan sistem konseptual yang lebih rasional dengan membangun kerangka hukum alam (lex naturalis).² Teorinya tentang keadilan legal, distributif, dan komutatif menjadi dasar bagi perkembangan teori hukum modern, termasuk gagasan tentang hak-hak asasi manusia dan supremasi hukum.³ Banyak teori politik kontemporer, misalnya dalam tradisi liberal maupun personalis, masih merujuk pada pemikiran Aquinas mengenai kebaikan bersama (bonum commune) dan keterkaitannya dengan hukum moral universal.⁴

6.2.       Pengaruh pada Teori Hukum Alam dan Hak Asasi Manusia

Konsep hukum alam Aquinas sangat berpengaruh dalam perumusan teori hak asasi manusia modern.⁵ Pandangan bahwa hukum positif harus sejalan dengan hukum moral universal telah menjadi salah satu prinsip dasar dalam tradisi hukum internasional, terutama setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).⁶ Bahkan filsuf hukum kontemporer seperti John Finnis masih mengembangkan teori hukum alam dengan merujuk pada Aquinas.⁷

Sementara itu, Augustinus berperan dalam menekankan dimensi moral dan spiritual keadilan. Pandangannya bahwa negara tanpa keadilan hanyalah “perkumpulan perampok” relevan untuk menilai rezim totaliter maupun pemerintahan yang menindas rakyat.⁸ Gagasannya tetap hidup dalam perdebatan tentang legitimasi politik dan moralitas negara di era modern.

6.3.       Relevansi bagi Wacana Keadilan Global dan Sosial

Dalam konteks global saat ini, keadilan tidak lagi hanya berkaitan dengan relasi antarindividu, tetapi juga menyangkut relasi antarbangsa, distribusi sumber daya, dan tanggung jawab sosial. Pemikiran Aquinas tentang keadilan distributif dapat dijadikan dasar untuk menilai ketidakadilan ekonomi global, kesenjangan sosial, maupun distribusi kekayaan yang timpang.⁹

Demikian pula, keadilan komutatif memiliki relevansi dalam hubungan perdagangan internasional, di mana prinsip keseimbangan dan kesetaraan menjadi penting dalam mencegah eksploitasi.¹⁰ Sementara itu, penekanan Augustinus pada keteraturan cinta (ordo amoris) dapat memberikan perspektif etis tentang pentingnya orientasi moral dalam menghadapi tantangan global seperti krisis lingkungan, konflik bersenjata, dan degradasi martabat manusia.¹¹

6.4.       Keadilan dalam Konteks Etika Publik Kontemporer

Dalam etika publik kontemporer, baik Augustinus maupun Aquinas masih menjadi rujukan penting. Misalnya, dalam diskursus tentang civil disobedience (pembangkangan sipil), pandangan Aquinas bahwa hukum positif yang bertentangan dengan hukum alam tidak mengikat secara moral menjadi landasan teoritis.¹² Di sisi lain, Augustinus mengingatkan bahwa tanpa cinta kasih yang terarah pada Allah, tatanan hukum apa pun akan kehilangan keadilan sejati.¹³

Kedua pemikiran ini, meskipun lahir dalam konteks abad pertengahan, tetap relevan untuk membangun paradigma etika politik yang menekankan keterpaduan antara hukum, moralitas, dan spiritualitas.


Footnotes

[1]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.17.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 91, a. 2.

[3]                Brian Tierney, The Idea of Natural Rights: Studies on Natural Rights, Natural Law, and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 53–57.

[4]                Russell Hittinger, The First Grace: Rediscovering the Natural Law in a Post-Christian World (Wilmington: ISI Books, 2003), 101–105.

[5]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 18–22.

[6]                Mary Ann Glendon, A World Made New: Eleanor Roosevelt and the Universal Declaration of Human Rights (New York: Random House, 2001), 45–50.

[7]                John Finnis, Aquinas: Moral, Political, and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1998), 84–90.

[8]                Augustine, The City of God, XIX.21.

[9]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 83–85.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 61, a. 2.

[11]             Robert Dodaro, Christ and the Just Society in the Thought of Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 115–118.

[12]             Aquinas, Summa Theologica, I–II, q. 96, a. 4.

[13]             Etienne Gilson, The Christian Philosophy of Saint Augustine (New York: Random House, 1960), 62–65.


7.               Penutup

Kajian tentang keadilan dalam filsafat abad pertengahan melalui pemikiran Augustinus dan Thomas Aquinas memperlihatkan dinamika penting antara teologi, filsafat, dan etika dalam sejarah intelektual Barat. Augustinus menegaskan bahwa keadilan sejati tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada Allah dan keteraturan cinta (ordo amoris).¹ Dengan perspektif yang berakar pada Neoplatonisme, ia memahami keadilan sebagai tatanan moral dan spiritual yang melampaui sekadar hukum positif.²

Sebaliknya, Thomas Aquinas, yang banyak dipengaruhi Aristoteles, membangun konsep keadilan dalam kerangka sistematis dan rasional.³ Dengan membedakan antara keadilan distributif, komutatif, dan legal, Aquinas meletakkan dasar teoritis yang kokoh bagi perkembangan hukum alam dan filsafat politik Barat.⁴ Jika Augustinus menyoroti dimensi teologis keadilan, maka Aquinas menekankan dimensi yuridis dan sosialnya. Meski demikian, keduanya tetap bertemu dalam prinsip dasar: keadilan berakar pada Allah sebagai sumber kebaikan dan keteraturan kosmik.⁵

Warisan Augustinus dan Aquinas menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya persoalan normatif, tetapi juga transenden, yang menghubungkan manusia dengan Tuhan sekaligus membentuk tatanan sosial. Pandangan mereka memberi inspirasi bagi teori politik dan hukum modern, termasuk hak asasi manusia dan konsep bonum commune.⁶ Bahkan dalam diskursus kontemporer tentang keadilan global, distribusi sumber daya, dan etika publik, pemikiran mereka masih relevan sebagai landasan normatif dan refleksi filosofis.⁷

Dengan demikian, studi tentang keadilan dalam filsafat abad pertengahan tidak hanya memberikan pemahaman historis, tetapi juga membuka jalan bagi refleksi kritis atas problem keadilan di zaman modern. Augustinus dan Aquinas menghadirkan dua pendekatan yang saling melengkapi: yang satu berakar pada spiritualitas dan kasih, yang lain pada rasionalitas dan hukum. Sintesis keduanya dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun paradigma keadilan yang utuh, yang mencakup dimensi moral, hukum, sosial, dan transendental.⁸


Footnotes

[1]                Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 2003), XIX.13.

[2]                John M. Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 72–74.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, II–II, q. 58, a. 1.

[4]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 84–87.

[5]                Etienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 212–214.

[6]                Brian Tierney, The Idea of Natural Rights: Studies on Natural Rights, Natural Law, and Church Law, 1150–1625 (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 61–65.

[7]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 23–28.

[8]                Robert Dodaro, Christ and the Just Society in the Thought of Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), 118–120.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1911–1925). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). London: Burns Oates & Washbourne.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Augustine. (2003). The city of God (H. Bettenson, Trans.). London: Penguin Books.

Bonner, G. (2007). Freedom and necessity: St Augustine’s teaching on divine power and human freedom. Washington, D.C.: Catholic University of America Press.

Brown, P. (2000). Augustine of Hippo: A biography (2nd ed.). Berkeley: University of California Press.

Burrell, D. B. (2004). Faith and freedom: An interfaith perspective. Malden, MA: Blackwell.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Volume II: Medieval philosophy. New York: Image Books.

Dales, R. C. (1980). The intellectual life of Western Europe in the Middle Ages. Washington, D.C.: University Press of America.

Davies, B. (1992). The thought of Thomas Aquinas. Oxford: Clarendon Press.

Dodaro, R. (2004). Christ and the just society in the thought of Augustine. Cambridge: Cambridge University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York: Columbia University Press.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Oxford: Clarendon Press.

Finnis, J. (1998). Aquinas: Moral, political, and legal theory. Oxford: Oxford University Press.

Fortin, E. L. (1996). Classical Christianity and the political order. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

Gerson, L. P. (2005). Aristotle and other Platonists. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Gilson, E. (1955). History of Christian philosophy in the Middle Ages. New York: Random House.

Gilson, E. (1960). The Christian philosophy of Saint Augustine. New York: Random House.

Glendon, M. A. (2001). A world made new: Eleanor Roosevelt and the Universal Declaration of Human Rights. New York: Random House.

Hittinger, R. (2003). The first grace: Rediscovering the natural law in a post-Christian world. Wilmington, DE: ISI Books.

Kerr, F. (2009). Thomas Aquinas: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Markus, R. A. (1970). Saeculum: History and society in the theology of St Augustine. Cambridge: Cambridge University Press.

Marenbon, J. (2007). Medieval philosophy: An historical and philosophical introduction. London: Routledge.

Pelikan, J. (1971). The Christian tradition: A history of the development of doctrine, Vol. 1. Chicago: University of Chicago Press.

Pieper, J. (1960). Scholasticism: Personalities and problems of medieval philosophy (R. & C. Winston, Trans.). New York: McGraw-Hill.

Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Pines, S. (1963). The guide of the perplexed by Maimonides (S. Pines, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Rashdall, H. (1936). The universities of Europe in the Middle Ages. Oxford: Clarendon Press.

Rist, J. M. (1994). Augustine: Ancient thought baptized. Cambridge: Cambridge University Press.

Tierney, B. (1997). The idea of natural rights: Studies on natural rights, natural law, and church law, 1150–1625. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Weisheipl, J. A. (1983). Friar Thomas D’Aquino: His life, thought, and works. Washington, D.C.: Catholic University of America Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar