Jumat, 03 Oktober 2025

Keadilan dari Perspektif Filsafat Islam

Keadilan dari Perspektif Filsafat Islam

Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Mawardi, Al-Ghazali, dan Aristoteles


Alihkan ke: Konsep Keadilan.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep keadilan dari perspektif filsafat Islam klasik dengan menelaah pemikiran empat tokoh utama, yaitu al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, dan al-Ghazali, serta mengaitkannya dengan fondasi pemikiran Aristoteles. Kajian dilakukan dengan pendekatan historis-filosofis dan analisis komparatif terhadap teks-teks primer dan sekunder yang relevan.

Aristoteles memandang keadilan sebagai kebajikan utama yang menopang kehidupan bersama dalam polis, dengan pembedaan antara keadilan distributif dan korektif. Pemikiran ini menjadi titik awal yang memengaruhi para filsuf Muslim. Al-Farabi menempatkan keadilan sebagai prinsip utama dalam al-Madinah al-Fadhilah, Ibn Sina memaknainya sebagai harmoni jiwa dan masyarakat, al-Mawardi menekankan keadilan sebagai legitimasi politik dan prinsip tata kelola negara berdasarkan syariat, sedangkan al-Ghazali mengaitkan keadilan dengan keseimbangan batin, akhlak, dan ketaatan kepada Tuhan.

Analisis menunjukkan bahwa pemikir Islam klasik tidak sekadar mengadopsi gagasan Aristoteles, tetapi memperkaya dan mentransformasikannya dengan dimensi spiritual dan normatif Islam. Dengan demikian, keadilan dipahami secara lebih holistik: sebagai prinsip etis, politik, hukum, dan spiritual. Kajian ini menegaskan relevansi pemikiran Islam klasik terhadap wacana keadilan kontemporer, khususnya dalam konteks good governance, distribusi kesejahteraan, dan penguatan moralitas publik di tengah krisis global.

Kata Kunci: Keadilan, Filsafat Islam, Aristoteles, al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, al-Ghazali, Politik, Etika, Spiritualitas.


PEMBAHASAN

Konsep Keadilan dari Perspektif Filsafat Islam


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Keadilan merupakan salah satu tema sentral dalam filsafat, etika, dan politik sejak zaman kuno hingga era modern. Dalam tradisi filsafat Barat, Aristoteles memandang keadilan sebagai virtue atau kebajikan utama yang menata kehidupan bersama dalam polis. Ia membedakan antara distributive justice (keadilan distributif) dan corrective justice (keadilan korektif), yang menjadi landasan teori hukum dan politik Barat sepanjang abad pertengahan hingga modern.1-7

Tradisi Islam yang berkembang sejak abad pertengahan juga memberikan perhatian besar terhadap konsep keadilan. Para pemikir Islam tidak hanya mengadopsi warisan filsafat Yunani, tetapi juga mengintegrasikannya dengan ajaran wahyu Islam. Dalam Al-Qur’an, keadilan ditegaskan sebagai nilai fundamental dalam relasi antara manusia dengan sesamanya maupun dengan Allah, seperti dalam QS. al-Nahl [16] ayat 90 yang menyatakan bahwa Allah memerintahkan untuk berlaku adil (al-‘adl) dan berbuat kebajikan .

1.2.       Rumusan Masalah

Tulisan ini berangkat dari pertanyaan: bagaimana konsep keadilan dipahami dalam filsafat Islam klasik, khususnya oleh al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, dan al-Ghazali? Bagaimana pula pengaruh Aristoteles—sebagai filsuf yang sangat berpengaruh terhadap tradisi pemikiran Islam—terhadap rumusan keadilan para pemikir Muslim tersebut? Pertanyaan ini penting untuk menyingkap interaksi intelektual antara tradisi Yunani dan Islam, serta menegaskan kontribusi khas pemikiran Islam terhadap wacana filsafat keadilan global.

1.3.       Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk:

1)                  Mendeskripsikan konsep keadilan dalam filsafat Aristoteles sebagai titik awal dialog dengan pemikiran Islam.

2)                  Menganalisis pandangan al-Farabi tentang keadilan dalam al-Madinah al-Fadhilah, Ibn Sina dalam kerangka etika dan metafisikanya, al-Mawardi dalam teori politik Islam, serta al-Ghazali dalam etika dan spiritualitas.

3)                  Membandingkan persamaan, perbedaan, serta sintesis pemikiran antara tradisi Yunani dan Islam.

4)                  Menunjukkan relevansi pemikiran keadilan klasik ini bagi dunia kontemporer, baik dalam aspek politik, hukum, maupun moral-spiritual.

1.4.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan historis-filosofis dengan metode analisis komparatif. Sumber utama meliputi karya-karya primer seperti al-Madinah al-Fadhilah karya al-Farabi, al-Shifa’ karya Ibn Sina, al-Ahkam al-Sultaniyyah karya al-Mawardi, serta Ihya’ ‘Ulum al-Din karya al-Ghazali. Selain itu, penelitian ini merujuk pada literatur sekunder dari para sarjana modern yang menelaah pemikiran filsafat Islam klasik maupun pengaruh Aristoteles. Pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang komprehensif mengenai posisi keadilan dalam kerangka filsafat Islam dan perbandingannya dengan filsafat Yunani.


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1971), 27–32.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of New York Press, 2006), 55–61.

[3]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968).

[4]                Ibn Sina, Kitab al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Majlis al-A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 1952).

[5]                Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985).

[6]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana (Cairo: Dar al-Hadith, 2004).

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004).


2.           Konsep Keadilan dalam Filsafat Yunani: Aristoteles sebagai Fondasi

2.1.       Keadilan sebagai Kebajikan Utama

Dalam filsafat Yunani klasik, Aristoteles menempatkan keadilan (dikaiosynē) sebagai salah satu kebajikan yang paling utama dalam etika dan politik. Dalam Nicomachean Ethics, ia mendefinisikan keadilan sebagai “kebajikan yang sempurna” karena berkaitan langsung dengan relasi antarindividu dalam kehidupan bersama, bukan hanya dengan pengendalian diri pribadi. Aristoteles menyatakan bahwa seseorang yang adil bukan hanya mematuhi hukum, tetapi juga mampu mengarahkan tindakannya untuk kebaikan bersama (common good).1 Dengan demikian, keadilan melampaui sekadar moralitas individual, melainkan juga prinsip yang menopang harmoni sosial dan politik.

2.2.       Jenis-Jenis Keadilan: Distributif dan Korektif

Aristoteles membedakan dua bentuk utama keadilan, yaitu:

1)                  Keadilan Distributif (distributive justice), yakni pembagian hak, kehormatan, dan sumber daya secara proporsional sesuai dengan kontribusi atau status seseorang dalam masyarakat. Dalam pandangan Aristoteles, keadilan ini berlandaskan prinsip kesetaraan proporsional, bukan kesetaraan mutlak.

2)                  Keadilan Korektif (corrective justice), yang berlaku ketika terjadi ketidakadilan dalam hubungan timbal balik, misalnya dalam kasus pelanggaran hukum, perjanjian, atau transaksi ekonomi. Bentuk keadilan ini berfungsi untuk memulihkan keseimbangan dengan memberikan ganti rugi atau hukuman yang setara dengan pelanggaran yang dilakukan.2

Kedua kategori ini kemudian menjadi fondasi penting bagi filsafat hukum dan teori politik di Barat, dan melalui proses transmisi intelektual, turut memengaruhi pemikiran filsuf Muslim.

2.3.       Keadilan sebagai Harmoni dalam Polis

Bagi Aristoteles, keadilan tidak bisa dilepaskan dari konsep polis (kota-negara) sebagai ruang kehidupan politik dan sosial. Ia menegaskan bahwa tujuan utama polis adalah mencapai eudaimonia (kebahagiaan dan kehidupan yang baik) bagi seluruh warganya. Keadilan, dalam kerangka ini, adalah mekanisme etis dan politik untuk memastikan tercapainya kebaikan bersama. Ia menekankan bahwa hukum harus menjadi instrumen keadilan yang menjamin keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat.3

2.4.       Pengaruh Aristoteles terhadap Tradisi Islam

Pemikiran Aristoteles tentang keadilan masuk ke dunia Islam melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Arab pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi, terutama melalui proyek Bayt al-Hikmah di Baghdad. Karya Nicomachean Ethics dan Politics menjadi rujukan utama bagi para filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina, yang kemudian mengembangkan sintesis antara rasionalitas Yunani dan wahyu Islam. Pandangan Aristoteles tentang keadilan distributif dan korektif, serta gagasannya tentang peran negara dalam mewujudkan kebahagiaan warga, menjadi titik awal diskusi filosofis dalam tradisi Islam yang kemudian diperkaya dengan perspektif etika, hukum, dan spiritualitas Islam.4,5


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129b–1130a.

[2]                Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 83–86.

[3]                Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 1252a–1253a.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 17–21.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 42–49.


3.           Keadilan Menurut al-Farabi

3.1.       Konsep al-Madinah al-Fadhilah dan Fondasi Keadilan

Al-Farabi (w. 950 M), yang sering disebut sebagai Guru Kedua setelah Aristoteles, menempatkan konsep keadilan sebagai prinsip fundamental dalam al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama). Ia berpendapat bahwa masyarakat yang baik hanya dapat tercapai apabila setiap warganya bekerja sama untuk meraih kebahagiaan (sa‘adah) sebagai tujuan tertinggi kehidupan. Keadilan, dalam pandangan ini, merupakan mekanisme yang memastikan bahwa setiap individu memperoleh peran sesuai kapasitasnya dalam struktur sosial dan politik. Tanpa keadilan, negara akan terjerumus ke dalam kebobrokan moral dan politik.1

3.2.       Keadilan dan Struktur Politik

Bagi al-Farabi, keadilan tidak hanya berarti keseimbangan dalam hubungan antarindividu, tetapi juga keteraturan dalam tata kelola negara. Pemimpin yang ideal (filsuf-raja) harus menegakkan keadilan dengan mendistribusikan hak dan kewajiban sesuai dengan kemampuan, keutamaan, dan kontribusi masing-masing anggota masyarakat. Konsep ini menunjukkan kesinambungan dengan teori keadilan distributif Aristoteles, namun diperkaya dengan dimensi etika Islam dan tujuan transendental. Keadilan dalam politik bukan hanya menjaga stabilitas, melainkan juga mengarahkan masyarakat kepada penyempurnaan moral dan spiritual.2

3.3.       Relasi Keadilan dan Kebahagiaan

Al-Farabi mengaitkan erat antara keadilan dan kebahagiaan. Dalam pandangannya, kebahagiaan sejati tidak dapat diraih secara individual semata, melainkan hanya mungkin melalui komunitas politik yang adil. Dengan kata lain, keadilan adalah syarat bagi tercapainya kebahagiaan universal. Pemimpin yang adil berperan sebagai penuntun masyarakat untuk mengintegrasikan kebutuhan jasmani, intelektual, dan spiritual sehingga tercipta harmoni dalam kehidupan bersama.3

3.4.       Perbandingan dengan Aristoteles

Walaupun terinspirasi oleh Aristoteles, al-Farabi mengembangkan konsep keadilan dengan perspektif khas Islam. Jika Aristoteles menekankan polis sebagai wadah keadilan demi eudaimonia, al-Farabi menambahkan dimensi religius bahwa kebahagiaan tertinggi berkaitan dengan penyempurnaan jiwa dan kedekatan dengan Tuhan. Hal ini menjadikan gagasan keadilan al-Farabi lebih komprehensif, mencakup aspek politik, etika, dan metafisika.4,5

3.5.       Relevansi Pemikiran al-Farabi

Konsep keadilan al-Farabi memiliki relevansi besar dalam perdebatan kontemporer tentang etika politik dan tata kelola negara. Penekanannya pada pemimpin yang adil, distribusi peran sesuai kompetensi, serta orientasi pada kebahagiaan kolektif dapat menjadi landasan reflektif bagi pembangunan masyarakat modern yang menghadapi problem ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 87–90.

[2]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 150–156.

[3]                Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State (Oxford: Clarendon Press, 1985), 100–105.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 79–82.

[5]                Charles Butterworth, “Al-Farabi’s Political Philosophy,” dalam The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C. Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 232–238.


4.           Keadilan Menurut Ibn Sina (Avicenna)

4.1.       Keadilan dalam Kerangka Etika dan Jiwa

Ibn Sina (980–1037 M), yang lebih dikenal di Barat sebagai Avicenna, merupakan salah satu filsuf Muslim paling berpengaruh dalam tradisi filsafat Islam dan Barat Latin. Dalam karya monumentalnya al-Shifa’ dan al-Najat, Ibn Sina membahas keadilan sebagai bagian dari filsafat praktis (al-hikmah al-‘amaliyyah), yang mencakup etika, ekonomi rumah tangga, dan politik. Baginya, keadilan adalah kebajikan yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dengan masyarakat. Ia menempatkan keadilan sebagai salah satu al-fadā’il al-nafsāniyyah (kebajikan jiwa) yang menyatukan kekuatan akal, keberanian, dan kesederhanaan, sehingga menghasilkan keseimbangan jiwa.1

4.2.       Keadilan sebagai Kebajikan Universal

Menurut Ibn Sina, keadilan adalah kebajikan universal yang menaungi kebajikan-kebajikan lain. Dalam kerangka ini, keadilan bukan sekadar hukum eksternal, melainkan harmoni internal yang memandu perilaku manusia. Seorang individu yang adil adalah ia yang mampu menempatkan setiap potensi jiwa pada posisi yang tepat: akal mengarahkan, syahwat terkendali, dan emosi teratur. Pandangan ini jelas merupakan kelanjutan dari filsafat etika Aristotelian dan Platonic, tetapi dimodifikasi dalam konteks filsafat Islam yang menekankan kesempurnaan akhlak.2

4.3.       Dimensi Politik Keadilan

Dalam aspek politik, Ibn Sina menekankan bahwa keadilan merupakan syarat utama bagi keberlangsungan madinah (kota). Pemimpin yang adil bertugas mendistribusikan hak dan kewajiban secara proporsional agar tercipta keteraturan sosial. Ia menyatakan bahwa hukum harus berfungsi sebagai instrumen keadilan, karena tanpa hukum yang adil masyarakat akan runtuh. Ibn Sina menekankan bahwa struktur pemerintahan ideal adalah yang menuntun rakyat pada kebahagiaan tertinggi, baik secara duniawi maupun ukhrawi.3

4.4.       Keadilan dan Kebahagiaan Tertinggi

Keadilan bagi Ibn Sina memiliki keterkaitan erat dengan konsep kebahagiaan (sa‘adah). Dalam filsafatnya, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi manusia yang diperoleh melalui penyempurnaan jiwa, baik secara intelektual maupun spiritual. Ia menegaskan bahwa masyarakat yang adil adalah prasyarat bagi individu untuk dapat mencapai kesempurnaan intelektual. Dengan demikian, keadilan tidak hanya berdimensi sosial, tetapi juga transendental—menghubungkan manusia dengan Tuhan melalui kesempurnaan akal dan moral.4

4.5.       Posisi Ibn Sina dalam Tradisi Filsafat Islam

Pemikiran Ibn Sina tentang keadilan menunjukkan sintesis antara warisan filsafat Yunani (khususnya Aristoteles) dan nilai-nilai Islam. Ia mempertahankan prinsip keadilan distributif Aristoteles, namun memberinya muatan metafisik dan spiritual yang khas Islam. Dengan demikian, Ibn Sina menegaskan bahwa keadilan bukan sekadar prinsip politik, melainkan jalan menuju kesempurnaan manusia secara total. Pemikirannya ini kemudian sangat berpengaruh terhadap tokoh-tokoh setelahnya, termasuk al-Ghazali (meskipun kritis), serta para pemikir Latin skolastik seperti Thomas Aquinas.5,6


Footnotes

[1]                Ibn Sina, Kitab al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo: al-Majlis al-A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 1952), 201–204.

[2]                Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985), 112–115.

[3]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 180–185.

[4]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 95–100.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 144–148.

[6]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 67–70.


5.           Keadilan Menurut al-Mawardi

5.1.       Keadilan sebagai Prinsip Politik dan Hukum

Al-Mawardi (972–1058 M), seorang ulama dan hakim terkemuka pada masa Abbasiyah, dikenal luas melalui karyanya al-Ahkam al-Sultaniyyah yang membahas sistem pemerintahan Islam. Dalam kerangka pemikirannya, keadilan menjadi fondasi utama legitimasi kekuasaan. Seorang pemimpin yang tidak menegakkan keadilan dianggap tidak layak memimpin umat, karena inti dari imamah (kepemimpinan) adalah menjaga agama dan mengatur dunia dengan prinsip yang adil.1

5.2.       Keadilan dan Legitimasi Kekuasaan

Al-Mawardi menekankan bahwa kekuasaan politik harus dijalankan berdasarkan hukum syariat yang berfungsi sebagai instrumen keadilan. Pemimpin (imam atau khalifah) tidak memiliki otoritas absolut, melainkan terikat oleh prinsip-prinsip syariat untuk mengelola masyarakat. Keadilan dalam konteks ini berarti menempatkan hak pada pemiliknya, menegakkan hukum tanpa diskriminasi, dan mengelola urusan publik demi kemaslahatan bersama. Dengan demikian, keadilan bukan hanya aspek moral, tetapi juga syarat legitimasi politik.2

5.3.       Fungsi Sosial Keadilan

Menurut al-Mawardi, fungsi utama keadilan adalah menciptakan stabilitas sosial. Ia menegaskan bahwa masyarakat tidak dapat bertahan jika pemimpin gagal menegakkan keadilan. Ketidakadilan akan melahirkan kekacauan, pemberontakan, dan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, keadilan diposisikan sebagai prasyarat bagi kohesi sosial dan kelangsungan negara. Prinsip ini sejalan dengan visi Islam yang menempatkan al-‘adl (keadilan) sebagai inti dalam interaksi sosial dan politik.3

5.4.       Keadilan dalam Administrasi Pemerintahan

Dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, al-Mawardi juga menekankan keadilan dalam administrasi, seperti pengelolaan pajak, distribusi kekayaan publik, dan pelaksanaan hukum. Seorang penguasa yang adil harus menghindari eksploitasi rakyat, menegakkan kebenaran meskipun terhadap dirinya sendiri, serta memastikan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan umum. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keadilan al-Mawardi bersifat aplikatif dan praktis, tidak sekadar normatif.4&5

5.5.       Relevansi Pemikiran al-Mawardi

Konsep keadilan al-Mawardi tetap relevan dalam konteks modern, terutama dalam wacana good governance dan negara hukum. Penekanannya pada supremasi hukum, legitimasi kekuasaan melalui keadilan, serta pentingnya keseimbangan antara kepentingan publik dan hak individu dapat dijadikan inspirasi bagi sistem politik kontemporer, baik di dunia Islam maupun global.


Footnotes

[1]                Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 5–7.

[2]                Wafaa H. Wahba, The Ordinances of Government: Al-Ahkam al-Sultaniyyah and Related Texts (Reading: Garnet Publishing, 1996), 11–15.

[3]                Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1955), 63–65.

[4]                Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2004), 229–233.

[5]                George Makdisi, “The Juridical Theology of al-Mawardi,” Studia Islamica 32 (1970): 29–34.


6.           Keadilan Menurut al-Ghazali

6.1.       Keadilan dalam Kerangka Etika dan Akhlak

Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111 M), salah satu pemikir Islam paling berpengaruh, menempatkan keadilan sebagai inti dari akhlak mulia. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menyatakan bahwa keadilan adalah keseimbangan (tawazun) antara potensi jiwa: akal, amarah, dan syahwat. Keseimbangan ini menghasilkan akhlak yang baik, sedangkan ketidakseimbangan melahirkan kezaliman. Bagi al-Ghazali, keadilan bukan hanya norma sosial, melainkan kondisi batin yang tercermin dalam perilaku manusia.1,2,3

6.2.       Keadilan sebagai Prinsip Sosial dan Politik

Selain dimensi etika, al-Ghazali juga menekankan keadilan dalam ranah sosial dan politik. Dalam al-Iqtisad fi al-I‘tiqad dan Nasihat al-Muluk, ia menegaskan bahwa pemerintahan yang tidak menegakkan keadilan akan kehilangan legitimasi. Pemimpin dituntut untuk berlaku adil terhadap rakyatnya, sebab keadilan adalah syarat stabilitas politik dan kelanggengan negara. Al-Ghazali bahkan menegaskan bahwa “agama dan kekuasaan adalah saudara kembar”; agama adalah fondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaga, dan keadilan menjadi prinsip yang mengikat keduanya.4

6.3.       Keadilan dalam Perspektif Spiritual

Sebagai seorang sufi, al-Ghazali juga melihat keadilan dalam dimensi spiritual. Ia menafsirkan bahwa keadilan sejati adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan kehendak Allah. Dengan demikian, keadilan tidak hanya berarti kepatuhan pada hukum syariat atau aturan sosial, tetapi juga keselarasan dengan tujuan penciptaan. Dalam kerangka ini, seorang hamba yang adil adalah ia yang melaksanakan kewajiban kepada Allah, menjaga hak sesama manusia, dan mengendalikan hawa nafsu. Konsep ini menunjukkan integrasi antara hukum, akhlak, dan tasawuf.5

6.4.       Kritik terhadap Filsafat dan Relevansi Keadilan

Al-Ghazali dikenal sebagai pengkritik filsafat melalui karyanya Tahafut al-Falasifah. Namun, ia tidak menolak sepenuhnya pemikiran rasional. Konsep keadilan dalam pandangannya tetap sejalan dengan tradisi filsafat klasik, seperti keseimbangan jiwa yang dipengaruhi Plato dan Aristoteles, tetapi diperdalam dengan dimensi wahyu. Dengan demikian, al-Ghazali menghadirkan konsep keadilan yang menyeluruh: etis, sosial, politik, dan spiritual. Hal ini menjadikan keadilan tidak hanya instrumen bagi keteraturan duniawi, tetapi juga jalan menuju keselamatan ukhrawi.6

6.5.       Relevansi Pemikiran al-Ghazali

Pemikiran al-Ghazali tentang keadilan memiliki relevansi besar bagi dunia modern. Dalam konteks etika, ia mengajarkan pentingnya keseimbangan batin sebagai dasar moralitas. Dalam konteks politik, ia menegaskan perlunya pemerintahan yang adil untuk menjamin stabilitas sosial. Dan dalam konteks spiritual, ia mengingatkan bahwa keadilan adalah jalan menuju kedekatan dengan Tuhan. Dengan demikian, gagasan al-Ghazali menghadirkan model keadilan yang integral, yang dapat menjadi inspirasi untuk mengatasi problem etika, politik, dan spiritual masyarakat kontemporer.


Footnotes

[1]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 45–49.

[2]                Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I‘tiqad, ed. I. Madkour (Cairo: Maktabah al-Jund, 1961), 112–118.

[3]                Abu Hamid al-Ghazali, Nasihat al-Muluk, trans. F. R. C. Bagley (London: Oxford University Press, 1964), 21–25.

[4]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 228–233.

[5]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 141–145.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 97–101.


7.           Analisis Komparatif

7.1.       Persamaan Konseptual

Baik Aristoteles maupun para pemikir Islam sama-sama menempatkan keadilan sebagai kebajikan utama yang menopang kehidupan individu dan masyarakat. Aristoteles mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan yang “sempurna” karena berhubungan dengan orang lain dan mengatur kehidupan polis . Pandangan ini sejalan dengan al-Farabi yang menempatkan keadilan sebagai prinsip pengatur al-Madinah al-Fadhilah, Ibn Sina yang melihat keadilan sebagai harmoni jiwa dan masyarakat, al-Mawardi yang menekankan keadilan sebagai fondasi legitimasi politik, serta al-Ghazali yang memandang keadilan sebagai keseimbangan batin sekaligus prinsip sosial. Dengan demikian, keadilan dipahami secara universal sebagai harmoni, keseimbangan, dan distribusi yang tepat dari hak dan kewajiban.1

7.2.       Perbedaan Dimensi dan Penekanan

Meskipun ada kesamaan konseptual, terdapat perbedaan penting antara Aristoteles dan para pemikir Islam. Aristoteles membatasi keadilan pada kerangka rasional dan politik, tanpa dimensi transendental. Tujuannya adalah mencapai eudaimonia (kebahagiaan duniawi) melalui polis. Sebaliknya, pemikir Islam seperti al-Farabi dan Ibn Sina mengadopsi kerangka rasional Aristotelian, tetapi menambahkan tujuan spiritual, yakni kebahagiaan tertinggi yang terkait dengan kedekatan kepada Tuhan.1,2,3

Al-Mawardi berbeda lagi: ia lebih menekankan dimensi hukum dan politik praktis. Baginya, keadilan adalah instrumen untuk menjaga syariat dan legitimasi negara. Sementara al-Ghazali menekankan keadilan pada aspek akhlak dan spiritual, dengan penekanan bahwa keadilan sejati adalah keselarasan antara hukum Allah, akhlak, dan tatanan sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat Islam memperluas cakrawala Aristotelian dengan memasukkan aspek normatif dan religius.4

7.3.       Integrasi Rasionalitas dan Wahyu

Ciri khas filsafat Islam adalah kemampuannya menyerap warisan intelektual Yunani lalu mengintegrasikannya dengan wahyu. Aristoteles menekankan prinsip rasional dan naturalistik, sedangkan al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, dan al-Ghazali menambahkan dimensi normatif wahyu. Misalnya, al-Farabi mengadaptasi konsep Aristoteles tentang keadilan distributif, tetapi menghubungkannya dengan visi sa‘adah sebagai tujuan spiritual. Ibn Sina mengaitkan harmoni jiwa dengan jalan menuju kesempurnaan intelektual yang mendekatkan manusia pada Tuhan. Al-Mawardi menempatkan syariat sebagai hukum keadilan tertinggi, dan al-Ghazali menegaskan bahwa keadilan hakiki adalah menunaikan hak Allah dan manusia sekaligus.5

7.4.       Kontribusi Pemikiran Islam terhadap Diskursus Global

Dengan mengembangkan konsep keadilan yang mengintegrasikan rasionalitas, hukum, etika, dan spiritualitas, pemikir Islam menawarkan kerangka keadilan yang lebih holistik dibandingkan Aristoteles. Jika Aristoteles menekankan pada keseimbangan dalam masyarakat politik, pemikir Islam memperluasnya menjadi keseimbangan dalam diri, masyarakat, dan relasi dengan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat Islam tidak sekadar menyalin pemikiran Yunani, melainkan memperkaya dan mengembangkannya dalam kerangka yang khas. Konsep keadilan Islam klasik ini kemudian memberi inspirasi dalam filsafat politik Islam dan tetap relevan dalam wacana kontemporer mengenai keadilan global.6,7,8


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129b–1130a.

[2]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 87–90.

[3]                Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985), 112–115.

[4]                Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 5–7.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 45–49.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 150–156, 228–233.

[7]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 141–145.

[8]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 42–49.


8.           Relevansi Keadilan Islam Klasik dalam Konteks Kontemporer

8.1.       Keadilan dalam Tata Kelola Negara Modern

Konsep keadilan yang dirumuskan para pemikir Islam klasik tetap relevan dalam wacana tata kelola negara modern. Al-Mawardi menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan bertumpu pada keadilan dan supremasi hukum, prinsip yang selaras dengan gagasan rule of law dalam sistem politik kontemporer. Negara modern menuntut pemimpin yang akuntabel dan tidak otoriter, sebagaimana ditekankan al-Mawardi bahwa seorang imam harus menegakkan hukum tanpa diskriminasi dan menjaga hak-hak rakyatnya.1,2 Prinsip ini dapat dijadikan inspirasi dalam mengembangkan sistem pemerintahan yang transparan dan berkeadilan di era demokrasi modern.

8.2.       Etika Politik dan Good Governance

Gagasan al-Farabi tentang al-Madinah al-Fadhilah menempatkan keadilan sebagai syarat utama terciptanya masyarakat yang baik. Konsep ini sejalan dengan prinsip good governance modern yang menekankan partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan sosial. Dalam konteks politik global yang menghadapi krisis etika, al-Farabi memberikan landasan filosofis bahwa pemimpin harus berorientasi pada kebahagiaan kolektif, bukan sekadar kepentingan pribadi atau kelompok.3 Relevansi ini terlihat dalam tuntutan masyarakat kontemporer terhadap pemimpin yang berintegritas dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.

8.3.       Keadilan Sosial dan Ekonomi

Pemikiran Ibn Sina mengenai keadilan sebagai harmoni dalam diri dan masyarakat dapat diterapkan pada konteks kesenjangan sosial-ekonomi modern. Keadilan distributif yang dipengaruhi oleh Aristoteles, lalu diolah oleh Ibn Sina, mengajarkan pentingnya proporsionalitas dalam pembagian sumber daya. Dalam konteks kontemporer, hal ini selaras dengan gagasan keadilan sosial dalam ekonomi pembangunan dan teori distribusi kesejahteraan. Dengan demikian, gagasan Ibn Sina dapat menjadi kerangka filosofis untuk mengatasi persoalan ketidaksetaraan global yang masih menjadi tantangan utama abad ke-21.4

8.4.       Spiritualitas dan Moralitas Keadilan

Al-Ghazali menekankan bahwa keadilan tidak hanya berhubungan dengan hukum atau politik, tetapi juga dengan akhlak dan spiritualitas. Pandangan ini sangat relevan di tengah krisis moral dan materialisme global. Keadilan dalam pengertian al-Ghazali berarti menempatkan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah, yang berimplikasi pada pembentukan karakter individu yang berakhlak mulia. Dalam konteks masyarakat modern yang rentan pada korupsi, eksploitasi, dan dehumanisasi, pendekatan spiritual al-Ghazali memberi dimensi etis yang melampaui rasionalitas sekuler.5,6

8.5.       Sumbangan terhadap Diskursus Global tentang Keadilan

Integrasi antara rasionalitas dan wahyu yang dilakukan oleh para pemikir Islam klasik memperluas cakrawala konsep keadilan. Jika Aristoteles menekankan dimensi rasional dan politik, maka para pemikir Islam memperkaya konsep tersebut dengan hukum syariat, etika akhlak, dan spiritualitas. Hal ini memberi kontribusi signifikan pada diskursus global tentang keadilan, terutama dalam menghadapi tantangan modern seperti ketidakadilan struktural, krisis ekologi, dan konflik antarbangsa. Dengan demikian, warisan intelektual Islam klasik tetap menjadi sumber refleksi penting dalam membangun tatanan dunia yang lebih adil.7,8


Footnotes

[1]                Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 5–7.

[2]                Wafaa H. Wahba, The Ordinances of Government: Al-Ahkam al-Sultaniyyah and Related Texts (Reading: Garnet Publishing, 1996), 11–15.

[3]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 87–90.

[4]                Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985), 112–115.

[5]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 180–185, 228–233.

[6]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 45–49.

[7]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 141–145.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2006), 55–61.


9.           Penutup

9.1.       Kesimpulan Umum

Kajian ini menunjukkan bahwa keadilan merupakan tema universal yang melampaui batas ruang dan waktu, dipahami baik dalam filsafat Yunani maupun dalam tradisi Islam klasik. Aristoteles mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan utama yang mengatur kehidupan bersama dalam polis, dengan penekanan pada keadilan distributif dan korektif sebagai fondasi hukum dan politik.1 Pemikiran ini menjadi titik berangkat yang kemudian diolah dan diperkaya oleh para filsuf Muslim.

Al-Farabi menekankan keadilan dalam konteks al-Madinah al-Fadhilah sebagai harmoni sosial-politik demi kebahagiaan bersama.2 Ibn Sina mengaitkan keadilan dengan harmoni jiwa dan hukum masyarakat, menjadikannya kebajikan universal yang menopang kesempurnaan intelektual dan spiritual manusia.3 Al-Mawardi memfokuskan keadilan pada legitimasi politik dan tata kelola pemerintahan berdasarkan syariat, menjadikannya prinsip praktis bagi stabilitas sosial.4 Sementara itu, al-Ghazali menekankan dimensi etis dan spiritual, bahwa keadilan adalah keseimbangan batin dan kepatuhan terhadap kehendak Allah.5

9.2.       Sumbangan Pemikiran Islam terhadap Diskursus Filsafat Keadilan

Perbandingan dengan Aristoteles memperlihatkan bahwa para pemikir Islam tidak hanya mengadopsi filsafat Yunani, tetapi juga mentransformasikannya dengan dimensi religius dan spiritual. Jika Aristoteles menekankan keadilan sebagai instrumen untuk mencapai eudaimonia duniawi, maka para pemikir Islam menambahkan bahwa keadilan juga merupakan jalan menuju kesempurnaan moral dan kebahagiaan ukhrawi. Dengan demikian, tradisi Islam memberikan kontribusi penting bagi pengayaan makna keadilan dalam wacana filsafat global.6

9.3.       Implikasi bagi Penelitian dan Konteks Kontemporer

Kajian ini juga menegaskan relevansi keadilan Islam klasik bagi dunia modern. Prinsip keadilan al-Mawardi dapat dihubungkan dengan rule of law dan good governance, pemikiran al-Farabi memberi inspirasi bagi teori kepemimpinan etis, pandangan Ibn Sina relevan dengan isu distribusi kesejahteraan, dan gagasan al-Ghazali memberikan kedalaman spiritual dalam menghadapi krisis moralitas global.7,8 Dengan demikian, pemikiran Islam klasik tidak hanya penting dalam konteks sejarah, tetapi juga dapat menjadi sumber refleksi bagi pembangunan masyarakat yang lebih adil di masa kini.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129b–1130a.

[2]                Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 87–90.

[3]                Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985), 112–115.

[4]                Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985), 5–7.

[5]                Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana (Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 45–49.

[6]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 150–156, 228–233.

[7]                Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford: Oxford University Press, 2009), 141–145.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2006), 55–61.


Daftar Pustaka

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans., 2nd ed.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Butterworth, C. (2005). Al-Farabi’s political philosophy. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion to Arabic philosophy (pp. 232–248). Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Crone, P. (2004). Medieval Islamic political thought. Edinburgh, UK: Edinburgh University Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). New York, NY: Columbia University Press.

Ghazali, A. H. al-. (1961). Al-Iqtisad fi al-I‘tiqad (I. Madkour, Ed.). Cairo, Egypt: Maktabah al-Jund.

Ghazali, A. H. al-. (1964). Nasihat al-muluk (F. R. C. Bagley, Trans.). London, UK: Oxford University Press.

Ghazali, A. H. al-. (2004). Ihya’ ‘ulum al-din (B. Tabbana, Ed.). Cairo, Egypt: Dar al-Hadith.

Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s philosophical theology. Oxford, UK: Oxford University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbasid society. London, UK: Routledge.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Leiden, Netherlands: Brill.

Ibn Sina. (1952). Kitab al-shifa’ (I. Madkour, Ed.). Cairo, Egypt: al-Majlis al-A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah.

Ibn Sina. (1985). Al-Najat (M. Fakhry, Ed.). Beirut, Lebanon: Dar al-Afaq al-Jadidah.

Khadduri, M. (1955). War and peace in the law of Islam. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Cambridge, UK: Polity Press.

Makdisi, G. (1970). The juridical theology of al-Mawardi. Studia Islamica, 32, 29–50.

Mawardi, A. al-. (1985). Al-Ahkam al-sultaniyyah. Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1993). An introduction to Islamic cosmological doctrines. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. Albany, NY: State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. New York, NY: HarperOne.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Walzer, R. (1985). Al-Farabi on the perfect state. Oxford, UK: Clarendon Press.

Wahba, W. H. (1996). The ordinances of government: Al-Ahkam al-Sultaniyyah and related texts. Reading, UK: Garnet Publishing.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar