Keadilan dari Perspektif Filsafat Islam
Al-Farabi, Ibn Sina,
Al-Mawardi, Al-Ghazali, dan Aristoteles
Alihkan ke: Konsep Keadilan.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep keadilan dari perspektif
filsafat Islam klasik dengan menelaah pemikiran empat tokoh utama, yaitu al-Farabi,
Ibn Sina, al-Mawardi, dan al-Ghazali, serta mengaitkannya dengan fondasi
pemikiran Aristoteles. Kajian dilakukan dengan pendekatan historis-filosofis
dan analisis komparatif terhadap teks-teks primer dan sekunder yang relevan.
Aristoteles memandang keadilan sebagai kebajikan utama
yang menopang kehidupan bersama dalam polis, dengan pembedaan antara
keadilan distributif dan korektif. Pemikiran ini menjadi titik awal yang
memengaruhi para filsuf Muslim. Al-Farabi menempatkan keadilan sebagai prinsip
utama dalam al-Madinah al-Fadhilah, Ibn Sina memaknainya sebagai harmoni
jiwa dan masyarakat, al-Mawardi menekankan keadilan sebagai legitimasi politik
dan prinsip tata kelola negara berdasarkan syariat, sedangkan al-Ghazali
mengaitkan keadilan dengan keseimbangan batin, akhlak, dan ketaatan kepada
Tuhan.
Analisis menunjukkan bahwa pemikir Islam klasik tidak
sekadar mengadopsi gagasan Aristoteles, tetapi memperkaya dan
mentransformasikannya dengan dimensi spiritual dan normatif Islam. Dengan
demikian, keadilan dipahami secara lebih holistik: sebagai prinsip etis,
politik, hukum, dan spiritual. Kajian ini menegaskan relevansi pemikiran Islam
klasik terhadap wacana keadilan kontemporer, khususnya dalam konteks good governance, distribusi kesejahteraan, dan penguatan moralitas publik di
tengah krisis global.
Kata Kunci: Keadilan,
Filsafat Islam, Aristoteles, al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, al-Ghazali,
Politik, Etika, Spiritualitas.
PEMBAHASAN
Konsep Keadilan dari
Perspektif Filsafat Islam
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Keadilan merupakan
salah satu tema sentral dalam filsafat, etika, dan politik sejak zaman kuno
hingga era modern. Dalam tradisi filsafat Barat, Aristoteles memandang keadilan
sebagai virtue
atau kebajikan utama yang menata kehidupan bersama dalam polis.
Ia membedakan antara distributive justice (keadilan
distributif) dan corrective justice (keadilan
korektif), yang menjadi landasan teori hukum dan politik Barat sepanjang abad
pertengahan hingga modern.1-7
Tradisi Islam yang berkembang
sejak abad pertengahan juga memberikan perhatian besar terhadap konsep
keadilan. Para pemikir Islam tidak hanya mengadopsi warisan filsafat Yunani,
tetapi juga mengintegrasikannya dengan ajaran wahyu Islam. Dalam Al-Qur’an,
keadilan ditegaskan sebagai nilai fundamental dalam relasi antara manusia
dengan sesamanya maupun dengan Allah, seperti dalam QS. al-Nahl [16] ayat 90
yang menyatakan bahwa Allah memerintahkan untuk berlaku adil (al-‘adl)
dan berbuat kebajikan .
1.2. Rumusan Masalah
Tulisan ini berangkat
dari pertanyaan: bagaimana konsep keadilan dipahami dalam filsafat Islam
klasik, khususnya oleh al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, dan al-Ghazali?
Bagaimana pula pengaruh Aristoteles—sebagai filsuf yang sangat berpengaruh
terhadap tradisi pemikiran Islam—terhadap rumusan keadilan para pemikir Muslim
tersebut? Pertanyaan ini penting untuk menyingkap interaksi intelektual antara
tradisi Yunani dan Islam, serta menegaskan kontribusi khas pemikiran Islam
terhadap wacana filsafat keadilan global.
1.3. Tujuan Kajian
Kajian ini bertujuan
untuk:
1)
Mendeskripsikan konsep keadilan
dalam filsafat Aristoteles sebagai titik awal dialog dengan pemikiran Islam.
2)
Menganalisis pandangan al-Farabi
tentang keadilan dalam al-Madinah al-Fadhilah, Ibn Sina dalam kerangka
etika dan metafisikanya, al-Mawardi dalam teori politik Islam, serta al-Ghazali
dalam etika dan spiritualitas.
3)
Membandingkan persamaan,
perbedaan, serta sintesis pemikiran antara tradisi Yunani dan Islam.
4)
Menunjukkan relevansi pemikiran
keadilan klasik ini bagi dunia kontemporer, baik dalam aspek politik, hukum,
maupun moral-spiritual.
1.4. Metodologi Kajian
Kajian ini
menggunakan pendekatan historis-filosofis dengan metode analisis komparatif.
Sumber utama meliputi karya-karya primer seperti al-Madinah al-Fadhilah karya al-Farabi,
al-Shifa’
karya Ibn Sina, al-Ahkam al-Sultaniyyah karya
al-Mawardi, serta Ihya’ ‘Ulum al-Din karya
al-Ghazali. Selain itu, penelitian ini merujuk pada literatur sekunder dari
para sarjana modern yang menelaah pemikiran filsafat Islam klasik maupun
pengaruh Aristoteles. Pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan pemahaman
yang komprehensif mengenai posisi keadilan dalam kerangka filsafat Islam dan
perbandingannya dengan filsafat Yunani.
Footnotes
[1]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1971), 27–32.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: State University of
New York Press, 2006), 55–61.
[3]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968).
[4]
Ibn Sina, Kitab al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Majlis al-A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 1952).
[5]
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1985).
[6]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana
(Cairo: Dar al-Hadith, 2004).
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004).
2.
Konsep Keadilan dalam
Filsafat Yunani: Aristoteles sebagai Fondasi
2.1. Keadilan sebagai
Kebajikan Utama
Dalam filsafat
Yunani klasik, Aristoteles menempatkan keadilan (dikaiosynē) sebagai salah satu
kebajikan yang paling utama dalam etika dan politik. Dalam Nicomachean
Ethics, ia mendefinisikan keadilan sebagai “kebajikan yang
sempurna” karena berkaitan langsung dengan relasi antarindividu dalam
kehidupan bersama, bukan hanya dengan pengendalian diri pribadi. Aristoteles
menyatakan bahwa seseorang yang adil bukan hanya mematuhi hukum, tetapi juga
mampu mengarahkan tindakannya untuk kebaikan bersama (common
good).1 Dengan demikian, keadilan melampaui sekadar
moralitas individual, melainkan juga prinsip yang menopang harmoni sosial dan
politik.
2.2. Jenis-Jenis Keadilan:
Distributif dan Korektif
Aristoteles
membedakan dua bentuk utama keadilan, yaitu:
1)
Keadilan Distributif
(distributive justice), yakni pembagian hak, kehormatan, dan sumber
daya secara proporsional sesuai dengan kontribusi atau status seseorang dalam
masyarakat. Dalam pandangan Aristoteles, keadilan ini berlandaskan prinsip
kesetaraan proporsional, bukan kesetaraan mutlak.
2)
Keadilan Korektif
(corrective justice), yang berlaku ketika terjadi ketidakadilan dalam
hubungan timbal balik, misalnya dalam kasus pelanggaran hukum, perjanjian, atau
transaksi ekonomi. Bentuk keadilan ini berfungsi untuk memulihkan keseimbangan
dengan memberikan ganti rugi atau hukuman yang setara dengan pelanggaran yang
dilakukan.2
Kedua kategori ini
kemudian menjadi fondasi penting bagi filsafat hukum dan teori politik di
Barat, dan melalui proses transmisi intelektual, turut memengaruhi pemikiran
filsuf Muslim.
2.3. Keadilan sebagai Harmoni
dalam Polis
Bagi Aristoteles,
keadilan tidak bisa dilepaskan dari konsep polis (kota-negara) sebagai ruang
kehidupan politik dan sosial. Ia menegaskan bahwa tujuan utama polis
adalah mencapai eudaimonia (kebahagiaan dan
kehidupan yang baik) bagi seluruh warganya. Keadilan, dalam kerangka ini,
adalah mekanisme etis dan politik untuk memastikan tercapainya kebaikan
bersama. Ia menekankan bahwa hukum harus menjadi instrumen keadilan yang
menjamin keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat.3
2.4. Pengaruh Aristoteles
terhadap Tradisi Islam
Pemikiran
Aristoteles tentang keadilan masuk ke dunia Islam melalui penerjemahan
karya-karyanya ke dalam bahasa Arab pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi, terutama
melalui proyek Bayt al-Hikmah di Baghdad. Karya Nicomachean
Ethics dan Politics menjadi rujukan utama bagi
para filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibn Sina, yang kemudian mengembangkan
sintesis antara rasionalitas Yunani dan wahyu Islam. Pandangan Aristoteles
tentang keadilan distributif dan korektif, serta gagasannya tentang peran
negara dalam mewujudkan kebahagiaan warga, menjadi titik awal diskusi filosofis
dalam tradisi Islam yang kemudian diperkaya dengan perspektif etika, hukum, dan
spiritualitas Islam.4,5
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129b–1130a.
[2]
Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2002), 83–86.
[3]
Aristotle, Politics, trans. C.D.C. Reeve (Indianapolis:
Hackett Publishing, 1998), 1252a–1253a.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 17–21.
[5]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London:
Routledge, 1998), 42–49.
3.
Keadilan Menurut
al-Farabi
3.1. Konsep al-Madinah
al-Fadhilah dan Fondasi Keadilan
Al-Farabi (w. 950
M), yang sering disebut sebagai Guru Kedua setelah Aristoteles,
menempatkan konsep keadilan sebagai prinsip fundamental dalam al-Madinah al-Fadhilah (Negara Utama). Ia berpendapat bahwa masyarakat yang
baik hanya dapat tercapai apabila setiap warganya bekerja sama untuk meraih
kebahagiaan (sa‘adah) sebagai tujuan tertinggi
kehidupan. Keadilan, dalam pandangan ini, merupakan mekanisme yang memastikan
bahwa setiap individu memperoleh peran sesuai kapasitasnya dalam struktur
sosial dan politik. Tanpa keadilan, negara akan terjerumus ke dalam kebobrokan
moral dan politik.1
3.2. Keadilan dan Struktur
Politik
Bagi al-Farabi,
keadilan tidak hanya berarti keseimbangan dalam hubungan antarindividu, tetapi
juga keteraturan dalam tata kelola negara. Pemimpin yang ideal (filsuf-raja)
harus menegakkan keadilan dengan mendistribusikan hak dan kewajiban sesuai
dengan kemampuan, keutamaan, dan kontribusi masing-masing anggota masyarakat.
Konsep ini menunjukkan kesinambungan dengan teori keadilan distributif
Aristoteles, namun diperkaya dengan dimensi etika Islam dan tujuan
transendental. Keadilan dalam politik bukan hanya menjaga stabilitas, melainkan
juga mengarahkan masyarakat kepada penyempurnaan moral dan spiritual.2
3.3. Relasi Keadilan dan
Kebahagiaan
Al-Farabi mengaitkan
erat antara keadilan dan kebahagiaan. Dalam pandangannya, kebahagiaan sejati
tidak dapat diraih secara individual semata, melainkan hanya mungkin melalui
komunitas politik yang adil. Dengan kata lain, keadilan adalah syarat bagi
tercapainya kebahagiaan universal. Pemimpin yang adil berperan sebagai penuntun
masyarakat untuk mengintegrasikan kebutuhan jasmani, intelektual, dan spiritual
sehingga tercipta harmoni dalam kehidupan bersama.3
3.4. Perbandingan dengan
Aristoteles
Walaupun
terinspirasi oleh Aristoteles, al-Farabi mengembangkan konsep keadilan dengan
perspektif khas Islam. Jika Aristoteles menekankan polis sebagai wadah keadilan demi eudaimonia,
al-Farabi menambahkan dimensi religius bahwa kebahagiaan tertinggi berkaitan
dengan penyempurnaan jiwa dan kedekatan dengan Tuhan. Hal ini menjadikan
gagasan keadilan al-Farabi lebih komprehensif, mencakup aspek politik, etika,
dan metafisika.4,5
3.5. Relevansi Pemikiran
al-Farabi
Konsep keadilan
al-Farabi memiliki relevansi besar dalam perdebatan kontemporer tentang etika
politik dan tata kelola negara. Penekanannya pada pemimpin yang adil,
distribusi peran sesuai kompetensi, serta orientasi pada kebahagiaan kolektif
dapat menjadi landasan reflektif bagi pembangunan masyarakat modern yang
menghadapi problem ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi.
Footnotes
[1]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 87–90.
[2]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 150–156.
[3]
Richard Walzer, Al-Farabi on the Perfect State (Oxford:
Clarendon Press, 1985), 100–105.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1968), 79–82.
[5]
Charles Butterworth, “Al-Farabi’s Political Philosophy,” dalam The
Cambridge Companion to Arabic Philosophy, ed. Peter Adamson dan Richard C.
Taylor (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 232–238.
4.
Keadilan Menurut Ibn
Sina (Avicenna)
4.1. Keadilan dalam Kerangka
Etika dan Jiwa
Ibn Sina (980–1037
M), yang lebih dikenal di Barat sebagai Avicenna, merupakan salah satu filsuf
Muslim paling berpengaruh dalam tradisi filsafat Islam dan Barat Latin. Dalam
karya monumentalnya al-Shifa’ dan al-Najat,
Ibn Sina membahas keadilan sebagai bagian dari filsafat praktis (al-hikmah al-‘amaliyyah), yang mencakup etika, ekonomi rumah tangga, dan
politik. Baginya, keadilan adalah kebajikan yang mengatur hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, dan dengan masyarakat. Ia
menempatkan keadilan sebagai salah satu al-fadā’il al-nafsāniyyah
(kebajikan jiwa) yang menyatukan kekuatan akal, keberanian, dan kesederhanaan,
sehingga menghasilkan keseimbangan jiwa.1
4.2. Keadilan sebagai
Kebajikan Universal
Menurut Ibn Sina,
keadilan adalah kebajikan universal yang menaungi kebajikan-kebajikan lain.
Dalam kerangka ini, keadilan bukan sekadar hukum eksternal, melainkan harmoni
internal yang memandu perilaku manusia. Seorang individu yang adil adalah ia
yang mampu menempatkan setiap potensi jiwa pada posisi yang tepat: akal
mengarahkan, syahwat terkendali, dan emosi teratur. Pandangan ini jelas
merupakan kelanjutan dari filsafat etika Aristotelian dan Platonic, tetapi
dimodifikasi dalam konteks filsafat Islam yang menekankan kesempurnaan akhlak.2
4.3. Dimensi Politik Keadilan
Dalam aspek politik,
Ibn Sina menekankan bahwa keadilan merupakan syarat utama bagi keberlangsungan madinah
(kota). Pemimpin yang adil bertugas mendistribusikan hak dan kewajiban secara
proporsional agar tercipta keteraturan sosial. Ia menyatakan bahwa hukum harus
berfungsi sebagai instrumen keadilan, karena tanpa hukum yang adil masyarakat
akan runtuh. Ibn Sina menekankan bahwa struktur pemerintahan ideal adalah yang
menuntun rakyat pada kebahagiaan tertinggi, baik secara duniawi maupun ukhrawi.3
4.4. Keadilan dan Kebahagiaan
Tertinggi
Keadilan bagi Ibn Sina memiliki keterkaitan erat dengan konsep kebahagiaan (sa‘adah).
Dalam filsafatnya, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi manusia yang diperoleh
melalui penyempurnaan jiwa, baik secara intelektual maupun spiritual. Ia menegaskan
bahwa masyarakat yang adil adalah prasyarat bagi individu untuk dapat mencapai
kesempurnaan intelektual. Dengan demikian, keadilan tidak hanya berdimensi
sosial, tetapi juga transendental—menghubungkan manusia dengan Tuhan melalui
kesempurnaan akal dan moral.4
4.5. Posisi Ibn Sina dalam
Tradisi Filsafat Islam
Pemikiran Ibn Sina
tentang keadilan menunjukkan sintesis antara warisan filsafat Yunani (khususnya
Aristoteles) dan nilai-nilai Islam. Ia mempertahankan prinsip keadilan
distributif Aristoteles, namun memberinya muatan metafisik dan spiritual yang
khas Islam. Dengan demikian, Ibn Sina menegaskan bahwa keadilan bukan sekadar
prinsip politik, melainkan jalan menuju kesempurnaan manusia secara total.
Pemikirannya ini kemudian sangat berpengaruh terhadap tokoh-tokoh setelahnya,
termasuk al-Ghazali (meskipun kritis), serta para pemikir Latin skolastik
seperti Thomas Aquinas.5,6
Footnotes
[1]
Ibn Sina, Kitab al-Shifa’, ed. Ibrahim Madkour (Cairo:
al-Majlis al-A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah, 1952), 201–204.
[2]
Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq
al-Jadidah, 1985), 112–115.
[3]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 180–185.
[4]
Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction
to Reading Avicenna’s Philosophical Works (Leiden: Brill, 2001), 95–100.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, An Introduction to Islamic Cosmological
Doctrines (Albany: State University of New York Press, 1993), 144–148.
[6]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy
(Cambridge: Polity Press, 1999), 67–70.
5.
Keadilan Menurut
al-Mawardi
5.1. Keadilan sebagai Prinsip
Politik dan Hukum
Al-Mawardi (972–1058
M), seorang ulama dan hakim terkemuka pada masa Abbasiyah, dikenal luas melalui
karyanya al-Ahkam
al-Sultaniyyah yang membahas sistem pemerintahan Islam. Dalam
kerangka pemikirannya, keadilan menjadi fondasi utama legitimasi kekuasaan.
Seorang pemimpin yang tidak menegakkan keadilan dianggap tidak layak memimpin
umat, karena inti dari imamah (kepemimpinan) adalah
menjaga agama dan mengatur dunia dengan prinsip yang adil.1
5.2. Keadilan dan Legitimasi
Kekuasaan
Al-Mawardi
menekankan bahwa kekuasaan politik harus dijalankan berdasarkan hukum syariat
yang berfungsi sebagai instrumen keadilan. Pemimpin (imam atau khalifah) tidak
memiliki otoritas absolut, melainkan terikat oleh prinsip-prinsip syariat untuk
mengelola masyarakat. Keadilan dalam konteks ini berarti menempatkan hak pada
pemiliknya, menegakkan hukum tanpa diskriminasi, dan mengelola urusan publik
demi kemaslahatan bersama. Dengan demikian, keadilan bukan hanya aspek moral,
tetapi juga syarat legitimasi politik.2
5.3. Fungsi Sosial Keadilan
Menurut al-Mawardi,
fungsi utama keadilan adalah menciptakan stabilitas sosial. Ia menegaskan bahwa
masyarakat tidak dapat bertahan jika pemimpin gagal menegakkan keadilan.
Ketidakadilan akan melahirkan kekacauan, pemberontakan, dan hilangnya
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, keadilan diposisikan
sebagai prasyarat bagi kohesi sosial dan kelangsungan negara. Prinsip ini
sejalan dengan visi Islam yang menempatkan al-‘adl (keadilan) sebagai inti
dalam interaksi sosial dan politik.3
5.4. Keadilan dalam
Administrasi Pemerintahan
Dalam al-Ahkam
al-Sultaniyyah, al-Mawardi juga menekankan keadilan dalam
administrasi, seperti pengelolaan pajak, distribusi kekayaan publik, dan
pelaksanaan hukum. Seorang penguasa yang adil harus menghindari eksploitasi
rakyat, menegakkan kebenaran meskipun terhadap dirinya sendiri, serta
memastikan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan umum. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep keadilan al-Mawardi bersifat aplikatif dan praktis,
tidak sekadar normatif.4&5
5.5. Relevansi Pemikiran
al-Mawardi
Konsep keadilan
al-Mawardi tetap relevan dalam konteks modern, terutama dalam wacana good governance dan negara hukum. Penekanannya pada supremasi hukum,
legitimasi kekuasaan melalui keadilan, serta pentingnya keseimbangan antara
kepentingan publik dan hak individu dapat dijadikan inspirasi bagi sistem
politik kontemporer, baik di dunia Islam maupun global.
Footnotes
[1]
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1985), 5–7.
[2]
Wafaa H. Wahba, The Ordinances of Government: Al-Ahkam
al-Sultaniyyah and Related Texts (Reading: Garnet Publishing, 1996), 11–15.
[3]
Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1955), 63–65.
[4]
Patricia Crone, Medieval Islamic Political Thought (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2004), 229–233.
[5]
George Makdisi, “The Juridical Theology of al-Mawardi,” Studia
Islamica 32 (1970): 29–34.
6.
Keadilan Menurut
al-Ghazali
6.1. Keadilan dalam Kerangka
Etika dan Akhlak
Abu Hamid al-Ghazali
(1058–1111 M), salah satu pemikir Islam paling berpengaruh, menempatkan
keadilan sebagai inti dari akhlak mulia. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menyatakan
bahwa keadilan adalah keseimbangan (tawazun) antara potensi jiwa: akal,
amarah, dan syahwat. Keseimbangan ini menghasilkan akhlak yang baik, sedangkan
ketidakseimbangan melahirkan kezaliman. Bagi al-Ghazali, keadilan bukan hanya
norma sosial, melainkan kondisi batin yang tercermin dalam perilaku manusia.1,2,3
6.2. Keadilan sebagai Prinsip
Sosial dan Politik
Selain dimensi
etika, al-Ghazali juga menekankan keadilan dalam ranah sosial dan politik. Dalam
al-Iqtisad
fi al-I‘tiqad dan Nasihat al-Muluk, ia menegaskan
bahwa pemerintahan yang tidak menegakkan keadilan akan kehilangan legitimasi.
Pemimpin dituntut untuk berlaku adil terhadap rakyatnya, sebab keadilan adalah
syarat stabilitas politik dan kelanggengan negara. Al-Ghazali bahkan menegaskan
bahwa “agama dan kekuasaan adalah saudara kembar”; agama adalah fondasi,
sedangkan kekuasaan adalah penjaga, dan keadilan menjadi prinsip yang mengikat
keduanya.4
6.3. Keadilan dalam Perspektif
Spiritual
Sebagai seorang
sufi, al-Ghazali juga melihat keadilan dalam dimensi spiritual. Ia menafsirkan
bahwa keadilan sejati adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai
dengan kehendak Allah. Dengan demikian, keadilan tidak hanya berarti kepatuhan
pada hukum syariat atau aturan sosial, tetapi juga keselarasan dengan tujuan
penciptaan. Dalam kerangka ini, seorang hamba yang adil adalah ia yang
melaksanakan kewajiban kepada Allah, menjaga hak sesama manusia, dan
mengendalikan hawa nafsu. Konsep ini menunjukkan integrasi antara hukum,
akhlak, dan tasawuf.5
6.4. Kritik terhadap Filsafat
dan Relevansi Keadilan
Al-Ghazali dikenal
sebagai pengkritik filsafat melalui karyanya Tahafut al-Falasifah. Namun, ia
tidak menolak sepenuhnya pemikiran rasional. Konsep keadilan dalam pandangannya
tetap sejalan dengan tradisi filsafat klasik, seperti keseimbangan jiwa yang
dipengaruhi Plato dan Aristoteles, tetapi diperdalam dengan dimensi wahyu.
Dengan demikian, al-Ghazali menghadirkan konsep keadilan yang menyeluruh: etis,
sosial, politik, dan spiritual. Hal ini menjadikan keadilan tidak hanya
instrumen bagi keteraturan duniawi, tetapi juga jalan menuju keselamatan
ukhrawi.6
6.5. Relevansi Pemikiran
al-Ghazali
Pemikiran al-Ghazali
tentang keadilan memiliki relevansi besar bagi dunia modern. Dalam konteks
etika, ia mengajarkan pentingnya keseimbangan batin sebagai dasar moralitas.
Dalam konteks politik, ia menegaskan perlunya pemerintahan yang adil untuk
menjamin stabilitas sosial. Dan dalam konteks spiritual, ia mengingatkan bahwa
keadilan adalah jalan menuju kedekatan dengan Tuhan. Dengan demikian, gagasan
al-Ghazali menghadirkan model keadilan yang integral, yang dapat menjadi
inspirasi untuk mengatasi problem etika, politik, dan spiritual masyarakat
kontemporer.
Footnotes
[1]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana
(Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 45–49.
[2]
Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I‘tiqad, ed. I. Madkour
(Cairo: Maktabah al-Jund, 1961), 112–118.
[3]
Abu Hamid al-Ghazali, Nasihat al-Muluk, trans. F. R. C. Bagley
(London: Oxford University Press, 1964), 21–25.
[4]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 228–233.
[5]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 141–145.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 97–101.
7.
Analisis Komparatif
7.1. Persamaan Konseptual
Baik Aristoteles
maupun para pemikir Islam sama-sama menempatkan keadilan sebagai kebajikan
utama yang menopang kehidupan individu dan masyarakat. Aristoteles
mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan yang “sempurna” karena
berhubungan dengan orang lain dan mengatur kehidupan polis
. Pandangan ini sejalan dengan al-Farabi yang menempatkan keadilan sebagai
prinsip pengatur al-Madinah al-Fadhilah, Ibn Sina
yang melihat keadilan sebagai harmoni jiwa dan masyarakat, al-Mawardi yang
menekankan keadilan sebagai fondasi legitimasi politik, serta al-Ghazali yang
memandang keadilan sebagai keseimbangan batin sekaligus prinsip sosial. Dengan
demikian, keadilan dipahami secara universal sebagai harmoni, keseimbangan, dan
distribusi yang tepat dari hak dan kewajiban.1
7.2. Perbedaan Dimensi dan
Penekanan
Meskipun ada
kesamaan konseptual, terdapat perbedaan penting antara Aristoteles dan para
pemikir Islam. Aristoteles membatasi keadilan pada kerangka rasional dan
politik, tanpa dimensi transendental. Tujuannya adalah mencapai eudaimonia
(kebahagiaan duniawi) melalui polis. Sebaliknya, pemikir Islam
seperti al-Farabi dan Ibn Sina mengadopsi kerangka rasional Aristotelian,
tetapi menambahkan tujuan spiritual, yakni kebahagiaan tertinggi yang terkait
dengan kedekatan kepada Tuhan.1,2,3
Al-Mawardi berbeda
lagi: ia lebih menekankan dimensi hukum dan politik praktis. Baginya, keadilan
adalah instrumen untuk menjaga syariat dan legitimasi negara. Sementara
al-Ghazali menekankan keadilan pada aspek akhlak dan spiritual, dengan
penekanan bahwa keadilan sejati adalah keselarasan antara hukum Allah, akhlak,
dan tatanan sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa filsafat Islam memperluas
cakrawala Aristotelian dengan memasukkan aspek normatif dan religius.4
7.3. Integrasi Rasionalitas
dan Wahyu
Ciri khas filsafat
Islam adalah kemampuannya menyerap warisan intelektual Yunani lalu
mengintegrasikannya dengan wahyu. Aristoteles menekankan prinsip rasional dan
naturalistik, sedangkan al-Farabi, Ibn Sina, al-Mawardi, dan al-Ghazali
menambahkan dimensi normatif wahyu. Misalnya, al-Farabi mengadaptasi konsep
Aristoteles tentang keadilan distributif, tetapi menghubungkannya dengan visi sa‘adah
sebagai tujuan spiritual. Ibn Sina mengaitkan harmoni jiwa dengan jalan menuju
kesempurnaan intelektual yang mendekatkan manusia pada Tuhan. Al-Mawardi
menempatkan syariat sebagai hukum keadilan tertinggi, dan al-Ghazali menegaskan
bahwa keadilan hakiki adalah menunaikan hak Allah dan manusia sekaligus.5
7.4. Kontribusi Pemikiran
Islam terhadap Diskursus Global
Dengan mengembangkan
konsep keadilan yang mengintegrasikan rasionalitas, hukum, etika, dan
spiritualitas, pemikir Islam menawarkan kerangka keadilan yang lebih holistik
dibandingkan Aristoteles. Jika Aristoteles menekankan pada keseimbangan dalam
masyarakat politik, pemikir Islam memperluasnya menjadi keseimbangan dalam
diri, masyarakat, dan relasi dengan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat
Islam tidak sekadar menyalin pemikiran Yunani, melainkan memperkaya dan
mengembangkannya dalam kerangka yang khas. Konsep keadilan Islam klasik ini
kemudian memberi inspirasi dalam filsafat politik Islam dan tetap relevan dalam
wacana kontemporer mengenai keadilan global.6,7,8
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129b–1130a.
[2]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 87–90.
[3]
Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq
al-Jadidah, 1985), 112–115.
[4]
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1985), 5–7.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana
(Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 45–49.
[6]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 150–156, 228–233.
[7]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 141–145.
[8]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London:
Routledge, 1998), 42–49.
8.
Relevansi Keadilan
Islam Klasik dalam Konteks Kontemporer
8.1. Keadilan dalam Tata
Kelola Negara Modern
Konsep keadilan yang
dirumuskan para pemikir Islam klasik tetap relevan dalam wacana tata kelola
negara modern. Al-Mawardi menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan bertumpu pada
keadilan dan supremasi hukum, prinsip yang selaras dengan gagasan rule of
law dalam sistem politik kontemporer. Negara modern menuntut
pemimpin yang akuntabel dan tidak otoriter, sebagaimana ditekankan al-Mawardi
bahwa seorang imam harus menegakkan hukum tanpa diskriminasi dan menjaga
hak-hak rakyatnya.1,2 Prinsip ini dapat dijadikan inspirasi dalam
mengembangkan sistem pemerintahan yang transparan dan berkeadilan di era
demokrasi modern.
8.2. Etika Politik dan Good
Governance
Gagasan al-Farabi
tentang al-Madinah al-Fadhilah menempatkan keadilan sebagai syarat utama terciptanya
masyarakat yang baik. Konsep ini sejalan dengan prinsip good governance modern yang menekankan partisipasi, akuntabilitas, dan
keadilan sosial. Dalam konteks politik global yang menghadapi krisis etika,
al-Farabi memberikan landasan filosofis bahwa pemimpin harus berorientasi pada
kebahagiaan kolektif, bukan sekadar kepentingan pribadi atau kelompok.3
Relevansi ini terlihat dalam tuntutan masyarakat kontemporer terhadap pemimpin
yang berintegritas dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
8.3. Keadilan Sosial dan
Ekonomi
Pemikiran Ibn Sina
mengenai keadilan sebagai harmoni dalam diri dan masyarakat dapat diterapkan
pada konteks kesenjangan sosial-ekonomi modern. Keadilan distributif yang
dipengaruhi oleh Aristoteles, lalu diolah oleh Ibn Sina, mengajarkan pentingnya
proporsionalitas dalam pembagian sumber daya. Dalam konteks kontemporer, hal
ini selaras dengan gagasan keadilan sosial dalam ekonomi pembangunan dan teori
distribusi kesejahteraan. Dengan demikian, gagasan Ibn Sina dapat menjadi
kerangka filosofis untuk mengatasi persoalan ketidaksetaraan global yang masih
menjadi tantangan utama abad ke-21.4
8.4. Spiritualitas dan
Moralitas Keadilan
Al-Ghazali
menekankan bahwa keadilan tidak hanya berhubungan dengan hukum atau politik,
tetapi juga dengan akhlak dan spiritualitas. Pandangan ini sangat relevan di
tengah krisis moral dan materialisme global. Keadilan dalam pengertian
al-Ghazali berarti menempatkan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah,
yang berimplikasi pada pembentukan karakter individu yang berakhlak mulia.
Dalam konteks masyarakat modern yang rentan pada korupsi, eksploitasi, dan
dehumanisasi, pendekatan spiritual al-Ghazali memberi dimensi etis yang
melampaui rasionalitas sekuler.5,6
8.5. Sumbangan terhadap
Diskursus Global tentang Keadilan
Integrasi antara
rasionalitas dan wahyu yang dilakukan oleh para pemikir Islam klasik memperluas
cakrawala konsep keadilan. Jika Aristoteles menekankan dimensi rasional dan
politik, maka para pemikir Islam memperkaya konsep tersebut dengan hukum
syariat, etika akhlak, dan spiritualitas. Hal ini memberi kontribusi signifikan
pada diskursus global tentang keadilan, terutama dalam menghadapi tantangan
modern seperti ketidakadilan struktural, krisis ekologi, dan konflik
antarbangsa. Dengan demikian, warisan intelektual Islam klasik tetap menjadi
sumber refleksi penting dalam membangun tatanan dunia yang lebih adil.7,8
Footnotes
[1]
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1985), 5–7.
[2]
Wafaa H. Wahba, The Ordinances of Government: Al-Ahkam
al-Sultaniyyah and Related Texts (Reading: Garnet Publishing, 1996),
11–15.
[3]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 87–90.
[4]
Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq
al-Jadidah, 1985), 112–115.
[5]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 180–185, 228–233.
[6]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana
(Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 45–49.
[7]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 141–145.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2006),
55–61.
9.
Penutup
9.1. Kesimpulan Umum
Kajian ini
menunjukkan bahwa keadilan merupakan tema universal yang melampaui batas ruang
dan waktu, dipahami baik dalam filsafat Yunani maupun dalam tradisi Islam
klasik. Aristoteles mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan utama yang
mengatur kehidupan bersama dalam polis, dengan penekanan pada
keadilan distributif dan korektif sebagai fondasi hukum dan politik.1
Pemikiran ini menjadi titik berangkat yang kemudian diolah dan diperkaya oleh
para filsuf Muslim.
Al-Farabi menekankan
keadilan dalam konteks al-Madinah al-Fadhilah sebagai
harmoni sosial-politik demi kebahagiaan bersama.2 Ibn Sina
mengaitkan keadilan dengan harmoni jiwa dan hukum masyarakat, menjadikannya
kebajikan universal yang menopang kesempurnaan intelektual dan spiritual
manusia.3 Al-Mawardi memfokuskan keadilan pada legitimasi politik
dan tata kelola pemerintahan berdasarkan syariat, menjadikannya prinsip praktis
bagi stabilitas sosial.4 Sementara itu, al-Ghazali menekankan
dimensi etis dan spiritual, bahwa keadilan adalah keseimbangan batin dan
kepatuhan terhadap kehendak Allah.5
9.2. Sumbangan Pemikiran Islam
terhadap Diskursus Filsafat Keadilan
Perbandingan dengan
Aristoteles memperlihatkan bahwa para pemikir Islam tidak hanya mengadopsi
filsafat Yunani, tetapi juga mentransformasikannya dengan dimensi religius dan
spiritual. Jika Aristoteles menekankan keadilan sebagai instrumen untuk
mencapai eudaimonia
duniawi, maka para pemikir Islam menambahkan bahwa keadilan juga merupakan
jalan menuju kesempurnaan moral dan kebahagiaan ukhrawi. Dengan demikian,
tradisi Islam memberikan kontribusi penting bagi pengayaan makna keadilan dalam
wacana filsafat global.6
9.3. Implikasi bagi Penelitian
dan Konteks Kontemporer
Kajian ini juga
menegaskan relevansi keadilan Islam klasik bagi dunia modern. Prinsip keadilan
al-Mawardi dapat dihubungkan dengan rule of law dan good governance, pemikiran al-Farabi memberi inspirasi bagi teori
kepemimpinan etis, pandangan Ibn Sina relevan dengan isu distribusi
kesejahteraan, dan gagasan al-Ghazali memberikan kedalaman spiritual dalam
menghadapi krisis moralitas global.7,8 Dengan demikian, pemikiran
Islam klasik tidak hanya penting dalam konteks sejarah, tetapi juga dapat
menjadi sumber refleksi bagi pembangunan masyarakat yang lebih adil di masa
kini.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129b–1130a.
[2]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, ed. Albert N.
Nader (Beirut: Dar al-Mashriq, 1968), 87–90.
[3]
Ibn Sina, al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq
al-Jadidah, 1985), 112–115.
[4]
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1985), 5–7.
[5]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, ed. Badawi Tabbana
(Cairo: Dar al-Hadith, 2004), 45–49.
[6]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 150–156, 228–233.
[7]
Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology (Oxford:
Oxford University Press, 2009), 141–145.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the
Present: Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2006),
55–61.
Daftar
Pustaka
Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve,
Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans., 2nd ed.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Butterworth, C. (2005). Al-Farabi’s political
philosophy. In P. Adamson & R. C. Taylor (Eds.), The Cambridge companion
to Arabic philosophy (pp. 232–248). Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Crone, P. (2004). Medieval Islamic political
thought. Edinburgh, UK: Edinburgh University Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy
(3rd ed.). New York, NY: Columbia University Press.
Ghazali, A. H. al-. (1961). Al-Iqtisad fi
al-I‘tiqad (I. Madkour, Ed.). Cairo, Egypt: Maktabah al-Jund.
Ghazali, A. H. al-. (1964). Nasihat al-muluk
(F. R. C. Bagley, Trans.). London, UK: Oxford University Press.
Ghazali, A. H. al-. (2004). Ihya’ ‘ulum al-din
(B. Tabbana, Ed.). Cairo, Egypt: Dar al-Hadith.
Griffel, F. (2009). Al-Ghazali’s philosophical
theology. Oxford, UK: Oxford University Press.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbasid society.
London, UK: Routledge.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
tradition: Introduction to reading Avicenna’s philosophical works. Leiden,
Netherlands: Brill.
Ibn Sina. (1952). Kitab al-shifa’ (I. Madkour,
Ed.). Cairo, Egypt: al-Majlis al-A‘la li al-Shu’un al-Islamiyyah.
Ibn Sina. (1985). Al-Najat (M. Fakhry, Ed.).
Beirut, Lebanon: Dar al-Afaq al-Jadidah.
Khadduri, M. (1955). War and peace in the law of
Islam. Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic
philosophy. Cambridge, UK: Polity Press.
Makdisi, G. (1970). The juridical theology of
al-Mawardi. Studia Islamica, 32, 29–50.
Mawardi, A. al-. (1985). Al-Ahkam al-sultaniyyah.
Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in
Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1993). An introduction to Islamic
cosmological doctrines. Albany, NY: State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2006). Islamic philosophy from its
origin to the present: Philosophy in the land of prophecy. Albany, NY:
State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision
and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. New York, NY: HarperOne.
Rawls, J. (1971). A theory of justice.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Walzer, R. (1985). Al-Farabi on the perfect state.
Oxford, UK: Clarendon Press.
Wahba, W. H. (1996). The ordinances of government:
Al-Ahkam al-Sultaniyyah and related texts. Reading, UK: Garnet Publishing.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar