Jumat, 03 Oktober 2025

Keadilan dalam Filsafat Yunani Klasik

Keadilan dalam Filsafat Yunani Klasik

Pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles


Alihkan ke: Konsep Keadilan.


Abstrak

Artikel ini mengkaji konsep keadilan dalam filsafat Yunani Klasik dengan menyoroti pemikiran tiga tokoh utama: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Keadilan dipahami tidak sekadar sebagai aturan hukum atau konvensi sosial, tetapi sebagai prinsip moral dan politik yang mendasar bagi kehidupan individu maupun komunitas. Socrates menekankan keadilan sebagai keutamaan jiwa yang bernilai intrinsik dan menjadi prasyarat kebahagiaan sejati (eudaimonia). Plato, melalui Republic, merumuskan keadilan sebagai harmoni antara bagian-bagian jiwa dan kelas-kelas sosial dalam polis, yang berpuncak pada kontemplasi terhadap Idea of the Good. Sementara itu, Aristoteles memberikan pendekatan yang lebih empiris dan praktis, dengan membedakan keadilan umum, keadilan distributif, dan keadilan korektif, serta menambahkan konsep epieikeia (equity) untuk mengatasi keterbatasan hukum positif.

Artikel ini juga membandingkan ketiga pemikiran tersebut, menyoroti kesinambungan dan perbedaan orientasi: Socrates berfokus pada dimensi etis personal, Plato pada harmoni kosmis dan politik, sedangkan Aristoteles pada prinsip praktis hukum dan distribusi sosial. Relevansi ketiganya masih terasa dalam diskursus kontemporer mengenai demokrasi, hukum, dan keadilan sosial-ekonomi, sekaligus menjadi sumber kritik terhadap relativisme, positivisme hukum, maupun praktik politik modern. Dengan demikian, warisan Yunani Klasik tetap signifikan sebagai inspirasi reflektif dan normatif dalam memahami keadilan pada dunia modern.

Kata Kunci: Keadilan, Socrates, Plato, Aristoteles, Filsafat Yunani Klasik, Eudaimonia, Polis, Etika, Politik.


Konsep Keadilan dalam Filsafat Yunani Klasik


1.           Pendahuluan

Keadilan (dikaiosynē) merupakan salah satu konsep paling mendasar sekaligus problematis dalam khazanah filsafat Yunani Klasik. Sejak abad ke-5–4 SM, para filsuf tidak hanya menyoal apa itu keadilan, tetapi juga bagaimana keadilan dihayati sebagai keutamaan pribadi, dijalankan dalam kehidupan bernegara, dan ditopang oleh rasionalitas serta hukum.¹ Di tangan Plato dan Aristoteles—dua pemikir yang menempatkan keadilan di jantung etika dan politik—gagasan ini tampil sebagai prinsip keteraturan dan harmonisasi dalam jiwa maupun polis, juga sebagai keutamaan yang berkaitan dengan relasi antar-warga dan distribusi hak serta kewajiban.² Dengan latar demikian, kajian tentang keadilan dalam tradisi Yunani Klasik tidak mungkin dilepaskan dari “trilogi” Socrates–Plato–Aristoteles, baik karena kedalaman analitisnya maupun karena pengaruhnya yang panjang terhadap teori keadilan dalam tradisi Barat dan diskursus kontemporer.³

Secara historis-sosiologis, lahirnya perdebatan besar tentang keadilan berkait erat dengan dinamika polis—terutama demokrasi Athena—yang mempertemukan retorika hukum, praktik pengadilan, dan pergulatan kebajikan warga di ruang publik.⁴ Kelas-kelas warga, institusi hukum, dan praktik deliberasi politik memaksa masyarakat Athena untuk merumuskan ukuran “adil” yang dapat dipertanggungjawabkan melampaui kepentingan kelompok.⁵ Dalam konteks itu pula, kaum Sofis menonjolkan relativisme normatif yang memicu reaksi keras dari Socrates dan murid-muridnya: apakah keadilan hanyalah konvensi yang lahir dari kuasa mayoritas, atau ada standar rasional-normatif yang lebih kuat?⁶ Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pemantik lahirnya program filosofis yang menuntut definisi yang ketat, argumen yang sahih, dan fondasi normatif yang stabil bagi kehidupan etis dan politik.

Socrates, melalui metode dialektika (elenchus), memulai penyelidikan keadilan sebagai bagian dari pencarian definisi yang benar atas keutamaan moral.⁷ Ia tidak menulis karya, tetapi lewat dialog-dialog Plato—Apology dan Crito, antara lain—Socrates digambarkan sebagai figur yang menautkan ketaatan pada hukum dengan kewajiban moral, serta menolak tindakan yang merusak jiwa walau dengan dalih kemanfaatan pragmatis.⁸ Dengan demikian, benih gagasan bahwa keadilan menyentuh inti pembentukan diri dan bukan semata urusan prosedural telah ditanamkan pada tahap awal tradisi klasik.

Plato mengkristalkan benih itu dalam Republic, terutama ketika menafsirkan keadilan sebagai harmoni: pada tataran individu, keadilan adalah keselarasan antara bagian rasional, thumos, dan nafsu; pada tataran negara, keadilan terjadi bila tiap kelas—filsuf, penjaga, produsen—menjalankan fungsinya sesuai kodratnya.⁹ Rancangan itu bertumpu pada metafisika Forms, terutama Idea of the Good, yang menyediakan ukuran objektif bagi penilaian moral dan politik.¹⁰ Pembacaan ini tidak sekadar menyodorkan model normatif negara ideal, tetapi juga memberikan kerangka psikologi moral yang memampukan kita menilai deviasi dan patologi ketidakadilan—baik pada jiwa maupun institusi.¹¹

Aristoteles, sementara itu, mengubah fokus dari konstruksi negara ideal menuju analisis kebajikan yang beroperasi dalam praksis. Dalam Nicomachean Ethics V, ia membedakan keadilan umum (sebagai keutamaan yang merangkum ketaatan pada hukum dan kebaikan bagi sesama) dari keadilan partikular yang mencakup keadilan distributif dan korektif.¹² Ia juga menambahkan konsep epieikeia (equity) untuk mengoreksi kekakuan hukum positif ketika bertabrakan dengan tujuan moral yang lebih tinggi.¹³ Di ranah politik, Aristoteles menautkan keadilan dengan politeia, kriteria kewargaan, dan struktur konstitusi yang menopang pemerataan dan ketertiban, seraya mengkritik bentuk-bentuk penyimpangan (tirani, oligarki, demokrasi yang melampaui batas).¹⁴ Dengan demikian, kerangka Aristotelian menyediakan instrumentarium konseptual untuk menilai desain institusional dan tata hukum dalam kenyataan historis.

Artikel ini bertujuan menyajikan kajian komparatif dan sistematis mengenai keadilan dalam pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Pertanyaan pokok yang memandu pembahasan ialah: (1) bagaimana masing-masing memaknai keadilan dan menghubungkannya dengan eudaimonia (kebahagiaan/ kesejahteraan) serta kebajikan; (2) bagaimana argumen tentang jiwa, hukum, dan konstitusi menopang kerangka keadilan mereka; dan (3) sampai sejauh mana perbedaan-perbedaan konseptual itu melahirkan pendekatan yang berlainan terhadap problem keadilan sosial-politik. Secara metodologis, kajian ini bertumpu pada analisis tekstual-konseptual atas sumber primer (dialog-dialog Plato, Nicomachean Ethics, Politics) berikut perangkat penomoran standar (Stephanus untuk Plato, Bekker untuk Aristoteles), serta dialog kritis dengan literatur sekunder otoritatif.¹⁵ Dengan rancangan demikian, diharapkan pembaca memperoleh peta konseptual yang jernih tentang posisi keadilan dalam tradisi klasik, sekaligus amunisi teoritis untuk menilai relevansinya bagi problem keadilan kontemporer.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), V (khususnya 1129a–1130b).

[2]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), IV 433a–434c; VI–VII. Lihat juga Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981).

[3]                Eric Brown, “Plato’s Ethics and Politics in The Republic,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Metaphysics Research Lab, Stanford University, https://plato.stanford.edu, diakses 27 Agustus 2025; Richard Kraut, “Aristotle’s Ethics,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy, https://plato.stanford.edu, diakses 27 Agustus 2025.

[4]                Mogens Herman Hansen, The Athenian Democracy in the Age of Demosthenes (Norman: University of Oklahoma Press, 1999).

[5]                Ibid.; serta Fred D. Miller Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995).

[6]                G. B. Kerferd, The Sophistic Movement (Cambridge: Cambridge University Press, 1981).

[7]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 1–20.

[8]                Plato, Apology 29d–30b; Crito 49a–50a, dalam Five Dialogues, trans. G. M. A. Grube, rev. John M. Cooper, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2002).

[9]                Plato, Republic IV 433a–434c (harmoni jiwa dan negara).

[10]             Plato, Republic VI–VII 508e–509b (Form of the Good).

[11]             C. D. C. Reeve, Philosopher-Kings: The Argument of Plato’s Republic (Princeton: Princeton University Press, 1988).

[12]             Aristotle, Nicomachean Ethics V (distributif dan korektif).

[13]             Ibid., V 1137a–1138a (tentang epieikeia).

[14]             Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1998), III; bandingkan Miller, Nature, Justice, and Rights.

[15]             John M. Cooper, ed., Plato: Complete Works (Indianapolis: Hackett, 1997), xvii–xx (tentang konvensi penomoran); Jonathan Barnes, ed., The Complete Works of Aristotle: The Revised Oxford Translation, 2 vols. (Princeton: Princeton University Press, 1984), vii–x (penomoran Bekker).


2.           Konteks Historis Filsafat Yunani Klasik

Pembahasan mengenai keadilan dalam filsafat Yunani Klasik tidak dapat dilepaskan dari latar historis, politik, dan kultural yang melingkupinya. Yunani abad ke-5 hingga ke-4 SM merupakan masa transisi intelektual dari dominasi mitos ke logos, dari penjelasan religius ke penalaran filosofis.¹ Pergeseran ini sangat menentukan cara orang Yunani memahami keadilan, bukan lagi semata sebagai titah para dewa, melainkan sebagai prinsip rasional yang dapat diuji melalui dialog dan argumentasi.²

2.1.       Polis dan Dinamika Sosial-Politik

Kehidupan masyarakat Yunani Kuno berpusat pada polis (kota-negara), sebuah unit politik yang relatif mandiri dengan struktur sosial, hukum, dan sistem pemerintahan sendiri.³ Polis bukan hanya entitas politik, tetapi juga arena moral dan intelektual di mana konsep keadilan diuji dan dipraktikkan. Dalam polis Athena, yang mengalami perkembangan demokrasi radikal pada abad ke-5 SM, keadilan menjadi bahan perdebatan publik yang intens, terutama dalam konteks pengadilan rakyat (dikasteria) dan majelis warga (ekklesia).⁴

Perubahan sosial dan politik ini memunculkan ketegangan: di satu sisi, demokrasi memberi ruang partisipasi luas bagi warga; di sisi lain, ia juga memunculkan praktik retorika yang sering disalahgunakan oleh kaum Sofis untuk membela kepentingan tertentu.⁵ Kaum Sofis menegaskan bahwa hukum dan keadilan hanyalah hasil kesepakatan (nomos), bukan sesuatu yang bersifat alami (physis). Pandangan ini menimbulkan kekhawatiran, karena berpotensi mengikis standar moral universal dan menjustifikasi relativisme etis.⁶

2.2.       Dari Mitos ke Logos

Sebelum periode klasik, penjelasan tentang keadilan banyak ditemukan dalam karya mitopoetik, seperti puisi Hesiodos (Works and Days) yang menekankan peran Dewi Dike (Keadilan) dalam menjaga keteraturan kosmis dan sosial.⁷ Namun, filsafat klasik kemudian berusaha melepaskan konsep keadilan dari mitos dan menempatkannya dalam kerangka rasional. Peralihan ini merupakan salah satu ciri utama lahirnya filsafat, di mana problem etika dan politik dipahami melalui logika argumentasi, bukan semata otoritas mitis.⁸

2.3.       Latar Krisis dan Lahirnya Filsafat Moral

Perang Peloponnesos (431–404 SM) antara Athena dan Sparta memperparah krisis sosial-politik, meninggalkan pengalaman pahit berupa kehancuran ekonomi, instabilitas politik, dan korupsi moral.⁹ Kekacauan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keadilan sungguh-sungguh berguna bagi manusia, ataukah hanya ilusi yang dapat dikorbankan demi kepentingan pragmatis?¹⁰ Pertanyaan tersebut melahirkan upaya filosofis untuk merumuskan fondasi normatif yang lebih kokoh, sebagaimana terlihat dalam refleksi Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Socrates menentang relativisme Sofis dengan mengajukan pencarian definisi universal atas keutamaan, termasuk keadilan.¹¹ Plato kemudian melanjutkan dengan sistem filsafat yang komprehensif, menempatkan keadilan sebagai harmoni jiwa dan negara.¹² Aristoteles, dalam tahap berikutnya, membawa diskusi ke wilayah yang lebih empiris dan praktis, dengan menekankan keadilan dalam distribusi dan koreksi hubungan sosial.¹³

2.4.       Signifikansi Konteks Historis

Dengan demikian, perkembangan filsafat Yunani Klasik mengenai keadilan harus dibaca sebagai respon terhadap dinamika historis: demokrasi Athena, pengaruh kaum Sofis, perang, dan transformasi budaya dari mitos ke logos. Semua faktor ini membentuk medan dialektis yang memungkinkan lahirnya teori keadilan klasik. Konteks tersebut memberi pemahaman bahwa filsafat bukan sekadar abstraksi, melainkan juga refleksi atas problem nyata masyarakat.¹⁴


Footnotes

[1]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. II: The Presocratic Tradition from Parmenides to Democritus (Cambridge: Cambridge University Press, 1965), 12–18.

[2]                Jean-Pierre Vernant, The Origins of Greek Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 45–49.

[3]                Mogens Herman Hansen, Polis: An Introduction to the Ancient Greek City-State (Oxford: Oxford University Press, 2006), 9–15.

[4]                Josiah Ober, Mass and Elite in Democratic Athens (Princeton: Princeton University Press, 1989), 74–83.

[5]                G. B. Kerferd, The Sophistic Movement (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 66–70.

[6]                Ibid., 91–94.

[7]                Hesiod, Works and Days, trans. M. L. West (Oxford: Oxford University Press, 1978), ll. 213–285.

[8]                Charles H. Kahn, The Art and Thought of Heraclitus (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 101–104.

[9]                Donald Kagan, The Peloponnesian War (New York: Penguin, 2003), 421–435.

[10]             Thucydides, History of the Peloponnesian War, trans. Rex Warner (New York: Penguin, 1972), Book III (Melian Dialogue).

[11]             Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 54–59.

[12]             Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), IV 433a–434c.

[13]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), V 1129a–1130b.

[14]             Fred D. Miller Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 23–27.


3.           Keadilan Menurut Socrates

3.1.       Socrates dan Latar Intelektual

Socrates (469–399 SM) sering dianggap sebagai titik balik dalam filsafat Yunani, karena ia menggeser fokus dari penjelasan kosmologis para filsuf pra-Sokratik menuju penyelidikan etis dan moral.¹ Berbeda dengan para pendahulunya, ia tidak meninggalkan karya tulis; seluruh pandangan dan metode Socrates diketahui melalui kesaksian murid-muridnya, terutama Plato dan Xenophon, serta penggambaran komedi oleh Aristophanes.² Dengan metode dialektika (elenchus), Socrates memeriksa kepercayaan lawan bicaranya untuk menyingkap kontradiksi, sekaligus menuntun mereka menuju definisi yang lebih jernih mengenai keutamaan moral, termasuk keadilan.³

3.2.       Metode Dialektika dan Pencarian Hakikat Keadilan

Bagi Socrates, filsafat adalah pencarian tanpa henti akan kebenaran moral. Ia berangkat dari keyakinan bahwa kebajikan (aretē) adalah pengetahuan, dan bahwa orang yang mengetahui apa yang baik pasti akan bertindak baik.⁴ Dalam konteks keadilan, Socrates menolak relativisme kaum Sofis yang menganggap keadilan hanya sebagai hasil kesepakatan (nomos) atau instrumen kepentingan pihak yang berkuasa.⁵ Melalui dialog kritis, ia menantang definisi dangkal keadilan—misalnya, bahwa keadilan adalah “mengembalikan apa yang dipinjam” atau “menguntungkan teman dan merugikan musuh”⁶—karena menurutnya definisi semacam itu gagal menyentuh esensi normatif yang berlaku universal.

Metode elenchus ini tampak jelas dalam Republic I, ketika Socrates menyoal definisi Thrasymachos yang provokatif: “keadilan adalah kepentingan pihak yang kuat.”⁷ Bagi Socrates, pandangan ini salah secara logis dan etis, sebab penguasa dapat keliru mengenai apa yang menjadi kepentingannya, dan hukum yang dibuat demi kepentingan sempit tidak otomatis sahih secara moral.⁸ Dengan demikian, pencarian keadilan harus berpijak pada rasionalitas dan orientasi moral yang benar, bukan pada relativisme politik.

3.3.       Keadilan sebagai Keutamaan Jiwa

Socrates menegaskan bahwa keadilan bukan sekadar aturan eksternal, melainkan keutamaan yang mengatur jiwa. Dalam perspektif ini, jiwa yang adil adalah jiwa yang teratur, yang bagian-bagiannya selaras dengan akal budi.⁹ Keadilan menjadi inti dari kebajikan moral karena menyangkut kemampuan seseorang untuk hidup baik dan benar sesuai kodrat rasionalnya.¹⁰

Dalam Crito, misalnya, Socrates menolak melarikan diri dari penjara meski ada kesempatan, dengan alasan bahwa melanggar hukum akan merusak tatanan keadilan yang menopang kehidupan bersama.¹¹ Keadilan di sini menuntut konsistensi moral: lebih baik menderita ketidakadilan daripada berbuat tidak adil, sebab ketidakadilan merusak jiwa pelakunya.¹² Dengan demikian, keadilan bagi Socrates bersifat intrinsik—ia bernilai demi dirinya sendiri, bukan sekadar sarana mencapai keuntungan pragmatis.

3.4.       Hubungan Keadilan dan Eudaimonia

Socrates juga menautkan keadilan dengan konsep eudaimonia (kebahagiaan sejati). Menurutnya, hidup yang baik (good life) hanya dapat dicapai jika jiwa berada dalam keadaan sehat dan selaras, dan hal itu hanya mungkin bila seseorang berlaku adil.¹³ Oleh karena itu, keadilan bukanlah sekadar kewajiban sosial, tetapi jalan menuju kebahagiaan dan pemenuhan kodrat manusia sebagai makhluk rasional.¹⁴ Pandangan ini kelak menjadi fondasi bagi Plato dan Aristoteles dalam merumuskan teori etika dan politik.

3.5.       Signifikansi Pemikiran Socrates

Pemikiran Socrates tentang keadilan dapat dipandang sebagai kritik mendasar terhadap relativisme moral dan politik pada zamannya, sekaligus peletak dasar bagi teori normatif keadilan di kemudian hari. Ia menegaskan bahwa keadilan adalah keutamaan jiwa yang bersifat universal, tidak tergantung pada kesepakatan sosial semata.¹⁵ Dengan menempatkan keadilan sebagai prasyarat kebahagiaan sejati, Socrates memberikan kerangka etis yang terus memengaruhi tradisi filsafat Barat hingga hari ini.


Footnotes

[1]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. III: The Fifth-Century Enlightenment (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 94–99.

[2]                Aristophanes, Clouds, trans. Jeffrey Henderson (Cambridge: Harvard University Press, 1998); Xenophon, Memorabilia, trans. Amy L. Bonnette (Ithaca: Cornell University Press, 1994).

[3]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–52.

[4]                Terence Irwin, Plato’s Moral Theory (Oxford: Oxford University Press, 1977), 31–36.

[5]                G. B. Kerferd, The Sophistic Movement (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 87–93.

[6]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), I 331c–335e.

[7]                Ibid., I 338c–339a.

[8]                Richard Kraut, Socrates and the State (Princeton: Princeton University Press, 1984), 102–107.

[9]                Plato, Republic IV 433a–434c.

[10]             Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 120–125.

[11]             Plato, Crito 49a–50a, dalam Five Dialogues, trans. G. M. A. Grube, rev. John M. Cooper, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2002).

[12]             Ibid., 49c–d.

[13]             John M. Cooper, “Socrates and Eudaimonia,” in Reason and Emotion (Princeton: Princeton University Press, 1999), 59–84.

[14]             Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Socrates on Trial (Oxford: Oxford University Press, 1989), 210–214.

[15]             Vlastos, Socrates, 87–92.


4.           Keadilan Menurut Plato

4.1.       Latar Intelektual dan Karya Plato

Plato (427–347 SM), murid Socrates sekaligus pendiri Akademia di Athena, merupakan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat.¹ Gagasannya mengenai keadilan terutama tertuang dalam dialog Politeia (Republic), di mana ia merespons tantangan kaum Sofis dan argumentasi Socrates tentang hakikat kebajikan.² Melalui metode dialog, Plato tidak hanya membahas keadilan sebagai konsep etis, tetapi juga menegakkannya sebagai fondasi politik, hukum, dan metafisika.³

4.2.       Keadilan dalam Jiwa Individu

Plato mendefinisikan keadilan sebagai harmoni internal jiwa. Menurutnya, jiwa manusia terdiri atas tiga bagian: rasional (logos), emosional/keberanian (thumos), dan nafsu keinginan (epithumia).⁴ Keadilan terwujud bila masing-masing bagian menjalankan fungsi alaminya, dengan akal sebagai pengendali, keberanian sebagai penjaga, dan nafsu sebagai pengikut yang tertata.⁵ Sebaliknya, ketidakadilan terjadi ketika bagian yang lebih rendah mencoba mendominasi jiwa, sehingga menimbulkan kekacauan batin.⁶ Dengan demikian, keadilan bersifat psikologis sekaligus normatif: ia menjamin keteraturan diri yang memungkinkan tercapainya kebahagiaan sejati (eudaimonia).

4.3.       Keadilan dalam Negara Ideal

Analog dengan jiwa, negara juga memiliki struktur tiga kelas: para penguasa-filsuf (rasional), para penjaga/prajurit (thumos), dan para produsen (nafsu).⁷ Keadilan dalam negara terwujud bila setiap kelas menjalankan fungsinya sesuai kodrat tanpa mencampuri tugas kelas lain: filsuf memerintah berdasarkan pengetahuan, prajurit menjaga keamanan, dan produsen memenuhi kebutuhan ekonomi.⁸ Plato menegaskan bahwa keadilan bukan sekadar pemberian hak-hak yang sama, melainkan keselarasan fungsional di mana setiap orang menempati posisi yang sesuai dengan kapasitasnya.⁹

Dalam pandangan ini, keadilan bersifat struktural dan kosmis: ia adalah keteraturan yang memungkinkan negara berfungsi seperti organisme sehat.¹⁰ Oleh karena itu, Plato menolak gagasan demokrasi radikal Athena, yang dianggapnya membuka peluang bagi orang-orang tidak berpengetahuan untuk memegang kekuasaan, sehingga melahirkan anarki.¹¹ Sebaliknya, ia mengusulkan pemerintahan filsuf (philosopher-king) yang mampu menuntun negara berdasarkan pengetahuan tentang kebaikan tertinggi.¹²

4.4.       Metafisika Idea dan Fondasi Keadilan

Fondasi konsepsi Plato mengenai keadilan terletak pada teorinya tentang Forms (Idea). Baginya, realitas empiris hanyalah bayangan dari dunia Idea yang abadi dan sempurna, dan keadilan sejati hanya dapat dipahami dengan mengacu pada Form of the Good.¹³ Seperti matahari yang menerangi dunia inderawi, Idea of the Good menerangi akal budi sehingga mampu mengenali keadilan dalam arti sejati.¹⁴ Oleh karena itu, filsuf yang telah mencapai kontemplasi Idea Kebaikan memiliki legitimasi moral untuk memerintah.¹⁵

4.5.       Kritik terhadap Pandangan Konvensional

Plato menolak definisi-definisi konvensional tentang keadilan yang ia hadirkan dalam Republic I, misalnya definisi Cephalus (keadilan adalah membayar utang) atau Polemarchus (memberi yang baik pada teman dan yang buruk pada musuh).¹⁶ Definisi-definisi ini gagal menangkap esensi universal keadilan karena masih bersifat transaksional dan parsial. Dalam kerangka Plato, keadilan bukan soal balas jasa, melainkan keteraturan jiwa dan negara menurut prinsip rasionalitas.¹⁷

4.6.       Signifikansi Pemikiran Plato

Dengan menempatkan keadilan sebagai harmoni dalam jiwa dan negara, Plato memberikan kontribusi monumental bagi filsafat moral dan politik. Ia menghubungkan keadilan dengan kebahagiaan individu, keteraturan sosial, dan kebenaran metafisis.¹⁸ Konsepnya menjadi titik acuan penting bagi seluruh diskursus keadilan di era klasik maupun modern—baik sebagai inspirasi (misalnya dalam filsafat politik idealis) maupun sebagai objek kritik (misalnya oleh Karl Popper yang menilai gagasan negara ideal Plato sebagai totalitarian).¹⁹


Footnotes

[1]           W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. IV: Plato, The Man and His Dialogues (Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 23–28.

[2]           Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 5–12.

[3]           Eric Brown, “Plato’s Ethics and Politics in The Republic,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Metaphysics Research Lab, Stanford University, 2022, https://plato.stanford.edu.

[4]           Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), IV 435c–441c.

[5]           Ibid., IV 442c–444a.

[6]           Annas, An Introduction, 120–125.

[7]           Plato, Republic, IV 415a–421c.

[8]           Ibid., IV 427d–434c.

[9]           Richard Kraut, Plato’s Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2016), 87–93.

[10]        Reeve, Philosopher-Kings: The Argument of Plato’s Republic (Princeton: Princeton University Press, 1988), 64–70.

[11]        Plato, Republic, VIII 557a–562a.

[12]        Ibid., V 473d–480a.

[13]        Plato, Republic, VI 508e–509b.

[14]        Ibid., VI 509b–511e (analogi matahari).

[15]        Ibid., VII 514a–521b (alegori gua).

[16]        Plato, Republic, I 331c–335e.

[17]        Terence Irwin, Plato’s Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1995), 156–161.

[18]        Annas, An Introduction, 289–294.

[19]        Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol. I: The Spell of Plato (London: Routledge, 1945), 46–58.


5.           Keadilan Menurut Aristoteles

5.1.       Aristoteles dan Peralihan dari Idealisme ke Empirisme

Aristoteles (384–322 SM), murid Plato sekaligus pendiri Lyceum, menempuh jalur filsafat yang berbeda dari gurunya. Bila Plato menekankan dunia Idea sebagai dasar keadilan, Aristoteles lebih menekankan observasi empiris dan analisis praktis dalam kehidupan nyata polis.¹ Ia mengembangkan kerangka etika berbasis virtue ethics, dengan tujuan utama mencapai eudaimonia (kebahagiaan/ kesejahteraan) melalui pembentukan kebajikan.² Dalam kerangka ini, keadilan mendapat posisi istimewa sebagai keutamaan moral tertinggi, yang merangkum hubungan individu dengan sesamanya dan dengan hukum.³

5.2.       Keadilan sebagai Keutamaan Sempurna

Dalam Etika Nikomakea (Buku V), Aristoteles menyebut keadilan sebagai “keutamaan sempurna” (teleia aretē), karena seseorang yang adil bukan hanya baik bagi dirinya, tetapi juga bagi orang lain.⁴ Dengan kata lain, keadilan mencakup seluruh kebajikan, sejauh diwujudkan dalam relasi sosial.⁵ Karena itu, Aristoteles membedakan antara:

·                     Keadilan umum (general justice): ketaatan pada hukum dan kebajikan sosial yang menjamin kebaikan bersama.⁶

·                     Keadilan khusus (particular justice): yang berkaitan dengan distribusi hak dan kewajiban, serta koreksi terhadap ketidakadilan dalam transaksi sosial.⁷

5.3.       Dua Bentuk Keadilan Khusus

Aristoteles menguraikan keadilan khusus ke dalam dua bentuk utama:

1)                  Keadilan Distributif (distributive justice): prinsip yang mengatur pembagian kehormatan, kekayaan, atau sumber daya publik menurut proporsionalitas, bukan kesamaan aritmetis.⁸ Misalnya, warga yang lebih berkontribusi pada polis berhak atas bagian lebih besar. Distribusi adil berarti memberikan kepada setiap orang sesuai “layaknya” (kata to axian).⁹

2)                  Keadilan Korektif (corrective/rectificatory justice): prinsip yang berlaku dalam hubungan timbal balik, baik sukarela (kontrak, perdagangan) maupun tidak sukarela (kejahatan, perbuatan melawan hukum).¹⁰ Tujuannya adalah memulihkan keseimbangan dengan cara mengoreksi kerugian yang ditimbulkan, sehingga tidak ada pihak yang memperoleh keuntungan berlebih atas kerugian orang lain.¹¹

Dengan dua kategori ini, Aristoteles menempatkan keadilan sebagai prinsip dinamis yang bekerja dalam konteks konkret, bukan hanya dalam tataran abstrak.

5.4.       Peran Nomos dan Prinsip Epieikeia

Keadilan, menurut Aristoteles, erat kaitannya dengan hukum (nomos), sebab hukum dirancang untuk kebaikan bersama.¹² Namun, Aristoteles menyadari bahwa hukum tertulis tidak selalu mampu menjangkau kerumitan situasi konkret. Untuk itu, ia memperkenalkan konsep epieikeia (equity), yaitu keadilan yang memperbaiki kekakuan hukum dengan mempertimbangkan maksud moral di baliknya.¹³ Dengan epieikeia, Aristoteles menegaskan bahwa hukum positif harus ditafsirkan secara fleksibel demi melayani tujuan etis yang lebih tinggi.

5.5.       Keadilan, Polis, dan Kewargaan

Dalam Politika, Aristoteles menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk politik), yang hanya dapat mencapai kesempurnaan dirinya dalam polis.¹⁴ Keadilan menjadi prinsip yang memungkinkan kehidupan bersama dalam polis berlangsung tertib dan seimbang. Dalam kerangka ini, pertanyaan tentang siapa yang menjadi warga (polites) sangat menentukan, sebab hanya warga penuh yang dapat berpartisipasi dalam distribusi keadilan politik.¹⁵ Aristoteles juga membedakan bentuk-bentuk pemerintahan (monarki, aristokrasi, politeia) dari penyimpangannya (tirani, oligarki, demokrasi radikal), dengan ukuran keadilan: apakah pemerintahan itu mengabdi pada kebaikan bersama atau kepentingan sempit penguasa.¹⁶

5.6.       Signifikansi Pemikiran Aristoteles

Pemikiran Aristoteles tentang keadilan memberikan kerangka konseptual yang lebih praktis dan realistis dibandingkan Plato. Dengan menekankan distribusi proporsional, koreksi hukum, dan fleksibilitas melalui epieikeia, Aristoteles menyodorkan dasar teoritis yang kelak memengaruhi filsafat hukum, teori politik, dan bahkan konsep keadilan modern.¹⁷ John Rawls, misalnya, mengakui Aristoteles sebagai salah satu inspirasi penting bagi diskursus distributif.¹⁸ Sementara dalam filsafat hukum kontemporer, equity Aristoteles menjadi cikal bakal gagasan tentang peran hakim dalam menafsirkan hukum demi prinsip keadilan substantif.¹⁹


Footnotes

[1]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. VI: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 12–15.

[2]                Terence Irwin, Aristotle’s First Principles (Oxford: Oxford University Press, 1988), 345–350.

[3]                Richard Kraut, “Aristotle’s Ethics,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Metaphysics Research Lab, Stanford University, 2022, https://plato.stanford.edu.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), V 1129a–1130b.

[5]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 110–113.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics V 1129b–1131a.

[7]                Ibid., V 1131a–1132b.

[8]                Ibid., V 1131a25–1131b15.

[9]                Fred D. Miller Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 46–52.

[10]             Aristotle, Nicomachean Ethics V 1132a–1133b.

[11]             Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 78–81.

[12]             Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1998), III 1280a–1281a.

[13]             Aristotle, Nicomachean Ethics V 1137a–1138a.

[14]             Aristotle, Politics I 1253a2–18.

[15]             Miller, Nature, Justice, and Rights, 70–74.

[16]             Aristotle, Politics III 1279a–1281a.

[17]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 298–304.

[18]             John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 10–11.

[19]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 23–25.


6.           Komparasi Pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles

6.1.       Kesamaan Fundamentalis: Keadilan sebagai Inti Etika dan Politik

Meskipun berbeda dalam metode dan fokus, Socrates, Plato, dan Aristoteles memiliki kesamaan fundamental: mereka menempatkan keadilan sebagai pusat kehidupan moral dan politik.¹ Ketiganya sepakat bahwa keadilan bukan sekadar aturan eksternal atau konvensi, melainkan keutamaan moral yang menyentuh inti kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan sosial.² Dalam kerangka ini, keadilan dipandang sebagai syarat mutlak untuk mencapai eudaimonia (kebahagiaan sejati) dan keteraturan dalam polis.³

6.2.       Perbedaan Metodologis dan Epistemologis

·                     Socrates menggunakan metode dialektika (elenchus) untuk membongkar definisi-definisi dangkal tentang keadilan. Baginya, keadilan adalah keutamaan jiwa yang harus didefinisikan secara universal melalui dialog kritis.⁴

·                     Plato merumuskan keadilan dalam kerangka metafisis dan politis. Ia mengembangkan analogi antara jiwa dan negara, serta menempatkan keadilan sebagai harmoni struktural yang berpuncak pada Idea of the Good.⁵

·                     Aristoteles lebih bersifat empiris dan praktis. Ia membagi keadilan ke dalam kategori umum dan khusus, dengan analisis yang konkret tentang distribusi, koreksi, hukum, dan epieikeia.⁶

Dengan demikian, terdapat pergeseran dari pendekatan dialektis (Socrates), ke sistem metafisis-idealistis (Plato), lalu ke kerangka empiris-praktis (Aristoteles).

6.3.       Perbedaan Konseptual tentang Substansi Keadilan

·                     Socrates

Keadilan sebagai kondisi internal jiwa, lebih bernuansa etika individual. Keadilan adalah tidak berbuat salah, bahkan bila harus menanggung kerugian.⁷

·                     Plato

Keadilan sebagai harmoni kosmis dan sosial, yaitu ketika setiap bagian (jiwa maupun kelas sosial) menjalankan fungsinya secara tepat.⁸

·                     Aristoteles

Keadilan sebagai prinsip proporsional dalam kehidupan bersama, baik dalam pembagian (distributif) maupun dalam pemulihan ketidakadilan (korektif).⁹

Perbedaan ini mencerminkan orientasi masing-masing: personal-moral (Socrates), ideal-politik (Plato), dan sosial-praktis (Aristoteles).

6.4.       Hubungan dengan Konteks Historis

Ketiga pemikir ini juga dipengaruhi konteks sosial-politik zamannya:

·                     Socrates hidup di tengah demokrasi Athena yang rapuh dan sering kacau oleh retorika Sofis; sikap kritisnya membuatnya dianggap ancaman bagi status quo.¹⁰

·                     Plato, menyaksikan kejatuhan demokrasi Athena dan kematian Socrates, menawarkan rancangan negara ideal yang dijalankan oleh filsuf.¹¹

·                     Aristoteles, yang hidup di era pasca-Plato, lebih menekankan analisis pada sistem pemerintahan nyata dan hukum positif, sehingga teorinya lebih pragmatis dan dekat dengan pengalaman empiris polis.¹²

6.5.       Signifikansi Teoretis dan Warisan Intelektual

·                     Socrates mewariskan kerangka dialogis dan penekanan bahwa keadilan bernilai demi dirinya sendiri.¹³

·                     Plato mewariskan konsepsi normatif tentang keadilan kosmis dan politik, yang menjadi fondasi tradisi idealisme dalam filsafat Barat.¹⁴

·                     Aristoteles memberikan kerangka konseptual yang sistematis dan praktis tentang keadilan, yang hingga kini memengaruhi teori hukum dan politik, terutama dalam konteks distribusi hak dan kewajiban.¹⁵

Dengan demikian, evolusi gagasan dari Socrates ke Plato lalu Aristoteles menunjukkan perkembangan konseptual yang kaya: dari keadilan sebagai kebajikan personal, keadilan sebagai struktur sosial-metafisis, hingga keadilan sebagai prinsip praktis hukum dan politik.¹⁶


Footnotes

[1]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 5–12.

[2]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 54–59.

[3]                Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 45–50.

[4]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), I 331c–335e.

[5]                Ibid., IV 433a–434c; VI 508e–509b.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), V 1129a–1133b.

[7]                Plato, Crito 49c–50a.

[8]                Plato, Republic IV 433a–434c.

[9]                Aristotle, Nicomachean Ethics V 1131a–1132b.

[10]             Donald Kagan, The Peloponnesian War (New York: Penguin, 2003), 421–435.

[11]             Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol. I: The Spell of Plato (London: Routledge, 1945), 46–58.

[12]             Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1998), III 1279a–1281a.

[13]             Vlastos, Socrates, 87–92.

[14]             Annas, An Introduction, 289–294.

[15]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 298–304.

[16]             Fred D. Miller Jr., Nature, Justice, and Rights in Aristotle’s Politics (Oxford: Clarendon Press, 1995), 23–27.


7.           Relevansi Keadilan Yunani Klasik dalam Konteks Kontemporer

7.1.       Fondasi Filosofis bagi Teori Keadilan Modern

Pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles tentang keadilan tetap relevan karena menawarkan fondasi konseptual yang membentuk kerangka teoritis modern. John Rawls, misalnya, dalam A Theory of Justice mengakui Aristoteles sebagai salah satu sumber inspirasi dalam merumuskan prinsip keadilan distributif.¹ Konsep Aristoteles tentang distributive justice—bahwa setiap orang memperoleh sesuai kontribusi atau “layak”-nya—sering dipandang sebagai cikal bakal gagasan “fair equality of opportunity.”² Begitu pula, refleksi Plato tentang keteraturan sosial menjadi dasar bagi filsafat politik idealis, yang memandang keadilan sebagai harmoni struktural, meskipun kemudian dikritik oleh teori demokrasi modern.³

7.2.       Kritik atas Relativisme dan Positivisme Hukum

Socrates menolak pandangan kaum Sofis yang menganggap keadilan semata-mata hasil konvensi (nomos). Kritik ini relevan dengan problem hukum positif modern, di mana terdapat ketegangan antara keadilan substantif dan formalitas hukum.⁴ Misalnya, perdebatan dalam filsafat hukum antara penganut positivisme hukum (seperti H. L. A. Hart) dan penganut hukum alam (seperti John Finnis) mencerminkan kebangkitan kembali pertanyaan Socratic: apakah hukum yang adil adalah sekadar yang berlaku, ataukah harus selaras dengan prinsip moral universal?⁵

7.3.       Inspirasi bagi Demokrasi dan Kewargaan

Plato dan Aristoteles masih menjadi rujukan utama dalam diskusi mengenai demokrasi dan kewargaan. Plato, meskipun mengkritik demokrasi radikal Athena, menekankan pentingnya pemerintahan berdasarkan pengetahuan, yang dalam konteks modern dapat dikaitkan dengan kebutuhan akan kepemimpinan etis dan berintegritas.⁶ Aristoteles, dengan gagasan zoon politikon, menekankan bahwa keadilan hanya dapat diwujudkan dalam kerangka komunitas politik yang sehat.⁷ Pandangan ini relevan dengan diskusi kontemporer tentang civic virtue dan tanggung jawab warga negara dalam menjaga tatanan demokratis.⁸

7.4.       Keadilan Sosial, Ekonomi, dan Global

Konsep keadilan distributif Aristoteles memiliki relevansi kuat dalam konteks ketimpangan sosial-ekonomi modern. Amartya Sen, dalam Development as Freedom, menegaskan bahwa keadilan harus diukur tidak hanya berdasarkan sumber daya, tetapi juga pada kemampuan manusia untuk menjalani kehidupan bermartabat.⁹ Gagasan ini sejajar dengan semangat Aristoteles, yang menekankan proporsionalitas dan equity sebagai koreksi terhadap kesenjangan rigiditas hukum.¹⁰ Dalam konteks global, perdebatan tentang keadilan kosmopolitan—misalnya, dalam isu perubahan iklim dan distribusi vaksin—mengingatkan pada pertanyaan Plato tentang keteraturan sosial sebagai prasyarat kebaikan bersama.¹¹

7.5.       Kritik dan Batasan Pandangan Klasik

Meski demikian, pemikiran Yunani Klasik juga memiliki keterbatasan. Pertama, gagasan Plato tentang negara ideal dianggap elitis dan anti-demokratis oleh Karl Popper, yang menyebutnya sebagai akar totalitarianisme.¹² Kedua, baik Plato maupun Aristoteles memandang keadilan dalam kerangka polis yang eksklusif, yang mengecualikan perempuan, budak, dan orang asing dari partisipasi politik penuh.¹³ Dalam konteks modern, pandangan ini dipandang diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan universal dalam hak asasi manusia.¹⁴

7.6.       Aktualisasi Keadilan Klasik dalam Dunia Modern

Terlepas dari keterbatasannya, filsafat keadilan Yunani Klasik tetap menjadi sumber inspirasi kritis dan reflektif. Ia menuntun kita untuk melihat keadilan tidak sekadar sebagai aturan prosedural, tetapi sebagai kebajikan moral, keteraturan sosial, dan prinsip yang menuntut keharmonisan antara individu dan komunitas.¹⁵ Dalam dunia modern yang diwarnai krisis politik, ketidaksetaraan global, dan tantangan etis baru (misalnya bioetika, keadilan iklim, dan kecerdasan buatan), warisan Socrates, Plato, dan Aristoteles tetap menyumbangkan kerangka reflektif untuk mempertanyakan, mengkritik, dan memperdalam pemahaman kita tentang apa artinya hidup adil.¹⁶


Footnotes

[1]                John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 10–11.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), V 1131a–1132b.

[3]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 289–294.

[4]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 87–92.

[5]                John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Clarendon Press, 1980), 23–25; H. L. A. Hart, The Concept of Law, 2nd ed. (Oxford: Oxford University Press, 1994), 185–187.

[6]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), V 473d–480a.

[7]                Aristotle, Politics, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1998), I 1253a2–18.

[8]                Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 25–28.

[9]                Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 74–81.

[10]             Aristotle, Nicomachean Ethics V 1137a–1138a.

[11]             Thomas Pogge, World Poverty and Human Rights (Cambridge: Polity Press, 2002), 169–175.

[12]             Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol. I: The Spell of Plato (London: Routledge, 1945), 46–58.

[13]             Aristotle, Politics I 1252b–1255b.

[14]             Susan Moller Okin, Justice, Gender, and the Family (New York: Basic Books, 1989), 12–17.

[15]             Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 145–151.

[16]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 302–306.


8.           Penutup

Kajian mengenai keadilan dalam filsafat Yunani Klasik melalui pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles menunjukkan bahwa topik ini tidak pernah sekadar menjadi persoalan hukum atau tata aturan sosial, melainkan menyentuh dimensi terdalam dari kehidupan manusia sebagai makhluk rasional dan sosial. Socrates membuka jalan dengan menekankan bahwa keadilan adalah keutamaan jiwa, yang bernilai intrinsik dan tidak bisa dikompromikan demi keuntungan pragmatis.¹ Dengan pendekatan dialektis, ia menolak relativisme kaum Sofis dan meletakkan dasar bahwa keadilan harus didefinisikan secara universal dan rasional.²

Plato kemudian mengembangkan gagasan Socrates dalam bentuk yang lebih sistematis, dengan menempatkan keadilan sebagai harmoni dalam jiwa dan dalam negara.³ Bagi Plato, keadilan bukan sekadar relasi eksternal, tetapi keteraturan struktural yang berpuncak pada orientasi kepada Idea of the Good.⁴ Meskipun model negara ideal Plato sering ditafsirkan elitis dan utopis, konsepnya tentang keadilan sebagai keteraturan kosmis dan sosial tetap menjadi warisan penting bagi filsafat politik dan moral.⁵

Aristoteles melanjutkan diskusi ini dengan pendekatan yang lebih empiris dan praktis.⁶ Ia menguraikan keadilan sebagai keutamaan sempurna yang mencakup seluruh kebajikan dalam hubungan sosial, serta membedakannya ke dalam bentuk distributif dan korektif.⁷ Dengan menambahkan prinsip epieikeia (equity), Aristoteles menegaskan bahwa keadilan sejati tidak berhenti pada kepatuhan formal terhadap hukum, tetapi menuntut penyesuaian moral sesuai tujuan kebaikan bersama.⁸

Perbandingan ketiga pemikir ini menunjukkan adanya kesinambungan sekaligus perkembangan konseptual: dari keadilan sebagai kebajikan personal (Socrates), keadilan sebagai keteraturan metafisis-politik (Plato), hingga keadilan sebagai prinsip hukum dan sosial yang konkret (Aristoteles).⁹ Keragaman ini justru memperkaya khazanah filsafat keadilan, memberikan perspektif yang relevan bagi perdebatan kontemporer mengenai demokrasi, hukum, dan keadilan sosial-ekonomi.¹⁰

Pada akhirnya, refleksi Yunani Klasik tentang keadilan menegaskan bahwa keadilan adalah fondasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ia tidak hanya menjadi alat menjaga keteraturan, tetapi juga tujuan moral yang membimbing manusia mencapai eudaimonia.¹¹ Dengan demikian, meskipun lahir lebih dari dua milenium lalu, gagasan keadilan dari Socrates, Plato, dan Aristoteles tetap hidup sebagai sumber inspirasi dan kritik dalam menghadapi tantangan keadilan di dunia modern.¹²


Footnotes

[1]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 54–59.

[2]                Plato, Republic, trans. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), I 331c–335e.

[3]                Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic (Oxford: Clarendon Press, 1981), 120–125.

[4]                Plato, Republic VI 508e–509b.

[5]                Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, Vol. I: The Spell of Plato (London: Routledge, 1945), 46–58.

[6]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. VI: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 12–15.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin, 3rd ed. (Indianapolis: Hackett, 2019), V 1129a–1133b.

[8]                Aristotle, Nicomachean Ethics V 1137a–1138a.

[9]                Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 45–50.

[10]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Knopf, 1999), 74–81.

[11]             John M. Cooper, “Socrates and Eudaimonia,” in Reason and Emotion (Princeton: Princeton University Press, 1999), 59–84.

[12]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 302–306.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s Republic. Oxford: Clarendon Press.

Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford: Oxford University Press.

Aristophanes. (1998). Clouds (J. Henderson, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Aristotle. (1998). Politics (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.

Aristotle. (2000). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans., 2nd ed.). Indianapolis, IN: Hackett.

Aristotle. (2019). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans., 3rd ed.). Indianapolis, IN: Hackett.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Barnes, J. (Ed.). (1984). The complete works of Aristotle: The revised Oxford translation (Vols. 1–2). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (1989). Socrates on trial. Oxford: Oxford University Press.

Brown, E. (2022). Plato’s ethics and politics in The Republic. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2022 Edition). Metaphysics Research Lab, Stanford University. https://plato.stanford.edu

Cooper, J. M. (1997). Plato: Complete works. Indianapolis, IN: Hackett.

Cooper, J. M. (1999). Socrates and eudaimonia. In J. M. Cooper, Reason and emotion (pp. 59–84). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Oxford: Clarendon Press.

Guthrie, W. K. C. (1965). A history of Greek philosophy, Vol. II: The Presocratic tradition from Parmenides to Democritus. Cambridge: Cambridge University Press.

Guthrie, W. K. C. (1969). A history of Greek philosophy, Vol. III: The fifth-century enlightenment. Cambridge: Cambridge University Press.

Guthrie, W. K. C. (1975). A history of Greek philosophy, Vol. IV: Plato, the man and his dialogues. Cambridge: Cambridge University Press.

Guthrie, W. K. C. (1981). A history of Greek philosophy, Vol. VI: Aristotle, an encounter. Cambridge: Cambridge University Press.

Hansen, M. H. (1999). The Athenian democracy in the age of Demosthenes. Norman: University of Oklahoma Press.

Hansen, M. H. (2006). Polis: An introduction to the ancient Greek city-state. Oxford: Oxford University Press.

Hart, H. L. A. (1994). The concept of law (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press.

Hesiod. (1978). Works and days (M. L. West, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Irwin, T. (1977). Plato’s moral theory. Oxford: Oxford University Press.

Irwin, T. (1988). Aristotle’s first principles. Oxford: Oxford University Press.

Irwin, T. (1995). Plato’s ethics. Oxford: Oxford University Press.

Kagan, D. (2003). The Peloponnesian War. New York: Penguin.

Kahn, C. H. (1979). The art and thought of Heraclitus. Cambridge: Cambridge University Press.

Kerferd, G. B. (1981). The sophistic movement. Cambridge: Cambridge University Press.

Kraut, R. (1984). Socrates and the state. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Kraut, R. (2002). Aristotle: Political philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Kraut, R. (2016). Plato’s political philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Miller, F. D., Jr. (1995). Nature, justice, and rights in Aristotle’s Politics. Oxford: Clarendon Press.

Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ober, J. (1989). Mass and elite in democratic Athens. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Okin, S. M. (1989). Justice, gender, and the family. New York: Basic Books.

Plato. (2002). Five dialogues (G. M. A. Grube, Trans.; J. M. Cooper, Rev.; 2nd ed.). Indianapolis, IN: Hackett.

Plato. (2004). Republic (C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.

Plato. (1988). Philosopher-kings: The argument of Plato’s Republic (C. D. C. Reeve). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Pogge, T. (2002). World poverty and human rights. Cambridge: Polity Press.

Popper, K. R. (1945). The open society and its enemies, Vol. I: The spell of Plato. London: Routledge.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Knopf.

Thucydides. (1972). History of the Peloponnesian War (R. Warner, Trans.). New York: Penguin.

Vernant, J.-P. (1982). The origins of Greek thought. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Ithaca, NY: Cornell University Press.

West, M. L. (Ed. & Trans.). (1978). Works and days (Hesiod). Oxford: Oxford University Press.

Xenophon. (1994). Memorabilia (A. L. Bonnette, Trans.). Ithaca, NY: Cornell University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar