Senin, 01 Desember 2025

Intensionalitas (Intentionality): Suatu Kajian Filsafat Bahasa dan Kesadaran

Intensionalitas (Intentionality)

Suatu Kajian Filsafat Bahasa dan Kesadaran


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep intensionalitas dalam filsafat bahasa dan pikiran sebagaimana dikembangkan oleh John R. Searle, dengan menelusuri akar historisnya, dasar ontologis dan epistemologisnya, serta relevansi aksiologis dan sosialnya dalam konteks dunia kontemporer. Intensionalitas, yang pada mulanya diperkenalkan oleh Franz Brentano sebagai ciri khas kesadaran yang selalu “tentang sesuatu,” dalam tangan Searle mengalami reinterpretasi dalam kerangka biological naturalism, yaitu pandangan bahwa kesadaran dan intensionalitas merupakan fenomena biologis yang muncul dari sistem fisik otak manusia namun tidak dapat direduksi secara murni ke dalam proses material.

Melalui analisis ontologis, artikel ini menegaskan bahwa intensionalitas adalah struktur dasar dari kesadaran manusia yang memungkinkan hubungan antara subjek dan dunia eksternal. Secara epistemologis, Searle menunjukkan bahwa bahasa merupakan bentuk eksternalisasi dari intensionalitas pikiran: setiap ujaran linguistik mengandung intention yang menandai arah makna dan tujuan komunikatifnya. Dari segi aksiologi, intensionalitas menjadi dasar bagi nilai dan tanggung jawab moral manusia, sebab melalui kesadaran intensional manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga menilai dan bertindak secara bermakna terhadapnya.

Dalam dimensi sosial dan kultural, Searle memperluas konsepnya melalui teori collective intentionality, yakni kemampuan manusia untuk berbagi niat dan makna bersama yang membentuk realitas sosial. Bahasa dan institusi dipahami sebagai konstruksi simbolik yang lahir dari pengakuan kolektif, sehingga realitas sosial tidak bersifat objektif secara fisik, tetapi eksis melalui kesepakatan kesadaran bersama. Relevansi kontemporer gagasan ini tampak dalam era digital dan kecerdasan buatan (AI), di mana perdebatan mengenai kemampuan mesin untuk “memiliki” kesadaran atau makna menegaskan kembali perbedaan mendasar antara intensionalitas intrinsik manusia dan intensionalitas turunan mesin.

Akhirnya, artikel ini menawarkan sintesis filosofis menuju konsep intensionalitas humanistik, yang memandang kesadaran manusia bukan hanya sebagai sistem kognitif, tetapi sebagai pusat makna, nilai, dan tanggung jawab. Intensionalitas humanistik menegaskan bahwa makna dan nilai tidak dapat dipisahkan dari kesadaran manusia yang sadar akan dirinya dan dunia. Dalam konteks global yang semakin digital dan terfragmentasi, gagasan ini menjadi pengingat filosofis bahwa hakikat kemanusiaan terletak pada kemampuan untuk memberi makna—bukan sekadar memproses informasi.

Kata Kunci: Intensionalitas, John Searle, Filsafat Pikiran, Filsafat Bahasa, Kesadaran, Biological Naturalism, Speech Acts, Collective Intentionality, Artificial Intelligence, Humanisme.


PEMBAHASAN

Konsep Intensionalitas dalam Bahasa dan Pikiran Menurut John Searle


1.           Pendahuluan

Konsep intensionalitas merupakan salah satu gagasan fundamental dalam filsafat pikiran dan filsafat bahasa yang telah menjadi pusat perdebatan filosofis selama lebih dari satu abad. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Franz Brentano pada abad ke-19 untuk menandai karakteristik khas dari fenomena mental, yakni bahwa setiap kesadaran selalu “mengarah pada sesuatu”—ia bersifat of atau about sesuatu yang lain di luar dirinya. Dengan kata lain, intensionalitas menggambarkan sifat “mengarah” atau “bermaksud” yang melekat pada pikiran manusia. Pikiran tidak pernah hadir dalam kehampaan; ia selalu terarah kepada objek, ide, perasaan, tindakan, atau dunia yang dituju oleh kesadaran itu sendiri.¹

Dalam tradisi filsafat analitik, gagasan ini kemudian diolah dan dipertajam oleh tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Edmund Husserl, dan kemudian John Searle. Bagi Searle, intensionalitas tidak hanya merupakan atribut dari keadaan mental yang bersifat subjektif, tetapi juga dasar bagi semua bentuk representasi linguistik dan sosial.² Dalam karya monumentalnya Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (1983), Searle berupaya merekonstruksi konsep intensionalitas dalam kerangka yang ia sebut sebagai biological naturalism, yaitu pandangan bahwa kesadaran dan intensionalitas adalah fenomena biologis yang muncul dari sistem fisik (otak) tetapi tidak dapat direduksi sepenuhnya pada penjelasan fisik semata.³ Ia menolak reduksionisme materialis yang menganggap pikiran sebagai sekadar hasil kalkulasi atau proses komputasional, sekaligus menentang dualisme Cartesian yang memisahkan pikiran dari dunia fisik.

Perspektif Searle ini menempatkan intensionalitas pada posisi yang unik dalam filsafat kontemporer: ia menggabungkan naturalisme ilmiah dengan realisme fenomenologis, di mana intensionalitas dipahami sebagai jembatan antara struktur biologis dan pengalaman sadar manusia. Dengan demikian, bahasa tidak lagi dipandang sebagai sistem tanda semata, melainkan sebagai ekspresi eksternal dari niat, makna, dan kesadaran intensional yang hidup dalam subjek penuturnya.⁴

Dalam konteks filsafat bahasa, Searle memandang bahwa setiap ujaran (speech act) merupakan manifestasi dari intensionalitas: tindakan berbahasa adalah tindakan mental yang diwujudkan secara sosial.⁵ Dengan kata lain, komunikasi manusia bukan sekadar transmisi simbol atau informasi, tetapi perwujudan niat—intention—yang mengandung makna, maksud, dan arah terhadap dunia. Hal ini menjadi landasan teorinya tentang speech acts, di mana makna ujaran tidak dapat dilepaskan dari konteks niat penutur dan struktur sosial yang melingkupinya.⁶ Oleh karena itu, memahami intensionalitas berarti juga memahami hakikat bahasa sebagai tindakan yang berakar pada kesadaran manusia.

Dalam perkembangan filsafat pikiran, pendekatan Searle terhadap intensionalitas memiliki posisi strategis karena berupaya menjembatani dua kubu besar: di satu sisi, pendekatan fenomenologis yang menekankan pengalaman subjektif kesadaran (seperti dalam pemikiran Husserl dan Merleau-Ponty); di sisi lain, pendekatan analitik yang berfokus pada logika bahasa dan representasi mental.⁷ Searle berusaha mengintegrasikan keduanya melalui analisis konseptual yang berakar pada penggunaan bahasa alami dan pada struktur biologis kesadaran manusia. Dengan pendekatan ini, ia menegaskan bahwa intensionalitas bukan sekadar masalah linguistik atau semantik, tetapi juga persoalan ontologis dan epistemologis yang menyangkut eksistensi dan pengetahuan manusia tentang dunia.

Kajian mengenai intensionalitas dalam pemikiran John Searle menjadi relevan bukan hanya bagi para filsuf bahasa dan pikiran, tetapi juga bagi bidang-bidang lain seperti psikologi kognitif, linguistik, ilmu komputer, dan bahkan etika komunikasi digital. Dalam era di mana kecerdasan buatan (AI) mencoba meniru proses berpikir manusia, pertanyaan tentang apakah mesin dapat memiliki intensionalitas yang sejati menjadi sangat mendesak.⁸ Jika intensionalitas merupakan ciri khas dari kesadaran manusia, maka pemahaman yang mendalam tentang konsep ini akan membantu kita membedakan antara bentuk representasi buatan (derived intentionality) dan bentuk kesadaran sejati yang hanya dimiliki oleh makhluk hidup yang sadar (intrinsic intentionality).⁹

Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif konsep intensionalitas dalam pemikiran John Searle, meliputi landasan historis, dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, serta relevansinya dalam konteks sosial dan teknologi kontemporer. Melalui pendekatan sistematis dan analitis, kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih integral tentang hubungan antara bahasa, pikiran, dan realitas manusia, serta menegaskan posisi Searle dalam lanskap filsafat modern sebagai salah satu pemikir yang berhasil menghidupkan kembali relevansi filosofis intensionalitas dalam dunia yang semakin rasional dan teknologis.¹⁰


Footnotes

[1]                Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint, trans. Antos C. Rancurello, D.B. Terrell, and Linda L. McAlister (London: Routledge, 1995), 88–90.

[2]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–46.

[3]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.

[4]                Ibid., 7–8.

[5]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 21–24.

[6]                Ibid., 25–30.

[7]                Hubert L. Dreyfus, “Searle’s Theory of Intentionality and the Background,” Behavioral and Brain Sciences 15, no. 3 (1992): 436–439.

[8]                Daniel C. Dennett, The Intentional Stance (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 3–5.

[9]                Searle, Intentionality, 27–29.

[10]             Barry Smith and John Searle, “The Construction of Social Reality: An Exchange,” American Journal of Economics and Sociology 57, no. 3 (1998): 295–310.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Konsep Intensionalitas

Konsep intensionalitas memiliki akar yang panjang dalam sejarah filsafat, berkembang dari tradisi skolastik hingga menjadi salah satu tema sentral dalam filsafat kontemporer, terutama dalam filsafat pikiran dan bahasa. Secara genealogis, gagasan ini dapat ditelusuri sejak Aristoteles, yang dalam karyanya De Anima sudah mengisyaratkan bahwa jiwa memiliki kemampuan untuk “mengenali” objek tanpa mengandung substansinya, yakni suatu bentuk relasi kognitif antara subjek dan objek yang bersifat representasional.¹ Namun, konsep tersebut baru mendapatkan formulasi sistematis pada abad ke-13 melalui para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas dan Duns Scotus, yang menggunakan istilah intentio untuk menjelaskan arah atau maksud pikiran terhadap sesuatu di luar dirinya.² Dalam konteks ini, intensionalitas dipahami sebagai ciri khas dari fenomena mental yang membedakan kesadaran dari fenomena fisik.

Perubahan besar terjadi pada abad ke-19 ketika Franz Brentano (1838–1917) memperkenalkan kembali konsep intensionalitas ke dalam wacana filsafat modern melalui karyanya Psychology from an Empirical Standpoint (1874).³ Brentano mendefinisikan intensionalitas sebagai “ciri utama dari fenomena mental,” yaitu bahwa setiap kesadaran selalu “mengandung suatu objek dalam dirinya sebagai objek intensional.”⁴ Dengan kata lain, setiap tindakan mental (berpikir, mengingat, berharap, mencintai, dan sebagainya) selalu diarahkan kepada sesuatu. Ia menyebut karakter ini sebagai intentional inexistence, menandakan bahwa objek intensional “berada di dalam” kesadaran, bukan sebagai entitas fisik, tetapi sebagai isi representasional.⁵ Konsepsi Brentano ini menandai pergeseran penting dari psikologi empiris ke arah fenomenologi filosofis, karena ia menegaskan bahwa yang menjadi inti penyelidikan filsafat bukanlah fakta-fakta empiris dari kesadaran, melainkan struktur intensionalitasnya.

Gagasan Brentano kemudian dikembangkan dan disistematisasi oleh Edmund Husserl, muridnya, yang menjadikan intensionalitas sebagai landasan bagi seluruh fenomenologi transendental. Dalam Logical Investigations (1900–1901) dan Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy (1913), Husserl menegaskan bahwa kesadaran selalu merupakan “kesadaran tentang sesuatu” (Bewusstsein von etwas).⁶ Namun, berbeda dari Brentano, Husserl menolak pengertian intentional inexistence karena berpotensi menjebak dalam idealisme psikologis. Ia menggantinya dengan struktur noesis-noema, di mana noesis menunjuk pada aktivitas kesadaran (intending act) dan noema pada isi atau makna yang dituju.⁷ Dengan struktur ini, Husserl menempatkan intensionalitas sebagai jembatan ontologis dan epistemologis antara subjek dan dunia, antara pikiran dan realitas yang disadari. Fenomenologi Husserl membuka jalan bagi analisis intensionalitas yang lebih kaya, mencakup persepsi, imajinasi, penilaian, dan makna linguistik.

Memasuki abad ke-20, konsep intensionalitas mengalami transformasi besar dalam konteks filsafat analitik, terutama melalui kontribusi Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig Wittgenstein. Frege memperkenalkan distingsi antara sense (Sinn) dan reference (Bedeutung) untuk menjelaskan bagaimana suatu ekspresi linguistik dapat memiliki makna (sense) yang berbeda meskipun menunjuk pada referen yang sama.⁸ Distingsi ini merupakan versi linguistik dari gagasan intensionalitas: makna suatu ungkapan bukan hanya ditentukan oleh objek eksternal, tetapi juga oleh cara pikiran mengarah kepadanya. Russell menindaklanjutinya melalui teori deskripsi (theory of descriptions) yang mengupayakan klarifikasi logis terhadap bahasa intensional.⁹ Sementara itu, Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953) memindahkan fokus dari struktur logis ke praktik penggunaan bahasa (language games), yang membuka jalan bagi pemahaman intensionalitas sebagai fenomena sosial dan pragmatik.¹⁰

Dari sisi tradisi analitik ini kemudian muncul upaya untuk mengaitkan intensionalitas dengan struktur kognitif dan fungsi bahasa. Di sinilah John Searle mengambil posisi kritis dan kreatif. Ia berangkat dari kerangka yang diwariskan oleh Frege dan Austin, tetapi mengintegrasikannya dengan refleksi fenomenologis tentang kesadaran yang diwariskan Brentano dan Husserl.¹¹ Dalam karya-karyanya, terutama Speech Acts (1969) dan Intentionality (1983), Searle berupaya menggabungkan dimensi semantik (makna) dan fenomenologis (kesadaran) dalam satu teori integral tentang intensionalitas. Bagi Searle, intensionalitas bukan hanya masalah representasi linguistik, melainkan juga fenomena biologis yang mengakar dalam struktur kesadaran manusia.¹² Dengan demikian, ia menghadirkan sintesis antara dua tradisi besar filsafat abad ke-20—fenomenologi Eropa dan analitik Anglo-Amerika—yang sebelumnya sering dianggap berseberangan.

Melalui pendekatan ini, Searle tidak hanya menghidupkan kembali relevansi historis intensionalitas, tetapi juga memperluasnya menjadi konsep kunci untuk memahami bagaimana pikiran, bahasa, dan realitas sosial saling terjalin. Genealogi ini memperlihatkan bahwa intensionalitas bukan sekadar konsep abstrak, melainkan gagasan yang terus berevolusi seiring perkembangan pemahaman manusia tentang dirinya dan dunia. Dari intentio skolastik hingga biological naturalism, intensionalitas tetap menjadi cermin dari upaya manusia memahami kesadaran sebagai fenomena yang bersifat sekaligus mental, linguistik, dan eksistensial.¹³


Footnotes

[1]                Aristotle, De Anima, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1961), 412a–413b.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q. 85, a. 2.

[3]                Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint, trans. Antos C. Rancurello, D.B. Terrell, and Linda L. McAlister (London: Routledge, 1995), 88–89.

[4]                Ibid., 92.

[5]                Ibid., 100–103.

[6]                Edmund Husserl, Logical Investigations, trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), 238–241.

[7]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 109–115.

[8]                Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.

[9]                Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14, no. 56 (1905): 479–493.

[10]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.

[11]             John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.

[12]             John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–4.

[13]             Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 163–171.


3.           Ontologi Intensionalitas dalam Pemikiran Searle

Ontologi intensionalitas dalam pemikiran John Searle berakar pada keyakinannya bahwa kesadaran manusia adalah fenomena biologis yang memiliki sifat representasional dan arah terhadap dunia. Dengan kata lain, Searle berupaya menjelaskan bagaimana pikiran dapat “tentang sesuatu” (about something) tanpa terjebak dalam dualisme Cartesian atau reduksionisme materialis. Dalam kerangka ini, intensionalitas bukan entitas metafisik atau simbol logis belaka, melainkan suatu properti ontologis dari sistem biologis yang sadar.¹ Ia menyebut pendekatan ini sebagai “biological naturalism”, yaitu pandangan bahwa kesadaran adalah fenomena yang muncul (emergent) dari aktivitas neurobiologis otak, namun tidak dapat direduksi secara murni pada deskripsi fisik atau komputasional.²

Menurut Searle, setiap keadaan mental memiliki dua karakteristik ontologis utama: subjektivitas ontologis (ontological subjectivity) dan intensionalitas (intentionality). Subjektivitas ontologis berarti bahwa pengalaman sadar hanya dapat diakses dari sudut pandang pertama (first-person), sementara intensionalitas menunjukkan bahwa pengalaman tersebut selalu terarah kepada sesuatu—objek, keadaan, atau proposisi.³ Ia menegaskan bahwa tidak semua fenomena biologis bersifat intensional; hanya kesadaran yang memiliki kemampuan untuk “menunjuk” atau “mengacu” pada dunia eksternal melalui representasi mental. Dengan demikian, intensionalitas merupakan bentuk khusus dari relasi antara organisme sadar dan dunia, suatu relasi yang sekaligus bersifat biologis dan semantik.⁴

Dalam Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (1983), Searle membedakan dua jenis utama intensionalitas: intensionalitas intrinsik (intrinsic intentionality) dan intensionalitas turunan (derived intentionality).⁵ Intensionalitas intrinsik adalah sifat bawaan dari keadaan mental manusia—seperti keinginan, keyakinan, atau persepsi—yang secara alami “mengarah” pada dunia tanpa memerlukan interpretasi eksternal. Misalnya, keyakinan seseorang bahwa “hujan sedang turun” adalah intensional karena keyakinan itu secara langsung mengacu pada keadaan dunia yang tertentu. Sebaliknya, intensionalitas turunan ditemukan pada sistem simbolik seperti bahasa, teks, atau komputer, yang hanya memiliki makna sejauh ia ditafsirkan oleh makhluk yang memiliki intensionalitas intrinsik.⁶ Dengan pembedaan ini, Searle menolak pandangan komputasionalis dalam ilmu kognitif yang menganggap bahwa komputer “berpikir” dengan cara yang sama seperti manusia. Komputer memang dapat memproses simbol, tetapi maknanya bersifat turunan dan tidak memiliki kesadaran yang benar-benar “tentang sesuatu.”⁷

Ontologi intensionalitas Searle juga menolak reduksionisme fisikalistik, yang berupaya menjelaskan kesadaran secara eksklusif dalam istilah proses fisik otak.⁸ Ia mengakui bahwa setiap keadaan mental memiliki dasar biologis, tetapi sifat representasional dan fenomenalnya tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu saraf. Bagi Searle, hubungan antara kesadaran dan otak bersifat kausal sekaligus konstitutif: keadaan otak menyebabkan kesadaran, namun pada saat yang sama mengkonstruksi realitas subjektif melalui intensionalitas.⁹ Dengan cara ini, Searle mempertahankan realisme ontologis—bahwa dunia eksternal benar-benar ada—namun juga mengakui bahwa cara manusia mengakses dan memberi makna pada dunia selalu melalui struktur intensional kesadaran.¹⁰

Searle juga menegaskan bahwa intensionalitas memiliki struktur duniawi (world-directed structure).¹¹ Artinya, kesadaran manusia tidak bersifat solipsistik, melainkan selalu berada dalam keterarahan terhadap dunia objektif. Ini sekaligus menjadi kritik terhadap bentuk idealisme yang menempatkan realitas sebagai konstruksi mental sepenuhnya. Intensionalitas, bagi Searle, justru menegaskan adanya hubungan dua arah: dari dunia menuju kesadaran (perceptual intentionality) dan dari kesadaran menuju dunia (agentive intentionality).¹² Dalam persepsi, dunia “memasuki” kesadaran melalui pengalaman yang bermakna; sementara dalam tindakan, kesadaran “menyentuh” dunia melalui niat dan keputusan. Dengan demikian, intensionalitas menjadi medium ontologis yang menjembatani realitas objektif dan pengalaman subjektif.¹³

Lebih jauh, Searle memperkenalkan konsep “background” dan “network” untuk menjelaskan kondisi ontologis yang memungkinkan terjadinya intensionalitas.¹⁴ Network menunjuk pada sistem keyakinan, harapan, dan pengetahuan yang saling terhubung dan membentuk kerangka makna bagi setiap keadaan mental; sedangkan background merujuk pada prasyarat non-representasional seperti kebiasaan, kemampuan, dan disposisi tubuh yang memungkinkan seseorang memahami dunia tanpa refleksi eksplisit.¹⁵ Tanpa background dan network, intensionalitas tidak dapat beroperasi karena kesadaran tidak akan memiliki landasan kontekstual untuk mengaitkan pengalaman dengan makna. Konsep ini menunjukkan bahwa intensionalitas, dalam ontologi Searle, tidak pernah berdiri sendiri tetapi selalu berakar pada totalitas kehidupan biologis dan sosial manusia.¹⁶

Dengan kerangka ini, Searle berhasil menyusun suatu ontologi yang menggabungkan realisme biologis, naturalisme non-reduksionis, dan fenomenologi kesadaran. Ia menolak pandangan dualistik yang memisahkan pikiran dari dunia, sekaligus menentang fisikalisme yang meniadakan subjektivitas. Intensionalitas, bagi Searle, adalah modus eksistensi khas manusia yang menunjukkan bagaimana makhluk biologis dapat sekaligus menjadi makhluk bermakna.¹⁷ Ontologi intensionalitasnya menegaskan bahwa dunia bukan hanya sesuatu yang “ada,” melainkan sesuatu yang “dihayati” dan “dimaknai” oleh kesadaran yang intensional.

Dengan demikian, konsep intensionalitas dalam ontologi Searle bukan hanya menjelaskan apa itu kesadaran, tetapi juga bagaimana kesadaran itu berada—yakni sebagai fenomena biologis yang memiliki arah, makna, dan nilai.¹⁸ Inilah yang menjadikan pemikiran Searle penting dalam memahami keterpaduan antara bahasa, pikiran, dan realitas: bahwa dunia manusia adalah dunia yang dihadirkan melalui struktur intensional yang hidup, sadar, dan berinteraksi dengan dunia secara terus-menerus.


Footnotes

[1]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.

[2]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 90–91.

[3]                Ibid., 93–95.

[4]                Searle, Intentionality, 7–8.

[5]                Ibid., 27–29.

[6]                Ibid., 31–33.

[7]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[8]                John R. Searle, The Mystery of Consciousness (New York: New York Review Books, 1997), 23–26.

[9]                Ibid., 28–30.

[10]             Searle, Intentionality, 76–78.

[11]             Ibid., 85–86.

[12]             Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of Intentionality,” in John Searle and His Critics, ed. Ernest Lepore and Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.

[13]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 112–115.

[14]             Searle, Intentionality, 140–143.

[15]             Ibid., 144–147.

[16]             Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of Intentionality,” 296–298.

[17]             Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 7–9.

[18]             Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 165–168.


4.           Epistemologi: Intensionalitas, Representasi, dan Bahasa

Dalam filsafat John Searle, epistemologi intensionalitas berkaitan erat dengan bagaimana kesadaran manusia merepresentasikan dunia dan mengekspresikannya melalui bahasa. Intensionalitas, bagi Searle, bukan hanya struktur ontologis dari kesadaran, tetapi juga dasar epistemologis dari pengetahuan—karena melalui intensionalitaslah manusia dapat mengetahui sesuatu tentang dunia.¹ Kesadaran tidak pernah bersifat netral atau kosong; ia selalu “mengarah pada” (directed toward) sesuatu, dan arah inilah yang memungkinkan terjadinya representasi, penilaian, dan komunikasi. Dengan demikian, epistemologi intensionalitas dalam pemikiran Searle bertumpu pada relasi antara mind, world, dan language sebagai tiga dimensi saling terkait dari aktivitas mengetahui.

4.1.       Intensionalitas sebagai Dasar Pengetahuan

Searle menolak pandangan bahwa pengetahuan dapat dijelaskan semata-mata melalui representasi simbolik atau inferensi logis. Baginya, setiap pengetahuan selalu bermula dari kesadaran yang intensional, yaitu kesadaran yang secara aktif menampilkan dunia sebagai sesuatu yang bermakna.² Pengetahuan bukanlah hasil dari “pemotretan pasif” terhadap realitas, melainkan aktivitas sadar yang menstrukturkan pengalaman melalui niat dan pengenalan terhadap objeknya. Dalam Intentionality (1983), Searle menegaskan bahwa kesadaran memiliki “arah kecocokan” (direction of fit) yang menentukan hubungan epistemik antara pikiran dan dunia: dalam keyakinan dan persepsi, pikiran harus “sesuai dengan dunia” (mind-to-world direction of fit), sedangkan dalam keinginan dan niat, dunia yang diharapkan harus “menyesuaikan diri dengan pikiran” (world-to-mind direction of fit).³

Konsep direction of fit ini menjadi pilar epistemologi Searle, karena menjelaskan bagaimana kebenaran dan makna bergantung pada jenis intensionalitas yang bekerja dalam kesadaran. Dalam tindakan mengetahui, kesadaran berusaha mencocokkan representasinya dengan dunia eksternal; dalam tindakan kehendak, kesadaran justru berupaya mengubah dunia agar sesuai dengan intensinya.⁴ Dengan demikian, pengetahuan dan tindakan memiliki dasar yang sama, yaitu intensionalitas, tetapi berbeda dalam orientasi epistemiknya.

4.2.       Representasi Mental dan Makna Linguistik

Searle menolak pandangan bahwa representasi mental bersifat murni simbolik atau komputasional, seperti diasumsikan oleh para pendukung cognitive science dan artificial intelligence.⁵ Menurutnya, representasi sejati hanya dapat muncul dari kesadaran yang memiliki intensionalitas intrinsik, bukan dari sistem simbol yang maknanya bersifat turunan.⁶ Pikiran manusia tidak bekerja seperti komputer yang hanya memanipulasi tanda; pikiran memahami tanda tersebut melalui kesadaran yang bermakna. Dengan demikian, representasi mental tidak mungkin dipisahkan dari dimensi fenomenologis kesadaran.

Dalam kaitannya dengan bahasa, Searle menegaskan bahwa bahasa adalah perwujudan eksternal dari intensionalitas.⁷ Ujaran linguistik tidak memiliki makna dengan sendirinya, melainkan memperoleh makna dari niat penuturnya (speaker’s intention).⁸ Artinya, bahasa tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga mengekspresikan kesadaran penutur terhadap dunia itu. Dalam Speech Acts (1969), Searle mengembangkan teori bahwa setiap ujaran merupakan tindakan yang mengandung niat (illocutionary force) dan proposisi (propositional content).⁹ Misalnya, ketika seseorang mengatakan, “Saya berjanji akan datang,” makna epistemiknya tidak hanya ditentukan oleh kata-kata yang digunakan, tetapi juga oleh intensi penutur untuk melakukan tindakan tertentu di masa depan.¹⁰ Oleh karena itu, memahami bahasa berarti memahami niat yang menjiwai ujaran tersebut.

4.3.       Bahasa sebagai Sarana Epistemik

Searle menganggap bahwa bahasa memiliki fungsi epistemik yang ganda: pertama, sebagai alat representasi dunia; kedua, sebagai alat komunikasi yang menghubungkan kesadaran antar-subjektif.¹¹ Melalui bahasa, intensionalitas individu diartikulasikan menjadi bentuk publik yang dapat dipahami oleh orang lain. Proses ini memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan, pembentukan makna bersama, dan pembentukan realitas sosial. Dalam Expression and Meaning (1979), Searle menulis bahwa “setiap bentuk makna linguistik selalu bersumber pada makna intensional yang ada di dalam pikiran.”¹² Bahasa adalah jembatan antara pikiran pribadi dan dunia sosial—antara epistemologi individual dan intersubjektivitas.

Dengan demikian, representasi linguistik bersifat derived intentionality: ia memperoleh maknanya dari intensionalitas pikiran manusia.¹³ Namun, setelah makna itu dikodifikasikan dalam sistem bahasa, ia menjadi sarana objektivasi pengetahuan. Dalam komunikasi, pendengar berusaha merekonstruksi intensi penutur berdasarkan konteks dan aturan kebahasaan. Proses ini menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya media netral, tetapi struktur epistemik yang menyalurkan pengetahuan dari satu kesadaran ke kesadaran lain.¹⁴

4.4.       Relasi Epistemik antara Pikiran, Bahasa, dan Dunia

Dalam kerangka epistemologi Searle, terdapat tiga relasi utama yang saling mengandaikan:

(1)               Relasi representasional – pikiran merepresentasikan dunia melalui struktur intensional;

(2)               Relasi semantik – bahasa mengekspresikan struktur representasional tersebut;

(3)               Relasi pragmatis – bahasa digunakan untuk mengubah dunia melalui tindakan komunikatif.¹⁵

Dengan struktur ini, epistemologi Searle menolak baik idealisme linguistik (yang menganggap realitas sepenuhnya dibentuk oleh bahasa) maupun realisme empiris yang meniadakan peran kesadaran. Ia menegaskan bahwa kebenaran dan makna hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan dinamis antara intensionalitas pikiran dan representasi linguistik yang menghubungkannya dengan dunia.¹⁶

Konsekuensinya, pengetahuan manusia tidak pernah murni objektif atau subjektif, tetapi selalu bersifat intensional dan intersubjektif.¹⁷ Kesadaran yang mengetahui selalu mengandung arah terhadap dunia, dan bahasa memungkinkan arah itu dikomunikasikan secara sosial. Dengan demikian, epistemologi Searle menghadirkan model pengetahuan yang bersifat relasional: pengetahuan muncul bukan dari penyerapan pasif atas fakta, melainkan dari interaksi aktif antara pikiran, bahasa, dan realitas.¹⁸

4.5.       Kritik terhadap Representasionalisme dan Implikasi Epistemik

Searle mengkritik keras tradisi representasionalisme klasik yang memisahkan representasi dari kesadaran, seperti tampak dalam teori-teori mental representation berbasis komputasional.¹⁹ Ia menegaskan bahwa representasi tanpa kesadaran hanyalah manipulasi simbol tanpa makna. Dengan kata lain, hanya makhluk yang memiliki kesadaran intensional yang dapat memiliki beliefs, desires, dan intentions yang bermakna epistemik.²⁰ Kritik ini menjadi dasar bagi argumennya dalam esai terkenal “Minds, Brains, and Programs” (1980), di mana ia membantah klaim bahwa program komputer dapat memiliki pemahaman sejati seperti manusia—karena tidak ada intensionalitas intrinsik di dalam sistem buatan.²¹

Dari sudut epistemologi, implikasinya adalah bahwa pengetahuan sejati mensyaratkan kesadaran yang memahami, bukan sekadar sistem yang memproses informasi.²² Dengan demikian, epistemologi Searle menegaskan supremasi kesadaran manusia sebagai pusat makna dan pengetahuan, sekaligus memperingatkan bahaya dehumanisasi pengetahuan di era teknologi digital yang cenderung memisahkan makna dari subjek yang mengalaminya.²³


Footnotes

[1]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–4.

[2]                Ibid., 6–9.

[3]                Ibid., 7–9.

[4]                Ibid., 11–13.

[5]                Jerry Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 22–25.

[6]                Searle, Intentionality, 27–29.

[7]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.

[8]                Ibid., 51–54.

[9]                Ibid., 62–64.

[10]             Ibid., 68–70.

[11]             John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 3–5.

[12]             Ibid., 7–9.

[13]             Searle, Intentionality, 30–33.

[14]             Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of Intentionality,” in John Searle and His Critics, ed. Ernest Lepore and Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.

[15]             Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 7–9.

[16]             Ibid., 10–12.

[17]             Searle, Intentionality, 76–78.

[18]             Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 163–168.

[19]             Fodor, The Language of Thought, 40–45.

[20]             Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 92–95.

[21]             John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[22]             Ibid., 423.

[23]             Searle, The Mystery of Consciousness (New York: New York Review Books, 1997), 27–29.


5.           Aksiologi: Nilai, Makna, dan Kesadaran

Dalam kerangka filsafat John Searle, aksiologi intensionalitas tidak hanya berkaitan dengan bagaimana pikiran merepresentasikan dunia, tetapi juga bagaimana kesadaran memberi nilai dan makna terhadap pengalaman manusia. Jika ontologi intensionalitas menjelaskan apa itu kesadaran dan epistemologinya menjelaskan bagaimana kesadaran mengetahui dunia, maka aksiologinya berupaya memahami mengapa dan untuk apa kesadaran bermakna bagi manusia.¹ Dalam hal ini, Searle menempatkan intensionalitas bukan semata sebagai struktur kognitif, tetapi sebagai pusat dari kehidupan bermakna yang memungkinkan manusia menilai, menafsirkan, dan bertindak secara sadar terhadap dunia dan sesama.

5.1.       Intensionalitas sebagai Sumber Makna dan Nilai

Searle berangkat dari premis bahwa semua makna dan nilai dalam kehidupan manusia berasal dari kesadaran yang intensional.² Tanpa intensionalitas, dunia hanyalah kumpulan fakta fisik yang tak memiliki arti atau nilai apa pun. Hanya karena kesadaran manusia mampu “menuju” dan “memaknai” sesuatu, dunia menjadi berarti dan bernilai. Dalam kerangka biological naturalism, Searle menegaskan bahwa kesadaran adalah fenomena biologis yang memiliki fungsi normatif—yakni memberi orientasi nilai terhadap realitas.³ Dengan demikian, kesadaran bukanlah entitas pasif yang sekadar mencerminkan dunia, tetapi sumber aktif penciptaan makna yang memungkinkan penilaian moral, estetis, dan epistemik.

Dalam konteks ini, Searle menganggap intensionalitas sebagai basis aksiologis kehidupan manusia.⁴ Setiap tindakan, keputusan, dan pertimbangan etis berakar pada intensionalitas kesadaran yang mengandung maksud, tujuan, dan pemaknaan. Kesadaran yang mampu mengatakan “ini baik,” “ini benar,” atau “ini indah” adalah kesadaran yang telah menstrukturkan dunia melalui orientasi nilai. Dengan demikian, nilai bukanlah sifat objektif yang melekat pada benda, melainkan muncul dari relasi intensional antara subjek dan objek dalam pengalaman sadar.

5.2.       Dimensi Etis dari Intensionalitas

Searle tidak mengembangkan teori etika formal, tetapi pemikirannya tentang bahasa dan kesadaran mengandung implikasi etis yang kuat. Melalui teori speech acts, ia menunjukkan bahwa tindakan berbahasa adalah tindakan moral sejauh melibatkan niat dan tanggung jawab komunikatif.⁵ Ketika seseorang berbicara, ia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga berkomitmen terhadap makna yang diucapkannya. Dalam tindakan seperti berjanji, memerintah, atau menyatakan, terdapat tanggung jawab moral yang melekat pada kesesuaian antara intensi internal dan ekspresi linguistik eksternal.⁶

Dengan demikian, nilai kejujuran dan autentisitas dalam komunikasi tidak dapat dilepaskan dari struktur intensionalitas itu sendiri. Tindakan berbohong, misalnya, merupakan bentuk distorsi terhadap intensionalitas karena melibatkan mismatch antara niat internal dan makna linguistik yang diungkapkan.⁷ Sebaliknya, komunikasi yang jujur mencerminkan kesatuan antara kesadaran, bahasa, dan tindakan—suatu integritas yang menjadi dasar etika komunikasi manusiawi.

Selain itu, intensionalitas juga memunculkan tanggung jawab epistemik: manusia yang memiliki kesadaran intensional tidak hanya mengetahui dunia, tetapi juga menilai dan bertanggung jawab atas pengetahuannya.⁸ Di sini, nilai kebenaran dan kejujuran intelektual muncul sebagai ekspresi aksiologis dari kesadaran yang memahami dirinya sebagai subjek yang terbatas, tetapi mampu menilai dan merevisi keyakinannya.

5.3.       Intensionalitas, Interpersonalitas, dan Nilai Sosial

Dalam The Construction of Social Reality (1995), Searle memperluas cakupan intensionalitas dari ranah individu ke ranah sosial melalui konsep collective intentionality—yakni kemampuan manusia untuk memiliki niat, keyakinan, atau tujuan bersama.⁹ Melalui intensionalitas kolektif, manusia menciptakan dunia sosial yang sarat nilai: institusi, norma, hukum, dan moralitas muncul bukan sebagai fakta alamiah, tetapi sebagai hasil dari kesepakatan intensional antar-subjek.¹⁰ Dalam hal ini, nilai-nilai sosial seperti keadilan, kesetiaan, dan solidaritas tidak bersumber dari entitas metafisik, tetapi dari kesadaran bersama yang mengakui dan mengukuhkan realitas sosial tertentu.¹¹

Fenomena seperti janji, kepemilikan, atau kewajiban sosial bergantung pada status functions, yakni struktur normatif yang dibangun melalui kesepakatan linguistik dan kesadaran bersama.¹² Maka, bahasa berperan sebagai medium aksiologis yang memungkinkan nilai-nilai sosial dikodifikasikan dan diwariskan. Dengan demikian, intensionalitas tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga membentuk tatanan nilai yang menopang kehidupan sosial manusia.

5.4.       Nilai Eksistensial dan Kesadaran Diri

Searle juga mengakui bahwa intensionalitas memiliki dimensi eksistensial, karena kesadaran yang menyadari dirinya sebagai subjek yang bermaksud terhadap dunia adalah kesadaran yang hidup dalam makna.¹³ Kesadaran diri (self-awareness) memungkinkan manusia tidak hanya menyadari dunia, tetapi juga menilai eksistensinya sendiri. Dalam arti ini, intensionalitas mengandung potensi reflektif yang memungkinkan pengalaman moral dan spiritual. Kesadaran tidak hanya “tentang dunia,” tetapi juga “tentang dirinya” dalam relasi dengan dunia.¹⁴

Dimensi ini menegaskan bahwa nilai bukanlah konstruksi eksternal, melainkan ekspresi dari struktur terdalam kesadaran. Ketika seseorang merenungkan makna hidup, tujuan, atau tanggung jawabnya, ia sedang berhadapan dengan intensionalitas eksistensial yang mengarahkan dirinya kepada nilai-nilai universal seperti kebaikan, kebenaran, dan kebebasan.¹⁵ Dengan demikian, Searle secara implisit menghadirkan fondasi bagi humanisme ontologis—pandangan bahwa manusia, melalui kesadarannya yang intensional, menjadi sumber makna dan nilai dalam dunia.

5.5.       Aksiologi Humanistik: Makna dan Nilai di Era Teknologi

Dalam konteks kontemporer, gagasan Searle mengenai intensionalitas memiliki relevansi etis yang besar terhadap problem dehumanisasi akibat dominasi teknologi dan kecerdasan buatan. Jika sistem digital hanya memiliki derived intentionality, maka segala makna yang dihasilkannya bergantung pada manusia yang menafsirkannya.¹⁶ Hal ini berarti bahwa nilai, tanggung jawab, dan makna tetap harus berpangkal pada kesadaran manusia yang autentik. Upaya untuk mengalihkan tanggung jawab moral kepada sistem buatan berarti mengabaikan sifat intensionalitas sebagai fenomena eksklusif dari kesadaran manusia.¹⁷

Dengan demikian, aksiologi intensionalitas Searle menegaskan bahwa nilai tertinggi dalam dunia teknologi bukan terletak pada efisiensi atau kecerdasan sistem, melainkan pada kesadaran manusia yang memberi makna terhadap sistem itu sendiri.¹⁸ Kesadaran manusia tetap menjadi pusat dari seluruh tatanan nilai—karena hanya kesadaranlah yang mampu menilai, memahami, dan menciptakan makna dalam dunia yang terus berubah.


Footnotes

[1]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.

[2]                Ibid., 4–6.

[3]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 90–91.

[4]                Ibid., 93–95.

[5]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–18.

[6]                Ibid., 22–24.

[7]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 31–33.

[8]                Ibid., 38–40.

[9]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 23–25.

[10]             Ibid., 27–29.

[11]             Ibid., 35–37.

[12]             Ibid., 42–44.

[13]             Searle, The Mystery of Consciousness (New York: New York Review Books, 1997), 25–27.

[14]             Ibid., 28–30.

[15]             Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of Intentionality,” in John Searle and His Critics, ed. Ernest Lepore and Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.

[16]             John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[17]             Ibid., 423.

[18]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 110–112.


6.           Dimensi Sosial dan Kultural dari Intensionalitas

Dalam kerangka filsafat John Searle, intensionalitas tidak berhenti pada level individual atau biologis, tetapi juga meluas ke dalam dimensi sosial dan kultural kehidupan manusia. Searle melihat bahwa kesadaran manusia bersifat intrinsik sosial karena manusia selalu hidup dalam konteks intersubjektif di mana makna, nilai, dan realitas dikonstruksikan bersama.¹ Oleh sebab itu, intensionalitas tidak hanya menjelaskan bagaimana pikiran individu “mengarah” pada dunia, tetapi juga bagaimana kelompok manusia membentuk dunia sosial melalui kesadaran bersama (collective intentionality).² Dalam pengertian ini, struktur sosial dan kultural tidak berdiri di luar kesadaran, melainkan merupakan hasil dari aktivitas intensional yang terinstitusionalisasi.

6.1.       Intensionalitas Kolektif dan Realitas Sosial

Konsep collective intentionality adalah salah satu kontribusi paling penting Searle terhadap filsafat sosial.³ Ia mendefinisikannya sebagai kemampuan manusia untuk memiliki niat, keyakinan, dan tujuan yang dibagikan bersama oleh banyak individu. Dalam karyanya The Construction of Social Reality (1995), Searle menulis bahwa fenomena sosial seperti uang, hukum, perkawinan, atau pemerintahan hanya ada karena manusia bersama-sama mengakui dan menerima fungsi simbolik tertentu atas objek atau tindakan.⁴ Misalnya, selembar kertas hanya menjadi “uang” karena masyarakat memiliki intensi kolektif yang memberikan makna institusional padanya—bahwa kertas tersebut berfungsi sebagai alat tukar yang sah.

Melalui intensionalitas kolektif ini, Searle memperkenalkan struktur “status function declaration”, yakni mekanisme linguistik yang memungkinkan fakta sosial tercipta.⁵ Dalam pernyataan seperti “Ini adalah uang,” atau “Saya menikahkan kalian,” bahasa tidak hanya menggambarkan realitas, tetapi juga menciptakannya melalui pengakuan bersama. Dengan demikian, realitas sosial adalah hasil dari tumpukan deklarasi intensional yang dilembagakan dalam sistem norma, hukum, dan budaya.⁶ Kesadaran kolektif inilah yang membuat institusi sosial dapat eksis secara objektif meskipun didasarkan pada kesepakatan subjektif.

6.2.       Bahasa sebagai Medium Sosial Intensionalitas

Bahasa memainkan peran sentral dalam menjembatani intensionalitas individual dan sosial.⁷ Melalui bahasa, makna subjektif diartikulasikan menjadi makna intersubjektif yang dapat dibagikan dan dikukuhkan secara kolektif. Dalam Speech Acts (1969), Searle menegaskan bahwa setiap tindak tutur (speech act) memiliki dimensi sosial karena selalu terjadi dalam konteks norma komunikasi bersama.⁸ Ketika seseorang berjanji, memerintah, atau memberi izin, ia tidak hanya mengekspresikan intensinya, tetapi juga melibatkan struktur sosial yang memberi legitimasi terhadap tindakannya.⁹

Lebih jauh, dalam Expression and Meaning (1979), Searle menunjukkan bahwa makna linguistik bersifat konstitutif bagi kehidupan sosial, karena masyarakat dibentuk melalui sistem tanda yang menyimpan makna-makna intensional secara kolektif.¹⁰ Bahasa memungkinkan manusia membangun realitas simbolik di mana hal-hal seperti “hak”, “tanggung jawab”, atau “otoritas memperoleh status sosialnya.¹¹ Dengan kata lain, bahasa bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga medium ontologis yang mengikat struktur sosial dan kultural ke dalam kesadaran bersama.

Dalam konteks ini, intensionalitas berperan ganda: secara ontologis, ia membentuk dasar realitas sosial; secara epistemologis, ia memungkinkan manusia memahami makna-makna sosial; dan secara aksiologis, ia menopang nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.¹²

6.3.       Institusi, Norma, dan Kesadaran Bersama

Searle menegaskan bahwa semua institusi sosial berakar pada collective recognition—yakni pengakuan bersama atas fungsi simbolik tertentu.¹³ Institusi seperti kepemilikan tanah, kewarganegaraan, atau bahkan universitas hanya dapat eksis karena manusia secara kolektif mengakui status fungsionalnya dalam konteks sosial tertentu. Tanpa pengakuan tersebut, institusi akan kehilangan validitasnya.¹⁴ Oleh karena itu, kesadaran kolektif memiliki dimensi normatif yang melekat: ia tidak hanya menyatukan makna, tetapi juga mengatur perilaku melalui sistem nilai dan aturan sosial.

Kesadaran sosial ini bersifat intersubjektif, bukan sekadar agregasi dari intensi individual.¹⁵ Dalam masyarakat, individu tidak hanya berbagi tujuan, tetapi juga berbagi keyakinan tentang struktur dunia yang mereka tempati. Kesadaran semacam ini bersifat dinamis, karena terbentuk melalui praktik sosial yang terus diperbarui melalui interaksi bahasa, simbol, dan tindakan.¹⁶ Dengan demikian, intensionalitas sosial merupakan proses yang hidup, di mana realitas dan nilai sosial selalu dinegosiasikan ulang dalam ruang kultural.

6.4.       Dimensi Kultural: Intensionalitas dan Produksi Makna

Selain dalam ranah sosial, intensionalitas juga beroperasi dalam konteks kultural, yaitu dalam proses penciptaan dan transmisi makna simbolik antar-generasi.¹⁷ Budaya, bagi Searle, adalah ekspresi kolektif dari intensionalitas manusia yang dilembagakan dalam bentuk simbol, ritual, bahasa, dan narasi.¹⁸ Dalam budaya, makna tidak hanya dikomunikasikan, tetapi juga dihidupi: manusia menafsirkan dunianya melalui kerangka simbolik yang ia warisi. Dengan demikian, intensionalitas tidak hanya menghasilkan institusi sosial, tetapi juga horizon kultural yang menentukan cara manusia memahami dirinya dan dunia.¹⁹

Dalam konteks ini, tindakan seperti berdoa, berkesenian, atau merayakan upacara adat tidak dapat dipahami semata sebagai tindakan individual; mereka adalah ekspresi dari intensionalitas bersama yang berakar dalam sejarah dan tradisi komunitas.²⁰ Oleh karena itu, intensionalitas memiliki dimensi historis yang kuat—ia bukan hanya arah kesadaran saat ini, tetapi juga kesinambungan makna yang diwariskan dan ditafsirkan kembali.

6.5.       Kritik dan Relevansi Sosial Kontemporer

Beberapa pemikir, seperti Jürgen Habermas dan Pierre Bourdieu, mengkritik pendekatan Searle karena dianggap terlalu menekankan kesepakatan linguistik dan mengabaikan relasi kekuasaan dalam pembentukan makna sosial.²¹ Habermas menekankan bahwa komunikasi tidak selalu berlangsung secara ideal; ia sering kali dibatasi oleh distorsi sistemik dan dominasi ideologis.²² Meskipun demikian, Searle memberikan kerangka konseptual yang kuat untuk memahami bagaimana struktur makna sosial dibangun melalui intensionalitas dan bahasa.

Dalam era globalisasi dan digitalisasi, konsep intensionalitas sosial menjadi semakin relevan. Dunia maya, misalnya, menciptakan bentuk baru dari collective intentionality di mana identitas, nilai, dan norma dibangun melalui interaksi simbolik yang tidak terikat ruang fisik.²³ Namun, bahkan dalam ruang virtual, realitas sosial tetap bergantung pada pengakuan bersama dan makna yang dihasilkan oleh kesadaran manusia.²⁴ Dengan demikian, intensionalitas tetap menjadi fondasi bagi eksistensi sosial dan kultural manusia—baik dalam dunia nyata maupun digital.


Footnotes

[1]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 1–3.

[2]                Ibid., 4–6.

[3]                Ibid., 23–25.

[4]                Ibid., 27–30.

[5]                Ibid., 37–40.

[6]                John R. Searle, “Social Ontology and the Philosophy of Society,” Anthropological Theory 6, no. 1 (2006): 12–14.

[7]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–48.

[8]                Ibid., 51–54.

[9]                Ibid., 61–63.

[10]             John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 7–9.

[11]             Ibid., 15–17.

[12]             Searle, The Construction of Social Reality, 43–46.

[13]             Ibid., 47–50.

[14]             Ibid., 54–56.

[15]             Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of Intentionality,” in John Searle and His Critics, ed. Ernest Lepore and Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.

[16]             Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 165–167.

[17]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[18]             Searle, The Construction of Social Reality, 79–82.

[19]             Ibid., 86–89.

[20]             Geertz, The Interpretation of Cultures, 12–15.

[21]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 290–293.

[22]             Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 37–39.

[23]             Luciano Floridi, The Onlife Manifesto: Being Human in a Hyperconnected Era (Berlin: Springer, 2015), 45–48.

[24]             Searle, The Mystery of Consciousness (New York: New York Review Books, 1997), 110–113.


7.           Kritik terhadap Konsep Intensionalitas Searle

Meskipun teori intensionalitas John Searle memiliki kontribusi besar terhadap filsafat pikiran, bahasa, dan sosial, berbagai kritik muncul dari beragam aliran filsafat yang menyoroti keterbatasan ontologis, epistemologis, dan metodologis dari pandangannya. Kritik-kritik ini datang dari berbagai arah: dari kaum eliminativis dan materialis dalam filsafat pikiran, dari poststrukturalis dalam filsafat bahasa, dari fenomenolog eksistensial dalam tradisi kontinental, serta dari pemikir komunikasi dan konstruktivis sosial yang mempertanyakan aspek intersubjektivitas dalam kerangka Searle.

7.1.       Kritik dari Perspektif Eliminativisme dan Komputasionalisme

Salah satu kritik paling kuat terhadap konsep intensionalitas Searle datang dari kaum eliminativis seperti Paul dan Patricia Churchland, yang menolak keberadaan entitas mental seperti beliefs dan desires sebagai kategori ilmiah yang sah.¹ Bagi mereka, istilah-istilah psikologis dalam teori Searle hanyalah sisa dari folk psychology yang suatu saat akan digantikan oleh deskripsi neuro-ilmiah yang lebih akurat.² Churchland berargumen bahwa intensionalitas tidak memiliki dasar empiris yang jelas, karena tidak ada struktur otak yang benar-benar “mengarah pada sesuatu” dalam pengertian Searle.³

Selain itu, para pendukung komputasionalisme seperti Daniel Dennett mengkritik Searle karena dianggap menolak potensi kecerdasan buatan tanpa dasar yang kuat.⁴ Dalam The Intentional Stance (1987), Dennett berpendapat bahwa intensionalitas tidak perlu dilihat sebagai properti ontologis dari kesadaran, melainkan sebagai cara interpretatif bagi pengamat untuk menjelaskan perilaku sistem kompleks, baik manusia maupun mesin.⁵ Bagi Dennett, Searle keliru karena berasumsi bahwa hanya kesadaran biologis yang dapat memiliki intensionalitas sejati; padahal, intensionalitas cukup dipahami sebagai strategi heuristik untuk memahami sistem rasional.⁶

Kritik ini berimplikasi bahwa Searle terlalu menekankan aspek intrinsic intentionality dan menolak derived intentionality sebagai bentuk kesadaran yang sah. Dalam pandangan komputasional, makna tidak harus bersumber pada kesadaran biologis, melainkan dapat muncul dari relasi simbolik dalam sistem kompleks—sebuah posisi yang Searle tolak dalam esai terkenalnya “Minds, Brains, and Programs.”⁷

7.2.       Kritik dari Perspektif Poststrukturalis dan Linguistik

Kaum poststrukturalis, terutama Jacques Derrida, mengkritik pandangan Searle yang dianggap terlalu menekankan pada intention sebagai sumber makna.⁸ Dalam esainya “Signature Event Context” (1972), Derrida menolak gagasan bahwa makna suatu ujaran dapat dikembalikan secara stabil kepada niat penuturnya.⁹ Makna, menurut Derrida, selalu bersifat terbuka terhadap différance—penundaan dan perbedaan dalam bahasa—sehingga tidak pernah sepenuhnya dapat dikendalikan oleh intensionalitas individu.¹⁰

Polemik antara Derrida dan Searle tentang teori tindak tutur (speech acts) menjadi salah satu perdebatan paling penting dalam filsafat bahasa kontemporer.¹¹ Searle menuduh Derrida salah memahami konteks Austinian, sedangkan Derrida menilai Searle gagal memahami sifat iterabilitas bahasa—yaitu bahwa setiap ujaran selalu dapat dipindahkan ke konteks baru di luar kendali penutur.¹² Kritik ini menunjukkan bahwa teori Searle terlalu intention-centered dan kurang mempertimbangkan dimensi struktural bahasa sebagai sistem otonom.¹³

Selain Derrida, Pierre Bourdieu juga menyoroti keterbatasan teori tindak tutur Searle yang mengabaikan dimensi kekuasaan dalam bahasa.¹⁴ Bourdieu berargumen bahwa tidak semua ujaran memiliki kekuatan ilokusi yang sama, karena efektivitas ujaran bergantung pada posisi sosial penutur dalam struktur dominasi simbolik.¹⁵ Dengan demikian, intensionalitas tidak cukup untuk menjelaskan performativitas bahasa tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan politik yang melingkupinya.

7.3.       Kritik dari Tradisi Fenomenologi dan Eksistensialisme

Dari perspektif fenomenologi kontinental, sejumlah pemikir seperti Maurice Merleau-Ponty dan Jean-Paul Sartre menilai bahwa intensionalitas versi Searle terlalu kognitif dan kurang mempertimbangkan tubuh (embodiment) serta pengalaman prareflektif.¹⁶ Merleau-Ponty, dalam Phenomenology of Perception (1945), menegaskan bahwa kesadaran selalu tertanam dalam dunia melalui tindakan dan persepsi tubuh, bukan sekadar representasi mental yang bersifat proposisional.¹⁷

Sementara itu, Sartre dalam Being and Nothingness (1943) menekankan bahwa intensionalitas adalah ekspresi kebebasan eksistensial, bukan hanya kemampuan biologis.¹⁸ Dengan demikian, kritik fenomenologis menganggap Searle gagal menangkap dimensi eksistensial dan afektif dari kesadaran yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang bukan hanya berpikir tentang dunia, tetapi juga mengalami dan menghayati dunia.¹⁹

Fenomenolog menuduh naturalisme Searle terlalu sempit karena memisahkan intensionalitas dari horizon pengalaman yang bersifat terbuka dan historis.²⁰ Bagi mereka, intensionalitas tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dalam kerangka biologis atau linguistik, melainkan harus dilihat sebagai cara berada manusia dalam dunia.

7.4.       Kritik terhadap Aspek Sosial dan Intersubjektif

Meskipun Searle berusaha menjelaskan fenomena sosial melalui konsep collective intentionality, sejumlah pemikir sosial menilai pendekatan tersebut masih individualistik dan atomistik.²¹ Jürgen Habermas, misalnya, menganggap bahwa Searle gagal menangkap dimensi komunikatif dari rasionalitas sosial.²² Dalam The Theory of Communicative Action (1984), Habermas menegaskan bahwa tindakan sosial tidak dapat direduksi menjadi penjumlahan niat individu, melainkan terjadi dalam jaringan komunikasi yang diatur oleh norma-norma intersubjektif.²³

Demikian pula, John R. Searle’s gagasan tentang status function declarations dikritik karena terlalu menekankan kekuatan deklaratif bahasa dan kurang memperhitungkan negosiasi sosial yang kompleks dalam pembentukan institusi.²⁴ Beberapa sosiolog konstruktivis menilai bahwa Searle bersikap terlalu “realistis” terhadap fakta sosial, padahal banyak institusi terbentuk melalui konflik, perbedaan kepentingan, dan kekuasaan, bukan semata pengakuan kolektif.²⁵

7.5.       Evaluasi Kritis dan Relevansi Kontemporer

Terlepas dari berbagai kritik tersebut, teori intensionalitas Searle tetap memiliki daya hidup filosofis yang besar karena menawarkan sintesis metodologis antara fenomenologi dan filsafat analitik.²⁶ Namun, secara kritis dapat dikatakan bahwa posisi Searle masih menghadapi tiga tantangan utama:

(1)               Bagaimana menjelaskan hubungan antara kesadaran subjektif dan sistem simbolik tanpa jatuh ke dalam reduksionisme biologis?

(2)               Bagaimana mengintegrasikan dimensi sosial dan politik dari bahasa tanpa mengorbankan peran kesadaran individual?

(3)               Bagaimana mempertahankan konsep makna dan nilai di tengah perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan yang semakin otonom dari kesadaran manusia?²⁷

Kritik-kritik tersebut tidak hanya memperlihatkan kelemahan teori Searle, tetapi juga membuka ruang dialog lintas tradisi antara fenomenologi, analitik, dan teori sosial kritis.²⁸ Dengan demikian, meskipun konsep intensionalitas Searle belum sempurna, ia tetap menjadi titik referensi penting untuk memahami hubungan antara pikiran, bahasa, dan dunia sosial dalam filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 43–46.

[2]                Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 15–18.

[3]                Paul M. Churchland, The Engine of Reason, The Seat of the Soul (Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 87–89.

[4]                Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 45–48.

[5]                Daniel C. Dennett, The Intentional Stance (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 3–5.

[6]                Ibid., 15–17.

[7]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[8]                Jacques Derrida, “Signature Event Context,” in Margins of Philosophy, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 307–330.

[9]                Ibid., 309–311.

[10]             Ibid., 318–320.

[11]             John R. Searle, “Reiterating the Differences: A Reply to Derrida,” Glyph 1 (1977): 198–208.

[12]             Derrida, “Signature Event Context,” 324–327.

[13]             Jonathan Culler, On Deconstruction: Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 95–97.

[14]             Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power, trans. Gino Raymond and Matthew Adamson (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 37–39.

[15]             Ibid., 45–47.

[16]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 84–86.

[17]             Ibid., 87–89.

[18]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 23–26.

[19]             Ibid., 27–28.

[20]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 240–243.

[21]             John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 27–29.

[22]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 295–297.

[23]             Ibid., 301–304.

[24]             Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 165–167.

[25]             Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social Text 25/26 (1990): 56–58.

[26]             John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 92–95.

[27]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 110–113.

[28]             Robert Van Gulick, “Searle, Intentionality, and the Mind-Body Problem,” in John Searle and His Critics, ed. Ernest Lepore and Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 309–312.


8.           Relevansi Kontemporer: Intensionalitas di Era Digital dan AI

Konsep intensionalitas yang dikembangkan John Searle memperoleh relevansi baru dalam konteks era digital dan perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Di tengah meluasnya penggunaan sistem cerdas, algoritma, dan agen digital yang meniru perilaku manusia, muncul pertanyaan mendasar: apakah sistem buatan dapat memiliki kesadaran, makna, atau niat seperti manusia? Pertanyaan ini mengembalikan perdebatan klasik mengenai hubungan antara kesadaran, representasi, dan makna, yang merupakan inti dari teori intensionalitas Searle.¹

8.1.       Intensionalitas dan Problem Kesadaran Buatan

Searle secara tegas menolak pandangan bahwa sistem komputer dapat memiliki intensionalitas intrinsik. Dalam esainya yang terkenal, “Minds, Brains, and Programs” (1980), ia memperkenalkan Argumen Ruang Cina (Chinese Room Argument) untuk menunjukkan bahwa komputer dapat mensimulasikan pemahaman bahasa tanpa benar-benar memahami makna dari simbol yang ia proses.² Menurut Searle, meskipun komputer dapat memanipulasi simbol sesuai dengan aturan sintaksis, ia tidak memiliki akses terhadap dimensi semantik dan fenomenologis dari pengalaman manusia.³ Dengan demikian, sistem AI hanya memiliki intensionalitas turunan (derived intentionality)—yakni makna yang diberikan oleh manusia sebagai pengguna atau pengamat—bukan intensionalitas intrinsik (intrinsic intentionality) yang timbul dari kesadaran sejati.⁴

Argumen ini memiliki implikasi filosofis yang mendalam di era digital. Ketika AI seperti chatbots, language models, atau autonomous systems meniru perilaku manusia, Searle mengingatkan bahwa peniruan tersebut tidak berarti pemahaman.⁵ Mesin tidak memiliki beliefs, desires, atau intentions dalam arti sebenarnya; ia hanya menjalankan program yang diciptakan manusia untuk menghasilkan keluaran yang terlihat bermakna. Dalam terminologi Searle, makna yang dihasilkan sistem digital sepenuhnya bersifat as if—yakni “seolah-olah” bermakna, tetapi tidak pernah benar-benar memiliki kesadaran yang memahami makna itu sendiri.⁶

8.2.       Relevansi terhadap Filsafat Pikiran dan Etika Teknologi

Konsep intensionalitas Searle menjadi sangat relevan bagi filsafat pikiran kontemporer yang berhadapan dengan klaim “kesadaran buatan”.⁷ Searle menegaskan bahwa kesadaran tidak dapat direduksi menjadi komputasi, karena kesadaran memiliki subjective ontology—suatu dimensi pengalaman batin yang tidak dapat direpresentasikan dalam bentuk simbol formal.⁸ Maka, meskipun teknologi dapat memperluas kapasitas kognitif manusia, ia tidak dapat menggantikan dimensi fenomenologis dari intensionalitas yang berakar pada tubuh biologis dan pengalaman manusiawi.

Relevansi lain terletak pada etika teknologi. Pemikiran Searle mengingatkan bahwa nilai dan makna dalam teknologi tidak inheren dalam sistem digital itu sendiri, melainkan bersumber dari kesadaran dan intensi manusia yang menggunakannya.⁹ Misalnya, ketika algoritma menentukan perilaku pengguna media sosial, keputusan etis tidak dapat dibebankan pada sistem itu sendiri, melainkan pada manusia yang merancang, melatih, dan menginterpretasikan sistem tersebut.¹⁰ Searle secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab moral dan epistemik tetap terletak pada manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki intensionalitas sejati.¹¹

8.3.       Intensionalitas dan Representasi Digital

Dalam konteks digital, representasi tidak lagi terbatas pada bahasa alami, tetapi juga mencakup kode, gambar, data, dan algoritma. Hal ini menimbulkan tantangan baru terhadap teori intensionalitas, karena representasi digital sering kali beroperasi tanpa kesadaran manusia secara langsung.¹² Namun, mengikuti pandangan Searle, representasi digital tetap bersifat turunan: maknanya muncul karena manusia menafsirkan simbol atau hasil komputasi tersebut sebagai sesuatu yang bermakna.¹³

Sebagai contoh, algoritma pembelajaran mesin (machine learning) “mengenali” pola dalam data bukan karena ia memahami pola itu, melainkan karena sistem dirancang untuk mengoptimalkan fungsi tertentu yang diinterpretasikan manusia sebagai “pengenalan.”¹⁴ Searle menolak gagasan bahwa pattern recognition dalam AI setara dengan pemahaman konseptual manusia, karena tidak ada kesadaran yang mengaitkan simbol-simbol tersebut dengan dunia eksternal.¹⁵ Dengan kata lain, mesin tidak memiliki aboutness yang sejati—ia tidak “memikirkan” apa pun, meski hasil tindakannya tampak seperti berpikir.¹⁶

8.4.       Intensionalitas Kolektif dalam Dunia Digital

Meskipun sistem digital tidak memiliki intensionalitas intrinsik, dunia digital telah menciptakan bentuk baru dari intensionalitas kolektif manusia.¹⁷ Media sosial, komunitas daring, dan ruang virtual memungkinkan terbentuknya struktur makna sosial yang muncul dari interaksi antar-kesadaran manusia melalui medium teknologi. Dalam konteks ini, Searle memberikan kerangka konseptual penting untuk memahami bagaimana dunia digital menjadi ruang konstruksi sosial baru, di mana makna, nilai, dan identitas dibangun melalui kesepakatan simbolik dan tindakan komunikasi.¹⁸

Misalnya, ketika masyarakat sepakat bahwa simbol “verified badge” di media sosial menunjukkan kredibilitas, mereka sedang membentuk realitas sosial digital melalui collective intentionality—yakni pengakuan bersama terhadap status simbolik tertentu.¹⁹ Dunia digital, dengan demikian, bukan menciptakan intensionalitas baru pada mesin, tetapi memperluas ruang bagi ekspresi intensionalitas manusia dalam bentuk yang semakin kompleks dan global.²⁰

8.5.       Menuju Etika Humanistik di Era AI

Dari perspektif aksiologis, konsep intensionalitas Searle menuntun kita pada sebuah etika humanistik yang berpusat pada kesadaran manusia.²¹ Teknologi, menurut Searle, harus dipahami sebagai ekstensi dari intensionalitas manusia, bukan pengganti kesadaran itu sendiri.²² Dalam konteks ini, tugas filsafat dan etika kontemporer adalah memastikan bahwa perkembangan AI tidak mengaburkan batas antara pemahaman sejati dan simulasi makna.²³

Prinsip dasar yang dapat ditarik dari pemikiran Searle adalah bahwa makna, nilai, dan tanggung jawab moral tidak dapat didelegasikan kepada sistem yang tidak sadar.²⁴ Kemanusiaan harus tetap menjadi pusat orientasi dalam desain dan penggunaan teknologi. Dengan demikian, relevansi kontemporer intensionalitas terletak pada kemampuannya untuk mempertahankan dimensi manusiawi dalam dunia yang semakin didominasi oleh representasi buatan, data, dan algoritma.²⁵

Searle mengingatkan kita bahwa hanya melalui kesadaran intensional manusia—yang memiliki arah, makna, dan nilai—teknologi dapat berfungsi secara etis dan bermakna.²⁶ Tanpa kesadaran yang memahami, dunia digital akan kehilangan dasar eksistensialnya: ia akan menjadi sistem tanpa makna, simbol tanpa pemaknaan, dan tindakan tanpa tujuan.


Footnotes

[1]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.

[2]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[3]                Ibid., 420–422.

[4]                Searle, Intentionality, 27–29.

[5]                Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 90–93.

[6]                Ibid., 95–97.

[7]                David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 2–5.

[8]                Searle, The Mystery of Consciousness (New York: New York Review Books, 1997), 23–25.

[9]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 89–91.

[10]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 52–54.

[11]             Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 35–37.

[12]             Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 30–33.

[13]             Searle, Intentionality, 30–33.

[14]             Margaret A. Boden, Artificial Intelligence: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2018), 48–50.

[15]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 112–115.

[16]             Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 430–432.

[17]             John R. Searle, The Construction of Social Reality, 90–93.

[18]             Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 165–167.

[19]             Luciano Floridi, The Onlife Manifesto: Being Human in a Hyperconnected Era (Berlin: Springer, 2015), 45–48.

[20]             Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 2010), 122–125.

[21]             Searle, The Mystery of Consciousness, 27–30.

[22]             Ibid., 31–33.

[23]             Floridi, The Ethics of Information, 94–96.

[24]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 120–123.

[25]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues, 60–63.

[26]             Searle, Intentionality, 145–147.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Konsep Intensionalitas Humanistik

Setelah menelusuri dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosial dari pemikiran John Searle mengenai intensionalitas, kita sampai pada titik reflektif yang memungkinkan pembentukan suatu sintesis filosofis—yakni upaya untuk memahami intensionalitas bukan semata sebagai struktur kesadaran atau fungsi biologis, melainkan sebagai modus eksistensi manusia yang humanistik, yang menyatukan makna, nilai, dan tanggung jawab dalam satu horizon kesadaran yang utuh. Sintesis ini berupaya menjembatani antara pandangan naturalistik Searle dengan pandangan fenomenologis dan eksistensialis yang lebih menekankan pada pengalaman hidup manusia yang bermakna, serta mengintegrasikan relevansi etis dan sosialnya dalam dunia modern.

9.1.       Integrasi antara Biologis dan Humanistik

Searle menegaskan bahwa kesadaran dan intensionalitas adalah fenomena biologis yang muncul dari sistem saraf manusia—suatu posisi yang ia sebut biological naturalism.¹ Namun, pendekatan ini tidak harus dipahami secara reduksionistik. Dalam konteks humanisme, pandangan biologis tersebut justru dapat dilihat sebagai pengakuan terhadap keunikan manusia sebagai makhluk hidup yang sadar dan bermakna.² Intensionalitas biologis bukan sekadar mekanisme representasional, tetapi dasar dari pengalaman hidup yang membuat manusia mampu menciptakan nilai, bahasa, dan kebudayaan.³

Dengan demikian, sintesis humanistik terhadap intensionalitas memandang kesadaran bukan hanya hasil evolusi biologis, tetapi juga puncak refleksi eksistensial manusia tentang dirinya dan dunia. Ia menandai kemampuan manusia untuk mengubah fakta menjadi makna, dan realitas fisik menjadi dunia simbolik.⁴ Kesadaran intensional manusia tidak hanya “mengetahui” dunia, tetapi juga “menghidupi” dan “memaknainya”—suatu ciri yang menempatkan manusia sebagai subjek moral, kreatif, dan reflektif.

9.2.       Kesadaran, Makna, dan Relasi Etis

Dalam kerangka ini, intensionalitas humanistik mengandung dimensi etis: kesadaran yang mengarah pada dunia selalu mengandung tanggung jawab terhadap dunia itu.⁵ Searle, dalam teori speech acts-nya, telah menunjukkan bahwa tindakan berbahasa selalu disertai komitmen ilokusioner yang menuntut kejujuran, keotentikan, dan tanggung jawab moral.⁶ Melalui bahasa, intensionalitas menjadi ruang etis di mana manusia tidak hanya mengekspresikan dirinya, tetapi juga menjalin relasi dengan orang lain.

Pendekatan humanistik terhadap intensionalitas menekankan bahwa makna sejati tidak lahir dari kesadaran yang terisolasi, tetapi dari intersubjektivitas—yakni relasi timbal balik antar-kesadaran yang saling memahami dan mengakui.⁷ Dalam komunikasi, intensionalitas menjadi jembatan empatik yang memungkinkan manusia memasuki pengalaman orang lain. Di sinilah makna dan nilai memperoleh signifikansi humanistiknya: makna bukan hanya struktur semantik, melainkan perwujudan pengakuan terhadap martabat dan kebebasan manusia lain.⁸

Dengan demikian, intensionalitas bukan hanya hubungan “kognitif” antara subjek dan objek, tetapi juga relasi etis antara subjek dan sesama subjek. Kesadaran manusia tidak hanya mengarah pada dunia yang diketahui, tetapi juga pada dunia yang dihidupi bersama—dunia yang menuntut penghargaan, solidaritas, dan tanggung jawab moral.

9.3.       Bahasa sebagai Medium Humanisasi

Dalam sintesis ini, bahasa menempati posisi sentral sebagai medium di mana intensionalitas manusia diwujudkan secara konkret. Searle menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar sistem tanda, melainkan tindakan bermakna yang mengandung niat (intention) dan makna (meaning).⁹ Dengan kata lain, bahasa adalah bentuk intensionalitas yang paling manusiawi—ia menampakkan bagaimana kesadaran internal menjadi ekspresi eksternal yang dapat dimengerti dan direspons oleh orang lain.¹⁰

Dari perspektif humanistik, tindakan berbahasa merupakan wujud keterbukaan manusia terhadap dunia dan terhadap sesama.¹¹ Melalui ujaran, manusia meneguhkan keberadaannya di dunia sosial dan menanamkan nilai-nilai yang menjadi dasar kebersamaan. Dalam hal ini, intensionalitas dan bahasa saling memperkuat: intensionalitas memberikan arah dan makna pada ujaran, sementara bahasa memberi bentuk sosial dan komunikatif pada kesadaran.¹²

Maka, “intensionalitas humanistik” bukan hanya tentang berpikir atau mengetahui, melainkan tentang berkomunikasi secara bermakna—suatu proses dialogis di mana manusia membentuk dunia bersama melalui makna yang disepakati dan nilai yang dihidupi.¹³ Bahasa yang humanistik bukanlah alat dominasi, melainkan wahana partisipasi dan pemahaman bersama.

9.4.       Intensionalitas dan Dunia Sosial-Kultural

Konsep collective intentionality Searle memberikan landasan bagi pemahaman bahwa realitas sosial merupakan hasil dari kesadaran bersama yang dilembagakan.¹⁴ Namun, pendekatan humanistik memperluasnya: kesadaran kolektif bukan hanya kesepakatan fungsional, melainkan ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang membentuk kebudayaan.¹⁵ Budaya, dalam perspektif ini, dapat dipahami sebagai ruang ekspresi intensionalitas manusia dalam bentuk simbol, seni, ilmu pengetahuan, dan etika.

Manusia menciptakan dunia sosial bukan semata untuk efisiensi, tetapi untuk mengartikulasikan makna hidup bersama.¹⁶ Oleh karena itu, intensionalitas humanistik menolak pandangan teknokratis yang melihat dunia sosial sebagai sistem fungsi, dan menggantinya dengan pandangan dialogis yang melihat masyarakat sebagai komunitas makna.¹⁷ Dunia sosial adalah jaringan intensionalitas yang hidup—dibentuk oleh kepercayaan, komitmen, dan imajinasi manusia yang terus-menerus diperbarui.


Sintesis Eksistensial: Manusia sebagai Makhluk Intensional

Dalam arti yang paling mendalam, intensionalitas humanistik dapat dipahami sebagai dasar dari eksistensi manusia itu sendiri. Kesadaran yang intensional berarti bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah netral terhadap dunia—ia selalu berada dalam hubungan makna, tujuan, dan nilai.¹⁸ Dengan kesadarannya, manusia bukan hanya bagian dari dunia, tetapi juga pencipta dunia maknanya sendiri.¹⁹

Searle telah membuka jalan menuju pemahaman ini dengan menolak reduksionisme materialis dan menegaskan bahwa kesadaran memiliki status ontologis yang khas.²⁰ Namun, pendekatan humanistik memperluas horizon tersebut: kesadaran yang bermakna tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia berpikir, tetapi juga mengapa ia hidup, bertindak, dan berkomitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan.²¹

Oleh karena itu, intensionalitas humanistik dapat dirumuskan sebagai kesadaran yang terarah pada dunia dan bertanggung jawab terhadap dunia. Ia merupakan struktur dasar dari keberadaan manusia yang rasional, moral, dan komunikatif.²² Dalam kerangka ini, filsafat Searle menemukan elaborasi etik dan eksistensialnya: manusia sebagai makhluk yang tidak hanya berpikir tentang dunia, tetapi juga menghidupi dan memaknainya dengan kasih, dialog, dan tanggung jawab.


Footnotes

[1]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.

[2]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 90–92.

[3]                Ibid., 94–95.

[4]                Searle, The Mystery of Consciousness (New York: New York Review Books, 1997), 23–25.

[5]                Ibid., 26–28.

[6]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.

[7]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 109–111.

[8]                Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–56.

[9]                John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 7–9.

[10]             Ibid., 15–17.

[11]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 61–63.

[12]             Searle, Speech Acts, 62–64.

[13]             Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 286–288.

[14]             John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 27–30.

[15]             Ibid., 42–44.

[16]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 36–39.

[17]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 301–303.

[18]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 27–30.

[19]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 86–89.

[20]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 110–113.

[21]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 98–100.

[22]             Searle, Intentionality, 145–147.


10.       Kesimpulan

Konsep intensionalitas dalam pemikiran John Searle merupakan salah satu pilar utama dalam filsafat pikiran dan bahasa kontemporer. Melalui kajian yang luas dan interdisipliner, Searle berhasil menyatukan tradisi analitik dan fenomenologis ke dalam satu kerangka pemahaman tentang kesadaran sebagai fenomena biologis, epistemologis, dan sosial yang bermakna.¹ Dalam pandangan Searle, intensionalitas tidak hanya menjelaskan bagaimana pikiran manusia mengarah pada dunia, tetapi juga mengungkapkan bagaimana makna, nilai, dan realitas sosial diciptakan melalui kesadaran yang sadar akan dirinya dan lingkungannya.²

10.1.    Intensionalitas sebagai Ciri Ontologis Kesadaran

Secara ontologis, Searle menegaskan bahwa intensionalitas merupakan sifat esensial dari kesadaran: setiap keadaan mental bersifat about something, memiliki arah atau rujukan terhadap dunia eksternal maupun internal.³ Konsepsi ini menolak dua ekstrem filsafat modern—yakni dualism Cartesian, yang memisahkan pikiran dari tubuh, dan reduksionisme materialis, yang menafsirkan pikiran sebagai sekadar hasil proses fisik.⁴ Dengan pendekatan biological naturalism, Searle menempatkan kesadaran sebagai fenomena biologis yang bersifat emergen, yakni muncul dari struktur otak manusia namun tidak dapat direduksi menjadi penjelasan neurofisiologis semata.⁵ Dalam kerangka ini, intensionalitas merupakan bentuk hubungan ontologis yang unik antara organisme sadar dan dunia yang dihayatinya.⁶

10.2.    Dimensi Epistemologis: Makna dan Representasi

Secara epistemologis, Searle memahami intensionalitas sebagai dasar dari kemampuan representasional manusia.⁷ Melalui intensionalitas, kesadaran tidak hanya memotret dunia, tetapi juga menafsirkan dan memberi makna padanya. Bahasa berfungsi sebagai eksternalisasi dari struktur intensional ini, menjembatani antara pikiran dan realitas sosial.⁸ Dengan teori speech acts-nya, Searle menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi tindakan bermakna yang mengandung niat dan tanggung jawab.⁹ Melalui bahasa, manusia dapat mengekspresikan intensinya dan membangun dunia sosial bersama.¹⁰

Epistemologi Searle juga menolak pandangan bahwa representasi linguistik dapat berdiri sendiri tanpa kesadaran.¹¹ Setiap ujaran bermakna karena mengandung niat penutur yang sadar. Tanpa intensionalitas, simbol-simbol hanyalah bentuk kosong tanpa makna. Dalam konteks ini, pengetahuan manusia tidak hanya merupakan hasil dari representasi logis, tetapi juga manifestasi dari kesadaran yang mengandung arah, maksud, dan nilai.¹²

10.3.    Dimensi Aksiologis: Makna, Nilai, dan Tanggung Jawab

Dari segi aksiologi, Searle memberikan dasar filosofis bagi pemahaman tentang nilai dan tanggung jawab moral.¹³ Kesadaran intensional memungkinkan manusia bukan hanya untuk mengetahui, tetapi juga untuk menilai. Dalam setiap tindakan—terutama tindakan berbahasa—terkandung komitmen moral terhadap kebenaran, kejujuran, dan autentisitas.¹⁴ Dengan demikian, etika komunikasi menjadi ekspresi konkret dari intensionalitas manusia yang bertanggung jawab terhadap makna yang ia ciptakan.¹⁵

Selain itu, konsep collective intentionality Searle menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial dan institusi manusia dibangun melalui kesepakatan makna dan pengakuan bersama.¹⁶ Fakta sosial seperti hukum, uang, atau kewajiban moral tidak memiliki realitas fisik, melainkan eksis karena intensionalitas kolektif manusia yang mengakui dan meneguhkannya.¹⁷ Oleh karena itu, intensionalitas menjadi dasar bagi terbentuknya dunia normatif yang mengatur kehidupan bersama.

10.4.    Dimensi Sosial dan Kultural: Kesadaran yang Intersubjektif

Searle menempatkan intensionalitas dalam konteks sosial dengan menekankan bahwa kesadaran manusia tidak pernah sepenuhnya individual, tetapi selalu terjalin dalam intersubjektivitas.¹⁸ Bahasa, budaya, dan institusi sosial adalah hasil dari intensionalitas kolektif yang membentuk dunia simbolik manusia. Melalui mekanisme status function declarations, Searle menjelaskan bagaimana realitas sosial dibentuk secara linguistik melalui tindakan deklaratif yang diakui bersama.¹⁹

Namun, dimensi sosial intensionalitas ini juga menegaskan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasarinya. Manusia membangun dunia sosial bukan hanya karena kebutuhan praktis, tetapi karena dorongan makna untuk hidup bersama.²⁰ Dengan demikian, intensionalitas menjadi jembatan antara struktur biologis kesadaran dan struktur simbolik kebudayaan.

10.5.    Relevansi Kontemporer: Intensionalitas di Era Teknologi dan AI

Dalam konteks abad ke-21, teori intensionalitas Searle memberikan kerangka kritis untuk memahami fenomena teknologi dan kecerdasan buatan.²¹ Ia menegaskan bahwa meskipun sistem digital dapat meniru perilaku manusia, mereka tidak memiliki kesadaran atau intensionalitas intrinsik.²² AI hanya memiliki makna sejauh manusia memberikannya, karena makna sejati menuntut kesadaran yang memahami—bukan sekadar menghitung.²³

Dengan demikian, relevansi kontemporer intensionalitas terletak pada pembelaannya terhadap dimensi humanistik dalam dunia yang semakin terotomatisasi.²⁴ Searle menegaskan bahwa makna, nilai, dan tanggung jawab moral tidak dapat didelegasikan kepada mesin atau algoritma; mereka tetap berpangkal pada kesadaran manusia yang memiliki arah, maksud, dan refleksi etis terhadap dunia.²⁵


Sintesis Humanistik: Kesadaran sebagai Ruang Makna

Secara sintesis, konsep intensionalitas dalam pemikiran Searle mengarah pada pandangan humanistik tentang kesadaran: bahwa menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang sadar akan dunia dan dirinya, yang mampu menciptakan dan menafsirkan makna.²⁶ Intensionalitas menghubungkan manusia dengan dunia melalui pemahaman, nilai, dan komunikasi—tiga unsur yang mendefinisikan hakikat eksistensi manusia.²⁷

Kesadaran yang intensional adalah kesadaran yang bermoral, komunikatif, dan reflektif; ia mengandung kebebasan sekaligus tanggung jawab terhadap makna yang diciptakannya.²⁸ Dalam dunia yang semakin digital dan kompleks, gagasan Searle menjadi pengingat filosofis bahwa humanitas terletak pada kemampuan untuk memberi makna, bukan sekadar memproses informasi.²⁹

Maka, intensionalitas humanistik dapat dipahami sebagai sintesis antara biologi dan makna, pikiran dan dunia, serta individu dan masyarakat. Ia menegaskan bahwa manusia bukan hanya pengamat dunia, tetapi juga pencipta dunia makna—makhluk yang berpikir, berbahasa, dan bertindak dengan kesadaran yang penuh arah, makna, dan nilai.³⁰


Footnotes

[1]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.

[2]                Ibid., 7–9.

[3]                Ibid., 27–29.

[4]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 90–92.

[5]                Ibid., 94–97.

[6]                Searle, Intentionality, 85–86.

[7]                Ibid., 100–103.

[8]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.

[9]                Ibid., 51–53.

[10]             John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 7–9.

[11]             Ibid., 15–17.

[12]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 120–122.

[13]             Searle, Expression and Meaning, 25–27.

[14]             Ibid., 30–33.

[15]             Ibid., 38–40.

[16]             John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 23–25.

[17]             Ibid., 42–44.

[18]             Ibid., 47–49.

[19]             Ibid., 50–53.

[20]             Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of Intentionality,” in John Searle and His Critics, ed. Ernest Lepore and Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.

[21]             John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.

[22]             Ibid., 420–422.

[23]             Searle, The Mystery of Consciousness (New York: New York Review Books, 1997), 23–25.

[24]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 110–112.

[25]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 54–56.

[26]             Searle, Intentionality, 145–147.

[27]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 36–38.

[28]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 60–63.

[29]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 125–127.

[30]             Searle, The Construction of Social Reality, 90–92.


Daftar Pustaka

Buku dan Artikel Utama oleh John R. Searle

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3), 417–424. doi.org

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1992). The rediscovery of the mind. MIT Press.

Searle, J. R. (1995). The construction of social reality. Free Press.

Searle, J. R. (1997). The mystery of consciousness. New York Review Books.

Searle, J. R. (2006). Social ontology and the philosophy of society. Anthropological Theory, 6(1), 12–29. doi.org

Searle, J. R. (1977). Reiterating the differences: A reply to Derrida. Glyph, 1, 198–208.

Karya Filosofis dan Referensi Sekunder

Aristotle. (1961). De anima (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Barry, S. (1995). Ontology and the philosophy of mind: The legacy of Brentano. Topoi, 14(2), 163–171. doi.org

Boden, M. A. (2018). Artificial intelligence: A very short introduction. Oxford University Press.

Bourdieu, P. (1991). Language and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Harvard University Press.

Brentano, F. (1995). Psychology from an empirical standpoint (A. C. Rancurello, D. B. Terrell, & L. L. McAlister, Trans.). Routledge.

Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann, Trans.). Charles Scribner’s Sons.

Castells, M. (2010). The rise of the network society (2nd ed.). Blackwell.

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Churchland, P. M. (1988). Matter and consciousness. MIT Press.

Churchland, P. M. (1995). The engine of reason, the seat of the soul. MIT Press.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.

Culler, J. (1982). On deconstruction: Theory and criticism after structuralism. Cornell University Press.

Dennett, D. C. (1987). The intentional stance. MIT Press.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown.

Derrida, J. (1982). Signature event context. In A. Bass (Trans.), Margins of philosophy (pp. 307–330). University of Chicago Press.

Dreyfus, H. L. (1991). The background in Searle’s theory of intentionality. In E. Lepore & R. Van Gulick (Eds.), John Searle and his critics (pp. 289–312). Blackwell.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2015). The onlife manifesto: Being human in a hyperconnected era. Springer.

Fodor, J. A. (1975). The language of thought. Harvard University Press.

Fraser, N. (1990). Rethinking the public sphere. Social Text, 25/26, 56–80. doi.org

Frege, G. (1892). Über Sinn und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik, 100, 25–50.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

Hayles, K. N. (1999). How we became posthuman: Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics. University of Chicago Press.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Husserl, E. (2001). Logical investigations (J. N. Findlay, Trans.). Routledge.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Martinus Nijhoff.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.

Russell, B. (1905). On denoting. Mind, 14(56), 479–493. mind

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Smith, B. (1995). Ontology and the philosophy of mind: The legacy of Brentano. Topoi, 14(2), 163–171. doi.org

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Van Gulick, R. (1991). Searle, intentionality, and the mind-body problem. In E. Lepore & R. Van Gulick (Eds.), John Searle and his critics (pp. 309–312). Blackwell.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar