Intensionalitas (Intentionality)
Suatu Kajian Filsafat Bahasa dan Kesadaran
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif konsep
intensionalitas dalam filsafat bahasa dan pikiran sebagaimana dikembangkan
oleh John R. Searle, dengan menelusuri akar historisnya, dasar ontologis
dan epistemologisnya, serta relevansi aksiologis dan sosialnya dalam konteks
dunia kontemporer. Intensionalitas, yang pada mulanya diperkenalkan oleh Franz
Brentano sebagai ciri khas kesadaran yang selalu “tentang sesuatu,”
dalam tangan Searle mengalami reinterpretasi dalam kerangka biological
naturalism, yaitu pandangan bahwa kesadaran dan intensionalitas merupakan
fenomena biologis yang muncul dari sistem fisik otak manusia namun tidak dapat
direduksi secara murni ke dalam proses material.
Melalui analisis ontologis, artikel ini menegaskan
bahwa intensionalitas adalah struktur dasar dari kesadaran manusia yang
memungkinkan hubungan antara subjek dan dunia eksternal. Secara epistemologis,
Searle menunjukkan bahwa bahasa merupakan bentuk eksternalisasi dari
intensionalitas pikiran: setiap ujaran linguistik mengandung intention
yang menandai arah makna dan tujuan komunikatifnya. Dari segi aksiologi,
intensionalitas menjadi dasar bagi nilai dan tanggung jawab moral manusia,
sebab melalui kesadaran intensional manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi
juga menilai dan bertindak secara bermakna terhadapnya.
Dalam dimensi sosial dan kultural, Searle
memperluas konsepnya melalui teori collective intentionality, yakni
kemampuan manusia untuk berbagi niat dan makna bersama yang membentuk realitas
sosial. Bahasa dan institusi dipahami sebagai konstruksi simbolik yang lahir
dari pengakuan kolektif, sehingga realitas sosial tidak bersifat objektif
secara fisik, tetapi eksis melalui kesepakatan kesadaran bersama. Relevansi
kontemporer gagasan ini tampak dalam era digital dan kecerdasan buatan (AI),
di mana perdebatan mengenai kemampuan mesin untuk “memiliki” kesadaran
atau makna menegaskan kembali perbedaan mendasar antara intensionalitas
intrinsik manusia dan intensionalitas turunan mesin.
Akhirnya, artikel ini menawarkan sintesis
filosofis menuju konsep intensionalitas humanistik, yang memandang
kesadaran manusia bukan hanya sebagai sistem kognitif, tetapi sebagai pusat
makna, nilai, dan tanggung jawab. Intensionalitas humanistik menegaskan bahwa
makna dan nilai tidak dapat dipisahkan dari kesadaran manusia yang sadar akan
dirinya dan dunia. Dalam konteks global yang semakin digital dan terfragmentasi,
gagasan ini menjadi pengingat filosofis bahwa hakikat kemanusiaan terletak pada
kemampuan untuk memberi makna—bukan sekadar memproses informasi.
Kata Kunci: Intensionalitas,
John Searle, Filsafat Pikiran, Filsafat Bahasa, Kesadaran, Biological
Naturalism, Speech Acts, Collective Intentionality, Artificial Intelligence,
Humanisme.
PEMBAHASAN
Konsep Intensionalitas dalam Bahasa dan Pikiran Menurut
John Searle
1.
Pendahuluan
Konsep intensionalitas merupakan salah satu
gagasan fundamental dalam filsafat pikiran dan filsafat bahasa yang telah
menjadi pusat perdebatan filosofis selama lebih dari satu abad. Istilah ini
pertama kali dipopulerkan oleh Franz Brentano pada abad ke-19 untuk menandai
karakteristik khas dari fenomena mental, yakni bahwa setiap kesadaran selalu “mengarah
pada sesuatu”—ia bersifat of atau about sesuatu yang lain di
luar dirinya. Dengan kata lain, intensionalitas menggambarkan sifat “mengarah”
atau “bermaksud” yang melekat pada pikiran manusia. Pikiran tidak pernah
hadir dalam kehampaan; ia selalu terarah kepada objek, ide, perasaan, tindakan,
atau dunia yang dituju oleh kesadaran itu sendiri.¹
Dalam tradisi filsafat analitik, gagasan ini
kemudian diolah dan dipertajam oleh tokoh-tokoh seperti Gottlob Frege, Edmund
Husserl, dan kemudian John Searle. Bagi Searle, intensionalitas tidak hanya
merupakan atribut dari keadaan mental yang bersifat subjektif, tetapi juga
dasar bagi semua bentuk representasi linguistik dan sosial.² Dalam karya
monumentalnya Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (1983),
Searle berupaya merekonstruksi konsep intensionalitas dalam kerangka yang ia
sebut sebagai biological naturalism, yaitu pandangan bahwa kesadaran dan
intensionalitas adalah fenomena biologis yang muncul dari sistem fisik (otak)
tetapi tidak dapat direduksi sepenuhnya pada penjelasan fisik semata.³ Ia
menolak reduksionisme materialis yang menganggap pikiran sebagai sekadar hasil
kalkulasi atau proses komputasional, sekaligus menentang dualisme Cartesian
yang memisahkan pikiran dari dunia fisik.
Perspektif Searle ini menempatkan intensionalitas
pada posisi yang unik dalam filsafat kontemporer: ia menggabungkan naturalisme
ilmiah dengan realisme fenomenologis, di mana intensionalitas dipahami sebagai jembatan
antara struktur biologis dan pengalaman sadar manusia. Dengan demikian, bahasa
tidak lagi dipandang sebagai sistem tanda semata, melainkan sebagai ekspresi
eksternal dari niat, makna, dan kesadaran intensional yang hidup dalam subjek
penuturnya.⁴
Dalam konteks filsafat bahasa, Searle memandang
bahwa setiap ujaran (speech act) merupakan manifestasi dari intensionalitas:
tindakan berbahasa adalah tindakan mental yang diwujudkan secara sosial.⁵
Dengan kata lain, komunikasi manusia bukan sekadar transmisi simbol atau
informasi, tetapi perwujudan niat—intention—yang mengandung makna,
maksud, dan arah terhadap dunia. Hal ini menjadi landasan teorinya tentang speech
acts, di mana makna ujaran tidak dapat dilepaskan dari konteks niat penutur
dan struktur sosial yang melingkupinya.⁶ Oleh karena itu, memahami
intensionalitas berarti juga memahami hakikat bahasa sebagai tindakan yang
berakar pada kesadaran manusia.
Dalam perkembangan filsafat pikiran, pendekatan
Searle terhadap intensionalitas memiliki posisi strategis karena berupaya
menjembatani dua kubu besar: di satu sisi, pendekatan fenomenologis yang
menekankan pengalaman subjektif kesadaran (seperti dalam pemikiran Husserl dan
Merleau-Ponty); di sisi lain, pendekatan analitik yang berfokus pada logika bahasa
dan representasi mental.⁷ Searle berusaha mengintegrasikan keduanya melalui
analisis konseptual yang berakar pada penggunaan bahasa alami dan pada struktur
biologis kesadaran manusia. Dengan pendekatan ini, ia menegaskan bahwa
intensionalitas bukan sekadar masalah linguistik atau semantik, tetapi juga
persoalan ontologis dan epistemologis yang menyangkut eksistensi dan
pengetahuan manusia tentang dunia.
Kajian mengenai intensionalitas dalam pemikiran
John Searle menjadi relevan bukan hanya bagi para filsuf bahasa dan pikiran,
tetapi juga bagi bidang-bidang lain seperti psikologi kognitif, linguistik,
ilmu komputer, dan bahkan etika komunikasi digital. Dalam era di mana
kecerdasan buatan (AI) mencoba meniru proses berpikir manusia, pertanyaan
tentang apakah mesin dapat memiliki intensionalitas yang sejati menjadi sangat
mendesak.⁸ Jika intensionalitas merupakan ciri khas dari kesadaran manusia,
maka pemahaman yang mendalam tentang konsep ini akan membantu kita membedakan
antara bentuk representasi buatan (derived intentionality) dan bentuk
kesadaran sejati yang hanya dimiliki oleh makhluk hidup yang sadar (intrinsic
intentionality).⁹
Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk
mengkaji secara komprehensif konsep intensionalitas dalam pemikiran John
Searle, meliputi landasan historis, dimensi ontologis, epistemologis,
aksiologis, serta relevansinya dalam konteks sosial dan teknologi kontemporer.
Melalui pendekatan sistematis dan analitis, kajian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang lebih integral tentang hubungan antara bahasa,
pikiran, dan realitas manusia, serta menegaskan posisi Searle dalam lanskap
filsafat modern sebagai salah satu pemikir yang berhasil menghidupkan kembali
relevansi filosofis intensionalitas dalam dunia yang semakin rasional dan
teknologis.¹⁰
Footnotes
[1]
Franz Brentano, Psychology from an Empirical
Standpoint, trans. Antos C. Rancurello, D.B. Terrell, and Linda L.
McAlister (London: Routledge, 1995), 88–90.
[2]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
45–46.
[3]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.
[4]
Ibid., 7–8.
[5]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
21–24.
[6]
Ibid., 25–30.
[7]
Hubert L. Dreyfus, “Searle’s Theory of
Intentionality and the Background,” Behavioral and Brain Sciences 15,
no. 3 (1992): 436–439.
[8]
Daniel C. Dennett, The Intentional Stance
(Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 3–5.
[9]
Searle, Intentionality, 27–29.
[10]
Barry Smith and John Searle, “The Construction of
Social Reality: An Exchange,” American Journal of Economics and Sociology
57, no. 3 (1998): 295–310.
2.
Landasan Historis dan Genealogis Konsep
Intensionalitas
Konsep intensionalitas memiliki akar yang
panjang dalam sejarah filsafat, berkembang dari tradisi skolastik hingga
menjadi salah satu tema sentral dalam filsafat kontemporer, terutama dalam
filsafat pikiran dan bahasa. Secara genealogis, gagasan ini dapat ditelusuri
sejak Aristoteles, yang dalam karyanya De Anima sudah mengisyaratkan
bahwa jiwa memiliki kemampuan untuk “mengenali” objek tanpa mengandung
substansinya, yakni suatu bentuk relasi kognitif antara subjek dan objek yang
bersifat representasional.¹ Namun, konsep tersebut baru mendapatkan formulasi
sistematis pada abad ke-13 melalui para filsuf skolastik seperti Thomas Aquinas
dan Duns Scotus, yang menggunakan istilah intentio untuk menjelaskan
arah atau maksud pikiran terhadap sesuatu di luar dirinya.² Dalam konteks ini,
intensionalitas dipahami sebagai ciri khas dari fenomena mental yang membedakan
kesadaran dari fenomena fisik.
Perubahan besar terjadi pada abad ke-19 ketika Franz
Brentano (1838–1917) memperkenalkan kembali konsep intensionalitas ke dalam
wacana filsafat modern melalui karyanya Psychology from an Empirical
Standpoint (1874).³ Brentano mendefinisikan intensionalitas sebagai “ciri
utama dari fenomena mental,” yaitu bahwa setiap kesadaran selalu “mengandung
suatu objek dalam dirinya sebagai objek intensional.”⁴ Dengan kata lain,
setiap tindakan mental (berpikir, mengingat, berharap, mencintai, dan
sebagainya) selalu diarahkan kepada sesuatu. Ia menyebut karakter ini sebagai intentional
inexistence, menandakan bahwa objek intensional “berada di dalam”
kesadaran, bukan sebagai entitas fisik, tetapi sebagai isi representasional.⁵
Konsepsi Brentano ini menandai pergeseran penting dari psikologi empiris ke
arah fenomenologi filosofis, karena ia menegaskan bahwa yang menjadi inti
penyelidikan filsafat bukanlah fakta-fakta empiris dari kesadaran, melainkan
struktur intensionalitasnya.
Gagasan Brentano kemudian dikembangkan dan
disistematisasi oleh Edmund Husserl, muridnya, yang menjadikan
intensionalitas sebagai landasan bagi seluruh fenomenologi transendental. Dalam
Logical Investigations (1900–1901) dan Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy (1913), Husserl
menegaskan bahwa kesadaran selalu merupakan “kesadaran tentang sesuatu” (Bewusstsein
von etwas).⁶ Namun, berbeda dari Brentano, Husserl menolak pengertian intentional
inexistence karena berpotensi menjebak dalam idealisme psikologis. Ia
menggantinya dengan struktur noesis-noema, di mana noesis
menunjuk pada aktivitas kesadaran (intending act) dan noema pada isi
atau makna yang dituju.⁷ Dengan struktur ini, Husserl menempatkan
intensionalitas sebagai jembatan ontologis dan epistemologis antara subjek dan
dunia, antara pikiran dan realitas yang disadari. Fenomenologi Husserl membuka
jalan bagi analisis intensionalitas yang lebih kaya, mencakup persepsi,
imajinasi, penilaian, dan makna linguistik.
Memasuki abad ke-20, konsep intensionalitas
mengalami transformasi besar dalam konteks filsafat analitik, terutama melalui
kontribusi Gottlob Frege, Bertrand Russell, dan Ludwig
Wittgenstein. Frege memperkenalkan distingsi antara sense (Sinn)
dan reference (Bedeutung) untuk menjelaskan bagaimana suatu
ekspresi linguistik dapat memiliki makna (sense) yang berbeda meskipun menunjuk
pada referen yang sama.⁸ Distingsi ini merupakan versi linguistik dari gagasan
intensionalitas: makna suatu ungkapan bukan hanya ditentukan oleh objek
eksternal, tetapi juga oleh cara pikiran mengarah kepadanya. Russell
menindaklanjutinya melalui teori deskripsi (theory of descriptions) yang
mengupayakan klarifikasi logis terhadap bahasa intensional.⁹ Sementara itu,
Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953) memindahkan fokus
dari struktur logis ke praktik penggunaan bahasa (language games), yang
membuka jalan bagi pemahaman intensionalitas sebagai fenomena sosial dan
pragmatik.¹⁰
Dari sisi tradisi analitik ini kemudian muncul
upaya untuk mengaitkan intensionalitas dengan struktur kognitif dan fungsi
bahasa. Di sinilah John Searle mengambil posisi kritis dan kreatif. Ia
berangkat dari kerangka yang diwariskan oleh Frege dan Austin, tetapi
mengintegrasikannya dengan refleksi fenomenologis tentang kesadaran yang
diwariskan Brentano dan Husserl.¹¹ Dalam karya-karyanya, terutama Speech
Acts (1969) dan Intentionality (1983), Searle berupaya menggabungkan
dimensi semantik (makna) dan fenomenologis (kesadaran) dalam satu teori
integral tentang intensionalitas. Bagi Searle, intensionalitas bukan hanya
masalah representasi linguistik, melainkan juga fenomena biologis yang mengakar
dalam struktur kesadaran manusia.¹² Dengan demikian, ia menghadirkan sintesis
antara dua tradisi besar filsafat abad ke-20—fenomenologi Eropa dan analitik
Anglo-Amerika—yang sebelumnya sering dianggap berseberangan.
Melalui pendekatan ini, Searle tidak hanya
menghidupkan kembali relevansi historis intensionalitas, tetapi juga
memperluasnya menjadi konsep kunci untuk memahami bagaimana pikiran, bahasa,
dan realitas sosial saling terjalin. Genealogi ini memperlihatkan bahwa
intensionalitas bukan sekadar konsep abstrak, melainkan gagasan yang terus
berevolusi seiring perkembangan pemahaman manusia tentang dirinya dan dunia.
Dari intentio skolastik hingga biological naturalism,
intensionalitas tetap menjadi cermin dari upaya manusia memahami kesadaran
sebagai fenomena yang bersifat sekaligus mental, linguistik, dan
eksistensial.¹³
Footnotes
[1]
Aristotle, De Anima, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1961), 412a–413b.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q. 85, a. 2.
[3]
Franz Brentano, Psychology from an Empirical
Standpoint, trans. Antos C. Rancurello, D.B. Terrell, and Linda L.
McAlister (London: Routledge, 1995), 88–89.
[4]
Ibid., 92.
[5]
Ibid., 100–103.
[6]
Edmund Husserl, Logical Investigations,
trans. J. N. Findlay (London: Routledge, 2001), 238–241.
[7]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 109–115.
[8]
Gottlob Frege, “Über Sinn und Bedeutung,” Zeitschrift
für Philosophie und philosophische Kritik 100 (1892): 25–50.
[9]
Bertrand Russell, “On Denoting,” Mind 14,
no. 56 (1905): 479–493.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations,
trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–§43.
[11]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
45–47.
[12]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–4.
[13]
Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind:
The Legacy of Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 163–171.
3.
Ontologi Intensionalitas dalam Pemikiran Searle
Ontologi intensionalitas dalam pemikiran
John Searle berakar pada keyakinannya bahwa kesadaran manusia adalah fenomena
biologis yang memiliki sifat representasional dan arah terhadap dunia. Dengan
kata lain, Searle berupaya menjelaskan bagaimana pikiran dapat “tentang
sesuatu” (about something) tanpa terjebak dalam dualisme Cartesian atau
reduksionisme materialis. Dalam kerangka ini, intensionalitas bukan entitas
metafisik atau simbol logis belaka, melainkan suatu properti ontologis
dari sistem biologis yang sadar.¹ Ia menyebut pendekatan ini sebagai “biological
naturalism”, yaitu pandangan bahwa kesadaran adalah fenomena yang muncul (emergent)
dari aktivitas neurobiologis otak, namun tidak dapat direduksi secara murni
pada deskripsi fisik atau komputasional.²
Menurut Searle, setiap keadaan mental memiliki dua
karakteristik ontologis utama: subjektivitas ontologis (ontological subjectivity) dan intensionalitas (intentionality).
Subjektivitas ontologis berarti bahwa pengalaman sadar hanya dapat diakses dari
sudut pandang pertama (first-person), sementara intensionalitas menunjukkan
bahwa pengalaman tersebut selalu terarah kepada sesuatu—objek, keadaan, atau
proposisi.³ Ia menegaskan bahwa tidak semua fenomena biologis bersifat
intensional; hanya kesadaran yang memiliki kemampuan untuk “menunjuk”
atau “mengacu” pada dunia eksternal melalui representasi mental. Dengan
demikian, intensionalitas merupakan bentuk khusus dari relasi antara organisme
sadar dan dunia, suatu relasi yang sekaligus bersifat biologis dan semantik.⁴
Dalam Intentionality: An Essay in the Philosophy
of Mind (1983), Searle membedakan dua jenis utama intensionalitas: intensionalitas
intrinsik (intrinsic intentionality) dan intensionalitas turunan
(derived intentionality).⁵ Intensionalitas intrinsik adalah sifat
bawaan dari keadaan mental manusia—seperti keinginan, keyakinan, atau
persepsi—yang secara alami “mengarah” pada dunia tanpa memerlukan
interpretasi eksternal. Misalnya, keyakinan seseorang bahwa “hujan sedang
turun” adalah intensional karena keyakinan itu secara langsung mengacu pada
keadaan dunia yang tertentu. Sebaliknya, intensionalitas turunan
ditemukan pada sistem simbolik seperti bahasa, teks, atau komputer, yang hanya
memiliki makna sejauh ia ditafsirkan oleh makhluk yang memiliki intensionalitas
intrinsik.⁶ Dengan pembedaan ini, Searle menolak pandangan komputasionalis
dalam ilmu kognitif yang menganggap bahwa komputer “berpikir” dengan
cara yang sama seperti manusia. Komputer memang dapat memproses simbol, tetapi
maknanya bersifat turunan dan tidak memiliki kesadaran yang benar-benar “tentang
sesuatu.”⁷
Ontologi intensionalitas Searle juga menolak reduksionisme
fisikalistik, yang berupaya menjelaskan kesadaran secara eksklusif dalam
istilah proses fisik otak.⁸ Ia mengakui bahwa setiap keadaan mental memiliki
dasar biologis, tetapi sifat representasional dan fenomenalnya tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu saraf. Bagi Searle, hubungan antara kesadaran
dan otak bersifat kausal sekaligus konstitutif: keadaan otak menyebabkan
kesadaran, namun pada saat yang sama mengkonstruksi realitas subjektif
melalui intensionalitas.⁹ Dengan cara ini, Searle mempertahankan realisme
ontologis—bahwa dunia eksternal benar-benar ada—namun juga mengakui bahwa cara
manusia mengakses dan memberi makna pada dunia selalu melalui struktur
intensional kesadaran.¹⁰
Searle juga menegaskan bahwa intensionalitas
memiliki struktur duniawi (world-directed structure).¹¹ Artinya,
kesadaran manusia tidak bersifat solipsistik, melainkan selalu berada dalam
keterarahan terhadap dunia objektif. Ini sekaligus menjadi kritik terhadap
bentuk idealisme yang menempatkan realitas sebagai konstruksi mental
sepenuhnya. Intensionalitas, bagi Searle, justru menegaskan adanya hubungan dua
arah: dari dunia menuju kesadaran (perceptual intentionality) dan dari
kesadaran menuju dunia (agentive intentionality).¹² Dalam persepsi,
dunia “memasuki” kesadaran melalui pengalaman yang bermakna; sementara
dalam tindakan, kesadaran “menyentuh” dunia melalui niat dan keputusan.
Dengan demikian, intensionalitas menjadi medium ontologis yang menjembatani
realitas objektif dan pengalaman subjektif.¹³
Lebih jauh, Searle memperkenalkan konsep “background”
dan “network” untuk menjelaskan kondisi ontologis yang memungkinkan
terjadinya intensionalitas.¹⁴ Network menunjuk pada sistem keyakinan,
harapan, dan pengetahuan yang saling terhubung dan membentuk kerangka makna
bagi setiap keadaan mental; sedangkan background merujuk pada prasyarat
non-representasional seperti kebiasaan, kemampuan, dan disposisi tubuh yang
memungkinkan seseorang memahami dunia tanpa refleksi eksplisit.¹⁵ Tanpa background
dan network, intensionalitas tidak dapat beroperasi karena kesadaran
tidak akan memiliki landasan kontekstual untuk mengaitkan pengalaman dengan
makna. Konsep ini menunjukkan bahwa intensionalitas, dalam ontologi Searle,
tidak pernah berdiri sendiri tetapi selalu berakar pada totalitas kehidupan
biologis dan sosial manusia.¹⁶
Dengan kerangka ini, Searle berhasil menyusun suatu
ontologi yang menggabungkan realisme biologis, naturalisme non-reduksionis, dan
fenomenologi kesadaran. Ia menolak pandangan dualistik yang memisahkan pikiran
dari dunia, sekaligus menentang fisikalisme yang meniadakan subjektivitas.
Intensionalitas, bagi Searle, adalah modus eksistensi khas manusia yang
menunjukkan bagaimana makhluk biologis dapat sekaligus menjadi makhluk
bermakna.¹⁷ Ontologi intensionalitasnya menegaskan bahwa dunia bukan hanya
sesuatu yang “ada,” melainkan sesuatu yang “dihayati” dan “dimaknai”
oleh kesadaran yang intensional.
Dengan demikian, konsep intensionalitas dalam
ontologi Searle bukan hanya menjelaskan apa itu kesadaran, tetapi juga bagaimana
kesadaran itu berada—yakni sebagai fenomena biologis yang memiliki arah,
makna, dan nilai.¹⁸ Inilah yang menjadikan pemikiran Searle penting dalam
memahami keterpaduan antara bahasa, pikiran, dan realitas: bahwa dunia manusia
adalah dunia yang dihadirkan melalui struktur intensional yang hidup, sadar,
dan berinteraksi dengan dunia secara terus-menerus.
Footnotes
[1]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.
[2]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 90–91.
[3]
Ibid., 93–95.
[4]
Searle, Intentionality, 7–8.
[5]
Ibid., 27–29.
[6]
Ibid., 31–33.
[7]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[8]
John R. Searle, The Mystery of Consciousness
(New York: New York Review Books, 1997), 23–26.
[9]
Ibid., 28–30.
[10]
Searle, Intentionality, 76–78.
[11]
Ibid., 85–86.
[12]
Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s
Theory of Intentionality,” in John Searle and His Critics, ed. Ernest
Lepore and Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.
[13]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
112–115.
[14]
Searle, Intentionality, 140–143.
[15]
Ibid., 144–147.
[16]
Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of
Intentionality,” 296–298.
[17]
Searle, The Construction of Social Reality
(New York: Free Press, 1995), 7–9.
[18]
Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind:
The Legacy of Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 165–168.
4.
Epistemologi: Intensionalitas, Representasi,
dan Bahasa
Dalam filsafat John
Searle, epistemologi intensionalitas
berkaitan erat dengan bagaimana kesadaran manusia merepresentasikan dunia dan mengekspresikannya
melalui bahasa. Intensionalitas, bagi Searle, bukan hanya struktur ontologis
dari kesadaran, tetapi juga dasar epistemologis dari pengetahuan—karena melalui
intensionalitaslah manusia dapat mengetahui sesuatu tentang dunia.¹
Kesadaran tidak pernah bersifat netral atau kosong; ia selalu “mengarah pada”
(directed
toward) sesuatu, dan arah inilah yang memungkinkan terjadinya
representasi, penilaian, dan komunikasi. Dengan demikian, epistemologi
intensionalitas dalam pemikiran Searle bertumpu pada relasi antara mind,
world,
dan language
sebagai tiga dimensi saling terkait dari aktivitas mengetahui.
4.1.
Intensionalitas sebagai Dasar Pengetahuan
Searle menolak
pandangan bahwa pengetahuan dapat dijelaskan semata-mata melalui representasi
simbolik atau inferensi logis. Baginya, setiap pengetahuan selalu bermula dari kesadaran
yang intensional, yaitu kesadaran yang secara aktif menampilkan
dunia sebagai sesuatu yang bermakna.² Pengetahuan bukanlah hasil dari “pemotretan
pasif” terhadap realitas, melainkan aktivitas sadar yang menstrukturkan
pengalaman melalui niat dan pengenalan terhadap objeknya. Dalam Intentionality
(1983), Searle menegaskan bahwa kesadaran memiliki “arah kecocokan” (direction
of fit) yang menentukan hubungan epistemik antara pikiran dan
dunia: dalam keyakinan dan persepsi, pikiran harus “sesuai dengan dunia”
(mind-to-world
direction of fit), sedangkan dalam keinginan dan niat, dunia yang
diharapkan harus “menyesuaikan diri dengan pikiran” (world-to-mind
direction of fit).³
Konsep direction
of fit ini menjadi pilar epistemologi Searle, karena menjelaskan
bagaimana kebenaran dan makna bergantung pada jenis intensionalitas yang
bekerja dalam kesadaran. Dalam tindakan mengetahui, kesadaran berusaha
mencocokkan representasinya dengan dunia eksternal; dalam tindakan kehendak,
kesadaran justru berupaya mengubah dunia agar sesuai dengan intensinya.⁴ Dengan
demikian, pengetahuan dan tindakan memiliki dasar yang sama, yaitu
intensionalitas, tetapi berbeda dalam orientasi epistemiknya.
4.2.
Representasi Mental dan Makna Linguistik
Searle menolak
pandangan bahwa representasi mental bersifat murni simbolik atau komputasional,
seperti diasumsikan oleh para pendukung cognitive science dan artificial
intelligence.⁵ Menurutnya, representasi sejati hanya dapat muncul
dari kesadaran yang memiliki intensionalitas intrinsik, bukan
dari sistem simbol yang maknanya bersifat turunan.⁶ Pikiran manusia tidak
bekerja seperti komputer yang hanya memanipulasi tanda; pikiran memahami
tanda tersebut melalui kesadaran yang bermakna. Dengan demikian, representasi
mental tidak mungkin dipisahkan dari dimensi fenomenologis kesadaran.
Dalam kaitannya
dengan bahasa, Searle menegaskan bahwa bahasa adalah perwujudan
eksternal dari intensionalitas.⁷ Ujaran linguistik tidak
memiliki makna dengan sendirinya, melainkan memperoleh makna dari niat
penuturnya (speaker’s intention).⁸ Artinya,
bahasa tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga mengekspresikan
kesadaran penutur terhadap dunia itu. Dalam Speech Acts (1969), Searle
mengembangkan teori bahwa setiap ujaran merupakan tindakan yang mengandung niat
(illocutionary force) dan proposisi (propositional content).⁹ Misalnya, ketika
seseorang mengatakan, “Saya berjanji akan datang,” makna epistemiknya
tidak hanya ditentukan oleh kata-kata yang digunakan, tetapi juga oleh intensi
penutur untuk melakukan tindakan tertentu di masa depan.¹⁰ Oleh karena itu,
memahami bahasa berarti memahami niat yang menjiwai ujaran tersebut.
4.3.
Bahasa sebagai Sarana Epistemik
Searle menganggap
bahwa bahasa memiliki fungsi epistemik yang ganda: pertama, sebagai alat
representasi dunia; kedua, sebagai alat
komunikasi yang menghubungkan kesadaran antar-subjektif.¹¹
Melalui bahasa, intensionalitas individu diartikulasikan menjadi bentuk publik
yang dapat dipahami oleh orang lain. Proses ini memungkinkan terjadinya
pertukaran pengetahuan, pembentukan makna bersama, dan pembentukan realitas
sosial. Dalam Expression and Meaning (1979),
Searle menulis bahwa “setiap bentuk makna linguistik selalu bersumber pada
makna intensional yang ada di dalam pikiran.”¹² Bahasa adalah jembatan
antara pikiran pribadi dan dunia sosial—antara epistemologi individual dan
intersubjektivitas.
Dengan demikian,
representasi linguistik bersifat derived intentionality: ia
memperoleh maknanya dari intensionalitas pikiran manusia.¹³ Namun, setelah
makna itu dikodifikasikan dalam sistem bahasa, ia menjadi sarana objektivasi
pengetahuan. Dalam komunikasi, pendengar berusaha merekonstruksi intensi
penutur berdasarkan konteks dan aturan kebahasaan. Proses ini menunjukkan bahwa
bahasa bukan hanya media netral, tetapi struktur epistemik yang menyalurkan
pengetahuan dari satu kesadaran ke kesadaran lain.¹⁴
4.4.
Relasi Epistemik antara Pikiran, Bahasa, dan
Dunia
Dalam kerangka
epistemologi Searle, terdapat tiga relasi utama yang saling mengandaikan:
(1)
Relasi representasional
– pikiran merepresentasikan dunia melalui struktur intensional;
(2)
Relasi semantik
– bahasa mengekspresikan struktur representasional tersebut;
(3)
Relasi pragmatis
– bahasa digunakan untuk mengubah dunia melalui tindakan komunikatif.¹⁵
Dengan struktur ini,
epistemologi Searle menolak baik idealisme linguistik (yang menganggap realitas
sepenuhnya dibentuk oleh bahasa) maupun realisme empiris yang meniadakan peran
kesadaran. Ia menegaskan bahwa kebenaran dan makna hanya dapat dipahami dalam
konteks hubungan dinamis antara intensionalitas pikiran dan representasi
linguistik yang menghubungkannya dengan dunia.¹⁶
Konsekuensinya,
pengetahuan manusia tidak pernah murni objektif atau subjektif, tetapi selalu
bersifat intensional dan intersubjektif.¹⁷
Kesadaran yang mengetahui selalu mengandung arah terhadap dunia, dan bahasa
memungkinkan arah itu dikomunikasikan secara sosial. Dengan demikian,
epistemologi Searle menghadirkan model pengetahuan yang bersifat relasional:
pengetahuan muncul bukan dari penyerapan pasif atas fakta, melainkan dari
interaksi aktif antara pikiran, bahasa, dan realitas.¹⁸
4.5.
Kritik terhadap Representasionalisme dan
Implikasi Epistemik
Searle mengkritik
keras tradisi representasionalisme klasik yang memisahkan representasi dari
kesadaran, seperti tampak dalam teori-teori mental representation berbasis
komputasional.¹⁹ Ia menegaskan bahwa representasi tanpa kesadaran hanyalah
manipulasi simbol tanpa makna. Dengan kata lain, hanya makhluk yang memiliki
kesadaran intensional yang dapat memiliki beliefs, desires,
dan intentions
yang bermakna epistemik.²⁰ Kritik ini menjadi dasar bagi argumennya dalam esai
terkenal “Minds, Brains, and Programs” (1980), di mana ia membantah klaim
bahwa program komputer dapat memiliki pemahaman sejati seperti manusia—karena
tidak ada intensionalitas intrinsik di dalam sistem buatan.²¹
Dari sudut
epistemologi, implikasinya adalah bahwa pengetahuan sejati mensyaratkan kesadaran yang
memahami, bukan sekadar sistem yang memproses informasi.²²
Dengan demikian, epistemologi Searle menegaskan supremasi kesadaran manusia
sebagai pusat makna dan pengetahuan, sekaligus memperingatkan bahaya
dehumanisasi pengetahuan di era teknologi digital yang cenderung memisahkan
makna dari subjek yang mengalaminya.²³
Footnotes
[1]
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–4.
[2]
Ibid., 6–9.
[3]
Ibid., 7–9.
[4]
Ibid., 11–13.
[5]
Jerry Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975),
22–25.
[6]
Searle, Intentionality, 27–29.
[7]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.
[8]
Ibid., 51–54.
[9]
Ibid., 62–64.
[10]
Ibid., 68–70.
[11]
John R. Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 3–5.
[12]
Ibid., 7–9.
[13]
Searle, Intentionality, 30–33.
[14]
Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of
Intentionality,” in John Searle and His
Critics, ed. Ernest Lepore and
Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.
[15]
Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 7–9.
[16]
Ibid., 10–12.
[17]
Searle, Intentionality, 76–78.
[18]
Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of
Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 163–168.
[19]
Fodor, The Language of Thought, 40–45.
[20]
Searle, The Rediscovery of the
Mind (Cambridge, MA: MIT Press,
1992), 92–95.
[21]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[22]
Ibid., 423.
[23]
Searle, The Mystery of
Consciousness (New York: New York
Review Books, 1997), 27–29.
5.
Aksiologi: Nilai, Makna, dan Kesadaran
Dalam kerangka
filsafat John Searle, aksiologi intensionalitas tidak
hanya berkaitan dengan bagaimana pikiran merepresentasikan dunia, tetapi juga
bagaimana kesadaran memberi nilai dan makna
terhadap pengalaman manusia. Jika ontologi intensionalitas menjelaskan apa itu
kesadaran dan epistemologinya menjelaskan bagaimana
kesadaran mengetahui dunia, maka aksiologinya berupaya memahami mengapa
dan untuk apa kesadaran bermakna bagi manusia.¹ Dalam hal ini,
Searle menempatkan intensionalitas bukan semata sebagai struktur kognitif,
tetapi sebagai pusat dari kehidupan bermakna yang memungkinkan manusia menilai,
menafsirkan, dan bertindak secara sadar terhadap dunia dan sesama.
5.1.
Intensionalitas sebagai Sumber Makna dan Nilai
Searle berangkat
dari premis bahwa semua makna dan nilai dalam kehidupan manusia berasal dari kesadaran
yang intensional.² Tanpa intensionalitas, dunia hanyalah
kumpulan fakta fisik yang tak memiliki arti atau nilai apa pun. Hanya karena
kesadaran manusia mampu “menuju” dan “memaknai” sesuatu, dunia
menjadi berarti
dan bernilai.
Dalam kerangka biological naturalism, Searle
menegaskan bahwa kesadaran adalah fenomena biologis yang memiliki fungsi
normatif—yakni memberi orientasi nilai terhadap realitas.³ Dengan demikian,
kesadaran bukanlah entitas pasif yang sekadar mencerminkan dunia, tetapi sumber
aktif penciptaan makna yang memungkinkan penilaian moral, estetis, dan
epistemik.
Dalam konteks ini,
Searle menganggap intensionalitas sebagai basis aksiologis
kehidupan manusia.⁴ Setiap tindakan, keputusan, dan
pertimbangan etis berakar pada intensionalitas kesadaran yang mengandung
maksud, tujuan, dan pemaknaan. Kesadaran yang mampu mengatakan “ini baik,”
“ini benar,” atau “ini indah” adalah kesadaran yang telah
menstrukturkan dunia melalui orientasi nilai. Dengan demikian, nilai bukanlah
sifat objektif yang melekat pada benda, melainkan muncul dari relasi
intensional antara subjek dan objek dalam pengalaman sadar.
5.2.
Dimensi Etis dari Intensionalitas
Searle tidak
mengembangkan teori etika formal, tetapi pemikirannya tentang bahasa dan
kesadaran mengandung implikasi etis yang kuat. Melalui teori speech
acts, ia menunjukkan bahwa tindakan berbahasa adalah tindakan moral
sejauh melibatkan niat dan tanggung jawab komunikatif.⁵ Ketika seseorang
berbicara, ia tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga berkomitmen
terhadap makna yang diucapkannya. Dalam tindakan seperti berjanji, memerintah,
atau menyatakan, terdapat tanggung jawab moral yang melekat pada kesesuaian
antara intensi internal dan ekspresi linguistik eksternal.⁶
Dengan demikian,
nilai kejujuran dan autentisitas dalam komunikasi tidak dapat dilepaskan dari
struktur intensionalitas itu sendiri. Tindakan berbohong, misalnya, merupakan
bentuk distorsi terhadap intensionalitas karena melibatkan mismatch
antara niat internal dan makna linguistik yang diungkapkan.⁷ Sebaliknya,
komunikasi yang jujur mencerminkan kesatuan antara kesadaran, bahasa, dan
tindakan—suatu integritas yang menjadi dasar etika komunikasi manusiawi.
Selain itu,
intensionalitas juga memunculkan tanggung jawab epistemik: manusia yang
memiliki kesadaran intensional tidak hanya mengetahui dunia, tetapi juga menilai
dan bertanggung jawab atas pengetahuannya.⁸ Di sini, nilai
kebenaran dan kejujuran intelektual muncul sebagai ekspresi aksiologis dari
kesadaran yang memahami dirinya sebagai subjek yang terbatas, tetapi mampu
menilai dan merevisi keyakinannya.
5.3.
Intensionalitas, Interpersonalitas, dan Nilai
Sosial
Dalam The
Construction of Social Reality (1995), Searle memperluas cakupan
intensionalitas dari ranah individu ke ranah sosial melalui konsep collective
intentionality—yakni kemampuan manusia untuk memiliki niat,
keyakinan, atau tujuan bersama.⁹ Melalui intensionalitas kolektif, manusia
menciptakan dunia sosial yang sarat nilai: institusi, norma, hukum, dan
moralitas muncul bukan sebagai fakta alamiah, tetapi sebagai hasil dari
kesepakatan intensional antar-subjek.¹⁰ Dalam hal ini, nilai-nilai sosial
seperti keadilan, kesetiaan, dan solidaritas tidak bersumber dari entitas
metafisik, tetapi dari kesadaran bersama yang mengakui dan mengukuhkan realitas
sosial tertentu.¹¹
Fenomena seperti
janji, kepemilikan, atau kewajiban sosial bergantung pada status
functions, yakni struktur normatif yang dibangun melalui
kesepakatan linguistik dan kesadaran bersama.¹² Maka, bahasa berperan sebagai
medium aksiologis yang memungkinkan nilai-nilai sosial dikodifikasikan dan
diwariskan. Dengan demikian, intensionalitas tidak hanya menghasilkan
pengetahuan, tetapi juga membentuk tatanan nilai yang menopang kehidupan sosial
manusia.
5.4.
Nilai Eksistensial dan Kesadaran Diri
Searle juga mengakui
bahwa intensionalitas memiliki dimensi eksistensial, karena kesadaran
yang menyadari dirinya sebagai subjek yang bermaksud terhadap dunia adalah
kesadaran yang hidup dalam makna.¹³ Kesadaran diri
(self-awareness)
memungkinkan manusia tidak hanya menyadari dunia, tetapi juga menilai
eksistensinya sendiri. Dalam arti ini, intensionalitas mengandung potensi
reflektif yang memungkinkan pengalaman moral dan spiritual. Kesadaran tidak
hanya “tentang dunia,” tetapi juga “tentang dirinya” dalam relasi
dengan dunia.¹⁴
Dimensi ini
menegaskan bahwa nilai bukanlah konstruksi eksternal, melainkan ekspresi dari
struktur terdalam kesadaran. Ketika seseorang merenungkan makna hidup, tujuan,
atau tanggung jawabnya, ia sedang berhadapan dengan intensionalitas
eksistensial yang mengarahkan dirinya kepada nilai-nilai universal seperti
kebaikan, kebenaran, dan kebebasan.¹⁵ Dengan demikian, Searle secara implisit
menghadirkan fondasi bagi humanisme ontologis—pandangan bahwa manusia, melalui
kesadarannya yang intensional, menjadi sumber makna dan nilai dalam dunia.
5.5.
Aksiologi Humanistik: Makna dan Nilai di Era
Teknologi
Dalam konteks
kontemporer, gagasan Searle mengenai intensionalitas memiliki relevansi etis
yang besar terhadap problem dehumanisasi akibat dominasi teknologi dan
kecerdasan buatan. Jika sistem digital hanya memiliki derived
intentionality, maka segala makna yang dihasilkannya bergantung
pada manusia yang menafsirkannya.¹⁶ Hal ini berarti bahwa nilai, tanggung
jawab, dan makna tetap harus berpangkal pada kesadaran manusia yang autentik.
Upaya untuk mengalihkan tanggung jawab moral kepada sistem buatan berarti
mengabaikan sifat intensionalitas sebagai fenomena eksklusif dari kesadaran
manusia.¹⁷
Dengan demikian,
aksiologi intensionalitas Searle menegaskan bahwa nilai tertinggi dalam dunia
teknologi bukan terletak pada efisiensi atau kecerdasan sistem, melainkan pada kesadaran
manusia yang memberi makna terhadap sistem itu sendiri.¹⁸
Kesadaran manusia tetap menjadi pusat dari seluruh tatanan nilai—karena hanya
kesadaranlah yang mampu menilai, memahami, dan menciptakan makna dalam dunia
yang terus berubah.
Footnotes
[1]
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.
[2]
Ibid., 4–6.
[3]
John R. Searle, The Rediscovery of the
Mind (Cambridge, MA: MIT Press,
1992), 90–91.
[4]
Ibid., 93–95.
[5]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–18.
[6]
Ibid., 22–24.
[7]
John R. Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 31–33.
[8]
Ibid., 38–40.
[9]
John R. Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 23–25.
[10]
Ibid., 27–29.
[11]
Ibid., 35–37.
[12]
Ibid., 42–44.
[13]
Searle, The Mystery of
Consciousness (New York: New York
Review Books, 1997), 25–27.
[14]
Ibid., 28–30.
[15]
Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of
Intentionality,” in John Searle and His
Critics, ed. Ernest Lepore and
Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.
[16]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[17]
Ibid., 423.
[18]
Searle, The Rediscovery of the
Mind, 110–112.
6.
Dimensi Sosial dan Kultural dari
Intensionalitas
Dalam kerangka
filsafat John Searle, intensionalitas tidak berhenti
pada level individual atau biologis, tetapi juga meluas ke dalam dimensi sosial
dan kultural kehidupan manusia. Searle melihat bahwa kesadaran manusia bersifat
intrinsik sosial karena manusia selalu hidup dalam konteks intersubjektif di
mana makna, nilai, dan realitas dikonstruksikan bersama.¹ Oleh sebab itu,
intensionalitas tidak hanya menjelaskan bagaimana pikiran individu “mengarah”
pada dunia, tetapi juga bagaimana kelompok manusia membentuk dunia sosial
melalui kesadaran bersama (collective intentionality).² Dalam
pengertian ini, struktur sosial dan kultural tidak berdiri di luar kesadaran,
melainkan merupakan hasil dari aktivitas intensional yang
terinstitusionalisasi.
6.1.
Intensionalitas Kolektif dan Realitas Sosial
Konsep collective
intentionality adalah salah satu kontribusi paling penting
Searle terhadap filsafat sosial.³ Ia mendefinisikannya sebagai kemampuan
manusia untuk memiliki niat, keyakinan, dan tujuan yang dibagikan
bersama oleh banyak individu. Dalam karyanya The
Construction of Social Reality (1995), Searle menulis bahwa
fenomena sosial seperti uang, hukum, perkawinan, atau pemerintahan hanya ada
karena manusia bersama-sama mengakui dan menerima fungsi simbolik tertentu atas
objek atau tindakan.⁴ Misalnya, selembar kertas hanya menjadi “uang”
karena masyarakat memiliki intensi kolektif yang memberikan makna institusional
padanya—bahwa kertas tersebut berfungsi sebagai alat tukar yang sah.
Melalui
intensionalitas kolektif ini, Searle memperkenalkan struktur “status
function declaration”, yakni mekanisme linguistik yang
memungkinkan fakta sosial tercipta.⁵ Dalam pernyataan seperti “Ini adalah
uang,” atau “Saya menikahkan kalian,” bahasa tidak hanya
menggambarkan realitas, tetapi juga menciptakannya melalui pengakuan
bersama. Dengan demikian, realitas sosial adalah hasil dari tumpukan deklarasi
intensional yang dilembagakan dalam sistem norma, hukum, dan budaya.⁶ Kesadaran
kolektif inilah yang membuat institusi sosial dapat eksis secara objektif
meskipun didasarkan pada kesepakatan subjektif.
6.2.
Bahasa sebagai Medium Sosial Intensionalitas
Bahasa memainkan
peran sentral dalam menjembatani intensionalitas individual dan sosial.⁷
Melalui bahasa, makna subjektif diartikulasikan menjadi makna intersubjektif
yang dapat dibagikan dan dikukuhkan secara kolektif. Dalam Speech
Acts (1969), Searle menegaskan bahwa setiap tindak tutur (speech
act) memiliki dimensi sosial karena selalu terjadi dalam konteks
norma komunikasi bersama.⁸ Ketika seseorang berjanji, memerintah, atau memberi
izin, ia tidak hanya mengekspresikan intensinya, tetapi juga melibatkan
struktur sosial yang memberi legitimasi terhadap tindakannya.⁹
Lebih jauh, dalam Expression
and Meaning (1979), Searle menunjukkan bahwa makna linguistik
bersifat konstitutif bagi kehidupan sosial,
karena masyarakat dibentuk melalui sistem tanda yang menyimpan makna-makna
intensional secara kolektif.¹⁰ Bahasa memungkinkan manusia membangun realitas
simbolik di mana hal-hal seperti “hak”, “tanggung jawab”, atau
“otoritas” memperoleh status sosialnya.¹¹ Dengan kata lain, bahasa bukan
hanya sarana komunikasi, tetapi juga medium ontologis yang mengikat struktur
sosial dan kultural ke dalam kesadaran bersama.
Dalam konteks ini,
intensionalitas berperan ganda: secara ontologis, ia membentuk dasar
realitas sosial; secara epistemologis, ia memungkinkan
manusia memahami makna-makna sosial; dan secara aksiologis, ia menopang
nilai-nilai normatif yang berlaku di masyarakat.¹²
6.3.
Institusi, Norma, dan Kesadaran Bersama
Searle menegaskan
bahwa semua institusi sosial berakar pada collective recognition—yakni
pengakuan bersama atas fungsi simbolik tertentu.¹³ Institusi seperti
kepemilikan tanah, kewarganegaraan, atau bahkan universitas hanya dapat eksis
karena manusia secara kolektif mengakui status fungsionalnya dalam konteks
sosial tertentu. Tanpa pengakuan tersebut, institusi akan kehilangan
validitasnya.¹⁴ Oleh karena itu, kesadaran kolektif memiliki dimensi normatif
yang melekat: ia tidak hanya menyatukan makna, tetapi juga mengatur perilaku
melalui sistem nilai dan aturan sosial.
Kesadaran sosial ini
bersifat intersubjektif, bukan sekadar
agregasi dari intensi individual.¹⁵ Dalam masyarakat, individu tidak hanya
berbagi tujuan, tetapi juga berbagi keyakinan tentang struktur dunia yang
mereka tempati. Kesadaran semacam ini bersifat dinamis, karena terbentuk
melalui praktik sosial yang terus diperbarui melalui interaksi bahasa, simbol,
dan tindakan.¹⁶ Dengan demikian, intensionalitas sosial merupakan proses yang
hidup, di mana realitas dan nilai sosial selalu dinegosiasikan ulang dalam
ruang kultural.
6.4.
Dimensi Kultural: Intensionalitas dan Produksi
Makna
Selain dalam ranah
sosial, intensionalitas juga beroperasi dalam konteks kultural, yaitu dalam
proses penciptaan dan transmisi makna simbolik antar-generasi.¹⁷ Budaya, bagi
Searle, adalah ekspresi kolektif dari intensionalitas manusia yang dilembagakan
dalam bentuk simbol, ritual, bahasa, dan narasi.¹⁸ Dalam budaya, makna tidak
hanya dikomunikasikan, tetapi juga dihidupi: manusia menafsirkan dunianya
melalui kerangka simbolik yang ia warisi. Dengan demikian, intensionalitas
tidak hanya menghasilkan institusi sosial, tetapi juga horizon kultural yang
menentukan cara manusia memahami dirinya dan dunia.¹⁹
Dalam konteks ini,
tindakan seperti berdoa, berkesenian, atau merayakan upacara adat tidak dapat
dipahami semata sebagai tindakan individual; mereka adalah ekspresi dari
intensionalitas bersama yang berakar dalam sejarah dan tradisi komunitas.²⁰
Oleh karena itu, intensionalitas memiliki dimensi historis yang kuat—ia bukan
hanya arah kesadaran saat ini, tetapi juga kesinambungan makna yang diwariskan
dan ditafsirkan kembali.
6.5.
Kritik dan Relevansi Sosial Kontemporer
Beberapa pemikir,
seperti Jürgen Habermas dan Pierre
Bourdieu, mengkritik pendekatan Searle karena dianggap terlalu
menekankan kesepakatan linguistik dan mengabaikan relasi kekuasaan dalam
pembentukan makna sosial.²¹ Habermas menekankan bahwa komunikasi tidak selalu
berlangsung secara ideal; ia sering kali dibatasi oleh distorsi sistemik dan
dominasi ideologis.²² Meskipun demikian, Searle memberikan kerangka konseptual
yang kuat untuk memahami bagaimana struktur makna sosial dibangun melalui
intensionalitas dan bahasa.
Dalam era
globalisasi dan digitalisasi, konsep intensionalitas sosial menjadi semakin
relevan. Dunia maya, misalnya, menciptakan bentuk baru dari collective
intentionality di mana identitas, nilai, dan norma dibangun melalui
interaksi simbolik yang tidak terikat ruang fisik.²³ Namun, bahkan dalam ruang
virtual, realitas sosial tetap bergantung pada pengakuan bersama dan makna yang
dihasilkan oleh kesadaran manusia.²⁴ Dengan demikian, intensionalitas tetap
menjadi fondasi bagi eksistensi sosial dan kultural manusia—baik dalam dunia
nyata maupun digital.
Footnotes
[1]
John R. Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 1–3.
[2]
Ibid., 4–6.
[3]
Ibid., 23–25.
[4]
Ibid., 27–30.
[5]
Ibid., 37–40.
[6]
John R. Searle, “Social Ontology and the Philosophy of Society,” Anthropological Theory
6, no. 1 (2006): 12–14.
[7]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–48.
[8]
Ibid., 51–54.
[9]
Ibid., 61–63.
[10]
John R. Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 7–9.
[11]
Ibid., 15–17.
[12]
Searle, The Construction of
Social Reality, 43–46.
[13]
Ibid., 47–50.
[14]
Ibid., 54–56.
[15]
Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of
Intentionality,” in John Searle and His
Critics, ed. Ernest Lepore and
Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.
[16]
Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of
Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 165–167.
[17]
Clifford Geertz, The Interpretation of
Cultures (New York: Basic Books,
1973), 5–6.
[18]
Searle, The Construction of
Social Reality, 79–82.
[19]
Ibid., 86–89.
[20]
Geertz, The Interpretation of
Cultures, 12–15.
[21]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 290–293.
[22]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and
Matthew Adamson (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 37–39.
[23]
Luciano Floridi, The Onlife Manifesto:
Being Human in a Hyperconnected Era
(Berlin: Springer, 2015), 45–48.
[24]
Searle, The Mystery of
Consciousness (New York: New York
Review Books, 1997), 110–113.
7.
Kritik terhadap Konsep Intensionalitas Searle
Meskipun teori
intensionalitas John Searle memiliki kontribusi besar terhadap filsafat
pikiran, bahasa, dan sosial, berbagai kritik muncul dari beragam aliran
filsafat yang menyoroti keterbatasan ontologis, epistemologis, dan metodologis
dari pandangannya. Kritik-kritik ini datang dari berbagai arah: dari kaum
eliminativis dan materialis dalam filsafat pikiran, dari poststrukturalis dalam
filsafat bahasa, dari fenomenolog eksistensial dalam tradisi kontinental, serta
dari pemikir komunikasi dan konstruktivis sosial yang mempertanyakan aspek
intersubjektivitas dalam kerangka Searle.
7.1.
Kritik dari Perspektif Eliminativisme dan
Komputasionalisme
Salah satu kritik
paling kuat terhadap konsep intensionalitas Searle datang dari kaum eliminativis
seperti Paul dan Patricia Churchland, yang menolak keberadaan entitas mental
seperti beliefs
dan desires
sebagai kategori ilmiah yang sah.¹ Bagi mereka, istilah-istilah psikologis
dalam teori Searle hanyalah sisa dari folk psychology yang suatu saat
akan digantikan oleh deskripsi neuro-ilmiah yang lebih akurat.² Churchland
berargumen bahwa intensionalitas tidak memiliki dasar empiris yang jelas,
karena tidak ada struktur otak yang benar-benar “mengarah pada sesuatu”
dalam pengertian Searle.³
Selain itu, para
pendukung komputasionalisme seperti
Daniel Dennett mengkritik Searle karena dianggap menolak potensi kecerdasan
buatan tanpa dasar yang kuat.⁴ Dalam The Intentional Stance (1987),
Dennett berpendapat bahwa intensionalitas tidak perlu dilihat sebagai properti
ontologis dari kesadaran, melainkan sebagai cara interpretatif bagi pengamat
untuk menjelaskan perilaku sistem kompleks, baik manusia maupun mesin.⁵ Bagi
Dennett, Searle keliru karena berasumsi bahwa hanya kesadaran biologis yang
dapat memiliki intensionalitas sejati; padahal, intensionalitas cukup dipahami
sebagai strategi heuristik untuk memahami sistem rasional.⁶
Kritik ini
berimplikasi bahwa Searle terlalu menekankan aspek intrinsic intentionality dan
menolak derived
intentionality sebagai bentuk kesadaran yang sah. Dalam pandangan
komputasional, makna tidak harus bersumber pada kesadaran biologis, melainkan
dapat muncul dari relasi simbolik dalam sistem kompleks—sebuah posisi yang
Searle tolak dalam esai terkenalnya “Minds, Brains, and Programs.”⁷
7.2.
Kritik dari Perspektif Poststrukturalis dan
Linguistik
Kaum poststrukturalis,
terutama Jacques Derrida, mengkritik pandangan Searle yang dianggap terlalu
menekankan pada intention sebagai sumber makna.⁸
Dalam esainya “Signature Event Context” (1972), Derrida menolak gagasan
bahwa makna suatu ujaran dapat dikembalikan secara stabil kepada niat
penuturnya.⁹ Makna, menurut Derrida, selalu bersifat terbuka terhadap différance—penundaan
dan perbedaan dalam bahasa—sehingga tidak pernah sepenuhnya dapat dikendalikan
oleh intensionalitas individu.¹⁰
Polemik antara
Derrida dan Searle tentang teori tindak tutur (speech acts) menjadi salah satu
perdebatan paling penting dalam filsafat bahasa kontemporer.¹¹ Searle menuduh
Derrida salah memahami konteks Austinian, sedangkan Derrida menilai Searle
gagal memahami sifat iterabilitas bahasa—yaitu bahwa setiap ujaran selalu dapat
dipindahkan ke konteks baru di luar kendali penutur.¹² Kritik ini menunjukkan
bahwa teori Searle terlalu intention-centered dan kurang
mempertimbangkan dimensi struktural bahasa sebagai sistem otonom.¹³
Selain Derrida,
Pierre Bourdieu juga menyoroti keterbatasan teori tindak tutur Searle yang
mengabaikan dimensi kekuasaan dalam bahasa.¹⁴
Bourdieu berargumen bahwa tidak semua ujaran memiliki kekuatan ilokusi yang sama,
karena efektivitas ujaran bergantung pada posisi sosial penutur dalam struktur
dominasi simbolik.¹⁵ Dengan demikian, intensionalitas tidak cukup untuk
menjelaskan performativitas bahasa tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan
politik yang melingkupinya.
7.3.
Kritik dari Tradisi Fenomenologi dan
Eksistensialisme
Dari perspektif
fenomenologi kontinental, sejumlah pemikir seperti Maurice
Merleau-Ponty dan Jean-Paul Sartre menilai bahwa
intensionalitas versi Searle terlalu kognitif dan kurang mempertimbangkan tubuh
(embodiment)
serta pengalaman prareflektif.¹⁶ Merleau-Ponty, dalam Phenomenology
of Perception (1945), menegaskan bahwa kesadaran selalu tertanam
dalam dunia melalui tindakan dan persepsi tubuh, bukan sekadar representasi
mental yang bersifat proposisional.¹⁷
Sementara itu,
Sartre dalam Being and Nothingness (1943)
menekankan bahwa intensionalitas adalah ekspresi kebebasan eksistensial, bukan
hanya kemampuan biologis.¹⁸ Dengan demikian, kritik fenomenologis menganggap
Searle gagal menangkap dimensi eksistensial dan afektif dari kesadaran yang
menjadikan manusia sebagai makhluk yang bukan hanya berpikir tentang dunia,
tetapi juga mengalami dan menghayati
dunia.¹⁹
Fenomenolog menuduh
naturalisme Searle terlalu sempit karena memisahkan intensionalitas dari
horizon pengalaman yang bersifat terbuka dan historis.²⁰ Bagi mereka,
intensionalitas tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dalam kerangka biologis atau
linguistik, melainkan harus dilihat sebagai cara berada manusia dalam dunia.
7.4.
Kritik terhadap Aspek Sosial dan Intersubjektif
Meskipun Searle
berusaha menjelaskan fenomena sosial melalui konsep collective intentionality, sejumlah
pemikir sosial menilai pendekatan tersebut masih individualistik dan
atomistik.²¹ Jürgen Habermas, misalnya,
menganggap bahwa Searle gagal menangkap dimensi komunikatif dari rasionalitas
sosial.²² Dalam The Theory of Communicative Action
(1984), Habermas menegaskan bahwa tindakan sosial tidak dapat direduksi menjadi
penjumlahan niat individu, melainkan terjadi dalam jaringan komunikasi yang
diatur oleh norma-norma intersubjektif.²³
Demikian pula, John R.
Searle’s gagasan tentang status function declarations
dikritik karena terlalu menekankan kekuatan deklaratif bahasa dan kurang
memperhitungkan negosiasi sosial yang kompleks dalam pembentukan institusi.²⁴
Beberapa sosiolog konstruktivis menilai bahwa Searle bersikap terlalu “realistis”
terhadap fakta sosial, padahal banyak institusi terbentuk melalui konflik,
perbedaan kepentingan, dan kekuasaan, bukan semata pengakuan kolektif.²⁵
7.5.
Evaluasi Kritis dan Relevansi Kontemporer
Terlepas dari
berbagai kritik tersebut, teori intensionalitas Searle tetap memiliki daya
hidup filosofis yang besar karena menawarkan sintesis metodologis antara
fenomenologi dan filsafat analitik.²⁶ Namun, secara kritis dapat dikatakan
bahwa posisi Searle masih menghadapi tiga tantangan utama:
(1)
Bagaimana menjelaskan hubungan
antara kesadaran subjektif dan sistem simbolik tanpa jatuh ke dalam
reduksionisme biologis?
(2)
Bagaimana mengintegrasikan dimensi
sosial dan politik dari bahasa tanpa mengorbankan peran kesadaran individual?
(3)
Bagaimana mempertahankan konsep
makna dan nilai di tengah perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan yang
semakin otonom dari kesadaran manusia?²⁷
Kritik-kritik
tersebut tidak hanya memperlihatkan kelemahan teori Searle, tetapi juga membuka
ruang dialog lintas tradisi antara fenomenologi, analitik, dan teori sosial
kritis.²⁸ Dengan demikian, meskipun konsep intensionalitas Searle belum
sempurna, ia tetap menjadi titik referensi penting untuk memahami hubungan
antara pikiran, bahasa, dan dunia sosial dalam filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Paul M. Churchland, Matter
and Consciousness (Cambridge, MA:
MIT Press, 1988), 43–46.
[2]
Patricia S. Churchland, Neurophilosophy:
Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 15–18.
[3]
Paul M. Churchland, The
Engine of Reason, The Seat of the Soul
(Cambridge, MA: MIT Press, 1995), 87–89.
[4]
Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 45–48.
[5]
Daniel C. Dennett, The Intentional Stance (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 3–5.
[6]
Ibid., 15–17.
[7]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[8]
Jacques Derrida, “Signature Event Context,” in Margins of Philosophy,
trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 307–330.
[9]
Ibid., 309–311.
[10]
Ibid., 318–320.
[11]
John R. Searle, “Reiterating the Differences: A Reply to Derrida,” Glyph 1 (1977):
198–208.
[12]
Derrida, “Signature Event Context,” 324–327.
[13]
Jonathan Culler, On Deconstruction:
Theory and Criticism after Structuralism (Ithaca: Cornell University Press, 1982), 95–97.
[14]
Pierre Bourdieu, Language and Symbolic
Power, trans. Gino Raymond and
Matthew Adamson (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 37–39.
[15]
Ibid., 45–47.
[16]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 1962), 84–86.
[17]
Ibid., 87–89.
[18]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical
Library, 1956), 23–26.
[19]
Ibid., 27–28.
[20]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still
Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 240–243.
[21]
John R. Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 27–29.
[22]
Jürgen Habermas, The Theory of
Communicative Action, trans. Thomas
McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 295–297.
[23]
Ibid., 301–304.
[24]
Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of
Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 165–167.
[25]
Nancy Fraser, “Rethinking the Public Sphere,” Social Text 25/26
(1990): 56–58.
[26]
John R. Searle, The Rediscovery of the
Mind (Cambridge, MA: MIT Press,
1992), 92–95.
[27]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 110–113.
[28]
Robert Van Gulick, “Searle, Intentionality, and the Mind-Body Problem,”
in John Searle and His Critics, ed. Ernest Lepore and Robert Van Gulick (Oxford:
Blackwell, 1991), 309–312.
8.
Relevansi Kontemporer: Intensionalitas di Era
Digital dan AI
Konsep intensionalitas
yang dikembangkan John Searle memperoleh relevansi baru dalam konteks era
digital dan perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Di tengah meluasnya penggunaan sistem cerdas, algoritma, dan agen digital yang
meniru perilaku manusia, muncul pertanyaan mendasar: apakah sistem buatan dapat
memiliki kesadaran, makna, atau niat seperti manusia? Pertanyaan ini
mengembalikan perdebatan klasik mengenai hubungan antara kesadaran,
representasi, dan makna, yang merupakan inti dari teori intensionalitas
Searle.¹
8.1.
Intensionalitas dan Problem Kesadaran Buatan
Searle secara tegas
menolak pandangan bahwa sistem komputer dapat memiliki intensionalitas
intrinsik. Dalam esainya yang terkenal, “Minds,
Brains, and Programs” (1980), ia memperkenalkan Argumen
Ruang Cina (Chinese Room Argument) untuk menunjukkan bahwa
komputer dapat mensimulasikan pemahaman bahasa
tanpa benar-benar memahami makna dari simbol yang ia
proses.² Menurut Searle, meskipun komputer dapat memanipulasi simbol sesuai
dengan aturan sintaksis, ia tidak memiliki akses terhadap dimensi semantik dan
fenomenologis dari pengalaman manusia.³ Dengan demikian, sistem AI hanya
memiliki intensionalitas turunan (derived
intentionality)—yakni makna yang diberikan oleh manusia sebagai
pengguna atau pengamat—bukan intensionalitas intrinsik (intrinsic
intentionality) yang timbul dari kesadaran sejati.⁴
Argumen ini memiliki
implikasi filosofis yang mendalam di era digital. Ketika AI seperti chatbots,
language
models, atau autonomous systems meniru perilaku
manusia, Searle mengingatkan bahwa peniruan tersebut tidak berarti pemahaman.⁵
Mesin tidak memiliki beliefs, desires,
atau intentions
dalam arti sebenarnya; ia hanya menjalankan program yang diciptakan manusia
untuk menghasilkan keluaran yang terlihat bermakna. Dalam
terminologi Searle, makna yang dihasilkan sistem digital sepenuhnya bersifat as if—yakni
“seolah-olah” bermakna, tetapi tidak pernah benar-benar memiliki
kesadaran yang memahami makna itu sendiri.⁶
8.2.
Relevansi terhadap Filsafat Pikiran dan Etika
Teknologi
Konsep
intensionalitas Searle menjadi sangat relevan bagi filsafat
pikiran kontemporer yang berhadapan dengan klaim “kesadaran
buatan”.⁷ Searle menegaskan bahwa kesadaran tidak dapat direduksi menjadi
komputasi, karena kesadaran memiliki subjective ontology—suatu dimensi
pengalaman batin yang tidak dapat direpresentasikan dalam bentuk simbol
formal.⁸ Maka, meskipun teknologi dapat memperluas kapasitas kognitif manusia,
ia tidak dapat menggantikan dimensi fenomenologis dari intensionalitas yang
berakar pada tubuh biologis dan pengalaman manusiawi.
Relevansi lain
terletak pada etika teknologi. Pemikiran
Searle mengingatkan bahwa nilai dan makna dalam teknologi tidak inheren dalam
sistem digital itu sendiri, melainkan bersumber dari kesadaran dan intensi
manusia yang menggunakannya.⁹ Misalnya, ketika algoritma menentukan perilaku
pengguna media sosial, keputusan etis tidak dapat dibebankan pada sistem itu
sendiri, melainkan pada manusia yang merancang, melatih, dan
menginterpretasikan sistem tersebut.¹⁰ Searle secara implisit menegaskan bahwa
tanggung jawab moral dan epistemik tetap terletak pada manusia sebagai
satu-satunya makhluk yang memiliki intensionalitas sejati.¹¹
8.3.
Intensionalitas dan Representasi Digital
Dalam konteks
digital, representasi tidak lagi terbatas pada bahasa alami, tetapi juga
mencakup kode, gambar, data, dan algoritma. Hal ini menimbulkan tantangan baru
terhadap teori intensionalitas, karena representasi digital sering kali
beroperasi tanpa kesadaran manusia secara langsung.¹² Namun, mengikuti
pandangan Searle, representasi digital tetap bersifat turunan: maknanya muncul
karena manusia menafsirkan simbol atau hasil komputasi tersebut sebagai sesuatu
yang bermakna.¹³
Sebagai contoh,
algoritma pembelajaran mesin (machine learning) “mengenali” pola dalam
data bukan karena ia memahami pola itu, melainkan karena sistem dirancang untuk
mengoptimalkan fungsi tertentu yang diinterpretasikan manusia sebagai “pengenalan.”¹⁴
Searle menolak gagasan bahwa pattern recognition dalam AI setara
dengan pemahaman konseptual manusia, karena tidak ada kesadaran yang mengaitkan
simbol-simbol tersebut dengan dunia eksternal.¹⁵ Dengan kata lain, mesin tidak
memiliki aboutness
yang sejati—ia tidak “memikirkan” apa pun, meski hasil tindakannya tampak
seperti berpikir.¹⁶
8.4.
Intensionalitas Kolektif dalam Dunia Digital
Meskipun sistem
digital tidak memiliki intensionalitas intrinsik, dunia digital telah
menciptakan bentuk baru dari intensionalitas kolektif manusia.¹⁷
Media sosial, komunitas daring, dan ruang virtual memungkinkan terbentuknya
struktur makna sosial yang muncul dari interaksi antar-kesadaran manusia
melalui medium teknologi. Dalam konteks ini, Searle memberikan kerangka
konseptual penting untuk memahami bagaimana dunia digital menjadi ruang konstruksi
sosial baru, di mana makna, nilai, dan identitas dibangun
melalui kesepakatan simbolik dan tindakan komunikasi.¹⁸
Misalnya, ketika
masyarakat sepakat bahwa simbol “verified badge” di media sosial
menunjukkan kredibilitas, mereka sedang membentuk realitas sosial digital
melalui collective
intentionality—yakni pengakuan bersama terhadap status simbolik
tertentu.¹⁹ Dunia digital, dengan demikian, bukan menciptakan intensionalitas
baru pada mesin, tetapi memperluas ruang bagi ekspresi intensionalitas manusia
dalam bentuk yang semakin kompleks dan global.²⁰
8.5.
Menuju Etika Humanistik di Era AI
Dari perspektif
aksiologis, konsep intensionalitas Searle menuntun kita pada sebuah etika
humanistik yang berpusat pada kesadaran manusia.²¹ Teknologi,
menurut Searle, harus dipahami sebagai ekstensi dari intensionalitas manusia,
bukan pengganti kesadaran itu sendiri.²² Dalam konteks ini, tugas filsafat dan
etika kontemporer adalah memastikan bahwa perkembangan AI tidak mengaburkan
batas antara pemahaman sejati dan simulasi makna.²³
Prinsip dasar yang
dapat ditarik dari pemikiran Searle adalah bahwa makna, nilai, dan tanggung
jawab moral tidak dapat didelegasikan kepada sistem yang tidak sadar.²⁴
Kemanusiaan harus tetap menjadi pusat orientasi dalam desain dan penggunaan
teknologi. Dengan demikian, relevansi kontemporer intensionalitas terletak pada
kemampuannya untuk mempertahankan dimensi manusiawi dalam dunia yang semakin
didominasi oleh representasi buatan, data, dan algoritma.²⁵
Searle mengingatkan
kita bahwa hanya melalui kesadaran intensional manusia—yang memiliki arah,
makna, dan nilai—teknologi dapat berfungsi secara etis dan bermakna.²⁶ Tanpa
kesadaran yang memahami, dunia digital akan kehilangan dasar eksistensialnya:
ia akan menjadi sistem tanpa makna, simbol tanpa pemaknaan, dan tindakan tanpa
tujuan.
Footnotes
[1]
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.
[2]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[3]
Ibid., 420–422.
[4]
Searle, Intentionality, 27–29.
[5]
Searle, The Rediscovery of the
Mind (Cambridge, MA: MIT Press,
1992), 90–93.
[6]
Ibid., 95–97.
[7]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In
Search of a Fundamental Theory
(Oxford: Oxford University Press, 1996), 2–5.
[8]
Searle, The Mystery of
Consciousness (New York: New York
Review Books, 1997), 23–25.
[9]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 89–91.
[10]
Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 52–54.
[11]
Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 35–37.
[12]
Katherine Hayles, How We Became
Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 30–33.
[13]
Searle, Intentionality, 30–33.
[14]
Margaret A. Boden, Artificial
Intelligence: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 48–50.
[15]
Searle, The Rediscovery of the
Mind, 112–115.
[16]
Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 430–432.
[17]
John R. Searle, The Construction of
Social Reality, 90–93.
[18]
Barry Smith, “Ontology and the Philosophy of Mind: The Legacy of
Brentano,” Topoi 14, no. 2 (1995): 165–167.
[19]
Luciano Floridi, The Onlife Manifesto:
Being Human in a Hyperconnected Era
(Berlin: Springer, 2015), 45–48.
[20]
Manuel Castells, The Rise of the Network
Society (Oxford: Blackwell, 2010),
122–125.
[21]
Searle, The Mystery of
Consciousness, 27–30.
[22]
Ibid., 31–33.
[23]
Floridi, The Ethics of
Information, 94–96.
[24]
Searle, The Rediscovery of the
Mind, 120–123.
[25]
Shannon Vallor, Technology and the
Virtues, 60–63.
[26]
Searle, Intentionality, 145–147.
9.
Sintesis Filosofis: Menuju Konsep
Intensionalitas Humanistik
Setelah menelusuri
dimensi ontologis, epistemologis, aksiologis, dan sosial dari pemikiran John
Searle mengenai intensionalitas, kita sampai
pada titik reflektif yang memungkinkan pembentukan suatu sintesis
filosofis—yakni upaya untuk memahami intensionalitas bukan
semata sebagai struktur kesadaran atau fungsi biologis, melainkan sebagai modus
eksistensi manusia yang humanistik, yang menyatukan makna, nilai,
dan tanggung jawab dalam satu horizon kesadaran yang utuh. Sintesis ini
berupaya menjembatani antara pandangan naturalistik Searle dengan pandangan
fenomenologis dan eksistensialis yang lebih menekankan pada pengalaman hidup
manusia yang bermakna, serta mengintegrasikan relevansi etis dan sosialnya
dalam dunia modern.
9.1.
Integrasi antara Biologis dan Humanistik
Searle menegaskan
bahwa kesadaran dan intensionalitas adalah fenomena biologis yang muncul dari
sistem saraf manusia—suatu posisi yang ia sebut biological naturalism.¹ Namun,
pendekatan ini tidak harus dipahami secara reduksionistik. Dalam konteks
humanisme, pandangan biologis tersebut justru dapat dilihat sebagai pengakuan
terhadap keunikan manusia sebagai makhluk hidup yang sadar dan bermakna.²
Intensionalitas biologis bukan sekadar mekanisme representasional, tetapi dasar
dari pengalaman
hidup yang membuat manusia mampu menciptakan nilai, bahasa, dan
kebudayaan.³
Dengan demikian,
sintesis humanistik terhadap intensionalitas memandang kesadaran bukan hanya
hasil evolusi biologis, tetapi juga puncak refleksi eksistensial
manusia tentang dirinya dan dunia. Ia menandai kemampuan manusia untuk mengubah
fakta menjadi makna, dan realitas fisik menjadi dunia simbolik.⁴ Kesadaran
intensional manusia tidak hanya “mengetahui” dunia, tetapi juga “menghidupi”
dan “memaknainya”—suatu ciri yang menempatkan manusia sebagai subjek
moral, kreatif, dan reflektif.
9.2.
Kesadaran, Makna, dan Relasi Etis
Dalam kerangka ini, intensionalitas
humanistik mengandung dimensi etis: kesadaran yang mengarah
pada dunia selalu mengandung tanggung jawab terhadap dunia itu.⁵ Searle, dalam
teori speech
acts-nya, telah menunjukkan bahwa tindakan berbahasa selalu
disertai komitmen ilokusioner yang menuntut kejujuran, keotentikan, dan
tanggung jawab moral.⁶ Melalui bahasa, intensionalitas menjadi ruang etis di
mana manusia tidak hanya mengekspresikan dirinya, tetapi juga menjalin relasi
dengan orang lain.
Pendekatan
humanistik terhadap intensionalitas menekankan bahwa makna sejati tidak lahir
dari kesadaran yang terisolasi, tetapi dari intersubjektivitas—yakni relasi
timbal balik antar-kesadaran yang saling memahami dan mengakui.⁷ Dalam
komunikasi, intensionalitas menjadi jembatan empatik yang memungkinkan manusia
memasuki pengalaman orang lain. Di sinilah makna dan nilai memperoleh
signifikansi humanistiknya: makna bukan hanya struktur semantik, melainkan
perwujudan pengakuan terhadap martabat dan kebebasan manusia lain.⁸
Dengan demikian,
intensionalitas bukan hanya hubungan “kognitif” antara subjek dan objek,
tetapi juga relasi etis antara subjek dan sesama subjek. Kesadaran manusia
tidak hanya mengarah pada dunia yang diketahui, tetapi juga pada dunia yang
dihidupi bersama—dunia yang menuntut penghargaan, solidaritas, dan tanggung
jawab moral.
9.3.
Bahasa sebagai Medium Humanisasi
Dalam sintesis ini, bahasa
menempati posisi sentral sebagai medium di mana intensionalitas manusia
diwujudkan secara konkret. Searle menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar sistem
tanda, melainkan tindakan bermakna yang mengandung niat (intention)
dan makna (meaning).⁹
Dengan kata lain, bahasa adalah bentuk intensionalitas yang paling manusiawi—ia
menampakkan bagaimana kesadaran internal menjadi ekspresi eksternal yang dapat
dimengerti dan direspons oleh orang lain.¹⁰
Dari perspektif humanistik,
tindakan berbahasa merupakan wujud keterbukaan manusia terhadap dunia dan
terhadap sesama.¹¹ Melalui ujaran, manusia meneguhkan keberadaannya di dunia
sosial dan menanamkan nilai-nilai yang menjadi dasar kebersamaan. Dalam hal
ini, intensionalitas dan bahasa saling memperkuat: intensionalitas memberikan
arah dan makna pada ujaran, sementara bahasa memberi bentuk sosial dan
komunikatif pada kesadaran.¹²
Maka, “intensionalitas
humanistik” bukan hanya tentang berpikir atau mengetahui, melainkan tentang
berkomunikasi
secara bermakna—suatu proses dialogis di mana manusia membentuk
dunia bersama melalui makna yang disepakati dan nilai yang dihidupi.¹³ Bahasa
yang humanistik bukanlah alat dominasi, melainkan wahana partisipasi dan
pemahaman bersama.
9.4.
Intensionalitas dan Dunia Sosial-Kultural
Konsep collective
intentionality Searle memberikan landasan bagi pemahaman bahwa
realitas sosial merupakan hasil dari kesadaran bersama yang dilembagakan.¹⁴
Namun, pendekatan humanistik memperluasnya: kesadaran kolektif bukan hanya
kesepakatan fungsional, melainkan ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang
membentuk kebudayaan.¹⁵ Budaya, dalam perspektif ini, dapat dipahami sebagai
ruang ekspresi intensionalitas manusia dalam bentuk simbol, seni, ilmu
pengetahuan, dan etika.
Manusia menciptakan
dunia sosial bukan semata untuk efisiensi, tetapi untuk mengartikulasikan makna
hidup bersama.¹⁶ Oleh karena itu, intensionalitas humanistik menolak pandangan
teknokratis yang melihat dunia sosial sebagai sistem fungsi, dan menggantinya dengan
pandangan dialogis yang melihat masyarakat sebagai komunitas makna.¹⁷ Dunia
sosial adalah jaringan intensionalitas yang hidup—dibentuk oleh kepercayaan,
komitmen, dan imajinasi manusia yang terus-menerus diperbarui.
Sintesis Eksistensial: Manusia sebagai Makhluk
Intensional
Dalam arti yang
paling mendalam, intensionalitas humanistik
dapat dipahami sebagai dasar dari eksistensi manusia itu sendiri. Kesadaran
yang intensional berarti bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah netral
terhadap dunia—ia selalu berada dalam hubungan makna, tujuan, dan nilai.¹⁸
Dengan kesadarannya, manusia bukan hanya bagian dari dunia, tetapi juga
pencipta dunia maknanya sendiri.¹⁹
Searle telah membuka
jalan menuju pemahaman ini dengan menolak reduksionisme materialis dan
menegaskan bahwa kesadaran memiliki status ontologis yang khas.²⁰ Namun,
pendekatan humanistik memperluas horizon tersebut: kesadaran yang bermakna
tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia berpikir, tetapi juga mengapa ia
hidup, bertindak, dan berkomitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan.²¹
Oleh karena itu,
intensionalitas humanistik dapat dirumuskan sebagai kesadaran yang terarah pada
dunia dan
bertanggung jawab terhadap dunia. Ia merupakan struktur dasar dari keberadaan
manusia yang rasional, moral, dan komunikatif.²² Dalam kerangka ini, filsafat
Searle menemukan elaborasi etik dan eksistensialnya: manusia sebagai makhluk
yang tidak hanya berpikir tentang dunia, tetapi juga menghidupi
dan memaknainya
dengan kasih, dialog, dan tanggung jawab.
Footnotes
[1]
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.
[2]
John R. Searle, The Rediscovery of the
Mind (Cambridge, MA: MIT Press,
1992), 90–92.
[3]
Ibid., 94–95.
[4]
Searle, The Mystery of Consciousness (New York: New York Review Books, 1997), 23–25.
[5]
Ibid., 26–28.
[6]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.
[7]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a
Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff,
1982), 109–111.
[8]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s
Sons, 1970), 54–56.
[9]
John R. Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 7–9.
[10]
Ibid., 15–17.
[11]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 61–63.
[12]
Searle, Speech Acts, 62–64.
[13]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy
(Boston: Beacon Press, 1984), 286–288.
[14]
John R. Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 27–30.
[15]
Ibid., 42–44.
[16]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 36–39.
[17]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 301–303.
[18]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical
Library, 1956), 27–30.
[19]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology
of Perception, trans. Colin Smith
(London: Routledge, 1962), 86–89.
[20]
Searle, The Rediscovery of the
Mind, 110–113.
[21]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 98–100.
[22]
Searle, Intentionality, 145–147.
10.
Kesimpulan
Konsep intensionalitas
dalam pemikiran John Searle merupakan salah satu pilar utama dalam filsafat
pikiran dan bahasa kontemporer. Melalui kajian yang luas dan interdisipliner,
Searle berhasil menyatukan tradisi analitik dan fenomenologis ke dalam satu
kerangka pemahaman tentang kesadaran sebagai fenomena biologis, epistemologis,
dan sosial yang bermakna.¹ Dalam pandangan Searle, intensionalitas tidak hanya
menjelaskan bagaimana pikiran manusia mengarah pada dunia, tetapi juga
mengungkapkan bagaimana makna, nilai, dan realitas sosial diciptakan melalui
kesadaran yang sadar akan dirinya dan lingkungannya.²
10.1.
Intensionalitas sebagai Ciri Ontologis
Kesadaran
Secara ontologis,
Searle menegaskan bahwa intensionalitas merupakan sifat esensial dari
kesadaran: setiap keadaan mental bersifat about something, memiliki arah atau
rujukan terhadap dunia eksternal maupun internal.³ Konsepsi ini menolak dua
ekstrem filsafat modern—yakni dualism Cartesian, yang
memisahkan pikiran dari tubuh, dan reduksionisme materialis, yang
menafsirkan pikiran sebagai sekadar hasil proses fisik.⁴ Dengan pendekatan biological
naturalism, Searle menempatkan kesadaran sebagai fenomena biologis
yang bersifat emergen, yakni muncul dari struktur otak manusia namun tidak
dapat direduksi menjadi penjelasan neurofisiologis semata.⁵ Dalam kerangka ini,
intensionalitas merupakan bentuk hubungan ontologis yang unik antara organisme
sadar dan dunia yang dihayatinya.⁶
10.2.
Dimensi Epistemologis: Makna dan Representasi
Secara
epistemologis, Searle memahami intensionalitas sebagai dasar dari kemampuan
representasional manusia.⁷ Melalui intensionalitas, kesadaran tidak hanya memotret
dunia, tetapi juga menafsirkan dan memberi
makna padanya. Bahasa berfungsi sebagai eksternalisasi dari
struktur intensional ini, menjembatani antara pikiran dan realitas sosial.⁸
Dengan teori speech acts-nya, Searle menunjukkan
bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi tindakan bermakna yang
mengandung niat dan tanggung jawab.⁹ Melalui bahasa, manusia dapat
mengekspresikan intensinya dan membangun dunia sosial bersama.¹⁰
Epistemologi Searle
juga menolak pandangan bahwa representasi linguistik dapat berdiri sendiri
tanpa kesadaran.¹¹ Setiap ujaran bermakna karena mengandung niat penutur yang
sadar. Tanpa intensionalitas, simbol-simbol hanyalah bentuk kosong tanpa makna.
Dalam konteks ini, pengetahuan manusia tidak hanya merupakan hasil dari representasi
logis, tetapi juga manifestasi dari kesadaran yang mengandung arah, maksud, dan
nilai.¹²
10.3.
Dimensi Aksiologis: Makna, Nilai, dan Tanggung
Jawab
Dari segi aksiologi,
Searle memberikan dasar filosofis bagi pemahaman tentang nilai dan tanggung
jawab moral.¹³ Kesadaran intensional memungkinkan manusia bukan hanya untuk
mengetahui, tetapi juga untuk menilai. Dalam setiap
tindakan—terutama tindakan berbahasa—terkandung komitmen moral terhadap
kebenaran, kejujuran, dan autentisitas.¹⁴ Dengan demikian, etika komunikasi
menjadi ekspresi konkret dari intensionalitas manusia yang bertanggung jawab
terhadap makna yang ia ciptakan.¹⁵
Selain itu, konsep collective
intentionality Searle menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial dan
institusi manusia dibangun melalui kesepakatan makna dan pengakuan bersama.¹⁶
Fakta sosial seperti hukum, uang, atau kewajiban moral tidak memiliki realitas
fisik, melainkan eksis karena intensionalitas kolektif manusia yang mengakui
dan meneguhkannya.¹⁷ Oleh karena itu, intensionalitas menjadi dasar bagi
terbentuknya dunia normatif yang mengatur kehidupan bersama.
10.4.
Dimensi Sosial dan Kultural: Kesadaran yang
Intersubjektif
Searle menempatkan
intensionalitas dalam konteks sosial dengan menekankan bahwa kesadaran manusia
tidak pernah sepenuhnya individual, tetapi selalu terjalin dalam intersubjektivitas.¹⁸
Bahasa, budaya, dan institusi sosial adalah hasil dari intensionalitas kolektif
yang membentuk dunia simbolik manusia. Melalui mekanisme status
function declarations, Searle menjelaskan bagaimana realitas sosial
dibentuk secara linguistik melalui tindakan deklaratif yang diakui bersama.¹⁹
Namun, dimensi
sosial intensionalitas ini juga menegaskan nilai-nilai kemanusiaan yang
mendasarinya. Manusia membangun dunia sosial bukan hanya karena kebutuhan praktis,
tetapi karena dorongan makna untuk hidup bersama.²⁰ Dengan demikian,
intensionalitas menjadi jembatan antara struktur biologis kesadaran dan
struktur simbolik kebudayaan.
10.5.
Relevansi Kontemporer: Intensionalitas di Era
Teknologi dan AI
Dalam konteks abad
ke-21, teori intensionalitas Searle memberikan kerangka kritis untuk memahami
fenomena teknologi dan kecerdasan buatan.²¹ Ia menegaskan bahwa meskipun sistem
digital dapat meniru perilaku manusia, mereka tidak memiliki kesadaran atau
intensionalitas intrinsik.²² AI hanya memiliki makna sejauh manusia
memberikannya, karena makna sejati menuntut kesadaran yang memahami—bukan
sekadar menghitung.²³
Dengan demikian,
relevansi kontemporer intensionalitas terletak pada pembelaannya terhadap dimensi
humanistik dalam dunia yang semakin terotomatisasi.²⁴ Searle
menegaskan bahwa makna, nilai, dan tanggung jawab moral tidak dapat
didelegasikan kepada mesin atau algoritma; mereka tetap berpangkal pada
kesadaran manusia yang memiliki arah, maksud, dan refleksi etis terhadap
dunia.²⁵
Sintesis Humanistik: Kesadaran sebagai Ruang
Makna
Secara sintesis,
konsep intensionalitas dalam pemikiran Searle mengarah pada pandangan humanistik
tentang kesadaran: bahwa menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang sadar
akan dunia dan dirinya, yang mampu menciptakan dan menafsirkan makna.²⁶
Intensionalitas menghubungkan manusia dengan dunia melalui pemahaman, nilai,
dan komunikasi—tiga unsur yang mendefinisikan hakikat eksistensi manusia.²⁷
Kesadaran yang
intensional adalah kesadaran yang bermoral, komunikatif, dan reflektif; ia
mengandung kebebasan sekaligus tanggung jawab terhadap makna yang
diciptakannya.²⁸ Dalam dunia yang semakin digital dan kompleks, gagasan Searle
menjadi pengingat filosofis bahwa humanitas terletak pada kemampuan untuk memberi
makna, bukan sekadar memproses informasi.²⁹
Maka, intensionalitas
humanistik dapat dipahami sebagai sintesis antara biologi
dan makna, pikiran dan dunia, serta individu
dan masyarakat. Ia menegaskan bahwa manusia bukan hanya
pengamat dunia, tetapi juga pencipta dunia makna—makhluk yang berpikir,
berbahasa, dan bertindak dengan kesadaran yang penuh arah, makna, dan nilai.³⁰
Footnotes
[1]
John R. Searle, Intentionality: An
Essay in the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–3.
[2]
Ibid., 7–9.
[3]
Ibid., 27–29.
[4]
John R. Searle, The Rediscovery of the
Mind (Cambridge, MA: MIT Press,
1992), 90–92.
[5]
Ibid., 94–97.
[6]
Searle, Intentionality, 85–86.
[7]
Ibid., 100–103.
[8]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language
(Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 45–47.
[9]
Ibid., 51–53.
[10]
John R. Searle, Expression and Meaning:
Studies in the Theory of Speech Acts
(Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 7–9.
[11]
Ibid., 15–17.
[12]
Searle, The Rediscovery of the
Mind, 120–122.
[13]
Searle, Expression and Meaning, 25–27.
[14]
Ibid., 30–33.
[15]
Ibid., 38–40.
[16]
John R. Searle, The Construction of
Social Reality (New York: Free
Press, 1995), 23–25.
[17]
Ibid., 42–44.
[18]
Ibid., 47–49.
[19]
Ibid., 50–53.
[20]
Hubert L. Dreyfus, “The Background in Searle’s Theory of
Intentionality,” in John Searle and His
Critics, ed. Ernest Lepore and
Robert Van Gulick (Oxford: Blackwell, 1991), 289–292.
[21]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–424.
[22]
Ibid., 420–422.
[23]
Searle, The Mystery of
Consciousness (New York: New York
Review Books, 1997), 23–25.
[24]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 110–112.
[25]
Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 54–56.
[26]
Searle, Intentionality, 145–147.
[27]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 36–38.
[28]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of
Chicago Press, 1992), 60–63.
[29]
Searle, The Rediscovery of the
Mind, 125–127.
[30]
Searle, The Construction of
Social Reality, 90–92.
Daftar Pustaka
Buku dan Artikel Utama oleh John R. Searle
Searle, J. R. (1969). Speech
acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University
Press.
Searle, J. R. (1979). Expression
and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge
University Press.
Searle, J. R. (1980).
Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3),
417–424. doi.org
Searle, J. R. (1983). Intentionality:
An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1992). The
rediscovery of the mind. MIT Press.
Searle, J. R. (1995). The
construction of social reality. Free Press.
Searle, J. R. (1997). The
mystery of consciousness. New York Review Books.
Searle, J. R. (2006).
Social ontology and the philosophy of society. Anthropological Theory,
6(1), 12–29. doi.org
Searle, J. R. (1977).
Reiterating the differences: A reply to Derrida. Glyph, 1,
198–208.
Karya Filosofis dan Referensi Sekunder
Aristotle. (1961). De
anima (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.
Aquinas, T. (1947). Summa
theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.).
Benziger Bros.
Barry, S. (1995). Ontology
and the philosophy of mind: The legacy of Brentano. Topoi, 14(2),
163–171. doi.org
Boden, M. A. (2018). Artificial
intelligence: A very short introduction. Oxford University Press.
Bourdieu, P. (1991). Language
and symbolic power (G. Raymond & M. Adamson, Trans.). Harvard
University Press.
Brentano, F. (1995). Psychology
from an empirical standpoint (A. C. Rancurello, D. B. Terrell,
& L. L. McAlister, Trans.). Routledge.
Buber, M. (1970). I
and thou (W. Kaufmann, Trans.). Charles Scribner’s Sons.
Castells, M. (2010). The
rise of the network society (2nd ed.). Blackwell.
Chalmers, D. J. (1996). The
conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford
University Press.
Churchland, P. M. (1988). Matter
and consciousness. MIT Press.
Churchland, P. M. (1995). The
engine of reason, the seat of the soul. MIT Press.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy:
Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.
Culler, J. (1982). On
deconstruction: Theory and criticism after structuralism. Cornell
University Press.
Dennett, D. C. (1987). The
intentional stance. MIT Press.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness
explained. Little, Brown.
Derrida, J. (1982).
Signature event context. In A. Bass (Trans.), Margins of philosophy
(pp. 307–330). University of Chicago Press.
Dreyfus, H. L. (1991). The
background in Searle’s theory of intentionality. In E. Lepore & R. Van
Gulick (Eds.), John Searle and his critics
(pp. 289–312). Blackwell.
Dreyfus, H. L. (1992). What
computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT
Press.
Floridi, L. (2013). The
ethics of information. Oxford University Press.
Floridi, L. (2015). The
onlife manifesto: Being human in a hyperconnected era. Springer.
Fodor, J. A. (1975). The
language of thought. Harvard University Press.
Fraser, N. (1990).
Rethinking the public sphere. Social Text, 25/26, 56–80. doi.org
Frege, G. (1892). Über Sinn
und Bedeutung. Zeitschrift für Philosophie und philosophische
Kritik, 100, 25–50.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth
and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.).
Continuum.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. Basic Books.
Habermas, J. (1984). The
theory of communicative action (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.
Hayles, K. N. (1999). How
we became posthuman: Virtual bodies in cybernetics, literature, and
informatics. University of Chicago Press.
Husserl, E. (1982). Ideas
pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy
(F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.
Husserl, E. (2001). Logical
investigations (J. N. Findlay, Trans.). Routledge.
Levinas, E. (1969). Totality
and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Martinus
Nijhoff.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology
of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Ricoeur, P. (1992). Oneself
as another (K. Blamey, Trans.). University of Chicago Press.
Russell, B. (1905). On
denoting. Mind, 14(56), 479–493. mind
Sartre, J.-P. (1956). Being
and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.
Smith, B. (1995). Ontology
and the philosophy of mind: The legacy of Brentano. Topoi, 14(2),
163–171. doi.org
Taylor, C. (1989). Sources
of the self: The making of the modern identity. Harvard University
Press.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting.
Oxford University Press.
Van Gulick, R. (1991).
Searle, intentionality, and the mind-body problem. In E. Lepore & R. Van
Gulick (Eds.), John Searle and his critics
(pp. 309–312). Blackwell.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar