Kebajikan (Arete)
Jalan Tengah Menuju Kehidupan Baik (Eudaimonia)
Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep kebajikan
(arete) dalam etika Aristoteles sebagai fondasi filosofis bagi
pencarian kehidupan baik (eudaimonia). Melalui pendekatan historis,
ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tulisan ini menyoroti bahwa kebajikan
bagi Aristoteles bukan sekadar norma moral, melainkan modus eksistensial
manusia yang bertindak sesuai dengan rasio dan keseimbangan (mesotes).
Kajian ini menelusuri akar genealogis konsep arete dari tradisi Yunani
klasik—dari Socrates dan Plato—hingga formulasi sistematisnya dalam Nicomachean
Ethics, serta menjelaskan integrasinya dengan filsafat politik dan
pendidikan moral dalam polis.
Pembahasan dilanjutkan dengan analisis epistemologi
kebajikan melalui phronesis (kebijaksanaan praktis) sebagai bentuk
pengetahuan etis yang diperoleh melalui habituasi, refleksi, dan pengalaman.
Secara aksiologis, kebajikan dipahami sebagai nilai intrinsik yang menuntun
tindakan manusia menuju keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kebaikan
bersama. Artikel ini juga mengulas dimensi sosial, politik, ilmiah, dan
interdisipliner dari etika kebajikan Aristotelian, termasuk relevansinya
bagi pendidikan karakter, kepemimpinan moral, etika profesi, dan teknologi
modern.
Dalam konteks kontemporer, etika kebajikan dinilai
mampu menawarkan alternatif humanistik terhadap etika deontologis dan
utilitarian, karena menekankan pembentukan karakter dan integritas personal
daripada sekadar kepatuhan terhadap aturan atau pencapaian hasil. Melalui
sintesis filosofis, artikel ini mengusulkan pembacaan ulang terhadap etika
kebajikan Aristotelian menuju etika kebajikan humanistik dan integral—yakni
etika yang memadukan rasionalitas, moralitas, dan kemanusiaan sebagai dasar
praksis etis global.
Kata Kunci: Aristoteles,
Kebajikan (Arete), Eudaimonia, Phronesis, Etika Kebajikan, Humanisme, Jalan
Tengah (Mesotes), Etika Humanistik Integral.
PEMBAHASAN
Konsep Kebajikan (Arete) dalam Filsafat Moral Klasik
1.
Pendahuluan
Konsep kebajikan (ἀρετή / arete) dalam
filsafat Aristoteles menempati posisi sentral dalam keseluruhan bangunan etika
klasik Yunani. Dalam karya monumentalnya Nicomachean Ethics, Aristoteles
berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia dapat hidup
baik dan mencapai kebahagiaan sejati (εὐδαιμονία / eudaimonia).¹ Bagi
Aristoteles, kebahagiaan bukanlah sekadar kenikmatan atau keberhasilan
eksternal, melainkan hasil dari aktualisasi potensi tertinggi manusia
melalui kebajikan.² Dengan demikian, arete bukanlah tujuan yang
terpisah, melainkan jalan yang memungkinkan manusia mencapai telos atau
tujuan hidupnya yang paling esensial.
Latar belakang historis konsep ini tidak dapat
dilepaskan dari tradisi etika Yunani sebelumnya. Socrates menekankan bahwa
kebajikan identik dengan pengetahuan, sementara Plato memandangnya sebagai
keteraturan jiwa yang selaras dengan ide kebaikan.³ Aristoteles melanjutkan
warisan ini dengan memberikan pendekatan empiris dan teleologis:
kebajikan harus dipahami dalam konteks fungsi khas manusia, yakni aktivitas
rasional yang dijalankan dengan baik.⁴ Dalam pandangan ini, etika bukanlah
teori normatif yang abstrak, melainkan ilmu praktis yang menuntun
tindakan manusia menuju kehidupan yang baik dalam komunitas (polis).⁵
Urgensi pembahasan mengenai kebajikan Aristotelian
tidak hanya bersifat historis, tetapi juga filosofis dan etis bagi zaman
modern. Dalam konteks krisis moral kontemporer—dari degradasi sosial hingga
instrumentalisasi rasionalitas—gagasan Aristoteles tentang kebajikan menawarkan
alternatif humanistik yang menekankan keseimbangan, karakter, dan
kearifan praktis (phronesis).⁶ Etika kebajikan tidak mendasarkan
moralitas pada aturan eksternal seperti dalam deontologi, atau pada hasil
tindakan seperti dalam utilitarianisme, melainkan pada pembentukan diri sebagai
manusia yang baik melalui kebiasaan moral yang konsisten.⁷
Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengurai
secara sistematis konsep kebajikan (arete) dalam pemikiran Aristoteles,
dengan meninjau aspek-aspek historis, ontologis, epistemologis, dan
aksiologisnya. Melalui kajian ini, diharapkan dapat ditunjukkan bahwa etika
kebajikan Aristotelian tidak hanya relevan dalam konteks moral individual,
tetapi juga mendasari etika sosial dan politik yang integral. Pendekatan
metodologis yang digunakan bersifat analitis-hermeneutik, dengan membaca
teks Aristoteles secara konseptual dan menempatkannya dalam dialog kritis
dengan etika modern.⁸ Dengan demikian, tulisan ini menjadi upaya untuk
menegaskan kembali makna arete sebagai jalan tengah menuju kehidupan
manusia yang baik, bijak, dan bermartabat.
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1095a16–20.
[2]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 214.
[3]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 26–29.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics,
1097b22–1098a20.
[5]
Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will
(New Haven: Yale University Press, 1979), 54–56.
[6]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 187–192.
[7]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 3–5.
[8]
Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 17–19.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Pemahaman terhadap konsep kebajikan (arete)
dalam filsafat Aristoteles tidak dapat dilepaskan dari akar historisnya dalam tradisi
etika Yunani klasik, yang mengalami evolusi dari masa pra-Sokratik hingga
sistematisasi etis oleh Socrates, Plato, dan akhirnya Aristoteles sendiri.
Dalam konteks ini, arete awalnya memiliki makna yang luas, mencakup
segala bentuk keunggulan atau keutamaan dalam menjalankan fungsi sesuai dengan
hakikat sesuatu—baik manusia, kuda, maupun alat.¹ Dalam Homeric Ethics, arete
lebih berkaitan dengan keberanian, kekuatan, dan kehormatan dalam konteks
kepahlawanan (aretê of heroes), bukan dengan moralitas reflektif.²
Namun, seiring dengan berkembangnya pemikiran filsafat di Yunani, makna arete
bergeser dari keunggulan fungsional menuju keutamaan moral dan rasionalitas
manusia.
Socrates menjadi figur penting dalam perubahan
makna tersebut. Ia mengajukan tesis bahwa pengetahuan adalah kebajikan
(virtue is knowledge)—bahwa seseorang berbuat baik karena ia mengetahui apa
yang baik.³ Bagi Socrates, kejahatan merupakan akibat dari ketidaktahuan (ignorance),
bukan kehendak jahat. Perspektif ini menandai rasionalisasi moralitas
dan meletakkan dasar bagi etika intelektualis.⁴ Sementara itu, Plato
mengembangkan gagasan Socrates dengan menempatkan kebajikan dalam struktur
metafisik ide. Dalam dialog Republic, ia mengajarkan bahwa kebajikan
adalah harmoni jiwa, di mana bagian rasional (logos), keberanian (thymos),
dan keinginan (epithymia) bekerja secara selaras di bawah tuntunan
akal.⁵
Aristoteles kemudian mengkritisi sekaligus
menyempurnakan kedua pendahulunya. Ia menolak pandangan Plato yang menempatkan
kebajikan sebagai bentuk ideal yang terpisah dari dunia empiris. Bagi
Aristoteles, kebajikan hanya dapat diwujudkan dalam praksis manusia nyata,
bukan dalam dunia ide.⁶ Dengan pendekatan yang lebih teleologis dan empiris,
Aristoteles mendefinisikan arete sebagai keadaan karakter yang
memilih jalan tengah (mesotes) antara dua ekstrem, sesuai dengan
rasionalitas yang benar (orthos logos).⁷ Melalui konsep ini, ia
menghubungkan kebajikan dengan fungsi khas manusia (ergon), yaitu
aktivitas rasional yang dijalankan dengan baik.⁸
Konteks sosial dan politik pada masa Aristoteles
turut memberi pengaruh signifikan terhadap konsepsi kebajikannya. Hidup dalam
era polis Athena, Aristoteles melihat manusia sebagai makhluk sosial (zoon
politikon) yang hanya dapat mewujudkan kebaikan tertingginya dalam
komunitas politik.⁹ Dengan demikian, etika baginya tidak bersifat
individualistis, melainkan terkait erat dengan kehidupan publik dan
pendidikan moral warga negara. Dalam Politics, ia menegaskan bahwa
tujuan utama negara bukan sekadar menjaga ketertiban, melainkan membentuk
warga yang berbudi luhur dan berbahagia.¹⁰ Maka, arete dalam
kerangka Aristotelian tidak hanya menjadi urusan pribadi, tetapi juga fondasi
moral bagi tatanan sosial yang adil dan beradab.
Dengan demikian, secara genealogis, konsep
kebajikan Aristoteles merupakan sintesis historis antara etika heroik,
rasionalisme Socratic, dan idealisme Platonic. Namun, Aristoteles berhasil
mengalihkan perhatian dari dimensi metafisik menuju dimensi praktis
kehidupan manusia, sehingga etika kebajikan tampil sebagai filsafat
tindakan yang membumi, berorientasi pada pendidikan moral, dan berpuncak pada
pencapaian eudaimonia sebagai tujuan hidup tertinggi manusia.¹¹
Footnotes
[1]
Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the
History of His Development, trans. Richard Robinson (Oxford: Clarendon
Press, 1948), 116–118.
[2]
A. W. H. Adkins, Merit and Responsibility: A
Study in Greek Values (Oxford: Clarendon Press, 1960), 33–36.
[3]
Plato, Protagoras, trans. W. K. C. Guthrie
(Cambridge: Harvard University Press, 1975), 351b–c.
[4]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 87–89.
[5]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev.
C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 441c–444e.
[6]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 1076a10–15.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106b36–1107a2.
[8]
John M. Cooper, Reason and Human Good in
Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 94–98.
[9]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–7.
[10]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 329–331.
[11]
Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics
(London: Routledge, 1998), 64–68.
3.
Ontologi
Kebajikan (Arete)
Dalam sistem filsafat Aristoteles, ontologi
kebajikan (arete) berakar pada pemahamannya tentang hakikat manusia
sebagai makhluk rasional yang bertujuan (teleologis). Segala sesuatu di
alam memiliki telos—tujuan atau akhir yang menjadi realisasi sempurna
dari kodratnya.¹ Dengan demikian, manusia mencapai kesempurnaannya bukan
melalui kenikmatan atau kekuasaan, tetapi melalui aktualisasi kemampuan
rasionalnya secara benar dan seimbang. Dalam konteks inilah arete
dimengerti sebagai keunggulan atau keutamaan dalam menjalankan fungsi
manusia sesuai kodratnya (ergon anthrōpou).²
Bagi Aristoteles, arete bukanlah entitas
metafisik yang berdiri sendiri, melainkan modus eksistensi moral manusia
yang mengarahkan tindakan kepada kebaikan tertinggi (agathon).³ Dengan
demikian, kebajikan memiliki dimensi ontologis ganda: pertama, sebagai hexis
(keadaan karakter tetap) yang dimiliki subjek moral; kedua, sebagai energeia
(aktualitas) yang mewujud dalam tindakan konkret.⁴ Kedua aspek ini menunjukkan
bahwa kebajikan bukan sekadar potensi atau niat baik, melainkan kondisi
keberadaan manusia yang dinamis—sebuah “cara berada” yang selaras dengan
rasio dan tujuan hidupnya.⁵
Konsep ontologis ini semakin jelas dalam definisi
klasik Aristoteles: “Kebajikan adalah keadaan karakter yang memilih,
terletak di jalan tengah (mesotes) relatif terhadap kita,
sebagaimana ditentukan oleh rasio, dan seperti yang akan ditentukan oleh orang
yang bijaksana (phronimos).”⁶ Prinsip mesotes menandai struktur
ontologis kebajikan sebagai keseimbangan dinamis antara dua
ekstrem—kelebihan dan kekurangan—yang disesuaikan dengan konteks manusia
konkret.⁷ Dengan kata lain, kebajikan bukanlah titik statis, melainkan modus
eksistensial yang ditemukan melalui praktik reflektif dan pembiasaan moral
(ethos).
Ontologi arete juga berhubungan erat dengan struktur
jiwa manusia sebagaimana dijelaskan Aristoteles dalam De Anima. Jiwa
terdiri dari bagian rasional (to logistikon) dan non-rasional (to
alogon), namun bagian non-rasional dapat tunduk pada rasio melalui
kebiasaan dan pendidikan moral.⁸ Oleh karena itu, kebajikan moral muncul ketika
bagian emosional manusia telah “diformasikan” oleh akal budi, sehingga
tindakan etis menjadi spontan dan harmonis. Dalam kondisi ini, arete
bukanlah pemaksaan kehendak, melainkan ekspresi alami dari jiwa yang telah
mencapai keseimbangan ontologis.⁹
Lebih lanjut, Aristoteles membedakan antara kebajikan
moral (ēthikai aretai) dan kebajikan intelektual (dianoētikai aretai).¹⁰
Kebajikan moral berkaitan dengan kehendak, emosi, dan tindakan, sedangkan
kebajikan intelektual berhubungan dengan akal dan pengetahuan. Hubungan
keduanya bersifat komplementer: tanpa kebajikan intelektual seperti phronesis
(kebijaksanaan praktis), kebajikan moral tidak memiliki arah; sebaliknya, tanpa
kebajikan moral, kebijaksanaan menjadi steril dan tidak bermoral.¹¹ Struktur
ontologis ini menunjukkan bahwa manusia yang berbudi bukan hanya yang
mengetahui yang baik, tetapi juga yang menjadi baik melalui integrasi
rasio dan karakter.
Secara metafisik, arete menempati posisi
perantara antara potensi (dynamis) dan aktualitas (energeia).¹²
Ia merupakan prinsip penggerak yang memungkinkan manusia beralih dari potensi
moral menjadi aktualisasi kebajikan yang nyata. Dalam pengertian ini, kebajikan
adalah modus keberadaan yang sempurna secara fungsional, karena ia
merepresentasikan pelaksanaan yang baik dari kodrat manusia sebagai makhluk
rasional dan sosial.¹³ Dengan demikian, arete merupakan kategori
ontologis yang menegaskan bahwa kebaikan bukan hanya objek pengetahuan,
melainkan cara manusia “ada” dalam keselarasan dengan tujuan eksistensialnya
(to telos tou biou).¹⁴
Kesimpulannya, arete dalam kerangka ontologi
Aristotelian merupakan realitas eksistensial yang menghubungkan esensi,
rasionalitas, dan praksis manusia. Ia adalah bentuk aktual dari kehidupan
yang baik, di mana akal dan karakter menyatu dalam tindakan etis yang
konsisten. Melalui kebajikan, manusia tidak sekadar mengetahui kebaikan,
tetapi menjadi baik—mewujudkan hakikat ontologisnya sebagai makhluk yang
mencapai kesempurnaan melalui rasionalitas dan kebiasaan moral.¹⁵
Footnotes
[1]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and
R. K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), 194a28–32.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a7–18.
[3]
G. E. M. Anscombe, Modern Moral Philosophy
(Philosophy 33, no. 124, 1958), 4–6.
[4]
John M. Cooper, Reason and Human Good in
Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 89–92.
[5]
Richard Kraut, Aristotle on the Human Good
(Princeton: Princeton University Press, 1989), 137–140.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106b36–1107a2.
[7]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 7–10.
[8]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith
(Oxford: Clarendon Press, 1957), 432a9–14.
[9]
Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will
(New Haven: Yale University Press, 1979), 72–74.
[10]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a1–10.
[11]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 302–305.
[12]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 1047a25–35.
[13]
Stephen R. L. Clark, Aristotle’s Man:
Speculations upon Aristotelian Anthropology (Oxford: Clarendon Press,
1975), 122–124.
[14]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 45–48.
[15]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 165–167.
4.
Epistemologi
Kebajikan (Arete)
Konsep epistemologi kebajikan (arete) dalam
filsafat Aristoteles menyoroti bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan
menginternalisasi kebajikan moral. Pengetahuan etis, bagi Aristoteles,
tidak semata-mata bersifat teoretis (epistēmē), melainkan juga praktis (praxis)
dan habituatif (ethos).¹ Ia menolak pandangan intelektualisme moral
Socrates yang menyamakan pengetahuan dengan kebajikan, dengan menegaskan bahwa
seseorang tidak serta-merta menjadi baik hanya karena ia mengetahui apa yang
baik.² Pengetahuan moral dalam kerangka Aristotelian bukanlah pengetahuan
proposisional yang pasif, tetapi pengetahuan yang diwujudkan melalui
tindakan yang benar dan konsisten.³
Proses epistemologis kebajikan dimulai dari pengalaman
empiris dan habituasi moral. Aristoteles menulis bahwa “kita menjadi
adil dengan melakukan tindakan yang adil, dan menjadi berani dengan melakukan
tindakan yang berani.”⁴ Ini berarti kebajikan diperoleh melalui proses
pembiasaan (ethismos), di mana tindakan yang diulang secara sadar membentuk
disposisi karakter (hexis).⁵ Pengetahuan moral tumbuh bukan dari
instruksi teoretis semata, melainkan dari keterlibatan praktis dalam tindakan
yang sesuai dengan rasio. Dengan demikian, epistemologi kebajikan bersifat
embodied—menyatu dengan tubuh, kebiasaan, dan konteks sosial manusia.⁶
Dalam kerangka ini, Aristoteles memperkenalkan
konsep penting phronesis (practical wisdom), yaitu kebijaksanaan
praktis yang memungkinkan seseorang menilai dan memutuskan tindakan terbaik
dalam situasi konkret.⁷ Phronesis bukan sekadar kemampuan intelektual,
tetapi pengetahuan etis yang berakar pada pengalaman, kepekaan moral, dan
penilaian rasional.⁸ Melalui phronesis, seseorang dapat menemukan mesotes—jalan
tengah yang tepat—karena ia mampu mempertimbangkan konteks, tujuan, dan akibat
tindakan secara utuh. Dengan demikian, phronesis menjadi jembatan
epistemologis antara pengetahuan moral dan tindakan etis.⁹
Lebih lanjut, Aristoteles membedakan antara pengetahuan
teoretis (sophia) dan pengetahuan praktis (phronesis). Sophia
berorientasi pada kebenaran universal dan kontemplatif, sementara phronesis
berorientasi pada tindakan yang baik bagi kehidupan manusia.¹⁰ Dalam konteks
etika, phronesis memiliki kedudukan lebih tinggi karena ia menentukan
bagaimana kebajikan moral dijalankan dalam kehidupan nyata.¹¹ Dengan demikian,
epistemologi kebajikan Aristotelian menolak dikotomi antara pengetahuan dan
tindakan; keduanya merupakan satu kesatuan yang hanya dapat dipahami melalui
praksis yang berkelanjutan.¹²
Dimensi sosial juga memainkan peran penting dalam
pembentukan pengetahuan moral. Aristoteles menegaskan bahwa manusia adalah zoon
politikon—makhluk yang belajar menjadi baik dalam kehidupan bersama.¹³
Artinya, kebajikan tidak dapat berkembang dalam isolasi, tetapi melalui interaksi
dengan komunitas moral yang menanamkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Dalam
Politics, Aristoteles menulis bahwa pendidikan moral warga negara adalah
tujuan utama polis, sebab melalui pendidikanlah phronesis dan arete
dapat diwariskan.¹⁴ Dengan demikian, epistemologi kebajikan memiliki dimensi
sosial dan pedagogis yang erat, menekankan pentingnya pembentukan karakter
melalui komunitas etis.¹⁵
Dari perspektif ontologis-epistemologis, kebajikan
adalah hasil dari integrasi antara rasionalitas dan pengalaman. Ia bukan
sekadar pengetahuan deduktif, tetapi knowing-how—pengetahuan praktis
yang mengarahkan tindakan sesuai dengan akal budi.¹⁶ Dalam hal ini, Aristoteles
mendekati apa yang kini disebut sebagai “epistemologi performatif”, di
mana pengetahuan sejati hanya ada sejauh ia diwujudkan dalam tindakan moral
yang benar.¹⁷ Maka, arete bukanlah sekadar diketahui, melainkan dihidupi;
kebajikan bukanlah teori tentang kebaikan, melainkan pengetahuan yang menjelma
menjadi keberadaan yang baik.¹⁸
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a1–10.
[2]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 120–123.
[3]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 36–38.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103b1–5.
[5]
John M. Cooper, Reason and Human Good in
Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 94–96.
[6]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 298–300.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140a24–28.
[8]
Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will
(New Haven: Yale University Press, 1979), 85–88.
[9]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 54–57.
[10]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 982b10–20.
[11]
W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory
(Oxford: Clarendon Press, 1968), 181–183.
[12]
G. E. M. Anscombe, Modern Moral Philosophy
(Philosophy 33, no. 124, 1958), 12–14.
[13]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–8.
[14]
Aristotle, Politics, 1337a10–15.
[15]
Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 89–91.
[16]
Hubert Dreyfus and Stuart Dreyfus, Mind over
Machine (New York: Free Press, 1986), 35–39.
[17]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 191–194.
[18]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 16–18.
5.
Aksiologi
dan Etika Kebajikan
Dalam kerangka filsafat Aristoteles, aksiologi
kebajikan (arete) menempati posisi sentral dalam memahami nilai moral dan
tujuan akhir kehidupan manusia. Aksiologi—sebagai kajian tentang
nilai—mengarahkan perhatian pada pertanyaan: apa yang membuat kehidupan
bernilai baik dan layak dijalani? Bagi Aristoteles, jawaban atas pertanyaan
ini terletak pada pencapaian eudaimonia, yaitu kebahagiaan sejati yang
diperoleh melalui aktualisasi kebajikan.¹ Nilai moral tidak berdiri terpisah
dari tindakan manusia, tetapi melekat pada cara manusia mewujudkan
potensinya secara rasional dan bermoral. Dalam hal ini, kebajikan merupakan
nilai intrinsik sekaligus instrumen menuju kebaikan tertinggi (summum bonum).²
Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan memiliki
nilai bukan karena ia menghasilkan sesuatu yang lain, melainkan karena ia
sendiri merupakan bentuk kehidupan yang baik dan sempurna.³ Arete menjadi
ukuran nilai moral karena ia mengatur kehendak dan emosi agar selaras dengan
rasio yang benar (orthos logos).⁴ Dengan demikian, tindakan bermoral
bukanlah hasil pemenuhan aturan eksternal sebagaimana dalam etika deontologis,
melainkan hasil pembentukan karakter yang bernilai dari dalam diri pelaku
moral.⁵ Etika kebajikan dengan demikian menolak pandangan moralitas yang
mekanistik dan menggantinya dengan konsepsi nilai yang berbasis karakter
(character-based ethics).
Dalam konteks aksiologis, Aristoteles membedakan
dua jenis nilai kebajikan: nilai moral (ēthikai aretai) dan nilai
intelektual (dianoētikai aretai).⁶ Nilai moral berkaitan dengan
pengendalian nafsu dan emosi—seperti keberanian, keadilan, dan kemurahan
hati—sementara nilai intelektual berkaitan dengan kemampuan berpikir, seperti phronesis
(kebijaksanaan praktis) dan sophia (kebijaksanaan teoretis).⁷ Keduanya
saling melengkapi: tanpa kebijaksanaan praktis, kebajikan moral tidak terarah;
tanpa kebajikan moral, kebijaksanaan kehilangan nilai moralnya. Struktur ini
menunjukkan bahwa nilai moral tertinggi bukanlah kesenangan (hedone),
melainkan kesempurnaan hidup yang dijalankan secara rasional dan berimbang.⁸
Etika kebajikan Aristotelian juga mengandung dimensi
sosial dan politis yang bernilai tinggi. Bagi Aristoteles, kebajikan tidak
dapat diwujudkan di luar kehidupan bersama dalam polis.⁹ Arete
tidak hanya membentuk individu yang baik, tetapi juga masyarakat yang adil
dan harmonis. Ia menulis bahwa “tujuan negara bukan sekadar hidup bersama,
tetapi hidup baik bersama.”¹⁰ Artinya, nilai kebajikan berfungsi sebagai
fondasi bagi kehidupan sosial-politik yang bermoral, di mana keadilan dan
solidaritas menjadi ekspresi konkret dari kebajikan kolektif.¹¹ Nilai-nilai
seperti keadilan distributif, moderasi, dan keutamaan publik (civic virtue)
menunjukkan bahwa etika kebajikan tidak bersifat individualistis, melainkan mengarahkan
manusia pada kesempurnaan moral dalam komunitas etis.¹²
Dalam kerangka aksiologi modern, pandangan
Aristoteles sering dibandingkan dengan dua arus besar: etika kewajiban
(Kantian) dan etika konsekuensialis (utilitarianisme). Etika
kebajikan berbeda dari keduanya karena menilai tindakan bukan dari aturan atau
akibatnya, tetapi dari karakter pelaku moral dan tujuan hidupnya.¹³
Dalam etika Aristotelian, nilai moral tertinggi bukanlah ketaatan atau manfaat,
melainkan keutuhan moral (integritas) yang tercermin dalam kebiasaan
bertindak benar.¹⁴ Dengan demikian, kebajikan bukanlah sarana menuju nilai
eksternal, melainkan nilai yang mempersatukan pengetahuan, kehendak, dan
tujuan moral manusia.
Dimensi aksiologis ini juga memiliki implikasi
kontemporer. Dalam dunia yang cenderung mengukur nilai berdasarkan utilitas,
kekuasaan, atau efisiensi, etika kebajikan mengingatkan bahwa nilai moral
sejati terletak pada kesempurnaan karakter manusia dan keharmonisan sosial.¹⁵
Aristoteles menunjukkan bahwa hanya melalui kebajikan manusia dapat menemukan
makna hidupnya secara penuh, karena kebajikan bukan sekadar “berbuat baik,”
melainkan “menjadi baik”—suatu kondisi keberadaan yang bernilai pada
dirinya sendiri.¹⁶
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1095a17–1098a18.
[2]
John M. Cooper, Reason and Human Good in
Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 87–90.
[3]
G. E. M. Anscombe, Modern Moral Philosophy
(Philosophy 33, no. 124, 1958), 10–12.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics,
1106b36–1107a2.
[5]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 3–5.
[6]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a1–10.
[7]
Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will
(New Haven: Yale University Press, 1979), 95–98.
[8]
W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory
(Oxford: Clarendon Press, 1968), 182–185.
[9]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–8.
[10]
Aristotle, Politics, 1280b7–10.
[11]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 329–331.
[12]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 188–191.
[13]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford:
Oxford University Press, 2011), 9–11.
[14]
Roger Crisp and Michael Slote, eds., Virtue
Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1997), 15–18.
[15]
MacIntyre, After Virtue, 256–258.
[16]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle
(Oxford: Oxford University Press, 1991), 72–75.
6.
Dimensi
Sosial, Politik, dan Pendidikan
Konsep kebajikan (arete)
dalam filsafat Aristoteles tidak hanya beroperasi dalam ranah etika individual,
tetapi juga memiliki dimensi sosial, politik, dan pendidikan
yang mendalam. Aristoteles memandang manusia sebagai zoon
politikon—makhluk sosial-politik yang hanya dapat mencapai
kesempurnaan moralnya dalam kehidupan bersama.¹ Manusia, menurutnya, tidak
dapat hidup baik (eu zen) tanpa hidup dalam polis
(komunitas politik), karena di sanalah kebajikan memperoleh konteks
praksisnya.² Dengan demikian, kebajikan bukan sekadar kualitas pribadi, tetapi prinsip
yang membentuk kehidupan sosial dan politik yang adil serta beradab.
6.1. Kebajikan sebagai Fondasi Kehidupan Sosial
Dalam Nicomachean
Ethics dan Politics, Aristoteles menegaskan
bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) tidak mungkin dicapai
tanpa kehidupan bersama dalam komunitas moral.³ Arete memungkinkan individu untuk
berelasi dengan sesama secara etis, melalui keadilan, persahabatan (philia),
dan solidaritas. Keadilan (dikaiosyne), bagi Aristoteles,
adalah “kebajikan yang sempurna” karena ia mengatur hubungan antarindividu demi
kebaikan bersama.⁴ Maka, nilai sosial kebajikan terletak pada
kemampuannya mengatur keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
kolektif.
Dalam konteks ini,
kebajikan bukanlah perilaku altruistik yang mengorbankan diri, tetapi keselarasan
antara kepentingan diri dan kebaikan umum.⁵ Seseorang yang berkeadilan
bertindak demi harmoni sosial, bukan sekadar karena kewajiban, melainkan karena
telah membentuk karakter yang memahami bahwa hidup baik hanya mungkin dalam
tatanan sosial yang adil.⁶ Dengan demikian, kebajikan sosial dalam pemikiran
Aristoteles menegaskan interdependensi antara moralitas pribadi dan
struktur etis masyarakat.
6.2. Kebajikan dan Politik sebagai Etika Terapan
Bagi Aristoteles,
politik merupakan cabang tertinggi dari filsafat praktis karena ia mengatur
seluruh aktivitas manusia menuju kebaikan tertinggi (summum bonum).⁷
Etika dan politik tidak dipisahkan, sebab keduanya memiliki tujuan yang sama:
pembentukan manusia baik dan warga negara yang berbudi luhur.⁸ Ia menulis, “tujuan
negara bukan hanya hidup bersama, tetapi hidup baik bersama.”⁹ Dengan
demikian, polis
berfungsi bukan hanya sebagai organisasi kekuasaan, melainkan sebagai ruang
pedagogis bagi pembentukan kebajikan.
Aristoteles menolak
pandangan sofistik yang melihat politik semata sebagai seni retorika atau alat
mencapai kekuasaan.¹⁰ Baginya, politik sejati adalah etika
dalam skala publik—praktik rasional kolektif untuk menciptakan
keadilan, kesetaraan, dan kebahagiaan bersama.¹¹ Oleh karena itu, keadilan
distributif dan partisipasi politik adalah sarana bagi warga untuk menumbuhkan phronesis
(kebijaksanaan praktis) secara kolektif.¹² Dalam konteks ini, kebajikan menjadi
ukuran legitimasi politik: negara yang baik adalah negara yang menumbuhkan
karakter warganya.¹³
6.3. Pendidikan Moral sebagai Jalan Menuju Kebajikan
Aristoteles
memberikan perhatian besar terhadap peran pendidikan (paideia)
sebagai sarana pembentukan karakter moral. Dalam Politics (1337a), ia menegaskan bahwa
pendidikan merupakan tanggung jawab negara, karena tidak ada kebajikan tanpa
pembiasaan moral yang sistematis.¹⁴ Proses pendidikan bukan sekadar transfer
pengetahuan, tetapi pembentukan disposisi moral dan rasionalitas
praktis. Anak-anak harus dilatih mencintai kebaikan sebelum
mampu memahaminya secara intelektual, sebab etika dimulai dari kebiasaan yang
baik sebelum kesadaran reflektif.¹⁵
Pendidikan moral
juga memiliki dimensi sosial, karena dilakukan dalam kerangka polis
yang menanamkan nilai-nilai kebajikan bersama.¹⁶ Dalam sistem Aristotelian,
pembentukan moral tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial dan politik
yang mendukungnya.¹⁷ Oleh karena itu, pendidikan kebajikan merupakan fondasi
bagi keberlangsungan kehidupan politik yang adil dan stabil.¹⁸ Dalam
masyarakat modern, gagasan ini tetap relevan: pendidikan bukan hanya alat
mobilitas sosial, tetapi sarana pengembangan manusia seutuhnya dalam kerangka
tanggung jawab sosial.¹⁹
6.4. Integrasi Sosial, Politik, dan Pedagogis Kebajikan
Dengan menggabungkan
etika, politik, dan pendidikan, Aristoteles membangun pandangan yang holistik
tentang kebajikan sebagai proyek manusia dan masyarakat.
Kebajikan tidak mungkin berkembang dalam isolasi moral; ia menuntut komunitas
yang menanamkan nilai-nilai bersama dan politik yang berorientasi pada
pembentukan warga negara yang baik.²⁰ Dalam hal ini, arete
adalah prinsip etis yang menegaskan bahwa kehidupan baik adalah kehidupan
bersama yang diatur oleh rasio, keadilan, dan pendidikan moral.²¹
Footnotes
[1]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon
Press, 1885), 1253a2–8.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b10–15.
[3]
Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2002), 21–23.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1129b26–1130a5.
[5]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford
University Press, 1993), 119–122.
[6]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford
University Press, 1991), 94–97.
[7]
Aristotle, Politics, 1252a1–7.
[8]
Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale
University Press, 1979), 101–104.
[9]
Aristotle, Politics, 1280b7–10.
[10]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
1986), 329–331.
[11]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 192–195.
[12]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1130b30–1131a10.
[13]
W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon
Press, 1968), 193–196.
[14]
Aristotle, Politics, 1337a10–15.
[15]
John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 102–105.
[16]
Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, trans.
Gilbert Highet (Oxford: Oxford University Press, 1945), 95–99.
[17]
Martha Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1997), 21–24.
[18]
Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton:
Princeton University Press, 1989), 210–213.
[19]
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings
Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 119–122.
[20]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 18–20.
[21]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 98–101.
7.
Dimensi
Ilmiah dan Interdisipliner
Etika kebajikan
Aristoteles tidak hanya merupakan sistem moral klasik, tetapi juga memiliki dimensi
ilmiah dan interdisipliner yang luas. Gagasannya tentang arete
melampaui batas-batas etika normatif, karena menyentuh dasar-dasar
epistemologi, psikologi, pendidikan, politik, dan bahkan ilmu sosial
kontemporer.¹ Hal ini karena Aristoteles tidak pernah memisahkan etika dari
ilmu pengetahuan (epistēmē), melainkan menempatkannya
sebagai bagian dari ilmu praktis (praxis) yang
bertujuan membentuk manusia rasional yang hidup sesuai dengan fungsi kodratnya
(ergon
anthrōpou).²
7.1. Hubungan Etika Kebajikan dengan Ilmu Pengetahuan
dan Rasionalitas Praktis
Dalam sistem
pengetahuan Aristotelian, terdapat tiga jenis ilmu: teoretis (theōria),
praktis (praxis),
dan produktif (poiesis).³ Etika kebajikan termasuk
dalam kategori ilmu praktis karena berhubungan dengan tindakan manusia yang
bertujuan baik. Namun, berbeda dengan ilmu empiris yang mencari kepastian
universal, etika kebajikan beroperasi pada ranah
kemungkinan (to endechomenon)—ia bersifat rasional, tetapi
kontekstual dan situasional.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa etika kebajikan
memiliki karakter ilmiah yang reflektif dan rasional,
meskipun tidak matematis.
Dengan demikian,
Aristoteles menegaskan bahwa etika memiliki dasar ilmiah sejauh ia menggunakan
rasio untuk memahami sebab dan tujuan tindakan moral.⁵ Ia menolak relativisme
etis, tetapi juga menghindari absolutisme logis; kebajikan adalah hasil dari rasionalitas
praktis (phronesis) yang menimbang berbagai kemungkinan secara
bijaksana.⁶ Dengan pendekatan ini, Aristoteles mendasari cikal bakal metode
ilmiah reflektif—sebuah cara berpikir yang tidak hanya deduktif, tetapi juga
dialogis dan kontekstual.
7.2. Keterkaitan dengan Psikologi Moral dan Ilmu
Perilaku
Konsep kebajikan
Aristotelian memiliki resonansi kuat dengan psikologi moral modern,
terutama dalam bidang pengembangan karakter dan teori kebiasaan.⁷ Aristoteles
memandang kebajikan sebagai hexis (keadaan karakter yang
stabil) yang terbentuk melalui habituasi dan pendidikan.⁸ Konsep ini sejalan
dengan teori pembelajaran modern yang menekankan peran
pengalaman dan latihan berulang dalam pembentukan disposisi
moral.⁹ Dalam perspektif psikologi kontemporer, kebajikan dapat dipahami
sebagai hasil dari internalized moral motivation,
yakni kecenderungan bertindak baik karena nilai tersebut telah menjadi bagian
dari diri.¹⁰
Penelitian psikologi
positif modern yang digagas oleh Martin Seligman dan Christopher Peterson,
misalnya, mengembangkan pendekatan Character Strengths and Virtues
yang secara eksplisit berakar pada etika kebajikan Aristoteles.¹¹ Mereka mengklasifikasikan
kebajikan universal seperti kebijaksanaan, keberanian, kemanusiaan, keadilan,
kesederhanaan, dan transendensi—yang semuanya memiliki paralel dengan arete
Aristotelian.¹² Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Aristoteles
menjadi pelopor etika empiris tentang kebajikan, di mana
moralitas dapat dipahami, diukur, dan dikembangkan melalui kebiasaan dan
pendidikan.
7.3. Hubungan dengan Filsafat Pendidikan dan Ilmu Sosial
Dimensi
interdisipliner etika kebajikan juga tampak dalam filsafat
pendidikan, di mana kebajikan berfungsi sebagai tujuan utama
proses pembelajaran. Aristoteles menegaskan bahwa pendidikan moral (paideia)
adalah jalan menuju pembentukan warga negara yang baik dan rasional.¹³ Dalam
konteks modern, pandangan ini dihidupkan kembali oleh para filsuf pendidikan
seperti John Dewey dan Martha Nussbaum, yang menekankan pendidikan karakter
dan kemampuan reflektif sebagai inti dari pembelajaran humanistik.¹⁴ Etika
kebajikan menolak model pendidikan yang reduksionistik dan utilitarian, karena
menilai bahwa pengetahuan tanpa kebajikan akan kehilangan orientasi moral.¹⁵
Selain pendidikan,
konsep kebajikan juga berpengaruh dalam ilmu sosial dan politik modern,
khususnya dalam teori kewarganegaraan (civic virtue), teori keadilan
sosial, dan etika kepemimpinan.¹⁶ Pemikiran Aristoteles menginspirasi paradigma
communitarianism
kontemporer (MacIntyre, Etzioni) yang menegaskan pentingnya nilai-nilai moral
komunitas dalam membangun tatanan sosial.¹⁷ Dalam bidang ekonomi dan bisnis,
teori virtue
ethics telah digunakan untuk mengembangkan etika korporasi yang
menekankan integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial di atas kepentingan
profit semata.¹⁸
7.4. Relevansi dalam Era Sains dan Teknologi
Dalam era ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, etika kebajikan menawarkan koreksi
moral terhadap paradigma rasional-instrumental yang dominan.
Aristoteles mengingatkan bahwa rasionalitas sejati tidak hanya menghitung
akibat, tetapi menimbang kebaikan moral dari
tindakan itu sendiri.¹⁹ Dalam bioetika, misalnya, pendekatan kebajikan
digunakan untuk menilai karakter profesional medis, bukan hanya kepatuhan
terhadap kode etik formal.²⁰ Demikian pula dalam etika teknologi dan kecerdasan
buatan, konsep phronesis dianggap penting untuk
mengembangkan sistem yang mencerminkan penilaian moral manusia yang
bijaksana.²¹
Dengan demikian,
etika kebajikan Aristotelian bersifat interdisipliner secara substantif,
karena dapat menjadi jembatan antara humaniora, ilmu sosial, dan sains
terapan.²² Ia mengajarkan bahwa pengetahuan ilmiah tanpa kebajikan hanya
menghasilkan kekuatan tanpa arah moral, sementara kebajikan tanpa pengetahuan
berisiko menjadi naif dan tidak efektif.²³ Integrasi keduanya—rasionalitas
ilmiah dan karakter etis—adalah inti dari cita-cita Aristotelian tentang manusia
yang baik sekaligus cerdas (spoudaios anthrōpos).²⁴
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
1986), 298–301.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1095a.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago:
Encyclopedia Britannica, 1952), 1025b25–30.
[4]
W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon
Press, 1968), 121–124.
[5]
Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2002), 55–57.
[6]
John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1975), 98–101.
[7]
Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of
Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 14–16.
[8]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a14–25.
[9]
Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale
University Press, 1979), 75–78.
[10]
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. II: The
Psychology of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1984),
24–28.
[11]
Christopher Peterson and Martin E. P. Seligman, Character Strengths
and Virtues: A Handbook and Classification (New York: Oxford University
Press, 2004), 33–36.
[12]
Ibid., 45–49.
[13]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon
Press, 1885), 1337a10–20.
[14]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916),
358–361.
[15]
Martha Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1997), 24–27.
[16]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 221–224.
[17]
Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities,
and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), 16–18.
[18]
Robert C. Solomon, Ethics and Excellence: Cooperation and Integrity
in Business (New York: Oxford University Press, 1992), 45–47.
[19]
Hubert Dreyfus and Stuart Dreyfus, Mind over Machine (New
York: Free Press, 1986), 37–40.
[20]
Edmund Pellegrino and David Thomasma, The Virtues in Medical
Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 56–59.
[21]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016),
10–12.
[22]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 88–91.
[23]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 25–27.
[24]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1177a10–14.
8.
Kritik
terhadap Etika Kebajikan Aristoteles
Meskipun etika
kebajikan Aristoteles telah menjadi salah satu fondasi utama dalam filsafat
moral klasik dan modern, sistem ini tidak lepas dari berbagai kritik
konseptual, historis, dan normatif. Kritik terhadap etika kebajikan
Aristotelian umumnya berpusat pada tiga ranah: (1) keterbatasan kontekstual dan
sosial-historis, (2) ketidakcukupan normatif dalam menghadapi
dilema moral modern, dan (3) problem metodologis dalam penerapan
universalitas kebajikan.
8.1. Keterbatasan Kontekstual dan Historis
Salah satu kritik
paling mendasar terhadap etika kebajikan Aristoteles ialah bahwa sistemnya terikat
oleh konteks sosial dan politik Yunani kuno.¹ Konsep eudaimonia
dan arete
hanya dapat diwujudkan secara penuh dalam kehidupan warga negara (citizen)
yang bebas di polis.² Dengan demikian, etika
kebajikan Aristoteles bersifat eksklusif, karena tidak memperhitungkan
kelompok-kelompok yang secara sosial terpinggirkan—seperti budak, perempuan,
dan pekerja manual—yang dalam pandangan Aristoteles tidak memiliki kapasitas
penuh untuk kebajikan moral.³ Dalam hal ini, kebajikan menjadi hak istimewa
kelas elit yang memiliki waktu dan kebebasan untuk mengembangkan
rasionalitasnya.⁴
Kritik feminis
terhadap Aristoteles, seperti yang dikemukakan oleh Martha C. Nussbaum dan
Rosalind Hursthouse, menunjukkan bahwa pandangan Aristoteles mencerminkan bias
patriarkal dan androcentris, karena ia mengasosiasikan
rasionalitas dan kebajikan dengan peran laki-laki warga negara, sementara
menganggap perempuan sebagai subordinat dalam ranah etis dan politik.⁵
Pandangan ini mengindikasikan bahwa meskipun arete dimaksudkan sebagai ideal
moral universal, penerapannya dalam sistem Aristotelian masih sangat terikat
oleh struktur sosial hierarkis Yunani klasik.⁶
8.2. Ketidakcukupan Normatif dalam Etika Modern
Kritik lain datang
dari tradisi etika modern, terutama dari etika deontologis (Kantian) dan
etika
utilitarian. Immanuel Kant menilai bahwa etika kebajikan tidak
memberikan dasar normatif yang cukup kuat
untuk menilai kewajiban moral secara universal.⁷ Karena berfokus pada karakter
dan bukan pada prinsip universal, etika kebajikan dinilai cenderung partikular
dan bergantung pada konteks budaya.⁸ Kant menegaskan bahwa moralitas sejati
harus berakar pada prinsip rasional yang berlaku universal (categorical
imperative), bukan pada kebiasaan atau pembiasaan moral yang
bersifat empiris.⁹
Dari sisi lain, kaum
utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mengkritik bahwa etika
kebajikan gagal memberikan kriteria objektif untuk menilai akibat tindakan.¹⁰
Bagi mereka, ukuran moralitas terletak pada hasil (consequences), bukan pada karakter
pelaku. Dengan demikian, etika kebajikan dianggap tidak cukup memadai untuk
menjawab dilema etis yang melibatkan kalkulasi sosial dan politik
modern—seperti keadilan distributif, hak asasi manusia, dan kebijakan publik.¹¹
Kritik ini menyoroti keterbatasan etika kebajikan sebagai sistem yang lebih
bersifat “internal” dan “karakterologis” daripada “institusional” dan “normatif.”¹²
8.3. Problem Epistemologis dan Metodologis
Dari perspektif
epistemologis, sejumlah filsuf menyoroti problem relativisme kebajikan
dalam etika Aristotelian. Karena prinsip mesotes (jalan tengah) bersifat
relatif terhadap individu dan konteks (“relatif terhadap kita”), maka
tidak ada standar universal yang pasti untuk menentukan batas antara kelebihan
dan kekurangan.¹³ Akibatnya, etika kebajikan berpotensi menjadi subjektif,
tergantung pada kebijaksanaan praktis (phronesis) individu tertentu.¹⁴
Dalam masyarakat plural modern, di mana nilai-nilai moral sangat beragam,
pendekatan ini menimbulkan kesulitan dalam membangun konsensus etis yang
objektif.¹⁵
Selain itu, Alasdair
MacIntyre, meskipun berupaya menghidupkan kembali etika kebajikan dalam After
Virtue, mengakui bahwa konteks teleologis Aristotelian tidak lagi
relevan dengan masyarakat modern yang telah kehilangan struktur
tujuan moral bersama (shared telos).¹⁶ Dunia modern,
menurutnya, bersifat fragmentaris dan individualistik, sehingga kebajikan
kehilangan fondasi metafisiknya.¹⁷ Dengan demikian, etika kebajikan membutuhkan
rekonstruksi baru yang mampu menyesuaikan diri dengan pluralitas nilai,
relativisme budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuan modern.¹⁸
8.4. Reinterpretasi dan Upaya Rehabilitasi
Meski demikian,
berbagai pemikir modern telah berupaya merehabilitasi etika kebajikan dengan
menyesuaikannya pada konteks kontemporer. Elizabeth Anscombe, misalnya, dalam
esainya Modern
Moral Philosophy (1958), mengkritik kerangka moral modern yang
kehilangan basis teleologis, dan menyerukan kembali ke etika kebajikan
Aristotelian sebagai alternatif terhadap moralitas berbasis aturan.¹⁹
Demikian pula, Alasdair MacIntyre, Rosalind Hursthouse, dan Julia Annas
mengembangkan Neo-Aristotelian Virtue Ethics yang
berupaya menjembatani karakter dan norma dengan memasukkan dimensi sosial,
psikologis, dan rasional modern.²⁰
Upaya-upaya tersebut
menunjukkan bahwa meskipun etika kebajikan memiliki keterbatasan historis,
nilai-nilai dasarnya tetap relevan secara konseptual untuk
membangun etika yang lebih manusiawi dan reflektif.²¹ Kritik terhadap
Aristoteles, dengan demikian, bukan hanya bentuk penolakan, tetapi juga pintu
pembaruan terhadap pemahaman kebajikan yang lebih kontekstual dan inklusif.²²
Footnotes
[1]
Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His
Development, trans. Richard Robinson (Oxford: Clarendon Press, 1948),
233–236.
[2]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon
Press, 1885), 1253a2–8.
[3]
Aristotle, Politics, 1254b16–20.
[4]
Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2002), 62–64.
[5]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
1986), 389–392.
[6]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 7–9.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. H. J. Paton (New York: Harper & Row, 1964), 421–423.
[8]
Allen Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge
University Press, 1999), 37–40.
[9]
Kant, Groundwork, 429–430.
[10]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation (London: T. Payne, 1789), 14–16.
[11]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and
Bourn, 1861), 7–9.
[12]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford
University Press, 1993), 105–108.
[13]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106b36–1107a2.
[14]
W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon
Press, 1968), 193–196.
[15]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford
University Press, 1991), 102–104.
[16]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 204–208.
[17]
Ibid., 222–225.
[18]
Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of
Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 166–168.
[19]
G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33,
no. 124 (1958): 4–5.
[20]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 98–102.
[21]
Rosalind Hursthouse and Glen Pettigrove, “Virtue Ethics,” in The
Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2018
Edition), sec. 4–6.
[22]
Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in
Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 43–45.
9.
Relevansi
Kontemporer
Konsep kebajikan
(arete) dalam filsafat Aristoteles memiliki relevansi yang luar
biasa dalam menghadapi tantangan moral, sosial, dan epistemologis dunia modern.
Meskipun lahir lebih dari dua milenium yang lalu, etika kebajikan tetap
menawarkan kerangka moral yang humanistik, reflektif, dan
kontekstual, yang mampu menjembatani kesenjangan antara teori
dan praksis moral di era kontemporer.¹ Dalam dunia yang ditandai oleh krisis
moral global, fragmentasi nilai, dan reduksi etika menjadi sekadar prosedur
atau peraturan formal, gagasan Aristoteles tentang kebajikan kembali memperoleh
daya tarik sebagai model etika karakter yang
menekankan integritas, keseimbangan, dan tanggung jawab personal.²
9.1. Etika Kebajikan dan Krisis Moral Modern
Dalam masyarakat
modern yang sarat dengan pragmatisme dan relativisme nilai, etika kebajikan
menawarkan alternatif terhadap dua paradigma moral dominan: etika
kewajiban (deontologi) dan etika akibat (utilitarianisme).³
Jika deontologi menekankan ketaatan terhadap aturan dan utilitarianisme
berfokus pada hasil tindakan, maka etika kebajikan berorientasi pada
pembentukan karakter manusia yang baik
sebagai dasar dari tindakan moral.⁴ Pendekatan ini memberikan fondasi moral
yang lebih stabil, karena menghubungkan etika dengan kehidupan nyata, bukan
sekadar sistem logis atau kalkulasi utilitas.
Alasdair MacIntyre
menilai bahwa dunia modern kehilangan telos—tujuan bersama tentang
kebaikan manusia—sehingga moralitas menjadi terfragmentasi dan tanpa arah.⁵
Etika kebajikan Aristotelian, menurutnya, dapat memulihkan rasionalitas
moral yang berakar pada tradisi dan komunitas, di mana
nilai-nilai kebajikan seperti kejujuran, keadilan, dan kesederhanaan memiliki
makna praktis dalam kehidupan bersama.⁶ Dengan demikian, kebajikan bukan hanya
norma individual, tetapi juga etika sosial yang membangun tatanan moral
komunal.
9.2. Relevansi bagi Etika Profesi dan Kepemimpinan
Konsep phronesis
(kebijaksanaan praktis) memiliki signifikansi besar dalam berbagai bidang
profesional, seperti kedokteran, hukum, pendidikan, dan bisnis.⁷ Dalam bidang
medis, misalnya, phronesis membantu dokter
menyeimbangkan antara prinsip etik formal (seperti otonomi pasien) dan
pertimbangan kemanusiaan yang konkret.⁸ Edmund Pellegrino menyebut bahwa etika
kebajikan menjadikan dokter bukan hanya “pengambil keputusan teknis,”
tetapi pribadi yang memiliki kebijaksanaan moral untuk memilih tindakan
terbaik bagi pasien.⁹
Dalam konteks
kepemimpinan, kebajikan Aristotelian memberikan dasar bagi etika
kepemimpinan reflektif yang menekankan karakter, keadilan, dan
kesetiaan terhadap kebaikan bersama.¹⁰ Robert C. Solomon berargumen bahwa
perusahaan dan organisasi modern memerlukan “pemimpin berbudi” (virtuous
leaders) yang mengintegrasikan efisiensi dengan integritas moral.¹¹
Hal ini menunjukkan bahwa kebajikan dapat berfungsi sebagai kerangka
aksiologis bagi etika profesional kontemporer, menggantikan
paradigma moral yang terlalu legalistik atau transaksional.
9.3. Kebajikan dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Dalam bidang
pendidikan, etika kebajikan menawarkan paradigma alternatif terhadap pendekatan
kognitif yang menekankan pengetahuan semata.¹² Aristoteles menegaskan bahwa pendidikan
moral dimulai dari pembiasaan (habituation) sebelum refleksi
rasional.¹³ Gagasan ini kini menjadi dasar bagi pendidikan karakter modern yang
menekankan integrasi antara intelektualitas, moralitas, dan kepribadian.¹⁴
Martha Nussbaum, dalam Cultivating Humanity, menghidupkan
kembali semangat Aristotelian dengan menekankan pendidikan sebagai sarana
pembentukan warga dunia yang berempati dan bernalar.¹⁵
Pendekatan ini
memiliki relevansi besar dalam konteks pendidikan global yang dihadapkan pada
krisis nilai, intoleransi, dan dehumanisasi teknologi.¹⁶ Etika kebajikan
mengajarkan bahwa membentuk manusia bermoral tidak cukup dengan mengajarkan
“apa yang benar,” tetapi juga melatih “bagaimana menjadi benar”—yakni melalui
pembiasaan, teladan, dan refleksi.¹⁷
9.4. Kebajikan dalam Etika Lingkungan dan Teknologi
Dalam konteks
ekologis, kebajikan Aristotelian memberi dasar bagi etika
lingkungan berbasis karakter. Aristoteles memandang bahwa
keseimbangan (mesotes) dan harmoni alam
mencerminkan tatanan moral kosmos.¹⁸ Dengan menanamkan kebajikan seperti
kesederhanaan, tanggung jawab, dan keadilan antar generasi, etika kebajikan
dapat berfungsi sebagai pendekatan etis integral dalam menghadapi krisis
ekologis modern.¹⁹
Di sisi lain,
perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan tantangan baru
bagi etika. Shannon Vallor mengadaptasi gagasan Aristoteles untuk membangun technomoral
virtues—seperti kehati-hatian digital, keadilan algoritmik, dan
tanggung jawab teknologi—yang diperlukan agar manusia tetap menjadi subjek
moral dalam era otomatisasi.²⁰ Prinsip phronesis di sini menjadi kunci
untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi diarahkan pada tujuan kemanusiaan
(human flourishing), bukan sekadar efisiensi.²¹
9.5. Menuju Humanisme Etis yang Integral
Pada akhirnya,
relevansi kontemporer etika kebajikan Aristoteles terletak pada kemampuannya
untuk menyatukan aspek rasional, moral, sosial, dan spiritual kehidupan
manusia.²² Etika kebajikan menolak ekstrem rasionalisme kaku maupun
relativisme moral, dengan menegaskan bahwa kebaikan hanya dapat ditemukan
melalui pembentukan karakter yang konsisten dengan kodrat manusia sebagai
makhluk rasional dan sosial.²³ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh
teknologi, politik identitas, dan materialisme, arete mengingatkan kita bahwa kehidupan
baik tidak diukur oleh hasil, tetapi oleh kualitas manusia yang menjalaninya.²⁴
Dengan demikian,
etika kebajikan Aristotelian tetap menjadi paradigma moral yang relevan, karena
menempatkan manusia bukan sebagai objek dari sistem moral, melainkan sebagai
subjek etis yang sadar, reflektif, dan bertanggung jawab terhadap kebaikan
bersama.²⁵
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
1986), 329–332.
[2]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 2–4.
[3]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford
University Press, 1993), 6–8.
[4]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 17–19.
[5]
MacIntyre, After Virtue, 204–208.
[6]
Ibid., 222–225.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1140a24–1140b12.
[8]
Edmund Pellegrino and David Thomasma, The Virtues in Medical
Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 57–60.
[9]
Ibid., 74–76.
[10]
Joanne B. Ciulla, Ethics: The Heart of Leadership (Westport,
CT: Praeger, 2004), 15–18.
[11]
Robert C. Solomon, Ethics and Excellence: Cooperation and Integrity
in Business (New York: Oxford University Press, 1992), 43–45.
[12]
John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan,
1916), 362–364.
[13]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon
Press, 1885), 1337a10–15.
[14]
Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. II: The Psychology
of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1984), 24–28.
[15]
Martha Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of
Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1997), 29–31.
[16]
Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools (New York:
Teachers College Press, 1992), 83–86.
[17]
Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of
Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 119–122.
[18]
Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye
(Oxford: Clarendon Press, 1930), 194a28–32.
[19]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 56–58.
[20]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016),
25–29.
[21]
Ibid., 105–107.
[22]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford
University Press, 1991), 94–97.
[23]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 124–126.
[24]
MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the
Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 143–146.
[25]
Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–36.
10. Sintesis Filosofis: Menuju Etika Kebajikan
Humanistik dan Integral
Setelah menelaah
fondasi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, serta dimensi sosial
dan kontemporer dari etika kebajikan Aristoteles, dapat disimpulkan bahwa
gagasan tentang arete mengandung potensi untuk
dikembangkan menjadi etika kebajikan humanistik dan integral.
Etika kebajikan Aristotelian tidak hanya relevan sebagai teori moral klasik,
tetapi juga sebagai dasar refleksi etis bagi pembangunan manusia yang utuh—yang
berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam keseimbangan rasional dan moral.¹
10.1. Reinterpretasi Humanistik atas Arete
Etika kebajikan
Aristoteles pada dasarnya berakar pada pandangan humanistik tentang manusia
sebagai makhluk rasional yang ditentukan oleh kemampuannya untuk hidup sesuai
dengan akal budi (logos).² Namun, reinterpretasi
humanistik modern memperluas gagasan ini dengan menekankan martabat
dan otonomi moral manusia dalam konteks sosial yang plural dan
egaliter.³ Jika Aristoteles menempatkan kebajikan dalam struktur hierarkis polis,
maka pendekatan humanistik menempatkannya dalam struktur kemanusiaan universal,
di mana setiap individu memiliki kapasitas yang sama untuk mewujudkan
kebajikan.⁴
Pendekatan ini
menggeser fokus dari kebajikan sebagai keunggulan elit menuju kebajikan
sebagai kemampuan manusiawi untuk bertumbuh moral dan reflektif.⁵ Dengan
demikian, arete
tidak hanya menjadi milik warga negara yang ideal, tetapi juga menjadi potensi
eksistensial setiap manusia yang berusaha mengaktualkan dirinya melalui
kebaikan.⁶ Dalam semangat humanisme, etika kebajikan menolak reduksi manusia
menjadi instrumen bagi tujuan eksternal, dan justru menegaskan manusia sebagai tujuan
moral itu sendiri.⁷
10.2. Integrasi Dimensi Rasional, Moral, dan Sosial
Etika kebajikan
integral mensyaratkan kesatuan antara dimensi rasional, moral, sosial, dan
spiritual kehidupan manusia. Aristoteles telah meletakkan dasar bagi hal ini
melalui konsep eudaimonia, yakni kebahagiaan yang
dicapai melalui tindakan rasional yang baik.⁸ Namun dalam konteks kontemporer, eudaimonia
perlu dipahami bukan hanya sebagai keberhasilan individual, tetapi sebagai kebahagiaan
bersama (common flourishing) yang melibatkan dimensi sosial,
ekologis, dan transkultural.⁹
Integrasi ini juga
menuntut pengakuan terhadap pluralitas nilai dan kompleksitas modernitas,
tanpa kehilangan arah moral yang rasional. Alasdair MacIntyre, dalam After
Virtue, menegaskan perlunya menghidupkan kembali kebajikan dalam
konteks komunitas moral yang dinamis dan reflektif.¹⁰ Etika kebajikan yang
integral berarti tidak terjebak pada tradisionalisme statis, tetapi bersifat dialogis
dan adaptif, mampu menafsirkan kebajikan dalam konteks sosial
baru seperti demokrasi, keadilan gender, dan keberlanjutan lingkungan.¹¹
Dengan demikian, phronesis
(kebijaksanaan praktis) menjadi inti dari etika kebajikan integral—sebuah
rasionalitas yang mengarahkan tindakan manusia pada keseimbangan antara kepentingan
pribadi, tanggung jawab sosial, dan kesadaran ekologis.¹² Phronesis
bukan hanya kemampuan berpikir moral, tetapi juga kemampuan memahami
kompleksitas kehidupan dan memilih jalan tengah yang manusiawi.¹³
10.3. Etika Kebajikan dan Spiritualitas Kemanusiaan
Etika kebajikan
integral juga mengandung dimensi spiritual yang
bersumber dari pemahaman Aristoteles tentang kontemplasi (theoria)
sebagai puncak kehidupan baik.¹⁴ Namun, dalam kerangka humanistik modern,
kontemplasi tidak lagi dipahami secara metafisik semata, melainkan sebagai kesadaran
reflektif manusia atas tanggung jawab moralnya di dunia.¹⁵ Spiritualitas
dalam etika kebajikan bukanlah bentuk keagamaan dogmatis, tetapi pengalaman
eksistensial ketika manusia menemukan makna hidup melalui tindakan etis.¹⁶
Dengan demikian,
manusia yang berbudi (spoudaios) adalah sosok yang menyatukan
akal dan hati, refleksi dan tindakan, pribadi dan komunitas. Ia
tidak hanya hidup secara benar, tetapi juga hidup dengan kesadaran penuh
terhadap nilai dan tujuan hidupnya.¹⁷ Dalam konteks ini, arete
menjadi jembatan antara dimensi moral dan spiritual manusia—suatu prinsip yang
mengarahkan kehidupan menuju kesempurnaan moral tanpa kehilangan dimensi
kemanusiaannya.¹⁸
10.4. Menuju Etika Kebajikan Integral untuk Dunia Modern
Etika kebajikan
humanistik dan integral menawarkan paradigma baru yang dapat menyatukan
kembali moralitas dengan kemanusiaan. Dalam dunia yang
didominasi oleh rasionalitas instrumental, paradigma ini menegaskan bahwa ilmu,
teknologi, dan politik harus diarahkan oleh kebajikan.¹⁹ Tanpa kebajikan,
kemajuan akan kehilangan arah dan berubah menjadi kekuatan destruktif; dengan
kebajikan, kemajuan menjadi sarana bagi kesejahteraan manusia dan bumi.²⁰
Etika kebajikan
integral mengandaikan bahwa manusia, ilmu, dan masyarakat
merupakan satu kesatuan moral yang saling bergantung.²¹ Dalam pendidikan, hal
ini berarti menanamkan kebiasaan berpikir etis; dalam politik, berarti
mempraktikkan keadilan; dalam ekonomi, berarti menegakkan kejujuran dan
solidaritas; dalam teknologi, berarti menjaga martabat manusia.²² Dengan
demikian, sintesis etika kebajikan ini mengarah pada filsafat
hidup yang holistik, di mana kebijaksanaan moral menjadi dasar
pembangunan peradaban yang berkeadilan, berkeadaban, dan berkelanjutan.²³
Kesimpulan Sintesis
Etika kebajikan
humanistik dan integral, sebagai reinterpretasi atas Aristoteles, menawarkan pandangan
antropologis yang optimistis: manusia mampu menjadi baik bukan
karena dipaksa oleh hukum eksternal, tetapi karena menyadari kebaikan sebagai
panggilan kodratnya.²⁴ Dalam hal ini, arete bukan sekadar teori etis,
melainkan modus keberadaan manusia yang autentik—menjadi
diri yang rasional, berbelas kasih, dan bertanggung jawab terhadap sesama serta
dunia.²⁵ Dengan memadukan filsafat klasik dan kesadaran modern, etika kebajikan
integral dapat menjadi fondasi bagi etika global yang berorientasi pada
kemanusiaan, kebijaksanaan, dan keseimbangan hidup.²⁶
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in
Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press,
1986), 331–334.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b22–1098a20.
[3]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey
(Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–173.
[4]
Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development
Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 23–25.
[5]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University
Press, 2011), 112–115.
[6]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 5–7.
[7]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals,
trans. H. J. Paton (New York: Harper & Row, 1964), 429–431.
[8]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1098a16–20.
[9]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 223–225.
[10]
Ibid., 232–234.
[11]
Martha Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality,
Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006),
151–154.
[12]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140a24–1140b12.
[13]
Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of
Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 179–181.
[14]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago:
Encyclopedia Britannica, 1952), 1074b15–35.
[15]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 310–312.
[16]
Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row,
1963), 45–47.
[17]
Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale
University Press, 1979), 114–117.
[18]
Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford
University Press, 1991), 136–138.
[19]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016),
102–104.
[20]
Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A.
Knopf, 1999), 35–38.
[21]
Nussbaum, Creating Capabilities, 52–55.
[22]
Robert C. Solomon, A Better Way to Think About Business: How
Personal Integrity Leads to Corporate Success (New York: Oxford University
Press, 1999), 18–21.
[23]
Leonardo Boff, Ethics and Ecology (Maryknoll, NY: Orbis Books,
1995), 65–68.
[24]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 211–214.
[25]
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings
Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 143–145.
[26]
Martha Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 404–407.
11. Kesimpulan
Etika kebajikan (arete) dalam filsafat
Aristoteles merupakan salah satu puncak refleksi etis dalam sejarah pemikiran
manusia. Melalui kerangka rasional, teleologis, dan humanistik, Aristoteles
menempatkan kebajikan sebagai inti dari kehidupan baik (eudaimonia),
sekaligus sebagai jalan menuju realisasi kodrat manusia sebagai makhluk
rasional dan sosial.¹ Dalam sistemnya, moralitas bukanlah sekadar kepatuhan
terhadap aturan atau pencarian akibat yang menguntungkan, melainkan aktualitas
dari karakter yang terlatih untuk bertindak baik secara sadar, terukur, dan seimbang.²
Kebajikan (arete) berakar pada pemahaman
ontologis tentang manusia: bahwa setiap makhluk memiliki telos, tujuan
kodrati yang hanya dapat dicapai melalui kesempurnaan fungsinya.³ Bagi manusia,
fungsi itu adalah rasionalitas praktis—kemampuan untuk bertindak menurut akal
budi dan kebijaksanaan (phronesis).⁴ Dengan demikian, kebajikan bukan
hanya kualitas moral, tetapi modus eksistensial yang menegaskan hakikat
manusia sebagai makhluk yang hidup sesuai dengan logos dan tanggung jawab
moralnya.⁵ Dalam struktur etika Aristotelian, arete berfungsi sebagai
prinsip penghubung antara pengetahuan dan tindakan, teori dan praksis, individu
dan komunitas.⁶
Dari sisi epistemologis, Aristoteles menegaskan
bahwa kebajikan tidak diperoleh melalui pengetahuan abstrak, tetapi melalui pengalaman,
habituasi, dan pendidikan moral.⁷ Melalui pembiasaan (ethismos),
manusia membentuk disposisi yang stabil (hexis) hingga kebaikan menjadi
bagian dari karakternya.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa etika kebajikan adalah
etika praksis—berakar pada kehidupan nyata, bukan semata pada penalaran
spekulatif.⁹ Aksiologinya berpuncak pada nilai-nilai intrinsik kebajikan:
keadilan, keberanian, kesederhanaan, dan kebijaksanaan, yang bersama-sama
mengarahkan manusia pada kesempurnaan moral dan sosial.¹⁰
Secara sosial dan politik, etika kebajikan menolak
individualisme moral. Aristoteles menegaskan bahwa manusia hanya dapat
menjadi baik dalam konteks komunitas etis (polis).¹¹ Kebaikan
bukanlah proyek solipsistik, melainkan hasil interaksi antara individu,
masyarakat, dan pendidikan moral yang berorientasi pada kebaikan bersama.¹²
Melalui polis, kebajikan menjadi konkret dalam bentuk keadilan sosial,
partisipasi politik, dan solidaritas moral antarwarga.¹³ Dengan demikian, etika
kebajikan membangun visi moral yang integratif—menyatukan dimensi pribadi dan
publik dalam satu kerangka kehidupan yang baik.¹⁴
Kritik-kritik modern terhadap Aristoteles, terutama
dari perspektif Kantian, utilitarian, dan feminis, memang menunjukkan keterbatasan
kontekstual dari etika kebajikan klasik.¹⁵ Namun, justru melalui
kritik-kritik itu etika kebajikan memperoleh revitalisasi dalam bentuk Neo-Aristotelian
Virtue Ethics, sebagaimana dikembangkan oleh Elizabeth Anscombe, Alasdair
MacIntyre, dan Martha Nussbaum.¹⁶ Dalam versi modernnya, etika kebajikan tidak
lagi terikat pada struktur sosial Yunani kuno, tetapi berkembang menjadi etika
humanistik dan interdisipliner yang mampu menjawab tantangan global:
degradasi moral, krisis ekologi, dan dehumanisasi teknologi.¹⁷
Sintesis filosofis menuju etika kebajikan
humanistik dan integral menegaskan bahwa kebajikan adalah prinsip pemersatu
antara pengetahuan, tindakan, dan nilai kemanusiaan.¹⁸ Etika ini menolak
dikotomi antara teori dan praksis, serta mengintegrasikan rasionalitas, empati,
dan tanggung jawab sosial dalam satu kesatuan moral.¹⁹ Ia membuka ruang bagi
etika lintas budaya dan profesi—dari pendidikan, kedokteran, hingga
teknologi—di mana kebajikan menjadi dasar praksis etis yang reflektif dan
kontekstual.²⁰ Dengan demikian, arete Aristotelian melampaui batas
sejarahnya dan menjelma menjadi kerangka etika universal yang menegaskan
kembali pentingnya karakter, kebijaksanaan, dan kemanusiaan di tengah dunia
modern.²¹
Akhirnya, etika kebajikan Aristoteles mengajarkan
bahwa kehidupan baik bukanlah hasil keberuntungan atau aturan eksternal,
tetapi buah dari pembentukan diri melalui refleksi dan tindakan yang benar.²² Eudaimonia
bukan sekadar kebahagiaan subjektif, melainkan keadaan keberadaan manusia
yang hidup sesuai dengan kebajikan dan rasio.²³ Dalam dunia yang terus
berubah, pesan Aristoteles tetap abadi: bahwa manusia hanya dapat mencapai
kesempurnaan dan kebahagiaan sejati bila ia hidup dengan kebajikan—secara
sadar, seimbang, dan selaras dengan kebaikan bersama.²⁴
Footnotes
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1095a17–1097b20.
[2]
Julia Annas, The Morality of Happiness (New
York: Oxford University Press, 1993), 38–40.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 1047a25–35.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140a24–28.
[5]
John M. Cooper, Reason and Human Good in
Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 89–91.
[6]
W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory
(Oxford: Clarendon Press, 1968), 122–125.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a14–25.
[8]
Nancy Sherman, The Fabric of Character:
Aristotle’s Theory of Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 29–31.
[9]
G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy
33, no. 124 (1958): 4–6.
[10]
Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 3–5.
[11]
Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett
(Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–8.
[12]
Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy
(Oxford: Oxford University Press, 2002), 25–27.
[13]
Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 329–331.
[14]
Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will
(New Haven: Yale University Press, 1979), 104–106.
[15]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. H. J. Paton (New York: Harper & Row, 1964), 421–423.
[16]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 188–191.
[17]
Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011),
30–33.
[18]
Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans.
Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.
[19]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A
Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University
Press, 2016), 102–104.
[20]
Edmund Pellegrino and David Thomasma, The
Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993),
75–78.
[21]
Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford:
Oxford University Press, 2011), 121–124.
[22]
Aristotle, Eudemian Ethics, trans. H.
Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1935), 1215a18–25.
[23]
Martha Nussbaum, Upheavals of Thought: The
Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001),
404–406.
[24]
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals:
Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 143–145.
Daftar Pustaka
Adkins, A. W. H. (1960). Merit and
responsibility: A study in Greek values. Oxford: Clarendon Press.
Annas, J. (1993). The morality of happiness.
New York: Oxford University Press.
Annas, J. (2011). Intelligent virtue.
Oxford: Oxford University Press.
Anscombe, G. E. M. (1958). Modern moral philosophy.
Philosophy, 33(124), 1–19.
Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1930). Physics (R. P. Hardie
& R. K. Gaye, Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1935). Eudemian ethics (H.
Rackham, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Aristotle. (1952). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Chicago: Encyclopedia Britannica.
Aristotle. (1957). De anima (J. A. Smith,
Trans.). Oxford: Clarendon Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Bentham, J. (1789). An introduction to the
principles of morals and legislation. London: T. Payne.
Boff, L. (1995). Ethics and ecology.
Maryknoll, NY: Orbis Books.
Broadie, S. (1991). Ethics with Aristotle.
Oxford: Oxford University Press.
Ciulla, J. B. (2004). Ethics: The heart of
leadership. Westport, CT: Praeger.
Clark, S. R. L. (1975). Aristotle’s man:
Speculations upon Aristotelian anthropology. Oxford: Clarendon Press.
Cooper, J. M. (1975). Reason and human good in
Aristotle. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
New York: Macmillan.
Dreyfus, H. L., & Dreyfus, S. E. (1986). Mind
over machine. New York: Free Press.
Etzioni, A. (1993). The spirit of community:
Rights, responsibilities, and the communitarian agenda. New York: Crown
Publishers.
Gadamer, H.-G. (1994). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.
Hardie, W. F. R. (1968). Aristotle’s ethical
theory. Oxford: Clarendon Press.
Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics.
Oxford: Oxford University Press.
Hursthouse, R., & Pettigrove, G. (2018). Virtue
ethics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy
(Spring 2018 ed.). Retrieved from ethics-virtue
Jaeger, W. (1948). Aristotle: Fundamentals of
the history of his development (R. Robinson, Trans.). Oxford: Clarendon
Press.
Jaeger, W. (1945). Paideia: The ideals of Greek
culture (G. Highet, Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Kant, I. (1964). Groundwork for the metaphysics
of morals (H. J. Paton, Trans.). New York: Harper & Row.
Kenny, A. (1979). Aristotle’s theory of the will.
New Haven, CT: Yale University Press.
Kohlberg, L. (1984). Essays on moral
development, Vol. II: The psychology of moral development. San Francisco,
CA: Harper & Row.
Kraut, R. (1989). Aristotle on the human good.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Kraut, R. (2002). Aristotle: Political
philosophy. Oxford: Oxford University Press.
MacIntyre, A. (1998). A short history of ethics.
London: Routledge.
MacIntyre, A. (1999). Dependent rational
animals: Why human beings need the virtues. Chicago, IL: Open Court.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.
Mill, J. S. (1861). Utilitarianism. London:
Parker, Son, and Bourn.
Noddings, N. (1992). The challenge to care in
schools. New York: Teachers College Press.
Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of
goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge:
Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A
classical defense of reform in liberal education. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought:
The intelligence of emotions. Cambridge: Cambridge University Press.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice:
Disability, nationality, species membership. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities:
The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1993). The
virtues in medical practice. New York: Oxford University Press.
Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character
strengths and virtues: A handbook and classification. New York: Oxford
University Press.
Plato. (1975). Protagoras (W. K. C. Guthrie,
Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube
& C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K.
Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.
Rolston, H., III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Philadelphia, PA: Temple
University Press.
Sen, A. (1999). Development as freedom. New
York: Alfred A. Knopf.
Sherman, N. (1989). The fabric of character:
Aristotle’s theory of virtue. Oxford: Clarendon Press.
Solomon, R. C. (1992). Ethics and excellence:
Cooperation and integrity in business. New York: Oxford University Press.
Solomon, R. C. (1999). A better way to think
about business: How personal integrity leads to corporate success. New
York: Oxford University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Tillich, P. (1963). Morality and beyond. New
York: Harper & Row.
Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A
philosophical guide to a future worth wanting. New York: Oxford University
Press.
Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral
philosopher. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Wood, A. (1999). Kant’s ethical thought.
Cambridge: Cambridge University Press.
.png)