Sabtu, 01 November 2025

Kebajikan (Arete): Jalan Tengah Menuju Kehidupan Baik (Eudaimonia)

Kebajikan (Arete)

Jalan Tengah Menuju Kehidupan Baik (Eudaimonia)


Alihkan ke: Pemikiran Aristoteles.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep kebajikan (arete) dalam etika Aristoteles sebagai fondasi filosofis bagi pencarian kehidupan baik (eudaimonia). Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologis, tulisan ini menyoroti bahwa kebajikan bagi Aristoteles bukan sekadar norma moral, melainkan modus eksistensial manusia yang bertindak sesuai dengan rasio dan keseimbangan (mesotes). Kajian ini menelusuri akar genealogis konsep arete dari tradisi Yunani klasik—dari Socrates dan Plato—hingga formulasi sistematisnya dalam Nicomachean Ethics, serta menjelaskan integrasinya dengan filsafat politik dan pendidikan moral dalam polis.

Pembahasan dilanjutkan dengan analisis epistemologi kebajikan melalui phronesis (kebijaksanaan praktis) sebagai bentuk pengetahuan etis yang diperoleh melalui habituasi, refleksi, dan pengalaman. Secara aksiologis, kebajikan dipahami sebagai nilai intrinsik yang menuntun tindakan manusia menuju keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kebaikan bersama. Artikel ini juga mengulas dimensi sosial, politik, ilmiah, dan interdisipliner dari etika kebajikan Aristotelian, termasuk relevansinya bagi pendidikan karakter, kepemimpinan moral, etika profesi, dan teknologi modern.

Dalam konteks kontemporer, etika kebajikan dinilai mampu menawarkan alternatif humanistik terhadap etika deontologis dan utilitarian, karena menekankan pembentukan karakter dan integritas personal daripada sekadar kepatuhan terhadap aturan atau pencapaian hasil. Melalui sintesis filosofis, artikel ini mengusulkan pembacaan ulang terhadap etika kebajikan Aristotelian menuju etika kebajikan humanistik dan integral—yakni etika yang memadukan rasionalitas, moralitas, dan kemanusiaan sebagai dasar praksis etis global.

Kata Kunci: Aristoteles, Kebajikan (Arete), Eudaimonia, Phronesis, Etika Kebajikan, Humanisme, Jalan Tengah (Mesotes), Etika Humanistik Integral.


PEMBAHASAN

Konsep Kebajikan (Arete) dalam Filsafat Moral Klasik


1.           Pendahuluan

Konsep kebajikan (ἀρετή / arete) dalam filsafat Aristoteles menempati posisi sentral dalam keseluruhan bangunan etika klasik Yunani. Dalam karya monumentalnya Nicomachean Ethics, Aristoteles berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia dapat hidup baik dan mencapai kebahagiaan sejati (εὐδαιμονία / eudaimonia).¹ Bagi Aristoteles, kebahagiaan bukanlah sekadar kenikmatan atau keberhasilan eksternal, melainkan hasil dari aktualisasi potensi tertinggi manusia melalui kebajikan.² Dengan demikian, arete bukanlah tujuan yang terpisah, melainkan jalan yang memungkinkan manusia mencapai telos atau tujuan hidupnya yang paling esensial.

Latar belakang historis konsep ini tidak dapat dilepaskan dari tradisi etika Yunani sebelumnya. Socrates menekankan bahwa kebajikan identik dengan pengetahuan, sementara Plato memandangnya sebagai keteraturan jiwa yang selaras dengan ide kebaikan.³ Aristoteles melanjutkan warisan ini dengan memberikan pendekatan empiris dan teleologis: kebajikan harus dipahami dalam konteks fungsi khas manusia, yakni aktivitas rasional yang dijalankan dengan baik.⁴ Dalam pandangan ini, etika bukanlah teori normatif yang abstrak, melainkan ilmu praktis yang menuntun tindakan manusia menuju kehidupan yang baik dalam komunitas (polis).⁵

Urgensi pembahasan mengenai kebajikan Aristotelian tidak hanya bersifat historis, tetapi juga filosofis dan etis bagi zaman modern. Dalam konteks krisis moral kontemporer—dari degradasi sosial hingga instrumentalisasi rasionalitas—gagasan Aristoteles tentang kebajikan menawarkan alternatif humanistik yang menekankan keseimbangan, karakter, dan kearifan praktis (phronesis).⁶ Etika kebajikan tidak mendasarkan moralitas pada aturan eksternal seperti dalam deontologi, atau pada hasil tindakan seperti dalam utilitarianisme, melainkan pada pembentukan diri sebagai manusia yang baik melalui kebiasaan moral yang konsisten.⁷

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis konsep kebajikan (arete) dalam pemikiran Aristoteles, dengan meninjau aspek-aspek historis, ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Melalui kajian ini, diharapkan dapat ditunjukkan bahwa etika kebajikan Aristotelian tidak hanya relevan dalam konteks moral individual, tetapi juga mendasari etika sosial dan politik yang integral. Pendekatan metodologis yang digunakan bersifat analitis-hermeneutik, dengan membaca teks Aristoteles secara konseptual dan menempatkannya dalam dialog kritis dengan etika modern.⁸ Dengan demikian, tulisan ini menjadi upaya untuk menegaskan kembali makna arete sebagai jalan tengah menuju kehidupan manusia yang baik, bijak, dan bermartabat.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1095a16–20.

[2]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 214.

[3]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 26–29.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1097b22–1098a20.

[5]                Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale University Press, 1979), 54–56.

[6]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 187–192.

[7]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 3–5.

[8]                Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 17–19.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Pemahaman terhadap konsep kebajikan (arete) dalam filsafat Aristoteles tidak dapat dilepaskan dari akar historisnya dalam tradisi etika Yunani klasik, yang mengalami evolusi dari masa pra-Sokratik hingga sistematisasi etis oleh Socrates, Plato, dan akhirnya Aristoteles sendiri. Dalam konteks ini, arete awalnya memiliki makna yang luas, mencakup segala bentuk keunggulan atau keutamaan dalam menjalankan fungsi sesuai dengan hakikat sesuatu—baik manusia, kuda, maupun alat.¹ Dalam Homeric Ethics, arete lebih berkaitan dengan keberanian, kekuatan, dan kehormatan dalam konteks kepahlawanan (aretê of heroes), bukan dengan moralitas reflektif.² Namun, seiring dengan berkembangnya pemikiran filsafat di Yunani, makna arete bergeser dari keunggulan fungsional menuju keutamaan moral dan rasionalitas manusia.

Socrates menjadi figur penting dalam perubahan makna tersebut. Ia mengajukan tesis bahwa pengetahuan adalah kebajikan (virtue is knowledge)—bahwa seseorang berbuat baik karena ia mengetahui apa yang baik.³ Bagi Socrates, kejahatan merupakan akibat dari ketidaktahuan (ignorance), bukan kehendak jahat. Perspektif ini menandai rasionalisasi moralitas dan meletakkan dasar bagi etika intelektualis.⁴ Sementara itu, Plato mengembangkan gagasan Socrates dengan menempatkan kebajikan dalam struktur metafisik ide. Dalam dialog Republic, ia mengajarkan bahwa kebajikan adalah harmoni jiwa, di mana bagian rasional (logos), keberanian (thymos), dan keinginan (epithymia) bekerja secara selaras di bawah tuntunan akal.⁵

Aristoteles kemudian mengkritisi sekaligus menyempurnakan kedua pendahulunya. Ia menolak pandangan Plato yang menempatkan kebajikan sebagai bentuk ideal yang terpisah dari dunia empiris. Bagi Aristoteles, kebajikan hanya dapat diwujudkan dalam praksis manusia nyata, bukan dalam dunia ide.⁶ Dengan pendekatan yang lebih teleologis dan empiris, Aristoteles mendefinisikan arete sebagai keadaan karakter yang memilih jalan tengah (mesotes) antara dua ekstrem, sesuai dengan rasionalitas yang benar (orthos logos).⁷ Melalui konsep ini, ia menghubungkan kebajikan dengan fungsi khas manusia (ergon), yaitu aktivitas rasional yang dijalankan dengan baik.⁸

Konteks sosial dan politik pada masa Aristoteles turut memberi pengaruh signifikan terhadap konsepsi kebajikannya. Hidup dalam era polis Athena, Aristoteles melihat manusia sebagai makhluk sosial (zoon politikon) yang hanya dapat mewujudkan kebaikan tertingginya dalam komunitas politik.⁹ Dengan demikian, etika baginya tidak bersifat individualistis, melainkan terkait erat dengan kehidupan publik dan pendidikan moral warga negara. Dalam Politics, ia menegaskan bahwa tujuan utama negara bukan sekadar menjaga ketertiban, melainkan membentuk warga yang berbudi luhur dan berbahagia.¹⁰ Maka, arete dalam kerangka Aristotelian tidak hanya menjadi urusan pribadi, tetapi juga fondasi moral bagi tatanan sosial yang adil dan beradab.

Dengan demikian, secara genealogis, konsep kebajikan Aristoteles merupakan sintesis historis antara etika heroik, rasionalisme Socratic, dan idealisme Platonic. Namun, Aristoteles berhasil mengalihkan perhatian dari dimensi metafisik menuju dimensi praktis kehidupan manusia, sehingga etika kebajikan tampil sebagai filsafat tindakan yang membumi, berorientasi pada pendidikan moral, dan berpuncak pada pencapaian eudaimonia sebagai tujuan hidup tertinggi manusia.¹¹


Footnotes

[1]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development, trans. Richard Robinson (Oxford: Clarendon Press, 1948), 116–118.

[2]                A. W. H. Adkins, Merit and Responsibility: A Study in Greek Values (Oxford: Clarendon Press, 1960), 33–36.

[3]                Plato, Protagoras, trans. W. K. C. Guthrie (Cambridge: Harvard University Press, 1975), 351b–c.

[4]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 87–89.

[5]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, rev. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 441c–444e.

[6]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 1076a10–15.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106b36–1107a2.

[8]                John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 94–98.

[9]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–7.

[10]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 329–331.

[11]             Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics (London: Routledge, 1998), 64–68.


3.           Ontologi Kebajikan (Arete)

Dalam sistem filsafat Aristoteles, ontologi kebajikan (arete) berakar pada pemahamannya tentang hakikat manusia sebagai makhluk rasional yang bertujuan (teleologis). Segala sesuatu di alam memiliki telos—tujuan atau akhir yang menjadi realisasi sempurna dari kodratnya.¹ Dengan demikian, manusia mencapai kesempurnaannya bukan melalui kenikmatan atau kekuasaan, tetapi melalui aktualisasi kemampuan rasionalnya secara benar dan seimbang. Dalam konteks inilah arete dimengerti sebagai keunggulan atau keutamaan dalam menjalankan fungsi manusia sesuai kodratnya (ergon anthrōpou).²

Bagi Aristoteles, arete bukanlah entitas metafisik yang berdiri sendiri, melainkan modus eksistensi moral manusia yang mengarahkan tindakan kepada kebaikan tertinggi (agathon).³ Dengan demikian, kebajikan memiliki dimensi ontologis ganda: pertama, sebagai hexis (keadaan karakter tetap) yang dimiliki subjek moral; kedua, sebagai energeia (aktualitas) yang mewujud dalam tindakan konkret.⁴ Kedua aspek ini menunjukkan bahwa kebajikan bukan sekadar potensi atau niat baik, melainkan kondisi keberadaan manusia yang dinamis—sebuah “cara berada” yang selaras dengan rasio dan tujuan hidupnya.⁵

Konsep ontologis ini semakin jelas dalam definisi klasik Aristoteles: “Kebajikan adalah keadaan karakter yang memilih, terletak di jalan tengah (mesotes) relatif terhadap kita, sebagaimana ditentukan oleh rasio, dan seperti yang akan ditentukan oleh orang yang bijaksana (phronimos).”⁶ Prinsip mesotes menandai struktur ontologis kebajikan sebagai keseimbangan dinamis antara dua ekstrem—kelebihan dan kekurangan—yang disesuaikan dengan konteks manusia konkret.⁷ Dengan kata lain, kebajikan bukanlah titik statis, melainkan modus eksistensial yang ditemukan melalui praktik reflektif dan pembiasaan moral (ethos).

Ontologi arete juga berhubungan erat dengan struktur jiwa manusia sebagaimana dijelaskan Aristoteles dalam De Anima. Jiwa terdiri dari bagian rasional (to logistikon) dan non-rasional (to alogon), namun bagian non-rasional dapat tunduk pada rasio melalui kebiasaan dan pendidikan moral.⁸ Oleh karena itu, kebajikan moral muncul ketika bagian emosional manusia telah “diformasikan” oleh akal budi, sehingga tindakan etis menjadi spontan dan harmonis. Dalam kondisi ini, arete bukanlah pemaksaan kehendak, melainkan ekspresi alami dari jiwa yang telah mencapai keseimbangan ontologis.⁹

Lebih lanjut, Aristoteles membedakan antara kebajikan moral (ēthikai aretai) dan kebajikan intelektual (dianoētikai aretai).¹⁰ Kebajikan moral berkaitan dengan kehendak, emosi, dan tindakan, sedangkan kebajikan intelektual berhubungan dengan akal dan pengetahuan. Hubungan keduanya bersifat komplementer: tanpa kebajikan intelektual seperti phronesis (kebijaksanaan praktis), kebajikan moral tidak memiliki arah; sebaliknya, tanpa kebajikan moral, kebijaksanaan menjadi steril dan tidak bermoral.¹¹ Struktur ontologis ini menunjukkan bahwa manusia yang berbudi bukan hanya yang mengetahui yang baik, tetapi juga yang menjadi baik melalui integrasi rasio dan karakter.

Secara metafisik, arete menempati posisi perantara antara potensi (dynamis) dan aktualitas (energeia).¹² Ia merupakan prinsip penggerak yang memungkinkan manusia beralih dari potensi moral menjadi aktualisasi kebajikan yang nyata. Dalam pengertian ini, kebajikan adalah modus keberadaan yang sempurna secara fungsional, karena ia merepresentasikan pelaksanaan yang baik dari kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan sosial.¹³ Dengan demikian, arete merupakan kategori ontologis yang menegaskan bahwa kebaikan bukan hanya objek pengetahuan, melainkan cara manusia “ada” dalam keselarasan dengan tujuan eksistensialnya (to telos tou biou).¹⁴

Kesimpulannya, arete dalam kerangka ontologi Aristotelian merupakan realitas eksistensial yang menghubungkan esensi, rasionalitas, dan praksis manusia. Ia adalah bentuk aktual dari kehidupan yang baik, di mana akal dan karakter menyatu dalam tindakan etis yang konsisten. Melalui kebajikan, manusia tidak sekadar mengetahui kebaikan, tetapi menjadi baik—mewujudkan hakikat ontologisnya sebagai makhluk yang mencapai kesempurnaan melalui rasionalitas dan kebiasaan moral.¹⁵


Footnotes

[1]                Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), 194a28–32.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1098a7–18.

[3]                G. E. M. Anscombe, Modern Moral Philosophy (Philosophy 33, no. 124, 1958), 4–6.

[4]                John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 89–92.

[5]                Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton: Princeton University Press, 1989), 137–140.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106b36–1107a2.

[7]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 7–10.

[8]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Oxford: Clarendon Press, 1957), 432a9–14.

[9]                Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale University Press, 1979), 72–74.

[10]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a1–10.

[11]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 302–305.

[12]             Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 1047a25–35.

[13]             Stephen R. L. Clark, Aristotle’s Man: Speculations upon Aristotelian Anthropology (Oxford: Clarendon Press, 1975), 122–124.

[14]             Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 45–48.

[15]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 165–167.


4.           Epistemologi Kebajikan (Arete)

Konsep epistemologi kebajikan (arete) dalam filsafat Aristoteles menyoroti bagaimana manusia mengetahui, memahami, dan menginternalisasi kebajikan moral. Pengetahuan etis, bagi Aristoteles, tidak semata-mata bersifat teoretis (epistēmē), melainkan juga praktis (praxis) dan habituatif (ethos).¹ Ia menolak pandangan intelektualisme moral Socrates yang menyamakan pengetahuan dengan kebajikan, dengan menegaskan bahwa seseorang tidak serta-merta menjadi baik hanya karena ia mengetahui apa yang baik.² Pengetahuan moral dalam kerangka Aristotelian bukanlah pengetahuan proposisional yang pasif, tetapi pengetahuan yang diwujudkan melalui tindakan yang benar dan konsisten

Proses epistemologis kebajikan dimulai dari pengalaman empiris dan habituasi moral. Aristoteles menulis bahwa “kita menjadi adil dengan melakukan tindakan yang adil, dan menjadi berani dengan melakukan tindakan yang berani.”⁴ Ini berarti kebajikan diperoleh melalui proses pembiasaan (ethismos), di mana tindakan yang diulang secara sadar membentuk disposisi karakter (hexis).⁵ Pengetahuan moral tumbuh bukan dari instruksi teoretis semata, melainkan dari keterlibatan praktis dalam tindakan yang sesuai dengan rasio. Dengan demikian, epistemologi kebajikan bersifat embodied—menyatu dengan tubuh, kebiasaan, dan konteks sosial manusia.⁶

Dalam kerangka ini, Aristoteles memperkenalkan konsep penting phronesis (practical wisdom), yaitu kebijaksanaan praktis yang memungkinkan seseorang menilai dan memutuskan tindakan terbaik dalam situasi konkret.⁷ Phronesis bukan sekadar kemampuan intelektual, tetapi pengetahuan etis yang berakar pada pengalaman, kepekaan moral, dan penilaian rasional.⁸ Melalui phronesis, seseorang dapat menemukan mesotes—jalan tengah yang tepat—karena ia mampu mempertimbangkan konteks, tujuan, dan akibat tindakan secara utuh. Dengan demikian, phronesis menjadi jembatan epistemologis antara pengetahuan moral dan tindakan etis.⁹

Lebih lanjut, Aristoteles membedakan antara pengetahuan teoretis (sophia) dan pengetahuan praktis (phronesis). Sophia berorientasi pada kebenaran universal dan kontemplatif, sementara phronesis berorientasi pada tindakan yang baik bagi kehidupan manusia.¹⁰ Dalam konteks etika, phronesis memiliki kedudukan lebih tinggi karena ia menentukan bagaimana kebajikan moral dijalankan dalam kehidupan nyata.¹¹ Dengan demikian, epistemologi kebajikan Aristotelian menolak dikotomi antara pengetahuan dan tindakan; keduanya merupakan satu kesatuan yang hanya dapat dipahami melalui praksis yang berkelanjutan.¹²

Dimensi sosial juga memainkan peran penting dalam pembentukan pengetahuan moral. Aristoteles menegaskan bahwa manusia adalah zoon politikon—makhluk yang belajar menjadi baik dalam kehidupan bersama.¹³ Artinya, kebajikan tidak dapat berkembang dalam isolasi, tetapi melalui interaksi dengan komunitas moral yang menanamkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Dalam Politics, Aristoteles menulis bahwa pendidikan moral warga negara adalah tujuan utama polis, sebab melalui pendidikanlah phronesis dan arete dapat diwariskan.¹⁴ Dengan demikian, epistemologi kebajikan memiliki dimensi sosial dan pedagogis yang erat, menekankan pentingnya pembentukan karakter melalui komunitas etis.¹⁵

Dari perspektif ontologis-epistemologis, kebajikan adalah hasil dari integrasi antara rasionalitas dan pengalaman. Ia bukan sekadar pengetahuan deduktif, tetapi knowing-how—pengetahuan praktis yang mengarahkan tindakan sesuai dengan akal budi.¹⁶ Dalam hal ini, Aristoteles mendekati apa yang kini disebut sebagai “epistemologi performatif”, di mana pengetahuan sejati hanya ada sejauh ia diwujudkan dalam tindakan moral yang benar.¹⁷ Maka, arete bukanlah sekadar diketahui, melainkan dihidupi; kebajikan bukanlah teori tentang kebaikan, melainkan pengetahuan yang menjelma menjadi keberadaan yang baik.¹⁸


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a1–10.

[2]                Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1991), 120–123.

[3]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 36–38.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103b1–5.

[5]                John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 94–96.

[6]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 298–300.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140a24–28.

[8]                Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale University Press, 1979), 85–88.

[9]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 54–57.

[10]             Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 982b10–20.

[11]             W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon Press, 1968), 181–183.

[12]             G. E. M. Anscombe, Modern Moral Philosophy (Philosophy 33, no. 124, 1958), 12–14.

[13]             Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–8.

[14]             Aristotle, Politics, 1337a10–15.

[15]             Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 89–91.

[16]             Hubert Dreyfus and Stuart Dreyfus, Mind over Machine (New York: Free Press, 1986), 35–39.

[17]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 191–194.

[18]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 16–18.


5.           Aksiologi dan Etika Kebajikan

Dalam kerangka filsafat Aristoteles, aksiologi kebajikan (arete) menempati posisi sentral dalam memahami nilai moral dan tujuan akhir kehidupan manusia. Aksiologi—sebagai kajian tentang nilai—mengarahkan perhatian pada pertanyaan: apa yang membuat kehidupan bernilai baik dan layak dijalani? Bagi Aristoteles, jawaban atas pertanyaan ini terletak pada pencapaian eudaimonia, yaitu kebahagiaan sejati yang diperoleh melalui aktualisasi kebajikan.¹ Nilai moral tidak berdiri terpisah dari tindakan manusia, tetapi melekat pada cara manusia mewujudkan potensinya secara rasional dan bermoral. Dalam hal ini, kebajikan merupakan nilai intrinsik sekaligus instrumen menuju kebaikan tertinggi (summum bonum).²

Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan memiliki nilai bukan karena ia menghasilkan sesuatu yang lain, melainkan karena ia sendiri merupakan bentuk kehidupan yang baik dan sempurnaArete menjadi ukuran nilai moral karena ia mengatur kehendak dan emosi agar selaras dengan rasio yang benar (orthos logos).⁴ Dengan demikian, tindakan bermoral bukanlah hasil pemenuhan aturan eksternal sebagaimana dalam etika deontologis, melainkan hasil pembentukan karakter yang bernilai dari dalam diri pelaku moral.⁵ Etika kebajikan dengan demikian menolak pandangan moralitas yang mekanistik dan menggantinya dengan konsepsi nilai yang berbasis karakter (character-based ethics).

Dalam konteks aksiologis, Aristoteles membedakan dua jenis nilai kebajikan: nilai moral (ēthikai aretai) dan nilai intelektual (dianoētikai aretai).⁶ Nilai moral berkaitan dengan pengendalian nafsu dan emosi—seperti keberanian, keadilan, dan kemurahan hati—sementara nilai intelektual berkaitan dengan kemampuan berpikir, seperti phronesis (kebijaksanaan praktis) dan sophia (kebijaksanaan teoretis).⁷ Keduanya saling melengkapi: tanpa kebijaksanaan praktis, kebajikan moral tidak terarah; tanpa kebajikan moral, kebijaksanaan kehilangan nilai moralnya. Struktur ini menunjukkan bahwa nilai moral tertinggi bukanlah kesenangan (hedone), melainkan kesempurnaan hidup yang dijalankan secara rasional dan berimbang.⁸

Etika kebajikan Aristotelian juga mengandung dimensi sosial dan politis yang bernilai tinggi. Bagi Aristoteles, kebajikan tidak dapat diwujudkan di luar kehidupan bersama dalam polis.⁹ Arete tidak hanya membentuk individu yang baik, tetapi juga masyarakat yang adil dan harmonis. Ia menulis bahwa “tujuan negara bukan sekadar hidup bersama, tetapi hidup baik bersama.”¹⁰ Artinya, nilai kebajikan berfungsi sebagai fondasi bagi kehidupan sosial-politik yang bermoral, di mana keadilan dan solidaritas menjadi ekspresi konkret dari kebajikan kolektif.¹¹ Nilai-nilai seperti keadilan distributif, moderasi, dan keutamaan publik (civic virtue) menunjukkan bahwa etika kebajikan tidak bersifat individualistis, melainkan mengarahkan manusia pada kesempurnaan moral dalam komunitas etis.¹²

Dalam kerangka aksiologi modern, pandangan Aristoteles sering dibandingkan dengan dua arus besar: etika kewajiban (Kantian) dan etika konsekuensialis (utilitarianisme). Etika kebajikan berbeda dari keduanya karena menilai tindakan bukan dari aturan atau akibatnya, tetapi dari karakter pelaku moral dan tujuan hidupnya.¹³ Dalam etika Aristotelian, nilai moral tertinggi bukanlah ketaatan atau manfaat, melainkan keutuhan moral (integritas) yang tercermin dalam kebiasaan bertindak benar.¹⁴ Dengan demikian, kebajikan bukanlah sarana menuju nilai eksternal, melainkan nilai yang mempersatukan pengetahuan, kehendak, dan tujuan moral manusia.

Dimensi aksiologis ini juga memiliki implikasi kontemporer. Dalam dunia yang cenderung mengukur nilai berdasarkan utilitas, kekuasaan, atau efisiensi, etika kebajikan mengingatkan bahwa nilai moral sejati terletak pada kesempurnaan karakter manusia dan keharmonisan sosial.¹⁵ Aristoteles menunjukkan bahwa hanya melalui kebajikan manusia dapat menemukan makna hidupnya secara penuh, karena kebajikan bukan sekadar “berbuat baik,” melainkan “menjadi baik”—suatu kondisi keberadaan yang bernilai pada dirinya sendiri.¹⁶


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1095a17–1098a18.

[2]                John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 87–90.

[3]                G. E. M. Anscombe, Modern Moral Philosophy (Philosophy 33, no. 124, 1958), 10–12.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1106b36–1107a2.

[5]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 3–5.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a1–10.

[7]                Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale University Press, 1979), 95–98.

[8]                W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon Press, 1968), 182–185.

[9]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–8.

[10]             Aristotle, Politics, 1280b7–10.

[11]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 329–331.

[12]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 188–191.

[13]             Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 9–11.

[14]             Roger Crisp and Michael Slote, eds., Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1997), 15–18.

[15]             MacIntyre, After Virtue, 256–258.

[16]             Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 72–75.


6.           Dimensi Sosial, Politik, dan Pendidikan

Konsep kebajikan (arete) dalam filsafat Aristoteles tidak hanya beroperasi dalam ranah etika individual, tetapi juga memiliki dimensi sosial, politik, dan pendidikan yang mendalam. Aristoteles memandang manusia sebagai zoon politikon—makhluk sosial-politik yang hanya dapat mencapai kesempurnaan moralnya dalam kehidupan bersama.¹ Manusia, menurutnya, tidak dapat hidup baik (eu zen) tanpa hidup dalam polis (komunitas politik), karena di sanalah kebajikan memperoleh konteks praksisnya.² Dengan demikian, kebajikan bukan sekadar kualitas pribadi, tetapi prinsip yang membentuk kehidupan sosial dan politik yang adil serta beradab.

6.1.       Kebajikan sebagai Fondasi Kehidupan Sosial

Dalam Nicomachean Ethics dan Politics, Aristoteles menegaskan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) tidak mungkin dicapai tanpa kehidupan bersama dalam komunitas moral.³ Arete memungkinkan individu untuk berelasi dengan sesama secara etis, melalui keadilan, persahabatan (philia), dan solidaritas. Keadilan (dikaiosyne), bagi Aristoteles, adalah “kebajikan yang sempurna” karena ia mengatur hubungan antarindividu demi kebaikan bersama.⁴ Maka, nilai sosial kebajikan terletak pada kemampuannya mengatur keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif.

Dalam konteks ini, kebajikan bukanlah perilaku altruistik yang mengorbankan diri, tetapi keselarasan antara kepentingan diri dan kebaikan umum.⁵ Seseorang yang berkeadilan bertindak demi harmoni sosial, bukan sekadar karena kewajiban, melainkan karena telah membentuk karakter yang memahami bahwa hidup baik hanya mungkin dalam tatanan sosial yang adil.⁶ Dengan demikian, kebajikan sosial dalam pemikiran Aristoteles menegaskan interdependensi antara moralitas pribadi dan struktur etis masyarakat.

6.2.       Kebajikan dan Politik sebagai Etika Terapan

Bagi Aristoteles, politik merupakan cabang tertinggi dari filsafat praktis karena ia mengatur seluruh aktivitas manusia menuju kebaikan tertinggi (summum bonum).⁷ Etika dan politik tidak dipisahkan, sebab keduanya memiliki tujuan yang sama: pembentukan manusia baik dan warga negara yang berbudi luhur.⁸ Ia menulis, “tujuan negara bukan hanya hidup bersama, tetapi hidup baik bersama.”⁹ Dengan demikian, polis berfungsi bukan hanya sebagai organisasi kekuasaan, melainkan sebagai ruang pedagogis bagi pembentukan kebajikan.

Aristoteles menolak pandangan sofistik yang melihat politik semata sebagai seni retorika atau alat mencapai kekuasaan.¹⁰ Baginya, politik sejati adalah etika dalam skala publik—praktik rasional kolektif untuk menciptakan keadilan, kesetaraan, dan kebahagiaan bersama.¹¹ Oleh karena itu, keadilan distributif dan partisipasi politik adalah sarana bagi warga untuk menumbuhkan phronesis (kebijaksanaan praktis) secara kolektif.¹² Dalam konteks ini, kebajikan menjadi ukuran legitimasi politik: negara yang baik adalah negara yang menumbuhkan karakter warganya.¹³

6.3.       Pendidikan Moral sebagai Jalan Menuju Kebajikan

Aristoteles memberikan perhatian besar terhadap peran pendidikan (paideia) sebagai sarana pembentukan karakter moral. Dalam Politics (1337a), ia menegaskan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, karena tidak ada kebajikan tanpa pembiasaan moral yang sistematis.¹⁴ Proses pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi pembentukan disposisi moral dan rasionalitas praktis. Anak-anak harus dilatih mencintai kebaikan sebelum mampu memahaminya secara intelektual, sebab etika dimulai dari kebiasaan yang baik sebelum kesadaran reflektif.¹⁵

Pendidikan moral juga memiliki dimensi sosial, karena dilakukan dalam kerangka polis yang menanamkan nilai-nilai kebajikan bersama.¹⁶ Dalam sistem Aristotelian, pembentukan moral tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial dan politik yang mendukungnya.¹⁷ Oleh karena itu, pendidikan kebajikan merupakan fondasi bagi keberlangsungan kehidupan politik yang adil dan stabil.¹⁸ Dalam masyarakat modern, gagasan ini tetap relevan: pendidikan bukan hanya alat mobilitas sosial, tetapi sarana pengembangan manusia seutuhnya dalam kerangka tanggung jawab sosial.¹⁹

6.4.       Integrasi Sosial, Politik, dan Pedagogis Kebajikan

Dengan menggabungkan etika, politik, dan pendidikan, Aristoteles membangun pandangan yang holistik tentang kebajikan sebagai proyek manusia dan masyarakat. Kebajikan tidak mungkin berkembang dalam isolasi moral; ia menuntut komunitas yang menanamkan nilai-nilai bersama dan politik yang berorientasi pada pembentukan warga negara yang baik.²⁰ Dalam hal ini, arete adalah prinsip etis yang menegaskan bahwa kehidupan baik adalah kehidupan bersama yang diatur oleh rasio, keadilan, dan pendidikan moral.²¹


Footnotes

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–8.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b10–15.

[3]                Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 21–23.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1129b26–1130a5.

[5]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 119–122.

[6]                Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 94–97.

[7]                Aristotle, Politics, 1252a1–7.

[8]                Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale University Press, 1979), 101–104.

[9]                Aristotle, Politics, 1280b7–10.

[10]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 329–331.

[11]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 192–195.

[12]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1130b30–1131a10.

[13]             W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon Press, 1968), 193–196.

[14]             Aristotle, Politics, 1337a10–15.

[15]             John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 102–105.

[16]             Werner Jaeger, Paideia: The Ideals of Greek Culture, trans. Gilbert Highet (Oxford: Oxford University Press, 1945), 95–99.

[17]             Martha Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 21–24.

[18]             Richard Kraut, Aristotle on the Human Good (Princeton: Princeton University Press, 1989), 210–213.

[19]             Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 119–122.

[20]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 18–20.

[21]             Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 98–101.


7.           Dimensi Ilmiah dan Interdisipliner

Etika kebajikan Aristoteles tidak hanya merupakan sistem moral klasik, tetapi juga memiliki dimensi ilmiah dan interdisipliner yang luas. Gagasannya tentang arete melampaui batas-batas etika normatif, karena menyentuh dasar-dasar epistemologi, psikologi, pendidikan, politik, dan bahkan ilmu sosial kontemporer.¹ Hal ini karena Aristoteles tidak pernah memisahkan etika dari ilmu pengetahuan (epistēmē), melainkan menempatkannya sebagai bagian dari ilmu praktis (praxis) yang bertujuan membentuk manusia rasional yang hidup sesuai dengan fungsi kodratnya (ergon anthrōpou).²

7.1.       Hubungan Etika Kebajikan dengan Ilmu Pengetahuan dan Rasionalitas Praktis

Dalam sistem pengetahuan Aristotelian, terdapat tiga jenis ilmu: teoretis (theōria), praktis (praxis), dan produktif (poiesis).³ Etika kebajikan termasuk dalam kategori ilmu praktis karena berhubungan dengan tindakan manusia yang bertujuan baik. Namun, berbeda dengan ilmu empiris yang mencari kepastian universal, etika kebajikan beroperasi pada ranah kemungkinan (to endechomenon)—ia bersifat rasional, tetapi kontekstual dan situasional.⁴ Hal ini menunjukkan bahwa etika kebajikan memiliki karakter ilmiah yang reflektif dan rasional, meskipun tidak matematis.

Dengan demikian, Aristoteles menegaskan bahwa etika memiliki dasar ilmiah sejauh ia menggunakan rasio untuk memahami sebab dan tujuan tindakan moral.⁵ Ia menolak relativisme etis, tetapi juga menghindari absolutisme logis; kebajikan adalah hasil dari rasionalitas praktis (phronesis) yang menimbang berbagai kemungkinan secara bijaksana.⁶ Dengan pendekatan ini, Aristoteles mendasari cikal bakal metode ilmiah reflektif—sebuah cara berpikir yang tidak hanya deduktif, tetapi juga dialogis dan kontekstual.

7.2.       Keterkaitan dengan Psikologi Moral dan Ilmu Perilaku

Konsep kebajikan Aristotelian memiliki resonansi kuat dengan psikologi moral modern, terutama dalam bidang pengembangan karakter dan teori kebiasaan.⁷ Aristoteles memandang kebajikan sebagai hexis (keadaan karakter yang stabil) yang terbentuk melalui habituasi dan pendidikan.⁸ Konsep ini sejalan dengan teori pembelajaran modern yang menekankan peran pengalaman dan latihan berulang dalam pembentukan disposisi moral.⁹ Dalam perspektif psikologi kontemporer, kebajikan dapat dipahami sebagai hasil dari internalized moral motivation, yakni kecenderungan bertindak baik karena nilai tersebut telah menjadi bagian dari diri.¹⁰

Penelitian psikologi positif modern yang digagas oleh Martin Seligman dan Christopher Peterson, misalnya, mengembangkan pendekatan Character Strengths and Virtues yang secara eksplisit berakar pada etika kebajikan Aristoteles.¹¹ Mereka mengklasifikasikan kebajikan universal seperti kebijaksanaan, keberanian, kemanusiaan, keadilan, kesederhanaan, dan transendensi—yang semuanya memiliki paralel dengan arete Aristotelian.¹² Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Aristoteles menjadi pelopor etika empiris tentang kebajikan, di mana moralitas dapat dipahami, diukur, dan dikembangkan melalui kebiasaan dan pendidikan.

7.3.       Hubungan dengan Filsafat Pendidikan dan Ilmu Sosial

Dimensi interdisipliner etika kebajikan juga tampak dalam filsafat pendidikan, di mana kebajikan berfungsi sebagai tujuan utama proses pembelajaran. Aristoteles menegaskan bahwa pendidikan moral (paideia) adalah jalan menuju pembentukan warga negara yang baik dan rasional.¹³ Dalam konteks modern, pandangan ini dihidupkan kembali oleh para filsuf pendidikan seperti John Dewey dan Martha Nussbaum, yang menekankan pendidikan karakter dan kemampuan reflektif sebagai inti dari pembelajaran humanistik.¹⁴ Etika kebajikan menolak model pendidikan yang reduksionistik dan utilitarian, karena menilai bahwa pengetahuan tanpa kebajikan akan kehilangan orientasi moral.¹⁵

Selain pendidikan, konsep kebajikan juga berpengaruh dalam ilmu sosial dan politik modern, khususnya dalam teori kewarganegaraan (civic virtue), teori keadilan sosial, dan etika kepemimpinan.¹⁶ Pemikiran Aristoteles menginspirasi paradigma communitarianism kontemporer (MacIntyre, Etzioni) yang menegaskan pentingnya nilai-nilai moral komunitas dalam membangun tatanan sosial.¹⁷ Dalam bidang ekonomi dan bisnis, teori virtue ethics telah digunakan untuk mengembangkan etika korporasi yang menekankan integritas, kejujuran, dan tanggung jawab sosial di atas kepentingan profit semata.¹⁸

7.4.       Relevansi dalam Era Sains dan Teknologi

Dalam era ilmu pengetahuan dan teknologi modern, etika kebajikan menawarkan koreksi moral terhadap paradigma rasional-instrumental yang dominan. Aristoteles mengingatkan bahwa rasionalitas sejati tidak hanya menghitung akibat, tetapi menimbang kebaikan moral dari tindakan itu sendiri.¹⁹ Dalam bioetika, misalnya, pendekatan kebajikan digunakan untuk menilai karakter profesional medis, bukan hanya kepatuhan terhadap kode etik formal.²⁰ Demikian pula dalam etika teknologi dan kecerdasan buatan, konsep phronesis dianggap penting untuk mengembangkan sistem yang mencerminkan penilaian moral manusia yang bijaksana.²¹

Dengan demikian, etika kebajikan Aristotelian bersifat interdisipliner secara substantif, karena dapat menjadi jembatan antara humaniora, ilmu sosial, dan sains terapan.²² Ia mengajarkan bahwa pengetahuan ilmiah tanpa kebajikan hanya menghasilkan kekuatan tanpa arah moral, sementara kebajikan tanpa pengetahuan berisiko menjadi naif dan tidak efektif.²³ Integrasi keduanya—rasionalitas ilmiah dan karakter etis—adalah inti dari cita-cita Aristotelian tentang manusia yang baik sekaligus cerdas (spoudaios anthrōpos).²⁴


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 298–301.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1095a.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 1025b25–30.

[4]                W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon Press, 1968), 121–124.

[5]                Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 55–57.

[6]                John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 98–101.

[7]                Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 14–16.

[8]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a14–25.

[9]                Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale University Press, 1979), 75–78.

[10]             Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. II: The Psychology of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1984), 24–28.

[11]             Christopher Peterson and Martin E. P. Seligman, Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification (New York: Oxford University Press, 2004), 33–36.

[12]             Ibid., 45–49.

[13]             Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1337a10–20.

[14]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 358–361.

[15]             Martha Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 24–27.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 221–224.

[17]             Amitai Etzioni, The Spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda (New York: Crown Publishers, 1993), 16–18.

[18]             Robert C. Solomon, Ethics and Excellence: Cooperation and Integrity in Business (New York: Oxford University Press, 1992), 45–47.

[19]             Hubert Dreyfus and Stuart Dreyfus, Mind over Machine (New York: Free Press, 1986), 37–40.

[20]             Edmund Pellegrino and David Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 56–59.

[21]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016), 10–12.

[22]             Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 88–91.

[23]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 25–27.

[24]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1177a10–14.


8.           Kritik terhadap Etika Kebajikan Aristoteles

Meskipun etika kebajikan Aristoteles telah menjadi salah satu fondasi utama dalam filsafat moral klasik dan modern, sistem ini tidak lepas dari berbagai kritik konseptual, historis, dan normatif. Kritik terhadap etika kebajikan Aristotelian umumnya berpusat pada tiga ranah: (1) keterbatasan kontekstual dan sosial-historis, (2) ketidakcukupan normatif dalam menghadapi dilema moral modern, dan (3) problem metodologis dalam penerapan universalitas kebajikan.

8.1.       Keterbatasan Kontekstual dan Historis

Salah satu kritik paling mendasar terhadap etika kebajikan Aristoteles ialah bahwa sistemnya terikat oleh konteks sosial dan politik Yunani kuno.¹ Konsep eudaimonia dan arete hanya dapat diwujudkan secara penuh dalam kehidupan warga negara (citizen) yang bebas di polis.² Dengan demikian, etika kebajikan Aristoteles bersifat eksklusif, karena tidak memperhitungkan kelompok-kelompok yang secara sosial terpinggirkan—seperti budak, perempuan, dan pekerja manual—yang dalam pandangan Aristoteles tidak memiliki kapasitas penuh untuk kebajikan moral.³ Dalam hal ini, kebajikan menjadi hak istimewa kelas elit yang memiliki waktu dan kebebasan untuk mengembangkan rasionalitasnya.⁴

Kritik feminis terhadap Aristoteles, seperti yang dikemukakan oleh Martha C. Nussbaum dan Rosalind Hursthouse, menunjukkan bahwa pandangan Aristoteles mencerminkan bias patriarkal dan androcentris, karena ia mengasosiasikan rasionalitas dan kebajikan dengan peran laki-laki warga negara, sementara menganggap perempuan sebagai subordinat dalam ranah etis dan politik.⁵ Pandangan ini mengindikasikan bahwa meskipun arete dimaksudkan sebagai ideal moral universal, penerapannya dalam sistem Aristotelian masih sangat terikat oleh struktur sosial hierarkis Yunani klasik.⁶

8.2.       Ketidakcukupan Normatif dalam Etika Modern

Kritik lain datang dari tradisi etika modern, terutama dari etika deontologis (Kantian) dan etika utilitarian. Immanuel Kant menilai bahwa etika kebajikan tidak memberikan dasar normatif yang cukup kuat untuk menilai kewajiban moral secara universal.⁷ Karena berfokus pada karakter dan bukan pada prinsip universal, etika kebajikan dinilai cenderung partikular dan bergantung pada konteks budaya.⁸ Kant menegaskan bahwa moralitas sejati harus berakar pada prinsip rasional yang berlaku universal (categorical imperative), bukan pada kebiasaan atau pembiasaan moral yang bersifat empiris.⁹

Dari sisi lain, kaum utilitarian seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mengkritik bahwa etika kebajikan gagal memberikan kriteria objektif untuk menilai akibat tindakan.¹⁰ Bagi mereka, ukuran moralitas terletak pada hasil (consequences), bukan pada karakter pelaku. Dengan demikian, etika kebajikan dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab dilema etis yang melibatkan kalkulasi sosial dan politik modern—seperti keadilan distributif, hak asasi manusia, dan kebijakan publik.¹¹ Kritik ini menyoroti keterbatasan etika kebajikan sebagai sistem yang lebih bersifat “internal” dan “karakterologis” daripada “institusional” dan “normatif.”¹²

8.3.       Problem Epistemologis dan Metodologis

Dari perspektif epistemologis, sejumlah filsuf menyoroti problem relativisme kebajikan dalam etika Aristotelian. Karena prinsip mesotes (jalan tengah) bersifat relatif terhadap individu dan konteks (“relatif terhadap kita”), maka tidak ada standar universal yang pasti untuk menentukan batas antara kelebihan dan kekurangan.¹³ Akibatnya, etika kebajikan berpotensi menjadi subjektif, tergantung pada kebijaksanaan praktis (phronesis) individu tertentu.¹⁴ Dalam masyarakat plural modern, di mana nilai-nilai moral sangat beragam, pendekatan ini menimbulkan kesulitan dalam membangun konsensus etis yang objektif.¹⁵

Selain itu, Alasdair MacIntyre, meskipun berupaya menghidupkan kembali etika kebajikan dalam After Virtue, mengakui bahwa konteks teleologis Aristotelian tidak lagi relevan dengan masyarakat modern yang telah kehilangan struktur tujuan moral bersama (shared telos).¹⁶ Dunia modern, menurutnya, bersifat fragmentaris dan individualistik, sehingga kebajikan kehilangan fondasi metafisiknya.¹⁷ Dengan demikian, etika kebajikan membutuhkan rekonstruksi baru yang mampu menyesuaikan diri dengan pluralitas nilai, relativisme budaya, dan perkembangan ilmu pengetahuan modern.¹⁸

8.4.       Reinterpretasi dan Upaya Rehabilitasi

Meski demikian, berbagai pemikir modern telah berupaya merehabilitasi etika kebajikan dengan menyesuaikannya pada konteks kontemporer. Elizabeth Anscombe, misalnya, dalam esainya Modern Moral Philosophy (1958), mengkritik kerangka moral modern yang kehilangan basis teleologis, dan menyerukan kembali ke etika kebajikan Aristotelian sebagai alternatif terhadap moralitas berbasis aturan.¹⁹ Demikian pula, Alasdair MacIntyre, Rosalind Hursthouse, dan Julia Annas mengembangkan Neo-Aristotelian Virtue Ethics yang berupaya menjembatani karakter dan norma dengan memasukkan dimensi sosial, psikologis, dan rasional modern.²⁰

Upaya-upaya tersebut menunjukkan bahwa meskipun etika kebajikan memiliki keterbatasan historis, nilai-nilai dasarnya tetap relevan secara konseptual untuk membangun etika yang lebih manusiawi dan reflektif.²¹ Kritik terhadap Aristoteles, dengan demikian, bukan hanya bentuk penolakan, tetapi juga pintu pembaruan terhadap pemahaman kebajikan yang lebih kontekstual dan inklusif.²²


Footnotes

[1]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development, trans. Richard Robinson (Oxford: Clarendon Press, 1948), 233–236.

[2]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–8.

[3]                Aristotle, Politics, 1254b16–20.

[4]                Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 62–64.

[5]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 389–392.

[6]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 7–9.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. H. J. Paton (New York: Harper & Row, 1964), 421–423.

[8]                Allen Wood, Kant’s Ethical Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 37–40.

[9]                Kant, Groundwork, 429–430.

[10]             Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), 14–16.

[11]             John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1861), 7–9.

[12]             Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 105–108.

[13]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106b36–1107a2.

[14]             W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon Press, 1968), 193–196.

[15]             Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 102–104.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 204–208.

[17]             Ibid., 222–225.

[18]             Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 166–168.

[19]             G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33, no. 124 (1958): 4–5.

[20]             Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 98–102.

[21]             Rosalind Hursthouse and Glen Pettigrove, “Virtue Ethics,” in The Stanford Encyclopedia of Philosophy, ed. Edward N. Zalta (Spring 2018 Edition), sec. 4–6.

[22]             Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 43–45.


9.           Relevansi Kontemporer

Konsep kebajikan (arete) dalam filsafat Aristoteles memiliki relevansi yang luar biasa dalam menghadapi tantangan moral, sosial, dan epistemologis dunia modern. Meskipun lahir lebih dari dua milenium yang lalu, etika kebajikan tetap menawarkan kerangka moral yang humanistik, reflektif, dan kontekstual, yang mampu menjembatani kesenjangan antara teori dan praksis moral di era kontemporer.¹ Dalam dunia yang ditandai oleh krisis moral global, fragmentasi nilai, dan reduksi etika menjadi sekadar prosedur atau peraturan formal, gagasan Aristoteles tentang kebajikan kembali memperoleh daya tarik sebagai model etika karakter yang menekankan integritas, keseimbangan, dan tanggung jawab personal.²

9.1.       Etika Kebajikan dan Krisis Moral Modern

Dalam masyarakat modern yang sarat dengan pragmatisme dan relativisme nilai, etika kebajikan menawarkan alternatif terhadap dua paradigma moral dominan: etika kewajiban (deontologi) dan etika akibat (utilitarianisme).³ Jika deontologi menekankan ketaatan terhadap aturan dan utilitarianisme berfokus pada hasil tindakan, maka etika kebajikan berorientasi pada pembentukan karakter manusia yang baik sebagai dasar dari tindakan moral.⁴ Pendekatan ini memberikan fondasi moral yang lebih stabil, karena menghubungkan etika dengan kehidupan nyata, bukan sekadar sistem logis atau kalkulasi utilitas.

Alasdair MacIntyre menilai bahwa dunia modern kehilangan telos—tujuan bersama tentang kebaikan manusia—sehingga moralitas menjadi terfragmentasi dan tanpa arah.⁵ Etika kebajikan Aristotelian, menurutnya, dapat memulihkan rasionalitas moral yang berakar pada tradisi dan komunitas, di mana nilai-nilai kebajikan seperti kejujuran, keadilan, dan kesederhanaan memiliki makna praktis dalam kehidupan bersama.⁶ Dengan demikian, kebajikan bukan hanya norma individual, tetapi juga etika sosial yang membangun tatanan moral komunal.

9.2.       Relevansi bagi Etika Profesi dan Kepemimpinan

Konsep phronesis (kebijaksanaan praktis) memiliki signifikansi besar dalam berbagai bidang profesional, seperti kedokteran, hukum, pendidikan, dan bisnis.⁷ Dalam bidang medis, misalnya, phronesis membantu dokter menyeimbangkan antara prinsip etik formal (seperti otonomi pasien) dan pertimbangan kemanusiaan yang konkret.⁸ Edmund Pellegrino menyebut bahwa etika kebajikan menjadikan dokter bukan hanya “pengambil keputusan teknis,” tetapi pribadi yang memiliki kebijaksanaan moral untuk memilih tindakan terbaik bagi pasien.⁹

Dalam konteks kepemimpinan, kebajikan Aristotelian memberikan dasar bagi etika kepemimpinan reflektif yang menekankan karakter, keadilan, dan kesetiaan terhadap kebaikan bersama.¹⁰ Robert C. Solomon berargumen bahwa perusahaan dan organisasi modern memerlukan “pemimpin berbudi” (virtuous leaders) yang mengintegrasikan efisiensi dengan integritas moral.¹¹ Hal ini menunjukkan bahwa kebajikan dapat berfungsi sebagai kerangka aksiologis bagi etika profesional kontemporer, menggantikan paradigma moral yang terlalu legalistik atau transaksional.

9.3.       Kebajikan dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Dalam bidang pendidikan, etika kebajikan menawarkan paradigma alternatif terhadap pendekatan kognitif yang menekankan pengetahuan semata.¹² Aristoteles menegaskan bahwa pendidikan moral dimulai dari pembiasaan (habituation) sebelum refleksi rasional.¹³ Gagasan ini kini menjadi dasar bagi pendidikan karakter modern yang menekankan integrasi antara intelektualitas, moralitas, dan kepribadian.¹⁴ Martha Nussbaum, dalam Cultivating Humanity, menghidupkan kembali semangat Aristotelian dengan menekankan pendidikan sebagai sarana pembentukan warga dunia yang berempati dan bernalar.¹⁵

Pendekatan ini memiliki relevansi besar dalam konteks pendidikan global yang dihadapkan pada krisis nilai, intoleransi, dan dehumanisasi teknologi.¹⁶ Etika kebajikan mengajarkan bahwa membentuk manusia bermoral tidak cukup dengan mengajarkan “apa yang benar,” tetapi juga melatih “bagaimana menjadi benar”—yakni melalui pembiasaan, teladan, dan refleksi.¹⁷

9.4.       Kebajikan dalam Etika Lingkungan dan Teknologi

Dalam konteks ekologis, kebajikan Aristotelian memberi dasar bagi etika lingkungan berbasis karakter. Aristoteles memandang bahwa keseimbangan (mesotes) dan harmoni alam mencerminkan tatanan moral kosmos.¹⁸ Dengan menanamkan kebajikan seperti kesederhanaan, tanggung jawab, dan keadilan antar generasi, etika kebajikan dapat berfungsi sebagai pendekatan etis integral dalam menghadapi krisis ekologis modern.¹⁹

Di sisi lain, perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan (AI) menimbulkan tantangan baru bagi etika. Shannon Vallor mengadaptasi gagasan Aristoteles untuk membangun technomoral virtues—seperti kehati-hatian digital, keadilan algoritmik, dan tanggung jawab teknologi—yang diperlukan agar manusia tetap menjadi subjek moral dalam era otomatisasi.²⁰ Prinsip phronesis di sini menjadi kunci untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi diarahkan pada tujuan kemanusiaan (human flourishing), bukan sekadar efisiensi.²¹

9.5.       Menuju Humanisme Etis yang Integral

Pada akhirnya, relevansi kontemporer etika kebajikan Aristoteles terletak pada kemampuannya untuk menyatukan aspek rasional, moral, sosial, dan spiritual kehidupan manusia.²² Etika kebajikan menolak ekstrem rasionalisme kaku maupun relativisme moral, dengan menegaskan bahwa kebaikan hanya dapat ditemukan melalui pembentukan karakter yang konsisten dengan kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan sosial.²³ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh teknologi, politik identitas, dan materialisme, arete mengingatkan kita bahwa kehidupan baik tidak diukur oleh hasil, tetapi oleh kualitas manusia yang menjalaninya.²⁴

Dengan demikian, etika kebajikan Aristotelian tetap menjadi paradigma moral yang relevan, karena menempatkan manusia bukan sebagai objek dari sistem moral, melainkan sebagai subjek etis yang sadar, reflektif, dan bertanggung jawab terhadap kebaikan bersama.²⁵


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 329–332.

[2]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 2–4.

[3]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 6–8.

[4]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 17–19.

[5]                MacIntyre, After Virtue, 204–208.

[6]                Ibid., 222–225.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1140a24–1140b12.

[8]                Edmund Pellegrino and David Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 57–60.

[9]                Ibid., 74–76.

[10]             Joanne B. Ciulla, Ethics: The Heart of Leadership (Westport, CT: Praeger, 2004), 15–18.

[11]             Robert C. Solomon, Ethics and Excellence: Cooperation and Integrity in Business (New York: Oxford University Press, 1992), 43–45.

[12]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 362–364.

[13]             Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1337a10–15.

[14]             Lawrence Kohlberg, Essays on Moral Development, Vol. II: The Psychology of Moral Development (San Francisco: Harper & Row, 1984), 24–28.

[15]             Martha Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1997), 29–31.

[16]             Nel Noddings, The Challenge to Care in Schools (New York: Teachers College Press, 1992), 83–86.

[17]             Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 119–122.

[18]             Aristotle, Physics, trans. R. P. Hardie and R. K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), 194a28–32.

[19]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 56–58.

[20]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016), 25–29.

[21]             Ibid., 105–107.

[22]             Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 94–97.

[23]             Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 124–126.

[24]             MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 143–146.

[25]             Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 33–36.


10.       Sintesis Filosofis: Menuju Etika Kebajikan Humanistik dan Integral

Setelah menelaah fondasi historis, ontologis, epistemologis, aksiologis, serta dimensi sosial dan kontemporer dari etika kebajikan Aristoteles, dapat disimpulkan bahwa gagasan tentang arete mengandung potensi untuk dikembangkan menjadi etika kebajikan humanistik dan integral. Etika kebajikan Aristotelian tidak hanya relevan sebagai teori moral klasik, tetapi juga sebagai dasar refleksi etis bagi pembangunan manusia yang utuh—yang berpikir, berperasaan, dan bertindak dalam keseimbangan rasional dan moral.¹

10.1.    Reinterpretasi Humanistik atas Arete

Etika kebajikan Aristoteles pada dasarnya berakar pada pandangan humanistik tentang manusia sebagai makhluk rasional yang ditentukan oleh kemampuannya untuk hidup sesuai dengan akal budi (logos).² Namun, reinterpretasi humanistik modern memperluas gagasan ini dengan menekankan martabat dan otonomi moral manusia dalam konteks sosial yang plural dan egaliter.³ Jika Aristoteles menempatkan kebajikan dalam struktur hierarkis polis, maka pendekatan humanistik menempatkannya dalam struktur kemanusiaan universal, di mana setiap individu memiliki kapasitas yang sama untuk mewujudkan kebajikan.⁴

Pendekatan ini menggeser fokus dari kebajikan sebagai keunggulan elit menuju kebajikan sebagai kemampuan manusiawi untuk bertumbuh moral dan reflektif.⁵ Dengan demikian, arete tidak hanya menjadi milik warga negara yang ideal, tetapi juga menjadi potensi eksistensial setiap manusia yang berusaha mengaktualkan dirinya melalui kebaikan.⁶ Dalam semangat humanisme, etika kebajikan menolak reduksi manusia menjadi instrumen bagi tujuan eksternal, dan justru menegaskan manusia sebagai tujuan moral itu sendiri.⁷

10.2.    Integrasi Dimensi Rasional, Moral, dan Sosial

Etika kebajikan integral mensyaratkan kesatuan antara dimensi rasional, moral, sosial, dan spiritual kehidupan manusia. Aristoteles telah meletakkan dasar bagi hal ini melalui konsep eudaimonia, yakni kebahagiaan yang dicapai melalui tindakan rasional yang baik.⁸ Namun dalam konteks kontemporer, eudaimonia perlu dipahami bukan hanya sebagai keberhasilan individual, tetapi sebagai kebahagiaan bersama (common flourishing) yang melibatkan dimensi sosial, ekologis, dan transkultural.⁹

Integrasi ini juga menuntut pengakuan terhadap pluralitas nilai dan kompleksitas modernitas, tanpa kehilangan arah moral yang rasional. Alasdair MacIntyre, dalam After Virtue, menegaskan perlunya menghidupkan kembali kebajikan dalam konteks komunitas moral yang dinamis dan reflektif.¹⁰ Etika kebajikan yang integral berarti tidak terjebak pada tradisionalisme statis, tetapi bersifat dialogis dan adaptif, mampu menafsirkan kebajikan dalam konteks sosial baru seperti demokrasi, keadilan gender, dan keberlanjutan lingkungan.¹¹

Dengan demikian, phronesis (kebijaksanaan praktis) menjadi inti dari etika kebajikan integral—sebuah rasionalitas yang mengarahkan tindakan manusia pada keseimbangan antara kepentingan pribadi, tanggung jawab sosial, dan kesadaran ekologis.¹² Phronesis bukan hanya kemampuan berpikir moral, tetapi juga kemampuan memahami kompleksitas kehidupan dan memilih jalan tengah yang manusiawi.¹³

10.3.    Etika Kebajikan dan Spiritualitas Kemanusiaan

Etika kebajikan integral juga mengandung dimensi spiritual yang bersumber dari pemahaman Aristoteles tentang kontemplasi (theoria) sebagai puncak kehidupan baik.¹⁴ Namun, dalam kerangka humanistik modern, kontemplasi tidak lagi dipahami secara metafisik semata, melainkan sebagai kesadaran reflektif manusia atas tanggung jawab moralnya di dunia.¹⁵ Spiritualitas dalam etika kebajikan bukanlah bentuk keagamaan dogmatis, tetapi pengalaman eksistensial ketika manusia menemukan makna hidup melalui tindakan etis.¹⁶

Dengan demikian, manusia yang berbudi (spoudaios) adalah sosok yang menyatukan akal dan hati, refleksi dan tindakan, pribadi dan komunitas. Ia tidak hanya hidup secara benar, tetapi juga hidup dengan kesadaran penuh terhadap nilai dan tujuan hidupnya.¹⁷ Dalam konteks ini, arete menjadi jembatan antara dimensi moral dan spiritual manusia—suatu prinsip yang mengarahkan kehidupan menuju kesempurnaan moral tanpa kehilangan dimensi kemanusiaannya.¹⁸

10.4.    Menuju Etika Kebajikan Integral untuk Dunia Modern

Etika kebajikan humanistik dan integral menawarkan paradigma baru yang dapat menyatukan kembali moralitas dengan kemanusiaan. Dalam dunia yang didominasi oleh rasionalitas instrumental, paradigma ini menegaskan bahwa ilmu, teknologi, dan politik harus diarahkan oleh kebajikan.¹⁹ Tanpa kebajikan, kemajuan akan kehilangan arah dan berubah menjadi kekuatan destruktif; dengan kebajikan, kemajuan menjadi sarana bagi kesejahteraan manusia dan bumi.²⁰

Etika kebajikan integral mengandaikan bahwa manusia, ilmu, dan masyarakat merupakan satu kesatuan moral yang saling bergantung.²¹ Dalam pendidikan, hal ini berarti menanamkan kebiasaan berpikir etis; dalam politik, berarti mempraktikkan keadilan; dalam ekonomi, berarti menegakkan kejujuran dan solidaritas; dalam teknologi, berarti menjaga martabat manusia.²² Dengan demikian, sintesis etika kebajikan ini mengarah pada filsafat hidup yang holistik, di mana kebijaksanaan moral menjadi dasar pembangunan peradaban yang berkeadilan, berkeadaban, dan berkelanjutan.²³


Kesimpulan Sintesis

Etika kebajikan humanistik dan integral, sebagai reinterpretasi atas Aristoteles, menawarkan pandangan antropologis yang optimistis: manusia mampu menjadi baik bukan karena dipaksa oleh hukum eksternal, tetapi karena menyadari kebaikan sebagai panggilan kodratnya.²⁴ Dalam hal ini, arete bukan sekadar teori etis, melainkan modus keberadaan manusia yang autentik—menjadi diri yang rasional, berbelas kasih, dan bertanggung jawab terhadap sesama serta dunia.²⁵ Dengan memadukan filsafat klasik dan kesadaran modern, etika kebajikan integral dapat menjadi fondasi bagi etika global yang berorientasi pada kemanusiaan, kebijaksanaan, dan keseimbangan hidup.²⁶


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 331–334.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1097b22–1098a20.

[3]                Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 170–173.

[4]                Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 23–25.

[5]                Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 112–115.

[6]                Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 5–7.

[7]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. H. J. Paton (New York: Harper & Row, 1964), 429–431.

[8]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1098a16–20.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 223–225.

[10]             Ibid., 232–234.

[11]             Martha Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 151–154.

[12]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140a24–1140b12.

[13]             Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 179–181.

[14]             Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 1074b15–35.

[15]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (New York: Continuum, 1994), 310–312.

[16]             Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row, 1963), 45–47.

[17]             Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale University Press, 1979), 114–117.

[18]             Sarah Broadie, Ethics with Aristotle (Oxford: Oxford University Press, 1991), 136–138.

[19]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016), 102–104.

[20]             Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999), 35–38.

[21]             Nussbaum, Creating Capabilities, 52–55.

[22]             Robert C. Solomon, A Better Way to Think About Business: How Personal Integrity Leads to Corporate Success (New York: Oxford University Press, 1999), 18–21.

[23]             Leonardo Boff, Ethics and Ecology (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1995), 65–68.

[24]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 211–214.

[25]             Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 143–145.

[26]             Martha Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 404–407.


11.       Kesimpulan

Etika kebajikan (arete) dalam filsafat Aristoteles merupakan salah satu puncak refleksi etis dalam sejarah pemikiran manusia. Melalui kerangka rasional, teleologis, dan humanistik, Aristoteles menempatkan kebajikan sebagai inti dari kehidupan baik (eudaimonia), sekaligus sebagai jalan menuju realisasi kodrat manusia sebagai makhluk rasional dan sosial.¹ Dalam sistemnya, moralitas bukanlah sekadar kepatuhan terhadap aturan atau pencarian akibat yang menguntungkan, melainkan aktualitas dari karakter yang terlatih untuk bertindak baik secara sadar, terukur, dan seimbang

Kebajikan (arete) berakar pada pemahaman ontologis tentang manusia: bahwa setiap makhluk memiliki telos, tujuan kodrati yang hanya dapat dicapai melalui kesempurnaan fungsinya.³ Bagi manusia, fungsi itu adalah rasionalitas praktis—kemampuan untuk bertindak menurut akal budi dan kebijaksanaan (phronesis).⁴ Dengan demikian, kebajikan bukan hanya kualitas moral, tetapi modus eksistensial yang menegaskan hakikat manusia sebagai makhluk yang hidup sesuai dengan logos dan tanggung jawab moralnya.⁵ Dalam struktur etika Aristotelian, arete berfungsi sebagai prinsip penghubung antara pengetahuan dan tindakan, teori dan praksis, individu dan komunitas.⁶

Dari sisi epistemologis, Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan tidak diperoleh melalui pengetahuan abstrak, tetapi melalui pengalaman, habituasi, dan pendidikan moral.⁷ Melalui pembiasaan (ethismos), manusia membentuk disposisi yang stabil (hexis) hingga kebaikan menjadi bagian dari karakternya.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa etika kebajikan adalah etika praksis—berakar pada kehidupan nyata, bukan semata pada penalaran spekulatif.⁹ Aksiologinya berpuncak pada nilai-nilai intrinsik kebajikan: keadilan, keberanian, kesederhanaan, dan kebijaksanaan, yang bersama-sama mengarahkan manusia pada kesempurnaan moral dan sosial.¹⁰

Secara sosial dan politik, etika kebajikan menolak individualisme moral. Aristoteles menegaskan bahwa manusia hanya dapat menjadi baik dalam konteks komunitas etis (polis).¹¹ Kebaikan bukanlah proyek solipsistik, melainkan hasil interaksi antara individu, masyarakat, dan pendidikan moral yang berorientasi pada kebaikan bersama.¹² Melalui polis, kebajikan menjadi konkret dalam bentuk keadilan sosial, partisipasi politik, dan solidaritas moral antarwarga.¹³ Dengan demikian, etika kebajikan membangun visi moral yang integratif—menyatukan dimensi pribadi dan publik dalam satu kerangka kehidupan yang baik.¹⁴

Kritik-kritik modern terhadap Aristoteles, terutama dari perspektif Kantian, utilitarian, dan feminis, memang menunjukkan keterbatasan kontekstual dari etika kebajikan klasik.¹⁵ Namun, justru melalui kritik-kritik itu etika kebajikan memperoleh revitalisasi dalam bentuk Neo-Aristotelian Virtue Ethics, sebagaimana dikembangkan oleh Elizabeth Anscombe, Alasdair MacIntyre, dan Martha Nussbaum.¹⁶ Dalam versi modernnya, etika kebajikan tidak lagi terikat pada struktur sosial Yunani kuno, tetapi berkembang menjadi etika humanistik dan interdisipliner yang mampu menjawab tantangan global: degradasi moral, krisis ekologi, dan dehumanisasi teknologi.¹⁷

Sintesis filosofis menuju etika kebajikan humanistik dan integral menegaskan bahwa kebajikan adalah prinsip pemersatu antara pengetahuan, tindakan, dan nilai kemanusiaan.¹⁸ Etika ini menolak dikotomi antara teori dan praksis, serta mengintegrasikan rasionalitas, empati, dan tanggung jawab sosial dalam satu kesatuan moral.¹⁹ Ia membuka ruang bagi etika lintas budaya dan profesi—dari pendidikan, kedokteran, hingga teknologi—di mana kebajikan menjadi dasar praksis etis yang reflektif dan kontekstual.²⁰ Dengan demikian, arete Aristotelian melampaui batas sejarahnya dan menjelma menjadi kerangka etika universal yang menegaskan kembali pentingnya karakter, kebijaksanaan, dan kemanusiaan di tengah dunia modern.²¹

Akhirnya, etika kebajikan Aristoteles mengajarkan bahwa kehidupan baik bukanlah hasil keberuntungan atau aturan eksternal, tetapi buah dari pembentukan diri melalui refleksi dan tindakan yang benar.²² Eudaimonia bukan sekadar kebahagiaan subjektif, melainkan keadaan keberadaan manusia yang hidup sesuai dengan kebajikan dan rasio.²³ Dalam dunia yang terus berubah, pesan Aristoteles tetap abadi: bahwa manusia hanya dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan sejati bila ia hidup dengan kebajikan—secara sadar, seimbang, dan selaras dengan kebaikan bersama.²⁴


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1095a17–1097b20.

[2]                Julia Annas, The Morality of Happiness (New York: Oxford University Press, 1993), 38–40.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Chicago: Encyclopedia Britannica, 1952), 1047a25–35.

[4]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140a24–28.

[5]                John M. Cooper, Reason and Human Good in Aristotle (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 89–91.

[6]                W. F. R. Hardie, Aristotle’s Ethical Theory (Oxford: Clarendon Press, 1968), 122–125.

[7]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a14–25.

[8]                Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 29–31.

[9]                G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33, no. 124 (1958): 4–6.

[10]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 3–5.

[11]             Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a2–8.

[12]             Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 25–27.

[13]             Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 329–331.

[14]             Anthony Kenny, Aristotle’s Theory of the Will (New Haven: Yale University Press, 1979), 104–106.

[15]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. H. J. Paton (New York: Harper & Row, 1964), 421–423.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 188–191.

[17]             Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 30–33.

[18]             Paul Ricoeur, Oneself as Another, trans. Kathleen Blamey (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 172–175.

[19]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (New York: Oxford University Press, 2016), 102–104.

[20]             Edmund Pellegrino and David Thomasma, The Virtues in Medical Practice (New York: Oxford University Press, 1993), 75–78.

[21]             Julia Annas, Intelligent Virtue (Oxford: Oxford University Press, 2011), 121–124.

[22]             Aristotle, Eudemian Ethics, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1935), 1215a18–25.

[23]             Martha Nussbaum, Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 404–406.

[24]             Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 143–145.


Daftar Pustaka

Adkins, A. W. H. (1960). Merit and responsibility: A study in Greek values. Oxford: Clarendon Press.

Annas, J. (1993). The morality of happiness. New York: Oxford University Press.

Annas, J. (2011). Intelligent virtue. Oxford: Oxford University Press.

Anscombe, G. E. M. (1958). Modern moral philosophy. Philosophy, 33(124), 1–19.

Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1930). Physics (R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1935). Eudemian ethics (H. Rackham, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Aristotle. (1952). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Chicago: Encyclopedia Britannica.

Aristotle. (1957). De anima (J. A. Smith, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Bentham, J. (1789). An introduction to the principles of morals and legislation. London: T. Payne.

Boff, L. (1995). Ethics and ecology. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Broadie, S. (1991). Ethics with Aristotle. Oxford: Oxford University Press.

Ciulla, J. B. (2004). Ethics: The heart of leadership. Westport, CT: Praeger.

Clark, S. R. L. (1975). Aristotle’s man: Speculations upon Aristotelian anthropology. Oxford: Clarendon Press.

Cooper, J. M. (1975). Reason and human good in Aristotle. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York: Macmillan.

Dreyfus, H. L., & Dreyfus, S. E. (1986). Mind over machine. New York: Free Press.

Etzioni, A. (1993). The spirit of community: Rights, responsibilities, and the communitarian agenda. New York: Crown Publishers.

Gadamer, H.-G. (1994). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum.

Hardie, W. F. R. (1968). Aristotle’s ethical theory. Oxford: Clarendon Press.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford: Oxford University Press.

Hursthouse, R., & Pettigrove, G. (2018). Virtue ethics. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Spring 2018 ed.). Retrieved from ethics-virtue

Jaeger, W. (1948). Aristotle: Fundamentals of the history of his development (R. Robinson, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Jaeger, W. (1945). Paideia: The ideals of Greek culture (G. Highet, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Kant, I. (1964). Groundwork for the metaphysics of morals (H. J. Paton, Trans.). New York: Harper & Row.

Kenny, A. (1979). Aristotle’s theory of the will. New Haven, CT: Yale University Press.

Kohlberg, L. (1984). Essays on moral development, Vol. II: The psychology of moral development. San Francisco, CA: Harper & Row.

Kraut, R. (1989). Aristotle on the human good. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Kraut, R. (2002). Aristotle: Political philosophy. Oxford: Oxford University Press.

MacIntyre, A. (1998). A short history of ethics. London: Routledge.

MacIntyre, A. (1999). Dependent rational animals: Why human beings need the virtues. Chicago, IL: Open Court.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Mill, J. S. (1861). Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn.

Noddings, N. (1992). The challenge to care in schools. New York: Teachers College Press.

Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of emotions. Cambridge: Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Pellegrino, E. D., & Thomasma, D. C. (1993). The virtues in medical practice. New York: Oxford University Press.

Peterson, C., & Seligman, M. E. P. (2004). Character strengths and virtues: A handbook and classification. New York: Oxford University Press.

Plato. (1975). Protagoras (W. K. C. Guthrie, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube & C. D. C. Reeve, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another (K. Blamey, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Rolston, H., III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Philadelphia, PA: Temple University Press.

Sen, A. (1999). Development as freedom. New York: Alfred A. Knopf.

Sherman, N. (1989). The fabric of character: Aristotle’s theory of virtue. Oxford: Clarendon Press.

Solomon, R. C. (1992). Ethics and excellence: Cooperation and integrity in business. New York: Oxford University Press.

Solomon, R. C. (1999). A better way to think about business: How personal integrity leads to corporate success. New York: Oxford University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Tillich, P. (1963). Morality and beyond. New York: Harper & Row.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. New York: Oxford University Press.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Wood, A. (1999). Kant’s ethical thought. Cambridge: Cambridge University Press.