Rabu, 20 November 2024

Filsafat Ilmu: Fondasi Epistemologis, Ontologis, dan Aksiologis Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat

Filsafat Ilmu

Fondasi Epistemologis, Ontologis, dan Aksiologis Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.

Ilmu dalam Tinjauan Etimologis, Terminologis, dan Epistemologis.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif peran filsafat ilmu sebagai fondasi konseptual dalam memahami ilmu pengetahuan dari dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Melalui pendekatan analitis-kritis terhadap pemikiran tokoh-tokoh sentral seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, Imre Lakatos, dan Jürgen Habermas, artikel ini menunjukkan bahwa ilmu bukanlah entitas netral dan bebas nilai, melainkan konstruksi intelektual yang berakar pada asumsi metafisik, logika pengetahuan, dan kerangka nilai tertentu. Aspek ontologis menyoroti hakikat realitas yang menjadi objek kajian ilmiah, sementara aspek epistemologis membahas logika dan validitas pengetahuan ilmiah. Aspek aksiologis mengungkap bahwa ilmu sarat kepentingan sosial, etis, dan ideologis. Dalam konteks ilmu modern yang diwarnai oleh tantangan digitalisasi, kecerdasan buatan, dan interdisiplinaritas, filsafat ilmu menjadi instrumen penting untuk memastikan ilmu tetap berpijak pada nilai-nilai rasionalitas, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan. Artikel ini juga menegaskan relevansi filsafat ilmu dalam pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah sebagai landasan pembentukan nalar kritis dan integritas akademik.

Kata Kunci: Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, Karl Popper, Thomas Kuhn, Etika Ilmiah, Pendidikan Tinggi, Penelitian Ilmiah, Netralitas Ilmu.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Ilmu Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Ilmu pengetahuan telah menjadi pilar utama dalam perkembangan peradaban manusia modern. Sejak zaman Renaisans hingga era digital kontemporer, ilmu telah berkontribusi secara signifikan dalam mengubah cara manusia memahami alam semesta dan dirinya sendiri. Namun, di balik kemajuan ilmu pengetahuan yang tampak objektif dan sistematis, terdapat fondasi-fondasi filosofis yang menopang bangunan epistemologis, ontologis, dan aksiologis ilmu tersebut. Di sinilah pentingnya peran filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang secara kritis menelaah dasar-dasar dan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri.

Filsafat ilmu hadir sebagai refleksi mendalam terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa hakikat pengetahuan ilmiah? Bagaimana pengetahuan itu diperoleh, dibenarkan, dan diterapkan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak hanya relevan bagi para filsuf, tetapi juga bagi ilmuwan dan akademisi dari berbagai disiplin, karena menyentuh pada asumsi-asumsi dasar yang seringkali tersembunyi di balik praktik ilmiah sehari-hari. Menurut Amsal Bakhtiar, filsafat ilmu merupakan kajian sistematis terhadap asumsi-asumsi, dasar, metode, serta implikasi ilmu pengetahuan dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat dan nilai dari ilmu itu sendiri.¹

Dalam konteks ini, filsafat ilmu bukan hanya sekadar menjadi pelengkap dari ilmu, melainkan sebuah fondasi yang menentukan arah, metodologi, dan bahkan nilai-nilai yang mendasari proses ilmiah. The Liang Gie menyatakan bahwa filsafat ilmu membantu kita membongkar struktur logis dari ilmu dan memperjelas berbagai jenis hubungan logis antara konsep, proposisi, dan teori yang digunakan dalam ilmu.² Dengan kata lain, filsafat ilmu adalah kerangka kerja kritis yang memungkinkan ilmu berkembang secara rasional dan bertanggung jawab.

Perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang sejarah menunjukkan bahwa paradigma ilmiah tidaklah tetap, melainkan dapat mengalami perubahan radikal. Hal ini dikemukakan secara gamblang oleh Thomas S. Kuhn dalam karya monumental The Structure of Scientific Revolutions, yang menyatakan bahwa ilmu berkembang melalui serangkaian revolusi ilmiah di mana paradigma dominan digantikan oleh paradigma baru yang lebih mampu menjelaskan anomali yang tidak terjawab sebelumnya.³ Oleh karena itu, pemahaman filosofis tentang struktur dan dinamika ilmu menjadi krusial dalam mengevaluasi validitas dan kemajuan suatu cabang pengetahuan.

Di sisi lain, filsafat ilmu juga berperan dalam menyadarkan bahwa ilmu tidak bebas nilai. Pandangan ini secara kritis diajukan oleh tokoh-tokoh seperti Jürgen Habermas dan Paul Feyerabend, yang menekankan bahwa ideologi, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik seringkali terlibat dalam konstruksi ilmu.⁴ Hal ini menantang klaim netralitas dan objektivitas yang selama ini diklaim oleh positivisme ilmiah.

Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk mengkaji fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu. Pendekatan yang digunakan bersifat analitis-kritis terhadap pemikiran para tokoh sentral dan arus besar dalam filsafat ilmu, serta berupaya mengaitkan relevansi filsafat ilmu dalam praktik ilmiah dan pendidikan di era kontemporer.


Footnotes

[1]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 2.

[2]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1987), 15.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 52.

[4]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971); Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso, 2010).


2.           Hakikat dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu

2.1.       Pengertian Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang secara kritis dan sistematis menyelidiki dasar-dasar logis, struktur konseptual, serta implikasi epistemologis, ontologis, dan aksiologis dari ilmu pengetahuan. Sebagai suatu bidang reflektif, filsafat ilmu tidak hanya mengkaji produk akhir dari proses ilmiah, tetapi juga menelaah asumsi-asumsi dasar yang mendasari praktik ilmiah itu sendiri.

Menurut Amsal Bakhtiar, filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang mempersoalkan hal-hal yang menyangkut hakikat ilmu, metode ilmiah, dan batas-batas ilmu pengetahuan.¹ Dalam pengertian ini, filsafat ilmu merupakan upaya reflektif yang tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga evaluatif dan normatif. The Liang Gie menambahkan bahwa filsafat ilmu membahas tentang ciri-ciri pokok ilmu, struktur logis dari ilmu, serta prosedur penyelidikan ilmiah.² Ia menggarisbawahi bahwa filsafat ilmu berbeda dari ilmu dalam hal tujuannya: jika ilmu bertujuan menjelaskan fenomena, maka filsafat ilmu bertujuan memahami struktur dan landasan dari penjelasan itu sendiri.

Dengan demikian, filsafat ilmu dapat dikatakan sebagai "ilmu tentang ilmu" (meta-science), yang memberikan kerangka konseptual bagi praktik ilmiah agar tetap rasional, transparan, dan etis. Hal ini menjadikan filsafat ilmu bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi konseptual yang kritis bagi segala bentuk pengembangan ilmu pengetahuan.

2.2.       Posisi Filsafat Ilmu dalam Sistematika Filsafat

Dalam sistematika filsafat, filsafat ilmu menempati posisi yang bersinggungan dengan tiga cabang utama filsafat, yaitu ontologi (membahas keberadaan atau realitas), epistemologi (membahas pengetahuan), dan aksiologi (membahas nilai). Filsafat ilmu memanfaatkan ketiganya untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan seperti:

·                     Ontologis: Apa hakikat realitas yang menjadi objek studi ilmu?

·                     Epistemologis: Bagaimana pengetahuan ilmiah diperoleh dan dibenarkan?

·                     Aksiologis: Apa nilai dan tujuan dari ilmu pengetahuan?

Dengan cara ini, filsafat ilmu menjadi jembatan antara filsafat murni dan praktik ilmiah, yang memungkinkan refleksi filosofis terhadap hasil-hasil penelitian dan metodologi ilmiah.³

2.3.       Ruang Lingkup Filsafat Ilmu

Ruang lingkup filsafat ilmu meliputi tiga ranah kajian utama yang saling berkaitan:

1)                  Ontologi Ilmu

Mengkaji hakikat realitas yang menjadi objek studi ilmu. Apakah ilmu mempelajari realitas yang benar-benar ada (realism) atau konstruksi mental semata (anti-realism)? Hal ini penting dalam membedakan antara ilmu alam dan ilmu sosial yang memiliki objek berbeda secara ontologis.⁴

2)                  Epistemologi Ilmu

Menganalisis sumber, metode, kriteria validitas, dan batasan dari pengetahuan ilmiah. Termasuk di dalamnya pembahasan mengenai metode ilmiah, struktur penjelasan ilmiah, problem verifikasi dan falsifikasi, serta dinamika perkembangan paradigma ilmu.⁵

3)                  Aksiologi Ilmu

Menelaah nilai, tujuan, dan dampak dari ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia dan masyarakat. Ini mencakup isu-isu etika penelitian, tanggung jawab ilmuwan, serta peran ideologi dan kekuasaan dalam konstruksi ilmu.⁶

Dengan ketiga aspek tersebut, filsafat ilmu berfungsi sebagai kerangka reflektif dan normatif yang memungkinkan pengembangan ilmu berjalan secara kritis dan bertanggung jawab.

2.4.       Perbedaan Filsafat Ilmu dan Ilmu Biasa

Penting untuk membedakan antara filsafat ilmu dan ilmu itu sendiri. Ilmu adalah usaha sistematis untuk memahami dunia melalui observasi, eksperimen, dan penalaran logis. Sementara itu, filsafat ilmu berusaha memahami dan menilai kerangka logis dan konseptual dari proses ilmiah tersebut. Ilmu menjawab “apa” dan “bagaimana” sesuatu terjadi; filsafat ilmu bertanya “mengapa” pendekatan tertentu digunakan dan “sejauh mana” pengetahuan itu dapat dipercaya.

Seperti yang ditegaskan oleh Hans Reichenbach, filsafat ilmu bukanlah ilmu empiris, tetapi penyelidikan logis terhadap struktur ilmu.⁷ Oleh karena itu, filsafat ilmu tidak bersaing dengan ilmu pengetahuan, melainkan mendalaminya dari sudut pandang yang lebih fundamental dan kritis.


Footnotes

[1]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 1.

[2]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1987), 13.

[3]                Ibid., 18.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 37.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 10–11.

[6]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308.

[7]                Hans Reichenbach, The Rise of Scientific Philosophy (Berkeley: University of California Press, 1951), 4.


3.           Aspek Ontologis dalam Filsafat Ilmu

3.1.       Pengertian Ontologi dan Relevansinya dalam Filsafat Ilmu

Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan atau realitas (being). Dalam konteks filsafat ilmu, ontologi menjadi penting karena menyangkut apa yang menjadi objek penyelidikan ilmiah, bagaimana objek tersebut dipahami keberadaannya, serta bagaimana ilmu menjelaskan realitas tersebut. Dengan kata lain, ontologi dalam filsafat ilmu berupaya menjawab pertanyaan seperti: Apa yang sebenarnya ada? Apakah realitas itu bersifat objektif dan independen, ataukah hasil konstruksi subjektif dari kesadaran manusia?

Menurut The Liang Gie, aspek ontologis dari ilmu menyangkut “apa yang diselidiki oleh ilmu” dan “bagaimana eksistensinya” dalam alam semesta.¹ Pemahaman terhadap objek ilmu tidak dapat dilepaskan dari kerangka ontologis karena setiap pendekatan ilmiah selalu berpijak pada asumsi tentang keberadaan objek yang diselidiki.

3.2.       Objek Material dan Formal Ilmu dalam Perspektif Ontologis

Dalam telaah ontologis, objek ilmu dibedakan menjadi dua: objek material dan objek formal. Objek material adalah segala sesuatu yang menjadi bahan kajian ilmu, sedangkan objek formal adalah sudut pandang atau pendekatan tertentu yang digunakan dalam melihat objek tersebut.² Misalnya, manusia sebagai objek material dapat ditelaah oleh berbagai cabang ilmu—biologi, psikologi, sosiologi—yang masing-masing menggunakan objek formal berbeda.

Dari perspektif ini, ilmu pengetahuan tidak pernah netral dalam memilih “realitas” yang hendak diselidikinya. Setiap ilmu memiliki cara khas dalam memahami dan menjelaskan realitas, dan pendekatan itu didasari oleh kerangka ontologis tertentu.

3.3.       Realisme dan Anti-Realisme dalam Filsafat Ilmu

Perdebatan mendalam dalam aspek ontologis filsafat ilmu terletak pada dua posisi utama: realisme dan anti-realisme.

·                     Realisme menyatakan bahwa dunia eksternal eksis secara objektif dan independen dari pikiran manusia, serta dapat dikenali secara ilmiah. Realitas bersifat stabil, dapat diamati, dan dijelaskan secara sistematis oleh ilmu pengetahuan.³ Posisi ini banyak didukung oleh filsuf seperti Karl Popper dan Hilary Putnam.

·                     Anti-realisme, sebaliknya, berpandangan bahwa realitas bukan sesuatu yang mutlak dan sepenuhnya objektif, melainkan hasil konstruksi sosial atau linguistik.⁴ Dalam pandangan ini, pengetahuan ilmiah tidak merepresentasikan realitas sebagaimana adanya, tetapi hanyalah model atau narasi yang berguna secara praktis. Tokoh-tokoh seperti Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend mendukung pandangan ini dengan menekankan relativitas paradigma ilmiah dan keberagaman metodologi.

Realisme memandang bahwa teori-teori ilmiah mendekati kebenaran tentang dunia nyata (truth-approximation), sedangkan anti-realisme cenderung bersikap skeptis terhadap klaim semacam itu, dan lebih menekankan fungsi pragmatis ilmu.

3.4.       Ontologi dalam Paradigma Ilmu: Positivistik, Interpretatif, dan Kritis

Kerangka ontologis dalam filsafat ilmu juga mewujud dalam paradigma-paradigma ilmu yang berkembang dalam berbagai bidang keilmuan:

1)                  Paradigma Positivistik

Mengasumsikan bahwa realitas bersifat objektif, tetap, dan dapat diukur. Ilmu bertujuan menemukan hukum universal berdasarkan data empiris. Paradigma ini dominan dalam ilmu-ilmu alam.⁵

2)                  Paradigma Interpretatif

Berangkat dari asumsi bahwa realitas bersifat subjektif dan dibentuk melalui interpretasi sosial. Ilmu tidak sekadar mengamati, tetapi juga memahami makna di balik tindakan manusia. Paradigma ini berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.⁶

3)                  Paradigma Kritis

Menolak netralitas realitas dan menyatakan bahwa dunia nyata dibentuk oleh relasi kuasa, ideologi, dan struktur sosial yang menindas. Realitas harus dipahami dan diubah melalui praksis. Pandangan ini dikembangkan oleh pemikir seperti Jürgen Habermas dan para filsuf Mazhab Frankfurt.⁷

Ketiga paradigma ini menunjukkan bahwa pandangan ontologis dalam ilmu sangat memengaruhi metode, tujuan, dan arah penelitian ilmiah.

3.5.       Implikasi Ontologis dalam Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Di era kontemporer, ontologi filsafat ilmu menjadi semakin penting ketika ilmu pengetahuan mulai berhadapan dengan fenomena yang kompleks dan multidimensi—seperti kesadaran, kecerdasan buatan, ekologi, hingga fenomena sosial digital. Dalam bidang ini, pemahaman ontologis yang reduksionistik (misalnya hanya mengandalkan fisikalisme) sering dianggap tidak memadai. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan ontologis yang lebih holistik, terbuka terhadap pluralisme realitas, dan mampu mengakomodasi keragaman objek ilmu yang tidak semuanya bersifat empiris-fisis.

Dengan demikian, aspek ontologis dalam filsafat ilmu tidak hanya menjadi landasan konseptual, tetapi juga penentu arah pengembangan ilmu pengetahuan ke depan.


Footnotes

[1]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1987), 20.

[2]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 35.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 50–52.

[4]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 111–112.

[5]                Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific Explanation (Indianapolis: Hackett, 1979), 5.

[6]                Max Weber, The Methodology of the Social Sciences, trans. Edward Shils and Henry Finch (New York: Free Press, 1949), 81.

[7]                Jürgen Habermas, Theory and Practice, trans. John Viertel (Boston: Beacon Press, 1974), 257–259.


4.           Aspek Epistemologis dalam Filsafat Ilmu

4.1.       Pengertian Epistemologi dan Relevansinya dalam Ilmu

Epistemologi, sebagai salah satu cabang utama filsafat, membahas hakikat, sumber, validitas, batasan, dan struktur pengetahuan. Dalam konteks filsafat ilmu, epistemologi memegang peranan sentral karena berkaitan langsung dengan bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh, dibangun, dan diuji kebenarannya.¹

Amsal Bakhtiar menjelaskan bahwa epistemologi dalam filsafat ilmu tidak hanya menjawab pertanyaan tentang "bagaimana kita tahu", tetapi juga "bagaimana kita mengetahui bahwa kita mengetahui", sehingga mencakup pertanggungjawaban rasional terhadap proses memperoleh pengetahuan ilmiah.² Dalam arti ini, filsafat ilmu bertindak sebagai evaluasi kritis terhadap klaim-klaim ilmiah, sekaligus sebagai alat untuk menguji validitas metode ilmiah yang digunakan.

4.2.       Sumber dan Batasan Pengetahuan Ilmiah

Ilmu pengetahuan modern berpijak pada asumsi bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui observasi, pengalaman, eksperimen, serta rasionalitas logis. Akan tetapi, para filsuf ilmu menyadari bahwa setiap sumber pengetahuan memiliki keterbatasan yang perlu dianalisis secara filosofis.

David Hume, dalam kritiknya terhadap induksi, menunjukkan bahwa proses generalisasi dari pengalaman terbatas ke hukum universal tidak memiliki dasar logis yang absolut, sehingga semua kesimpulan ilmiah bersifat probabilistik, bukan pasti.³ Masalah induksi ini kemudian menjadi salah satu titik krusial dalam epistemologi ilmu, yang memunculkan berbagai tanggapan dan pendekatan baru.

4.3.       Verifikasi dan Falsifikasi: Dua Pendekatan Kunci

Dalam abad ke-20, perdebatan epistemologis dalam filsafat ilmu dipengaruhi secara besar oleh dua pendekatan dominan: verifikasi dan falsifikasi.

·                     Verifikasi, yang dikembangkan oleh kaum positivis logis dari Lingkaran Wina seperti Moritz Schlick dan Rudolf Carnap, menyatakan bahwa suatu pernyataan ilmiah hanya bermakna apabila dapat diverifikasi melalui pengalaman empiris.⁴ Namun pendekatan ini menghadapi kesulitan ketika dihadapkan pada hukum-hukum universal yang tidak mungkin diverifikasi secara total melalui observasi terbatas.

·                     Falsifikasi, yang diperkenalkan oleh Karl Popper sebagai alternatif, menyatakan bahwa kriteria ilmiah bukanlah verifikasi, melainkan falsifiabilitas. Menurut Popper, sebuah teori ilmiah harus terbuka untuk diuji dan, bila perlu, dibantah oleh fakta.⁵ Dengan demikian, pengetahuan ilmiah berkembang bukan melalui pembuktian total, melainkan melalui eliminasi teori-teori yang gagal menghadapi ujian empiris.

Falsifikasi membawa implikasi epistemologis yang penting: bahwa ilmu tidak bergerak menuju kebenaran mutlak, tetapi mendekatinya melalui proses koreksi dan kritik yang terus-menerus.

4.4.       Paradigma Ilmiah dan Revolusi Pengetahuan

Pemikiran Thomas S. Kuhn membawa perubahan besar dalam epistemologi ilmu dengan memperkenalkan konsep paradigma dalam The Structure of Scientific Revolutions. Kuhn berpendapat bahwa ilmu tidak berkembang secara linear kumulatif, tetapi melalui revolusi paradigma, di mana kerangka dasar ilmiah digantikan secara menyeluruh oleh paradigma baru.⁶

Paradigma, menurut Kuhn, adalah keseluruhan sistem keyakinan, metode, dan nilai yang diterima oleh komunitas ilmiah tertentu. Ketika paradigma lama tidak lagi mampu menjelaskan anomali, maka akan muncul krisis yang mendorong lahirnya paradigma baru. Proses ini menunjukkan bahwa epistemologi ilmiah tidak netral, tetapi sangat bergantung pada konsensus sosial dalam komunitas ilmiah.⁷

4.5.       Kritik terhadap Rasionalitas Ilmiah

Paul Feyerabend, dalam karyanya Against Method, mengkritik ide bahwa ilmu berkembang melalui satu metode rasional yang universal. Ia mengusulkan pandangan anarkisme metodologis, yaitu bahwa tidak ada metode tunggal dalam ilmu, dan bahwa kemajuan ilmu justru sering terjadi ketika ilmuwan melanggar kaidah-kaidah metodologis konvensional.⁸

Feyerabend menekankan pentingnya pluralisme metode dan membuka ruang bagi tradisi atau pendekatan yang selama ini dianggap "non-ilmiah" untuk turut berkontribusi dalam pencarian pengetahuan. Ia menolak dikotomi tajam antara ilmu dan non-ilmu, dan melihat bahwa epistemologi ilmu harus bersifat terbuka dan historis.

4.6.       Perkembangan Epistemologi Ilmu Kontemporer

Dalam perkembangan mutakhir, epistemologi ilmu tidak hanya membahas validitas teori, tetapi juga mempersoalkan siapa yang memiliki otoritas untuk menyatakan sesuatu sebagai “ilmu” dan bagaimana kekuasaan dan ideologi membentuk produksi pengetahuan. Filsuf kritis seperti Jürgen Habermas menunjukkan bahwa setiap ilmu membawa serta kepentingan pengetahuan tertentu: teknis, praktis, atau emansipatoris.⁹

Pendekatan ini menggeser epistemologi dari sekadar studi logika pengetahuan menjadi studi sosiologis dan ideologis tentang bagaimana pengetahuan dikonstruksi dan digunakan dalam masyarakat.


Footnotes

[1]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1987), 24.

[2]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 45.

[3]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 2000), 29–30.

[4]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Chicago: Open Court, 2003), 10–12.

[5]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 40–44.

[6]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 52–91.

[7]                Ibid., 176–180.

[8]                Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso, 2010), xv–xviii.

[9]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–309.


5.           Aspek Aksiologis dalam Filsafat Ilmu

5.1.       Pengertian Aksiologi dan Kaitannya dengan Ilmu

Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang nilai—baik dalam bentuk etika (nilai moral) maupun estetika (nilai keindahan). Dalam konteks filsafat ilmu, aksiologi berfokus pada nilai-nilai yang melekat dalam proses, hasil, dan penggunaan ilmu pengetahuan.¹ Ini mencakup pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apakah ilmu bersifat netral? Apa tujuan moral dari kegiatan ilmiah? Bagaimana tanggung jawab ilmuwan terhadap masyarakat dan alam semesta?

The Liang Gie menegaskan bahwa selain aspek ontologis dan epistemologis, ilmu juga memiliki dimensi aksiologis karena aktivitas keilmuan selalu dijalankan dalam kerangka nilai-nilai tertentu.² Artinya, ilmu bukanlah aktivitas yang bebas dari pertimbangan nilai; bahkan sejak perumusan masalah hingga penerapan hasilnya, ilmu sarat dengan muatan nilai.

5.2.       Netralitas Ilmu: Mitos atau Kenyataan?

Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, paradigma positivisme menyebarkan keyakinan bahwa ilmu bersifat bebas nilai (value-free), karena ditopang oleh metode empiris dan logika deduktif yang objektif.³ Namun dalam perkembangannya, banyak filsuf dan sosiolog ilmu yang menggugat klaim netralitas ini.

Michael Polanyi menunjukkan bahwa kegiatan ilmiah selalu melibatkan komitmen pribadi ilmuwan terhadap hal-hal tertentu, termasuk intuisi, kepercayaan, dan nilai moral yang tidak sepenuhnya bisa diobjektifkan.⁴ Bahkan Thomas Kuhn menekankan bahwa pemilihan paradigma ilmiah sering kali didorong oleh alasan-alasan non-empiris, seperti keindahan teori, kesederhanaan, atau kekuatan prediktifnya, yang bersifat subjektif dan tidak netral secara nilai.⁵

Dengan demikian, ilmu tidak sepenuhnya netral, melainkan berinteraksi erat dengan latar belakang sosial, historis, dan ideologis dari para pelakunya.

5.3.       Etika dan Tanggung Jawab Ilmuwan

Aksiologi dalam filsafat ilmu menuntut bahwa ilmu harus dipraktikkan secara etis dan bertanggung jawab secara sosial. Aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan mengenai akibat yang ditimbulkannya terhadap kemanusiaan dan lingkungan.

Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility mengajukan konsep prinsip tanggung jawab (Prinzip Verantwortung) sebagai dasar etik baru bagi ilmu dan teknologi. Ia menekankan bahwa kemajuan ilmu harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kelangsungan hidup manusia dan ekosistem bumi.⁶

Misalnya, riset di bidang genetika, nuklir, atau kecerdasan buatan memunculkan dilema etis yang kompleks. Pertanyaan seperti “Bolehkah kita melanjutkan riset ini?” atau “Siapa yang akan terdampak oleh penerapan hasil penelitian ini?” adalah pertanyaan aksiologis yang wajib dijawab oleh setiap ilmuwan secara serius.

5.4.       Ilmu, Kekuasaan, dan Ideologi

Filsafat ilmu kontemporer mengakui bahwa ilmu sering kali tidak bebas dari relasi kekuasaan dan ideologi. Pandangan ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Jürgen Habermas, yang menegaskan bahwa setiap ilmu mengandung kepentingan tertentu (knowledge-constitutive interest)—yaitu kepentingan teknis, praktis, dan emansipatoris.⁷

·                     Ilmu teknis: Berorientasi pada kontrol dan prediksi terhadap fenomena alam.

·                     Ilmu praktis: Berusaha memahami makna tindakan sosial dan menjembatani komunikasi antar manusia.

·                     Ilmu emansipatoris: Bertujuan membebaskan manusia dari dominasi ideologis dan struktural.

Dengan pendekatan ini, Habermas membongkar klaim netralitas ilmu dan menempatkan ilmu dalam medan pertarungan sosial yang menuntut pertanggungjawaban ideologis.

Lebih radikal lagi, Michel Foucault menyatakan bahwa ilmu dan wacana pengetahuan tidak pernah lepas dari jaringan kekuasaan. Ilmu bukan sekadar sarana untuk mengetahui realitas, tetapi juga instrumen untuk mengatur, mengontrol, dan mendefinisikan subjek.⁸ Oleh karena itu, aksiologi ilmu juga mencakup kritik terhadap struktur kekuasaan yang tersembunyi di balik klaim ilmiah.

5.5.       Aksiologi Ilmu dalam Era Kontemporer

Di zaman postmodern dan era informasi saat ini, tantangan aksiologis ilmu menjadi semakin kompleks. Ilmu pengetahuan harus berhadapan dengan berbagai dilema moral global, seperti:

·                     Krisis ekologi dan perubahan iklim, akibat eksploitasi alam berbasis teknologi yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan.

·                     Kesenjangan digital dan ketimpangan informasi, yang menciptakan jurang pengetahuan antar bangsa dan kelas sosial.

·                     Manipulasi data dan algoritma, yang dapat membentuk opini publik secara tersembunyi.

Dalam konteks ini, filsafat ilmu menyerukan pentingnya kesadaran aksiologis dalam setiap praktik ilmiah, agar ilmu tidak menjadi alat dominasi, melainkan wahana pembebasan dan pembangunan manusia seutuhnya.


Footnotes

[1]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 51.

[2]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1987), 27.

[3]                Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific Explanation (Indianapolis: Hackett, 1979), 7–8.

[4]                Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 18.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 155–159.

[6]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 36–40.

[7]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308.

[8]                Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.


6.           Filsafat Ilmu dan Ilmu Modern

6.1.       Transformasi Ilmu dalam Dunia Modern

Ilmu pengetahuan telah mengalami transformasi besar sejak era modern dimulai pada abad ke-17 dengan kemunculan revolusi ilmiah yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Galileo Galilei, Isaac Newton, dan Francis Bacon. Revolusi ini menandai perpindahan dari pandangan dunia skolastik dan metafisik menuju paradigma empiris-rasional, yang menjadi dasar bagi ilmu modern.¹

Namun demikian, seiring dengan berkembangnya kompleksitas sosial, teknologi, dan tantangan global, ilmu pengetahuan tidak lagi dapat dipahami secara sempit hanya dalam kerangka positivistik. Filsafat ilmu hadir untuk mengkritisi dan menafsir ulang arah dan peran ilmu pengetahuan di era modern dan postmodern.²

6.2.       Ilmu sebagai Proyek Kemanusiaan

Dalam paradigma modern, ilmu dipandang sebagai proyek kemanusiaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui rasionalitas, efisiensi, dan kontrol terhadap alam.³ Namun, perkembangan ilmu yang pesat justru menimbulkan berbagai paradoks, seperti krisis lingkungan, ancaman nuklir, dan manipulasi genetika.

Filsafat ilmu menawarkan refleksi kritis terhadap arah perkembangan tersebut. Hans Jonas, misalnya, mengingatkan bahwa “ilmu tanpa etika” dapat menjadi kekuatan destruktif jika tidak dikendalikan oleh prinsip-prinsip tanggung jawab ekologis dan kemanusiaan.⁴

6.3.       Tantangan Baru: Era Digital, AI, dan Big Data

Perkembangan teknologi digital, kecerdasan buatan (AI), dan analitik big data menghadirkan tantangan epistemologis dan aksiologis baru dalam ilmu pengetahuan. Pengetahuan kini tidak hanya dihasilkan oleh manusia melalui metode ilmiah tradisional, tetapi juga oleh algoritma, sistem otomatis, dan jaringan informasi global.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan baru dalam filsafat ilmu:

·                     Apakah algoritma dapat dianggap sebagai agen pengetahuan?

·                     Sejauh mana keputusan berbasis data besar mencerminkan kebenaran ilmiah atau hanya korelasi statistik?

·                     Bagaimana menjaga integritas ilmiah dalam era informasi yang terfragmentasi dan terkomodifikasi?

Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism menyoroti bagaimana data pribadi manusia dikonversi menjadi komoditas oleh perusahaan teknologi, menimbulkan konsekuensi etis yang belum terjangkau oleh sistem ilmu tradisional.⁵ Di sinilah filsafat ilmu dituntut untuk mengembangkan refleksi aksiologis baru atas peran ilmu dalam konteks digital global.

6.4.       Ilmu dan Interdisiplinaritas

Ilmu modern semakin ditandai oleh interdisiplinaritas, yaitu pendekatan yang melibatkan kerja sama lintas disiplin untuk memecahkan masalah kompleks, seperti perubahan iklim, pandemi global, atau transformasi sosial.

Dalam konteks ini, filsafat ilmu tidak lagi cukup hanya menganalisis struktur ilmu dalam satu domain, melainkan harus merefleksikan relasi antardisiplin, logika integratif, serta potensi konflik metodologis dan ontologis di antara cabang-cabang ilmu.⁶

Seperti dikemukakan oleh Bas C. van Fraassen, filsafat ilmu harus bersifat adaptif dan “empiris-analitis” terhadap dinamika ilmu kontemporer, sembari tetap menjaga daya reflektifnya terhadap dasar dan arah perkembangan ilmu.⁷

6.5.       Konstruksi Ilmu dalam Konteks Sosial dan Budaya

Ilmu tidak berkembang dalam ruang hampa; ia selalu berada dalam konteks sosial, budaya, dan historis tertentu. Dalam filsafat ilmu kontemporer, ini disebut dengan pendekatan sosiologi pengetahuan ilmiah (sociology of scientific knowledge/SSK), yang menelaah bagaimana komunitas ilmiah, nilai-nilai sosial, dan dinamika kekuasaan memengaruhi proses produksi ilmu.⁸

Pendekatan ini menantang narasi universalitas ilmu dan mendorong munculnya gerakan dekolonialisasi pengetahuan, yang menuntut pengakuan atas keragaman cara mengetahui (ways of knowing) di luar tradisi Barat.

6.6.       Relevansi Filsafat Ilmu dalam Dunia Modern

Dengan mempertimbangkan semua tantangan tersebut, filsafat ilmu tetap memiliki relevansi strategis dalam membimbing arah perkembangan ilmu modern, antara lain:

·                     Menumbuhkan sikap kritis-reflektif terhadap metodologi dan asumsi ilmu.

·                     Menjadi jembatan antara ilmu dan etika, serta antara ilmu dan kebijakan publik.

·                     Mendorong partisipasi masyarakat dalam penentuan arah riset ilmiah.

·                     Menghindari dominasi teknologi atas nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam kata lain, filsafat ilmu membantu menempatkan ilmu kembali dalam kerangka nilai-nilai humanistik dan tanggung jawab sosial.


Footnotes

[1]                Francis Bacon, Novum Organum, trans. James Spedding, Robert Ellis, and Douglas Heath (New York: P.F. Collier, 1902), 49.

[2]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 55–57.

[3]                Stephen Toulmin, The Return to Cosmology: Postmodern Science and the Theology of Nature (Berkeley: University of California Press, 1982), 4–6.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 122–123.

[5]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.

[6]                Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 15.

[7]                Bas C. van Fraassen, The Scientific Image (Oxford: Clarendon Press, 1980), 5–7.

[8]                Barry Barnes, Scientific Knowledge and Sociological Theory (London: Routledge, 1974), 18–20.


7.           Tokoh-Tokoh Sentral dalam Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat tidak dapat dipisahkan dari gagasan-gagasan besar yang dikembangkan oleh para pemikir utamanya. Para tokoh ini telah meletakkan fondasi epistemologis, ontologis, dan aksiologis bagi ilmu pengetahuan, baik dengan membangun kerangka teoritis yang kuat, maupun melalui kritik terhadap paradigma ilmiah yang ada. Berikut adalah lima tokoh sentral yang paling berpengaruh dalam diskursus filsafat ilmu modern:

7.1.       Karl Popper (1902–1994): Logika Falsifikasionisme

Karl Popper adalah salah satu figur paling berpengaruh dalam filsafat ilmu abad ke-20. Ia dikenal luas melalui konsep falsifikasionisme, yaitu prinsip bahwa suatu teori ilmiah tidak perlu diverifikasi secara absolut, melainkan cukup menunjukkan bahwa ia terbuka untuk dibantah (falsifiable).¹

Popper menolak prinsip verifikasi yang dikembangkan oleh kaum positivis logis, karena ia melihat bahwa generalisasi ilmiah tidak dapat dibuktikan secara tuntas melalui observasi terbatas. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa sains berkembang melalui proses eliminasi teori-teori salah dan pencarian teori yang lebih baik.²

Kontribusi Popper sangat penting karena menekankan kritik dan rasionalitas terbuka sebagai jantung ilmu pengetahuan, menjadikannya lawan dari dogmatisme dalam sains.

7.2.       Thomas S. Kuhn (1922–1996): Paradigma dan Revolusi Ilmiah

Thomas Kuhn mengubah secara mendalam cara kita memahami sejarah dan perkembangan ilmu melalui bukunya yang terkenal, The Structure of Scientific Revolutions (1962). Ia memperkenalkan konsep paradigma, yakni kerangka konseptual dan metodologis yang dipegang oleh komunitas ilmiah pada periode tertentu.³

Menurut Kuhn, ilmu tidak berkembang secara linier dan kumulatif, tetapi melalui fase-fase revolusi ilmiah, ketika paradigma lama tidak mampu menjelaskan anomali dan digantikan oleh paradigma baru.⁴ Pandangan ini menggugurkan asumsi bahwa perkembangan ilmu selalu rasional dan progresif. Sebaliknya, transisi antar paradigma bersifat inkomensurabel dan melibatkan faktor-faktor sosial, psikologis, dan kultural.

7.3.       Paul Feyerabend (1924–1994): Anarkisme Metodologis

Paul Feyerabend adalah tokoh yang paling radikal dalam kritik terhadap metode ilmiah konvensional. Dalam Against Method (1975), ia menyatakan bahwa tidak ada metode ilmiah universal yang dapat dijadikan patokan absolut.⁵ Ilmu, menurutnya, justru berkembang karena keberagaman pendekatan dan pelanggaran terhadap aturan-aturan metodologis yang dianggap mapan.

Feyerabend menyebut pendekatannya sebagai anarkisme metodologis, dengan semboyan provokatif “anything goes” (apa pun boleh) dalam pengembangan ilmu.⁶ Meskipun banyak dikritik, gagasannya membuka ruang bagi pluralisme metodologis dan pengakuan terhadap tradisi pengetahuan non-Barat, sekaligus menggugat dominasi ideologi positivistik dalam sains.

7.4.       Imre Lakatos (1922–1974): Program Riset Ilmiah

Imre Lakatos mengupayakan sintesis antara Popper dan Kuhn dengan mengembangkan konsep program riset ilmiah (research programmes). Ia menyatakan bahwa ilmu tidak berkembang dengan menguji teori secara terpisah, melainkan dalam bentuk program teoretis yang terdiri dari hipotesis inti dan sabuk pelindung dari asumsi-asumsi tambahan.⁷

Bagi Lakatos, teori ilmiah yang baik adalah teori yang progresif secara heuristik, yaitu mampu menghasilkan prediksi baru dan memperluas cakupan penjelasan. Ia juga menolak falsifikasi instan terhadap teori, karena menurutnya komunitas ilmiah memiliki toleransi tertentu terhadap anomali sebelum mengubah paradigma.⁸

7.5.       Jürgen Habermas (1929–): Ilmu, Emansipasi, dan Kritik Ideologi

Sebagai filsuf dari Mazhab Frankfurt, Habermas menempatkan ilmu dalam konteks sosial dan ideologis. Dalam karyanya Knowledge and Human Interests (1971), ia menyatakan bahwa setiap ilmu memiliki kepentingan pengetahuan (knowledge-constitutive interest), yaitu teknis (kontrol), praktis (pemahaman), dan emansipatoris (pembebasan).⁹

Habermas mengkritik pandangan positivistik yang mengklaim netralitas nilai dalam ilmu. Ia menegaskan bahwa ilmu harus diarahkan untuk membebaskan manusia dari struktur dominasi, bukan sekadar menjelaskan dunia. Dengan demikian, ilmu menjadi bagian dari proyek kritis dan transformatif dalam masyarakat.


Kesimpulan Sementara

Kelima tokoh ini mewakili spektrum pemikiran filsafat ilmu yang luas: dari logika falsifikasi Popper, kritik paradigma Kuhn, radikalisme Feyerabend, program riset Lakatos, hingga aksiologi kritis Habermas. Masing-masing memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana ilmu bekerja, bagaimana ia berkembang, dan bagaimana ia seharusnya diarahkan demi kepentingan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 40–44.

[2]                Ibid., 55–60.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 10–12.

[4]                Ibid., 111–135.

[5]                Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso, 2010), xv.

[6]                Ibid., 23–25.

[7]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–10.

[8]                Ibid., 116–120.

[9]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–312.


8.           Relevansi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan dan Penelitian

8.1.       Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pendidikan Tinggi

Filsafat ilmu memiliki relevansi yang sangat besar dalam dunia pendidikan, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi di mana pengembangan ilmu pengetahuan menjadi tujuan utama. Kehadiran filsafat ilmu memberikan kerangka reflektif dan kritis terhadap proses pembelajaran, penelitian, dan pengembangan ilmu dalam konteks akademik.

Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu membantu mahasiswa dan akademisi untuk memahami struktur logis dari ilmu pengetahuan serta berpikir sistematis tentang batas-batas dan tujuan ilmu.¹ Artinya, pendidikan tinggi yang tidak disertai oleh kesadaran filosofis berpotensi menjadikan sains sebagai aktivitas teknis belaka, tanpa arah dan pertimbangan etis yang memadai.

8.2.       Pembentukan Nalar Kritis dan Reflektif

Salah satu kontribusi utama filsafat ilmu dalam pendidikan adalah dalam pembentukan nalar kritis (critical thinking). Filsafat ilmu tidak hanya mengajarkan apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana cara berpikir terhadap apa yang dipelajari.² Melalui pemahaman tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu, peserta didik diajak untuk mempertanyakan asumsi, menguji validitas klaim ilmiah, dan menyadari nilai-nilai di balik praktik keilmuan.

Filsafat ilmu juga menanamkan sikap inklusif terhadap keragaman metode dan paradigma, mendorong keterbukaan terhadap pendekatan interdisipliner, dan menyadarkan bahwa ilmu tidak hanya hasil penalaran rasional, tetapi juga produk konstruksi sosial.

8.3.       Penguatan Etika Akademik dan Tanggung Jawab Ilmiah

Filsafat ilmu memberikan fondasi bagi etika akademik, yakni kesadaran terhadap integritas ilmiah, kejujuran dalam penelitian, dan tanggung jawab sosial dari kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini, aksiologi ilmu menjadi penting sebagai pedoman moral bagi akademisi dan peneliti dalam menggunakan ilmu untuk kepentingan kemanusiaan, bukan sekadar mengejar hasil teknis atau keuntungan pragmatis.

Hans Jonas, misalnya, menekankan bahwa tanggung jawab moral menjadi bagian tak terpisahkan dari pengembangan ilmu, terutama di era teknologi tinggi yang berisiko membahayakan kelangsungan hidup manusia dan lingkungan.³ Pendidikan tinggi perlu menginternalisasikan nilai ini dalam kurikulum dan kultur akademik.

8.4.       Filsafat Ilmu dalam Proses Penelitian Ilmiah

Dalam proses penelitian ilmiah, filsafat ilmu berfungsi untuk memperjelas kerangka konseptual, logika metodologis, dan validitas epistemologis dari suatu kajian. Peneliti yang memahami filsafat ilmu akan lebih mampu:

·                     Merumuskan masalah penelitian secara tepat dalam konteks ontologis dan epistemologis.

·                     Memilih pendekatan metode penelitian yang sesuai dengan karakteristik objek kajian.

·                     Menyadari keterbatasan metode dan hasil yang diperoleh serta tidak terjebak pada dogmatisme keilmuan.

Karl Popper menunjukkan bahwa ilmu bukanlah akumulasi fakta, melainkan proses penyusunan teori yang terbuka terhadap kritik dan falsifikasi.⁴ Dengan demikian, filsafat ilmu melatih peneliti untuk bersikap rendah hati secara intelektual (epistemic humility) dan terbuka terhadap kemungkinan koreksi.

8.5.       Implementasi dalam Kurikulum dan Pengembangan Diri Akademik

Sejumlah institusi pendidikan tinggi telah memasukkan mata kuliah filsafat ilmu sebagai bagian dari kurikulum wajib atau pengayaan, terutama dalam program pascasarjana. Ini menjadi langkah strategis untuk membekali akademisi dengan wawasan kritis dan kemampuan reflektif terhadap perkembangan ilmu dan peran mereka sebagai produsen pengetahuan.

Selain itu, penguasaan filsafat ilmu menjadi indikator kedewasaan akademik, karena menuntut sikap analitis, skeptis terhadap kebenaran absolut, dan kesediaan untuk berdialog secara intelektual lintas disiplin.

8.6.       Filsafat Ilmu dan Kepemimpinan Intelektual

Dalam jangka panjang, filsafat ilmu berkontribusi pada terbentuknya kepemimpinan intelektual (intellectual leadership) yang tidak hanya mampu menghasilkan penelitian berkualitas, tetapi juga menyusun visi keilmuan yang bertanggung jawab terhadap tantangan zaman.

Sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas, ilmu harus menjadi bagian dari upaya emansipatoris untuk menciptakan masyarakat yang adil dan reflektif.⁵ Oleh karena itu, pendidikan dan penelitian yang tidak berpijak pada fondasi filosofis akan kehilangan arah dalam menghadapi kompleksitas dunia kontemporer.


Footnotes

[1]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1987), 30–31.

[2]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 60–61.

[3]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 45.

[4]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 61–63.

[5]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 309.


9.           Simpulan

Filsafat ilmu hadir sebagai bidang reflektif dan kritis yang memainkan peran esensial dalam memahami hakikat, struktur, dan peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Sepanjang pembahasan dalam artikel ini, terlihat bahwa ilmu bukanlah sekadar akumulasi data atau prosedur teknis, melainkan sebuah konstruksi pengetahuan yang berdimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis secara integral.

Secara ontologis, filsafat ilmu menelaah tentang apa yang menjadi objek ilmu, bagaimana realitas dipahami dan dijelaskan oleh ilmu, serta bagaimana perdebatan antara realisme dan anti-realisme membentuk fondasi konseptual berbagai cabang keilmuan.¹ Ilmu tidak pernah bebas dari asumsi metafisik tentang keberadaan, dan setiap paradigma ilmiah merefleksikan pandangan ontologis tertentu tentang dunia.

Secara epistemologis, filsafat ilmu mengkaji bagaimana ilmu memperoleh dan membenarkan pengetahuannya.² Dalam konteks ini, teori falsifikasi Karl Popper, kritik terhadap induksi oleh David Hume, dan teori revolusi paradigma oleh Thomas Kuhn memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika perkembangan ilmu.³ Epistemologi ilmu menegaskan bahwa klaim ilmiah tidak bersifat mutlak, melainkan selalu terbuka terhadap revisi, kritik, dan pengujian ulang.

Sementara itu, secara aksiologis, filsafat ilmu menyoroti dimensi etis, sosial, dan ideologis dalam praktik ilmiah.⁴ Klaim bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai telah dikritisi oleh tokoh-tokoh seperti Michael Polanyi, Jürgen Habermas, dan Michel Foucault, yang menegaskan bahwa ilmu selalu berkelindan dengan kepentingan, kekuasaan, dan nilai-nilai sosial.⁵ Oleh karena itu, tanggung jawab moral ilmuwan dan institusi keilmuan menjadi sangat penting dalam memastikan bahwa ilmu digunakan untuk tujuan-tujuan kemanusiaan dan keberlanjutan.

Dalam konteks ilmu modern, filsafat ilmu tetap memiliki urgensi yang tinggi, khususnya dalam menjawab tantangan zaman seperti teknologi digital, kecerdasan buatan, krisis ekologi, dan ketimpangan sosial akibat eksploitasi ilmu tanpa nilai.⁶ Ilmu harus dikawal oleh prinsip filosofis yang tidak hanya menjamin validitas kognitif, tetapi juga menjunjung tinggi keberpihakan pada kemaslahatan umum dan keadilan sosial.

Dalam pendidikan dan penelitian, filsafat ilmu menjadi fondasi pembentukan intelektual yang reflektif, etis, dan terbuka terhadap pluralisme paradigma. Pemahaman filosofis terhadap ilmu memungkinkan akademisi dan peneliti untuk tidak terjebak dalam teknokratisme sempit, melainkan menyadari posisi mereka sebagai bagian dari proyek keilmuan yang lebih luas dan bermakna secara manusiawi.⁷

Dengan demikian, filsafat ilmu tidak hanya penting untuk mengerti bagaimana ilmu bekerja, tetapi juga untuk membimbing ke mana ilmu seharusnya diarahkan. Dalam dunia yang terus berubah dan kompleks, filsafat ilmu merupakan kompas intelektual yang menjaga agar ilmu tetap berpijak pada nilai-nilai rasionalitas, tanggung jawab, dan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1987), 20–21.

[2]                Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 45–47.

[3]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 40–44; Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 111–135.

[4]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 36–40.

[5]                Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests, trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–309; Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.

[6]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.

[7]                Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity: History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press, 1990), 15–18.


Daftar Pustaka

Bakhtiar, A. (2004). Filsafat ilmu. RajaGrafindo Persada.

Barnes, B. (1974). Scientific knowledge and sociological theory. Routledge.

Bacon, F. (1902). Novum organum (J. Spedding, R. Ellis, & D. Heath, Trans.). P.F. Collier.

Carnap, R. (2003). The logical structure of the world. Open Court.

Feyerabend, P. (2010). Against method (4th ed.). Verso.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Gie, T. L. (1987). Pengantar filsafat ilmu. Liberty.

Habermas, J. (1971). Knowledge and human interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity: History, theory, and practice. Wayne State University Press.

Kuhn, T. S. (1996). The structure of scientific revolutions (3rd ed.). University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1978). The methodology of scientific research programmes. Cambridge University Press.

Nagel, E. (1979). The structure of science: Problems in the logic of scientific explanation. Hackett.

Polanyi, M. (1958). Personal knowledge: Towards a post-critical philosophy. University of Chicago Press.

Popper, K. (2002). The logic of scientific discovery (H. K. Popper, Trans.). Routledge.

Thompson Klein, J. (1990). Interdisciplinarity: History, theory, and practice. Wayne State University Press.

Toulmin, S. (1982). The return to cosmology: Postmodern science and the theology of nature. University of California Press.

van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image. Clarendon Press.

Weber, M. (1949). The methodology of the social sciences (E. Shils & H. Finch, Trans.). Free Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar