Filsafat Ilmu
Fondasi Epistemologis, Ontologis, dan Aksiologis Ilmu
Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Ilmu dalam Tinjauan Etimologis, Terminologis, dan
Epistemologis.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif peran
filsafat ilmu sebagai fondasi konseptual dalam memahami ilmu pengetahuan dari
dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Melalui pendekatan
analitis-kritis terhadap pemikiran tokoh-tokoh sentral seperti Karl Popper,
Thomas Kuhn, Paul Feyerabend, Imre Lakatos, dan Jürgen Habermas, artikel ini
menunjukkan bahwa ilmu bukanlah entitas netral dan bebas nilai, melainkan
konstruksi intelektual yang berakar pada asumsi metafisik, logika pengetahuan,
dan kerangka nilai tertentu. Aspek ontologis menyoroti hakikat realitas yang
menjadi objek kajian ilmiah, sementara aspek epistemologis membahas logika dan
validitas pengetahuan ilmiah. Aspek aksiologis mengungkap bahwa ilmu sarat kepentingan
sosial, etis, dan ideologis. Dalam konteks ilmu modern yang diwarnai oleh
tantangan digitalisasi, kecerdasan buatan, dan interdisiplinaritas, filsafat
ilmu menjadi instrumen penting untuk memastikan ilmu tetap berpijak pada
nilai-nilai rasionalitas, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan. Artikel ini
juga menegaskan relevansi filsafat ilmu dalam pendidikan tinggi dan penelitian
ilmiah sebagai landasan pembentukan nalar kritis dan integritas akademik.
Kata Kunci: Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi,
Karl Popper, Thomas Kuhn, Etika Ilmiah, Pendidikan Tinggi, Penelitian Ilmiah,
Netralitas Ilmu.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Ilmu Berdasarkan Referensi Kredibel
1.
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan telah menjadi pilar utama dalam
perkembangan peradaban manusia modern. Sejak zaman Renaisans hingga era digital
kontemporer, ilmu telah berkontribusi secara signifikan dalam mengubah cara
manusia memahami alam semesta dan dirinya sendiri. Namun, di balik kemajuan
ilmu pengetahuan yang tampak objektif dan sistematis, terdapat fondasi-fondasi
filosofis yang menopang bangunan epistemologis, ontologis, dan aksiologis ilmu
tersebut. Di sinilah pentingnya peran filsafat ilmu sebagai cabang
filsafat yang secara kritis menelaah dasar-dasar dan struktur ilmu pengetahuan
itu sendiri.
Filsafat ilmu hadir sebagai refleksi mendalam
terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: Apa hakikat pengetahuan
ilmiah? Bagaimana pengetahuan itu diperoleh, dibenarkan, dan diterapkan?
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak hanya relevan bagi para filsuf, tetapi
juga bagi ilmuwan dan akademisi dari berbagai disiplin, karena menyentuh pada
asumsi-asumsi dasar yang seringkali tersembunyi di balik praktik ilmiah
sehari-hari. Menurut Amsal Bakhtiar, filsafat ilmu merupakan kajian sistematis
terhadap asumsi-asumsi, dasar, metode, serta implikasi ilmu pengetahuan dengan
tujuan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang hakikat dan nilai dari ilmu
itu sendiri.¹
Dalam konteks ini, filsafat ilmu bukan hanya
sekadar menjadi pelengkap dari ilmu, melainkan sebuah fondasi yang menentukan
arah, metodologi, dan bahkan nilai-nilai yang mendasari proses ilmiah. The
Liang Gie menyatakan bahwa filsafat ilmu membantu kita membongkar struktur
logis dari ilmu dan memperjelas berbagai jenis hubungan logis antara konsep,
proposisi, dan teori yang digunakan dalam ilmu.² Dengan kata lain, filsafat
ilmu adalah kerangka kerja kritis yang memungkinkan ilmu berkembang secara
rasional dan bertanggung jawab.
Perkembangan ilmu pengetahuan sepanjang sejarah
menunjukkan bahwa paradigma ilmiah tidaklah tetap, melainkan dapat mengalami
perubahan radikal. Hal ini dikemukakan secara gamblang oleh Thomas S. Kuhn
dalam karya monumental The Structure of Scientific Revolutions, yang
menyatakan bahwa ilmu berkembang melalui serangkaian revolusi ilmiah di mana
paradigma dominan digantikan oleh paradigma baru yang lebih mampu menjelaskan
anomali yang tidak terjawab sebelumnya.³ Oleh karena itu, pemahaman filosofis
tentang struktur dan dinamika ilmu menjadi krusial dalam mengevaluasi validitas
dan kemajuan suatu cabang pengetahuan.
Di sisi lain, filsafat ilmu juga berperan dalam
menyadarkan bahwa ilmu tidak bebas nilai. Pandangan ini secara kritis diajukan
oleh tokoh-tokoh seperti Jürgen Habermas dan Paul Feyerabend, yang menekankan
bahwa ideologi, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik seringkali terlibat
dalam konstruksi ilmu.⁴ Hal ini menantang klaim netralitas dan objektivitas
yang selama ini diklaim oleh positivisme ilmiah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini
bertujuan untuk mengkaji fondasi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis dari ilmu pengetahuan dalam perspektif filsafat ilmu. Pendekatan
yang digunakan bersifat analitis-kritis terhadap pemikiran para tokoh sentral
dan arus besar dalam filsafat ilmu, serta berupaya mengaitkan relevansi
filsafat ilmu dalam praktik ilmiah dan pendidikan di era kontemporer.
Footnotes
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 2.
[2]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1987), 15.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 52.
[4]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971); Paul Feyerabend, Against
Method, 4th ed. (London: Verso, 2010).
2.
Hakikat
dan Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
2.1.
Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang secara
kritis dan sistematis menyelidiki dasar-dasar logis, struktur konseptual, serta
implikasi epistemologis, ontologis, dan aksiologis dari ilmu pengetahuan.
Sebagai suatu bidang reflektif, filsafat ilmu tidak hanya mengkaji produk akhir
dari proses ilmiah, tetapi juga menelaah asumsi-asumsi dasar yang mendasari
praktik ilmiah itu sendiri.
Menurut Amsal Bakhtiar, filsafat ilmu adalah cabang
filsafat yang mempersoalkan hal-hal yang menyangkut hakikat ilmu, metode
ilmiah, dan batas-batas ilmu pengetahuan.¹ Dalam pengertian ini, filsafat ilmu
merupakan upaya reflektif yang tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga
evaluatif dan normatif. The Liang Gie menambahkan bahwa filsafat ilmu membahas
tentang ciri-ciri pokok ilmu, struktur logis dari ilmu, serta prosedur
penyelidikan ilmiah.² Ia menggarisbawahi bahwa filsafat ilmu berbeda dari ilmu
dalam hal tujuannya: jika ilmu bertujuan menjelaskan fenomena, maka filsafat
ilmu bertujuan memahami struktur dan landasan dari penjelasan itu sendiri.
Dengan demikian, filsafat ilmu dapat dikatakan
sebagai "ilmu tentang ilmu" (meta-science), yang
memberikan kerangka konseptual bagi praktik ilmiah agar tetap rasional,
transparan, dan etis. Hal ini menjadikan filsafat ilmu bukan sekadar pelengkap,
tetapi fondasi konseptual yang kritis bagi segala bentuk pengembangan ilmu
pengetahuan.
2.2.
Posisi Filsafat Ilmu dalam
Sistematika Filsafat
Dalam sistematika filsafat, filsafat ilmu menempati
posisi yang bersinggungan dengan tiga cabang utama filsafat, yaitu ontologi
(membahas keberadaan atau realitas), epistemologi (membahas pengetahuan), dan
aksiologi (membahas nilai). Filsafat ilmu memanfaatkan ketiganya untuk
merumuskan pertanyaan-pertanyaan seperti:
·
Ontologis: Apa
hakikat realitas yang menjadi objek studi ilmu?
·
Epistemologis: Bagaimana
pengetahuan ilmiah diperoleh dan dibenarkan?
·
Aksiologis: Apa nilai
dan tujuan dari ilmu pengetahuan?
Dengan cara ini, filsafat ilmu menjadi jembatan
antara filsafat murni dan praktik ilmiah, yang memungkinkan refleksi filosofis
terhadap hasil-hasil penelitian dan metodologi ilmiah.³
2.3.
Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Ruang lingkup filsafat ilmu meliputi tiga ranah
kajian utama yang saling berkaitan:
1)
Ontologi Ilmu
Mengkaji
hakikat realitas yang menjadi objek studi ilmu. Apakah ilmu mempelajari realitas
yang benar-benar ada (realism) atau konstruksi mental semata (anti-realism)?
Hal ini penting dalam membedakan antara ilmu alam dan ilmu sosial yang memiliki
objek berbeda secara ontologis.⁴
2)
Epistemologi Ilmu
Menganalisis
sumber, metode, kriteria validitas, dan batasan dari pengetahuan ilmiah.
Termasuk di dalamnya pembahasan mengenai metode ilmiah, struktur penjelasan
ilmiah, problem verifikasi dan falsifikasi, serta dinamika perkembangan
paradigma ilmu.⁵
3)
Aksiologi Ilmu
Menelaah
nilai, tujuan, dan dampak dari ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia dan
masyarakat. Ini mencakup isu-isu etika penelitian, tanggung jawab ilmuwan,
serta peran ideologi dan kekuasaan dalam konstruksi ilmu.⁶
Dengan ketiga aspek tersebut, filsafat ilmu
berfungsi sebagai kerangka reflektif dan normatif yang memungkinkan
pengembangan ilmu berjalan secara kritis dan bertanggung jawab.
2.4.
Perbedaan Filsafat Ilmu dan Ilmu
Biasa
Penting untuk membedakan antara filsafat ilmu
dan ilmu itu sendiri. Ilmu adalah usaha sistematis untuk memahami dunia
melalui observasi, eksperimen, dan penalaran logis. Sementara itu, filsafat
ilmu berusaha memahami dan menilai kerangka logis dan konseptual dari proses
ilmiah tersebut. Ilmu menjawab “apa” dan “bagaimana” sesuatu
terjadi; filsafat ilmu bertanya “mengapa” pendekatan tertentu digunakan
dan “sejauh mana” pengetahuan itu dapat dipercaya.
Seperti yang
ditegaskan oleh Hans Reichenbach, filsafat ilmu bukanlah ilmu empiris, tetapi
penyelidikan logis terhadap struktur ilmu.⁷ Oleh karena itu, filsafat ilmu
tidak bersaing dengan ilmu pengetahuan, melainkan mendalaminya dari sudut
pandang yang lebih fundamental dan kritis.
Footnotes
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 1.
[2]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1987), 13.
[3]
Ibid., 18.
[4]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
trans. by Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 37.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 10–11.
[6]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308.
[7]
Hans Reichenbach, The Rise of Scientific
Philosophy (Berkeley: University of California Press, 1951), 4.
3.
Aspek
Ontologis dalam Filsafat Ilmu
3.1.
Pengertian Ontologi dan Relevansinya
dalam Filsafat Ilmu
Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas
tentang hakikat keberadaan atau realitas (being). Dalam konteks filsafat ilmu,
ontologi menjadi penting karena menyangkut apa yang menjadi objek
penyelidikan ilmiah, bagaimana objek tersebut dipahami keberadaannya, serta
bagaimana ilmu menjelaskan realitas tersebut. Dengan kata lain, ontologi dalam
filsafat ilmu berupaya menjawab pertanyaan seperti: Apa yang sebenarnya ada?
Apakah realitas itu bersifat objektif dan independen, ataukah hasil konstruksi
subjektif dari kesadaran manusia?
Menurut The Liang Gie, aspek ontologis dari ilmu
menyangkut “apa yang diselidiki oleh ilmu” dan “bagaimana
eksistensinya” dalam alam semesta.¹ Pemahaman terhadap objek ilmu tidak
dapat dilepaskan dari kerangka ontologis karena setiap pendekatan ilmiah selalu
berpijak pada asumsi tentang keberadaan objek yang diselidiki.
3.2.
Objek Material dan Formal Ilmu dalam
Perspektif Ontologis
Dalam telaah ontologis, objek ilmu dibedakan
menjadi dua: objek material dan objek formal. Objek material
adalah segala sesuatu yang menjadi bahan kajian ilmu, sedangkan objek formal
adalah sudut pandang atau pendekatan tertentu yang digunakan dalam melihat
objek tersebut.² Misalnya, manusia sebagai objek material dapat ditelaah oleh
berbagai cabang ilmu—biologi, psikologi, sosiologi—yang masing-masing
menggunakan objek formal berbeda.
Dari perspektif ini, ilmu pengetahuan tidak pernah
netral dalam memilih “realitas” yang hendak diselidikinya. Setiap ilmu memiliki
cara khas dalam memahami dan menjelaskan realitas, dan pendekatan itu didasari
oleh kerangka ontologis tertentu.
3.3.
Realisme dan Anti-Realisme dalam
Filsafat Ilmu
Perdebatan mendalam dalam aspek ontologis filsafat
ilmu terletak pada dua posisi utama: realisme dan anti-realisme.
·
Realisme menyatakan
bahwa dunia eksternal eksis secara objektif dan independen dari pikiran
manusia, serta dapat dikenali secara ilmiah. Realitas bersifat stabil, dapat
diamati, dan dijelaskan secara sistematis oleh ilmu pengetahuan.³ Posisi ini
banyak didukung oleh filsuf seperti Karl Popper dan Hilary Putnam.
·
Anti-realisme,
sebaliknya, berpandangan bahwa realitas bukan sesuatu yang mutlak dan
sepenuhnya objektif, melainkan hasil konstruksi sosial atau linguistik.⁴ Dalam
pandangan ini, pengetahuan ilmiah tidak merepresentasikan realitas sebagaimana
adanya, tetapi hanyalah model atau narasi yang berguna secara praktis.
Tokoh-tokoh seperti Thomas Kuhn dan Paul Feyerabend mendukung pandangan ini
dengan menekankan relativitas paradigma ilmiah dan keberagaman metodologi.
Realisme memandang bahwa teori-teori ilmiah
mendekati kebenaran tentang dunia nyata (truth-approximation), sedangkan
anti-realisme cenderung bersikap skeptis terhadap klaim semacam itu, dan lebih
menekankan fungsi pragmatis ilmu.
3.4.
Ontologi dalam Paradigma Ilmu:
Positivistik, Interpretatif, dan Kritis
Kerangka ontologis dalam filsafat ilmu juga mewujud
dalam paradigma-paradigma ilmu yang berkembang dalam berbagai bidang
keilmuan:
1)
Paradigma Positivistik
Mengasumsikan
bahwa realitas bersifat objektif, tetap, dan dapat diukur. Ilmu bertujuan
menemukan hukum universal berdasarkan data empiris. Paradigma ini dominan dalam
ilmu-ilmu alam.⁵
2)
Paradigma Interpretatif
Berangkat
dari asumsi bahwa realitas bersifat subjektif dan dibentuk melalui interpretasi
sosial. Ilmu tidak sekadar mengamati, tetapi juga memahami makna di balik
tindakan manusia. Paradigma ini berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora.⁶
3)
Paradigma Kritis
Menolak
netralitas realitas dan menyatakan bahwa dunia nyata dibentuk oleh relasi
kuasa, ideologi, dan struktur sosial yang menindas. Realitas harus dipahami dan
diubah melalui praksis. Pandangan ini dikembangkan oleh pemikir seperti Jürgen
Habermas dan para filsuf Mazhab Frankfurt.⁷
Ketiga paradigma ini menunjukkan bahwa pandangan
ontologis dalam ilmu sangat memengaruhi metode, tujuan, dan arah penelitian
ilmiah.
3.5.
Implikasi Ontologis dalam Ilmu
Pengetahuan Kontemporer
Di era kontemporer, ontologi filsafat ilmu menjadi
semakin penting ketika ilmu pengetahuan mulai berhadapan dengan fenomena yang
kompleks dan multidimensi—seperti kesadaran, kecerdasan buatan, ekologi, hingga
fenomena sosial digital. Dalam bidang ini, pemahaman ontologis yang
reduksionistik (misalnya hanya mengandalkan fisikalisme) sering dianggap tidak
memadai. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan ontologis yang lebih holistik,
terbuka terhadap pluralisme realitas, dan mampu mengakomodasi keragaman objek
ilmu yang tidak semuanya bersifat empiris-fisis.
Dengan demikian, aspek ontologis dalam filsafat
ilmu tidak hanya menjadi landasan konseptual, tetapi juga penentu arah
pengembangan ilmu pengetahuan ke depan.
Footnotes
[1]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1987), 20.
[2]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 35.
[3]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 50–52.
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 111–112.
[5]
Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems
in the Logic of Scientific Explanation (Indianapolis: Hackett, 1979), 5.
[6]
Max Weber, The Methodology of the Social
Sciences, trans. Edward Shils and Henry Finch (New York: Free Press, 1949),
81.
[7]
Jürgen Habermas, Theory and Practice, trans.
John Viertel (Boston: Beacon Press, 1974), 257–259.
4.
Aspek
Epistemologis dalam Filsafat Ilmu
4.1.
Pengertian Epistemologi dan
Relevansinya dalam Ilmu
Epistemologi, sebagai salah satu cabang utama
filsafat, membahas hakikat, sumber, validitas, batasan, dan struktur
pengetahuan. Dalam konteks filsafat ilmu, epistemologi memegang peranan sentral
karena berkaitan langsung dengan bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh,
dibangun, dan diuji kebenarannya.¹
Amsal Bakhtiar menjelaskan bahwa epistemologi dalam
filsafat ilmu tidak hanya menjawab pertanyaan tentang "bagaimana kita
tahu", tetapi juga "bagaimana kita mengetahui bahwa kita
mengetahui", sehingga mencakup pertanggungjawaban rasional terhadap
proses memperoleh pengetahuan ilmiah.² Dalam arti ini, filsafat ilmu bertindak
sebagai evaluasi kritis terhadap klaim-klaim ilmiah, sekaligus sebagai alat
untuk menguji validitas metode ilmiah yang digunakan.
4.2.
Sumber dan Batasan Pengetahuan
Ilmiah
Ilmu pengetahuan modern berpijak pada asumsi bahwa
pengetahuan dapat diperoleh melalui observasi, pengalaman, eksperimen, serta
rasionalitas logis. Akan tetapi, para filsuf ilmu menyadari bahwa setiap sumber
pengetahuan memiliki keterbatasan yang perlu dianalisis secara filosofis.
David Hume, dalam kritiknya terhadap induksi,
menunjukkan bahwa proses generalisasi dari pengalaman terbatas ke hukum
universal tidak memiliki dasar logis yang absolut, sehingga semua kesimpulan
ilmiah bersifat probabilistik, bukan pasti.³ Masalah induksi ini kemudian
menjadi salah satu titik krusial dalam epistemologi ilmu, yang memunculkan
berbagai tanggapan dan pendekatan baru.
4.3.
Verifikasi dan Falsifikasi: Dua
Pendekatan Kunci
Dalam abad ke-20, perdebatan epistemologis dalam
filsafat ilmu dipengaruhi secara besar oleh dua pendekatan dominan: verifikasi
dan falsifikasi.
·
Verifikasi, yang
dikembangkan oleh kaum positivis logis dari Lingkaran Wina seperti Moritz
Schlick dan Rudolf Carnap, menyatakan bahwa suatu pernyataan ilmiah hanya
bermakna apabila dapat diverifikasi melalui pengalaman empiris.⁴ Namun
pendekatan ini menghadapi kesulitan ketika dihadapkan pada hukum-hukum
universal yang tidak mungkin diverifikasi secara total melalui observasi
terbatas.
·
Falsifikasi, yang
diperkenalkan oleh Karl Popper sebagai alternatif, menyatakan bahwa kriteria
ilmiah bukanlah verifikasi, melainkan falsifiabilitas. Menurut Popper,
sebuah teori ilmiah harus terbuka untuk diuji dan, bila perlu, dibantah oleh
fakta.⁵ Dengan demikian, pengetahuan ilmiah berkembang bukan melalui pembuktian
total, melainkan melalui eliminasi teori-teori yang gagal menghadapi ujian
empiris.
Falsifikasi membawa implikasi epistemologis yang
penting: bahwa ilmu tidak bergerak menuju kebenaran mutlak, tetapi mendekatinya
melalui proses koreksi dan kritik yang terus-menerus.
4.4.
Paradigma Ilmiah dan Revolusi
Pengetahuan
Pemikiran Thomas S. Kuhn membawa perubahan besar
dalam epistemologi ilmu dengan memperkenalkan konsep paradigma dalam The
Structure of Scientific Revolutions. Kuhn berpendapat bahwa ilmu tidak
berkembang secara linear kumulatif, tetapi melalui revolusi paradigma, di mana
kerangka dasar ilmiah digantikan secara menyeluruh oleh paradigma baru.⁶
Paradigma, menurut Kuhn, adalah keseluruhan sistem
keyakinan, metode, dan nilai yang diterima oleh komunitas ilmiah tertentu.
Ketika paradigma lama tidak lagi mampu menjelaskan anomali, maka akan muncul
krisis yang mendorong lahirnya paradigma baru. Proses ini menunjukkan bahwa
epistemologi ilmiah tidak netral, tetapi sangat bergantung pada konsensus sosial
dalam komunitas ilmiah.⁷
4.5.
Kritik terhadap Rasionalitas Ilmiah
Paul Feyerabend, dalam karyanya Against Method,
mengkritik ide bahwa ilmu berkembang melalui satu metode rasional yang
universal. Ia mengusulkan pandangan anarkisme metodologis, yaitu bahwa
tidak ada metode tunggal dalam ilmu, dan bahwa kemajuan ilmu justru sering
terjadi ketika ilmuwan melanggar kaidah-kaidah metodologis konvensional.⁸
Feyerabend menekankan pentingnya pluralisme metode
dan membuka ruang bagi tradisi atau pendekatan yang selama ini dianggap
"non-ilmiah" untuk turut berkontribusi dalam pencarian pengetahuan.
Ia menolak dikotomi tajam antara ilmu dan non-ilmu, dan melihat bahwa
epistemologi ilmu harus bersifat terbuka dan historis.
4.6.
Perkembangan Epistemologi Ilmu
Kontemporer
Dalam perkembangan mutakhir, epistemologi ilmu
tidak hanya membahas validitas teori, tetapi juga mempersoalkan siapa yang
memiliki otoritas untuk menyatakan sesuatu sebagai “ilmu” dan bagaimana
kekuasaan dan ideologi membentuk produksi pengetahuan. Filsuf kritis seperti
Jürgen Habermas menunjukkan bahwa setiap ilmu membawa serta kepentingan
pengetahuan tertentu: teknis, praktis, atau emansipatoris.⁹
Pendekatan ini menggeser epistemologi dari sekadar
studi logika pengetahuan menjadi studi sosiologis dan ideologis tentang
bagaimana pengetahuan dikonstruksi dan digunakan dalam masyarakat.
Footnotes
[1]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1987), 24.
[2]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 45.
[3]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
2000), 29–30.
[4]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Chicago: Open Court, 2003), 10–12.
[5]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 40–44.
[6]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 52–91.
[7]
Ibid., 176–180.
[8]
Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed.
(London: Verso, 2010), xv–xviii.
[9]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–309.
5.
Aspek
Aksiologis dalam Filsafat Ilmu
5.1.
Pengertian Aksiologi dan Kaitannya
dengan Ilmu
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membahas
tentang nilai—baik dalam bentuk etika (nilai moral) maupun estetika (nilai
keindahan). Dalam konteks filsafat ilmu, aksiologi berfokus pada nilai-nilai
yang melekat dalam proses, hasil, dan penggunaan ilmu pengetahuan.¹ Ini
mencakup pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: Apakah ilmu bersifat
netral? Apa tujuan moral dari kegiatan ilmiah? Bagaimana tanggung jawab ilmuwan
terhadap masyarakat dan alam semesta?
The Liang Gie menegaskan bahwa selain aspek ontologis
dan epistemologis, ilmu juga memiliki dimensi aksiologis karena aktivitas
keilmuan selalu dijalankan dalam kerangka nilai-nilai tertentu.² Artinya, ilmu
bukanlah aktivitas yang bebas dari pertimbangan nilai; bahkan sejak perumusan
masalah hingga penerapan hasilnya, ilmu sarat dengan muatan nilai.
5.2.
Netralitas Ilmu: Mitos atau
Kenyataan?
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20, paradigma
positivisme menyebarkan keyakinan bahwa ilmu bersifat bebas nilai (value-free),
karena ditopang oleh metode empiris dan logika deduktif yang objektif.³ Namun
dalam perkembangannya, banyak filsuf dan sosiolog ilmu yang menggugat klaim
netralitas ini.
Michael Polanyi menunjukkan bahwa kegiatan ilmiah
selalu melibatkan komitmen pribadi ilmuwan terhadap hal-hal tertentu, termasuk
intuisi, kepercayaan, dan nilai moral yang tidak sepenuhnya bisa
diobjektifkan.⁴ Bahkan Thomas Kuhn menekankan bahwa pemilihan paradigma ilmiah
sering kali didorong oleh alasan-alasan non-empiris, seperti keindahan teori,
kesederhanaan, atau kekuatan prediktifnya, yang bersifat subjektif dan tidak
netral secara nilai.⁵
Dengan demikian, ilmu tidak sepenuhnya netral,
melainkan berinteraksi erat dengan latar belakang sosial, historis, dan
ideologis dari para pelakunya.
5.3.
Etika dan Tanggung Jawab Ilmuwan
Aksiologi dalam filsafat ilmu menuntut bahwa ilmu
harus dipraktikkan secara etis dan bertanggung jawab secara sosial.
Aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan mengenai akibat yang
ditimbulkannya terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Hans Jonas dalam The Imperative of
Responsibility mengajukan konsep prinsip tanggung jawab (Prinzip
Verantwortung) sebagai dasar etik baru bagi ilmu dan teknologi. Ia
menekankan bahwa kemajuan ilmu harus mempertimbangkan dampak jangka panjang
terhadap kelangsungan hidup manusia dan ekosistem bumi.⁶
Misalnya, riset di bidang genetika, nuklir, atau
kecerdasan buatan memunculkan dilema etis yang kompleks. Pertanyaan seperti “Bolehkah
kita melanjutkan riset ini?” atau “Siapa yang akan terdampak oleh
penerapan hasil penelitian ini?” adalah pertanyaan aksiologis yang wajib
dijawab oleh setiap ilmuwan secara serius.
5.4.
Ilmu, Kekuasaan, dan Ideologi
Filsafat ilmu kontemporer mengakui bahwa ilmu
sering kali tidak bebas dari relasi kekuasaan dan ideologi. Pandangan
ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Jürgen Habermas, yang
menegaskan bahwa setiap ilmu mengandung kepentingan tertentu (knowledge-constitutive
interest)—yaitu kepentingan teknis, praktis, dan emansipatoris.⁷
·
Ilmu teknis:
Berorientasi pada kontrol dan prediksi terhadap fenomena alam.
·
Ilmu praktis: Berusaha
memahami makna tindakan sosial dan menjembatani komunikasi antar manusia.
·
Ilmu emansipatoris: Bertujuan
membebaskan manusia dari dominasi ideologis dan struktural.
Dengan pendekatan ini, Habermas membongkar klaim
netralitas ilmu dan menempatkan ilmu dalam medan pertarungan sosial yang
menuntut pertanggungjawaban ideologis.
Lebih radikal lagi, Michel Foucault menyatakan
bahwa ilmu dan wacana pengetahuan tidak pernah lepas dari jaringan kekuasaan.
Ilmu bukan sekadar sarana untuk mengetahui realitas, tetapi juga instrumen
untuk mengatur, mengontrol, dan mendefinisikan subjek.⁸
Oleh karena itu, aksiologi ilmu juga mencakup kritik terhadap struktur
kekuasaan yang tersembunyi di balik klaim ilmiah.
5.5.
Aksiologi Ilmu dalam Era Kontemporer
Di zaman postmodern dan era informasi saat ini,
tantangan aksiologis ilmu menjadi semakin kompleks. Ilmu pengetahuan harus
berhadapan dengan berbagai dilema moral global, seperti:
·
Krisis ekologi dan perubahan iklim, akibat eksploitasi alam berbasis teknologi yang tidak mempertimbangkan
keberlanjutan.
·
Kesenjangan digital dan ketimpangan informasi, yang menciptakan jurang pengetahuan antar bangsa
dan kelas sosial.
·
Manipulasi data dan algoritma, yang dapat membentuk opini publik secara tersembunyi.
Dalam konteks ini, filsafat ilmu menyerukan
pentingnya kesadaran aksiologis dalam setiap praktik ilmiah, agar ilmu
tidak menjadi alat dominasi, melainkan wahana pembebasan dan pembangunan
manusia seutuhnya.
Footnotes
[1]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 51.
[2]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1987), 27.
[3]
Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems
in the Logic of Scientific Explanation (Indianapolis: Hackett, 1979), 7–8.
[4]
Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a
Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 18.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 155–159.
[6]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 36–40.
[7]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308.
[8]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected
Interviews and Other Writings 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York:
Pantheon Books, 1980), 131–133.
6.
Filsafat
Ilmu dan Ilmu Modern
6.1.
Transformasi Ilmu dalam Dunia Modern
Ilmu pengetahuan telah mengalami transformasi besar
sejak era modern dimulai pada abad ke-17 dengan kemunculan revolusi ilmiah
yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Galileo Galilei, Isaac Newton, dan
Francis Bacon. Revolusi ini menandai perpindahan dari pandangan dunia skolastik
dan metafisik menuju paradigma empiris-rasional, yang menjadi dasar bagi
ilmu modern.¹
Namun demikian, seiring dengan berkembangnya
kompleksitas sosial, teknologi, dan tantangan global, ilmu pengetahuan tidak
lagi dapat dipahami secara sempit hanya dalam kerangka positivistik. Filsafat
ilmu hadir untuk mengkritisi dan menafsir ulang arah dan peran ilmu
pengetahuan di era modern dan postmodern.²
6.2.
Ilmu sebagai Proyek Kemanusiaan
Dalam paradigma modern, ilmu dipandang sebagai proyek
kemanusiaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
melalui rasionalitas, efisiensi, dan kontrol terhadap alam.³ Namun,
perkembangan ilmu yang pesat justru menimbulkan berbagai paradoks, seperti
krisis lingkungan, ancaman nuklir, dan manipulasi genetika.
Filsafat ilmu menawarkan refleksi kritis terhadap
arah perkembangan tersebut. Hans Jonas, misalnya, mengingatkan bahwa “ilmu
tanpa etika” dapat menjadi kekuatan destruktif jika tidak dikendalikan oleh
prinsip-prinsip tanggung jawab ekologis dan kemanusiaan.⁴
6.3.
Tantangan Baru: Era Digital, AI, dan
Big Data
Perkembangan teknologi digital, kecerdasan buatan
(AI), dan analitik big data menghadirkan tantangan epistemologis dan aksiologis
baru dalam ilmu pengetahuan. Pengetahuan kini tidak hanya dihasilkan oleh
manusia melalui metode ilmiah tradisional, tetapi juga oleh algoritma, sistem
otomatis, dan jaringan informasi global.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan baru dalam
filsafat ilmu:
·
Apakah algoritma dapat dianggap sebagai agen pengetahuan?
·
Sejauh mana keputusan berbasis data besar mencerminkan kebenaran ilmiah
atau hanya korelasi statistik?
·
Bagaimana menjaga integritas ilmiah dalam era informasi yang
terfragmentasi dan terkomodifikasi?
Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance
Capitalism menyoroti bagaimana data pribadi manusia dikonversi menjadi
komoditas oleh perusahaan teknologi, menimbulkan konsekuensi etis yang belum
terjangkau oleh sistem ilmu tradisional.⁵ Di sinilah filsafat ilmu dituntut
untuk mengembangkan refleksi aksiologis baru atas peran ilmu dalam konteks
digital global.
6.4.
Ilmu dan Interdisiplinaritas
Ilmu modern semakin ditandai oleh interdisiplinaritas,
yaitu pendekatan yang melibatkan kerja sama lintas disiplin untuk memecahkan
masalah kompleks, seperti perubahan iklim, pandemi global, atau transformasi
sosial.
Dalam konteks ini, filsafat ilmu tidak lagi cukup
hanya menganalisis struktur ilmu dalam satu domain, melainkan harus
merefleksikan relasi antardisiplin, logika integratif, serta potensi
konflik metodologis dan ontologis di antara cabang-cabang ilmu.⁶
Seperti dikemukakan oleh Bas C. van Fraassen,
filsafat ilmu harus bersifat adaptif dan “empiris-analitis” terhadap
dinamika ilmu kontemporer, sembari tetap menjaga daya reflektifnya terhadap
dasar dan arah perkembangan ilmu.⁷
6.5.
Konstruksi Ilmu dalam Konteks Sosial
dan Budaya
Ilmu tidak berkembang dalam ruang hampa; ia selalu
berada dalam konteks sosial, budaya, dan historis tertentu. Dalam filsafat ilmu
kontemporer, ini disebut dengan pendekatan sosiologi pengetahuan ilmiah
(sociology of scientific knowledge/SSK), yang menelaah bagaimana komunitas
ilmiah, nilai-nilai sosial, dan dinamika kekuasaan memengaruhi proses produksi
ilmu.⁸
Pendekatan ini menantang narasi universalitas ilmu
dan mendorong munculnya gerakan dekolonialisasi pengetahuan, yang menuntut
pengakuan atas keragaman cara mengetahui (ways of knowing) di luar tradisi
Barat.
6.6.
Relevansi Filsafat Ilmu dalam Dunia
Modern
Dengan mempertimbangkan semua tantangan tersebut,
filsafat ilmu tetap memiliki relevansi strategis dalam membimbing arah
perkembangan ilmu modern, antara lain:
·
Menumbuhkan sikap kritis-reflektif terhadap metodologi dan asumsi
ilmu.
·
Menjadi jembatan antara ilmu dan etika, serta antara ilmu dan kebijakan
publik.
·
Mendorong partisipasi masyarakat dalam penentuan arah riset
ilmiah.
·
Menghindari dominasi teknologi atas nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kata lain, filsafat ilmu membantu menempatkan
ilmu kembali dalam kerangka nilai-nilai humanistik dan tanggung jawab sosial.
Footnotes
[1]
Francis Bacon, Novum Organum, trans. James
Spedding, Robert Ellis, and Douglas Heath (New York: P.F. Collier, 1902), 49.
[2]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 55–57.
[3]
Stephen Toulmin, The Return to Cosmology:
Postmodern Science and the Theology of Nature (Berkeley: University of
California Press, 1982), 4–6.
[4]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 122–123.
[5]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.
[6]
Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity:
History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press,
1990), 15.
[7]
Bas C. van Fraassen, The Scientific Image
(Oxford: Clarendon Press, 1980), 5–7.
[8]
Barry Barnes, Scientific Knowledge and
Sociological Theory (London: Routledge, 1974), 18–20.
7.
Tokoh-Tokoh
Sentral dalam Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat tidak dapat
dipisahkan dari gagasan-gagasan besar yang dikembangkan oleh para pemikir
utamanya. Para tokoh ini telah meletakkan fondasi epistemologis, ontologis, dan
aksiologis bagi ilmu pengetahuan, baik dengan membangun kerangka teoritis yang
kuat, maupun melalui kritik terhadap paradigma ilmiah yang ada. Berikut adalah
lima tokoh sentral yang paling berpengaruh dalam diskursus filsafat ilmu
modern:
7.1.
Karl Popper (1902–1994): Logika
Falsifikasionisme
Karl Popper adalah salah satu figur paling
berpengaruh dalam filsafat ilmu abad ke-20. Ia dikenal luas melalui konsep falsifikasionisme,
yaitu prinsip bahwa suatu teori ilmiah tidak perlu diverifikasi secara absolut,
melainkan cukup menunjukkan bahwa ia terbuka untuk dibantah (falsifiable).¹
Popper menolak prinsip verifikasi yang
dikembangkan oleh kaum positivis logis, karena ia melihat bahwa generalisasi
ilmiah tidak dapat dibuktikan secara tuntas melalui observasi terbatas.
Sebaliknya, ia menegaskan bahwa sains berkembang melalui proses eliminasi
teori-teori salah dan pencarian teori yang lebih baik.²
Kontribusi
Popper sangat penting karena menekankan kritik dan rasionalitas terbuka
sebagai jantung ilmu pengetahuan, menjadikannya lawan dari dogmatisme dalam
sains.
7.2.
Thomas S. Kuhn (1922–1996):
Paradigma dan Revolusi Ilmiah
Thomas Kuhn mengubah secara mendalam cara kita
memahami sejarah dan perkembangan ilmu melalui bukunya yang terkenal, The
Structure of Scientific Revolutions (1962). Ia memperkenalkan konsep paradigma,
yakni kerangka konseptual dan metodologis yang dipegang oleh komunitas ilmiah
pada periode tertentu.³
Menurut Kuhn, ilmu tidak berkembang secara linier
dan kumulatif, tetapi melalui fase-fase revolusi ilmiah, ketika
paradigma lama tidak mampu menjelaskan anomali dan digantikan oleh paradigma
baru.⁴ Pandangan ini menggugurkan asumsi bahwa perkembangan ilmu selalu
rasional dan progresif. Sebaliknya, transisi antar paradigma bersifat inkomensurabel
dan melibatkan faktor-faktor sosial, psikologis, dan kultural.
7.3.
Paul Feyerabend (1924–1994):
Anarkisme Metodologis
Paul Feyerabend adalah tokoh yang paling radikal
dalam kritik terhadap metode ilmiah konvensional. Dalam Against Method
(1975), ia menyatakan bahwa tidak ada metode ilmiah universal yang dapat
dijadikan patokan absolut.⁵ Ilmu, menurutnya, justru berkembang karena
keberagaman pendekatan dan pelanggaran terhadap aturan-aturan metodologis yang
dianggap mapan.
Feyerabend menyebut pendekatannya sebagai anarkisme
metodologis, dengan semboyan provokatif “anything goes” (apa pun
boleh) dalam pengembangan ilmu.⁶ Meskipun banyak dikritik, gagasannya membuka
ruang bagi pluralisme metodologis dan pengakuan terhadap tradisi
pengetahuan non-Barat, sekaligus menggugat dominasi ideologi positivistik
dalam sains.
7.4.
Imre Lakatos (1922–1974): Program
Riset Ilmiah
Imre Lakatos mengupayakan sintesis antara Popper
dan Kuhn dengan mengembangkan konsep program riset ilmiah (research
programmes). Ia menyatakan bahwa ilmu tidak berkembang dengan menguji teori
secara terpisah, melainkan dalam bentuk program teoretis yang terdiri dari
hipotesis inti dan sabuk pelindung dari asumsi-asumsi tambahan.⁷
Bagi Lakatos, teori ilmiah yang baik adalah teori
yang progresif secara heuristik, yaitu mampu menghasilkan prediksi baru
dan memperluas cakupan penjelasan. Ia juga menolak falsifikasi instan
terhadap teori, karena menurutnya komunitas ilmiah memiliki toleransi tertentu
terhadap anomali sebelum mengubah paradigma.⁸
7.5.
Jürgen Habermas (1929–): Ilmu,
Emansipasi, dan Kritik Ideologi
Sebagai filsuf dari Mazhab Frankfurt, Habermas
menempatkan ilmu dalam konteks sosial dan ideologis. Dalam karyanya Knowledge
and Human Interests (1971), ia menyatakan bahwa setiap ilmu memiliki
kepentingan pengetahuan (knowledge-constitutive interest), yaitu
teknis (kontrol), praktis (pemahaman), dan emansipatoris (pembebasan).⁹
Habermas mengkritik pandangan positivistik yang
mengklaim netralitas nilai dalam ilmu. Ia menegaskan bahwa ilmu harus diarahkan
untuk membebaskan manusia dari struktur dominasi, bukan sekadar
menjelaskan dunia. Dengan demikian, ilmu menjadi bagian dari proyek kritis dan
transformatif dalam masyarakat.
Kesimpulan
Sementara
Kelima tokoh ini mewakili spektrum pemikiran
filsafat ilmu yang luas: dari logika falsifikasi Popper, kritik paradigma Kuhn,
radikalisme Feyerabend, program riset Lakatos, hingga aksiologi kritis
Habermas. Masing-masing memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana
ilmu bekerja, bagaimana ia berkembang, dan bagaimana ia seharusnya diarahkan
demi kepentingan kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 40–44.
[2]
Ibid., 55–60.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1996), 10–12.
[4]
Ibid., 111–135.
[5]
Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed.
(London: Verso, 2010), xv.
[6]
Ibid., 23–25.
[7]
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific
Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 8–10.
[8]
Ibid., 116–120.
[9]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–312.
8.
Relevansi
Filsafat Ilmu dalam Pendidikan dan Penelitian
8.1.
Filsafat Ilmu sebagai Landasan
Pendidikan Tinggi
Filsafat ilmu memiliki relevansi yang sangat besar
dalam dunia pendidikan, khususnya pada tingkat pendidikan tinggi di mana
pengembangan ilmu pengetahuan menjadi tujuan utama. Kehadiran filsafat ilmu
memberikan kerangka reflektif dan kritis terhadap proses pembelajaran,
penelitian, dan pengembangan ilmu dalam konteks akademik.
Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu membantu
mahasiswa dan akademisi untuk memahami struktur logis dari ilmu pengetahuan
serta berpikir sistematis tentang batas-batas dan tujuan ilmu.¹ Artinya,
pendidikan tinggi yang tidak disertai oleh kesadaran filosofis berpotensi
menjadikan sains sebagai aktivitas teknis belaka, tanpa arah dan pertimbangan
etis yang memadai.
8.2.
Pembentukan Nalar Kritis dan
Reflektif
Salah satu kontribusi utama filsafat ilmu dalam
pendidikan adalah dalam pembentukan nalar kritis (critical thinking).
Filsafat ilmu tidak hanya mengajarkan apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana
cara berpikir terhadap apa yang dipelajari.² Melalui pemahaman tentang
ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu, peserta didik diajak untuk
mempertanyakan asumsi, menguji validitas klaim ilmiah, dan menyadari
nilai-nilai di balik praktik keilmuan.
Filsafat ilmu juga menanamkan sikap inklusif
terhadap keragaman metode dan paradigma, mendorong keterbukaan terhadap
pendekatan interdisipliner, dan menyadarkan bahwa ilmu tidak hanya hasil
penalaran rasional, tetapi juga produk konstruksi sosial.
8.3.
Penguatan Etika Akademik dan
Tanggung Jawab Ilmiah
Filsafat ilmu memberikan fondasi bagi etika
akademik, yakni kesadaran terhadap integritas ilmiah, kejujuran dalam
penelitian, dan tanggung jawab sosial dari kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini,
aksiologi ilmu menjadi penting sebagai pedoman moral bagi akademisi dan
peneliti dalam menggunakan ilmu untuk kepentingan kemanusiaan, bukan sekadar
mengejar hasil teknis atau keuntungan pragmatis.
Hans Jonas, misalnya, menekankan bahwa tanggung
jawab moral menjadi bagian tak terpisahkan dari pengembangan ilmu, terutama di
era teknologi tinggi yang berisiko membahayakan kelangsungan hidup manusia dan
lingkungan.³ Pendidikan tinggi perlu menginternalisasikan nilai ini dalam
kurikulum dan kultur akademik.
8.4.
Filsafat Ilmu dalam Proses
Penelitian Ilmiah
Dalam proses penelitian ilmiah, filsafat ilmu
berfungsi untuk memperjelas kerangka konseptual, logika metodologis,
dan validitas epistemologis dari suatu kajian. Peneliti yang memahami
filsafat ilmu akan lebih mampu:
·
Merumuskan masalah penelitian secara tepat dalam konteks ontologis dan
epistemologis.
·
Memilih pendekatan metode penelitian yang sesuai dengan karakteristik
objek kajian.
·
Menyadari keterbatasan metode dan hasil yang diperoleh serta tidak
terjebak pada dogmatisme keilmuan.
Karl Popper menunjukkan bahwa ilmu bukanlah
akumulasi fakta, melainkan proses penyusunan teori yang terbuka terhadap kritik
dan falsifikasi.⁴ Dengan demikian, filsafat ilmu melatih peneliti untuk
bersikap rendah hati secara intelektual (epistemic humility) dan terbuka
terhadap kemungkinan koreksi.
8.5.
Implementasi dalam Kurikulum dan Pengembangan
Diri Akademik
Sejumlah institusi pendidikan tinggi telah
memasukkan mata kuliah filsafat ilmu sebagai bagian dari kurikulum wajib
atau pengayaan, terutama dalam program pascasarjana. Ini menjadi langkah
strategis untuk membekali akademisi dengan wawasan kritis dan kemampuan
reflektif terhadap perkembangan ilmu dan peran mereka sebagai produsen
pengetahuan.
Selain itu, penguasaan filsafat ilmu menjadi indikator
kedewasaan akademik, karena menuntut sikap analitis, skeptis terhadap
kebenaran absolut, dan kesediaan untuk berdialog secara intelektual lintas
disiplin.
8.6.
Filsafat Ilmu dan Kepemimpinan
Intelektual
Dalam jangka panjang, filsafat ilmu berkontribusi
pada terbentuknya kepemimpinan intelektual (intellectual leadership)
yang tidak hanya mampu menghasilkan penelitian berkualitas, tetapi juga
menyusun visi keilmuan yang bertanggung jawab terhadap tantangan zaman.
Sebagaimana dikemukakan oleh Jürgen Habermas, ilmu
harus menjadi bagian dari upaya emansipatoris untuk menciptakan masyarakat yang
adil dan reflektif.⁵ Oleh karena itu, pendidikan dan penelitian yang tidak
berpijak pada fondasi filosofis akan kehilangan arah dalam menghadapi
kompleksitas dunia kontemporer.
Footnotes
[1]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1987), 30–31.
[2]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 60–61.
[3]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 45.
[4]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 61–63.
[5]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 309.
9.
Simpulan
Filsafat ilmu hadir sebagai bidang reflektif dan
kritis yang memainkan peran esensial dalam memahami hakikat, struktur, dan
peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Sepanjang pembahasan dalam
artikel ini, terlihat bahwa ilmu bukanlah sekadar akumulasi data atau prosedur
teknis, melainkan sebuah konstruksi pengetahuan yang berdimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis secara integral.
Secara ontologis, filsafat ilmu menelaah
tentang apa yang menjadi objek ilmu, bagaimana realitas dipahami dan
dijelaskan oleh ilmu, serta bagaimana perdebatan antara realisme dan
anti-realisme membentuk fondasi konseptual berbagai cabang keilmuan.¹ Ilmu
tidak pernah bebas dari asumsi metafisik tentang keberadaan, dan setiap
paradigma ilmiah merefleksikan pandangan ontologis tertentu tentang dunia.
Secara epistemologis, filsafat ilmu mengkaji
bagaimana ilmu memperoleh dan membenarkan pengetahuannya.² Dalam konteks
ini, teori falsifikasi Karl Popper, kritik terhadap induksi oleh David Hume,
dan teori revolusi paradigma oleh Thomas Kuhn memberikan kontribusi besar dalam
memahami dinamika perkembangan ilmu.³ Epistemologi ilmu menegaskan bahwa klaim
ilmiah tidak bersifat mutlak, melainkan selalu terbuka terhadap revisi, kritik,
dan pengujian ulang.
Sementara itu, secara aksiologis, filsafat
ilmu menyoroti dimensi etis, sosial, dan ideologis dalam praktik ilmiah.⁴ Klaim
bahwa ilmu itu netral dan bebas nilai telah dikritisi oleh tokoh-tokoh seperti
Michael Polanyi, Jürgen Habermas, dan Michel Foucault, yang menegaskan bahwa
ilmu selalu berkelindan dengan kepentingan, kekuasaan, dan nilai-nilai sosial.⁵
Oleh karena itu, tanggung jawab moral ilmuwan dan institusi keilmuan menjadi
sangat penting dalam memastikan bahwa ilmu digunakan untuk tujuan-tujuan
kemanusiaan dan keberlanjutan.
Dalam konteks ilmu modern, filsafat ilmu
tetap memiliki urgensi yang tinggi, khususnya dalam menjawab tantangan zaman
seperti teknologi digital, kecerdasan buatan, krisis ekologi, dan ketimpangan
sosial akibat eksploitasi ilmu tanpa nilai.⁶ Ilmu harus dikawal oleh prinsip
filosofis yang tidak hanya menjamin validitas kognitif, tetapi juga menjunjung
tinggi keberpihakan pada kemaslahatan umum dan keadilan sosial.
Dalam pendidikan dan penelitian, filsafat
ilmu menjadi fondasi pembentukan intelektual yang reflektif, etis, dan terbuka
terhadap pluralisme paradigma. Pemahaman filosofis terhadap ilmu memungkinkan
akademisi dan peneliti untuk tidak terjebak dalam teknokratisme sempit,
melainkan menyadari posisi mereka sebagai bagian dari proyek keilmuan yang
lebih luas dan bermakna secara manusiawi.⁷
Dengan demikian, filsafat ilmu tidak hanya penting
untuk mengerti bagaimana ilmu bekerja, tetapi juga untuk membimbing ke
mana ilmu seharusnya diarahkan. Dalam dunia yang terus berubah dan
kompleks, filsafat ilmu merupakan kompas intelektual yang menjaga agar ilmu
tetap berpijak pada nilai-nilai rasionalitas, tanggung jawab, dan kemanusiaan.
Footnotes
[1]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu
(Yogyakarta: Liberty, 1987), 20–21.
[2]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004), 45–47.
[3]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery,
trans. Hans K. Popper (London: Routledge, 2002), 40–44; Thomas S. Kuhn, The
Structure of Scientific Revolutions, 3rd ed. (Chicago: University of
Chicago Press, 1996), 111–135.
[4]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In
Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of
Chicago Press, 1984), 36–40.
[5]
Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interests,
trans. Jeremy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1971), 308–309; Michel
Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977,
ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.
[6]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 8–10.
[7]
Julie Thompson Klein, Interdisciplinarity:
History, Theory, and Practice (Detroit: Wayne State University Press,
1990), 15–18.
Daftar Pustaka
Bakhtiar, A. (2004). Filsafat ilmu.
RajaGrafindo Persada.
Barnes, B. (1974). Scientific knowledge and sociological
theory. Routledge.
Bacon, F. (1902). Novum organum (J.
Spedding, R. Ellis, & D. Heath, Trans.). P.F. Collier.
Carnap, R. (2003). The logical structure of the
world. Open Court.
Feyerabend, P. (2010). Against method (4th
ed.). Verso.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected
interviews and other writings 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Gie, T. L. (1987). Pengantar filsafat ilmu.
Liberty.
Habermas, J. (1971). Knowledge and human
interests (J. J. Shapiro, Trans.). Beacon Press.
Hume, D. (2000). An enquiry concerning human
understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford University Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Klein, J. T. (1990). Interdisciplinarity:
History, theory, and practice. Wayne State University Press.
Kuhn, T. S. (1996). The structure of scientific
revolutions (3rd ed.). University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1978). The methodology of
scientific research programmes. Cambridge University Press.
Nagel, E. (1979). The structure of science:
Problems in the logic of scientific explanation. Hackett.
Polanyi, M. (1958). Personal knowledge: Towards
a post-critical philosophy. University of Chicago Press.
Popper, K. (2002). The logic of scientific
discovery (H. K. Popper, Trans.). Routledge.
Thompson Klein, J. (1990). Interdisciplinarity:
History, theory, and practice. Wayne State University Press.
Toulmin, S. (1982). The return to cosmology:
Postmodern science and the theology of nature. University of California
Press.
van Fraassen, B. C. (1980). The scientific image.
Clarendon Press.
Weber, M. (1949). The methodology of the social
sciences (E. Shils & H. Finch, Trans.). Free Press.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance
capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power.
PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar