Sabtu, 08 Maret 2025

Aliran-Aliran Filsafat Islam

Aliran-Aliran Filsafat Islam

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi-Referensi Kredibel


Alihkan ke: Pengantar Filsafat Islam.

Mu'tazilah, Asy'ariyyah, Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa, Al-Diniy Al-Aqlaniy.

Dalam pendidikan Islam, terdapat beberapa aliran filsafat, di antaranya:

·                    Aliran religius-konservatif, diwakili oleh Imam Ghazali;

·                    Aliran religius-rasional, diwakili oleh kelompok Ikhawanus Shafa;

·                    Aliran pragmatis-instrumental, diwakili oleh Ibnu Khaldun;

·                    Aliran Pragmatis (al-Dzarai'iy);

·                    Aliran Al-Diniy Al-Aqlaniy;


Abstrak

Filsafat Islam merupakan disiplin ilmu yang berkembang sejak abad ke-8, mengalami berbagai transformasi dalam kajian metafisika, epistemologi, etika, dan filsafat sains. Artikel ini mengkaji secara komprehensif berbagai aliran dalam filsafat Islam, seperti Peripatetik (Masyaiyah), Illuminasi (Isyraqiyah), Hikmah Muta’aliyah, Ilmu Kalam, Tasawuf Filosofis (Irfaniyah), serta Filsafat Politik dan Sains Islam. Kajian ini juga membahas sumber utama filsafat Islam, termasuk pengaruh Al-Qur’an dan Hadis, filsafat Yunani, pemikiran Persia dan India, serta relasinya dengan tasawuf dan ilmu kalam.

Di era modern, filsafat Islam menghadapi berbagai tantangan, termasuk dominasi filsafat Barat, sekularisasi, serta kurangnya perhatian terhadap studi filsafat dalam dunia akademik Islam. Namun, upaya rekonstruksi pemikiran oleh para pemikir seperti Muhammad Iqbal, Seyyed Hossein Nasr, Ali Shariati, dan Ziauddin Sardar menunjukkan bahwa filsafat Islam masih memiliki relevansi dalam menjawab problematika kontemporer. Artikel ini menyoroti pentingnya integrasi filsafat Islam dengan ilmu pengetahuan modern serta penguatan kajian akademik untuk mempertahankan eksistensi filsafat Islam di masa depan.

Kata Kunci: Filsafat Islam, Peripatetik, Isyraqiyah, Hikmah Muta’aliyah, Ilmu Kalam, Tasawuf Filosofis, Sains Islam, Pemikiran Modern, Seyyed Hossein Nasr, Muhammad Iqbal.


PEMBAHASAN

Aliran-Aliran Filsafat Islam dalam Kajian Komprehensif


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Sejarah Filsafat Islam

Filsafat Islam merupakan disiplin ilmu yang berkembang dalam peradaban Islam sejak abad ke-8 hingga masa kontemporer. Pemikiran filsafat dalam Islam mulai berkembang seiring dengan penerjemahan karya-karya filsafat Yunani, terutama dari Aristoteles dan Plato, ke dalam bahasa Arab pada era Dinasti Abbasiyah. Khalifah Al-Ma'mun (memerintah 813–833 M) memainkan peran penting dalam mendukung gerakan intelektual ini dengan mendirikan Baitul Hikmah, sebuah pusat studi dan penerjemahan di Baghdad.¹

Filsafat Islam tidak hanya terbatas pada adopsi gagasan filsafat Yunani tetapi juga mengalami perkembangan dengan sintesis antara pemikiran Hellenistik, prinsip-prinsip Islam, dan pengaruh dari pemikiran Persia serta India.² Para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Sina mengembangkan konsep-konsep metafisika, epistemologi, dan etika yang khas dalam tradisi Islam.³

1.2.       Pengertian Filsafat Islam

Secara umum, filsafat Islam dapat didefinisikan sebagai kajian filosofis yang dilakukan dalam lingkungan intelektual Islam dan berorientasi pada pemahaman tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia dengan menggunakan metode rasional.⁴ Menurut Oliver Leaman, filsafat Islam bukan sekadar "Islamisasi" dari filsafat Yunani, tetapi sebuah tradisi filsafat independen yang terus berkembang melalui berbagai aliran pemikiran, termasuk Peripatetik (Masyaiyah), Illuminasi (Isyraqiyah), dan Hikmah Muta’aliyah.⁵

Filsafat Islam sering kali dibedakan dari teologi Islam (Ilm al-Kalam), meskipun keduanya memiliki titik temu dalam pembahasan tentang Tuhan dan realitas. Teologi Islam lebih menekankan aspek argumentasi berbasis wahyu dan dialektika, sedangkan filsafat Islam menggunakan metode rasional dan logis dalam memahami kebenaran.⁶

1.3.       Ruang Lingkup Kajian Filsafat Islam

Filsafat Islam mencakup berbagai disiplin ilmu yang saling berkaitan, termasuk:

·                     Metafisika:

Pembahasan tentang hakikat Tuhan, keberadaan, dan realitas. Ibn Sina misalnya, mengembangkan konsep wajibul wujud (eksistensi yang niscaya) sebagai argumen rasional tentang keberadaan Tuhan.⁷

·                     Epistemologi:

Pembahasan tentang sumber dan metode memperoleh pengetahuan, seperti yang dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Rushd.⁸

·                     Etika dan Filsafat Moral:

Konsep kebajikan dan akhlak berdasarkan pemikiran filsuf Muslim seperti Miskawayh.⁹

·                     Filsafat Politik:

Pemikiran tentang negara ideal, konsep kepemimpinan, dan keadilan, sebagaimana dianalisis oleh Al-Farabi dalam Al-Madina al-Fadila.¹⁰

Selain itu, filsafat Islam juga memiliki hubungan erat dengan mistisisme (tasawuf) dan ilmu kalam, yang memperkaya wacana filosofis dalam Islam.

1.4.       Peran Filsafat Islam dalam Perkembangan Peradaban Islam

Filsafat Islam berkontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, sains, dan kebudayaan dalam peradaban Islam. Pemikiran filsuf Muslim tentang logika, astronomi, dan kedokteran menjadi dasar bagi kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam maupun di Eropa pada era Renaissance.¹¹ Misalnya, karya Ibn Sina dalam bidang kedokteran, Al-Qanun fi al-Tibb, menjadi referensi utama di universitas-universitas Eropa selama berabad-abad.¹²

Selain itu, pemikiran filsafat Islam juga berperan dalam membangun konsep harmoni antara akal dan wahyu. Al-Ghazali, misalnya, dalam Tahafut al-Falasifah, mengkritik beberapa pemikiran filsuf Muslim tetapi tetap mengakui pentingnya filsafat dalam memahami agama.¹³ Ibn Rushd kemudian memberikan respons terhadap kritik Al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Tahafut, dengan mempertahankan peran filsafat dalam Islam.¹⁴

Dengan cakupan pembahasannya yang luas, filsafat Islam tidak hanya memberikan kontribusi dalam ranah intelektual tetapi juga dalam membangun fondasi bagi peradaban Islam yang maju. Pemikiran filosofis yang berkembang dalam tradisi Islam terus menjadi subjek kajian akademis hingga saat ini, terutama dalam konteks modernisasi dan interaksi antara pemikiran Islam dan filsafat Barat.¹⁵


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 11.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 35.

[3]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 42.

[4]                Seyyed Hossein Nasr and Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London: Routledge, 1996), 18.

[5]                Oliver Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction (Cambridge: Polity Press, 2009), 27.

[6]                Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 68.

[7]                Ibn Sina, Kitab al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985), 92.

[8]                Al-Farabi, Kitab al-Huruf, trans. Muhsin Mahdi (Beirut: Dar el-Mashreq, 1969), 55.

[9]                Miskawayh, Tahdhib al-Akhlaq, ed. C. Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1968), 22.

[10]             Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila, ed. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 110.

[11]             George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (Cambridge: MIT Press, 2007), 89.

[12]             Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 121.

[13]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 75.

[14]             Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 112.

[15]             Nasr and Leaman, History of Islamic Philosophy, 291.


2.           Sumber-Sumber Pemikiran dalam Filsafat Islam

Filsafat Islam berkembang dalam konteks intelektual yang luas, dipengaruhi oleh berbagai tradisi pemikiran yang telah ada sebelumnya, baik dari dalam maupun luar peradaban Islam. Sumber-sumber utama filsafat Islam mencakup Al-Qur’an dan Hadis, filsafat Yunani dan Helenistik, pemikiran Persia dan India, serta interaksi dengan ilmu kalam dan tasawuf. Keanekaragaman sumber ini menciptakan sintesis unik yang membentuk karakteristik filsafat Islam yang khas.

2.1.       Al-Qur’an dan Hadis sebagai Landasan Pemikiran

Dalam tradisi Islam, Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber utama dalam memahami hakikat eksistensi, manusia, dan Tuhan. Banyak filsuf Muslim berusaha menyelaraskan pemikiran filsafat dengan ajaran Al-Qur’an. Al-Farabi, misalnya, berpendapat bahwa filsafat adalah sarana untuk memahami hakikat kebenaran sebagaimana yang diungkapkan dalam wahyu.¹

Dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik para filsuf yang berusaha menundukkan ajaran agama kepada rasio semata.² Sebaliknya, Ibn Rushd dalam Tahafut al-Tahafut membela filsafat dengan menegaskan bahwa akal tidak bertentangan dengan wahyu, melainkan merupakan instrumen untuk memahami wahyu dengan lebih baik.³

Konsep-konsep utama dalam filsafat Islam seperti wajibul wujud (eksistensi niscaya) dari Ibn Sina juga memiliki akar dalam ajaran Al-Qur’an tentang Tuhan sebagai realitas mutlak.⁴ Al-Qur’an juga menekankan pentingnya berpikir dan merenung (tafakkur), yang kemudian menjadi dorongan bagi perkembangan filsafat di dunia Islam.

2.2.       Warisan Filsafat Yunani dan Helenistik

Pemikiran filsafat Islam mengalami perkembangan signifikan setelah diterjemahkannya karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 hingga ke-10 M. Gerakan penerjemahan ini terutama didukung oleh Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun melalui Baitul Hikmah di Baghdad.⁵

Beberapa konsep utama yang diadopsi dalam filsafat Islam berasal dari filsafat Aristotelian dan Neoplatonisme. Para filsuf Muslim seperti Al-Kindi dan Ibn Sina banyak mengembangkan gagasan tentang metafisika, epistemologi, dan etika dengan merujuk pada Aristoteles.⁶

Neoplatonisme, yang banyak diadopsi dalam filsafat Islam melalui Plotinus, mempengaruhi pemikiran filsuf seperti Suhrawardi dalam filsafat Isyraqiyah, yang mengembangkan konsep hierarki cahaya sebagai prinsip fundamental eksistensi.⁷ Selain itu, konsep emanasi dalam filsafat Al-Farabi juga memiliki keterkaitan dengan gagasan Neoplatonisme tentang proses penciptaan yang bertingkat-tingkat.⁸

2.3.       Pengaruh Pemikiran Persia dan India

Selain filsafat Yunani, filsafat Islam juga mendapatkan pengaruh dari pemikiran Persia dan India. Pemikiran Persia banyak berkontribusi dalam aspek etika dan politik. Konsep keadilan dalam pemerintahan yang dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Khaldun memiliki kemiripan dengan gagasan yang terdapat dalam filsafat politik Persia pra-Islam.⁹

Dalam bidang mistisisme dan filsafat tasawuf, pengaruh pemikiran India cukup terasa, terutama dalam konsep-konsep esoteris dan metafisika.ⁱ⁰ Misalnya, ajaran Brahmanisme dan Buddhisme tentang realitas ilahiah yang transenden memiliki kemiripan dengan konsep wahdatul wujud yang dikembangkan oleh Ibn Arabi.¹¹

Beberapa filsuf Muslim seperti Al-Biruni bahkan secara langsung meneliti pemikiran filsafat India dalam karyanya Tahqiq ma li’l-Hind, yang merupakan kajian komparatif tentang filsafat, agama, dan budaya India.¹²

2.4.       Hubungan antara Kalam, Tasawuf, dan Filsafat

Filsafat Islam tidak berkembang secara terisolasi, tetapi berinteraksi erat dengan ilmu kalam dan tasawuf. Ilmu kalam, yang merupakan disiplin teologi Islam, memainkan peran penting dalam membentuk diskursus filosofis, terutama dalam memahami sifat Tuhan, kehendak bebas, dan hubungan antara akal dan wahyu.

Mazhab Mu’tazilah, misalnya, menggunakan pendekatan rasional untuk menafsirkan sifat-sifat Tuhan dan keadilan-Nya.¹³ Sementara itu, Asy’ariyah mengkritik metode rasional ekstrem Mu’tazilah dan menekankan peran wahyu dalam memahami Tuhan.¹⁴

Di sisi lain, filsafat Islam juga berkembang dalam interaksi dengan tasawuf. Konsep-konsep metafisik dalam tasawuf, seperti maqam dan hal dalam ajaran Al-Ghazali, banyak mengandung unsur filosofis.¹⁵ Bahkan, dalam beberapa kasus, seperti dalam filsafat Ibn Arabi, tasawuf dan filsafat menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.


Kesimpulan

Sumber-sumber filsafat Islam sangat beragam dan mencerminkan interaksi yang kompleks antara berbagai tradisi intelektual. Al-Qur’an dan Hadis menjadi fondasi utama, sementara filsafat Yunani, pemikiran Persia dan India, serta ilmu kalam dan tasawuf turut memperkaya dan membentuk wajah filsafat Islam. Melalui sintesis ini, filsafat Islam tidak hanya menjadi warisan intelektual yang kaya, tetapi juga menawarkan perspektif unik dalam memahami realitas dan eksistensi.


Footnotes

[1]                Al-Farabi, Risalah fi al-‘Aql, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Mashriq, 1986), 45.

[2]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 78.

[3]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 99.

[4]                Ibn Sina, Kitab al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985), 112.

[5]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 2001), 61.

[6]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 55.

[7]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 124.

[8]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila, ed. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 136.

[9]                Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 211.

[10]             Al-Biruni, Tahqiq ma li’l-Hind, ed. Edward Sachau (London: Kegan Paul, 1888), 58.

[11]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 74.

[12]             Al-Biruni, Tahqiq ma li’l-Hind, 102.

[13]             Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 99.

[14]             Nasr and Leaman, History of Islamic Philosophy, 187.

[15]             Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, ed. Mustafa Abu Sway (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 156.


3.           Aliran-Aliran Utama dalam Filsafat Islam

Filsafat Islam berkembang dalam berbagai aliran pemikiran yang memiliki karakteristik dan pendekatan yang berbeda dalam memahami realitas, Tuhan, manusia, dan alam semesta. Meskipun ada perbedaan di antara mereka, setiap aliran filsafat Islam tetap berusaha untuk menjembatani antara akal dan wahyu dalam kerangka pemikiran Islam. Aliran-aliran utama dalam filsafat Islam mencakup Peripatetik (Masyaiyah), Illuminasi (Isyraqiyah), Hikmah Muta’aliyah, filsafat Kalam, filsafat Irfaniyah (tasawuf filosofis), filsafat politik Islam, dan filsafat sains dalam Islam.

3.1.       Peripatetik (Masyaiyah)

Aliran Peripatetik dalam filsafat Islam merupakan pengembangan dari filsafat Aristotelian yang disintesis dengan pemikiran Neoplatonisme. Para filsuf Muslim dalam tradisi ini menekankan rasionalitas, logika, dan analisis metafisik sebagai cara utama dalam memahami keberadaan.

Tokoh utama dalam aliran ini adalah Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn SinaAl-Kindi (w. 873 M) dikenal sebagai filsuf Muslim pertama yang mencoba merumuskan pemikiran filsafat dalam konteks Islam.² Sementara itu, Al-Farabi (w. 950 M) mengembangkan teori tentang akal aktif yang memainkan peran dalam proses intelektual manusia.³

Ibn Sina (w. 1037 M) kemudian mengembangkan konsep wajibul wujud (eksistensi yang niscaya), yaitu gagasan bahwa Tuhan adalah keberadaan yang harus ada dengan sendirinya, sedangkan makhluk lain bergantung pada-Nya.⁴ Konsep ini memiliki dampak besar dalam filsafat Islam dan juga dalam filsafat skolastik di Eropa.

3.2.       Illuminasi (Isyraqiyah)

Filsafat Illuminasi dikembangkan oleh Suhrawardi (w. 1191 M), yang berusaha menggabungkan pemikiran filsafat dengan aspek mistis dan intuitif.⁵ Dalam karya utamanya, Hikmat al-Isyraq, Suhrawardi menolak pendekatan rasional murni dari Peripatetik dan menggantinya dengan konsep iluminasi (isyraq), yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui cahaya ilahiah dan intuisi spiritual.⁶

Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Neoplatonisme, serta unsur-unsur filsafat Persia kuno. Konsep utama dalam filsafat Illuminasi adalah hierarki cahaya, di mana Tuhan sebagai Cahaya Tertinggi (Nur al-Anwar) menerangi segala sesuatu.⁷

3.3.       Hikmah Muta’aliyah

Aliran Hikmah Muta’aliyah atau "filsafat transenden" dikembangkan oleh Mulla Sadra (w. 1640 M), yang menggabungkan unsur-unsur dari Peripatetik, Illuminasi, dan filsafat tasawuf.⁸ Salah satu konsep utama dalam filsafatnya adalah teori perubahan substansial (al-harakat al-jauhariyyah), yang menyatakan bahwa substansi benda tidak statis tetapi mengalami perubahan secara terus-menerus.⁹

Selain itu, Mulla Sadra mengembangkan konsep kesatuan wujud (wahdatul wujud), yang menyatakan bahwa realitas pada dasarnya adalah satu, tetapi termanifestasi dalam berbagai bentuk.¹⁰ Pemikirannya menjadi dasar penting dalam filsafat dan tasawuf Islam di dunia Persia dan sekitarnya.

3.4.       Filsafat Kalam

Ilmu kalam adalah cabang filsafat Islam yang lebih berorientasi pada teologi rasional dan perdebatan doktrinal dalam Islam. Beberapa aliran kalam yang berpengaruh dalam sejarah Islam antara lain:

·                     Mu’tazilah

(*) Dipelopori oleh Wasil bin Atha’ (w. 748 M), Mu’tazilah menekankan penggunaan akal dalam memahami agama dan menekankan kebebasan manusia dalam bertindak.¹¹

(*) Mereka terkenal dengan doktrin keadilan Tuhan (al-adl) dan penolakan terhadap konsep sifat Tuhan yang menyerupai makhluk.¹²

·                     Asy’ariyah

(*) Dikembangkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w. 936 M), Asy’ariyah berusaha menengahi antara akal dan wahyu dengan tetap mempertahankan kebesaran Tuhan yang mutlak.¹³

(*) Konsep kasb (perolehan) digunakan untuk menjelaskan hubungan antara kehendak Tuhan dan kebebasan manusia.¹⁴

·                     Maturidiyah

(*) Dikembangkan oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 M), aliran ini memiliki kesamaan dengan Asy’ariyah tetapi lebih menekankan peran akal dalam memahami agama.¹⁵

3.5.       Filsafat Irfaniyah (Tasawuf Filosofis)

Filsafat ini berkembang melalui pemikiran para sufi yang menggabungkan pengalaman mistik dengan analisis filosofis. Tokoh utama dalam filsafat tasawuf ini adalah Ibn Arabi (w. 1240 M), yang mengembangkan konsep wahdatul wujud (kesatuan eksistensi).¹⁶

Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah realitas satu-satunya, sedangkan semua yang ada di dunia ini hanyalah manifestasi dari-Nya.¹⁷ Pemikiran ini mendapat dukungan dari para sufi tetapi dikritik oleh ulama ortodoks yang menganggapnya berpotensi mendukung panteisme.

3.6.       Filsafat Politik Islam

Pemikiran politik Islam berkembang dalam kaitannya dengan konsep negara ideal dan pemerintahan Islam.

·                     Al-Farabi dalam Al-Madina al-Fadila menggambarkan negara ideal yang dipimpin oleh seorang filsuf-raja yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan tertinggi.¹⁸

·                     Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menganalisis siklus peradaban, di mana suatu dinasti mengalami fase kemunculan, kejayaan, dan kehancuran.¹⁹

3.7.       Filsafat Sains dalam Islam

Filsafat Islam juga berkontribusi dalam pengembangan sains, dengan tokoh-tokoh seperti:

·                     Al-Khawarizmi (w. 850 M) dalam matematika dan algoritma.²⁰

·                     Ibn al-Haytham (w. 1040 M) dalam optik dan metode ilmiah.²¹

·                     Al-Biruni (w. 1048 M) dalam astronomi dan fisika.²²


Kesimpulan

Berbagai aliran dalam filsafat Islam menunjukkan kekayaan intelektual dalam peradaban Islam. Dari pendekatan rasional hingga mistis, filsafat Islam telah membentuk banyak aspek pemikiran Islam hingga era modern.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), 45.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 32.

[3]                Al-Farabi, Risalah fi al-‘Aql, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Mashriq, 1986), 67.

[4]                Ibn Sina, Kitab al-Najat, ed. Majid Fakhry (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1985), 92.

[5]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 124.

[6]                Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, ed. Hossein Ziai (Tehran: Institute of Islamic Studies, 1996), 56.

[7]                John Walbridge, The Leaven of the Ancients: Suhrawardi and the Heritage of the Greeks (Albany: SUNY Press, 2000), 88.

[8]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘a, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Institute of Islamic Philosophy, 1999), 112.

[9]                Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London: World Wisdom, 2001), 78.

[10]             Ibrahim Kalin, Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition (Oxford: Oxford University Press, 2010), 145.

[11]             Wasil bin Atha, Maqalat al-Islamiyyin, ed. Fritz Zimmermann (Leiden: Brill, 1978), 213.

[12]             Richard M. Frank, Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian Mu'tazila in the Classical Period (Albany: SUNY Press, 1978), 92.

[13]             Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, ed. Helmut Ritter (Istanbul: Maṭbaʿat al-Dawlah, 1929), 58.

[14]             George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 74.

[15]             Abu Mansur al-Maturidi, Kitab al-Tauhid, ed. Fathallah Kholeif (Beirut: Dar al-Mashriq, 1987), 136.

[16]             Ibn Arabi, Fusus al-Hikam, trans. R.W.J. Austin (New York: Islamic Texts Society, 1980), 55.

[17]             William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 104.

[18]             Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila, ed. Richard Walzer (Oxford: Oxford University Press, 1985), 110.

[19]             Ibn Khaldun, Muqaddimah, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 211.

[20]             Al-Khawarizmi, Kitab al-Jabr wa al-Muqabala, ed. J. Tropfke (Berlin: Springer, 1980), 45.

[21]             Ibn al-Haytham, Kitab al-Manazir, ed. A.I. Sabra (London: Warburg Institute, 1989), 98.

[22]             Al-Biruni, Tahqiq ma li’l-Hind, ed. Edward Sachau (London: Kegan Paul, 1888), 102.


4.           Perkembangan dan Tantangan Filsafat Islam di Era Modern

Filsafat Islam terus mengalami perkembangan sejak era klasik hingga era modern. Dalam menghadapi dinamika perubahan sosial, politik, dan teknologi, filsafat Islam telah beradaptasi dan berinteraksi dengan berbagai arus pemikiran modern, termasuk filsafat Barat. Di era modern dan kontemporer, tantangan filsafat Islam tidak hanya berkaitan dengan mempertahankan warisan intelektualnya, tetapi juga bagaimana ia mampu menawarkan solusi bagi problematika umat Islam di dunia yang semakin kompleks.

4.1.       Kebangkitan Pemikiran Islam dan Kritik terhadap Filsafat Barat

Sejak abad ke-19, pemikiran Islam mengalami kebangkitan intelektual yang ditandai dengan munculnya para pemikir yang mengkritisi pengaruh kolonialisme dan sekularisasi di dunia Islam. Pemikir seperti Jamaluddin Al-Afghani (w. 1897) dan Muhammad Abduh (w. 1905) menekankan perlunya kebangkitan Islam dengan kembali kepada prinsip rasionalitas yang pernah berkembang dalam filsafat Islam klasik.¹

Pada abad ke-20, pemikir seperti Muhammad Iqbal (w. 1938) berupaya merumuskan filsafat Islam yang lebih dinamis dan sesuai dengan zaman modern. Dalam karyanya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal mengkritik pengaruh filsafat Barat yang cenderung materialistik dan mengusulkan konsep "ego kreatif" sebagai landasan keberadaan manusia dalam Islam.²

Selain itu, pemikir Islam modern seperti Seyyed Hossein Nasr mengkritik sekularisasi dalam filsafat modern yang menurutnya telah menghilangkan dimensi spiritual dalam kehidupan manusia. Nasr menekankan perlunya kembali kepada tradisi filsafat Islam yang berbasis spiritualitas dan metafisika sebagai solusi atas krisis eksistensial manusia modern.³

4.2.       Dialog antara Filsafat Islam dan Pemikiran Kontemporer

Interaksi antara filsafat Islam dan pemikiran kontemporer semakin meningkat seiring dengan globalisasi ilmu pengetahuan. Beberapa aspek penting dalam dialog ini antara lain:

·                     Islam dan Eksistensialisme

Beberapa pemikir Muslim mencoba mengintegrasikan filsafat Islam dengan eksistensialisme Barat, terutama dalam hal kebebasan manusia dan makna hidup. Ali Shariati (w. 1977), misalnya, mencoba menghubungkan ajaran Islam dengan pemikiran Sartre dan Heidegger untuk membentuk konsep "Islam revolusioner" yang menekankan peran aktif manusia dalam sejarah.⁴

·                     Islam dan Posmodernisme

Pemikir seperti Ziauddin Sardar mengkritik pemikiran modern Barat yang dianggap terlalu dominan dan hegemonik. Sardar menekankan pentingnya "epistemologi Islam" yang dapat menjadi alternatif terhadap pemikiran postmodernisme yang sering kali relativistik.⁵

·                     Islam dan Filsafat Sains

Dalam bidang filsafat sains, pemikir seperti Osman Bakar dan Muzaffar Iqbal mencoba mengembangkan konsep sains Islam, yang berupaya menyelaraskan metode ilmiah modern dengan prinsip-prinsip Islam.⁶ Mereka berargumen bahwa sains dalam Islam tidak hanya bersifat empiris, tetapi juga memiliki dimensi metafisik yang harus diperhitungkan.

4.3.       Tantangan dan Relevansi Filsafat Islam di Dunia Modern

Meskipun mengalami kebangkitan dan interaksi dengan filsafat kontemporer, filsafat Islam tetap menghadapi berbagai tantangan yang harus diatasi agar tetap relevan di era modern. Tantangan utama yang dihadapi filsafat Islam antara lain:

·                     Krisis Identitas Intelektual

Banyak pemikir Muslim yang masih menghadapi dilema antara mengadopsi filsafat Barat atau mempertahankan tradisi filsafat Islam. Hal ini menyebabkan stagnasi dalam pengembangan filsafat Islam sebagai disiplin yang mandiri.⁷

·                     Dominasi Filsafat Barat

Sejak era kolonialisme, sistem pendidikan di banyak negara Muslim lebih banyak mengadopsi filsafat Barat daripada mengembangkan filsafat Islam. Akibatnya, banyak akademisi Muslim lebih akrab dengan filsafat Eropa seperti Kantianisme dan Marxisme daripada pemikiran Ibn Sina atau Mulla Sadra.⁸

·                     Relevansi dalam Isu Sosial dan Politik

Filsafat Islam juga menghadapi tantangan dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer seperti demokrasi, HAM, dan etika teknologi. Beberapa pemikir Islam seperti Abdulkarim Soroush dan Tariq Ramadan berusaha membangun filsafat Islam yang lebih kontekstual dengan perkembangan zaman.⁹

·                     Hubungan dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi dan kecerdasan buatan, filsafat Islam perlu merumuskan pendekatan baru dalam memahami ilmu pengetahuan. Konsep-konsep filsafat Islam seperti hikmah (kebijaksanaan) dan ilm laduni (pengetahuan ilahiah) dapat dijadikan dasar dalam membangun pendekatan ilmu yang lebih holistik.¹⁰


Kesimpulan

Filsafat Islam terus mengalami perkembangan di era modern dengan menghadapi berbagai tantangan dari filsafat Barat dan perubahan sosial. Dengan adanya dialog antara filsafat Islam dan pemikiran kontemporer, para pemikir Muslim berusaha mencari cara agar filsafat Islam tetap relevan dalam menjawab persoalan zaman. Oleh karena itu, pengembangan filsafat Islam yang lebih integratif dan berbasis nilai-nilai spiritual tetap menjadi agenda penting dalam kajian filsafat Islam modern.


Footnotes

[1]                Jamaluddin Al-Afghani, Refutation of the Materialists, trans. Nikki R. Keddie (Berkeley: University of California Press, 1968), 87.

[2]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy Pakistan, 2013), 102.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 56.

[4]                Ali Shariati, Man and Islam, trans. Ali Asghar Ghasemi (Houston: Free Islamic Literature, 1981), 44.

[5]                Ziauddin Sardar, Islam, Postmodernism, and Other Futures (London: Pluto Press, 2003), 98.

[6]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Islamic Perspectives on Religion and Science (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2008), 72.

[7]                George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), 64.

[8]                Leila Ahmed, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate (New Haven: Yale University Press, 1992), 135.

[9]                Abdulkarim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam, trans. Mahmoud Sadri and Ahmad Sadri (Oxford: Oxford University Press, 2000), 124.

[10]             Muzaffar Iqbal, Science and Islam (Westport, CT: Greenwood Press, 2007), 88.


5.           Kesimpulan

Filsafat Islam telah berkembang sejak abad ke-8 hingga era modern, mengalami berbagai transformasi dan adaptasi sesuai dengan konteks sosial, politik, dan intelektual yang dihadapinya. Dari akar pemikirannya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, hingga interaksinya dengan filsafat Yunani, Persia, dan India, filsafat Islam telah membangun tradisi intelektual yang kaya dan beragam. Berbagai aliran dalam filsafat Islam, seperti Peripatetik (Masyaiyah), Illuminasi (Isyraqiyah), Hikmah Muta’aliyah, ilmu Kalam, serta filsafat Irfaniyah, telah memberikan kontribusi besar dalam memahami konsep eksistensi, Tuhan, akal, dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Di era modern, filsafat Islam menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan relevansinya di tengah pengaruh filsafat Barat, sekularisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi. Namun, upaya para pemikir Muslim dalam merekonstruksi filsafat Islam dan mendialogkannya dengan pemikiran kontemporer menunjukkan bahwa filsafat Islam masih memiliki peran signifikan dalam menjawab persoalan umat.

5.1.       Ringkasan Perjalanan Sejarah dan Pemikiran dalam Filsafat Islam

Filsafat Islam mengalami beberapa tahap perkembangan yang dapat dibagi sebagai berikut:

1)                  Era Klasik (Abad ke-8 hingga ke-12 M)

(*) Ditandai dengan penerjemahan karya-karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.¹

(*) Munculnya pemikir seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd yang mengembangkan filsafat rasional berbasis Aristotelianisme dan Neoplatonisme.²

2)                  Era Pertengahan (Abad ke-13 hingga ke-17 M)

(*) Filsafat mengalami perkembangan ke arah mistisisme dan iluminasi, dengan tokoh seperti Suhrawardi dan Mulla Sadra

(*) Konsep seperti teori perubahan substansial (Mulla Sadra) dan hikmah Isyraqiyah (Suhrawardi) menjadi pusat kajian filsafat Islam.⁴

3)                  Era Modern (Abad ke-18 hingga sekarang)

(*) Filsafat Islam menghadapi tantangan dari filsafat Barat, terutama dalam bidang sekularisme dan rasionalisme modern.⁵

(*) Munculnya pemikir seperti Muhammad Iqbal, Seyyed Hossein Nasr, Ali Shariati, dan Ziauddin Sardar yang mencoba merekonstruksi filsafat Islam agar sesuai dengan zaman.⁶

Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa filsafat Islam bukan hanya sekadar warisan intelektual masa lalu, tetapi juga sebuah tradisi pemikiran yang terus berkembang sesuai dengan dinamika zaman.

5.2.       Pentingnya Kajian Filsafat Islam dalam Peradaban Islam dan Dunia

Filsafat Islam memiliki peran penting dalam peradaban Islam maupun dunia secara luas. Peran tersebut dapat dijelaskan dalam beberapa aspek berikut:

·                     Sebagai Fondasi Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Kritis

Filsafat Islam telah berkontribusi dalam pengembangan berbagai disiplin ilmu seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan optik. Tokoh seperti Al-Khawarizmi, Ibn al-Haytham, dan Al-Biruni menunjukkan bagaimana filsafat Islam dapat menjadi dasar perkembangan ilmu sains.⁷

·                     Sebagai Jembatan antara Akal dan Wahyu

Salah satu tantangan utama dalam pemikiran Islam adalah bagaimana menyeimbangkan antara rasionalitas dan wahyu. Pemikiran filsafat Islam membantu dalam membangun sintesis antara keduanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Farabi dan IbnRushd dalam mengharmoniskan filsafat Aristotelian dengan ajaran Islam.⁸

·                     Sebagai Alternatif bagi Pemikiran Kontemporer

Dalam era modern yang sering kali didominasi oleh materialisme dan sekularisme, filsafat Islam menawarkan pendekatan yang lebih holistik dengan menggabungkan dimensi rasional dan spiritual. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, menekankan perlunya “sains Islam” yang tidak hanya berdasarkan metode empiris, tetapi juga memiliki dimensi metafisik.⁹

5.3.       Rekomendasi Studi Lanjutan untuk Pengembangan Filsafat Islam

Untuk menjaga relevansi filsafat Islam di era modern, beberapa aspek penting yang perlu dikembangkan dalam studi filsafat Islam antara lain:

·                     Penguatan Kajian Filosofis dalam Dunia Akademik

Banyak universitas Islam yang belum memberikan perhatian besar pada studi filsafat Islam. Diperlukan upaya untuk menghidupkan kembali kajian filsafat Islam di lembaga pendidikan tinggi.¹⁰

·                     Integrasi Filsafat Islam dengan Ilmu Pengetahuan Modern

Filsafat Islam perlu beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, terutama dalam bidang bioetika, kecerdasan buatan, dan etika lingkungan.¹¹

·                     Dialog yang Lebih Luas dengan Filsafat Barat dan Timur

Upaya untuk membangun dialog antara filsafat Islam dengan pemikiran kontemporer, baik dari Barat maupun Timur, akan memberikan perspektif baru dalam kajian filsafat Islam.¹²

Melalui pendekatan yang lebih luas dan integratif, filsafat Islam dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi nyata dalam berbagai aspek kehidupan modern.


Kesimpulan Akhir

Filsafat Islam bukanlah disiplin yang stagnan, melainkan sebuah tradisi pemikiran yang terus berkembang. Dengan warisan intelektual yang kaya dari masa klasik hingga modern, filsafat Islam tetap memiliki peran penting dalam menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, kajian filsafat Islam harus terus diperkuat agar dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan peradaban secara global.


Footnotes

[1]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture (London: Routledge, 2001), 61.

[2]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 55.

[3]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 124.

[4]                Mulla Sadra, Al-Asfar al-Arba‘a, ed. Muhammad Khwajawi (Tehran: Institute of Islamic Philosophy, 1999), 112.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science (Albany: SUNY Press, 1993), 56.

[6]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Iqbal Academy Pakistan, 2013), 102.

[7]                Osman Bakar, Tawhid and Science: Islamic Perspectives on Religion and Science (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2008), 72.

[8]                Ibn Rushd, Tahafut al-Tahafut, trans. Simon van den Bergh (London: Gibb Memorial Trust, 1954), 110.

[9]                Nasr, The Need for a Sacred Science, 78.

[10]             George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 74.

[11]             Muzaffar Iqbal, Science and Islam (Westport, CT: Greenwood Press, 2007), 88.

[12]             Leaman, Islamic Philosophy: An Introduction, 98.


Daftar Pustaka

Buku

·                     Al-Asy’ari, A. H. (1929). Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin (H. Ritter, Ed.). Maṭbaʿat al-Dawlah.

·                     Al-Biruni, A. R. (1888). Tahqiq ma li’l-Hind (E. Sachau, Ed.). Kegan Paul.

·                     Al-Farabi. (1985). Al-Madina al-Fadila (R. Walzer, Ed.). Oxford University Press.

·                     Al-Farabi. (1986). Risalah fi al-‘Aql (M. Fakhry, Ed.). Dar al-Mashriq.

·                     Al-Ghazali. (2000). Tahafut al-Falasifah (M. Marmura, Trans.). Brigham Young University Press.

·                     Al-Khawarizmi. (1980). Kitab al-Jabr wa al-Muqabala (J. Tropfke, Ed.). Springer.

·                     Al-Maturidi, A. M. (1987). Kitab al-Tauhid (F. Kholeif, Ed.). Dar al-Mashriq.

·                     Al-Suhrawardi, S. (1996). Hikmat al-Isyraq (H. Ziai, Ed.). Institute of Islamic Studies.

·                     Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn Arabi’s Metaphysics of Imagination. SUNY Press.

·                     Corbin, H. (1993). History of Islamic Philosophy (L. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.

·                     Fakhry, M. (2004). A History of Islamic Philosophy. Columbia University Press.

·                     Gutas, D. (2001). Greek Thought, Arabic Culture. Routledge.

·                     Ibn Arabi. (1980). Fusus al-Hikam (R. W. J. Austin, Trans.). Islamic Texts Society.

·                     Ibn Khaldun. (1967). Muqaddimah (F. Rosenthal, Trans.). Princeton University Press.

·                     Ibn Rushd. (1954). Tahafut al-Tahafut (S. van den Bergh, Trans.). Gibb Memorial Trust.

·                     Ibn Sina. (1985). Kitab al-Najat (M. Fakhry, Ed.). Dar al-Afaq al-Jadidah.

·                     Iqbal, M. (2013). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Iqbal Academy Pakistan.

·                     Kalin, I. (2010). Knowledge in Later Islamic Philosophy: Mulla Sadra on Existence, Intellect, and Intuition. Oxford University Press.

·                     Leaman, O. (2002). An Introduction to Classical Islamic Philosophy. Cambridge University Press.

·                     Leaman, O. (2009). Islamic Philosophy: An Introduction. Polity Press.

·                     Makdisi, G. (1981). The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh University Press.

·                     Makdisi, G. (1990). The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West. Edinburgh University Press.

·                     Mulla Sadra. (1999). Al-Asfar al-Arba‘a (M. Khwajawi, Ed.). Institute of Islamic Philosophy.

·                     Nasr, S. H. (1993). The Need for a Sacred Science. SUNY Press.

·                     Nasr, S. H., & Leaman, O. (1996). History of Islamic Philosophy. Routledge.

·                     Osman, B. (2008). Tawhid and Science: Islamic Perspectives on Religion and Science. Islamic Book Trust.

·                     Sardar, Z. (2003). Islam, Postmodernism, and Other Futures. Pluto Press.

·                     Shariati, A. (1981). Man and Islam (A. A. Ghasemi, Trans.). Free Islamic Literature.

·                     Soroush, A. (2000). Reason, Freedom, and Democracy in Islam (M. Sadri & A. Sadri, Trans.). Oxford University Press.

·                     Walbridge, J. (2000). The Leaven of the Ancients: Suhrawardi and the Heritage of the Greeks. SUNY Press.

Artikel Jurnal

·                     Frank, R. M. (1978). Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian Mu'tazila in the Classical Period. Albany: SUNY Press.

·                     Iqbal, M. (2007). Science and Islam. Westport, CT: Greenwood Press.

·                     Sabra, A. I. (1989). Kitab al-Manazir (Optics). London: Warburg Institute.


Lampiran: Daftar Lengkap Aliran-Aliran Filsafat dalam Filsafat Islam

Berikut adalah daftar lengkap aliran-aliran filsafat dalam Islam beserta tokoh utama yang mencetuskan atau mengembangkan gagasannya serta masa hidupnya.

1)                 Peripatetik (Masyaiyah)

·                     Tokoh Utama:

Al-Kindi (801–873 M)

Al-Farabi (872–950 M)

Ibn Sina (Avicenna) (980–1037 M)

·                     Karakteristik:

Berbasis pada Aristotelianisme dan Neoplatonisme.

Menggunakan metode logika dan rasionalisme dalam memahami metafisika dan epistemologi.

2)                 Illuminasi (Isyraqiyah)

·                     Tokoh Utama:

Suhrawardi (1154–1191 M)

·                     Karakteristik:

Mengutamakan intuisi dan cahaya ilahiah sebagai sumber pengetahuan.

Dipengaruhi oleh filsafat Persia kuno dan Neoplatonisme.

3)                 Hikmah Muta’aliyah

·                     Tokoh Utama:

Mulla Sadra (1571–1640 M)

·                     Karakteristik:

Menggabungkan rasionalisme Peripatetik, mistisisme Illuminasi, dan metafisika tasawuf.

Memperkenalkan teori perubahan substansial (al-harakat al-jauhariyyah).

4)                 Ilmu Kalam (Filsafat Teologi Islam)

·                     Tokoh Utama:

Wasil bin Atha’ (700–748 M) – Mu’tazilah

Abu al-Hasan al-Asy’ari (874–936 M) – Asy’ariyah

Abu Mansur al-Maturidi (853–944 M) – Maturidiyah

·                     Karakteristik:

Menganalisis konsep ketuhanan, kehendak bebas, dan keadilan Tuhan menggunakan rasionalitas.

Memunculkan perdebatan antara qadariyah (kebebasan manusia) dan jabariyah (determinisme Tuhan).

5)                 Filsafat Tasawuf (Irfaniyah)

·                     Tokoh Utama:

Al-Ghazali (1058–1111 M)

Ibn Arabi (1165–1240 M)

·                     Karakteristik:

Menggabungkan filsafat dengan pengalaman mistis (makrifat).

Mengembangkan konsep wahdatul wujud (kesatuan eksistensi).

6)                 Filsafat Politik Islam

·                     Tokoh Utama:

Al-Farabi (872–950 M)

Ibn Khaldun (1332–1406 M)

·                     Karakteristik:

Menyusun teori tentang negara ideal (al-madina al-fadila).

Menganalisis pola kebangkitan dan kejatuhan peradaban (ashabiyyah).

7)                 Filsafat Sains Islam

·                     Tokoh Utama:

Al-Khawarizmi (780–850 M) – Matematika & Aljabar

Ibn al-Haytham (965–1040 M) – Optik & Metode Ilmiah

Al-Biruni (973–1048 M) – Astronomi & Fisika

·                     Karakteristik:

Menggunakan prinsip-prinsip rasional dan empiris dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan modern di Eropa.

8)                 Filsafat Islam Modern

·                     Tokoh Utama:

Jamaluddin Al-Afghani (1838–1897 M)

Muhammad Abduh (1849–1905 M)

Muhammad Iqbal (1877–1938 M)

Seyyed Hossein Nasr (lahir 1933)

·                     Karakteristik:

Berusaha merekonstruksi filsafat Islam agar relevan dengan dunia modern.

Mengkritik filsafat Barat yang dianggap terlalu materialistik.

9)                 Filsafat Islam Kontemporer

·                     Tokoh Utama:

Ali Shariati (1933–1977 M)

Abdulkarim Soroush (lahir 1945)

Ziauddin Sardar (lahir 1951)

·                     Karakteristik:

Menghubungkan filsafat Islam dengan filsafat eksistensialisme dan posmodernisme.

Menawarkan perspektif Islam dalam isu-isu global seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan ilmu pengetahuan.


Kesimpulan

Lampiran ini menunjukkan bahwa filsafat Islam memiliki keragaman aliran yang berkembang sepanjang sejarah, dengan berbagai tokoh yang memberikan kontribusi signifikan dalam disiplin ini. Dari filsafat rasional hingga mistisisme, serta interaksi dengan ilmu pengetahuan modern, filsafat Islam terus beradaptasi dengan perubahan zaman.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar